NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: SITI AMINAH NIM 11112113
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: SITI AMINAH NIM 11112113
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
i
MOTTO
Artinya:” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab 21)
v
PERSEMBAHAN Yang utama dari segalanya. Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu, serta memperkenalkanku dengan cinta, atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang telah membantu mewujudkan mimpiku: 1. Kedua orangtuaku, Bapak Ahmad Yani dan Ibu Mahmudah yang tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat, dan kasih syang serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga aku selalu kuat menjalani rintangan yang ada di depanku. 2. Suamiku, Dwi Susanto yang selalu memberiku motivasi, arahan dan nasihatnya. 3. Putraku tersayang, Muhammad Danish Akmal yang telah memberiku tawa kebahagiaan sehingga timbullah motivasi yang sangat luar biasa untuk mengarungi perjalanan hidupku dan mewujudkan mimpiku. 4. Kedua mertuaku, Bapak Koderi dan Ibu Sariyah yang senantiasa memberikan motivasi dan doanya. 5. Keluarga besarku yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu untuk dorongan, nasihat dan seluruh bantuannya.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmaanirrahiim, segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya. Selesainya penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, melainkan jasa baik dari orang-orang hebat yang diberikan kepada penulis. Untuk itu dengan memohon arah dan bimbingan, penulis sampaikan ucapan terimakasih, kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd. selaku Dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
vii
5. Bapak dan Ibu Dosen FTIK IAIN Salatiga yang telah mendidik penulis sehingga berakhirnya penyusunan skripsi ini. 6. Guru-guru yang memberikan pengetahuannya kepada saya, semoga Allah SWT. membalasnya dengan menempatkan kalian ditempat yang layak dan dibalas dengan penuh kasih sayang-Nya. 7. Teman-teman
PAI
D
yang
mengajak
untuk
sesegera
mungkin
menyelesaikan program SI ini. 8. Teman-teman seperjuangan PAI D khususnya dan IAIN Salatiga pada umumnya, Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Dalam penulisan skripsi ini apabila banyak kekeliruan, kekuranga dan kesalahan, itu semua karena keterbatasan kemampuan penulis, untuk itu pula kritik dan saran yang konstruktif akan penulis terima dengan senang hati.
viii
ABSTRAK
Aminah, Siti. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an Surat an-Nur Ayat 58-61. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. UrifatunAnis, M.Pd.I Kata kunci
: Nilai, Pendidikan, Akhlak, al-Qur’an
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61? (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan sehari-hari? Penelitian ini merupakan penelitian literatur atau naskah dengan mengambil naskah surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. Metode yang digunakan adalah analisis maudhu’i dan analisis deduksi, dengan pendekatan kualitatif dan juga menggunakan strategi penelitian fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. an-Nur ayat 58 dan 59 terdapat nilai pendidikan akhlak tentang etika meminta izin memasuki kamar orang tua. Pada ayat 60 terdapat nilai pendidikan akhlak tentang hukum menanggalkan pakaian bagi perempuan tua. Pada ayat 61 terdapat nilai pendidikan akhlak tentang kemudahan bagi orang sakit; dan (2) implementasi nilai yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari antara lain: etika meminta izin, diberikan penjelasan mengenai tiga waktu yang tidak diperbolehkan untuk masuk kamar orang lain. Hukum berpakaian bagi perempuan tua, memberi keringanan kepada ibu, nenek, atau saudara yang masuk dalam kategori tersebut untuk tidak memakai pakaian seketat perempuan muda dikhawatirkan akan mempersulit keadaan mereka. Kemudahan makan minum bagi orang sakit, membolehkan mereka untuk makan dirumah kita para kerabatnya tanpa membeda-bedakan kondisi yang sedang dialaminya.
x
DAFTAR ISI SAMPUL LEMBAR BERLOGO JUDUL ...................................................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii PENGESAHAN KELULUSAN .............................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................... iv MOTTO ....................................................................................................................v PERSEMBAHAN .................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii ABSTRAK ................................................................................................................x DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1 B. Rumusan Masalah .........................................................................................4 C. Tujuan Penelitian ..........................................................................................4 D. Penegasan Istilah ...........................................................................................4 E. Manfaat Penelitian ........................................................................................8
xi
F. Metode Penelitian..........................................................................................9 G. Sistematika Penulisan Skripsi ......................................................................13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Nilai ............................................................................................15 B. Pengertian Pendidikan Akhlak .....................................................................16 C. Tujuan Pendidikan Akhlak ...........................................................................19 D. Ruang Lingkup Pendididkan Akhlak ...........................................................20 E. Materi Pendidikan Akhlak ...........................................................................35 BAB III DESKRIPSI SURAT DAN TAFSIR AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61 A. Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61.............................................................41 B. Pandangan Mufassir dan Penafsiran Tentang al-Qur’an Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 ..........................................................................................51 BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59 60 dan 61 .............................................................................................69 B. Implementasi al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan sehari-hari .....................................................................................82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................................87
xii
B. Saran-Saran ....................................................................................................90 C. Penutup...........................................................................................................91 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................92 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama. Menurut keyakinan umat Islam yang diakui kebenarannya oleh penelitian ilmiah, al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, sama benar yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah. Tujuannya, untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat (Ali, 2008: 93). Al-Qur’an yang merupakan sumber agama ini mengandung beberapa prinsip dalam hidup untuk memeperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, termasuk ajaran tentang kehidupan manusia. Karena itu manusia dapat mengetahui siapa dirinya, darimana ia berasal, di mana ia berada dan ke mana ia akan pergi. Dengan demikian manusia akan tahu bagaimana ia harus bertindak dalam hidupnya. Jika dikaji sejarah turunnya wahyu yang kini dihimpun dengan baik dalam al-Qur’an, dapatlah disimpulkan bahwa al-Qur’an yang turun sedikit demi sedikit itu isinya antara lain adalah (1) Petujuk mengenai akidah yang diyakini oleh manusia. (2) Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang
1
harus diikuti oleh manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat kelak. (3) Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus diindahkan oleh manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehuidupan sosial. (4) Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau (Ali, 2008: 97). Akan tetapi dari ke empat isi al-Qur’an tersebut penulis hanya akan membahas poin yang ketiga yaitu petunjuk tentang akhlak mengenai akhlak yang baik dan yang buruk dalam kehidupan individual maupun sosial. Karena dalam mengembangkan akhlak pada seseorang tentunya tidak terlepas dari proses pendidikan, baik pendidikan keluarga maupun sekolah. Sering pendidikan akhlak dianggap remeh bagi sebagian orang tua yang akhirnaya mengakibatkan perilaku menyimpang bagi si anak, dan juga akan mengakibatkan hubungan sosial kemasyarakatan yang kurang etis. Pendidikan akhlak sangatlah penting dalam mewujudkan pribadi yang mulia. Pendidikan ini akan sangat berarti jika kita mulai dari diri sendiri dan keluarga terutama kepada anak-anak kita kelak. Para filsuf salaf sangat menyadari pentingnya pendidikan budi pekerti anak, karena itu mereka benar-benar serius dalam mendidik anak mereka agar anak-anak mereka dapat memiliki budi pekerti yang luhur. Perhatian yang besar terhadap pendidikan ini disebabkan karena dengannya menghasilkan hati yang terbuka dan hati yang terbuka menghasilkan kebiasaan yang baik, dan kebiasaan yang baik menghasilkan perangai yang
2
terpuji, dan perangai yang terpuji menghasilkan amal saleh, dan amal saleh menghasilkan ridha Allah Swt., dan ridha Allah Swt. menghasilkan kemuliaan yang abadi (Hafizh, 1997: 179). Islam sangat mementingkan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara (Munir, 2008: 115) Memiliki akhlak mulia yang akan tertanam pada diri dimulai pada pendidikan dalam keluarga, karena keluarga merupakan tempat anak membuka matanya untuk yang pertama kali. Pengaruhnya dalam pendidikan ini akan memainkan peranan yang sangat besar dalam memberikan pengarahan dan membentuk pribadi anak. Sejauh mana nilai-nilai pendidikan itu diberikan oleh keluarga kepada anak sejauh itulah anak terbentuk, tumbuh, berkembang, serta menghadapi masyarakat dengan segala permasalahannya. Jika pendidikan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka akhlak terhadap masyarakat beserta lingkungannya juga akan terealisasi dengan baik. Mengingat masalah pendidikan akhlak yang sangat penting itu, khususnya pendidikan akhlak dalam keluarga, maka mendorong penulis melakukan
penelitian
dengan
mengambil
judul
“NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61”.
3
B. Rumusan Masalah Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Hal tersebut antara lain: 1.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61?
2.
Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan seharihari?
C. Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh deskripsi tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58,59, 60 dan 61. 2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang diajarkan dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 dalam kehidupan sehari-hari? D. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini antara lain:
4
1. Nilai Muhammad Ibrahim Khazim berpendapat bahwa nilai (value) adalah ukuran, tingkatan, atau standar yang kita tujukan untuk perilaku kita, apakah perilaku itu kita sukai atau benci. Sehingga nilai juga dapat diartikan sebagai kumpulan dari ukuran-ukuran, orientasi, dan teladan luhur, yang selaras dengan akidah yang diyakini seseorang dan tidak bertentangan dengan perilaku masyarakat, dimana ukuranukuran itu menjadi moral bagi seseorang yang tercermin dalam perilaku,
aktivitas,
usaha
dan
pengalaman-pengalamannya.
Sebagaimana yang terlihat pada komitmen seseorang terhadap nilainilai itu dalam perilakunya terhadap manusia dari satu sisi dan terhadap Tuhan dari sisi lain (Murshafi, 2009: 95). Jadi nilai dapat diartikan sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. 2. Pendidikan Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang, kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, potensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran, dari kurang paham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna (Rahmaniyah, 2010: 1).
5
Sedangkan
menurut
Undang-Undang
Sistem
Pendidikan
Nasional, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, 2006: 72) Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada si terdidik dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan dan seterusnya kearah terbentuknya kepribadian muslim (Rahmaniyah, 2010: 53). 3. Akhlak Kata “akhlaq” (bahasa Arab) merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan. Persoalan akhlak tersebut dikaji sedemikian rupa oleh ulama, sehingga timbul ilmu akhlak, yaitu ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin (Muhaimin, 2003: 306) Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga pribadi yang berakhlak baik nantiya akan menjadi bagian dari
6
masyarakat yang baik pula. Akhlak dalam Islam juga memiliki nilai yang dapat diterapkan pada kondisi apa pun (Syafri, 2014: 68). Akhlak pada dasarnya mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan Tuhan Allah (هللا
)حبل من
penciptanya, sekaligus bagaimana seseorang harus berhubungan dengan sesama manusia ()حبل من الناس. Inti ajaran akhlak adalah niat kuat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dengan ridha Allah ta’ala. 4. al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59,60 dan 61 Surat an-Nur (cahaya) adalah surat ke dua puluh empat setelah surat al-Mu’minun dalam susunan al-Qur’an, yang terdiri dari 64 ayat, termasuk dalam golongan surat Madaniyah. Adapun ayat 58 menjelaskan tentang akhlak dalam keluarga yakni sopan santun dalam rumah tangga. Pendidikan akhlak yang diberikan kepada anak-anak yang belum memasuki usia baligh, dan para pelayan yang berada di rumah. Sedang ayat 59 juga menjelaskan tentang akhlak yang diberikan kepada anak-anak khususnya mereka yang telah mencapai usia baligh dan sopan santun ketika mereka ingin menemui orang tuanya di kamar. Ayat 60 menjelaskan tentang wanita yang telah memasuki usia lanjut yang telah berhenti/tidak lagi haid dan juga tidak memiliki hasrat untuk menikah. Ayat ini merupakan pengecualian dari ayat 31 surah ini yakni “dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka
7
kecuali yang nampak darinya”, karena dalam surah ini mengharuskan wanita-wanita untuk tidak menampakkan aurat mereka. Maka dalam ayat ini tidak memberatkan kepada wanita untuk menutup seluruh auratnya, yang penting baginya di masa sekarang ini adalah menjaga sikap hidup, sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat dan menjadi contoh dan teladan yang baik bagi anak cucunya dalam rumah tangga dan orang lain. Ayat 61 menjelaskan tentang hubungan kekeluargaan orang yang beriman dan soal makan dan minum dalam keluarga itu. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya, terutama mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. b. Penelitian ini ada relevansinya dengan Ilmu Agama Islam khususnya Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil pembahasannya berguna menambah literatur atau bacaan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalan al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. c. Penelitian ini semoga dapat memberi kontribusi positif bagi kaum hawa khususnya penulis untuk mengetahui dan mendalami serta
8
mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. 2. Manfaat praktis Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagai berikut: a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para orang tua atau pendidik untuk mensosialisasikan pendidikan akhlak di dalam keluarga dan juga di masyarakat sesuai dengan aturan ajaran Islam. b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan khususnya bagi para orang tua atau pendidik dalam mendidik anaknya tentang beretika dalam keluarga dan juga dengan orang lain di masyarakat serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. c. Dengan skripsi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya penulis sendiri. Amin. F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa tehnik untuk sampai pada tujuan penelitian. Tehnik tersebut meliputi: 1.
Jenis penelitian jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan literatur
9
(kepustakaan) dari penelitian sebelumnya (Saraswati, 2011: 23). karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka. Dimana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah: a. Sumber data primer. Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian, yaitu al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61 beserta tafsirnya menurut ulama’ diantaranya Tafsir al-Misbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib ar-Rifa’i dan Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi. b. Sumber data sekunder. Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumbersumber data primer. Sumber data sekunder diambil dengan cara mencari, menganalisis buku-buku, internet dan informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. 2.
Pendekatan penelitian Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Emzir (2010: 28), pendekatan kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivist (seperti makna jamak dari pengalaman individual, yaitu makna yang secara sosial
10
dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori atau pola). Pendekatan ini juga menggunakan strategi penelitian fenomenologis. Fenomenologi bisa diartikan sebagai pengalaman subyektif atau studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang.
Fenomenologi
kadang-kadang
digunakan
sebagai
perspektif filosofi dan juga digunakan sebagai pendidikan penelitian kualitatif (Meleong, 2008: 15). Pendekatan ini penulis gunakan untuk menganalisis nilai-nilai yang ada dalam surat an-Nur ayat 58-61 yang mampu menghasilkan sebuah konsep pemikiran yang integral dengan konteks yang terjadi waktu itu. 3.
Tehnik pengumpulan data Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada subyek penelitian. Dokumen dapat berupa catatan pribadi, surat pribadi, buku harian, lapran kerja, notulen rapat, catatan kasus, rekaman kaset, rekaman video dan lain sebagainya (Sukandarrumidi, 2004: 100-101). Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir al-Qur’an dan hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan.
11
Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan makna al-Qur’an surat an-Nur tentang nilai-nilai pendidikan akhlak. 4.
Metode analisis. a. Analisis Mawdhu’i Analisis Mawdhu’i atau tafsir al-mawdhu’i menurut istilah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menghimpun ayatayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama
membicarakan
satu
topik
dan
menyusunnya
berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 50). Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat alQur’an an-Nur ayat 58-61 dan berupaya menghimpun ayat-ayat alQur’an yang lain dari berbagai surat yang berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. b. Analisis deduksi. Metode deduksi, yaitu suatu proses berfikir dari pengetahuan yang bersifat umum dan berangkat dari pengetahuan tersebut ditarik suatu pengetahuan yang khusus (Hadi, 1981: 36). Metode ini penulis gunakan untuk mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan ditarik kesimpulan agar bisa lebih memahami permasalahan yang ada.
12
G. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika penulisan skripsi merupakan penjabaran tentang hal-hal yang akan ditulis dan disusun secara sistematis, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami. Sistematika yang akan ditulis oleh penulis akan dijelaskan sebagai berikut: Pada halaman pembuka mencakup halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto, halaman persembahan, , kata pengantar, abstrak dan daftar isi. Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Landasan Teori. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan materi pendidikan akhlak. Bab III Deskripsi Ayat. Pada bab ini akan diuraikan tentang sebabsebab turunnya al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61 dan dilanjutkan dengan tafsir surat an-Nur ayat 5 8, 59, 60, dan 61 menurut beberapa mufassirin. Bab IV Analisis. Menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 58, 59, 60, dan 61 dilanjutkan pembahasan mengenai implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
13
Bab V Penutup, Simpulan dan Saran. Bab penutup yang memuat kesimpulan penulis dari pembahasan skripsi ini, saran-saran dan kalimat penutup yang sekiranya dianggap penting dan daftar pustaka.
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61, penulis lebih dahulu akan menjelaskan mengenai pendidikan akhlak. Pada kajian tentang nilainilai pendidikan akhlak mencakup: pengertian nilai, pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, materi pendidikan akhlak. A. Pengertian Nilai Nilai menurut Rokearch dan Bank adalah suatu tipe kepercayaan yang dalam seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan (Thoha, 1996: 60). Sementara menurut Thoha (1996: 62) nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Dan menurut Khazim, nilai diartikan sebagai kumpulan dari ukuran-ukuran, orientasi, dan teladan luhur, yang selaras dengan akidah yang diyakini seseorang dan tidak bertentangan dengan perilaku masyarakat (Murshafi: 2009: 95). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu sudut pandang yang bersifat abstrak, tentang baik buruknya suatu hal sebagai bentuk kesadaran yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian menunjukkan bahwa nilai bersifat subyektif, artinya nilai menurut masyarakat satu belum tentu dapat diterapkan
15
untuk masyarakat lainnya. Sebagai contoh, segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Karena garam
lebih
berarti
untuk
mempertahankan
kehidupan.
Sedangkan
segenggam emas lebih berarti bagi orang kota. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan dari segi manfaat suatu objek/hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. B. Pengertian Pendidikan Akhlak Pendidikan merupakan suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia (Nata, 2013: 338). Menurut al-Ghazali pendidikan adalah suatu ibadah dan sarana untuk menyebarluaskan keutamaan, membersihkan jiwa dan sebagai media mendekatakan umat manusia kepada Allah „Azza wa Jalla (Sulaiman, 1986: 11). Pendidikan ialah tindakan yang sadar tujuan untuk memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani) menuju kesempuranaan insani (insan kamil). Pendidikan adalah proses kegiatan yang dilakukan
secara
bertahap
dan
berkesinambungan,
seirama
dengan
perkembangan anak (Achmadi, 1987: 5). Maka pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, tanpa pendidikan akan sangat sulit bagi manusia untuk dapat hidup maju dan berkembang. Dengan pendidikan akan terbentuk generasi
16
bangsa yang tinggi dan berkualitas, sehingga tidak mudah dibodohi oleh negara-negara lain melalui pendidikan dan pengetahuan yang mereka miliki. Akan tetapi pendidikan akan lebih sempurna jika dilengkapi dengan akhlak yang mulia, karena akhlak merupakan kunci dari kejayaan dan kehancuran suatu bangsa. Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai kesempurnaan insani/insan kamil yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan proses kegiatan secara bertahap dan berkesinambungan. Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-Akhlaaq. Bentuk jamak dari kata aI-Khuluq yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak (Halim, 2000: 8). Dalam buku Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji oleh M. Nipan Abdul Halim (2000: 9), pengertian akhlak secara terminologis menurut beberapa tokoh diantaranya: 1. Prof. Dr. Ahmad Amin: “Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlak”. 2. Ibnu Maskawih: “Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu) ”.
17
3. Imam al-Ghazali: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan akalnya terlebih dahulu ”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah perbuatan-perbuatan seseorang yang telah mempribadi, dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa adanya unsur pemaksaan dari pihak lain. Dengan demikian apabila suatu perbuatan baik dilakukan sekali atau dua kali saja maka perbuatan-perbuatan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai akhlak, melainkan hanya sebatas perbuatan baik atau mulia. Karena bisa saja orang tersebut melakukan perbuatan baik karena ada bujukan dari orang lain atau motivasi-motivasi dari luar. Menurut Saltut yang dikutip oleh Syafri (2014: 65), mengatakan bahwa pendidikan akhlak merupakan sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir yang baik. Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari (Munawar, 2005: 8). Pendidikan akhlak atau pendidikan akhlak mulia dapat diartikan sebagai proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia ke dalam diri peserta didik, sehingga nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam pola pikir, ucapan
18
perbuatan, serta interaksinya dengan Tuhan, manusia dan lingkungan alam jagad raya (Nata, 2013: 209). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak ialah suatu usaha sadar yang dilakukan secara berkesinambungan dalam membina sikap manusia agar terbentuk karakter yang taat dan berakhlakul karimah. Pendidikan akhlak ini berkaitan dengan perubahan perilaku. Maka dalam pendekatannya harus dengan cara pemberian contoh, latihan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga hingga ke lingkungan yang lebih luas, sehingga pelaksanaan akhlak tersebut terasa ringan untuk dilakukan dan terciptalah kehidupan yang aman dan tenteram. C. Tujuan Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak merupakan upaya untuk melahirkan manusia berkepribadian Muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum dan ketentuan syariat yang diperintahkan. Atau dengan kata lain tujuan pembinaan dan pendidikan akhlak yaitu untuk membentuk karakter Muslim yang taat dan berakhlakul karimah (Syafri, 2014: 104). Sebagaimana akhlak yang dicontohkan pada Nabi kita Muhammad SAW. yang mana dari situlah ditujukan agar kita dapat mengikuti dan mencontoh akhlak-akhlak mulia dan senantiasa berada dalam kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Perintah untuk menjadikan beliau suri tauladan bagi kita adalah firman Allah SWT. QS. al-Ahzab [33]: 21:
19
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 421).
Berdasarkan penjelasan ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. merupakan figur utama sebagai manusia utusan Allah SWT. yang patut dijadikan panutan dalam menjalani kehidupan di dunia dan mencapai kehidupan di akhirat. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah agar terbinanya akhlak terpuji dan mulia sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. selain itu pendidikan akhlak memiliki tujuan agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. D. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Menurut Ilyas (2007: 5), di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap Rasulullah SAW, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam Keluarga, Akhlak bermasyarakat, dan Akhlak bernegara. Sementara menurut Shihab (1996: 261) di dalam bukunya Wawasan al-Qur’an membagi akhlak menjadi tiga, yaitu: Akhlak terhadap Allah SWT., Akhlak terhadap Manusia dan Akhlak terhadap Lingkungan. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
20
1.
Akhlak Terhadap Allah SWT Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT. adalah pengakuan dan keasadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah SWT. (Shihab, 1996: 261). Akhlak kepada Allah SWT. (hablumminallah) dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik. Hubungan hamba dengan Allah bersifat vertikal (atas-bawah) hamba berada “di bawah”, sementara Allah SWT. berada “di atas”. Atas dan bawah ini bukan pemahaman secara hakiki, akan tetapi lebih ke makna majazi. Dalam arti hamba yang menyembah dan Allah SWT. yang disembah. Hamba yang beribadah dan Allah SWT. yang diibadahi. Hamba memiliki sejumlah kewajiban kepada Tuhannya, sementara Allah SWT. tidak memiliki kewajiban apa pun kepada hamba-Nya. Allah SWT. memiliki sejumlah hak atas hamba, sementara hamba tidak punya hak apa pun atas-Nya (Salamulloh, 2008: 3). Dalam berakhlak kepada Allah SWT. manusia mempunyai banyak cara, menurut Tatapangarsa (1991: 20) beberapa akhlak yang harus dimiliki seorang hamba kepada Allah SWT. diantaranya adalah: a. Beriman Kepada Allah SWT. Artinya mengakui, mempercayai atau meyakini bahwa Allah SWT. itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan maha suci dari segala sifat yang buruk.
21
b. Beribadah Kepada Allah SWT Beribadah yaitu memenuhi apa yang menjadi hak Allah SWT. yang direalisasikan dengan mengamalkan segala perintah Allah SWT. dan menjauhi segala larangan-Nya, yang dikerjakan dengan tulus ikhlas, semata-mata hanya karena Allah SWT. c. Tidak Mempersekutukan Allah SWT Mempersekutukan maksudnya mempertuhan sesuatu yang bukan Tuhan, sehingga selain Tuhan yang satu (Allah) dianggap ada lagi Tuhan yang lain. Perbuatan demikian dinamakan syirik, dan orang yang melakukannya dinamakan musyrik. Beberapa akhlak yang dipaparkan diatas merupakan akhlak yang harus dimiliki oleh manusia kepada Tuhannya. Karena akhlak terhadap Allah SWT. merupakan sikap atau perbuatan manusia yang seharusnya dilakukan sebagai makhluk kepada Sang Khalik. 2.
Akhlak Terhadap Sesama Manusia Akhlak terhadap sesama manusia dapat dirinci lagi sebagai berikut: a. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW Rasulullah SAW. adalah Nabi dan Rasul terakhir, dan kewajiban bagi setiap manusia untuk beriman kepadanya. Iman tidak cukup dengan hanya sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal yang sudah dijelaskan di dalam al-
22
Qur‟an dan hadits tentang bagaimana bersikap terhadap Rasulullah SAW. itulah yang dinamakan akhlak terhadap Rasulullah SAW. Beberapa akhlak yang perlu kita tunjukkan kepada Rasulullah SAW. dalam buku Akhlak Hubungan Horisontal oleh M. Alaika Salamulloh (2008: 36) adalah sebagai berikut: 1) Mengimani dan Menjalankan Ajaran Rasulullah SAW Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada Rasulullah SAW. beserta risalah yang dibawanya. Makna mengimani
ajaran
ajarannya,
mentaati
Rasulullah
SAW.
perintahnya,
dan
adalah
menjalankan
berhukum
dengan
ketetapannya. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Hasyr 59: 7:
.... ... “Dan apa yang didatangkan (diperintahkan) Rasul (Ku) kepada kalian, maka taatilah; dan apa yang dilarang, maka jauhilah...” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 547). Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah SAW. wajib kita taati dan semua larangannya wajib kita jauhi. 2) Mencintai Rasulullah SAW Wajib dan harus diutamakan melebihi kecintaan kita kepada sesama makhluk. Bukti cinta kepada Rasulullah SAW. tidak cukup dengan hanya membaca shalawat, tetapi juga harus diwujudkan dengan tindakan konkret, diantaranya adalah
23
menjalankan ajaran Rasulullah SAW., rindu untuk bertemu dengan Rasulullah SAW., serta memperbanyak shalawat dan pujian kepada Rasulullah SAW. 3) Meneladani Akhlak Rasulullah SAW Karena sikap dan ketaatan beliau pada ajaran yang terkandung dalam al-Qur‟an menjadi bagian yang tak terpisahkan pada setiap suasana kehidupannya, sehingga patutlah jika seharusnya kita sebagai umatnya meneladani akhlak beliau. Akhlak kepada Rasulullah SAW. merupakan wujud kecintaan dan ketaatan kita sebagai umatnya kepada sang pemimpin yaitu Rasulullah SAW. dengan mentaati, menjalankan perintahnya serta mengikuti jejak beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di dunia dan di akhirat. b. Akhlak Terhadap Orang Tua Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa kepada kita. Mulai sebelum lahir hingga kita dewasa, tak pernah sedetik pun kasih sayang mereka terlewatkan dari kita. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Isra‟ 17 ayat 23:
24
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 285). Dalam buku Akhlak Horisontal karya M. Alaika Salamulloh (2008: 68), terdapat beberapa tuntunan akhlak yang perlu dipahami oleh setiap anak dalam berinteraksi dengan orang tuanya. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Mencukupi Kebutuhan Orang Tua Dengan tegas Allah memerintahkan kepada kita bahwa setiap harta yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada orangorang yang berada di bawah tanggungan kita, termasuk kepada orang tua. Bahkan orang tua menduduki peringkat pertama dalam penerimaan nafkah ini. Allah SWT. berfirman dalam QS. alBaqarah [2] ayat 215:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, , “harta apa saja yang kamu infakkan. Hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan’. Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”(al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 34).
25
Akhlak ini berlaku pada anak yang sudah mandiri dan memiliki penghasilan sendiri. Bahkan kalau sang anak sudah menikah dan memiliki anak cucu, kewajiban tersebut tidaklah putus. Hendaklah ia tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan sang orang tua. 2) Patuh Menjalankan Perintah Orang Tua Sebagaimana firman Allah SWT. QS. Luqman 31: 15:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tudak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engaku menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-Qur‟an, 2012: 413). Berdasarkan penjelasan di atas taat dan patuh terhadap perintah orang tua sepanjang perintah orang tua mengandung usur kebaikan, wajib hukumnya bagi sang anak mematuhinya. Akan tetapi, bila perintah tersebut menjurus kepada kemaksiatan, maka anak tidak wajib taat. 3) Mendoakan Orang Tua Allah SWT. berfirman dalam surat al-Isra‟ [17] ayat 24:
26
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “wahai Tuhanku! sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil” (al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 285). Ayat di atas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk mendoakan orang tuanya. Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga Allah menyayangi kepada keduanya sebagaimana
mereka
menyayanginya
pada
waktu
kecil.
Mendoakan orang tua adalah kewajiban seorang anak, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW. bersabda:
ازََ ٍح اَوْ ِع ْه ٍى َ ٍْ اذا ياخ اتٍ آدو ا َْقَطَ َع َع ُُّْ َع ًَهُُّ اِ اَّل ِي ٍْ ثَ ََلثَ ٍح اِ اَّل ِي ِ ص َدقَ ٍح َج ُ ح ََ ْد ) ١٣٦١ ع نَُّ (صحُح يسهى َ َُ ُْتَفَ ُع تِ ِّ اَوْ َونَ ٍد ٍ ِصان “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya”(HR. Muslim: 1631). Sesungguhnya kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua tidak akan pernah putus meski keduanya telah meninggal dunia, seorang anak tetap wajib berbakti kepada mereka salah satunya dengan cara mendo‟akan keduanya. c. Akhlak Terhadap Diri Sendiri Setiap muslim meyakini bahwa nasib hidupnya di akhirat ditentukan oleh perilakunya selama di dunia. Dengan mengerjakan
27
kebaikan, berarti ia telah menanam benih yang baik. Jika ia lebih senang menceburkan dirinya ke dalam kubangan maksiat maka ia telah menanam benih yang buruk dan akan menanggung akibatnya. Akhlak terhadap diri sendiri diantaranya adalah memelihara diri baik lahir (jasmani) maupun batin (rohani) (Salamulloh, 2008: 263). Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1) Dari Sisi Batin (Rohani) Orang muslim meyakini bahwa sesuatu yang dapat membersihkan jiwanya adalah iman dan amal saleh, sedangkan yang dapat mengotori dan merusaknya adalah kemaksiatan dan kekafiran. Karena itulah orang muslim dianjurkan untuk terusmenerus menjaga dan membersihkan dirinya, menghiasinya dengan akhlak yang baik, dan menyapunya dari segala kotoran dan dosa. Adapun beberapa akhlak pribadi menurut Ilyas (2007: 81), adalah: a) Shidiq Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kazib). Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin; benar hati, benar perkataan, dan benar perbuatan. Antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan.
28
b) Amanah Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman. Karena sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Amanah dalam pengartian yang luas mencakup banyak hal, antara lain: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain-lain sebagainya. Tugastugas yang dipikulkan Allah SWT. kepada umat manusia disebut sebagai amanah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Ahzab [33] ayat 72, yaitu:
“Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (alQur‟an dan Terjemahannya, 2012: 428). c) Istiqamah Secara etimologis, istiqamah berasal dari kata istiqāmayastaqīmu-istiqāmah,
yang
berarti
tegak
lurus.
Dalam
terminologi Akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan
keimanan
dan
keislaman
sekalipun
menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah 29
supaya beristiqamah dinyatakan dalam firman Allah SWT. QS. Hud [11] ayat 112:
“Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (al-Qur‟an dan Terjemahanya 2012: 235). 2) Dari Sisi Lahir (Jasmani) Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kesehatan. Sebab kesehatan adalah karunia dari Allah SWT. Dengan menjaga kesehatan ragawi, berarti kita telah berakhlak mulia kepada diri sendiri. Salah satu bentuk berakhlak baik terhadap jasmani adalah tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang dilarang Allah SWT. karena setiap yang dilarang oleh Allah SWT. pasti di dalamnya terkandung madarat. Sebagai contoh, khamar. Dengan tegas Allah SWT. melarang setiap muslim meminum khamar. Sebab, meminum khamar dapat memberikan dampak yang sangat buruk kepada kesehatan manusia, baik terhadap pikiran maupun fisiknya. Dengan meminum khamar jaringan dan metabolisme tubuh menjadi terusik sehingga kekebalan tubuh akan menurun. Karenanya orang yang minum khamar sangat mudah terserang penyakit.
30
d. Akhlak Terhadap Karib Kerabat Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun perkawinan. Kita harus menjaga hubungan kekerabatan tersebut supaya tetap terjalin kuat dan tidak terputus. Sebab, apabila tali kekerabatan kita terputus, maka tatanan keluarga kita akan berantakan (Salamulloh, 2008: 26). Islam telah menggariskan beberapa tata cara (akhlak) dalam menjaga ikatan kekerabatan ini. Diantaranya adalah: 1) Bersilaturahmi Menyambung tali silaturahmi tidak hanya ditujukan kepada mereka yang sudah menjadi keluarga dan sahabat kita. Tetapi
yang lebih hakiki
adalah apabila
kita mampu
menyambung tali silaturrahmi dengan orang yang telah memutuskan tali kekerabatan dengan kita. Salah satu keutamaan dalam menyambung tali silaturrahmi yaitu lapang rezeki dan panjang umur. Rasulullah SAW. bersabda:
ُ َح ادثََُا قُتَ ُْثَحُ ت ٍُْ َس ِعُ ٍد اح ادثََُا ِز ْش ِد ٍَْ ب ع ٍ ٍَ ت ٍُْ َس ْع ٍد ع ٍَْ قُ اسجَ ع ٍَِ ات ٍِْ ِشهَا ُال َي ٍْ أَ َحةا أَ ٌْ َ َُى ِّس َع للا َ َصهاً للاُ َعهَ ُْ ِّ َو َسها َى ق َ ٍِّ َِس ت ٍِْ َيانِ ٍك أَ اٌ انُاث ِ ََأ (١٦٠٣٣ )يسُد أحًد.ًَُّ صمْ َز ِح ِ ََُعهَ ُْ ِّ فِ ٍْ ِز ْشقِ ِّ َوََ ُْ َسأ َ نَُّ فِ ٍْ أَثَ ِس ِِ فَ ْه “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Risydin bin Sa’id dari Qurrah dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengehendaki risqinya diluaskan Allah, dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali silaturahmi” (Musnad Ahmad 13096).
31
Dilapangkan rizki dapat dipahami secara obyektif. Karena salah satu modal untuk mendapatkan rezeki adalah hubungan baik dengan sesama manusia. Logikanya seseorang yang tidak mampu membina hubungan baik dengan karib kerabatnya sendiri, bagaimana bisa dipercaya dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas. Sedangkan panjang umur bisa dalam pengertian sebenarnya yaitu ditambah umurnya dari yang sudah ditentukan; atau umur yang mendapat taufiq dari Allah sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia 2) Berbuat Baik Kepada Kerabat Di dalam Islam, berbuat baik dan membantu kerabat sama halnya dengan berjuang di jalan Allah. Memerhatikan kaum kerabat hendaknya lebih dikedepankan daripada orang lain. Dengan kata lain, apabila kaum kerabat dalam kondisi lemah dan kekurangan, maka jadikanlah mereka sebagai golongan pertama yang harus kita bantu. Sebab, mereka masih memiliki hubungan dekat dengan kita. 3) Berlaku Adil Berlaku adil disini artinya apabila mereka berbuat salah, maka kita harus berani menindaknya sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidaklah dibenarkan apabila kaum kerabat kita bela mati-matian, padahal sudah jelas bahwa mereka berada di pihak yang salah.
32
Akhlak mulia terhadap kerabat juga sangat penting diterapkan dalam kehidupan, karena kerabat merupakan orang-orang yang sangat dekat dengan kita, orang yang kita minta bantuan dalam berbagai masalah. Dan merekalah yang mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk kehidupan kita. e. Akhlak Terhadap Tetangga Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya. Beberapa akhlak yang perlu ditanamkan dalam bertetangga ialah: 1) Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Minimal hubungan baik
dengan
tetangga
diwujudkan
dalam
bentuk
tidak
menganggu atau menyusahkan mereka. 2) Saling mengunjungi. 3) Saling menolong dalam keadaan senang maupun susah. 4) Menghindari permusuhan. 3. Akhlak Terhadap Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan alQur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Dalam
pandangan
Islam,
seseorang
tidak
dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
33
karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptanya (Nata, 2013: 129). Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya. keyakinan ini mengantarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik (Nata, 2013: 130). Menyayangi makhluk hidup adalah sebuah sikap mencontoh akhlak Allah SWT. dan meneladani sifat-sifat-Nya yang agung, yaitu bahwa Dia adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua makhluk-Nya. karunia-Nya merata dan meliputi seluruh mkahluk-Nya dari sejak lahir sampai mati. Bahkan kasih sayang-Nya meliputi semua yang ada, baik hewan, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda mati, sebagaimana meliputi manusia (Az-Zuhaili, 2004: 135). Allah SWT. berfirman dalam QS. al-A‟raf 7: 156:
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami" (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 171).
34
Dengan tidak menyakiti, merusak dan menganggu lingkungan sekitar berarti kita telah menjaga amanah dari Allah SWT. dan juga merupakan wujud syukur kita kepada Pencipta alam semesta terhadap apa yang telah dianugerahkan kepada kita. Jadi, sikap-sikap dan perilaku yang telah dimiliki seseorang harus diupayakan secara bertahap dan berkesiambungan, sehingga terwujud pribadi yang berkarakter dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah kehidupan masyarakat. E. Materi Pendidikan Akhlak Secara garis besar, akhlak dibagi dalam dua kategori, yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji), sedangkan akhlak madzmumah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang buruk (Supadie, 2012: 224). Adapun beberapa akhlak terpuji (akhlaqul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah) menurut Tatapangarsa (1991: 147) 1.
Akhlak Terpuji (Akhlaqul Mahmudah) Akhlaqul mahmudah ialah akhlak yang baik, yang berupa semua akhlak yang baik-baik yang harus dianut dan dimiliki oleh setiap orang. Beberapa contoh akhlak terpuji ialah: a. Benar/jujur Artinya
sesuainya
sesuatu
dengan
kenyataannya
yang
sesungguhnya. Kebenaran atau kejujuran adalah sendi yang terpenting
35
bagi berdiri tegaknya masyarakat. Tanpa kebenaran akan hancurlah masyarakat, sebab hanya dengan kebenaran maka dapat tercipta adanya saling pengertian satu sama lain dalam masyarakat, dan tanpa adanya saling pengertian tidak mungkin terjadi tolong menolong. Selain itu Allah SWT. menyukai orang-orang yang menepati janjinya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Maryam [19] ayat 54:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi” (alQur‟an dan Terjemahannya 2012: 310). b. Ikhlas Dari segi bahasa ikhlas berarti murni atau bersih, tidak ada campuran. Dari segi istilah ikhlas berarti beramal semata-mata mengharap ridha Allah SWT. firman Allah dalam QS. al-Bayyinah [98] ayat 5:
... “Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali supaya menghambakan diri kepada Allah secara ikhlas dengan mentaati agama-Nya yang lurus...”(al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 599). c. Qana‟ah Arti qana‟ah menerima dengan rela apa yang ada atau merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Jelasnya qana‟ah itu bersangkutan
36
dengan sikap hati (sikap mental) dalam menghadapi apa yang kita miliki atau dalam menghadapi apa yang menimpa kita. Tetapi kita tetap bekerja sebagaimana mestinya dengan tetap bertawakkal kepada Allah SWT. d. Sabar Orang yang sabar adalah orang yang tetap tegar dalam menjalankan segala kewajiban yang Allah SWT. bebankan kepada dirinya dalam keadaan bagaimanapun, kapan pun dan dimana pun; dan tetap tegar dalam menghadapi musibah seberat apa pun. Allah SWT. berfirman dalam QS. Ali-„Imran [3] ayat 168:
“Jika kamu bersabar dan bertakwa maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”( al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 75). 2.
Akhlak Tercela (Akhlaqul Madzmumah) Akhlaqul madzmumah adalah akhlak yang buruk dan tercela. Akhlak ini harus dihindarkan dari seseorang, karena perilaku tercela akan mengakibatkan keburukan bagi
yang melakukannya serta akan
merugikan orang lain. Beberapa contoh akhlak madzmumah: a.
Dusta atau Bohong Adalah pernyataan tentang sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, dan ini tidak saja menyangkut perkataan tetapi juga perbuatan. Dalam pandangan agama, dusta
37
adalah suatu hal yang sangat tercela. Ia merupakan pokok dan induk dari bermacam-macam akhlak yang buruk, yang tidak saja merugikan masyarakat pada umumnya tetapi juga merugikan orang yang berdusta itu sendiri. Rasulullah SAW. bersabda:
ٍُب ََ ْه ِدي إِنًَ ْانفُجُىْ ِز َواِ اٌ ْانفُجُىْ َزََ ْه ِد إنًَ انُااز)س َ وإَاا ُك ْى َو ْان َك ِر... َ (١٩٣١ٌانتسير Sunan Tirmidzi 1894: “....Dan hendaklah kalian menjauhi sikap dusta, karena kedustaan itu akan membawa pada kekejian, sedangkan kekejian akan membawa kepada neraka” (Sunan Tirmidzi 1894). b.
Dengki Dengki itu ialah sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan itu berpindah ke tangan sendiri atau tidak. Tetapi harap diketahui, bahwa tidak semua dengki itu mesti buruk. Ada pula bentuk-bentuk dengki tertentu yang baik. Rasulullah SAW. bersabda:
للاُ َعهَ ُْ ِّ َو َسها َى ََّل َح َس َد اإَّل فٍِ ْاثَُتَُ ٍِْ َز ُج ٌم آتَاُِ ا صهاً ا قا َ َل َز ُس ُم ا للاُ َي ًاَّل فَه ُ َى َ ِللا از َو َز ُج ٌم آتَاُِ ا ُ َُِ ُْف للاُ ْانقُسْ آٌَ فَه َُى ََقُى ُو تِ ِّ آََا َء انها ُْ ِم ِ َق ِي ُُّْ آََا َء انهاُ ِْم َوآََا َء انُاه (١٩٨٣ ٌَوآََا َء انَُهَاز) سٍُ انتسير “Rasulullah SAW. bersabda: tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua hal; seorang laki-laki yang diberikan karunia oleh Allah berupa harta sehingga ia menginfakkannya di sepanjang malam dan siang, dan seseorang yang diberi karunia berupa al-Qur’an hingga ia shalat dengannya di pertengahan malam dan siang”(Sunan Tirmidzi 1859).
38
Dalam hadis di atas menyebutkan bahwa ada dua bentuk kedengkian yang dihalalkan, yaitu: 1) Dengki
kepada
orang
yang
kaya,
yang
kekayaannya
dipergunakan untuk amal-amal kebaikan, siang dan malam. 2) Dengki (iri hati) kepada orang yang alim tentang al-Qur‟an, yang ilmu-ilmunya tentang al-Qur‟an ini diamalkan dan dijadikan sebagai pedoman hidupnya siang dan malam. c. Bakhil Bakhil artinya kikir. Orang yang kikir ialah orang yang snagat hemat dengan apa yang menjadi miliknya, tetapi hematnya demikian bersangatan sehingga sangat berat dan sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk diberikan kepada orang lain. Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Lail [92] ayat 8-11:
“Dan adapun orang yang kikirdan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan orang lain), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan). Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa”(al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 596). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam akhlak yang harus diajarkan kepada manusia, yaitu akhlak terpuji (akhlak mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak madzmumah). Akhlak terpuji diantaranya adalah jujur, ikhlas, qana‟ah, dan sabar. Sedangkan akhlak tercela diantaranya adalah dusta atau bohong, dengki, dan bakhil. Akhlak terpuji
39
diajarkan agar manusia selalu melakukan perbuatan mulia sesuai yang diperintahkan oleh Allah SWT. dalam al-Qur‟an dan Hadits-Nya. Sedangkan akhlak tercela diajarkan agar manusia menghindari perilaku tersebut, dan tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya pendidikan akhlak ini sangat penting diajarkan kepada umat manusia agar tercipta pribadi yang mulia dan berakhlakul karimah. Serta tercipta kehidupan yang aman dan tenteram.
40
BAB III DESKRIPSI SURAT DAN TAFSIR AL-QUR’AN SURAT AN-NUR AYAT 58, 59, 60 DAN 61
A. Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. 1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang belum balig (dewasa) diantara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan setelah salat isya. (itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu, mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 358).
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 359). 41
“Dan para orang tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa meninggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 359).
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit, tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri atau di rumah bapakbapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara laki-laki bapak kalian, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara laki-laki ibu kalian, di rumah saudara
42
perempuan ibu kalian, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian, tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagi kalian, agar kalian memahaminya” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 359). 2. Tafsir Surat an-Nur Secara Umum Surah an-Nur terdiri atas enam puluh empat ayat, dan termasuk golongan surah Madaniyah. Dinamai “an-Nur” yang berarti “Cahaya”, diambil dari kata an-nur yang terdapat pada ayat 35. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang nur Illahi, petunjuk-petunjuk Allah itu merupakan cahaya yang terang benderang yang menerangi alam semesta. Surah ini sebagian besar isinya memuat petunjuk-petujuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga (Departemen Agama RI, 2009: 559). Nama an-Nur telah dikenal sejak zaman Nabi saw. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. berpesan: “Ajarkanlah Surah an-Nur kepada keluarga kamu.” Nama tersebut demikian, karena salah satu ayatnya berbicara dengan sangat indah dan mengesankan tentang nur, yakni cahaya petunjuk Illahi [ayat 35] (Shihab, 2012: 581). a.
Pokok-Pokok Isinya: 1) Keislaman Kesaksian lidah, anggota-anggota tubuh lainnya atas segala perbuatan manusia pada hari kiamat; hanya Allah yang menguasai
43
langit dan bumi, kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan agama Allah, iman merupakan dasar dari diterimanya amal ibadah. 2) Hukum Hukum-hukum sekitar masalah zina, tuduhan berzina terhadap perempuan baik-baik, li‟an dan tata cara pergaulan di luar dan di dalam rumah tangga. 3) Kisah Cerita tentang berita bohong terhadap Ummul Mukminin „Aisyah r.a. (Departemen Agama RI, 2009: 559) b.
Tema Utama dan Tujuan Surah Uraian surah ini menyangkut pembinaan hidup bermasyarakat serta keharusan adanya
hubungan yang bersih antara anggota
masyarakat, lebih-lebih antara pria dan wanita. Ini dapat terlihat dengan jelas setelah memperhatikan persoalan-persoalan yang diangkat dalam surah ini. 1) Sanksi
hukum
perzinaaan
dan
perlunya
dipenuhi
syarat
pelaksannan sanksi itu. 2) Sanksi hukum terhadap yang menuduh seorang yang berzina tanpa bukti. 3) Petunjuk tentang cara memelihara akhlak dalam pergaulan. 4) Dorongan untuk melaksanakan perkawinan bagi yang mampu. 5) Uraian tentang syarat perolehan kekuasaan dan kemantapan hidup bermasyarakat.
44
6) Uraian tentang pendidikan anak dan tata cara pergaulan serta kehidupan rumah tangga. 7) Uraian tentang kewajiban berpartisipasi dalam kegiatan positif serta penghormatan kepada Rasul saw. Tujuan utama surah ini adalah lahirnya masyarakat yang kuat, bersih, yang tercermin dalam pelaksanaan tuntunan surah ini. Dari sinilah surah ini dinamai Surah an-Nur, yakni cahaya yang menerangi segala aspek kehidupan yang kesemuanya bersumber dari Nur Ilahi yang menerangi seluruh alam. 3. Asbabun Nuzul Kata asbab bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Kata nuzul yang berarti menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu. Sedangkan menurut Shihab (1984: 3) yang dikutip oleh Budihardjo (2012: 21) secara istilah, asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan Al-Qur‟an tentang peristiwa yang terjadi. a.
Asbabun nuzul QS. an-Nur ayat 58-60 Disebutkan dalam Terjemah Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 236), bahwa pada ayat 58-60 terdapat asbabun nuzul yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. mengutus seorang khadam/anak dari kaum Ansar bernama Mudaj pada waktu tengah hari, kepada Umar ra. Ketika itu, Umar ra. sedang tidur, lalu khadam tersebut mengetuk pintu dan terus masuk, sehingga Umar ra. terjaga dari tidurnya dan duduk, tetapi sebagian dari auratnya tampak 45
oleh khadam. Maka Umar berkata: “Sungguh aku ingin jika Allah Ta‟ala melarang para bapak, anak dan khadam kita untuk masuk kepada kita pada saat seperti ini, kecuali dengan meminta izin.” Kemudian Umar dan khadam itu berangkat kepada Rasulullah saw. dan menemukan ayat ini telah diturunkan, maka dia tersungkur bersujud. Ini adalah salah satu persesuaian pendapat Umar ra. dengan wahyu. Suatu pendapat mengatakan, bahwa sebab turunnya ayat ini adalah apa yang diriwayatkan tentang seorang budak dewasa milik Asma‟ binti Mursyid masuk ke kamarnya pada waktu yang dia tidak suka jika budak itu masuk. Maka, Asma‟ mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Sesungguhnya para khadam dan budak kami masuk ke kamar kami pada keadaan yang kami tidak menyukainya.” Maka ayat ini turun. b.
Asbabun nuzul QS. an-Nur ayat 61 Dalam buku yang berjudul Asbabun Nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-qur’an) karya Qomarudin Shaleh dan Dahlan (1990: 360), menjelaskan bahwa pada ayat 61 terdapat asbabun nuzul
yang menjelaskan bahwa dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa orang-orang pada waktu itu apabila berkunjung ke rumah bapaknya, atau rumah saudaranya, rumah sudarinya, rumah pamannya, atau rumah saudara ibunya, biasa bersama-sama dengan orang buta, pincang atau sakit. Orang-orang yang diajaknya merasa keberatan dengan berkata: “mereka membawa kamu ke rumah orang 46
lain” (diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma‟mar dari Ibnu Abi Najih yang bersumber dari Mujahid). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat 29 dengan arti “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”, kaum Muslimin menghentikan makan di tempat orang lain, padahal mereka beranggapan bahwa menjamu makan
itu
adalah
memanfaatkan
harta
yang
paling
utama
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang-orang Madinah sejak sebelum Nabi SAW. diutus sebagai Rasul, tidak suka makan bersama-sama orang buta, orang skait atau orang pincang, karena orang buta tidak akan dapat melihat makanan yang enak, dan makanan orang sakit tidak cocok dengan makanan orang sehat, dan orang pincang tidak dapat berebut makanan (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ad-Dlahaq). Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika al-Harts mengikuti Rasulullah SAW. berjihad, ia meminta Khalid bin Zaid untuk menjaga keluarganya. Akan tetapi Khalid merasa berkeberatan untuk makan di rumah Harts, karena ia sangat berhati-hati (takut melanggar hukum). Maka turunlah ayat 61 ini untuk membenarkan
47
makan yang disuguhkan kepadanya (diriwayatkan oleh at-Tsa‟labi di dalam tafsirnya yang bersumber dari Ibnu Abbas) Kemudian disebutkan juga dalam buku yang berjudul alQur’an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 639) menjelaskan bahwa pada ayat 61 terdapat asbabun nuzul yang menjelaskan bahwa diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah dari Ibnu „Abbas, bahwa setelah turun ayat 4 surah an-Nisa yang melarang memakan harta seorang muslim dengan cara yang batil, mereka merasa keberatan melakukan hal tersebut dan menghindarinya sedapat mungkin karena takut kalau tuan rumah walaupun menyatakan tidak keberatan, tetapi siapa tahu yang tersimpan dalam hati. Mungkin pernyataan tidak keberatan itu hanya semata-mata tenggang rasa atau karena segan menolak dengan terang-terangan. Maka akan terjadilah yang tersebut dalam ayat 4 surah an-Nisa itu bahwa mereka telah makan harta yang tidak halal. Apalagi bagi orang yang cacat dia lebih halus lagi perasaannya dan takut kalau tuan rumah jijik atau merasa tidak senang, karena orang yang cacat seperti buta mungkin saja di waktu makan bersama itu terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan. 4. Munasabah Ayat dan Surat Munasabah berarti muqarabah atau kedekatan dan kemiripan. Hal ini tentunya bisa terjadi antara dua hal atau lebih, sedangkan kemiripan tersebut dapat terjadi pada seluruh unsur-unsurnya dapat juga terjadi pada sebagian saja. Dengan demikian munasabah menurut istilah adalah adanya kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surat 48
dengan surat, atau Munasabah adalah kemiripan yang terdapat padahal-hal tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya (Budihardjo, 2012: 39). a. Munasabah ayat Surah an-Nur ayat 58-61 memiliki munasabah (korelasi) dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Dalam surah an-Nur ayat 57 Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa orang-orang kafir itu tidak akan dapat menghindarkan diri dari siksa Allah bila Allah menghendaki kebinasaan mereka atau keruntuhan kekuasaan mereka. Oleh sebab itu janganlah terlalu memperhitungkan kekuatan mereka selama kaum Muslimin tetap memelihara kondisi mereka dengan ketiga syarat yang dikemukakan pada ayat 56. Mereka pasti menemui akibat dari kedurhakaan dan keingkaran mereka baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat mereka akan ditempatkan dalam neraka Jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali (Departemen Agama RI, 2009: 633). Kemudian dilanjutkan ayat 58, 59 dan 60 yang menjelaskan tentang tata tertib dan sopan santun dalam rumah tangga agar kehidupan dalam rumah tangga itu benar-benar harmonis, aman dan tentetam (Departemen Agama RI, 2009: 636). Kemudian pada ayat 61 Allah menerangkan hukum makan di rumah sendiri dan di rumah kaum kerabat. Hal ini dibolehkan dalam Islam asal tuan rumah tidak merasa keberatan sedikit pun, walaupun
49
yang ikut makan bersama itu orang cacat seperti pincang atau sakit (Departemen Agama RI, 2009: 639). b. Munasabah surat 1) Munasabah surat an-Nur dengan surat sebelumnya (al-Mu‟minun). Pada bagian permulaan Surah al-Mu‟minun disebutkan bahwa salah satu tanda orang-orang mukmin itu ialah orang-orang yang menjaga kelaminnya (kehormatannya), sedang permulaan Surah an-Nur menetapkan hukum bagi orang-orang yang tidak dapat menjaga kelaminnya, yaitu perempuan pezina, laki-laki pezina dan apa yang berhubungan dengannya. Seperti menuduh orang yang berbuat zina, kisah ifk (gosip), keharusan menutup mata terhadap hal-hal yang akan menyeret seseorang kepada perbuatan zina, dan menyuruh orang-orang yang tidak sanggup melakukan pernikahan agar menahan diri dan sebagainya. Pada surah al-Mu‟minun dijelaskan bahwa di balik penciptaan alam ini pasti ada hikmahnya, yaitu agar semua makhluk yang diciptakan itu melaksanakan perintah dan laranganNya, sedang surah an-Nur menyebutkan sejumlah perintah-perintah dan larangan-larangan itu (Departemen Agama RI, 2009: 559). 2) Munasabah surat an-Nur dengan surat sesudahnya (al-Furqan) Surah an-Nur ditutup oleh Allah dengan keterangan bahwa Dia-lah yang memiliki langit dan bumi beserta segala isinya, dan Dia
pulalah
yang
mengaturnya
berdasarkan
hikmah
dan
kemaslahatan yang dikehendaki-Nya. Dia pula yang membuat 50
perhitungan terhadap segala amal perbuatan hamba-Nya pada hari Kiamat. Maka dalam surah al-Furqan Allah memulainya dengan ketinggian-Nya baik zat, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dan memupuk kecintaan-Nya kepada hamba-Nya dengan menurunkan Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup bagi manusia. Pada akhir ayat ini Allah mewajibkan kepada kaum Muslimin mengikuti Rasul-Nya Muhammad serta mengancam dengan azab bagi mereka yang menentangnya. Maka permulaan Surah al-Furqan Allah menyebutkan bahwa kepada
Nabi
Muhammad diberikan Al-Qur‟an untuk membimbing umat manusia. Pada masing-masing surah itu digambarkan keadaan awan, turunnya hujan dan penghijauan bumi sebagai bukti bagi kekuasaan Allah. Dalam kedua surah ini Allah menjelaskan bahwa amal usaha orang-orang kafir pada hari Kiamat tidak diberi pahala barang sedikit pun, dan kedua surah itu menerangkna pula asal mula kejadian manusia (Departemen Agama RI, 2009: 649). B. Pandangan Mufassir dan Penafsiran tentang al-Qur’an Surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu banyak cara untuk memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟an, kita bisa mempelajarinya melalui kitab-kitab karya para ulama ahli tafsir yang beraneka ragam. Di antaranya adalah ringkasan tafsir al-Misbah, tafsir al51
Maraghi dan ringkasan tafsir Ibnu Katsir yang akan penulis uraikan sebagai berikut: 1. Penafsiran Ayat ke 58
“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang belum balig (dewasa) diantara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu meninggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan setelah salat isya. (itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu, mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikian Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 358).
Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2000: 394), Ayat ini menyatakan: Hai orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan hendaklah budak-budak yang kamu miliki baik laki-laki atau perempuan yang telah atau hampir balig, dan orang-orang yakni anakanak yang telah mengetahui tentang aurat atau birahi walau yang belum balig di antara kamu hendaklah mereka semua, meminta izin kepada kamu setidak-tidaknya tiga kali yakni tiga waktu dalam satu hari, atau tiga izin
52
setiap waktu, sehingga jika tidak diberi izin setelah tiga kali dia harus kembali. Ini agar mereka tidak mengganggu privasi kamu dan mempergoki kamu dalam keadaan yang
kamu enggan terlihat. Yang pertama dari
ketiga waktu itu yaitu: sebelum solat subuh, karena ketika itu adalah waktu bangun tidur di mana pakaian sehari-hari belum dipakai. Yang kedua, ketika kamu meninggalkan pakaian kamu di tengah hari karena akan berbaring atau beristirahat dan yang ketiga, adalah sesudah shalat isya’ sampai sepanjang malam karena ketika itu kamu telah bersiap tidur atau sedang tertidur. Itulah tiga saat yang biasa kamu mengganti pakaian dengan pakaian tidur atau santai dan yang dapat merupakan aurat bagi kamu sehingga menjadikan bagian tubuh kamu yang tidak pantas dilihat menjadi terlihat. Karena itu hendaklah mereka itu meminta izin kepada kamu sebelum menemui kamu. Tidak ada dosa atas kamu dan tidak pula atas mereka yakni para budak dan anak-anak itu untuk menemui kamu tanpa izin sesudahnya yakni selain dari tiga waktu itu, karena mereka selalu berkeliling melayani kebutuhan kamu sehingga, sebagian kamu atas sebagian yang lain yakni kamu saling butuh membutuhkan, sehingga jika setiap kali harus meminta dan memberi izin tentulah sangat merepotkan kamu. Demikianlah yakni seperti penjelasan yang demikian tinggi dan agung itulah Allah menjelaskan ayat-ayat dan tuntunan-tuntunan-Nya bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang bermanfaat bagi hambahamba-Nya lagi Maha Bijaksana dalam ketentuan dan bimbinganbimbingan-Nya.
53
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang mengarahkan manusia pada norma sosial dalam lingkungan keluarga. Ia merupakan perintah untuk orang tua agar mendidik anak-anak dan bawahannya agar memperhatikan norma-norma pergaulan. Anak-anak selalu ingin dekat dengan orang tua atau kakak-kakaknya, hamba sahaya sering kali dibutuhkan untuk datang menyampaikan pesan dan layanan, sedangkan waktu-waktu yang disebutkan oleh ayat ini adalah waktu-waktu menyendiri, dan biasanya seseorang melepas pakaian sehari-hari yang digunakan untuk keperluan bertemu satu sama lain. Dan ayat ini menuntun agar orang-orang yang disebutkan di sini meminta izin terlebih dahulu sebelum masuk pada waktu-waktu tersebut. Dengan demikian, ada kesempatan untuk orang tua untuk menghindari terlihatnya oleh orang lain apa yang dianggap rahasia dan tidak pantas dilihat. Selain itu, ayat ini juga mengandung anjuran kepada anggota keluarga agar memakai pakaian yang pantas ketika bertemu satu sama lain, sehingga wibawa, kehormatan, dan etika mereka terus terpelihara. Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 521), dalam ayat ini Allah Ta‟ala menyuruh kaum mukmin agar mereka memerintahkan kepada budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum balig dengan tiga kondisi. Pertama, sebelum shalat subuh (yaitu antara terbit fajar hingga munculnya matahari). Kedua, “ketika kamu meninggalkan pakaianmu di tengah hari”, karena pada saat tersebut biasanya manusia menanggalkan pakaiannya ketika bersama
54
keluarganya. Dan ketiga, “sesudah shalat isya”, karena pada saat itu waktu untuk tidur. “Itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari itu”. Dalam kitab Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1993: 236), ayat tersebut menjelaskan: wahai orang-orang yang beriman, janganlah budak-budak laki-laki dan perempuan kalian memasuki rumah kalian tiga kali dalam tiga waktu dari malam dan siang, kecuali dengan mendapat izin. Yaitu: sebelum salat fajar, karena waktu itu orang bangun dari tempat tidur, menanggalkan pakaian tidur dan mengenakan pakaian bangun, dalam keadaan ini mungkin auratnya terbuka; pada tengah hari ketika kalian menanggalkan pakaian yang kalian kenakan; dan setelah salat isya‟, karena ia adalah waktu menanggalkan pakaian bangun dan mengenakan pakaian tidur. Demikian pula hukum keadaan anak-anak kalian yang belum balig. Karena ketiga waktu ini tiga aurat bagi kalian, saat-saat biasanya seseorang sulit untuk menutupi aurat. Kemudian Allah menjelaskan bahwa tidak berdosa jika budak-budak mereka yang sudah balig dan anak-anak kecil mereka masuk ke kamar mereka tanpa izin di luar ketiga waktu ini. Adapun orang merdeka yang sudah balig, walau bagaimanapun, dilarang memasuki kamar seseorang dan keluarganya tanpa izinnya. Kemudian Allah menjelaskan alasannya, para budak dan anak-anak kecil itu keluar masuk kamar tuan dan kerabatnya di rumahnya pagi dan sore hari tanpa izin, kerena mereka mengabdi atau karena kaum kerabat butuh kepada 55
mereka, sebagaimana halnya para tuan dan kaum kerabat bergaul dengan kaum kerabat dan para budaknya jika mereka dibutuhkan. Dari beberapa penjelasan mengenai penafsiran tersebut, penulis lebih condong pada tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, karena di sana selain dijelaskan bagaimana tafsir dari ayat secara jelas dan menyeluruh, dalam tafsir tersebut juga dijelaskan mengenai sebab dan alasan tentang tiga waktu yang disebutkan dalam ayat 58. Dijelaskan bahwa anak-anak yang belum memasuki usia baligh dan seorang budak, dewasa/masih
anak-anak dilarang memasuki
ruang kamar orang
tuanya/majikannya dalam tiga waktu, yaitu sebelum shalat subuh (antara terbitnya fajar hingga munculnya matahari), di tengah hari (di saat istirahat), dan sesudah shalat isya (waktu tidur). Kemudian dijelaskan juga bahwa ayat ini merupakan salah satu ayat yang mengarahkan manusia pada norma sosial dan lingkungan keluarga, ayat ini juga merupakan perintah untuk orang tua agar mendidik anak-anak dan bawahannya agar memperhatikan
norma-norma
pergaulan.
Dengan
demikian,
ada
kesempatan orang tua untuk menghindari terlihatnya oleh orang lain apa yang dianggap rahasia dan tidak pantas dilihat. Pokok kandungan QS. anNur ayat 58: a. Tanggung jawab sebagai orang tua untuk mengajarkan pada anakanaknya tentang ketentuan-ketentuan agama. Seperti meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki kamar orang tua dan memakai pakaian yang pantas dan sopan ketika hendak menemui tamu. 56
b. Mengajarkan pada anak untuk selalu menjaga kehormatan sejak di lingkungan terkecil yaitu keluarga. c. Tiga waktu yang disebut sebagai aurat, yaitu: sebelum salat subuh, tengah hari ketika istirahat waktu dzuhur dan setelah shalat isya‟. 2. Penafsiran Ayat 59
“Dan apabila anak-anakmu telah mencapai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 359). Ayat ini melanjutkan tuntunan ayat 58 yang menyangkut orangorang baligh. Dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2000: 397), menyatakan bahwa: Dan apabila anak-anak kamu wahai orangorang beriman telah mencapai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin kepada selain mereka setiap waktu – bukan hanya ketiga waktu yang disebut di atas – seperti halnya
orang-orang yang telah
dewasa sebelum mereka harus meminta izin sesuai dengan apa yang dijelaskan pada ayat 27 yang lalu. Firman Allah SWT QS. an-Nur [24] ayat 27:
57
“wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”(al-Qur‟an dan Terjemahannya 2012: 353). Demikianlah
yakni
dengan
penjelasan
seperti
itulah
Allah
menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib ar-Rifa‟i (2000: 522), ayat ini menyebutkan bahwa, jika anak-anak sudah balig, maka mereka wajib meminta izin dalam segala kondisi, walaupun bukan dalam ketiga kondisi yang telah dijelaskan dalam ayat 58. Firman Allah Ta‟ala: “Sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka meminta izin,” yakni sebagaimana anak-anak yang belum balig meminta izin, maka hendaklah anak-anak yang sudah balig untuk senantiasa meminta izin. Dalam kitab Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 239), ayat ini Allah menyebutkan bahwa jika anak-anak kecil dari anak-anak dan kaum kerabat kalian yang merdeka telah mencapai masa balig, yaitu 15 tahun, maka kapan pun mereka tidak diperbolehkan masuk ke kamar kalian tanpa izin, tidak pada ketiga waktu aurat itu, tidak pula pada waktu-waktu lain, sebagaian orang dewasa dari anak atau kerabat seseorang meminta izin. Dalam ayat ini Allah menyebutkan hukum anakanak apabila telah balig dan tidak menyebutkan hukum budak-budak yang kita miliki, padahal ayat sebelumnya menyebutkan budak-budak dan anak-
58
anak, karena hukum budak adalah satu, baik besar maupun kecil, yaitu meminta izin pada tiga waktu yang disebutkan di dalam ayat sebelum ini. Dari beberapa penafsiran menurut para mufassir tersebut penulis lebih condong pada kitab Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dalam tafsir tersebut
dijelaskan bahwa hukum bagi anak yang telah
mencapai masa balig wajib atas mereka meminta izin dalam setiap waktu jika hendak memasuki kamar orang tuanya. Seperti halnya kewajiban atas muslim dewasa yang disebutkan dalam QS. an-Nur ayat 28 sebelumnya. Pokok kandungan QS. an-Nur ayat 59: a. Ketentuan bagi mereka yang telah mencapai masa pubertas berbeda dengan ketentuan bagi mereka yang belum mencapai status ini. b. Kewajiban meminta izin pada anak yang telah mencapai masa balig setiap kali ingin memasuki kamar orang tuanya. 3. Penafsiran Ayat 60
“Dan para orang tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa meninggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 259).
59
Dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2000: 398), ayat ini merupakan pengecualian dari ayat 31 surah ini yakni “Dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali yang nampak darinya” sampai firman-Nya: “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurataurat wanita.” Kalau ayat 31 mengharuskan wanita-wanita tidak menampakkan hiasan mereka, maka di sini dikecualikan wanita-wanita yang telah tua. Ayat ini menyatakan: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid yakni yang biasanya tidak berhasrat lagi menikah, tidaklah ada dosa atas mereka menanggalkan pakaian luar yang biasa mereka pakai diatas pakaian yang lain yang menutupi aurat mereka selama itu dilakukan dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan yakni anggota tubuh ynag diperintahkan Allah untuk ditutup, dan memelihara diri dengan sungguh-sungguh dengan menjaga kesucian yakni tidak meanggalkan pakaian luar sebagaimana kewajiban wanita-wanita yang belum tua, adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui . Kata ( ) القواعدal-qawā’id adalah bentuk jamak dari kata ( )قاعد qā’id yang menunjuk kepada perempuan yang telah tua. Kata tersebut mulanya digunakan dalam arti duduk. Wanita yang telah tua di namai Qâ’id karena dia terduduk di rumah, tak mampu lagi berjalan, atau karena terduduk karena tidak lagi dapat melahirkan akibat ketuaan. ) اallātī lā yarjūna nikāhan/ Firman-Nya ( الّلتي اليرجون نكاحا (wanita-wanita) yang tidak berhasrat lagi menikah, bukanlah syarat 60
tambahan dari ketuaan, tetapi ia adalah penjelasan tentang sifat yang biasanya melekat pada wanita tua. Kata ( ) الثايابats-tsiyāb di sini adalah sebagian dari pakaian mereka, antara lain kerudung yang menutup kepala mereka, atau pakaian atas yang longgar yang meutupi pakaaian yang dipakai untuk menutup aurat. Izin ini bukan saja disebabkan karena wanita-wanit tua telah mengalami kesulitan dalam memakai aneka pakaian, tetapi lebih-lebih karena memandangnya tidak lagi menimbulkan rangsangan birahi. Kata ( ) متبراجاتmutabarrijāt terambil dari kata ( ) تبرا جtabarruj yaitu keterbukaan. Larangan ber-tabarruj di sini berarti larangan menampakkan “perhiasan” dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak dinampakkan oleh wanita baik-baik, aau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti ber-make up secara berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak lenggok dan sebagainya. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak dinampakkan, - kecuali keoada suami – dapat mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yag usil. Larangan ayat ini tertuju kepada wanita-wanita tua, sehingga tetu saja yang muda lebih terlarang lagi. Kebiasaan dalam konteks ini, mempunyai peranan yang snagat besar dalam menetapkan batas-batas yang boleh dan tidak boleh. Ada juga yang memahami larangan ber-tabarruj itu dalam arti larangan keluar rumah dengan pakaian yang terbuka yakni tanpa kerudung
61
dan semacamnya. Adapun kalau di dalam rumah, maka hal tersebut dibolehkan, walaupun ada selain mahram yang melihatnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib ar-Rifa‟i (2000: 522), firman Allah Ta‟ala: “Dan permpuan-perempuan yang telah terhenti,” yaitu para wanita yang menopaus dan tidak melahirkan lagi,”dan tidak menginginkan kawin”, yaitu mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk menikah, maka ”tidak ada dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka
tanpa
menampakkan
perhiasan”.
Yakni,
mereka
boleh
menanggalkan jilbab atau selendang, namun penanggalan jilbab itu tidak dimaksudkan untuk mempertontonkan perhiasannya. Firman Allah Ta‟ala: “Dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” Yakni, walaupun penanggalan pakaian itu dibolehkan, namun yang lebih baik dan utama bagi mereka ialah tidak menanggalkannya. “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Dalam kitab Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1993: 240), ayat ini menjelaskan bahwa para wanita yang tidak dapat melahirkan lagi karena usianya yang sudah lanjut dan tidak mempunyai keinginan untuk kawin, maka tidak berdosa untuk menanggalkan pakaian luarnya seperti mantel dan jilbab, dengan syarat tidak menampakkan perhiasan tersembunyi seperti rambut, dada bagian atas dan betis kepada maharam maupun bukan mahramnya. Jika mereka memelihara kehormatan dengan tetap mengenakan jilbab dan selendangnya, maka hal itu lebih baik bagi mereka daripada menanggalkannya, karena akan jauh dari tuduhan buruk. Allah Maha 62
Mendengar perkataan yang berlangsung antara mereka dan para lelaki, serta Maha Mengetahui maksud mereka, tidka sedikit pun di antara perkara mereka yang tidak Dia ketahui. Oleh sebaba itu, berhati-hatilah agar tidak terbujuk oleh setan untuk melanggar perintah dan larangan-Nya. Dari beberapa penafsiran menurut para mufassir tersebut penulis lebih condong pada kitab Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa wanita yang telah lanjut usia dan telah berhenti dari haidnya diberi keringanan untuk meninggalkan pakaian luarnya yang biasa ia pakai, seperti jilbab/kerudung. Penjelasan ini merupakan pengecualian dari ayat sebelumnya yakni ayat 31. Izin ini bukan saja disebabkan karena wanita-wanita tua telah mengalami kesulitan dalam memakai aneka pakaian, tetapi karena memandangnya tidak lagi menimbulkan rangsangan birahi. Kemudian dijelaskan juga tentang larangan untuk menampakkan “perhiasan” atau sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti
berdandan
secara berlebihan, berjalan dengan berlenggak lenggok dan sebagainya. Pokok kandungan dalam QS. an-Nur ayat 60: a. Hukum islam yang fleksibel, akan berubah sesuai dengan kondisi, sebagaimana ayat ini yang meringankan masalah jilbab bagi wanita lanjut usia. b. Tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Seperti berhias, berpakaian secara berlebihan serta berjalan dengan berlenggak lenggok. Karena hal ini akan menimbulkan madharat.
63
4.
Penafsiran Ayat 61
“Tidak ada halangan bagi orang buta tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit; dan tidak (pula) bagi diri kamu makan di rumah kamu, atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudar-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara bapak kamu yang peremouan, di rumah saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibu kamu yang permpuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau kawan kamu; tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau berpisah-pisah. Maka apabila kamu memasuki rumah-rumah maka hendaklah kamu memberi salam kepada diri kamu sendiri, salam dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat(-Nya) bagi kalian, agar kamu memahami” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 259). Menurut Quraish Shihab (2000: 400), ayat ini menyatakan bahwa: tidak ada halangan dan dosa bagi orang buta untuk tidak melaksanakan secara sempurna kewajiban-kewajiban yang menuntut penggunaan pandangan mata, tidak pula bagi orang pincang untuk kewajiban yang mengahruskan penggunaan kaki yang sehat, tidak pula bagi orang sakit
64
yang penyakitnya menghalangi atau memberatkan dia melakukan sesuatu seperti berpuasa. Kemudian ayat ini melanjutkan bahwa, dan tidak ada pula halangan bagi diri kamu sendiri, untuk makan bersama-sama mereka yang memiliki uzur itu, karena mereka tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah. Baik itu kamu atau mereka lakukan di rumah kamu termasuk rumah anak dan istri kamu, atau dirumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudar-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara bapak kamu yang lakilaki, di rumah saudara bapak kamu yang perempuan, di rumah saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibu kamu yang permpuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya yakni yang dititipkan kepada kamu menjaganya atau di rumah kawan kamu karena sebagai kawan tentu dia tidak keberatan engkau makan, tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau berpisah-pisah, yakni sendiri-sendiri. Maka apabila kamu memasuki suatu rumah dari rumah-rumah itu maka hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya yang juga berarti memberi salam kepada diri kamu sendiri, baik karena adanya pertalian agama antara kamu dengan mereka maupun pertalian kekerabatan. Salam dimaksud adalah salam yang ditetapkan dari sisi Allah bukan seperti salam yang kamu gunakan pada masa Jahiliah. Ia adalah salam yang diberi berkat yakni limpahan kebajikan lagi baik yakni sesuai dengan dambaan kamu semua. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu semua ayatayat-Nya, agar kamu memahaminya yakni menangakap nasihat dan
65
hukum yang terkandung di dalamnya sehingga kamu memahami, mengahayati dan mengamalkannya dengan baik. Yang
dimaksud
dengan
salām
pada
ayat
ini
adalah
tahiyyat/penghormatan yang diperintahkan oleh Allah, antara lain dalam QS. an-Nisa‟ [4]: 86 Kata ( ) تحياةtahiyyah terambil adari kata ( ) حيةhayyah/hidup. Tabiyyat berarti doa untuk memperpanjang usia. Ia pada mulanya tidak diucapkan kecuali kepada raja/penguasa. Sedangkan menurut ar-Rifa‟i (2000: 523-525), ada pendapat yang mengatakan bahwa ada sementara orang yang merasa tidak enak makan bersama paman yang buta, karena ia tidak bisa melihat persediaan makanan disana, boleh jadi makanan itu pemberian orang lain. Kemudian mereka tidak enak makan bersama orang pincang karena dia tidak dapat duduk dengan sempurna sehingga dapat mengganggu teman duduknya, juga dengan orang yang sakit, karena biasanya dia makan tidak seperti orang yang sehat. Mereka sungkan makan dengan orang-orang itu agar tidak menzalimi mereka. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai kemurahan untuk makan bersama meraka. Kemudian kamu juga tidak boleh sungkan makan dirumah keluarga kamu atau karib kerabat kamu sendiri atau rumah yang kamu miliki kuncinya. Kamu boleh makan di sana dengan cara yang ma‟ruf. Atau juga di rumah sahabat dan kawanmu. Tidak ada dosa atasmu memakan sebagian makanannya, jika kamu yakin
66
bahwa perbuatanmu itu tidak memberatkan mereka dan tidak membuat mereka benci. Kemudian di akhir ayat ditutup dengan firman Allah Ta‟ala, “apabila kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam kepada dirimu sendiri.” Dalam kitab Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang buta, orang pincang dan orang sakit tidak berdosa untuk makan bersama-sama orang yang sehat, dan juga tidak berdosa makan di rumah yang di dalamnya terdapat istri dan keluarganya, termasuk rumah anak karena rumah anak seperti rumahnya sendiri. Atau juga di rumah kaum kerabat kalian karena sudah diketahui bahwa mereka merasa senang jika kaum kerabatnya makan di rumah mereka. Atau di rumah kawan yang mencintai dan mempercayai kalian, dan kalian pun mencintai dan mempercayai mereka. Demikianlah Allah menguraikan kepada kalian ajaran agama kalian, sebagaimana Dia telah menguraikan di dalam ayat ini yang dihalalkan-Nya bagi kalian, dan mengajarkan cara memasuki rumah yang kalian masuki, agar kalian memahami perintah, larangan dan azab-Nya., dengan demikian kalian beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta memperoleh kedudukan yang terpuji di sisi Tuhan kalian (Al-Maraghi, 1993: 244-249). Dari beberapa penafsiran menurut beberapa mufassir tersebut, penulis lebih condong ke dalam Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi. Dalam tafsir tesebut dijelaskan bahwa orang buta, pincang dan 67
sakit dihalalkan untuk makan bersama saudara dan keluarganya. Tidak ada dosa bagi seseorang makan di tempat teman yang mereka saling percaya, serta dijelaskan juga tata cara memasuki rumah, yaitu dengan cara memberi salam terlebih dahulu. Pokok kandungan dalam QS. an-Nur ayat 61: a. Berusaha untuk mengurangi segala sesuatu yang membuat kesulitan orang cacat. b. Anggota keluarga diperbolehkan untuk makan di rumah mereka. c. Mengucapakan salam adalah anjuran bagi siapa pun yang memasuki rumah, baik ada penghuninya maupun tidak ada. Karena salam yang diucapkan merupakan do‟a keselamatan dan kesejahteraan.
68
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam QS. an-Nur Ayat 58, 59, 60 dan 61 Berkaitan dengan pendapat para mufassir yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang harus dimiliki oleh manusia dan diterapkan dalam kehidupannya baik terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat dan negara. Oleh karena itu penulis akan mencoba menganalisis
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam surat an-Nur tersebut, diantaranya ialah: 1. Etika Meminta Izin Dalam Q.S. an-Nur terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang etika meminta izin, diantaranya ialah ayat 27, 28, 58, 59. Akan tetapi yang akan penulis paparkan dalam penulisan ini ialah mengenai etika meminta izin memasuki kamar orang tua/orang lain yang akan dibahas dalam Q.S. an-Nur ayat 58 dan 59. Ayat ini merupakan salah satu ayat yang mengarahkan manusia kepada norma sosial dalam lingkungan keluarga. Ia merupakan perintah untuk orang tua untuk mendidik anak-anak dan bawahannya agar memperhatikan normanorma pergaulan seperti etika memasuki kamar orang lain. Sebelumnya akan penulis uraikan pengertian mengenai etika. Menurut Ahmad Amin (1995: 3) etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan baik dan buruk 69
serta menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus di tempuh oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia itu sendiri. Dalam buku Etika dalam Islam oleh Drs. Mudlor Achmad (1997: 15) menjelaskan bahwa etika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan tentang manusia, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang artinya kebiasaan dan membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan) manusia yang ditimbang dari baik-buruknya. Dapat dijelaskan bahwa etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan perbuatan manusia dan menerangkan tentang apa yang seharusnya diperbuat kepada sesamanya yang dilihat dari baik buruknya. Etika merupakan suatu pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan pada seorang anak, agar mereka memiliki perilaku sopan terhadap sesamanya. Mempunyai anak yang berperilaku sopan kepada orang tua merupakan kebahagiaan batin yang sangat luar biasa. Agar demikian orang tua harus berusaha keras untuk menanamkan nilai-nilai akhlak tersebut melalui pendidikan keteladanan, baik di rumah maupun di luar rumah. Secara psikologis, anak-anak akan bersikap sopan kepada orang tua dan orang lain jika mereka dibesarkan di lingkungan rumah yang memperlakukan mereka dengan penuh penghargaan, kehormatan, dan
70
kebaikan hati. Sebab, hal itu akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain (Mustaqim, 2005: 111). Dalam mencapai keluarga yang hormat dan santun, maka perlu diperhatikan tentang tata krama pergaulan dalam rumah tangga. Diantaranya meminta izin bila akan memasuki kamar orang lain, kemudian tentang etika berpakaian dimana disitu juga dijelaskan batas usia yang biasanya orang menanggalkan pakaian luarnya dan etika terhadap orang-orang yang memiliki halangan-halangan tertentu yakni buta, pincang dan sakit untuk berbaur bersama dengan para kerabatnya. Dalam Q.S. an-Nur ayat 58 dan 59 perintah untuk meminta izin dalam memasuki kamar dipertegas kepada tiga kelompok, yaitu kepada budak, anak yang belum memasuki usia baligh dan anak yang telah memasuki usia baligh. Dalam buku yang berjudul Mencetak Generasi Rabbani karya Choiriyah dan Atsari (2010: 182), berkaitan dengan masalah meminta izin, Islam membagi usia anak menjadi dua fase, yaitu: 1) Fase usia yang mana anak harus meminta izin pada waktu-waktu tertentu. Dalam kitab Tafsir al- Misbah karya M. Quraish Shihab, tiga waktu tersebut ialah: a) Sebelum salat subuh, karena ketika itu adalah waktu bangun tidur di mana pakaian sehari-hari belum dipakai.
71
b) Di tengah hari setelah salat dzuhur, karena ketika itu adalah waktu seseorang untuk beristirahat. c) Sesudah salat isya‟ sampai sepanjang malam, karena ketika itu masing-masing telah bersiap tidur (Shihab, 2000: 394). Tiga waktu di atas disebut sebagai “aurat”, karena pada waktuwaktu itu biasanya orang belum mengenakan pakaiannya dan aurat mereka belum ditutupi semua dengan pakaian. Pada pagi hari sebelum bangun untuk salat subuh biasanya orang masih memakai pakaian tidur. Demikian pula halnya pada waktu istirahat sesudah dzuhur dan istirahat panjang sesudah isya‟. Pada waktu-waktu istirahat seperti ini suami istri mungkin melakukan hal-hal yang tidak pantas dilihat oleh orang lain, pembantu, atau anak-anaknya (Departemen Agama, 2009: 636). Kata („ )عىزاتaurat terambil dari kata („ )عبزar yakni aib atau sesuatu yang tidak pantas. Kata ini pada mulanya berarti sesuatu yang kurang atau cacat. Dari segi hukum ia adalah bagian tubuh manusia yang harus ditutup, tidak boleh dilihat orang lain. Namun demikian, ayat ini dapat mencakup segala yang dicakup oleh pengertian bahasa itu. Karena bisa saja seseorang telah memakai pakaian yang menutup auratnya dari segi hukum, namun ia merasa malu terlihat dengan pakaian lusuh atau kotor (Shihab, 2000: 395). Adapun selain tiga waktu di atas dibolehkannya untuk tidak meminta izin ketika ingin memasuki kamar orang tua, karena di luar tiga waktu di atas amat berat jika diwajibkan meminta izin terlebih
72
dahulu, karena para pelayan dan anak-anak sudah sewajarnya bergerak bebas dalam rumah dan para pelayan biasa memasuki kamar-kamar untuk bersih-bersih atau mengambil sesuatu yang diperintahkan oleh tuan rumah dan demikian pula dengan anak-anak. 2) Fase usia di mana anak harus meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui orang dewasa. Pada fase ini dijelaskan dalam Q.S. an-Nur ayat 59, yang menjelaskan bahwa anak yang telah mencapai usia balig, hendaklah mereka meminta izin pada setiap waktu jika hendak memasuki kamar kedua orang tua seperti orang-orang dewasa meminta izin. Bagi anak laki-laki baligh ditandai dengan kata ) (انحهىalhulm berarti mimpi. Anak yang telah dewasa dilukiskan dengan kata mencapai hulm karena salah satu tanda kedewasaan adalah “mimpi berhubungan seks” yang mengakibatkan keluarnya mani. Dalam madzhab Syafi‟i, usia balig bagi anak lelaki maupun perempuan adalah lima belas tahun menurut perhitungan Qamariyah, atau mimpi yang menyebabkan keluarnya mani, bila hal itu terjadi pada usia yang memungkinkan yaitu sembilan tahun, atau tumbuhnya rambut kasar pada kemaluan dan ditambah tanda lain buat anak perempuan yaitu haid atau hamil (Shihab, 2000: 397).
73
Nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. an-Nur ayat 58 dan 59 ini sangatlah penting untuk diajarkan kepada anak-anak di dalam keluarga, etika ini dimulai dengan salam kemudian meminta izin untuk masuk. Dalam buku yang berjudul Mencetak Generasi Rabbani oleh Ummu Ihsan Choiriyah (2010: 184) disebutkan beberapa etika meminta izin yang perlu diajarkan kepada anak, diantaranya ialah: a)
Memilih waktu yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan pada QS. an-Nur ayat 58.
b) Mengucapkan salam sebelum meminta izin untuk masuk. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. an-Nur [24] ayat 27:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat" (al-Qur‟an dan Terjemahnya, 2002: 353). c)
Mengetuk pintu sebanyak tiga kali, seperti yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim dari Abu Musa al-Asy‟ari r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ٌ اٌ ثَ ََل ُ اَ ْ ِْلسْت ْئ َر ث فَإ ِ ٌْ أُ ِذٌَ نَكَ َو اإْل فَبزْ ِج ْع “Meminta izin maksimal sebanyak tiga kali, jika kamu memang diberi izin, maka masuklah, namun jika tidak, maka hendaklah kamu kembali pulang”(HR Bukhari Muslim).
74
d) Mengetuk pintu dengan perlahan. e)
Memberi jarak antara satu ketukan dengan ketukan lainnya.
f)
Tidak mengahadap ke arah pintu, dengan cara mengambil posisi berdiri di sisi kanan atau sisi kiri pintu. Rasulullah SAW bersabda:
ٍْ بة ِي َ َبة قَىْ ٍو نَ ْى يَ ْستَ ْقبِ ِم انب َ َصهاى هللاُ َعهَ ْي ِه َو َسها َى إِ َذا أَتَي ب َ َِكبٌَ َزسُىْ ُل هللا تِ ْهقَب َء َوجْ ِه ِه َونَ ِك ٍْ ِي ٍْ ُز ْكنِ ِه األَ ْي ًَ ٍِ أَوْ األَ ْي َس ِس َويَقُىْ ُل “ان اسَلَ ُو َعهَ ْي ُك ْى ان اسَلَ ُو )٦٨١٥ َعهَ ْي ُك ْى (سنٍ أبي داوود “Apabila Rasulullah SAW. mendatangi rumah orang, beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau di samping kiri, kemudian beliau mengucapkan salam “assalamu‟alaikum assalamu‟alaikum”, karena saat itu rumahrumah belum dilengkapi dengan tirai”. (Terjemah Sunan Abu Dawud: 5186) g) Kembali jika tidak diizinkan. Sebab Allah SWT. berfirman:
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2012: 354). Ajaran Islam sangat komprehensif, sehingga tidak salah bila disebut sebagai rahmatan lil‟alamin. Masalah yang nampak kecil pun dikaji di dalamnya. Ajaran di atas nampak sangat sederhana, namun
75
sangat mulia dan besar manfaatnya. Meminta izin terlebih dahulu merupakan perilaku terpuji yang harus diajarkan sejak dini dan harus menjadi kebiasaan anak dalam keluarga. Ajaran ini tidak hanya mengandung etika
kesopanan
serta
tata
krama,
namun
juga
memberitahukan kepada orang tua, anak dan kita semua bahwa setiap orang mempunyai privasi yang harus dihargai dan hormati. 2. Hukum Menanggalkan Sebagian Pakaian Luar Bagi Perempuan Tua Hal ini dijelaskan dalam Q.S. an-Nur ayat 60, bahwa perempuan yang telah tua dan terhenti dari haidnya serta tidak memiliki keinginan menikah lagi diperbolehkan untuk tidak memakai pakain selengkap perempuan yang masih muda, pakaian luar yang dimaksud diantaranya kerudung yang menutupi kepala mereka, atau pakaian atas yang longgar yang
menutupi
pakaian
yang
dipakai
untuk
menutupi
aurat
(jubah/mantel). Menutup aurat merupakan tuntunan dan kewajiban seorang muslimah. Dengan busana yang sopan dan tertutup sesuai syariah, seseorang akan terhindar dari nafsu jahat laki-laki yang akan berbuat usil. Pakaian juga akan menuntun perilaku seseorang, sehingga dengan seseorang bertingkah laku sesuai dengan busana yang dikenakannya. Islam mensyari‟atkan menutup aurat dalam upaya menjaga martabat, kesucian dan kehormatan kaum wanita. Akan tetapi masalah pengaturan tersebut bergantung pada situasi kondisi. Misalnya seperti
76
yang terkandung dalam Q.S. an-Nur ayat 60 yang menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok wanita yang dikecualikan dari ketentuan pemakaian jilbab seperti yang termaktub dalam QS. an-Nur ayat 31, dengan syarat tidak menampakkan perhiasannya dan selalu bersikap sopan. Masalah ini bukan merupakan hasil diskusi dari kalangan ulama Islam, namun teks al-Qur‟an yang telah menyatakannya. Menurut al-Biqo‟i yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Temporer mengartikannya sebagai “Baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala” (Shihab, 2004: 321). Menurut Ibnu „Abbās dan Qatādat jilbab dalam buku yang berjudul Tafsir Bi al-Ra‟yi “ Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur‟an” ialah “Pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakaiannya terlihat namun tetap menutup dada dan bagian mukanya”. Sementara menurut Nashiruddin Baidan kata jilbab berarti “pakaian (baju kurung yang longgar)” (Baidan, 1999: 118). Sedangkan dalam kamus Arab-Indonesia oleh Mahmud Yunus, jilbab dikemukakan berasal dari kata Jalābiyyah ()ج ََلبِيَّ ِة َ yang artinya baju kurung yang dalam/panjang sejenis jubah dan berakar dari kata jalaba (ب َ yang artinya menghimpun/membawa (Yunus, 1972: 89). َ َ)جل Dengan demikian, yang dimaksud dengan jilbab disini ialah baju yang bersifat longgar yang tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh si
77
pemakai yang menutupi pakaian lainnya dan dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Sementara itu wanita yang dimaksud dalam ayat ini ialah wanita-wanita yang sudah tua yang telah berhenti dari haidnya dan tidak mempunyai keinginan lagi untuk menikah. Dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab wanita-wanita ini dinamai dengan Qā‟id yang berasal dari kata al-Qawā‟id. Kata ( )انقىاعدal-qawā‟id adalah bentuk jamak dari kata ) (قبعدqā‟id yang menunjuk kepada perempuan yang telah tua. Kata tersebut pada mulanya digunakan dalam arti duduk. Karena wanita yang telah tua biasanya dia lebih sering terduduk di rumah daripada keluar rumah, bahkan ada dari sebagian mereka yang terkadang sudah tidak mampu lagi untuk berjalan, atau terduduk karena tidak dapat lagi melahirkan akibat ketuaan (Shihab, 2000: 398). Beberapa pendapat mengenai penanggalan pakaian tersebut, diantaranya, ialah: 1. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah (2000: 398) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ( )انثّيبةats-tsiyāb adalah sebagian dari pakaian mereka, antara lain kerudung yang menutup kepala mereka, atau pakaian atas yang longgar yang menutupi pakaian yang di pakai untuk menutup aurat. 2. al-Qur‟an dan Tafsirnya karya Departemen Agama (2009: 637) dikatakan bahwa, pakaian yang dimaksud adalah seperti hauscoat (pakaian lapang yang menutupi seluruh badan). 3. Kemudian menurut tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa alMaraghi (1993: 240) mengatakan bahwa, tidak ada dosa bagi wanita tua untuk menanggalkan pakaian luarnya seperti mantel dan jilbab yang berada di atas kudung.
78
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pakaian yang boleh ditinggalkan yaitu pakaian luar yang dipakai menutupi kepala/rambut mereka, yaitu seperti kerudung dan selendang yang biasa wanita muslimah mngenaknnya untuk menutupi auratnya dan juga pakaian longgar/jubah/mantel yang biasa dipakai diatas pakaian yang menutup aurat. Akan tetapi hal tersebut terdapat beberapa
syarat
sehingga
mereka
boleh
untuk
menanggalkan
pakaiannya tersebut. Diantaranya ialah: a. Mencapai usia di mana biasanya mereka tidak berharap untuk menikah lagi. b. Mereka tidak boleh memakai kosmetik/make up dan menampakkan perhiasannya. Namun dari beberapa tafsir yang menjelaskan tentang hal tersebut tidak memaparkan batas usia berapa yang diperbolehkannya untuk menanggalkan pakaiannya, karena usia dimana orang berhenti dari haidnya dan tidak memiliki keinginan untuk menikah berbeda-beda bagi setiap individu. Maka dalam ayat ini dijelaskan soal pakaian teratur sebagai keluar rumah atau mantel yang dipakai kebanyakan wanita Arab, selendang penutup kepala atau baju-baju lain tidak lagi memberati mereka, yang terpenting baginya ialah menjaga sikap hidup, kewibawaan, menjaga sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat, menjadi contoh tauladan yang disegani anak cucunya dalam rumah tangga apalagi oleh orang lain.
79
3. Kemudahan bagi orang sakit untuk makan bersama para kerabatnya Setelah menjelaskan kemudahan khusus bagi wanita-wanita tua untuk tidak seketat wanita muda dalam berpakaian, kini prinsip kemudahan khusus itu diberikan kepada orang-orang yang memiliki halangan-halangan tertentu yaitu orang buta, pincang dan sakit. Dijelaskan dalam tafsir al-Misbah oleh M. Quraish Shihab bahwa, kata ) (حسخharaj pada mulanya berarti sempit, dari sini maknanya berkembang menjadi halangan. Karena sesuatu yang sempit biasanya menjadi penghalang (Shihab, 2000: 400). Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama (2009: 638) dijelaskan bahwa, kata al-A‟ma ()اَ ْألَ ْع ًَى, secara etimologis berarti tidak melihat atau buta. Dalam konteks ayat ini, Allah SWT. menjelaskan bahwa tidak ada larangan atau masalah sama sekali bagi orang buta, orang pincang, dan orang sakit untuk makan bersama-sama dengan kerabatnya. Ini menunjukkan keagungan ajaran Islam yang tidak mebeda-bedakan status sosial dan juga kondisi manusia. ْ ْ َ )اadalah isim fa‟il (active participle) yang Kemudian al-A‟raj (ألع َسج terbentuk dari kata „araja-ya‟ruju-„arajan yang berati bengkok atau pincang. Jadi, kata al-a‟raj berarti orang yang pincang/sakit dibagian kaki sehingga jika berjalan ia pincang. Dalam ayat ini dijelaskan dibolehkannya orang yang memiliki halangan-halangan tersebut untuk makan dan minum di rumah para
80
kerabatnya, yakni dimulai dari yang paling dekat sampai teman-teman akrab termasuk pemegang kuasa/kunci rumahnya dengan makan bersama-sama atau sendirian. Urutan susunan kaum kerabat itu adalah sebagai berikut: 1. Ayah. Anak tidaklah meminta izin lebih dahulu kepada bapak untuk makan, karena memang sudah menjadi kewajiban bagi bapak untuk menafkahi anaknya. Bila anak sudah berpisah dan berkeluarga juga tidak perlu meminta izin terlebih dahulu. 2. Ibu. Telah kita ketahui bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Walaupun anaknya sudah besar dan beranak cucu sekalipun, namun kasih ibu tetap seperti sediakala. Tidak menjadi soal baginya bila anaknya makan di rumahnya tanpa ajakan, bahkan dia akan sangat bahagia melihat anaknya bertingkah laku seperti dahulu di kala masih belum dewasa. 3. Saudara laki-laki. Hubungan antara seorang dengan saudaranya adalah hubungan darah yang tidak bisa di putuskan, meskipun terjadi perselisihan dan pertengkaran. 4. Saudara perempuan. 5. Saudara laki-laki ayah (paman) 6. Saudara perempuan ayah (bibi) 7. Saudara laki-laki dari ibu. 8. Saudara perempuan dari ibu. 9. Orang yang diberi kuasa memelihara harta benda seseorang.
81
10. Teman akrab (Depag, 2009: 640). Dapat dijelaskan bahwa rumah-rumah tersebut adalah sama dengan di rumah kita sendiri, baik makan sehidangan bersama-sama atau sendirian. Karena dalam ayat ini jelas bahwa di rumah keluarga yang bertali darah itu sama dengan di rumah kita sendiri. Kemudian dalam Q.S. an-Nur ayat 61 bagian akhir Allah SWT menyerukan kepada setiap orang mukmin agar apabila dia masuk ke salah satu rumah-rumah tersebut, baik untuk makan atau kepentingan lainnya hendaklah mengucapkan salam terlebih dahulu kepada dirinya sendiri
dan
penghuni
rumah
dengan
mengucapkan,
“Assalāmu‟alaikum warahmatullāhi wabarakātuh”, yakni salam yang di syari‟atkan oleh Allah SWT. salam yang diberkahi Allah SWT, supaya bertambah lestarinya kebaikan dan pahala. Ucapan salam ini merupakan ucapan yang diajarkan dan dianjurkan Islam bila bertemu dengan sesama manusia umat muslim. Allah SWT telah menjelaskan hukum, syari‟at dan kesantunan dalam ayat ini agar kita dapat mengamalkan tuntunan-Nya dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. B. Implementasi QS. an-Nur Ayat 58, 59, 60 Dan 61 dalam Kehidupan Sehari-Hari Islam tidak menetapkan nilai-nilai akhlak hanya pada wacana dan teori saja. Di samping mengajarkan teori tentang akhlak, Islam juga menuntut umatnya untuk mempraktikkan akhlak tersebut. Islam tidak
82
pernah mengajarkan pada kita untuk sekedar mempelajari teori tanpa menerapkannya dalam praktik kehidupan sehari-hari (Mahmud, 2004: 59). Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran akhlak di dalamnya. Manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat apabila mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak, karena pendidikan akhlak memiliki tujuan yang utama yaitu agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang di gariskan oleh Allah SWT (Mahmud, 2004: 159). Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia maupun akhirat. Penjelasan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam QS. an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61, dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari diantaranya: 1. Etika Meminta Izin Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat pendidikan etika sangatlah penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama etika meminta izin dalam memasuki kamar orang lain, hal ini merupakan kewajiban bagi orang tua untuk mendidik anak-anak dan para pelayannya agar tetap terhindar dari perilaku-perilaku yang menyimpang mengenai hak-hak privasi orang dewasa. Hendaklah para orang tua
mengajarkan kepada anak-anak mengenai etika tersebut
dimulai dari sejak dini sebelum memasuki usia balig dengan memberi pengajaran bagi mereka mengenai tiga waktu yang disebut sebagai waktu aurat, hal ini untuk menjaga agar aktivitas pribadi bapak ibu 83
yang bersifat privasi tidak terganggu oleh anak-anak. Kemudian apabila mereka ingin memasuki kamar orang lain haruslah meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kamar, baik itu kamar orang tuanya maupun saudaranya. Dalam tiga waktu yang dimaksud, biasanya ada kondisi orang tua yang lebih bebas, misalnya saja dalam berpakaian. Untuk itulah anak-anak yang belum baligh sekalipun harus diajarkan tentang etika meminta izin sebelum memasuki kamar orang lain. Adapun bagi anakanak yang telah mencapai usia baligh diwajibkan untuk selalu minta izin dalam setiap waktu jika hendak memasuki kamar orang tuanya maupun saudaranya. 2. Hukum Menanggalkan Sebagian Pakaian Luar Bagi Perempuan Tua Menutup aurat merupakan kewajiban bagi setiap muslimah, akan tetapi hukum Islam sangatlah fleksibel, di mana bagi setiap muslimah yang telah berhenti dari haidnya dan tidak memiliki keinginan untuk menikah diperbolehkan untuk menanggalkan pakaian luarnya. Dikarenakan perempuan-perempuan tersebut dikirakan akan sangat sulit untuk memakai pakaian lengkap yang menutup aurat seperti yang diperintahkan bagi perempuan yang belum tua. Hal ini dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak
memberi
pengarahan
yang
terlalu
ketat
terhadap
ibuk/nenek/saudara yang termasuk dalam kategori tersebut untuk tidak
84
memakai pakaian yang wajib di pakai sesuai aturan agama seperti para wanita yang masih muda. Karena hal ini telah jelas di tuliskan dalam al-Qur‟an sebagai pedoman dalam agama kita. Sehingga mereka tidak akan merasa kesulitan dan merasa terbebani oleh pakaian yang dikenakannya. 3. Kemudahan Bagi Orang Sakit Untuk Makan Bersama Para Kerabatnya Hukum Islam bersifat tidak memberatkan dan tidak memaksa. Contohnya dalam ayat 61 surat an-Nur ini yang menjelaskan tentang kemudahan bagi orang-orang sakit untuk dapat makan bersama para kerabatnya, sungguh hal ini lebih mengandung pengajaran yang sangat berharga yaitu memberikan suatu penghargaan yang sama terhadap siapapun, baik orang itu dalam keadaan sehat ataupun dalam keadaan sakit. Mereka memiliki hak yang sama dengan orang-orang yang sehat. Pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul, kaum Madinah merasa sangat keberatan jika mereka harus makan bersama orang-orang sakit itu, mereka merasa terganggu karena orang yang sakit tidak dapat menikmati makanan seperti orang yang sehat. Dengan demikian turunlah ayat ini sebagai penghapus kebiasaan orang-orang Madinah tersebut (Muhammad, 2006: 454). Sebenarnya perasaan orang-orang sakit tersebut lebih halus. Dengan diperlakukan baik mereka akan sangat merasa dihargai keberadaannya. Terkadang emosi
orang-orang
yang
memiliki
85
halangan-halangan
tersebut
sangatlah sensitif, maka dari itu kita sebagai saudara mukmin haruslah sangat berhati-hati dalam menjaga perasaan mereka. Dengan demikian hidup akan terasa tenteram, rukun dan damai.
86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan
pembahasan-pembahasan
dan
analisis
tentang
pendidikan akhlak dalam Q.S. an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai jawaban atas rumusan masalah sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S. an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61. a. Etika meminta izin. Yaitu suatu tata krama yang harus diajarkan kepada anakanak dan pelayan. Untuk anak-anak sendiri dibedakan ke dalam dua fase, yaitu: anak yang belum memasuki usia baligh dan fase anak yang telah memasuki usia baligh. Untuk anak yang belum memasuki usia baligh diwajibkan meminta izin dalam tiga waktu, yaitu sebelum shalat subuh, di tengah hari setelah shalat dzuhur, dan setelah shalat isya sepanjang malam. Untuk anak yang telah mencapai usia baligh mereka diwajibkan untuk meminta izin di seperti ketentuan orang-orang dewasa meminta izin. Untuk para pelayan tidak dijelaskan mengenai batas usia dalam kewajiban meminta izin tersebut, jadi hukum untuk para pelayan hanya satu, yaitu wajib meminta izin dalam memasuki
87
kamar majikannya, baik sudah balig maupun belum mencapai usia balig. b. Hukum menanggalkan sebagian pakaian luarnya bagi perempuan tua. Diperbolehkannya untuk menanggalkan pakaian luarnya jika mereka telah mencapai ketentuannya, yaitu apabila mereka telah terhenti dari haidnya dan tidak memiliki keinginan lagi untuk menikah serta tidak menampakkan perhisannya. Akan tetapi jika mereka tetap mengenakan pakaian secara lengkap maka itu akan lebih baik baginya. c. Kemudahan bagi orang sakit untuk makan bersama kerabatnya serta anjuran mengucapkan salam. Orang-orang yang memiliki halangan-halangan tertentu seperti tidak dapat melihat (buta), sakit di bagian kaki (sehinnga pincang) dan orang yang sedang menderita sakit, mereka diberi kemudahan untuk dapat makan bersama para kerabatnya dari yang paling dekat hingga teman akrab yang menyerahkan kunci rumahnya kepada mereka. Kemudian dijelaskan
pula mengenai
anjuran untuk
mengucapkan slam sebelum memasuki rumah-rumah kerabtanya tersebut dengan mengucap “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” dengan harapan berkah limpahan kebaikan dan pahala yang selalu tercurah kepada si penghuni rumah.Saran
88
2. Implementasi pendidikan akhlak yang diajarkan dalam Q.S. anNur ayat 58, 59, 60, dan 61 dalam kehidupan sehari-hari Di era modern ini, akhlak yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sangat jarang diperhatikan, karena budaya hidup sekarang ini sudah terperdaya oleh kecanggihan teknologi dan sangat jarang dari generasi sekarang yang memperhatikan mengenai pendidikan akhlak. dalam surat an-Nur ayat 58, 59, 60 dan 61 terdapat beberapa akhlak yang sangat perlu dan harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya ialah: a. Etika Meminta Izin Pendidikan etika meminta izin dalam memasuki kamar orang tua dan saudara merupakan pendidikan moral keluarga yang sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak yang dimulai sejak dini/sebelum memasuki usia balig, mereka wajib meminta izin dalam tiga waktu. Selain tiga waktu itu mereka bebas untuk keluar masuk kamar ayah ibu serta saudara-saudara mereka. Semantara untuk anak-anak yang telah memasuki usia balig mereka diwajibkan untuk selalu meminta izin dalam memasuki kamar orang lain. b. Hukum
Menanggalkan
Sebagian
Pakaian
Luarnya
Bagi
Perempuan Tua Perempuan tua yang telah terhenti dari haidnya dan tidak memiliki hasrat untuk menikah lagi diperbolehkan untuk
89
menanggalkan sebagian pakaian luarnya seperti kerudung penutup kepala atau pakaian luar longgar yang menutupi pakaian yang menutup aurat. Seorang ibu/nenek/saudara yang tinggal serumah dengan kita dan mereka merasa kesulitan jika mereka harus berpakaian seperti kita/yang masih muda maka kita bisa memberitahukan soal hukum penanggalan pakaian ini dalam Q.S. an-Nur ayat 60, sehingga mereka tidak merasa terbebani jika ingin keluar rumah dengan pakaian yang lengkap. c. Kemudahan Bagi Orang Sakit Untuk Makan Bersama Para Kerabatnya Dibolehkannya bagi orang yang memiliki halangan tertentu (buta, pincang dan sakit) untuk makan bersama/sendrian di rumah para kerabatnya yaitu ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara laki-laki dari ayah, saudara perempuan dari ayah, saudara laki-laki dari ibu, saudara perempuan dari ibu, rumah yang dimiliki kuncinya serta teman karib. B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saransaran sebagi berikut: 1. Untuk Dunia Pendidikan Islam Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari alQur’an dan hadits harus terus dilakukan, hal ini karena krisis moral yang semakin memprihatinkan. Maka dari itu seorang pendidik
90
diharapkan menekankan pendidikan akhlak dalam proses belajar mengajar agar siswa-siswa sebagai penerus bangsa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia 2. Untuk Pendidik Penggalian terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak dalam alQur’an harus terus dilakukan dan disosialisasikan sebagai salah satu langkah perbaikan akhlak manusia dalam menjalani kehidupan dunia agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 3. Bagi Peneliti Hasil dari analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S. anNur ayat 58, 59, 60 dan 61 ini masih banyak kekurangan, maka dari itu diharapkan bagi peneliti baru dapat mengkaji ulang dari penulisan ini. C. Penutup Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufiq serta hidayah-nya yang dilimpahkan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini yang sangat sederhana dengan segala keterbatasan dari penulis. Akhirnya, semoga walaupun penuh dengan kekurangan dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. Salatiga: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Al Munawar, Said Aqil Husin. 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press. Ali, Muhammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Amin, ahmad. 1991. Etika “ilmu akhlak”. Jakarta: Bulan Bintang. Az-Zuhaili, Wahbah. 2014. ENSIKLOPEDIA AKHLAK MUSLIM, Berakhlak terhadap Sesama dan Alam Semesta. Bandung: MMU. Baidan, Nashiruddin. 1999. Tafsir bi al-ra’yi “upaya penggalian konsep wanita dalam al-Qur’an”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budihardjo. 2012. Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Lokus. Choiriyah & Atsary. 2010. Mencetak Generasi Rabbani. Bogor: Pusstaka Darul Ilmi. Departemen Agama RI. 2009. al-Qur’an dan Tafsirnya Disempurnakan). Jakarta: Departemen Agama RI.
(Edisi
yang
______________________. 2012. al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Darus Sunnah. Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Pendididkan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Fachruddin. 1992. Membentuk Moral Bimbingan A-Qur’an. Jakarta: Bina Aksara. Hadi, Sutrisno. 1981. METODOLOGI RESEARCH untuk penulisan paper, skripsi, Thesis dan Desrtasi.cet XII. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Halim, M. Nipan Abdul. 2000. Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Yunahar, Ilyas. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI. J. Moloeng Lexy. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
92
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani. Mudlor, Ahmad. 1997. Etika dalam Islam. Surabaya: al-Ikhlas. Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM). Muhammad, Ahsin. 2006. Tafsir Nurul Qur’an. Jakarta: al-Huda. Munir, Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Sukses Offset. Murshafi, Muhammad Ali. 2009. Mendidik Anak Agar cerdas dan Berbakti. Surakarta: Ziyad Visi Media. Mustaqim, Abdul. 2005. Menjadi Orang Tua Bijak “Solusi Kreatif Menangani Berbagai Masalah pada Anak”. Bandung: al-Bayan Mizan. Nata, Abuddin. 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers. _____________. 2013. Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika. Malang: UIN-Maliki Press. Salamulloh, M. Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. __________________. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Shaleh, Qamaruddin dan Dahlan. 1990. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an). Bandung: Diponegoro. Saraswati, sylvia. 2011. Cara Mudah Menyusun Prorposal, Skripsi, Tesis, Disertasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan. ________________. 2000. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. ________________. 2004. Jilbab Pakaian Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Jakarta: Lentera Hati
93
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sulaiman, Fathiyyah Hasan. 1986. Konsep Pendidikan al-Ghazali. Jakarta: P3M. Supadie, Didiek Ahmad dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers. Tatapangarsa, Humaidi. 1991. Akhlak yang Mulia. Surabaya: Bina Ilmu. Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. UU RI Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Serta UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. 2006. Bandung: Citra Umbara. Yahya. 2015. Materi Hadis III PAI. Salatiga: Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Yunus, Mahmud. 1972. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah.
94
Surat Keterangan Kegiatan Nama
: Siti Aminah
NIM
: 111-12-113
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan PAI
Dosen Pembimbing
: Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I
No
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
Keterangan
Poin
1.
OPAK STAIN Salatiga 2012 dengan tema 7 September 2012 “ Progresifitas kaumMuda , KunciPerubahan Indonesia”
Peserta
3
2.
OPAK STAIN Salatiga 2012 dengan tema 9 September 2012 ”Mewujudkan Gerakan Mahasiswa Tarbiyah sebagai Tonggak Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
Peserta
3
3.
Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan 10 September 2012 tema “Membangun Karakter Keislaman Bertaraf Internasional di Era Globalisasi Bahasa”
Peserta
2
4.
Seminar Entrepreneurship dan Perkoperasian 2012 dengan tema “Explore Your Entrepreneurship Talent”
11 September 2012
Peserta
2
5.
Achievment Motivation Training dengan tema “Bangun Karakter Raih Prestasi”
12 September 2012
Peserta
2
6.
UPT Perpustakaan STAIN Salatiga
13 September 2012
Peserta
2
7.
Seminar Nasional Mahasiswa dengan tema “Urgensi Media Dalam Pergulatan Politik”
29 September 2012
peserta
8
8.
Tabligh Akbar dengan tema “Tafsir TematiK dalam Upaya Menjawab Persoalan Israel dan Palestina Landasan QS. al-Fath: 26-27”
1 Desember 2012
Peserta
2
9.
Seminar Nasional dengan tema “Mengawal Pengendalian BBM
8 Juli 2013
Peserta
8
Bersubsidi, Kebijakan BLSM yang tepat sasaran Serta pengendalian inflasi dalam negeri sebagai dampak kenaikan harga BBM Bersubsidi” 10.
Ibida’ Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Darul Amal dengan tema “Mahasiswa Rabbani Pembangun Peradaban Negeri”
19 Oktober 2013
Peserta
2
11.
Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH 2013 dengan tema “Kristalisasi Nilai Qur’ani Menuju Insan yang Penuh Hikmah”
23 November 2013
Peserta
2
12.
Seminar Nasional Kewirausahaan dengan tema “Jiwa Muda, Berani Berwirausaha”
30 Oktober 2015
Peserta
8
13.
Seminar Nasional dengan tema “Esensi Dakwah Kontemporer”
21 Mei 2016
Peserta
8
14.
Seminar Nasional dengan tema “Khilafah; Tinjauan Akidah dan Syariah”
25 Mei 2016
Peserta
8
15.
Seminar Nasional dengan tema “Sinau Politik Mengembangkan Kader Politik yang Profesional”
6 September 2016
Peserta
8
16.
Pelantikan dan Dialog Interaktif oleh Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) Cabang Salatiga
21 September 2016
Peserta
2
17.
Seminar Nasional dengan tema “Memandang Jurnalisme dan Perspektif Gender”
24 September 2016
Peserta
8
18.
National Achievement Motivation Training denagn tema “Solusi Cerdas Sukses Akademis dan Organisasi”
1 Oktober 2016
Peserta
8
19.
Seminar Nasional dengan tema “Revitalisasi Budaya Filsafat dalam Pemikiran Islam Kontemporer”
3 November 2016
Peserta
8
20.
Seminar Nasional Kontribusi Hukum Islam terhadap Pemberantasan Korupsi di Indonesia dengan tema “Bersama Merajut Asa Memberantas Korupsi di Indonesia”
10 November 2016
Peserta
8
21.
Seminar Nasional dengan tema “Sukses Akademis, Sukses Bisnis”
22 November 2016
Peserta
8
22.
Seminar Nasional dengan tema “Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan Melalui Usaha Online Untuk Masyarakat Ekonomi Mandiri”
10 Desember 2016
Peserta
8
TOTAL
118
Salatiga, 27 Desember 2016 Mengetahui, Wakil Dekan