DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK (TELAAH SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh Fifi Nor Kamalia 111-12-152
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO “Dengan keimanan dan ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa kita akan diberi kemudahan untuk sukses.”
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, adik-adikku, Keluarga ku, dosen-dosen serta guru-guruku Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku,
vi
KATA PENGANTAR
Assalammu‟alaikum wr.wb. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridho-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil analisis ini yang berjudul “Dasar-dasar Pendidikan Akhlak (Telaah Surat Al-A‟rāf ayat 199-202)” sesuai dengan rencana. Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini, kepada yang terhormat: 1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri Salatiga yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Dra. Ulfah Susilowati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyususnan skripsi ini.
5.
Bapak Dr. Winarno, S.Si., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
vii
viii
ABSTRAK Kamalia, Fifi Nor. 2016. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak (Telaah Surat Al-A‟rāf ayat 199-202). Skripsi. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dra. Ulfah Susilowati, M.si. Kata Kunci
: Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Penelitian ini merupakan upaya untuk menggali dasar-dasar pendidikan akhlak telaah surat al-A‘rāf ayat 199-202. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Apa yang terkandung dalam surat al-A‘rāf?, dan (2) Bagaimana dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202? Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan dalam pengumpulan data didasarkan atas dua sumber, yaitu sumber pimer dan sumber skunder yang diusahakan sendiri oleh peneliti. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maudhu‘i (tematik) yaitu menafsirkan ayat-ayat Alqur‘an berdasarkan tema atau topik permasalahan. Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya dasar-dasar pendidikan akhlak surat al-A‘rāf yaitu (1) Memaafkan(akhlak mahmudah). (2) Mengerjakan yang ma‘ruf. Ma‘ruf adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat kemanusiaan). Ma‘ruf merupakan akhlak mahmudah. (3) Menjahui orang-orang yang jahil/menjahui kemungkaran. (4) Menahan amarah (akhlak mahmudah). (5) Takwa kepada Allah (akhlak mahmudah). (6) pendurhaka itu dalam kesesatan (akhlak madhmumah). Maka dari itu kita harus menghindari perbuatan tersebut dengan cara bertakwa kepada Allah. Karena dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202 ini yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah melakukan yang ma‘ruf dan menjahui kemungkaran.
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL .........................................................................................................
i
JUDUL ............................................................................................................
ii
LEMBAR BERLOGO ...................................................................................
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBINNG ..............................................................
iv
PENGESAHAN KELULUSAN ....................................................................
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .....................................................
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................
vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
viii
ABSTRAK ......................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................
1
A.
Latar Belakang ...............................................................................
1
B.
Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C.
Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
D.
Manfaat Penelitian .........................................................................
5
E.
Metode Penelitian...........................................................................
6
F.
Penegasan Istilah ............................................................................
9
G.
Sistematika Penulisan.....................................................................
12
BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................
14
A.
Dasar-dasar Pendidikan Akhlak .....................................................
14
1.
Pengertian Dasar-dasar Pendidikan.....................................
14
2.
Pengertian Akhlak ...............................................................
23
x
B.
Tujuan Pendidikan .........................................................................
24
C.
Ruang Lingkup Pendidikan ............................................................
27
1.
Akhlak Terhadap Allah ......................................................
27
2.
Akhlak Terhadap Rasulullah ..............................................
28
3.
Akhlak Manusia Kepada Diri Sendidri .............................
29
4.
Akhlak Dalam Keluarga ....................................................
36
5.
Akhlak Terhadap Masyarakat ..........................................
37
6.
Akhlak Bernegara..............................................................
37
BAB III KANDUNGAN SURAT AL-A’RĀF..............................................
38
A.
Kewajiban Mengikuti Wahyu dan Akibat Menentangnya .............
38
B.
Penghargaan Allah SWT Kepada Nabi Adam dan Keturunannya.
39
C.
Peringatan Allah Terhadap Godaan Setan .....................................
40
D.
Adap Berpakaian, Makan, dan Minum Serta Pengutusan Para Rasul, Akibat Penerimaan dan Penolakan Kerasulan ....................
E.
Tuhan Semesta Alam dan Bukti Kekuasaan Allah Membangkitkan Manusia sesudah Mati.........................................
F.
42
44
Kisah Beberapa Rasul, Kisah Nabi Nuh as dan Kisah Nabi Hud as ....................................................................................
46
G.
Kisah Nabi Shalleh dan Nabi Luth.................................................
47
H.
Kisah Nabi Syu‘aib ........................................................................
49
I.
Kisah Nabi Musa ............................................................................
52
J.
Ketauhidan Sesuai Dengan Fitroh Manusia, Perumpamaan Orang-orang Yang Mendustakan Ayat-ayat Allah dan Sifat-sitat Penghuni Neraka............................................................ xi
63
K.
Orang-orang Yang Mendustakan Ayat-ayat Nya dengan Istidraj dan Allah-lah Yang Mengetahui Waktu Datangnya Hari Kiamat .
L.
Pengingatan Manusia Kepada Asal-usul Kejadian dan Berhala Tidak Patut Disembah ....................................................................
M.
64
66
Dasar-dasa Akhlakul Karimah, Adab Mendengar Pembacaan Alqur‘an dan Berziki ......................................................................
67
BAB IV DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202 ..........................................................
69
A.
Asbabun Nuzul ...............................................................................
69
B.
Isi Pokok Kandungan Ayat 199-202 ..............................................
82
C.
Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Dalam Surat al-A‘rāf Ayat 199-202
..........................................................................
85
BAB IV PENUTU..........................................................................................
110
A.
Kesimpulan .................................................................................... 110
B.
Saran............................................................................................... 112
C.
Penutup........................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS
xii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor utama untuk pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Di sisi lain proses perkembangan dan pendidikan manusia tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan formal saja. Karena manusia berada dalam lingkungan yang luas. Manusia sebelum di lingkungan pendidikan formal (sekolah), mereka sudah berada di lingkungan keluarga. Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah hanyalah pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak adalah dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan formal memerlukan ―kerja sama‖ antara orang tua dan sekolah (Hasbullah, 2009:90). Menurut UU No. 20 th 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 1. Pendidikaan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
1
2
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Salah satu dari tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 th 2003. Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak sangat berperan penting untuk kemajuan bangsa yang membentuk generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah dading dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran (Abuddin Nata,1997: 05). Yang menjadi tolak ukur akhlak seseorang tersebut baik atau buruk adalah Alqur‘an dan As-sunnah. Apa yang baik menurut Alqur‘an dan Assunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan seharihari. Sebaliknya apa yang buruk menurut Alqur‘an dan As-sunnah, berarti itu tidak baik dan harus dijahui.Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖ (Departemen Agama, 2011:421)
3
Alqur‘an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad bagi seluruh umat Manusia. Alqur‘an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Alqur‘an merupakan kitab Allah SWT. Yang memiliki perbendaraan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat manusia. Alqur‘an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian), dan alam semesta (Nur Ahid, 2010;21). Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Akhlak merupakan suatu sarana dalam menanamkan nilai takwa kepada manusia lainnya. Sendangkan pendidikan Islam itu sendiri merupakan suatu aktifitas/usaha pendidik terhap anak didik menuju ke arah terbentuknya kepribadian muslim yang muttakin (Sholeh, 1998: 53). Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Rasulullah saw menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia. Beliau bersabda:
4
―Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik‖. Menurut Fauzi An Najar yang dikutip oleh Omar Muhammad Al Toumy Al Syaibany, pendidikan tidak akan tumbuh, berkembang dan selaras dalam bidang kemajuan selagi hal itu tidak bersandar kepada pemikiran yang selalu disertai dengan pemahaman dan daya cipta dalam dunia yang selalu bertarung dengan ilmu dan teknologi (Omar, tt:33). Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT (Uhbiyati, 1997:12). Untuk itu diperlukan suatu landasan yang baik agar di dalam pelaksanaan pendidikan berhasil. Langkah awal dari suatu keberhasilan pendidikan adalah penanaman akhlak terhadap diri pribadi anak didik. Untuk itu bagi keluarga, masyarakat atau pendidik harus memberikan contoh yang baik kepada anak dengan berpedoman pada Alqur‘an dan As-sunnah. Karena Alqur‘an dan As-sunnah memberikan pedoman bagi umat manusia untuk membentuk akhlak mulia, untuk berperilaku yang baik tersebut memerlukan dasar-dasar pendidikan akhlak agar tidak bertentangan dengan Alqur‘an dan As-sunnah. Dengan penjelasan tersebut menjadi alasan penulis untuk mengkaji skripsi
dengan
judul
DASAR-DASAR
PENDIDIKAN
TELAAH SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202. B.
Rumusan Masalah 1.
Apa yang Terkandung Dalam Surat Al- A‘rāf ?
AKHLAK
5
2.
Bagaimana Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-A‘rāf ayat 199-202 ?
C.
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui yang Terkandung Dalam Surat Al- A‘rāf.
2.
Mengetahui bagaimana Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-A‘rāf ayat 199-202.
D.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis a.
Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya, terutama mengenai dasardasar pendidikan akhlak dalam Surat al-A‘rāf ayat 199-202.
b.
Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat khususnya penulis untuk mengetahui dan mendalami serta mengamalkan dasar-dasar pendidikan akhlak dalam Surat al-A‘rāf ayat 199-202.
2.
Manfaat praktis Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan sebagai beerikut: a.
Dengan adanya penelitian ini diharabkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap masyarakat dalam memahami dasar-dasar pendidikan akhlak yang sebenarnya.
6
b.
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan khususnya bagi
orang
tua,
pendidik,
dan
masyarakat
agar
dapat
mengaplikasikan pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. c.
Dengan skripsi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya penulis sendiri. Amiin.
E.
Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk sampai tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi, 1983: 3). Penelitian pustaka yaitu penelitian yang difokuskan pada penelusuran dan telaah literatur serta bahan pustaka lainnya. Literatur juga merupakan cara untuk menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya. Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan mencari dan mengumpulkan kepustakaan atau bahan-bahan bacaan untuk mencari dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang metode pendidikan Islam, kemudian dianalisis untuk
mencapai
menghasilkan
suatu
tujuan
penelitian.
kesimpulan
Penelitian
tentang
gaya
kepustakaan bahasa
buku,
kecenderungan isi buku, tata tulis, lay-out, ilustrasi dan sebagainya (Arikunto, 1998: 11).
7
2.
Sumber Data Sumber primer adalah sumber yang diperoleh langsung dari sumbernya, surat al-A‘rāf dan kitab-kitab tafsir antaralain: kitab tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Lubab karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Maraghiy karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, tafsir Muyassar karya Dr. ‗Aidh al-Qarni. Sumber sekunder adalah berupa buku-buku bacaan literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini, di luar sumber primer.
3.
Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologis (Moelong, 1998: 9). Pendekatan ini digunakan untuk menggunakan tada sebanyak-banyaknya tentang akhlak.
4.
Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catancatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1993: 234). Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir Alqur‘an dan Hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan. Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan makna Alqur‘an surat al-A‘rāf tentang dasar-dasar pendidikan akhlak.
8
5.
Teknik Analisis Data Metode yang digunakan oleh penulis antara lain: a.
Maudhu‘i Metode maudhu‘i menurut istilah adalah menafsirkan ayatayat Alqur‘an dengan menghimpun ayat-ayat Alqur‘an yang mempunyai
maksud
yang
sama
dalam
arti
sama-sama
membicarakan suatu topik dan menyusunnya berdasarkan kronologi, dan sebab turunnya ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 150). Dengan menggunakan berbagai referensi penulis berusaha menjelaskan
isi
pokok
surat
al-A‘rāf
sehingga
dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. b.
Deduktif Metode deduktif adalah ―Berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus‖ (Hadi, 1981: 36). Penerapan metode ini misalnya penulis gunakan untuk mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan ditarik kesimpulan agar bisa lebih memahami permasaalahan yang ada. Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum menjadi khusus, berdasarkan data yang telah diperoleh, penulis menganalisis dasar-dasar pendidikan akhlak secara umum, kemudian menggolongkannya secara khusus sesuai Surat al-A‘rāf.
9
c. Induktif Cara berfikir dengan berlandaskan pada fakta yang khusus dan kemudian ditarik menjadi pemecahan yang bersifat umum (Hadi, 1981: 42). Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Dari hasil analisis surat alA‘rāf, kemudian ditarik kesimpulan dari surat tersebut dan keterkaitannya dengan dasar-dasar pendidikan akhlak secara umum. F.
Penegasan Istilah Untuk menghindri kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini antara lain: 1.
Dasar-dasar Pendidikan Dasar adalah landasan atau pondasi, pangkal tolak suatu aktivitas. Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiapa Negara mempunyai dasar pendidikan sendiri. Ia merupakan pencerminan falsafah hidup suatu bangsa. Berdasarkan kepada dasar itulah pendidikan suatu bangsa disusun. Dan oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap bangsa ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah yang berbeda (Ramayulis, 2002: 187). Pendidikan secara terminologi merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan
10
agoo. Paidos artinya ‗budak‘ dan agooartinya ‗membimbing‘. Akhirnya pedagogi diartikan sebagai ‗budak yang mengantarkan anak majikan
untuk
belajar‘.
Dalam
perkembangannya,
pedagogie
dimaksudkan sebagai ‗ilmu mendidik‘. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Pembedaan tersebut umummnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut (Jumali, 2004:17). Pendidikan secara epistimologi dapat dimaknai sebagai ilmu yaitu ilmu mengajar yang sangat dekat dengan didakdik dan metodik. Didakdik dan metodik adalah ilmu tentang bagaimana caramengajar. Pemaknaan pendidikan yang dimiliki berarti memaknakan pendidikan dalam pengertian pendidikan sebagai kata sifat. Sedangkan pemaknaan pendidikan sebagai kata kerja maka pendidikan adalah upaya mendewasakan anak didik. Atas dasar pemaknaan yang memposisikan kata pendidikan sebagai kata kerja tersebut maka munculah pendidikan sebagai ilmu normatif (Jumali, 2004:19). Dasar-dasar pendidikan adalah nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Alqur‘an dan As-sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudaratan bagi manusia (Azyumardi Azra, 2012: 9) Dasar pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup, suatu
11
Negara, sebab sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. 2.
Akhlak Secara etimologi, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari Khuluq (
) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Berakar dari kata khalaqa (
) yang berarti menciptakan.
Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan) (Yunahar Ilyas, 2007: 1). Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi menurut beberapa tokoh diantaranya: a.
Imam al-Ghazali: ―Akhlak adalah sifat
yang tertanam
dalam
jiwa
yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan‖ (al-Ghazali, 1994: 46). b.
Prof. Dr. Ahmad Amin: ―Akhlak adalah kehendak yang dibiasakan‖ (Zahruddin, 2004: 4).
c.
Abdul Karim Zaidan: ―(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya‖ (Yunahar Ilyas, 2007: 2). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui pendidikan akhlak
adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak yang berkaitan
12
dengan perilaku yang harus ditanamkan pada diri anak sejak mulai dini. Penanaman ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal. Dengan pendidikan akhlak menjadikan kehidupan manusia itu lebih harmonis. 3. Alqur‘an surat al-A‘rāf ayat 199-202 Surat al-A‘rāf adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad saw berhijrah ke Mekah. Surat ini merupakan surat ke tujuh setelah surat al-An‘am dalam susunan Alqur‘an, yang terdiri 206 ayat, termasuk golongan surat Makiyyah (Quraish Shihab, 2002 : 4). AlA‗rāf merupakan tempat yang tinggi adapun ayat 199-202 menjelaskan tentang dasar-dasar akhlakul karimah. Jadi maksud dari beberapa pengertian di atas adalah bawasannya penulis ingin mengungkap dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202. G.
Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. BAB II: LANDASAN TEORI Pada bab ini dikemukakan tentang dasar-dasar pendidikan akhlak yang meliputi: pengertian dasar-dasar pendidikan, pengertian
13
akhlak, tujuan pendidikan akhlak dan ruang lingkup pendidikan akhlak. BAB III: KANDUNGAN SURAT AL-A‘RĀF Pada bab ini dikemukakan mengenai kandungan surat al-A‘rāf. BAB IV: DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-A‘RĀF AYAT 199-202 Pada bab ini akan dikaji mengenai asbabun nuzul, isi pokok kandungan ayat 199-202, dan dasar-dasar pendidikan akhlak surat al-A‘rāf ayat 199-202 yang berisi dasar-dasar pendidikan akhlak surat al-A‘rāf ayat 199-202 menurut para mufassir. BAB V : PENUTUP, SIMPULAN DAN SARAN. Bab penutup yang memuat kesimpulan penulisan dari pembahasan skripsi dan saran-saran.
BAB II LANDASAN TEORI A.
Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan akhlak. Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan akhlak dalam agama Islam bersumber pada Alqur‘an dan As-sunnah. Alqur‘an sendiri sebagai dasar utama dalam agama Islam telah memberi petunjuk pada jalan kebenaran, mengarahkan kepada pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. 1.
Pengertian Dasar-dasar Pendidikan Dasar adalah landasan atau pondasi, pangkal tolak suatu aktivitas. Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiap Negara mempunyai dasar pendidikan sendiri. Ia merupakan pencerminan falsafah hidup suatu bangsa. Berdasarkan kepada dasar itulah pendidikan suatu bangsa disusun. Dan oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap bangsa ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah yang berbeda (Ramayulis, 2002: 187). Dasar-dasar pendidikan adalah nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Alqur‘an dan As-sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudaratan bagi manusia (Azyumardi Azra, 2012 : 9).
14
15
Didalam buku ilmu pendidikan islam (Ramayulis, 2002: 188), dasar pendidikan Islam dapat dibagi kepada tiga kategori yaitu (1) dasar pokok, (2) dasar tambahan (3) dasar operasional. a. Dasar Pokok 1)
Alqur‘an Abdul Wahab Khallaf didalam buku ilmu pendidikan islam (Ramayulis, 2002: 188) , kalam Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada hati Muhammad Rasulullah anak Abdullah dengan lafaz Bahasa Arab dan makna hakiki untuk menjadi hujjah bagi Rasulullah atas kerasulannya dan menjadi pedoman bagi manusia. Kedudukan Alqur‘an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Alqur‘an itu sendiri. Dalam firman Allah
―Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.‖ Selanjutnya firman Allah:
16
―Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayatayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.‖ Pada
hakekatnya
Alqur‘an
itu
merupakan
perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Alqur‘an pada umumnya merupakan kitab pendidikan kemasyarakatan, akhlak, dan spiritual. Alqur‘an berfungsi sebagai dasar pendidikan yang utama, karena dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya: 1.
Dari segi namanya, Alqur‘an sebagai kitab pendidikan
2.
Dari segi fungsinya, Alqur‘an sebagai al-huda, alfurqan, al-hakim, al-hayyinah dan rahmatan lil‟alamin ialah berkaitan dengan fungsi pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya
3.
Dari segi kandungannya, Alqur‘an berisi ayat-ayat yang mengandung isyarat tentang berbagai aspek pendidikan.
4.
Dari segi kandungannya, Allah mengenalkan dirinya sebagai al-rabb atau al-murabbi, yakni sebagai pendidik dan orang pertama kali dididik atau diberi pengajaran oleh Allah adalah Nabi Adam
17
Alqur‘an secara normatif juga mengungkapkan lima aspek
pendidikan
dalam
dimensi-dimensi
kehidupan
manusia: 1.
Pendidikan menjaga agama
2.
Pendidikan menjaga jiwa
3.
Pendidikan menjaga akal pikiran
4.
Pendidikan menjaga keturunan
5.
Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan Alqur‘anul Karim bukanlah hasil renungan manusia,
melainkan firman Allah Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu setiap Muslim berkeyakinan bahwa ajaran kebenaran terkandung di dalam Alqur‘an yang tidak dapat ditandingi oleh pemikiran manusia, sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Al-Maidah : 15-16 sebagai berikiut :
18
―Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.‖ 2)
As-sunnah Sebagai pedoman kedua sesudah Alqur‘an adalah Assunnah yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadis Nabi Saw. Juga dipandang sebagai lampiran penjelasan dari Alqur‘an terutama dalam masalah-masalah yang dalam Alqur‘an tersurat pokok-pokoknya saja (Zahruddin, 2004: 50). Al-hadis sebagai pedoman hidup Muslim dijelaskan dalam Al-quran suratAl-hasyr ayat 7:
19
―Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Da apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.‖ (Departemen Agama, 2011:110).
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖ (Departemen Agama, 2011:421) As-sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang biasa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah almaslukah) baik yang terpuji maupun tercela (Muhammad alSibai, 1958: 1) Adapun pengertian As-sunnah menurut para ahli, hadis adalah segala sesuatu yang diidentikkan kepada Nabi Muhammad saw. Berupa perkataan, perbuatan, taqrir-nya, ataupun selain dari itu. Termasuk sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi SAW. Yang belum kesampaian (Masjfuk Zuhdi, 1978: 14). b. Dasar Tambahan 1. Perkataan, perbuatan, dan sikap para sahabat 2. Ijtihad 3. Mashlahah Mursalah 4. Urf (nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat)
20
c. Dasar Oprasional 1.
Dasar Historis
2.
Dasar Sosial
3.
Dasar Ekonomi
4.
Dasar Politik
5.
Dasar Psikologis
6.
Dasar Fisiologis Menurut Zakiah Daradjat (2011: 19), landasan pendidikan
islam itu terdiri dari Alqur‘an dan As-sunnah Nabi Muhammad yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al mursalah, istihsan, qiyas, dan sebagainya. Menurut UU No. 20 th 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikaan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Pendidikan adalah pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Indonesia, 2007:263).
21
Pendidikan secara terminologi merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan
agoo. Paidos artinya ‗budak‘ dan agoo artinya
‗membimbing‘. Akhirnya pedagogi diartikan sebagai ‗budak yang mengantarkan
anak
perkembangannya,
majikan
pedagogie
untuk
belajar‘.
dimaksudkan
sebagai
Dalam ‗ilmu
mendidik‘. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran. Pembedaan tersebut umummnya didasarkan karena hasil akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan tersebut (Jumali, 2004:17). Pendidikan secara epistimologi dapat dimaknai sebagai ilmu yaitu ilmu mengajar yang sangat dekat dengan didakdik dan metodik. Didakdik dan metodik adalah ilmu tentang bagaimana cara mengajar. Pemaknaan pendidikan yang dimiliki berarti memaknakan pendidikan dalam pengertian pendidikan sebagai kata sifat. Sedangkan pemaknaan pendidikan sebagai kata kerja maka pendidikan adalah upaya mendewasakan anak didik. Atas dasar pemaknaan yang memposisikan kata pendidikan sebagai kata kerja tersebut maka munculah pendidikan sebagai ilmu normatif (Jumali, 2004:19). Menurut Ki Hajar Dewantara yang dikutip dari buku Azra (2012: 5) ―pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan
22
jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan menurut Zuhairini (1995: 149), pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula diluar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu sering dinyatakan pendidikan telah ada sejak dahulu. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Menurut Langeveld yang dikutip dari buku Hasbullah (2009: 4) pendidikan ialah setiap, usaha pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melakasanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya)dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk
23
dapat melakukan perubahan sikap dan tingkah laku dengan cara berlatih, belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apaapa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti
pendidikan
belum
membuahkan
hasil
yang
menggembirakan. 2.
Pengertian Akhlak Secara etimologis, kata akhlak berasal dari kata
-
-
yang artiny menjadikan, membuat, menciptakan (munawwir). Secara terminologis, budi pekerti merupakan perilaku manusia yang didasari oleh kesadaran berbuat baik yang didorong keinginan hati dan selaras dengan pertimbangan akal (Sidik Tono, 1998: 87). Masih didalam buku yang sama yaitu Ibadah dan Akhlak dalam Islam oleh Sidik Tono, pengertian akhlak secara terminologis menurut beberapa tokoh diantaranya: a.
Al-Ghazali dalam Ihya‟ulumuddin, khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa pertimbangan dan pemikiran mendalam.
b.
Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzibul Akhlak mengungkapkan bahwa, khuluk ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
24
c.
Ahmad Amin dalam bukunya akhlak menyatakan bahwa khuluk ialah membiasakan kehendak (Sidik Tono, 1998: 87). Dari ketiga definisi yang dikutip diatas penulis menyimpulkan
bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang terlahir
dengan
perbuatan-perbuatan
tanpa
pemikiran
dan
pertimbangan, sehingga ia akan muncul secara spontan tanpa ada dorongan dari luar. B. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alqur‘an (Mahmud, 2004: 159). Alqur‘an dan As-sunnah merupakan sumber dasar yang menjelaskan akhlak Islam dengan tepat dan detail. Telah dijelaskan dalam Aqur‘an surat al-Ahzab: 21
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖ (Departemen Agama, 2011:421 )
25
Tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad saw segai penutup para nabi
tidak
lain adalah
untuk menyempurnakan
akhlak mulia.
Sebagaimana sabda beliau :
―Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik‖. Tujuan pendididan menurut Ibnu Sina yang dikutip dalam buku Nasharuddin (2015: 296) tujuan pendidikan islam harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Semua potensi yang dimaksud Ibnu Sina adalah potensi fithrah, bertuhan kepada Allah, potensi jasad, akal, budi pekerti dan hati nurani. Gagasan Ibnu Sina tentang pendidikan Islam secara umum ini memperlihatkan, bahwa semua potensi yang dimiliki peserta didik mesti diarahkan pada perkembangan jasmani. Hal ini, terlihat dilatarbelakangi oleh pemikirannya tentang pendidikan kesehatan dan kedokteran. Sebab, pada jasad yang sehat terdapat pikiran yang sehat yang dapat diarahkan pada pembentukan intelektual dan budi pekerti atau akhlak mulia. Tujuan pendidikan menurut Athiyah al-Abrasyi dalam buku (Nasharuddin, 2015: 297) sebagai berikut : a.
Untuk membentuk akhlak mulia, karena kaum muslimin dari dahulu sampai sekarang setuju dengan pendidikan akhlak mulia adalah inti pendidikan islam, dan mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
26
b.
Mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat.
c.
Mempesriapkan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan dari segi pemanfaatan.
d.
Memunbuhkembangkan semangat keilmiahan peserta didik dan memuaskan rasa ingin tahu.
e.
Menyiapkan peserta didik secara profesional dan pertukangan. Tujuan dari pendidikan akhlak dalam islam adalah untuk
membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana, sempurna, sopan, dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktivitas, merupakan sarana pendidikan akhlak (Ramayulis, 2002 :149). Dari uraian diatas sudah jelas bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya pribadi yang mulia dan ukuran yang pasti untuk menentukan baik dan buruk didasarkan pada Alqur‘an dan As-sunnah. Dalam kehidupan sehari-hari untuk tercapainya tujuan pendidikan adalah bergaul dengan sesama manusia dengan baik dan benar serta mengamalkan amar ma‟ruf nahi munkar kepada sesama. C.
Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Menurut Yunahar Ilyas di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah, Akhlak terhadap Rasulullah, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam keluarga, akhlak dalam
27
masyarakat dan akhlak bernegara (Yunahar Ilyas, 2007: 17). Adapun uraiannya adalah sebagai berikut: 1.
Akhlak Terhadap Allah Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai Khalik (Abuddin Nata, 2002: 147). Sikap atau perbuatan tersebut harus mencerminkan akhlak mulia yang menggunakan tolok ukur ketentuan Allah. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, diantaranya: a.
Allah yang menciptakan manusia.
b.
Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
c.
Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.
d.
Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Dalam berakhlak kepada Allah manusia mempunya banyak
cara diantaranya yaitu dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah yang telah menciptakan manusia untuk berakhlak kepadanya dengan cara menyembah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
28
―Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku‖ (QS. adh-Dhariyat: 56). 2.
Akhlak Terhadap Rasulullah SAW Semua umat Islam tahu bahwa Rasulullah saw adalah Nabi dan Rasul terakhir, dan kewajiban bagi setiap manusia untuk beriman kepada-Nya. Iman tidak cukup dengan hanya sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal yang sudah dijelaskan di dalam Alqur‘an dan As-sunnah tentang bagaimana bersikap terhadap Rasulullah saw. Itulah yang dinamakan akhlak terhadap Rasulullah. Rasulullah adalah manusia istimewa yang memiliki suri teladan bagi umat Islam dan padaNya juga terdapat akhlak-akhlak mulia yang pantas untuk kita teladani. Adapun diantara perilaku atau akhlak yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam terhadap Rasulullah adalah sebagai berikut:
3.
a.
Mencintai dan memuliakan Rasul
b.
Mengikuti dan Mentaati Rasul
c.
Mengucapkan Shalawat dan Salam
Akhlak Manusia Kepada Diri Sendiri Cakupan akhlak terhadap diri sendiri adalah semua yang menyangkut persoalan yang melekat pada diri sendiri, semua aktifitas,
baik
secara
rohaniah
maupun
secara
jasadiyah
29
(Nasharuddin, 2015: 257). Adapun akhlak terhadap diri sendiri menurut Yunahar Ilyas (2007: 81) di dalam buku ―Kuliah Akhlak‖ itu meliputi: a.
Shidiq Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-khadzib). Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidq al-hadits) dan benar perbuatan (shidiq al-„amal). Antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan. Rasulullah saw memerintahkan setiap muslim untuk selalu shidiq, karena sikap shidiq membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya ke syurga. Sebaliknya beliau melarang umatnya berbohong, karena kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan berakhir di neraka. Selain itu Allah swt menyukai orang-orang
yang
menepati
janji.
Dalam
al-Qur‘an
disebutkan pujian Allah kepada Nabi Isma‘il yang menepati janjinya:
―Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma‘il (yang tersebut) di dalam Alqur‘an.
30
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi‖.(QS. Maryam 19: 54). b.
Amanah Amanah artinya dipercaya. Dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lainlain sebagainya. Tugas-tugas yang dipikulkan Allah kepada umat manusia, oleh Alqur‘an disebut sebagai amanah (amanah taklif). Allah berfirman:
―Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh‖. (QS. Al-Ahzab 33: 72) c.
Istiqamah Secara
etimologis,
istaqama-yastaqimu
istiqamah
yang berarti
berasal tegak
dari
lurus.
kata Dalam
terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan
keimanan
dan
keislaman
sekalipun
31
menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah ini dinyatakan dalam Alqur‘an dan ASsunnah. Allah berfirman:
―Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan‖. (QS. Hud 11: 112) d.
Iffah Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affaya‟iffu-„iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan berarti kesucian tubuh. Sedangkan secara terminologi, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala
hal
yang
akan
merendahkan,
merusak
dan
menjatuhkannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
...
―Apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan diri‖ (QS. al-Furqan: 72).
32
―Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk‖ (QS. al-Isra‘: 32). Dari dua ayat tersebut adalah contoh bentuk dari iffah. Seorang muslim maupun muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan dan pergaulannya. Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak pula
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
bisa
mengantarkannya kepada perzinaan. e.
Mujāhadah Mujāhadah berasal dari kata
yang
berarti mencurahkan segala kemampuan. Dalam konteks akhlak mujāhadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT. Untuk mengatasi dan melawan semua hambatan tersebut diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan sungguhsungguh itulah yang dinamakan mujāhadah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
―Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
33
benar beserta orang-orang yang berbuat baik‖. (QS. Al‗Ankabut 29: 69) f.
Syajā‘ah Syajā‟ah artinya berani, yaitu berani yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan. Keberanian di sini ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa. Tawādhu‘ artinya merendahkan hati, tidak memandang dirinya lebih dari orang lain. Orang yang tawādhu‘ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain sebagainya, semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah berfirman:
―Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan‖ (QS. an-Nahl 16: 53).
g.
Malu Malu (al-haya‟) adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Sifat malu tersebut adalah malu ketika
34
melanggar peraturan Allah yaitu kepada Allah, diri sendiri dan malu kepada orang lain. Perasaan ini dapat menjadi bimbingan kepada jalan keselamatan dan mencegah dari perbuatan nista. Allah berfirman:
―Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan‖ (QS. an-Nisā‘: 108). h.
Sabar Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologi berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. Orang-orang yang memiliki sifat sabar akan mendapatkan balasan syurga karena kesabaran mereka. Allah berfirman:
―Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan pengormatan dan ucapan selamat di dalamnya‖ (QS. al-Furqān: 75).
35
i.
Pemaaf Dalam bahasa arab, sifat pemaaf di sebut dengan al‗afwu yang secara terminologis berarti kelebihan atau berlebih. Sedangkan arti pemaaf itu sendiri adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha pemaaf. Allah berfirman:
―Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa‖ (QS. an-Nisā‘: 149). 4.
Akhlak Dalam Keluarga Seperti yang terdapat di dalam buku Pendidikan Agama Islam yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali (2008: 358), akhlak dalam keluarga, karib kerabat diantaranya adalah saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada
36
ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, dan memelihara hubungan silaturrahim yang dibina orang tua. 5.
Akhlak Terhadap Masyarakat Akhlak terhadap masyarakat menurut Mohammad Daud Ali (2008: 358) dalam bukunya Pendidikan Agama Islam antara lain: 1) memuliakan tamu. 2) menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 3) saling menolong dalam melakukan hal kebajikan dan taqwa. 4) menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri serta orang lain melakukan perbuatan jahat (munkar).
6.
Akhlak Bernegara Akhlak
bernegara
di
sini
meliputi:
bermusyawarah,
menegakkan keadilan, amar ma‘ruf nahi munkar dan juga membentuk hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin.
BAB III KANDUNGAN SURAT AL-A’RĀF Surat al-A‘rāf adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad saw berhijrah ke Mekah. Surat al-A‘rāf surat ke tujuh setelah surat al-An‘am dalam susunan Alqur‘an, yang terdiri 206 ayat, termasuk golongan surat Makiyyah, kandungan surat ini merupakan rincian dari sekian banyak persoalan yang diuraikan oleh surat al-An‘am, khususnya menyangkut kisah beberapa Nabi (Quraish Shihab, 2002: 4). yang di dalamnya terdapat berbagai macam pembahasan seperti: 1.
Kewajiban
Mengikuti
Wahyu
dan
Akibat
Menentangnya
Terdapat Pada Ayat 1-10. Pada ayat ini dijelaskan bahwa Alqur‘an adalah penyejuk hati, cahaya yang menerangi jalan siapa yang bingung, selain itu Alqur‘an juga memberi pelajaran yang baru bagi orang-orang mukmin. Keimanan yang bersemi di hati mereka, membuka mata, pikiran, dan hati mereka sehingga dapat menangkap lebih banyak lagi pesan dan pengajaran-pengajaran Illahi yang belum dijangkau oleh para pendahulu. Pada ayat 1-10 ini juga dijelaskan akan ada siksa bagi mereka yang menentangnya oleh karena itu, bersiaplah selalu menghindarinya dengan mengikuti tuntunan agama. Karena dikemudian hari nanti ada timbangan amal-amal manusia. Amal kebaikan dan kejahatan setiap orang diletakkan pada kedua sisi timbangan. Sisi yang berat itulah yang menentukan kesudahannya; bahagia atau sengsara. Pada saat itu 37
38
juga manusia mengakui kesalahannya, sekaligus mengakui keesaanNya, saat mereka melihat siksa. Ketika itu, ia mengakuinya secara terpaksa sehingga penyesalan pun tak berguna lagi. Karena itu akuilah kesalahan dan akui pula keesaan-Nya secara sukarela dan setiap saat. 2.
Penghargaan Allah SWT Kepada Nabi Adam dan Keturunannya Terdapat dalam Ayat 11-25. Pada ayat 11 Allah memerintahkan kepada para malaikat supaya sujud kepada Nabi Adam, maka merekapun sujud kecuali Iblis. Iblis selain enggan sujud adalah enggan mengakui kesalahannya dan memohon ampun. Iblis durhaka dan membangkang, bahkan bertekad untuk terus menggoda manusia. Iblis tidak seperti Nabi Adam as. yang mengaku bersalah dan memohon ampun. Selain itu pada ayat 11-25 ini juga dijelaskan bahwa, keunggulan dan kemuliaan di sisi Allah swt. Bukan ditentukan oleh unsur kejadian sesuatu, tetapi oleh kedekatan dan pengabdiannya kepada Allah swt. Karena itu, seandainya pun unsur api dinilai lebih mulia dari pada unsur tanah, keunggulan dan kemuliaan Iblis tidak serta-maerta terbukti. Selain itu isi kandungan ayat ini pada tafsir al-Lubab (Quraish Shihab, 2012: 415) Ketika berada di surga, Nabi Adam dan Hawa telah ditutup auratnya. Mereka berdua tidak dalam keadan telanjang. Ini mengisyaratkan bahwa keterbukaan aurat mengakibatkan kejahuan manusia dari surga. Pada Ayat 20 mengisyaratkan bahwa salah satu pangkal dosa utama dan terbesar, di samping keangkuhan yang diperankan oleh Iblis, juga prasangka buruk terhadap Allah yang
39
ditanamkan Iblis ke dalam hati Nabi Adam dan Hawa. Selanjutnya isi kandungan pada ayat 11-25 ini juga dijelaskan bahwa, Nabi Adam dan pasangannya tidak sekedar menutupi aurat mereka dengan selembar daun, tetapi daun diatas daun agar auratnya benar-benar tertutup dan pakaian yang dikenakan tidak menjadi pakaian mini atau transparan. Ini menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan fitrah manusia yang diaktualkan oleh Nabi Adam dan pasangannya. Dan selanjutnya isi kandungan pada ayat ini juga dijelaskan bahwa, langkah awal manusia menciptakan peradaban bermula dari usaha menutupi kekurangankekurangannnya, menghindar dari apa yang tidak disenanginya, serta berupaya memperbaiki penampilan dan keadaannya, sesuai dengan imajinasi dan khayalnya. Allah menciptakan hal tersebut dalam bentuk manusia pertama untuk kemudian diwariskan kepada anak cucunya. Allah juga menerima taubat Nabi Adam dan pasangannya lalu mereka diperintah turun ke bumi. Ini berarti keduanya tidak membawa dosa dengan demikian tidak ada juga dosa yang diwarisi oleh anak cucu manusia pertama itu. 3.
Peringatan Allah Terhadap Godaan Setan Terdapat Pada Ayat 26-30. Pada ayat 26-30 telah disediakan bagi anak cucu Adam yaitu pakaian untuk menutup aurat. Pakaian, antara lain berfungsi sebagai penutup bagian-bagian tubuh yang dinilai oleh agama dan dinilai oleh seseorang atau masyarakat, sebagian buruk bila dilihat, serta sebagai hiasan yang menambah keindahan pemakainya. Ini memberi isyarat
40
bahwa agama memberi peluang yang cukup luas untuk memperindah diri dan mengekspresikan keindahan. Di samping pakaian jasmani, ada juga pakaian ruhani yang dinamai pakaian takwa dan ini lebih penting daripada pakaian jasmani. Pada ayat 26-30 ini juga telah dijelaskan menyenangi keindahan dalam berpakaian, adalah fithrah yang dianugrahkan Allah kepada manusia, oleh karena itu keindahan tidak terlarang. Yang terlarang bila itu dilakukan dengan keangkuhan serta pengabaian hak-hak manusia. Isi pokok kandungan ayat 26-30 selain diatas, di dalam tafsir al-Lubab (Quraish Shihab, 2012: 420), juga menjelaskan bahw, Alqur‘an mengajarkan moderasi dalam segala hal serta melarang berlebihan dan berkekurangan dalam segala persoalan. Tauhid adalah pertengahan dari sikap monisme dan ateisme, keberanian adalah pertengahan antara takut dan ceroboh, kedermawanan adalah pertengahan antara boros dan kikir, berpakaian dengan menutup aurat adalah pertengahan antara telanjang dan menutup rapat seluruh tubuh. Demikian seterusnya. Seluruh persada bumi adalah masjid dalam arti tempat memahami perintah Allah. Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa, Masjid bukan hanya tempat untuk meletakkan dahi, yakni sujud dalam shalat, tetapi masjid adalah tempat melakukan aktivitas yang mengandung makna kepatuhan kepada Allah atau paling tidak tempat mendorong lahirnya aktivitas yang menghasilkan kepatuhan kepada Allah. Dan yang terakhir pada ayat ini juga mengandung makna, bahwa manusia akan menghadap Allah secara sendiri-sendiri untuk
41
mempertanggung jawabkan amalnya. Mereka dibandingkan dalam keadaan telanjang, tanpa membawa sesuatu. 4.
Adab Berpakaian, Makan, dan Minum Serta Pengutusan Para Rasul, Akibat Penerimaan dan Penolakan Kerasulan Terdapat Pada Ayat 31-53. Islam mendorong penampilan keindahan dan hiasan, termasuk dalam berpakaian yang dilarangnya adalah keangkuhan dan atau yang mengundang rangsangan birahi. Maka dari itu berlebih-lebihan dalam segala hal tidak direstui agama. Dalam kandungan ayat 31-53 selain menerangkan adab tentang berpakaian, ada juga adab tentang makan. Makan bukan saja yang halal, tetapi hendaknya yang bergizi serta proporsional, tidak berlebihan.Makanan yang dikonsumsi yakni yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang perorang. Kalau pun akan dipenuhkan, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan. Isi pokok kandungan ayat 31-53 menurut Quraish Shihab (2012: 423), ada lima pokok yang dilarang agama dan yang mutlak diindahkan guna memelihara kehidupan bermasyarakat adalah menghindari: al-Fawahisy/kekejian (zina), dosa, khususnya minuman keras dan perjudian (QS. al-Baqarah: 219), Al-Baghy (penganiayaan), Menyekutukan Allah, Mengada-akan sesuatu atas nama Allah. Selain itu ada waktu bagi kematian orang per orang, maka ada juga waktu bagi kematian/masa keruntuhan dan kehancuran umat atau masyarakat manusia.
42
Pada isi kandungan ayat 31-53 juga dijelaskan akan ada penyesalan terbesar yang dialami oleh kaum musyrik adalah saat malaikat mencabut ruh mereka dan ketika itu juga mereka mengaku bersalah, tapi pengakuannya itu tidak bermanfaat lagi. Selain itu juga dijelaskan bahwa, Malaikat pencabut ruh jumlahnya banyak, sebagaimana dipahami dari bentuk jamak kata Rusul. Pemimpin dari malaikat-malaikat itu adalah malaikat Izrail. Kemudian kandungan ayat ini selanjutnya mengenai Surga, kemuliaan, rahmat, dan kebajikan dilukiskan sebagai berada di atas langit sehingga siapa yang tertutup baginya pintu-pintu langit, maka ia tidak memperoleh surga, tidak juga kemuliaan. Ini adalah perumpamaan dan karena itu jangan pahami bahwa ruhnya tertolak dan gentayangan di bumi. Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Karena itu, kaidah hukum menyatakan: ―Bila suatu telah sempit atau sulit, maka ia menjadi lapang dan mudah. Karena di surga tidak ada dendam dan iri hati, semua telah memperoleh kedamaian dan semua telah meraih apa
yang memuaskannya
sehingga
tidak lagi
menginginkan selain apa yang telah diperolehnya. Dan yang terakhir Surga semata-mata anugerah Allah bukan karena amal-amal kebaikan manusia. 5.
Tuhan
Semesta
Alam
dan
Bukti
Kekuasaan
Allah
Membangkitkan Manusia Sesudah Mati Terdapat Pada Ayat 5458.
43
Alam raya diciptakan dalam enam hari, yakni enam periode atau masa; enam hari penciptaan itu termasuk hal gaib yang tidak dilihat dan dialami oleh seorang manusia pun: ―Aku tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan dari mereka sendiri,‖ demikian QS.al-Kahf [18]:51. Semua pendapat yang dikemukakan tentang hal tersebut tidak mempunyai satu dasar yang meyakinkan. Namun, tidak ada salahnya dibahas dan dicari oleh ilmuwan, tetapi hasil yang mereka capai tidak boleh mengatasnamakan Alqur‘an. Informasi tentang penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan qudrat/kuasa dan ilmu, serta kebijakan Allah swt. karena sesungguhnya,―apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‗Jadilah‘ maka terjadilah ia‖ tetapi hikmah dan ilmu-Nya menghendaki agar alam raya tercipta ―enam hari‖ untuk menunjukkan bahwa ketergesa-gesaaan bukanlah sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya, serta persesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan. Pada kandungan ayat ini juga menjelaskan Allah Swt. bersemayam di atas ‗Arsy mengandung makna, antara lain bahwa Dia Maha Kuasa atas alam raya serta mengetahui rincian segala sesuatu dan segala sesuatu tunduk kepada-Nya, suka atau terpaksa. Allah swt. yang menundukkan alam raya untuk dimanfaatkan manusia bukan manusia yang menundukkannya, dan dengan demikian,manusia tidak boleh merasa angkuh terhadap alam, tetapi hendaknya bersahabat dengannya sambil mensyukuri Allah swt. Dengan jalan mengikuti
44
semua tuntunan-Nya, baik yang berkaitan dengan alam raya maupun diri manusia sendiri. Karena itu, Islam tidak mengenal istilah penundukan alam, apalagi istilah tersebut memberi kesan permusuhan dan penindasan. Selanjutnya isi kandungan ayat ini mengenai doa. Doa hendaknya
dipanjatkan
secara
khusus,
ikhlas,
rendah
hati,
menampakkan kebutuhan sehingga mendesak-Nya, tapi itu dilakukan dengan suara yang tidak keras sehingga tidak pula dibuat-buat karena dapat melampaui batas. Yang berdoa, di samping harus takut kepada Allah, juga harus optimis dengan rahmat dan pengabulan doa olehNya. Atas kekuasaan Allah, sebelum hujan turun, angin beraneka ragam atau banyak, namun sedikit demi sedikit Allah swt. mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya partikel-partikel itu sehingga ia tindih menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Yang melakukan itu adalah Allah swt. Melalui hukumhukum alam yang ditetapkan-Nya. Demikian juga dia kuasa menghidupkan siapa yang telah mati dan menuntut dari mereka tanggung jawab masing-masing. Dan yang terakhir ada anugerah khusus Allah swt. Yang dia limpahkan kepada makhluk-Nya. Ini berarti ada manusia-manusia istimewa yang mendapat perlakuan khusus, yaitu mereka yang hatinya bersih, berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui kewajiban agama dan Sunnah-sunnahnya. Mereka mendapat perlakuan khusus sehingga menghasilkan hal-hal khusus, istimewa, dan bermanfaat.
45
6.
Kisah Beberapa Rasul, Kisah Nabi Nuh as dan Kisah Nabi Hud as Terdapat Pada Ayat 59-72. Pada pembahasan ayat ini tokoh dan pemimpin suatu masyarakat seringkali berupaya mempertahankan kemapanan dan enggan menerima perubahan. Karena
mereka khawatir kehilangan
pengaruh dan kedudukannya. Kemudia dalam pembahasan ini semua Rasul selalu mengajak kaumnya beriman dan menyembah Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa. Mereka semua bertugas membimbing dan menasehati masyarakatnya. Siapa yang sesuku atau sebangsa dengan Anda, walau tidak seiman, maka dia adalah saudara anda. Sebagaimana Allah swt. menamai Nabi Hud as. sebagai saudara kaum ‗Ad, padahal kaumnya tidak beriman. Ini merupakan salah satu dasar yang membuktikan bahwa Alqur‘an memperkenalkan persaudaraan sekaum atau sesuku dan sebangsa. Sesuatu yang diberi nama mestinya mempunyai hakikat sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya. Jangan menamai seorang yang bejat dengan ―Budiman‖ karena nama yang disandangnya tidak sesuai dengan sifatnya. Kaum musyrik memberi nama “Tuhan” untuk berhala-berhala yang mereka sembah. Tetapi sifat ketuhanan sungguh jauh dari berhala-berhala itu. Dengan demikian, hal tersebut hanya penamaan tanpa sedikit substansi pun. Pada ayat 59-72 juga berisikan tentang setiap kalimat atau syariat atau adat istiadat atau ide yang tidak diturunkan Allah, maka ia bernilai rendah, pengaruhnya kecil dan segera lenyap. Fithrah manusia akan menghadapinya dengan peremehan. Adapun bila kalimat itu
46
bersumber dari Allah swt.,maka nilainya tinggi, lagi mantap menembus ke lubuk jiwa yang terdalam disebabkan karena ada sulthan, yakin kekuatan yang diletakan pada kalimat itu. Alangkah banyak slogan-slogan menarik, isme dan aliran serta ide-ide palsu yang didukung oleh upaya pemantapan dan kemasan yang indah, tetapi ia segera luluh lenyap di hadapan kalimat Allah yang mengandung suthan itu. 7.
Kisah Nabi Shaleh as dan Kisah Nabi Luth as Terdapat Pada Ayat 73-84. Pada ayat 73-84 ini beri mengenai kesabaran dan kegigihan harus menyertai setiap Nabi dan penganjur kebajikan. Para Nabi dianugerahi bukti kebenaran yang dihadapkan kepada yang menolak kenabiannya. Bukti tersebut adalah hal luar biasa yang melebihi apa yang menjadi unggulan masyarakatnya. Selanjutnya siapa yang menyetujui suatu keburukan, meskipun dia tidak terlibat langsung di dalamnya, maka ia dapat dinilai ikut melakukannya dan terancam dampak buruknya. Ini terbukti bahwa yang memotong unta tersebut hanya beberapa orang, tetapi oleh ayat 78 dinyatakan bahwa mereka semua memotongnya. Dan mereka semua terkena sanksinya. Pemimpin satu masyarakat akan bersedih melihat sanksi, walau itu di jatuhkan kepada masyarakatnya yang durhaka. Pada ayat ini menjelaskan mengenai Pemimpin, bahkan setiap orang, hendaknya mengingatkan dan menarik pelajaran dari peristiwa dan pengalaman yang dialami.
47
Ayat yang berbicara tentang Nabi Luth as. tidak menyebut siap masyarakat yang beliau hadapi, tidak juga tempat mereka, berbeda dengan ayat-ayat yang lalu. Ini merupakan pengajaran kepada umat Islam agar dalam hal-hal tertentu hendaknya merahasiakan nama pelaku kejahatan bila penyebutan nama tidak diperlukan, apalagi jika kejahatan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat buruk atau dapat merangsang orang lain melakukannya. Selain itu mengenai tentang homoseksual. Homoseksual adalah pelanggaran terhadap fithrah/bawaan manusia, serupa dari segi pelanggarannya dengan menyekutukan Allah swt. perbuatan keji itu mengakibatkan dampak yang sangat buruk , bukan saja terhadap pelaku, tetapi juga bagi masyarakat. Dan yang terakhir, apabila melakukan pelanggaran sekalipun itu keluarga Nabi – termasuk istrinya – bila durhaka akan dikenai dampak buruk kedurhakaannya, lebih – lebih bila tidak bertaubat. 8.
Kisah Nabi Syu’aib as yang Terdapat Pada Ayat 85-102. Pada ayat 85-102 ini dijelaskan bahwa, Seseorang mendapat ganjaran bila mereka melakukan aktivitasnya atas keimanan dan ini menjadikan hal tersebut baik baginya, berbeda dengan orang kafir yang tidak memperoleh sedikit ganjaran pun di akhirat kelak. Dampak penyempurnaan
takaran
atau
timbangan
adalah
rasa
aman,
ketentraman, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya tercapai melalui keharmonisan hubungan antar anggota masyarakat, yang antara lain karena masing-masing memberi apa yang berlebih
48
dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman menyangkut alat ukur, baik takaran maupun timbangan. Setiap pertambahan anggota satu perhimpunan, bertambah pula kekuatannya serta semakin kukuh pula mereka dalam pemikiran, kehendak, dan usahanya, karena itu pertambahan tersebut harus disyukuri. Pertambahan ini pada gilirannya menjadikan mereka merasakan kebutuhan yang lebih banyak dan rinci, yang selanjutnya mengantar mereka menciptakan aneka cara untuk mengatasi kendala yang mereka hadapi. Karena itu, hubungan harmonis antara seluruh anggota masyarakat
harus selalu dipelihara, antara lain dalam
menimbang dan menakar. Orang –orang yang durhaka pada akhirnya akan binasa, betapa pun besar kekuasaan mereka dan kendati mereka meninggalkan nama, tetapi nama yang buruk sehingga mereka dikenang dalam keburukan dan kebejatan. Selain itu perbedaan kepercayaan dan keyakinan tidak mudah, kalau enggan berkata mustahil, diselesaikan antara kelompok yang berbeda. Jalan keluar yang paling tepat adalah tidak mempersoalkannya dan menyerahkan putusan dan penyelesaiannya kepada Allah swt, baik hal itu dilakukanNya di dunia maupun di akhirat. Pada pembahasan ayat ini pengecualian yang diucapkan Nabi Syu‘aib as. seperti terbaca di atas menunjukkan bahwa manusia, bagaimana pun keadaannya, tidak dapat menjamin walaupun dirinya sendiri, termasuk dalam hal iman. Ia dapat tergelincir dan terbawa arus
49
kebejatan tanpa sadar. Karena itu, salah satu doa yang diajarkan adalah: ― Tuhan kami ! janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,dan anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (anugerah)‖(QS.Ali-‗Imran[3]:8). Dan selanjutnya lima kisah nabinabi – Nuh, Hud, Shaleh, Luth, dan Syu‘aib as. – berulang dikemukakan oleh Alqur‘an dalam berbagai surah dengan susunan seperti di atas. Ini berbeda dengan kisah Nabi Ibrahim as. Hal itu karena kelima nabi yang disebut kisahnya di sini, semuanya melihat dengan
mata
kepala
mereka,
kehancuran
kaumnya
yang
membangkang. Berbeda dengan Nabi Ibrahim as. yang terpaksa meninggalkan kaumnya dan tidak melihat mereka disiksa. Yang dialami Nabi Ibrahim as. merupakan satu penghormatan tersendiri, serupa dengan penghormatan yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang secara tegas dinyatakan bahwa : ―Allah sekalikali tidak akan menyiksa mereka selama engkau berada di tengah mereka‖ ( QS. Al-anfal[8]: 33). Pada ayat 85-102 juga menceritakan kedurhakaan manusia pada masa nabi-nabi yang lalu – dan boleh jadi hingga kini – adalah gempa, gunung meletus, banjir besar, dan bencana alam lainnya. Walaupun harus dicatat bahwa hal-hal tersebut tidak selalu merupakan akibat kedurhakaan, tetapi itu dilakukan Allah swt. dalam rangka menjaga keseimbangan alam raya. Selanjutnya pada ayat ini berisikan tentang salah satu cara pengobatan penyakit-penyakit jiwa yang
50
ditempuh Tuhan Yang Maha Esa untuk menyadarkan manusia adalah menimpakan kesulitan dan bencana agar mereka kembali – ke jalan yang benar ( Baca juga Qs. ar – Rum [30]: 41). Mamun paara pendurhaka sering kali mengabaikan sekian banyak sebab dan memilih satu sebab saja, dan itu pun sebab yang sangat rapuh. Misalnya, melupakan kesalahan yang dilakukan saat jatuhnya bencana dengan menyatakan bahwa itu adalah takdir yang tidak dapat diletakan, atau menafsirkan semua bencana semata-mata sebagai gejala alam dan melupakan peranan Allah swt. yang Maha hidup dan yang terus – menerus memelihara dan mendidik manusia, antara lain dengan menjatuhkan sanksi dan bencana agar mereka memperbaiki diri. Peringatan-peringatan Allah selain didalam Alqur‘an juga terdapat dalam sunnah-sunnah Allah , dalam menghadapi kaum pembangkang; Pertama, mereka diberi peringatan melalui aneka ujian dan bencana dengan harapan mereka sadar dan memperbaiki diri. Jika ini tidak mereka lakukan, maka mereka akan dibiarkan bergelimang dalam dosa yang mengakibatkan hati mereka tertutup sehingga mereka semakin tidak sadarkan diri. Selanjutnya, mereka akan mendapatkan lebih banyak lagi aneka kesenangan lahiriah, yang pada hakikatnya hanyalah merupakan salah satu bentuk mukar Allah swt. ketika itu, tidak ada aktivitas. 9.
Kisah Nabi Musa as Terdapat dalam Ayat 103-171. Kandungan pada ayat 103- 171 mengenai kisah Nabi Musa bahwa, para pemuka rezim Fir‘aun menyadari bahwa bukti-bukti yang
51
dipaparkan
Nabi
Musa
as.
adalah
bukti-bukti
yang
sangat
menyakinkan sehingga beliau harus dihadapi dengan siasat dan kehatihatian. Saran mereka untuk menghimpun para penyihir dari seluruh daerah kekuasaan Fir‘aun juga menunjukkan betapa kekhawatirannya mereka terhadap Nabi Musa as. dan bukti-bukti yang beliau paparkan. Ini dapat menjadi pelajaran agar bersabar dan berhati-hati dalam menghadapi setiap situasi yang sulit. Ucapan para penyihir yang meminta upah menunjukkan betapa mereka sangat butuh kepada materi, walau mereka seringkali mengelabuhi banyak orang tentang kemampuan
penyihir
melakukan
sekian
banyak
hal,
bahkan
mengesankan bahwa mereka dapat membantu orang lain mendapatkan rezeki. Demikian itulah keadaan setiap penyihir sehingga sering kali mereka mati dalam keadaan miskin dan dalam bentuk yang mengerikan. Selanjutnya isi kandungan ayat ini yang dapat dipetik adalah memberikan kesempatan kepada orang lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir al-Lubab (Quraish Shihab, 2012: 458), pada ayat 103-171, juga dipaparkan untuk mempersilakan para penyihir tampil terlebih dahulu bukan saja menunjukkan etika Nabi Musa as., yang memahami kehendak mereka untuk tampil terlebih dahulu, tapi juga menunjukkan kepercayaan diri beliau yang amat tinggi, karena biasanya yang tampil lebih dahulu lebih mampu. Sebelumnya membahas tentang penyihir, maka kata sihir terambil dari kata Arab sahar, yaitu akhir waktu malam dan awal terbitnya fajar. Saat itu
52
bercampur antara gelap dan terang, sehingga segala sesuatu menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah sihir. Terbayang oleh seseorang sesuatu, padahal sesungguhnya ia tidak demikian. Matanya melihat sesuatu, tetapi kenyataannya tidak demikian. Sihir ada wujudnya, tetapi ia ada dan dapat berpengaruh atas izin Allah swt., demikian juga sebaliknya. ―Para penyihir tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah‖. (Qs.al-Baqarah [2]: 102). Karena itu, untuk menangkalnya diperlukan bantuan Allah swt. pula dan dalam konteks ini, doa yang tulus merupakan salah satu senjata yang amat ampuh. Salah satu yang diajarkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. adalah Surah al-Falaq [113]. Kebatilan tidak jarang mengelabui mata manusia oleh keindahan kemasannya atau menakutkan mereka oleh ancamannya, tetapi itu hanya sementara, karena begitu ia dihadapkan dengan kebenaran, maka kebaktilan tersebut sirna oleh kemantapan kebenaran itu. Orang-orang beriman selalu meohon bantuan Allah swt. menghadapi segala tantangan dan kesulitan, kekuatan iman mereka mengalahkan penderitaan,bahkan ancaman kematian sekalipun. Disini juga dijelaskan bahwa Fir‘aun mangaku dirinya sebagai Tuhan, juga mempercayai adanya tuhan-tuhan yang lain. Kata tuhan yang dimaksud oleh firaun dan pemuka-pemuka masyarakatnya, bahkan oleh para penyembah berhala, bukan dalam arti Pencipta langit dan bumi, tetapi siapa yang menangani, mengurus, dan mememuhi
53
kebutuhan masyarakatnya. Fir‘aun sendiri dianggap dan menganggap dirinya sebagai tetesan dari Tuhan atau anak tuhan, tetapi itu tidak menjadikan ia mengaku sebagai Pencipta langit dan bumi atau Tuhan semesta alam. Sesungguhnya kekuasaan adalah milik Allah swt. Dia yang menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki,taat atau durhaka. Dia juga yang mencabutnya dari siapa yang dia kehendaki. Semua berdasar hikmah kebijaksanaan-Nya, namun pada akhirnya yang diberinya adalah mereka yang dapat mengelola bumi sesuai dengan tuntunan yang dikedendaki-Nya. Selanjutnya pembahasan pada ayat ini mengenai ketakwaan, bukan saja kelak di Hari Kemudian, tetapi juga di dunia ini, karena setiap orang yang menelusuri jalan lurus akan merasakan ketenangan hidup, bahkan akan mencapai kebahagiaan dan kepuasan batin yang lahir dari keyakinan tentang kebenaran sikapnya. Itu sebabnya Anda dapat menemukan orang-orang yang tersiksa lahirnya, namun keadaan itu diterimakanya tanpa keluhan karena siksaan lahir yang dideritanya menghasilkan kenikmatan ruhani yang tidak ada taranya. Wewenang dan kekuasaan terhadap sesuatu, besar atau kecil, adalah salah satu bentuk ujian Allah swt. kepada manusia.
Maka dari itu, jangan
melempar kesalahan/keburukan kepada pihak lain, baik manusia maupun situasi, dengan berkata hari atau orang sial. Tetapi, carilah terlebih dahulu penyebabnya pada diri sendiri. Dalam penjabaran ayat ini juga mengenai bencana alam merupakan siksa Allah swt. atas kedurhakaan manusia, baik karena
54
pelanggaran hukum-hukum syariah maupun hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya. Barang siapa yang mengingkari janji, baik terhadap Allah swt., manusia atau diri sendiri, adalah sikap buruk yang tidak dapat disandang oleh orang-orang beriman. Adapun janji baik Allah swt. akan terlaksana, cepat atau lambat. Adapun ancaman-Nya, bisa jadi dibatalkan oleh-Nya berkat kemurahan-Nya. Kehancuran yang dialami oleh Firauan dan apa yang dibangunnya itu boleh jadi akibat gempa yang melanda Mesir atau kekalahan akibat serangan musuh , bangunan – bangunan tinggi yang mereka tinggalkan akhirnya tertimbun setelah berlalu waktu lama. kini, dari ke hari ditemukan sekian banyak peninggalan lama yang tertimbun dalam tanah. Banyak di antara orang-orang Yahudi yang tidak dapat mencerna hal-hal yang bersifat spiritual sehingga terpaku pada hal-hal material, antara lain meminta melihat Tuhan atau seperti ayat di atas meminta dibuatkan tuhan. Permintaan kaum Nabi Musa as. untuk dibuatkan berhala – sebagai Tuhan – menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya terbebaskan dari kepercayaan yang meluas di mesir tentang politeisme, yaitu penyembahan berhala dan lain-lain. Ujian bukan hanya terbatas dalam bentuk hal-hal yang merugikan atau yang dinilai negatif oleh seseorang, tetapi dapat juga berupa nikmat. Kalau yang pertama menuntut kesabaran, karena petaka sering kali berpotensi mengantar seseorang mengingat Allah swt., sebaliknya nikmat berpotensi mengantar manusia lupa diri dan lupa Tuhan. Sebagai seorang muslim kita harus menyakini keberadaan Allah dan
55
menjalankan syari‘atnya pada siang dan malam. Penyebutan kata malam, bukan hari atau siang, mengisyaratkan bahwa malam adalah waktu yang paling baik untuk bermunajat menghadapkan diri kepada Allah swt., karena keheningan dan kegelapan malam membantu melahirkan ketenangan pikiran dan kehusyukan. Selain permintaan kaum Nabi Musa untuk dibuatkan Tuhan, maka ada juga larangan mengikuti para perusak berarti larangan berpartisipasi
atau
bahkan
mendukung
kegiatan
siapa
yang
kebanyakan aktivitasnya merupakan perusakan,walaupun boleh jadi sekali-kali ada aktivitasnya yang bermanfaat. Pesan ini mengandung tiga tingkat larangan: a. larangan melakukan satu pekerjaan , b. larangan melakukan amal perusak, walaupun bukan pekerjaan yang biasa dilakukannya, dan c. larangan mendekati dan bergaul dengan para perusak. Larangan b dan c merupakan salah satu bentuk kehatihatian, karena pergaulan atau melakukan aktivitas yang serupa dengan kegiatan perusak dapat mengantar secara tidak sadar kepada kelakuankelakuan buruknya. Manusia, betapa pun agungnya, tidak dapat melihat Tuhan dengan pandangan mata kepala, karena mata manusia tidak dianugerahi potensi untuk maksud tersebut. Allah swt. bukanlah jasmani, dia tidak disentuh oleh waktu dan tempat, tidak ada juga yang serupa dengan-Nya, kendati dalam khayal ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah swt.,tidak dapat tergambar dalam benak bahwa ada sesuatu yang mengenal-Nya, kecuali diri-Nya sendiri. Allah
56
swt. ―berbicara‖ dalam arti menyampaikan informasi kepada manusia hanya dengan tiga cara, yaitu (a) dari balik tabir. (b) wahyu, yang antara lain dalam bentuk mimpi, (c) mengutus malaikat untuk menyampaikan pesan-Nya. Cara-cara itu pun tidak terjangkau hakikatnya oleh nalar manusia. Yang pasti, Allah swt. ―berbicara‖ bukan dengan menggunakan alat atau membutuhkan waktu dan tempat. Selain isi kandungan diatas pada pembahasan ini juga mengenai untuk melaksanakan semua tuntunan kitab suci/agama – tanpa kecuali – tidak dapat dilakukan oleh orang. Namun demikian, paling sedikit yang harus dilakukan adalah melaksanakan yang wajib dan menghindari yang haram. Bisa saja orang-orang yang tidak beriman melihat nalar ayat-ayat Allah swt., namun mereka tetap tidak dapat memfungsikan dan memanfaatkannya sebagai bukti keesaan dan kekuasaan Allah swt. ini karena – boleh jadi – mereka memandangnya sebagai sihir, atau semata-mata
sebagai fenomena alam tanpa
mengaitkannya sedikit pun dengan swt. dan salah satu hambatan utama perolehan ilmu terdapat pada diri manusia yang malu atau angkuh untuk bertanya, atau enggan menerima pandangan orang lain dan meremehkan karena merasa pendapatnya
pasti dan selalu benar.
Karena itu jangan engan bertanya dan tampakkanlah selalu rasa rendah hati kepada siapa pun. Kendati terhadap siapa ―yang di bawah‖ karena bisa jadi ada yang diketahuinya melebihi pengetahuan Anda.
57
Pada ayat 148 menyatakan bahwa yang membuat patung lembu itu adalah ―mereka‖ dalam arti banyak orang. Sedangkan dalam QS. Thaha [20]: 87 – 88 menyebutkan bahwa yang membuatnya adalah seorang di antara mereka yang bernama Samiry. Ini karena yang berperan utama adalah samiry, sedang yang lain pada hakikatnya terlibat dalam pembuatannya, paling tidak dalam bentuk restu dan partisipasi memberi perhiasan yang mereka punyai. Ini berarti partisipasi sekecil apa pun merupakan bagian dari pelaku. Dan ayat 150 jika ditinjau dari runtutan kisah, ―seharusnya-nya berada sebelum ayat 149 di atas, karena penyesalan kaum Nabi Musa as. itu lahir setelah beliau kembali marah dan menunjukkan kesesatan itu, sebagai pengajaran kepada semua pihak agar bersegera bertaubat dan tidak tergesa-gesa beralih dari satu hal ke hal lain, kecuali setelah jelas dampak-dampaknya. Dalam ayat ini juga memaparkan penyebutan kata ―anak ibuku‖ oleh Nabi harun as. adalah supaya beliau mengingatkan Nabi Musa as. tentang hubungan rahim dan kasih sayang yang mereka rasakan bersama dari ibu mereka, juga disebabkan karena ayah Nabi Musa dan harun as. tidak disebut dalam Alqur‘an, bahkan peranannya tidak disinggung, yang disebutkan justru peranan ibu Nabi Musa as., apalagi persaudaraan antara sesama ibu (sekandung) seringkali kali lebih kuat daripada persaudaraan sesama ayah saja, walau tentunya persaudaraan seibu sebapak akan sangat kuat bila disertai dengan persamaan ide, cita-cita, dan perjuangan yang diikat oleh upaya meraih keridhaan Allah swt.
58
Pemaparan dalam ayat 103-171 bahwa,
Allah swt. selalu
membuka pintu taubat kepada siapapun dan dalam kaitan dosa apa pun serta sebesar apa pun selama yang bersangkutan bertaubat sebelum ruhnya mencapai kerongkongannya. Selain itu ada tata cara berdoa. Doa hendaknya dimulai dengan memuji Allah swt. atas nikmat yang selama ini telah dilimpahkan-Nya dan disampaikan dengan kesadaran tentang perlunya bertaubat dan dengan tekad mengikuti jalan-Nya. Itu dipanjatkan dengan tulus dan mendesak serta tidak hanya bermohon untuk kebahagiaan duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan itu turunnya rahmat disebabkan oleh ketuhanan Allah swt. Yang Mahakasih, karena semua memperoleh kasih-Nya – walau dalam kadar yang berbeda-beda – sedang siksa-Nya bukan disebabkan oleh ketuhanan-Nya, tetapi semata-mata karena kesalahan yang disiksa. Itu sebabnya ayat 156 menggarisbawahi kehendak-Nya ketika berbicara tentang siksaan dan tidak menyebut kehendak-Nya ketika menguraikan rahmat-Nya. Rahmat Allah swt. yang khusus, antara lain dilimpahkan-Nya kepada yang berzakat dan bersedekah , dalam arti kepada mereka yang merahmati makhluk-Nya karena yang tidak merahmati, tidak akan dirahmati. Pada pemaparan ini juga menyinggung salah satu bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. adalah ketidakpandaian beliau membaca dan menulis ( baca QS. Al-‗Ankabut [29]: 48). Kalau belum pandai, pasti akan ada yang berkata bahwa ayat-ayat Alqur‘an yang Beliau sampaikan, yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan itu
59
serta mengungkap banyak hal yang tidak dikenal manusia pada masanya, adalah hasil bacaan Beliau. Syariat Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw. sedemikian meringankan manusia sehingga keadaan darurat atau kebutuhan mendesak yang dialami seorang dapat mengalihkan keharaman sesuatu menjadi halal, seperti memakan babi bagi yang terancam hidupnya, atau tergantinya satu kewajiban dengan kewajiban lain, seperti mengganti puasa dengan memberi makan fakir miskin. Nabi Muhammad saw. telah menyampaikan kedudukan Beliau sebagai rasul sejak berada di Mekkah, karena ayat ini turun di sana. Dengan demikian,terbukti
kekeliruan sebagian orientalis yang
menduga bahwa Nabi Muhammad saw. pada mulanya hanya ingin menjadi rasul di kalangan masyarakat Mekkah, kemudian sedikit demi sedikit , sejalan dengan keberhasilan yang dicapainya, memperluas ―ambisinya‖ sehingga mencakup seluruh manusia. Pada ayat ini ada konsekuensi dari perintah beriman kepada Nabi Muhammad saw. adalah mengikuti Beliau agar yang mengikuti memperoleh petunjuk. Dengan demikian, tiada petunjuk yang dapat diperoleh, kecuali dengan mengikuti Beliau. Islam bukan sekedar akidah bersemi di dalam hati, bukan juga sekedar syiar-syiar agama atau ibadah ritual. Tetapi ia adalah ikutan secara sempurna kepada Rasulullah saw. menyebut apa yang Beliau sampaikan dan ajarkan. Sertakanlah doa dengan upaya sesuai kemampuan Anda! Doa Nabi Musa as. itu diperkenankan Allah swt.,tetapi bukan serta merta tanpa perintah berusaha. Air yang dimohonkannya memancar setelah usaha,
60
walau hanya simbolis, yaitu memukulkan tongkat pada batu. Semua itu Mukjizat yang diberikan Nabi Musa. Dalam berbagai kisah diatas Allah memberi nasihat dan peringatan bagi siapa yang menyimpang atau lalai adalah kewajiban setiap yang mampu dan akan dituntut pertanggungjawabannya di Hari Kemudian. Jika telah bangkit sekelompok orang yang melaksanakan amar ma‘ruf dan nahi munkar, maka jatuhnya siksa yang menyeluruh dapat dihindari, berbeda jika semua mengabaikan kewajiban. Pada tahap awal kedurhakaan, pendurhaka masih merasakan teguran, kecaman batin, tepati jika pelanggaran berulang tanpa taubat, maka kedurhakaan akan semakin mantap dan bertambah lemah pula teguran dan kecaman, sampai akhirnya peringatan tidak lagi berbekas dan lahir pelecehan ajaran agama. Ketika itu manusia dinilai telah amat jauh melampaui
batas
–
batas
Illahi
sehingga
tidak
ada
yang
dihadapkannya. Dengan kesungguhan berpegang teguh pada kitab suci merupakan perbaikan di pentas bumi ini dan dalam lingkup masyarakat manusia. Karena kita suci mengandung tuntunan tentang tata cara memelihara fithrah sesuai dengan kesiapan dan potensi masing-masing. Memberikan peringatan keras / ancaman demi kebaikan merupakan salah satu cara Allah mendidik manusia, karena memang ada orang yang tidak mempan baginya nasihat dan janji-janji yang menyenangkan.
61
10.
Ketauhidan Sesuai Dengan Fitroh Manusia, Perumpamaan Orang-orang yang Mendustakan Ayat-ayat Allah dan Sifat-sifat Penghuni Neraka Terdapat Pada Ayat 172-179. Kandungan pada ayat 172-179 yang dapat dipetik bahwa, Allah swt. mempersaksikan setiap manusia yang berakal tentang keesaan-Nya ditoleransi,
serta
mengutus
kecuali
kalau
para
Nabi.
ketidaktahuan
Maka itu
kesalahannya
disebabkan
oleh
keengganan yang bersangkutan untuk tahu. Tradisi leluhur harus diteliti kesesuaiannya dengan akal dan tuntunan agama sebelum diamalkan. Pengakuan tentang keesaan Allah swt. melekat pada diri manusia. Ia adalah fitrah . karena itu pengingkaran yang terjadi dari diri siapapun bersifat sementara, paling lama sampai sesaat sebelum ruhnya berpisah dengan jasadnya, saat itu ia akan mengakui keesaan dan kuasa Allah. Siapa yang telah mengetahui kebenaran , tapi enggan menerima
dan
mengamalkan,
maka
ia
mereduksi
sifat-sifat
kemanusiaan, bahkan menanggalkannya. Selanjutnya
mengenai
perumpamaan
semisal
anjing
menjulurkan lidahnya tidak hanya ketika ia letih atau kehausan, tetapi sepanjang
hidupnya.
Itu
serupa
dengan
yang
memperoleh
pengetahuan, tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsu. Seharusnya pengetahuan tersebut membentengi dirinya dari perbuatan buruk, tetapi ternyata baik ia butuh maupun tidak, baik ia telah memiliki hiasan duniawi maupun belum, ia terus – menerus mengejar dan berusaha
62
mendapatkan dan menambahnya, seperti keadaan anjing yang selalu menjulurkan lidahnya, baik membutuhkan air maupun tidak. Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang mengawang-awang di angkasa dan sekadar ucapan lidah. Ia bukan sekadar teori, tetapi harus membuahkan hasil dalam bentuk sikap dan timdakan terpuji , sejalan dengan pengetahuan itu. Allah swt, menganugerahi kemampuan melaksanakan hidayah-Nya kepada siapa yang berkeinginan dan berjuang untuk meraihnya melalui pemanfaatan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah swt.,adapun yang enggan, maka Allah swt. membiarkannya sebagai mana keinginannya. 11.
Orang-orang yang Mendustakan Ayat-ayat-Nya Dengan Cara Istidraj dan Allah –lah yang Mengetahui Waktu Datangnya Hari Kiamat Terkandung dalam Ayat 180-188. Dalam kandungan ayat 180-188 salah satunya adalah orang yang mendustakan ayat dengan cara istidraj. Yang dimaksud istidraj yaitu orang yang berkelimang dalam kesesatan , hingga orang itu tidak sadar bahwa
dia
didekatkan secara berangsur-angsur kepada
kebinasaan. Maka dari itu manfaat yang dapat kita petik dalam ayat ini, yakni memahami sifat-sifat yang ada pada Allah. Allah swt. memiliki sifat dan nama terbaik sehingga walaupun ada sifat makhluk yang serupa dengan nama sifat-Nya, misal pengasih, pemaaf. dan lainlain, tetapi sifat Allah swt. adalah yang terbaik karena substansi kapasitasnya sangat amat berbeda dari sifat – sifat yang di sandang makhluk.
63
Selanjutnya yang dapat kita petik dalam ayat ini bagaimana cara untuk berdoa. Berdoa hendaknya dengan menggunakan nama – nama Allah swt. yang diajarkan oleh Alqur‘an atau as-Sunnah. Seseorang hendaknya menyesuaikan kandungan permohonan dengan sifat yang disandang Allah. Bila memohon rezeki, serulah Allah swt. dengan sifat Razzak (Maha Pemberi Rezeki); jika diampuni,maka tonjolkan sifat Ghafur ( Maha Pengampun), demikian seterusnya. Di setiap saat sampai hari kemudian, pasti ada saja sekelompok orang, sedikit atau banyak , yang menganjurkan kebenaran, melaksananakan keadilan, dan memperjuangkannya. Mereka tidak tinggal diam berpangku tangan menghadapi penganiayaan.Penempatan ayat yang berbicara tentang adanya kelompok yang mengajak kepada kebaikan dan menegakan keadilan, sesudah perintah menyeruh Allah swt. dengan nama sifat-sifat-Nya yang indah, menginsyaratkan bahwa siapa yang demikian itu keadaannya, dia pada hakikatnya menyandang sifatsifat terpuji serta berakhlak dengan sifat-sifat Allah swt. sesuai kemampuan sebagai makhluk. Dan yang terakhir dalam kandungan ayat ini kita harus menyadari bahwa kesuasaan Allah tidak dapat dijangkau oleh manusia. Maka jangan pernah menduga yang bergelimang dosa dan kenikmatan dicintai Allah swt., kenikmatan yang diperolehnya adalah pangkal bencana buat mereka. Sebagaimana ada ajal bagi orang per orang, ada juga ajak masyarakat yang menjadikan sistemnya runtuh. Ini berarti di samping hukum-hukum alam yang tidak berubah, ada juga hukum-
64
hukum kemasyarakatannya yang mengatur bangunan runtuhnya satu masyarakat. Memperhatikan fenomena alam dan mempelajarinya dengan saksama dapat mengantar kepada kesadaran tentang wujud dan keesaan Allah serta swt. ilmu dan kuasa-Nya. Setiap orang hendaknya selalu sadar dan waspada karena petaka dapat terjadi kapan dan di mana saja. Apa yang di sampaikan Alqur‘an adalah informasi pasti akurat, tidak ada yang melebihi ketepatan dan kebenarannya. Kedatangan kiamat dan kematian dirahasiakan Allah swt., antara lain agar setiap orang dan setiap saat selalu siap dengan dengan kebajikan serta
menjauhi
dari
kedurhakaan. Di
sisi
lain, siapa yang
menyampaikan informasi tentang waktu kedatangan kiamat, maka dia berbohong atau gila. Nabi Muhammad saw. tidak mengetahui yang gaib. Baik yang bersifat umum maupun khusus, menyangkut diri pribadi Beliau maupun pihak lain, kecuali perkara gaib yang disampaikan Allah swt. kepada beliau. 12.
Pengingatan Manusia Kepada Asal Usul Kejadiannya dan Berhala Tidak Patut Disembah Terdapat Pada Ayat 189-198. Awal dari tujuan umum perkawinan adalah meraih ketenangan hidup bagi suami istri. Karena itu, semakin banyak gejolak yang dialami satu pasangan, semakin jauh pula perkawinan mereka dari tujuannya. Semua ibu bapak mendambakan agar anaknya lahir sempurna dan mereka dituntut untuk mensyukuri kelahirannya dengan mengembangkan potensi – potensi yang dimiliki sang anak agar ia
65
dapat mengenal Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa, dan berguna untuk masyarakatnya. Dan kandungan yang terakhir mengenai Berhala-berhala yang disembah kaum musyrik adalah makhluk-makhluk yang sedikit pun tidak berdaya. Bahkan tidak memiliki nilai estetika. Ini menunjukkan betapa bodoh dan picik para penyembah berhala, apa pun alasan dan dalih mereka. Rasul saw. sangat yakin dan percaya kepada perlindungan Allah swt. dan tidak khawatir sedikit pun menghadapi kaum musyrik. Ini terbukti dari tantangan yang Beliau sampaikan, atas perintah Allah swt., kepada kaum musyrik bersama sembahan mereka untuk melakukan makar atas Beliau. Tantangan itu Beliau sampaikan ketika masih berada di Mekkah saat kaum Muslim tertindas. 13.
Dasar-dasar Akhlakul Karimah Terdapat pada Ayat 199-202, Adab Mendengar Pembacaan Alqur’an dan Berzikir Terdapat Pada Ayat 203-206. Dalam kandungan ayat 199-202 merupakan dasar akhlakul karimah sebagai mana dijelaskan, jadilah pemaaf, terimalah dengan tulus apa yang mudah mereka lakukan agar tidak memberatkan mereka. Yang menganugerahi setan mempunyai kemampuan merayu adalah Allah, karena itu ingatlah kepada Allah dan mohon perlindungan kepada Allah supaya terhindar dari rayun setan. Setan selalu berkeliling mengitari manusia bertakwa. Orang-orang yang bertakwa apabila di kitari oleh setan segera ingat kepada Allah.
66
Dan yang terakhir isi kandungan surat al-A‘rāf ayat 203-206 ini mengenai adab dan tata cara berdzikir. Pada kandungan ayat ini dapat dipetik dari ajaran-ajaran Nabi. Nabi Muhammad tidak mempunyai sedikit keterlibatan pun dalam hal Alqur‘an, kecuali menyampaikan dan menjelaskan maknanya dengan lisan dan perbuatannya. Alqur‘an di samping bukti yang paling jelas tentang kebenaran Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, juga sebagai petunjuk kebahagiaan umat manusia dunia dan akhirat. Berzikir hendaknya tidak menimbulkan gangguan kepada pihak yang lain, misalnya dengan mengeraskan suara.
BAB IV DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202 A.
Asbabun Nuzul Surat al-A’rāf ayat 199-202
―Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah, Dia Maha Mendengan dan Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitansyaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).‖(Qs. Al-a‘rāf, 07: 199-202). a.
Asbabun Nuzul QS. al-A‘rāf ayat 199.
―Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh‖. Dalam suatu riwayat, uyainah mengatakan bahwa pada suatu waktu, orang-orang musyrikin Mekah telah menyakiti hati Rasulullah 67
68
selama sepuluh tahun. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau hendak membalas dendam terhadap mereka dengan mengadakan acara penyerbuan ke Makkah. Maka maka turunlah ayat itu. (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim). b.
Asbabun Nuzul QS. al-A‘rāf ayat 200-202
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya, Dan temanteman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)‖. Di dalam asbabun nuzul Mahadi (1989: 119), dalam surat riwayat, Abdirrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ketika QS. 7:199 diturunkan, Rasulullah bertanya, ―Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat menahan emosi?‖ Atas pertanyaan itu, Allah lalu menurunkan ketiga ayat ini sebagai ketegasan tentang cara berlindung dari setan dan usaha untuk menahan emosi. (HR. Ibn Abi Hatim).
69
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (alA'rāf: 199) Yakni ambillah dari lebihan harta mereka sejumlah yang layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari harta mereka. Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat As-Saddi. Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf. 199) Makna yang dimaksud ialah 'infakkanlah lebihan dari hartamu'. Menurut Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-'afwa dalam ayat ini ialah lebihan. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf: 199) Allah memerintahkan Nabi Saw. agar bersifat pemaaf dan berlapang dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun. Kemudian Nabi Saw. diperintahkan untuk bersikap kasar terhadap mereka.
Pendapat
inilah
yang
dipilih
oleh
Ibnu
Jarir.
Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf: 199) Yakni terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh. Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf
70
terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'bersikap lapang dadalah
kamu
dalam
menghadapi
akhlak
mereka'.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Urwah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Zubair) yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang mengatakan, "Jadilah engkau pemaaf," yakni terhadap akhlak manusia. Menurut riwayat lain dari selain Bukhari, disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar. Dan menurut riwayat yang lainnya lagi disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa keduanya pernah menceritakan hal yang semisal. Di dalam riwayat Sa'id ibnu Mansur disebutkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam, dari Wahab Ibnu Kaisan, dari Abuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: jadilah engkau pemaaf. (al- A‘rāf: 199) Maksudnya dalam menghadapi akhlak manusia. Selanjutnya disebutkan, "Demi Allah, aku benar-benar akan bersikap lapang dada selama aku bergaul dengan mereka." Riwayat inilah yang paling masyhur dan diperkuat oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu' Jarir dan Ibnu Abu Hatim; keduanya mengatakan,
telah
menceritakan
kepada
kami
Yunus,
telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ubay yang menceritakan bahwa ketika Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi-Nya, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan
71
serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A‘rāf: 199) Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Jibril, apakah artinya ini?" Jibril a.s. menjawab, "'Sesungguhnya
Allah
telah
memerintahkan
kepadamu
agar
memaafkan terhadap perbuatan orang yang berbuat aniaya kepadamu, dan kamu memberi orang
yang mencegahnya darimu, serta
bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu." Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula dari Abu Yazid AlQaratisi secara tertulis, dari Usbu' ibnul Faraj, dari Sufyan, dari Ubay, dari Asy-Sya'bi hal yang semisal. Semua riwayat yang telah disebutkan di atas berpredikat mursal dalam keadaan apa pun, tetapi telah diriwayatkan melalui jalur-jalur lain yang memperkuatnya. Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari Jabir dan Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah, dari Nabi Saw. yang keduanya di-isnad-kan oleh Ibnu Murdawaih.
72
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah. telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abu Umamah Al-Bahili, dari Uqbah ibnu Amir r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw., lalu ia mengulurkan tangannya, menyalami tangan Rasulullah Saw., kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang amal-amal perbuatan yang paling utama." Rasulullah Saw, bersabda: Hai Uqbah. bersilaturahmilah kamu kepada orang yang memutuskannya darimu, berilah orang yang mencegahnya darimu, dan berpalinglah dari orang yang aniaya kepadamu. Imam Turmuzi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Yazid dengan lafaz yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Menurut kami. Ali ibnu Yazid dan gurunya Al-Qasim alias Abu Abdur Rahman berpredikat daif. Imam Bukhari telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang
mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A'rāf: 199) Yang dimaksud dengan al-'urfu ialah hal yang makruf (bajik). Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri; telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Uyaynah ibnu Husatn ibnu
73
Huzaifah tiba (di Madinah), lalu menginap dan tinggal di rumah kemenakannya, yaitu Al-Hurr ibnu Qais. Sedangkan Al-Hurr termasuk salah seorang di antara orang-orang yang terdekat dengan Khalifah Umar. Tersebut pula bahwa teman-teman semajelis Umar dan dewan permusyawaratannya terdiri atas orang-orang tua dan orang-orang muda.
Lalu
Uyaynah
berkata
kepada
kemenakannya,
'Hai
kemenakanku, engkau adalah orang yang dikenai oleh Amirul Mu‘minin, maka mintakanlah izin masuk menemuinya bagiku." AlHurr berkata, 'Saya akan memintakan izin buatmu untuk bersua dengannya'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Al-Hurr meminta izin buat Uyaynah kepada Umar, dan Khalifah Umar memberinya izin untuk menemui dirinya. Ketika Uyaynah masuk menemui Umar, Uyaynah berkata. 'Hai Umar. demi Allah, engkau tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.' Maka Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah, tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,' Wahai Amirul Mu‘minin, sesungguhnya Allah Swt. pernah berfirman kepada Nabi-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A'rāf: 199) Dan sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh." Demi Allah, ketika ayat itu dibacakan kepada Umar. Umar tidak berani melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada Kitabullah" Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
74
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'Ia secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Nafi', bahwa Salim ibnu Abdullah ibnu Umar bersua dengan iringan kafilah negeri Syam yang membawa sebuah lonceng. Maka Salim ibnu Abdullah berkata, "Sesungguhnya barang ini diharamkan." Mereka menjawab, "Kami lebih mengetahui daripada kamu tentang hal ini. Sesungguhnya yang tidak disukai hanyalah lonceng besar, sedangkan lonceng seperti ini tidak apa-apa." Salim diam dan merenungkan firman-Nya: serta berpalinglah dari orangorang yang bodoh, (al-A'rāf: 199) Menurut Imam Bukhari, yang dimaksud dengan istilah al-'urfu dalam ayat ini ialah perkara yang makruf (bajik). Ia menukilnya dari nas yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair, As-Saddt, Qatadah, Ibnu Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa bila dikatakan aulaituhu ma'rufan, "arifa, „arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu Jarir mengatakan, Allah telah memerintahkan
kepada
Nabi-Nya
agar
menganjurkan
semua
hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.
75
Sekalipun hal ini merupakan perintah kepada Nabi-Nya, sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi makhluk-Nya untuk bersikap sabar dalam menghadapi gangguan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka. Tetapi pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak mengerti perkara yang hak lagi wajib yang termasuk hak Allah, tidak pula bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada Allah, tidak mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus diperangi oleh kaum muslim. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A'rāf: 199) Hal ini merupakan akhlak yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk disandang oleh Nabi-Nya, dan Allah Swt. memberinya petunjuk ke akhlak ini. Sebagian orang yang bijak ada yang menuangkan pengertian ini ke dalam dua bait syair berikut:
Jadilah kamu pemaaf dan serulah (orang-orang) berbuat kebajikan, sebagaimana engkau diperintahkan. Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan lemah-lembutlah dalam berbicara kepada semua orang, maka hal yang baik bagi orang yang berkedudukan ialah berkata dengan lemah-lembut.
76
Sebagian ulama mengatakan bahwa manusia itu ada dua macam: Pertama, orang yang baik; terimalah kebajikan yang diberikannya kepadamu, janganlah kamu membebaninya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, jangan pula sesuatu yang menyempitkan dirinya. Adapun terhadap orang yang kedua, yaitu orang yang buruk, maka perintahkanlah dia untuk berbuat yang ma‘ruf. Jika ia tetap tenggelam di dalam kesesatannya serta membangkang —tidak mau menuruti nasihatmu— serta terus-menerus di dalam kebodohannya, maka berpalinglah kamu darinya. Mudah-mudahan berpalingmu darinya dapat menolak tipu muslihatnya terhadap dirimu, seperti yang disebutkan oleh firman Allah Swt.:
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.‖ (Al-Mu‘minun: 96-98) Adapun firman Allah Swt.:
77
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 34-35) Yakni orang yang beroleh wasiat ini. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt berfirman:
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (al-A'rāf: 200) Sedangkan dalam surat ini (yakni al-A'rāf) disebutkan pula hal yang sama, yaitu melalui firman-Nya:
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A'rāf: 200) ketiga ayat ini berada di dafam surat al-A'rāf, Al-Mu‘minun, dan Ha-mim Sajdah, tidak ada lainnya lagi. Melaluinya Allah Swt.
78
memberikan petunjuk tentang tata cara menghadapi orang yang berbuat maksiat, yaitu menghadapinya dengan cara yang baik, karena dengan cara inilah dalam berbuat maksiat dapat dihentikan dengan seizin Allah Swt. Karena itulah dalam surat Fushshilat disebutkan:
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia. (Fushshilat: 34)
Kemudian
Allah
memberikan
petunjuk
untuk
meminta
perlindungan pada-Nya dari godaan setan yang tidak kelihatan, karena sesunguhnya setan tidak senang bila kita berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya setan itu hanya bertujuan untuk menghancurkan dan membinasakan kita cara keseluruhan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kita dan bagi kakek moyang kita jauh sebelum kita (yakni Nabi Adam). Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan. (al-A'rāf: 200) yaitu jika setan menggodamu dengan perasaan marah yang karena itu kamu tidak mampu berpaling dari orang yang bodoh, dan justru kamu terdorong untuk memberinya pelajaran. maka berlindunglah kepada Allah. (alA'rāf: 200) maksudnya, mintalah perlindungan kepada Allah dari godaannya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A'rāf: 200) Allah Maha Mendengar terhadap
79
kebodohan orang yang berbuat kebodohan terhadap dirimu, dan Maha Mendengar terhadap permintaan perlindunganmu dari godaan setan serta lain-lainnya yang berupa obrolan orang lain. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya, Dia Maha mengetahui semua urusan makhlukNya,
termasuk
godaan
setan
yang
telah
merasuki
hatimu.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang ma‘ruf serta berpalinglah dari orangorang yang bodoh (al-A'rāf: 199) Maka Nabi Saw. bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dengan amarah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Ajlah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A'rāf: 200) Menurut kami, pada permulaan pembahasan mengenai isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) telah disebutkan sebuah hadis tentang dua orang lelaki yang saling mencaci di hadapan Nabi Saw. Kemudian salah seorangnya marah, sehingga hidungnya mekar karena emosinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat, seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah dari dirinya emosi yang membakarnya, yaitu: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".Ketika disampaikan kepada lelaki itu apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., maka si lelaki yang emosi itu menjawab, "Saya tidak gila."
80
Asal makna dari lafaz an-nazgu ialah kerusakan, penyebabnya adakalanya karena marah (emosi) atau lainnya. Sehubungan dengan pengertian ini disebutkan di dalam firman-Nya:
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (Al-Isra: 53) Makna al-'iyaz ialah memohon perlindungan, naungan, dan pembentengan dari ulah kejahatan. Sedangkan al-malaz. pengertiannya tertuju kepada memohon kebaikan, juga pengertian memohon perlindungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Hani' dalam syairnya:
Wahai Tuhan yang aku berlindung kepada-Nya dalam memohon apa yang aku cita-citakan, dan Yang aku berlindung kepada-Nya dari semua yang aku hindari. Tiada seorang manusia pun yang dapat menambal tulang yang telah Engkau pecahkan, dan mereka tidak akan dapat mematahkan suatu tulangpun yang telah Engkau tambal.
81
Mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) kebanyakan telah kami kemukakan,
sehingga
tidak
perlu
diulangi
lagi.
(http://pemudapersis32.blogspot.co.id/2015/05/aj-araf-199202.html?m=1 , pada tanggal 5 juni 2016 pukul 13:42) B.
Isi Pokok Kandungan Ayat Pada ayat 199 :
―Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‖ Wahai Nabi Muhammad saw jadilah pemaaf, terimalah yang mudah dan jangan menuntut terlalu banyak, suruhlah mengerjakan yang ma‘ruf serta berpalinglah dari orang-orang jahil. Dalam ayat ini Allah berfirman untuk mengerjakan yang ma‘ruf dan meninggalkan kemungkaran. Sebagaimana dalam ayat ini untuk mengerjakan yang ma‘ruf atau kebaikan yaitu dengan cara memaafkan dan meninggalkan kemungkaran dengan cara menjahui orang-orang jahil. Ayat 200 :
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.‖ Ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah,
82
supaya memohon perlindungan kepada Allah jika godaan setan datang, dengan membaca “Ta‟awwuz”, yaitu:
―Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.‖ Sebab Allah Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari godaan setan itu (Depag, 2009: 556).
Ayat 201:
―Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.‖ Dalam ayat ini mengungkapkan semua orang yang bertakwa dan takut kepada Allah, yaitu mereka yang beriman kepada hal yang gaib , mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah, apabila dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan (Ash Shiddieqy, 2000: 1537). Maka ketika itu tampak jalan mana yang seharusnya mereka tempuh. Setiap
83
manusia memang merasakan adanya dorongan untuk berbuat kejahatan (kemaksiatan). Pendorong kebajikan adalah anjuran malaikat, sedangkan pendorong kemaksiatan adalah pengaruh setan. Ayat 202 :
―Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).‖ Dalam ayat ini dijelaskan bahwa saudara-saudara setan itu adalah orang-orang yang tidak bertakwa kepada Allah, terus-menerus diperdayai oleh
setan
dan
dibenamkan
dalam
kesesatan.
Ash-Shiddieqy
mengungkapkan dalam tafsir An-nuur (200: 1538), dalam ayat ini Allah menyuruh manusia untuk memelihara diri dari tipu daya setan yang terusmenerus berusaha merusak jiwa manusia dan ayat ini pula menyuruh manusia untuk berlindung kepada Allah dari tipu daya setan. C.
Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat al-A’rāf ayat 199-202 1.
Memaafkan, Mengerjakan yang Ma’ruf, dan Menjahui Orangorang Jahil a. Memaafkan
―Jadiah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‖
84
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dengan keras kaum musyrikin dan sesembahan mereka, maka kini tiba tuntunan kepada Rasulullah dan umatnya tentang bagaimana menghadapi kaum musyrikin, agar kebejatan dan keburukan mereka dapat dihindari. Ayat ini berpesan; Hai Nabi Muhammad saw. Ambillah maaf dan suruhlah yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orangorang yang jahil (Qoraish Shihab, 2002: 339). Dalam tafsir Al- Mishbāh (Quraish Shihab, 2002: 339) Kata khudz/ambillah, hakikatnya adalah keberhasilan memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk memberi mudharat, karena itu tawanan dinamai
akhidz. Kata tersebut
digunakan oleh ayat ini untuk makna melakukan suatu aktivitas, atau menghiasi diri dengan suatu sifat yang dipilih dari sekian banyak pilihan. Dengan adanya beberapa pilihan itu, kemudian memilih salah satunya, maka pilihan tersebut serupa dengan mengambil. Dengan demikian ambillah maaf berarti pilihlah pemaafan, lakukan hal tersebut sebagai aktivitasmu dan hiasilah diri dengan memilih lawannya. Thahir Ibn Asyur dalam tafsir al-Misbah mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa kata
al-„afwu/maaf, terambil dari
akar kata yang terdiri dari huruf-huruf „ain, fa‟ dan waw. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, lahir kata „afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah
85
dari keburukan, dinamai „afiah. Perlindungan mengandung makna ketertutupan. Dari sini kata „afwu juga diartikan menutupi,bahkan dari rangkaian ketiga huruf itu lahir makna terhapus, atau habis tiada terbekas, karena yang terhapus dan habis tidak berbekas pasti ditinggalkan. Ia dapat juga bermakna kelebihan atau banyak, karena yang berlebih dapat ditinggalkan atau ditiadakan dengan memberikan
kepada
siapa
yang
meminta
atau
yang
membutuhkannya, dan yang banyak mudah atau tidak sulit dikeluarkan. Karena itu kata tersebut mengandung juga makna kemudahan (Quraish Shihab, 2002: 340) . khudz al-‗afwa dalam
Al-Biqāi memahami perintah
arti ambillah apa yang dianugerahkan Allah dan manusia, tanpa bersusah payah atau menyulitkan diri. Dengan kata lain, ambil yang mudah dan ringan dari perlakuan dan tingkah laku manusia. Terima dengan tulus apa yang mudah mereka lakukan, jangan menuntut
terlalu
banyak
atau
yang
sempurna
sehingga
memberatkan mereka, agar mereka tidak antipati dan menjahuimu dan hendaklah engkau selalu bersikap lemah lembut sera memaafkan kesalahan dan kekurangan mereka. Sesungguhnya memberi maaf itu perbuatan yang mulia, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 43:
―Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia (Qs. Asy-Syura: 43)‖.
86
Dalam tafsir Depag (2009: 555), dijelaskan bahwa Allah menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan janganlah beliau meminta lebih dari mereka sehingga mereka lari dari agama. Sedangkan menurut tafsir Maraghiy (Maraghiy, 1987: 280), kata Al-„Afwu artinya mudah, tidak berliku-liku yang menyulitkan. Jadi maksud ayat di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang, akhlak mereka dan apa pun yang datang dari mereka, ambillah yang menurutmu mudah, dan bersikap mudahlah, jangan mempersulit dan jangan menuntut mereka melakukan sesuatu yang memberatkan, sehingga mereka akan lari darimu. Sabda Rasulullah saw:
―Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah kegembiraan, jangan kamu susahkan‖. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abū Mūsa dan Mu‘āz) Al-Bukhari berkata bahwa firman Allah Ta‘ala, ―Jadilah kamu pemaaf…‖. Yang dimaksud „al-urf‟ ialah kemakrufan. Kemudian diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dan dia menceritakan sebuah cerita menyangkut Umar ketika salah seorang tamunya marah. Maka al-Hur bin Qais berkata kepadanya, ― Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi saw., ‗Jadilah engkau pemaaf dan menyuruhlah dengan kema‘rufan
87
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh‘, dan perbuatan engkau bukan termasuk perbuatan orang-orang bodoh (ArRifa‘i,1999 : 473). Menurut tafsir Alqur‘anul Karim (Syaltut, 1990: 901), mengungkapkan Rasulullah diperintahkan supaya berlemah lembut dan meninggalkan sikap keras dan kasar: ―Bersikaplah mudah dan lemah lembut terhadap orang-orang, jangan engkau bebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka pikul, jangan pula engkau sulitkan mereka dengan apa yang menyempitkan dada mereka.‖ Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Imron ayat 159:
―Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka.‖ (Qs. Ali Imron: 159) b.
Mengerjakan yang Ma‘ruf Kata
al-„urf sama dengan kata
ma‟ruf, yakni
sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ma‟ruf adalah kebajikan yang jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan baik oleh manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak
88
perlu didiskusikan apalagi diperdebatkan (Qoraish Shihab, 2002: 341). Dengan konsep “ma‟ruf” Alqur‘an membuka pintu yang cukup
lebar
guna
menampung
perubahan
nilai
akibat
perkembangan positif masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh karena ide/nilai yang dipaksakan atau yang tidak sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat, tidak akan diterapkan. Perlu dicatat bahwa konsep “ma‟ruf” hanya membuka pintu bagi perkembangan
positif
masyarakat,
bukan
perkembangan
negatifnya. Dari sini filter nilai-nilai universal dan mendasar harus difungsikan. Demikian juga halnya dengan munkar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muru‘ah, identitas dan integritas seseorang (Quraish Shihab, 2002: 341). Menurut Syaltut (1990: 9010) dalam kitab tafsir Alqur‘anul Karim ayat ini juga memberikan petunjuk kepada Rasul supaya menyuruh dengan cara yang baik, sesuai dengan akal dan Syara‘. Sebagaimana dalam surat an-Nahl: 125
―Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.‖ Dalam tafsir Ash-Shiddieqy (2000: 1535) ma‘ruf adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri
89
kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat kemanusiaan). Perbuatan ma‘ruf
disebut
dalam
surat-surat
Madaniyyah yang berkaitan dengan hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah, seperti ketika Tuhan menyifati umat Islam dan pemerintahannya. Adapun firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 71:
―Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.‖ c.
Menjahui Orang-orang Jahil Kata
al-Jahilin adalah bentuk jamak dari kata
jahil. Ia digunakan Alqur‘an bukan sekedar dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi (Qoraish Shihab, 2002: 341). Dalam tafsir Alqur‘anul
Karim
(Syaltut,
1990:
901)
Rasulullah
juga
diperintahkan untuk perpaling dari orang-orang yang bersikap membabi-buta dan menampakkan kebodohan mereka serta menyakiti. Sikap seperti Rabbaniyyin:
ini telah dilakukan oleh kaum
90
... dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan: 72)
―Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,‖ (Qs. al-Mu‘minun: 3) Berdasarkan tafsiran surat al-A‘rāf ayat 199 diatas penulis menyimpulkan bahwa sebagai seorang muslim harus memiliki sifat pemaaf, mengerjakan yang ma‘ruf, dan menjahui orang-orang jahil. Ayat ini walau dengan redaksi yang sangat singkat, telah mencakup semua sisi budi pekerti luhur yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Ayat ini dipaparkan Alqur‘an setelah menguraikan secara panjang lebar bukti-bukti keesaan Allah serta setelah mengecam kemusyrikan dan menunjukkan kesesatannya. Penempatan ayat ini sesudah uraian tersebut memberi kesan bahwa Tauhid harus membuahkan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur. Maka dari itu penulis mengambil ayat ini sebagai dasardasar pendidikan akhlak karena yang menjadi pondasi, dasar, atau pijakan dalam ayat ini adalah kebaikan (Ma‘ruf) dan menghindari dari hal yang buruk (Kemungkaran), adapun hal untuk melakukan kebaikan disini adalah untuk memaafkan. Memaafkan merupakan akhlak mahmudah. Dan dalam ayat ini juga diperintahkan untuk
91
menghindari hal yang buruk yaitu untuk menjahui orang-orang yang jahil. Maksud dari orang-orang yang jahil disini iyalah orang yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau kepicikan pandangan dan mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi. 2.
Menahan Amarah
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.‖ Rasulullah sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kejahilan orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya. Apabila setan yang merupakan musuh abadi manusia, selalu enggan melihat siapapun berbudi pekerti luhur, karana itu Nabi saw dan umatnya diingatkan dengan
menggunakan
redaksi
yang
mengandung
penekanan-
penekanan bahwa dan jika engkau benar-benar dibisikkan, yakni dirayu dengan halus dan tipu daya oleh setan dengan satu bisikan untuk meninggalkan apa yang dianjurkan kepadamu tadi, misalnya mendorongmu secara harus untuk marah maka mohonlah perlindungan kepada Allah, dengan demikian Allah akan mengusir bisikan dan godaan itu serta melindungimu karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar
termasuk
mendengar
permohonanmu
lagi
Maha
92
Mengetahui apa yang engkau dambakan dan apa yang direncanakan oleh setan (Quraish Shihab, 2002 : 342). Kata
yanzaghanaka terambil dari kata
nazagha
yang berarti menusuk atau memasuknya sesuatu ke sesuatu yang lain untuk merusaknya. Alat yang dimasukkan kecil bagaikan jarum. Kata ini biasanya hanya digunakan dengan pelaku setan. Dari sini kata Nazagha biasa diartikan bisikan halus setan, atau rayuan, dan godaannya untuk memalingkan dari kebenaran. Nazagha yang bersumber dari setan itu adalah bisikannya ke dalam hati manusia sehingga menimbulkan dorongan negatif, dan menjadikan manusia mengalami suatu kondisi psikologis yang mengantarnya melakukan tindakan tidak terpuji. Ada beberapa istilah yang digunakan Alqur‘an untuk menggambarkan upaya setan memalingkan manusia dari jalan kebenaran, antara lain :
nazagha
hamz,
mas, dan
waswasah (Quraish Shihab, 2002: 342). Mutawalli asy-Sya‘rawi dalam tafsir al-Misbah (Quraish Shihab, 2002: 343) mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa kata nazagha mengandung makna gangguan, tetapi ada jarak antara subjek dan objek, antara yang diganggu dan yang menggangu. Ia berbeda dengan mas
yang bermakna menyentuh dengan sangat halus lagi
sebentar, sehingga tidak menimbulkan kehangatan, bahkan boleh jadi tidak terasa. Kata mas berbeda dengan
lams yang bukan sekedar
sentuhan antara subjek dan objek tetapi pegangan yang mengambil waktu, sehingga pasti terasa dan menimbulkan kehangatan. Kata lams
93
berbeda juga dengan
laamas, yang dipahami oleh banyak ulama
dalam arti bersetubuh. Sedangkan kata waswasah mengandung makna bisikan. Setan membisikkan keraguan, kebimbangan dan keinginan untuk melakukan kejahatan ke dalam hati manusia. Bisikan itu dilakukan dengan cara yang sangat halus sehingga manusia tidak menyadarinya (Yunahar Ilyas, 1993: 103). Dari kata nazagha yang digunakan oleh ayat di atas terlihat bahwa terhadap Nabi Muhammad saw. setan tidak dapat melakukan hubungan dalam bentuk dan jarak yang dekat. Ada ajarak antara beliau dengan setan. Setan takut mendekat karena kukuhnya pertahanan iman (Quraish Shihab, 2002 : 343). Dan dalam ayat ini dijelaskan ada orang-orang yang bertakwa tapi ketakwaannya tidak mencapai tingkat yang memuaskan. Mereka dapat digoda oleh setan dengan tingkat yang lebih dan berbahaya. Mereka tidak sekedar mengalami nazagh, tetapi mas. Di sini setan sudah menyentuh dan tidak ada lagi jarak antara keduanya. Kalau ini juga berkelanjutan, maka mas menanjak menjadi lams,sehingga mereka mengalami apa yang diistilah Alqur‘an istahwathu asySyayaathiinufi ardhi hairaan (QS. al-An‘aam 6: 71) yakni dia telah tergoda oleh setan dan cenderung kepadanya serta dalam keadaan bimbang – walaupun pada saat itu ia belum sepenuhnya dikuasai setan -. Ia masih dalam keadaan bingung dan bimbang, seperti lanjutan penjelasan ayat al-An‘aam itu : ―dia mempunyai kawan-kawan yang
94
memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan) : ‗Marilah ikuti kami‘. Katakanlah: ‗Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam (QS. al-An‘aam 6: 71). Nah, kalau lams atau katakanlah jabatan tangan itu sedemikian lama, yang bersangkutan mengabaikan ajakan teman-temannya itu, sehingga akhirnya ia dan setan akan bergandengan tangan dan ketika itu ) istahwadza „alaihim asy-Syaithaan/Setan telah
(
menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi. (QS. al-Mujaadilah 58:19). Kalau setan telah menguasai seseorang, maka ia telah masuk dalam kelompok setan atau telah menjadi setan setan manusia. Jangan duga bahwa mereka itu orang-orang musyrik. Tidak ! Mereka yang dibicarakan oleh ayat di atas, adalah orang-orang yang mengaku muslim, tetapi bukan muslim yang taat sehingga Allah menilai mereka ―bukan dari golongan kamu dan bukan juga dari golongan mereka‖.(QS. al-Mujaadalah 58 : 14). Ayat ini menunjukkan bahwa setan selalu berupaya menggoda dan mencari peluang dari semua manusia, siapa tahu ia tergelincir sehingga dapat mengurangi keberhasilan manusia termasuk para Nabi. Keterpeliharaan para Nabi dari pelanggaran terhadap Allah, tidak
95
mengurungkan niat setan untuk merayu dan menggodanya, walaupun selalu gagal, karena pertahanan mereka sangat ampuh. Penutup ayat di atas (
) samii‘un ‗aliim/Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui bertujuan menekankan kepada Nabi saw. dan siapapun – apalagi mereka yang dijahili atau dianiaya – bahwa Allah Maha Mendengar kejahilian dan gangguan, Allah juga mengetahui betapa yang dijahili sakit hati mendengarnya dan betapa ia terdorong untuk membalas. Tetapi penutup ayat ini seakan-akan berkata: Kendalikan dirimu, dan serahkan kepada Allah, karena kalau itu sudah ditangan-Nya, maka segala sesuatu pasti berakhir dengan baik (Quraish Shihab, 2002: 344). Firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 134:
―(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan.‖ (Qs. Ali Imran: 134) Dalam tafsir Ibnu Katsir (Ar-Rifa‘i, 1999: 473) ayat ini berisi perintah Allah kepada Nabi supaya beliau meminta perlindungan kepada Allah Ta‘ala dari setan jin, karena dia tidak hanya menghalangimu untuk berbuat kebaikan, namun dia menghendaki kebinasaanmu dan kehancuranmu secara total. Sedang menurut
96
pendapat Ibnu Jarir menafsirkan ayat ini, ‘‘Dan apabila kamu ditimpa suatu godaan setan‘‘ dengan : Jika setan membuatmu marah sehingga menghalang-halangimu untuk berpaling dari orang-orang bodoh dan mendorongmu untuk menyerangnya, ‘‘maka berlindunglah kepada Allah dari hasutannya.‘‘ Asal makna an-nazghu adalah kerusakan baik karena marah maupun sebagainya. ‘‘Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sedangkan dalam tafsir AlMaraghiy (Maraghy, 1987: 285) kata An-Naghu, searti dengan AnNakhsu, An-Naghzu dan Al-Wakzu. Artinya menusuk tubuh dengan sesuatu yang runcing, seperti jarum, tombak atau besi pada tumit sepatu penunggang kuda. Maksudnya ialah godaan setan dengan membangkitkan nafsu yang mengajak untuk berbuat jahat dan merusak diri sendiri, baik berupa amarah atau syahwat, yang membuat orang terdorong untuk melampiaskannya, sebagaimana binatang supaya larinya makin kencang. Menurut tafsir Depag (2009: 556), dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan. Jika setan menggoda kamu untuk melakukan kejahatan karena amarah dan hawa
nafsu,
maka
berlindunglah
kamu
kepada
Allah
dan
menghadaplah kepada-Nya dengan jiwamu, supaya Dia melindungimu dari kejahatan godaan setan (Ash-Shiddieqy, 2000: 1537). Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah, supaya memohon perlindungan kepada Allah jika godaan setan datang, dengan membaca “Ta‟awwuz”, yaitu:
97
―Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.‖ Sebab Allah Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari godaan setan itu. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 98-99:
―Apabila kamu membaca Alqur‘an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaanNya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya‖. (an-Nahl: 98-99) Dalam ayat ini penulis menyimpulkan ketika ditimpa musiba atau digoda oleh setan maka memohon perlidungan kepada Allah dan berdoa dengan membaca ta‘awwuz agar terbebaskan diri dari pengaruh setan. Sebab manusia bisa marah ketika ada godaan-godaan yang menimpanya. Maka kewajibannya ketika itu adalah berlindung kepada Allah, mengembalikan segala perkara kepada-Nya, dan mengingat keagungan serta kekuasaan-Nya, agar hatinya menjadi tenang dan cahaya kebenaran terbit meneranginya. Dalam ayat ini yang menjadi
98
dasar pendidikan akhlak yaitu menahan amarah karena menahan amarah merupakan perbuatan yang mahmudah (baik). Apabila kemarahan bisa terkendali, maka suatu permasalahan, kebinasaan, dan kehancuran tidak akan terjadi. 3.
Takwa Kepada Allah
―Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.‖ Dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan alasan mengapa ayat yang lalu berpesan agar memohon perlindungan Allah. Seakan-akan kedua ayat ini menyatakan, perintah itu demikian, karena itulah cara yang tepat menghadapi rayuan setan, dan itulah yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang bertakwa. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa thaaif godaan yang menimbulkan waswas dari setan, mereka mengingat Allah, mengingat permusuhan setan terhadap manusia dan kelicikannya, mengingat dampak buruk yang diakibatkannya, maka ketika itu juga dengan cepat bagaikan tiba-tiba sebagaimana dipahami dari kata (
) faidzaa ―maka ketika itu juga‖,
mereka melihat dan menyadari kesalahan-kesalahannya (Quraish Shihab, 2002: 345).
99
Kata (
) thaaif terambil dari kata (
) thaafa yang berarti
berkeliling. Biasanya seseorang atau sesuatu berkeliling mengitari satu tempat sebelum mendapat izin atau kesempatan untuk turun atau masuk (Quraish Shihab, 2002: 345). Sedangkan dalam tafsir AlMaraghiy (1987: 285), Ath-Thaufu atau Ath-Thawafu bi „sy-Syai‟: mengelilingi sesuatu, yakni sekitarnya. Sedang Thaifu ‗l-Khayal: gambaran seseorang atau sesuatu yang dilihat dalam mimpi. Banyak ulama tafsir memahami kata tersebut dalam arti ―amarah‖. Ayat ini menggambarkan bahwa yang bersangkutan baru digoda oleh setan untuk marah, kemarahan yang tidak dibenarkan agama. Kata ini juga memberi kesan bahwa setan selalu mengitari manusia bertakwa sekalipun. Ia menunggu kesempatan, dan jika berhasil lahirlah tindakan negatif sebesar keberhasilan setan menggoda manusia. Sayyid pendapatnya
Quthub yaitu
dalam bahwa
tafsir (
al-Misbah )
mengemukakan fa
idzaa
hum
mubshiruun/maka ketika itu juga mereka melihat telah menambah makna-makna yang tidak tertuang pada redaksi awal ayat ini. Redaksi tersebut menginformasikan bahwa rayuan setan membutakan dan menutup serta mengunci mata hati, sebaliknya ketakwaan kepada Allah, pengawasan serta rasa takut pada murka dan siksa-Nya, demikian juga hal-hal yang menghubungkan hati manusia dengan Allah dan menyadarkan dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya, semuanya mengingatkan orang-orang bertakwa, dan apabila mereka
100
mengingat, maka terbuka mata hati mereka, serta tersingkap apa yang menutup mata mereka. Sesungguhnya rayuan setan adalah kebutaan, dan mengingat Allah adalah penglihatan. Godaan setan adalah kegelapan, dan mengarah kepada Allah adalah cahaya. Bisikan setan, disingkirkan oleh takwa, karena setan tidak punya kuasa terhadap orang-orang bertakwa (Quraish Shihab, 2002: 346). Sedangkan dalam ayat ini
As-Shiddieqy (2000: 1537),
mengungkapkan semua orang yang bertakwa dan takut kepada Allah, yaitu mereka yang beriman kepada hal yang gaib , mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah, apabila dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan. Maka ketika itu tampak jalan mana yang seharusnya mereka tempuh. Setiap manusia memang merasakan adanya dorongan untuk berbuat kejahatan (kemaksiatan). Pendorong kebajikan adalah anjuran malaikat, sedangkan pendorong kemaksiatan adalah pengaruh setan. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: ―Sesungguhnya setan mempunyai suatu tekanan, sebagaimana malaikat mempunyai tekanan pula. Tekanan setan adalah mendorong manusia menuju kejahatan (kemaksiatan) dan mendustakan kebenaran. Adapun tekanan malaikat adalah mendorong manusia pada kebajikan dan membenarkan sesuatu yang hak. Maka barangsiapa mendapat yang demikian ini, hendaklah dia yakin, bahwa yang demi kian itu dari Allah dan hendaklah dia memuji-Nya. Barang siapa yang mendapat hal yang serupa, maka hendaklah dia berlindung diri kepada Allah dari pada setan. Sesudah itu Nabi pun membawa firman Allah, ‗Setan itu menakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan. Dan Allah menjanjikan kepadamu ampunan dan keutamaan.‖
101
Dalam
tafsir Muyassar (Qarni, 2007: 53), mengungkapkan
apabila orang-orang bertakwa, yang takut kepada Allah dan siksa-Nya serta mengamalkan segala perintah-Nya dan menjahui segala laranganNya mendengar hasutan atau godaan setan maka mereka langsung mengingat Allah dan mengingat balasan yang disediakan untuk musuh-musuh-Nya. Serta-merta mereka takut kepada Allah dan tersadar dari kelalaian serta segera bangkit dari ketergelinciran mereka. Mereka pun segera minta ampun atas kesalahan mereka. Sedangkan dalam tafsir Depag (2009: 557), dalam ayat ini Allah menjelaskan reaksi orang-orang yang bertakwa bila digoda setan. Ayat ini memperkuat pula ayat sebelumnya tentang keharusan kita berlindung kepada Allah dari godaan setan. Sesungguhnya orang yang bertakwa ialah orang yang beriman kepada yang goib, mendirikan shalat, menginfakkan sebagian dari rezekinya. Bila mereka merasa ada dorongan dalam dirinya untuk berbuat kemungkaran, mereka segera sadar mengingat Allah. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 128:
―Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.‖ Dalam berbagai tafsiran diatas penulis menyimpulkan bahwa orang-orang mu‘min (takwa), apabila ditimpa godaan setan yang akan
102
membawanya kepada kemaksiatan, maka mereka segera ingat, lalu sadar dan waspada sehingga mereka bisa selamat. Dan apabila mereka terjerumus ke dalam kesesatan, maka segera bertaubat dan kembali kepada Allah. Selanjutnya dalam ayat ini yang menjadi dasar pendidikan akhlak yaitu takwa kepada Allah. Sebagaimana telah dijelakan takwa adalah beriman kepada hal yang gaib , mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah, apabila dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan. Takwa kepada Allah merupakan akhlak mahmudah. 4.
Pendurhaka itu Dalam Kesesatan
―Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak hentihentinya (menyesatkan).‖ Dalam tafsir Al-Mishbah Al-Biqā‘i berpendapat, bahwa setelah ayat yang lalu menguraikan tentang keadaan orang bertakwa, perlindungan yang mereka peroleh dan setelah memperkenalkan orang-orang bertakwa itu sebagai musuh-musuh setan, maka ayat ini menguraikan lawan orang-orang bertakwa itu adalah pendurhaka serta teman-teman mereka. Untuk itu ayat ini menyatakan bahwa dan adapun teman-teman mereka para pendurhaka itu membantu mereka dalam kesesatan. Kemudian, sikap mereka lebih buruk lagi karena mereka tidak hanya membantu sekali atau dua kali tetapi mereka giat
103
melakukan bantuan tersebut secara terus menerus dan tidak hentihentinya menyasatkan (Quraish Shihab, 2002 : 347). Kata (
) wa ikhwaanuhum/teman-teman mereka, dipahami
dalam arti teman-teman kaum musyrik dan pendurhaka yakni setansetan. Ada juga yang membalik dan berpendapat bahwa yang dimaksud adalah teman-teman setan yakni kaum musyrik/para pendurhaka. Kedua makna ini dapat ditampung oleh redaksi ayat, walaupun
pendapat
pertama
sejalan
dengan
hubungan
yang
dikemukakan oleh al-Biqā‘i. Dari sisi lain, memang seperti penegasan Alqur‘an setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataanperkataan yang indah-indah untuk menipu (QS.al-An‘aam 6 :112). Kata (
) yamudduunahum terambil dari kata (
) imdaad
yang berarti mendukung dan membantu,atau mengulur tali. Kata ini biasanya
digunakan
penggunaannya
di
untuk sini
hal-hal serupa
positif. dengan
Dengan
demikian
penggunaan
kata
basyyirhum/gembirakan yang digunakan untuk menyampaikan siksa. Penggunaan kata yang digunakan untuk hal-hal positif terhadap rayuan setan yang dampaknya negatif untuk mengisyaratkan bahwa setan seringkali menampilkan diri sebagai seorang penasehat yang bermaksud baik. Sedangkan dalam tafsir Maraghiy (1987: 285), AlMaddu dan Al-Imdadu: menambah sesuatu yang sejenis. Sedang dalam Alqur‘an, kata-kata ini kadang dipakai untuk arti menciptakan dan membentuk. Dalam firman Allah:
104
...
―Dan Dia-lah yang telah menciptakan bumi...‖ (Qs. Ar-Ra‘d: 3)
Dan Allah berfirman dalam surat Al-Furqan :
...
―Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang ― Sepertihalnya manusia yang memperpanjangkan umur dalam melakukan hal-hal yang tercela dan membahayakan termasuk orang yang tersesat. Firman Allah:
―Katakanlah: "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, Maka Biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang umur baginya...‖(Maryam, 17: 75) al-Iqshar: sama artinya dengan At-Taqshir (memendekkan). Maksudnya meninggalkan, seperti kata orang ―Aqshara ‗ala ‗l-Amri‖, artinya: dia meninggalkan perkara itu dan mencegah diri dari padanya, sekalipun dia mampu melakukannya. Dalam tafsir Muyassar (Qarni, 2008: 53), bahwasanya orangorang kafir dan musyrik adalah teman setan. Mereka selalu menolong setan dalam menyesatkan orang lain. Sebaliknya, setanpun membantu orang-orang kafir untuk berbuat kemusyrikan dan kerusakan di muka
105
bumi. Mereka tidak berpangku tangan dalam membuat kerusakan. Mereka gencar mendakwahkan kebatilan dan menenggelamkan orang lain dalam kesesatan, tanpa pernah lalai melakukannya. Dalam perbuatanya yang jahat dan buruk, mereka selalu melanggar larangan Allah. Sedangkan menurut Ash-Shiddieqy dalam tafsir An-Nuur (2000: 1538), bahwa saudara-saudara setan itu adalah orang-orang yang tidak bertakwa kepada Allah, terus-menerus ditipu oleh setan dan dibenamkan dalam kesesatan. Karena setan tidak akan lengah dalam usahanyaa untuk menggoda dan terus-menerus memperdayakan manusia. Dari
berbagai
tafsiran
diatas
penulis
menyimpulkan
sesungguhnya, saudara-saudara setan yaitu orang-orang bodoh yang tidak bertakwa kepada Allah dan memberi kesempatan kepada setan untuk menyesatkan mereka. Sehingga setan-setan itu membuat mereka semakin bertambah sesat dan makin membuat kerusakan. Hal itu boleh jadi karena mereka tidak beriman, bahwa setiap manusia itu diberi setan sendiri-sendiri dari bangsa jin yang memberi was-was kepadanya dan menjerumuskannya ke dalam kejahatan. Kemudian setan itu tidak berhenti dan tidak bosan-bosannya menyesatkan mereka dan mendorong mereka melakukan kerusakan. Oleh sebab itu, mereka pun terus menerus melakukan kejahatan dan kerusakan, karena sudah tidak ada lagi penasehat dalam hati. Jadi lawan dari takwa itu pendurhaka, pendurhaka merupakan akhlak yang buruk (madhmumah), maka dari itu kita harus menghindari perbuatan-perbuatan sedemikian rupa,
106
supaya kita terhindar dari tipu daya setan yang terus-menerus berusaha merusak jiwa kita. Dengan semua itu kita harus berlindung kepada Allah dari tipu daya setan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kandungan Surat al-A‘rāf a. Kewajiban mengikuti wahyu dan akibat menentangnya b. Penghargaan Allah kepada Nabi Adam dan keturunannya c. Peringatan Allah terhadap godaan setan d. Adab berpakaian, makan, dan minum serta pengutusan para Rasul, akibat penerimaan dan penolakan kerasulan e. Tuhan semesta Alam dan bukti kekuasaan Allah membangkitkan manusia sesudah mati f. Kisah beberapa Rasul; kisah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syu‘aib, Nabi Musa g. Ketauhidan sesuai dengan fitroh manusia, perumpamaan orangorang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan sifat-sifat penghuni neraka h. Pengingatan manusia kepada asal usul kejadiannya dan berhala tidak patut disembah i. Dasar-dasar akhlakul karimah, adab mendengar pembacaan Alqur‘an dan berzikir
107
108
2. Dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202. Yang menjadi dasar, pondasi, landasan, atau pijakan dalam surat alA‘rāf ayat 199-202: a. Memaafkan, mengerjakan yang ma‘ruf, menjahui orang-orang jahil 1. Memaafkan maksudnya untuk memudahkan dan tidak untuk mempersulit di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang. 2. Mengerjakan yang ma‘ruf. Ma‘ruf adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat kemanusiaan). Ma‘ruf merupakan akhlak mahmudah. 3. Menjahui orang-orang jahil/ menjahui kemungkaran. Yang dimaksud orang-orang jahil ialah orang yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau kepicikan pandangan dan mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi. b. Menahan amarah. Menahan amarah sebagai dasar pendidikan akhlak karena menahan amarah merupakan perbuatan yang mahmudah. Apabila kemarahan bisa terkendali, maka suatu permasalahan, kebinasaan, dan kehancuran tidak akan terjadi. Untuk menahan suatu godaan/amarah maka mohon perlindungan kepada Allah dan berdoa dengan membaca ta‘awwuz agar terbebaskan diri dari pengaruh setan.
109
c. Takwa kepada Allah. Takwa kepada Allah yang menjadi dasar pendidikan akhlak. Sebagaimana telah dijelakan takwa adalah beriman kepada hal yang gaib , mendirikan sholat
dan menafkahkan sebagian
hartanya yang diterima dari Allah, apabila dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan. Takwa kepada Allah merupakan akhlak mahmudah. d. Pendurhaka itu dalam kesesatan (akhlak madhmumah). Maka dari itu kita harus menhindari perbuatan tersebut dengan cara bertakwa kepada Allah. Karena dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202 ini yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah melakukan yang ma‘ruf dan menjahui kemungkaran. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Untuk dunia pendidikan Islam Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari Alqu‘an dan As-sunnah harus terus dilakukan, dimana krisis moral sedang melanda negeri ini. Oleh karena itu seorang pendidik sebagai sosok yang diharapkan masyarakat dapat mengentaskan krisis moral, hendaknya selalu memberikan hal yang terbaik. 2. Untuk pendidik
110
Pada
dasarnya
pendidikan
akhlak
mengenai
perintah
berperilaku mulia dan larangan berperilaku tercela telah nyata dijelaskan oleh Alqur‘an dan As-sunnah, diantaranya adalah yang terkandung dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202. Oleh karena itu, penulis
menyarankan
agar
penggalian
ajaran
tersebut
terus
disosialisasikan sebagai salah satu langkah perbaikan akhlak manusia dalam menjalani hidup di dunia, agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. C. Penutup Dengan mengucapkan
syukur Alhamdulillah kehadirat Allah,
Tuhan semesta Alam. Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan hanya Allah yang berhak di sembah. Shalawat beriringan salam kepada Rasulullah Muhammad Saw yang menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat menuju akhlak mulia. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu terselesainya penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengharapkan kepada para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran sebagai kajian lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan
111
kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata, yang senantiasa penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah satu sumbangan khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di dunia dan akhirat.
112
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, M. Nipan. 2000. Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Ghazali. 1994. Terjemah Ihya‟ Ulumiddin Jilid V. Semarang: CV Asy Syifa‘.
Al-Maraghiy, Ahmad Mushthafa. 1987. Tafsir Al-Maraghiy. Semarang: Tohaputra Semarang. Al Qorni, ‗Aidh (Ed.). 2008. Tafsir Muyassar. Jakarta: Qisthi Press. Al-Sibai, Muhammad. 1985. As-sunah wa Makāna Tuha fi al-Tasyi‟. Mesir: Dar al-Ma‘rifah
Al-Taomy, Oemar. Syaibany. 1992. Falsafah Pendidikan Islam. (Terj) Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. Ar-Rifa‘I, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
113
Ash-Shiddieqi, Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
__________________. Tt. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur‟an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang.
Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Mordenisasi di Tengah Tantangan Melinium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Daradjat, zakiah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Agama RI. 2011. Alhidayah Al-Qur‟an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka. Tangerang Selatan: Kalim. Departemen Agama RI. 2009. Alqur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Hamid, Hamdani & Beni Ahmad Saebani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hasan Al-‗Aridl, Ali. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: RAJAMALI PRES.
Hasbullaah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Ilyas, H. Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jumali. Dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
114
Mahali, A. Muddjab. 1989. Asbabun Nuzul. Jakarta: CV. Rajawali.
Majid, Abdul & Dian Andayani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Moloeng, Lexi. M.A. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Roesdakarya.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nasharuddin. 2015. Akhlak (Ciri Manusia Paripurna). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ramayulis. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Shihab, M. Quraish. 2012. Al-lubāb Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surahsurah Alqur‟an. Tangerang: Lentera Hati.
________________. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Suhartono, Suparlan. 2006. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Syaltut, Mahmud. 1990. Tafsir Alqur‟anul Karim. Bandung: CV Diponegoro.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tono, sidik dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia.
115
Zahruddin & Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zuhdi, Masjfuk. 1978. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: Pustaka Progresif. http://pemudapersis32.blogspot.co.id/2015/05/aj-araf-199-202.html?m=1
116
LAMPIRAN-LAMPIRAN
117
118
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Fifi Nor Kamalia
P.A
: Dr. Winarno, S.Si.,M.Pd.
NIM
: 11112152
Program Studi : PAI No
Nama Kegiatan
1.
Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaa n (OPAK)
2.
Tema
Tanggal
Jabatan
Nilai
Progesifitas Kaum Muda, Kunc iPerubahan Indonesia
05-07 September 2012
Peserta
3
Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaa n (OPAK)
Mewujudkan Gerakan Mahasiswa Tarbiyah Sebagai Tonggak Kebangkitan Pendidikan Islam
08-09 September 2012
Peserta
3
3.
Orientasi Dasar Keislaman (ODK)
Membangun Karakter Keislaman Bertaraf Internasional Di Era Globalisasi Bahasa
10 September Peserta 2012
2
4.
Entrepreneursh Explore Your ip dan Entrepreneurship Perkoperasian Talent
11 September Peserta 2012
2
119
2012
5.
Achicvment Motivation Training
6.
Library User Education (PendidikanPe makaiPerpusta kaan)
7.
Seminar Nasional Mahasiswa
8.
9.
Bangun Karakter Raih Prestasi
12 September Peserta 2012
2
13 September Peserta 2012
2
Urgensi Media Dalam Pergulatan Politik
29 September Peserta 2012
8
Tabligh Akbar
Tafsir Tematik dalam Upaya Menjawab Persoalan Israel dan Palestina Landasan Qs. AlFath:26-27.
01 Peserta Desember201 2
2
Bedah Buku
―24 Cara Mendorong IPK‖
05 Desember 2012
Peserta
2
23 Maret 2013
Peserta
2
26 maret 2013
Peserta
8
10. Enterpreneursh ip Training
11. Seminar Nasional
Ahlussunah Waljamaah dalam
120
Perspektif Islam Indonesia
12. Seminar Pendidikan HMJ Tarbiyah STAIN Salatiga
Menimbang Mutu dan Kualitas Pendidikan di Indonesia
02 Mei 2013
Peserta
2
13. Tafsir Tematik
Sihir dalam Perspektif AlQur‘an dan Hukum Negara
04 Mei 2013
Peserta
2
14. Seminar Nasional Sharia Economics Festifal
Indonesia Will Grow and Shine With Sharia Economics
04 Juni 2013
Peserta
8
15. Pendidikan dan Pelatihan ( DIKLAT ) PROFESIAN
Mencerahkan Dunia Pendidikan Melalui Kreatifitas Guru
13-14 Mei 2014
Peserta
2
16. Festival Dakwah Milad XII Lembaga Dakwah Kampus ( LDK ) Darul Amal STAIN Salatiga
IPSI ( Islamic Publik Speaking Training )
09 Juni 2014
Peserta
2
121
17. Diklat Microteaching
08 November 2014
Peserta
2
2
18. Seminar Pendidikan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Salatiga Komisariat Walisongo
Mempertegas Peran Pendidikan dalam Mencerahkan Masa Depan Anak Bangsa
19 November 2014
Peserta
19. Diskusi Terbuka
―Soekarno, Apa yang Kalian Pikirkan?‖
09 Desember 2014
Peserta
20. WORKSHOP NASIONAL
―Sukses 16 Desember Akademik, 2014 Sukses Bakat, dan Hidup Bermartabat dengan Karya‖
Peserta
8
21. Seminar Sesorah Bahasa Jawa Dalam rangkaian kegiatan Milad-XIII LDK Fathir ArRasyid IAIN Salatiga
Aktualisasi Dakwah dalam Membentuk Generasi yang Bertaqwa, Berilmu, dan Berakhlak Mulia
Peserta
2
07 Mei 2015
2
122
22. Nasional Seminar
Understanding the 04 Juni 2015 World by Underatanding the Language and the Culture
23. ―Bedah Buku‖
Muda 7 Warna
24. Seminar ―Jiwa Muda Nasional Berani Kewirausahaan Berwirausaha‖ bersama Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindako p)Salatiga
Peserta
8
23 September Peserta 2015
2
30 Oktober 2015
Peserta
8
25. IAIN Salatiga Bersholawat dan Orasi Kebangsaan
―MenyemaiNIlainilai Islam Indonesia Untuk Memperkokoh NKRI dalam Mewujudkan Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur‖
06 November 2015
Peserta
2
26. Seminar Nasional
―Hak Gender 24 Desember Kaum Difabel 2015 dalam Pespektif Sosiologi dan Hukum Islam Himpunan Mahasiswa Jurusan Ahwal alSyakhshiyyah‖
Peserta
8
123
124
125
126
127