BAB IV Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Surat Al-Furqan Ayat 63-74
A. Analisa Metodologi Pemikiran M. Quraish Shihab Quraish Shihab telah melalang buana mencari pengetahuan di bidang tafsir Al-Qur’an. Pria kelahiran Rappag, Sulawesi Selatan tahun 1944 ini menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari tafsir di Timur Tengah, tepatnya di Universitas Al Azhar, Mesir. Dengan demikian Al Azhar pun telah mengkonstruksi pemikiran Quraish Shihab. Tidak jarang Quraish Shihab mengutip pendapat dosen-dosennya, bahkan dalam karya-karyanya secara Eksplisit Quraish Shihab menyebut almameternya ini. Secara garis besar Quraish Shihab menjawab permasalahan umat dengan menggunakan tafsir Al-Qur’an. Menjawab dengan menggunakan ayatayat Al-Qur’an telah dilakukan umat Islam semenjak masa Rasulullah dan diteruskan oleh para ulama. disamping itu, Al-Qur’an telah memperkenalkan dirinya sebagai Hudan li annas (petunjuk bagi manusia) yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang. Kitab suci ini menempatkan posisi sebagai central, bukan saja dalam perkembangan ilmuilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih. 1 Sehingga tepat kiranya langkah yang diambil oleh Quraish Shihab dalam menjawab permasalahan umat.
1
Al Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalahan Hakiki, Edit, Abdul Halim, Jakarta:Ciputat Press, 2002, hlm. 61
53
54
Ada pun metode yang dipilih Quraish Shihab adalah metode tafsir Maudhu’i (tematik), seperti dalam bukunya yang berjudul “Wawasan AlQur’an : Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat.2 Metode tafsir maudhu’i dimulai sejak masa Rasulullah dan berkembang pesat pada masa setelahnya. Dalam perkembangannya tafsir maudhu’i mengambil 2 bentuk penyajian, pertama, menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan Al-Qur’an dalam satu surat saja. Kedua bentuk penyajian tafsir maudhu’i yang berkembang sekitar tahun enam puluhan. Perkembangan ini didasari oleh para pakar tafsir akan kekurangan penyajian yang pertama, bahwa menghimpun pesan-pesan Al-Qur’an dalam satu surat saja belum menuntaskan persoalan. Quraish Shihab sendiri lebih cenderung menggunakan metode penyajian yang kedua ini. 3 Diakui oleh Quraish Shihab, menerapkan metode tafsir maudhu’i sangat memerlukan keahlian, ketekunan, dan kehati-hatian. Pembaca dan penafsir dituntut merendahkan diri dihadapannya. Di samping itu, pesan ini mengingatkan Quraish Shihab akan sulitnya menerapkan metode maudhu’i dalam menafsirkan pesan-pesan Al-Qur’an. 4 Metode maudhu’i menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawar adalah metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang sebuah masalah atau tema (maudhu’i) serta mengarah pada satu pengertian dan tujuan sekalipun ayat itu cara turunnya 2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’I atas berbagai Permasalahan Umat, Cet. XVII, Bandung : Mizan, 2007 3 Ibid, hlm. xii 4 Ibid, hlm. xiv
55
berbeda (waktu dan tempat) kemudian ditentukan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya, menguraikan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistibatkan darinya, segisegi i’rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi i’jaznya (mu’jizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat Al-Qur’an itu dan oleh karenanya tidak dibutuhkan ayat-ayat lainnya. 5 Gambaran tentang rumitnya menggunakan metode tafsir maudhu’i di atas, memberi kesan bahwa kerendahan hati seorang mufassir menjadi tuntutan yang tidak dapat diabaikan. M. Arkaun, yang mengingatkan Quraish Shihab ketika mengetahui akan menggunakan metode maudhu’i pernah mengkritik para mufassirin dengan menulis “Tafsir” klasik tentu saja tidak tahu apa-apa tentang linguistic tekstual modern dan teori Interpretif. Al Thabari secara naïf dapat memperkenalkan masing-masing dari tafsir dengan rumusan “Allah berfirman…“ Yaqulu Allah, yang secara implisit mempostulasikan penyamaan total tafsir dengan makna yang dikehendaki, dan tentu saja dengan isi semantik kata-kata dalam setiap ayat tafsir-tafsir kontemporer jelas tidak belum terbebas dari kenaifan semacam itu…”. 6 Arkoun hendak menunjukkan bahwa para mufassir akan sering mudah terjebak dalam kenaifan yang memposisikan hasil karyanya dengan Al-Qur’an yang merupakan karya Allah SWT, walaupun secara implisit. Kenaifan itu tidak hanya dilakukan oleh para mufassir klasik, melainkan juga dilakukan oleh 5 6
Op.cit, Al-Qur’an membangun tradisi …, hlm. 74 Mohammad Arkon, Rethingking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 66
56
para mufassir modern di tengah-tengah majunya ilmu pengetahuan serta arus distribusi ilmu dan informasi dapat diakses oleh manusia dengan cepat. Tidak ada seorang pun, bahkan pada masa pertama kali diwahyukan, dapat mengklaim memahami seluruh kandungan Al-Qur’an. Pembaca dan pendengar diwajibkan menggunakan akal dan pengetahuannya terhadap konteks untuk menafsirkan ayat. Pendekatan terhadap Al-Qur’an kiranya harus dilakukan dengan pendekatan kritis dan dilakukan secara kolektif, memuat kebebasan berpendapat serta menafsirkan dan memasukkan “pandangan dunia” dan pengetahuan terhadap ruang dan waktu yang berbeda. 7 Perbedaan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an antara seorang mufassir dengan mufassir lainnya, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan latar belakang pemikiran, kondisi sosial keagamaan, dan metode yang mereka gunakan sehingga penting bagi mufassir mengedepankan prinsip bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. 8 Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata, Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerje`mahkan dan menyampaikan pesan7
Muhammad Shahrur, metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : ELsaq Pres, 2004 hlm. 14 8 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKis, 2003, hlm. 336
57
pesan Al-Qur’an dan konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar Al-Qur’an lainnya. B. Analisis materi Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab yang termaktub dalam kitab Al Mishbah Surat Al-Furqan ayat 63-74. Dalam Surat Al-Furqan ayat 63-74 dipaparkan tentang pendidikan akhlak seperti berinteraksi dengan orang lain dengan penuh kerendahan hati dan kesabaran, tidak bersikap kasar, serta tidak menyakiti orang lain menjawab sapaan orang-orang bodoh dengan kata-kata yang membawa pada keselamatan, selalu melalui malam-malam yang sepi dengan mendekatkan diri kepada Allah yaitu melakukan sholat malam dan ibadah-ibadah lainnya dikala orang lain sedang terlelap tidur, selalu berdo’a kepada Allah agar dihindarkan dari api neraka meskipun telah melakukan ibadah dengan segala kemampuan yang dimiliki, tidak berlebihan dalam menginfakkan harta dan tidak bakhil dengannya, tidak membunuh orang kecuali dengan alasan yang dibenarkan syara’ menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan zina. Era global yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi melahirkan massifikasi komunikasi dan informasi yang pada gilirannya mengakibatkan perubahan yang luar biasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia perubahan tersebut satu sisi membawa kebahagiaan, karena manusia menjadi sangat mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, kegelisahan karena massifikasi komunikasi dan informasi menyebabkan bergesernya nilai-nilai moral (akhlak) dalam kehidupan masyarakat.
58
Banyak perbuatan yang dahulu dinyatakan buruk, sekarang menjadi baik sebaliknya banyak juga perbuatan yang dahulunya dinyatakan baik sekarang dinyatakan kuno, kolot, tidak modern, dan kemudian ditinggalkan. Melihat kenyataan tersebut orang mulai mempertanyakan bagaimana peran penerapan ilmu akhlak dalam kehidupan manusia. Apakah dia hanya sekedar nilai sopan santun atau tatakrama lahiriah yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kepentingan seseorang dan kondisi yang ada atau sebaliknya nilai-nilai tersebut merupakan suatu yang bersifat tetap dan mengikat setiap orang dimana dan kapan pun ia berada. Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab baik dan buruknya manusia sangat ditentukan oleh akhlaknya. Apabila akhlak yang baik sudah terbentuk pada diri seseorang, maka akhlak tersebut harus dijaga dengan cara mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab apabila dibiarkan maka akhlak tersebut akan hilang dari diri seseorang. Oleh karena itu, orang tua berkewajiban untuk mendidik dan mengajari anak-anaknya melakukan perbuatan antara lain dengan membiasakan anak-anaknya melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk dan keji, sejak kecil pembiasaan ini sangat penting agar pada saat dewasa anak sudah biasa melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk. Pendidikan akhlak adalah pendidikan tentang prinsip-prinsip akhlak mulia yang harus diketahui, difahami, dihayati dan kemudian dipraktekkan oleh setiap anak dalam kehidupan sehari-hari orang tua sebagai penanggung jawab
59
utama pendidikan akhlak, harus betul-betul memperhatikan dan mengawasi anak-anaknya, agar mereka tidak terbiasa dengan kebohongan, ketidakjujuran perkataan dan perbuatan yang buruk, dan tindakan-tindakan lain yang dapat menyeretnya kedalam kehinaan hidup di dunia dan kesengsaraan hidup di akhirat. Caranya dengan membiasakan mereka berkata dan bertindak benar, berlaku jujur, dapat dipercaya, patuh kepada orang tua, menyayangi orang lain, menghormati tamu, selalu berusaha meminta maaf, dan memberi maaf, menghormati
orang lain, menolong orang lain yang membutuhkan
pertolongan, berbuat baik kepada kawan-kawannya dan lain sebagainya. Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 63 sampai ayat 74 ini menguraikan sifat-sifat hamba Allah, Thahir Ibn ‘Asur mengamati bahwa sifat-sifat yang disandang oleh hamba-hamba Ar-Rohman itu terdiri dari empat sifat pokok.9 Pertama berkaitan dengan menghiasi diri dengan kesempurnaan agama yaitu yang diuraikan oleh ayat 63 yakni yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berucap salam. Kedua berkaitan dengan keterbebasan dari kesesatan kaum musyrikin yaitu: tidak menyembah tuhan yang lain bersama Allah (penggalan pertama ayat 68). Ketiga berkaitan dengan istiqomah/konsistensi melaksanakan syariat Islam, yaitu yang dilambangkan oleh ayat 64, 67, tidak membunuh jiwa yang
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: lentera hati, 2002)
60
diharamkan Allah kecuali dengan haq, dan tidak berzina (ayat 68) sampai dengan penggalan pertama ayat 72 yakni orang yang tidak bersaksi palsu. Keempat berkaitan dengan peningkatan kualitas kesalehan dalam kehidupan dunia ini yaitu yang dikandung oleh ayat 74 menyangkut pasangan hidup dan anak keturunan serta keteladanan bagi orang-orang bertakwa. C. Analisis Relevansi Materi Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab yang Termaktub dalam Al Misbah Surat Al-Furqan Ayat 63 sampai Ayat 74 Pada Masa Sekarang Pendidikan dapat diartikan sebagai proses transformasi budaya, yang dalam kegiatan tersebut ada nilai-nilai yang diwariskan kegenerasi berikutnya, nilai-nilai yang ada dalam materi pendidikan akhlak tersebut di atas masih sesuai dan relevan untuk diwariskan kegenerasi selanjutnya, karena sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk beragama, dan bersifat universal. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang termaktub dalam Al Misbah Surat Al-Furqan ayat 63 sampai ayat 74, bila disampaikan kepada anak didik secara terus menerus dan sistematis bisa membentuk pribadi dan watak seorang muslim yang tangguh, sehingga bisa menampilkan dan mengaplikasikan nilainilai ajaran islam dalam kehidupannya. Apalagi di zaman globalisasi, dimana sekat-sekat sudah tidak ada, dunia serasa menyempit, pengaruh dan budaya asing adalah hal yang niscaya dan mesti menerpa kita, sehingga diperlukan prinsip agama yang kokoh dengan pendidikan keimanan yang benar dan lurus, untuk menghadapi pengaruhpengaruh asing (yang kadang menyesatkan) tersebut.
61
Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak terpuji yang tercakup dalam Surat Al-Furqan ayat 63 - 74 ini antara lain :10
Berinteraksi dengan orang lain dengan penuh kerendahan hati dan kesabaran , tidak curang dan bersikap kasar serta tidak menyakiti orang lain.
Menjawab sapaan orang bodoh dengan kata-kata yang membawa kepada keselamatan. Artinya tetap menyambut sapaan mereka, namun tidak berbincang-bincang mengenai hal-hal yang tidak bermanfaat atau dengan kata lain, bersikap bijak dalam menghadapi orang – orang bodoh dan tidak membalas sikap keras mereka.
Selalui melalui malam – malam yang sepi dengan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu melakukan sholat malam dan ibadah – ibadah lainnya dikala orang lain sedang terlelap tidur.
Selalu berdo’a kepada Allah agar dihindarkan dari api neraka meskipun telah melakukan ibadah dengan segala kemampuan yang dimiliki.
Tidak berlebihan dalam menginfakan harta dan tidak bakhil denganya.
Sifat yang terpenting adalah menjauhi semua yang membawa kepada kesyirikan.
Tidak membunuh orang kecuali dengan alasan yang dibenarkan syara’.
Menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan zina.
10
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak mulia (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm.182
62
Hal-hal inilah yang menjadikan karakteristik umat islam yang membedakan mereka dari umat lain. Sedangkan siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji dan tercela, seperti menyekutukan Allah,membunuh dan lain-lain maka balasannya adalah siksa yang amat pedih dan berlipat ganda, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan melakukan amal kebajikan. Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat mulia diatas pasti akan mendapatkan balasan yang terbaik disisi Allah, yaitu mendapatkan derajat yang tinggi di surga dengan kemuliaan, kehormatan dan kekal di dalamnya. Dewasa ini, musuh-musuh Islam negara-negara yang memiliki power dan lebih maju dalam bidang Iptek dan sains dengan bebagai cara berhasil menguasai umat islam dalam semua segmen. Mereka mampu menguasai wilayah, kekayaan, pemikiran, kebudayaan dan kekuatan militer umat Islam. Musuh-musuh Islam yang terdiri dari orang-orang Yahudi, Salibis, dan Ateis, berhasil mengkontaminasi pemikiran dan system pendidikan umat Islam. Mereka juga berhasil mencuci otak orang-orang islam yang belajar di negaranegara mereka. Orang-orang ikhlas yang mempunyai intens terhadap islam dalam menghadapi konspirasi musuh-musuh islam tersebut melakukan balance dengan cara mengajak umat islam untuk berhati-hati dan menjauhi apa yang menjadi agenda musuh-musuh islam itu. Dekadensi moral sekarang menjangkiti setiap individu muslim dan mengikis loyalitas mereka kepada ajaran Islam. Loyalitas umat sedikit demi sedikit berpindah kepada budaya barat yang sangat bertentangan dengan ajaran
63
Islam, padahal orang-orang barat sendiri sangat membenci islam. 11 Dekadensi moral tersebut menjalar ke Negara-negara muslim melalui pasukan-pasukan Imperialis Barat yang dibekali dengan berbagai media beserta perangkatnya, dengan satelit yang menayangkan siaran-siaran porno dan tindakan-tindakan kriminalitas dengan segala bentuknya, tidak cukup dengan itu, tindakantindakan amoral tersebut ditransfer melalui buku, film, makalah-makalah serta kisah-kisah yang bertujuan mengikis habis akhlak islam. 12 Orang-orang islam yang terlena akhirnya mengikuti orang-orang barat dengan melupakan agama dan hukum halal, harom yang ditetapkan oleh islam. Mereka menganggap bahwa semua itu merupakan bagian dari kemajuan, pencerahan, kebebasan, dan pelepasan diri dari belenggu agama. Orang-orang muslim harus menghadapi badai gelombang dekadensi moral tersebut dengan berbagai cara disertai dengan keimanan yang kuat. Sehingga dengan demikian mereka dapat menyelamatkan diri, generasi dan masyarakat mereka yang muslim. Orang-orang muslim harus terus berusaha sekuat tenaga memerangi dekadensi moral tersebut dan menyadarkan mereka yang telah terjerumus kedalamnya hingga bertobat kepada Allah SWT, kembali kepengakuan agama dan menunaikan akhlak yang tiada bandingannya itu. Pendidikan akhlak dalam islam berbeda dengan pendidikan-pendidikan moral lainnya karena pendidikan akhlak dalam islam lebih menitik beratkan pada hari esok, yaitu hari kiamat beserta hal-hal yang berkaitan denganya, seperti perhitungan amal, pahala, dan 11 12
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak mulia (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 61-62 Ibid , hlm. 63
64
dosa. Dari sini tampak bahwa pendidikan akhlak dalam islam menyandingkan dan menyeimbangkan antara 2 sisi kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.13 Peran akhlak Islam sangatlah besar bagi manusia, karena ia cocok dengan realitas kehidupan mereka dan sangat penting dalam mengantarkan mereka menjadi umat yang paling mulia disisi Allah. Secara garis besar, pendidikan akhlak islam ingin mewujudkan masyarakat beriman yang senantiasa berjalan di atas kebenaran. Masyarakat yang konsisten dengan nilainilai keadilan, kabaikan dan musyawarah.Disamping itu, pendidikan islam juga bertujuan menciptakan masyarakat yang berwawasan, demi tercapainya kehidupan manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme yang mulia. Pendidikan akhlak islam mempunyai pengaruh efektif dalam setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh orang muslim. Ia dapat berpengaruh pada keimanan, keislaman dan kebaikan yang dilakukan setiap muslim. Disamping itu
pendidikan
akhlak
akan
dapat
mempengaruhi
seseorang
dalam
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta dalam jihadnya di jalan Allah. Hal itu disebabkan semua amal kebaikan tidak akan mencapai kesempurmaan dan tidak akan diterima disisi Allah, kecuali jika diiringi dengan keikhlasan dan kebenaran, serta berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad SAW, jadi, nilai-nilai akhlak yang diajarkan islam dimaksudkan agar manusia melakukan amal perbuatannya secara benar. Pengaruh akhlak Islam tidak hanya dirasakan oleh internal orang-orang muslim saja, akan tetapi pengaruhnya juga dirasakan oleh orang-orang
13
Ibid , hlm. 161
65
nonmuslim, baik yang berada diantara orang-orang muslim maupun diluarnya. Hal ini dikarenakan islam telah mengatur dan mengajarkan kepada umatnya tentang etika berinteraksi dengan sesamanya ataupun dengan golongan selain mereka. Hanya orang-orang berakhlak mulia yang mampu konsisten dengan nilai-nilai akhlak islam dalam berinteraksi sesama manusia. Karena hanya merekalah yang mampu berlaku adil meskipun kepada para musuh.