NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KISAH NABI IBRAHIM (Kajian Tafsir QS. Ash-Shaffat ayat 100-110)
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh : Nurul Utami Bahri (108011000047)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
v
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PNMBIMBING
NABI NILAI-NILAI PENDTDIKAI{ TAUHID DALAM KISAH IBRAHIM (Kaiian Tdsir SuratAs-Shaffit ayat100-1ru) Keguruan skripsi ini DiajukanKepadaFakultasIlmu Tarbiyahdan MemperolehGelar Untuk MemenuhiPersyaratan SarjanaPendidikantslarn(S.Pd't; Oleh: Nurul Utami BahEi 1000047 10801
Di BawahBimbingan:
DR. H. Ansqri.LAL. MA NIP: 1502714726
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM I.J}TIVERSITASISLAM NEGERI SYARTF IIIDAYATULLAH JAKARTA
1434W2013M
':, 7 :
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul; "Nilai-nilai Pendidilmn Tauhid Dolam Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir Q.SAsh-Shaffatayat 100-110)" diajukan kepadaFakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islarn Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasahpada tanggal 03 Mei 2013 di hadapanpara penguji. Oleh karenaitu, penulis berhak memperolehgelarsarjanaS1 (S.Pd.I)dalambidangPendidikanAgamaIslam. Jakarta.27 Mei2013
PAITITIA UJIAN MT]NAQASAH KetuaPanitia(KetuaJurusan/Prodi)
Tanggal
Bahrissalim.MA. I 002 NIP: 19680307199803 Sekretaris(SekretarisJurusan/Prodi) Drs. SapiudinShidiq.M.Ag. 100I NIP: 19670328200003 Penguji I Drs. H. M. Elman Sadri NIP:150203 320 Penguji II Dr. $uryrin. M.Ag NIP: 19660911995031001
t9/ /05
-t3
TandaTangan
v
SURAT PERI{YATAAN KARYA SENDIRI
Sayayangbertandatangandi bawahini: Nama
Nurul UtamiBahri
NIM
1000047 10801
Tempa#TglLahir
Jakarta16April 1990
Jurusan
AgamaIslam(PAI) Pendidikan Nilai-Nilai PendidiknnTauhidDalamKisahNabi lbrahim
JudulSkripsi
(Kajian Tafsir SuratAs-Shaffatayat 100'l1A) DosenPembimbing : DR. H. Ansori,LAL, MA Dengan ini menyatakan,bahwa skripsi yang sayatulis ini benar-benarhasil karya sayasendiri dan sayabertanggungiawabsecaraakademisatasapayang saya tulis dalamskripsiini.
Jakartat0 April 2013
NIM: 108011000047
ABSTRAK NAMA: NURUL UTAMI BAHRI, NIM: 108011000047, NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KISAH NABI IBRAHIM (KAJIAN TAFSIR SURAT ASH-SHAFFAT AYAT 100-110).
Kata Kunci : Pendidikan Tauhid-Nabi Ibrahim Pendidikan pada dasarnya mendidik manusia agar menjadi manusia seutuhnya, mempersiapkan diri untuk menjadi sosok manusia yang mandiri dan dapat menopang dirinya kelak. Pendidikan sejatinya diberikan untuk membekali dirinya karena pada dasarnya anak adalah kertas putih, dengan pendidikan anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang kearah yang lebih baik dengan berlandaskan al-Qur’an. Pendidikan tauhid merupakan proses pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Tauhid merupakan bagian utama dan pertama yang harus ditanam secara utuh dan integral dalam diri manusia, sebab dari konsep tauhid inilah kita akan memulai perumusan hakikat dan tujuan pendidikan Islam, sebagaimana yang diinginkan Al-Qur’an agar manusia mengabdi kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Bila dihubungkan masalah tauhid dengan al-Qur’an maka akan banyak ayat yang berhubungan dengan tauhid, karena al-Qur’an adalah kitab tauhid terbesar dan terlengkap umat Islam. Dan jika difokuskan masalah tauhid dengan bapak tauhid yakni Nabi Ibrahim dapat dilihat dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-110. Sosoknya yang luar biasa yang dapat mendidik anak-anaknya menjadi jiwa-jiwa teguh terhadap agama Allah dapat kita tiru dan ambil pelajaran dari kejadian tersebut. Dalam dalam ayat tersebut dapat direnungkan betapa besar perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah. Dalam tulisan ini akan diuraikan seperti apa para ulama memaknai ayat yang disebutkan di atas. Pendapat-pendapat para ahli tentang nilai-nilai pendidikan tauhid dalam ayat. Pentingnya pendidikan tauhid bagi orang tua adalah karena orang tua merupakan panutan dalam keluarga dan mempunyai tanggungjawab atas anak-anaknya. Orang tua yang dapat memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya akan dapat membentuk karakter anak menjadi anak yang bukan hanya taat pada dirinya namun kepada Allah Swt.
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KISAH NABI IBRAHIM (SUATU KAJIAN TAFSIR QS. ASH-SHAFFAT AYAT 100-110). Sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, para istri, dan para sahabatnya. Dari usaha beliaulah Islam berkembang luas di seluruh belahan dunia, dan berkat beliau pulalah manusia dapat menemukan jalan kebenaran yang dihiasi dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan, bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. DR. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. 2. Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Bahrissalim, MA. 3. Sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Drs. Sapiudin Sidiq, M.Ag. 4. Bapak DR. H. Ansori, LAL, MA sebagai dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini, dimana telah banyak memberikan saran dan kritik guna menyelesaikan tulisan ini. Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang diberikan serta dapat menjadi orang yang berguna dalam masyarakat. 5. Semua dosen UIN Syarif Hidayatullah, yang telah menyumbangkan berbagai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI).
6. Bapak kepala perpustakaan utama beserta dengan semua stafnya yang telah bersedia dan memperbolehkan penulis untuk melakukan penelitian di tempat dan mengambil referensi sebagai rujukan penulisan skripsi ini. 7. Ayahanda Saeful Bahri dan Ibu Munawaroh tercinta, satu dari harapan kalian telah ananda penuhi. Semoga harapan-harapan yang lain dapat ananda wujudkan. Tiada kata yang pantas lagi ucapkan selain ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala pengorbanan kasih sayang dan dukungan serta kesabaran yang tak terhingga. 8. Adik-adiku tersayang Zahra Septiani Bahri dan Fahrul Rozi yang membuat penulis semangat. 9. Kepada suamiku tercinta “Mas Haryanto” terimakasih atas kasih sayang, perhatian, menunggungu dengan sabar hingga penulisan ini dapat selesai. 10. Teman-teman
seperjuangan
PAI B
angkatan
2008 terlebih
khusus
Fatimatuzzahra, Neneng Khoirunnisa serta Linda Purnamasari yang selalu memberikan motivasi, pengalaman, pengetahuan, dan dukungan pada penulis. 11. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah ikhlas memberikan bantuan, dukungan, dan hiburan, sehingga penyusunan tulisan ini dapat diselesaikan tanpa mengalami rintangan yang banyak dan berarti.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan doa semoga Allah Swt memberikan balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan pembaca. Amin.
Jakarta, 10 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ……………….
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ……………………....
ii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI …………………..…..
iii
ABSTRAK ………………………………………………………...….… iv KATA PENGANTAR …………………………………………………
v
DAFTAR ISI ……………………………………………………...……
vi
………………….………………...………
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
..………………….….………..
1
……………………………………
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………
7
D. Tujuan Penelitian
……………………………………
8
E. Manfaat Penelitian
……………………………………
8
F. Metodologi Penelitian ……………………………………
8
……………………………
9
B. Identifikasi Masalah
G. Metode Pengumpulan Data
H. Metode Analisis Data ……………………………………
10
BAB II KAJIAN TEORI ……………………………………………
12
………................…...............……
12
……...............................................
12
2. Pengertian Pendidikan Islam …………...………………
13
3. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam
...........................
15
.......................................................
16
b. Dasar Tambahan .......................................................
17
A. Nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai
a. Dasar Pokok
4. Tujuan Pendidikan Islam
.............................................
17
B. Tauhid ...............................................................................
19
1. Ilahiyat
……….......................................................
20
2. Nubuwat
……….......................................................
20
3. Ruhaniyat
……...........................................................
20
4. Sam’iyyat
………………………………….……….
5. Pendidikan Tauhid C. Kisah
20
......................................................
31
…………………………………………….…..…
33
1. Pengertian dan Macam-macam Kisah
...........................
33
2. Hikmah Kisah ................................................................
35
3. Kisah Nabi Ibrahim
.......................................................
35
BAB III TAFSIR QS. ASH-SHAFFAT AYAT: 100-110 …..…...…
38
A. Ayat dan Terjemahan QS. Ash-Shaffat: 100-110 …….......
39
B. Arti Kosa Kata …………………………………………....
40
C. Pendapat Para Mufassir QS. Ash-Shaffat: 100-110 ……..... 41 D. Nilai-nilai Pendidikan Tauhid Dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-110
………………………………………........
46
1. Tauhid membebaskan jiwa dari penyembahan dan tunduk …………………………………....
46
2. Tauhid membentuk pribadi manusia yang tangguh ….
47
Pada selain Allah
3. Tauhid merupakan sumber keamanan bagi manusia …. 47 BAB IV HASIL PENELITIAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM QS. ASH-SHAFFAT AYAT 100-110 .................... A. Pendidikan Keimanan
49
......................................................
51
................................................
51
2. Iman Kepada Para Malaikat ........................................
53
3. Iman Kepada Para Rasul ...........................................
55
4. Iman kepada Hari Akhir
58
1. Iman Kepada Allah
...........................................
5. Iman Kepada Takdir (Qadar)
...............................
60
BAB V PENUTUP ...............................................................................
63
A. Kesimpulan
...................................................................
63
B. Saran
...................................................................
64
…………..……………………….……....
65
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk Allah, ciptaan Allah dan secara kodrati merupakan makhluk beragama atau pengabdi Allah, seperti tercermin dalam sabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:
ما من مىلى د ا ﻻ ايى لد علي الفطرة فٲ بىا ه يهى د ا نو ٲ و ينصر ﺃ نو ٲ و يمجسا نو )(روه مسلم “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. Muslim) Sesuai dengan fitrahnya tersebut, manusia bertugas untuk mengabdi kepada Allah, seperti difirmankan Allah sebagai berikut: )١٥ : ١۱/ﻟﺬاڔﻳﺎت۱)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku .(Q.S. Adz-Dzariyat/51: 56)
2
Pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan, serta petunjuk dan kesesatan. Ia mampu membedakan kebaikan dan keburukan, serta mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan keburukan. Sebenarnya kemampuan ini secara kodrati secara potensial telah ada pada dirinya. Melalui bimbingan-bimbingan dan berbagai faktor lain, bekal tersebut dibangkitkan dan terbentuk. Ia adalah ciptaan yang fitri.1 Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk menerima nilainilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan prilakunya. Manusia memang bukan malaikat, yang selamanya istiqomah dalam kebenaran, tetapi juga bukan setan yang selamanya dalam kebathilan, kekufuran kemaksiatan dan senantiasa mengajak manusia ke jalan yang dilarang Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya itu bisa berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan. Hal ini amat bergantung pada pilihannya tadi, apakah manusia mengisi jiwa atau kalbunya dengan ketakwaan atau dengan kesesatan. Apabila yang dipilihnya itu ketakwaan, maka kolbu (fungsi rohaniah sebagai perpaduan antara akal dan rasa) akan menggerakkannya untuk berperilaku yang bermakna (beramal sholeh), dan berpribadi mulia. Tetapi apabila yang dipilihnya kesesatan, maka dia akan berpribadi mufsid (pembuat keonaran dimuka bumi).2 Untuk itu betapa pentingnya pendidikan Islam dan pendidikan agama yang terdiri dari tauhid, fiqih, dan akhlak terutama bagi anak, “Anak adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, kekuatan maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah, anak mempunyai bakat-bakat yang harus dikembangkan. Ia juga mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran yang belum matang.”3 Disamping itu, ia mempunyai berbagai kebutuhan seperti kebutuhan akan pemeliharaan jasmani; makan, minum, dan pakaian. Kebutuhan akan kesempatan 1
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 29 Syamsu Yusuf LN & A. Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011) h.213 3 Hamdani Ihsan & A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) h.119 2
3
berkembang, bermain-main, berolah raga dan sebagainya. Selain itu anak juga mempunyai kebutuhan rohaniah, seperti kebutuhan akan ilmu pengetahuan duniawi dan keagamaan, kebutuhan akan pengertian nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan. Kebutuhan akan kasih sayang dan lain-lain. Pendidikan Islam harus membimbing, menuntun, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik dalam berbagai bidang tersebut diatas. Pendidikan tauhid seyogyanya diajarkan di lingkungan keluarga masingmasing oleh orang tua, di lingkungan sekolah oleh ibu/bapak guru, di lingkungan masyarakat oleh masyarakat sekitar. Pendidikan tauhid disini sama-sama bertujuan menanamkan nilai pendidikan agama kepada anak difokuskan menjadi perilaku sehari-hari dalam kehidupan. Tetapi terkadang orang-orang dilingkungan rumah maupun masyarakat tidak mendukung pembentukan nilai-nilai pendidikan agama Islam ini diperparah dengan masuknya budaya luar dan teknologi yang semakin cangih, untuk itu keluarga sebagai lembaga pendidikan semestinya menjadi pusat pembentukan tauhid melalui al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an begitu banyak memuat aspek kehidupan manusia. tidak ada rujukan yang begitu tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur‟an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya baik yang tersirat maupun tersurat tidak tidak akan pernah habis digali dan dipelajari. Dalam buku Abudin Nata yang berjudul al-Qur‟an dan hadits terdapat beberapa istilah para ahli mengenai definisi al-Qur‟an yakni sebagai berikut: 1. Menurut Manna‟ al-Qathan, al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya adalah Ibadah. Term kalam sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan (diidhafatkan) kepada Allah (kalamullah), maka tidak termasuk dalam istilah al-Qur‟an perkataan yang berasal selain dari Allah, seperti perkataan manusia, jin dan malaikat. 2. Definisi lain mengenai al-Qur‟an dikemukakan oleh al-Zarqani sebagai berikut: al-Qur‟an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dari permulaan surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Naas. 3. Abdul Wahab Khallaf memberikan definisi: al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-
4
Ruhul Amin (Jibril As) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, menjadi undangundang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya.4 Al-Qur‟an banyak menyoroti mengenai masalah ketuhanan (tauhid). Kepatuhan dan loyalitas kepada Allah sangat diperlukan manusia untuk meneguhkan keyakinan dan memusatkan seluruh pengabdian kepada satu penguasa tunggal. Tanpa ada kepatuhan yang disertai pengakuan kepada satu „pusat hidup‟, keberadaan manusia menjadi hampa moral dan spiritual. Telah diyakini bahwa al-Qur‟an
berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-
ajarannya disampaikan secara variatif serta dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa informasi, perintah, larangan dan ada yang dimodifikasi dalam bentuk kisah-kisah yang mengandung ibrah, yang dikenal dengan kisah-kisah al-Qur‟an. Al-Qur‟an datang membawa kisah-kisah yang berguna bagi pembinaan rohani manusia. Ia diungkapkan dengan susunan bahasa dan kata-kata yang indah, lebih dari itu al-Qur‟an mengandung arti yang sangat dalam dan sempurna. Dan alQur‟an telah menerangkan betapa pentingnya cerita atau kisah bagi pendidikan, salah satunya adalah pendidikan tauhid. Menurut Misri A Muchsin bahwa Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah. “Al-Qur‟an yang merupakan sumber inspirasi, pedoman hidup dan sumber tata nilai bagi umat Islam. Sekitar dua pertiga dari keseluruhan ayat al-Qur‟an yang terdiri atas 6660 ayat lebih itu, memiliki nilai-nilai atau norma sejarah.”5 Selain itu pula dalam sebuah cerita atau kisah-kisah mengandung unsur hiburan dan manusia membutuhkan hiburan untuk meringankan kehidupan seharihari, selain itu dalam cerita atau kisah juga terdapat unsur tertentu yang dapat menjadi model dan teladan bagi pembentukan watak seseorang.
4 5
Cet.1 h.23
Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Rajawali Press, 1992) h.54-56 Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002)
5
Didalam al-Quran itu sendiri terdapat kisah-kisah umat terdahulu salah satu yang dapat diambil ibrah yakni kisah dari bapak tauhid kita Nabi Ibrahim as dalam Q.S. Ash-Shaffat: 100-110. Sifatnya yang sabar, teguh pada pendirian, taqwa dapat di contoh, terutama untuk mendidik anak untuk menjadi anak yang sholeh. Nabi Ibrahim berhasil mencetak anak yang patuh, tunduk, sholeh, sabar bukan hanya pada dirinya sendiri melainkan kepada Allah. Anaknya (Ismail) rela menyerahkan nyawanya sekalipun untuk mematuhi perintah Allah melalui mimpi Ayahnya. Sebenarnya masih banyak kisah-kisah dari umat terdahulu yang dapat kita ambil pelajaran didalamnya. Namun saya disni lebih tertarik untuk mengungkap kisah Nabi Ibrahim sebagai bapak tauhid dan didalam al-Qur‟an dijelaskan pula terdapat dua orang Nabi yang dapat dijadikan suri teladan yang pertama yaitu Nabi Muhammad dan yang kedua yakni Nabi Ibrahim. Seperti firman Allah yang berbunyi: (٤ : ٠٦/)الممتحنح
. . .
Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia. (QS. Al-Mumtahanah/60: 4) Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/tesis/disertasi diperpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan tauhid dalam dalam kisah Nabi Ibrahim (kajian tafsir Q.S ash-Shaffat: 100-110) belum penulis temukan secara khusus. Namun yang menggunakan istilah nilai-nilai pendidikan hanya ada sebuah skripsi saudari Moh. Hanafi (2009), Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Ibrahim AS dengan Puteranya Ismail AS dan Aplikasinya Dalam Pendidikan Islam (kajian Tafsir Q.S Ash-Shaffat: 100-110” , saudara Hanafi tidak menyinggung mengenai
6
tauhid. Dia menjelaskan bahwa pendidikan keimanan mendidik manusia agar senantiasa beribadah kepada Allah, pendidikan akhlak mendidik manusia untuk selalu bersikap kasih sayang dan saling menghormati serta membahas tentang pendidikan komunikasi dan tawadhu yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim. Skripsi saudara Muhammad Nizar (2006), Fakultas Usuludin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis, yang berjudul “Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’kub terhadap anak-anaknya dalam Al-Qur’an (Analisa atas Penafsiran Sayyid Quthb dalam Surat al-Baqarah ayat 132-133”. Dia menjelaskan sedikit tentang tauhid. Saudara M. Nizar mengungkapkan orang tua adalah faktor yang paling penting dalam pembentukan tauhid anak, Nabi Ibrahim dan Nabi Ya‟kub yang merupakan satu silsilah keturunan memerankan adegan wasiat aqidah kepada anaknya karena orang tua memiliki tanggung jawab untuk terus memelihara kelangsungan dan keutuhan akidah anak sampai akhir hayat. Kemudian skripsi berjudul “Tauhid dan Nilai-Nilai kemanusiaan dalam Pandangan Nurkholis Majid” yang ditulis oleh Anwar Sodik (2008), Fakultas Usuludin dan Filsafat, jurusan Aqidah Filsafat. Sedikit menyinggung tentang tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan disebutkan bahwa tauhid dan nilai disini berdasarkan pendapat Nurkholis Majid yang beranggapan seseorang tidaklah dikatakan tauhid kecuali jika disertai dengan sikap pasrah dan keimanan yang murni. Skripsi saudari Lia Angraeni (2011), Fakultas Usuludin, jurusan Tafsir Hadis, menulis “Mimpi menurut Al-Qur’an : Studi Historis Mimpi Nabi Ibrahim As”. Membahas tentang hakikat mimpi, macam-macamnya serta analisa tentang mimpi yang dimana mimpi itu berkaitan dengan mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya (Qurban) Ismail. Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsiskripsi di atas, karena lebih difokuskan kepada nilai-nilai pendidikan tauhid yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim.
7
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diutarakan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun dan mengkaji guna memahami lebih jauh lagi tentang nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kisah Nabi Ibrahim dalam surat Ash-Shaffat ayat 100110 kedalam sebuah skripsi, dengan mengangkat judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KISAH NABI IBRAHIM (Suatu Kajian Tafsir QS. Ash-Shaffat ayat 100-110).”
B. Identifikasi Masalah Seperti yang dipaparkan dalam latar belakang diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian kali ini adalah: 1. Fitrah manusia sebagai hamba Allah dimuka bumi. 2. Tauhid merupakan komponen yang penting untuk pembentukan karakter anak. 3. Faktor-faktor penghambat dan pendukung penanaman nilai-nilai tauhid 4. Penafsiran para ulama tentang QS. Ash-Shaffat ayat 100-110. 5. Penjelasan tentang nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kisah Nabi Ibrahim pada QS. Ash-Shaffat ayat 100-110.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memberikan kejelasan dan karena terbatasnya waktu dalam membahas ini, maka penulis membatasi permasalahan dalam judul skripsi ini, yaitu NilaiNilai Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Nabi Ibrahim Yang Terdapat Dalam Q.S. Ash-Shaffat: 100-110. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang dapat dirumuskan dalam beberapa poin yaitu: 1. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan sehari-hari untuk membangun pembentukan tauhid kepada ummat manusia. 2. Bagaimana Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid Yang Terkandung Dalam Q.S Ash-Shaffat ayat 100-110?
8
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Nilai-nilai Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Nabi Ibrahim QS. Ash-Shaffat ayat 100-110”.
E. Manfaat Setelah mengetahui tujuan tersebut diatas, maka diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan dan diamalkan. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Memberikan khazanah pemikiran atau wawasan bagi ilmu pendidikan Islam pada umumnya dan terutama mengenai Nilai-Nilai Pendidikan tauhid yang terkandung dalam surat Ash-Shaffat ayat 100-110. 2. Bagi pendidik khususnya guru dapat mencontoh cara mendidik yang baik yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. 3. Bagi orang tua sebagai bekal pengetahuan untuk menerapkan nilai-nilai tauhid pada anak sejak dini sebagaimana yang telah terlebih dahulu dipraktekan Nabi Ibrahim kepada putranya Ismail. 4. Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi bahan intropeksi kepada diri sendiri khususnya, bahwa memberikan pendidikan kepada anak merupakan kewajiban bagi umat Islam.
F. Metodologi Penelitian 1. Dokumentasi Dalam penelitian kualitatif peneliti hendaknya mengemukakan data yang dikumpulkan berupa deskripsi, uraian detail.6 Berdasarkan tujuan penelitian,
6
Annur, Jurnal Studi Islam, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur‟an An-Nur, 2004),
vol.II, h.177.
9
jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), menggunakan data atau informasi yang bersifat literature kepustakaan. 2. Sumber Data Sumber data dalam penulisan karya ilmiah ini terbagi menjadi dua sumber, yaitu data primer dan data skunder. a. Sumber Data Primer Dengan mengacu pada metode penelitian, sumber pokok yang menjadi acuan utama sebagai data penelitian karya ilmiah ini adalah tasfir al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut: 1) Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab 2) Tafsir Al-Azhar Karya Abdul Malik Abdul Karim Amrullah 3) Tafsir Al-Qurthubi karya Imam Al-Qurthubi b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber data primer, adapun data skunder dalam penulisan skipsi ini yaitu: 1. Studi-studi Ilmu Al-Qur’an karya Manna‟ Khalil al-Qathan, 2. Buku Induk Kisah-Kisah Alqur’an karya M. Ahmad Jadul Mawla & M. Abu al-Fadl Ibrahim, 3. Ilmu Tauhid karya M. Yusran Asmuni, 4. Kuliah Akidah Islam karya Ahmad Daudy. Semua data diatas masih bersifat sementara dan masih terus memungkinkan untuk ditambah dari sumber-sumber data lain yang mengandung keterkaitan dengan pembahasan penelitian ini.
G. Metode Pengumpulan Data Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan metode tafsrir tahlili yakni menyoroti ayat-ayat alqur‟an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya. 7
7
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), cet-15, h.86
10
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtunan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalamnya. 8 Kemudian, penulis juga menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan secara umum nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat Ash-Shaffat ayat 100-110.
H. Metode Analisa Data Data yang dikendaki dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Oleh karena itu dalam menganalis data tersebut menggunakan metode analisis data atau content analysis, yaitu teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dikalikan secara objektif dan sistematis. Karena content analysis merupakan bagian metode penelitian dokumen. Analisis data menurut Meloeng (1989: 103) sebagaimana dikutip oleh Adang Rukhiyat adalah proses mengorgnisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, katagori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data bermaksud mengorganisasikan data, diantaranya mengatur, mengelompokkan, memberi kode dan mengkatagorikannya. Penorganisasian dan pengelompokkan data tersebut bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.9 Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara sistematis dan ojektif, untuk mendukung hal itu, maka peneliti menggunakan metode: 1. Metode Deskriptif Metode deskriptif adalah membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan adalah analisa kualitatif. Dengan analisa ini akan diperoleh 8
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadits, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.4 9 Adang Rukhiyat, dkk, Panduan Penelitian Bagi Siswa, (Jakarta: Uhamka Press, 2002), h. 103
11
gambaran sistematik mengenai suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria tertentu. Yang akan dicapai dalam analisa ini adalah menjelaskan tentang pokok-pokok penting dalam sebuah manuskrip. 2. Metode Interprestasi Metode interprestasi adalah suatu upaya untuk mengungkapkan atau membuka suatu pesan yang terkandung dalam teks yang akan dikaji, menerangkan pemikiran tokoh yang erat menjadi objek penelitian dengan memasuskkan faktor luar yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
12
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau suatu sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan masyarakat. Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai Agama Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer “berarti hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat atau penting untuk kemanusian”.1 1
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2005), h.103.
13
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang penting atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya”.2 Sedangkan menurut Mohammad Noor Syam mendefinisikan nilai ialah “suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.”3 “Nilai adalah suatu pola normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsi dari bagian-bagiannya.”4 Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumbersumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat-istiadat, tradisi, atau ideologi bahkan dari agama. “Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad Saw, yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama.”5 Berdasarkan pada pendapat diatas, maka penulis dapat menyimpulkan nilai adalah merupakan suatu hal yang bersifat penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia sebagai tindakan yang menjadi norma yang akan membimbing dan membina manusia supaya lebih baik. 2. Pengertian Pendidikan Islam Pengertian pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli meskipun demikian perlu dicermati dalam rangka
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783. 3 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h.133. 4 Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet.V, h.128. 5 Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Press, 2005), h.3.
14
melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan dengan dasar makna maupun dalam kerangka tujuan, fungsi dan proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang dan yang akan datang. Sebelum lebih lanjut menjelaskan tentang pengertian pendidikan Islam penulis akan mengungkap pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 6 HM Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah dalam bukunya Pendidikan Islam menyatakan, istilah pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai “usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat dan bangsa. Dengan demikian maka makna pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiaanya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.”7 Secara umum konsep pendidikan Islam mengacu pada makna dan asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri dalam hubungannya dengan ajaran Islam. Acuan ini didasarkan pada sejumlah istilah yang umum dikenal dan digunakan para pakar dengan istilah al-Tarbiyah, al-Ta‟lim dan al-Ta‟dib. Baik al-Tarbiyah, al-Ta‟lim maupun al-Ta‟dib, merujuk kepada Allah. Tarbiyah yang ditengarai sebagai kata bentukan dari kata Rabb ( )ﺭﺏatau Rabba ( )ﺭﺑﺎmengacu kepada Allah sebagai Rabb al-alamin. Sedangkan ta‟lim yang berasal dari kata „allama, juga merujuk kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha „Alim. Selanjutnya ta‟dib seperti termuat dalam pernyataan Rasulullah SAW. “Addabany Rabby faahsana_ta‟diby” menjelaskan bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah.8
6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional 7
HM Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam “Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi”, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h.1 8 Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) Cet.3, h.73
15
Jadi dapat disimpulkan pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah kepribadian peserta didik menjadi lebih baik, baik dari segi agama, moral, akhlak, kecerdasan dan spiritual. 3. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam Dibawah ini akan dijabarkan beberapa pengertian dasar-dasar pokok pendidikan Islam beserta komponen-komponenya dari beberapa para ahli. Samsul Nizar & Zaenal Efendi Hasibuan dalam bukunya hadis tarbawi mendefinisikan, “dasar adalah landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar dapat berdiri dengan kokoh.dasar berguna sebagai tempat berpijak, akar kekuatan, sesuatu yang fundamental dalam menentukan warna dan karakteristik isi pendidikan.”9 Dalam buku tafsir pendidikan karangan Ahmad Izzan dan Saehudin dijelaskan bahwa “dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberi arah kepada tujuan yang hendak dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.”10 Selanjutnya menurut Prof. Abudin Nata yang dimaksud “dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas pendidikan. Karena pandangan hidup (teologi) seorang muslim disasarkan pada al-Qur‟an dan alSunnah, maka yang menjadi dasar pendidikan Islam adalah al-Qur‟an dan alSunnah tersebut.”11 Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar pendidikan adalah suatu landasan sebagai dasar pokok berdirinya sesuatu yang memiliki kekuatan yang fundamental dalam menentukan warna dan karakteristik mengenai seluruh aktivitas pendidikan yang berorientasi pada al-Qur‟an dan sunnah.
9
Samsul Nizar & Zaenal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011),
h.1 10
Ahmad Izzan & Saehudin, Tafsir Pendidikan; Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, (Pamulang: Pustaka Aufa Media, 2012), Cet.1, h.19 11 Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h.49
16
Pada zaman Rasul paling tidak ada dua kategori utama yang dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam yaitu dasar pokok dan dasar tambahan antara lain adalah sebagai berikut: a. Dasar Pokok 1) Al-Qur‟an Kata Al-Qur‟an berasal dari kata ﻗﺮﺃyang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca. “Dan makna yang dapat diungkap adalah إﻗﺮyang merupakan proses membaca. Tentunya dalam proses membaca ini melibatkan proses mental yang tinggi, melibatkan proses pengenalan (cognition), ingatan (memory), pengamatan (perception), daya kreasi (creatifity) dan proses physiology.”12 “Adapun menurut terminologi al-Qur‟an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang disampaikan melalui perantara Malaikat Jibril, diawali dengan surat Al-Fatihah diakhiri dengan surah An-Nass.”13 Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan al-Qur‟an sebagai dasar pendidikan Islam disamping sunnah beliau sendiri. Al-Qur‟an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur‟an itu sendiri. 2) Sunnah “Sunnah secara bahasa adalah suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau buruk. Makna lain sunnah adalah tradisi yang kontinu. adapun definisi sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi berbentuk apapun baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat.”14
12
Djunaidatul Munawaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan (Perspektif Islam dan Umum), (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), Cet-1, h.113 13 Izzan, op. cit., h.13 14 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet-2, h.5
17
Sunnah atau hadis dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam karena sunnah menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah alQur‟an.
b. Dasar Tambahan 1) Perbuatan dan Sikap Sahabat Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur‟an dan sunnah juga terdapat perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dijadikan pegangan. Seperti Abu Bakar, Umar Bin Khotob, Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. 2) Ijtihad Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan dan kemampuan untuk menetapkan hukum syara‟ dengan jalan mengeluarkan dari alQur‟an dan sunnah. Ijtihad dalam bidang pendidikan ternyata sangat dibutuhkan, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan sunnah hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja. Sementara itu jika dilihat dari segi materi, ijtihad terdiri dari: a) Qiyas (perbandingan) b) Ijma‟ (kesepakatan) c) Istihsan (kebaikan) d) Maslahah mursalah (kemaslahatan umat) e) „Urf (nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat).15
4. Tujuan Pendidikan Islam Setiap perbuatan pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk menuju ke suatu tujuan.
15
Izzan, Op. cit., h.15-20
18
Dikatakan oleh Syaibany yang dikutip oleh Abudin Nata dalam buku filsafat pendidikan Islam, dijelaskan bahwa “tujuan merupakan akhir dari suatu usaha yang disengaja, teratur dan tersusun.”16 Tujuan pendidikan Islam adalah apa yang ingin dicapai melalui proses pendidikan itu. Dengan kata lain, profil manusia yang bagaimana yang ingin dibentuk melalui pendidikan Islam itu. Adapun formulasi atau rumusan tujuan pendidikan Islam itu adalah pencerminan dari cita-cita agama untuk membentuk kepribadian manusia dari hasil proses kependidikan baik yang dilaksanakan oleh lembaga keluarga, pemerintah maupun masyarakat.17 Menurut Al-Ghazali di dalam bukunya HM Djumranjah tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai ialah “Pertama, kesempurnaan manusia yang dekatnya kepada Allah. Kedua, kesempatan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan-tujuan yang dirumuskan tadi.”18 Bila mengacu kepada dimensi tauhid, maka tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada upaya pembentukan sikap takwa. Dengan demikian pendidikan ditujukan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar menjadi hamba Allah yang takwa, karena sifat ketakwaan mencerminkan ketauhidan secara menyeluruh yaitu memenuhi sepenuhnya perintah Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa.19 Ditekankan pula oleh Khoiron Rosyadi “pendidikan Islam itu suatu ikhtiar menanamkan nilai-nilai Islami yang tidak terlepas dari landasan organik (al-Qur‟an dan al-Sunnah) yang sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal) adalah manusia taqwa.”20 Dari beberapa definisi tujuan pendidikan tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan manusia ideal 16
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet.1,
h. 100 17
HM Djumransjah, Op. cit., h. 71 Ibid., h. 73 19 Jalaluddin. Op. cit., h. 94 20 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) , Cet. 1, h. 18
303
19
berdasarkan pada ajaran Islam sebagai sumber utamanya. Yang tujuan akhirnya adalah menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang sekaligus bertakwa kepada Allah.
B. Tauhid Sebelum beranjak mengungkap pengertian pendidikan tauhid, maka penulis akan mengungkapkan terlebih dahulu ruang lingkup tentang tauhid. Menurut Djafar Shabran dalam bukunya risalah tauhid, arti kata tauhid adalah meng-Esakan, berasal dari kata wahid artinya Esa, satu atau tunggal. Yang dimaksud dengan meng-Esakan Allah SWT, dzat-Nya, sifat-Nya, asma‟-Nya dan af‟al-Nya.21 Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir sama yakni : 1. Iman. Menurut Asy „ariyah iman hanyalah membenarkan dalam hati. Senada dengan ini Imam Abu Hanifah mengatakn bahwa iman hanyalah „itiqad. Sedangkan amal adalah bukti iman. Namun tidak dinamai iman. Ulama Salaf di antaranya Imam Ahmad, Malik, dan Syafi‟i, iman adalah “Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh”22 2. Aqidah. “Menurut bahasa ialah keyakinan yang tersimpul kokoh di dalam hati, mengikat, dan merngandung perjanjian. Sedangkan menurut terminologis di antaranya pendapat Hasan al-Banna mengatakan bahwa aqidah ialah beberapa hal yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat mendatangkan ketenteraman, keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu-raguan.”23 Penyusun cenderung kepada pendapat “Yunahar Ilyas yang mengidentikkan
21
Dja‟far Sabran, Risalah Tauhid, (Ciputat: Mitra Fajar Indonesia, 2006), Cet-2, h. 1 Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1995), Cet-3, h.4 23 Ibid., h.1 22
20
antara tauhid, iman, dan aqidah. Tauhid merupakan tema sentral aqidah dan iman.”24 Diantara pengertian tauhid tersebut, ruang lingkup pembagian tauhidnya adalah sebagai berikut: 1. Ilahiyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain. 2. Nubuwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu‟jizat, karamat dan lain sebagainya. 3. Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya. 4. Sam’iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam‟i (dalil naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.25 Telah dipaparkan ruang lingkup pembagaian tauhid, berikut ini adalah penjelasan dari keempat materi diatas: a. Iman Kepada Allah SWT "Allah adalah nama dzat yang Maha Sempurna dan yang Maha Agung dan untuk nama “Allah” juga disebut ism al-jalalah. Dzat-Nya adalah tunggal, tidak terdiri dari unsur-unsur dan bagian-bagan dan tidak ada suatu apa pun yang serupa dengannya.”26 Dan karena itu manusia dilarang berpikir tentang dzat Allah karena tidak dapat mengetahuinya. Manusia dipanggil untuk menggunakan akalnya bagi memikirkan alam ini dan segala isinya, tidak memikirkan dzat Alah yang ghaib itu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. “Esensi iman kepada Allah Swt adalah Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma‟was-shiffaat, maupun af‟al (perbuatan)-Nya.”27 Allah Swt berfirman: 24
Ibid., h. 5 Ibid., h. 6 26 Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet.1, h. 70-71 27 Ilyas, Op. cit., h. 18 25
21
)١٢ :١٢/ )اﻻ ًبيا Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (QS. Al Anbiya/21: 25) b. Iman Kepada Malaikat Secara etimologis kata Malaikah (dalam bahasa Indonesia disebut Malaikat) adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari mashdar al-alukah artinya ar-risalah (missi atau pesan). Yang membawa misi atau pesan disebut ar-rasul (utusan). Dalam beberapa ayat al-Qur‟an Malaikat juga disebut degan rusul (utusan-utusan), misalnya pada surat Hud ayat 49, berbunyi:
)٩٤ :٢٢/ (ھود Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang”. (QS. Hud/11: 49) Bentuk jamak lain dari Malak adalah Mala-ik. Malaikat diciptakan oleh Allah Swt dari cahaya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw:
ْصفَ لَكُن ِ ُخِلكَ أَدَمُ ِهوَا و ُ َ و,ٍخِلكَ اْلجَاىُ هِيْ هَارِجٍ هِيْ ًاَر ُ َ و,ٍخلِمَتِ اْل َولَا ِئكَلتِ هِيْ ًُ ْور ُ Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin dicitakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepadamu semua. (HR. Muslim) “Malaikat lebih dahulu diciptakan dari manusia pertama (Adam As).”28 Iman kepada para malaikat merupakan bagian dari akidah kita. Al-Qur‟an 28
Ilyas, Op. cit., h. 78-79
22
mengabarkan kepada kita bahwa sebahagian malaikat ditugaskan untuk menjaga dan memelihara manusia. Sebagiannya lagi untuk mencatat amal perbuatan mereka, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta‟ala: )٩ :٦٨/ (الطارق Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.(QS. AthThariq/86: 4) )٢٦ :٢٥/ (ق
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf/50: 18) “Para malaikat ditugaskan untuk menjadi penjaga manusia, mencatat dan menghitung amalan. Catatan amalan itu kemudian diserahkan kepada Allah, Robb sekalian alam.”29 Jumlah Malaikat sangat banyak, tidak bisa diperkirakan. Sesama mereka juga ada perbedaan dan tingkatan-tingkatan baik dalam kejadian maupun dalam tugas, pangkat dan kedudukan. Di antara nama-nama dan tugas-tugas Malaikat adalah sebagai berikut: 1) Malaikat Jibril „alaihis salam, bertugas menyampikan wahyu kepada NabiNabi dan Rasul-Rasul. Dalam firman Allah Swt:
)٤٩ :١/(البمرة
Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.(QS. Al-Baqarah/2: 97)
29
Abdullah Azzam, Aqidah: Landasan Pokok Membina Ummat, Terj. Al-Aqidah, wa Atstaruhaa fii binaa il-jali, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Cet-3, h. 23-24
23
Nama lain dari malaikat jibril adalah Ruh Al-Qudus, Ar-Ruh Al-Amin dan An-Namus (sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Waraqah bin Naufal kepada Rasulullah SAW pada permulaan kalinya menerima wahyu. 2) Malaikat, Mikail, bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan alam seperti melepaskan angin, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhtumbuhan dan lain-lain. Nama Mikail disebut dalam surat Al-Baqarah ayat 98:
)٤٦ :١/ (البمرة Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasulrasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah/2: 98) 3) Malaikat Israfil, bertugas meniup terompet di hari kiamat dan hari kebangkitan nanti. Tentang tiupan terompet itu Al-Qur‟an menyebutkan: )٩٧ :٨/ (اﻻ ًعام Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (Al-An‟am/6: 73) 4) Malaikat Maut (Malakul Maut), Malaikat Maut Biasa disebut juga dengan nama Izrail,
bertugas mencabut nyawa manusia dan makhluk hidup
lainnya. Dalam firman Allah Swt:
24
)٢٢ :٧١/(السجدة Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan." (QS. As-Sajdah/32: 11) 5) Malaikat Raqib dan „Atid, bertugas mencatat amal perbuatan manusia.
)٢٩-٢٦ :٢٥/(ق
(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf/50: 17-18) Disamping Raqib dan „Atid, ada lagi Malaikat Kiraman Katibin yang bertugas menuliskan amal perbuatan manusia:
)٢٥-٢١: ٦١/(اﻻًفطار Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar 82: 10-12) 6) “Malaikat Munkar dan Nakir, bertugas menanyai mayat dalam alam kubur tentang siapa Tuhannya, apa agamanya dan siapa Nabinya. Nama Munkar dan Nakir, dalam suatu hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa Al-Qaulu As-Tsabit dalam surat Ibrahim ayat 27
25
adalah jawaban Orang Islam terhadap pertanyaan Malaikat di dalam alam kubur. Sabda beliau.”30 7) “Malaikat Ridwan, bertugas menjaga pintu sorga dan memimpin para Malaikat pelayan sorga.”31 Tentang Malaikat-Malaikat penjaga sorga (Khazanah) Allah berfirman:
)٩٧ :٧٤/(الزهر Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah syurga ini, sedang kamu kekal di dalamnya". (QS. Az-Zumar 39: 73) 8) Malaikat Malik, bertugas menjaga pintu neraka dan memimpin para malaikat menyiksa penghuni neraka. Allah berfirman tentang ucapan penghuni neraka kepada Malaikat Malik: )٩٩ :٩٧/ (الزخرف
Mereka berseru: "Hai Malik Biarlah Tuhanmu membunuh Kami saja". Dia menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini). (QS. AzZukhruf 43:77) 9) “Malaikat yang bertugas memikul „Arasy.”32 Dalam firman Allah: )٩ :٩٥/ (الووهي
30
Ilyas, Op. cit., h. 85 Ilyas, Op. cit., h. 85 32 Ibid., h. 87 31
26
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya...” (Al-Mukmin 40:7) 10) “Para malaikat yang bertugas meminta ampun kepada Allah bagi orangorang yang beriman dan berdoa bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.”33 Allah berfirman:
)٩٧ :٧٧/ (اﻻحزاب Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ahzab/33: 43) c. Iman Kepada Kitab-kitab Allah Secara etimologis kata kitab adalah bentuk mashdar dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Setelah jadi mashdar berarti tulisan, atau yang ditulis. Bentuk jama‟ dari kitab adalah kutub dalam bahasa Indonesia, kitab berarti buku. “Secara terminologis yang dmaksud dengan kitab (Al-Kitab, Kitab Allah, Al-Kutub, Kitab-Kitab Allah) adalah kitab Suci yang diturunkan oleh Alah Swt kepada Nabi dan Rasul-Nya.”34 Di dalam kitab suci al-Qur‟an disebutkan tiga kitb suci yang lain yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Kitab Zabur yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud, dan Kitab Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa AS., dan dua shuhuf, yaitu shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa yang semuanya ini wajib diimani oleh setiap mukmin. Dan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman tentang Kitab Taurat dan Injil:
33 34
Daudy, Op. cit., h. 101 Ilyas, Op. cit., h. 107
27
)٧ :٧/(آل عوراى Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (QS. Ali-Imran 3: 3) Tentang Kitab Zabur, Allah berfirman:
)٩:٢٨٧/ (الٌسا ... Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. An-Nisa/4: 163) Tentang dua shuhuf, Allah berfirman:
)٢٦-٢٤ :٦٩/(اﻻ على Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa. (Al-A‟la 87: 18-19) d. Iman Kepada Nabi dan Rasul Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seseorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt dengan memberinya berita (wahyu). Sedangkan Rasul berasal dari kata ar-sa-la artinya mengutus. Setelah dibentuk menjadi Rasul berarti yang diutus. Dalam hal ini seorang Rasul adalah seorang yang diutus oleh Allah Swt untuk menyampaikan misi, pesan (ar-risalah). Secara terminologis menurut Al-jazairy yang dikutip oleh Yunahar Ilyas bahwa Nabi dan Rasul adalah manusia biasa, laki-laki, yang dipilih oleh Allah Swt untuk menerima wahyu. Apabila tidak diringi dengan kewajiban menyampaikannya atau membawa satu misi tertentu, maka dia disebut Nabi (saja). Namun bila diikuti dengan kewajiban menyampaikan atau
28
membawa misi (ar-risalah) tertentu maka dia disebut (juga) dengan Rasul. Jadi setiap Rasul juga Nabi, tetapi tidak setiap Nabi menjadi Rasul.35 Sebagaimana manusia biasa lainnya Nabi dan Rasul pun hidup secara kebanyakan manusia yaitu makan, minum, tidur, berjalan-jalan, menikah, punya anak, merasa sakit, senang, kuat, lemah, mati dan sifat-sifat manusiawi lainnya. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
)١٥ :١٢/(الفرلاى Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat. (QS. Al-Furqon/25:20) e. Iman Kepada Hari Akhir Beriman kepada hari akhir merupakan salah satu rukun iman, dan salah satu bagian dari akidah. Bahkan ia merupakan unsur penting setelah beriman kepada Allah secara langsung. “Hal ini karena beriman kepada Allah akan mewujudkan ma‟rifat (pengenalan) kepada sumber pertama yang darinya alam semesta ini berasal, yakni Allah. Sedangkan beriman kepada hari akhir akan mewujudkan ma‟rifat (pengenalan) kepada tempat kembali yang kepadanya alam wujud ini akan berakhir.”36 Yang dimaksud dengan Hari Akhir adalah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia yang fana ini berakhir; termasuk semua proses dari peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan (Qiyamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur (Ba‟ats), dikumpulkannya seluruh umat 35
Ilyas, Op. cit., h. 129 Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, Terj. Ali Mahmudi, (Jakarta: Robbani Press, 2006), Cet. 1, h. 429. 36
29
manusia di padang Mahsyar (Hasyr), perhitungan seluruh amal perbuatan tersebut untuk mengetahui perbandingan amal buruk (Wazn), sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka (Jaza‟). “Akan tetapi pembahasan tertang hari akhir dimulai dari pembahasan tentang alam kubur karena peristiwa kematian sebenarnya sudah merupakan kiamat kecil ( Al-Qiyamah As-Sughra).”37 Mengenai datangnya hari kiamat atau terjadinya hari akhir itu termasuk sesuatu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah tidak memperlihatkan kepada siapa pun dari makhlukmakhluk-Nya, baik kepada Nabi-Nya yang diutus, maupun malaikat-Nya yang terdekat.38 Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman: )٧٩ :٧٢/(لمواى Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. (Q.S. Luqman/31: 34) f. Iman Kepada Taqdir Allah Yang dimaksud dengan istilah taqdir, secara etimologi Qadha‟ adalah bentuk mashdar dari kata kerja qadha yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini Qadha‟ adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah Swt terhadap segala sesuatu. Sedangkan Qadar secara etimologis adalah bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini Qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah Swt terhadap segala sesuatu. Secara terminologis ada ulama yang berpendapat kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, dan ada pula yang membedakannya. Yang membedakan, mendefinisikan Qadar sebagai: “Ilmu Allah Swt tentang apaapa yang terjadi pada seluruh makhluk-Nya pada masa yang akan datang”. 37 38
Ilyas, Op. cit., h. 153 Sabiq, Op. cit., h. 441
30
Dan Qadha‟ adalah: “Penciptaan segala sesuatu oleh Allah Swt sesuai dengan Ilmu dan Iradah-Nya”. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa kedua istilah itu sama adalah sebagai berikut: “Segala ketentuan, undang-undang, peraturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah Swt untuk segala yang ada (Maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.39 Didalam al-Qur‟anul-Karim terdapat penyebutan qadar atau takdir berkali-kali. Diantaranya firman-firman Allah sebagai berikut ini:
)٦ :٢٧/(الرعد
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh Setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (Q.S. ar-Rad/13: 8) )١٢ :٢٩/ ( المور
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (Q.S. alQamar/54: 21) “Pelajaran yang dapat diambil dari keseluruhan ayat-ayat diatas adalah bahwa yang dimaksudkan dengan qadar adalah tatanan yang pasti yang telah dibuat oleh Allah untuk alam semesta ini, undang-undang umum, dan hukumhukum yang dipergunakan oleh Allah untuk mengikat antara sebab-sebab terjadinya musababnya.”40
39 40
Ilyas, Op. cit., h. 177-178 Sabiq, Op. cit., h. 146
31
5. Pendidikan Tauhid Setelah terlebih dahulu dijabarkan tentang tauhid beserta lingkupannya maka disini akan diungkapkan pula pengertian tentang pendidikan dan pengajaran tauhid. Manusia secara kodrati membutuhkan pendidikan, salah satu kebutuhan dasar anak memperoleh pendidikan adalah pendidikan Tauhid, aspek tauhid ini adalah: Aspek pandangan yang mengkui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk berketuhananan atau agama adalah didalam jiwa manusia terdapat insting yang disebut insting religius atau garizah diniyah (insting percaya pada agama). Itulah sebabnya tanpa proses pendidikan insting tersebut tidak akan mungkin berkembang secara wajar. Dengan demikian pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting religius atau gazirah diniyah tersebut.41 Apabila pendidikan tidak ada anak-anak akan berkembang kearah yang tidak baik/buruk seperti tidak mengakui Tuhan, budi pekertinya rendah, bodoh dan malas bekerja. Dengan begitu yang dimaksud dengan pendidikan tauhid adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan tulisan tetapi juga – bahkan kini yang terpenting – dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan. Sedangkan yang dimaksud pendidikan dan pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai akidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.42
Islam mengajarkan bahwa proses pendidikan ketauhidan dimulai sejak anak itu lahir kedunia. Ketika seorang anak dilahirkan, islam mengajarkan agar orang tuanya mendengungkan azan ketelinga anak tersebut. “Dengungan azan ini menunjukkan bahwa pendidikan tauhid sudah dimulai sebab azan berisi ajaran 41
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), Cet-2, h.117 42 Asmuni, Op. cit., h. 43
32
ketauhidan. Dengan kata lain, Islam mengajarkan agar suara pertama yang didengarkan anak begitu ia lahir kedunia adalah suara yang mengandung pendidikan ketauhidan. Ajaran seperti ini dipraktekkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW.”43 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan:
رأيت رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم: عه عبيد ﷲ ابه ابى رافع عه ابيه قال أذن فى اذن الحسه به على حيه ولد ته فاطمه با الصالۃ Dari Ubaidullah bin Abi Rafi‟ dari ayahnya, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah SAW mendengungkan azan salat ditelinga Hasan bin Ali ketika ia dilahirkan Fatimah. (HR. Turmuzi) Pendidikan, dalam pandangan tauhid adalah pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Ilahiah (teologis) sebagai landasan etis-normatif dan nilai-nilai insaniah (antropo-sosiologis) dan alamiah (kosmologis) sebagai basis praktis-operasional. Dari perspektif ini dapat diambil formulasi bahwa tauhid dalam pemikiran pendidikan Islam berfungsi untuk mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi “manusia tauhid” yang lebih kurang ideal, dalam arti memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada penegak kebenaran dan keadilan. Berbagai atribut manusia tauhid yang diharapkan lahir dari pendidikan adalah: 1.
Memiliki komitmen utuh, tunduk dan patuh pada Allah. Ia berusaha secara maksimal menjalankan pesan dan perintah Tuhan sesuai dengan kadar kemampuannya.
2.
Menolak segala pedoman dan pandangan hidup yang bukan datang dari Allah.
3.
Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas hidupnya, adat-istiadat, tradisi dan faham hidupnya.
4.
Tujuan hidupnya amat jelas. Ibadatnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya selalu ditunjukan untuk dan demi Allah semata.
43
Ibid., h.43
33
5. Manusia tauhid memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangun bersama manusia-manusia yang lainnya.44 Jadi dengan tauhid seorang muslim diarahkan untuk memiliki pengetahuan („ilm) yang benar dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan yang ada wajib ada (Tuhan). Seorang muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak mengatakan apa-apa kecuali kebenaran. Dengan dasar tauhid seluruh kegiatan pendidikan Islam dijiwai oleh normanorma Ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai Ibadah. Dengan Ibadah pekerjaan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya makna material begitu juga makna spiritual.45
C. Kisah 1. Pengertian dan Macam-macam Kisah Al-Quran telah membicarakan kisah-kisah yang disebutkannya dari para Nabi dan selainnya. Ia menjelaskan hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya, dan bagaimana cara berinteraksi dengannya. Pengertian kisah secara bahasa kisah/etimologi: al-Quran telah menyebutkan kata qashash dalam beberapa konteks, pemakaian dan tashrif (konjugasi) nya: dalam bentuk fi‟ilmadhi (kata kerja lampau), fi‟il mudhari (kata kerja sedang), fi‟il amar (kata kerja perintah), dan dalam bentuk mashdar (kata benda). Imam ar-Raghib al-Ishfahami mengatakan dalam kitab Mufradatnya (alM'ufradat fi Gharib Al-Quran-penj.) tentang kata ini (qashash), “AlQashahu berarti „mengikuti jejak‟. Dikatakan Qashashtu atsarahu „Saya mengikuti jejaknya‟. 46 Al-Qashash ialah berarti „jejak‟ (atsar). Allah ta‟ala berfirman,
44
Irfan, Op. cit., h.100 Nata, Op. cit., h. 50 46 Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Terdahulu jilid-1, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Cet.3, h. 21 45
34
)٨٩ : ٢٦/ )الکھف
....Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (al-Kahfi/18: 64) (٢٢ : ١٦/ )المﺼﺺ... Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan „ikutilah dia‟... (al-Qashhas/28: 11) Al-Qashash ialah cerita-cerita yang dituturkan (kisah). Allah Ta‟ala berfirman, (٨١ : ٧/ )العوراى... Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar... (Q.S. Ali Imran/3:62)
“Qashash Al-Qur‟an adalah pemberitaan Al-Qur‟an tentang hal ihwal umat yang
telah lalu, nubuwat (kenabian) yang tedahulu dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Qur‟an banyak mengandung keterangan kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan jejak umat. Semua ini diceritakan dengan menarik dan mempesona.”47 Diantara macam-macam kisah dalam Al-Qur‟an antara lain sebagai berikut: a.
Kisah para Nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap-sikap orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannnya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. b. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalkan kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati; kisah Talut dan Jalut, dua orang purta Adam, penghuni gua dan lain-lain. 47
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi-Stud iIlmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010), Cet. 13, h. 436
35
c. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar, perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalm surat at-Taubah, perang Ahzab dalam surat Ahzab, hijrah, isra dan lain-lain.48
2. Hikmah Kisah Dari kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟an mengandung beberapa hikmah, antara lain sebagai berikut: a. Menjelaskan kebalagah-an Qur‟an dalam tingkat paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. b. Menunjukkan kehebatan mukjizat Qur‟an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur‟an itu datang dari Allah. c. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat pada jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian. Dan sekalipun kisah itu sering di ulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surah. d. Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya di kemukakan ditempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.49
3. Kisah Nabi Ibrahim Ibrahim adalah salah seorang rasul Allah yang diutus ditengah umat manusia yang mengajak mereka untuk beriman hanya kepada Allah. “Ibrahim adalah putra Azar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau‟ bin Falij bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh As. Ia dilahirkan disebuah tempat bernama “Faddam A‟ram” dalam kerajaan Babylon yang
48 49
Ibid., h.436 Ibid., h. 438
36
pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Namrud bin Kan‟aan.”50 Nabi Ibrahim adalah pembawa agama tauhid seperti halnya Nabi Nuh As dan memiliki ketulusan hati serta penuh tawakal. Kisah yang menceritakan perjalanan Ibrahim sebagai rasul Allah dalam menjalankan dakwahnya dan sebagai hamba Allah yang beriman dengan tulus ikhlas dan penuh tawakal kepada-Nya. Sebagaimana halnya para rasul Allah yang lain, Ibrahim banyak mendapat tantangan dan ancaman dari kaumnya, karena Ibrahim menyeru mereka untuk meninggalkan sesembahan mereka selama ini berupa patung yang dianggap sebagai Tuhan nenek moyang mereka. Ibrahim dengan bijak mengajak kaumnya agar meninggalkan sesembahan selain Allah dan menyeru agar menyembah hanya kepada Allah, Tuhan yang telah menyembah kepada mereka dan memberi rizki kepada mereka, bukan patung-patung yang mereka sembah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat apapun kepada mereka. Namun tetap saja kaumnya tidak mengindahkan Nabi Ibrahim dan berpaling kepadanya. Hingga pada akhirnya ia (Ibrahim) merencanakan suatu tindakan dan aksi praktis yang dapat menyadarkan kaumnya, bahwa persembahan mereka adalah perbuatan batil dan sesat. Ibrahim menunggu saat yang tepat untuk melancarkan aksinya itu, yakni pada saat tibanya hari raya tahunan, dimana semua penduduk beramai-ramai meninggalkan kota dan berpesta ria diluar. Pada saat itulah Ibrahim memasuki tempat persembahan mereka dan menghancurkan patung-patung tersebut. Lalu sekembalinya penyembahpenyembah berhala itu ke kota dan mengetahui Ibrahimlah yang menghancurkan sesembahan-sesembahan mereka, beranglah mereka dan bergegas datang kepada Ibrahim untuk meminta pertanggung jawabannya. Hingga akhirnya, dengan penuh kemarahan pemuka-pemuka masyarakat penyembah berhala itu datang, lalu berkata: dirikanlah suatu bangunan untuk
50
M. Ahmad Jadul Mawla & M. Abu al-Fadhl Ibrahim. Kisah-Kisah Al-Qur‟an. (Jakarta: Zaman, 2009), h. 250
37
membakar Ibrahim; lalu lemparkanlah ia ke dalam hati yang menyala-nyala.51 Namun mereka tidak berhasil membakar hidup-hidup Nabi Ibrahim as, bahkan api yang panas yang berpotensi membakar itu berubah menjadi dingin dan membawa keselamatan untuk Nabi Ibrahim As.52 Kemudian episode selanjutnya khusus berisi tentang kejadian mimpi, penyembelihan, dan penggantian kurban yang dikisahkan dalam QS. AshShaffat ayat 100-110. Dalam ayat ini diceritakan bahwa suatu ketika Nabi Ibrahim bermimpi, didalam mimpi tersebut ia melihat anak yang sangat ia cintai (Ismail) disembelih. Lalu Nabi Ibrahim mengutarakan mimpi tersebut kepada anaknya. Dengan penuh kerelaan anak tersebut menerima perintah ayahnya karena ia yakin perintah tersebut datangnya dari Allah Swt. Waktu yang direncanakan telah tiba Nabi Ibrahim beserta anaknya menuju ketempat penyembelihan. Ditengah-tengah perjalanan ada godaan syaitan yang terus menganggu agar hati Ismail goyah, namun Ismail tidak gentar dengan godaan tersebut malah Ismail melemparnya dengan batu. Lalu setibanya ditempat penyembelihan dibaringkanlah badan sang anak tersebut dan sang ayah mulai menjalankan perintah Allah dengan menyembelih putranya . namun Allah tidak membiarkan saja hambanya yang sabar, Allah menggantinya dengan sesembelihan yang besar dan kejadian itu diabadikan sampai sekarang sebagai hari raya Idul Qurban, yang didalamnya terdapat beberapa pendidikan tauhid. Hal ini merupakan bentuk ketinggian, ketaatan, pengorbanan, kerendahan hati, dan penyerahan diri kepada Allah Swt.
51 52
Lihat QS. Ash-Shaffat (37) : 97 Lihat QS. Al-Anbiya (21) : 69
38
BAB III TAFSIR SURAT Ash-Shaffat Ayat 100-110 Surah ke 37 dari susunan mushaf Usmani ini bernama “Ash-Shaffat” yang berarti berbaris-baris, kalimat yang pertama dari pada ayat yang pertama pada surah ini. Yang berbaris-baris itu ialah Malikat-malaikat Tuhan di alam malakut yang tidak diketahui berapa jumlah bilangannya kecuali Allah sendiri. Dari ayat 1 sampai 10 malaikat adalah makluk Tuhan yang paling dekat dengan Tuhan, paling taat melaksanakan perintah Tuhan, mereka patuh dan setia terhadap perintah Ilahi. dan dari ayat-ayat itu pula dapat diketahui bahwa jin-jin makhluk halus yang lain yang asal kejadiannya dari api adalah makhluk yang rendah martabatnya. Lalu diuraikan pula perjuangan beberapa orang Nabi dan Rasul yang berjuang keras melakukan da‟wah kepada kaumnya masing-masing. Mereka telah melakukan tugas yang amat berat. Dalam Surah Ash-Shaffat ini terdapat terdapat tujuh Nabi yang ditonjolkan: Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Harun, Luth, Ilyas, dan Yunus. Yang teramat menarik perhatiaan ialah tentang wahyu yang diterima Nabi Ibrahim yang berupa perintah mengurbankan putranya yang tertua Ismail. Bagaimana Ibrahim diuji kemana berat cintanya. Kepada Allah kah atau kepada anaknya. Rupanya perintah itu dilaksanakan dengan tidak ragu-ragu dan si anak
39
pun mendorong dan menggalakan ayahnya supaya mereka melaksanakan perintah itu.1 A. Teks Ayat dan Terjemahan QS. Ash-Shaffat: 100-110
)١١١ -١١١: ٧٣∕(الصافات 100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orangorang yang saleh, 101. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar, 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar", 103. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), 104. Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, 106. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata,
1
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzz.XXIII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 86-87
40
107. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar, 108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orangorang yang datang Kemudian, 109. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim", 110. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
B. Arti Kosa kata
= Tuhanku.
= Anak yang sangat sabar.
= Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup. ﺃ
= Kedua-duanya berserah diri.
= Dia menelungkupkan wajahnya.
= Engkau menepati apa yang diperintahkan kepadamu.
= Ujian yang nyata yang dapat dibedakan mana yang ikhlas dan mana yang tidak.
ﺑ
= Dengan seekor binatang.
= Orang-orang yang berbuat baik.2
2
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al Maragi Juzz XXIII, Ter. Dari Tafsir Al-Maragi oleh Badrun Abu Bakar dkk, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. 2, h. 125-127
41
C. Pendapat Para Mufassir Tentang QS. Ash-Shaffat: 100-110 1. Ayat 100-101 Dalam ayat ini Allah SWT menceritakan bahwa “Nabi Ibrahim dalam perantauan memohon kepada Tuhan kiranya dianugrahkan seorang anak yang shaleh lagi taat yang dapat menolongnya dalam menyampaikan dakwah dan mendampinginya dalam perjalanan dan menjadi kawan dalam kesepian.” 3 Sayyid Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi menambahkan, Ibrahim meminta kepada Allah seorang anak untuk menemani dalam keterasingannya lalu Allah mengabulkan doa Ibrahim dalam firmannya ( )فبشسوه بعلم حلمmaksudnya ketika menjadi besar anak itu memiliki sifat sabar. Ini merupakan kabar gembira bahwa anak itu akan hidup sampai besar, karena anak kecil belum bisa dikatakan mempunyai sifat sabar.4 “Sifat kesabaran itu sedikit pada waktu baligh. Karena pada masa kanakkanak sedikit sekali didapati sifat-sifat seperti sabar, tabah, lapang dada. Anak remaja itu ialah Ismail As, anak laki-laki pertama dari Ibrahim As, ibunya bernama Hajar istri kedua Nabi Ibrahim As. Putra kedua ialah ishak, lahir kemudian sesudah Ismail dari istri pertama “Sarah”.”5 2. Ayat 102 Ayat sebelum ini menguraikan janji Allah kepada Nabi Ibrahim As. Tentang perolehan anak. Demikian hingga tiba saatnya anak tersebut lahir dan tumbuh berkembang, maka tatkala sang anak itu telah mencapai usia yang menjadikan ia mampu berusaha bersama Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata sambil memanggil anaknya dengan panggilan mesra. Nabi Ibrahim As menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Ini agaknya karena beliau memahami bahwa perintah tersebut tidak harus memaksakannya 3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991), h. 318 4 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi jilid 15, Ter. Dari Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an oleh Muhyidin Mas Rida dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 232 5 Depag. loc. cit.
42
kepada sang anak. Yang perlu adalah bahwa ia berkehendak melakukannya. Bila ternyata sang anak membangkang, maka itu adalah urusan ia dengan Allah. Ayat diatas menggunkan bentuk kata kerja mudhari’ (masa kini dan datang) pada kata-kata ( )أزىsaya melihat dan ( )أذحبكsaya menyembelihmu. Demikian juga kata ( )توٴمسdiperintahkan. Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat penympaiannya itu. Sedang penggunaan bentuk tersebut untuk kata menyembelihmu untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi itu belum selesai dilaksanakan, tetapi hendaknya segera dilaksanakan. Karena itu pula jawaban sang anak menggunakan kata kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan bahwa ia siap, dan bahwa hendaknya sang ayah melaksanakan perintah Allah yang sedang maupun yang akan diterimanya.6 Ucapan sang anak (توٴمس
ما
)اڧعلlaksanakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, bukan berkata: “Sembelihlah aku”, mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah swt. Bagaimanapun bentuk, cara dan kandungan apa yang diperintahkan-Nya, maka ia sepenuhnya pasrah. Kalimat ini juga dapat merupakan obat pelipur lara bagi keduanya dalam menghadapi ujian berat itu. Ucapan sang anak ( )ستجد وي إن شاءﷲ مه الصابس يهengkau akan mendapatiku Insya Allah termasuk para penyabar, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebut terlebih dahulu kehendak-Nya, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun sang anak kepada Allah SWT . Tidak dapat diragukan bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah sang ayah telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan sang anak yang direkam oleh ayat ini adalah buah pendidikan tersebut.7
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. VIII, h. 62 7 Ibid., h. 62-63
43
3. Ayat 103 Dalam tafsir al-Maragi dipaparkan: Dan tatkala kedua orang itu telah berserah diri dan tunduk kepada perintah Allah dan meyerahkan segala urusan kepada Allah Swt tentang qadha dan qadarnya, dan Ibrahim telah menelungkupkan wajah anaknya dengan memberi isyarat kepadanya, sehingga ia tidak melihat wajah anaknya itu dan bisa mengakibatkan rasa kasihan kepadanya. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ismail berkata kepada ayahnya, “Janganlah engkau menyembelihku sedang engkau melihat kepada wajah-ku. Boleh jadi engkau kasihan kepadaku sehingga tidak tega kepadaku. Ikatlah tangan dan leherku. Kemudian letakan wajahku menghadap tanah.” Maka Ibrahimpun menuruti permintaan anaknya.8 Dalam tafsir Jalalaen di jelaskan( فلمآ اسلماtatkala keduanya telah berserah diri) artinya tunduk dan patuh kepada perintah Allah Swt. للجبني ( و تلهdan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya) “Nabi Ismail dibaringkan pada salah satu pelipisnya. Kemudian Nabi Ibrahim menggorokan pisau besarnya ke leher Nabi Ismail, akan tetapi berkat kekuasaan Allah pisau itu tidak mempan sedikitpun.”9
4. Ayat 104 & Ayat 105 “Dan kami melalui malaikat memanggilnya: “Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi menyangkut penyembelihan anakmu itu dan engkau telah melaksanakan sekuat kemampuanmu.”10 Tafsir al-Maragi menyebutkan: Sesungguhnya peristiwa yang terjadi ini benar-benar merupakan contoh besar dan ujian yang tiada tara terhadap hamba-hamba Allah. Dan Allah Azzawajalla boleh saja mencoba siapa saja diantara hamba-hamban-Nya dengan beban-beban apa saja yang Dia 8
Al-Maragi, op, cit., h.130 Jalaluddin Al-Mahal‟li & Jalaluddin As-Sayuti, Tafsir Jalalaen Jilid III, Ter. Dari Tafsir Al-Jalalain oleh Badrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), h. 1936 10 Shihab, op. cit., h. 64 9
44
kehendaki, tak ada yang dapat mencegah keputusan-Nya dan tak ada yang mampu menghalangi takdir-Nya. Sementara itu, memang banyak beban yang tiada kita ketahui rahasia-rahasia hikmahnya, namun Allah Maha tahu tentang apa yang karenanya beban-beban itu disyariatkan.11 Dapat disimpulkan bahwa Allah Swt memanggil Ibrahim melalui Malaikat, Allah membenarkan bahwa mimpi yang Nabi Ibrahim alami berasal dari Allah dan Allah berjanji akan memberi balasan kepada siapa saja yang berbuat baik.
5. Ayat 106 Memanglah suatu percobaan yang nyata, kalau seseorang sangat mengharapkan keturunan yang shalih, setelah usia 86 tahun keinginan itu baru disampaikan tuhan, sedang anak ketika itu masih satu-satunya itu disuruh kurbankan pula dalam mimpi. “Namun perintah itu dilaksanakan juga dengan tidak ada keraguan sedikitpun, baik pada si ayah maupun si anak. Lantaran Ibrahim dan putranya sama-sama menyerah (aslama), tidak takut maut, bahwa pantaslah jika Tuhan menjelaskan keduanya “minal muhsiin”, termasuk orang-orang yang didalam hidupnya berbuat kebajikan, maka pantas mendapat penghargaan disisi Allah.”12 Memang Allah tidak akan memberi ujian kecuali sesuai kadarnya. Allah memberikan ujian yang teramat sulit untuk dilakukan untuk orang biasa namun karena Allah inggin menguji hambanya yang shaleh maka Allah memberikan ujian yang nyata kepada Nabi Ibrahim dan purtanya Ismail.
6. Ayat 107 Menurut tafsir Jalalain “( وفد يىهDan kami tebus anak itu) maksudnya anak yang diperintahkan untuk disembelih (Nabi Ismail). ( بر بعdengan seekor sembelihan) yakni dengan domba ( عظيمyang besar) dari surga. 11 12
Al-Maragi, op. cit., h. 131 Hamka, op. cit., h. 144
45
Domba itu dibawa oleh malaikat Jibril lalu Nabi Ibrahim menyembelihnya seraya membaca Takbir.”13 Ini dapat dilihat bahwa ketika Nabi Ibrahim ingin mengorok leher anaknya, lalu Allah menggantinya dengan sesembelihan yang lain yakni seekor domba yang dibawa oleh Malaikat Jibril lalu Nabi Ibrahim melanjutkan penyembelihannya dibarengi dengan membaca takbir.
7. Ayat 108 dan ayat 109 Menurut Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsir Al-Maragi (wataroknaa „alaihi fil akhiriyna) dan kami kekalkan untuk Ibrahim pujian yang baik dikalangan manusia di dunia, sehingga dia menjadi orang yang dicintai dikalangan semua orang dari agama dan aliran manapun. “Orang-orang Yahudi mengagungkannya, orang-orang Nasrani mengagungkannya, orangorang Islam mengagungkannya, dan orang-orang musyrik sekalipun tetap menghormatinya. Mereka mengatakan, „Sesungguhnya, sekalipun kami menganut agama Ibrahim, Bapak kami‟.”14 Pada ayat 109 ini dijelaskan dalam tafsir Al Maragi سلم علي إبس حيم Dan kami katakan kepada Ibrahim, “Salam sejahtera kepadamu dikalangan para malaikat, manusia dan jin.”15 Karena keshalehan yang luar biasa Allah mengangkat tinggi derajat Nabi Ibrahim. Bukan saja ia dikenang pada zamannya namun Allah menjamin sampai zaman yang akan datang dan tidak dijelaskan sampai mana ia akan dikenang mungkin sampai akhir zaman. Bukan saja manusia tapi jin dan Malaikat menyalaminya, bukan hanya umt
Islam
namun
orang
mengaguminya.
13
Jalaluddin, op. cit., h. 1937 Al-Maragi, op. cit., h. 132 15 Ibid. 14
Yahudi,
Nasrani
dan
musyrikpun
turut
46
8. Ayat 110 Dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa كر لك
(Demikianlah)
sebagaimana kami memberikan imbalan pahala kepada Ibrahim
جنزى
احملسىني
(kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik)
terhadap diri mereka sendiri.16 Ditekankan lagi dalam tafsir milik badan wakaf UII, Allah menyebutkan pula penghargaan kepada Nabi Ibrahim AS salam kesejahteraan untuknya dan salam kesejahteraan untuk Nabi Ibrahim as ini terus hidup ditengahtengah umat manusia bahkan juga dikalangan malaikat. Dengan demikian ada tiga ganjaran yang telah dinugrahkan kepadanya. Pertama seekor kambing besar yang didatangkan kepadanya, kedua keharuman namanya sepanjang masa dan ucapan salam sejahtera dari Allah dan manusia.17 Begitulah siapa saja yang berbuat baik Allah akan memberikan balasan yang besar seperti salah satu hambanya yakni Ibrahim. Beliau telah melewati ujian yang besar dari Allah, yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya hingga sekarang. D. Nilai- Nilai Pendidikan Tauhid Dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-110 1. Tauhid Membebaskan Jiwa dari Penyembahan dan Tunduk Pada Selain Allah. Semua yang ada di dunia ini adalah makhluk Allah Swt. Mereka tidak bisa menciptakan sesuatu yang belum ada, tidak bisa memberikan kemanfaatan pada dirinya, tidak bisa pula memberi mudharat, tidak bisa menghidupkan yang mati serta tidak bisa mematikan yang hidup. Tauhid pada dasarnya memberikan kebebasan bagi manusia dari segala bentuk penyembahan kepada selain Allah. Membebaskan akal dari bentukbentuk khurafat dan keragu-raguan. Membebaskan hati dari ketundukan dan penyerahan diri kepada makhluk dan membebaskan kehidupan dari dominasi Tuhan-Tuhan tandingan yang mereka ambil dari makhluk Allah serta pengaruh dukun dan orang-orang yang ingkar dari penyembahan kepada Allah. 16 17
Jalaluddin, op. cit., h. 1938 Depag, op. cit., h. 321
47
2. Tauhid Membentuk Pribadi Manusia Yang Tangguh. Dengan landasan tauhid yang kokoh, Nabi Ibrahim dalam melaksanakan tugas dakwah tidak pernah patah semangat. meskipun ia harus dihadapkan dengan orang-orang yang gencar menghalanginya seperti ayahnya dan raja Namrudz sekalipun. Cemoohan, ancaman, bahkan tindakan untuk membakar dirinya dalam api yang menyala tidak mampu mengendorkan ketangguhan Ibrahim. Belum lagi ketika Nabi Ibrahim menyembelih anaknya Ismail semakin terlihat kesabaran dan ketangguhan jiwa keduanya. Pada saat ini sulit menemukan pribadi-pribadi tangguh yang istiqomah dalam memegang dan menyampaikan kebenaran. Bangsa ini banyak dipenuhi oleh pribadi-pribadi yang lemah, tidak punya pendirian, penjilat, serakah, penipu dan sebagainya. Apalagi yang bisa kita harapkan dari orang seperti itu, baik ia sebagai pemimpin, pejabat maupun sebagai rakyat biasa.
3. Tauhid Merupakan Sumber Keamanan Bagi Manusia. Tauhid merupakan bagi manusia, karena tauhid memenuhi hati dengan rasa aman dan tenang, tidak ada ditakuti selain Allah. Tauhid telah menutup pintu-pintu rasa takut terhadap kekurangan, rizki dan kematian. Menutup pintu-pintu rasa takut terhadap manusia, jin, kematian dan yang lainnya yang menjadi ketakutan manusia. Orang yang beriman memiliki tauhid yang kuat tidak akan takut kepada apapun kepada selain Allah. Karena inilah ia akan merasa aman walaupun diancam oleh manusia dengan suatu yang membahayakan dirinya, merasa tenang jika diusik oleh orang lain. Inilah sifat orang beriman yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur‟an:18
)٢٨ :٦/(اﻷ نعام 18
http//:www.dakwatuna.com/2009/pendidikan-ala-nabi-ibrahim.
48
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al- An‟am /6: 82) Keamanan yang terbentuk merupakan keamanan yang tumbuh dari dalam jiwa, bukan keamanan yang terbentuk karena penjagaan satpam atau polisi. Ini baru merupakan keamanan yang ditimbulkan oleh tauhid di dunia, adapun keamanan di akhirat akan lebih besar dan lebih kekal. Keamanan ini tidak didapatkan kecuali dengan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan mencampur adukan ketauhidan kepadanya dengan perbuatan syirik.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM Q.S ASH-SHAFFAT AYAT 100-110 Al-Qur‟an turun pada dasarnya adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Mengajak mereka beraqidah tauhid. Mengajarkan nilai, prilaku, dalam dimensi dan kehidupan. Membimbing prilaku yang lurus, benar untuk kebaikan manusia dan masyarakat. Mengarahkan jalan yang benar dalam pendidikan jiwa sehingga tumbuh menjadi manusia yang bahagia, tentram dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Didalam al-Qur‟an banyak sekali menyoroti masalah tauhid karena masalah tauhid termasuk masalah yang pokok dalam Islam. Ilmu tauhid pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Allah dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Allah yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia semata-mata ditujukan kepada Allah. Aspek dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan eksistensi Allah Yang Mahasempurna, Mahakuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya.
50
Keyakinan demikian membawa seseorang kepada kepercayaan akan adanya Malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, Nabi-nabi/Rasul-rasul, takdir kehidupan sesudah mati, dan melahirkan kesadaran akan kewajibannya kepada Khalik (Pencipta). Sebab semua yang disebut ini merupakan konsekuensi adanya Allah Swt. “Apabila ketauhidan telah tertanam mendalam dalam diri seorang muslim, diikuti dengan amaliah dan ibadat sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an dan serta mencerminkan sikap dan nilai-nilai ketauhidan, maka ia disebut muttaqin (orang yang takwa).”1 Sebagaimana dikemukakan diatas pembahasan tauhid yang pokok tersimpul dalam rukun iman. Berikut ini dikemukakan pengertian masing-masing rukun iman yang akan dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim: Iman ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa oleh Nabi Saw dari sisi Allah Swt juga dikatakan sebagai at-tasdiq bil-qalbi (membenarkan dengan hati), al-iqrar bil-lisan (pengakuan dengan ucapan), dan al-‘amal bil-arkan (mengamalkan dengan anggota tubuh). Rukun iman ada enam yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk yang datang dari Allah ta‟ala. Dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-110 ini sebenarnya tidak hanya berisi tentang pendidikan tauhid, tetapi juga terdapat pendidikan akhlak dan pendidikan Ibadah. namun saya disini lebih banyak membahas tentang pendidikan tauhid karena merupakan tema skripsi yang diangkat.
1
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 200) Cet-4 h.72
51
A. Pendidikan Keimanan 1. Iman Kepada Allah Menurut Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, yang dimaksud iman kepada Allah ialah “membenaradanya Allah SWT dengan cara menyakini dan mengetahui bahwa Allah Swt wajib ada-Nya karena zatnya sendiri (Wajib Al-Wujud li Dzatihi), Tunggal dan Esa, Raja Yang Mahakuasa, Yang hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Qadim dan Azali untuk selamanya.”2 Keimanan sesorang kepada Allah ini sangat berpengaruh terhadap hidup dan kehidupannya, antara lain: a. Ketakwaannya akan selalu meningkat. b. Kekuatan batin, ketabahan, keberanian, dan harga dirinya akan timbul karena ia hanya mengabdi kepada Allah dan meminta pertolongan kepadanya, tidak kepada yang lain. c. Rasa aman, damai dan tentram akan bersemi dalam jiwanya karena ia telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.3 Dalam kisah ini yang terdapat dalam QS. Ash-Shaffat menunjukan bahwa Nabi Ibrahim memiliki keimanan yang tinggi dengan bukti keimanannya yakni ia dengan sabar menunggu keturunan yang tak kunjung dianugrahkan kepadanya hingga usia 86 tahun dan beliau dengan kesabaran itu seraya bermunajat: )٠١١: ٢٣∕(الصافات
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ash-Shaffat/37: 100) 2
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ihsan Secara Terpadu, (Bandung: Al-Bayan, 1998) h.113 3 Asmuni, op. cit., h.73
52
Bila dicermati Nabi Ibrahim telah menanamkan pendidikan tauhid sejak dini sebelum anak itu lahir kedunia, ia terus berharap anak itu agar memiliki jiwa tauhid, menurut Abuddin Nata jika dilihat fungsinya “orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah.”4 Demikian pula Allah bersifat Asma‟ul Husna yang jumlahnya ada sembilan puluh sembilan maka Asmaul Husna itu harus dipraktekan dalam kehidupan dengan demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan tauhid. Dalam kandungan ayat tersebut Nabi Ibrahim bukan saja berdoa kepada Allah untuk memperoleh anak tetapi Nabi Ibrahim juga menyisipkan harapan agar anaknya termasuk golongan orang sholeh. Yang ia harapkan kelak anak ini akan menjadi penerus agamanya serta memiliki jiwa yang taat kepada Allah yang otomatis pula akan taat kepada orang tuanya. Disinilah proses pendidikan serta kaderisasi yang telah disiapkan Nabi Ibrahim As. Dalam rangka menyiapkan menjadi pemimpin masa depan sebagai peletak dasar sebuah masyarakat muslim. Oleh karena itu apabila sang anak telah dapat menghayati bentuk-bentuk keimanan, dan anak telah memiliki keyakinan kuat serta memiliki pengetahuan tentang penciptanya dengan baik, diharapkan segala bentuk persoalan yang ia hadapi tidak akan membuatnya resah ataupun gelisah. Keimanan yang sudah melekat di dalam dada mereka yang akan membuatnya mampu menghadapi persoalan hidup yang sedang dihadapinya hingga masa dewasanya kelak.5 Sebagai manusia, Nabi Ibrahim pun mengalami konflik batin yang hebat dalam dirinya. Tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa cinta kepada anak, istri dan harta tidak dapat disejajarkan dengan atau melebihi cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala-galanya, termasuk cinta kepada diri sendiri.
4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996) h.22 Muhammad Nur Abdul Hafis, Mendidik Bersama Rasulullah, (Bandung: Al-Bayan, 1997) Cet.1 h.119 5
53
“Nabi Ibrahim dapat menempatkan sepenuhnya posisi cinta kepada Allah dibandingkan cinta kepada anak. Maka Ibrahim memutuskan menerima dengan ikhlas perintah Allah untuk mengorbakan putranya. Isma‟il pun demikian pula, ia rela menerima perintah penyemblihan itu. Ia menyadari bahwa cinta kepada Allah harus melebihi cintanya kepada jiwa dan raganya.”6
2. Iman Kepada Para Malaikat “Rukun iman kedua ialah beriman kepada Malaikat. Kata Malaikat adalah kata jamak dari kata malak yang berasal dari kata alukah ( )الوڪةyang berarti risalah. Dalam al-Qur‟an banyak ayat yang mewajibkan setiap mukmin untuk beriman kepada adanya Malaikat.”7 Jika seseorang beriman kepada para Malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada Malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Allah. Percaya kepada Malaikat juga dimaksudkan agar manusia juga diperhatikan dan diawasi oleh para Malaikat sehingga ia tidak berani melanggar larangan Allah. Dalam firmannya: )٥ :٥٥/ (التحر مي (Malaikat-malaikat) itu tidak mendurhakai Allah terhadap diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan diperintahkan. (QS. Al-Tahrim/66: 6)
6
http://drsaprizaldi.blogspot.com/2010_02_01_archive.html
7
Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003) h.93
apa apa
yang yang
54
“Malaikat adalah makhluk halus yang bersifat cahaya, yang dapat menampakan diri dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda, tetapi tidak bisa diberi sifat laki-laki ataupun perempuan dan tidak dapat dipastikan jumlah mereka kecuali Allah Swt.”8 Didalam al-Qur‟an dikisahkan Malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim untuk menyampaikan berita gembira bahwa istrinya yang sudah tua itu akan melahirkan seorang anak lelaki, Nabi Ishak, dalam bentuk seorang laki-laki. Allah berfirman:
(٥٦
:٠٠ /)هود
Dan Sesungguhnya utusan-utusan kami (Malaikat-malaikat) Telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Salaman” (selamat) (QS. Hud/11: 69) Kita diwajibkan beriman kepada sepuluh diantara Malaikat-malaikat itu yakni: a. Jibril (Penyampai wahyu yang terpercaya) b. Mikail (Pembagi rezeki dan hujan) c. Israfil (Peniup terompet) d. „Izrail (Pencabut nyawa) e. Munkar dan Nakir (Penanya dalam kubur) f. Rakib dan „Atid (Penulis amal baik dan buruk setiap mukalaf) g. Malik (Penjaga neraka) h. Ridwan (Penjaga Surga).9
8 9
Sumaith, op. cit., h.114-115 Sumaith, op. cit., h. 115
55
“Keimaman kepada Malaikat membawa pengaruh positif bagi seseorang, antara lain ia akan selalu berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan sebab malaikat selalu di dekat-Nya, merekam apa yang ia katakan dan ia perbuat itu.”10 Yuhanar Ilyas menjelaskan dalam bukunya kuliah aqidah Islam memaparkan dengan beriman kepada Malaikat seseorang akan: a. Lebih mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah Swt yang menciptakan dan menugaskan para malaikat tersebut. b. Lebih bersyukur kepada Allah Swt atas perhatian dan perlindungan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya dengan menugaskan para Malaikat untuk menjaga, membantu dan mendoakan hamba-hambanya. c. Berusaha berhubungan dengan para Malaikat dengan jalan mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan meningkatkan ibadah kepada Allah Swt, sehingga seseorang akan sangat beruntung bila termasuk golongan yang didoakan oleh para malaikat, sebab do‟a Malaikat tidak pernah ditolak oleh Tuhan. d. Berusaha selalu berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemaksiatan serta ingat senantiasa kepada Allah Swt, sebab para Malaikat selalu mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia.11
3. Iman Kepada Para Rasul “Yang dimaksud kepada iman kepada Rasul-rasul Allah adalah meyakini bahwa Allah SWT mengutus Rasul-rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk kepada mereka dan menyempunakan kehidupan mereka di dunia dan di akhirat. Para rasul adalah manusia pilihan Allah yang mempunyai sifat jujur, terbebas dari cacat dan kurang, terlindungi (ma’shum) dari dosa-dosa besar maupun kecil.”12
10
Asmuni, op. cit., h.74 Yunahar Ilyas, Kuliah Akidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI), 1995) Cet.3 h.92 12 Sumaith, op. cit., h.116 11
56
Lima orang diantara mereka diberi gelar sebagai Ulul Azmi, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Gelar ini diberikan Allah kepada mereka sebagai petanda bahwa mereka adalah pejuangpejuang agung yang memiliki semangat yang kuat dan himmah ( )مهةyang tinggi serta kesabaran yang tangguh dalam berdakwah, memanggil umatnya untuk beriman kepada Allah tanpa mempersekutukannya.13 Dijelaskan pula Rasul yang pertama adalah Adam, sedangkan yang terakhir adalah Muhammad Saw. Disebutkan bahwa jumlah para Nabi adalah 124.000, yang 313 orang diantaranya adalah rasul. Yang wajib diimani secara terperinci ada dua puluh lima orang. Rasul-rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur‟an diantaranya yaitu: 1. Adam 2. Idris 3. Nuh 4. Hud 5. Saleh 6. Ibrahim 7. Luth 8. Ismail 9. Ishak 10. Yakub 11. Yusuf 12. Ayyub 13. Syuaib 14. Musa 15. Harun 13
Ahmad Daudy, op. cit., h.116
57
16. Yunus 17. Daud 18. Sulaiman 19. Ilyas 20. Dzulkifli 21. Ilyasak 22. Zakariya 23. Yahya 24. Isa 25. Muhammad SAW.14 Rasul merupakan orang pilihan yang tidak dapat ditandingkan kesabaran dan perjuangannya. Rasul disini juga telah banyak ujian yang datang dari kaumnya bahkan keluarganya sendiri. Seperti contohnya Nabi Ibrahim ia mendapat ujian dari orang tuanya yang merupakan ahli patung namun ia tetap menyebarkan agama samawi yang diperintahkan Allah Swt, serta perjuangan yang tak kalah menguji kesabaran dan keikhlasan beliau yakni peristiwa penyembelihan Nabi Ismail yang mana anak itu telah ditunggu-tunggu kehadirannya namun Allah Swt menguji keimanan beliau dengan tujuan apakah setelah Allah menganugrahkan seorang anak kepadanya keimanan beliau akan berubah atau sebaliknya. Dengan momen itu Nabi Ibrahim membuktikan bahwa ia sanggup mengorbankan anak yang ia cintai karena kecintaanya kepada Allah Swt. Dia mensyukuri nikmat-nikmatnya dan Allah memberinya kebahagiaan di dunia dan diakhirat.
14
Sumaith, op. cit., h.116
58
Disini kita dapat mengambil ibrah dari pribadi Nabi Ibrahim yang begitu luar biasa menghadapi tantangan, ujian, kesengsaraan yang ditimpakan kepada dirinya namun beliau menjalankan dengan ikhlas dan sabar tidak sedikitpun beliau berpaling dari Allah. Dan ini membuktikan bahwa terdapat jiwa tauhid pada dirinya, lantaran itu semua ia dan keluarganya dimuliakan oleh Allah, diangkat derajatnya dan diagungkan seluruh umat. Seperti firman Allah: )٠١ ٨-٠١ ٦: ٢٣∕(الصافات
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". (QS. Ash-Shaffat/37: 108-109).
4. Iman Kepada Hari Akhir “Yang dimaksud dengan hari akhir adalah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia yang fana ini berakhir; termasuk semua proses dan peristiwa yang terjadi pada Hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan (Qiyamah).”15 )٠١٣ :١٠/ (ال عنبيا
Sebagaimana kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. (QS. Al-Anbiya/21: 104)
Dalam al-Qur‟an sering menjumpai ayat-ayat yang menyebut tentang iman kepada hari akhirat setelah iman kepada Allah. Dan demikian pula halnya 15
Yunahar Ilyas, op. cit., h.153
59
dalam hadits-hadits Nabi. Sebabnya beriman kepada Allah berarti juga beriman kepada kebenaran Firman-Nya, yakni al-Qur‟an, yang antara lain mengajarkan kepada kita tentang adanya janji Allah kepada orang-orang yang baik dan juga kepada orang-orang yang berbuat jahat dengan berbagai balasan nanti di akhirat.16 Yang demikian itu dimaksudkan antara lain untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri insan yang mukmin atas segala amal perbuatannya, tingkah laku dan perkataannya, baik yang lahir maupun batin, dengan keimanan itu dia merasa berkewajiban mempertanggung jawabkan segala urusannya, bahkan kehidupannya kepada Allah pada hari akhirat. Didalam al-Qur‟an diceritakan sebuah peristiwa seorang anak yang menjalankan perintah Allah dengan sepenuh hati karena dia percaya bahwa ada kehidupan yang lebih bahagia setelah kehidupan dunia, yakni dalam QS.AshShaffat ayat 103: )٠١٢ : ٢٣∕(الصافات
Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). (QS. Ash-Shaffat/37: 103) Disini menunjukan kepasrahan Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah. Ketika detik-detik penyembelihan terjadi Ismail melihat raut muka ayahnya yang tak tega lalu Ismail menyampaikan pesan. Dalam tafsir al-Maragi dijelaskan, “diriwayatkan oleh Mujahid bahwa Ismail berkata kepada Ayahnya „Janganlah engkau menyembelihku sedang engkau melihat kepada wajahku. Boleh jadi engkau kasihan kepadaku sehingga tidak tega padaku. Ikatlah tangan dan leherku.
16
Ahmad Daudy, op. cit., h.129
60
Kemudian, letakan wajahku menghadap tanah.‟ Maka Ibrahimpun menuruti permintaan anaknya.”17 Begitupun godaan yang datang pada dirinya melalui syeitan sewaktu berjalan menuju tempat penyembelihan. Ia melawan bisikan syeitan pada dirinya dan tetap memegang teguh pendiriannya. Nabi Ismail juga merupakan cermin keberhasilan Nabi Ibrahim mendidik anaknya yang memiliki jiwa tauhid. Yang aplikasinya yakni hanya Allah Swt yang ada pada dirinya dan kuat menghadapi cobaan apapun. Keimanan kepada hari kiamat memberikan pengaruh positif bagi kehidupan manusia: a. Ia akan senantiasa menjaga dan memelihara diri dari melakukan perbuatan dosa dan maksiat serta akan selalu taat dan bakti kepada Allah karena segala amal, baik atau buruk akan ada balasannya di hari akhirat. b. Ia akan sabar dalam menghadapi segala cobaan dan penderitaan hidup karena ia yakin bahwa kesenangan dan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya adalah di akhirat nanti. c. Ia memiliki tujuan yang jelas yang ingin dicapai dalam setiap gerak dan tindakan yang dilakukannya, yaitu kebajikan yang dapat membawanya yang dapat membawanya kepada kebahagiaan hidup di akhirat.18
5. Iman Kepada Takdir (Qadar) “Yang dimaksud dengan iman kepada takdir ialah meyakini bahwa Allah Swt telah menentukan kebaikan dan keburukan sejak azali, sebelum manusia diciptakan. Karena itu, tidak ada suatupun yang baik dan buruk yang bermanfaat
17
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi Juzz XXIII, Ter. Dari Tafsir Al-Maragi oleh Badrun Abu Bakar dkk, (Semarang: Toha Putra 1993) Cet-2 h.130 18 Asmuni, op. cit., h.80
61
dan yang mudharat, yang diluar ketentuan Allah dan penetapan Allah (qadha’ dan qadar-Nya), dari kehendak dan kemauan-Nya.”19 Allah Swt berfirman: )٣٦ : ٤٣/ )القمر
Sesungguhnya segala sesuatu itu Kami ciptakan dengan qadar (ketentuan, takdir). (QS. Al-Qamar/54: 49) “Orang yang percaya pada qadha dan qadhar Allah itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Allah dan rela menerima segala keputusan-Nya. Yang dapat bertahan dalam menerima keputusan-keputusan Allah seperti itu hanyalah orang-orang yang telah mempunyai sifat ridha artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhannya.”20 Orang-orang yang telah memiliki sifat ridha itu tidak akan mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan karena mereka kuat berpegang kepada aqidah iman kepada qadha dan qadar yang kesemuanya datang dari Allah Swt. Dalam QS. Ash-Shaffat terdapat perbincangan Nabi Ismail pada Ayahnya ketika ia diminta pendapat tentang pendapatnya tentang penyembelihan dirinya:
)٠١١ :٢٣∕(الصافات
19 20
Sumaith, op. cit., h.119 Abuddin Nata, op. cit., h.27
62
Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS. Ash-Shaffat/37: 102) Disini menunjukan ketidak gentaran Nabi Ismail dalam menghadapi maut. Nabi Ismail melawan rasa takut tersebut dengan mengatakan kepada ayahnya Insya Allah ia sabar dalam menghadapi ini semua, mengesankan ia rela bahwa semua ketentuan ini merupakan takdir yang datangnya dari Allah. Dapat dilihat keberhasilan seorang ayah dalam mendidik keluarganya menjadi keluarga yang patuh dan taat. Sebagai anak, Isma‟il bukan hanya telah berbakti kepada orang tua, tetapi juga seorang yang memiliki iman yang kuat dan tangguh kepada Allah. Kesediaan Isma‟il untuk dikorbankan oleh ayahnya menunjukkan betapa tingginya kualitas iman yang dimilikinya. Semua itu adalah berkat hasil didikkan dari orang tua yang bijaksana. Hanya orang tua yang memiliki kualitas jiwa yang tinggi pula yang dapat melahirkan anak-anak dengan kualitas yang tahan uji. Perhatikanlah bagaimana Isma‟il menanggapi berita penyembelihan dirinya. Ia bukan saja dapat menerima dengan tabah, tetapi juga turut menghilangkan kebimbangan bapaknya jika memang ada. Ia yakinkan bapaknya bahwa ia akan sabar menerima keputusan dari Allah.
63
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa nilai-tauhid yang terkandung dalam QS. Ash-Shaffat ayat 100-110 yaitu: 1. Pandangan mufassir tentang surat Ash-Shaffat ayat 100-110 pada umumnya berpendapat sama dalam menafsirkan ayat tersebut. Di dalam ayat tersebut Allah Swt memberikan ujian kepada Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anak kandung-Nya sendiri yakni Ismail, pada kejadian itu Nabi Ismail pun menyetujui pendapat ayah-Nya karena perintah tersebut datangnya dari Allah Swt. Dengan kejadian tersebut keluarga Ibrahim diangkat derajatnya oleh Allah Swt dan dijadikan pelajaran untuk umat-umat setelahnya bahwa kecintaan kepada Allah Swt tidak boleh melebihi kecintaan kepada makhluk. 2. Surat Ash-Shaffat ayat 100-110 ini mempunyai tema yang mengacu pada nilai-nilai pendidikan tauhid yaitu, pendidikan keimanan dimana keimanan sendiri terdiri dari keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitabkitab, kepada Rasul, kepada hari akhir serta keimanan kepada qadha dan qadhar. Adapun maksud dari pendidikan keimanan ini merupakan cikal bakal pendidikan tauhid yang akan ditanamkan kepada anak.
64
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan tentang nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kisah Nabi Ibrahim (kajian tafsir surat Ash-Shaffat ayat 100-110), penulis akan memberikan saran dan masukan yang ditujukan kepada pendidik terutama orang tua dalam bidang pendidikan tauhid, khususnya bagi penulis sendiri. Adapun saran-sarannya adalah sebagai berikut: 1. Hendaknya orang tua sudah menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak sejak ia lahir yakni dengan mendengungkan azan ditelinga kanan serta mendengungkan qamat disebelah kiri telinga sang anak. 2. Anak yang baik dan patuh, tunduk kepada Allah berasal dari orang tua yang kuat imannya pula, oleh karena itu orang tua diharapkan bisa menjadi manusia yang taat untuk mencetak anak yang taat pula. 3. Orang tua harus senantiasa menanamkan kesabaran dan keikhlasan dalam dirinya, agar permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dimanapun ia berada dapat diatasi dengan baik dan benar. 4. Orang tua semestinya memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak dengan memasukan ke lembaga pendidikan yang berlandaskan Islam. Dengan pendidikan yang seperti itu diharapkan dapat menjadi bekal kehidupannya. 5. Yang paling terpenting orang tua harus mengiringi setiap langkah anak dengan doa dan harapan yang baik.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalidy, Shalah, Kisah-Kisah al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Terdahulu jilid-1, Jakarta: Gema Insani, 1999, Cet.3. Al-Mahal’li, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Sayuti, Tafsir Jalalaen Jilid III, Ter. Dari Tafsir Al-Jalalain oleh Badrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996. Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al Maragi Juzz XXIII, Ter. Dari Tafsir AlMaragi oleh Badrun Abu Bakar dkk, Semarang: Toha Putra, 1993, Cet. 2. Al-Munawwar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: Press, 2005. Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi-Stud iIlmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010, Cet. 13. Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi jilid 15, Ter. Dari Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an oleh Muhyidin Mas Rida dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Annur, Jurnal Studi Islam, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an An-Nur, 2004, vol. 2. Asmuni,Yusran, IlmuTauhid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 4. Azzam, Abdullah, Aqidah: Landasan Pokok Membina Ummat, Terj. Al-Aqidah, wa Atstaruhaa fii binaa il-jali, Jakarta: Gema Insani Press, 1993, Cet. 3. Bin Sumaith, Habib Zain bin Ibrahim, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ihsan Secara Terpadu, Bandung: Al-Bayan, 1998. Daudy, Ahmad, Kuliah Akidah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2003. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. 2.
66
Djumransjah, HM dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam “Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi”, Malang: UIN Malang Press, 2007. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzz.XXIII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994. Hasan, Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadits, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008. http://drsaprizaldi.blogspot.com/2010_02_01_archive.html http:www.dakwatuna.com/2009/pendidikan-ala-nabi-ibrahim. Ihsan, Hamdani dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, Cet-2. Ilyas, Yunahar, Kuliah Akidah Islam, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1995, Cet.3. Izzan, Ahmad dan Saehudin, Tafsir Pendidikan; Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, Pamulang: Pustaka Aufa Media, 2012, Cet.1. Jalaluddin. Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) Cet.3 h.73 Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. 2. Mawla, M. Ahmad Jadul dan M. Abu al-Fadl Ibrahim, Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta: Zaman, 2009. Muchsin, Misri A, Filsafat Sejarah dalam Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002, Cet.1. Munawaroh, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan (Perspektif Islam dan Umum), Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003, Cet. 1. Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, Cet.V. Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996. ___________, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Rajawali Press, 1992.
67
___________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.1, 2005. ___________, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. Nawawi, Rif’at Syauqi, Kepribadian Qur’an, Jakarta: Amzah, 2011. Nizar, Samsul dan Zaenal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi, Jakarta: Kalam Mulia, 2011. Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, Cet. 1. Rukhiyat, Adang, dkk, Panduan Penelitian Bagi Siswa, Jakarta: Uhamka Press, 2002. Sabiq, Sayyid, Aqidah Islamiyah, Terj. Ali Mahmudi, Jakarta: Robbani Press, 2006, Cet. 1. Sabran, Dja’far, Risalah Tauhid, Ciputat: Mitra Fajar Indonesia, 2006, Cet-2. Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 2005. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997, Cet 15. ________________, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. VIII. Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yusuf LN, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.