KISAH NABI ADAM A.S DALAM SURAH THAHA AYAT 115 – 124 (Nilai-Nilai Kisah Tentang Pembelajaran Akidah) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd)
Oleh
TEZAR LAKSANA PUTRA NIM 1111011000053
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK Tezar Laksana Putra ( 1111011000053 ) Kisah Nabi Adam A.S dalam Surat Thahaa ayat 115-124 ( Nilai-nilai Kisah Tentang Pembelajaran Akidah) “Skripsi” untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2017. Akidah merupakan salah mata pelajaran yang sangat penting kajianya dalam menanamkan nilai-nilai akhlak dan sikap dalam setiap sendi kehdupan. Akidah yang ditanamkan sejak masa-masa sekolah merupakan hal paling penting yang perlu dilakukan para pengajar agar menjadi pondasi yang kuat bagi para peserta didik dalam mengarungi kehidupan bersosial. Maka dari itu pentingnya pembelajaran tentang nilai-nilai akidah yang bersumber langsung dari Al-qur’an dengan para nabi dan rasul sebagai sumber utama. Alangkah indahnya kisah dalam Al-qur’an yang dijadikan bahan dalam pembelajaran agar mereka senantiasa mencontoh akidah para nabi dan rasul. Tujuan dalam penelitian ini yaitu mengenai apa kandungan dari surat thahaa ayat 115-124 tentang kisah Nabi Adam A.S dan penerapan Akidah yang Allah berikan terhadapnya sebagai manusia pertama di muka bumi dan juga sebagai khalifah di muka bumi, serta bagaimana analisis nilai-nilai akidah yang bisa di ambil dari ayat tersebut agar bertujuan memberikan akidah yang baik dan benar sebagaimana yang Allah ajarkan kepada Adam A.S dalam Surat thahaa ayat 115124. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode tahlilî, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam surat thahaa ayat 115-124 bahwasanya Allah memberikan sebuah kisah kepada umatnya di dalam Al-qur’an tentang kualitas akidah dan keimanan Nabi Adam dalam menghadapi cobaan yang dihadapi dan mengambil intisari dari kisah tersebut terhadap nilai-nilai Akidah yang merupakan sumber dari nilai-nilai akhlak dan sikap untuk kemudian diajdikan bahan untuk pembelajaran yang bersumber dari kisah Alqur’an dan Nabi sebagai contohnya agar kisah dalam Al-qur’an selalu menjadi kisah paling menarik dan relevan untuk di ajarkan pada masa sekarang. Kata Kunci: kisah Nabi Adam, Surat Thaha ayat 115-124, Akidah, Nilai-nilai
i
ABSTRACT Tezar Laksana Putra ( 1111011000053 ). The Adam’s Story in Surah Thahaa verses 115-124 ( Story Values about learning process of Akidah ). “Skripsi” for Department of Islamic Education. Faculty of Educational Sciences. State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2017. Akidah is one of notable lessons to be learned for implanting faith and behavioral values in each sector of life. Akidah which was implanted in the school periods is the most important thing to be done by teachers in order to become the strong foundation for students in carrying social life out. What an urgency learning akidah values which were referred originally to the Holy Qur’an and the Prophets and the Messengers as the prime reference. How beautiful the story in the Holy Qur’an, so that it can be used as the reference in order the people are able to imitate the akidah of the Prophets and The Messengers. The formulation of problems appointed in this research is about the content values from Surah Thahaa verses 115-124 which told about The Prophet Adam’s story and the implementation of Akidah values that Allah had given to him as the first human and also as the khaliifa in the world, how the analysis of akidah values that can be taken from the verses in order to give the better and the truer akidah as Allah taught to Adam in the Surah Thahaa verses 115-124. The method used in this research is the library research with the technique of qualitative descriptive analysis by collecting data or resources related to discussion theme and the problems which were taken from library resources, then analyzed with the method tahlilî—the interpretation method which explain the content of Holy Qur’an verses from whole aspects. The study results showed that Allah had given a story to His believers in Surah Thahaa verses 115-124 about the quality of Adam’s akidah and belief in encountering the scourges and temptations and take the lesson from the story on the akidah values which is the resource for moral and behavioral values and further to become the reference which is referred originally to the story in the Holy Qur’an and Prophets as the example in order the story always be the most interesting and relevant story to be taught in the present time. Keywords: The Adam’s Story, Surah Thahaa verses 115-124, akidah , values.
ii
KATA PENGANTAR
ّحيم ّمحن الر بسم اهلل الر Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kepada sumber segala kebenaran, sumber ilmu pengetahuan, Ilahi Rabbi Allah SWT, karena atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga harapan dan usaha penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dapat terlaksana sebagaimana adanya. Shalawat beruntaikan salam semoga tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, yang telah memberikan dan menyampaikan kepada kita semua ajaran yang begitu mulia dan terjaga hingga akhir zaman, yang terbukti kebenarannya dan semakin terus terbukti kebenarannya. Serta kepada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya. Ucapan terima kasih yang tiada tara penulis sampaikan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda Didi Riswandi dan Ibunda Titin Rosniawati, yang tanpa lelah memberikan kasih sayang, perhatian, dorongan, dukungan moril dan materiil serta doa yang selalu tercurah. Banyak tantangan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini, namun berkat kesungguhan hati, kesabaran, kerja keras, dorongan dan juga bantuan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik batuan moril ataupun materil. Oleh karena itu, sudah menjadi kepatutan untuk penulis sampaikan penghargaan yang tulus dan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah beserta seluruh stafnya. 2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, Ketua Program Studi dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
iii
3. Abdul Gofur, MA, pembimbing skripsi, yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan arahan serta telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. 4. Hj. Marhamah Saleh Lc. MA, Dosen Pembimbing Akademik Pendidikan Agama Islam kelas B angkatan 2011. 5. Seluruh dosen beserta staf Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan ilmu serta membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. 6. Tidak lupa pula kakak-kakak penulis Fathurrahmah Aviciena, Idham Khalid, dan habibullah. 7. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Agama Islam angkatan 2011, khususnya kelas B, Ahmad Khoiruddin, M, Haris Rachmatullah, Ibnu Kholdun
Nawaji,
M.
Rizki
Ramadhan,
Dedi
Gunawan,
Fathurrahmah Aviciena serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Kemudian rekan-rekan HMI Cabang Ciputat Komisariat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan kakanda Zaeni Abdillah, Alwan Nachrowi, Ipank, Ni’am, Abonk dan teman-teman HMI lainya yang saya tdiak bisa sebutkan semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, amin.
Jakarta, 10 Mei 2017
Tezar Laksana Putra
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB–LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan Tunggal No.
Huruf Arab
Huruf Latin
No.
Huruf Arab
Huruf Latin
1
ا
Tidak
16
ط
ţ
dilambangkan
2
ب
b
17
ظ
ť
3
ت
t
18
ع
‘
4
خ
ś
19
غ
ġ
5
ج
j
20
ف
f
6
ح
h
21
ق
q
7
خ
kh
22
ك
k
8
د
d
23
ل
l
9
ذ
ż
24
م
m
10
ر
r
25
ن
n
11
ز
z
26
و
w
12
س
s
27
ه
h
13
ش
sy
28
ء
`
14
ص
ş
29
ي
y
15
ض
đ
30
ة
h
2. Vokal Tunggal Tanda
Huruf Latin
َـ
a
ِـ
i ُـ
u
v
vi
3. Vokal Rangkap Tanda dan Huruf
Huruf Latin
ْـَي
ai
ْـَـو
Au
4. Mâdd Harakat dan Huruf
Huruf Latin
َــا
â
ْــِي
î
ْـُـو
ȗ
5. Tâ’ Marbuţah Tâ’ Marbuţah hidup translitrasiya adalah /t/. Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbuţah diikuti oleh kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka Tâ’ Marbuţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: = حَدِيقَ ُة الحَيَوَانَاتhadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât = المَدْرَسَ ُة الْإبْحِدَائِيّة
al-madrasat
al-ibtidâ`iyyâh
atau
al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh
6.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah/tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). َعَّلَم
Ditulis
‘allama
ُيُكَّرِر
Ditulis
yukarriru
7. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung.
vii
Contoh: ُّصالَة َ = الaş-şalâtu b. Kata sadang diikuti dengan hufuf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: ُ = الفََّلكal-falaqu
8. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: ُ = أكَ ّْلثakaltu
َ = ُأوْجِيȗtiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan aprostof, contoh: = جَأكّلونta’kulȗna
ٌ = شَيْئsyai`un
9. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh: = القّرآنal-Qur`ân = المدينة المنوّرةal-Madînatul Munawwarah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR UJI REFERENSI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT .............................................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 6 C. Pembatasan Penelitian .................................................................................... 6 D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 7 E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7
BAB II : KAJIAN TEORITIK METODE PEMBELAJARAN KISAH A. Kisah .............................................................................................................. 8 1. Pengertian Kisah ..................................................................................... 8 2. Macam-macam Kisah ............................................................................. 9 a. Kisah Lama ....................................................................................... 9 b. Kisah Baru ......................................................................................... 10 3. Unsur-unsur yang ada dalam Kisah ........................................................ 10 a. Peristiwa ........................................................................................... 11 b. Pelaku ............................................................................................... 12 c. Waktu dan Tempat ........................................................................... 12
viii
ix
d. Gaya bahasa dan dialog .................................................................... 13 e. Gagasan pikiran atau tujuan ............................................................. 13 4. Kisah dalam Al-Qur’an ........................................................................... 13 a. Macam-macam Kisah Al-Qur’an ...................................................... 18 b. Tujuan Kisah dalam Al-Qur’an ......................................................... 19 c. Tema dan Tokoh Kisah dalam Al-Qur’an ......................................... 23 B. Nilai Pendidikan Akidah .............................................................................. 24 1. Pengertian nilai ........................................................................................ 24 2. Pengertian pendidikan Akidah ................................................................ 25 3. Dasar Pendidikan Akidah ........................................................................ 27 4. Istilah lain Akidah .................................................................................... 29 5. Ruang lingkup Akidah ............................................................................ 31 C. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................................ 40
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Metodologi Penelitian ............................................................. 41 B. Fokus Penelitian ...................................................................................... 41 C. Sumber Data ............................................................................................ 42 D. Prosedur Penelitian .................................................................................. 43
BAB IV : TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tafsir ayat surah Thaha .......................................................................... 46 B. Kisah Nabi Adam a.s ............................................................................... 54 1. Penciptaan Adam a.s. ....................................................................... 54 2. Penciptaan Hawa ............................................................................... 60 3. Hakikat surga yang ditempatu Adam dan Hawa ............................... 63 4. Dikeluarkanya Adam dan pasanganya dari surga ............................ 64 5. Taubatnya Adam a.s. ........................................................................ 68 6. Kematian Adam a.s. .......................................................................... 70 C. Pembelajaran Aqidah dalam kisah Adam a.s ................................................ 71 1. Rendah Diri ....................................................................................... 72
x
2. Larangan Sombong ........................................................................... 75 3. Menjauhi dengki ................................................................................ 79 4. Pemaaf dan pengampun .................................................................... 82 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 83 1. Nilai-nilai pembelajaran Aqidah yang terkandung ................................. 83 B. Saran .............................................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 85 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Dari sejak awal kehadirannya di muka bumi, Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan, sehingga mampu mengubah pusat kebudayaan dan peradaban yang semula ada di Cina, India, Romawi, Persia dan lainnya berpindah ke dunia Islam, sebagaimana terlihat di Baghdad, Mesir dan lainnya”.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Bahkan, maju atau mundurnya suatu negara dapat diukur melalui pendidikan. Sebagai umat muslim, dalam menjalankan sebuah pendidikan hendaknya pendidikan tersebut dilandasi dengan nilainilai keislaman. Maka dari itu islam sangat mengedepankan pendidikan sebagai dasar dalam membentuk sebuah struktur kemasyaraktan yang maju atau biasa disebut sebagai masyarakat Madani. Kemudian tidak sedikit AlQur’an menjelaskan banyak masalah-masalah tentang pendidikan. Islam mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril. AlQur’an ini juga di pandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan (mubin). Kemudian juga sering kali disebut pula petunjuk (Hidayah) dan buku (kitab). Namun nama yang banyak dipergunakan untuk menyebut AlQur’an ialah buku (kitab) dan Al’Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an berisi segala hal mengengai petunjuk yang membawa hidup manusia bahagia di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Kandungan yang ada di dalam Al-Qur’an meliputi segala hal sebagaimana di firmankan Allah di dalam Al-Qur’an surat AlAn’am (6) : 38 :
ۡ ۡ
ۡ
ۡ
ۡ
“Tiadalah Kami Alpakan Sesuatupun Dalam Al-Kitab”
1
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h.
207
1
2 Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan”.2 Al-Qur’an memperkenalkan dirinya hudan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya.3 Agama Islam yang merupakan agama yang sudah kita anut merupakan jalan yang akan menjamin kebahagiaan pemeluknya di dunia dan akhirat nanti. Karena Islam mempunyai fungsi utama, salah satunya adalah memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra ayat 9 :
ۡ
ۡ
ۡ ۡ
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus yang sebaik-baiknya… Menurut
ulama
besar
kontemporer,
Muhammad
Husein
Ath-
Thabathaba’iy sebagaimana yang dikutip oleh guru besar kita Quraish Shihab di dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, menyatakan bahwa “sejarah AlQur’an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya hingga masa kini. AlQur’an sudah dibaca oleh kaum muslimin sejak dulu hingga sekarang, sehingga dengan demikian Al-Qur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membutikan keotentikannya”.4 Dengan semua bukti-bukti keistimewaan Al-Qur’an, maka sudah sepatutnya sebagai manusia harus menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar, landasan serta hukum dalam setiap langkah kehidupannya. Semua urusan manusia secara menyeluruh telah diatur sebaik-baiknya dalam Al-Qur’an. Hal ini juga menjadi salah satu prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Abudin Nata, bahwa, “agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islami itu bersifat menyeluruh dalam pandangan terhadap agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan”.5 Berbicara tentang pendidikan, maka tidak dapat dilewatkan begitu saja mengenai metode pendidikan. Lebih spesifiknya adalah metode pendidikan 2
M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.21. 3 Ibid, h. 26. 4 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), cet. IV, h. 2.1 5 Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), cet. III, h. 12.
3 Islam. Yang dimaksud metode pendidikan Islam menurut Abdullah Nashih Ulwan sebagaimana yang dikutip oleh Aat Syafa’at adalah “jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim”.6 Abdullah Nashih Ulwan sebagaimana yang telah dikutip oleh Aat Syafa’at menyatakan bahwa tehnik atau metode pendidikan Islam itu ada lima macam, yaitu: 1) Pendidikan dengan keteladanan, 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan, 3) Pendidikan dengan nasehat, 4) Pendidikan dengan memberi perhatian, 5) Pendidikan dengan memberi hukuman7. Kemudian, beberapa metode yang dianggap penting dan paling menonjol menurut Abdurrahman An-Nahlawi anatara lain: 1.
Metode dialog Qur’ani dan Nabawi
2.
Mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi
3.
Mendidik melalui perumpamaan Qur’ani dan Nabawi
4.
Mendidik melalui keteladanan
5.
Mendidik melalui aplikasi pengalaman
6.
Mendidik melalui ibrah dan nasihat
7.
Mendidik melalui targhib dan tarhib8
Dengan adanya metode pendidikan Islam, maka diharapkan terwujudnya tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan Islam menurut Imam Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Armai Arief, M.A yaitu “untuk membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”.9 Salah satu metode yang termasuk dalam metode pendidikan ialah metode Cerita. Sebagai sebuah metode pendidikan, cerita memang mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongen adalah aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa 6
TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 40. 7 Ibid, h. 40-47. 8 Abdurrahman An-Nahlawi, an-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Darul Fikri, 1999), h. 24. 9 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 22.
4 serta agama mana saja. Tidak ada yang tidak menggemari dongen atau cerita. Kelompok yang paling suka dengan hak ini tentu ialah anak-anak. Kita biasa menyaksikan sendiri bagaimana cerianya mereka ketika mendengarkan dongen atau cerita dan mereka selalu mengharapkan ibu bapaknya meluangkan waktu untuk menceritakan dongen kepada meraka. Cerita atau dongen adalah salah satu sarana untuk membangun karakter anak didik, Karena bercerita mirip dengan memberikan contoh nyata dalam imajinasi anak. Efek dari cerita memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka sedang dihujani nasihat demi nasihat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan motivasi.10 Dalam
suatu
penilitian,
dilaporkan
bahwa
ada
peningkatan
perkembangan intelektual dan kematangan terhadap bayi pralahir akibat pengaruh pembacaan cerita, seorang peneliti meminta muridnya yang sedang hamil untuk membacakan cerita anak berulang-ulang dengan suara keras selama kehamilanya. Ketika bayinya dilahirkan, bayi itu diuji apakah mengenali bunyi-bunyi cerita lain. Ternyata ia mengenali cerita yang telah dibacakan ibunya. Diyakini bahwa bercerita untuk
bayi sebelum ia
dilahirkan dapat berdampak bagi perkembangan otak bayi.11 Keunggulan cerita dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu bersamaan. Pertama, cerita sangat efektif dalam komunikasi informasi dengan bentuk yang mudah diingat, dan kedua, cerita dapat mengarahkan perasaan pendengarnya dengan informasi yang dikomuskasikan.12 Bagi anakanak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama mendengarkan cerita atau kisah adalah aktivitas yang mengasyikan, oleh karenanya memberikan pelajaran dan nasihat melalu cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak. Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah tentang Khulafaur Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukman Hakim,
10
Ibrahim Amini, Agar tak salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315. F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara bary mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung,: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132. 12 Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif, (Jakarta, PT Indeks, 2009), h. 12-13. 11
5 Nabi Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang merea sangat baik untuk diketahui anak-anak. Karena kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik bagi anak.13 Dan dalam beberapa tahun terakhir ini metode kisah sudah banyak ditinggal oleh para pengajar untuk mengaplikasikan mata pelajaranya dalam mengajar. Hal ini terjadi lantaran metode kisah atau cerita terlihat kuno dan tidak menarik bagi pembelajaran dan juga metode ini terlihat sulit bagi guru yang tidak memiliki khazanah keilmuan yang dalam. Pada kenyataanya untuk mencapai hasil yang di harapkan, hendaknya penggunaan metode dalam proses belajar mengajar tidak harus berfokus kepada salah satu bentuk metode, akan tetapi dapat memilih atau mengkombinasikan diantara metodemetode yang ada sesuai dengan situasi atau kondisi, sehingga dapat memudahkan si pendidik dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan. Dalam hal ini Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih dan mengaplikasikan sebuah metode pembelajaran: 1.
Tujuan yang hendak dicapai
2.
Kemampuan guru
3.
Anak didik
4.
Situasi dan kondisi pembelajaran berlangsung
5.
Waktu yang tersedia
6.
Kebaikan dan kekurangan sebuah metode
Dari uraian di atas disimpulkan oleh Amir Ma’ruf, bahwa metode kisah adalah salah suatu penyampaian materi pelajaran dengan cara menceritakan kronologis terjadinya sebuah peristiwa baik benar atau berbentuk fiktif saja. Metode kisah/cerita dalam pendidikan Islam menggunakan paradigma AlQur’an dan Hadis Nabi Saw., sehingga dikenal dengan istilah “kisah Qur’ani dan kisah Nabawi” kedua sumber tersebut mempunyai substansi cerita yang valid tanpa diragukan lagi kebenaranya. Namun terkadang kevalidan sebuah cerita terbentur SDM yang menyampaikan cerita itu sendiri sehingga banyak kelemahanya.14 13
Oos M. Anwas, Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan tantangan. (Jurnal Pendidikaan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisis Khusus III, Oktober 2010, h. 259. 14 Armai Arief, Loc. Cit., h. 163.
6 Oleh karena itu berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait kajian tentang metode pendidikan yang ada dalam al-Qur’an. Untuk itu penulis mengambil judul “ kisah Adam A.S dalam
Surah
Thaha
ayat
115-124
(Nilai-nilai
Kisah
Tentang
Pembelajaran Akidah).
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
diatas,
maka
penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam skripsi ini , diantaranya yaitu: 1. Bagaimana kisah Nabi Adam A.S dalam Al-Qur’an 2. Nilai-nilai pendidikan apa yang terkandung dalam Kisah Nabi Adam A.S 3. Pentingnya pendidikan dengan menggunakan kisah yang memilki nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an
C. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan adanya identifikasi masalah di atas, penulis akan membatasi beberapa hal yang berkatian dengan masalah, yaitu: 1. Penafsiran Isi kandungan Surat Thaha ayat 115-124 2. Menceritakan kisah Nabi Adam A.S dalam Surat Thaha ayat 115-124 3. Kajian tentang nilai-nilai pembelajaran Akidah yang terkandung dalam Kisah Adam A.S. dalam surat Thaha ayat 115-124
D. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apa saja isi kandungan Surah thaha ayat 115-124 dan relevansinya dengan nilai-nilai pembelajaran Akidah
7 E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah untuk menjelaskan isi kandungan Surah Thaha ayat 115-124 dalam kaitannya dengan nilai-nilai pembelajaran Akidah F. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Menambah khazanah keilmuan pada bidang tafsir pendidikan, serta membuka kemungkinan adanya penelitian lebih lanjut dan peninjauan kembali dari hasil penelitian ini. 2. Memberi sumbangsih pemikiran terkait konsep dan teori tentang pendidikan
dalam
Al-Qur’an,
serta
menambah
khazanah
kepustakaan dalam meneliti dan memahami Al-Qur’an sebagai petunjuk. 3. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap pembelajaran Akidah melalui kisah yang terdapat di dalamnya. 4. Memperbanyak kisah-kisah dalam pembelajaran Akidah yang terkandung dalam Al-Qur’an 5. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kisah 1. Pengertian Kisah Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kisah ialah cerita yang memilki arti tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.1 Kisah memiliki arti yang sama cerita, dimana cerita merupakan bahasa Indonesia sedangkan kisah ialah serapan kata dari bahasa arab yang diambil dari kata dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan. Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, kisah ialah salah satu bentuk sastra yang memilki keindahan atau kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.2 Said Murs menjelaskan bahwa kisah adalah pemaparan pengetahuan kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.3 A Hanafi mengutip pendapat Muhammad Khalafullah dalam bukunya Al-Fannu Al-Qssiyu fi Al-Qur‟anil Karim yang mendefinisikan bahwa cerita adalah suatu karya kesuasteraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, dimana sebagianya disebutkan sebagaian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang benarbenar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambaranya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan sudah menjadi pra pelaku khayal.4
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283. 2 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8. 3 Muhammad Sa‟id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117. 4 A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.
8
9
2. Macam-Macam Kisah a. Berdasarkan cirri-cirinya, menurut Wahyudi Siswanto kisah dibagi menjadi 2, yaitu : 1) Kisah Lama Kisah lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini bersifat anonim, tidak diketahui siapa pengarangnya dan beredar secara lisan ditengah masyarakat. pada umumnya, cerita ini diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Kisah rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek moyang, jasa atau keteladnan kehidupan para pendahulu, hubungan kekerabatan, asal muasal tempat, adat istiadat, dan sejarah benda pusaka. yang termasuk kedalam kisah lama ialah fabel, dongen, legenda, mitos dan sage.5 a) Fabel Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya yang diceritakan seperti kehidupan manusia, misalkan cerita kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di dalam kisah tersebut. karena itu fabel mengandung unsur didaktif dan edukatif. b) Dongeng Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat dan waktu. Dalam KBBI, dongen adalah cerita yang tidak benar benar terjadi, terutama dalam kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh. c) Mitos Mitos adalah kisah rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai kisah. Mitos merupakan kisah yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan sesuatu
5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 140.
10
dengan dunia anganya sendiri6 contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul. d) Legenda Legenda adalah kisah tentang asal mula (nama suatu tempat, asal usul dunia tumbuhan, asal ususl dunia binatang). Legenda hampir mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia walaupun adakalnya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan makhluk ghaib. Contoh legenda ialah cerita tentang terjadinya Tangkuban Perahu, asal usul Banyuwangi. e) Sage Adalah dongen yang berisi kegagah beranian seorang pahlawan yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti Ken Arok dan Ken Dedes, Tutu Tinular, serta Lutung Kasarung.
2) Kisah Baru Kisah baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan dengan dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Kisah baru dapat dikembangkan
dengan
menceritakan
kehidupan
saat
ini
dengan
keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya. Pembagian ini lebih dikarenakan perbedan volume atau panjang pendeknya kisah, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.7
3. Unsur-unsur yang terdapat pada kisah Cerita ini merupakan salah satu bagian dari sastra, dimana sastra memiliki Sembilan cirri umum, yakni :8 a. Ada niat dari pengarangnya untuk menciptakan karya sastra. b. Hasil proses kreatif. c. Diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis. d. Bentuk dan gaya yang khas. 6
Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet. 7 h. 128. 7 Siswanto, op. cit., h. 140. 8 Ibid, h. 72-81
11
e. Bahasa yang digunakan khas. f. Mempunyai logika tersendiri, mencakup isi dan bentuk. g. Merupakan rekaan. h. Mempunyai nilai keindahan tersendiri. i. Nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerita secara umum ialah adanya kejadian atau peristiwa tertentu sebagai unsur pertama. Selanjutnya ada pelaku sebagai unsur kedua. Peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi dalam waktu dan tempat tertentu, dan hal ini mencakup unsur ketiga. Kemudian ada gaya bahasa tertentu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut, lengkap dengan dialogdialog yang terjadi antara para pelaku. Unsur terakhir ialah gagasan pikiran (ide) atau segi pandangan atau tujuan.9 a. Peristiwa Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.10 Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong penting, kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konfik menjadi semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan sampai pada titik puncak, disebut klimaks. Klimaks menurut Santon adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat hal itu merupakan suatu yang tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkingkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks. Sebuah konflik 9
Hanafi, op, cit,. h. 19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.
10
117
12
akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak hal akan diperngaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.11 b. Pelaku atau tokoh Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam kisah sehingga peristiwa itu menjalin suatu kisah, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Tokoh dalam kisah selalu mempunyai sifat, sikap tingkah laku atau watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh disebut perwatakan.12 c. Waktu dan tempat Bersamaan dengan sosial, waktu dan tempat merupakan bagian dari unsure latar dlam sebuah kisah. Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dapat bermakna ganda; disatu pihak menunjukan pada waktu pengisahan, waktu penulisan, dan pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam ceita. Kejelasan waktu yang dikisahkan amat penting dapat dilihat dari segi waktu pengisahanya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis kisah khususnya untuk cerita yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang mengenal tenses seperti bahasa Inggris.13 Masalah waktu dalam kisah juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam kisah. Ada membutuhkan waktu yang sangat panjang, katakanlah (hampir) sepanjang hayat tokoh, ada yang relative agak panjang, membutuhkan waktu bebrapa tahun, ada pula yang relatif pendek. Latar waktu haruslah berkaitan dengan latar tempat, karena tempat inilah yang menunjukan lokasi terjadinya peristiwa yang dikisahkan dalam sebuah kisah. Tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa 11
Ibid, h. 127. Siswanto, op. cit., h. 143.. 13 Nurgiyantoro, op, cit,. h. 231. 12
13
nama jelas. Penyebutan tempat yang tidak ditunjukan secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam kisah tersebut kurang dominan.14 d. Gaya Bahasa dan Dialog Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasan dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmosin serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dn emosi pembaca.15 Karena bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahanya itu sendiri. e. Gagasan Pikiran atau Tujuan Sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya dalam bentuk karya sastra yang dibuatnya. Gagasan pikiran yang ada dalam kisah rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, hal ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang
ingin
disampaikan
pengarang
kepada
pembaca
atau
pendengarnya. Di dalam karya sastra modern ini biasanya tersirat di dalam karya sastra lama pada umunya amanat tersurat.16
4. Kisah dalam Al-Qur’an Al-Qur‟an teah banyak menceritakan kisah orang-orang dahulu dari para nabi dan selain nabi, diantaranya mengenai kisah-kisah orang mukmin dan kisah orang kafir. Al-Qur‟an telah membicarakan kisah –kisah yang disebutkanya. Ia menjelaskan hikmah dari penyebutannya, manfaat apa yang dapat kita ambil darinya, episode-episode yang memuat pelajaran hidup, konsep memahaminya dan bagaimana cara berinteraksi denganya.17 Di dalam buku “metode dakwah” yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI dijelaskan bahwa Al-Qur‟an banyak memuat kisah-kisah sejarah umat terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan perbandingan untuk menjalankan aktifitas dalam berdakwah dan mendidik. 14
Ibid, h. 232-233. Siswanto, op, cit., h. 158. 16 Ibid, h. 162 17 Shalah Abdul Fattah al-Khalidiy, kisah-kisah Al-Qur‟an :”pelajaran dari orang-orang terdahulu” (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 3, h. 21 15
14
Orang-orang kafir menganggap bahwa kisah-kisah yang terkandung dalam Al-Qur‟an sebagai mitos dan legenda. Dalam Al-Qu‟an didapati banyak kisah Nabi-nabi, Rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud kisah-kisah itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran. 18 Bagi seorang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh penyeru kebenaran bisa dilihat dari suratsurat yang mengandung kisah perjuangan para Nabi dan Rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh memulai seruanya dengan member kabar gembira. Sholeh memulai seruanya dengan memperingatkan kepada umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, member kabar gembira dan mengingatkan nikmat itu).19 Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata‟amal Ma‟alQur‟an mengkritik banyaknya orang menulis kisah-kisah Qir‟ani terlalu menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan kisahnya. Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini menyebabkan tujuan utama dari kisah-kisah Al-Qur‟an dama sekali tidak mendapat perhatian karena alat atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.20 Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya kisah-kisah tersebut, menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan kisah-kisah tersebut adalah:21 a.
Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul. Contohnya dalam surat Al-Anbiya: 25
ۡ
18
۠ ٓ
ٓ ۥ
ۡ
ٓ
ۡ
ۡ ۡ ٓ
Harun Yahya, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur‟an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72. 19 Teungku M. Hasbi ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123. 20 Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88 21 Manna‟ Khalil al-Qattan. Sudi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 437.
15
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". b. Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan umat muslimin. c. Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah mereka sendiri. d. Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa. e. Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur‟an dan kebenaran Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaanya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat Al-Fath: 27 Allah berfirman:
ٓ ۡ
ۡ
ۡ
ۡ ۡ ۡ
ۡ
ۖ ۡ ۖ
ۡ
ۡ ۡ
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” f. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan kisahkisah yang baik itu meresap ke dalam hati nurani dengan mudah. Adapun Shalah Al-Khalidy berpendapat bahwa tujuan kisah-kisah Al-Qur‟an ialah: a. Agar mereka berfikir (la‟allahum yatafakkarun). Al-Qur‟an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil dari setiap kisah yang diceritakan. b. Untuk meneguhkan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar konsisten dalam jalnan kebenaran. c. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal.22 22
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur‟an: Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1999), h. 28-31.
16
Sedangkan menurut Said Mursy, pengkisahan Al-Qur‟an dan para Nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.23 Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara satu dengn yang lain. Di antara maksud dan tujuan itu yakni: Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang Nabi utusan Allah dan bahwa Al-Qur‟an yang disampaikanya memang benar-benar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa mneyampaikan kisah-kisah di dalam Al-Qur‟an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi yang amat indah tanpa ada distorasi dan penyelewengan.24 Firman Allah SWT: “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orangorang yang menyaksikan. Tetapi kami Telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersamasama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, te- tapi kami Telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para Nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada perbedaan pun antara para nabi dan rasul sejak nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah kisah para nabi dan rasul secara tersimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang sangat mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah al-Anbiya, di mana kisah-kisah Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli diebutkan secara berantai. Lalu masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan, sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka tunduk sembahlah pada-Ku (Q.S. Al-Anbiya: 4892). Tujuan ini pada dasarnya hendak menjelaskan hubunga erat antara syariat 23 24
Mursy, Loc. Cit., h. 118. Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur‟an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.
17
islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para Rasul dan Nabi keseluruhan, dan bahwa Islam sejainya pelanjut syariat-syariat tersebut. Allah berfirman, “Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al-Qur‟an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktorfaktor, sebab fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu.25 Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Kisah-kisah itu menjelaskan bahwa orang yang mngeingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama seperti yang dialami kaum nabi Nuh, kaum Ad‟, kaum Samud, dan lainya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di penghujung peristiwa mengalahkan kaum pendusta. Kelima, kisah adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur‟an untuk membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat mendidik, karena sejak dulu para pendidik menggunakanya sebagai sarana untuk mengajrkan akhlak baik, niliai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan.26
25
Muhammad Hadi Ma‟rifat. Kisah-Kisah Al-Qur‟an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47. 26 Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qur‟ani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni, (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.
18
a. Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur‟an Kisah-kisah dalam Al-qur‟an ada yang terkait dengan kehidupan para Nabi, termasuk yang berkaitan dengan tokoh atau sesuatu yang berhubungan dengan Nabi, seperti Iblis, Qabil dan Habil, Khidir, Qarun, Firaun, dan lainya. Ada pula yang tidak terkait dengan kisah para Nabi, seperti penghuni gua (Ashabul Kahfi), Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan lainya. Sebagian cerita diceritakan berdasarkan pertanyaan para sahabat seperti ashabul kahfi dan Zulqarnain (Al-Kahfi : 9-20, dan 83), tetapi sebagian besar difirmankan tanpa sebab atau permintaan. Secara keseluruhan tipe-tipe cerita Al-Qur‟an mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda, dan pesan bagi umat manusia. Adapun pembagian cerita Al-Qur‟an sebagai berikut : 1) Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam AlQur‟an, ada tiga macam: a) Kisah hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu Kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra. Seperti Kisah-Kisah Nabi. b) Kisah hal-hal gaib pada masa kini, yaitu menceritakan kejadian-kejadian gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dahulu dan akan tetap ada sampai masa yang akan datang), dan menyingkap rahasia orang-orang munafik. c) Kisah hal-hal gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah terjadi pada waktu turunya Al-Qur‟an, kemudian peristiwa itu benar-benar terjadi. 2) Ditinjau dari segi materi, juga ada tiga macam: a) Kisah para Nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta perkembangan, mu‟jizat merek, posisi para penentang, akibat orang-orang ynag percaya dan mendustakan merekan dan lain-lain. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahin, Musa, Harun, Isa, Muhammad, dan Nabi serta Rasul lainya. b) Kisah orang-orang yang belum tentu Nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu seperti kisah Lukanul Hakim, Ashabul Kahfi, dan lainlain. Peristiwa-peristiwa masa lalu dan peribadi-peribadi yang tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan, misalnya kisah Thalut dan Jalut, dua putra Adam, Zulqarnanin, Qarun, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan lain-lain.
19
c) Kisah mengenai kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, perang Ahzab dalam surah alAhzab, peistiwa hijrah, isra‟ Mi‟raj dan lain-lain.27
b. Tujuan Kisah dalam Al-Qur‟an Orang-orang kafir menganggap bahwa kisah-kisah yang terkandung dalam Al-Qur‟an sebagai mitos dan legenda. Dalam Al-Qu‟an didapati banyak kisah Nabi-nabi, Rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud kisah-kisah itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran. 28 Bagi seorang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh penyeru kebenaran bisa dilihat dari surat-surat yang mengandung kisah perjuangan para Nabi dan Rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh memulai seruanya dengan member kabar gembira. Sholeh memulai seruanya dengan memperingatkan kepada umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, member kabar gembira dan mengingatkan nikmat itu).29 Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata‟amal Ma‟alQur‟an mengkritik banyaknya orang menulis kisah-kisah Qir‟ani terlalu menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan kisahnya. Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini menyebabkan tujuan utama dari kisah-kisah Al-Qur‟an dama sekali tidak mendapat perhatian karena alat atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.30
27
FKMT Penamas Departemen Agama DKI Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), h. 128. 28 Harun Yahya, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur‟an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72. 29 Harun Yahya, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur‟an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur‟an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.. 30 Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88
20
Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya kisah-kisah tersebut, menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan kisah-kisah tersebut adalah:31 1. Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul. Contohnya dalam surat Al-Anbiya: 25
ۡ
۠ ٓ
ٓ ۥ
ۡ
ٓ
ۡ
ۡ ۡ ٓ
Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". 2. Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan umat muslimin. 3. Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah mereka sendiri. 4. Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa. 5. Untuk
memperlihatkan
kemukjizatan
Al-Qur‟an
dan
kebenaran
Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaanya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat Al-Fath: 27 Allah berfirman:
ٓ ۡ
ۡ
ۡ
ۡ ۡ ۡ
ۡ ۖ
ۖ ۡ
ۡ
ۡ ۡ
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” 6. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan kisah-kisah yang baik itu meresap ke dalam hati nurani dengan mudah. 31
h. 437.
Manna‟ Khalil al-Qattan. Sudi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007),
21
Adapun Shalah Al-Khalidy berpendapat bahwa tujuan kisah-kisah Al-Qur‟an ialah: 1. Agar mereka berfikir (la‟allahum yatafakkarun). Al-Qur‟an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil dari setiap kisah yang diceritakan. 2. Untuk meneguhkan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar konsisten dalam jalnan kebenaran. 3. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal.32 Sedangkan menurut Said Mursy, pengkisahan Al-Qur‟an dan para Nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.33 Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara satu dengn yang lain. Di antara maksud dan tujuan itu yakni: Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang Nabi utusan Allah dan bahwa Al-Qur‟an yang disampaikanya memang benar-benar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa mneyampaikan kisah-kisah di dalam Al-Qur‟an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi yang amat indah tanpa ada distorasi dan penyelewengan.34 Firman Allah SWT: “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orangorang yang menyaksikan. Tetapi kami Telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersamasama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, te- tapi kami Telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para Nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada perbedaan pun antara para nabi dan rasul sejak nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah kisah para nabi dan rasul secara tersimpun dalam satu surah, 32
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur‟an: Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1999), h. 28-31. 33 Mursy, op, cit., h. 118. 34 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur‟an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.
22
dinarasikan dengan gaya yang sangat mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah al-Anbiya, di mana kisah-kisah Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli disebutkan secara berantai. Lalu masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan, sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka tunduk sembahlah pada-Ku (Q.S. Al-Anbiya: 4892). Tujuan ini pada dasarnya hendak menjelaskan hubunga erat antara syariat islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para Rasul dan Nabi keseluruhan, dan bahwa Islam sejainya pelanjut syariat-syariat tersebut. Allah berfirman, “Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al-Qur‟an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktorfaktor, sebab fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu.35 Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Kisah-kisah itu menjelaskan bahwa orang yang mngeingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama seperti yang dialami kaum nabi Nuh, kaum Ad‟, kaum Samud, dan lainya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di penghujung peristiwa mengalahkan kaum pendusta. Kelima, kisah adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur‟an untuk membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat mendidik, karena sejak dulu para pendidik menggunakanya sebagai sarana untuk mengajrkan akhlak baik, niliai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan 35
Muhammad Hadi Ma‟rifat. Kisah-Kisah Penerbit Citra, 2013), h. 47.
Al-Qur‟an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta:
23
menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan.36
c. Tema dan Tokoh dalam Kisah Al-Qur‟an Sebagaiman dijabarkan sebelumnya, bahwa kisah-kisah Al-Qur‟an terdiri dari tiga masa yang berbeda, yaitu gaib masa lampau, gaib masa kini dan gaib masa depan. Tema dalam kisah-kisah pada Al-Qur‟an terdapat dua bagian, yaitu kisah orang-orang Bani Isrel dalam Al‟Qur‟an dan kisah-kisah orang terdahulu selain Bani Israel.37 Di dalam bagian pertama Al-Qur‟an menceritakan kisah-kisah orang dahulu yang merupakan kaum bani Israel. Dalam Al-Qur‟an bagian ini memiliki beberapa tokoh di dalamnya, yaitu : 1. Kisah Ibunda Musa A.S. 2. Kisah lelaki mukmin bangsawan dari keluarga Fir‟aun 3. Kisah Qarun 4. Kisah Tih bani Israel (berputar-putarnya Bani Israel kebingungan mencari jalan 5. Kisah Sapi betina bani Israel 6.
Kisah Ash-Shabus Sabt
7. Kisah Thalut Sedangkan dalam bagian kedua dari kisah dalam Al-Qur‟an yang mengisahkan selain dari kaum bani Israel memiliki tokoh sebagai berikut : 1. Kisah Ash-habul Kahfi 2. Kisah pemilik dua kebun 3. Kisah Nabi Musa A.S dan Nabi Khidier A.S 4. Kisah Dzulqurnain 5. Kisah Harut dan Marut 6. Kisah seorang pria yang melewati sebuah negeri 7. Kisah dua anak Adam 8. Kisah orang yang terputus dari ayat-ayat Allah 9. Kisah Luqman 36
Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qur‟ani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni, (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155. 37 Shalah Abdul Fattah al-Khalidiy, kisah-kisah Al-Qur‟an :”pelajaran dari orang-orang terdahulu” (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. 3, h. 16-17
24
10. Kisah Saba‟ 11. Kisah penduduk sebuah kota 12. Kisah orang-orang yang membuat parit (Ash-habul Ukhdud)
B. Nilai pendidikan akidah 1. Pengertian nilai Kata nilai telah diartikan oleh oleh para ahli dengan bermacam-macam pengertian, di mana pengertian berbeda dengan pengertian yang lain, hal tersebut disebabkan nilai sangat erat kaitanya dengan pengertian-pengertian dan aktifitas mansusia yang komplek dan sulit ditentukan batasanya. Sedangkan nilai sendiri berasal dari bahasa inggris “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology Theory of Value).38 Filsafat juga sering diartiakn sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah dalam bidang filsafat dipakai unutk menunjukan kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penelitian.39 Secara filosofis niai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, idiologi bahkan dari agama. Dalam konteks pendidikan Islam, sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih dari Al-Qur‟an dan sunnah Nabi saw yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang sumber kepada adat istiadat atau tradisi dan idiologi sangat rentan dengan situasional, sedangkan
nilai-nilai
Al‟Qur‟an, yaitu nilai-nilai sumber kepada Al-Qur‟an adalah kuat, karena ajaran AlQur‟an bersifat mutlak dan universal.40 Sedangkan di dalam Dictionary of Sosciology and Related Scienses, dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suat benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan 38
Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama, 2002), Cet. II, h. 106 39 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), h. 87 40 Husin Said Agil al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟an, dalam Sistem Pendidikan Islam, (Cipta Press, 2005), h. 3
25
menarik minat sesorang atau kelompok, (The Believe Capacity of any object to statisfy a human desire),. Jadi nilai pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang mengandung pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat dan kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Nilai berarti suatu ide yang paling baik, menjungjung tinggi dan menjadi pedoman manusia atau masyarakat dalam tingkah laku, keindahan, dan keadilan.41 Max sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nlai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan nilai-nilai lainya. Menurut tinggi rendahnya, nilai- nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan sebagai berikut: a) Nilai-nilai kenikmatan, dalam tingkatann ini terdapat deretan nilai yang mengenakan dan tidak menegenakan (die wertheise des angehenem und unagnemen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak. b) Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (werte des vitalen fuhlens), misalnya kesehatan, kesegaran jasmani dan kesejahteraan umum. c) Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan (geistiege werte) yang sama sekali tidak terkandung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat. d) Nilai-nilai rohani, dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai-nilai dari yang suci dan tidak suci (wermodalitat des heiligen ung unheilegen). Nilainilai semacam ini terdiri dari nilai-nilai pribadi.
2. Pengertian Pendidikan Akidah Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai di alam maasyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembanganya, istilah pendidikan atau pedagogik berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebaha usaha yang
41
Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika, Sastra, Seni dan Budaya, (jakarta: Universitas Negerri Jakarta, 2008), h. 45-50
26
diajalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi deawasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.42 Menurut Ki Hajar Dewantara, “pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai kseselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.43 Secara bahasa akidah berakar dari kata aqada – ya‟qidu – aqadan – aqidatan, „aqdan berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi „akidah berarti keyakinan.44 Sedangkan secara istilah, menurut Hasan Al-Banna yang dikutip oleh Yunahar Ilyas. “aqaid (Bentuk jamak dari aqidah) adalah bebeapa perkara yang wajib diyakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan.45 Menurut pendapat yang lain akidah adalah ketentuan atau ketetapan Allah yang fitrah, selalu bersandar kepadada kebenaran, sah selamanya dan terikat ke dalam hati manusia. Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang diimani kecuali Allah maha penolong dan maha pemberi.46 Nabi Muhammad telah menjelaskan akidah Islam secara lengkap kepada umat menurut wahyu yang diterimanya dari Allah baik berwujud ayat-ayat Al-Qur‟an maupun hadits-hadits (Sunnah). Umat Islam periode pertama yang dibina beliau secara langsung telah menyakini dan menghayati akidah tersbut secara mantap, meski belum diformulasikan secara sistematis.47 Akidah bagaikan ikatan perjanjian yang teguh dan kuat. Hal ini disebabkan karena ia terpatri di dalam hati dan tertanam di lembah hati yang paling dalam.
42
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), h. Ibid, h. 4 44 Al-Munawir h. 1023 45 Yunahar Ilyas, Kuliah Akidah Islam, (Yogyakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2000), Cet. V, h. 1 46 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Akidah seorang Mu‟min, terj. Salim Bazemool, (CV. Pustaka Mantiq, 1994), Cet. I, h. 30 47 Zukarnai Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendidikan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet, I, h. 1 43
27
3. Dasar Pendidikan Akidah dasar secara bahasa berarti “fundamen, pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan), atau asas.”48 Lebih lanjut dikatan bahwa dasar adalah “landasan berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai.”49 Dan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut kokoh berdiri.50 Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam islam memilki dasar pemikiran. Begitu pula dengan pendidikan akidah, adapun yang menjadi dasar pendidikan akidah dalam islam ialah Al-Qur‟an. a. Al-Qur‟an Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang daoat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syariah.51 Al-Qur‟an diperuntukan bagi manusia utuk dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Sebab peranan wahyu sebagai sumber akidah sanagat besar. Beberapa ayat Al-Qur‟an dengan tujuan menjernihkan masalahmasalah tertentu. Seperti ayat Al-Qur‟an: “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S Al-Baqarah, 186). Menurut Quraish Shihab, Al-Qur‟an secara garis besar memilki tiga tujuan pokok yaitu:
48
Tim Penyusuan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 318 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Kalam Mulia, 1994), Cet. 1, h. 12 50 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Cet III, h. 19 51 Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 21 49
28
1) Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan atau keesaan Tuhan dan kepastian akan adanya hari pembalasan. 2) Petunjuak
mengenai
akhlak
yang
murni
dengan
jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. 3) Petunjuk menganai syarat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubunganya dengan tuhan dan sesamanya.52 b.
Sunnah Sumber kedua pendidikan islam dan sistemnyaadalah sunna. Secara sistematik, kata as-sunnah berarti perjalanan hidup, metode dan jalan. Secara ilmiah, kumpulan sabda Rasulullah, perbuatan, peninggalan, sifat, ikrar, larangan, apa yang disukai dan tak disukainya, bela negara dan kehidupanya.53 Pada mulanya, sunah dimkasudkan mewujudkan dua tujuan: 1) Menjelaskan kandungan Al-Qur‟an, maka ini diisyaratkan oleh Al-Qur‟an di dalam surat An-Nahl, 44: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S An-Nahl, 44) 2) Menerangkan ayat Syar‟i dan adab-adab lai, sebagaimana dalam firmanya surat Al-Jumu‟ah, 2: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
52
M.Quraush Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung, Mizan), Cet, XXVI, h. 40 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Darul Fikri, 1999), h. 46 53
29
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S Al-Jumu‟ah, 2) Dalam lapangan pendidikan, sunnah `mempunyai dua faidah yang sangat besar: 1) Menjelaskan sistem pendidikan islam yang terdapat di dalam AlQur‟an dan menerangkan hal-hal kecil yang tidak terdapat di dalamnya. 2) Menyimpulkan metode pendidikan dari kehdiupan Rasulullah, bersama para para sahabatnya, perlkuanya terhadap anak-anak, dan penanaman keimanan ke dalam jiwa yang dilakukanya.54 4. Istilah Lain Tentang Akidah Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir semakna dengan akidah, yaitu iman, tauhid dan yang semakna dengan ilmu akidah yaitu ushluddin, ilmu kalam dan fikih akbar. Adapun istilah lain tentang kidah sebagai berikut: a. Iman Ada yang menyamakan istilah iman dengan akidah, dan ada yang membedakanya. Bagi yang membedakan, akidah hanyalah bagian dalam aspek (aspek hati), dari iman, sebab iman menyangkut aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalamnya berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktian amal.55 “yang dimaksud dengan akidah adalah iman dengan semua rukunya yang enam.” Dalam terminlogi Al-Qur‟an, akidah disebut “al-iman” yang berarti percaya atau membenarkan (tashdiq). Beberapa ayat AlQur‟an menjelaskan macam-macam objek kepercayaan dalam islam, yaitu: Allah, hari kahirat, para rasul, malaikat dan kitab suci.56
54
55 56
Ibid. Yunahar Ilyas, op. Cit, Zulkarni Jahja, op.cit,
30
b. Tauhid Tauhid artinya menegaskan (mengesakan Allah-Tauhidullah). Ajaran tauhid adalah tema sntral akidah dan iman, oleh sebab itu akidah dan iman diidentikan juga dengan istilah tauhid.57 Dalam konsep al-Ghazali, ilmu yang membahas tentang pokokpokok keimanan dalam islam ialah ilmu tauhid. Menyangkut aspek akidah, hal pertama yang harus diyakini oleh seorang muslim adalah tentang eksistensi Allah, kekuasaan, dan keesaan-Nya. Konsep ini sering disebut dengan tauhid.58 Tauhid yang mengeskan Allah merupakan inti akidah islam yang dibawa nabi Muhammad.59 c. Ushuluddin Artinya pokok-pokok agama akidah, iman dan tauhid disebut juga ushuluddin karena ajaran akidah merupakan pokok-pokok ajaran agama islam.60 d. Ilmu Kalam Kalam artinya berbicara, atau pembicaraan. Dinamai dengan ilmu kalam karena banyak dan luasnya dialog dan perdebatan yang terjadi anatar pemikir maslah-masalah akidah tentang beberapa hal. 61 Kalam yang berarti, hanya merupakan cara yang banyak dipergunakan dalam memabahas masalah-masalah akidah. Misalnya tentang Al-Qur‟an apakah khaliq atau bukan, hadits atau qadim tentang takdir, apakah manusia punya hak ikhtiar atau tidak. Tentang orang yang berdosa besar, kafir atau tidak. dan lain sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti terjadi setelah cara berfikir rasional dan filsafat mempengaruhi para pemikir dan ulama islam.62 e. Fikih Akbar Artinya fikih besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah dalam surat At-Taubah, 122: 57
Yunahar Ilyas, op.cit, Yusran Razak, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi & Umum, (jakarta: Uhamka Press 2011), cet, I, h. 120 59 Zulkarni Jahja, op.ci,t 60 Yunahar Ilyas, op.cit, 61 Ibid 62 Ibid 58
31
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S At-Taubah, 122) Bukan hanya masalah fikih, tentu dan lebih utama masalah akidah untuk membedakan dengan fikih dalam masalah hukum ditambah dengan kata akbar, sehingga menjadi fikih akbar.63
5. Ruang Lingkup Akidah a. Ilahiyat Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhugungan dengan ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain.64 Arti kata tauhid adalah meg-Esakan, berasal dari kata wahid artinya esa, satu atau tunggal. Yang dimaksud dengan meng-Esakan Allah SWT, dzatNya, sifat-Nya, asma‟-Nya dan af‟al-Nya.65 Dalam buku Amin Rais dijelaskan pula “tauhid secara etimologis berasal dari kata wahada yuwahidu, tauhidan, yang artinya menegaskan, menyatukan. Jadi tauhid adalah suatu agama yang meng-Esakan Allah. Dan formulasi atau rumusan yang paling jelas. Singkat tetapi komprehensif artinya adalah kalimat tauhid sendiri berbunyi la ilaha ilallah Muhammadhur Rasulullah.”66 1) Tauhid Rububiyah “rabb dalam bahasa Arab berasal dari kata rabba yang artinya: mencipta, mengurus, mengatur, mendidik, merawat, menajaga, memelihara, dan membina. Dengan kata lain pengakuan atau kesaksian bahwa satu-satunya yuhan yang mencipt, yang mengurus, yang mengatur, yang mendidik, yang merawat, yang 63
Ibid Ibid 65 Dja‟far Sabran, Risalah Tauhid, (Ciputat: Mitra Fajar Indonesia, 2006), Cet. II, h. 1 66 M. Amin Rais, Tauhid Sosial: Formula menggempar kesenjangan, (Bandung: Mizan 1998), cet. II, 64
h. 36
32
menjaga, yang memelihara, yang membina kita dan alam ini adalah Allah SWT.”67 Dengan `demikian yang dimaksud dengan Rububiyah Allah ialah mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. dia juga maha penguasa dengan majha pengatur segala hajat makhluk-Nya.68 Gelar Al-Khalik, Al-Mudabbir, hanya layak disandang oleh Allah, karena dialah yang menyandang sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, keindahan. Zat yang maha sempurna itu pasti hidup, mendengar, melihat, berkuasa dan mempunyai kalam. Oleh karena itu segala niat dan perbuatan hanyalah ditujukan hanya kepada Allah, sebagai manusia semestinya harus menyadari tugas hidup dan kehidupannya serta tidak pantas bila menusia masih tergantung dengan menjadikan sesuatu yang lain sebagai Rabb-Nya. 2) Tauhid Uluhiyah “kata kedua yang digunakan dalam dua kesaksian tersebut adalah ilah artinya satu yaitu al-Ma‟bud yang disembah, yang abadi dan yang diibadati. Jika meyakini hanya Allah satu-satunya tuhan tempat menyembah, mengabdi dan menghamba maka demikian itu disebut Tauhid Uluhiyah.”69 Tauhid uluhiyah yang sangat terkait dengan keadaan manusia yang menempatkan Allah SWT sebagai illah, merupakan pengakuan terhadap Allah sebagai pencipta yang menciptakan manusia, sebagai pelindung yang dilindungi. Menurut Dr. Sayyid Naimullah, dalam melakukan tauhid uluhiyah yang wajib kita lakukan adalah: a) Mahabatullah dengan penuh keikhlasan b) berdoa, bertawakal dan berharap kepadanya. c) Mengarahkan satu tujuan kepada Allah SWT semata-mata dengan disertai rasa takut kepada-Nya. d) Dalam beribadah harus memfokuskan tujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya.70 67
Umay M. Dja‟far Shiddieq, Ketika Manusia Telah Berjanji Kepada Allah, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), h. 49 68 Sayyid Naimullah, Keajaiban Akidah, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2004), h. 3-4 69 Umay M. Dja‟far Shiddieq, Op. Cit., h. 51 70 Sayyid Namullah, Loc.cit., h.11-12
33
3) Tauhid Asma‟ wa Sifat Tauhid Asma wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifatsifat-Nya. Sebagaimana yang diterangkan Allah dalam Al-Qur‟an dan Sunah Rasul-Nya menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta‟wil dan ta‟thil, tanpa takyif dan tamsil, berdasarkan firman Allah: “... tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Q.S Asy-Syura, 11) Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia menetapkan bahwa dia adalam yang maha mendengar dan maha melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh RasulNya.71 Bisa ditarik kesimpulan bahwa tauhid rubbubiyah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari tauhid uluhiyah dan tauhid asma‟ wa sifat. Penguasa yang mengatur, memelihara, pusat dari segala-galanya harus disertai pengakuan tegas dari hambanya Dialah yang patut disembah dan diibadati dan menolak sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dia juga yang memilki sifat kesempurnaan dan keagungan sebagaimana yang tercakup dalam tauhid asma‟ wa sifat.72 b. Nubuwat Nubuwat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu‟jizat, kiamat dan lain sebagainya.73 1) Nabi dan Rasul Ada dua golongan nabi dan Rasul Allah yang diutus kepada umat manusia. Pertama, adalah nabi yang diutus Allah kepada kaumnya untuk memberikan petunjuk kepada kebenaran. Kedua, adalah rasul yang diutus Allah dengan membawa kitab kepada umatnya untuk menunjukan jalan kebenaran. 71
Shalih bin Fauzan bin Abdulla al-Fauzan, kitab Tauhid, (Yogyakarta, Universitas Islam Indnesia, 2001), Cet. III, h.97-98. 72 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h. 6-7 73 ibid
34
Tujuan para nabi dan rasul adalah satu, yakni memberikan petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan kebenaran. Jika Allah adalah Dzat Maha Benar (al-Haqq), berarti tujuan risalah para rasul dan dakwah para nabi adalah memenuhi seruan dan ajakan Allah. Salah satu sebab diutusnya para rasul, yakni memperbaiki kesalahan dan mengantarkan manusia kepada sumber-sumber iman yang asli, setiap kali situasi kehidupan, kejahatan hawa nafsu, atau tekanan kebutuhan menjauhkan manusia dari iman itu. Sumber ilmu para nabi adalah wahyu. Sementara itu sumber ilmu orang-orang selain mereka adalah akal yang menjadi alat untuk hidup di muka bumi ini. Akal menjadi sarana untuk mengungkapkan kehidupan manusia di dunia. Sebelum diutus, para nabi telah ditempatkan dalam posisi kesempurnaan. Tdiak sedikit pun kesempurnaan in lepas darinya. Sesudah diutus sebagai seorang nabi, kesempurnaanya dalam kehidupan semakin meningkat jauh lebih tinggi dan sama sekali tidak kita ketahui derajatnya. Sebelum dan sesudah diutus , mereka dipelihara oleh Allah dari kesalahan dan kekurangan yang bersifat manusiawi. Terkadang, seorang nabi juga berbuat salah dan mendapat teguran dari Allah atas kesalahannya itu. Namun, kesalahan seorang nabi berbeda dari kesalahan yang dilakukan manusia biasa seperti kita ini.74 2) Kitab-kitab Allah Wajib mengimai secara global, bahwa Allah SWT telah menurukan kitabkitan kepada nabi dan rasul-rasul-Nya, untuk menerangkan keberadaan Allah dan mengajak manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan).” (Q.S Al-Hadid, 25) Maksud ayat di atas adalah kita mengimani, bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab ini kepada nabi dan rasul, untuk mnjelaskan syariatsyariat agama kepada manusia juga, untuk mengenalkan rabb dan hak-hak-
74
Ahmad Bahjat, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar E.M, Akulah Tuhanmu: Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid (Allah fi al-Akidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tawhid), (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), h. 78-81.
35
Nya kepada mereka, serta menerangkan jalan bagi orang-orang yang menuju kepada Allah SWT.75 Di dalam kitab suci Al-Qur‟an disebutkan tiga kitab yang lain, yaitu kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud, dan Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan dua shuhuf, yaitu shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa yang semunya ini wajib diimani oleh setiap mu‟min, dan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam firmna-Nya tentang kitab Taurat dan Injil: “Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (Q.S Ali-Imran, 3) Dan tentang kitab Zabur, Allah berfirman: “Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (Q.S An-Nisaa‟, 163) Kemudian tentang dua shuhuf, Allah berfirman: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa.” (Q.S. Al-A‟laa, 18-19) 3) Mukjizat Al-Qur‟an Allah SWT, mengutus Muhammad SAW, dengan membawa kitab dari sisi Allah. Kitab itu mengandung mukjiat, keterangan dan tanda-tanda dari Allah yang cukup banyak/ hal ini berfungsi sebagai pengukuhan ilahi yang yang melegalisasi risalah Muhammad SAW. Tanda-tanda Al-Qur‟an ini mempunyai beberapa segi yang banyak sekali. Al-Qur‟an adalah tanda-tanda yang jelas dan sebagai mukzijat dalam segi kefasihan kalimat, gaya bahasa dan susunanya telah menatang jin dan manusia untuk membuat tandingan semacam Al-Qur‟an Muhammad, Allah berfirman: 75
Abdul Aziz bin Fathi bin asy-Sayid Nada: Penj. Ronny Mahmuddin, Syarah Akidah ah-Shahihah dan pembatalanya (al-Ithaman Syarhu al-Akidah ash-Shihah wa Nawaqid al-Islam Lil Allamah as-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), h. 57-58.
36
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (Q.S. Al‟Israa, 88) Al-Qur‟an adalah satu tanda mengenai apa yang dikandungnya tentang peristiwa-peristiwa gaib yang telah terjadi pada masa dahulu kala dan belum terdengar ditengah masyarakat di zaman risalah. Demikian juga tentang halhal gaib dalam Al-Qur‟an yang masih akan terjadi di masa akan datang. Banyak di anatara hal-hal gaib ini telah terbukti, dan pembuktian ini masih akan terus berlangsung manakala zaman semakin maju. Al-Qur‟an adalah mukjizat dari segi ilmu pengetahuan dan fakta-fakta yang dikandungnya. Setiap kali zaman lebih maju, terkuaklah kejituan dan kebenaran pernyataan-pernyataan Al-Qur‟an.76 firman Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.” (Q.S. Fushishilat, 53) c. Ruhaniyat Ruhaniyat pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat,Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.77 1) Malaikat Secara etimologis, kata malaikat (dalam bahasa Indonesia disebut Malaikat) adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari mashdar alalukah artinya ar-risalah (misi atau pesan). yang membawa misi atau pesan disebut ar-rasul (utusan). Dalam beberapa ayat Al-Qur‟an malaikat juga disebut dengan rusul (utusan-utusan), misalnya pada surat Hud, 49: 76 77
Abdul Majid Aziz az-Zindany, Ilmu Tauhid (Sebuah Pendekatan Baru Jilid I untuk S.L.t.P), h. 64-66 Yunahar Ilyas, op.cit, h. 6
37
“dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.” (Q.S. Huud, 69) Bentuk jamak lain dari muluk ialah malaaik. Malaikat diciptkaan oleh Allah dari cahaya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah di salah satu haditsnya:
“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api neraka, dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepadamu semua.” Malaikat dan Jin lebih duku diciptakan dari manusia pertama (Adam AS). 78 Iman kepada malaikat merupakan bagian akidah kita. Al-Qur‟an mengabarkan kepada kita bahwa sebagian malaikat ditugaskan untuk menajaga dan memelihara manusia. Sebagaianya lagi untuk mencatat amal perbuatan mereka., sebagaimana dalam firmanya: “tidak ada satu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya.” “tiada satu ucapan pun yang diucpkanya melainkan ada di dekatnya malaikat pengwas yang selalu hadir.” Para malaikat ditugaskan untuk menjadi penjaga, mencatat dan mengihtung amalan. Catatan amalan itu kemudian diserahkan kepada Allah, Rabb sekalian alam. 2) Iblis dan Setan Iblis adalah suatu nama dalam bahasa no-Arab, oleh karean itu nama itu tidak bertanwin (ghairu munsyarif). Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa kata iblis adalah bahasa Arab yang diambil dari masdar “iblas”, yakni berputus asa dari rahmat Allah, atau menjauhkan diri dari kebaikan. Lafadz ini tidak bertanwin karena tidak ada orang lain
78
Ibid, h. 78-79
38
yang mempunyai nama seprti ini, atau karena ia menyerupai nama-nama „ajam (non-Arab). Iblis adalah nenek moyang dari setan-setan. Setan adalah setiap pembangkang baik dari golongan manusia, jin, atau binatang. Setan yang dimaksud disini ialah pembangkang dari kalangan jin. Iblis merupakan ayah pertama dari mereka ini. Iblis ini akan kekal sampai hari kiamat. Ia meminta penangguhanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan permintaanya.79 Sebagaimana dalam firman-Nya: “Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang diberi tangguh. Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)". (Q.S Shaad, 80-81) d. Sam‟iyyat Sam‟iyyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam‟i (dalil naqli berupa Al-Qur‟an dan Sunnah) seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga, neraka dan lain sebagainya.80 1) Hari Akhir Beriman kepada hari akhir merupakan salah satu rukun iman, dan salah satu bagian dari akidah. Bahkan ia merupakan unsur penting setelah beriman kepada Allah secara langsung. Hal ini karena beriman kepada Allah akan mewujudkan ma‟rifat (pengenalan) kepada sumber utama yang darinya alam semesta ini berasal, yakni Allah. Sedangkan beriman kepada hari akhir akan mewujudkan ma‟rifat kepada tempat kembali yang kepadanya alam wujud ini akan berakhir.81 Yang dimaksud dengan hari akhir ialah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia yang fana ini akan berakhir, termasuk semua proses dari peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuranya alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan
79
Sayyid Sabiq, Akidah Islam Terj. Ali Mahmudi, (Jakarta: Robanni Press, 2006), Cet. I, h. 227 Yunahar Ilyas, op.cit, 81 Sayyid Sabiq, op.cit, 80
39
(Qiayamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur (Ba‟ats), dikumpulkanya seluruh umat manusia di padang Mahsyar (Hasyr), perhitungan
seluruh
amal
peruatan
tersebut
untuk
mengetahui
perbandingan amal buruk (Wazn), sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka (jaza‟). Akan tetapi pembahasan hari akhir dimulai dari pembahasan tentang alam kubur karena peristiwa kematian sebenarnya sudah merupakan kiamat kecil (al-Qiyamah as-Sughra).82 Mengenai datangnya hari kiamat atau terjadinya hari akhir itu termasuk sesuatu yang hanya allah saja yang mengetahuinya. Allah tidak memperlihatkan kepada siapa pun dari makhluk-makhluk-Nya, baik kepaa Nabi-Nya yang diutus, maupun malaikat-Nya yang terdekat.83 Allah SWT, berfirman: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.”(Q.S. Luqman, 34) 2) Surga Kata “jannah” yang kemudian diterjemahkan dengan surga, pada asalnya berarti taman atau kebun dari pohon kurma atau pepohonan yang lain. Lafadz jannah ini diamil dari akar kata “janna” yang berarti menutup. Disebut demikian karena pohon-pohon kurma yang tinggi maupun pepohonan yang lebat daunya itu, ranting-rantingnya bertumpuktumpuk satu sama lain, sehingga menjadi seperti payung yang menutup atau menaungi apa saja yang di bawahnya. Yang dimaksud dengan jannah disini adalah rumah atau tempat kediaman yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang bertakwa sebagai balasan bagi mereka atau keimanan mereka yang tulus, jujur dan sebagai amal soleh mereka. Tidak ada orang yang dapat memasuki surga
82 83
Yunahar Ilyas, op.cit, h. 153 Sayydi Sabiq, op.cit, h. 641
40
kecuali orang-orang yang telah melaksanakan amal perbuatan yang agung dan memiliki sifat-sifat yang mulia.84 Allah berfirman: “dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buahbuahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah, 25) C. Hasil Penelitian Yang Relevan hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan TAFSIR SURAT AL-A‟RAF AYAT 176 (Kajian Tentang Metode Kisah dalam Pembelajaran Agama Islam) yaitu pada skripsi dengan judul karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur‟an surat Al-Qashash ayat 76-81 dan Nilai-Nilai Pembelajaran keimanan dalam AlQur‟an (Q.S Yusuf) yang terdapat di perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ini bisa dijadikan perbandingan bagi penelitian ini.
84
Ibid, h. 501-502
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Metodologi Penelitian Skripsi ini menggunakan jenis penilitian kualitatif dengan menelusuri datadata kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam kitab-kitab, bukubuku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penilitian ini. Penelitian ini mengginakan pendekatan deskriptif-analisis. Adapaun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili (analisis). Yakni, metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan maknamakna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.1 Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan kajian pada kisah Nabi Adam A.S dalam Surat Thahaa ayat 115-124 (Nilai-Nilai Kisah Al-Qur’an dalam pembelajaran Aqidah). Dalam pembahasan ini, penulis lebih fokus meneliti terhadap kisah Nabi Adam A.S dn nilai-nilai pembelajaran Aqidah apa yang bisa diambil dari kisah tersebut.
B. Fokus Penelitian Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum.”2 Dengan melihat pendapat sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang ada dalam
1
Nashiruddin Baidan, metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2000), cet 2,h 31.
41
42
batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengebai tafsir surat Thaha ayat 115-124. Jadi dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat thaha ayat 115-124, dengan mencari data-data dan sumber yang membahas menganai ayat ini.
C. Sumber Data Mengenai analisis data menurut imam Gumawan, “analisis data kualitatif sesungguhnya dimulai saat peneliti mulai mengumpulan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting atau tidaknya mengacu pada konstribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian.3 Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayatayat Al-Qur’an dengan mengacu pada pandangan al-farmawi yang dikutip oleh Abudin nata bahwa metode tafsir yang bercorak penalaran (bukan jalur riwayat) ini terbagi menjadi empat macam metode, yaitu: tahlili, ijmali, muqarin, dan maudhu’i.4 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode tahlili. Metode tafsir tahlili adalah salah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dalam hubungan ini, mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang termaktub dalam mushaf.5 Dengan demikian, tafsir tahlili merupakan suatu metode yang bermaksud menguraikan dan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari
2
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan Kombinasi, (Mixed Method), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.287 3 Imam Gumawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Prktek, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 209 4 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (jakarta: Rajawali Pres, 2011), h. 219 5 Ibid
43
seluruh isinya, sesuai dengan urutan yang ada dalam Al-Qur’an. adapun semuber data yang digunakan sebagai berikut: 1. Sumber Data primer Sumber data primer yaitu literarut-literatur yang membahas objek permasalahan dan penelitian ini, berupa tafsir Al-Qura’an surat Thaha, 114-124 dari beberapa kitab tafsir. Dan literatur yang digunakan dalam penelitian ini anatara lain kitab Suci Al-Qur’an, kitab Al-Qur’an dan tafsirnya, tafsir Al-isbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Ath-Thabari, Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Al-Bayan: tafsir penjelas Al-Qur’an. 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data-data tertulis maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan pembahasan pada penelitian ini. Adapun sumber data sekunder yag dijadikan alat untuk membantu peneitian, berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang teori kisah dan cerita dalam Al-Qur’an mengenai kisah Nabi Adam A.S, nilai-nilai pembelajaran Aqidah dan buku-buku yaang ada relevansinya dengan judul yang dipili oleh penulis.
D. Prosedur Penelitian Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsir Tahlili, ada beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada penjelasan Abudi Nata dalam buku Studi Islam Komprehensif. Maka prosedur penelitian tafsir surat Thaha 115-124 sebagai berikut: 1. Memulai penjelasan dari kosa kata yang terdapat pada ayat 115124 surat Thaha, pada tahap ini penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dari masing-masing ayat dengan mengacu pada kitab-kitab tafsir.6 2. Setelah mejelaskan kosa kata ayat per ayatnya, kemudian penulis menjelaskan munasabah atau hubungan ayat 115-124 dengan ayat-
44
ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Adam A.S dalam AlQur’an yang memiliki kesamaan dengan surat Thaha ayat 115124. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui kejelasan makna ayat.7 3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 115-124 dengan dibantu dari penjelasan ayat lain, hadits Rasulullah SAW, atau ilmu yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam tahap ini penulis akan mencoba menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 115-124 surat Thaha dengan menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadis-hadis Rasulullah yang berkaitan dengan makna yang tersebut, dan juga buku-buku penunjang seperti buku penididikan yang membicarakan seputar makna ayat tersebut. Selain itu pada tahap ini juga penulis menganalisis tentang kisah Nabi Adam A.S dan nilai-niai Aqidah apa yang terkandung dalam kisah tersebut sesuai dengan runtutan ayat 115-124 surat Thaha.8 4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya adalah mencari kesimpulan dari ayat 115-124 surat Thaha. Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan tentang apa saja isi kandungan ayat 115-124 surat Thaha, kemudian bagaimana kisah Adam A.S yang terkandung dalam ayat tersebut serta nilai-nilai aqidah yang terkandung di dalamnya.9 5. Mendeskripsikan dalam bentuk skripsi sesuai dengan teknik peulisan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam metode tafsir tahlili, para mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai urutan di dalam mushaf. Dalam penelitian ini, uraian ayat115-124 surat thaha. Uraian ayat tersebut termasuk berbagai aspek yang dikandung oleh ayat 115-124 surat Thaha yang 6
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (jakarta: Prenada Media Group, 2011) h, 169 Ibid 8 Ibid 9 Ibid 7
45
ditafsirkan dengan pengertian/makna kosa kata, konotasi kalimat, kaitanya dengan ayat lain, baik sebelum atau sesudahnya (munasabah ayat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat 115-124 surat Thaha, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para tabi’in maupun tafsir lainya. Dalam kaitanya dengan penelitian ini, penulis mencoba menafsirkan ayat-ayat yang menceritakan kisan Nabi Adam A.S dan nilai-nilai Aqidah apa yang bisa diambil dalam kisah tersebut berdasarkan pendapat para mufassir.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kisah Nabi Adam A.S dalam Al-Qur’an Surat Thaha ayat 115-124
A. Tafsir Ayat Surat Thaha Surah ini, sebagaimana halnya surah-surah yang turun membicarakan tentang tauhid dan Akidah. Hanya saja berbeda dengan banyak surah lainya, uraian tersebut ditampilkan dalam bentuk kisah-kisah yang menyentuh.1 Dalam surat ini dikisahkan tentang kisah Nabi Adam A.S dalam masa penciptaan hingga dikeluarkanya dari surga oleh tipu daya iblis sehingga nabi Adam melalaikan perintah tuhanya dan menjadikanya kufur terhadap perintah tuhannya.2 Tafsir ayat 115 115. “dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” Al A‟masy membacanya secara berbeda yaitu ْ فَ َنسٍيdengan sukun pada „ya‟. Ada dua makna untuk ini: Pertama, meninggalkan, yakni meninggalkan perintah itu. Demikian pendapat mujtahid dan mayoritas mufassir.3 Kedua Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sinari, telah menceritakan kepada kami Asbat Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A‟masy, dari Sa‟ud Ibnu 1
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur‟an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), Cet.1, h. 278. 2 Ibid. 3 Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, (jakarat, Pusaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 673.
46
47
Jubair, dari Ibnu Abbas yang mentakan, “sesungguhnya manusia itu dinamakan insan tiada lain karena Allah telah memerintahkan kepadanya dahulu, lalu ia lupa terhadap perintah-Nya. Mujahid mengatakan bahwa makna nasiya ialah meninggalkan.4 Ayat 115 menginformasikan bahwa Allah pernah berpesan kepda Adam, jauh sebelum kehadiran manusia di pentas bumi ini, agar tidak mendekati sebuah pohon, lalu ia lupa sehingga dia dan istrinya terperdaya oleh setan dan mengabaikan pesan tersebut. Hal itu pula disebabkan oleh dia tidak memilki tekad yang kuat dan kemauan yang kuat serta kesabaran utuk membentengi diri dari rayua dan tipuan setan. Hakikat keadaanya itu diketahui oleh Allah SWT.5 Tafsir ayat 116-119 116. dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", Maka mereka sujud kecuali iblis. ia membangkang. 117. Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. 118. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, 119. dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya". Allah SWT. berfirman
menceritakan
kemulian dan penghormatan yang diberikan-Nya kepada Adam dan
4
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, (Jakarta: Gema insani Press 1999), Cet. I, h. 273 5 M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur‟an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), Cet.1, h. 416-417.
48
keutamaan yang dianugerahkan kepadanya di atas kebanyakan makhlukNya dengan keutamaan yang sebenar-benarnya.6 Pembahasan menganai kisah ini telah dikemukakan dalam tafsir surat Al-Baqarah, Al-A‟raf, serta Al-Kahfi, dan nanti di akhir surat Shad akan disebut kisah Allah menciptakan Adam dan perintah-Nya kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai penghormatan mereka kepada Adam. Dijelaskan pula dalam kisah tersebut permusuhan iblis kepada Bani Adam dan kakek moyang mereka terdahulu.7 Keran itu disebutkan oleh Allah SWT.
maka
mereka sujud, kecuali iblis. Ia membangkang. Yaitu menolak dan sombong tidak mau bersujud kepada Nabi Adam.8 Kemudian Allah berkata kepada Adam yaitu Hawa maka sekali-kali janganlah sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang menyebabkan kamu menjadi celaka”. Maksudnya, wasapadalah selalu karena dia akan mengeluarkanmu dari surga, lalu kamu kepayahan karena harus mencari rezeki. Kehidupanmu di surga sekarang adalah menyenangkan dan sejahtera, tidak ada beban dan penderitaan.9 Ini adalah larangan. Pengertianya: jangan kamu berdua menerima darinya sehingga itu akan menjadi sebab kalurnya kalian berdua “dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.” Yakni kamu dan istrimu. Karena alasan ini bagi keduanya adalah sama.10 “sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.” Dalam penggalan ini kata lapar dan telanjang merupakan
6
Ibid. Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurthubi, (jakarat, Pusaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 677. 7
49
kehinaan bathin dan telanjang merupakan kehinaan lahir. Kemudian ًََإَِّنك ْ لَا َتظْ َمؤُاْ فِيْيَا ًَلَاتَضْحَيkedua kata ini pun merupakan padanan (kesamaan) dahaga merupakan panas bathin dan panas matahari merupakan panas lahiriah.11 Allah memberitahunya bahwa semua itu adalah untuknya di surga, yaitu: pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Dan sesunguhnya bila engkau menyia-nyiakan wasiat dan mematuhi musuh, maka aku akan mengeluarkan kamu berdua dari surga, sehingga kamu akan menderita karena akan merasakan kelelahan dan keletihan. Yakni karena engkau akan merasakan kelaparan dan telanjan, kehausan dan terkena sinar matahari, karena jika engkau aku keluarkan dari surga maka dikembalikan ke Bumi.12 Ayat-ayat di atas merinci peristiwa tersebut dari awalnya, yakni ketika Allah memerintahkan malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam, termasuk iblis, tetapi Iblis enggan. Ketika itu Allah memperingatkan kepada Adam dan pasangannya agar berhati-hati terhadap iblis karena dia adalah musuh mereka berdua, yang bila mereka lengah, iblis dapat menjadi sebab keluarnya mereka berdua dari surga, dan itu pada giliranya menyebabkan Adam sebagai suami bersusah payah memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan keluarganya. Karena di surga tidak akan lapar sesaat pun karena pangan melimpah, tidak juga akan telanjang karena pakaian tersedia, dan tidak juga akan merasa dahaga karena aneka suguhan cairan terhidang setiap saat, sebagaimana di surga tidak akan juga akan ditimpa terik matahari sebagaimana di alami mereka yang hidup di dunia.13
11
Ar-Rifai, Op.cit., 273. Al-Hifnawi, Op.cit., h. 678. 13 Shihab, Loc. Cit., 417 12
50
Tafsir ayat 120-121
120. kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" 121. Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Firman Allah, َس ٌَسَ إِلَيْوِ الّشَ ْيطَن ْ ٌَ „ َفkemudian syetan membisikan pikiran jahat kepadany” penjelasanya sudah dipaparkan dalam surat Al-A‟raaf. Kemudian syetan berkata kepada Adam “hai Adam, Maukah saya tunjuka kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa ?. ini menunjukan terjadinya dialog, da, bahwa iblis telah masuk surga melalui mulut ular sebagaimana yang telah dipaparkan dalam surat Al-Baqarah. Di sana juga telah dijelaskan tentang pohon tersebut dan pendapat para ulama mengenainya. Al Farra mengatakan, pengertian ًَطِفَقَاdalam bahasa Arab adalah „aqbalaa‟ (keduanya datang). Lebih jauh ia mengatakan, ada yang mengatakan ja‟alaa yalshiqaani „alaihimaa waraq at-tiin (keduanya menempelkan daun pohon tin pada diri masing-masing.14 Telah dikatakan bahwa iblis menunjuka keduanya dengan maksud menipu. Selain itu telah dikemukakan pula bahwa Allah telah melarang keduanya mendekati pohon tertentu di surga, namun iblis senantiasa menggoda keduanya, sehingga keduanya pun memakan buahnya. Lalu tampaklah bagi keduanya aura-auratnya sebagai balasa bagi keduanya telah menyalahi perintah Allah dan menaati bisikan iblis. Kemudian
14
Al-Hifnawi, Op.cit., h. 683.
51
keduanya memetik dedaunan dari pohon surga untuk menutupi auratnya dan durhakalah Adam terhadap tuhannya.15 Setan menjadikan naluri ingin mempertahankan hidup serta memiliki kekuasaan sebagai pintu masuk menggoda Adam dan pasanganya. Setan membisikan pikiran jahat kepada adam dan pasanganya dan keduanya berhasi dirayu oleh syetan. Setelah keberhasilan tersebut, Adam dan pasanganya mencicipi buah pohon yang terlarang tersebut. Lalu seketika itu juga tampaklah bagi keduanya aurat dan keburukan-keburukan keduanya masing-masing dan tampak pula bagi masing-masing aurat pasanganya. Keduanya menutupi auratnya dengan daun-daun surga, daun di atas daun agar tidak transparan. Dengan mencicipi buah terlarang tersebut, Adam melanggar perintah tuhannya.16 Tafsir ayat 122 122. kemudian Tuhannya memilihnyaMaka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Ayat 122 menyegerakan informasi tentang pemilihan dan pertaubatan Adam sebelum menjelaskan tentang turunya ke bumi. Ini agaknya untuk membuktikan bahwa beliau tidaklah seperti dugaan umat kristen, membawa serta ke bumi dosa abadi yang harus diwarisi oleh keturunanya. Allah memilih Adam, maka Allah pun kembali kepadanya dengan memberinya
petunjuk
bagaimana
cara
dan
ucapan
ampun
dan
beristigfhar.17 Imam Abu Bakar bin Faurik mengatakan hal ini terjadi pada Adam sebelum kenabian, dalilnya adalah firman Allah “kemudian Tuhanya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk” Allah menyebutkan dalam pemilihan dan pemberi petunjuk itu setelah terjadinya kemaksiatan tersebut. Karena ini terjadi sebelum kenabian, 15
Ar-Rifai, Loc.cit., h. 274. Shihab, Loc.cit., h.. 418 17 Ibid. 16
52
maka secara umum berlaku juga doa atas mereka, karena sebelum kenabian tidak disyariatkan bagi kita untuk membenarkan mereka. Tapi setelah Allah mengutuskan mereka kepada para makhluk-Nya, dan mereka telah diperintahkan untuk melaksanakan perintah-Nya, mereka itu terpelihara dari kesalahan, maka dosa-dosa mereka dahulu tidak lagi berdampak pada mereka.18 Tafsir Ayat 123-124
123. Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersamasama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. 124. dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". Firman Allah, “ قَالَ اىْ ِبطٌُا مِنْيَا جَمِيْعَاturunlah kamu berdua dari surga bersama-sama” Allah menunjukan ini kepada Adam dan Iblis, مِنْيَاyakni dari surga. Dan Allah telah mengatakan kepada Iblis dalam surat Al-Araar ayat 18 “keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir.” Kemungkinanya Allah mengelurakannya dari surga ke suatu tempat di langit, kemudian menurunkanya ke bumi. ًٌُبَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَد “sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain” yakni engkau adalah musuh ular dan iblis, dan keduanya adalah musuh bagimu.19 ٍِ ًَمَنْ أَعَرْضَ عَنْ ذِكْـــرAllah menjamin bagi siapa yang membaca AlQur‟an dan mengamalkanya, maka tidak akan sesat di dunia, dan tidak akan menderita di akhirat. Ada juga yang mengatakan, “dari dalil-dalil
18
Al-Hifnawi, Loc.Cit., h. 688-689.
19
Ibid, h. 690
53
yang diturunkan.” Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan adzdzikr di sini adalah Rasul, karena adz-dzikr (peringatan) itu darinya (disampaikan).20 ً“ فَئِّنَ لَوُ مَعِ ْيّشَةً ضَنْكاmaka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” yakni aisyan dhayyiqan (penghidupan yang sempit). Dikatakan manzhil dank (rumah yang sempit) dan aisy dhank (penghidupan yang sempit), bentuk kata tunggal, kata berbilang dua, kata mudzakkar, muannats dan jamaknya sama21 Ikrimah mengatakan, " "ضَنْكًاadalah pencaharian yang haram. AlHasan mengatakan, makanan yang buruk dan zaqqum. Abu Hurairah mengatakan, akan dsempitkan kepada orang kafir di dalam kuburnya sehingga tulang-tulang rusuknya bersilangan itulah kehidupan yang sempit.22 ََحّشُ ُرهُ َيٌْمَ الْقِيَامَةِ أَعْم ْ َ“ ًَّنdan kami akan menhimpunkanya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Suatu pendapat menyebutkan: dapat melihat dalam suatu konisi, dan buat dalam kondisi lain. Ada juga yang mengatakan, buta terhadap Hujjah, ada pula yang mengatakan buta terhadap arah kebaikan, tidak dapat mengetahui seidikit pun darinya. Ada pula yang mengatakan buta untuk mencegah azab dari dirinya, sebagaimana orang buta yang tidak mempunyai cara terhadap apa yang tidak dapat dilihatnya.23 Ayat 123 Allah menyatakan bahwa Allah berfirmn terhadap keduanya, yakni kepada Adam dan pasanganya, atau kepada yang tergoda, dalam hal ini Adam dan istrinya, serta kepada yang menggoda, dalam hal ini iblis. Bahwa turunlah kamu dari surga bersama-sama. Sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain. Kelak aku akan memberi kalian petunjuk, maka jika datang petunjuk dari-Ku, maka bersungguhseungguhnlah mengikuti petunjuk itu, niscaya kamu akan bahagia karena 20
Ibid, h. 691 Ibid 22 Ibid 23 Ar-Rifai, Loc.cit., h. 275. 21
54
barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat di dunia dan di akhirat, dan tidak juga akan celaka sehingga ia pasti meraih kebahagian dunia akhiat.24 Sebaliknya, melalui ayat 124, Allah secara langsung memperingatkan bahwa barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, yakni enggan melaksanakan petunjuk-Ku yang kusampaikan melalui para Nabi, maka sesungguhnya ia akan mengalami penghidupan yang sempit, yakni ia, walau memilki aneka kenikmatan duniawi, tidak pernah merasa puas dengan perolehanya. Kelak di hari kiamat Allah akan menghimpunya dalam keadaan buta. Allah meninggalkanya tanpa bantuan dan petunjuk sehingga ia tidak dapat mencapai jalan menuju ke surga.25
B. Kisah Nabi Adam A.S Buah khuldi dianggap sebagai biang keladi turunya Adam dan Hawa dari dari surga. Seandainya, Adam dan Hawa tak makan buah khuldi, niscaya mereka tidak akan terusir dari surga. Dan kita, semua keturunan Adam, masih tetap tinggal di surga dengan segala kenikmatanya,. Sampai kini. Begitulah keyakinan besar kita tentang peristiwa di sekitar turunya Adam dan Hawa dari surga. Setan menggunakan buah khuldi itu untuk menyesatkan Adam dan Hawa agar mereka membangkan terhadap perintah Allah. 1. Penciptaan Adam A.S Di dalam Al-Qur‟an Allah SWT menjelaskan tentang penciptaan Adam A.S melalui 12 surat yang terdapat dalam Al-Qur‟an, sebagimana dalam Al-Qur‟an Surat Ali-Imran ayat 59 :
24 25
Shihab, Loc. Cit. Ibid, h. 421.
55
“Sesungguhnya
misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.” (Q.S. Ali-Imran :59) Kemudian dalam surat An-nisaa ayat 1: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S An-Nisaa‟ :1) lalu dalam surat Al-A‟raaf ayat 189: “Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S Al-A‟raaf :189) Kemudian dalam surat Thaha Allah menceritkan tentang penciptaan Adam A.S hingga Taubat dan meninggalnya Adam A.S pada ayat 115-124:
56
“dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” “dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", Maka mereka sujud kecuali iblis. ia membangkang.” “Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.” “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,” “dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya". “kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya auratauratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” “kemudian Tuhannya memilihnyaMaka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” “Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” “dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang
57
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". “berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" “Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (Q.S Thahaa 115-124) Ya ilmu-ilmu mutakhir telah semakin memperoleh kejelasan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini ternyata diciptakan. Bukan ada dengan sendirinya. Kesimpulan itu diperoleh, karena para ilmuwan melihat betapa teraturnya sistem jagad raya ini. Persis seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya “dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya”(Q.S AlFurqan: 2)26 Ditegaskanya hal tersebut karena ada sedikit kerancuan dalam hal ini, seakan-akan Adam tidak diciptakan, melainkan ia dilahirka oleh ibunya. Padahal tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang tidak diciptakan oleh Allah. Dialah pencipta yang mengadakan seluruh langit dan bumi dengan segala isinya. Dari tiada menjadi ada. Tak ada yang kebetulan. dalam semua peristiwa. Karena ternyata, semua yang ada ini mengikuti pola yang sangat terencana. Yang dalam istilah pakar Fisika Modern, Stephen Hawking, mengikuti rumus tunggal yang disebutnya Grand Formula. Serba tertata, serba teratur, serba terencana, dalam tatanan tunggal.27 Setelah Allah menciptakan langit, bumi, dan malaikat, Allah berkehendak menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara bumi tempat tinggalnya. Saat Allah
mengabari
para
Malaikat
akan
kehendak-Nya
untuk
menciptakan manusia, mereka kHawatir makhluk tersebut nantinya akan membangkan terhadap ketentuan-Nya dan melakukan kerusakan
26 27
Mustofa Agus, Adam Tak diusir dari Surga, (Surabaya, PADMA Press 2007) h. 25 Ibid
58
di muka bumi. Kemudia para Malaikat berkata kepada Allah dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah, 30: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Kemudian Allah berfirman untuk menghilangkan keraguan pada malaikatnya dalam ayat yang sama “sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” Allah mengetahui maslahat yang lebih kuat dengan menciptkan adam dan keturunanya, karena akan ada diantara mereka orang-orang yang akan menjadi para Nabi dan Rasul, para Shiddiqin, para Syuhada, para Ulama dan orang-orang yang mengamalkan agamaNya, yang mencintai-Nya, dan mengikuti para Rasul-Nya Lalu diciptkanlah Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanya ruh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna.28 Rasulullah SAW. Bersabda,
“sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya ialah hari jum‟at. Pada hari itu ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari itu pula ia dikeluarkan darinya dan kiamat tidaklah ada kecuali pada hari jum‟at.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Kemudian dalam hadits lain Rasul Bersabda:
28
II, h, 19
Salim bin Ied al-Hilali Syaikh, kisah Shahih Para Nabi, (Pustaka Imam Syafi‟i), Cet.
59
“sesungguhnya Allah ta‟ala menciptakan Adam dari segenggam yang digenggam-Nya semua tanah di muka bumi. Oleh karena itu, anak cucu Adam hadir sesuai keadaan tanah (warna dan tabiatnya), maka di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam dan anatar itu. Ada pula yang lunak, keras, yang jelek dan yang baik.” (H.R. Tirmidzi) Kemudia setelah Adam hidup dan bisa bergerak, Allah mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu, sebagaimana dalam firmanya : “dan Ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” (Q.S Al-Baqarah :31) Menurut Ibnu Abbas,29 yaitu nama-nama yang biasa dikenal oleh manusia, seperti manusia, hewan, tanah, dataran, lautan pegunungan gunung tumbuhan dan lain sebagainya. Kemudian Allah menunjuka kepada Malaikat keutamaan Adam dan kedudukanya di sisi Allah, kemudia Ia tunjukan kepada maialikat hal-hal yang telah diajarkan oleh-Nya kepada Adam, sebagaimana dalam firman-Nya: “sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang yang benar !”. ( Q.S Al-Baqarah: 31) Kemudian para Malaikat pun menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari pada apa yang engkau ajarkan kepada kami.” (Q.S Al-Baqarah :32) Ibnu
Katsir
dalam
Kitab
Tafsirul
Qur-aanu
al-Azhim,
mengatakan: “yang benar adalah bahwa Allah SWT mengajarkan segala macam hal kepada Adam, yakni tentang dzat, sifat dan berbagai aktifitas lainya, sebagaiman yang telah dikkemukakan Ibnu Abbas: “Sampai fosfat, yakni nama-nama dzat dan aktifitasnya maupun besar dan kecil.”30
29 30
Ibid, h, 24 ibid
60
Kemudian imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, dari Rasulullah, beliau bersabda: “orang-orang mukmin itu akan berkumpul pada hari kiamat kelak, lalu merekan berkata: „seandainya kami bisa meminta syafaat kepada Rabb kami lalu mereka mendatangi Adam dan berkata: „Engkau bapak umat manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tanga-Nya sendiri, dan Ia juga telah memerintahkan para MalaikatNya untuk bersujud kepadamu, serta mengajarkan kepadamu nama segala sesuatu ... Yang demikian ini merupakan dalil yang sangat kuat dan bukti yang komprehensif, bahwa Adam merupakan bapak bagi seluruh umat manusia.31 2. Penciptaan Hawa Hawa sebagai nama istri dari Nabi Adam, ternyata tidak disebut di dalam Al-Qur‟an. di dalam Al-Qur‟an hanya disebut sebagai
“istri”
Adam
tanpa
ada
penjelasan
detil
yang
menyertainya. Sedangkan kata “Hawa” yang bermakna lain justru disebut-sebut dalam jumlah yang banyak. Kurang lebih 30 kali dalam berbagai ayat. Maknanya adalah dorongan “hawa nafsu” yang memiliki potensi untuk merusak, menyesatkan atau pun merugikan.32 Dalam surat Thahaa ayat 16 : “Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu Jadi binasa". (Q.S Thahaa, 16)
31 32
Ibid Mustofa Agus, Adam Tak di Usir dari Surga, (Surabaya, PADMA Press), h. 64
61
Kemudian surat Al-Kahfi 28 : “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S Al-Kahfi, 28) Di ayat-ayat sebelumnya, Allah bercerita terlebih dahulu tentang Adam, para malaikat dan iblis. Hawa, sebagai istri Adam belum disebut-sebut. Bahkan sampai ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam pun, keberadaan Hawa belum disebut. Karena itu, para malaikat hanya bersujud kepada Adam. Tidak pernah terdengar cerita, para malaikat bersujud kepada istri adam.33 Muhammad bin Ishaq34 menyebutkan, dari Ibnu Abbas, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk yang paling pendek dari sebelah kiri, ketika adam dalam keadaan tertidur. Allah SWT dalam firmanNya menjelaskan : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. 33 34
Ibid Ibid
62
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S AnNisaa‟, 1) Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang di riwayatkan oleh imam Bukhari, beliau meriwayatkan, “Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita, karena seseungguhnya mereka diciptakan dari tukang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskanya (dengan keras), berarti engkau telah mematahkany. Dan jika engkau membiarkanya, maka ia akan senantiasa bengkok. Maka sampaikanlah pesan kebaikan keoada kaum wanita.” Kemudian Adam diberi tempat oleh Allah di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampinginya, menjadi teman hidup menghilangkan rasa kesepian dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan. Distorsi pemahaman tentang Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk adam itu agaknya terkait dengan asal usul stem sel yang terpancar dari tukang sulbi. Yang kalau kita runtukan ceritanya, menjadi begini: 1) Semua manusia berasal dari satu diri, yaitu stem sel yang terbentuk dari bertemunya sel telur dan sel sperma di dalam rahim seorang ibu. 2) Dari satu diri stem sel itulah Allah menciptakan pasanganya (zawjaha). Yang selama ini dimaknai sebagai istri adam. Alias Hawa. 3) Jadi, dari stem sel itulah Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, yang berkembang biak di muka bumi. 4) Ketelanjuran memahami diri yang satu sebagai Adam. Membawa konsekuensi, seakan-akan Hawa diciptakan dari diri adam. Dan karena stem sel itu terbentuk dari sel telur dan
63
sel sperma yang terpancar dari tulang sulbi, maka Hawa pun dipersepsi sebagai diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam.35 Begitulah Allah memberikan pemahaman menyeluruh bahwa pasangan hidup kita berasal dari spesies kita sendiri. Sedangkan hewan juga memilki pasangan jenisnya sendiri. Tidaklah wajar jika manusia memilki pasangan dari jenis yang berbeda. Mereka tidak akan bisa melanjutkan keturunanya. 3. Hakikat surga yang ditempati Adam dan Hawa Perbedaan pendapat yang terjadi di anatar para ulama itu terletak pada pertanyaan, apakah surga itu ada di langit atau di bumi. Jumhur ulama berpendapat bahwa surga itu berada di langit , dan itulah surga al-Ma‟wa. Yang demikian itu didasarka pada lahiriah ayat-ayat AlQur‟an dan beberapa hadits Rasulullah, misalnya:
"dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Baqarah, 35) Imam muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Abu Huarairah dan Hudzaifah, bahwa Rasulullah bersabda: “Allah akan mengumpulkan ummmat manusia. Lalu orang-orang mu‟min bangun ketika surga mendekati mereka. Kemudian mereka mendatangi Adam dan mengatakan: “wahai bapak kami, bukakanlah pintu surga kami.‟ Adam menjawab: „kalian tidak dikeluarkan dari surga melainkan karena kesalahan bapak kalian.” Ketika adam diperintahkan oleh Allah untuk mendiami surga bersama istrinya, mereka berdua tinggal di taman yang indah segala macam kebutuhan makan dan minum tersedia, tempat tinggalnya sangat mempesona. Digambarkan sebagai sesuatu dataran yang sejuk, dengan panas matahari yang idak menyengat kulit. Pepohonan rindang 35
Mustofa agus, Adam Tak di Usir dari Surga, (surabaya, PADMA Press 2007), h. 73
64
dan mata air yang terus mengalir. Pakaian indah. Dengan segala macam perhiasan menyenangkan. Dalam surat Al-Hajj, 23 Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.” Kemudian surat An-Nahl, 31 : “(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang bertakwa,” Begitulah gambaran surga yang diinformasikan Al-Qur‟an kepada kita. Penghuni surga memperoleh apa saja yang dibutuhkanya. Apa saja yng diinginkanya, dan dikehendakinya. Surga digambarkan sebagai tempat yang memenhuni segala kebutuhan dan keinginan manusia. Mulai dri kebutuhan yang paling dasar sampai keinginankeinginan yang bersifat tembahan ataupun perhiasan. 4. Dikeluarkanya Adam dan Hawa dari Surga setelah adam dan Hawa bertempat tinggal di surga, Allah menghalalkan bagi keduanya semua pepohonan dan buah-buahnya melainkan hanya sebuah pohon, karena untuk menguji keduanya. Al-Qur‟an tidak menerangkan nama pohon ini karena tidak ada petunjuk yang menjelaskanya. 36 36
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Kenabian dan Para Nabi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), Cet. I, h. 198
65
kemudian mereka diusir secara paksa dari taman surga untuk bergegas turun ke bumi setelah memakan buah terlarang.37 Buah khuldi menjadi salah satu cerita sentral dalam surga adam, karena buah khuldi itulah yang dituding sebagai penyebab diusirnya adam dan Hawa dari surga yang penuh kenikmatan. Dan kemudian harus hidup bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup di permukaan bumi.38 Penamaan pohon khuldi itu muncul justri dikarenakan setan yang
menyebutnya.
Syajaratul
khuldi
bermakna
„pohon
keabadian‟. Setan merayu adam dan Hawa untuk memakanya dengan alasan adam dan Hawa akan kekal hidup abadi karenanya. Dan menjadi penguasa kerajaan yang tak akan binasa.39 “kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (Q.S Thaha, 120) Pohon keabadiaan itulah yang memunculkan istilah buah khuldi. Padahal , kata „buah‟ pun secara eksplisit tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an. Allah hanya mengatakan. Adam dan Hawa memakan bagian dari pohon itu. Cuma, karena bisasanya yang dimakan adalah buah, maka kebanyakan kita mempersepsinya sebagai buah khuldi. Di kalangan kaum nasrani digambarkan sebagai buah apel.40 Syaitan itu mengatakan: Allah tidak melarangmu berdua untuk memakan buah pohon ini melainkan agar tidak menjadi 37
Irwandar, Detimologis Adam dan Hawa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003), h.
109 38
Agus Mustofa, op.cit, h. 161 Ibid, h. 163 40 Ibid 39
66
malaikat, dan tidak pula menempati surga ini untuk selamanya. Dengan pengertian, seandainya kamu berdua memakan buah pohonn itu, niscaya akan menjadi malaikat serta kekal di dalam surga. Kemudian syaitan membisikan kepada keduanya: “maukah engkau, aku tunjukan sebatang pohon yang jika engkau memakanya, maka engkau akan mendapatkan keabadian pada kenikmatan yang telah engkau rasakan dan engkau pun akan terus memegang kerajaan yang tidak akan pernah hancur dan binasa?” hal itu jelas merupakan tipu daya syaitan yang bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.41 Allah Ta‟alaa telah memerintahkan kepada adam dan Hawa agar berhati-hati terhadap tipu daya iblis yang terkutuk, akan tetapi keduanya lupa tehadap apa yang demikian itu, yaitu setelah iblis menawarkan dengan bersumpah kepada keduanya bahwa dia adalah orang yang memberikan nasihat, dengan tipu daya yang halus, bahwa apabila kamu mau makan buah pohon ini, tentu kamu akan kekal di dalamnya, maka ia berkata: “ Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". “dan Dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah Termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua", (Q.S Al-A‟raaf, 20-21) Ketika adam dan Hawa melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah itu, mereka pun tergolong kepada orang yang 41
Salim bin Ied al-Hilali Syaikh, op.cit, h. 42
67
zalim. Allah mengisyaratkan hal tersebut pada ayat-ayat Q.S 2, 35 dan Q.S. 7, 19. Dan dia kemudian Allah mengatakan adam dan Hawa menjadi durhaka dan tersesat karenanya. “ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (Q.S. Thahaa, 121) Jadi substansi pohon larangan itu sebenarnya adalah uji ketaatan adam dan Hawa. Fisik benda yang dilarangan tidaklah menjadi hal pentin, sebagaimana tersirat dari cara Allah bercerita, yang tanpa menyinggung secara langsung materinya. Yang lebih penting adalah bahwa Allah menguji denganya apakah adam dan Hawa termasuk orang yang taat kepada-Nya.42 Hawa memakan buah pohon itu lebih dahulu sebelum adam, dan dia pula yang mendeak adam agar memakanya. Dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah yang artinya: “kalau bukan karena Bani Israi, tidak akan ada daging yang rusak. Dan kalau bukan karena Hawa, niscaya tidak akan ada wanita yang mengkhianati suaminya.” (HR. Al-Bukhari) maka semasa keduanya makan buah pohon itu, tampaklah aurat kedunaya kemudian mereka diturunkan ke bumi dengan sebab-sebab mengingkari perintah itu. Kemudian Allah SWT berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan". 42
Agus Mustofa, op.cit, h. 169
68
Ini merupakan Khithab yang ditunjukan kepada adamn Hawa, dan iblis. Ada yang mengatakan, bersama mereka juga terdapat seekor ular, mereka diperintahkan untuk turun dari surga pada saat mereka saling bermusuhan dan saling menyerang. Firman Allah dalam surat Thahaa, 123: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Q.S. Thahaa, 123) Perintah tersebut ditunjukan kepada adam dan iblis. Adam diikuti oleh Hawa dan iblis diikuti oleh ular.43 5.
Taubatnya Nabi Adam Anak-anak tak pernah merasa berdosa. Apa yang mereka lakukan, selalu menyenangkan dan penuh ceria. Ya masa kanakkanak adalah masa-masa di mana kita merasa hidup di surga. Begitulah masa-masa awal adam berada di surga. Sejak diciptakan oleh Allah, ia tak merasakan kesulitan apapun. Segala yang dibutuhkan selalu ada. makanan, minuman, maupun pakaian tersedia di wilayah taman yang demikan indah dan subur itu. Kembali kepada peristiwa pelanggaran Adam di dalam surga, ia telah melanggar kalimat tauhid. Yang digambarkan sebagai memakan pohon larangan (buah khuldi). Sudah jelas-jelas Allah melarang
mendekatinya,
tetapi
adam
dan
Hawa
malah
memakanya. Karena terbujuk oleh rayuan setan. Tentu saja, adam dan Hawa menjadi orang yang zalim dan tersesat. Lebih mengikuti setan dari pada perintah Allah. 43
Salim bin Ied al-Hilali Syaikh, op.cit, h. 48
69
Namun demikian, Allah adalah Dzat yang maha pengampun terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Mesikupun awalnya sudah dipeintahkan oleh Allah untuk beriman kepada Allah dan jangan menggubris setan, karena ia adalah musuh bebuyutan manusia. Akan tetapi ketika hambaNya sedang dalam kesulitan terjebak dosa. Lantas bertaubat. Maka Allah pun menerima taubatnya. Bahkan membekali dengan kalimat tauhid kembali. Agar adam dan keturunanya tidak lupa dan tersesat kembali. Firman Allah SWT: “Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. “kemudian Tuhannya memilihnya Maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (Q.S. Thaha, 121-122) Sebagamana diriwayatkan dari Mujahid, Said bin Jubair, Abdul Aliyah, ar-Rabi bin Anas, al-Hasan al-Basri, Qatadah, Muhammad bin Ka‟ab, Khalid bin Mi‟dan, Artha‟ al-Khurasani, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah SWT: “kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Baqarah, 37) Kemudian Ibnu Abbas menceritakan: “adam berkata: „Ya Rabbku, bukankah aku telah engkau ciptakan dengan tangan-Mu sendiri?, maka dikatakan kepadanya: „Ya‟. Dan engkau pun telah meniupkan ke dalam diriku ruh (ciptaan)-Mu?” tanyanya lebih lanjut. Dikatakan kepadanya: „benar‟. „dan bukankah jika aku bersin, lalu engkau ucapkan: „semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.‟ Dan rahmatmu mendahului murkau-Mu. Dikatakan kepadanya: „benar‟. Dan bahkan engkau telah menuliskan diriku
70
akan mengerjakan ini?‟ menurutmu jika kau bertaubat, apakah engkau akan mengembalikan aku ke surga?‟ Allah pun menjawab: „Ya‟.44 Kerugian iblis akibat taubat yang dilakukan Nabi Adam dikemukakan bahwa Allah telah memerintahkan para malaikatNya untuk berwujud kepada adam, dan mereka pun melaksanakan perintah tersebut dengan penuh ketaatan. Hanya iblis yang menolak bersujud kepadanya karena rasa dengki dan sifat memusuhinya. Maka Allah pun mengusirnya dan menjauhkanya dari hadapan Ilahi Rabbi. Hingga akhirnya ia diturunkan dari surga ke bumi dalam keadaan terkutuk dan terlaknat. Rasulullah bersabda: “jika anak cucu adam membaca ayat sajdah, lalu ia bersuju, maka syaitan akan menyendiri dan menangisi seraya berucap: „celaka aku, anak adam diperintahkan bersujud, lalu dia bersujud, maka baginya surga. Dan aku diperintahkan bersujud, lalu aku menolaknya sehingga bagiku neraka.”45 6. Kematian Nabi Adam Setelah hidup selama kurang lebih 960 tahun dan sudah memiliki banyak keturunan, tibalah saatnya Nabi Adam untuk bertemu Allah, Ibnu katsir berkata, “para ahli sejarah telah menceritakan bahwa Adam tidak akan meninggal keculai ia sudah melihat keturunanya, dari anak , cucu, cicit terus ke bawah yang jumlahnya mencapai 400 ribu Jiwa.” Ketka Nabi Adam meningga dunia, yaitu pada hari Jum‟at, Malaikat mendatanginya dengan membawa balsam dan kain kafan dari sisi Allah dari surga. Anak-anaknya pun melayat dan Adam sempat memberikan wasiat kepada salah satu putranya yaitu Syits. Ketika berada di ambang kematian, adam berkata kepada anak-anakynya: „hai anak-anakku, aku ingin seklai buah-buahan 44 45
Salim bin Ied al-Hilali Syaikh, op.cit, h. 51-52 Ibid, h. 66
71
dari surga,‟ maka mereka pergi mencari buah-buhanan itu untuknya. Kemudian mereka ditemui malaikat yang membawa balsam dan kain kafan. Sedang mereka membawa kapak, parang, dan golok. Maka para malaikat itu berkata: „hai anak-anak adam, hendak kemana kalian dan apa yang kalian cari?‟ „bapak kami sedang sakit dan beliau ingin sekali buah-buahan dari surga,‟ jawab mereka. „pulanglang kalian, sesungguhnya bapak kalian telah mendapatkanya,‟ sahut para malaikat itu. Kemudian mereka (para malaikat) datang. Ketika melihat mereka, Hawa pun mengetahui (bahwa mereka adalah para malaikat). Kemudian Hawa berlindung kepada Adam, maka adam berkata: „menjauhlah dariku, sesungguhnya aku datang sebelum dirimu. Karena itu, menjauhlah dari hadapanku dan malaikat Rabbku.‟ Selanjutnya para malaikat itu mencabut
nyawanya,
lalu
memandikan,
menggafani,
dan
mengolesinya dengan wewangian. Setelah itu mereka menggali liang lahat, dan mengerjakan shalat jenazah untuknya. Selanjutnya mereka memasukannya ke dalam liang dan menguburnya. Lalu mereka mengatakan: „Hai anak Adam, demikianlah in aturan untk kalian.46 Cara ini adalah syariat umum yang berlaku utuk seluruh Rasul dan semua orang yang beriman di bumi ini, mulai sejak saat itu sampai sekarang.
C. Pembelajaran Akidah dalam Kisah Adam A.S Kejadian Adam a.s merupakan suatu peristiwa yang besar, sebagai penyempurna alam dan sekaligus sebagai pewaris alam sekelilingnya, Allah mengehendaki untuk meramaikan dunia, dengan itulah Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di mukai bumi untuk merawat dunia. Mengemban Alam sehingga berumunculan aneka ragam yang telah 46
Salim bin Ied al-Hilali Syaikh, op.cit, h. 79-80.
72
ditemukan anak cucu Adam. Sebagai rahasia di langit dan di bumi, dan sampai hancurnya bumi disebabkan tangan-tangan anak cucu Adam.47 Konteksnya sebagaimana penjelasan di awal adalah menampilkan parade kehidupan, bahkan parade alam wujud keseluruhan. Kemduian membicarakan bumi, dalam rangka menampakkan nikmat-nikmat Allah kepada manusia, dan menetapkan bahwa Allah menciptakan segala sesutau yang ada di muka Alam ini untuk manusia. disini, dalam susasana ini, datanglah kisah penciptaan Adam untuk menjadi Khalifah di bumi, dan diberikan kepadanya kunci-kuncinya menurut perjanjian dan persyaratan Allah, serta diberinya pengetahuan untuk menjalankan kekhalifaan ini.48 Allah telah memberikan sebuah pelajaran dari Kisah Adam a.s bahwasanya segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah merupakan sebuah hukum yang harus dipenuhi dan di taati oleh setiap makhluk yang diciptakanya. Dalam surat Thaha Allah menjelaskan tentang nilai-nilai Akidahyang terkandung di dalam kisah Adam a.s dari awal mula penciptaan hingga Adam kembali kehadapan Allah setelah menjadi Khalifah fil Ard. Ada beberapa nilai-nilai pendidikan dan pelajaran Akidahyang dapat dipetik dari kisah tersebut 1. Rendah Hati Ketika malaikat berkata, “Maha Suci Engkau tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang engkau telah ajarkan kepada kami” ini meupakan salah satu ungkapan atau pengakuan malaikat akan keterbatasannya dan ini juga merupakan suatu pernyataan sikap kepatuhan dan kerendahan hatinya. Lawan takabbur adalam tawadhu (rendah diri). Setiap mukmin hendaknya rendah hati, tunduk kepada perintah Allah. Maka derajatnya
47
Jefry lang, Bahkan Malaikat pun Bertanya, Membangun Sikap Berislam yang Kritis, (jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 177. 48 Sayyid Quthb, Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Terj. Dari Tafsir fi Zilalil Qur‟an, oleh As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 200), Cet. I, h. 67.
73
akam diangkat oleh Allah dan ditempatkan disisinta. Rasulullah menjelaskan:
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda: “tidaklah seseorang merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya” (H.R Muslim)49
Dari Iyad bin Himar berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu, sehingga setiap kamu tidak angkuh terhadap yang lain, dan tidak saling menindas.”( H.R. Abud Daud)50 Selama hidupnya Rasulullah selalu bersikap rendah hati, kasih sayang lemah lembut dan toleransi. Sekalipun terhadap anak-anak kecil. Sifat kenabian dan kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya berbuat baik dan berakhlak mulia yang khusus diberikan Allah. Beliau selalu memberikan salam kepada anak-anak, bermuka manis kepada mereka, dan meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.51 Salah satu dasar terpenting dalam sifat tawadhu ialah ketika Allah menejaskan sifat dan keistimewaan hamba-hambanya yang khusus, salah satu sifat terpenting yang Allah terangkan adalah sifat tawadhu dan rendah diri yang malaikat tunjukan ketika Allah memerintahkanya untuk sujud kepada Adam a.s.52
49
Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Birr al-Silah wa al-Adab Bab Istihsab al-afw wa alTawadhu, no. 4689 50 Abu Daud, Sunan Abud Daud Kitab al-Adab Bab fi al-Tawadhu‟, no. 4250 51 Muhammad Ali Hasyimi, Apakah Anda berperilaku muslim, (jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. IX, h. 85. 52 Ilyas Abus Haidar, Etika Islam dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial, (Jakarta: Al-Huda, 2003), Cet. I, h. 61.
74
Rasulullah telah berhasil menanamkan nilai akhlak Islam kepada para sahabatnya untuk bersikap tawadhu (rendah hati) dibangun atas dasar toleransi, lembut tutur kata perangai. Beliau bersabda:53 “andaikan aku diundang makan dengan suguhan kaki kambng aku akan memenuhinya, dan andaikan aku diberi hadiah kaki kambing pasti aku akan menerimanya.” Sifat tawadhu menimbulkan rasa persamaan, pernghormatan terhdap orang lain, toleransi, rasa senasib, dan cinta kepada keadilan. Tetapi sebaliknya takabur membawa seseorang kepada budi pekerti yang rendah dan dengki, marah, mementingkan diri sendiri, serta menguasai orang lain. Orang-orang yang berakal sudah barang tentu menjauhi diri dari sifat takabur dan sombong.54 Seorang alim hendaknya menggeluti ilmunya secara terus menerus, tetapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Sorang Alim kalaupun telah banyak memiliki ilmu tetapi harus tetap merendahkan diri.55 Supaya tingkah laku menjadi bijaksana, maka sebesar apapun harta, ilmu, akhlak dan kesejahteraan yang kita miliki, kita harus bersifat tawadhu dan tidak sombong seperti burung merak, dan tidak besar kepala seperti ayam jago. Ketahuilah bahwa mansusia membenci orang yang bersikap sombong kepadanya, dan mencintai orang yang bersikap rendah hati kepadanya. Sebagaimana aliran air mencintai tempat yang merunduk kepadanya, jadilah tangkai gandum yang berisi, yang semakin berisi semakin merunduk.56
53
Hasyimi, Op. Cit., h. 86. Ahmad Muhammad Al-Huffy, Akhlak Nabi Muhammad keluhuran serta kemuliaan, (jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet. II, h. 387. 55 Al-Ghazali, Adab Orang Alim, (Jakarta: Gema Insain Press, 1992), Cet. III, h. 18 56 Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), Cet. II h, 38. 54
75
2. Larangan sombong
Iblis
terkutuk
telah
mengucapkan
kata-kata
ketika
Allah
memerintahkan kedapa malaikat dan iblis untuk sujud kepada Adam. Dalam surat Thaha ayat 116 Allah berfirman: 116. dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", Maka mereka sujud kecuali iblis. ia membangkang. Lalu dalam ayat lain iblis bekata: 12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah". Seorang muslim yang benar hendaknya tidak berlaku sombong tdiak memalingkan muknya dihapadapan orang lain, dan tidak angkuh terhadap mereka. Petunjuk Al-Qur‟an telah memenuhi pendengaranya, hatinya, dan ruhnya, sehingga ia sadar bahwa kesombongan hanya akan merugikan dirinya di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman: 83. negeri akhiratitu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Ia tahu bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri, berjalan dengan angkuh dan memalinkan muka (karena sombong) dihadapan orang lain.57
57
Muhammad Ali Hasyimi, Loc. Cit., h. 82
76
Seorang yang takabbur, merasa dirinya lebih tinggi lebih mampu dan lebih sempurna daripada orang lain, sehingga tertanamlah dalam hatinya bahwa dia benar-benar demikian. Karena itu dia selalu menghina orang lain, menganggapnya enteng dan menjauhkan orang itu daripadanya. Dia enggan duduk bersama orang lain dan enggan bergaul, dia tidak suka pendapatanya ditentang orang, dia tidak senang diberi nasehat. Bila ada orang yang berani menentang pendiriannya atau menasehatinya, maka dia menjadi marah dan menghardik. Seorang yang takabbur bila mengajar dia bersikap menghina terhadap orangorang yang diajarnya, dia suka membentak, suka menonjolkan jasajasanya. Bila dia bergaul dengan orang banyak, maka orang-orang lain dianggapnya bodoh, hina dan bila dia memegang suatu pekerjaan dia berlaku sewenang-wenang dan sebagai seorang diktator.58 Takabbur adalah penyakit hati dan bisa merusak iman seseorang. Takabbur merupakan sikap mental yang merasa diri lebih besar, lebih kaya dan lebih pandai, tanpa merasa ada bimbingan dan petunjuk dari Allah. Karena ia merasa serba mampu, orang lain dianggap rendah.59 Menganggap remeh orang lain akan menimbulkan sakit hati, sehingga tidak mustahil berlanjut pada permusuhan dan kebencian. Acap kali orang yang takabbur tidak merasa bahwa perbuatannya bisa menyakiti dan menyinggung saudaranya. Kesadaran untuk mengubah sikap ini juga terkadang sulit, bahkan setelah dijauhi masyarakatnya. Memang orang yang takabbur akan terasing dalam pergaulan masyarakat, bahkan mungkin dikucilkan.60 Anwar Masy‟ari menyatakan dalam bukunya Akhlak al-Qur‟an Yang dikutip oleh Prof. Dr. Moh. Ardhani yaitu: Takabbur ada tiga macam, Pertama :takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Takabbur kepada Rasul-Nya, berupa 58
Al-Huffy, Loc, Cit., 386 Jejen Musfah, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, (Jakarta, Hikmah, 2003) cet. 1, h.89 60 Ibid, h. 90. 59
77
sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti rasul tersebut. Dan takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain.61 Kesombongan adalah titik paling rawan dalam diri manusia. Bisa mengundang berbagai macam kesalahan dan mengantar kita kepada kemaksiatan. Kata Nabi saw dalam penuturan Ibnu Mas‟ud ra., “Tiga hal yang menjadi akar semua dosa, jagalah dirimu dan waspadalah terhadap kesombongan (kibr), sebab ia menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah kepada kerakusan (hirsh), yang menyebabkan Adam memakan buah terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki (hasad) membuat anak Adam membunuh saudaranya.”62 Ciri-ciri dan gejalanya antara lain sebagai berikut: a. Riya, suka memuji diri dan membanggakan kemuliaaan dirinya, hartanya, ilmunya dan keturunannya. b. Meremehkan orang lain. c.Keji mulut, suka mencela. c. Memalingkan muka ketika bertemu dengan seseorang. d. Berlenggak-lenggok
ketika
berjalan.
f.Berlagak
dalam
berbicara. e. Mubazzir dalam harta benda. f. Berlebih-lebihan dalam berpakain.63 Adapun kerugian dan bahaya yang dikandung oleh sifat takabbur ialah: a. Merusak
pergaulan
manusia,
merenggangkan
hubungan
silaturrahmi dan menghalangi kasih sayang dan sikap saling tolong menolong, orang yang sombong sudah pasti dibenci oleh karena kesombongannya itu.
61
Moh. Ardhani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan Tasawuf, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005) cet. I, h.59 62 Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Triyana Sjam‟un Corp, 2001) Cet. IV, h. 151 63 Hamzah Ya‟kub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan Taqarrub, (Jakarta: Putaka Atisa, 1992) cet. 4, h.143.
78
b. Hilangnya
usaha-usaha
melakukan
perbaikan-perbaikan
terhadap dirinya, karena dianggap dirinya sudah baik dan sempurna. c. Menghalangi masuk surga sesuai dengan sabda rasulullah saw. Menurut Said Hawwa, kecongkakan merupakan anak kandung dari ujub. Jadi keduanya berbeda. Pada ujub tidak perlu ada orang yang di ujubi, sedang pada kecongkakan biasanya ada orang yang di congkaki. Takabbur merupakan penyakit hati, karena itu tercela.64 Seperti
halnya
menghilangkan
lain-lain
penyakit
penyakit-penyakit
rohani,
tersebut
ialah
maka
untuk
dengan
jalan
muroqobah, berani mawas diri memungkinkan terungkapnya penyakit itu, sebagai suatu tindak permulaan dalam membetulkan sikap yang baik. Apabila berhasil ditemukan, maka hendaklah segera bertaubat dan memohon ampun (istighfar) kepada Allah SWT, memohon dijauhkan (berta‟awwuz) daripadanya. Berbarengan dari pengosongan jiwa dari takabbur, dilakukan pula pengisian jiwa dengan sikap-sikap mahmudah yang merupakan lawan dari sikap takabbur, seperti sifat rahmah (kasih sayang), tawadhu (rendah hati) dan sopan, cinta (mahabbah), tolong menolong dan sebagainya.65Sebelum penyakit ini melekat kuat dalam hati manusia, secepatnya ia sadar dan berusaha mengubahnya kearah yang baik. Pertama, manusia harus mengingat asal kejadiannya. Siapa yang menciptakannya, darimana ia dilahirkan dan untuk apa ia dilahirkan kedunia ini. Kedua, Mensyukuri nikmat. Bahwa apa yang diterimanya saat ini adalah pada hakikatnya pemberian Tuhan. Harta dan jabatan yang dimilikinya merupakan titipan Allah yang harus dijalankan dengan baik. Ketiga, mengingat kematian. Sekuat apapun manusia, sebesar apapun kekuasaannya, dan sebanyak apapun harta bendanya,
64
semuanya
akan ditinggalkannya
saat
tali
kematian
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik, (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h.180 65 Ya‟Kub, Op. Cit., 146.
79
merenggutnya. Kematian akan datang kapan dan dimanapun, dalam keadaan sehat maupun sakit, tua maupun muda. Saat itulah manusia takabbur sadar, bahwa dirinya makhluk yang lemah dan tidak berdaya.66 Kecongkakan hanya layak bagi yang Maha Kuasa. Manusia yang lemah dan tidak berkuasa apa-apa tidak layak bersikap congkak. Kalau manusia bersikap congkak maka dia berarti telah menentang Tuhan. Inilah yang dimaksud firman Allah dalam sebuah tradisi Qudsi: “kebesaran adalah sarung-Kudan kecongkakan adalah selendang-Ku. Barang
siapa
melawan
Aku
pada
keduanya
niscaya
Aku
menghancurkannya.”67 3. Manjauhi Dengki Menurut al-Qur‟an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali lantaran dengki terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil saudara kandungnya, maka tumpahlah darah untuk pertama kalinya dimuka bumi ini.68 Sifat buruk yang harus di waspadai oleh seorang muslim ialah sifat hasad (dengki). Sifat ini tidak pantas menyertai seorang muslim yang beriman kepada Allah, Rasul dan hari akhir. Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya agar selalu waspada kepada sifat dengki ini.69 Beliau Bersabda:
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda: “hati-hatilah kamu sekalian terhadap hasud, karena sesungguhnya hasud akan memakan habis seluruh kebaikan sebagaimana api melahap habis kayu bakar.” (H.R. Abu Daud).
66
Musfah, Loc. Cit., h. 92. Sudirman Tebba, Loc. Cit., h. 184 68 Haidar, Loc. Cit., h. 248 69 Hasyimi, Loc, Cit., H. 16 67
80
Manusia yang berjiwa besar tidak mungkin memiliki sifat dengki ataupun ber iri hati, sebab dengki hanyalah sifat yang dipunyai golongan manusia yang berjiwa kecil, berdaya iradah yang sangat lemah, lagi berwatak jahat dan amat buruk, oleh karenanya, maka setiap orang besar, namanya tersohor keseluruh penjuru dunia, berjiwa agung serta enggan kalau cita-citanya patah ditengah jalan, sudah dapat dipastikan bahwa jauh sekali jaraknya antara pribadinya sendiri antara akhlak dan budi pekerti dengan akhlak dan budi pekerti yang rendah, hina dina dan benar-benar tercela itu.70 Apakah perasaan dendam itu? Apakah kedengkian itu? Yang membangkitkan seseorang untuk tidak meyukai kesenangan dan kebahagiaan orang lain serta berhasrat merenggutnya? Orang semacam itu tidak berfikir untuk memiliki kebahagiaan itu sendiri. Rasa iri orang sehat selalu menjadikannya mengutamakan tujuannya sendiri, dan ini bukan masalah, tetapi menghasratkan kerugian dan bencana bagi orang lain, itu adalah penyakit. Anda dapati orang semacam itu sedia menyakiti dirinya sendiri semata-mata untuk menyakiti orang-orang yang didengkinya. Anda ketahui bahwa sifat-sifat tercela yang bersemi dalam hati banyak macamnya, membersihkan hati dari kotoran itu membutuhkan waktu yang lama, cara penyembuhannya pun sulit dan rumit. Pengetahuan
tentang
pengobatannya
secara
tuntas,
serta
cara
melaksanakannya selalu saja samar dan tidak mendapat perhatian, karena kelalaian orang pada dirinya sendiri dan kesibukannya mengejar kemilau dan pesona kehidupan dunia.71 Dengki itu ialah sikap tidak senang atas atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha menghilangkan kenikmatan itudari
70
Syekh Mustafa Ghalayini, Bimbingan Menuju keakhlak yang luhur, (Semarang: CV. Toha Putra, 1976) Cet. 1, h. 212 71 Imam Al-Ghazali, Tuntunan Dasar Pebinaan Pribadi Bertaqwa, (jakarta: Angkasa Raya, 1984), Cet. I, h. 112 .
81
orang lain tersebut, baik dengan maksud supaya kenikmatan itu berpindah ketangan diri sendiri atau tidak.72 Memang, diantara berbagai penyakit hati, dengki atau hasad ialah salah satu yang sangat berbahaya untuk kehidupan manusia. Kitadisebut dengki kepada seseorang jika kita tanpa alasan yang jelas apalagi alasan yang adil, serta merta merasa tidak senang dengan segala kelebihan dan keutamaan yang dimiliki orang lain. Kelebihan itu dapat bersifat kebendaan, seperti kekayaan atau harta, dapat juga tidak bersifat kebendaan, seperti kedudukan, kehormatan, prestise, kecakapan dan sebagainya. Jika kita menyimpan kedengkian kepada seseorang, biasanya selain kita membencinya juga diam-diam dalam hati kita menginginkan orang itu celaka, dan kalau sudah begitu besar kemungkinan
kita
mencelakakannya.
langsung
atau
tidak
langsung
berusaha
73
Orang yang dengki disebut “hasid”, yang bekerja dan berusaha menghilangkan
kesenangan
dan
kemuliaan
seseorang
dan
mengharapkan kesenangan dan kemuliaan itu beralih ketangan dirinya.74 Sifat dengki bisa timbul pada diri manusia karena beberapa sebab: Pertama, Rasa permusuhan dan kebencian. Ketika seseorang merasa dirinya dimusuhi dan dibenci, maka secara manusiawiorang itu akan merasa dengki terhadap musuhnya itu. Ia akan menyumpahi musuhnyadengan kemelaratan, ketidak senangan dan kehancuran. Jika ia merasa mampu, ia akan melakukan upaya untuk menghilangkan kebahagiaan musuhnya itu. Kedua, perasaan dengki bisa terjadi karena diri merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih kaya dan lebih berharga dari orang lain. Kerap terjadi dalam hati dan jiwa manusia bahwa dirinya merasa yangpaling terhormat, lebih pintar (tahu), lebih suci, lebih berhak dan seterusnya. Ketiga, gemar kepemimpinan dan kedudukan. 72
Moh. Ardhani, Loc. Cit., h. 59. Sudirman Tebba, Loc. Cit., h. 186. 74 Ya‟Kub, Loc. Cit., h. 126. 73
82
Ada orang yang suka sekali menjadi pemimpin, ini bagus. Tapi ada juga orang yang hanya mau menjadi pemimpin, dan tidak mau dipimpin, ini bagus sebab yang terakhir ini targetnya adalah kedudukan, bukan tanggung jawab memegang amanah sebagai pimpinan. Keempat, jiwa yang buruk dan sifat kikir. Yaknijiwa yang selalu tidak senang dan merasa gelisah melihat keberhasilan orang lain, sebaliknya jika ada orang lain ditimpa musibah dan kesusahan ia merasa senang. Jiwa semacam ini menimbulkan sifat kikir dalam berbuat baik.75 Pencegahan dan pengobatannya ialah dengan jalan: a. Mawas diri (muroqobah), mengakui dalam diri sendiri bahwa penyakit hasad itu merusak. b. Pandai
mensyukuri
nikmat
yang
dianugerahkan
Allah,
betapapun keadaannya. c. Jika melihat orang lain memperoleh ni‟mat atau kelebihan, maka hendaklah menyadari bahwa mereka perolehnya berkat usaha
dan
perjuangannya
dan
berkat
karunia
yang
dianugerahkan Allah kepada mereka. d. Rajin bekerja mencari karunia yang disediakan Allah bagi jamba hambanya. e. Jangan membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang lebih tinggi keadaannya, melainkan hendaklah memandang mereka yang lebih rendah keadaannya. f. Do‟a, memohon perlindunngan kepada Allah dari sifat hasad. g. Jika memang didapati hasad dalam diri sendiri, maka hendaklah bertaubat dan memohon ampun.76 4. Sikap Pemaaf dan Pengampun ketika Allah swt mengilhamkan kepada Adam beberapa kalimat, dan ketika itu pula Adam memohon ampun kepada-Nya, seraya Allah
75 76
Musfah, Loc. Cit., h. 30 Ibid.
83
mema‟afkan dan mengampuni kesalahan yang telah dilakukan Adam, sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. Sikap pema‟af merupakan bagian akhlak yang luhur, yang harus menyertai seorang muslim yang bertaqwa, nas-nas al-Qur‟an dan dan contoh-contoh perbuatan Nabi saw banyak menekankan keutamaan sifat ini. Bahkan sifat pema‟af merupakan sifat utama orang-orang muhsin yang dekat dengan cinta dan keridaan Allah.77 Sikap pema‟af adalah memberi ma‟af, memberi ampun terhadap kesalahan orang tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada keinginan untuk membalas padahal dia mampu membalas.78 Qur‟an suci telah memberikan jalan dengan metoda yang cermat dalam mengangkat jiwa kemanusiaan menuju puncak keindahan. Qur‟an menetapkan bahwa seorang yang diperlakukan secara zalim di izinkan membela diri dan membalasnya, kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal. Tetapi pembalasan hendaknya bukan atas balas dendam, juga tidak wajib membalas perlakuan zalim itu. Cara yang lebih baik menurut Ialam adalah bila mau membalas, melakukan pembalasan itu dengan penuh simpatik sekedar membela diri bahkan dianjurkan
untuk
menunjukkan
keluhuran
perangai,
bersabar
mema‟afkan, dan toleran, yang demikian lebih toleran dan mengundang simpatik.79 Seorang guru harus bersifat pema‟af terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berkepribadian dan mempunyai harga diri.80
77
Hasyimi, Loc. Cit., h. 40 Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad saw, Terj. Mashdar helmy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), cet. 1, h. 257 79 Hasyimi, Op. Cit., h. 41 80 Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,Terj. Bustami, A. Ghani dan johar bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cet. 1, h. 141 78
84
Al-Qur‟an adalah menjadi sumber budi pekerti Nabi, sifat-sifat beliau adalah pema‟af , banyak memberi ma‟af, dan pemaafannya itu disaat beliau mampu membalas, sifat ma‟af beliau timbul dari jiwa yang pemurah. Aisyah berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat Rasulullah membalas karena beliau dianiaya selam tidak dilanggar laranganlarangan Allah, tetapi apabila larangan-larangan Allah dilanggar, beliau amat keras amarahnya. Beliau memaafka kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena mema‟afkan adalah sifat yang utama, tetapi beliau tidak memberi ma‟af terhadap sesuatu yang menyinggung agama dan berhubungan dengan hak-hak Allah.81 Mema‟afkan orang yang dibawah peengaruhnya adalah bersikap mendidik, namun demikian seorang muslim dituntut juga untuk menampakkan keberanian dan kekuatannya, agar disegani dan ditakuti oleh orang-orang yang hendak menjatuhkan martabatnya.82 Seorang Muslim yang memelihara hukum-hukum agama selalu bersikap toleran karena ilmunya, menyebarkan kasih sayang dan memancarkan sumber kasih sayang dari hatinya. Ia sadar bahwa kasih sayang seorang hamba dibumu menjadi sebab datangnya rahmat dari langit.83 Seorang guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap anak sendiri. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya saya bagi kamu adalah ibarat bapak dengan anak”. Oleh karena itu siguru melayani murid seperti melayani anaknya sendiri. Inilah sifat-sifat yang lazim dirasakan oleh seorang murid oleh gurunya disamping merasakan kecintaannya dan sumbangsihnya dalam membimbing untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Seorang gurupun lazim untuk menanamkan rasa persaudaraan diantaramurid-muridnya seperti ia 81
Al-Huffy, Loc. Cit., h. 260 Hasyimi, Loc. Cit., h. 36 83 Ibid 82
85
menanamkan kecintaan diantara anak-anaknya sampaimereka saling menyayangi dan saling mencintai, tidak saling membenci dan saling menghasud, seperti itulah sikap para ulama salaf dalam membina hubungan dengan murid-murid mereka.84
84
Yusuf Qardhawi, Konsefsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994), cet. I, h. 38.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan tentang Nilai-Nilai Pendidikan Aqidah Yang Terkandung Dalam Kisah Adam as. Surat Thaha Ayat 115-124 pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut: Nilai-nilai pembelajaran Aqidah yang terkadung dalam kisah tersebut antara lain: 1. Rendah Hati Lawan takabbur adalah tawadhu (rendah hati). Setiap mukmin hendaknya rendah hati, tunduk kepada perintahAllah. Maka derajatnya akan diangkat Allah dan ditempatkan disisinya 2. Larangan Sombong Takabbur ada tiga macam, Pertama, takabbur kepada Tuhan, berupa sikap tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran-Nya. Kedua, Takabbur kepada Rasul-Nya, berupa sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mematuhi dan mengikuti rasul tersebut. Ketiga, takabbur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. 3. Menjauhi Dengki Menurut al-Qur’an hasud adalah dosa pertama yang muncul dipermukaan bumi ini. Penyebabnya adalah iblis sampai dikeluarkan dari surga, pertama kali lantaran dengki terhadap Adam as. setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil saudara kandungnya, makatumpahlah darah untuk pertama kalinya dimuka bumi ini. 4. Sikap Pema’af dan Pengampun Sikap pema’af adalah memberi ma’af, memberi ampun terhadap kesalahan orang tanpa ada rasa benci terhadap orang yang bersalah atau sakit hati atau ada keinginan untuk membalas padahal dia mampu membalas.
83
84
B. Saran 1. Al-Qur’an selain merupakan pedoman bagiumat Islam, juga merupakan sumber ilmu pengetahuan, oleh karena itu dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam dalam setiap pembahasan dan kajiannya hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an. 2. Hendaknya pendidikan agama Islam dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk kepribadian muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. 3. Kajian-kajian yang berkenaan dengannilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kisah Adam dalam skripsi ini belum dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan dalam ayat-ayat lain mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984. Abrasyi, Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam,Terj. Bustami, A. Ghani dan johar bahri, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Abu Haidar, Ilyas, Etika Islam dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial, Jakarta: Al-Huda, 2003. Ali Ash-Shabuny, Muhammad, Kenabian dan Para Nabi, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Ali Hasyimi, Muhammad, Apakah Anda berperilaku muslim, jakarta: Gema Insani Press, 1995. Agus, Mustofa, Adam Tak diusir dari Surga, Surabaya, PADMA Press 2007. Ardhani, Moh, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlah dan Budi Pekerti, dalam Ibadah dan Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005 Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Aziz, Abdul bin Fathi bin asy-Sayid Nada: Penj. Ronny Mahmuddin, Syarah Aqidah ah-Shahihah dan pembatalanya (al-Ithaman Syarhu al-Aqidah ashShihah wa Nawaqid al-Islam Lil Allamah as-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz), Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005. -------, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, Bandung: PT. Remaja Rosda Kalya, 2001.
85
86
Bahjat, Ahmad,
Terj. Muhammad Abdul Ghoffar E.M, Akulah Tuhanmu:
Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid (Allah fi al-Aqidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tawhid), Bandung: Pustaka Hidayah, 2005. Baidan, Nashiruddin, metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2000. Daud, Abu Sunan Abud Daud Kitab al-Adab Bab fi al-Tawadhu’Drajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Egan, Kieran, Pengajaran Yang Imajinatif, Jakarta, PT Indeks, 2009. Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika, Sastra, Seni dan Budaya, jakarta: Universitas Negerri Jakarta, 2008. FKMT Penamas Departemen Agama DKI Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam RI, Metode Dakwah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004. Ghazali, Adab Orang Alim, Jakarta: Gema Insain Press, 1992. -------, Tuntunan Dasar Pebinaan Pribadi Bertaqwa, jakarta: Angkasa Raya, 1984. -------, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Gumawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Prktek, Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Hadi Ma’rifat, Muhammad, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997. Ibrahim Amini, Agar tak salah Mendidik, Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006.
87
Ibrahim Al-Hifnawi, Muhammad, Tafsir Al-Qurthubi, jakarat, Pusaka Azzam, 2008. Ilyas, Yunahar, Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2000. Irwandar, Detimologis Adam dan Hawa, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003. Jabir Al-Jaziri, Abu Bakar, Aqidah seorang Mu’min, terj. Salim Bazemool, CV. Pustaka Mantiq, 1994. Jahja, Zukarnai Teologi Al-Ghazali: Pendidikan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Jalaluddin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta, PT. Gaya Media Pratama, 2002. Jefry, lang, Bahkan Malaikat pun Bertanya, Membangun Sikap Berislam yang Kritis, jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2008. Khalidy, Shalah, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999. M. Dja’far Shiddieq, Umay, Ketika Manusia Telah Berjanji Kepada Allah, Jakarta: al-Ghuraba, 2008. M. Anwas, Oos, Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan tantangan. (Jurnal Pendidikaan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisis Khusus III, Oktober 2010 M. Hasbi ash-Shidieqy, Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009. Majid Aziz az-Zindany, Abdul, Ilmu Tauhid Sebuah Pendekatan Baru Jilid I untuk S.L.t.P.
88
Manna’ Khalil al-Qattan. Sudi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007. Muhammad Al-Huffy, Ahmad, Akhlak Nabi Muhammad keluhuran serta kemuliaan, jakarta: Bulan Bintang, 1997. Musawi, Khalil, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera Basritama, 1999. Musfah, Jejen, Bahkan Tuhan pun Bersyukur: Memahami Rahasia Hati, Jakarta, Hikmah, 2003. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Birr al-Silah wa al-Adab Bab Istihsab al-afw wa al-Tawadhu, Mustafa Ghalayini, Syekh, Bimbingan Menuju keakhlak yang luhur, Semarang: CV. Toha Putra, 1976. Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Darul Fikri, 1999. Naimullah, Sayyid, Keajaiban Akidah, Jakarta: Lintas Pustaka, 2004 Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, jakarta: Rajawali Pres, 2011. -------, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2012. -------, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Prenada Media Group, 2011. Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Jakarta: Gema insani Press 1999. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
89
Qardhawi, Yusuf, Konsefsi Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, Jakarta: CV. Firdaus, 1994. Quthb, Sayyid, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004. Quthb, Sayyid, Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Terj. Dari Tafsir fi Zilalil Qur’an, oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Rais, M. Amin, Tauhid Sosial: Formula menggempar kesenjangan, Bandung: Mizan 1998. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1994. Razak, Yusran, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi & Umum, jakarta: Uhamka Press 2011. Sabiq, Sayyid, Aqidah Islam Terj. Ali Mahmudi, Jakarta: Robanni Press, 2006. Salim bin Ied al-Hilali, Syaikh, kisah Shahih Para Nabi, Pustaka Imam Syafi’i Sabran, Dja’far, Risalah Tauhid, Ciputat: Mitra Fajar Indonesia, 2006. Said Agil al-Munawwar, Husin, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an, dalam Sistem Pendidikan Islam, Cipta Press, 2005. Sa’id Mursy, Muhammad Seni Mendidik Anak, Jakarta: Arroyan, 2001. Shalih bin Fauzan bin Abdulla al-Fauzan, kitab Tauhid, Yogyakarta, Universitas Islam Indnesia, 2001. Shihab, M.Quraish, Lentera Al-Qur’an, Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008.. -------, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Tanggerang: Lentera Hati, 2012. -------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2003. Siswanto, Wahyudi, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasindo, 2008.
90
Sudrajat, Suryana, Menimba Kearifan: Risalah Tasawuf Kontemporer, Jakarta: Triyana Sjam’un Corp, 2001. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan Kombinasi, (Mixed Method), Bandung: Alfabeta, 2011. Sugono (ed), Dendy, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011. TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Jakarta: Rajawali Press, 2008 Tebba, Sudirman, Sehat Lahir Batin: HandBook Bagi Pendamba Kesehata Holistik, Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2004. Tim Penyusuan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Utsman Najati, Muhammad Psikologi Qur’ani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni, Bandung: Penerbit MARJA, 2010. Van de Carr, F. Rene dan Marc Lehrer, Cara bary mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Bandung,: Penerbit Kaifa, 2000. Yahya, Harun, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2001. Ya’kub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin: Tasawwuf dan Taqarrub, Jakarta: Putaka Atisa, 1992.