NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MU’MINUN AYAT 1-11
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Pendidikan Agama Islam
Oleh: M. ROSID KAROMI NIM: 053111258
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Jurusan / Program Studi
: M. Rosid Karomi : 053111258 : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian / karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 28 November 2011 Saya yang menyatakan,
M. Rosid Karomi NIM. 093111375
ii
iii
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 29 November 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang Assalamu’alaikum wr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul Nama NIM Jurusan
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT ALMU’MINUN AYAT 1-11 : M. Rosid Karomi : 053111258 : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb.
iv
NOTA PEMBIMBING
Semarang, 29 November 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang Assalamu’alaikum wr. wb Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul Nama NIM Jurusan
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT ALMU’MINUN AYAT 1-11 : M. Rosid Karomi : 053111258 : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam sidang munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb.
v
ABSTRAK
Judul Penulis NIM
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT ALMU’MINUN AYAT 1 – 11 : M. Rosid Karomi : 053111258
Skripsi ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11. Kajiannya dilatarbelakangi oleh dekadensi moral yang mengiringi perjalanan hidup manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami (1) nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11, (2) menganalisis implikasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11 tersebut kaitannya dengan pendidikan akhlak. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan (library research) yaitu mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Sumber primer dari penelitian ini adalah Al-Qur’anul Karim. Sedangkan sumber sekundernya menggunakan empat kitab tafsir al-qur’an, antara lain kitab Tafsir Al-Mishbah karangan Quraish Shihab, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Qutb, Tafsir Al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi serta Tafsir Fahrurrazi karangan Fahruddin ar-Razi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan beberapa metode berfikir diantaranya, metode berfikir interpretatif (penafsiran data) adalah menyelami isi buku untuk dapat setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang disajikannya. Kedua, metode berfikir reflektif (reflective thinking) yaitu sebuah cara untuk mengkombinasikan cara berfikir deduktif dan induktif. Ketiga, metode berfikir kontekstual yang juga dapat diartikan menyesuaikan dengan perkembangan situasi yang terjadi saat ini. Sedangkan metode dalam menganalisis data yang berkaitan dengan penafsiran al-qur’an adalah metode tafsir maudlu’i (tematik) dan metode tafsir tahlily. Hasil penelitian menunjukkan ada beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat disebutkan di sini diantaranya (1) Kekhusyu’an dalam shalat merupakan bukti akhlak seorang hamba kepada tuhannya. Dalam kekhusyu’an terkandung unsur kerendahan hati dan ketawadhu’an. Dari dua unsur itulah nilai-nilai akhlak yang bersifat transenden ditransformasikan dalam kehidupan nyata. (2) Bersungguhsungguh terhadap suatu urusan dengan menjauhi atau meninggalkan perbuatanperbuatan yang tidak berguna. (3) Menyucikan jiwa dengan melatih mengeluarkan zakat. Dengan berzakat jiwa seseorang sedikit demi sedikit akan terhindar dari sifat bakhil. Sehingga dalam hal ini zakat tidak hanya berdimensi ibadah namun juga berdimensi sosial. (4) Menjaga syahwat kemaluan dari hal-hal yang dilarang agama seperti berzina dan kelainan seksual lainnya. Karena hal itu akan berdampak positif bagi seseorang namun jika dilanggar banyak sekali dampak negatif yang akan dialami seseorang. (5) Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan oleh Allah maupun manusia. (6) Menepati janji terhadap sesuatu yang telah diucapkan.
vi
Menurut para mufassir nilai-nilai akhlak tersebut merupakan akhlak rasulullah yang patut diteladani. Sehingga memahami dan melakukan kajian kembali terhadap ayatayat di atas penting untuk menuju akhlak muslim ideal. Berdasar hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa, tenaga pengajar, para peneliti, dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan IAIN Walisongo Semarang.
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih, tercurahkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, dan taufik serta inayah-Nya Dan tidak lupa pula penulis panjatkan shalawat serta salam kepada sang revolusioner Muhammad Rasulullah SAW,
yang dengan keteladanan, keberanian dan
kesabarannya membawa risalah Islamiyah yang sampai sekarang telah mengangkat derajat manusia dan bisa kita rasakan buahnya. Skripsi berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MU’MINUN AYAT 1-11”. Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S.1) pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati dan rasa hormat yang dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Suja’i, M.A. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, yang telah memberikan ijin penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini. 2. Drs. Ikhrom, M.Ag. dan Dr. Ahwan Fanani, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 3. Dosen, pegawai, dan seluruh civitas akademika di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 4. Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah. 5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis hingga dapat diselesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis berdo’a semoga semua amal dan jasa baik dari semua pihak dapat pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari kesempurnaan yang ideal, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan dalam berkarya dikemudian hari.
viii
Akhirnya, hanya kepada Allah penulis berdo’a, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semuanya dan mendapat ridho dari-Nya. Amin. Amin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Semarang, 28 November 2011 Penulis,
M. Rosid Karomi NIM: 053111258
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................
ii
PENGESAHAN .........................................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING ..............................................................................
iv
ABSTRAK .................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Penegasan Istilah .....................................................................
6
C. Rumusan Masalah ...................................................................
7
D. Tujuan Penelitian ....................................................................
7
E. Kajian Pustaka.........................................................................
7
F. Metodologi Penelitian .............................................................
9
G. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................
11
BAB II : LANDASAN TEORI A. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak .........................
13
1. Pengertian Nilai .................................................................
13
2. Dasar-Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak ....................
19
a. Dasar Pendidikan Akhlak............................................
19
b. Tujuan Pendidikan Akhlak ..........................................
21
c. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ............................
22
d. Metode Pendidikan Akhlak .........................................
25
1) Metode keteladanan ..............................................
25
2) Metode pembiasaan ...............................................
26
3) Metode nasehat......................................................
27
4) Metode cerita/kisah ...............................................
28
5) Metode ibarah (mengambil pelajaran)..................
38
x
BAB III : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT ALMU’MINUN AYAT 1-11 A. Redaksi Surat Al-Mukminun Ayat 1-11 dan Terjemahnya ....
29
B. Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat .....................................
29
1. Asbabun Nuzul ..................................................................
29
2. Munasabah Ayat/Surat ......................................................
31
C. Kandungan Surat Al-Mukminun .............................................
32
D. Pendapat Para Mufassir Mengenai Tafsir Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 .........................................................................................
33
1. Pendapat Sayyid Qutb dalam Tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an
34
2. Pendapat Quraish Shihab dalam Tafsirnya Al-Misbah .....
37
3. Pendapat Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya al-Maraghi 42 4. Pendapat Imam Fahruddin ar-Razi dalam Tafsir Al-FahrurRazi ...................................................................................
45
E. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 111 .............................................................................................
BAB IV : ANALISIS
TENTANG
NILAI-NILAI
48
PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM SURAT AL-MU’MINUN AYAT 1-11 A. Urgensi Pendidikan Akhlak ....................................................
49
B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 .................................................................................
50
1. Tawadhu’ (merendahkan diri) ...........................................
50
2. Bersungguh-sungguh dalam setiap urusan ........................
52
3. Penyucian diri dan kepedulian sosial ................................
53
4. Pengendalian syahwat faraj (keinginan seksual)...............
53
5. Tanggung jawab terhadap janji dan amanah .....................
54
C. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat AlMu’minun Ayat 1-11 terhadap Dinamika Moral Masyarakat Modern ....................................................................................
55
1. Nilai kekhusyu’an dan pemeliharaan shalat ......................
55
xi
2. Bersungguh-sungguh dalam setiap urusan ........................
56
3. Penyucian jiwa dan kepedulian sosial ...............................
57
4. Syahwat faraj (keinginan seksual) ....................................
58
5. Tanggung jawab terhadap amanah dan janji .....................
69
BAB V : KESIMPULAN A. Simpulan .................................................................................
60
B. Saran ........................................................................................
61
C. Penutup....................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap muslim pada hakikatnya adalah manusia yang berfikir, bercita-cita dan beramal berdasarkan atas wahyu Allah yang diturunkan melalui Rasulullah SAW. Dari wahyu Allah inilah seseorang berusaha menggali, menyelesaikan dan menemukan jalan keluar dari berbagai problem yang dihadapinya. Seiring perkembangan zaman dan pesatnya perkembangan budaya dalam masyarakat, muncul pula persoalan-persoalan baru yang memerlukan penyelesaian. Di antara masalah-masalah tersebut adalah mengenai dekadensi moral. Masalah kemerosotan moral atau dalam Islam sering dikenal dengan istilah akhlak sudah terjadi mulai dari perkembangan manusia itu sendiri. Untuk menjawab persoalan itu, Allah mengutus para rasul yang berfungsi sebagai kabar gembira, pemberi peringatan dan juga sosok yang dapat dijadikan panutan bagi kaumnya. Keteladanan para utusan Allah khususnya Rasulullah Muhammad SAW dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab ayat 21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.1 Dari petunjuk Allah SWT sangat jelas bahwa keteladanan atau akhlak Nabi Muhammad SAW patut untuk diteladani dan menjadi inspirasi bagi pengikutnya. Kedudukan akhlak sendiri dalam kehidupan baik sebagai individu maupun anggota masyarakat sangatlah penting. Sebab jatuh bangunnya, sejahtera rusaknya suatu bangsa atau masyarakat tergantung bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak) akan sejahteralah lahir batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya rusak
1
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV As Syifa, 2001), hlm. 923.
1
maka rusaklah lahir batinnya bangsa atau masyarakat.2 Dari situlah seorang pujangga Islam telah mengingatkan melalui syair sebagai berikut:
Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak. Jika pada mereka telah hilang akhlaknya maka jatuhlah umat itu.3 Dalam Al-Qur'an juga terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pendidikan. Kita misalnya dapat membaca kisah Luqman dalam mengajari anaknya tentang pendidikan aqidah, pendidikan akhlak terhadap sesama juga pendidikan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial dan keilmuan. Hal itu dapat dilihat dalam Al-Qur'an surat Luqman ayat 12-19. Berkaitan dengan petunjuk yang diberikan Al-Qur'an Muhammad Nor Ichwan dalam bukunya Memasuki Dunia Al-Qur'an menjelaskan bahwa Al-Qur'an telah memberikan petunjuk yang berkaitan dengan berbagai persoalan di antaranya: Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut manusia, yang tersimpul dalam keimanan dan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. Kedua, mengenai syari’at dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Ketiga, mengenai akhlak yang murni, dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun kolektif.4 Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa akhlak menempati posisi yang urgen dalam Islam dan juga bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan
2
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996),
3
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 5.
4
Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia Al-Qur'an, (Semarang: Lubuk Karya, 2001),
hlm. 26.
hlm. 51.
2
makhluk lainnya. Manusia tanpa akhlak adalah manusia yang telah “membinatang” dan sangat berbahaya. Jika akhlak telah lenyap dari diri masing-masing manusia, kehidupan ini akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. 5 Berakhlak merupakan ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Artinya, manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk.6 Karena pentingnya akhlak ini, maka Islam secara tegas menyatakan bahwa misi besar Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sebagaimana sabdanya:
Dari Abi Hurairah r.a. berkata, berkata Rasulullah SAW: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Ahmad)7 Untuk mentransfer nilai-nilai baik yang bersumber dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi yang mulia diperlukanlah yang namanya pendidikan. Pendidikan dalam Islam diharapkan tidak sekedar mentransfer pengetahuan semata, namun harus merupakan upaya dan proses di samping untuk memahami dan mengetahui, juga sekaligus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam itu sendiri.8 Sehingga pada nantinya misi dan tujuan dari pendidikan itu dapat tercapai. Dengan segala potensi yang dimilikinya secara sempurna manusia diharapkan dapat melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifah di muka bumi. Atas dasar ini Quraish Shihab berpendapat bahwa kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan Al-Qur'an (Islam) adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesungguhnya dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau dengan istilah yang sering 5
Zahruddin A.R. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 14-15. 6
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 19. 7
Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm. 504. 8
A. Qodry A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), Cet. II, hlm. 19.
3
digunakan Al-Qur'an, untuk bertaqwa kepada-Nya.9 Berkenaan dengan tugas kekhalifahan, Quraish Shihab mengatakan bahwa kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: (1) pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT, (2) penerima tugas, dalam hal ini manusia, perorangan maupun kelompok, (3) tempat atau lingkungan, di mana manusia berada, dan (4) materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan.10 Menurut Quraish Shihab tujuan dari kekhalifahan yang ingin dicapai itu adalah membina manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman, itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al-din dan adab al-dunya.11 Dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11 menurut penulis terkandung dua dimensi nilai di atas. Walaupun sebenarnya dalam Islam dua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan. Orang yang rajin shalat belum tentu membawa dia dekat dengan Allah jika dalam kehidupannya dia mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan, misalnya mengabaikan nasib anak yatim, berbuat dzalim, merampas hak orang lain dan dalam shalatnya riya dan bergaya hidup mementingkan diri sendiri. Sehingga menurut Nurkholis Madjid dalam pengantar bukunya Malik Fadjar yang berjudul Reorientasi Pendidikan Islam mengatakan bahwa ibadah – terutama terwujud dalam rukun Islam – baru mempunyai makna yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqorrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah).12
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. 2, hlm. 173.
10
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 173.
11
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 173.
12
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), Cet. 1, hlm.
3.
4
Nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al-Mukminun ayat 1-1 tentunya akan mengingatkan kita kembali untuk membaca, memahami, dan menghayati lebihlebih untuk diamalkan di era modernisasi dan dilanjutkan oleh globalisasi di mana tantangan dan ancaman terhadap pengikisan aqidah dan moral manusia semakin terlihat jelas. Maka pendidikan Islam sebagai benteng bagi umatnya berkewajiban menjaga dan melindungi umatnya dari pengaruh perubahan zaman yang tidak diinginkan terutama yang berkaitan dengan aqidah dan moralitas baik individu maupun masyarakat, karena jika keduanya – aqidah dan moral – tidak digarap dan diperhatikan dengan serius maka kerusakan dan keamburadulan masyarakat segera menghampiri. Maka merenungkan kembali ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an Al-Karim dan Sunnah Nabi yang mulia sebagai landasan dan dasar dari pendidikan akhlak penting dan mendesak untuk dilakukan. Dari berbagai persoalan itulah penulis tertarik untuk mengkaji Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Surat AlMukminun Ayat 1-11 dan Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak. Inilah surat AlMukminun ayat 1-11:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-
5
orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.13 B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman tentang penafsiran terhadap judul skripsi ini yaitu Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Surat Al-Mukminun Ayat 1-11 dan Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak, penulis akan menjelaskan istilah-istilah yang menjadi pembahasan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Nilai-Nilai Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.14 Dan menurut Chabib Toha nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.15 2. Pendidikan Akhlak a. Pendidikan Pendidikan menurut Soegarda Poerbakawaca, yang dikutip oleh Abuddin Nata, adalah semua perbuatan dan usaha manusia dari generasi tua untuk memberikan
pengalamannya,
pengetahuannya,
kecakapannya
dan
ketrampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.16 Dan menurut Abuddin Nata yang mengutip dari Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.17
13
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm. 742-743.
14
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
hlm. 677. 15
Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.
16
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), hlm.10.
17
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 9.
60.
6
b. Akhlak Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia akhlak berarti budi pekerti, watak, tabiat.18 Menurut Hamzah Ya’kub akhlak berasal dari bahasa Arab jamak dari kata khuluq yang berarti “budi pekerti, perangai, tingkah laku”.19 3. Surat Al-Mukminun Ayat 1-11 Merupakan surat ke-23 dalam Al-Qur'an yang terdiri dari 118 ayat dan merupakan salah satu surat Makkiyah. Namun dalam hal ini yang akan diteliti hanya 11 ayat saja di mana dari ayat tersebut dapat digali berbagai nilai dan ajaran keluhuran sebagai dasar dan landasan pendidikan akhlak. C. Rumusan Masalah Dari berbagai latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian ini. Di antaranya: 1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11? 2. Bagaimana relevansi dari nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11 terhadap perkembangan kehidupan modern? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini: 1. Untuk mengungkap dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam surat AlMukminun ayat 1-11. 2. Menganalisis relevansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam surat AlMukminun ayat 1-11 kaitannya dengan perkembangan kehidupan modern. E. Kajian Pustaka Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama dari seseorang, maka akan mengadakan penggalian terhadap literatur-literatur yang membahas hal-hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut. Literatur yang membahas tentang akhlak cukup banyak di antaranya: 18
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm.
19
Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), hlm. 11.
7
Pertama, buku karangan Prof. Dr. Rahmat Djatnika yang berjudul Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Buku ini membahas berbagai macam pengertian tentang akhlak dan sesuatu yang berhubungan dengannya. Dalam buku ini juga menjelaskan hak dan kewajiban seseorang baik kewajiban terhadap Allah, dirinya sendiri, keluarga, tetangga maupun orang lain. Rahmat Djatnika dalam buku ini juga mengemukakan pentingnya akhlak seorang pemimpin. Karena etika pemimpin akan menggambarkan etika kaum yang dipimpinnya.20 Kedua, buku Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an karangan Muhammad Yatimin Abdullah, M.A. Dalam bukunya ini pengarang membahas tentang akhlak secara detail, terutama yang berkaitan dengan konsep akhlak dalam Islam. Menurutnya, orang yang benar-benar mengamalkan ilmunya, ia sudah tergolong orang yang berakhlakul karimah. Apabila sebaliknya, maka orang tersebut termasuk golongan orang-orang yang berakhlak madzmumah. Itulah salah satu penjelasan hubungan akhlak dengan sains modern menurut Yatimin Abdullah.21 Ketiga, buku Berakhlak Seindah Rasulullah, Menuju Akhlak Seorang Menuju Mukmin Sejati karangan Amru Khalid yang diterjemahkan oleh M. Yusuf Sandi, Lc. Dalam bukunya ini Amru Khalid lebih spesifik dalam membahas akhlak Rasulullah, di antaranya, berbuat baik (ihsan), tawadhu, jujur, amanah, menepati janji, rasa malu dan kasih sayang. Beberapa tema pokok akhlak di atas oleh Amru Khalid dibahas secara detail. Namun garis besar pembahasan itu semua adalah hubungan akhlak tersebut terhadap Allah, sesama makhluk Allah, dan juga terhadap diri sendiri.22 Masih banyak sekali karya-karya yang membahas mengenai akhlak atau budi pekerti ini. Sehingga tidak mungkin menyebutkannya satu persatu. Namun sejauh yang penulis ketahui belum ada karya yang membahas secara spesifik mengenai akhlak atau pendidikan yang ada dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11. Berbagai karya-karya intelektual di atas tentunya sangat membantu dalam penyusunan kajian yang penulis lakukan. Berpijak dari berbagai karya itulah penulis mencoba 20
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia).
21
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2007).
22
Amru Khalid, Berakhlak Seindah Rasulullah, Menuju Akhlak Seorang Mukmin Sejati, (Semarang, Pustaka Nun, 2007).
8
menganalisis, mendalami, dan mengembangkan kajian ini. Tentunya sebatas kemampuan intelektual penulis.
F. Metodologi Penelitian Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian literatur atau studi kepustakaan. Maka metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan metode sebagai berikut. 1. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk memperoleh data penulisan skripsi ini adalah library research, yaitu suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.23 Di mana metode ini digunakan untuk menentukan literatur yang mempunyai keterkaitan dengan pokok permasalahan di atas. a. Sumber data primer Sumber primer merupakan data pokok yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai informasi yang dicari atau sebagai sumber utama dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini sumber primernya adalah Al-Qur'an surat Al-Mukminun ayat 1-11. b. Sumber data sekunder Data sekunder merupakan data penunjang yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subjek penelitiannya, 24 atau dijadikan alat untuk dapat menganalisis pembahasan skripsi ini, baik interpretasi mufasir, tokoh intelektual, dan para ilmuwan mengenai pokok permasalahan di atas. Sumber sekunder yang digunakan adalah beberapa kitab tafsir dan juga karya-karya ilmiah dari para intelektual yang relevan dengan penelitian ini. 2. Metode Analisis Data Dalam metode analisis data, penulis menekankan pada beberapa metode berfikir, di antaranya yaitu: pertama, metode berfikir interpretatif (interpretasi data) adalah menyelami isi buku untuk dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan 23
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), hlm. 9.
24
Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. I, hlm. 91.
9
arti dan makna uraian yang disajikannya.25 Metode ini penulis gunakan untuk menginterpretasikan beberapa maksud dari surat Al-Mukminun ayat 1-11. Kedua, berfikir reflektif (reflective thinking) yaitu sebuah cara untuk mengkombinasikan cara berfikir deduktif dan induktif. Dengan demikian penulis mengkontekskan dengan keadaan sekarang. Ketiga, berfikir kontekstual, dapat juga diartikan situasional, yakni sesuai dengan keadaan. a. Metode Maudhu’i Metode ini mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surah itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang samasama membicarakan satu masalah tertentu. Ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i.26 Adapun langkah yang harus ditempuh menurut Nashruddin Baidan yang dikutip dari pendapat Al-Farmawi yaitu: 1) Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut, sesuai dengan kronologi urutannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang menasakh dan sebagainya. 2) Menelusuri latar belakang turun (asbabun nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada). 3) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, sejarah, budaya, munasabah ayat, dhamir, dan sebagainya. 4) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman dari berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun kontemporer.
25
Anton Bekker dan Ahmad Choris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), Cet. I, hlm. 69. 26
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 35-36.
10
5) Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang obyektif melalui kaidah-kaidah tafsir mu’tabar serta didukung oleh fakta (kalau ada) dan argumen-argumen dari Al-Qur'an, hadits atau faktafakta sejarah yang dapat ditemukan.27 b. Metode Tafsir Tahlily Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat AlQur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat para mufassir. c. Analisis Kontekstual Analisis kontekstual berarti memaknai sesuatu dengan melihat keterkaitan masa lampau, kini, mendatang. Sesuatu akan dilihat makna historik dahulu, makna fungsional sekarang, dan mengantisipasikan makna di kemudian hari, atau menempatkan Al-Qur'an sebagai sentralnya dalam hal ini surah Al-Mukminun ayat 1-11 dan yang perifer adalah ayat-ayat kauniyah (dinamika kehidupan msn dan alam sekitar).28
G. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman yang kelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut:
27
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. III, hlm. 153. 28
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), Cet. III, hlm. 178.
11
1. Bagian muka pada bagian ini termuat halaman judul, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi. 2. Bagian isi BAB I
: Dalam bab ini memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II
: Dalam bab ini akan dibahas mengenai sebuah tinjauan teoritis tentang pendidikan akhlak di mana berisi subbab pengertian pendidikan akhlak, sumber pendidikan akhlak, dasar dan tujuan pendidikan akhlak dan ruang lingkup pendidikan akhlak dan metode pendidikan akhlak.
BAB III : Dalam bab ini akan dibahas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam surat Al-Mukminin ayat 1-11 di mana berisi subbab ayat 1-11 surat Al-Mukminun dan terjemahnya, isi kandungan surat Al-Mukminun ayat 1-11, munasabah ayat, pendapat beberapa mufasir, nilai-nilai pendidikan dalam surat Al-Mukminun ayat 1-11. BAB IV : Dalam bab ini dibahas mengenai urgensi pendidikan akhlak, dan relevansinya terhadap pendidikan akhlak. BAB V : Dalam bab ini berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup. 3. Dan pada bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran dan biografi penulis.
12
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Nilai Nilai sebagaimana Rizal Mustansyir mengutip dari Langeveld, yang menurutnya dalam bahasa sehari-hari terdengar kata-kata “barang sesuatu mempunyai nilai”. Barang sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat disebut barang nilai. Dengan demikian, mempunyai nilai itu adalah soal penghargaan, maka nilai adalah dihargai.1 Sejalan dengan itu, Juhaya S. Praja berpendapat bahwa nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai ada di luar benda.2 Sedangkan menurut Sidi Gazalba sebagaimana dikutip Chabib Toha mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta. Tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.3 Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek penilaian dengan objek. Sehingga adanya perbedaan nilai antara garam dengan emas. Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti bila tidak ada makhluk yang membutuhkan. Ketika Tuhan sendirian maka ia hanya berarti bagi diri-Nya sendiri. Garam menjadi berarti karena ada manusia yang membutuhkan rasa asin. Begitu pula emas menjadi berarti setelah ada manusia mencari perhiasan. 1
Rizal Mustansyir dan Musnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
2
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.
3
Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 1. 59. hlm. 61.
13
Dalam kehidupan manusia, pendidikan memiliki peranan penting. Karena dengan pendidikan manusia dapat maju dan berkembang menciptakan sesuatu yang mereka inginkan. Secara teoritis pendidikan akhlak terbentuk dari dua kata yaitu pendidikan dan akhlak. Untuk mengetahui pendidikan akhlak, penulis terlebih dahulu akan mengupas pengertian dari dua istilah kata tersebut. Secara bahasa pendidikan berasal dari kata “didik” yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik, atau pengetahuan tentang mendidik, atau berarti pemeliharaan (latihan-latihan, dan sebagainya) badan, batin, dan sebagainya.4 Dalam Kamus Al-Munawwir kata pendidikan berasal dari yang berarti mendidik, mengasuh dan memelihara.5 Dalam
kata
bahasa Arab paling tidak ada beberapa kata yang biasanya menunjuk pada arti pendidikan, yaitu: kata allama dan addaba. Kata allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan kata addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban.6 Mengingat definisi pendidikan itu harus mencakup keseluruhan aspek, maka kata yang lebih tepat untuk mewakili pendidikan adalah kata at-tarbiyah. Kata at-tarbiyah mengandung arti memelihara, mengasuh dan mendidik yang di dalamnya sudah termasuk makna mengajar (allama) dan menanamkan budi pekerti. Walaupun demikian, antara rabba, allama dan addaba memiliki keterkaitan yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, bila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu tersebut dapat
4
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995),
hlm. 250. 5
A. Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: PP Al-Munawwir, 1989),
hlm. 504. 6
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 25.
14
dipahami, dihayati dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik maka diperlukan bimbingan (tarbiyah).7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.8 Sedangkan secara terminologi pengertian pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, di antaranya: a. Menurut J. McDonal mendefinisikan sebagai berikut: “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behaviors of human being.” Pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.9 b. Menurut Martimer J. Adler sebagaimana dikutip oleh H.M. Arifin, pendidikan adalah proses dengan semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.10 c. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah sebagai suatu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya kepribadian yang utama.11
7
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, hlm. 26.
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 263. 9
Deferic J. McDonal, Educational Psychology, (San Fransisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hlm. 4. 10
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 12.
11
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 19.
15
d. Sedangkan menurut Musthafa al-Ghulayani dalam kitabnya Idhah al-Nashiin pendidikan diartikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang utama (mulia) pada pemuda (seseorang) dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi suatu kebiasaan dari beberapa kebiasaan (seseorang) kemudian menjadi hasilnya adalah suatu keutamaan/kebaikan serta cinta beramal untuk kemaslahatan tanah air.12 Dari beberapa pengertian dan uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan adalah segala usaha atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan jasmani maupun rohani melalui penanaman nilai-nilai positif yang bertujuan untuk membentuk kepribadian utama/akhlak mulia bagi peserta didik. Adapun pengertian akhlak secara bahasa (lughah), adalah adat atau kebiasaan. Menurut Abuddin Nata berasal dari bahasa Arab akhlak bentuk jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang memiliki arti perangai, tabiat, kebiasaan.13 Sedangkan dalam Ensiklopedi Pendidikan akhlak diartikan budi pekerti, watak, kesusilaan (berdasarkan etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliqnya dan terhadap sesama manusia.14 Pada sisi lain, akhlak didefinisikan sebagai kebiasaan kehendak dan kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu disebut akhlak. Pendapat akhlak secara sebuah kebiasaan dari kehendak dalam diri seseorang merupakan pemikiran Ahmad Amin.15
12
Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nashiin, (Beirut: Maktabah Asriyah, 1953), hlm. 185.
13
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3,
14
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm.
hlm. 2. 12. 15
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Arif Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), hlm. 62.
16
Dalam upaya memahami pengertian akhlak, Tafsir dkk., dalam bukunya Moralitas Al-Qur'an dan Tantangan Modernitas mengutip analisis semantik Sheila McDonough yang mengatakan bahwa kata khuluq memiliki akar kata yang sama dengan khalaqa yang berarti menciptakan (to create) dan membentuk (to shape) atau memberi bentuk (to give form). Akhlak adalah istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti moral. Dengan analisis McDonough ini maka antara moral dan akhlak memiliki makna yang sama. Hanya saja karena akhlak berasal dari bahasa Arab, istilah ini artinya seperti menjadi ciri khas Islam. Secara substantif, memang tidak ada perbedaan yang berarti di antara keduanya. Sebab keduanya memiliki wacana yang sama, yakni tentang baik dan buruknya perbuatan manusia. Dengan demikian akhlak merupakan istilah yang tepat dalam bahasa Arab untuk arti moral dan etika.16 Namun menurut Abuddin Nata antara akhlak, etika, dan moral terdapat perbedaan dalam sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan atau adat yang berlaku dalam masyarakat, maka pada akhlak yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan baik dan buruk adalah Al-Qur'an dan al-hadits.17 Adapun beberapa tokoh yang mendefinisikan akhlak secara terminologi di antaranya: a. Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi melakukan pertimbangan dan pemikiran.18 b. Ahmad Amin, mendefinisikan akhlak sebagai kebiasaan kehendak, ini berarti bahwa kehendak itu bila telah melalui proses membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak.19
16
Tafsir, dkk., Moralitas Al-Qur'an dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 14. 17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 91.
18
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 5.
19
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), hlm. 62.
17
c. Menurut Ibn Maskawaih yang dikutip Tafsir, dkk., berpendapat bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa yang karenanya menyebabkan munculnya perbuatanperbuatan tanpa pemikiran atau pertimbangan mendalam. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak disertai dengan niat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan/kebiasaan secara mudah dan gampang tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu. Tentunya akhlak yang demikian itu bersumber dari Al-Qur'an dan al-hadits. Bila kehendak jiwa menimbulkan perbuatan/kebiasaan yang baik menurut akal dan syara’ maka disebut sebagai akhlak yang baik (akhlak mahmudah) tetapi kalau menurut akal dan syara’ tidak baik
maka disebut
akhlak tercela (akhlak
madzmumah). Sebagaimana
diungkapkan Imam al-Ghazali:
Apabila sifat itu sekitarnya melahirkan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji menurut akal pikiran dan syara’ itu dinamakan akhlak yang baik dan apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jelek sifatnya yang menjadi sumber itu dinamakan akhlak yang buruk. Mengenai macam-macam akhlak sesuai dengan ajaran agama tentang adanya perbedaan manusia dalam segala seginya, maka dalam hal ini akhlak ada 2 (dua) macam: a. Akhlak Dharury Akhlak dharury adalah akhlak yang asli, dalam arti akhlak tersebut sudah secara otomatis yang merupakan pemberian dari Tuhan secara langsung. Oleh karena itu, akhlak ini tanpa memerlukan latihan, kebiasaan atau didikan. Akhlak ini hanya dimiliki oleh manusia-manusia pilihan Tuhan di mana keadaannya terpelihara dari perbuatan-perbuatan maksiat dan terjaga dari melanggar perintah Tuhan. 20
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, (Indonesia: Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t.),
hlm. 52.
18
b. Akhlak Muhtasaby Adalah merupakan akhlak atau budi pekerti yang harus dicari dan diusahakan dengan jalan melatih, mendidik dan membiasakan.21 Dari pengertian pendidikan dan akhlak di atas dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak adalah suatu proses/usaha sadar (ikhtiar) melalui bimbingan, pengarahan, dan atau latihan untuk membantu dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa yang mengarah pada pembentukan perilaku yang baik sehingga mereka (peserta didik) memiliki akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan akal dan syariat Islam.
2. Dasar-Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak a. Dasar Pendidikan Akhlak Tidak diragukan lagi bahwa akhlak dalam agama Islam bersumber pada Al-Qur'an dan hadits. Al-Qur'an sendiri sebagai dasar utama dalam Islam telah memberikan petunjuk pada jalan kebenaran, mengarahkan kepada pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat.22 Mengenai dasar pendidikan akhlak Al-Qur'an secara implisit dan eksplisit telah menyebutkan beberapa kali mengenai perbuatan baik dan buruk yang merupakan objek kajian akhlak. Di antara ayat yang menyebutkan pentingnya akhlak adalah dalam surat Ali Imtan ayat 104: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.23
21
M. Zain Yusuf, Akhlak/Tasawuf, (Semarang: Nawa Kartika, 1995), hlm. 20.
22
Oemar al-Taomy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj), (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 346. 23
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Alwaah, 1993), hlm. 93.
19
Dalam ayat tersebut Allah SWT menganjurkan hamba-Nya untuk dapat menasehati, mengajar, membimbing dan mendidik sesamanya dalam hal melakukan kebajikan dan meninggalkan keburukan. Dengan demikian Allah telah memberikan dasar yang jelas mengenai pendidikan akhlak. Hal itu terjadi mengingat pendidikan akhlak merupakan suatu usaha untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar berbudi pekerti luhur dan berakhlakul karimah dalam arti dapat membedakan yang baik dan buruk. Selain menyebutkan pentingnya pendidikan akhlak, Al-Qur'an pun menunjukkan siapa figur yang harus dicontoh dan dijadikan sebagai uswatun hasanah. Sebagaimana firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.24 (QS. AlAhzab: 21) Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan figur utama sebagai manusia dan utusan Allah yang patut dijadikan panutan dalam berbagai dimensi/aspek pendidikan akhlak. Allah pun dalam ayat lain memuji kepribadian Rasulullah SAW sebagaimana firman-Nya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4)25 Dasar pentingnya akhlak dalam al-hadits dijelaskan oleh Rasulullah sendiri dalam sabdanya:
24
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Asy-Syifa’, 2001), hlm.
25
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm.
20
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Ahmad dan Baihaqi)26 Dari ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah di atas menunjukkan bahwa dasar dan pijakan pendidikan akhlak adalah Al-Qur'an dan hadits Nabi. Dari dasar dan pedoman itulah dapat diketahui kriteria suatu perbuatan itu baik ataupun buruk. b. Tujuan Pendidikan Akhlak Menurut Ahmad D. Marimba bahwa suatu usaha tanpa tujuan tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya setiap usaha harus ada tujuan dan begitu pula dalam pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat pendidikan akhlak sangat penting adanya tujuan yang dilaksanakan. Ada empat fungsi tujuan dalam pendidikan Islam yaitu: Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Kedua, tujuan berfungsi mengerahkan usaha. Ketiga, tujuan dapat merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan lainnya, baik tujuan lanjutan maupun tujuan baru. Keempat, memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu.27 Pendidikan akhlak sendiri menurut Asmaran As bertujuan hendak mendudukkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lainnya, dan menjadikan manusia berkelakuan baik terhadap Tuhan, manusia dan lingkungannya.28 Sedangkan menurut Abuddin Nata bahwa pendidikan akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.29 Namun, pembahasan mengenai tujuan pendidikan akhlak tidak hanya berkaitan dengan berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Akan tetapi satu 26
Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.t.), hlm. 504. 27
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 45-46.
28
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 55.
29
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm.
21
hal yang lebih penting adalah masalah moral sense30 atau perasaan akhlaki itu sendiri. Menurut fungsi tujuan pendidikan akhlak yang telah dijelaskan sebelumnya, maka usaha-usaha pendidikan akhlak akan berarti apabila tujuantujuan tersebut telah tercapai. Namun selain tujuan-tujuan tersebut ada tujuan lain yang menjadi titik kulminasi dari semua usaha-usaha manusia. Termasuk pendidikan akhlak. Karena tujuan dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Sebelum mencapai tujuan akhir, pendidikan akhlak terlebih dahulu mencapai beberapa tujuan sementara. Berkaitan dengan tujuan akhir itu, Rahmat Djatmika mengatakan bahwa tujuan akhir dari perbuatan manusia adalah kebahagiaan yang universal, yang mempunyai predikat mardhatillah. Dengan demikian, dapat dirumuskan tujuan pendidikan akhlak adalah tertanamnya akhlaqul karimah dalam jiwa manusia secara kuat, sehingga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat Islam dan memberikan pedoman tentang baik dan buruk perilaku manusia, serta mendudukkan manusia pada fitrahnya yaitu makhluk yang tinggi dan sempurna yang pada akhirnya mendapatkan kepuasan batin dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.31 c. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab, dalam agama Islam etika (moral) dan akhlak tidak dapat disamakan karena secara umum etika hanya dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Sedangkan akhlak mempunyai makna yang lebih luas di samping tingkah laku lahiriah juga mencakup sikap batin maupun pikiran.32 Namun, apabila moral 30
Moral sense adalah suatu kekuatan atau perasaan yang dapat menentukan perbuatan itu baik dan perbuatan itu jelek. Berkaitan dengan hal itu, Islam mengakui adanya kekuatan instinct dalam jiwa manusia yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik apabila dikerjakan, sehingga menjadi budi pekerti yang mulia, dan apabila dia mengerjakan suatu dosa atau tidak baik dia merasa malu, dia tidak senang kalau perbuatan itu diketahui orang. Terhadap perbuatan dirinya, kekuatan dalam jiwanya itu dapat menilai apakah perbuatan itu patut atau tidak patut dikerjakan. Lihat, Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), hlm. 52. 31
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), hlm. 66-68.
32
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir….
22
(etika) difahami sebagai budi pekerti yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya serta dengan makhluk lainnya yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah maka dapat disamakan dengan akhlak diniyah. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada
sesama
makhluk
(Rasulullah,
manusia,
alam
sekitar
manusia/lingkungan).33 Berikut penjelasan beberapa sasaran akhlak diniyah tersebut. 1) Akhlak manusia terhadap Allah SWT Pada dasarnya akhlak manusia terhadap Tuhannya adalah hubungan antara ciptaan dan penciptanya, hubungan antara makhluk dan al-khalik.34 Pada dataran ini, manusia pada hakekatnya tidak mempunyai otoritas kekuasaan dan wewenang sedikitpun terhadap Tuhan. Sekuatkuatnya manusia untuk menentang Tuhan hanyalah akan melahirkan kesia-siaan, bahkan kerugian besar. Di antara akhlak tersebut menurut Muhammad Daud Ali adalah: a) Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun dengan mempergunakan firman-Nya sebagai pedoman hidup dan kehidupan. b) Melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. c) Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridhaan-Nya. d) Mensyukuri nikmat dan karunia Allah. e) Menerima dengan ikhlas semua qadha dan qadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal (tawakkal). f)
Memohon ampun kepada Allah.
g) Bertaubat hanya kepada Allah (taubat nasuha). h) Tawakkal (berserah diri) kepada Allah. i)
33
Dzikir dan fikir tentang Allah dan kebesaran-Nya.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir….
34
Musa Asy’ari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 117.
23
2) Akhlak manusia terhadap dirinya sendiri a) Menjaga diri dari jiwa agar tidak terhempas di lembah kehinaan dan berusaha mempertahankan dan meningkatkan kehormatan pribadi. b) Berusaha dan berlatih agar mempunyai sifat-sifat terpuji seperti: ikhlas, menepati janji, ramah, sabar, rendah hati, jujur, sederhana, pemaaf, dan lain-lain. c) Berupaya dan berlatih meninggalkan sifat-sifat tercela seperti: dusta, khianat, dengki, menipu, mencuri, mengadu domba, dan lain-lain. 3) Akhlak manusia terhadap sesama manusia a) Mencintai Rasulullah secara tulis dengan mengikuti sunnahsunnahnya. b) Menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan hidup dan kehidupan. c) Mencintai kedua orangtua melebihi cinta kepada kerabat lainnya. d) Merendahkan diri kepada keduanya dengan diiringi perasaan kasih sayang. e) Berkomunikasi dengan keduanya dengan menggunakan bahasa yang halus. 4) Akhlak manusia terhadap keluarga a) Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga. b) Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak. c) Berbakti kepada ibu bapak. d) Mendidik anak-anak dengan kasih sayang. e) Memelihara hubungan silaturahmi dan melanjutkan silaturahmi yang dibina orangtua yang telah meninggal dunia. 5) Akhlak manusia terhadap tetangga dan masyarakat a) Memuliakan tamu. b) Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. c) Saling membantu dalam melakukan kebajikan dan takwa. d) Saling hormat menghormati. e) Saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.
24
f) Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain melakukan perbuatan munkar. g) Memberi makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya. h) Bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama. i) Mentaati putusan yang telah diambil. j) Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita. k) Menepati janji. 6) Akhlak manusia terhadap alam dan lingkungannya a) Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup. b) Menjaga dan memanfaatkan alam terutama hewan dan nabati, flora dan fauna, yang sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya. c) Sayang terhadap sesama makhluk.35 d. Metode Pendidikan Akhlak Untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki diperlukan adanya satu metode atau cara. Demikian halnya dalam usaha menanamkan pendidikan akhlak agar berhasil sebagaimana yang diharapkan diperlukan beberapa metode. Di antara metode-metode tersebut ialah: 1) Metode keteladanan Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan memberi contoh baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling menentukan keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk sikap, perilaku, moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini karena pendidikan adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam segala hal disadari maupun tidak. Bahkan jiwa dan perasaan seorang anak 35
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 356-359.
25
sering menjadi suatu gambaran pendidikannya, baik dalam ucapan maupun perbuatan, materiil maupun spirituil, diketahui atau tidak diketahui.36 Sebagaimana hal itu dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat AlAhzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)37 Senada dengan hal itu, Abdullah Nasih Ulwan berpendapat bahwa pesan pendidik barangkali akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan yang disampaikannya.38 Dengan demikian, keteladanan merupakan faktor dominan dan berpengaruh bagi keberhasilan pendidikan dan metode pendidikan yang paling membekas pada diri peserta didik. 2) Metode pembiasaan Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal adanya teori konvergensi, di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dengan mengembangkan potensi dasar yang ada pada dirinya sebagai penentu tingkah laku. Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu caranya ialah melakukan kebiasaan yang baik.39 Pembiasaan dinilai efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang masih kecil (anak-anak), karena memiliki 36
Rahardjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 66. 37
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm.
38
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 178. 39
Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 110.
26
rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mudah terlarut dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya ketika ia melangkah ke usia remaja dan dewasa.40 Di sinilah pentingnya metode pembiasaan tersebut. Maka penting bagi seorang pendidik membiasakan kepada anak didiknya sesuatu yang baik agar pada nantinya kebiasaan itu berlanjut sampai dewasa. 3) Metode nasehat Yang dimaksud dengan nasehat ialah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasehati dari bahaya serta menunjukkan ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat. Dengan metode ini, seseorang dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa seseorang apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintu-pintu yang tepat. Cara yang dimaksud ialah: Pertama, nasehat hendaknya lahir dari hati yang ikhlas. Nasehat yang disampaikan secara ikhlas akan mengena dalam tanggapan pendengarnya. Kedua, nasehat hendaknya berulang-ulang, agar nasehat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk mengikuti nasehat itu.41 Allah SWT pun menjelaskannya dalam Al-Qur'an surat An-Nahl: 125 Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 125)42
40
Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, hlm. 125.
41
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 146. 42
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm.
27
4) Metode cerita/kisah Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu baik yang sebenarnya ataupun yang rekaan saja.43 Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur'an: .... Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Yusuf: 111)44 Dalam hal ini ketika menggunakan kisah-kisah pendidik dapat membahasnya secara panjang lebar dan meninjau dari berbagai aspek selaras dengan tujuan yang hendak dicapai sehingga mampu menggugah dan mendorong seseorang meyakini dan mencontoh pelaksanaannya.45 5) Metode ibarah (mengambil pelajaran) Ibarah menurut An-Nahlawy adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari suatu yang disaksikan yang dihadapi
dengan
menggunakan
nalar
yang
menyebabkan
hati
mengakuinya.46 Adapun pengambilan ibarah bisa dilakukan melalui kisahkisah teladan fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi baik di masa lalu maupun masa sekarang.
43
Armai Arief, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, hlm.
44
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm.
45
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 180.
46
Abdurrahman An-Nahlawy, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Dahlan dan Sulaiman, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 320.
28
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MU’MINUN AYAT 1-11
A. Redaksi Surat Al-Mukminun Ayat 1-11 dan Terjemahnya
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (1) (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya (2) dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (3) dan orang-orang yang menunaikan zakat (4) dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. (6) Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (7) dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (8) dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. (9) mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi (10) (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. (11) (QS. Al-Mukminun/23: 1-11)1 B. Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat 1. Asbabun Nuzul Menurut Shubhi Al-Shalih, yang dikutip oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, definisi dari asbabun nuzul ialah:
1
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 2001), hlm.
742-743.
29
Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.2 Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat-ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Sebab turunnya ayat 1-11 surah Al-Mu’minun ini menurut riwayat yang dikutip oleh Al-Maraghy bahwa sebagian sahabat bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana akhlak Rasulullah?” Aisyah menjawab, “Akhlak beliau adalah AlQur'an.” Kemudian Aisyah membaca ayat: Qad aflaha al-mu’minun sampai wa al-ladzina hum ’ala shalawatihim yuhafizhun, lalu berkata, “Demikianlah akhlak Rasulullah SAW.”3 Sedangkan Ibn Katsir selain riwayat di atas juga mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Umar Ibn Khattab. Dia berkata, “Apabila turun kepada Rasulullah sesuatu wahyu terdengarlah di sampingnya suara seperti denging lebah. Kami diam sejenak kemudian beliau menghadap kiblat. Mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa:
Ya Allah, berilah tambahan kepada kami dan janganlah engkau menguranginya. Muliakanlah kami dan jangan engkau hinakan. Berilah kami rezeki dan janganlah engkau tolak. Utamakanlah kami dan jangan engkau menyisihkan kami. Ridhailah kami dan jadikanlah kami ridha. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadaku 10 ayat. Barangsiapa yang mengamalkannya, maka dia masuk surga.” Kemudian beliau membaca ayat qad aflaha al-mu’minun. Beliau membaca sampai selesai 10 ayat. 2
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), hlm. 89-90. 3
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, terj. Hery Noer Ali, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1. Hal ini juga dapat dilihat dalam Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibn Katsir, terj. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 407.
30
Jadi, menurut dua riwayat di atas tersebut tidak ada sebab khusus diturunkannya ayat Al-Mu’minun ayat 1-11. Untuk memperteguh iman dan juga memberi kabar bahagia bagi orang-orang yang meyakininya merupakan ciri khas dari surat makkiyah ini.
2. Munasabah Ayat/Surat Munasabah secara etimologis berarti kedekatan (al-muqarabah) dan kemiripan atau keserupaan (al-musya’italah). Ia juga bisa berarti hubungan atau persesuaian. Secara terminologis, munasabah adalah ilmu Al-Qur'an yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar ayat atau surat dalam Al-Qur'an secara keseluruhan dan latar belakang penempatan tartib ayat dan suratnya.4 Pendapat lain mengatakan bahwa munasabah merupakan sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui alasan-alasan penertiban bagian-bagian Al-Qur'an. As-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya.5 Sehingga seseorang hendaknya jangan mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Menurut Musthafa Al-Maraghiy, relevansi/munasabah ayat ini dengan akhir ayat surah sebelumnya (Al-Hajj) dapat dilihat dari beberapa segi. a. Pada penutup ayat terdahulu Allah berbicara kepada kaum mu’minin dan menyuruh mereka untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan berbuat kebaikan, mudah-mudahan mereka mendapat keberuntungan. Pada awal surah ini menegaskan keberuntungan itu. b. Pada kedua surah ini Allah berbicara tentang kejadian pertama dan menjadikannya dalil atas adanya pembangkitan serta pengumpulan makhluk. c. Pada masing-masing surah diceritakan para nabi terdahulu dan umat mereka sebagai pelajaran bagi umat yang ada dan yang akan datang.
4 5
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 161. Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul…, hlm. 168.
31
d. Pada masing-masing surah ini Allah menegakkan dalil atas wujud dan keesaan Al-Khaliq.6 Hal senada juga diungkapkan Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah, bahwa pada akhir surah Al-Hajj (ayat 77) kaum beriman diperintahkan agar melakukan
aneka
ibadah
dengan
harapan
agar
mereka
memperoleh
keberuntungan. Harapan tersebut dapat menjadi kepastian jika mereka menghiasi diri dengan apa yang disebut pada kelompok pertama ayat-ayat surah ini. Itu sebabnya awal ayat ini menggunakan kata ( ) yang mengandung makna kepastian.7
C. Kandungan Surat Al-Mukminun Menurut Al-Biqa’i dan Thabathaba’i yang dikutip oleh Quraish Shibah bahwa tujuan dan tema utama surah ini adalah uraian tentang kebahagiaan dan kemenangan yang akan diraih secara khusus untuk orang-orang mukmin. Sebagaimana jelas dipahami dari namanya. Juga terkandung ajakan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta menjelaskan sifat-sifat orang mukmin dan orang-orang kafir.8 Sedangkan menurut Sayyid Qutb dan tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an mengemukakan bahwa arahan redaksi surah ini dalam empat episode. Episode pertama dimulai dengan penetapan kemenangan bagi orang-orang beriman sebagaimana dicantumkan dalam ayat pertama. Setelah itu diterangkan tentang karakter orang-orang beriman. Kemudian memaparkan periode-periode kehidupan manusia sejak mulai tumbuh hingga periode akhir dari hidupnya di dunia. Bahkan tentang periode janin sangat luas, tetapi periode-periode lain hanya dibahas sekilas dan secara garis besar. Kemudian dikupas tentang perjalanan manusia menuju hari kebangkitan di hari kiamat. Periode kedua memaparkan tentang hakikat iman. Hakikat yang satu yang disepakati oleh setiap rasul tanpa terkecuali. Episode ini menggambarkan
6
Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, hlm. 1. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 145. 8 Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 145. 7
32
perjuangan para utusan Allah menghadapi orang-orang musyrik. Pada akhirnya para rasul selalu mengadu kepada rabb mereka untuk memohon pertolongan-Nya. Kemudian Allah mengabulkan doa para rasul dan binasalah para pendusta. Episode ketiga membahas perpecahan manusia setelah para rasul dan pertentangan mereka sekitar hakikat iman yang satu itu yang dibawa oleh para rasul. Episode ini juga membahas kelalaian manusia dari ujian Allah. Ketertipuan mereka dengan segala kenikmatan yang ada pada mereka. Sementara orang-orang yang beriman berhati-hati dan sangat takut dengan Tuhan mereka. Mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Bersamaan dengan itu, mereka pun selalu takut dan khawatir. Episode akhir dari surat ini berisi pengacuhan terhadap orang-orang musyrik dan sembahan-sembahan mereka beserta dugaan-dugaan mereka. Episode ini seruannya tertuju kepada Rasulullah agar beliau membalas kejahatan dengan sesuatu yang lebih baik. Juga agar beliau berlindung kepada Allah dari godaan setan. Sehingga, jangan sampai beliau hatinya marah dan hatinya menjadi sempit disebabkan oleh perkataan orang-orang kafir. Di samping itu, terdapat pula gambaran tentang peristiwa di hari kiamat yang menggambarkan tentang azab, kehinaan, dan celaan yang menghadang orang-orang kafir di sana.9 D. Pendapat Para Mufassir Mengenai Tafsir Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 Dalam menafsirkan ayat 1-11 dari surat Al-Mu’minun ini hampir setiap ulama ahli tafsir yang penulis teliti menafsirkan dengan argumen yang bisa dikatakan saling melengkapi. Menurut hemat penulis hal itu dikarenakan akan mashurnya ayat ini berkaitan dengan akhlak Rasulullah SAW. Untuk mengupas tafsir ayat 1-11 dari surat Al-Mu’minun ini akan dikemukakan beberapa pendapat dari para mufasir mengenai ayat tersebut. Di antaranya Tafsir Al-Maraghi karya Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Qutb, Tafsir Fakhrur Razi karangan Imam Muhammad Ar-Razi, juga Tafsir Al-Misbah karangan Prof. Dr. Quraish Shihab. Berikut beberapa pendapat mufassir tersebut. 9
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), terj. As’ad Yasin, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 158-159.
33
1. Pendapat Sayyid Qutb dalam Tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an Ayat 1 dan 2 Sesungguhnya itu merupakan janji yang pasti benar. Bahkan itu merupakan keputusan penetapan tentang keberuntungan orang-orang yang beriman. Itu janji Allah, dan Allah tidak akan mengkhianati janji-Nya. Kemenangan dan keberuntungan di dunia dan juga kemenangan dan keberuntungan di akhirat. Kemenangan dan keberuntungan sebagai pribadi mukmin, dan juga kemenangan dan keberuntungan sebagai jamaah mukmin. Hati yang khusyu’ menurut Sayyid Qutb adalah hati-hati yang merasakan keagungan dan kedahsyatan bersikap dalam shalat di hadapan Allah. Sehingga hati-hati itu menjadi tunduk dan khusyu’. Dari situ mengalirlah khusyu’ tersebut ke seluruh anggota tubuh, isyarat, dan gerakan. Orang yang khusyu’ ruhnya tenggelam dalam keagungan Allah di hadirat-Nya. Pada saat itulah segala nilai, segala sesuatu, dan seluruh manusia menjadi kecil, kecuali yang berhubungan dengan Allah. Ayat 3 Itu meliputi perkataan yang tidak berguna (lagwun), perbuatan yang tidak berguna, serta perhatian dan perasaan yang tidak berguna. Menurutnya seorang mukmin selalu terdorong dengan keimanannya untuk selalu mengoptimalkan segala kekuatannya dalam pembangunan, pemakmuran, dan perbaikan. Semua itu tidak menafikan bahwa seorang mukmin tidak boleh menghibur dirinya waktu demi waktu. Tetapi, menghiburnya harus bukan dengan obrolan yang tak bermakna, main-main, dan hal-hal yang tidak bermanfaat serta kekosongan. Ayat 4
34
Zakat merupakan kesucian bagi hati dan harta benda. Ia menyucikan hati dari sifat bakhil, sifat cinta yang dominan terhadap benda. Mengalahkan bisikanbisikan setan tentang kefakiran, dan beralih kepada keyakinan akan apa yang ada di sisi Allah dari balasan dan ganti (yang lebih baik). Kesucian harta itu menjadikan sisa harta benda yang ada di tangan menjadi halal dan baik. Ia tidak lagi berkaitan dengan hak apapun (kecuali dalam kondisi-kondisi darurat) serta tidak lagi dilingkari oleh syubhat dan keraguan apapun. Ayat 5-6
Ini adalah kesucian roh, rumah tangga, dan jama’ah. Ia juga merupakan penjagaan jiwa, keluarga, dan masyarakat, dengan menjaga kemaluan dari penyimpangan seksual yang tidak halal, menjaga hati dari keinginan kepada yang tidak halal, dan menjaga jamaah dari kebebasan syahwat di dalam hal-hal yang haram tanpa disadari, yaitu hancurnya institusi rumah tangga dan hancurnya keturunan. Menurutnya masyarakat yang telah dominan kebebasan syahwatnya tanpa bisa dihindari adalah masyarakat yang kotor dan hina dalam kemanusiaan. Jalan keluar untuk sesuatu yang dihalalkan bagi kemaluan adalah lewat perkawinan. Dengan perkawinan itulah tidak akan menimbulkan kontroversi dan bantahan. Karena ia telah menjadi institusi yang dikenal. Ayat 7 Yaitu, selain istri-istri dan budak-budak wanita. Tiada tambahan metode apapun selain itu. Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas-batas daerah yang dihalalkan oleh Allah. Mereka telah terjerumus ke dalam perkara-perkara yang haram, serta telah merusak kehormatan wanita yang belum menjadi halal baginya dengan sebab nikah dan jihad.
35
Ayat 8 Mereka selalu memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya baik sebagai pribadi maupun sebagai jamaah. Amanat itu sangat banyak di pundak setiap individu dan di pundak jamaah. Amanat yang paling terdepan menurut Sayyid Qutb adalah amanah fitrah. Allah telah menciptakan fitrah selalu lurus dan secerah dengan pencipta kehidupan yang merupakan sumber fitrah itu. Ayat ini menurutnya menerangkan secara gamblang dan garis besarnya saja dan membiarkannya mencakup seluruh amanat dan seluruh janji. Sistem kehidupan sosial tidak akan tegak lurus melainkan setelah ditunaikan amanat yang ada padanya dan janji selalu dijaga. Maka, setiap individu akan merasa tenang dan tentram dengan kaidah dasar itu sebagai perekat institusi kehidupan bersama, kepentingan untuk memenuhi kepercayaan, keamanan dan ketenangan. Ayat 9 Mereka tidak meninggalkannya karena malas, dan tidak mengacuhkannya karena meremehkannya, serta tidak menegakkannya secara asal-asalan dan setengah-setengah. Namun mereka menunaikannya tepat pada waktunya dengan kewajiban dan sunnahnya secara lengkap juga mencukupi rukun-rukun dan adabadabnya. Sesungguhnya sifat-sifat orang-orang yang beriman telah diawali dengan shalat dan diakhiri pula dengan shalat untuk menunjukkan keagungan martabatnya dan kedudukannya dalam membina iman. Karena shalat merupakan gambaran ibadah yang paling sempurna dari ibadah-ibadah yang ditujukan kepada Allah. Ayat 10-11
36
Itulah puncak keberuntungan yang ditentukan oleh Allah bagi orang-orang yang beriman dan tidak ada setelahnya target lain yang dituju oleh mata dan khayalan.10
2. Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsirnya Al-Misbah Ayat 1-2 Ayat di atas menyatakan bahwa: sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapat apa yang didambakannya orang-orang mukmin, yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh. Kata (
) aflaha terambil dari kata (
Dari sini petani dinamai (
) al-falh yang berarti membelah.
) al-fallah karena dia mencangkul untuk membelah
tanah lalu menanam benih yang diharapkan tumbuh buagnya. Dari situlah petani memperoleh apa yang diharapkan yang dinamai falah dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang menjadi salah satu makna falah. Sedangkan iman dari segi bahasa adalah pembenaran hati menyangkut apa yang didengar. Quraish Shihab juga mengutip dari Thabathaba’i bahwa iman adalah kepatuhan dan pembenaran yang disertai dengan pemenuhan konsekuensinya. Kata (
) shalatihim menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan
kepada Allah, walaupun pada hakekatnya shalat tersebut ditujukan kepada-Nya. Sedangkan kata (
) terambil dari kata (
) khasya’a yang dari segi bahasa
berarti diam dan tenang. Sementara ulama menyatakan bahwa khusyu’ yang dimaksud ayat ini adalah rasa takut jangan sampai shalat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan ketundukan mata ke tempat sujud. Mayoritas ulama menurut Quraish Shihab tidak mewajibkannya. Namun ulama-ulama tasawuf mewajibkannya. Para ulama fiqh tidak memasukkan kekhusyu’an pada bahasan rukun atau syarat shalat karena mereka menyadari
10
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an…, hlm. 160-164.
37
bahwa khusyu’ lebih banyak berkaitan dengan kalbu, sedang mereka lebih mengarahkan pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Ayat 3 Kata ( ) al-laghw terambil dari kata ( ) lagha yang berarti batal, yakni sesuatu yang seharusnya tidak ada atau ditiadakan. Menurutnya laghw pada dasarnya adalah hal-hal yang bersifat mubah, yakni sesuatu yang tidak terlarang, tetapi tidak ada kebutuhan atau manfaat yang diperoleh ketika melakukannya. Banyak aktivitas, ucapan, perhatian dan perasaan yang dapat termasuk kategori laghw. Kata (
) mu’ridhun terambil dari kata (
) al-urdh yang berarti
samping. Dari sini kata mu’ridhun dipahami dalam arti tidak memberi perhatian kepadanya. Namun menurut Quraish Shihab yang perlu digarisbawahi bahwa hal ini bukan berarti bahwa seorang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal senyum atau canda. Beliaupun mencontohkan tertawanya Nabi Sulaiman yang mendengar suara semut yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Ayat 4 Kata (
) zakah dari segi bahasa berarti suci dan berkembang. Ini karena
menafkahkan harta mengantar kepada kesuciannya dan kesucian jiwa penafkah. Di samping itu, ia menjadi penyebab bagi pengembangan harta itu. Al-Qur'an seringkali menggunakan kata ini dalam arti sedekah, tapi di sisi lain Al-Qur'an menggunakan kata shadaqah/sedekah dalam arti zakat, yaitu pada firman-Nya dalam QS. At-Taubah (9): 60. Al-Qur'an seringkali menggunakan kata kerja ( ) atu untuk menunjuk pengeluaran zakat atau harta benda. Tetapi di sini pelaku pengeluaran itu adalah kata (
) fa’ilun yang terambil dari kata kerja ( ) fa’ala. Pemilihan kata ini
38
sebagaimana beliau mengutip Thabathaba’i, mengisyaratkan betapa besar perhatian mereka terhadap ibadah itu. Juga mengutip pendapat Ibn Asyur, bahasa yang menggunakan materi kata fa’ala mengandung makna pemberian kebajikan. Ayat 5-7
Kata (
) hafidhun terambil dari kata (
) hifzh yang antara lain berarti
memelihara atau menahan. Yang dimaksud adalah memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang tidak dibenarkan agama, serta menahannya sehingga selalu terawasi dan tidak tergelincir dalam keburukan. Bahkan menurutnya boleh jadi pemeliharaan ini meluas maknanya sehingga mencakup tuntunan Nabi SAW agar memilih calon pasangan yang tepat dan baik, tidak hanya berdasar kecantikan dan ketampanannya saja. Kata (
) furuj adalah jamak dari kata (
) farj yang pada mulanya
dimaksudkan dalam arti segala yang buruk diucapkan pada pria atau wanita. Dari sini kata tersebut biasa diterjemahkan dengan alat kelamin. Menurut ayat-ayat di atas mengisyaratkan dampak negatif dari penyaluran dorongan seksual secara tidak sah. Dari segi sosial, zina dapat berakibat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Sedangkan dari segi kesehatan fisik, efek negatif zina antara lain dapat mengakibatkan penyakit gonore, sipilis (raja singa) dan luka. Sedang dari kesehatan mental, zina demikian juga onani dan homoseksual, dapat menimbulkan perasaan bersalah dan berdosa pada akhirnya dapat berakibat lemahnya saraf. Firman-Nya (
) yang diterjemahkan dengan budak wanita yang
mereka miliki, menunjuk kepada satu kelompok masyarakat yang ketika turunnya Al-Qur'an merupakan salah satu fenomena umum masyarakat manusia di seluruh dunia. Dapat dipastikan, Allah dan rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa Al-Qur'an dan as-sunnah tidak
39
mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus. Islam menempuh jalan bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak ketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Jika perbudakan sekaligus dihapus pada waktu itu tentunya akan terjadi gejolak sosial yang memprihatinkan. Firman-Nya (
) dijadikan oleh sementara ulama
sebagai salah satu alasan menetapkan haramnya onani, karena penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan atau bagi pria dengan budak-budak wanita, ketika yang terakhir itu masih ada. Demikian pendapat banyak ulama. Kata (
) malumin terambil dari kata ( ) lum yaitu kecaman atau celaan
terhadap perbuatan atau ucapan pihak lain yang dinilai oleh pengecam sebagai tidak wajar. Ayat ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa Allah merestui hubungan seks atau penyaluran kebutuhan biologis yang dilakukan secara sah. Ayat 8 Kata (
) adalah bentuk jamak dari (
). Ia adalah sesuatu yang
diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya atau bila diminta pemiliknya ia dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta lapang dada. Kata amanah terambil dari akan kata ( ) amina atau percaya dan aman, ini karena amanat disampaikan oleh pemiliknya atas dasar kepercayaannya kepada penerima bahwa apa yang diserahkannya itu akan terpelihara dan aman di tangan penerima. Menurutnya amanah yang berada dipundak manusia mencakup empat aspek : -
Pertama, antara manusia dengan Allah seperti aneka ibadah.
-
Kedua, antara seorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia dan lain-ain.
40
-
Ketiga, antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut pemeliharaannya agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
-
Keempat,
amanat
dengan
dirinya
sendiri
antara
lain
menyangkut
kesehatannya. Kata (
) ahd antara lain berarti wasiat dan janji, yang dimaksud adalah
komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihakpihak yang berjanji. Kata (
) ra’un
terambil dari kata (
) ra’iy yaitu memperhatikan
sesuatu sehingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai dengan jalan memelihara, embimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Ayat 9 Kata (
) shalawatihim / shalat-shalat mereka yang digunakan ayat di
atas berbentuk jamak tetapi juga ada bacaan dalam bentuk tunggal (
)
shalatihim, penggunaan bentuk jamak mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar memperhatikan dan memelihara semua shalat termasuk dalam hal ini menurutnya adalah shalat-shalat sunnah muakkad. Pada ayat kedua telah disebutkan juga shalat, tetapi dalam konteks yang berbeda, pada ayat kedua menekankan tentang kekhusyu’an dan pada ayat ini tentang pemeliharaan shalat secara keseluruhan. Ayat 10-11 Kata (
) al-waritsun dan (
) yaritsun terambil dari akar kata (
)
waratsa, menekankan pada sesuatu kepada sesuatu yang lain. Ada yang memahami ayat ini dalam peralihan arti orang mukmin yang sifatnya seperti diuraikan ayat-ayat yang lalu, akan mewarisi yakni akan dialihkan kepada mereka surga yang tadinya Allah telah siapkan untuk semua manusia, tetapi karena manusia tidak semuanya mukmin atau ada yang kafir maka mereka tidak berhak
41
memperolehnya, dengan demikian surga yang telah disiapkan Allah untuk orangorang kafir itu diwarisi, yakni beralih kepemilikannya kepada orang-orang mukmin.11 Kesempurnaan iman dan budi pekerti seseorang dicerminkan oleh ayatayat di atas, karena itu ketika istri nabi SAW. Aisyah RA. ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. beliau menjawab “Akhlak beliau adalah Al-Qur'an, lalu Aisyah RA. Membaca “Qad ahaha al-mukminun sampai Walladzina hum ala shalawatihim yuhatizhun”. (HR. Ahmad dan Nasa’i melalui Yazid ibn Babanus).
3. Pendapat Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya al-Maraghi Menurutnya orang mu’min yang beruntung ialah yang memiliki tujuh sifat yang baik sebagaimana disebutkan dalam ayat dibawah ini. Ayat 1 Pasti beruntung dan berbahagia orang-orang yang membenarkan Allah, para Rasul-Nya dan hari akhir, sifat pertama menurutnya adalah iman. Ayat 2 Sifat kedua adalah khusyu’ dalam mengerjakan shalat. Orang yang khusyu’ adalah yang menghinakan dan menundukkan diri kepada Allah serta takut kepada azab-Nya. Hakim meriwayatkan, bahwa Nabi SAW. pernah mengerjakan shalat sambil mengangkat pandangan matanya ke langit. Setelah ayat ini diturunkan beliau menyarankan pandangannya ke tempat sujudnya, khusyu’ dalam shalat adalah wajib karena beberapa hal :
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 9, hlm. 145-163.
42
a. Untuk dapat menghayati bacaan, sedangkan penghayatan tidak akan tercapai tanpa mengetahui makna bacaan, yakni agar seseorang mengetahui berbagai rahasianya yang menakjubkan dan hikmah serta hukumnya yang indah. b. Untuk mengingat Allah dan takut kepada ancaman-Nya. Sebagaimana firman-Nya. Dirikanlah shalat untuk mengingatku (QS. Thaha, 20 : 14). c. Sesungguhnya orang yang sedang mengerjakan shalat itu sedang bermunajat kepada Tuhannya, oleh karena itu orang-orang mengatakan “shalat tanpa kekhusyu’an bagaikan jasad tanpa roh”, tetapi jumhur ulama mengatakan khusyu’ bukan syarat untuk keluar dari ikatan taklit dan pelaksanaan kewajiban tetapi syarat untuk tercapainya pahala dan keridhaan Allah. Ayat 3 Sifat ketiga yaitu orang-orang yang dari segala hal yang tidak berguna bagi mereka dan dari segala perkataan yang seharusnya ditinggalkan seperti dusta, bersenda gurau dan mencaci. Karena mereka mempunyai kesungguhan yang menyibukkan mereka, menurutnya khusyu’ juga harus ditunjukkan diluar shalat dengan menunjukkan perhatiannya kepada hal yang sungguh-sungguh dan amal yang shaleh. Ayat 4 Sifat keempat yaitu orang yang membersihkan dan mensucikan jiwanya dengan menunaikan zakat yang diwajibkan kepada fakir dan miskin sebagaimana firman Allah.
43
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. AsySyam 91 : 9). Ayat 5-6
Sifat kelima ialah orang-orang yang memelihara kemaluannya dalam segala keadaan kecuali keadaan suami-istri atau menggauli budak wanita yang dimiliki karena dalam keadaan itu mereka tidak tercela. Maksud disifatinya mereka dengan sifat ini ialah untuk memuji bahwa mereka benar-benar mensucikan diri dan berpaling dari syahwat. Ayat 7 Berang siapa mencari selain dari empat wanita merdeka dan dari budak wanita, berapapun yang dia kehendaki, maka mereka itu adalah orang-orang yang sangat dhalim dan melanggar ketentuan Allah. Ayat 8 Sifat keenam yaitu orang yang apabila diserahi amanat maka dia tidak berkhianat, tetapi menyampaikan amanat itu kepada orang yang berhak menerimanya dan apabila berjanji atau mengadakan perikatan, maka memenuhi janji itu. Mereka memelihara kepercayaan yang diserahkan kepada mereka dan janji yang mereka adakan baik dari Tuhan maupun hamba, seperti kewajiban syar’i harta titipan dan perikatan lain yang mereka adakan bersama manusia. Ayat 9
44
Sifat yang ketujuh yaitu orang-orang yang rajin mengerjakan shalat secara sempurna pada waktu-waktu yang telah digariskan oleh agama. Allah telah mengawali sifat-sifat terpuji ini dengan shalat dan menutupnya dengan shalat pula. Hal ini menunjukkan betapa besar keutamaan dan kebaikan shalat itu. Ayat 10-11 Orang-orang mukmin yang memiliki sifat-sifat luhur itu patut menduduki tingkat teratas dari surga, sebagai balasan bagi mereka karena telah menghiasi diri dengan akhlak dan adab yang luhur dan mereka hidup kekal di dalamnya untuk selama-lamanya tidak keluar dari padanya tidak pula mati.12
4. Pendapat Imam Fahruddin ar-Razi dalam Tafsir Al-Fahrur-Razi Imam Ar-Razi juga membagi orang-orang beriman yang khusus dengan tujuh sifat yang akan disebutkan dibawah ini : Ayat 1 Sifat Pertama Sifat pertama bagi orang yang pasti beruntung adalah Iman Ayat 2 Sifat Kedua Menurut Imam Ar-Razi ulama dalam menyikapi masalah khusus terjadi perbedaan pendapat. Di satu sisi khusyu’ berkaitan dengan masalah hati seperti takut (akan siksa Allah) dan pengharapan. Sedangkan sisi yang lain mengartikannya khusyu’ berkaitan dengan anggota badan yang bersifat lahiriah. Seperti tenang dan tidak banyak menolah-noleh. Namun menurut imam Ar-Rozi pendapat yang utama adalah yang menggabungkan keduanya. Orang yang khusyu’ hatinya senantiasa tunduk dan merasa hina (Tawadhu’) dihadapan yang 12
Ahmad Mustata Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghy, Terj. Hery Noer Ali dkk., (Semarang: Toha Putra, 1989), Juz. XVIII, hlm. 1-8.
45
disembah sedangkan anggota badannya tenang matanya terarah pada tempat sujudnya dan tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri. Ayat 3 Sifat Ketiga Menurutnya laghw adalah sesuatu perkataan yang tidak berguna atau berfaedah baik itu yang bersifat haram, makruh, ataupun mubah. Berdusta dan maksiat lisan termasuk lagw yang diharamkan. Sedangkan perkataan yang tidak ada faedahnya atau memberi manfaat termasuk lagw yang mubah. Menurut beliau khusyu’ dalam shalat harus diikuti dengan berpaling dari hal-hal yang tidak berguna. Ayat ke 4 Sifat Keempat Yaitu orang-orang yang menunaikan atau menunaikan zakat. Zakat dalam hal ini mempunyai dua makna. Zakat sering diartikan bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan yang bertujuan untuk mensucikan harta dari dosa. Sedangkan menurut ahli kasyaf zakat juga diartikan sebagai langkah untuk mensucikan jiwa. Ayat 5-7 Sifat Kelima
Yaitu Menjaga kemaluan dari segala tingkah laku yang di haramkan kecuali kondisi dengan istri atau budak. Ayat ini juga menunjukkan diharamkannya nikah mut’ah. Apabila melanggar atau melampaui batas dari itu semua maka termasuk orang-orang yang melampaui batas. Ayat 8 Sifat Keenam
46
Yaitu orang-orang yang mampu menjaga amanah dan janji-janji-Nya. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan atau dipercayakan kepada pihak lain untuk dijaga dan dipelihara. Amanah yang harus dipikul oleh manusia adalah amanah dari Allah maupun dari orang lain. Ibadah-ibadah yang disyariatkan kepada manusia merupakan amanah yang diberikan Allah kepada manusia. Orang yang dapat menjaga amanah akan menjaga dan memberi perhatian khusus terhadap kepercayaan tersebut. Seperti halnya penggembala yang memberi perhatian pada gembalaannya. Amanah sendiri merupakan sendi-sendi keimanan dalam agama dan harga diri seseorang Ayat 9 Sifat Ketujuh Yaitu orang-orang yang memelihara shalatnya. Allah menyebut shalat untuk yang kedua kalinya setelah ayat yang kedua. Pada ayat yang kedua Allah menekankan tentang kekhusyukan dan pada ayat ini tentang pemeliharaan. Kekhusyukan berhubungan dengan sifat dari orang yang mengerjakan shalat terutama yang berhubungan dengan hati. Sedangkan pemeliharaan shalat berhubungan dengan rukun, syarat-syarat dan juga waktu pelaksanaan shalat. Ayat 10-11 Itulah balasan bagi orang-orang yang mempunyai sifat yang telah disebutkan di atas. Mereka akan kekal di dalam surga firdaus untuk selamalamanya.13
13
Muhammad Ar-Razi Fahruddin, Tafsir Fahr Ar-Razi, (t.t.: Darul Fikri, t.th.), hlm. 77-
82.
47
E. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 Sebagaimana mengutip dari para mufasir di atas berikut akan ditunjukkan beberapa nilai-nilai pendidikan dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11 tersebut. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11
M. Quraish Shihab 1. Tawadhu’ dan tidak sombong 2. Bersungguhsungguh terhadap suatu urusan 3. Pengendalian syahwat 4. Menepati janji dan dapat dipercaya 5. Penyucian jiwa dan kepedulian sosial 6. Disiplin
Sayyid Qutb
Imam Ar-Razi Musthafa Al-Maraghi
1. Tawadhu’ 1. 2. Penjagaan 2. lisan dan perbuatan 3. 3. Pengendalian syahwat 4. 4. Tanggung jawab 5. terhadap iman 5. Penyucian 6. jiwa 6. Kedisiplinan
Keyakinan 1. Merendahkan 2. diri 3. Penjagaan 4. lisan 5. Penyucian jiwa 6. Pengendalian syahwat 7. Menjaga amanah dan menepati janji 7. Kedisiplinan
Keyakinan Merendahkan diri Penjagaan lisan Penyucian jiwa Pengendalian syahwat Menjaga amanah dan menepati janji Kedisiplinan
Dari tabel yang penulis kemukakan tersebut, hampir seluruh mufassir sama dalam menafsirkan ayat 1-11 surat Al-Mu’minun. Quraish Shihab yang merupakan mufasir kontemporer lebih mengkorelasikan beberapa pendapat mufassir dengan kondisi dan gejala-gejala sosial yang terjadi sekarang ini. Sementara Sayyid Qutb menghubungkan fitrah manusia dengan tanggung jawab keimanannya, mempunyai kewajiban menyucikan dirinya sendiri. Sehingga diharapkan dari kesalehan pribadi akan teraplikasi dalam kesalehan sosial yang pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang islami. Imam ar Razi menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan membandingkan satu ayat dengan ayat lainnya. Dan juga banyak mengambil hadits-hadits Rasulullah untuk memperkuat dan menambah dalil-dalil yang sudah ada. Sedangkan Musthafa Al-Maraghi juga menguatkan tafsirnya dengan hadits-hadits Rasulullah yang relevan dengan tema yang ada.
48
BAB IV ANALISIS TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MU’MINUN AYAT 1-11
A. Urgensi Pendidikan Akhlak Di zaman modern ini, banyak ditemukan berbagai penyimpanganpenyimpangan moral yang dilakukan oleh manusia. Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun hamper diseluruh belahan dunia. Perkembangan teknologi dan informasi membuat interaksi budaya antar wilayah dengan wilayah lainnya terjadi begitu cepat. Tidak terkecuali permasalahan moral atau akhlak manusia. Agama islam sangat menekankan pentingnya moral individu maupun moral suatu masyarakat. Kedudukan seseorang dalam masyarakat menurut Dr. Miqdad Yaljan bagaikan batu bata. Sedangkan bangunan masyarakat merupakan susunan batu bata itu. Jika manusia ingin menyusun masyarakat yang baik, maka harus menyusun dari individu-individu yang baik pula. Begitu pula tidak mungkin seorang individu dapat hidup bahagia selama ia hanya baik secara pribadi saja sementara masyarakat sekitarnya terjadi kerusakan moral.1 Di Indonesia saja, yang terjadi di beberapa daerah akhir-akhir ini, sering terjadi tawuran pemuda antar kampung atau antar desa. Bahkan pelajar dan mahasiswa pun kadang juga sering tawuran. Belum lagi hal-hal sepele pada anakanak sekolah yang kadang-kadang tidak sopan terhadap guru dan orang tuanya. Kebiasaan bicara dengan menggunakan bahasa kasar dan jorok juga menjadi fenomena moral anak saat ini. Hal diatas cukup member gambaran betapa bangsa ini generasi-generasi penerusnya juga mengalami dekadensi moral. Dari sinilah pentingnya pendidikan akhlak tidak hanya bagi anak-anak, remaja maupun pemuda, namun juga semua orang tanpa terkecuali. Realitas yang terjadi di masyarakat kadang berbanding terbalik dengan ajaran-ajaran agama. Agama islam banyak mengajarkan nilai-nilai akhlak al karimah pada umatnya. Islam mengajak dan menekankan pentingnya sifat 1
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan yang Terlupakan), (Bandung: Pustaka Fahima, 2001), hlm. 72.
49
amanah, namun yang terjadi di dalam masyarakat kadang tumbuh subur perilakuperilaku khiyanah yang tidak saja merugikan segelintir orang namun mengorbankan kepentingan umum. Menepati janji, tolong menolong terhadap sesama, jujur, berbicara dan bergaul baik terhadap sesame manusia, merupakan nilai-nilai akhlak al karimah yang diajarkan islam. Maka pendidikan baik formal maupun informal memiliki peranan penting untuk mengajak dan mendidik materi tentang akhlak kepada peserta didiknya. Menciptakan lingkungan yang baik akan mempengaruhi kebiasaan anak dalam berperilaku. Sangat ironis ketika anak disuruh jujur sementara di lingkungan sekitarnya terjadi kecurangan-kecurangan yang dibiarkan. Anak didik tidak akan mendengarkan bahkan berpaling ketika dituntut
berlaku disiplin jika disekitarnya
mereka masih
menyaksikan
keterlambatan guru ataupun karyawan. Anak didik juga akan acuh ketika diperintah menjaga kebersihan, sementara dalam keseharian masih menyaksikan kotoran-kotoran yang menumpuk di sekolah. Maka sangatlah penting suri teladan guru dalam mengarahkan dan membimbing anak didiknya. Lewat pendidikan baik formal maupun informal itulah pendidikan akhlak yang bersumber dari nilai-nilai luhur ajaran Islam akan tersampaikan. Sehingga pada akhirnya akan memunculkan dan melahirkan pribadi-pribadi yang berbudi pekerti luhur bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 Untuk mengupas makna yang lebih komprehensif dari beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak di atas diperlukan penjelasan lebih lanjut. Hal itu penting agar penjelasan dari para mufassir tersebut mempunyai dampak positif dalam kehidupan sehari-hari. Berikut penjelasan dari nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Mu‟minun ayat 1-11. 1. Tawadhu’ (merendahkan diri) Tawadhu’ sering diartikan dengan merendahkan diri atau andap asor. Semua mufassir di atas mengaitkan khusyu‟ dengan kondisi hati seseorang. Hati yang khusyu‟ senantiasa memiliki rasa takut akan azab Allah SWT (khauf) dan
50
disertai ketundukan mata ke tempat sujud. Syaikh Musthafa Masyhur mengemukakan sebagian sebab dan tujuan yang dapat memberi kebahagiaan dalam kehidupan hati 1. Sesungguhnya yang terpenting adalah kuatnya motivasi hati kita yang mendorong pada “kehidupan di dalam shalat”, yang juga merupakan kehendak kita untuk mengagungkan Allah dengan penuh perasaan, kita bersimpuh di bawah kehebatan kekuasaan-Nya. Yang demikian ini menjadikan perasaan kita menyadari akan ampunan dan rahmat-Nya. Berdasarkan kriteria pemahaman tersebut, diharapkan bagi setiap mukmin yang melaksanakan shalat hatinya turut hadir dan mengerahkan segala perasaannya, ingatannya, segala isi hatinya tertuju pada Allah SWT. 2. Hendaknya sebelum mengucapkan takbiratul ihram, pelaku shalat menyadari bahwa Allah itu mengawasi hatinya dan mengetahui segala rahasia di hati dan pikirannya, maka tidaklah sah seseorang itu memulai shalatnya dengan doadoa palsu. 3. Pelaku
shalat
hendaknya
selalu
mengingat
kriteria
tersebut
yang
diumpamakan sebagai bagian ibrah dan Allah-lah sebagai puncak keteladanan yang mempunyai sifat maha tinggi. 4. Berusaha mencegah beralihnya perhatian, pendengaran, penglihatan, atau yang lainnya ketika hendak melaksanakan shalat. Yaitu dengan memilih tempat yang tenang, jauh dari keramaian, kegaduhan dan kekacauan. 5. Yang termasuk membantu dalam shalat adalah berusaha untuk memahami dan menekuni kandungan makna surah Al-Qur'an yang dibaca atau yang didengar ketika sedang shalat. 6. Pelaku shalat harus dalam keadaan sehat akal dan penuh perasaan. 7. Setiap pelaksana shalat haruslah mengetahui bahwa setan itu selalu berusaha untuk mempengaruhinya agar di dalam melakukan shalat seseorang tidak khusyuk dan hatinya tidak condong kepada Allah. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi pelaku shalat agar selalu giat dan menata hatinya agar tidak terbujuk oleh godaan setan.
51
8. Setiap pelaku shalat harus dapat mengutamakan kepentingan akhiratnya daripada kepentingan dunianya. Maka ia mengisi aktivitasnya, sesuai dengan ketentuan shalat dengan mengesampingkan kepentingan lain.2 Dengan demikian, merendahkan hati diiringi dengan ketenangan seluruh anggota badan juga merupakan ciri dari hati yang khusyu‟. Dari situlah timbul rasa butuh dari seorang hamba kepada khalik-Nya (faqir). Sang hamba merasa kecil di hadapan Tuhannya. Yang paling besar, yang paling sempurna, yang paling kaya dan yang serba paling adalah Allah SWT. Di sinilah timbul sifat tawadhu’ dalam diri manusia. Tawadhu’ merupakan kebalikan dari sifat sombong dan membanggakan diri. Dari sombong dan takabur itulah setan dilaknat Allah SWT dan menjadi musuh Allah sampai hari pembalasan kelak. Oleh karena itu, Islam sangat mencela sifat sombong dan sebaliknya memuji sifat tawadhu’. Andap asor tidak hanya di waktu shalat saja. Namun juga terpantul dalam kehidupan nyata. Kekhusyu‟an inilah yang melahirkan akhlaqul karimah.3 Dari akhlak yang baik itu akan melahirkan pribadi-pribadi yang berkepribadian dan mempunyai karakter yang jelas. Pada akhirnya hal itu akan bermanfaat, tidak hanya bagi individu tapi masyarakat secara luas pun akan merasakannya.
2. Bersungguh-sungguh dalam setiap urusan Setiap muslim atau orang yang beriman setelah melakukan shalat yang khusyu‟ diharapkan kekhusyu‟an itu terlaksana ketika di luar shalat. Memalingkan bahkan mengesampingkan dari perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat dan berfaedah. Jika hal itu terlaksana tentunya akan berpengaruh pada etos kerja kaum muslimin dalam berusaha meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun menurut Quraish Shihab hal itu janganlah menjadi penyebab bahwa orang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal senyum atau canda. Menurut Nabi bercanda merupakan hal yang manusiawi, karena jika terus-menerus dalam keseriusan dan tanpa gurauan manusia akan seperti malaikat. Kesimpulan yang 2
Syaikh Musthafa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40-43. 3 M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 142.
52
diuraikan Quraish Shihab dari hadits Nabi bahwa ada waktu di mana seseorang harus serius, dan ada juga waktunya bergurau dan santai.4 Bersungguh-sungguh pada akhirnya adalah fokus/konsentrasi terhadap sesuatu yang memberi manfaat dan faedah baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, secara tidak berlebihan.
3. Penyucian diri dan kepedulian sosial Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya al-Maraghi mengatakan bahwa salah ciri orang yang membersihkan dan mensucikan dirinya adalah dengan mengeluarkan zakat kepada fakir dan miskin.5 Ibadah dalam Islam hampir semuanya mengandung dua dimensi, yaitu dimensi vertikal (habl minallah) dan juga dimensi horizontal (habl minannas). Termasuk dalam hal ini adalah zakat. Zakat merupakan sarana penyucian jiwa/hati dari sifat bathil, sifat cinta yang dominan terhadap benda, dan juga egoisme (mementingkan diri sendiri) terutama dalam hal harta benda. Jika sifat-sifat tercela yang ada dalam hati tersebut sedikit demi sedikit dapat terkikis akan bersihlah hati sesuatu. Dengan hati yang bersih seseorang akan semakin dekat dengan Tuhannya. Inilah esensi penyucian jiwa. Begitu juga harta yang ditasharufkan kepada mustahiq merupakan bentuk kepedulian sosial dari muzaki kepada penerima zakat. Dari sinilah Islam mencoba mengurangi angka kemiskinan, menolong yang lemah, dan berperan dalam mengatasi kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi.
4. Pengendalian syahwat faraj (keinginan seksual) Salah satu yang perlu diwaspadai dalam diri manusia itu sendiri adalah nafsu. Seseorang yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya akan merasakan penderitaan baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu nafsu yang menonjol dalam diri manusia adalah syahwat faraj (keinginan seksual). Sebagaimana
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 153. 5
Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Juz XVIII, terj. Hery Noer Aly, dkk., (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 6.
53
dikatakan Ikhrom AM, mengutip dari Ibrahim M. al-Jamal bahwa pada umumnya manusia memiliki keinginan seksual karena di dalamnya terdapat dua manfaat:6 a. Manusia akan menemukan kenikmatan dari persetubuhan itu sendiri dan akan mengqiyaskan
dengan
kenikmatan-kenikmatan
akhirat
(yang
belum
ditemukan). b. Menyebabkan kelangsungan keturunan dan keabadian wujud manusia. Akan tetapi, syahwat ini akan menimbulkan bahaya yang dapat mengancam keselamatan agama dan dunia jika tidak dibatasi, dikekang, dan dikembalikan kepada batas kewajaran. Oleh karena sebagaimana Ikhrom AM mengutip dari Ibrahim M. al-Jamal bahwa sesungguhnya kesenangan nafsu yang paling besar adalah kesenangan nafsu terhadap wanita.7 Nafsu inilah yang kadang mengajak manusia menyalurkan keinginan seksualnya walaupun tidak lewat jalan yang dihalalkan agama (nikah). Terjadilah free sex, perzinaan, perselingkuhan, dan sebagainya, yang tentunya akan merusak tatanan moral baik agama maupun dalam masyarakat. Di sinilah pentingnya mengendalikan syahwat faraj (keinginan seksual) secara berlebihan lebih-lebih lewat jalan yang diharamkan agama.
5. Tanggung jawab terhadap janji dan amanah Sebagaimana dikatakan Quraish Shihab bahwa amanah menyangkut empat aspek. Aspek-aspek tersebut adalah amanah antara seseorang dengan Allah, seseorang dengan lingkungan, dan seseorang dengan dirinya sendiri. Dari situlah betapa berat amanah yang harus dipikul oleh manusia. Bahwa seluruh anggota badannya saja adalah amanah dari Allah SWT. Ibadah-ibadah syariat yang diperintahkan oleh agama juga merupakan amanah. Jadi amanah cakupannya sangat luas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Allah membalas tugas berat tersebut dengan kebahagiaan dan surga-Nya. Begitu juga dengan janji. Seseorang sering mengucapkan janji dan bahkan mengumbar janji kepada orang lain yang 6
Ikhrom AM, Persinggungan antara Psikopatologi dan Kesehatan Mental Sufistik, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm. 138. 7
Ikhrom AM, Persinggungan…, hlm. 138.
54
kadang janji itu boleh jadi tidak proporsional. Akibatnya janji-janji tersebut sering terabaikan bahkan tidak ditepati. Hal ini kadang oleh sebagian umat Islam dianggap biasa bahkan seperti angin lalu. Padahal orang yang tidak menepati janji termasuk dalam golongan orang munafik. Sebaliknya orang-orang yang menepati janji-janjinya dan melaksanakan, menjaga amanahnya dengan baik termasuk orang-orang yang imannya mantap. C. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Mu’minun Ayat 1-11 terhadap Dinamika Moral Masyarakat Modern 1. Nilai kekhusyu’an dan pemeliharaan shalat Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kekhusyu‟an dalam shalat akan membuat seseorang yang melakukannya tawadhu‟. Hal itu dikarenakan shalat yang dilakukan lima kali dalam sehari merupakan rutinitas sekaligus ibadah. Dari rutinitas itulah lahir suatu kebiasaan. Kebiasaan akan membuat pelakunya terbiasa walau dalam lingkungan yang berbeda. Di situlah diharapkan seorang yang khusyu‟ dalam shalatnya memancarkan kekhusyu‟an itu dalam kehidupan nyata. Tawadhu‟ sendiri diperintahkan Allah dalam firman-Nya dalam surah Al-Hijr ayat 88: .... Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS. AlHijr: 88)8 Dari ayat di atas jelas bahwa rendah diri sangatlah penting dalam agama. Lawan dari tawadhu‟ sendiri adalah takabur atau sombong. Sombong jelas-jelas merupakan sifat yang dicela oleh Allah SWT. Sombonglah yang menyebabkan iblis laknatullah diusir oleh Allah dari surga. Oleh karena itu, Allah dan RasulNya sangat melarang sifat sombong ini dalam diri manusia. Bahkan Allah mengancam akan memasukkan ke dalam neraka jika dalam hati seseorang terdapat kesombongan walau sebiji dzarrah. Masyarakat pun dewasa ini berlomba-lomba menumpuk materi sebanyak mungkin. Anak-anak sekolah pun 8
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2002), hlm. 267.
55
semakin didorong untuk memperoleh nilai bagus agar mempunyai masa depan yang cerah. Hal itu tidaklah salah, namun seringkali dunia pendidikan mengesampingkan akhlak dan karakter. Akibatnya, pola pikir anak menjadi materialistis. Ketika anak tersebut dewasa dan memperoleh materi yang diinginkannya kadang lupa dengan Tuhannya. Dari sinilah timbul sifat sombong dalam usaha ataupun harta benda, dengan mengesampingkan „peran‟ dari Tuhan itu sendiri. Mengajarkan shalat khusyu‟ atau nilai-nilai yang terkandung dalam shalat sangatlah penting dalam dunia pendidikan Islam. Hal itu dimaksudkan agar ajaran Islam tidak sebatas norma dan teori semata. Juga ibadah-ibadah dalam Islam tidak hanya ritual saja. Namun lebih dari itu mampu memberi manfaat bagi pemeluknya. Kekhusyu‟an tidak hanya membuat seseorang terbiasa rendah hati namun juga hatinya tenang, tidak ambisius, dan tidak membanggakan amal perbuatannya. Memelihara shalat baik berhubungan dengan waktu, syarat, rukun, maupun sah tidaknya shalat juga penting untuk diperhatikan. Dengan memperhatikan waktu shalat akan membuat umat Islam menghargai pentingnya waktu. Dari menghargai waktu akan lahirlah kedisiplinan. Dari nilai inilah seorang pendidik, muballigh dan sebagainya diharapkan menanamkan pentingnya kedisiplinan dalam berbagai aspek. Hal itu penting demi menunjang kemampuan suatu bangsa. Kekhusyu‟an dan pemeliharaan dalam shalat akan berdampak positif jika mau menggali dan merenunginya. Memberikan kebahagiaan lahir maupun batin, dunia maupun akhirat bagi yang melaksanakannya.
2. Bersungguh-sungguh dalam setiap urusan Seorang mukmin yang mantap imannya akan memfokuskan dirinya pada hal-hal yang memberikan manfaat, baik untuk dirinya maupun masyarakat. Untuk hal-hal yang bersifat duniawi maupun yang ukhrawi. Banyak sekali hal-hal di dunia ini yang tidak begitu banyak manfaat dan faedah yang didapat seseorang. Misalnya ngobrol berjam-jam dengan obrolan yang tidak jelas tujuannya. Menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak menjadi kebutuhan dan sebagainya. Menurut para mufasir di atas hal itu boleh-boleh saja tetapi jika hal itu diajarkan pada peserta didik tentunya akan memberikan dampak yang tidak
56
baik bagi mereka. Anak akan bersikap konsumtif, boros dalam membelanjakan uang, dan tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Padahal banyak sekali permasalahan dalam masyarakat maupun pendidikan yang perlu pemecahan. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan
keterbelakangan merupakan
masalah-masalah yang membutuhkan perhatian bersama. Di sinilah perlunya seseorang mengesampingkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat yang belum diperhatikan sampai saat ini. Akhirnya, fokus dan bersungguh-sungguh dalam setiap pekerjaan dan urusan akan mendatangkan manfaat bagi seseorang maupun masyarakat. Itulah esensi kebahagiaan.
3. Penyucian jiwa dan kepedulian sosial Sebagaimana dibahas dalam tafsir di atas, zakat diartikan dengan suci dan berkembang. Karena menafkahkan harta membuat harta tersebut menjadi suci. Dalam setiap harta yang kita peroleh khususnya ketika berlebih, ada hak bagi mereka yang membutuhkan. Selain kesucian dalam harta juga melahirkan kesucian jiwa bagi yang mengeluarkan zakat. Sifat bakhil, mementingkan diri sendiri (egois), merupakan sifat-sifat yang dicela oleh agama. Jika sifat-sifat tersebut dapat dikurangi bahkan dihilangkan tentunya akan membersihkan hati seseorang dari sifat-sifat tercela. Timbullah sifat-sifat terpuji dalam hati seperti dermawan, peduli terhadap orang lain, dan tidak berusaha untuk menang sendiri. Allah SWT menjamin kebahagiaan bagi orang-orang yang berusaha menyucikan jiwanya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-A‟la ayat 14: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (QS. Al-A‟la: 14)9 Kesucian jiwa akan membuat seseorang dekat dengan Tuhannya. Inilah kebahagiaan tersendiri bagi orang-orang yang berusaha menyucikan jiwanya. Dari 9
Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, hlm. 592.
57
penyaluran harta itulah tercermin kepedulian sosial dari muzakki terhadap sesama khususnya yang membutuhkan. Banyak para pemikir dan intelektual mengusulkan dikelolanya zakat secara profesional. Hal itu dikarenakan besarnya potensi zakat dan manfaat yang ditimbulkannya. Penelitian ini tentunya tidaklah untuk membahas secara mendetail tentang zakat, namun sebatas nilai-nilai luhur di balik ibadah zakat itu sendiri. Zakat yang dikelola dengan baik, tentunya akan membantu perekonomian masyarakat bahkan suatu bangsa. Di Indonesia permasalahan kemiskinan, banyaknya angka putus sekolah, bayi kekurangan gizi dan sebagainya tentunya membutuhkan perhatian khusus. Kebanyakan permasalahan-permasalahan di atas disebabkan permasalahan ekonomi. Di sinilah sebetulnya peran zakat. Zakat tidak akan berjalan jika tidak ada yang mengeluarkan zakat. Hanya orang-orang yang peduli dan berusaha menyucikan jiwa dan hartanya yang sadar tentang pentingnya zakat. Penting kiranya dalam pendidikan lewat nilai yang diambil dari zakat tersebut untuk menumbuhkan kepedulian sosial dalam diri anak didik. Entah itu lewat infak, shadaqah maupun hal lainnya. Guru sendirilah yang mengetahui bagaimana metode yang dapat diterapkan. Apakah dengan menasehati, memberi contoh (uswatun hasanah) atau lewat kisah-kisah masa lalu. Inilah pentingnya zakat selain mengandung dimensi vertikal (habl min Allah) dimensi horizontalnya pun juga sangat berpengaruh.
4. Syahwat faraj (keinginan seksual) Dewasa ini sering terjadi berita-berita baik lewat media elektronik maupun media cetak yang memberitakan tentang perzinaan maupun perselingkuhan. Tidak kalah juga masalah pemerkosaan dan seks bebas. Itulah fenomena yang terjadi pada masyarakat sekarang ini. Berita-berita tersebut merupakan penyaluran keinginan seksual yang diharamkan agama. Allah hanya memperbolehkan penyaluran seksual lewat pernikahan. Hal itu bukannya tanpa alasan, mengingat hal-hal di atas meruntuhkan sendi-sendi moral agama maupun bangsa. Perzinaan membuat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Perselingkuhan menyebabkan berantakannya suatu rumah tangga bahkan sering terjadi
58
pembunuhan di antara suami-istri. Seks bebas tidak hanya menimbulkan penyesalan bagi pelakunya tetapi juga penyakit-penyakit menular yang berbahaya. Lewat pernikahan seseorang akan terhindar dari dampak negatif yang diakibatkan penyaluran seksual secara terlarang. Penting kiranya membentengi generasi muda dan peserta didik tentang bahaya dari penyaluran seksual secara terlarang. Eksploitasi seksual yang dipertontonkan secara vulgar juga perlu diwaspadai. Akhirnya dengan mengendalikan syahwat seksual, dan menyalurkannya secara benar, yang akan menemukan kebahagiaan.
5. Tanggung jawab terhadap amanah dan janji Amanah yang diterangkan di atas mencakup amanah antara seseorang dengan Allah, antara seseorang dengan orang lain, antara seseorang dengan lingkungan dan antara seseorang dengan dirinya sendiri. Ketika seorang pejabat menyalahgunakan jabatannya berarti pejabat itu tidak dapat menjaga amanah yang dipercayakan. Ketika seseorang tidak menjalankan ibadah dengan baik berarti dia tidak amanah terhadap Allah. Ketika oknum pengusaha-pengusaha menggunduli hutan yang menyebabkan banjir berarti mereka juga tidak dapat menjaga amanah alam yang diberikan Tuhan kepada manusia. Itulah contoh-contoh dari amanahamanah tersebut. Jika memperhatikan empat aspek di atas amanah bukanlah hal yang ringan. Karena dalam raga dan tubuh seseorang itu sendiri adalah bagian dari amanah. Menggunakan anggota-anggota tubuh untuk sesuatu yang tidak benar bisa dikatakan tidak amanah terhadap diri sendiri. Maka dari itu mengajarkan pentingnya amanah dan janji pada peserta didik itu mengajarkan pentingnya amanah dan janji pada peserta didik dan umat Islam sangatlah penting. Dari masing-masing individu, orang lain, dan lingkungan merupakan amanah yang perlu diperhatikan. Hal itu semua akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat kelak. Maka dari itu melaksanakan dan menjaga amanah adalah kebahagiaan tersendiri bagi pelakunya. Hal itu tidak lain karena amanah dan janji adalah tugas yang akan dipertanggungjawabkan.
59
BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Dari penelitian yang penulis lakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an khususnya surat Al-Mu’minun ayat 1-11 dapat diuraikan beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya. Di antaranya: a. Kekhusyu’an dalam shalat merupakan bukti akhlak seorang hamba kepada tuhannya. Dalam kekhusyu’an terkandung unsur kerendahan hati dan ketawadhu’an. Dari dua unsur itulah nilai-nilai akhlak yang bersifat transenden ditransformasikan dalam kehidupan nyata. b. Bersungguh-sungguh terhadap suatu urusan dengan menjauhi atau meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna. c. Menyucikan jiwa dengan melatih mengeluarkan zakat. Dengan berzakat jiwa seseorang sedikit demi sedikit akan terhindar dari sifat bakhil. Sehingga dalam hal ini zakat tidak hanya berdimensi ibadah namun juga berdimensi sosial. d. Menjaga syahwat kemaluan dari hal-hal yang dilarang agama seperti berzina dan kelainan seksual lainnya. Karena hal itu akan berdampak positif bagi seseorang namun jika dilanggar banyak sekali dampak negatif yang akan dialami seseorang. e. Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan oleh Allah maupun manusia. f. Menepati janji terhadap sesuatu yang telah diucapkan. Menurut para mufassir nilai-nilai akhlak tersebut merupakan akhlak rasulullah yang patut diteladani. Sehingga memahami dan melakukan kajian kembali terhadap ayat-ayat di atas penting untuk menuju akhlak muslim ideal. 2. Nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut tentu saja relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang karakter moralnya cenderung negatif, di mana saling caci-memaki, saling bermusuhan dan lunturnya kepedulian sosial yang mulai menghinggapi masyarakat dewasa ini. Juga kenakalan remaja, free sex, perselingkuhan, perzinaan, sudah menjadi rahasia umum. Juga janji-janji baik yang dilakukan oleh individu umat Islam ataupun kelompok umat Islam sering
60
tidak proporsional. Sehingga janji-janji tersebut sering tidak ditepati bahkan diabaikan. Berpijak dari fenomena itu semua sangatlah penting nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat Al-Mu’minun ayat 1-11 untuk kembali direnungkan bahkan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. B. Saran 1. Untuk lingkungan masyarakat penting kiranya kembali mendalami nilai-nilai akhlak baik itu yang bersumber dari ajaran agama maupun kearifan lokal. Hal itu penting agar norma-norma luhur itu dapat menjadi kepribadian dalam masyarakat khususnya dan juga benteng dalam menanggulangi kebudayaankebudayaan asing. 2. Untuk dunia pendidikan tentunya penting mentransfer nilai-nilai pendidikan akhlak kepada anak didiknya. Terutama pengajaran tentang akhlak, tanggung jawab, dan juga memberi pengetahuan tentang perkembangan masyarakat dewasa ini dengan memberi solusi dan benteng moral bagi mereka. C. Penutup Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada segenap makhluk manusia. maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayah-Nya pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dan kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepura-puraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini. Harapan yang tidak terlalu jauh adalah manakala tulisan ini memiliki nilai manfaat dan nilai tambahan memperluas berfikir para pembaca. Akhirnya disertai dengan ucapan terimakasih kepada pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan. Dan juga kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnva baik tenaga pikiran dan doa kepada sahabat-sahabat yang telah membantu dan mendorong penulis menyelesaikan penulisan skripsi kepada penulis dibalas oleh Allah SWT yang setimpal dan kita selalu dilindungi baik di kehidupan di dunia dan akhirat, jazakumulloh khoirul jaza. Amin.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, Jakarta: Amzah, 2007. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Paradigma
Humanisme
Teosentris,
Al-Farmawi, Abd. Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. al-Ghulayani, Musthafa, Idhah al-Nashiin, Beirut: Maktabah Asriyah, 1953. Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Al-Maraghi, Ahmad Mustata, Tafsir Al-Maraghy, Terj. Hery Noer Ali dkk., Semarang: Toha Putra, 1989, Juz. XVIII. al-Syaibany, Oemar al-Taomy, Falsafah Pendidikan Islam (terj), Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Arif Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang, t.t. An-Nahlawy, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Dahlan dan Sulaiman, Bandung: Diponegoro, 1992. Anwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Cet. I. Arief, Armai, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Taisiru Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibn Katsir, terj. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. As, Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Asy’ari, Musa, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta: LESFI, 2002.
Azizy, A. Qodry A., Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, Cet. II. Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Cet. III. Bekker, Anton, dan Ahmad Choris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990, Cet. I. Tim Penyusun, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV Alwaah, 1993. _______, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Huda, 2002. _______, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV As Syifa, 2001. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Djatnika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996. Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, Cet. 1. Fahruddin, Muhammad Ar-Razi, Tafsir Fahr Ar-Razi, t.t.: Darul Fikri, t.th. Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, Indonesia: Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2000. Hanbal, Imam Ahmad Ibn, Musnad Imam Ahmad, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th. Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia Al-Qur'an, Semarang: Lubuk Karya, 2001. Ikhrom AM, Persinggungan antara Psikopatologi dan Kesehatan Mental Sufistik, Semarang: Walisongo Press, 2009. Khalid, Amru, Berakhlak Seindah Rasulullah, Menuju Akhlak Seorang Mukmin Sejati, Semarang, Pustaka Nun, 2007. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1989. Masyhur, Syaikh Musthafa, Berjumpa Allah Lewat Shalat, terj. Abu Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
McDonal, Deferic J., Educational Psychology, San Fransisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, Cet. III. Munawwir, A. Warson, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: PP Al-Munawwir, 1989. Mustansyir, Rizal, dan Musnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 3. _______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004. Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media, 2003. Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an), terj. As’ad Yasin, dkk., Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Rahardjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992, Cet. 2. _______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 9. _______, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, 2002. Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006. Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
Tafsir, dkk., Moralitas Al-Qur'an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta: Gama Media, 2002. Toha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ulwan, Abdullah Nasih, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid II, Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, Bandung: Diponegoro, 1993. Yaljan, Miqdad, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan yang Terlupakan), Bandung: Pustaka Fahima, 2001. Yusuf, M. Zain, Akhlak/Tasawuf, Semarang: Nawa Kartika, 1995. Zahruddin A.R. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap
: M. Rosid Karomi
2. Tempat & Tgl. Lahir : Semarang, 10 Juni 1986 3. NIM
: 053111258
4. Alamat Rumah
: Kalisidi RT 01 RW 06 Ungaran Barat
HP
: 085 740 675 233
E-mail
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. MI Kalisidi 01 Ungaran Barat
lulus tahun 1999
b. SMP Negeri 24 Semarang
lulus tahun 2002
c. MA Futuhiyah 1 Mranggen Demak
lulus tahun 2005
d. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
angkatan 2005
2. Pendidikan Non-Formal a. Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen Demak
tahun 2002-2006
Semarang, 12 Desember 2011
M. Rosid Karomi NIM. 053111258