Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Konsorsium PETUAH (PerguruanTinggi untuk Indonesia Hijau) Pengetahuan Hijau Berbasis Kebutuhan dan Kearifan Lokal untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan (Green Knowledge with Basis of Local Needs and Wisdom to Support Sustainable Development)
TECHNICAL REVIEW CoE PLACE TR No. 6 – June 2016
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK AGROFORESTRY DAN PALIDUKULTUR PENDAHULUAN Kerusakan fungsi ekosistem gambut saat ini adalah akibat ekploitasi dan pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik lahan gambut. Perubahan hutan primer pada rawa gambut menjadi dominasi vegetasi pioneer memberikan pengaruh sangat besar terhadap iklim mikro pada bentang lahan gambut tersebut. Proses selanjutnya adalah terjadinya evapotranspirasi yang sangat tinggi dan berdampak pada menurunkan ketersediaan air dalam tanah. Penurunan muka air tanah pada lahan gambut juga sebagai akibat dari pembuatan saluran drainase untuk kepentingan tertantu. Kondisi demikian akan memacu kekeringan dan merubah sifat gambut menjadi kering tak balik. Dampak selanjutnya adalah potensi terjadinya kebakaran lahan gambut. Kebakaran lahan gambut di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran lahan gambut pada tahun 2015 adalah tergolong sangat besar dengan kerugian finansial mencapai ratusan triliun rupiah dan kerugian masyarakat berupa gangguan kesehatan, aktivitas dan pendidikan pada puluhan juta penduduk. Kondisi dapat dapat dicegah bilamana semua komponen bangsa dapat bersatu untuk menyelamatkan lahan gambut dengan satu tujuan pertumbuhan hijau. Beberapa masalah teknis terkait kerentanan kawasan budidaya lahan gambut terhadap kebakaran selama musim kemarau ditinjau dari aspek pemanfaatan untuk budidaya pertanian adalah: gambut mengering sehingga mudah sekali terbakar, lahan dibiarkan bera ditumbuhi gulma dan semak belukar sehingga mudah sekali terbakar, lahan ditanami secara
monokultur dengan tanaman pangan semusim, tanaman sawit atau tanaman akasia. Upaya dalam pertumbuhan hijau antara lain adalah dengan rehabilitasi dan pemulihan fungsi ekosistem gambut menuju kondisi alami, menjaga kubah gambut sebagai pengendali hidrologi pada satu kesatuan hidrologis gambut (KHG). Upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut bisa dilakukan melalui restorasi ekosistem gambut dan rehabilitasi ekosistem gambut. Restorasi ekosistem lahan gambut merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk menciptakan kondisi air tanah lebih baik (rewetting), dan disisi kegiatan rehabilitasi vegetasi pada lahan gambut dapat dilakukan. Rehabilitasi vegetasi di lahan gambut sebaiknya menggunakan jenis-jenis tanaman rawa endemic yang tidak memerlukan drainase (dikenal dengan sebutan paludiculture) dan sangat direkomendasikan untuk kegiatan- kegiatan di zona fungsi lindung gambut (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015) Kegiatan rehabilitasi di dalam zona fungsi budidaya (di luar fungsi lindung), direkomendasikan untuk menanam tanaman buah, tanaman pangan, HHBK termasuk getah, rotan, lebah madu serta tanaman yang menghasilkan kayu energi, serta bisa dikembangkan tanaman kayu alternatif sumber serat. Pola agroforestri juga direkomendasikan untuk kegiatan-kegiatan masyarakat yang tinggal di zona ini (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015) Kegiatan restorasi lahan dan hutan gambut dapat dilakukan melalalui penyelenggaraan teknik budidaya
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 1
POLICY BRIEF – NO. 1 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Conclusions and Recommendations
Rewetting atau kegiatan pembasahan merupakan kegiatan tahap awal restorasi gambut yang harus dilakukan pada lahan gambut terdegradasi. Kondisi lahan gambut yang telah basah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan kehutanan dengan konsep pembangunan hijau, atau restorasi menjadi hutan gambut. Paludikultur adalah menanami kawasan budidaya lahan gambut dengan vegetasi khas endemik lahan rawa gambut, selain untuk mendapatkan fungsi rehabilitasi juga memiliki nilai ekonomi. Penanaman tanaman di lahan gambut dapat dilakukan dengan sistem monokultur maupun polikultur. Pasa sistem monokultur, lahan hanya ditanami satu jenis tanama, sedangkan dengan sistem polikultur beragam jenis tanaman ditanam pada satu bidang lahan yang penanamannya terusun dan terencana dengan menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik. Sistem polikultur lebih menguntungkan karena adanya pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas, lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma. Agroforestri merupakan pola kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian yang dilaksanakan di lahan hutan gambut zona budidaya, dengan tujuan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan serta untuk meningkatkan produktivitas lahan.
tanaman pada kawasan budidaya gambut dengan tanaman pertanian, pakan ternak, dan system pertanian yang sesuai untuk keperluan dukungan kesejahteraan masyarakat. Alternatif solusi untuk mengatasi masalah penyebab kebakaran kawasan budidaya lahan gambut tersebut diantaranya adalah: mempertahankan lahan gambut agar tetap berada pada kondisi basah dan lembab, dengan membuat sekat (stop lock) khusus pada kanal drainase dan memanfaatkannya untuk budidaya ikan, menanami lahan gambut dengan tanaman yang pemeliharaanya tidak terlalu instensif, tetapi tanaman tersebut tetap tumbuh di lahan gambut sepanjang tahun, sehngga tidak ada periode bera. Tanaman yang ditanam adalah tanaman sukulen berair yang tidak mudah terbakar seperti tanaman nenas, sagu, tanaman hutan jelutung dan hijauan rumput pakan ternak. Penanaman tanaman sukulen tersebut diatur sedemikian rupa sebagai barier kebakaran dengan cara disisipkan diantara barisan tanaman kelapa sawit atau tanaman akasia. RESTORASI LAHAN GAMBUT DENGAN REWETTING Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) kegiatan Rewetting adalah salah satu tujuan dari kegiatan restorasi dengan melakukan pembasahan kembali untuk
pemulihan fungsi hidrologis gambut. Tujuan utama rewetting atau perendaman adalah pembasahan kembali material gambut yang mengering akibat turunnya muka air tanah gambut dengan cara meningkatkan kadar air dan tinggi muka air tanah gambut (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015) melalui pembuatan sekatsekat di dalam kanal-kanal yang sudah terlanjur ada di lahan gambut. Metode yang digunakan pada kegiatan rewetting antara lain sekat kanal (Gambar 1).
Gambar 1. Metoda Rewetting pada Lahan Gambut dengan Sekat Kanal Sekat kanal atau canal blocking atau tabat adalah sekat-sekat yang dibuat di dalam sebuah kanal yang mana kanal-kanal tersebut sudah terlanjur ada di lahan gambut.
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 2
POLICY BRIEF – NO. 1 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Fungsi utama sekat kanal adalah penurunan permukaan air di lahan gambut dapat dicegah dan lahan gambut disekitarnya akan tetap basah dan sulit terbakar. Fungsi lain dari kanal- kanal yang di sekat adalah sebagai kolam ikan (di Kalimantan Tengah disebut kolam beje) dan sebagai penampungan/tandon air (water storage) yang berfungsi sebagai cadangan air untuk memadamkan kebakaran saat kemarau (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
penanamannya terusun dan terencana dengan menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik. Tumpang sari (intercopping) nenas dengan tanaman karet merupakan sistem polikultur yang banyak di terapkan petani. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma Tanaman nanas merupakan tanaman paling tahan masam. Tanaman nenas dapat tumbuh pada tanah pH 3,0 dengan pertumbuhan tanaman dan berproduksi dengan baik. Jenis tanaman nanas madu kemudian banyak ditanam di tanah gambut di Jambi, di Sumatera Selatan, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Bagian Utara (Serawak Malaysia) (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, 2013).
Gambar 2. Rewetting dengan melakukan pembasahan kembali untuk pemulihan fungsi hidrologis gambut.
Gambar 4. Tanaman Nenas di Lahan Gambut dengan sistem Monokultur di Kalimantan
Gambar 3 Rewetting lahan gambut.Taman Nasional Sebangau,Kalimantan Tengah
REHABILITASI LAHAN GAMBUT DENGAN PENGEMBANGAN PALIDUKULTUR DAN AGROFORESTRI Pengembangan Palidukultur
Gambar 5. Tanaman Lidah Buaya di Lahan Gambut dengan sistem Monokultur di Kalimantan
Paludikultur adalah menanam vegetasi khas rawa gambut/endemik, di kawasan budidaya selain mendapatkan fungsi rehabilitasi juga memiliki nilai ekonomi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) menyatakan pengembangan Palidukulture dapat memanfaatkan tanaman semusim dengan kemampuan tumbuh baik pada lahan gambut, antara lain tanaman nenas dan lidah buaya. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan secara monoculture dan atau polikultur (multiple cropping). Pada sistem monokultur, lahan gambut hanya ditanami tanaman nenas. Sedangkan dengan sistem polikultur nenas ditanam campur dengan tanaman lain,
Gambar 6. Tanaman Lidah Buaya di Lahan Gambut dengan sistem Monokultur di Jambi
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 3
POLICY BRIEF – NO. 1 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Pengembangan Agroforestri Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang bertujuan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan serta peningkatan produktivitas lahan. Masalah yang sering timbul ialah masalah alih fungsi lahan yang menyebabkan lahan hutan semakin berkurang. Teknik Agroforestri merupakan pola kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian yang dilaksanakan di lahan hutan zona budidaya (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Pengelolaan lahan gambut dengan tanaman tahunan, akan memberikan nilai ekonomis yang lebih apabila ditumpangsarikan dengan tanaman pangan dan hortikultura musiman. Hal ini menjadi titik tolak pemikiran pembangunan demplot penelitian di semua lokasi. Selain menerapkan teknologi untuk menurunkan emisi GRK dari tanah gambut, di setiap demplot tanaman tahunan, ditumpangsarikan dengan tanaman semusim (pangan, hortikultura) yang mempunyai nilai ekonomis.
tanaman karet dan nenas sangat baik dan hasil produksi nenas yang diperoleh cukup tinggi (Kalimantan Forests and Climate Partnership, 2012). Kegiatan budidaya tanaman nenas di lahan gambut Kabupaten OKI, Sumatera Selatan sejak 2005an dilakukan dengan menanam diantara tanaman kelapa sawit (Gambar 9) dengan luasan tanaman nenas sekitar 10-15 hektar. Potensi tanaman nenas akan terus berkembang seiring dengan produksi tanaman yang bagus dan harga buah nenas sekitar Rp 3.000,- per buah. Masyarakat sekitar lahan gambut adalah etnis lokal Sumatera Selatan, sehingga tanaman nenas sebagai pilihan.
Gambar 9. Tumpangsari Tanaman Nenas disela Tanaman Kelapa Sawit TBM dan TM di Lahan Gambut Sepucuk, OKI Sumatera Selatan
Gambar 7. Jenis tanaman yang disarankan untuk sistem Agroforestri
Gambar 10. Rehabilitasi lahan gambut Sepucuk, OKI Sumatera Selatan
Gambar 8. Budidaya tumpang sari tanaman Lidah Buaya disela Tanaman Karet di Lahan Gambut Kalimantan Tengah (Balingtan, 2016) Tanahgambut memiliki kemampuan dalam mendukung pertumbuhan tanaman karet dan nanas, sebagai tumpangsari. Lokasi pengembangan karet dan nanas di Desa Tarung Manuah Kecamatan Basarang kabupaten kapuas, membuktikan keberhasilan dari pola cam puran tanaman Karet dan Nanas. Pertumbuhan
Gambar 11. Pembibitan tanaman Pulai (Alstonia spp), Blangeran (Shorea belangeran), Duren (Durio carinatus) dan Jelutung (Dyera lowii) untuk rehabilitasi bekas mega projek lahan sejuta hektar Kalimantan Tengah
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 4
POLICY BRIEF – NO. 1 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Gambar 11. Tanaman Sagu (Metroxylon sagu) dan Jelutung (Dyera lowii) untuk Agroforestry.
Bentang lahan gambut bekas terbakar ringansedang/bekas tebang habis dan terbuka (vegetasi jarang) dapat dilakukan Jelutung rawa (Dyera polyphilla) Perepat (Combretocarpus rotundatus), Belangiran (Shorea belangeran ), dan Pulai rawa (Alstonia pneumatophora) seperti yang telah dilakukan di Bentang lahan gambut Sepucuk OKI Sumatera Selatan (Gambar 10).
ACKNOWLEDGMENT This Technical Review produced by Konsorsium “PETUAH” Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau and funded by the Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia
REFFERENCE Agus, F dan Subiksa, I.G. M. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Ali, M., Taylor, D. and Inubushi, K. 2006. Effects of environmental variations on CO2 efflux from tropical peatland in eastern Sumatra. Wetlands,26, 612–618. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (2013). Tanam Nanas Madu? Ya di Lahan Gambut. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1614. Balingtan (2016). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk Tumpangsari Karet Dan Nanas.
Authors Dr. Ir. Muh. Bambang Prayitno, M.Sc.Agr. 1 Dr. Ir. Munandar, M.Agr. 2 1) Department of Soil Science, 2) Department of Agroecotechnology, Faculty of Agriculture Sriwijaya University
http://balingtan.litbang.pertanian.go.id/index.php/be rita/4-info-aktual/210-pengelolaan-lahan-gambutberkchtelanjutan-untuk-tumpangsari-karet-dannanas. Brady, M. 2004. Tropical peat accumulation and decay in relation to management. Proceedings of the International Workshop on Integrated Management and Rehabilitation of Peatlands, 6–7 February 2004, Kuala Lumpur, 12 pp. http://www.peatportal.net/newsmaster.cfm?&menuid= 40&action= view&retrieveid =1014. Günther, A., V. Huth, G. Jurasinski, K. Albrecht, and S. Glatzel. 2015. Paludiculture as a chance for peatland and climate: the greenhouse gas balance of biomass production on two rewetted peatlands does not differ from the natural state. Geophysical Research Abstracts. Vol. 17, EGU2015-10972, 2015. Kalimantan Forests and Climate Partnership (2012. Multiple Cropping (MC) Karet dan Nanas. http://teguh-setioutomo.blogspot.co.id/2012/11/ multiple-cropping-mc-karet-dan-nanas_4.html Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut.http://pkl.menlhk.go.id. Ludang, Y., Jaya, A. and Inoue, T. 2007. Microclimate conditions of the developed peatland in Central Kalimantan. Journal of Applied Sciences, 7, 2604–2609. Najiyati,S., Lili Muslihat dan I Nyoman N.Suyadiputra.2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest band Peatland in Idonesia. Wetlands International – Indonesia Programme and Wildife Habita Canada. Bogor . Indones Wahyunto S. Ritung, Suparto, dan H Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor WendelinWichtmann,Christian Schroder & Hans Joesten. 2016. Paludiculture-productive use of wet peatlands.Climate protection-biodiversity-regional economic benefit.Schweizerbart Science Publisher.Stuttgart, Germany.
The Konsorsium ‘PETUAH’ PerguruanTinggiuntuk Indonesia Hijau – MCA Indonesia policy briefs present research-based information in a brief and concise format targeted policy makers and researchers. Readers are encouraged to make reference to the briefs or the underlying research publications in their own publications. ISSN XXXX-XXXX Title: Pengelolaan Lahan Gambut untuk Agroforestri dan Paludikultur
Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA Indonesia
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 5