Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-I
Konsorsium PETUAH (Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau) Pengetahuan Hijau Berbasis Kebutuhan dan Kearifan Lokal untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan (Green Knowledge with Basis of Local Needs and Wisdom to Support Sustainable Development)
Technical review CoE PLACE TR No. 4 – March 2016
APLIKASI SISTEM PERTANIAN TERPADU - BIO-CYCLOFARMING (BCF) DI LAHAN GAMBUT UNTUK MENGURANGI RESIKO KEBAKARAN Pemerintah Indonesia melalui koordinasi Badan Restorasi Gambut (BRG) akan melakukan pemulihan lahan dan hutan gambut akibat kebakaran tahun 2015. Sampai dengan tahun 2016 sebanyak 6 juta hektar lahan gambut di Indonsia telah terbakar dan sebanyak 2-3 juta hektar lahan gambut rencananya akan direstorasi. Pada tahun 2016, ditargetkan seluas 600.000 hektar lahan gambut di 4 kabupaten di Indonesia, termasuk yang terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin Sumatera Selatan akan direstorasi. Kegiatan restorasi lahan dan hutan gambut dapat dilakukan melalalui penyelenggaraan teknik budidaya tanaman pada kawasan budidaya gambut dengan tanaman pertanian, pakan ternak, dan sistem pertanian yang sesuai untuk keperluan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu teknologi budidaya pertanian yang mengakomodasi berbagai kegiatan usaha tani tersebut adalah sistem pertanian terpadu BioCycloFarming (BCF). Aplikasi BCF pada kawasan budidaya gambut untuk mengurangi risiko kebakaran lahan memerlukan beberapa modofikasi komponen usahatani sesuai dengan kondisi agrekologi lahan gambut.
PERMASALAHAN SISTEM USAHA TANI DI INDONESIA Perkembangan pertanian modern yang mengarahkan sistem pertanian ke sistem monokultur dengan input energi sintetik yang semakin dominan menyebabkan dampak negatif yang semakin besar terhadap ekosistem global. Pencemaran bahan beracun yang berasal dari pupuk sintetis dan pestisida mengakibatkan pengaruh negatif bagi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, semakin meningkatnya resistensi hama, penyakit dan gulma, serta semakin tingginya tingkat pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat. Sistem pertanian seperti ini juga memberi kontribusi yang besar terhadap penurunan diversitas spesies hewan maupun tumbuhan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat ketahanan ekosistem suatu wilayah. Ekosistem yang sebelumnya sangat kompleks menjadi semakin sederhana sehingga keberlanjutan sistem pertanian menjadi terancam. Pada umumnya, sistem pertanian monokultur komoditas ekonomis dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari skala usaha yang besar dan komersial. Meskipun demikian, sistem pertanian yang demikian sangat
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 1
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
Technical Review Recommendations 1. Salah satu upaya mengurangi resiko kebakaran adalah dengan menggunakan pertanian terpadu dengan sistem BCF. 2. Aplikasi BCF di lahan gambut memerlukan modifikasi terhadap beberapa komponennya. Tanaman menggunakan tanaman yang relatif toleran kebakaran (seperti tanaman lidah buaya, buah naga) dan tanaman tahan air tergenang (seperti nenas, sagu, kayu jelutung dan hijauan rumput pakan. Ternak menggunakan ternak ruminansia (Sapi, kerbau, kambing), dan Ikan dari jenis ikan lokal rawa (gabus, betok, sepat). 3. Jika lahan gambut sudah dibudidayakan dengan tanaman tahunan (Kelapa Sawit, HTI), maka penanaman berbagai tanaman sukulen tersebut diatur dalam pola tanam campuran. 4. Perlu diadakan diseminasi teknologi BCF di Lahan Gambut dalam skala ekonomis, dan mengevaluasi dampaknya terhadap risiko kebakaran lahan gambut serta manfaat dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. 5. Perlu dilakukan peningkatan capacity building tentang pentingnya restorasi gambut dan teknologi dan sistem BCF terhadap seluruh stakeholder lahan gambut. 6. Pemanfaatan kanal-kanal, parit dan saluran air, untuk budidaya ikan dengan memasang tanggul, system kolam beje yang akan berfungsi sebagai sekat bakar 7. Perlu pemetaan dan zonifikasi secara mikro untuk menetukan lokasi lahan gambut konservasi dan lokasi lahan produktif. Lahan gambut yang digunakan dibedakan untuk lahan konservasi dan produksi. Lahan konservasi jika kedalaman > 3m, lahan produksi hanya lahan dengan kedalaman < 3m. 8. Lahan perlu diawasi, keberadaan masyarakat mengelola gambut dengan Sistem Pertanian Terpadu BCF dengan berbagai komoditas memungkinkan gambut tetap diawasi dan terhindar dari risiko kebakaran. 9. Diperlukan pendekatan manajemen sistem pengawasan, tidak hanya oleh pemerintah, melainkan masyarakat juga perlu berkontribusi untuk mengawasi wilayah gambut. 10. Masyarakat dilibatkan mengawasi hutan/lahan gambut dengan ikut memanfaatkan lahan gambut melalui penerapan sistem pertanian terpadu zero waste agriculture BioCycloFarming 11. Direkomendasikan agar dibuat peraturan dearah tentang pengelolaan hutan dan lahan gambut yang melibatkan masyarakat local secara berkelanjutan.
tergantung pada permintaan dan harga pasar yang diharapkan. Oleh karena itu selalu ada resiko kelebihan pasokan yang akan diikuti dengan penurunan harga. Resiko yang cukup besar juga dihadapi petani ketika terjadi penurunan jumlah dan kegagalan panen produk monokulturnya, atau ketika terjadi penurunan harga produk tersebut di pasar akibat melimpahnya produksi dari semua petani. Akibatnya jelas penerimaan mereka juga akan berkurang dan bahkan pendapatan bersih usahataninya dapat menjadi negatif. Kerugian petani tersebut tidak dapat dikompensasi atau diminimalkan karena mereka tidak mempunyai sumber hasil produksi pertanian lainnya. Lebih buruk lagi kalau mereka tidak mempunyai sumber mata pencaharian di luar pertanian Selanjutnya, industri sarana produksi berupa pupuk dan pestisida dan juga peralatan atau mesin pertanian,
ternyata justru cenderung semakin berharga tinggi sementara nilai jual produk pertanian, walaupun juga mengalami kenaikan, relatif tak mampu mengimbangi kenaikan harga saprodi tersebut. Akibatnya adalah biaya produksi semakin tinggi dan marjin keuntungan yang didapat petani semakin kecil bahkan terkadang negatif. Sarana produksi yang dihasilkan itupun saat ini mengandalkan suatu teknologi yang justru dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara maju, sehingga ketergantungan akan peralatan, benih dan bibit impor (misal, benih hibrida untuk jagung, bibit untuk sawit) serta bahan pestisida menyebabkan semakin lemahnya posisi petani yang bermodalkan minim. Usahatani berskala kecil yang dikelola petani dengan modal dan lahan yang terbatas, serta kekurangan air sangat berpeluang menderita kerugian bersih apabila
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 2
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
menerapkan sistem usahatani monokultur yang dirancang untuk melayani permintaan pasar. Lebih dari itu sumberdaya pertanian dan lingkungan akan mengalami kerusakan akibat penerapan sistem pertanian dan teknologi yang tidak tepat. Berdasarkan permasalahan di atas maka sudah selayaknya usaha dan sistem pertanian di pedesaan dan pada masyarakat bermodal minim diarahkan ke suatu sistem yang relatif sederhana dengan mengintegrasikan berbagai potensi produksi yang layak di daerah tersebut. Pada saat yang sama mulai diperkenalkan dan diterapkan teknologi tepat guna yang mudah diadopsi petani. Sistem tersebut diharapkan pada satu sisi mampu meningkatkan pendapatan keluarga petani dan masyarakat desa pada umumnya dengan sumber pendapatan yang beragam dan antisipatif terhadap resiko kegagalan, pada sisi yang lain akan meminimumkan kemungkinan kerusakan lingkungan termasuk persoalan kebakaran. Untuk itu sistem pertanian terpadu BCF ini merupakan pilihan tepat yang dapat diterapkan sebagai solusi peningkatan kesejahteraan dan upaya memberikan lahan usaha permanen bagi masyarakat pedesaan serta penanggulangan persoalan kebakaran lahan.
Kabupaten Banyuasin, Daerah Rawa Lebak Rambutan dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan menunjukan bahwa sistem ini mampu mengatasi kendala kecilnya lahan pertanian; mampu mengatasi permasalahan konversi lahan pertanian; lebih tahan terhadap dampak negatif perubahan iklim; dapat mengatasi risiko kegagalan usaha tani; lebih menguntungkan keluarga petani; memperbaiki ekologi dan karagaman hayati; menunjang penyediaan pupuk organik; meningkatkan efisiensi pengunaan pupuk kimia; dan menunjang produktivitas lahan pertanian dan program swasembada daging nasional. Sistem Pertanian BCF merupakan sistem yang menjamin keberlanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial, dan menjadi alternatif untuk mitigasi persoalan kebakaran dan dampak perubahan iklim lainnya.
KONSEP BIO-CYCLO-FARMING Sistem pertanian terpadu melalui konsep BCF merupakan sistem pertanian yang memadukan unsur tanaman, ternak dan ikan sedemikian rupa sehingga bersinergi satu dengan yang lainnya dan terjadi daur ulang secara biologis (Gambar 1.) Sistem daur ulang yang bersinergis secara biologi dan merupakan proses zero waste tanpa limbah. Konsep zero waste production system ini secara optimal memanfaatkan kembali seluruh by-product berupa limbah tanaman dan ternak ke dalam proses siklus produksi guna menghasilkan produk yang bernilai ekonomis. Dalam sistem ini juga memasukkan aspek pengolahan hasil secara sederhana dan juga organisasi pengelolaannya (management system). Proses produksi pada sistem ini mencakup usahatani budidaya tanaman, ternak, dan ikan. Usahatani berdasarkan waktu panen dapat dibedakan atas siklus usahatani jangka panjang (usahatani sapi/domba), usahatani jangka menengah (usahatani jagung/padi/kedelai/nenas, dan Ikan, dll.), dan usahatani harian yang diwakili ternak unggas dan sayuran dll. Berdasarkan pengalaman dalam penerapan sistem ini di Balai AgroTeknoPark (ATP) Palembang, serta beberapa petani di daerah rawa pasang surut Tanjung Lago
Gambar 1. Konsep Pertanian Terpadu sistem Bio-CycloFarming (BCF) MASALAH KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Lahan gambut terbentuk dari bahan organik yang sangat poros, sehingga kemampuan menyimpan air rendah di satu sisi dan kemampuan mengalirkan air sangat tinggi di sisi yang lain, oleh karena itu air sulit disimpan dalam lahan gambut. Kekeringan lebih dari 4-5 minggu, menyebabkan gambut akan kehilangan air tersedia, koloid gambut menjadi rusak dan kering, terjadi gejala kering yang berlebih dan takbalik (irreversible drying), sehingga mengakibatkan lahan gambut mudah terbakar. Selama musim kemarau tanaman sulit menyerap air, dan tidak banyak tanaman yang dapat tumbuh di lahan gambut. Lahan dibiarkan tidak ditanami, dibiarkan mengering dan menjadi bera. Selama periode bera tersebut lahan tidak diawasi, sehingga menjadi lebih rentan terhadap kebakaran. Kawasan budidaya lahan gambut pada umumnya ditanami tanaman padi, sayuran dan hortikultura, tanaman perkebunan dan hutan tanaman industry (HTI) yang diusahakan secara monokultur. Lahan
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 3
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
gambut kawasan budidaya merupakan lahan yang banyak terbakar pada musibah kebakaran lahan gambut musim kemarau tahun 2015. Beberapa masalah terkait kerentanan kawasan budidaya lahan gambut terhadap kebakaran selama musim kemarau ditinjau dari aspek pemanfaatan untuk budidaya pertanian adalah: gambut mengering sehingga mudah sekali terbakar, lahan dibiarkan bera ditumbuhi gulma dan semak belukar sehingga mudah sekali terbakar, lahan ditanami secara monokultur dengan tanaman pangan semusim, tanaman sawit atau tanaman akasia. Tidak ada pengawasan khusus terhadap lahan gambut, keterlibatan masyarakat mengawasi lahan gambut rendah. Alternatif solusi untuk mengatasi masalah penyebab kebakaran kawasan budidaya lahan gambut tersebut di atas adalah: mempertahankan lahan gambut agar tetap berada pada kondisi basah dan lembab, dengan membuat sekat (stop lock) khusus pada kanal drainase dan memanfaatkannya untuk budidaya ikan, menanami lahan gambut dengan tanaman yang pemeliharaanya tidak terlalu instensif, tetapi tanaman tersebut tetap tumbuh di lahan gambut sepanjang tahun, sehngga tidak ada periode bera. Tanaman yang ditanam adalah tanaman sukulen berair yang tidak mudah terbakar seperti tanaman nenas, sagu, tanaman hutan jelutung dan hijauan rumput pakan ternak. Penanaman tanaman sukulen tersebut diatur sedemikian rupa sebagai barier kebakaran dengan cara disisipkan diantara barisan tanaman kelapa sawit atau tanaman akasia. Integrasi budidaya ternak ruminansia dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak. Beragam kegiatan usaha budidaya tanaman, ikan dan ternak tersebut memungkinkan petani dan masyarakat terlibat secara tidak langsung ikut mengawasi lahan gambut, sehingga risiko terjadinya kebakaran dapat terdeteksi lebih awal, dan kebakaran dapat dihindari. Secara umum aplikasi BCF di lahan gambut meliputi beberapa aktivitas yaitu: 1. Budidaya Ikan Ikan dapat dipelihara di lahan rawa gambut yang mempunyai suplai air minimal 4 bulan/tahun. Sepanjang saluran air yang banyak terbengkalai di lahan gambut dapat dipasang tanggul untuk menyekat parit/saluran sehingga terbentuk kolam yang memanjang. Budidaya ikan di lahan gambut juga dilakukan dalam kolam Beje. Beje adalah kolam berukuran lebar 2-4 m, panjang 10-20 m, dalam 1-2 m di lahan gambut yang dibuat dekat sungai untuk menjebak dan sekaligus untuk memelihara ikan.
Pada musim hujan kolam beje akan terluap air dari sungai sekitarnya, pada musim kemarau beje masih tetap berair dan dapat berfungsi sebagai sekat bakar. Jenis ikan yag dipelihara lele, sepat, gabus dan betok (Gambar 2).
Gambar 2. Skema penempatan kolam beje dan sekat parit sebagai media budidaya ikan dan sekat bakar di kawasan budidaya lahan gambut (Najiati et. al., 2005)
Beberapa hal yang direkomendasikan untuk mengoptimalkan pemanfaatan saluran parit dan kolam beje yang telah disekat sebagai media budidaya ikan dan sekat bakar: (1) Memperbaiki kondisi dan lingkungan parit dan beje dengan membuang lumpur, berbagai limbah di dalamnya, memotong akar yang menembus saluran, membersihkan areal radius 50 cm disekitar beje dari vegetasi; (2) mengatur posisi beje baru dan penyekatan parit sebagai sekat bakar gambut dan media budidaya ikan; dan (3) merehabilitasi lahan sekitar beje /parit yang tidak tertutup dengan cara penanaman kembali vegetasi yang sesuai dan tahan kebakaran (nenas, lidahbuaya, kayu jelutung, sagu dan hijauan pakan ternak. 2. Budidaya Tanaman Lahan gambut yang telah kekeringan memiliki karakteristik kemampuan menyimpan air yang sangat rendah sehingga pada musim kering tanaman akan sangat sulit menyerap air. Lahan gambut yang ditanami tanaman pangan semusim biasanya dibiarkan bera dan kering pada musim kemarau. Kondisi tersebut menyebabkan lahan gambut mudah sekali terbakar. Pemilihan jenis tanaman yang cocok di lahan gambut akan dapat mengurangi terjadinya kebakaran. Pemanfaatan lahan gambut dengan tanaman sukulen merupakan salah satu cara karena tanaman jenis ini mampu menyimpan persediaan air dalam bagian batang/daunnya. Beberapa tanaman sukulen yang dapat dicobakan di lahan gambut tersebut adalah tanaman nenas, buah naga, lidah buaya, dan juga tanaman hijauan pakan rumput kumpay, serta sagu dan
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 4
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
kayu jelutung. Tanaman industri tersebut memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi karena aktivitas budidayanya tidak seintensif memelihara padi dan tidak ada periode bera. Integrasi tanaman tersebut dengan budidaya ikan pada kanal-kanal, saluran air, parit dan kolam beje serta ternak yang memanfaatkan limbah pertanian dan rumput pakan diharapkan selain akan mengurangi kebakaran juga akan dapat meningkatkan pendapatan petani, dan mempertahankan kesuburan tanah. Persiapan lahan
Bibit nenas
Penanaman
Perkebunan nenas
kegiatan biocyclo-farming ditunjukkan pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 6. Rumput Kumpai (Hymenachine acutigluma) (Rudge) Nees) merupakan tanaman tahunan berasal dari Amerika Tropis, tumbuh pada tanah tergenang air, membentuk hamparan, akar rizhomanya berkembang di permukaan tanah atau mengapung di permukaan air, cepat berbiak, membentuk rumpunrumpun besar dengan tinggi 0,5 – 1m. Rumput ini merupakan salah satu jenis rumput rawa yang mempunyai potensi sebagai hijauan pakan dan turut menunjang upaya penganekaragaman pakan untuk menjamin ketersediaan sumber pakan yang bermutu dan tidak bersaing dengan manusia. Rumput kumpai tembaga mengandung NDF 75.34 – 75.95%, ADF 39.45 – 41.72%, selulosa 25.21 – 28.21%, hemiselulosa 33.59 – 35.43% dan lignin 11.44 – 11.7%. Penggunaan rumput kumpai dalam pakan ternak (kambing PE) dengan taraf 40% dari 70% kebutuhan hijauan (hijauan konvensional yaitu hijauan dari berbagai rumput alam) dapat meningkatkan Pertambahan Bobot Badan (PBB) harian sebesar 72,86 g/ekor/hari. Pemberian rumput kumpai 40% dari 70% hijauan konvensional dengan penambahan konsentrat 30% dapat menaikkan bobot badan selama 3 bulan penelitian sebesar 22,33 kg. Kompos dibuat diatas bambu 1,5 x 2 m. tiga lapisan limbah lapisan tebal tiap 35 cm ditimbun, sehingga tinggi timbunan seluruhnya 1,05 m, kemudian ditambahkan 0,75 kg kapur, 7,4 kg urea dan 12 kg tanah, diberi atap untuk mencegah hujan dan panas. Pengadukan timbunan dan penyiraman dan dilakukan seminggu sekali, Kompos matang 3 bulan.
Gambar 3. Budidaya nenas di lahan gambut Jambi
3. Budidaya Ternak Pemanfaatan lahan gambut dengan tanaman sukulen yang tidak rentan kebakaran dan hijauan pakan ternak menyediakan biomasa yang melimpah. Potensi hijauan dan limbah pertanian diolah menjadi silase yang dapat diawetkan dan menunjang pengembangan peternakan ruminasia (sapi, kerbau dan kambing). Pemanfaatan sisa tanaman dengan diolah menjadi kompos dan diberikan ke ternak, dan selanjutnya limbah kotoran ternak diolah menjadi pupuk organik dan pupuk cair yang dikembalikan ke lahan, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia dan penggunaan sarana produksi pertanian menjadi lebih efisien. Kotoran ternak untuk menghasilkan biogas untuk energy dan juga kompos untuk tanaman. Berbagai
Rumput:dipotong ±5 cm
masukkan plastik/drum. 21 hari diberi ke ternak
+ probiotik 8% dan urea 0,6%)
Gambar 4. Pembuatan silase (Hymenachne acutigluma)
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Rumput
Kumpai
Page | 5
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
cara mengelola sistem pertanian terpadu sistem BCF, teknik pengelolaan dan budidaya berbagai tanaman yang tidak rentan kebakaran, teknik pengelolaan tataair kolam/parit dan saluran air untuk budidaya ikan, teknik pengelolaan ternak dan pakan ternak, teknik pemanfaatan limbah, cara memadamkan api dan pengendalian kebakaran dll.
Gambar 5. Timbunan pembuatan kompos
Dengan aplikasi sistem pertanian terpadu BCF diharapkan adanya perubahan sikap dan pola pikir petani di daerah kawasan budidaya lahan gambut, tentang lahan gambut dan sistem pengelolaan lahan yang rentan kebakaran. Usahatani secara monokultur tanaman padi menjadi usahatani polikultur dengan banyak ragam usahatani integrasi berbagai jenis tanaman, ikan dan ternak. Sistem buka lahan yang selama ini sering dengan sistem bakar dapat dirubah dengan sistem yang lebih ramah lingkungan. KEBERLANJUTAN
Gambar 6. Pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi media budidaya cacing dan pakan ikan
Gambar 6 Biodigester
4. Pembentukan organisasi (kelembagaan) petani BCF lahan gambut Pembentukan organisasi (kelembagaan) pada sistem BCF ini sangat penting. Adanya organisasi memudahkan dalam upaya meningkatan kemampuan SDM pengelola BCF dan pengetahuan mereka terkait dengan pengelolaan lahan gambut yang benar dan berkelanjutan, serta sosialisasi program terkait pencegahan kebakaran. Berbagai topik sosialisasi dan pelatihan praktis yang penting adalah cara restorasi lahan dan hutan gambut melalui aplikasi BCF,
Aplikasi Pertanian Terpadu sistem BCF secara langsung melalui pengaturan pola tanam tanaman sukulen, budidaya ikan dan ternak yang di integrasikan dengan tanaman perkebunan dirancang akan mengurangi risiko terjadinya kebakaran lahan gambut. Penerapan Pertanian Terpadu sistem BCF pada kawasan budidya gambut oleh semua stake holder diharapkan akan memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut. Selanjutnya akan menjamin berlangsungnya prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam konteks sosial, ekonomi, dan ekologis tidak hanya untuk hari ini tetapi juga untuk generasi di masa depan. Pemanfaatan kawasan budidaya lahan gambut yang intesif melalui aplikasi ini berdampak positif terhadap aspek ekonomi dan sosial masyarakat, sesuai dengan UU No.32 tahun 2009 dan PP No 27 tahun 2012 dan Permen LH No.17 tahun 2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam AMDAL dan Izin Lingkungan. Aspek sosial terutama terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Aplikasi Pertanian Terpadu sistem BCF akan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak untuk pengelolaan yang pertanian yang intensif usahatani ikan, tanaman dan ternak. oleh karena itu pemanfaatan tenaga kerja dalam masyarakat yang berada di kawasan budidaya lahan gambut dapat teratasi. Tenaga kerja keluarga yang biasanya idle dan menganggur terutama pada musim kemarau, dapat digunakan untuk mengelola lahan, karena pada musim kemarau pun beragam kegiatan yang terkait mengurus kolam dan budidaya ikan, tanaman dan peternakan masih dapat dilakukan. Curahan tenaga kerja menjadi berkelanjutan
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 6
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
dan memberikan keuntungan berkesinambungan.
yang
layak
secara
Aplikasi Pertanian Terpadu sistem BCF berbasis tanaman, ternak dan ikan akan dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut, pendapatan keluarga petani, menyediakan pangan dan energi untuk keluarga. Pendapatan petani akan diperoleh dari hasil budidaya ikan, ternak, tanaman pertanian, produk olahan hasil perikanan, pertanian dan peternakan, dan tanamah hutan dalam siklus harian, bulanan, musiman dan tahunan. Pendapatan usahatani ini menunjukkan akan adanya keberlanjutan ekonomi dari aplikasi Pertanian Terpadu sistem BCF di kawasan budidaya lahan gambut. Secara ekologis, teknologi ini juga merupakan proses ramah lingkungan yang tanpa limbah dengan adanya daur ulang biologis dan pemanfaatan berbagai limbah yang dihasilkannya menunjang keberlanjutan ekologi. Proses tersebut juga merupakan kegiatan produksi pertanian yang ramah iklim. Mengingat lahan gambut mempunyai fungsi lingkungan yang sangat penting maka pengelolaannya untuk pengembangan usaha pertanian yang berkelanjutan tidak hanya mementingkan aspek sosial dan ekonomi, tetapi harus seimbang diantara ketiganya. Khususnya dihubungkan dengan isu perubahan iklim maka pengelolaan kawasan lahan gambut menjadi lahan pertanian perlu mempertimbangkan aspek emisi gas rumah kaca (GRK).
atmosfer ini diamanatkan dalam Perpres No. 61 2011, tentang Target Penurunan Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian. Aplikasi Pertanian Terpadu BCF ini merupakan program aksi mitigasi dan adaptasi teknologi pertanian ramah lingkungan mendukung Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sera mengacu upaya pencapaian sasaran pembangunan pertanian. Dengan aplikasi Pertanian Terpadu sistem BCF diharapkan adanya perubahan sikap dan pola pikir petani di daerah kawasan budidaya lahan gambut, tentang lahan gambut, pola pikir yang selama ini hanya mengelola usahatani secara monokultur tanaman padi menjadi usahatani polikultur dengnan banyak ragam usahatani integrasi berbagai jenis tanaman, ikan dan ternak.
ACKNOWLEDGMENT This Technical Review produced by Konsorsium “PETUAH” Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau and funded by the Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia
Pembukan lahan sistem tebang-tebas-bakar secara financial sangat efisien tetapi akan sangat merusak fungsi lingkungan dan ekologi lahan gambut. Penggunaan pupuk an-organik urea, SP36, KCl yang berlebih memicu emisi GRK ke atmosfer. Penggunaan pupuk organik, kompos, pupuk organik yang sesuai kebutuhan tanah dan tanaman, serta penataan air yang tepat sangat dianjurkan agar hasil usahatani diperoleh secara financial dan ekologi tidak merusak ekosistem lahan gambut. Lahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca CO2 dan gas metana CH4, dengan dikelola menerapkan Pertanian Terpadu sistem BCF, emisi kedua gas rumah kaca tersebut akan berkurang. Lahan gambut selalu tertutup tanaman, biomas yang dihasilkan akan mengalami proses daur ulang dan tidak segera terlepas ke atmosfer sebagai gas CO2, tetapi tersimpan dalam produk-produk yang bermanfaat seperti pupuk organik yang ditimbun dalam tanah sebagai pupuk tanaman, limbah kotoran ternak yang di proses menjadi kompos, biogas, media budidaya cacing dan pakan ikan tidak lagi mengemisikan gas metana CH4 ke atmosfer. Kegiatan pengurangan emisi gas rumah ke
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 7
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
REFERENSI Choliq, A. U. 2003. Bio-Cyclo-Farming untuk meningkatkan pendapatan petani dan kesuburan lahan. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Fakultas Pertanian Univ. Tridinanti 2 – 3 Mei 2003. Hal. M2-1 s/d M2-10 Daryono Herman. 2009. Potensi, permasalahan dan kebijakan yang Diperlukan dalam pengelolaan hutan dan Lahan rawa gambut secara lestari(Potency, problems, policy and peatland management neededfor sustainable peat swamp forest)Jurnal Analisis Kebijakan KehutananVol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 71 – 101 Diwyanto, K., B. R. Prawiradiputra, D. Lubis. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa Vol. 12 No. 1 Th. 2002. Hal 1-8 Hamdani. M. dan Achsin U. Choliq. 2009. Sistem pertanian terpaduuntuk meningkatkan roduktifitas lahan dan kesejahteraan petani. Balai Inkubator Teknologi – BPPT. Workshop ”Teknologi untuk Masyarakat” Gedung KORPRI Serang - Banten, 24 Desember 2008 Karda I W. dan Spudiati. 2004. Meningkatkan produktivitas lahan marginal melalui integrasi tanaman pakan dan ternak ruminansia. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram Jl. Majapahit 16, Mataram. Munandar, Fitra Gustiar, Yakup, Renih Hayati, Asep Indra Munawar. 2015. Crop-Cattle Integrated Farming System: An Alternative of Climatic Change Mitigation. Journal of Animal Science and Technology. Media Peternakan 38(2):95-103. Munandar. 2008. Productivity of Corn and its relationship with soil fertility on Integrated Farming System. Proceeding of National Seminar Soil Science Society of Indonesia. Palembang. Munandar. 2011. Penerapan Model Sistem Pertanian Terpadu Bio-Cyclo Farming (BCF) Guna Meningkatkan Kesuburan Tanah, Pendapat Usaha Tani, Efisiensi Energi Dan Eberlanjutan Pertanian Di Lahan Marginal Pasang Surut. Laporan Akhir Insentif Riset: Percepatan Difusi Dan Pemanfaatan Iptek. Universitas Sriwijaya. Nageswaran, M., E. Selvaganapathy, V. R. Subbiah, S. Nair., 2009. Demonstration and replication of Integrated Farming System at Chidambaram. MS Swaminathan Research Foundation, Chennai. 79 p. http://www.mssrf.org/ecotech/ebook/et-pub09.pdf., diakses tanggal 25 Mei 2012. Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suyadiputra. 2005, Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change,
Forest band Peatland in Idonesia. Wetlands International – Indonesia Programme and Wildife Habitat Canada. Bogor, Indonesia. Neckles,F. A. 2004. Constraints to the Promotion of Integrated Farming Systems in Small Island States. Sugarcane Feeds Centre, Trinidad, West Indies Nesar Ahmed & Stephen T. Garnett. 2010. Integrated ricefish farming in Bangladesh: meetingthe challenges of food security. # Springer Science+Business Media B.V. & International Society for Plant Pathology 2011 Food Sec. DOI 10.1007/s12571-011-0113-8 Noble Andrew. 2009. Potential role of Integrated Farming Systems(IFS) for Poverty Alleviation in the Mekong Basin: An Assessment of Farmer-based Prajitno, D., 2009. Sistem pertanian terpadu sebagai model pembangunan pertanian berkelanjutan di tingkat petani. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. 20 halaman. http://www.rudifebriamansyah.webege.com/web_ documents/prajitno.pdf, diakses 30 Mei 2012. Pretty Jules N.2008. Participatory Learning for Integrated Farming. Sustainable Agriculture Programme, International Institute for Environment and Development, 3 Endsleigh Street, London WC1H ODD. E-mail:
[email protected] Pujiono, I.P., H Julendra,H,Herdian, dan R Lestari. Inplementasi SistemPertanian Terpadu untuk Menanggulangi Masalah Lahan Marginal. UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia. Pusat Penelitian Informatika LIPI Rota Antonio and Silvia Sperandini. 2007. Integrated croplivestock farming systems.Livestock and Farming Systems. Technical Advisory Division. Consultant, Technical Advisory Division International Fund forAgricultural Development Via Paolo di Dono, 44 00142 Rome, Italy San Thy. 2003. Management and utilization of biodigesters in integrated farming systems’ University of Tropical Agriculture FoundationChamcar Daung, PO Box 2423, Phnom Penh 3, Cambodia.
[email protected]://www.mekarn.org/msc20 3/theses03/santhlitrevapr27.htm Sodikin, E. 2004. Sistem pertanian terpadu, optimalisasi pemanfaatan lahan. Makalah seminar kenaikan jabatan ke Lektor Kepala, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, 16 hal. Sodikin, E., 2003. Peluang pertanian organik Indonesia di era globalisasi. Prosiding Seminar Lokakarya Nasional “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Fakultas Pertanian Univ. Tridinanti 2 – 3 Mei 2003. Hal. 1C.1-1 s/d 1C.1-7. Sodikin, E., 2012. Alih Teknologi Budidaya Pertanian Terpadu Pada Lahan Sub-Optimal Basah Daerah Pasang Surut Dan Lebak Melalui Partisipasi Langsung
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 8
TECHNICAL REVIEW – NO. 4 - MARCH 2016 Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA-IKonsorsium
Petani Lokal” Laporan Akhir Insentif Riset Sinas. Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal Universitas Sriwijaya Sulaeman Ahmad.2007. Sistem pertanian terpadu. Bagian Manajemen Pangan dan Kesehatan Lingkungan, Departemen Gizi Masyarakat , Fakultas Ekologi Manusia – Institut Pertanian Bogor Makalah Diklat Pengembangan Industri Ramah Lingkungan, PPMKP Ciawi Bogor, 29 October – 7 November 2007 Susilawati1, M. Sabran, Rahmadi Ramli, Deddy Djauhari, Rukayah, dan Koesrini. Pengkajian sistem usahatani terpadu padi-kedelai/sayuran-ternak di lahan pasang surut. Balai Penelitian Tanaman Lahan Rawa Banjarbaru, Jl.Kebun Karet Lok Tabat Kotak Pos 13 Banjarbaru 70712
Authors Dr. Ir. Munandar, M.Agr. Dr. Ir. Erizal Sodikin Department of Agronomy Faculty of Agriculture University of Sriwijaya
The Konsorsium ‘PETUAH’ Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau – MCA Indonesia policy briefs present research-based information in a brief and concise format targeted policy makers and researchers. Readers are encouraged to make reference to the briefs or the underlying research publications in their own publications. ISSN XXXX-XXXX Title: Aplikasi Sistem Pertanian Terpadu - Bio-Cyclo-Farming
(BcF) di Lahan Gambut untuk Mengurangi Resiko Kebakaran Konsorsium PETUAH “Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau”– MCA Indonesia
KONSORSIUM “PETUAH” PERGURUAN TINGGI UNTUK INDONESIA HIJAU – MCA INDONESIA
Page | 9