Susunan Dewan Redaksi Ketua Redaksi
Ishafit Wakil Ketua Redaksi
Dian Artha Kusumaningtyas Sekretaris Redaksi
Sekapur Sirih Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Tuhan semesta alam, Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, atas terbitnya Vol. 3 No. 2 [Oktober 2016] Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Fisika ini. Semoga jurnal ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada segenap pembaca. Untuk penerbitan berikutnya, kami mengundang pembaca untuk turut berperan serta sebagai penulis.
Nun. Wal qalami wa maa yasturun.
Redaksi
Toni Kus Indratno Redaksi Ahli
Prof. Dr. Zuhdan Kun Prasetyo, M. Ed. Universitas Negeri Yogyakarta Dr. Arief Hermanto, M.Si., Universitas Gadjah Mada Dr. Moh. Toifur, M.Si., Universitas Ahmad Dahlan Dr. R. Oktova, Universitas Ahmad Dahlan Dr. Widodo, M.Si., Universitas Ahmad Dahlan Dr. Dwi Sulisworo, M.T., Universitas Ahmad Dahlan
Daftar Isi Pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber
Rachmad Resmiyanto Staff Redaksi
Nanang Suwondo Okimustava Eko Nursulistiyo Fajar Fitri Ariyati Dina Puspitasari Laifa Rahmawati Ginanjar Achmad Muhammad Tata Letak
Toni Kus Indratno
31
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern Supriyadi, Haeruddin, dan Nurjannah 35 Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo 39 Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa Muhammad Minan Chusni 45
Sampul
Medi Widya Sujatmiko ISSN 2355-620X
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Perbedaan hasil belajar fisika siswa antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Prediction, Observation, and Explanation (POE) di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Tri Ariani 51
Dewan Redaksi
i
Analisis pengelolaan peralatan praktikum fisika kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta menggunakan model
countenance stake Hanin Fathan Nurfina Istiqomah, Dian Artha Kusumaningtyas 55
Penerapan metode pembelajaran resitasi dan treffinger dalam pembelajaran fisika Fajar Fitri 63 Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana longsor di Kabupaten Banjarnegara
Sehah, Abdullah Nur Aziz, dan Sukmaji Anom Raharjo 67
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Dewan Redaksi
ii
Pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber
Rachmad Resmiyanto Program Studi Pendidikan Fisika, UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 Surat-e:
[email protected] Pengajaran fisika biasanya dilakukan dengan ceramah. Pada pengajaran ini, dosen berdiri di kelas dan menjelaskan materi fisika dengan bantuan tayangan presentasi atau papan tulis. Sesekali dosen berinteraksi dengan mahasiswa melalui pertanyaan-pertanyaan, baik yang dilontarkan oleh dosen ke mahasiswa atau dari mahasiswa ke dosen. Pengajaran fisika dengan cara yang berbeda dapat dilakukan dengan pagelaran wayang beber dengan bantuan slide Prezi. Physics learning usually taught verbally. Lecturer stands in front of the class and explain the physics material through slide presentation or white board. Occasionally interaction occurred by questions, both were raised by lecturer to students or students to lecturer. Physics can be taught in a different way such as Wayang (puppets) Beber show with Prezi slides. Kata kunci: pengajaran fisika, wayang beber, slide prezi
I.
Pendahuluan
Sebagai bangunan ilmu, fisika dapat dibagi menjadi 6 bidang utama yaitu mekanika klasik, relativitas, termodinamika, elektromagnetisme, optika dan mekanika kuantum. Selama ini dosen memberikan kuliah Fisika di kelas dengan ceramah. Pada pengajaran ini, dosen berdiri di kelas dan menjelaskan materi fisika dengan bantuan papn tulis atau tayangan presentasi (MS Power Point). Sesekali dosen berinteraksi dengan mahasiswa melalui pertanyaanpertanyaan, baik yang dilontarkan oleh dosen ke mahasiswa atau dari mahasiswa ke dosen. Tayangan presentasi yang dibuat dengan Power Point memiliki ciri terdiri dari banyak slide dengan tiap-tiap slide menyajikan pokok pikiran tertentu. Bahkan, satu pokok pikiran kadang harus disajikan dalam beberapa slide. Slide-slide tersebut ketika disajikan di layar harus disajikan satu slide demi satu slide. Power Point tidak memiliki keunggulan fitur untuk dapat menyajikan tayangan keseluruhan gagasan pada seluruh slide dalam sekali tayang. Dengan demikian, sangat dimungkinkan terjadi keterputusan ide dalam tayangan presentasi antar halaman slide. Pengajaran yang dilakukan dosen di kelas sebenarnya mirip dengan pengajaran yang dilakukan seorang dalang pada sebuah pagelaran wayang. Perbedaan utamanya mungkin pada sifat jalur komunikasi dosen-mahasiswa
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
yang bisa berinteraksi sedangkan seorang dalang biasanya tidak membuka jalur komunikasi dengan penontonnya. Dari beberapa ragam pagelaran wayang, ada satu pagelaran wayang yang menggunakan semacam tayangan presentasi seperti tayangan presentasi dosen. Pagelaran wayang tersebut ialah pagelaran wayang beber.
II. Kajian Pustaka Wayang Beber
Wayang adalah salah satu seni budaya Indonesia yang paling populer di Indonesia apabila dibandingkan dengan karya seni budaya lainnya. Kesenian wayang berkembang terus dari masa ke masa. Wayang merupakan salah satu kesenian yang mudah sebagai media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, hiburan dan bahkan kritik sosial. Salah satu ragam wayang ialah wayang beber. Pustakapustaka yang membahas tentang wayang beber sangat sedikit. Ini disebabkan wayang beber merupakan jenis wayang yang langka. Wayang beber tidak sepopuler wayang kulit atau wayang golek. Ensiklopedi Terbuka Wikipedia[1] memberikan deskripsi tentang wayang beber sebagai berikut, Wayang beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang
Rachmad Resmiyanto
31
Pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber
dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata maupun Ramayana. Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan wayang beber ini. Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul. Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmoro Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.” Laman pacitanisti.wordpress.com menuliskan bagaimana pagelaran wayang beber dipentaskan [2]. “... Wayang Beber dapat dimainkan dengan cara dibuka satu per satu atau digelar/dibeber. Satu gulungan berisi 4 adegan, sehingga ketika adegan pertama diperlihatkan maka adegan ketiga sampai keempat masih dalam posisi tergulung. Kemudian jika berpindah dari gulungan satu kegulungan selanjutnya, maka pasak di sebelah kanan dalang dilepas terlebih dahulu, kemudian pasak gulungan yang baru dipasang, selanjutnya membuka gulungan baru sambil menutup gulungan sebelumnya, dan terakhir memasang pasak pada tempat penyimpanan Wayang Beber tersebut. Dalang menceritakan cerita yang terlukis di gulungan Wayang Beber tersebut dengan
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
menggunakan Bahasa Jawa dengan posisi membelakangi Wayang Beber, atau menghadap penonton. Dilihat dari bentuk pertunjukannya, wayang beber termasuk pentas seni tradisional sederhana yang hanya terdapat beberapa unsur yang menjadi pendukungnya, yakni: 1) Seperangkat wayang yang terdiri dari enam gulungan dan masing-masing gulungan terdiri dari empat adegan. 2) Seperangkat gamelan yang terdiri dari gong, kenong laras slendro, kendang, dan rebab. 3) Niyaga, terdiri dari empat orang. 4) Lakon atau cerita wayang beber yang hanya memiliki satu siklus cerita saja. Urutan pertunjukan : 1) Dalang membakar kemenyan, kemudian membuka kotak dan mengambil tiap gulungan menurut kronologi cerita. 2) Dalang membeberkan gulungan gulungannya pertama dan seterusnya, dengan membelakangi penonton. 3) Dalang mulai menuturkan janturan (narasi). 4) Setelah janturan, mulailah suluk (Lagu penggambaran) yang amat berbeda dengan umumnya suluk wayang purwa. 5) Setelah suluk, dimulailah pocapan berdasarkan gambar wayang yang tengah dibeberkan. Begitu pula seterusnya sampai seluruh gulungan habis dibeberkan dan dikisahkan.” Contoh pagelaran wayang beber dapat dilihat pada laman Youtube ini dengan dalang muda Rudi Prasetya http://www.youtube.com/watch?v=Rsn_w0JAg6I[3]. Lakon yang dibeber ialah Joko Kembang Kuning. Dalang
Menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia sebagaimana dikutip oleh laman hadisukirno.co.id[4], dalang adalah pemimpin, pengarah, sutradara dan dirijen dari suatu pertunjukkan wayang. Kecuali pertunjukkan Wayang Orang dan Wayang Topeng, Dalang harus memainkan seluruh gerak peraga tokoh wayang yang dimainkannya. Ia juga memberi pengarahan pada para penabuh gamelan, pesinden dan wiraswara. Pengarahan itu dilakukan dengan berbagai isyarat yang dipahami oleh anak buahnya. Lebih lanjut, laman tersebut juga menyatakan bahwa, “Seorang dalang harus hafal banyak cerita wayang, memahami silsilah tokoh-tokoh wayang, dan tahu tentang filsafat cerita yang terkandung di dalamnya. Ia harus pandai memaparkan cerita itu secara tertib, berurut, lancar dan memikat. Ia pun harus mahir memainkan dan memperagakan
Rachmad Resmiyanto
32
Pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber
tokoh-tokoh wayang yang dimainkan dan paham betul akan karakter tokoh wayang itu. Selain itu ia masih dituntut kepandaian memainkan warna suaranya, sehingga suara tokoh yang diperankan menyimpulkan pula karakter tokoh wayang itu. Dalang yang baik juga harus memiliki kharisma, punya greget, dapat menguasai dan mengendalikan emosi penontonnya.” Seorang dalang harus memiliki beberapa kemampuan, yaitu 1) Parama Sastra, seorang dalang harus kaya akan perbendaharaan kata, ahli dalam tata bahasa, terutama bahasa lisan. 2) Mardi Basa, Dalang yang baik harus pandai memainkan atau mengolah kata-kata yang digunakan, sehingga penceritaannya lebih meikat perhatian penonton, lebih dapat membawakan suasana cerita. 3) Mardawa lagu, artinya dalang harus menguasai berbagai tembang, gending dan seni karawitan. 4) Hawicarita, Dalang harus seorang yang mempunyai kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara runtut dan memikat. Tidak ada bagian cerita yang terlupa. 5) Nawung Krida, dalang harus mengerti dasar-dasar ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia.
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pemilihan Tokoh
Pengajaran fisika dengan ceramah dapat dikatakan tanpa memerlukan persiapan khusus yang unik. Ini berbeda dengan pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber yang memerlukan beberapa kesiapan di awal yaitu, pemilihan tokoh cerita, pembuatan tayangan beber, penyusunan alur cerita. Dalam pemilihan tokoh, sebaiknya dipilih tokoh yang memudahkan alur cerita terkait dengan materi. Jumlah tokoh yang terlibat dalam alur cerita sebaiknya tidak terlalu banyak. Tokoh wayang yang fleksibel untuk pengajaran fisika (dan pengajaran sains secara umum) ialah Punokawan, pendamping ksatria Pandawa, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Jika dikehendaki tokoh wayang yang lain juga bisa, misalnya Puntodewa dan Bima. Akan tetapi, pemilihan seperti ini akan menjadikan alur cerita fisika menjadi kurang fleksibel. Oleh karena itu, menurut pengalaman penulis, tokoh yang sangat fleksibel ialah punokawan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman pertunjukan wayang punokawan sering terlibat dalam percakapan yang bebas dari pakem-pakem tertentu. Tentu saja ini berbeda jika tokoh yang dipilih ialah para ksatria. Suasana
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
percakapan ksatria harus mengikuti pakem-pakem tuturan ksatria. Penyusunan Cerita
Pengajaran fisika dengan ceramah dapat dikatakan tanpa memerlukan persiapan khusus yang unik. Ini berbeda dengan pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber yang memerlukan beberapa kesiapan di awal yaitu, pemilihan tokoh Wayang beber asli menggunakan satu layar besar berisi 4 adegan cerita. Seluruh tokoh yang terlibat, peristiwa yang dialami tokoh dan tempat/latar terjadinya peristiwa dilukis dalam satu layar sehingga menerbitkan kesan bertumpuk-tumpuk. Ini dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Wayang beber asli (Wikipedia, 2016)
Untuk membuat layar/beberan seperti wayang beber secara digital dapat digunakan software presentasi Prezi[5]. Seluruh tokoh punakawan yang sudah dipilih, materi fisika yang akan diceritakan dan suasana percakapan dapat disajikan secara utuh dalam satu layar. Seluruh adegan fisika (bab besaran dan satuan) disajikan dalam satu layar utuh. Punakawan dan materi-materi fisika ditempatkan pada layar yang sama. Ini dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Tampilan wayang beber fisika dengan tokoh Semar dan Petruk
Pada wayang beber fisika, tokoh yang dipilih ialah Semar dan Petruk. Keduanya ditampilkan dalam posisi berhadapan sehingga suasana percakapan dapat terbangun. Materi-materi fisika, baik teks maupun gambar, diletakkan diantara kedua tokoh. Ini untuk mengesankankan bahwa materi-materi fisika tersebut merupakan topik percakapan kedua tokoh.
Rachmad Resmiyanto
33
Pengajaran fisika dengan pagelaran wayang beber
Gambar 4. Tampilan ketika Petruk sedang bercerita
Penyajian Wayang Beber Fisika
Dalam wayang beber asli, ketika dalang sedang bertutur, maka ia akan menunjuk-nunjuk tokoh yang sedang berbicara dengan bilah. Penampilan ini dapat dilihat pada url http://www.youtube.com/watch?v=Rsn_w0JAg6I. Penampilan tersebut dapat ditiru dengan mudah dengan software presentasi Prezi. Prezi tidak menganut logika linear seperti software-software presentasi lainnya. Prezi memudahkan presenter (dosen) untuk mondar-mandir dalam presentasi. Dengan prezi, dosen hanya perlu mengarahkan kursor (pointer) ke arah tokoh punakawan yang sedang berbicara atau materi fisika yang sedang dipercakapkan. Penampilan-penampilan antara tokoh dan materi dapat ditayangkan secara bolak-balik dengan cara cukup menggerakkan kursor. Dan jika hendak menampilkan tayangan adegan utuh, dosen juga hanya perlu menggeser kursor. Dengan demikian, tayangan adegan demi adegan dalam wayang beber fisika nyaris sama dengan wayang beber asli. Ini ditunjukkan pada gambar 3 dan 4.
Beberapa kesulitan yang penulis temukan di lapangan ialah kendala bahasa Indonesia. Pagelaran wayang umumnya diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Jawa sehingga pencandraan suasana, penyampaian materi, guyonan dapat berjalan lancar. Ini berbeda ketika diselenggarakan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia. Banyak keterbatasan yang dimiliki oleh bahasa Indonesia dalam penyelenggaraan pagelaran wayang beber fisika. Pagelaran wayang beber fisika menuntut dosen untuk terus melakukan dialog antar tokoh selama pengajaran berlangsung. Ini berbeda dengan ceramah yang alur ceritanya hanya maju searah. Dalam sejarah, penyampaian materi-materi fisika secara dialogis pernah dilakukan oleh Galileo Galilei melalui bukunya yang sangat terkenal,
Dialogue Concerning the Two Chief World Systems
tahun 1632 M. Penyampaian materi fisika dalam bentuk dialog dapat mewakili pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam benak mahasiswa tetapi tidak tersampaikan kepada dosen.
IV. Kesimpulan Pagelaran wayang beber dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengajar pada mata kuliah fisika. Wayang beber fisika secara digital dapat diwujudkan dengan menggunakan software Prezi. Tokoh wayang yang mudah dijadikan tokoh cerita ialah punakawan. Pagelaran wayang beber fisika membutuhkan keterampilan bertutur yang lebih jika dibandingkan dengan pengajaran ceramah. Penulis menyarankan perlunya dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh dan keefektifan pengajaran fisika dengan wayang beber ini.
Gambar 3. Tampilan ketika Semar sedang bercerita
Kelebihan dan Kekurangan Wayang Beber Fisika
Pengajaran dengan menggunakan teknik ini membutuhkan keterampilan bersastra yang baik. Ini dibutuhkan terutama ketika sedang mencandra suasana dan tempat. Selain itu, keruntutan dalam berutur dan pengolahan emosi mahasiswa juga amat diperlukan sehingga mahasiswa tidak jenuh selama pagelaran berlangsung.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Kepustakaan [1] [2] [3] [4] [5]
http://id.wikipedia.org http://pacitanisti.wordpress.com http://www.youtube.com/watch?v=Rsn_w0JAg6I http://hadisukirno.co.id http://prezi.com
Rachmad Resmiyanto
34
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern Supriyadi1, 2, Haeruddin2, dan Nurjannah2 1 Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Musamus 2 Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Tadulako 1 Jl. Kamizaun Mopah Lama, Merauke, Papua-Indonesia 2 Jl. Soekarno-Hatta KM. 9, Palu, Sulawesi Tengah-Indonesia Surat-e:
[email protected] Penelitian ini betujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah fisika antara model penalaran kausal berbasis etnosains dengan sains modern. penelitian ini menggunakan desain penelitian “The Non Equivalen Pretest-Postest Design”. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X pada MA AlKhairaat Pusat Palu. Sampel dipilih secara Proportional Sample, dengan sampel penelitian adalah kelas XD dan kelas XC. Hasil analisa data yang diperoleh adalah kemampuan memecahkan masalah fisika kelas eksperimen pertama rata-rata 17,11 dengan standar deviasi 3,82 dan kelas eksperimen kedua rata-rata 14,30 dengan standar deviasi 4,07. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh t hit = 2,03 dengan kriteria adalah terima Ho jika 2,02 < t < 2,02 dan tolak Ho dalam hal lainnya. nilai thitung berada di luar penerimaan Ho. Dengan demikian Ho ditolak sedangkan H1 diterima dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dengan sains modern. This study aims to determine the difference between the ability to solve problems of physics-based models of causal reasoning etnosains with modern science. The design of this research study "The Non equivalent PretestPosttest Design". The study population was all students of class X in the MA Al-Khairaat Palu Center. Samples selected Proportional Sample, the sample is first class and the class XC XD. Results of analysis of the data obtained is the ability to solve the problem of experimental physics first class average of 17.11 with a standard deviation of 3.82 and the second experimental class average of 14.30 with a standard deviation of 4.07. Based on the hypothesis testing results obtained thit = 2.03 with the criteria is accept Ho if -2.02
I.
Pendahuluan
Keberhasilan proses pembelajaran IPA khususnya fisika di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat tempat sekolah berada[1]. Guru perlu mengaitkan antara antara konsep fisika yang siswa pelajari di sekolah dengan latar belakang kebudayaan yang ada di lingkungan siswa sendiri. Pembelajaran sains di sekolah perlu memadukan paradigma ilmiah dengan cara pandang siswa tentang istilah-istilah dalam sains dan gejala-gejala fisis yang terjadi di alam sekitarnya. Pengalaman menunjukkan bahwa apabila pengetahuan yang dipelajari di sekolah dirasakan manfaatnya bagi kehidupan siswa, ia akan termotivasi untuk mempelajari, bahkan ingin mencari lebih banyak lagi[2]. Pengetahuan konseptual mereka telah dibentuk bertahun-tahun dari
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
pengalaman sehari-hari dan melalui pengetahuan tradisi yang diwariskan secara turun-menurun. Oleh karena itu, lingkungan sosial-budaya siswa perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas[3]. Berdasarkan penjelasan di atas, proses pembelajaran fisika, seharusnya lebih diarahkan kepada pemecahan masalah. Karena fisika bukan sekedar hafalan ataupun pemahaman, tetapi juga butuh analisis terhadap permasalahan-permasalahannya. Jika siswa dibiarkan lebih aktif dalam memecahkan masalah fisika, tentunya pembelajaran fisika akan lebih menarik bagi siswa, terlebih jika masalah yang diberikan, merupakan masalah yang berkaitan, atau yang terdapat dalam kebudayaan
Supriyadi, Haeruddin, Nurjannah
35
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern
lokal siswa, yang masih kurang diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Kemampuan memecahkan masalah, sangat berkaitan dengan daya nalar siswa. Kemampuan penalaran merupakan kemampuan siswa untuk mengaitkan suatu kasus dengan kasus yang lain, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. Sehingga, untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah pada siswa, maka harus lebih sering membuat siswa menggunakan kemampuan penalarannya. Dalam pelaksaannya peneliti akan melihat perbedaan antara model penalaran kausal berbasis etnosains dengan model penalaran kausal berbasis sains modern. Model penalaran kausal berbasis etnosains merupakan suatu strategi pembelajaran yang muncul sebagai alternatif dan dianggap dapat membantu siswa untuk dapat memecahkan masalah fisika dengan mengaitkan konsep yang ada dengan gejala-gejala fisika yang ada dan berkembang dalam kebudayaan siswa. Sedangkan model penalaran kausal berbasis sains modern merupakan strategi pembelajaran dimana pengetahuan sains bersumber dari kerja ilmiah para ilmuan dengan menggunakan metode ilmiah. Keduanya membawa kepada perubahan pola dan strategi dalam pembelajaran fisika. Dimana fisika bukan hanya sekedar teori tetapi juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
II. Kajian Pustaka Model Penalaran Kausal Berbasis Etnosains Inti dari fisika dan ilmu sains lainnya adalah hubungan sebab akibat (kausal) [4]. Hubungan kausal tersebut menentukan fungsi dari konsep fisika dan bidang sains yang lain. Ethnoscience dalam kamus Anthropologi, diartikan sebagai suatu studi kebudayaan dengan cara pendekatan menggunakan pengetahuan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang dipelajari[5]. Melalui pemanfaatan sains tradisional (ethnoscience), pengetahuan dengan mudah dikombinasikan dengan kebudayaan berdasarkan perilaku masyarakatnya. Model penalaran kausal berbasis etnosains adalah media pembelajaran fisika dengan menggunakan model pemecahan masalah yang berdasar pada hubungan sebab akibat untuk menentukan fungsi dari konsep fisika, memprediksikan, menyimpulkan, dan menjelaskan gejala atau peristiwa fisika yang dihadapi atau diamati berdasarkan contoh kebudayaan masyarakat lokal (etnosains) yang saling berhubungan dalam memecahkan masalah fisika.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Model Penalaran Kausal Berbasis Sains Modern
Hubungan kausal adalah hubungan antara penyebab (cause) dan akibatnya (effect). Tiga prinsip utama yang terkait dengan hubungan kausal adalah prinsip prioritas, prinsip kovariasi (cooccurrence), dan prinsip mekanisme[6]. Ogawa menyatakan bahwa “sains” bukanlah budaya asli orang Jepang, tetapi merupakan budaya import dari negara Barat yang masuk ke Jepang semenjak pertengahan abad ke-19, meskipun faktanya sekarang orang Jepang dapat mempelajari sains karena sains dipandang dari perspektif multicultural[3]. Model penalaran kausal berbasis sains modern adalah media pembelajaran fisika dengan menggunakan model pemecahan masalah yang berdasar pada hubungan sebab akibat untuk menentukan fungsi dari konsep fisika, memprediksikan, menyimpulkan, dan menjelaskan gejala atau peristiwa fisika yang dihadapi atau diamati berdasarkan contoh pengetahuan ilmiah yang telah dibuktikan secara ilmiah oleh para ilmuan. Kemampuan Memecahkan Masalah Menurut Hung dan Jonassen memecahkan masalah menuntut kemampuan untuk dapat melihat sebab akibat atau kausal antar berbagai konsep sehingga pada akhirnya dapat menemukan kunci pembuka masalah[3]. Dalam penelitian ini, kemampuan memecahkan masalah yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan-pengetahuan dan konsep yang dipahami untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan pemecahan masalah siswa akan diukur dengan menggunakan tes dalam bentuk uraian. skor penilaian yang diberikan untuk setiap item soal dengan skor minimal nol dan skor maksimal dua.
III. Metode Penelitian Desain Penelitian Penelitian ini mengunakan metode kuasi eksperimen dengan menggunakan dua kelas eksperimen. Adapun desain penelitian adalah menggunakan desain penelitian “The Non Equivalen Pretest-Postest Design” atau Rancangan Prates-Pascates yang tidak Ekuivalen, yaitu menggunakan kelas-kelas yang sudah ada sebagai kelompoknya, dengan memilih kelas-kelas yang diperkirakan sama keadaan/kondisinya, dalam hal ini sama berdasarkan tingkat kecerdasan. Satu kelas berfungsi sebagai kelas eksperimen pertama dan satu kelas sebagai kelas eksperimen kedua. Adapun desainnya menurut Sugiyono adalah sebagai berikut[8]:
Supriyadi, Haeruddin, Nurjannah
36
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern
Tabel 1. Desain Penelitian
Kelas A B
Tes Awal O O
Perlakuan X1 X2
Tes Akhir O O
kedua. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditolaknya pasangan hipotesis ho yaitu diperoleh nilai dari thitung > ttabel dan diterima pasangan hipotesis h1. Selain itu, dapat pula dilihat pada nilai rata-rata tes akhir siswa kelompok ekperimen dan kontrol.
Keterangan : X1: Perlakuan untuk kelas eksperimen dengan menggunakan model penalaran kausal berbasis etnosains. X2: Perlakuan untuk kelas eksperimen dengan menggunakan model penalaran kausal berbasis sains modern. O: Tes awal dan tes akhir Gambar 1. Grafik Analisis Rata-rata Skor Tes Akhir dari Kedua kelas Eksperimen
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MA Al-Khairaat Pusat Palu yang tersebar dalam empat kelas dan terdaftar pada tahun ajaran 2011/2012. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas Xc dan Xd, dimana dua kelas tersebut dipilih dengan teknik Proportional Sample. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) Perangkat pembelajaran penalaran kausal berbasis etnosains dan berbasis sains modern. Meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), LKS dan bahan ajar. 2) Tes kemampuan memecahkan masalah fisika dengan konteks atau materi yang diajarkan dimana pada penelitian ini materi yang diajarkan adalah materi suhu dan kalor. Analisa Data Uji yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ; a. Uji persyaratan Analisis : Uji Normalitas dan Homogenitas b. Uji Hipotesis
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan setelah diberikan perlakuan pada kedua kelas, terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah fisika antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan model penalaran kausal berbasis sains modern yang signifikan. Pada tes akhir kemampuan memecahkan masalah fisika, skor rata-rata tes akhir pada kelas eksperimen pertama berbeda dengan kelas eksperimen
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Perbedaan kemampuan memecahkan masalah fisika oleh siswa pada kedua kelas dipengaruhi atau disebabkan oleh peran basis model penalaran kausal yang diterapkan pada masing-masing kelas. Model penalaran kausal berbasis etnosains menuntun siswa untuk dapat menganalisis soal pemecahan masalah dan menyelesaikan soal dengan cara yang sistematis. Hal ini membuat siswa lebih tertarik dalam memahami konsep fisika. Ketertarikan siswa terhadap materi dapat terlihat pada proses pembelajaran dimana siswa pada kelas eksperimen pertama lebih banyak bertanya dibandingkan dengan siswa pada kelas eksperimen kedua. Pertanyaan yang diajukan adalah pengalaman-pengalaman sains yang siswa alami sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Sedangkan pada model penalaran kausal berbasis sains modern, meskipun juga menuntun siswa untuk dapat menganalisis soal pemecahan masalah dan menyelesaikan soal dengan cara yang sistematis. Namun soal-soal pemecahan masalah fisika yang diberikan didasarkan pengetahuan sains barat. Sehingga menyulitkan siswa, karena siswa harus terlebih dahulu mengerti tentang contoh yang diberikan sebelum mengerti konsep dari materi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena contohcontoh yang diberikan terkesan jauh dari kehidupan sehari-hari siswa. Contoh-contoh sains yang ada dalam sains modern lebih mengarah pada sains ilmiah atau kebudayaan dan kebiasaan sains barat yang bukan merupakan kebudayaan asli siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelas eksperimen tentang kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah fisika pada penelitian ini mengacu pada pedoman yang dikemukakan oleh Hung dan Jonassen[7]. Dimana siswa melakukan tahapan yang meliputi identifikasi masalah, mencari hubungan sebab akibat (kausal) dari variabel masalah, dan memecahkan masalah dengan bantuan diagram pengaruh. Pemecahan masalah yang
Supriyadi, Haeruddin, Nurjannah
37
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern
dilakukan secara sistematis seperti ini diharapkan dapat menuntun siswa untuk dapat memahami konsep dan prinsip fisika. Penerapan model penalaran kausal pada kegiatan pembelajaran ternyata dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah fisika. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hun dan Jonassen[7] yang menunjukkan model penalaran kausal dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan pemahaman mahasiswa tentang gerak rotasi pada mahasiswa Universitas Missouri Colombia. Serta hasil penelitian Nurjannah[9] yang menunjukkan bahwa model penalaran kausal lebih baik jika dibandingkan dengan kolaborasi terstruktur dalam meningkatkan kemampuan memecahkan masalah medan magnetik pada mahasiswa calon guru program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Tadulako. Selain itu, Aikenhead dan Jegede[1] mengemukakan bahwa keberhasilan proses pembelajaran IPA Khususnya fisika di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat tempat sekolah berada. Meskipun dalam penelitian ini penerepan etnosains yang digunakan didasarkan terhadap latar belakang budaya kaili, namun siswa yang menjadi objek penelitian terdiri dari berbagai latar belakang suku (kaili, bugis dan arab). Hal ini dianggap tidak mempengaruhi penelitian karena didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Aikenhead dan Jegede[1], menyatakan bahwa keberhasilan proses pembelajaran IPA khususnya fisika di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat tempat sekolah berada. Dimana sekolah tempat siswa belajar berada dilingkungan masyarakat suku kaili, termasuk siswa yang bukan etnis kaili dalam kehidupan sehariharinya sering berinteraksi dengan masyarakat dan budaya kaili. Terdapat faktor yang menjadi kelemahan mendasar dalam penelitian ini. Kelemahan yang maksud adalah kurangnya referensi budaya kaili yang berhubungan dengan sains. Terutama yang menyangkut materi tentang suhu dan kalor. Selain itu, budaya kaili yang memiliki hubungan dengan sains yang digunakan dalam pelaksaan pembelajaran ini kebanyakan merupakan budaya kaili yang hanya berhubungan dengan sains-sains dasar.
Kepustakaan [1] Aikenhead, G. S., & Jegede, O. J. 1999. “Cross-cultural Science Education: a Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon”, dalam Journal of Research in Science Teaching. [2] Poedjiadi, Anna. (2010). Sains Teknologi Masyarakat . Bandung : Rosda. [3] Suastra,I.W. 2005. Merekonstruksi Sains Asli dalam Rangka
Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. [4] Carey, S. (2002). The Origin of Concepts: Continuing the Conversation. In N. L. Stein, P. J. Bauer, & M. Rabinowitz [5] [6] [7] [8]
[9]
(Eds.), Representation, Memory, and Development: Essays in honor of Jean Mandler (pp. 43–52). Mahwah, NJ: Erlbaum. Sunyono, Aryono. 1985. Kamus Antropologi. Akademika Pressindo. Jakarta. Kelley, H. H. (1973). The Process of Causal Attribution. American Psychologist, 28, 107–128. Hung, and Jonassen. (2006). “Conceptual Understanding of Causal Reasoning in Physics”. International Journal of Science Education. 28, (13), 1601-1621. Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan (pendekatan Kunatitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Nurjannah. (2008). Pengaruh Penggunaan Model Penalaran
Kausal dan Kolaborasi Terstruktur terhadap Kemampuan Mahasiswa Calon Guru dalam Memecahkan Masalah Medan Magnetik. Proceeding of The Second International Seminar on Science Education. Pendidikan IPA SPs UPI, Bandung, 2008.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah fisika antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan model penalaran kausal berbasis sains modern. Hal ini dapat diketahui melalui hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t dua variabel bebas dimana ho ditolak dan h1 diterima.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Supriyadi, Haeruddin, Nurjannah
38
Peningkatan kemampuan memecahkan masalah antara model penalaran kausal berbasis etnosains dan sains modern
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Supriyadi, Haeruddin, Nurjannah
39
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo Program Studi Pendidikan Fisika, Universitas Indraprasta PGRI Jalan Raya Tengah No.80 Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur Surat-e:
[email protected] Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem posing terhadap motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA. Pembelajaran dengan model problem posing adalah pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk membentuk atau mengajukan soal berdasarkan informasi atau situasi yang diberikan. Melalui penerapan model ini diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik. Subyek penelitian ini adalah peserta didik SMP Negeri 7 Depok dengan sampel peserta didik kelas VIII-9 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-8 sebagai kelas kontrol. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan teknik analisis menggunakan uji Manova. Instrumen yang digunakan adalah angket motivasi belajar dan tes pemahaman konsep IPA setelah peserta didik diberikan perlakuan. Kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran problem posing, sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran ceramah. Hasil penelitian yang diperoleh adalah: 1) Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA. Hal ini dibuktikan oleh nilai Pillai’s Trace, Wills’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s largest Root sig sebesar 0,000 (<0,05). 2) Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar IPA. Hal ini dibuktikan oleh hasil Manova yang memiliki nilai F = 143.844 dengan sig 0,000 (<0,05). 3) Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep IPA. Hal ini dibuktikan oleh hasil Manova di mana harga F = 7,197, nilai P-value untuk kategori pemahaman konsep IPA (Y) adalah 0,000 (<0,05). The aim of the reserach was to determine the effect of the problem posing learning model of learning motivation and understanding of science concepts. Learning with models posing problem is learning that emphasize learners to form or ask questions based on the information or the given situation. Through the implementation of this model is expected to be an alternative to enhance learning motivation and understanding of science concepts learners. The subjects of this study are students of SMP Negeri 7 Depok with a sample of students in class VIII-9 as the experimental class and class VIII-8 as the control class. The method used is the method of quasi-experimental analysis techniques using MANOVA test. The instrument used was a questionnaire of learning motivation and test understanding of science concepts as learners are given treatment. Class experiments using problem posing learning model, while the control class using learning communicative. The results obtained are: 1) There is a significant effect on the learning model of learning motivation and understanding of science concepts. This is evidenced by the value of Pillai's Trace, Wills' lambda, Hotelling's Trace, and Roy's Reviews largest Root sig of 0.000 (<0.05). 2) There is significant influence learning model on motivation to learn science. This is evidenced by the results of Manova which has a value of F = 143 844 with sig 0.000 (<0.05). 3) There is significant influence learning model to the understanding of science concepts. This is evidenced by the results of Manova in which the price of F = 7.197, P-value for the category of understanding the concept of IPA (Y) is 0.000 (<0.05). Kata kunci: motivasi belajar, pemahaman konsep, problem posing
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
39
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing
I.
Pendahuluan
Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang menyenangkan bagi beberapa peserta didik, salah satunya yang terjadi di SMP N 7 Depok. Penyebabnya adalah peserta didik sukar membayangkan tujuan sebenarnya serta kejadian nyata dari belajar fisika. Padahal, semestinya aplikasi materi IPA sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa masalah yang dihadapi peserta didik adalah pemahaman konsep dan motivasi belajar yang masih rendah. Banyak peserta didik masih belum memahami konsep IPA secara benar. Kondisi ini ditunjukkan dengan seringnya mengalami kegagalan dalam mengerjakan soal-soal IPA yang menuntut jawaban divergen. Mereka cenderung menjawab pertanyaan hanya dengan menggunakan satu cara saja atau sesuai dengan yang dicontohkan guru tanpa berusaha untuk mencari alternatif jawaban yang berbeda. Salah satu komponen penting yang dapat menentukan keberhasilan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran adalah guru. Seorang guru dituntut tidak hanya mampu menguasai ilmu dan pengetahuan tentang materi yang hendak diajarkan. Akan tetapi, kemampuan dalam menggunakan model pembelajaran di kelas juga merupakan kemampuan dasar yang wajib dikuasai. Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat menentukan keberhasilan peserta didik dalam memahami materi yang disampaikan dengan baik. Kelemahaman yang selama ini sering kali terjadi adalah guru masih menggunakan pembelajaran satu arah yaitu dari guru ke peserta didik. Guru lebih mendominasi pembelajaran sehingga pembelajaran cenderung monoton dan mengakibatkan peserta didik merasa jenuh dan bosan. Oleh karena itu dalam memberikan materi kepada peserta didik, guru hendaknya menggunakan berbagai variasi pendekatan, strategi, maupun model yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada. Salah satu model pembelajaran yang inovatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA untuk mengembangkan kemampuan pemahaman konsep IPA adalah menggunakan pendekatan problem posing. Pembelajaran dengan model problem posing adalah pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk membentuk atau mengajukan soal berdasarkan informasi atau situasi yang diberikan. Informasi yang ada diolah dalam pikiran dan setelah dipahami, maka peserta didik akan bisa mengajukan pertanyaan. Dengan adanya tugas pengajuan soal (problem posing) akan menyebabkan
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
terbentuknya motivasi belajar yang baik dan pemahaman konsep yang lebih mantap pada diri peserta didik terhadap materi yang telah diberikan. Kegiatan itu akan membuat peserta didik lebih aktif dan kreatif dalam membentuk pengetahuannya dan pada akhirnya pemahaman peserta didik terhadap konsep IPA lebih baik lagi. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik melalui model pembelajaran problem posing.
II. Kajian Pustaka Model pembelajaran problem posing mewajibkan peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal dengan mandiri. Model pembelajaran problem posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri[1]. Problem posing dapat membantu peserta didik dalam mencari topik baru dan menyediakan pemahaman yang lebih mendalam. Selain itu, problem posing dapat mendorong terciptanya ide-ide baru yang berasal dari setiap topik yang diberikan. Penerapan suatu model pembelajaran harus memiliki langkah-langkah yang jelas, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja pendidik dan aktivitas yang dilakukan peserta didik. Langkah-langkah model pembelajaran problem posing yaitu 1) pendidik menjelaskan materi pelajaran atau disertai dengan alat peraga secara singkat, 2) memberikan latihan soal secukupnya, 3) peserta didik mengajukan soal yang menantang dan dapat menyelesaikan (dilakukan secara kelompok), 4) Kelompok lain mengerjakan soal yang sudah dibuat dan menanggapinya 4) pendidik meminta peserta didik menyajikan soal temuan di depan kelas, dan 5) guru memberikan penguatan dan tugas rumah secara individual [2]. Problem posing adalah model pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran secara langsung untuk memberi kesempatan kepada peserta didik dalam menganalisis permasalahan yang ada dengan serangkaian kegiatan-kegiatan yang lebih bermakna. Pembelajaran problem posing memiliki ciri-ciri sebagai berikut, 1) guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru, 2) guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya pemikiran kritis murid-muridnya serta mereka saling memanusiakan, 3) manusia dapat mengembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis dirinya dan dunia tempat ia berada, dan 4) pembelajaran problem posing senantiasa membuka rahasia realita yang menantang manusia kemudian menuntut suatu tanggapan terhadap tantangan tersebut [1]. Sementara itu, motivasi adalah daya penggerak aktif seseorang yang bersifat intrinsik untuk melakukan suatu
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
40
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing
tindakan guna mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan[3]. Motivasi merupakan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang sesungguhnya [4]. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai [5]. Dalam proses mengajar, hal terpenting adalah pencapaian pada tujuan yaitu agar peserta didik mampu memahami sesuatu berdasarkan pengalaman belajarnya. Kemampuan pemahaman ini merupakan hal yang sangat fundamental, karena dengan pemahaman akan dapat mencapai pengetahuan prosedur. Pemahaman merupakan bagian dari ranah kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual dan lebih tinggi tingkatannya di banding pengetahuan. Pemahaman merupakan landasan bagi peserta didik untuk membangun wawasan[6]. Dalam pembelajaran IPA lebih menekankan pada konsep. Artinya dalam mempelajari IPA peserta didik harus memahami konsep IPA terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan soal-soal dan mampu mengaplikasikan pembelajaran tersebut dalam dunia nyata.
III. Metode Penelitian/Eksperimen Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 7 Depok pada bulan Juli – Agustus 2016. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan teknik analisis menggunakan uji MANOVA. Hal ini dikarenakan ada 2 kelompok yang dibandingkan/diberikan perlakuan yang berbeda tanpa mengubah komposisi kelompok tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik di SMP N 7 Depok. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII-8 sebagai kelas kontrol sebanyak 34 peserta didik dengan pembelajaran ceramah dan peserta didik kelas VIII-9 sebagai kelas eksperimen sebanyak 43 soal dengan model pembelajaran problem posing. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (X) adalah model pembelajaran problem posing dan variabel terikat (Y) adalah motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik. Adapun desain penelitian diperlihatkan pada gambar berikut ini.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Tabel 1. Paradigma penelitian Model Pembelajaran Problem Posing Ceramah (A1) (A2) Motivasi Pemahaman Motivasi Belajar Pemahaman Belajar (Y1) Konsep (Y2) (Y1) Konsep (Y2)
Y1 A1
Y2 A1
Y1 A2
Y2 A2
Penelitian ini menggunakan 2 instrumen yaitu angket untuk mengumpulkan data motivasi belajar dan tes untuk mendapatkan data pemahaman konsep IPA. Instrumen tes pemahaman konsep (postest) disusun untuk mendapatkan data mengenai pemahaman konsep IPA dalam pemecahan masalah IPA setelah perlakuan. Selanjutnya, uji persyaratan analisis terdiri atas normalitas dan homogenitas. Dalam analisis data penelitian ini menggunakan SPSS versi 16.0 dengan uji Manova. Multivariate Analysis of Variance (Manova) adalah analisis kovarian dimana setidaknya ada dua variabel dependen yang diukur secara simultan untuk menguji apakah terdapat perbedaan perlakuan terhadap sekelompok variabel dependen[7]. Dalam penelitian ini variabel bebas yang digunakan yaitu model pembelajaran problem posing, variabel terikat yaitu motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas dan hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian berasal dari populasi berdistribusi normal dan varians sampel homogen, maka pengujian hipotesis dengan menggunakan Manova dapat dilakukan. Analisis terhadap data pemahaman konsep peserta didik dilakukan dengan menggunakan Manova yang proses perhitungannya dibantu dengan program SPSS 16.0. dapun ringkasan hasil analisis data dengan menggunakan Manova dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Hasil uji manova dengan SPSS Multivariate Testsb Effect Intercept
Value Pillai's Trace Wilks' Lambda
Hypoth esis df Error df Sig.
F
.997 1.553E4a .003 1.553E4a
2.000 80.000 .000 2.000 80.000 .000
388.227 1.553E4a
2.000 80.000 .000
388.227 1.553E4a
2.000 80.000 .000
.718 1.020E2a .282 1.020E2a
2.000 80.000 .000 2.000 80.000 .000
Hotelling's Trace
2.549 1.020E2a
2.000 80.000 .000
Roy's Largest Root
2.549 1.020E2
2.000 80.000 .000
Hotelling's Trace Roy's Largest Root model_pe Pillai's Trace mbelajaran Wilks' Lambda
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
a
41
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing
Berdasarkan data di atas, maka hipotesis yang diajukan dapat terjawab. Adapun penjelasan mengenai pembahasannya adalah sebagai berikut. Hipotesis Pertama: terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA secara multivariat. Berdasarkan hasil pengujian yang terdapat pada tabel Multivariate Test pada uji statistik terdapat nilai Pillai’s Trace, Wills’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s largest Root sig sebesar 0,000 (<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep dan motivasi belajar IPA. Hipotesis kedua: terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar. Berdasarkan hasil pengujian pada tabel Test of BetweenSubject Effects diketahui untuk kategori pemecahan masalah (Y2) memiliki nilai F = 143,844 sig 0,000 (<0,05). Dengan demikian hipotesis nol ditolak atau terdapat perbedaan yang signifikan antara motivasi belajar IPA pada kelompok peserta didik kelompok kelas eksperimen dengan kelompok kelas kontrol. Sehingga disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar IPA. Hipotesis ketiga: terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep IPA. Berdasarkan hasil pengujian pada tabel Test of BetweenSubjest Effects diketahui nilai F = 117,899, nilai P-value untuk kategori pemahaman konsep IPA (Y1) adalah 0,000 (<0,05). Dengan demikian hipotesis nol ditolak atau terdapat perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep IPA pada kelompok kelas eksperimen dengan kelompok kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep IPA. Penelitian ini mendukung teori bahwa model pembelajaran problem posing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi belajar dan dan pemahaman konsep IPA. Pemahaman konsep IPA pada penelitian ini adalah kemampuan kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pokok gerak pada benda. Pemahaman konsep sangat penting, karena dengan penguasaan konsep akan memudahkan peserta didik dalam mempelajari materi IPA. Pada setiap pembelajaran diusahakan lebih ditekankan pada penguasaan konsep agar peserta didik memiliki bekal dasar yang baik untuk mencapai kemampuan dasar yang lain seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah. Banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan untuk mengatasi berbagai masalah proses pembelajaran tetapi model pembelajaran yang tepat untuk diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah suatu sistem pembelajaran yang lebih memperhatikan aspek peserta didik. Salah satunya adalah pembelajaran dengan model pembelajaran problem posing. Model pembelajaran problem posing merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
pembelajaran fisika yang dapat mengaktifkan peserta didik, mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik dalam menyelesaikan masalah serta menimbulkan sikap positif terhadap materi IPA. Membiasakan peserta didik dalam merumuskan, menghadapi dan menyelesaikan soal merupakan salah satu cara untuk mencapai penguasaan suatu konsep [8]. Model pembelajaran dalam pemahaman konsep dan motivasi belajar IPA sangat berpengaruh pada peserta didik. Model pembelajaran Problem Posing ini dirancang agar peserta didik dapat aktif dan menganalisis suatu masalah secara mandiri, dapat membuat pertanyaan dan mengerjakan sendiri. Guru perlu menekankan pada peserta didik pada saat pembelajaran yaitu pertanyaan yang dibuat masing-masing peserta didik merupakan suatu masalah atau kendala yang dialami peserta didik. Sedangkan model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang cara penyampaian materi di kelas dengan metode ceramah. Model pembelajaran konvensional lebih berpusat pada guru, sehingga peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran di kelas. Peserta didik hanya mendengarkan penjelasan guru yang terkadang membuat jenuh peserta didik sehingga motivasi belajar peserta didik juga menurun. Keadaan peserta didik antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol terlihat sangat berbeda ketika di kelas. Di kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran problem posing peserta didik sangat antusias dalam belajar IPA. Materi yang dibahas mengenai konsep Gerak. Materi gerak peserta didik dituntut untuk memahami konsep yang ada, tidak hanya sekedar menghafal rumus, karena dalam materi gerak terdapat banyak rumus fisika. Peserta didik aktif berdiskusi dan bertanya jika belum paham materinya, peserta didik juga secara mandiri mencari tahu solusi permasalahan yang diberikan oleh guru kemudian langsung didiskusikan dengan teman sekelompoknya. Setelah itu peserta didik membuat soal atau pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Setelah semua kelompok sudah selesai melaksanakan tugasnya, kemudian guru memberikan soal-soal yang dibuat oleh peserta didik secara acak ke kelompok lain untuk dikerjakan. Peserta didik dari kelompok lain juga antusias mencari tahu jawaban dari soal tersebut. Akhir dari kegiatan pembelajaran guru menunjuk beberapa kelompok untuk maju ke depan kelas mempresentasikan hasil diskusi dan jawaban mereka. Kelompok yang bisa menjawab tanggapan dari kelompok lain diberi hadiah atau reward dari guru, untuk menambah motivasi belajar peserta didik. Setelah dianalisis kegiatan pembelajaran yang sudah dilakukan diperoleh bahwa motivasi belajar IPA peserta didik sangat tinggi. Motivasi belajar IPA peserta didik ini akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Sedangkan pembelajaran di kelas kontrol, peserta didik terlihat pasif dan kurang antusias mengikuti pembelajaran, karena guru hanya ceramah menjelaskan materinya saja.
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
42
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing
Sehingga membuat peserta didik jenuh dan bosan belajar di kelas. kenyataan ini membuat motivasi belajar IPA peserta didik di kelas kontrol menurun, sehingga akan berdampak pada hasil belajar IPA peserta didik juga rendah.
[2] [3]
V. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep IPA dan motivasi belajar IPA secara multivariate. Berdasarkan hasil pengujian yang terdapat pada tabel Multivariate Test pada uji statistik terdapat nilai Pillai’s Trace, Wills’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s largest Root sig sebesar 0,000 (<0,05). 2. Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap motivasi belajar IPA. Hal ini berdasarkan perhitungan skor motivasi belajar IPA peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran Problem Posing (kelompok eksperimen) dengan menggunakan SPSS 16.0 diperoleh nilai rerata skor 95,84; sedangkan yang dengan menggunakan model pembelajaran Konvensional diperoleh nilai rerata 83,60. Perbedaan hasil motivasi belajar IPA di antara kedua kelompok ini adalah perbedaan yang signifikan. Ini ditunjukkan oleh hasil MANOVA dimana memiliki nilai F = 143.844 dengan sig 0,000 (<0,05). 3. Terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep IPA. Hal ini berdasarkan pada hasil analisis peserta didik yang diberi model pembelajaran Problem Posing memiliki rerata hasil belajar sebesar 76 dan rerata hasil belajar peserta didik yang diberi model pembelajaran Konvensional sebesar 56. Perbedaan hasil pemahaman konsep kimia di antara kedua kelompok ini adalah perbedaan yang signifikan. Ini ditunjukkan oleh hasil MANOVA di mana harga F = 7,197, nilai P-value untuk kategori pemahaman konsep IPA (Y1) adalah 0,000 (<0,05)..
[4] [5] [6]
[7]
[8]
IPA SMA Negeri 6 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika volume 4. No.1 Juni 2010.. Huda, Miftahul. 2015. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surahmadi, Bambang. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran POE (Predict-Observe-Explain) Ditinjau Dari Motivasi Belajar Dan Pengetahuan Awal Terhadap Hasil Belajar IPA Peserta Didik Kelas VII SMP N 1 Temanggung. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 25 April 2015 ISSN : 0853-0823. Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika. Sardirman. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Simanjuntak, Mariati Purnama. 2012. Peningkatan Pemahaman Konsep Fisika Mahasiswa Melalui Pendekatan Pembelajaran Pemecahan Masalah Berbasis Video. Jurnal Pendidikan Fisika ISSN 2252-732X Vol. 1 No. 2 Desember 2012. http://dikfispasca.org/wp-content/uploads/ 2013/ 04/Artikel- Mariati-Purnama-S.-55-60.pdf. Diunduh tanggal 20 Mei 2016 Surya, 2013. Manova dan Manacova dalam Statistik. http://wawasanedukasi.blogspot.co.id/2014/12/manova-danmancova-dalam-statistik.html. Diakses tanggal 20 Februari 2016. Sriwenda, Bakti Mulyani, Sri Yamtinah. 2013. Penerapan Pembelajaran Model Problem Posing Untuk Meningkatkan Kreativitas Dan Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Laju Reaksi Kelas XI IPA 5 SMA Negeri 1 Boyolali Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), Vol. 2 No. 2 Tahun 2013 Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret.
Ucapan Terimakasih Kami ucapkan terimakasih kepada Kepala Sekolah SMP N 7 Depok yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian di SMP N 7 Depok.
Kepustakaan [1]
Herawati, Oktiana Dwi Putra; Rusdy Siroj; H.M.Djahir Basir. 2013. Pengaruh Pembelajaran Problem Posing Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas XI
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
43
Upaya meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman konsep IPA peserta didik dengan model pembelajaran problem posing
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Irnin Agustina Dwi Astuti, Dasmo
44
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa Muhammad Minan Chusni Program Studi Pendidikan Fisika, UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jalan A.H. Nasution No. 105 Cibiru Bandung Surat-e:
[email protected] Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa. Penelitian ini menggunakan tiga kelas sampel yaitu dua kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Desain penelitian adalah random pretest-posttest comparison group design. Teknik pengumpulan data menggunakan pretes dan postes untuk mengetahui penguasaan konsep dasar listrik statis. Uji hipotesis menggunakan uji t untuk membandingkan penguasaan konsep dasar listrik statis kelas eksperimen (kelas A dan kelas D) dan kelas kontrol (kelas B), kemudian uji lanjut dengan pembandingan rerata (compare means) dan rata-rata absolute gain. Dari hasil penelitian diperoleh nilai thitung kelas A (4,298) dan thitung kelas D (4,613) > ttabel (2,000), ditambah lagi dengan nilai Sig. 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual secara signfikan memberikan perbedaan terhadap penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa. Sedangkan dari uji compare means dan rata-rata gain ternormalisasi diperoleh kenaikan yang tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol. The purpose of this study was to determine the effect of the application of contextual learning approach to improve the mastery of basic concepts of static electricity students. This study use three grade sample of two experimental class and the control class. The study design was randomized pretest-posttest comparison group design. Data collection technique used pretest and posttest to determine mastery of basic concepts of static electricity. Hypothesis testing using t-test to compare the mastery of basic concepts of static electricity experiment class (class A and class D) and the control class (class B), then a further test by comparing the mean (compare means) and average absolute gain. The results were obtained t count class A (4.298) and tcount class D (4.613)> ttable (2.000), coupled with the Sig. 0.000 <0.05 so that it can be concluded that the approach of contextual learning exhibited significantly distinction of static electricity mastery of basic concepts students. While the means test and compare the average normalized gain obtained a very high increase in the experimental class compared with the control class. Kata kunci: pembelajaran, kontekstual, listrik statis
I.
Pendahuluan
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan merupakan fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada dosen sebagai sumber ilmu pengetahuan dan ceramah menjadi pilihan utama pembelajaran. Dosen mempunyai peran utama dalam proses pembelajaran. Mengingat peran yang sangat stategis tersebut, dosen harus mengupayakan adanya inovasi-inovasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, baik itu pendekatan, model
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
pembelajaran, media pembelajaran ataupun alat evaluasi hasil belajar yang tepat. Menurut Jhonson, pembelajaran kontekstual membuat siswa memiliki kemampuan untuk menghubungkan konsep-konsep teoritis dengan konteks kehidupan keseharian untuk menemukan makna[1], teori tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyani, dan Miadi, bahwa dengan penerapan pembelajaran konteksual dapat meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa dengan baik adalah pembelajaran kontekstual (CTL)[2],[3].
Nama Penulis, pisahkan dengan tanda koma
45
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang diajarkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yakni: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian kinerja[4]. Penguasaan konsep adalah proses pembangkitan makna dari sumber bervariasi, misalnya melalui pengamatan fenomena, membaca, mendengar, dan diskusi. Konsep mengandung informasi yang terorganisasi, misalnya objek, kejadian, gagasan, dan proses. Sedangkan keaktifan erat kaitannya dengan aktivitas. Menurut Dimyati bahwa keaktifan belajar ialah derajat/rentang keaktifan peserta didik pada pembelajaran[5]. Keaktifan dimaksudkan adalah kegiatan mahasiswa dalam pembelajaran yang diamati secara langsung oleh observer dan peneliti. Dari hasil observasi dalam pembelajaran mahasiswa PGSD di Universitas Muhammadiyah Magelang ditemukan bahwa belum dioptimalkannya alat peraga dan media untuk pembelajaran konsep dasar IPA karena belum tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung. Mahasiswa dalam pembelajarnnya juga belum mamanfaatkan lingkungan sekitar untuk mendukung pembelajaran konsep dasar IPA. Hal ini mengakibatkan mahasiswa kurang bisa mengkaitkan materi yang dipelajari dengan kenyataan di alam sekitar sehingga penguasaan konsep IPA-nya banyak yang masih kurang maksimal. Selain itu kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah, berpikir kritis belum terasah sehingga penguasaan konsep dasar IPA dalam proses belajar masih rendah. Atas dasar alasan tersebut peneliti bermaksud untuk mengetahui penerapan pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan penguasaan konsep dasar IPA khususnya materi listrik statis pada mahasiswa PGSD UMM Magelang.
II. Kajian Pustaka Pembelajaran kontekstual atau disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali diusulkan oleh John Dewey yaitu suatu metodologi pengajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman dari peserta didik[6]. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang diajarkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yakni: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya [4]. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika telah menerapkan ketujuh komponen tersebut diatas, yaitu jika filosofi belajarnya adalah
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
konstruktivisme, selalu ada unsur bertanya, pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari kegiatan menemukan, terbentuk masyarakat belajar, ada model yang ditiru (pemodelan) dan dilakukan penilaian otentik/sebenarnya[4]. Salah satu ciri fisik kelas dengan penerapan pembelajaran kontekstual adalah dinding kelas penuh dengan tempelan hasil karya mahasiswa. Dinding kelas penuh dengan gambar hasil karya mahasiswa, peta, artikel, foto tokoh, diagram, dan lain-lain. Setiap saat berubah. Bahkan lorong-lorong sekolah dapat dimanfaatkan. Akibatnya, kemanapun mahasiswa pergi dikepung oleh informasi. Ciri kedua, kelas dengan penerapan pembelajaran kontekstual adalah mahasiswa selalu ramai dan gembira dalam belajar. Kelas yang aktif bukan kelas yang sepi[4]. Klausmeier dalam Dewi Padmo mendefinisikan konsep sebagai suatu konstruksi mental yang disimpulkan dengan suatu kata[7]. Konsep mengandung informasi yang terorganisasi, misalnya objek, kejadian, gagasan, dan proses. Pembelajaran pembentukan konsep dapat dilakukan melalui tiga tingkatan, yaitu tingkatan konkret dan identitas, tingkatan klasifikasi, dan tingkatan formal. Pemahaman konsep adalah proses pembangkitan makna dari sumber-sumber bervariasi, misalnya melalui pengamatan fenomena, membaca, mendengar, dan diskusi. Proses pemahaman melibatkan penyadapan informasi baru dan mengintegrasikannya ke dalam apa yang telah diketahui untuk mengonstruksi makna baru. Strategi pengonstruksian makna dapat dilakukan dengan pembelajaran kontruktivistik. Listrik statis merupakan konsep IPA yang bersifat abstrak, khususnya perpindahan elektron yang menyebabkan suatu benda bermuatan. Elektron tidak bisa dilihat, hanya bisa dimodelkan. Listrik statis adalah muatan listrik yang berada pada setiap benda dalam keaddan diam, karena setiap benda tersusun dari atomatom[8],[9]. Dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual bisa diperlihatkan interaksi benda bermuatan setelah digosok, misalnya kaca digosok dengan menggunakan kain wol. Gejala listrik statis, bagaimana sebuah benda bermuatan listrik netral, postif, atau negatif. Apabila dua benda digosok, maka akan terjadi pengurangan atau penambahan electron, misalnya dalam percobaan medan listrik dengan menggunakan palstik PVC uang digosok dengan wol kemudian didekatnkan dengan balon, akan mengalami tarik menarik yang menunjukkan adanya medan listrik disekitarnya. Hal sesuai dengan persamaan hukum Coulomb[9]:
F k
q1q2 r2
(1)
Keterangan: F = gaya elektrostatis (newton), q1 = besar muatan pertama (coulomb); q2 = besar muatan kedua(coulomb); r = jarak kedua muatan (meter). Aplikasi dari listrik statis dalam pembelajaran konteksual yang berkaitan dengan perpindahan muatan
Muhammad Minan Chusni
46
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa
listrik dan untuk mengetahui jenis dari muatan listrik, dapat dijelaskan pada materi pembuatan elektroskop sederhana. Prinsip kerja dari elektroskop adalah dengan pemberian muatan positif atau negative pada kepala elektroskop akan menghasilkan pengaruh yang sama, yaitu kedua keeping saling menjauh. Jika benda tidak bermuatan, kedua keeping tidak melakukan gaya elektrostatis dan tetap pada posisi menguncup[8].
III. Metode Penelitian/Eksperimen Penelitian ini menggunakan tiga kelas sebagai sampel secara cluster random sampling yaitu dua kelas eksperimen dan satu kelas kontrol dari populasi 5 kelas pada program studi PGSD Universitas Muhammadiyah Magelang semester 3 tahun 2013/2014. Teknik pengumpulan data menggunakan metode pretes dan postes untuk mengetahui perbedaan penguasaan konsep dasar listrik statis. Rancangan desain penelitian adalah random pretest-posttest comparison group design[10]. Tabel 1. Desain Penelitian
Group Kelas Kontrol (KK) Kelas Treatment (KT)
Pretest
Treatment
Posttest
X X
Xa Xb
Y Y
Keterangan : KK adalah kelas kontrol yang menerapkan pembelajaran listrik statis dengan menggunakan pembelajaran konvensional, KT adalah kelas eksperimen yang menerapkan pembelajaran listrik statis dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Uji hipotesis menggunakan uji-t dengan program komputasi SPSS untuk mengetahui perbedaan penguasaan konsep dasar listrik statis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kemudian dilakukan uji lanjut pembandingan rerata (compare means) dan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran terhadap peningkatan prestasi belajar dapat dilakukan melalui analisis terhadap nilai rata-rata gain ternormalisasi. Kriteria skor gain yang dinormalisasi diadopsi dari Hake dapat dilihat pada persamaan berikut[11]. g
% S f % Si 100 % Si
(1)
Keterangan :
= rata-rata gain ternormalisasi, <Sf >= skor postes, dan <Si> = skor pretes. Adapun interpretasid dari nilai rata-rata gain ternormalisai ditunjukkan oleh tabel 2 berikut.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Tabel 2. Interpretasi Nilai Gain Ternormalisasi
Nilai () ≥ 0,7 0,3 ≤ () < 0,7 () < 0,3
Klasifikasi Tinggi Sedang Rendah
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar kegiatan mahasiswa (LKM) untuk memfasilitasi pembelajran konteksual, lembar observasi pembelajaran kontekstual untuk penilaian proses pembelajaran secara langsung, dan soal pretes dan postes yang disusun dalam bentuk pilihan ganda dan esay untuk mengetahui penguasaan konsep dasar mahasiswa pada materi listrik statis.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Data pretes konsep dasar listrik statis mahasiswa merupakan data awal kemampuan penguasaan konsep mahasiswa sebelum dilakukan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual untuk kelas A dan D serta pembelajaran konvensional pada kelas C sedangkan postes merupakan hasil akhir kemampuan penguasaan konsep setelah diberikan pembelajaran materi listrik statis. Deskripsi data nilai pretes dan postes mahasiswa disajikan pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Data Pretes dan Postes Mahasiswa Kelas Kontekstual dan Konvensional
Pendek atan
Pembel ajaran Kontek stual
Kelas
A
D
Pembel ajaran Konven sional
C
Distribusi Frekuensi Mean Median Minimum Maksimum Mean Median Minimum Maksimum Mean Median Minimum Maksimum
Nilai Pretes
Nilai Postes
44,81 42,86 14,29 74,29 41,39 40,00 17,14 62,86 39,13 40,00 17,14 77,14
73,90 80,00 31,43 97,14 70,04 71,43 37,14 91,43 54,20 51,43 34,29 91,43
Dari tabel 3 terlihat bahwa nilai rata-rata hasil postes mahasiswa mengalami peningkatan dibandingkan nilai rata-rata pada pretes sebelum dilakukan pembelajaran. Nilai minimum dan maksimum dari masing-masing kelas menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan hasil pretes. Hal ini berarti bahwa pembelajaran yang diberikan baik menggunakan pendekatan kontekstual maupun konvensional memberikan peningkatan penguasaan
Muhammad Minan Chusni
47
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa
konsep pada mahasiswa. Peningkatan tersebut yang akan dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas pembelajaran yang memberikan pengaruh lebih signifikan pada penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa. Analisis pembandingan dilakukan terhadap peningkatan nilai rata-rata gain ternormalisasi yang dicapai mahasiswa[11]. Hasil uji t terhadap pengujian hipotesis menggunakan SPSS dirangkum dalam tabel 4 berikut. Tabel 4. Data Hasil Uji t
Kesimpulan Uji t
Variansi
Gain
Diasumsikan variansi sama Diasumsikan variansi taksama Diasumsikan variansi sama Diasumsikan variansi taksama
kelas A terha dap C
Gain
kelas D terha dap C
t
Sig.
4,298
0,0 00
4,486
0,0 00
4,613
0,0 00
4,624
0,0 00
Hipo tesis
Ket.
Ho ditola k
Ada per bed aan
Ho ditol ak
Ada per bed aan
Dari tabel 4 terlihat bahwa hasil uji hipotesis yang dilakukan diperoleh nilai thitung kelas A (4,298) dan thitung kelas D (4,613) > ttabel (2,000), ditambah lagi dengan nilai Sig. 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual secara signfikan memberikan perbedaan terhadap penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa dibandingkan dengan kelas konvensional. Tahap selanjutnya dilakukan uji Compare Means untuk mengetahui mana yang lebih tinggi nilai rata-ratany. Adapun hasil perhitungannya disajikan dalam tabel 5 berikut. Tabel 5. Data Nilai Compare Means Kelas Kontekstual dan Konvensional
Gain
Kelas
N
Rerata
Std. Deviasi
Gain kelas A
A
44
29,0907
15,797
terhadap C
C
33
15,0658
11,633
Gain kelas D
D
35
28,6531
12,597
C
33
15,0658
11,633
terhadap C
Dari hasil uji lanjut Compare Means yang dirangkum pada tabel 5, dapat diketahui perbandingan rerata dari masing-masing kelas yang mendapat perlakuan pembelajaran yang berbeda. Kelas yang diberikan model pembelajaran kontekstual yaitu kelas A dan D memiliki rerata peningkatan nilai sebesar 29,0907 dan 28, 6531
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
lebih tinggi daripada rerata kelas yang diberikan pembelajaran konvensional C memiliki rerata peningkatan nilai 15,0658. Adapun perhitungan nilai rata-rata gain ternormalisasi dari kelas eksperimen dan kelas kontrol, ditunjukkan pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Data Nilai Rata-Rata Gain Ternormalisasi
Kelas Eksperimen Kontrol
Mean Pretes Mean Postes A
44,81
73,90
0,53
D
41,39
70,04
0,49
C
39,13
54,20
0,25
Dari tabel 6 terlihat bahwa nilai rata-rata gain ternormalisasi pada kelas eksperiman untuk kelas A sebesar 0,53 dan kelas B sebesar 0,49, keduanya tergolong pada kategori pengingkatan yang sedang. Sedangkan pada kelas kontrol diperoleh angka sebesar 0,25 yang tergolaong peningkatan rendah[11]. Pada pembelajan ini mengandung tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual yakni konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian otentik (4). Melalui pembelajaran listrik statis kontekstual yang dilakukan, mahasiswa dapat mengkonstruksi sendiri pengalaman belajar mereka secara langsung, menganalisis dan menemukan pemahaman konsep yang baru. Sebagai contoh, mahasiswa mempelajari adanya gaya tarik menarik antara benda bermuatan tak sejenis dan tolak menolak antara benda bermuatan sejenis. Mahasiswa mengalami langsung bagaimana membedakan dan membuat suatu bahan memiliki muatan yang sama atau berbeda kemudian mengamati langsung respon yang terjadi. Dengan demikian, mahasiswa telah mengalami komponen konstruktivisme, bertanya dan menemukan dalam proses pembelajaran listrik statis. Selanjutnya ketika mahasiswa mengetahui adanya fenomena yang sama atau hampir sama dalam kehidupan sehari-hari maka mereka dapat mengaitkan pengalaman belajar di kelas ke kehidupan sehari-hari sehingga dapat terbentuklah adanya pemodelan, misalnya pada ssat mahasiswa mengamati adanya halilintar yang menyambar gedung yang dilengkapi penangkal petir sehingga aliran muatan listrik mengalir ke bumi dan tidak menyebabkan kerusakan pada gedung tersebut. Komponen selanjutnya masyarakat belajar. Masyarakat belajar terjadi ketika proses komunikasi dua arah yaitu mendapatkan dan memberikan informasi. Setelah mahasiswa mendapatkan dan mengkonstruksi informasi dari pengalaman belajarnya, mereka dituntut dapat mengkomunikasikan melalui lembar kerja mahasiswa (LKM), mempresentasikan hasil pengamatan di depan kelas agar mendapat tanggapan dari kelompok lain dan
Muhammad Minan Chusni
48
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa
keluaran akhir pemebelajaran berupa laporan hasil kegiatan yang disusun mahasiswa secara berkelompok. Komponen refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan baru diterima mahasiswa yang menjadi revisi ataupun pengayaan dari pengetahuan sebelumnya. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah listrik statis yang dasar-dasarnya pernah dipelajari di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) sehingga diharapkan dengan pembelajaran yang dilakukan dapat menjadi revisi dari pengetahuan sebelumnya yang mungkin kurang tepat atau dapat menjadi pengayaan dengan menambah dan memperdalam pengetahuan dibandingkan sebelumnya. Komponen terakhir dari proses pembelajaran kontekstual yaitu penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan data gambaran perkembangan proses belajar dari mahasiwa dengan menggunakan lembar observasi kegiatan mahasiswa saat melakukan pembelajaran meliputi ketepatan saat merangkai alat, melakukan prosedur percobaan, kemampuan mengatasi masalah dan kerjasama tim saat pembelajaran.
[3]
Miadi, Okta. Penggunaan Pendekatan Teaching and Learning
(CTL) Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Energi dan Usaha. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014. [4] Nurhadi. Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Depdiknas, 2002. [5] Dimyati and Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta, 2009. Trianto. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007. [7] Padmo, Dewi and dkk. Teknologi Pembelajaran: Peningkatan Kualitas Belajar melalui Teknologi Pembelajaran. Jakarta : Pusat Teknologi dan Informasi Pendidikan, 2004. [8] Abdullah, Mikrajuddin. IPA Fisika SMP dan MTS Jilid 3. Jakarta : ESIS, 2007. [9] Tipler, Paul A. Physics for Scientist and Engineers, Third Edition. Jakarta : Erlangga, 1998. [10] Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta, 2002. [11] Hake, Richard R. Interactive Engagement Methodes In Introductory Mechanics Courses. Bloomingtoon : Indiana University, 1999. [6]
V. Kesimpulan P Berdasarkan tujuan penelitian, kajian teori, dan pembahasan hasil analisis yang telah diuraikan, maka pada penelitian ini dapat dihasilkan kesimpulan bahwa dari hasil uji t terhadap nilai penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa antara kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran kontekstual dibandingkan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Kemudian dilanjutkan uji compare means dan rata-rata gain ternormalisasi menunjukkan kelas yang memperoleh pembelajaran kontekstual memiliki peningkatan nilai lebih tinggi dari pada kelas konvensional.
Ucapan Terimakasih Ucapan terima kasih merupakan bentuk apresiasi adanya kontribusi dari perorangan maupun lembaga yang tidak bisa masuk sebagai penulis. Misalnya pemberi dana penelitian yang terkait dengan publikasi ini.
Kepustakaan [1]
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching & Learning Menjadikan
[2]
Bandung : MLC, 2007. Mulyani. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna.
Terhadap Penguasaan Konsep Bahan Kimia dalam Kehidupan Sehari-Hari dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII SMP N 4 Metro. 2, Lampung : BIOEDUKASI, 2013, Vol. 4.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Muhammad Minan Chusni
49
Penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan penguasaan konsep dasar listrik statis mahasiswa
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Muhammad Minan Chusni
50
Perbedaan hasil belajar fisika siswa antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Prediction, Observation, and Explanation (POE) di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Tri Ariani Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan MIPA STKIP-PGRI Lubuklinggau Jl. Mayor Toha Kelurahan Air Kuti Lubuklinggau, Sumatera Selatan, Indonesia Surat-e: [email protected] Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Hasil Belajar Fisika Siswa antara Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan Model Pembelajaran Prediction, Observation, And Explanation (POE) di Kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian eksperimen semu yang dilaksanakan dengan membandingkan kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II desain penelitian ini pre-test post-test group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016, yang terdiri dari 314 siswa dari 9 kelas. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (Simple Random Sampling) dengan cara pengundian nomor kelas populasi. Pengumpulan data berupa tes, data tes yang sudah dianalisis dengan uji-t, pada taraf = 0,05, diperoleh thitung > ttabel (2,17 > 2,00). Rata-rata akhir hasil belajar fisika kelas eksperimen I sebesar 73,4 sedangkan pada kelas kelas eksperimen II sebesar 69,14. Sehingga dapat disimpulkan ada Perbedaan Hasil Belajar Fisika Siswa antara Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Dengan Model Pembelajaran Prediction, Observation, And Explanation (POE) Di Kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016. The aim of this research was to find out the Comparative Results Between Students Studying Physics Learning Model Problem Based Learning (PBL) with Learning Model Prediction, Observation, And Explanation (POE) in the Class X SMAN 5 Lubuklinggau 2015/2016 Academic Year . This research was a quantitative research methods of experimental research conducted by comparing the experimental group I and group II experimental research design was a pre-test post-test group design. As the population in this research were all students of class X SMA Negeri 5 Lubuklinggau Academic Year 2015/2016, consisting of 314 students from the ninth grade. Sampling is done randomly (Simple Random Sampling) by means of the draw number population class. The collection of data in the form of the test, the test data that were = 0.05, obtained analyzed by t-test, t-test based on the level of t> t table (2.17> 2.00). The average end result of learning physics class experiment I of 73.4 while the experimental class II class at 69.14. So, it can be concluded that there Comparative Results Between Students Studying Physics Learning Model Problem Based Learning (PBL) With Learning Model Prediction, Observation, And Explanation (POE) In Class X SMAN 5 Lubuklinggau in academic year 2015/2016. Kata kunci: Problem Based Learning (PBL), Prediction, Observation, and Explanation (POE), hasil Belajar, Uji-t
I.
Pendahuluan
Pendidikan dipandang sebagai proses penting untuk memenuhi kelangsungan hidup bangsa dan negara serta untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
sumber daya manusia. Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting guna membangun manusia yang berpengetahuan, bermoral, dan bermartabat. Pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, karena pendidikan
Tri Ariani
51
Perbedaan hasil belajar fisika siswa antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Prediction, Observation, and Explanation (POE) di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
merupakan faktor penentu kualitas suatu negara. Pada saat ini pendidikan merupakan permasalahan serius yang terjadi di negara kita. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menangani problema pendidikan tersebut dengan diwujudkannya pendidikan dasar sembilan tahun dan dicanangkannya program pendidikan gratis agar setiap warga negara kita dapat menikmati pendidikan walaupun dari kalangan yang tidak mampu. semua yang dilakukan pemerintah tidak lain untuk merubah dan menyelamatkan para penerus bangsa demi menjadi negara yang bermutu dan bermatabat. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah satu guru mata pelajaran fisika kelas X di SMA Negeri 5 Lubuklinggau, beliau mengungkapkan bahwa adanya penurunan pencapaian kompetensi mata pelajaran fisika siswa kurang optimal dan belum sesuai dengan yang diharapkan, hal ini dapat dilihat dari nilai ulangan harian pada semester 1 tahun pelajaran 2014/2015 di kelas X hanya mencapai 45,45% siswa yang dapat mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Hal tersebut mununjukkan bahwa 54,55% dari 33 siswa dikelas X belum mencapai KKM sehingga mereka harus mengikuti remedial. Asumsi dasar yang menyebabkan pencapaian kompetensi mata pelajaran fisika siswa kurang optimal adalah pemilihan model pembelajaran yang kurang tepat dan kurangnya peran serta keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar serta hanya menjelaskan teori saja tidak disertai percobaan. proses belajar mengajar masih terfokus pada guru dan kurang terfokus pada siswa, sehingga siswa masih cenderung kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan siswa menjadi cepat bosan dan jenuh dalam belajar mata pelajaran fisika. Oleh sebab itu seorang guru dalam menyajikan pembelajaran harus merencanakan model yang akan digunakan, karena model dalam pengajaran sangat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. Adapun cara untuk memotivasi siswa dan memiliki kemandirian serta keaktifan siswa dalam belajar pada pelajaran fisika ialah dengan menggunakan model pembelajaran problem based learning (PBL) dan model pembelajaran prediction, observation and explanation (POE). Kedua model tersebut merupakan model-model pembelajaran yang efektif dan efisien. namun, untuk meningkatkan hasil belajar siswa, guru membutuhkan salah satu model yang paling efektif dalam proses pembelajaran.
II. Kajian Pustaka Pada penelitian ini lebih menekankan pada hasil belajar siswa ranah kognitif pada dua kelas yang di berikan perlakuan model pembelajaran yang berbeda. Kelas eskperimen 1 menggunakan model Problem Based
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Learning (PBI) dan kelas eksperimen II diberikan perlakukan dengan menggunakn model Prediction, Observation And Explanation (POE). Ranah kognitif mencakup pengatahuan, pemahaman, analisis, sisntesis dan evaluasi. Hasil belajar kognitif siswa di ukur dengan menggunakan lembar tes yaitu pretest dan posttest. Tampubolon[1], Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) mensyaratkan keterlibatan aktif siswa sehingga terbukti dapat meningkatkan hasil belajar dan sikap anak terhadap sains. Model pembelajaran Problem Based Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran artinya dihadapkan pada suatu masalah, yang kemudian dengan melalui pemecahan masalah, melalui masalah tersebut siswa belajar keterampilanketerampilan yang lebih mendasar. Putra Rizema[2], menyatakan Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) yaitu (a) Guru mengorientasikan siswa pada masalah, (b) Guru mengorganisasikan siswa agar belajar, (c) Guru memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok, (d) Guru mengembangkan dan menyajikan hasil kerja, (e) Guru menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Selain model Problem Based Learning (PBL), untuk melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar ialah dengan menggunakan model pembelajaran Prediction, Observation and Explanation (POE). Zulaeha[3], menyatakan bahwa terdapat pengaruh keterampilan proses sains antara kelas yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model pembelajaran POE dengan kelas yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Dalam model pembelajaran POE langkah awal yang harus dilakukan adalah kemampuan memprediksi dikenal sebagai kemampuan untuk menyusun hipotesis (jawaban sementara). Setelah itu, guru menuliskan apa yang diprediksi siswa. Guru menanyakan kepada siswa, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut guru mengajak siswa melakukan kegiatan observasi, yaitu melakukan pengamatan melalui percobaan. Menurut Suparno[4], pembelajaran dengan model Prediction, Observation and Explanation (POE) menggunakan tiga langkah utama yaitu: (a) Prediction, guru memberikan sebuah persoalan fisika kepada siswa, kemudian siswa merumuskan dugaan berdasarkan persoalan tersebut. Siswa diberi kebebasan seluas-luasnya dalam memberikan prediksi, (b) Observation, pada tahap ini siswa diajak melakukan percobaan, mengamati, atau melakukan pengukuran. Tujuan utama dilakukannya observasi adalah mencari tahu jawaban dari prediksi yang diberikan sisw, (c) Explaination, langkah terakhir membuat penjelasan, siswa diberi kesempatan untuk menjelaskan hasil observasi dan kesesuaiannya dengan prediksi awal. Dengan demikian siswa akan menemukan konsep sebenarnya dari persoalan fisika yang sedang dipelajari.
Nama Penulis, pisahkan dengan tanda koma
52
Perbedaan hasil belajar fisika siswa antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Prediction, Observation, and Explanation (POE) di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
III. Metode Penelitian/Eksperimen
dengan x1 adalah nilai rata-rata kelompok eksperimen I,
Penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan metode eksperimen. Menurut Sugiyono[5], metode penelitian eksperimen dapat diartikan juga sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian berbentuk control pretest-posttest group design.
x2 adalah nilai rata-rata kelompok eksperimen II, n1 adalah banyak sampel kelompok eksperimen I, n2 adalah
Tabel 1. Desain Penelitian
Group
Pre-test
Treatment
Post-test
E1 E2
O1 O3
X1 X2
O2 O4
x1 x2 1 1 s n1 n2
(1)
dengan
(n1 1) s1 (n2 1) s2 n1 n2 2 2
s
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
simpangan
baku,
eksperimen I, dan eksperimen II .
s1
2
s2
adalah 2
varians
kelompok
adalah varians kelompok
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
E1 merupakan kelompok eksperimen I, E2 adalah kelompok eksperimen II, O1 adalah tes awal (pre-test) pada kelas eksperimen I, O2 adalah tes akhir (pos-ttest) pada kelas eksperimen I, O3 adalah tes awal (pre-test) pada kelas eksperimen II, O4 adalah tes akhir (post-test) pada kelas eksperimen II. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan model pembelajaran Prediction, Observation and Explanation (POE), sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar fisika siswa kelas X di SMA Negeri 5 Lubuklinggau. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu simple random sampling. Sampel yang di pakai saat penelitian yaitu kelas X.9 sebagai kelas eksperimen I dan X.5 sebagai kelas eksperimen II. Sebelum peneliti melakukan penelitian terhadap kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II. Peneliti mengadakan uji coba instrumen soal. Uji coba instrumen soal ini dilaksanakan di kelas XI.IPA.1 pada tanggal 3 Agustus 2015. Uji coba instrumen ini bertujuan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal. Dengan di lakukannya uji instrumen peneliti dapat melihat kualitas soal yang digunakan sebagai alat pengumpul data untuk pre-test dan post-test. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi rata-rata dan simpangan baku, simpangan baku, uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis. Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian menggunakan uji-t. Menurut sudjana[6], persamaan yang digunakan
t
banyak sampel kelompok eksperimen II, 𝑠 adalah
2
(2)
Berdasarkan analisa uji validitas butir soal untuk pretest dan posttest di peroleh 8 soal essay yang valid dari 10 soal yang di ujikan. Sesudah uji intrumen langkah selanjutnya peneliti mengadakan pre-test di kelas eksperimen I dan eksperimen II. Berdasarkan analisis perhitungan data diketahui bahwa skor rata-rata kelas eksperimen I sebesar 56,81 dan skor rata-rata kelas eksperimen II sebesar 54,75. Dengan demikian dapat disimpulkan kemampuan awal siswa kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II adalah sama. Sedangkan simpangan baku pre-test kelas eksperimen I adalah 5,7 dan simpangan baku pre-test kelas eksperimen II adalah 7,06. Setelah pre-test peneliti pengadakan treatman, treatman Pada saat penerapan model pembelajaran problem based learning (PBL) dikelas eksperimen I dimulai, sama dengan pembelajaran di kelas eksperimen II yang menggunakan model pembelajaran prediction, observation and explanation (POE). Guru mengkomunikasikan tujuan pembelajaran secara jelas, menumbuhkan sikap-sikap yang positif terhadap pembelajaran, dan melaksanakan apa yang diharapkan untuk dilakukan oleh siswa. Guru menjelaskan bahwa pada model pembelajaran problem based learning (PBL) dan model pembelajaran prediction, observation and explanation (POE) di masing-masing kelas eksperimen tujuan utamanya adalah meningkatkan kemampuan siswa dalam aspek pemecahan masalah untuk menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah. Pertemuan di kelas eksperimen I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan, sedangkan untuk kelas eksperimen II juga dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan. Selama proses pembelajaran berlangsung, di kelas eksperimen I siswa di dorong untuk mengajukan pertanyaan, mencari informasi dan mengungkapkan pendapatnya. Dalam hal ini guru bertindak sebagai pembimbing yang menyediakan bantuan, namun siswa berusaha untuk bekerja secara kelompok dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Selanjutnya di akhir pelajaran, siswa di dorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan bebas refleksi dari proses pembelajaran yang tadi dilakukan. Pada pertemuan pertama siswa masih belum mengikuti langkah-langkah model pembelajaran problem based
Nama Penulis, pisahkan dengan tanda koma
53
Perbedaan hasil belajar fisika siswa antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan model pembelajaran Prediction, Observation, and Explanation (POE) di kelas X SMA Negeri 5 Lubuklinggau
learning (PBL), sehingga siswa merasa bingung dan hasil belajar siswa masih belum maksimal. Pada kelas exsperimen I, siswa lebih dibimbing dalam mengenal model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Pada pertemuan kedua ini dari 35 siswa yang ada, hampir 18 siswa lebih santai dan menikmati pelajaran yang mengakibatkan mereka aktif dalam belajar. Siswa yang lain masih membutuhkan bimbingan guru dalam menerapkan konstektual. Untuk itulah peneliti mengadakan refleksi untuk melihat kelemahan mengajar. Pada pertemuan terakhir siswa lebih terlihat aktif. Hal ini dikarenakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan motivasi siswa membuat. Pada kelas eksperimen II dengan penerapan model pembelajaran prediction, observation and explanation (POE) disiswa di minta membuat prediksi dari LKS yang diberikan oleh guru. Setelah membuat prediksi, siswa melakukan observasi dan terakhir evaluasi. Pada kelas eksperimen II banyak siswa mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan mereka belum mengenal materi yang akan di ajarkan.sehingga mereka kesulitan untuk membuat prediksi. Model pembelajaran prediction, observation and explanation (POE) banyak memiliki kekurangan yaitu 1) memerlukan persiapan yang lebih matang, terutama berkaitan penyajian persoalan kimia dan kegiatan eksperimen yang akan dilakukan untuk membuktikan prediksi yang diajukan peserta didik. 2) untuk melakukan pengamatan langsung memerlukan bahan-bahan, peralatan dan tempat yang memadai dan 3) untuk kegiatan eksperimen memerlukan kemampuan dan keterampilan yang khusus, sehingga guru dituntut untuk bekerja lebih professional Pertemuan pertama untuk kelas eksperimen II dari 35 siswa hanya 2 siswa yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar. Sisanya terlihat kurang aktif, hal ini mungkin disebabkan belum mampunya siswa mengikuti penerapan model pembelajaran Prediction, Observation and Explanation (POE) dimana disiswa di minta membuat prediksi. Sedangkan mereka saja belum mengenal materi yang akan di ajarkan. Pada kelas eksperimen II kendala yang ada timbul dari siswa yang masih terlihat kurang aktif dalam mengikuti KBM. Siswa tidak bersemangat dan tidak berminat dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi pasif (tidak aktif), siswa mengikuti pembelajaran tidak ada niat, tidak ada gairah dan keseriusan. Jika guru mengajukan pertanyaanpertanyaan, siswa hanya diam, tidak ada yang menjawab atau merespon guru. Salah satu solusi untuk mengatasi ini adalah guru memberikan penerapan model pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan siswa, Dari hasil penelitian terbukti bahwa penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning mampu meningkatkan hasil belajar fisika pada materi pengukuran.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Hal ini diperkuat berdasarkan hasil analisis data post-test Berdasarkan hasil analisis data post-test terdapat perbedaan hasil belajar antara kelas eksperimen I dengan kelas eksperimen II. Perbedaan hasil belajar yang disebabkan dari perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen I yang diajarkan dengan menggunkanan model pembelajaran problem based learning diperoleh nilai rata-rata berdasarkan uji-t pada taraf = 0,05, diperoleh thitung > ttabel (2,17 > 2,00) yang berarti h0 ditolak dan ha diterima. Rata-rata akhir hasil belajar fisika kelas eksperimen I sebesar 73,4 sedangkan pada kelas kelas eksperimen II sebesar 69,14. Menurut Triyanto[7], Dengan model pembelajaran problem based learning (PBL) mengajarkan siswa akan keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui permodelan perilaku tertentu dan kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat, dukungan dan suatu sistem scaffolding Selain itu, melalui pengajaran terbalik siswa diajarkan empat strategi pemahaman pengaturan diri spesifik yaitu perangkuman, pengajuan pertanyaan, pengklarifikasian dan prediksi sehingga siswa dituntut aktif selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.
V. Kesimpulan Berdasarlkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa hasila belajar fisika kelas eksperimen I lebih baik dari padda hasil belajar fisika kelas eksperimen II. Diperoleh thitung > ttabel (2,17 > 2,00) yang berarti h0 ditolak dan ha diterima yang berarti h0 ditolak dan ha diterima.
Kepustakaan [1]
[2] [3]
[4] [5] [6] [7]
Tampubolon, Togi dan Hambali, Taufi, Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Listrik Dinamis Kelas X MAS ’Ibadurrahman Stabat, vol.2, no.3, 2014, 190-198. Putra, Rizema, Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis SAINS. Jogjakarta: DIVA Press, 2012 Zulaeha., Darmadi, I Wayan., dan Werdhiana, Komang, Pengaruh Model Pembelajaran Predict, Observe, And Explain Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas X SMA Negeri 1., vol.2, no.2, 2014, 1-8 Suparno, Paul, Metodologi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2011 Sudjana, Metode Statistika, Bandung: Tarsito, 2005 Trianto, Model-Model Pembelajaran Inofatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007
Nama Penulis, pisahkan dengan tanda koma
54
Analisis pengelolaan peralatan praktikum fisika kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta menggunakan model countenance stake Hanin Fathan Nurfina Istiqomah, Dian Artha Kusumaningtyas Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan Jalan Prof. Dr. Soepomo, S.H., Umbulharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta 55164, Indonesia Surat-e: [email protected] Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan dan pengelolaan peralatan praktikum serta mengetahui hasil dari pengelolaan dan penggunaan peralatan praktikum fisika kelas XI di laboratorium fisika SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian evalusi model countenance stake. Subjek penelitian meliputi penanggungjawab laboratorium fisika, guru, laboran, dan siswa kelas XI MIA SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada akhir pelaksanaan praktikum pada semester genap tahun pelajaran 2015-2016. Data dikumpulkan dengan wawancara terstruktur, pengamatan (observasi), angket, dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan peralatan praktikum (masukan [antecedents]) yang terdiri dari sarana, prasarana dan alat praktikum tersedia sangat baik dengan persentase sebesar 78,16%. Pengelolaan laboratorium fisika (proses [ transaction]) yang terdiri dari persiapan pelaksanaan praktikum; kesiapan siswa, guru, laboran; dan pelaksanaan praktikum mendapatkan hasil sangat baik dengan persentase sebesar 81,78%. Hasil yang diperoleh (outcomes) dari ketersediaan dan pengelolaan peralatan praktikum di laboratorium fisika termasuk kategori baik (B+) dengan pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 100% dari total 233 siswa kelas XI MIA (Matematika dan Ilmu Alam) dan beberapa siswa berhasil meraih juara 1 Olimpiade Fisika. This research is aimed to know the availability, management of the laboratory equipment’s and also the result of maintaining and using physics laboratory equipment’s in 11th class of MIA SMA 1 Muhammadiyah Yogyakarta. And this evaluation research used “countenance stake” approach, hence, such as the objects of it is the physics laboratory care taker, teachers, laboratory assistant, and the students. This research was conducted in the last meeting of practicum on last semester 2015-2016 periods. The data was assembled by interview, observation, questionnaire and documentation. The result of this research indicates that the availability of equipment’s (antecedents) that consist of medium, infrastructure and the equipment’s of practicum is in good available condition within percentage 78,16%; Management physic laboratory (transaction) that consists of preparation to do practicum, student readiness, teachers, laboratory assistant, and the implementation of practicum achieved a good result within percentage is 81,78%. Meanwhile the result (outcomes) from the availability and management of equipment’s maintaining in physics laboratory categorized in well (B+) with achievement minimal total criteria (Kriteria Ketuntasan Minimal, KKM) in percentage is 100% from 233 students sit in 11th class of MIA SMA 1 Muhammadiyah Yogyakarta, moreover it was encouraged by achievement of some students who became 1st winner in national level physics Olympiad. Kata kunci: Pengelolaan, Praktikum, Fisika, Countenance Stake
I.
Pendahuluan
Tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam undang-undang nomor 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 adalah untuk
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab serta bertanggung jawab[1]. Demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sekolah sebagai
Hanin Fathan Nufina I., Dian Artha K.
55
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
lembaga penyelenggara pendidikan pun memiliki peranan yang sangat besar untuk keberhasilan suatu pendidikan. Mulai dari peran guru, lingkungan belajar sampai pada ketersediaan fasilitas belajar mengajar. Salah satu fasilitas dalam proses belajar mengajar yang tidak boleh dikesampingkan adalah Laboratorium. Dikemukakan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa laboratorium dan jenis peralatannya merupakan sarana dan prasana penting untuk penunjang proses pembelajaran di sekolah[2]. Apalagi dengan diberlakukannya Kurikulum 2013, siswa tidak hanya dituntut untuk membuktikan tetapi dituntut pula untuk dapat menemukan suatu konsep. Implementasi Kurikulum 2013 akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran yakni bagaimana agar isi kurikulum (Standar KompetensiKompetensi Dasar) dapat dikuasai oleh peserta didik secara tepat dan optimal. Interaksi antara peserta didik dengan lingkungan ditekankan pada perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Keterlaksanaan Kurikulum 2013 perlu ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai dan manajemen serta kepemimpinan yang baik. Berdasarkan observasi dan pendataan alat-alat praktikum Fisika saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Muhammadiyah 6 Yogyakarta pada September sampai Oktober 2015 dihasilkan bahwa saat ini SMA tersebut sudah dilengkapi dengan laboratorium fisika sebagai salah satu sarana untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Meskipun demikian, pengelolaan dan keterkaitannya dengan proses pembelajarannya kurang baik. Analisis evaluasi pengelolaan peralatan praktikum sangat diperlukan walaupun hanya sebagai pendukung pembelajaran fisika di kelas. Pendekatan evaluasi menggunakan pendekatan yang mencakup keseluruhan pendidikan atau sistem seperti model evaluasi countenance stake. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan yang sama di salah satu sekolah swasta yang menerapkan Kurikulum 2013 yaitu SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Sekolah ini dipilih karena pada tahun 2015 kembali dipercaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai satu-satunya SMA swasta tempat penyelenggaraan kegiatan nasional yaitu Olimpiade Sains Nasional (OSN) XIV Tahun 2015. Terkhusus venue di sekolah tersebut dipercayai untuk ditempati 3 cabang bidang keilmuan. Salah satunya adalah cabang fisika. Sedangkan untuk SMA Negeri yang juga sebagai tempat kegiatan, hanya dipercayai untuk 1 cabang olimpiade saja. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut peneliti melakukan penelitian “Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Berdasarkan Model Countenance Stake”.
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
II. Kajian Pustaka Ada beberapa referensi yang diambil yang membahas permasalahan yang hampir sama sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang akan dilakukan seperti yang dilakukan oleh Nur Khasanah[3], Marfian Cahya Winanda[4], dan N. Sundoro Katili, I Wayan Sadia serta Ketut Suma[5]. Berdasarkan penelitian terdahulu peneliti melihat bahwa analisis evaluasi pengelolaan peralatan laboratorium fisika sangat diperlukan untuk kepentingan perbaikan suatu proses pembelajaran praktikum fisika SMA pada Kurikulum 2013 yang diberlakukan sejak tahun ajaran 2013/2014. Laboratorium Laboratorium adalah suatu tempat untuk melaksanakan kegiatan percobaan, uji coba/eksperimen, pembuktian atas konsep-konsep, teori, azas hukum dan suatu aturan, kaedah/metode. Laboratorium IPA/Sains adalah tempat untuk melakukan kegiatan percobaan, uji coba/eksperimen, pembuktian atas azas, teori hukum dan konsep-konsep yang berkaitan dengan sains/Ilmu Pengetahuan Alam[6]. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 24 Tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana untuk SMA/MA, menetapkan bahwa setiap satuan pendidikan terutama SMA/MA harus memiliki berberapa aspek, terutama laboratorium. Laboratorium Fisika seperti yang tercantum dalam peraturan tersebut mempunyai beberapa kriteria yang harus dipenuhi seperti mampu menampung minimum satu rombongan, rasio minimum ruang laboratorium fisika 2,4 m2/peserta didik. Untuk rombongan belajar dengan peserta didik kurang dari 20 orang, luas minimum ruang laboratorium 48 m2 termasuk luas ruang penyimpanan dan persiapan 18 m2. Lebar ruang laboratorium fisika minimum 5 m, memiliki fasilitas dengan pencahayaan memadai untuk membaca buku dan mengamati obyek percobaan dan dilengkapi tersedianya peralatan khusus praktikum serta sarana sebagaimana tercantum dalam permendiknas ini[7]. Pengelolaan Laboratorium Pengelolaan laboratorium merupakan suatu proses pendayagunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu sasaran yang diharapkan secara optimal dengan memperhatikan keberlanjutan fungsi sumber daya[8]. Terdapat 6 (enam) unsur pokok dalam pengelolaan laboratorium yang menjadi dasar peningkatan dan pengembangan laboratorium. Keenam unsur pokok tersebut yakni : 1. Perencanaan (Planning) 2. Pengaturan (Organizing) 3. Regulating
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
56
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
4. Pencatatan (Administrating) 5. Pemeliharaan (Maintenance) 6. Keselamatan Laboratorium 7. Pendanaan (Funding)
3. Hasil yang Diperoleh (outcomes) yaitu efek atau dampak yang ditimbulkan dari pengalaman pembelajaran praktikum fisika a. Pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal b. Prestasi Mata Pelajaran Fisika
Model Countenance Stake Model ini secara garis besar memiliki dua kelengkapan utama yang tercakup dalam “data matrik”, yaitu matrik deskripsi dan matrik keputusan. Setiap matrik dibagi menjadi dua kolom, yaitu kolom tujuan dan kolom pengamatan. Pada kolom ini mencakup deskripsi matriks dan deskripsi standar sedangkan pada deskripsi keputusan berisi matrik pertimbangan (judgment matrix). Kedua matrik dibagi menjadi tiga baris yang secara vertikal atau dari atas ke bawah disebut sebagai baris awal (antecedent), transaksi (transaction), dan hasil (outcomes)[10]. Adapun kelebihan dari evaluasi model countenance antara lain: 1. Memiliki pendekatan yang holistic dalam evaluasi yang bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail atau luas terhadap suatu proyek, mulai dari konteknya hingga saat proses penerapannya. 2. Lebih komprehensif atau lebih lengkap menyaring informasi. 3. Mampu memberikan dasar yang baik dalam mengambil keputusan dan kebijakan maupun penyusunan program selanjutnya. 4. Mampu mengetahui ketercapaian standar yang telah ditentukan serta dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat ataupun mendukung keberhasilan program
III. Metode Penelitian/Eksperimen Analisis pengelolaan peralatan laboratorium fisika ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Model analisis yang digunakan termasuk model evaluatif yaitu model yaitu model countenance stake yang dikembangkan pertama kali oleh stake. Matrik countenance stake terlampir. Desain penelitian ini memiliki 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, analisis data, analisis keseuaian, dan evalusi. Pada tahap perencanaan terdapat standar objektif yang telah ditentukan yaitu : 1. Masukan (antecedents) yaitu ketersediaan peralatan praktikum fisika a. Saana dan prasarana laboratorium fisika b. Alat percobaan fisika kelas XI 2. Proses (transactions) yaitu pengelolaan peralatan praktikum fisika a. Persiapan pelaksanaan praktikum fisika b. Kesiapan guru fisika kelas XI c. Kesiapan siswa kelas XI d. Pelaksanaan praktikum fisika kelas XI e. Pelaksanaan praktikum fisika kelas XI
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
Penelitian dilakukan di SMA Muhammadiyah Kota Yogyakarta yang melanjutkan penerapan Kurikulum 2013 yaitu SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Sumber data meliputi penanggungjawab laboratorium fisika, guru mata pelajaran fisika kelas XI, laboran laboratorium fisika, siswa kelas XI, dokumen administrasi dan peralatan praktikum. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik wawancara, teknik observasi, teknik kuesioner, dan teknik dokumentasi. Setelah instrumen pengumpulan data di buat, validitas intrumen berupa validitas isi (content validity) yang merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap kalayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten melalui expert judgment (penilaian ahli)[11]. Maka dihasilkan instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, angket, dan alat dokumentasi yang berupa kamera, perekam suara, buku catatan. Data yang telah diperoleh selanjutnya di analisis dengan mengikuti beberapa tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan data. Pada tahapan reduksi terdapat beberapa cara analisis reduksi data, antara lain sebagai berikut : 1. Hasil Wawancara Informasi, keterangan, pendapat atau komentar disimpulkan sesuai tujuan wawancara 2. Hasil Pengamatan Lembar pengamatan menggunakan skala Guttman, analisis pada instrumen menerapkan analisis data proporsi (persentase)[12]. Hasil yang diperoleh dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : S
(1)
R 100% N
dengan: S = nilai yang diharapkan (%) R = jumlah skor dari item yang dijawab N = skor maksimum dari instrumen Kemudian hasil data kuantitatif diubah menjadi kategori kualitas dengan persentase sebagai berikut : Tabel 1. Tabel Pemaknaan Persentase 1 Kategori Ideal Tidak Ideal
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
Kategori Baik Tidak Baik
Nilai Persentase 51%
57
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
3. Hasil Angket (Kuesioner) Angket menggunakan skala likert, analisis pada instrumen menerapkan analisis data proporsi persamaan 1. Kemudian hasil data kuantitatif diubah menjadi kategori kualitas dengan persentase sebagai berikut : Tabel 2. Tabel Pemaknaan Persentase 1I Kategori Sangat Baik Baik Kurang Baik Tidak Baik
Nilai Persentase 76%
Khsus angket ksiapan siswa menggunakan pilihan kategori Selalu, Sering, Jarang Sekali, dan Tidak Pernah dihitung dengan menentukan skor jawaban masing-msing. Berikut kriteria masing-masing jawaban:
Selalu
Pertanyaan Positif Nomor Soal: 1,3,4,5,6,7,8,9,10 Pertanyaan Negatif Nomor Soal : 2
Skor Kriteria Jarang Sering Sekali
4
3
1
Gambaran mengenai analisis pengelolaan peralatan praktikum fisika kelas XI terlihat dari hasil data yang telah dianalisis. Standar objektik yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan menjadi acuan dalam pengolahan data. Ketersediaan peralatan praktikum kelas XI termasuk dalam tahapan masukan (antecedents). Berikut peralatan praktikum yang telah dianalisis : 1. Sarana dan Prasarana Laboratorium Fisika Keberadaan fasilitas dan bahan praktik harus layak antara lain yaitu tersedianya alat-alat dan bahan dalam proses praktikum Fisika kelas XI. Berikut data yang telah dianalisis : Tabel 5. Hasil Pengamatan Terhadap Sarana dan Prasarana Kategori Alat
Tabel 3. Tabel Skor Tiap Kategori Jenis Pertanyaan
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tidak Pernah
2
2
1
3
4
Selanjutnya menentukan skor ideal dengan persamaan berikut :
A. Perabot B. Peralatan Dasar C. Media Pendidikan D. Perlengkapan lain E. Perlengkapan Pendukung Rata-Rata
Persentase
Persentase
Tersedia
Standar
85,71 74,21
RataRata
Kriteria
78,57 77,16
82,14 75,68
Ideal Ideal
100
100
100
Ideal
80
80
80
Ideal
80
100
90
Ideal
85,56
Ideal
(%)
(%)
Sarana dan prasarana laboratorium fisika tersedia dengan baik dan ideal dengan skor rata-rata 85,56%. Berikut grafik persentase hasi pengamatannya :
(2)
Skor Kriterium = Nilai Skala x Jumlah Responden
100
Data kuantitatif diubah menjadi kualitatif dengan nilai skor berikut : Tabel 4. Tabel Pemaknaan Angket Kesiapan Siswa Rumus 4 x 20 3 x 20 2 x 20 1 x 20
Skor Tiap Kriterium 80 60 40 20
Nilai Skor 61-80 41-60 21-40 0-20
60 40
Kategori Sangat Baik Baik Kurang Baik Tidak Baik
4. Hasil Dokumentasi Hasil yang diperoleh berupa dokumen administrasi pendukung dan foto proses pelaksanaan praktikum diolah dan dipelajari menggunakan analisis konten (kajian isi).
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
80
20 0 A
B
C
D
E
Gambar 1. Grafik persentase hasil pengamatan terhadap sarana dan prasarana laboratorium fisika
2. Alat Praktikum Fisika Materi pokok yang dapat dipraktikumkan berdasarkan kompetensi inti 4 silabus fisika kelas XI SMA Kurikulum 2013 antar alain kinematika dengan analisis vektor; usaha dan energi; gerak harmonik sederhana; keseimbangan dan dinamika benda tegar; fluida dinamis; dan karakteristik gelombang. Berdasarkan materi pokok berikut percobaan fisika
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
58
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
yang seharusnya dipraktikumkan antara lain percobaan gerak melingkar, hukum kekekalan energi, hooke, keseimbangan benda tegar, bejana berhubungan, dan resonansi bunyi atau sonometer. Berikut data yang telah dianalisis : Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Alat Praktikum Percobaan
Persentase
Persentase
Tersedia
Standar
(%)
A. Gerak Melingkar B. Hukum Kekekalan Energi C. Hooke D. Kesimbangan Benda Tegar E. Bejana Berhubungan F. Resonansi Bunyi G. Manual Percobaan Rata-Rata
(%)
RataRata
Kriteria
56,36
42,86
49,61
Tidak Ideal
70
57,14
63,57
Ideal
100
80
90
Ideal
100
100
100
Ideal
75
33,34
54,17
Ideal
42,86
33,34
38,10
Tidak Ideal
100
100
100
Ideal
70,78
Ideal
Alat percobaan praktikum fisika tersedia dengan baik dan ideal dengan skor rata-rata 70,78%. Berikut grafik persentase hasi pengamatannya : 100 80 60 40 20 0 A
B
C
D
E
F
G
Gambar 2. Grafik persentase hasil pengamatan terhadap alat percobaan praktikum fisika
Pengelolaan laboratorium fisika termasuk dalam tahapan proses (transaction). Berikut pengelolaan laboratorium fisika khususnya pengelolaan praktikum fisika kelas XI yang telah dianalisis : 1. Persiapan Pelaksanaan Praktikum Fisika Pengelolaan laboratorium fisika yang baik sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu persiapan pelaksanaan praktikum adalah suatu bagian proses yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan laboratorium sehari-hari. Hasil analisis data angket persiapan pelaksanaan praktikum fisika menggunakan persamaan (I) disajikan ke dalam tabel berikut :
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
Tabel 7. Hasil Analisis Angket Terhadap Perispan Praktikum
Persentase
Indikator
(%) 91,07 95,31 100 100 87,50
A. Pengaturan (Organizing) B. Regulasi (Regulating) C. Pencatatan (Administrating) D. Pemeliharaan (Maintenance) E. Keselamatan Laboratorium
Kriteria Sangat Ideal Sangat Ideal Sangat Ideal Sangat Ideal Sangat Ideal
Persiapan pelaksanaan praktikum fisika sangat ideal dengan skor rata-rata 94,77%. Berikut grafik persentase hasi angket : 100 95 90 85 80 A
B
C
D
E
Gambar 3. Grafik persentase hasil angket terhadap persiapan pelaksanaan praktikum
2. Kesiapan Guru Fisika Kesiapan guru fisika sudah baik dan ideal. Berdasarkan hasil wawancara terhadap guru fisika kelas XI bahwa petunjuk praktikum sebagai panduan pelaksanaan setiap praktikum kelas XI telah disiapkan. Alat dan bahan sudah tercatat rapi di lembar petunjuk setiap percobaan sebagai panduan laboran sebelum pelaksanaan praktikum setiap percobaan. Secara umum terdapat buku petunjuk praktikum dan lembar kerja siswa yang dibagikan (lembaran petunjuk praktikum) setiap akan melakukan praktikum. Pretest tidak dilakukan karena waktu yang tidak mencukupi dan posttest dilakukan pada setiap akhir semester sebagai bentuk evaluasi dan penilaian akhir siswa. Tata tertib dan jadwal dibuat agar kegiatan praktikum dapat berjalan lancar dan tercipta kedisiplinan di laboratorium. 3. Kesiapan Laboran Kesiapan laboran baik. Peralatan dan bahan selalu dipersiapkan sebelum praktikum dimulai sesuai dengan petunjuk setiap percobaannya. Selain itu lembar kerja siswa beserta lembar petunjuk praktikum, presensi tiap kelompok serta presensi guru seslalu disiapkan sebelum praktikum dimulai. 4. Kesiapan Siswa Persiapan siswa kelas XI MIA sebelum melaksanakan praktikum fisika di laboratorium fisika diukur menggunakan angket terbuka meliputi 10 pertanyaan yaitu kehadiran, perlangkapan yang harus di bawa dan yang tidak boleh di bawa, petunjuk praktikum, dan materi yang perlu dipelajari sebleum melaksanakan
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
59
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
praktikum. Hasil analisis data angket kesiapan siswa menggunakan persamaan (2) disajikan ke dalam tabel berikut :
100 80 60
Tabel 8. Hasil Analisis Angket Terhadap Kesiapan Siswa
40
Skor
Kriteria
20 0
Pertanyaan
Kategori
(%)
P1
Sering
50
64
Sangat Baik
P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
Tidak Pernah Jarang Sekali Sering Tidak Pernah Selalu Sering Jarang Sekali Jarang Sekali Sering
65 40 45 45 50 60 45 70 75
69 51 59 36 68 68 39 40 55
Sangat Baik Baik Baik Kurang Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Kurang Baik Baik
Kriterium
Kesiapan siswa baik dengan skor kriterium rata-rata 54,90%. Berikut grafik persentase hasi angket : 70 60 50 40 30
Awal
Proses
Akhir
Gambar 5. Grafik persentase hasil pengamatan terhadap pelaksanaan praktikum
Hasil yang diperoleh (Outcomes) dari ketersediaan dan pengelolaan praktikum fisika kelas XI yang telah dibahas di atas dapat diketahui melalui analisis hasil belajar berikut : 1. Pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Hasil belajar yang diperoleh siswa dalam memenuhi standar kompetensi dasar Kurikulum 2013 praktikum fisika kelas XI dapat dilihat dari pencapaian KKM (Nilai Minimal 75). Seluruh siswa kelas XI (100%) mampu mencapai nilai KKM. Berikut data nilai disajikan dalam tabel berikut : Tabel 10. Nilai Akhir Praktikum Fisika Kelas XI T.A 2015-2016
20 10 0 P1 P2
P3 P4 P5
P6 P7 P8
P9 P10
Gambar 4. Grafik skor kriterium hasil angket terhadap kesiapan siswa
5. Pelaksanaan Praktikum Fisika Proses pelaksanaan praktikum berlangsung dari awal kegiatan sampai berakhirnya kegiatan praktikum. Pelaksanan praktikum ini melibatkan siswa, guru dan laboratorium. Hasil pengamatan terhadap palaksanaan praktikum kelas XI disajikan dalam tabel berikut : Tabel 9. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan Praktikum Aspek Awal Kegiatan Proses Kegiatan Akhir Kegiatan
Persentase (%)
Kriteria
100 89,37 41,67
Baik Baik Tidak Baik
Pelaksanaan praktikum fisika kelas XI baik dengan skor rata-rata 77,01%. Berikut grafik persentase hasil angket :
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
Nilai
Jumlah (Siswa)
Keterangan
75 76 78 80 82
20 6 7 123 77
Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas
Persentase (%) 8,58 2,59 3,00 52,78 33,05
Pencapaian minimal KKM dicapai 100% dari jumlah 233 siswa. Berikut grafik persentase niai akhir : 60 50 40 30 20 10 0 75
76
78
80
82
Gambar 6. Grafik persentase nilai akhir praktikum fisika kelas XI
2. Prestasi Prestasi yang ditorehkan antara lain juara 1 Olimpiade Fisika atas nama Muhammad Fahmi Rasyid dan kawan-kawan pada kegiatan MOPHYCS (Momentum Of Physics) 2016 Universitas Muhammadiyah Purworejo
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
60
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
V. Kesimpulan
[8]
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ketersediaan peralatan praktikum (masukan [antecedents]) sebagai dukungan fisik pelaksanaan kegiatan praktikum fisika tahun pelajaran 2015-2016 di laboratorium fisika yang terdiri dari sarana, prasarana dan alat percobaan praktikum tersedia sangat baik dengan persentase sebesar 78,16%. 2. Pengelolaan laboratorium fisika (proses [transaction]) tahun pelajaran 2015-2016 yang terdiri dari persiapan pelaksanaan praktikum; kesiapan siswa, guru, laboran; dan pelaksanaan praktikum mendapatkan hasil sangat baik dengan persentase sebesar 81,78%. 3. Hasil (outcomes) dari ketersediaan dan pengelolaan peratalan praktikum di laboratorium fisika tahun pelajaran 2015-2016 termasuk kategori baik dengan pencapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 100% dari total 233 siswa kelas XI MIA ( Matematika dan Ilmu Alam) dan beberapa siswa mampu meraih juara 1 Olimpiade Fisika Region Jawa Tengah-DIY
[9]
Decaprio, Richard. 2013. Tips Mengelola Laboratorium Sekolah (IPA, Bahasa, Komputer, dan Kimia). Yogyakarta: Diva Press Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Kepala Biro Hukum dan
Organisai [10] Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan : Prinsip dan Operasionalnya. Yogyakarta : Bumi Aksara. [11] Hendryadi. 2014. Content Validity (Validitas Isi). Teori On Line Personal Paper, 1. [12] Purwanto, N.M. 2012. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Kepustakaan [1]
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang
[2]
Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Peraturan
[3]
Negara Republik Indonesia Khasanah, Nur. 2013. Studi Kelengkapan dan Pemanfaatan Alat
[4]
Yogyakarta: Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Winanda, Cahya Marfian. 2013. Studi Pengelolaan
[5]
Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember. Katili, N. Sundoro dkk. 2013. Analisis Sarana dan Intensitas
[6]
[7]
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Jendral Republik
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Sekretariat Praktikum Fisika Kelas X SMA Sebagai Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di Kota Yogyakarta.
Laboratorium Fisika 8 SMA Negeri di Kabupaten Bondowoso Tahun 2012/2013. Jember: Pendidikan Fisika Jurusan
Penggunaan Laboratorium Fisika serta Kontribusinya Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA Negeri di Kabupaten Jembrana. Bali:
E-Journal Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol. III. Kancono. 2010. Manajemen Laboratorium IPA Persiapan Bagi Pendidik, Mahasiswa dan Laboran IPA. Bengkulu: Unit Penerbitan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2007.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
Standar Sarana dan Prasarana Untuk SMA/MA. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
61
Analisis Pengelolaan Peralatan Praktikum Fisika Kelas XI SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta Menggunakan Model Countenance Stake
JRKPF UAD Vol.3 No.1 Oktober 2016
Hanin Fathan N.I., Dian Artha K.
62
Penerapan metode pembelajaran resitasi dan treffinger dalam pembelajaran fisika Fajar Fitri Pendidikan Fisika, Universitas Ahmad Dahlan Jl. Prof. Dr. Supomo, S.H. Warungboto Yogyakarta Surat-e: [email protected] Masyarakat tahun 2020 harus mampu bersaing secara global dengan bangsa lain. Mahasiswa Pendidikan Fisika selama ini masih memiliki kemampuan yang kurang dalam hal pemecahan masalah menggunakan konsep fisika, terutama pada matakuliah Mekanika. Diantara metode pembelajaran yang mampu membekali mahasiswa untuk memiliki berbagai kemampuan terutama dalam hal memecahkan masalah, berdiskusi, dan mengemukakan gagasan adalah metode pembelajaran Resitasi dan Treffinger. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha membedakan penerapan metode pembelajaran Resitasi dan Treffinger terhadap penguasaan konsep dan keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran fisika. Metode penelitian yang digunakan adalah Kuasi Eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa prodi pendidikan fisika, sedangkan sampelnya adalah mahasiswa prodi pendidikan fisika UAD yang sedang menempuh mata kuliah mekanika pada kelas A dan B. Pre tes terhadap pemahaman konsep siswa diberikan sebelum pembelajaran berlangsung, dan pos tes diberikan setelah pembelajaran berlangsung. Observasi terhadap keaktifan mahasiswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung. Hasil observasi selama proses pembelajaran pada kelas A dibandingkan dengan kelas B sehingga diperoleh metode pembelajaran mana yang lebih dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keaktifan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada mahasiswa kelas A (dengan metode resitasi) pemahaman konsep mahasiswa lebih tinggi dan signifikan dibandingkan dengan mahasiswa kelas B. Rata-rata pos tes mahasiswa kelas A adalah 9,2 sedangkan rata-rata pos tes kelas B adalah 8,5. Dari sisi keaktifan mahasiswanya, ternyata berlaku sebaliknya yakni pada kelas B keaktifan mahasiswanya lebih tinggi dibandingkan dengan kelas A. Rata-rata skor observasi kelas A sebesar 19,5 sedangkan rata-rata pada kelas B adalah 25,5. Community by 2020 should be able to compete globally with other nations. The Students of Physics Education still have less ability in problem solving using concepts of physics, particularly on the subject Mechanics. Among the learning method that is capable give the students to have a wide range of capabilities, especially in solving the problems, discuss, and put forward the idea of learning is a method of Recitation and Treffinger. This research distinguishes the application of Treffinger and Resitation learning methode towards mastery of concepts and activeness of students in learning physics. The method used is Quasi Experiment. The population in this study were students of physics department of education, while the sample is student education department of physics UAD who are taking courses in the mechanics of class A and B. Pre test given before the learning takes place, and post test given after the learning takes place. Observations on the activity of the students do during the learning takes place. Observed during the learning process on the class A class B compared with that obtained by the learning method which could further enhance the understanding of the concept and activity of students. The results showed that the students of class A (the method of Recitation), the student conceptual understanding is significantly higher than the students of class B. The average post test of class A was 9.2 while the average post test of class B is 8.5. The activity of the students in class B is higher than class A. From the observation, the average score in the class A is 19.5 while the average in the class B is 25.5. Kata kunci: maksimal lima kata kunci, pisahkan dengan tanda koma
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Fajar Fitri
63
Penerapan Metode Pembelajaran Resitasi dan Treffinger dalam Pembelajaran Fisika
I.
Pendahuluan
Pendidikan di bangku perkuliahan harus mampu menjawab tantangan di era globalisasi. Masyarakat tahun 2020 harus mampu bersaing secara global dengan bangsa lain. Hal ini harus disikapi secara serius agar nantinya lulusan Perguruan Tinggi mampu bersaing dengan masyarakat secara internasional. Berbagai metode pembelajaran terus dikembangkan agar mahasiswa bisa mencapai kompetensi yang diharapkan ini. Mata kuliah mekanika merupakan mata kuliah yang harus difahami benar-benar oleh mahasiswa prodi Pendidikan Fisika, karena mata kuliah ini berisikan materi dasar yang nantinya akan mereka ajarkan kepada siswa bangku sekolah menengah. Tanpa memahami konsep dasar mata kuliah mekanika ini maka dapat dikatakan mahasiswa gagal menjadi calon guru fisika yang baik. Agar bisa memahami materi secara baik, mahasiswa juga dituntut untuk aktif selama proses perkuliahan. Keaktifan itu bisa berupa diskusi saat proses pembelajaran, maupun aktif mengerjakan soal-soal latihan terkait materi Mekanika. Metode Resitasi[1] adalah guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian harus mempertanggungjawabkannya. Siswa dibebaskan mengerjakan tugas baik di sekolah, perpustakaan, maupun di rumah. Dengan demikian, ketika memecahkan persoalan, siswa lebih kreatif dan mencari solusi dari berbagai sumber belajar. Harapannya dengan metode resitasi ini, siswa mampu belajar dari lingkungan nyata. Model Treffinger adalah seperangkat cara dan prosedur kegiatan belajar yang tahap-tahapannya meliputi orientasi, pemahaman diri dan kelompok, pengembangan kelancaran dan kelenturan berfikir dan bersikap kreatif, pemacu gagasan-gagasan kreatif, serta pengembangan kemampuan memecahkan masalah yang lebih nyata dan kompleks. Dengan demikian peneliti berusaha ingin membandingkan bagaimana penerapan metode Resitasi dan Traffinger ini dalam meningkatkan pemahaman konsep dan keaktifan mahasiswa prodi Pendidikan Fisika pada mata kuliah Mekanika. Dengan demikian akan diperoleh suatu metode pembelajaran yang tepat diterapkan sebagai upaya untuk membekali mahasiswa agar memiliki kemampuan mengajarkan materi fisika di bangku sekolah menengah dan dapat digunakan di dalam menghadapi persaingan global nantinya.
II. Kajian Pustaka Metode Pembelajaran Resitasi
Metode Resitasi[1] adalah guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
harus mempertanggungjawabkannya. Pembelajaran Resitasi menurut pendapat yang lain[2] adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Masalah tugas yang diberikan siswa dapat dilakukan di kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa atau dimana saja asal tugas itu dapat dikerjakan. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa metode resitasi adalah pemberian tugas kepada siswa yang dikerjakan di luar jam pelajaran, kemudian siswa mempertanggung jawabkan hasil pengerjaannya pada proses pembelajaran berikutnya. Dalam metode ini terdapat tiga fase yakni pemberian tugas oleh guru, pelaksanaan tugas oleh siswa, dan pertanggungjawaban hasil tugas oleh siswa. Langkahlangkah yang ditempuh dalam pendekatan pelaksanaan metode Resitasi terstruktur yaitu[3]: 1) Tugas yang diberikan harus jelas 2) Tempat dan lama waktu penyelesaian tugas harus jelas. 3) Tugas yang diberikan terlebih dahulu dijelaskan/diberikan petunjuk yang jelas, agar siswa yang belum mampu memahami tugas itu berupaya untuk menyelesaikannya. 4) Guru harus memberikan bimbingan utamanya kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar atau salah arah dalam mengerjakan tugas. 5) Memberi dorongan terutama bagi siswa yang lambat atau kurang bergairah mengerjakan tugas. Metode Pembelajaran Treffinger
Metode Pembelajaran Treffinger merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mendorong belajar kreatif. Treffinger menggambarkan proses kreatif sebagai rangkaian tahapan di mana masalah yang diselesaikan secara sistematis. Menurut Treffinger, digagasnya model ini adalah karena perkembangan zaman terus berubah dengan cepat dan semakin kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi. Karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan suatu cara agar dapat menyelesaikan suatu permasalahan dan menghasilkan solusi yang paling tepat. Yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memperhatikan fakta-fakta penting yang ada di lingkungan sekitar kemudian memunculkan berbagai ide atau gagasan dan memilih solusi yang tepat untuk kemudian diimplementasikan secara nyata[4]. Langkah-langkah pembelajaran model Treffinger dimulai dari tingkat I, dilanjutkan tingkat II, dan tingkat III. Kegiatan pembelajaran tingkat I, yaitu: 1) pemberian masalah terbuka, 2) siswa melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau idenya,
Fajar Fitri
64
Penerapan Metode Pembelajaran Resitasi dan Treffinger dalam Pembelajaran Fisika
3) guru memberikan suatu masalah terbuka operasi hitung pecahan dengan jawaban lebih dari satu selesaian, 4) guru memberikan lembar tugas, untuk menuliskan gagasan dengan cara mendaftar sesuai kreativitas. Kegiatan pembelajaran tingkat II, yaitu: 1) memberikan kegiatan yang menantang, 2) berdiskusi untuk bermain, 3) memberikan contoh analog atau kiasan dari kata penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, 4) memberikan suatu cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari tentang operasi hitung pecahan, 5) membuat kesimpulan terhadap penyelesaian masalah operasi hitung pecahan. Kegiatan pembelajaran tingkat III, yaitu: 1) memberikan suatu masalah dalam kehidupan seharihari, 2) siswa membuat cerita yang berkaitan dengan operasi hitung pecahan dan membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri, 3) menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, 4) siswa menyebutkan langkah-langkah dalam menyelesaikan suatu masalah, 5) memberikan suatu masalah dalam bentuk narasi dan dialog, kemudian diselesaikan siswa sesuai dengan ide kreatifnya, 6) pemberian reward. Keaktifan
Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan[5]. Belajar yang berhasil harus melalui berbagai macam aktifitas baik aktifitas fisik maupun psikis. Keaktifan siswa di dalam kegiatan belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses pembelajaran. Segala pengetahuan harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri dengan fasilitas yang diciptakan sendiri baik secara rohani maupun teknik. Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar yang optimal sehingga dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
III. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah Penelitian Kuasi Eksperimen. Dalam kuasi eksperimen ini terdapat 2 kelas eksperimen. Satu kelas diberikan metode pembelajaran Resitasi dan kelas yang lain diberikan metode pembelajaran Treffinger. Pre tes yang berupa tes pemahaman konsep diberikan sebelum pembelajaran berlangsung, sedangkan pos tes diberikan setelah pembelajaran berlangsung. Pos tes kedua kelas dibandingkan untuk diketahui kelas mana yang memiliki pemahaman konsep lebih tinggi. Observasi dilakukan selama proses pembelajaran. Observasi pada saat proses pembelajaran digunakan untuk mengetahui aktivitas mahasiswa ketika melakukan pembelajaran dengan metode pembelajaran Resitasi dan metode pembelajaran Treffinger. Hasil observasi keaktifan mahasiswa dibandingkan pada kedua kelas untuk dapat diketahui kelas mana yang tingkat keaktifan mahasiswanya lebih tinggi. Adapun desain penelitiannya digambarkan sebagai berikut: Tabel 1. Desain Penelitian Kelas
Pre tes
A B
V V
Metode Pembelajaran Resitasi Treffinger
Pos tes V V
Instrumen dalam penelitian ini adalah RPP, pre tes, pos tes, dan lembar observasi keaktifan mahasiswa. Lembar observasi keaktifan siswa meliputi delapan aspek keaktifan yakni: 1) Mahasiswa memperhatikan penjelasan dosen 2) Mahasiswa membaca referensi 3) Mahasiswa mampu menyampaikan pendapat 4) Mahasiswa mendengarkan pendapat teman 5) Mahasiswa menyalin materi yang disampaikan dosen 6) Mahasiswa membuat ringkasan/rangkuman 7) Mahasiswa mampu menganalisis suatu permasalahan berdasarkan konsep yang telah dipelajari 8) Mahasiswa mampu memecahkan soal yang diberikan oleh dosen Tes pemahaman konsep mahasiswa diukur berdasarkan Taksonomi Bloom Ranah Kognitif tipe C1, C2, C3, dan C4. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Uji pemahaman konsep mahasiswa dilakukan dengan membandingkan nilai pos tes mahasiswa kelas A dan kelas B. Uji hipotesis yang digunakan adalah melalui uji T dengan program SPSS 16. Jika probabilitas nilai t atau signifikansi < 0,05, maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Namun, jika probabilitas nilai t atau signifikansi > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara masing-masing variabel bebas terhadap variabel
Fajar Fitri
65
Penerapan Metode Pembelajaran Resitasi dan Treffinger dalam Pembelajaran Fisika
terikat. Observasi penilaian aktifitas mahasiswa diberikan skor antara 1 sampai dengan 4. Persentase pengaruh metode pembelajaran terhadap peningkatan keaktifan mahasiswa dihitung dengan menggunakan rumus Persentase Keberhasilan (PK) sebagai berikut: PK
Jumlah skor yang dicapai 100% Jumlah skor maksimum
(1)
V. Kesimpulan Metode pembelajaran Resitasi lebih meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa dibandingkan dengan metode pembelajaran Treffinger. Sebaliknya metode pembelajaran Treffinger lebih meningkatkan keaktifan mahasiswa disbanding dengan metode pembelajaran Resitasi.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata nilai pre tes dan pos tes mahasiswa pada kelas A (dikenai pembelajaran Resitasi) dan kelas B (dikenai metode pembelajaran Treffinger) adalah seperti ditampilkan pada tabel 2. di bawah ini. Tabel 2. Nilai Rata-rata Pre tes dan Pos tes Mahasiswa Kelas
Rata-rata pre tes
Rata-rata pos tes
A (Resitasi) B (Treffinger)
5,2 5,2
9,2 8,5
Kepustakaan [1] [2] [3] [4] [5]
Mansyur. (1996). Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Depdiknas. Syaiful Bahri Djamarah dan Azwan Zain. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sudirman, dkk. (1992). Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Scott G Isaksen & Donald Treffinger. (1985). Creative Problem Solving: The Basic Course. Buffalo, NY: Bearly Ltd. Sardiman. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dari tabel dapat dilihat bahwa pada kelas A nilai pos tes mahasiswa lebih tinggi dibandingkan pada kelas B. Berdasarkan hasil observasi keaktifan mahasiswa, didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Gambar 1. Grafik Hasil Observasi Keaktifan Mahasiswa pada Kelas A dan kelas B
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pada kelas B, mahasiswa cenderung lebih aktif dibandingkan pada kelas A. Hanya pada indikator no 2 saja skor kelas A lebih tinggi disbanding kelas B yakni pada indikator “Mahasiswa aktif membaca referensi”. Pada kelas A mahasiswa lebih banyak membaca referensi karena tugas diberikan di luar jam pelajaran sehingga memungkinkan bagi mahasiswa untuk mencari referensi dari sumber manapun. Namun, dalam penelitian ini masih memiliki kendala yakni terbatasnya jumlah buku yang bisa diakses oleh mahasiswa di perpustakaan sehingga mahasiswa lebih banyak mencari referensi secara online.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Fajar Fitri
66
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana longsor di Kabupaten Banjarnegara Sehah, Abdullah Nur Aziz, dan Sukmaji Anom Raharjo Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Jenderal Soedirman Jalan Dr. Suparno No.61 Karangwangkal Purwokerto Jawa Tengah Suret-e: [email protected] Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana longsor telah dilaksanakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Kegiatan bertujuan untuk melakukan sosialisasi teknis dasar pemetaan dan pelatihan teknis pembuatan peta kontur topografi menggunakan perangkat lunak Surfer untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Metode yang digunakan adalah perpaduan ceramah dan diskusi yang dipadukan dengan praktek. Setelah dilakukan pelatihan, sebagian besar peserta memberikan respon positif dan terdapat keinginan untuk mengimplementasikan dan menyebarluaskan hasilhasil pelatihan. Indeks capaian rata-rata keberhasilan pelatihan berdasarkan hasil pengisian kuisioner adalah 75,69% dengan indeks capaian tertinggi adalah 92,24% dan indeks capaian terendah adalah 56,90%. Tingkat pemahaman peserta terhadap materi pelatihan cukup baik, meskipun masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil rekapitulasi nilai pre-test dan post-test. Nilai rata-rata pre-test adalah 5,96 dan post-test adalah 6,95. Dengan demikian terdapat kenaikan nilai sebesar 12,14%. Salah satu faktor keberhasilan pelatihan adalah adanya dukungan dari pihak sekolah dan tersedianya fasilitas komputer di Laboratorium Komputer SMK Negeri 1 Mandiraja. Salah satu faktor penghambatnya adalah banyaknya peserta kegiatan yang kesulitan dalam mempraktekkan penggunaan perangkat lunak Surfer untuk membuat peta kontur, sehingga diperlukan bimbingan teknis lanjutan. The development of the training model of creating of the topographic contour map to early identify the landslide gristle zones has been done in the First State Vocational Middle School (SMK) of Mandiraja, Regency of Banjarnegara. The purpose of this activity is to do technical socialization of basic of mapping and technical training of creating of the topographic contour map using the Surfer software to early identify the landslide gristle zones in the Regency of Banjarnegara. The method used in the training is combination of lecture, discuss, and practical. After this activities has been done, the largely participant give positive response and there is wish to implement and disseminate the activities results. The successfulness average attainment index of this training based on the quiz inlay result is 75.69%; with highest index is 92.24% and lowest index is 56.90%. The understanding of participant of the training on the training matters have rather good although still need be improved. It can be known from recapitulation results of pre-test and post-test values. The average pre-test value is 5.96 and the average posttest value is 6.95. Thus, there is a ascension from pre-test value to post-test value about of 12.14%. One of the successfulness factors of the activity is supporting from the chairman of school and available of computer in the Computer Laboratory of the First State Vocational Middle School (SMK) of Mandiraja. And one of the resistance factors is many participants which have difficulty to practice how procedure of utilizing of the Surfer software to create a contour map, so required by advanced technical guidance. Kata kunci: pelatihan, peta kontur, data topografi, rawan longsor, Kabupaten Banjarnegara.
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
67
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara
I.
Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang No. 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana Alam[1], bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai akibat faktor alam, non alam, atau ulah tangan manusia sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta dampak psikologis. Bencana alam didefinisikan sebagai bencana akibat serangkaian peristiwa alam seperti gempabumi, tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, dan gunung meletus. Berdasarkan tinjauan geologi, tanah longsor didefinisikan sebagai proses perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah permukaan, atau material campuran yang bergerak meluncur ke bawah atau ke luar lereng. Tanah longsor merupakan bencana alam yang dapat terjadi dimana dan kapan saja, dan umumnya mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, sarana, prasarana serta dampak negatif lainnya dalam kehidupan sosial dan ekonomi[2]. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Kabupaten Banjarnegara terletak pada posisi 7°12' LS – 7°31' LS dan 109°29' BT – 109°46' BT dengan luas wilayah 106.970,997 hektar atau kira-kira 3,1 % dari keseluruhan wilayah Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di utara, Kabupaten Wonosobo di timur, Kabupaten Kebumen di selatan, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga di barat. Sebagian besar topografi wilayah Banjarnegara (lebih dari 65%) terletak pada ketinggian 100 – 1000 meter di atas permukaan air laut. Di wilayah ini terdapat Sungai Serayu yang mengalir menuju ke arah barat dan anak-anak sungainya seperti Kali Tulis, Kali Pekacangan, Kali Sapi, Kali Gintung, dan Kali Merawu. Secara umum Kabupaten Banjarnegara memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata 3.000 milimeter per tahun, serta temperatur udara berkisar antara 20°C – 26°C[3]. Longsor skala besar terbaru terjadi di Dusun Jemblung, Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara yang memiliki topografi bergelombang yang kuat dan curam hingga pegunungan, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Daerah tersebut masuk ke dalam zona Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan yang membujur arah barat – timur dan dipisahkan Sungai Serayu yang membentuk lembah serta kondisi geologi yang komplek[4]. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia untuk mengidentifikasi zonazona yang berpotensi longsor adalah berdasarkan analisis topografi, sehingga diharapkan dapat memperkecil resiko bencana tanah longsor[5]. Zona tinggian dengan elevasi
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
tinggi yang curam pada peta kontur topografi dapat diidentifikasi sebagai daerah yang rawan terjadi bencana longsor. Peta kontur topografi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai Peta Rawan Bencana Longsor. Peta dapat dimanfaatkan oleh pemerintah atau instansi terkait sebagai acuan dalam melakukan antisipasi dini, seperti dengan membuat aturan larangan mendirikan bangunan tinggi atau aturan lain pada zona yang diduga rawan longsor berdasarkan peta topografi. Pelatihan pembuatan peta kontur daerah rawan bencana longsor telah dilakukan menggunakan perangkat lunak Surfer, karena perangkat lunak ini mudah dipahami oleh khalayak sasaran dalam waktu yang relatif singkat[6].
Gambar 1. Kejadian tanah longsor besar terbaru terjadi di Dusun Jemblung Desa Sampang Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara tahun 2014 (sumber: liputan6.com).
Khalayak peserta kegiatan pelatihan ini adalah guru dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Pelatihan dilakukan menggunakan peralatan seperti komputer, printer, LCD, perangkat lunak Surfer, dan Global Positioning System (GPS). SMK Negeri 1 Mandiraja adalah sekolah kejuruan yang pertama di Kabupaten Banjarnegara bagian barat. Sekolah ini terletak di Jalan Glempang Kecamatan Mandiraja. SMK Negeri 1 Mandiraja mempunyai 4 (empat) program studi yaitu: Teknik Arsitektur, Teknik Pertanian, Teknik Permesinan, dan Teknik Perbankan[7]. Peserta pelatihan pembuatan peta kontur berbasis data topografi lebih diprioritaskan bagi siswa Jurusan Teknik Arsitektur yang telah terbiasa dengan berbagai program aplikasi komputer, dan Jurusan Teknik Pertanian yang telah dibekali materi pelajaran Pemetaan Lahan.
II. Kajian Pustaka Faktor Penyebab Tanah Longsor Secara geologis, tanah longsor merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, tanah, bahan rombakan, atau material campuran yang bergerak atau meluncur ke bawah atau ke luar lereng. Mekanisme terjadi tanah longsor dimulai dengan meresapnya air ke dalam tanah atau batuan sehingga menambah bobot tanah atau
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
68
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara
batuan. Jika air tersebut menembus hingga lapisan batuan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka permukaan lapisan batuan tersebut menjadi sangat licin, sehingga tanah hasil pelapukan yang terdapat di atasnya dapat bergerak mengikuti kemiringan lereng[5]. Dalam tinjauan Fisika, tanah longsor terjadi akibat ada gangguan kestabilan terhadap tanah atau batuan penyusun lereng. Penentuan kestabilan sebuah lereng disebut dengan istilah faktor keamanan (safety factor). Faktor keamanan merupakan perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak yang bekerja terhadap massa tanah atau batuan seperti terlihat pada Gambar 2. Sebuah lereng dikatakan stabil jika kedua gaya tersebut seimbang. Secara matematis faktor keamanan sebuah lereng dapat dinyatakan:
F1 F2
bagian atas lereng melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan berperan sebagai gaya dorong hidraulik pada blok tidak stabil sehingga blok batuan tersebut bergerak. Selain itu air tanah ini berperan menurunkan gaya normal dan gaya gesek blok batuan tersebut. Turunnya kedua gaya ini akibat gaya apung (force of buoyant) fluida atau air tanah yang bekerja pada blok batuan tersebut. Akibat penurunan gaya normal dan gaya gesek, maka kuat geser ikut turun dan tegangan gesernya naik. Pada saat kondisi mencapai titik kritis, dimana nilai tegangan geser semakin meningkat sehingga melampaui kuat gesernya, maka mulailah terjadi peristiwa longsoran. Seperti terlihat pada Gambar 3[8].
(1)
adalah faktor keamanan, F1 adalah gaya penahan, dan F2 adalah gaya penggerak. Jika > 1,0 maka lereng dalam keadaan stabil, jika = 1,0 maka lereng dalam keadaan seimbang, dan jika < 1,0 maka lereng dalam keadaan tidak stabil dan berpotensi longsor. Dengan demikian dalam menganalisis kestabilan maupun kelongsoran suatu lereng selalu terkait dengan faktor keamanannya[8]. Gambar 3. Mekanisme terjadinya longsoran akibat penambahan gaya dorong hidraulik dari aliran air tanah.
Peta Zona Rawan Bencana Longsor
Gambar 2. Geometri longsoran pada lereng dengan sudut kemiringan tertentu.
Sebelum longsor, jumlah gaya-gaya yang bekerja pada sistem lereng tersebut adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa lereng dalam keadaan seimbang. Komponen gaya berat blok batuan tidak stabil yang sejajar dengan bidang miring lereng berfungsi sebagai gaya penggerak blok ke bawah sehingga mengakibatkan terjadi longsoran. Namun gaya berat ini masih dapat diimbangi oleh gaya gesek blok batuan tersebut terhadap batuan induk di bawahnya yang berperan sebagai gaya penahan, sehingga tidak terjadi longsor (kondisi seimbang). Besar gaya gesek tergantung terhadap gaya normal maupun koefisien gesek antara dua bidang batuan yang bersentuhan. Ketika musim kemarau koefisien gesek ini relatif lebih besar. Jika koefisien gesek besar maka gaya gesek dan kuat geser juga semakin besar, sehingga lereng relatif stabil[8]. Namun saat musim hujan, terdapat aliran air masuk ke dalam pori-pori tanah dan batuan. Aliran air tanah dari JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Pemetaan daerah-daerah yang memiliki tingkat bahaya bencana longsor perlu dilakukan agar pemerintah dapat menyusun strategi dan mengambil yang kebijakan untuk menanggulanginya. Peta merupakan salah satu sarana yang baik dalam menyajikan data dan informasi. Melalui peta dapat diketahui informasi secara teliti tentang ruang muka bumi yang sebenarnya. Jika ingin menyajikan data yang menunjukkan distribusi keruangan dan lokasi mengenai sifat dan parameter fisis tertentu, maka informasi tersebut harus ditunjukkan dalam bentuk peta[9]. Melalui peta, informasi keruangan dan lokasi penyebaran, jenis, dan nilai dapat disampaikan secara lengkap, tepat, dan jelas, contohnya: penyebaran, jenis, dan tingkat potensi bencana longsor suatu wilayah Identifikasi dini potensi terjadi bencana tanah longsor menggunakan peta, apalagi yang telah terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan akurat. Potensi bencana tanah longsor dapat diidentifikasikan secara cepat melalui SIG dengan menggunakan teknik tumpang susun (overlay) terhadap berbagai parameter fisis yang terkait seperti: curah hujan, infiltrasi tanah, kemiringan lereng, dan penggunaan lahan. Melalui peta yang terintegrasi diharapkan mempermudah proses penyajian informasi spasial khususnya yang terkait
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
69
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara
dengan penentuan tingkat potensi tanah longsor maupun berbagai bencana alam yang lain. Peta topografi juga sangat bermanfaat untuk dianalisis, sehingga diperoleh informasi baru sebagai upaya untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana longsor, seperti bencana longsor yang terjadi di Dusun Jemblung Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Pada kasus longsor di daerah KarangkobarMerawu ini, faktor-faktor penyebab secara alami adalah kondisi geologi dan topografi yang komplek, intensitas hujan yang sangat tinggi, dan drainase yang tersumbat sehingga air tidak dapat mengalir bebas dari lereng yang berpotensi longsor[10].
III. Metode Pelaksanaan Kegiatan Metode kegiatan yang digunakan di dalam pelatihan ini adalah sosialisasi dan pelatihan teknis. Sosialisasi teori dan teknik dasar pemetaan dilaksanakan secara edukatif dan interaktif menggunakan perangkat audiovisual untuk menjelaskan teknik pengoperasian perangkat lunak Surfer kepada khalayak sasaran. Pelatihan teknis pembuatan peta kontur berbasis data topografi juga telah dilaksanakan untuk mengidentifikasi dini zona-zona yang diduga rawan longsor di wilayah Kabupaten Banjarnegara berdasarkan ketinggian dan kecuraman topografinya. Agar kegiatan sosialisasi dan pelatihan teknis tersebut berhasil baik maka tim dosen bersedia melaksanakan pendampingan teknis kepada khalayak sasaran meskipun hanya melalui e-mail atau media sosial lainnya. Kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur berbasis data topografi untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pencarian data posisi lintang, bujur, dan ketinggian daerah Kabupaten Banjarnegara secara online melalui website yang disediakan oleh Scripps Institution of Oceanography, University of California San Diego USA[11]. Data topografi yang diperoleh telah tergrid secara teratur dalam format ASCII – XYZ. Data posisi geografis tersebut diolah menggunakan Surfer 10 sehingga diperoleh peta topografi daerah Kabupaten Banjarnegara baik dua dimensi (2D) maupun tiga dimensi (3D). Kedua, sosialisasi teknik dasar pemetaan kepada khalayak sasaran yang terdiri atas guru dan siswa SMK Negeri 1 Mandiraja menggunakan Surfer 10. Ketiga, pelatihan teknis bagi khalayak sasaran untuk membuat peta kontur topografi. Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan pelatihan ini, maka dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan melalui pretest, post-test, dan kuisioner. Pre-test dilakukan sebelum pelatihan dilaksanakan, pengisian kuisioner dilakukan menjelang selesainya pelatihan, post-test dilakukan setelah pelatihan selesai. Materi yang diujikan pada pre-test dan post-test terkait dengan dasar-dasar pemetaan, identifikasi tanah longsor, dan pengenalan Surfer. Berdasarkan hasil rekapitulasi nilai pre-test, post-test dan isian kuisioner,
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
maka diketahui sejauh mana khalayak sasaran dapat menyerap dan memahami, serta bersedia mempraktekkan materi pelatihan. Evaluasi keberhasilan kegiatan pelatihan juga dilakukan dengan cara memeriksa hasil-hasil tugas membuat peta kontur topografi oleh khalayak sasaran. Jika hasil yang diperoleh baik, maka pelatihan dianggap berhasil, tetapi jika hasil yang diperoleh kurang baik maka pelatihan dianggap belum berhasil. Oleh karena itu perlu dilaksanakan pendampingan teknis dan perbaikan strategi pendekatan kepada khalayak sasaran.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur topografi telah dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 3 Mei 2016, jam 08.00 – 12.00 WIB di ruang aula dan Laboratorium Komputer SMK Negeri 1 Mandiraja. Kegiatan pelatihan dilaksanakan dalam bentuk ceramah, diskusi, dan praktek. Dalam pelatihan ini disampaikan materi makalah ilmiah dengan topik-topik seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Penyampaian materi dilaksanakan dengan ceramah dan diskusi. Setelah khalayak sasaran dianggap sudah dapat memahami materi yang disampaikan, kegiatan dilanjutkan dengan pelatihan teknis pembuatan peta kontur topografi di Laboratorium Komputer SMK Negeri 1 Mandiraja. Realisasi pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara yang telah disosialisasikan dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Gambar 2 (terlampir). Tabel 1. Topik-topik yang disampaikan pada kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur berbasis data topografi No. Topik Materi Pelatihan Pemateri 1 Sosialisasi teknik pengukuran data Abdullah Nur posisi geografis (topografi) Aziz menggunakan GPS dan teknik pengoperasian software Surfer 2 Pelatihan teknis dasar-dasar pembuatan Sehah peta kontur suatu wilayah berbasis data topografi 3 Pelatihan teknis pembuatan indeks dan Sukmaji Anom warna pada peta kontur untuk Raharjo mengidentifikasi zona-zona yang rawan bencana longsor
Respons dari peserta terhadap proses dan hasil kegiatan pelatihan diobservasi melalui kuisioner, dengan item-item observasi ditunjukkan pada Tabel 2. Untuk memudahkan proses pengisian kuisioner, dalam observasi peserta diminta untuk memilih jawaban dari pertanyaan kuisioner yang terdiri atas 5 (lima) alternatif jawaban, yang meliputi Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Selanjutnya jawaban-jawaban peserta diberi skor untuk mempermudah proses pengolahan data secara kuantitatif, sehingga nilai capaian untuk setiap item pertanyaan secara keseluruhan dapat dihitung. Hasil rekapitulasi capaian jawaban peserta
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
70
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara
terhadap item-item pertanyaan kuisioner dirangkum pada suatu histogram seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Tabel 2. Item-item pertanyaan observasi di dalam kuisioner serta hasil rekapitulasi capaian jawaban peserta pelatihan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Item-Item Pertanyaan Observasi Apakah Anda mendukung dilakukan kegiatan pelatihan ini sebagai upaya untuk menambah keilmuan anda? Apakah Anda dapat memahami seluruh materi pelatihan yang disampaikan oleh tim dosen? Apakah Anda setuju jika hasil pelatihan ini disebarluaskan kepada masyarakat dan otoritas yang terkait dengan mitigasi bencana longsor? Apakah Anda memperoleh manfaat dari hasil penyampaian materi pelatihan oleh tim dosen? Apakah Anda dapat memahami prinsip kerja perangkat lunak Surfer untuk pembuatan peta kontur topografi? Apakah Anda dapat mengerjakan dengan mudah pembuatan peta kontur topografi wilayah? Apakah Anda dapat menjelaskan keterkaitan antara peta kontur topografi dengan identifikasi zona-zona yang rawan longsor? Apakah Anda setuju jika kegiatan pelatihan ini ditindaklanjuti dengan bimbingan teknis secara berkala dan teratur? Apakah Anda bersedia berperan menjadi pioneer penyebaran informasi ini kepada masyarakat atau otoritas terkait? Apakah Anda bersedia mendorong pihak terkait untuk mengimplementasikan hasil kegiatan pelatihan sebagai salah satu acuan dalam melakukan antisipasi dini bencana longsor?
Capaian 92,24% 66,38% 87,93% 89,66% 68,97% 56,90% 57,76%
kontur yang mungkin terkesan berbelit-belit. Oleh karena itu sebagian besar peserta mungkin merasa belum yakin dapat membuat peta kontur topografi. Namun demikian, secara umum peserta pelatihan telah memberikan respons positif terhadap pelaksanaan pelatihan dan berkeinginan kuat untuk menindaklanjutinya melalui bimbingan teknis secara berkala dan teratur, serta menyebarluaskan hasilhasil pelatihan. Hal tersebut tercermin dari beberapa jawaban peserta terhadap item-item observasi yang lain di dalam kuisioner. Berdasarkan hasil rekapitulasi nilai pre-test dan posttest diperoleh nilai rata-rata pre-test sebesar 5,96 dan nilai rata-rata post-test sebesar 6,69. Hasil rekapitulasi nilai menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan penyerapan materi oleh peserta sudah cukup baik, karena terdapat kenaikan nilai pre-test ke post-test sebesar 12,14%. Nilai rata-rata post-test belum mencapai 8,00 sehingga perlu ditingkatkan dan dilakukan pendampingan teknis. Hasil persentase perolehan nilai pre-test dan post-test dapat dilihat pada Gambar 4.
85,34% 74,14% 77,59%
Gambar 4. Perbandingan presentase nilai pre-test dan post-test peserta pelatihan pembuatan peta kontur berbasis data topografi (sumbu-x menyatakan nilai dan sumbu-y menyatakan persentase).
Gambar 3. Indeks capaian keberhasilan kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur berbasis data topografi berdasarkan rekapitulasi jawaban peserta melalui observasi kuisioner.
Berdasarkan jawaban para peserta terhadap item-item observasi dalam kuisioner, diperoleh indeks capaian ratarata keberhasilan kegiatan pelatihan sebesar 75,69%. Indeks capaian tertinggi 92,24% untuk item observasi dukungan dilakukannya kegiatan pelatihan dengan topik sebagaimana di atas sebagai upaya untuk menambah ilmu. Indeks capaian terendah sebesar 56,90% untuk item observasi kemampuan peserta mengerjakan dengan mudah pembuatan peta kontur berbasis data topografi suatu wilayah. Rendahnya indeks capaian ini mungkin akibat masih adanya keraguan peserta di dalam memahami materi yang disampaikan oleh tim dosen, khususnya cara kerja perangkat lunak Surfer 10 dalam pembuatan peta
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Untuk mendukung tingkat keberhasilan pelatihan, maka peserta diberi tugas mandiri pembuatan peta kontur berbasis data topografi. Implementasi hasil-hasil kegiatan pelatihan dalam bentuk pengerjaan tugas pembuatan peta kontur topografi cukup sesuai dengan harapan tim dosen. Beberapa peserta pelatihan telah mengirimkan file hasil pekerjaan pembuatan peta kontur dan telah dikoreksi tim dosen. Tim dosen menyimpulkan bahwa hasil pekerjaan pembuatan peta kontur topografi dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) telah berhasil cukup baik. Selanjutnya pada akhir kegiatan, semua peserta pelatihan diminta menyampaikan saran dan kritik untuk perbaikan kegiatan pelatihan seperti dirangkum pada Tabel 3. Tabel 3. Rangkuman saran dan kritik dari sebagian peserta kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur Saran dan Kritik dari Peserta Pelatihan Pembuatan Peta No. Kontur Berbasis Data Topografi Informasi kepada masyarakat tentang daerah yang rawan 1 longsor dan pencegahannya perlu lebih ditekankan 2 Narasumber saat menjelaskan sesuatu terlalu cepat
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
71
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara No. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Saran dan Kritik dari Peserta Pelatihan Pembuatan Peta Kontur Berbasis Data Topografi Saya setuju dengan kegiatan ini dilakukan hingga menambah wawasan Kegiatan ini perlu ditindaklanjuti dengan pembimbingan teknis secara berkala Kegiatan ini ditindaklanjuti supaya lebih banyak yang mengerti Harus diperjelas dalam menjelaskan di dunia pendidikan Terlalu cepat menjelaskan dan materi yang disampaikan masih agak asing Kegiatan ini agar secara rutin dilakukan di daerah-daerah yang rawan longsor dan sebagai tindakan pencegahan dini terhadap tanah longsor Kegiatan ini perlu ditindaklanjuti lagi kepada masyarakat Program ini perlu ditindaklanjuti lagi untuk mendukung dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar Lebih banyak disosialisasikan kepada masyarakat lain dan semoga lebih berguna dan bermanfaat Kegiatan ini hendaknya dilakukan secara rutin agar seluruh masyarakat memahami zona-zona rawan longsor Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang peta kontur dan cara unuk membuatnya Saya sangat mendukung sekali dengan adanya acara seperti ini untuk menambah wawasan yang baru yang belum saya ketahui Menurut kami kegiatan ini harus dikembangkan lagi lebih mendalam agar masyarakat mengerti dan paham apa itu peta kontur topografi
Berdasarkan evaluasi terhadap kegiatan pelatihan, terdapat faktor-faktor pendukung dan penghambat pada pelaksanaan kegiatan pelatihan pembuatan peta kontur topografi di SMK Negeri 1 Mandiraja. Faktor-faktor pendukung keberhasilan kegiatan pelatihan dan implementasi hasil-hasilnya antara lain: 1) Dukungan teknis dari khalayak sasaran khususnya Kepala Sekolah dan guru-guru SMK Negeri 1 Mandiraja terhadap sosialisasi dan pelatihan teknis pembuatan peta kontur berbasis data topografi bagi siswa-siswi SMK. 2) Tersedianya fasilitas komputer dalam Laboratorium Komputer SMK Negeri 1 Mandiraja yang sangat menunjang kelancaran dan keberhasilan kegiatan ini. 3) Semangat peserta dalam mengikuti, memahami, dan mempraktekkan seluruh materi yang disampaikan oleh tim dosen baik sosialisasi dan pelatihan teknis cukup tinggi. 4) Seluruh peserta setuju untuk mengimplementasikan hasil kegiatan pelatihan dalam bentuk pembuatan peta kontur topografi baik secara mandiri maupun dengan pendampingan teknis. Faktor-faktor penghambatnya, antara lain: 1) Realisasi peserta kegiatan pelatihan terutama siswasiswi SMK Negeri 1 Mandiraja dalam membuat peta kontur wilayah berbasis data topografi belum maksimal. 2) Banyak peserta kegiatan pelatihan yang kesulitan dalam memahami dan mempraktekkan penggunaan
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
perangkat lunak Surfer untuk membuat peta kontur, sehingga diperlukan pembimbingan teknis lanjutan. Kesulitan peserta dalam memahami dan mempraktekkan penggunaan perangkat lunak Surfer untuk membuat peta kontur terjadi karena: 1) Sebagian besar peserta belum pernah mengenal dan mengoperasikan perangkat lunak Surfer. 2) Rasio jumlah dosen pelatih terhadap jumlah peserta adalah 3 : 50 sehingga pelaksanaan pelatihan teknis kurang optimal. 3) Rasio jumlah komputer terhadap jumlah peserta adalah 1 : 3, sehingga sebagian peserta yang sedang tidak mengoperasikan komputer kadang tidak serius dalam mengikuti kegiatan pelatihan teknis.
V. Kesimpulan Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara telah dilaksanakan pada hari Selasa, 3 Mei 2016, jam 08.00 – 12.00 WIB di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dapat disimpulkan 1) Pelatihan teknis pembuatan peta kontur topografi baik secara dua dimensi (2D) maupun tiga dimensi (3D) untuk mengidentifikasi dini zona-zona rawan bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara kepada khalayak sasaran siswa-siswi SMK Negeri 1 Mandiraja telah terlaksana dengan baik. 2) Indeks capaian keberhasilan kegiatan pelatihan ratarata adalah 75,69%; dengan indeks capaian tertinggi 92,24% untuk item dukungan dilakukan kegiatan pelatihan dengan topik seperti di atas sebagai upaya untuk menambah ilmu, dan indeks capaian terendah sebesar 56,90% untuk item kemampuan peserta mengerjakan dengan mudah pembuatan peta kontur berbasis data topografi suatu wilayah. 3) Berdasarkan hasil rekapitulasi nilai, diperoleh nilai rata-rata pre-test sebesar 5,96 dan post-test sebesar 6,69. Hasil rekapitulasi menunjukkan ada kenaikan nilai sebesar 12,14% yang mengindikasikan bahwa tingkat pemahaman materi sosialisasi dan pelatihan teknis oleh peserta cukup baik. Agar implementasi hasil kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan berhasil baik dan menghasilkan luaran sesuai yang diharapkan, maka diperlukan pendampingan teknis oleh tim dosen untuk mengawal proses implementasi ini, sehingga seluruh peserta pelatihan khususnya siswa-siswi SMK Negeri 1 Mandiraja dapat membuat peta kontur topografi wilayah menggunakan perangkat lunak Surfer secara mandiri.
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
72
Pengembangan model pelatihan pembuatan peta kontur topografi untuk mengidentifikasi zona-zona rawan longsor di Kabupaten Banjarnegara
Ucapan Terimakasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman yang telah mendanai pengembangan model pelatihan ini. Terima kasih juga disampaikan kepada dosen, mahasiswa, dan staf Pranata Laboratorium Pendidikan (PLP) UNSOED atas bantuan tenaga yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepada Sekolah, seluruh guru, dan siswa SMK Negeri 1 Mandiraja atas partisipasinya dalam kegiatan pelatihan serta tersedianya fasilitas Laboratorium Komputer.
Kepustakaan [1] [2]
A Wikimedia Project, Kabupaten Banjarnegara. 2015. Website: https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Banjarnegara, diakses tanggal 6 November 2015. [4] Suara Merdeka, UII Kirim Tim ke Tanah Longsor Banjarnegara. Terbitan 15 Desember 2014. [5] K.I. Hendriana, I.G.A.S. Yasa, M.W.A. Kesiman, I.M.G. Sunarya, Sistem Informasi Geografis Penentuan Wilayah Rawan Banjir di Kabupaten Buleleng. Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika (KARMAPATI). Vol. 2, No. 5, Juli 2013. [6] Anonymous, Surfer 10: Countoring and 3D Surface Mapping for Scientist and Engineer, Golden Software Inc., Colorado, USA, 2011. [7] Anonim, Website SMK Negeri Mandiraja, 2014. Website: http://smknegeri1mandiraja.blogspot.co.id, diakses 20 Januari 2016. [8] M.G. Anderson, K.S. Richard, Slope Stability, Geotechnical Engineering and Geomorphology, John Wiley and Sons, 1987. [9] R. Bintarto dan Surastopo, Metode Analisis Geografi, LP3IS Yogyakarta, 1978. [10] A.J. Pratomo, Analisis Kerentanan Bencana Banjir di Daerah Aliran Sungai Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG), Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008. [11] W. H. F. Smith and D. T. Sandwell, Extract XYZ Grid – Topography or Gravity, 1997. Website: topex.ucsd.edu/cgibin/get_data.cgi, diakses 10 April 2016. [3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Peringatan Dini Bencana Alam. A. Setiawan dan W. Wahyu, Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Proses Mitigasinya. Majalah Inovasi. Vol. 8/XVIII/November 2006. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang.
Lampiran
Gambar 2. Peta kontur topografi daerah Kabupaten Banjarnegara yang dikaitkan dengan potensi longsor berdasarkan ketinggian topografinya (peta dibuat menggunakan software Surfer versi 10)
JRKPF UAD Vol.3 No.2 Oktober 2016
Sehah, Abdullah Nur Aziz, Sukmaji Anom Raharjo
73