HABA
Ureung Inong
HABA Ureung Inong Daftar Isi Sekapur sirih Assalamualaikum
Dalam edisi pertama ini Haba Ureung Inong mencoba menuangkan kegiatan bulanan serta memberi sedikit informasi mengenai posisi gerakan perempuan Aceh, kami juga memasukkan info penguatan kelembagaan RPPA, Penelitian tentang peran perempuan dalam perdamaian, penyusunan konsep peningkatan kapasitas dan kampanye gerakan perempuan best practice WPS. semoga bermanfaat Salam redaksi
02 Sekapur Sirih 03 POSISI GERAKAN PEREMPUAN ACEH 05 Penguatan Kelembagaan RPPA 06 Penelitian Tentang Peran Perempuan Dalam Perdamaian 07 Kampanye Gerakan Perempuan Aceh dan Best Practise WPS 08 Penyusunan Konsep Peningkatan Kapasitas
HABA
Ureung Inong
REDAKSI PENERBIT Flower Aceh PENANGGUNG JAWAB Desy Setiawaty TIM REDAKSI Elvida, Nisa, Evi Wahyuni Layout & Cover Hendra Lesmana ALAMAT REDAKSI Jalan Residen danubroto no.7 Geuceu Kayee Jato, Banda Raya Banda Aceh Telp. 0651 - 28462 EMAIL
[email protected] Website www.gerakanperempuanaceh.org
2
HABA Ureung Inong
POSISI GERAKAN PEREMPUAN ACEH Sejak Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) I pada 2000, gerakan perempuan Aceh telah memulai tonggak sejarah baru dalam memperjuangkan hak-haknya. Perempuan Aceh telah menjadi inspirasi atas disahkannya kuota 30% kursi perempuan dalam parlemen secara nasional dan penyelesaian konflik Aceh secara damai di meja perundingan. Kedua capaian ini menjadi catatan penting untuk melihat bagaimana perjalanan gerakan perempuan Aceh selama lebih dari satu dekade itu. DPIA memandatkan kepada gerakan perempuan Aceh memberi perhatian pada tiga isu utama, yaitu syariat Islam, pemenuhan hak korban, dan keterlibatan perempuan dalam politik. Tulisan ini mencoba menganalisa bagaimana posisi perakan perempuan Aceh di tengah sekian banyak persoalan yang masih menyudutkan posisi perempuan.**
K
esadaran perempuan Aceh terhadap isu-isu sentral di Aceh seperti penegakan syariat Islam, kekerasan atas nama agama dan konflik sumber daya alam menuntut perempuan Aceh untuk mempersiapkan model strategi, kekuatan serta sinergi yang lebih luas dan matang. Perkembangan menarik terkait DPIA adalah terjadinya transformasi sosial yang melibatkan hampir seluruh komponen perempuan di Aceh. Mulai dari DPIA I pada 2000, DPIA II pada 2005 hingga DPIA III pada 2011. Gerakan perempuan Aceh yang semula hanya terdiri dari organisasi perempuan, organisasi masyarakat, komunitas akar rumput, organisasi agama, pemerintah, meluas dan merangkul hampir seluruh elemen masyarakat perempuan Aceh bahkan ke level individu. Jalan di tempat Pascarehab-rekon, terjadi penurunan aktifitas program berbagai organisasi nonpemerintah (LSM) perempuan sebagai akibat langsung dari menurunnya konsentrasi dukungan finansial dari para donor, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap kerja-kerja pengembangan kemasyarakatan
dan advokasi terhadap persoalan perempuan. Di samping juga dukungan pemerintah, terkait pemenuhan hak-hak perempuan sampai saat ini juga masih jalan di tempat. Namun komunitas akar rumput yang berada di gamponggampong justru menjadi pilar yang menyokong gerakan perempuan Aceh dan tetap terus bergerak mendorong partisipasi perempuan dalam mempengaruhi penetapan kebijakan maupun dalam kegiatankegiatan strategis demi memastikan keterwakilan perempuan dan pemenuhan hakhaknya. Meluasnya kesadaran partisipasi perempuan di ranah publik ini memunculkan sekian banyak tantangan yang bermuara pada dua isu penting, yaitu syariat Islam dan politik. Dari sisi hambatan finansial dan regulasi, perempuan nyaris tidak menemui kendala dalam mengaktualisasikan diri, tetapi tidak dengan hambatan kultural. Perempuan-perempuan yang memiliki potensi memimpin dan pengambil kebijakan, lagi-lagi masih 'dicekal' dengan stigma bahwa perempuan belum boleh memimpin. Demikian juga halnya dengan
3
stigma bagi beban dan peran di wilayah domestik. Terkait bagi beban antara laki-laki dengan perempuan, di beberapa kabupaten di Aceh perempuan selain bekerja di sawah mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah, dan ini termasuk persoalan perempuan yang paling klasik secara budaya. Bagi peran di wilayah domestik belum merupakan hasil perundingan, tetapi masih konstruksi budaya turun temurun. Sehingga kritik atas budaya ini masih perlu didiskusikan untuk melihat apakah tradisi ini dipaksakan kepada perempuan atau sudah merupakan kesepakatan berbagi peran antara laki-laki dengan perempuan. Gerakan perempuan Aceh tidak boleh terjebak untuk mengukur keberhasilan gerakannya dengan banyaknya perempuan yang pergi ke wilayah publik. Karena tidak mungkin menafikan bahwa peran-peran domestik perempuan signifikan, sehingga keberhasilan para ibu yang mendidik anak-anak dan mengayomi keluarga di rumah sebagai bagian terpenting pembangunan peradaban suatu bangsa. Dan ini harus mendapat nilai yang sepadan jika
HABA Ureung Inong
d
ibandingkan dengan keberhasilan gerakan perempuan Aceh dari sisi banyaknya jumlah perempuan yang menjadi tuha peut, camat, anggota legislatif atau wali kota. Refleksi kesadaran Ketika perempuan Aceh melakukan gerakan, sangat kuat refleksi kesadaran bahwa ini adalah gerakan politik yang membawa seluruh aspirasi masyarakat perempuan Aceh dan diperjuangkan oleh seluruh komponen perempuan Aceh. Tidak hanya organisasi baik LSM perempuan atau organisasi perempuan lainnya, tapi juga secara individu. Sehingga refleksi yang dilakukan menjadi refleksi yang mampu mentransformasi setiap perubahan yang telah dilakukan selama ini. Salah satu yang sangat terlihat adalah bagaimana keterlibatan penuh gerakan perempuan Aceh dalam Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) memperbaiki konsep syariat Islam di Aceh. Mereka bukan lagi berada pada posisi sekadar anti dan tolak syariat Islam, namun sudah sampai kepada tahapan bagaimana merumuskan konsep syariat Islam dengan alat ukur Islam humanis untuk menilai praktek pemerintahan yang Islami dan penerapan Islam yang humanis di Aceh yang tidak melulu mengatur urusan perempuan. Hal ini merupakan perubahan yang sangat fundamental bagi perakan
perempuan Aceh. Refleksi-refleksi ini didorong oleh kesadaran yang kuat bahwa Aceh memiliki karakter kebudayaannya sendiri. Sejalan dengan itu paradigmatis gerakan perempuan Aceh sejatinya memiliki karakter yang identik dan membumi dengan konteks Aceh, sehingga gerakan perempuan Aceh tidak bisa menghindar dari mendiskusikan konsep syariat Islam yang mengejawantah dalam adat di Aceh dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Gerakan Perempuan Aceh harus menyikapi secara serius skema perubahan terkait dukungan dunia luar terhadap persoalan Aceh baik secara ekonomi maupun politik. Gerakan Perempuan Aceh tidak boleh tidak harus membangun kekuatan dari dalam baik dari sisi mendorong memperkuat masing-masing organisasi perempuan maupun komunitas akar rumput dengan semangat swadaya maupun menumbuhkan kekuatan fundrising yang akan membangun kemandirian dari sekian banyak organisasi perempuan yang memiliki kelompok-kelompok dampingan di berbagai daerah di Aceh. Selain juga membangun model kaderisasi yang terstruktur. Dalam menyikapi isu partisipasi perempuan dalam politik, penting untuk digarisbawahi bahwa gerakan perempuan Aceh harus memiliki peta yang akurat, terkait siapa
4
saja yang akan mempersiapkan diri menjadi calon legislatif. Perempuan Aceh harus kembali menduduki posisi pengambil keputusan dan tidak boleh berpuas diri dengan meningkatnya jumlah perempuan di kursi legislatif yang memperjuangkan kepentingan partainya. Strategi massif Gerakan perempuan Aceh harus membangun strategi massif, koordinasi dan mempersiapkan kader yang dipastikan akan memperjuangkan kepentingan perempuan dan rekomendasi DPIA, serta isu strategis lainnya dalam setiap pengambilan keputusan strategis di level legislatif maupun partai. Demikian pula dalam merumuskan indikator keberhasilan, hendaknya gerakan perempuan Aceh menjadikan kekhasan Aceh dalam hal adat dan syariat Islam sebagai satu kesatuan kultur identitas Aceh. Terakhir, gerakan perempuan Aceh harus tetap pada titahnya yaitu menjadi energi bagi perubahan Aceh, menuju terwujudnya Aceh baru yang berkeadilan, damai, bermartabat dan sejahtera dengan kebijakan yang berpihak pada perempuan melalui proses partisipasi politik perempuan di berbagai level dan membangun konsep pendidikan yang adil gender.**
HABA Ureung Inong
Penguatan Kelembagaan RPPA Audiensi dengan Pengurus Partai Politik
Audiensi dengan Parpol dilakukan di tingkat Provinsi dan daerah berdasarkan permintaan dari anggota RPPA untuk menguatkan posisi RPPA di daerah. Audiensi tingkat provinsi dilakukan dengan pengurus PKPI sedang kabupaten audiensi dilakukan dengan Partai aceh dan demokrat (kab.Bener meriah), partai aceh, Gerindra dan nasdem (kab. Aceh tengah), partai aceh, golkar dan democrat ( kota langsa) Secara umum pertemuan dengan partai politik di provinsi dan kabupaten/Kota diawali dengan penyampaian tujuan audiensi yaitu membuka ruang komuniksi dan saling berbagi informasi dengan parpol di Aceh terutama terkait kebijakan dan khususnya untuk mendukung partisipasi politik perempuan, memperkuat komitmen dan ruang kerja sama/sinergisasi terkait upaya-upaya peningkatan partisipasi politik perempuan.
memberikan respon positif atas kegiatan ini, dan mendukung keberadaan BSUIA dan RPPA sebagai partner untuk bekerjasama memikirkan upaya-upaya yang dapat mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh.
1. 2. 3.
4.
5. 6.
Beberapa pembahasan yang didiskusikan bersama selama proses audiensi dengan partai politik adalah : Proses Rekruitmen Penentuan Dapil dan Nomor Urut Kaderisasi Perempuan Dalam Partai Politik dan Peningkatan Kapasitas Strategi Parpol untuk Memenangkan Caleg Perempuan Pada Pemilu 2014 Sinergisasi Pelatihan untuk Saksi Parpol Pengawalan Suara Caleg Perempuan
Beberapa strategi yang berhasil dirumuskan dari hasil audiensi dengan Pengurus Parpol yang dikunjungi diantaranya adalah: 1) Mempersiapkan diri dan
Para pengurus parpol yang dikunjungi
5
mental untuk siap menang dan kalah. 2) Melakukan pertemun door to door dan inisiasi pertemuan dengan kelompok perempuan, pemuda, pemangku adat, dan kelompok lainnya di masyarakat. 3) Membuat kontrak politik yang berisi janji politik caleg ya n g m e n g i k a t d e n g a n konstituen. 4) M e l a k u k a n p e n d e k a t a n pendidikan politik kepada masyarakat (menolak golput,
politik hitam, politik uang dan kekerasan). 5) Menganalisis kinerja legislatif incumbent, sebagai strategi untuk bersaing. 6) Memastikan saksi yang loyal dan jujur. 7) Kerjasama dengan caleg yang berbeda level (DPRRI/DPRA/DPRK). 8) Fokus pada beberapa desa/kecamatan yang sangat potensial sebagai lumbung suara. 9) M e n g g u n a k a n pendekatan ke masyarakat dengan cara yang humanis, tidak berjarak dan nonkekerasan.**
HABA Ureung Inong
Penelitian Tentang Peran Perempuan Dalam Perdamaian A. Training FPAR Pelatihan ini difasilitasi oleh dua orang fasilitator yaitu Analiansyah dan T. Lembong Misbah, serta diperkuat oleh dua orang narasumber yaitu Eka Sri Mulyani, MA, Ph.D dan Rasyidah, M. Ag. Narasumber mempresentasikan dua tema utama, yaitu paradigma penelitian FPAR dan aplikasi FPAR. Selanjutnya, fasilitator berperan memperdalam masing-masing tema. Karena kegiatan ini sifatnya adalah pelatihan, maka fasilitator akan lebih banyak memperdalam aspek aplikasi FPAR. Peserta yang dilibatkan dalam pelatihan ini adalah mayoritas aktivis perempuan. Pelatihan bagi aktivis ini memiliki makna yang sangat penting, yaitu selama ini aktivis perempuan ini aktif dalam menjalankan program p e n d a m p i n g a n m a s ya ra k a t . Program FPAR sejauh ini dilaksanakan untuk pendampingan masyarakat kelompok perempuan untuk memberdayakan dan mengembangkan pengetahuan yang mereka miliki secara terorganisir. Tujuan yang ingin diperoleh dari pelatihan ini adalah dipahaminya konsep penelitian FPAR dan perbedaannya dengan keilmuan sosial positivistik danPeserta dapat menerapkan metode ini dalam penelitian dan pendampingan masyarakat, khususnya untuk kelompok perempuan. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Sidang Rektor 3 lantai 3, Biro Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, pada tanggal 21 s.d 23 Januari 2014 dengan dihadiri oleh 30 orang peserta yang terdiri dari aktivis
perempuan sejumlah 22 orang dan peserta dari lingkungan UIN ArRaniry sejumlah 8 (delapan) orang.
B. Pengumpulan Data Sumber data penelitian “Peran Perempuan dalam Mewujudkan dan Memelihara Perdamaian di Aceh” yang sedang dikerjakan oleh PSW (Pusat Studi Wanita) UIN ArRaniry adalah sumber primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Pengumpulan data tersebut telah dilakukan pada akhir Januari s.d awal Februari 2014 yang lalu. Pengumpulan data dilakukan oleh tim peneliti yang dibagi kepada empat kelompok. Pembagian kelompok tersebut didasarkan pada empat wilayah penelitian, yaitu Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Utara, dan Bener Meriah. Tim peneliti membagi kelompok berdasarkan wilayah kerjanya dan bertanggungjawab untuk mengumulkan data dengan melakukan wawancara terhadap narasumber yang kriterianya telah ditetapkan dalam workshop desain penelitian. Penentuan narasumber di bantu oleh asisten peneliti yang m e r u p a k a n o ra n g d i l o k a s i penelitian, sehingga diharapkan responden yang dipilih benarbenar dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Para asisten peneliti tersebut adalah Sarinah untuk wilayah Aceh Selatan, Nurliani untuk Aceh Utara, Rahmi Mironi untuk wilayah Aceh Besar dan Rosna untuk wilayah Bener Meriah.
C.
Diskusi Refleksi Proses Penelitian
Tim peneliti, dalam kegiatan
6
“refleksi penelitian” ini, akan menampilkan data yang diperolehnya dalam bentuk yang telah terklasifikasi. Hal ini diharapkan dapat membantu peneliti lain dan seluruh peserta refleksi memberikan data tambahan dan pemaknaan terhadap data. Selain itu bisa jadi terdapat tawaran bentuk klasifikasi data dari peserta refleksi. Karena pemikiran dan pengalaman peserta yang berasal dari latar belakang yang beragam tentu saja akan banyak memunculkan atau memperkuat isu-isu tertentu yang layak menjadi perhatian peneliti. Berdasarkan gagasan ini, p e m i k i ra n d a n p e n g a l a m a n peserta diskusi diharapkan akan memberi makna yang signifikan pada pengayaan data dan kualitas hasil analisa data. Tujuan kegiatan ini adalah untuk merefleksi dan penyampaian data hasil penelitian oleh tim peneliti dari empat wilayah penelitian (Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Utara, dan Bener Meriah) dengan maksud untuk mendapatkan tambahan data dan membuka wacana dalam analisa data. Kegiatan ini telah dilakukan sebanyak dua kali dan masingmasing berlangsung selama satu hari pada tanggal 6 Februari 2014 bertemat di Takammul Meeting Room UNI Ar-Raniry dan diikuti oleh 25 peserta (19 perempuan dan 6 laki-laki). Sedangkan kegiatan yang kedua berlangsung pada tanggal 21 Maret 2014 yang juga dihadiri oleh 25 orang peserta (19 perempuan dan 6 laki-laki).**
HABA Ureung Inong
Kampanye Gerakan Perempuan Aceh dan Best Practise WPS A.
Dokumentasi Best Practice WPS dan Gerakan Perempuan Aceh (Film & Media Cetak)
Dokumentasi pembelajaran berharga dalam pelaksanaan program WPS di Aceh akan disusun dalam bentuk film dokumenter yang akan menggambarkan peran p e re m p u a n d a l a m b e r b a g a i tahapan. Beberapa kali pertemuan sudah dilakukan untuk mendiskusikan penyusunan alur cerita dan skrip film. Saat ini skrip sudah dalam bentuk final dengan alur film sebagai berikut: 1. Tahapan konflik: akan disampaikan peran perempuan pada masa konflik, dimana perempuan menjadi tameng perlindungan keluarga dan tulang punggung ekonomi. Perempuan juga menjalankan peran-peran kemanusian untuk menolong korban konflik. 2. T a h a p a n i n i s i a s i perdamaian: perempuan dalam berbagai posisinya selalu berupaya untuk mewujudkan perdamaian. BSUIA lahir sebagai o rg a n i s a s i ya n g a k a n mengawal rekomendasi perdamaian yang digagas dalam Duek Pakat Inong Aceh yang pertama. Pelibatan beberapa orang perempuan dalam meja perundingan akan didokumentasikan sebagai sebuah catatan sejarah 3. T a h a p a n Penandatanganan perjanjian damai: pada
tahapan ini akan digambarkan bagaimana peran perempuan menjadi terlemahkan karena situasi ya n g m u l a i k o n d u s i f. Banyak agenda reintegrasi yang mengabaikan perempuan, dan domestikasi perempuan mulai terjadi. 4. T a h a p a n M e n g i s i Perdamaian: ada banyak upaya yang telah dilakukan oleh perempuan dalam mengisi perdamaian, baik melalui advokasi kebijakan, pendampingan langsung ke pada masyarakat dan kampanye media. Keseluruhan proses pembuatan film ini akan didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh PSW UIN Arraniry. Film ini akan menggunakan bahasa yang positif dan tidak mengedepankan unsur kekerasan dan kesedihan. Yang akan di munculkan dalam film ini adalah semangat perempuan untuk melakukan sesuatu dalam situasi apapun. B. Media Outbont (Kalender) Dalam periode pelaporan ini berhasil dicetak dan didistribusikan Kalender 2014. Kalender ini dicetak dalam bentuk kalender meja, yang didalamnya terdapat banyak informasi terkait dengan perdamaian dan upayau p aya ya n g d i l a k u k a n o l e h perempuan. Untuk menarik minat bagi penerima kalender membaca berbagai informasi yang terdapat pada kalender, maka disediakan kuis dengan hadiah yang menarik. Kalender yang dicetak berjumlah 1250 eks dan didistribusikan kepada berbagai elemen masyarakat melalui BSUIA dan
7
simpulnya di kabupaten/kota serta melalui mitra WPS Aceh kepada seluruh kelompok dampingannya di kabupaten/kota khususnya yang menjadi wilayah program WPS Aceh. C. Kampanye Media (follow
up penggunaan media sebagai alat kampanye dan penguatan website) Kegiatan kampanye media dirancang untuk memastikan isuisu yang terkait dengan perempuan dan perdamaian yang dijalankan oleh mitra WPS Aceh dapat tersosialisasi dengan baik dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Flower Aceh selaku mitra yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan media sudah menyediakan staf khusus untuk merancang dan memperkuat website yang diberi nama
www.gerakanperempuanaceh. org.
HABA Ureung Inong
Penyusunan Konsep Peningkatan Kapasitas A. Penyusunan Konsep Peningkatan Kapasitas (Pulih Aceh) Kegiatan pengembangan kapasitas staf kemudian dilanjutkan dalam sebuah kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Konsep Penguatan Psikososial Berbasis Komunitas untuk Penanganan Korban Kekerasan. Kegiatan ini berlangsung selama 5 (lima) hari, dilaksanakan di Banda Aceh dan diikuti oleh 10 (sepuluh) orang peserta yaitu 3(tiga) orang laki-laki dan 7(tujuh) orang perempuan terdiri dari Staf Pulih Aceh dan Staf P2TP2A Aceh Selatan. Kegiatan pelatihan dan pengembangan konsep Penguatan psikososial berbasis komunitas untuk penanganan korban kekerasan bertujuan untuk: 1. Mengembangkan konsep penguatan psikososial berbasis komunitas untuk penanganan korban kekerasan berupa modul untuk memastikan proses peningkatan kapasitas tersebut berlangsung dengan baik dan sistematis. Pengembangan konsep atau penyusunan modul juga dimaksudkan untuk menjadikan proses belajar bisa terus berlanjut dan dikembangkan menjadi lebih baik. 2. Memberikan pemahaman bagi peserta mengenai pendekatan psikososial dan penguatan psikososial berbasis komunitas untuk penanganan perempuan korban kekerasan. 3. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai isu dan kebutuhan
4.
5.
6.
7.
8.
psikososial perempuan korban kekerasan. Memberikan pemahaman diri untuk pengembangan diri sebagai pendamping komunitas. Memberikan keterampilan k o n s e l i n g d a n psikoedukasi kepada peserta dalam melakukan kegiatan pendampingan perempuan korban kekerasan dan keluarga korban. Memberikan pemahaman bagi peserta mengenai ketrampilan dalam penanganan kasus kekerasan Memberikan pemahaman kepada peserta tentang sistem rujukan Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai Mekanisme aman berbasis komunitas.
Hasil yang dicapai dari kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Konsep Penguatan Psikososial Berbasis Komunitas untuk Penanganan Korban Kekerasan adalah adanya konsep penguatan psikososial berbasis komunitas untuk penanganan korban kekerasan. B. Penyusunan Konsep Peningkatan Kapasitas (LBH APIK Aceh) LB H AP IK Ace h me mi l ih melakukan kegiatan membangun dukungan melalui workshop terlebih dahulu di 2 kabupaten (Aceh Utara dan Bener Meriah) dengan pertimbangan proses FGD yang dilakukan di tiap kecamatan dapat melibatkan
8
pemerintah daerah, tokoh kunci dan kontak person ditiap kecamatan untuk membantu mempermudah proses identifikasi tokoh adat perempuan yang akan dilibatkan dalam pelatihan nanti. Proses ini membantu untuk mendapatkan masukan sejauh mana keterlibatan perempuan dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah daerah dan otoritas gampog/desa terhadap tokoh perempuan untuk menjadi bagian dalam proses penyelesaian sengketa/masalah di gampog/desa. Dari pertemuan ini berhasil dipetakan sejauh mana dukungan pemerintah daerah di tingkat ke c a m a t a n , M A A , M A G d a n otoritas gampog/desa atas keterlibatan perempuan dalam proses penyelesaian sengketa/kasus di gampog/desa dan apa yang menjadi harapan para pihak tersebut terhadap perempuan-perempuan tokoh adat yang akan mendapatkan peningkatan kapasitas dalam proses penyelesaian sengketa/kasus melalui program ini. Wo r k s ho p ini s e k al igus menitipkan harapan agar para pihak ini akan terlibat dalam kegiatan workshop membangun dan menyusun konsep untuk peningkatan kapasitas tokoh adat perempuan.