KEHIDUPAN ANAK PUTUS SEKOLAH
(Suatu Penelitian di Desa Bulontala Kecamatan Suwawa Selatan Kabupaten Bone Bolango)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kehidupan anak putus sekolah di Desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango dengan menganalisa faktor-faktor apa yang menjadi penyebab anak putus sekolah yang ada di desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan tema yang sesuai dengan fokus permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab anak putus sekolah di Desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango adalah pertama, faktor ekonomi, yaitu orang tua yang tidak mampu membiayai kebutuhan sekolah anak. Kedua, faktor keluarga, yaitu orang tua yang tidak menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupan anak dan latar pendidikan orang tua yang berpengaruh pada pendidikan anak. Ketiga, faktor lingkungan, yaitu kehidupan pergaulan anak mempengaruhi anak putus sekolah, dan keempat, faktor individu atau faktor dari anak itu sendiri dimana muncul sifat malas untuk sekolah, tidak ada dorongan dari luar atau dari dalam diri untuk membangkitkan motivasi bersekolah. Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah desa dalam mengatasi anak putus sekolah adalah dengan menggunakan program beasiswa PNPM untuk siswa, peningkatan fasilitas sekolah, mendorong anak untuk gemar membaca dengan menggunakan fasilitas perpustakaan desa dan tidak lupa juga memberikan dorongan atau motivasi kepada orang tua dan anak tentang pentingnya pendidikan. Kata Kunci : Anak putus sekolah, faktor penyebab putus sekolah Melista Diko.1 NIM 281410001. Kehidupan Anak Putus Sekolah di Desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango. Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Gorontalo. Di Bawah Bimbingan Bapak Ridwan Ibrahim S.Pd, M.Si2 dan Bapak Rudi Harold S.Th, M.Si.3 1
Peneliti Dosen Pembimbing 1 (Satu) 3 Dosen Pembimbing 2 (Dua) 2
Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan dan berdampak secara global terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah, rendahnya minat anak bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dirasakan masih sangat kurang. Realita yang terjadi seperti di desa Bulontala, terdapat jumlah anak usia 715 tahun yaitu 49 orang, 7-15 tahun yang masih sekolah sebanyak 30 orang, namun 7-15 tahun jumlah anak yang tidak sekolah atau putus sekolah adalah 19 orang. Jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak sekolah adalah dari tingkat pendidikan SD-SMP. Keinginan anak-anak yang ada di desa tersebut untuk melanjutkan sekolah masih rendah. Hal ini tentu dipicu oleh berbagai faktor. Anak sebagai aset penerus seharusnya mampu berbuat lebih dari apa yang ada sekarang sehingga keadaan menjadi semakin baik. Hal itu dapat dilakukan bila mereka berada dalam lingkungan yang mendukung perkembangan fisik ataupun psikis mereka. Namun, kenyataannya pada masa sekarang ini mereka harus berhadapan dengan beban hidup yang berat dan lingkungan yang keras, sehingga mereka terjebak pada lingkaran kemiskinan. Adapun satu hal pokok di atas dapat menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kelangsungan hidup bangsa kedepan berada di tangan anak-anak di masa sekarang. Jika menginginkan kesenangan di masa yang akan datang maka anak juga memperoleh haknya di masa sekarang. Misalnya tempat bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa. Disamping itu, anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan
perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan. Pada kenyataan di masyarakat tidak semua kebutuhan untuk anak terpenuhi. Salah satunya di bidang pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian yang akan dikaji dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian “faktor-faktor apa yang menjadi penyebab anak putus sekolah yang ada di desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango?” Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan anak putus sekolah di desa Bulontala, Kecamatan Suwawa Selatan, Kabupaten Bone Bolango.” 1. Konsep Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu indikator utama pembangunan dan kualitas sumber daya manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Menurut Brown bahwa pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar di mana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri orang itu melalui di dalam kelompok. Dari pandangan ini pendidikan adalah suatu proses yang dimulai pada waktu lahir dan berlangsung sepanjang hidup.4 Pendidikan dipersepsikan oleh Durkheim sebagai satu kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Pendidikan juga dipandang sebagai institusi yang berfungsi sebagai “baby sitting”, yang bertugas agar warga masyarakat tidak ada yang memiliki perilaku menyimpang, misalnya menjadi anak jalanan, pengangguran, dan berperilaku social deviant lainnya.5 Definisi pendidikan lainnya yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti dan tubuh anak, dalam pengertian tidak boleh dipisahkan bagian-bagian 4
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, h. 74 Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2010, h. 92
5
itu, supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.6 Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran”. Hal itu dilakukan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.7 Pengertian pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut menjelaskan bahwa pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang belajar untuk mengetahui, mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya untuk menyesuaikan dengan lingkungan di mana dia hidup. Beberapa konsep pendidikan yang telah dipaparkan tersebut meskipun terlihat berbeda, namun sebenarnya memiliki kesamaan di mana di dalamnya terdapat kesatuan unsur-unsur yaitu pendidikan merupakan suatu proses, ada hubungan antara pendidik dan peserta didik, serta memiliki tujuan. Dari beberapa konsep pendidikan
yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk perilaku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup. 2. Tujuan Pendidikan Dalam tujuan pembangunan, pendidikan merupakan sesuatu yang mendasar terutama pada pembentukan kualitas sumber daya manusia. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan.8 Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan, kemampuan dan sikap juga dapat dikembangkan berbagai 6
Jajat S. Ardiwinata dan Achmad Hufad, Sosiologi Antropologi Pendidikan, Bandung, UPI PRESS, 2007, h. 16 7 Munawar Sholeh, Cita-Cita Realita Pendidikan, Cet. 1, Jakarta, Institute For Public Education, 2007, h. xvii 8 R. WA, 2012: artikel terkait. http://eprints.uny.ac.id/9397/3/bab%202%20-10712251005.pdf. Akses 1 April 2014 (19.58)
kemampuan yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Tujuan pokok pendidikan adalah membentuk anggota masyarakat menjadi orang-orang yang berpribadi, berperikemanusiaan maupun menjadi anggota masyarakat yang dapat mendidik dirinya sesuai dengan watak masyarakat itu sendiri, mengurangi beberapa kesulitan atau hambatan perkembangan hidupnya dan
berusaha
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup
maupun
mengatasi
problematikanya (Nazili Shaleh Ahmad, 2011:3).9 Pentingnya pendidikan tercermin dalam UUD 1945, yang mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini kemudian dirumuskan dalam UndangUndang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.10 Dari berbagai tujuan pendidikan yang telah dikemukakan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan adalah membentuk sumber daya manusia yang handal dan memiliki kemampuan mengembangkan diri untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini berarti, dengan pendidikan anak akan memiliki bekal kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara ataupun sebagai bagian dari anggota masyarakat dunia. Dengan pendidikan pula, memungkinkan seseorang memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik dan sejahtera.
9
Ibid Ibid
10
3. Lembaga Pendidikan Lembaga pendidikan adalah badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. 1. Lembaga Pendidikan Formal a. Arti sekolah Membahas masalah sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu diketahui dikatakan formal karena diadakan di sekolah atau tempat tertentu, teratur sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari TK sampai pendidikan tinggi, berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Sekolah adalah lembaga dengan organisasi yang tersusun rapi dan segala aktifitasnya direncanakan dengan sengaja yang disebut kurikulum.11 2. Lembaga Pendidikan Non Formal Lembaga pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah (PLS) ialah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, dan berencana, di luar kegiatan persekolahan.12 Komponen yang diperlukan dalam lembaga pendidikan non formal harus disesuaikan dengan keadaan anak atau peserta didik agar memperoleh hasil memuaskan, antara lain : a) Guru atau pengajar, b) Fasilitas, c) Cara menyampaikan atau metode, dan d) Waktu yang dipergunakan. 3. Lembaga pendidikan In Formal Dalam lembaga pendidikan informal, kegiatan pendidikan tanpa organisasi yang ketat tanpa adanya program waktu (tak terbatas), dan tanpa adanya evaluasi. Adapun alasannya di atas pendidikan informal ini tetap memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan pribadi seseorang atau peserta didik.
11
Ahmadi dan Uhbiyati Nur, Ilmu Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2007, h. 162
12
Ibid, h. 64
4. Putus Sekolah Ary H. Gunawan (2010: 71) menyatakan bahwa putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.13 Hal ini berarti, putus sekolah ditujukan kepada seseorang yang pernah bersekolah namun berhenti untuk bersekolah. Hal senada diungkapkan oleh Nazili Shaleh Ahmad (2011: 134) bahwa yang dimaksud dengan putus sekolah yaitu “berhentinya belajar seorang murid baik ditengah-tengah tahun ajaran atau pada akhir tahun ajaran karena berbagai alasan tertentu yang mengharuskan atau memaksanya untuk berhenti sekolah”. 14 Hal ini berarti putus sekolah dimaksudkan untuk semua anak yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka. Berdasarkan konsep putus sekolah tersebut maka, yang dimaksud dengan putus sekolah dalam penelitian ini adalah, terhentinya proses pendidikan anak dalam menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. 5. Faktor Penyebab Putus Sekolah
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan anak putus sekolah antara lain: 1. Faktor Ekonomi Menurut Johannes Muller (1980), kemiskinan dan ketimpangan struktur institusional adalah faktor utama yang menyebabkan kesempatan masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi terhambat.15 Selain itu, menurut Sukmadinata (1994), faktor utama penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi dan karena orang tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya.16
13
R. WA, 2012:artikel terkait http://eprints.uny.ac.id/9397/3/bab%202%20-10712251005.pdf. Diakses tanggal 1 April 2014 (pukul 19.46) 14 Ibid 15 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta, Kencana, 2010, h. 341 16
Ibid, h. 342
Hal senada juga diutarakan oleh Maria Fransiska Subagyo (1986), bahwa kemelaratan diakui merupakan salah satu penyebab timbulnya kasus pelajar putus sekolah.17 Jadi, pada umumnya timbulnya masalah anak putus sekolah berkaitan dengan masalah kemiskinan. Karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang mendukung maka ada banyak anak usia sekolah yang harus kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. 2. Faktor Keluarga Menurut Ki Hajar Dewantara (1962:375) bahwa alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan disitu pertama halnya bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), sebagai pengajar, dan sebagai pemimpin pekerjaan (pemberi contoh).18 Keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi anak. Di dalam keadaaan yang normal, maka lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Namun, dalam hal ini banyak orang tua yang tidak menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupan masa depan anak. Apalagi orang tua yang tidak sekolah, biasanya akan mengalami kesulitan membantu anaknya belajar, tidak mampu memecahkan persoalan sekolah yang dihadapi anak. Sehingga orang tua kurang memberikan motivasi yang optimal bagi kelanjutan sekolah anak mereka dan akan membuat anak malas bahkan tidak mau besekolah sehingga anak putus sekolah. Karena orang tua adalah figur dan panutan anak.
17 18
Ibid, h. 121
Jajat S. Ardiwinata dan Achmad Hufad, Sosiologi Antropologi Pendidikan, Bandung, UPI PRESS, 2007, h. 248
3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi anak putus sekolah. Kadang kala pengaruh teman atau kerabat ikut menentukan keputusan anak untuk berhenti sekolah. Oleh karena seorang anak yang setiap hari bergaul dan bermain dengan teman-teman mereka yang tidak lagi bersekolah atau hanya lulusan SD tidak dapat bertahan untuk terus bersekolah melawan arus umum lingkungan sosial mereka. Di kalangan anak-anak seusia 7-13 tahun biasanya pengaruh lingkungan pergaulan adalah sangat kuat, sehingga bisa dipahami jika mereka kemudian beramai-ramai memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah atau putus sekolah hanya sampai di jenjang SD atau bahkan berhenti di tengah jalan.19 4 Faktor Individu Menurut Suyanto, sebagian lain yang menyebabkan anak putus sekolah adalah karena faktor kemalasan siswa sendiri.20 Munculnya kesadaran di tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah dikarenakan muncul sifat pemalas dari dalam diri sehingga malas untuk pergi ke sekolah. Selain itu, anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya. Pada saat anak bersekolah akan selalu berinteraksi dengan siswa lain, menjalin komunikasi, berteman, bercanda bersama. Dalam cara komunikasi siswa memiliki keterampilan yang bermacam-macam tergantung pada kecakapan berbicara pada lawan bicara. Selain itu juga rendahnya motivasi diri dan tidak ada dorongan dari luar maupun dari dalam diri sendiri untuk membangkitkan motivasi bersekolah.21
19
Bagong Suyanto, op. cit, h. 339
20
Ibid Desyandri, Analisis Kebijakan dan Pembinaan Pendidikan Anak Putus Sekolah di Kabupaten
21
Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. http://desyandri.wordpress.com. Diakses tanggal 1 april 2014 (pukul 19.10)
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, tipe penelitian yang dipakai adalah tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif ini adalah penelitian yang memerlukan data berupa kata-kata tertulis, data lisan, dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2008), penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.22 Dalam penelitian ini yang akan diamati adalah orang, yaitu anakanak putus sekolah dengan berbagai latar belakangnya. Dalam penelitian ini mengunakan waktu selama tiga bulan yang dimulai setelah ujian seminar proposal penelitian dan revisi perbaikan proposal penelitian.
PEMBAHASAN Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah di Desa Bulontala Kecamatan Suwawa Selatan Kabupaten Bone Bolango 1. Faktor Ekonomi Kondisi ekonomi keluarga merupakan faktor pendukung paling besar untuk pendidikan anak, sebab pendidikan saat ini membutuhkan biaya yang besar dan juga pendidikan merupakan hak yang fundamental bagi seorang anak, hak yang wajib dipenuhi dengan kerja sama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Adapun hasil wawancara dengan Mariam Antu selaku orang tua, yang mengatakan bahwa ia tidak mampu menyekolahkan anaknya karena tidak mampu membayar uang sekolah apalagi disetiap pergantian tahun ajaran baru anaknya harus dibelikan alat-alat sekolah baru seperti buku, pulpen bahkan sepatu dan baju seragam. Karena ia tidak mampu membiayainya, sehingga anaknya terpaksa berhenti sekolah dan kemudian bekerja membantu orang tua untuk mendapatkan uang demi kebutuhan keluarga.
22
Sugiyono, Memahami Penelitian kualitatif, Bandung, CV.Alfabeta, 2008, h. 60
Hal ini juga diperkuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Sukmadinata (1994), bahwa faktor utama penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi dan karena orang tua tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya. Hal senada juga dikemukakan oleh Maria Fransiska Subagyo (1986), bahwa kemelaratan diakui merupakan salah satu penyebab timbulnya kasus pelajar putus sekolah. 2. Faktor Keluarga Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya cerdas, berwawasan dan bertingkah laku baik sesuai dengan agama serta yang paling utama yakni sekolah dapat mengantarkan anak menuju kesuksesan sesuai dengan profesinya. Adapun hasil wawancara dengan bapak Hais Djamalu selaku kepala desa Bulontala yang mengatakan faktor yang berkaitan dengan keadaan keluarga, seperti motivasi orang tua, keadaan rumah tangga, sikap orang tua, perhatian orang tua dan kesadaran orang tua masih kurang, selain itu, pendidikan orang tua yang hanya tamat sekolah dasar apalagi tidak tamat sekolah dasar, hal ini sangat berpengaruh terhadap cara berpikir orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan cara pandangan orang tua tentu tidak sejauh dan seluas orang tua yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Suyanto (2010 : 343), sebenarnya tidak selalu anak-anak dari keluarga miskin yang cenderung putus sekolah tetapi latar belakang sosial orang tua yang kebanyakan kurang atau bahkan tidak berpendidikan sehingga yang memprihatinkan adalah orang tua si anak biasanya bersikap acuh tak acuh pada urusan sekolah anaknya, sehingga si anak sendiri kemudian tidak pernah merasakan bahwa sekolah itu memang penting bagi masa depannya. Oleh sebab itu, keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap kondisi anak. 3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi anak putus sekolah. Sebagaimana dalam pernyataan bapak Ibrahim Ismail selaku Sekretaris Desa Bulontala mengatakan bahwa yang menyebabkan anak putus sekolah bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan keluarga, tetapi pengaruh lingkungan juga
sangat kuat, misalnya saja pergaulan anak tersebut dengan teman-temannya, seorang anak yang sekolah berteman dengan anak yang tidak sekolah maka secara otomatis anak yang sekolah tersebut akan terpengaruh untuk tidak sekolah. Selain itu, Faisal Daud (anak putus sekolah) yang mengatakan orang tuanya mempunyai keinginan untuk menyekolahkannya kembali, namun karena terpengaruh oleh pergaulan dengan teman-temannya yang sudah bekerja sehingga ia tidak mau lagi melanjutkan sekolah dan lebih memilih bekerja agar ia bisa mendapatkan uang. Kadang kala pengaruh teman atau kerabat ikut menentukan keputusan anak untuk berhenti sekolah. Apa lagi bila melihat teman yang putus sekolah terlibat dalam suatu pekerjaan yang menghasilkan uang maka ia akan ikut teman tersebut. Oleh karena seorang anak yang setiap hari bergaul dan bermain dengan teman-teman mereka yang tidak lagi bersekolah atau hanya lulusan SD tidak dapat bertahan untuk terus bersekolah melawan arus umum lingkungan sosial mereka. 4. Faktor Individu Munculnya kesadaran di tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah dikarenakan muncul sifat pemalas dari dalam diri sehingga malas untuk pergi ke sekolah. Selain itu, anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya. Pada saat anak bersekolah akan selalu berinteraksi dengan siswa lain, menjalin komunikasi, berteman, bercanda bersama. Dalam cara komunikasi siswa memiliki keterampilan yang bermacam-macam tergantung pada kecakapan berbicara pada lawan bicara. Selain itu juga rendahnya motivasi diri dan tidak ada dorongan dari luar maupun dari dalam diri sendiri untuk membangkitkan motivasi bersekolah. Seperti dalam hasil wawancara dengan Ibrahim Botutihe (anak putus sekolah) mengatakan, ia malas pergi ke sekolah karena bagi dia sekolah juga tidak begitu penting. Sama halnya dengan pernyataan Azan Paputungan (anak putus sekolah), yang mengatakan malas untuk sekolah karena sekolah tidak asyik dan ia lebih suka berkumpul bermain dengan teman-temannya, bersantai-santai dan tidak mempedulikan sekolah. Sementara itu, menurut ibu Warni Suke bahwa anaknya malas untuk belajar sehingga nilainya di sekolah banyak yang tidak tuntas, tapi
anaknya bukannya rajin untuk belajar agar nilainya bagus di sekolah tapi ia hanya bermalas-malasan sampai tidak mau untuk sekolah. Menurut Suyanto (2010), dalam studi yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (2005) menemukan bahwa awal mula atau indikasi yang diperlihatkan siswa yang berpotensi putus sekolah adalah : (1) pernah tidak naik kelas, (2) nilai ulangan dan nilai rapor yang kurang memenuhi standar, di mana biasanya makin banyak nilai yang di bawah standar berarti makin besar peluang siswa yang yang bersangkutan untuk putus sekolah, dan (3) sering membolos. Sejalan dengan faktor-faktor penyebab anak putus sekolah di atas, maka perlu adanya langkah-langkah untuk mengatasi anak putus sekolah khususnya yang ada di desa Bulontala. Menurut bapak Hais Djamalu (wawancara 8 Mei 2014) selaku kepala desa Bulontala, dalam upaya mengatasi anak putus sekolah, yang dilakukan oleh pemerintah desa adalah (1) menggunakan program beasiswa PNPM untuk siswa, (2) peningkatan fasilitas sekolah, (3) mendorong anak untuk gemar membaca dengan menggunakan fasilitas perpustakaan desa dan tidak lupa juga memberikan dorongan atau motivasi kepada orang tua dan anak tentang pentingnya pendidikan.
PENUTUP 1. Kesimpulan Dengan merujuk pada hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Manusia pada hakekatnya adalah makluk yang dapat dididik dan memiliki hak untuk mengenyam dan memiliki pendidikan. 2. Di dalam pendidikan terdapat banyak anak putus sekolah dan jika diperhatikan dan diamati permasalahan tersebut ditimbulkan oleh banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat melanjutkan pendidikan atau anak yang putus sekolah seperti diantaranya kesulitan ekenomi keluarga, keadaan rumah tangga yang tidak berjalan baik, permasalahan lingkungan yang mendorong anak untuk tidak bersemangat dalam
mengikuti pendidikan, dan kurangnya dorongan yang terdapat pada diri anak untuk bersekolah. 3. Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah berakhir, masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan. Oleh sebab itu permasalahan ini menjadi tanggung jawab kita semua, apalagi institusi terkait dalam program pemberdayaan dan tindak lanjut terhadap anak-anak yang putus sekolah. Karena pendidikan sebagai salah satu investasi masa depan adalah suatu usaha yang sangat memegang peranan penting. Pendidikan akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang yang cerdas dan dapat memanfaatkan dan menyikapi seluruh kesempatan dalam memenuhi dan memperjuangkan kehidupan. 5.2 Saran 1. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan dan berdampak secara global terhadap kemajuan bangsa Indonesia. 2. Diharapkan kepada pemerintah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan di Desa Bulontala sebagaimana dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah desa yaitu menggunakan program beasiswa PNPM untuk siswa, peningkatan fasilitas sekolah, serta mendorong anak untuk gemar membaca dengan menggunakan fasilitas perpustakaan desa dan tidak lupa juga memberikan dorongan atau motivasi kepada orang tua dan anak tentang pentingnya pendidikan. Dalam mencegah terjadinya anak putus sekolah selalu terus dikontrol dan diawasi dan untuk ke depan lebih meningkatkan lagi upaya-upaya tersebut dengan terus bekerja sama dengan masyarakat agar faktor penyebab anak putus sekolah dapat ditekan bahkan ke depan tidak ada lagi anak-anak putus sekolah. Karena bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua dan anak itu sendiri harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal
hidup maupun sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian kualitatif. CV.Alfabeta. Bandung. Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2011. Metode Penelitian Sosial. Kencana. Jakarta. Sulistri dkk, 2007. Pekerja Anak, Pendidikan Anak Pekerja/Buruh, Skema Bantuan dan Komite Sekolah. KSBSI, KSPSI, KSPI. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Ardiwinata, S. Jajat dan Hufad, Ahmad. 2007. Sosiologi Antropologi Pendidikan. UPI Press. Bandung. Satori Djam’an dan Komariah Aan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.. Alfabeta. Bandung. Ahmadi, 2004. Sosiologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Ahmadi, A dan Uhbiyati, Nur. 2007. Ilmu Pendidikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lengrand, Paul. 1989. Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat. PT Idayu Press. Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Kencana. Jakarta. Suprihatini, Amin. 2008. Perlindungan Terhadap Anak. Cempaka Putih. Klaten. Salam, Burhanuddin. 2002. Pengantar Pedagogik. PT Rineka Cipta, Jakarta. Sholeh, Munawar. 2007. Cita-Cita Realita Pendidikan. Institute For Public Education. Jakarta. Hasan, S. Hamid. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Desyandri, Analisis Kebijakan dan Pembinaan Pendidikan Anak Putus Sekolah di Kabupaten
Lima
Puluh
Kota,
Provinsi
Sumatera
http://desyandri.wordpress.com. Diakses tanggal 1 april 2014.
Barat.
W. Rizqa Bayu, 2012 : Artikel terkait. http://eprints.uny.ac.id/7882/2/bab1%20%2007102244012.pdf. Di akses tanggal 1 April 2014 (19.20). R.WA, 2012 : artikel terkait. http://eprints.uny.ac.id/9397/3/bab%202%2010712251005.pdf. Akses 1 April 2014 (19.17). FA Thalib, 2014. http://eprints.ung.ac.id. Diakses 10 Juli 2014 (15.02) Dwi Candra Kartika Yuda. Penyebab Anak-anak Putus Sekolah dan Cara Penanggulangannya. http://imadiklus.googlecode.com. Diakses 10 Juli 2014 (15.10). Moh. Haris, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak Putus Sekolah Pada Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Dusun Pesisir Tengah Desa Dharma Camplong
Kabupaten
Samplang.
surabaya.ac.id/digilib/filter/disk1/3/perpustakaan%20um
http://apps.umsurabaya-
mohharis07-140-1-covercode-c.pdf. Diakses 10 Juli 2014 (15.15).