1
Praktikum 3: Tujuan: Melakukan formatting Kolom pada dokumen MS Word.
Melakukan formatting Drop Cap pada dokumen MS Word. Melakukan formatting Change Case pada dokumen MS Word. Melakukan Header, Footer, dan penomoran halaman pada dokumen MS Word.
SUARA SI MISKIN:
Persepsi dan Kondisi Kemiskinan
P
Disusun: Tim Fasilitator Seknas KIKIS
ersepsi umum komunitas miskin tentang pengalaman apa disebut miskin berkait dengan masalah keterbatasan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Pengalaman formulasi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada masa lalu, masalah ini dinyatakan terjadi karena tiada atau rendahnya pendapatan si miskin. Pandangan ini menyederhanakan realitas kemiskinan dan cenderung menyalahkan si miskin. Temuan di lapangan menunjuk bahwa keterbatasan dan ketidakmampuan si miskin memenuhi kebutuhan dasarnya itu mengarah pada terjadinya gagalnya kapabilitas dasar. Suatu kondisi yang membuat si miskin terancam kehilangan harkat martabatnya sebagai sebagai manusia warganegara. A. Persepsi tentang Kemiskinan
P
ersepsi komunitas miskin tentang pengalaman apa yang disebut “miskin” memiliki perbedaan substansial antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih merasakan kenyataan miskin sebagai keterbatasan dan ketidaksanggupan memenuhi kebutuhankebutuhan produktif. Sedangkan persepsi perempuan lebih dipengaruhi oleh keterbatasan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Tabel 1 menunjukkan bahwa persepsi laki-laki cenderung pada keterbatasan penguasaan terhadap aset produksi, akses permodalan dan pelayanan publik. Perempuan lebih cenderung mengalami tekanan pengelolaan ekonomi keluarga, seperti keterbatasan penghasilan, biaya kesehatan, biaya pendidikan anak dan lemahnya kekuatan mengontrol keputusan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan strategis keluarga. Berikut ini penjelasan berdasar lingkungan sektoral komunitas dengan merujuk pada data-data pada Tabel 1 tersebut. Tabel itu sendiri dihasilkan dengan cara menghimpun data yang sesuai dari seluruh hasil Kajian, disajikan dengan kalimat baru dengan tidak merobah substansinya, serta tidak membuang satupun dari data yang tersedia dari seluruh hasil Kajian.
P
etani penggarap dan pekerja perkebunan. Persepsi kemiskinan komunitas petani penggarap di wilayah perkebunan di Bengkulu Utara dan Pelalawan (Riau) dipengaruhi oleh apa yang mereka alami selama ini. Sebagai
petani yang tidak memiliki kekuasaan atas tanah pertanian jelas merupakan pengalaman hidup miskin. Hal yang sama ditegaskan oleh komunitas pekerja tani di wilayah perkebunan Tlogosari (Malang) bahwa tidak adanya kepemilikan lahan
2 merupakan karakteristik utama dari situasi kemiskinan mereka. Tetapi, tentu saja latar sejarah dan berkembangnya persepsi tentang kemiskinan itu berbeda diantara lingkungan masing-masing komunitas. Kehidupan petani penggarap dan pekerja perkebunan dipengaruhi langsung oleh hubungan penguasaan mereka atas tanah pertanian, hubungan kerja dengan pengusaha perkebunan dan jenis komoditi yang ditanam. Untuk kasus di Bengkulu Utara, kehadiran mereka di atas lahan perkebunan karet dan sawit sebagai transmigran dari Jawa dan bekerja diperkebunan itu dalam hubungan plasmainti dalam program PIR-Trans. Sebagai petani Plasma, mereka sesungguhnya memiliki peluang untuk menguasai tanah dalam batas tertentu dan mengembangkan ketrampilan teknis usaha kebun untuk kemudian menjadi Inti. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi, dan sebaliknya, mereka diposisikan sebagai pekerja kebun. Sedikit berbeda dengan nasib pekerja perkebunan di Pelalawan (Riau). Basis hubungan mereka dengan tanah telah tercerabut dengan lepasnya tanah ulayat mereka untuk dijadikan lahan perkebunan karet dan sawit. Mereka kini bekerja sebagai pekerja harian lepas di atas tanah yang dulu menjadi kuasa mereka dengan alas hak ulayat. Dalam situasi ini mereka menghadapi masalah ketidakpastian pekerjaan. Sementara itu di wilayah perkebunan Tlogosari (Malang Selatan), pekerja tani memiliki kaitan dan kenangan historis dengan tanah HGU yang dikuasai pengusaha perkebunan kakao dan kopi. Leluhur mereka dikenal sebagai pembuka hutan ---dibawah kendali pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian menjadi lahan luas perkebunan dan disewakan
secara jangka panjang sebagai tanah erfpacht pada pemodal asing. Sebagian lagi, berada dilokasi perkebunan itu memang sebagai petani yang diktegaskan menguasai lahan. Itu terjadi pada masa pendudukan jepang dan agresi militer Belanda. Tetapi setelah dan melewati masa gagalnya pelaksanaan landreform, tanah berkas hak erfpacht itu menjadi tanah HGU dan diserahkan pada PTP. Sejarah penguasaan tanah di sana menyimpan sumber konflik agraria. Persoalan sebagai kaum miskin itu sangat dirasakan saat kebutuhan subsisten saja tidak terpenuhi. Tidak ada penguasaan yang efektif atas lahan pertanian membuat jaminan hidup subsisten keluarga mereka tidak terpenuhi. Tidak adanya penguasaan tanah sebagai asset menjadikan komunitas pekerja kebun ini kehilangan untuk menjangkau akses untuk mengembangkan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan dasarnya. Kendati begitu, di lingkungan komunitas pekerja perkebunan itu ternyata juga terdapat lapisan sosial yang dinilai “sangat miskin”. Di wilayah perkebunan sawit dan karet, lapisan sangat miskin ini adalah mereka yang kehidupan individu dan/atau keluarga yang masih menumpang (tidak memiliki rumah sendiri) dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Sedangkan di perkebunan kakao Tlogosari, lapisan sangat miskin adalah kelompok orang usia senja dan perempuan kepala keluarga yang memiliki tanggungan. Di sektor perkebunan ini, kemiskinan menurut kaum laki-lakinya adalah merupakan situasi kehidupan sehari-hari yang ditandai oleh perasaan hilangnya martabat sebagai manusia, sulit mendapat peluang pekerjaan, hanya bermodal
3 semangat dan tekad untuk bertahan hidup. Tetapi menurut perempuannya bahwa situasi tersebut ditandai oleh keterbatasan kemampuan dibidang ekonomi, tidak berdaya mengatasi ketimpangan pada nilai tukar komoditi, dan tidak dapat menjangkau memperoleh pendidikan.
penghargaan hak dasar sebagai manusia. Sedangkan kaum perempuan menunjuk pada persoalan ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan itu banyak terjadi dalam hal peristiwa kesenjangan akses. Namun kedua pandangan itu juga disandarkan pada kenyataan akan situasi kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan (formal).
Dua pandangan antara laki-laki dan perempuan di atas adalah bahwa kaum laki-laki lebih ditujukan pada tidak adanya alam yang khas itu, elayan nelayan tidak akan kampung. Kemiskinan melepaskan dari sebutan nelayan biasanya “diri dan pekerjaannya”. ditunjukkan dengan Nelayan, pekerjaan itu kampung mereka yang akan berhenti jika perahupadat dan kumuh. Itu bisa perahu kecil ---atau alatdi pesisir atau di alat tangkap ikan lainnya, pinggiran sungai. Cara musnah. hidup yang keras dan Kaum laki-laki nelayan ketaatan mereka pada kampung melihat situasi agama, teramat sering, kemiskinan lebih pada justru dijadikan alat untuk masalah terbatasnya menumpahkan kesalahan pemilikan alat produksi. atas kemiskinan yang Pemilikan perahu dan terjadi pada mereka, peralatan tangkap ikan nelayan itu sendiri. lainnya adalah tanda Menyebut komunitas itu kejayaan keluarga sebagai nelayan kampung nelayan. Laki-laki adalah untuk menghindari nelayan ---dan anak lakibanyak masalah dan laki dewasa mereka, stigma dari panggilan bekerja keras mencari “nelayan tradisional”. ikan. Kaum perempuan Komunitas nelayan menyambutnya di rumah, sebenarnya komunitas menerima hasil tangkapan yang tangguh. Suami, ikan, di masak sendiri istri, dan anak, semua atau dijualnya. Pemilikan mengabdikan hidup pada alat tangkap ikan itu bagi sumber daya alam: laut, kaum laki-laki nelayan sungai, atau danau. adalah sarana utama Ancaman apapun untuk menegaskannya terhadap sumber daya sebagai kepala rumah
N
tangga, serta kemampuan merawat istri dan keluarga. Tetapi pada akhirnya, perempuanlah jalan keluar bagi keluarga miskin nelayan kampung. Seorang ibu dari Desa Pambusuang menjelaskan, miskin itu adalah tidak ada perahu atau kapal yang bisa dipakai untuk cari ikan. Tidak ada sawah yang bisa menghasilkan beras. Tidak punya kebun kelapa, yang hasilnya bisa dijual dan selanjutnya dipakai membel beras. Seorang ibu dari Desa Kragan, Rembang menyampaikan, “ .........kemiskinan yang kita alami ini karena memang penghasilan dari nelayan tidak pernah menentu, selain faktor musim juga karena permainan tengkulak. Perempuan sebagai pemegang keuangan keluarga sering dibuat
4 pusing ketika bapak tidak membawa hasil dari laut, apalagi pada waktuwaktu musim ombak besar. Pilihannya untuk menutup biaya hidup dengan cara hutang atau menjual barang rumah tangga, kalau pada saat musim-musim seperti itu ibu-ibu pekerjaannya hanya dirumah saja, karena memang tidak memiliki keahlian apapun. Makanya disini anak-anak setelah lulus SMP diminta membantu orang tua miyang (melaut), karena untuk meneruskan sekolah tidak ada duitnya.” Dihadapkan pada kesulitan-kesulitan itu, etani di dalam dan sekitar hutan. Persepsi kemiskinan dari komunitas di dalam dan sekitar hutan ditandai masalah seperti: tidak diperhatikan oleh pemerintah; kurang memiliki pengetahuan nilai-nilai agama; pemilikan lahan terbatas; tidak memiliki akses dalam jabatan-jabatan publik; status adat rendah; keterbatasan mendapat lapangan kerja; terbatasnya memperoleh peluang pendidikan formal; susah melakukan
P
kaum perempuan di Desa Pambusuang menjadikan rumah-rumah mereka sebagai tempat usaha alternatif, menenun. Begitu juga, di desa-desa nelayan kampung di sepanjang Pantai Utara Jawa termasuk di Desa Kragan ini. Pada banyak rumah-rumah nelayan banyak ditemukan pembuatan petis atau jemuran kerupuk yang dibuat oleh kaum perempuan.
Kecamatan Punduh Pedada di Kabupaten Lampung Selatan. Persepsi dan situasi kemiskinan mereka terus menerus diancam oleh tekanan dari luar komunitas, seperti beroperasinya pemodal kuat keramba ikan kerapu, kapal-kapal trawl, dan praktek bom ikan. Tekanan eksternal itu menjadi luar biasa ketika kehidupan di pulau kecil tidak banyak memberi pilihan alternatif pekerjaan, kecuali meninggalkan pulau itu sendiri.
Untuk nelayan kampung di pulau-pulau kecil memiliki masalah tersendiri. Seperti Desa Pahawang, yang terletak di kawasan Teluk Lampung, masuk wilayah komunikasi; pengalaman hidup yang tidak berkembang; hingga terbatasnya akses dan modal. Bagi komunitas ini, semua pernyataan itu, baik masing-masing maupun keseluruhan mempunyai kisah kasus yang berujung pada proses marjinalisasi kehidupan mereka. Lihat saja Desa Santaban, Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas. Desa ini letak geografisnya berdekatan dengan Malaysia. Pada masa konfrontasi Indonesia Malaysia, desa pinggiran hutan ini menjadi penyangga bagi tentara nasional untuk membangun camp pertahanan. Saat itu dapat dikenang oleh para tokoh adat, rumah-rumah betang (adat/bantanan) harus dibongkar demi alasan keamanan. Mereka harus eksodus ke tempat lain, meninggalkan kebun mereka yang cukup subur. Kini di salah satu dusun yakni Dusun Sasak, masyarakatnya mengandalkan hasil kebun karet yang disadap setiap harinya jika hutan tidak datang. Pendapatan yang dihasilkan dari kerja itu antara Rp15.000,sampai dengan Rp20.000,- per hari untuk 3 – 4 kg getah karet. Waktu yang diperlukan tiap harinya sekitar 5 – 7 jam kerja. Jam kerja ini bisa bertambah jika kebutuhan uang meningkat. Selain di Dusun Sasak, mereka memiliki kebun
5 karet, buah-buahan dan tanaman keras lainnya yang mereka sebut Timawa’kng atau Tembawang. Tembawang tersebut berada di hulu Sungai Bantanan tepatnya berada di Kampung Riam, Tuba, dan Kaum, yaitu ditempat asal mereka tinggal sebelum berpindah ke Dusun Sasak. Produktivitas getah karet di tembawang jauh lebih tinggi dibanding dengan kebun karet yang mereka miliki di Dusun Sasak. Disamping berkebun karet, masyarakat di Dusun Sasak juga menanam padi di ladang atau uma untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, luas lahan yang ditanam bervariasi antara 2 borong sampai dengan 6 borong (1 borong 1/6 hektar), produktivitas lahan atau sawah mereka 1 – 1,2 ton per hektar, dengan mananam padi, diperkirakan selama 3 sampai dengan 6 bulan mereka terbebas dari membeli beras. Sebagaimana masyarakat pinggiran hutan pada umumnya, masyarakat Daya memandang alam sebagai bagian dari hidupnya. Mereka selalu berupaya semaksimal
mungkin untuk menjaga keseimbangan alam dan terhadap orang-orang yang dianggap melanggar, yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan alam, maka mereka harus membayar denda adat. Untuk itu tanah, hutan, dan air tidak hanya dipandang sebagai asset ekonomi, tetapi sekaligus sebagai asset budaya dan sosial yang harus tetap dilestarikan. Kerusakan hutan dan sumberdaya alam lainnya memaksa mereka untuk merubah pola relasi dan budaya yang selama ini mereka percaya dan pertahankan. Mereka harus memulai dengan relasi dan budaya baru yang asing bagi dirinya. Tekanan budaya dan agama resmi Negara, serta desakan ekspansi modal kuat HPH menumbuhkan keyakinan status dan nilai lokal yang marjinal, seperti yang disampaikan pada awal pernyataan persepsi di sektor pinggiran hutan ini. Pada kasus lain, di wilayah perbatasan Papua Barat seperti di Kampung Skou Sae dan Dusun Hnyao Mosso yang menggantungkan hidupnya dengan mengumpulkan hasil dari kebun (dusun) kelapa, sagu dan pinang. Situasi konflik yang mengikuti sejarah kehidupan di kampung ini telah membawa komunitas setempat harus bergantung pada pihak luar dihadapan tanah-tanah adat mereka yang begitu luas dan kaya. Masyarakat kampung Skou Sae menggantungkan hidupnya dengan mengumpulkan hasil dari kebun (dusun) kelapa, sagu dan pinang serta bantuan dari pihak pemerintah dan pihak non pemerintah. Kondisi tersebut menimbulkan ketergantungan komunitas terhadap ketersediaan sumber daya alam dan bantuan-bantuan lain. Hal ini menyebabkan komunitas menjadi malas berusaha dalam mengolah lahan yang luas dan potensi sumber daya alam yang ada. Bahkan di Dusun Hnyao Mosso dihadapkan masalah berkait dengan status kewarganegaraan. Kesulitan dan kemiskinan mereka adalah potensi komoditi politik untuk klaim penguasaan sumber daya hutan. Sementara itu di pulau Jawa, kuatnya konflik dan semakin terorganisirnya perlawanan petani-petani pinggiran hutan telah membuat penguasa dan pengelola hutan negara bernegosiasi. Kompromi terhadap pengusahaan hutan itu memberi peluang bagi komunitas petani pinggiran hutan untuk bercocok tanam, menikmati hasilnya dengan syarat yang jelas: merawat hutan dan tidak usah sekali-kali mengusik alas hak kepemilikan hutan.
6
P
etani lahan kering. Wilayah lahan kering kebanyakan berada di lereng-lereng gunung, perbukitan dan di pinggiran hutan. Karakteristik lahannya adalah lahan yang berbatuan, berkapur dan jenis tanahnya hampir sebagian besar adalah tanah liat di mana tingkat kesuburan lahan sangat rendah karena miskin hara. Pola budidaya pertanian yang banyak dikembangkan oleh petani lahan kering adalah tanaman palawija, seperti jagung dan ketela dan dibeberapa tempat bisa dikembangkan padi gogo diselingi tanaman keras untuk fungsi konservasi lahan. Hasil dari tanaman padi gogo biasanya tidak dijual. Hasil panennya dikonsumsi sendiri. Untuk menambah pemenuhan kebutuhan hidup, biasanya ditanam jagung, ketela sayuran seperti lombok, kubis, tomat, kacangkacangan serta empon-emponan (bumbu-bumbuan). Bahkan dibeberapa wilayah jagung dan ketela pohon tidak dijual dan dipakai untuk cadangan pangan pada saat musim kemarau. Tanaman yang menjadi andalan dan tumpuan harapan petani lahan kering adalah cengkeh, kopi, tembakau, kopra yang memang harga di pasaran cukup tinggi. Persoalan yang sangat mendasar di tingkat petani lahan kering adalah ketergantungan dengan musim yang ada, dimana dalam satu tahun hanya dapat melakukan budidaya tanaman tidak lebih dari separuh waktu. Secara umum ciriciri pertanian lahan kering dilihat dari karakteristik kondisi alam adalah sebagai berikut: sistem pertanian hanya mengandalkan dari tadah hujan; petani lahan kering hanya memiliki kesempatan mengelola lahan sekitar enam bulan pada saat musim hujan, pada saat 6 bulan berikutnya di musim kemarau lahan pertanian tidak bisa dikelola (paceklik/nemor); sering mengalami gagal tanam dan panen karena perubahan musim yang tidak pernah menentu; kondisi fisik tanah berbatuan, berkapur dan tanahnya hampir sebagian besar adalah tanah liat yang tidak subur; kurangnya air untuk memenuhi kebutuhan air minum maupun untuk ternak pada saat musim kemarau.
M
asyarakat miskin kota. Pengertian kemiskinan menurut kaum laki-laki atau perempuan adalah merupakan situasi kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya
Bagi petani-petani lahan kering di Lombok Barat maupun Timur, atau di Jawa seperti di Gunungkidul, kemiskinan dipandang oleh laki-laki dan perempuan sebagai ketidak-mampuan dan keterbatasan memperoleh akses sebagai pendukung untuk memperbaiki tingkat kehidupan yang lebih baik. Meski secara substansi sama tetapi terdapat juga tanda perbedaan, yakni kelompok laki-laki mengemukakan adanya penhasilan yang tidak cukup, tetapi kaum perempuan mengemukakan adanya perbedaan upah kerja (penghasilan). Keterbatasan kepemilikan lahan bagi laki-laki menjadi masalah, tetapi belum tentu bagi perempuan. Yang khusus bagi kaum perempuan, adanya keterbatasan memperoleh akses informasi menjadikan mereka kesulitan menyatakan pendapatnya dalam pertempuan warga.
atau hilangnya kapabilitas dasar guna mendukung kehidupan yang lebih baik. Tanda-tanda yang termasuk dalam maksud substansi kapabilitas itu adalah: ketidakpastian hak kewarganegaraan atau
7 interaksi sosial dengan sesama warga lain tertutup; hilangnya akses terhadap tempat tinggal yang permanen; ketidakpastian pekerjaan. Tanda-tanda itu diikuti dengan masalah-masalah seperti akses memperoleh modal yang tertutup atau tidak dipercayai; keterbatasan pendidikan; ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di Kota Medan, masyarakat miskin kota merumuskan persepsi tentang kemiskinan mereka dengan dua hal, yaitu: (1) situasi hidupnya serba kekurangan tanpa pekerjaan dan tidak mampu; (2) situasi hidupnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan direndahkan oleh orang lain. Sementara itu di kota Pontianak, dirumuskan pengertian miskin sebagai situasi hidupnya ditandai dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat secara normal, yaitu karena tidak berimbangnya pendapatan dengan jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Rumusan itu didapati dari
P
ekerja Pabrikan. Pekerja sebagai komunitas akan merujuk pada sentimen atau perasaan yang sama. Karena itu dapat diandaikan, ketika berada dalam satu komunitas, pekerja mempunyai “identitas” atau posisi ekonomi-sosial-budayapolitik yang relatif sama: sebagai kaum [pekerja] atau rakyat pekerja yang berposisi sub-ordinat, baik di hadapan pemodal maupun negara/pemerintah. Komunitas pekerja
persepsi miskin dari kelompok laki-laki dewasa dan remaja di lingkungan masyarakat miskin kota itu ditandai oleh lima (5) ciri: Pekerjaan tidak menentu dan tidak tetap; Sulit dapat lapangan pekerjaan; Penghasilan tidak tetap; Pendapatan rendah; Tempat tinggal numpang orang/kontrak. Dari lima ciri itu, masalah kesulitan dapat lapangan pekerjaan merupakan ciri utama yang diyakini semua. Kendati begitu, bagi kaum laki-laki maupun perempuan secara kolektif menyatakan begitu pentingnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan tempat tinggal (tempat tinggal dengan bangunan sendiri namun lahannya sewa/numpang; maupun tempat tinggal numpang orang/kontrak). Memiliki tempat tinggal adalah hal yang dapat memastikan keluarga-keluarga miskin kota untuk hidup lebih baik. Untuk alasan itulah dimanamana penggusuran paksa adalah lawan nomor satu bagi mereka.
merupakan ‘subyek penderita’ yang mengalami langsung situasi dan kondisi yang sering didefinisikan sebagai miskin. Meski begitu memang sangat dimungkinkan adanya perbedaan pemahaman atau persepsi “pengalaman miskin” berdasarkan jenis kelamin (gender). Dari pengalaman hidup sebagai pekerja dan warga pendatang di kampung Berbek, komunitas pekerja
merumuskan ciri-ciri orang miskin sebagai kenyataan hidup yang serba kekurangan, tidak tercukupi terutama dalam hal makan dan vitamin; tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup seharihari; tempat tinggal kos atau sewa/kontrak kamar yang sempit (3X2,5 M²); beban hidup sehari-hari berat apalagi sudah punya tanggungan anak; pendidikan rendah (SDSMP); pendapatan kurang dan banyak hutang; kurang hiburan; tidak punya tabungan; sering
8 stress; kesehatan kurang terjamin; harga diri diremehkan; tidak dipercaya; mengurus surat-surat dipersulit (diinstansi pemerintah); pelayanan di Rumah Sakit kurang diperhatikan; kerja sampai 10-12 jam, tapi upah masih tidak cukup dan tidak punya apa-apa; setiap bulan tekor; kerja diperintah; enak diajak seduluran; mau kerja apa saja. Ciri-ciri yang diungkap tersebut sesungguhnya merupakan cermin
P
realitas yang dihadapi pekerja, baik relasi dalam keluarga, masyarakat mau pun relasi dalam hubungan kerja dan negara/pemerintah. Sementara itu, dalam pandangan masyarakat setempat, terutama para lelaki, pekerja perempuan dikuatkan oleh kesan ‘gampangan,’ mudah dicabut,’ atau ‘arèk cabutan’ dan cap-cap minor lainnya, misalnya “… alah… arèk pabrikan, gampang diajak kencan…” dan sebagainya.
Pekerja perempuan pendatang tersebut mengalami diskriminasi di kehidupan masyarakat. Untuk kos-kosan pekerja perempuan diberlakukan aturan kampung, bahwa batas waktu menerima tamu boleh melebihi pukul 21.00 malam. Peraturan ini tidak diberlakukan buat lakilaki yang juga pendatang atau sama-sama sebagai orang kos-kosan. Tampak jelas, kemiskinan memperburuk status dan nasib pekerja perempuan.
ekerja Migran. Seorang perempuan dari sebuah desa di Jawa Tengah menyatakan pengalamannya: “kETIKA SAYA BERUMUR 11 TAHUN, ADA SEORANG PEREKRUT YANG MEMBAWA SAYA KE jAKARTA UNTUK DIPEKERJAKAN SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA. tETAPI SAYA SANGAT HERAN, KARENA DI RUMAHNYA ADA BANYAK SEKALI ANAK LAKI-LAKI. pADA SUATU MALAM, IA MEMBAWA SAYA KE pALEMBANG DAN MENJUAL SAYA KEPADA MAJIKAN SAYA. sAYA BEKERJA SIANG MALAM TANPA DIBAYAR DAN MENGALAMI PERLAKUAN BURUK. sETELAH SETAHUN SAYA MELARIKAN DIRI DARI MAJIKAN SAYA DAN BEKERJA KEPADA KELUARGA LAINNYA. sAYA DAPAT KEMBALI KE wEDORO SETELAH SAYA MENIKAH (20 TAHUN), KARENA SAYA BERTEMU SESEORANG DARI DESA SAYA DI jAKARTA. dI DESA, KELUARGA SAYA MENGIRA SAYA TELAH MENINGGAL KARENA ORANG YANG MEREKRUT SAYA TIDAK PERNAH MEMBERI KABAR TENTANG SAYA. dAN SAYA MASIH TERLALU KECIL UNTUK DAPAT MENGINGAT ALAMAT SAYA DI DESA. sETIAP SAYA MENGIRIM SURAT, SURAT ITU KEMBALI KEPADA SAYA KARENA ALAMATNYA TIDAK LENGKAP.”
kenyataan yang sebenarnya banyak dialami perempuan semacam cerita di atas telah memperjelas jalan bagi pemahaman bahwa lilitan kemiskinan mampu memberi pengaruh besar terhadap kondisi khusus perempuan yang tidak dapat dikategorikan sebagai masalah kesenjangan akses. kemiskinan memperkuat realitas masalah kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan, dan pelanggaran hak kesehatan reproduski. dan dalam banyak hal dan konteks, realitas masalah yang digambarkan itu terjadi dan tampaknya terus dialami oleh para pekerja migran perempuan.
9 TEMUAN LAPANGAN DARI KAJIAN YANG DILAKUKAN DI DESA WEDORO MENUNJUK BAHWA PILIHAN PEREMPUAN UNTUK MENJADI PEKERJA MIGRAN DIDASARI OLEH PEMAHAMAN DAN KENYATAAN TENTANG TIADANYA PELUANG KERJA YANG SESUAI, SITUASI KETIDAKBERDAYAAN, DAN KERENTANAN TERHADAP INFORMASI PEKERJAAN YANG MANIPULATIF. PILIHAN SEBAGAI PEKERJA MIGRAN ITU JUGA DIDASARI KEYAKINAN BAHWA DALAM SATU KELUARGA, PEREMPUAN BERTANGGUNG JAWAB BESAR DARI SISI KEUANGAN UNTUK KELANJUTAN MASA DEPAN PENDIDIKAN ANAKANAK MEREKA. Kesulitan Untuk Mempunyai Pekerjaan Tetap Yang Dialami Para Laki-Laki Dewasa Atau Suami Mereka Merupakan Faktor Kuat Yang Mendorong Para Perempuan Bekerja Keluar Desa Asal Mereka Meski Tanpa Informasi Yang Jelas Dan Benar, Serta Tanpa Perlindungan Hukum Yang Layak.