Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas
SUARA PEREMPUAN SUMATERA: PERS PEREMPUAN DI SUMATERA UTARA PADA ZAMAN KOLONIAL 1919-1942 Dr. Wannofri Samry, M.Hum
Staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang.
Abstrak Kebijakan Pemerintahan Kolonial Belanda dalam abad ke-20 telah mendorong modernisasi dalam bidang pendidikan. Modernisasi pendidikan itu juga dialami oleh kaum perempuan. Kemajuan pendidikan ini menghasilkan sejumlah perempuan intelektual yang sadar akan diri, kebudayaan dan kebangsaan. Kesadaran akan kemajuan tersebut mendorong pula tumbuhnya penerbitan pers yang diurus oleh perempuan. Melalui pers--surat khabar dan majalah--perempuan menyalurkan gagasan-gagasan emansipasi dan kemajuan. Mereka menuntut persamaan hak, kebebasan berekspresi dan menyuarakan semangat kebangsaan. Perkembangan pers perempuan di Sumatera Utara terlihat dengan tumbuhnya beberapa surat khabar dan majalah yang diurus oleh kaum perempuan di pelbagai kota. Kertas kerja ini fokus pada perkembangan pers perempuan di Sumatera Utara serta menganalisis gagasan emansipasi serta ide-ide kamajuan yang diinginkan oleh kaum perempuan. Penulisan menggunakan metodologi sejarah berdasarkan sumber-sumber primer dan sekunder. Kata Kunci: Pers, perempuan, modernisasi, emansipasi, kolonial
~ 11 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Pengenalan Pada dekade kedua abad ke-20 kemajuan mulai dirasakan oleh kaum perempuan dalam berbagai bidang, terutama yang bisa dilihat dengan nyata adalah kemajuan di bidang pendidikan dan penerbitan pers. Pendidikan kaum pribumi yang ramai diusahakan sejak tahun 1901 kiranya juga telah dimanfaatkan oleh kaum perempuan untuk menggapai kemajuan sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki. Para perempuan yang sudah tamat sekolah ini nantinya juga terlibat dalam membina sekolah dan menerbitkan pers. Kajian ini menguraikan penerbitan suratkhabar dan majalah perempuan di Sumatera Utara yang diusahakan oleh perempuan sejak tahun 19191. Sejak tahun tersebut hingga tahun 1942 telah diterbitkan 7 suratkhabar dan majalah perempuan. Namun keterlibatan perempuan dalam penerbitan tidak hanya pada 7 media massa tersebut tetapi para perempuan juga turut menyiarkan gagasan-gagasan mereka dalam berbagai penerbitan umum lainnya. Karangan dan buah pikir mereka dimuat antara lain dalam Pewarta Deli, Pandji Islam, Seroean Kita, Pedoman Masjarakat dan sebagainya. Semua karangan dan pendapat mereka itu adalah bahagian dari proses pembentukan identitas. Walaupun gerakan perempuan sangat dinamis setelah dekad kedua abad ke-20 namun perhatian sejarawan terhadap penulisan sejarah kaum perempuan ini sangat sedikit. Hampir seluruh buku sejarah pergerakan di 1
Dibandingkan dengan Sumatera Barat, penerbitan pers perempuan di Sumatera Utara terlambat tujuh tahun, dimana surat khabar perempuan pertama diterbitkan di Sumatera Barat yaitu pada tahun 1912, yang diusahaan oleh Rohana Kudus bersama Datuk Soetan Maharadja. Ini adalah Surat khabar perempuan pertama di Sumatera.
Sumatera tidak memperhatikan keunikan dan kedinamisan gerakan kaum perempuan, terutama lagi dalam bidang pers yang merupakan ruang utama bagi penyaluran aspirasi mereka. Sebenarnya ada beberapa karya penting yang berkaitan dengan sejarah pergerakan di Sumatera Utara seperti karya Anthony Reid (1979), Arifin Omar (1999), Muhammad Said (1976a, 1976b), Daniel Perret (2010)2, Susan Rodgers (1991 dan 2005)3, Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1977/1977) 4 dan Usman Pelly (1994) 5, namun semua karya ini tidak memuatkan mengenai gerakan pers perempuan. Reid (1979), walaupun panjang lebar berbicara mengenai pergerakan dan revolusi di Sumatera Timur, dan menyinggung mengenai peranan pers di Sumatera Utara namun ia lupa menganalisis gerakan pers perempuan sebagai bahagian penting dari dinamika pergerakan. Karya yang mengupas keterlibatan perempuan dan pers bisa dibaca dalam Tridah Bangun (1990), Hajah Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia dan Subagio IN (1989), Ani Idrus, Wartawan-Usahawan-Sosiawan. Keduanya merupakan biografi Ani Idrus, tokoh pers perempuan di di Sumatera. Satu-satunya uraian sejarah 2
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur, terj Saraswati Wardhany, Jakarta: Kepustakaan Populer Grmedia, 2010. 3 Susan Rodgers, Print, Poetics and Politic: A Sumateran Epic in The Colonial Indies and New Order Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2005; Rodgers, Susan, 1991. “The ethnic culture page in Medan journalism”. Indonesia (April, 51): 83-103. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Utara, 1977/1978. 5 Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 55-56, 139-158.
~ 22 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas yang mengkaji peranan kaum perempuan dalam pers ditulis oleh Wannofri Samry (2013, khusus bab 6). Makalah ini akan melengkapi kajian mengenai sejarah pers perempuan dengan memanfaatkan sumber primer dn sekunder. Sumber primer adalah berupa arsip dan kolonial serta terbitan pers sezaman. Makalah ini menggunakan pendekatan historis dengan memperhatikan isu-isu penting yang dikemukakan oleh perempuan dalam surat khabar dan majalah. Batas kajian ini adalah tahun 1919, di mana pada tahun tersebut diterbitkan Perempoean Bergerak, yaitu surat khabar perempuan pertama di Sumatera Utara, dan batasan akhir adalah tahun 1942, yaitu masa kemasukan Jepang. Pendudukan Jepang telah mematikan semua penerbitan pribumi di Sumatera Utara dan menghilangkan gagasan-gagasan perempuan dalam penerbitan umum. Kemajuan Setelah diterapkannya politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901, kesempatan bersekolah bagi penduduk pribumi semakin terbuka. Pertumbuhan sekolah juga sangat rancak. Dari Onderwijs Statistick Over het School Jaar (1938-1939) diketahui bahwa sudah ada sekitar 1. 801.674 penduduk pribumi yang bersekolah, sebanyak 456.809 di antaranya adalah kaum perempuan. Jumlah ini terus meningkat sebelum pendudukan Jepang, di mana sebanyak 2. 102. 769 sudah bersekolah dan sebanyak 588 394 orang di antaranya adalah perempuan. Perkembangan pendidikan itu juga menjangkau penduduk Sumatera, yang mana pada tahun 1939 ada sebanyak 348 010 penduduk pribumi bersekolah dan 112.
893 orang di antaranya adalah kaum perempuan6. Selain digalakkannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda, sebahagian sekolah juga digerakkan oleh aktivis agama, Kristen dan Islam. Sejak akhir abad ke-19 misi Kristen Jerman dan Belanda sudah melancarkan pendidikan untuk kaum pribumi di Sumatera Utara. Mereka berhasil menyekolahkan belasan ribu penduduk Batak. Selain itu pemerintah kolonial juga mendirikan beberapa sekolah kelas dua berbahasa Melayu (scholen der tweede klasse) dan sekolahsekolah untuk para elit Bumiputera. Pada dekade pertama abad ke-20 sudah ada puluhan sekolah di Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada kaum perempuan bersekolah.7 Di samping itu pendidikan Islam juga berkembang sejak akhir abad ke-19, ia terutama digerakkan oleh orang Minangkabau dan Mandailing yang juga memberikan kesempatan kepada kaum perempuan.8 Organisasi Islam yang ikut aktif mengembangkan pendidikan yaitu Al-Jamiatul Washliyah dan Muhammadiyah. AlJami’atul Washliyah dikembangkan oleh perantau muslim dari Mandailing yang pada 19 Maret 1918 mendirikan Maktab Islamiyah Tapanoeli (M.I.T). Perguruan ini membuka kelas dari 6
Rujuk Onderwijs Statististich van het School Jaar 1938-1939, hlm. 280. 7 Rujuk Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatera Timur. Terj.Saraswati Wardhany. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hlm. 259-269. Berdasarkan sensus pada tahun 1930 sudah ada banyak 156 864 perempuan yang celik huruf di Sumatera. Lihat Indisch Verslag, 1940, hlm. 126. Para perempuan itu menjadi penggerak utama kemajuan, mereka melibatkan diri dalam pendidikan, organisasi dan kewartawanan. 8 Lihat Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi dan Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 43.
~ 33 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas tingkat sekolah rendah sampai sekolah lanjutan.9 Muhammadiyah juga aktif mengembangkan pendidikan Islam sejak peresmiannya pada tahun 1928.10 Muhammadiyah membuka sekolah di berbagai kota dan pelosok-pelosok negeri. Muhammadiyah membuka perguruan Nasjiatoel Aisjiah yang kusus untuk perempuan11. Perkembangan pendidikan telah meningkatkan aktivitas perempuan dalam bidang sosial dan politik, termasuk juga dalam penerbitan pers. Berbagai organisasi turut didirikan dan digerakkan oleh perempuan Sumatera Utara seperti 9
MIT adalah sekolah yang menggabungkan sistem tradisional dan moderen. Pengasuhnya sebahagian adalah tamatan Timur Tengah. Pada tahun 1930 jumlah pelajarnya sebanyak 1,000 orang. Alumni maktab ini banyak yang kembali ke kampung masing-masing dan mendirikan sekolah di kampungnya. Rujuk Chalidjah Hasanuddin, Al-Jam’iatul Washliyah 19301942 api dalam sekam di Sumatera Timur, Bandung: Penerbit Pustaka, hlm. 17. 10 Dalam seminar Muhammadiyah Sumatera Timur pada 22 Julai 1990 dikemukakan bahawa kegiatan organisasi dan dakwah Muhammadiyah di Medan, Sumatera Utara dimulakan pada 25 November 1927. Peresmian organisasi itu dilancarkan pada 1 Julai 1928. Sejak itu cawangan-cawangan Muhammadiyah terus dibuka di berbagai kota seperti di Pancar Batu (1928), Tebing Tinggi (1929), Kisaran (1930), Pematang Siantar (1930), Tanjung Balai (1930), Binjai (1930) dan Indra Pura (1931). Hingga tahun 1931 sudah ada 12 cabang yang dibuka kota-kota utama. Lihat “Sejarah Perkembangan Muhamadiyah”, http://sumut.muhammadiyah.or.id/content-3sdet-sejarah.html, dibuka pukul 11.50, 1/27/2013. 11 Lebih jauh mengenai perkembangan pendidikan perempuan lihat Wannofri Samry, “Penerbitan Akhbar dan Majalah di Sumatera Utara 1902-1942: Proses Perjuangan Identiti dan Kebangsaan”, disertasi Ph.D, Program Sejarah, Fakulti Sain Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, hlm. 262-268.
Aisyiah, Al Washliyah, Soeara Iboe, Koetamaan Isteri, Pagoeyoeban Warga Soenda dan juga Boedi Oetomo12. Perkembangan pers perempuan telah mampu menyalurkan ide-ide dan perasaan yang paling dalam; pikiran dan perasaan perempuan yang selama ini tertekan oleh sistem adat dan budaya patriarki kini disuarakan. Keberadaan pers telah memulai gerakan emansispasi kaum perempuan . Beberapa tokoh perempuan pun rajin menulis diberbagai surat khabar dan majalah. Mereka mulai peduli terhadap keberadaan sistem sosial-budaya mereka. Hal ini bermakna bahwa mereka sadar dan menuntut kemerdekan serta keluwesan dalam melaksanakan aktivitas. Lantas, perlawanan terhadap sistem adat budaya yang dirasakan diskriminatif adalah suatu yang tidak bisa dielakkan. Perkembangan Surat Kabar dan Majalah Perempuan Perkembangan pergerakan sebagai akibat dari pendidikan yang begitu cepat dalam abad ke-20 telah menumbuhkan kesadaran pula bagi perempuan, begitu pula munculnya aktivis-aktivis pergerakan di bidang kewartawanan. Selepas dekade pertama abad ke-20 pergerakan Indonesia memang ibarat cendawan tumbuh di musim hujan. Kaum perempuan mulai turut serta dalam berbagai perhimpunan, lembaga pendidikan dan kewartawanan. Kaum perempuan tidak hanya sekedar terlibat tetapi juga aktif menubuhkan dan menjadi aktor utama dari berbagai organisasi dan perhimpunan. Beberapa suratkhabar yang diurus perempuan bermunculan, iaitu Perempoean Bergerak (1919-1920), Parsaoelian Ni Soripada (1927), Soera Iboe (1932), Beta (1933), Keoetamaan Isteri (1937-1941), Menara Poetri (1937) dan Boroe Tapanoeli 12
Wannofri Samry, 2013, hlm. 269.
~ 44 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas (1940). Semua nama suratkhabar ini merujuk kepada pentingnya kedudukan perempuan dalam masyarakat, sebagaimana ungkapan Melayu mengatakan bahwa perempuan sunting negeri. Jadi kewujudan akhbar dan majalah ini telah memainkan peranan meningkatkan darjah kaum perempuan, baik sebagai persiapan seseorang yang akan menjadi isteri ataupun sebagai penggerak kemajuan bangsa. Perempoean Bergerak (Pr.B.) terbit pertama kalinya pada 1919 di Medan. Ia didirikan oleh H. Muhammad Taher, Parada Harahap dan T. A. Sabariah. Pr.B. adalah media massa perempuan pertama di Sumatera Utara yang melibatkan enam orang perempuan sebagai pengasuhnya. Slogan majalah ini iaitu ―Untuk Menyokong Pergerakan Perempoean‖. Majalah Pr. B itu dicetak oleh N. V. Drukkerij Setia Bangsa, yang juga menerbitkan Benih Merdeka. Para penyunting Perempoean Bergerak terdiri dari Boetet Satidjah, pembantu redaktur adalah Anong S. Hamidah, Ch. Barijah Indra Boengsoe, dan Siti Zahara. Pada bulan Juni 1919 bergabung Rabiatoel Adwi Matoer sebagai pembantu editor13. Bahagian administrasi dipangku oleh Abdoel Rachman. Penerbitan Perempoean Bergerak merupakan suatu majalah yang mengagumkan pada masa itu dan merupakan lompatan kamajuan yang besar di Sumatera Utara. Pertama ia dipimpin dan disunting oleh kaum perempuan yang mana pada masa itu masih banyak yang buta huruf. Nama Perempoean Bergerak, agak terasa radikal. Nama ini menegaskan bahwa perempuan sudah mulai bangkit dan sekaligus menunjukkan perlawanan.
13
hlm. 1
Perempoean Bergerak, 16 Jun 1919,
Pada nama surat khabar Pr.B ini dilukis gambar yang sangat unik dan agak rumit. Pada bahagian tengah terdapat gambar ular yang membelit pada tongkat yang sangat indah, ia menggambarkan sebuah tongkat pusaka. Tongkat yang tertancap kokoh itu siap untuk dipatuk oleh dua ekor ular itu. Pada kedua sisi tongkat dan ular terlukis sayap yang sangat lebar dan cantik, sayap itu terkembang dan siap untuk terbang. Pada bahagian kanan dan kiri terdapat dua orang perempuan cantik yang sedang melangkah tetapi terbelit oleh tali kawat berduri. Kedua perempuan itu memakai baju kurung sebagaimana kebiasaan kaum perempuan Sumatera. Matanya tertutup kain hitam, dengan sedikit bahagian dadanya terbuka yang menunjukkan kecantikan seorang perempuan Sumatera. Sebagaimana imej yang dilekatkan terhadap perempuan. Perempuan itu juga dipenuhi lilitan bunga yang membuat mereka tidak mendapatkan kebebasan tetapi keindahan palsu (imitation). Dua perempuan tersebut berada dalam keadaan kaki telanjang. Lukisan perempuan di tajuk Pr.B. itu menggambarkan sebuah misi di mana surat khabar itu bertujuan membebaskan perempuan-perempuan Sumatera dari kungkungan kekuasaan. Mereka bercita-cita untuk menapak kemajuan dan terbang setinggitingginya sesuai dengan alur kemajuan yang sedang berproses di HindiaBelanda. Dalam tebitan awal Pr.B (15 mei 1919) menyerukan ―marilah kita beramai-ramai menjokong ini soerat boelanan dimana tempat kita membentangkan pikiran kita, pemandangan kita, perasaan kita jang selama ini kita semboenjikan karena kelemahan kita.‖14
14 Perempoean Bergerak, 15 Mei 1919, hlm. 1
~ 55 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Sejak awal penerbitan Perempoean Bergerak mengandung misi besar yaitu memajukan kaum perempuan dan ia menggugat sistem sosial yang berlaku di mana laki-laki terlalu menguasai dan menghambat kemajuan kaum perempuan. Menurut pandangan akhbar ini kemajuan bangsa tidak akan diperoleh apabila kaum perempuan terlalu ditinggalkan. Kebanyakan lelaki tidak memperhatikan hal ini.15 Oleh karena itu perempuan mesti dimajukan dengan meningkatkan pendidikan dan wawasan mereka.16 Walaupun surat khabar ini mendapat sambutan yang baik dari pembaca tetapi hal itu tidak mampu mengumpulkan keuntungan yang cukup. Oleh itu penerbitan itu terasa kesusahan dari aspek ekonomi. Penerbitan Perempoean Bergerak hanya bergantung pada uang pelanggan dan tidak berhasil mendapatkan banyak iklan. Oleh karena itu pada setiap terbitan surat khabar ini memohon kepada para pembaca untuk selalu patuh membayar uang langganan17. Bagaimanapun penerbitan Pr.B mendapat sambutan yang hangat dari kaum perempuan di berbagai tempat, hal itu terlihat dari surat pembaca dan karangan yang diterbitkan. Pelanggan Perempoean Bergerak pada umumnya berada di Pulau
Sumatera terutama Sumatera Timur seperti Medan, Deli, Lubuk Pakam, Sibolga, Kota Pinang, Asahan dan lain-lain. Sebahagian kecil ada pula di Sumatera Barat dan Puau Jawa seperti Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor).18 Selepas penerbitan Perempoean Bergerak, tidak lama kemudian diterbitkan pula Soera Iboe (1932) di Sibolga. Penerbitan Soeara Iboe sesungguhnya tumbuh dari gerakan para perempuan yang baru saja tercerahkan oleh pendidikan Barat. Ia adalah kesadaran yang tumbuh dari masyarakat bawah (grass root) yang kemudian berhimpun dalam organisasi Soeara Iboe 19. Tujuan utama dari organisasi ini yaitu memperbaiki nasib dan meningkatkan darjah kaum perempuan; memperjuangkan posisi perempuan dalam adat karena adat dianggap telah melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan.20Soeara Iboe adalah suatu wujud dari kegelisahan atas ketertinggalan kaum perempuan. Ia bercita-cita untuk meningkatkan kemajuan etnik tersebut khususnya dalam membincangkan mengenai adat istiadat yang dianggap membelakangkan kaum perempuan Tapanuli dan Pesisir Sumatera Timur yang sudah diwariskan secara turun temurun.21. 18
15 Perempoean Bergerak, 16 Ogos 1919, hlm. 2. 16 Menurut surat khabar ini hingga dekade ke-2 abad ke-20 tidak ada guru perempuan di Sumatera Utara. Ia menyebutkan rasa irinya atas kemajuan yang didapatkan oleh orang Minangkabau yang telah jauh lebih maju.Perempoean Bergerak, 16 Jun 1919, hlm. 2. 17
Surat khabar Pr.B kesukaran dalam mendapatkan iklan, ia lebih mengutamakan dapatan uang pelanggan. Sistem ini tidak mendukung keuangan penerbitannya. Lihat Wannofri Samry, 2013, hlm. 274.
Dari penjelasan wang langganan yang dimuatkan, para pelanggan daripada akhbar ini tersebar di perbagai bandar di Sumatera seperti Medan, Bengkulu, Lubuk Pakam, Binjei dan ada juga di Batavia. Sila lihat, Perempoean Bergerak 16 Oktober 1919, hlm. 2. 19 Penerbitan ini diusahaan oleh 20 orang perempuan. Perencanaan penerbitan dimulai selepas ia bergabung dengan perkumpulan Sinar Poetri pada 8 & 22 Nopember 1931. Rujuk Wannofri Samry, 2013, hlm. 275-276. 20 Soeara Iboe, Th I, 2 Mei 1932, hlm. 1. 21 Soeara Iboe, Th I, 2 Mei 1932, hlm. 2.
~ 66 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Setiap penerbitan majalah Soeara Iboe selalu menyuarakan kemajuan kaum perempuan. Ia selalu berharap dan menuntut kaum laki-laki supaya memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada kaum perempuan memperluas wawasan mereka dan meningkatkan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu diharapkan perempuan juga boleh meningkatkan keutamaan pikiran, meningkatkan kemauan, kerajinan, usaha, sabar, rendah hati, tidak putus pengharapan, mempunyai ketetapan hati, sungguh dalam berbuat dan ikhlas. Oleh itu majalah Soeara Iboe menyuarakan agar para perempuan dibebaskan dari kurungan adat yang telah berlaku selama ini. ―Pembebasan mereka‖ diharapkan membantu kemajuan, membuka wawasan dan kemandirian sekaligus meningkatkan martabat kaum perempuan.22 Soeara Iboe juga sering menyerukan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di negeri Batak. Dalam uraiannya, kaum ibu sebagaimana umumnya berlaku, dianggap sebagai sendi bagi kehidupan, sendi negeri. Di negeri Batak, kaum perempuan dinamakan soripada artinya kepala dan perlindungan, di Angkola dan Mandailing dinamakan namota, artinya bangsawan — maknanya kehormatan terdapat pada kaum perempuan. Namun di Tapanuli dan Batak pada umumnya, kaum perempuan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan warisan hartabenda.23 Mereka juga tidak 22
Soeara Iboe ,Th I, 2 Mei 1932,
mendapatkan hak ke atas pusaka ayah dan pencarian keluarga. Masalah ini selalu diprotes dalam majalah Soeara Iboe. Merujuk perkara ini sebuah tulisan yang berjudul ―Dari hal Adat Batak dan Kedoedoekan Kaoem Iboe Bangsa Batak‖ secara terang-terangan mengatakan bahawa kaum perempuan selama ini ―dibohongi‖ oleh kaum lelaki. Secara adat mereka dianggap ‖orang datang‖ dan tiada berhak terhadap harta pusaka. Oleh karena itu Soeara Iboe menggugat sistem adat yang berlaku24. Selain itu di kota Tarutung pernah pula terbit dua surat khabar perempuan. Pertama Parsaoelian Ni Soripada (1927). Selepas itu pada tahun 1933 terbit pula Beta di Tarutung, Pengasas surat khabar tersebut adalah Puan Siahaan dan Puan E. D. Nababan. Tidak banyak yang dapat dikemukakan tentang dua surat khabar tersebut. Namun, ia diyakini bahwa kedua surat khabar tersebut merupakan surat khbar perempuan yang paling awal diterbitkan di Tanah Batak. Penerbitan surat khabar tersebut menunjukkan bahawa gerakan kemajuan sudah sampai ke kota kecil itu25. Setelah delapan belas tahun diterbitkannya Perempoean Bergerak, terbit pula majalah Keoetamaan Isteri. Majalah itu lahir dalam gelora pergerakan yang mulai hebat. Majalah ini didirikan oleh perkumpulan Keoetamaan Isteri, iaitu sekumpulan isteri-isteri para elite didikan kolonial Belanda. Cita-cita organisasi ini adalah untuk meningkatkan kecerdasan perempuan peribumi 26.
hlm. 2. 23
Beberapa kasus pewarisan harta ayah kepada anak perempuan sering diambil alih oleh saudara laki-laki walaupun anak perempuan mengajukan kepada Majlis adat, pihak laki-laki selalu dimenangkan atas perkara itu. Kasus seperti ini boleh dibaca dalam Soera Iboe, 2 Jun 1932.
24 Sooeara Iboe, no.4. Th. I. 1 Ogos 1932, hlm. 1. Lihat juga Wannofri Samry, 2013, hlm. 279-280. 25 Mohammad Said, 1976a, hlm. 28 dan 61. 26 Persatuan tersebut didirikan pada 2 Oktober 1937, di gedung Boedi Oetomo, Tjong Yong Hianstraat no.114, Medan. Pada
~ 77 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas Pada 2 Oktober 1937, majalah Keoetamaan Isteri diluncurkan oleh perkumpulan Keoetamaan Isteri. Peluncurannya dihadiri oleh tokohtokoh Sumatera Timur, termasuk dihadiri oleh Paduka Yang Mulia J. M Tengkoe Permaisuri Negeri Deli. Sejumlah organisasi sosial dan partai poltik juga turut menghadiri 27 peluncuran tersebut. Walaupun pada awalnya penerbitkan majalah Keoetamaan Isteri dimaksudkan sekedar merayakan ulang tahun perkumpulan Keoetamaan Isteri, namun kemudia ia berkembang dengan pesat dan menjadi majalah utama bagi kaum perempuan di seluruh Sumatera Timur. Slogan majalah Keoetamaan Isteri ini adalah ―Orgaan Oentoek Kaoem Iboe Boemipoetra‖. Penyokong utama perkumpulan dan majalah tersebut adalah para elit terpelajar di Medan seperti Dr. Pringadi, Dr. Abdoel Manap, Sitompoel dan Mr. Loeat Siregar. Kandungannya memuat perkara pergerakan, pendidikan, kepandaian memasak, menjahit, kecantikan dan pelbagai pandangan hidup yang berkenaan dengan perempuan. Majalah ini juga memuatkan gambar-gambar. Ia diterbitkan sekali dalam sebulan. Penerbitan majalah K.I. disambut baik oleh banyak pihak, kerana K.I. adalah majalah perempuan pribumi yang didukung oleh banyak kaum perempuan dan aktivis pergerakan di Medan. Majalah tersebut menjadi saluran utama bagi kaum perempuan dalam menyuarakan
kemajuan sebelum pendudukan Jepang. Sebuah tulisan dalam majalah ini mengemukakan: ―Meskipoen dalam doenia bersoerat chabaran Medan memegang record, akan tetapi setahoe saja beloem ada di kota jang besar dan permai ini satoe soerat chabar atau madjalah jang diterbitkan meloeloe oleh kaoem iboe bangsa kita. Oemoem telah mengetahui betapa pentingnja soerat chabar atau madjalah bagi satoesatoe golongan atau perkoempoelan. Tiap-tiap perhimpoenan, tiap-tiap partij dan tiap-tiap golongan, galibnja mempoenjai soerat chabar sendiri, jang akan menjiar-njiarkan segala maksoed maksoed dan toedjoean dari perhimpoenan atau partij itoe. Dengan adanja soerat chabar meloeloe untuk kaoem iboe, segala kepentingan dan keperloean jang mengenai masjarakat mereka, dapat dikemoekakan di gelanggang ramai, sehingga segala kehendak dan tjita-tjita dapat dipertimbangkan oleh ahli-ahlinja bersama-sama. Djika diantara kaoem iboe atau pria mempoenjai idial atau mempoenjai rantjangan oentoek memperbaiki masjarakatnja, maka dapatlah rantjangan itoe dikemoekakan dalam madjalah itoe. Oempamanja sadja tentang mode atau recept masakan jang baroe dll. Moedahmoedahan para poejangga pena kita, teroetama kaoem poetrinja, akan soedi mengisi koloman madjalah itoe dengan rentajana-rentjana jang actueel, jang up to date, jang hangat, jang perloe dan bergoena bagi kaoem iboe seoemoemnja28.‖
mulanya ahli-ahli organisasi itu terdiri dari isteri-isteri keturunan Jawa di Sumatera Timur, kemudian turut dianggotai oleh etniketnik lain di sekitar Medan. Lihat Wannofri Samry, 2013, hlm, 280. 27 “Verslag dari Perajaan Oentoek Memperingati Tjoekoep 10 Tahoen Berdirinya Keoetamaan Isteri”, Keoetamaan isteri, No. 2, November 1937, hlm. 1-9.
Penulis perempuan yang sering menyumbangkan tulisan di majalah K.I. antara lain Rasuna Said. Beliau 28
Fatimah A.A., Soeara seorang lid.Keoetamaan Isteri, Tahun 1 no 1, Oktober 1937, hlm. 10.
~ 88 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas seorang juru pidato yang hebat dan tokoh pergerakan perempuan yang berbasis Islam-modernis. Penulispenulis lain adalah Fatimah A. A., SK Tri Murti dan para anggota organisasi Keoetamaan Isteri. Melalui majalah K.I. para penulis itu sering mengemukakan pentingnya pencerdasan kaum perempuan dan perlunya persamaan hak dengan kaum laki-laki. Kandungan rubrik-rubrik daripada majalah KI antara lain adalah opini, berita, masak memasak, kecantikan, pendidikan, kesihatan, cerita, dan syair. Rubrik-rubrik itu membuka pikiran kaum perempuan terhadap kemajuan dan pergerakan nasional. Pelanggan Keoetamaan Isteri menyebar di berbagai tempat di Sumatra dan Jawa seperti Kutaradja, Bireun, Medan, Padang, Bukittinggi, Betawi, Bandung, Tulung Agung dan lain-lain. Para pelanggannya tidak hanya kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki. Para pelanggan yang ada di Medan juga menjadi anggota organisasi Keoetamaan Isteri yang menerbitkan majalah ini. Biasanya para anggota membayar iyuran lebih banyak daripada pelanggan biasa. iyuran itu sebahagiannya digunakan untuk penerbitan majalah Keoetamaan Isteri. Pada 18 Mei 1938 diterbitkan pula akhbar 3 bulanan Menara Poetri di Medan. Menara Poetri dipimpin oleh seorang penulis yang sangat popular, Rangkajo Rasoena Said, perempuan asal Minangkabau yang sebelumnya sering menyiarkan tulisannya di berbagai surat khabar dan majalah di Sumatra. Rasuna adalah perempuan dan anggota politik yang dikenal cukup berani. Beliau pernah mendesak agar dimasukkan mata pelajaran politik di Dinyah Putri Padang Panjang (Sumatra Barat). Ia uga perempuan yang termasuk menentang kebiasaan poligami yang tidak berdasar pada
Islam. Dalam ―Pengantar Kalam‖ surat khabar itu disebutkan bahawa Menara Poteri adalah ―medan daripada suara puteri‖. Menara Poetri ini diperuntukkan bagi semua golongan masyarakat. Slogannya ―membenarkan yang benar, menyalahkan yang salah‖. Menara Poetri ikut serta dalam usaha membimbing kebangkitan semangat, kemauan dan aktivitas kaum perempuan, baik bagi perempuan maupun yang umum. Pada terbitan perdana dengan tegas dikemukakan bahawa surat khbar ini akan tegak menuntut hak dalam arti kata luas dan murni, selaras dengan ungkapan ―kaum putri tiang masyarakat‖. Menara Poetri bercita-cita untuk memajukan perempuan dengan sekuat tenaga sesuai dengan kemauan perempuan. Berdasarkan kajian didapati, Menara Poetri adalah akhbar yang benar-benar didirikan dan dipimpin oleh perempuan. Proses penerbitannya berbeda dengan surat khabar dan majalah sebelumnya, ia benar-benar diusahakan oleh Rasuna Said, seorang yang sudah terjun dalam dunia sosial dan politik sejak beliau bersekolah di Diniyah Poetri Padang Panjang, Sumatera Barat.29 Sejauh ini memang tidak banyak yang bisa diketahui mengenai mengenai Menara Poetri sebab majalah ini tidak ditemui lagi bukti penerbitannya di Indonesia. Namun dari karangan-karangan yang disiarkan oleh Rasuna Said sebagai Ketua Penyunting majalah tersebut, ia pasti mempunyai visi kebangsaan yang jelas dan keras menyuarakan kepentingan kemajuan perempuan. Pada tahun 1940, beberapa perempuan Batak yang sudah 29
Sambutan yang meriah mengenai penerbitan Menara Poetri disiarkan oleh majalah Keoetamaan Isteri. Lihat “Menara Poetri”, Keoetamaan Isteri, Th II/5, Mei 1938. Lebih juga Wannofri Samry, 2013, hlm. 285.
~ 99 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas tercerahkan juga tidak ketinggalan menerbitkan surat khabar Baroe Tapanoeli, yang diterbitkan di Padang Sidempuan, Tapanuli, sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatera. Surat khabar ini secara penuh diurus oleh perempuan; mulai dari perkara surat menyurat, editorial, dan pengurusan— Ia diurus oleh perempuan Tapanuli. Surat khbar ini dipimpin oleh Awan Chadidjah Siregar, sementara penyunting surat khbar ini dipangku oleh 5 orang perempuan yaitu Doemasari Rangkoeti, Roesni Daulay, Dorom Harahap, Marie Oentung Harahap dan Halimah Loebis. Jawatan Urusetia dipegang oleh Siti Sjachban Siregar, Lelasari Rangkoeti dan Intan Nasoetion. Boroe Tapanoeli diterbitkan oleh Badan Penerbit Baoroe Tapanoeli dan dicetak oleh Drukkerij Tapiannaoeli Padang Sidempoean. Dalam kata sambutan keluaran pertama dikemukakan bahawa Baroe Tapanoeli diterbitkan sebagai ―loeboek tapian mandi, tempat kaoem poetri berketjimpoeng dan djoega sebagai trompet kepoetrian Tapanoeli choesoesnsja, Indonesia oemoemnja, jaitoe oentoek mempertinggi deradjat kaoem poteri dengan berdasarkan kebangsaan, tetapi tiada mentjampoeri politiek.‖30 Tujuan surat khabar ini sesungguhnya untuk kemajuan perempuan. Seruan-seruan pada penerbitan awalnya juga mengajak perempuan untuk mengubah mentaliti dan budaya mereka selama ini: perempuan semestinya membuat revolusi mental, tidak lagi pemalu, tidak lagi pasif31. Melihat kandungan surat kabar Boroe Tapanoeli menunjukkan bahwa perempuan Sumatera sedang mengalami sebuah ―pemberontakan‖ batin. Konsep umum yang dilekatkan
kepada perempuan Sumatera pada umumnya adalah bahwa perempuan itu mempunyai peranan domestik, reproduktif, alamiah (nature) dan pasif, sementara lelaki selalu dianggap menempati peranan di luar rumah, produktif, berbudaya dan aktif32. Perspektif yang demikian telah lama menghimpit perempuan. Namun kemajuan pendidikan dan kesadaran emansipasi sejak awal abad ke-20 di Indonesia telah banyak membangkitkan semangat perempuan untuk ―duduk sama rendah dan tegak sama tinggi‖ dengan kaum lelaki. Sikap ―pemalu‖ dan ―penakut‖ disedari sebagai sikap yang tidak menguntungkan bagi perempuan, sebab sikap yang demikian cenderung menjadikan perempuan sebagai objek, pasif dan tidak menentukan nasibnya sendiri. Sikap itu dianggap sebagai kebudayaan lama yang semestinya ditinggalkan segera. Politik etika yang ekorannya telah memberikan kesempatan kepada semua penduduk Indonesia juga menjadi sebab dari terbukanya pikiran perempuan untuk mendapatkan hak mereka. Walaupun suara perempuan dalam Boroe Tapanoeli itu terlambat jika dibandingkan dengan gerakan perempuan di Minangkabau (Sumatra Barat), yang sudah bermula pada awal dekade kedua abad ke-20, namun ia masih penting untuk zaman itu. Ia adalah suara yang nyaring di tengah padang yang lengang. Mungkin untuk daerah Tapanuli, inilah kumpulan perempuan yang secara serentak bergerak bersama dan menuntut dengan lantang hak-hak mereka. Tuntutan yang lantang atas kemajuan dan hak kaum perempuan bukanlah fenomena lokal, tetapi 32
30
“Sepatah kata dari Directrice”, Boroe Tapanoeli, 10 October 1940, hlm. 1. 31 “Sepatah kata dari Directrice”, Boroe Tapanoeli, 10 October 1940, hlm. 1.
Rujuk Joanne C. J. Prindiville, “The Role of Minangkabau Women” Paper of International Seminar on Minangkabau Literature, Society and Culture September 4 – 6, 1980 di Bukittinggi.
~ 1010 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas kesadaran perempuan itu sudah meluas kepada perempuan di berbagai negeri. Tuntutan itu sudah disuarakan oleh banyak wartawan dan pengarang perempuan sejak awal abad ke-20. Sementara untuk Sumatera tuntutan kemajuan sudah bermula sejak dekade pertama. Selepas dekade pertama ada beberapa perempuan yang muncul sebagai wartawan dan pengarang. Namun fenomena yang menarik adalah pada sekitar tahun 1930-an, dimana pada masa itu banyak pengarang perempuan yang menyiapkan karangan mereka di dalam surat khabar dan majalah sejalan dengan semakin ramainya organisasi yang berorientasi pergerakan kebangsaan. Beberapa pengarang dan wartawan perempuan yang terlibat dan suka menulis dalam surat khabar dan majalah pada masa pergerakan sekitaran tahun 1930-an di Sumatra Utara antara lain Ommoe Shoebaidah ( Pandji Islam), Puan Gumarnia Al Matsir (K.I.), Rangkayo L. Roesli (K.I.), Roswita Cavalinnie (Abad, 20) Siti Norma (Pedoman masjarakat), Rangkayo Rasoena Said (Menara Poetri dan dll), Rohana Djamil (P.I., editor), Puan Dt Temenggoeng (K. I.), Annie Idroes (Seruan kita), Moenar (Keoetamaan Isteri) Fatimah Das (Keoetamaan Isteri), Herawati Latif (P.I), Siti Awan (K. I.) dan S. K. Trimurti (penulis bebas). Selain mereka ini masih ada para penulis lain yang mengirimkan karangan mereka ke majalah dan surat khabar. Hal ini menunjukkan bahawa kebangkitan pergerakan perempuan tidak boleh dipisahkan daripada media massa. Bahkan media massa bukan saja sebagai tempat untuk mendedahkan buah pikiran dan karangan tetapi juga telah menjadi wadah untuk berkomunikasi seperti sekadar informasi pindah alamat, kematian keluarga dan menanyakan sesuatu hal yang dianggap berguna. Di antara
penulis itu juga sering terjadi polemik, umpamanya mengenai polemik mengenai poligami antara wartawati Medan dengan Sitti Soemandari yang tinggal di Jawa, yang kemudian Sitti Soemandari dianggap menghina Nabi Muhammad SAW karena beliau mempunyai isteri lebih banyak. Penghinaan itu melalui tulisan yang bertajuk ―Huwelijkordonnantie en Vrouwenemancipatie‖ yang disiarkan dalam majalah Bangoen no.8, 9 dan 10. Tulisan Sumandari itu mendapat reaksi yang keras dari penulis Islam seperti Rasuna Said dan Komite Umat Islam Bandung.33 Alasan yang utama keterlibatan perempuan dalam bidang persuratkhabaran yaitu kerana surat khabar dan majalah boleh menyebarkan pikiran dan gagasan perempuan secara luas. Majlis-majlis yang sering diadakan oleh perkumpulan lelaki dianggap tidak cukup karena ruang lingkupnya sangat terbatas pada yang hadir. Segala perbincangan dan pidato dalam perkumpulan dan majlis tidak dapat dipahami dengan baik. Apabila sesuatu karangan sudah dimuatkan ke dalam surat khabar, maka ia boleh dibaca berulang-ulang sehingga dapat dipahami dengan baik. Munculnya banyak aktivis organisasi dengan pelbagai program bagi kemajuan perempuan ternyata belum mencukupi. Peranan surat khabar dan majalah 33
Pimpinan Islam pada amnya menuntut Sitti Semandari meminta maaf melalui media massa. Walaupun awalnya Sitti Soemandari tidak mahu meminta maaf tetapi akhirnya tuntutan umat Islam dikabulkannya juga. Lihat tulisan Rangkajo Rasuna Said, “ Tak tahu maka tak kenal (disekeliling Huwelijksordonnantie), Keoetamaan Isteri Th. II Januari 1938; M. Natsir, “De macht van den Islam”, Pandji Islam, Januari 1938, yang dimuat juga dalam M Natsir, Capita Selecta, Bandung: Sumur Bandung, 1961, hlm. 385-388.
~ 1111 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas masih diperlukan untuk menyebarkan informasi kepada banyak perempuan agar kemajuan perempuan itu boleh wujud secara pantas. Oleh itu para perempuan aktivis pergerakan tersebut merasa perlu pula mengurus penerbitan dan menulis di dalam surat khabar dan majalah.34 Walaupun arus emansipasi perempuan begitu deras terasa sejak awal abad ke-20 namun program kemajuan perempuan masih banyak ditujukan kepada pencerdasan perempuan dalam perkara-perkara yang berhubung kait dengan keluarga dan rumah tangga. Oleh karena itu program dan aktivitas pencerdasan perempuan lebih banyak berkisar pada belajar membaca, memasak, menjahit, merangkai bunga dan bahkan masalah etika meghadapi suami. Kemudian, sedikit-demi sedikit mulai membicarakan masalah hak-hak perempuan dalam keluarga dan dalam kehidupan sosial, seterusnya kemajuan bepikir itu meningkat pada kewajiban perempuan dalam kehidupan bertanah air dan berbangsa. Pada dekade keempat abad ke-20 perempuanperempuan terpelajar turut aktif dalam pergerakan. Mereka tidak lagi sekedar menjadi objek dari kemajuan dan pergerakan tetapi ikut serta dalam arus pergerakan. Mereka mulai menunjukkan kewajiban mereka dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Oleh karena itu kaum perempuan mulai mendirikan sekolah, perkumpulan perempuan, mengadakan rapat umum dan mendirikan surat khabar dan majalah. Melalui media massa para perempuan pun menuntut hak mereka dalam pemerintahan, seperti ikut serta dalam Dewan Gemente (Dewan Kota) dan Volksraad. 34
Roswita Cavalinie, “Perempoean dan Journalistik, Abad 20, Th III no.12, 22 April 1939.
Bagi perempuan, menjadi wartawan pada zaman pergerakan tidak mudah. Pertama; mereka berhadapan dengan sistem sosial budaya yang masih mengekang aktivitas perempuan. Kedua; perempuan secara biologis berbeda dibandingkan laki-laki. Perempuan mesti mengalami proses mengandung dan melahirkan. Sebagai isteri, perempuan diwajibkan untuk lebih intensif melayani suami dan menjaga anak. Pandangan yang masih konservatif tentang perempuan turut menghambat karir perempuan dalam jurnalistik, ini juga hambatan dalam pelbagai kemajuan. Oleh karena itu banyak penulis dan wartawan perempuan dalam masa pergerakan hanya sebagai sambilan. Tugas`utama mereka tetap sebagai isteri. Kadangkala kerja mereka sebagai wartawan hanya untuk menjayakan karir suami. Walaupun mereka terlibat dalam tulis menulis dan mengarang namun mereka sering menyelesaikan pekerjaan mereka di rumah. Walaupun begitu ada sebahagian perempuan yang berusaha untuk berkarir sepenuhnya, tanpa terkait dengan tugas suami. Misalnya Anie Idroes dan Rasuna Said, yang sesungguhnya sejak masa belianya sudah terjun ke dalam dunia sosial, politik dan tulis menulis di dalam media massa. Pada tahun 1930an, Anie Idroes salah seorang wartawan perempuan yang benarbenar melibatkan diri bekerja sebagai pengarang dan menjadi wartawan. Beliau sejak berumur 12 tahun sudah mulai mengirimkan karangannya ke majalah Panji Pustaka di Batavia (sekarang namanya Jakarta). Beliau sejak masa bersekolah di Medan telah menunjukkan bakatnya sebagai intelektual. Pada masa awal menerjuni dunia jurnalistik beliau dengan susah payah mendatangi kantor-kantor surat khabar di Medan untuk mendapatkan pengalaman dan mendapat tempat di
~ 1212 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas dalam surat khabar tersebut. Pada masa awal karirnya, beliau dengan ragu-ragu telah menemui penyunting surat khabar Pewarta Deli. Melalui surat khabar ini beliau mendapatkan kesempatan sebagai pewarta bebas. Walaupun berat karena tanpa kepastian gaji beliau melalui masa itu dengan senang hati. Beliau merasa senang karena dapat menyalurkan hobinya sebagai wartawan, tetapi merasa berat karena beliau seorang perempuan, yang pada masa itu hampir tidak ada perempuan yang menjadi pewarta bebas.35 Hal seperti ini sesungguhnya tidak biasa bagi kehidupan di Indonesia pada masa itu. Namun Anie terus membuktikan dan rajin menulis di berbagai surat khabar dan majalah sehingga pikirannya selalu dibaca dan memberi inspirasi bagi setiap pembacanya. Pengalaman Anie Idroes tidak jauh berbeda dengan pengalaman wartawan perempuan lain. Menjadi wartawan pada masa kolonial dirasakan penuh tantangan dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Namun keterlibatan perempuan dalam karang mengaranag dan jurnalistik terus bermuncunlan karena semakin banyaknya kaum perempuan yang bersekolah. Penutup Perluasan pendidikan dalam kalangan Bumiputera sejak dilancarkannya Politik Etis di awal abad ke-20 telah meningkatkan kecerdasan dan kemajuan dalam kalangan kaum pribumi. Kemajuan itu juga dirasakan oleh kaum perempuan. Saat memasuki dekade kedua abad ke20, para intelektual perempuan sudah mulai tampil menjadi perintis 35
Trianda Bangun, Hajjah Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, Jakarta: Mas Agung, 1990, hlm. 43-51. Lihat Wannofri Samry, 2013, hlm. 291.
pergerakan. Di Sumatera Utara kemunculan gerakan perempuan ditandai dengan diterbitkannya Perempoean Bergerak (1919) yang diterajui oleh Butet Satidjah dan kawan-kawan. Selepas itu enam surat khabar yang diasaskan perempuan juga diterbitkan sehingga pendudukan Jepang. Dari keseluruhan surat khabar itu hanya majalah Keoetamaan Isteri yang bertahan lama. Pendeknya umur surat khabar dan majalah berkenaan berhubungakit dengan sedikitnya iklan dan masih kurangnya perhatian terhadap penerbitan media massa perempuan. Dipastikan perempuan masih dipandang sebagai pelayan suami dan tidak mesti bekerja di ruang publik. Mereka hanya disiapkan sebagai pendamping suami di dalam rumah tangga. Majalah Keoetamaan Isteri beruntung karena ia mempunyai pengurusan organisasi yang baik dan mempunyai anggota perempuan yang ramai sehingga bisa menyokong penerbitan berkenaan. Pada umumnya misi surat khabar dan majalah perempuan serta pengarang perempuan adalah mencapai emansipasi, iaitu meningkatkan martabat perempuan melalui persamaan hak dengan lelaki. Oleh karena itu para perempuan yang terlibat dalam pergerakan kebangsaan dan penerbitan itu memperjuangkan agar perempuan mendapat kesempatan bersekolah. Hal itu akan memberikan kecerdasan dan meningkatkan jati diri perempuan. Selain itu para perempuan melalui penerbitan surat khabar dan majalah menjalin persatuan antara sesama penduduk Hindia-Belanda, terutama sesama perempuan. Para wartawan dan pengarang perempuan itu ikut serta menyebarkan perkembangan gerakan kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1930-an sudah muncul satu lapisan komunitas perempuan terpelajar, mereka aktif
~ 1313 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas dalam bidang pergerakan dan suka tulis-menulis. Selain mengikuti berbagai organisasi perempuan dan kebangsaan mereka juga suka menikmati kesenangan di luar rumah untuk bersantai. Perempuanperempuan ini masuk pula ke dalam
dunia yang tampil bergaya dan senang berdandan. Itulah sebabnya barangan perhiasan dan pakaian serta alat moderen lainnya menjadi bahagian yang penting pula. Iklan juga akan menunjukkan satu perubahan identitas dari masyarakat pribumi. []
Daftar Pustaka Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur, terj Saraswati Wardhany, Jakarta: Kepustakaan Populer Grmedia, 2010. Susan Rodgers, Print, Poetics and Politic: A Sumateran Epic in The Colonial Indies and New Order Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2005; Rodgers, Susan, 1991. ―The ethnic culture page in Medan journalism‖. Indonesia (April, 51): 83-103. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Utara, 1977/1978. Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1994. Onderwijs Statististich van het School Jaar 1938-1939, hlm. 280. Indisch Verslag, 1940, hlm. 126. Chalidjah Hasanuddin, Al-Jam’iatul Washliyah 1930-1942 api dalam sekam di Sumatera Timur, Bandung: Penerbit Pustaka. ―Sejarah Perkembangan Muhamadiyah‖, http://sumut.muhammadiyah.or.id/content-3sdet-sejarah.html, dibuka pukul 11.50, 1/27/2013. Wannofri Samry, ―Penerbitan Akhbar dan Majalah di Sumatera Utara 1902-1942: Proses Perjuangan Identiti dan Kebangsaan‖, disertasi Ph.D, Program Sejarah, Fakulti Sain Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia. Perempoean Bergerak, 16 Jun 1919. Perempoean Bergerak, 15 Mei 1919. Perempoean Bergerak, 16 Ogos 1919. Perempoean Bergerak 16 Oktober 1919. Sinar Poetri pada 8 & 22 Nopember 1931 Soeara Iboe, Th I, 2 Mei 1932. Soera Iboe, 2 Jun 1932. Sooeara Iboe, no.4. Th. I. 1 Ogos 1932. ―Verslag dari Perajaan Oentoek Memperingati Tjoekoep 10 Tahoen Berdirinya Keoetamaan Isteri‖, Keoetamaan isteri, No. 2, November 1937, hlm. 1-9. Fatimah A.A., Soeara seorang lid. Keoetamaan Isteri, Tahun 1 no 1, Oktober 1937. Keoetamaan Isteri, Th II/5, Mei 1938. ―Sepatah kata dari Directrice‖, Boroe Tapanoeli, 10 October 1940. Joanne C. J. Prindiville, ―The Role of Minangkabau Women‖ Paper of International Seminar on Minangkabau Literature, Society and Culture September 4 – 6, 1980 di Bukittinggi. Rangkajo Rasuna Said, ― Tak tahu maka tak kenal (disekeliling Huwelijksordonnantie), Keoetamaan Isteri Th. II Januari 1938
~ 1414 ~
Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, 2014
© Labor Sejarah, Universitas Andalas M. Natsir, ―De macht van den Islam‖, Pandji Islam, Januari 1938, yang dimuat juga dalam M Natsir, Capita Selecta, Bandung: Sumur Bandung, 1961. Roswita Cavalinie, ―Perempoean dan Journalistik, Abad 20, Th III no.12, 22 April 1939. 1 Trianda Bangun, Hajjah Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia, Jakarta: Mas Agung, 1990, hlm. 43-51. Lihat Wannofri Samry, 2013, hlm. 291.
~ 1515 ~