SUARA PEREMPUAN UNTUK KEBEBASAN Oleh Ahmad Faisol Ashar* )
JudulBuku : Saya Nujood, Usia 10 dan Janda Penulis : Nujood Ali bersama Delphine Mi- noui Penerjemah : Lulu Fitri Rahman Penerbit : Pustaka Alvabet Tahun Terbit: Cet. 5, April 2011 Tebal : 227 Halaman Yaman, sebuah Negara yang sedikit lebih besar dari Suriah, Yunani, dan Nepal jika digabungkan, dan menukik ke arah Semenanjung Aden. Negeri yang merupakan wilayah kekuasaan Ratu Sheba, seorang wanita perkasa dan cantik yang menggelorakan hati Raja Sulaiman dan meninggalkan tanda pada halamanhalaman suci Injil dan al-Qur’an. Negeri misterius tempat kaum lakilakinya tak pernah muncul tanpa belati diselipkan dengan bangga dipinggang. Sementara kaum wanitanya menyembunyikan pesona mereka di balik cadar hitam tebal. Sebuah tempat dimana kapalkapal dagang lintas benua saling berpapasan. Negara yang kini sedang bergejolak situasi sosial politiknya ini ternyata menyimpan sebuah cerita yang mengejutkan sekaligus memberi harapan bagi kita semua. Seperti Negara Asia Barat lainnya, di Yaman masih banyak adat istadat setempat yang sampai saat ini masih belum ramah terhadap perempuan. Seperti halnya di Iran dalam film “Goal”,
*Peneliti di Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan Kudus
154
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
ISSN 1979-6056
perempuan-perempuan banyak sekali yang dirampas haknya, terpinggirkan, dan menjadi warga kelas dua setelah laki-laki. Salah satu adat-istiadat di Yaman yang paling menonjol adalah pernikahan anak perempuan di usia dini. Novel yang merupakan best seller nasional maupun internasional dan telah diterjemahkan kedalam enam belas bahasa ini bercerita tentang Nojood Ali seorang gadis belia yang lahir di Khardji sebuah desa terpencil di pedalaman Yaman yang berjarak delapan jam dari Sana’a, ibu kota Yaman. Nujood dikenal tidak hanya di negaranya bahkan di seluruh dunia setelah keberaniannnya mengajukan perceraian atas pernikahan paksanya di Pengadilan Yaman sebagai kasus yang pertama. Atas perjuangannya ini Nujood mendapatkan penghargaan dari sebuah majalah perempuan yang berbasis di Amerika pada 2008. Nujood kecil lahir pada tahun 1998 dan tinggal bersama ayah Ali Mohammad al-Ahdel-, ibu dan beberapa saudaranya. Ibunya, Shoya yang menikah pada usia enam belas tahun telah melahirkan enam belas anak. Meskipun begitu, ayah Nujood beristri lagi dengan dalih memperluas keluarganya dan tentu saja ibunya tidak dapat menolak. Di Yaman laki-lakilah (ayah atau kakak laki-laki) yang berhak memutuskan dalam keluarga. Termasuk juga saat ia dan saudara-saudara perempuannya dilarang bersekolah sementara kakak-kakak laki-lakinya dapat menikmatinya. Ayahnya berdalih perempuan tidak aman berjalan di jalur sepi menuju sekolah terdekat yang harus ditempuh dengan berjalan kaki lebih dari dua jam. Karena sebuah konflik di tanah kelahirannya, Nujood dan keluarga pindah di Sana’a dalam keadaan yang memprihatinkan. Namun kepindahan ini membawa berkah, karena Nujood akhirnya disekolahkan. Kebahagiaan masa kanak-kanak Nujood tibatiba lenyap ketika karena kondisi ekonomi keluarga yang sangat kekurangan, Nujood, dipaksa ayahnya menikah dengan lelaki yang berusia tiga kali lipat dari usianya. Meski ibunya pada awalnya menolak, namun ia tidak kuasa untuk berbeda dengan keputusan ayahnya. Menurut ayahnya, pernikahan Nujood dengan Faez Ali Thamer akan melindungi Nujood dan mengurangi beban keluarga. Nujood kecil pun meninggalkan sekolah dan orang tuanya menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Ia harus memulai hidup baru dengan suami dan keluarganya. Di sana setiap hari ia justru
SUARA PEREMPUAN UNTUK KEBEBASAN_ (Ahmad Faishol Ashar )
menerima penganiayaan fisik dan psikologis dari sang ibu mertua, dan dari tangan kasar sang suami setiap malam. Sang suami yang sebelumnya berjanji pada ayah Nujood untuk menangguhkan berhubungan badan sebelum Nujood mendapatkan haidnya yang pertama, ternyata melanggarnya. Sang suami merenggut keperawanan si bocah pengantin tepat pada malam pertama setelah perkawinan mereka. Dan sejak itu kekerasan fisik, psikologis dan seksual menjadi menu utama kehidupan Nujood sehari-hari. Merasa tak sanggup lagi menanggung derita, Nujood melarikan diri. Bukannya kerumah orang tuanya, dia justru ingin mendatangi ibu kota Yaman, Sana’a. Berbekal beberapa keping uang untuk makan sehari-hari, Nujood berangkat ke ibukota dengan menggunakan taksi menuju gedung pengadilan untuk bercerai. Perjuangan Nujood dan keberaniannya untuk menuntut perceraian menarik Seorang pengacara perempuan yang bernama Shada Nasser segera menangani kasus Nujood dan berjuang melawan sistem kolot di negeri yang nyaris sebagian gadis - gadisnya menikah di bawah umur. Semenjak kasus ini diketahui khalayak banyak, perhatian dari berbagai media baik lokal maupun internasional dan organisasi feminis tertuju pada kasus per ceraiannya. Sejarah pun bergulir, Nujood berhasil memenangi proses perceraiannya. Keberanian Nujood menentang terhadap adatistiadat Yaman untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka di bawah umur dan keluarganya sendiri mendorong perubahan terutama di Yaman sendiri . Kasus Nujood telah menginspirasi keberanian gadis - gadis kecil Yaman lainnya untuk membela diri keluar dari per nikahan yang tidak mereka kehendaki seperti Arwa yang dipaksa ayahnya menikah pada usia sembilan tahun dengan pria berusia 34 tahun dan Rym yang juga menikah pada usia dua belas tahun dengan pria beru mur 31 tahun. Kasus Nujood juga memaksa parlemen Yaman meloloskan undang-undang baru yang menaikkan usia akil baligh bagi perempuan dan laki-laki adalah tujuh belas tahun. Menurut Husnia al-Kadri seorang aktivis perempuan di Yaman perceraian Nujood sa ngat penting dan berpengaruh terhadap suara - suara gadis kecil lain di Yaman. Nujood dipandang telah mampu menghancurkan pintu yang tertutup (tabu) karena dalam penelitiannya lebih dari separuh gadis Yaman telah menikah sebelum usia delapan tahun. Parahnya pernikahan di bawah umur ini dilegitimasi oleh agama, kurangnya
155
156
PALASTRèN: Vol 4, No. 2, Juni 2012
ISSN 1979-6056
pendidikan, kemiskinan dan adat-istiadat setempat di samping alasan kehormatan keluarga dan perlindungan dari pembalasan dendam antar suku sehingga dianggap merupakan hal yang normal atau biasa atau bahkan sebagai tindakan penyelamatan bagi anak perempuan mereka. Pada akhirnya Nujood menikmati masa kanak-kanaknya sebagaimana umumnya anak - anak dan kembali ke sekolah yang digambarkan oleh Minoui suka menggambar dan mewarnai sehingga selalu meminta oleh-oleh dibawakan Minoui pensil warna. Otobiografi ini kelebihannya daripada pendalaman karakter tokoh dan gaya bercerita dari penulis yang kuat, meskipun dengan bahasa yang sederhana dan blak - blakan. Novel ini juga berisi narasi yang memikat sekaligus sarat dengan informasi kehidupan perempuan di Yaman. Sementara kekurangannya ada pada alur cerita yang melompat - lompat sehingga pembaca dituntut jeli dalam setiap momen untuk dikaitkan dengan momen lainnya untuk mencerna maksud dari penulis. Kelebihan lain novel ini adalah secara tidak langsung merupakan salah satu bagian dari cara mengedukasi masyarakat untuk mendukung penghapusan pernikahan di bawah umur. Suara perempuan yang menjadi korban. dalam hal ini Nujood akan lebih didengar dan menumbuhkan kesadaran bagi pembacanya tanpa resistensi yang tinggi daripada disuguhi teks-teks baik al-Quran maupun hadis tentang pernikahan di bawah umur. Perjuangan melalui teks selain hanya mampu dinikmati kalangan terbatas yang memahami seluk beluk teks juga sangat tinggi tingkat resistensinya. Ziba Mir Hosseini-seorang feminis Iran menyebut perjuangan ini sebagai penguatan perempuan dalam Islam melalui pengalaman hidup (lived experience) perempuan. Pengalaman hidup tentang keterpurukan, penindasan dan hak-hak perempuan yang terabaikan bahkan dapat menggugah kesadaran untuk membaca kembali teks-teks agama untuk membela perempuan. (Lies Marcoes: 2007, 5) Sama halnya ketika kita lebih tergugah ketika ada yang menulis kemalangan perempuan-perempuan yang dipoligami dari sudut pandang budaya (antropologi) dan menyatakannya sebagai dehumanisasi perempuan. (Lies Marcoes:2005: xxxiii –Iiv) Bagi kita yang hidup di Indonesia, sulit membayangkan bahwa di belahan dunia sana banyak janda belia yang lebih muda dari seorang gadis cilik kelas 3 SD bernama Nujood Ali. Undang-
SUARA PEREMPUAN UNTUK KEBEBASAN_ (Ahmad Faishol Ashar )
Undang kita yang telah menetapkan usia minimal pernikahan sangat membantu mengurangi kejadian seperti yang dialami oleh Nujood ini tidak terjadi di Indonesia meskipun masih banyak juga ditemukan pernikahan di bawah umur yang dipersyaratkan bagi mempelai perempuan seperti kasus Syeh Puji dan Ulfa atau penelitian Yusuf Hanafi pada masyarakat Sub Kultur Madura di Probolinggo. Tesis bahwa kemiskinan dan kurangnya pendidikan menjadi latar belakang perkawinan anak di bawah umur juga ditemukan (Yusuf Hanfi: 2011, 287 – 295). Apa di alami oleh Nujood setidaknya membuat kita sadar agenda yang masih harus diperjuangkan bersama. Bukan hanya di Indonesia dan Yaman, tetapi diseluruh belahan dunia.
157