BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kontes Politik seperti Pemilu (Pilpres, Pileg dan Pilkada) bukanlah suatu hal yang asing bagi kita semua. Kebebasan politisi menjaring suara untuk meraih kemenangan mengakibatkan segala cara harus ditempuh oleh calon politisi seperti calon Kepala Daerah, dari kampanye visi dan misi, black campaign, money politic, juga merekrut elit lokal sebagai aktor penjaring suara. Telah disampaikan bahwa politisi berlomba menjaring suara sebanyak mungkin melalui segala cara, diantaranya adalah money politic. Salah satu contoh pilkada yang dibumbui money politic terjadi di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2001. Bupati yang baru dilantik, M. Djasri menjadi tersangka money politic dalam Pilkada, karena yang bersangkutan disinyalir menjajikan dana bulanan kepada tujuh anggota DPRD dari Fraksi PDI-P apabila mendukung Djasri1. Sungguh sangat menarik menyimak sebuah fenomena pilkada di berbagai kota atau kabupaten pada era Otonomi Daerah sekarang ini. Hal yang mungkin kurang/ tidak mendapat perhatian adalah strategi calon Kepala Daerah Kabupaten yang merangkul/ melakukan kerjasama dengan elit lokal (kiai) untuk menjaring masa. Strategi ini meskipun kurang mendapat perhatian masyarakat, namun merupakan langkah yang cerdik dari calon kepala daerah untuk menggaet orang – orang non – pemerintah yang diakomodir karena kharismanya untuk menggalang massa.
1
Amzulian Rifai, Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003) Hal 45. Manajemen Jaringan dalam Pilkada
1
Salah satu kasus yang menarik dan patut diteliti adalah pilkada di Kabupaten Pemalang. Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Pemalang mengadakan hajatan besar yaitu pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah periode 2010 – 2014. Pada waktu itu terdapat 4 (empat) kontestan yaitu pasangan2: 1. Yugo Dwijaya – Sri Hartati 2. Sumadi sugondo – Sukesi 3. Junaedi – Mukti agung Wibowo 4. Kun Sri Wibowo – Endang Purwanti Masing – masing pasangan calon Kepala Daerah (Bupati – Wakil Bupati) mempunyai visi misi dan program yang hampir sama, demikian juga kampanye yang dilakukannya. Semua kontestan mengikuti prosedur kampanye yang sama untuk menggalang suara. Pada pentas ini terdapat persaingan kuat antara pasangan calon nomor 3 (tiga) dan nomor 2 (dua). Hal ini terjadi mungkin karena mereka memiliki latar belakang yang sama yaitu dari unsur birokrasi Pemda Kabupaten Pemalang, pasangan calon nomor 3(tiga) adalah Wakil Bupati Kabupaten Pemalang dan Pengusaha, sedangkan pasangan calon nomor 2 (dua) adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Pemalang dan Kepala Desa. Namun pada akhirnya kemenangan diraih oleh pasangan calon nomor 3 (tiga) dengan perolehan suara 46,52 %3. Pasangan calon yang menang ini memiliki strategi khusus terkait penjaringan massa-nya. Penjaringan massa dilakukan melalui kerja sama dengan elit lokal yaitu kiai. Peran kiai di samping
2
http://www.kecamatanbelik.net/v3/index.php?limitstart=10
3
http://kpupemalang.wordpress.com/2010/11/06/rekapitulasi-perolehan-suara-tingkat-kabupatenpemilu-bupati-dan-wakil-bupati-pemalang-tahun-2010/
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
2
sebagai tokoh agama dan panutan masyarakat, yang tugasnya mengajarkan agama kepada umatnya, juga dianggap memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi politik yang kondusif di masyarakat sebagai wujud partisipasinya dalam pemilukada. Peran baru ini akan menarik massa melalui santrinya yang fanatik atau melalui masyarakat yang menganggap kiai sebagai panutan masyarakat. Para kiai dalam hal ini mengkoordinasikan massa di wilayahnya untuk memilih pasangan calon Kepala Daerah tersebut. Bentuk hubungan kerja sama ini dapat terbangun karena pasangan calon Kepala Daerah sudah memiliki kedekatan dengan para kiai terlebih dahulu. Model hubungan yang terjalin antara calon kepala daerah dengan kiai ini dapat secara tidak langsung oleh Tim Suksesnya atau secara langsung oleh pasangan calon Kepala Daerah itu sendiri karena faktor kedekatan tersebut. Dampak dari kerja sama ini, adalah balas jasa dari calon kepala daerah kepada kiai. Balas jasa tersebut bentuknya dapat bermacam – macam, seperti materi atau kebutuhan lainnya. Proses yang dilakukan oleh pasangan calon Kepala Daerah pada pilkada di Kabupaten Pemalang tersebut terjadi seperti yang dilakukan oleh calon kepala daerah di Banjarnegara, para kiai dirangkul untuk membantu penjaringan suara. Mereka saling menyepakati untuk bekerja sama meraih kemenangan. Setelah sukses menggalang massa, beberapa kiai mendapatkan sumbangan sebagai hasil kerja kerasnya, namun demikian sumbangan tersebut bukan hal yang paling utama dari suatu hubungan kerja sama pasangan calon Kepala Daerah dan kiai. Dari fenomena ini dapat dicermati bahwa ada hal yang menarik tentang kerja sama untuk memperoleh dukungan massa antara pasangan calon Kepala Daerah dengan elit lokal (kiai) sebagai salah satu cara untuk mengefisiensikan sumber daya dalam melakukan kampanye. Merujuk pada fenomena tersebut, penelitian ini Manajemen Jaringan dalam Pilkada
3
difokuskan pada kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah Kabupaten Pemalang dengan kiai yang dinilai dari sudut pandang teori Manajemen Jaringan. Telah diketahui bahwa teori Manajemen Jaringan dapat menjelaskan cara mengorganisir para agen / aktor yang berbeda sumber dayanya namun dapat bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau suatu hal, kemungkinan juga masalah penggalangan massa untuk memperoleh kemenangan dalam pilkada. Manajemen jaringan dalam konteks kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah dengan kiai yang difokuskan pada hubungan keduanya untuk menyamakan visi dan misi sebagai upaya meraih kemenangan. Kegiatan/ aktifitasnya meliputi aktifasi jaringan untuk memacu interaksi, pengaturan diri untuk menghindari tindak oportunis, penyatuan persepsi/ ide dan fasilitasi interaksi secara terus menerus untuk menciptakan suatu komitmen yang kuat.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana bekerjanya manajemen jaringan antara pasangan calon Kepala Daerah Kabupaten Pemalang (Junaedi – Mukti Agung Wibowo) dengan kiai dalam pemenangan Pilkada Kabupaten Pemalang tahun 2010 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui latar belakang kerjasama kiai dan pasangan calon Kepala Daerah dalam penggalangan masa pilkada. 2. Mengetahui kesepakatan yang terbentuk dari kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah dan kiai.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
4
3. Menjelaskan bentuk hubungan kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah dan kiai.
D. Literature Review
Penelitian tentang strategi kampanye politik dalam pemilu Kepala Daerah maupun pemilu Legislatif sudah banyak dilakukan oleh lembaga – lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang terkait. Terdapat 3 (tiga) penelitian yang berasal dari berbagai sumber antara lain penelitian pertama, yaitu Strategi Kampanye Politik Calon Incumbent Dan Pendatang Baru Dalam Pemilihan Kepala Daerah(Studi Kasus : Tim Kampanye Pasangan Calon Danny Setiawan – Iwan Sulanjana dan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf, di Kota Bogor, Jawa Barat) yang ditulis
oleh
Yuddi
Yustian,
mahasiswa
Program
Studi
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, yang digunakan sebagai penelitian skripsinya, pada tahun 20084. Fokus dari penelitian ini adalah membandingkan strategi dari kedua pasangan calon incumbent dan pendatang baru. Strategi yang dibandingkan adalah aspek perencanaan strategi, tekhnik kampanye, kegiatan kampanye, dan kesesuaian pencitraan yang diberikan dari tim kampanye kepada masyarakat yang dilakukan oleh pasangan incumbent Danny Setiawan – Iwan Sulanjana (DA’I) dan pasangan
4
Yuddi Yustian, Strategi Kampanye Politik Calon Incumbent Dan Pendatang Baru Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi Kasus : Tim Kampanye Pasangan Calon Danny Setiawan – Iwan Sulanjana dan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf, di Kota Bogor, Jawa Barat), Skripsi, tidak diterbitkan, Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor: 2008.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
5
pendatang baru Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (HADE) di Kota Bogor, Jawa Barat. Dari penelitian disebutkan pemenang dalam pentas politik adalah pasangan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (HADE) yang diusung 2 (dua) partai yaitu PAN (Partai Amanat Nasional) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kemenangannya merupakan hasil penerapan strategi yang dilakukan oleh Tim Sukses yaitu pembagian kerja sesuai dengan partainya, sehingga ada sebutan HADE PKS dan HADE PAN, dengan demikian tidak perlu silang partai dan saling tunggu, cukup setiap partai mengkoordinir kampanye. Selain strategi itu, ada direct selling dimana tim kampanye langsung turun ke jalan dan mendatangi satu rumah ke rumah lainnya. Strategi kampanye yang terakhir dari calon Kepala Daerah, yang merupakan pasangan muda dan inovatif ini, terlihat pada kampanye mereka dengan pengadaan “Angkot Gratis”. Sedangkan pasangan DA’I hanya menggunakan strategi konservatif, seperti kampanye dengan slogan “Pilihlah Pemimpin Yang Berpengalaman Memimpin Jawa Barat”, tidak ada koordinasi internal kelembagaan, dan tidak ada penggunaan kampanye massa. Strategi ini menjadi temuan penting dalam penelitian tersebut dan juga menjawab pertanyaan awal bagaimana strategi kampanye antara calon Incumbent dan calon pendatang baru diterapkan. Penelitian kedua adalah Strategi Kampanye Pasangan Calon H. Syamsul ArifinDan Gatot Pujo Nugroho Dalam Pemilihan Gubernur Gubernur Sumatra Utara Tahun 2008,
Pada
Pemilihan
yang ditulis oleh Rama Wulandari,
mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
6
sebagai penelitian skripsinya pada tahun 20085. Fokus penelitian ini adalah mencermati strategi kampanye pasangan calon H. Syamsul Arifin dan Gatot Pujonugroho yang memenangkan pemilihan Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 16 April 2008. Hasil penelitian menyatakan bahwa semenjak menjadi bakal calon Gubernur Sumatera Utara dan Wakil Gubernur, pasangan ini memang sudah dikenal memiliki figur yang baik di masyarakat seperti kesantunan, semangat kepemimpinan, dan mampu mendekatkan diri kepada masyarakat. Penyampaian visi misi mereka menggunakan bahasa masyarakat atau bahasa popular sehingga lebih dipahami daripada menggunakan bahasa formal. Stategi lainnya adalah memiliki koalisi partai yang solid. Praktek kampanye di depan masyarakat dengan tatap muka dan dialog terbatas. Penelitian ketiga adalah Strategi Partai Keadilan Sejahtera (Pks) Dalam Memenangkan Pasangan Calon Syamsul Arifin Dan Gatot Pujo Nugroho Pada Pemilu Gubernur Sumatra Utara Tahun 2008 yang ditulis oleh Bukhari Ridho Siregar, mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara sebagai penelitian skripsinya pada tahun 20096. Fokus penelitian ini adalah mencermati strategi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumatera Utara dalam memenangkan pasangan calon Syamsul Arifin dan Gatot Pujonugroho pada tahun
5
Rama Wulandari, Strategi Kamp anye Pasangan H. Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2008, Skripsi, tidak diterbitkan, Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan: 2009. 6
Bukhari Ridho, Strategi Partai Keadilan Sejahtera (Pks) Dalam Memenangkan Pasangan Calon Syamsul Arifin Dan Gatot Pujo Nugroho Pada Pemilu Gubernur Sumatra Utara Tahun 2008, Skripsi, tidak diterbitkan, Universitas Sumatera Utara, 2009
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
7
2008. Hasil dari penelitian ini, PKS berperan dalam Direct Selling yaitu turun ke lapangan untuk melakukan kampanye kepada masyarakat, pendekatan tokoh dengan mencari dukungan pejabat struktural negara seperti Bupati/ Walikota maupun di Lembaga Legislatif dan para elit – elit masyarakat.
Peran PKS terakhir yaitu
mengadakan bantuan sosial kepada masyarakata Sumatera Utara. Melalui ketiga perannya, PKS dapat mengerahkan massa memilih pasangan Syamsul arifin – Gatot Pujo Nugroho. Peneliti akan melakukan penelitian dengan tema strategi kampanye dalam pilkada. Peneliti mencermati bahwa ke 3 (tiga) penelitian sebelumnya, meskipun penelitiannya hampir sama namun fokusnya berbeda, peneliti pertama fokusnya pada perbandingan strategi kampanye pasangan incumbent dengan pasangan calon baru, yang hasilnya dimenangkan pasangan calon baru karena memiliki koordinasi kampanye melalui koalisi partai dengan baik dan kreatif. Peneliti kedua fokusnya pada strategi modal figur yang diterapkan pada pasangan yang menang yaitu Syamsul Arifin dan Gatot Pujonugroho pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2008. Peneliti ketiga fokusnya pada strategi PKS Sumatera Utara dalam mendukung kemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Syamsul Arifin – Gatot Pudjonugroho, dengan melakukan kampanye langsung ke masyarakat, pendekatan tokoh dan melalui bantuan sosial. Mengacu pada ketiga literatur tersebut, ternyata penelitian tentang strategi kampanye, berkisar pada strategi umum seperti penguatan figur kandidat, penguatan koalisi partai, dan pendekatan pada tokoh – tokoh masyarakat di daerah (elit pemerintah maupun masyarakat). Penelitian ini menjelaskan mekanisme kerja sama Manajemen Jaringan dalam Pilkada
8
antara kandidat dengan kiai yang bertujuan untuk menjaring massa. Sasaran penelitian ini adalah pada fenomena pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010, dimana salah satu pasangan kandidat Kepala Daerah menjalin kerja sama dengan kiai untuk meraih kemenangannya. Dengan menerapkan teori manajemen jaringan ini peneliti mencoba menggali lebih dalam mekanisme hubungan antara kandidat dan kiai di Kabupaten Pemalang dalam menggalang masa meraih kemenangan dalam pilkada. Peneliti menilai dengan adanya penelitian tentang hubungan kerja sama antara calon Kepala Daerah Kabupaten Pemalang dengan kiai sebagai strategi kampanye dalam membantu pengumpulan suara masyarakat, apalagi dengan menerapkan teori manajemen jaringan, peneliti dapat memprediksikan bahwa kemenangan dalam pilkada akan lebih mudah dan lebih sukses. Peneliti melakukan penelitian ini, sehubungan relevansinya dengan ilmu politik terutama relevansi dengan manajemen jaringan. Teori ini dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan politik dan penyatuan kesepahaman tentang politik. Lebih lanjut dalam konteks politik, menejemen jaringan ini dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan publik, menyelesaikan konflik – konflik politik dan kerja sama dengan aspek politik lainnya. E. Kerangka Teori E.1. Manajemen Jaringan
a. Manajemen Jaringan dan Faktor – faktor Penentunya
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
9
Paska Orde Baru sekitar tahun 1998, merupakan suatu gebrakan baru Negara Republik Indonesia. Pemerintah yang pada awalnya memiliki peran terpusat atas kehidupan negaranya, dipaksa untuk mereformasi kedudukan mereka dalam pemerintahan, sehingga terjadi perubahan struktur hirarkis menuju struktur yang lebih horizontal. Kalau pada masa sebelumnya, pemerintah memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau hubungan yang hirarkis terhadap masyarakat maupun aktor ekonomi, pada era demokrasi ini pemerintah memiliki kedudukan yang setara / horizontal dengan masyarakat dan aktor ekonomi7. Dengan kesetaraan tersebut, terjadi pula konsensus dalam menghadapi dinamika sosial maupun politik, antara pemerintah – masyarakat – aktor ekonomi untuk membentuk suatu jaringan. Menurut Rhodes8, hal yang menjadi pekerjaan besar dikemudian hari adalah, bagaimana cara mengelola relasi / jaringan antar aktor yang otonom dalam rangka mengelola kepentingan bersama. Permasalahan ini kemudian memunculkan
teori
manajemen
jaringan.
Berdasar
asumsi
bahwa
sesungguhnya terbentuknya relasi/ jaringan antar aktor tersebut karena suatu rasa ketergantungan. Ketergantungan antar aktor ini muncul, karena setiap aktor memiliki kesadaran bahwa masing – masing aktor tidak sepenuhnya memiliki sumber daya yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dan sumber daya tersebut mungkin hanya dimiliki oleh aktor lain. Hadirnya
7
Pratikno, “Manajemen jaringan dalam perspektif strukturasi”, Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Volume 12 No 1, Mei 2008, Hal 3
8
Ibid. hal 4
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
10
manajemen jaringan ini sebagai langkah mengelola jaringan antar aktor yang saling bergantung. Jadi Manajemen Jaringan merupakan salah satu bentuk pengaturan jaringan yang bertujuan untuk mempercepat suatu penyelesaian masalah bersama atau penyusunan kebijakan. Strategi ini harus dibedakan dengan strategi pada umumnya, karena aktor
menerapkannya dalam penyusunan
kebijakan. Sebagai upaya untuk membuat saling ketergantungan tersebut, para aktor perlu menerapkan pendekatan yang berbeda - beda dalam rangka penyusunan kebijakan. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan efek saling ketergantungan para aktor kedalam strategi mereka sendiri sehingga mereka dapat mengamati dan menggunakan kesempatan untuk membantu pengaturan jaringan. Manajemen Jaringan terdiri dari 3 (tiga) aktifitas9: 1. Intervensi pada pola yang sudah ada atau restrukturisasi relasi jaringan 2. Melanjutkan suatu kondisi untuk bekerjasama: membangun konsensus 3. Penyelesaian permasalahan bersama (joint problem solving).
Beberapa Faktor Penentu Manajemen Jaringan10: 1. Jumlah Pelaku
9
W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An Overview,
dalam Walter J.M Kickert, et., al., eds., Managing Complex Networks “strategies for Public Sector”, Hal. 44 10
Ibid Hal 53 - 58
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
11
Beberapa penulis menganggap bahwa semakin banyak aktor yang terlibat dalam proses interaksi, maka akan semakin sulit untuk mencapai kesepakatan. Namun teori game menyatakan bahwa jumlah pelaku bukan faktor penentunya, karena keterlibatan banyak aktor juga dapat bekerja sama dengan baik. Konsep aktivasi selektif menyatakan bahwa suatu proses atau game, hanya
melibatkan
orang-orang
yang
benar-benar
dibutuhkan’.
Pada
kenyataannya, proses mengeluarkan para aktor yang tidak dibutuhkan tersebut tidak selalu mudah karena mereka saling ketergantungan. Meskipun ketergantungannya kurang jelas, dengan mengeluarkan aktor tersebut, belum tentu menjamin jaringan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya dengan adanya ketidakpastian
lingkungan
sekitar,
strategi
dan
proses
interaksi,
ketergantungan para aktor menjadi sulit terjadi. Dapat disimpulkan
bahwa peningkatan jumlah aktor tidak hanya
menambah kompleksitas di dalam jaringan tetapi juga menambah perubahan sejumlah pendekatan untuk mencapai penyelesaian masalah yang adekuat. Selanjutnya, perhatian diberikan demi menjaga relasi antar aktor yang dikeluarkan, karena masa depan yang tidak pasti. Tentu saja manajemen jaringan bukan masalah ‘lebih banyak lebih senang’ tetapi lebih pada pencapaian tingkat partisipasi yang adekuat. 2.
Keberagaman dalam Jaringan
Kompleksitas jaringan kebijakan bergantung pada berbagai sifat aktor yang berperan didalamnya. Manajemen jaringan melakukan pendekatan yang berbeda-beda terhadap aktor dalam jaringan. Upaya untuk mempengaruhi
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
12
tingkah laku aktor disesuaikan dengan tingkah laku spesifiknya. Pengaturan jaringan dengan baik merupakan peran aktif
manajer
berkaitan dengan
pengetahuannya, kemampuan strateginya dalam mengatur organisasi, juga kapasitasnya mengatur strategi dan instrumen yang berbeda secara simultan. Bermacam-macam bentuk jaringan membatasi metode manajemen yang tradisional. Akibatnya, sebagai alternatif untuk pengaturan agar jaringan berjalan dengan baik dilakukan dengan manajemen jarak jauh, sementara itu organisasi mencoba mengatur kelancaran proses internal secara detail tanpa terlibat proses internal. Selanjutnya, kesepakatan dibuat dengan prekondisi yang akan dilakukan untuk menyusun pemecahan masalah. Manajemen jaringan kemudian mengambil istilah ‘management at a distance’. Dengan kata lain keberhasilan manajemen jaringan bergantung pada tingkat dimana upaya-upaya untuk mempengaruhi ‘game’ dan jaringan dipertimbangkan dengan berbagai bentuk jaringan dan pelaku yang mengoperasionalkannya.
3. Sifat tertutup dari jaringan Konsep ketertutupan jaringan berasal dari teori sistem. Ketertutupan sistem tidak berarti bahwa mereka tidak menerima berbagai input dari lingkungannya, tetapi mereka memproses input dengan caranya sendiri. Sistem sosial kompleks merupakan self regulating tingkat tinggi yang berarti tidak ada tekanan yang menonjol, antara konflik dan penyelesaian konflik seimbang. Bila equilibrium diganggu faktor eksternal, maka tekanan ini Manajemen Jaringan dalam Pilkada
13
kemudian mencari keseimbangan baru. Ide ini berasal dari teori sistem sibernetik dari Luhmann (dalam teori sistem sosial self-referencial), untuk menghadapi gangguan dari luar, sistem self-referencial mengarah pada jaringan itu sendiri (‘self referencial’ tertutup). Sistem self referencial ini dibutuhkan atas nama sistem autopoetic, berdasar model sistem kehidupan yang disebut autopoesis. Model biologis ini menggambarkan sistem hidup yang tidak hanya memproduksi dan mereproduksi kembali elemennya tetapi secara khusus meregenerasi dan mereproduksi organisasinya, yaitu interaksi antar elemen yang menyusun sistemnya. Ide ini baru saja diaplikasikan pada organisasi-organisasi, sistem legal dan pemerintahan. Bila jaringan digambarkan sebagai sistem yang tertutup secara luas, maka peran manajemen jaringan menjadi terbatas. Scharpf menyatakan bahwa aktivasi selektif merupakan suatu struktur pasangan lepas dan tidak kaku, yaitu hirarki tradisional, dari jaringan rajut kuat. Dua implikasi ini dapat dikaitkan dengan ketertutupan. Pertama, mempunyai implikasi negatif, yang berarti bahwa tanda-tanda pengaturan jaringan tidak ada dalam sistem, maka tidak ada kepastian sistem bereaksi. Bila pengaturan terjadi pun tidak ada kepastian sistem itu beraksi. Implikasi kedua, mempunyai aspek yang lebih positif, yang berarti bahwa sifat ‘self-referencial’ membentuk faktor pusat pengendali untuk memanfaatkan pengaruh. Dunsire memperkenalkan konsep ‘Collibration’: Pada suatu kondisi, meskipun saudara tidak tahu poin penyeimbang antara tekanan-tekanan musuh yang terjadi atau akan terjadi, saudara harus mampu untuk menyesuaikan diri, dalam batas tertentu, dengan
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
14
mengintervensi proses equilibrium. ‘Collibration’ tidak mengatur peningkatan kerjasama, tetapi untuk motivasi para aktor yang kurang tinggi, disebut juga ‘to suit yourself’. Berdasar pandangan ini, manajemen jaringan memanfaatkan kapasitas sistem ‘self management’, sehingga sistem diatur dengan memperhatikan tekanan dan sumber daya yang minimal. Manajemen jaringan kemudian melakukan keseimbangan antara tekanan sosial dan kepentingan kepentingan, dan mengakibatkan aktor - aktor sosial dan sistem sosial mengakomodir mereka sendiri.
4.
Konflik Kepentingan
Tidak adanya kepentingan konflik yang tajam dianggap oleh sebagian besar penulis sebagai prekondisi. Perhatian difokuskan pada suatu kenyataan bahwa aksi bersama menimbulkan suatu kepentingan. Pada situasi dimana kepentingan timbul atau bahkan bertentangan, konsensus tidak akan tercapai, karena kurang alternatif dan adanya konflik. Pernyataan tersebut merupakan pandangan strukturalis, yang menyatakan kepentingan ditetapkan dan dilekatkan pada tujuan devisi dari sumber daya didalam jaringan. Pada pandangan pertama, hal tersebut mirip posisi kepentingan konflik dimana Scharpf et. al membantah bahwa kepentingan konflik antara para aktor (dan kekuatan penolakannya) membatasi terbentuknya solusi. Mereka juga membantah bahwa upaya-upaya untuk mempengaruhi solusi disebabkan oleh kepentingan konflik para akor. Dengan kata lain : kepentingan-kepentingan
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
15
konflik tidak tetap, tetapi merupakan konstruksi sosial yang dimodifikasi melalui interaksi. Ide dari March dan Olsen juga konsisten dengan pendekatan ‘game’, yang menyatakan terjadinya interaksi secara alamiah yang ambigu. Para aktor sejak awal tidak mengerti dimana kepentingan-kepentingannya akan ditempatkan. Mereka hanya mengusulkan ide, pada saat mereka mulai mendapat informasi dari subyek selama proses berlangsung dan dari para aktor lain. Secara singkat, lingkup untuk menemukan solusi bersama jauh lebih kuat daripada kepentingan konflik, karena kepentingan dianggap bukan fakta yang obyektif dalam proses interaksi para aktor. Berdasar pendapat Scharpf, dapat disimpulkan bahwa konflik kepentinga-kepentingan diartikan oleh para aktor itu sendiri, jadi manajemen jaringan sebaiknya difokuskan pada pengaruh dari maksud kepentingan tersebut. Kita tidak mengatakan bisa mengatasi konflik kepentingan, tetapi prekondisi ini pada kenyataanya kurang tegas, dan tidak melekat.
5. Biaya dari Mananjemen Jaringan Ada cost dalam manajemen jaringan. Biaya yang tinggi, bila jumlah aktor sedikit dan Biaya ditingkatkan sesuai perannya. Kaitan dengan Biaya, keberhasilan
manajemen
jaringan
tergantung
bagaimana
cara
mengimplementasikannya. De Soet menemukan hubungan antara keseriusan konflik dengan mediasi yang komprehensif. Konflik kecil butuh fasilitasi, konflik lebih serius lagi butuh mediasi, dan konflik besar butuh arbitasi.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
16
Ostrom memberikan perhatian perlunya penurunan biaya dari solusi yang disepakati. Faktor utama dari keberhasilan aksi bersama adalah solusi yang disepakati. Solusi sebaiknya juga ditekan pada bagian monitoring aktvitas yg memerlukan informasi intensif, yang mungkin diikuti dengan pengenaan sanksi-sanksi. Dengan pengenalan dan penggunaan ‘the know-how’ dimana kelompok beraktifitas, dengan persepsi permasalahan serta interaksinya, secara singkat dengan kapasitas ‘self regulating’ jaringan, dimungkinkan dapat meminimalisir biaya manajemen jaringan. Manajemen jaringan harus diselaraskan sebisa mungkin dengan kapasitas pengaturan diri jaringan tersebut.
6. Konteks sosial politik Sejumlah penulis menekankan pentingnya peran lingkungan sosial dan politik. Glasbergen menyatakan dalam konteks makro, lingkungan dapat mempengaruhi fungsi jaringan atau bahkan mengancam keberadaan jaringan. Faktor sosial dan politik mungkin mendukung atau mengganggu proses interaksi dalam jaringan. Agronoff
membantah
manajemen
dalam
pemerintahan
harus
mempertimbangkan perkembangan politik. Pada model konseptual Kingdon, aliran perkembangan politik berfokus sentral. Sebagai upaya mendapat dukungan suatu usulan, wirausaha dapat mengambil keuntungan dari perkembangan sosial politik ini. Secara singkat proses-proses yang terjadi dalam
jaringan
dapat
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
dipengaruhi
oleh
perkembangan-perkembangan 17
lingkungan jaringan. Jaringan menjadi terbuka, aturan permainan dan persepsi menjadi berubah dan kondisi dimana terjadi interaksi akan berubah drastis pula. Akibatnya proses interaksi akan menjadi tidak seperti yang diharapkan atau terhenti. Hal tersebut mungkin dapat dihindari bila solusi diselesaikan dengan
baik melalui proses-proses yang baik dalam penyusunan suatu
keputusan bersama, dan akan diterima oleh lingkungan sosial politik yang lebih luas. Dapat dipahami bahwa manajemen jaringan juga merefleksikan perkembangan-perkembangan lingkungan sekitar jaringan dan mencoba untuk mengantisipasinya. Sebagai contoh bentuk refleksi adalah dengan menghadapi perlawanan para aktor dalam jaringan, dampak perkembangan yang timbul diluar jaringan dan persepsi dari dunia luar.
7. Kekuatan Kepemimpinan dan Komitmen Kesuksesan manajemen jaringan ditentukan oleh kapasitas aktor yang menunjukkan
faktor
kepemimpinannya
dalam
berinteraksi,
dengan
kemampuan membagi kesempatan dan pilihan, menyampaikan kepada anggotanya dan membuat organisasinya tetap sesuai prosedur yang ditentukan. Namun demikian organisasinya.
manajemen jaringan jarang mengatur keseluruhan
Interaksi
dilakukan
oleh
perwakilan
organisasi,
yang
keberadaannya dan kekuatan komitmennya kurang terjamin. Jadi dalam manajemen jaringan, untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan, dibuktikan dengan terbentuknya konsensus dalam interaksi dan adanya dukungan ide dalam organisasi. Dengan kata lain, kesuksesan manajemen jaringan sangat Manajemen Jaringan dalam Pilkada
18
bergantung pada kualitas kekuatan kepemimpinan dan kekuatan komitmen yang dilakukan oleh perwakilan dari organisasi terkait.
8.
Kemampuan
Akhirnya kualitas dari manajer jaringan merupakan suatu prasyarat utama. Friend et. al menekankan pentingnya ketrampilan menejer dengan menilai siapa yang sebaiknya terlibat dalam proses interaksi dan informasi mana yang harus diberikan kepada anggotanya. Menejer sebaiknya mempunyai kemampuan negosiasi dan mediasi. Manajer jaringan harus menguasai daerah kekuasaan yang kompleks dan mampu membedakan keberagaman kelompok, sekaligus dapat menggunakan berbagai metode pendekatan dalam waktu yang bersamaan. Jadi pada intinya manajer tahu pentingnya ketersediaan informasi dan ‘know-how’. Meskipun manajer jaringan tidak selalu ahli dalam setiap situasi, namun dibutuhkan suatu keahlian tertentu untuk mengelola jaringan dan melakukan taktik strategi yang diperlukan ‘know-how’: pengetahuan tentang aktor, persepsi dan aturan permainan yang berdampak pada aktor yang terlibat dalam jaringan. Tingkat dimana manajer jaringan mampu bersifat netral sangatlah penting, demikian pula pengakuan menejer dari jaringan lain. Secara singkat : kualitas dan kemampuan seorang manajer jaringan merupakan kunci suksesnya manajemen jaringan. Kadang tidak setiap organisasi publik mampu mengisi peran ini dengan sempurna.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
19
b. Jenis Manajemen Jaringan Telah disampaikan bahwa dalam manajemen jaringan terdapat kontrol dalam berjejaring/ arranging interaction agar masing – masing aktor tetap fokus pada kerja sama dan kooperatif, terhindar dari sikap oportunis yaitu mencari kesempatan yang menguntungkan diri sendiri tanpa memperdulikan aktor lain. Ada 2 (dua) tipe dalam manajemen jaringan yaitu Game Management (fokus pada relasi antar aktor) dan Network Structuring (fokus pada upaya mengubah struktur jaringan yang ada)11. Lebih jelasnya bahwa Game Management ini bertujuan untuk menyatukan persepsi antar aktor yang otonom, sehingga dapat menyelesaikan
permasalahan. Dalam prakteknya, Game
Management terbagi atas 5 (lima) aktifitas antara lain12 a. Network Activation : suatu upaya pengaktifan jaringan yang dilakukan untuk mengaktifkan interaksi para aktor agar bekerja sama, sehingga akan terjadi penjaringan potensi secara selektif, sesuai kebutuhan yang akan dicapai. Network activation termasuk memicu proses interaksi untuk penyelesaian masalah khusus atau untuk mencapai tujuan. Dalam konteks ini, Scharpf menyebutkan tentang ‘ Aktifasi Selektif’ yang mengkaitkan identifikasi dan aktifasi kebutuhan kelompok untuk menyelesaikan masalah atau tugas khusus. Menurut Frend et ali. Konteks ini difokuskan pada:
11
Pratikno, “Manajemen jaringan dalam perspektif strukturasi”, Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Volume 12 No 1. Mei 2008, Hal 9 12
Edwar Juliartha, “Manajemen Jaringan”, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, April, 2009, Hal
6. Manajemen Jaringan dalam Pilkada
20
1. Aktifasi aktor yang terlibat dalam jaringan, dikaitkan dengan penelusuran isu untuk pengambilan keputusan. 2. Jumlah dan sifat informasi yamg diperlukan13. b. Arranging Interaction : suatu upaya yang dilakukan para aktor untuk mengatur diri mereka sendiri dalam berinteraksi dalam jaringan. Aktor
menyusun strategi kerja sama untuk meminimalisir sikap
oportunistik
partisipan dengan menggalang interaksi, yaitu membuat
kesepakatan dan menyusun suatu aturan sehingga partisipan memahami tujuan, peraturan, dan prosedurnya. Elemen penting dari Arranging Interaction adalah menyiapkan mekanisme regulasi konflik yang menentukan seberapa jauh tindakan harus diambil dan bagaimana caranya agar berpedaan pendapat dapat disatukan14. c. Brokerage : Upaya penyatuan ide – ide dari para aktor yang berinteraksi yang dilakukan oleh seorang perantara. Hal ini biasa dilakukan meskipun belum ada solusi penyatuan ide – ide antar aktor, namun tujuannya sudah sama. Brokerage merupakan perpaduan antara masalah solusi dan para aktor. Manajemen jaringan adalah pemandu mediasi yang berperan sebagai
13
W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An Overview, dalam Walter J.M Kickert, et. al., eds,, Managing Complex Networks “strategies for Public Sector”, Hal. 47 14
Ibid. Hal 48
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
21
perantara atau peran pengganti. Peran penting seorang broker adalah mengatasi dan memanfaatkan keberagaman ide, pandangan dan solusi dalam jaringan yang tidak dapat diselesaikan, oleh para aktor. Dengan menciptakan keberagaman tersebut, akan mudah bagi para broker untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua aktor. Pada waktu yang bersamaan aktivitas broker mempunyai kontribusi yang signifikan dalam penyelesaian konflik dengan menerapkan koalisi masalah yang membuat konflik15. d. Facilitating Interaction : suatu upaya untuk terus menciptakan kondisi yang mendukung jalannya interaksi, dimana fasilitator memberikan pengawasan dalam berinteraksi agar tercipta konsensus antar aktor. Secara umum, manajemen jaringan berperan menciptakan kondisi yang mendukung strategi membangun konsensus di dalam proses interaksi. Manager jaringan berperan sebagai fasilitator / manager proses. Fasilitasi meliputi banyak aktifitas untuk meningkatkan pemahaman isu yang dilontarkan,
keberagaman
ide,
kemampuan
untuk
mengapresiasi
pandangan setiap partisipan dan dedikasinya untuk bergabung dalam proses penyelesaian masalah16.
15
Ibid. Hal 48
16
Ibid. Hal 49
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
22
e. Mediation : upaya menjembatani sebuah konflik dalam jaringan karena ego dari aktor, karena masing – masing persepsi tidak dapat dipecahkan/ disatukan. Mediasi dan Arbitrasi harus dibedakan dari fasilitasi karena keduanya dilakukan pada saat terjadi konflik dan proses interaksi berlangsung emosional atau tegang. Mediasi diterapkan dalam kelompok tetapi tidak terlibat dalam konflik dan tidak berhubungan dengan kelompok – kelompok lain yang berseteru dengan kelompok yang bersangkutan. Jadi, selama proses, mediator harus independen. Mediasi dapat terjadi secara spontan, namun sebagai alternatifnya seorang aktor dapat ditunjuk sebagai mediator dalam kelompok17. Selanjutnya, Network Structuring, strategi ini tidak sama dengan Game Management yang cenderung mengamati interaksi antar actor. Network Structuring cenderung mengamati ruang lingkup interaksi antar aktor yaitu struktur tatanan jaringan, dimana suatu ruang beserta tata aturannya mencoba mempengaruhi aktor – aktor di dalam jaringan untuk bekerja sama. Prakteknya Network Structuring 18 antara lain: a. Influencing Formal Policy: upaya mempengaruhi kebijakan formal dalam jejaring.
17
Ibid. Hal 50
18
Edwar Juliartha, “Manajemen Jaringan”, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, April, 2009, Hal
7. Manajemen Jaringan dalam Pilkada
23
b. Influencing Interrelationship: Upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi pola interaksi sehingga membentuk suatu pola baru untuk mencapai efisiensi. c. Influencing Value, Norm, and Perception: upaya mempengaruhi nilai, norma dan persepsi dari lembaga. d. Mobilisasi Koalisi: membentuk suatu koalisi lembaga baru untuk mendapatkan kekuatan baru. e. Management of Chaos : pergantian pemimpin yang lama dengan pemimpin yang baru dalam sebuah interaksi jaringan. Hal ini untuk mendukung adanya sinergisitas dalam berinteraksi. Ada 3 (tiga) hal yang menjadi inti dari network structuring yaitu reframing, repotition, dan reconstitution.
Reframing adalah
upaya untuk mempengaruhi
persepsi aktor dalam struktur, tindakan tersebut dilakukan karena ketika satu individu berbeda persepsi maka, lembaga tersebut tidak akan berjalan. Reframing ini dilakukan karena individu – individu sudah terikat dalam lembaga. Repotition, yaitu merubah pemimpin lembaga lama ke yang baru. Reconstitution yaitu upaya merubah tata aturan interaksi dalam lembaga19. Melalui mekanisme manajemen jaringan ini, hubungan horizontal antara pemerintah dan masyarakat dalam menentukan arah kehidupan negara agar lebih terkoordinasi dan lebih bisa mencapai tujuan.
E.2. “Game Management”
19
Ibid. hal 8
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
24
Manajemen jaringan khususnya bidang politik, masih banyak berkaitan dengan hubungan pemerintah dan masyarakat terutama perihal kebijakan. Sejalan dengan berkembangnya zaman, teori ini pun diadopsi dalam kehidupan – kehidupan politik lainnya seperti dalam pentas politik / pemilu. Teori ini digunakan oleh kandidat politik sebagai langkah mencapai kemenangan di pentas politik, terutama untuk memperoleh dukungan masyarakat. Manajemen jaringan kemudian dimasukkan dalam salah satu strategi kampanye yang dimanfaatkan untuk menjarang massa dalam pentas politik. Menurut Ade Bagus Kusuma yang mengemukakan 5 (lima) poin strategi kampanye politik, manajemen jaringan ini termasuk dalam salah satu strategi kampanye politik, yaitu dengan menggandeng tokoh publik atau tokoh masyarakat (membangun jaringan elit lokal) Pada era demokrasi terutama dalam konteks pentas politik, kandidat dituntut untuk cerdas dalam mengumpulkan suara dari masyarakat, salah satunya kelihaian kandidat dalam melihat kondisi masyarakat saat ini. Masyarakat terdiri dari individu – individu yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda yang selalu berusaha untuk mencapai tujuannya, namun dengan kompleksnya kepentingan mereka, masyarakat masih memiliki seorang tokoh yang selalu mereka percaya atau menjadi tauladan. Kepercayaan masyarakat terhadap tokohnya menjadi titik penting bagi kandidat, karena menggandeng tokoh masyarakat untuk bekerja sama mengumpulkan suara menjadi salah satu strategi penting dan utama.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
25
Menggandeng tokoh masyarakat bila dilihat secara luas, dapat diartikan sebagai pembentukan modal sosial kandidat. Modal sosial dapat diartikan sebagai pegangan dasar bagi setiap individu berupa hubungan / jaringan antar individu yang bertujuan untuk mendapatkan sumber daya yang berguna untuk mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan suatu masalah. Menggandeng tokoh masyarakat yang pada akhirnya membentuk suatu hubungan / jaringan, perlu dikelola dengan baik agar hubungan tersebut dapat lebih terarah dan dapat mencapai hasil akhir yang telah direncanakan. Pengelolaan tersebut tertuang dalam manajemen jaringan (yang merupakan materi inti strategi utama kampanye dengan menggandeng tokoh masyarakat). Manajemen jaringan ini, menjelaskan pengelolaan jaringan di level agent / aktor dan di level struktur (ruang lingkup beserta tata aturan). Manajemen jaringan di level agent disebut Game Management yang memiliki beberapa aktifitas yaitu Network Activation, Arranging Interaction, Brokerage, Facilitating Interaction, Mediation, sedang manajemen jaringan di level struktur memiliki beberapa aktifitas yaitu Influencing Formal Policy, Influencing Interrelationship, Influencing Value, Norm, and Perception, Mobilisasi Koalisi, Management of Chaos Pada konteks pentas politik, kerja sama antara kandidat dengan tokoh masyarakat ini lebih tepatnya mengarah pada manajemen jaringan pada level agent / aktor. Kerja sama mereka tidak merubah struktur jaringan yang ada, kedua pihak mempertahankan struktur jaringan yang telah terbentuk sejak awal untuk memperoleh solusi, sehingga manajemen pada level agent ini lebih relevan
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
26
dipergunakan pada kerja sama antara kandidat dan tokoh masyarakat dari pada level struktur yang lebih besar. Aktifitas Game Management dapat dijelaskan sebagai berikut a. Facilitating Interaction. Fasilitasi dapat diartikan sebagai premediasi untuk para aktor sebelum terjadi konflik, sehingga fasilitasi tidak hanya mencegah konflik tapi juga untuk membangun konsensus. Fasilitator (kandidat atau tim sukses berperan sebagi manager proses) memberikan sarana interaksi kepada aktor sebagai upaya untuk menciptakan suatu konsensus dalam penyelesaian masalah. Fasilitator memberikan sarana/ fasilitas pendukung dalam proses pertemuan para aktor dan melakukan hal yang bersifat tehnis seperti memberikan pengawasan dalam interaksi para aktor agar tetap terjaga sikap kebersamaannya. b. Arranging Interaction Arranging interaction yaitu merancang aturan – aturan interaksi oleh para aktor untuk menjaga kedisiplinan diri agar dalam berinteraksi kerja sama tetap terjaga. Joint Problem Solving terjadi dalam proses ini karena para aktor berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan. Dalam hal ini kandidat dan elit lokal mencoba membuat tata aturan yang mengikat agar satu sama lain tidak menjadi individu yang oportunis, yaitu individu yang selalu mencari kesempatan
untuk
mendapatkan
keuntungan
diri
sendiri,
sehingga
permasalahan tidak dapat terselesaikan. c. Network Activation
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
27
Network activation yaitu suatu upaya pengaktifan jaringan berupa aktivasi selektif (proses identifikasi dan aktifasi kebutuhan kelompok) yang dilakukan untuk memacu proses interaksi dalam penyelesaian masalah. Aktivasi selektif meliputi pengaktifan alur jaringan (1 atau lebih jadi ketua) dan penggalian isu, serta penyebaran jumlah dan jenis informasi yang diberikan. Dengan demikian network activation dapat menjadi satu langkah penjaringan potensi yang selektif, sesuai kebutuhan yang akan dicapai. Kandidat dan elit lokal melakukan diskusi dan negosiasi untuk menunjukkan potensi atau kemampuan diri yang dapat diberikan dalam pentas politik untuk menjaring suara. d. Brokerage Brokerage yaitu upaya penyatuan bermacam - macam ide dan gagasan dari para aktor yang berinteraksi, yang dilakukan oleh seorang perantara. Penyatuan ide ini dilakukan karena beberapa ide dan gagasan dari setiap aktor jaringan tidak menemukan titik temu sebagai solusi penyelesaian masalah. Dalam jaringan antara kandidat dan elit lokal diperlukan kesigapan broker / perantara mejadi penengah dan penghubung pemikiran antara kandidat dan elit lokal, karena dalam berinteraksi mereka memiliki banyak pandangan dan strategi yang belum tentu dapat dipadukan, dalam rangka mencapai kemenangan di pentas politik. e. Mediation Mediasi terjadi pada saat terjadi konflik. Mediasi merupakan upaya menjembatani suatu konflik antar aktor. Hal ini dapat terjadi karena setiap Manajemen Jaringan dalam Pilkada
28
aktor memiliki ego yang tinggi dalam berpendapat tentang suatu hal / masalah yang akan diselesaikan. Mediator memiliki peran penting untuk menjembatani ketidak sepahaman antara kandidat dan elit lokal dalam perundingan yang masing – masing akan menimbulkan konflik. Dari ke 5 (lima) aktifitas ini saling berkaitan satu sama lain, namun ada salah satu aktifitas Game Management yang belum tentu dilakukan karena peristiwa yang terjadi sangatlah jarang misalnya Mediation. Konflik antar individu bisa saja terjadi dalam jaringan, akan tetapi dalam berinteraksi tidaklah selalu menimbulkan konflik, sehingga keberadaan mediasi hanya momen tertentu saja dan aktifitas manajemen yang perlu ditekankan adalah peran broker sebagai jembatan yang menyatukan ide – ide dari setiap aktor. Jika melihat kelima aktifitas Game Management tersebut, dapat terlihat beberapa indikator kunci yaitu 1. Adanya penyatuan ide atau gagasan dalam setiap interaksi antara kandidat Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat. Dalam menyatukan ide atau gagasan tersebut, antara kandidat dan elit lokal yang saling bekerja sama akan dibantu oleh broker yang tugasnya adalah mengolah dan menyatukan ide gagasan antara kandidat dan elit lokal agar mendapatkan ide atau gagasan yang sesuai dengan tujuan. 2. Melakukan akifasi selektif berupa identifikasi dan aktifasi kebutuhan kelompok termasuk memilih atau menyeleksi potensi atau kemampuan diri kandidat dan tokoh masyarakat. Aktifasi selektif difokuskan pada alur jaringan calon dengan para kiai serta banyaknya informasi yang Manajemen Jaringan dalam Pilkada
29
dibeikan. Hal tersebut bertujuan untuk menggali potensi dari setiap aktor yang mendukung dan meminimalisir potensi setiap aktor yang diperkirakan menghambat atau mengganggu kerja sama antara kedua pihak. 3.
Penyusunan aturan – aturan antara kandidat kepala daerah dengan tokoh masyarakat. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya mengatur gerak setiap aktor agar tercipta suatu kedisiplinan diri dalam berjejaring, sehingga para aktor mengetahui peraturan dan prosedurnya dan agar dapat mencapai tujuan dan ide yang telah disepakati.
4. Pemberian sarana dan prasarana interaksi dalam setiap pertemuan antara kandidat Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat, sebagai tindak pengawasan atau monitoring dalam setiap interaksi yang dilakukan oleh fasilitator tertentu agar jalannya interaksi bisa dapat tetap pada tujuan yang sama.
F. Definisi Konsep F.1. Manajemen Jaringan Manajemen Jaringan merupakan aktifitas yang mengatur kerjasama jaringan dalam penyusunan kebijakan atau dalam menyelesaikan sebuah masalah.
F.2. ‘Game Management’
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
30
Game Mangement adalah manajemen jaringan yang mengelola interaksi para aktor di dalam jaringan, yang terdiri dari proses - proses network activation, arranging interaction, brokereage, facilitating interaction dan mediation serta arbitration.
G. Definisi Operasional Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan Game Management dalam mengumpulkan suara. Hal tersebut akan diamati melalui :
Identifikasi cara menyatukan persepsi / ide pasangan calon Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat dalam mencapai kemenangan politik
aktifasi selektif jaringan berupa seleksi alur / aktor jaringan dan informasi jaringan antara pasangan calon Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat dalam perannya menggalang suara masyarakat
Penyusunan tata aturan kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat
Pemberian sarana interaksi dalam setiap pertemuan antara pasangan calon Kepala Daerah dengan tokoh masyarakat
H. Metodologi Penelitan H.1. Jenis Penelitian Peneliti mengamati kerja sama antara pasangan calon Kepala Daerah dengan kiai dalam rangka pemenangan pilkada. Perlu diketahui bahwa peran kiai Manajemen Jaringan dalam Pilkada
31
dalam hal ini sangat berbeda dengan kesehariannya sebagai pendakwah, atau ahli agama. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif karena peneliti menggali sumber data dari responden utama secara langsung. Informasi yang diperoleh peneliti bukan dalam bentuk angka yang membuktikan suatu kekuatan kasus tetapi dalam bentuk data yang terinci berupa informasi yang terstruktur dan mendalam. Penelitian ini menekankan proses terjalinnya hubungan antara pasangan calon kepala daerah dan kiai dalam setiap jaringan yang dibentuk, yang dilakukan oleh peneliti yang berinteraksi dengan para reponden, pada lingkungan alamiah tanpa rekayasa. Disain penelitian yang dipilih adalah studi kasus, karena fokus dari penelitian ini adalah menjawab pertanyaan bagaimana hubungan kerjasama antara kandidat pasangan calon Kepala Daerah dan kiai, serta mengapa kerja sama dapat terjalin sehingga mempunyai peranan penting dalam pemenangannya pilkada 2010. Metode ini dipilih karena studi kasus merupakan metode penelitian yang eksploratif dan analitis, sangat cermat dan intensif, yang dapat menjelaskan keadaan seperti latar belakang hubungan kerjasama yang terjalin dalam konteks penelitian.
H.2. Tehnik Pengumpulan Data
H.2. a. Sumber Data Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari responden utama yaitu
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
32
beberapa kiai, Tim Sukses calon Kepala Daerah dan pasangan calon Kepala Daerah terpilih, H. Junaedi – Mukti Agung Wibowo. Sumber data sekunder diperoleh dari data Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pemalang dan artikel tentang peran kiai pada Pilkada. Kedua jenis data tersebut kedudukannya tidak berdiri sendiri, tetapi kedua data tersebut saling melengkapi.
H.2. b. Cara Pengumpulan Data Pada penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan mengacu pada beberapa indikator kunci pertanyaan dan menggunakan metode snowball sampling untuk pengumpulan datanya. Snowball Sampling adalah metode pengambilan sampel dari sumber data dengan jumlah yang terbatas, kemudian dalam perjalanan waktu, sumber data akan bertambah karena sumber baru memiliki kedalaman nilai data yang sama atau lebih tinggi daripada sumber data sebelumnya. Dalam penelitian ini narasumber utama ada 8 (delapan) orang dan narasumber tambahan 2 (tiga)
orang.
Pengambilan sampel penelitian ini, berasal dari narasumber atau responden yaitu tim sukses, para kiai dan pasangan calon Kepala Daerah terpilih (H. Junaedi – Mukti Agung Wibowo). Setelah sumber data diperoleh dari ketiga macam narasumber, kemudian hasil dari wawancara ditranskrip, dipertimbangkan oleh peneliti sudah memenuhi tujuan dari penelitian ini. Namun demikian dari data yang diperoleh, ternyata masih ada hal - hal yang perlu dilengkapi kembali, sehingga peneliti menambah informasi Manajemen Jaringan dalam Pilkada
33
dari nara sumber bebas yang berasal dari tokoh masyarakat sebagai pelengkap informasi atau sebaliknya tidak menggunakan informasi baru yang ternyata materi intinya sama dengan ketiga narasumber utama. Selain wawancara, penulis juga melakukan eksplorasi data dokumen. Hal tersebut dilakukan karena selain sebagai data pendukung, juga sebagai data pembanding dari data yang diperoleh dengan wawancara sebelumnya.
H.3. Tehnik Analisa Data Setelah data dikumpulkan, data primer kemudian diolah dengan melakukan transkip hasil wawancara dengan narasumber ke dalam bentuk tulisan sehingga mudah dipahami, kemudian seleksi informasi yang penting dan berkaitan. Data – data tersebut ditulis dalam bentuk narasi, tabel, gambar dan disesuaikan dengan indikator kunci pertanyaan. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis data yang telah tersimpan. Sebelum melakukan analisis mendalam, peneliti menghubungkan antara indikator kunci pertanyaan dengan strategi Manajemen Jaringan yaitu Game Management, yang dilakukan untuk mempermudah analisis data. Teori ini dimanfaatkan sebagai alat analisis untuk menjelaskan atau mengupas suatu kajian penelitian tentang hubungan kerjasama antara pasangan calon kepala daerah dan kiai, tentunya dengan modifikasi – modifikasi yang diperlukan. Dalam analisis data tersebut, peneliti memasukan data – data sekunder sebagai proses pengayaan informasi, sehingga analisis data dapat lebih terarah
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
34
dan dapat lebih memberikan kejelasan terhadap fenomena yang sedang terjadi. Pada akhirnya, dalam kesimpulan, peneliti dapat mengambil suatu makna dari fenomena pilkada di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010 dan pemanfaatan teori Manajemen Jaringan ini.
I. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini dibagi menjadi 4 (empat) Bab:
Bab I
Pendahuluan Bab ini menjelaskan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, definisi konsep, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Kerangka Teori dijelaskan lebih terperinci arti penting Manajemen Jaringan dan salah satu penerapannya dalam Pentas Politik Pilkada di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010.
Bab II
Jaringan Kiai dan Pasangan Calon Kepala Daerah (H. JUNAEDI – MUKTI AGUNG WIBOWO) Bab II menjelaskan latar belakang kedekatan pasangan calon Kepala Daerah (Bupati – Wakil Bupati) H. Junaedi – Mukti Agung Wibowo dengan para kiai, gambaran dari jaringan kiai yang terbentuk dan mekanisme kerja jaringan untuk memenangkan pilkada di Kabupaten Pemalang pada tahun 2010.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
35
Bab III Game Management dalam Kerjasama Pasangan Calon ‘H. Junaedi – Mukti Agung Wibowo’ dengan Kiai dalam Pengumpulan Suara Bab ini menjelaskan pembahasan hasil wawancara dengan narasumber utama yaitu pasangan calon kepala daerah dan para kiai serta nara sumber tambahan, yang dirangkum dan disandingkan dengan ‘game’ manajemen untuk memudahkan melakukan analisis. Selanjutya peneliti menganalisa hasil pembahasan dengan Teori Manajemen Jaringan, sehingga dapat diketahui penerapan teori tersebut dalam pemenangan pilkada Kabupaten Pemalang tahun 2010.
Bab IV
Kesimpulan dan Rekomendasi Bab III
menjelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasinya. Kesimpulan merupakan hasil dari penerapan analisis dengan Teori Manajemen Jaringan pada Pilkada Kabupaten Pemalang tahun 2010, kesesuaian atau modifikasi dari teori tersebut. Dari kesimpulan hasil penelitian dimunculkan rekomendasi yang merupakan usulan penelitian lebih lanjut guna menambah wawasan pengetahuan Ilmu Sosial dan Politik dengan penerapan analisis penelitian dengan Teori Manajeman Jaringan.
Manajemen Jaringan dalam Pilkada
36