55
KUALITAS AIR SUNGAI BELAWAN DI DESA LALANG KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA (Belawan River Water Quality in Lalang Village Deli Serdang Regency of North Sumatera)
Irma Shinta Roulia(1), Ternala Alexander Barus(2), Riri Ezraneti(3) 1
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara 2 Staf Pengajar Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara 3 Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Email :
[email protected] ABSTRACT Belawan River in Lalang Village is the river that contained domestic and market activity. The existence of dumping waste into rivers affecting water quality straight with the level of pollution generated. This study aims to determine the water quality of Belawan river in Lalang Village based on physic, chemical, and biology (makroozoobenthos) parameters. Physic and chemical parameters were analyzed by Storet method, while biological parameters (macrozoobenthos) were analyzed by Abudance and Biomass Comparison (ABC) curve. The study was conducted in January to February 2014. The method used Purposive Random Sampling. Stations are used Station 1 (control), station II (domestic activity), and station III (market activity). Physic and chemical parameters is temperature 26.33 − 29.00 °C, turbidity (TSS) 8.79 − 12.99 mg/L, DO 4.37 − 6.57 mg/L, pH 5.17 − 6.43, BOD 0.52 − 0.64 mg/L, nitrate 0.65 − 0.87 mg/L, phosphate 0.11 − 0.13 mg/L, abudance and biomass of makroozoobenthos: 0 − 88% and 0 − 87%. Based on physical and chemical parameters of water, the station I had score 0 which indicates the water quality is satisfying the quality standard (class I), whereas station II and III had score -10 which indicates water quality is mild contaminated (class II). Biological parameter (makroozoobenthos) produce overlapping curves that show the quality water is medium at each station. Keywords : Belawan River, Lalang Village, Macrozoobenthos, Water Quality PENDAHULUAN Sungai Belawan adalah sebuah sungai yang terletak di Sumatera Utara dan memiliki luas 4.079 Ha. Sungai Belawan secara administrasi berada pada 2 (dua) Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Deli Serdang seluas 3.802,93 Ha (93,23%) dan Kota Medan seluas 276,07 Ha (6,77%). Pada data spasial sebagian kecil terdapat di Kabupaten Langkat, namun dengan
berbagai pertimbangan dileburkan ke Kabupaten Deli Serdang (Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Wilayah Sumatera Utara, 2013). Di sekitar sungai banyak terdapat aktivitas masyarakat yang membutuhkan sungai secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas didominasi antara lain kegiatan domestik atau rumah tangga dan aktivitas pasar (kampung Lalang). Sagala (2013) dalam penelitiannya
56
menyatakan bahwa perubahan kualitas air sungai Belawan bagian hulu di Kecamatan Pancur Batu disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pengerukan pasir di daerah sungai tersebut. Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang dikaitkan dengan suatu kegiatan atau keperluan tertentu. Parameter fisika kimia dan biologi perairan dapat menentukan kualitas air sungai. Organisme yang dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas perairan diantaranya adalah makrozoobenthos. Menurut Warwick (1986), nilai kepadatan dan biomassa makrozoobenthos dapat menentukan tingkat pencemaran perairan. Pembuangan limbah ke perairan sungai dapat menyebabkan kualitas air akan menurun sejalan dengan tingkat pencemaran yang dihasilkan. Pencemaran dapat mengganggu sistem ekologi perairan, estetika, dan berdampak negatif bagi kesehatan mahluk hidup yang menggunakannya. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian tentang Kualitas Air Sungai Belawan di Desa Lalang Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air Sungai Belawan di Desa Lalang berdasarkan parameter fisika kimia dan biologi (makrozoobenthos). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kualitas air Sungai Belawan di Desa Lalang baik bagi bidang pendidikan, penelitian, masyarakat, maupun instansi-instansi tertentu yang mengelola sungai. METODE Penelitian dilakukan mulai dari bulan Januari sampai Februari 2014 di Sungai Belawan Desa Lalang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera
Utara. Sampel air dianalisis di Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Puslit-SDAL) Universitas Sumatera Utara, sedangkan sampel makrozoobenthos diidentifikasi di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah thermometer, DO meter, pH meter, botol sampel, surber net, GPS (Global Positioning System), tali plastik, toples, kertas label, kertas grafik, buku identifikasi Freshwater Biology, oven, timbangan digital, kalkulator, alat tulis, dan kamera digital. Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel air yang diukur parameter fisika kimia, alkohol 96%, dan makrozoobenthos sebagai parameter biologi yang diidentifikasi sebagai indikator adanya pencemaran. Prosedur Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah Purposive Random Sampling di perairan sungai yang dibagi 3 stasiun berdasarkan aktivitas yang biasa dilakukan di sekitar sungai dan dapat menghasilkan limbah (Gambar 1). Stasiun I merupakan bagian perairan sungai yang tidak terdapat aktivitas dengan koordinat 3° 36' 51" N 98° 42' 26" E, stasiun II merupakan bagian perairan sungai yang terdapat limbah yang dihasilkan dari aktivitas rumah tangga dengan koordinat 3° 37' 12" N 98° 41' 57" E, dan stasiun III merupakan bagian perairan sungai yang terdapat limbah yang dihasilkan dari aktivitas pasar dengan koordinat 3° 37' 28" N 98° 41' 50" E. Pengukuran parameter fisika kimia dan biologi perairan dilakukan selama tiga periode dengan masingmasing tiga kali ulangan per stasiun. Pengambilan sampel parameter biologi (makrozoobenthos) dilakukan dengan
57
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian menggunakan surber net di semua stasiun, yaitu stasiun I, II, dan III. Setiap stasiun dibentangkan tali perpetakan 1 m2 dan diambil makrozoobenthos yang ditemukan lalu diawetkan dengan alkohol 96%. Setelah itu, dilakukan pengeringan makrozoobenthos dalam oven sehingga dapat diidentifikasi serta dihitung jumlah individu setiap jenis per satuan luas (ind/m2) dan berat kering atau biomassa per satuan luas (g/m2). Analisis Data Nilai parameter fisika dan kimia perairan yang diperoleh dibandingkan dengan kriteria mutu air dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Metode Storet dapat digunakan untuk mengetahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (United State Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan sebagai berikut.
1. Skor 0 = memenuhi baku mutu 2. Skor -1 s/d -10 = tercemar ringan 3. Skor -11 s/d -30 = tercemar sedang 4. Skor ≤ -31 = tercemar berat Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode Storet dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Data kualitas air dikumpulkan secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). 2. Data hasil pengukuran dari masingmasing parameter air dibandingkan dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air. 3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0. 4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu) maka diberi skor yang dapat dilihat pada Tabel 1. 5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.
58
Tabel 1. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air Jumlah Contoh < 10 ≥ 10
Nilai Maksimum Minimum Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata
Parameter biologi (makrozoobenthos) dianalisis dengan kurva Abudance and Biomass Comparison (ABC) yang terdiri atas komponen: - Kepadatan (K) K= -
Kepadatan Relatif (KR) KR =
-
× 100%
Biomassa (B) B=
-
Biomassa Relatif (BR) BR =
× 100%
Data ranking jumlah benthos per satuan luas (ind/m2) dan biomassa per satuan luas (g/m2) diplotkan pada sumbu X dalam bentuk logaritma, sedangkan sumbu Y diplotkan data persentase kumulatif dominan dari jumlah individu per satuan luas dan biomassa per satuan luas.
Parameter Fisika -1 -1 -3 -2 -2 -6
Kimia -2 -2 -6 -4 -4 -12
Berdasarkan bentuk kurva ABC yang diperoleh, status atau kualitas makrozoobenthos dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: - Baik, jika kurva biomassa per satuan luas berada di atas kurva jumlah individu per satuan luas. - Sedang, jika kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah individu per satuan luas saling tumpang tindih. - Buruk, jika kurva biomassa per satuan luas berada di bawah kurva jumlah individu per satuan luas.
59
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika dan Kimia Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada saat pengamatan meliputi suhu, kekeruhan (TSS), DO, pH, BOD, nitrat, dan fosfat. Hasil
penelitian parameter fisika dan kimia perairan memiliki nilai yang bervariasi, tetapi tidak menunjukkan perbedaan terlalu jauh antara masing-masing stasiun seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belawan Desa Lalang Parameter Satuan
Baku Mutu Air Kelas I II III IV
I
Stasiun II
III
Fisika Suhu Kekeruhan (TSS) Kimia DO pH BOD Nitrat Fosfat
o
C
deviasi deviasi deviasi deviasi 26,39 28,39 28,83 3 3 3 5
mg/L
50
50
400
400
8,81
12,97 11,36
mg/L mg/L mg/L mg/L
≥6 6-9 2 10 0,2
≥4 6-9 3 10 0,2
≥3 6-9 6 20 1
≥0 5-9 12 20 5
6,49 6,37 0,52 0,65 0,11
5,53 5,77 0,64 0,87 0,12
Hasil pengamatan di sungai Belawan Desa Lalang menunjukkan bahwa nilai suhu air tertinggi terdapat pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 28,83 oC dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 26,39 oC. Suhu tertinggi pada daerah aktivitas pasar disebabkan oleh banyaknya sampah organik antara lain sayuran dan buahbuahan. Peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme menggunakan sejumlah oksigen dan menghasilkan karbondioksida sehingga dapat menaikkan suhu pada perairan. Brehm dan Meijering (1990) menyatakan bahwa mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik dapat meningkatkan konsumsi oksigen sehingga menghasilkan karbondioksida tinggi yang mengakibatkan kenaikan suhu dalam air. Daerah aktivitas pasar di sekitar sungai ini terdapat sampah sayuran yang lebih banyak daripada sampah buah-buahan. Sampah sayuran sulit diuraikan dibandingkan dengan
4,39 5,20 0,61 0,76 0,11
produk pertanian lainnya. Menurut Ningrum (2012), sampah sayuran cenderung lebih sulit diuraikan dibandingkan dengan hasil pertanian yang lain, karena memiliki kadar air yang relatif rendah. Interval suhu di perairan sungai Belawan Desa Lalang dipengaruhi oleh cuaca pada saat pengamatan yang cenderung cerah dan tidak terlalu panas. Maniagasi, dkk., (2013) menyatakan suhu suatu perairan ditentukan oleh beberapa faktor lain seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, dan ketinggian suatu daerah. Sejumlah makroozoobenthos ditemukan di sungai ini yang mengindikasikan bahwa organisme masih mentolerir suhu perairan. Nilai kekeruhan (TSS) yang tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 12,97 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 8,81 mg/L. Aktivitas domestik atau rumah tangga menghasilkan
60
berbagai limbah cair maupun padat. Padatan yang dihasilkan ada yang dapat diuraikan, sulit diuraikan, dan tidak dapat diuraikan. Air dalam saluran rumah tangga biasanya dialirkan ke perairan tergenang seperti sungai. Aliran limbah yang berada dalam tanah juga masuk ke dalam perairan. Limbah yang mengalir dapat mengikis tanah sehingga terbentuk total padatan tersuspensi (TSS). Effendi (2003) menyatakan bahwa total padatan tersuspensi terdiri atas segala sesuatu yang merupakan kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa air, terutama limbah rumah tangga hasil aktivitas manusia. Selanjutnya Rahmawati dan Azizah (2005) menyatakan penentuan zat padat tersuspensi berguna untuk mengetahui kekuatan pencemaran air limbah domestik dan efisiensi unit pengolahan air. Kandungan DO tertinggi terdapat pada stasiun I (kontrol) sebesar 6,49 mg/L dan terendah pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 4,39 mg/L. Daerah kontrol tidak terdapat aktivitas manusia sehingga memiliki kandungan DO yang tinggi. Masyarakat sekitar sungai Belawan Desa Lalang banyak yang melakukan aktivitas pasar, maka limbah pasar memiliki kadar yang tinggi dalam sungai tersebut. Kadar limbah yang tinggi dalam perairan dapat meningkatkan suhu sehingga DO menurun sesuai dengan Effendi (2003), semakin besar suhu dan semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Pujiastuti, dkk., (2013) juga menyatakan bahwa oksidasi aerobik juga dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah bahkan anaerob. Kandungan DO pada stasiun I (kontrol) cenderung stabil, yaitu 6,49 mg/L. Menurut Barus (2004), kisaran DO normal adalah 6 – 8 mg/L sesuai dengan hukum Van’t
Hoffs, kenaikan suhu sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan metabolisme dari organisme sebesar 2 3 kali lipat sehingga menurunkan oksigen terlarut. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun I (kontrol) sebesar 6,37 dan terendah pada stasiun III (aktivitas pasar) sebesar 5,20. Nilai pH pada daerah kontrol cenderung mendekati pH netral karena tidak ada bahan pencemar. Bahan dalam limbah hasil aktivitas pasar penyebab pencemaran mengakibatkan pH berubah menjadi lebih rendah karena sampah sayuran dan buah-buahan memiliki keasaman yang relatif cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ningrum (2012) yang menyatakan bahwa sampah sayuran dan buah-buahan merupakan limbah organik yang memiliki keasaman tinggi. Nilai pH dalam perairan bergantung pada jenis bahan pencemar yang ada dalam perairan. Menurut Purba dan Alexander (2010), nilai pH air tercemar dipengaruhi oleh jenis zat pencemarnya. Kisaran nilai pH pada perairan sungai Belawan Desa Lalang sebesar 5,17 – 6,43 belum banyak mempengaruhi biota perairan. Odum (1998) menyatakan perairan dengan pH yang tidak terlalu tinggi atau rendah tidak mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang ada di dalamnya. Selanjutnya Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,64 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 0,52 mg/L. Hasil pengukuran nilai BOD pada setiap stasiun penelitian mengindikasikan perairan yang terdapat aktivitas domestik menghasilkan limbah yang berakibat terhadap semakin meningkatnya proses dekomposisi oleh
61
organisme pengurai, sehingga menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi BOD. Pujiastuti, dkk., (2013) menyatakan bahwa perairan dengan nilai BOD yang tinggi mengindikasikan bahwa bahan pencemar yang ada dalam perairan tersebut juga tinggi, yang menunjukkan semakin banyaknya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Nilai kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,87 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) sebesar 0,65 mg/L. Kandungan nitrat tinggi pada daerah aktivitas domestik karena adanya limbah hasil kegiatan manusia dalam rumah tangga. Air limbah domestik yang merupakan sumber utama nitrogen berasal dari air limbah feses, urin, dan sisa makanan. Besarnya kontribusi limbah domestik dapat meningkatkan kandungan nitrat dalam perairan. Menurut Tarigan, dkk (2013), konsentrasi nitrat yang tinggi dalam suatu perairan dapat disebabkan oleh banyaknya limbah manusia berupa kotoran dan sisa makanan. Sedangkan daerah kontrol tidak terdapat aktivitas apapun dari manusia sehingga memiliki kandungan nitrat rendah yang hanya berasal dari alam dan kandungan nitratnya lebih sedikit daripada nitrat hasil buangan manusia. Budiharjo dan Huboyo (2007) menyatakan bahwa sumber polutan seperti nitrat yang berasal dari perairan (alam) mempunyai jumlah lebih sedikit dibandingkan yang berasal dari aktivitas manusia. Jika dilihat dari kandungan nitratnya, perairan sungai Belawan Desa Lalang tergolong tidak memiliki kesuburan tinggi. Menurut Nugroho (2006), klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat 1,13 – 11,29 mg/L tergolong perairan dengan
kesuburan tinggi. Barus (2004) menyatakan nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nutrisi yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kandungan fosfat tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas domestik) sebesar 0,12 mg/L dan terendah pada stasiun I (kontrol) dan III (aktivitas pasar) sebesar 0,11 mg/L. Fosfat yang tinggi berasal dari aktivitas domestik karena setiap sisa atau buangan rumah tangga (mandi, cuci, kakus) dan penggunaan deterjen yang mengandung fosfat dialirkan melalui tanah dan bergabung dengan buangan lain kemudian masuk ke dalam perairan. Menurut Sasongko (2006), fosfat dapat bersumber dari air buangan penduduk, penggunaan deterjen, dan sisa makanan yang dibuang ke perairan. Jika dilihat dari kandungan fosfatnya, perairan sungai Belawan Desa Lalang tergolong memiliki kesuburan cukup tinggi. Nugroho (2006) menyatakan bahwa klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat 0,10 – 0,20 mg/L tergolong perairan dengan kesuburan tinggi. Kualitas air tebaik terdapat pada stasiun I (kontrol), diperoleh skor 0 maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 air dapat digolongkan dalam Kelas I. Pada stasiun II (aktivitas domestik) dan III (aktivitas pasar), diperoleh skor -10 maka air dapat digolongkan dalam Kelas II. Oleh sebab itu, stasiun I dapat menjadi air peruntukan bahan baku air minum dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama serta stasiun II dan III dapat menjadi air peruntukan prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I tidak ada aktivitas manusia, sedangkan pada
62
stasiun II terdapat aktivitas domestik dan stasiun III terdapat aktivitas pasar yang masing-masing menghasilkan limbah. Menurut Agustina, dkk., (2012), aktivitas manusia di sepanjang perairan dapat memberikan dampak buruk terhadap perairan tersebut yang ditandai dengan masuknya sejumlah beban pencemar ke dalam lingkungan perairan yang mengganggu ekosistem. Parameter Biologi (Makrozoobentos) Pengambilan sampel makroozoobenthos dilakukan pada setiap stasiun. Berdasarkan rata-rata hasil pengukuran makroozoobenthos, jumlah dan bobot makrozoobenthos terbanyak didapat pada Melanoides sp. pada semua stasiun. Melanoides sp. pada stasiun I berjumlah 7 dan bobot 15,40 gram, pada stasiun II berjumlah 15 dan bobot 32,70 gram, dan pada stasiun III berjumlah 19 dan bobot 40,10 gram. Pada stasiun I, jumlah terendah adalah Corbicula sp., Melania sp., dan Syrmylasma sp. yang masing-
masing berjumlah 1. Pada stasiun II, jumlah dan bobot terendah adalah Corbicula sp. sebanyak 0. Pada stasiun III, jumlah dan bobot terendah adalah Syrmylasma sp. sebanyak 1 dengan bobot 2,60 gram. Nilai parameter biologi (makroozoobenthos). Kepadatan relatif (KR) dan biomassa relatif (BR) tertinggi dimiliki oleh Melanoides sp. pada semua stasiun, yaitu 70% (KR) dan 66% (BR) pada stasiun I, 88% (KR) dan 87% (BR) pada stasiun II, 80% (KR) dan 74% (BR) pada stasiun III. Oleh sebab itu, ranking spesies kepadatan dan biomassa tertinggi dimiliki oleh Melanoides sp. pada semua stasiun. Berdasarkan ranking spesies dan persentase kumulatif (PK) yang terdapat pada Tabel 3, setiap stasiun diperoleh kurva ABC saling tumpang tindih yang menandakan kualitas air adalah sedang. Kurva tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
Tabel 3. Ranking Spesies dan Persentase Kumulatif Stasiun I Stasiun II PK PK PK PK Ranking Ranking (K) (B) (K) (B) Spesies Spesies (%) (%) (%) (%) 1 70 66 1 88 87 2 80 79 2 94 94 3 90 90 3 100 100 4 100 100 4 100 100
Stasiun III PK PK Ranking (K) (B) Spesies (%) (%) 1 80 74 2 88 85 3 96 96 4 100 100
Gambar 2. Kurva ABC Sungai Belawan Desa Lalang
63
Ranking spesies makroozoobenthos berdasarkan kepadatan relatif (KR) dan biomassa relatif (BR) tertinggi adalah Melanoides sp. pada tiap stasiun. Melanoides sp. merupakan jenis makrozoobenthos yang tolerir terhadap limbah atau bahan pencemar hasil aktivitas domestik maupun pasar. Bahan organik dan anorganik dalam zat pencemar dibutuhkan oleh Melanoides sp. sebagai nutrisi untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Kowalke (1997), genus Melanoides merupakan benthos yang hidup dalam substrat lumpur-pasir dan menggunakan senyawa organik atau anorganik dalam limbah (bahan pencemar) sebagai nutrisi bagi kehidupannya serta mentolerir kandungan limbah tersebut dalam perairan. Jumlah kepadatan dan biomassa setiap jenis makrozoobenthos yang terdapat di perairan sungai Belawan Desa Lalang tidak merata karena setiap jenis organisme memiliki penyesuaian atau adaptasi yang berbeda. Dewiyanti (2004) menyatakan bahwa tidak meratanya jumlah individu atau kepadatan berhubungan dengan pola adaptasi masing-masing spesies. Berdasarkan ranking spesies dan persentase kumulatif, pada setiap stasiun diperoleh kurva ABC yang saling tumpang tindih yang menandakan kualitas air adalah sedang. Menurut Warwick (1986), kategori kualitas sedang jika kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah individu per satuan luas saling tumpang tindih atau berimpit. Kurva kepadatan dan biomassa yang berimpit menunjukkan perkembangan jumlah dan biomassa sama dan kedua variabel ini cukup sesuai dengan kualitas air demikian. Yonvitner dan Imran (2006) menyatakan bahwa adanya kurva saling tumpang tindih antara kepadatan dan biomassa
menunjukkan kualitas air sedang karena kemampuan jumlah dan biomassa untuk berkembang dalam kualitas air ini adalah sama. Sedangkan jika kurva biomassa berada diatas kurva kepadatan menunjukkan kualitas air baik karena setiap jenis mampu hidup pada kualitas air tersebut sehingga terjadi perkembangan biomassa dari masingmasing jenis organisme, dan jika kurva kepadatan berada diatas kurva biomassa menunjukkan kualitas air buruk karena setiap jenis tidak mampu hidup dengan baik pada kualitas air tersebut sehingga terjadi perkembangan biomassa yang kecil dari masing-masing jenis organisme. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan parameter fisika dan kimia air yang dianalisis dengan menggunakan metode Storet, pada stasiun I memiliki skor 0 menunjukkan kualitas air memenuhi baku mutu (kelas I), sedangkan pada stasiun II dan III memiliki skor -10 yang menunjukkan kualitas air tercemar ringan (kelas II). Parameter biologi (makroozoobenthos) yang dianalisis dengan kurva ABC menghasilkan kurva yang saling tumpang tindih yang menunjukkan kualitas air sedang pada setiap stasiun. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian selanjutnya mengenai kualitas air sungai Belawan di Desa Lalang dengan penambahan jumlah parameter yang diukur dan pengelolaan sungai ini diharapkan bersifat efektif dan efisien agar tidak merugikan masyarakat maupun lingkungan di masa yang akan datang.
64
DAFTAR PUSTAKA Agustina, Y., Amin, B., Thamrin. 2012. Analisis Beban dan Indeks Pencemar Ditinjau dari Parameter Logam Berat di Sungai Siak Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan Riau. Vol. 6 (2): 2-3. Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Sumatera Utara. 2013. Daerah Aliran Sungai Belawan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan. Departemen Kehutanan. Medan.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan. Brehm,
J. dan Meijering. 1990. Fliessgewasserkunde. Aufl. Quelle & Meyer Verlag, Heidelberg. Wiesbaden.
Budiharjo, A. B. dan Huboyo. 2007. Pola Persebaran Nitrat dan Phosfat dengan Model Aquatox 2.2 serta Hubungan terhadap Tanaman Eceng Gondok pada Permukaan Danau. Jurnal Presipitasi. Vol. 2 (2): 5. Dewiyanti, I. 2004. Struktur Komunitas Moluska serta Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pantai Ulee-Lheue, Banda Aceh, NAD. [Skripsi] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Kowalke. 1997. Endemic Freshwater Mollusca of Cuba and Their Conservation Status. Tropical Conservation Science Vol 3(2): 190-199. Maniagasi, R., S. Tumembouw, Y. Mundeng. 2013. Analisis Kualitas Fisika Kimia Air di Areal Budidaya Ikan Danau Tondano Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Budidaya Perairan. Vol. 1 (2): 2. Ningrum, D. 2012. Sampah Potensi Pakan Ternak yang Melimpah. Ilmu Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakarta. Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. UGM Press. Yogyakarta. Pujiastuti, P., Ismail, dan Pratono. 2013. Kualitas dan Beban Pencemar Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Ekosains. Vol. 5 (1): 2-4. Purba, N. dan Alexander K. 2010. Karakteristik Fisika - Kimia Perairan Pantai Dumai pada Musim Peralihan. Jurnal Akuatika. Vol. 1 (1): 2. Rahmawati, A. dan Azizah. 2005. Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS, dan MPN Coliform pada Air Limbah Sebelum dan Sesudah Pengolahan di RSUD Nganjuk. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 2 (1): 4. Risawati, D. 2002. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) di Hutan Mangrove Muara Sungai Donan Kawasan
65
BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Cilacap, Jawa Tengah. [Skripsi] Program Studi Ilmu Kelautan. FPIK – IPB. Bogor. Sagala, C. 2013. Dampak Pengerukan Pasir terhadap Kelimpahan Plankton dan Kualitas Air di Hulu Daerah Aliran Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi] Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian USU. Medan. Salmah, S. 2010. Penataan Bantaran Sungai Ditinjau dari Aspek Lingkungan. CV. Trans Info Media. Jakarta. Sasongko, A. L. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di Sekitar Sungai Tuk terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang serta Upaya Penanganannya. [Tesis] Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Dipenegoro. Semarang. Tarigan, A., Markus T., dan Sandra O. 2013. Kajian Kualitas Limbah Cair Domestik di Beberapa Sungai yang Melintasi Kota Manado dari Aspek Bahan Organik dan Anorganik. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. Vol.1 (1): 1-2. Warwick, R. M. 1986. A New Method for Detecting Pollution on Marine Macrobentic Communities. Marine Biology. England.
Yonvitner, dan Z. Imran. 2006. Rasio Biomasa dan Kelimpahan Makrozoobenthos sebagai Penduga Tingkat Pencemaran di Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 11 (3): 2-3.