STRATEGI PENINGKATAN PELAYANAN DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERUMAHAN (KAJIAN DI KABUPATEN BOGOR)
PURRISTIYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Strategi Peningkatan Pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Dalam Pengelolaan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2011 Purristiyana NRP. H252074195
3
ABSTRACT PURRISTIYANA. Service Improvement Strategy for Cleaning and Gardening Agency in the management of residential solid waste (studies in Bogor Regency). Under the direction of :LALA M. KOLOPAKING and ERNAN RUSTIADI. Solid waste management problem occurs because of imbalance between the volume of solid waste and ability in management. The objectives of this research are: (1) to evaluate the implementation of residential solid waste management services in Bogor Regency, (2) to analyze community perceptions about residential solid waste service, and (3) to formulate strategies to improve coverage of residential solid waste service in Bogor Regency. The data were collected through observation and interview to the respondents that know about the policy under study. The data were analyzed by using quantitative descriptive analysis based on the applicable service standard of the Minister of Settlement and Regional Infrastructure Number 534/KPTS/M/2001, index measurement analysis, and Hierarchy Analytic Process (AHP). Quantitatively the performance of solid waste management based on the amount of solid waste transported achieve 22,46 %. According to the underserved population has just reached 16 %. The amount of solid waste transport vehicle is only just reached 20 % of the transportation needs. Solid waste retribution only reaches 26,5% of operational cost of solid waste services. Efforts to increase residential solid waste service coverage with the addition of operational facilities require a very large cost. Therefore, alternative solid waste management needs to be done at the local level with the reduction and handling of solid waste from its source through the application of R3 (reduce, reuse and recycle) with the program are: (1) Internalization and education R3 Program, (2) Establishment of a group / institutional, (3) Provide facilities and assistance, and (4) Support product marketing. Keywords : solid waste management, improving services, R3 (reduce, reuse and recycle), AHP
4
RINGKASAN PURRISTIYANA. Strategi Peningkatan Pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam Pengelolaan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING sebagai ketua dan ERNAN RUSTIADI sebagai anggota komisi pembimbing. Peningkatan populasi penduduk yang diikuti pengembangan wilayah perkotaan, semakin merubah pola konsumsi dan meningkatkan jumlah dan keragaman sampah, baik dari rumah tangga maupun dari kegiatan lain. Hasil survey yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan timbulan sampah rata-rata berkisar antara 2 - 2,5 liter/orang/hari dengan kerapatan 200-300 kg/m3. Permasalahan dalam penanganan sampah terjadi karena ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya, volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk : (1) Mengevaluasi pelaksanaan pelayanan pengelolaan sampah perumahan di Kabupaten Bogor khususnya di UPT Wilayah Cibinong, (2) Menganalisis pendapat masyarakat mengenai pelayanan persampahan perumahan, (3) Merumuskan strategi peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Bogor, selama tiga bulan yaitu pada bulan September sampai dengan bulan November 2010, dengan menggunakan data primer yaitu dengan cara survei melalui observasi langsung, wawancara dan kuesioner, serta data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dan laporan-laporan dari instansi terkait. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Untuk mencapai tujuan penelitian kedua, dikumpulkan sebanyak 60 responden yang terdiri dari 30 rumah tangga di Perumahan Cimandala Permai Kecamatan Sukaraja dan 30 rumah tangga di Perumahan Puspa Raya Kecamatan Bojonggede. Untuk mencapai tujuan penelitian ketiga, jumlah responden sebanyak enam orang yang berasal dari Dinas kebersihan dan Pertamanan, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup dan masyarakat yaitu ketua RW 9 Perumahan Puspa Raya. Metode analisis data yang digunakan untuk tujuan pertama adalah analisis deskriptif dan juga berdasarkan pengukuran sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman. Analisis data yang digunakan untuk mencapai tujuan spesifik kedua adalah dengan menggunakan pengukuran indeks. Perumusan strategi kebijakan dan perancangan program peningkatan pelayanan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kabupaten Bogor dalam pengelolaan sampah perumahan dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa: (1) Kinerja pelayanan pengelolaan sampah secara kuantitatif di Wilayah Cibinong masih rendah. Jumlah sampah terangkut baru mencapai 22,46%. Hal ini menandakan bahwa di kawasan yang belum mendapat pelayanan, umumnya masyarakat melakukan penimbunan, pembakaran maupun pembuangan sampah ke sungai atau saluran air. Berdasarkan jumlah penduduk yang terlayani diketahui baru mencapai 16% dari jumlah penduduk. Jumlah sarana pengangkut sampah saat ini baru memenuhi 20 %
5
jumlah yang dibutuhkan agar dapat mengangkut timbulan sampah. Kajian pun menemukan bahwa pemasukan dari retribusi kebersihan yang ada saat ini tidak seimbang dibandingkan dengan biaya operasional pelayanan persampahan karena hanya memenuhi 26,5% sehingga pemerintah daerah harus memberi subsidi, (2) Pendapat masyarakat mengenai pelayanan persampahan juga dinyatakan masih belum baik, sehingga perlu peningkatan sarana dan prasarana pelayanan persampahan serta meningkatkan sosialisasi mengenai peraturan dan pengelolaan sampah. (3) Berdasarkan hasil AHP dengan menggunakan Expert Choice 2000, terlihat bahwa urutan prioritas yang perlu lebih diutamakan dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan adalah Peningkatan Sarana Pelayanan (bobot 0,450) serta Peningkatan Peran Masyarakat (bobot 0,335).Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh bahwa Penambahan Kendaraan Angkutan Sampah adalah langkah strategis yang memiliki nilai tertinggi (bobot 0,169), kemudian diikuti dengan Sosialisasi dan Edukasi Penerapan 3R (bobot 0,127) serta Bantuan Sarana dan Pendampingan 3R (bobot 0,094). Rumusan strategi dan program dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di UPT Wilayah Cibinong adalah sebagai berikut : (1) Penambahan sarana operasional; (2) Penerapan Program 3R di masyarakat; (3) Pemisahan fungsi regulator dan operator dalam penyelenggaraan pelayanan persampahan. Untuk UPT Wilayah Cibinong kendaraan pengangkut sampah saat ini berjumlah 33 unit sedangkan kebutuhan kendaraan berdasarkan timbulan sampah perumahan di perkotaan adalah sebesar 165 unit dump truck. Perhitungan total biaya yang dibutuhkan untuk penambahan 132 unit dump truck dan operasional 165 kendaraan angkutan sampah per tahun adalah sebesar Rp.58.723.500.000,00. Biaya tersebut sangatlah besar dan pemerintah daerah akan kesulitan dalam pendanaan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Untuk tahun 2009, anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi lima UPTD untuk penambahan 16 truk sampah dan operasional 66 truk sampah hanya sebesar Rp. 11.825.000.000,00. Cakupan pelayanan yang memungkinkan dan perlu direalisasikan untuk jangka pendek sesuai target RPJMD yaitu sebesar 31%, maka armada angkutan yang dibutuhkan di UPTD Wilayah Cibinong adalah sebanyak 51 kendaraan. Untuk itu diperlukan tambahan 18 kendaraan angkutan sampah dengan total biaya sebesar Rp.11.538.900.000. Penerapan program 3R di masyarakat diimplementasikan melalui kegiatan: (a) Pelembagaan dan edukasi 3R. Untuk meningkatkan cakupan pelayanan sampah di UPT Wilayah Cibinong diperlukan penambahan sarana operasional pelayanan sampah yang cukup besar sehingga akan terbentur berbagai kendala diantaranya, pendanaan, jumlah aparat dan kelembagaan. Oleh karena itu diperlukan alternatif pengolahan sampah dengan pengurangan dan penanganan sampah dari sumbernya melalui penerapan program 3R; (b) Pembentukan kelompok/kelembagaan. Setelah masyarakat memiliki pemahaman yang baik mengenai 3R dan memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan 3R di lingkungannya maka agar program dapat berjalan baik dan terkoordinir maka diperlukan suatu kelompok atau lembaga pengelola 3R di Masyarakat; (c) Bantuan Sarana dan Pendampingan 3R. Untuk pemenuhan perlengkapan sarana pengolahan 3R di masyarakat dapat dilakukan dengan bantuan dari program PNPM dengan melakukan kerjasama dengan dengan instansi lain yang terkait.; (d) Bantuan pemasaran produk 3R. Untuk pemasaran kompos dapat dilakukan
6
kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan, sedangkan untuk pemasaran hasil kerajinan sampah plastik atau kertas dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan Dinas UKM, Perindustrian dan Perdagangan. Pengawasan yang lebih obyektif terhadap pengelolaan sampah masih diperlukan agar kualitas dan profesionalitas pelayanan dapat lebih terjamin, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan fungsi regulator dan operator. Apabila dinas akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka dinas perlu berfungsi sebagai regulator yang handal.
Kata kunci : pengelolaan sampah, peningkatan pelayanan, AHP
7
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
8
STRATEGI PENINGKATAN PELAYANAN DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN DALAM PENGELOLAAN SAMPAH PERUMAHAN (KAJIAN DI KABUPATEN BOGOR)
PURRISTIYANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S.
10
Judul
Nama NRP
: Strategi Peningkatan Pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam Pengelolaan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor) : Purristiyana : H252074195
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. Ketua
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dengan judul ”Strategi Peningkatan Pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam Pengelolaan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor)”. Penulisan karya ilmiah ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku anggota komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Magister Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Bupati Bogor, yang telah memberikan dukungan dana dan kesempatan bagi penulis dalam mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor ini, juga kepada orang tua, suami dan anakanakku tersayang serta keluarga besar yang telah mendukung dengan penuh pengertian dan kesabaran serta terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2011 Purristiyana
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 September 1976 dari Ayah Sudjiman dan Ibu Siti Suwarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, lulus pada tahun 2000. Penulis bekerja sebagai PNS daerah Kabupaten Bogor semenjak tahun 2003 dan ditugaskan sebagai staf di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wilayah Parung pada Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Pada tahun 2005 pindah tugas di UPT Wilayah Ciawi, kemudian pada tahun 2007 ditugaskan pada Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup yang berkantor di Cibinong. Pada tahun 2008, penulis mendapat kesempatan beasiswa tugas belajar S-2 dari Pemerintah Kabupaten Bogor dan melanjutkan studi pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011.
13
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 3 1.3 Tujuan ........................................................................................... 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah .......................................................................................... 7 2.2 Pengelolaan Sampah ......................................................................... 13 2.2.1 Pewadahan ............................................................................... 15 2.2.2 Pengumpulan ........................................................................... 17 2.2.3 Pemindahan .............................................................................. 20 2.2.4 Pengangkutan ............................................................................ 20 2.2.5 Pembuangan Akhir ................................................................... 24 2.3 Kualitas Pelayanan............................................................................. 25 2.4 Pelayanan Publik .............................................................................. 26 2.5 Kajian Terdahulu .............................................................................. 28
BAB III
METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 29 3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ................................................................... 30 3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 31 3.4 Metode Penentuan Sampel ................................................................. 32 3.5 Metode Analisis Data......................................................................... 32 3.5.1 Metode Analisis Deskriptif ....................................................... 32 3.5.2 Metode Analisis Indeks Persepsi Masyarakat ........................... 33 3.5.2 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ........................... 33
BAB IV
KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor .................................................. 39 4.2 Gambaran Umum Kependudukan Kabupaten Bogor .......................... 40 4.3 Perangkat Daerah Pengelola Pelayanan Sampah ............................... 41 4.4 Kondisi Umum Lingkungan Hidup ................................................... 48 4.5 Obyek Retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan ................. 48
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perangkat Hukum dan Peraturan ....................................................... 53 5.1.1 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah ................................. 53 5.1.2 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bogor ............... 55 5.2 Aspek Pembiayaan............................................................................. 58 5.3 Teknik Operasional ........................................................................... 59 5.3.1 Timbulan Sampah .................................................................... 59
14
/
BAB VI
5.3.2 Pewadahan ...............................................................................62 5.3.3 Pengumpulan dan Pemindahan .................................................64 5.3.4 Pengangkutan Sampah .............................................................66 5.3.5 Tempat Pembuangan Akhir ......................................................66 5.4 Analisis Kinerja Pengelolaan Sampah berdasarkan Standar Normatif ............................................................................................67 5.5 Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pengelolaan Sampah ........70 5.6 Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kebersihan/ Kebersihan Persampahan di Lingkungan Perumahan ...........................................72 5.6.1 Karakteristik Usia Responden ..................................................73 5.6.2 Karakteristik Pendidikan Responden ........................................73 5.6.3 Karakteristik Pekerjaan Responden ..........................................74 5.6.4 Pengukuran Indeks Persepsi Masyarakat ..................................74 5.6.5 Informasi Mengenai Peraturan Persampahan ............................76 5.6.6 Sarana dan Prasarana pelayanan persampahan ..........................77 5.6.7 Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kebersihan/ Persampahan ............................................................................77 5.6.8 Retribusi Pelayanan Persampahan ............................................77 5.6.9 Pembedaan Pewadahan ............................................................78 5.7 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah .........................78 STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM 6.1 Perumusan Alternatif Strategi dan Program .......................................81 6.2 Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan .....................................82 6.2.1 Peningkatan Sarana Pelayanan .................................................85 6.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat .................................................88 6.3 Perancangan Program .......................................................................92
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan .......................................................................................97 7.2 Saran ...............................................................................................98 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 99
15
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis Pewadahan ............................................................................................. 17 2. Jenis dan Karakteristik Alat Pengangkut ......................................................... 21 3. Tujuan, Data, Metode dan Output Penelitian ................................................... 31 4. Peraturan/Kebijakan yang Digunakan Sebagai Standar Pengukuran Pelayanan ...... ................................................................................................. 32 5. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan ..................................................... 36 6. Petugas Operasional Persampahan Kabupaten Bogor ...................................... 47 7. Sarana Pendukung Pelayanan Persampahan .................................................... 47 8. Data Jumlah Penduduk dan timbulan sampah Kabupaten Bogor ...................... 48 9. Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah Harian .............................................. 49 10. Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah Mingguan ........................................ 50 11. Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah untuk Kegiatan Pameran/ event-event lainnya yang bersifat insidentil ........................................................................ 51 12. Komposisi fisik sampah di Kabupaten Bogor .................................................. 59 13. Produksi/Timbulan sampah di UPT Wilayah Cibinong .................................... 61 14. Jumlah Sampah Terangkut Ke TPA di Wilayah Cibinong ............................... 68 15. Jumlah Penduduk, Volume Sampah dan Perkiraan Volume Pelayanan Sampah dengan berdasarkan Ketentuan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001 ...................................................... 69 16. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 100% Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong ....................... 72 17. Distribusi Frekuensi Usia ................................................................................ 73 18. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan ......................................................... 73 19. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan ............................................................... 74 20. Nilai Indeks Jawaban ...................................................................................... 75 21. Indeks rata-rata jawaban .................................................................................. 76 22. Struktur Hirarki Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor ............................................................................................ 82
16
23. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Peningkatan Sarana Pelayanan ...... ................................................................................................. 88 24. Urutan Elemen yang diprioritaskan secara Global dalam Peningkatan Peran Masyarakat .... ................................................................................................. 90 25. Urutan Prioritas Global Program Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor ...................................................................... 91 26. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 31 % Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong ....................... 94
17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan .................................... 14 2. Kerangka Pemikiran Kajian ............................................................................. 30 3. Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan ................................... 43 4. Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan ......................................................................................... 84 5. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan ............................................................................................ 85 6. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional ... ................................................................................................. 86 7. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Optimalisasi TPA Eksisting .... 86 8. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penyediaan TPA Alternatif ..... 87 9. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategi Peningkatan Peran Masyarakat ........................................................................ 88 10. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penerapan 3R ......................... 89 11. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Ketaatan Pembayaran Retribusi ....... ................................................................................................. 90 12. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distribusi Synthesize) .... ................................................................................................. 92
18
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Model Kuesioner AHP yang Digunakan untuk Mencapai Tujuan Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan ................................ 105 2. Matriks Persepsi Masing-Masing Responden dan Perhitungan Pendapat Gabungan Menggunakan Rata-rata Geometris ........................................... 111 3. Hasil Treeview Pendapat Gabungan pada Expert Choice 2000 ................... 119
19
BAB I PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Seiring
peningkatan populasi penduduk mengakibatkan meningkatnya jumlah dan keragaman sampah yang dihasilkan baik dari rumah tangga maupun dari kegiatan lain. Tingkat timbulan sampah juga akan meningkat akibat dari berubahnya pola konsumsi karena meningkatnya kesejahteraan. Tanpa disadari penggunaan barang-barang yang dikonsumsi dan diproduksi akan menguras sumber daya alam yang ada dan merusak lingkungan. Budaya konsumerisme masyarakat saat ini mempunyai andil besar dalam peningkatan jenis dan kualitas sampah. Di era globalisasi, para pelaku usaha dan pebisnis bersaing sekeras mungkin untuk memasarkan produknya, tidak hanya itu tapi mereka memiliki strategi bisnis dengan mengemas produknya dengan kemasan yang menarik konsumen. Bervariasinya kemasan produk tersebut menimbulkan peningkatan jenis dan kualitas sampah. Kecenderungan jumlah penduduk yang semakin meningkat diikuti kegiatan
kota
yang
makin
berkembang
menimbulkan
dampak
adanya
kecenderungan sampah yang meningkat dan bervariasi. Menurut Kodoatie (2005) jumlah dan laju penduduk perkotaan yang cenderung meningkat mengakibatkan sistem infrastruktur yang ada menjadi tidak memadai, karena penyediaannya lebih rendah dibandingkan dengan perkembangan penduduk. Permasalahan
dalam
penanganan
sampah
terjadi
karena
ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya, volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perubahan kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Sampah yang tidak dikelola menyebabkan gangguan kesehatan karena menjadi sarang penyakit, menjijikan dan menimbulkan bau yang tidak sedap, pencemaran tanah dan air, berkurangnya nilai kebersihan dan keindahan lingkungan. Masalah sampah tidak terlepas dari masalah pembangunan lainnya seperti kependudukan, sosial,
20
ekonomi dan pengadaan lahan. Masalah-masalah tersebut akan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap kesehatan, lingkungan kamtibmas, dan lainlain. Oleh Karena itu penanganan masalah sampah harus dilakukan secara terpadu dengan masalah-masalah pembangunan lainnya. Pengelolaan
persampahan
sudah
seharusnya
merupakan
prioritas
pembangunan yang sejajar dengan pembangunan di bidang lainnya. Pembangunan di bidang pengelolaan sampah sering tertinggal dibanding dengan dengan pembangunan di bidang lain dan tidak dapat mengejar permasalahan yang timbul. Di daerah pedesaan, pembuangan sampah belum merupakan permasalahan yang serius dan kompleks karena masih tersedianya ruangan yang cukup untuk pengelolaan pembuangan sampah tersebut di wilayah perumahan secara individual atau dimanfaatkan untuk keperluan lain. Namun di wilayah perkotaan sudah dirasakan sulit untuk memperoleh ruang yang cukup guna mengelola pembuangan sampah tersebut baik secara individual maupun kolektif di lingkungan
setempat.
Hal
tersebut
disebabkan
oleh
semakin
pesatnya
pembangunan dan padatnya perkembangan penduduk di wilayah perkotaan, sehingga lahan langka dan mahal. Kondisi ini semakin dipertajam lagi dengan tingginya produksi sampah dan kurangnya sarana pengangkutan serta terbatasnya pengadaan pewadahan sampah untuk memproses pembuangan sampah. Kesenjangan antara volume dan pengelolaan sampah cenderung meningkat, sehingga masalah sampah akan semakin kronis apabila tidak dikelola secara efektif dan efisien. Sebagian besar sumber timbulan sampah di perkotaan Indonesia berasal dari rumah tangga (58%). Sedangkan sumber lainnya meliputi sampah pasar dan pusat perbelanjaan (30%), industri (9%), rumah sakit (2%) dan lain-lain (1%) (indoresporo, 2001). Hasil survey yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan timbulan sampah rata-rata berkisar antara 2 - 2,5 liter dengan kerapatan 200-300 kg/m3 (Sudradjat, 2009). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan JICA (2003), rata-rata produksi sampah meningkat dari 800 gram per kapita pada tahun 1995 menjadi 910 gram perkapita pada tahun 2000. Khusus untuk sampah atau limbah padat rumah tangga, peningkatan jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia diperkirakan akan bertambah 5 kali lipat pada tahun 2010.
21
Sistem penanganan sampah yang umum dilakukan selama ini adalah pengumpulan/pewadahan, pemindahan/pengangkutan, pemusnahan/pengurugan. Kenyataannya, pola penanganan sampah tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul. Hal ini dikarenakan tidak seimbangnya jumlah timbulan sampah dengan kapasitas pengelolaannya. Berdasarkan target dan sasaran yang ditetapkan dalam MDGs (Millenium Development Goals) bahwa cakupan pelayanan persampahan harus mencapai 70 % penduduk pada tahun 2015, komitmen tersebut juga diperkuat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengeloaan Persampahan (KSNP- SPP). Untuk mencapai target pelayanan persampahan tersebut memerlukan investasi sarana dan prasarana persampahan juga harus didukung oleh kesiapan manajemen dan dukungan peraturan perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas maka kajian ini menjadi penting untuk merumuskan strategi pengelolaan sampah khususnya sampah perumahan di Kabupaten Bogor. 1.2 Perumusan Masalah Persampahan merupakan isu penting dalam masalah lingkungan perkotaan termasuk di perumahan yang dihadapi sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas pembangunan. Sampah yang tidak terkelola dengan baik merupakan salah satu penyebab makin meningkatnya pencemaran air, tanah dan udara serta meningkatkan potensi banjir di perkotaan. Permasalahan persampahan perlu ditangani secara serius dengan teknis, operasional dan manajemen yang tepat dan terpadu berdasarkan kondisi dan kebijakan daerah masing-masing. Instansi pemerintah di Kabupaten Bogor yang berwenang dalam hal pengelolaan sampah adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor saat ini telah mencapai 4.477.296 jiwa dan setiap harinya aktivitas masyarakat menghasilkan sampah sebanyak ± 8.955 M3/hari, yang dilayani oleh 66 truk sampah. Sebanyak 58 % limbah sampah berasal dari rumah tangga, sedangkan sisanya berasal dari perkantoran 15%, Industri 15 % dan pasar 10 %. Untuk sampah pasar sepenuhnya dikelola oleh PD Pasar Tohaga, sedangkan
22
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor melayani pengelolaan sampah yang berasal dari perumahan/rumah tinggal, industri, rumah sakit, pertokoan, hotel dan restoran/rumah makan, SPBU, pariwisata, perkantoran dan sekolah. Berdasarkan data yang didapat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 diketahui bahwa cakupan pelayanan pengangkutan sampah perkotaan yang terlayani oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor hanya sebesar 24,17% dari timbulan sampah. Angka tersebut masih di bawah angka pelayanan nasional yang sebesar 40% dan pelayanan Propinsi Jawa Barat yang mencapai 53 %. Walaupun sudah diketahui mengenai angka cakupan pelayanan namun masih diperlukan informasi lebih lanjut yang mendalam dan rinci mengenai kinerja pelaksanaan pelayanan pengelolaan sampah perkotaan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, khususnya di UPT Wilayah Cibinong serta keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan persampahan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka pertanyaan kajian pertama adalah “Bagaimanakah pelaksanaan pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor dalam pengelolaan sampah perumahan, khususnya di UPT Wilayah Cibinong? Pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan munculnya masalah penyediaan pelayanan perkotaan, salah satunya adalah masalah pelayanan persampahan yang masih rendah. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat atas arti pentingnya kualitas layanan publik, termasuk pelayanan persampahan, maka berbagai institusi publik makin dituntut untuk senantiasa memberikan layanan yang berkualitas bagi pelanggannya. Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebagai salah satu institusi publik pun tidak lepas dari upaya tersebut. Untuk memenuhi keinginan publik atas layanan jasa yang berkualitas, dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas kualitas pelayanan persampahan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka pertanyaan kajian kedua adalah “Bagaimanakah persepsi masyarakat mengenai pelayanan persampahan perumahan di Kabupaten Bogor? “
23
Berdasarkan
kondisi-kondisi
di
atas
dan
mengingat
pentingnya
pengelolaan sampah di Kabupaten Bogor maka pertanyaan kajian yang ketiga adalah “Bagaimanakah rumusan strategi peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di UPT Wilayah Cibinong Kabupaten Bogor?”
1.3 Tujuan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan kajian ini adalah : 1. Mengevaluasi pelaksanaan dan mutu pelayanan pengelolaan sampah perumahan Kabupaten Bogor khususnya di UPT Wilayah Cibinong. 2. Menganalisa
persepsi
masyarakat
mengenai
pelayanan
persampahan
perumahan. 3. Merumuskan strategi peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di UPT Wilayah Cibinong Kabupaten Bogor.
24
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Hadiwiyoto (1983), mendefinisikan sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan-perlakuan baik karena telah diambil bagian utamanya atau karena pengolahan dan sudah sudah tidak bermanfaat. Jika ditinjau dari segi ekonomi tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kesehatan. Seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia dan bertambah banyaknya kebutuhan manusia, mengakibatkan semakin besar pula terjadinya masalah-masalah pencemaran lingkungan, termasuk masalah sampah. Pada dasarnya alam secara alamiah mampu mendaur ulang berbagai jenis limbah yang dihasilkan oleh makhluk hidup, namun bila konsentrasi limbah yang dihasilkan sudah tak sebanding lagi dengan laju proses daur ulang maka akan terjadi pencemaran. Pencemaran timbul apabila suatu zat atau energi dengan tingkat konsentrasi yang demikian rupa hingga dapat mengubah kondisi lingkungan, baik langsung atau tidak, dan pada akhirnya lingkungan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (Barros dalam Siahaan, 2004). Pengertian pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pencemaran lingkungan hidup di perkotaan adalah salah satu penyebab terjadinya ketidakefisienan ekonomi dan bahkan menimbulkan skala disekonomis bagi kota tersebut, karena pencemaran dapat menimbulkan dampak (eksternalitas) yang bersifat negatif yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Eksternalitas yang bersifat negatif inilah yang menimbulkan biaya bagi kegiatan pihak lain di luar pelaksanaan kegiatan tersebut yang oleh Coase dalam Dewi (1997) disebut sebagai biaya sosial (social cost)
26
Terjadinya eksternalitas negatif menurut Mishan dalam Dewi (1997) adalah karena orang tidak hanya memproduksi barang dan jasa (goods and services) tetapi juga barang negatif (bads) yaitu barang dan jasa yang menimbulkan kerusakan. Secara ekonomis perbedaan pokok antara barang positif dan barang negatif adalah kemauan orang dalam mengenakan biaya. Pada barang positif untuk memperolehnya orang mau mengeluarkan biaya sedangkan pada barang negatif untuk
menghindarinya orang perlu biaya. Salah satu barang
negatif itu adalah sampah yang menyebabkan pemandangan tak sedap (kotor), bau busuk, media bagi perkembangan penyakit menular, dan lain-lain. Menurut Amsyari (1997) jika masalah sampah tidak segera ditanggulangi, maka akan menimbulkan pencemaran dan akhirnya merusak lingkungan. Rusaknya lingkungan dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidup, sedangkan kualitas lingkungan hidup sangat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia, karena dalam lingkungan hidup terjadi hubungan timbal balik antara manusia dengan unsur-unsur fisik, biologi maupun sosial. Sampah pada dasarnya adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber dan merupakan hasil aktivitas manusia yang tidak atau belum memiliki nilai ekonomi (Murtadho dan Said, 1987). Karena sampah merupakan hasil aktivitas manusia sendiri, maka orang tidak mempunyai hak untuk menolaknya. Jumlah sampah yang dihasilkan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan manusia, baik kegiatan produksi maupun kegiatan konsumsi. Sementara itu lahan tempat penampungannya semakin terbatas, sehingga masalah sampah kota dewasa ini menjadi masalah serius. Pengertian sampah menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan pengertian sampah dalam dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah limbah berbentuk padat, berasal dari kegiatan orang pribadi atau badan yang terdiri dari bahan organik dan anorganik, yang harus dikelola agar tidak merusak lingkungan, tetapi tidak termasuk buangan biologis/kotoran manusia, sampah berbahaya dan juga bukan merupakan sisa hasil olahan proses industri.
27
Departemen Pekerjaan Umum (2002) memberikan definisi sampah sebagai limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi bangunan. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di kota dan tidak termasuk sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut Azwar (1990), sampah adalah sesuatu yang tidak dipergunakan lagi, yang tidak dapat dipakai lagi, yang tidak disenangi dan harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena kotoran manusia tidak termasuk ke dalamnya) dan umumnya bersifat padat. Kodoatie (2003) mendefinisikan sampah adalah limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup. Berdasarkan beberapa pengertian tentang sampah seperti di atas maka dapat didefinisikan sampah adalah sisa bahan, limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan atau siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Menurut Slamet (2000), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sampah baik kuantitas maupun kualitasnya, yaitu : 1. Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk, semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju pertambahan penduduk. 2. Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin
banyak
jumlah
perkapita
sampah
yang
dibuang.
Kualitas
sampahnyapun semakin banyak bersifat tidak membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan persampahan. Kenaikan kesejahteraan inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan bangunan-
28
bangunan, transportasipun bertambah, dan produk pertanian, industri, dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume dan jenis sampah. 3. Kemajuan teknologi. Kemajuan Teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. Sumber sampah berasal dari seluruh rangkaian kehidupan berlangsung, dari seluruh pelosok kehidupan masyarakat, namun dalam hal ini dititikberatkan pada sumber sampah di perumahan perkotaan, dimana saat ini menjadi suatu permasalahan yang sangat kompleks, rumit dan memerlukan penanganan multi disiplin, baik dengan pendekatan teknis, maupun dengan pendekatan sosial. Menurut Departemen Kesehatan (1987) pada dasarnya sampah dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori, yaitu : 1. Pemukiman penduduk, 2. Tempat-tempat umum dan tempat perdagangan, 3. Sarana Pelayanan masyarakat milik pemerintah, 4. Industri berat ringan, 5. Pertanian. Sementara menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sumber sampah berasal dari: 1. Daerah pemukiman (Rumah tangga), 2. Daerah komersil (Pasar dan pertokoan), 3. Daerah Industri, 4. Perkantoran, pariwisata, sarana umum, 5. Kandang hewan atau pemotongan hewan, 6. Jalan dan taman. Sumber-sumber sampah biasanya berkaitan erat dengan penggunaan lahan, atau daerah terbangun atau penentuan zona wilayah, sehingga secara umum sumber sampah (Tchobanoglous,1993) berasal dari :
29
1. Perumahan atau rumah tangga. Sampah dari rumah tangga biasanya berasal dari aktivitas, seperti memasak, disebut juga sampah domestik. 2. Daerah komersil. Meliputi sampah yang berasal dari aktifitas perdagangan, seperti toko, restoran, pasar, hotel, pusat pelayanan jasa dan lain-lain. 3. Institusi. Sampah berasal dari sekolah, rumah sakit, pusat-pusat perkantoran dan lainnya. 4. Konstruksi
dan
penghancuran.
Sampah
yang
berasal
dari
aktifitas
pembangunan gedung, perbaikan jalan dan reruntuhan gedung. 5. Aktifitas gedung. Sampah yang berasal dari penyapuan jalan, taman dan pantai, area rekreasi, pembersihan sekolah dan pertamanan. 6. Tempat pengolahan. Sampah berasal dari aktifitas pengolahan air bersih, air buangan dan proses pengolahan dalam industri. 7. Industri. Sampah yang berasal dari proses indistri berat, ringan, proses kimiawi, tenaga listrik, proses pembuatan tekstil, pembongkaran dan proses penyulingan. 8. Pertanian. Menurut Hadiwiyoto (1983), klasifikasi sampah berdasarkan sifatnya dibagi menjadi 2 macam yaitu : 1. Sampah organik, yaitu sampah yang terdiri dari daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur dan buah. Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik yang tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Bahan-bahan ini mudah didegradasi oleh mikrobia. 2. Sampah anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi dan logam-logam lainnya, gelas, mika atau bahan-bahan yang tidak tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah ini tidak dapat terdegradasi oleh mikrobia. Sementara Murthado dan Said (1987) membedakan sampah berdasarkan istilah teknis, yaitu : 1. Sampah yang bersifat semi basah. Golongan ini merupakan bahan-bahan organik, misalnya sampah dapur dan sampah restoran, yang kebanyakan
30
merupakan sisa buangan sayuran dan buah-buahan. Sampah jenis ini bersifat mudah terurai, karena mempunyai ikatan kimiawi yang pendek. 2. Sampah anorganik, yang sukar terurai karena mempunyai rantai ikatan kimia yang panjang, misalnya plastik dan kaca. 3. Sampah berupa abu yang dihasilkan pada proses pembakaran. Secara kuantitatif sampah jenis ini sedikit, tetapi pengaruhnya bagi kesehatan cukup besar. Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus, anjing, ayam dan lain-lain. 4. Sampah jalanan, yakni semua sampah yang dapat dikumpulkan secara penyapuan di jalan-jalan, misalnya daun-daunan, kantung plastik, kertas dan lain-lain. 5. Sampah industri, yakni sampah yang berasal dari kegiatan produksi di industri. Secara kuantitaatif jenis limbah ini banyak, tetapi ragamnya tergantung pada jenis industri tersebut. Jenis dan
sumber sampah
menurut
Widyatmoko
(2002),
dapat
dikelompokan menjadi : 1. Sampah rumah tangga, terdiri dari: a. Sampah basah yaitu sampah yang terdiri bahan-bahan organik yang mudah membusuk yang sebagaian besar adalah sisa makanan, potongan hewan, sayuran dan lain-lain. b. Sampah kering yaitu sampah yang terdiri dari logam seperti besi, kaleng bekas dan sampah kering yang non logam misalnya kertas, kayu, kaca, keramik, batu-batuan dan sisa kain. c. Sampah lembut, misalnya sampah debu yang berasal dari penyapuan lantai, penggergajian kayu dan abu dari sisa pembakaran kayu. d. Sampah besar yaitu sampah yang terdiri dari buangan rumah tangga yang besar-besar seperti meja, kursi dan lain-lain. 2. Sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan komersial pasar, pertokoan, rumah makan, tempat hiburan, penginapan dan lain-lain.
31
3.
Sampah bangunan, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan termasuk pemugaran dan pembongkaran suatu bangunan seperti semen, kayu, batubata dan sebagainya.
4. Sampah Fasilitas umum, yaitu sampah yang berasal dari kegiatan pembersihan dan penyapuan jalan, trotoar, taman, lapangan, tempat rekreasi dan fasilitas umum lainnya. 2.2 Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani sampah sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008, yang dimaksud dengan pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah; pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah. Penanganan sampah meliputi kegiatan : a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir; d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Strategi pelayanan sistem pengelolaan sampah mendahulukan pencapaian keseimbangan pelayanan dilihat dari segi kepentingan sanitasi dan ekonomis, kualitas pelayanan dan kuantitas pelayanan. Dalam menentukan skala kepentingan daerah pelayanan dapat dibagi dalam beberapa kondisi sebagai berikut :
32
1. Wilayah dengan pelayanan intensif adalah daerah jalan protokol, pusat kota, kawasan permukiman tidak teratur dan daerah komersial; 2. Wilayah dengan pelayanan menengah adalah kawasan permukiman teratur; 3. Wilayah dengan daerah pelayanan rendah adalah daerah pinggiran. Untuk menentukan kualitas operasional pelayanan didasarkan pada kriteria tipe kota, sampah terangkut dari lingkungan, frekuensi pelayanan, jenis dan jumlah peralatan, peran aktif masyarakat, retribusi, timbunan sampah. (Departemen Pekerjaan Umum, 2002) Teknis operasional pengelolaan sampah perkotaan terdiri dari kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir harus bersifat terpadu. Skema teknik operasional pengelolaan persampahan dapat dilihat pada Gambar 1. Timbulan Sampah
Pewadahan,Pemilahan dan Pengolahan di Sumber
Pengumpulan
Pemilahan dan Pengolahan
Pemindahan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Gambar 1. Skema Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan Saat ini sistem pengelolaan sampah masih banyak menggunakan paradigma konvensional yang menitikberatkan pada kegiatan ”kumpul – angkut – buang”. Sistem konvensional ini dilaksanakan berpedoman pada Standar Nasional Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Spesifikasi yang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-2454-2002 tentang
33
Tata Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, SNI No. 1939464-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan, Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor S-041993-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia, serta Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang terdiri dari kegiatan: 2.2.1 Pewadahan Pewadahan sampah adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam suatu wadah individual atau komunal di tempat sumber sampah. Dalam operasional pengumpulan sampah, masalah pewadahan memegang peranan yang sangat penting, tempat penyimpanan sampah pada sumber diperlukan untuk mencegah sampah agar jangan berserakan yang akan memberi kesan atau terlihat kotor serta untuk mempermudah proses kegiatan pengumpulan, sampah yang dihasilkan perlu disediakan tempat untuk penyimpanan/penampungan sambil menunggu kegiatan pengumpulan sampah. Dalam melakukan pewadahan harus disesuaikan dengan jenis sampah yang telah terpilah, yaitu : 1) sampah organik seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan dengan wadah warna gelap; 2) sampah anorganik seperti gelas, plastik, logam, dan lainnya, dengan wadah warna terang; 3) sampah bahan berbahaya beracun (B3) rumah tangga dengan warna merah yang diberi lambang khusus atau semua ketentuan yang berlaku (Departemen Pekerjaan Umum, 2002). Dalam menunjang keberhasilan operasi pengumpulan sampah, perlu adanya pewadahan yang sebaiknya dilakukan oleh pemilik rumah. Tempat sampah juga harus direncanakan dengan pertimbangan kemudahan dalam proses pengumpulan, higienis untuk penghasil sampah maupun petugas penumpul, kuat dan relatif lama serta mempertimbangkan segi estetika. Kapasitas pewadahan ini
34
diperhitungkan berdasarkan rata-rata laju timbulan sampah per orang per hari, jumlah anggota keluarga serta frekuensi pengumpulan. Timbulan sampah adalah sampah yang dihasilkan dari sumber sampah. Menurut Departemen Pekerjaan Umum, bila data pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung timbulan sampah dapat digunakan nilai timbulan sebagai berikut : a. Satuan timbulan sampah kota besar : 2- 2,5 liter/orang/hari atau 0,4-0,5 kg/orang/hari b. Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil : 1,5-2 liter/orang/hari atau 1,3 – 1,4 kg/orang/hari. Menurut penelitian Puslitbang Permukiman (Ditjen Cipta Karya, 1991) didapatkan angka-angka laju timbulan sampah sebagai berikut: 1. Kota Kecil • Laju timbulan sampah permukiman 2,0 liter/orang/hari • Persentase total sampah permukiman 75 % – 80 % • Persentase sampah non permukiman 20 % - 25 % 2. Kota Sedang • Laju timbulan sampah permukiman 2,25 liter/orang/hari. • Persentase total sampah permukiman 65 % – 75 %. • Persentase sampah non permukiman 25 % - 35 %. Persyaratan bahan yang digunakan sebagai pewadahan sampah adalah tidak mudah rusak dan kedap air, ekonomis, mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat serta mudah dan cepat dikosongkan (Departemen Pekerjaan Umum, 2002). Sedangkan penentuan ukuran volume ditentukan berdasarkan : 1. Jumlah penghuni tiap rumah; 2. Timbulan sampah; 3. Frekuensi pengambilan sampah. 4. Cara pengambilan sampah. 5. Sistem pelayanan (individual atau komunal) Adapun jenis pewadahan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
35
Tabel 1. Jenis Pewadahan No.
Jenis
Kapasitas
Wadah
(liter)
Pelayanan
Umur
Keterangan
Wadah
1.
Kantong
10 - 40
1 KK
2-3 hari
Individual
2.
Bin
40
1 KK
2-3 tahun
Maksimal Pengambilan 3 hari 1 kali
3.
Bin
120
2-3 KK
2-3 tahun
Toko
4.
Bin
240
4-6 KK
2-3 tahun
-
5.
Kontainer
1.000
80 KK
2-3 tahun
-
6.
Kontainer
500
40 KK
2-3 tahun
komunal
7.
Bin
30-40
Pejalan taman
2-3 tahun
komunal
kaki
Sumber : Departemen PU, 1990
Untuk mencegah sampah berserakan yang akan memberikan kesan kotor serta mempermudah proses kegiatan pengumpulan maka dari sampah yang dihasilkan perlu disediakan tempat untuk penyimpanan/penampungan sambil menunggu kegiatan pengumpulan sampah. Namun pendekatan untuk perwadahan sampah harus mendukung dan sesuai dengan persyaratan sistem pengelolaan sampah di sumbernya, dan sesuai dengan persyaratan sistem pengolahan dan pemanfaatan sampah kota yang direncanakan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam
kegiatan
pewadahan
atau
penampungan
sampah
(Tchobanoglous, 1993) adalah: 1. Jenis sarana pewadahan yang digunakan. 2. Lokasi penempatan sarana pewadahan. 3. Kesehatan dan keindahan lingkungan. 4. Metode pengumpulan yang digunakan 2.2.2 Pengumpulan Pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari sumber atu tempat pewadahan penampungan sampah sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). TPS yang digunakan biasanya kontainer kapasitas 10 m3, 6 m3, 1m3, transper depo, bak pasangan batubata, drum bekas volume 200
36
liter, dan lain-lain. TPS-TPS tersebut penempatannya disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada. Pola pengumpulan sampah terdiri dari : 1. Pola Individual Langsung, adalah cara pengumpulan sampah dari rumahrumah/sumber sampah dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa melalui proses pemindahan. Pola individual langsung dengan persyaratan sebagai berikut: a. Kondisi topografi bergelombang (rata-rata > 5%) sehingga alat pengumpul non mesin sulit beroperasi. b. Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya. c. Kondisi dan jumlah alat memadai. d. Jumlah timbulan sampah > 0,3 m3/hari 2. Pola Individual Tak Langsung, adalah cara pengumpulan sampah dari masingmasing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan (menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir. Dengan persyaratan sebagai berikut: a. Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya rendah. b. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. c. Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung. d. Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%). e. Kondisi lebar jalan dapat dilalui alat pengumpul. f. Organisasi pengelola harus siap dengan sistem pengendalian. 3. Pola Komunal Langsung, adalah cara pengumpulan sampah dari masingmasing titik wadah komunal dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhir, dengan persyaratan sebagai berikut: a. Bila alat angkut terbatas b. Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah. c. Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-sumber sampah. d. Peran serta masyarakat tinggi. e. Wadah komunal mudah dijangkau alat pengangkut.
37
f. Untuk permukiman tidak teratur. 4. Pola Komunal Tak Langsung, adalah cara pengumpulan sampah dari masingmasing titik wadah komunal dibawa ke lokasi pemindahan (menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir, dengan persyaratan sebagai berikut : a. Peran serta masyarakat tinggi. b. Penempatan wadah komunal mudah dicapai alat pengumpul. c. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. d. Bagi kondisi topografi relatif datar (< 5%), dapat menggunakan alat pengumpul non mesin (gerobak, becak), bagi kondisi topografi > 5 % dapat menggunakan cara lain seperti pikulan, kontainer kecil beroda dan karung. e. Lebar jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul. f.
Organisasi pengelola harus ada Tata cara operasional pengumpulan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut : 1) Rotasi 1-4 rit/hari. 2) Periodisasi 1 hari, 2 hari atau maksimal 3 hari tergantung kondisi komposisi sampah, yaitu : (1) semakin besar prosentasi sampah organik periodisasi pelayanan maksimal sehari 1kali; (2) untuk sampah kering, periode pengumpulannya di sesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan, dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali; (3) untuk sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku; (4) mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap; (5) mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan dipindahkan secara periodik; (6) pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh dan kondisi daerah. Pelaksanaan pengumpulan sampah dapat dilaksanakan oleh institusi kebersihan kota, lembaga swadaya masyarakat, swasta, masyarakat ( RT/RW ).
38
Jenis sampah yang terpilah dan bernilai ekonomi dapat dikumpulkan oleh pihak yang berwenang pada waktu yang telah disepakati bersama antara petugas pengumpul dan masyarakat penghasil sampah. 2.2.3 Pemindahan Pemindahan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk di bawa ke tempat pembuangan akhir (Departemen Pekerjaan Umum, 2002). Operasi pemindahan dan pengangkutan menjadi diperlukan apabila jarak angkut ke pusat pemrosesan/TPA sangat jauh sehingga pengangkutan langsung dari sumber ke TPA dinilai tidak ekonomis. Hal tersebut juga menjadi penting bila tempat pemrosesan berada di tempat yang jauh dan tidak dapat dijangkau langsung. Tempat penampungan/pembuangan sementara (TPS) merupakan istilah yang lebih popular bagi sarana pemindahan dibandingkan dengan istilah transfer depo. Persyaratan TPS/transfer depo yang ramah lingkungan adalah : a. Bentuk fisiknya tertutup dan terawat. b.TPS dapat berupa pool gerobak atau pool kontainer. c. Sampah tidak berserakan dan bertumpuk diluar TPS/kontainer Tipe pemindahan sampah menggunakan tranfer depo antara lain menggunakan Tranfer tipe I dengan luas lebih dari 200 m2 yang merupakan tempat peralatan pengumpul dan pengangkutan sebelum pemindahan serta sebagai kantor dan bengkel sederhana, tranfer tipe II dengan
luas 60-200 m2 yang
merupakan tempat pertemuan peralatan pengumpul dan pengangkutan sebelum tempat pemindahan dan merupakan tempat parkir gerobak atau becak sampah. Transfer tipe III dengan luas 10-20 m2 yang merupakan
tempat pertemuan
3
gerobak dan kontainer (6-10 m ) serta merupakan lokasi penempatan kontainer komunal (1–10 m3) 2.2.4 Pengangkutan Pengangkutan sampah adalah tahap membawa sampah dari lokasi pemindahan atau langsung dari sumber sampah menuju ke tempat pembuangan akhir.
39
Untuk mengangkut sampah dari tempat penampungan sementara (TPS) ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA), digunakan truk jenis Dump Truck, Arm Roll Truck, dan jenis Compactor Truck Jenis dan karakter alat angkut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Jenis Dan Karakteristik Alat Pengangkut Jenis Kendaraan
Kapasitas
Kekurangan
Truk bak terbuka (kayu)
8 m3 10 m3 12 m3
- Tenaga kerja banyak - Perlu penutup bak - Operasinya lambat
Dump Truck
6 M3 8 m3 10 m3
- Tenaga kerja banyak - Perlu penutup bak - Biaya O&M relatif Tinggi
Armroll Truck Container
5 m3 7 m3 8 m3
- Mahal - Butuh container - Biaya O&M tinggi
Kebaikan
Catatan
- Biaya O&M Tidak rendah dianjurkan - Cocok sistem door to door - Umur produksi 5 tahun - 2 – 3 rit/hari - Bisa door to door Kurang - Mobilitas tinggi, dianjurkan 2-3 rit/hari - Umur 5 – 7 tahun - Cepat operasi pembongkaran - Mobilitas tinggi - Cocok untuk - Cocok untuk lokasi sampah permukiman dan yang banyak pasar - Dianjurkan. - Tenaga kerja sedikit - Umur 5 tahun - 4-5 rit/hari
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum, 2002
Pola pengangkutan adalah sebagai berikut: 1) Pengangkutan sampah dengai sistem pengumpulan individual langsung (door to door), yaitu : a) truk pengangkut sampah dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk mengambil sampah; b) selanjutnya mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya sampai truk penuh sesuai dengan kapasitasnya; c) selanjutnya diangkut ke TPA sampah ; d) setelah pengosongan di TPA, truk menuju ke lokasi sumber sampah berikutnya, sampai terpenuhi ritasi yang telah ditetapkan. 2) Pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo tipe I dan II dilakukan dengan cara sebagai berikut :
40
a) kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju lokasi pemindahan di transfer depo untuk mengangkut sampah ke TPA; b) dari TPA kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengambilan pada rit berikutnya; 3) Pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III), pola pengangkutan adalah sebagai berikut (1) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 1, dengan proses : a) kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke TPA; b) kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula; c) menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke TPA; d) kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula; e) demikian seterusnya sampai rit terakhir. (2) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 2, dilakukan sebagai berikut : a) kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkat sampah ke TPA; b) dari TPA kendaraan tersebut dengan kontainer kosong menuju lokasi ke dua untuk menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke TPA; c) demikian seterusnya sampai pada rit terakhir; d) pada rit terakhir dcngan kontainer kosong, dari TPA menuju ke lokasi kontainer pertama, kemudian truk kembali ke pool tanpa Kontainer. (3) Pengangkutan sampah dengan sistem pengosongan kontainer cara 3, denga proses a) kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kososng menuju ke lokasi kontainer isi untuk mengganti /mengambil dan langsung rnembawanya ke TPA; b) kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju ke kontainer isi berikutnya;
41
c) demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir. (4) Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap biasanya untuk kontainer kecil serta alat angkut berupa truk pemadat atau dump truk atau truk biasa, dengan proses a) kendaran dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk kompaktor dan meletakkan kembali kontainer yang kosong; b) kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh, untuk kemudian langsung ke TPA; c) demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir. Frekuensi pengangkutan perlu ditetapkan dengan teratur, disamping untuk memberikan gambaran kualitas pelayanan, juga untuk menetapkan jumlah kebutuhan tenaga dan peralatan, sehingga biaya operasi dapat diperkirakan. Frekuensi pelayanan yang teratur akan memudahkan bagi para petugas untuk melaksanakan kegiatannya. Frekuensi pelayanan dapat dilakukan 3 hari sekali atau maksimal 2 kali seminggu. Meskipun pelayanan yang lebih sering dilakukan adalah baik, namun biaya operasional akan menjadi lebih tinggi sehingga frekuensi pelayanan harus diambil yang optimum dengan memperhatikan kemampuan memberikan pelayanan, jumlah volume sampah, dan komposisi sampah (Irman, 2002). Perencanaan frekuensi pengangkutan sampah dapat bervariasi tergantung kebutuhan misalnya satu sampai dua hari sekali dan maksimal tiga hari sekali, tergantung dari komposisi sampah yang dihasilkan dimana semakin besar prosentase sampah organik semakin kecil periodesasi pengangkutan. Hal ini dikarenakan sampah organik lebih cepat membusuk sehingga dapat menimbulkan gangguan lingkungan di sekitar TPS. Makin sering frekuensi pengangkutan maka semakin baik, namun biasanya biaya operasinya akan lebih mahal. Penentuan frekuensi pengangkutan juga akan bergantung dari jumlah timbulan sampah dengan kapasitas truk pengangkut yang melayani (Tchobanoglous,1993). Setiap 2.000 rumah dibutuhkan alat pengumpul yang berupa gerobak sampah atau becak sampah sebanyak 16 buah, 1 truk sampah atau arm roll truck dengan 3 kontainer sebanyak 1 unit, kebutuhan transfer depo sebanyak 1 unit.
42
2.2.5 Pembuangan Akhir Prinsip dari pembuangan akhir sampah adalah untuk memusnahkan sampah di suatu lokasi pembuangan akhir dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya setelah dilakukan pengolahan. Teknik-teknik pengolahan sampah dapat berupa : 1) pengomposan : a) berdasarkan kapasitas ( individual, komunal, skala lingkungan) b) berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikro organisme tambahan ) 2) insenerasi atau pembakaran sampah yang berwawasan lingkungan 3) daur ulang a) sampah an organik disesuaikan dengan jenis sampah b) menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak; 4) pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan; 5) biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah). Sistem pembuangan akhir sampah yang selama ini diterapkan pada sebagian besar lokasi TPA di Indonesia adalah sistem landfill, diantaranya : 1. Pembuangan akhir sampah dengan sistem open dumping (pembuangan terbuka) Sistem ini merupakan cara pembuangan yang paling sederhana karena sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi dan dibiarkan terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi penuh. Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya seperti: • Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus dan sebagainya; • Pencemaran polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan; • Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul; • Berpotensi terjadinya bahaya kebakaran yang sulit dipadamkan; • Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor. 2. Metode controlled landfill (penimbunan terkendali) adalah sistem open dumping yang diperbaiki atau ditingkatkan. Pada cara ini setelah TPA penuh
43
dengan timbunan sampah dilakukan penutupan dengan tanah. Memang sepanjang belum dilakukan penutupan dengan tanah kondisinya mirip dengan sistem open dumping. 3. Metode sanitary landfill ( lahan urug saniter) Sistem ini merupakan metode standar yang dipakai secara internasional dimana penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setiap hari akhir operasi sehingga setelah operasi berakhir tidak akan terlihat adanya timbunan sampah. Pada sistem ini, sampah diratakan pada permukaan yang cekung. Pada dasar dari konstruksi sanitary landfill dilapisi menggunakan suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyimpan air lindi yang terbentuk dari proses penguraian sampah organik yang ditimbun. 4. Pembakaran (incenerator) merupakan metode pengolahan sampah secara kimiawi dengan proses oksidasi (pembakaran) dengan maksud stabilisasi dan reduksi volume dan berat sampah. 2.3 Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan jauh lebih sukar didefinisikan, dijabarkan dan diukur bila dibandingkan dengan kualitas barang. Bila ukuran kualitas dan pengendalian kualitas telah lama eksis untuk barang-barang berwujud, maka untuk pelayanan, berbagai upaya sedang dikembangkan untuk merumuskan ukuran-ukuran semacam itu. Pada dasarnya, definisi kualitas pelayanan terfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Lovelock (1994) kualitas pelayanan merupakan tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersenbut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Parasuraman dalam Ekaningtiyas (2009) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah layanan yang diharapkan dan layanan yang dipersepsikan, sehingga implikasi baik buruknya layanan tergantung pada kemampuan penyediaan layanan memenuhi harapan pelanggannya secara konsisiten.
44
Terbentuknya harapan atas layanan dari para pelanggan dipengaruhi oleh berbagai kegiatan marketing seperti iklan, penjualan, harga, tradisi maupun adanya kontak konsumen dengan penyediaan layanan sebelumnya. Sementara layanan yang diterima dipengaruhi oleh kontak antar personel dengan penyediaan layanan, fasilitas fisik, prosedur yang merupakan bagian dari sistem layanan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lovelock (1994) bahwa pelayanan pelanggan dapat diartikan sebagai suatu sistem manajemen, diorganisir untuk menyediakan hubungan pelayanan yang berkesinambungan antara waktu pemesanan dan waktu barang atau pelayanan yang diterima dan digunakan dengan tujuan memuaskan pelanggan dalan jangka panjang. Menurut Goetsch dan Davis yang dikutip oleh Tjiptono (1996) mendefiniskan kualitas secara lebih luas cakupannya yaitu : kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Selanjutnya Triguno (1997) mengartikan kualitas sebagai standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat. 2.4 Pelayanan Publik Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering disebut sebagai “Pelayan Masyarakat” (public service). Kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi) dan dilakukan secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995) bahwa hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan. Menurut Koetler dalam Lukman (2000), pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
45
Selanjutnya Lukman berpendapat bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain dan menyediakan kepuasan pelanggan. Istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Syafiie (1999) mendefinisikan publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Dari sisi
pemerintahan maka pelayanan adalah proses kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat berkenaan dengan hak-hak dasar dan hak pemberian, yang wujudnya dapat berupa jasa dan layanan. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa pelayanan publik adalah rangkaian atau kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Menurut Kurniawan dalam Sinambela (2008) pelayanan publik diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Bagi pemerintah, masalah pelayanan menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan. Pelayanan publik juga diartikan sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara (Sinambela, 2008). Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan disini bukanlah kebutuhan secara individual tetapi berbagai kebutuhan yang
46
sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, kebersihan dan lain-lain. 2.5 Kajian Terdahulu Muthmainah (2008) telah melakukan penelitian yang berjudul “ Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tersebut adalah : 1. Kegiatan pengomposan, pengarangan dan pemanfaatan bahan dauran oleh pengusaha kompos dan pemulung secara ekonomi menguntungkan. 2. Kelembagaan pengelolaan sampah di TPA Galuga secara keseluruhan tidak berjalan optimal karena tidak ada kerjasama antara pemerintah dengan pemulung dan masyarakat sekitar tetapi hanya bermitra dengan pengusaha kompos. Terdapat persamaan dan perbedaan antara kajian yang akan dilakukan oleh penulis dengan kajian terdahulu. Persamaan kajian penulis dengan kajian Muthmainah adalah keduanya melakukan penelitian mengenai pengelolaan sampah. Sedangkan perbedaannya adalah Muthmainah melakukan kajian pada kelembagaan pengelolaan sampah khusus di TPA Galuga dan pelayanan persampahan ynag dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Lingkungan Kota Bogor, sedangkan penulis melakukan kajian pengelolaan sampah perumahan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor.
47
BAB III METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan semakin terasa dampaknya terhadap lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan secara terus menerus menyudutkan masyarakat pada permasalahan degradasi lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang berkaitan erat dengan pelayanan publik di wilayah perkotaan adalah pengelolaan sampah. Sampah sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sejak manusia dilahirkan akan memproduksi sampah sebagai sisa kegiatan atau aktifitas kehidupannya. Pada dasarnya apa yang dilakukan manusia adalah memanfaatkan
sumberdaya
alam
yang
berasal
dari
lingkungan,
serta
mengembalikan hasil aktifitas berupa buangan (sampah) kembali ke lingkungan. Apabila sampah tidak tertangani dengan baik selain merusak keindahan dan menimbulkan pencemaran lingkungan juga dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat.Volume sampah yang terus meningkat akan menghadapkan pada permasalahan kebutuhan lahan pembuangan sampah, serta semakin tingginya biaya pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah, terutama di kawasan perkotaan, dewasa ini dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahanpermasalahan tersebut meliputi tingginya laju timbulan sampah, kepedulian masyarakat yang masih sangat rendah serta masalah pada kegiatan pembuangan akhir sampah yang selalu menimbulkan permasalahan tersendiri. Kemampuan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam menangani sampah baru sekitar 24,17 % atau sekitar 736 M3 dari volume sampah setiap hari yang mencapai sekitar ±3.065M3 pada daerah pelayanan. Apabila timbunan sampah dihitung berdasarkan hasil studi Handoyo, 1993 sebesar 2-3 liter per hari, maka minimal volume timbunan sampah di Kabupaten Bogor yang memliki jumlah penduduk sebanyak 4.477.296 jiwa adalah sebesar 8.955 M3
48
Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka pemikiran kajian ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut : • Pencemaran lingkungan • Timbulan sampah • Cakupan pelayanan yang rendah
Pelaksanaan Pengelolaan Sampah perumahan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Pertumbuhan penduduk dan aktifitasnya
Persepsi masyarakat dalam pelayanan persampahan perumahan
AHP Strategi Peningkatan Cakupan Pelayanan Pengelolaan Sampah
• Alternatif Kebijakan • Prioritas Langkah Strategis/Program • Perancangan Program
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Kajian
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian Kajian dilaksanakan di UPT Kebersihan dan Sanitasi I Wilayah Cibinong khususnya di Kecamatan Bojonggede dan Sukaraja. Wilayah Cibinong dipilih sebagai lokasi kajian karena termasuk wilayah perkotaan sehingga jenis dan variasi sampah lebih beragam dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain itu termasuk daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dibanding daerah lain. Kajian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu September sampai November 2010. Adapun Tujuan, Data, Metode dan Output Penelitian disajikan pada Tabel 3 berikut ini.
49
Tabel 3. Tujuan, Data, Metode dan Output Penelitian Tujuan Kajian
Data Jenis
Mengevaluasi pelaksanaan dan mutu pelayanan pengelolaan sampah perumahan di Kabupaten Bogor Menganalisa persepsi masyarakat mengenai pelayanan persampahan perumahan Merumuskan strategi peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor.
Metode Analisis
Output
Sumber Analisis Deskriptif dengan menggunakan ketentuan/ kriteria menurut Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001
Data sekunder
RPJMD Kabupaten Bogor, LKPJ
Data primer
Responden (60 Pengukuran Rumah Tangga Indeks Persepsi Perumahan) Masyarakat dengan kuesioner
Data primer
Responden (6 AHP orang dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup serta ketua RW)
Teridentifikasi pelaksanaan pelayanan pengelolaan sampah perumahan
Teridentifikasi persepsi masyarakat mengenai pelayanan persampahan perumahan Dapat dirumuskan strategi peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor.
3.3 Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer digunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung pada sasaran penelitian dengan menyediakan suatu daftar pertanyaan terstruktur dalam bentuk kuesioner. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait antara lain Badan Pusat Statistik, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor berupa dokumen-dokumen kebijakan, publikasi hasil penelitian dan berbagai referensi yang terkait dengan penelitian ini.
50
3.4 Metode Penentuan Sampel Metode penentuan sample menggunakan teknik purposive sampling atau ditentukan secara sengaja. Untuk mencapai tujuan spesifik yang kedua, sampel berjumlah 60 rumah tangga perumahan yang sudah mendapat pelayanan kebersihan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, yang terdiri dari 30 sampel di perumahan Cimandala Permai Kecamatan Sukaraja dan 30 sampel perumahan Puspa Raya di Kecamatan Bojonggede 3.5 Metode Analisis Data 3.5.1 Metode Analisis Deskriptif Analisis data penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan spesifik pertama yang telah ditetapkan adalah dengan analisis deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan kondisikondisi yang sekarang ini terjadi (Mardalis, 2004). Untuk mencapai tujuan yang pertama digunakan juga dasar pengukuran berdasarkan standar yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku. Adapun standar pelayanan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Peraturan/Kebijakan Pengukuran Pelayanan No 1
Nama Peraturan/Kebijakan
yang
Digunakan
Sebagai
Standar
Standar yang ditetapkan
Keputusan Menteri Permukiman 1. Permukiman dengan kepadatan 100 dan Prasarana Wilayah No. jiwa/ha memerlukan tingkat pelayanan 100 534/KPTS/M/2001 tentang Standar % dari produksi sampah Pelayanan Minimal untuk Permukiman 2. Permukiman dengan kepadatan di bawah 100 jiwa/ha diperlukan tingkat pelayanan 50-80 %. 3. Setiap 1000 penduduk diperlukan 1 gerobak sampah ukuran 1 M3 4. 1 unit dump truck per 10.000 penduduk
2
Standar Departemen Pekerjaan 1. Tenaga pengangkut sampah untuk setiap Umum Nomor T-12-1991-03 2000 rumah adalah sebanyak 8 orang. tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman 2. Tenaga Administrasi untuk setiap 2000 rumah sebanyak 8 orang
51
3.5.2 Metode Analisis Indeks Persepsi Masyarakat Analisis data yang digunakan untuk mencapai tujuan spesifik kedua adalah menggunakan pengukuran indeks persepsi masyarakat yang disesuaikan dengan penelitian ini. Sebelum dilakukan pengukuran indeks, setiap pilihan jawaban diberi skor atau kode angka sehingga jawaban dapat dinilai secara kuantitatif. Nilai indeks dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang masingmasing pertanyaan. Dalam penelitian ini diberikan 6 pertanyaan untuk menilai pelayanan persampahan, setiap pertanyaan mempunyai nilai penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut : Bobot nilai rata-rata tertimbang = Jumlah Bobot Jumlah Pertanyaan Untuk memperoleh nilai rata-rata jawaban digunakan pendekatan nilai rata-rata penimbang dengan rumus sebagai berikut : Nilai rata-rata jawaban =
Total Nilai Jawaban Total Jawaban Terisi
Untuk mendapatkan nilai rata-rata tertimbang setiap jawaban maka nilai rata-rata setiap jawaban dikalikan nilai bobot rata-rata tertimbang. Untuk mendapatkan nilai indeks jawaban maka dijumlahkan seluruh nilai rata-rata tertimbang jawaban. Untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian indeks jawaban, maka dibuat penilaian antara 50-100, sehingga indeks jawaban tersebut dikonversikan dengan nilai dasar 50, dengan rumus sebagai berikut : Nilai indeks jawaban X 50. Setelah dikonversikan apabila hasil nilainya antara 50 – 75 maka pelayanan kurang baik sedangkan bila nilainya 76-100 maka pelayanan sudah baik. 3.5.3 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Perumusan strategi kebijakan dan perancangan program peningkatan pelayanan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kabupaten Bogor dalam pengelolaan sampah perumahan dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), yaitu metode yang digunakan untuk mengambil keputusan yang kompleks dengan meyederhanakan serta mempercepat proses
52
pengambilan keputusan dan memecahkan persolan tersebut kedalam unsurunsurnya melalui pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan dengan permasalahan tertentu dan menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisa perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria. Responden dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja sebanyak enam orang sebagai pihak pemegang kebijakan dan/atau memahami mengenai permasalahan persampahan di Kabupaten Bogor yang terdiri dari dua orang eselon II dan III yang berasal dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, dua orang eselon III dan IV dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, satu orang eselon III dari Badan Lingkungan Hidup dan satu orang masyarakat yaitu ketua RW 9 Perumahan Puspa Raya sebagai pengguna layanan dan juga ketua kelompok 3R di perumahan Puspa Raya. Metoda AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain : 1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan; 2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah terletak pada bentuknya yang terlihat sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992). Menurut Saaty dalam Falatehan (2009), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu : 1. Prinsip menyusun hirarki Pinsip ini menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah persoalan menjadi unsur yang terpisah. Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen-elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang akan diambil. Proses
53
penyusunan elemen-elemen secara hirarki meliputi pengelompokan elemenelemen dalam komponen yang sifatnya homogen dan menyusun komponenkomponen tersebut dalm level hirarki yang tepat. Secara umum hirarki dapat dibagi dua jenis (Permadi, 1992), yaitu hirarki struktural dan fungsional. Pada hirarki struktural, sistem yang kompleks disusun dalm komponen-komponen pokoknya dalam urutan menurun berdasarkan sifat strukturalnya. Sedangkan suatu hirarki fungsional, suatu sistem yang kompleks dipecah menjadi bagianbagian yang menjadi beberapa elemen pokoknya menurut hubungan esensial yang sama. 2. Prinsip menetapkan prioritas; Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemenelemen menurut relatif pentingnya. 3. Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Nilai rasio konsitensi paling tinggi adalah 10 %, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Adapun langkah-langkah dalam metode AHP yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan. Permasalahan yang akan dipecahkan adalah merumuskan strategi peningkatan cakupan pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam pengelolaan sampah perumahan di Kabupaten Bogor dengan demikian diperlukan langkahlangkah strategis dalam rangka merumuskan kebijakan tersebut. b) Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Berdasarkan Permadi (1992), proses penyusunan hirarki lebih bersifat seni daripada ilmu pengetahuan, maka tidak ada bentuk yang baku untuk memecahkan suatu kasus. Biasanya pembuatan hirarki melihat pada contoh hirarki yang sudah pernah dibuat untuk menyelesaikan suatu kasus, kemudian
54
dengan berbagai modifikasi dibuat hirarki sendiri untuk memecahkan kasusnya. c) Penentuan prioritas Dalam menetapkan prioritas, langkah pertama yang dilakukan adalah membuat perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka-angka (kuantitatif). Menurut Saaty, untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat. Nilai, definisi dan penjelasan pendapat kualitatif dalam skala perbandingan ada pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas Definisi Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
5
7
9
2,4,6,8
Penjelasan
Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting daripada elemen yang sedikit menyokong satu elemen lainnya atas elemen yang lain Elemen yang satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan daripada yang lainnya dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain Satu elemen jelas lebih mutlak Satu elemen dengan kuat disokong penting daripada elemen lainnya dan dominannya telah terlihat dalam praktek Satu elemen mutlak penting Bukti yang menyokong elemen daripada elemen lainnya yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara dua nilai Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan-pertimbangan yang pertimbangan berdekatan
Sumber : Saaty (1993) Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria
55
kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. d) Menghitung Matriks Pendapat Individu Melalui penyebaran kuisioner terhadap stakeholder, maka terkumpul semua pertimbangan dari hasil perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah c. Selanjutnya adalah menghitung semua pertimbangan yang didapat dari setiap individu. Prinsip penilaian AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel aij mempunyai mempunyai karakteristik sedemikian sehingga; aij = 1/ aji
atau
aij
X
aji
=
1
Formulasi Matriks Pendapat Individu adalah sebagai berikut :
A=
C1
C2
.........
Cn
C1
1
a12
.........
a1n
C2
1/ a12
1
.........
a2n
......
.......
........
1
......
Cn
1/ a1n
1/ a2n
.......
1
Dalam hal ini C1, C2, ......., Cn adalah set elemen pada suatu tingkat keputusan dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. e) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Karena jumlah responden tidak hanya satu orang maka disusun matriks pendapat gabungan yang dapat mewakili pertimbangan keseluruhan responden. Tujuan dari penghitungan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang nilai rasio konsitensinya memenuhi syarat (Faletehan, 2009). Metode yang digunakan dapat berupa rata-rata hitung atau rata-rata ukur (rata-rata geometrik). Dalam kajian ini metode menghitung matrik pendapat gabungan yang dipakai adalah rata-rata geometrik dengan asumsi peran setiap responden sama. Rata-rata ini menyatakan akar pangkat n dari hasil perkalian bilangan sebanyak n. Kelebihan metode rata-rata ini selain cocok untuk bilangan rasio
56
atau perbandingan juga mampu mengurangi gangguan yang ditimbulkan salah satu bilangan yang terlalu besar atau terlalu kecil (Permadi, 1992). Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata geometrik adalah sebagai berikut : aw =
n
a1 x a 2 x a3 x .... x a n
aw = Penilaian gabungan pada elemen w ai = Penilaian elemen w oleh responden ke-i (dalam skala 1/9 – 9) n = Banyaknya Responden Selanjutnya dengan menggunakan perangkatlunak Expert Choice 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc, nilai gabungan pada masing-masing elemen dimasukkan kembali pada matriks perbandingan berpasangan sehingga diperoleh nilai bobot prioritas (local) dari masing-masing elemen dalam suatu tingkat hirarki. f) Sintesis Untuk memperoleh peringkat prioritas menyeluruh bagi suatu persoalan keputusan, maka dilakukan sintesis pertimbangan sebagaimana yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan suatu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. g) Konsistensi logis Nilai-nilai perbandingan berpasangan yang dilakukan harus diperiksa konsistensinya, misalnya bila dalam melakukan perbandingan kita menilai A>B dan B>C, maka secara logis seharusnya A>C. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan
di
dunia
nyata.
Evaluasi
konsistensi
dilakukan
dengan
mempertimbangkan nilai rasio konsistensi atau consistency rasio (CR). Penilaian dapat dikatakan konsisten apabila diperoleh nilai rasio konsistensi yang lebih kecil atau sama dengan 10 persen (0,10). Bila lebih besar dari 10 persen maka mengindikasikan perlu adanya pemeriksaan kembali terhadap pertimbangan yang telah dibuat.
57
BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.838,304 Ha, dan secara geografis terletak antara 6° 19’ - 6° 47’ Lintang Selatan dan 106° 1’ - 107° 103’ Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara, kemudian dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta di tengah-tengah terletak Kota Bogor. Topografi wilayah Kabupaten Bogor sangat bervariasi, yaitu berupa daerah pegunungan di bagian Selatan, hingga daerah dataran rendah di sebelah Utara. Keberadaan sungai-sungai di wilayah Kabupaten Bogor posisinya membentang dan mengalir dari daerah pegunungan di bagian Selatan ke arah Utara. Di wilayah Kabupaten Bogor terdapat 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, Sub DAS Kali Bekasi serta Sub DAS Cipamingkis dan Cibeet. Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis yaitu sebagai sumber air untuk irigasi, rumah tangga dan industri serta berfungsi sebagai drainase utama wilayah. Disamping itu, di Kabupaten Bogor terdapat 94 danau atau situ dengan luas total 496,28 Ha serta 63 mata air. Situ-situ dimaksud berfungsi sebagai reservoir atau tempat peresapan air dan beberapa diantaranya dimanfaatkan sebagai obyek wisata atau tempat rekreasi dan budidaya perikanan. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri atas 428 Desa/Kelurahan, yang terdiri dari 411 desa, 17 kelurahan, 3639 RW, 14.403 RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan. Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) Kecamatan di tahun 2005,
58
yaitu dengan membentuk Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada tingkatan desa, telah dibentuk pula sebuah desa baru pada akhir tahun 2006, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug pada Kecamatan Jasinga. Sementara itu, pada sisi lain dilakukan juga perubahan status desa menjadi kelurahan, yaitu dari Desa Atang Senjaya menjadi Kelurahan Atang Senjaya, Kecamatan Kemang pada tahun 2003, kemudian pada tahun 2004, yakni dari Desa Padasuka menjadi Kelurahan Padasuka Kecamatan Ciomas, sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 428 desa/kelurahan.
4.2 Gambaran Umum Kependudukan Kabupaten Bogor Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2007 telah mencapai 4.251.838 jiwa atau sekitar 10,32% dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat dan menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung bilamana dilihat dari jumlah penduduk di seluruh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat. Sementara itu, penduduk di Kabupaten Bogor menunjukkan sebaran yang belum merata, dimana konsentrasi penduduk terpadat cenderung berada di wilayah perkotaan dan di kawasan industri seperti di ibukota Cibinong (274.111 jiwa), Kecamatan Bojonggede (205.568 jiwa), Kecamatan Cileungsi (202.964 jiwa), Kecamatan Gunung Putri (225.780 jiwa), Kecamatan Ciomas (129.565 jiwa) dan Kecamatan Citeureup (170.123 jiwa), sedangkan penduduk dengan konsentrasi rendah berada di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Sukajaya, Cigudeg, Sukamakmur, Cariu dan Kecamatan Tanjungsari. Sejalan dengan kondisi sebaran penduduk itu, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 14,18 jiwa/Ha, dengan kepadatan terendah di kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 3,06 jiwa/Ha, dan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 78,60 jiwa/Ha di kecamatan Ciomas. Tampak dari data ini bahwa pada wilayah perkotaan tingkat kepadatannya lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan, terutama yang berbatasan langsung dengan Kota Depok dan Kota
59
Bogor. Daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang cukup padat tersebut maka akan memberi tekanan kepada lingkungan. Jumlah rumah tangga yang bermukim di wilayah Kabupaten Bogor adalah sebanyak 1.024.944 KK, dan selanjutnya dengan memperhatikan jumlah total penduduk di atas, maka dapat dihitung bahwa jumlah anggota rumah tangga di masing-masing
keluarga
rata-rata
sekitar
4-5
jiwa/kk.
Kondisi
ini
mengindikasikan bahwa keluarga di Kabupaten Bogor pada umumnya masih menganut konsep keluarga inti (nuclear family) atau konsep keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak sebanyak 2-3 orang.
4.3 Perangkat Daerah Pengelola Pelayanan Sampah Penanganan masalah sampah di Wilayah Kabupaten Bogor berada di bawah tanggung jawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dinas Daerah. Sebelum dibentuknya Dinas Kebersihan dan Pertamanan, untuk pengelolaan sampah menjadi tugas dari Dinas Cipta Karya di bawah Bidang Kebersihan Lingkungan. Untuk pengelolaan sampah pasar diserahkan dan menjadi tanggung jawab PD Pasar Tohaga sejak Bulan Mei 2007. Pengelolaan sampah yang menjadi obyek kajian ini adalah yang berada di bawah tanggung jawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi sampah yang berasal dari perumahan, industri, rumah makan, sekolah, hotel, perkantoran dan rumah sakit. Dinas Kebersihan dan pertamanan merupakan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana penyelenggaraan pemerintahan daerah, dipimpin oleh Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. Kepala Dinas dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 1 (satu) Sekretariat, 3 (tiga) Sub Bag, 4 (empat) Bidang, 8 (delapan) Seksi dan 5 (lima) Unit Pelaksana Teknis Kebersihan dan Sanitasi. Susunan organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebagai berikut : a. Kepala Dinas; b. Sekretariat, membawahi :
60
1. Sub Bagian Program dan pelaporan; 2. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; dan 3. Sub Bagian Keuangan; c. Bidang Sanitasi Lingkungan, membawahi : 1. Seksi Saniatasi Air Limbah; dan 2. Seksi Sanitasi Air Bersih; d. Bidang Kebersihan Lingkungan, membawahi : 1. Seksi Pelayanan Kebersihan; dan 2. Seksi Pengelolaan Sampah; e. Bidang Reklame, membawahi : 1. Seksi Pengendalian Reklame; dan 2. Seksi Pendataan Reklame; f. Bidang Pertamanan dan Pemakaman, membawahi : 1. Seksi Pengelolaan Pertamanan; dan 2. Seksi Pengelolaan Pemakaman; g. Unit Pelaksana Teknis h. Kelompok Jabatan fungsional Secara lengkap Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor disajikan dalam gambar 3 berikut ini.
61
KEPALA DINAS
SEKRETARIS
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
SUB BAG PROGRAM DAN PELAPORAN
SUB BAG UMUM DAN KEPEGAWAIAN
SUB BAG KEUANGAN
BIDANG SANITASI LINGKUNGAN
BIDANG KEBERSIHAN LINGKUNGAN
BIDANG REKLAME
BIDANG PERTAMANAN DAN PEMAKAMAN
SEKSI SANITASI AIR LIMBAH
SEKSI PELAYANAN KEBERSIHAN
SEKSI PENGENDALIAN REKLAME
SEKSI PENGELOLAAN PERTAMANAN
SEKSI SANITASI AIR BERSIH
SEKSI PENGELOLAAN SAMPAH
SEKSI PENDATAAN REKLAME
SEKSI PENGELOLAAN PEMAKAMAN
UPT
Gambar 3. Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Tugas dan Fungsi Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah : 1. Dinas Kebersihan dan Pertamanan mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi di bidang kebersihan, pertamanan dan pemakaman serta tugas pembantuan, dan mempunyai fungsi, sebagai berikut : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang kebersihan, pertamanan dan pemakaman; b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang
kebersihan, pertamanan, dan pemakaman;
62
c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kebersihan, pertamanan, dan
pemakaman; dan d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas. 2. Sekretariat mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan pengelolaan ketatausahaan Dinas dan mempunyai fungsi : a. Pengkoordinasian penyusunan program Dinas; b. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data Dinas; c. Pengelolaan administrasi umum dan kepegawaian; d. Pengelolaan administrasi keuangan; e. Pengelolaan situs web Dinas; dan f. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan penyusunan pelaporan kinerja badan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh : a. Sub Bagian Program dan Pelaporan; b. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; dan c. Sub Bagian Keuangan.
Masing-masing Sub Bagian sebagaimana tersebut di atas dipimpin oleh Kepala Sub Bagian dan bertanggung jawab kepada Sekretaris.
3. Bidang Sanitasi Lingkungan mempunyai
tugas membantu Kepala Dinas
dalam melaksanakan pengelolaan sanitais lingkungan dan mempunyai fungsi : a. Pengelolaan sanitasi air limbah; b. Pengelolaan sanitasi air bersih. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas Bidang Sanitasi Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Bidang dan dibantu oleh : a. Seksi Sanitasi Air Limbah; dan
63
b. Seksi Sanitasi Air Bersih. Masing-masing Seksi sebagaimana tersebut di atas dipimpin oleh Kepala Seksi dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Sanitasi Lingkungan. 4. Bidang Kebersihan Lingkungan mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan pengelolaan kebersihan lingkungan dan persampahan, dan mempunyai fungsí : a. Pengelolaan pelayanan kebersihan; dan b. Pengelolaan persampahan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas Bidang Kebersihan Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Bidang dan dibantu oleh : a. Seksi Pelayanan Kebersihan; dan b. Seksi Pengelolaan Sampah. Masing-masing Seksi sebagaimana dimaksud tersebut di atas dipimpin oleh Kepala Seksi dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Kebersihan Lingkungan 5. Bidang Reklame membantu Kepala Dinas dalam pengelolaan reklame dan mempunyai fungsi : a. Pengelolaan pengendalian reklame; dan b. Pengelolaan pendataan reklame. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas Bidang Reklame dipimpin oleh seorang Kepala Bidang dan dibantu oleh : a. Seksi pengendalian reklame ; dan b. Seksi pendataan reklame Masing-masing Seksi sebagaimana dimaksud tersebut di atas di pimpin oleh Kepala Seksi dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Reklame . 6. Bidang Pertamanan dan Pemakaman membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan pengelolaan pertamanan dan pemakaman dan mempunyai fungsí : a. Pengelolaan pertamanan; dan b. Pengelolaan pemakaman.
64
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana tersebut di atas Bidang Pertamanan dan Pemakaman
dipimpin oleh seorang Kepala Bidang dan
dibantu oleh : a. Seksi Pengelolaan Pertamanan ; dan b. Seksi Pengelolaan Pemakaman . Masing-masing Seksi sebagaimana dimaksud tersebut di atas di pimpin oleh Kepala Seksi dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Pertamanan dan Pemakaman . 7. Unit Pelaksana Teknis mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis dinas. Untuk pengelolaan persampahan dan kebersihan perkotaan di Kabupaten Bogor di bawah Bidang Kebersihan Lingkungan yang membawahi 2 seksi yaitu Seksi Pelayanan Kebersihan dan Seksi Pengelolaan Persampahan. Untuk pelayanan kebersihan persampahan dibentuk 5 Unit Pelaksana Teknis Kebersihan dan Sanitasi, yaitu UPT I Wilayah Cibinong, UPT II Wilayah Jonggol, UPT III Wilayah Ciawi, UPT IV Wilayah Leuwiliang dan UPT V Wilayah Parung. UPT I Wilayah Cibinong meliputi Kecamatan Cibinong, Citeureup, Bojonggede, Sukaraja, Babakanmadang dan Gunung Putri. UPT mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas, tanggung jawab dan wewenang teknis Dinas. Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud, UPT mempunyai fungsi : a. penyelengaraan ketatausahaan UPT; b. pengumpulan dan pengolahan data serta analisis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Instalasi Pengolahan Lumpur (IPLT), Kebersihan dan Sanitasi; c. penyusunan petunjuk teknis pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), kebersihan dan sanitasi; d. pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana air bersih dan penyehatan lingkungan; e. pemungutan retribusi bidang kebersihan; f. pengelolaan sarana dan prasarana serta pemeliharaan peralatan kebersihan;
65
g. pelayanan bidang kebersihan; dan h. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas. Dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan persampahan di Kabupaten Bogor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor didukung oleh sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarana. Jumlah personil/tenaga kebersihan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Petugas Operasional Persampahan Kabupaten Bogor Jumlah (orang)/Tahun No
Uraian
2005
2006
2007
2008
2009
1
Sopir truk
41
44
46
50
66
2
Kru (juru angkut sampah)
164
176
176
200
264
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor, 2010
Sarana dan prasarana pendukung pelayanan persampahan yang dimiliki oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Sarana Pendukung Pelayanan Persampahan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Dump Truck Arm Roll Truk TPS, 1-3 M3 Transfer Depo 12 M3 Bulldozer Escavator TPA Sukasirna, Jonggol 0,6 Ha TPA Waru, Parung 0,5 Ha TPA Pondok Rajeg, 9 Ha TPA Galuga, 20 Ha TPA Nambo 40 Ha
2005 39 2 65 12 1 1 1 1 1 1 -
Satuan (Unit)/Tahun 2006 2007 2008 42 44 47 2 2 3 71 73 85 12 14 18 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 -
Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor, 2010
2009 63 3 90 18 1 1 1 -
66
Tabel 8. Data Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah Kabupaten Bogor No 1 2 4
Uraian 2005 Jumlah penduduk 3.700.207 (jiwa) Jumlah Timbulan 7.400 sampah (M3/hari) Sampah (M3/hari)
Terangkut 431
2006
2007
2008
2009
4.215.436
4.251.838
4.340.838
4.477.296
8.431
8.504
8.681
8.955
462
483
525
693
Sumber: BPS dan hasil olahan data.
4.4 Kondisi Umum Lingkungan Hidup Di wilayah Kabupaten Bogor terdapat 6 (enam) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS Cisadane, DAS Ciliwung, Sub DAS Kali Bekasi serta Sub DAS Cipamingkis dan Cibeet. Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis yaitu sebagai sumber air untuk irigasi, rumah tangga dan industri serta berfungsi sebagai drainase utama wilayah. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air diketahui bahwa sungai di Kabupaten Bogor sudah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) Baku Mutu Lingkungan (BML) untuk beberapa parameter terutama BOD, COD, TSS, Fe, Zn, Bakteri Koliform dan Total Fecal Koli, bahkan untuk sungai Cileungsi dan
Cikaniki parameter Hg sudah melampaui Baku Mutu.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa selain limbah industri dan kegiatan usaha lainnya yaitu limbah rumah tangga dan peternakan turut berpengaruh besar terhadap penurunan kualitas air sungai. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara ambient di 6 Kecamatan yaitu : Cibinong, Citeureup, Gn.Putri, Klapanunggal, Cileungsi dan Ciawi diketahui bahwa parameter dominan yang tidak memenuhi BML adalah debu dan kebisingan.
4.5 Obyek Retribusi Pelayanan Persampahan dan Kebersihan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan yang menjadi obyek retribusi ialah setiap pelayanan persampahan/kebersihan oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan subyek retribusi atau wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan persampahan/kebersihan dari Pemerintah Daerah. Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan, kategori, volume sampah, waktu, luas bangunan, ritase, dan/atau jarak.
67
Tingkat penggunaan jasa yang diukur berdasarkan jenis pelayanan, meliputi: a. Pengambilan, pengangkutan dan pembuangan sampah harian; b. Pengambilan, pengangkutan dan pembuangan sampah mingguan; c. Penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan sampah; d. Penyediaan kontainer sampah; dan e. Pengambilan, pengangkutan, dan pembuangan sampah untuk kegiatan pameran/event-event lainnya yang bersifat insidentil. Sedangkan tingkat penggunaan jasa yang diukur berdasarkan kategori, meliputi : a. Rumah tangga non perumahan; b. Rumah tangga di lokasi perumahan; c. Industri, rumah sakit, hotel dan pusat perbelanjaan (mall); d. Pertokoan, perkantoran, dan restoran/rumah makan; dan e. Pameran/event-event lainnya yang bersifat insidentil. Adapun struktur dan besarnya tarif retribusi berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan
kepada
masing-masing
subyek
retribusi
pelayanan
persampahan/kebersihan disajikan pada Tabel 9 berikut di bawah ini.
Tabel 9. No
Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah Harian Luas Bangunan
Tarif Retribusi (Rp/bulan) 1 21 M2 s/d 70 M2 20.000,00 2 71 M2 s/d 105 M2 25.000,00 2 3 106 M2 s/d 200 M 27.500,00 4 201 M2 s/d 300 M2 30.000,00 5 >301 M2 40.000,00 Sumber : Perda Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2008
68
Tabel 10. Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah Mingguan No
A
Kategori
Luas Bangunan (M2) < 21 21 s/d 70 71 s/d 200 201 s/d 300 > 300
1.
Rumah Tangga Non Perumahan
2.
Rumah Tangga Di Lokasi Perumahan a. Perumahan Sederhana
21 s/d 35 36 s/d 45 46 s/d 70
b. Menengah
21 s/d 35 36 s/d 45 46 s/d 70 71 s/d 105 106 s/d 200 > 201 21 s/d 35 36 s/d 45 46 s/d 70 71 s/d 105 106 s/d 200 201 s/d 300 > 301 -
Perumahan
c. Perumahan Mewah
B
Industri, Rumah Sakit, Hotel dan Pusat Perbelanjaan (Mall)
C
Pertokoan, Perkantoran, dan Restoran/Rumah Makan
Jarak (KM) -
Volume Sampah (M3/Hari) -
-
-
4.000,00 6.000,00 7.000,00
s/d 15 > 15 s/d 20 > 20 s/d 25 >25 s/d 30 >30 s/d 35 >35 -
-
7.500,00 10.000,00 12.500,00 15.000,00 17.500,00 20.000,00 10.000,00 12.500,00 17.500,00 20.000,00 27.000,00 30.000,00 32.500,00 125.000,00 150.000,00 175.000,00 200.000,00 225.000,00 350.000,00 20.000,00 30.000,00 50.000,00
Sumber : Perda Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2008
< 0,51 0,51 s/d 0,75 > 0,75
Tarif (Rp/Bulan) 4.000,00 6.000,00 15.000,00 17.000,00 20.000,00
69
Tabel 11. Struktur dan Besarnya Tarif untuk Jenis Pelayanan Pengambilan, Pengangkutan dan Pembuangan Sampah untuk Kegiatan Pameran/ event-event lainnya yang bersifat insidentil No Jarak (KM) 1 s/d 15
Volume s/d 3 M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase 2 > 15 s/d 20 s/d 3 M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase 3 > 20 s/d 25 s/d3 M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase 4 > 25 s/d 30 s/d M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase 5 > 30 s/d 35 s/d M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase 6 > 35 s/d M3 /ritase > 3 M3 s/d 6 M3 /ritase Sumber : Perda Kabupaten Bogor Nomor 20 Tahun 2008
Besarnya
tarif
untuk
jenis
pelayanan
Tarif (Rp) 150.000,00 200.000,00 175.000,00 250.000,00 200.000,00 300.000,00 225.000,00 350.000,00 250.000,00 400.000,00 275.000,00 450.000,00
penyediaan
lokasi
pembuangan/pemusnahan sampah ditetapkan sebesar Rp. 30.000,00 /M3, sedangkan untuk pelayanan penyediaan kontainer sampah ditetapkan tarif sebesar Rp. 150.000,00/bulan.
70
71
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perangkat Hukum dan Peraturan 5.1.1 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Dearah Kabupaten/Kota, sub bidang persampahan termasuk dalam urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum. Serta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, bidang pekerjaan umum termasuk dalam perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas. Untuk Kabupaten Bogor perangkat daerah yang berwenang dalam pelayanan dan pengelolaan persampahan adalah berbentuk dinas, sehingga sudah sesuai dengan PP 38 Tahun 2007 dan PP 41 Tahun 2007. KTT Millenium PBB bulan September tahun 2000 menghasilkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) dalam rangka mewujudkan lingkungan kehidupan yang lebih baik. Salah satu target dan sasaran dari MDGs adalah peningkatan jumlah masyarakat untuk mendapakan akses pelayanan termasuk persampahan hingga mencapai 70% penduduk pada tahun 2015. Kesepakatan MDGs tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP). KSNP-SPP digunakan sebagai pedoman
untuk
pengaturan,
penyelengaraan
dan
pengembangan
sistem
72
pengelolaan persampahan yang ramah lingkungan, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah setempat. Sasaran utama kebijakan yang hendak dicapai hingga tahun 2010
adalah: Tercapainya kondisi kota dan
lingkungan yang bersih termasuk saluran drainase perkotaan, pencapaian pengurangan kuantitas sampah sampai dengan 20 %, pencapaian cakupan pelayanan 60 % penduduk, tercapainya kualitas pelayanan yang sesuai atau mampu melampaui standar minimal persampahan, tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi sanitary landfill untuk kota metropolitan dan kota besar, serta controlled landfill untuk kota sedang dan kecil, serta tidak dioperasikannya TPA secara open dumping, tercapainya peningkatan kerja institusi pengelola persampahan yang mantap dan berkembangnya pola kerjasama regional. Hingga saat ini sasaran yang dicapai oleh Kabupaten Bogor masih belum sesuai dengan kebijakan nasional tersebut, diantaranya mengenai pelayanan persampahan yang baru mencapai 24, 17 % dari timbulan sampah dan belum dioperasikannya TPA secara sanitary landfill di TPA Galuga. Peraturan perundangan lain yang terkait dengan pengelolaan sampah adalah : 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 2. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Kawasan Perumahan; 3. SNI Nomor 19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan; 4. SNI M-36-1991-03 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 lebih mendorong kepada masyarakat untuk ikut langsung berpartisipasi dalam pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan pembatasan timbulan sampah; b)
sampah
tersebut meliputi
kegiatan:
a)
pendauran ulang sampah; dan/atau c)
pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah termasuk kegiatan
73
pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.
5.1.2 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bogor Kebijakan pembangunan Kabupaten Bogor berkaitan erat dengan kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2008-2013. Kebijakan yang berkaitan dengan penanganan dan pengelolaan persampahan dituangkan dalam : a. Misi ke-3 RPJMD yaitu Meningkatkan Infrastruktur dan Aksesibilitas Daerah yang Berkualitas dan Terintegrasi Secara Berkelanjutan. Salah satu sasaran dari Misi 3 ini adalah meningkatnya cakupan pelayanan persampahan. b. Strategi pembangunan daerah bidang fisik lingkungan yaitu : Mengatasi lemahnya pengelolaan sampah terutama untuk mempertahankan potensi keunggulan Kabupaten Bogor di bidang pariwisata dan meningkatkan sanitasi dan kesehatan masyarakat. c. Kebijakan
pembangunan
urusan
perumahan
dan
pemukiman
yaitu
pembangunan prasarana pengelolaan sampah, tempat pemrosesan akhir sampah terpadu disertai dengan penerapan pola 3-R (Recycle = daur ulang; Reduce = pengurangan; dan Reuse = pemakaian ulang) dari timbulan sampah; adapun programnya adalah pengembangan kinerja pengelolaan persampahan. d. Kebijakan pembangunan menurut Tata Ruang Wilayah yaitu Pengembangan Sistem Prasarana Lingkungan, yang salah satunya adalah pengembangan sarana tempat pengelolaan sampah. Kebijakan yang berkaitan dengan persampahan sebenarnya juga sudah ditetapkan sebelumnya dalam Rencana Strategis Kabupaten Bogor Tahun 20032008 yaitu terdapat dalam sasaran dari Misi ke 5, yaitu bertambahnya jumlah TPA sampah dan sarana pengangkutan di masing- masing wilayah Barat, Tengah dan wilayah Timur. TPA yang melayani pembuangan sampah dan beroperasi di Kabupaten Bogor adalah TPA Galuga di Kecamatan Cibungbulang. Status kepemilikan lahan TPA Galuga adalah milik Pemerintah Kota Bogor dan pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor juga sedang mempersiapkan sebuah TPA untuk Tempat Pengelolaan
74
Sampah Terpadu (TPST) Regional yaitu TPST Nambo yang terletak di Kecamatan Klapanunggal. Sehingga sampai saat ini hanya ada satu TPA di wilayah barat sehingga masih tidak sesuai dengan Renstra Tahun 2003-2008 dan tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan di masyarakat. Dalam kebijakan RPJMD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 target peningkatan cakupan pelayanan sampah perkotaan hingga tahun 2013 adalah 31 %. Dengan penetapan sebesar 31 % tersebut maka akan terdapat kesenjangan sebesar 69% timbulan sampah yang belum dapat terlayani sehingga akan menimbulkan permasalahan yang harus diberikan alternatif penanganan masalah sampah. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor telah menerbitkan beberapa Peraturan Daerah yang dimaksud untuk mendukung terlaksananya kegiatan kebersihan dan persampahan di Kabupaten Bogor. Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan pengelolaan persampahan dan kebersihan di Kabupaten Bogor adalah : 1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Ketertiban Umum; 2. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dinas Daerah; 3. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor; 4. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. 5. Peraturan Bupati Nomor 64 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebersihan dan Sanitasi Pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor. 6. Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Bupati Nomor 64 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebersihan dan Sanitasi Pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor. Dalam pelaksanaannya beberapa peraturan/landasan hukum yang telah diterbitkan tidak semua dijalankan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan. Misalnya pelaksanaan jum’at bersih yang seharusnya dilaksanakan secara rutin
75
setiap minggu dengan melibatkan hampir segala unsur, baik pegawai negeri sipil maupun masyarakat. Hal ini ternyata hanya dilaksanakan pada hari-hari Jum’at tertentu saja terutama yang berhubungan dengan hari-hari besar nasional dan saat adanya penilaian kota bersih atau pada saat timbulnya wabah penyakit seperti demam berdarah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006, terdapat pelarangan terhadap setiap orang untuk membuang sampah tidak pada tempatnya termasuk ke sungai, saluran dan situ. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan pidana kurungan atau denda. Ketentuan mengenai pelarangan membuang sampah di sembarang tempat termasuk di sungai juga banyak terjadi pelanggaran. Hal tersebut disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah walaupun tingkat pengetahuan sudah cukup memadai, selain itu juga disebabkan karena belum mampunya pemerintah daerah dalam menyediakan sarana pelayanan kebersihan di setiap sudut wilayah di Kabupaten Bogor sehingga masyarakat masih membuang sampah ke sungai atau ke sembarang tempat. Ketentuan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 mengatur bahwa pengembangan sistem persampahan dilakukan melalui penyebaran lokasi di seluruh wilayah yang memiliki keterkaitan erat dengan sistem transportasi. Rencana pengembangan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) dialokasikan pada : 1. Wilayah barat di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Desa Growong dan Desa Dago Kecamatan Parung Panjang, serta Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg. 2. Wilayah
tengah di Desa Candali dan Desa Pasir Gaok Kecamatan
Rancabungur. 3. Wilayah timur di Desa Nambo Kecamatan Klapanunggal dan Desa Sukasirna Kecamatan Jonggol. Untuk dapat melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tersebut diperlukan adanya koordinasi yang baik serta perhatian dari berbagai pihak. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pengelolaan sampah dan
76
kebersihan terciptanya rasa tanggung jawab dari masing-masing warga sehingga perlu adanya juga peran serta masyarakat. Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manajemen pengelolaan persampahan. Pelayanan persampahan di lapangan dilaksanakan langsung oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sehingga dalam hal ini dinas berfungsi sebagai regulator atau pembuat kebijakan juga sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator. Akibatnya sulit dilakukan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak terjamin. Ketimpangan tersebut masih belum didukung oleh SDM (sumber daya manusia) yang memadai terutama ditinjau dari kuantitas dan kualitas. Profesionalisme pelayanan persampahan saat ini sudah mendesak untuk segera diwujudkan. Sehingga satu institusi yang berperan ganda sebagai operator sekaligus regulator perlu dipisahkan. Adanya dua peran dalam satu institusi dapat menyebabkan kerancuan dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah. Apabila institusi akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka Dinas menjadi regulator dengan tetap berkordinasi dengan instansi terkait. Kabupaten Bogor sampai saat ini belum menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah walaupun sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Undang-Undang tersebut lebih menekankan pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat diajak ikut serta dalam mengurangi dan menangani sampah.
5.2 Aspek Pembiayaan Pengelolaan persampahan membutuhkan dana yang cukup tinggi. Komponen biaya itu terdiri dari biaya investasi sarana dan prasarana, gaji pegawai, biaya operasional pengelolaan, biaya perbaikan dan pemeliharaan. Kondisi pemasukan dari retribusi yang ada saat ini tidak seimbang dibandingkan dengan biaya operasional pelayanan persampahan. Penerimaan retribusi persampahan hanya memenuhi 26,5 % dari biaya operasional pengelolaan sampah
77
di Kabupaten Bogor. Realisasi penerimaan retribusi pelayanan persampahan pada tahun anggaran 2009 adalah sebesar Rp. 4.252.440.585,00 sedangkan anggaran untuk
keseluruhan
biaya
pengelolaan
persampahan
adalah
sebesar
Rp.16.012.803.660,00 yang digunakan untuk biaya penyediaan sarana kebersihan, operasional dan pemeliharaan TPA, operasional dan pemeliharaan truk sampah, upah petugas lapangan dan pengadaan kendaraan operasional.
5.3 Teknis Operasional 5.3.1 Timbulan sampah Komposisi fisik sampah di Kabupaten Bogor yang mencakup besarnya prosentase dari komponen pembentukan sampah yang terdiri dari organik, kertas, kayu, logam, kaca, plastik dan lain-lain dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.
Tabel 12. Komposisi fisik sampah di Kabupaten Bogor Komposisi Rata – rata Sampah organik 72,49 % Kertas 7,97 % Kayu 2,65 % Kain / tekstil 5,40 % Karet / kulit tiruan 1,47 % Plastik 5,67 % Logam 1,37 % Gelas / kaca 1,50 % Lain-lain (tanah, batu, pasir) 1,48 % Total 100 % Kadar air 60,0 % Kadar abu 10,59 % Nilai kalor 1272,22 Kcal/kg Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor, 2008
Timbulan sampah perhari dihitung berdasarkan pendekatan jumlah penduduk, yaitu besarnya timbulan sampah perorang perhari dikalikan dengan jumlah penduduk. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1994), bila data pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung timbulan sampah dapat digunakan nilai timbulan sampah sebagai berikut: 1. Satuan timbulan sampah kota besar : 2-2,5 liter/orang/hari atau 0,4-0,5 kg/orang/hari 2. Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil : 1,5-2 l/orang/hari atau 0,3-0,4 kg/orang/hari.
78
Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2009 berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah sebesar 4.477.296 jiwa. Berdasarkan pola ruang Kabupaten Bogor maka penduduk di wilayah perkotaan adalah sebanyak 2.433.707 jiwa yang tersebar di 36 kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Penduduk terbesar berada di Kecamatan Cibinong (274.111 jiwa), Bojonggede (222.160 jiwa), Gunung Putri (286.199 jiwa) dan Cileungsi (175.981 jiwa) sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk perkotaan yang paling sedikit adalah Kecamatan Tanjungsari dengan jumlah penduduk sebanyak 3.906 jiwa. Dengan timbulan sampah rata-rata 2 liter/orang/hari maka sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 8.955 M3/hari. Sedangkan untuk wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk sebesar 2.433.707 jiwa maka timbulan sampah yang dihasilkan adalah sebesar 4.867 M3. Khusus jumlah penduduk perkotaan untuk UPT Wilayah Cibinong sebesar 1.098.647 jiwa sehingga timbulan sampah 2.197,3 M3/hari. Besarnya produksi sampah perkotaan yang dirinci setiap Desa/Kelurahan di UPT Wilayah Cibinong dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.
79
Tabel 13.Produksi/Timbulan sampah di UPT Wilayah Cibinong NO
1
Desa/Kel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2 KEC. CIBINONG Karadenan Nanggewer Nanggewer Mekar Cibinong Pakansari Sukahati Tengah Pondok Rajeg Harapan Jaya Pabuaran Cirimekar Ciriung KEC. BOJONGGEDE Cimanggis Waringin Jaya Kedung Waringin Bojonggede Susukan Bojong Baru Rawa Panjang Pabuaran Ragajaya KEC. GUNUNG PUTRI Karanggan Gunung Putri Tlajung Udik Bojong Nangka Cicadas Wanaherang Cikeas Udik Nagrak Ciangsana Bojong Kulur KEC. SUKARAJA Sukatani Sukaraja Cikeas Cadas Ngampar Pasirlaja Cijujung Cimandala Pasir Jambu Cilebut Timur Cilebut Barat
E 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KEC. CITEUREUP Leuwinutug Sanja Karang Asem Barat Karang Asem Timur Tarikolot Gunung Sari Citeureup Puspanegara Puspasari
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C
Jumlah Penduduk (Jiwa) 3
Luas KM2
Kepadatan Jiwa/KM2
4
5
Produksi Sampah M3/hari 6
16.404 23.054 11 252 21.021 29.836 22.276 9.916 12.153 20.271 70.321 12.380 25.227
4,04 3,64 2,52 4,71 5,21 4,69 3,25 2,07 2,64 4,25 17,10 3,41
4.060 6.334 4.465 4.463 5.727 4.750 3.051 5.871 7.678 16.546 724 7.398
32,81 46,11 22,50 42,04 59,67 44,55 19,83 24,31 40,54 140,64 24,76 24,31
22.054 11.656 22.068 44.776 15.087 17.607 34.585 32.227 22.099
5,25 1,73 1,81 2,75 3,50 2,35 3,15 2,48 4,68
1.762 1.852 4.188 7.484 8.044 2.412 2.146 1.908 3.294
44,11 23,31 44,14 89,55 30,17 35,21 69,19 64,45 44,20
22.998 26.296 44.168 18.139 33.469 31.537 14.399 15.566 31.975 47.652
3,07 3,09 4,40 6,73 6,56 6,70 6,52 5,84 8,62 4,78
7.491 8.510 10.038 2.695 5.101 4.707 2.208 2.665 3.709 9.969
46,00 52,59 88,34 36,28 67,07 63,07 28,80 31,13 63,95 95,30
4.421 7.264 9.832 6.175 11.542 23.154 22.764 9.547 15.721 21.709
1,54 2,23 3,13 1,83 3,37 3,65 3,16 2,15 1,35 4,40
2.871 3.257 3.141 3.374 3.425 6.344 7.204 4.440 11.645 4.934
8,84 14,53 19,66 12,35 23,08 46,31 45,53 19,09 31,44 43,42
14.805 11.521 19.096 11.184 16.331 12.213 17.007 18.775 12.833
2,82 2,23 2,39 1,15 2,54 2,76 3,11 1,15 1,55
5.250 5.166 7.990 9.725 6.430 4.425 5.468 16.326 8.263
29,61 23,04 38,19 22,37 32,66 24,43 34,01 37,55 25,67
80
Tabel 13. Lanjutan 1 F 1 2 3 4 5 6
2 KEC. BABAKAN MADANG Sumur Batu Babakan Madang Citaringgul Cipambuan Kadumangu Sentul
3 5.244 5.645 6.511 4.519 14.245 14.119 1.098.647
4 4,84 2,33 3,45 2,01 4,10 3,47 208,25
5 1.083 2.423 1.887 2.248 3.474 4.069
6 10,49 11,29 13,02 9,04 28,49 28,24 2.197,29
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2009) dan Hasil Analisis
5.3.2 Pewadahan Teknis operasional pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan serta pembuangan akhir. Pewadahan merupakan awal dari sistem pengelolaan persampahan yang dapat dilakukan dengan beberapa pola :
- Disediakan oleh masyarakat dengan pola mode bebas - Disediakan oleh masyarakat dengan model yang disediakan oleh Pemerintah - Disediakan oleh organisasi Swadaya Masyarakat Jenis wadah yang digunakan untuk menampung sampah, baik di daerah permukiman maupun non permukiman di Kabupaten Bogor sebagian besar disediakan oleh masyarakat sendiri, kecuali untuk wadah sampah di jalan protokol dan fasilitas umum, sebagian besar disediakan oleh Pemerintah. Jenis wadah sampah yang digunakan yaitu keranjang bambu, tong (bin), bak pasangan batu bata, kantong plastik dan lubang sampah atau penimbunan. Khusus untuk lubang sampah sekaligus berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah. Menurut Thobanoglous (1993), sistem pewadahan harus memperhatikan jenis sarana pewadahan yang digunakan, lokasi penempatan sarana pewadahan, keindahan dan kesehatan lingkungan. Persyaratan sarana pewadahan adalah tidak mudah rusak dan kedap air kecuali kantong plastik atau kertas, mudah diperbaiki, ekonomis/mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat, serta mudah dan cepat dikosongkan (Departemen Pekerjaan Umum, 2002). Adapun analisis terhadap masing-masing jenis pewadahan yang ada di Wilayah Cibinong adalah sebagai berikut: 1. Tong (Bin)
81
Penggunaan wadah dari tong besi ataupun plastik, banyak digunakan dalam pewadahan sampah khususnya di daerah perumahan. Wadah ini masuk kategori cukup baik, terutama yang terbuat dari plastik. Hal ini karena tong ini mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah rusak serta kedap air, harganya ekonomis serta mudah diperoleh. Karena biasanya tong ini menggunakan penutup, maka sampah yang ada tidak akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga dapat memenuhi aspek kesehatan dan dari sisi estetika dapat memenuhi sisi keindahan lingkungan. Penggunaan tong sampah juga memudahkan operasional pengumpulan sampah oleh petugas karena mudah di kosongkan. Tong sampah yang terbuat dari besi juga mempunyai kekurangan yaitu mudah berkarat yang menyebabkan kerusakan dan sulit atau bahkan tidak dapat diperbaiki. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, wadah dari tong sampah terutama yang terbuat dari plastik lebih dianjurkan. 2. Bak Terbuka (Pasangan Batu Bata) Salah satu wadah sampah yang sering digunakan oleh masyarakat adalah menggunakan bak sampah dari pasangan batu bata, yang pada umumnya digunakan pada daerah permukiman. Disamping sebagai wadah individual, beberapa bak sampah juga merupakan wadah komunal sebelum sampah diangkut ke TPS atau kontainer. Penggunaan bak pasangan batu bata sebenarnya mempunyai kelebihan karena sudah memenuhi aspek kesehatan dan keindahan lingkungan. Hal ini karena sampah tidak mudah berserakan dan tidak menjadi sarang penyakit. Disamping itu bak pasangan batu bata mempunyai keuntungan tidak mudah rusak dan kedap air.
Namun demikian, wadah jenis ini mempunyai
kekurangan yaitu sulit dioperasionalkan serta membutuhkan waktu yang lebih lama dalam operasional pengumpulan sampah. Selain itu, seringkali bak sampah ini disamping untuk menampung sampah juga digunakan untuk membakar sampah oleh masyarakat. Hal ini karena waktu pengambilan sampah oleh petugas terlalu lama sehingga sampah menjadi menumpuk. Dari sisi harga bak jenis ini sebenarnya juga kurang ekonomis. Dari beberapa dan kelebihan dan kekurangan sisitem ini, maka penggunaan bak batu bata kurang dianjurkan.
82
3. Kantong Plastik Bagi masyarakat yang tidak mempunyai wadah/tempat sampah yang permanen biasanya menggunakan kantong plastik sebagai wadah sampah untuk diambil langsung oleh petugas pengumpul sampah. Penggunaan kantong plastik di biasanya digunakan pada daerah permukiman maupun non permukiman. Kantong plastik mempunyai keunggulan yaitu dari sisi ekonomis, karena harganya murah serta mudah diperoleh. Disamping itu mudah dalam operasional pengumpulan/ pengambilan sampah oleh petugas. Namun dari sisi kesehatan dan keindahan, wadah ini kurang memenuhi karena mudah terkoyak sehingga menyebabkan sampah
mudah
berserakan.
Dengan
mempertimbangkan
kelebihan
dan
kekurangannya maka penggunaan kantong plastik ini kurang dianjurkan.
5.3.3 Pengumpulan dan Pemindahan Sarana yang digunakan untuk pengumpulan sampah adalah menggunakan gerobak sampah kapasitas rata-rata 1M3. Sedangkan kondisi wadah sampah sebagaian besar masih terbuka dan belum ada pemisahan antara sampah basah dan sampah kering. Metode pengumpulan yang diterapkan saat ini ada dua macam yaitu : 1. Pengumpulan tak langsung, dimana sampah dikumpulkan dari sumber sampah menggunakan gerobak sampah selanjutnya diangkut ke TPS. Cara ini berlaku pada penyapuan jalan, daerah permukiman, pasar dan sebagian perkantoran. Untuk daerah perumahan Cimandala Kecamatan Sukaraja warga masyarakat sendiri yang memindahkan sampah dari rumahnya ke TPS, sehingga tidak menggunakan
pengumpulan
dengan
gerobak
sampah.
Pewadahannya
menggunakan kantong plastik, sehingga tidak ada tong sampah di masingmasing rumah. 2. Pengumpulan langsung, dimana sampah dari setiap sumber sampah langsung diangkut ke TPA dengan truk pengangkut sampah (dump truck) tanpa melalui pemindahan ke TPS.
Cara ini berlaku pada kawasan pertokoan dan di
kawasan perumahan yang tidak terdapat TPS juga dilakukan pengumpulan secara langsung.
83
Sarana pemindahan atau Tempat Penampungan Sampah (TPS) terdiri dari 2 jenis yaitu TPS pasangan batu bata dan kontainer. Dari hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar TPS adalah TPS pasangan batu bata yang berukuran 1-9 M3. TPS batu bata juga mempunyai kekurangan, yaitu sulit dalam operasional pengangkutan sampah dengan menggunakan dump truck untuk di bawa ke TPA Galuga. Hal ini karena untuk memindahkan sampah dari TPS ke dalam truk memerlukan tenaga yang banyak serta membutuhkan waktu yang lama sehingga menjadi kurang efisien. Namun demikian, TPS dari bak terbuka ini mempunyai harga yang ekonomis dan tahan lama. Menurut Hartono (1995), penggunaan TPS pasangan jenis batu batu sudah tidak dianjurkan lagi. TPS yang berupa kontainer berada di lokasi tempat-tempat umum, pasar, pertokoan dan perumahan. TPS dari kontainer mempunyai kelebihan yaitu mudah dioperasionalkan dan tidak membutuhkan jumlah tenaga yang banyak, karena untuk mengangkat kontainer cukup menggunakan alat mekanik. Penggunaan kontainer ini dianjurkan karena di samping mudah dipindahkan, dari bentuknya yang memiliki penutup maka memenuhi syarat kesehatan. Dari pengamatan di lapangan, penggunaan kontainer ini menjadi kurang efisien, karena
banyak
sampah yang berserakan diluar kontainer yang diakibatkan perilaku pembuangan sampah oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan pada saat pengambilan kontainer, petugas tetap harus membersihkan dan mengumpulkan sampah yang berserakan diluar kontainer sehingga menjadi tidak efisien. Pola pengumpulan sampah di perumahan Cimandala Permai termasuk kategori pola komunal langsung. Warga langsung membawa sampah mereka ke TPS sebagai tempat penampungan komunal. Sedangkan untuk perumahan Puspa Raya pola pengumpulan termasuk individual tidak langsung yaitu cara pengumpulan sampah dari masing- masing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan (menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner
pengangkutan sampah di perumahan dilakukan setiap satu minggu sekali.
5.3.4 Pengangkutan Sampah
84
Sistem pengangkutan yang diterapkan pada pengelolaan sampah adalah dengan menggunakan arm roll truck dengan kontainer yang dapat berpindahpindah dan sistem yang menggunakan dump truck yang melayani pengangkutan sampah dari transfer depo, bak sampah atau TPS pasangan batu bata. Kendaraan pengangkutan sampah yang digunakan dalam mendukung pengelolaan sampah di UPT Wilayah Cibinong terdiri dari 32 buah dump truck dan 1 buah arm roll truck. Kendaraan dump truck saat ini digunakan untuk mengangkut sampah yang ada di transfer depo (tempat pemindahan dari gerobag sampah ke dump truck ) maupun dari TPS batu bata serta sistem door to door. Berdasarkan pengamatan dan wawancara, untuk setiap dump truck diperlukan tenaga pengangkutan sebanyak 4 orang yang bertugas memindahkan sampah dari TPS ke dalam truk. Kendaraan dump truck dalam operasionalnya membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak yaitu 4 orang. Hal ini karena untuk memindahkan sampah dari TPS ke dump truck diperlukan personil yang banyak. Disamping itu, untuk menghindari sampah yang beterbangan saat diangkut dengan dump truck ke TPA maka masih diperlukan penutup bak. Kendaraan arm roll truck merupakan truk yang digunakan untuk mengangkut kontainer sampah. Jumlah arm roll truck yang ada di saat ini saat ini hanya 1 buah.
5.3.5 Tempat Pembuangan Akhir Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Kabupaten Bogor berada di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang. TPA Galuga ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kota Bogor. Keterbatasan lahan yang dapat digunakan sebagai TPA di Kota Bogor dan ketersediaan lahan di Kabupaten Bogor merupakan hal yang mendorong Pemerintah Kota Bogor untuk membuat kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor. Kerjasama yang sudah dilakukan sejak tahun 1987 dan telah diperpanjang beberapa kali, terakhir dengan Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Pemerintah Kota Bogor Nomor 6581/42/Prjn/Huk/2008 tanggal 6 Agustus 2008 tentang Perpanjangan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
85
Perjanjian kerjasama ini akan berakhir pada tanggal 6 Agustus 2011 dan saat ini masih dalam tahap pembahasan perpanjangan kerjasama selanjutnya antara Pemerintah Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Luas TPA Galuga yang saat ini beroperasi adalah 9 Ha dan masih memungkinkan digunakan sampai lima tahun kedepan. Disamping luasan 9 Ha masih terdapat perluasan lahan sebanyak 11 Ha yang saat ini dalam tahap pembebasan tanah, sehingga total luasan sebesar 20 Ha. Kegiatan TPA sampah Galuga pada awal dioperasikan menggunakan sistem terbuka (open dumping). Penanganan sampah di Galuga saat ini dilakukan dengan sistem controlled landfill yaitu peralihan antara sistem open dumping dan sanitary landfill atau pembuangan di tempat terbuka dengan pemadatan menggunakan alat-alat berat dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi. Sampah dimusnahkan dengan cara dibenamkan dan dipadatkan. Pemerintah Kabupaten Bogor juga sedang mempersiapkan sebuah TPA untuk Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Regional yaitu TPST Nambo yang terletak di Desa Lulut dan Desa Nambo Kecamatan Klapanunggal yang direncanakan seluas 40 Ha. TPST Nambo penanganannya bersifat lintas sektoral (Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok) melalui Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bogor, Walikota Bogor dan Walikota Depok Nomor 658.1/2/NK/HUK/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional untuk Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok. Direncanakan sampah yang akan dikelola di TPST Nambo sebanyak 2.000 sampai dengan 2.800 M3/hari. Saat ini TPST Nambo masih dalam tahap konstruksi dan direncanakan mulai beroperasi pada akhir Desember 2012.
5.4 Analisis Kinerja Pengelolaan Sampah berdasarkan Standar Normatif Kinerja pengelolaan sampah secara kuantitatif dapat diukur berdasarkan tingkat pelayanan sampah. Untuk mengetahui tingkat pelayanan sampah, dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah sampah yang terangkut dan jumlah penduduk yang terlayani. Besarnya sampah yang terangkut di Wilayah Cibinong, dapat diperoleh melalui pengamatan di lapangan terhadap operasional kendaraan pengangkut
86
sampah yang menuju Tempat Pembuangan Akhir. Dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petugas UPT Kebersihan Wilayah Cibinong, saat ini untuk menangani sampah yang ada di Wilayah Cibinong dilayani oleh 32 dump truck dan 1 unit arm roll dengan kapasitas volume 7 M3. Kendaraan dump truk dan arm roll beroperasi masing-masing hanya 1 sampai 2 ritasi setiap hari dikarenakan jarak yang ditempuh cukup jauh yaitu sekitar 35 Km dari Cibinong ke TPA Galuga dan terdapat beberapa titik kemacetan sehingga menghambat perjalanan, serta di lokasi TPA kendaraaan harus mengantri untuk menurunkan sampah. Berdasarkan data tersebut, dapat dianalisis jumlah sampah yang dapat terangkut ke TPA rata-rata setiap hari adalah 347 M3. Data perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Jumlah Sampah Terangkut Ke TPA di Wilayah Cibinong Jumlah Kendaraan
Ritasi/hari
33
1,5
Volume Kendaraan (M3) 7
Volume sampah Terangkut per hari (M3) 347
Volume Timbulan sampah Perhari (M3)
2.197,29
Sumber : Data Sekunder dan hasil olahan
Berdasarkan jumlah sampah yang terangkut di atas, maka dapat diketahui tingkat pelayanan sampah
yang dilakukan oleh UPT Wilayah Cibinong.
Parameter atau tolok ukur yang digunakan sebagai dasar untuk mengetahui sejauh mana tingkat pelayanan pengelolaan sampah, ditentukan berdasarkan standar prioritas pelayanan sampah yaitu tingkat kepadatan penduduk dan skala kepentingan pelayanan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman, untuk menentukan kuantitas cakupan pelayanan adalah sebagai berikut: a. untuk permukiman dengan kepadatan 100 jiwa/ha memerlukan tingkat pelayanan 100 % dari produksi sampah b. untuk permukiman dengan kepadatan di bawah 100 jiwa/ha diperlukan tingkat pelayanan 50-80 %.
87
Berdasarkan standar di atas, maka dapat diuraikan tingkat pelayanan sampah yang ideal sesuai dengan hasil perhitungan berdasarkan standar normatif sebagaimana Tabel 15 di bawah ini.
Tabel 15. Jumlah Penduduk, Volume Sampah dan Perkiraan Volume Pelayanan Sampah berdasarkan Ketentuan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 No
Kecamatan
Jumlah Penduduk Perkotaan (Jiwa)
Volume Timbulan sampah Perhari (M3)
Luas wilayah (Ha)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha)
Tingkat Pelayanan (%)
Penduduk Terlayani (jiwa)
Volume Layanan M3/hari
1
Cibinong
274.111
548,22
5.753
48
80
219.289
439
2
Bojonggede
222.160
444,32
2.770
80
80
177.728
355
3
Gunung Putri
286.199
572,40
5.631
51
80
228.959
458
4
Sukaraja
132.129
264,26
2.681
49
80
105.703
211
5
Citeureup
133.765
267,53
2.070
65
80
107.012
214
6
Babakan Madang
50.283
100,57
2.020
25
50
25.142
50
Jumlah
1.098.647
2.197,29
20.925
863.833
1.728
Sumber : Hasil analisis data sekunder
Berdasarkan Tabel 15 di atas, dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk dari masing-masing kecamatan masih di bawah 100 jiwa/ha sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 diperlukan tingkat pelayanan minimal antara 50 % sampai dengan 80 %. Untuk kecamatan yang kepadatannya relatif tinggi seperti Kecamatan Bojonggede, Citeureup, Gunung Putri, Cibinong dan Sukaraja diperlukan pelayanan sebesar 80% dari timbulan sampah, sedangkan untuk Kecamatan yang tingkat kepadatannnya relatif rendah yaitu Babakan Madang maka tingkat pelayanan sebesar 50 %. Dari Tabel di atas, dapat diketahui pula tingkat pelayanan untuk sampah yang seharusnya dapat terangkut adalah sebesar 1.728 M3/hari. Berdasarkan hasil wawancara, jumlah sampah non perumahan yang harus terangkut adalah sebesar 35 M3/hari yang berasal dari penyapuan jalan dan daerah komersil. Dari jumlah
88
sampah perumahan dan non perumahan di atas, maka total produksi sampah yang seharusnya dapat terangkut ke TPA adalah sebesar 1.763 M3/hari. Timbulan sampah yang dapat terangkut ke TPA oleh UPT Kebersihan Wilayah Cibinong saat ini sebesar 347 M3/hari, sedangkan sampah yang diangkut oleh PD Pasar adalah 49 M3/hari. Sehingga total sampah yang terangkut adalah sebesar 396 M3/hari. Apabila dibandingkan dengan sampah yang seharusnya terangkut sebesar 1.763 M3/hari, maka dapat diketahui tingkat pelayanan sampah di Wilayah Cibinong sebesar 396/1.763X 100 % = 22.46 %. Dari perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan sampah secara kuantitatif di Wilayah Cibinong berdasarkan sampah terangkut mencapai 22.46%. Dengan tingkat pelayanan sampah yang masih rendah tersebut, dapat disimpulkan daerah yang belum mendapat pelayanan, umumnya melakukan penimbunan, pembakaran maupun pembuangan sampah ke sungai atau saluran air. Analisis jumlah penduduk terlayani dapat diketahui dari besarnya sampah perumahan yang terangkut. Apabila timbulan sampah per orang per hari adalah 2 liter dan sampah yang terangkut setiap hari sebesar 347 M3 maka dapat diketahui sampah tersebut ditimbulkan oleh penduduk sebanyak (347 X 1000)/2 = 173.500 orang. Dari data tersebut maka prosentase jumlah penduduk terlayani adalah 173.500/1.098.647 x 100 % = 16 %. Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan untuk kinerja pelayanan sampah di Wilayah Cibinong masih rendah.
5.5 Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pengelolaan Sampah Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman, setiap 1000 penduduk diperlukan 1 gerobak sampah ukuran 1 M3, 1 unit dump truck per 10.000 penduduk, transfer depo per 30.000 penduduk. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dianalisis sebagai berikut : 1. Apabila setiap 1000 penduduk diperlukan 1 gerobak sampah maka untuk melayani 1.098.647 penduduk diperlukan gerobak sebanyak 1.099 gerobak sampah. Kondisi eksisting saat ini terdapat 50 gerobak sampah sehingga sehingga baru mencapai 5 %.
89
2. Setiap 10.000 penduduk diperlukan 1 unit dump truck , sehingga untuk 1.098.647 penduduk diperlukan 110 dump truck. Kondisi Eksisting saat ini wilayah Cibinong memiliki 32 dump truck dan 1 arm roll, sehingga baru mencapai 30 %. Kebutuhan dump truck apabila dilihat dari jumlah timbulan sampah yang seharusnya diangkut sebanyak 1.728 M3, maka diperlukan dump truck sebanyak 1.728/7/1.5 = 165 dump truck, sehingga baru mencapai 20 %. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1991), kebutuhan
tenaga
pengangkut sampah dan tenaga administrasi untuk setiap 2000 rumah adalah masing-masing sebanyak 8 orang. Apabila setiap rumah memiliki anggota keluarga sebanyak 5 orang maka jumlah rumah yang seharusnya dilayani adalah sebanyak 219.729 rumah. Sehingga dibutuhkan 879 orang tenaga pengangkut. Dari kondisi eksisting tenaga pengangkutan sebanyak 132 orang, maka dapat disimpulkan saat ini baru mencapai adalah 15 %. Apabila dilakukan perkiraan kebutuhan biaya penambahan sarana dan operasional yang berdasarkan standar biaya yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati Bogor Nomor 900/512/Kpts/Huk/2009 tentang Standar Biaya Honorarium, Perjalanan Dinas, Jamuan, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Panitia Pengadaan Tanah dan Pemeliharaan Kendaraan, maka untuk upah petugas operasional
sebanyak
825
orang
diperlukan
biaya
per
tahun
sebesar
Rp.7.821.000.000,00. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan 165 unit kendaraan per tahun sebesar Rp. 12.622.500,00 serta pengadaan angkutan sampah yaitu dump truck sebanyak 132 unit dibutuhkan biaya sebesar Rp. 38.280.000.000,00. Sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk penambahan 132 unit dump truck dan operasional 165 kendaraan angkutan sampah per tahun adalah sebesar Rp.58.723.500.000,00 (Tabel 16). Biaya tersebut sangatlah besar dan pemerintah daerah akan kesulitan dalam pendanaan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Untuk tahun 2009, anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi lima UPTD untuk penambahan 16 truk sampah dan operasional 66 truk sampah hanya sebesar Rp. 11.825.000.000,00. Sedangkan pada tahun anggaran 2010 tidak ada kegiatan pengadaan kendaraan angkutan sampah dan jumlah anggaran untuk program
90
pengembangan
kinerja
pengelolaan
persampahan
adalah
sebesar
Rp.10.446.938.000,00.
Tabel 16. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 100 % Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong No
Uraian
1
2 3
Volume
Biaya (Rp)
Jumlah (Rp) (3X4)
3
4
5
1
Pengadaan truk sampah 7 M
132 unit
290.000.000,00
38.280.000.000,00.
2
Pemeliharaan kendaraan
165 unit
36.000.000,00
6.682.500.000,00
3
Bahan Bakar (BBM)
165 unit
40.500.000,00
5.940.000.000,00
4
Sopir
165 orang X 12 Bln
950.000,00
1.881.000.000,00
5
Kernet/Juru angkut sampah
660 orang X 12 Bln
750.000,00
5.940.000.000,00
Total (Rp)
58.723.500.000,00
Sumber : Keputusan Bupati Bogor No. 900/512/Kpts/Huk/2009 dan Hasil Analisis
Kendala lain yang dihadapi agar tercapai pemenuhan 100 % kebutuhan sarana pengangkutan sampah adalah dibutuhkan sumber daya manusia yang cukup besar untuk operasional di lapangan dan tenaga administrasi. Akan sulit dilakukan pengawasan yang obyektif terhadap aparat dan sarana operasional dengan jumlah yang besar tersebut, sehingga perlu dipisahkan antara fungsi regulator dan operator serta dimungkinkannya pelayanan persampahan untuk dikontrakkan dengan pihak ketiga. Kendala lain yang dihadapi adalah penyediaan lokasi TPA baru yang lebih memadai untuk menampung dan mengolah sampah, hal tersebut cukup sulit karena untuk menyediakan lokasi TPA terhalang berbagai hambatan salah satunya adalah penolakan masyarakat atas keberadaan TPA dilingkungannya.
5.6 Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kebersihan/Persampahan di Lingkungan Perumahan Untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai pelayanan persampahan di lingkungan perumahan maka diberikan kuesioner kepada warga masyarakat di perumahan. Satu orang responden untuk satu rumah tinggal. Sampel diambil sebanyak 30 responden yang bertempat tingal di perumahan Puspa Raya
91
Kecamatan Bojonggede dan 30 responden di perumahan Cimandala Permai Kecamatan Sukaraja, sehingga keselurahan responden sebanyak 60 orang.
5.6.1 Karakteristik usia responden Karakteristik usia responden adalah sebagaimana Tabel 17 berikut :
Tabel 17. Distribusi Frekuensi Usia Tingkat Usia
Frekuensi
20 s/d 30 tahun Lebih dari 30 -40 tahun Lebih dari 40 – 50 tahun Lebih dari 50 tahun Total
6 24 14 16 60
Prosentase 10 40 23 27 100
Prosentase Komulatif 10 50 73 100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari Tabel di atas, prosentase usia paling besar adalah usia 30 sampai dengan 40 tahun yaitu 40 %, sedangkan untuk usia 40 ampai dengan 50 tahun dan usia lebih dari 50 tahun prosentase tidak jauh berbeda.
5.6.2 Karakteristik Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden meliputi tamat Sekolah Menengah Pertama sampai dengan Sarjana, sebagaimana Tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Tingkat Penididikan
Frekuensi
Prosentase
Prosentase Komulatif
Tamat SMP Tamat SMU/sederajat
11 31
18 52
18 70
Diploma Sarjana (S1)
10 6
17 10
87 97
Master (S2) Total
2 60
3 100
100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari Tabel distribusi frekuensi di atas didapatkan mayoritas responden berpendidikan Tamat SLTA sebanyak 52 %, untuk yang tamat perguruan tinggi sebanyak 30 %. Sedangkan untuk SLTP sebanyak 18 %. Dari prosentase tersebut, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat adalah menengah ke atas sehingga dengan pengetahuannya diharapkan dapat melakukan penilaian kinerja secara obyektif.
92
5.6.3 Karakteristik Pekerjaan Responden Dari hasil kuesioner yang dibagikan kepada responden dapat diperoleh karakteristik jenis pekerjaan responden sebagaimana Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan Pekerjaan PNS/TNI /POLRI
Frekuensi 18
Prosentase 30
Prosentase Komulatif 30
Pensiunan Karyawan Swasta
4 11
7 18
37 55
Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
12 15
20 25
75 100
Total
60
100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari
Tabel
19,
mayoritas
responden
mempunyai
pekerjaan
sebagai
PNS/TNI/POLRI sebanyak 30 % dan dan ibu rumah tangga sebanyak 25 % sedangkan untuk wiraswasta dan karyawan swasta memiliki prosentase masingmasing sebanyak 20 % dan 18 %. Jenis pekerjaan responden memiliki prosentase yang tidak jauh berbeda sehingga diharapkan dapat memberikan penilaian pengelolaan sampah secara lebih obyektif.
5.6.4 Pengukuran Indeks Persepsi Masyarakat Berdasarkan hasil jawaban kuesioner dari responden kemudian dilakukan pengukuran indeks persepsi masyarakat. Nilai indeks dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini diberikan 6 pertanyaan untuk menilai pelayanan persampahan, setiap pertanyaan mempunyai penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut : Bobot nilai rata-rata tertimbang = Jumlah Bobot = 1 = 0.17 Jumlah pertanyaan 6 Untuk perumahan Puspa Raya, nilai indeks rata-rata dari masing-masing jawaban adalah sebagaimana Tabel 20 di bawah ini.
93
Tabel.20 Nilai Indeks Jawaban No pertanyaan
Total jawaban
nilai
Total jawaban terisi
1
35
30
Nilai Rata-rata jawaban (Total nilai jawaban total jawaban terisi) 1.17
Nilai Rata-rata terimbang (Nilai rata-rata jawaban X 0.17)
2
30
30
1.00
0.17
3
33
30
1.10
0.19
4
60
30
2.00
0.34
5
30
30
1.00
0.17
6
32
30
1.07
0.18
Nilai indeks
0.20
1.25
Sumber : Hasil analisis data primer, 2010
Setiap pertanyaan mempunyai dua pilihan jawaban, untuk pilihan jawaban pertama diberi nilai 2 sedangkan pilihan jawaban kedua diberi nilai 1. Total nilai jawaban masing-masing pertanyaan adalah hasil perkalian nilai jawaban dengan jumlah responden yang memilih jawaban tersebut. Untuk pertanyaan pertama total nilai jawaban adalah 35, dan untuk pertanyaan berikutnya nilai jawabannya adalah 30, 33, 60,30 dan 32. Total jawaban terisi adalah jumlah seluruh jawaban dari masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini setiap responden memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan sehingga total jawaban terisi untuk masing-masing pertanyaan adalah 30. Nilai rata-rata jawaban adalah hasil pembagian antara total nilai jawaban dengan total jawaban terisi. Nilai rata-rata tertimbang adalah hasil perkalian antara nilai rata-rata jawaban dengan bobot nilai rata-rata tertimbang yaitu 0.17. Nilai indeks sebesar 1.25 adalah jumlah dari seluruh nilai rata-rata tertimbang. Nilai indeks jawaban persepsi kepuasan masyarakat sebesar 1.25 setelah dikonversi yaitu dikalikan dengan nilai dasar 50 maka diperoleh nilai sebesar 62.5. Dengan nilai konversi indeks sebesar 62.5 maka persepsi masyarakat di perumahan Puspa Raya terhadap mutu pelayanan masih kurang baik. Untuk perumahan Cimandala Permai, nilai indeks rata-rata dari masingmasing jawaban adalah sebagaimana Tabel 21 berikut .
94
Tabel 21. Indeks rata-rata jawaban No pertanyaan
Total jawaban
nilai
Total jawaban terisi
1
42
30
Nilai Rata-rata jawaban (Total nilai jawaban total jawaban terisi) 1.40
Nilai Rata-rata terimbang (Nilai rata-rata jawaban X 0.17)
2
54
30
1.80
0.31
3
44
30
1.47
0.25
4
60
30
2.00
0.34
5
60
30
2.00
0.34
6
33
30
1.00
0.19
Nilail indeks
0.24
1.66
Sumber :Hasil analisis data primer, 2010
Untuk pertanyaan pertama total nilai jawaban adalah 42, dan untuk pertanyaan berikutnya nilai jawabannya adalah 54, 44, 60, 60 dan 33. Total jawaban terisi adalah jumlah seluruh jawaban dari masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini setiap responden memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan sehingga total jawaban terisi untuk masing-masing pertanyaan adalah 30. Nilai rata-rata jawaban adalah hasil pembagian antara total nilai jawaban dengan total jawaban terisi. Nilai rata-rata tertimbang adalah hasil perkalian antara nilai rata-rata jawaban dengan bobot nilai rata-rata tertimbang yaitu 0.17. Nilai indeks sebesar 1.66 adalah jumlah dari seluruh nilai rata-rata tertimbang. Nilai indeks jawaban persepsi kepuasan masyarakat setelah dikonversi yaitu dikalikan dengan nilai dasar 50 maka diperoleh nilai sebesar 83.02. Dengan nilai konversi indeks sebesar 83 maka persepsi masyarakat di perumahan Cimandala Permai terhadap mutu pelayanan sudah cukup baik. Berdasarkan hasil pengukuran indeks di dua perumahan tersebut maka nilai rata-rata indeks adalah 72,76 yang berarti bahwa persepsi masyarakat terhadap pelayanan masih belum terlalu baik.
5.6.5 Informasi mengenai peraturan persampahan Pendapat masyarakat di perumahan Puspa Raya mengenai informasi peraturan pelayanan persampahan sebanyak 5 orang atau 16 % menyatakan tidak mengetahui mengenai peraturan pengelolaan dan pelayanan sampah dan sebanyak 25 orang atau 84 % mengetahui mengenai peraturan persampahan. Untuk perumahan Cimandala sebanyak 18 orang atau 60 % menyatakan tidak
95
mengetahui mengenai peraturan pengelolaan sampah dan sebayak 12 orang atau 40 % mengetahui peraturan mengenai pengelolaan sampah.
5.6.6 Sarana dan Prasarana pelayanan persampahan Sarana dan prasarana pelayanan kebersihan menurut persepsi masyarakat di perumahan Puspa Raya adalah mayoritas atau 97 % atau sebayak 29 orang menyatakan belum cukup memadai, dan hanya 3 % atau 1 orang menyatakan sudah cukup. Untuk perumahan Cimandala Permai sebanyak 80 % menyatakan sudah mencukupi, sedangkan 20 % menyatakan belum cukup.
5.6.7 Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kebersihan/persampahan Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan persampahan yang diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk perumahan Puspa Raya sebanyak 90 % menyatakan tidak puas dengan dan 10 % menyatakan sudah cukup puas. Sedangkan di Perumahan Cimandala Permai sebanyak 53 % menyatakan tidak puas dan 47 % menyatakan cukup puas. Sehingga bila diakumulasikan maka sebanyak 72 % menyatakan tidak puas dan 28 % puas.
5.6.8 Retribusi pelayanan persampahan Biaya retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat di perumahan Puspa Raya sebesar Rp. 3.000,-/bulan. Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa masyarakat menyatakan bahwa biaya retribusi lebih murah dibandingkan dengan pelayanan. Untuk perumahan Cimadala Permai retribusi sampah sebesar Rp.5000,-/bulan.
Menurut
persepsi
masyarakat
biaya
retribusi
sudah
sesuai/sepadan dengan pelayanan yang diberikan. Perumahan Puspa Raya termasuk kategori perumahan sederhana dengan luas bangunan 21 M2 s/d 35 M2. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, retribusi untuk perumahan puspa raya adalah Rp. 4.000,-/bulan. Sedangkan untuk perumahan Cimandala Permai termasuk kategori perumahan menengah dengan luas bangunan antara 21 s/d 35 M2, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tarif retribusi seharusnya Rp.7.500,/bulan.
96
5.6.9 Pembedaan Pewadahan Berdasarkan hasil pengamatan dan kuesioner di perumahan Cimandala Permai dan Puspa Raya belum ada pembedaan pewadahan sampah organik dan anorganik. Sampah yang berasal dari rumah tangga oleh warga perumahan Cimandala langsung dibawa ke TPS. Sebanyak 90 % responden tidak melakukan pemilahan sampah, dan hanya 10 % melakukan pemilahan sampah.
5.7 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Berdasarkan hasil analisis di atas, kebutuhan sarana persampahan di Kabupaten Bogor khususnya di Wilayah Cibinong sangat besar sehingga dana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor sangat besar. Untuk itu diperlukan alternatif pengelolaan yang melibatkan langsung peran serta aktif masyarakat sehingga jumlah timbulan sampah yang dibuang ke TPA secara bertahap dapat dikurangi. Di wilayah Cibinong telah terdapat peran serta masyarakat dalam penanganan sampah dengan mendaur ulang sampah menjadi kompos dan kerajinan tangan. Warga RT 5 RW 14 perumahan Puri Nirwana 3 Karadenan Cibinong dan warga Rt 4 Rw 12 perumahan Puspa Raya Bojonggegde sudah melakukan penanganan sampah secara mandiri dengan mengaplikasikan 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) atau 3M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur ulang). Reduce berarti mengurangi bahan timbulan sampah dengan cara menggunakan bahan yang tidak sekali pakai, contohnya yaitu memilih menggunakan sapu tangan dari pada kertas tisu. Reuse adalah menggunakan kembali barang-barang yang masih dapat digunakan sebelum dibuang, sebagai contoh adalah menggunakan bekas botol air untuk pot bunga, sedangkan recycle artinya upaya mendaur ulang sampah menjadi benda lain yang bermanfaat, contohnya mengubah sampah organik menjadi kompos (Kastaman dan Kramadibrata, 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RT 5 perumahan Puri Nirwana 3 dan juga sekaligus sebagai pengelola sampah, kegiatan pengomposan sampah dimulai ketika pada tahun 2008 warga mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupa 2 unit mesin pencacah, 4 unit bak kayu, 3 unit gerobak sampah, 150 unit tong sampah untuk organik dan anorganik, 20 botol komposter dan pembangunan rumah kompos.
97
Tenaga kerja untuk pengolahan sampah ini sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang tenaga pengangkut dan 1 orang tenaga penggiling sampah. Warga masyarakat juga ikut serta membantu dalam pengolahan sampah menjadi kompos ini. Dana operasional diambil dari iuran warga sebesar 6.000 rupiah per bulan, ditambah dari hasil penjualan kompos. Rumah warga yang terisi di RT 5 ini sebanyak 103 rumah bila dikalikan 6.000 rupiah maka setiap bulan mendapat pemasukan iuran sebesar 618.000 rupiah. Produksi pupuk setiap bulan menghasilkan 600 Kg pupuk kompos. Pupuk tersebut dijual ke perusahaan Kimia Farma untuk perkebunan. Harga jual 1 kilogram kompos sebesar 1.000 rupiah, sehingga bila dikalikan dengan jumlah produksi pupuk sebanyak 600 kg maka menghasilkan 600.000 rupiah untuk satu bulan. Biaya operasional perbulan untuk penanganan sampah adalah sebesar 899.000 rupiah yang meliputi upah tenaga pengangkut dan penggiling, sewa lahan, biaya pemakaian oli dan solar. Sehingga biaya operasional dapat tertutupi dengan biaya iuran warga dan hasil penjualan pupuk
kompos.
Untuk
sampah
non
organik
diberikan
kepada
pengumpul/pemulung, sebagian sampah plastik berupa bungkus makanan dibuat kerajinan oleh ibu-ibu PKK setempat untuk dijadikan tas, dompet dan taplak meja. Untuk perumahan Puspa Raya kegiatan 3R berada di RT 4 RW 12 yang dikelola oleh 3 orang. Warga RT 4 tidak dipungut iuran sampah, sehingga biaya operasional pengelolaan dan pengangkutan dilakukan secara swadaya oleh pengelola sampah. Sampah organik dijadikan kompos dalam bentuk padat, granule (butiran) dan cair, sedangkan pupuk non organik seperti plastik dijual kepada pihak lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus 3R setempat diketahui bahwa masalah yang umum dihadapi dalam pengelolaan 3R adalah :1) Masih ada keengganan warga masyarakat untuk memilah sampah, 2) Pemasaran produk hasil 3R, 3) Pemerintah daerah belum memberikan bantuan yang mencakup seluruh kebutuhan sarana 3R.
98
99
BAB VI STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM
6.1 Perumusan Alternatif Strategi dan Program Untuk dapat merumuskan alternatif strategi dan program peningkatan pelayanan sampah perumahan pada kajian ini digunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Responden dalam penelitian ini diberikan suatu daftar pertanyaan terstruktur dalam bentuk kuesioner. Model kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Struktur hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemenelemen yang diprioritaskan untuk dikembangkan terdiri dari 4 hirarki (level). Hirarki pertama adalah tujuan yaitu meningkatkan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor. Hirarki kedua adalah kebijakan strategis yang potensial dapat dilakukan yang dirumuskan menjadi :1) Peningkatan Sarana Pelayanan, 2) Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha, 3) Peningkatan peran Masyarakat. Hirarki ketiga faktor-faktor yang mendukung dalam alternatif strategi tersebut, dan hirarki keempat adalah prioritas langkah strategis/program yang bisa dikembangkan dan ditingkatkan. Kebijakan strategis Peningkatan Sarana Pelayanan perlu ditingkatkan karena dalam pelaksanaan pelayanan persampahan masih banyak kekurangan dalam hal aspek peralatan angkutan dan pembuangan sampah. Kebijakan strategis Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha diperlukan karena produk-produk dari industri ikut serta dalam meningkatkan jumlah dan jenis sampah terutama sampah kemasan. Pihak pengembang perumahan juga perlu diikutkan dalam pengelolaan sampah sehingga dapat mengurangi volume sampah yang harus dikelola oleh pemerintah daerah. Sedangkan kebijakan strategis Peningkatan Peran Masyarakat juga diperlukan karena pemerintah daerah masih menghadapi kendala dalam hal sarana dan anggaran, sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengurangi sampah dari sumbernya dan pembayaran retribusi sampah. Struktur Hirarki yang digunakan untuk menggambarkan elemen-elemen yang diprioritaskan dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan dapat dilihat pada Tabel 22. Dalam pemilihan prioritasnya, setiap elemen pada
100
kebijakan strategis memiliki prioritasnya masing-masing. Sehingga prioritas yang akan dihasilkan pun dapat mempengaruhi prioritas sub kriteria di bawahnya dan pada akhirnya mempengaruhi prioritas langkah strategis yang penting untuk ditingkatkan.
Tabel 22. Struktur Hirarki Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor
Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan
Level 1 Tujuan
Level 2 Kebijakan Strategis
Level 3 Faktor Pendukung Penambahan/ Perbaikan Sarana Operasional
Peningkatan Sarana Pelayanan
Level 4 Langkah Strategis Penambahan Kendaraan Angkutan Perbaikan Kendaraan Angkutan Penambahan Alat Berat di TPA
Optimalisasi TPA Eksisting
Peningkatan Teknis Pembuangan Penerapan Pengelolaan sampah
Penyediaan TPA Alternatif
TPA disetiap Wilayah TPA di Lokasi Strategis untuk semua wilayah Industri yang mengolah sampah produknya sendiri
Peningkatan Kerjasama dengan dunia Usaha
Industri
Pengembang
Industri Pengolah Sampah ( Sampah sebagai bahan produksi/bahan bakar) Penyediaan Sarana Pewadahan/Pengumpulan Penyediaan Organisasi Pengolah sampah Sosialisasi dan Edukasi
Penerapan 3R Peningkatan Peran Masyarakat
Bantuan Sarana dan Pendampingan Insentif dan Disinsentif
Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah
Ketaatan Besaran Tarif Retribusi Ketaatan Waktu Pembayaran
6.2. Analisis Prioritas Pengembangan Kebijakan Berdasarkan pendapat enam orang orang responden, maka diperoleh matriks persepsi dari masing-masing responden sebagaimana Lampiran 2. Responden dipilih secara sengaja yang terdiri dari unsur pemerintah sebanyak lima orang yaitu berasal dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bappeda dan Badan Lingkungan Hidup serta satu orang dari wakil masyarakat. Alasan pemilihan responden yang berasal dari unsur pemerintah karena sebagai pemegang dan penentu arah kebijakan pembangunan khususnya mengenai pelayanan dan pengelolaan sampah serta juga sebagai pihak yang mengetahui mengenai permasalahan persampahan di Kabupaten Bogor, sedangkan alasan pemilihan responden yang berasal dari wakil masyarakat karena responden
101
tersebut sebagai ketua RW sekaligus ketua kelompok pengelolaan 3R di Perumahan
Puspa
Raya,
sehingga
mengetahui
langsung
permasalahan
pengelolaan 3R di masyarakat. Metode yang digunakan dalam pengisian keputusan AHP dilakukan secara terpisah melalui wawancara dan kuisioner yang kemudian dilakukan perhitungan pendapat gabungan dengan rata-rata penilaian dari semua responden dengan menggunakan metode rata-rata ukur/rata-rata geometris. Hasil perhitungan pendapat gabungan juga dapat dilihat pada Lampiran 2 dan hasil pengolahan AHP menggunakan Expert Choice 2000 dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil olahan data menggunakan Expert Choice 2000, terlihat bahwa untuk mencapai tujuan peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor, elemen kebijakan strategis Peningkatan Sarana Pelayanan memiliki bobot 0,450, Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha memiliki bobot 0,215 dan Peningkatan Peran Masyarakat memiliki bobot 0,335. Dengan demikian urutan prioritas yang lebih diutamakan dalam peningkatan cakupan pelayanan persampahan perumahan adalah Peningkatan Sarana Pelayanan dan berikutnya Peningkatan Peran Masyarakat. Bobot persepsi gabungan responden dalam pohon hirarki peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.
84
Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan (Kajian di Kabupaten Bogor) (1,00)
Penambahan /Perbaikan Sarana Operasional (0,246)
Penambahan Kendaraan Angkutan (0,169) Perbaikan Kendaraan Angkutan (0,038)
Optimalisasi TPA Eksisting (0,104)
Penyediaan TPA Alternatif (0,100)
Peningkatan Teknis Pembuangan (0,059)
Penerapan Pengelolaan Sampah (0,045)
Penambahan Alat Berat di TPA (0,039)
Gambar 4.
Peningkatan Peran Masyarakat (0,335)
Peningkatan Kerjasama dengan dunia usaha/swasta (0,215)
Peningkatan Sarana Pelayanan (0,450)
TPA di setiap wilayah (Barat,Tengah dan Timur) (0,062)
TPA di Lokasi Strategis untuk Semua Wilayah (0, 038)
Industri (0,106)
Penerapan 3R (0, 271)
Pengembang (0,110)
Industri yang mengelola sampah produknya sendiri (0,032)
Industri Pengolah Sampah (Sampah sebagai bahan produksi/bahan bakar) (0,074)
Penyediaan sarana pewadahan/ pemilahan ( 0,063)
Penyediaan organisasi pengelola sampah di lingkungan perumahan (0,047)
Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah (0,064)
Sosialisasi dan Edukasi (0,127)
Ketaatan sesuai besaran tarif retribusi (0,037)
Bantuan Sarana dan pendampingan (0,094)
Insentif dan Disinsentif (0,051)
Bobot Persepsi Gabungan Responden dalam Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan
Ketaatan waktu pembayaran (0,027)
85
6.2.1 Peningkatan Sarana Pelayanan Pada kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan, sub kriteria yang memiliki bobot tertinggi adalah Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional dengan nilai bobot 0,548, kemudian berikutnya Optimalisasi TPA Eksisting dengan nilai bobot 0,230, dan Penyediaan TPA Alternatif dengan nilai bobot 0,222 (Gambar 5). Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional dinilai sebagai aspek utama dalam keberhasilan peningkatan cakupan pelayanan sampah karena berhubungan langsung dengan operasional di masyarakat.
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 5. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan Pada
aspek
Penambahan/Perbaikan
Sarana
Operasional,
rata-rata
responden lebih memilih memprioritaskan langkah strategis Penambahan Kendaraan Pengangkut Sampah (bobot 0,687) kemudian berikutnya adalah Penambahan Alat Berat (bobot 0,157) dan Perbaikan Kendaraan Pengangkut Sampah (bobot 0,156). Urutan prioritas langkah-langkah strategis pada kriteria Penambahan/Perbaikan Sarana Pelayanan ditunjukkan pada Gambar 6.
104
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 6. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional
Aspek
Penambahan Kendaraan Pengangkut Sampah dinilai sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sampah perumahan, mengingat jumlah kendaraan angkutan yaitu dump truck dan arm roll tidak sebanding dengan jumlah timbulan sampah yang harus diangkut di Kabupaten Bogor. Pada aspek Optimalisasi TPA Eksisting, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah Peningkatan Teknis Pembuangan (bobot 0,565) daripada penerapan pengelolaan sampah di TPA dengan bobot 0,435 (Gambar 7), karena saat ini sistem yang digunakan di TPA Galuga adalah controlled landfill sehingga perlu ditingkatkan menjadi sanitary landfill. Selain itu perlu untuk ditunjang dengan penerapan pengelolaan sampah di TPA. Sampah di Galuga yang berasal dari Kabupaten Bogor belum ada upaya penanganan lain seperti pengomposan atau pemisahan sampah.
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 7. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Optimalisasi TPA Eksisting Pada aspek Penyediaan TPA Alternatif, langkah strategis yang lebih diprioritaskan adalah penyediaan TPA disetiap wilayah barat, tengah dan timur
105
(bobot 0,622) daripada Penyediaan TPA di lokasi strategis untuk semua wilayah dengan bobot 0,378 (Gambar 8). Hal tersebut untuk mempersingkat ritasi pengangkutan sampah bagi setiap wilayah sehingga akan lebih banyak jumlah timbulan sampah yang dapat diangkut dan meningkatkan cakupan pelayanan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 8. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penyediaan TPA Alternatif Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choice 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan Peningkatan Sarana Pelayanan adalah langkah-langkah strategis dalam aspek penambahan/perbaikan sarana operasional, baru kemudian aspek Optimalisasi TPA Eksisting dan Penyediaan TPA Alternatif (Tabel 23). Dengan demikian perlu dipertimbangkan untuk menambah jumlah kendaraan angkutan sampah.
106
Tabel 23. Urutan Elemen yang Diprioritaskan Secara Global dalam Peningkatan Sarana Pelayanan Urutan 1 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7
ELemen Peningkatan Sarana Pelayanan Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional Optimalisasi TPA Eksisting Penyediaan TPA Alternatif Penambahan Kendaraan Angkutan Penyediaan TPA di Setiap Wilayah Barat, Tengah, Timur Peningkatan Teknis Pembuangan Penerapan Pengelolaan Sampah Penambahan Alat Berat di TPA Perbaikan Kendaraan Angkutan Penyediaan TPA di Lokasi Strategis untuk Semua Wilayah
Level 2 3 3 3 4 4
Bobot Prioritas 0,450 0,246 0,104 0,100 0,169 0,062
4 4 4 4 4
0,059 0,045 0,039 0.038 0,038
Sumber : Data Primer (diolah)
6.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat Pada kebijakan Peningkatan Peran masyarakat, aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah Penerapan 3R (bobot 0,809) dan berikutnya adalah Ketaatan Pembayaran Retribusi dengan bobot 0,191 (Gambar 9). Kedua kriteria ini merupakan faktor yang mempengaruhi Peran Masyarakat dalam meningkatkan pelayanan persampahan. Penerapan 3R merupakan bentuk keterlibatan langsung masyarakat dalam mengurangi sampah dari sumbernya dan Ketaatan Pembayaran Retribusi dapat membantu pemerintah daerah memperoleh anggaran untuk pelayanan dan pengelolaan sampah.
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 9. Grafik Prioritas Aspek yang Dipertimbangkan pada Kebijakan Strategi Peningkatan Peran Masyarakat Aspek Penerapan 3R sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan peningkatan pelayanan persampahan dan juga sudah diamanatkan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, untuk itu langkah
107
strategis yang lebih diprioritaskan oleh responden adalah Sosialisasi dan Edukasi (bobot 0,468), disusul Bantuan Sarana dan Pendampingan (bobot 0,345) dan berikutnya Insentif dan disinsentif dengan bobot 0,187 (Gambar 10). Agar Penerapan 3R dapat berjalan baik dimasyarakat maka langkah yang diprioritaskan adalah Sosialisasi dan Edukasi, karena untuk mengubah pola pikir dan prilaku masyarakat mengenai keberadaan dan penanganan sampah bukanlah hal yang mudah karena masyarakat sudah terbiasa menganggap sampah adalah barang yang tidak bermanfaat dan harus dienyahkan dari pandangannnya. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan penerapan 3R maka prioritas utama adalah diberikan sosialisasi dan edukasi baik berupa seminar ataupun pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. Setelah adanya keinginan dari warga masyarakat sendiri untuk menerapkan 3R maka barulah pemerintah daerah memberikan bantuan berupa sarana dan pendampingan. Penghargaan juga perlu diberikan atas usaha masyarakat dalam pengurangan sampah.
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 10. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Penerapan 3R Pada aspek Ketaatan Pembayaran Retribusi, peran serta masyarakat yang lebih diprioritaskan adalah Ketaatan Pembayaran Sesuai Tarif Retribusi (bobot 0,582) lalu berikutnya Ketaatan Waktu Pembayaran dengan bobot 0,418 (Gambar 11). Pembayaran retribusi sampah harus sesuai tarif yang ditetapkan dalam peraturan daerah karena ada warga masyarakat yang membayar masih di bawah tarif retribusi.
108
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 11. Grafik Prioritas Langkah Strategis pada Aspek Ketaatan Pembayaran Retribusi Berdasarkan analisis prioritas secara global menggunakan Expert Choice 2000, didapat bahwa distribusi prioritas langkah strategis yang memiliki prioritas tertinggi pada kebijakan Peningkatan Peran Masyarakat adalah Sosialisasi dan Edukasi dan Bantuan Sarana dan Pendampingan (Tabel 24). Dengan demikian untuk meningkatkan peran masyarakat maka diperlukan rancangan program yang lebih berpihak pada kedua langkah tersebut.
Tabel 24. Urutan Elemen yang diprioritaskan secara Global dalam Peningkatan Peran Masyarakat. Urutan 2 1 2 1 2 3 4 5
Elemen Peningkatan Peran Masyarakat Penerapan 3R Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah Sosialisasi dan Edukasi Bantuan Sarana dan Pendampingan Insentif dan Disinsentif Ketaatan Sesuai Besaran Tarif Retribusi Ketaatan Waktu Pembayaran
Level 2 3 3 4 4 4 4 4
Bobot Prioritas 0,335 0,271 0,064 0,127 0,094 0,051 0,037 0,027
Sumber : Data Primer (diolah) Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap keenam-belas langkah untuk mencapai tujuan Peningkatan Cakupan Pelayanan Persampahan diperoleh bahwa Penambahan Kendaraan Angkutan sampah adalah langkah yang memiliki nilai tertingi (bobot 0,169), kemudian berikutnya adalah Sosialisasi dan Edukasi Penerapan 3R (bobot 0,127) serta Bantuan Sarana dan Pendampingan (bobot 0, 094) (Tabel 25).
109
Tabel 25. Urutan Prioritas Global Program Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan di Kabupaten Bogor Urutan
Langkah Strategis/Program
Bobot Prioritas 0,169
1
Penambahan Kendaraan Angkutan
2
Sosialisasi dan Edukasi 3R
0,127
3
Bantuan Sarana dan Pendampingan
0,094
4
Industri Pengolah Sampah
0,074
5
Penyediaan Sarana Pewadahan/Pengumpulan oleh Pengembang
0,063
6
Penyediaan TPA di Setiap Wilayah (Barat, Tengah, Timur)
0,062
7
Peningkatan Teknis Pembuangan
0,059
8
Insentif dan Disinsentif
0,051
9
Penyediaan Organisasi Pengelola Sampah
0,047
10
Penerapan Pengelolaan Sampah di TPA
0,045
11
Penambahan Alat Berat di TPA
0,039
12
Ketaatan Sesuai Tarif Retribusi
0,037
13
Perbaikan Kendaraan Angkutan
0,038
14
TPA di Lokasi Strategis Untuk Semua Wilayah
0,038
15
Industri yang Mengelola Sampah Produknya Sendiri
0,032
16
Ketaatan Waktu Pembayaran
0,027
Jumlah
1,000
Sumber : Data Primer (Diolah)
Urutan prioritas di atas menggunakan modus Sintesis Distribusi (Distributive Synthesize) yaitu jika perancangan program yang akan disusun dipilih berdasarkan beberapa alternatif yang diprioritaskan. Grafik hasil sintesis menggunakan modus Sintesis Distribusi dapat dilihat pada Gambar 12.
110
Sumber : Data Olah AHP dengan Expert Choice 2000
Gambar 12. Grafik Hasil Sintesis Menggunakan Modus Sintesis Distribusi (Distribusi Synthesize)
6.3 Perancangan Program Dari hasil AHP dan wawancara dengan sejumlah individu dan pejabat daerah yang terkait maka diperoleh rumusan strategi dan program dalam peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor sebagai berikut : 1. Penambahan sarana operasional yaitu dengan program penambahan kendaraan angkutan sampah. Untuk UPT Wilayah Cibinong kendaraan pengangkut sampah saat ini berjumlah 33 unit sedangkan kebutuhan kendaraan adalah sebanyak 165 unit dump truck. Melalui hasil perhitungan kebutuhan biaya penambahan sarana angkutan sampah yaitu dump truck sebanyak 132 unit maka dibutuhkan biaya sebesar
111
Rp. 38.280.000.000,00. Untuk upah petugas operasional sebanyak 825 orang maka diperlukan biaya per tahun sebesar Rp. 7.821.000.000,00. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan 165 unit kendaraan per tahun sebesar Rp. 12.622.500.000,00. Sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk penambahan 132 unit dump truck dan operasional 165 kendaraan angkutan sampah per tahun adalah sebesar Rp.58.723.500.000,00. Biaya tersebut sangatlah besar dan pemerintah daerah akan kesulitan dalam pendanaan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Untuk tahun 2009, anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi lima UPTD untuk penambahan 16 truk sampah dan operasional 66 truk sampah hanya sebesar Rp. 11.825.000.000,00. Kendala lain yang dihadapi adalah akan sulit dilakukan pengawasan yang obyektif terhadap aparat dan sarana operasional dengan jumlah yang besar tersebut. Masyarakat juga akan tidak termotivasi untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sampah apabila pemerintah daerah masih terus melakukan sistem pengelolaan sampah secara konvensional. Hasil AHP menunjukkan bahwa pendapat responden utama memperlihatkan pandangan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta obyektif yang ada karena apabila dilakukan penambahan kendaraan angkutan sampah maka akan terbentur pada berbagai kendala yang tersebut diatas. Cakupan pelayanan yang memungkinkan dan perlu direalisasikan untuk jangka pendek sampai dengan tahun 2013 sesuai target RPJMD yaitu sebesar 31 %, maka armada angkutan yang dibutuhkan di UPTD Wilayah Cibinong untuk mengangkut sebesar 31 % dari timbulan sampah adalah sebanyak 51 kendaraan. Untuk itu diperlukan tambahan 18 kendaraan angkutan sampah dengan total biaya sebesar Rp.11.538.900.000,00 sebagaimana disajikan dalam Tabel 26. Sisa timbulan sampah sebesar 69 % perlu penanganan atau pelayanan dari pemerintah daerah melalui alternatif penanganan, yaitu program 3R.
112
Tabel 26. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 31% Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong No
Uraian
1
2 3
Volume
Biaya (Rp)
Jumlah (Rp) (3X4)
3
4
5
1
Pengadaan truk sampah 7M
18 unit
290.000.000,00
5.220.000.000,00
2
Pemeliharaan kendaraan
51 unit
36.000.000,00
1.836.000.000,00
3
Bahan Bakar (BBM)
51 unit
40.500.000,00
2.065.500.000,00
4
Sopir
51 orang X 12 Bln
950.000,00
581.400.000,00
5
Kernet/Juru angkut sampah
204 orang X 12 Bln
750.000,00
1.836.000.000,00
Total (Rp)
11.538.900.000,00
Sumber : Keputusan Bupati Bogor No. 900/512/Kpts/Huk/2009 dan Hasil Analisis
2. Penerapan Program 3R di masyarakat dengan program : a. Pelembagaan dan Edukasi Program 3R Untuk meningkatkan cakupan pelayanan sampah di UPT Wilayah Cibinong diperlukan penambahan sarana operasional pelayanan sampah yang cukup besar sehingga dibutuhkan anggaran yang sangat besar pula, oleh karena itu diperlukan alternatif pengolahan sampah di tingkat lokal yaitu dengan pengurangan dan penganan sampah dari sumbernya melalui program penerapan 3R. Tahapan pertama yang dilakukan adalah dengan dilakukan pelembagaan dan edukasi mengenai 3R yaitu menyebarluaskan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya upaya pengurangan sampah, pengolahan sampah dan optimalisasi pemanfaatan sampah. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menayangkan iklan layanan masyarakat, penyebaran brosur atau pamflet, pelatihan kader 3R ataupun seminar. Bagi warga masyarakat yang sudah mendapat pelatihan 3R harus terus diberi motivasi untuk menyebarkan informasi 3R dilingkungannya. b. Pembentukan Kelompok 3R di Masyarakat Setelah masyarakat memiliki pemahaman yang baik mengenai 3R dan memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan 3R di lingkungannya maka agar program dapat berjalan baik dan terkoordinir maka diperlukan suatu
113
kelompok. Pembentukan kelompok ini harus berasal dari masyarakat sendiri dan akan lebih baik dilibatkan seorang tokoh yang mampu menggerakan masyarakat. Untuk penguatan peran dari kelompok ini maka diperlukan juga pelatihan manajemen organisasi bagi pengurus kelompok. c. Bantuan Sarana dan Pendampingan 3R Sarana yang diperlukan dalam program 3R antara lain adalah alat pencacah, bangunan atau rumah kompos, gerobak, tempat pengomposan, mesin daur ulang plastik dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian bahwa terdapat kelompok masyarakat yang memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan 3R namun belum dapat berjalan dengan optimal karena belum seluruh kebutuhan sarana dapat diberikan oleh pemerintah. Maka untuk pemenuhan perlengkapan sarana pengolahan 3R di masyarakat dapat dilakukan dengan bantuan dari program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dengan melakukan kerjasama dengan dengan instansi lain yang terkait. Kegiatan 3R ini dapat menjadi usaha yang menguntungkan secara ekonomi jika dikelola dengan lebih profesional, sehingga untuk mendapatkan modal sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan kerjasama dengan instansi lain yang memiliki program atau kegiatan pemberian dana/pinjaman lunak. Pendampingan juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah selain untuk meningkatkan ketrampilan mengenai teknis penerapan 3R juga untuk memberikan motivasi dan semangat kepada masyarakat/kelompok masyarakat agar terus melakukan kegiatan 3R dilingkungannya. d. Bantuan Pemasaran Produk 3R Hal yang tak kalah penting dari kegiatan 3R adalah pemasaran produk hasil 3R. Untuk pemasaran kompos dapat dilakukan kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan, sedangkan untuk pemasaran hasil kerajinan sampah plastik atau kertas dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan Dinas Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan. Untuk memperluas pasar pupuk kompos maka diperlukan peran pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang meningkatkan
114
pertanian organik dan mengganti penggunaan pupuk kimia dengan pupuk kompos untuk kegiatan pertanian pangan, perkebunan dan kehutanan. 3. Pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan sampah Pengawasan yang lebih obyektif terhadap pengelolaan sampah masih diperlukan agar kualitas dan profesionalitas pelayanan dapat lebih terjamin, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan fungsi regulator (pembuat kebijakan) dan operator (pelaksana kegiatan pelayanan). Apabila dinas akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka dinas perlu berfungsi sebagai regulator yang handal dengan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait.
115
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada kajian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (1)
Kinerja pelayanan pengelolaan sampah secara kuantitatif di Wilayah Cibinong masih rendah. Jumlah sampah yang terangkut baru mencapai 22,46 %. Hal ini menandakan bahwa di kawasan yang belum mendapat pelayanan,
umumnya
masyarakat
umumnya
masyarakat
penimbunan, pembakaran maupun pembuangan sampah
melakukan
ke sungai atau
saluran air. Berdasarkan jumlah penduduk yang terlayani diketahui baru mencapai 16% dari jumlah penduduk. Jumlah sarana pengangkut sampah saat ini baru memenuhi 20 % jumlah yang dibutuhkan agar dapat mengangkut timbulan sampah. Kajian pun menemukan bahwa pemasukan dari retribusi kebersihan hanya memenuhi 26,5 % dari biaya operasional pelayanan persampahan. (2)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat masyarakat mengenai pelayanan persampahan juga dinyatakan masih belum baik, sehingga perlu adanya peningkatan kemampuan pelayanan dari pemerintah daerah.
(3)
Berdasarkan hasil olah AHP diperoleh bahwa penambahan kendaraan angkutan sampah adalah langkah strategis yang memiliki nilai tertinggi (bobot 0,169), kemudian berikutnya adalah sosialisasi dan edukasi penerapan
3R (bobot 0,127) serta bantuan sarana dan pendampingan
penerapan 3R (bobot 0,094). Apabila dilakukan penambahan sarana operasional yang sesuai dengan kebutuhan timbulan sampah akan terbentur berbagai kendala yaitu pendanaan, sumber daya manusia, pengawasan operasional pelayanan serta masyarakat akan lebih tidak perduli untuk mengurangi sampah dari sumbernya. Oleh karena itu diperlukan alternatif pengolahan sampah di tingkat lokal yaitu dengan pengurangan dan penanganan sampah dari sumbernya melalui penerapan 3R, dengan program
116
antara lain adalah: 1) Pelembagaan dan edukasi; 2) Pembentukan kelompok 3R; 3) Bantuan sarana dan pendampingan dan 4)
Bantuan pemasaran
produk.
7.2 Saran Berdasarkan hasil kajian sebagaimana disajikan pada kesimpulan, dengan ini dikemukakan saran-saran sebagai berikut : (1) Penambahan 18 unit kendaraan angkutan sampah di UPT Wilayah Cibinong untuk dapat mengangkut sampah sebanyak 31 % dari timbulan sampah. (2) Diperlukan pengawasan yang lebih obyektif terhadap pelayanan pengelolaan sampah, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan fungsi regulator dan operator. Apabila dinas akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka dinas perlu berfungsi sebagai regulator yang handal. (3) Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sampah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih berperan secara aktif dalam pengelolaan sampah dilingkungan sendiri, minimal dimulai dengan kesadaran melakukan pemilahan sampah. (4) Memberikan bantuan sarana, pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat yang akan dan telah melaksanakan program 3R guna meningkatkan semangat atau motivasi masyarakat dalam mengelola sampah. (5) Agar masyarakat mendapat sarana untuk kegiatan 3R, maka selain mendapat bantuan langsung dari pemerintah daerah melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan, maka dapat diupayakan bantuan dari program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). (6) Setelah disediakan fasilitas pengelolaan sampah maka perlu adanya penerapan sanksi yang tegas oleh pemerintah terhadap pihak yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan sampah. (7) Menerbitkan peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan sampah.
117
DAFTAR PUSTAKA Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Lingkungan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum.1990. Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan: SNI No 19-2454-2002. Yayasan LPMB, Bandung. ________.1994. Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaa : SNI 19-3964-1994. Yayasan LPMB, Bandung. ________.1994. Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah :SKSNI-03-3241-1994. Yayasan LPMB, Bandung. Departemen Kesehatan R.I. 1987. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Sampah. Pusdiklat Proyek Pengembangan Sanitasi, Jakarta. Dewi, R. 1997. Analisis Ekonomi dan Sosial Penanganan Sampah Kota Studi Kasus di Wilayah Kotamadya Bogor. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Direktorat Bina Program Ditjen. Cipta Karya. 1993. Penyusunan Pedoman Teknik Operasi dan Pemeliharaan Pembangunan Prasarana Perkotaan (Komponen Persampahan), Jakarta, Departemen Pekerjaan Umum. Ekaningtiyas, 2009. Strategi Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Penanaman Modal di DKI Jakarta. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Falatehan, 2009. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, Yayasan Idayu, Jakarta. Handoyo, O. 1993. Daur Ulang Sampah dalam Makalah Pelatihan Pengelolaan dan Teknologi Limbah. Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Bandung Irman. 2004. Peran Serta Masyarakat Dalam Teknik Operasional Sampah di Kota Padang. Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. UNDIP, Semarang. Kastaman, R dan Kramadibrata, A. 2007. Sistem Pengelolaan Reaktor Sampah Terpadu Silarsatu. Humaniora, Bandung. Kodoatie, Robert J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Lukman, S. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. STIA LAN Press, Jakarta.
118
Mardalis. 2004. Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara, Jakarta. Murthado, D. dan Said, G. 1987. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Mudiyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Muthmainah, A. 2008. Pengeloaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste di TPA Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Prasetyo, B. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2008. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2009. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2008 – 2013. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2009. Keputusan Bupati Bogor Nomor 900/512/Kpts/Huk/2009 tentang Standar Biaya Honorarium, Perjalanan Dinas, Jamauan, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Panitia Pengadaan Tanah dan Pemeliharaan Kendaraan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2009. BPS Kabupaten Bogor. Permadi, B. 1992. AHP. Universitas Indonesia, Jakarta. Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Republik Indonesia. 2009. tentangPelayanan Publik
Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2009
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga, Jakarta. Sinambela, J. 2008. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Bumi Aksara, Jakarta. Slamet, J.S. 2000. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudradjat. 2009. Mengenal Sampah Kota. Penebar Swadaya, Jakarta. Syafiie, I.K.1999. Ilmu Administrasi Publik. Rineka Cipta, Jakarta.
119
Tchobanoglous, 1993. Integrated Solid Waste management. MCGraw-Hill International Edition, New York. Tjiptono, Pandi. 1996. Manajemen Jasa. Andi, Yogyakarta. Triguno. 1997. Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan Yang Kondusif Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Golden Teravon Press, Jakarta. Widyatmoko, S. 2002. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abadi Tandur, Jakarta.
120
Lampiran
105 Lampiran 1. Model Kuesioner AHP yang Digunakan Untuk Mencapai Tujuan Peningkatan Cakupan Pelayanan Sampah Perumahan
KUESIONER Nama Responden Pendidikan
SMA
Sarjana
Master
Doktor
Keterwakilan Jabatan/Pekerjaan LATAR BELAKANG Pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan munculnya masalah penyediaan pelayanan perkotaan, salah satunya adalah masalah pelayanan persampahan. Berdasarkan target dan sasaran yang ditetapkan dalam MDGs (Millenium Development Goals) bahwa cakupan pelayanan persampahan harus mencapai 70 % penduduk pada tahun 2015, komitmen tersebut juga diperkuat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengeloaan Persampahan (KSNP- SPP). Cakupan pelayanan persampahan yang terlayani atau terangkut oleh Dinas Kebersihan dan pertamanan Kabupaten Bogor baru sebesar 24 % dari timbulan sampah atau hanya 26 Kecamatan dari 40 Kecamatan di Kabupaten Bogor. Angka tersebut masih dibawah angka pelayanan persampahan secara nasional yang mencapai 40 %.
Berikut adalah kuisioner yang ditujukan kepada para pakar/pemegang kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang penting untuk diambil dalam upaya peningkatan cakupan pelayanan sampah perumahan di Kabupaten Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah Analitic Hierarchy Process (AHP ) dan data akan diolah dengan menggunakan software Expert Choice 2000 .
PETUNJUK PENGISIAN 1. Daftar isian terdiri dari 2 jenis tabel. 2. Jenis pertama diisi dengan menuliskan peringkat dan jenis kedua diisi dengan memberi tanda centang (√) berdasarkan prioritas pembobotannya.
5. Pilihan nilai rangking berdasarkan intensitas pentingnya sebagaimana tabel berikut: Intensitas Pentingnya Tingkat Kepentingan antar Dua Elemen yang Dibandingkan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lain Elemen yang satu lebih penting daripada elemen lain Satu elemen jelas sangat penting daripada elemen lain Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lain Nilai diantara dua nilai
1 3 5 7 9 2,4,6,8
3. Pada jenis kedua, pilihan berupa pasangan yang saling dibandingkan pada tingkatan yang sama. 4. Sistem pembobotan dilakukan dengan cara merangking terhadap pasangan pilihan yang dibandingkan.
Contoh: Membandingkan prioritas Pilihan A, B, dan C 9
8
7
5
Pilihan B Pilihan C
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
√
Pilihan A
8
9 Pilihan B
√
A sedikit lebih penting dari B B lebih penting daripada C Pilihan A A sangat penting daripada C Pilihan C
√
106
LEVEL PERTAMA: Tujuan Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah untuk menentukan strategi peningkatan cakupan pelayanan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kabupaten Bogor?” LEVEL KEDUA: Pilihan Alternatif Kebijakan Berdasarkan hasil kajian terhadap faktor-faktor lingkungan strategis yang mempengaruhi pelaksanaan program, alternatif strategi yang mungkin dapat dikembangkan ada 3 pilihan, yaitu: 1) Peningkatan Sarana Pelayanan; 2) Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta; 3) Peningkatan Peran Masyarakat Tuliskan peringkat kepentingan dari pilihan di bawah ini! Peringkat 1 untuk yang paling diprioritaskan, peringkat 2 jika diantara keduanya, dan peringkat 3 jika kurang diprioritaskan Peningkatan Sarana Pelayanan
Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta
Peningkatan Peran masyarakat
...
...
...
Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka meningkatkan pelayanan persampahan pemukiman, alternatif kebijakan apa yang diprioritaskan ? Alternatif Kebijakan
Bobot 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Alternatif Kebijakan
Peningkatan Sarana Pelayanan
Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta
Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta
Peningkatan Peran masyarakat
Peningkatan Peran masyarakat
Peningkatan Sarana Pelayanan
LEVEL KETIGA A: Faktor Pendukung Untuk mendukung terlaksananya alternatif kebijakan, maka perlu dilakukan pembenahan pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tuliskan peringkat kepentingan dari pilihan di bawah ini! Peringkat 1 untuk yang paling diprioritaskan, peringkat 2 jika diantara keduanya, dan peringkat 3 jika kurang diprioritaskan Penambahan/ Perbaikan Sarana Operasional
Optimalisasi TPA Eksisting
Penyediaan TPA Alternatif
...
...
...
107 Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka perbaikan Peningkatan SaranaPelayanan faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan? Peningkatan Sarana Pelayanan
Bobot
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkatan Sarana Pelayanan
Penambahan/ Perbaikan Sarana Operasional
Optimalisasi TPA Eksisting
Optimalisasi TPA Eksisting
Penyediaan TPAAlternatif
Penyediaan TPA Alternatif
Penambahan/ Perbaikan Sarana Operasional
LEVEL KEEMPAT A: Sub Faktor Pendukung Untuk mendorong perbaikan pada faktor pendukung, maka perlu dibantu dengan perbaikan/peningkatan pada sub faktor yang mempengaruhinya. Tuliskan peringkat kepentingan dari pilihan di bawah ini! Peringkat 1 untuk yang paling diprioritaskan, peringkat 2 jika diantara keduanya, dan peringkat 3 jika kurang diprioritaskan Penambahan Kendaraan Angkutan
Perbaikan Perbaikan Kendaraan Angkutan
Penambahan Alat berat di TPA
... ... ... Menurut Anda, dalam rangka Penambahan/Perbaikan sarana pelayanan sampah , sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan? Bobot Penambahan Penambahan /Perbaikan Sarana /Perbaikan Sarana 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pelayanan Sampah Pelayanan Sampah Penambahan Kendaraan Perbaikan Kendaraan Angkutan Angkutan Perbaikan Kendaraan Penambahan Alat Berat Angkutan di TPA Penambahan Alat Berat Penambahan Kendaraan di TPA Angkutan Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka memperbaiki Optimalisasi TPA Eksisting sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan?
Optimalisasi TPA Eksisting Peningkatan Teknis Pembuangan
Bobot 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Optimalisasi TPA Eksisting Penerapan Pengolahan Sampah
108 Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka memperbaiki Penyediaan TPA Alternatif faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk Dikembangkan? Bobot Penyediaan TPA/TPS Penyediaan TPA/TPS Alternatif Alternatif 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 TPA di Setiap Wilayah (Barat, Tengah dan Timur)
TPA di lokasi strategis untuk semua wilayah
LEVEL KETIGA B: Faktor Pendukung Untuk mendukung terlaksananya alternatif kebijakan, maka perlu dilakukan peningkatan pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta , sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan? Peningkatan Kerjasama dengan dunia Usaha/Swasta
Bobot 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Industri
Peningkatan Kerjasama dengan dunia Usaha/Swasta Pengembang
LEVEL KEEMPAT B: Sub Faktor Pendukung Untuk mendorong perbaikan pada faktor pendukung, maka perlu dibantu dengan perbaikan/peningkatan pada sub faktor yang mempengaruhinya. Menurut Anda, dalam rangka mengembangkan Kerjasama dengan Industri sub faktor pendukung apa yang perlu dikembangkan ? Kerjasama dengan industri
Bobot 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kerjasama dengan industri Industri Pengolah Sampah (Sampah sebagai Bahan Produksi/Bahan Bakar)
Industri yang Mengelola Sampah Produknya Sendiri Pertanyaan:
Menurut Anda, dalam rangka mengembangkan Kerjasama dengan Pengembang sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan ? Kerjasama dengan Pengembang Penyediaan sarana Pewadahan/ Pengumpulan
Bobot 9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Kerjasama dengan Pengembang Penyediaan organisasi pengolah sampah di lingkungan perumahan
109
LEVEL KETIGA C: Faktor Pendukung Untuk mendukung terlaksananya alternatif kebijakan, maka perlu dilakukan peningkatan pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka Peningkatan Peran Masyarakat, faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan? Bobot Peningkatan Peran Peningkatan Peran Masyarakat
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Masyarakat Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah
Penerapan 3R
LEVEL KEEMPAT C: Sub Faktor Pendukung Untuk mendorong perbaikan pada faktor pendukung, maka perlu dibantu dengan perbaikan/peningkatan pada sub faktor yang mempengaruhinya. Tuliskan peringkat kepentingan dari pilihan di bawah ini! Peringkat 1 untuk yang paling diprioritaskan, peringkat 2 jika diantara keduanya, dan peringkat 3 jika kurang diprioritaskan Sosialisasi dan Edukasi
Bantuan sarana dan pendampingan
Insentif dan Disinsentif
...
...
...
Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka Penerapan 3R, sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk dikembangkan? Bobot Penerapan 3 R
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Penerapan 3 R
Sosialisasi dan Edukasi
Bantuan sarana dan pendampingan
Bantuan sarana dan pendampingan
Insentif dan Disinsentif
Insentif dan Disinsentif
Sosialisasi dan Edukasi
Pertanyaan: Menurut Anda, dalam rangka Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah, sub faktor pendukung apa yang diprioritaskan untuk ditingkatkan? Bobot Ketaatan Pembayaran Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah Retribusi Sampah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ketaatan sesuai besaran tarif retribusi
Ketaatan waktu pembayaran
Contact Person: Purristiyana (0818986449)
Terimakasih
110
: : Terima Kasih : :
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
111
Lampiran 2. Matriks Persepsi Masing-masing Responden dan Perhitungan Pendapat Gabungan Menggunakan Rata-rata Geometris Level 1. Kebijakan Strategis Matriks Pilihan
A1
A2
Keterangan
A3
A1 A2
1 1/a 1
a1 1
a2 a3
A1 = A2 =
Peningkatan Sarana Pelayanan Peningkatan Kerjasama dengan Dunia usaha
A3
1/a 2
1/a 3
1
A3 =
Peningkatan Peran Masyarakat
Responden 1
Pilihan A1 A2
Responden 2
1 4
0.25 1
3 5
Pilihan A1 A2 A1 1 A2 0.13
0.33
0.20
1
A3
A1
A3
A2
A3
Responden 4 Pilihan A1 A2 A3
Responden 3
0.33
A3 8 1
3 0.17
6
1
Responden 5 A2
A1
3 1 6
0.25 0.17 1
=
0.5 1
0.2 0.33
A3
5
3
1
A2
A3
Pilihan A1 A2 A3 A1 1 3 A2 0.33 1 A3 0.20 0.33
A3 6 1 3
Rumus Rata-rata Geometris :
aw=
1 2
Responden 6
Pilihan A1 A2 A1 1 A2 0.17 A3 0.25
A3
1 0.33 4
Pilihan A1 A1 A2
4 0.33 1 dimana :
n
aw1 x awi x .... x awn
6
a w1 x a w2 x a w3 x a w4 x a w5 x a w6
a1 a wi n
= Penilaian gabungan elemen w = Penilaian elemen w oleh responden ke-i = Banyaknya Responden (n = 6)
Perhitungan :
a1 = a2 = a3 =
6
0.25 x 8 x 0.5 x 6 x 2 x 3 =
1.944 dimana
1/a 1
=
0.514
6
3 x 3 x 0.2 x 0.25 x 4 x 5
=
1.442
1/a 2
=
0.693
6
5 x 0.17 x 0.33 x 0.17 x 0.33 x 3 =
0.599
1/a 3
=
1.669
Matriks dan Bobot Hasil Pilihan
A1
A2
Bobot*
A3
A1
1
1.944
1.442
0.450
A2 A3
0.514 0.693
1 1.669
0.599 1
0.215 0.335
Level 2: 1. Peningkatan Sarana Pelayanan Matriks Pilihan A1 B1 A1 B2 A1 B3 Keterangan : 1
A1 B1 A1B2
1/a 1
A1 B3
1/a 2
a1 1 1/a 3
a2
A1 B1
=
Penambahan/Perbaikan Sarana Operasional
a3
A1 B2
=
Optimalisasi TPA Eksisting
A1 B3
=
Penyediaan TPA Alternatif
1
5 3 1
112
Responden 1 Pilihan
Responden 2
A1 B1
A1 B2
Responden 3
Pilihan A1 B1
A1 B3
A1 B2
Pilihan A1 B1
A1 B3
A1 B2
A1 B3
A1 B1
1
0.20
3
A1 B1
1
4
6
A1 B1
1
6
3
A1 B2 A1B3
5 0.33
1 0.17
6 1
A1 B2 A1B3
0.25 0.17
1 0.25
4 1
A1 B2 A1B3
0.17 0.33
1 4
0.25 1
A1 B1
Pilihan
A1 B2
A1 B3
Pilihan A1 B1
A1 B2
A1 B3
Pilihan A1 B1
A1 B2
A1 B3
A1 B1
1
3.00
4
A1 B1
1
2
0.33
A1 B1
1
5
4
A1 B2
0.33
1
2
A1 B2
0.50
1
0.25
A1 B2
0.20
1
0.33
A1B3
0.25
0.50
1
A1B3
3
4
1
A1B3
0.25
3
1
Perhitungan :
a1 = a2 = a3 =
6
0 .2 x 4 x 6 x 3 x 2 x 5
6
3 x 6 x 3 x 4 x 0 . 33 x 4
6
6 x 4 x 0.25 x 1 x 0.25 x 0.33 =
= =
2.289 dimana 2.570 1
1/a 1 1/a 2
= =
0.437 0.389
1/a 3
=
1
Matriks dan Bobot Hasil Pilihan
A1 B1
A1 B2
A1 B3
Bobot*
A1 B1
1
2.289
2.570
0.548
A1 B2
0.437
1
1.0
0.230
A1B3
0.389
1.0
1
0.222
Level 2: 2. Peningkatan Kerjasama dengan Dunia Usaha/Swasta Matriks A2 B1 1
Pilihan
A2 B1 A2 B2
1/a 1
A2 B2 Keterangan : a 1 A2 B1 = Industri A2 B2 = Pengembang 1
Responden 1 Pilihan
A2 B1 A2 B2
A2 B1 1
A2 B2
5
1
0.20
Responden 4 Pilihan A2 B1 A2 B2 A2 B1 1 3 A2 B2 0.333 1
Responden 2 Pilihan A2 B1 A2 B1 1 A2 B2 0.20 Responden 5 Pilihan A2 B1 A2 B1 1 A2 B2 0.250
Responden 3 Pilihan A2 B1 A2 B1 1 A2 B2 3
A2 B2 5
1
6
0.2 x 5 x 0.33 x 3 x 4 x 0.2
=
0.33
1
Responden 6 A2 B2
Pilihan
4
A2 B1 A2 B2
1
Perhitungan :
a1 =
A2 B2
0.963 dimana
1/a 1
=
1.038
A2 B1 1
A2 B2
5
1
0.20
113 Matriks dan bobot hasil Pilihan A2 B1 A2 B2 Bobot* A2 B1 1 0.963 0.491 A2 B2 1.038 1 0.509 Level 2 : 3 Peningkatan Peran Masyarakat Matriks
A3 B2 Keterangan :
Pilihan
A3 B1
A3B1
1
a1
A3 B1
= Penerapan 3R
A3B2
1/a 1
1
A3 B2
= Ketaatan Pembayaran Retribusi Sampah
A3 B1 1
A3 B2
0.25
1
A3 B1 1
A3 B2
0.33
1
Responden 1 Pilihan
A3B1 A3B2
Responden 2 Pilihan A3 B1 A3 B1 1 A3 B2 0.2
4
Responden 4 Pilihan
A3B1 A3B2
Responden 5 Pilihan A3 B1 A3 B1 1 A3 B2 0.25
3
Responden 3 Pilihan A3 B1 A3 B1 1 A3 B2 0.25
A3 B2 5
1
A3 B2 4
1
Responden 6 A3 B2
Pilihan
4
A3 B1 A3 B2
1
A3 B1 1
A3 B2
0.167
1
6
Perhitungan :
a1 =
6
4 x 5 x 4 x 3 x 4 x 6
=
4.234 dimana
1/a 1
=
0.236
Matriks dan bobot hasil Pilihan
A3B1 A3B2
A3 B1 1 0.236
A3 B2 Bobot* 4.234 0.800 1 0.200
Level 3: 1.1 Penambahan/perbaikan sarana pelayanan
Matriks Pilihan
A1 B1C1
A1 B1C1
1
a1
A1 B1C2
1/a 1
1
a2 a3
A1 B1C3
1/a 2
1/a 3
1
Responden 1 A1 B1C1 Pilihan
A1 B1C2 A1 B1C3
Keterangan : A1 B1C1 =Penambahan kendaraan angkutan A1 B1C2 =Perbaikan kendaraan angkutan A1 B1C3 =Penambahan alat berat Responden 2
A1 B1C2 A1 B1C3
Pilihan A1 B1C1 A1 B1C2 A1 B1C3
A1 B1C1
1
5
4
A1 B1C1
1
A1 B1C2
0.200
1
0.33
A1 B1C2
0.25
A1 B1C3
0.250
3
1
Responden 4 A1 B1C1 Pilihan
A1 B1C2 A1 B1C3
A1 B1C3 0.143
Responden 3 Pilihan A1 B1C1 A1 B1C2 A1 B1C3
7
A1 B1C1
1
1
3
A1 B1C2
0.33
1
4
6
4
0.17
1
0.5
A1 B1C3 0.250
2
1
Responden 5
Responden 6
Pilihan A1 B1C1 A1 B1C2 A1 B1C3
Pilihan A1 B1C1 A1 B1C2 A1 B1C3
A1 B1C1
1
4
2
A1 B1C1
1
4
5
A1 B1C1
1
4
6
A1 B1C2
0.25
1
0.33
A1 B1C2
0.25
1
3
A1 B1C2
0.25
1
3
A1 B1C3
0.5
3
1
A1 B1C3
0.20
0.33
1
A1 B1C3
0.17
0.33
1
114
Perhitungan:
a1 = a2 =
a3 =
6
5x4 x6 x4 x4 x4 6 4 x 7 x 4 x 2 x 5 x 6 6 0.33 x 3 x 0.5 x 0.33 x 3 x 3
Matriks dan Bobot Hasil A1 B1C1 A1 B1C2 A1 B1C3 Pilihan A1 B1C1
1
4.442
A1 B1C2
0.225 0.230
A1 B1C3
=
4.442 dimana
1/a 1
=
0.225
=
4.344
1/a 2
=
0.230
=
1
1/a 3
=
1
Bobot*
0.687
1
4.344 1.07
1
1
0.157
0.156
Level 3: 1.2. Optimalisasi TPA Eksisting Matriks Pilihan
A1 B2C1
A1 B2C2
A1 B2C1 A1 B2C2
1
a1
1/a 1
1
Responden 1 A1 B2C1 Pilihan A1 B2C1
1
A1 B2C2
5
Responden 4 A1 B2C1 Pilihan
Keterangan A1 B2C1 = Peningkatan Teknis Pembuangan A1 B2C2 = Penerapan Pengelolaan sampah Responden 2
A1 B2C2
Pilihan A1 B2C1
A1 B2C1 1 A1 B2C2 0.33
0.2 1
A1 B2C2
Responden 3 Pilihan A1 B2C1 A1 B2C2
A1 B2C2
3
A1 B2C1
1
3
1
A1 B2C2
0.33
1
Responden 5 Pilihan A1 B2C1 A1 B2C2
Responden 6 Pilihan A1 B2C1 A1 B2C2
A1 B2C1
1
4
A1 B2C1
1
0.3
A1 B2C1
1
2
A1 B2C2
0.25
1
A1 B2C2
3
1
A1 B2C2
0.50
1
0.2 x 3 x 3 x 4 x 0.3 x 2
=
Perhitungan :
a1 =
6
1.299 dimana
1/a 1
=
0.77
Matriks dan Bobot Hasil A1 B2C1 A1 B2C2 Bobot* Pilihan A1 B2C1 1 1.299 0.565 A1 B2C2
0.770
1
0.435
Level 3: 1.3. Penyediaan TPA Alternatif
Matriks Pilihan
A1 B3C1
A1 B3C2
A1 B3C1
1
a1
A1 B3C1 = TPA di setiap wilayah
A1 B3C2
1/a 1
1
A1 B3C2 =TPA di lokasi strategis
Responden 1 A1 B3C1 Pilihan
Keterangan
A1 B3C2
Responden 2 Pilihan A1 B3C1 A1 B3C2
Responden 3 Pilihan A1 B3C1 A1 B3C2
A1 B3C1
3
A1 B3C1
1
A1 B3C2 0.250
A1 B3C1
1
0.250
A1 B3C2
4
1
1
A1 B3C2 0.333
1
4 1
115 Responden 4 A1 B3C1 Pilihan
A1 B3C2
Responden 5 Pilihan A1 B3C1 A1 B3C2
Responden 6 Pilihan A1 B3C1 A1 B3C2
A1 B3C1
1
4
A1 B3C1
1
5
A1 B3C1
1
0.33
A1 B3C2
0.250
1
A1 B3C2
0.20
1
A1 B3C2
3
1
0.2 x 3 x 3 x 4 x 5 x 0.33
=
Perhitungan :
a1 =
6
1.648 dimana
1/a 1
=
0.607
Matriks dan Bobot Hasil A1 B3C1 A1 B3C2 Bobot* Pilihan A1 B3C1 1 1.648 0.622 A1 B3C2
0.607
1
0.378
Level 3: 2.1. Industri
Matriks Pilihan
A2 B1C1
A2 B1C2
A2 B1C1
1
a1
A2 B1C2
1/a 1
1
Keterangan A2 B1C1 = Industri yang mengolah sampah produknya sendiri A2B1C2 =Industri Pengolah Sampah
Responden 1
Responden 2
A2 B1C1
A2 B1C2
A2 B1C1
1
0.17
A2 B1C1
1
0.25
A2 B1C1
1
4
A2 B1C2
6
1
A2 B1C2
4
1
A2 B1C2
0.25
1
Responden 4 Pilihan A2 B1C1 A2 B1C1 1 A2 B1C2
3
Pilihan A2 B1C1
Responden 3
Pilihan
A2 B1C2 0.33 1
A2 B1C2
Pilihan A2 B1C1 A2 B1C2
Responden 5
Responden 6
Pilihan A2 B1C1 A2 B1C2 A2 B1C1 1 0.33
Pilihan A2 B1C1 A2 B1C2 A2 B1C1 1 0.33
A2 B1C2
A2 B1C2
3
1
Perhitungan :
a1 =
6
0.17 x 0.25 x 4 x 0.33 x 0.33 x 0.33=
0.428 dimana
1/a 1
=
2.335
Matriks dan Bobot Hasil Pilihan
A2 B1C1
A2 B1C2
Bobot*
A2 B1C1
1
0.428
A2 B1C2
2.335
1
0.300 0.700
Level 3: 3.2.2. Pengembang
Matriks Pilihan
A2 B2C1
A2 B2C2
A2 B2C1
1
a1
A2 B2C2
1/a 1
1
Keterangan A2 B2C1 = Penyediaan sarana pewadahan/pengumpulan A2 B2C2 =Penyediaan organisasi pengolah sampah
3
1
116 Responden 1 A2 B2C1 Pilihan
A2 B2C2
Responden 2 Pilihan A2 B2C1 A2 B2C2
Responden 3 Pilihan A2 B2C1 A2 B2C2
A2 B2C1
1
3
A2 B2C1
1
3
A2 B2C1
1
5
A2 B2C2
0.33
1
A2 B2C1
0.33
1
A2 B2C1
0.2
1
Responden 4 A2 B2C1 Pilihan
A2 B2C2
Responden 5 Pilihan A2 B2C1 A2 B2C2
Responden 6 Pilihan A2 B2C1 A2 B2C2
A2 B2C1
1
0.33
A2 B2C1
1
0.17
A2 B2C1
1
3
A2 B2C2
3
1
A2 B2C2
6
1
A2 B2C2
0.33
1
Perhitungan :
a1 =
6
3 x 3 x 5 x 0 . 33 x 0 . 17 x 3 = 1.399 dimana
1/a 1
=
0.715
Matriks dan Bobot Hasil A2 B2C1 A2 B2C1 Bobot* Pilihan A2 B2C1 1 1.399 0.572 A2 B2C1
0.715
1
0.428
Level 3 : 3.1. Penerapan 3R
Matriks Pilihan
A3B1C1
A3B1C1
1
a1
A3 B1C2
1/a 1
1
a2 a3
A3 B1C3
1/a 2
1/a 3
1
Responden 1 A3B1C1 Pilihan A3B1C1
1
A3 B1C2
0.33
A3 B1C3
0.25
Responden 4 A3B1C1 Pilihan
A3 B1C2 A3 B1C3
A3 B1C2 A3 B1C3
Keterangan A3 B1C1 = Sosialisasi dan Edukasi A3 B1C2 = Bantuan sarana dan pendampingan A3 B1C3 = insentif dan disinsentif Responden 2 Pilihan A3B1C1 A3 B1C2 A3 B1C3
4
A3B1C1
1
2
A3 B1C2
0.25
0.50
1
A3 B1C3
0.20
3
A3 B1C2 A3 B1C3
1
Responden 3 Pilihan A3B1C1 A3 B1C2 A3 B1C3
5
A3B1C1
1
1
2
A3 B1C2
0.50
1
A3 B1C3
4
Responden 5 Pilihan A3B1C1 A3 B1C2 A3 B1C3
3
5
0.33
1
3
0.20
0.33
1
Responden 6 Pilihan A3B1C1 A3 B1C2 A3 B1C3
A3B1C1
1
0.33
2
A3B1C1
1
5
4
A3B1C1
1
0.13
0.25
A3 B1C2
3
1
4
A3 B1C2
0.2
1
0.33
A3 B1C2
8
1
3
A3 B1C3
0.5
0.25
1
A3 B1C3
0.25
3
1
A3 B1C3
4
0.33
1
Perhitungan :
a1 =
6
a2 =
6
a3 =
1.399 dimana
1/a 1
=
0.715
4 x 5 x 5 x 2 x 4 x 0 . 25 =
2.418
1/a 2
=
0.414
2 x 2 x 3 x 4 x 0 . 33 x 3
1.906
1/a 3
=
0.525
3 x 4 x 3 x 0 .33 x 5 x 0 .13
6
=
=
117 Matriks dan Bobot Hasil A3B1C1 A3 B1C2 A3 B1C3 Pilihan A3B1C1
Bobot*
1.399
2.418
0.468
A3 B1C2
0.715
1
1.906
0.345
A3 B1C3
0.414
0.525
1
0.187
1
Level 3 : 3.2. Ketaatan Pembayaran Retribusi Matriks Pilihan
A3 B2C1
A3 B2C2
A3 B2C1
1
a1
A3 B2C1
=
Ketaatan Sesuai besaran tarif
A3 B2C2
1/a 1
1
A3 B2C2
=
Ketaatan waktu pembayaran
Responden 1 A3 B2C1 Pilihan
Keterangan :
A3 B2C2
Responden 2 Pilihan A3 B2C1 A3 B2C2
Responden 3 Pilihan A3 B2C1 A3 B2C2
A3 B2C1
1
0.33
A3 B2C1
1
4
A3 B2C1
1
0.2
A3 B2C2
3
1
A3 B2C2
0.25
1
A3 B2C2
5
1
Responden 4 A3 B2C1 Pilihan
A3 B2C2
Responden 5 Pilihan A3 B2C1 A3 B2C2
Responden 6 Pilihan A3 B2C1 A3 B2C2
A3 B2C1
1
3
A3 B2C1
1
3
A3 B2C1
1
3
A3 B2C2
0.33
1
A3 B2C2
0.33
1
A3 B2C2
0.33
1
Perhitungan :
a1 =
6
0 . 33 x 4 x 0 . 2 x 3 x 3 x 3 =
Matriks dan Bobot Hasil A3 B2C1 A3 B2C2 Pilihan
Bobot*
A3 B2C1
1
1.39
0.582
A3 B2C2
0.72
1
0.418
1.39 dimana
1/a 1
=
0.72
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
8
119
Lampiran 3. Hasil Treeview AHP Pendapat Gabungan pada Expert Choice 2000