SPIRITUALITAS KELUARGA PENDETA
Disiplin Spiritual dan Spiritualitas Kristen Menurut McKnight (2004: 22, 23) disiplin merupakan komitmen hidup secara teratur, yang memberikan irama dan menjadi seni dalam kehidupan seseorang. Disiplin dimaksudkan untuk menata banyak hal yang dijalani setiap orang, sehingga memberikan makna hidup dengan penuh kesadaran. Dengan kata lain disiplin adalah menejemen kehidupan yang secara struktural menata hari-hari hidup, agar kita hidup dan bekerja dengan kesadaran yang tinggi. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri kita yang sebenarnya adalah roh kita itu. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar tubuh fisik kita, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita (Prijosaksono & Erningpraja, 2003). Berdasarkan definisi di atas, kita belajar bahwa disiplin dan praktek-praktek tertentu membantu dan menjaga spiritual setiap orang untuk terbuka dan hidup dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan melalui kehidupan interaksi dengan orang lain. Apa yang membuat sesuatu yang 'disiplin spiritual' adalah bahwa dibutuhkan bagian tertentu dari cara hidup setiap orang dengan tertib dan teratur, kebiasaan atau pola yang teratur dalam hidup yang berulang kali membawa kita kepada Tuhan, seperti tertib berdoa, kebaktian, berpuasa dan lain sebagainya. Bertolak dari pemahaman di atas, maka spiritualitas Kristen adalah disiplin spiritual yang dapat meningkatkan keinginan, kesadaran kita, menyadari bahwa Allah ada dalam diri kita yaitu Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita (I Joh. 3:24c). Spiritualitas Kristen membantu kita menjaga hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri serta membantu mengembangkan keintiman dengan Tuhan dan sesama. Spiritualitas Kristen bukan produk akhir yang diinginkan dari kehidupan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai Tuhan dalam rangka 1
pengembangan kehidupan rohani dan keintiman dengan Tuhan. Tuhan memberi kita disiplin kehidupan rohani sebagai sarana menerima kasih karunia-Nya. Spiritualitas Kristen memungkinkan kita untuk menempatkan diri kita di hadapan Allah sehingga Dia bisa mengubah kita. Henri Nouwen melihat Spiritualitas Kristen sebagai sarana menciptakan ruang untuk bertemu dengan Tuhan. Robert Mulholland menggambarkan disiplin rohani berhubungan dengan hal-hal yang mengganggu dalam kehidupan kita untuk menyelaraskan kita dengan Allah. Douglas Rumford memahami disiplin rohani untuk mengembangkan memori jiwa dan tanggapan terhadap refleksi spiritual.
Spiritualitas Spiritualitas adalah kapasitas dan keunikan,yang mendorong seseorang untuk bergerak melampaui diri sendiri mencari makna dan menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata (Stoyles et al., 2012: 205-205). Dengan kata lain, spiritualitas adalah mencari dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain, dan menganggap hubungan ini sebagai ungkapan dari gerakan keluar dari batin dan diri sendiri untuk mencari makna dalam realitas kehidupan. Darmaputera (1997) mengartikan "spiritualitas" itu dengan pengalaman agama (religious experience). Pengalaman berjumpa dengan Yang Ilahi, Sang Maha Lain (the Wholly Other - Rudolf Otto), Sang Kudus (The Sacred - Emile Durkheim) sehingga menimbulkan suatu perasaan yang oleh Rudolf Otto dilukiskan sebagai mysterium fascinans et tremendum, suatu perasaan misterius yang susah dilukiskan karena ia merupakan campuran dari perasaan gentar namun juga penuh pesona yang amat memukau. Lones Rakhmat melihat spiritualitas sebagai yang : ”mengacu pada suatu sikap hidup yang erat kaitannya dengan pengenalan atau kesadaran diri yang bersumber pada kawasan roh sebagai sumber nafas hidup (Rakhmat, 1997). berdasarkan pengertian ini, menurutnya ada 3 aspek dasar dari spiritualitas : kawasan spiritual (mengacu pada hubungan dengan Tuhan, yang di dalam hubungan tersebut terjadi proses pembentukan diri untuk menemukan makna asasi dari hidup), pengenalan diri (proses lanjutan dari ditemukannya makna hidup), sikap hidup (wujud nyata dari ditemukannya makna hidup). Pencarian, 2
penemuan makna asasi tidak hanya terbatas di dalam komunitas keagamaan, tetapi juga bisa ditemukan dalam pandangan –pandangan dunia yang juga meningkatkan kebajikan semesta Sementara itu Stark dan Glock (1970) berpendapat bahwa spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini Stark dan Glock mempunyai pendapat yang merangkum baik pendapat Eka maupun Ioanes Rakhmat. Dalam uraiannya itu Stark dan Glock menyebutkan adanya 5 dimensi dari komitmen religius, yaitu: Pertama, Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Tak salah lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja. Kedua, Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab. Ketiga, Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang. Keempat, Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya. Kelima, Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya 3
adalah benar adanya. Idealnya sebuah kehidupan spiritualitas yang baik dan dewasa adalah bila ke 5 dimensi tersebut berkembang secara seimbang. Sama seperti perkembangan kehidupan manusia. Seorang dikatakan dewasa dan matang, tentu bukan semata-mata karena ciri-ciri fisiknya (sudah tumbuh tinggi besar, keluar jenggotnya, suara yang membesar dsb), tetapi juga akan diukur dari kematangan emosionalnya, kearifannya, dan perilakunya. Oleh karena itu pembangunan spiritualitas tidak bisa hanya menekankan satu aspek saja. Kelima dimensi spiritualitas itu harus mendapatkan perhatian yang sama. Heuken (2002) menyatakan bahwa “spiritualitas dapat disebut cara mengamalkan seluruh kehidupan sebagai orang beriman yang berusaha merancang seluruh kehidupan sebagai orang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidup ini semata-mata seperti Tuhan yang menghendakinya. Untuk mencapai hal ini seseorang perlu meningkatkan hubungannya dengan Tuhan. Dari beberapa pandangan yang dapat disebutkan diatas, ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam spiritualitas itu sendiri : Pertama, bahwasanya spiritualitas mengacu atau berlandaskan pada hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan yang diistilahkan oleh Rakhmat dengan kawasan spritual. Akar dari hubungan ini adalah bahwa dalam diri manusia ada ”kesadaran akan Tuhan, sebagai Realitas Tertingg. Akar teologis tentang spiritualitas datang dari kesadaran akan Tuhan (God-consciousness), dan kesadaran ini ada dalam diri setiap orang. Kesadaran bahwa di luar dirinya ada kuasa yang lebih tinggi, yang berkuasa dalam mengatasi seluruh kehidupan, alam semesta, cara menyadari dan merespon hal ini juga berbeda-beda sebagaimana mereka menyaksikan, melihat Tuhan, sang Realitas Transenden itu (Hick, 2001). Begitu juga dalam kepercayaan primitif, alam semesta dan semua ciptaan (termasuk buatan manusia) dilihat sebagai suatu kesatuan tanpa batas, yang didalamnya didiami oleh kekuatan, roh, yang tidak terlihat – yang harus disembah, diadakan pemujaan terhadapnya dan pemberian persembahan korban. Kesatuan ini menyebabkan setiap satu dengan yang lainya saling berkaitan hingga ketika terjadi ketidakseimbangan pada salah satu unsur maka hal itu akan mempengaruhi keseluruhan kehidupan. Sedangkan dalam agama-agama besar (modern), antara manusia dan realitas tertinggi memiliki relasi (tapi tetap ada batasan keterpisahan antara manusia dan realitas tertinggi) atau bahkan serupa dan selaras (Hick, 2001). Jadi kesadaran akan Tuhan sang realita tertinggi merupakan kesadaran yang mendasar yang sudah ada di dalam diri manusia.
4
Kedua, berkaitan juga dengan hal diatas bahwasanya spiritualitas membawa pada perubahan menyeluruh kepribadian seseorang, pengenalan atau kesadaran yang lebih utuh mengenai dirinya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan seseorang akan mengalami transformasi diri sejauh kesadaran akan keberadaan Tuhan dan dirinya sendiri, begitu juga dalam kepercayaan primitif ,manusia dipahami sebagai bagian dari kesatuan alam semesta yang saling berhubungan. Sedangkan dalam agama-agama modern seperti Agama Islam, Kristen dan Khatolik dalam memahami manusia sebagai ciptaan yang (awalnya) mulia – yang paling tinggi diantara ciptaan lainnya – yang mengalami distorsi, dosa (sebagai kelemahan karakter individu, terutama dalam hal moral. Sedangkan dalam Agama Hindu dan Budha melihat bahwa hakikat terdalam atau sifat sejati manusia adalah realitas Brahman yang tanpa batas, sifat Budha yang universal; namun manusia mengalami kebutaan secara spiritual atau kesadaran palsu dimana ia belum menyadari hakikat dirinya sendiri sifat yang jauh dari ego yang mementingkan dirinya sendiri, berusaha menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, bisa mencapai kebaikan tertinggi, kedamaian dalam jiwa, merasa tentram, sukacita, hidup dengan penuh kesucian hati maka mereka akan diselamatkan (Hick, 2001). Ketiga, dikatakan bahwa spiritualitas tidak hanya terbatas pada sikap batin atau rohani saja tapi hal itu juga harus nyata dalam suatu sikap, gaya hidup, atau yang berhubungan dengan mentalitas seseorang, perjumpaan dengan Tuhan atau realitas tertinggi itu hendaknya akan membawa pada pengembangan kepribadian sehingga dapat direfleksikan dan diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari karena inilah bentuk konkret dari pertumbuhan spiritualitas itu sendiri – sebagaimana yang dikatakan oleh John Hick: ”bahwa apa yang sesungguhnya orang-orang yakini akan lebih kelihatan pada tindakannya daripada kata-katanya (Hick, 2001). Hingga akhirnya dapat disimpulkan bahwa spiritualitas menyangkut 3 aspek yang pertama mengenai bagaimana hubungan seseorang dengan Tuhan, sebagai sumber dari kehidupan rohani, kedua, hubungan dengan diri sendiri agar terjadi tranformasi, kesadaran diri, pengenalan, hakikat diri dan sebagainya. ketiga, hubungan dengan orang lain sebagai implementasi dari kehidupan spiritualitas dan rohani seseorang, sehingga dengan adanya semua ini seseorang dapat mencapai tujuan hidup spiritualitasnya dengan persatuan atau persekutuan tergantung cara atau jalan yang mereka pakai untuk mencapai spiritualitasnya yang tentu saja masing-masing agama mempunyai serta menawarkan metodenya sendiri untuk di pakai oleh para umatnya. 5
Area Perkembangan Spiritual Branden (1992:17) menjelaskan bahwa healthy self-esteem terintegrasi dalam aspek self-efficacy sebagai kemampuan diri dan self-respect sebagai nilai diri.Self-respect berhubungan dengan kepercayaan nilai diri bahwa setiap orang layak bahagia yang menggambarkan tingkat integritas seseorang.Sedangkan selfefficacyberhubungan dengan kemampuan berpikiruntuk mengatasi tantangan hidup yang menggambarkan tingkat rasionalitas seseorang.Tingkat rasionalitas dan integritas seseorang menggambarkan reputasi dirinya. Berbeda dengan Branden, menurut Hurlock (1974:71-73) reputasi adalah persepsi orang lain terhadap diri kita. Reputasi itu menguntungkan atau tidak, sangat bergantung pada social values dan social stereotypes.Social values merupakan hasil penilaian masyarakat terhadap perilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku.Social stereotypes merupakan penilaian terhadap perilaku seseorang dalam perspektif orang lain. Branden (1990:15, 16) memahami reputasi didasarkan pada keyakinan berpikir untuk merespon secara efektif terhadap tantangan, dan kepercayaan emosional bahwa setiap orang layak bahagia untuk sukses, berprestasi, memiliki cinta, dan rasa hormat.Harga diri adalah reputasi kita dalam perspektif diri sendiri.Secara konseptual menurut pemahaman Branden, harga diri(reputasi diri) dapat didefinisikan sebagai keyakinan yang menggambarkan kemampuan dirispiritual (self-efficacy) dalam mengatasi tantangan hidup, dan perasaan nilai diri spiritual (self-respect) untuk mencapai kebahagiaan. Reputasiitu dibangun dalam enam pilar harga diri sebagai suatu konsistensi dan disiplin spiritual.Keenam pilar ini sebagai karakteristik harga diri sehat (healthy self-esteem) yang menurut Branden (1990:16-20) disebut pencapaian diri spiritual, yang merupakan suatu perkembangan spiritualseseorang sebagai berikut. a.Kesadaran diri. Kesadaran diriberhubungan dengan kemampuan berpikir danterbuka untuk setiap pengetahuan, informasi, nilai-nilai bahkan fakta-fakta yang mungkin tidak nyaman atau mengancam,tidak hanya realitas eksternal tetapi juga internal menyangkut kebutuhan, perasaan, aspirasi, dan motif.
6
b.Penerimaan diri. Penerimaan diri berhubungan dengan komitmen diri terhadap kemampuan dan prestasi yang dicapai, serta berani mengambil tanggung jawab terhadap suatu kegagalan, kesalahan maupun kekurangan yang dimilikinya. c. Ketegasan diri. Ketegasan diri berhubungan dengan ekspresi nilai-nilai sikap dan perasaan (spiritualitas yang terkait dengan keterbukaan diri) secara konsisten, konsekuen dan otentik. d. Tujuan hidup. Tujuan hidup berhubungan dengan menetapkan tujuan jangka pendek-panjang, merumuskan action-plan dan mengembangkan disiplin spiritual diri e.Tanggung jawab diri.Tanggung jawab diriberhubungan dengan pengendalian diri terhadap pilihan dan tindakan untuk suatu pencapaian tujuan hidup, kebahagiaan dan nilai-nilai yang dimilikinya. f. Integritas diri.Integritas diriberhubungan dengan keutuhan dalam kemampuan berpikir, sikap dan perasaan secara tulus, jujur dan benar. Berdasarkan hasil penelitian dan rasional teoriyang telah dipaparkan, maka harga diri spiritual yang sehat (healthyspiritual self-esteem) didefinisikan sebagai pandangan yang seimbang dan akurat tentang diri sendiri, memiliki kemampuan tetapi mengakui kelemahan, mempunyai nilai diri spiritual(self-worth), merasa aman dan berharga serta memiliki hubungan positif dengan orang lain yang mengundang rasa hormat dari orang lain, tegas dalam mengekspresikan kebutuhan, pendapat, dan kemampuan dalam membuat keputusan.
Area Ketidakmampuan Perkembangan Spiritual Permasalahan harga diri spiritual yang rendah pribadi setiap individu merupakan perkembangan dari aspek berpikir negatif dan aspek nilai diri negatif. Menurut Sorensen (2012:4), harga diri spiritual yang rendah dapat dipahami sebagai berpikir irasional yang terdistorsi diri dan mempengaruhi asumsi, interpretasi, persepsi, kesimpulan dan keyakinan tentang dirinya sendiri serta yang lain. Lim et al. (2005, Module 1:2) memahami harga diri spiritual yang rendah sebagai nilai diri negatif yang ditempatkannya sebagai pribadi. Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah mengalami suatu perkembangan secara empiris. 7
Secara empirikal teori, permasalahan harga diri rendah bertolak dari pemahaman Lim et al. (2005, Modul 2:9, 10) tentang perkembangan harga diri spiritual yang rendah sebagai area ketidakmampuan perkembangan spiritual yaitu, pengalaman hidup negatif masa lampau, keyakinan inti negatif, asumsi negatif, bias harapan, evaluasi diri negatif dan ketidakpercayaan diri. Area ketidakmampuan perkembangan spiritual adalah ketidakmampuan berpikir (aspek berpikir negatif) untuk mengatasi tantangan hidup dan ketidakyakinan diri (aspek nilai diri negatif) pribadi setiap individu untuk mencapai kebahagiaan, dideskripsikan sebagai berikut.
A. Pengalaman Hidup Negatif Masa Lampau Pengalaman hidup negatif masa lampau adalah masalah dan peristiwa yang terjadi sekali atau berulangkali, merugikan dan membawa preseden buruk bagi kemampuan berpikir spritual pribadi setiap individu. Menurut Lim et al. (2005, Module 2:9) keyakinan tentang diri pribadi setiap individu dipelajari sebagai hasil dari pengalaman yang dimiliki dalam kehidupannya, terutama pengalaman awal kehidupan individu. Keyakinan yang individu miliki tentang dirinya adalah suatu kesimpulan berdasarkan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Apa yang terjadi dalam hidup pribadi setiap individu yang akan menjadi fakta dan kenyataan sebagai pengalaman hidup positif atau pengalaman hidup negatif masa lampau individu. Pribadi setiap individu belajar hal-hal dalam cara yang berbeda-beda. Setiap pribadi dapat belajar dari pengalaman langsung, media, mengamati apa yang orang lain lakukan, dan mendengarkan apa yang orang katakan. Hal ini akan terus berlanjut sepanjang hidupnya, tetapi keyakinan tentang dirinya sendiri sering (meskipun tidak selalu) dikembangkan sebelumnya dalam hidup. Ini berarti bahwa pengalaman pribadi setiap individu dalam keluarga pada masa kecil, masyarakat tempat individu tinggal, sekolah, teman-teman ikut mempengaruhi pikiran individu dan keyakinan tentang segala macam hal, termasuk dirinya sendiri. Jika pribadi setiap individu telah tiba pada pikiran sangat negatif dan keyakinan tentang dirinya sendiri negatif, kemungkinan bahwa individu telah mengalami berbagai pengalaman negatif masa lampau yang mungkin telah berkontribusi untuk hal tersebut (Lim et al.2005, Module 2:9). Pengalaman hidup negatif masa lampau meliputi lima unsur masalah yaitu pendidikan yang rendah, beban ekonomi keluarga, konflik diri individu, kurang
8
penghargaan dalam keluarga, dan iklim lingkungan masyarakat negatif, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Pendidikan yang Rendah Answer (2012:3) memaparkan bahwa, sekolah dapat mempengaruhi anakanak (siswa) melalui sikap mereka terhadap persaingan dan mendorong keragaman dan pengakuan mereka terhadap prestasi di bidang akademik, olahraga, dan seni. Pada masa kanak-kanak, persahabatan telah diasumsikan peran penting dalam kehidupan seorang anak. Penelitian telah menunjukkan bahwa anak usia sekolah menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman mereka daripada mereka menghabiskan melakukan pekerjaan rumah, menonton televisi, atau bermain sendirian. Pada tahap ini, penerimaan sosial oleh kelompok-kelompok anak memainkan peran utama dalam mengembangkan dan mempertahankan harga diri anak. Sejumlah penelitian mengaitkan harga diri spiritual yang rendah untuk berbagai macam masalah, termasuk prestasi sekolah yang buruk, putus sekolah (Answer, 2012:5), akan mempengaruhi hubungan persahabatan mereka dengan teman-temannya, guru, orang tua atau orang lain dalam kehidupan mereka. Menurut Sorensen (2012, 10, 11) kontributor utama harga diri spiritual yang rendah adalah orang tua, guru, pembantu rumah tangga, kakek, nenek, saudara, teman, dan kerabat lainnya serta otoritas lainnya dalam kehidupan anak. Orang tua bagaimanapun, memiliki kesempatan terbaik dan paling konsisten untuk mempengaruhi pandangan seorang anak memiliki dirinya sendiri. Kebanyakan orang tua berusaha menjadi orang tua yang baik. Sayangnya, kebanyakan orang tua bergantung pada masa kecil mereka sendiri, intuisi mereka, dan mereka sendiri yang merasa berhasil untuk menentukan bagaimana memperlakukan anak-anak mereka, bahkan banyak yang hanya mengulangi kesalahan orang tua mereka sendiri yang pernah dibuatnya. Kesibukan orang tua sering mangabaikan tanggung jawab pendidikan terhadap anak, sehingga anak sering takut jika diajukan pertanyaan dan tidak tahu bagaimana menanggapinya dan menjawabnya, sering bimbang dan ragu jika diminta melakukan sesuatu dan tidak tahu bagaimana melakukannya, merasa kurang percaya diri untuk melakukan hal-hal yang kebanyakan orang lain tahu bagaimana melakukannya, merasa enggan dan tidak mampu untuk berbagi ide dan pendapat kepada orang lain ketika dalam suatu kelompok diskusi. Anak-anak yang secara konsisten dimarahi, diteriaki bahkan dipukul karena tidak naik kelas, tidak lulus ujian, tidak belajar, dan karena itu sering dianggap 9
sebagai anak yang bodoh. Seorang anak terus-menerus gagal di sekolah atau buruk dalam olahraga, mereka akan mengalami krisis identitas diri, terutama ketika mereka mencapai usia remaja. Hal ini berdampak secara langsung atau tidak langsung terhadap citra diri dalam mengembangkan kompetensi dan integritas diri anak-anak (Theravive, 2011:2).
2. Beban Ekonomi Keluarga Theravive (2011:2) memberi gambaran bahwa, harga diri spiritual yang rendah bukanlah sesuatu yang hanya muncul suatu saat saja, tetapi hal ini dikembangkan dan dipelihara dari waktu ke waktu. Setiap hari individu dapat mengalami situasi yang baik bisa meningkatkan harga dirinya, tetapi juga bisa mengalami citra buruk dalam dirinya sendiri. Sebagai seorang anak, orang tua adalah pengaruh terbesar terhadap penghargaan atas diri mereka. Seorang anak yang terus-menerus diabaikan, digoda, diejek dan direndahkan karena tidak bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, dianggapnya tidak berguna dan tidak berharga. Hasil penelitian yang dipaparkan Uslu (2013:117, 120) terhadap 500 siswa SMA, menguji hubungan antara remaja yang memiliki harga diri spiritual yang tinggi dengan status sosial ekonomi, gender dan tekanan teman sebaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja laki-laki yang memiliki harga diri spiritual yang tinggi kebanyakan dari tingkat ekonomi tinggi dan memiliki gaya hidup positif, tetapi tingkat tekanan teman sebaya lebih tinggi laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan. Dengan itu, latar belakang ekonomi keluarga turut mempengaruhi tingkat harga diri spiritual pribadi setiap individu. Menurut Ithaca ((2003:2) secara umum, bahwa anak remaja kelas ekonomi menengah dan kelas atas, memiliki harga diri spiritual yang tinggi dibandingkan remaja kurang makmur (miskin) yang memiliki standard ekonomi dibawa ratarata cenderung mengalami harga diri spiritual yang rendah. Semakin tinggi status sosial ekonomi remaja, lebih mudah memiliki sumber daya lebih besar, kualitas hidup lebih baik dan standard gizi makanan yang lebih terjamin pula. Sedangkan remaja dengan status ekonomi rendah tidak akan memenuhi standard gizi empat sehat lima sempurna, cenderung memiliki sumber daya dan kualitas hidup yang rendah, semakin mengembangkan harga diri spiritual yang rendah para remaja.
3. Konflik Diri Individu Answer (2012:2) memaparkan bahwa, anak-anak dengan harga diri spiritual yang rendah memiliki waktu yang sulit berurusan dengan masalah, 10
terlalu kritis terhadap diri sendiri, dan bisa menjadi pasif, menarik diri, serta tertekan. Mereka mungkin ragu-ragu untuk mencoba hal baru, mungkin berbicara negatif tentang diri mereka sendiri, mudah frustrasi, dan sering melihat masalah sementara sebagai kondisi permanen. Hal tersebut menjadi konflik diri, karena mereka pesimis tentang diri dan kehidupan mereka sendiri. Harga diri spiritual yang rendah berasal dari sumber yang berbeda untuk anak-anak pada tahap perkembangan yang berbeda. Harga diri spiritual yang rendah pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan perilaku orangtua. Perilaku orangtua, termasuk dorongan dan pujian atas prestasi, serta internalisasi sikap orang tua terhadap keberhasilan dan kegagalan, adalah faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi harga diri spiritual yang rendah pada anak usia dini Menurut Theravive (2011:2) sikap orang tua yang kasar dan lalai tanggung jawab terhadap anak-anak telah menciptakan krisis identitas dan jati diri, serta mengembangkan citra diri buruk pada anak-anak terutama ketika mereka mencapai usia remaja. Hal-hal seperti inilah yang sering menciptakan konflik individu dalam diri anak, sehingga anak memiliki pola perilaku menyalahkan diri sendiri, cendrung membuat pilihan yang buruk, sering cemas dengan situasi dalam keluarga yang kurang harmonis, sering dikucilkan, dibedakan dan dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain dalam keluarga, menjadi sensitif, tidak puas, stress, depresi dan putus-asah dalam sebagian besar hidupnya (Sorensen, 2012:11). Counseling Centre (2012:2,3) menjelaskan bahwa pengalaman hidup negatif masa lampau mengembangkan harga diri spiritual yang rendah anak sekaligus merupakan kegagalan bagi diri mereka untuk berkembang lebih baik. Dikatakan demikian karena anak-anak dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan masa depan mereka, dengan menciptakan kecemasan, stres, kesepian, dan meningkatkan kemungkinan depresi, menyebabkan masalah dengan persahabatan dan hubungan romantis, mengganggu kinerja akademik dan pekerjaan, mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap penyalahgunaan zat (obat terlarang dan alkohol). Konsekuensi-konsekuensi negatif seperti inilah yang menimbulkan keyakinan inti negatif dalam diri anak yaitu memperkuat citra diri negatif yang dapat membawa ke sebuah spiral perilaku rendah dan rendah harga diri, semakin tidak produktif dan bahkan aktif merusak diri sendiri.
4. Kurang Penghargaan dalam Keluarga Menurut Lim et al. (2005, Modul 2: 9, 10), anak yang sering dianiaya, dihukum secara ekstrim, diabaikan, ditinggalkan, atau dilecehkan, mendapat 11
perlakuan kasar, terlalu sering dikritik, dipermalukan dan dihina, meninggalkan pengalaman emosional dan psikologis yang buruk bagi anak-anak. Anak-anak sering tidak menerima perhatian yang cukup, pujian, dorongan, kehangatan, kasih sayang yang merupakan kebutuhan dasar bagi anak-anak, karena orang tua menghabiskan banyak waktu bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau mengejar kepentingan mereka sendiri dan memiliki waktu yang sangat sedikit dengan anak-anak mereka. Anak sering merasa kurang dukungan atas apa yang dikerjakannya, tidak pernah dipuji jika berhasil mengerjakan suatu tugas dalam keluarga, bahkan sering mendapat kritik yang berlebihan, apalagi untuk mendapatkan kata-kata sanjungan, kasih sayang seperti “Aku menyayangimu, Aku mencintaimu” (Sorensen, 2012:10). Menurut Homeier (2006:2) anak lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah, karena itu orang tua mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi ide-ide anak mengembangkan dirinya, khususnya ketika mereka masih kecil. Jika orang tua menghabiskan lebih banyak waktu mengkritik daripada memuji anak, itu bisa lebih sulit bagi seorang anak untuk mengembangkan harga diri yang sehat. Hal itu disebabkan karena anak masih membentuk nilai-nilai dan keyakinan mereka, untuk membangun citra diri di sekitar apa yang orang tua, atau orang lain katakan. Kritik dari orang tua atau orang lain dapat membuat anak-anak dengan harga diri spiritual yang rendah merasa lebih buruk. Anak-anak juga dapat mengembangkan harga diri spiritual yang rendah jika orang tua atau orang lain menekan mereka untuk mencapai tujuan yang tidak realistis. Orang tua harus peduli dengan anak ketika harga diri spiritual yang rendah mengganggu aktivitas sehari-hari atau menyebabkan depresi, karena harus selalu menyenangkan orang lain, tidak menyukai diri sendiri, perasaan ketidakbahagiaan sebagian besar waktu, tidak memiliki teman dan perlu untuk membuktikan bahwa mereka lebih baik daripada yang lain (Answer, 2012:6).
5. Iklim Lingkungan Masyarakat Negatif Counseling Centre (2012: 3) menyebut masalah-masalah di atas sebagai pengalaman hidup negatif masa lampau, bahkan hal yang individu tidak biasanya berpikir, terus mempengaruhi kehidupannya sehari-hari dalam bentuk sebuah "suara hati (inner voice)". Individu dengan harga diri yang sehat, pesan dari suara hati biasanya menerima dan meyakinkan. Individu yang harga diri spiritual yang rendah, suara hati menjadi kritikus yang keras, menghukum kesalahan seseorang dan meremehkan prestasi seseorang. Anak usia dini yang mendapat kecaman 12
keras dan dilecehkan secara fisik, seksual, atau emosional dari orang-orang dilingkungan masyarakat dimana ia tinggal akan mengalami trauma berat bahkan menjadi gangguan stress yang disebut post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan terkait pengalaman, perilaku, dan respon fisiologis yang berkembang setelah individu mengalami traumatis psikologis. Perilaku masyarakat yang menyimpang seperti penyalagunaan zat (obat terlarang), bermabuk-mabukan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, seringkali membuat anak-nak mersa cemas dan tidak aman di lingkungannya sendiri. Pengalaman-pengalaman di atas, dapat mempengaruhi bagaimana anakanak melihat diri mereka sendiri terutama jika mereka membandingkan pengalamannya dengan rekan-rekan mereka yang mungkin memiliki pengalaman yang lebih positif. Pengalaman hidup negatif masa lampau yang anak-anak miliki telah berkontribusi mengembangkan harga diri spiritual yang rendah yang akhirnya menciptakan keyakinan inti negatif dan asumsi negatif dalam diri anakanak, dapat dijadikan fakta atau kebenaran tentang siapa mereka sebagai pribadi.
B. Keyakinan Inti Negatif Keyakinan inti negatif adalah kesimpulan tentang ketidakmampuan berpikir spiritual pribadi setiap individu sebagai akibat dari pengalamanpengalaman negatif yang dimilikinya. Menurut Nordy (2012:1) Banyak faktor berkontribusi untuk individu yang memiliki harga diri spiritual yang rendah, mengungkap sistem inti keyakinan saling terkait dan kompleks pada panggilan batinnya. Sebuah keyakinan inti negatif, menurut pandangan para ahli psikoterapi kognitif, adalah keyakinan yang kaku, dan berlebihan tentang diri sendiri, orang lain, atau dunia pada umumnya. Pengalaman sulit atau menyakitkan, terutama pada awal kehidupan, sering memberikan katalis untuk pembentukan keyakinan inti negatif. Seringkali keyakinan inti negatif diunggulkan di masa kecil dan berkembang sebagai pribadi yang tumbuh menjadi dewasa. Apa yang membuat keyakinan inti negatif disfungsional adalah kenyataan bahwa hal tersebut tidak fleksibel ke titik kekakuan. Sebuah keyakinan inti tidak berusaha untuk menyangkal diri sendiri tetapi ada dalam keadaan tidak perlu diragukan lagi. Menurut Lim et al. (2005, Modul 2:17, 18) keyakinan inti negatif tentang diri individu berkembang dari pengalaman negatif masa lalu. Hal ini penting untuk memahami bagaimana dan mengapa pribadi setiap individu mengambil 13
kesimpulan tentang dirinya sendiri seperti yang dilakukannya. Cara individu memahami informasi dari dunia sekitar, adalah tanggapan individu terhadap situasi tertentu sehari-hari untuk menjaga keyakinan inti negatif. Pengolahan informasi memainkan peranan yang sangat besar dalam mempertahankan harga diri spiritual yang rendah. Hal itu disebabkan otak pribadi setiap individu cenderung untuk memilih apa yang individu perhatikan dan bagaimana individu berpikir tentang dan memahami sesuatu, adalah keyakinan yang individu pegang. Individu cenderung memperhatikan hal-hal yang diharapkan dan menginterpretasikan hal-hal dalam cara yang konsisten dengan harapannya. Akibatnya, pribadi setiap individu cenderung hanya mengingat hal-hal yang terjadi dalam hidupnya yang konsisten dengan apa yang diyakininya benar. Proses menghadiri dan menafsirkan segala sesuatu dengan cara yang konsisten dengan keyakinan individu, itulah yang disebut keyakinan inti negatif. Berbagai jenis pengalaman dapat mempengaruhi dan membentuk cara individu melihat dan merasakan tentang dirinya sendiri. Pengalaman negatif yang telah terjadi lama sebelumnya dalam hidup individu, merubah cara individu memahami dirinya dalam perspektif negatif yang menghasilkan suatu keyakinan negatif terhadap dirinya. Keyakinan inti negatif adalah kesimpulan tentang diri individu yang berproses membentuk cara individu melihat dirinya sendiri sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman negatif yang individu miliki. Seorang anak yang selalu dihukum dan dikritik menimbulkan suatu keyakinan pada dirinya sendiri bahwa "saya tidak berguna," atau "saya buruk”, "Ini tidak cukup baik" saya "bodoh," "tidak kompeten," "tidak dicintai," "jelek," atau beberapa penilaian negatif lainnya (Lim et al. 2005, Modul 2:11). Keyakinan inti negatif meliputi lima unsur masalah yaitu ketidakmampuan menghidupi keluarga, ketidakmampuan intelektual, ketidakmampuan mengendalikan emosi, penghargaan diri yang rendah, dan ketidakmampuan berperan dalam masyarakat, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Ketidakmampuan Menghidupi Keluarga Lim et al. (2005, Modul 2:10, 11) memahami keyakinan inti negatif merupakan suatu pengalaman negatif yang mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya sendiri dan mempunyai kesimpulan negatif tentang dirinya, yang disebut keyakinan inti negatif. Anak-anak sering tidak menerima perhatian yang cukup, pujian, dorongan, kehangatan, kasih sayang yang merupakan kebutuhan dasar bagi anak-anak, karena orang tua menghabiskan banyak waktu bekerja, bahkan mereka sering diminta bekerja membantu orang tua memenuhi 14
kebutuhan keluarga. Keyakinan inti negatif yang muncul adalah anak merasa sendirian dan terabaikan karena sering ditinggalkan. Anak-anak sering merasa dipaksa dan belum trampil bekerja, rentan terhadap penyakit, tidak cukup baik dan tidak dapat memperbaiki keadaan ekonomi keluarga sebagai tulang punggung dalam keluarga. Untuk orang dewasa, keyakinan inti negatif tampaknya masuk akal selama mereka tidak mampu untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman hidup yang negatif dengan penjelasan lain untuk apa yang terjadi terhadap mereka. Dengan itu, keyakinan inti negatif adalah kesimpulan tentang diri individu sebagai akibat dari pengalamanpengalaman negatif masa lalu yang dimilikinya (Lim et al. 2005, Modul 2:12). Para peneliti telah menemukan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi biasanya memiliki harga diri spiritual yang tinggi dibandingkan keluarga yang kurang mampu (miskin) cenderung memiliki harga diri spiritual yang rendah. Kecenderungan memperoleh kualitas hidup yang lebih baik, mapan sehingga berpengaruh pada pendidikan dan kapasitas hidup layak bagi anak-anak dari keluarga yang berekonomi tinggi. Sedangkan anak-anak yang rentan terhadap penyakit karena nilai gizi yang kurang cenderung menghasilkan kualitas hidup maupun prestasi akademik rendah kebanyakan berlatar belakang keluarga miskin atau tidak mampu (Answer, 2012:2).
2. Ketidakmampuan Intelektual Theravive (2011:4) beranggapan bahwa keyakinan inti negatif berkontribusi pada nilai diri dan ketidakmampuan intelektual seseorang yang mencakup keyakinan bahwa saya tidak cukup baik, tidak bisa membuatnya, tidak bisa benar untuk melakukan hal-hal yang kebanyakan orang dapat melakukannya. Individu sepertinya tidak pernah dapat menemukan arah atau tujuan dalam hidup karena merasa bodoh, gagal, buruk, tidak peduli, bukan apa-apa, tidak berhasil dan merasa bersalah. Dengan mengidentifikasi keyakinan inti negatif yang berkontribusi terhadap nilai diri dan ketidakmampuan intelektual akan menemukan gambaran yang jelas tentang masa depan agar mampu mengatasi perasaan negatif dan memberikan harapan serta melepaskan diri dari keyakinan berbahaya. Menurut Answer (2012:4, 5) sebuah titik kritis dalam perkembangan anak pada usia sekolah, terjadi pada dua hal. Pertama megalami krisis identitas dalam menyesuaikan diri dengan teman sebaya atau orang dewasa dalam situasi baru 15
dengan aturan-aturan yang mungkin baru dan aneh. Kedua, krisis dalam mengikuti pelajaran disekolah terhambat karena berbagai faktor pengaruh, tentang bagaimana anak-anak bisa mengurusi tugas-tugas belajar di sekolah dan bagaimana mereka trampil dalam olahraga maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hal tersebut membentuk dan merobah cara pandang anak-anak terhadap dirinya sendiri, sehingga menimbulkan kesimpulan pada keyakinan dirinya bahwa saya tidak bisa benar, saya minder, saya bukan apa-apa, saya bodoh dan tidak mampu.
3. Ketidakmampuan Mengendalikan Emosi Queensland University (2008: 2) mendefinisikan keyakinan inti negatif sebagai pengalaman hidup negatif masa lalu yang berdampak pada setiap bidang kehidupan termasuk hubungan kerja, hubungan pribadi, kondisi emosional dan membuat individu berperilaku merugikan diri sendiri, merasa selalu salah dengan pola perilakunya, tidak dapat membuat diri dengan jelas, membosankan, menjadi sensitif, merasa gagal dan tidak diinginkan dalam keluarga, sahabat dan teman. Dengan itu, keyakinan inti negatif adalah pernyataan fakta yang tidak membantu berdasarkan pengalaman yang telah individu miliki dalam hidupnya. Orang tua banyak berdebat tentang masalah anak di sekolah, seperti pelajaran yang sulit, diganggu, atau tidak memiliki teman, dapat memiliki dampak negatif pada harga diri, sehingga anak mengalami harga diri spiritual yang rendah. Anak-anak dengan harga diri spiritual yang tinggi mungkin cenderung menjadi pengganggu, sementara anak-anak dengan harga diri spiritual yang rendah dapat menjadi korban pengganggu. Sementara orang tua tidak bisa membantu anakanak mengembangkan kontrol diri, bahkan mereka disalahkan, ditekan dan diabaikan dalam keluarga. Anak-anak mengalami perubahan besar dalam hidup mereka dan harga diri mereka sering dapat menjadi rapuh. Mereka biasanya sangat prihatin dengan pilihan mereka tentang bagaimana mereka melihat dan bagaimana mereka merasakan dan diterima oleh keluarga maupun teman-teman mereka di sekolah. Stress, depresi bisa terjadi pada diri anak-anak, karena merasa tidak berhasil, gagal pada sebagian besar hidupnya (Answer, 2012:5).
4. Penghargaan Diri yang Rendah Menurut Nutting (2012: 6 – 10) keyakinan inti negatif adalah keyakinan yang dipegang teguh tentang pribadi setiap individu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan. Anak-anak yang penghargaan dirinya direndahkan dalam keluarga, 16
merasa gagal mendapat dukungan keluarga, tidak penting apapun keberhasilan yang dicapai, tidak berharga, tidak disukai, tidak berguna sehingga kurang mendapat kasih sayang, sering dikritik berlebihan apa lagi untuk mendapat sanjungan “aku menyayangimu” tidak akan pernah. Dengan demkian, yang individu rasakan tentang dirinya dapat mempengaruhi bagaimana pribadi setiap individu menjalani hidup ini. Menurut Answer (2012:6, 7) anak-anak yang menetapkan tujuan dalam hidupnya, pada umumnya memiliki harga diri spiritual yang tinggi daripada mereka yang tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Harga diri spiritual yang tinggi juga langsung berhubungan dengan anak-anak yang memiliki keluarga yang sangat mendukung. Sedangkan harga diri spiritual yang rendah berhubungan dengan anak-anak yang memiliki keluarga yang tidak mendukung. Citra tubuh adalah komponen utama dalam 'harga diri anak-anak, dan mereka sangat prihatin tentang bagaimana teman-teman dan keluarga melihat mereka. Anak-anak dengan harga diri spiritual yang rendah biasanya memiliki citra tubuh yang buruk dan berpikir mereka terlalu gemuk, jelek, tidak cukup cantik, atau tidak cukup berotot. Ada beberapa fitur fisik yang anak-anak tidak dapat mengubah, sehingga mendapat berlebihan kritik baik dari teman-teman maupun keluarga. Karakteristik yang menyebabkan kritik diri pada anak-anak karena mereka merasa tidak mendapat dukungan keluarga, sehingga mereka tidak dapat menetapkan tujuan yang masuk akal untuk membuat perubahan. Hal inilah yang menyebabkan mereka dianggap tidak layak, tidak pantas mendapat perhatian dan kasih sayang.
5. Ketidakmampuan Berperan dalam Masyarakat Sorensen (2012: 5) memahami bahwa keyakinan inti negatif dapat muncul sebagai akibat individu mengalami pelecehan fisik, psikis dan seksual karena berinteraksi dan tinggal di lingkungan yang tidak kondisif. Individu merasa tidak cocok, merasa tidak aman, berada ditempat yang salah bahkan menjadi korban pelecehan, namun tidak berdaya karena tidak mempuyai pilihan lain. Menurut Tictoc (2012: 2) keyakinan inti negatif sebagai suatu fenomena sosiologis dari pengalaman hidup negatif masyarakat mempengaruhi individu, sehingga berdampak pada ketidakpercayaan individu terhadap masyarakat meliputi: kekerasan seksual, emosional dan fisik, karena hilangnya kontrol yang terkait dengan kebutuhan fisik, seksual dan emosional yang terabaikan pada masa kecil. Oleh karena itu keyakinan inti negatif dapat dipahami sebagai degradasi terhadap ketahanan dan kemampuan diri untuk mengatasi tekanan hidup secara 17
eksternal, dan menempatkan individu pada risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti gangguan makan, depresi atau fobia sosial, yang berhubungan erat dengan mood dan keyakinan diri. Sejalan dengan keyakinan inti negatif, seringkali individu mencoba mengembangkan asumsi, yang mungkin menurutnya membantu melindungi dari dampak yang buruk. Keyakinan inti negatif adalah kesimpulan mengenai diri individu tentang dirinya sendiri, orang lain, dunia dan masa depan sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman hidup negatif masa lampau yang dimilikinya. Keyakinan inti negatif memiliki kecenderungan berlebihan, mutlak, dan sangat kaku, mempengaruhi asumsi-asumsi yang dimiliki individu untuk hidup
C. Asumsi Negatif Asumsi negatif adalah anggapan yang salah dalam mempertahankan kemampuan berpikir spiritual pribadi setiap individu. Asumsi memiliki persepsi untuk menentukan cara individu menanggapi setiap situasi. Asumsi negatif dipahami sebagai suatu konfrontasi terhadap pengalaman hidup negatif yang justru semakin mengembangkan keyakinan inti negatif individu sekalipun dalam keadaan pasif. Menurut Lim et al. (2005, Modul 2:12) pribadi setiap individu memandang dan melihat dirinya secara negatif, tidak mengherankan bahwa individu merasa sangat buruk tentang dirinya sendiri dan pengalaman emosi negatif yang kuat. Untuk memastikan kelangsungan hidup pribadi setiap individu dan terus berfungsi, maka individu mulai mengembangkan apa yang disebut dengan asumsi, yaitu pedoman untuk bagaimana pribadi setiap individu menjalani hidupnya, melindungi harga dirinya. Tujuannya untuk menjaga dan mempertahankan ketahanan diri individu dari kebenaran akan keyakinan inti negatif. Pribadi setiap individu mungkin mengembangkan asumsi-asumsi seperti: "Aku harus menjadi yang terbaik dalam segala hal." "Aku tidak pernah harus melakukan kesalahan apapun." "Saya tidak pernah harus menunjukkan emosi di depan publik." "Saya harus selalu melakukan hal yang benar." "Saya harus melakukan semua yang saya bisa untuk mendapatkan persetujuan orang lain karena jika saya mengkritik dengan cara apapun, itu berarti saya tidak diterima." "Saya tidak akan mencoba apa-apa kecuali saya tahu bahwa saya bisa melakukannya dengan sempurna, karena jika saya tidak bisa, itu berarti aku gagal total." "Saya harus selalu menjadi langsing dan berpakaian dengan baik, atau aku tidak akan pernah diterima."
18
Asumsi memandu perilaku pribadi setiap individu. Apa yang pribadi setiap individu lakukan pada sehari-hari sangat ditentukan oleh asumsi untuk hidup yang individu miliki. Apa yang dilakukan individu, tergantung pada asumsi, bahwa individu akan berusaha sangat keras untuk melakukan segala sesuatu dengan sempurna, menghindari terlalu dekat dengan orang lain, membatasi asupan makanan dan olahraga keras untuk tetap langsing, melakukan apa yang diperlukan untuk menyenangkan orang, hindari melakukan sesuatu yang terlalu menantang, hindari melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan lain sebagainya (Lim et al. 2005, Modul 2:12). Asumsi negatif meliputi lima unsur masalah yaitu harapan negatif, gagal mencapai sukses, di luar kontrol diri, rendah diri, dan menjadi beban masyarakat, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Mengembangkan Citra Buruk Keluarga Menurut Lim et al. (2005, Modul 2: 13) asumsi negatif adalah pedoman untuk menjalani hidup yang membantu melindungi harga diri, sebagai suatu keharusan yang tidak membantu. Individu mengembangkan asumsi seperti: "saya yakin dapat memperbaiki keadaan ekonomi keluarga." Saya yakin tidak akan rentan terhadap penyakit lagi karena telah memenuhi gizi yang dibutuhkan." "Saya tidak sendirian lagi dan tidak akan terabaikan sekalipun orang tua harus bekerja" "Saya harus bekerja dan terampil menjadi harapan dan tulang punggung keluarga”. Ternyata asumsi tersebut tidak banyak membantu justru semakin mengembangkan keyakinan inti negatif, sehingga menghasilkan tindakan yang tidak membantu. Dengan demikian, Asumsi negatif adalah suatu keharusan hidup ideal untuk mempertahankan hidup dan harga diri. Menurut Theravive (2011:3) orang tua selalu mengharapkan anak-anak menjadi sempurna sepanjang waktu agar dapat diterima, akhirnya mereka mengembangkan asumsi yang perfeksionis. Mereka berusaha untuk menyenangkan hati orang tua dan mengambil-alih tanggung jawab orang tua sebagai tulang punggung keluarga. Memenuhi keinginan orang tua untuk memperbaiki gizi buruk dan meningkatkan ekonomi keluarga. Asumsi tersebut justru berdampak buruk bagi anak-anak dalam mengembangkan citra diri sehat.
2. Pencapaian dan Kesuksesan yang Fiktif Laishram (2011: 1 – 2) memahami asumsi negatif sebagai suatu keyakinan hidup penuh harapan untuk sukses dan mencapai prestasi sebagai suatu perasaan emosional yang belum pasti berhasil. Ketidakpastian itulah dapat menyebabkan 19
depresi, usaha bunuh diri, gangguan mental dan fisik, ketika keyakinan tersebut tidak tercapai. Individu dapat berasumsi bahwa dia bisa menjawab pertanyaan, bisa membuat sesuatu, sangat baik melakukan hal-hal yang orang lain dapat melakukannya, mempunyai kemampuan untuk berbagi idea dan pendapat, peduli untuk belajar agar berhasil naik kelas atau lulus ujian. Individu bekerja untuk mencapai kesuksesan dalam hidup dan ketika gagal setelah bekerja keras, mereka memperlakukan kegagalan sebagai kebenaran hakiki yang mengakibatkan hilangnya harga diri. Menurut Eating Disorders (2006:1) anak-anak yang terus-menerus dikritik sebagai seorang anak mungkin merasa seolah-olah dia harus terus berupaya untuk "sempurna". Bagaimana keberhasilan dan kegagalan ditangani tumbuh merupakan faktor penting juga. Jika kegagalan di bidang akademik atau olahraga dipandang oleh orang tua atau tokoh-tokoh lainnya sebagai kegagalan diri, seorang anak belajar untuk mendapatkan rasa berharga dari prestasi. Hal ini dapat menambah mentalitas "perfeksionis", atau menyebabkan seseorang untuk mencari penegasan melalui kinerja. Hal tersebut justru menyebabkan gangguan makan, baik karena berjuang untuk tubuh "sempurna", atau karena dia mendapat kesadaran diri yang kuat dari "prestasi" penurunan berat badan. Ketika kegagalan menimpanya, seringkali dilihatnya sebagai upaya kerja keras dengan cara menyalahkan diri sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian, asumsi negatif mengupayakan suatu pencapaian kesuksesan dalam hidup dan ketika gagal setelah bekerja keras, individu memperlakukan kegagalan sebagai kebenaran hakiki yang mengakibatkan hilang harga dirinya.
3. Pengendalian Diri Negatif Answers (2012: 12) melihat asumsi negatif sebagai kecenderungan untuk menciptakan kepuasan diri sendiri, seolah-olah yang diinginkan dan dicita-citakan sudah terjadi. Individu berasumsi bahwa pola perilaku dan pilihan hidupnya sudah sangat jelas dan benar, memiliki pengendalian diri yang tinggi, sukses dalam sebagian besar hidupnya, merasa nyaman dan sangat dibutuhkan dalam keluarganya. Anak-anak yang takut gagal sering bertindak karna berasumsi seolah-olah mereka telah mencapai suatu prestasi dan kesuksesan. Ketika mereka merasa tidak bisa lebih baik, mereka berasumsi bahwa mereka akan lebih bisa, sering menjadi tinggi, atau over-achiever, menggunakan sukses sebagai dia mempertahankan atau membuktikan harga dirinya. Dengan itu, asumsi negatif menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi untuk suatu pencapaian yang 20
diharapkan belum terjadi, sehingga individu dapat terjebak dalam situasi beresiko tinggi demi terpenuhi cita-citanya.
4. Penghargaan Diri Negatif Eating Disorders (2006: 2) menggambarkan asumsi negatif sebagai suatu pertahanan diri individu terhadap kekurangan dirinya dengan bertindak seolaholah semuanya sempurna. Individu merasa dirinya paling hebat, berprestasi dan sukses, hanya untuk menutupi kekurangan dirinya. Individu berasumsi berhasil mendapat dukungan atas apa yang dilakukannya, karena itu diandalkan, dihargai, disukai, dan berguna, sehingga diharapkan akan mendapat sanjugan, pujian, perhatian dan kasih sayang dari, orang tua, keluarga, rekan sekerja, sahabat dan lain sebagainya. Anak-anak sering takut gagal, dan kemungkinan bahwa mereka dibesarkan di sebuah rumah di mana kegagalan dipandang sebagai refleksi diri. Mereka mencoba membangun harapan sebagai mekanisme pertahanan dirinya. Mereka mengekang orang lain (dan dirinya sendiri) bahwa pendapat orang lain tidak penting. Mereka terutama menggunakan taktik ini dengan figur otoritas sebagai orang yang dianggap "penting". Kebutuhannya untuk membuktikan bahwa pendapat orang lain tidak penting dapat menyebabkan pemberontakan langsung terhadap dirinya sendiri atau menyalahkan orang lain atas konsekuensi dari tindakannya dan cara mereka merasa tentang dirinya sendiri. Kegagalan dipandang sebagai refleksi diri ketika yang diharapkan tidak tercapai. Oleh karena itu, asumsi negatif dipahami sebagai konflik diri individu antara pencapaian yang tinggi atas penghargaan dirinya dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya.
5. Citra Buruk Masyarakat Menurut Answers (2012: 5 - 6) asumsi negatif bisa ditimbulkan dari citra buruk masyarakat yang meliputi perilaku kriminal dan kekerasan fisik, psikis, seksual; menjadi korban bullying, kehamilan remaja, merokok dan penggunaan alkohol serta obat-obatan terlarang; putus sekolah, depresi, pikiran bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan bunuh diri. Citra buruk tersebut memotivasi individu menyenangkan, menghibur, memberi perhatian kepada orang lain, dengan asumsi menjadi agen perubahan (agent of change), membangun hubungan dan interaksi yang harmonis, menciptakan rasa aman, terbebas dari penyakit seks menular, kehamilan muda, serta membawa sesuatu yang inovatif di lingkungan masyarakat yang mempunyai perilaku menyimpang. Dengan kata lain, asumsi negatif merupakan suatu bentuk kamuflase dari validasi sosial terhadap citra 21
buruk masyarakat, yang justru semakin mengembangkan keyakinan inti negatif individu. Hal ini baru pada tahap laten yang disebut dengan dormant low spiritual sel-esteem. Pada tahap ini, umumnya semua orang, sekecil apapun dengan pengalaman hidup negatif mengalami harga diri spiritual rendah yang bersifat laten.
D. Bias Harapan Bias harapan adalah perasaan negatif pribadi setiap individu yang melebihlebihkan kemungkinan yang buruk terjadi terhadap keyakinan diri spiritual, sehingga merusak harapan untuk hidup. Menurut Lim et al. (2005, Modul 4: 26) bias harapan adalah pikiran negatif yang sering terjadi ketika pribadi setiap individu mengalami suatu situasi yang beresiko tinggi. Situasi beresiko tinggi adalah kejadian atau peristiwa yang menimpa pribadi setiap individu dibawa tekanan, ancaman dan kekerasan. Hal tersebut dilatarbelakangi asumsi pribadi setiap individu untuk memperbaiki masa depan malah terjebak situasi beresiko tinggi dan merusak, sehingga keyakinan inti negatif menjadi aktif. Tanda-tanda bias harapan adalah membesar-besarkan bagaimana hal-hal buruk terjadi, meremehkan kemampuannya sendiri bahwa dirinya dapat menyelesaikan masalah-masalah buruk yang diprediksikannya. Bias harapan terjadi ketika pribadi setiap individu menyadari bahwa tekanan, ancaman dan kekerasan dapat saja menghancurkan harapan hidup pribadi setiap individu menjadi tulang punggung keluarga untuk mencukupi kehidupan keluarga. Dengan itu, bias harapan adalah pikiran negatif yang dilatarbelakangi asumsi individu untuk memperbaiki hidup dan masa depan malah terjebak situasi beresiko tinggi, sehingga melebih-lebihkan kemungkinan bahwa hal-hal buruk akan terjadi, membesar-besarkan bagaimana hal-hal buruk itu terjadi, meremehkan kemampuannya sendiri yang merusak dan karena itu keyakinan inti negatif menjadi aktif. Hasil dari bias harapan, mengakibatkan pribadi setiap individu berperilaku dengan cara tertentu yaitu: (a) penghindaran berupa emosional "mati rasa", atau merasa seolah-olah dirinya tidak peduli tentang apa pun yang terjadi, tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma, kurangnya minat dalam kegiatan normal, menampilkan suasana hati murung, menghindari tempat, orang, atau pikiran yang mengingatkan preseden buruk, merasa seperti punya masa depan; (2) tindakan pencegahan keselamatan berupa berpikir untuk bunuh diri, melakukan pencobaan bunuh diri; dan (3) melarikan diri berupa merokok, alcohol, narkoba, penyalagunaan zat dan obat-obatan terlarang. Perilaku tersebut 22
berkontribusi kepada kecemasan, ketidakpastian, dan keraguan.
kegelisahan,
ketegangan,
ketakutan,
Bias harapan meliputi dua unsur masalah yaitu harapan buruk dan kemungkinan terburuk, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Harapan buruk Bias harapan memunculkan keyakinan inti negatif lanjutan dalam diri pribadi setiap individu bahwa mereka tidak berguna melalui beberapa cara; pertama, dikonfirmasi oleh semua prediksi negatif bahwa mereka tidak berguna; kedua, pribadi setiap individu merasa begitu cemas, dan menggunakan hal ini sebagai tanda untuk meyakini diri sendiri bahwa apapun yang mereka lakukan negatif, sehingga mereka harus menjadi tidak berguna; ketiga, semua perilaku pribadi setiap individu tidak membantu berarti mereka bertindak dengan cara yang konsisten dengan gagasan bahwa mereka tidak berguna. Menurut Lapian dan Geru (2010:128) harapan buruk pribadi setiap individu mengarah pada perilaku dan emosi negatif, yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Harapan buruk terwujud dalam sikap yang mengkonfirmasi pandangan negatif pribadi setiap individu tentang diri sendiri dan tetap hidup. Jadi, jika pribadi setiap individu bertindak seolah-olah tidak berguna, mereka akan terus berpikir dan percaya bahwa “mereka adalah tidak berguna". Menurut Lim et al. (2005, Modul 4: 29) salah satu cara untuk mengatasi harapan buruk adalah melakukan konfrontasi dengan cara pribadi setiap individu membedah dan mengevaluasi masalah-masalah dasar yang menyebabkan bias harapan dan hal-hal positif apa yang mungkin telah mereka abaikan. Konfrontasi terhadap harapan buruk bukanlah sesuatu yang harus pribadi setiap individu pikirkan di kepalanya, tetapi cara terbaik adalah dengan menuliskannya dalam diary (buku harian) pemikran. Tujuannya, pribadi setiap individu menuliskan peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi beresiko tinggi yang telah pribadi setiap individu alami, untuk menemukan hal-hal positif mengatasi kebingungan, kecemasan, dan ketakutan dalam rangka mengembangkan harapan yang realistik.
2. Kemungkinan terburuk Konfrontasi yang dilakukan pribadi setiap individu adalah upaya untuk mengembangkan harapan yang realistik, agar para korban dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Seberapa besar kemungkinan bahwa apa yang pribadi setiap individu harapkan benar-benar akan terjadi, seringkali berbarengan dengan 23
kebingungan, kecemasan dan ketakutan. Takut gagal merupakan hal terburuk yang bisa terjadi. Ketika pribadi setiap individu menyadari bahwa mereka berarti dan berharga, mempunyai power dan kemampuan, menjadi berguna bagi orangorang yang mereka cintai, maka mereka akan bangkit dari keterpurukan, meninggalkan masa lampau yang buruk, menggapai masa depan yang penuh harapan (Lim et al. 2005, Modul 4: 30). Dengan demikian, kebermaknaan hidup pribadi setiap individu bukan terletak pada seberapa banyak yang mereka miliki secara kuantitas, tetapi seberapa hidup mereka berkualitas. Menurut Lim et al. (2005, Modul 4: 30) menggunakan diary pemikiran adalah upaya mengembangkan harapan yang realistis, dengan tujuan membantu pribadi setiap individu menurunkan secara intensitas emosi negatif, mengurangi prediksi negatif serta memperbaiki keyakinan negatif pribadi setiap individu tentang dirinya yang tidak berguna, tidak berarti dan tidak berharga. Hal ini akan membantu pribadi setiap individu mendekati situasi dengan pikiran terbuka, mencoba hal-hal baru, mengabaikan opini negatif yang membuat pribadi setiap individu cemas, gelisah dan tidak pasti, atau meragukan diri sendiri dan kemampuan mereka, untuk menemukan nilai-nilai hidup dibalik opini tersebut. Ada nila-nilai yang sangat berharga sehubungan dengan peran pribadi setiap individu sebagai tulang punggung keluarga, sebagai orang tua yang merawat dan membesarkan anak-anak, setia dalam suka dan duka.
E. Evaluasi Diri Negatif Evaluasi diri negatif adalah perasaan menyalahkan diri dan kritik diri sendiri, sebagai akibat dari ketidakyakinan spiritual pribadi setiap individu. Menurut Lim et al. (2005, Modul 5: 38) evaluasi diri negatif adalah cara berpikir pribadi setiap individu dikonsumsi oleh situasi beresiko tinggi, sehingga menyalahkan diri dan kritik diri sendiri, dan karena itu keyakinan negatif menjadi aktif. Pribadi setiap individu cenderung untuk mengevaluasi dirinya sendiri dengan cara negatif, menjadi keras dan kritis terhadap siapa dirinya sebagai pribadi. Pribadi setiap individu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa mereka "harus" melakukan ini atau "tidak harus" melakukan itu, memarahi diri sendiri dan menghukum dirinya sendiri, karena tidak memenuhi standar yang telah ia tentukan untuk dirinya sendiri. Pribadi setiap individu sering menggeneralisasi tentang dirinya berdasarkan peristiwa yang pernah dialaminya seperti "Saya kotor karena telah diperkosa, dianiyaya", memasukan label negatif dan menghina dirinya sendiri, menyakitkan dirinya seperti "saya tidak berharga", "saya gagal".
24
Evaluasi diri negatif memunculkan keyakinan inti negatif lanjutan dalam diri pribadi setiap individu bahwa mereka tidak berharga melalui beberapa cara; pertama, dikonfirmasi oleh kritik diri pribadi setiap individu bahwa mereka tidak berharga, sehingga menimbulkan keyakinan negatif terhadap diri mereka sendiri; kedua, pribadi setiap individu merasa tertekan dengan mengkonfirmasi keyakinan bahwa mereka "tidak berharga", karena merupakan gejala dari depresi itu sendiri, sehingga mereka berpikir negatif tentang segala sesuatu, termasuk diri mereka sendiri; ketiga, semua perilaku pribadi setiap individu yang tidak membantu (misalnya, bertindak dalam cara yang pasif dan apologetik, mencoba overcompensate, atau menarik diri) berarti bahwa pribadi setiap individu bertindak dengan cara yang konsisten dengan ide bahwa mereka adalah "tidak berharga." Jadi, jika pribadi setiap individu bertindak seolah-olah mereka adalah "tidak berharga," mereka akan terus berpikir mereka "tidak berharga", dan merasa sedih atau tertekan (Lim et al. 2005, Modul 5: 39). Dalam rangka mengembangkan evaluasi diri seimbang, maka evaluasi diri negatif berhubungan dengan seperangkat instrument pengendali diri yang mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang secara positif. Seperangkat instrument pengendali diri tersebut terdiri dari empat komponen yaitu citra diri (body image) buruk, ideal diri (Self-Ideal) buruk, peran diri (self-Role) buruk, dan identitas diri (Self-Identity) buruk, (Sunaryo, 2004). Keempat komponen ini turut mempengaruhi upaya pribadi setiap individu mengembangkan evaluasi diri seimbang. 1. Citra Diri (Body Image) Buruk Citra diri adalah suatu sikap individu dalam mempersepsikan keadaan fisik tubuhnya. Baik itu tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan, dan potensi tubuh. Citra diri ini penting karena berperan besar dalam mempengaruhi keadaan kejiwaan seseorang (Al-Bahsein, 2009). Contoh, muka berjerawat. Dapat dibayangkan suasana hati yang berubah akibat ada jerawat di wajahnya dan dipersepsikannya sebagai masalah besar. Bahkan malu untuk bertemu orang lain. Itu adalah persepsi citra diri yang buruk. Perawatan tubuh membuat seseorang semakin percaya diri setelah melakukan senam kebugaran, fitness dan olah raga secara teratur dan terus melakukannya, sebab ia memiliki citra diri yang baik. Pribadi setiap individu dirugikan dengan berbagai metode yang digunakan sebagai ancaman masa depan pribadi setiap individu (Stotts & Ramey, 2009: 11). Kekerasan dapat mengakibatkan pribadi setiap individu menjadi sangat peka, 25
cepat tersinggung, cemas, kurang percaya diri, negative thinking, sehingga konflik diri terjadi dan menimbulkan citra buruk dalam pribadi setiap individu. Sejak lahir pribadi setiap individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan (Keliat & Akemat, 1992). Citra diri berhubungan dengan kepribadian, cara individu memandang dirinya memiliki dampak terhadap perkembangan psikologisnya. Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap citra dirinya memperlihatkan kemampuan yang mantap terhadap aktualisasi diri dalam rangka memperbaiki hubungan dengan orang lain, penerimaan diri dan menjadi pemicu sukses dalam kehidupannya. Karena itu, citra diri harus dipersepsikan secara positif dan realistis, karena semakin dapat menerima dan menyukai diri apa adanya, individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan. Pribadi setiap individu yang menerima dirinya apa adanya biasanya memiliki harga diri sehat daripada individu yang tidak menyukai dirinya. Pribadi setiap individu yang memiliki citra diri positip, lebih mudah untuk menerima dan memahami dirinya dalam keberadaannya, sehingga dapat membangun komunikasi dan relasi yang harmonis dengan orang lain, dalam rangka mengembangkan evaluasi diri seimbang. Dengan itu, pribadi setiap individu dapat dibantu untuk memperbaiki citra diri yang buruk dalam mengaktualisasikan dirinya demi pengembangan diri. Pribadi setiap individu belajar untuk berpikir positip (positive thinking) dalam menilai dan menyikapi segala sesuatu dengan arif dan bijaksana, akan sangat menciptakan kebersamaan yang rukun dan damai dalam kehidupan mereka.
2. Ideal Diri (self-ideal) Buruk Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dirinya harus berperilaku dan bertindak berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1991). Standar diri terkait dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai. Ideal diri mewujudkan harapan dan cita-cita pribadi setiap individu berdasarkan norma sosial dan budaya serta kepada siapa ingin dilakukan. Orang tua, guru, dosen, pimpinan, atasan, orang yang lebih dewasa, teman atau sahabat bisa menjadi idola bagi siapapun yang menyukainya baik itu kebiasaan buruk atau yang baik. Idola terhadap seseorang sering menjadi standar 26
pribadi setiap individu dalam pembentukan ideal diri. Ideal diri dapat disebut juga sebagai standar pribadi yang mencakup seperti standar bersikap, standar berbicara, standar dalam mengatur keuangan, standar penampilan, dan lain-lain. Ideal diri ini dapat berhubungan dengan karakter seseorang yang diinginkan atau disukainya. Bisa juga berhubungan dengan tujuan, nilai, dan prestasi yang ingin dicapai. Jadi ideal diri tidak hanya melihat dari siapa idolanya, tapi juga apa tujuan yang ingin dicapainya. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek diri, tetapi ketikia ideal diri terlalu tinggi, terlalu menuntut, samar-samar atau kabur menjadi ideal diri buruk. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu kita dalam menghadapi konflik. Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009: 12, 13),
persoalan sosial yang sangat tragis dan semakin meningkatkan ideal diri buruk pribadi setiap individu adalah ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima
mereka kembali. Ideal diri buruk menjadikan sosok pribadi setiap individu kehilangan harkat dan martabat bahkan harga dirinya direndahkan, dan karena itu kehilangan makna dan tujuan hidup. Tujuan dan makna hidup terdapat dalam kehidupan pribadi setiap individu, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia ataupun penderitaan karena kehidupan manusia di dunia tidak selamanya dipenuhi dengan kesenangan namun juga dengan penderitaan (Bastaman, 2007:45, 46). Pemaknaan hidup yang berhasil dihayati pribadi setiap individu dengan memaknai penderitaan tersebut, merupakan suatu proses pengembangan ideal diri positip. Dibalik penderitaan itu ada nilai-nilai yang dapat merubah perspektif keluarga dan masyarakat apabila peran pribadi setiap individu sebagai tulang punggung keluarga, sebagai orang tua dari anak-anak yang masih kecil dengan setia, dilakukan dan diperankan dengan baik, sehingga keluarga dan masyarakat menyadari bahwa pribadi setiap individu sangat dibutuhkan dan karena itu mereka berharga bagi keluarga dan masyarakat.
3. Peran Diri (self-role) Buruk Peran diri dapat diartikan sebagai apa saja tugas yang harus dilakukan sesuai tuntutan dari orang lain (keluarga, masyarakat, teman, pacar, tetangga, gereja, negara, dan dunia). Memahami tugas dan prinsip dari peran diri sangat penting, agar terhindar dari “Konflik Peran”. Seorang wanita karir yang telah berkeluarga (wonder woman) harus bekerja tepat waktu, tanpa harus mengabaikan tanggungjawabnya dalam melayani suami, mendidik anak, beres27
beres rumah, demikian juga tanggungjawab dalam masyarakat. Peran diri menggambarkan figure seseorang dalam menempatkan dirinya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Tugas tersebut harus dilakukan tanpa mengabaikan tanggungjawab yang lain, atau melakukan suatu tugas yang bukan merupakan tanggungjawabnya. Sebaliknya pribadi setiap individu yang memiliki peran diri buruk cenderung tidak bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas, cendrung intervensi terhadap tugas dan tanggungjawab orang lain, cendrung mengabaikan tanggungjawab dalam perannya. Menurut Taylor (2012:1) self-role pribadi setiap individu menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang mengecewakan peran diri dengan memandang rendah diri sendiri. Terkadang pribadi setiap individu mencoba mengobati diri sendiri dari peran diri buruk dengan obatobatan terlarang, yang mengarah kepada penyalahgunaan zat. Data statistik yang dipaparkan Akhter (2013:1, 5) hasil penelitian terhadap 240 orang dewasa yang terpilih dari berbagai daerah dan lembaga pendidikan di Karachi, Pakistan tentang hubungan antara self-esteem dan penggunaan zat narkotika pada orang dewasa berusia 20-30 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri spiritual yang rendah terkait dengan penggunaan narkoba tingkat tinggi sedangkan harga diri spiritual yang tinggi terkait dengan penggunaan narkoba yang lebih rendah. Peralihan peran sebagai pengguna narkoba telah menghancurkan peran diri pribadi setiap individu, sehingga tidak menggambarkan figure seseorang dalam menempatkan dirinya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Homeier (2006:3) merumuskan beberapa pola hidup sehat yang membantu pribadi setiap individu untuk mengembangkan peran dirinya sebagai berikut: (1) berusaha untuk berhenti berpikir negatif tentang dirinya sendiri. Jikalau seseorang terbiasa fokus pada kekurangannya, mulailah berpikir tentang hal-hal yang positif tentang dirinya. Setiap hari tulislah tiga hal tentang dirinya, yang membuatnya bahagia; (2) mencoba berbagai hal yang baru. Melakukan aktifitas dengan kegiatan berbeda yang akan membantu pribadi setiap individu mendapatkan ketrampilan (kemahiran) dengan potensinya itu untuk berkembang; (3) mencari dan menemukan peran diri dalam kebersamaan dengan orang lain. Menghabiskan waktu dengan orang yang disayangi dan melakukan hal-hal yang disukai. Bersantai dan memiliki waktu yang baik untuk menikmati hidup apa adanya yang berorientasi makna, dengan itu pribadi setiap individu akan memiliki tanggungjawab dalam peran diri positif. 28
4. Identitas Diri (self-identity) Buruk Menyadari bahwa diri ini berbeda dengan orang lain itulah identitas diri. Selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan diri yang unik itu menjadi pribadi yang utuh dan lebih baik dari sebelumnya. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya (Stuart and Sudeen, 1991). Bila individu telah mengerti tentang identitas diri, maka sepatutnya menyadari kelemahan dan kelebihannya. Individu punya kekurangan tersendiri, tapi individu juga punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Syaratnya, harus percaya diri, menghormati diri, mampu menguasai diri, mengatur diri, dan yang terpenting menerima diri apa adanya untuk menemukan the meaning of life (makna hidup). Homeier (2006:3, 4)) merumuskan beberapa pola hidup sehat, membantu pribadi setiap individu untuk mengembangkan identitas diri sebagai berikut: (1) memandang kesalahan dan masa lampau yang buruk sebagai kesempatan belajar. Menerima bahwa pribadi setiap individu tidak lepas dari kesalahan, dan kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Mengingatkan bahwa karir pribadi setiap individu secara konstan berkembang dan para korban unggul pada berbagai hal yang berbeda. Hal itu dimaksud membantu pribadi setiap individu mengembangkan identitas dirinya menjadi pribadi yang unik; (2) mengakui terhadap apa yang dapat berubah maupun yang tidak dapat berubah pada diri pribadi setiap individu. Jikalau para korban menyadari bahwa mereka tidak bahagia dengan sesuatu, mulailah hari ini berpikir tentang dirinya bahwa mereka dapat bahagia (dapat berubah). Hal itu dimaksud membantu pribadi setiap individu mengembangkan identitas dirinya menjadi pribadi yang utuh; (3) berhenti membandingkan dirinya dengan orang lain, yakinlah bahwa dirinya berharga dalam pandangan orang lain. Upaya-upaya tersebut bertujuan mengembangkan diri yang unik menjadi pribadi yang utuh dan lebih baik dari sebelumnya.
F. Ketidakpercayaan Diri Ketidakpercayaan diri adalah penghayatan hidup hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut tidak teratasi, karena merasa tidak berharga dan tidak mempunya arti apa-apa lagi, sehingga menimbulkan ketidakyakinan diri spiritual. 29
Tyrrell (2011:1,2) melihat ketidakpercayaan diri dari cara individu memperlakukan dirinya secara buruk karena merasa jelek, bodoh dari kebanyakan orang lain. Queensland University (2008:3,4) melihat kegelisahan untuk suatu kesimpulan negatif tentang dirinya, gelisah untuk reaksi buruk tentang dirinya, karena kehilangan perspektif (losing perspective) dan ketidakpercayaan dirinya. Pribadi setiap individu biasanya merasa kehilangan harga diri dan ketidakpercayaan dirinya, dengan mengganggap dirinya kotor, tidak layak, tidak berguna, dan tidak berharga. Kasus ketidakpercayaan diri banyak dialami perempuan dan anak-anak korban perdagangan (trafficking). Menurut Rafferty (2008:14-15) para perempuan korban perdagangan khususnya anak-anak seringkali mengalami kondisi yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis.Kecemasan, kegelisahan, insomnia, depresi dan penyakit pasca traumatis stress, menggambarkan ketidakpercayaan diri atau penilaian yang mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri. Para perempuan korban perdagangan seringkali kehilangan kesempatan penting untuk mengalami pendidikan, perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Ketidakpercayaan diri, hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan, menyebabkan mereka kehilangan penghargaan terhadap dirinya dan mengalami harga diri spiritual yang rendah. Ketidakpercayaan diri pada perempuan korban perdagangan (trafficking) meliputi tiga unsur masalah yaitu masalah psikologi dan kesehatan mental, masalah sosial, dan masalah kesehatan fisik, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Masalah Psikologi dan Kesehatan Mental Hasil penelitian yang dipaparkan Abdulraheem dan Oladipo (2010:37) tentang dampak ketidakpercayaan diri perempuan korban perdagangan terhadap psikologis dan kesehatan mental, menunjukkan bahwa perempuan korban perdagangan yang mengalami depresi 83,6%, trauma emosional 72,4% dan kurang tidur (67,4%). Menurut Williamson et al. (2010:2), perempuan korban perdagangan sering mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), karena sejak awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan pelaku perdagangan mereka sudah disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan. Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami perempuan korban perdagangan karena ditangkap secara paksa, mengalami penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual dan di eksploitasi (American Association, 2005:467). 30
Setelah kedatangan ke tempat tujuan, banyak korban perdagangan perempuan telah terisolasi secara sosial, yang diselenggarakan dalam kurungan, dan kekurangan makanan. Semua milik pribadi dilucuti dari mereka, surat identitas, paspor, visa, dan dokumen lainnya (Course Instruction, 2011:1). Korban mengalami banyak gejala psikologis yang dihasilkan dari kekerasan mental seharihari dan penyiksaan. Ini termasuk depresi, stres yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan, fobia, dan ketakutan. Korban shock, mengalami penolakan, ketidakpercayaan, tentang situasi mereka saat itu, perasaan tidak berdaya dan malu (Stotts & Ramey, 2011:10). Ketidakpercayaan diri perempuan korban perdagangan mengakibatkan para korban mengalami penghayatan hidup hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut tidak teratasi, karena merasa tidak berharga dan tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Pemikiran tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Lukas (Marshall, 2011:55-59) tentang “collective neurotic patterns" (pola neurotik kolektif), yang "radikal" telah menyebabkan penderitaan emosional, dan merasa terasing dari diri sendiri, dan masyarakat, dideskripsikan dalam empat masalah pokok sebagai berikut. a) Wrong passivity (kepasifan yang salah).Wrong Passivity mengarah kepada penghindaran berlebihan. Hal ini merupakan lingkaran setan dalam kasus reaksi takut dan panik yang berlebihan. Suatu kecenderungan umum di antara reaksi-reaksi kecemasan adalah mencoba menghindari yang ditakuti. b) Wrong Activity (aktivitas yang salah).Wrong Activity mengarah kepada perjuangan melawan sesuatu yang berlebihan. Hal ini nampak dalam kasus perenungan obsesif, dan obsesif-kompulsif neurosis. Obsesif mengacu pada "pikiran dan tindakan yang berulang-ulang, dorongan hati, dan gambaran menyedihkan yang berlebihan, dan tidak realistis dari perempuan korban perdagangan terhadap orang lain. c) Excessive forcing (memaksa berlebihan). Excessive Forcing mengarah ke hyperintensi. Sesuatu yang berlebihan hal tersebut dapat memaksa sikap defensif(membela diri) yang berlebihan, untuk mempertahankan suatuide, yang sering dikaitkan dengan kepentingan diri, kekuasaan, sukses, yang berorientasi pada kesenangan. d) Excessive attention (perhatian yang berlebihan). Excessive Attention mengarah kepada hyper-refleksi diri. Perhatian yang berlebihan (hiper-refleksi) adalah 31
proses meningkatkan pemantauan kinerja korban perdagangan perempuan, yang mungkin mulai dengan rasa cemas dari kegagalan, dan takut kinerja berkurang. Menurut Lukas (Marshall, 2011:58) bahwa hiper-refleksi menghasilkan lingkaran setan yang menyebabkan hiper-kewaspadaan dalam upaya untuk mengurangi kesalahan, dan memperkecil kegagalan. Dampak psikologis dan kesehatan mental terhadap para perempuan korban perdagangan dapat dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan rasional teori yang telah dipaparkan sebagai ketidakpercayaan diri yang mengakibatkan rasa takut yang terus-menerus, rasa kehilangan dan tidak berdaya, depresi, kecemasan, dan post traumatic stress disorder (PTSD), yang memunculkan penghindaran yang berlebihan, obsesif yang berlebihan, memaksa yang berlebihan dan perhatian yang berlebihan.
2. Masalah Sosial Hasil penelitian yang dipaparkan Jordan et al. (2013:356) perempuan yang menjadi korban perdagangan meningkat di Amerika Serikat, dengan perkiraan antara 15.000 dan 50.000 korban per tahun. Menurut Khowaja et al. (2012:1-3) perempuan korban perdagangan secara fisik dipukuli, diserang secara seksual, mengalami trauma psikologis, dan kehilangan ekonomi untuk menciptakan ketergantungan pada pelaku perdagangan. Selanjutnya dalam pemahaman Kowaja et al, intervensi untuk mengekang perdagangan perempuan dapat dilakukan pada tiga tingkatan yaitu, pencegahan perdagangan, perlindungan korban, dan penuntutan pelaku perdagangan. Kurangnya kesadaran masyarakat umum tentang ancaman perdagangan perempuan terus menjadi masalah. Pencegahan dapat dilakukan melalui kampanye kesadaran masyarakat, dengan memasukkan kesehatan dan informasi perdagangan manusia ke dalam program pendidikan. Eksploitasi seksual yang di alami para perempuan korban perdagangan ditempat pekerjaan membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain, kecuali harus melayani nafsu bejat para tamu (”lelaki hidung belang”). Para korban semestinya memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tiba-tiba harus tercabut masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi 32
korban sindikat perdagangan. Konsekuensi sosial yang dihadapi para perempuan korban perdagangan menurut Manjoo dan McRaith (2011:17) 25% dari korban di Liberia diceraikan suaminya, sementara 15% dari korban hamil. Hal tersebut sebagai salah satu faktor penyebab ketidakpercayaan diri, yang mengakibatkan konsep diri dan harapan buruk, kritik diri, kurang percaya diri, dan banyak lagi yang dialami oleh perempuan korban perdagangan. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para korban terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2011:46). Karena perdagangan perempuan tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan. Menurut Chatterjee et al. (Wickham, 2009:12,13), persoalan sosial yang sangat tragis dan semakin meningkatkan harga diri spiritual yang rendah para perempuan korban perdagangan adalah ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Para pria sering melihat perempuan korban perdagangan sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan karena itu menolak untuk menikahi mereka. Diskriminasi terhadap para perempuan korban perdagangan terjadi dalam berbagai sektor dan berbagai bentuk. Kenyataan ini telah menggugah rasa kemanusiaan dari berbagai pihak untuk terus berjuang agar nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan dan kesederajatan bisa diwujudkan. Ketidakpercayaan diri perempuan korban perdagangan adalah membenci dan menyalahkan diri, selalu melihat diri jelek, buruk karena merasa tidak berharga, tidak berguna dan tidak bermakna. Hal tersebut mengakibatkan sikap apatis, skeptis seperti yang diungkapkan Frankl dalam buku "Der Mensch Leidende" (Marshall, 2011:55) menguraikan empat jenis sikap yang dapat menyebabkan perilaku tidak sehat yang mengakibatkan ketidakpercayaan diri dan gangguan pada orientasi makna hidup sebagai berikut. a) Sikap bersyarat. Sikap bersyarat merupakan sikap semu, karena memiliki tujuan hidup hanya untuk mencapai kepuasan dan kesenangan hidup belaka. Ketika tujuan hidup tidak tercapai, individu mengalami kepahitan, keputusasaan hidup, cenderung menyalahkan diri dan menarik diri atas masalah yang menimpanya.
33
b) Sikap fatalistik. Sikap fatalistik diwujudkan dalam asumsi bahwa segala sesuatu ditentukan oleh kehendak dan kemampuan manusia. Sikap ini dimanifestasikan dengan pandangan sinis dan pesimis terhadap kehidupan, sulit berempati dengan orang lain, tidak bertanggung jawab, tidak aktif, sulit kontrol diri, bahkan cendrung melakukan hal-hal yang menghancurkan hidupnya secara fatal, seperti bunuh diri. Sikap ini justru, hampir mewarnai perilaku korban perdagangan perempuan. c) Sikap fanatik. Sikap fanatic cenderung meningkatkan nilai relatif terhadap tingkat absolut.Dalam pemikiran orang fanatik, nilai relatif meningkat menjadi ideal, maksudnya ketika orang mengalami situasi beresiko tinggi yang hanya segelintir atau sebagian tubuh yang cidera, dianggapnya telah menghancurkan hidupnya dan tidak dapat utuh seperti semula lagi (pemikiran ideal). Menurut Lukas (Marshall, 2009:55) fanatisme pertanda krisis emosional setiap kali nilai yang dipilih hilang dan dianggapnya tidak dapat diraih lagi.Sikap ini justru banyak terjadi dalam kehidupan para korban perdaganganperempuan. d) Sikap kolektif. Sikap kolektif mengakui pendapat mayoritas sejauh hal itu membatalkan individualitas sendiri dan tanggung jawab pribadi. Sikap kolektifitas para perempuan korban perdagangan sebagai suatu reaksi buruk bagi dirinya menjadikan sosok para korban kehilangan makna dan tujuan hidup, harkat dan martabat bahkan harga dirinya direndahkan, dan karena itu cenderung menarik diri, menjauhkan diri, mengisolasikan diri dalam hubungan dengan orang lain. Dampak sosial terhadap para perempuan korban perdagangan dapat dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan rasional teori yang telah dipaparkan sebagai perampasan hak kerja dan ekonomi, diskriminasi gender dan ketidaksetaraan dalam pendidikan, isolasi sosial dan penolakan oleh keluarga serta masyarakat mengakibatkan, ketidakpercayaan diri, kehilangan penghargaan terhadap dirinya memunculkan sikap bersyarat, sikap fatalistik, sikap fanatik dan sikap kolektif sebagai ancaman terhadap kompetensi diri para korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual.
3. Masalah Kesehatan Fisik Menurut Stotts & Ramey (2011:47) secara fisik, cedra aktual para perempuan korban perdagangan karena sering mengalami kekerasan fisik dan seksual. Para perempuan korban perdagangan dirugikan dengan berbagai metode 34
yang digunakan pelaku perdagangan untuk “kondisi” mereka, termasuk cedera aktual, pemerkosaan, pemerkosaan geng, ancaman untuk menyakiti korban atau keluarga korban, kronis pada pendengaran, dan kardiovaskular atau masalah pernapasan yang disebabkan oleh penyiksaan, trans-seksual dan memaksa penggunaan narkoba. Beyrer et al (2003:106) mengungkapkan bahwa eksploitasi seksual terhadap para perempuan korban perdagangan berdampak pada kehamilan korban, infertility sebagai akibat infeksi kronis menular seksual yang tidak diobati atau gagal atau melakukan aborsi tradisional bukan oleh para medis dan tanpa perawatan medis. Belum lagi penyakit yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, seperti diabetes atau kanker, sebagai ancaman masa depan para korban. Penyalahgunaan zat (obat-obatan terlarang) sebagai sarana untuk mengatasi situasi depresi korban sekaligus sebagai strategi pelaku perdagangan menundukkan korban untuk melakukan eksploitasi seksual. Dampak kesehatan fisik terhadap para perempuan korban perdagangan dapat dirumuskan berdasarkan hasil penelitian dan rasional teori yang telah dipaparkan sebagai kesehatan reproduksi, penyalahgunaan zat, cedera actual, sebagai ancaman terhadap ketidakpercayaan diri dan integritas diri para korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual.
DAFTAR PUSTAKA Jurnal Anderson & Grice, James. (2014). Toward an Integrated Model of Spirituality. Journal of Psychology and Christanity, Vol. 33, No. 1, 3-21. Darmaputera, Eka. (1997). Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar. Jurnal PENUNTUN, vol. 3, no. 12. Jakarta: Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Hense, Elisabeth. (2006). Reflection on onseptual Definition and Empirical Validation of The Spiritual Sensitivity Scale. Journal of Empirical Theology, Vol. 19, No. 1, 63-74. Koninklijke Brill NV, Leiden 35
McKnight, Scot. (2004). Jesus reed: What is The Focus of Spiritual Life? Christian Century, Vol. 121, Issue 18, 22-24. Rakhmat, Agama dan Spiritualitas: Suatu Prespektif Pengantar. Jurnal PENUNTUN, vol. 3, no. 12. Jakarta: Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Seitz, Charles, Jr. (2014). Utilizing a Spiritual Diciplines Framework for Faith Integration in Social Work: A Competency Based Model. Journal of The North American Association of Christians in Social Work. Vol. 41, No. 4, 334354. Stoyles., Stanford., Caputi., Keating. (2012). A Measure of Spirituaal Sensitivity for Children. International Journal of Children’s Spirituality. Vol. 17, No. 3, 203215.
Buku Heuken. (2002). Spiritualitas Kristen – Pemekaran hidup rihani selama dua puluh abad, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hick, John. (2001). Dimensi Kelima: Menelusuri Makna Kehidupan, (Jakarta: PT Rja Grafindo Persada). Prijosaksono & Erningpraja. (2003). Spiritualitas dan Kualitas Hidup; Elexmedia Komputindo (Gramedia Group), Jakarta. Stark, Rodney & Glock, Charles. (1970). American Piety: the Nature of Religious Commitment, Berkeley, Los Angeles & London: University of California Press.
36
DAFTAR PUSTAKA A. Jurnal
Abdulraheem, S & Oladipo, A.R. (2010).Trafficking in Women and Children: A Hidden Health and Social Problem in Nigeria. International Journal of Sociology and Anthropology, Vol. 2, No. 3, pp. 33-39. University of Llorin, Nigeria.
Akhter, A. (2013). Relationship Between Substanse Use and Self-Esteem. International Journal of Scientific & Engineering Research, Vol. 4, Issue. 2, pp. 1-7.
Akor, L. (2011). Trafficking of Women In Nigeria: Causes Consequences and the Way Forward. Corvinus Journal of Sociology and Social Policy, Vol. 2, No. 2, pp. 89-110.
Arman, M & Backman, M. (2007). A Longitudinal Study on Women’s Experiences of Life with Breast Cancer in Anthroposophical and Conventional Care. European Journal of Cancer Care, Vol. 16, pp. 444-450.
Baumeister, R.F., Campbell, J.D., Krueger, J.I & Vohs, K.D. (2003). “Does High Self-Esteem Cause Better Performance, Interpersonal Success, Happiness, or Healthier Lifestyles?" A Journal of the Association for Psychological Science, Vol. 4, No. 1, pp. 1-44.
Beyrer, C., Stachowiak, J & Hopkins, J. (2003). Health Consequences of Trafficking of Women and Girls in Southeast Asia. The Brown Journal of World Affairs, Vol. ISSUE 1, pp. 106117.
Borrong, R.P. (2007). Pentingnya Pendidikan Nilai dalam Membangun Karakter Kehidupan Bangsa. Kritis: Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XIX, No. 2, pp. 67-74. Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Brady, T. (2011) Exploring Coaches Eperience of Their Clients’ Issues of Self-Esteem. International Journal of Evidence Based Coaching and Mentoring Special Issue, No. 5, pp. 19-27, June 2011.
37
Ellor, J.W & Myers, D.R. (2007). Logotherapy and Depression: Implications for Intervention with Older Adults. Counseling and Spirituality, Vol. 26, pp. 153-170.
Engel, J.D. (2007). Persepsi Masyarakat Batam Terhadap Perdagangan Perempuan dan Anakanak. Kritis: Jurnal Studi Pembangunan
Interdisiplin, Vol. XIX, No. 2, pp. 75-89. Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Erol, R.Y & Ulrich, O.(2011). Self-Esteem Development From Age 14 to 30 Years: A Longitudinal Study. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 101, No.3, pp. 607-619. University of Basel.
Esping. (2010). International Case Study of Graduate School as Logotherapy for an Ph.D Student Studying in United States. International Journal of Existential Psychology and Psychotherapy, Vol. 3, No. 2. College of Education, Texas Christian University.
Esping. (2011). Autoethnography as Logotherapy: An Existential Analysis of Meaningful Social Science Inquiry. Journal of Border Educational Research, Vol. 9, pp. 59-67. Texas Christian University.
Frankl, V. E. (1961b). Logotherapy and the Challenge of Suffering. Journal of Existential Psychology and Psychiatry,Vol. I, pp.4-7.
Frankl, V. E. (1965). The Concept of Man in Logolherapy. Journal of Existentialism, Vol. VI, pp. 53-55.
Frankl, V. E.(1966). What Is Meant by Meaning. Journal of Existentialism, Vol. VII, pp. 21-23.
38
Hasnain, N., Faraz, B & Adlakha, P. (2013). Self-Esteem and Happiness of Authority. The International Journal of Humanities & Social Studies,Vol. 1, Issue. 3.
Hughes, D.M. (2000). The Natasha Trade the Transnational Shadow Market of Trafficking in Women. Journal of International Affairs, Vol. 53, No. 2, pp. 625-651. University of Rhode Island.
Hughes, D.M. (2003). Prostitution Online. Journal of Trauma Practice, Vol. 2, 115-132.
No.3/4, pp.
Hutchinson, G.T & Chapman, B.P. (2006). Logotherapy Enhanced REBT: An Integration of Discovery and Reason. Journal of Cognitive and Behavioral Psychotherapies, Vol. VI, No. 1, pp. 57-67. Northern Arizona, USA.
Jim, H.S & Andersen, B.L. (2007). Meaning in Life Mediates the Relationship between Social and Physical Functioning and Distress in Cancer Survivors. British Journal of Health Psychology, Vol. 12, pp. 363-381.
Jordan, J., Patel, B & Rapp, L. (2013). Domestic Minor Sex Trafficking: A Social Work Perspective on Misidentification, Victim, Buyers,Traffickers, Treatment, and Reform of Current Practice. Journal of Human Behaviour in the Social Environment, Vol. 23, Issue. 3, pp. 356-369.
Joshi, S & Srivastava. (2009). Self-Esteem Achievement of Adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, Vol. 35, Special Issue, pp. 33-39. Banaras Hindu University, Varanasi.
Julom, A.M & de Guzman, R. (2013). The Effectiveness of Logotherapy Program in Alleviating The Sense of Meaninglessness of Paralyzed In-Patiens. International Journal of Psychology & Psychological Therapy, Vol. 13, No. 3, pp. 357-371.University of Santo Tomas, Philipines.
Kalanzadeh, GH.A., Mahnegar, F., Hassannejad, E & Bakhtiarvand, M. (2013). The Influence of EFL Students’ Self_esteem on Their Speaking Skills. The International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World (IJLLALW), Vol. 2, No. 2, pp. 76-83. 39
Khowaja, S.S., Karamaliani, R.S., Tharani, A.J & Agha, A. (2013). Women Trafficking: Causes, Concerns, Care. Journal of Pakistan Medical Association, Vol. 63, No. 10, pp. 1-29. April 2013. Agha Khan University Hospital, Karachi.
Kimble, M.A & Ellor, J.W. (2000). Logotherapy: An Overview. Reprinted from Viktor Frankl’s Contribution to Spirituality and Aging, a monograph published simultaneously as The Journal of Religious Gerontology, Vol. 11, No. 3, pp. 8-24.
Kwan, V., Kuang, L. L & Hui, N. (2009). Identifying the Sources of Self-Esteem: The Mixed Medley of Benevolence, Merit and Bias. International Journal of Psychology: Self and Identity, Vol. 8, pp. 176-195. Psychology Press, Taylor & Francis Group.
Kyung-Ah., et al. (2009). The Effect of Logotherapy on the Suffering, Finding Meaning, and Spiritual Well-Being of Adolescents with Terminal Cancer. Journal Korean Acad Child Health Nurs,Vol. 15, No.2, pp. 136-144. April 2009. Department of Nursing, University Korea.
Lantz, J. (1992). Meaning Nerves and the Urban Appalachian Family. Journal of Religion and Health, Vol. 31, No. 2, pp. 129-139.
Liu, K. (2012). Humor Styles, Self-Esteem and Happiness. International Journal of Psychiatry in Medicine: Discovery – SS Student E-Journal, Vol. 1, pp. 21-41.
Manjoo, Rashida.,McRaith, Calleigh. (2011). Gender-Based Violence and JusticeIn Conflict and Post-Conflict Areas. Cornel International Law Journal Vol. 44, pp. 11-31.
Melton, A & Schulenberg, S. (2008). On the Measurement of Meaning: Logotherapy’s Empirical Contributions to Humanistic Psyhology. The Humanistic Psychology, Vol. 36, pp. 31-44.
Morgan, J.H. (2013). Late-Life Depression and the Counseling Agenda: Exploring Geriatric Logotherapy as a Treatment Modality. International Journal of Psychological Research. Vol. 6,No.1, pp. 94-101. Graduate Theological Fondation, United States.
40
Musacchio, V. (2004). Migration, Prostitution and Trafficking in German Law Journal, Vol. 05, No. 09, pp. 1015-1030.
Women: An Overview.
Pirtle. (2010). Franklian Psychology: Infusing Counselor Education with a Meaningful Spirit. International Journal of Existential Psychology and Psychotherapi, Vol. 3, No. 2. International University Laredo, Texas.
Preethi, C & Rosa MC. (2012). A Study on Parenting Styles Relation to Stress and SelfEsteem. International Journal of Teacher Educational Research (IJTER), Vol. 1, No. 4, pp. 1-10.
Rafferty, Y. (2008). The Impact of Trafficking on Children: Psychological and Social Policy Perspectif. Journal of Academic of Child & Adolescent Vol. 2, No. 1, pp. 13-18. Pace University.
Ramiro, M.T., Teva, I., Bermudez, M.P., Casal, G.B. (2013). Social Support, Self-Esteem and Depression: Relationship with Risk for Sexually Transmitted Infections/HIV Transmission. International Journal of Clinical and Health Psychology, Vol. 13, pp. 181188.
Rieger. (2007). Missing the Mark: Why the Trafficking Victims Protection Act Fails to Protect Sex Trafficking Victims in the United States. Harvard Journal of Low & Gender, Vol. 30, pp. 231-256.
Sassen, S. (2000). Women’s Burden: Counter-Geographies of Globalization and the Feminization of Survival. Journal of International Affairs, Vol. 53, No. 2, pp. 503-524. The Trustees of Columbia University in theCity of New York.
Smith, A.J. (2013). Logotherapy to Treat Substance Abuse as a Result of Military Related PTSD. Journal of Military and Government Counseling, Vol. 1, No.1, pp. 61-74. University of New Mexico.
41
Southwich, S.M., Gilmartin, R., McDonough, P & Morrissey, P. (2006). Logotherapy as an Adjuntive Treatment for Chronic Combat-Related PTSD: A Meaning-Based Intervention. American Journal of Psychotherapy, Vol. 60, No. 2, pp. 161-174.
Stotts, E.I & Ramey, L. (2011). Human Trafficking: A Call for Counselor Awareness and Action. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, Vol. 48, Issue 1, pp. 36-47.
Tate, K & Williams, C & Harden, D. (2013). Finding Purpose in Pain: Using Logotherapy as a Method for Addressing Survivor Guilt in First-Generation College Students. Journal of College Counseling, Vol. 16, pp. 79-92.
Uslu, M. (2013). Relationship between Degrees of Self-Esteem and Peer Pressure in High School Adolescents. International Journal of Academic Research Part B, Vol. 5, No. 3, pp. 117-122. Selcuk University, Konya (Turkey).
B. Buku
Akdon. (2008). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi.
American Psychiatric Association (APA). (2005). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.
Aryatmi, M. A. (1979). Peranan Komunikasi dalam Hubungan Menolong, Konseling Kristen. Salatiga: UKSW.
Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Paramadina. 1996.
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
42
Borg, W.R & Gall, M.D. (2003). Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc.
Branden, N. (1992). The Power of Self-Esteem: An Inspiring Look at Our Most Important Psychological Resources. Deerfield Beach, Florida: Healt Communications, Inc.
Brown, L. (2005). Sex Slaves, Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Coetzer, P. H. (1992). Gratefulness: A Highway to Meaning? The IFL, 15, 104-107. In The IFL, 24(1). In Marshall, Maria. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa.
Creswell, W.J. (2008). Research Design: Qualitative & Quantitative Approach. London: SAGE Publications.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2012). Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdiknas.
El, S. N. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frankl, V. E. (1967). Psychotherapy and Existentialism: Selected Papers on Logotheraphy. USA: Arrangement with Washington Square Press.
43
Fabry, J. (1994). The Pursuit of Meaning (New revised edition). Abilene, TX: Institute of Logotherapy Press.
Frankl, V. E. (1973 a). Meaninglessness: A Challenge to Psychologists. In Wong, P. T.P. (1998 d). Meaning-centered Counseling. In P. T. P Wong & P. Fry (Eds.), The Human Quest for Meaning: A Handbook of Psychological Research and Clinical Applications (pp. 395435). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Frankl, V. E. (1984). Man’s Search for Meaning. A Touchstone Book.Simon & Schuster. New York. In Marshall, Maria. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Diplomate Logotherapy in Ottawa, Canada.
Frankl, V. E. (1984). The Unheard Cry for Meaning. New York, NY: Pocket Books/Simon & Schuster. In Marshall, Maria. (2011). Prism of Meaning:Guide to the Fundamental Principles of Viktor Frankl’sLogotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa.
Frankl, V. E. (1985a).Man’s Search For Meaning: Revised and Updated. Washington: Washington Square Press.
Frankl, V. E. (1985b). The Unheard Cry For Meaning: Psychotherapy and Humanism. Washington: Washington Square Press.
Frankl, V. E. (1986). The Doctor and the Soul. New York, NY: Vintage Books. In Marshall, Maria. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa. Frankl, V. E. (1988). The Will to Meaning: Foundations and Applications of Logotherapy. Washington: Meridian.
Frankl, V. E. (1993). Life with Meaning. Washington: Brooks/Cole Publishing Company.
Frankl, V. E. (2000). Man’s Search for Ultimate Meaning. New York: Perseus Publishing.
44
Frankl, V. E. (2003). Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. (Cet. I). (Terj. M. Murtadlo; Ed. HadiPurwanto). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Frankl, V. E. (2004). Man’s Search For Meaning: Mencari Makna Hidup, Hakikat Kehidupan, Makna Cinta, Makna Penderitaan (Cet. I). (Terj. Lala HermawatiDharma; Ed. M. Ni’mal Fata). Bandung: Penerbit Yayasan Nuansa Cendekia.
Frankl, V. E. (2011). Logotherapy Approach To Personality. the United States International University, USA.
Frankl Viktor Institute of Logotherapy. (2013). Tribute to Viktor Frankl. The International Forum ForLogitherapy. Texas, USA.
Good, C.V. (1945).(Ed.), Dictionary of Education. New York: McGraw-Hill. Dalam. Sukmadinata, N. S. (2007). Bimbingan Konseling dalam Praktek: Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung: Penerbit Maestro.[31 Mei 2013].
Heppner, P., Wampold, B & Kivlighan, D. (2008). Research Design in Counseling. Washington: Thomson.
Hurlock, E. (1974). Personality Development. New York: McGraw-Hill Book Company.
Indraswari. (2005). Perempuan dan Kerja. Dalam Suara Perempuan, Batam: KMP KeuskupanPangkalpinang.
Kartadinata, S. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosal Mahasiswa serta Kaitannya dengan Perilaku Empatk dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi pada Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung: tidak diterbitkan. 45
Kartadinata, S. 2009. Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan. Bandung: UPI Pres.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPARI). (2010). Prosedur Standard Operasional: Pelaksanaan Standard Pelayana Minimal Biddang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Jakarta: KPPPARI.
Kementrian Sosial Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.(2009). Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) “Mulya Jaya”, Jakarta: Depsos.
Kementrian Sosial Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial. . (2010). Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW) ”Mulya Jaya”, Jakarta: Depsos.
Kementrian Sosial Republik Indonesia; Direktorat Jenderal Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial. (2011). Standar Operasional Prosedur (SOP): Rehabilitasi Sosial Korban Trafiking Perempuan. Jakarta: Depsos.
Kerlinger, F.N. (1973). Fundation of Behavioral Research. 2nd ed. New York: Holt, Rinehart and Winsto Inc. DalamNazir M. (2009). Metode Penelitian. Cetakan ketujuh. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Lapian, L.M.G & Geru, H (Eds). (2010). Trafiking Perempuan dan Anak: Penanggulangan Komprehensif. Studi Kasus: Sulawesi Utara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender.Universitas Indonesia dan NZAID.
Lim, L., Saulsman, L. & Nathan, P. (2005). Improving Self-Esteem. Perth, Western Australia: Centre for Clinical Interventions.
Lukas, E. (1985). The Meaning of Logotherapy for Clinical Psychology. The IFL, 8, 7-10. In Marshall, M. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa.
46
Lukas, E. (1987). Logotherapy: Health Through Meaning. The IFL, 10(1), 9-16. In Marshall, M. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa. Marshall, M. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’s Logotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa. Maslow A. H. (1993). Motivasi dan Kepribadian 1. Seri Manajemen No. 104 A. Bandung: PT. Pustaka BinamanPressindo.
Nazir, M. (2009). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurihsan, A.J. (2006). Bimbingan & Konseling. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Nurihsan, A. J. (2009). Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung: PT Rafika Aditama.
Prayitno & Amti, E. (1999). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Schulenberg, S. (2001). Saying ‘Thank You:’ On the Role of Gratitude in the IFL, 24 (1). In Marshall, M. (2011). Prism of Meaning: Guide to the Fundamental Principles of Viktor E. Frankl’sLogotherapy. Canada: Diplomate Logotherapy in Ottawa. Subroto, H. (2005). Perempuan Pintu Gerbang Menuju Keluarga Sejahtera. Dalam Suara Perempuan, Batam: KMP Keuskupan Pangkalpinang.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sundayana, R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press.
Sururi & Suharto.(2007). Belajar SPSS for Windows untuk Mengelola Data Penelitian. Bandung: Dewa Ruchi. 47
Suryabrata, S. (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi Offset.
Thorndika & Hagen.(1955). Measurement and Education in Psychology. Dalam Nazir, M. (2009). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Venny, A. 2005. Perempuan dan Tubuhnya. Dalam Suara Perempuan, Batam: KMP Keuskupan Pangkalpinang.
Williamson, N & Heather, J. (2010). Evidence-Based Mental Health Treatment for Victims of Human Trafficking. Caliber, an ICF International Company.
Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Wong, P. T. P. (1998d). Meaning-centered counseling. in P. T. P Wong & P. Fry (Eds.), The human quest for meaning: A handbook of psychological research and clinical applications (pp. 395-435). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Wong, P. T. P. (2012). From Logotherapy to Meaning Centre Counseling and Therapy. Canada: Trent University Amazon.
48