Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI PENDETA Sevianti Denny Putra Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta
[email protected]
Abstract Decision to become a pastor at a young age while having a career is not an easy thing to do because one of the developmental tasks of young adults is pursuing a higher position in his or her career. Career as a pastor tends to be underestimated compared to that of career in other fields. The reason is because pastor’s salary is considerably less than that of the other career, not to mention the uncertainty in receiving it on regular basis. It will depend on the contribution from church congregation or church policy. Individuals who decide a career to be a pastor means that he or she is ready to accept the roles and tasks involved. In addition, a pastor is considered a “special calling” from God so it must be accepted with gratitude. In this study the authors would like to see the stages of individual decision-making as a young adult to accept his calling to be a pastor. This study uses qualitative methods, with in-depth interviews and observation. Subjects in this study were three individuals who had been called to be pastors as a young adulthood while he still hold a job or career. This study obtained a clear picture of the decision-making stages by Jennis & Mann (1977), and found three factors that influence decision-making, which are circumstance, mood, and belief. Keywords: Young Adults, Decision Making Stages, Pastor
Pendahuluan Aktivitas pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab yang harus diambil sepanjang rentang kehidupan manusia, yang digunakan untuk memecahkan berbagai masalah, baik masalah sederhana, maupun kompleks, baik menyangkut kepentingan pribadi, maupun untuk kepentingan orang banyak (Supriyanto & Santoso, 2005). Disamping itu pada umumnya pria lebih berani untuk mengambil resiko dalam memilih dan memutuskan sesuatu, dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan oleh 146
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
perbedaan dalam tuntutan sosial, pandangan masyarakat, serta peran pria dalam mengurus keluarga. Menurut Johnson (1994), kemampuan membuat keputusan lebih diidentifikasikan dengan peran gender daripada jenis kelamin secara individual. Menurut Kelly (2000), pria mempunyai kelebihan dalam hal visual-spatial reasoning, serta kemampuan kuantitatif, dan kemampuan problem solving yang tinggi. Salah satu dari banyaknya aktivitas pengambilan keputusan manusia adalah berkarier atau berkerja terutama pada pria, selain karena pria lebih berani mengambil resiko dalam mengambil keputusan, kebudayaan kita pun menuntut dan menekan pria untuk menjadi tulang punggung keluarga atau penafkah utama, baik dalam rumah tangga, maupun dalam keluarga besarnya (Rosidah, 2009). Zunker
(2006)
menyebutkan
definisi
karier
menurut
nasional
Career
Development Association, yaitu time expended working out of a purposeful life pattern through work undertaken by a person. Yang berarti karier adalah pekerjaan dalam waktu panjang untuk mencapai suatu tujuan atau makna hidup. Sedangkan menurut Suhardono dalam judul bukanya menyatakan your job is not your carrer, dan menurutnya pekerjaan hanya mencakup tujuan institusi, pembagian kerja, dan kompensasi, sedangkan karier mencakup passion, purpose of life, value, and happines. Jika kita mencintai apa yang kita kerjakan, sekalipun upah yang diterima itu sedikit, atau tidak ada sama sekali, maka itu disebut dengan karier. Flippo (Indriana, Indrawati, & Ayuaningsih, 2007) karier adalah suatu rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan memberikan kesinambungan, ketenteraman, dan arti kehidupan kerja individu. Karier terdiri dari serangkaian pengalaman yang menuju pada peningkatan tanggung jawab, status jabatan, wewenang, dan kompensasi. Sedangkan menurut Anoraga (Yulia, 1999) karier memiliki arti sempit dan luas. Karier dalam arti sempit yaitu upaya mencari nafkah, mengembangkan profesi, atau meningkatkan kedudukan. Karir dalam arti luas adalah langkah maju sepanjang kehidupan manusia. Dalam usia 20 sampai 40 tahun atau yang dikenal dengan rentang usia dewasa muda, di Indonesia sendiri usia 21 tahun dianggap sebagai batas kedewasaan (Monks, 2001). Santrock (2004) dewasa muda memiliki beberapa tugas perkembangan, diantaranya yaitu berkarier, menikah, dan memiliki anak. Menurut Prasetya (Lazarusli,
Siswanto,
Wibhowo,
2006)
taraf
kedewasaan
seseorang
akan
mempengaruhi cara mengambil keputusan dan cara bertindaknya. Hal ini akan
147
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
menentukan pertumbuhan berikutnya, karena apa yang diputuskan dipilih, dan dihayati kemudian terarahkan secara tertentu. Lazarusli, Siswanto, Wibhowo (2006) individu pada usia dewasa muda secara jelas akan diperhadapkan pada banyak pertanyaan seputar pekerjaan yang akan dijalani, nasib mereka dengan pekerjaan itu, keputusan untuk mengambil pendidikan, dan mempunyai karier tertentu serta hal-hal lainnya yang ingin mereka lakukan. Banyak sekali jenis karier yang dapat kita kenali, dan juga tersedia untuk para dewasa muda seperti pebisnis, pegawai negeri, karyawan swasta, personalia, dan masih banyak lagi. Jika seorang dewasa muda memutuskan bekerja sebagai seorang karyawan, maka mereka akan mendapatkan hak-hak karyawan yang tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia No 13 tahun 2003, seperti dalam pasal 1 menyatakan, upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha, atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan, atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dalam sebuah survei dari Angkatan Kerja Nasional (Sakernas, 2010), jumlah dewasa muda di Indonesia tercatat sebanyak 108.207.767 jiwa. Dari populasi tersebut, sebanyak 58,45 persen dewasa muda yang bekerja sebagai karyawan, dari hasil data tersebut meyatakan cukup banyak dewasa muda yang memilih kariernya sebagai karyawan di perusahaan atau organisasi tertentu. Namun ada juga jenis pekerjaan yang memiliki kondisi berbeda dibandingkan dengan pekerjaan umum lainnya, perbedaan ini seperti penerimaan upah atau gaji setiap bulannya. Salah satu pekerjaan tersebut adalah pekerjaan menjadi seorang pendeta. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendeta GBI Isa Almasih Kharisma di Kota Bumi Tangerang, mengatakan bahwa memilih karier menjadi seorang pendeta berarti siap untuk melayani Tuhan dengan tulus, yaitu tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan apa-pun, termasuk jenjang karier, maupun tunjangan-tunjangan lainnya. Berkarier menjadi pendeta cenderung dipandang sebelah mata dibandingkan berkarier di bidang lainnya, seperti menjadi seorang karyawan, maupun pegawai. Hal ini dikarenakan upah atau gaji menjadi pendeta yang tidak seberapa besar, dan tidak jelas besar kecilnya, tergantung pada besar kecilnya persembahan kasih jemat, atau juga tergantung dari kebijakan gereja tempat mereka bekerja. Individu 148
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
yang memutuskan untuk berkarier menjadi seorang pendeta, berarti siap untuk menerima syarat-syarat menjadi pendeta, peran, dan tugas yang dibebankannya (Homrighausen & Enklaar, 2007). Meskipun demikian, pada kenyataannya ada beberapa individu yang memutuskan untuk meninggalkan kariernya yang semula untuk menjadi seorang pendeta. Berdasarkan hasil wawancara dengan pendeta GBI Isa Almasih Kharisma di Kota Bumi Tangerang, mengatakan bahwa keputusan meninggalkan kariernya di dunia kerja untuk menjadi pendeta, dikarenakan oleh faktor panggilan yang dirasakananya waktu itu. “... Tapi setelah ada dorongan Roh Kudus terpanggil untuk menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, nah perasaan itu seperti terpanggil lalu meninggalkan pekerjaan sekuler, dan masuk sekolah Teologia”
Pendeta GBI Isa Almasih Kharisma di Kota Bumi Tangerang, dan pendeta GBI Hosiana Bekasi pun mengakui, bahwa menerima panggilan pada saat berkarier sangat sulit, apalagi mengetahui upah atau gaji sebagai pendeta yang jauh dibawah dari gaji, atau upah mereka sebagai karyawan sekuler waktu mereka bekerja. “Iya makannya saya kembali lagi, itu panggilan, jadi sebenarnya kalo berbicara soal, mungkin soal gaji, kebutuhan, segala macam, itu sebenarnya ya tidak sesuailah, tapi panggilan. Kalo berbicara panggilan itu kan itu ke dalam, jadi panggilan itu kan berbicara soal apa damai, gitu kan” “Itu karena ada panggilan ya, seperti ada perasaan terbeban gitu... lalu harus jadi hamba Tuhan yang tidak ada gajinya, itu sempat juga apa... Membuat kekhawatiran iya kan”
Menurut Seligman (Agus, 2003) panggilan adalah komitmen di dalam diri individu, dengan pekerjaannya yang sangat memuaskan, di mana individu tersebut melakukan pekerjaannya itu bukan untuk meraih, atau mencapai keuntungan materi yang diberikan. Individu yang berorientasi pada panggilan akan tetap bekerja meskipun tidak lagi mendapat bayaran, selama apa yang dilakukannya dapat berguna bagi orang banyak. 149
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di lapangan, ada beberapa individu yang pada waktu usia dewasa mudanya, pernah memutuskan meninggalkan kariernya untuk menerima panggilan menjadi pendeta, seperti halnya pendeta di Gereja GBI Hosiana, hanya ada 1 dari 5 pendeta yang menerima panggilannya saat berkarier, GBI Tiberias, hanya ada 19 dari 45 pendeta yang menerima panggilannya saat berkarier, Gereja Isa Almasih Kharisma hanya ada 1 dari 7 pendeta yang menerima panggilannya saat berkarier, dan individu inilah yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Seperti layaknya individu pada umumnya yang memilih suatu karier dalam hidupnya, pastinya mereka akan mengalami suatu tahapan pengambilan keputusan, seperti menilai masalah yaitu di mana individu menyadari adanya informasi yang mengancam atau sebuah kesempatan yang mempunyai efek langsung maupun yang menantang kegiatan atau aksi yang sedang dilaksanakan saat ini. Kemudian melihat alternatif-alternatif pilihan yang ada, yaitu individu memulai menggunakan ingatan
(memori)
untuk
mencari
alternatif-alternatif
tindakan
yang
dapat
dilakukannya, serta mencari nasihat ataupun informasi yang dapat menolongnya untuk menghadapi tantangan tersebut. Setelah itu menimbang alternatif, yaitu seluruh alternatif yang telah dikumpulkan di evaluasi, dengan melihat kemungkinan manfaat, dan pengorbanan yang harus diterima. Setelah individu memutuskan alternatif terbaik, maka ia akan membuat komitmen terhadap pilihannya tersebut, dan menjalankannya. Individu juga akan memberitahukan pilihanya terhadap orang lain, karena cepat atau lambat, orang-orang disekitarnya juga akan mengetahui keputusan yang sudah diambil, dan siap menerima umpan balik dari keluarga atau masyarakat, sekalipun itu negatif (Jenis & Mann, 1977). Dengan
adanya
fenomena
di
atas,
membuat
peneliti
tertarik
untuk
mengangkatnya menjadi topik penelitian, yaitu bagaimana tahapan pengambilan keputusan yang dilalui individu pada waktu usia dewasanya untuk sampai menjadi pendeta. Sedangkan untuk menjadi pendeta, harus siap untuk menerima syarat, peran, dan tugas yang dibebankannya, tanpa berharap menerima imbalan dalam bentuk apa-pun dari Gereja, tempat mereka bekerja (Homrighausen & Enklaar, 2007). Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka peneliti dapat merumuskan masalah, yaitu bagaimana tahapan pengambilan keputusan yang dilalui individu pada waktu usia dewasanya untuk menjadi pendeta?
150
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan tahapan pengambilan keputusan yang dilalui individu pada waktu usia dewasanya untuk menjadi pendeta.
Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini tidak menggunakan teknik statistik, maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan, dan mengelola data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto video, dan lain-lainnya. Dalam penelitian kualitatif perlu menekankan adanya kedekatan dengan orang-orang, dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata (Poerwandari, 2009). Penelitian akan dilakukan kepada individu dengan kriteria: 1) Seorang laki-laki, waktu usia dewasa mudanya yaitu diusia 20 sampai 40 tahun pernah memutuskan meninggalkan kariernya untuk menerima panggilan menjadi pendeta. 2) Subyek menerima panggilan menjadi pendeta, saat sedang menjalankan kariernya atau sendang bekerja waktu itu. 3) Subyek tidak pernah terfikirkan atau bercita-cita untuk menjadi pendeta sebelumnya. 4) Telah menjabat sebagai pendeta full time sekarang. Pengambilan sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling, yaitu pengambilan sampel bola salju atau berantai. Poerwandari (2009), snowball sampling merupakan suatu prosedur pengambilan sampel secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai sebelumnya.
Hasil Penelitian Proses pengambilan keputusan dari ketiga subjek penelitian ini cukup beragam, dan tidak semua subjek penelitian melewati lima tahapan pengambilan keputusan Jennis dan Mann dengan matang. Tahapan yang dengan matang dilalui setiap subjek adalah tahap pertama yaitu dalam menilai masalah yang ada waktu itu, sedangakan pada tahap kedua yaitu melihat alternatif-alternatif yang ada, hanya subjek Abraham dan Ishak yang melewatinya dengan matang, dibandingkan dengan subjek Yakub. Tahap ketiga, yaitu menimbang alternatif yang ada, hanya subjek Ishak yang dapat melewatinya dengan matang, dibandingkan subjek Abraham dan Yakub, karena mereka mengalami keraguan dan kegoyahan atas keputusan yang telah mereka buat. Tahap keempat yaitu membuat komitmen, dapat dilewati dengan 151
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
jelas oleh semua subjek. Pada tahap terakhir yaitu menerima umpan balik, dapat dilalui dengan jelas oleh subjek Abraham dan Yakub, dibandingkan dengan subjek Ishak. Pada tahap pertama yaitu menilai masalah, semua subjek mengalami konflik yang disadari secara pribadi. Ketiga subjek dalam penelitian ini, menyadari konflik pribadi yang sama, yaitu disaat usia dewasa muda mereka yang sedang menjalani karirnya, baik sebagai karyawan maupun pebisnis. Namun dipertengahan karirnya itu, mereka diperhadapkan oleh suatu dorongan yang kuat di dalam diri mereka, seperti dorongan untuk melayani Tuhan sebagai pendeta, dan mereka sebut itu sebagai panggilan jiwa atau batin yang datangnya dari Tuhan. Respon atas panggilan yang mereka rasakan waktu itu hampir sama, yaitu tidak langsung menerima panggilan itu dengan menjadi pendeta. Subjek Abraham, waktu itu tidak langsung menanggapi panggilannya, karena ia mempunyai banyak pilihan lain selain menjadi pendeta, seperti masih adanya pekerjaan sekuler yang sedang Ia jalani, ingin kuliah di bidang sekuler, dan adanya cita-cita yang ia harapkan. Subjek Ishak, waktu itu tidak langsung menanggapi karena ia tidak menganggap sebagai sesuatu yang serius dan harus dilakukan. Subjek Yakub waktu itu tidak langsung menanggapi karena ia harus memastikan dorongan panggilan yang ia rasakan waktu itu, apakah benar dari Tuhan atau hanya emosi sesaat saja. Sesuai dengan salah satu tugas perkembangan pada dewasa muda, yaitu achieving stage (usia 20-30), dewasa muda akan menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan seperti karier. Sebelum mereka merasakan adanya panggilan, mereka sudah, dan sedang menjalankan pekerjaa atau kariernya waktu itu. Dalam menilai masalah terlihat jelas bahwa ketiga subjek, banyak dipengaruhi oleh faktor dalam atau circumstances yaitu segala sesuatu yang ada di dalam kontrol individu. Termasuk di dalam circumstances ini adalah kata-kata yang terus-terusan muncul (stabil) pada diri individu dalam mengambil keputusan, dan yang dimaksud dalam circumstances, yaitu semakin kuatnya dorongan panggilan yang dirasakan oleh ketiga subjek tersebut. Panggilan yang mereka rasakan terjadi disaat usia mereka dewasa muda, yaitu Abraham diusia 24 tahun, Ishak diusia 30 tahun, dan Yakub diusia 25 tahun. Pada awalnya mereka tidak langsung menanggapi panggilan itu karena pada masa itu, kognitif mereka menurut Piaget telah mencapai tahap postformal thought, 152
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
sedangkan oleh Jan Sinnott (1984-1998) mengemukakan bahwa dewasa muda telah berada pada kriteria pemikiran shifring gears, yaitu kemampuan untuk berpikir maju
dan
mundur
diantara
penalaran
abstrak
dan
praktikal,
serta
menyeimbangkannya dengan dunia nyata. Sehingga mereka perlu melihat lebih jelas lagi, kebenaran akan dorongan panggilan yang mereka rasakan waktu itu, dan perlu juga melihat alternatif-alternatif yang ada, serta berkonsultasi dengan orangorang yang mengerti tentang panggilan yang mereka rasakan waktu itu, untuk meyakinkan mereka mengambil keputusan selanjutnya. Pada tahap kedua yaitu melihat alternatif-alternatif yang ada, ketiga subjek mengakui dan menerima panggilan yang mereka rasakan waktu itu, karena dorongan untuk melayani Tuhan lebih serius lagi, yaitu dengan menjadi pendeta semakin kuat mereka rasakan. Sebelum memutuskan ketahap selanjutnya, subjek Abraham dan Ishak sempat berkonsultasi dengan orang-orang yang mengerti tentang panggilan, seperti pendeta, anggota-anggota Gereja, tapi tidak untuk orangtua dan keluarga mereka. Pada waktu itu Abraham tidak berkonsultasi dengan orangtuanya dan keluarganya, karena Abraham tahu bahwa mereka akan langsung berkata tidak setuju. Sedangkan pada Ishak, waktu itu tidak berkonsultasi dengan Orangtua dan keluarganya, karena mereka tidak akan mengerti dorongan panggilan yang Ishak rasakan. Sedangkan pada subjek Yakub, tidak berkonsultasi dengan siapapun, tapi langsung memutuskan untuk sekolah Alkitab di Salatiga. Pada tahap ketiga yaitu menimbang alternatif yang ada, subjek Abraham dan Yakub dapat menimbang semua kemungkinan yang akan terjadi, baik dari segi kerugian, maupun keuntungan yang akan didapatkan jika mereka memutuskan menjadi pendeta, sedangkan pada subjek Yakub, tidak menimbang kemungkinan yang akan terjadi jika ia menjadi pendeta nanti, karena pada waktu itu Yakub hanya berpikir untuk sekolah Alkitab, dan melayani Tuhan. Subjek Abraham dan Yakub mengalami kegoyahan diawal, setelah mereka sudah menjadi Pendeta. Penyebab kegoyahan Abraham adalah rasa jenuh karena tidak mendapatkan imbalan berupa uang, sedangkan kegoyahan yang dialami Yakub disebabkan oleh sukarnya berkarir sebagai pendeta, seperti melayani dari rumah ke rumah. Maka untuk menghindari kesulitannya itu, Yakub memutuskan untuk kembali bekerja sebagai karywan Farmasi, tapi disamping ia bekerja, dorongan panggilan untuk melayani Tuhan terus terdengar dihatinya.
153
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Kegoyahan mereka dipengaruhi oleh faktor emotion, yaitu yang berhubungan dengan mood, dan reaksi positif atau negatif terhadap situasi yang ada waktu itu. Tapi kegoyahan mereka tidak sampai benar-benar meninggalkan karirnya sebagai pendeta, hal ini disebabkan oleh faktor circumstances yaitu dorongan panggilan yang terus-menerus berdengung dihati dan pikiran mereka. Pada akhirnya Abraham dan Yakub kembali memutuskan menjadi pendeta, yang menjadi pertimbangan mereka untuk kembali melayani Tuhan sebagai pendeta adalah faktor utilitarian yaitu pertimbangan untung dan rugi bagi individu, yaitu faktor-faktor
yang
mengandung
atau
mempengaruhi
kesejahteraan,
atau
kenyamanan pribadi akan diantisipasi. Karena dorongan panggilan itu terus berdengung di hati, dan pikiran mereka, maka mereka merasakan tidak nyaman dan tidak damai sejahtera, hal itulah yang menyebabkan mereka kembali menjadi pendeta. Tahap keempat yaitu membuat komitmen, semua subjek berkomitmen dalam setiap tindakannya untuk sampai menjadi pendeta, dan semua subjek dalam penelitian ini memberitahukan keputusan mereka yang menjadi pendeta kepada Orangtua, keluarga, dan orang-orang terdekat mereka. Reaksi mereka terhadap subjek Abraham adalah tidak ada lagi yang menentangnya atau menolak keputusannya karena Abraham sudah menjadi pendeta. Reaksi mereka terhadap subjek Ishak adalah biasa saja, yaitu tidak ada yang berkomentar apa-pun. Sedangkan reaksi mereka terhadap subjek Yakub adalah positif, karena Orangtua Yakub
memberikan kebebasan
kepada anak-anaknya
dalam memilih
dan
menjalankan kehidupan mereka. Komitmen mereka terhadap setiap tindakan untuk menjadi pendeta, diperkuat dengan adanya faktor belief atau keyakinan yang berhubungan dengan hipotesa dan teori atau pengalaman. Komitmen Abraham dalam setiap tindakannya waktu itu, diperkuat dengan keyakinannya terhadap panggilan yang ia rasakan itu berasal dari Tuhan, sehingga ia memandang panggilan itu sebagai kesempatan yang harus Ia ambil. Keyakinan Abraham pun diperkuat lagi dengan dukungan dan motivasi yang diberikan kepada Pendeta dan orang-orang yang mengerti tentang panggilan yang ia rasakan waktu itu, seperti tantenya. Komitmen Ishak dalam setiap tindakannya waktu itu, diperkuat dengan keyakinannya yang didasarkan pada pengalamannya saat ia menjalankan bisnisnya, yaitu di mana Tuhan selalu menolong karier bisnisnya, maka Ishak pun yakin Tuhan 154
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
akan lebih lagi menolong karirnya sebagai pendeta. Sedangkan komitmen Yakub pada setiap tindakannya waktu itu diperkuat dengan keyakinannya, dan imannya bahwa menjadi pelayan Tuhan, berarti hidupnya sudah berada ditangan Tuhan. Namun dalam menjalankan karier sebagai pendeta, seperti yang sudah dibahas ditahap sebelumnya, subjek Abraham dan Yakub mengalami keraguan dan kegoyahan yang membuat mereka meninggalkan tugasnya menjadi pendeta. Tapi keraguan dan kegoyahan mereka tidak berlangsung lama, karena dorongan panggilan yang mereka rasakan waktu itu tidak kunjung berhenti atau menghilang, dan pada subjek Yakub waktu itu, Ia mengalami teguran Tuhan lewat anak lakilakinya, yaitu anak yang ia minta dari Tuhan, sehingga mereka tidak merasakan damai sejahtera dan akhirnya mereka memutuskan untuk kembali melayani Tuhan. Pada tahap kelima yaitu menerima umpan balik meskipun negatif, hanya dialami oleh subjek Abraham. Umpan balik negatif yang diterima Abraham datang dari Orangtua dan keluarganya, yaitu saat ia memutuskan untuk sekolah Alkitab. Umpan balik negatif yang diterima Abraham disebabkan oleh pandangan Orangtua, dan keluarga yang menganggap karier pendeta tidak ada gajinya. Sedangkan umpan balik negatif tidak dialami oleh subjek Yakub, karena Orangtua yang memberikan kebebasan dalam memilih dan menjalankan kehidupan ini, dan umpan balik tidak didapatkan oleh Ishak karena pihak keluarga tidak memberikan komentar apa-pun, hal ini disebabkan karena Ishak adalah anak sulung, yang kalau sudah memutuskan sesuatu tidak akan pernah berubah, sehingga mereka tidak berani menentang keputusan Ishak waktu itu. Kehidupuan setelah menjadi pendeta, ketiga subjek merasakan kehidupan mereka sangat diberkati baik secara jasmani maupun rohani. Secara jasmani yaitu kebutuhan hidup mereka yang tercukupi baik dari sandang, pangan dan papan. Secara rohani yaitu selalu dikuatkan, dan merasakan adanya suatu kepuasan tersendiri, dan kepuasan yang mereka rasakan bukan berdasarkan materi, jabatan, dan kehormatan, tapi lebih kepada penyertaan, dan pemeliharaan Tuhan yang begitu nyata di dalam kehidupan mereka, sehingga mereka bertambah yakin untuk terus menjalani karier ini. Kepuasan yang dirasakan Abraham setelah menjalani karier pendetanya adalah pemeliharaan Tuhan yang selalu mencukupkan kebutuhan hidupnya, walaupun gajinya sebagai pendeta tidak seberapa. Kepuasan yang dirasakan oleh Ishak adalah menemukan tujuan hidup yang harus ia jalani yaitu menjadi pendeta. 155
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Kepuasan yang dirasakan Yakub adalah pemeliharaan Tuhan, dengan cara Tuhan yang menggajinya lebih dari orang yang menggajinya. Kepuasan yang mereka alami sesuai dengan teori panggilan menurut Seligman (Agus, 2003) yang menyatakan, panggilan adalah komitmen di dalam diri individu, dengan pekerjaannya yang sangat memuaskan, di mana individu tersebut melakukan pekerjaannya itu bukan untuk meraih, atau mencapai keuntungan materi yang diberikan. Individu yang berorientasi pada panggilan akan tetap bekerja meskipun tidak lagi mendapat bayaran, selama apa yang dilakukannya dapat berguna bagi orang bayak.
Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai tahapan pengambilan keputusan yang dilalui individu saat usia dewasa mudanya untuk menjadi pendeta. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh
kesimpulan
bahwa
ketiga
subjek
dalam
mengambil
keputusannya untuk berkarir menjadi Pendeta, diperoleh dengan melalui lima tahapan pengambilan keputusan berikut ini: 1) Tahapan pertama: Mengenali Masalah. Ketiga subjek merasakan adanya suatu masalah yang timbul dari dalam dirinya, yaitu seperti dorongan yang kuat untuk hidup melayani Tuhan sebagai pendeta, dan mereka sebut dorongan ini adalah panggilan jiwa atau batin. Maka terjadilah konflik di dalam diri subjek, yaitu tidak adanya damai sejahtera, sebelum mereka menerima panggilan yang mereka rasakan. Jika mereka meneriman panggilan itu, maka mereka akan meninggalkan pekerjaan mereka saat itu, untuk sekolah Alkitab. 2) Tahapan kedua: Mencari Alternatif. Tidak ada pilihan lain untuk mereka selain menerima panggilan menjadi pendeta, tapi sebelum menjadi pendeta, subjek Abraham dan Ishak sempat berkonsultasi dengan orang-orang yang mengerti tentang panggilan. Setelah mereka berkonsultasi, mereka bertambah yakin untuk memutuskan ketahap berikutnya, yaitu sekolah Alkitab. 3) Tahapan ketiga: Menimbang Alternatif. Dalam tahap ini terjadi kegoyahan yang di alami oleh Subjek Abraham dan Yakub, kegoyahan mereka disebabkan oleh faktor emosional, yaitu Subjek 156
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Abraham merasa jenuh dengan karier pendetanya dan Yakub merasa sulit menjalani karir sebagai pendeta. Tapi tidak lama kemudian, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali melayani Tuhan, karena dorongan panggilan yang mereka rasakan tidak berhenti atau menghilang, sehingga mereka tidak merasakan damai sejahtera. 4) Tahapan keempat: Membuat Komitmen. Pada tahap keempat ini semua subjek dapat melaluinya dengan matang, sehingga mereka sampai pada tujuan mereka, yaitu menjadi pendeta. Mereka memberi tahu keputusan ini terutama kepada orangtua, dan keluarga. Ketiga subjek juga melakukan taktik tertentu dalam menjalani karirnya sebagai pendeta, seperti melayani Tuhan dengan tulus, jujur, setia, kemudian hidup dijalannya Tuhan, dan belajar dalam segala bidang, karena jemaat yang dilayani bukanlah orang yang tidak berwawasan. 5) Tahapan kelima: Menerima Umpan Balik Meskipun Negatif. Ketiga subjek penelitian ini lebih banyak mendapatkan umpan balik yang positif, sehingga jalan mereka untuk berkarier sebagai pendeta cukup mulus. 6) Kehidupan setelah menjadi pendeta. Seperti definisi panggilan yang diungkapkan oleh Seligman, yaitu komitmen di dalam diri individu, dengan pekerjaannya yang sangat memuaskan, di mana individu tersebut melakukan pekerjaannya itu bukan untuk meraih, atau mencapai keuntungan materi yang diberikan. Setelah menjadi pendeta mereka bertambah yakin untuk terus menjalani karir ini seumur hidup mereka, di mana materi bukan lagi menjadi ukuran dalam kehidupan mereka, karena mereka percaya dengan iman, bahwa Tuhan pasti akan mencukupkan semua kebutuhan hidup mereka.
Daftar Pustaka Agus. (2003). Gambaran calling pada relawan. Unpublished thesis. Dariyo, A. (2003). Psikologi dewasa muda. Jakarta: Bumi Aksara. Dariyo, A. (2004). Perencanaan dan pemilihan karier sebagai seorang guru/dosen pada dewasa muda. Provitae, 1, 51-58. Hadiwijono. (2001). Iman kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Homrighausen, E.G., & Enklaar, I.H. (2007). Pendidikan agama kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 157
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Indriana, Y., Indrawati, E.S., & Ayuaningsih, A. (2007). Persepsi perempuan karier lajang tentang pasangan hidup: Studi kualitatif fenomenologis di Semarang. Arkhe, 2, 153-167. Jan, D.S. (1998). The development of logic in adulthood: Postformal thought and its applications. New York: Springer. Jenis, I. L., & Mann, L. (1977). Decision making: A psychology analysis of conflic, choice, and commitment. New York: The Free Press. Johnson, M. (1994). Thinking about strategies during, before, and after decision making. Journal of Psychology and Aging, 8(2), 231-241. Kelly, K.L. (2000). Gender differences/similarities in decision making. Diunduh dari http://www. e-psychology.com. Lazarusli, Siswanto, & Wibhowo. (2006). Perkembangan panggilan hidup pada dewasa muda yang menempuh studi di fakultas teologia. Psikodimensia, 5(2), 195-206. Monks, F.J., Haditomo, S.R., & Lubis, Z.B. (1991). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th ed.). Boston: McGraw-Hill. Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, E.K. (2009). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ranyard, R., Crozier, R.W., & Svenson, O. (1997). Decision making: Cognitive moodels and explanation. New York: Routledge. Rosidah, S.T. (2009). Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sakernas. (2010). Penduduk Menurut Jenis Kegiatan . Diunduh dari: http://www.bps.go.id. Santrock, J.W. (2004). Life-span development (9th ed.). New York: McGraw-Hill. Schaie, K.W., & Willis, S.L. (2000). A stage theory model of adult cognitive development. New York: Springer. Supriyanto, & Santoso, A.G. (2005). Pengambilan keputusan pindah kerja. Jurnal Anima, 20(4), 365-379.
158
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359 Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2014
Turner, J.S., & Helm, D.B. (1995). Life-span development (5th ed.). Orlando: Hartcourt Brace College Publishers. Yualia, M.W.S. (1999). Dukungan orangtua terhadap keputusan karier remaja dan status keputusan karier remaja. Phronesis, 1(1), 20-29.
159