Kontribusi Spiritualitas dan Religiusitas Terhadap Resiliensi Keluarga Pada Mahasiswa dengan Latar Belakang Keluarga Miskin Mely Putri Kurniati Rosalina Fakultas Psikologi Sri Redatin Retno Pudjiati Fakultas Psikologi Mita Aswanti Fakultas Psikologi Abstrak Resiliensi keluarga menjelaskan mengenai proses keluarga dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi sebagai satu kesatuan yang fungsional. Walsh (2003) membuat suatu model bagi resiliensi keluarga dan didalamnya dijelaskan mengenai tiga proses kunci yang dianggap berkontribusi terdap resiliensi keluarga: sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi di dalam keluarga. Penelitian ini ingin melihat kontribusi spiritualitas dan religiusitas yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan keluarga terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Penelitian dilakukan pada 356 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ), Spirituality Attitude and Involvement List (SAIL) dan Religious Commitment Inventory-10 (RCI-10). Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat kontribusi spiritualitas dan religiusitas terhadap resiliensi keluarga. Hasil tambahan memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan antara resiliensi keluarga dengan besar keluarga dan keutuhan orangtua. Selain itu resiliensi, spiritualitas dan religiusitas berkorelasi secara signifikan dengan keikutsertaan anggota keluarga dalam kelompok agama. Penelitian ini juga membuktikan bahwa spiritualitas memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan religiusitas terhadap resiliensi keluarga. Kata kunci : resiliensi keluarga; spiritualitas; religiusitas; mahasiswa; keluarga miskin Abstract Family resilience refers to coping and adaptation processes in the family as a functional unit (Walsh, 2006). There is a model of family resilience based on Walsh (2003) consist three key processes: family believe system, organizational pattern, communication processes. This research aims to know the contribution of spirituality and religiosity, part of family belief system, in family resilience of college students with poor family background. Total participant are 356 college students who receive Bidikmisi scholarship. There are three scales, Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ), Spirituality Attitude and
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Involvement List (SAIL) and Religious Commitment Inventory-10 (RCI-10). This research concludes that there is effect of spirituality and religiosity in family resilience. There is significant correlation between family resilience and family structure, marital condition, and family member’s participation in a religious group as well. Spirituality and religiosity also has significant correlation with family member’s participation in a religious group. This research shows that spirituality has a bigger effect than religiosity in family resilience. Keywords: family resilience; spirituality; religiosity; college students; poverty Pendahuluan Kemiskinan menjadi salah satu masalah sosial yang terus diperangi oleh pemerintah sejak kepemimpinan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (www.koranjakarta.com). Berdasarkan standar Bank Dunia, rakyat miskin didefinisikan sebagai seseorang yang berpenghasilan kurang dari atau sama dengan 2 US$ per hari atau setara Rp 194.439 per hari. Data yang di himpun oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sebanyak 12,36 persen dari penduduk Indonesia merupakan masyarakat miskin. Selain itu berdasarkan survey selanjutnya yang dilakukan oleh Bank Dunia, 40 persen masyarakat Indonesia yang berada di atas garis kemiskinan, memiliki potensi untuk terdorong ke dalam kemiskinan (World Bank, 2012). Pemerintah memiliki berbagai cara yang dianggap dapat dilakukan untuk menangani kemiskinan, seperti bantuan terhadap siswa miskin, asuransi, beras miskin, program keluarga harapan, bantuan langsung tunai, program pemberdayaan masyarakat, kredit usaha masyarakat, program rumah sangat murah, dan lain sebagainya (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, 2012). Salah satu hal yang diprioritaskan dalam mengentaskan kemiskinan adalah pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan bantuan, tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih sangat rendah. Sebanyak 10,268 juta anak putus sekolah di tingkat SD dan SMP serta 3,8 juta anak putus sekolah di tingkat SMA se-Indonesia. Fenomena putus sekolah tersebut banyak disebabkan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka (Akuntono, 2011). Pada keluarga miskin, kerap kali orangtua enggan untuk melakukan investasi sumber daya manusia (Beker & Tomes, 1994). Investasi sumber daya manusia tersebut biasanya dilakukan dengan cara menyekolahkan keturunan atau anak yang ada di dalam keluarga. Keengganan tersebut terjadi karena seluruh uang yang dimiliki keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Padahal, pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh
untuk
memutuskan
rantai
kemiskinan
sebuah
keluarga.
Namun
tanpa
mengesampingkan banyak permasalahan yang diakibatkan kemiskinan, tidak sedikit orang dengan latar belakang keluarga miskin tetap dapat mencapai kesuksesan di dalam
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
kehidupannya. Di Indonesia tidak sedikit keluarga miskin yang mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan tinggi. Terdapat 90.000 anak yang berasal dari keluarga miskin mampu mengenyam pendidikannya hingga perguruan tinggi (Akuntono,2012). Kemampuan keluarga yang dapat bertahan pada masa sulit dan dapat bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan serta mencapai kesuksesan dikenal dengan istilah resiliensi keluarga. Resiliensi keluarga menjelaskan mengenai proses keluarga dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi sebagai satu kesatuan yang fungsional (Walsh, 2006). Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi keluarga, antara lain struktur keluarga yang kecil, hubungan intimasi pasangan yang stabil, kedekatan antar anggota keluarga, interaksi yang mendukung antara orangtua-anak, hubungan yang baik dengan keluarga besar, asal daerah, pendapatan yang cukup dan stabil, serta tempat tinggal yang layak (Benzies & Mychasiuk, 2008). Melihat banyaknya hal positif yang dapat memengaruhi perkembangan resiliensi, Walsh (2003) membuat suatu model bagi resiliensi keluarga yang di dalamnya dijelaskan mengenai tiga proses kunci yang dianggap berkontribusi terhadap resiliensi keluarga. Tiga proses kunci tersebut adalah sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi di dalam keluarga. Sistem kepercayaan keluarga memengaruhi secara kuat bagaimana seseorang memandang permasalahan, penderitaan dan pilihan-pilihan dalam menyelesaikan masalah (Wright, Watson, & Bell, dalam Walsh, 2003). Melalui sistem kepercayaan keluarga, anggota keluarga membangun suatu pemaknaan mengenai realita yang dihadapi keluarga sehingga dapat memutuskan bagaimana cara mereka menghadapi realita tersebut. Walsh (2006) membagi sistem kepercayaan keluarga menjadi tiga sub-komponen di dalam model resiliensi keluarganya: pemaknaan akan masalah, pandangan positif, dan transenden/spiritualitas. Melalui ketiga sub-komponen tersebut, keluarga dapat mengembangkan sitem kepercayaan keluarganya yang berfungsi dalam pemaknaan masalah yang dihadapinya. Pemaknaan terhadap masalah yang terjadi di dalam keluarga dipengaruhi budaya, tradisi keagamaan (Walsh, 1999) dan spiritualitas (Wright dkk, dalam Walsh, 2003). Werner dan Smith (dalam Walsh, 2003) mengemukakan bahwa resiliensi dapat dikembangkan melalui sumber-sumber spiritualitas (kepercayaan), ritual seperti berdoa dan meditasi, dan keterikatan dengan suatu agama. Penelitian yang dilakukan Boyd-Franklin (dalam Walsh, 2003) menunjukkan bahwa keyakinan dan keterikatan yang kuat dengan agama pada keluarga dengan keturunan Amerika-Afrika dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan dan rasisme.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Dalam keseharian, konsep spiritualitas dan religiusitas sering kali dianggap sama. Hal ini dikarenakan cara menegakkan definisi spiritualitas dan religiusitas yang tumpang tindih, meskipun sebenarnya religiusitas dan spiritualitas merupakan dua konsep yang berbeda. Religiusitas diartikan sebagai keterikatan seseorang pada organisasi kepercayaan dan praktek keagamaan tertentu (Salquist, Eisenberg, French, Purwono, & Suryanti, 2010). Religiusitas juga sering kali dikenal dengan istilah komitmen beragama. Worthington (dalam Worthingthon dkk, 2003) mendefinisikan religiusitas sebagai tingkat ketaatan seseorang terhadap nilai, kepercayaan, dan praktek keagamaannya dan mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedang Levin (dalam Zullig, Ward & Horn, 2006) mendefinisikan spiritualitas sebagai cara hidup yang dapat dipelajari dimana saja, yang menentukan bagaimana seseorang berespon pada pengalaman-pengalaman kehidupannya. Meezenbroek, Garssen, van den Berg, Tuytel, van Dierendonck, Visser, dan Schaufeli (2012) mendefinisikan
spiritualitas
sebagai
perjuangan
demi
mencapai
dan
mengalami
keterhubungan dengan esensi kehidupan. Perilaku-perilaku yang terkait dengan sistem kepercayaan keluarga di Indonesia dapat dilihat melalui dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan jelas membuktikan adanya pengakuan yang besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia mengenai peran spiritualitas dan religiusitas. Sila pertama pada Pancasila merupakan bukti nyata bahwa agama tidak hanya diijinkan untuk berkembang namun juga didukung keberadaannya dalam setiap sisi kehidupan yang dijalani masyarakat (Intan, 2006). Bukti lain bahwa spiritualitas dan religiusitas merupakan aspek kehidupan yang mendasar di Indonesia adalah dengan dicantumkannya afiliasi keagamaan seseorang di kartu tanda pengenalnya. Hal tersebut dianggap mencegah kemungkinan terbentuknya negara Indonesia yang sekuler dan tidak lagi berasaskan pada Ketuhanan (Sugana, 2011). Merujuk pada karakteristik masyarakat di Indonesia, sistem kepercayaan keluarga menjadi hal yang utama keberadaannya di dalam kehidupan. Religiusitas berperan dalam memengaruhi nilai, kebiasaan, dan sikap serta gaya hidup seseorang (Hanzaee, Attar, & Alikhan, 2011). Peterson dan Roya (dalam Delener, 1994) menyatakan bahwa salah satu fungsi dari religiusitas adalah memberikan pemaknaan dan tujuan hidup bagi seseorang. Agama
dianggap
dapat
digunakan
untuk
membantu
seseorang
memahami
dan
menginterpretasikan kehidupannya. Pada konteks kehidupan beragama pada masyarakat tertentu, seperti Indonesia, sangat sulit untuk mendefinisikan spiritualitas dan religiusitas sebagai suatu konsep yang berdiri secara independen. Rich dan Cinamon (dalam Salquist, Eisenberg, French, Purwono, & Suryanti, 2010) menyatakan bahwa hal ini terjadi karena pada
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
masyarakat dengan kehidupan beragama yang kental, maka agama, kepercayaan, sikap, dan praktek keagamaan yang dijalankan sejalan dengan pengalaman spiritualitas yang dirasakan. Pada akhirnya spiritualitas dan religius menjadi dua konsep yang berkaitan satu sama lain. Penelitian mengenai sistem kepercayaan keluarga menjadi sangat penting untuk dilakukan karena berkaitan erat dengan pemaknaan keluarga tentang permasalahan yang di hadapinya. Pemaknaan terhadap masalah menentukan bagaimana keluarga memandang masa depan, mengembangkan harapan, dan peluang untuk berkembang setelah melewati permasalahan (Walsh, 2003). Meskipun model resiliensi dari Walsh (2003) telah menghubungkan spiritualitas dan resiliensi keluarga, namun masih perlu dilakukan pengujian model resiliensi keluarga yang dikaitkan dengan spiritualitas dan religiusitas. Hal ini dikarenakan spiritualitas dan religiusitas merupakan konsep yang terikat dengan budaya, sehingga penelitian ini bersifat unik dan dimungkinkan berbeda hasilnya jika dilakukan pada budaya lain. Selain itu spiritualitas dan religiusitas merupakan konsep yang dianggap penting dan menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi spiritualitas dan religiusitas terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan keluarga. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh mayarakat sebagai alternatif dalam menyelesaikan atau menghadapi situasi krisis. Penelitian ini menggunakan skala spiritualitas yang diadaptasi dari Meezenbroek dkk. (2012), skala religiusitas yang diadaptasi dari Worthington dkk (2003) dan skala resiliensi keluarga yang di adaptasi dari Walsh (2012). Dengan menggunakan ketiga alat ukur tersebut, diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kontribusi spiritualitas dan religiusitas terhadap resiliensi keluarga pada populasi masyarakat miskin. Tinjauan Teoritis Resiliensi Keluarga Konsep resiliensi awalnya berkembang dari penelitian mengenai anak yang dapat berfungsi secara kompeten dalam menghadapi permasalahan, dimana psikopatologi dapat terjadi karenanya (Garmezy; Maste; Rutter ;Werner & Smith, dalam Patterson, 2002). Maka resiliensi kemudian didefenisikan sebagai fenomena dimana seseorang dapat tetap sehat dan berfungsi dengan baik meskipun mengalami ataupun menghadapi permasalahan di dalam kehidupannya (Patterson, 2002). Secara umum resilensi didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk bertahan dalam menghadapi permasalahan atau kesulitan hidup.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Dalam lingkup keluarga, anggota dalam keluarga dianggap sebagai sumber potensi resiliensi dalam mewujudkan keluarga yang sehat atau dapat berfungsi secara baik (Walsh, 2003). Menghadapi permasalahan yang serius dan sifatnya terus menerus akan berdampak pada seluruh anggota keluarga. Permasalahan tersebut dapat mengurangi keberfungsian keluarga dan memengaruhi hubungan di dalam keluarga. Pada kondisi seperti itu, resiliensi keluarga tidak hanya dipandang sebagai kemampuan untuk menangani masalah, namun juga sebagai perubahan dan pertumbuhan secara personal maupun interpersonal yang dapat membawa keluarga keluar dari dalam permasalahan (Patterson, 2002). Resiliensi keluarga menjelaskan mengenai proses keluarga dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah (coping) dan beradaptasi sebagai satu kesatuan yang fungsional (Walsh, 2006). Resiliensi keluarga membantu keluarga dalam melalui masa-masa sulit, mengurangi tekanan, mengurangi resiko disfungsi keluarga dan memberikan dukungan optimal bagi adaptasi keluarga (Walsh, 2003). Resiliensi keluarga memiliki tiga komponen yaitu sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi/pemecahan masalah di dalam keluarga. Keluarga yang mengembangkan salah satu atau ketiga proses kunci reliensi keluarga dianggap turut pula mengembangkan resiliensi keluarganya (Lane, 2011). Spiritualitas dan religiusitas merupakan salah satu bagian dari sistem kepercayaan keluarga. Sistem kepercayaan keluarga berfungsi dalam menentukan bagaimana seorang menghadapi dan juga menanggapi kesulitannya (Walsh, 2003). Resiliensi keluarga berkembang dengan adanya kepercayaan yang diyakini bersama sehingga membantu anggota keluarga untuk memaknai situasi krisis yang mereka hadapi. Selain itu dengan membentuk sitem kepercayaan bersama, anggota keluarga dapat membangun pandangan yang positif atau penuh harapan terhadap masa depan, juga memenuhi nilai atau tujuan spiritualitas (Walsh, 2002). Sehingga, adanya pengembangan sistem kepercayaan keluarga, seperti spiritualitas dan religiusitas di dalam keluarga, turut mengembangkan resiliensi keluarga tersebut. Berkembangnya resiliensi keluarga membuat keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi berkesulitan dapat tetap sehat dan berfungsi dengan baik di dalam kehidupannya (Patterson, 2002) Praktek-praktek spiritualitas dan religiusitas seperti meditasi, berdoa, dukungan kelompok religius secara empiris dibuktikan memiliki kekuatan dalam proses penyembuhan. Beberapa orang lainnya mencari kekuatan melalui sumber lain seperti hubungan dengan alam ataupun pengekspresian secara seni. Penelitian menemukan bahwa spiritualitas dan sitem
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
kepercayaan merupakan faktor umum yang berkaitan dalam mengembangkan resiliensi keluarga (Lietz & Strength, 2010). Spiritualitas Pendefinisian spiritualitas sendiri dapat dilakukan dengan dua pendekatan: theistic dan non-theistic. Pendefinisian spiritualitas yang seringkali dikaitkan dengan religiusitas menggunakan pendekatan theistic. Sedangkan pendekatan non-theistic didasarkan pada pandangan sekular, humanistik, dan elemen eksistensial (Moberg, dalam Meezenbroek dkk, 2012). Secara umum, spiritualitas seringkali dikaitkan dengan keterhubungan : keterhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan kekuatan transenden. Pada penelitian ini, definisi yang digunakan berasal dari Meezenbroek dkk. (2012) yaitu perjuangan demi mencapai dan mengalami keterhubungan dengan esensi kehidupan. Meezenbroek dkk (2012) menyatakan bahwa spiritualitas terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi keterhubungan dengan diri sendiri, dimensi keterhubungan dengan orang lain atau alam, dan dimensi keterhubungan dengan sumber transenden. Keterhubungan dengan diri sendiri ditunjukan oleh aspek autentik, kedamaian batiniah, kesadaran, pemahaman diri, dan pengalaman akan makna hidup (Young-Eisendrath & Mileer, dalam Meezenbroek dkk, 2012). Keterhubungan dengan orang lain atau alam berkaitan dengan perasaan simpati terhadap seseorang yang berkemalangan, kepedulian, rasa syukur, dan rasa haru terhadap sesuatu hal. Sedang keterhubungan dengan kekuatan transenden dikaitkan dengan keterhubungan dengan Tuhan atau sesuatu yang berada di atas pemahaman manusia seperti dunia, realita kehidupan, serta kekuatan yang lebih besar (Meezenbroek dkk, 2012). Religiusitas Usaha untuk mendefinisikan agama telah banyak dilakukan. Argyle dan BeitHallahmi (dalam Zinnbauer & Pargament, 2005) mendefinisikan agama sebagai sistem kepercayaan terhadap kekuatan yang suci atau lebih besar dari manusia beserta praktek pemujaan atau ritual lainnya terhadap kekuatan tersebut. Sedang Dollahite (dalam Zinnbauer & Pargament, 2005) mendefinisikan agama sebagai komunitas kepercayaan yang di dalamnya terdapat proses mengajari dan menjelaskan mengenai pencarian kesucian/kemuliaan. Penelitian mengenai agama menyimpulkan bahwa agama tidak dapat dipahami sebagai satu fenomena saja, melainkan merupakan bagian dari seluruh fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hal ini menyebabkan operasionalisasi mengenai religiusitas menjadi
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
sangat bervariasi, bergantung pada fenomena yang terjadi pada kehidupan individu maupun kelompok manusia (De Jong, Faulkner, & Warland, 1976). Bryant (2007) menyatakan bahwa religiusitas atau keberagamaan seringkali dipahami dengan beberapa pengertian seperti: komitmen terhadap keyakinan agama (kognitif/afektif), keikutsertaan dalam aktivitas keagamaan (perilaku), skeptisisme (religiusitas negatif). Secara operasionalisasi, religiusitas dilihat dari keikutsertaan individu dalam organisasi keagamaan, keikutsertaan individu dalam kegiatan agama, sikap dan pandangan mengenai pengalaman religius, dan keyakinan terhadap ajaran agama. Dalam penelitian ini, religiusitas mengacu pada komitmen beragama atau ketaatan seseorang terhadap nilai, kepercayaan, dan praktek keagamaannya dan mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari (Worthington dalam Worthington dkk, 2003). Sehingga orang yang memiliki religiusitas tinggi dianggap akan mengevaluasi kehidupannya melalui skema religiusitas dan mengaplikasikan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-harinya. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, karena bertujuan melakukan generalisasi dan membuktikan adanya hubungan antar gejala dengan melakukan pengukuran variasi fenomena, situasi, masalah atau isu. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisa dalam bentuk skor untuk menunjukan besar variasi, dengan menggunakan desain non-eksperimental. Desain penelitian non-eksperimental merupakan salah satu desain penelitian dimana variabel yang diteliti tidak dimanipulasi oleh peneliti dan sudah merupakan karaterisitik dari populasi. Partisipan penelitian adalah mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin, dalam hal ini penerima beasiswa Bidikmisi. Bidikmisi adalah beasiswa yang diberikan kepada lulusan SMA berprestasi namun berasal dari keluarga miskin, yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri. Penerima beasiswa Bidikmisi haruslah berasal dari keluarga yang memiliki pendapatan kotor sebesar-besarnya Rp 3.000.000,00 per bulan atau setara dengan Rp 750.00,00 per anggota keluarga/bulan. Selain itu orangtua/wali dari penerima beasiswa Bidikmisi pun setinggi-tingginya Strata 1 (S1) atau Diploma 4 (D4). Pada penelitian ini data yang akan di olah adalah data yang berasal dari partisipan dengan penghasilan kotor keluarga sebesar-besarnya Rp 3.000.000,00 per bulan dan pendidikan wali setinggi-setingginya SMA. Pengambilan partisipan dilakukan dengan menggunakan Convinience sampling, yang merupakan salah satu metode pengambilan partisipan atas dasar ketersediaan dan kesediaan partisipan di lapangan. Convinience sampling merupakan bagian dari non-probability
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
sampling, yang artinya peneliti tidak melakukan randomisasi dalam proses pengambilan partisipan. Peneliti mengambil sampel dari penerima beasiswa Bidikmisi pada tahun ajaran 2012-2013 di Universitas Indonesia sebanyak 356 orang. Penelitian ini menggunakan modalitas pengukuran self-report, yaitu pengukuran yang meminta partisipan untuk melaporkan sendiri, apa yang ia pikirkan atau rasakan melalui kuisioner yang diberikan (Furlong, Lovelace & Lovelace 2000). Pada penelitian ini akan disebar tiga buah kuesioner yaitu kuesioner untuk mengukur resiliensi keluarga (Walsh Family Resilience Questionnaire), spiritualitas (Spirituality Attitude and Involvement List) dan religiusitas (Religious Commitment Inventory-10). Hasil Penelitian Resiliensi Keluarga Resiliensi keluarga diukur dengan menggunakan Walsh’s Family Resilience Questionnaire. Berikut dijelaskan deskripsi skor resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin:
Total Partisipan
Rata-rata Skor Total
Nilai Nilai Standar Terendah Tertinggi Deviasi
356 98,96 46 128 10,16 Skor rata-rata dari seluruh partisipan adalah 98,96. Skor terendah pada pengukuran resiliensi keluarga adalah 46 dan skor tertinggi adalah 128. Standar deviasi yang dihasilkan dari pengukuran resiliensi keluarga adalah 10,16.
Kategorisasi Skor
Rentang Skor
Total Partisipan
(%)
Rendah 32-63 1 0,28 Sedang 65-96 152 42,70 Tinggi 97-128 203 57,02 Sebanyak 57,02 persen berada pada kategorisasi skor tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat resiliensi yang tinggi. Sebanyak 42,70 persen memiliki tingkat resiliensi yang sedang dan hanya 0,28 persen sisanya memiliki tingkat resiliensi yang rendah.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Spiritualitas Spiritualitas diukur dengan menggunakan Spirituality Attitude and Involvement List. Berdasarkan pengolahan data, berikut dijelaskan mengenai deskripsi skor spiritualitas pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin:
Total Rata-rata Nilai Nilai Standar Partisipan Skor Total Terendah Tertinggi Deviasi 356 34,26 26,08 41,75 2,57 Skor rata-rata dari seluruh partisipan adalah 34,26. Skor terendah pada pengukuran spiritualitas adalah 26,08 dan skor tertinggi adalah 41,75. Standar deviasi yang dihasilkan dari pengukuran resiliensi keluarga adalah 2,57.
Kategorisasi Rentang Total (%) Skor Skor Partisipan Rendah 7-18 0 0 Sedang 19-31 54 15,17 Tinggi 32-42 302 84,83 Sebanyak 84,83 persen partisipan berada pada kategorisasi skor tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Sebanyak 15,17 persen memiliki tingkat spiritualitas yang sedang dan tidak ada partisipan yang memiliki tingkat spiritualitas yang rendah. Religiusitas Religiusitas diukur dengan menggunakan Religious Commitment Inventory-10. Berdasarkan pengolahan data, berikut dijelaskan mengenai deskripsi skor religiusitas pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin:
Total Rata-rata Nilai Nilai Standar Partisipan Skor Total Terendah Tertinggi Deviasi 356 48,14 26 60 5,88 Skor rata-rata dari seluruh partisipan adalah 48,14 . Skor terendah pada pengukuran resiliensi keluarga adalah 26 dan skor tertinggi adalah 60. Standar deviasi yang dihasilkan dari pengukuran resiliensi keluarga adalh 5,88.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Kategorisasi Rentang Total (%) Skor Skor Partisipan Rendah 10-26 1 0,28 Sedang 27-44 81 22,75 Tinggi 45-60 274 76,97 Sebanyak 76,97 persen partisipan berada pada kategorisasi skor tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Sebanyak 22,75 persen memiliki tingkat religiusitas yang sedang dan hanya 0,28 persen sisanya memiliki tingkat religiusitas yang rendah. Analisis Utama Penelitian Hasil utama dari penelitian ini diperoleh dengan mencari seberapa besar kontribusi spiritualitas dan religiusitas terhadap resiliensi keluarga. Untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel spiritualitas dan religiusitas pada resiliensi keluarga maka digunakan teknik statistik multiple regression. Adjusted R2 F Sig. (p) 0,196 44,36 0,00 Sebanyak 19,6 persen variasi skor resiliensi keluarga dapat dijelaskan oleh variasi skor spiritualitas dan religiusitas sedang 80,4 persen variasi skor resiliensi keluarga lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Kemudian tabel 4.18 juga menunjukkan nilai F yang signifikan pada LOS 0,01. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis nol pada penelitian ini ditolak. Sehingga spiritualitas dan religiusitas berkontribusi secara signifikan terhadap resiliensi keluarga. Variabel
Beta
t
Sig.
Spiritualitas
0,28
4,96
0,00
Religiusitas
0,22
3,88
0,00
Skor beta menunjukkan besaran kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen. Spiritualitas memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan religiusitas terhadap pembentukan resiliensi keluarga. Sedang nilai t menjelaskan mengenai besaran pengaruh variabel independent terhadap variabel dependen. Spiritualitas memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pengembangan resiliensi keluarga dibandingkan religiusitas.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Analisis Tambahan Penelitian Resiliensi keluarga memiliki korelasi yang signifikan pada LOS 0,05 dengan besar keluarga atau jumlah anak yang dimiliki sebuah keluarga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa besarnya sebuah keluarga berkorelasi secara positif terhadap resiliensi keluarga. Semakin besar sebuah keluarga, maka semakin tinggi pula tingkat resiliensi keluarga yang bersangkutan. Selain itu terdapat pula perbedaan skor resiliensi keluarga yang signifikan pada LOS 0,05 antara keluarga yang memiliki orangtua kandung utuh dan keluarga yang tidak memiliki orangtua kandung utuh. Keluarga yang memiliki orangtua utuh memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan orangtua yang tidak utuh. Kondisi yang mengakibatkan ketidak utuhan orangtua kandung tersebut dapat dikarenakan adanya salah satu orangtua yang meninggal, bercerai, pisah rumah, dan juga menikah untuk kedua kalinya. Faktor lain yang memengaruhi resiliensi keluarga adalah keikutsertaan anggota keluarga dalam suatu organisasi keagamaan (Gilligan, 2000). Tabel 4.22 menunjukkan bahwa memang terdapat perbedaan rata-rata skor resiliensi keluarga yang signifikan pada LOS 0,05 antara keluarga yang salah satu/lebih anggotanya tergabung dalam kelompok keagamaan dan keluarga yang anggotanya tidak tergabung dalam kelompok keagamaan. Keluarga yang turut serta dalam kelompok keagamaan akan memiliki tingkat resiliensi keluarga yang lebih tinggi dibandingkan keluarga yang tidak mengikuti kelompok keagamaan. Kelompok keagamaan yang diikuti dapat berupa kelompok pengajian, kelompok keagamaan di daerah tempat tinggal (masjid atau gereja), dan kelompok keagamaan di sekolah/universitas. Analisis tambahan terhadap spiritualitas dan religiusitas menunjukkan terdapat perbedaan skor spiritualitas dan religiusitas yang signifikan pada LOS 0,05 antara partisipan yang keluarganya ikut serta dalam suatu kelompok agama dan partisipan yang keluarganya tidak ikut serta dalam suatu kelompok keagamaan. Keluarga yang mengikuti kelompok keagamaan akan memiliki anggota dengan tingkat spiritualitas dan religiusitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota dari keluarga yang tidak mengikuti kelompok keagamaan tertentu. Pembahasan Pembahasan Analisis Utama Walsh (2003) menyatakan bahwa spiritualitas maupun religiusitas merupakan bagian dari proses kunci sistem kepercayaan yang berperan dalam pengembangan resiliensi keluarga. Penelitian Hidayati (2012) pada mahasiswa miskin menemukan bahwa sistem kepercayaan
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
merupakan komponen yang memiliki kontribusi terbesar dalam membentuk resiliensi keluarga. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa spiritualitas dan religiusitas berkontribusi secara signifikan terhadap resiliensi keluarga. Sebanyak 19,6 persen variasi skor resiliensi keluarga dapat dijelaskan oleh variasi skor spiritualitas dan religiusitas. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa spiritualitas dan religiusitas memiliki kontribusi terhadap resiliensi keluarga. Spiritualitas dan religiusitas dapat membantu keluarga miskin untuk keluar dari masalah yang mereka hadapi dan bertahan dalam menghadapi kondisi sulit. Spiritualitas dan religiusitas pun seringkali dibuktikan memiliki kekuatan dalam proses penyembuhan (Lietz & Strength, 2010). Walsh (2003) menyatakan bahwa spiritualitas dan religiusitas merupakan hal yang penting bagi pengembangan resiliensi keluarga. Hal itu dikarenakan spiritualitas dan religiusitas dapat menentukan pemaknaan masalah yang dihadapi keluarga. Ritual beragama dan keyakinan akan sesuatu yang lebih besar dari diri dapat memberikan rasa nyaman dan arahan dalam kehidupan. Hal tersebut semakin mengukuhkan bahwa kekuatan spiritualitas dan religiusitas menjadi sangat penting untuk dimiliki oleh keluarga-keluarga miskin atau keluarga yang menghadapi kondisi sulit. Pembahasan Analisis Tambahan Keluarga yang memiliki struktur keluarga kecil dianggap mampu mengembangkan resiliensi keluarga dengan lebih baik. Hal tersebut dikarenakan semakin kecil sebuah keluarga, maka semakin kecil pula pemenuhan finansial yang harus dilakukan sehingga mengurangi tingkat stres yang mungkin terjadi (Benzies & Mychasiuk, 2008). Pada penelitian ini, hasil korelasi antara resiliensi keluarga dan besar keluarga terbukti signifikan namun bernilai negatif. Artinya, semakin kecil keluarga maka semakin rendah pula tingkat resiliensi keluarga tersebut. Hal ini dapat saja terjadi mengingat adanya peluang bagi anak yang lebih tua untuk turut membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan finansial. Hal ini terlihat dari data demografi, dimana sumber penghasilan keluarga tidak hanya didapatkan dari orangtua saja namun juga dari anak yang lebih tua yang telah bekerja. Rasyid (2013) menyatakan bahwa transfer pendapatan pada negara berkembang seperti Indonesia dapat menjadi sumber dari rasa aman keluarga tersebut. Terlebih, pada budaya yang memiliki ikatan keluarga (kinship) yang kuat, transfer pendapatan yang bersifat informal dapat menjadi pemenuhan kebutuhan dan keamanan finansial dimasa krisis ekonomi. Selain struktur keluarga, keutuhan orangtua kandung juga memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap resiliensi keluarga. Keluarga yang memiliki orangtua kandung
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
yang utuh dapat dikatakan memiliki keterikatan keluarga yang baik dibandingkan dengan keluarga yang memiliki orangtua kandung yang tidak utuh. Ketidak utuhan orangtua kandung bisa terjadi akibat adanya perceraian, pisah rumah maupun salah satu di antaranya meninggal. Dalam mengembangkan resiliensi keluarga, keberadaan anggota keluarga menjadi hal yang penting. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Wyman dkk (dalam DeHaan, Hawley, & Deal, 2002) yang menyatakan bahwa anak yang resilien biasanya berasal dari lingkungan keluarga yang stabil dan memiliki hubungan yang baik dengan orangtua. Pada penelitian ini, baik resiliensi keluarga, spiritualitas dan religiusitas memiliki korelasi yang signifikan dengan keikutsertaan anggota keluarga dalam kelompok keagamaan. Bergabung dalam kegiatan sosial dan spiritualitas membangun rasa saling memiliki dan enghargaan terhadap komunitas. Selain itu dapat memberikan seseorang rasa kebersamaan, panutan, pengembangan identitas diri dan penghargaan yang berkaitan dengan tolong menolong sesama yang membutuhkan (Gilligan, dalam Benzies & Mychasiuk, 2008). Juby dan Rycraft (dalam Benzies & Mychasiuk, 2008) menambahkan bahwa spiritualitas merupakan faktor yang dapat meningkatkan coping serta menumbuhkan kemampuan dalam memaknai hidup dan memandang tujuan hidup di tengah situasi yang sulit. Pada penelitian ini terdapat perbedaan skor resiliensi keluarga yang signifikan antara keluarga yang salah satu/lebih anggotanya tergabung dalam kelompok keagamaan dan keluarga yang anggotanya tidak tergabung dalam kelompok keagamaan. Keluarga yang tergabung dalam kelompok keagamaan tertentu memiliki resiliensi keluarga yang lebih tinggi dibandingkan keluarga yang tidak tergabung dalam kelompok keagamaan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keluarga yang memiliki sistem kepercayaan di dalam keluargannya akan menjadi keluarga yang resilien dalam menghadapi permasalahan hidup. Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan skor antara partisipan yang memiliki anggota keluarga tergabung dalam kelompok keagamaan dan partisipan yang anggota keluarganya tidak tergabung dalam kelompok keagamaan. Partisipan yang memiliki anggota keluarga yang tergabung dalam kelompok keagamaan memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang anggota keluarganya tidak tergabung dalam kelompok keagamaan. Clarke (2005) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi religiusitas adalah pengaruh keluarga dalam menanamkan religiusitas dalam diri seseorang. Semakin awal ditanamkannya hal-hal yang berkaitan dengan agama pada seseorang, maka religiusitas akan berkembang hingga masa dewasa (Clarke, 2005).
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat kontribusi spiritualitas dan religiusitas yang signifikan terhadap resiliensi keluarga. Sehingga hipotesis nol pada penelitian ini ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Namun, kontribusi spiritualitas lebih besar dibandingkan kontribusi religiusitas terhadap resiliensi keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari besaran nilai beta dan t spiritualitas yang lebih besar dibandingkan nilai beta dan t religiusitas. Penelitian ini dilakukan pada 356 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi di Universitas Indonesia. Partisipan berasal dari keluarga miskin yang memiliki pendapatan sebesar-besarnya Rp 3.000.000,- dan pendidikan orangtua setinggi-tingginya SMA. Skor resiliensi keluarga, spiritualitas dan religiusitas pada partisipan penelitian ini diklasifikasikan pada rentang skor yang tinggi, sehingga dapat dinyatakan bahwa sebagian besar partisipan memiliki tingkat resiliensi keluarga, spiritualitas dan religiusitas yang tinggi. Analisis tambahan membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga, keutuhan orangtua kandung, dan keikutsertaan anggota keluarga dalam kelompok agama terhadap skor resiliensi keluarga. Sedang tingkat pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, dan status tinggal bersama orangtua tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan skor resiliensi keluarga. Analisis tambahan pada variabel spiritualitas dan religiusitas membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan spiritualitas maupun religiusitas. Namun spiritualitas dan religiusitas memiliki korelasi yang signifikan dengan keikutsertaan anggota keluarga pada kelompok keagamaan. Saran Saran Metode Penelitian Penelitian mengenai resiliensi, spiritualitas dan religiusitas akan menjadi penelitian yang lebih kaya jika memiliki informasi mengenai suku dan agama yang dimiliki oleh partisipan. Pada penelitian ini, terdapat kesulitan dalam menjawab isian suku partisipan. Hal ini terlihat dari banyaknya partisipan yang mengisi bagian suku dengan jawaban “Indonesia”. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya memberikan pilihan-pilihan suku-suku yang ada di Indonesia atau memberikan instruksi yang lebih jelas kepada para partisipan terkait suku-suku di Indonesia. Selain itu peneliti juga dapat memberikan isian yang berbeda untuk suku dari masing-masing orangtua (Ayah dan Ibu). Pada penelitian ini, alat ukur spiritualitas (SAIL) memiliki reliabilitas yang cukup baik namun validitas item yang kurang baik. Terdapat perbedaan validitas item pada pengujian
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
pertama dan pengujian kedua. Item-item pengujian pertama berbeda dengan pengujian kedua. Hal ini diasumsikan karena adanya perbedaan karakteristik dan pengalaman hidup partisipan pada pengujian pertama dan kedua. Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya memperhitungkan karakteristik dan pengalaman hidup partisipan dalam pengambilan data. Saran Praktis Kepada pemerintah daerah atau profesional agar mengembangkan budaya beragama pada kelompok-kelompok miskin. Bantuan yang mengikutsertakan pengembangan spiritualitas sebagai salah satu aspek dapat turut juga membangun ketangguhan keluarga yang hidup dalam lingkungan yang rentan permasalahan. Kepada para profesional seperti psikolog dan konselor agar mengembangkan strategi spiritualitas dan religiusitas sebagai salah satu metode dalam strategi coping menghadapi permasalahan. Kepada pemerintah dan institusi pendidikan di Indonesia, kemudahan dalam mengakses pendidikan sangat penting untuk dilakukan di Indonesia. Selain itu pemberian bantuan pendidikan bagi masyarakat miskin haruslah tepat sasaran sehingga memang yang benar-benar membutuhkan yang terbantu dalam program beasiswa tersebut. Kepustakaan Akuntono, I. (26 Desember 2011). Angka putus sekolah dan komersialisasi pendidikan. Diunduh
dari:
http://edukasi.kompas.com/read/2011/12/26/10392444/Angka.Putus.
Sekolah.dan.Komersialisasi.Pendidikan, Minggu, 3 Maret 2013, 15:04 Akuntono, I. (26 Mei 2012). Beasiswa bidik misi hanya untuk siswa miskin. Diunduh dari: http://edukasi.kompas.com/read/2012/05/26/15445138/Beasiswa.Bidik.Misi.Hanya.untu k.Siswa.Miskin, Minggu, 3 Maret 2013, 14:47 Benzies, K. & Mychasiuk, R. (2008). Fostering family resiliency: A review of the key protective factors. Child and Family Social Work, 14, pp. 103-114. Bryant, A. N. (2007). Gender differences in spiritual development during the college years. Sex Roles. Doi: 10.1007/s11199-007-9240-2 Clarke, S. (2005). Religiosity and spirituality in younger and older adults. (Disertasi). University of North Texas, Denton. DeHaan, L. G., Hawley, D. R., & Deal J. E. (2013). Operationalizing family resilience: A methodological strategy. In Becvar, D. S. (ed.), Handbook of Family Resilience, (pp. 17-29). New York: Springer. De Jong, G. F., Faulkner, J. E., & Warland, R. H. (1976). Dimensions of religiosity
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
reconsidered: Evidence from a cross-cultural study. Social Forces. Vol. 54, No. 4, 866-889. Delener, N. (1994). Religious contrast in consumer decision behavior patterns:
Their
dimension and marketing implication. European Journal of Marketing, 28 (5), 36-53. Furlong, N., Lovelace, E., & Lovelace, K. (2000). Research methods and statistics: An integrated approach. New York: Wadsworth. Geertz, C. 1960 The religion of Java. London, Chicago: University of Chicago Press. Hanzaee, K. H., Attar, M. M., & Alikhan, F. (2011). Investigating the effect of gender role attitude on the relationship between dimension of religiosity and new product adoption intention. World Applied Sciences Journal. 13 (6), 1527-1536. Hidayati, N. E. (2012). Kontribusi komponen yang membentuk resiliensi keluarga pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. (Skripsi). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok. Intan, B. F. (2006). “Public Religion” and The Pancasila-Based State of Indonesia : An Ethical and Sociological Analysis. New York: Peter Lang Publishing. Lane, C. L. D. (2011). Tracing the pink ribbon: Development of a family resilience measure. (Disertasi). Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg. Lietz, C. A. & Strength, M. (2010). Stories of sucessful reunification: A narrative study of family resilience in child welfare. The Journal of Contemporary Social Services, 92 (2), pp. 203-210. Meezenbroek, E. D. J., Garssen, B., Berg, M. V. D., Tuytel, G., Dierendonck, D. V., Visser, A., & Schaufeli, W. B. (2012). Measuring spirituality as a universal human experience: Development of the Spiritual Attitude and involvement List (SAIL). Journal of Psychosocial Oncology, 30: 141-167. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (2012). Bahan Rapat kerja Pemerintah 2012: Program Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Diunduh dari: http://www.ekon.go.id/media/documents/2012/01/ 19/f/i/file.pdf, Minggu, 3 Maret 2012, 13:40 NN. (8 Januari 2013). Gigih melawan kemiskinan, Koran Jakarta. Diunduh dari: http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/109766. Patterson, J. M. (2002). Integrating family resilience and family stress theory. Process, 42 (1), pp. 1 -1 8.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Rasyid, M. (2013) Crowding-out effect of cash transfer program on inter-household transfer: Evidence from indonesian family. Journal of Economics and Sustainable Development. Vol. 4, No. 2. Rich, A. (2012). Gender and spirituality are women really more spiritual? (Tesis). Lynchburg : Liberty University. Salquist, J., Eisenberg, N., French, D.c, Purwono, U. & Suryanti, T. A. (2010). Indonesian adolescents’ spiritual and religious experiences and their longitudinal relations with socioemotional functioning. Developmental Psychology, 46 (3), pp. 699-716. Sugana, M. (2011). Religious Affiliation & National Identity: Kartu Tanda Penduduk (KTP). Diunduh dari: http://imo.thejakartapost.com/msugana/ 2011/10/06/religious-affiliationnational-identity/ Sullins, D. P. (2006). Gender and religion: Deconstructing universality, constructing complexity. American Journal of Sociology. Vol. 122, No. 3. Van Dyke, C. J., Glenwick, D. S., Cecero, D. J., & Kim, S. (2009). The relationship of religious coping and spirituality to adjustment and psychological distress in urban early adolescents. Mental Health, Religion & Culture, Vol. 12, No. 4, pp. 369-383. Walsh, F. (2003). Family resilience : A framework for clinical practice. Family Process. Vol. 42, No. 1. Walsh, F. (2006). Strengthening Family Resilience. 2nd Ed. New York: Guilford Press. Walsh, F. (Ed.). (1999). Spiritual Resources in Family Therapy. New York: Guilford Press. Walsh. F. (2002). A family resilience framework: Innovative practice applications. Family Relations, 51 (2), pp. 130-137. World Bank. (2012). Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia. Diunduh dari:
http://www-wds.worldbank.org/external/default/
WDSContentServer/WDSP/IB/2012/02/29/000333037_20120229231135/Rendered/PD F/672170WP00PUBL0T00English000PUBLIC0.pdf, pada hari Kamis, 18 Oktober 2012, pukul 20.05. Worthington, E. L., Wade, N. G., Hight, T. L., Ripley, J. S., McCullough, M. E., … O’Connor, L. (2003). The religious commitment inventory-10: Development, refinement, and validation of a brief scale for research and counseling. Journal of Counseling Psychology. Vol. 50, No. 1, 84-96. Zinnbauer, B. J. & Pargament, K. I. (2005). Religiousness and spirituality. In Paloutzian, R. F. & Park, C. L (Eds.)., Handbook of The Psychology of Religion And Spirituality, (pp. 21-42). New York: Guilford Press.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013
Zullig, K. J., Ward, R. M., & Horn, T. (2006). The association between perceived spirituality, religiosity, and life satisfaction: The mediating role of self-rated health. Social Indicators Research. Vol. 79, No. 2, pp.
Kontribusi Spriritualitas..., Mely Putri Kurniati Rosalina, FIB UI, 2013