REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA RUMAH TANGGA SANGAT MISKIN (Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Septiani Wesman I34060192
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
SEPTIANI WESMAN. Social Representations of Program Keluarga Harapan and the relationship with behavior on Poor Household. Case: Participants PKH Education Component, Subdistrict of Balumbang Jaya, District of West Bogor, Subprovince of Bogor, Province of West Java. (Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN).
The purposes of this study were: (1) to identify the characteristics of PKH participants and its involvement in the group, (2) to identify the social representations of PKH participants, (3) to analyze the relationship between characteristics of PKH participants and its involvement in the group with their social representation of PKH, (4) to understand the behavior of the obligations fulfillment in the PKH, and (5) to analyze relationship between the social representation with the behavior of participants in the obligations fulfillment as PKH participants. Social representations of PKH can be classified into four types: PKH for children's education costs as a dominant; and then PKH not satisfactory; PKH just make happy; and PKH has regulation. The results of this study was the social representation of PKH has a significant relationship with education and with the type of work. In addition, the social representation also has a significant relationship with the role of participants in the group and with PKH official meeting frequency. Beside that, on this research also been analized about social representation of education and social representation of poverty.
Keywords: social representation, Program Keluarga Harapan (PKH), social representation of education, social representation of poverty, behavior on poor household.
RINGKASAN
SEPTIANI WESMAN. REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA RUMAH TANGGA SANGAT MISKIN. Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN)
Berbagai upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah berjalan dengan cukup baik hingga akhirnya perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat mulai tercapai. Namun beberapa kali Indonesia juga diguncang oleh berbagai masalah nasional yang berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah, agar permasalahan kemiskinan dapat diatasi dan tidak menyebabkan permasalahan baru. Salah satu program yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut ialah Program Keluarga Harapan (PKH). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah representasi sosial peserta PKH, yang tergolong kepada masyarakat sangat miskin, terhadap PKH. Selain itu, terlebih dahulu pada penelitian ini akan dilihat mengenai karakteristik individu peserta PKH, keterlibatan peserta dalam kelompok PKH, serta bentuk pemenuhan kewajiban sebagai peserta PKH. Selanjutnya akan dilihat hubungan antara representasi sosial terhadap PKH tersebut dengan karakteristik individu, keterlibatan dalam kelompok, serta dengan perilaku pemenuhan kewajiban. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak khususnya bagi akademisi, dan pihak pemerintahan terkait seperti Departemen Sosial, Dinas Sosial Kota Bogor, Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) Bogor Barat, dan aparat Kelurahan Balumbang Jaya. Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya, dengan kerangka sampling seluruh peserta komponen pendidikan yang masih berada di lokasi tersebut. Responden didapatkan dengan teknik random sampling sejumlah 50 orang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan melalui kuesioner, wawancara, dan observasi. Data dari kuesioner dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS dengan uji Chi Square. Hasil metode asosiasi kata yang digunakan untuk mengetahui
representasi sosial diolah dengan metode khusus yaitu dengan pengelompokan kata ke dalam tipe-tipe representasi sosial. Selanjutnya, data sekunder merupakan data mengenai peserta PKH yang diperoleh dari UPPKH Bogor Barat, dan data mengenai monografi Kelurahan Balumbang Jaya yang diperoleh dari pihak kelurahan setempat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat representasi sosial para peserta PKH terhadap PKH. Hasilnya, representasi sosial tersebut dapat digolongkan kepada empat tipe yaitu PKH untuk biaya pendidikan anak, PKH belum memuaskan, PKH membuat senang, dan PKH mempunyai aturan. Selain itu, pada penelitian ini juga didapatkan informasi mengenai representasi sosial peserta PKH terhadap pendidikan dan kemiskinan. Pada objek pendidikan diperoleh tiga tipe yaitu pendidikan itu berat sebagai representasi sosial paling dominan, selanjutnya pendidikan untuk kehidupan lebih baik, dan pendidikan itu mudah. Pada objek kemiskinan juga diperoleh tiga tipe yaitu hidup kekurangan dan pendapatan kecil sebagai representasi sosial paling dominan, miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup, dan orang miskin tetap bersyukur. Representasi sosial terhadap PKH memiliki hubungan yang nyata dengan variabel karakteristik individu peserta PKH yaitu dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, representasi sosial juga memiliki hubungan yang nyata dengan variabel keterlibatan dalam kelompok yaitu dengan peranan peserta dalam kelompok PKH dan frekuensi bertemu petugas pendamping. Selanjutnya, pada analisis hubungan antar representasi sosial dengan perilaku tidak didapatkan hubungan yang nyata.
REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA RUMAH TANGGA SANGAT MISKIN (Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Septiani Wesman I34060192
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
:
Septiani Wesman
NRP
:
I34060192
Judul Skripsi
:
Representasi Sosial terhadap Program Keluarga Harapan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Rumah Tangga Sangat Miskin (Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA NIP. 19591114 198811 2 001 Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PROGRAM KELUARGA HARAPAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU PADA RUMAH TANGGA SANGAT MISKIN (KASUS: PESERTA PKH KOMPONEN PENDIDIKAN, KELURAHAN BALUMBANG JAYA, KECAMATAN BOGOR BARAT, KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2011
SEPTIANI WESMAN I34060192
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 September 1988 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan ibu Wasnidar dan bapak Herman Djalil. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN 10 Sungai Cubadak, Baso. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri 2 Empat Angkat Candung dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Bukittinggi. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun kedua penulis melanjutkan ke jurusan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis juga mengikuti beberapa kegiatan non akademik. Penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB) periode 2006-2007 sebagai staf Departemen Pertanian, dan mengikuti pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan dari Leadership and entrepreneurship School (LES) IPB pada tahun 2007. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan seperti panitia pada Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru IPB 2007, panitia pada Masa Orientasi Fakultas dan departemen 2007, Pekan Pertanian (PETANI) pada tahun 2007, TPB x-TRA pada tahun 2007, serta Launcing Kelembagaan FEMA di tahun 2008. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi pada tahun 2008 dan 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul yang dipilih ialah Representasi Sosial terhadap Program Keluarga Harapan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Rumah Tangga Sangat Miskin (Kasus: Peserta PKH Komponen Pendidikan, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Papa dan Mama, Kakakku Teddy Wesman dan Cici Emilya, Aprina Wesman dan Dian Y. Widra, Adikku Dedetriani Wesman, Tante Netrida dan Tante Witri beserta keluarga, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, perhatian, semangat dan motivasi yang tiada henti. 2. Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S. sebagai dosen pembimbing akademik, atas bimbingannya selama penulis kuliah di IPB. 3. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas pengertian, bimbingan, waktu, pemikiran serta sarannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Prof. Dr. Ir. Aida V.S. Hubeis sebagai dosen penguji utama dan Sofyan Sjaf, M.si sebagai dosen penguji wakil Departemen SKPM. Terima kasih atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran bagi skripsi ini. 5. Ulfa yang telah bersedia mendampingi selama turun lapang, seluruh responden dan informan penelitian, serta semua pihak di lokasi penelitian yang telah turut membantu kelancaran pengumpulan data. 6. Kak Galuh, Nadra, Selly, dan Friska sebagai “senior” dan teman satu bimbinganku. Terima kasih atas segala bentuk bantuan, diskusi, dan kesediaan menjadi tempat “curhat” penulis selama menyelesaikan skripsi. 7. Ray, Kak nunik, Asti, Evi, Febi, Lingga, Lintang, Pita serta seluruh teman yang sangat mengagumkan. Mudah-mudah kita selalu menjadi manusia vii pembelajar. 8. Kak Lalu, Kak Amel, Lastri, Demul, Elhaq, Bedil yang menjadi tempat konsultasi dadakan saat olah data. Bantuan kalian sangat berarti.
9. Teman-teman seperjuangan KKP di UPPKH Bogor Barat; Baday, Dwi, Dya, Indra, Ipung, Mian, Nova, Nir, dan Vani, dan petugas pendamping UPPKH Bogor barat; Kang Asep, Kak isti, Kak Eva, Kak Lia, Bang Ijal, Kang Ery dan kakak-kakak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas pengalaman yang berharga selama KKP, dan bantuannya dalam masa penelitian. 10. Teman-teman di lorong 10 Gedung Asrama Putri A3, teman-teman TPB kelas A3, dan teman-teman di Anggraini yang telah mewarnai hari-hariku di Bogor, Nisa dan Heni yang sudah membantu dalam editing, Vira, Aphe, Nur, Woro, Ni Rolif, Ni Mega, serta kakak beradik yang aneh Tania – Dedes. 11. Kepada divaa (Dian, Ira, Vina, Ami) yang sudah menjadi temanku dari kecil. Juga Yusmawati dan Mulia Rahmi. Semoga kita selalu bersahabat, 12. Seluruh staf Departemen SKPM dan Dokis. 13. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, do’a, semangat, bantuan dan kerjasama. Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari setiap pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2011
Septiani Wesman
Setiap nafas mengandung rasa syukur, dan setiap usaha serta kerja keras diniatkan untuk mendapatkan berkah-Mu.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................... ix DAFTAR TABEL....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................ 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS................................................... 6 2.1 Tinjauan Pustaka..................................................................... 6 2.1.1 Representasi Sosial.................................................................. 6 2.1.2 Fenomena Kemiskinan............................................................ 12 2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan dari Pemerintah dan Respon Masyarakat Miskin................................................ 16 2.2 Kerangka Pemikiran................................................................ 19 2.3 Hipotesis Penelitian………………………………………….. 21 2.4 Definisi Operasional…………………………………………. 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................. 26 3.1 Metode Penelitian..................................................................... 26 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................. 27 3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan.......................... 27 3.4 Teknik Pengumpulan Data..................................................... 28 3.5 Teknik Analisis Data………………………………………..... 29 BAB IV PROGRAM KELUARGA HARAPAN…..…………………. 31 4.1 Profil Program Keluarga Harapan………………………….... 31 4.2 Kelembagaan Program Keluarga Harapan…………………… 34 4.3 Petugas Pendamping Program Keluarga Harapan…………… 36 4.4 Program Keluarga Harapan Komponen Pendidikan…………. 38 BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN................... 41 5.1 Kondisi Georafis..................................................................... 41 5.2 Kondisi Demografi.................................................................. 44 5.3 Aktivitas Masyarakat.............................................................. 48 BAB VI PESERTA PROGRAM KELUARGA HARAPAN…………. 50 6.1 Karakteristik Individu ……………………………………….. 50 Keterlibatan dalam Kelompok…………...…………………. 6.2 58 6.3 Ikhtisar………………………………………………………. 62 BAB VII REPRESENTASI SOSIAL PESERTA PROGRAM KELUARGA 64 HARAPAN …………………………………. 7.1 Representasi Sosial terhadap PKH …………………………. 65 7.2 Representasi Sosial terhadap Pendidikan …………………... 74 7.3 Representasi Sosial terhadap Kemiskinan ………………….. 78 7.4 Keterkaitan antara Representasi Sosial Peserta PKH ……….. 82 7.5 Ikhtisar………………………………………………………. 84
x
BAB VIII
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PESERTA PKH DENGAN 86 REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PKH…
8.1
Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial 86 terhadap PKH ………………………………………………... Hubungan Keterlibatan dalam Kelompok dengan 91 Representasi Sosial terhadap PKH …………………………. Ikhtisar………………………………………………………. 93 PERILAKU PEMENUHAN KEWAJIBAN PESERTA PKH … 95
8.2 8.3 BAB IX 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6 BAB X
Mengikuti Pertemuan Kelompok …………………………… Menyekolahkan Anak……………………………………….. Tingkat Kehadiran Anak di Sekolah ………………………… Penggunaan Dana PKH ……………………………………... Dukungan bagi Kegiatan Belajar Anak …………………….. Ikhtisar………………………………………………………. HUBUNGAN REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PKH DENGAN PERILAKU PEMENUHAN KEWAJIBAN PESERTA PKH …………………………………………….. 10.1 Ikhtisar………………………………………………………. BAB XI PENUTUP ………………………………………………….. 11.1 Kesimpulan …………………………………………………. 11.2 Saran ……………………………………………………....... DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. LAMPIRAN ……………………………………………………………….
96 98 99 101 104 105 107
110 111 111 112 114 118
xi
DAFTAR TABEL Nomor
Tabel 1. Tabel 2.
Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5.
Tabel 6 Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.
Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20.
Halaman Teks Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia Tahun 20032008……………………………………………………………… Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Miskin serta Persentasenya terhadap Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga secara Keseluruhan di Kota Bogor berdasarkan Kecamatan pada Tahun 2009……...……………………………………………….. Besar Dana PKH per RTSM per Tahun menurut Skenario Bantuan ………………………………………………………….. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kelurahan Balumbang Jaya ………………………………………………… Jumlah dan Persentase Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya berdasarkan Umur secara Umum dan dipilah berdasarkan Jenis Kelamin …………………………………………………………. Jumlah dan Persentase Penduduk Balumbang Jaya berdasarkan Tingkat Pendidikan dan dipilah berdasarkan Jenis Kelamin …… Jumlah dan Persentase Penduduk Balumbang Jaya berdasarkan Mata Pencaharian yang dipilah berdasarkan Jenis Kelamin ……. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Individu ……………………………………………………….. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterlibatan dalam Kelompok PKH ………...………………………………... Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Individu dan Keterlibatan dalam Kelompok …………………. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe Representasi Sosial terhadap PKH ……………………………… Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH untuk Biaya Pendidikan Anak berdasarkan Karakteristik Peserta PKH …………………………………………………….. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Belum Memuaskan berdasarkan Karakteristik Peserta PKH Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Membuat Senang Berdasarkan Karakteristik Peserta PKH Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Memiliki Aturan berdasarkan Karakteristik Peserta PKH ... Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial terhadap Pendidikan …………………………………………….. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe terhadap Kemiskinan ……………………………………………........... Hubungan antara Karakteristik PKH dengan Representasi Sosial terhadap PKH …………………………………………………… Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Perilaku Pemenuhan Kewajiban sebagai Peserta PKH …………………... Hubungan Representasi Sosial dengan Perilaku Pemenuhan Kewajiban Peserta PKH …………………………………………
14 15
32 42 45
46 47 50 58 63 65 68
71 72 74 74 79 86 95 106
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20
Halaman Teks Kerangka Pemikiran................................................................... Peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010.. Alur Metode Olah Data Teknik Asosiasi Kata dalam Penentuan Tipe Representasi Sosial Setiap Individu..…...... Struktur Kelembagaan Program Keluarga Harapan ……....... Sebaran Umur Responden ………………………………...... Sebaran Tingkat Pendidikan Responden ………………........ Sebaran Pekerjaan Responden …………………………......... Sebaran Jumlah Sumber Nafkah Rumah Tangga Responden Sebaran Penghasilan Rumah Tangga Responden ………...... Sebaran Tanggungan Rumah Tangga Responden ……… ...... Sebaran Peranan Responden dalam Kelompok PKH …... .... Sebaran Responden menurut Intensitas mengikuti Pertemuan Kelompok …………………………………….......................... Sebaran Responden menurut Intensitas bertemu Petugas Pendamping ……………………………………………........... Sebaran Responden menurut Intensitas Interaksi dalam Kelompok ………………………………………………......... Representasi Sosial Responden sebagai Peserta PKH terhadap PKH, Pendidikan, dan Kemiskinan ……………..................... Sebaran Responden menurut Intensitas mengikuti Pertemuan Kelompok …………………………………….......................... Sebaran Responden menurut Pemenuhan Kewajiban mendaftarkan Anak ke Satuan Pendidikan ……………........ Sebaran Responden menurut Tingkat Pemenuhan Standar Kehadiran Anak Mereka di Sekolah ……………..................... Sebaran Responden menurut Penggunaan Dana PKH untuk Pemenuhan Kebutuhan …………………………...................... Sebaran Responden menurut Dukungan pada Kegiatan Belajar Anak ……………………………………………......................
20 28 30 35 51 52 53 54 56 57 59 59 61 62 82 97 99 100 102 105
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7.
Halaman Judul Kerangka Sampling Penelitian, Peserta PKH Balumbang Jaya Komponen Pendidikan …………………………….. Kewajiban Peserta PKH Komponen Pendidikan ……….. Contoh Formulir Validasi Data Peserta PKH …………... Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Representasi Sosial terhadap PKH ……………………… Tabulasi Silang Representasi Sosial terhadap PKH dengan Keterlibatan dalam Kelompok ………………….. Tabulasi Silang Representasi Sosial terhadap PKH dengan Perilaku …………………………………………. Dokumentasi di Lokasi Penelitan………………………..
119 121 122 123 124 124 125
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara berkembang yang hingga saat ini masih
giat melakukan berbagai upaya pembangunan yang telah dilakukan sejak Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Upaya pembangunan tersebut dapat dikatakan berjalan dengan baik hingga akhirnya perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat mulai tercapai. Hal tersebut dapat dilihat dari cukup tingginya pertumbuhan ekonomi dalam berbagai bidang. Namun demikian, beberapa kali Indonesia juga diguncang oleh berbagai masalah sosial–ekonomi–politik nasional yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung pada kesejahteraan masyarakat (Seha, 2004). Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia periode 1996 – 2008 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996 – 1999 jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, peningkatan terjadi dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen. Pada periode 2000 – 2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun, namun kenaikan yang drastis kembali terjadi pada tahun 2006 yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta orang (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Akhirnya pada periode 2007 – 2008 kembali terjadi penurunan yang signifikan, yaitu pada 15,42 persen pada tahun 2008 hingga 2009 (BPS, 2009). Kondisi tersebut cenderung berbeda dengan kondisi Kota Bogor. Peran sebagai kota penyangga Ibu Kota Jakarta, menyebabkan Bogor mempunyai potensi yang besar untuk menjadi wilayah tujuan migrasi selain Jakarta. Berdasarkan BPS pada tahun 2004/2005 angka kemiskinan di Kota Bogor mencapai 67.000 jiwa. Hal ini didata dari penerima asuransi kesehatan (Askes). Sementara itu, jumlah penduduk miskin menurut data Pemerintah Kota Bogor telah mencapai 90.000 jiwa. Menurut Kepala Bagian Sosial Kota Bogor, setiap tahun jumlah keluarga miskin di Kota Bogor cenderung mengalami peningkatan (Sinung, 2009). Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan tersebut baik dalam skala nasional ataupun regional Kota Bogor. Namun demikian, berbagai program bantuan yang dibentuk oleh pemerintah kota
2
diusahakan tetap bersinergi dengan kebijakan pusat, sehingga program–program tersebut dapat berjalan bersama dan efektif mengatasi masalah yang dimaksudkan. Program penanggulangan kemiskinan merupakan sebuah upaya yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Agar dapat menghasilkan persepsi yang sama tentang prosedur dan tujuan program, pelaksana program melakukan berbagai sosialisasi kepada setiap stakeholder dan tentunya juga kepada penerima manfaat program agar tujuan dari program tersebut dapat tercapai. Sosialisasi tentang program juga sangat penting untuk dilakukan. Sosialisasi yang ditujukan kepada penerima manfaat akan mempengaruhi tanggapan mereka terhadap program, dan diharapkan tanggapan tersebut akan berpengaruh positif terhadap keberhasilan program (Anggen, 2005). Diantara proses sosialisasi tentang program (stimulus) dengan kemunculan tanggapan penerima manfaat (respon) terdapat sebuah proses yang disebut dengan definisi situasional, dimana terdapat sebuah proses definisi subjektif yang berada diantara stimulus dan respon. Selama sosialisasi, secara bertahap individu mempelajari definisi–definisi tersebut (Thomas, 1923 dalam Johnson, 1990). Menurut Veeger, proses penafsiran atau pemberian arti–arti disebut juga dengan proses pemaknaan (Fauziyah, 2002 dalam Adriana, 2009). Teori makna tersebut telah mengalami perkembangan, dimana makna tidak hanya dimiliki pada level perorangan, tetapi juga terdapat makna yang dibagi bersama sesama komunitas ataupun masyarakat, yang disebut dengan makna sosial atau representasi sosial yang pertama kali digagas oleh Serge Moscovici pada tahun 1961 (Adriana, 2009). Dengan kata lain, pemaknaan yang dilakukan oleh penerima manfaat program tersebut dapat dikatakan sebagai representasi sosial mereka terhadap program bantuan tersebut. Menurut Abric (1976) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial tersebut merupakan suatu pandangan fungsional yang memungkinkan individu atau kelompok memberikan makna dan arti terhadap tindakan yang dilakukannya untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut. Menurut Campbell (1963) dalam Bergman (1998), representasi sosial dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan bertingkah laku. Representasi yang tepat dan sesuai terhadap
3
program akan berpengaruh dalam perilaku penerima program dan tentu saja akan berpengaruh besar terhadap kelancaran suatu program nantinya. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program penanggulangan kemiskinan yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), jika mereka memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Tujuan utama PKH adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada kelompok masyarakat sangat miskin. Program ini mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2007, dan diharapkan pelaksanaannya dapat dilakukan secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015. Pelaksanaan program ini di Indonesia masih tergolong baru, namun di beberapa negara berkembang lainnya program ini (dalam istilah asing disebut dengan conditional cash transfers) telah lebih dahulu dilaksanakan dan tergolong berhasil mencapai tujuannya. Berbagai sosialisasi dilakukan oleh pelaksana PKH kepada peserta PKH untuk memberikan informasi yang tepat tentang PKH. Representasi terhadap PKH yang terbentuk pada peserta PKH cenderung akan berpengaruh terhadap perilaku mereka, khususnya pada pemenuhan kewajiban sebagai peserta PKH. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui bagaimana peserta PKH memandang atau merepresentasikan program bantuan yang diterimanya, sehingga juga dapat diketahui kecenderungan perilaku pemenuhan kewajibannya sebagai peserta PKH. Di Jawa Barat, sosialisasi dilaksanakan di 11 kabupaten dengan 70 kecamatan. Pada 2008 jumlah sasaran ditingkatkan menjadi 14 kabupaten/kota, dengan 142 kecamatan. Kota yang dimaksudkan ialah Kota Bogor, yang menjadi salah satu sasaran penyaluran dana PKH karena tingkat kemiskinan penduduk masih cukup tinggi. Enam kecamatan yang menjadi lokasi sasaran yaitu Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Utara dan Kecamatan Tanah Sareal. Salah satu kelurahan yang memperoleh dana bantuan serta menjadi lokasi penelitian pada penelitian ini yaitu Kelurahan Balumbang Jaya, yang terletak di Kecamatan Bogor Barat. Pada kelurahan tersebut, terdapat lebih dari 200 orang penerima dana PKH, yang terdiri atas penerima PKH komponen pendidikan dan
4
komponen kesehatan. Penelitian ini lebih difokuskan pada PKH komponen pendidikan dengan pertimbangan ingin memberi batasan penelitian, pada analisis perilaku pemenuhan kewajiban peserta PKH, dan agar analisis perilaku tersebut dapat menghasilkan pembahasan yang lebih dalam dan terfokus.
1.2
Perumusan Masalah PKH merupakan sebuah upaya penanggulangan kemiskinan yang ditujukan
kepada RTSM. Pelaksana program telah melakukan berbagai sosialisasi kepada penerima bantuan dengan harapan agar tujuan program tersebut dapat tercapai. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui bagaimana penerima bantuan memandang atau merepresentasikan PKH. Representasi sosial yang tepat pada penerima program bantuan dapat mempengaruhi mereka dalam berperilaku atau berperan aktif dalam pelaksanaan program. Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah yang hendak dikaji pada penelitian ini ialah: 1. Bagaimanakah karakteristik individu peserta PKH dan keterlibatan peserta PKH dalam kelompok? 2. Bagaimanakah representasi sosial peserta PKH terhadap bantuan PKH? 3. Bagaimanakah hubungan antara karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok dengan representasi sosial terhadap PKH pada peserta PKH? 4. Bagaimanakah perilaku pemenuhan kewajiban peserta dalam PKH? 5. Bagaimanakah hubungan representasi sosial peserta PKH dengan perilaku pemenuhan kewajiban sebagai peserta?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini ialah
sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik individu peserta PKH dan keterlibatan peserta PKH dalam kelompok. 2. Mengidentifikasi representasi sosial peserta PKH terhadap PKH. 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok dengan representasi sosial terhadap PKH pada peserta PKH. 4. Mengetahui perilaku pemenuhan kewajiban peserta dalam PKH.
5
5. Menganalisis hubungan representasi sosial dengan perilaku peserta PKH dalam memenuhi kewajiban sebagai peserta.
1.4
Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang “Representasi Sosial
terhadap Program Keluarga Harapan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Rumah Tangga Sangat Miskin” ini antara lain: 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat dalam belajar menerapkan dan menghubungkan teori–teori psikologi sosial, khususnya representasi sosial, terhadap keadaan yang ada di lingkungan sekitar. 2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi, ataupun sebagai referensi awal guna meningkatkan pemahaman mengenai representasi sosial RTSM terhadap PKH maupun tentang representasi sosial secara umum. 3. Bagi pihak terkait seperti Departemen Sosial, Dinas Sosial Kota Bogor, Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) Bogor Barat dan aparat desa setempat, penelitian ini bisa menjadi salah satu bahan informasi mengenai keadaan rumah tangga yang tergolong kepada Rumah Tangga Sangat Miskin khususnya penerima PKH.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Representasi Sosial
a.
Definisi Representasi Sosial Representasi sosial merupakan sebuah sistem nilai, gagasan dan perbuatan,
yang memiliki fungsi ganda. Fungsi yang dimaksudkan ialah untuk membangun sebuah tata aturan bagi setiap individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai) lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya (Moscovici, 1973 dalam Bergman, 1998). Menurut Abric (1976) dalam Deaux dan Philogene (2001), representasi sosial tersebut merupakan suatu pandangan fungsional yang memungkinkan individu atau kelompok memberikan makna dan arti terhadap tindakan yang dilakukannya untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realita tersebut. Bergman (1998) menyatakan bahwa representasi sosial dapat mengubah suatu hal yang tidak lazim dan atau tidak dikenal menjadi sesuatu hal yang dapat dikenali. Representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses yaitu anchoring dan objectifying (dibahas lebih lanjut pada bagian proses pembentukan representasi sosial). Namun hal yang terpenting mengenai representasi sosial ialah bahwa representasi sosial tersebut merupakan hasil sekaligus penghasil dari nilai, gagasan dan perbuatan manusia. Representasi sosial merupakan hasil dari pemaknaan individu terhadap nilai, gagasan dan perbuatan, namun disamping itu representasi sosial juga merupakan penghasil dari berbagai macam nilai, gagasan dan perbuatan tersebut. Menurut Jost dan Ignatow (2001), aspek terbaik dari teori representasi sosial yang dahulu sempat terlupakan pada era berkembang pesatnya kognisi sosial adalah adanya sebuah kedinamisan, dimana representasi sosial tersebut menyediakan “cerita yang hidup” mengenai dinamika sosial dan budaya yang berasal dari kehidupan manusia, dan juga adanya penyebaran keyakinan tentang realitas oleh individu atau kelompok tersebut kepada pihak lainnya. Selanjutnya, Putra, I.E. dkk. (2009), mendefinisikan representasi sosial sebagai cara berpikir ‘rasional’ yang praktis melalui hubungan sosial dengan
7
menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari. Berdasarkan berbagai definisi dari beberapa ahli dan peneliti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa representasi sosial ialah sebuah sistem nilai, gagasan dan perbuatan, serta merupakan sebuah cara berfikir rasional masyarakat yang praktis dan khas, terhadap setiap hal/objek yang ada pada lingkungan fisik ataupun
lingkungan
sosialnya.
Representasi
sosial
tersebut
kemudian
didistribusikan kepada anggota kelompoknya, ataupun orang lain disekitarnya melalui komunikasi sehari–hari baik secara disadari ataupun tidak, secara terus menerus dan akhirnya representasi sosial tersebut akan cenderung mempengaruhi perilaku mereka.
b.
Fungsi Representasi Sosial Representasi
sosial
berperan
sebagai
sebuah
jembatan
yang
menghubungkan antara individu dengan dunia sosialnya (Deaux dan Philogene, 2001). Dalam definisi representasi sosial yang dikemukakan oleh Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) juga telah disebutkan bahwa representasi sosial memiliki dua buah fungsi sekaligus, antara lain: 1. Representasi sosial dapat berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan) pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya. 2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas berkomunikasi antar anggota komunitas dengan adanya sandi untuk aktivitas pertukaran sosial mereka; dan sebagai kode untuk menamai serta mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejarahan individu dan kesejarahan kelompoknya. Bergman (1998) juga menyatakan bahwa teori representasi sosial terlihat pada pemikiran subjektif seorang individu yang menciptakan sebuah kenyataan dari kenyataan yang tidak diketahui sebelumnya. Oleh sebab itu, representasi sosial memiliki fungsi sebagai alat untuk memberikan arti bagi setiap istilah yang asing atau abstrak bagi mereka. Dari pendapat Josh dan Ignatow (2001) dan beberapa ahli lainnya, terdapat lima fungsi dari representasi sosial yaitu:
8
1. Group Coordination. Representasi sosial berfungsi untuk menyelaraskan (coordinating) aktivitas kelompok dan memudahkan kerjasama antar anggotanya. 2. Rational Argumentation. Representasi sosial juga mungkin mempunyai sebuah fungsi penting lainnya dalam kehidupan negara yang liberal (kondisi yang terbuka dan adanya demokrasi) yaitu memudahkan seseorang untuk mengeluarkan argumentasi/bantahan yang masuk akal bagi nya. Hal ini terkait dengan konsep ideal Ruang Publik yang digagas oleh Habermas. 3. Symbolic Copying. Representasi sosial juga dapat berfungsi untuk merubah suatu hal yang tidak dikenal menjadi hal yang dapat dikenal dengan menggambarkan hal yang baru tersebut kepada sesuatu yang sudah ada pada pengalaman sebelumnya. 4. Environmental
Compensation.
Representasi
sosial
berfungsi
untuk
menggambarkan atau membandingkan hal yang tabu menjadi hal yang dapat dengan mudah dikenali oleh masyarakat atau sebuah kelompok dengan menggunakan perumpamaan yang berasal dari lingkungan yang memiliki sedikit persamaan dengan hal yang digambarkan tersebut. Fungsi ini merupakan pelengkap dari proses pembentukan representasi sosial tahap anchoring yang dikemukakan oleh Moscovici. 5. System Justification. Representasi sosial yang timbul dalam sebuah kelompok merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain agar turut menggunakan representasi sosial tersebut sehingga tujuan sosial dan politik dapat tercapai.
c.
Proses Pembentukan Representasi Sosial Representasi sosial dapat merubah suatu hal yang tidak lazim dan atau
tidak dikenal menjadi sesuatu hal yang dapat dikenali, melalui dua proses pembentukan (Bergman, 1998). Proses pembentukan representasi sosial tersebut terjadi dalam dua tahapan (Deaux dan Philogene, 2001): 1. Anchoring merupakan proses yang mengacu pada proses pengenalan atau pengaitan suatu objek tertentu dalam fikiran individu. Pada proses ini, informasi yang baru didapat diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki oleh individu sebelumnya.
9
2. Objectifications merupakan proses penerjemahan ide–ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau mengaitkan abstraksi tersebut dengan objek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode–kode yang merupakan bagian dari proses kognitif atau afek dari komunikasi serta pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut. Menurut Guimelli (1993) representasi sosial mengalami transformasi dan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya hal tersebut ialah: a. Keterlibatan tinggi dalam kelompok. b. Perubahan keadaan eksternal (keadaan fisik, ekonomi, lingkungan sosial yang berhubungan langsung dengan objek representasi) yang mengganggu grup. c. Tantangan terhadap nilai tradisional dalam grup yang tidak dapat dihindari.
d.
Elemen Representasi Sosial Representasi sosial terdiri atas elemen informasi, keyakinan, pendapat, dan
sikap tentang suatu objek (Abric, 1976 dalam Deaux dan Philogene, 2001). Elemen pengetahuan ialah segala informasi yang diketahui oleh anggota suatu komunitas mengenai suatu objek tertentu; pendapat ialah hasil pemikiran mereka; keyakinan ialah segala sesuatu hal yang dipercayai dan diyakini (Adriana, 2009); dan sikap ialah kecendrungan respon suka atau tidak suka, penilaian, pengaruh atau penolakan, serta kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu objek tersebut (Sarwono, 2006). Bagian–bagian tersebut akan terorganisir, terstruktur dan kemudian menjadi sistem kognisi sosial seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core dan peripheral core. Central core tersusun atas sejumlah elemen yang terorganisir yang mengatur seluruh representasi dengan menentukan maknanya, sehingga seluruh hal yang penting dapat menjadi stabil. Bagian lainnya di sekeliling struktur tersebut ialah peripheral core yang memiliki sifat konkret dan merupakan elemen yang dapat diakses secara langsung, serta bersifat lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core (Abric, 1976 dalam Deaux dan Philogene, 2001).
10
d.
Hubungan Representasi Sosial dengan Perilaku Menurut Campbell (1963) sebagaimana yang dikutip oleh Bergman
(1998),
dinyatakan
bahwa
representasi
sosial,
sikap
dan
nilai
dapat
dipertimbangkan sebagai kecenderungan untuk bertingkah laku (behavioural dispositions). Disposisi perilaku ini merupakan suatu kekuatan yang menyalurkan manusia dalam mempersepsikan, mengkategorisasikan, mengorganisasikan atau memilih, namun memiliki beberapa konsekuensi. Kecenderungan berperilaku yang diperoleh, hampir seluruhnya adalah kecenderungan berperilaku yang disosialisasikan (antar anggota kelompok). Pada hasil penelitian Adriana (2009) diketahui bahwa perbedaan representasi sosial terlihat mempunyai pengaruh terhadap perbedaan perilaku. Selanjutnya dari hasil penelitian Gunawan (2003) terbukti bahwa representasi sosial dapat mempengaruhi perilaku, khususnya performa kerja, sehingga representasi sosial yang berbeda-beda menyebabkan perilaku kerja yang muncul juga memiliki perbedaan. Representasi sosial juga dikembangkan dalam bentuk lain menjadi representasi profesional. Representasi tersebut terbentuk dalam aksi dan interaksi profesional, yang memberikannya suatu konteks. Representasi profesional dipengaruhi oleh konteks, yang dalam hal ini bukan hanya situasi fisik tetapi juga pola interaksi diantara subjek yang berinteraksi. Mengenai hubungan antara representasi profesional dengan praktek (tindakan/perilaku) terdapat beberapa tipe hubungan, namun diantaranya ialah representasi tidak memiliki hubungan dengan perilaku jika adanya pengaruh paksaan dari luar (Blin, 1997 dalam Pandjaitan, 1998).
e.
Faktor–faktor yang Mempengaruhi Representasi Sosial Terdapat
beberapa
hal
yang
dapat
mempengaruhi
pembentukan
representasi sosial. Mulai dari karakteristik individu/kelompok yang bersangkutan hingga berbagai faktor eksternal lainnya. Menurut Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) pada proses objektifikasi, pembentukan representasi sosial dapat dipengaruhi oleh kerangka sosial individu seperti norma, nilai dan kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan afek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut. Guimelli (1993) berpendapat
11
bahwa elemen central core sebuah representasi sosial dapat saja berubah sesuai dengan keadaan, namun kaitannya dengan sejarah masa lalu subjek yang bersangkutan tidak dapat diabaikan. Selanjutnya, keterlibatan tingkat tinggi dalam grup menjadi dasar dari segalanya pada kondisi transformasi representasi sosial. Keterlibatan individu dalam kelompok atau lingkungan profesionalnya juga diyakini oleh Pandjaitan (1998) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi representasi profesional. Hasil penelitian Gunawan (2003), representasi sosial yang terbentuk pada suatu kelompok masyarakat dipengaruhi oleh faktor kesejarahan, kondisi geografis, serta pola dan situasi interaksi yang ada. Adriana (2009) menambahkan, proses representasi sosial pada individu dalam kelompok tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor demografi subjek, faktor internal, faktor eksternal, serta faktor struktural yang mempengaruhi lingkungan sosialnya seperti kebijakan pemerintah. Putra, I.E. dkk. (2009) lebih memfokus pada aspek lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap representasi sosial, dimana faktor–faktor tersebut adalah kompleksitas kehidupan, kondisi atau latar belakang konteks sosial, serta ketersediaan informasi terkait objek yang direpresentasikan. Dapat disimpulkan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi representasi sosial antara lain berupa faktor internal dalam hal ini karakteristik individu yang bersangkutan, tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, serta komunikasi sehari–hari dalam kelompok.
f.
Metode Pengukuran Representasi Sosial Berbagai macam metode dapat digunakan untuk mengungkap representasi
sosial yang ada pada suatu komunitas ataupun masyarakat. Farr dan Moscovici (1984) menyatakan bahwa beberapa ahli psikologi sosial menggunakan metode eksperimen laboratorium untuk mengetahui representasi sosial pada objek yang mereka amati. Selain itu, representasi sosial juga dapat diukur dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian yang telah dilakukan oleh Jodelet menggunakan metode yang memanfaatkan data naratif dan kualitatif, namun dalam waktu bersamaan juga menggunakan metodologi antropologi dan etnografi (Deaux dan Philogene, 2001). Selanjutnya, dari beberapa penelitian
12
mengenai representasi sosial sebelumnya, terlihat cara yang lebih familiar dan yang lebih sering digunakan ialah dengan metode kualitatif dan asosiasi kata/asosiasi bebas. Metode kualitatif dapat dilaksanakan dengan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya yaitu pengamatan langsung, wawancara mendalam (indepth interview) personal maupun kelompok (focus group interview), studi dokumentasi, serta memperoleh informasi dari informan (Tarigan, 2004; Gunawan, 2003). Metode lainnya ialah dengan asosiasi kata atau asosiasi bebas yaitu sebuah sebuah metode pengumpulan kata–kata atau kalimat pendek, langsung dari subjek penelitian mengenai pemaknaan mereka terhadap suatu hal (Putra, I.E. dkk., 2009; Adriana, 2009). Metode ini ditempuh dengan cara memberikan pertanyaan terbuka mengenai pemaknaan mereka terhadap suatu hal serta apa yang mereka bayangkan dan mereka simpulkan ketika mendengar tentang suatu hal tersebut. Hasil dari asosiasi bebas tersebut, juga dapat disajikan kembali dengan alat pengumpulan data berupa angket atau kuesioner dengan pertanyaan terbuka maupun tertutup bahkan penggunaan gambar, untuk mendapat hasil yang lebih akurat menurut teknik kuantitatif mengenai representasi sosial tersebut. Menurut Nunnally dalam Suryabrata (1999) mengenai inti/tujuan penggunaan metode kuantitatif dalam studi psikologi adalah bahwa pengukuran itu terdiri dari aturan– aturan untuk mengenakan bilangan kepada objek sedemikian rupa guna menunjukkan kuantitas atribut objek itu. Selanjutnya ditambahkan oleh Suryabrata (1999), penerapan aturan–aturan seperti tersebut, secara langsung berkenaan dengan pembakuan, yang dimaksudkan agar para ilmuan yang bekerja secara terpisah menghasilkan yang sama atau sekurang–kurangnya setara agar diperoleh objektivitas, kuantifikasi, murah dari segi ekonomi, serta generalisasi ilmiah.
2.1.2
Fenomena Kemiskinan Permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan tersendiri disetiap
negara, khususnya negara yang sedang berkembang. Definisi bagi kemiskinan tersebut sangat beragam dan terkadang kemiskinan didefinisikan dalam banyak dimensi. Dalam tulisan Kamaluddin (2004), dikemukakan definisi berikut:
13
“Menurut Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995, (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002) kemiskinan dalam arti luas di negara–negara berkembang memiliki wujud yang multidimensi yang meliputi sangat rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan–layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang jauh dari memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial”. Penyebab timbulnya permasalahan kemiskinan tersebut menurut Fristoto (2009) adalah kurang modal usaha, kurang kesempatan usaha, banyaknya tanggungan hidup, kurang pemenuhan kebutuhan gizi, dan etos kerja yang rendah. Krisis ekonomi pun telah turut berkontribusi dalam peningkatan jumlah penduduk miskin yang sebelumnya telah berhasil dikurangi pemerintah berbagai upaya penanggulangan kemiskinan (Roosgandha dan Darwis, 2000). Terkadang masyarakat miskin mempunyai potensi besar akan tetap berada di dalam lingkaran kemiskinan karena anak–anak mereka sebagai generasi penerus tidak memperoleh intervensi untuk memutuskan rantai kemiskinan tersebut (Indraswari, 2009). Karakteristik yang terlihat dari masyarakat miskin juga sangat beragam. Tingkat pendidikan mereka cenderung rendah (Roosgandha dan Darwis, 2000). Terkadang jika pendidikan cukup baik namun jam kerja keluarga miskin relatif rendah, dan hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pendapat mereka (Pertiwi, 2008). Karakteristik lain yang ditambahkan oleh Fristoto (2009) ialah penduduk miskin umumnya berasal dari keluarga petani yang tergusur dari lahannya dan memiliki asset yang terbatas, mempunyai keterampilan yang kurang dibidang teknis dan kurang tekun bekerja, serta memiliki keterbatasan peluang dalam memasuki bidang pekerjaan formal. Kondisi masyarakat miskin yang sebenarnya adalah pendapatan rata–rata mereka masih berada di bawah garis kemiskinan, dan jam kerja yang masih berada jauh di bawah jam kerja rata–rata penduduk tidak miskin (Pertiwi, 2008). Namun menurut Handayani (2009), permasalahan kemiskinan tersebut tidak hanya berkenaan dengan pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat miskin tersebut, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan
14
kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), dan rendahnya mutu hidup manusia (human development). Sumodiningrat (2009) menanggapi hal tersebut dengan sudut pandang yang lebih luas. Terjadi pengangguran, kesenjangan, dan kemiskinan secara sekaligus dapat disebut sebagai perangkap atau lingkaran kemiskinan (poverty trap) yaitu sebuah lingkaran proses pemiskinan yang semakin lama semakin kronis, sehingga secara bertahap dapat menghancurkan tatanan ekonomi suatu negara dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah upaya penanggulangan. Data dari tahun 2003 hingga 2004 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin. Namun sempat terjadi peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 2006 dimana menurut Kamaluddin (2004) hal tersebut terjadi karena harga barang–barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen pada saat itu. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Namun dari tahun 2006 hingga 2008 terlihat adanya penurunan persentase penduduk miskin yang bertahap. Tabel 1 berisi data lebih rinci mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2003–2008. Tabel 1. Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber:
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia Tahun 2003– 2008 Jumlah (Juta jiwa)
Persentase (%) 12,20 13,75 11,40 12,13 12,40 11,68 14,49 13,47 13,56 12,52 12,77 11,65 Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional dalam Kamaluddin (2004) dan diambil seperlunya oleh penulis
Melengkapi data di atas, jumlah penduduk miskin kota dan desa mencapai 32.530 ribu jiwa pada tahun 2009 dengan persentase penduduk miskin sebesar 14,15 persen per total jumlah penduduk. Jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin dari tahun 2007, 2008, hingga 2009 terlihat kecenderungan
15
adanya penurunan jumlah penduduk. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin ialah 16 persen, terjadi penurunan pada tahun 2008 menjadi 15 persen dan pada tahun 2009 menjadi 14 persen (BPS, 2010)1. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan yang terjadi di Indonesia ialah adanya penurunan jumlah penduduk miskin. Fenomena mengenai penduduk miskin terjadi diberbagai tempat. Tidak terkecuali di kota–kota besar yang menjadi kota penyangga ibukota seperti Bogor. Berbeda dengan kondisi penduduk miskin yang terjadi secara umum di Indonesia, jumlah keluarga miskin di Kota Bogor setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tahun 2002 tercatat sebanyak 20.000 KK (Kepala Keluarga) sebagai keluarga miskin. Jumlah tersebut sempat mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi 17.957 KK, namun pada 2004 hingga 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin terus menerus, hingga tahun 2009 tercatat 41.398 KK merupakan penduduk miskin di wilayah kota Bogor. Jumlah tersebut meningkat dua kali lebih besar dibandingkan dengan data tahun 2002. Tabel 2 berisi informasi mengenai data penduduk miskin Kota Bogor yang dipaparkan per kecamatan. Tabel 2.
No 1 2 3 4 5 6
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Miskin serta Persentasenya terhadap Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga secara Keseluruhan di Kota Bogor berdasarkan Kecamatan pada Tahun 2009
Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah
KK Miskin 7.197 5.284 11.016 5.284 2.214 3.859 41.398
Jumlah Penduduk Miskin
KK Seluruh nya
Penduduk Seluruhnya
43.004 22.448 45.399 22.448 9.304 16.536 173.968
35.517 35.187 41.753 39.050 18.594 24.256 194.357
163.266 151.562 198.296 176.094 91.609 109.039 905.132
Persentase ( %) Gakin
Penduduk
Miskin
20,6 15,0 26,3 13,5 11,9 15,9 21.3
19 14,6 23,2 13,1 10,4 15,6 16,7
Sumber: Amanah, dkk. 2009
Kota Bogor terdiri atas enam kecamatan dengan jumlah penduduk seluruhnya ialah 905.132 jiwa. Sebanyak 173.968 jiwa atau 16.7 persen dari total penduduk tersebut tergolong kepada penduduk miskin. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bogor Utara, dengan jumlah 198.296 jiwa, jauh berbeda 1 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=3 ( diakses pada 13 Desember 2010 pukul 10.00)
16
dengan kecamatan lainnya. Jumlah penduduk yang besar di Kecamatan Bogor utara tersebut berimbang dengan jumlah penduduk miskinnya yang juga besar. Bogor Utara ialah kecamatan yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar yaitu dengan 45.399 jiwa (23,2 persen). Sedangkan jumlah penduduk miskin yang terkecil ialah di Kecamatan Bogor Barat yaitu sebanyak 9.304 jiwa (10,4 persen).
2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan dari Pemerintah dan Respon Masyarakat Miskin Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan upaya yang bertujuan untuk membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala penyebabnya.
Upaya
tersebut
tidak
hanya
diarahkan
untuk
mengatasi
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka membangun semangat dan kemandirian masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai pelaku dalam berbagai tahap pembangunan (Sumodiningrat, 2009). Berbagai program penanggulangan telah diupayakan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut agar tidak menyebabkan masalah yang lebih kompleks. Dalam beberapa penelitian, pelaksanaan berbagai program pemerintah terbukti telah berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Penurunan jumlah penduduk miskin ini disebabkan oleh membaiknya kondisi perekonomian yang diikuti pula oleh penurunan harga barang dan jasa, serta meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai hasil transfer pendapatan dari program Jaring Pengaman Sosial (Roosgandha dan Darwis, 2000) sebagai sebuah upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Pemerintah telah melaksanakan berbagai program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sejak tahun 1960–an. Selanjutnya, sejak krisis ekonomi pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 tahun 1998 serta berbagai program–program penanggulangan kemiskinan lain, diantaranya KUBE (Kelompok Usaha Bersama), PDM–KDE (Pemberdayaan Daerah Mengenai Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Daerah), pembangunan sektoral, program penanggulangan
17
kemiskinan oleh Bank Indonesia, lembaga non–keuangan, dan lain sebagainya. Mengatasi kemungkinan terjadinya tumpang–tindih, presiden juga telah membentuk sebuah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berupaya menggalang koordinasi, integrasi, sinergi, dan sinkronisasi berbagai program penanggulangan kemiskinan (Sumodiningrat, 2009). Pemerintah juga membagi sasaran dan menentukan fokus program– program penanggulangan guna meningkatkan efektifitas program. Sasaran dibagi menurut umur penduduk yaitu kelompok umur dibawah 15 tahun, 15–55 tahun, dan di atas 55 tahun. Penanggulangan kemiskinan difokuskan kepada penanganan penduduk miskin usia produktif yaitu penduduk yang berusia 15–55 tahun. Penduduk miskin pada kisaran usia ini yang sehat secara jasmani maupun rohani merupakan sumberdaya manusia yang memiliki potensi besar untuk menjadi pelaku aktif dalam pembangunan. Disamping itu, penduduk berusia produktif juga merupakan individu yang berada pada fase rumah tangga, sehingga apabila tidak ditangani dengan baik, dapat menciptakan penduduk miskin baru. Penanganan yang dimaksudkan adalah melalui peningkatan kesempatan kerja/berusaha, peningkatan kapasitas/pendapatan, dan untuk selanjutnya mampu mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan sosial secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini, intervensi kebijakan pemerintah akan dikonsentrasikan kepada upaya pengurangan beban (berupa penyediaan modal seperti penyediaan dana, subsidi, dan prasarana dasar) dan peningkatan produktivitas (penyediaan aksesibilitas terhadap pembiayaan usaha ekonomi produktif skala mikro) (Sumodiningrat, 2009). Mengingat ada berbagai macam tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka setiap tingkatan kemiskinan tersebut harus ditangani dengan solusi yang tepat. Berikut grand strategy pemberdayaan penduduk miskin melalui konsep tiga klaster yang dikemukakan oleh Sumodiningrat (2009): a. Klaster I ialah program yang Memberdayakan Masyarakat Miskin. Sasaran adalah masyarakat the poorest of the poor, yang mereka butuhkan adalah perlindungan dan bantuan sosial. Bantuan berbentuk bantuan langsung dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka terutama untuk memenuhi kebutuhan pasokan gizi pendidikan, dan kesehatan. Bentuak bantuan pada
18
klaster ini adalah bantuan langsung seperti: Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk masyarakat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), bantuan sosial untuk pengungsi/korban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). b. Klaster II disebut sebagai program Menuju Kemandirian. Sasarannya ialah masyarakat miskin yang telah mendapatkan (mengalami) peningkatan gizi, kesehatan, dan pendidikan. Mereka akan diberdayakan atau ditingkatkan kemandiriannya baik melalui pembentukan kelompok masyarakat produktif, penggalian gagasan, pengenalan etika, bekerja secara gotong royong baik ekonomi maupun sosial secara berkelompok, serta dilatih menjalankan prinsip perencanaan komunitas partisipatif. Contoh program pada klaster ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Dua kategori PNPM Mandiri yaitu PNPM Inti dan PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri atas program berbasis kewilayahan seperti PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP), dan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Sementara itu, PNPM Penguatan terdiri atas program pemberdayaan masyarakat berbasis sektoral, kewilayahan serta khusus
mendukung
penanggulangan
kemiskinan
seperti
Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), BLM untuk keringanan Investasi Pertanian (BLM KIP), dan lain–lain. c. Klaster III ialah upaya Menciptakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Sasarannya ialah kelompok masyarakat yang telah diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Melalui hal ini, diharapkan masyarakat semakin matang dan terlatih dalam mengelola keuangan secara produktif dan berkelanjutan. Upaya pendampingan (fasilitasi) dari konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) juga disediakan untuk menjamin keberhasilannya. Contoh program ialah Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro yang disalurkan melalui enam bank yang ditunjuk pemerintah yaitu BRI, Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin, BTN, dan BNI. Kredit ini dijamin oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo.
19
Pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan diupayakan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh permasalahan kemiskinan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya, terkadang mengalami berbagai kendala baik yang berasal dari komponen program, dari masyarakat penerima manfaat, bahkan dari kondisi lingkungan yang kurang mendukung sehingga program berjalan kurang optimal. Kendala yang berasal dari program itu sendiri misalnya pelaksanaan program tidak sesuai dengan rencana, penentuan sasaran penerima manfaat yang kurang tepat, terjadi penyimpangan dana/bantuan, serta kekurangsesuaian program dengan kebutuhan masyarakat. Kendala yang berasal dari masyarakat penerima manfaat diantaranya kurang mampu dan kurang konsisten dalam menjalankan program, serta penyimpangan dalam penggunaan dana bantuan (Anggen, 2005; Pertiwi, 2008; Fristoto, 2009). Umumnya respon masyarakat miskin (juga termasuk masyarakat sangat miskin) terhadap program klaster I misalnya raskin ialah merasakan manfaat yang besar, walaupun mereka mengetahui beberapa menyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut (Anggen, 2005). Respon masyarakat terhadap program klaster II dan III juga cukup positif, walau dalam beberapa situasi masyarakat miskin dan pelaksana lapangan program tersebut tidak dapat melaksanakan seluruh ketentuan yang ditetapkan (Pertiwi, 2008 dan Fristoto, 2009).
2.2
Kerangka Pemikiran Representasi sosial peserta PKH terhadap PKH ialah cara berfikir rasional
peserta PKH yang terdiri atas pengetahuan, pendapat, keyakinan dan sikap tentang PKH. Representasi sosial tersebut didistribusikan kepada anggota kelompok lainnya, ataupun orang lain disekitarnya, melalui komunikasi sehari–hari baik disadari ataupun tidak secara terus menerus. Banyak sekali representasi mengenai PKH yang mungkin terbentuk pada setiap anggota, dan setiap individu anggota memiliki perbedaan satu sama lainnya. Hipotesis pertama dalam penelitian ini ialah diduga terdapat beberapa tipe representasi sosial. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pembentukan representasi sosial, diantaranya ialah tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, pola interaksi pada komunikasi sehari–hari dalam kelompok, serta karakteristik individu tersebut
20
(Pandjaitan, 1998; Gunawan, 2003; Adriana, 2009). Begitu juga dengan representasi sosial peserta PKH terhadap PKH. Pada penelitian ini, dilihat bagaimanakah karakteristik peserta PKH, seperti karakteristik individu dan tingkat keterlibatan peserta PKH dalam kelompok PKH. Karakteristik individu ialah usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, jumlah sumber nafkah, dan tanggungan. Selanjutnya keterlibatan dalam kelompok dibagi ke dalam empat hal yaitu peranan dalam kelompok, intensitas mengikuti pertemuan kelompok, intensitas bertemu pendamping, dan intensitas interaksi antar anggota PKH dalam kelompok PKH. Di dalam penelitian ini diduga karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan dengan representasi sosial mereka. Perbedaan yang ada pada karakteristik peserta akan menyebabkan adanya perbedaan pada representasi sosial mereka (lihat Gambar 1).
Karakteristik Peserta PKH 1 2 3 4 5 6
Karakteristik Individu Usia Pendidikan formal Jenis pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan
Keterlibatan dalam kelompok 1. Peranan dalam kelompok 2. Intensitas mengikuti pertemuan kelompok 3. Intensitas bertemu petugas pendamping PKH 4. Intensitas interaksi dalam kelompok
Representasi Sosial Peserta PKH terhadap Program Keluarga Harapan
Perilaku Pemenuhan Kewajiban Peserta PKH Keterangan gambar: : hubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Selanjutnya, berdasarkan teori bahwa representasi sosial merupakan disposisi berperilaku (Campbell, 1963 dalam Bergman, 1998), dan berdasarkan
21
hasil penelitian Gunawan (2003) dan Adriana (2009) bahwa representasi sosial yang berbeda menimbulkan perilaku yang juga berbeda, maka diduga representasi sosial peserta PKH juga memiliki hubungan dengan perilaku mereka. Hipotesis terakhir pada penelitian ini ialah, perbedaan representasi sosial yang dimiliki peserta PKH cenderung akan mempengaruhi perilaku pemenuhan kewajiban mereka sebagai peserta PKH. 2.3
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa tipe representasi sosial terhadap PKH. 2. Karakteristik individu peserta PKH berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. 3. Keterlibatan peserta PKH dalam kelompok berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. 4. Representasi sosial terhadap PKH berhubungan dengan perilaku pemenuhan kewajiban peserta PKH.
2.4
Definisi Operasional
1. Karakteristik peserta PKH ialah variabel yang melekat pada diri responden sebagai peserta PKH yang dibagi menjadi karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok. I.
Karakteristik individu
a) Usia ialah jumlah tahun sejak responden lahir sampai dengan saat penelitian dilaksanakan. Pada kuesioner ditanyakan dalam bentuk pertanyaan terbuka. Namun, untuk mengetahui struktur umur peserta PKH, pada analisis dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Umur < 43 tahun (skor = 1) b. Umur 43 – 56 tahun (skor = 2) c. Umur > 56 tahun (kode = 3) b) Pendidikan formal merupakan pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh peserta PKH hingga saat penelitian, dikategorikan dengan skala ordinal menjadi:
22
a. Tidak sekolah (skor = 1) a. Pendidikan setingkat SD – Tidak tamat (skor = 2) b. Pendidikan setingkat SD – Tamat (skor = 3) c. Pendidikan setingkat SMP – Tamat (skor = 4) d. Pendidikan setingkat SMA – Tamat (skor = 5) c) Pekerjaan peserta: ialah aktivitas ekonomi peserta PKH dalam memenuhi ataupun turut membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga yang dikategorikan dengan skala nominal menjadi:
23
a. Pedagang (kode = 1) b. Buruh (kode = 2) c. Petani (kode = 3) d. Serabutan (kode = 4) e. Tidak bekerja (kode = 5)
24
d) Jumlah sumber nafkah rumah tangga ialah jumlah sumber nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jumlah sumber nafkah rumah tangga dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: b. Satu sumber nafkah (skor = 1) c. Dua sumber nafkah (skor = 2) d. Lebih dari dua sumber nafkah (skor = 3) e) Penghasilan rumah tangga merupakan estimasi rata–rata penghasilan seluruh anggota keluarga yang bekerja (dalam rupiah/bulan), dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Rp. < 350.000 (skor = 1) b. Rp. 350.000 – 500.000 (skor = 2) c. Rp. 500.100 – 650.000 (skor = 3) d. Rp. > 650.000 (skor = 4) f) Tanggungan rumah tangga merupakan jumlah anggota rumah tangga yang belum/tidak bekerja dan kebutuhannya ditanggung oleh rumah tangga. Pertanyaan ini ditanyakan dalam pertanyaan terbuka namun untuk kebutuhan analisis dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Kurang dari 2 orang (skor = 1) b. Antara 2 – 3 orang (skor = 2) c. Lebih dari 3 orang (skor = 3) II.
Keterlibatan dalam kelompok dalam penelitian tentang PKH ini dibagi menjadi:
a) Peranan dalam kelompok merupakan peranan peserta dalam kelompok peserta PKH yang dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Anggota kelompok (skor = 1) b. Ketua kelompok (skor = 2) b) Intensitas kehadiran pada pertemuan kelompok merupakan jumlah kehadiran RTSM dalam kegiatan pertemuan kelompok yang didampingi oleh petugas pendamping PKH. Pertemuan kelompok yang dimaksudkan disini ialah dalam satu tahun sebelum rancangan penelitian dibuat yaitu tahun 2009 atau empat kali pertemuan
25
kelompok.
Intensitas
kehadiran
pada
pertemuan
kelompok
pendamping
merupakan
dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Tidak pernah: 0 kali (skor = 1) b. Jarang: 1–2 kali (skor = 2) c. Sering: 3–4 kali (skor = 3) c) Intensitas
pertemuan
dengan
petugas
intensitas bertemunya RTSM dengan petugas pendamping baik pada pertemuan kelompok dan pencairan dana bantuan ataupun di luar kegiatan tersebut seperti kunjungan pra dan pasca pencairan. Intensitas pertemuan dengan petugas pendamping dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Jarang: mengikuti pertemuan kelompok kurang dari 2 kali dalam setahun dan tidak bertemu dengan petugas pendamping diluar kegiatan pertemuan kelompok. (skor = 1) b. Sedang: mengikuti pertemuan kelompok 2 – 4 kali dalam setahun dan tidak bertemu dengan petugas pendamping diluar kegiatan pertemuan kelompok. (skor = 2) c. Sering: selalu mengikuti pertemuan kelompok dan juga pernah bertemu di luar kegiatan pertemuan kelompok. (skor = 3) d) Intensitas interaksi dalam kelompok merupakan tingkat interaksi peserta PKH dengan peserta PKH lainnya dalam kelompok PKH. Akumulasi skor dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam: a. Rendah (skor = 6 – 8) b. Tinggi (skor = 9 – 12) 2. Representasi sosial terhadap PKH merupakan pandangan peserta PKH terhadap PKH yang dikumpulkan melalui asosiasi kata, yaitu dengan cara setiap responden menyebutkan (serta menjelaskan) maksimal 5 kata yang terlintas dalam pikiran mereka saat mendengar kata Program Keluarga Harapan. Kata yang memiliki keserupaan dan persamaan dikategorikan ke dalam beberapa kategori besar untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general. Selanjutnya pengolahan dilakukan dengan cara mengelompokan seluruh kata yang diperoleh langsung dari responden ke dalam kategori kata
26
yang telah ada. Setiap responden akan dilihat kepada kategori kata manakah ia memiliki representasi sosial yang lebih dominan dan kategori kata yang lebih dominan tersebut akan menjadi tipe representasi sosial mereka. Pada penelitian ini, representasi sosial terhadap PKH ialah representasi sosial utama yang akan diteliti. Namun, sebagai data pendukung juga dilihat representasi sosial peserta PKH terhadap kata Pendidikan dan Kemiskinan. Representasi sosial pendukung tersebut diperoleh dan diolah dengan cara yang sama dengan representasi sosial utama. 3. Perilaku peserta PKH merupakan bentuk pemenuhan tanggung jawab peserta PKH yang menerima bantuan komponen pendidikan yang harus dipenuhinya selama mendapatkan program bantuan. Bentuk perilaku tersebut ialah dengan mengikuti pertemuan kelompok, menyekolahkan anak usia sekolah SD/SMP, Tingkat kehadiran anak di sekolah sesuai standar, memenuhi kebutuhan pendidikan anak, serta memberikan dukungan dalam kegiatan belajar anak. a) Pertemuan kelompok telah diketahui pada bagian kuesioner keterlibatan dalam kelompok. b) Menyekolahkan anak usia sekolah SD/SMP yaitu mendaftar anak yang memenuhi persyaratan dalam PKH ke salah satu instansi pendidikan, dikategorikan dengan skala ordinal menjadi: a. Tidak (skor = 1)
b. Ya (skor = 2)
c) Tingkat kehadiran anak di sekolah sesuai standar ialah tingkat kehadiran anak di satuan pendidikan dimana ia terdaftar yang disesuaikan dengan ketentuan PKH yaitu minimal 85 persen hari tatap muka dalam sebulan selama tahun pelajaran berlangsung. Pada penelitian ini, waktu penilaian terhadap tingkat kehadiran ini ialah dua semester terakhir, dikategorikan menjadi skala ordinal: a. Tidak memenuhi standar (skor = 1) b. Memenuhi standar (skor = 2) d) Memenuhi kebutuhan pendidikan yaitu penggunaan dana PKH oleh peserta untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang bersekolah di SD/SMP. Terdapat beberapa pernyataan mengenai penggunaan uang
27
PKH yang dapat dipilih oleh responden. Delapan penggunaan tersebut digunakan langsung untuk kebutuhan pendidikan anak yang menjadi tanggungan program sedangkan sembilan penggunaan lainnya untuk penggunaan diluar kebutuhan pendidikan anak tanggungan. Pemilihan penggunaan tersebut tergantung kepada kondisi sebenarnya, sehingga setiap jawaban responden memiliki kombinasi yang berbeda. Akumulasi persentase penggunaan dana tersebut dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam: a. Rendah (skor = 133 – 166) b. Tinggi (skor = 167 – 200) e) Memberikan dukungan dalam kegiatan belajar anak ialah tindakan peserta dalam mendampingi kegiatan belajar, saat anak belajar di rumah (delapan pernyataan) maupun di sekolah (delapan pernyataan). Akumulasi skor dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam: a. Rendah (skor = 16 – 27 ) b. Sedang (skor = 28 – 38) c. Tinggi (skor = 39 – 48)
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimanakah representasi
sosial RTSM terhadap PKH, dan menganalisis hubungannya dengan karakteristik peserta PKH, serta hubungannya dengan perilaku pemenuhan kewajiban yang muncul. Penelitian ini cenderung berbentuk penelitian eksploratif-eksplanatori. Penelitian eksploratif ialah penelitian penjajagan yang dilakukan sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam, karena masih sedikitnya penelitian mengenai representasi sosial terhadap PKH. Selanjutnya penelitian eksplanatori ialah penelitian yang digunakan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesis, yaitu pada variabel karakteristik peserta, tipe representasi sosial, dan perilaku peserta PKH. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei dengan kuesioner sebagai instrumen utama. Kuesioner tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu 1) karakteristik peserta PKH yang terbagi ke dalam karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok, 2) representasi sosial terhadap PKH, kemiskinan, pendidikan, 3) serta perilaku RTSM dalam pemenuhan kewajiban sebagai peserta PKH. Selain itu, juga terdapat beberapa pertanyaan lain yang digunakan untuk memperdalam analisis dan memperkaya pembahasan. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara informan dan observasi. Hal ini digunakan untuk menggali informasi yang sifatnya lebih mendalam serta untuk memperjelas keadaan masyarakat sangat miskin yang diperoleh melalui kuesioner pada karakteristik peserta. Informasi tersebut dijadikan sebuah gambaran umum/deskripsi kondisi kehidupan RTSM peserta PKH di lokasi penelitian, serta untuk mendukung pengamatan terhadap perilaku peserta dalam pemenuhan kewajiban mereka sebagai peserta PKH.
29
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Lokasi dipilih secara purposive dengan beberapa pertimbangan. Pertama, kelurahan tersebut merupakan salah satu kelurahan yang menerima dana Program Keluarga Harapan. Kedua, merupakan pertimbangan efisiensi biaya, jarak dan waktu bagi peneliti. Selain itu, ketiga, Kelurahan Balumbang Jaya merupakan kelurahan yang memiliki jumlah RTSM terbesar dibandingkan dengan dua kelurahan yang mudah diakses lainnya (Situ Gede dan dan Marga Jaya). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai dengan bulan Desember 2010.
3.3
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Subyek dalam penelitian ini dibedakan menjadi responden dan informan.
Informan penelitian ini adalah petugas pendamping (UPPKH Bogor Barat), khususnya yang bertugas di Kelurahan Balumbang Jaya, aparat desa/kelurahan setempat, instansi pendidikan terkait, ketua kelompok, peserta PKH di lokasi dan diluar lokasi penelitian, ataupun beberapa orang responden yang memungkinkan untuk dapat memberikan informasi tambahan lainnya. Selanjutnya, responden dalam penelitian ini berasal dari peserta PKH yang mendapat bantuan komponen pendidikan di Kelurahan Balumbang Jaya. Unit analisis dari responden yang dipilih adalah unit analisis individu yaitu peserta PKH. Data sekunder mengenai peserta PKH telah didapat sebelumnya dari UPPKH Kecamatan Bogor Barat. Total keluarga penerima bantuan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya yaitu 204 RTSM yang secara garis besar dapat digolongkan kepada beberapa bagian yaitu: 1) Penerima bantuan komponen kesehatan dan komponen pendidikan yang memiliki RTSM hamil, memiliki Balita serta anak usia sekolah SD/SMP sebanyak 4 orang; 2) Penerima bantuan komponen kesehatan dan komponen pendidikan yang memiliki Balita dan anak usia sekolah SD/SMP sebanyak 85 orang; 3) Penerima bantuan komponen pendidikan yang hanya memiliki anak usia sekolah SD/SMP sebanyak 98 orang;
30
4) Penerima bantuan komponen kesehatan yang hanya memiliki Balita sebanyak 11 orang; 5) Serta peserta yang pada tahun ini tidak memiliki tanggungan yaitu sedang tidak hamil, tidak memiliki Balita, dan anak usia sekolah sebanyak 6 orang; seperti pada Gambar 2 berikut ini.
Sumber:
Diolah Penulis dari Data Peserta PKH Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 dari UPPKH Bogor Barat. Gambar 2. Peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010
Kerangka sampling dalam penelitian ini adalah peserta yang ada pada kelompok ketiga yaitu peserta yang hanya menerima bantuan pendidikan yaitu sebanyak 98 orang, yaitu peserta yang memiliki anak SMP, SD serta SMP dan SD (Lampiran 1). Pemilihan kerangka sampling difokuskan kepada penerima bantuan komponen pendidikan dengan pertimbangan peneliti ingin memberi batasan penelitian pada analisis perilaku peserta dalam memenuhi kewajiban mereka sebagai peserta PKH dan agar analisis perilaku tersebut dapat menghasilkan pembahasan yang lebih dalam dan terfokus. Responden dipilih dengan teknik random sampling yaitu dengan total responden sebanyak 50 orang.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode kuantitatif yang didukung dengan metode kualitatif. Instrumen pengumpulan data yang dipakai adalah kuesioner, wawancara informan, serta observasi. Selain itu, juga terdapat data sekunder yaitu dari UPPKH Bogor Barat dan Kantor Kelurahan Balumbang Jaya.
31
1.
Studi Literatur digunakan untuk memberikan landasan penelitian, khususnya dalam membangun teori berdasarkan penelitian–penelitian sebelumnya yang relevan mengenai keterkaitan representasi sosial dengan faktor yang mempengaruhinya serta antara representasi sosial dengan kecenderungan berperilaku.
2.
Kuesioner yang memuat pertanyaan terbuka dan tertutup ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari responden berupa faktor–faktor yang mempengaruhi pembentukan representasi sosial, representasi sosial peserta terhadap PKH, serta perilaku peserta dalam memenuhi kewajiban sebagai peserta PKH.
3.
Wawancara Informan digunakan untuk menggali informasi yang lebih mendalam dari informan, serta untuk memperjelas gambaran tentang informasi yang diperoleh melalui kuesioner.
4.
Observasi digunakan untuk mendukung pendekatan kuantitatif dalam mengetahui secara langsung beberapa aspek perilaku objek yang dapat diamati dan kondisi kehidupan RTSM tersebut, konteks wilayah, serta kondisi kehidupan sehari-hari RTSM.
3.5
Teknik Analisis Data Data primer yang diperoleh melalui kuesioner diolah menggunakan
Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0 for Windows yaitu dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang dan uji Chi Square. Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi tentang karakteristik individu responden, tingkat keterlibatan dalam kelompok, dan perilaku pemenuhan kewajiban responden. Tabulasi silang dan uji Chi Square digunakan untuk melihat hubungan antara variabel karakteristik peserta dengan representasi sosial, dan hubungan antara representasi sosial terhadap PKH dengan perilaku peserta PKH. Selain itu juga terdapat data kualitatif sebagai pendukung data kuantitatif, yang dianalisis secara kualitatif.
32
Data mengenai representasi sosial terhadap PKH (juga terhadap pendidikan dan kemiskinan) yang diperoleh melalui teknik asosiasi kata, diolah dengan teknik yang khusus. Kata yang diperoleh melalui asosiasi kata dikategorikan ke dalam beberapa kategori besar untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general. Pengategorian dilakukan dengan cara mengelompokkan kata yang memiliki keserupaan dan persamaan (kata dan makna) ke dalam beberapa kategori besar (Gambar 3, tahap 1). Selanjutnya pengolahan dilakukan dengan cara mengelompokan seluruh kata yang diperoleh langsung dari responden ke dalam kategori kata yang telah ada (Gambar 3, tahap 2). Kategori kata tersebut juga menjadi landasan untuk menetapkan tipe. Setiap responden akan dilihat kepada kategori kata manakah ia memiliki representasi sosial yang lebih dominan (Gambar 3, tahap 3). Kategori kata yang lebih dominan tersebutlah yang menjadi tipe representasi sosial mereka (Gambar 3, tahap 4). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada asosiasi kata, data yang diperoleh bukan hanya kata–kata namun juga penjelasan dari responden. Kata dan penjelasan memiliki peran yang sangat penting dalam pengelompokan ini. Penjelasan di atas seperti terlihat pada Gambar 3 berikut ini. Kata dari setiap orang responden 2 Seluruh kata dan penjelasan dari seluruh responden
Kategori kata 1
3 Kategori kata dominan 4 Tipe representasi sosial
Keterangan : Pengelompokan berdasarkan kesamaan kata dan makna Gambar 3. Alur Metode Olah Data Teknik Asosiasi Kata dalam Penentuan Tipe Representasi Sosial Setiap Individu
33
BAB IV PROGRAM KELUARGA HARAPAN2 4.1
Profil Program Keluarga Harapan PKH merupakan program penanggulangan kemiskinan yang memberikan
bantuan berupa uang tunai kepada RTSM, jika mereka memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Sumodiningrat (2009) menggolongkan PKH ke dalam klaster I, dimana program–program pada kelompok ini memberikan perlindungan sosial dan bantuan sosial kepada sasaran yang tepat dan nanti pada gilirannya diharapkan dapat mengalami peningkatan kesejahteraan dan akhirnya berhenti menjadi penerima bantuan klaster I, dan berhak dan memenuhi kriteria menjadi penerima bantuan klaster II, atau bahkan tidak termasuk ke dalam kategori miskin lagi. Berbagai pelindungan dan bantuan sosial yang diberikan pada program Klaster I seperti program yang berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin terutama untuk memenuhi kebutuhan pasokan gizi, pendidikan, dan kesehatan. Tujuan utama PKH adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada kelompok masyarakat sangat miskin. Bantuan ini membantu mengurangi beban pengeluaran RTSM jika dilihat dalam jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang, dengan mensyaratkan keluarga penerima bantuan untuk menyekolahkan anaknya, melakukan imunisasi balita, memeriksakan kandungan bagi ibu hamil dan perbaikan gizi anak, diharapkan program ini akan dapat memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2007, dan diharapkan pelaksanaannya dapat dilakukan secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015. Salah satu provinsi yang dijadikan uji coba adalah Jawa Barat pada 11 Kabupaten dengan 70 Kecamatan pada tahun 2007, dan menjadi 14 Kabupaten dan satu Kota pada tahun 2008 dengan 142 Kecamatan. Pada tahun 2007, survei untuk pemilihan peserta PKH dilakukan oleh BPS dengan data dasar yang diambil dari penerima bantuan Subsidi Langsung Tunai 2
Sebagian besar isi pada bab ini dikutip penulis dari: Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial. 2008 , Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial. 2008b, Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial. 2008c. a
34
(SLT) kategori sangat miskin dan miskin, serta data pendukung lainnya. Data yang telah tersusun kemudian disaring kembali berdasarkan syarat kepesertaan PKH, yaitu rumah tangga yang memiliki anak 0 – 15 tahun, ibu hamil atau anak 15 – 18 tahun yang belum menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Informasi yang diperoleh dari survei calon peserta tersebut digunakan untuk mengurutkan RTSM berdasarkan tingkat kemiskinannya. Agar distribusi RTSM antar kecamatan tersebar secara proporsional, digunakan model statistik yang menetapkan kuota per kecamatan. Penetapan calon peserta PKH dilakukan oleh BPS dan selanjutnya diadakan pertemuan awal yang salah satu kegiatan utamanya adalah melakukan klarifikasi data dan penandatanganan komitmen keikutsertaan calon peserta PKH. Hingga akhirnya, hasil petemuan tersebut merupakan acuan untuk menetapkan calon peserta PKH untuk menjadi peserta PKH. Besaran bantuan tunai untuk peserta PKH bervariasi tergantung jumlah anggota keluarga yang diperhitungkan dalam penerimaan bantuan, baik komponen kesehatan maupun pendidikan. Besar bantuan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi keluarga saat itu atau apabila peserta menerima sanksi pemotongan dana bantuan jika tidak dapat memenuhi syarat yang telah ditentukan. Jumlah bantuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Besar Dana PKH per RTSM per Tahun menurut Skenario Bantuan Skenario Bantuan
Bantuan per RTSM per tahun Rp. 200.000
Bantuan tetap Bantuan bagi RTSM yang memiliki: a. Anak usia di bawah 6 tahun Rp. 800.000 b. Ibu hamil/menyusui Rp. 800.000 c. Anak usia SD/MI Rp. 400.000 d. Anak usia SMP/MTs Rp. 800.000 Rata–rata bantuan per RTSM Rp. 1.390.000 Bantuan minimum per RTSM Rp. 600.000 Bantuan maksimum per RTSM Rp. 2.200.000 a Sumber: Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, 2008
Bantuan tetap yang diperoleh oleh RTSM ialah sebesar Rp. 200.000,00. Nominal bantuan bagi RTSM yang memiliki anak di bawah 6 tahun dan atau ibu hamil berhak mendapat tambahan bantuan sebesar Rp. 800.000,00. Peserta yang memiliki anak usia Sekolah Dasar berhak menerima tambahan bantuan sebesar Rp. 400.000,00. Selanjutnya, peserta yang memiliki anak usia SMP berhak mendapat tambahan bantuan sebesar Rp. 800.000,00.
35
Anggota keluarga yang menerima pembayaran uang tunai ini ialah ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan. Jika tidak ada ibu, maka pihak yang dapat menggantikan ialah nenek, tante, ataupun kakak perempuan. Oleh karena itu, yang tercatat sebagai peserta pada kartu kepesertaan PKH adalah nama ibu/wanita yang mengurus anak, dan bukan kepala rumah tangga. Peserta PKH harus menandatangani persetujuan bahwa selama mereka menerima bantuan maka mereka akan: a. Menyekolahkan anak usia 7 – 15 tahun serta anak usia 16 – 18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar. b. Membawa anak usia 0 – 6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak c. Memeriksakan kesehatan diri dan janin ke fasilitas kesehatan bagi ibu hamil. Sejak awal pelaksanaannya yaitu 2007 – 2008, bantuan tersebut dibagikan dalam tiga tahap pencairan dana dalam satu tahun. Namun sejak periode 2010, sesuai dengan keputusan UPPKH pusat pencairan dana bantuan/pembayaran kepada RTSM dilakukan dalam empat tahap dalam setahun. Sosialisasi mengenai hal tersebut telah dijelaskan oleh petugas pendamping kepada seluruh peserta PKH, sebelum dana bantuan dibagikan. Perubahan struktur dalam keluarga RTSM berpengaruh terhadap besaran bantuan yang diterimanya. Perubahan ini dapat berupa pertambahan maupun pengurangan jumlah komponen keluarga ataupun status pendidikan anak. Misalnya ibu hamil yang melahirkan, anak SD melanjutkan ke SMP, dan seterusnya. Pada program ini, terdapat sebuah unit yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan UPPKH pusat yaitu petugas pendamping PKH yang bermaksud untuk mengetahui berbagai perubahan dan kondisi RTSM. Berkenaan dengan tugas ini, petugas pendamping melakukan pengawasan terhadap perubahan yang terjadi pada RTSM ini dan melaporkannya ke UPPKH Daerah dengan menggunakan formulir Pemutahiran Data Peserta. Kewajiban peserta sudah diatur oleh UPPKH pusat dengan rinci (Lampiran 2). Hal tersebut telah diinformasikan kepada peserta PKH sejak mereka belum ditetapkan sebagai penerima bantuan. Kewajiban awal bagi seluruh calon peserta PKH ialah menghadiri undangan dari UPPKH di kelurahan terdekat. Pada
36
pertemuan tersebut segala informasi tentang PKH disosialisasikan. Selanjutnya, calon peserta diminta untuk menandatangani formulir penjanjian bahwa mereka akan memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diberitahukan selama menjadi peserta PKH. Selain itu, calon peserta juga diberitahukan mengenai beberapa kemungkinan sanksi yang akan mereka terima jika tidak memenuhi peraturan. Calon peserta PKH yang telah menandatangani surat tersebut maka akan ditetapkan menjadi penerima bantuan PKH.
4.2
Kelembagaan Program Keluarga Harapan PKH merupakan suatu kelembagaan yang terdiri dari lembaga terkait baik
di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, serta UPPKH (Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan) yang dibentuk di tingkat Pusat, Kabupaten/Kota dan Kecamatan. UPPKH pusat adalah pelaksana program yang berada di bawah kendali Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial. UPPKH pusat bertugas untuk merancang serta mengelola persiapan dan pelaksanaan program. Selain itu, UPPKH pusat juga melakukan pengawasan terhadap perkembangan di tingkat daerah dan menyediakan bantuan yang dibutuhkan. Sedangkan orang–orang yang bekerja di UPPKH pusat terdiri dari pegawai Departemen Sosial RI, tim asistensi, tenaga ahli, dan praktisi/narasumber yang ahli di bidangnya, serta tenaga pendukung berupa tenaga operator komputer dan tehnical support. UPPKH daerah adalah pelaksana program yang memantau semua kegiatan PKH di tingkat provinsi serta untuk memastikan komitmen daerah terkait dengan PKH terpenuhi. Tim koordinasi PKH di tingkat daerah terdiri dari tim koordinasi PKH provinsi dan tim koordinasi PKH kabupaten dan kota. UPPKH kabupaten/kota bertugas untuk mempersiapkan dan memenuhi tanggung jawab kabupaten/kota terhadap pelaksana PKH, serta mengelola dan mengawasi kinerja pendamping. UPPKH Kabupaten/Kota merupakan kunci untuk menyukseskan pelaksanaan PKH dan akan menjadi saluran informasi terpenting antara UPPKH kecamatan dengan UPPKH pusat serta tim koordinasi provinsi dan tim koordinasi kabupaten/kota.
37
UPPKH kabupaten/kota bertugas untuk mempersiapkan dan memenuhi tanggung jawab kabupaten/kota terhadap pelaksana PKH, serta mengelola dan mengawasi kinerja pendamping. UPPKH Kabupaten/Kota merupakan kunci untuk menyukseskan pelaksanaan PKH dan akan menjadi saluran informasi terpenting antara UPPKH kecamatan dengan UPPKH pusat serta tim koordinasi provinsi dan tim koordinasi kabupaten/kota. Adapun struktur kelembagaan PKH adalah seperti dalam Gambar 4 berikut. Departemen Sosial (Depsos)
Tim Pengendali PKH
UPPKH Pusat
Tim Pengarah Pusat
PT Pos
Pusat
Tim Teknis Pusat
Tim Koordinasi Teknis Provinsi
Dinas Sosial
Tim Koordinasi Teknis Kabupaten/Kota
UPPKH Kabupaten/Kota Kecamatan Pendamping PKH
Provinsi
Kab./Kota
Kantor Pos Kabupaten/Kota
Kantor/Petugas Pos
Sumber: Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, 2008b Gambar 4. Struktur Kelembagaan Program Keluarga Harapan
Selanjutnya, UPPKH kecamatan dibentuk pada setiap kecamatan yang terdapat peserta PKH. UPPKH kecamatan merupakan ujung tombak PKH karena unit ini akan berhubungan langsung dengan peserta PKH. Personel UPPKH kecamatan terdiri atas pendamping PKH. Dalam pelaksanaan tugas sehari–hari, UPPKH kecamatan bertanggung jawab kepada UPPKH kabupaten/kota dan berkoordinasi dengan camat. UPPKH kecamatan secara umum bertugas untuk melakukan pendampingan kepada RTSM peserta PKH. Dalam pelaksanaan PKH, terdapat tim koordinasi yang membantu kelancaran di tingkat provinsi. PT Pos bertugas untuk menyampaikan informasi
38
berupa undangan pertemuan, perubahan data, pengaduan, dan sebagainya, serta bantuan ke tangan peserta PKH. Disamping itu, ada lembaga di luar struktur, yang berperan penting dalam pelaksanaan PKH, yakni lembaga pelayanan kesehatan dan pendidikan di setiap kecamatan di mana PKH dilaksanakan.
4.3
Petugas Pendamping Program Keluarga Harapan Pendamping adalah personel UPPKH di tingkat kecamatan. Pendamping
merupakan aktor kunci yang menjembatani para peserta PKH dengan berbagai pihak yang terlibat di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Pendamping juga melakukan sosialisasi dan pengawasan terhadap peserta dalam menjalankan komitmen mereka. Jumlah pendamping disesuaikan dengan peserta PKH yang terdaftar di kecamatan. Masing–masing dari mereka akan mendampingi ± 375 RTSM peserta PKH dimana setiap 3 – 4 pendamping dikelola oleh satu koordinator. Satu orang pendamping yang menjadi koordinator ditetapkan oleh Direktur Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial RI. Pendamping
bertugas
untuk
membantu
masyarakat
miskin
agar
mendapatkan hak mereka sebagai peserta PKH dan juga memonitoring peserta PKH dalam melaksanakan kewajiban mereka. Pada dasarnya, pendamping menghabiskan sebagian besar waktunya di lapangan, yakni mengadakan pertemuan dengan ketua kelompok, berdiskusi dengan pelayan kesehatan dan pendidikan, mengunjungi pemuka daerah, serta bertemu langsung dengan peserta PKH. Tugas–tugas persiapan program yang harus dilakukan oleh pendamping, antara lain: 1.
Menyelenggarakan
pertemuan
awal
dengan
seluruh
peserta;
menginformasikan program pada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum. 2.
Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas dua puluh hingga dua puluh lima orang untuk mempermudah tugas pendampingan.
3.
Memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH.
4.
Membantu peserta dalam mengisi Formulir Klarifikasi Data, menandatangani surat persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota.
5.
Mengkordinasi kunjungan awal ke puskesmas dan pendaftaran sekolah.
39
Pendamping tidak hanya bertanggung jawab dalam fase persiapan program, tapi juga memiliki beberapa tugas rutin, seperti: 1. Menerima pemutakhiran data peserta PKH dan mengirimkan formulir pemutakhiran/validasi data ke UPPKH kabupaten/kota (Lampiran 3). 2. Menerima
pengaduan
dari
ketua
kelompok,
peserta
PKH
serta
menindaklanjuti pengaduan sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota. 3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen. 4. Melaksanakan pertemuan dengan semua peserta setiap enam bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya. 5. Berkordinasi dengan aparat setempat serta pemberi pelayanan pendidikan dan kesehatan. 6. Melakukan pertemuan bulanan dengan ketua kelompok serta pelayan kesehatan dan pendidikan di lokasi pelayanan terkait. 7. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, serta pelayan kesehatan dan pendidikan). Petugas pendamping mengatur jadwal pertemuan sesuai dengan kodisi lapang, namun biasanya pertemuan dilaksanakan minimal satu kali dalam tiga bulan. Pada pertemuan tersebut seluruh anggota kelompok wajib hadir untuk mendapatkan informasi. Selain itu, pertemuan kelompok juga merupakan sarana yang dapat digunakan oleh peserta PKH untuk menyampaikan saran, kritik serta mungkin juga pertanyaan kepada petugas pendamping. Melalui pertemuan yang dilakukan RTSM peserta PKH juga bisa mendapatkan peningkatan pemahaman mengenai
program
bantuan
yang
mereka
terima
baik
mengenai
kewajiban/komitmen mereka sebagai peserta dan juga informasi tentang PKH. Tugas petugas PKH telah diatur dalam ketentuan PKH. Namun diluar hal tersebut juga terdapat tugas lain yang mereka laksanakan walau tidak diatur dalam ketentuan. Di lokasi penelitian, baik di Kelurahan Balumbang Jaya atau pada UPPKH Bogor Barat secara umum, petugas terlihat telah melaksanakan kewajiban mereka. Pertemuan kelompok telah terlaksana rutin, begitu juga dengan pertemuan antar ketua kelompok dan validasi data. Selain itu, petugas juga selalu berkoordinasi dengan instansi terkait seperti instansi pendidikan
40
dimana anak RTSM terdaftar. Namun di luar
kewajiban tersebut, terkadang
petugas PKH juga membantu permasalahan RTSM lainnya, yang berada diluar permasalahan terkait PKH, sepeti membantu RTSM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (yang umumnya sulit untuk segera diperoleh oleh masyarakat yang tergolong miskin dengan murah atau gratis) yang harus segera diperoleh karena adanya permasalahan kesehatan serius yang dialami oleh salah satu anggota keluarga RTSM. Hal-hal di luar kewajiban yang dilakukan oleh petugas PKH dilakukan tanpa pamrih, karena di UPPKH Bogor Barat terdapat peraturan bahwa RTSM dilarang untuk memberikan uang bantuannya kepada petugas ataupun kepada pihak-pihak lainnya, karena uang tersebut harus digunakan sesuai dengan ketentuan yang ada.
4.4
Program Keluarga Harapan Komponen Pendidikan Aspek pendidikan dalam PKH ditujukan untuk meningkatkan angka
partisipasi pendidikan dasar (wajib belajar sembilan tahun) dan mengurangi angka pekerja anak. Pengalaman negara lain yang telah mengadopsi program serupa terbukti memberi dampak positif terhadap peningkatan status pendidikan serta penurunan angka pekerja anak. Kehadiran PKH pendidikan diharapkan akan merubah pola pikir kelompok masyarakat yang tidak mampu untuk berperilaku positif dalam mengoptimalkan dan memanfaatkan fasilitas di Indonesia baik lembaga pendidikan formal ataupun non formal. Persyaratan yang ditetapkan pagi peserta komponen pendidikan adalah mendaftarkan peserta didik (Enrollment) dan memenuhi jumlah kehadiran yang ditetapkan oleh program (Attendance) yang ditetapkan dalam program. Peserta PKH komponen pendidikan secara lebih terperinci adalah RTSM yang memiliki anak usia 6 – 15 atau sampai 18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. Peserta PKH yang memiliki anak dengan kemampuan terbatas seperti tuna daksa, keterbelakangan mental, keterbatasan penyerapan dan sejenisnya, memiliki hal pengecualian dalam hal usia. Semua anak dari kelompok ini yang masih mengikuti pendidikan dasar tidak dibatasi rentang usianya. Peserta PKH adalah ibu atau perempuan dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan. Hal tersebut bertujuan agar penggunaan bantuan
41
dapat lebih efektif karena diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Jika tidak ada ibu, maka pihak yang dapat menggantikan ialah nenek, tante, ataupun kakak perempuan (Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, 2008a). Pada kenyataannya, terdapat beberapa kasus yang tidak sesuai dengan ketentuan PKH tersebut. Salah satu contoh ialah adanya peserta PKH laki-laki atau berstatus bapak dalam rumah tangga. Hal tersebut terjadi karena dalam sebuah rumah tangga tidak ada anggota rumah tangga perempuan dewasa yang dapat mengurus rumah tangga. Berikut kutipan dari seorang responden laki–laki tersebut. “Saya sudah bercerai dengan istri saya beberapa tahun lalu. Jadi yang sekarang ngurus anak–anak, ya saya. Uang PKH saya yang terima. Informasi pertemuan kelompok dan pencairan biasanya langsung saya terima dari ketua kelompok.“ (SH, 42 tahun) Menurut ketentuan, pengambilan dana bantuan dilakukan langsung oleh peserta PKH yang namanya telah tercantum pada kartu peserta. Namun pada kondisi tertentu, terkadang peserta PKH tidak dapat hadir secara langsung dalam pengambilan bantuan disebabkan kondisi yang kurang memungkinkan seperti sedang sakit keras ataupun sehabis melahirkan. Hal ini adalah pengecualian, dimana pengambilan bantuan dapat diwakilkan kepada pihak lain yang umumnya masih anggota keluarga. Namun dalam kondisi ini terdapat sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi. Sebelum dana bantuan diserahkan kepada perwakilan, peserta PKH membuat sebuah surat kuasa pengambilan dana. Surat kuasa diperlihatkan
kepada
petugas
pendamping
yang
mendampingi
peserta
bersangkutan sebelum perwakilan mengikuti antrian penerimaan dana bantuan. Pengambilan bantuan dapat dilakukan oleh perwakilan setelah surat perwakilan dinyatakan sah sebagai bukti pengambilan dana. Perwakilan juga diharuskan memperlihatkan KTP asli kepada petugas pendamping. Selain itu, terkadang informasi pendukung juga langsung disampaikan oleh ketua kelompok yang mengetahui kondisi riil peserta saat itu. Pengawasan ketat seperti penjelasan di atas dilakukan saat pencairan dana berlangsung untuk mencegah terjadinya penyimpangan saat distribusi dana. Kondisi pengecualian lainnya dimana bukan peserta yang secara langsung mengambil bantuan PKH ialah, jika ada peserta yang meninggal selama menerima bantuan PKH maka ia tetap menjadi anggota selama anaknya masih memenuhi
42
syarat menerima bantuan, namun keanggotaannya diwakilkan kepada anak yang telah dewasa ataupun kepada suami. Berikut adalah kutipan dari seorang informan yang menggantikan ibunya mengambil dana PKH. “Ibu saya udah meninggal beberapa bulan lalu, jadi sekarang saya yang ngambilin uangnya buat adik. Saya ikut ngambil uangnya ke Semeru [kantor POS tempat pencairan dana PKH dilakukan]. Tapi saya ga pernah ikut pertemuan karena ga pernah diundang sama ketua kelompok. Saya cuma dikasih tau bibi [yang juga dapat uang bantuan]... Soal penggunaan uangnya saya engga ikut campur. Adik ngasih sebagian uang untuk beli beras, sisanya dia pake untuk kebutuhannya.” (DL, 21 tahun) Apabila telah memenuhi kewajibannya, RSTM yang terpilih sebagai peserta PKH berhak memperoleh bantuan uang tunai. Bantuan tunai akan dibayarkan kepada peserta setiap tiga bulan melalui kantor pos terdekat. Bantuan tunai tahap I diberikan kepada peserta PKH bila telah menghadiri pertemuan awal yang dikoordinasi oleh UPPKH kecamatan dan anak–anak dari RTSM peserta PKH sudah terdaftar di lembaga pendidikan tertentu. Dana triwulan berikutnya akan dibayarkan jika anak–anak dari keluarga peserta PKH sudah memenuhi komitmen pendidikan, yakni 85 persen kehadiran di kelas/kelompok belajar. Bukti bahwa anak–anak peserta PKH telah memenuhi komitmen pendidikan diperoleh dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh tenaga pendidik (guru/tutor) dan diketahui oleh kepala sekolah/kepala penyelenggara satuan pendidikan. Pada PKH terdapat sebuah ketentuan dimana peserta akan mendapatkan sanksi jika tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya jika anak peserta PKH tidak memenuhi standar kehadiran 85 persen total tatap muka, maka RTSM tersebut dapat dikenakan sanksi. Petugas memiliki hak dan kewajiban dalam melaporkan kasus tersebut kepada UPPKH Kabupaten/Kota. Sementara itu, petugas juga memberikan peringatan langsung kepada RTSM. Dalam kasus ini, pendamping tidak dapat mencabut bentuk sanksi apapun yang telah diberikan, namun perannya sangat penting dalam mengingatkan dan membantu peserta agar tetap konsisten memenuhi komitmennya. Di dalam kenyataannya, sanksi tersebut baru mulai diberlakukan sejak tahun 2010.
43
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1
Kondisi Geografis Kelurahan Balumbang Jaya merupakan kelurahan yang berada dalam
wilayah administratif Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa barat. Secara geografis, Balumbang Jaya terletak pada 106,48o BT dan 60,36o LS. Suhu rata– rata harian 28 0C dan terletak sekitar 160 meter di atas permukaan laut. Curah hujannya sebanyak 2.5 mm3 dengan 3 bulan penghujan. Kelurahan Balumbang Jaya tergolong pada wilayah dataran rendah, dengan sebagian besar jenis tanahnya ialah tanah hitam. Kelurahan ini memiliki luas total 123,373 Ha yang meliputi 12 RW dan 38 RT. Batas wilayah Kelurahan Balumbang Jaya adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Margajaya. 3. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Babakan. 4. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Bubulak. Kantor Kelurahan Balumbang Jaya terletak di RW 4 yang letaknya cukup strategis karena berada di tengah wilayah Balumbang Jaya dengan akses jalan yang cukup baik. Namun alat trasportasi yang dapat digunakan cukup terbatas. Belum ada angkutan umum yang beroperasi di daerah ini. Umumnya masyarakat berjalan kaki, menggunakan motor, ataupun ojeg. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor jarak kantor Kelurahan Balumbang Jaya ke ibu kota kecamatan ialah 6 km dengan jarak tempuh 30 menit, ke Kota Bogor berjarak 12 km dengan jarak tempuh 1 jam, dan ke Provinsi Jawa Barat berjarak 120 km dengan jarak tempuh 5 jam. Kelurahan Balumbang Jaya memiliki areal yang sebagian besar dimanfaatkan untuk lahan permukiman. Penggunaan lahan sebagai lahan pemukiman mencapai 82 Ha (79 persen). Hal ini menandakan kepadatan penduduk yang relatif tinggi baik dari pertumbuhan penduduk secara alami ataupun karena adanya pendatang. Wilayah Balumbang Jaya berdekatan dengan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga, sehingga banyak mahasiswa dan pendatang lainnya yang menetap di wilayah ini.
44
Seperti hal nya kondisi yang terjadi di wilayah perkotaan lainnya, dalam beberapa tahun terakhir, lahan di wilayah ini banyak yang beralih fungsi menjadi pemukiman. Pemanfaatan untuk pertanian hanya seluas 18,5 Ha (17,85 persen). Jumlah ini dapat terus berkurang seiring dengan pembangunan perumahan dan fasilitas umum lainnya. Menurut data monografi, pertanian tanaman pangan hanya ditekuni oleh 15 orang warga yang masing–masing hanya memiliki kurang dari 1 Ha lahan pertanian. Sektor peternakan ditekuni oleh 12 orang dengan jenis ternak kerbau, ayam broiler, bebek, dan kambing. Jumlah tersebut cukup kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai 11. 171 orang (lihat Tabel 4). Tabel 4. Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kelurahan Balumbang Jaya Penggunaan Lahan
Luas Penggunaan Lahan Persentase luas (Ha) penggunaan lahan (%) Pemukiman 82,277 79,02 Persawahan 18,596 17,85 Lahan kuburan 3 2,88 Perkantoran 0,250 0,24 Total 104,123 100 Sumber: Diolah oleh penulis dari Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya 2008
Pada Tabel 4, terlihat bahwa pemanfaatan lahan lainnya ialah untuk lahan kuburan seluas 3 Ha (2,88 persen) dan lahan perkantoran seluas 0,250 Ha (0,24 persen). Selain itu, dari hasil observasi juga terlihat beberapa sekolah, mesjid, lapangan bermain/olahraga, tempat pembuangan sampah, dan jalan. Namun tidak terdapat data lebih lengkap mengenai berapa luas lahan yang dimanfaatkan untuk fasilitas tersebut. Fasilitas jalan di Kelurahan Balumbang Jaya telah di aspal, dan pada beberapa lokasi telah mengalami perbaikan kembali. Namun pada beberapa titik, fasilitas jalan di kelurahan ini mengalami kerusakan dan berlubang. Namun secara umum, hingga saat ini dapat dikatakan sebagian besar jalan di Kelurahan Balumbang Jaya berada dalam kondisi yang cukup baik dan telah mendukung berbagai aktivitas masyarakat. Kondisi rumah–rumah penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya cukup beragam. Hal tersebut disebabkan oleh penduduk yang tinggal di lokasi ini memiliki karakteristik yang juga beragam. Selain penduduk asli, banyak sekali
45
pendatang seperti masyarakat umum dan mahasiswa yang berdomisili di daerah ini. Jenis bangunan pemukiman penduduk dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar tipe pemukiman, yaitu pemukiman yang rapi dan tertata dan pemukiman yang padat kurang tertata. Umumnya, rumah dan bangunan yang berada di tepi jalan terlihat cukup rapi dan tertata. Banyak dari bangunan tersebut berupa bangunan baru dan hasil renovasi yang diperuntukkan sebagai rumah kontrakan, kost, toko atau warung yang terkadang juga disertai rumah tinggal. Kondisi yang berbeda akan terlihat jika memasuki gang yang banyak di kiri dan kanan jalan. Sebagian besar rumah warga dibangun mengelompok, rapat dan cenderung tanpa penataan ruang. Antar rumah satu dan rumah lainnya hanya dipisahkan oleh gang yang sempit dan terkadang berliku–liku dengan jarak antar rumah warga cukup rapat. Namun disamping hal tersebut, masih banyak tanah kosong yang dipergunakan sebagai kebun ataupun sawah di sekitar kelompok rumah tersebut. Walaupun rumah– rumah dalam kondisi tanpa penataan, jalan dan gang–gang tersebut dapat dikatakan bersih. Melalui data monografi dapat diketahui bahwa sumber daya air bersih yang umumnya dimanfaatkan warga ialah sumur gali yang dimiliki oleh 1.372 KK, sumur pompa yang dimiliki oleh 219 KK, serta 8 unit mata air yang dimanfaatkan oleh 756 KK. Selain itu, juga terdapat 8 KK yang menggunakan jasa PAM, dan 1 KK menggunakan depot isi ulang. Kondisi seluruh sumber daya air tersebut baik, tidak berbau, tidak berwarna, serta tidak berasa. Tidak sama hal nya dengan kondisi sungai. Di Balumbang Jaya terdapat 2 buah sungai yang kondisinya kurang baik. Air pada kedua sungai tersebut terlihat keruh dan tidak memenuhi standar mutu air minum. Terdapat 1 KK yang menggunakan air sungai sebagai sumber kebutuhan airnya. Melalui hasil wawancara dan pengamatan langsung, ternyata air sungai masih banyak digunakan warga. Namun penggunaan air sungai tersebut umumnya hanya sebatas untuk mencuci bagi para buruh cuci. Pada beberapa lokasi, diakui warga bahwa kondisi air sumur galian terkadang tidak selalu bagus. Lokasi perumahan yang dekat dengan sawah atau merupakan bekas sawah, menyebabkan kondisi air sumur yang kurang baik jika digunakan untuk mencuci pakaian.
46
Sebagian besar ibu rumah tangga (khususnya responden) yang menjadi buruh cuci lebih memilih mencuci di sungai karena kondisi air lebih dianggap cocok dan melalui hasil pengamatan terlihat bahwa pekerjaan mereka menjadi lebih mudah karena tidak membutuhkan usaha tambahan untuk memompa air seperti hal nya jika menggunakan air sumur galian. Pada bagian tepi sungai tempat para ibu–ibu biasa mencuci telah dibuat semacam undakan beton oleh sebuah pihak pengembang perumahan yang berada di dekat lokasi tersebut sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih mudah dilakukan. Pemanfaatan sungai tidak hanya sebatas penggunaan air. Aliran sungai di kelurahan ini membawa material pasir, dan jika dikumpulkan oleh warga akan memberi pendapatan tambahan. Pekerjaan sebagai pengambil pasir dijadikan sebagai pekerjaan sampingan oleh warga dan umumnya ditekuni oleh laki–laki dewasa. Memang tidak disetiap waktu warga dapat mengumpulkan pasir tersebut, namun jika aliran sungai deras dan banyak mengandung pasir dan kerikil maka mereka akan mendapat pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan pendapatan tambahan yang cukup besar. Disamping itu, beberapa warga juga menggunakan air sungai untuk mengairi kolam ikan mereka. Selain pemanfaatan yang dapat digolongkan sebagai hal yang positif, sungai juga dimanfaatkan untuk hal yang kurang bijaksana. Pada beberapa lokasi warga menggunakan tepian sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Tidak jarang sampah–sampah tersebut terbawa aliran air dan mengotori sungai. Namun tampaknya kondisi tersebut belum menjadi sebuah permasalahan bagi warga sekitar karena kondisi tersebut hanya menjadi pembicaraan selayaknya hal yang biasa tanpa dipermasalahkan lebih lanjut.
5.2
Kondisi Demografi Total penduduk Kelurahan Balumbang Jaya sampai akhir bulan Desember
tahun 2008 tercatat sebanyak 11.159 jiwa dengan proporsi jumlah penduduk laki– laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan, namun jumlahnya cukup berimbang. Penduduk laki–laki sebanyak 5.825 jiwa dan perempuan sebanyak 5.334 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.988 KK.
47
Secara umur, struktur penduduk tergolong muda dan mayoritas penduduk berada pada usia produktif (15 – 54 tahun). Melalui Tabel 5 dapat diketahui bahwa umur penduduk produktif tertinggi berada pada 25 tahun hingga 34 tahun. Selanjutnya kelompok umur 15 – 19, kelompok umur 20 – 24 dan kelompok umur 35 – 39 melebihi 8 persen. Namun jumlah penduduk berumur 40 – 54 mulai mengalami penurunan jumlah. Penduduk usia nonproduktif yaitu penduduk usia muda dan penduduk usia tua memiliki persentase yang cukup kecil dibandingkan dengan penduduk usia produktif (Tabel 5). Tabel 5.
Jumlah dan Persentase Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya berdasarkan Umur secara Umum dan dipilah berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk Kelompok Umur Laki–laki % Perempuan % Laki–laki dan % (tahun) perempuan 00–04 328 5,63 323 6,06 651 5,83 05–09 485 8,33 495 9,28 980 8,78 10–14 543 9,32 485 9,09 1028 9,21 15–19 503 8,64 445 8,34 948 8,50 20–24 497 8,53 504 9,45 1001 8,97 25–29 705 12,10 609 11,42 1434 11,78 30–34 699 12,00 583 10,93 1282 11,49 35–39 534 9,17 461 8,64 995 8,92 40–44 441 7,57 372 6,97 813 7,29 45–49 304 5,22 266 4,99 570 5,11 50–54 256 4,39 244 4,57 500 4,48 55–59 183 3,14 157 2,94 340 3,05 60–64 119 2,04 123 2,43 242 2,17 65–69 94 1,61 104 1,95 198 1,77 70–74 109 1,87 139 2,61 248 2,22 75–>75 25 0,43 24 0,45 49 0,44 Total 5.825 100 5.334 100 11.159 100 Sumber: Diolah oleh penulis dari Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya
2008. Hampir separuh dari masyarakat Balumbang Jaya telah menamatkan pendidikan dasar mereka, yaitu 3.888 jiwa. Jika dibandingkan dengan penduduk usia yang berusia sekolah dasar yang hanya ada sekitar 1.000 hingga 2.000 orang, maka diduga sebagian besar penduduk berpendidikan SD ini adalah penduduk yang hanya menamatkan pendidikan dasar mereka dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
48
Pendidikan dasar di kelurahan ini ditunjang dengan tersedianya 3 buah sekolah dasar yang terletak di dua lokasi, yaitu RW 4 (SD Negeri 3 Balumbang Jaya) dan RW 6 (SD Negeri 1 dan SD Negeri 2 Balumbang Jaya). Selain itu juga terdapat sekolah dasar di Kelurahan Dramaga (SD Negeri 4 Dramaga) yang letaknya cukup dekat dengan pemukiman penduduk Balumbang Jaya. Dapat disimpulkan, fasilitas sekolah dasar cukup mudah untuk diakses warga Balumbang Jaya. Selanjutnya sebanyak 1.624 orang (20,74 persen) telah menamatkan pendidikan SMP/sederajat, dan sebanyak 2.320 orang (29,62 persen) telah menamatkan pendidikan SMA/sederajat. Persentase penduduk yang menempuh pendidikan menengah tersebut cenderung kecil jika dibandingkan dengan sekolah dasar. Hal ini dapat disebabkan oleh kendala ekonomi atau budaya yang ada dalam masyarakat. Kendala ekonomi misalnya kekurangmampuan dalam memenuhi tuntutan biaya pendidikan, sedangkan kendala lainnya ialah budaya masyarakat yang belum menganggap pendidikan sebagai hal yang penting untuk diperjuangkan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas sekolah menengah cukup terbatas yaitu hanya ada satu buah sekolah, dan untuk fasilitas sekolah menengah atas tidak terdapat satu sekolah pun. Fasilitas sekolah menengah terdekat ada di Kelurahan Dramaga, ataupun di kelurahan lainnya di Bogor Barat, dapat ditempuh dengan angkutan umum yang cukup banyak tersedia, menggunakan motor ataupun hanya dengan berjalan kaki. Tabel 6 berisi informasi mengenai tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya yang juga dipilah berdasarkan jenis kelamin. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Balumbang Jaya berdasarkan Tingkat Pendidikan dan dipilah berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Penduduk Tingkat Pendidikan Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Total
Laki–laki (jiwa) 1.696 939 1.418 4.053
% 41,85 23,17 34,99 100
Perempuan (jiwa) 2.192 685 902 3.779
% 58,00 18,13 23,87 100
Laki–laki dan perempuan (jiwa)
3.888 1.624 2.320 7.832
% 49,64 20,74 29,62 100
Sumber: Diolah oleh penulis dari Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya 2008.
Pada Tabel 6 di atas, berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk laki– laki dan perempuan yang dapat menikmati fasilitas pendidikan cukup berimbang.
49
Jumlah penduduk laki–laki memang terlihat lebih besar (4.053 orang) dibandingkan penduduk perempuan (3.779), namun hal tersebut memang sudah sepantasnya terjadi karena jumlah penduduk laki–laki secara keseluruhan pun memang lebih besar, yaitu berselisih hampir 500 orang dengan penduduk perempuan. Selanjutnya, jika dibandingkan antara jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin (Tabel 5) dengan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan (Tabel 6) maka akan didapat persentase penduduk yang mengakses pendidikan antara kelompok penduduk perempuan dan penduduk laki–laki juga cukup berimbang, hanya berbeda sekitar satu persen. Sebagian besar masyarakat mempunyai pekerjaan sebagai karyawan swasta, jumlah tersebut mencapai 899 orang (68,84 persen). Selanjutnya, hampir 20 persen masyarakat memiliki pekerjaan di bidang formal (PNS/TNI/POLRI) atau pensiunan. Sisanya ialah pada sektor informal seperti pedagang keliling dan montir (Tabel 7). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Balumbang Jaya berdasarkan Mata Pencaharian yang dipilah berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah Penduduk Jenis pekerjaan
Laki–Laki (jiwa)
%
Perempuan (jiwa)
%
PNS 127 11,82 38 16,38 Pedagang keliling 145 13,50 13 5,60 Montir 9 0,84 0 0,00 TNI/POLRI 18 1,68 1 0,43 Pensiunan 42 3,91 14 6,03 TNI/POLRI/PNS Karyawan swasta 733 68,25 166 71,55 Total 1074 100 232 100 Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2008
Laki–laki dan Perempuan (jiwa) 165 158 9 19 56
12,63 12,10 0,69 1,45 4,29
899 1306
68,84 100
%
Pada Tabel 7, terlihat bahwa tidak ada satu pun masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Hal ini mungkin disebabkan oleh besarnya alih fungsi lahan menjadi bangunan seperti rumah, kontrakan atau rumah kos, ataupun karena lahan pertanian yang masih ada telah dibeli oleh pihak lain dan bukan dimiliki lagi oleh masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya. Beberapa petak lahan yang cukup luas telah dibeli oleh pihak IPB dan dijadikan sebagai lahan pertanian percobaan. Melalui wawancara juga diketahui bahwa sejumlah lahan pertanian lainnya seperti
50
sawah telah dibeli warga atau pihak luar kelurahan, dan warga asli hanya menjadi buruh atau petani penggarap. Berikut adalah kutipan dari seorang informan mengenai profesi masyarakat di sekitarnya, khususnya RW12. “Disini (RW 12) kebanyakan bapak–bapaknya hanya kuli neng, kalau ga kuli sawah, kuli bangunan, ya kuli pasir. Tapi kuli sawah cuma dikit, mungkin cuma belasan orang. Orang–orangnya dipilih banget sama pihak IPB yang punya sawah. Selebihnya jadi kuli bangunan, tapi kalau lagi ga ada panggilan (kerja) lebih seringnya pada nyari pasir di sungai, tapi Alhamdulillah hasilnya lumayan.” (M, 29 tahun) 5. 3
Aktivitas Masyarakat Saat pagi hari, aktivitas ekonomi warga mulai berlangsung. Melalui hasil
wawancara diketahui bahwa sejak pukul 05.00 atau setelah menunaikan kewajiban shalat shubuh, para ibu–ibu yang menjadi bibi cuci telah mulai mengerjakan pekerjaan mereka yaitu mencuci di tepi sungai. Hingga pukul 09.00 secara silih berganti mereka memanfaatkan air sungai untuk mencuci. Pemilihan waktu bekerja terkadang disesuaikan dengan keadaan dan kesibukan mereka. Jika ada ibu yang harus mengurus anak mereka yang masih kecil atau harus mengantarkan anak ke sekolah, maka mereka akan mencuci, setelah mengurus keperluan anaknya tersebut. Ada juga ibu yang harus menjemput dahulu pakaian kotor setiap pagi karena sistem perjanjian yang dibuat seperti demikian. Upah yang diterima tergantung kesepakatan yang telah mereka buat. Umumnya pendapatan mereka berkisar antara Rp. 40.000,00 hingga Rp. 50.000,00 untuk satu orang pelanggan, atau hingga ratusan ribu jika pelanggan ialah sebuah keluarga. Satu orang ibu yang menjadi bibi cuci bisa mendapatkan satu hingga lima orang pelanggan. Para pelanggan umumnya adalah warga pendatang yang berdomisili di sekitar perumahan warga asli ataupun di kompleks dan asrama mahasiswa. Kegiatan warga lainnya ialah adanya pengajian yang dilakukan di mesjid. Lokasi pengajian tersebut berpindah–pindah ke setiap mesjid yang ada di Kelurahan Balumbang Jaya. Mayoritas penduduk yang mengikuti pengajian ialah ibu–ibu yang sudah berumur tua. Sangat jarangnya ibu–ibu muda yang terlibat
51
diduga disebabkan oleh kesibukan dalam mengurus keluarga atau karena aktivitas bekerja. Pada beberapa lokasi, terdapat semacam penarikan uang iuran yang dilakukan petugas RT/RW setempat. Iuran tersebut ialah pengumpulan dana suka rela yang akan digunakan untuk membantu warga yang terkena musibah ataupun para janda dan anak yatim. Besaran uang iuran tersebut tidak ditentukan secara pasti namun rutin dikumpulkan setiap bulannya. Dalam memenuhi kebutuhan dapur, ibu–ibu hanya membeli di warung, tukang sayur keliling atau lapak yang menjual kebutuhan dapur. Bagi mereka, walaupun harga sedikit lebih mahal jika dibandingkan membeli langsung di pasar ataupun jenis bahan makanan lebih terbatas, hal tersebut tidak menjadi masalah karena mereka tidak harus mengeluarkan uang tambahan untuk ongkos angkutan umum untuk menuju pasar terdekat. Berikut ungkapan dari seorang responden: Kalo ibu beli lauk sama sayur disini aja neng, ga usah ke pasar. Walaupun lebih mahal dan ga banyak pilihannya tapi kan ga harus keluar ongkos. Lumayan kan bisa ngirit delapan ribu. Di sini ada warung padang (sebutan sebuah warung kelontong) sama tukang sayur keliling. Beli nya juga dikit–dikit. Kalo pagi mah biasanya makan gorengan aja, tapi kalo lagi ada, ya kadang bikin nasi goreng (E, 43 tahun).
52
BAB VI PESERTA PROGRAM KELUARGA HARAPAN 6.1
Karakteristik Individu Penerima bantuan PKH ialah kelompok masyarakat yang tergolong kepada
RTSM dan terpilih melalui mekanisme khusus (lihat selengkapnya pada bab IV). Pada penelitian ini, peserta PKH yang menjadi responden ialah penerima bantuan yang berada di Kelurahan Balumbang Jaya, sebanyak 50 orang. Karakteristik mereka cenderung serupa karena mereka merupakan masyarakat yang tergolong pada kelompok yang sama yaitu kelompok masyarakat sangat miskin yang bermukim di lokasi yang cenderung berkonteks wilayah yang sama. Namun, untuk mengetahui gambaran umum mengenai karakteristik responden tersebut dapat dilihat dari aspek usia, pendidikan, pekerjaan, jumlah sumber nafkah, penghasilan, dan tanggungan, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Individu (n=50)
Karakteristik Individu Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Jumlah sumber nafkah
Penghasilan
Tanggungan
Uraian Kurang dari 43 tahun Antara 43 –56 tahun Lebih dari 56 tahun Total Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total Pedagang Buruh Petani Serabutan Tidak bekerja Total Satu sumber nafkah Dua sumber nafkah Lebih dari dua sumber nafkah Total Rp. < 350.000 Rp. 350.000 – 500.000 Rp. 500.100 – 650.000 Rp. > 650.000 Total Kurang dari 2 orang Antara 2 sampai 3 orang Lebih dari 3 orang Total
n (orang) 20 27 3 50 3 16 26 4 1 50 4 30 1 3 12 50 10 30 10 50 5 21 15 9 50 13 33 4 50
n (%) 40 54 6 100 6 32 52 8 2 100 8 60 2 6 24 100 20 60 20 100 10 42 30 18 100 26 66 8 100
53
6.1.1 Usia Peserta PKH Secara umum, jika dilihat dari aspek usia, seluruh responden (sebagai peserta PKH) telah sesuai dengan penetapan fokus bantuan penanggulangan kemiskinan.
Umumnya,
umur
dapat
dikelompokkan
ke
dalam
tiga
pengelompokan yaitu kelompok umum 0 – 15 tahun, 15 – 55 tahun, dan lebih dari 55 tahun. Dari ketiga kelompok tersebut, kelompok umur 15 – 55 (atau juga disebut kelompok umur produktif), lebih diutamakan sebagai penerima bantuan program penanggulangan kemiskinan (Sumodiningrat, 2009). Lebih dari separuh responden (54 persen) ialah kelompok masyarakat yang berada pada usia 43 – 56 tahun. Selanjutnya ialah yang berada pada umur kurang dari 43 tahun (40 persen). Hanya 6 persen responden yang tergolong pada kelompok umur lebih dari 56 tahun. Gambar 5 adalah sebaran umur responden di Kelurahan Balumbang Jaya.
Usia 54% 40% 6% Kurang dari 43 tahun
Antara 43–56 tahun
Lebih dari 56 tahun
Gambar 5. Sebaran Umur Responden
6.1.2 Tingkat Pendidikan Peserta PKH Terkait dengan tingkat pendidikan, sebagian besar dari responden hanya mengecap pendidikan hingga menamatkan pendidikan sekolah dasar (52 persen) dan tidak tamat SD (32 persen) bahkan 6 persen dari responden mengaku tidak pernah sekolah. Selanjutnya sebesar 8 persen responden telah menamatkan SMP, dan hanya 2 persen responden yang menamatkan pendidikan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar peserta PKH memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah dan kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Roosgandha dan Darwis (2000) bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong miskin
cenderung rendah. Tergolong rendahnya tingkat pendidikan peserta PKH, memang tidak dapat dipungkiri mempunyai kaitan dengan kemampuan ekonomi orang tua
54
mereka yang dahulu juga tergolong kepada kelompok kurang mampu, dan pandangan mereka yang belum menganggap pendidikan formal minimal 9 tahun itu adalah hal yang penting. Berikut kutipan dari seorang responden terkait lemahnya kemampuan ekonomi orang tua yang menyebabkannya putus sekolah. “Saya inget waktu dulu saya sekolah neng, enak banget. Bisa belajar dan bermain sama teman. Waktu lulus SMP, sebenernya saya ingin banget ngelanjutin ke SMA. Saya juga cukup pintar dan mampu belajar hingga SMA. Tapi orang tua saya tidak mampu (miskin). Akhirnya begini, saya cuma lulus SMP. Padahal sekarang ijazah SMP itu ga ada harganya, susah cari kerja.” (U, 37 tahun) Selain karena faktor ekonomi, terkadang tingkat pendidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial masyarakat. Kebanyakan masyarakat di lingkungan responden masih menganggap berpendidikan hingga SD itu merupakan hal yang lazim. Berikut kutipan dari seorang anak responden yang tidak lulus SD mengenai pandangannya terhadap pendidikan. “Saya cuma sekolah sampai SD teh. Dulu cuma sampai kelas lima, habis itu ga dilanjutin lagi. Di sini emang yang kayak begini ini (masalah pendidikan) kurang diurusin, teh. Sekarang saya ga ngapa–ngapain, kerja juga engga, di rumah aja.” (D, 18 tahun) Gambar
6
menunjukkan
sebaran
responden
berdasarkan
tingkat
pendidikan mereka. Pendidikan 52% 32% 8%
6% Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
2% Tamat SMA
Gambar 6. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
6.1.3 Pekerjaan Peserta PKH Kelompok pekerjaan buruh mendominasi pada jenis pekerjaan yang ditekuni responden (60 persen). Buruh yang dimaksudkan disini ialah buruh cuci, buruh tani, pembantu rumah tangga, dan pekerja kebersihan IPB. Namun, sebagian besar dari mereka ialah buruh cuci di lingkungan asrama IPB ataupun di
55
kontrakan dan kost mahasiswa. Pekerjaan tersebut relatif mudah didapatkan mengingat pelanggan jasa buruh cuci cukup besar seperti mahasiswa atau pendatang lainnya, serta pekerjaan sebagai buruh cuci tidak menyaratkan calon pekerjanya untuk memiliki keterampilan dan pendidikan khusus. Seorang “bibi cuci”, sebutan bagi buruh cuci di lingkungan IPB, bisa mendapatkan satu ataupun lebih dari satu pelanggan setiap bulannya. Pendapatan mereka tergantung dari jumlah pelanggan namun biasanya berkisar antara Rp. 50.000,00 hingga Rp. 500.000,00 per bulan. Responden yang tidak bekerja menempati urutan kedua terbesar (24 persen). Biasanya mereka tidak bekerja karena memang telah tua dan tidak sanggup bekerja, atau tidak bekerja karena mengurus keluarga dan menjadi ibu rumah tangga. Selanjutnya ialah kelompok pedagang (8 persen) yaitu berdagang kecil–kecilan seperti membuka warung di rumah atau membantu suami yang juga berdagang. Sebesar 6 persen responden tidak memiliki pekerjaan tetap, dan dua persen responden menjadi petani penggarap, membantu suami mereka. Dapat disimpulkan bahwa umumnya peserta PKH menekuni pekerjaan di sektor non formal dan berpenghasilan relatif kecil, dan sebagian besar lainnya tidak bekerja. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan mereka yang juga rendah. Gambar 7 menunjukkan sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan yang mereka tekuni.
60%
Pekerjaan
24% 8% Pedagang
Buruh
2%
6%
Petani
Serabutan
Tidak bekerja
Gambar 7. Sebaran Pekerjaan Responden
6.1.4 Sumber Nafkah Rumah Tangga Peserta PKH Sumber nafkah rumah tangga yang dimaksudkan disini ialah semua aktivitas yang dilakukan oleh anggota keluarga seperti suami, istri dan anak dalam menghasilkan sesuatu hal yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.
56
Rumah tangga responden dibedakan menjadi rumah tangga yang memiliki satu sumber nafkah, dua sumber nafkah, dan lebih dari dua sumber nafkah. Anggota keluarga yang umumnya bekerja ialah suami atau isteri sebagai orang tua. Namun, pada masyarakat miskin terkadang anak, baik sudah tergolong dewasa ataupun masih di bawah umur, juga telah bekerja dan memberikan sedikit penghasilannya untuk membantu meringankan beban orang tua. Sebagian besar rumah tangga responden memiliki dua sumber nafkah (60 persen). Hanya sebagian kecil yang memiliki satu sumber nafkah atau lebih dari dua sumber nafkah sekaligus (masing-masing kategori 20 persen), seperti terlihat pada Gambar 8.
Jumlah sumber nafkah 60% 20%
Satu sumber nafkah
20%
Dua sumber nafkah
Lebih dari dua sumber nafkah
Gambar 8. Sebaran Jumlah Sumber Nafkah Rumah Tangga Responden
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sumber nafkah rumah tangga berasal dari seluruh anggota rumah tangga. Oleh karena itu, disamping membahas jenis pekerjaan responden pada bagian sebelumnya, menarik juga untuk diketahui jenis pekerjaan yang ditekuni oleh suami responden. Pada umumnya pekerjaan suami responden ialah sebagai buruh. Profesi buruh yang dimaksudkan disini ialah buruh bangunan, buruh pabrik, buruh tani dan karyawan lepas. Sebagian besar suami responden pada kelompok ini ialah buruh bangunan. Namun pekerjaan sebagai buruh bangunan ini, tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka karena penghasilan yang mereka dapat tergantung kepada ada atau tidaknya panggilan kerja. Berikut adalah kutipan wawancara dengan seorang responden: “Uang yang didapat dari kuli ga terlalu bisa diharapin, paling dalam setahun Bapak cuma dapat paling banyak 3 kali panggilan kerja. Uangnya sekedarnya. Untung ibu ada kerjaan, jadi uang buat makan bisa dari ibu.” (NM, 35 tahun)
57
Hal lain yang dapat diketahui dari hasil wawancara ialah ternyata pekerja buruh bangunan juga memiliki pekerjaan lainnya jika sedang tidak mendapatkan panggilan kerja. Beberapa bulan waktu luang yang mereka miliki saat tidak mendapatkan panggilan kerja sebagai buruh bangunan akan dimanfaatkan untuk mengerjakan pekerjaan lain. Pekerjaan tersebut seperti mencari pasir di sungai, menjadi penggarap, membantu istri yang menjadi buruh cuci, berdagang ataupun pekerjaan lainnya yang mungkin ditawarkan kepada mereka. Kelompok yang memiliki persentase terbesar kedua ialah suami responden yang tidak memiliki pekerjaan. Dalam kondisi ini yang bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga ialah istri ataupun anak karena suami tidak dapat bekerja. Hal tersebut umumnya disebabkan oleh kondisi kesehatan yang sudah tidak memungkinkan untuk bekerja lagi, seperti sedang sakit keras, atau pasca proses pengobatan/operasi. Pada beberapa responden juga terdapat beberapa keadaan dimana suami telah meninggal dunia ataupun telah bercerai sehingga data mengenai pekerjaan suami tergolong kepada kelompok tidak bekerja. Kelompok pekerjaan serabutan dan pedagang memiliki jumlah yang sama. Pada kelompok pekerjaan berdagang, jenis kegiatan dagang yang ditekuni ialah berdagang kecil–kecilan seperti membuka warung, berjualan cilok, mie ayam, mainan anak–anak, batagor, berdagang jajanan di sekolah dasar, dan barang rongsokan. Namun jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya, pekerjaan berdagang lebih memberikan hasil yang lebih besar. Kelompok pekerjaan serabutan ialah suami responden yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Biasanya mereka adalah kuli pasir dan hanya bekerja pada waktu–waktu tertentu. Selanjutnya, kelompok terakhir yang memiliki proporsi terkecil ialah suami responden yang memiliki pekerjaan sebagai penggarap. Pekerjaan pertanian memang jarang ditekuni oleh penduduk sekitar karena proporsi lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk terbilang kecil.
6.1.5 Penghasilan Rumah Tangga Peserta PKH Peserta PKH ialah kelompok masyarakat yang tergolong kepada masyarakat sangat miskin atau dalam program ini juga disebut dengan Rumah
58
Tangga Sangat Miskin (RTSM). Survei bagi pemilihan RTSM sebagai peserta PKH dilakukan oleh BPS dengan data dasar yang diambil dari daftar penerima subsidi langsung tunai (SLT) dan data pendukung lainnya. Seleksi awal yang dilakukan pada data penerima bantuan SLT tersebut mengindikasikan bahwa rumah tangga tersebut telah memenuhi kriteria miskin dari BPS. Melalui survei sederhana oleh seorang petugas pendamping PKH Bogor Barat, diketahui bahwa penghasilan rumah tangga peserta PKH pada lokasi dampingannya berkisar antara Rp. 200.000,00 hingga Rp. 800.000,00 per bulan. Walaupun terkadang pendapatan mereka cukup besar dibandingkan dengan RTSM penerima PKH lainnya, namun tanggungan keluarga terkadang masih cukup besar. Sehingga pendapatan tersebut harus dibagi setiap anggota keluarga dan proporsi tiap orang tetap saja masih tergolong kecil. Hampir separuh (42 persen) dari rumah tangga responden berpenghasilan antara Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 per bulan. Sepertiga rumah tangga responden berpenghasilan Rp. 500.000,00 hingga Rp. 650.000,00. Selanjutnya rumah tangga yang memiliki penghasilan yang lebih besar dibandingkan rumah tangga responden lain, yaitu penghasilan rumah tangga lebih dari Rp. 650.000,00 per bulan, ialah sebanyak 18 persen rumah tangga responden. Sebanyak 10 persen lainnya mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 350.000,00 per bulan. Penjelasan tersebut tergambar pada Gambar 9 berikut.
Penghasilan 42% 30% 18%
10% Rp. < 350.000
Rp. 350.000 – 500.000
Rp. 500.100 – 650.000
Rp. > 650.000
Gambar 9. Sebaran Penghasilan Rumah Tangga Responden
Penghasilan rumah tangga, tentunya digunakan untuk kebutuhan seluruh anggota rumah tangga. Oleh karena itu, menarik untuk diketahui mengenai jumlah tanggungan rumah tangga. Penjelasan mengenai jumlah tanggungan responden sebagai peserta PKH akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.
59
6.1.6 Tanggungan Rumah Tangga Tanggungan rumah tangga yang dimaksudkan pada penelitian ini ialah jumlah anggota rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan dan kebutuhannya masih ditanggung oleh anggota rumah tangga lainnya yang sudah bekerja dan berpenghasilan. Rumah tangga responden memiliki tanggungan antara 1 hingga 7 orang. Tanggungan tersebut tidak hanya sebatas jumlah anak tetapi juga anggota rumah tangga lainnya yang kebutuhan hidupnya masih ditanggung, misalnya keponakan dan cucu yang tidak diurus lagi oleh orang tuanya, suami/istri yang tidak bekerja, atau orang tua responden yang sudah lanjut usia. Umumnya (66 persen) responden memiliki 2 hingga 3 orang tanggungan, sebagian lainnya (26 persen) memiliki tanggungan kurang dari 2 orang dan hanya sebagian kecil (8 persen) responden yang memiliki lebih dari 3 orang tanggungan. Penjelasan mengenai tanggungan rumah tangga responden dapat dilihat pada Gambar 10.
Tanggungan 66% 26%
Kurang dari 2 orang
8% Antara 2 sampai 3 orang
Lebih dari 3 orang
Gambar 10. Sebaran Tanggungan Rumah Tangga Responden
Dapat disimpulkan jumlah tanggungan rumah tangga peserta PKH tidak tergolong besar. Hal tersebut bukanlah menandakan mereka memiliki jumlah anak yang sedikit. Melalui hasil wawancara diketahui bahwa ada sebagian anak–anak responden yang walaupun masih di bawah umur (di bawah 17 tahun), tetapi sudah bekerja dan tidak melanjutkan sekolah karena adanya tuntutan ekonomi. Oleh karena itu, anak tersebut tidak terhitung lagi menjadi tanggungan keluarga.
6.2
Keterlibatan dalam Kelompok Keterlibatan dalam kelompok adalah variabel kedua yang diduga
berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Variabel yang diukur adalah peranan peserta, intensitas mengikuti pertemuan kelompok, intensitas
60
bertemu petugas dan intensitas interaksi dalam kelompok. Tabel 9 berisi tingkat keterlibatan responden dalam kelompok tersebut.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterlibatan dalam Kelompok PKH (n=50) Keterlibatan dalam kelompok Peranan
Intensitas pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi dalam kelompok
Uraian Anggota Ketua Jarang Sering Jarang Sedang Sering Rendah Tinggi
n (orang) 46 4 4 46 3 42 5 18 32
n (%) 92 8 8 92 6 84 10 36 64
6.2.1 Peranan dalam Kelompok Pada PKH terdapat ketentuan dimana 20 – 25 peserta dikelompokkan dan diketuai oleh salah satu peserta yang bertugas sebagai ketua kelompok. Penentuan ketua kelompok telah dilakukan sejak pertemuan awal. Peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya berjumlah 204 orang, dan terdapat sekitar 10 orang ketua kelompok yang bertugas sebagai koordinator kelompok. Ketua kelompok bertugas mengatur jadwal pertemuan kelompok dengan petugas pendamping, sehingga dibandingkan dengan anggota, ketua kelompok memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bertemu dengan petugas pendamping dan anggota kelompok. Selain itu, terdapat sebuah pertemuan khusus bulanan dengan petugas PKH, yang hanya diikuti oleh seluruh ketua kelompok dari kelurahan yang sama. Pertemuan tersebut khusus dilakukan untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ada dalam kelompok. Ketentuan pada setiap kelompok memiliki sedikit perbedaan. Ada petugas pendamping yang menetapkan ketentuan, adanya pergantian ketua kelompok dalam batas waktu tertentu, dan ada yang tidak. Pergantian ketua kelompok tersebut dimaksudkan agar setiap peserta, yang memiliki kemampuan dan potensi menjadi ketua, dapat merasakan menjadi ketua kelompok. Melalui hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar responden ialah anggota (92 persen). Hal tersebut memang sangat mungkin terjadi karena pada PKH persentase peserta sebagai anggota sangat besar jika dibandingkan dengan
61
peserta sebagai ketua kelompok, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Peranan responden dalam PKH dapat dilihat pada Gambar 11.
Peranan Peserta PKH 92% 8% Anggota
Ketua
Gambar 11. Sebaran Peranan Responden dalam Kelompok PKH
6.2.2 Intensitas Kehadiran pada Pertemuan Kelompok Hak peserta PKH komponen pendidikan ialah mendapatkan bantuan uang tunai yang diperuntukkan bagi pendidikan anak, namun disamping hak tersebut peserta PKH juga memiliki kewajiban yang salah satunya ialah mengikuti pertemuan kelompok. Pertemuan kelompok digunakan oleh petugas pendamping program untuk menyosialisasikan PKH kembali kepada peserta dengan tujuan agar peserta tetap mengingat ketentuan dan menjalankan ketentuan tersebut. Pertemuan kelompok umumnya dilakukan setelah pencairan dana bantuan dilakukan. Pada tahun 2009 pencairan dana dilakukan dalam tiga tahap, sehingga pertemuan kelompok juga berlangsung sebanyak tiga kali dalam tahun tersebut. Berikut adalah Gambar 12 mengenai persentase intensitas responden mengikuti pertemuan kelompok.
Intensitas Frekuensi Mengikuti Pertemuan kelompok
92%
8% Jarang
Sering
Gambar 12. Sebaran Responden menurut Intensitas mengikuti Pertemuan Kelompok
Sebagian besar responden (92 persen) mengikuti seluruh pertemuan kelompok di tahun 2009. Hanya sebagian kecil responden (8 persen) yang tidak mengikuti keseluruhan pertemuan kelompok yaitu dalam kategori jarang, yaitu hanya menghadiri 1–2 kali pertemuan kelompok dalam setahun. Peserta yang
62
tidak mengikuti satu atau beberapa kali pertemuan tersebut umumnya karena memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
6.2.3 Intensitas Pertemuan dengan Petugas Pendamping Peserta bertemu dengan petugas pendamping, baik saat pertemuan kelompok, pencairan dana, ataupun kunjungan insidental langsung ke rumah peserta. Saat pertemuan kelompok dan pencairan dana, biasanya petugas pendamping selalu menyosialisasikan kembali mengenai ketentuan PKH kepada peserta, sehingga peserta yang lebih sering bertemu dengan petugas pendamping cenderung mendapat informasi yang lebih banyak mengenai PKH dibandingkan dengan peserta yang jarang bertemu dengan petugas pendamping. Saat pencairan dana, petugas pendamping juga sering menyisipkan penyampaian informasi mengenai ketentuan PKH kepada peserta saat antrian berlangsung. Selain itu, terkadang petugas pendamping juga melakukan kunjungan ke rumah peserta PKH, misalnya peserta yang sering tidak mengikuti pertemuan kelompok. Kunjungan tersebut bertujuan untuk mengetahui alasan mengapa peserta tersebut tidak mengikuti pertemuan kelompok serta menyampaikan informasi penting yang ada pada pertemuan kelompok. Hampir seluruh responden (84 persen) bertemu petugas pendamping dalam kategori sedang yaitu hanya bertemu saat pertemuan kelompok dan pencairan dana. Sebagian kecil (10 persen) berada pada kategori sering, dimana peserta tidak hanya bertemu saat pertemuan kelompok dan pencairan program, tetapi juga pada kesempatan lain. Umumnya responden pada kategori sering ialah ketua kelompok, dimana petugas pendamping sering mengunjungi rumah ketua kelompok untuk menyampaikan informasi kapan pencairan dan pertemuan kelompok akan dilaksanakan, ataupun untuk menyerahkan kartu PKH untuk dibagikan kepada anggota kelompok sebagai tanda bukti pengambilan dana bantuan. Selain itu khusus bagi ketua kelompok, juga terdapat pertemuan bulanan antara ketua–ketua kelompok yang berada pada satu kelurahan dengan petugas pendampingnya. Hanya sebagian kecil dari responden (6 persen) yang berada pada kategori jarang bertemu petugas, yaitu yang pernah tidak bertemu petugas pada pencairan atau pertemuan kelompok karena pekerjaan mereka tidak bisa
63
ditinggalkan. Berikut adalah Gambar 13 mengenai persentase intensitas responden bertemu petugas pendamping PKH. Intensitas
Gambar 13. Sebaran Responden menurut Intensitas bertemu Petugas Pendamping
6.2.4 Intensitas Interaksi dalam Kelompok Peserta PKH tinggal berdekatan dengan peserta lainnya, oleh sebab itu selain bertemu pada pertemuan kelompok dan pencairan dana, peserta juga berinteraksi dalam kehidupan sehari–hari. Pada penelitian ini, interaksi yang dimaksudkan bukanlah berinteraksi secara umum dengan topik pembicaraan yang luas, namun lebih dikhususkan pada interaksi terkait dengan pertukaran informasi mengenai PKH dan ketentuannya. Interaksi mungkin saja terjadi melalui komunikasi lisan maupun melalui tindakan/komunikasi nonverbal, tetapi dalam penelitian ini interaksi yang diukur adalah interaksi yang terjadi melalui komunikasi langsung melalui lisan yaitu saat peserta mengingatkan dan diingatkan oleh peserta lainnya mengenai PKH. Topik pembicaraan yang menjadi bahan pertimbangan ialah kewajiban, sanksi dan jadwal pertemuan kelompok. Melalui hasil penelitian terlihat bahwa tingkat interaksi antar anggota cukup tinggi (64 persen). Selanjutnya, sebagian kecil peserta lainnya, berada pada kategori rendah (36 persen). Topik interaksi yang sering muncul ialah mengenai jadwal pertemuan kelompok. Selain ketua kelompok, peserta yang menjadi anggota biasanya selalu mengingatkan atau diingatkan oleh peserta lain kapan dan dimana pertemuan kelompok akan diadakan. Urutan kedua ialah topik mengenai kewajiban. Sesama peserta cukup sering membicarakan kembali mengenai kewajiban mereka dalam penggunaan uang setelah mendapatkan uang bantuan. Topik yang paling sedikit dibicarakan ialah mengenai sanksi. Hanya sebagian kecil peserta yang mengerti tentang sanksi yang ada pada PKH secara keseluruhan
64
dan utuh. Sebagian besar dari mereka hanya mengetahui sedikit informasi bahkan ada peserta yang tidak mengetahui adanya sanksi pada PKH. Interaksi responden dalam kelompok dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini.
Intensitas interaksi dalam kelompok 64% 36%
Rendah
Tinggi Sedang
Gambar 14. Sebaran Responden menurut Intensitas Interaksi dalam Kelompok 6.3
Ikhtisar Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa karakteristik mayoritas
penerima program bantuan PKH ialah perempuan yang berumur antara 43 hingga 56 tahun. Pendidikan peserta umumnya ialah tamat sekolah dasar, dengan kata lain tingkat pendidikan mereka cenderung rendah seperti hal nya hasil penelitian Roosgandha dan Darwis (2000). Jumlah sumber nafkah keluarga ialah dua sumber nafkah dengan salah satu pekerjaan ialah sebagai buruh. Masyarakat miskin terkadang tidak memiliki posisi tawar untuk dapat memilih–milih pekerjaan yang akan ditekuninya, seperti pekerjaan formal, disebabkan oleh adanya keterbatasan keterampilan dan rendahnya pendidikan yang mereka miliki, sesuai dengan karakteristik masyarakat miskin yang ditemukan oleh Fristoto (2009) dalam penelitiannya. Penghasilan rumah tangga berada pada kisaran Rp.350.000,00 hingga Rp.500.000,00 dengan jumlah tanggungan antara 2 hingga 3 orang. Umumnya responden ialah peserta dalam kelompok PKH dan tingkat pertemuan peserta PKH dengan petugas pendamping PKH ialah pada kategori sedang. Pertemuan kelompok ialah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh responden sebagai peserta PKH. Tingkat kehadiran responden pada pertemuan kelompok tergolong pada kategori sering, dimana umumnya responden selalu mengikuti pertemuan kelompok. Selanjutnya, lokasi tempat tinggal yang berdekatan membuat para peserta PKH sering bertemu setiap harinya dan berinteraksi satu sama lain. Bentuk interaksi yang terjadi ialah pembicaraan mengenai PKH, seperti kewajiban
65
sebagai peserta, jadwal pertemuan kelompok, ataupun sanksi yang mungkin diterima peserta PKH jika melakukan pelanggaran. Tingkat interaksi antar anggota responden tergolong pada kategori tinggi dengan topik yang sering dibicarakan ialah jadwal pertemuan kelompok (lihat Tabel 10). Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Karakteristik Individu dan Keterlibatan dalam Kelompok (n=50) No 1 2 3 4 5 6 8 9 10 11
Aspek Usia Pendidikan Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan Peranan Intensitas mengikuti pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi antar anggota
Kategori 43 – 56 tahun Tamat SD Buruh Dua sumber nafkah Rp. 350.000 – 500.000 Antara 2 sampai 3 orang Anggota Sering
n (orang) 27 26 30 30 21 33 46 46
n (%) 54 52 60 60 42 66 92 92
Sedang
42
84
Tinggi
32
64
66
BAB VII REPRESENTASI SOSIAL PESERTA PROGRAM KELUARGA HARAPAN Representasi sosial terhadap PKH akan menjadi sebuah tata aturan bagi peserta PKH. Tata aturan akan membuat mereka akhirnya dapat menyesuaikan diri dan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan, sehingga membantu dalam mewujudkan bentuk perilaku yang sesuai khususnya dalam pemenuhan kewajiban mereka sebagai peserta PKH, terutama pada tipe PKH untuk pendidikan anak dan PKH memiliki aturan. Peserta PKH yang memiliki salah satu dari representasi sosial tersebut, walaupun bukan menjadi representasi sosial yang dominan, akan memiliki sebuah petunjuk tersendiri untuk berperilaku yang telah terkumpul dan terikat dalam pola pikir mereka. Fungsi representasi sosial lainnya, kata “PKH” tersebut akan menjadi hal yang familiar dan tidak menjadi sebuah hal yang tabu bagi penerima PKH. Penjelasan tersebut berdasarkan kepada teori fungsi representasi sosial yang dikemukakan oleh Moscovici (1973) dalam Bergmann (1998) dan teori Symbolic Copying dalam Josh dan Ignatow (2001). Representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas berkomunikasi antar anggota komunitas dengan adanya sandi untuk aktivitas pertukaran sosial mereka (Moscovici, 1973 dalam Bergmann, 1998). Banyak makna yang mereka miliki tentang kata PKH, namun hanya dengan sebuah sandi yaitu kata “PKH”, seluruh makna tersebut akan menjadi sebuah satu kesatuan. Hanya dengan menyebut kata “PKH”, setiap peserta telah memiliki skema yang panjang mengenai PKH beserta ketentuan dan peraturannya. Pada sub-bab berikut akan dibahas mengenai representasi sosial responden terhadap PKH. Representasi sosial tersebut juga akan didukung oleh informasi mengenai representasi sosial mereka terhadap kemiskinan dan pendidikan. Representasi sosial peserta PKH terhadap pendidikan penting untuk diketahui karena terkait dengan bagaimanakah peserta menghubungkan PKH komponen pendidikan dengan pendidikan itu sendiri. Selain itu, representasi sosial mereka terhadap kemiskinan juga penting untuk diketahui untuk memperkaya informasi tentang bagaimanakah penerima PKH yang tergolong ke dalam RTSM memandang kehidupan mereka.
67
7.1
Representasi Sosial terhadap PKH Representasi sosial terhadap PKH secara umum adalah bentuk pandangan
peserta PKH terhadap PKH yang meliputi pengetahuan, pendapat, keyakinan serta sikap mereka terhadap PKH yang terbentuk melalui interaksi secara terus menerus dengan lingkungan sosial dan fisiknya dan disosialisasikan dalam komunikasi sehari–hari antar anggota kelompok. Melalui teknik asosiasi kata kepada 50 orang responden, terkumpul 189 kata yang mencerminkan representasi sosial terhadap program bantuan PKH yang mereka terima. Keseluruhan kelompok kata tersebut dibagi ke dalam lima kategori kata, yaitu PKH untuk biaya pendidikan anak, PKH untuk kebutuhan sehari–hari dan modal usaha, PKH masih kurang memuaskan, PKH membuat senang, serta PKH memiliki aturan. Namun kategori kata PKH untuk kebutuhan sehari–hari dan modal usaha tidak menjadi tipe karena tidak ada satu orang responden pun yang memiliki representasi sosial yang dominan pada kategori ini. Sebagian besar responden tergolong kepada tipe PKH untuk biaya pendidikan anak dengan 52 persen responden yang memiliki representasi sosial dominan pada kategori kata ini. Tipe selanjutnya ialah PKH belum memuaskan dengan 32 persen responden. Dua tipe lainnya yaitu PKH membuat senang dan PKH mempunyai aturan, dimiliki oleh sebagian kecil responden yaitu masingmasing 8 persen. Tabel 11 berisi informasi mengenai jumlah dan persentase responden berdasarkan tipe representasi sosial mereka terhadap PKH. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe Representasi Sosial terhadap PKH (n=50) Tipe representasi sosial terhadap PKH PKH untuk biaya pendidikan anak PKH belum memuaskan PKH membuat senang PKH mempunyai aturan Total
n (orang) 26 16 4 4 50
n (%) 52 32 8 8 100
7.1.1 PKH untuk Biaya Pendidikan Anak Kelompok kata yang memiliki frekuensi kemunculan tertinggi pertama ialah PKH untuk biaya pendidikan anak yang berisi pernyataan mengenai berbagai macam penggunaan PKH untuk kebutuhan pendidikan anak dari 52
68
persen responden. Kata yang paling banyak ditemui adalah uang untuk baju seragam, buku, peralatan tulis, SPP, pembayaran uang pangkal, ongkos, jajan di sekolah. Selanjutnya, meringankan beban sekolah, diperpanjang, merasa terbantu, lega, penggunaan untuk anak, harapan ada untuk seterusnya, tabungan, syukur, bahagia, bantuan berlanjut, dapat lagi, membantu, bagus, cukup, mengurangi beban, tambahan serta keyakinan anak bisa sekolah tinggi. Dengan kata lain, peserta PKH merepresentasikan PKH sebagai program pemerintah yang memberikan bantuan tunai untuk meringankan biaya pendidikan anak mereka. Berikut kutipan dari salah seorang responden yang merasa sangat bersyukur karena mendapatkan bantuan PKH disaat ia sedang membutuhkan uang untuk pendidikan anaknya. “Ibu bersyukur, Alhamdulillah. Waktu ibu lagi butuh uang untuk biaya masuk anak ke sekolah (uang pangkal), ibu dapat bantuan. Setiap uangnya turun langsung dibayarin ke sekolah. Ibu ga pernah pake buat yang lain. palingan ibu minta dikit buat ongkos ojeg pulang pengambilan uang karena Ibu ga kuat jalan jauh.” (M, 50 tahun) Berdasarkan kutipan wawancara di atas, terlihat bahwa responden merasakan manfaat dari adanya bantuan PKH, khususnya untuk membantu meringankan biaya pendidikan anaknya. Pada dua tahap pencairan, penentuan tanggal pencairan dikaitkan dengan jadwal pembayaran uang masuk (uang pangkal) atau jadwal kenaikan kelas di sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar dana bantuan dapat digunakan langsung untuk biaya pendidikan anak karena telah dibagikan pada waktu yang tepat yaitu saat uang dibutuhkan untuk biaya pendidikan. Umumnya, peserta merasa bantuan yang diterima sangat bermanfaat, terlepas berapa pun jumlahnya karena bantuan tersebut terasa meringankan biaya pendidikan anak mereka. Pada tipe ini juga terdapat harapan peserta mengenai keberlanjutan bantuan untuk biaya pendidikan ini. Umumnya mereka adalah orang tua yang memiliki anak yang akan lulus dan telah lulus SMP. Berdasarkan petunjuk program, anak yang telah lulus SMP tidak berhak mendapatkan dana PKH lagi. Namun karena kurangnya dana yang dimiliki peserta PKH untuk melanjutkan pendidikan, tetapi keinginan anak dan orang tua akan beberlanjutan pendidikan
69
anak masih tinggi menyebabkan harapan untuk keberlanjutan pemberian dana bantuan PKH menjadi tinggi. Mereka masih sangat mengharapkan dapat memperoleh bantuan lagi, agar anak–anak mereka bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA. Berikut kutipan dari salah satu responden yang memiliki harapan tersebut. “Ibu sangat berharap sekali, bisa dapat bantuan lagi. Ibu tau kalau anak ibu udah lulus SMP, dia ga akan dapat bantuan lagi. Tapi mau bagaimana, setelah sakit bapak udah ga bisa kerja kayak dulu lagi, ibu ga bisa kerja, uang tabungan juga ga ada. Padahal dia ga mau berhenti sekolah, dan ibu ngerasa dia juga pinter dan mampu ngelanjutin ke SMA. Sekolah sampai SMP aja ga terlalu berarti sekarang.” (A, 43 tahun) Berdasarkan hasil uraian di atas, terlihat bahwa responden mengaitkan PKH dengan berbagai aspek tentang pendidikan, terutama mengenai pembiayaan pendidikan. Pengetahuan tentang pengutamaan penggunaan dana PKH komponen pendidikan untuk kebutuhan pendidikan anak dapat
dikatakan sebagai
pengetahuan terminimal yang harus dimiliki oleh setiap peserta PKH komponen pendidikan. Seperti yang diutarakan oleh seorang koordinator petugas PKH Bogor barat, bahwa dana PKH komponen pendidikan tersebut memang seharusnya digunakan untuk kepentingan pendidikan anak, baik untuk kebutuhan langsung seperti pembayaran SPP, pembelian buku, alat tulis, seragam ataupun kebutuhan pendidikan yang tidak langsung seperti jajan dan ongkos ke sekolah. Berdasarkan penjelasan di atas, responden yang berada pada tipe ini memiliki representasi sosial yang sudah cukup tepat dengan ketentuan PKH. Representasi sosial yang cukup baik ini, dipengaruhi oleh sosialisasi dari petugas PKH mengenai ketentuan program. Informasi mengenai kewajiban peserta selalu diinformasikan kembali setiap pertemuan kelompok dilaksanakan. Selain itu, interaksi antar anggota juga cukup membantu sosialisasi program karena terkadang pembicaran para peserta PKH yang berada dalam satu kelompok yang sama, masih terkait dengan penggunaan dana PKH untuk biaya pendidikan anak. Intervensi PKH pada komponen pendidikan diharapkan oleh pemerintah dapat berpengaruh langsung pada kemampuan belajar anak RTSM dan partisipasi mereka dalam pendidikan, yaitu dengan adanya kewajiban mendaftarkan anak ke
70
satuan pendidikan dan kewajiban memenuhi standar kehadiran seperti yang telah ditetapkan (Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, 2008c). Tujuan PKH melakukan intervensi dalam aspek pendidikan tersebut sesuai hasil pemikiran Indraswari (2009) yang menyatakan bahwa, terkadang masyarakat miskin mempunyai potensi besar akan tetap berada di dalam lingkaran kemiskinan karena anak–anak mereka sebagai generasi penerus tidak memperoleh intervensi untuk memutuskan rantai kemiskinan tersebut. Dalam hal ini adalah intervensi dalam mempermudah aksesibilitas masyarakat yang tergolong miskin terhadap pendidikan. Tabel 12 berisi informasi mengenai karakteristik peserta PKH yang tergolong pada tipe tersebut. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH untuk Biaya Pendidikan Anak berdasarkan Karakteristik Peserta PKH (n=26) Karakteristik Peserta PKH Usia Pendidikan Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan Peranan dalam kelompok Intensitas pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi dalam kelompok
Kategori Antara 43–56 tahun Tamat SD Buruh Dua sumber nafkah 350.000 – 500.000 Antara 2 sampai 3 orang Anggota Sering Sedang Tinggi
n (orang) 14 17 19 18 13 16 24 23 22 17
n (%) 53 65 73 69 50 62 92 88 85 65
Responden yang ada pada tipe ini umumnya ialah perempuan berstatus ibu yang berada pada usia 43 hingga 53 tahun dengan pendidikan formal terakhir tamat sekolah dasar. Responden umumnya bekerja sebagai buruh. Penghasilan keluarga berada pada kisaran Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dari dua sumber nafkah dalam keluarga dan dengan jumlah tanggungan antara 2 hingga 3 orang anak. Hampir seluruh responden ialah anggota dalam kelompok PKH, dengan intensitas sering dalam mengikuti pertemuan kelompok. Kategori tinggi juga terlihat pada interaksi peserta dalam kelompok, namun umumnya mereka hanya berada pada intensitas sedang dalam bertemu petugas pendamping. Penjelasan tersebut seperti yang telah dirangkum pada Tabel 12.
71
7.1.2 PKH Belum Memuaskan PKH belum memuaskan merupakan kategori kata yang menjadi tipe kedua terbesar. Kata-kata yang diperoleh dari responden diantaranya uang kurang, ingin jumlah dinaikkan, ngaturnya susah, belum cukup, pindahin ke ponakan, tambah, ga banyak, uang naik, ingin ditambah, kapan pencairan?, lama, nunggu, pencairan kapan, cepat turun, ga menyeluruh, orang lain sinis, dan ga merata. RTSM peserta PKH mengevaluasi bantuan PKH sebagai program bantuan yang jumlah bantuannya belum memenuhi kebutuhan, tidak tepat waktu, dan tidak menyeluruh diterima oleh penduduk miskin disekitar mereka dan dalam hal ini evaluasi yang ada sebagian besar adalah evaluasi yang cenderung negatif. Tipe ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Anggen (2005) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin merespon positif program penanggulangan kemiskinan karena merasakan manfaat yang besar dari program tersebut. Jumlah bantuan belum memadai ialah pandangan peserta yang merasa jumlah bantuan terlalu kecil dan kurang dapat memenuhi kebutuhan. Melalui hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar responden yang mengungkapkan hal ini ialah responden yang memiliki anak SMP. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh anak responden bersekolah di SMP swasta yang tidak mendapatkan dana BOS dan siswa diwajibkan membayarkan SPP setiap bulannya, ataupun karena sekolah memiliki lokasi yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya untuk transportasi. Salah satu penjelasan responden yang menyatakan bahwa bantuan masih belum memadai ialah sebagai berikut. “Ibu bersyukur bisa kepilih. Ga semua orang dapet bantuannya disekitar sini. Tapi kalo ditanya bantuan udah cukup atau belum, ya belum. Uangnya kerasa kecil banget. Ga cukup buat jajan dan ongkos anak ke sekolah. Namanya juga manusia, ga ada puasnya ya neng. Kalau bisa sih bantuannya ditambah sama pemerintah.” (E, 31 tahun) Beberapa responden lainnya menyatakan bahwa bantuan dari PKH masih kurang memenuhi kebutuhan dan sulit dalam penggunaannya karena dikaitkan dengan adanya perubahan regulasi dari PKH pusat. Pada tahun 2010 bantuan yang awalnya dibagikan sebanyak tiga kali dalam setahun berubah menjadi empat kali dalam setahun. Uang yang diterima pada setiap pencairan berubah dari sepertiga
72
bagian menjadi seperempat bagian dari total bantuan per tahunnya. Berikut kutipan dari responden yang menyatakan hal tersebut. “Ibu sebenarnya bingung buat ngebagi–bagi penggunaan uang ini. Jumlahnya kecil, tapi kebutuhan banyak. Apalagi sejak pencairan jadi empat kali setahun, uangnya tambah kecil lagi. Kalo menurut ibu sih, uangnya dibagi jadi sekali atau dua kali aja. Biar lebih kerasa ada uangnya.” (R, 39 tahun) Bantuan tidak tepat waktu ialah evaluasi peserta mengenai tanggal pencairan tahap dua tahun 2010 yang pada saat penelitian dilakukan masih belum pasti kapan akan dilaksanakan. Padahal pencairan seharusnya dilaksanakan pada awal atau pertengahan bulan tersebut. Menurut beberapa responden, pada setiap pencairan sebelumnya tidak pernah terjadi keterlambatan dan pencairan dana bantuan dilaksanakan sesuai dengan jadwal. Sehingga dapat disimpulkan maksud responden tentang keterlambatan pencairan tersebut hanya dimaksudkan untuk pencairan tahap dua tahun 2010. Selanjutnya ialah penilaian bahwa bantuan PKH belum terdistribusi secara menyeluruh untuk masyarakat miskin di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Sebagian besar responden yang mengeluarkan asosiasi kata yang terkelompok pada kelompok kata PKH belum menyeluruh berpendapat bahwa jumlah penerima PKH seharusnya ditambah karena masih sangat banyak penduduk yang membutuhkan bantuan tersebut. Salah seorang responden juga mengungkapkan bahwa salah satu tetangganya malah lebih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dana pendidikan anaknya hingga anaknya putus sekolah karena sangat kekurangan biaya. Karakteristik dominan responden pada tipe ini cenderung sama dengan responden yang tergolong pada kategori pertama sebagai kategori dominan, namun terdapat perbedaan pada tingkat penghasilan dimana penghasilan responden pada tipe ini berkisar antara Rp. 500.000,00 hingga Rp. 650.000,00. Jumlah penghasilan mereka yang cukup tinggi dibandingkan kebanyakan responden pada tipe pertama, dan hal ini diduga menyebabkan representasi sosial yang terbentuk ialah PKH belum memuaskan. Dapat disimpulkan, peserta PKH yang memiliki tingkat pendapatan yang lebih besar, cenderung melihat PKH sebagai program yang belum memuaskan, karena dana masih belum memadai,
73
kurang tepat waktu, dan belum menyeluruh. Selanjutnya, terkait keterlibatan dalam kelompok, hampir seluruh responden ialah anggota dalam kelompok PKH dengan intensitas sering dalam mengikuti pertemuan kelompok. Interaksi peserta dalam kelompok, tergolong tinggi namun umumnya mereka hanya berada pada intensitas sedang dalam bertemu petugas pendamping. Penjelasan di atas, seperti yang terlihat pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Belum Memuaskan berdasarkan Karakteristik Peserta PKH (n=16) Karakteristik Peserta PKH Usia Pendidikan Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan Peranan dalam kelompok Intensitas pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi dalam kelompok
Kategori Antara 43–56 tahun Tamat SD Buruh Dua sumber nafkah 500.000-650.000 Antara 2 sampai 3 orang Anggota Sering Sedang Tinggi
n (orang) 9 7 7 7 6 10 16 15 15 11
n (%) 56 44 44 44 38 63 100 94 94 69
7.1.3 PKH Membuat Senang Tipe ketiga yaitu PKH membuat senang yang terdapat pada 8 persen responden. Pada tipe ini responden umumnya mengeluarkan kata–kata seperti program bagus, bermanfaat, jajan cucu, girang, syukur, membantu, berguna, senang, rejeki, kaget, dan Alhamdulillah. Tipe ini menyiratkan perasaan syukur, bahagia,
dan
penilaian
postif
RTSM
terhadap
PKH,
namun
tanpa
menghubungkannya kepada aspek pendidikan. Tidak adanya korelasi dengan aspek pendidikan ialah sebuah faktor kunci yang membedakan tipe PKH membuat senang dengan tipe PKH untuk biaya pendidikan anak. Pada tipe PKH untuk biaya pendidikan anak yang merupakan tipe paling dominan bagi responden juga terdapat penilaian positif terhadap PKH namun responden juga menghubungkannya dengan pemenuhan kewajiban untuk mengutamakan penggunakan dana tersebut untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Peserta PKH yang termasuk pada tipe ini merasakan perasaan yang sangat bersyukur bisa menjadi penerima bantuan PKH, merasa terbantu dengan adanya bantuan PKH terlepas berapa pun jumlah yang mereka terima, cukup ataupun
74
tidak cukup dana tersebut memenuhi kebutuhan mereka, serta tepat waktu ataupun terlambat dana tersebut diberikan. Tipe ini sesuai dengan hasil penelitian Anggen (2005) yang mengatakan bahwa umumnya masyarakat miskin merasakan manfaat yang besar terhadap program klaster I, dalam hal ini adalah PKH. Karakteristik dominan responden pada tipe ini cenderung sama dengan responden yang tergolong pada kategori pertama sebagai kategori dominan. Namun terdapat perbedaan pada tingkat pendidikan dan jumlah sumber nafkah. Tingkat pendidikan responden lebih diduga sebagai faktor yang mempengaruhi representasi sosial mereka yaitu PKH membuat senang. Peserta PKH yang memiliki pendidikan tidak tamat SD cenderung lebih melihat PKH sebagai program yang membuat senang, tanpa menghubungkannnya dengan aspek pendidikan. Adapun jika dilihat dari keterlibatan dalam kelompok, mereka memiliki bentuk karakteristik yang sama dengan responden pada tipe lainnya (lihat Tabel 14). Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Membuat Senang Berdasarkan Karakteristik Peserta PKH (n=4) Karakteristik Peserta PKH Usia Pendidikan Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan Peranan dalam kelompok Intensitas pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi dalam kelompok
Kategori Kurang dari 43 tahun Tidak tamat SD Buruh Dua sumber nafkah Lebih dari dua sumber nafkah 350.000 – 500.000 Antara 2 sampai 3 orang Anggota Sering Sedang Rendah Tinggi
n (orang) 2 2 2 2 2 3 4 4 4 4 2 2
n (%) 50 50 50 50 50 75 100 100 100 100 50 50
7.1.4 PKH mempunyai Aturan Tipe selanjutnya ialah PKH mempunyai aturan yang berasal dari 8 persen responden. Sebagian besar kata yang diucapkan oleh responden ialah: saran pendamping, peraturan PKH, uang tunai, untuk kebutuhan anak, pemerintah masih memperhatikan, sanksi, harus mengikuti kewajiban sesuai aturan, survei petugas, penggunaannya, untuk keluarga tidak mampu, takut dituntut dan kena
75
sanksi, jangan disalahgunakan, pertemuan, dan kewajiban tidak berat. Informasi yang dimiliki responden pada tipe ini merupakan elemen pengetahuan dalam representasi sosial mereka terhadap PKH. Peserta PKH mengetahui bahwa program bantuan yang mereka terima memiliki ketentuan yang harus mereka penuhi sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab mereka. Tipe PKH memiliki aturan ialah tipe yang berisi seluruh informasi mengenai ketentuan PKH baik pada pengutamaan penggunaan dana untuk kebutuhan pendidikan anak, adanya sanksi jika melakukan suatu pelanggaran, serta adanya petugas yang mendampingi peserta. Tipe ini adalah bentuk pandangan peserta yang paling lengkap mengenai PKH, berbeda dengan tipe PKH belum memuaskan, PKH membuat senang, ataupun dengan PKH untuk pendidikan, yang hanya memusatkan perhatian pada penggunaan dana. Karakteristik dominan yang terlihat pada responden ialah, sebagian besar dari mereka berumur antara 43 hingga 56 tahun. Tingkat pendidikan sangat beragam, yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, dan tamat SMA. Sebagian responden bekerja sebagai buruh dan sebagian lainnya bekerja serabutan. Penghasilan rumah tangga hingga Rp. 500.000,00 per bulan yang berasal dari dua sumber nafkah. Jumlah tanggungan dalam rumah tangga ialah antara 2 hingga 3 orang. Terkait keterlibatan mereka ke dalam kelompok, sebagian responden ialah anggota dalam kelompok PKH dan sebagian lainnya ialah ketua kelompok. Seluruh responden tergolong sering dalam mengikuti pertemuan kelompok, dan sebagian besar juga sering bertemu dengan petugas. Seluruh responden terbagi rata ke dalam dua kategori dalam intensitas interaksi dalam kelompok, yaitu kategori rendah dan tinggi. Karakteristik responden yang tergolong pada tipe ini dapat dilihat pada Tabel 15. Perbedaan karakteristik dengan responden pada kategori dominan terdapat pada jenjang pendidikan, peranan dalam kelompok, frekuesi bertemu petugas dan intensitas interaksi antar peserta. Karakteristik yang diduga berhubungan dengan representasi sosial yang terbentuk ialah peranan dalam kelompok dan intensitas bertemu petugas. Sebagian responden memiliki peran sebagai ketua dan sebagian besar dari mereka tergolong sering berinteraksi dengan petugas. Dapat disimpulkan bahwa peserta PKH yang memiliki peran
76
sebagai ketua dan sering bertemu petugas cenderung melihat PKH sebagai program yang memiliki aturan. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial PKH Memiliki Aturan berdasarkan Karakteristik Peserta PKH (n=4) Karakteristik Peserta PKH Usia Pendidikan
Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan Tanggungan Peranan dalam kelompok Intensitas pertemuan kelompok Intensitas bertemu petugas Intensitas interaksi dalam kelompok
7.2
Kategori Antara 43–56 tahun Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Serabutan Buruh Dua sumber nafkah 350.000 – 500.000 Antara 2 sampai 3 orang Anggota Ketua Sering Sering Rendah Tinggi
n (orang) 3 1 1 1 1 2 2 3 2 3 2 2 4 3 2 2
n (%) 75 25 25 25 25 50 50 75 50 75 50 50 100 75 50 50
Representasi Sosial terhadap Pendidikan Representasi sosial terhadap pendidikan, seperti halnya representasi sosial
terhadap PKH juga berupa pandangan peserta PKH yang meliputi pengetahuan, pendapat, keyakinan serta sikap mereka, namun terhadap kata pendidikan. Melalui asosiasi kata kepada 50 orang responden terkumpul 175 kata yang mencerminkan representasi sosial terhadap kata pendidikan. Pada objek pendidikan, kelompok kata yang memiliki frekuensi tertinggi ialah pendidikan itu berat yang menjadi representasi sosial dominan bagi lebih dari separuh responden. Kelompok kata selanjutnya ialah pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik (42 persen) dan tipe yang paling sedikit dimiliki oleh responden (6 persen) ialah pendidikan itu bantuan (Tabel 16). Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden pada Representasi Sosial terhadap Pendidikan (n=50) Tipe Representasi sosial terhadap Pendidikan Pendidikan itu berat Pendidikan untuk kehidupan lebih baik Pendidikan itu bantuan
n (orang) 26 21 3
n (%) 52 42 6
77
7.2.1 Pendidikan Itu Berat Tipe yang paling banyak dimiliki oleh responden (52 persen) pada objek pendidikan ialah pendidikan itu berat. Secara umum, pada tipe ini terdapat kata–kata yang menyatakan bahwa tidak mudah untuk memperoleh pendidikan, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh masalah internal seperti kendala pada anak, kemampuan ekonomi keluarga, dan atau dari masalah eksternal seperti kurangnya akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Kata–kata yang muncul seperti anak tidak mau sekolah, malas, sedih, banyak pengeluaran, buku mahal, bingung biaya, butuh biaya besar, ternyata tidak gratis, dulu murah sekarang mahal, tidak mampu bayar uang pangkal, menabung, rela berhutang, ingin lebih mudah, jangan hanya menjadi monopoli orang kaya, dan lain sebagainya. Peserta PKH menganggap dan merasa untuk memperoleh pendidikan bagi mereka (dahulunya) dan bagi anak mereka (saat ini) adalah hal yang tidak mudah, dan dibutuhkan usaha keras serta mengharapkan adanya bantuan dari pihak lain seperti pemerintah agar dapat memperoleh pendidikan tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995, yang menyatakan bahwa kemiskinan dalam arti luas di negara–negara berkembang memiliki wujud yang sangat luas, dan salah satunya ialah kurangnya akses kepada pendidikan (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002 dalam Kamaluddin, 2004). Responden yang ada pada tipe ini umumnya ialah perempuan yang berada pada usia kerja yaitu umur 43 – 56 tahun dengan pendidikan formal terakhir tamat sekolah dasar. Responden umumnya bekerja sebagai buruh. Penghasilan keluarga berada pada kisaran Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dari dua sumber nafkah dalam keluarga. Jumlah tanggungan antara 2 hingga 3 orang anak. Pendidikan menjadi sulit diperoleh karena masalah keterbatasan ekonomi keluarga, terlihat dari perbandingan jumlah pendapatan dan tanggungan mereka. Responden memiliki pandapatan yang cukup rendah, dan sebagian besar dari mereka memiliki anak yang berada di tingkat SMP, dan bersekolah di sekolah swasta yang masih terdapat kewajiban membayar SPP karena pihak sekolah tidak mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Selain
78
itu biaya pendidikan mereka anggap berat karena adanya iuran, uang jajan anak, ataupun ongkos untuk biaya perjalanan anak ke sekolah.
7.2.2 Pendidikan untuk Kehidupan yang Lebih Baik Tipe kedua yang mendominasi representasi sosial responden ialah pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik, yang berasal dari 42 persen responden. Secara umum, responden berpandangan bahwa pendidikan adalah sebuah hal yang dapat membawa mereka kearah yang lebih baik, baik saat ini ataupun untuk kedepannya. Pendidikan diharapkan dapat membuat anak bisa lebih pintar, rajin, berakhlak baik, pekerjaan yang layak, sehingga dapat membantu meringankan beban orang tua. Beberapa kata-kata yang muncul adalah SMK, SMA, kuliah, ingin anak sekolah tinggi, dibutuhkan sepanjang masa, bisa bantu orang tua, penting, jangan putus sekolah, harus sekolah, pendidikan jangan seperti orang tua, pintar, kerja, sukses, berakhlak, kreatif, mudah dapat kerja, sekolah, bersyukur, dan pintar agama. Responden menginginkan anak mereka bisa mendapatkan pendidikan tinggi atau yang lebih baik dari mereka. Umumnya responden ingin anak bisa sekolah hingga SMA atau bahkan kuliah. Dari hasil wawancara (salah satunya dengan L, 45 tahun) diketahui bahwa walaupun berat mereka akan berkorban, dan berusaha kuat agar anak dapat memperoleh pendidikan. Pengorbanan tersebut seperti hidup hemat dengan makan seadanya, tidak boros dengan mengurangi jajan anak, menabung untuk keberlanjutan pendidikan, bahkan berhutang. Responden berpandangan, anak harus sekolah karena sekolah tersebut adalah hal yang sangat penting. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Permatasari (2010) yang menunjukkan bahwa orang tua menilai pendidikan dasar merupakan hak setiap warga negara Indonesia, sehingga setiap orang tua wajib menyekolahkan anaknya minimal pendidikan dasar sembilan tahun. Peserta PKH cenderung memiliki pendidikan formal yang tergolong rendah, namun permasalahan pentingnya pendidikan bagi anak sudah menjadi perhatian bagi mereka. Melalui penjelasan pada asosiasi kata, terlihat adanya pendapat dan keyakinan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk saat ini dan kedepannya, khususnya bagi anak mereka kelak. Mereka menyadari
79
bahwa untuk saat ini pendidikan sembilan tahun sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik dan berharap anak sebagai harapan keluarga dapat memperoleh pendidikan yang lebih yaitu SMA/SMK atau bahkan kuliah. Dapat disimpulkan bahwa, Peserta PKH pada tipe ini memandang pendidikan tinggi yang bisa diperoleh oleh anak–anak mereka akan berpengaruh positif bagi kehidupan anak, sehingga masa depan anak serta kondisi keluarga akan menjadi lebih baik nantinya. Selaras dengan hasil penelitian Permatasari (2010) yang menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan kunci kemandirian bagi manusia oleh karena itu harus menjadi prioritas utama dalam hidup. Karakteristik dominan responden yang tergolong pada tipe ini, tidak jauh berbeda dengan responden pada tipe Pendidikan itu berat. Perbedaan hanya terletak pada tingkat penghasilan mereka yang cenderung lebih tinggi, responden pada tipe ini seluruhnya tersebar pada dua kategori jumlah pendapatan yaitu pada Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dan pada Rp. 500.000,00 hingga Rp. 650.000,00. Jumlah pendapatan inilah yang diduga membuat adanya perbedaan dalam memandang pendidikan, dimana mereka tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai hal yang berat seperti responden pada tipe pertama, namun lebih cenderung melihat pendidikan sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik ke depan. Pandangan tersebut terlihat sebagai pandangan yang optimis terhadap permasalahan pendidikan bagi anak mereka.
7.2.3 Pendidikan Itu dimudahkan Representasi sosial pendidikan itu dimudahkan dimiliki oleh 6 persen responden. Kata–kata yang muncul pada tipe ini ialah sekolah gratis, pendidikan mudah, biaya terjangkau, sekolah terbuka, cicilan biaya pendidikan, dana bantuan, dan terbantu dengan PKH. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden pada tipe ini tidak merasakan pendidikan (untuk saat ini bagi anak mereka) berat diperoleh sehingga tipe ini adalah bagian yang berseberangan dengan representasi sosial mengenai pendidikan yang paling banyak dimiliki oleh responden sebagai RTSM yaitu pendidikan itu berat. Tipe ini juga bertolak belakang dengan definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesra (2002) dalam
80
Kamaluddin (2004) yang menyatakan bahwa masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya usaha dari pemerintah dalam menganggulangi rendahnya akses pendidikan pada masyarakat miskin. Salah satu upaya pemerintah ialah dengan diadakannya dana BOS ataupun PKH komponen pendidikan. Karakteristik responden pada tipe ini juga memiliki banyak persamaan dengan kelompok responden yang berada pada tipe dominan, yaitu pendidikan itu berat. Perbedaan hanyalah pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan mereka. Seluruh responden pada tipe pendidikan itu dimudahkan, tersebar merata pada kategori pendidikan tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SMP. Selanjutnya pada aspek pekerjaan mereka tergolong kepada kategori tidak bekerja, karena lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Terdapat dua sumber nafkah dalam keluarga dan diduga suami dan anaklah yang bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Responden pada kategori ini umumnya ialah peserta PKH yang memiliki anak yang berada pada usia SD, atau anak yang bersekolah di SMP negeri atau SMP terbuka. Pada SD dan SMP negeri/terbuka biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua cenderung tidak terlalu besar, sehingga mereka merepresentasikan pendidikan sebagai suatu hal yang telah dimudahkan untuk diperoleh.
7.3
Representasi Sosial terhadap Kemiskinan Pada penelitian ini, juga dirasakan penting untuk dapat mengetahui
bagaimana representasi sosial peserta PKH terhadap kemiskinan. Hal ini dibutuhkan untuk menjadi informasi tambahan sehingga dapat diketahui bagaimana peserta PKH yang juga tergolong kepada RTSM memandang kondisi hidup mereka yang tergolong, atau hanya digolongkan melalui data statistik, kepada masyarakat sangat miskin. Penelitian dilakukan dengan melakukan asosiasi kata mengenai kata “miskin” kepada 50 orang responden. Setiap responden mengeluarkan satu hingga lima kata yang terlintas dalam pikiran mereka saat mendengar kata miskin diutarakan dan akhirnya terkumpul sebanyak 161 kata. Kata–kata tersebut bukan hanya mencerminkan kehidupan mereka tetapi
81
juga pandangan dan penilaian mereka terhadap kondisi kemiskinan yang pernah mereka lihat baik langsung ataupun tidak langsung, seperti melalui media massa. Seperti hal nya pada representasi sosial terhadap PKH dan pendidikan, pengolahan dilakukan dengan mengelompokkan kata ke dalam kategori kata dan pada bagian ini terdapat tiga kategori kata, yang sekaligus juga menjadi tipe representasi sosial bagi responden terhadap objek kemiskinan. Tipe tersebut ialah (1) Hidup kekurangan dan pendapatan kecil, dengan 111 kali pengulangan kata, (2) Miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup, 34 kali pengulangan, serta (3) Orang miskin tetap bersyukur, 16 kali pengulangan. Jumlah responden berdasarkan perbedaan tipe representasi sosial terhadap kemiskinan terangkum pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe terhadap Kemiskinan (n=50) Tipe representasi sosial terhadap kemiskinan Hidup kekurangan dan pendapatan kecil Miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup Orang miskin tetap bersyukur
n (orang) 33 13 4
n (%) 66 26 8
7.3.1 Hidup Kekurangan dan Pendapatan Kecil Kemiskinan
meliputi
sangat
rendahnya
tingkat
pendapatan
dan
sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan–layanan pokok lainnya; serta tempat tinggal yang jauh dari memadai (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002 dalam Kamaluddin, 2004). Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan peserta PKH yang merupakan masyarakat sangat miskin terhadap kemiskinan itu sendiri. Tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil merupakan tipe dominan yang
dimiliki
oleh
sebagian
besar
responden
(66
persen).
Mereka
mengasosiasikan kata “miskin” dengan kata–kata sebagai berikut: kekurangan, pendapatan sedikit, hidup susah, rumah tidak layak, tidak ada biaya berobat, susah mendaftarkan anak sekolah, suami ga kerja, makan dikesampingkan, makan seadanya, bantuan pemerintah, BLT, santunan, orang tua miskin sehingga sekolah
82
rendah, tidak dapat melanjutkan pendidikan, modal habis, kerja ga matuh, hutang dan beberapa kata lainnya. Menurut peserta PKH, kekurangan dalam hal materi yang dialami masyarakat miskin disebabkan oleh pendapatan yang kecil, pekerjaan yang kurang layak dan kurang menjanjikan, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disebabkan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan mereka yang juga rendah. Tipe ini sejalan dengan hasil penelitian Meyrizki (2010) mengenai representasi sosial masyarakat miskin kota terhadap kemiskinan yang menyatakan bahwa pemilihan tipe orang yang serba kekurangan oleh masyarakat miskin kota berkaitan dengan kualitas hidup mereka yang selalu mengalami kekurangan diberbagai aspek kehidupannya. Selain itu pada tipe ini, peserta PKH menyatakan bahwa orang miskin membutuhkan bantuan agar mereka dapat keluar dari masalah kemiskinan tersebut. Bantuan tersebut khususnya ialah bantuan dari pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan santunan dari tetangga. Karakteristik individu responden yang berada pada tipe ini ialah ibu yang memiliki usia antara 43 hingga 56 tahun dan pendidikan hanya tamat SD. Bekerja sebagai buruh dengan pendapatan kurang dari Rp. 500.000,00. Jumlah sumber nafkah keluarga ialah dua buah, dan jumlah tanggungan hingga 3 orang.
7.3.2 Miskin Harus mempunyai Strategi bertahan Hidup Kondisi masyarakat miskin yang selalu dianggap dan menganggap diri mereka tidak berdaya tampaknya saat ini sudah mengalami sedikit perubahan. Tipe miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup memberikan informasi bahwa masyarakat miskin yang biasanya mengalami kekurangan, diskriminasi dan keterasingan sosial hingga mengalami kekurangan dan keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, berusaha melakukan banyak hal untuk dapat bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Pada tipe ini diperoleh kata–kata istri ikut bekerja, kerja berat, nabung, jangan boros dan anak harus rajin.
83
Responden yang tergolong pada tipe ini cukup besar yaitu sebanyak 26 persen, dan tipe ini menjadi tipe kedua terbesar dalam hal jumlah responden. Karakteristik mereka cenderung sama dengan responden pada tipe pertama terhadap kemiskinan. Hanya terdapat satu perbedaan dimana hampir sebagian dari responden pada tipe ini memiliki usia kurang dari 43 tahun. Usia mereka yang masih cukup muda dibandingkan dengan responden lainnya diduga menyebabkan mereka lebih optimis memandang kehidupan. Walaupun tergolong kepada kelompok miskin, mereka masih memiliki banyak harapan kedepannya dan berpendapat hidup sebagai orang miskin pun harus memiliki strategi bertahan hidup, agar tetap dapat menjalani kehidupan dengan baik.
7.3.3 Orang Miskin Tetap bersyukur Kondisi yang serba kekurangan yang dialami masyarakat miskin tidak membuat masyarakat miskin selalu menyalahkan keadaan. Pada tipe orang miskin tetap bersyukur, terlihat bahwa walaupun mereka hidup dalam kondisi yang kekurangan dan kesulitan, rasa syukur tetap mereka panjatkan kepada Tuhan, ikhlas menerima nasib dan keinginan untuk terus dapat menjalani hidup dengan bahagia. Kata–kata yang muncul seperti Alhamdulillah, bersyukur, menerima dengan ikhlas, tetap senang, dan tidak terlalu dipikirkan. Terdapat 8 persen responden yang tergolong pada tipe ini. Representasi sosial RTSM penerima PKH ini memiliki perbedaan dengan representasi sosial masyarakat miskin kota yang merepresentasikan miskin sebagai orang yang memiliki sifat negatif yang berkaitan dengan sifat–sifat negatif yang cenderung dimiliki oleh masyarakat yang tergolong miskin, yang menyebabkan mereka terus terbelit dalam permasalahan kemiskinan secara ekonomi dalam hidupnya. Tipe tersebut menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki ciri negatif seperti malas, pelaku kejahatan, orang yang selalu pesimis, selalu putus asa dalam hidup, banyak pikiran, masa bodoh dan tidak ingat akan keberadaan Tuhan karena sibuk mencari pekerjaan (Meyrizki, 2010). Perbedaan tersebut diduga dipengaruhi oleh konteks lokasi, dimana RTSM peserta PKH tinggal di daerah sub-urban dengan lingkungan tempat tinggal dan sosial masih cukup baik, nilai religi yang masih cukup kental, kekerabatan yang erat, dan
84
memperoleh berbagai bentuk bantuan dan santunan dari pemerintah sepert BLT, PKH, PNPM, BOS dan lain–lain. Berbeda dengan konteks lokasi penelitian Meyrizki (2010) yang berada di perkampungan kumuh di Kota Jakarta, yang pada umumnya masyarakat miskin di lokasi tersebut kurang memperoleh bantuan dan perhatian lain dari pemerintah. Terdapat 8 persen responden yang tergolong pada tipe ini dan karakteristik mereka tidak jauh berbeda dengan karakteristik responden pada tipe pertama terhadap kemiskinan. Hanya aspek pendapatan yang berbeda, dimana responden pada tipe ini memiliki pendapatan Rp. 500.000,00 hingga di atas Rp. 650.000,00, yaitu kategori pendapatan tertinggi bagi pendapatan RTSM pada penelitian ini. Hal tersebut tampaknya berpengaruh terhadap representasi sosial mereka terhadap kemiskinan. Pendapatan yang lebih baik dibandingkan responden lain membuat beban pikiran mereka sedikit berkurang dan perasaan syukur terlintas dalam pikiran mereka saat mendengar kata miskin, karena membandingkan dengan kondisi kemiskinan yang lebih parah lainnya disekitar mereka. 7.4
Keterkaitan Representasi Sosial Peserta PKH Pada PKH, tipe yang paling dominan bagi peserta ialah PKH untuk biaya
pendidikan anak, pada pendidikan ialah tipe pendidikan itu berat, dan pada kemiskinan ialah tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil (Gambar 15).
PKH PKH untuk untuk biaya pendidikan anak PKH belum memuaskan PKH membuat senang
Representasi Sosial Peserta PKH Pendidikan Kemiskinan Pendidikan itu berat Hidup kekurangan dan pendapatan kecil Pendidikan untuk Miskin harus mempunyai kehidupan yang lebih baik strategi bertahan hidup Pendidikan itu dimudahkan Orang miskin tetap bersyukur
PKH memiliki aturan
Gambar 15. Representasi Sosial Responden sebagai Peserta PKH terhadap PKH, Pendidikan, dan Kemiskinan Pengetahuan peserta PKH terhadap PKH ialah suatu hal yang baru, karena mereka baru mengetahui PKH sejak tahun 2007, dengan kata lain representasi terhadap PKH masih cukup baru dan belum lama terbentuk. Lain hal dengan representasi sosial mereka terhadap pendidikan dan kemiskinan. Representasi
85
sosial terhadap dua objek tersebut mungkin saja telah mengalami proses pembentukan, penjalanan yang panjang, hingga pergeseran makna. Representasi sosial dominan peserta mengenai kemiskinan ialah hidup kekurangan dan pendapatan kecil, tidak jauh berbeda dengan definisi kemiskinan secara umum yang telah lama dikemukakan oleh banyak ahli sebelumnya. Kondisi kemiskinan memang tidak jauh dari masalah hidup dengan kondisi kekurangan, baik kekurangan dalam hal materi, kecilnya pendapatan, maupun kurangnya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan pokok. Representasi sosial mengenai pendidikan juga diduga telah terbentuk sejak lama, yaitu sejak mereka kecil dan mengetahui bahwa mereka atau teman-teman mereka dapat menuntut ilmu di sekolah atau tempat mengaji. Mengenai representasi responden terhadap pendidikan, diduga terdapat semacam perubahan. Hasil wawancara dan penjelasan responden saat asosiasi kata, diketahui bahwa dahulu mereka merasakan untuk memperoleh pendidikan tersebut tidaklah sulit dalam hal pembiayaan. Namun, saat ini kondisi yang berseberangan telah terjadi, dimana mereka menilai pendidikan sangatlah sulit untuk diperoleh karena adanya keterbatasan dalam hal pendanaan dan adanya kekurangmampuan dalam mengakses fasilitas pendidikan seperti mahalnya biaya pendidikan. Representasi sosial terhadap kemiskinan dan pendidikan tersebut terlihat memiliki keterkaitan. Representasi sosial dominan terhadap kemiskinan yaitu tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil diduga menyebabkan representasi sosial terhadap pendidikan yang muncul ialah tipe pendidikan itu berat. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah umum terjadi di indonesia dimana masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan yang cukup besar, dan menyebabkan akses masyarakat yang tergolong miskin menjadi sangat kecil terhadap pendidikan. Namun, permasalahan di atas telah diatasi oleh pemerintah melalui program penanggulangan kemiskinan dan program lain yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan. PKH ialah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan kepada masyarakat miskin untuk mengurangi beban mereka dalam memenuhi biaya pendidikan, disamping mereka juga memperoleh bantuan lain yang juga
86
dapat meningkatkan akses mereka terhadap pendidikan seperti dana BOS, ataupun program sekolah terbuka. Pada PKH telah dilakukan berbagai sosialiasi mengenai program, sehingga peserta dapat mengetahui tujuan, sasaran, hak dan kewajiban mereka sebagai peserta. Tampaknya sosialisasi tersebut cukup berhasil, dimana sebagian besar responden telah memandang dana PKH komponen pendidikan harus digunakan untuk membiayai pendidikan anak mereka dan representasi sosial yang umumnya dimiliki ialah PKH untuk biaya pendidikan anak. Namun, pemberian dana bantuan PKH tersebut belum cukup berpengaruh terhadap pandangan mereka terhadap pendidikan. Hingga penelitian ini dilakukan, dan peserta PKH telah beberapa tahun menerima dana bantuan dari PKH, peserta masih menganggap pendidikan sebagai suatu hal yang sulit diperoleh karena permasalahan biaya. Besar dana bantuan yang masih kurang memadai diduga menyebabkan hal tersebut. Terbukti dengan adanya representasi sosial dominan kedua terhadap PKH yaitu PKH belum memuaskan.
7.5
Ikhtisar Representasi sosial peserta PKH terhadap PKH dapat digolongkan kepada
empat tipe yaitu PKH untuk biaya pendidikan anak, PKH belum memuaskan, PKH membuat senang, dan PKH mempunyai aturan. Tipe pertama ialah bentuk pengetahuan paling minimal yang harus dimiliki oleh peserta PKH, karena telah mendapatkan sosialisasi dari petugas, yaitu penggunaan dana harus untuk biaya pendidikan anak. Tipe kedua adalah bentuk representasi sosial yang berbentuk pendapat terhadap PKH, dimana mereka merasa PKH masih memiliki kekurangan dalam pelaksanaannya. Tipe ketiga ialah bentuk penilaian positif terhadap bantuan PKH karena telah membuat senang dan meringankan beban. Sedangkan tipe keempat ialah bentuk pengetahuan yang lengkap mengenai ketentuan PKH, baik mengenai penggunaan dana ataupun ketentuan lainnya. Tipe kedua dan ketiga melihat PKH dengan sisi emosional, sedangkan tipe pertama dan keempat melihat PKH dengan sisi rasional. Namun, dapat disimpulkan bahwa representasi sosial peserta sudah cukup baik dan sesuai dengan ketentuan PKH karena representasi sosial dominan ialah PKH untuk biaya pendidikan anak.
87
Pada penelitian ini juga didapatkan representasi sosial peserta PKH, yang tergolong kepada masyarakat miskin, mengenai pendidikan dan kemiskinan. Pada objek pendidikan diperoleh tiga tipe yaitu pendidikan itu berat sebagai representasi sosial paling dominan, selanjutnya pendidikan untuk kehidupan lebih baik, dan pendidikan itu mudah. Pada objek kemiskinan juga diperoleh tiga tipe yaitu hidup kekurangan dan pendapatan kecil sebagai representasi sosial paling dominan, miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup, dan orang miskin tetap bersyukur. Representasi sosial terhadap kemiskinan dan pendidikan tersebut terlihat memiliki keterkaitan. Representasi sosial dominan terhadap kemiskinan yaitu tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil diduga menyebabkan representasi sosial terhadap pendidikan yang muncul ialah tipe pendidikan itu berat. Permasalahan kemiskinan dan kurangnya akses terhadap pendidikan tersebut telah coba diatasi oleh pemerintah melalui program penanggulangan kemiskinan dan program lain yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan. Salah satunya dengan PKH komponen pendidikan. Pada PKH telah dilakukan berbagai sosialiasi mengenai program, sehingga peserta mengetahui tujuan, sasaran, dan hak serta kewajiban mereka. Sosialisasi dapat dikatakan berhasil, dimana sebagian besar responden telah mengetahui bahwa dana PKH komponen pendidikan harus digunakan untuk membiayai pendidikan anak mereka dan representasi sosial terhadap PKH ialah PKH untuk biaya pendidikan anak. Namun, pemberian dana bantuan PKH pendidikan tersebut belum cukup berpengaruh kepada pandangan mereka terhadap pendidikan. Terlihat bahwa, setelah menerima bantuan untuk meringankan biaya pendidikan, peserta masih menganggap pendidikan sebagai suatu hal yang sulit diperoleh karena permasalahan biaya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh besar dana bantuan yang diperoleh, masih kurang memadai. Terbukti dengan adanya representasi sosial dominan kedua terhadap PKH yaitu PKH belum memuaskan.
88
BAB VIII HUBUNGAN KARAKTERISTIK PESERTA PKH DENGAN REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PKH Rangkuman mengenai hubungan antara karakteristik peserta PKH, yaitu karakteristik individu dan keterlibatan dalam kelompok, dengan representasi sosial peserta terhadap PKH tertera pada Tabel 18. Terdapat empat variabel yang memiliki hubungan, yaitu yang disertai tanda bintang pada kolom Chi Square. Adapun keterangan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 18. Hubungan antara Karakteristik PKH dengan Representasi Sosial terhadap PKH Karakteristik Peserta PKH Usia Pendidikan Pekerjaan Jumlah sumber nafkah Penghasilan
PKH untuk biaya pendidikan Antara 43–56 tahun Tamat SD Buruh Dua sumber nafkah 350.000 – 500.000 < 2 orang Anggota Jarang
Representasi Sosial terhadap PKH PKH PKH belum membuat memuaskan senang kurang dari 43 Lebih dari 56 tahun tahun Tidak tamat Tidak tamat SD SD Pedagang Serabutan Lebih dari dua Lebih dari sumber nafkah dua sumber nafkah < 350.000 350.000 – 500.000 > 3 orang 2 – 3 orang Anggota Anggota Sering Sering
PKH memiliki aturan Antara 43–56 tahun Tamat SMP; tamat SMA Serabutan Satu; Dua sumber nafkah >650.000
Chi2 P=0,532 p=0,041* p=0,010* p=0,331
p=0,483
Tanggungan 2 – 3 orang p=0,786 Peranan Ketua p=0,010* Pertemuan Sering p=0,752 kelompok Bertemu Jarang Sedang Sedang Sering p=0,001* petugas Interaksi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi p=0,835 dalam kelompok Ket: Presentase tertinggi yang dirangkum dari Lampiran 4. * melalui uji Chi Square terbukti memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial terhadap PKH pada
8.1
Hubungan Karakteristik Individu dengan Representasi Sosial terhadap PKH Karakteristik individu peserta PKH yang menjadi topik analisis pada
penelitian ini ialah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah sumber nafkah, pendapatan, dan tanggungan dalam rumah tangga. Namun karakteristik yang terbukti melalui uji statistik berhubungan nyata dengan representasi sosial peserta terhadap PKH ialah tingkat pendidikan dan pekerjaan.
89
8.1.1 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Representasi Sosial terhadap PKH Tingkat pendidikan peserta PKH memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial peserta terhadap PKH. Responden yang tidak pernah sekolah, hanya tamat SD, menamatkan SMP, atau menamatkan SMA, akan memiliki representasi sosial yang berbeda terhadap PKH. Hasil Uji Chi Square (Lampiran 4) menunjukkan bahwa nilai hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai tabel (21,716> 21,026) dan nilai signifikasi p=0,041(p< 0,05). Responden yang tidak pernah sekolah tergolong pada tipe PKH belum memuaskan (67 persen) dan tipe PKH membuat senang (33 persen). Dapat dikatakan bahwa peserta PKH yang tidak sekolah cenderung hanya merasa senang telah terpilih menjadi penerima bantuan dan mengetahui bahwa program memiliki kekurangan seperti tidak tepat waktu, jumlah bantuan tidak memadai, dan distribusi bantuan belum menyeluruh. Namun mereka tidak mengaitkan representasi terhadap PKH dengan pendidikan. Tidak ada satu pun peserta PKH yang tergolong pada kategori tidak sekolah termasuk pada tipe PKH untuk biaya pendidikan ataupun PKH memiliki aturan. Peserta yang tergolong kepada kategori tamat dan tidak tamat SD, memiliki tipe yang cukup beragam, namun mereka lebih dominan tergolong pada tipe PKH untuk pendidikan anak, yaitu 44 persen pada peserta yang tidak tamat SD, dan 65 persen pada peserta yang tamat SD. Peserta PKH yang walaupun memiliki pendidikan formal rendah yaitu tamat dan tidak tamat SD telah memiliki representasi sosial yang cukup baik, dimana mereka telah merepresentasikan PKH sebagai bantuan yang khusus diberikan pemerintah untuk meringankan beban dalam memenuhi keperluan pendidikan anak, hal tersebut diduga berkaitan dengan karakteristik mereka yang pernah mengecap pendidikan, tidak sama hal nya dengan peserta yang berada pada kategori tidak sekolah. Responden yang memiliki pendidikan yang cukup baik yaitu SMP dan SMA dapat melihat program dengan cukup kritis, dimana mereka tergolong pada tipe PKH untuk pendidikan anak (50 persen bagi responden yang tamat SMP), tipe PKH memiliki aturan (100 persen pada responden tamat SMA dan 25 persen pada responden tamat SMP) dan tipe belum memuaskan (25 persen pada
90
responden tamat SMP). Uniknya, tidak ada satupun dari mereka yang tergolong kepada tipe PKH membuat senang, yaitu tipe yang hanya merepresentasikan PKH sebagai program yang meringankan beban dan membuat senang namun tidak menghubungkannya dengan aspek pendidikan. Khusus pada peserta yang memiliki tingkat pendidikan paling tinggi, yaitu tamat SMA, merepresentasikan PKH sebagai program yang memiliki aturan (100 persen), dimana pada representasi sosial tersebut telah tercakup mengenai kewajiban penggunaan program untuk pendidikan, sanksi yang ada, ataupun mengenai ketentuan lainnya. Pada tipe PKH belum memuaskan, terlihat bahwa semakin rendah tingkat pendidikan responden, semakin belum puas mereka terhadap PKH. Kategori pendidikan yang ada pada tipe PKH belum memuaskan berturut–turut adalah tamat SMP (25 persen), tamat SD (27 persen), tidak tamat SD (38 persen), dan persentase tertinggi ialah pada kategori tidak sekolah (67 persen). Pada tipe membuat senang, terdapat kecenderungan yang sama dimana semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar persentase responden. Responden memiliki pendidikan tamat SMP (4 persen), tamat SD (13 persen), tidak tamat SD (33 persen). Dapat disimpulkan pada tipe PKH belum memuaskan dan PKH membuat senang terlihat kecenderungan semakin rendah tingkat pendidikan peserta PKH, maka representasi sosial yang terbentuk akan terpengaruh. Peserta PKH merasa semakin kurang puas serta hanya menganggap PKH adalah bantuan yang membuat senang, tanpa menghubungkan bantuan kepada penggunaan bagi pemenuhan pendidikan anak, sesuai dengan ketentuan program.
8.1.2 Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Representasi Sosial terhadap PKH Jenis pekerjaan peserta PKH memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial, dengan demikian jenis pekerjaan yang berbeda akan menyebabkan adanya representasi sosial yang juga berbeda. Hasil Uji Chi Square (Lampiran 4) menunjukkan bahwa nilai hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai tabel (26,370>21,026) dan nilai signifikasi p=0,01 (p>0,05) sehingga hipotesis diterima.
91
Responden yang bekerja sebagai pedagang umumnya tergolong pada tipe PKH untuk biaya pendidikan (25 persen) dan PKH belum memuaskan (75 persen). Profesi pedagang disini, seperti yang telah dijelaskan pada karakteristik peserta PKH ialah para pedagang kecil namun penghasilan mereka tergolong relatif lebih baik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya. Mereka mengetahui bahwa dana bantuan PKH harus diutamakan penggunaannya untuk kebutuhan pendidikan anak. Namun, dengan tingkat pendapatan yang cukup lebih baik, penilaian terhadap bantuan PKH pun menjadi “kurang memadai”. Oleh karena itu representasi sosial lainnya yang lebih dominan adalah PKH belum memuaskan. Pada peserta yang memiliki profesi sebagai buruh, representasi sosial yang terbentuk cukup beragam, yaitu PKH untuk biaya pendidikan (63 persen), PKH belum memuaskan (23 persen), serta PKH membuat senang dan PKH memiliki aturan masing-masing 7 persen. Namun dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya mereka berada pada tipe PKH untuk biaya pendidikan. Peserta PKH yang berprofesi sebagai buruh lebih merepresentasikan PKH sebagai program yang meringankan beban pendidikan bagi anaknya Hal tersebut diduga berhubungan dengan tingkat pendapatan mereka yang rendah dan mengharapkan kelak dengan pendidikan yang diperoleh anak, kehidupan keluarga akan menjadi lebih baik. Hal tersebut juga sesuai dengan representasi sosial responden yang berprofesi buruh terhadap pendidikan, dimana mereka memandang pendidikan dibutuhkan untuk peningkatan kualitas kehidupan masa depan anak dan keluarga. Begitu juga dengan peserta yang tidak memiliki pekerjaan, yang disebabkan karena sakit dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Secara umum, mereka memandang PKH sebagai program bantuan untuk pendidikan anak, namun mereka menganggap bahwa dalam pelaksanaannya masih terdapat kekurangan. Sebagian besar dari mereka tergolong kepada representasi sosial PKH untuk pendidikan anak dan PKH belum memuaskan. Dapat disimpulkan bahwa pada peserta yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang, buruh dan yang tidak memiliki pekerjaan, representasi sosial yang terbentuk umumnya ialah PKH sebagai program yang memberikan bantuan untuk biaya pendidikan anak dan program yang belum memuaskan .
92
8.1.3 Karakteristik Peserta PKH yang memiliki Hubungan Tidak Nyata dengan Representasi Sosial terhadap PKH Hasil Uji (Lampiran 4) antara hubungan usia dengan representasi sosial menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (12,592>5,092) dengan nilai signifikasi p=0,532 (p>0,05) sehingga hipotesis ditolak. Artinya, tinggi rendahnya usia tidak berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Pada jumlah sumber nafkah, juga tidak terdapat hubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Hasil Uji menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (12,592>6,891) dengan nilai signifikasi p=0,331 (p>0,05) sehingga hipotesis ditolak (Lampiran 4). Artinya, berapa pun jumlah sumber nafkah peserta PKH tidak berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Hasil Uji penghasilan responden menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (16,919>8,512) dengan nilai signifikasi p=0,483 (p>0,05) sehingga hipotesis ditolak (Lampiran 4). Oleh karena itu, berapa pun jumlah penghasilan rumah tangga peserta PKH, tidak akan berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH yang terbentuk. Pada jumlah tanggungan dalam rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Hasil Uji menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (12,592>3,181) dengan nilai signifikasi p=0,786 (p>0,05) sehingga hipotesis ditolak (Lampiran 4). Artinya, berapa pun jumlah tanggungan yang ada dalam rumah tangga peserta PKH tidak berhubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Melalui keseluruhan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan usia, pendapatan, jumlah sumber nafkah, dan tanggungan yang ada pada rumah tangga peserta PKH, tidak mempengaruhi representasi sosial mereka terhadap PKH. Sehingga hanya terdapat dua karakteristik individu yang memiliki hubungan dengan representasi sosial terhadap PKH yaitu tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Selanjutnya akan dibahas hubungan antara keterlibatan kelompok dengan representasi sosial terhadap PKH.
93
8.2
Hubungan Keterlibatan dalam Kelompok dengan Representasi Sosial terhadap PKH
8.2.1 Hubungan Peranan Peserta dengan Representasi Sosial Hasil Uji Chi Square pada peranan peserta dalam kelompok memiliki hubungan yang signifikan. Dapat dilihat bahwa nilai hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai tabel (11,329>7,8147) dan nilai signifikasi p=0,01 (p<0,05) sehingga hipotesis diterima (Lampiran 5). Peserta yang memiliki peran sebagai ketua dalam kelompok seluruhnya termasuk kepada tipe PKH untuk pendidikan anak (50 persen) dan tipe PKH memiliki aturan (50 persen). Sedangkan, peserta yang hanya berperan sebagai anggota tersebar kepada seluruh tipe yaitu tipe PKH untuk pendidikan anak (52 persen), PKH belum memuaskan (35 persen), tipe PKH membuat senang (9 persen) dan tipe PKH memiliki aturan (4 persen). Peran sebagai ketua, yang memiliki banyak peluang berinteraksi lebih besar dengan petugas ataupun peserta, serta memiliki serangkaian kewajiban yang lebih besar dibandingkan anggota, telah mempengaruhi representasi sosial mereka terhadap PKH. Peserta PKH yang berperan sebagai ketua kelompok lebih mengetahui bahwa PKH harus digunakan untuk pendidikan dan mereka sadar serta mengetahui PKH memiliki aturan yang harus ditaati. Peserta yang hanya menjadi anggota dalam kelompok kurang menyadari bahwa PKH memiliki serangkaian peraturan. Namun umumnya mereka tahu bahwa dana bantuan yang mereka terima harus digunakan untuk kepentingan sekolah anak mereka. Dapat disimpulkan bahwa peranan peserta PKH sebagai ketua dalam kelompok akan membuat representasi sosial terhadap PKH lebih sesuai dengan ketentuan. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh tugas dan kewajiban yang dimiliki oleh ketua yang menuntutnya untuk mengetahui PKH lebih baik dibandingkan anggota lainnya, sehingga representasi sosial yang terbentuk pun lebih sesuai dengan ketentuan PKH, dibandingkan dengan anggota lain.
94
8.2.2 Hubungan Intensitas Pertemuan Kelompok dengan Representasi Sosial terhadap PKH Pada intensitas pertemuan kelompok tidak terdapat hubungan nyata dengan representasi sosial terhadap PKH. Hasil Uji menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (7,815>1,205) dengan nilai signifikasi p=0,752 (p>0,05) sehingga hipotesis ditolak (Lampiran 5). Artinya, tidak terdapat hubungan antara intensitas pertemuan kelompok dengan representasi sosial yang terbentuk pada peserta PKH tentang PKH. Walaupun peserta jarang atau sering mengikuti pertemuan kelompok, representasi sosial mereka terhadap PKH tidak akan jauh berbeda dengan peserta yang menghadiri seluruh pertemuan kelompok. Pertemuan kelompok telah berlangsung lebih enam kali hingga saat penelitian dilakukan sedangkan Informasi yang diberikan oleh petugas mengenai ketentuan program umumnya sama pada setiap pertemuan kelompok. Oleh karena itu, walaupun peserta tidak menghadiri satu atau dua kali dari total pertemuan kelompok, informasi yang mereka peroleh mengenai PKH akan cenderung sama dengan peserta yang menghadiri setiap pertemuan kelompok, dan representasi sosial yang terbentuk pun tidak terpengaruh olehnya.
8.2.3 Hubungan Intensitas bertemu Petugas dengan Representasi Sosial Intensitas bertemu petugas pendamping PKH dengan representasi sosial tentang PKH memiliki hubungan yang signifikan. Hasil Uji (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nilai hitung lebih besar daripada nilai tabel (21,606>12,592) dengan nilai signifikasi p=0,001 (p<0,05). Perbedaan intensitas pertemuan peserta PKH dengan petugas pendamping akan berpengaruh pada representasi sosial terhadap PKH yang terbentuk pada masing-masing peserta. Bertemu dengan petugas ialah salah satu faktor pengontrol sederhana bagi peserta PKH karena saat bertemu dengan petugas mereka akan lebih termotivasi untuk memenuhi peraturan. Selain itu, atribut yang ada pada petugas (misalnya pakaian seragam) juga akan turut membantu mereka dalam mengingat PKH dan ketentuannya. Peserta yang berada intensitas jarang bertemu pendamping, tergolong pada tipe PKH untuk pendidikan anak (67 persen) dan PKH belum memuaskan (33 persen). Selanjutnya, peserta yang bertemu petugas pendamping pada kategori
95
sedang tergolong pada kategori PKH untuk pendidikan anak (52 persen), PKH belum memuaskan (36 persen), PKH membuat senang (10 persen) dan PKH memiliki aturan (2 persen). Hal tersebut berbeda dengan peserta yang bertemu lebih sering dengan petugas yang hanya tergolong kepada dua tipe yang paling sesuai dengan ketentuan yang ada pada PKH, yaitu tipe PKH untuk pendidikan anak (40 persen), dan tipe PKH memiliki aturan (60 persen). Intensitas sering bertemu petugas mempengaruhi representasi sosial peserta PKH yaitu menyebabkan representasi sosial yang terbentuk lebih sesuai dengan ketentuan program, dimana penggunaan PKH harus diutamakan untuk pendidikan dan yang paling utama dan dominan ialah PKH memiliki aturan, bahkan mereka tidak memiliki evaluasi negatif terhadap program (tidak tergolong pada tipe PKH belum memuaskan). Dapat dijelaskan juga bahwa peserta yang jarang bertemu petugas hanya mengetahui PKH secara umum, yaitu mengenai pengutamaan penggunaan dana. Sedangkan peserta yang cukup sering/dan sering bertemu petugas, mengetahui PKH lebih dalam lagi yaitu pada seluruh representasi sosial yang ada.
8.2.4 Hubungan Interaksi antar Anggota dengan Representasi Sosial terhadap PKH Pada interaksi antar peserta juga tidak terdapat hubungan yang nyata dengan representasi sosial terhadap PKH. Hasil Uji menunjukkan bahwa nilai tabel lebih besar daripada nilai hitung (7,815>0,859) dengan nilai signifikasi p=0,331
(p>0,05)
sehingga
hipotesis
ditolak
(Lampiran
5).
Artinya,
bagaimanapun tingkat interaksi peserta PKH dengan peserta lainnya, tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial terhadap PKH. Hal ini bertolak belakang dengan teori yang ada pada representasi sosial, yang menyatakan bahwa penyebaran pengetahuan antara anggota sebuah komunitas akan mempengaruhi representasi sosial (Jost dan Ignatow, 2001).
8.3
Ihktisar Karakteristik individu peserta PKH yang dianalisis pada penelitian ini
ialah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah sumber nafkah, pendapatan, dan tanggungan rumah tangga. Namun karakteristik peserta PKH yang terbukti
96
melalui uji statistik berhubungan nyata dengan representasi sosial peserta terhadap PKH ialah tingkat pendidikan dan pekerjaan. Pola yang sangat terlihat ialah semakin rendah tingkat pendidikan, representasi sosial peserta akan semakin berada pada tipe PKH membuat senang dan PKH belum memuaskan. Responden yang bekerja sebagai pedagang, buruh, dan tidak memiliki pekerjaan cenderung berada pada tipe PKH untuk biaya pendidikan dan PKH belum memuaskan. Keterlibatan dalam kelompok juga memiliki hubungan nyata dengan representasi sosial terhadap PKH, khususnya peranan dalam kelompok dan intensitas bertemu petugas PKH. Peranan sebagai ketua kelompok memiliki representasi sosial yang sangat sesuai dengan materi sosialisasi program, yaitu pada tipe PKH untuk pendidikan anak dan PKH memiliki aturan. Selanjutnya, peserta yang lebih sering bertemu pendamping PKH memiliki representasi sosial yang juga sesuai dengan ketentuan PKH, dimana mereka menganggap penggunaan dana PKH harus diutamakan untuk pendidikan dan PKH memiliki aturan.
97
BAB IX PERILAKU PEMENUHAN KEWAJIBAN PESERTA PKH Peserta PKH diharuskan untuk memenuhi kewajibannya agar dapat terus mendapatkan hak sesuai dengan aturan yang tertera pada Pedoman Operasional PKH. Hak peserta PKH yang dimaksudkan disini ialah kesempatan untuk memperoleh bantuan uang tunai, sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan pada ketentuan PKH. Selanjutnya kewajiban ialah menghadiri pertemuan awal, pertemuan kelompok, mendaftarkan anak ke satuan pendidikan, dan mematuhi komitmen yaitu memotivasi anak agar memenuhi persyaratan kehadiran sesuai dengan standar kehadiran PKH. Dalam penelitian ini, kewajiban yang diukur ialah: (1) intensitas mengikuti pertemuan kelompok, (2) mendaftarkan anak ke satuan pendidikan, (3) tingkat kehadiran anak di sekolah yang sesuai dengan standar PKH, (4) penggunaan dana untuk
memenuhi
kebutuhan
pendidikan
anak,
serta
(5)
memberi
dukungan/motivasi kepada anak dalam kegiatan belajarnya. Berikut adalah Tabel 19, yang berisi rangkuman mengenai perilaku peserta PKH tersebut. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Perilaku Pemenuhan Kewajiban sebagai Peserta PKH (n=50) Uraian n n Perilaku Pemenuhan Kewajiban (orang) (%) Peserta PKH Intensitas mengikuti pertemuan kelompok Mendaftarkan anak ke satuan pendidikan Tingkat kehadiran anak di sekolah Penggunaan dana PKH untuk pendidikan Dukungan bagi kegiatan belajar anak
Jarang Sering Tidak Ya Tidak memenuhi standar Memenuhi standar Rendah Tinggi Rendah Sedang Tinggi
4 46 2 48 2 48 20 30 7 30 13
8 92 4 96 4 96 40 60 14 60 26
Umumnya responden telah melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Pada lima variabel yang diukur, sebaran responden cenderung berada pada kategori baik. Responden sering mengikuti pertemuan kelompok, telah mendaftarkan anak ke sekolah, serta tingkat kehadiran anak umumnya telah memenuhi standar. Penggunaan dana PKH untuk pendidikan cukup tinggi. Hanya
98
dukungan terhadap kegiatan belajar anak yang memiliki nilai sedang. Berikut penjelasan selanjutnya.
9.1
Mengikuti Pertemuan Kelompok Pertemuan kelompok ialah salah satu sarana interaksi antara peserta PKH
dengan petugas pendamping PKH. Pertemuan tersebut minimal dilakukan sekali dalam 3–4 bulan yaitu setelah pencairan dana bantuan berlangsung, ataupun bisa lebih sering tergantung dengan kondisi di suatu wilayah. Seluruh peserta PKH diwajibkan hadir dalam setiap pertemuan kelompok agar mereka bisa mendapatkan informasi langsung dari petugas pendamping. Informasi yang diperoleh memungkinkan para peserta untuk dapat mengetahui kewajiban mereka serta membantu untuk mengingatkan apa saja kewajiban mereka sebagai peserta PKH. Tujuan dari hal tersebut ialah agar dana yang mereka peroleh selalu digunakan sesuai dengan peraturan PKH. Selain itu, pertemuan ini merupakan sarana yang dapat digunakan oleh peserta untuk menyampaikan saran, kritik serta pertanyaan kepada petugas PKH yang mendampingi mereka. Informasi yang mereka peroleh setiap kali pertemuan kelompok akan berpengaruh kepada pengetahuan, keyakinan dan pendapat mereka terhadap PKH. Selanjutnya sikap mereka juga akan terpengaruh oleh informasi tersebut, karena adanya ketentuan yang ditetapkan oleh PKH yang harus mereka penuhi selama mereka menjadi peserta PKH. Singkat kata, melalui interaksi seorang peserta PKH dengan anggota kelompok lainnya dan petugas pendamping dalam pertemuan kelompok akan berhubungan dengan representasi sosial tentang PKH. Tidak ada satu pun responden yang memiliki skor rendah dalam hal menghadiri pertemuan kelompok (Tabel 19). Hal ini disebabkan oleh adanya aturan yang berlaku ketat, dimana peserta PKH diwajibkan untuk mengikuti pertemuan kelompok jika ia masih tetap ingin menerima haknya. Selain itu, kewajiban menghadiri pertemuan kelompok tersebut bukan hal yang berat, karena pertemuan hanya dilakukan sekali dalam 3–4 bulan atau setiap seminggu setelah pencairan dana bantuan PKH berlangsung. Pertemuan tersebut dilakukan dalam lingkup kelompok yang beranggotakan maksimal 25 orang dan didampingi oleh seorang petugas pendamping. Pertemuan diadakan disalah satu rumah anggota
99
kelompok yang berdekatan dengan rumah anggota kelompok lainnya agar mempermudah setiap anggota kelompok menghadiri pertemuan tersebut. Berikut kutipan dari salah seorang responden. “Pertemuan kelompok itu ga berat kok untuk dilaksanain. Emak bisa ngumpul–ngumpul (sama teman sekelompok), ya anggap aja silaturrahmi. Selain itu bisa dapat informasi dari Pak Asep (salah satu petugas pendamping PKH di Balumbang Jaya). Lagian cuma beberapa bulan sekali diadainnya.”(M, 50 tahun) Persentase tertinggi (92 persen) ialah pada kategori skor tinggi dimana peserta PKH menghadiri 3–4 kali pertemuan kelompok dalam setahun terakhir. Kategori sedang menempati urutan kedua (8 persen), dimana peserta PKH hanya mengikuti 1–2 kali pertemuan kelompok, karena berhalangan hadir. Pada umumnya, mereka sedang bekerja dan tidak dapat meninggalkan pekerjaan tersebut. Jika ketidakhadiran terjadi berulangkali, biasanya para petugas PKH akan mengunjungi rumah peserta PKH yang tidak menghadiri pertemuan kelompok untuk menanyakan alasan ketidakhadiran mereka dan memberikan informasi penting dari hasil pertemuan kelompok tersebut. Gambar 16 menunjukkan persentase intensitas responden dalam mengikuti pertemuan kelompok. . Frekuensi mengikuti pertemuan kelompok 92%
8% Jarang
Sering
Gambar 16. Sebaran Responden menurut Intensitas mengikuti Pertemuan Kelompok
Pada pertemuan kelompok, hal yang paling sering menjadi topik pembicaraan ialah mengenai kewajiban peserta PKH. Pada kesempatan tersebut biasanya petugas PKH menginformasikan kembali mengenai hal–hal apa saja yang harus dilakukan oleh peserta PKH terkait dengan penggunaan program. Terkadang, petugas pendamping juga menanyakan kepada peserta PKH untuk apa sajakah uang bantuan tersebut digunakan. Hal ini dapat menjadi sebuah faktor
100
pengontrol sederhana bagi peserta PKH, dimana petugas pendamping berusaha mengetahui penggunaan dana dan peserta termotivasi untuk menggunakan uang bantuan sesuai dengan semestinya. Pada kesempatan ini, petugas pendamping juga melakukan validasi data yaitu menanyakan informasi terbaru mengenai kondisi keluarga, apakah ada peserta PKH yang hamil/melahirkan, anak peserta yang masuk SD, melanjutkan ke SMP, ataupun lulus SMP. Validasi ini sangat dibutuhkan karena kondisi keluarga RTSM akan mempengaruhi jumlah dana bantuan yang akan diterima untuk pencairan dana PKH selanjutnya. Bentuk formulir validasi data yang digunakan oleh petugas dapat dilihat pada Lampiran 3. Topik pembicaraan mengenai sanksi berada pada posisi yang jauh berbeda dibandingkan dengan topik kewajiban, yaitu menjadi topik pembicaraan yang paling sedikit dibicarakan. Menurut peserta PKH di beberapa RW, petugas pendamping tidak pernah menjelaskan mengenai sanksi yang ada pada PKH. Walaupun tidak mengetahui dengan jelas mengenai sanksi, mereka tetap merasa bertanggung jawab besar melaksanakan seluruh kewajiban. Peserta berpendapat, jika mereka menerima dana bantuan, kewajiban pun harus mereka laksanakan, terlepas ada ataupun tidak sanksi pada PKH. Selama pertemuan kelompok berlangsung, sebagian besar responden memiliki
tingkat
keterlibatan
yang
tergolong
sedang
yaitu
responden
mendengarkan penjelasan petugas pendamping dan bertanya kepada petugas hanya jika ada hal yang tidak dimengerti. Selanjutnya tingkat keterlibatan rendah berada pada posisi kedua dimana responden hanya mendengarkan, dan tidak bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti. Hanya sebagian kecil responden yang berada pada keterlibatan tinggi, dimana mereka mendengarkan penjelasan pendamping dan bertanya jika terdapat hal yang tidak mengerti, selanjutnya mereka ikut aktif menjelaskan kepada peserta lain dan umumnya mereka ialah ketua kelompok dan sebagian kecil peserta yang berstatus anggota.
9.2
Menyekolahkan anak Kewajiban selanjutnya ialah keharusan peserta dalam menyekolahkan
anaknya. Pada PKH terdapat peraturan yang mengharuskan anak peserta PKH
101
untuk didaftarkan ke satuan pendidikan ke SD, SD Luar Biasa, Madrasah Ibtidaiyah, SMP, SMP Luar Biasa, SMP Terbuka, Madrasah Tsanawiah, Pesantren Salafiyah, serta Pesantren Diniyah Formal atau satuan pendidikan setara SD dan SMP lainnya. Sebagian besar responden telah melaksanakan kewajiban tersebut, dimana 96 persen dari responden telah mendaftarkan anak mereka ke satuan pendidikan, seperti pada Gambar 17.
Mendaftarkan anak ke satuan pendidikan 96% 4% Tidak
Ya
Gambar 17. Sebaran Responden menurut Pemenuhan Kewajiban mendaftarkan Anak ke Satuan Pendidikan
Pada Gambar 17 juga terlihat bahwa sebanyak 4 persen respoden tergolong kepada kategori lainnya yaitu tidak mendaftarkan salah satu/beberapa orang diantara anak–anak mereka ke satuan pendidikan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa responden tidak menyekolahkan anaknya karena hal tersebut adalah keinginan anaknya. Peserta PKH sebagai orang tua telah berusaha agar anak tetap sekolah, namun mereka tidak bisa terlalu memaksakan kehendak mereka kepada anak. Berikut kutipan dari penjelasan responden tersebut. Dia (anak perempuan responden) tidak mau melanjutkan sekolahnya lagi ke SMP. Bapak udah kasih nasihat, tapi mau bagaimana lagi, mungkin dia memang tidak kuat belajar. Tapi kalau adiknya (anak laki–laki) harus tetap sekolah, sekolah yang tinggi. Anak laki–laki harus berpendidikan. (SH, 42 tahun) 9.3
Tingkat Kehadiran Anak di Sekolah Tingkat kehadiran anak ialah salah satu hal yang menjadi sorotan dalam
ketentuan PKH, setelah anak wajib didaftarkan ke sekolah. Setiap anak peserta yang mendapat bantuan PKH diharuskan untuk dapat memenuhi standar kehadiran tatap muka, yaitu sebanyak 85 persen dari total hari tatap muka di sekolah. Bukti bahwa anak–anak peserta PKH telah memenuhi komitmen pendidikan diperoleh dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh tenaga pendidik
102
(guru/tutor) dan diketahui oleh kepala sekolah/kepala penyelenggara satuan pendidikan. Petugas pendamping dan pihak sekolah berkoordinasi dalam mengontrol hal ini. Setiap bulannya petugas pendamping mengunjungi setiap sekolah dimana anak peserta PKH terdaftar dan mengumpulkan absensi anak. Absensi tersebut nantinya anak dilaporkan ke UPPKH kabupaten/kota. Selanjutnya, jika ada anak peserta PKH yang tidak dapat memenuhi standar tersebut, maka RTSM tersebut akan mendapatkan sanksi. Tingkat kehadiran anak yang diperoleh dari hasil penelitian ini cukup bagus, dimana sebagian besar (96 persen) peserta telah dapat memenuhinya. Hanya 4 persen responden yang tidak memenuhi standar kehadiran. Salah satu responden memiliki 2 orang anak yang telah berumur 13 dan 14 tahun, namun tidak aktif dalam kegiatan belajar di sekolah karena anak–anak tersebut malas sekolah. Berikut kutipan dari penjelasan responden tersebut. “Ibu sebenarnya takut kena hukum (sanksi) karena udah tujuh bulan ini anak–anak ibu ga ada yang mau sekolah lagi, padahal uangnya masih ibu terima. Uangnya bukan ibu gunain sendiri, tapi buat sekolah dua orang cucu ibu yang udah yatim, mereka sekarang tinggal sama ibu. Kalau boleh mah, untuk pencairan selanjutnya uangnya dipindahin aja buat cucu, kayaknya anak ibu emang udah ga mau sekolah lagi.” (M, 56 tahun) Berikut adalah Gambar 18 yang berisi persentase responden menurut pemenuhan kewajiban mereka, yaitu tingkat kehadiran anak sesuai dengan standar PKH (85 persen dari total tatap muka).
Tingkat kehadiran anak di sekolah 96%
4% Tidak memenuhi standar
Gambar 18.
Memenuhi standar
Sebaran Responden menurut Tingkat Pemenuhan Standar Kehadiran Anak Mereka di Sekolah
103
9.4
Penggunaan Dana PKH Dana bantuan yang diterima oleh setiap peserta PKH memiliki perbedaan
jumlah sesuai dengan kondisi rumah tangga mereka. Seperti pada Tabel 3 mengenai skenario bantuan PKH telah terlihat bahwa perbedaan tersebut menyebabkan beberapa kemungkinan dana yang akan diterima peserta komponen pendidikan. Bantuan tetap yang diterima peserta PKH selama setahun pencairan ialah Rp. 200.000,00. Bantuan tetap tersebut ditambah dengan bantuan komponen pendidikan yang diberikan sesuai dengan jenjang pendidikan anak yang menjadi tanggungannya dalam PKH. Setiap tahun, total bantuan yang diberikan kepada RTSM yang hanya memiliki anak SD ialah sebesar Rp. 600.000,00, RTSM yang hanya memiliki anak SMP sebesar Rp. 1.000.000,00, dan bagi RTSM yang memiliki anak SD dan SMP ialah sebesar Rp. 1.400.000,00. Sebesar 44 persen responden menerima bantuan PKH sebesar Rp. 600.000,00. Selanjutnya responden penerima dana bantuan sebesar RP. 1.000.000,00 dan Rp. 1.400.000,00 memiliki jumlah yang sama yaitu masing-masing 28 persen responden. Jumlah anak pada jenjang pendidikan yang sama mungkin saja lebih dari satu orang, karena di dalam ketentuan PKH tidak ada pembedaan jumlah anak yang berada pada jenjang pendidikan yang sama. Selama tahun 2007 hingga 2009 bantuan tersebut didistribusikan dalam tiga kali pencairan dana bantuan. Sehingga bantuan yang diterima peserta PKH ialah satu per tiga jumlah dana bantuan pertahun. Namun pada tahun 2010 terdapat sebuah aturan baru dari PKH pusat dimana bantuan akan didistribusikan dalam empat kali pencairan, dan peserta menerima jumlah bantuan yang lebih kecil pada setiap kali pencairan yaitu satu per empat total bantuan pertahunnya. Namun peserta PKH lebih menginginkan bantuan tetap dibagikan dalam tiga kali pencairan, atau bahkan dua kali pencairan, sehingga dana yang diterima tidak terlalu kecil dan lebih memudahkan dalam pengaturan penggunaannya. Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 19, sebagian besar responden telah memprioritaskan penggunaan dana PKH untuk kebutuhan pendidikan anak (persentase penggunaan dana untuk pendidikan anak pada kategori tinggi, yaitu 60 persen). Sedangkan sebagian lainnya juga menggunakan
104
dana untuk kebutuhan selain pendidikan anak (termasuk kategori rendah 40 persen). Secara umum, penggunaan dana PKH untuk keperluan pendidikan ialah untuk keperluan anak selama kegiatannya di sekolah, seperti ongkos ke sekolah, membeli buku, sepatu, membayar uang sekolah, dan untuk jajan anak. Selain itu, penggunaan yang berada di luar keperluan pendidikan ialah jika uang bantuan juga digunakan untuk membeli kebutuhan dapur, beras, beli baju, kebutuhan sekolah anak SMA, dan untuk kebutuhan anggota keluarga lainnya. Persentase penggunaan dana PKH untuk kebutuhan pendidikan atau non pendidikan tersebut terlihat pada Gambar 19 berikut ini. Penggunaan dana PKH untuk pendidikan 40%
Rendah
Gambar 19.
60%
Tinggi
Sebaran Responden menurut Penggunaan Dana PKH untuk Pemenuhan Kebutuhan
Penggunaan dana bantuan tertinggi ialah untuk ongkos anak. Umumnya, responden memiliki anak yang sekolah di SMP. Banyak dari siswa SMP, khususnya pada penelitian ini adalah anak responden, yang memilih untuk bersekolah di luar kelurahan, karena di Balumbang Jaya hanya terdapat satu buah SMP. Terkadang jarak sekolah dengan rumahnya cukup jauh sehingga untuk mencapai sekolah, anak responden harus naik kendaraan umum. Selain itu, menurut beberapa orang responden yang memiliki anak usia SMP, mereka mendaftarkan anak ke sekolah yang jaraknya cukup jauh karena di sekolah tersebut biaya pendidikan yang harus dibayar tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan sekolah yang berada di dekat pemukiman responden. Selanjutnya ialah penggunaan uang bantuan bagi perlengkapan anak sekolah. Perlengkapan tersebut meliputi pembelian seragam, tas, sepatu, buku pelajaran (Lembar Kerja Siswa/LKS), buku tulis, dan uang jajan. Hal yang menarik ialah pada setiap pencairan (pada penelitian ini ditanyakan tiga kali tahap pencairan) kategori pembelian seragam, tas, dan sepatu selalu muncul pada kelompok lima besar. Padahal barang–barang tersebut adalah barang yang tahan
105
lama, dan pembeliannya tidak harus dilakukan dalam setiap 3–4 bulan atau pada setiap kali pencairan. Melalui wawancara pada beberapa responden, dapat diketahui bahwa hal tersebut mungkin disebabkan oleh salah satu kemungkinan berikut. Pertama, peserta PKH memiliki lebih dari satu orang anak yang terdaftar sekolah sehingga pada setiap kali pencairan dana bantuan dibelikan untuk anak yang berbeda dan anak akan mendapatkan peralatan tersebut secara bergiliran dengan anak yang lainnya, berikut kutipan ungkapan responden tersebut. “Kalau dapat uangnya, ibu beliin anak–anak sepatu, tas, seragam. Tapi ya ganti–gantian (karena uangnya terbatas). Pencairan sekarang adeknya dulu yang dibeliin sepatu, kakaknya seragam. Ntar gantian”. (E, 31 tahun) Kedua, khusus untuk penggunaan bantuan PKH untuk pembelian sepatu dan tas, beberapa responden mengungkapkan bahwa pembelian dilakukan hampir setiap kali pencairan karena kualitas barang yang mereka beli rendah, sehingga dalam penggunaan kurang–lebih 3 bulan, tas dan sepatu tersebut telah rusak dan harus membeli yang baru pada pencairan selanjutnya. Mereka membeli barang murah karena uang yang diterima juga harus digunakan untuk kebutuhan lainnya dan di lokasi pembelian terdekat (pertimbangan biaya perjalanan yang murah) hanya menyediakan barang–barang tersebut. Misalnya peserta yang memiliki anak SD hanya menerima satu per empat dari total bantuan per tahun Rp. 600.000,00, berarti ia menerima Rp. 150.000,00. Uang digunakan untuk membeli tas yang kira-kira memiliki harga Rp. 30.000,00 dan atau sepatu yang juga berharga sama, untuk satu atau dua orang anak sekaligus, jika responden memiliki lebih dari satu orang anak yang sekolah pada tingkatan SD. Ongkos dari Kelurahan Balumbang Jaya ke Babakan Raya, atau disebut juga dengan Bara oleh masyarakat sekitar ialah Rp. 4.000,00 – Rp. 6.000,00 untuk ongkos ojeg pulang–pergi atau ditempuh dengan angkot dengan ongkos Rp. 2.000,00, ataupun hanya dengan berjalan kaki. Selain itu juga terdapat kebutuhan lainnya seperti iuran di sekolah dan kebutuhan jajan anak, sehingga penggunaan uang tersebut harus diperhitungkan dengan cermat. Berikut pernyataan responden.
106
“Setiap pencairan ibu selalu beli sepatu dan tas bukan apa–apa neng. Sepatu dan tas anak sekarang mudah rusak. Kalo beli yang mahal ga bisa, masa’ uangnya cuma buat beli sepatu aja. Kebutuhan lainnya kan masih banyak… kalau belinya sih di babakan raya… yang deket aja biar ongkosnya murah.” (S, 43 tahun) Alasan ketiga ialah, keinginan responden untuk menggunakan uang bantuan bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan anaknya, namun dapat diperlihatkan secara langsung kepada petugas pendamping. Berikut kutipan dari salah seorang responden. “Ini tas yang baru lagi (menunjukkan tas ransel berwarna pink kepunyaan anaknya)… yang kemaren masih bener sih neng, tapi ibu beli lagi aja. Buat diliatin ke petugas (membuktikan kepada petugas), kalo ibu udah pake uangnya buat anak.” (E, 31 tahun) 9.5
Dukungan bagi Kegiatan Belajar Anak Dukungan orang tua sangat dibutuhkan oleh anak dalam berbagai
kegiatan, termasuk kegiatan belajar di sekolah maupun di rumah. Saat anak belajar di sekolah, orang tua dapat berpartisipasi dalam bentuk melarang anak bolos, mengingatkan anak untuk pergi ke sekolah, mengantar-jemput anak ke sekolah, mengetahui jadwal ulangan, mengecek kehadiran, menanyakan kemajuan belajar dan berkonsultasi mengenai permasalahan anak kepada guru. Disamping hal tersebut, saat anak melakukan kegiatan belajar di rumah orang tua juga dapat turut berpartisipasi seperti mengingatkan waktu belajar, menemani anak balajar, memberi semangat dan motivasi untuk belajar, mengatur waktu belajar, mengajari saat anak mengalami kesulitan belajar, serta memberi reward–punishment. Dukungan responden terhadap kegiatan belajar anak cukup baik namun umumnya tidak berada pada kategori nilai tinggi (Tabel 19). Sebagian besar responden berada pada kategori sedang (60 persen). Hal tersebut diduga berhubungan dengan tingkat pendidikan responden yang cenderung rendah yaitu tamat SD, dan responden tidak mampu mendampingi kegiatan belajar anak secara maksimal seperti membantu dalam belajar. Menurut keterangan salah seorang responden yang memiliki dua orang anak yaitu SD dan SMP menyatakan bahwa, ia hanya bisa menemani dan mengajari anaknya yang masih SD, sedangkan anak yang SMP hanya belajar sendiri atau bersama temannya. Selain itu juga diduga
107
faktor pekerjaan responden juga mempengaruhi. Kondisi responden yang terkadang sibuk bekerja tidak memungkinkan bagi responden untuk dapat mendampingi anak seperti mengantar-jemput ke sekolah, menemani belajar, serta mengatur waktu belajar anak ataupun menanyakan dan berkonsultasi mengenai permasalahan anak kepada guru. Tingkat dukungan responden (dalam persen) terhadap kegiatan belajar anak terlihat pada Gambar 20.
Dukungan bagi kegiatan belajar anak 60% 26%
14% Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 20. Sebaran Responden menurut Dukungan pada Kegiatan Belajar Anak
9.6
Ikhtisar Bentuk-bentuk perilaku pemenuhan kewajiban peserta PKH yang diukur
dalam penelitian ini ialah: (1) intensitas mengikuti pertemuan kelompok, (2) mendaftarkan anak ke satuan pendidikan, (3) tingkat kehadiran anak di sekolah yang sesuai dengan standar PKH, (4) penggunaan dana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, serta (5) memberi dukungan/motivasi kepada anak dalam kegiatan belajarnya. Sebaran responden cenderung berada pada kategori baik dan dapat disimpulkan bahwa umumnya responden telah melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Responden tergolong sering mengikuti pertemuan kelompok, telah mendaftarkan anak ke sekolah, serta tingkat kehadiran anak umumnya telah memenuhi standar. Selain itu, penggunaan dana PKH untuk pendidikan cukup tinggi. Hanya satu variabel yang memiliki kecenderungan berbeda, yaitu dukungan terhadap kegiatan belajar anak yang berada pada nilai sedang. Pemenuhan kewajiban peserta yang cukup baik tersebut, diduga dipengaruhi oleh adanya penetapan peraturan dengan cukup ketat yang disertai dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh petugas PKH. Sehingga setelah menerima bantuan, peserta PKH tidak lepas dari adanya ikatan peraturan PKH. Hal seperti ini sudah cukup baik jika dilaksanakan pada program
108
penanggulangan bantuan agar dana bantuan yang diberikan tidak terbuang sia-sia karena adanya penyalahgunaan oleh pelaksana ataupun penerimanya. Adanya peraturan mengenai kewajiban ini, juga mempunyai peranan dalam peningkatan status perempuan dalam keluarga. Pada PKH perempuan memiliki andil dalam mengelola keuangan yang diperoleh dari PKH, atau sebagai peserta program. Tidak seperti pada kebanyakan program pemerintah lainnya yang lebih melibatkan kepala rumah tangga, yang umumnya ialah laki-laki.
109
BAB X HUBUNGAN REPRESENTASI SOSIAL TERHADAP PKH DENGAN PERILAKU PEMENUHAN KEWAJIBAN PESERTA PKH Hipotesis penelitian ini, representasi sosial terhadap PKH pada peserta PKH diduga akan mempengaruhi kecenderungan berperilaku mereka khususnya dalam memenuhi kewajiban sebagai penerima program bantuan. Hal tersebut merujuk pada pendapat Campbell (1963) yang dikutip oleh Bergmann (1998) menyatakan bahwa representasi sosial, sikap, dan nilai dapat dipertimbangkan sebagai kecenderungan untuk bertingkah laku (Behavioural dispositions), yang hampir seluruhnya disosialisasikan khususnya antar anggota kelompok. Perilaku peserta yang dilihat hubungannya dengan representasi sosial ialah mengikuti pertemuan kelompok, mendaftarkan anak ke sekolah, tingkat kehadiran anak di sekolah yang memenuhi standar, memenuhi kebutuhan pendidikan anak dengan dana bantuan, dan dukungan dalam kegiatan belajar anak. Namun dari penelitian ini ditemukan bahwa seluruh variabel perilaku tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial yang telah terbentuk tentang PKH. Berikut adalah Tabel 20, yang merangkum hubungan antara representasi sosial dengan perilaku peserta PKH. Adapun informasi lengkap mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 20. Hubungan Representasi Sosial dengan Perilaku Pemenuhan Kewajiban Peserta PKH Perilaku Pemenuhan Kewajiban RTSM
Tipe representasi sosial terhadap PKH PKH untuk PKH belum PKH PKH biaya memuaskan membuat memiliki pendidikan senang aturan Sering Sering Sering Sering
Chi2
Pertemuan p=0,752 Kelompok Mendaftarkan anak Ya Ya Ya Ya p=0,219 sekolah Tingkat kehadiran Memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi p=0,219 yang memenuhi standar standar standar standar standar Memenuhi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah p=0,887 kebutuhan dengan Tinggi dana PKH Dukungan terhadap Sedang Sedang Sedang Sedang p=0,537 aktivitas belajar Tinggi anak Ket: berdasarkan persentase tertinggi yang dirangkum dari Lampiran 6. Hasil uji menunjukkan seluruh perilaku tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial (p>0,05).
110
Uji Chi Square menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel ini tidak memiliki hubungan yang nyata (seluruhnya memiliki p> 0,05 seperti terlihat pada Lampiran 6), dengan kata lain perilaku yang muncul pada responden, tidak memiliki hubungan dengan representasi sosial yang mereka miliki tentang PKH. Sebagian besar peserta terlihat memiliki bentuk perilaku yang cenderung sama walaupun mereka tergolong kepada representasi sosial yang berbeda-beda. Tipe PKH untuk biaya pendidikan anak dan PKH memiliki aturan adalah tipe yang menunjukkan responden memiliki representasi sosial yang cukup baik dan sesuai dengan ketentuan PKH. Responden yang tergolong pada tipe PKH untuk biaya pendidikan anak telah melakukan seluruh kewajiban dengan baik, yaitu mengikuti pertemuan kelompok dengan intensitas sering, telah mendaftarkan anak ke satuan pendidikan, anak telah memenuhi standar kehadiran sesuai dengan ketentuan PKH, telah menggunakan dana bantuan untuk pembiayaan pendidikan anak, dan berada dalam kategori sedang pada aspek memberikan dukungan terhadap aktivitas belajar anak. Perilaku responden pada tipe PKH memiliki aturan juga cukup baik, namun terlihat memiliki sedikit perbedaan dibandingkan dengan responden tipe pertama, khususnya pada perilaku memenuhi kebutuhan pendidikan anak dan dukungan terhadap aktivitas belajar anak. Responden pada tipe ini, seluruhnya tersebar merata pada kategori rendah dan tinggi pada penggunaan dana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, dan dalam kategori sedang dan tinggi dalam memberikan dukungan terhadap aktivitas belajar anak. Tipe selanjutnya, yaitu PKH belum memuaskan dan PKH membuat senang. Bentuk representasi sosial ini lebih memberatkan penilaian pada sisi emosional, namun tidak terlalu memokuskan perhatian pada informasi yang ada mengenai ketentuan PKH seperti mengenai penggunaan dana bantuan atau peraturan lainnya pada PKH. Menariknya, responden yang tergolong pada tipe ini juga memiliki perilaku yang persis sama dengan responden tipe pertama yang pada dasarnya ialah representasi sosial yang sesuai dengan ketentuan PKH. Bentuk perilaku yang ada pada responden tipe PKH belum memuaskan dan PKH membuat senang ialah mengikuti pertemuan kelompok dengan intensitas sering, mendaftarkan anak ke satuan pendidikan, anak memenuhi
111
standar kehadiran sesuai dengan ketentuan PKH, menggunakan dana bantuan untuk pembiayaan pendidikan anak, dan telah cukup memberikan dukungan terhadap aktivitas belajar anak. Secara keseluruhan, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa representasi sosial tidak memiliki hubungan dengan perilaku pemenuhan kewajiban peserta. Khusus pada empat perilaku pertama, hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya peraturan yang harus dipenuhi oleh setiap peserta PKH. Peraturan tersebut ialah setiap peserta diharuskan memenuhi kewajiban mereka agar tetap terus mendapatkan dana bantuan dan jika tidak mereka akan mendapatkan sanksi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa representasi sosial ternyata tidak dapat mempengaruhi perilaku jika ada faktor lain seperti peraturan/regulasi yang turut mengatur perilaku individu. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Pandjaitan (1998) yang menyatakan bahwa
praktek profesional tidak memiliki hubungan dengan representasi profesional jika terdapat pengaruh paksaan dari luar, dan dalam hal ini adalah adanya peraturan yang ditetapkan oleh PKH. Perilaku terakhir yaitu dukungan untuk kegiatan belajar anak, diduga dipengaruhi oleh kurangnya kemampuan untuk berperilaku sesuai representasi sosial yang telah terbentuk, seperti kurangnya pengetahuan dan waktu luang. Tingkat pendidikan responden yang cenderung rendah menyebabkan responden kurang mampu mendampingi kegiatan belajar anak secara maksimal, seperti membantu anak dalam belajar atau menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Selain itu, kurangnya waktu luang karena sibuk bekerja menyebabkan responden tidak dapat mendampingi aktivitas belajar anak. Responden yang sibuk bekerja biasanya tidak dapat mengantar-jemput ke sekolah, menemani anak belajar, mengatur waktu
belajar
anak
ataupun
menanyakan
dan
berkonsultasi
mengenai
permasalahan anak kepada guru. Disimpulkan bahwa representasi sosial tidak dapat mempengaruhi perilaku peserta PKH, jika ada ketidakmampuan dalam berperilaku sesuai dengan representasi sosial yang telah terbentuk tersebut.
112
10.1
Ikhtisar Perilaku peserta yang dilihat hubungannya dengan representasi sosial ialah
mengikuti pertemuan kelompok, mendaftarkan anak ke sekolah, tingkat kehadiran anak di sekolah, memenuhi kebutuhan pendikan anak dengan dana bantuan yang diterima dan dukungan dalam kegiatan belajar anak. Dari penelitian ini ditemukan bahwa seluruh variabel perilaku tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial yang telah terbentuk tentang PKH. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya peraturan yang harus dipenuhi oleh setiap peserta PKH. Dalam kasus ini, representasi sosial ternyata tidak dapat mempengaruhi perilaku jika ada faktor lain seperti peraturan/regulasi yang turut mengatur perilaku individu dan anggota kelompok. Selain itu, diduga kurangnya kemampuan untuk berperilaku sesuai representasi sosial yang telah terbentuk juga menyebabkan representasi sosial tidak dapat menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi kecenderungan berperilaku.
113
BAB XI PENUTUP 11.1 Kesimpulan 1. Sebagian besar peserta PKH ialah wanita berusia antara 43 hingga 56 tahun dengan tingkat pendidikan cenderung rendah yaitu tamat sekolah dasar. Sumber nafkah rumah tangga berasal dari dua sumber nafkah dengan salah satunya ialah pekerjaan sebagai buruh. Penghasilan rumah tangga berada pada kisaran Rp. 350.000,00 hingga Rp. 500.000,00 dengan tanggungan keluarga hingga 3 orang. Mengenai keterlibatan dalam kelompok, sebagian besar responden ialah peserta dalam kelompok PKH. Tingkat pertemuan responden dengan petugas pendamping PKH termasuk pada kategori sedang. Selanjutnya, tingkat kehadiran responden pada pertemuan kelompok tergolong pada kategori sering, dimana umumnya responden selalu mengikuti pertemuan kelompok. Umumnya, responden memiliki tingkat interaksi yang tinggi, dimana antar responden sering membicarakan tentang kewajiban, jadwal pertemuan kelompok, dan sanksi PKH. 2. Representasi sosial terhadap PKH dapat digolongkan kepada empat tipe, yaitu PKH untuk biaya pendidikan anak, PKH belum memuaskan, PKH membuat senang, dan PKH mempunyai aturan. PKH untuk biaya pendidikan anak ialah tipe dominan. Artinya, peserta telah paham bahwa terdapat kewajiban pengutamaan penggunaan dana bantuan untuk kebutuhan pendidikan anak SD/SMP. 3. Representasi sosial peserta PKH terhadap PKH memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan. Semakin rendah tingkat pendidikan, representasi sosial akan semakin berada pada tipe PKH membuat senang dan PKH belum memuaskan. Lalu, responden yang bekerja sebagai pedagang, buruh, dan tidak memiliki pekerjaan cenderung berada pada tipe PKH untuk biaya pendidikan dan PKH belum memuaskan. Selanjutnya representasi sosial juga memiliki hubungan yang nyata dengan peranan peserta dalam kelompok PKH dan intensitas bertemu pertugas pendamping. Responden yang menjadi ketua dalam kelompok, memiliki representasi sosial yang sangat sesuai dengan materi sosialisasi program, yaitu pada tipe PKH
114
untuk pendidikan anak dan PKH memiliki aturan. Selanjutnya, peserta yang lebih sering bertemu pendamping PKH memiliki representasi sosial yang juga sesuai dengan ketentuan PKH, dimana mereka menganggap penggunaan dana PKH harus diutamakan untuk pendidikan dan PKH memiliki aturan. Variabel lainnya pada karakteristik dan keterlibatan dalam kelompok tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial terhadap PKH. 4. Perilaku sebagian besar responden dapat dikatakan baik karena telah melaksanakan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan. Responden sering mengikuti pertemuan kelompok, telah mendaftarkan anak ke sekolah, serta tingkat kehadiran anak umumnya telah memenuhi standar dan telah menggunakan dana PKH untuk biaya pendidikan anak. Hanya satu variabel yang memiliki kecenderungan berbeda, yaitu dukungan terhadap kegiatan belajar anak, berada pada kategori sedang. 5. Tidak terdapat hubungan nyata antara representasi sosial dengan perilaku. Representasi sosial tidak berpengaruh pada berperilaku peserta PKH karena adanya penetapan peraturan yang mewajibkan peserta berperilaku tertentu, sehingga tidak dapat berperilaku sesuai dengan representasi sosial yang mereka miliki. Selain itu, perilaku juga tidak dapat terwujud sebagai mana representasi sosial yang ada, karena adanya ketidakmampuan dalam mewujudkannya, misalnya kurangnya pendidikan ataupun karena kesibukan kerja. Hasil akhir penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pada Kelurahan Balumbang Jaya, sosialisasi mengenai PKH sudah cukup berhasil. Dalam waktu yang cukup singkat sejak program dilaksanakan peserta PKH telah memiliki representasi sosial yang cukup sesuai dengan ketentuan program. Selain itu, peserta PKH tersebut telah berperilaku sesuai dengan ketentuan, terlepas dari adanya perbedaan dalam representasi sosial yang mereka miliki.
11.2 Saran 1. Pemberian dana yang dikhususkan untuk pendidikan pada PKH sudah cukup baik, karena peserta umumnya telah merepresentasikan PKH sebagai dana pendidikan. Namun masih ada terdapat kekurangan pada program, seperti
115
pencairan dana yang kurang tepat waktu, dana masih kurang memadai, serta distribusi bantuan yang belum menyeluruh. Sebaiknya pihak pelaksana program memperhatikan hal tersebut. 2. Perlu penyempurnaan teknik asosiasi kata agar tidak terjadi kesulitan dalam pengumpulan kata dari responden, serta dalam pengolahan data khususnya pada penetapan tipe per individu. Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang cenderung rendah umumnya merasakan kesulitan dalam mengeluarkan kata-kata secara spontan saat asosiasi kata, sehingga dibutuhkan usaha yang lebih agar responden dapat mengeluarkan kata-kata namun peneliti tidak mempengaruhi representasi sosial mereka. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah dengan melakukan asosiasi kata pada tahap prasurvei, lalu membuat
pengelompokkan
kata
atau
bahkan
tipologi
kata,
dan
menggunakannya langsung pada kuesioner untuk mempermudah responden dalam menemukan representasi sosial mereka.
116
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, Galuh. 2009. Representasi Sosial tentang Kerja pada Anak Jalanan. Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Amanah, dkk. 2009. Profil Gender Kota Bogor. Badan Pemberdayaan Kota Bogor. Divisi Kajian Wanita. Pusat Studi Pembangunan Pertanian Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Anggen, Aglery Krisiliane. 2005. Analisis Efektivitas Program Beras Miskin untuk Keluarga Miskin. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2009. Berita Resmi Statistik. No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009. http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul09.pdf (diakses 7 November 2009). Bergman, Manfred Max. 1998. Social Representations As The Mother Of All Behavioral Pre-Dispotitions? The Relation Between Social Representations, Attitudes, and Values. Faculty of Social and Political Sciences. University of Cambridge. London. Deaux, Kay and Gina, Philogene. 2001. Representation of The Social: Bridging Theoritical Traditions. Blackwell Publisher. Massachusetts Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial. 2008a. Buku Kerja Pendamping. Departemen Sosial RI. Jakarta. __________ 2008b. Pedoman Operasional Kelembagaan Program Keluarga Harapan. Departemen Sosial RI. Jakarta. ___________ 2008c. Pedoman Operasional Program Keluarga Harapan bagi Pemberi Pelayanan Pendidikan. Departemen Sosial RI. Jakarta. Farr, Robert M. and Serge Moscovici. 1984. Social Representations. Cambridge University Press. London.
117
Fristoto, Rendra. 2009. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kota Depok, Jawa Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Guimelli, Christian. 1993. Concerning The Structure of Social Representation. Universite Paul Valery (Montpellier III). France. Gunawan, Elia Agus. 2003. Pengaruh Representasi Sosial tentang Kerja dan Sosialisasi Nilai Gender terhadap Performa Kerja Perempuan. Kasus Usaha Pengkacipan Mente di Lombe-Sulawesi Tenggara. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Handayani, Ninik. 2009. Menyimak Kehidupan Keluarga Miskin. Analisis Sosial Vol 14 No. 2 September 2009. Yayasan Akatiga. Bandung. Indraswari. 2009. Perempuan dan Kemiskinan. Analisis Sosial Vol 14 No. 2 September 2009. Yayasan Akatiga. Bandung. Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi Jilid 2: Klasik dan Modern. PT Gramedia. Jakarta. Jost, John T. dan Ignatow, Gabriel. 2001. What We Do and Don’t Know about The Function of Social Representations. Dalam buku Representation of The Social (Bridging theoretical Traditions). Edited by: Kay Deaux dan Gina Philogene. Blackwell Publishers Inc. Massachusetts. Kamaluddin, Rustian. 2004. Kemiskinan Perkotaan di Indonesia: Perkembangan, Karakteristik dan Upaya Penanggulangan. Seminar Pengembangan Perkotaan dan Wilayah. Makalah. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi
Universitas
Trisakti.
http://www.bappenas.go.id/node/71/1194/kemiskinan–perkotaan–di– indonesia–oleh––rustian–kamaluddin–/ (diakses tanggal 7 November 2009). Meyrizki, Selly Yunelda. 2010. Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
118
Pandjaitan, Nurmala Katrina. 1998. Representasi Profesional Petani Padi-Sawah. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol 4, No. 2. Agustus 2010. http://www. ipb.ac.id (diakses 1 Februari 2011) Permatasari, Dhina. 2010. Pengaruh Persepsi Pendidikan dan Nilai Anak terhadap Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak. Skripsi. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Pertiwi, Mutiara. 2008. Analisis Efektifitas Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai Program Pemberdayaan Rakyat Miskin Perkotaan. Studi kasus di Kecamatan Pesangrahan, Jakarta Selatan. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Prabawati, Th. Ari (Editor). 2010. Mengolah Data Statistik Hasil Penelitian dengan SPSS 17. Andi Offset. Yogyakarta. Priyatno, Dwi. 2009. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk Analisis Data dan Uji Statistik. Edisi ketiga. Mediakom. Yogyakarta. Putra, I.E., Citra Wardhani dan Resky Muwardani. 2009. Representasi Sosial tentang Pemimpin antara Dua Kelompok Usia dan Situasi yang berbeda di Jakarta dan Palembang. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. http://idhamputra.wordpress.com. (diakses 19 November 2009). Roosgandha. E. M. dan Valeriana Darwis. 2000. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program Jaring Pengaman Sosial di Propinsi Jawa Timur. Puslitbang Sosek, Departemen Pertanian, Bogor. http://ejournal– unud.ac.id. (diakses tanggal 31 Januari 2009). Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu. Yogyakarta. Seha, Nadira Nur. 2004. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Komunikasi dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
119
Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sinung. 2009. Orang Miskin di Bogor Naik 40 persen. Departemen Sosial RI. http://depsos.go.id (diakses tanggal 1 Oktober 2009). Sumodiningrat,
Gunawan.
2009.
Mewujudkan
Kesejahteraan
Bangsa
(Menanggulangi Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat). PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Suryabrata, Sumadi. 1999. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Tarigan, Herlina. 2004. Representasi Pemuda Pedesaan Mengenai Pekerjaan Pertanian. Kasus pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat. ICASERD Working Paper No. 29. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian. Bogor. http://pse.litbang.deptan.go.id. (diakses 20 januari 2010). Wahyuni, Ekawati S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, Ekawati S. dan Pudji Muljono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
120
LAMPIRAN
121
Lampiran 1. Kerangka Sampling Penelitian, Peserta PKH Balumbang Jaya Komponen Pendidikan NAMA PENGURUS UKA MARJUKI ATIKAH SARANI SARANAH EUIS ITI NINI SEPTIANI OMI NURAENAH WIWIN YULI RINI MARLINA LILIS ANI SITI ROMLAH UNAS MAESAROH EMI JUMI IRIANTI YANIH. YANTI NENGSIH SACI YAYH MARYATI UNAS ARSIH ULAN IDAH NUNUNG NURYANIH CICIH SULELAH INIH NURKASIH YANIH IJAH UDIN SARNIRAH WAWAT RAHMAWATI DEDEH FARIDA ASANI JAMILAH YUYUN ANIH SANATI ENENG UKAH ROKAYAH SATI DARMINAH SUMIATI HINDUN
ALAMAT BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATU HULUNG BATU HULUNG BATU HULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BATUHULUNG BALUMBANGJAYA BALUMBANGJAYA KP CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG CILUBANG CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG KP CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG KP. CILUBANG BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK KP BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK
RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 01 RW 02 RW 02 RW 02 RW 02 RW 02 RW 02 RW 02 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 03 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 04 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05 RW 05
RT 01 RT 01 RT 01 RT 02 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 01 RT 01 RT 02 RT 02 RT 02 RT 03 RT 03 RT 01 RT 01 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02 RT 03 RT 03 RT 03 RT 04 RT 04 RT 04 RT 01 RT 01 RT 01 RT 01 RT 02 RT 03 RT 04 RT 04 RT 04 RT 04 RT 05 RT 05 RT 05 RT 01 RT 01 RT 01 RT 01 RT 01 RT 02 RT 03 RT 03 RT 03
--------------------------------------------------------
JUMLAH ANAK SD SMP 3 2 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
122
Lanjutan. NAMA PENGURUS NENGSIH YUNENGASIH MARDIAH WATNI RUSTINI ENIH SOPIAN HADIAN ENAH ELIH FATIMAH SUKARSIH IMAS MASNA SAMUR LUSTIANA ENI EMANG WARNI NARTA RUSMIATI SAHATI DARSIH TANTI KASNAH ACIH HAFSAH UPI ENA WARSIH UMI LITA ISMULYATI MARNAH YUYUN ANAH HALIMAH NANI
ALAMAT BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LEBAK BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BALUMBUNG JAYA BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO BABAKAN LIO
RW 05 RW 05 RW 05 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 06 RW 07 RW 08 RW 08 RW 08 RW 08 RW 09 RW 09 RW 09 RW 09 RW 09 RW 10 RW 10 RW 10 RW 10
RT 03 RT 04 RT 04 RT 01 RT 01 RT 01 RT 02 RT 02 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 03 RT 04 RT 04 RT 04 RT 04 RT 01 RT 01 RT 02 RT 02 RT 02 RT 01 RT 02 RT 03 RT 03 RT 03 RT 02 RT 02 RT 02 RT 02
---------------------------------
JUMLAH ANAK SD SMP 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
Sumber: Diolah penulis dari Data Penerima PKH, Unit Pelaksana PKH Bogor Barat, 2010
123
Lampiran 2. Kewajiban Peserta PKH Komponen Pendidikan Pertemuan Awal Kewajiban Keterangan Menghadiri Tujuannya ialah: pertemuan awal Peserta mendapatkan informasi tentang tujuan, tingkat bantuan, mekanime tentang PKH dan mendapatkan buku saku dan Brosur PKH. Mendapat penjelasan tentang hak dan kewajiban peserta. Mendapat penjelasan tentang komitmen yang harus dilakukan oleh calon peserta PKH untuk dapat menerima bantuan. Mendapat penjelasan tentang sanksi dan konsekuensinya apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen yang ditetapkan dalam program. Mendapat penjelasan tentang perlunya mendaftarkan anak yang belum terdaftar sekolah; khususnya peserta PKH pendidikan. Mengisi formulir validasi data (perbaikan data pribadi peserta PKH). Mendapat penjelasan mengenai mekanisme dan prosedur keluhan/pengaduan atas pelaksanaan PKH. Pembentukan kelompok peserta dan pemilihan ketua setiap kelompok. Kewajiban Peserta PKH Komponen Pendidikan Keterangan Apabila peserta memiliki: Anak usia sekolah (6–15 tahun), maka peserta harus mendaftar anaknya ke satuan pendidikan, SD, SMP ataupun satuan pendidikan lainnya yang sederajat. Anak usia 15–18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan buta aksara maka peserta PKH harus mendaftarkan anaknya ke satuan pendidikan non formal seperti keaksaraan fungsional, Paket A, atau Paket B. Anak usia 6–15 tahun dan 15–18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan bekerja pada sektor formal/non formal, maka peserta PKH dapat mendaftarkan anak tersebut ke sekolah ataupun program persiapan pendidikan seperti rumah singgah, rumah perlindungan sosial anak. Setelah anak siap untuk sekolah maka mereka harus di daftarkan kembali ke satuan pendidikan formal ataupun non formal. Mematuhi Peserta PKH mengusahakan dan memotivasi anak untuk komitmen menghadiri minimal 85 persen kehadiran dari jumlah keseluruhan tatap muka yang ada. Sumber: Diolah oleh penulis dari buku Pedoman Umum Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Pendidikan, 2008. Kewajiban Mendaftarkan anak ke Satuan pendidikan
124
Lampiran 3. Contoh Formulir Validasi Data Peserta PKH
126
Lampiran 4. Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Representasi Sosial terhadap PKH Karakteristik Responden
Uraian
PKH untuk biaya pendidikan Σ % 10 50 14 52 2 67
REPRESENTASI SOSIAL PKH belum memuaskan PKH membuat senang Σ % Σ % 7 35 2 10 9 33 1 4 0 0 1 33
PKH memiliki aturan Σ % 1 10 3 11 0 0
Chi2
Usia
kurang dari 43 tahun Antara 43–56 tahun Lebih dari 56 tahun
Pendidikan
Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA
0 7 17 2 0
0 44 65 50 0
2 6 7 1 0
67 38 27 25 0
1 2 1 0 0
33 13 4 0 0
0 1 1 1 1
0 6 4 25 100
21,716* p=0,041
Pekerjaan
Pedagang Buruh Petani Serabutan Tidak bekerja
1 19 0 0 6
25 63 0 0 50
3 7 1 0 5
75 23 100 0 42
0 2 0 1 1
0 7 0 33 8
0 2 0 2 0
0 7 0 67 0
26,370* p=0,010
Jumlah sumber nafkah
Satu sumber nafkah Dua sumber nafkah Lebih dari dua sumber nafkah
5 18 3
50 60 30
4 7 5
40 23 50
0 2 2
0 7 20
1 3 0
10 10 0
6,891 p=0,331
Penghasilan
< 350.000 350.000 – 500.000 500.100 – 650.000 > 650.000
2 13 8 3
40 62 53 33
3 3 6 4
60 14 40 44
0 3 0 1
0 14 0 11
0 2 1 1
0 10 7 11
8,512 p=0,483
Tanggungan
Kurang dari 2 orang Antara 2 sampai 3 orang Lebih dari 3 orang
8 16 2
62 48 50
4 10 2
43 30 50
0 4 0
0 12 0
1 3 0
8 9 0
3,181 p=0,786
* berhubungan nyata pada (p<0,05)
5,092 P=0,532
127
Lampiran 5. Tabulasi Silang Representasi Sosial terhadap PKH dengan Keterlibatan dalam Kelompok Keterlibatan dalam kelompok
Uraian
PKH untuk biaya pendidikan Σ % 24 52 2 50
REPRESENTASI SOSIAL PKH belum memuaskan PKH membuat senang Σ % Σ % 16 35 4 9 0 0 0 0
PKH memiliki aturan Σ % 2 4 2 50
Chi2
Peranan
Anggota Ketua
11,329* p=0,010
Pertemuan kelompok
Jarang Sering
3 23
75 50
1 15
25 33
0 4
0 9
0 4
0 9
1,205 p=0,752
Bertemu petugas
Jarang Sedang Sering
2 22 2
67 52 40
1 15 0
33 36 0
0 4 0
0 10 0
0 1 3
0 2 60
21,606* p=0,001
Interaksi
Rendah Tinggi
9 17
50 53
5 11
10 21
2 2
20 10
2 2
10 21
0,859 p=0,835
* berhubungan nyata pada (p<0,05)
Lampiran 6. Tabulasi Silang Representasi Sosial terhadap PKH dengan Perilaku Uraian Perilaku peserta PKH
PKH untuk biaya pendidikan Σ % 3 12 23 88
Representasi Sosial PKH belum memuaskan PKH membuat senang Σ % Σ % 1 6 0 0 15 94 4 100
PKH memiliki aturan Σ % 0 0 4 100
Chi2
Pertemuan kelompok
Jarang Sering
1,205 p=0,752
Mendaftarkan anak sekolah
Tidak Ya
0 26
0 100
2 14
13 88
0 4
0 100
0 4
0 100
4,427 p=0,219
Tingkat kehadiran sesuai standar
Tidak memenuhi Memenuhi
0 26
0 100
2 14
13 88
0 4
0 100
0 4
0 100
4,427 p=0,219
Memenuhi kebutuhan pendidikan
Rendah Tinggi
11 15
42 58
6 10
38 63
1 3
25 75
2 2
50 50
0,641 p=0,887
Dukungan terhadap aktivitas belajar anak
Rendah Sedang Tinggi
5 14 7
19 54 27
1 12 3
6 75 19
0 3 1
0 75 25
1 1 2
25 25 50
5,051 p=0,537
100
Lampiran 7. Dokumentasi di Lokasi Penelitan
Gambar 1. Logo PKH
Gambar 2. Membeli kebutuhan dapur
Gambar 3. Jalan dengan kondisi rusak
Gambar 4. Jalan yang sudah diperbaiki
Gambar 7. Gang sempit di pemukiman warga
Gambar 8. Rumah salah seorang peserta PKH
101
Gambar 7. Kontrakan/ kost mahasiswa
Gambar 8. Toko ditepi jalan
Gambar 9. Buruh cuci
Gambar 10. Buruh pasir
Gambar 11. Kolam ikan
Gambar 12. Sampah di tepi sungai
102
Gambar 13. Menjemput anak dari sekolah
Gambar 14. Aktivitas belajar di sekolah
Gambar 15. Pertemuan kelompok
Gambar 16. Pencairan dana PKH
Gambar 17. Kartu keanggotaan PKH
Gambar 18. Bukti pengambilan dana