SKRIPSI
OPTIMASI PEMBUATAN CAMPURAN GRIT JAGUNG- BERAS SIAP TANAK
WINARSIH BUDIUTAMI F24050650
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
OPTIMASI PEMBUATAN CAMPURAN GRIT JAGUNG- BERAS SIAP TANAK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: WINARSIH BUDIUTAMI F24050650
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Optimasi Pembuatan Campuran Grit Jagung- Beras Siap Tanak. Nama
: Winarsih Budiutami
NIM
: F24050650
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.)
(Tjahja Muhandri, STP. MT.)
NIP : 19680505.199203.2.002
NIP : 19720515.199702.1.001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP : 19650814.199002.1.001
Tanggal lulus :
Januari 2010
Winarsih Budiutami. F24050650. Optimasi Pembuatan Campuran Grit Jagung-Beras Siap Tanak. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. dan Tjahja Muhandri, STP., M.T. RINGKASAN Salah satu permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia adalah tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap beras. Upaya diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal merupakan alternatif solusi mengatasi masalah ini. Bahan pangan yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah jagung. Selain memiliki tingkat produksi nasional yang cukup besar, komposisi nilai gizi jagung juga sebanding dengan beras. Salah satu produk yang dapat dikembangkan adalah beras jagung yang siap dimasak menjadi nasi jagung. Berbagai penelitian pengembangan beras jagung telah banyak dilakukan, namun penerapannya di masyarakat belum optimal. Selama ini penelitian tersebut lebih terfokus pada karakteristik kemudahan dan nilai tambah yang tinggi saja sehingga proses pembuatannya menyebabkan harga produk menjadi mahal. Padahal suatu produk akan sulit diterima sebagai makanan pokok oleh masyarakat jika harganya lebih mahal dari beras. Penelitian ini bertujuan melakukan optimasi pembuatan grit jagung campur beras yang siap untuk ditanak didalam rice cooker. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data tentang cara pembuatan grit jagung campur beras siap tanak. Tahap pertama adalah pembuatan grit jagung meliputi penggilingan jagung pipil dengan pin disc mill dan dilanjutkan penyosohan dengan alat penyosoh beras. Tahap kedua adalah penelitian untuk diperoleh ukuran grit yang dapat dicampur dengan nasi dengan cara dilakukan uji rating hedonik. Tahap selanjutnya adalah grit jagung ukuran terpilih diuji pencampuran dengan beras, kemudian grit jagung yang tidak menghasilkan nasi jagung matang diberi pregelatinisasi sebelum dicampur beras agar dapat matang bersama apabila ditanak. Tahap berikutnya yaitu pengeringan grit yang telah mengalami pregelatinisasi. Tahap terakhir adalah penentuan jumlah air tanak dan karakterisasi komposisi produk. Analisis yang dilakukan adalah analisis proksimat, kadar serat pangan, densitas kamba, tingkat penyerapan air, tingkat pengembangan volume, dan tingkat kematangan melalui pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi. Pada penelitian ini digunakan grit jagung dengan empat ukuran berbeda yakni grit jagung A (>4mm), B(3.35-4mm), C(2.36-3.35mm) dan D(1.182.36mm). Dari hasil uji hedonik diperoleh bahwa ukuran grit C dan D yang disukai untuk dicampur dengan beras. Berdasarkan kajian pregelatinisasi yang diberikan pada grit jagung C sebelum dicampur beras yang optimal adalah perendaman air panas 40 menit dan pengukusan selama 60 menit. Berbeda dengan grit jagung C, grit jagung D campur beras yang ditanak dengan perbandingan air 1:4 tanpa perlakuan awal telah matang. Waktu pengeringan dengan oven suhu 70°C pada grit jagung C yang telah diberi perlakuan optimal diperoleh grit jagung dengan perlakuan perendaman air panas selama 40 menit adalah 140 menit, dan pengukusan selama 60 menit adalah 100 menit. Hasil dari penentuan jumlah air tanak diperoleh jumlah air tanak pada berat beras jagung campuran ukuran C 50gr, 100gr, 200gr, 400gr berturut-turut adalah 250ml, 350ml, 500ml, 800ml. Dan
jumlah air tanak pada berat beras jagung campuran ukuran D 50gr, 100gr, 200gr, 400gr berturut-turut adalah 200ml, 300ml, 450ml, 750ml. Berdasarkan hasil proksimat diperoleh bahwa kadar air grit tanpa perlakuan, grit perlakuan kukus, grit perlakuan rendam berturut-turut adalah 13.65%, 12.39%, 12.54% . Untuk kadar seratnya berturut-turut adalah 6.46%, 6.68%, dan 6.73% dan nilai kalorinya berturut-turut ialah 349.04 kkal/ 100 gr, 353.27 kkal/ 100 gr, 353.09 kkal/ 100 gr.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1987 di Jakarta. Penulis adalah putri keempat dari pasangan Bapak Dasikun Wasito Hadi dan Ibu Suwarni. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Kebagusan 05 PT Jakarta pada tahun 1993-1999, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 41 Jakarta pada tahun 1999-2002, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMUN 49 Jakarta pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Food Processing Club (FPC) sebagai anggota bidang Confectionery. Penulis terlibat dalam beberapa kepanitian yang diselenggarakan oleh HIMITEPA seperti Suksesi HIMITEPA 2006, BAUR 2007, dan Workshop Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi Tingkat Nasional. Penulis juga terlibat dalam kepanitiaan yang diselenggarakan oleh IPB yaitu Pembuatan Lubang Biopori se-Bogor. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Pilot Plant SEAFAST Center IPB dan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB mulai bulan Mei 2008 sampai bulan Februari 2009, dengan judul “Optimasi Pembuatan Campuran Grit Jagung-Beras Siap Tanak” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi. Dan Tjahja Muhandri STP., MT.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan pertolongan dan kemudahan dari-Nya penelitian yang berjudul “Optimasi Teknologi Pembuatan campuran grit jagung- beras Siap Tanak” ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian karya ini. Perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada: 1. Mama tercinta, Bapak, Kakak-kakak tersayang (Mas Wi2n, Mbak Wi2 dan Mas Ibut), serta adeku Hary atas perhatian, dukungan moril, kasih sayang dan kesabarannya. Terima kasih atas pengorbanan dan inspirasi-inspirasi yang selalu kalian berikan sepanjang hidup penulis, i love you all ! 2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si selaku pembimbing pertama, atas perhatian, motivasi dan bimbingannya kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan 3. Tjahja Muhandri, STP., M.T. selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberi masukkan dan nasehat-nasehatnya yang memotivasi penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 4. Ir. Subarna, M.Si atas waktu dan kesediaannya sebagai dosen penguji serta masukan-masukan berarti demi perbaikan skripsi ini. 5. Sahabat "poultry" : Kokoy, Eem, Nchie atas hiburan, dukungan, dan kebersamaan yang dijalin sehingga kuliah dan penelitian terasa lebih hidup. 6. Para "genk jagung" yaitu Gia, Iin, dan Shita atas motivasi, literatur, saran dan kebersamaannya. 7. Kepada sahabat-sahabat penulis selama di Bogor yaitu Veni, Reriel, WJ, Riska "tanteku" makasih atas semua dukungan dan kebersamaannya, Retno, Fitri, Susan, Dilla, Icha, Septhong terimakasih atas semangat dan dukungannya.
i
8. Teman-teman ITP’42 ”The Golden Generation” lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada kalian. Semoga persahabatan kita selalu terjalin. 9. Sahabat seperjuanganku Nits "imoetku" terimakasih atas saran, motivasi, hiburan dan kata-katanya yang bijak. 10. Teman-teman KPMers dan Kimers : Puti, Egi, MbaTul, Ufa, Iwing, Iki dan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kenangan dan canda tawa yang tak terlupakan sehingga selalu memberikan kehangatan dan kecerian di hati penulis. 11. Rekan-rekan di lab Acuy, Siyam, Mike, Sri, Anjun, Ola, Galih terimakasih atas semua. 12. Pak Iyas, Pak Jun, Pak Nur, Bu Antin serta para laboran yang tidak dapat disebut satu-persatu atas segala bantuan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian. 13. Pustakawan-pustakawan PITP, PAU, dan LSI, terima kasih atas segala bantuannya. 14. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan pada khususnya.
Bogor,
Januari 2010
Winarsih Budi Utami
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.......................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL..............................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ..........................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................
2
C. MANFAAT PENELITIAN ...................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
A. JAGUNG ..............................................................................................
3
1. Tanaman Jagung ...............................................................................
4
2. Jenis Jagung .....................................................................................
5
3. Pemanfaatan Jagung .........................................................................
6
4. Karakterisasi Biji Jagung ..................................................................
7
B. BERAS ..................................................................................................
10
C. PATI ... ..................................................................................................
12
D. SIFAT BIREFRINGENCE DAN GELATINISASI PATI ...................
14
E. PEMASAKAN NASI ...........................................................................
16
F. DAYA SERAP AIR ..............................................................................
17
G. RICE COOKER ....................................................................................
18
H. PENGERINGAN ..................................................................................
20
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................
21
A. BAHAN DAN ALAT ...........................................................................
21
B. METODE PENELITIAN ......................................................................
21
1. Persiapan Bahan ..............................................................................
22
2. Penentuan Ukuran Grit yang Cocok Dicampur Nasi ......................
23
iii
3. Uji Pencampuran Grit Jagung Terpilih dengan Beras.....................
24
4. Penentuan Perlakuan Pregelatinisasi Grit Jagung ...........................
26
5. Pengeringan Grit Jagung yang sudah Mengalami Pregelatinisasi .
27
6. Penentuan Jumlah Air Tanak dan Karakterisasi Produk Campuran Grit Jagung- Beras Siap Tanak…………………………………....
27
C. METODE ANALISIS ...........................................................................
28
a. Analisis Fisik .....................................................................................
28
1. Rendemen .......................................................................................
28
2. Distribusi Ukuran ..........................................................................
28
3. Densitas Kamba .............................................................................
29
4. Tingkat Penyerapan Air ................................................................
29
5. Tingkat Pengembangan .................................................................
30
6. Tingkat Kematangan .....................................................................
31
7. Tingkat Gelatinisasi ......................................................................
31
8. Uji Organoleptik ............................................................................
32
b. Analisis Kimia...................................................................................
32
1. Kadar Air ........................................................................................
32
2. Kadar Abu ......................................................................................
33
3. Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro .........................................
33
4. Kadar Lemak Metode Soxhlet .......................................................
34
5. Kadar Karbohidrat by difference ....................................................
34
6. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatik .........................................
35
7. Nilai Kalori Makanan .....................................................................
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
37
A. Pembuatan Grit Jagung ........................................................................
37
B. Penentuan Ukuran Grit yang Cocok Dicampur Nasi ............................
40
C. Uji
Pencampuran
Grit
Jagung
Terpilih
dengan
Beras......................................................................................................
41
D. Penentuan Perlakuan Pregelatinisasi Grit Jagung...................................
46
E. Pengeringan Grit Jagung yang sudah Mengalami Pregelatinisasi..........
52
iv
F. Penentuan Jumlah Air Tanak dan Karakterisasi Produk Campuran Grit Jagung- Beras Siap Tanak.......................................................................
55
1. Penentuan Jumlah Air Tanak...............................................................
55
2. Karakterisasi Produk Campuran Grit Jagung- Beras Siap Tanak.......
58
V. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
62
A. KESIMPULAN ......................................................................................
62
B. SARAN ...................................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
64
LAMPIRAN ........................................................................................................
71
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar
1. Struktur Biji Jagung......................................................................... 4
Gambar
2. Struktur Amilosa dan Amilopektin.................................................. 14
Gambar
3. Garis Besar Pelaksanaan Penelitian................................................. 22
Gambar
4. Diagram Alir Pembuatan Grit Jagung.............................................. 23
Gambar
5. Diagram alir proses uji pencampuran grit jagung dan beras............ 26
Gambar
6. Diagram alir proses pregelatinisasi grit jagung................................ 27
Gambar
7. Grafik rata-rata skala penilaian terhadap ukuran grit....................... 41
Gambar 8. Bentuk granula pati grit jagung campur beras............................... Gambar
44
9. Tingkat penyerapan air grit jagung selama pregelatinisasi......... ..... 48
Gambar 10. Bentuk granula pati grit C pregelatinisasi........................................
52
Gambar 11. Grafik hubungan kadar air terhadap waktu...................................
53
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi Kimia Beras Tumbuk, Beras Giling, dan Tepung Beras....
11
Tabel 2. Kondisi penanakan grit jagung ........................................................ …
24
Tabel 3. Jumlah air tanak grit jagung campur beras ..................................... …
28
Tabel 4. Persentase rendemen dan distribusi ukuran grit jagung .................. .... 38 Tabel 5. Distribusi ukuran grit jagung...............................................................
38
Tabel 6. Densitas kamba grit jagung............................................................... ... 39 Tabel 7. Hasil uji pencampuran grit jagung dengan beras............................. .... 43 Tabel 8. Rata-rata tingkat penyerapan air grit jagung C..................................
49
Tabel 9. Rata-rata tingkat pengembangan grit jagung campur beras................
50
Tabel 10. Hasil analisis kadar air pada pengeringan dengan sinar matahari.......
54
Tabel 11. Takaran penanakan beras jagung.........................................................
56
Tabel 12. Densitas kamba grit jagung campur beras...........................................
59
Tabel 13. Komposisi nilai gizi grit jagung campur beras..................................... 59
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lembar Penilaian Uji Rating Hedonik ........................................
71
Lampiran 2. Hasil Penilaian Uji Rating Hedonik dan Survei Konsumen…….
72
Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Uji Rating Hedonik ..........................
73
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam densitas kamba ....................................
75
Lampiran 5. Hasil pengukuran tingkat penyerapan air grit jagung sebelum di campur beras..................................................................................
76
Lampiran 6. Hasil pengukuran tingkat pengembangan grit jagung C campur beras...............................................................................................
77
Lampiran 7. Tabel perhitungan kadar air saat pengeringan 70º C setelah perlakuan perendaman air panas 40 menit……………………. ..
78
Lampiran 8. Tabel perhitungan kadar air saat pengeringan 70º C setelah perlakuan pengukusan 60 menit...................................................
79
Lampiran 9. Hasil kajian SOP perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak pada berbagai berat sampel…………………………….. ..
80
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Beras merupakan bagian integral yang dapat dikatakan menjadi penciri dari budaya Austronesia, khususnya Austronesia bagian barat. Di Indonesia sendiri, beras telah menjadi bahan pangan pokok yang secara kultural masih sulit digantikan fungsinya. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia setiap tahun, tingkat konsumsi beras pun terus meningkat. Kebutuhan beras untuk konsumsi nasional semakin meningkat. Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2007 menyebutkan bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan 2007 terjadi pertambahan jumlah penduduk dari 218.9 juta jiwa menjadi 234.6 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk ini juga diikuti oleh peningkatan konsumsi beras dari 27.4 juta ton menjadi 30.9 juta ton (Susenas Badan Pusat Statistik, 2000 dan Harian Sinar Indonesia Baru, 2009). Fakta tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia pada komoditi beras sangat tinggi. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan beras ini masih belum teratasi dengan baik sehingga perlu adanya diversifikasi pangan untuk mendukung ketahanan pangan dengan pertimbangan ketersediaan yang besar dan nilai gizi yang memadai dengan cara mencari alternatif bahan pangan lokal lainnya yaitu jagung. Jagung merupakan komoditi pangan Indonesia dengan tingkat produksi per tahun mencapai 12.45 juta ton pipilan kering. Produksi jagung ini meningkat dari tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton menjadi 15.6 juta ton pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2008). Kebutuhan akan alternatif kebutuhan beras merupakan faktor utama banyaknya penelitian yang dilakukan pada komoditas penghasil pati, khususnya jagung. Beragam penelitian banyak terpusat pada kemudahan dan nilai tambah yang tinggi saja. Padahal, suatu produk tidak akan mampu menjadi alternatif makanan pokok jika proses pembuatannya menyebabkan harga produk tersebut
1
menjadi mahal. Secara psikologis, masyarakat akan sulit menjadikan suatu produk sebagai makanan pokok jika harganya lebih mahal dari beras. Dalam rangka mendukung pengembangan jagung menjadi pangan pokok, diperlukan teknologi pengolahan untuk menghasilkan produk jagung yang dapat diterima secara organoleptik serta praktis cara penyiapannya. Salah satu produk yang dapat dikembangkan adalah grit jagung campur beras ini dapat ditanak seperti penanakan beras dengan menggunakan rice cooker. Arah yang ingin dicapai adalah pengembangan grit jagung campur beras yang dapat ditanak dengan menggunakan rice cooker.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi dan menyusun SOP (Standard Operating Procedures) pembuatan grit jagung campur beras yang siap untuk ditanak didalam rice cooker.
C. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian diharapkan dapat menyediakan data tentang cara pembuatan grit jagung campur beras siap tanak serta diharapkan dapat memicu tumbuhnya industri atau usaha kecil berbasis jagung.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG Jagung merupakan tanaman jenis rumput-rumputan (graminae) yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah. Jagung yang semula tanaman endemik Benua Amerika baru menyebar ke seluruh dunia setelah kedatangan Christoper columbus ke Benua Amerika pada tahun 1492. Columbus membawa pulang biji jagung ke Spanyol yang diperoleh dari suku Indian pribumi Amerika, kemudian dari Spanyol mulai menyebar ke Eropa dan seluruh dunia (Bogasari, 2003). Di Indonesia jagung merupakan komoditas sereal utama setelah beras dengan jumlah produksi mencapai 9,4 juta ton pada tahun 2000 (DEPTAN, 2002). Jagung mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri dan pakan. Sebagai bahan pangan jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, sustitusi bagi industri pengguna dan konsumen berpangan pokok beras (Suprapto, 2001). Tanaman jagung di Indonesia sudah dikenal sekitar 400 tahun yang lalu, didatangkan oleh orang Portugis dan Spanyol. Daerah penghasil jagung di Indonesia pada mulanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Selanjutnya tanaman jagung lambat laun meluas ke daerah luar Jawa.
1. Tanaman Jagung Tanaman jagung berakar serabut, menyebar kesamping dan bawah sepanjang sekitar 25 cm. Sistem perakaran berfungsi sebagai alat untuk menghisap air serta garam-garam yang terdapat dalam tanah, mengeluarkan zat organik serta senyawa yang tidak diperlukan, dan sebagai alat pernapasan. Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang kecuali pada jagung manis yang sering tumbuh beberapa cabang yang muncul dari pangkal batang. Panjang batang jagung berkisar antara 60-300 cm.
3
Bagian tengah batang terdiri atas sel-sel parenkim yaitu seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan keras termasuk lapisan epidermis. Daun jagung muncul pada buku-buku batang dan pelepah daun yang menyelubungi ruas batang dan berfungsi untuk memperkuat batang. Bagian permukaan daun berbulu dan terdiri atas sel-sel bullifor. Bagian bawah daun umumnya tidak berbulu. Jumlah daun bervariasi antara 8-48 helai dan ukuran panjang daun 30 cm – 150 cm serta lebarnya mencapai 15 cm. Letak daun pada batang termasuk daun duduk bersilangan (Rukmana, 1997). Tanaman jagung ternasuk tanaman berumah satu (monoceus) yaitu bunga jantan terbentuk pada ujung batang dan bunga betina terletak ditengah batang pada salah satu ketiak daun (Suprapto, 2001). Buah jagung terdiri dari tongkol, biji, dan daun pembungkus (klobot). Biji jagung mempunyai bentuk, warna, dan kandungan endosperm yang bervariasi tergantung pada jenisnya. Pada umumnya biji jagung tersusun dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji (seed coat), endosperm, dan embrio.
Gambar1. Struktur biji jagung (Brooker, 1982)
4
2. Jenis Jagung Jagung relatif kurang membutuhkan pemeliharaan dan dapat tumbuh tanpa banyak persyaratan sehingga dapat ditanam pada hampir semua jenis tanah. Menurut Johnson (1991), jagung dikelompokkan menjadi tujuh kelompok berdasarkan bentuk dan kandungan pati dari biji jagung yaitu dent corn, waxy corn, flint corn, flour corn, sweewt corn, pop corn, dan pod corn. Dent corn (Zea mays indentata) merupakan jenis jagung yang memiliki bentuk biji yang menyerupai gigi dengan tongkol dan bijinya yang besar. Biji jagung kelompok ini memiliki lekukan pada bagian atas. Lekukan ini terjadi karena pengerutan lapisan tepung yang lunak ketika biji mengering. Dent corn memiliki endosperm yang keras pada sisi sampingnya dan bagian dalam yang lunak dan bertepung. Serta memiliki dua jenis yang dibedakan berdasarkan warna biji jagung, yaitu kuning dan putih. Jagung berwarna putih lebih disukai dan lebih banyak dimanfaatkan dalam produk pangan. Flint corn (Zea mays indurata) memiliki struktur bij yang tebal, bagian atas jagung ini berbentuk bulat dan tidak berlekuk, serta hampir seluruh bagian bijnya mengandung lapisan endosperm yang keras, walaupun sebenarnya komposisi endosperm keras dan lunak sangat bervariasi. Jagung jenis ini banyak ditanam dibenua Eropa, Asia, dan Amerika. Flour corn (Zea mays amilaceae) merupakan salah satu jenis jagung yang sudah berkembang sejak jaman suku Aztek dan Inka. Jagung jenis ini memiliki kandungan endosperm lunak di seluruh biji jagung, dan mudah untuk diolah menjadi tepung jagung. Banyak ditanam di negara Amerika Serikat, Peru, Bolivia, dan Afrika Selatan. Sweet corn (Zea mays saccharata) merupakan jenis jagung yang memiliki rasa manis dan bila kering biji menjadi keriput. Gen pemberi rasa manis yang terdapat di dalam jagung sweet corn menghambat konversi gula kedalam bentuk pati, selain itu rasa
5
manis pada jagung dikarenakan adanya akumulasi phytoglycogen, polisakarida larut air yang membentuk tekstur dan meningkatkan rasa manis pada sweet corn (Johnson, 1991). Jagung jenis ini sering dipanen pada waktu muda untuk tujuan konsumsi jagung rebus atau jagung bakar, dan sering dimanfaatkan sebagai sayur dalam konsumsi masyarakat (Haryadi, 2006). Pop corn (Zea mays everta) merupakan jagung yang memiliki bentuk biji yang agak runcing dengan ukuran kecil, dan bersifat keras. Seluruh bagian dari biji jagung ini terdiri atas endosperm, dan bila biji jagung ini dipanaskan maka bijinya akan meledak sehingga jagung ini diberi nama pop corn (Johnson, 1991). Pop corn dapat diolah menjadi makanan jagung berondong yang sangat digemari oleh masyarakat. Selain diolah menjadi makanan jagung ini juga dapat
dimanfaatkan
sebagai
bahan
baku
industri
permen
(Jugenheimer, 1976). Pod corn (Zea mays tunicate) merupakan jagung dengan kulit menutupi biji-bijinya, dan tidak terdapat pada jagung jenis lain. Jagung pod corn dimanfaatkan sebagai ornament hiasan atau tanaman hiasan, sedangkan waxy corn (Zea mays ceratina) merupakan jagung dengan kadar amilopektin lebih dari 99% (Johnson, 1991). Waxy corn dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan instant pudding mixes dan lem. Selain itu waxy corn diproduksi sebagai makanan ternak (Jugenheimer, 1976).
3. Pemanfaatan Jagung Jagung dapat dimanfaatkan sebagi bahan pangan, bahan baku industri pangan dan non pangan dan makanan ternak. Pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan dapat dilakukan dengan mengolah buah jagung utuh ataupun butirannya menjadi bubur jagung, sup jagung, jagung bakar, jagung rebus, berondong jagung, dan nasi jagung (Inglett, 1970). Selain itu, Johnson (1991) menyatakan bahwa pemanfaatan
jagung
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
6
komponen ekstraksi jagung sebagai campuran dalam pembuatan makanan. Komponen ekstraksi diperoleh melalui penggilingan jagung, diantaranya adalah tepung jagung, grits, germ, pati jagung, corn brain, untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatn produk pangan diantaranya adalah roti dan tortilla. Sedangkan dalam bidang industri, pemanfaatan jagung dilakukan dengan merubah komponen hasil ekstraksi dari biji jagung kedalam unsur yang memiliki nilai tambah untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan ataupun bahan kimia, seperti pati termodifikasi, dekstrin, high fructose corn syrup, dan furfural. Pemanfaatan jagung sebagai makanan ternak dilakukan dengan memanfaatkan limbah hasil panen jagung, helai, dan pelepah daun jagung yang dikeringkan kemudian dijadikan makanan yang di kenal dengan silage, yang digunakan sebagai pakan ternak seperti kuda dan sapi (Jugenheimer,1976).
4. Karakterisasi Biji Jagung Biji jagung merupakan jenis serealia dengan ukuran biji terbesar rata-rata 250-300 mg. Biji jagung memiliki bentuk tipis, bulat melebar yang merupakan hasil pembentukan dari pertumbuhan biji jagung. Biji jagung diklasifikasikan sebagai kariopsis. Hal ini dikarenakan biji jagung memiliki struktur embrio yang sempurna, serta nutrisi yang dibutuhkan oleh calon individu baru untuk pertumbuhan dan perkembangan menjadi tanaman jagung (Johnson, 1991). Biji jagung terdiri dari empat komponen utama yaitu perikarp (5%), tip cap(1%), germ (12%), dan endosperm (82%) (Inglett, 1970). Perikarp merupakan lapisan paling luar dari biji dan menempel pada lapisan aleuron serta terdiri dari sel-sel selulosa. Tip cap merupakan bagian jagung yang berukuran paling kecil terdapat pada bagian ujung bawah butir. Dan merupakan bagian yang menghubungkan biji jagung dengan tongkol jagung (Hoseney, 1998).
7
Di bagian tengah tip cap tepatnya di tempat melekatnya butir jagung dengan bongkol terdapat butir kecil berwarana hitam yang disebut hilar layer dan berfungsi sebagai komponen perekat selama pertumbuhan dan proses pematangan butir jagung. Germ tersusun atas dua bagian utama yaitu skutelum dan poros embrionik (Hoseney,
1998). Skutelum
merupakan cadangan
makanan selama perkecambahan, dan poros embrionik merupakan bakal tanaman baru. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung dan mengandung pati. Endosperm yang telah matang terdiri atas endosperm keras (horny endosperm) dan endosperm lunak (Soft endosperm). Perbandingan antara bagian
yang keras dan lunak
berbeda-beda tiap varietas. Komponen paling besar dari biji jagung adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Kandungan karbohidrat jagung terdiri dari pati, serat kasar dan pentosan. Jumlah lemak dan protein yang terkandung dalam jagung muda lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung tua (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung pada varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan. Kandungan gizi yang utama terdapat pada jagung adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Kandungan karbohidrat jagung terdiri atas pati, gula, pentosan, dan serta kasar. Pati merupakan komponen terbesar, dimana sekitar 85% dari total pati terdapat endosperm. Pati jagung terdiri kira-kira 27% amilosa dan 73% amilopektin untuk jenis pati normal. Kandungan gula sekitar 1-3% terdiri dari sukrosa 57% yang terdapat dalam lembaga dan sisanya terdapat dalam endosperm (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komponen paling besar dari biji jagung adalah karbohidrat dalam bentuk pati, gula, pentosan, dan serat. Karbohidrat pada biji jagung sebagian besar merupakan komponen pati. Biji jagung mengandung pati 54.1-71.7%, sedangkan gulanya 2.6-12.0%
8
(Richana dan suarni, 2009). Sekitar 85% dari total pati jagung terdapat dalam endosperm. Kandungan gula jagung berkisar 1-3% yang terdiri dari sukrosa pada lembaga (57%) dan sisanya dalam endosperm (Leonard dan Martin, 1963). Jenis protein yang terkandung di dalam jagung adalah albumin, globulin, prolamin, gluten, dan skleroprotein. Menurut Inglett (1970), jagung yang mengandung protein tinggi cenderung memiliki butir kernel yang kecil dengan kandungan endosperm keras yang banyak. Asam amino lisin dalam jagung memiliki nilai cukup tinggi jika dibandingkan pangan penghasil pati lainnya seoerti beras, ubi jalar, ubi kayu, dan sagu. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaga. Jagung yang mengandung lemak tinggi cenderung mempunyai ukuran lembaga yang lebih besar dengan endosperm yang berukuran lebih kecil (Jugenheimer, 1976). Serat, vitamin, dan mineral merupakan komponen gizi yang terdapat pada jagung namun ketersediaan dalam jagung sangat kecil. Serat kasar pada jagung sekitar 2,1-2,3% terdiri dari 41-46% hemiselulosa didalam kulit ari, jagung kekurangan mineral kalsium tetapi kaya akan fosfor dan potasium (Berger, 1962). Kulit ari jagung terdiri atas 75% hemiselulosa, 25% selulosa, dan 0.1% lignin (Suarni dan Widowati, 2009). Vitamin jagung terdapat pada lembaga dan lapisan paling luar endosperm. Kandungan vitamin larut air pada biji jagung sebagian besar terdapat pada aluron, lembaga, dan endosperm.Tiamin dan ribiflavin merupakan vitamin larut air. Jagung tidak memiliki vitamin B12 (cobalamin). Biji jagung tua mengandung sedikit asam askorbat dan piridoksin. Vitamin lainnya yang terdapat dalam jumlah sedikit adalah asam folat dan pantotenat (Suarni dan Widowati, 2009). Jagung mengandung dua vitamin larut lemak yaitu provitamin A (karotenoid) dan vitamin E. Sebagian besar karotenoid terdapat
9
dalam endosperm, sedangkan lembaga hanya mengandung sedikit karotenoid. Vitamin E banyak terkonsentrasi pada lembaga jagung. Karotenoid pada umumnyaterdapat pada biji jagung kuning. Karotenoid pada jagung biji kuning terdiri atas betakaroten (22%) dan kriptosantin (51%) (Suarni dan Widowati, 2009). Karotenoid berfungsi sebagai prekursor vitamin A dan berperan penting untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi jaringan, reproduksi, serta perawatan sistem kekebalan (Ball, 2000).
B. BERAS Beras adalah suatu bahan makanan yang merupakan sumber pemberi energi untuk manusia. Zat-zat gizi yang dikandung oleh beras adalah sangat mudah dicerna. Beras di Indonesia dikategorikan atas varietas dengan ciri bentuk butiran agak bulat sampai bulat, dan bentuk butiran lonjong sampai sedang (Hubeis, 1985). Butiran beras tersusun atas kulit ari, testa, nukleus, aleuron, lembaga dan endosperm. Endosperm merupakan bagian yang terbesar dalam butir beras yaitu 89-94% dan sisanya kulit ari 1-25, testa dan aleuron 4-6% dan lembaga 2-3% (Haryadi, 2006). Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin dan air. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati sebesar 90% dari berat kering endosperm beras. Pati beras beragam dalam hal rasio amilosa dan amilopektin. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin (Winarno, 1997). Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati, mempunyai ukuran granula 0.5-5 μm tediri dari 5% fraksi albumin (larut dalam air), 10% globulin (larut dalam garam), 5% prolamin (larut alkohol) dan 80% glutelin (larut dalam basa). Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin yang bersifat tidak larut air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan pengembangan volume butir pati selama pemanasan (Haryadi, 2006).
10
Granula pati merupakan butir-butir pati yang terdapat pada beras. Dalam hal ini bentuk granula, komposisi kimia, gelatinisasi dan suhu gelatinisasi pati berperan penting dalam menentukan mutu nasi. Muchtadi et al.(1989), menjelaskan bahwa makin naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula makin besar. Pengembangan tersebut terjadi karena molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Sebagai sumber pangan pemenuh kalori dan protein, beras juga mengandung unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Komposisi zat kimia butir beras dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia beras tumbuk, beras giling, dan tepung beras Komposisi Beras Tumbuk Beras Giling Kalori (kal) 359 360 Protein (g) 7.5 6.8 Lemak (g) 0.9 0.7 Hidrat arang (g) 77.6 78.9 Kalsium (mg) 16 6 Fosfor (mg) 163 140 Besi (mg) 0.3 0.8 Vitamin A (SI) 0 0 Vitamin B (mg) 0.21 0.12 Vitamin C (mg) 0 0 Air (%) 13.0 13.0 Sumber: Hubeis, 1984
Tepung Beras 364 7.0 0.5 80.0 5 140 0.8 0 0.12 0 12.0
Unsur terbesar dari zat penyusun butir beras dan tepung adalah karbohidrat lalu diikuti oleh protein. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati yang menyusun 90% dari berat kering endosperm beras. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dan air dalam proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari (Greenwood dan Munro, 1979). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein. Fraksi amilosa dan amilopektin dapat
11
dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut merupakan amilosa, sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin (Winarno, 1997). Dalam bentuk aslinya, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati terdiri dari lapisan tipis yang tersusun secara memusat membentuk kristal-kristal (Hubeis, 1984). Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik spesifik bagi setiap jenis pati. Selain ukuran granula, karakteristik spesifik lain yang dimiliki oleh pati adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granula (Haryadi, 2006). Granula pati dalam keadaan murni memiliki warna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan bagian amorphous dapat menyerap air hingga 30% tanpa merusak struktur pati (Pomeranz, 1991). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat dapat balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi. Pengembangan bersifat tidak dapat kembali ke bentuk semula (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Haryadi, 2006). Gelatinisasi merupakan suatu perubahan bentuk granula pati yang bersifat irreversible akibat penyerapan air panas pada suhu tertentu. Perubahan yang terjadi selama gelatinisasi pati adalah larutnya molekul amilosa, berkurangnya ikatan di dalam granula pati, meningkatnya kekuatan antar granula, meningkatnya kekentalan (viskositas), meningkatnya kejernihan pasta, pengembangan serta hidrasi granula pati, dan hilangnya sifat birefrigence dari granula pati. Sifat birefrigence adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi yang akan memberikan warna gelap terang jika kristal granula pati diamati dengan mikroskop (Collison, 1968). Proses gelatinisasi ini lebih lanjut menyebabkan perubahan bentuk beras menjadi nasi.
C. PATI Pati merupakan polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuhan. Pati terdapat dalam bentuk butiran kecil dengan
12
berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Pati terdiri atas dua polimer yang berlainan yakni amilosa yang merupakan senyawa rantai lurus dan amilopektin yang merupakan komponen bercabang (DeMan, 1997). Amilosa adalah polimer linear dari unit
-D-glukosa. Satuan glukosa
dalam amilosa dihubungkan secara khusus dengan ikatan glukosida
-1,4.
Berat molekul amilosa berkisar antara 250.000 (1500 unit anghidroglukosa). Amilosa memiliki sifat unik yakni mampu membentuk kompleks dengan Iodin, alkohol organik, dan asam. Kompleks ini disebut dengan clathrates atau helical inclusion compounds (Hoseney, 1998). Amilopektin merupakan komponen pati yang terdiri dari rantai residu D-glukopiranosil yang berikatan 1,4 dan 1,6 membentuk percabangan. Komponen kristalin dari amilopektin terdiri dari rantai linear yang tersusun paralel dan membentuk struktur double helix (White dan Tziotis, 2004). Percabangan amilopektin disebabkan oleh adanya ikatan
-1,6 pada titik
tertentu dalam molekul. Cabang amilopektin mengandung sekitar 20-30 satuan glukosa (DeMan, 1997). Molekul amilopektin terdiri dari tiga tipe rantai molekul yakni rantai A, rantai B, dan rantai C. Rantai A merupakan glukosa yang berikatan
-1,4
sementara rantai B merupakan glukosa yang berikatan -1,4 dan -1,6. Rantai C tersusun atas glukosa dengan ikatan -1,4 dan -1,6 serta gugus pereduksi. Berat molekul amilopektin dapat mencapai 108 (Hoseney, 1998). Amilosa terdiri atas 500-20000 unit glukosa yang berbentuk heliks pada ujung antar unit-unit glukosa, sedangkan amilopektin terdiri lebih dari 2 juta unit glukosa dimana setiap 20 sampai 30 unit glukosa memiliki ikatan -1,6 (Chaplin, 2008). Struktur amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 1. Sifat fungsional pati bergantung pada berat molekul, ukuran, dan struktur amilosa-amilopektin. Perbedaan distribusi berat molekul dan struktur molekul menyebabkan perbedaan sifat retrogradasi, viskoelastisitas, dan karakteristik reologi. Amilopektin mempengaruhi karakteristik pembengkakan granula, viskositas, suhu puncak, viskositas puncak, pembentukan pasta, dan kekuatan
13
gel selama penyimpanan. Amilosa mempengaruhi perbedaan setback dan viskositas akhir selama pembentukan pasta (White dan Tziotis, 2004).
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Struktur amilosa dan (b) struktur amilopektin (Chaplin, 2008) Dalam bentuk aslinya, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati terdiri dari lapisan tipis yang tersusun secara memusat membentuk kristal-kristal (Hubeis, 1984). Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik spesifik bagi setiap jenis pati. Pati jagung memiliki bentuk dan ukuran granula yang lebih besar daripada granula pati dalam beras padi. Granula pati jagung memiliki ukuran medium dengan diameter sekitar 10-25
m (Pomeranz, 1991). Granula pati jagung berbentuk bulat dan
bersudut (DeMan, 1997). Pati pada biji jagung terdapat pada endosperm (86.4%), lembaga (8.2%), dan tip cap (5.3%). Pada bagian endosperm horny, granula pati jagung berbentuk angular atau poligonal, sedangkan pada pati floury granulanya berbentuk bulat (Wong, 1989). Pati jagung umumnya mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin. Struktur pati jagung dipengaruhi oleh faktor lingkungan selama masa pertumbuhan diantaranya suhu pada lokasi penanaman (White dan Tziotis, 2004).
D. SIFAT BIREFRINGENCE DAN GELATINISASI PATI Gelatinisasi merupakan suatu perubahan bentuk granula pati yang bersifat irreversible yang terjadi bila granula pati diberi air yang berlebih dan diikuti oleh pemanasan (Belitz dan Grosch, 1999). Proses gelatinisasi
14
umumnya diikuti dengan hilangnya sifat birefringence dan meningkatnya kerentanan granula pati terhadap degradasi enzimatis (Greenwood, 1976). Perubahan yang terjadi selama gelatinisasi pati adalah hidrasi dan pembengkakan ukuran granula pati, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekeruhan dan konsistensi, larutnya molekul amilosa, serta retrogradasi membentuk pasta atau gel. Gelatinisasi pati dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain konsentrasi, interaksi antara protein dengan pati, dan interaksi antara lipid dengan pati (Pomeranz, 1991). Ketika granula pati dipanaskan, terjadi pemutusan ikatan antar misel kristalin amilosa dan amilopektin sehingga granula pati mulai berhidrasi dan membengkak. Derajat hidrasi ini bergantung pada suhu, pH, pengadukan, dan konsentrasi. Pemanasan yang terus menerus disertai peningkatan temperatur dapat menyebabkan molekul granula pati rusak (Wong, 1989). Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa zat kimia. Ada zat kimia yang memicu pemecahan ikatan hidrogen dan meningkatkan gelatinisasi, ada pula zat yang menghambat gelatinisasi karena berperan sebagai pelarut (Bhattacharya dan Hanna, 1987). Suhu gelatinisasi akan meningkat bersamaan dengan peningkatan berat molekul atau peningkatan konsentrasi dari larutan. Pemanasan dengan jumlah air sedikit juga dapat meningkatkan suhu dan magnitudo endoterm gelatinisasi (White dan Tziotis, 2004). Alkali pada konsentrasi tertentu dapat memicu gelatinisasi pati. Konsentrasi gula yang tinggi juga mampu meningkatkan gelatinisasi (Hsieh et al., 1990). Gula dapat menstabilkan struktur air sehingga interaksi spesifik antara pati dan larutan akan terbentuk. Interaksi ini akan menstabilkan struktur amorf dari granula pati dan meningkatkan suhu gelatinisasi (White dan Tziotis, 2004). Pati jagung memiliki suhu gelatinisasi berkisar antara 62-72
C
(Pomeranz, 1991). Menurut Metcalf dan Lund (1985) pati dengan suhu gelatinisasi yang tinggi memiliki lebih banyak ikatan hidrogen dan ikatan antar molekul pati yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan biji memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi yang lebih besar. Suhu gelatinisasi yang tinggi mengindikasikan struktur krsitalin yang lebih banyak sehingga lebih tahan
15
(resisten) terhadap penetrasi air, pembengkakan, dan gelatinisasi. Sementara pati dengan suhu gelatinisasi yang rendah dapat menyerap air lebih cepat. Proses gelatinisasi juga menyebabkan hilangnya sifat birefringence dari granula pati. Pati yang telah diberi perlakuan pemanasan dengan air akan kehilangan sifat birefringence secara bertahap tergantung suhu dan waktu gelatinisasi yang digunakan, sedangkan pati mentah akan memperlihatkan sifat birefringence yang jelas gelap-terangnya (Hoseney, 1998). Hilangnya sifat birefringence ini disebabkan oleh pemecahan ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen mengikat lebih banyak molekul air (Fennema, 1996). Temperatur dimana seluruh sifat birefringence dari granula pati telah hilang disebut dengan Birefringence End Point Temperature (BEPT). Sifat birefringence adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi yang akan memberikan warna gelap terang jika kristal granula pati diamati dengan mikroskop polarisasi (Collison, 1968). Kontras gelap-terang ini akan tampak sebagai warna biru kuning. Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh perbedaan indeks refraksi granula pati yang dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam pati. Sebagian cahaya yang melewati granula pati dapat diserap oleh bentuk heliks dari amilosa. Penyerapan cahaya oleh heliks amilosa ini akan terjadi secara intensif jika arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks (French, 1984). Sifat birefringence granula pati juga dapat dirusak dengan perlakuan secara mekanis. Penggilingan pati pada suhu ruang secara nyata mampu merusak sifat kristal pati. Intensitas birefringence sangat bergantung pada derajat dan orientasi kristal. Pati dengan kadar amilosa tinggi akan memiliki intensitas birefringence lebih lemah dibandingkan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
E. PEMASAKAN NASI Menanak nasi adalah proses memasak beras menjadi nasi yang siap dihidangkan. Proses penanakan nasi yang umum dilakukan masyarakat ada tiga cara yaitu dengan liwet, aron kukus, dan dengan Rice Cooker. Akan tetapi
16
proses pemasakan nasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan rice cooker karena lebih banyak digunakan sekarang ini. Granula
pati
akan
mengembang
Pengembangan ini menyebabkan Pengembangan
beras
selama
selama
pemasakan
beras.
permukaan butir beras menjadi retak. dimasak
tidak
sebesar
kemampuan
pengembangan pati yang dapat 64 kali lebih besar volumenya dari pada butir pati awal. Pada pemasakan beras terjadi gelatinisasi pati dan pengembangan granula pati dalam endosperm beras. Jaringan intergumen pada butir beras yang dibentuk oleh komponen protein akan menghalangi imbisisi air pada waktu terjadinya gelatinisasi beras. Protein yang menghalangi pengembangan granula pati ini mengakibatkan perlunya tambahan waktu pemasakan beras dalam air mendidih (Osman, 1972). Menurut Osman (1972), hanya sebagian kecil air yang dapat masuk kebagian yang tidak beraturan pada granula pati. Ikatan-ikatan intermolekul yang kuat pada bagian kristal pati tidak dapat menyerap air dan menahan pengembangan
granula
pati
selanjutnya.
Perendaman
meningkatkan
keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk butir beras tergantung lamanya waktu perendaman dan suhu air perendam. Perembesan air ini memperkecil kecenderungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama pemasakan, dimana pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan. Perlakuan pendahuluan pada pengukusan digunakan untuk memperoleh gelatinisasi terlebih dahulu atau sebagai tindakan pregelatinisasi sebelum tergelatinisasi sempurna pada saat pemasakan menggunakan rice cooker.
F. DAYA SERAP AIR Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti hidroksil, amino, karboksil, dan sulfihidril memberikan sifat hidrofilik bagi molekul protein sehingga dapat menyerap atau mengikat air (Suwarno, 2003).
17
Kemampuan protein menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan konformasi antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein meningkat (Suwarno, 2003). Adapun beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air, yaitu pH, suhu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan Campbell, 1981). Selain itu, daya serap protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, serta dipengaruhi pula oleh lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan (Zayas, 1997). Semakin tinggi konsentrasi protein dalam suatu bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik. Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan, pemekatan, pengeringan, atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang (Zayas, 1997). Namun, pemanasan, agregasi, dan denaturasi tersebut dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air meningkat (Hutton dan Campbell, 1981). Kelarutan dan daya serap air terendah pada titik isoelektrik protein (pH 4,5) dan meningkat sejauh menjauhi titik tersebut (Wolf dan Cowan, 1971).
G. RICE COOKER Rice cooker merupakan alat yang digunakan untuk memasak nasi secara otomatis. Rice cooker yang beredar sekarang mampu menjaga nasi tetap hangat hingga lebih dari 24 jam untuk mencegah nasi basi. Proses penanakan
18
nasi dalam rice cooker terjadi dalam empat tahap yaitu penambahan air, pendidihan, penyerapan air, dan pendiaman (Toothman, 2008). Komponen penyusun rice cooker terdiri atas badan utama (main body), panci pemasak(inner cooking pan), plat pemanas (electric heating plate), sensor panas (thermal-sensingdevice), dan beberapa tombol (Toothman, 2008). Panci pemasak rice cooker biasanya terbuat dari bahan antilengket (non-stick) atau dilapisi dengan Teflon. Di bawah panci pemanas terdapat heater dan thermostat. Sejenis per (spring) menekan thermostat ke bagian bawah panci pemanas untuk menjamin kontak panas yang baik sehingga tercapai suhu pemasakan yang diinginkan. Sensor panas (thermostat) yang diletakan dibagian bawah badan utama rice cooker dilengkapi dengan thermometer yang dapat mengukur suhu panci pemasak beserta isinya (Anonim, 2008). Cara memasak nasi dengan menggunakan rice cooker sangat mudah. Beras dimasukkan dalam panci pemanas dengan jumlah yang diinginkan kemudian ditambahkan air dingin sesuai takaran beras yang dimasukkan. Tahap terakhir adalah menutup tutup (lid) rice cooker dan menekan tombol masak (cook). Kemudian rice cooker akan memasak secara otomatis. Proses pemasakan nasi dengan menggunakan rice cooker diawali dengan pendidihan air. Air mendidih sempurna suhu 100°C dan ketika air telah mendidih sempurna suhu air tidak akan meningkat (Toothman,2008). Temperatur dalam rice cooker tidak dapat melebihi titik didih air yaitu 100°C sehingga panas yang masuk dalam campuran beras dan air selama pemasakan hanya akan menyebabkan air mendidih (Anonim, 2008). Selama terdapat air dalam panci pemasak, temperatur dalam rice cooker akan tetap stabil. Pada tahap air pemasakan, sebagian air telah diserap oleh beras dan sebagian lain telah menguap dalam pendidihan. Saat semua air yang ada dalam panci pemasak telah habis, temperatur akan mulai meningkat melebihi titik didih air. Sensor panas (thermostat) pada rice cooker akan menerima perubahan suhu ini kemudian secara otomatis akan mengubah operasi rice cooker ke kondisi mati (switch off) atau kondisi hangat (switch to
19
warming cycle). Kondisi operasi hangat menjaga nasi tetap hangat dengan suhu tidak kurang dari 65 °C (Anonim, 2008).
H. PENGERINGAN Pengeringan merupakan metode tertentu untuk mengawetkan bahan pangan. Pengeringan adalah salah satu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menyerapnya menggunakan energi panas. Hal ini bertujuan untuk menghentikan atau menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat merusak bahan tersebut. Metode pengeringan berdasarkan sumber panasnya dibagi dua jenis yaitu pengeringan alami atau penjemuran dengan sinar matahari dan pengeringan buatan (artificial heat). Penjemuran mempunyai resiko kerusakan bahan yang cukup tinggi karena cuaca dan kondisi pengeringan yang kurang higienis namun lebih murah, sedangkan pada pengering buatan dapat dijaga kehigienisannya, mutu lebih seragam, serta proses pengeringan tidak tergantung pada cuaca. Pengeringan buatan ada yang bekerja dengan cara alat kontak langsung dengan bahan yang dikeringkan dan tidak langsung dimana panas dipindahkan dari media pemanas ke dinding alat yang terbuat dari logam (Taib et al., 1988). Pengeringan tipe rak (kabinet) mempunyai bentuk persegi dan di dalamnya berisi rak-rak yang digunakan sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan di atas rak yang terbuat dari logam yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini adalah untuk mengalirkan udara panas dan uap air (Taib et al., 1988). Pengering tipe rak (kabinet) relatif murah dalam pembuatan dan perawatan serta fleksibel penggunaanya. Alat ini banyak digunakan untuk mengeringkan biji-bijian (Hubeis, 1984). Proses pemanasan dalam pengering tipe rak (kabinet) terjadi melalui pengaliran udara panas pada setiap rak. Proses pindah panas terjadi secara konduksi dan pemancaran dari permukaan rak yang panas juga berfungsi dalam memindahkan uap air. Arah aliran panas didalam alat pengering tipe rak dapat berlangsung dari atas atau bawah disesuaikan dengan ukuran bahan yang akan dikeringkan (Taib et al., 1988).
20
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini antara lain jagung pipil varietas Pioneer 11 yang berasal dari Ponorogo, beras Ramos yang diperoleh dari toko sekitar Bogor dan air. Bahan-bahan untuk analisis kimia yang digunakan dalam penelitian ini ialah NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, air suling, NaOH-Na2S2O3 pekat, HCl 25%, HNO3, aquades, HCl 0,01 N, HCl 25%, K2SO4, HCl 1 N, NaOH 1 N, HgO, H3BO3, HCl 0,02 N, indikator merah metil serta metil biru, heksana, kalium hidrogen tartarat, dan larutan iod, NaCl jenuh, larutan standar mineral, termamyl, HCl 1M, Pepsin, Pankreatin, Kertas saring Whatman 42 dan Whatman no. 4 , kapas, alumunium foil Etanol 95%, Aseton, etanol 78%, amyloglucosidase, bufer fosfat, Protease. Alat-alat yang digunakan dalam proses pengolahan dan analisis campuran grit jagung-beras adalah pin disc mill, penyosoh (polisher), pengayak, rice cooker, baskom, kompor, panci, kain saring, sendok pengaduk, gelas ukur plastik, gelas ukur 100 ml, neraca analitik, pisau, dan penggaris. Alat-alat yang digunakan dalam analisis kimia adalah gelas piala, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 50 ml, gelas arloji, tabung reaksi bertutup, cawan porselen, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet Mohr, labu lemak, labu takar, labu Kjeldahl 100 ml, kuvet, buret, dan erlenmeyer, pompa vakum, cawan aluminium, corong, batu didih, neraca analitik, mikroskop polarisasi, alat destilasi, alat ekstraksi Soxhlet, oven biasa, desikator, tanur, dan alat pendingin balik.
B. METODE PENELITIAN Secara umum penelitian ini terdiri dalam enam tahapan yaitu persiapan bahan, penentuan ukuran grit yang cocok dicampur nasi, uji pencampuran grit jagung terpilih dengan beras, penentuan perlakuan pregelatinisasi grit jagung, , pengeringan grit jagung yang sudah mengalami pregelatinisasi, serta penentuan jumlah air tanak dan karakterisasi produk campuran grit jagungberas siap tanak. Garis besar penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 3.
21
Persiapan bahan
Penentuan ukuran grit yang cocok untuk dicampur nasi
Analisis Rendemen, densitas kamba dan distribusi ukuran grit
Analisis uji hedonik
JJJAAjgung Uji pencampuran grit jagung terpilih dengan beras
Penentuan perlakuan pregelatinisasi grit jagung
Pengeringan grit jagung yang sudah mengalami pregelatinisasi
Penentuan jumlah air tanak dan karakterisasi produk campuran grit jagung-beras
Analisis tingkat kematangan secara fisik dan objektif menggunakan mikroskop polarisasi Analisis tingkat penyerapan air, tingkat pengembangan volume, tingkat kematangan secara fisik dan objektif menggunakan mikroskop polarisasi, analisa kadar air. Analisis kadar air
Analisis tingkat kematangan, analisis kimia
Gambar 3. Garis Besar Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan bahan Pembuatan grit jagung dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering (dry milling) tanpa melalui proses perendaman terlebih dahulu. Jagung pipil digiling dengan menggunakan pin disc mill sehingga menghasilkan beras jagung. Penggilingan ini bertujuan mereduksi ukuran biji jagung menjadi butiran-butiran kecil. Hasil penggilingan kemudian disosoh dengan menggunakan alat penyosoh beras (polisher) untuk menghilangkan kulit ari yang masih menempel. Grit jagung yang telah mengalami penyosohan selanjutnya diayak dengan menggunakan pengayak manual dengan empat variasi ukuran pengayak yaitu pengayak ukuran 4 mm, ukuran 3.35 mm, ukuran 2.36 mm, dan ukuran 1.18 mm sehingga diperoleh grit jagung dengan ukuran >4 mm, 3.35-4 mm, 2.36-3.35 mm, 1.18-2.36, dan <1.18 mm. Grit jagung yang telah dihasilkan kemudian dianalisis rendemen, densitas
22
kamba, dan distribusi ukurannya. Diagram alir pembuatan grit jagung dapat dilihat pada Gambar 4. Jagung Pipil Digiling dengan pindisc mill
Disosoh dengan polisher Diayak Grit Jagung Gambar 4. Diagram alir pembuatan grit jagung
2. Penentuan Ukuran Grit yang Cocok dicampur Nasi Tujuan dari tahapan penelitian ini adalah memperoleh ukuran grit yang disukai untuk dicampur beras. Keempat ukuran grit jagung yaitu ukuran >4 mm (A), 3.35-4 mm (B), 2.36-3.35 mm (C), 1.18-2.36 (D) yang diperoleh dari tahapan persiapan bahan dilakukan dimasak atau ditanak menggunakan rice cooker sesuai dengan hasil kajian pemasakan yang optimal menurut Lalitya (2009) terlihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Kondisi penanakan grit jagung Ukuran grit
Perbandingan grit jagung
Perlakuan
dan air tanak A (>4mm)
1:5
Perendaman air dingin 5 jam
B (3.35-4mm)
1:5
Perendaman air dingin 4 jam
C (2.36-3.35 mm)
1:5
Perendaman air dingin 3 jam
D (1.18-2.36mm)
1:4
Tanpa perlakuan
Sumber : Lalitya (2009)
23
Hasil dari pemasakan keempat ukuran tersebut yang dimasak sesuai dengan kondisi penanakan grit tersebut selanjutnya di uji rating hedonik untuk memperoleh ukuran grit yang disukai oleh para panelis. Panelis diminta untuk memberikan penilaian kesukaan secara keseluruhan (penampakan, keempukkan, rasa, aroma terhadap keempat grit untuk dicampur nasi. Skala yang digunakan yaitu 1 sampai 7 dari sangat tidak suka hingga sangat suka. Maka semakin besar skala yang diperoleh pada grit jagung berarti semakin disukai grit ukuran tersebut. Panelis yang digunakan adalah panelis tak terlatih sebanyak 30 orang. Hasil dari uji rating hedonik ini kemudian diolah secara statistika (ANOVA) menggunakan SPSS 13.0
3. Uji Pencampuran Grit Jagung Terpilih dengan Beras Tahapan ini bertujuan untuk menguji atau menganalisa ukuran grit yang terpilih dari tahapan sebelumnya apabila dimasak bersama dengan beras. Selain itu juga bertujuan untuk mendapatkan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak yang optimal. Perbandingan grit jagung campur beras dikatakan optimal apabila menghasilkan nasi jagung yang tidak berair atau nasi masih keras sesaat setelah rice cooker ke posisi mati (switch off) atau kondisi hangat (switch to warming cycle). Menurut Supriadi (2004) apabila perbandingan beras jagung dan air tanak di bawah perbandingan yang optimum maka energi yang diperlukan untuk mencapai suhu gelatinisasi cukup tinggi sehingga ketika air dalam rice cooker telah habis nasi jagung belum cukup matang (masih keras). Sebaliknya, jika perbandingan beras jagung dan air melebihi perbandingan optimum maka energi yang dibutuhkan untuk gelatinisasi kecil sehingga pada saat rice cooker telah mati (off) masih tersisa air sehingga nasi jagung menjadi lembek. Mula-mula grit jagung yang terpilih dari tahapan sebelumnya dicampur beras dengan perbandingan 1:1 (basis berat grit jagung campur beras sebesar 50 gram) kemudian dimasak atau ditanak dengan menggunakan rice cooker dengan perbandingan grit jagung campur beras
24
dan air tanak sebesar 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Hasil dari pemasakan tersebut kemudian diamati tingkat kematangannya, secara fisik yaitu grit jagung dibelah apabila pada bagian tengah dari grit jagung teresebut masih memiliki serbuk putih (berwarna putih) maka nasi campuran grit jagung-beras secara keseluruhan belum matang. Penilaian kematangan nasi campuran grit jagung-beras juga didasarkan pada tingkat gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi dapat dilihat dari tingkat birefringence granula pati nasi jagung yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi yang dilengkapi dengan kamera. Apabila pemasakan grit jagung campur beras dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak tersebut diatas menghasilkan grit jagung yang matang bersamaan dengan nasi maka tidak diperlukan pregelatinisasi terhadap grit jagung. Perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak yang optimal diperoleh dari pengamatan setelah pemasakan selesai ( tombol rice cooker telah turun dari proses pemasakan), yaitu apabila beras telah matang dan tidak berair. Akan tetapi bila dari pemasakan ini masih diperoleh grit yang belum matang maka grit jagung tersebut memerlukan pregelatinisasi sebelum dicampur beras untuk kemudian ditanak atau dimasak. Diagram alir proses dari tahapan ini dapat terlihat pada Gambar 5.
Grit jagung campur beras Ditanak dengan perbandingan beras jagung dan air tanak 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 dan 1:6 Dianalisis tingkat kematangan : Grit jagung Matang → Optimal Grit jagung Tidak matang→ Pregelatinisasi Gambar 5. Diagram alir proses uji pencampuran grit jagung dan beras
25
4. Penentuan Perlakuan Pregelatinisasi Grit Jagung Tujuan dari tahapan ini yaitu pregelatinisasi terhadap grit jagung Pregelatinisasi grit jagung bertujuan untuk membuat grit jagung campur beras apabila ditanak atau dimasak menggunakan rice cooker akan menghasilkan grit jagung dan beras yang matang secara bersamaan (mendapatkan karakteristik nasi jagung yang matang sempurna). Perlakuan pregelatinisasi grit jagung ini dilakukan sebelum dicampur beras. Perlakuan pregelatinisasi yang dilakukan adalah perendaman grit jagung dalam suhu 100 °C dengan cara menyeduh grit jagung dengan air mendidih (100 °C) dan didiamkan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Air panas yang digunakan suhunya tidak dipertahankan konstan 100 C selama perendaman. Pregelatinisasi lainnya yaitu pengukusan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, dan 70 menit. Analisis yang dilakukan pada pregelatinisasi grit yaitu analisis tingkat penyerapan air pada grit sebelum dan setelah pregelatinisasi. Untuk mengamati tingkat kematangan grit jagung, grit jagung yang mengalami pregelatinisasi dicampur beras perbandingan 1:1 kemudian ditanak dengan rice cooker. Pada hasil pemasakan dari grit yang telah mengalami pregelatinisasi dan beras tersebut dilakukan pengamatan tingkat pengembangan volume nasi serta tingkat kematangan grit jagung secara fisik yaitu ada atau tidaknya serbuk putih pada bagian tengah grit jagung serta tingkat gelatinisasi dapat dilihat dari tingkat birefringence granula pati nasi jagung yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi yang dilengkapi dengan kamera. Diagram alir dari tahapan inidapat terlihat pada Gambar 6.
26
Grit jagung
Direndam dalam air panas (suhu awal 100o C) selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit
Dikukus ( 98o C) selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, 70 menit
Dicampur beras dengan perbandingan 1 :1 ditanak dengan penambahan air tanak optimal
Analisis tingkat kematangan
Dipilih perlakuan awal yang optimal
Gambar 6. Diagram alir proses pregelatinisasi grit jagung 5. Pengeringan grit jagung yang sudah mengalami pregelatinisasi Tahap ini bertujuan memperoleh waktu pengeringan dari grit jagung yang telah mengalami pregelatinisasi. Pada penentuan lama pengeringan grit ini digunakan grit yang telah mengalami proses pregelatinisasi optimal. Tahapan pengeringan ini bertujuan untuk diperoleh waktu pengeringan grit jagung sehingga dapat dicampur beras. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari dan oven pengering kabinet bersuhu 70°C hingga mencapai kadar air <14%. Selama pengeringan dilakukan pengecekan setiap 20 menit selama 3 jam sehingga diperoleh kurva pengeringan
untuk
mencari
waktu
pengeringan
optimal
untuk
mendapatkan kadar air < 14%. 6. Penentuan Jumlah Air Tanak dan Karakterisasi produk Campuran Grit Jagung-beras siap tanak. Tahapan ini terbagi dalam dua bagian yaitu penentuan jumlah air tanak dan karakterisasi produk campuran grit jagung-beras siap tanak. Bagian pertama ialah penentuan jumlah air tanak dari produk campuran grit jagung-beras siap tanak dengan berat 50 gram, 100 gram, 200 gram, dan 400 gram. Pengamatan yang dilakukan yaitu analisis tingkat kematangan berdasarkan pengamatan fisik dan sifat birefringence granula pati. Pada pengamatan ini maka diperoleh jumlah air tanak yang sesuai dari masing-masing berat produk campuran grit jagung- beras.
27
Jumlah air tanak yang ditambahkan pada berbagai berat sampel terlihat pada Tabel 3 Tabel 3. Jumlah air tanak grit jagung campur beras. Berat produk campuran grit
Jumlah Air Tanak (ml)
jagung-beras (gr) 50
50, 100, 150, 200, 250
100
100, 150, 200, 250, 300, 350
200
200, 250, 300, 350, 400, 450, 500
400
400, 450, 500, 550, 600, 650, 700, 750, 800
Bagian kedua yaitu karakterisasi komposisi kimia dari produk campuran grit jagung-beras bertujuan memperoleh komposisi nilai gizi (nutrition fact) dari produk campuran grit jagung-beras. Analisis ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat pangan, dan nilai kalori makanan.
C. METODE ANALISIS Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini analisis fisik dan analisis kimia meliputi yaitu:
a. Analisis fisik 1. Rendemen Nilai
rendemen
pembuatan
grit
jagung
didasarkan
pada
perbandingan antara total berat grit jagung yang telah disosoh dengan berat jagung pipil awal yang digunakan. Rendemen (%) = berat beras hasil sosoh berat jagung pipil
x 100%
2. Distribusi Ukuran Perhitungan distribusi ukuran grit jagung didasarkan pada perbandingan antara berat grit jagung ukuran tertentu yang telah disosoh dengan total berat grit jagung yang telah disosoh.
28
kuran Distribusi (% terhadap Ukuran rendeme = (% terhadap rendemen) Distribusi Ukuran Distribusi (%dari jagung pipil)
berat grit ukuran X x 100% berat total beras jagung
=
berat grit ukuran X x 100% berat jagung pipil
3. Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Penentuan nilai densitas kamba grit jagung dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur kosong, kemudian grit jagung dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml hingga tanda tera dan ditimbang. Berat 50 ml grit jagung ditentukan berdasarkan selisih antara berat gelas ukur 50 ml yang diisi grit jagung hingga tanda tera dengan berat gelas ukur 50 ml kosong. Densitas kamba didasarkan pada perbandingan antara berat 50 ml beras jagung dengan volume gelas ukur yakni 50 ml. Berat Jagung (g) = (berat gelas ukur + jagung) – berat gelas ukur kosong Densitas Kamba (g/ml) =
berat grit jagung 50 ml (g) volume gelas ukur (ml)
x 100
4. Tingkat Penyerapan Air (Hubeis, 1985) Penentuan tingkat penyerapan air beras jagung ditentukan berdasarkan jumlah air yang diserap oleh grit jagung selama pregelatinisasi yakni selama pengukusan ( dalam air panas (suhu awal
98 C) dan perendaman
100 C). Tingkat penyerapan air grit jagung
campur beras diperoleh dari selisih antara jumlah air awal yang ditambahkan untuk merendam grit jagung dengan jumlah air sisa setelah perendaman selama waktu tertentu. Tingkat penyerapan air pada setiap variabel waktu perendaman kemudian dirata-ratakan untuk menghasilkan rata-rata tingkat penyerapan air grit jagung. Sebanyak 50 gram grit jagung untuk setiap ukuran dimasukkan dalam wadah yang telah diisi dengan air. Jumlah awal air perendam yang digunakan adalah 100 ml. Grit jagung kemudian direndam dengan variabel waktu perendaman dalam air panas adalah 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Selama perendaman dalam air panas, suhu air
29
tidak dipertahankan konstan 100 C. Setelah direndam sesuai dengan variabel waktu yang ditetapkan, jumlah sisa air perendam diukur kembali. Akan tetapi pada perlakuan pengukusan grit setelah dikukus pada variabel waktu 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, dan 70 menit. Grit sebanyak 25 gram kemudian dikukus, setelah itu timbang kembali berat grit. Jumlah Air yang = jumlah air awal (ml) – jumlah air akhir (ml) Diserap (ml) Jumlah Air yang = Berat akhir (gr) – Berat awal (gr) Diserap (gr)* Tingkat Penyerapan Air (%)
= jumlah air yang diserap (ml) x 100% jumlah air awal (ml)
Tingkat Penyerapan Air (%)*
= jumlah air yang diserap (gr) x 100% Berat awal (gr)
* Rumus pada perlakuan pengukusan
5. Tingkat Pengembangan (Hubeis, 1985) Pengembangan grit jagung ditentukan dengan mengukur selisih ketinggian
grit jagung campur beras
awal di dalam rice cooker
(sebelum ditanak) dengan ketinggian akhir beras setelah matang dengan menggunakan penggaris. Penentuan tingkat pengembangan didasarkan pada perbandingan pengembangan grit jagung campur beras dengan ketinggian awal grit jagung campur sebelum ditanak. Analisis tingkat pengembangan dilakukan pada grit jagung campur beras kontrol (tanpa perlakuan awal) dan grit jagung campur beras yang telah diberi perlakuan pregelatinisasi. Grit jagung campur beras tersebut kemudian ditanak menggunakan rice cooker dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sesuai. Sejumlah sampel grit jagung yang terpilih diberi perlakuan awal sesuai dengan perlakuan pregelatinisasi yaitu perendaman air panas (±100 ºC) selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Serta pengukusan selama 10menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, dan 70 menit. Setelah direndam sesuai dengan variabel waktu 30
yang ditetapkan, grit jagung campur beras ditanak menggunakan rice cooker dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sesuai. Grit jagung C campur beras ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak sebesar 1:5. Sebelum rice cooker dinyalakan, tinggi awal grit jagung di dalam rice cooker diukur kemudian setelah proses penanakan selesai tinggi akhir nasi campuran grit jagung-beras yang telah matang diukur kembali. Pengembangan (cm) = ketinggian akhir (cm) – ketinggian awal (cm) Tingkat Pengembangan (%) =
pengembangan (cm) x 100% ketinggian awal (cm)
6. Tingkat Kematangan Penentuan tingkat kematangan grit jagung secara organoleptik didasarkan pada parameter ada tidaknya serbuk tepung jagung berupa bintik putih pada bagian tengah nasi jagung yang telah matang. Jika nasi jagung yang telah matang dibelah dan pada bagian tengahnya ditemukan serbuk tepung (bintik putih) maka nasi tersebut dinyatakan belum matang. 7. Tingkat Gelatinisasi Penilaian kematangan grit jagung juga didasarkan pada tingkat gelatinisasi pati. Tingkat gelatinisasi dapat dilihat dari tingkat birefringence granula pati grit jagung yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi yang dilengkapi dengan kamera. Sejumlah sampel nasi jagung dicampur dengan air suling kemudian suspensi yang terbentuk diteteskan pada gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat diuji dengan meneruskan cahaya melalui polarizer dan diamati tingkat birefringence. Selama pengamatan analyzer diputar hingga cahaya terpolarisasi sempurna, selanjutnya gambar yang terlihat dipotret. Apabila granula pati yang diamati sudah tidak menunjukkan kontras gelap terang (warna biru kuning) maka pati tersebut telah kehilangan sifat birefringence. Hilangnya sifat birefringence ini menunjukkan
31
bahwa pati telah tergelatinisasi secara sempurna dan nasi campuran grit jagung-beras dinyatakan matang. 8. Uji Organoleptik Uji organoleptik bertujuan mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap keempat ukuran grit jagung selain menggunakan survei konsumen untuk mengetahui preferensi konsumen. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating sederhana. Uji ini termasuk ke dalam uji penerimaan (acceptance/preference test). Uji penerimaan berkaitan dengan penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyukai bahan tersebut. Tujuan uji penerimaan adalah mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat (Meilgaard, 1999). Pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Skala yang digunakan adalah 1-7 yaitu dari sangat tidak suka hingga sangat suka. Sampel yang disajikan adalah beras jagung yang telah ditanak hingga matang. Parameter yang diuji adalah ukuran beras jagung. Panelis diminta untuk memberikan penilaian tingkat kesukaan terhadap keempat ukuran beras jagung. Hasil uji ini kemudian dianalisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut Duncan.
b. Analisis kimia 1. Kadar Air Metode Oven Biasa (AOAC, 1984) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 100102 C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan aluminium kosong yang telah didinginkan kemudian ditimbang (W2). Sampel ditimbang sebanyak
5 gram (W) dan
dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang telah berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-102 C selama 6 jam, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (W1). Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0005 gram).
32
Kadar Air (%bb) = W – (W1 – W2) x 100% W Kadar Air (%bk) = W – (W1 – W2) x 100% W1 – W2 Keterangan: W = berat sampel awal (gram) W1 = berat cawan + sampel yang telah dikeringkan (gram) W2 = berat cawan kosong (gram) 2. Kadar Abu (AOAC, 1984) Sampel ditimbang 2.0 - 3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4 - 5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤0.0003 gram). Kadar Abu (%bb) = W1 – W2 W Kadar Abu (%bk) =
x 100 %
kadar abu (%bb) x 100 % [100 – kadar air (%bb)]
Keterangan: W = berat sampel awal (gram) W1 = berat cawan + sampel yang telah diabukan (gram) W2 = berat cawan kosong (gram) 3. Kadar Protein (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 2.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 pekat sampai warna coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metil serta metil biru, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N hingga titik akhir.
33
Keterangan: Faktor konversi untuk serealia adalah 6.25
4. Kadar Lemak (AOAC, 1984) Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang. Ditimbang 2 g sampel di dalam gelas piala, ditambahkan 30 ml HCl 25% dan 20 ml air serta beberapa batu didih. Ditutup gelas piala yang dengan gelas arloji dan dididihkan selama 15 menit (larutan sampel). Disaring larutan sampel dengan kertas saring dalam keadaan panas dan didicuci dengan air panas hingga tidak bereaksi asam lagi. Kertas saring yang digunakan untuk menyaring larutan sampel dikeringkan berikut isinya pada suhu 100-105oC (kertas saring sampel). Dimasukan kertas saring sampel ke dalam kertas pembungkus sampel yang telah dilengkapi kapas dibagian ujungnya kemudian dibentuk menjadi bentuk tabung (timbel). Timbel tersebut diekstrak dengan heksana selama 2-3 jam pada suhu kurang lebih 80oC. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100-105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar Lemak (%bb) = W1 – W2 W Kadar Lemak (%bk) =
x 100 %
kadar lemak (%bb) [100 – kadar air (%bb)]
x 100 %
Keterangan:
W = berat sampel awal (gram) W1 = berat labu lemak + lemak hasil ekstraksi (gram) W2 = berat labu lemak kosong (gram) 5. Kadar Karbohidrat (by difference) Karbohidrat yang dapat dicerna adalah karbohidrat yang dapat dipecah oleh enzim -amilase di dalam sistem pencernaan manusia dan
34
menghasilkan energi. Analisis digestible carbohydrate yang banyak digunakan adalah penentuan total karbohidrat dengan metode by difference. Perhitungan kandungan karbohidrat dilakukan dengan cara pengurangan 100% dengan persentase kandungan air, protein, lemak, dan abu. Kadar karbohidrat (%) = 100 % - % ( kadar protein + lemak + air + abu) 6. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatik (Asp et al., 1983) Sampel diekstrak lemaknya dengan menggunakan Petroleum Eter selama 15 menit pada suhu kamar. Sampel bebas lemak ditimbang sebanyak 1 gram (W), dimasukkan dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 ml buffer fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml termamyl, kemudian gelas piala ditutup dengan kertas alufo lalu diinkubasi dalam air mendidih (suhu 100 C) selama 15 menit dan diaduk setiap interval 5 menit. Setelah 15 menit, gelas piala diangkat dan didinginkan. Selanjutnya, ditambahkan 20 ml aquades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 1 M. Setelah itu ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup kertas alufo, dan diinkubasi pada suhu 40o C selama 60 menit dalam inkubator bergoyang, lalu diangkat dan didinginkan. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan dengan 20 ml aquades dan pH nya diatur menjadi 6.8 dengan menambahkan NaOH 1 M, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup kertas alufo, dan diinkubasi kembali pada suhu 40o C selama 60 menit dalam inkubator bergoyang. Setelah 60 menit, sampel diangkat dan didinginkan lalu diatur kembali pH nya menjadi 4.5 dengan menambahkan HCl 1 M. Selanjutnya disaring dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobot keringnya, dibilas dengan 2 x 10 ml aquades. Residu yang diperoleh merupakan serat pangan tidak larut (IDF), sedangkan filtrat merupakan serat pangan larut (SDF). Residu (IDF) kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan dengan menggunakan oven pada 35
suhu 105o C hingga diperoleh berat konstan dan ditimbang (D1). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur bersuhu 500o C selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desiktor dan ditimbang (I1). Volume filtrat (SDF) ditepatkan dengan aquades hingga 100 ml dan ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60o C), lalu diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobot keringnya, dibilas dengan 2 x 10 ml etanol 78% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan dengan oven pada suhu 105o C hingga diperoleh berat konstan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur bersuhu 500o C selama minimal 5 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). Nilai blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel (B1 dan B2). IDF (%bb) =
(D1 – I1 – B1) x 100% berat sampel (W)
SDF (%bb) =
(D2 – I2 – B2) x 100% berat sampel (W)
Kadar Serat Pangan (TDF) (%bb) = IDF + SDF Kadar Serat Pangan (%bk) = kadar serat pangan (%bb) x 100% [100 – kadar air (%bb)] 7. Nilai Kalori Makanan (Almatsier, 2001) Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal makanan tersebut. Nilai Kalori Makanan = Faktor Atwater x Kandungan Gizi Bahan Pangan Nilai Kalori = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (9 kkal/g x kadar lemak) + (4 kkal/g x kadar protein)
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Grit jagung Grit jagung adalah jagung giling dengan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan biji jagung utuh. Ukuran partikel grit jagung hampir menyerupai ukuran partikel beras padi. Grit jagung dibuat melalui tahap penggilingan, penyosohan, dan pengayakan. Penggilingan
grit
jagung dari jagung pipil
dilakukan dengan
menggunakan pin disc mill. Metode penggilingan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penggilingan kering (dry milling) dengan menggunakan biji jagung kering tanpa proses perendaman. Metode ini dipilih karena hasil akhir penelitian berupa grit jagung diharapkan memiliki ukuran partikel yang relatif sama dengan ukuran partikel beras serta menghasilkan rendemen yang tinggi. Metode penggilingan basah (wet milling) akan menghasilkan fraksi tepung yang lebih tinggi sementara fraksi grits jagung (rendemen) yang dihasilkan menjadi rendah (Suba Indah, 2003). Jagung pipil dimasukkan ke dalam pin disc mill sehingga menghasilkan grits jagung. Proses penggilingan ini dilakukan sebanyak tiga kali (tiga batch). Masing-masing batch menggunakan 20 kilogram jagung pipil. Penggilingan bertujuan mereduksi ukuran partikel serta menghilangkan perikarp, germ, dan tip cap. Selain itu, penggilingan juga bertujuan menghilangkan lapisan terluar biji (bran layer). Lapisan yang keras dan lambat berhidrasi ini dapat menurunkan laju penetrasi air ke dalam endosperm sehingga membutuhkan waktu perendaman dan perebusan yang lebih lama (Carlson et al., 1980). Grits jagung hasil penggilingan kemudian disosoh dengan menggunakan alat penyosoh beras (polisher) untuk menghilangkan kulit ari yang masih menempel. Menurut Roberts (1979) proses penggilingan dapat menghilangkan 8% lapisan terluar biji, sedangkan penyosohan dapat menghilangkan 2% lapisan terluar biji. Grits jagung yang telah mengalami penyosohan selanjutnya diayak dengan menggunakan pengayak bertingkat secara manual. Variasi ukuran ayakan yang digunakan adalah 4 mm, 3.35 mm, 2.36 mm, dan 1.18 mm.
37
Proses pengayakan ini menghasilkan grit jagung dengan lima ukuran yang berbeda. Fraksi grit jagung A (>4 mm) adalah fraksi yang tidak lolos ayakan 4 mm, sedangkan fraksi grits jagung B (3.35-4 mm) adalah fraksi yang lolos ayakan 4 mm dan tidak lolos ayakan 3.35 mm. Fraksi grit jagung C (2.36-3.35 mm) adalah fraksi yang lolos ayakan 3.35 mm dan tidak lolos ayakan 2.36 mm. Fraksi grit jagung D (1.18-2.36 mm) adalah fraksi yang lolos ayakan 2.36 mm dan tidak lolos ayakan 1.18 mm. Fraksi grit jagung E (<1.18 mm) adalah fraksi yang lolos ayakan 1.18 mm. Fraksi grit jagung E tidak disertakan dalam penelitian ini karena ukurannya sangat kecil (menyerupai tepung) dan jauh berbeda dengan ukuran beras padi. Persentase rendemen dan distribusi ukuran grit jagung dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Persentase rendemen dan distribusi ukuran grit jagung Grit Jagung
Rendemen (%)
Batch 1 Batch 2 Batch 3 Rata-rata
50.35 53.89 52.05 52.10
A 3.08 5.31 2.75 3.71
Distribusi Ukuran (% terhadap rendemen) B C D 12.99 47.19 35.64 17.52 47.98 28.62 9.39 46.94 40.18 13.30 47.37 34.84
E 1.10 0.58 0.73 0.80
Tabel 5. Distribusi ukuran grit jagung Grit Jagung
Rendemen (%)
Distribusi Ukuran (% terhadap jagung pipil) A B C D E 1.55 6.54 23.76 17.95 0.55 2.86 9.44 25.85 15.42 0.31 1.44 4.89 24.44 20.92 0.38 1.95 6.96 24.68 18.10 0.41
Batch 1 50.35 Batch 2 53.89 Batch 3 52.05 Rata-rata 52.10 Keterangan: A = ukuran >4 mm B = ukuran 3.35-4 mm C = ukuran 2.36-3.35 mm
D = ukuran 1.18-2.36 mm E = ukuran <1.18 mm
Proses pembuatan grit jagung menghasilkan rendemen rata-rata sebesar 52.10% dengan fraksi grit jagung terbanyak adalah ukuran C(3.35-2.36mm). Rendahnya nilai rendemen diduga disebabkan oleh alat penggiling dan penyosoh yang digunakan tidak diperuntukan secara khusus untuk komoditi
38
jagung sehingga banyak grit yang tertinggal dalam alat. Akan tetapi, hasil ini masih memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian Hartono (2004) yang menyatakan bahwa rendemen pembuatan grit jagung yaitu sekitar 24-30%. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan varietas jagung dan alat yang digunakan. Densitas kamba menentukan volume ruang kosong yang dibutuhkan oleh suatu produk. Bahan dengan bentuk dan berat yang sama namun memiliki densitas kamba yang berbeda akan membutuhkan volume ruang yang berbeda pula. Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik pangan yang memegang peranan penting dalam pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan. Hal ini akan mempengaruhi pemilihan luas area dan jenis teknologi penyimpanan (Robertson, 1998). Nilai densitas kamba menunjukkan void space yaitu jumlah rongga kosong diantara partikel bahan. Semakin besar densitas kamba suatu benda, semakin sedikit jumlah void space-nya (Hui et al., 2007). Densitas kamba dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dan volume bahan, umumnya dalam satuan gram/ml atau kg/liter. Densitas kamba bergantung pada derajat ruang interpartikular atau porositas dari volume kamba. Hasil pengukuran nilai rata-rata densitas kamba grit jagung disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Densitas kamba grit jagung No. Grit Jagung Densitas Kamba (kg/liter) a 1. A 0.736 ab 2. B 0.766 3. Cbc 0.802 c 4. D 0.831 ^
huruf yang sama pada kolom berarti tidak berbeda nyata
Keterangan: A = ukuran > 4 mm B = ukuran 3.35-4 mm
C = ukuran 2.36-3.35 mm D = ukuran 1.18-2.36 mm
Hasil analisis sidik ragam pada keempat ukuran grit jagung menunjukkan bahwa ukuran grit jagung memiliki pengaruh nyata terhadap nilai densitas kamba. Hasil pengujian statistik densitas kamba ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada uji lanjut duncan diperoleh bahwa grit jagung A sama dengan grit B dan berbeda dengan grit jagung C dan D. Grit jagung B sama
39
dengan grit C dan berbeda dengan grit D. Serta grit jagung C sama dengan grit jagung D. Dari Tabel 6 terlihat bahwa grit jagung A memiliki nilai rata-rata densitas kamba terendah. Hal ini berkaitan dengan efek void space bahan. Semakin besar ukuran partikel suatu bahan, semakin banyak jumlah void space yang dimilikinya. Menurut Hui et al. (2007), bahan yang memiliki jumlah void space besar akan memiliki nilai densitas kamba yang kecil.
B. Penentuan Ukuran Grit yang Cocok dicampur Nasi Pada tahap penentuan ukuran grit yang cocok dicampur nasi ini dilakukan uji rating hedonik dari keempat ukuran grit yang telah dimasak berdasarkan hasil kajian optimal menurut Lalitya (2009) yaitu pemberian perlakuan perendaman pada grit ukuran A, B, dan C dengan waktu perendaman yang berbeda-beda grit A(> 4 mm) selama 5 jam, grit B (3.35-4 mm) selama 4 jam, dan grit C(2.36-3.35 mm) selama 3 jam, kemudian grit A, B, dan C ini dimasak dengan perbandingan grit jagung dan air tanak sebesar 1:5. Dan grit D (1.18-2.36 mm) tidak perlu perendaman maka langsung ditanak dengan perbandingan grit jagung dan air tanak sebesar 1:4. Hasil pemasakan keempat ukuran tersebut selanjutnya di uji rating hedonik terhadap 30 orang panelis untuk memperoleh ukuran grit yang disukai. Pengujian dilakukan dengan cara panelis diminta untuk memberikan penilaian kesukaan secara keseluruhan (penampakan, keempukkan, rasa, aroma terhadap keempat grit untuk dicampur nasi. Skala yang digunakan yaitu 1 sampai 7 dari sangat tidak suka hingga sangat suka. Maka semakin besar skala yang diperoleh pada grit jagung berarti semakin disukai grit ukuran tersebut. Kuisioner yang digunakan terdapat pada Lampiran 1. Berdasarkan grafik jumlah skala penilaian terhadap ukuran grit pada Gambar 7 terlihat bahwa ukuran grit C memiliki jumlah skala penilaian paling besar daripada ketiga grit lainnya. Jumlah skala penilaian pada grit C sebesar 146 dan pada grit D sebesar 138, sedangkan pada grit A dan B berturut-turut sebesar 88 dan 107. Jumlah skala penilaian pada grit jagung ukuran C dan D memiliki perbedaan yang sedikit sekali.
40
Gambar 7. Grafik rata-rata skala penilaian terhadap ukuran grit
Berdasarkan hasil uji rating hedonik yang diperoleh pada Lampiran 2 dan Lampiran 3 diperoleh keempat ukuran grit jagung berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05, kemudian dari uji lanjut Duncan diperoleh bahwa grit ukuran C (2.36-3.35 mm) dan grit D (1.18-2.36 mm) berada dalam satu subset yang berarti kedua ukuran ini tidak berbeda atau sama antara yang satu dengan lainnya. Selain itu kedua ukuran ini memiliki nilai skor penilaian kesukaan yang paling tinggi diantara keempat ukuran grit. Berdasarkan grafik rata-rata penilaian diperoleh bahwa ukuran grit C memiliki rata-rata skala paling besar yaitu 4.87 yang menunjukkan grit ini agak disuka dibandingkan ketiga ukuran grit lainnya dan jumlah skala penilaian pada grit ukuran C dan D memiliki selisih yang kecil (tidak jauh berbeda). Dan berdasarkan analisis statistik pada Lampiran 3 diperoleh bahwa ukuran C dan D memiliki tingkat kesukaan yang tidak berbeda nyata serta berada dalam satu subset. Maka selanjutnya ukuran C dan D inilah yang digunakan pada penelitian tahap berikutnya.
C. Uji Pencampuran Grit Jagung Terpilih dengan Beras Ukuran grit yang digunakan pada tahapan ini adalah ukuran grit C dan D yang terpilih berdasarkan tahapan sebelumnya. Uji pencampuran grit jagung terpilih dengan beras ini untuk menguji atau menganalisa ukuran grit yang terpilih dari tahapan sebelumnya apabila dimasak bersama dengan beras. Selain itu juga bertujuan untuk mendapatkan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak yang optimal. Pada tahap ini dilakukan analisis tingkat
41
kematangan. Penentuan tingkat kematangan beras jagung dilakukan dengan dua cara yakni secara organoleptik maupun melalui pengamatan granula pati di bawah mikroskop polarisasi. Penentuan tingkat kematangan secara organoleptik didasarkan pada parameter ada bintik putih pada bagian tengah grit jagung yang telah matang. Apabila grit jagung yang dihasilkan masih memiliki serbuk tepung (bintik putih) dan terasa mentah (kletis), maka nasi tersebut dinyatakan belum matang. Penentuan tingkat kematangan melalui pengamatan granula pati di bawah mikroskop polarisasi didasarkan pada sifat birefringence granula pati. Sifat ini ditandai dengan adanya kontras gelap terang berupa warna biru kuning yang terlihat pada pengamatan di bawah mikroskop. Apabila granula pati nasi jagung yang dihasilkan masih memiliki sifat birefringence, maka nasi jagung tersebut dinyatakan belum matang. Mula-mula grit jagung yang terpilih dari tahapan sebelumnya yaitu grit C (2.36-3.35 mm) dan grit D (1.18-2.36 mm) dicampur beras dengan perbandingan 1:1 (basis berat grit jagung campur beras sebesar 50 gram) kemudian dimasak atau ditanak dengan menggunakan rice cooker dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak sebesar 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Hasil dari pemasakan tersebut kemudian diamati tingkat kematangannya dan dipilih perbandingan grit jagung campur beras yang optimal. Perbandingan grit jagung dan air tanak memegang peranan penting untuk menghasilkan nasi jagung dengan karakteristik matang yang sempurna, tidak keras akibat belum matang, ataupun terlalu lembek akibat penambahan air yang berlebihan. Menurut Supriadi (2004) apabila perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak di bawah perbandingan yang optimum maka energi yang diperlukan untuk mencapai suhu gelatinisasi cukup tinggi sehingga ketika air dalam rice cooker telah habis nasi jagung belum cukup matang (masih keras). Sebaliknya, jika perbandingan grit jagung campur beras dan air melebihi perbandingan optimum maka energi yang dibutuhkan untuk gelatinisasi kecil sehingga pada saat rice cooker telah mati (off) masih tersisa air sehingga nasi jagung menjadi lembek.
42
Hasil kajian penentuan ukuran grit untuk dicampur beras tahap pertama menunjukkan bahwa perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak sebesar 1:1 dan 1:2 menghasilkan nasi jagung yang keras dan tidak dapat mengembang. Hasil uji pencampuran grit jagung dengan beras ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji pencampuran grit jagung dengan beras Perbandingan grit jagungberas dan air tanak 1:1 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 - : Tidak dilakukan *
Hasil penanakan Grit Jagung C Grit Jagung D Mentah (keras) Mentah (keras) Mentah (keras) Mentah (kletis) Mentah (kletis) Matang (agak empuk) Matang (agak empuk) Matang* Matang* Matang* (berair) Matang* (lembek)
: matang secara organoleptik
Keterangan: C = ukuran 2.36-3.35 mm D = ukuran 1.18-2.36 mm Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa perbandingan beras jagung campuran dan air tanak yang optimal pada ukuran C (2.36-3.35 mm) adalah 1:5, sedangkan untuk grit jagung ukuran D (1.18-2.36 mm) adalah 1:4 dimana grit jagung yang dihasilkan tidak memiliki serbuk tepung (bintik putih) pada bagian tengahnya sehingga dinyatakan matang secara fisik. Jika grit jagung campur beras ukuran D (1.18-2.36 mm) ditanak dengan perbandingan 1:5 akan menghasilkan nasi jagung yang sangat lembek dan berair menyerupai bubur. Untuk ukuran C (2.36-3.35 mm) yang
ditanak langsung dengan
perbandingan beras dan air tanak 1:5 memiliki tekstur yang empuk tapi masih terdapat bintik putih, hal ini berarti sifat birefringence masih ada terlihat berwarna kebiruan pada gambar. Untuk mengetahui bentuk granula pati dan tingkat gelatinisasi dilakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi. Pengamatan dibawah mikroskop polarisasi ini dapat dilihat pada Gambar 8.
43
a. Grit jagung campur beras (mentah)
b. Grit jagung C campur beras ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air 1:5
c. Grit jagung D campur beras ditanak dengan perbandingan beras dan air 1:4 Gambar 8. Bentuk granula pati grit jagung campur beras
Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa granula pati grit jagung campur beras mentah (Gambar 8a) masih memiliki pola birefringence
(berwarna biru) yang jelas antara daerah gelap dan terang
karena belum terjadi perusakan struktur kristal granula pati. Meskipun dinyatakan telah matang secara organoleptik, granula pati grit jagung C yang ditanak langsung (tanpa perlakuan awal) dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sebesar 1:5 ternyata masih memiliki pola birefringence (berwarna biru) yang jelas antara daerah gelap dan terang pada pengamatan
44
secara mikroskopis (Gambar 8b). Hal ini menunjukkan bahwa energi pemanasan pada penanakan grit jagung C campur beras secara langsung belum cukup untuk menyebabkan seluruh granula pati tergelatinisasi sehingga nasi dinyatakan belum matang. Menurut Muramatsu et al. (2006) untuk menghasilkan tingkat gelatinisasi yang sempurna dibutuhkan penetrasi dan distribusi air secara menyeluruh ke dalam biji jagung. Oleh karena itu, grit jagung C campur beras masih membutuhkan perlakuan awal sebelum ditanak dengan menggunakan rice cooker. Berbeda dengan grit jagung C campur beras, grit jagung D campur beras yang ditanak langsung (tanpa perlakuan awal apapun) dengan perbandingan beras jagung dan air tanak sebesar 1:4 telah menghasilkan nasi jagung yang matang baik secara organoleptik maupun melalui pengamatan dengan mikroskop polarisasi. Pengamatan granula pati secara mikroskopis (Gambar 8c) menunjukkan bahwa granula pati grit jagung D telah kehilangan sifat birefringence (tidak berwarna biru dan tidak terlihat antara daerah gelap dan terang). Hal ini menandakan bahwa grit jagung D tidak membutuhkan perlakuan awal apapun untuk menghasilkan nasi jagung yang matang. Hilangnya sifat birefringence berkaitan dengan terjadinya perubahan indeks refraksi granula pati. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan konfigurasi molekul pati yang semakin tidak teratur dan pecahnya ikatan molekul pati. Penetrasi molekul air ke dalam granula pati menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan penurunan sifat kristal (Fennema, 1996). Berdasarkan hasil dari uji pencampuran ini diperoleh bahwa ukuran grit C yang ditanak menggunakan perbandingan grit jagung campur beras 1:5 dihasilkan nasi jagung yang belum matang (ditengah grit jagung masih terdapat bintik putih) sehingga grit jagung ukuran C memerlukan tahap pregelatinisasi terlebih dahulu sebelum dicampur beras untuk menghasilkan nasi jagung yang matang. Pada ukuran grit D yang ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras 1:4 telah diperoleh nasi jagung yang matang. Sehingga pada tahap selanjutnya hanya ukuran grit C yang diberi perlakuan pregelatinisasi.
45
D. Penentuan Perlakuan Pregelatinisasi Grit Jagung Pada tahap uji pencampuran grit jagung terpilih yaitu grit ukuran C dan D yang kemudian masing-masing dimasak dengan beras diperoleh bahwa grit ukuran D yang ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak 1:4 telah menghasilkan nasi jagung yang matang, akan tetapi pada grit ukuran C yang ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak 1:5 belum menghasilkan nasi jagung yang matang sehingga pada grit ukuran C ini harus diberi perlakuan sebelum dicampur dengan beras untukmenghasilkan nasi jagung yang matang. Tahapan ini yaitu pregelatinisasi terhadap grit jagung Pregelatinisasi grit jagung bertujuan untuk membuat grit jagung campur beras apabila ditanak atau dimasak menggunakan rice cooker akan menghasilkan grit jagung dan beras yang matang secara bersamaan (mendapatkan karakteristik nasi jagung yang matang sempurna). Berdasarkan hasil tahapan uji pencampuran grit jagung dengan beras diketahui bahwa grit jagung C ( 2.36-3.35 mm) masih membutuhkan perlakuan awal untuk menghasilkan nasi jagung yang matang, sedangkan grit jagung D tidak membutuhkan perlakuan awal apapun. Perlakuan pregelatinisasi grit jagung ini dilakukan sebelum dicampur beras. Grit yang telah mengalami pregelatinisasi dicampur beras kemudian ditanak menggunakan rice cooker. Perlakuan pregelatinisasi yang dilakukan adalah perendaman grit jagung dalam suhu 100 °C dengan cara menyeduh grit jagung dengan air mendidih (100 °C) dan didiamkan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Air panas yang digunakan suhunya tidak dipertahankan konstan 100 C selama perendaman. Pregelatinisasi lainnya yaitu pengukusan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit, dan 70 menit.
Proses perendaman bertujuan agar endosperma keras
jagung melunak dan air terdistribusi ke dalam granula pati grit jagung sehingga transfer panas pada saat penanakan dengan menggunakan rice cooker menjadi lebih cepat. Perendaman dengan air panas dilakukan dengan cara menyeduh grit jagung menggunakan air mendidih (suhu air penyeduh
100 C). Proses
tersebut selain memberikan kesempatan kontak granula pati jagung dengan
46
air, juga memberikan efek panas yang merata pada biji jagung sehingga diharapkan mampu menyebabkan endosperma keras jagung melunak. Proses pregelatinisasi lain yang dilakukan adalah pengukusan. Pregelatinisasi perendaman dan pengukusan dipilih karena menurut Metcalf dan Lund (1985) pati yang telah tergelatinisasi mampu menyerap air lebih banyak. Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa perendaman dalam air bersuhu tinggi dan pengukusan menghasilkan tingkat penyerapan air yang lebih besar. Hal ini juga sesuai dengan Hukum Fick (Fick’s law of difussion) yang menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap kecepatan difusi air. Semakin tinggi suhu, semakin besar laju difusi yang terjadi. Hukum ini juga menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi antara lain peningkatan perbedaan konsentrasi substansi, peningkatan permeabilitas, peningkatan luas permukaan difusi, berat molekul subtansi, dan jarak yang ditempuh untuk difusi. Grit yang sudah mengalami proses pregelatinisasi selanjutnya dimasak yang sebelumnya dicampur beras dengan perbandingan 1:1 kemudian ditanak dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak sebesar 1:5. Nasi jagung yang dihasilkan kemudian dianalisis tingkat kematangannya dan dipilih perlakuan awal yang optimal. Berdasarkan tahap pregelatinisasi grit jagung diperoleh perlakuan pregelatinisasi grit jagung C (2.36-3.35 mm) yang optimal apabila ditanak atau dimasak menggunakan rice cooker akan menghasilkan grit jagung dan beras yang matang secara bersamaan (mendapatkan karakteristik nasi jagung yang matang sempurna) adalah perendaman dalam air panas atau mendidih selama 40 menit dan pengukusan selama 60 menit. Hasil pengamatan tingkat penyerapan air grit jagung C selama perendaman dalam air panas dan pengukusan dapat dilihat pada Gambar 9. Dari Gambar 9 terlihat bahwa tingkat penyerapan air pada fase awal perendaman yakni pada 10 menit pertama selama pregelatinisasi baik perendaman air panas maupun pengukusan mengalami kenaikan yang cukup besar akan tetapi setelah 20 menit hingga 40menit terjadi penyerapan air tidak cukup besar atau tidak terlalu signifikan. Dan pada pengukusan selama 50
47
menit hingga 60 menit terjadi peningkatan penyerapan air. Kemudian pada waktu 60 menit hingga 70 menit tingkat penyerapan air yang terjadi tidak terlalu signifikan.
Gambar 9. Tingkat penyerapan air grit jagung selama pregelatinisasi
Tingginya laju penyerapan air pada tahap awal perendaman berkaitan dengan jaringan kapiler yang terdapat secara alami pada permukaan biji jagung. Laju penyerapan air bergantung pada gradien kelembaban antara bagian dalam jaringan kapiler dengan lapisan terluar biji jagung. Ketika jaringan kapiler ini terekspos dengan air, gradien kelembaban dan daya hisap jaringan kapiler meningkat sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan air yang cepat. Sementara pada tahap akhir perendaman, jaringan kapiler biji jagung telah terisi dengan air sehingga laju penyerapan air pun menurun (Noorbakhsh et al., 2006). Hasil pengukuran tingkat penyerapan air untuk grit jagung ukuran C (2.36-3.35 mm) dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil rata-rata tingkat penyerapan air disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 terlihat bahwa rata-rata tingkat penyerapan air grit jagung pada perendaman air panas lebih tinggi dari tingkat penyerapan air pada pengukusan. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan tingkat gelatinisasi pati. Grit jagung yang direndam dalam air panas mendapat perlakuan awal yang serupa dengan perebusan sehingga menyebabkan pati tergelatinisasi
48
Tabel 8. Rata-rata tingkat penyerapan air grit jagung C Perlakuan Tingkat penyerapan air (%) Perendaman Air panas 23 Pengukusan 12.12 Keterangan: C = ukuran 2.36-3.35 mm Gelatinisasi mampu mengubah struktur sisi pengikat air (water-binding sites) granula pati menjadi lebih mudah untuk menyerap air. Dengan demikian, gelatinisasi mampu meningkatkan kemampuan granula pati untuk berikatan dengan air (Metcalf dan Lund, 1985). Berdasarkan teori tersebut dapat diduga bahwa ikatan antar molekul pati pada grit jagung yang direndam dalam air panas telah mengalami pemecahan sehingga kemampuan pati untuk berikatan dengan air lebih besar daripada beras yang direndam dalam air dingin. Hal ini juga sesuai dengan teori Wong (1989) yang menyatakan bahwa ketika granula pati dipanaskan akan terjadi pemutusan ikatan antar misel kristalin sehingga granula pati mampu menyerap air lebih banyak. Menurut Noorbakhsh et al. (2006) peningkatan suhu perendaman akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh biji jagung. Peningkatan penyerapan air ini berkaitan dengan terjadinya disintegrasi ikatan kimia, pembesaran jaringan kapiler, dan perusakan komponen biji jagung yang dipicu oleh penetrasi air dan peningkatan suhu air. Dari Tabel 8 juga terlihat bahwa tingkat penyerapan air pada perlakuan dengan pengukusan yang lebih kecil atau rendah dibandingkan dengan perlakuan perendaman air panas. Hal ini mungkin dikarenakan proses pengukusan tidak dapat memberikan efek pemanasan secara merata pada grit jagung sehingga pemanasan dengan uap air saja tidak mampu membuat pati jagung tergelatinisasi sempurna. Selain itu, metode pengukusan juga tidak memberikan air yang cukup untuk proses gelatinisasi pati jagung karena grit jagung tidak langsung kontak dengan air melainkan hanya kontak dengan uap panas. Perendaman biji jagung sering dilakukan pada tahap penggilingan basah (wet milling) maupun pada proses pre-cooking. Tingkat penyerapan air selama perendaman umumnya dipicu oleh peningkatan suhu air. Beberapa zat kimia
49
seperti sulfur dioksida dan asam laktat juga dapat meningkatkan laju difusi air ke dalam biji jagung (Noorbakhsh et al., 2006). Teori difusi menyatakan bahwa pada tahap awal perendaman akan terjadi peningkatan laju penyerapan air yang cepat dan kemudian akan mencapai titik jenuh dimana laju penyerapan air akan menurun secara gradual. Tingkat penyerapan air ditentukan oleh difusi internal air ke dalam biji jagung. Sesuai dengan persamaan hukum Arhenius, laju penyerapan air akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu perendaman (Muramatsu et al., 2006). Grit yang telah mengalami pregelatinisasi kemudian dicampur beras selanjutnya ditanak. Proses penanakan melibatkan perubahan signifikan pada struktur, komposisi nutrisi, dan karakteristik sensori. Selama penanakan dalam air mendidih, terjadi proses pindah panas dan pindah massa bersamaan dengan gelatinisasi pati. Fenomena ini antara lain menyebabkan peningkatan bobot dan volume (Sinelli et al., 2006). Penanakan dengan menggunakan rice cooker melibatkan empat tahapan yakni penambahan air, pendidihan, penyerapan air, dan pendiaman (Toothman, 2008).
Menurut Muramatsu et al. (2006), selama proses
penyerapan air terjadi perubahan bentuk partikel beras sebagai akibat dari pengembangan. Hasil pengukuran tingkat pengembangan grit jagung campur beras
dapat
dilihat
pada
Lampiran
6
sedangkan
rata-rata
tingkat
pengembangan grit jagung campur beras disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Rata-rata tingkat pengembangan grit jagung campur beras No. Ukuran Grit Jagung Tanpa Perendaman Pengukusan perlakuan air panas 1 C (2.36-3.35 mm) 140 % 140.63% 165.22 % 2 D (1.18-2.36 mm) 128 % Keterangan: C = ukuran 2.36-3.35 mm D = ukuran 1.18-2.36 mm Berdasarkan persentase tingkat pengembangan pada Tabel 9 bahwa terdapat kecenderungan menurunnya tingkat pengembangan grit jagung campur beras seiring dengan penurunan ukuran grit jagung. Hal ini diduga disebabkan oleh efek rongga antar partikel (void space) bahan. Semakin besar 50
ukuran suatu bahan, semakin besar jumlah void space yang dimilikinya sehingga tingkat pengembangannya semakin besar. Hal ini juga didasarkan pada sifat densitas kamba beras jagung. Bahan dengan densitas kamba besar memiliki struktur yang lebih ringkas karena ruang kosong antar partikelnya (void space) lebih sedikit (Hui et al., 2007). Bahan dengan densitas kamba kecil memiliki lebih banyak ruang kosong antar partikelnya (void space) sehingga pengembangannya lebih besar. Hasil penelitian (Tabel 9) menunjukkan bahwa pengembangan grit jagung tidak proporsional dengan besarnya penyerapan air. Besarnya penyerapan air sangat dipengaruhi oleh luas permukaan bahan dan tingkat gelatinisasi pati, sedangkan pengembangan sangat dipengaruhi oleh sifat bulky suatu bahan. Dengan demikian, tingkat pengembangan grit jagung tidak selalu sebanding dengan tingkat penyerapan airnya. Pengamatan
yang
dilakukan
pada
nasi
jagung
selain
tingkat
pengembangan nasi juga dilakukan pengamatan tingkat kematangan secara fisik serta secara mikroskopis. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa granula pati grit jagung yang mengalami pregelatinisasi perendaman air selama 40 menit (Gambar 10a) dan pengukusan selama 60 menit (Gambar 10b) sudah tidak memiliki pola birefringence (berwarna biru) yang jelas antara daerah gelap dan terang karena sudah terjadi perusakan struktur kristal granula pati. Hal ini menunjukkan bahwa energi pemanasan pada penanakan grit jagung C campur beras secara langsung (tanpa perlakuan awal) sudah cukup untuk menyebabkan seluruh granula pati tergelatinisasi sehingga nasi jagung dinyatakan matang. Menurut Muramatsu et al. (2006) untuk menghasilkan tingkat gelatinisasi yang sempurna dibutuhkan penetrasi dan distribusi air secara menyeluruh ke dalam biji jagung.
51
a. Perendaman air panas 40 menit
b. Pengukusan 60 menit
Gambar 10. Bentuk granula pati grit C pregelatinisasi Hilangnya sifat birefringence berkaitan dengan terjadinya perubahan indeks refraksi granula pati. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan konfigurasi molekul pati yang semakin tidak teratur dan pecahnya ikatan molekul pati. Penetrasi molekul air ke dalam granula pati menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan penurunan sifat kristal (Fennema, 1996). Hasil yang diperoleh dari tahapan ini, grit jagung C perlakuan pregelatinisasi optimal yaitu perendaman air panas selama 40 menit dan pengukusan selama 60 menit. Tahap selanjutnya grit yang telah mengalami pregelatinisasi ini kemudian dikeringkan untuk selanjutnya dicampur beras dengan perbandingan 1:1.
E. Pengeringan Grit Jagung yang Sudah Mengalami Pregelatinisasi Tahap ini bertujuan memperoleh waktu pengeringan dari grit jagung yang telah mengalami pregelatinisasi. Dari tahapan sebelumnya diperoleh perlakuan pregelatinisasi optimum pada grit jagung adalah perendaman air panas selama 40 menit dan pengukusan selama 60 menit. Pada penentuan lama pengeringan grit ini digunakan grit yang telah mengalami proses pregelatinisasi optimal. Tahapan pengeringan ini bertujuan untuk diperoleh waktu pengeringan grit jagung sehingga dapat dicampur beras. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari dan oven pengering kabinet bersuhu 70°C hingga mencapai kadar air <14%. Selama pengeringan dilakukan pengecekan setiap 20 menit selama 3 jam sehingga diperoleh kurva pengeringan untuk mencari waktu pengeringan optimal untuk mendapatkan kadar air < 14%.
52
Berdasarkan hasil kajian perlakuan awal pada grit jagung untuk dicampur dengan beras yang optimal adalah perendaman air dingin 3 jam, perendaman air panas 40 menit, pengukusan 60 menit. Dan pada grit jagung ukuran D tidak perlu perlakuan awal sebelum dicampur dengan beras. Selanjutnya pada grit jagung C yang harus mengalami perlakuan awal terlebih dahulu sebelum dicampur dengan beras
dikaji waktu pengeringan yang
optimum (hingga beras jagung mencapai kadar air < 14% pada pengeringan dengan oven suhu 70 °C. Kadar air maksimal untuk penyimpanan biji-bijian adalah 14% (Supriadi, 2004). Variabel waktu yang digunakan adalah 20, 40, 60, 80, 100, 120, 140, 160, dan 180 menit. Hasil analisis kadar air pada saat pengeringan dengan oven pada suhu 70° C dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8. Berikut hasil dari analisis kadar air selama pengeringan dengan oven
bersuhu
70
°C
dapat
dilihat
pada
Gambar
11.
Gambar 11. Grafik hubungan kadar air terhadap waktu
Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa pada grit pregelatinisasi perendaman air panas pada menit ke-40 dan menit ke-60 terjadi penurunan kadar air yang cukup besar, dan pada menit ke-60 dan seterusnya penurunan kadar air yang terjadi berjalan lambat. Sedangkan pada grit pregelatinisasi pengukusan selama 60 menit diperoleh pada menit ke-100 dan seterusnya penurunan kadar air cenderung konstan (penurunan kadar air berjalan lambat). Dari grafik juga terlihat bahwa kadar air awal grit pregelatinisasi dengan proses perendaman air panas lebih besar daripada pregelatinisasi dengan proses pengukusan, hal ini dikarenakan pada pregelatinisasi pengukusan tidak 53
terjadi kontak langsung antara grit jagung dan air hanya uap panas saja sehingga air yang berdifusi kedalam grit lebih sedikit dibandingkan grit pregelatinisasi perendaman air panas yang terjadi kontak langsung antara grit jagung dan air. Berdasarkan grafik diatas maka diperoleh waktu pengeringan dengan oven bersuhu 70°C hingga tercapai kadar air <14%, pada grit jagung perlakuan perendaman air panas selama 40 menit adalah 140 menit. Dan waktu pengeringan dengan oven bersuhu 70°C hingga tercapai kadar air <14% pada perlakuan pengukusan selama 60 menit adalah 100 menit. Pada pengeringan menggunakan sinar matahari tidak dilakukan analisis kadar air setiap interval waktu 20 menit karena setelah pengeringan selama 20 menit pada grit jagung tidak ada perubahan secara fisik masih terlihat basah (tidak berubah) dan lagi juga dikarenakan cuaca yang tidak konstan saat penjemuran menyebabkan waktu pengeringan sangat lama. Grit jagung ukuran C (2.36-3.35 mm) yang direndam air panas selama 40 menit diperoleh waktu pengeringan (waktu terkena sinar matahari) 10 jam diperoleh kadar air sebesar 13.52%bk, sedangkan pada grit dengan perlakuan pengukusan selama 60 menit diperoleh waktu pengeringan (waktu terkena sinar matahari) 8 jam diperoleh kadar air sebesar 13.74%bk. Pengeringan dengan sinar matahari ini tergantung pada cuaca jadi kurang efisien ditambah lagi mutu yang dihasilkan kurang seragam karena suhu tidak konstan. Dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10. Hasil analisis kadar air pada pengeringan dengan sinar matahari No.
Perlakuan
Lama Pengeringan
Kadar air %bk
1
Perendaman Air Panas (40 menit) Pengukusan (60 menit)
10 jam
13.52
8 jam
13.74
2
Berdasarkan tahapan ini disimpulkan bahwa pregelatinisasi pengukusan lebih baik dibandingkan dengan pregelatinisasi perendaman air panas. Hal ini dikarenakan pada pregelatinisasi pengukusan diperoleh nilai kadar air awal
54
yang lebih kecil sehingga waktu pengeringan yang diperlukan menjadi lebih singkat daripada grit pregelatinisasi perendaman air panas grit jagung.
F. Penentuan Jumlah Air Tanak dan Karakterisasi Produk Campuran Grit Jagung- Beras Siap Tanak Berdasarkan tahapan-tahapan sebelumnya diperoleh grit ukuran D tidak memerlukan pregelatinsasi dan ukuran C memerlukan pregelatinisasi perendaman air panas selama 40 menit kemudian dikeringkan selama 140 menit dan pengukusan selama 60 menit kemudian dikeringkan selama 100 menit. Kemudian grit tersebut dicampur dengan perbandingan grit jagung campur beras 1:1 sehingga diperoleh produk campuran grit jagung-beras siap tanak. Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh proporsi jumlah air tanak dari berbagai berat produk campuran grit jagung-beras serta pada tahapan ini juga dilakukan analisis komposisi nilai gizi dari produk. Tahapan ini terbagi dalam dua bagian yaitu penentuan jumlah air tanak dan karakterisasi produk campuran grit jagung-beras siap tanak.
1) Penentuan jumlah air tanak Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan proporsi jumlah air tanak dari produk campuran grit jagung-beras siap tanak dengan berat 50 gram, 100 gram, 200 gram, dan 400 gram. Pada pengamatan ini maka diperoleh jumlah air tanak yang sesuai dari masing-masing berat produk campuran grit jagung- beras, dengan cara menanak grit jagung campur beras menggunakan rice cooker. Mula-mula grit jagung C (2.36-3.35 mm) diberi perlakuan pregelatinisasi terlebih dahulu kemudian dikeringkan sesuai waktu yang diperoleh dari tahapan pengeringan grit yang mengalami pregelatinisasi dicampur beras dengan perbandingan 1:1 kemudian ditanak menggunakan rice cooker pada berbagai berat sampel (50 gram, 100 gram, 200 gram, dan 400 gram). Sedangkan grit ukuran D (1.18-2.36 mm) tidak dipregelatinisasi langsung campur beras kemudian ditanak pada berbagai berat sampel (50 gram, 100 gram, 200 gram, dan 400 gram).
55
Grit jagung C (2.36-3.35 mm) diberi perlakuan awal perendaman dalam air panas (suhu awal
100 C) selama 40 menit dan pengukusan (
98 C) selama 60 menit, kemudian dikeringkan di oven pengering ( 70 C) selama masing-masing 140 menit dan 100 menit lalau dicampur beras kemudian ditanak. Hasil tahapan ini menunjukkan bahwa pada berat sampel 50 gram grit jagung C (2.36-3.35 mm) campur beras membutuhkan perbandingan beras jagung campuran dan air tanak sebesar 1:5, sedangkan grit jagung D (1.182.36 mm) campur beras membutuhkan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak sebesar 1:4. Akan tetapi, hasil kajian pada penanakan beras jagung campuran dengan berat sampel yang berbeda (50 gram, 100 gram, 200 gram, dan 400 gram) tidak menunjukkan perbandingan beras jagung campuran dan air tanak yang sama. Hasil tahapan penentuan jumlah air tanak grit jagung campur beras ini terlihat pada Lampiran 9, sedangkan takaran penanakan beras jagung campuran
disajikan pada
Tabel 11. Tabel 11. Takaran penanakan beras jagung Jumlah Beras Jagung 50 gram 100 gram 200 gram 400 gram
Jumlah Air Penanak Beras Jagung Beras Jagung Beras Jagung C* C^ D 250 ml 250 ml 200 ml 350 ml 350 ml 300 ml 500 ml 500 ml 450 ml 800 ml 800 ml 750 ml
Keterangan: * grit jagung diberi pregelatinisasi perendaman air panas yang dikeringkan ^ grit jagung diberi pregelatinisasi pengukusan yang dikeringkan
C = ukuran 2.36-3.35 mm D = ukuran 1.18-2.36 mm
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa takaran penanakan untuk grit jagung campur beras ukuran C (2.36-3.35 mm) memiliki sedikit perbedaan dengan takaran penanakan
untuk grit jagung campur beras ukuran D
(1.18-2.36 mm). Hal ini diduga disebabkan grit jagung ukuran C (2.36-
56
3.35 mm) dan D (1.18-2.36 mm) memiliki ukuran partikel yang tidak jauh berbeda. Pada penanakan grit jagung campur beras dengan jumlah grit jagung campur beras 100 gram, 200 gram, dan 400 gram perbandingan grit jagung campur beras dan jumlah air tanak yang optimal pada grit ukuran C dan D tidak sama dengan perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak pada penanakan grit jagung campur beras sebesar 50 gram. Hasil takaran penanakan (Tabel 11) juga menunjukkan bahwa tidak ada pola kecenderungan tertentu pada perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak. Setiap penambahan jumlah beras jagung campuran tidak selalu diiringi dengan penambahan jumlah air tanak yang sebanding. Hal ini antara lain terlihat pada penanakan grit jagung C (2.36-3.35 mm) campur beras dan grit jagung D (1.18-2.36 mm) campur beras dimana penambahan jumlah beras dari 50 gram dan 100 gram hanya membutuhkan penambahan air tanak sebesar 50 ml pada setiap kenaikan jumlah beras jagung campuran, namun pada penambahan jumlah berat sampel (grit jagung campur beras) dari
100 gram menjadi 200 gram
dibutuhkan penambahan air tanak sebesar 150 ml, sedangkan pada pada penambahan jumlah beras jagung campuran dari 200 gram menjadi 400 gram dibutuhkan penambahan air tanak sebesar 300 ml pada ukuran grit C (2.36-3.35 mm). Pada grit jagung D (1.18-2.36 mm) campur beras pada penambahan jumlah grit jagung campur beras (berat sampel) dari 100 gram menjadi 200 gram dibutuhkan penambahan air tanak sebesar 150 ml, sedangkan pada pada penambahan jumlah berat sampel dari 200 gram menjadi 400 gram dibutuhkan penambahan air tanak sebesar 300 ml. Berdasarkan tabel takaran penanakan diketahui bahwa perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak untuk setiap berat sampel tersebut telah menghasilkan energi pemanasan yang cukup untuk gelatinisasi pati. Noorbakhsh (2006) menyatakan bahwa semakin besar rasio antar pati dan air semakin rendah nilai entalpi yang dibutuhkan untuk gelatinisasi. Hal ini karena pada konsentrasi pati yang lebih rendah granula pati memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk menyerap panas melalui proses
57
difusi. Ini berarti pada konsentrasi pati yang lebih rendah, amilosa mudah terdispersi sehingga memudahkan penetrasi air kedalam amilopektin. Hal ini membuat peningkatan penyerapan energi panas sehingga entalpi gelatinisasi pati meningkat. Menurut Supriadi (2004) apabila perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak di bawah perbandingan yang optimum maka energi yang dipyayang diperlukan untuk mencapai suhu gelatinisasi cukup tinggi sehingga ketika air dalam rice cooker telah habis nasi jagung belum cukup matang (masih keras). Sebaliknya, jika perbandingan grit jagung campur beras dan air melebihi perbandingan optimum maka energi yang dibutuhkan untuk gelatinisasi kecil sehingga pada saat rice cooker telah mati (off) masih tersisa air sehingga nasi jagung menjadi lembek.
2) Karakterisasi produk campuran grit jagung-beras siap tanak Bagian kedua yaitu karakterisasi produk campuran grit jagung-beras siap tanak bertujuan memperoleh densitas kamba dan komposisi nilai gizi (nutrition fact) dari produk campuran grit jagung-beras. Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik pangan yang memegang peranan penting dalam pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan. Hal ini akan mempengaruhi pemilihan luas area dan jenis teknologi penyimpanan (Robertson, 1998) Hasil pengukuran densitas kamba dari grit jagung campur beras terlihat padaTabel 12. Dari tabel 12 terlihat grit jagung C campur beras memiliki nilai rata-rata densitas kamba terendah. Hal ini berkaitan dengan efek void space bahan. Semakin besar ukuran partikel suatu bahan, semakin banyak jumlah void space yang dimilikinya. Menurut Hui et al. (2007), bahan yang memiliki jumlah void space besar akan memiliki nilai densitas kamba yang kecil. Grit jagung C memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan grit jagung D sehingga memiliki jumlah void space yang lebih banyak. Jumlah void space yang lebih banyak ini menyebabkan nilai rata-rata densitas kamba grit jagung C campur beras memiliki nilai yang paling kecil.
58
Tabel 12. Densitas kamba grit jagung campur beras No. 1. 2.
Grit Jagung C* D
Densitas Kamba (kg/liter) 0.715 0.794
Keterangan: * = grit jagung dipregelatinisasi (pengukusan) sebelum dicampur beras
C = ukuran 2.36-3.35 mm D = ukuran 1.18-2.36 mm Analisis komposisi nilai gizi dari produk campuran grit jagung- beras siap tanak meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat pangan, dan nilai kalori makanan. Komposisi nilai gizi grit jagung campur beras tercantum dalam Tabel 13.
Tabel 13. Komposisi nilai gizi grit jagung campur beras Jenis Analisis
Tanpa pregelatinisasi
Pregelatinisasi pengukusan
Pregelatinisasi rendam air panas
Kadar Air
13.65%
12.39%
12.54%
Kadar Abu
0.39%
0.33%
0.30%
Kadar Protein
8.41%
8.38%
8.27%
Kadar lemak
1.04%
0.74%
0.89%
Kadar
76.51%
78.07%
78.00%
6.46%
6.68%
6.73%
349.04 kkal/ 100 gr
353.27 kkal/ 100 gr
353.09kkal/ 100 gr
Karbohidrat Kadar
Serat
Pangan Nilai Kalori
Kadar air produk pangan sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan diantaranya penampakan, citarasa, dan umur simpan. Menurut Supriadi (2004), kadar air maksimal untuk penyimpanan biji-bijian adalah 14%. Selain itu, RSNI No. 86-TAN-1999 juga mengatur bahwa kadar air maksimal untuk beras giling adalah 14-15%. Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa kadar air grit jagung campur beras (tanpa perlakuan) memiliki kadar air yang lebih besar daripada yang telah mengalami perlakuan dan pengeringan yaitu sebesar 12.39 % bk dan 12.54% bk sehingga memenuhi standar untuk mempertahankan stabilitas produk dalam jangka waktu 59
penyimpanan yang panjang. Menurut Rukmana (1997) kadar air jagung kuning pipil sebesar 24%. Penurunan kadar air pada grit jagung campur beras tanpa perlakuan mungkin disebabkan oleh proses penggilingan dan penyosohan selama pembuatan grit jagung yang dapat menghilangkan beberapa komponen seperti perikarp, lembaga, dan tip cap sehingga menurunkan kandungan air. Selain itu, dalam proses pembuatan grit juga mampu menyebabkan penurunan kadar air selama penggilingan dan penyosohan. Serta penururnan kadar air dari grit jagung campur beras tanpa perlakuan dan grit jagung campur beras dengan perlakuan disebabkan oleh adanya proses pengeringan yang membuat kadar airnya menurun. Kadar abu grit jagung campur beras dengan perlakuan mengalami penurunan, hal ini mungkin ada bagian yang hilang selama proses pemanasan dan pengeringan yang terjadi. Nilai kadar protein pada grit jagung pregelatinisasi pengukusan campur beras dan grit jagung rendam air panas campur beras adalah 8.38% dan 8.27%, Kadar lemak jagung pipil menurut Rukmana (1997) sebesar 3.4%. Hasil analisis menunjukkan kadar lemak grit jagung campur beras lebih rendah, hal ini mungkin dikarenakan adanya campuran beras dalam grit yang membuat persentase lemak menurun serta adanya proses penggilingan dapat hilang kandungan lemaknya sebab lemak jagung banyak tersimpan di lembaga seperti halnya protein. Sedangkan pada grit jagung campur beras (grit telah mengalami perlakuan) terjadi penurunan kadar lemak dibandingkan grit jagung campur beras (grit tanpa perlakuan) dikarenakan terjadinya proses pemanasan dan pengeringan pada grit yang membuat nilai lemak menurun. Karbohidrat seperti halnya protein dan lemak banyak terdapat pada endosperma. Kadar karbohidrat grit jagung campur beras (grit tanpa perlakuan) sebesar
76.51% dan grit jagung campur beras (grit telah
mengalami perlakuan) sebesar 78.07% dan 78.00%. Nilai ini lebih besar dibandingkan kadar karbohidrat beras pada umumnya sekitar 77-78% (Hubeis, 1984).
60
Kadar serat pangan grit jagung campur beras (grit tanpa perlakuan) sebesar 6.46%
dan grit jagung campur beras (grit telah mengalami
perlakuan) sebesar 6.68% dan 6.73%. Tingginya kadar serat pangan kemungkinan disebabkan oleh tingginya kadar serat pada bagian perikarp jagung. Perikarp merupakan lapisan paling luar dari biji jagung yang terdiri atas sel-sel selulosa. Menurut Manullang (1997), selulosa ialah salah satu jenis serat pangan yang bersifat tidak larut (IDF) yang banyak ditemukan pada dinding sel tanaman. Tingginya kadar serat pangan ikut mempengaruhi tingginya nilai kadar karbohidrat grit jagung campur beras. Berdasarkan Tabel 13 diketahui nilai kalori grit jagung campur beras (grit tanpa perlakuan) sebesar 349.04 kkal/ 100 gr dan grit jagung campur beras (grit telah mengalami perlakuan) sebesar 353.27kkal/ 100 gr dan 353.09kkal/ 100 gr. Nilai kalori grit jagung campur beras ini lebih kecil dibandingkan nilai kalori beras. Nilai kalori beras sebesar 370kkal/100gr (Anonim, 2010). Dengan demikian grit jagung campur beras ini sangat baik dikonsumsi oleh orang yang membutuhkan nilai kalori rendah. Selain itu tingginya nilai serat pangan pada grit jagung campur beras ini sangat cocok bagi orang diabetes yang memerlukan makanan berserat tinggi Komponen terbesar penyumbang nilai energi pada grit jagung campur beras adalah protein dan karbohidrat.
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Grit jagung dibuat melalui tahap penggilingan, penyosohan, dan pengayakan. Pembuatan grit jagung menghasilkan rendemen sebesar 52.10% dengan fraksi grit jagung yang paling banyak dihasilkan adalah grit jagung C dengan ukuran 2.36-3.35 mm. Pada tahapan penentuan ukuran grit yang cocok untuk dicampur nasi diperoleh grit jagung C (2.36-3.35 mm) dan grit jagung D(2.36-3.35 mm). Dari hasil uji pencampuran grit jagung dengan beras diketahui bahwa perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak yang optimal untuk grit jagung C (2.36-3.35 mm) campur beras adalah 1:5 akan tetapi pada grit jagung C diperlukan pregelatinisasi, sedangkan untuk grit jagung D (1.18-2.36 mm) campur beras adalah 1:4 dan tidak membutuhkan perlakuan awal atau pregelatinisasi apapun untuk menghasilkan nasi jagung yang matang. Hasil penentuan pregelatinisasi grit jagung C (2.36-3.35 mm) membutuhkan perlakuan pregelati nisasi yaitu perendaman air panas selama 40 menit dan pengukusan selama 70 menit untuk menghasilkan nasi jagung yang matang. Dan waktu pengeringan dengan oven suhu 70 °C yang dibutuhkan berturut-turut adalah 140 menit dan 100 menit. Komposisi nilai gizi grit jagung D campur beras adalah kadar air 13.65%, kadar abu 0.39%, kadar protein 8.41%, kadar lemak 1.04%, kadar karbohidrat 76.51%, kadar serat pangan 6.46% dan nilai kalori makanan 349.04 kkal/100gram. Grit jagung C pregelatinisasi (kukus) campur beras adalah kadar air 12.39%, kadar abu 0.33%, kadar protein 8.38%, kadar lemak 0.83%, kadar karbohidrat 78.07%, kadar serat pangan 6.68% dan nilai kalori makanan 353.27 kkal/100gram. Sedangkan Grit jagung C pregelatinisasi (rendam air panas) campur beras adalah kadar air 12.54%, kadar abu 0.30%, kadar protein 8.27%, kadar lemak 0.89%, kadar karbohidrat 78.00%, kadar serat pangan 6.7.3% dan nilai kalori makanan 353.09 kkal/100gram.
62
B. SARAN Perlu dilakukan penelitian tentang analisis umur simpan grit jagung campur beras untuk memaksimalkan penyimpanan grit jagung campur beras ini. Untuk meningkatkan nilai tambah grit jagung campur beras, diperlukan penelitian tentang pemanfaatan sisa penggilingan grit jagung seperti menir dan dedak jagung.
63
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anonim. 2008. Rice Cooker. Http://wikipedia.com/rice-cooker.htm. [04 Agustus 2008]. Anonim. 2010. Nilai Kalori Beras. Http://www.nutritiondata.com. [04 Februari 2010]. AOAC. 1984. Official methods of Analysis of The Association of Offcial of Analytical Chemist. AOAC, Inc. Washington D.C. Australian Academy of Technological Science And Engineering. 2000. Instant And Convenience Foods. Australia Sciences And technology Heritage Centre. Publ. Http : //www.austech.unimelb.edu.au/tia/135.html. [04 Agustus 2009]. Arsdel, W.B. and M.J. Copley.1964.Food Dehydration 2nd Edition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Asp, N.G, Johansson, C.G., Hallmer, H., dan Siljeström, M. 1983. Enzymatic gravimetry methods. Di dalam: Spiller, G.A. (ed.). CRC Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition, Third Edition. CRC Press. Badan Pusat Statistik. 2008. Press Releases Angka Ramalan (ARAM) III Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 1999. Standar Industri Indonesia. RSNI 86-TAN1999. Badan Sandarisasi nasional. Jakarta. Ball. 2000. Corn.Http : //www.austech.unimelb.edu.au/tia/135.html. [04 Agustus 2009]. Bhattacharya, M. dan Hanna, M.A. 1987. Kinetics of starch gelatinization during extrusion cooking. J. of Food Science 52(3): 764-766. Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Spinger Verlage, Berlin. Be Miller, James N. And Roy L. Whistler. 1996. Carbohydrate. In Owen R. Fennema. (ed). Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. Berger, J. 1962. Maize Production and Manuring of Maize. Center d”etude de I”Azole.Geneva, Switzerland. Bogasari. 2003. Jagung. Http : //www.abgsr.indns.edu.au/tia/4478.html. [24 Agustus 2008].
64
Boyer, C. D. and L.c. Hannah. 2001. Kernel Mutants of Corn. In Arnel. Hallauer, Ph.d. (ed). Specialty Corn. CRC Press. New York. Brennan, J.G., J.R. Buthers, N.D. Cowel and A. V. E. Lily. 1974. Food Engineering Operation. Applied Science Publisher Ltd. London Brennan, J.G., J.R. buthers, N.d. Cowel and A. V. E. Lily. 1981. Food Engineering Operation 2nd Edition. Applied Science Publisher Ltd. London. Broker. 1982. Grain Cereal of Food Science 22(5): 187. CRC Press. New York. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan, Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI-press, Jakarta. Bushuk, W. And C.W. Wrigley. 1971. Glutenin in Developing Wheat Grain.Cereal chem.48, 448-455 Carlson, R.A., R.L. Roberts, dan D.F. Farkas. 1980. Preparation of quick-cooking brown rice products using a centrifugal fluidized bed. J. of Food Science 41(5): 1177-1179. Chaplin, M. 2008. Starch. Http://www.lsbu.ac.uk/water/hysta.html. [05 Agustus 2008]. Charley, H. 1982. Food Science. Jhon Wiley and soon, inc. Canada. Chan, W.S. and Toledo, R.T. 1976. Dynamic Of Freezing And Their Effects On Water Holding Capacity ofA Gelainized Starch Gel.J. Food Sci.41:301303. Collison. 1968. Swelling Gelation f Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd, London Corn Refiner Association.2002.Corn Refining. USA Damardjanti, D. S. 1988. Struktur Kandungan Gizi Beras. Dalam Padi-Buku 1.Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. ___________dan E. Y. Purwani.1991. Mutu Beras. Dalam Padi-Buku 3. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Bogor. Damayanti, D. 1993. Pengaruh Berbagai Varietas serta Lama Penyimpanan Beras (Oryza Sativa) terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Daya Terima Bihun. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. De Man, J.M.1997. Kimia Makanan, terjemahan K. Padmawinata.ITB, Bandung.
65
Del Mundo, A. M. 1979. Sensory Assessment of Cooked Milled Rice. In Proceedings of The Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality.IRRI, Los Banos, Philippines. Departemen Pertanian. 2002. Produktifitas Jagung. Http://www.deptan.go.id. [04 Agustus 2008]. Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV,Yasaguna, Jakarta. Fellows, P.J. and Ellis. 1992. Food processing Technology: Principles and Practice. Ellis Horwood, England. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry, Third Edition. Marcel Dekker Inc., New York. Frazier, W.C. and Westhoff, D.C. 1979. Food Microbiology.Tata McGraw-Hill Publ.Comp.Ltd.New delhi. French, D. 1984. Organization of starch granules. Di dalam: Whistler, R.L., BeMiller, J.N., dan Paschall, E.F. (eds). Starch: Chemistry and Technology. Academic Press, Orlando. Greenwood, C.T. 1976. Starch. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advance in Cereal Science and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Greenwood, C.T dan Munro. 1979. Carbohydrate. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advance in Cereal Science and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. Harian Sinar Indonesia Baru. 2009. Kebijakan Ekspor Beras Indonesia Bukan Strategi Asal Jadi. Http://www.hariansib.com. [06 April 2009]. Hartomo, A.J., dan M.C. widiatmoko. 1992. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Andi Offset.Yogyakarta. Hartono, N.A.D. 2004. Pengaruh Jenis Jagung Terhadap Pembuatan Beras Jagung Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology 2nd Edition.American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul,Minnesota, USA.
66
Hsieh, F., Hu, L., Peng, I.C., dan Huff, H.E. 1990. Pretreating dent corn grits for puffing in rice cake machine. J. of Food Science 55(5): 1345-1348 Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian.Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut pertanian Bogor. Bogor. Hubeis, M. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan Nasi. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.Bogor. Hui, Y.H., C. Clary, M.M. Farid, O.O. Fasina, A. Noomhorm, dan J. WeltiChanes. 2007. Food Drying Science and Technology: Microbiology, Chemistry, Application. DEStech Publications, Inc., Lancaster. Hutton dan Campbell. 1981. Starch Hydrolysis at High Dry Subtstance. http://www.freepatentsonline.com. [16 Oktober 2008]. Inglett, G.E. 1970. Kernel Structure, Composition, and Quality. The AVI Publishing Company, Westyprt, Connecticut. Johnson, L.A. 1991. Corn: production, Processing, and Utilitation.IN Kalus J. Lorenz and Karel Kulp.(Eds).Handbook of Cereal Science and technology.Marcell Dekker, Inc. New York. Jugenheimer, R.W. 1976. Hybrid Maize Breeding and seed production. FAO.Rome.No.62 Jugenheimer, R.W.1976. Corn Improvement, Seed Production and Uses.A Willey-Interscience Publication.John Willey and Sons, New York. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lalitya, N. 2009. Kajian Optimasi Pembuatan Nasi Jagung dengan Rice Cooker. Skripsi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Leonard, W.H. and J.H. Martin. 1963. Cereal Crop.The McMillan. Manullang, M. 1997. Karbohidrat Pangan. Universitas Pelita Harapan. Jakarta. Metcalf, S.L. dan Lund, D.B. 1985. Factors affecting water uptake in milled rice. J. of Food Science 50(6): 1676-1679. Meilgard M, Civile GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Washington DC. CRC Press.
67
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar universitas Pangan dan gizi. IPB. Bogor. Muramatsu, Y., Tagawa, A., Sakaguchi, E., dan Kasai, T. 2006. Water absorption characteristic and volume changes of milled and brown rice during soaking. Cereal Chemistry 83(6): 624-631. Noorbakhsh, S., Tabil Jr., L., Ghazanfari, A. 2006. Analysis and modelling of water absorption by yellow dent corn kernels before and during gelatinization process. Asian Journal of Plant Sciences 5(5): 805-810. Oktavia, R.Y. 2002. Pengaruh Larutan NaHPO4 dan Na sitrat Serta Suhu Pengeringan Pada Pembuatan Nasi Instan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Osman, E.M. 1972. Starch and Other Polysaccarides.Didalam Oktavia, R.Y. 2002. Pengaruh Larutan NaHPO4 dan Na sitrat Serta Suhu Pengeringan Pada Pembuatan Nasi Instan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Component. Second edition. Academic Press, inc., New York. Richana dan Suarni. 2009. Nutrisi Jagung. Balai Besar Penelitian Serealia. Http://www.balitsereal.litbang.deptan.co.id [ 29 Juni 2009]. Roberts, R.L. 1979. Compotition and taste evaluation of rice milled to different deegres. J Food Sci. 44(1):127-129. Robertson, G.L. 1998. Food Packaging: Principles and Practice. Marcel Dekker, New York. Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Sinelli, N., Benedetti, S., Bottega, B., Riva, M., dan Buratti, S. 2006. Evaluation of the optimal cooking time of rice by using FT-NIR spectroscopy and an electronic nose. J. of Cereal Science 44:137–143. Soekarto,S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara.Jakarta. Suarni dan Widowati, S. 2009. Struktur, komposisi dan Nutrisi Jagung. Balai Besar Penelitian Serealia. Http://www.balitsereal.litbang.deptan.co.id. [29 Juni 2009] 68
Suba Indah. 2003. Corn Processing. http://www.subaindah.com/process.html. [10 Oktober 2008] Subandi, Manwan,I., dan A. Blumschein. 1988. Koordinasi Program Penelitian Nasional : Jagung Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. Suliantari. 1988. Pengaruh Penambahan Lipid Terhadap Sifat Fisiko Kimia Beras Instan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.Bogor. Suprapto, H.S. 2001. Bertanam Jagung. Penerbit Penebar Swadaya. Depok. Supriadi,A. 2004. Optimasi Teknologi pengolahan Beras Jagung instan. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.Bogor. Susanti,W. 1997. Hubungan Penyerapan Air dan Volume Pengembangan Beras Terhadap Sifat Kepulenan Nasi Selama Penanakan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.Fakultas Teknologi Pertanian. Institut pertanian Bogor. Bogor. Susenas Pusat Statistik. 2000. Konsumsi Beras. Http://www.BPS.go.id. [07April 2009]. Suwarno. 2003. Sifat-sifat Protein. Http://www.lsbu.ac.uk/water/hysta.html. [05 Agustus 2008]. Taib,G., E.G.Said, dan S.Wiraatmaja. 1988. Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Toothman, J. 2008. How Rice Cookers Work. Http://howstuffworks.com/ricecooker.htm. [04 Agustus 2008]. White, P.J. dan Tziotis, A. 2004. New Corn Starches. Di dalam: Eliasson, A.C. (ed.). 2004. Starch in Food: Structure, Function, and Application. Wood Head Publishing, Cambridge. Winarno, F.G, S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wolf, T.K dan Cowan. 1971. The Production of Field Crop: A Textbook of Agronomy. Fifth Edition. Mc-Graw Hill, New York. Wong, W.S.D. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold, New York.
69
Yoghoubian, V. 1974. Didalam D.A Smith et al. 1985. Chemical Treatment and process Modification For Producing Improved Quick Cooking Rice J. Food Sci. 50: 926-931. Zayas. 1997. Molecular of Protein. Van Nostrand Reinhold, New York.
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 1. Lembar penilaian uji rating hedonik
UJI RATING HEDONIK Produk Parameter
: Nasi Jagung : Ukuran
Nama :
Tanggal :
Di hadapan Anda terdapat empat sampel nasi jagung. Anda diminta untuk memberikan penilaian kesukaan secara keseluruhan (penampakkan, keempukkan, rasa, aroma) Anda terhadap ukuran keempat sampel tersebut. Petunjuk: 1. Tuliskan kode sampel (dari kiri ke kanan). 2. Perhatikan dan nyatakan penilaian Anda terhadap masing-masing sampel secara keseluruhan sesuai dengan urutan penyajian dari kiri ke kanan. 3. Beri tanda ceklist pada kolom sesuai kriteria penilaian Anda. Kriteria penilaian 742 421 226 286 Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka Komentar:
Terima kasih atas partisipasi Anda.
72
Lampiran 2. Hasil penilaian uji rating hedonik dan survei konsumen
Panelis
Kode sampel 421 226
742 1 3 4 2 3 3 3 2 5 4 6 5 5 6 6 6 1 5 7 5 5 8 2 4 9 4 3 10 2 4 11 3 7 12 2 3 13 4 2 14 2 2 15 4 4 16 2 2 17 3 3 18 3 2 19 1 2 20 2 3 21 3 3 22 5 3 23 5 5 24 2 2 25 2 2 26 4 4 27 1 5 28 2 5 29 2 3 30 2 1 Keterangan: 1=sangat tidak suka 2= tidak suka 3= agak tidak suka 4= netral
5 6 4 6 5 6 6 6 2 6 6 5 4 4 4 5 4 5 4 5 5 6 6 4 4 5 6 3 6 3
286 3 6 6 5 3 5 5 5 2 4 4 1 5 5 3 5 4 1 5 5 5 5 5 5 5 6 5 5 6 5
5= agak suka 6= suka 7= sangat suka
73
Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam uji rating hedonik Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Panelis
Sampel
1
4
2
4
3
4
4
4
5
4
6
4
7
4
8
4
9
4
10
4
11
4
12
4
13
4
14
4
15
4
16
4
17
4
18
4
19
4
20
4
21
4
22
4
23
4
24
4
25
4
26
4
27
4
28
4
29
4
30
4
1
30
2
30
3
30
4
30
74
Tests of Between-Subjects Effect Dependent Variable: Skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 143.667(a)
Intercept
df 32
Mean Square 4.490
F 3.025
Sig. .000
1960.208
1
1960.208
1320.721
.000
Sampel
68.625
3
22.875
15.412
.000
Panelis
75.042
29
2.588
1.743
.025
1.484
Error
129.125
87
Total
2233.000
120
Corrected Total
272.792 119 a R Squared = .527 (Adjusted R Squared = .353)
Skor Duncan Subset Sampel A
N
1 30
B
30
C
30
D
30
Sig.
2
3
3.43 4.07 5.13 5.53 .207
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.484. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
75
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam densitas kamba Univariate Analysis of Variance Be twe e n-Subjects Fa ctors Sampel
Ulangan
Value Label Sampel A Sampel B Sampel C Sampel D
1 2 3 4 1 2
N 2 2 2 2 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Corrected Model Intercept Sampel Ulangan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .010a 4.914 .010 9.80E-005 .001 4.925 .011
df 4 1 3 1 3 8 7
Mean Square .003 4.914 .003 9.80E-005 .000
F 7.812 15027.867 10.317 .300
Sig. .061 .000 .043 .622
a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .796)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sig.
a,b
N A B C D
2 2 2 2
1 .73650 .76650
.196
Subset 2 .76650 .80100 .152
3
.80100 .83100 .196
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.
76
Lampiran 5. Hasil pengukuran tingkat penyerapan air grit jagung sebelum di campur beras Beras Jagung C
Perlakuan Awal Perendaman dalam air dingin Perendaman dalam air panas
Waktu Perendaman 1 jam 2 jam 3 jam 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit
Waktu Perendaman
Pengukusan
10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 50 menit 60 menit 70 menit
Jumlah Air Akhir Tingkat Penyerapan (ml) Air Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 100 88 88 12% 12% 100 87 86 13% 14% 100 86 85.5 14% 14.5% RATA-RATA 13.25% 100 79 80 21% 20% 100 77 77 23% 23% 100 76 75 24% 25% 100 76 76 24% 24% RATA-RATA 23% Berat Grit Tingkat Berat Grit Awal Akhir Penyerapan Air (gr) (gr) U1 U2 U1 U2 U1 U2 25.07 25.05 27.21 27.25 8.54% 8.78% 25.05 25.05 27.19 27.17 8.54% 8.46% 25.08 25.02 27.40 27.45 9.25% 9.71% 25.05 25.05 27.58 27.60 10.10% 10.18% 25.04 25.04 27.83 27.86 11.14% 11.26% 25.03 25.02 29.37 29.40 17.34% 17.50% 25.02 25.02 29.88 29.90 19.42% 19.50% RATA-RATA 12.12%
Jumlah Air Awal (ml)
77
Lampiran 6. Hasil pengukuran tingkat pengembangan grit jagung C campur beras Grit Jagung C
Perlakuan Awal
Perendaman dalam air dingin Perendaman dalam air panas
Waktu Perendaman 1 jam 2 jam 3 jam
Tinggi Awal (cm)
Tinggi Akhir (cm)
U1
U2
U1
U2
2.3 2.7 3.2
2.3 2.6 3.1
6.1 7.1 7.3
6.0 7.2 7.3
7.3 7.5 7.7 7.7
7.2 7.5 7.6 7.7
4,5 4,7 4,8 5,1 5,4 6,1 6,2
4,5 4,7 4,8 5,1 5,4 6,1 6,2
RATA-RATA 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit
2.8 3.1 3.1 3.2
2.8 3.1 3.1 3.2
RATA-RATA
Pengukusan
10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 50 menit 60 menit 70 menit
2,1 2,1 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3
2,1 2,1 2,3 2,3 2,3 2,3 2,3
RATA-RATA
Tingkat Pengembangan (%) U1 U2 160.87 143,48 176.92 125,93 135.48 121,88 144.09% 157.14 160,71 141,94 148,39 140,63
141,94
114,29 123,81 108,70 121,74 134,78 165,22 169,57
114,29 123,81 108,70 121,74 134,78 165,22 169,57
145.16 140.63 147.07%
134.02%
78
Lampiran 7. Tabel perhitungan kadar air saat pengeringan 70º C setelah perlakuan perendaman air panas 40 menit
waktu pengeringan 20 menit 40 menit 60 menit 80 menit 100 menit 120 menit 140 menit 160 menit 180 menit
U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2
cawan kosong(Gr)
sampel(gr)
2,0175 3,4022 2,1310 2,0703 3,3144 3,4245 3,3417 2,1238 2,8190 2,1593 5,4980 5,2982 5,5580 5,4980 2,0210 5,5582 5,4980 5,5308
2,2188 2,1667 2,2370 2,2143 1,9833 1,9938 1,9880 2,0165 2,0026 2,0029 2,0109 2,0281 2,0192 2,0243 2,0074 2,0100 1,9487 2,0089
cawan +sampel kering (gr) 2,9176 4,2919 3,1122 3,1134 4,6523 4,7535 4,8208 3,5992 4,4296 3,7688 7,1317 7,0477 7,3623 7,3031 3,8135 7,3621 7,2862 7,3628
kadar air %bb
kadar air %bk
59,43 58,94 56,14 52,89 32,54 33,34 25,60 26,83 19,57 19,64 18,76 13,74 10,64 10,83 10.64 10,25 8.24 8.81
146,51 143,53 127,99 112,28 48,24 50,02 34,41 36,67 24,34 24,44 23,09 15,92 11,91 12,14 11.91 12.67 8.98 9.65
rata-rata %bb 59,18529 54,51512 32,94254 26,21611 19,60804 16,24738 10,73563 10.44500 8.52290
79
Lampiran 8. Tabel perhitungan kadar air saat pengeringan 70º C setelah perlakuan pengukusan 60 menit waktu pengeringan 20 menit U1 U2 40 menit U1 U2 60 menit U1 U2 80 menit U1 U2 100 menit U1 U2 120 menit U1 U2 140 menit U1 U2 160 menit U1 U2 180 menit U1 U2
cawan kosong(Gr) 8.6911 3.0850 2.1343 3.4116 2.7.27 2.6934 4.5990 2.0803 6.1237 2.1610 3.5928 5.1454 2.9176 4.3429 2.1829 6.3373 2.1978 6.3184
sampel(gr) 2.0244 2.0098 2.0214 2.0471 2.0272 2.0298 2.0433 2.0295 2.0378 2.0186 2.0427 2.0359 2.0165 2.0276 2.0666 2.0215 2.1765 2.0102
cawan +sampel kering 10.2853 4.6639 3.7699 5.0718 4.5239 4.4196 6.3646 3.8465 7.9414 3.9625 5.4472 6.9867 4.7585 6.1704 4.0525 8.1788 4.0525 8.1788
kadar air %bb 21,25 21,44 19,09 18,90 13,61 14,96 13,59 12,97 10,80 10,75 9,22 9,56 8,71 9,87 9,53 8,90 9,53 8,90
kadar air %bk 26,99 27,29 23,59 23,30 15,76 17,59 15,73 14,91 12,11 12,05 10,15 10,57 9,54 10,95 10,54 9,77 9.37 8.21
rata-rata%bb 21,34534 18,99284 14,28599 13,2822 10,77792 9,388309 9,288484 9,218422 9,015647
80
Lampiran 9. Hasil kajian SOP perbandingan grit jagung campur beras dan air tanak pada berbagai berat sampel A. Grit C perlakuan Rendam Air Panas 40 menit Jumlah Beras Jagung
50 gram
Jumlah Air Tanak
Tingkat Kematangan
50 ml
Sangat Keras
100 ml
Keras
150 ml
Keras
200 ml
Agak empuk
250 ml
Matang
100 ml
Sangat Keras
150 ml
Keras
200 ml
Keras
250 ml
Agak empuk
300 ml
Masih ada bintik putih
350 ml
Matang
200 ml
Sangat Keras
250 ml
Keras
300 ml
Keras
350 ml
Agak empuk
400 ml
Masih ada bintik putih
450 ml
Masih ada bintik putih
500 ml
Matang
100 gram
200 gram
81
400 gram
400 ml
Sangat Keras
450
Keras
500
Keras
550
Keras
600
Agak empuk
650
Agak empuk
700
Masih ada bintik putih
750
Masih ada bintik putih
800
Matang
B. Grit C dengan perlakuan pengukusan 60 menit Jumlah Beras Jagung
Jumlah Air Tanak
Tingkat Kematangan
50 gram
50 ml
Sangat Keras
100 ml
Keras
150 ml
Keras
200 ml
Agak empuk
250 ml
Matang
100 ml
Sangat Keras
150 ml
Keras
200 ml
Keras
250 ml
Agak empuk
300 ml
Masih ada bintik putih
350 ml
Matang
100 gram
82
200 gram
400 gram
200 ml
Sangat Keras
250 ml
Keras
300 ml
Keras
350 ml
Agak empuk
400 ml
Masih ada bintik putih
450 ml
Masih ada bintik putih
500 ml
Matang
400 ml
Sangat Keras
450 ml
Keras
500 ml
Keras
550 ml
Keras
600 ml
Agak empuk
650 ml
Agak empuk
700 ml
Masih ada bintik putih
750 ml
Masih ada bintik putih
800
Matang
83
C. Grit ukuran D tanpa perlakuan awal Jumlah Beras Jagung
Jumlah Air Tanak
Tingkat Kematangan
50 gram
50 ml
Sangat Keras
100 ml
Keras
150 ml
Agak empuk
200 ml
Matang
250 ml
Berair
100 ml
Sangat Keras
150 ml
Keras
200 ml
Agak empuk
250 ml
Masih ada bintik putih
300 ml
Matang
350 ml
Nasi lembek
200 ml
Sangat Keras
250 ml
Keras
300 ml
Agak empuk
350 ml
Masih ada bintik putih
400 ml
Matang
450 ml
Nasi sedikit lembek
500 ml
Berair
500 ml
Berair
100 gram
200 gram
84
400 gram
400 ml
Sangat Keras
450
Keras
500
Keras
550
Keras
600
Agak empuk
650
Agak empuk
700
Masih ada bintik putih
750
Matang
800
Berair
85