OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL
SKRIPSI
SHAFIYYAH IRMAHARIANTY F24080040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
OPTIMIZATION OF SORGHUM NOODLE PROCESS USING SINGLE SCREW COOKING-FORMING EXTRUDER
Shafiyyah Irmaharianty, Tjahja Muhandri Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 8787 3284 324, E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The objectives of this research were optimization of sorghum noodle process using single screw cooking-forming extruder and analyze its consumer acceptance in hedonic test. Variable process in this research were extruder temperature (80-95oC) and screw speed (50-125 rpm). The design experiments and the optimum process determined using Response Surface Methodology (RSM) in Design Expert 7.0. Cooking loss and elongation of cooked sorghum noodles were evaluated. The optimum product was chosen based on minimal cooking loss. Optimum process was gained at extruder temperature was 95oC and screw speed was 125 rpm, produced sorghum noodles with cooking loss 8.95% and elongation 332.4%. Cooked sorghum noodles had a dull colour. Improvement of color and appearance from sorghum noodle have done by adding corn flour and mixed it with sorghum flour. Sorghum noodle and sorghum-corn noodle were evaluated in hedonic test for their colour, turbidity of boiled water, hardness, elongation, dan taste. Sorghum noodles which mixed by corn flour had a better hedonic scale in color and turbidity of boiled water (p<0.05), but hardness, elongation, and taste were not significantly different.
Keyword : optimization, sorghum, noodles, cooking-forming extruder, response surface methodology
Shafiyyah Irmaharianty. F24080040. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal. Di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT. 2013
RINGKASAN
Penelitian mengenai mi sorgum telah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Kunetz (1997) dan Suhendro et al. (2000) menggunakan microwave untuk menggelatinisasi adonan sebelum adonan dicetak menggunakan ekstruder. Mi yang dihasilkan memiliki tekstur yang kompak dengan cooking loss 10% (Suhendro et al. 2000). Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan air. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%. Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009) sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak yang lebih mudah digunakan tanpa harus menggelatinisasi pati terlebih dahulu. Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum Numbu, optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal, dan uji hedonik terhadap mi yang dihasilkan dari proses optimum. Analisis yang dilakukan pada tepung sorgum Numbu adalah kadar air, protein, lemak, karbohidrat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Dalam tahap optimasi, bahan baku yang digunakan adalah tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%. Selanjutnya, uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap mi sorgum yang dihasilkan. Penentuan rancangan percobaan dan optimasi proses dilakukan menggunakan Response Surface Methodology D-Optimal pada software Design Expert 7.0. Variabel proses yang dianalisis meliputi suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Terdapat 16 buah running dengan suhu ekstruder 8095oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm. Analisis fisik mi yang dilakukan meliputi cooking loss dan elongasi, dua parameter mutu yang digunakan sebagai variabel respon dalam optimasi. Kondisi optimum ditetapkan berdasarkan cooking loss minimum dan elongasi in range. Titik optimasi diperoleh pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada kondisi tersebut, mi sorgum memiliki cooking loss 8.95% dan elongasi 332.4%. Kelemahan mi sorgum yang dihasilkan adalah warna mi sorgum yang kurang menarik. Mi sorgum kering berwarna coklat, sedangkan mi sorgum yang telah dimasak berwarna putih pucat. Untuk meningkatkan daya terima panelis, penelitian dikembangkan dengan mencampurkan
60 bagian tepung sorgum dengan 40 bagian tepung jagung sebagai adonan mi. Penambahan tepung jagung ke dalam adonan mi membuat mi sorgum yang dihasilkan berwarna kuning dan lebih menarik dibandingkan mi sorgum tanpa jagung. Mi sorgum jagung memiliki nilai cooking loss sebesar 10.48%, lebih besar dibandingkan mi sorgum, dan elongasi 275.74%, lebih kecil dibandingkan mi sorgum. Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang dapat diterima < 12.5% basis basah atau sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi sorgum-jagung memiliki nilai yang masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi sorgum, mi sorgum-jagung tidak mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup baik. Uji hedonik dilakukan untuk mendapatkan penilaian dari atribut warna mi, kekeruhan air rebusan mi, kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Sampel yang digunakan adalah mi sorgum dan mi sorgum-jagung yang telah dimasak sebelumnya. Mi sorgum memiliki tingkat kesukaan antara biasa dan suka, kecuali pada atribut warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Penilaian panelis menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna mi sorgum-jagung 32% lebih tinggi dan kekeruhan air rebusan 15% lebih tinggi dibandingkan pada mi sorgum 100%. Penambahan tepung jagung pada adonan mi terbukti dapat memperbaiki daya terima panelis terhadap warna dan kekeruhan air rebusan mi (p<0.05) pada taraf kepercayaan 95%.
OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: SHAFIYYAH IRMAHARIANTY F24080040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal : Shafiyyah Irmaharianty : F24080040
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT) NIP. 19720515 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen ITP IPB
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303 1 004
Tanggal ujian : 14 Februari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan
Shafiyyah Irmaharianty F24080040
© Hak cipta milik Shafiyyah Irmaharianty, tahun 2013 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Shafiyyah Irmaharianty dan biasa dipanggil Fya. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 1990 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Imam Suhadi SK dan Enny Supriyanti. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis dimulai di TK Ketilang pada tahun 1994 dan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Setelah lulus SD, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Cisauk (sekarang bernama SMP Negeri 8 Kota Tangerang Selatan), lalu melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Cisauk (sekarang bernama SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan) dengan mengambil jurusan IPA dan lulus pada tahun 2008. Pendidikan formal yang selanjutnya ditempuh oleh penulis adalah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Sejak berada di SD, penulis gemar menulis cerita fiksi dan mendapatkan kesempatan untuk mewakili Kotamadya Jakarta Selatan dengan memperoleh juara 3 Lomba Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sinopsis se-Jakarta. Selama menjalani pendidikan di SMP, penulis aktif di kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan saat SMA, penulis bergabung dalam ekskul Mading “Harmonia”. Prestasi penulis selama SMP-SMA adalah Juara 1 Lomba Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP dan menjadi salah satu Finalis Olimpiade Kimia tingkat SMA. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis ikut serta berorganisasi dengan LK IPB. Penulis bergabung dalam UKM Gentra Kaheman Lingkung Seni Sunda dan tampil sebagai pemeran utama wanita dalam pagelaran Mimitran 2009. Setelah itu, penulis bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Periode 2009-2010 sebagai staf Divisi Sosial dan Lingkungan. Kemudian, penulis melanjutkan berorganisasi aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB Periode 2010-2011 sebagai Bendahara Kementrian Sosial, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Selama terlibat dalam organisasi, penulis diberikan kepercayaan sebagai Ketua Pelaksana Program Kakak Asuh BEM Fateta, Sekretaris SEREAL 2010, Sekretaris Umum Techno-F 2010, Sekretaris Rumah Harapan BEM KM IPB, serta Bendahara I-Share 2011. Prestasi terakhir penulis selama menjadi mahasiswi adalah menjadi Finalis KangNong Tangerang Selatan 2012. Penulis mengakhiri jenjang pendidikan di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal” di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT sebagai pembimbing skripsi dan Dr.Waysima, M.Sc sebagai pembimbing akademik.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta kerabat dan sahabat terpilih. Skripsi yang berjudul “Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal” merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak bulan April 2012 sampai Oktober 2012 dan alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang telah berperan sepanjang masa hidup penulis dan selama penyelesaian tugas akhir. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orangtua penulis, Bapak Imam Suhadi SK dan Ibu Enny Supriyanti yang telah sabar membesarkan dan merawat penulis dari penulis lahir sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 di IPB. Terimakasih atas dukungan, perhatian, kasih sayang, dan doa yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menjadi anak yang berkarakter. Semua prestasi yang telah penulis dapatkan didedikasikan kepada orangtua tercinta. Terimakasih dan salam hangat penulis ucapkan kepada adik tercinta Aisyah Khairunnisa, M. Faqih M, dan M. Alif M. Tak lupa juga terimakasih kepada seluruh keluarga besar trah Yosomartono dan Katowisastro : mbah kakung, mbah putri, pakde, budhe, om, tante, dan sepupu atas dukungan fisik dan moril hingga saat ini. 2. Bapak Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, dan bimbingannya selama penulis menempuh masa perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir. 3. Ibu Dr. Waysima, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, motivasi, masukan, dan bimbingannya selama perkuliahan. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen penguji 1 yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam perbaikan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji 2 atas saran dan masukannya dalam perbaikan skripsi ini. 6. Briyan Resha atas saran, waktu, perhatian, pengertian, dan motivasi yang telah diberikan sejak penulis kuliah di IPB. Terimakasih telah memberikan tantangan dan motivasi sehingga penulis dapat aktif berorganisasi di kampus. 7. Guru-guru yang mengajari penulis selama masa studi sejak TK hingga SMA. Terimakasih juga kepada dosen-dosen IPB dan guru-guru non formal lainnya yang telah memberikan ilmu serta bimbingan kepada penulis. 8. Sahabat terdekat sejak TPB hingga tingkat 4 ITP, yaitu arum marya, aruma puspa, astrid dan rara. Terimakasih untuk tawa dan diskusi mengenai banyak hal yang terjadi selama kuliah di IPB. 9. Teman-teman Pondok Iswara Atas, baik yang sudah alumni maupun yang masih berjuang : maia, wulan, jayanti, ratih, dinda, kak ulfa, kak ratih, kak wiwik, kak weini, kak lina, mbak ratih, mbak julia, mbak meita, adis, kiki, sela, umil. Banyak kenangan, suka, dan duka selama kita tinggal seatap bersama. 10. Partner penelitian, ivan. Terimakasih untuk diskusi dan suka duka selama berkutat dengan mi sorgum dan tepungnya.
x
11. Sahabat sagaju (A2 137) terbaik : maia, ulpe, mboyik. Terimakasih untuk kehidupan asik di asrama dan cerita suka dan duka. 12. Teman-teman sejati satu kelompok praktikum : ubhe, stefani, tiur, taufiq. Terimakasih untuk pengalaman praktikum dan eksplorasi ilmu pangan di lab bersama. 13. Teman-teman ITP 45 yang tak tergantikan : madun, hilda, hap-hap, rista, bangun, iin, andika, yufi, mizu, virza, inah, mba nisa, dio, inah, mba yun, euis, filda, fitrina, ifah, priska, elva, mutia, wahyu, opi, dan semua anggota ITP 45. Terimakasih atas “saat terbaik untuk mengukir kisah dan menjadi bagian dari sejarah.” 14. Teman-teman satu angkatan BEM Fateta Merah Saga dan BEM KM IPB Bersahabat : eko, nanda, mita, fahri, mega, kak suphe, kak hassan, alvi, andin, siska, aha, siro, yogi, dyah. 15. Teknisi laboratorium ITP, Pilot Plant, Seafast, dan LD ITP khususnya Mbak Vera, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Sobirin, Pak Rozak, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Nurwanto, Bu Sri, Pak Iyas, Pak Taufiq, Mas Edi, Mbak Yane, Mbak Ririn, Mbak Siti, Mbak Ida, Mbak Yayuk. Terimakasih juga kepada staf UPT dan Departemen ITP Bu Novi, Mbak Ani, Mbak May, Mbak Darsih, Pak Samsu atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan sidang. 16. Setiap individu dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesediaannya membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Februari 2013 Shafiyyah Irmaharianty
xi
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. xvi I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1 1.1. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 1 1.2. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................................ 2 1.3. MANFAAT PENELITIAN .................................................................................................... 3 2.1. SORGUM ............................................................................................................................... 4 2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum ............................................................................. 4 2.1.2. Pengembangan Sorgum ................................................................................................... 6 2.2. PATI ....................................................................................................................................... 8 2.2.1. Amilosa ........................................................................................................................... 8 2.2.2. Amilopektin ..................................................................................................................... 9 2.2.3. Gelatinisasi ...................................................................................................................... 9 2.2.4. Retrogradasi .................................................................................................................. 10 2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI ....................................................................................... 10 2.3.1. Mi Terigu ...................................................................................................................... 10 2.3.2. Mi Non Terigu ............................................................................................................... 11 2.3.2.1.Mi Pati ......................................................................................................................... 11 2.3.2.2.Mi Jagung .................................................................................................................... 11 2.3.2.3.Mi Sorgum .................................................................................................................. 12 2.4. EKSTRUSI .......................................................................................................................... 13 2.5. EKSTRUDER ...................................................................................................................... 14 2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal .................................................................................................. 14 2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY .......................................................................... 16 2.6.1. Perbedaan desain utama RSM ....................................................................................... 17 III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................................... 18 3.1. BAHAN DAN ALAT .......................................................................................................... 18 3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................................ 18 3.3. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 18
xii
3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu ............................................................................. 20 3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum .................................................................................. 20 3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung ..................................................................................... 22 3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum ................................................................................................ 22 3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN...................................................................................... 23 3.4.1. Analisis Fisik ................................................................................................................. 23 3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001) ............................... 23 3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969 dalam Ganjyal 2006) ............................................................................................... 23 3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i ...................... 24 3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985)..................................................................... 24 3.4.2. Analisis Kimia ............................................................................................................... 24 3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)........................................................ 24 3.4.2.2.Analisis kadar abu (AOAC 1995) ........................................................................... 24 3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) .............................................. 25 3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference ................................................................. 26 3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995 ......................... 26 3.4.2.7.Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989) ........................ 26 4.1.1. Komposisi kimia ........................................................................................................... 28 4.1.2. Profil Gelatinisasi .......................................................................................................... 29 4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM .............................................................. 30 4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM ...................................................................................... 32 4.3.1. Cooking loss .................................................................................................................. 33 4.3.2. Elongasi ......................................................................................................................... 35 4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM ......................................................... 38 4.5. MI SORGUM-JAGUNG...................................................................................................... 39 4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM ...................................... 40 4.4.1. Warna mi sorgum .......................................................................................................... 41 4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi.............................................................................................. 42 4.4.3. Elongasi mi sorgum ....................................................................................................... 43 4.4.4. Kekerasan mi sorgum .................................................................................................... 43 4.4.5. Rasa mi sorgum ............................................................................................................. 44 5.1. SIMPULAN ......................................................................................................................... 45 5.2. SARAN ............................................................................................................................... 45 LAMPIRAN .................................................................................................................................... 50
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia .............................................................................. 6 Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum .......................................................................... 7 Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering ............................................... 21 Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (%bk) ..................................... 28 Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu ....................................................................... 29 Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi ....................................................... 31 Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung ........................................................... 31 Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum ............................................................ 32 Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ............... 34 Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ...................... 36 Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses ................................................. 38 Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih ........................................ 39 Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung ........................................... 40
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b) ...................................................................... 4 Gambar 2. Struktur biji sorgum....................................................................................................... 5 Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010) ........................................................... 8 Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal ...................................................... 15 Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum ............................. 19 Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu ............................................................... 30 Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss.............................................................. 35 Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi .................................................................... 37 Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum ...................................... 38 Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100% ..... 40 Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi ............................................ 41 Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung ................. 42 Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi ................... 42 Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi ......................................... 43 Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi ...................................... 44 Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa ..................................................... 44
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu ........................................................ 51 Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu ........................................................ 51 Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu ................................................. 51 Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu ................................................... 51 Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu....................................................... 51 Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum ............................................................................ 51 Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa .................................................................... 52 Lampiran 8. Kurva standar amilosa .............................................................................................. 52 Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa ...................................................................................... 52 Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering ................................................................. 53 Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum ...................................................................... 54 Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum ............................................................................. 55 Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak ............................................................................ 56 Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak ............................................................................... 57 Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi.......................................................... 58 Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi ................................ 59 Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan......................................................... 60 Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi ........................................................... 61 Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa ................................................................... 62 Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih ............................................................... 63 Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih ............................................................. 63 Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih ........................................................ 63 Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih ......................................................... 64 Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih ................................................. 64 Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum ........................................................................... 64 Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum .................................................................................. 64 Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb) ............................................................... 64 Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum ......................................................................... 65 Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss ................................................... 65 Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi .......................................................... 67 Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum ........................................................................ 68 Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ..................................................................................... 70 Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih............................................................................ 71 Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi ............................... 72 Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum ............................................................................. 73
xvi
I. PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk yang membentuk deret geometri (1,2,4,8..dst) selalu akan melampaui pertumbuhan industri pangan dunia yang notabene berupa deret ukur (1,2,3,4,..dst). Statistik pada tahun 2011 (BKKBN) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dan akhir tahun 2012 mencapai sekitar 245 juta jiwa. Hal ini menjadi problematika yang cukup besar di Indonesia selama puluhan tahun dengan ketahanan pangan yang rapuh. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harganya terjangkau (Deptan 2005). Selain lemahnya ketahanan pangan nasional, kondisi pangan di Indonesia masih dibayangi ketergantungan masyarakat akan komoditi pangan tertentu, seperti beras dan gandum. Terlebih lagi, kedua komoditas tersebut banyak diimpor dari luar negeri. Berdasarkan data BPS (2012), impor beras pada bulan Januari-April 2012 mencapai 834 ribu ton dengan nilai US$ 456 juta, sedangkan impor gandum pada periode yang sama mencapai 396.5 ribu ton dengan nilai US$ 174 juta. Data tersebut menunjukkan bahwa gandum menjadi sumber pangan kedua setelah beras dan membuat Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia. Melihat hal tersebut, banyak penelitian dan program pemerintah yang difokuskan pada diversifikasi pangan dan pencarian sumber pangan lokal. Salah satu sumber daya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah sorgum. Menurut Nurmala (1997), keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produktivitas tinggi serta lebih tahan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum. Selain itu, sorgum dapat digunakan untuk memproduksi produk pangan bebas gluten yang dapat dikonsumsi oleh penderita colieac disease yang tidak mampu mencerna gluten dari produk gandum (Kunetz 1997). Sorgum pun memiliki nilai indeks glikemik yang tergolong rendah dibandingkan nasi sehingga cocok dikonsumsi untuk penderita obesitas dan diabetes. Indeks glikemik merupakan ranking pada produk berbasis karbohidrat yang menunjukkan seberapa cepat dan seberapa banyak pangan tersebut dapat menaikkan kadar gula darah (Lemlioglu-Austin et al. 2012). Untuk memaksimalkan pengembangan sorgum sebagai sumber pangan baru, mi dipilih sebagai produk penelitian ini sebagai makanan yang populer di Asia, khususnya di Indonesia. Penelitian mengenai mi sorgum sebagai salah satu mi non terigu sudah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Penelitian Kunetz (1997) menghasilkan mi kering dengan karakteristik yang halus, lurus, dan cukup kuat sehingga tidak patah saat pengepakan dan pengangkutan. Setelah direhidrasi, mi memiliki cooking loss rendah, kompak, dan tidak hancur seperti bubur. Suhendro et al. (2000) juga menghasilkan mi dengan cooking loss 10%. Baik Kunetz (1997) maupun Suhendro et al. (2000) menggunakan ekstruder pencetak dalam penelitiannya. Berbeda dengan dua peneliti tersebut, Liu (2009) membuat mi sorgum melalui metode pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sleeting). Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.425.53%.
Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009) sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012). Untuk mempermudah pelaksanaan proses ekstrusi dan pengkondisian adonan, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Selain itu, penelitian mi jagung yang dilakukan Muhandri (2012) dengan ekstruder yang sama dapat menghasilkan mi dengan karakteristik yang baik, memiliki cooking loss yang rendah dan elongasi tinggi. Tepung sorgum yang digunakan diproses dari biji sorgum varietas Numbu yang terlebih dahulu diidentifikasi karakteristik kimia dan fisiknya melalui analisis proksimat dan profil gelatinisasi. Menurut Elliason dan Gudmunson (1996), karakteristik tepung dan kecukupan proses mempengaruhi produk mi yang dihasilkan, terutama kandungan amilosa pada tepung. Optimasi proses pengolahan mi sorgum menggunakan suhu dan kecepatan ulir ekstruder sebagai variabel input, sementara cooking loss dan elongasi digunakan sebagai variabel respon. Suarni (2004) menyatakan bahwa produk olahan sorgum umumnya memiliki warna yang kurang menarik bagi konsumen. Pada pembuatan mi sorgum, waran mi dapat dibuat lebih menarik dengan menambahkan pewarna yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI. Pada penelitian ini, dilakukan penambahan tepung jagung pada adonan mi sorgum, membuat mi sorgum berwarna kuning dan lebih menarik bagi konsumen. Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial and error agar warna kuning pada mi mirip dengan warna kuning pada mi terigu pada umumnya. Setelah mendapatkan proses optimal yang yang diinginkan, dilakukan uji hedonik di laboratorium. Hasil dari uji sensori tersebut dapat memberikan gambaran awal mengenai penerimaan dan kesukaan konsumen terhadap produk mi sorgum dan menjadi masukan dalam pengembangan mi sorgum secara komersial ke depannya
1.2.
1. 2. 3.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah : Mengidentifikasi karakteristik kimia dan fisik dari tepung sorgum varietas Numbu Menentukan optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasakpencetak ulir tunggal dengan variabel suhu dan kecepatan ulir ekstruder Melakukan uji hedonik mi sorgum dan mi sorgum-jagung
2
1.3.
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi sorgum melalui teknologi ekstrusi dengan kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di industri mi skala kecil secara komersial. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka pengembangan dan pengayaan produk pangan di Indonesia.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
SORGUM
Sorgum pertama kali ditanam lebih dari 5000 tahun yang lalu di daerah Ethiopia atau Chad, lalu merambah ke India pada 4000 tahun yang lalu, kemudian di Cina dan Afrika Selatan pada 1500 tahun yang lalu. Sorgum adalah serealia terpenting di sub-Saharan Afrika karena tahan kekeringan dan kondisi panas. Sorgum berkembang di Amerika sejak abad ke-18 dan banyak digunakan sebagai pakan ternak.Afrika memiliki luas daerah penanaman sorgum terbesar di dunia. Diperkirakan sebanyak 55% sorgum di Afrika diproduksi di Afrika Barat dan 30% di bagian timur dan utara. Tiga penghasil sorgum di Afrika adalah Nigeria, Sudan, dan Ethiopia. Sebagian besar negara Afrika menghasilkan produksi tahunan ≤1 ton/ha. Pada produksi dunia tahun 2002 mencapai 52 juta ton, sekitar 6.3 juta ton diekspor dengan nilai dagang sekitar US$669 juta (Evers et al. 2006). Sorgum dapat digolongkan menjadi dua macam berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu waxy sorghum (jenis ketan) dan non-waxy sorghum (jenis beras). Kadar amilosa jenis beras rata-rata 25%, sedangkan untuk jenis ketan sekitar 2%. Kadar amilosa menentukan kepulenan dan kekilapan nasi setelah ditanak. Dengan sifat ini, jenis sorgum nonwaxydapat dimasak sebagai nasi, atau campuran dengan nasi beras, bubur, dan bentuk-bentuk olahan lainnya. Sorgum jenis waxy yang rasanya pulen seperti ketan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan makanan tradisional seperti tapai, jadah, wajik, lemper, dan rengginang seperti yang dilakukan di daerah Demak (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Gambar 1 menunjukkan bentuk tanaman dan biji sorgum.
Sumber : komoditasindonesia.com (a)
Sumber : kimdump.blogspot.com (b)
Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b)
2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan yaitu sorgum dengan biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Biji sorgum di Pulau Jawa umumnya berukuran sedang dan besar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Bobot biji bervariasi berdasarkan penanaman dan sumber. Kebanyakan varietas sorgum berbentuk hampir bulat (diameter 2-4 mm) dengan ukuran embrio yang relatif besar (Evers et al. 2006).
4
Biji sorgum terdiri dari 10% lembaga, 8% perikarp atau sekam, dan 80% endosperma. Proporsi tersebut mungkin bervariasi tergantung dari varietas, kondisi lingkungan, dan derajat kematangan. Kulit biji terdiri dari perikarp dan testa. Lapisan terluar adalah perikarp yang dikelilingi oleh kutikula yang waxy. Embrio atau lembaga terdiri dari scutellum besar, plumule, dan akar primer. Lembaga ini relatif kokoh menempel dan sulit untuk dipisahkan melalui penggilingan kering. Endosperma memiliki proporsi yang paling besar dari kernel dan mengandung lapisan aleuron. Lembaga kaya akan protein, lemak, mineral, dan vitamin B kompleks (Riahi dan Ramaswamy 2003). Lapisan aleuron atau bekatul terdapat di atas permukaan endosperma biji. Sel-sel aleuron tidak mengandung granula pati, tetapi mengandung protein, lemak dengan kadar yang relatif tinggi, sejumlah mineral dan vitamin yang larut dalam air (Rooney dan Miller 1982). Lapisan aleuron sorgum memiliki bentuk dan penampakan yang mirip dengan jagung (Evers et al. 2006). Di beberapa varietas sorgum, terjadi pigmentasi yang mengakibatkan semua jaringan menjadi berwarna dalam waktu yang tidak bersamaan. Enam kelas penampakan kernel adalah putih, kuning, merah, coklat, dan kekuningan (Evers et al. 2006). Biji sorgum yang memiliki kadar tanin tinggi dicirikan dengan warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Struktur biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber :www.cd3wd.com
Gambar 2. Struktur biji sorgum
Protein pada biji sorgum sebagian besar adalah prolamin (kafirin) dan glutelin. Seperti serealia lainnya, sorgum kekurangan asam amino lisin, treonin, dan triptofan. Meskipun demikian, saat ini sudah dapat diproduksi sorgum yang tinggi lisin (Wrigley dan Bekes 2004). Selain itu, protein albumin dan globulin relatif tinggi dan menyusun sebanyak 17% dari total protein (Evers et al. 2006). Penghilangan perikarp secara signifikan akan mengurangi serat kasar dari sorgum. Kadar mineral dalam sorgum seperti kalsium, besi, fosfor, serta vitamin B juga berkurang dengan hilangnya perikarp dan keberadaan asam fitat (Riahi dan Ramaswamy 2003). Sorgum memiliki kandungan amilosa antara 20-30%, sisanya amilopektin (Wrigley dan Bekes 2004). Komposisi gizi dari sorgum dan serealia lain dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia Komposisi Gandum Rye Jagung Kadar air (%) 10 10.5 15 Protein (%) 14.3 13.4 10.2 Lemak (%) 1.9 1.8 4.3 Serat (%) 3.4 2.2 2.3 Abu (%) 1.8 1.9 1.2 Sumber : Riahi dan Ramaswamy (2003)
Barley 10.6 13 2.1 5.6 2.7
Oat 9.8 12 5.1 12.4 3.6
Beras 11.4 9.2 1.3 2.2 1.6
Sorgum 10.6 12.5 3.4 2.2 2
Tanin merupakan polimer polifenol yang berada pada lapisan perikarp dan testa dari kulit biji. Tanin menyediakan perlindungan terhadap serangga dan burung, serta melawan kerusakan saat hujan. Keberadaan tanin sebagai penangkal burung diasumsikan karena rasa tanin yang tidak enak (Evers et al. 2006). Cara bercocok tanam yang berbeda mempengaruhi produksi tanin pada sorgum (Wrigley dan Bekes 2004). Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), selain memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein, tanin juga mampu berikatan dengan polimer lainnya seperti polisakarida. Tanin larut dalam air dan memiliki kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin, dan protein lainnya. Berdasarkan penelitian Rungkat-Zakaria et al. (2011), sorgum memiliki potensi ke arah pangan dan kesehatan. Sorgum mengandung komponen bioaktif, misalnya komponen fenolik yang memiliki peranan sebagai antioksidan (Rooney dan Awika 2004). Antioksidan berperan sebagai penangkal radikal bebas yang dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh dapat memberikan efek negatif pada kesehatan, misalnya menurunkan fungsi sistem imun. Penelitian mengenai diet berbasis sorgum pada tikus Sprague dawley yang dilakukan oleh Rungkat-Zakaria et al. (2011) menyebutkan bahwa penggunaan sorgum 50% dari sumber karbohidrat dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit limfa. Hal ini ditunjukkan dari adanya aktivitas imunomodulator, menyebabkan peningkatan kapasitas antioksidan pada hati melalui peningkatan aktivitas anitoksidan (DPPH), penurunan malondialdehida (MDA), dan peningkatan aktivitas enzim antioksidan. Fungsi senyawa fenolik sebagai immunomodulator diduga berhubungan dengan peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas (Yanuwar 2009). Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa sorgum baik sebagai pangan dan kesehatan serta dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional.
2.1.2. Pengembangan Sorgum Sebagian besar sorgum digunakan di negara penghasilnya dengan tujuan yang berbeda. Di Amerika Utara, Tengah, Selatan, dan Oseania, sorgum banyak digunakan sebagai pakan ternak, sementara di negara berkembang seperti Afrika, sorgum banyak dikonsumsi oleh manusia. Biji sorgum dapat disiapkan menjadi produk yang mirip dengan jagung manis atau popcorn. Sorgum dapat diolah menjadi berbagai produk pangan tradisional, pancake non gandum, tortilla, kue, biskuit dan roti, mi dan pasta, minuman fermentasi tradisional dengan atau tanpa alkohol, bir (dari malt sorgum), dan di Cina diolah menjadi minuman hasil penyulingan. Embrio sorgum diproduksi sebagai minyak untuk memasak atau salad (Evers et al. 2006). Varietas sorgum juga digunakan sebagai makanan di beberapa bagian daerah di dunia. Di Afrika Barat dan Selatan, varietas sorgum berkadar tanin sedang digunakan untuk bahan baku
6
makanan dan minuman beralkohol. Di beberapa budaya Afrika, sorgum tanin lebih disukai karena bubur yang terbuat dari sorgum bertanin memiliki waktu tinggal di dalam perut lebih lama dan membuat petani dapat bekerja lebih keras di sawah. Di negara barat, kegunaan sorgum berpigmen sebagai makanan sangat sedikit (Awika dan Lloyd 2004). Hasil survei yang dilakukan oleh Mudjisihono dan Suprapto (1987) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Demak dan Bojonegoro, menyatakan bahwa sorgum sudah dimanfaatkan sebagai pengganti sementara posisi beras di musim paceklik. Terdapat dua bentuk olahan biji sorgum, yaitu beras dan tepung sorgum. Beras sorgum diperoleh dari hasil penggilingan atau penyosohan menggunakan abrasive mill. Endosperma yang diperoleh berwarna putih dan bebas dari sekam dan bekatul. Apabila proses penyosohan dapat dilakukan dengan sempurna, maka beras sorgum tidak akan membawa rasa sampingan yang tidak enak ataupun bau yang kurang disukai. Dengan menggunakan mesin penyosoh beras dari silinder batu gerinda, beras yang dihasilkan berwarna putih bersih dan apabila dimasak tidak terasa kasar di lidah (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Tepung atau grits diproduksi melalui penggilingan batu di desa di India, atau hammer milling dan roller milling di industri. Penggilingan basah lebih cenderung digunakan di banyak industri. Penggilingan yang dilakukan mirip dengan penggilingan basah pada jagung, dan sering dilakukan untuk menghasilkan pati atau glukosa (Wrigley dan Bekes 2004). Untuk membuat tepung sorgum, biji sorgum utuh harus disosoh terlebih dahulu. Namun, penyosohan sorgum sangat sulit dilakukan karena sorgum dikenal memiliki kulit biji yang keras dan sulit dihilangkan. Cara penyosohan melalui penggilingan tradisional atau penghancuran terhadap bijinya tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan. Hal ini disebabkan masih banyaknya sisa kulit biji yang menempel pada endosperma sehingga tepung yang dihasilkan memiliki tekstur kasar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah mengembangkan tepung sorgum yang dibuat dari biji sorgum dengan komposisi kimia dan proses pengolahan seperti pada Tabel 2 dan Gambar 3. Tahap perendaman biji pada produksi tepung B2P4 menggunakan 0.3% NaHCO3 selama 8 jam dilakukan untuk menghilangkan tanin pada biji sorgum. Kehilangan tanin tersebut diduga akibat terkelupasnya kulit biji dan lapisan testa selama perendaman. Selain dengan cara tersebut, penghilangan tanin juga dapat dilakukan dengan perendaman dalam air suling pada suhu 30oC selama 24 jam. Cara ini dapat menghilangkan kadar tanin dalam sorgum sampai sekitar 31%. Perendaman dalam larutan NaOH dan KOH 0.05 M pada suhu 30 oC selama 24 jam dapat menghilangkan kadar tanin jauh lebih besar, yaitu sekitar 75-85%. Perendaman dalam larutan Na2CO3 pada kondisi yang sama dapat menghilangkan kadar tanin sampai 77% (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum Komponen Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Tanin (%)
Biji sorgum 9-11 10-12 2-2.5 73-78 1-1.5 2-4
Tepung sorgum 10-12 7-9 0.4-0.7 73-83 0.2-0.4 0.6-1.0
Sumber : B2P4 (2010)
7
Biji sorgum
Pembersihan
Pengkondisian k.a. 20%
Penyosohan DS 100%
Sorgum sosoh
Perendaman (0.3% NAHCO3, 8 jam, 1:3 b/v)
Penirisan
Pengeringan k.a 16%
Penepungan ka = 12%
Tepung sorgum Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010)
2.2.
PATI
Pati dalam biji sorgum sekitar 83% terdapat dalam endosperma, 13.4% dalam lembaga, dan 3.6% dalam kulit biji. Kandungan pati dalam biji sorgum yang telah dihilangkan lemaknya dapat ditentukan melaluihidrolisis enzim dan asam dan dinyatakan sebagai gula reduksi. Kandungan pati dalam biji sorgum bervariasi antara 68-73%. Pati tersusun atas dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
2.2.1. Amilosa Amilosa terdiri dari molekul D-glukosa yang terhubung dalam konformasi -14. Monomer tersebut membentuk polimer rantai linier yang lurus. Kandungan amilosa sekitar 20-40% dalam bijibijian. Amilosa mengandung ikatan glikosidik -14 dan sedikit larut dalam air. Molekul amilosa membentuk konformasi heliks sehingga dapat menyusun formasi kompleks dengan iodin, lemak, dan
8
substansi polar lainnya. Kompleks amilosa dengan iodin membentuk warna biru yang dapat dibaca pada panjang gelombang 650 nm (Niba 2006). Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik pembuatan gel pada campuran pati yang dipanaskan dan didinginkan. Hal ini terkait dengan polisakarida dari glukosa yang terdapat dalam amilosa. Amilosa dapat membentuk gel dari rantai linier yang dapat berorientasi paralel dan saling berdekatan satu sama lain untuk berikatan. Hal ini memudahkan molekul amilosa untuk bersatu dalam pasta yang dimasak, tetapi tidak berkontribusi secara signifikan terhadap viskositas (Rick 2003). Amilosa adalah komponen kunci yang terlibat dalam penyerapan air, pengembangan granula, dan gelatinisasi pati dalam pengolahan makanan. Pati beramilosa tinggi umumnya diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pengaturan gel yang cepat seperti permen dan gula-gula. Amilosa lebih rentan terhadap gelatinisasi dan retrogradasi dan umumnya terlibat dalam pembentukan pati resisten (Niba 2006).
2.2.2. Amilopektin Amilopektin terdiri dari D-glukosa yang terhubung dalam konformasi linier
-14 dan
cabang pada -16. Jumlah ikatan -16 sekitar 5% dari struktur amilopektin yang membuat ukuran molekulnya lebih besar dari amilosa. Ukuran molekul yang lebih besar dari amilosa membuat dua polimer ini terpisah berdasarkan ukuran pada kromatografi. Amilopektin memiliki rantai cabang yang pendek sehingga tidak dapat membentuk kompleks heliks dengan iodin (Niba 2006). Sifat amilopektin dalam aplikasi pangan berbeda dengan amilosa. Gel amilopektin lebih fleksibel dan resisten terhadap retrogradasi. Pati beramilopektin tinggi biasanya digunakan dalam pengolahan mi dan beberapa produk roti untuk memperpanjang umur simpan. Amilopektin juga digunakan untuk meningkatkan stabilitas selama thawing beku karena resistensinya terhadap retrogradasi (Niba 2006). Amilopektin mempengaruhi kekentalan produk, namun biasanya tidak berkontribusi terhadap pembentukan gel. Beberapa galur dari jagung, beras, sorgum, dan barley sama sekali tidak mengandung amilosa, seluruhnya hanya amilopektin (Rick 2003).
2.2.3. Gelatinisasi Gelatinisasi terjadi saat struktur dari granula pati terganggu dan diatur kembali dengan adanya panas dan kelembaban yang cukup. Granula ini akan menyerap air, kehilangan struktur molekul yang rapi, lalu mengembang. Granula pati murni tidak larut dalam air dingin dan membutuhkan gelatinisasi untuk memfasilitasi penyerapan air dan meningkatkan reaktivitas kimia dan fisik dari granula pati inert dalam pengolahan pangan (Niba 2006). Granula yang lebih besar akan mengembang lebih dulu pada temperatur yang lebih tinggi daripada granula yang kecil. Meskipun demikian, tidak ada suhu gelatinisasi yang mutlak. Campuran yang lebih pekat memiliki viskositas yang lebih tinggi pada suhu rendah karena banyaknya granula yang mengembang (Rick 2003). Hasil gelatinisasi adalah pengembangan pati dan pembentukan pasta kental yang buram atau tembus cahaya, tergantung dari sifat dasar dari suatu pati. Gelatinisasi biasanya diikuti oleh gelasi, proses dimana granula yang mengembang terganggu dan amilosa dilepaskan ke media pati-air. Pelepasan amilosa dari granula yang tergelatinisasi berkontribusi terhadap karakteristik kental dari pati dan pembentukan gel yang merupakan dispersi koloid pati dalam air. Amilosa tersebut akan
9
membentuk jaringan yang struktural untuk merangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel (Niba 2006). Peningkatan kadar amilosa juga membuat gelasi berlangsung lebih awal. Pati dengan kandungan amilosa rendah, seperti waxy maize yang mengandung <1% amilosa, tidak dapat membentuk gel secara efektif, hanya pasta jernih yang umumnya resisten terhadap sineresis (Niba 2006). Pati tergelatinisasi memainkan peranan penting dalam menentukan karakteristik struktural dan tekstural dari banyak pangan. Proporsi dari pati tergelatinisasi dan pati mentah dalam produk makanan siap saji dapat menjadi titik kritis dalam menentukan penerimaannya (Sablani 2009).
2.2.4. Retrogradasi Retrogradasi juga dikenal dengan sebutan setback dan terjadi melalui pengkristalan kembali molekul amilosa. Hal ini menyebabkan pelepasan air yang sudah terserap dan terikat selama gelatinisasi dan mengarah pada fenomena yang disebut sineresis. Amilosa jauh lebih rentan terhadap retrogradasi, sedangkan amilopektin hanya terlibat secara minimal walaupun diketahui mempengaruhi retrogradasi dan sineresis dalam gel pati jagung. Retrogradasi pati dalam beberapa hal meningkatkan kualitas pati yang resisten terhadap enzim hidrolisis dan lebih stabil (Niba 2006). Dalam produksi mi pati, dibutuhkan pengkondisian suhu rendahyang diaplikasikan setelah gelatinisasi untaian mi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan retrogradasi mi. Salah satu cara pengkondisian tersebut adalah pencucian mi dengan air setelah mi dimasak. Tanpa proses gelatinisasi, molekul amilosa tidak dapat dilepaskan untuk berpartisipasi dalam proses retrogradasi yang mengatur struktur mi (Tam et al. 2004).
2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI 2.3.1. Mi Terigu Pasta dan mi dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi kehilangan padatan selama pemasakan (cooking loss). Menurut Wals dan Gille (1974), proses pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan, dan pengeringan. Terigu dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis. Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25 menit pada suhu 25-40oC. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm. Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al. 1985). Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60 oC
10
selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150oC sampai kadar airnya 35% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo 1985). Pembuatan spaghetti menggunakan ekstruder pasta (forming extruder). Penambahan air tergantung pada suhu mixing. Pada suhu 35-45oC, air yang ditambahkan sebanyak 32-34%, sedangkan pada suhu rendah yaitu antara 2-10 oC air yang ditambahkan sebanyak 34-36%. Menurut Dalbon et al. (1996) penyerapan air oleh tepung akan semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu. Proses ekstrusi pada pembuatan spaghetti harus dipertahankan suhunya pada kisaran 38-40oC. Jika suhu terlalu tinggi akan terjadi kerusakan pada protein sehingga dapat mengganggu proses terbentuknya adonan yang plastis. Pada industri, ekstrusi dilengkapi dengan mantel pendingin untuk mempertahankan suhu proses supaya tidak naik.
2.3.2. Mi Non Terigu 2.3.2.1. Mi Pati Mi pati diproduksi dari pati murni dari berbagai macam sumber pangan sebagai kategori mayor dari mi Asia. Pada umumnya, pembuatan mi pati meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan kering dan gelatinisasi pati untuk membuat pasta pati atau adonan, ekstrusi langsung ke air mendidih untuk pemasakan, pendinginan untuk pembentukan mi, penyimpanan pada suhu dingin atau beku, penghangatan pada air dingin, dan pengeringan (Galvez et al. 1995 dalam Tan et al. 2009). Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya, mi dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai kering (Wiersema 1992). Menurut Chen (2003), pembuatan mi pati dilakukan dengan gelatinisasi 5% pati dalam air dengan perbandingan 1:9 (yang berfungsi seperti gluten pada mi terigu). Pati yang sudah digelatinisasi dicampur dengan 95% pati yang belum digelatinisasi kemudian dicetak menggunakan ekstruder piston (cylindrical extruder) dengan diameter die ekstruder 1.5 mm. Mi langsung masuk air panas (95-98°C) dan pemanasan dipertahankan selama 50-70 detik. Mi diangkat, didinginkan pada suhu 4°C selama 6 jam, kemudian dibekukan pada suhu -5°C selama 8 jam, dan dikeringanginkan selama 4 jam.
2.3.2.2. Mi Jagung Pembuatan mi jagung yang dilakukan oleh Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder pasta. Bahan baku yang digunakan adalah tepung jagung (200 g), air (120 g), garam (2 g), dan natrium metabisulfit (0.5 g). Bahan tersebut lalu dicampur dan dipanaskan pada suhu 95 oC selama 2-3 menit. Kemudian, adonan dicetak menggunakan ekstruder pasta dan dikeringkan. Kelemahan pada mi yang dibuat oleh Waniska et al. (1999) adalah cooking loss mi yang masih terlalu tinggi (>40%). Proses pembuatan mi yang optimum pada penelitian Muhandri (2012) diperoleh pada kondisi proses kadar air tepung 70%, suhu ekstruder 90oC, dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,26 gf, elongasi 318,68%, dan cooking loss 4,56 %. Penggunaan garam (sodium karbonat dan sodium klorida) dapat
11
menghasilkan mi jagung yang lebih lunak (menurunkan kekerasan mi jagung). Pada penggunaan sodium karbonat, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 2242,29gf, kelengketan 58,83gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%. Pada penggunaan sodium klorida, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium klorida 2% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan cooking loss 2,62%. Muhandri (2012) menjelaskan bahwa pembuatan mi dari tepung (misalnya tepung jagung) membutuhkan mekanisme gelatinisasi dan pemecahan granula tepung karena hal ini diperlukan untuk membentuk ikatan hidrogen antar amilosa ketika retrogradasi (pendinginan). Ikatan hidrogen inilah yang akan membentuk struktur mi yang kokoh. Kondisi ini memerlukan suhu yang cukup, kadar air yang optimal dan tekanan shear yang cukup. Ikatan hidrogen antar amilosa ditentukan pula oleh kandungan amilosa tepung non terigu.
2.3.2.3. Mi Sorgum Kunetz (1997) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi sorgum dengan bahan baku tepung sorgum (100 g), garam 1% dan air (90 ml). Tepung sorgum yang digunakan memiliki karakteristik endosperma sedang sampai keras dan indeks ukuran partikel yang sedang dengan sedikit perikarp. Adonan mi yang telah dicampur lalu dipanaskan menggunakan microwave pada suhu 95oC. Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak dan menghasilkan mi kering yang halus dan lurus serta terlihat cukup kuat untuk tidak patah selama pengepakan dan pengangkutan. Mi yang telah dimasak dapat mempertahankan tekstur yang kompak, tidak hancur seperti bubur, dan memiliki cooking loss rendah. Mi sorgum dalam penelitian Suhendro et al. (2000) menggunakan bahan dan teknik ekstrusi yang sama dengan penelitian Kunetz (1997). Adonan mi dilewatkan ke dalam ekstruder sebanyak 3 kali (3 kali passing). Tepung sorgum dengan ukuran partikel yang lebih kecil menghasilkan mi yang lebih baik. Mi yang lebih kuat dan kompak dihasilkan melalui pengeringan dua tahap, yaitu 60 oC 100% RH selama 2 jam diikuti dengan 60oC 30% RH selama 2 jam. Melalui pengolahan tersebut menghasilkan mi dengan cooking loss 10%. Penelitian Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahanbahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan air. Bahan kering ditambahkan ke dalam mixer dan dicampur selama 1 menit dengan kecepatan rendah lalu kecepatan tinggi selama 1 menit. Air (57%) ditambahkan untuk membentuk adonan yang seragam, halus, dan tidak lengket, lalu dicampur selama 2 menit dengan kecepatan rendah dan 4 menit dengan kecepatan tinggi. Adonan lalu diuleni menggunakan tangan selama 1 menit, diistirahatkan selama 15 menit, dan ditipiskan menggunakan mesin mi. Lapisan tipis adonan lalu dicetak dengan lebar sekitar 1 cm. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.
12
2.4.
EKSTRUSI
Ekstrusi adalah suatu proses saat bahan dipaksa berada di bawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering dalam waktu singkat. Pengolahan dengan ekstrusi dapat memanfaatkan sumber pati yang beragam dan merupakan alternatif yang menarik. Fungsi ekstrusi adalah gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisisi, pembentukan, dan penggembungan/pengeringan (puffing/drying). Kombinasi satu atau lebih fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam teknologi ekstrusi (Muchtadi et al. 1988). Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011), fungsi ekstrusi juga dapat dilakukan untuk proses pemisahan, pendinginan-pemanasan, penghilangan senyawa volatil, penurunan kadar air, pembentukan citarasa dan bau, dan enkapsulasi. Ekstrusi dengan suhu tinggi dan waktu singkat (HTST) dapat menghilangkan kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim. Proses dengan ekstrusi dapat menurunkan senyawa antigizi dalam bahan pangan. Ekstrusi dengan suhu tinggi biasanya digunakan untuk pasta, sedangkan suhu rendah digunakan untuk makanan ringan atau snack. Tekanan yang digunakan dalam ekstrusi berkisar antara 15-200 atm. Fungsi tekanan itu sendiri adalah untuk mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang sangat panas, serta meningkatkan peran pengadukan. Kadar air bahan normal adalah 10-40% basis basah dan suhu tinggi mencapai 100-180oC secara kontinyu (Estiasih dan Ahmadi 2011). Dalam proses ekstrusi, umumnya terdapat dua input energi utama ke dalam sistem. Pertama, energi yang ditransfer dari perputaran ulir dan yang kedua adalah energi yang ditransfer dari pemanas melalui dinding barrel. Energi panas akan menghasilkan peningkatan suhu dari bahan yang diekstrusi. Sebagai hasilnya, akan terjadi perubahan seperti pelelehan dari material padat dan atau penguapan air (Ainsworth dan Ibanoglu 2006). Penelitian terhadap efek dari beberapa variabel ekstrusi seperti kadar air, suhu barrel, geometri ulir, dan kecepatan ulir pada gelatinisasi pati jagung mengindikasikan bahwa suhu barrel dan kecepatan ulir memiliki efek yang paling besar terhadap gelatinisasi pati (Mercier dan Feillet 1975). Kecepatan ulir yang lebih tinggi menurunkan gelatinisasi dan terkait dengan rendahnya waktu tinggal. Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan derajat gelatinisasi akibat pengadukan meningkat akibat penurunan waktu tinggal sampel dalam ekstruder. Efek dari kadar air bahan, suhu barrel, kecepatan ulir, dan ukuran die pada gelatinisasi tepung terigu selama ekstrusi menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21% (Chiang 1975). Pada suhu yang lebih rendah (65-80oC), peningkatan kadar air bahan menyebabkan sedikit penurunan gelatinisasi, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi (95-110oC), peningkatan kadar air secara signifikan meningkatkan derajat gelatinisasi. Peningkatan ukuran die dapat mengurangi derajat gelatinisasi akibat penurunan waktu tinggal sampel, tekanan yang lebih rendah, dan luas permukaan adonan yang lebih kecil (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
13
2.5.
EKSTRUDER
Secara umum, ekstruder dibagi menjadi dua jenis yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Terdapat lima jenis ekstruder ulir tunggal yang umum dipakai di industri pangan, yaitu (Muchtadi et al. 1988) : (1) ekstruder pasta, (2) high pressure forming extruder, (3) low shear cooking extruder, (4) coolet extruder, (5) high shear cooking extruder. Ekstruder pasta dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari adonan. Ekstruder ini dianggap yang paling ideal karena memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan, serta biasanya mempunyai geometri ulir yang konstan. Alat ini juga yang paling mendekati ekstruder isotermal karena hanya mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah. High pressure forming extruder untuk membentuk dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi, digunakan pada produk yang membutuhkan proses lanjutan seperti penggorengan dalam lemak (snack) dan sereal. Cara kerja ekstruder ini seperti ekstruder pasta, namun silindernya berupa ulir. Ulir tersebut membutuhkan tenaga tambahan yang menyebabkan naiknya suhu serta panas yang dilepas ke makanan. Low shear cooking extruder untuk adonan dengan kadar air tinggi, bersifat fleksibel dan hasil yang dimasak harus diproses lebih lanjut dengan pembentukan dan pengeringan. Kekentalan adonan yang rendah (kadar air tinggi) mengakibatkan hampir semua energi yang dibutuhkan untuk pemasakan berasal dari luar (pemanas). Ekstruder ini biasanya menggunakan silinder beralur dan ulir pemadat. Coolet extruder untuk membuat panganan butiran yang bergelembung kering, biasanya memiliki waktu tinggal yang sangat singkat. Pelepasan energi yang sangat cepat terjadi karena kemampuan potong yang tinggi, silinder beralur dalam, dan adonan sangat kental (kelembaban rendah). Suhu tinggi yang terjadi menyebabkan kehilangan air yang demikian hebat sehingga membentuk produk yang kering dan bergelembung. Mesin ini membutuhkan proses sebelum dan setelah ekstrusi yang minimal, namun sifatnya tidak fleksibel dan menghasilkan produk terbatas dengan bahan yang terbatas juga. Kenaikan suhu yang tinggi, perubahan reologi, dan adanya silinder dan ulir yang bervariasi menyebabkan analisis pada ekstruder ini sulit dilakukan. High shear cooking extruder yang serupa dengan coolet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk sereal bergelembung, makanan ringan, dan makanan hewan. Ekstruder ini memiliki waktu tinggal yang lebih lama dibandingkan coolet ekstruder dan kelebihan panas akan dibuang dengan cara pendinginan silinder. Pemotongan yang cepat dan waktu tinggal yang lebih lama menghasilkan campuran yang teraduk dengan baik sehingga air dapat diinjeksikan ke dalamnya dari pengumpan untuk memperoleh proses dengan kelembaban optimal. Produk yang dihasilkan memiliki kelembaban yang masih tinggi sehingga memerlukan proses pengeringan. Mesin ini akan menghasilkan produk yang warnanya lebih coklat, memiliki tekstur yang lebih kuat, serta aroma yang lebih baik.
2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal Ekstruder ulir tunggal pertama kali digunakan pada tahun 1940-an untuk memproduksi puffed snacks dari tepung serealia dan grits. Di dalam ekstruder, energi mekanik dari perputaran ulir dikonversi menjadi panas sehingga menaikkan suhu campuran di atas 150oC. Campuran yang dihasilkan bersifat plastis lalu dipaksa melalui die. Pengurangan tekanan yang tiba-tiba pada die membuat air pada bahan menguap dengan cepat, dan produk menjadi mengembang. Mulai dari tahun
14
1950-an, proses ekstrusi dikembangkan untuk produk manufaktur seperti makanan hewan kering, sereal sarapan siap santap, dan sayuran protein bertekstur (Ainsworth dan Ibanoglu 2006). Ekstruder ulir tunggal memiliki keterbatasan selama proses mixing sehingga bahan sebelumnya dicampur dengan air secara manual (Estiasih dan Ahmadi 2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan ekstruder ulir tunggal memiliki kemampuan mixing yang buruk sehingga sering digunakan untuk bahan yang sudah melalui proses prakondisi sebelumnya. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal, mengurangi konsumsi daya mekanik dan meningkatkan kapasitas. Prakondisi dilakukan menggunakan tekanan atau atmosfer dengan komposisi bahan mentah dibasahi atau dipanaskan atau keduanya dengan uap atau air sebelum masuk ke dalam ekstruder. Model ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal
Gaya friksi antara bahan dan dinding barrel adalah satu-satunya gaya yang dapat mencegah adonan untuk berputar pada ulir. Banyak mesin ulir tunggal memiliki potongan alur pada barrel yang berfungsi untuk menaikkan adhesi antara adonan dengan dinding barrel. Perputaran ulir pada barrel akan menyebabkan aliran kedua, disebut aliran berlawanan arah. Aliran ini tidak berkontribusi terhadap pergerakan adonan sepanjang barrel tetapi menyirkulasikan adonan kembali dalam screw flights dan menyebabkan beberapa aksi pengadukan dalam ekstruder. Selain dua aliran tersebut, terdapat aliran ketiga yang dikenal sebagai aliran tekanan. Aliran ini menyebabkan pergerakan mundur dalam barrel ekstruder yang menyebabkan mixing lebih lanjut pada produk. Kombinasi dari ketiga aliran tersebut memberikan aliran bersih adonan keluar dari die (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
2.5.2. Perbedaan Ekstruder Ulir Tunggal dan Ganda. Ekstuder ulir ganda 1.5-2 kali lebih mahal dibandingkan ulir tunggal. Hal ini disebabkan kompleksitas ulir, gerakan, dan jaket energi transfer. Prakondisi dari adonan pada ekstruder ulir tunggal memberikan setengah kebutuhan panas untuk pemasakan atau pengolahan, sisanya baru diperoleh dari energi input mekanik. Ekstruder ulir ganda dapat mengolah pada level kelembaban yang lebih rendah, hal ini mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pengeringan lanjut
15
tambahan. Meskipun lebih mahal, ekstruder ulir ganda dapat melakukan pembersihan otomatis dari adonan yang tertinggal pada barrel setelah proses ekstrusi selesai (Harper 1991). Ekstruder ulir tunggal dan ganda diaplikasikan secara berbeda dalam industri pangan. Misalnya, ekstruder ulir tunggal yang ekonomis dan memiliki metode yang efektif untuk proses termal dan pembentukan pakan hewan. Di lain pihak, ekstruder ulir ganda digunakan untuk produksi snack yang membutuhkan kontrol dan fleksibilitas yang lebih baik (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
2.6.
RESPONSE SURFACE METHODOLOGY
Response Surface Methodology terdiri dari grup teknik yang digunakan dalam pembelajaran secara empiris mengenai hubungan antara satu atau lebih respon yang terukur dan beberapa variabel input (Box et al. 1978). Metode ini juga merupakan alat untuk memahami hubungan kuantitatif antara variabelinput dan respon output dan seringkali dengan penekanan dalam optimasi suatu respon. Metode ini terdiri dari kumpulan prosedur matematik dan statistik yang meliputi rancangan percobaan, pemilihan dan penyesuaian model, serta optimasi dari model yang disesuaikan (Chen dan Chen 2009). Metode RSM dapat digunakan pada software Design Expert 7.0. Model yang sesuai seharusnya dapat merepresentasikan hampir semua rancangan yang memungkinkan dengan faktor percobaannya di dalam area yang telah ditentukan. Langkah terakhir adalah melakukan percobaan verifikasi berbasis kondisi optimal percobaan. Batas atas dan bawah dari variabel independent dihasilkan melalui percobaan preeliminasi dan pendekatan praktis. Metode RSM dapat dilakukan dalam satu langkah tanpa menentukan batas atas dan batas bawah terlebih dahulu (Chen dan Chen 2009). Lack of fit test digunakan untuk mengecek integritas dari regresi model dan menentukan urutan model tersebut sudah benar atau belum. Nilai R2 menunjukkan jumlah dari kemungkinan perkiraan untuk suatu respon melalui respon model yang sesuai, nilai ini berkisar antara 0 dan 1 (Chen dan Chen 2009). Semakin besar nilai R2 tidak selalu dibutuhkan untuk mengindikasikan kedekatan dari perkiraan respon karena penambahan satu variabel akan selalu menaikkan nilai R2. Nilai Adj-R2 tidak akan meningkat dengan penambahan variabel yang secara statistik tidak signifikan. Nilai PredR2 mengukur kemampuan dari regresi model untuk memprediksi sebuah observasi baru. Prosedur dari RSM sendiri terdiri dari lima langkah, yaitu (Chen dan Chen 2009) : 1. Melakukan screening percobaan dan rancangan percobaan 2. Menyusun kondisi yang fungsional berdasarkan rancangan percobaan 3. Membangun RSM 4. Melakukan proses optimasi 5. Melakukan verifikasi terhadap pembuatan kondisi optimal
16
2.6.1. Perbedaan desain utama RSM Terdapat tiga desain utama pada RSM, yaitu Central Composite, Box-Behnken, dan DOptimal. Berikut adalah perbedaan dari ketiga desain yang sering digunakan dalam penelitian (Anonim 2005): Central Composite Design 1. Menyusun desain dari 2 level faktorial dan memperbanyak dengan poin tengah dan poin aksial 2. Central composite design memiliki 5 level untuk setiap faktor, walaupun hal ini dapat dimodifikasi dengan memilih alfa = 1.0, CCD yang berpusat di muka, dengan 3 level untuk setiap faktor 3. Dibuat untuk memperkirakan model yang kuadratik 4. Lebih tidak sensitif terhadap data yang hilang 5. Mereplikasi titik tengah yang menunjang kemampuan prediksi yang tepat mendekati nilai tengah dari ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada Box Behnken 1. Memiliki posisi yang spesifik dari titik desain 2. Selalu memiliki 3 level untuk setiap faktor 3. Dibuat untuk memperkirakan model kuadratik 4. Menunjang estimasi koefisien yang kuat yang dekat dengan titik tengah ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada, tetapi lemah pada sudut dari kubus, letak dimana tidak ada titik desain 5. Apabila ada data yang hilang, keakuratan dari data yang tersisa menjadi kritis terhadap ketergantungan model. Model ini tidak disarankan digunakan bila terdapat data yang hilang D-Optimal 1. Posisi dari titik desain dipilih secara matematis berdasarkan jumlah faktor dan model yang diinginkan sehingga poin tersebut tidak berada pada posisi yang spesifik, tetapi tersebar di ruang desain untuk memenuhi kriteria D-optimal 2. Untuk model kuadratik, faktor dapat memiliki tiga atau empat level 3. Dapat digunakan untuk membuat desain yang baik agar sesuai dengan linier, kuadratik, atau kubik. 4. Apabila terdapat masalah, model yang diinginkan dapat diedit dengan menghilangkan istilah yang tidak signifikan atau tidak ada. Hal ini akan menurunkan jumlah running yang dibutuhkan 5. Dapat menambahkan pembatas ke ruang desain untuk meniadakan sebagian area yang tidak dapat diambil responnya 6. D-optimal secara matematis memiliki poin untuk meminimalkan integrasi variasi dari koefisien model sehingga didapatkan koefisien yang paling berharga 7. Umumnya, desain D-optimal memiliki 1-2 run yang lebih banyak dibandingkan Box Behnken sehingga menunjang proteksi sedikit lebih besar terhadap koefisien model apabila terjadi kehilangan beberapa data
17
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas Numbu, tepung jagung varietas P21, garam, dan air. Alat yang digunakan adalah mesin sosoh (Satake Grain Mill), wadah perendaman sorgum, penggiling (pin disc mill), vibrating screen dengan ukuran lubang 100 mesh, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand, texture analyzer TA-XT2i, dan peralatan lain untuk analisis. Sorgum yang digunakan berasal dari SEAMEO BIOTROP yang berlokasi di Tajur, Bogor, sedangkan tepung jagung yang digunakan diperoleh dari SUA mi jagung IPB.
3.2.
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan April-Oktober 2012. Pembuatan tepung sorgum dilakukan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan pembuatan mi dilaksanakan di Laboratorium lini proses mi skala pilot plant PAU IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen ITP IPB. Analisis elongasi dan cooking loss dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Departemen ITP IPB, sementara analisis warna dilakukan di Laboratorium Departemen ITP. Selain itu, uji hedonik dilakukan di Laboratorium Evaluasi Sensori PAU IPB.
3.3.
METODE PENELITIAN
Secara garis besar, penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu produksi dan identifikasi tepung sorgum, optimasi proses pembuatan mi sorgum, verifikasi proses, dan uji hedonik. Identifikasi tepung sorgum meliputi analisis proksimat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan respon cooking loss dan elongasi mi sorgum yang dilanjutkan dengan verifikasi proses. Terakhir, dilakukan pengembangan pembuatan mi sorgum yang dicampur dengan tepung jagung dan dilakukan uji hedonik terhadap dua sampel mi dengan proses optimal. Rangkaian metode secara detail yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.
18
Biji sorgum
Penyosohan 25 detik
Perendaman biji 2 jam
Penjemuran 1 jam
Penggilingan dengan pin disc mill
Pengeringan tepung 2 jam menggunakan matahari Uji hedonik Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum 100%
Pembuatan mi basah (variabel suhu & kec ekstruder)
Penentuan komposisi gizi dan profil gelatinisasi tepung
Mi sorgum
Mi sorgumjagung
Pembuatan mi sorgum dengan proses optimum
Pembuatan mi sorgum-jagung (60:40) dengan proses optimum
Air 55% Garam 2%
Pengeringan mi dengan kipas angin semalam
Mi sorgum kering
Pemilihan proses ekstrusi terbaik menggunakan RSM D-Optimal
Pengujian elongasi dan cooking loss
Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum
19
3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu Pembuatan tepung sorgum dilakukan menggunakan teknik penepungan kering berdasarkan tahapan yang dilakukan Muhandri (2012). Teknik penepungan ini terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu penyosohan biji, perendaman biji (conditioning), penjemuran biji sampai kadar air ± 35%, penggilingan halus (pin disc mill dengan saringan 48 mesh), pengeringan tepung menggunakan matahari selama 2 jam, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengemasan tepung sorgum siap pakai. Sejumlah tepung sorgum kemudian diambil sebagai sampel dalam analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, abu, pati, amilosa) dan profil gelatinisasi. Proses conditioning bertujuan untuk memperlunak jaringan biji yang masih keras sehingga lebih mudah saat digiling menggunakan disc mill (Putra 2008). Proses ini menghasilkan biji sorgum dengan tektur yang lebih lunak dan terdapat retakan-retakan pada biji sehingga biji lebih mudah hancur saat digiling. Kemudian, sorgum dijemur menggunakan matahari selama ± 1 jam hingga kadar airnya sekitar 35% atau sorgum masih dalam keadaan setengah kering dan digiling. Jika kadar air terlalu tinggi, biji akan menempel pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Sebaliknya, jika kadar air biji terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk digiling menjadi tepung (Merdiyanti 2008). Tepung lalu dikeringkan menggunakan matahari selama 2 jam sehingga diperoleh tepung sorgum yang kering. Langkah terakhir pada proses penepungan adalah pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran lubang ayakan 100 mesh. Tepung sorgum lalu dikemas menggunakan plastik PP dan disimpan di refrigerator.
3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Sebelum mencampur adonan, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dinyalakan terlebih dahulu dan diatur sesuai dengan suhu dan kecepatan ulir yang diinginkan. Hal ini ditujukan agar saat adonan sudah selesai dicampur, proses produksi dapat langsung dilakukan karena ekstruder sudah siap digunakan dan suhu yang diinginkan sudah tercapai. Adonan yang telah selesai dicampur tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena akan mempengaruhi konsistensi dan kelembaban adonan. Pembuatan mi dilakukan dengan mencampur tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%. Konsentrasi penambahan garam yang digunakan mengacu pada peneitian optimasi formula mi jagung oleh Muhandri (2012). Garam terlebih dahulu dilarutkan ke dalam air, kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam adonan sambil diaduk menggunakan sendok pengaduk. Untuk meratakan penyebaran air dalam adonan, adonan lalu dicampur menggunakan mixer selama ± 5 menit. Penentuan kadar air dilakukan melalui trial and error untuk mendapatkan konsistensi adonan yang sesuai. Sebagai acuan, digunakan adonan mi jagung sebagai contoh konsistensi adonan yang diinginkan. Berdasarkan penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi jagung dengan menggunakan ekstruder yang sama adalah 80%. Percobaan pertama dilakukan dengan menambah 80% air ke dalam adonan. Hasil yang didapatkan adalah adonan terlalu basah serta memiliki warna yang gelap dan kusam. Selanjutnya, percobaan dilakukan dengan menambahkan 50% air, hasilnya adonan masih terlalu kering. Sebaliknya, adonan dengan kadar air 60% memiliki konsistensi yang lebih basah dari contoh yang diinginkan. Oleh karena itu, penambahan air dilakukan dengan mengambil titik tengah antara 50% dan 60%, yaitu 55%. Selanjutnya, adonan dimasukkan ke dalam ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan aplikasi dorongan. Variabel proses yang diamati meliputi suhu ekstruder (80-95oC) dan kecepatan ulir
20
(50-125 rpm). Untaian mi yang keluar sepanjang 1.5 meter pertama dibuang dan tidak digunakan dengan asumsi bahwa adonan tersebut belum cukup stabil kualitasnya atau kondisi proses belum steady state. Untaian mi lalu dipisahkan antar helai dan dibentuk menjadi persegi panjang dan dikeringkan menggunakan kipas angin selama semalam. Penentuan rancangan percobaan dan penentuan proses optimal dari mi sorgum dibantu dengan program Response Surface Method D-Optimal menggunakan Design Expert 7.0, menghasilkan 16 buah running dalam pembuatan mi sorgum kering, seperti yang tampak pada Tabel 3. Pengolahan mi dengan ekstrusi menggunakan variasi suhu dan kecepatan ekstruder. Variabel respon yang digunakan adalah cooking loss dan elongasi. Untuk mendapatkan kedua data tersebut, mi harus terlebih dahulu dimasak hingga matang. Penentuan waktu masak atau cooking time dilakukan dengan memasak mi dan mencicipinya tiap 1 menit hingga mi sudah matang sempurna. Percobaan dilakukan mulai dari menit ke-7. Hal ini mengacu waktu masak mi jagung, yaitu 7 menit. Proses optimum ditentukan berdasarkan nilai cooking loss mi yang minimum. Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Suhu Ekstruder (oC) 80 80 80 80 80 84 84 88 89 90 95 95 95 95 95 95
Kecepatan Ulir (rpm) 52-a 52-b 74 125-a 125-b 50 106 93 125 54 50-a 50-b 88-a 88-b 125-a 125-b
Model respon ditentukan mulai dari kubik sebagai model tertinggi sampai mean sebagai model terendah. Dalam pemilihan model, program akan menyarankan model yang dapat kita gunakan. Model yang sesuai adalah model yang memenuhi minimal tiga kriteria sebagai berikut (Anonim 2006): 1. Memiliki model yang “signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) kurang dari 0.0500 untuk nilai signifikansi yang kuat. Jika nilai Prob>F diantara 0.0500 dan 1, maka nilainya marjinal signifikan 2. Memiliki Lack of Fit yang “tidak signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) lebih dari 0.0500. Nilai Lack of Fit yang signifikan berarti model polinimial tidak sesuai dengan semua desain secara baik 3. Memiliki Pred R-Squared atau R2 prediksi yang reasonable agreement atau pernyataan yang beralasan dengan nilai Adj R-Squared
21
Analisis Sidik Ragam (ANOVA) menghasilkan dua persamaan, yaitu persamaan faktor kode dan faktor aktual. Persamaan faktor kode merupakan persamaan dengan memasukkan nilai suhu dan kecepatan ulir dengan mengkonversinya terlebih dahulu menjadi nilai diantara -1 dan 1. Suhu dan kecepatan ulir paling rendah memiliki nilai -1, sedangkan suhu dan kecepatan ulir paling tinggi bernilai 1. Oleh karena itu, persamaan ini hanya terbatas untuk memprediksi nilai respon input yang berada dalam kisaran pengukuran, yaitu suhu ekstruder 80-95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm. Persamaan aktual merupakan persamaan dengan input berdasarkan nilai yang sebenarnya. Tahapan selanjutnya adalah verifikasi nilai cooking loss dan elongasi terhadap prediksi pada RSM. Hasil prediksi disesuaikan dengan nilai respon pada Confident Interval dan Prediction Interval. Hasil verifikasi yang diinginkan memiliki nilai yang dekat dengan nilai prediksi dan berada di dalam kisaran CI dan PI.
3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung Mi sorgum-jagung diproduksi melalui proses yang sama dengan mi sorgum, perbedaannya terletak pada bahan bakunya saja. Bahan baku yang digunakan pada pembuatan mi sorgum-jagung adalah tepung sorgum dan tepung jagung dengan perbandingan 60:40, air (55%), dan garam (2%). Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial and error agar warna kuning pada mi mirip dengan warna kuning pada mi terigu komersial. Mengingat daya serap air dari kedua tepung ini berbeda, maka terlebih dahulu dilakukan uji coba mengenai persentase jumlah air yang harus ditambahkan. Uji coba yang pertama dilakukan dengan mengambil titik tengah dari kedua persentase air, yaitu 57.5% dari jumlah air pada mi jagung 60% dan mi sorgum 55%. Adonan tepung yang dihasilkan lebih basah yang membuatnya sulit untuk dimasukkan ke dalam ekstruder. Kemudian, kedua tepung lalu ditambahkan ke dalam adonan sehingga kadar air yang ditambahkan menurun hingga 55%. Pada kondisi demikian, karakteristik adonan sudah sesuai dan memiliki tingkat kebasahan yang cukup untuk produk ekstrusi. Adonan sorgum-jagung kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder dengan suhu 95 oC dan kecepatan ulir 125 rpm
3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum Uji hedonik dilakukan menggunakan dua sampel, yaitu mi sorgum dan mi sorgum-jagung yang telah direhidrasi. Pengujian dilakukan pada 33 orang panelis tak terlatih. Penggunaan panelis lebih sedikit dari yang biasa dilakukan (<70) karena sampel mi memiliki waktu masak yang lama (16 menit) sehingga total waktu untuk 1 kali pengujian sekitar 35 menit. Selain itu, pengujian harus segera dilakukan setelah mi diangkat agar sifat fisik mi tidak banyak berubah. Hasil uji hedonik memberikan informasi mengenai karakteristik sensori serta deskripsi atribut produk yang meliputi warna mi, kekeruhan air rebusan mi, elongasi, kekerasan, dan rasa. Pengujian akan dilakukan di laboratorium dengan uji rating hedonik skala 1-5. Skala yang digunakan dalam pengujian ini adalah : 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = moderat 4 = suka 5 = sangat suka
22
Selain menilai menggunakan angka, panelis juga diminta untuk mengisi kolom komentar pada tiap atribut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui alasan penilaian panelis pada atribut tertentu. Selain itu, data komentar menjadi data kualitatif sederhana sebagai informasi tambahan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pada SPSS 17. Metode analisis yang digunakan adalah Paired Sample T-Test yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang nyata terhadap dua sampel mi.
3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN 3.4.1. Analisis Fisik 3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001) Analisis dilakukan menggunakan rapid visco analyzer. Tepung sorgum yang telah diketahui kadar air basis basahnya akan dilarutkan dengan sejumlah air untuk mendapatkan suspensi pati yang diinginkan. Suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat RVA untuk selanjutnya akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan secara bertahap. Pemanasan akan dilakukan hingga mencapai suhu 95oC, kemudian akan ditahan pada suhu tersebut selama beberapa menit. Selanjutnya, dilakukan tahap pendinginan hingga suhunya turun sampai 50 oC. Suhu tersebut juga akan dipertahankan selama beberapa menit. Profil gelatinisasi pati dapat diamati dari kurva yang terbentuk selama proses analisis yang meliputi suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi, waktu granula pecah, suhu granula pecah, viskositas pada suhu 95oC, viskositas breakdown, viskositas pada suhu 50oC, serta viskositas setback.
3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969 dalam Ganjyal 2006) Prosedur analisis daya serap air yaitu pati ditimbang sebanyak 1g (basis basah) (P1) kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse (S) dan ditambahkan air destilasi sebanyak 5 ml. Larutan pati didispersi sepenuhnya selama 30 detik menggunakan vortex mixer hingga merata. Larutan ini kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada 3000 rpm. Tabung kemudian dimiringkan dengan posisi 45o selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dituang, selanjutnya berat tabung ditimbang dan berat yang diperoleh digunakan sebagai nilai P2 yang akan digunakan dalam perhitungan persen daya serap air. Daya serap air (%)
(3.1)
Keterangan : P1 = bobot sampel awal P2 = bobot tabung+sampel akhir S = bobot tabung kosong
23
3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i Mi sorgum yang telah direhidrasi dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s dan strain 90%. Persen elongasi dihitung dengan rumus :
Elongasi (%)
(3.2)
3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985) Penentuan cooking loss dilakukan dengan merebus sekitar 5 gram mi (A) dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi dikeringkan pada suhu 105oC sampai beratnya tetap, lalu ditimbang kembali(B). Secara bersamaan, diambil sampel sekitar 5 gram untuk diukur kadar airnya. Cooking loss dihitung dengan rumus berikut : Cooking loss (%bk)
(3.3)
3.4.2. Analisis Kimia 3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit, lalu ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama kurang lebih 6 jam atau sampai bobotnya tetap ( 0.0005 g). Selanjutnya, cawan beserta isinya didinginkan di dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus : Kadar air (%bb) Keterangan :
(3.4) a = berat cawan dan sampel akhir (gram) b = berat cawan (gram) c = berat sampel awal (gram)
3.4.2.2. Analisis kadar abu (AOAC 1995) Sampel dihancurkan dengan mortar atau blender kering sampai halus dan homogen. Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit, kemudian dinginkan cawan dalam desikator. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram ke dalam cawan tersebut kemudian diarangkan di atas hotplate sampai sampel tidak lagi mengeluarkan asap. Cawan beserta sampel lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik
24
dan dipanaskan pada suhu 550oC sampai pengabuan sempurna (semalam). Setelah pengabuan selesai, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu
(3.5)
Kadar abu
(3.6)
Keterangan W = bobot contoh sebelum diabukan (g) W1 = bobot contoh+cawan sesudah diabukan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
3.4.2.3. Analisis kadar protein metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995) Sampel ditimbang sebanyak 100-250 mg ke dalam labu kjeldahl, kemudian ditambahkan 1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 ml H2SO4. Sampel lalu didihkan zampai cairan menjadi jernih selama 1-1.5 jam, lalu didinginkan. Air destilata ditambahkan secara perlahan melalui dinding labu dan digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata, kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di bawah kondensor. Ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar 50 ml kondensat. Kondensat lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :
%N
(3.7)
Kadar protein
(3.8)
Kadar protein
(3.9)
3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama sekitar 15 menit, kemudian dinginkan dan ditimbang.Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang telah dialasi dengan kapas. Selongsong lalu dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Refluks dilakukan menggunakan heksana sebagai pelarut selama ±6 jam, kemudian heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu
25
105oC. Labu lemak yang telah kering didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga beratnya konstan. Kadar lemak
(3.10)
Kadar lemak
(3.11)
Keterangan : W = bobot sampel awal (g) W1 = bobot contoh+cawan sesudah soxhlet (g) W2 = bobot labu lemak kosong (g)
3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference Karbohidrat (%bb) = 100 - (%bbair + %bb abu + %bb protein + %bb lemak)
(3.12)
3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995 Sampel sebanyak 0.1 gram ditambahkan dengan 5 ml HCl 25% dan 25 ml air destilata. Larutan kemudian dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 100 oC selama 2.5 jam. Larutan lalu dinetralkan dengan NaOH 50% hingga pH larutan 7, kemudian ditera sampai volumenya 100 ml dan disaring menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml larutan sampel ditambahkan dengan 5 ml larutan Luff Schoorl. Analisis juga dilakukan pada blanko yang menggunakan aquades untuk menggantikan sampel. Kemudian, didihkan larutan di atas hotplate selama 10 menit sampai terbentuk endapan merah bata.Setelah selesai, cepatcepat dinginkan larutan, lalu tambahkan 3 ml KI 20% dan 5 ml H2SO4 26.5% dengan hati-hati. Selanjutnya, titrasi menggunakan Na-thiosulfat 0.1 N dengan menggunakan indikator pati 2-3 tetes yang ditambahkan saat titrasi hampir berakhir. Tabel konversi volume dapat dilihat pada Lampiran 22. Kadar pati (%bb)
(3.13)
3.4.2.7. Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989) 3.4.2.7.1. Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 mg amilosa murni ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu tambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, larutan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera. Larutan lalu dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml serta 2 ml larutan iod. Larutan kemudian ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera, selanjutnya didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Setelah itu, dibentuk kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y) dan ditentukan persamaan kurva standar tersebut.
26
3.4.2.7.2. Analisis sampel Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi kemudian dipanaskan selama 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, pasta pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan air destilata. Sampel lalu dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1 N, 2 ml larutan iod, dan air destilata hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Nilai absorbansi sampel lalu dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mendapatkan konsentrasi amilosa (C). Selanjutnya, nilai C dimasukkan ke dalam persamaan (3.14) untuk menentukan kadar amilosa sampel. Kadar amilosa (%bb)
(3.14)
Keterangan : C = konsentrasi amilosa sampel dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir contoh (ml) FP = Faktor pengenceran W = berat contoh (mg) Kadar amilopektin (%bb) = kadar pati (%bb) - kadar amilosa (%bb)
(3.15)
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. KARAKTERISTIK TEPUNG SORGUM 4.1.1. Komposisi kimia Analisis proksimat dilakukan sebagai langkah untuk mengidentifikasi komposisi gizi dari tepung sorgum yang diproduksi. Kandungan air pada suatu bahan pangan dapat mempengaruhi kualitas bahan itu sendiri. Penambahan atau pengurangan jumlah air dapat memicu adanya kerusakan fisik, kimia, ataupun mikrobiologi. Pada bahan pangan berupa tepung, peningkatan kadar air dapat memicu adanya fermentasi tepung oleh mikroorganisme sehingga kualitasnya menurun dan umur simpannya berkurang. Kadar air pada tepung yang dihasilkan adalah 13.52% (bb). Hal ini masih sesuai dengan SNI (2009) yang menyatakan bahwa kadar air tepung terigu maksimal 14.5%. Dalam hal ini, tepung terigu digunakan sebagai acuan karena belum ada SNI mengenai tepung sorgum. Hasil analisi proksimat tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (% bk) Air (%bb) 13.52±0,09
Protein 8,50±0,27
Lemak 2,42±0,11
Abu 0,84±0,06
Karbohidrat 88.23
Pati 82.18±0.00
Amilosa 22.46±1.23
Berdasarkan analisis proksimat pada tepung sorgum, diketahui bahwa kandungan protein pada tepung sorgum adalah 8.50% (bk). Nilai protein tersebut masih berada dalam kisaran protein pada tepung sorgum hasil produksi B2P4, yaitu 7-9%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein pada tepung sorgum termasuk normal dibandingkan tepung sorgum komersial yang diproduksi oleh B2P4. Penentuan kadar lemak dihasilkan dengan menggunakan metode soxhlet. Metode ini akan menentukan kandungan lemak kasar yang tidak hanya meliputi lemak atau minyak tetapi juga komponen-komponen larut lemak atau pelarut organik seperti vitamin larut lemak, pigmen, ataupun karotenoid. Kadar lemak pada tepung sorgum adalah 2.42% (bk). Kadar ini cukup tinggi karena diduga masih adanya lembaga pada tepung sorgum yang sulit dipisahkan saat pengayakan tepung. Abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan besarnya residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan besarnya mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Analisis kadar abu pada penelitian ini dilakukan melalui pengabuan kering di dalam tanur pengabuan. Nilai kadar abu dari tepung sorgum adalah 0.84% (bk). Kandungan karbohidrat ditentukan berdasarkan by difference. Perhitungan dengan cara ini adalah penentuan kadar karbohidrat secara kasar. Kadar karbohidrat pada tepung sorgum adalah 88.23% (bk) yang menunjukkan karbohidrat sebagai kandungan yang paling dominan pada tepung sorgum. Kandungan pati yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan karakteristik dari tepung itu sendiri. Hal ini disebabkan perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin pada pati yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Penelitian Mercier (1977) dalam Ainsworth dan Ibanoglu (2006) mengenai pati kentang menunjukkan bahwa ekstrusi cenderung memecah ikatan 14 dari amilosa dan bukan rantai terluar dari amilopektin.
28
Kadar amilosa pada tepung sorgum adalah 22.46% (bk). Menurut Tam et al. (2004), kadar amilosa normal pada tepung yang baik untuk diolah menjadi mi berkisar antara 20-30%. Pada kisaran tersebut, gelatinisasi dapat terjadi pada suhu <100oC. Analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar amilosa tepung sorgum Numbu berada dalam kisaran 20-30% sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku mi non terigu. Hasil analisis proksimat secara keseluruhan menunjukkan bahwa komposisi gizi tepung sorgum varietas Numbu sesuai untuk dijadikan bahan baku mi, terutama dalam hal kandungan amilosa. Selain itu, Numbu merupakan salah satu varietas sorgum yang unggul dengan tangkai yang kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat, dan penyakit bercak daun (Suarni 2004). Hal ini membuat Numbu sudah banyak dibudidayakan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya Banten dan Bogor sehingga mudah untuk memperoleh bahan baku mi.
4.1.2. Profil Gelatinisasi Analisis profil gelatinisasi pati dari tepung sorgum diamati menggunakan alat Rapid Visco Analyzer. Prinsip dari RVA sendiri hampir sama dengan Brabender Amylograph untuk mengetahui proses gelatinisasi pati ketika suspensi pati dipanaskan dan didinginkan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan. Umumnya, suspensi pati yang tergelatinisasi akan mengental selama proses pemanasan dan membentuk gel setelah didinginkan. Perubahan sifat fisik dari suspensi pati akan mempengaruhi viskositas atau kekentalan dari suspensi pati tersebut. Hasil analisis reologi tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 5. Kurva RVA dari tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu Parameter Waktu gelatinisasi (menit) Suhu gelatinisasi (oC) Waktu granula pecah (menit) Viskositas maksimum (cP) Suhu granula pecah (oC) Viskositas setelah holding suhu 95oC (cP) Viskositas breakdown (cP) Viskositas setelah holding suhu 50oC (cP) Viskositas setback (cP)
Nilai 5.30 77.53 8.24 3167.50 94.00 1743.50 1424.00 4101.00 2357.50
Waktu gelatinisasi menunjukkan saat granula pati mulai mengembang karena adanya penyerapan air sehingga viskositas suspensi pati mulai naik. Waktu gelatinisasi dibaca pada tahap pemanasan saat kurva RVA mulai naik yang menunjukkan peningkatan viskositas. Waktu gelatinisasi tepung sorgum Numbu adalah 5.30 menit. Selain waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi juga merupakan karakteristik yang dapat diamati saat kurva RVA mulai naik. Suhu gelatinisasi tepung sorgum Numbu adalah 77.53oC yang berarti granula pati akan mulai kehilangan sifat birefringence-nya pada suhu tersebut. Rancangan percobaan pada optimasi proses menetapkan suhu 80oC sebagai suhu minimal untuk membuat pati sorgum tergelatinisasi melalui proses ekstrusi.
29
Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi yang dapat dicapai pasta pati sebelum granula pati pecah akibat tidak mampu lagi menahan air yang masuk ke dalam granula tersebut. Viskositas maksimum dari sorgum Numbu adalah 3167.50 cP. Semakin tinggi viskositas maksimum menunjukkan pasta pati dapat membentuk adonan yang semakin kental dan sulit untuk mengalir. Suhu pada saat tercapainya viskositas maksimum disebut suhu granula pecah yang berada pada 94oC. Setelah granula pecah, viskositas dari pasta pati akan menurun. Pemanasan tetap dilanjutkan hingga suhu adonan mencapai 95oC yang merupakan suhu tertinggi pada alat RVA. Selanjutnya, suhu akan dipertahankan tetap berada pada 95oC dan dibaca kembali viskositasnya. Selisih dari viskositas maksimum dan setelah holding pada suhu 95oC disebut viskositas breakdown. Viskositas ini menunjukkan tingkat kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Semakin stabil pasta pati, maka nilai viskositas breakdown-nya akan semakin kecil. Secara berturut-turut, viskositas tepung Numbu setelah holding suhu 95oC dan viskositas breakdown-nya adalah 1743.50 cP dan 1424 cP. Setelah pemanasan, pasta pati akan didinginkan sampai suhu 50 oC. Viskositas pada suhu tersebut dibaca kembali dan varietas dengan viskositas Numbu memiliki nilai 4101.00 cP. Selisih antara viskositas maksimum dengan viskositas setelah holding suhu 50oC disebut sebagai viskositas setback. Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati. Viskositas setback dari Numbu tergolong cukup besar (2357.50 cP) yang menunjukkan bahwa kecenderungan retrogradasi tepung sorgum Numbu juga besar. Retrogradasi dalam hal ini akan menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004).
4.2.
FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM
Pembuatan adonan mi sorgum dimulai dengan menimbang terlebih dahulu bahan-bahan yang akan digunakan, yaitu tepung sorgum, garam, dan air. Kadar garam yang ditambahkan adalah 2% dari berat tepung yang akan digunakan. Hal ini mengacu pada penelitian optimasi formula mi jagung Muhandri (2012). Fungsi garam dapur (NaCl) adalah memperkuat adonan dan mengurangi penyerapan air. Penggunaan kadar garam di atas 3% dapat merusak reologi mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al. 2006). Di sisi lain, garam dapur juga akan menurunkan kecepatan gelatinisasi pati (Mudjisihono dan Suprapto 1987) sehingga pati akan tergelatinisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan suspensi pati tanpa garam.
30
Untuk tiap perlakuan, digunakan tepung sorgum sebanyak 160 gram. Banyaknya jumlah air yang digunakan dipengaruhi kadar air dari tepung sorgum sendiri dan kemampuan tepung sorgum untuk menyerap air atau biasa disebut daya serap air. Sebelumnya, dilakukan percobaan terlebih dahulu untuk menentukan besarnya air yang ditambahkan pada tepung sorgum. Analisis dilakukan secara visual dengan membandingkan konsistensi adonan mi sorgum dengan mi jagung pada penelitian Muhandri (2012). Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi Persentase air yang ditambahkan 50%
55%
60% 80%
Karakteristik adonan Adonan masih terlalu kering dan belum cukup basah, warna adonan cerah. Kemungkinan jumlah air tidak cukup untuk menggelatinisasi pati di dalam ekstruder Adonan memiliki tingkat kebasahan yang cukup, warna adonan cukup cerah, mirip dengan konsistensi adonan mi jagung Adonan terlalu basah dan memiliki warna yang terlalu gelap, kemungkinan akan menghasilkan produk dengan warna yang lebih gelap dan sulit dimasukkan ke dalam ekstruder Adonan sangat basah dan menggumpal
Pengaturan kadar air bahan akan berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Peran air dalam proses ekstrusi adalah mempengaruhi derajat gelatinisasi dan pengembangan produk (Miler 1985 dalam Polina 1995). Ketersediaan air di dalam adonan akan mempengaruhi banyak tidaknya pati yang akan tergelatinisasi. Untuk dapat tergelatinisasi, granula pati harus menyerap air terlebih dahulu. Apabila kadar air terlalu sedikit, proses gelatinisasi pati tidak optimal karena hanya sedikit pati yang dapat tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi tekstur mi, cooking loss, dan elongasi mi. Penambahan air dalam bahan baku dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya penambahan air secara langsung, penambahan uap air, ataupun dengan mencampurkan bahan-bahan sehingga berbentuk emulsi atau sirup (Muchtadi et al. 1988). Dalam penelitian ini, air ditambahkan secara ke dalam adonan. Menurut penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi jagung adalah 80%. Penambahan sebanyak 55% air ke dalam adonan mi sorgum menunjukkan bahwa sorgum membutuhkan lebih sedikit air untuk menghasilkan adonan yang memiliki konsistensi yang sama. Hal ini dibuktikan dengan adanya analisis daya serap air terhadap tepung jagung dan tepung sorgum yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tepung sorgum memiliki daya serap air 20% lebih kecil dibandingkan tepung jagung. Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Menurut Gomez dan Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul pati, yaitu pati tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Elliason (1981) menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula memiliki gugus hidrofilik atau hidrofobik. Jagung memiliki grup hidrofilik yang lebih banyak dibandingkan tepung sorgum sehingga memiliki daya serap air yang lebih besar.
31
Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung Sampel Tepung sorgum Tepung jagung
1 2 1 2
Daya serap air (%) 94.05 94.65 119.10 118.74
Rata-rata
Standar deviasi
94.35
0.42
118.92
0.25
Pemasukan adonan ke dalam ekstruder dilakukan sedikit demi sedikit sambil mendorong adonan menggunakan batang kayu kecil. Hal ini dilakukan dengan merujuk pada penelitian Muhandri dan Subarna (2009) dalam Muhandri (2012) yang menyatakan bahwa pemberian dorongan pada pembuatan mi jagung dapat menghasilkan adonan yang lebih baik dengan nilai cooking loss lebih rendah dan elongasi yang lebih besar dibandingkan tanpa dorongan. Mi basah yang sudah dicetak kemudian dikeringkan dengan kipas angin selama semalam. Pengeringan dengan kipas angin bertujuan untuk memberikan kesempatan agar penguapan air dapat terjadi secara perlahan dan menghindari kemungkinan terjadinya cracking atau produk patah-patah akibat langsung dikeringkan dengan udara panas. Analisis sampel mi sorgum terdiri dari analisis fisik yang meliputi analisis cooking loss dan elongasi. Mi yang diproses dengan suhu ekstruder 80oC memiliki waktu masak 12 menit sedangkan mi yang diproses dari suhu ekstruder 95oC memiliki waktu masak 16 menit pada air mendidih (100oC). Perbedaan ini disebabkan mi yang diproses dengan suhu ekstruder lebih rendah memiliki diameter yang lebih kecil dibandingkan mi dengan suhu ekstruder yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, mi sorgum kering memiliki waktu masak yang lebih cepat dibandingkan spagetti yang dibuat dari hard wheat, yaitu 19.84 menit (Nasehi et al. 2009) dan jauh lebih lama dibandingkan mi instan, yaitu 3-4 menit.
4.3.
KARAKTERISTIK MI SORGUM
Hasil analisis cooking loss dan elongasi dari mi sorgum yang telah direhidrasi selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel Response Surface Method D-Optimal pada Design Expert 7.0. Masingmasing parameter respon selanjutnya akan dibuat permodelan secara polinomial mulai dari level yang paling tinggi yaitu kubik sampai mean yang merupakan level yang paling rendah. Tabel 8 menunjukkan hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum. Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum Respon
Model
p value (Prob>F) Model Lack of Fit
cooking loss
Linear
0.0066 (sig)
Elongasi
2FI
0.0058 (sig)
R2
Adj R2
Pred R2
Adeq Precision
0.1550 (not sig)
0.5383
0.4672
0.2913
6.958 (>4.0)
0.5715 (not sig)
0.6339
0.5424
0.3558
7.540 (>4.0)
Persamaan aktual y = 53.78577 -0.42183A -0.041200B y = 461.35053 -2.05876A -11.76695B +0.13112AB
*Keterangan : A = suhu ekstruder (oC), B = kecepatan ulir ekstruder (rpm)
32
4.3.1. Cooking loss Cooking loss dapat diartikan sebagai jumlah padatan mi yang terlarut ke dalam air rebusan selama proses pemasakan. Pengukuran ini mengindikasikan kemampuan mi untuk mempertahankan integritas strukturalnya selama proses pemasakan (Liu 2009). Analisis ini dilakukan dengan merebus sebanyak 5 gram mi dengan panjang sekitar 10 cm dalam 150 ml air mendidih di dalam gelas piala. Panjang untaian mi memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya nilai cooking loss. Panjang mi yang terlalu pendek akan menyebabkan luas permukaan mi yang terekspos oleh air saat dimasak menjadi lebih besar sehingga semakin banyak partikel yang akan larut dan nilai cooking loss-nya akan semakin besar. Waktu masak dihitung mulai dari saat memasukkan mi ke dalam air yang sudah mendidih sampai meniriskan mi. Seiring dengan berjalannya waktu, air rebusan mi akan mulai berwarna kuning keruh akibat adanya padatan terlarut yang terlepas dari struktur mi. Hasil analisis cooking loss dapat dilihat pada Tabel 10. Saat mi diangkat, mi akan terasa lengket dan saling menempel satu sama lain. Pencucian mi dengan air akan membuat mi menjadi lebih licin dan saling terpisah antar helai. Berdasarkan data pada Tabel 8, nilai cooking loss dari 16 sampel mi beragam dan umumnya sedang (>10%). Hal ini menunjukkan jumlah padatan yang terlarut saat dimasak cukup banyak, terutama pada mi dengan perlakuan suhu 80oC dan kecepatan ulir 74 rpm. Pada variasi tersebut, nilai cooking loss mencapai 24.09% yang menunjukkan bahwa sebanyak 24.09% dari total padatan yang berada di dalam mi larut ke dalam air rebusan mi selama proses pemasakan. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah nilai yang minimal untuk mendapatkan mi dengan tekstur matang yang tidak jauh berbeda dari saat keringnya. Hasil analisis ANOVA pada respon cooking loss menyatakan bahwa model yang mampu memenuhi tiga kriteria yang telah disebutkan adalah Linear Manual. Model memiliki nilai p-value (Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0066) sehingga model tersebut memiliki signifikansi yang kuat sebagai model respon cooking loss. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.1550) menunjukkan bahwa model polinimial sudah sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih signifikan, maka model polinimial dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model (Anonim 2005). Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai cooking loss dari data penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80 oC dan kecepatan ulir 52 rpm, data penelitian menunjukkan nilai cooking loss mi sorgum sebesar 15.30%, sedangkan prediksi RSM sebesar 17.90%. Pada titik lain, nilai cooking loss pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm dari data penelitian adalah 7.68%, sedangkan prediksi RSM sebesar 8.56%. Perbedaan nilai dari dua data tersebut cukup kecil (sekitar 2%) sehingga masih dapat ditoleransi. Penggunaan RSM pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui model respon cooking loss pada pembuatan mi sorgum berdasarkan data penelitian yang sudah ada dan menentukan prediksi respon dari penggunaan suhu ekstruder dan kecepatan ulir yang berbeda. Dengan kata lain, pemilihan model akan disesuaikan dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap cooking loss mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda jika model yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat menggambarkan respon yang mendekati nilai yang sebenarnya.
33
Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan Run
Suhu (oC)
Kecepatan Ulir (rpm)
Cooking loss (%bk)
1
80
52-a
15.47
2
80
52-b
15.12
3
80
74
24.09
4
80
125-a
11.63
5
80
125-b
12.72
6
84
50
15.27
7
84
106
17.31
8
88
93
13.64
9
89
125
12.98
10
90
54
15.41
11
95
50-a
12.58
12
95
50-b
8.65
13
95
88-a
8.90
14
95
88-b
12.01
15
95
125-a
5.33
16
95
125-b
10.02
Nilai R2 dari model respon cooking loss adalah 0.5383 yang berarti 53.83% dari data yang ada dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu linear. Model tersebut dapat memenuhi tiga kriteria yang harus dipenuhi serta memiliki nilai R2 yang paling tinggi dibandingkan model lainnya. Nilai Adj R2dan Pred R2 dari respon cooking loss tergolong rendah, yaitu 0.4672 dan 0.2913. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 46.72% dari nilai aktual dan 29.13% dari nilai prediksi. Kedua nilai R2 ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi suatu keharusan. Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan, maka nilai dari kedua R2 tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan faktor yang benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005). Hal yang paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan yang beralasan sehingga model linear yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon cooking loss dari mi sorgum. Berdasarkan persamaan aktual hubungan antara cooking loss, suhu, dan kecepatan ulir ekstruder, baik suhu maupun kecepatan ulir merupakan dua faktor yang secara signifikan mempengaruhi nilai cooking loss mi sorgum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Charutigon et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu barrel dari 70oC ke 90oC dapat menurunkan cooking loss mi beras sebanyak 7% (dari 14.2% menjadi 7.2%). Wang et al. (2012) juga menyatakan peningkatan suhu barrel mengurangi cooking loss. Oleh karena itu, semakin tinggi suhu ekstruder, maka akan semakin rendah nilai cooking loss dari produk mi sorgum. Hal ini disebabkan suhu yang lebih tinggi dapat menggelatinisasi adonan dengan lebih baik dibandingkan suhu rendah. Faktor yang paling mempengaruhi cooking loss adalah adanya pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi sehingga saat mi dimasak, pati tersebut larut ke dalam air rebusan (Charutigon et al. 2007). Penggunaan suhu yang tinggi akan meningkatkan derajat gelatinisasi
34
sehingga mengurangi jumlah padatan terlarut saat pemasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chiang (1975) yang menyatakan derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21%. Berdasarkan penampang tiga dimensi pada Gambar 7, warna merah menunjukkan nilai cooking loss yang tinggi sedangkan warna biru menunjukkan nilai cooking loss yang rendah. Penampang tiga dimensi dari respon cooking loss menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan kecepatan ulir ekstruder akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang semakin rendah. Di sisi lain, suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ekstruder yang tinggi akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang lebih besar. KPAP(%) 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 80
125
83.75
106
87.5 Suhu (oC) 91.25
88 69 95
50
Kec. ulir (rpm)
Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss
Kecepatan ulir secara signifikan mempengaruhi gelatinisasi pati. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan nilai b (warna kuning), rasio ekspansi, persentase pati tergelatinisasi, pati resisten, kekompakan dan kelengketan permukaan, waktu masak, dan menurunkan nilai a dan bobot masak. Lampiran 24 menunjukkan sebaran data cooking loss mi sorgum.
4.3.2. Elongasi Elongasi mi menunjukkan seberapa besar pertambahan panjang mi saat mi ditarik sampai putus. Persen elongasi menunjukkan seberapa besar maksimal pertambahan mi yang dapat dicapai sampai mi putus dibandingkan dengan panjang awal mi tersebut. Elongasi dipengaruhi oleh kekuatan dan kekompakan pada struktur mi terhadap perentangan. Analisis elongasi dilakukan dengan menggunakan instrumen Texture Analyzer dengan menggunakan strain 90% dan panjang mi yang digunakan sekitar 25-30 cm. Kedua ujung untaian mi dililitkan pada probe dan alat akan menarik salah satu ujung mi tersebut. Mi yang dapat digunakan untuk analisis elongasi tidak boleh berada pada kondisi yang licin sehingga setelah mi direbus, mi harus ditiriskan sampai permukaan mi sudah tidak licin lagi (±10 menit). Lilitan mi terhadap probe juga harus kuat agar mi tidak selip. Pemilihan untaian mi untuk analisis ini dilakukan pada mi yang terbebas dari cracking atau memiliki struktur yang homogen sehingga hasil pengukuran sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hasil analisis elongasi dapat dilihat pada Tabel 10. Untuk variabel respon elongasi, model 2FI dengan proses seleksi manual merupakan model yang paling sesuai. Model memiliki nilai p-value (Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0058) sehingga
35
model tersebut memiliki signifikansi yang kuat untuk menggambarkan model polinimial untuk respon elongasi. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.5715) menunjukkan bahwa model polinimial sudah sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih signifikan, maka model polinimial dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model. Sebuah model polinimal terkadang memang tidak bisa mendeskripsikan sistem dengan lebih baik (Anonim 2005). Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan Run
Suhu (oC)
Kecepatan Ulir (rpm)
1
80
52-a
Elongasi (%) 186.53
2
80
52-b
282.53
3
80
74
175.88
4
80
125-a
122.55
5
80
125-b
104.87
6
84
50
243.89
7
84
106
283.42
8
88
93
189.02
9
89
125
330.75
10
90
54
316.11
11
95
50-a
382.09
12
95
50-b
237.49
13
95
88-a
266.81
14
95
88-b
328.76
15
95
125-a
360.56
16
95
125-b
339.70
Nilai R2 dari model respon elongasi adalah 0.6339 yang berarti 63.39% dari data yang ada dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu 2FI. Model tersebut dapat memenuhi tiga kriteria yang wajib dipenuhi serta memiliki nilai R2 yang paling tinggi dibandingkan model lainnya. Nilai Adj R2dan Pred R2 dari respon elongasi tergolong masih rendah, yaitu 0.5424 dan 0.3558. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 54.24% dari nilai aktual dan 35.58% dari nilai prediksi. Kedua nilai R2 ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi suatu keharusan. Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan, maka nilai dari kedua R2 tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan faktor yang benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005). Hal yang paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan yang beralasan sehingga model 2FI yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon elongasi dari mi sorgum. Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai elongasi dari data penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80 oC dan kecepatan ulir 125 rpm, data penelitian menunjukkan nilai elongasi mi sorgum sebesar 113.71%, sedangkan prediksi RSM sebesar 136.98%. Pada titik lain, nilai elongasi pada suhu ekstruder 95 oC dan kecepatan ulir 125 rpm dari data penelitian adalah 350.13%, sedangkan prediksi RSM sebesar 351.99%. Perbedaan nilai dari dua data tersebut terbilang kecil sehingga masih dapat ditoleransi. Dengan kata lain, pemilihan model
36
akan disesuaikan dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap elongasi mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda jika model yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat menggambarkan respon yang mendekati nilai yang sebenarnya. Berdasarkan persamaan polinimal aktual tersebut, dapat dilihat bahwa baik suhu maupun kecepatan ulir menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi nilai elongasi mi sorgum. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mercier dan Feillet (1975) bahwa gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan dan suhu ekstruder. Derajat gelatinisasi secara tidak langsung memiliki peranan dalam pembentukan tekstur dan elongasi mi. Model 2FI juga memperhitungkan interaksi antara suhu dan kecepatan ulir ekstruder dengan konstanta (+0.13112). Elliason dan Gudmunson (1996) menyatakan bahwa tingginya amilosa terlarut pada saat tergelatinisasi dan tingginya pengembangan granula dapat meningkatkan elongasi mi. Di lain pihak, tingginya amilopektin terlarut dapat menganggu pembentukan gel dan menurunkan elongasi itu sendiri. Selain ditentukan oleh karakteristik tepung yang digunakan, kecukupan proses untuk menggelatinisasi pati juga diperlukan agar terbentuk adonan yang kompak. Oleh karena itu, elongasi mi menjadi salah satu indikator utama mengenai keberhasilan pembuatan mi, terutama dalam teknik ekstrusi. Menurut Muhandri (2012), suhu ekstruder yang semakin tinggi akan menyebabkan gelatinisasi pati semakin tinggi. Selain itu, kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menyebabkan struktur gel semakin tinggi dan mi semakin panjang elongasinya. Hal ini sesuai dengan elongasi mi sorgum yang diproses menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal. Penampang tiga dimensi respon elongasi mi sorgum dapat dilihat pada Gambar 11. Elongasi (%)
390.00 317.50 245.00 172.50 100.00 125 106 88 Kec. ulir (rpm)
69
84 50
95 91 88 Suhu (oC)
80
Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi
Gambar 8 menampilkan penampang tiga dimensi dari suhu dan kecepatan ulir ekstruder terhadap nilai elongasi mi. Warna merah menunjukkan nilai elongasi yang semakin tinggi sedangkan warna biru menunjukkan persen elongasi yang rendah. Penampang tiga dimensi menunjukkan bahwa suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menghasilkan mi dengan persen elongasi yang tinggi, sedangkan suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ulir yang tinggi membuat produk mi menjadi rendah elongasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu barrel dan peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan persentase pati tergelatinisasi dan kekompakan pada mi pati kacang polong. Pada suhu 80oC, peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan elongasi dari mi sorgum. Hal ini disebabkan suhu 80oC termasuk suhu yang rendah dan hanya 3oC lebih tinggi dibandingkan suhu
37
gelatinisasi tepung sorgum varietas Numbu. Chiang (1975) menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir akan mengurangi waktu retensi atau waktu tinggal bahan dalam ekstruder sehingga akan menurunkan gelatinisasi pati. Dengan suhu rendah dan kecepatan ulir tinggi, pati dalam adonan mi belum tergelatinisasi sempurna sehingga menghasilkan mi dengan struktur yang kurang kompak dan memiliki elongasi yang lebih rendah. Lampiran 24 menunjukkan sebaran data elongasi mi sorgum.
4.4.
KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM
Pada bagian kriteria cooking loss, nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang minimal. Hal ini didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan produk mi dengan nilai cooking loss yang paling rendah agar tekstur mi setelah direhidrasi tidak akan berbeda jauh dari mi keringnya dengan nilai importance ++++. Manthey dan Twombly (2006) menyatakan bahwa produk pasta seharusnya tidak lengket saat dimasak, memiliki tekstur padat dengan cooking loss kecil, dan tahan overcooking. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang rendah karena menunjukkan mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Untuk elongasi produk, tujuan penetapannya adalah in range karena nilai elongasi dari produk mi sorgum secara umum sudah baik dan mi yang telah dimasak tidak hancur atau patah-patah sehingga elongasi produk tidak ditetapkan spesifik. Pada langkah kedua, yaitu penetapan solusi, terdapat tiga macam solusi dengan nilai desirability yang berbeda-beda berdasarkan skala prioritas. Proses yang dipilih sebagai solusi paling utama adalah proses pembuatan mi sorgum pada suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada proses tersebut, prediksi nilai cooking loss adalah 8.56% dan elongasi mi 351.99% dengan nilai desirability 0.828. Nilai desirability ini dirasa cukup baik sehingga solusi yang ditawarkan sudah sesuai dengan tujuan dari optimasi proses. Gambar 9 menunjukkan penampang desirability dari mi sorgum. Tabel 11 juga menunjukkan solusi yang ditawarkan sebagai hasil optimasi proses ekstrusi. Desirability
0.830 0.703 0.575 0.448 0.320 125
95 106
91 88
88 69
Kec. ulir (rpm)
84
o
Suhu ( C)
50 80
Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses No. 1 2 3
Suhu (oC)
95 95 95 *Formula optimum
Kecepatan Ulir (rpm) 125 123 113
cooking loss (%) 8.56 8.63 9.06
Elongasi (%)
Desirability
351.99 350.89 343.60
0.828* 0.824 0.801
38
Verifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai respon pada kondisi aktual dengan prediksi dari optimasi. Program Design Expert 7.0 akan memberikan nilai CI (Confident Interval) dan PI (Prediction Interval) untuk setiap nilai prediksi respon pada taraf signifikansi 5%. Navidi (2006) menyatakan bahwa confident interval menunjukkan keyakinan bahwa 95% dari populasi akan berada di antara mean dan stdev dengan 5% yang berada di luar itu. Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih Respon
Prediksi
Verifikasi
cooking loss (%) Elongasi (%)
8.56 351.99
8.95 332.40
95% CI low 5.33 277.54
95% CI high 11.80 426.44
95% PI low 1.14 207.15
95% PI high 15.99 496.82
Prediksi dari program untuk respon cooking loss adalah 8.56% dan elongasi 351.99% pada mi sorgum dari proses suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Hasil verifikasi pada Tabel 12 dari respon cooking loss dan elongasi adalah 8.95% dan 332.4%. Hasil tersebut masih berada dalam kisaran Confident Interval dan Prediction Interval sehingga prediksi dan hasil nyata dari solusi produk yang ditawarkan sesuai. Produk mi sorgum dari proses suhu 95 oC dan kecepatan ulir 125 rpm ini akan dilanjutkan ke tahapan analisis selanjutnya, yaitu hedonik.
4.5.
MI SORGUM-JAGUNG
Warna dari mi sorgum kering yang coklat menjadikan mi sorgum kurang menarik walaupun warna tersebut akan berubah menjadi putih pucat saat sudah direhidrasi. Lyons-Johnson (1997) menyatakan bahwa penduduk asia menyukai produk berwarna cerah dengan variasi warna kuning dari pucat sampai terang. Mi dengan warna abu-abu, coklat, ataupun kusam biasanya ditolak atau tidak disukai. Suarni (2004) juga menyatakan bahwa warna olahan produk campuran tepung sorgum dan terigu kurang disukai panelis atau konsumen, namun masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan zat pewarna yang diperbolehkan Departemen Kesehatan. Dalam rangka meningkatkan penampilan dari mi sorgum, penelitian dikembangkan untuk membuat mi sorgum yang menggunakan campuran tepung jagung sebagai adonannya. Di dalam proses ekstrusi, seringkali dilakukan pencampuran dari dua atau lebih bahan yang berbeda dalam teknologi ekstrusi. Tujuan pencampuran tersebut adalah memperoleh produk akhir dengan komposisi gizi yang lebih baik, memiliki karakteristik yang diinginkan, meminimalisasi biaya, mempermudah proses pengolahan dan lain-lain. Selain itu, proses pencampuran juga memberikan kemungkinan pemanfaatan sumber bahan pangan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal (Muchtadi et al. 1988). Gambar 10 menunjukkan perbedaan warna mi sorgum.
39
a
b
c
Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100%
Hasil analisis fisik mi sorgum-jagung yang meliputi cooking loss dan elongasi dapat dilihat pada Tabel 13. Cooking loss mi sorgum-jagung sebesar 10.48%, lebih besar dari mi sorgum pada proses yang sama, yaitu 8.95%. Sebaliknya, elongasi mi sorgum-jagung (275.74%) lebih kecil dari mi sorgum (332.40%). Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang dapat diterima < 12.5% basis basah atau sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi sorgum-jagung memiliki nilai yang masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi sorgum, mi sorgum-jagung tidak mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup baik. Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung
4.4.
Parameter
Nilai
Cooking loss (%)
10.48
Elongasi (%)
275.74
TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM
Mi yang dijadikan sebagai sampel dalam uji rating hedonik adalah mi sorgum dan mi sorgum-jagung yang diolah menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Tujuan pengujian adalah untuk mengetahui mi yang lebih disukai panelis dalam hal warna mi, kekeruhan air rebusan, kekerasan, elongasi, dan rasa. Mi sorgum-jagung diikutsertakan untuk melihat adakah perbedaan persepsi dari panelis terhadap mi dengan warna kuning dari jagung terhadap penilaian panelis untuk kelima atribut tersebut. Warna kuning pada mi jagung berasal dari pigmen karotenoid yang berasal dari jagung itu sendiri dan diharapkan dapat meningkatkan penerimaan panelis terhadap mi sorgum-jagung yang mirip dengan mi terigu biasa.
40
4.4.1. Warna mi sorgum Warna merupakan salah satu atribut penting dari suatu bahan pangan. Bahan atau produk pangan yang memiliki warna yang menarik biasanya lebih disukai dibandingkan dengan produk yang memiliki warna gelap atau kusam. Warna biasa dijadikan indikator dalam penilaian pertama terhadap suatu produk pangan. Persepsi masyarakat, khususnya di Indonesia, sudah terbiasa menggolongkan warna sesuai dengan jenis produknya. Misalnya warna hijau untuk sayur, warna putih untuk susu, warna merah untuk buah stroberi, dan sebagainya. Oleh karena itu, warna menjadi salah satu atribut yang akan diuji oleh panelis secara sensori.
5 4 Rata-rata kesukaan warna mi
3 2 1 0
warna mi
sorgum
sorgum -jagung
2.67
4.27
Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi
Gambar 11 menunjukkan rata-rata penilaian panelis terhadap kesukaan dari warna mi sorgum. Mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan mi sorgum. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap warna kedua mi menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Rata-rata nilai kesukaan terhadap warna mi sorgum adalah 2.67 yang berada antara “tidak suka” dan “biasa”. Hal ini disebabkan warna dari mi sorgum sendiri adalah putih pucat dan agak kusam, berbeda dengan jagung yang identik dengan warna kuning oranye. Selain itu, persepsi konsumen terhadap mi yang biasanya berwarna kuning juga memiliki pengaruh dalam penilaian. Mi sorgum-jagung yang berwarna kuning memiliki kesukaan yang paling baik karena berada diantara “suka” dan “sangat suka”. Hal ini menunjukkan bahwa warna mi sorgum-jagung yang mirip dengan warna mi terigu biasa dapat meningkatkan kesukaan mereka terhadap mi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya persepsi warna mi pada umumnya memiliki pengaruh terhadap kesukaan panelis terhadap warna mi sorgum. Selain itu, tujuan penambahan tepung jagung dalam pembuatan mi sorgum-jagung berhasil meningkatkan kesukaan panelis terhadap mi sorgum yang belum populer di masyarakat. Gambar 12 menunjukkan perbedaan warna dari mi sorgum 100% dan mi sorgum-jagung setelah direhidrasi.
41
a
b
Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung
4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi Dalam mengonsumsi mi rebus, air rebusan dari mi akan ikut dikonsumsi bersama dengan mi dan bumbu yang disukai. Pada dasarnya, air rebusan mi akan berwarna lebih keruh dibandingkan air biasa. Hal ini dikarenakan selama pemasakan mi, partikel-partikel terlarut dari mi akan terlepas dan ikut larut ke dalam air rebusan sehingga menimbukan kekeruhan dari air tersebut. Tingkat kekeruhan air rebusan mi memiliki hubungan dengan kadar cooking loss dari mi itu sendiri. Menurut Charutigon et al. (2007), cooking loss terutama disebabkan oleh adanya pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi sehingga ikut larut bersama dengan air rebusannya. Gambar 13 menunjukkan penilaian rata-rata panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi sorgum. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan kedua mi menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum, walaupun kedua mi kesukaannya antara “tidak suka” dan “biasa”. Konsumen lebih menyukai kekeruhan dari air rebusan mi sorgumjagung yang memang berwarna kuning, sehingga lebih mirip dengan air rebusan mi terigu biasa. Atribut kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan mi ini dapat dipertimbangkan jika mi sorgum ditujukan untuk dikonsumsi sebagai mi rebus, namun bila mi tersebut dikonsumsi sebagai mi goreng atau spagetti, maka kekeruhan dari air rebusan mi tidak akan berpengaruh terhadap penilaian konsumen. 3 Rata-rata kesukaan kekeruhan air rebusan mi
2 1 0
kekeruhan air rebusan
sorgum
sorgum -jagung
2.09
2.85
Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi
42
4.4.3. Elongasi mi sorgum Elongasi menunjukkan seberapa jauh mi dapat mengalami pertambahan panjang ketika ditarik sebelum akhirnya putus. Dalam produk mi, elongasi menjadi salah satu karakteristik penting yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan produk mi sudah dikenal masyarakat berupa untaian panjang yang bersifat kenyal saat ditarik ataupun dikunyah di dalam mulut. Produk mi yang patahpatah, mudah putus, ataupun terlalu kenyal seperti karet umumnya tidak disukai oleh konsumen. Gambar 14 menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap elongasi mi sorgum. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap elongasi kedua mi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Meskipun demikian, secara umum terlihat bahwa mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan elongasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mi sorgum. Komentar dari panelis mengenai elongasi kedua mi adalah mi sudah memiliki elongasi yang cukup baik dan tidak mudah putus. Dalam hal elongasi, penambahan jagung ke dalam adonan mi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. 4
Rata-rata kesukaan elongasi mi
3.5
3 elongasi
sorgum
sorgumjagung
3.42
3.73
Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi
4.4.4. Kekerasan mi sorgum Kekerasan merupakan salah satu atribut fisik yang sering diamati dalam produk mi selain kekenyalan, kelengketan, daya kunyah, dan lain-lain. Pengukuran karakteristik fisik secara objektif dapat dilakukan dengan mengukur reologi mi menggunakan Texture Analyzer, sedangkan pengukuran secara subjektif dilakukan melalui uji sensori. Panelis mengukur kekerasan mi sorgum dengan menggigit satu helai mi dan memberikan nilai mengenai kesukaan mereka terhadap tingkat kekerasan mi tersebut. Untuk mengetahui alasan kesukaannya, panelis juga diminta mengisi kolom komentar terhadap nilai yang diberikan. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekerasan kedua mi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung memiliki rata-rata kesukaan kekerasan mi antara “biasa” dan “suka”. Mi sorgum-jagung memiliki nilai kesukaan yang sedikit lebih besar dibandingkan mi sorgum. Dari komentar yang diberikan, mi sorgum dinilai memiliki tektur yang keras, sedangkan mi sorgum-jagung memiliki tekstur yang agak keras. Komentar panelis sebagai penilaian subjektif tentunya tidak memiliki batasan tekstur seperti apa yang disebut keras atau tidak melihat beberapa panelis menilai tekstur mi sudah empuk atau lunak. Meskipun sebagian besar panelis menganggap kedua mi sorgum ini masih cukup keras, tetapi
43
kesukaannya masih tergolong baik dan mi masih dapat diterima kekerasannya. Gambar 15 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan mi.
3.6
Rata-rata kesukaan kekerasan mi
3.3
3
kekerasan
sorgum
sorgumjagung
3.21
3.42
Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi
4.4.5. Rasa mi sorgum Makanan atau minuman yang sehat dan menarik seharusnya memiliki rasa yang enak. Rasa merupakan atribut yang seringkali menjadi faktor utama dalam uji hedonik suatu produk. Meskipun definisi “enak” dari tiap individu bisa berbeda-beda, namun diharapkan sebagian besar panelis dapat menyukai produk yang diuji. Atribut rasa dari mi sorgum dinilai dengan mencicipi mi dan memberikan skor serta komentar terhadap rasa mi tersebut. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap rasa kedua mi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung memiliki skor diantara “biasa” dan “suka”. Seperti hasil analisis atribut lainnya, mi sorgum-jagung memiliki rata-rata kesukaan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum 100%. Komentar dari panelis rata-rata menyatakan bahwa rasa mi sorgum dan mi sorgum-jagung adalah netral atau hambar. Mi sorgum 100% memiliki aroma sorgum yang khas dibandingkan dengan mi sorgum-jagung. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jagung dalam mi sorgum-jagung dapat menutupi aroma khas sorgum yang tergolong asing dan kurang enak. Hal ini sesuai dengan pendapat Liu (2009) yang menambahkan pati jagung dalam pembuatan mi sorgum kalendering untuk menutupi rasa dan aroma yang asing khas sorgum. Gambar 16 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mi. 3.9 3.6 Rata-rata kesukaan rasa mi
3.3 3 rasa
sorgum
sorgumjagung
3.39
3.61
Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa
44
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1.
SIMPULAN
Numbu sebagai varietas sorgum yang digunakan memiliki kadar air 13.52% (bb), protein 8.5% (bk), lemak 2.42% (bk), abu 0.84% (bk), karbohidrat 88.23% (bb), pati 82.18% (bk), dan amilosa 22.46% (bk). Kadar amilosa tepung sorgum Numbu berada pada kisaran normal (22-24%) sehingga dapat diaplikasikan pada pembuatan mi non terigu. Ketersediaan Numbu sebagai bahan baku mudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Banten dan Bogor. Profil gelatinisasi dari tepung sorgum Numbu menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi tepung adalah 77.53oC sehingga suhu minimal ekstruder adalah 80 oC. Viskositas setback tepung sorgum yang tinggi menunjukkan kecenderungan proses retrogradasi yang besar sehingga cocok diolah menjadi mi pati. Retrogradasi dalam hal ini akan menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004). Optimasi proses mi sorgum menggunakan RSM D-Optimal menunjukkan bahwa proses yang terpilih adalah suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm, dengan variasi suhu dan kecepatan ini berada di batas maksimal dari limit yang ditetapkan. Pada variasi suhu dan kecepatan tersebut, mi sorgum memiliki cooking loss sebesar 8.95% dan elongasi sebesar 332.44%. Pemilihan ini dilakukan dengan mempertimbangkan proses yang dapat menghasilkan mi dengan cooking loss yang minimum. Warna mi sorgum yang telah dimasak adalah putih pucat. Unutk meningkatkan daya terima panelis terhadap mi sorgum, penambahan tepung jagung pada adonan mi dilakukan berdasarkan trial and error untuk Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan atribut warna mi, kekeruhan air rebusan mi, kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Uji hedonik mi sorgum menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap mi sorgum berada diantara “biasa” dan “suka”, kecuali pada atribut warna dan kekeruhan air rebusan mi dengan nilai antara “tidak suka” dan “biasa”. Pengembangan produk dilakukan dengan mencampurkan tepung jagung ke dalam adonan mi untuk memperbaiki daya terima dari mi sorgum. Berdasarkan hasil uji, mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih baik daripada mi sorgum, terutama dalam hal warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Untuk ketiga atribut lainnya, uji ANOVA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kedua sampel mi pada taraf kepercayaan 95%.
5.2.
SARAN
Data penelitian menunjukkan bahwa nilai cooking loss dan elongasi mi sorgum pada kondisi proses yang sama memiliki nilai yang bervariasi. Beberapa variasi nilai antar ulangan cukup besar, terutama elongasi mi. Hal ini diduga disebabkan oleh tahap pemasukan adonan ke dalam ekstruder dilakukan secara manual sehingga memungkinkan keragaman mutu akibat perbedaan kecepatan pemasukan adonan (feeding rate). Penggunaan ekstruder dengan tahap pemasukan bahan yang terkendali mungkin akan menghasilkan produk mi dengan variasi mutu mi yang lebih kecil.
45
VI. DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2005. Menu Help pada Design Experts 7.0, Start-Ease Inc [Anonim]. 2006. Design-expert 7 user’s guide. [e-book] http://stat-ease.com/ (31 Oktober 2012) Ainsworth P, Ibanoglu S. 2006. Extrusion. Dalam : Brennan JG (ed). Food Processing Handbook. Germany: Wiley-vch verlag gmbH & Co.KGaA pp: 237-283 Anderson RA, Conway HF, Pfeifer VF, Griffin EL. 1969. Gelatinization of corn grits by roll and extrusion cooking. J Cereal Sci 14: 4-12 AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC : Association of Official Analytical Chemist Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. Bogor : IPB Press Awika JM, Lloyd WR. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential impact on human health. J Sci Phytochem 65: 1199-1221 [B2P4] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2010. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Tepung Sorgum. Bogor : Kampus Penelitian Pertanian [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Impor gandum dan beras. http://www.bps.go.id (4 Januari 2013) [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. 2011, Jumlah penduduk Indonesia capai 241 juta jiwa. http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr =44150 (9 Januari 2013) [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan (SNI 3751: 2009). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for Experimenters : Wiley Series in Probability and Mathematical Statistics. USA : John Wiley & Sons Inc Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41: 642-651. Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. [Tesis]. The Netherlands : Wageningen University Chen K-N, Chen M-J. 2009. Statistical optimization : Response surface methodology. Dalam : Erdoğdu F (ed). Optimization in Food Engineering. Boca Raton : CRC Press Inc Chiang BY. 1975. Gelatinization of Starch in Extruded Products. [Disertasi]. Manhattan, Kansas : Kansas State University Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-types noodles from heat moisture treated sweet potato starch. J Food Sci 66(4) pp: 604-609
46
Dalbon G, Grivon D, Pagani MA. 1996. Pasta Continous Manufacturing Process. Dalam : American Association of Cereal Chemistry. Pasta and Noodles Technology. Minnesota, USA : St. Paul [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Program peningkatan ketahanan pangan. http://www.deptan. go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/PROGRAM%20PENINGKATAN%20KET AHANAN%20PANGAN.HTM (9 Januari 2013) Elliason AC. 1981. Effect of water content on the gelatinization of wheat starch. Starke 32: 270-272 Elliason AC, Gudmunson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. Dalam : Elliason AC (ed). Carbohydrates in Food. New York : Marcell Dekker Inc Estiasih T, Ahmadi K. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara Evers A, Nesbitt M, Black M, Bewley JD, de Milliano WAJ. 2006. Sorghum. Dalam : Black M, Bewley JD, Halmer P (eds). The Encyclopedia of Seeds: Science, Technology, and Uses. United Kingdom : Cromwell Press, Trowbridge pp: 640-641 [Food Security Department]. 2013. Chapter VIII Sorghum : Post-harvest operations. http://cd3wd. com/cd3wd_40/INPHO/COMPEND/TEXT/EN/CH07.HTM (5 Januari 2013) Fuglie KO, Hermann M. 2001. Sweet Potato Post-harvest Research and Development In China. Bogor : International Potato Center Galvez FCF, Resurrection AVA, Ware GO. 1995. Formulation and process optimization of mungbean noodles. J of Food Processing and Preservation 19 pp: 191-205 Ganjyal M, Hanna MA, Supprung P, Noomhorn, Jones D. 2006. Modeling selected properties of extruded rice flour and rice starch by neural networks and statistics. J Cereal Chem 83(3): 223-227 Gomez MH, Aguilera JM. 1983. Changes in the starch fraction during extrusion cooking of corn. J Food Sci 48(2): 378-381 Harper JM. 1991. A comparative analysis of single and twin screw extruders. Dalam : Kokini JL, Ho C-T, Karwe MV (eds). Food Extrusion Science and Technology. New York : Marcel Dekker Inc pp: 139-147 Kunetz CF. 1997. Processing Parameters Affecting Sorghum Noodle Qualities. [Abstrak]. Texas : Texas A&M University Kimdump. 2011. “Sorghum” si kaya manfaat. http://kimdump.blogspot.com/2011/01/sorghum-sikaya-manfaat.html?m=1 (5 Januari 2013) Lemlioglu-Austin D, Turner ND, McDonough CM, Rooney LW. 2012. Effects of sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] crude extracts on starch digestibility, estimated glycemic index (EGI), and resistant starch (RS) contents of porridges. J Molecules (17): 11124-11138 Liu L. 2009. Evaluation of Four Sorghum Hybrids in A Gluten-Free Noodle System. [Tesis]. Manhattan, Kansas : Kansas State University Lyons-Johnson. 1997. New noodlemaking in the works. [Abstrak]. Dawn Agricultural Research 0002161X 45(3) Manthey FA, Twombly W. 2006. Extruding and drying of pasta. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of Food Science, Technology, and Engineering, Vol 4. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press
47
Mercier C, Feillet P. 1975. Modification of carbohydrate components by extrusion-cooking of cereal products. Cereal Chem 52: 283-297 Mercier C. 1977. Effect of extrusion-cooking potato starch using a twin screw French extruder. Staerke 29: 48-52 Merdiyanti A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Miller RC. 1985. Low moisture extrussion : effect of cooking moisture in product characteristics. J Food Sci 50(1) pp: 240-253 Muchtadi TR, Hariyadi P, Ahza AB. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Bogor : LSI Institut Pertanian Bogor Muhandri T, Subarna. 2009. Optimasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Instant Jagung. [Laporan Hibah Bersaing]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan Muhandri T. 2012. Karakteristik Reologi Mi Jagung Dengan Ekstrusi Pemasak-Pencetak. [Disertasi]. Bogor : Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Mudjisihono, Suprapto. 1987. Budidaya Pengolahan Sorgum. Jakarta : Penebar Swadaya Nasehi B, Mortazavi SA, Razavi SMA, Mahallati MN, Karim R. 2009. Optimization of the extrusion conditions and formulation of spaghetti enriched with full-fat soy flour based on the cooking and color quality. Int J of Food Sci and Nutri 60(4): 205-214 Navidi W. 2006. Statistics for Engineers and Scientists. New York : The McGraw-Hill Companies Inc Niba LL. 2006. Carbohydrates : Starch. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of Food Science Technology and Engineering vol 1. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press Nurmala TSW. 1997. Tanaman Budidaya. Jakarta : Rineka Cipta Oh NH, Seib PA, Chung DS. 1985. Noodles III, Effect of processing variables on the quality characteristics of dry noodles. J Cereal Chem 62(6): 437-440 Polina. 1995. Studi Pembuatan Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Sorghum, dan Kacang Hijau. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Riahi E, Ramaswamy HS. 2003. Structure and composition of cereal grains and legumes. Dalam : Chakraverty A, Mujumdar AS, Raghavan GSV, Ramaswamy HS (eds). Handbook of Postharvest Technology. New York : Marcel Dekker Inc pp: 1-16 Rick P. 2003. Introduction to Food Science. New York : Delmar, Thomson Learning Inc Rooney LW, Awika S. 2004. Handbook of Cereal Science and Technology. New York : Marcel Dekker Inc Rooney LW, Miller FR. 1982. Variation in the structure and kernel characteristics of sorghum. Dalam : Proceeding of The Symposium on Sorghum, 28-31 Oktober 1981 Vol 1. ICRISAT Patancheru PO, Andhra Pradesh
48
Rungkat-Zakaria F, Prangdimurti E, Puspawati GAKD, Thahir R, Suismono. 2011. Diet berbasis sorgum (Sorghum bicolor L Moench) memperbaiki proliferasi limfosit limfa dan kapasitas antioksidan hati tikus. J Tek & Ind Pangan 20 (3): 209-330 Sablani SS. 2009. Gelatinization of starch.Dalam : Rahman MS (ed). Food Properties Handbook, 2nd edition. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press pp: 287-321 Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. J Litbang Pertanian 23 (4) Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska RD. 2000. Cooking characteristics and quality of noodles from food sorghum. [Abstrak]. Cereal Chem 77(2): 90-100 Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB Tan H-Z, Li Z-G, Tan B. 2009. Starch noodles : History, classification, materials, processing, structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Research Int 42 (2009) pp: 551576 Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize starch differing in amylose content. J Cereal Chem. 82(4): 475-480. Von Elbe JH, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Dalam : Fennema OR (ed). Food Chemistry 3rd ed. New York : Marcel Dekker Inc pp: 651-722 Wals DE, Gille RA. 1974. Macaroni Products Wheat : Production and Utilization. Connecticut : AVI, Estport. Wang N, Maximiuk L, Toews R. 2012. Pea starch noodles : Effect of processing variables on characteristics and optimization of twin-screw extrusion process. [Abstrak]. J Food Chem 133(3): 742-753 Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue PL, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci Technol 5(4): 339-346 Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on Starch and Noodle. Dalam : Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI (eds). Proceeding Product Development for Root and Tuber Crops. Lima, Peru : I-Asia, CIP Wrigley CW, Bekes F. 2004. Processing quality requirements for wheat and other cereal grains. Dalam : Benech-Arnold RL, Sanchez RA (eds). Handbook of Seed Physiology : Application to Agriculture. New York : The Hawort Press Inc pp:349-388 Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem 83(2): 211-217 Yanuwar W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu W sampel
W cawan
W cawan+sampel
Kadar Air
Rata-
awal (g)
kosong (g)
kering (g)
(%bb)
rata
1
2.0046
4.2640
5.9989
13.45
2
2.0097
4.2850
6.5037
13.58
13.52
Stdev
Kadar Air
Rata-
(%bk)
rata
15.55
0.09
Stdev
15.63
15.70
0.11
Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu W sampel
W cawan
W cawan+sampel
Kadar Abu
Rata-
awal (g)
kosong (g)
kering (g)
(%bb)
rata
1
2.0837
21.0541
21.0748
0.76
2
2.1566
25.1805
25.1991
0.69
0.73
Stdev
Kadar Abu
Rata-
(%bk)
rata
0.88
0.05
0.84
0.80
Stdev
0.06
Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu W sampel
V HCl
V blanko
Kadar Protein
Rata-
(g)
(ml)
(ml)
(%bb)
rata
1
0.1055
4.15
2
0.1096
4.50
7.19
0.10
7.36
7.52
Stdev
Kadar Protein
Rata-
(%bk)
rata
8.31
0.23
Stdev
8.50
0.27
Kadar Lemak
Rata-
(%bk)
rata
8.70
Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu W sampel
W labu
W labu+sampel
Kadar Lemak
Rata-
awal (g)
lemak (g)
kering (g)
(%bb)
rata
1
1.5206
96.5390
95.5718
2.16
2
1.5114
97.8738
97.9045
2.03
2.10
Stdev
0.09
2.50 2.35
2.42
0.11
Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu W sampel
V Tiosulat
V blanko
Kadar Pati
Rata-
(mg)
0.1 N (ml)
(ml)
(%bb)
rata
1
100.3
22.00
30.00
71.07
2
100.3
21.75
29.75
71.07
71.07
Stdev
0.00
Kadar Pati
Rata-
(%bk)
rata
82.18 82.18
82.18
Stdev
0.00
Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum Varietas
Karbohidrat (%bb)
Karbohidrat (%bk)
Numbu
76.30
88.23
Stdev
51
Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi
1
0.000
0.001
2
0.004
0.067
3
0.008
0.135
4
0.012
0.207
5
0.016
0.277
6
0.020
0.345
Lampiran 8. Kurva standar amilosa
Kurva Standar Amilosa 0.4
y = 17.3x - 0.001 R² = 0.999
0.35 0.3 0.25 Absorbansi
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0.000
0.010
0.020
0.030
Konsentrasi (mg/mL)
Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa W sampel (mg)
Absorbansi
Konsentrasi
Amilosa
Rata-
(mg/ml)
(%bb)
rata
1
113
0.196
0.0114
20.18
2
117.8
0.189
0.0110
18.68
19.43
Stdev
1.06
Amilosa
Rata-
(%bk)
rata
23.33 21.59
22.46
Stdev
1.23
52
Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering Run
Suhu (oC)
Kecepatan Ulir (rpm)
1
80
52-a
2
80
52-b
3
80
74
4
80
125-a
5
80
125-b
6
84
50
7
84
106
8
88
93
9
89
125
10
90
54
11
95
50-a
12
95
50-b
13
95
88-a
14
95
88-b
15
95
125-a
16
95
125-b
W cawan kosong (g)
W mi awal (g)
W mi + cawan kering (g)
Kadar air (%bb)
1
3.2631
1.0522
4.1647
14.31
2
2.2408
1.1446
3.2189
14.55
1
3.1136
1.0026
3.9875
12.84
2
4.3980
1.0153
5.3039
10.78
1
2.8130
1.1267
3.7614
15.82
2
3.0515
1.0259
3.9146
15.87
1
3.1932
1.0894
4.1113
15.72
2
2.4510
0.9509
3.2504
15.93
1
3.1362
1.2428
4.1829
15.78
2
2.4964
1.0382
3.3708
15.78
1
5.9072
1.0134
6.8200
9.93
2
3.2082
1.0225
4.1297
9.88
1
3.3345
1.0074
4.2330
10.81
2
2.8224
1.0292
3.7288
11.93
1
4.3980
1.1002
5.3644
12.16
2
4.3183
1.0138
5.2160
11.45
1
3.1136
1.0327
4.0211
12.12
2
4.9308
1.0642
5.8587
12.81
1
4.3980
1.0269
5.3494
7.35
2
2.4228
1.0159
3.3499
8.74
1
2.5159
1.0734
3.4857
9.65
2
4.3183
1.0219
5.2523
8.60
1
2.4228
1.0566
3.3020
16.79
2
6.7264
1.0489
7.5976
16.94
1
3.3637
1.0967
4.2966
14.94
2
4.3733
1.0876
5.3061
14.23
1
2.8224
1.0134
3.6945
13.94
2
3.3637
1.0455
4.2667
13.63
1
5.8981
1.0851
6.8217
14.88
2
4.5395
1.0312
5.4249
14.14
1
4.3733
1.0419
5.3102
10.08
2
4.5395
1.0456
5.4832
9.75
Ratarata
Stdev
14.43
0.17
11.81
1.46
15.85
0.03
15.83
0.15
15.78
0.00
9.90
0.03
11.37
0.79
11.81
0.50
12.47
0.48
8.05
0.98
9.13
0.74
16.87
0.11
14.58
0.50
13.79
0.22
14.51
0.53
9.91
0.23
Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum Run
Suhu (oC)
Kecepatan ulir (rpm)
1
80
52-a
2
80
52-b
3
80
74
4
80
125-a
5
80
125-b
6
84
50
7
84
106
8
88
93
9
89
125
10
90
54
11
95
50-a
12
95
50-b
13
95
88-a
14
95
88-b
15
95
125-a
16
95
125-b
W sampel awal (g)
W cawan+sampel kering (g)
W cawan kosong (g)
Kadar air (%bb)
Cooking loss (% bk)
1
2.0818
5.8165
4.3328
14.43
16.71
2
2.0780
4.3457
2.8207
14.43
14.24
1
1.1805
6.0195
5.1313
11.81
14.68
2
1.1727
5.5998
4.7265
11.81
15.56
1
2.0431
4.4811
3.1618
15.84
23.27
2
2.0490
5.9037
4.6088
15.84
24.91
1
2.0376
6.2912
4.7257
15.82
8.73
2
2.0323
4.5983
3.1362
15.82
14.54
1
2.0288
4.3046
2.8207
15.78
13.15
2
2.0344
6.0569
4.5539
15.78
12.28
1
1.1020
6.7518
5.9160
10.53
15.23
2
1.2010
5.3002
4.3901
10.53
15.30
1
2.0077
3.8284
2.3676
10.81
18.42
2
2.0561
4.5808
3.0439
10.81
16.19
1
1.9707
4.6443
3.1423
11.81
13.58
2
1.9743
4.3385
2.8359
11.81
13.70
1
1.9491
3.8395
2.3676
12.46
13.73
2
1.9441
4.7553
3.2616
12.46
12.23
1
1.9807
7.4655
5.9088
7.51
15.02
2
1.9362
4.8821
3.3743
7.51
15.80
1
0.9579
5.2992
4.5547
9.13
14.47
2
0.9397
4.9954
4.2328
9.13
10.69
1
2.0717
5.7986
4.2328
16.87
9.08
2
2.0814
5.9613
4.3733
16.87
8.22
3
1.9039
4.5312
3.0538
14.57
9.17
4
1.9048
4.3082
2.8214
14.57
8.63
1
2.0904
4.8364
3.2616
13.79
12.61
2
2.0728
6.1369
4.5539
13.79
11.41
1
1.9577
5.9062
4.3328
14.51
5.99
2
1.9472
7.4957
5.9088
14.51
4.67
1
1.9712
4.712
3.1423
12.00
9.51
4.3918
2.8359
12.00
10.54
2
1.9763
Ratarata
Stdev
15.47
1.75
15.12
0.62
24.09
1.16
11.63
4.11
12.72
0.62
15.27
0.05
17.31
1.58
13.64
0.09
12.98
1.06
15.41
0.55
12.58
2.67
8.65
0.61
8.90
0.38
12.01
0.85
5.33
0.93
10.02
0.73
54
Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum Run
Suhu (oC)
Kecepatan Ulir (rpm)
1
80
52-a
2
80
52-b
3
80
74
4
80
125-a
5
80
125-b
6
84
50
7
84
106
8
88
93
9
89
125
10
90
54
11
95
50-a
12
95
50-b
13
95
88-a
14
95
88-b
15
95
125-a
16
95
125-b
Force (gf)
Waktu (s)
Elongasi (%)
1
13.9
12.695
190.43
2
15.8
12.175
182.63
1
14.9
18.515
277.73
2
17.1
19.155
287.33
1
11.0
11.160
167.40
2
12.6
12.290
184.35
1
19.7
8.295
124.43
2
18.5
8.045
120.68
1
13.5
6.975
104.63
2
14.7
7.008
105.12
1
20.3
15.717
235.76
2
21.4
16.802
252.03
1
23.1
18.767
281.51
2
33.0
19.022
285.33
1
19.3
12.597
188.96
2
21.7
12.605
189.08
1
30.6
22.390
335.85
2
28.4
21.710
325.65
1
40.3
20.843
312.65
2
39.5
21.305
319.58
1
36.2
26.235
393.53
2
39.1
24.710
370.65
1
40.4
15.705
235.58
2
40.5
15.96
239.40
1
35.6
18.110
271.65
2
55.5
17.465
261.98
1
34.4
21.495
322.43
2
44.4
22.340
335.10
1
50.3
22.603
339.05
2
46.3
22.690
340.35
1
34.0
22.255
333.83
2
40.9
25.820
387.30
Ratarata
Stdev
186.53
5.52
282.53
6.79
175.88
11.99
122.55
2.65
104.87
0.35
243.89
11.51
283.42
2.70
189.02
0.08
330.75
7.21
316.11
4.90
382.09
16.18
237.49
2.70
266.81
6.84
328.76
8.96
339.70
0.92
360.56
37.81
55
Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak 80oC-52a rpm
80oC-52b rpm
80oC-74 rpm
80o -125a rpm
84o -50 rpm
84oC-106 rpm
89oC-125 rpm
90oC-54 rpm
88oC -93 rpm
95oC-50b rpm
95oC-88a rpm
95oC-125 rpm
90oC-88b rpm
95oC-50a rpm
80oC-125b rpm
90oC-125b rpm
56
Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak
80oC -52a rpm
80oC -74 rpm
80oC -52b rpm
80oC -125a rpm
84oC -50 rpm
84oC -106 rpm
88oC -93 rpm
89oC -125 rpm
95oC -50a rpm
95oC -50b rpm
95oC -88a rpm
95oC-125a rpm
95oC-125b rpm
80oC -125a rpm
90oC -54 rpm
95oC-88b rpm
57
Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi No.
Warna Mi
Nama
Sorgum
Sorgum-Jagung
1
Ramlan Asbar
3
pucat
5
agak kekuningan, tidak pucat
2
Andi Early
2
agak pucat
4
kuning cerah
3
Putu Adi
4
5
bagus, seperti mi biasa
4
Suba
4
oke
5
Yuliyanti
4
bagus, tidak pucat cukup bagus, ada bintik sedikit aneh bintik sedikit
5
lebih kuning
6
Annisa K
4
-
5
-
7
Bangun
2
pucat
4
mi biasa
8
Rista
2
terlalu pucat
4
kuning, lebih cerah
9
Indra
2
kotor, banyak butiran
4
menarik
10
Arum Marya
2
pucat, tidak menarik
4
kuning terang
11
Annisa N
4
putih
3
masih ada titik hitam, seperti mi biasa
12
Hafiz F
2
terlalu putih pucat
4
mirip mi biasa
13
Randy Dio
2
kusam
5
sangat menarik
14
Iin Wahyuni
2
putih, pucat
3
agak pucat, kurang kuning
15
Rizqi F
2
putih, keruh
3
kurang cerah
16
Ahmadun
3
kurang mengkilat
4
menarik
17
Priska W
2
terlalu putih, kurang menarik
5
bagus, menarik, kelihatan enak
18
Mega
3
warna keruh, agak gelap
5
bagus, cerah
19
Opi
3
kusam
4
mirip mi biasa
20
Meutia
2
agak kusam
5
mirip mi biasa
21 22
M. Buyung Ardy
4 3
tampak pucat kurang menarik
5 5
kuning keemasan mendekati mi terigu
23
Irfan A
3
biasa
4
lebih kuning
24
Andhi F
4
seperti mi ayam
5
kaya mi kuning
25
R. Dani B
3
keruh, kurang menarik
4
lebih cerah, menarik
26
Andika
2
terlalu pucat
5
seperti pada umumnya
27
M. Iqbal B
3
normal
5
lebih menarik (golden brown)
28
Efratia
2
putih, keruh
5
kuning cantik, terlihat alami
29
Tiur S
1
butek, kotor, kesan benyek
4
menarik, cerah
30
Sri
2
kusam
3
tanggung
31
Vera
2
agak kusam
3
kurang menarik
32
Fathin
3
terlalu pucat
5
sangat bagus, kekuningan
33
May
3
pucat
4
warna menarik
3
58
Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi No.
Kekeruhan Air Rebusan Mi
Nama
1
Ramlan Asbar
2
Sorgum terlalu kental
4
Sorgum-Jagung tidak terlalu kental
2
Andi Early
4
kuning
4
jernih
3
Putu Adi
1
kuning, tidak disukai
5
jernih
4
Suba
4
CL terlalu tinggi
4
oke, kuningnya pas
5
Yuliyanti
1
kental sekali
2
sedikit kental
6
Annisa K
1
-
2
-
7
Bangun
1
keruh sekali
2
keruh
8
Rista
2
keruh
3
biasa aja
9
Indra
3
terlihat kotor
3
keruh
10
Arum Marya
2
keruh, ada lapisan
3
cukup keruh
11
Annisa N
2
agak gelap
3
pucat
12
Hafiz F
2
terlalu putih
3
putih pucat, biasa
13
Randy Dio
2
keruh
2
keruh
14
Iin Wahyuni
3
keruh
3
keruh
15
Rizqi F
2
keruh
2
terlalu keruh
16
Ahmadun
3
terlalu keruh
3
cukup keruh
17
Priska W
3
tidak terlalu keruh
4
cerah, tidak keruh
18
Mega
2
keruh sekali
2
keruh, agak terang
19
Opi
2
lebih keruh
2
lebih keruh
20
Meutia
1
kelihatan lebih keruh
2
keruh sekali
21
M. Buyung S
2
berbusa
3
seperti air rebusan mi
22
Ardy
1
terlalu keruh
1
keruh sekali
23
Irfan A
2
lebih kental, pucat
3
biasa aja
24
Andhi F
3
keruh
3
keruh
25
R. Dani B
3
sedikit cerah
3
terlalu pucat, tidak menarik
26
Andika Bagus
4
cukup keruh
4
lebih keruh
27
M. Iqbal B
2
berbusa
4
keruh, tidak berbusa
28
Efratia
2
terlalu keruh, agak kental
3
masih wajar sebagai air rebusan
29
Tiur S
1
butek, kental
3
biasa aja
30
Sri
1
-
2
-
31
Vera
1
keruh
2
keruh seperti air tajin
32
Fathin
2
terlalu keruh
2
terlalu keruh
33
May
2
ada busa, keruh
3
agak keruh
59
Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan Kekerasan
No.
Nama
1
Ramlan Asbar
2
2
Andi Early
3
3
Putu Adi
4 5
Sorgum
Sorgum-Jagung 3
seperti mi biasa
2
Agak a lot
2
terlalu keras seperti belum matang agak keras tetapi masih bisa dikunyah sangat keras
2
keras, tidak bagus
Suba
3
terlalu keras
3
agak keras
Yuliyanti
4
agak kenyal
4
agak keras
6
Annisa K
4
-
4
-
7
Bangun
2
kenyal, sulit dikunyah
2
susah digigit
8
Rista
3
agak sulit digigit
2
sulit digigit
9
Indra
4
kenyal
2
mudah putus
10
Arum Marya
4
mudah putus
2
tidak mudah putus
11
Annisa N
4
lunak
3
cukup keras
12
Hafiz F
2
agak kenyal
3
biasa
13
Randy Dio
2
susah digigit
4
mudah hancur
14
Iin Wahyuni
4
cukup mudah digigit
4
cukup mudah digigit
15
Rizqi F
4
mudah patah ketika digigit
4
mudah patah ketika digigit
16
Ahmadun
3
terlalu susah digigit
3
tekstur masih terlalu keras
17
Priska W
2
terlalu keras
4
tidak terlalu keras
18
Mega
4
keras tapi kenyal
4
keras tapi kenyal
19
Opi
4
biasa
4
biasa
20
Meutia
3
lebih keras
5
oke banget
21
M. Buyung S
2
terlalu keras
2
terlalu keras
22
Ardy
4
hampir mirip mi terigu
3
agak keras
23
Irfan A
4
sudah agak keras
4
suka
24
Andhi F
4
empuk
4
25
R. Dani B
4
kenyalnya cukup
3
26
Andika Bagus
4
masih empuk
4
empuk kenyalnya seperti mi pada umumnya masih empuk
27
M. Iqbal B
4
cukup kenyal
5
lembut,pas
28
Efratia
4
sedikit lebih mudah dikunyah
3
agak terlalu kenyal
29
Tiur S
2
tidak kenyal
4
kenyal
30
Sri
3
agak keras, agak lengket
4
bagus
31
Vera
4
4
oke
32
Fathin
3
5
kekenyalan sangat baik
33
May
2
agak keras, lengket bagian luar mi terlalu gembur tapi bagian dalam terlalu keras terlalu keras
4
kekerasan sedang
60
Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi No.
Elongasi
Nama
1
Ramlan Asbar
4
Sorgum tidak mudah putus
4
Sorgum-Jagung tidak mudah putus
2
Andi Early
2
mudah putus
3
agak elastis, mudah putus
3
Putu Adi
5
kenyal, sangat tidak mudah putus
4
kekenyalan bagus, tidak mudah putus
4
Suba
4
oke
4
bagus
5
Yuliyanti
4
lama putus
3
cepat putus
6
Annisa K
4
-
5
-
7
Bangun
2
mudah putus
4
-
8
Rista
2
tidak baik, saat mi diangkat, hampir semua terangkat
4
baik
9
Indra
3
netral
3
biasa
10
Arum Marya
3
netral, mudah putus
2
cukup elastis, sulit putus
11
Annisa N
3
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
3
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
12
Hafiz F
2
terlalu tinggi
3
sama dengan mi biasa
13
Randy Dio
2
mudah patah
2
mudah patah
14
Iin Wahyuni
4
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
5
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
15
Rizqi F
5
bisa ditarik lebih panjang
4
tidak sulit untuk ditarik
4
elongasi oke
16
Ahmadun
3
terlalu elastis, kurang bagus untuk ready-to-eat food
17
Priska W
5
mi elastis kaya pasta
4
tidak cepat putus
18
Mega
4
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
4
tidak terlalu mudah putus, lebih elastis
19
Opi
3
biasa
3
biasa
20
Meutia
3
oke, ga mudah putus
4
paling oke, mirip spagetti
21
M. Buyung S
2
terlalu cepat putus
3
tidak mudah putus
22
Ardy
3
cukup, tapi kurang panjang
4
cukup dan tidak mudah putus
23
Irfan A
4
tidak mudah putus
4
tidak mudah putus
24
Andhi F
5
mi tidak gampang putus
4
kenyal
25
R. Dani B
3
cukup, pas
3
cukup
26
Andika
5
lebih tidak mudah putus
5
tidak mudah putus
27
M. Iqbal B
4
lebih tahan ditarik
4
lebih tahan ditarik
28
Efratia
4
cukup elastis
4
elastis
29
Tiur S
2
keras tapi mudah putus
4
kesan kenyal
30
Sri
4
-
4
-
31
Vera
4
oke
4
oke
32
Fathin
4
cukup elastis
4
cukup elastis
33
May
2
agak susah putus
4
tidak mudah putus
61
Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa Rasa
No.
Nama
1
Ramlan Asbar
2
rasa mi belum matang
4
enak
2
Andi Early
3
masih bisa diterima
4
tidak terlalu hambar
3
Putu Adi
2
tidak enak
3
agak enak
4
Suba
4
Enak
4
enak
5
Yuliyanti
4
Enak
4
enak
6
Annisa K
3
-
4
-
7
Bangun
4
enak, rasanya terasa
4
hambar
8
Rista
4
agak gurih
3
hambar, sedikit pahit
9
Indra
4
Lumayan
3
lumayan
10
Arum Marya
3
Hambar
4
sedikit gurih
11
Annisa N
4
Kenyal
4
familiar
12
Hafiz F
3
Netral
2
masih terasa tepung
13
Randy Dio
3
Hambar
4
enak
14
Iin Wahyuni
3
Plain
3
plain, agak getir
15
Rizqi F
3
Plain
3
plain
16
Ahmadun
3
Netral
3
netral
17
Priska W
5
Enak
4
enak
18
Mega
4
enak, clear, ada after aroma
4
sedikit berat, kurang clear, tidak ada aftertaste
19
Opi
3
Biasa
3
biasa
20
Meutia
2
masih terasa masir dan rasa sorgum kuat
4
enak
21
M. Buyung S
3
seperti mi gandum
4
biasa
22
Ardy
5
enak banget
3
masih terasa tepung
23
Irfan A
4
Asin
4
biasa
24
Andhi F
4
sedikit hambar
4
hambar
25
R. Dani B
2
aftertaste seperti tepung
3
aftertaste tidak terasa
26
Andika Bagus
3
masih netral
5
lebih terasa
27
M. Iqbal B
3
tawar, biasa aja
3
tawar, biasa aja
28
Efratia
4
gurih, aroma lebih khas
3
netral
29
Tiur S
3
biasa aja
4
enak
30
Sri
4
4
agak terasa tepung, lengket
31
Vera
4
4
agak terasa tepung sedikit, lengket
32
Fathin
4
agak gurih
4
netral
33
May
3
kurang berasa
3
kurang berasa
Sorgum
rasa tepung masih ada, ukuran diperkecil, lengket aftertaste ada rasa tepung, lengket
Sorgum-Jagung
62
Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih Mi
W sampel awal (g)
W cawan kosong (g)
W cawan +sampel kering (g)
Kadar Air (%bb)
Sorgum A
1
2.0173
4.3550
6.1412
11.49
2
2.0185
4.2385
6.0248
11.50
Sorgum B
1
2.0074
4.9299
6.7011
11.77
2
2.0086
4.5546
6.3258
11.82
SorgumJagung
1
2.0161
4.7964
6.5639
12.33
2
2.0168
4.6717
6.4298
12.82
Ratarata
Stdev
11.50
0.01
11.80
0.04
12.58
0.35
Ratarata
Stdev
2.33
0.01
2.34
0.00
2.13
0.02
Kadar Air (%bk) 11.49 12.99 11.77 13.40 12.33 14.66
Ratarata
Stdev
12.24
1.06
12.59
1.15
13.50
1.65
Ratarata
Stdev
2.77
0.01
2.77
0.00
2.53
0.03
Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih
Mi
W sampel awal (g)
W cawan kosong (g)
W cawan+sampel kering (g)
Kadar Abu (%bb)
Sorgum A
1
2.1269
21.7705
21.8203
2.34
2
2.1818
20.4960
20.5467
2.32
Sorgum B
1
2.1474
22.2635
22.3137
2.34
2
2.1479
22.6853
22.7355
2.34
SorgumJagung
1
2.1159
23.7393
23.7840
2.11
2
2.1113
17.5757
17.6210
2.15
Kadar Abu (%bk) 2.78 2.76 2.77 2.77 2.51 2.54
Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih
Sorgum A
1
W sampel (g) 0.1099
2
0.1186
3.70
5.55
Sorgum B
1
0.1048
3.15
5.32
2
0.1093
3.30
5.36
SorgumJagung
1
0.1012
3.40
5.97
2
0.1131
3.75
5.90
Mi
V HCl (ml) 3.40
Kadar Protein (%bb) 5.49
Ratarata
Stdev
5.52
0.04
5.34
0.03
5.94
0.05
Kadar Protein (%bk) 6.51 6.58 6.31 6.36 7.08 7.00
Ratarata
Stdev
6.55
0.05
6.33
0.03
7.04
0.06
Keterangan : V blanko = 0.10 ml
63
Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih Mi
W sampel awal (g)
W labu lemak (g)
W labu+sampel kering (g)
Kadar Lemak (%bb)
Sorgum A
1
2.1343
102.6932
102.6977
0.21
2
2.1210
108.4368
108.4415
0.22
Sorgum B
1
2.1324
106.2063
106.2106
0.20
2
2.1311
107.5564
107.5612
0.23
SorgumJagung
1
2.1306
107.0713
107.0758
0.21
2
2.1250
97.8939
97.8988
0.23
Ratarata
Stdev
0.22
0.01
0.22
0.02
0.22
0.01
Kadar Lemak (%bk) 0.25 0.26 0.24 0.27 0.25 0.27
Ratarata
Stdev
0.25
0.01
0.25
0.03
0.26
0.02
Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih Mi
Karbohidrat (%bb)
Karbohidrat (%bk)
Sorgum A
80.44
90.88
Sorgum B
80.31
91.05
Sorgum-Jagung
79.14
90.52
Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum W sampel awal (g)
W cawan+sampel kering (g)
W cawan kosong (g)
W akhir kering (g)
W awal kering (g)
Kadar air (%)
cooking loss (%bk)
1
2.1378
4.9335
3.2578
1.6757
1.8276
14.51
8.31
2
2.0747
4.1855
2.5281
1.6574
1.8330
11.65
9.58
1
2.035
4.3998
2.8085
1.5913
1.7790
12.58
10.55
2
2.0851
4.7193
3.0862
1.6331
1.8228
12.58
10.41
Mi Sorgum SorgumJagung
Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum Mi Sorgum SorgumJagung
Force (gf)
Waktu (s)
Elongasi (%)
1
28.9
22.725
340.88
2
73.3
21.600
324.00
1
39.1
18.685
280.28
2
47.0
18.080
271.20
Rata-rata
Stdev
332.44
11.93
275.74
6.42
Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb) Sampel Mi Sorgum Mi Sorgum-Jagung
Air 11.65 a 12.58 a
Abu 2.34 a 2.13b
Protein 5.43 a 5.94 a
Lemak 0.22 a 0.22 a
Karbohidrat 80.38a 79.02b
Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%.
64
Ratarata
Stdev
8.95
0.90
10.48
0.10
Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum Constraints Name suhu kec. ulir cooking loss elongasi
Solutions Number 1 2 3
Goal is in range is in range minimize is in range
suhu 95 95 95
kec. ulir 125 123 113
Lower Limit 80 50 5.33 104.87
Upper Limit 95 125 24.09 382.09
cooking loss 8.56 8.63 9.06
Lower Weight 1 1 1 1
elongasi 351.99 350.89 343.60
Upper Weight 1 1 1 1
Desirability 0.828 0.824 0.801
Importance 3 3 4 3
Selected
3 Solutions found
Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss
Response1 cooking loss ANOVA for Response Surface Linear Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 145.05 2 72.52 A-suhu115.29 1 115.29 B-kec. ulir 26.11 1 26.11 Residual 124.43 13 9.57 Lack of Fit 100.21 8 12.53 Pure Error24.21 5 4.84 Cor Total 269.47 15
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
3.09 13.20 23.45 190.96
F Value 7.58 12.05 2.73 2.59
R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision
p-value Prob > F 0.0066 0.0041 0.1226 0.1550
significant
not significant
0.5383 0.4672 0.2913 6.958
The "Pred R-Squared" of 0.2913 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.4672.
65
Final Equation in Terms of Coded Factors: cooking loss +13.27
= -3.16 * A -1.55 * B
Final Equation in Terms of Actual Factors: cooking loss
= +53.78557 -0.42183 * suhu -0.041200 * kec. ulir
66
Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi
Response2 elongasi ANOVA for Response Surface 2FI Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean Source Squares df Square Model 67569.05 3 22523.02 A-suhu 57347.38 1 57347.38 B-kec. ulir 1326.34 1 1326.34 AB 11158.80 1 11158.80 Residual 39017.25 12 3251.44 Lack of Fit 21661.85 7 3094.55 Pure Error 17355.39 5 3471.08 Cor Total 1.066E+005 15
Std. Dev. Mean C.V. % PRESS
57.02 259.44 21.98 68657.70
F Value 6.93 17.64 0.41 3.43
p-value Prob > F 0.0058 0.0012 0.5350 0.0887
0.89
0.5715
R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision
significant
not significant
0.6339 0.5424 0.3558 7.540
The "Pred R-Squared" of 0.3558 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.5424.
Final Equation in Terms of Coded Factors: elongasi
= +255.51 +70.61 -11.01 +36.88
*A *B *A*B
Final Equation in Terms of Actual Factors: elongasi
= +461.35053 -2.05876 * suhu -11.76695 * kec. ulir +0.13112 * suhu * kec. ulir
67
Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum T-Test Paired Samples Statistics Atribut Warna Mi
Mean Sorgum
Pair 1
Sorgum-Jagung Kekeruhan air Sorgum rebusan
Pair 2
Sorgum-Jagung
Kekerasan Mi Sorgum
Pair 3
Sorgum-Jagung Elongasi Mi
Sorgum
Pair 4
Sorgum-Jagung Rasa Mi
Sorgum Sorgum-Jagung
Pair 5
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
A1_mi
2.67
33
.816
.142
B1
4.06
33
.864
.150
A2_air
2.09
33
.914
.159
B2
2.85
33
.870
.152
A3_ker
3.21
33
.857
.149
B3
3.42
33
.936
.163
a4_elo
3.42
33
1.032
.180
b4
3.73
33
.719
.125
a5_ras
3.48
33
.795
.138
b5
3.61
33
.556
.097
Paired Samples Correlations N
Correlation
Sig.
Pair 1
A1_mi & B1
33
.340
.053
Pair 2
A2_air & B2
33
.529
.002
Pair 3
A3_ker & B3
33
.235
.188
Pair 4
a4_elo & b4
33
.498
.003
Pair 5
a5_ras & b5
33
.234
.191
68
Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval Atribut
Warna Mi
Mean
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
of the Difference Lower
Upper
t
df
Sig. (2-tailed)
Pair 1
A1_mi - B1
-1.394
.966
.168
-1.737
-1.051
-8.287 32
.000
Pair 2
A2_air - B2
-.758
.867
.151
-1.065
-.450
-5.019 32
.000
Kekerasan
Pair 3
A3_ker - B3
-.212
1.111
.193
-.606
.182
-1.097 32
.281
Elongasi
Pair 4
a4_elo - b4
-.303
.918
.160
-.629
.022
-1.896 32
.067
Rasa
Pair 5
a5_ras - b5
-.121
.857
.149
-.425
.183
-.812
.423
Kekeruhan air rebusan
32
Kesimpulan : Hasil analisis warna mi dan kekeruhan air rebusan mi menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, tidak ada perbedaan yang nyata pada atribut kekerasan, elongasi, dan rasa dari sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%.
69
Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ml 0.1N
glukosa, fruktosa, gula invert
Na-thiosulfat
mg C6H12O6 ∆
1
2.4
2.4
2
4.8
2.4
3
7.2
2.5
4
9.7
2.5
5
12.2
2.5
6
14.7
2.5
7
17.2
2.6
8
19.8
2.6
9
22.4
2.6
10
25.0
2.6
11
27.6
2.7
12
30.3
2.7
13
33.0
2.7
14
35.7
2.8
15
38.5
2.8
16
41.3
2.9
17
44.2
2.9
18
47.1
2.9
19
50.0
3.0
20
53.0
3.0
21
56.0
3.1
22
59.1
3.1
23
62.2
-
24
-
-
70
Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih
95oC 125a rpm (1)
95oC 125a rpm (2)
95oC 125b rpm (1)
95oC 125b rpm (2)
Verifikasi 95oC 125 rpm 1
Verifikasi 95oC 125 rpm 2
71
Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi
Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Sof tware KPAP
Normal % Probability
Color points by v alue of KPAP: 24.09
99
95
Normal % Probability
5.33
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.22
-0.29
0.64
1.58
2.51
Internally Studentized Residuals
Internally Studentized Residuals
Sebaran kenormalan data respon cooking loss
Normal Plot of Residuals
Design-Expert® Sof tware elongasi
Normal % Probability
Color points by v alue of elongasi: 382.09
99
95
Normal % Probability
104.87
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-1.37
-0.58
0.21
1.00
1.79
Internally Studentized Residuals
Internally Studentized Residuals
Sebaran kenormalan data respon elongasi
Gambar di atas menunjukkan sebaran data cooking loss dan elongasi mi sorgum kering. Titik-titik data yang mengikuti garis lurus menunjukkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal. Distribusi normal, disebut juga distribusi gaussian, sejauh ini paling banyak digunakan di dalam statistik. Distribusi ini menyediakan model yang baik untuk banyak, walaupun tidak semua, populasi yang berkelanjutan (Navidi 2006).
72
Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum UJI KESUKAAN MI SORGHUM Pengujian dilakukan terhadap tiga parameter yaitu warna, elongasi dan kekerasan.Skala yang digunakan adalah 1-5 (sangat tidak suka – sangat suka).Perhatikan petunjuk sebelum melakukan penilaian.Komentar wajib diisi. 1. Warna Mi Amati warna mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom yang telah tersedia. Skala Penilaian Kode Sampel 147 423 295 Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :……………………………………………………………………………………………………………………….. 2.
Kekeruhan Air Rebusan Mi Amati kekeruhan air rebusan mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom yang telah tersedia. Skala Penilaian Kode Sampel 147 423 295 Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
3.
Elongasi Elongasi menunjukkan daya tahan mi untuk putus ketika ditarik.Semakin mulur menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki elongasi yang semakin tinggi. Angkat mi dari mangkok dengan menggunakan garpu (seperti ketika Anda mengkonsumsi mi rebus), amati daya tahan mi untuk putus ketika ditarik menggunakan garpu. Berikan penilaian Anda. Skala Penilaian Kode Sampel 147 423 295 Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
4.
Kekerasan Kekerasan menunjukkan besarnya upaya yang diperlukan untuk menggigit (bukan mengunyah) mi sampai putus (hancur).Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan gigit sampai putus (hancur).Berikan penilaian Anda. Skala Penilaian Kode Sampel 147 423 295 Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
5.
Rasa Rasa menunjukkan besarnya penerimaan panelis secara hedonik (sensori) terhadap mi secara hedonik.Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan cicipi rasanya sambil dikunyah.Berikan penilaian Anda. Skala Penilaian Kode Sampel 147 423 295 Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
73