OPTIMASI PEMBUATAN MI PATI SINGKONG MENGGUNAKAN EKSTRUDER ULIR GANDA
MOJIONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Pembuatan Mi Pati Singkong Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Mojiono NIM F251130231
RINGKASAN MOJIONO. Optimasi Pembuatan Mi Pati Singkong Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda. Dibimbing oleh SLAMET BUDIJANTO dan BUDI NURTAMA Pati singkong adalah salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai kandidat bahan baku mi. Mi berbahan pati singkong juga dapat dikembangkan sebagai pangan bebas gluten karena tidak mengandung protein gluten. Tujuan utama penelitian ini adalah melakukan studi optimasi untuk mendapatkan kualitas mi pati singkong optimal. Variabel bahan (soy protein isolate-SPI dan bekatul) dan variabel proses (suhu ekstrusi) digunakan sebagai variabel optimasi di dalam rancangan Response Surface Methodology (RSM). Tahapan penelitian meliputi (1) studi profil gelatinisasi pati singkong dan komposit yang terdiri dari pati singkong, SPI, bekatul, dan glycerol monostearateGMS), (2) tahap optimasi, serta (3) studi komparasi daya cerna pati mi pati singkong hasil optimasi dengan mi komersial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pasta komposit mengalami sejumlah perubahan signifikan dibandingkan pati singkong antara lain viskositas pasta, suhu gelatinisasi, dan waktu puncak akibat inkorporasi komponen tambahan yaitu SPI, bekatul, dan GMS. Perubahan ini disebabkan oleh kompetisi air antara fraksi non pati dengan pati, sehingga membatasi aktivitas pembengkakan granula. Profil RVA (Rapid Visco Analyzer) juga menunjukkan bahwa viskositas komposit lebih stabil selama fase pemanasan serta adanya kecenderungan retrogradasi yang lebih tinggi dibandingkan pati singkong. Hasil studi optimasi menunjukkan bahwa mi pati singkong yang optimal berhasil dicapai dengan penambahan bekatul 8.3%, SPI 6.7% dan diproses pada suhu ekstrusi 80 °C. Kombinasi tersebut memberikan nilai desirability sebesar 0.78. Berdasarkan uji verifikasi, semua nilai respon berada pada selang kepercayaan 95%, yaitu elongasi 202.83%, cooking loss 4.35%, kekerasan 4643.54 gf, adesivitas 120.91 gf, dan kecerahan 47.78. Sementara itu, studi komparasi menunjukkan bahwa daya cerna pati pada mi pati singkong optimum (59.83%) lebih rendah dibandingkan mi terigu (72.33%), akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan mi jagung (51.99%). Ketersediaan pati di dalam mi sebagai substrat enzim α-amilase memberikan perbedaan nilai daya cerna. Selain itu, adanya bekatul sebagai sumber serat pangan tahan cerna pada mi pati singkong dapat berkontribusi di dalam penghambatan hidrolisis pati. Hasil ini menunjukkan bahwa mi pati singkong optimum mempunyai potensi sebagai pangan fungsional dengan daya cerna yang rendah. Kata kunci: mi pati singkong, gelatinisasi, Response Surface Methodology, daya cerna pati
SUMMARY MOJIONO. Optimization of Cassava Starch Noodle Prepared by Twin Screw Extruder. Supervised by SLAMET BUDIJANTO and BUDI NURTAMA Cassava starch is one of the carbohydrate sources that can be considered as candidate of noodle ingredient. Furthermore, cassava starch-based noodle is also considerable as gluten-free product due to absence of gluten. The main purpose of this research was to optimize cassava starch noodle quality. Mixture variables (soy protein isolate-SPI and rice bran) and processing variable (extrusion temperature) were used in optimization using Response Surface Methodology (RSM). Research steps included (1) study on gelatinization profile of cassava starch and its composite (cassava starch, SPI, rice bran, and glycerol monostearate-GMS), (2) optimization, and (3) comparative study on starch digestibility of optimized cassava starch noodle compared to commercial noodles. The results showed that pasting properties of the composites demonstrated a significant difference compared to native cassava starch, including peak viscosity, pasting temperature, and peak time, as a consequence of SPI, rice bran, and GMS addition. This finding suggested that non starch fraction in the composite and starch compete for available water, thus suppressing granule swelling. RVA (Rapid Visco Analyzer) profile exhibited that viscosity of the composites was more stable during heating stage than that of cassava starch. Furthermore, higher tendency of retrogradation was also observed in the composite. In addition, the optimized noodle was obtained at rice bran 8.3%, SPI 6.7%, and extrusion temperature 80 °C, which resulted in desirability value 0.78. All experimental values (elongation 202.83%, cooking loss 4.35%, hardness 4643.54 gf, adhesiveness 120.91 gf, and lightness 47.78) obtained at optimum condition were in range of 95% confidence interval (CI) values. Starch digestibility of optimized cassava starch noodle (59.83%) was significantly higher than that of commercial corn noodle (51.99%), but significantly lower than that of commercial wheat noodle (72.33%). The result was due to dissimilar content of starch as substrate for enzymatic hydrolysis by αamylase. Additionally, presence of rice bran as non digestible polysaccharide was also considerable to contribute in the inhibition of starch digestibility. The results suggested that the optimized cassava starch noodle could be developed as functional food with low digestibility. Keywords: cassava starch noodle, gelatinization, Response Surface Methodology, starch digestibility
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
OPTIMASI PEMBUATAN MI PATI SINGKONG MENGGUNAKAN EKSTRUDER ULIR GANDA
MOJIONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Elvira Syamsir, STP, MSi
Judul Tesis : Optimasi Pembuatan Mi Pati Singkong Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda Nama : Mojiono NIM : F251130231 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr Ketua
Dr Ir Budi Nurtama, MAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah berjudul Optimasi Pembuatan Mi Pati Singkong menggunakan Ekstruder Ulir Ganda berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada: 1. Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr dan Dr Ir Budi Nurtama, MAgr selaku komisi pembimbing. 2. Dr Elvira Syamsir, STP, MSi sebagai penguji dan Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi sebagai perwakilan porgram studi Ilmu Pangan pada ujian tesis. 3. Ayah dan ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan motivasinya. 4. Rekan-rekan IPN 2013 dan operator di Technopark atas kerja samanya. 5. Keluarga Arafah dan sahabat-sahabat alumni UTM di Sekolah Pascasarjana IPB atas semangat dan dukungan. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), atas pemberian beasiswa melalui skema Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016 Mojiono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Mi Non Gluten Teknologi Ekstrusi Response Surface Methodology (RSM)
3 3 3 5
3 METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Pembuatan Mi Penetapan Batas Atas dan Bawah Rancangan Penelitian Optimasi dan Verifikasi Analisis Gelatinisasi Tekstur dan Elongasi Cooking Loss (CL) Pengukuran Kecerahan Daya Cerna Pati Analisis Data
5 5 5 6 6 6 7 7 8 8 8 9 9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Gelatinisasi Pati Singkong dan Komposit Analisis Respon Mi Pati Singkong Elongasi dan Cooking Loss Kualitas Tekstural Kecerahan Mi Optimasi dan Verifikasi Mi Studi Komparasi Daya Cerna Pati
10 10 12 14 17 19 20 22
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
24 24 24
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
28
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Profil karakteristik mi bebas gluten dari berbagai bahan baku Kombinasi formula dan suhu proses berdasarkan rancangan Combined Design Profil pasta pati singkong dan komposit Hasil pengukuran tiap respon Rekapitulasi hasil analisis statistik terhadap respon percobaan Sasaran dan tingkat kepentingan yang digunakan untuk optimasi
4 7 10 13 13 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Ekstruder ulir ganda yang digunakan di dalam penelitian. Keterangan gambar: (a) ulir, (b) die atau cetakan, (c) papan kontrol, (d) barrel, (e) penampilan keseluruhan ekstruder. Profil gelatinisasi pati singkong dan komposit menggunakan instrumen RVA. Plot permukaan untuk respon elongasi (a) dan cooking loss (b). Plot permukaan untuk respon kekerasan (a) dan adesivitas (b). Plot permukaan untuk respon kecerahan mi. Plot permukaan (a) dan plot kontur (b) nilai desirability kondisi optimum. Mi pati singkong yang dibuat pada kondisi optimum. Mi kering (a), mi yang sudah direhidrasi (b). Daya cerna pati pada mi pati singkong, mi jagung, dan mi terigu
5 11 14 18 20 21 21 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Analysis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut profil gelatinisasi pati singkong dan komposit. Analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut daya cerna pati 3 jenis mi.
28 31
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Diversifikasi menjadi inovasi bagian penting untuk mendukung upaya ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan didorong oleh setidaknya dua faktor utama yaitu mewujudkan prinsip pangan 3B (beragam, bergizi, dan berimbang) dan sebagai usaha mengonversi sumber karbohidrat lokal menjadi produk pangan. Mi dipilih sebagai vehicle diversifikasi pangan karena dapat dikonsumsi oleh hampir semua lapisan masyarakat dan dapat dikonsumsi sebagai pangan pokok anternatif. Pati singkong adalah salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai kandidat bahan baku mi dengan beberapa keunggulan yaitu suhu gelatinisasi yang rendah dan pasta yang jernih (Kasemsuwan et al. 1998) sehingga mendukung penampilan fisik mi. Selain itu, mi berbahan pati singkong dapat dikembangkan sebagai pangan bebas gluten karena tidak mengandung protein gluten. Produk pangan bebas gluten (gluten-free product) telah mendapatkan respon serius oleh ahli pangan dunia seiring dengan meningkatnya jumlah penderita celiac disease (CD) atau intoleransi terhadap gluten (Gallagher et al. 2004). Rata-rata peningkatan insiden CD diperkirakan mencapai 9.77±8.27% per tahun di seluruh dunia (Lerner et al. 2015). Studi pati singkong sebagai bahan baku produk pangan bebas gluten telah dilakukan, antara lain kombinasi pati singkong termodifikasi ikat silang dengan pati jagung tinggi amilosa untuk pembuatan mi (Kasemsuwan et al. 1998) dan campuran pati singkong, bagasse singkong, dan tepung amaranth (Amaranthus cruentus) untuk pembuatan pasta bebas gluten (Fiorda et al. 2013). Berbeda dengan mi dari terigu yang mengandung gluten, pembentukan struktur mi pati bergantung pada proses gelatinisasi pati untuk menghasilkan jaringan mi yang kuat. Pembuatan mi pati dengan teknologi konvensional sebagai berikut: (1) pencampuran pati untuk membentuk adonan, (2) proses ekstrusi untuk pencetakan dan dilanjutkan dengan pemasakan untuk gelatinisasi, (3) pendinginan (cooling) di air dingin, (4) penyimpanan pada suhu dingin (holding), (5) perendaman di air, dan selanjutnya pengeringan (Tan et al. 2009). Penggunaan ekstruder atau cooking-forming extruder memberikan beberapa keuntungan antara lain adanya proses gelatinisasi, efek tekanan dan pengadonan yang diperlukan untuk membentuk struktur mi yang kokoh. Dibandingkan dengan teknik konvensional, mi yang dibuat menggunakan ekstruder jenis ini tidak perlu menggunakan pati pra gelatinisasi dan tidak memerlukan perebusan setelah proses ekstrusi (Tan et al. 2009, Wang et al. 2012). Dengan demikian, teknologi ekstrusi ini memberikan banyak keuntungan dalam pengembangan mi berbasis pati. Selain aspek proses, kualitas mi pati juga ditentukan oleh penambahan ingridien pendukung antara lain soy protein isolate (SPI). SPI dilaporkan mampu memperbaiki karakteristik fisik mi pati kentang antara lain menurunkan adesivitas, menaikkan elongasi dan tensile strength (Takahashi et al. 1986). Penambahan SPI juga dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein mi. Selain kualitas fisik, penambahan bahan tertentu di dalam formulasi mi dikaitkan dengan
2 peningkatan manfaat fungsional. Bekatul merupakan produk samping dari penggilingan padi yang telah diketahui memiliki komponen fungsional antara lain serat, vitamin B1, tokoferol, dan γ-orizanol (Kurniawati et al. 2014). Salah satu manfaat fungsional yang diharapkan melalui penambahan bekatul adalah penurunan daya cerna. Informasi ilmiah mengenai formulasi mi dan aplikasi teknologi ekstrusi dalam pembuatan mi pati singkong masih terbatas. Oleh karena itu, studi optimasi diperlukan untuk menemukan kombinasi formula dan kondisi proses yang mampu menghasilkan kualitas mi yang optimal. Perumusan Masalah Kualitas mi dipengaruhi oleh banyak variabel antara lain formula dan kondisi proses. Pada aspek formula, penambahan bahan pendukung antara lain SPI dan bekatul akan memengaruhi karakteristik pati singkong, yang turut berkontribusi terhadap kualitas mi. Analisis gelatinisasi pati singkong dan komposit dilakukan di dalam penelitian ini. Peran SPI diperlukan untuk memperbaiki struktur internal mi sehingga mi terbentuk dengan baik. Penambahan bekatul pada mi diharapkan berkontribusi terhadap peningkatan manfaat fungsional, antara lain nilai daya cerna. Suhu ekstrusi menjadi variabel penting untuk menginduksi gelatinisasi pati selama adonan di dalam barrel. Kombinasi formula (penambahan SPI dan bekatul) dan proses (suhu ekstrusi) untuk menghasilkan mi pati singkong optimum dipelajari di dalam riset ini melalui studi optimasi. Selanjutnya, analisis daya cerna pati mi hasil optimasi dilakukan, kemudian dibandingkan dengan mi komersial. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan studi optimasi untuk memperoleh mi pati singkong yang optimum. Adapun tujuan khusus dari penelitian adalah: 1. Mengetahui pengaruh penambahan bekatul dan SPI terhadap profil gelatinisasi pati singkong. 2. Mendapatkan kombinasi variabel bahan (penambahan bekatul dan SPI) dan variabel proses (suhu ekstrusi) untuk memperoleh respon mi pati singkong yang optimum. 3. Mengetahui potensi manfaat fungsional mi pati singkong yaitu daya cerna pati, serta membandingkan dengan mi komersial. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan beberapa manfaat. Pertama, luaran (output) utama dari studi optimasi kualitas mi pati singkong ini ialah kombinasi formula dan proses untuk pembuatan mi yang optimum. Data ini selanjutnya dapat dimanfaatkan peneliti berikutnya untuk pengembangan mi berbahan pati singkong. Kedua, penelitian ini mendukung pemanfaatan sumber karbohidrat lokal sebagai bahan pangan, sehingga berkontribusi dalam upaya diversifikasi pangan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Mi Non Gluten Sebagai salah satu sumber energi utama di banyak negara Asia, mi memiliki variasi bentuk dan formula, dan bisa diproduksi dari beragam bahan antara lain terigu, beras, soba (buckwheat), dan pati dari kentang, ubi jalar, dan kacang-kacangan (Fu 2008). Diantara bahan tersebut, terigu masih menjadi bahan utama mi yang superior. Dengan demikian, berdasarkan bahan baku, mi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu mi terigu dan mi non terigu. Mi terigu mengandalkan kinerja protein gluten (glutenin dan gliadin) untuk membentuk struktur mi yang kokoh dan elastis. Pembentukan struktur ini dapat terjadi melalui proses pembentukan adonan (hidrasi tepung terigu) di suhu ruang. Oleh karena itu, gluten menjadi determinan utama pembuatan mi terigu. Mi bebas gluten juga dikenal dengan gluten-free noodle karena bahan utama yang digunakan tidak mengandung gluten. Bahan utama mi non gluten bisa berbentuk tepung dan pati. Berbeda dengan mi terigu, pembentukan struktur mi bebas gluten bergantung pada proses gelatinisasi pati untuk menghasilkan jaringan mi yang kokoh. Saat proses gelatinisasi, granula pati akan mengalami pembengkakan (swelling) hingga tercapai kondisi maksimum (viskositas puncak). Pada saat inilah, granula pati pecah dan komponen di dalam granula utamanya amilosa keluar meninggalkan granula. Fraksi amilosa inilah yang berperan membentuk jaringan mi yang kuat melalui proses reaosiasi rantai amilosa. Gelatinisasi dan retrogradasi dapat dipengaruhi banyak faktor khsususnya jenis pati. Oleh karena itu, karakteristik pati menjadi faktor fundamental yang dapat menentukan kualitas akhir mi. Eksplorasi sumber karbohidrat non gluten untuk pembuatan mi sudah banyak dilakukan, mulai dari substitusi parsial sampai substitusi penuh tanpa menggunakan terigu. Formula mi juga berasal dari kombinasi beberapa jenis pati untuk memperbaiki mutu mi. Rangkuman penelitian inovasi mi dari bahan non gluten disajikan di dalam Tabel 1. Teknologi Ekstrusi Definisi ekstrusi adalah proses yang melibatkan pemberian tekanan dan daya dorong terhadap suatu bahan pangan di bawah kondisi tertentu (variasi kecepatan mixing, panas, dan tekanan) melewati die plate (tahanan) yang didisain untuk memberi bentuk yang diinginkan. Di dalam teknologi pangan, ekstruder dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan, antara lain pembuangan gas (degassing), dehidrasi, gelatinisasi, pasteurisasi dan sterilisasi, homogenisasi, dan pencentakan (Riaz 2000). Secara umum, proses ekstrusi baik pada jenis ulir tunggal maupun ganda dibagi menjadi 3 zona, yaitu feeding, kneading, dan final cooking. Di zona feeding, kerapatan bahan (adonan) masih rendah. Pengaturan kadar air masih bisa dilakukan di zona ini untuk menyesuaikan viskositas, tekstur serta meningkatkan transfer panas. Bahan selanjutnya didorong menuju zona kneading, di mana suhu dan tekanan mulai naik, mengakibatkan densitas ekstrudat meningkat. Tekanan
4 geser (shear rates) akan mencapai titik paling tinggi di zona final cooking akibat pengaruh konfigurasi ulir (Huber 2010). Tabel 1 Profil karakteristik mi bebas gluten dari berbagai bahan baku Bahan Baku Invensi Referensi Tapioka Mi yang terbuat dari kombinasi tapioka Kasemsuwan et termodifikasi (pati ikat silang) dengan pati al. (1998) tinggi amilosa menghasilkan mi yang baik. Modifikasi tersebut mampu meningkatkan gel strength pati yang berkontribusi pada pembentukan struktur mi. Pati kentang Mi yang terbuat dari pati kentang dan ubi jalar Chen et al. dan ubi jalar dengan ukuran granula kecil (< 20 µm) lebih (2003) (sweet potato) baik dari pada ukuran granula besar (> 20 µm). Hal ini berkaitan dengan area permukaan spesifik yang lebih besar dimiliki oleh pati dengan granula kecil. Pati Jagung Bihon berhasil dibuat dengan pati jagung Tam et al. normal (amilosa sekitar 28%) karena (2004) gelatinisasi yang diperlukan untuk membentuk struktur bihon terjadi sempurna. Pati sagu Modifikasi pati sagu dengan teknik HMT Purwani et al. termodifikasi (heat moisture treatment) dapat digunakan (2006) untuk meningkatkan kualitas mi sagu. Kecenderungan retrogradasi pati meningkat pada hamper smeua jenis pati sagu akibat HMT. Pati kentang Mi berbahan pati kentang dengan pati beras Sandhu et al. dan beras (1:1) dapat dibuat dengan baik. Kombinasi (2010) tersebut meningkatkan stabilitas terhadap panas, dari pada hanya menggunakan pati kentang saja. Tepung Laju pengumpanan yang tinggi (2.10 g/detik) Muhandri et al. jagung menghasilkan cooking loss dan elongasi mi (2013) jagung yang lebih baik karena adonan mendapatkan tekanan yang cukup di zona kompresi. Guar gum juga mampu menaikkan elongasi dan menurunkan cooking loss mi jagung. Tepung beras Tensile strength dan elongasi mi beras Wandee et al. dan pati meningkat akibat substitusi 20% cross linked (2015) ganyong canna starch, sedangkan substitusi dengan (canna starch) debranched retrograded canna starch menghasilkan total asam lemak rantai pendek dan butirat tertinggi yang mengindikasikan potensinya sebagai sumber prebiotik.
5 Response Surface Methodology (RSM) RSM merupakan gabungan dari teknik matematik dan statistik yang digunakan untuk memperbaiki (improving), mengembangkan (developing) dan mengoptimasi (optimizing) kombinasi variabel agar memperoleh respon paling optimal. Teknik optimasi RSM ini digunakan pada beberapa variabel input yang berpotensi memengaruhi hasil pengukuran atau karakteristik suatu produk atau proses. Karakteristik yang dipengaruhi oleh input disebut dengan respon atau dependent variables (Myers et al. 2009).
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Oktober 2014 hingga Maret 2016. Mi dibuat di F-Technopark Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis dilakukan di beberapa laboratorium di lingkungan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bahan dan Alat Pati singkong komersial sebagai bahan utama mi dibeli di pasar Bogor. Bekatul terstabilisasi berasal dari padi varietas IR 64. Bahan lain yang digunakan adalah glycerol monostearate (GMS), soybean protein isolate (SPI), dan enzim αamilase (Sigma Aldrich).
Gambar 1 Ekstruder ulir ganda yang digunakan di dalam penelitian. Keterangan gambar: (a) ulir, (b) die atau cetakan, (c) papan kontrol, (d) barrel, (e) penampilan keseluruhan ekstruder. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah dough mixer, ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256, cetakan terdiri atas 8 lubang, masingmasing dengan diameter 2.5 mm), pengering rak, texture analyzer (TA-XT2), rapid visco analyzer (RVA) (Newport Scientific), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu), Chromameter (Minolta CR 310).
6 Pembuatan Mi Mi pati singkong dibuat dengan 5 tahapan utama, yaitu (1) penimbangan bahan dan pencampuran untuk membuat adonan, (2) proses ekstrusi, (3) pendinginan pada suhu ruang selama 15 menit dan pembentukan, (4) pengeringan pada suhu 50 °C selama 2.5 jam, dan (5) pengemasan. Setiap formula mi dibuat dengan 2 kg pati singkong. Persentase jumlah penambahan air, GMS, dan SPI berdasarkan jumlah pati singkong. Deskripsi esktruder yang digunakan untuk pembuatan mi disajikan pada Gambar 1. Penetapan Batas Atas dan Bawah Penentuan variabel penelitian dilakukan setelah melalui proses uji coba dan studi literatur. Dari aspek proses, suhu ekstrusi (suhu pada 3 zona pemanasan) dipilih sebagai variabel proses. Sementara itu, penambahan SPI diharapkan mampu meningkatkan kualitas fisik mi, sedangkan penambahan bekatul untuk meningkatkan manfaat fungsional mi. Kedua komponen ini dipilih sebagai variabel bahan. Batas atas dan bawah untuk variabel proses ditetapkan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Suhu proses yang diujicobakan ialah 50, 60, 70, 80, dan 90 °C. Karakteristik mi yang dihasilkan pada suhu ekstrusi 50 °C lembek dan mudah patah. Pada kondisi ini, untaian mi berwarna putih yang mengindikasikan pemasakan adonan belum tercapai. Sementara itu, mi yang diproses pada suhu 90 °C menjadi lengket yang ditunjukkan dengan sulitnya memisahkan antar untaian mi yang keluar dari cetakan. Penambahan SPI diharapkan dapat memperbaiki kualitas mi. Untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas mi pati singkong, maka SPI ditambahkan 0-10%. Menurut Chen et al. (2011), penambahan bekatul hingga 5-10% mampu menghasilkan mi yang cukup baik. Penambahan bekatul pada penelitian ditetapkan sebesar 5-15% untuk memberikan kisaran lebih lebar. Penetapan level tiap variabel dibantu oleh software. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan combined design dari RSM untuk mengoptimasi formula dan proses pembuatan mi dengan bantuan perangkat lunak Design Expert 7.0® dari Stat Ease. Kombinasi perlakuan yang terdiri atas penambahan bekatul (X1), penambahan SPI (X2), dan suhu ekstrusi (X3) disajikan pada Tabel 2. Respon penelitian antara lain elongasi, cooking loss, kekerasan, adesivitas, dan kecerahan. Tiap respon memiliki persamaan atau model matematika yang menunjukkan pengaruh variabel terhadap respon. Kriteria utama yang digunakan untuk menentukan persamaan yang dipakai dalam optimasi yaitu signifikansi model (p<0.05), lack of fit (p>0.05) pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, model harus mempunyai nilai adequate precision di atas 4, serta selisih adjusted R2 dengan nilai perkiraan model (predicted R2) kurang atau sama dengan 2.
7 Tabel 2 Kombinasi formula dan suhu proses berdasarkan rancangan Combined Design Formula 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
X1 (%) 5.0 12.5 5.0 7.5 5.0 10.0 15.0 10.0 15.0 15.0 7.5 12.5 15.0 5.0 5.0 10.0 15.0 15.0 10.0
Variabel X2 (%) X3 (°C) 10.0 65 2.5 70 10.0 75 7.5 80 10.0 65 5.0 85 0.0 85 5.0 75 0.0 65 0.0 75 7.5 70 2.5 80 0.0 70 10.0 85 10.0 85 5.0 65 0.0 65 0.0 85 5.0 85
Keterangan: X1 = bekatul, X2 = SPI, X3 = suhu ekstrusi
Optimasi dan Verifikasi Kombinasi kondisi proses dan formulasi optimal ditentukan berdasarkan nilai keinginan (desirability) yang paling mendekati 1.0 melalui tahap optimasi. Tahap optimasi terdiri dari dua komponen yaitu penentuan tujuan (goal) dan skala prioritas. Tujuan (maximize, minimize, in range, target, dan none) tiap respon ditetapkan sesuai kebutuhan. Selain itu, tiap respon memiliki skala prioritas yang ditunjukkan dengan nilai importance mulai dari 1 (+) sampai 5 (+++++). Verifikasi dilakukan untuk mengonfirmasi prediksi model yang diperoleh di tahap optimasi berdasarkan nilai kisaran pada CI (confidence interval). Tahapan ini dikerjakan sebanyak 5 ulangan. Analisis Gelatinisasi Analisis gelatinisasi pati dilakukan untuk mendapatkan informasi karakteristik pati singkong dan komposit (berdasarkan formula batas bawah dan batas atas) antara lain suhu gelatininasi, waktu gelatinisasi, dan viskositas. Komposit terdiri atas campuran pati singkong, GMS, SPI, dan bekatul. Instrumen yang dipakai adalah rapid visco analyzer (RVA). Kondisi analisis ditetapkan sesuai dengan standar 2 pada alat. Sampel dimasukkan ke dalam canister (tabung khusus untuk analisis) dan ditambahkan akuades (jumlah akuades yang
8 ditambahkan berdasarkan kadar air sampel) hingga berbentuk bubur pati. Bubur pati dipanaskan dari suhu 50 °C hingga mencapai suhu 95 °C dan dipertahankan selama 5 menit (holding). Selanjutnya suhu diturunkan hingga mencapai 50 °C dan dipertahankan selama 2 menit. Eksperimen dilakukan dengan 2 kali ulangan. Tekstur dan Elongasi Profil tekstur dan elongasi mi dievaluasi menggunakan texture analyzer (TAXT-T2, Stable Micro Systems). Karakteristik fisik mi yang diukur adalah kekerasan (hardness) dan adesivitas (adhesiveness). Untaian mi dimasak di dalam 300 mL air selama 6 menit, mi diangkat dan kemudian ditiriskan. Dua helai mi diletakkan di sample holder dan ditekan menggunakan probe silinder (diameter 35 mm) dengan kecepatan 1 mm per detik dan distance ditetapkan sebesar 75%. Absolute peak (+) dicatat sebagai nilai kekerasan (gf), sedangkan absolute peak (-) dicatat sebagai nilai adesivitas (gf). Untuk analisis elongasi, satu untai mi rehidrasi dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan 0.3 cm/det. Persen elongasi dihitung dengan rumus: Elongasi (%)=
Waktu putus sampel (det) × 0.3 cm/det ×100% 2 cm Cooking Loss
Penentuan cooking loss dilakukan dengan metode sebagai berikut. Mi (5 g) direbus di dalam 150 ml air selama 6 menit lalu mi ditiriskan dan dikeringkan pada suhu 100 °C hingga tercapai berat konstan kemudian ditimbang kembali. Mi yang lain (5 g) diukur kadar airnya (digunakan untuk menghitung berat kering sampel). Cooking loss dihitung dengan rumus berikut: a-b Cooking Loss (%) = ×100% a Keterangan: a : berat kering sampel sebelum direbus, b : berat kering sampel sesudah direbus Pengukuran Kecerahan Nilai kecerahan mi diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan Chromameter. Mi dipotong sepanjang sekitar 1.5 cm dan ditempatkan dalam wadah sampel uji hingga seluruh wadah sampel dipenuhi potongan mi. Kecerahan ditunjukkan dengan nilai L. Semakin tinggi nilai L, kecerahan mi semakin tinggi.
9 Daya Cerna Pati Sebelum analisis, mi dihaluskan sehingga berbentuk serbuk kemudian dibuat suspensi (1%) dan dipanaskan sehingga mencapai suhu 90 °C, dan didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.0 kemudian diinkubasikan pada penangas air pada suhu 37 °C selama 15 menit. Kemudian larutan ditambahkan enzim α-amilase dan diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 30 menit. Sebanyak 1 ml dari campuran tersebut kemudian dimasukkan ke tabung reaksi yang sudah berisi 2 ml pereaksi DNS (dinitrosalisilat) selanjutnya dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit, dan kemudian didinginkan. Setelah dingin, 10 ml air destilata ditambahkan untuk reaksi pengenceran. Warna jingga-merah terbentuk dari reaksi dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur yang sama. Daya cerna sampel dihitung sebagai presentasi terhadap pati murni: Daya cerna pati (%) =
Kadar amilosa sampel setelah reaksi enzimatis × 100% Kadar amilosa pati murni setelah reaksi enzimatis Analisis Data
Analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan (α = 0.05) data profil gelatinisasi dan analisis daya cerna pati dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS Edisi 16. Disain percobaan dan analisis statistik data untuk proses studi optimasi menggunakan perangkat lunak Design Expert 7.0® (trial version) dari Stat Ease.
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Gelatinisasi Pati Singkong dan Komposit Dalam formulasi produk berbahan pati, penambahan ingridien pendukung dapat memengaruhi profil gelatinisasi pati (native). Di dalam penelitian ini, analisis gelatinisasi dilakukan pada pati singkong dan komposit yang terdiri atas pati singkong, bekatul, SPI, dan GMS. Beberapa parameter yang penting diamati pada profil gelatinisasi pati adalah peak viscosity (PV), breakdown viscosity (BV), final viscosity (FV), setback viscosity (SV), pasting temperature (Ptemp), dan peak time (PT). PV merupakan viskositas yang tercapai saat granula pati mengembang maksimum selama fase pemanasan, sedangkan BV adalah selisih viskositas puncak dengan viskositas yang tercapai di tahap pemanasan pada suhu 95°C. FV adalah viskositas yang tercapai di akhir tahap pendinginan pada suhu 50 °C, sedangkan SV diperoleh sebagai selisih antara FV dengan viskositas maksimum pada tahap pemanasan. Ptemp merupakan suhu pada saat viscograph mulai membaca nilai viskositas, sementara PT ditentukan pada saat viskositas mencapai puncak. Tabel 3 Profil pasta pati singkong dan komposit Sampel Pati KBB KBA
PV (cP)
BV (cP) c
FV (cP) c
5854.5±19.1 3854.0±62.2 4836.0±79.2 b 2456.0±125.9b 3372.5±47.4 a 1193.0±93.3a
3312.0±108.9 3824.5±16.3b 4026.0±86.3b
SV (cP) a
PTemp. (°C) a
1311.5±19.5 67.85±0.28a 1444.5±30.4a 70.03±0.04b b 1846.5±132.2 72.08±0.04c
KBB: komposit batas bawah; KBA: komposit batas atas PV: peak viscosity; BV: breakdown viscosity; FV: final viscosity; SV: setback viscosity; PTemp: pasting temperature. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada uji Duncan (α=0.05)
Analisis gelatinisasi memberikan informasi karakterisasi pati singkong dan komposit yang digunakan dalam pembuatan mi. Penambahan komponen tambahan antara lain bekatul, SPI, dan GMS pada pati singkong mengakibatkan perubahan signifikan profil pasta (Tabel 3). PV dan BV komposit lebih rendah dibandingkan dengan pati singkong (p<0.05). KBA memiliki nilai PV paling rendah yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi fraksi non pati pada komposit mengakibatkan penurunan viskositas. Pola penurunan nilai PV pada ketiga sampel juga terjadi pada nilai BV, semakin tinggi keberadaan fraksi non pati mengakibatkan nilai BV yang semakin rendah. Kendati demikian, nilai FV dan SV pada kedua komposit cenderung lebih tinggi daripada pati singkong. Meskipun nilai FV antar komposit tidak berbeda nyata (p>0.05), KBA memiliki nilai SV yang lebih tinggi dibandingkan KBB (p<0.05). Nilai SV pati singkong tidak berbeda nyata dengan KBB (p<0.05). Ptemp juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah fraksi non pati yang ditambahkan. Nilai Ptemp berbeda nyata pada ketiga sampel (p<0.05). Waktu untuk mencapai viskositas puncak (PT) meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan jumlah bekatul dan SPI (data tidak ditampilkan di tabel),
11 yaitu pati singkong 5.6 menit, KBB 9.1 menit, dan KBA 9.7 menit. Dengan demikian, karakteristik pasta mengalami sejumlah perubahan signifikan antara lain viskositas pasta, suhu gelatinisasi, dan waktu puncak akibat inkorporasi komponen tambahan yaitu bekatul, SPI, dan GMS.
Pati Singkong
7000
KBB
KBA
Suhu
120 100
5000
80
4000 60 3000 40
2000
Suhu (°C)
Viskositas (cP)
6000
20
1000 0
0 0
5
10
15
20
25
Waktu (menit) Gambar 2 Profil gelatinisasi pati singkong dan komposit menggunakan instrumen RVA. Deskripsi profil pasta pati singkong dan komposit juga ditampilkan pada Gambar 2. Gambar 2 memperlihatkan secara jelas perubahan profil gelatinisasi pati singkong, KBB dan KBA. Gelatinisasi pati dapat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain sumber pati, ukuran granula, keberadaan komponen seperti lemak dan protein, proses pengadukan, dan kondisi pemanasan. Terjadinya perubahan profil gelatinisasi pati singkong ini disebabkan oleh keberadaan fraksi non pati di dalam komposit. Adanya kompetisi antara protein dan air untuk berinteraksi dengan air menyebabkan penghambatan aktivitas pembengkakan granula (granule swelling) pati, sehingga mengubah profil gelatinisasi (Mohamed dan Rayas-Duarte 2003). Semakin tinggi fraksi non pati di dalam komposit, potensi penghambatan pembengkakan granula pati semakin tinggi. Akibatnya, PV komposit lebih rendah dibandingkan dengan pati singkong. Penurunan nilai viskositas puncak diikuti oleh penurunan BV. Pengamatan terhadap pengaruh penambahan bekatul terhadap penurunan PV dan BV juga dilakukan pada pembuatan dry white chinese noodle. Bekatul menjadi kontributor penurunan nilai PV dan BV (Chen et al. 2011). Penghambatan pembengkakan granula pati juga mengakibatkan waktu yang diperlukan untuk mencapai viskositas puncak bertambah lama, akibatnya PT meningkat. Aktivitas inhibisi pembengkakan granula juga berimbas pada peningkatan Ptemp. Kondisi ini juga terjadi pada campuran protein gluten dan pati gandum (Mohamed dan Rayas-Duarte 2003), yaitu terjadi peningkatan suhu gelatinisasi akibat penambahan protein. Perilaku gelatinisasi pati singkong dan komposit (Gambar 2) menyajikan informasi penting untuk memprediksi kualitas mi pati singkong yang dihasilkan.
12 Bahkan, karakterisasi pasta pati dapat menjadi metode yang tepat untuk memprediksi kualitas mi (Collado dan Corke 1997; Hormdok dan Noomhorm 2007). Salah satu indikator penting yang dapat dipakai dari karakterisasi pati dan komposit adalah perilaku pasta saat fase pemanasan dan pendinginan. Pada saat pemanasan berlangsung, kestabilan viskositas pasta ditunjukkan dengan BV. Nilai BV yang kecil mengindikasikan kemampuan pasta pati untuk mempertahankan viskositasnya. Pada penelitian ini, BV komposit lebih rendah dari pada BV pati singkong (p<0.05) yang menunjukkan bahwa viskositas komposit lebih stabil. Karakteristik ini penting dimiliki oleh adonan mi pati singkong. Selama proses ekstrusi, adonan akan mendapatkan panas agar pati mengalami gelatinisasi. Stabilitas adonan di dalam barrel diperlukan untuk mendukung pembentukan struktur mi. Selain stabilitas pasta selama pemanasan, perilaku viskositas selama fase pendinginan juga menjadi indikator penting untuk prediksi kualitas mi. SV dapat menjadi representasi perilaku pasta selama proses pendinginan. Semakin tinggi SV dikaitkan dengan peningkatan kualitas mi. SV yang semakin tinggi menunjukkan kecenderungan terjadinya retrogradasi yang semakin besar. Karakteristik ini diperlukan di dalam pembuatan mi pati singkong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KBA memiliki SV yang lebih tinggi dari pada KBB dan pati singkong. SV komposit yang tinggi memberikan kontribusi positif terhadap pembentukan jaringan mi pati singkong karena kecenderungan terjadinya retrogradasi yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tam et al. (2004) pada pembuatan bihun berbahan pati jagung menggunakan ekstruder pencetak (fabricated laboratory extruder). Bihun dibuat dari 3 jenis pati jagung berdasarkan kandungan amilosa, yaitu rendah (0.28-3.8%), normal (27.7-28.8%), dan tinggi (40-60.8%). Hasil studi menunjukkan bahwa pati dengan amilosa normal cocok digunakan sebagai bahan baku bihun. Data RVA juga memperlihatkan bahwa SV dari pati normal (1525-1645 cP) jauh lebih tinggi dibandingkan pati rendah amilosa (429-511) dan tinggi amilosa (17-232 cP). Selain beberapa parameter RVA di atas, nilai stability ratio (STR) dan setback ratio (SER) juga dapat dikaitkan dengan profil kualitas mi pati. STR diperoleh dari rasio hot paste viscosity dan peak viscosity (HPV/PV), sedangkan SER adalah rasio final viscosity dan hot paste viscosity (FV/HPV). Data RVA menunjukkan bahwa HPV pati singkong, KBB, dan KBA secara berturut-turut adalah 2000.5, 2380, dan 2179.5. Maka STR ketiga sampel tersebut adalah 0.34, 0.49, 0.65, sedangkan SER yaitu 1.66, 1.61, dan 1.85. Semakin banyak fraksi non pati yang ditambahkan pada pati, STR dan SER juga meningkat. STR yang tinggi mengindikasikan bahwa viskositas komposit lebih stabil selama pemanasan dari pada pati singkong, sedangkan SER yang tinggi menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang tinggi. Analisis Respon Mi Pati Singkong Secara umum, studi optimasi menggunakan Design-Expert 7.0 (DX-7) ditempuh dengan beberapa tahap, yaitu pemilihan disain optimasi, tahap analisis data, dan tahap optimasi. Pada bab ini, data hasil pengukuran 5 respon telah diperoleh, sehingga data siap dianalisis. Data hasil pengukuran respon yang didapatkan dari 19 run atau formula disajikan pada Tabel 4.
13 Tabel 4 Hasil pengukuran tiap respon Variabel Formula X1 X2 X3 Y1 (%) (%) (%) (°C) 1 5.0 10.0 65 128.4 2 12.5 2.5 70 133.5 3 5.0 10.0 75 214.2 4 7.5 7.5 80 261.3 5 5.0 10.0 65 83.3 6 10.0 5.0 85 114.5 7 15.0 0.0 85 166.1 8 10.0 5.0 75 130.1 9 15.0 0.0 65 96.2 10 15.0 0.0 75 123.6 11 7.5 7.5 70 205.4 12 12.5 2.5 80 183.4 13 15.0 0.0 70 137.6 14 5.0 10.0 85 229.3 15 5.0 10.0 85 172.7 16 10.0 5.0 65 77.4 17 15.0 0.0 65 102.4 18 15.0 0.0 85 147.3 19 10.0 5.0 85 236.6
Y2 (%)
Respon Y3 (gf)
Y4 (gf)
Y5
8.7 7.9 4.1 4.6 10.1 4.9 3.6 6.9 10.0 5.4 8.7 5.1 6.6 4.2 3.6 9.9 11.8 5.2 5.9
3415.1 3499.2 8563.3 5825.7 2727.6 5153.7 8328.3 4174.0 4229.7 4889.9 4201.5 5842.0 4350.6 8595.2 8467.3 3286.6 3761.2 5411.8 4959.2
93.9 81.9 237.4 104.9 44. 60.9 179.9 81.7 160.9 70.9 79.9 111.7 102.4 256.4 324.03 72.1 133.3 101.7 91.4
61.6 50.3 47.8 49. 3 63.9 45.5 39.9 53.7 59.0 44.9 56.9 44.7 47.2 45.4 46.9 61.7 57.7 40.2 45.8
Keterangan: X1 = bekatul, X2 = SPI, X3 = suhu ekstrusi Y1 = elongasi, Y2 = cooking loss, Y3 = kekerasan, Y4 = adesivitas, Y5 = kecerahan
Pemilihan model tiap respon dilakukan berdasarkan beberapa kriteria (Tabel 5). Signifikansi model menjadi kriteria utama. Model yang signifikan menunjukkan bahwa perubahan pada variabel berdampak nyata terhadap respon. Sebaliknya, lack of fit diinginkan tidak signifikan, yang mengindikasikan bahwa data yang diperoleh mampu memenuhi persamaan. Nilai Adj R2 dan predicted R2 yang mendekati 1.0 diinginkan. Sementara itu, nilai adequate precision yang dikehendaki adalah lebih besar dari pada 4. Tabel 5 menunjukkan bahwa semua model respon dinyatakan signifikan (p<0.05), sedangkan lack of fit pada semua semua model adalah tidak signifikan (p>0.05). Dengan demikian, persamaan tersebut sudah dapat digunakan untuk memprediksi nilai respon. Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis statistik terhadap respon percobaan Lack of fit (p>0.05) 0.8324 0.4646
Adj R2 Pred R2 Adeq. model model precision
37.32 1.01
Sig. model (p<0.05) 0.0090 <0.0001
0.5265 0.3849 0.8419 0.7985
6.523 13.93
969.71 36.55 1.71
0.0002 0.0001 <0.0001
0.5127 0.6110 0.0548
0.7432 0.5785 0.7589 0.6118 0.9468 0.8399
10.67 11.02 19.26
Respon
Ratarata
Std. Dev.
Elongasi Cooking loss Kekerasan Adesivitas Kecerahan
154.90 6.70 5246.39 125.76 50.64
14 Elongasi dan Cooking Loss Elongasi dan cooking loss merupakan parameter utama produk mi. Secara umum, mi pati singkong dapat terbentuk dengan baik yang ditunjukkan dengan helaian mi yang tidak mudah patah dan tidak lengket saat keluar dari cetakan. Analisis statistik untuk persamaan respon elongasi dan cooking loss disajikan pada Tabel 5. Model matematik elongasi mi pati singkong sebagai berikut: Elongasi = -30.47x1 - 454.86x2 + 0.85x1 x3 + 12.23x2 x3 - 0.004x1 x3 2 - 0.08x2 x3 2 Elongasi mi biasanya diekspresikan dalam bentuk persentase, yang menunjukkan kemampuan mi untuk mempertahankan strukturnya saat diberikan gaya tarik. Semakin besar persentasenya, maka kualitas mi semakin baik. Berdasarkan persamaan respon elongasi, bekatul dan SPI masing-masing memberikan korelasi negatif terhadap elongasi (p<0.05), akan tetapi kombinasi SPI dengan suhu ekstrusi menunjukkan korelasi positif pada level interaksi linier dan korelasi negatif pada level interaksi kuadratik (p<0.05). Informasi ini mengindikasikan bahwa kombinasi variabel bahan dan proses tampak memberikan kontribusi terhadap elongasi mi pati singkong, meskipun interaksi bekatul dengan suhu ekstrusi tidak signifikan baik pada level linier maupun kuadratik (p>0.05). Visualisasi hubungan antara ketiga variabel dengan respon elongasi disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Plot permukaan untuk respon elongasi Plot respon permukaan elongasi (Gambar 3) menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstrusi cenderung menaikkan nilai elongasi mi, terutama pada kisaran suhu 80 °C. Berdasarkan pengamatan pada Gambar 3, area tercapainya nilai elongasi mi yang tinggi terdapat pada kombinasi bekatul 5-7.5% dan SPI 7.510%. Pembentukan struktur mi mengandalkan proses gelatinisasi pati di dalam adonan, sehingga suhu ekstrusi memberikan peran yang sangat penting. Terjadinya gelatinisasi pati menyebabkan granula pati menjadi pecah, akibatnya komponen di dalam granula yaitu amilopektin dan amilosa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan komponen lain di dalam adonan. Asam
15 lemak tertentu yang terdapat pada bekatul berpeluang membentuk kompleks dengan amilosa dan amilopektin. Selain serat pangan, bekatul juga mengandung lemak yang cukup tinggi, misalnya pada beras cokelat (brown rice) yaitu 16.62±0.05% (Abdul-Hamid dan Luan 2000). Akan tetapi, pembentukan kompleks pati dan lemak dilaporkan menghambat retrogradasi (Fu et al. 2015). Meskipun demikian, data RVA menunjukkan bahwa tendensi retrogradasi pada komposit batas atas lebih besar dibandingkan komposit batas bawah dengan kandungan bekatul yang lebih rendah. Selain membentuk kompleks dengan lemak bekatul, pati juga berinteraksi dengan protein utamanya dari SPI. Suhu ekstrusi dapat mengakibatkan SPI mengalami denaturasi, sehingga kompleks protein-pati lebih mudah terbentuk. Pembentukan kompleks ini turut berkontribusi di dalam pembentukan struktur jaringan mi. Meskipun demikian, studi mengenai kompleks protein-pati, sifat anti-retrogradasi dari kompleks pati-lemak bekatul, dan kaitannya dengan elongasi mi pati singkong masih memerlukan investigasi lebih detil. Terkait dengan penambahan bekatul di dalam formula, penggunaan bekatul dengan ukuran yang lebih kecil dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan elongasi mi. Bekatul yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yang lolos ayakan 60 mesh sehingga ukuran tersebut masih terlalu besar. Akibatnya, keberadaan bekatul menurunkan kekompakan struktur mi yang berdampak pada penurunan kualitas mi antara lain elongasi. Dengan demikian, penggunaan bekatul yang berukuran lebih kecil bisa menjadi opsi untuk memperbaiki kekompakan jaringan mi. Selain itu, bekatul merupakan sumber serat pangan. Keberadaan serat pangan akan menurunkan kekuatan jaringan pati (Marti et al. 2010), sehingga elongasi mi menurun. Selanjutnya, mi bisa mengalami kehilangan bobot karena terjadinya degradasi struktur akibat perebusan. Sebagian komponen mi akan terlarut bersama air saat pemasakan. Hilangnya sebagian komponen mi akibat proses perebusan disebabkan karena lemahnya ikatan antar komponen penyusun jaringan mi. Semakin banyak bagian mi yang luruh, maka nilai cooking loss semakin tinggi. Kehilangan bobot mi tersebut dihitung dan disajikan sebagai persentase cooking loss. Persamaan cooking loss mi pati singkong sebagai berikut: Cooking Loss = 119.50 - 2.76x3 + 0.02x3 2 Pada persamaan respon cooking loss, hanya variabel proses yang berkontribusi terhadap nilai respon. Dengan demikian, variabel bahan tidak menunjukkan pengaruh terhadap cooking loss. Akan tetapi, suhu ekstrusi berkontribusi secara signifikan (p<0.05) terhadap penurunan cooking loss mi. Semakin tinggi suhu proses, cooking loss semakin kecil (Gambar 4). Kondisi ini disebabkan oleh kecukupan gelatinisasi untuk menghasilkan struktur mi yang kokoh. Pada suhu rendah, gelatinisasi tidak terjadi secara sempurna yang mengakibatkan disintegrasi struktur mi lebih mudah terjadi, akibatnya nilai cooking loss menjadi tinggi. Penurunan cooking loss akibat suhu ekstrusi juga dilaporkan di beberapa hasil penelitian. Wang et al. (2012) melaporkan bahwa cooking loss mi dari pea starch menurun seiring peningkatan suhu ekstrusi di ekstruder ulir ganda. Fenomena penurunan cooking loss akibat peningkatan suhu ekstrusi juga terjadi
16 pada pembuatan vermiseli (Charutigon et al. 2008) dan pasta berbahan tepung beras (Marti et al. 2010). Mekanisme pembentukan struktur mi non gluten bergantung pada proses gelatinisasi dan retrogradasi. Data RVA menunjukkan bahwa gelatinisasi dipengaruhi secara signifikan oleh penambahan bekatul dan SPI. Suhu ekstrusi memberikan kontribusi besar agar pati singkong di dalam adonan tergelatinisasi. Konsekuensi adanya gelatinisasi adalah pecahnya granula pati sehingga komponen di dalam granula utamanya amilopektin dan amilosa lebih mudah terekspos dengan komponen non pati di dalam adonan. Hal ini memberikan kesempatan kepada pati untuk berinteraksi dengan ingridien lain di dalam adonan. Selain menginduksi gelatinisasi, panas yang terjadi selama proses ekstrusi juga mengakibatkan denaturasi protein. SPI adalah sumber protein utama di dalam adonan. Denaturasi mengubah struktur protein yang memungkinkan interaksi dengan komponen lain lebih mudah terjadi. Mahmoud et al. (2012) melaporkan penurunan cooking loss mi terigu yang disubstitusi dengan tepung lupin (Lupines albus) sebagai sumber protein. Protein yang terdenaturasi akan lebih mudah membentuk jaringan yang mampu memperangkap pati, sehingga mencegah pati untuk larut bersama air selama pemasanan. Interaksi pati dengan lemak dari bekatul juga memungkinkan berkontribusi di dalam penurunan cooking loss. Lemak dapat membentuk kompleks yang kokoh dengan pati baik bersama amilosa maupun amilopektin (Fu et al. 2015), sehingga mengurangi potensi hilangnya pati yang larut bersama air selama proses rehidrasi. Tingginya nilai SV pada KBA juga mengindikasikan bahwa kecenderungan retrogadasi yang tinggi. Retrogradasi dilaporkan berperan terhadap stabilitas struktur mi selama perebusan (Yadav et al. 2011).
Gambar 4 Plot permukaan untuk respon cooking loss Nilai cooking loss yang tinggi menunjukkan mi sangat mudah mengalami degradasi, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan struktur mi agar tidak mudah luruh selama proses rehidrasi. Penggunaan gum dalam formulasi mi telah banyak dilaporkan mampu menurunkan cooking loss. Yalcin dan Basman (2008) menggunakan dua jenis gum (locust bean gum; LBG dan xanthan gum;
17 XG) untuk memperbaiki parameter mutu mi berbahan beras. Untuk membentuk adonan, sebanyak 25% bagian tepung beras digelatinisasi dan dicampur 75% bagian tepung lainnya, kemudian ditambahkan 3% gum. Hasil studi menunjukkan bahwa cooking loss mi yang mengandung LBG (10.7%) tidak berbeda nyata dengan kontrol (11%). Penggunaan 3% XG mampu secara signifikan menurunkan nilai cooking loss sebesar 10.3%. Sementara itu, Zhou et al. (2013) mempelajari pengaruh penambahan konjac glucomannan (GKM) pada mi berbahan tepung terigu rendah protein. Penambahan KGM (1-5%) mampu secara signifikan menurunkan nilai cooking loss. Keberadaan KGM di dalam formula berpartisipasi untuk memperkuat pembentukan struktur mi oleh gluten. Kualitas Tekstural Analisis statistik respon kekerasan dan adesivitas dapat dilihat pada Tabel 5. Model matematika untuk kedua respon tersebut dinyatakan signifikan (p<0.05) serta lack of fit yang tidak signifikan (p>0.05). Dengan demikian, persamaan tersebut dapat dipakai untuk memprediksi respon. Model matematik respon kekerasan sebagai berikut: Kekerasan = -250.52x1 - 683.99x2 - 67.28x1 x2 + 8.05x1 x3 + 19.73x2 x3 Berdasarkan hasil analisis statistik, semua interaksi variabel memberikan pengaruh signifikan terhadap respon (p<0.05), sedangkan variabel bahan secara individu tidak menunjukkan pengaruh signifikan (p>0.05). Interaksi variabel bahan menunjukkan pengaruh negatif, sementara bekatul dengan suhu ekstrusi dan SPI dengan suhu ekstrusi menunjukkan interaksi positif. Plot permukaan untuk respon kekerasan mi ditampilkan pada Gambar 5. Secara umum, suhu ekstrusi menunjukkan korelasi positif terhadap nilai kekerasan mi. Semakin tinggi suhu proses mengakibatkan kekerasan mi semakin tinggi. Peningkatan suhu proses akan meningkatkan interaksi antar bahan di dalam adonan. Selain itu, suhu proses dapat memengaruhi ketersediaan air di dalam mi. Suhu ekstrusi yang tinggi menghasilkan energi yang besar terhadap adonan di dalam barrel yang menginduksi penguapan air (Yu et al. 2012). Hasil analisis gelatinisasi pati dan komposit dengan RVA memperlihatkan dinamika viskositas selama pemanasan dan pendinginan. Viskositas akhir komposit secara signifikan lebih besar dibandingkan pati singkong. Selain itu, viskositas KBA diketahui semakin tinggi selama proses pendinginan dari pada KBB dan pati singkong yang ditunjukkan dengan nilai viskositas setback. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan nilai kekerasan mi pati singkong, bahwa semakin banyak fraksi non pati yang ditambahkan ke dalam formula menyebabkan kekerasan mi meningkat. Temuan ini didukung oleh Collado dan Corke (1997). Mereka menemukan korelasi positif antara ketegaran (firmness) mi pati ubi jalar dengan STR (r = 0.95, p<0.01), HPV (r = 0.73, p<0.01), FV (r = 0.83, p<0.01) dan PT (r = 0.87, p<0.01). Kekerasan dan ketegaran sama-sama menunjukkan resistensi suatu bahan untuk mengalami deformasi atau perubahan bentuk.
18
Gambar 5 Plot permukaan untuk respon kekerasan Adesivitas merupakan salah satu parameter fisik utama pada mi. Nilai adesivitas yang tinggi tidak diinginkan, karena permukaan mi semakin lengket. Plot permukaan untuk rerspon adesivitas mi ditampilkan pada Gambar 6. Model matematik adesivitas adalah sebagai berikut: Adesivitas = 7.49x1 - 126.90x2 + 12.02x1 x2 + 0.01x1 x3 + 2.11x2 x3 - 0.20x1 x2 x3 Secara statistik, persamaan ini menunjukkan bahwa selain interaksi bekatul dan suhu ekstrusi, semua variabel menunjukkan pengaruh signifikan (p<0.05) terhadap adesivitas. Bekatul secara individu dan interaksinya dengan SPI tampak memberikan pengaruh positif terhadap nilai adesivitas. Efek ini kemungkinan berasal dari sebagian bekatul yang tidak menyatu di dalam adonan dengan baik, sehingga menurunkan kekompakan jaringan mi. Sementara itu SPI memberikan kontribusi berupa penurunan nilai adesivitas. SPI diduga mampu memperbaiki ikatan internal struktur mi melalui pembentukan kompleks protein-pati, sehingga cukup kuat untuk mempertahankan stabilitas permukaan mi selama pemasakan. Meskipun interaksi bekatul dengan suhu ekstrusi dan SPI dengan suhu ekstrusi memberikan pengaruh positif terhadap nilai adesivitas, interaksi ketiga faktor ini secara bersama menunjukkan pengaruh negatif. Data profil gelatinisasi pati dapat digunakan untuk mendapatkan penjelasan lebih detil mengenai pengaruhnya terhadap adesivitas mi. Seperti dipaparkan sebelumnya, STR dan SER pada komposit secara umum lebih tinggi dari pada pati singkong, yang mengindikasikan viskositas komposit yang lebih stabil dan kecenderungan retrogradasi yang lebih tinggi. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan pembentukan struktur mi yang cukup kuat sehingga permukaan cukup resisten terhadap degradasi akibat suhu perebusan. Korelasi antara profil pasta pati dan adesivitas mi pati jalar dilaporkan oleh Collado dan Corke (2007). Adesivitas mi menunjukkan korelasi positif dengan suhu gelatinisasi (r = 0.61, p<0.05) dan STR (r = 0.55%, p<0.05).
19
Gambar 6 Plot permukaan untuk respon adesivitas Kecerahan Mi Persamaan respon kecerahan mi dinyatakan signifikan, serta nilai lack of fit yang tidak signifikan (Tabel 5). Model matematika respon kecerahan mi sebagai berikut: Kecerahan = 31.59x1 + 85.23x2 - 11.19x1 x2 - 0.71x1 x3 - 2.14x2 x3 + 0.30x1 x2 x3 + 0.004x1 x3 2 + 0.01x2 x3 2 -0.002x1 x2 x3 2 Berdasarkan persamaan tersebut, bekatul dan SPI menunjukkan pengaruh positif terhadap nilai kecerahan. Akan tetapi, interaksi kedua bahan tersebut dan interaksinya dengan suhu ekstrusi menunjukkan pengaruh negatif. Secara umum, Gambar 7 memperlihatkan bahwa peningkatan suhu ekstrusi menyebabkan penurunan kecerahan mi. Peran variabel suhu ekstrusi terhadap penurunan kecerahan mi dinyatakan signifikan, baik interaksi linier dengan tiap variabel bahan maupun interaksi kuadratik (p<0.05). Hasil ini mengindikasikan bahwa suhu ekstrusi menjadi variabel penting terhadap mutu visual mi. Secara umum, suhu ekstrusi yang semakin tinggi menyebabkan penurunan kecerahan mi. Hal ini disebabkan suhu proses yang tinggi cukup menginduksi gelatinisasi pati, yang kemudian diikuti oleh pecahnya granula pati. Kondisi ini mengakibatkan interaksi pati dengan ingridien lainnya di dalam adonan meningkat. Marti et al. (2013) menyatakan bahwa suhu berpengaruh nyata terhadap penurunan kecerahan pasta. Penurunan nilai kecerahan mi pati dari kacang pea dan lentil juga dilaporkan oleh Wang et al. (2014). Keberadaan bekatul dan SPI di dalam adonan akan mengubah penampilan pasta pati selama proses gelatinisasi. Pasta pati singkong adalah jernih, namun kejernihannya akan berkurang akibat keberadaan bekatul dan SPI. Penurunan kecerahan akibat penambahan SPI juga terjadi pada mi terigu (Bae dan Rhee 1998) dan ekstrudat berbahan tepung jagung (Yu et al. 2013). Penambahan bekatul juga dilaporkan menurunkan kecerahan adonan mi terigu (Chen et al. 2011) dan spageti (Chillo et al. 2008).
20
Gambar 7 Plot permukaan untuk respon kecerahan mi.
Optimasi dan Verifikasi Mi Penentuan formula dan kondisi optimum dilakukan melalui tahap optimasi. Tabel 6 menujukkan bahwa tiap respon bisa memiliki sasaran dan tingkat kepentingan (importance) yang berbeda. Tingkat kepentingan dimulai dari 1 (+) sampai 5 (+++++). Semakin besar tingkat kepentingan diberikan maka semakin besar target respon tersebut untuk dicapai. Sasaran untuk respon elongasi adalah maksimal, sebaliknya sasaran minimal ditetapkan untuk respon cooking loss. Semakin besar nilai elongasi menunjukkan kualitas mi semakin baik. Dengan demikian, respon elongasi diarahkan agar sebesar mungkin. Nilai cooking loss yang dikehendaki adalah yang rendah, sehingga sasaran ditetapkan minimal. Kedua respon ini merupakan parameter mutu utama pada mi, sehingga tingkat kepentingan ditetapkan sebesar 5 (maksimal). Sasaran untuk respon adesivitas adalah minimal, karena nilai adesivitas menunjukkan kelengketan pada permukaan mi. Sementara itu, sasaran untuk kekerasan dan kecerahan adalah in range. Tingkat kepentingan ketiga respon ini adalah 3. Tabel 6 Sasaran dan tingkat kepentingan yang digunakan untuk optimasi 95% CI 95% CI Tingkat Respon Sasaran Prediksi low high Kepentingan Elongasi (%) Maksimal 208.56 176.47 240.66 5 Cooking Loss (%) Minimal 4.74 3.99 5.49 5 Kekerasan (gf) In range 5488.92 4630.58 6347.27 3 Adesivitas (gf) Minimal 107.60 75.49 139.71 3 Kecerahan In range 48.97 46.95 50.99 3
21
Gambar 8 Plot permukaan (a) dan plot kontur (b) nilai desirability kondisi optimum. Berdasarkan hasil optimasi, kombinasi formula dan proses yang disarankan adalah penambahan bekatul 8.3%, SPI 6.7% dan suhu ekstrusi 80 °C. Kombinasi tersebut memberikan nilai desirability sebesar 0.78. Nilai desirability berkisar 0 sampai 1. Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan bahwa kondisi optimum yang disarankan program semakin mendekati kriteria yang telah ditetapkan. Gambar 8 menunjukkan area nilai desirability dari penelitian ini yang ditunjukkan melalui plot permukaan (A) dan plot kontur (B).
Gambar 9 Mi pati singkong yang dibuat pada kondisi optimum. Mi kering (a), mi yang sudah direhidrasi (b).
22 Hasil verifikasi menunjukkan bahwa semua nilai respon masuk dalam interval selang kepercayaan 95% (confidence interval, CI), yaitu elongasi 202.83%, cooking loss 4.35%, kekerasan 4643.54 gf, adesivitas 120.91 gf, dan kecerahan 47.78. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa kondisi optimum respon dapat diprediksi program dengan baik. Mi yang dibuat pada kondisi optimum ditampilkan pada Gambar 9. Mi pati singkong optimum menunjukkan kualitas yang cukup baik dibandingkan dengan beberapa mi non gluten lainnya, ditinjau dari dua parameter mutu utama yaitu elongasi dan cooking loss. Masalah utama pada mi yang banyak ditemukan adalah mi mudah patah saat direbus, selain itu mi juga juga mudah mengalami peluruhan saat direbus. Oleh karena itu, mi yang baik dapat direpresentasikan dengan nilai elongasi yang tinggi dan cooking loss yang rendah. Engelen et al. (2015) melakukan optimasi pembuatan mi sagu menggunakan ekstruder ulir ganda. Kondisi optimum diperoleh pada suhu 80 °C, GMS 4.5%, dan SPI 3.7%. Mi sagu hasil optimasi memiliki nilai elongasi 168.96% dan cooking loss 6.23%. Yuliani et al. (2015) juga membuat mi pati sagu yang disubstitusi parsial dengan tepung kacang hijau menggunakan ekstruder ulir ganda. Mi sagu dari komposit pati sagu dan tepung hijau meniliki elongasi 318%, lebih tinggi dibandingkan mi pati singkong optimum, namun cooking loss masih cukup besar yaitu 10.82%. Sementara itu, Muhandri et al. (2011) melaporkan kondisi optimum mi jagung yang dibuat dengan ekstruder ulir tunggal, yaitu kadar air tepung jagung 70% (basis kering) diproses pada suhu 90 °C dengan kecepatan ulir 130 rpm. Elongasi dan cooking loss mi jagung optimum adalah 318.68% dan 4.56% secara berturut-turut. Studi Komparasi Daya Cerna Pati Penambahan bekatul sebagai ingridien mi diharapkan berkontribusi terhadap penurunan daya cerna pati. Analisis daya cerna pati dilakukan secara in vitro pada mi yang dihasilkan dari kondisi optimum. Dua jenis mi komersial berbahan utama jagung dan terigu digunakan sebagai pembanding. Hasil analisis daya cerna pati ditampilkan pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan bahwa daya cerna pati tiap mi berbeda signifikan (p<0.05). Nilai daya cerna pati terendah didapatkan pada mi jagung (51.99%) dan mi pati singkong (59.83%), sedangkan mi terigu mempunyai nilai daya cerna pati paling tinggi (72.33%). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai daya cerna pada tiap mi dipengaruhi oleh komponen penyusunnya. Hasil analisis daya cerna pati diperoleh dari berat sampel yang sama, yang mengindikasikan bahwa jumlah pati pada tiap sampel bisa berbeda. Ketidaksamaan jumlah pati tersebut menyebabkan perbedaan nilai daya cerna. Pati merupakan substrat dari α-amilase yang menghasilkan produk hidrolisis berupa campuran glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin.
23
Gambar 10 Daya cerna pati pada mi pati singkong, mi jagung, dan mi terigu Selain pati, keberadaan komponen lain dalam mi dapat berkontribusi terhadap nilai daya cerna. Mi pati singkong yang digunakan dalam analisis daya cerna pati mengandung bekatul. Keberadaan bekatul pada mi pati singkong dapat menjadi kontributor penghambatan aktivitas hidrolisis pati oleh α-amilase. Bekatul dapat menjadi sumber serat pangan (Abdul-Hamid dan Luan 2000, Gul et al. 2015), yang merupakan kelompok karbohidrat tahan cerna. Selain itu, interaksi pati dan protein juga bisa memengaruhi aktivitas hidrolisis pati (Aravind et al. 2011). Gan et al. (2009) melaporkan penurunan daya cerna pati pada mi (yellow noodle) dengan penambahan SPI yang sebelumnya dimodifikasi dengan microbial transglutaminase (MTGase). Selain itu, karakteristik pati yang digunakan sebagai bahan baku utama mi juga dapat memberikan kontribusi terhadap daya cerna. Salah satu karakteristik tersebut ialah rasio amilosa dan amilopektin. Terdapat korelasi positif antara kandungan amilosa dan pembentukan pati resisten, sehingga kandungan amilosa yang tinggi mampu menurunkan daya cerna pati (Singh et al. 2010). Ge et al. (2014) menyatakan bahwa hidrolisis pati berkaitan erat dengan jumlah pati resisten di dalam mi pati, dan jumlah pati resisten tersebut berbanding terbalik dengan nilai indeks glikemik. Reasosiasi amilosa yang terjadi saat retrogradasi membentuk struktur yang lebih kuat, sehingga mampu menghambat kinerja αamilase. Pada pati dengan amilosa rendah, kombinasi dengan bahan kaya amilosa antara lain pati kacang hijau dapat dilakukan untuk penurunan nilai daya cerna. Studi mengenai penambahan pati kacang hijau pada mi telah dilaporkan mampu meningkatkan kualitas mi. Hasil penenlitian Wu et al. (2015) menunjukkan bahwa substitusi tepung beras dengan 5% pati hijau dapat meningkatkan kandungan amilosa, derajat retrogradasi, stabilitas pasta, dan kekuatan gel. Karakteristik ini diperlukan untuk membuat mi dengan kualitas yang baik.
24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik pasta komposit mengalami perubahan signifikan dibandingkan pati singkong antara lain viskositas pasta, suhu gelatinisasi, dan waktu puncak akibat inkorporasi komponen tambahan yaitu bekatul, SPI, dan GMS. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kompetisi air antara fraksi non pati dengan pati, sehingga membatasi aktivitas pembengkakan granula. Profil RVA juga menunjukkan bahwa viskositas komposit lebih stabil selama fase pemanasan serta adanya kecenderungan retrogradasi yang lebih tinggi dibandingkan pati singkong. Kualitas mi pati singkong yang optimal berhasil dicapai dengan penambahan bekatul 8.3%, SPI 6.7% dan diproses pada suhu ekstrusi 80 °C. Kombinasi tersebut memberikan nilai desirability sebesar 0.78. Berdasarkan hasil verifikasi, semua nilai respon berada pada selang kepercayaan 95%, yaitu elongasi 202.83%, cooking loss 4.35%, kekerasan 4643.54 gf, adesivitas 120.91 gf, dan kecerahan 47.78. Selanjutnya, hasil analisis daya cerna pati secara in vitro menunjukkan bahwa daya cerna pati mi pati singkong adalah 59.83%, lebih rendah dibandingkan mi terigu (72.33%), akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan mi jagung (51.99%). Perbedaan ini disebabkan oleh variasi jumlah pati pada mi yang merupakan substrat dari enzim α-amilase. Selain itu, adanya bekatul sebagai sumber serat pangan tahan cerna pada mi dapat berperan di dalam penghambatan hidrolisis pati. Hasil ini menunjukkan bahwa mi pati singkong optimum mempunyai potensi sebagai pangan fungsional dengan daya cerna yang rendah. Saran Parameter mutu fisik mi pati singkong masih perlu diperbaiki antara lain elongasi dan cooking loss. Penggunaan bekatul dengan ukuran yang lebih kecil dapat dipertimbangkan untuk dipakai dalam formula mi pati singkong guna menaikkan nilai elongasi. Untuk memperbaiki cooking loss mi pati singkong, studi mengenai pengaruh penambahan bahan tertentu seperti hidrokoloid dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul-Hamid A, Luan YS. 2000. Functional properties of dietary fibre prepared from defatted rice bran. Food Chem. 68(1): 15-19. doi:10.1016/S03088146(99)00145-4. Aravind N, Sisson M, Fellows C. 2011. Can variation in durum wheat pasta protein and starch composition affect in vitro starch hydrolysis?. Food Chem. 124: 816-821. doi: 10.1016/j.foodchem.2010.07.002. Bae SH, Rhee C. 1998. Effect of soybean protein isolate on the properties of noodle. Korean J. Food Sci. Technol. 30(6): 1301-1306.
25 Charutigon C, Jitpupakdree J, Namsree P, Rungsardthong V. 2008. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyceride on some properties of extruded rice vermicelli. LWT. 41: 642-651. doi:10.1016/j.lwt.2007.04.009. Chen JS, Fei MJ, Shi CL, Tian JC, Sun CL, Zhang H, Ma Z, Dong HX. 2011. Effect of size particle and addition level of wheat bran on quality of dry white Chinese noodle. J Cereal Sci. 53: 217-224. doi:10.1016/j.jcs.2010.12.005. Chen Z, Schols HA, Voragen AGJ. 2003. Starch granule size strongly determines starch noodle processing and noodle quality. J. Food Sci. 68(5): 15841589. doi:10.1111/j.1365-2621.2003.tb12295.x. Chillo S, Laverse J, Falcone PM, Protopapa A, A DNM. 2008. Influence of the addition of buckwheat flour and durum wheat bran on spaghetti quality. J Cereal Sci. 47: 144-152. doi:10.1016/j.jcs.2007.03.004. Collado LS, Corke H. 1997. Properties of starch noodles as affected by sweetpotato genotype. Cereal Chem. 74(2): 182-187. doi: 10.1094/CCHEM.1997.74.2.182. Engelen A, Sugiyono, Budijanto S. 2015. Optimasi proses dan formula pada pengolahan mi sagu kering (Metroxylon sagu). Agritech. 35(4): 359-367. Fiorda F, Junior M, da Silva F, Souto L, Grosmann M. 2013. Amaranth flour, cassava starch and cassava bagasse in the production of gluten-free pasta: technological and sensory aspects. Int J Food Sci Tech. 48: 1977-1984. doi:10.1111/ijfs.12179. Fu BX. 2008. Asian noodles: History, classification, raw materials, and processing. Food Res Int. 41: 888-902. doi:10.1016/j.foodres.2007.11.007. Fu Z, Chen J, Luo SJ, Liu CM, Liu W. 2015. Effect of food additives on starch retrogradation: a review. Starch/Stärke 67: 69-78. doi: 10.1002/star.201300278. Gallagher E, Gormley TR, Arendt EK. 2004. Recent advances in the formulation of gluten-free cereal-based products. Trends Food Sci Tech. 15: 143-152. doi:10.1016/j.tifs.2003.09.012. Gan C-Y, Ong W-H, Wong L-M, Easa AM. 2009. Effects of ribose, microbial transglutaminase and soy protein isolate on physical properties and invitro starch digestibility of yellow noodles. LWT-Food Sci Technol. 42: 174-179. doi:10.1016/j.lwt.2008.05.004. Ge PZ, Fan DC, Ding M, Wang D, Zhou CQ. 2014. Characterization and nutritional quality evaluation of several starch noodles. Starch/Stärke 67: 69-78. doi: 10.1002/star.201300278. 66: 880-886. doi: 10.1002/star.201300278. Gul K, Yousuf B, Singh AK, Singh P, Wani AA. 2015. Rice bran: Nutritional values and its emerging potential for development of functional food—A review. Bioact. Carbohydr. Dietary Fibre. 6: 24-30. doi:10.1016/j.bcdf.2015.06.002. Huber GR. 2010. Twin-screw extruders. In: Riaz, M. N. (ed.) Extruders in food applications. Boca Raton: CRC Press. Hormdok R, Noomhorm A. 2007. Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT. 40: 1723-1731.
26 Kasemsuwan T, Bailey T, Jane J. 1998. Preparation of clear noodles with mixtures of tapioca and high-amylose starches. Carbohyd Polym. 32: 301312. Kurniawati M, Yuliana ND, Budijanto S. 2014. The effect of single screw conveyor stabilization on free fatty acids, α-tocoferol, and γ- oryzanol content of rice bran. Int Food Res J. 21(3): 1237-1241. Lerner A, Jeremias P, Matthias T. 2015. The world incidence of celiac disease is increasing: a review. Int J Recent Sci Res. 6(7): 5491-5496. Mahmoud EAM, Nassef SL, Basuny AMM. 2012. Production of high protein quality using wheat flour fortified with different protein products from lupine. Ann. Agric. Sci 57: 105-112. doi: 10.1016/j.aoas.2012.08.003. Marti A, Seetharaman K, Pagani M. 2010. Rice-based pasta: a comparison between conventional pasta-making and extrusion-cooking. J Cereal Sci. 52: 404-409. doi:10.1016/j.jcs.2010.07.002. Marti A, Caramanico RB, G, Pagani M. 2013. Cooking behavior of rice pasta: effect of thermal treatments and extrusion conditions. LWT- Food Sci Technol. 54: 229-235. doi:10.1016/j.lwt.2013.05.008. Mohamed A, Rayas-Duarte P. 2003. The effect of mixing and wheat protein/gluten on the gelatinization of wheat starch. Food Chem. 81: 533545. Muhandri T, Ahza AB, Syarief R, Sutrisno. 2011. Optimization of corn noodle extrusion using response surface methodology. J. Teknol. dan Industri Pangan. XXII(2): 97-104. Muhandri T, Subarna, Palupi NS. 2013. Characteristics of wet corn noodle: effect of feeding rate and guar gum addition. J. Teknol. dan Industri Pangan. 24(1): 110-114. doi:10.6066/jtip.2013.24.1.110. Myers RH, Montgomery D, Anderson-Cook CM 2009. Response surface methodology process and product optimization using designed experiments New Jersey, John Wiley & Sons, Inc. Purwani EY, Widaningrum, Thahir R, Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indones J. Agric. Sci. 7(1): 8-14. Riaz MN. 2000. Introduction to extruders and their principles. In: Riaz, M. N. (ed.) Extruders in food application. Boca Raton: CRC Press. Sandhu KS, Kaur M, Mukesh. 2010. Studies on noodle quality of potato and rice starches and their blends in relation to their physicochemical, pasting and gel textural properties. LWT-Food Sci Technol. 43: 1289-1293. doi:10.1016/j.lwt.2010.03.003. Singh J, Dartois A, Kaur L. 2010. Starch digestibility in food matrix: a review. Trends Food Sci Tech. 21: 168-180. Takahashi S, Hirao K, Watanabe T. 1986. Effect of added soybean protein on physico-chemical properties of starch noodles (harusame). J. Jpn. Soc. Starch Sci. 33(1): 15-24. Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize starch differing in amylose content. Cereal Chem. 81(4): 475-480. doi:10.1094/CCHEM.2004.81.4.475.
27 Tan H-Z, Li Z-G, Tan B. 2009. Starch noodles: History, classification, materials, processing, structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Res Int. 42: 551-576. doi:10.1016/j.foodres.2009.02.015. Wandee Y, Uttapap D, Puncha-arnon S, Puttanlek C, Rungsardthong V, Wetprasit N. 2015. Quality assessment of noodles made from blends of rice flour and canna starch. Food Chem. 179: 85-93. doi:10.1016/j.foodchem.2015.01.119. Wang N, Maximiuk L, Toews R. 2012. Pea starch noodles: effect of processing variables on characteristics and optimisation of twin-screw extrusion process. Food Chem. 133: 742-753. doi:10.1016/j.foodchem.2012.01.087. Wang N, Warketin TD, Vandenberg B, Bing DJ. 2014. Physicochemical properties of starches from various pea and lentil varieties, and characteristics of their noodles prepared by high temperature extrusion. Food Res Int. 55: 119-127. doi:10.1016/j.foodres.2013.10.043. Wu F, Meng Y, Yang N, Tao H, Xu X. 2015. Effects of mung bean starch on quality of rice noodles made by direct dry flour extrusion. LWT-Food Sci Technol. 63: 1199-1205. doi:10.1016/j.lwt.2015.04.063. Yadav BS, Yadav RB, Kumar M. 2011. Suitability of pigeon pea and rice starches and their blends for noodle making. LWT–Food Sci Technol. 44: 14151421. doi: 10.1016/j.lwt.2011.01.004. Yalcin S, Basman A. 2008. Effects of gelatinisation level, gum and transglutaminase on the quality characteristics of rice noodle. Int J Food Sci Tech. 43: 1637-1644. doi: 10.1111/j.1365-2621.2007.01674.x. Yuliani H, Yuliana ND, Budijanto S. 2015. Formulasi mi kering sagu dengan substitusi tepung kacang hijau. Agritech 35(4): 387-395. Yu L, Ramaswamy HS, Bae IY. 2012. Twin-screw extrusion of corn flour and soy protein isolate (SPI) blends: a response surface analysis. Food Bioprocess Tech. 5: 485-497. doi:10.1007/s11947-009-0294-8. Yu L, Ramaswamy HS, Boye J. 2013. Protein rich extruded products prepared from soy protein isolate-corn flour blends. LWT-Food Sci Technol. 50: 279-289. doi:10.1016/j.lwt.2012.05.012. Zhou Y, Cao H, Hou M, Nirasawa S, Tatsumi E, Foster TJ, Cheng Y. 2013. Effect of konjac glucomannan on physical and sensory properties of noodle made from low-protein wheat flour. Food Res Int. 51: 879-885. Doi: 10.1016/j.foodres.2013.02.002.
28
LAMPIRAN
Lampiran 1 Analysis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut profil gelatinisasi pati singkong dan komposit. ANOVA Sum of Squares Peak Viscosity
Between Groups
Viscosity
2
8881.000
3
Total
6235213.333
5
Between Groups
7086996.000
2
28426.000
3
7115422.000
5
542036.333
2
271018.167
19564.500
3
6521.500
Total
561600.833
5
Between Groups
310345.333
2
155172.667
19169.500
3
6389.833
329514.833
5
19.613
2
.019
3
Total
19.633
5
Between Groups
17.856
2
.082
3
17.938
5
Within Groups Total
Final Viscosity
Between Groups Within Groups
Setback Viscosity
Within Groups Total Peak Time
Between Groups Within Groups
Pasting Temperature
Mean Square
6226332.333
Within Groups
Breakdown
df
Within Groups Total
F
3113166.167 1.052E3
Sig. .000
2960.333
3543498.000 373.971
.000
9475.333
41.558
.007
24.284
.014
9.807 1.520E3
.000
.006
8.928 324.652 .027
.000
29
Peak Viscosity Duncan Subset for alpha = 0.05 Komposit
N
1
KBA
2
KBB
2
PATI
2
Sig.
2
3
3.3725E3 4.8360E3 5.8545E3 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Breakdown Viscosity Duncan Subset for alpha = 0.05 Komposit
N
1
KBA
2
KBB
2
PATI
2
Sig.
2
3
1.1930E3 2.4560E3 3.8540E3 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Final Viscosity Duncan Subset for alpha = 0.05 Komposit
N
1
2
PATI
2
KBB
2
3.8245E3
KBA
2
4.0260E3
Sig.
3.3120E3
1.000
.088
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
30
Setback Viscosity Duncan Subset for alpha = 0.05
Kompos it
N
1
2
PATI
2
1.3115E3
KBB
2
1.4445E3
KBA
2
1.8465E3
Sig.
.195
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Peak Time Duncan Subset for alpha = 0.05
Kompos it
N
1
PATI
2
KBB
2
KBA
2
Sig.
2
3
5.5650 9.0650 9.6650 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Pasting Temperature Duncan Subset for alpha = 0.05
Kompos it
N
1
PATI
2
KBB
2
KBA
2
Sig.
2
3
67.8500 70.0250 72.0750 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
31 Lampiran 2 Analysis of variance (ANOVA) dan uji lanjut daya cerna pati 3 jenis mi.
32
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada 13 Oktober 1989 di Desa Bunder, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan dan merupakan anak ke-4 dari pasangan Supatmo dan Marjana. Setelah menyelesaikan pendidikan strata 1 di program studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura pada 2012, penulis melanjutkan program magister pada 2013 di Ilmu Pangan IPB, dengan sponsor beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Selama masa studi, penulis aktif mengikuti organisasi Bogor Science Club (BSC). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti beberapa program kerja sama IPB dengan sejumlah kampus di Jepang antara lain program Summer Course (2014) di IPB. Selain itu, penulis juga terpilih mengikuti program Winter Course (2014) di Ibaraki University, Jepang. Program selanjutnya yang diikuti penulis adalah PARE (Population, Activity, Resource, Environment) pada 2015 selama 6 bulan di Hokkaido University, meliputi kuliah dan riset di Laboratory of Nutritional Biochemistry. Satu artikel review berjudul Pengembangan Mi Bebas Gluten dengan Teknologi Ekstrusi diterbitkan di Majalah Pangan Volume 25 No. 2 Agustus 2016.