SKRIPSI
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz), SUWEG (Amorphophallus campanulatus), DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) SEBAGAI PREBIOTIK
Oleh : RIBKA JULIANA F24102094
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Ribka Juliana. F24102094. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Singkong (Manihot esculenta Crantz), Suweg (Amorphophallus campanulatus), dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan C.C. Nurwitri, 2006.
ABSTRAK Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia, tetapi bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan bakteri probiotik dalam usus besar sehingga dapat membantu meningkatkan kesehatan. Resistant starch merupakan sumber prebiotik yang potensial karena sifatnya yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia sehingga dapat dimetabolisme oleh bakteri yang ada di usus. RS tipe III adalah RS yang terbentuk dari retrogradasi pati, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk dari pati yang dimodifikasi secara kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi prebiotik dari umbiumbian lokal, yaitu singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambahnya. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu, tahap seleksi umbi yang akan digunakan dalam pengujian prebiotik secara in vitro dan tahap seleksi jenis RS dan Bakteri Asam Laktat (BAL) terpilih. Pemilihan umbi yang akan digunakan dalam pengujian prebiotik didasarkan pada daya cerna RS tipe IV dan rendemen pati. Umbi singkong dipilih untuk diuji potensi prebiotiknya karena daya cernanya lebih rendah dan rendemennya lebih tinggi dibanding suweg, ubi jalar, dan ubi Cilembu. Media yang digunakan dalam uji potensi prebiotik adalah media RS yang disuspensikan di dalam air (s-RS) dan media DeMann Rogosa Sharpe Broth (MRSB) tanpa dekstrosa (m-MRSB). m-MRSB memiliki komposisi yang sama dengan MRSB, tetapi dekstrosa dalam media diganti dengan RS (m-MRSB+RS). BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Konsentrasi RS yang ditambahkan adalah 2.5% dan kultur yang ditambahkan ke dalam media sebesar 5% dan 1%. Jumlah awal L. casei subsp. rhamnosus dalam media adalah 7.6x107 CFU/ml, L. plantarum sa28k 1.1x108 CFU/ml, dan Bifidobacterium bifidum 7.1x107 CFU/ml . Viabilitas BAL di media m-MRSB yang mengandung RS lebih baik daripada viabilitasnya di media s-RS (p<0.05). Pada media yang sama, tidak terdapat perbedaan viabilitas yang signifikan di antara ketiga BAL yang digunakan. Jenis RS juga tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas BAL. Pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV memiliki kadar RS berturut-turut sebesar 4.33, 6.57, dan 4.28%. Hasil fermentasi L. plantarum di media RS tipe IV yang disuspensikan di air menunjukkan bahwa fermentasi tersebut menghasilkan asam asetat sebesar 0.04%, sedangkan keberadaan asam butirat ataupun propionat tidak terdeteksi di dalam sampel. RS tipe IV mengandung serat pangan sebesar 8.72%.
SKRIPSI
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz), SUWEG (Amorphophallus campanulatus), DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) SEBAGAI PREBIOTIK
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: RIBKA JULIANA F24102094
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Ribka Juliana. F24102094. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Singkong (Manihot esculenta Crantz), Suweg (Amorphophallus campanulatus), dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan C.C. Nurwitri, 2006.
RINGKASAN Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia, tetapi bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan bakteri probiotik dalam usus besar sehingga dapat membantu meningkatkan kesehatan. Resistant starch merupakan sumber prebiotik yang potensial karena sifatnya yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia sehingga dapat dimetabolisme oleh bakteri yang ada di usus. RS tipe III adalah RS yang terbentuk dari retrogradasi pati, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk dari pati yang dimodifikasi secara kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi prebiotik dari umbiumbian lokal, yaitu singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambahnya. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu, tahap seleksi umbi yang akan digunakan dalam pengujian prebiotik secara in vitro dan tahap seleksi jenis RS dan Bakteri Asam Laktat (BAL) terpilih. Pemilihan umbi yang akan digunakan dalam pengujian prebiotik didasarkan pada daya cerna RS tipe IV dan rendemen pati. Hasil pengujian daya cerna RS tipe IV dari singkong 21.20%, suweg 17.72%, ubi jalar putih 38.11%, dan ubi Cilembu 25.96%. Ubi jalar putih memiliki rendemen tertinggi, yaitu 14.47%, diikuti oleh singkong (11.79%), ubi Cilembu (11.76%), dan suweg (6.12%). Dengan mempertimbangkan daya cerna terendah dan rendemen pati yang cukup memadai, umbi singkong dipilih untuk diuji potensi prebiotiknya. Media yang digunakan dalam uji potensi prebiotik adalah media RS yang disuspensikan di dalam air (s-RS) dan media DeMann Rogosa Sharpe Broth (MRSB) tanpa dekstrosa (m-MRSB). m-MRSB memiliki komposisi yang sama dengan MRSB, tetapi dekstrosa dalam media diganti dengan RS (m-MRSB+RS). BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Konsentrasi RS yang ditambahkan adalah 2.5% dan kultur yang ditambahkan ke dalam media sebesar 5% dan 1%. Jumlah awal L. casei subsp. rhamnosus dalam media adalah 7.6x107 CFU/ml, L. plantarum sa28k 1.1x108 CFU/ml, dan Bifidobacterium bifidum 7.1x107 CFU/ml . Lactobacillus plantarum tumbuh sedikit lebih baik daripada dua BAL yang lain dan pertumbuhan L. plantarum di media air yang mengandung RS tipe IV (rata-rata sebesar 1.0x108 CFU/ml) lebih baik daripada media dengan RS tipe III (rata-rata sebesar 8.9x107 CFU/ml). Viabilitas BAL di media m-MRSB yang mengandung RS lebih baik daripada viabilitasnya di media s-RS (p<0.05). Pada media yang sama, tidak terdapat perbedaan viabilitas yang signifikan di antara ketiga BAL yang digunakan. Jenis RS juga tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas BAL Pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV memiliki kadar RS berturut-turut sebesar 4.33, 6.57, dan 4.28%. RS tipe IV memiliki derajat putih paling tinggi (110.60%), diikuti pati alami (106.80%) dan RS tipe III (74.45%). Pati alami, RS
tipe III, dan RS tipe IV memiliki densitas kamba berturut-turut sebesar 0.67, 0.72, dan 0.63 gr/ml, sedangkan densitas padatnya adalah 0.88, 0.81, dan 0.84 g/ml. Kadar amilosa RS tipe IV memiliki amilosa sebesar 29.42%, tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan pati alami (27.32%) dan RS tipe III (26.54%). Aktivitas air dari pati alami singkong 0.308, RS tipe III 0.563, dan RS tipe IV 0.365. Kelarutan pati alami singkong, RS tipe III, dan RS tipe IV berturut-turut sebesar 4.20, 12.27, dan 4.25%. RS tipe IV memiliki suhu puncak gelatinisasi yang sama dengan pati alami singkong, yaitu 84oC, sedangkan RS tipe III memiliki suhu puncak gelatinisasi sebesar 60oC. Viskositas maksimum pati alami singkong 1.420 BU, RS tipe III 790 BU, dan RS tipe IV 1.550 BU. Hasil fermentasi L. plantarum di media RS yang disuspensikan di air menunjukkan bahwa fermentasi tersebut menghasilkan asam asetat sebesar 0.04%, sedangkan keberadaan asam butirat ataupun propionat tidak terdeteksi di dalam sampel. RS tipe IV mengandung serat pangan sebesar 8.72%.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz), SUWEG (Amorphophallus campanulatus), DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) SEBAGAI PREBIOTIK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: Ribka Juliana F24102094
Dilahirkan pada tanggal 21 September 1984 Di Jakarta, DKI Jakarta Tanggal Lulus: Januari 2007 Menyetujui, Bogor,
Januari 2007
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Dosen Pembimbing I Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
Ir. C. C. Nurwitri, DAA Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih sayang, kebaikan, dan hikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skirpsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sejak Mei – Desember 2006. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., selaku dosen pembimbing akademik, atas bimbingan, pengarahan, motivasi, dan dukungan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
2.
Ir. C.C. Nurwitri, DAA, selaku dosen pembimbing II, atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
3.
Siti Nurjanah, STP, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.
4.
Antung Sima Firliyanti, STP atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.
5.
Papa dan Mama. Orang tua dan sahabat terbaik di dunia. Terima kasih untuk kasih sayang yang luar biasa, kesabaran, pengorbanan, kepercayaan, doa, dan dukungan yang senantiasa diberikan. Terima kasih telah mengajarkan saya untuk selalu mengutamakan Tuhan.
6.
Research Grant Program B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas dana yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini.
7.
PT. Monsanto untuk beasiswa yang diberikan kepada penulis.
8.
Om Papi, Tante Mami, Ko Sammy, I’ Pipin, Ci Nen, dan segenap keluarga besar. Terima kasih untuk perhatian, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
9.
Keluarga Pdt. Andreas Tairas. Terima kasih untuk doa, nasihat-nasihat, motivasi, dan bantuannya.
i
10. Sahabat-sahabat terbaik: Nanda Mehuli Giantine, Pretty Arinigora, dan Shinta. Terima kasih untuk keterbukaan, kesabaran, kehangatan, dan keceriaan yang diberikan sejak TPB sampai saat ini. 11. Ratih Woro Anggraini dan Manginar Marsaulina Purba, sahabat dan teman seperjuangan. Terima kasih untuk kerja sama, bantuan, pengertian, ceritacerita, dan canda tawa yang membuat penelitian ini tidak terlalu berat untuk dijalani. Karya tulis ini tidak akan bisa saya selesaikan tanpa bantuan kalian. 12. Syarifah Zarina, sahabat yang baru saya temukan tapi telah menjadi salah satu yang terbaik. Teman-teman baikku: Randy Adistya, Elvina “Tukep” Yohana, dan Adrinal Muluk terima kasih untuk semua bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan kesediaannya menampung keluh kesah penulis. 13. Aponk, Bobby, Ulik, Izal, dan Didin terima kasih untuk semua bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan mempersiapkan ujian skripsi. Keluarga besar JoJoPi: Putra, Ajeng, Dadik, Cihuy, Kong Yudhan, dan Stut. Teman-teman golongan C, terutama teman seperjuangan C5 (Karen, Fenni, Farah), Steisi, dan Prasna. Teman-teman TPG 39 terutama Tissa, Nuy, Dora, Inggrid, Yeye, Arvi, Hanna, Fany Nely, Ratry, Herold, dan Arif Tmin . 14. Teman-teman baik alumni SMU Regina Pacis : Aryo, Wenny, Wulan. 15. Bapak dan Ibu Heddi, rekan-rekan kerja di Realia Bogor (Irma, Adi, Teh Siti), dan rekan-rekan kerja di Mitra Lingua Jakarta (terutama Dodon, Maria, dan Lita). 16. Seluruh staff dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya Bu Mar, Mbak Ari, dan Pak Wahid, terima kasih untuk semua bantuannya. 17. Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Akhirnya, penulis berdoa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya. Bogor, Desember 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………
i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...
iii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………...
v
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………..
vi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………... vii PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
A. LATAR BELAKANG………………………………………………..
1
B. TUJUAN .......................……………………………………………...
2
C. MANFAAT ........................…………………………………………..
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......……………………………………………..
4
A. BAHAN BAKU……………………………………………………......
4
1. Singkong (Manihot esculenta Crantz) ……………………………..
4
2. Suweg (Amarphophallus campanulatus BL) ………………………
5
3. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) ……………………………………...
6
B. PATI …………………………………………………………………..
8
I.
C. RESISTANT STARCH (RS)..................................................................... 10 1. RS Tipe III………………………………………...........................
10
2. RS Tipe IV.........………………………………………………….
11
D. PROBIOTIK .........…………………………………………………….
12
1. Lactobacillus .....................................................................................
14
2. Bifidobacterium ............................................…………………….....
14
E. PREBIOTIK....................................………………………..............…..
15
III. BAHAN DAN METODE............…………………………………………
18
A. BAHAN DAN ALAT………………………………………………...
18
B. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 18 1. Ekstraksi Pati.............................………………………………….
18
2. Pembuatan RS Tipe III.................................................................... 20 3. Pembuatan RS Tipe IV......……………………………………...... 21 4. Uji Prebiotik Secara In Vitro ..........................................................
21
C. METODE ANALISIS....................……………………………………
23
iii
1. Analisis Kadar Air ................……………………………………… 23 2. Rendemen ................……………………………………………...
23
3. Uji Daya Cerna Pati ………………………………………………
23
4. Kadar RS.......................…………………………………………...
24
5. Derajat Putih ................................................................................... 25 6. Densitas Kamba............................................................................... 25 7. Densitas Padat.................................................................................. 25 8. Kadar Amilosa ................................................................................. 26 9. Aktivitas air (aw) .............................................................................
26
10.Uji Kelarutan dalam Air...................................................................
27
11.Uji Amilograf ……………………………………………………... 27 12.Analisis Kadar Gula ......................................................................... 28 13.Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) ............................................
28
14.Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (SCFA) ................................
29
D. PENGOLAHAN DATA ....................................................................... 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………… 30 A. SELEKSI UMBI ..........................................………………………… 30 B. SELEKSI JENIS RS...........................……………………………….. 33 1. Analisis Fisiko-Kimia RS Tipe III dan RS Tipe IV.......................
33
2. Uji Prebiotik In Vitro ....................................................................
39
C. ANALISIS RS TERPILIH ................................................................... 44 1. Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid)....
44
2. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) ........................................... 46 V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 47 A. KESIMPULAN..................................................................................... 47 B. SARAN.................................................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
49
LAMPIRAN........................................................................................................ 56
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Rata-rata Singkong Segar ...............................................
5
Tabel 2. Rendemen dan Kadar Air pati singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu ......................................................................................
30
Tabel 3. Daya Cerna RS Tipe III ....................................................................
32
Tabel 4. Daya Cerna RS Tipe IV.....................................................................
33
Tabel 5. Sifat Fisik Pati Alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari Pati Singkong ............................................................................................
34
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Umbi Singkong ...............................................................................
4
Gambar 2. Umbi Suweg ...................................................................................
6
Gambar 3. Ubi Jalar Putih dan Ubi Jalar Merah ..............................................
7
Gambar 4. Ubi Cilembu ...................................................................................
8
Gambar 5. Reaksi pembentukan ikatan silang antara pati dan natrium trimetafosfat ……………………………………………………...
12
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian …………………………………………..
19
Gambar 7. (a) Granula pati singkong (b) Granula pati RS tipe III (c) Granula pati RS tipe IV ............................................................
38
Gambar 8. Viabilitas BAL pada berbagai media yang mengandung RS selama inkubasi 24 jam ..............................................................
40
Gambar 9. Viabilitas BAL pada media s-RS3 dan s-RS4 selama inkubasi 24 jam ..................................................................................................
41
Gambar 10. Viabilitas BAL pada media m-MRSB+RS3 dan m-MRSB+RS4 selama inkubasi 24 jam..............................................................
41
Gambar 11. Viabilitas BAL dalam media s-RS3 dan m-MRSB +RS3 dengan konsentrasi kultur 5% dan 1% selama inkubasi 24 jam ...............
43
vi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Uji Daya Cerna Pati RS Tipe IV ..................................................
56
Lampiran 2. Jumlah sel L. casei subsp. Rhamnosus, L. plantarum, dan B. bifidum (t=24 jam)…………………………………………..
57
Lampiran 3. Total BAL dalam media s-RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 5%) …………………………………...
58
Lampiran 4. Total BAL dalam media s-RS3 yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 1%) ………………………………...
59
Lampiran 5. Total BAL dalam media m-MRSB + RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 5%) ……………
60
Lampiran 6. Total BAL dalam media m-MRSB + RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 0.5%) ………….
61
Lampiran 7. Analisis statistik pertumbuhan BAL di media m-MRSB dan s-RS .....................................................................................
62
Lampiran 8. Kadar RS pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati singkong ……………………………………………………….
64
Lampiran 9. Kadar amilosa pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati singkong………………………………………………………..
65
Lampiran 10. Kelarutan pati alami, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati singkong……………………………………………………....
66
Lampiran 11. Analisis Short Chain Fatty Acid s-RS4 L. plantarum ………..
67
Lampiran 12. Analisis Dietary Fiber RS4 Singkong………………………...
70
vii
Lampiran 1. Uji Daya Cerna Pati RS tipe IV Jenis Umbi
Daya Cerna (%) Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Singkong
20.39
22.00
21.20
Suweg
17.98
17.45
17.72
Ubi jalar putih
36.85
39.53
38.11
Ubi Cilembu
26.18
25.20
25.69
56
Lampiran 2. Jumlah sel L. casei subsp. Rhamnosus, L. plantarum, dan B. bifidum (t=24 jam) Jenis BAL L. casei L. plantarum B. bifidum
10-6 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
10-7 179 132 211 254 158 133
10-8 15 24 30 19 14 14
CFU/ml 1.6x109 2.3x109 1.5x109
57
Lampiran 3. Total BAL dalam media air+ (konsentrasi kultur 5%) Jenis Jenis BAL Ul 10-5 RS 1a 101 1b 116 L. casei 2a 12 2b 90 RS 3 1a TBUD L. plantarum 1b TBUD 1a 135 B. bifidum 1b 133 1a 95 1b 89 L. casei 2a 109 2b 97 1a TBUD 1b TBUD RS 4 L. plantarum 2a TBUD 2b TBUD 1a 135 1b 133 B. bifidum 2a TBUD 2b TBUD
RS yang diinkubasi selama 24 jam 10-6 7 17 27 10 210 143 4 3 9 27 91 85 66 115 115 107 4 3 84 33
10-7 1 4 2 0 31 24 1 1 0 5 0 2 18 15 7 11 1 1 3 4
CFU/ml
Rata-rata CFU/ml
1.1x107 <2.5x107 (6.3x106)
8.7x106
1.8x108 1.3x107 1.1x107 1.4x107 1.7x10
7
9.1x107 1.0x108 1.1x108 2.0x107 2.5x107 2.9x10
7
58
Lampiran 4. Total BAL dalam media air+ RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 0.5%) Jenis RS
Jenis BAL
L. plantarum RS 3 B. bifidum
Ul 2a 2b 2a 2b
10-4 12 90 TBUD TBUD
10-5 27 10 70 66
10-6 2 0 6 7
CFU/ml 7.8x106 6.8x106
59
Lampiran 5. Total BAL dalam media MRSB tanpa dekstrosa+ RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 5%) Jenis RS
Jenis BAL
L. casei RS 3
L. plantarum B. bifidum
L. casei
RS 4
L. plantarum
B. bifidum
Ul 1a 1b 1a 1b 1a 1b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b 1a 1b 2a 2b
10-5
10-6
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
203 227 140 135 296 TBUD 212 226 210 226 114 TBUD 141 137 81 120 208 237
10-7 29 22 10 12 39 39 59 46 17 22 28 19 9 10 13 6 22 20
CFU/ml
Rata-rata CFU/ml
2.2x108 1.4x108 4.0x108 2.5x108 2.3x108 2.1x10
8
2.4x108 1.9x108 1.4x10
8
1.0x108 1.6x108 2.2x10
8
60
Lampiran 6. Total BAL dalam media MRSB tanpa dekstrosa + RS yang diinkubasi selama 24 jam (konsentrasi kultur 0.5%) 10-5 10-6 CFU/ml Jenis Jenis BAL Ul 10-4 RS 2a TBUD TBUD 119 1.0x108 L. casei 2b TBUD TBUD 81 2a TBUD TBUD 77 RS 3 6.6x107 L. plantarum 2b TBUD TBUD 55 2a TBUD TBUD 85 7.95x107 B. bifidum 2b TBUD TBUD 74
61
Lampiran 7. Analisis Statistik Pertumbuhan BAL di media m-MRSB dan s-RS
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
media
BAL
A1
Value Label s-RS3
A2
s-RS4
6
A3
mMRSB+RS3
6
A4
mMRSB+RS4
6
Rhamnosus
8
B2
Plantarum
8
B3
Bifidum
8
B1
N 6
Descriptive Statistics Dependent Variable: viabilitas media s-RS3
s-RS4
m-MRSB+RS3
m-MRSB+RS4
Total
BAL Rhamnosus
Mean
Std. Deviation
N
8.650
3.3234
2
Plantarum
93.900
121.7638
2
Bifidum
9.900
4.3841
2
Total
37.483
69.8667
6
Rhamnosus
14.000
4.2426
2
Plantarum
100.500
13.4350
2
Bifidum
24.500
6.3640
2
Total
46.333
42.7816
6
Rhamnosus
160.000
84.8528
2
Plantarum
103.000
52.3259
2
Bifidum
240.000
226.2742
2
Total
167.667
126.5570
6
Rhamnosus
230.000
28.2843
2
Plantarum
190.000
70.7107
2
Bifidum
160.000
84.8528
2
Total
193.333
59.8888
6
Rhamnosus
103.163
107.1919
8
Plantarum
121.850
70.9310
8
Bifidum
108.600
137.2717
8
Total
111.204
104.0552
24
62
Lampiran 7 (lanjutan). Analisis Statistik Pertumbuhan BAL di media m-MRSB dan s-RS Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: viabilitas Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 159798.285(a ) 296792.800
df
Mean Square
F
Sig.
11
14527.117
1.954
.133
1
296792.800
39.912
.000
A
117457.201
3
39152.400
5.265
.015
B
1478.271
2
739.135
.099
.906
A*B
40862.813
6
6810.469
.916
.516
Error
89233.685
12
7436.140
Total
545824.770
24
Corrected Total
249031.970
23
a R Squared = .642 (Adjusted R Squared = .313)
Post Hoc Tests media Homogeneous Subsets : viabilitas Duncan Subset media s-RS3
N
1
6
37.483 46.333
s-RS4
6
m-MRSB+RS3
6
m-MRSB+RS4
6
2
167.667 193.333
Sig.
.862
.616
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 7436.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
BAL Homogeneous Subsets : viabilitas Duncan Subset BAL Rhamnosus
N 8
1 103.163
Bifidum
8
108.600
Plantarum
8
121.850
Sig.
.688
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 7436.140. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000, b. Alpha = .05.
63
Lampiran 8. Kadar RS pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati singkong Sampel
Pati Singkong RS tipe III RS tipe IV
Bobot sampel (g) 0.5438 0.5211 0.5914 0.5433 0.5577 0.5357
Bobot Awal Kertas Saring (g) 0.5304 0.5271 0.4954 0.5051 0.5053 0.5237
Bobot Akhir Kertas Saring (g) 0.5517 0.5518 0.5319 0.5424 0.5284 0.551
Kadar RS (%) 3.9168 4.7400 6.1718 6.8655 4.1420 4.4241
Rata-Rata Kadar RS (%) 4.33 6.52 4.29
64
Lampiran 9. Kadar amilosa pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati singkong Sampel
Ulangan
1a 1b Pati Singkong 2a 2b 1a 1b RS tipe III 2a 2b 1a 1b RS tipe IV 2a 2b Faktor Pengenceran = 20
Bobot sampel (g) 0.1207 0.1064 0.1062 0.1043 0.1125 0.1013
Absorbansi 0.348 0.349 0.295 0.293 0.293 0.296 0.288 0.283 0.321 0.328 0.325 0.323
Konsentrasi sampel dari standard (μg) 1687 1692 1422 1412 1412 1427 1387 1362 1552 1587 1572 1562
Amilosa (μg/g) 279.536 280.365 267.293 265.414 265.913 268.738 265.964 261.169 275.911 282.133 310.365 308.391
Amilosa (%) 27.9536 28.0365 26.7293 26.5414 26.5913 26.8738 26.5964 26.1169 27.5911 28.2133 31.0365 30.8391
Rata-Rata Amilosa (%) 27.9951 26.6354 26.7326 26.3567 27.9022 30.9378
Standar Amilosa : 42.7 mg/100 ml (0.427 mg/ml) Volume Standar (ml) 1 2 3 4 5
65
Konsentrasi Standar (μg) 427 854 1281 1708 2135
Absorbansi 0.102 0.201 0.298 0.395 0.479
Persamaan kurva standar : y = 0.0002+0.0106 r2 = 0.9991
Lampiran 10. Kelarutan pati alami, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati singkong Sampel
Ul.
A
B
1a 1.0265 0.6091 1b 1.0033 0.5956 1a 1.0089 0.5916 RS tipe III 1b 1.0101 0.6317 1a 1.0682 0.5622 RS tipe IV 1b 1.0108 0.6080 Keterangan : A = bobot sampel kering (g) Pati singkong
C
C-B
1.5927 1.5566 1.4755 1.5017 1.5924 1.5690
0.9836 0.9610 0.8839 0.8800 1.0302 0.9610
Kelarutan Rata-rata (%) (%) 4.18 4.20 4.22 12.44 12.27 12.09 3.56 4.25 4.93
B = bobot kertas saring (g) C = bobot kertas saring dan endapan (g) % kelarutan = A- (C-B) x 100% A
66
Lampiran 11. Analisis Short Chain Fatty Acid s-RS4 L. plantarum Parameter Asam format Asam asetat Asam propionat Asam butirat
Kadar (% w/v) Ulangan 1 Ulangan 2 n.d n.d 0.05 0.03 n.d n.d n.d n.d
Rata-Rata (% w/v) n.d 0.04 n.d n.d
67
Lampiran 11 (lanjutan). Analisis Short Chain Fatty Acid s-RS4 L. plantarum
68
Lampiran 11 (lanjutan). Analisis Short Chain Fatty Acid s-RS4 L. plantarum
69
Lampiran 12. Analisis Dietary Fiber RS4 singkong Ulangan
Bobot Sampel (g) 1 0.1075 2 0.1081 BL = 0.0021 g
Bobot kertas (g) 0.6012 0.6123
Bobot Kertas + Endapan (g) 0.6128 0.6237
Kadar Dietary Fiber (%) 8.84 8.60
Rata-Rata (%) 8.72
% DF = (bobot kertas+end – bobot kertas) – BL x 100% bobot sampel
70
Tugas Akhir
RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz), SUWEG (Amorphophallus campanulatus), DAN UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) SEBAGAI PREBIOTIK Oleh: Ribka Juliana / F24102094
ABSTRACT Resistant starch (RS) is defined as the sum of starch and products of starch degradation not absorbed in the small intestine, thus can be fermented by colonic bacteria in large intestine. The starches from indigenous tubers are potential to be developed as RS. Viability of Lactic Acid Bacteria (LAB), i.e. Bifidobacterium bifidum,Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, in the presence of resistant starch was determined during 24 hour incubation in modified MRSB media and in water. Modified MRSB had the same composition with MRSB for commercial use but the glucose was replaced by RS from cassava starch(2.5%). The viability of LAB in modified MRSB was better than its viability in water that contained RS (p<0.05). There’s no significant difference between RS type III and RS type IV in stimulating the growth of LAB. The fermentation of RS type IV by LAB produced 0.04% acetic acid.
I. PENDAHULUAN Prebiotik didefinisikan sebagai bahan makanan yang tidak dapat dicerna oleh usus manusia, tetapi dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan bakteri probiotik dalam usus besar sehingga dapat membantu meningkatkan kesehatan (Sievert dan Pomeranz, 1989; Shamai, Bianco-Peled, Shimoni, 2003). Frukto-oligosakarida (FOS), galakto-oligosakarida (GOS), dan inulin merupakan bahan prebiotik yang paling banyak dikenal. Istilah resistant starch (RS) mulai diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Hans Englyst yang menemukan bahwa ada beberapa pati yang tahan terhadap enzim amylase. EURESTA (European Flair Concerted Action on Resistant Starch) mendefinisikan RS sebagai sejumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak diserap di usus kecil individu yang sehat (Euresta, 1992). Mengacu pada definisi tersebut, RS berpotensi untuk digunakan dalam mendorong pertumbuhan bakteri probiotik. RS tidak dapat dicerna usus halus (Sievert dan Pomeranz, 1989; Shamai, Boanco-Peled, Shimoni, 2003) sehingga dapat difermentasi oleh bakteri probiotik dalam usus besar. Brown et al. (1996) seperti yang dikutip oleh Sajilata et al. (2006) menyebutkan bahwa RS dapat mendukung pertumbuhan bakteri probiotik, seperti Bifidobacterium.
RS terdiri dari empat kategori, yaitu pati yang secara fisik terperangkap di antara dinding sel bahan pangan sehingga pati ini tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (RS tipe I), granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan (RS tipe II), pati retrogradasi yang dihasilkan melalui proses pengolahan makanan (RS tipe III), dan pati yang dimodifikasi secara kimia (RS tipe IV) (Englyst et al., 1992; Scrabanja dan Kreft, 1998; Topping dan Clifton, 2001). Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa RS memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun usus manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan bagi prebiotik untuk melekat (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al. (1998) menyebutkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung Bifidobacterium longum hidup dan RS beramilosa tinggi mengekskresikan bifidobakteria dalam jumlah yang lebih banyak daripada tikus yang tidak diberi RS. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi tapi juga dimiliki oleh
pati yang dimodifikasi secara kimia (RS tipe 4). Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa bifidobakteria dapat melekat pada pati yang dimodifikasi dengan dengan metode asilasi, oktenilsuksinilasi, karboksimetilasi, dan suksinilasi. Pelekatan ini bervariasi untuk setiap galur bakteri yang digunakan. (Brown et al., 1998). RS tipe 2 dan RS tipe 4 memiliki potensi untuk berperan sebagai prebiotik (Bird, Brown, dan Topping, 2000). Beberapa jenis pati, seperti pati pisang dan pati kentang mentah, secara alami mengandung RS yang cukup tinggi. Kadar RS pada pati dapat ditingkatkan dengan melakukan retrogradasi untuk menghasilkan RS tipe III ataupun modifikasi kimia untuk menghasilkan RS tipe IV. Singkong, ubi jalar, ubi cilembu, dan suweg merupakan empat jenis umbi-umbian lokal yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan RS. Dengan demikian, nilai tambah dari keempat umbi-umbian ini dapat ditingkatkan. II. BAHAN DAN METODE
environmental orbital shaker, waterbath shaker, hot plate, penyaring vakum, whiteness meter, Brabender amilograf, Anoxomat anaerobic jar, mikropipet, gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur, gelas pengaduk, fial, manik-manik, tip, pisau, talenan, ember, kain saring, dan blender. B. Metodologi Tahapan penelitian meliputi: (1) Seleksi umbi dan (2) Seleksi RS dan seleksi BAL. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Seleksi Umbi È Umbi (Singkong, Suweg, Ubi Jalar Putih, Ubi Cilembu) È Ekstraksi Pati È Pembuatan RS
A. Bahan dan Alat È Bahan utama yang digunakan RS tipe III dan RS tipe IV dalam penelitian ini adalah singkong È (Manihot esculenta Crantz) dan ubi cilembu yang diperoleh dari pasar Uji Daya Cerna & Rendemen tradisional di Bogor, suweg È (Amorphophallus campanulatus BL) yang Jenis Umbi Terpilih diperoleh dari Sumedang, dan ubi jalar È putih (Ipomoea batatas L) yang diperoleh dari International Potato Center di Seleksi RS Ciapus, Bogor. Bahan-bahan lain yang È dipakai adalah NaOH 1 M, POCl3, HCl, Bifidobacterium bifidum, Lactobacillus enzim α-amilase (heat stable), enzim plantarum, Lactobacillus casei subsp. protease, dan enzim amyloglucosidase rhamnosus dari Merck; etanol, 78%, 85%, dan 95%, È aseton, DNS, NaK-tartarat, protease pepton, yeast extract, natrium asetat, Inokulasi 5% MgSO4, MnSO4, dikalium fosfat, triamonium sitrat, NaOH padat, NaCl, CaCO3, Pb asetat, natrium fosfat, larutan Luff, larutan kalium iodida, natrium MRSB – dekstrosa + RS Air + RS tiosulfat, indikator pati, KOH, iodin, isoamil alkohol, kristal timol, enzim pepsin, bufer pH 6.8, enzim pankreatin, natrium dodesilsulfat, H2SO4, standar asam format, standar asam asetat, standar Inkubasi 24 jam, 37oC asam propionat, standar asam butirat, dan È aquades. @ Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, autoklaf, freeze dryer, freezer, lemari pendingin, oven, oven vakum, sentrifuge, spektrofotometer, pH meter, inkubator,
@ È Analisis Fisiko Kimia Analisis kadar RS Derajat putih Densitas kamba Densitas padat Uji Amilograf Kadar Amilosa Aktivitas air (aw) Uji kelarutan dalam air È Jenis RS dan BAL terpilih Analisis SCFA Analisis Dietary Fiber Gambar 1. Diagram Alir Penelitian 1. Ekstraksi Pati Umbi singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu diekstraksi patinya dengan metode ekstraksi basah. Umbi dikupas, dicuci, dihancurkan, diekstraksi dengan air (umbi: air=1:4), diendapkan, disaring, dikeringkan dengan oven (suhu 40oC), disaring dengan saringan 100 mesh. 2. Pembuatan RS Tipe III RS tipe III dibuat dengan dengan metode Lehmann (2002). Pati disuspensikan dalam air (20% w/w), di-autoklaf selama 30 menit pada suhu 121oC, dididinginkan dan disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer. 3. Pembuatan RS Tipe IV RS tipe IV dibuat dengan metode cross linking sebagai berikut: sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml akuades, pH diatur sampai 10.5 dengan NaOH 5% sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung, diinkubasi pada environmental orbital shaker (T = 40oC, kecepatan putaran 200 rpm, selama 2 jam), kemudian pH-nya diatur sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya pati dikeringkan dalam oven vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak.
4. Uji Prebiotik Secara In Vitro a. Persiapan kultur BAL (Fardiaz, 1989) BAL dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB. MRSB tersebut kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 370C selama 48 jam. Setelah 48 jam, BAL tersebut kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB itu kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 370C. Metode ini dilakukan untuk setiap BAL (Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang digunakan. Bifidobacterium bifidum penanganannya sedikit berbeda karena bakteri ini hidup secara anaerobik (tanpa udara), maka inkubasi dilakukan dalam Anoxomat anaerobic jar. b. Uji viabilitas BAL i) Persiapan Jumlah BAL 1 ml BAL dipindahkan ke dalam MRSB kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Kemudian 1 ml BAL yang berumur 1 hari tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 9 ml dan divorteks untuk memperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran desimal sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran 10-5-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO dan dinyatakan dalam CFU/ml. N = ____∑ c____ (n1 + 0.1 n2) x d
N:
Jumlah mikroba (CFU/ml) ∑c: Jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni) n 1: Jumlah cawan pada pengenceran perta-ma (25-250 koloni) n 2: Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25-250 koloni) d: Tingkat pengenceran terendah ii) Penumbuhan BAL dalam media RS Disiapkan RS steril, air steril @50 ml/sampel dan MRSB tanpa dekstrosa (MRSB modifikasi) steril @50ml/sampel. Sebanyak 2.5 ml BAL yang berumur 1 hari dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml MRSB modifikasi + 2.5% RS dan larutan 50 ml air steril + 2.5% RS. Larutan ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 9ml dan divorteks untuk menda-patkan pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan pertri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO dan dinyatakan dalam CFU/ml. C. Metode Analisis 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1984) 2. Rendemen Pengukuran rendemen pati umbi singkong dihitung berdasarkan
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
10. 11.
12. 13. 14.
perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat singkong tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Uji Daya Cerna Pati (Muchtadi et al, 1992) Kadar RS (Kim et al., 2003) Derajat Putih Pengukuran untuk warna RS dan pati alami dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter. Standar yang digunakan adalah MgO/BaSO4. Sebelum digunakan alat dikalibrasi terlebih dahulu, kemudian sampel dimasukkan ke dalam wadah dan diukur derajat putihnya. Densitas Kamba (Khalil, 1999) Densitas Padat (Khalil, 1999) Kadar Amilosa (Metode Juliano, 1971 yang dimodifikasi) Aktivitas Air (aw) Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter ”Shibaura aw meter WA360”. Uji Kelarutan Dalam Air (Muchtadi dan Sumartha, 1992) Uji Amilograf Uji amilograf dilakukan dengan menggunakan alat Brabender amilograf. Analisis Kadar Gula Metode Luff Schrool (SNI 01-2892-1992) Analisis Dietary Fiber Analisis Short Chain Fatty Acid Analisis SCFA dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).
D. Pengolahan Data Pengaruh jenis media dan jenis RS terhadap pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial. Program yang digunakan yaitu program SPSS (Statistical Package for Social Sciences), metode ANOVA (Analysis of Variance) dan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 0.05.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SELEKSI UMBI Umbi-umbian yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi
singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu. Pemilihan umbi yang akan diuji potensi prebiotiknya didasarkan pada persentase daya cerna RS 4 dan rendemen pati. Tahap pertama dari seleksi umbi ini adalah ekstraksi pati dari keempat jenis umbi. Ekstraksi pati dilakukan dengan metode ekstraksi basah. Rendemen pati dihitung sebagai persentase perbandingan bobot pati yang diperoleh hasil ekstraksi dengan bobot umbi setelah dikupas. Ubi jalar memiliki rendemen yang paling tinggi dibandingkan ketiga umbi yang lain, diikuti oleh singkong, ubi Cilembu, dan suweg. Rendemen keempat umbi tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan rendemen pati beberapa jenis umbi yang lain, seperti garut (13.44-17.52%), ganyong (17-18%), dan talas (16.78%) (Mariati, 2001; Damayanti, 2002; Ridal, 2003). Tabel 1 memperlihatkan rendemen dan kadar air (% bobot kering) pati singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu. Tabel 1. Rendemen dan Kadar Air pati singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu Jenis Umbi
Rendemen (%)
Singkong Suweg Ubi Jalar Putih Ubi Cilembu
11.79 6.12 14.47 11.76
Kadar Air (%bk) 6.15 9.23 8.69 8.20
Pati yang telah diekstraksi dari masing-masing umbi kemudian diretrogradasi untuk memperoleh RS tipe III. Retrogradasi terjadi karena kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Pati disuspensikan di dalam air (20% w/v). Penelitian yang dilakukan oleh Edmonton dan Saskatoon (1998) pada RS tipe III dari beberapa jenis bahan, memperlihatkan bahwa kandungan RS tipe III mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan konsentrasi pati sampai dengan 10% dan setelah itu mengalami penurunan. Meskipun demikian konsentrasi pati sampai dengan 20% masih menghasilkan RS tipe III dalam jumlah yang relatif tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 10%, yaitu sekitar 68%, tergantung jenis pati yang digunakan.
Selama pembentukan gel kandungan air mempengaruhi pembengkakan granula pati dan pelepasan amilosa dari granula pati. Konsentrasi pati yang lebih rendah menyebabkan pembengkakan granula dan pelepasan amilosa yang lebih besar, namun rendahnya konsentrasi amilosa dalam suspensi akan membatasi pembentukan RS tipe III. Menurut Scrabanja et al.(1999), pembentukan RS tipe III dipengaruhi oleh perbandingan kadar amilosa dan amilopektin dan kondisi retrogradasi. Pati dengan kadar amilosa yang lebih tinggi akan membentuk lebih banyak RS tipe III (Escrapa et al., 1996). Akan tetapi, pada konsentrasi pati yang lebih tinggi, keterbatasan jumlah air akan menekan pembengkakan granula dan pelepasan amilosa. Dengan demikian, amilosa tidak akan dibebaskan dengan sempurna dari granula pati. Jadi, pembentukan RS tipe III, tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan amilosa, tetapi juga dipengaruhi oleh pembengkakan granular dan pelepasan amilosa. Setelah pati disuspensikan dalam air, suspensi tersebut di-autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit untuk mengelatinisasi pati. Gelatinisasi granula pati melalui pengolahan panas sangat mempengaruhi kepekaannya terhadap hidrolisis enzimatis. Menurut GarciaAlonso et al. (1999), gelatinisasi pati pada suhu 120oC selama 20 menit dan diikuti dengan pendinginan di suhu ruang akan menghasilkan RS yang cukup tinggi. Berbagai kombinasi waktu dan suhu telah digunakan dalam pembuatan RS tipe III dari berbagai sumber pati. Bahkan untuk pati-pati yang memiliki kadar amilosa normal, pemasakan pada suhu di atas 100oC dapat meningkatkan kadar RS tipe III yang dihasilkan. Suspensi pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan di suhu 4oC selama 24 jam dan dikeringkan dengan freeze dryer. Selama proses pendinginan dan pengeringan, molekulmolekul pati bergabung kembali dan membentuk struktur yang rapat dan distabilkan oleh ikatan hidrogen, dikenal sebagai retrogradasi (Morris, 1990). Struktur seperti ini sangat tahan terhadap panas dan hanya bisa direhidrasi pada suhu 80-150oC, tergantung pada tingkat dan kondisi retrogradasi. Peningkatan suhu penyimpanan dari -20oC sampai
30oC memiliki pengaruh yang kecil terhadap kandungan RS tipe III pada gel pati. Peningkatan suhu penyimpanan dari 30oC sampai 60oC menghambat pembentukan RS tipe III di dalam gel pati (Edmonton dan Saskatoon, 1998). RS tipe III yang telah dibuat dari pati singkong, suweg, ubi jalar putih, dan ubi Cilembu kemudian diukur daya cernanya dengan menggunakan enzim α-amilase. Prinsip dari pengujian ini adalah pengukuran jumlah maltosa hasil hidrolisis pati oleh enzim α-amilase. Daya cerna pati sampel dinyatakan sebagai persen relatif terhadap standar pati murni (soluble starch). Hasil pengukuran daya cerna RS tipe III dari keempat umbi dapat dilihat di Tabel 2.
ada dalam POCl3 akan membentuk jembatan fosfat yang resisten terhadap enzim amilolitik. RS tipe IV digunakan sebagai sampel dalam pengujian daya cerna karena relatif lebih sempurna tersuspensi di dalam air dan dengan demikian, sampel yang diambil lebih homogen. Hasil pengujian daya cerna RS tipe IV diperlihatkan di Tabel 3.
Tabel 2. Daya Cerna RS tipe III Daya Cerna (%) Jenis Ulangan Ulangan RataUmbi 1 2 rata Singkong 55.85 51.72 53.78
Meskipun daya cerna suweg adalah yang paling rendah di antara semua sampel yang ada (17.72%), namun rendemennya hanya sebesar 6.12%. Dengan pertimbangan tersebut, RS tipe III dan RS tipe IV yang dipilih untuk diuji potensi prebiotiknya adalah RS dari pati singkong. Daya cerna RS tipe IV pati singkong tidak terlalu jauh berbeda dengan daya cerna RS tipe IV pati suweg, sedangkan rendemen pati singkong adalah yang tertinggi di antara ketiga umbi yang lainnya.
Suweg
92.55
87.52
90.04
Ubi jalar putih Ubi Cilembu
44.33
32.19
38.26
34.09
25.50
29.79
Data yang diperoleh dari hasil pengujian daya cerna memiliki perbedaan yang cukup jauh antar tiap ulangan untuk sampel yang sama, khususnya nilai daya cerna RS tipe III dari ubi jalar putih dan ubi Cilembu. Hasil ini disebabkan karena sampel yang digunakan, tidak dapat tersuspensi dengan sempurna di dalam air. Hal ini menyebabkan hasil analisis tidak akurat karena sampel yang diambil tidak homogen. Untuk itu, dilakukan pengujian daya cerna RS tipe IV dalam memilih umbi yang akan digunakan dalam uji potensi prebiotik. Modifikasi pati dengan ikatan silang menggunakan fosforus oksiklorida (POCl3) sebagai reagen dilakukan untuk memperoleh pati dengan kandungan RS tipe IV. Modifikasi dengan ikatan silang juga bisa dilakukan dengan menggunakan reagen-reagen lain, seperti sudium trimetafosfat atau anhidrid asam asetat dan asam dikarboksilat. POCl3 dipilih karena relatif lebih murah dan lebih mudah diperoleh daripada reagen yang lain. Reaksi antara pati dengan POCl3 dilakukan pada kondisi basa, fosfat yang
Tabel 3. Daya Cerna RS tipe IV Jenis Umbi Singkong Suweg Ubi jalar putih Ubi Cilembu
Daya Cerna (%) 21.20 17.72 38.11 25.69
B. SELEKSI JENIS RS Penelitian tahap kedua meliputi seleksi jenis RS pati singkong berdasarkan sifat fisiko kimianya dan kemampuannya dalam membantu viabilitas BAL. 1. Analisis Fisiko-Kimia RS Tipe III dan RS Tipe IV Analisis sifat fisik yang dilakukan pada RS tipe III dan tipe IV dari pati singkong meliputi analisi kadar RS, derajat putih, densitas kamba, densitas padat, uji amilograf, kadar amilosa, aw, dan uji kelarutan dalam air. Hasil analisis tersebut terangkum dalam Tabel 4. a. Kadar Resistant Starch (RS) Kandungan RS pati singkong, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati singkong berturutturut sebesar 4.33, 6.52, dan 4.28%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pati singkong secara alami sudah mengandung RS.
Tabel 4. Sifat Fisik Pati Alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari Pati Singkong Parameter Pati RS RS Alami tipe tipe III IV Kadar RS (% bb) Derajat putih (%) Densitas kamba (g/ml) Densitas padat (g/ml) Kadar amilosa (% bb) aw Uji kelarutan dalam air (% bb) Suhu Awal Gelatinisasi (oC) Suhu Puncak Uji Amilograf Gelatinisasi (oC) Viskositas maksimum (BU) Gula Pereduksi (% bb)
4.33 106.80 0.67 0.88 27.32 0.308 4.20
6.52 74.45 0.72 0.81 26.54 0.563 12.27
4.28 110.60 0.63 0.84 29.42 0.365 4.25
69
51
67.5
84
60
84
1.420
790
1.550
0.07
0.23
0.16
Kandungan RS tipe III dalam bahan pangan umumnya rendah dan dapat ditingkatkan sampai 3% melalui proses pengolahan seperti pemanggangan ataupun ekstrusi. Kandungan RS tipe III dapat ditingkatkan dengan memanaskan dan mendinginkan secara berulang pati yang telah tergelatinisasi (Edmonton dan Saskatoon, 1998). Berry (1986) melaporkan bahwa debranching amilopektin kentang dengan pululanase sebelum retrogradasi pati dapat meningkatkan kadar RS tipe III. Hal ini berkenaan dengan semakin banyaknya rantai linier pati yang dihasilkan dari debranching. Haralampu (2000) menyebutkan bahwa dalam pengembangan produk RS komersial akan sangat baik untuk memulai dengan pati alami yang kandungan amilosanya tinggi. Proses retrogradasi terbukti menaikkan kadar RS pati sebesar 33.59%, yaitu dari 4.33% menjadi 6.52%. Berbeda dengan RS tipe III, reaksi ikatan silang yang bertujuan untuk membentuk RS tipe IV, tampaknya tidak memberikan peningkatan terhadap kadar RS. Pati yang dimodifikasi dengan ikatan silang bahkan
memiliki kadar RS yang sedikit lebih rendah daripada pati alami. Hal ini disebabkan karena konsentrasi fosfor oksiklorida yang ditambahkan tidak cukup banyak sehingga reaksi tidak berlangsung dengan sempurna. Pembuatan pati termodifikasi dengan konsentrasi fosfor 0.4 – 0.5% telah dilakukan oleh Woo et al. (1999) dan pati termodifikasi tersebut mengandung pati yang lambat dicerna (slowly digested starch) dan RS tipe IV. RS tipe IV yang dibuat dari pati jagung tinggi amilosa (high amylose maize starch) saat ini digunakan sebagai bahan tambahan pangan di Uni Eropa (Sajilata et al., 2006). b. Derajat putih Warna merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi mutu produk pangan. Derajat putih pati ditentukan dengan mengukur perbandingan sinar yang dipantulkan oleh permukaan pati dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan berwarna putih (MgSO4 atau BaSO4). Setiap jenis pati memiliki derajat putih yang berbeda-beda, tergantung pada genetik tanaman. Hasil analisis menunjukkan ratarata derajat putih RS tipe IV dari singkong (110.60%) lebih tinggi daripada pati alami singkong (106.80%) dan RS tipe III dari singkong (74.45%). c. Densitas Kamba dan Densitas Padat Densitas kamba dan densitas padat sangat penting diketahui terutama jika dihubungkan dengan pengemasan, penyimpanan dan transportasi. Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan sedangkan densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan. Densitas kamba dan densitas padat dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Ukuran bahan dari partikel
menunjukkan porositas bahan yaitu jumlah rongga diantara partikel-partikel bahan, sedangkan kadar air mempengaruhi bobot bahan. Pati singkong memiliki densitas kamba sebesar 0.67 g/ml, setelah diretrogradasi menjadi RS tipe III densitas kambanya meningkat menjadi 0.72 g/ml, dan pati singkong yang dimodifikasi untuk membentuk RS tipe IV memiliki densitas kamba yang tidak jauh berbeda dengan densitas kamba pati aslinya, yaitu 0.63 g/ml. Densitas padat dari pati asli, RS tipe III, dan RS tipe IV tidak jauh berbeda, berkisar antara, berturut-turut sebesar 0.88, 0.81, dan 0.84 g/ml. Densitas kamba suatu pati menunjukkan untuk satuan berat yang sama, dibutuhkan volume ruang yang lebih kecil. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi pengemasan dan penyimpanan. d. Kadar Amilosa Kadar amilosa adalah banyaknya amilosa yang terdapat dalam granula pati. Pati dengan kadar amilosa tinggi sangat cocok digunakan dalam pembuatan RS tipe III (Haralampu, 2000). Analisis kadar amilosa pati asli, RS tipe III, dan RS tipe IV dari singkong berturut-turut sebesar 27.32, 26.54, dan 29.42% berat basah. e. Aktivitas air (aw) Aktivitas air (aw) sangat mempengaruhi masa simpan bahan pangan terutama tepungtepungan. Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Di dalam bahan pangan, air yang terikat kuat dengan komponen bukan air maka akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993). Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Kapang membutuhkan aw lebih rendah daripada bakteri dan khamir. Pada aw di bawah 0.62 semua
pertumbuhan kapang akan dihambat. Aktivitas air (aw) pati alami, RS tipe III dan RS tipe IV dari singkong berturut-turut sebesar 0.308, 0.563, dan 0.365. Nilai aw yang dimiliki ketiga pati tersebut cukup aman untuk mencegah pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan makanan. f. Uji Kelarutan Hasil uji kelarutan air menunjukkan bahwa RS tipe III memiliki kelarutan paling besar (12.27%), tiga kali lebih besar daripada kelarutan pati singkong (4.20%) dan (4.25%). Tingginya kelarutan RS tipe III disebabkan karena selama proses gelatinisasi, amilosa keluar dari granula pati. Amilosa merupakan fraksi yang larut di dalam air, sedangkan amilopektin merupakan fraksi yang tidak larut (Winarno, 1995). Kelarutan pati turut mempengaruhi kemudahannya untuk diaplikasikan ke dalam produk pangan. g. Uji Amilograf Hasil uji amilograf yang terdapat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa RS tipe IV memiliki suhu puncak gelatinisasi yang sama dengan pati alaminya, yaitu 84oC. RS tipe IV memiliki viskositas maksimum sebesar 1.550 BU (Brabender Unit), sedangkan pati singkong memiliki viskositas maksimum sebesar 1.420 BU. Modifikasi pati secara kimia akan mempengaruhi viskositas maksimum dan suhu gelatinisasi pati (Rutenberg dan Solarek,1984). Pati yang dimodifikasi dengan ikatan silang memiliki viskositas yang lebih besar daripada pati yang tidak dimodifikasi (Wurzburg, 1989). RS tipe III memiliki suhu puncak gelatinisasi dan viskositas maksimum yang lebih rendah daripada pati alaminya, berturutturut sebesar 60oC dan 790 BU. h. Granula Pati Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan berdasarkan
bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga sifat birefringentnya. Sifat birefrigent merupakan sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat seperti kristal hitam-putih jika dilihat di bawah mikroskop. Proses gelatinisasi dalam pembuatan RS tipe III menyebabkan pecahnya granula pati dan hilangnya sifat birefringent (Winarno, 1995). Berbeda dengan granula pati pada RS tipe III, granula pati RS tipe IV tidak berbeda dari bentuk granula pati aslinya. Gambar 2 memperlihatkan gambar granula pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati singkong.
(a)
(b)
(c) Gambar 2. (a) Granula pati singkong (native starch) (b) Granula pati RS tipe III (c) Granula pati RS tipe IV. 2. Uji Prebiotik In-Vitro Pengujian dilakukan secara in vitro pada media RS yang disuspensikan dalam air (s-RS) dan media MRSB modifikasi tanpa dekstrosa (m-MRSB). Sumber karbon dalam m-MRSB modifikasi digantikan oleh RS. Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5% dari volume media. BAL yang digunakan dalam pengujian ini, yaitu Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. BAL yang digunakan berumur 24 jam dengan
jumlah sel L. casei subsp. rhamnosus, L. plantarum sa28K, dan B. bifidum, berturut-turut sebesar 1.6x109 9 CFU/ml, 2.3x10 CFU/ml, dan 1.5x109 CFU/ml. a. Pengaruh Jenis Media Viabilitas BAL pada berbagai media dengan penambahan kultur sebesar 5% dari volume media, memperlihatkan bahwa BAL pada m-MRSB+RS tumbuh lebih baik daripada BAL pada s-RS (p<0.05). Analisis statistik untuk viabilitas BAL dapat dilihat pada Lampiran 7. Jumlah BAL di s-RS adalah sekitar 107 CFU/ml dan jumlah BAL di m-MRSB sekitar 108 CFU/ml. Menurut Fardiaz (1992), ketidakmampuan BAL untuk mensintesis vitaminvitamin yang dibutuhkan menyebabkan bakteri ini tidak dapat tumbuh pada makananmakanan yang kandungan vitaminnya rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih baik daripada pertumbuhannya di media s-RS. Nutrisi yang terdapat di m-MRSB lebih lengkap daripada di media s-RS. Pertumbuhan BAL di media mMRSB didorong oleh adanya sumber nutrisi yang lain, yaitu yeast extract, protease peptone, dan mineral-mineral yang ada di dalamnya. BAL yang ditumbuhkan pada media yang sama tidak memiliki perbedaan viabilitas yang signifikan. L. plantarum tumbuh lebih baik dibandingkan dua BAL yang lain ketika ditumbuhkan di media RS3 yang disuspensikan dalam air (s-RS3) dan media RS4 yang disuspensikan dalam air (s-RS4). Di s-RS3, jumlah L. plantarum adalah 1.8x108 CFU/ml, sedangkan pertumbuhan L. plantarum di s-RS4 sebesar 1.0x108 CFU/ml. B. bifidum tumbuh sedikit lebih baik daripada dua BAL yang lain di m-MRSB yang ditambahkan RS3 (m-MRSB+RS3), yaitu sebesar
Total BAL (log CFU/ml)
10
Total BAL (log CFU/ml)
4.0x108 CFU/ml. Di m-MRSB yang ditambahkan RS4 (mMRSB+RS4), L. casei subsp. rhamnosus tumbuh lebih baik daripada dua BAL yang lain (2.3x108 CFU/ml). Gambar 3 memperlihatkan viabilitas BAL pada berbagai media.
10 8 6 4 2 0 m-MRSB+RS3 m-MRSB+RS4 Jenis RS L. casei
L. plantarum
B. bif idum
Gambar 5. Viabilitas BAL pada media mMRSB+RS3 dan mMRSB+RS4 selama inkubasi 24 jam.
8 6 4 2 0 s-RS3
s-RS4
m-MRSB+RS3
m-MRSB+RS4
Jenis Media
L.casei
L.plantarum
B. bifidum
Gambar 3. Viabilitas BAL pada berbagai media yang mengandung RS selama inkubasi 24 jam b. Pengaruh Jenis RS Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada media yang sama, jenis RS tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas BAL (p>0.05). Gambar 4 memperlihatkan viabilitas BAL pada media s-RS3 dan s-RS4. Pertumbuhan BAL pada kedua jenis RS yang disuspensikan di air relatif sama, sekitar 107-108 CFU/ml. L. casei subsp. rhamnosus dan B.bifidum tumbuh lebih baik di s-RS4, sedangkan L. plantarum tumbuh lebih baik di sRS3, namun perbedaannya tidak signifikan. Total BAL (log CFU/ml)
10 8 6 4 2 0 s-RS3
s-RS4 Jenis RS
L. casei
L. plantarum
B. bifidum
Gambar 4. Viabilitas BAL pada media s-RS3 dan s-RS4 selama inkubasi 24 jam
BAL yang ditumbuhkan di m-MRSB+RS3 dan mMRSB+RS4 juga memiliki pertumbuhan yang relatif sama, sekitar 108 CFU/ml. L. casei subsp. rhamnosus dan L. plantarum mengalami pertumbuhan lebih baik ketika ditumbuhkan di m-MRSB yang mengandung RS4, meskipun perbedaannya tidak signifikan dibandingkan dengan L. plantarum yang tumbuh di mMRSB+RS3. Kadar gula pereduksi RS tipe III dan RS tipe IV, yang terdapat pada Tabel 5, relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa BAL memanfaatkan RS dan bukan gula pereduksi sebagai sumber karbon untuk mempertahankan pertumbuhannya. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun usus manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan bagi probiotik untuk melekat (Topping, et al., 1997). Jadi, berkaitan dengan fungsinya sebagai prebiotik, RS lebih banyak berperan dalam menyediakan permukaan probiotik untuk melekat dibandingkan dengan peranannya sebagai substrat bagi pertumbuhan probiotik itu sendiri. Hal ini menyebabkan
c. Pengaruh Konsentrasi Kultur BAL yang Ditambahkan Konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan pada media sRS3 dan m-MRSB+RS3 adalah 5%. Konsentrasi ini dinilai terlalu
tinggi sehingga menyebabkan pengaruh RS terhadap pertumbuhan BAL tidak terlihat secara nyata. Oleh karena itu, konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan ke dalam media diturunkan menjadi 1%. Gambar 6 memperlihatkan viabilitas BAL pada media s-RS3 dan mMRSB+RS3 dengan penambahan kultur BAL sebesar 5% dan 1%. Total BAL (log CFU/ml)
BAL yang ditumbuhkan secara in vitro di media yang mengandung RS tidak mengalami peningkatan jumlah yang signifikan. Penelitian Kleessen et al. (1997) pemberian ransum mengandung pati kentang terretrogradasi pada tikus dapat menstimulir pertumbuhan berbagai bakteri kolon, khususnya organisme anaerobik fakultatif seperti lactobacilli, streptococci, dan enterobacteria. Pemberian ransum baru memberikan pengaruh signifikan setelah lima hari ransum diberikan, hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu tertentu untuk adaptasi. Gee et al. (1991) meneliti kemampuan mikroflora pada usus tikus untuk mendegradasi 10% amilosa terretrogradasi yang ditambahkan ke dalam ransum meningkat selama dua minggu periode pemberian ransum. Sedikit modifikasi dalam struktur kimia pati memiliki potensi untuk merubah komposisi mikroflora usus (Kleessen et al., 1997). Meskipun bahwa komposisi flora usus terbukti dipengaruhi oleh konsumsi RS, namun sulit untuk mengidentifikasi organisme tertentu yang menyebabkan perubahan ini. Sangat mungkin bahwa di dalam usus terdapat bakteri yang dapat mendegradasi RS (Kleessen, 1997). MacFarlane dan Englyst (1986) menunjukkan bahwa bakteri amilolitik yang berasal dari genus Bifidobacterium, Bacteroides, Fusobacterium, dan Butyrivibrio memegang peranan penting dalam fermentasi pati di kolon. Hidrolisis RS oleh organismeorganisme ini dapat mengakibatkan akumulasi hasil metabolisme intermediat seperti maltooligosakarida.
10 8 6 4 2 0 s-RS3 (5%)
s-RS3 (1%)
m-MRSB+RS3 (5%)
m-MRSB+RS3 (1%)
Jenis Kultur L. casei
Gambar 6.
L. plantarum
B. bifidum
Viabilitas BAL dalam media s-RS3 dan m-MRSB +RS3 dengan konsentrasi kultur 5% dan 1% selama inkubasi 24 jam
Konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan ke dalam media m-MRSB+RS tidak berbeda terlalu jauh antara konsentrasi kultur BAL sebesar 5% dan konsentrasi sebesar 1%. Penambahan kultur sebesar 5% menyebabkan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pertumbuhan pada m-MRSB dengan konsentrasi kultur 1%, namun perbedaannya tidak sampai 1 log. Di media s-RS3, penurunan konsentrasi kultur dari 5% menjadi 1% cukup berpengaruh terhadap viabilitas L. plantarum. Viabilitas L. plantarum di s-RS dengan konsentrasi kultur 5% adalah 1.8x108 CFU/ml dan ketika konsentrasi kultur dalam media diturunkan menjadi 1%, viabilitasnya turun menjadi 7.8x106 CFU/ml, atau menurun sekitar 1.4 log. Hal ini tidak berlaku untuk viabilitas B. bifidum karena meskipun viabilitasnya pada media dengan konsentrasi kultur sebesar 5%
lebih tinggi daripada media dengan konsentrasi kultur 1%, perbedaannya kurang dari 1 log. Jumlah B. bifidum pada s-RS3 dengan konsentrasi kultur 5% adalah 1.3x107CFU/ml, sedangkan jumlahnya pada s-RS3 dengan konsentrasi kultur 1% adalah 6.8x106 CFU/ml. C. ANALISIS RS TERPILIH Jenis RS yang dipilih untuk dianalisis kadar asam lemak rantai pendek dan kandungan serat pangannya adalah sRS4 yang telah diinokulasi L.plantarum selama 24 jam. Meskipun pertumbuhan BAL di m-MRSB+RS lebih baik daripada pertumbuhannya di s-RS, hasil ini kurang mewakili karena pertumbuhan BAL di mMRSB+RS kemungkinan disebabkan karena nutrisi yang ada di m-MRSB+RS lebih lengkap daripada nutrisi dalam s-RS. Pertumbuhan BAL didorong oleh adanya sumber N (yeast extract dan protease pepton) dan mineral (natrium asetat, dikalium fosfat, magnesium sulfat, dan mangan sulfat). dalam media m-MRSB. Meskipun tidak berbeda nyata, pertumbuhan BAL di s-RS4 lebih baik daripada di s-RS3. Selain itu, RS 4 juga memiliki karakteristik fisiko kimia yang lebih baik sehingga lebih mudah diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan. 1. Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid) Bakteri usus besar manusia menghidrolisis karbohidrat kompleks menjadi monosakarida-monosakarida penyusunnya. Monosakarida ini kemudian dimetabolisme menjadi beberapa produk akhir yang menyediakan energi untuk pertumbuhan bakteri. Hasil metabolisme yang utama adalah asam lemak rantai pendek atau Short Chain Fatty Acid (SCFA), yang terutama terdiri dari asetat, propionat, dan butirat (Cummings dan McFarlane, 1991). Penelitian yang dilakukan Brouns, et al. (2002) menunjukkan bahwa sekitar 50-60 % SCFA yang dihasilkan dari fermentasi in vitro RS2 dan RS3 berupa asam asetat, sekitar 20-30%-nya adalah butirat, sedangkan propionat menyusun sekitar 10-20% dari SCFA yang dihasilkan. Pada orang dewasa dan bayi yang diberi
ASI, SCFA yang dihasilkan sebagian besar terdiri dari asetat, propionat terdapat dalam jumlah yang lebih kecil, sedangkan butirat hampir tidak ada. Produk-produk fermentasi lainnya seperti etanol, format, suksinat, dan laktat ditemukan di dalam feses bayi, namun hanya ditemukan dalam jumlah sangat kecil di dalam feses orang dewasa (Wolin, et al., 1998). Pada penelitian ini, hasil fermentasi L. plantarum terhadap RS yang disuspensikan di air (s-RS) hanya menghasilkan asam asetat (0.04% w/v), sedangkan asam propionat dan butirat tidak terdeteksi di dalam sampel. Menurut Henningsson, et al. (2002), sumber karbohidrat yang digunakan sebagai substrat fermentasi bakteri turut mempengaruhi komposisi SCFA yang dihasilkan. Beberapa penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa pati merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan asam butirat (De Schrijver, et al., 1999; Morita, et al., 1999). Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Henningsson et al (2002) menunjukkan bahwa tikus-tikus yang diberi ransum pati beramilosa tinggi (high amyloze starch) menghasilkan butirat dengan proporsi paling rendah dibandingkan dengan substratsubstrat lain yang diuji, yaitu gum guar, pektin, dan wheat bran. Perbedaan proporsi SCFA ini bergantung pada metode yang digunakan dalam meneliti pembentukan SCFA, sifat pati (Nordgard, et al., 1995; Annison dan Topping, 1994), dan waktu adaptasi (Le Blay, et al., 1999). Meskipun jumlahnya relatif kecil, keberadaan asam asetat dalam sampel s-RS4 yang diinokulasi dengan L. plantarum menunjukkan bahwa RS4 singkong dapat dimanfaatkan oleh BAL sebagai substrat fermentasi. Penelitian secara in vivo perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif, karena mikroflora usus manusia terdiri dari berbagai jenis bakteri. Mikroorganisme memetabolisme substrat yang ada di kolon dan produk fermentasi dalam
berbagai jalur yang berbeda (McFarlane dan Cummings, 1995), sehingga perbedaan komposisi mikroba mungkin menghasilkan proporsi SCFA yang berbeda pula. 2. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) Secara kimia, RS bukanlah serat pangan, karena tidak memiliki komponen dinding sel, namun RS memiliki pengaruh fisiologis seperti serat pangan. Dengan demikian, seperti serat pangan, RS juga berperan penting dalam fungsi pencernaan. Masalah pencernaan merupakan hal yang cukup umum terjadi, terutama di negara-negara Barat, di mana konsumsi serat pangannya minimum. Data dari French Research Institute (INRA) yang dikutip oleh De Groote (2006) menyebutkan bahwa konsumsi RS di negara-negara barat, dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2000, telah mengalami penurunan dari 7-9 g/hari menjadi 3-7 ghari. Secara medis, asupan RS sebanyak 20 g/hari sangat dianjurkan untuk menjaga kesehatan dan mencegah gangguan pencernaan. Dalam metode total serat pangan, RS dianalisis sebagai serat tak larut, namun memiliki keuntungan fisiologis seperti serat larut. RS lambat dicerna, RS 3 bahkan tidak dicerna sama sekali, sehingga dapat menurunkan indeks glisemik. Sifat fisiologis RS meyerupai serat larut yang juga dapat difermentasi, seperti gum guar, yaitu meningkatkan volume feses dan menurunkan pH kolon (Haralampu, 2000). Analisis serat pangan menunjukkan bahwa RS tipe IV dari pati singkong memiliki kadar serat pangan sebesar 8.72%. Dengan adanya kandungan serat pangan, nilai tambah RS4 dapat ditingkatkan karena selain dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fungsional bahan pangan, RS4 juga memiliki pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Singkong memiliki daya cerna dan rendemen masing-masing sebesar 21.20% dan 11.79%. Kadar RS pada pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV dari pati
singkong berturut-turut sebesar 4.33%, 6.52%, dan 4.28%. Pertumbuhan BAL di media MRSB tanpa dekstrosa (m-MRSB+RS) lebih baik daripada pertumbuhannya di media RS yang disuspensikan dengan air (s-RS). Jumlah BAL di media yang mengandung RS tipe III dan RS tipe IV relatif sama. Pertumbuhan ketiga jenis BAL juga tidak berbeda nyata. Sifat fisiko kimia RS tipe IV, seperti derajat putih dan aktivitas air, lebih baik daripada RS tipe III dan membuatnya lebih cocok untuk diaplikasikan di produk pangan. RS tipe IV memiliki derajat putih paling tinggi (110.60%), diikuti pati alami (106.80%) dan RS tipe III (74.45%). Aktivitas air dari pati alami, RS tipe III, dan RS tipe IV berturut-turut adalah 0.308, 0.563, dan 0.365. Oleh karena itu, RS tipe IV dari pati singkong dipilih sebagai RS terbaik. Fermentasi s-RS4 oleh L. plantarum menghasilkan asam lemak rantai pendek, yaitu asam asetat sebanyak 0.04%, sedangkan asam butirat, asam propionatm dan asam format tidak terdeteksi dalam sampel. RS tipe IV memiliki kandungan serat yang cukup tinggi, yaitu 8.72%. Dengan demikian, RS tipe IV selain berperan dalam memperbaiki sifat fungsional bahan pangan, juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber serat dan prebiotik. B. SARAN Hal-hal yang dapat dilakukan berkenaan dengan hasil penelitian ini antara lain: 1. Perlu dilakukan debranching dengan menggunakan enzim pululanase sebelum retrogradasi pati untuk meningkatkan rendemen RS tipe III. 2. Konsentrasi POCl3 yang digunakan dalam pembuatan RS tipe IV perlu ditingkatkan sampai sekitar 0.4% supaya reaksi pembentukan ikatan silang berlangsung sempurna dan dengan demikian rendemen RS tipe IV yang diperoleh pun lebih tinggi. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai potensi prebiotik RS tipe III dan RS tipe IV secara in vivo. 4. Sampel RS yang akan digunakan dalam pengujian potensi prebiotik sebaiknya diisolasi terlebih dahulu
supaya hasil representatif.
pengujian
lebih
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of OfficialAnalitycal Chemists, 14th ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Di dalam: Muchtadi, T. R., Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Annison G. dan D. L. Topping. 1994. Nutritional Role of Resitant Starch: Chemical Structure vs Physiologucal Function. Annu. Rev. Nutr 14: 297-320. Berry, C.S. 1986. Resistant Starch Formation and Measurement of Starch That Survives Exhaustive Digestion with Amylolitic Enzymes During the Determination of Dietary Fiber. J. Cereal Sci 4: 301-14. Bird, A.R., I. L. Brown, dan D. L. Topping. 2000. Starches, resistant starches, the gut microflora, and human health. Curr Issues Intest. Microbiol 1(1): 25-37. Horizon Scientific Press, United Kingdom.
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. De Schrijver, R., K. Vanhof, dan J. Vande Giste. 1999.Effect of Enzyme Resistant Starchon Large Bowel Fermentation in Rats and Pigs. Nutr. Res. 19: 927-936. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 012892-1992. Cara Uji Kadar Gula. Englyst, H.N., S.M. Kingman, dan J.H. Cummings. 1992. Classification and Measurement of Nutritionally Important Starch Fraction. European Journal of Clinical Nutrition, Vol. 46 pp S33-S50. Escarpa, A., M.C. Ginzalez, E. Manas, L. Garcia-Diaz, dan F. Suara-Calixto. 1996. Resistant Starch Formation: Standardization of A High Pressure Autoclave Process. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 44th Ed. 924-928. EURESTA (European Flair Action Concerted on Resistant Starch). Newsletter III. (1992). Department of Human Nutrition. Wageningen Agricultural University. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdikbud, PAU-IPB, Bogor.
Brouns, F., B. Kettlitz, dan E. Arrigoni. 2002. Resistant Starch and ”The Butyrate Revolution”. Trends in Food Science and Technology 13 (2002): 251-261.
Garcia-Alonso, A., A. Jimenez-Escrig, N. Martin-Carron, L. Bravo, dan F. SauraCalixto. 1999. Assesment of Some Parameters Involved ini The Gelatinization and Retrogradation of Starch. Food Chem 66:181-7.
Brown, I.L., X. Wang, D. L. Topping, M. J. Playne, dan P. L. Conway. 1998. High amylose maize starch as a versatile prebiotic for use with probiotic bacteria. Food Aust. 50: 602-609.
Gee, J.M., R.M. Faulks., and I.T. Johnson. 1991. Physiological Effects of Retrograded α-Amylase Resistant Starch Cornstarch in Rats. J. Nutr 121:44.
Cummings, J.H., and Macfarlane, G.T. 1991. The Control and Consequences of Bacterial Fermentation in the Human Colon. J. Appl. Bacteriol. 70: 443-459
Haralampu, S.G. 2000. Resistant Starch – A Review of The Physical Properties and Biological Impact of RS3. Carbohydrate Polymers 41 (2000) : 285-292.
Damayanti, N. 2002. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung dan Pati Ganyong (Canna edulis) dari Beberapa Varietas Lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi
Henningsson, A.M., I.M.E. Bjorck, dan E.M.G.L Nyman. 2002.Combinations of Indigestible Carbohydrates Affect
Short-Chain Fatty Acid Formation in the Hindgut of Rats. J. Nutr 132: 30983104. Juliano, B. O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. Journal of Cereal Science Today. 16: 334-336. Di dalam: Nisviati, A. 2006. Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas) Klon Bb00105.10 Sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus Serta Evaluasi Mutu Gizi Dan Indeks Glikemiknya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kahlil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Bobot Jenis. Media Peternakan, Vol 22, No.1:1-11. Kim S. K., J. E. Kwak, dan W. K. Kim. 2003. A simple Method for Estimation of Enzyme-Resistant Starch Content. Starch/starke 55 (2003) 366-368. Kleessen, B., G. Stoof, J. Proll, D. Schmeidl, J. Noack, dan M. Blaut. 1997. Feeding Resistant Starch Affects Fecal and Cecal Microflora and Short Chain Fatty Acids in Rats. J. Anim. Sci 75: 24532462. Le Blay, G., C. Michel, H.M. Blottiere, dan C. Cherbut. 1999. Enhancement of Butyrate Production in the Rat Caecocolonic Tract by Long Term Ingestion of Resistant Potato Starch. Br. J. Nutr 82: 419-426. Lehmann, U., G. Jacobasch, dan D. Schmiedl. 2002. Characterization of Resistant Starch Type III from Banana (Musa Acuminata). Journal of Agricultural and Food Chemistry. Mariati. 2001. Karakterisasi Sifat FisikoKimia Pati dan Tepung Garut (Marantha arundinaceae) dari Beberapa Varietas Lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. MacFarlane, G. T. Dan H.N. Englyst 1986. Starch Utilization by The Human Large
Intestinal Microflora. J. Appl.Bacteriol 60: 195. Morita, T., S. Kasaoka, K. Hase, dan S. Kiriyama. 1999. Psyllium Shifts the Fermentation Site of High-Amylose Cornstrach Toward the Distal Colon and Increases Fecal Butyrate Concentration in Rats. J. Nutr 129: 2081-2087. Morris, V. J. 1990. Starch Gelation and Retrogradation. Trends in Food Science and Technology. 1:2-6. Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Muchtadi, T.R. dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor Sajilata, M.G., R.S. Singhal, dan P.N. Kulkarni. 2006. Resistant Starch – A Review. Comprehensive Reviews on Food Science and Food Safety Vol. 5: 1-17. Nordgaard, I., P.B. Mortensen, dan A.M. Langkilde. 1995. Small Intestinal Malabsorptionand Colonic Fermentation of Resistant Starch and Resistant Peptides to Short Chain Fatty Acids. Nutrition 11: 129-137. Rutenberg, M. W. dan D. Solarek. 1984. Starch derivatives: production and uses. Di dalam : Whistler, R. L., J. N. BeMiller, dan E. F. Paschall (Eds.). Starch Chemistry and Technology. Academic Press, Inc., Orlando. pp: 312-366. Sajilata, M.G., R.S. Singhal, dan P.N. Kulkarni. 2006. Resistant Starch – A Review. Comprehensive Reviews on Food Science and Food Safety Vol. 5: 1-17. Scrabanja, V. dan I. Kreft. 1998. Resistant Starch Formation Following Autoclaving of Buckwheat (Faopyrum esculentum Moench) Groats: An In
Vitro Study. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol. 46 pp.2020-23. Shamai, K., H. Bianco-Peled, dan E. Shimoni. 2003. Polymorphism of Resistant Starch Type III. Carbohydrate Polymers 54 (2003): 363-369. Sievert, D. dan Y. Pomeranz. 1989. Enzyme resistant starch I. Characterisation and Evaluation by Enzymatic, Thermoanalytical, Microscopic Methods. Cereal Chem. 66:342-347. Syarief dan Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Topping, D.L. dan P.M. Clifton. 2001. ShortChain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides. Physiological Reviews. Vol. 81 No.3, pp. 1031-64. Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wolin, M.J., S. Yerry, T.L. Miller, Y. Zhang, dan S. Bank. 1998. Changes in Production Ethanol, Acids, and H2 from Glucose by the Fecal Flora of a 16 to 158 – d- Old Breast-Fed Infant. J. Nutr 128: 85-90. Woo, K.S. M.S. Shin, P.A. Seib. 1999. 49 Cross-linked, Type RS (4) Resistant Starch: Preparation and Properties. Seattle, Wash: AACC Annual Meeting; 1999 Oct 31-Nov . Manhattan, Kans: Dept of Grain Science and Industry, Kansas State University. Wurzburg, O.B. 1989. Modified starches : properties and uses. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.