PROSES GELATINISASI DAN RETROGRADASI PATI SAGU UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III SERTA APLIKASINYA PADA PEMBUATAN MI SAGU
I GUSTI PUTU ADI PALGUNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan Mi Sagu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013
I Gusti Putu Adi Palguna NIM F251100231
RINGKASAN I GUSTI PUTU ADI PALGUNA. Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan Mi Sagu. Dibimbing oleh SUGIYONO dan BAMBANG HARIYANTO Pati resisten tipe III adalah salah satu tipe pati resisten yang terbentuk karena retrogradasi amilosa pati tergelatinisasi. Pati resisten tipe III memiliki efek fisiologis yang dapat bermanfaat untuk kesehatan diantaranya mengontrol peningkatan glukosa darah, meningkatkan konsentrasi asam butirat feses, nilai indeks glikemik rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nisbah pati terhadap air, suhu gelatinisasi dan jumlah siklus gelatinisasi retrogradasi optimal yang menghasilkan kadar pati resisten tipe III paling tinggi pada pati sagu serta melakukan substitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi dalam pembuatan mi sagu. Penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu: (1) karakterisasi pati sagu native, (2) optimasi nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi yang dapat menghasilkan kadar pati resisten tertinggi menggunakan response surface methodology, (3) proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu, (4) substitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi pada pembuatan mi sagu. Karakteristik yang dianalisis pada pati native dan pati tergelatinisasi-retrogradasi adalah bentuk dan ukuran granula, sifat birefringence, pola difrkasi sinar X, nilai kristalinatas relatif, kadar pati resisten, daya cerna pati, sineresis, pelepasan amilosa, derajat putih, kekuatan gel dan profil gelatinisasi pati. Pati sagu yang memiliki kadar pati resisten tertinggi digunakan untuk mensubstititusi pati sagu native untuk formulasi pembuatan mi sagu. Rasio pati native terhadap pati tergelatinisasi dan retrogradasi adalah 100:0%, 85:15%, dan 75:25%. Tingkat substitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi pada pembuatan mi sagu ditentukan berdasarkan uji organoleptik 70 panelis dengan metoda uji rating hedonik berdasarkan atribut keseluruhan. Kondisi optimum rasio pati terhadap air 1:2.23 dengan suhu gelatinisasi mencapai 77 oC menghasilkan kadar pati resisten tertinggi sebesar 7.82% pada 3 kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi. Proses tersebut mengakibatkan penurunan beberapa karakteristik pati sagu seperti daya cerna pati, pelepasan amilosa, dan kekuatan gel jika dibandingkan pati sagu native. Proses tersebut juga mengakibatkan peningkatan beberapa karakteristik pati sagu seperti kadar pati resisten, kristalinitas relatif, suhu awal gelatinisasi, viskositas balik relatif, sineresis dibandingkan pati sagu alami. Proses tiga kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi juga mengakibatkan hilangnya sifat birefringence pati sagu dan granula pati sagu menjadi pecah. Atribut keseluruhan mi sagu yang disubstitusi 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan mi sagu kontrol. Beberapa karakteristik mi sagu substitusi 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus adalah kadar pati resisten 4.33%, waktu pemasakan 22.01 menit, berat rehidrasi 175.84%, daya serap air 132.78%, kehilangan padatan akibat pemasakan 44.90%, kekerasan 391.53 gf, kelengketan -23.73 gf, daya kohesif 0.83, elastisitas 0.95, dan elongasi 188.25%. Kata kunci: gelatinisasi, retrogradasi, pati resisten, pati sagu
SUMMARY I GUSTI PUTU ADI PALGUNA. Gelatinization and Retrogradation Process of Sago Starch to Produce Resistant Starch of Type III and Its Apllication for Noodle Production. Supervisied by SUGIYONO and BAMBANG HARIYANTO. Resistant starch of type III is one of the resistant starch typesformed by amylose retrogradation of gelatinized starch. It has some physiological effects to health such as controlling the increase of blood glucose, improving the concentration of fecal butyric acid, andhaving low glycemic index.This study was undertaken to determine an optimum ratio of starch to water, gelatinization temperature, and the number of gelatinization and retrogradation cycle that produced the highest level of resistant starch. In addition, substituted gelatinized and retrogradated starch in producing noodle. The research was conducted in the following steps: (1) characterizing of native starch of sago, (2) determining an optimum ratio of starch to water, and gelatinization temperature that produced the highest level of resistant starch that used response surface methodology, (3) cycling of gelatinization and retrogradation process (4) substituting gelatinized and retrograded starch in producing noodle. The characters gelatinized and retrogradated starch evaluated were granule shape and size, birefringence, X-ray diffraction pattern, relative crystallinity, resistant starch, starch digestibility, syneresis, amylose leaching, degree of whiteness, gel strength and pasting profiles. Sago starch with the highest resistant starch was used to substitute native starch for noodle production. The ratio of native starch to gelatinized and retrogradatedsago starchwas 100:0%, 85:15%, and 75:25%. Substitution level of gelatinized and retrogradated starchin producing noodle was determined by sensory evaluation by 70 panelists using rating hedonic test method which based on the overall attributes. The optimum conditions, namely the ratio of starch to water was 1:2,23, the gelatinization temperature was 77 oC, produced the highest resistant starch content of 7.82% at three times gelatinization and retrogradation cycles. It caused decrease in sago starch characteristics such as the digestibility of starch, amylose leaching, and gel strength if compared to native starch. On the other hand,some of the characteristics of sago starch such as resistant starch content, relative crystallinity, pasting temperature, relative setback viscosity, and syneresis increased ascompared to native starch. Three times gelatinization and retrogradation cycles also resulted in loss of birefringence of starch sago and the rupture of sago starch granules. The overall sensory attribute of noodle which was substituted by 25% gelatinized and retrograded starch of three times cycles was not significantly different if compared to noodle control. The noodle has resistant starch content of 4.33%, cooking time of 22.01 minutes, rehydration weight of 175.84%, water absorption of 132.78%, cooking loss of 44.90%, hardness of 391.53 gf, adhesiveness of - 23.73 gf, cohessiveness of 0.83, elasticity of 0.95, and elongation of 188.25%. Keywords: gelatinization, retrogradation, resistant starch, sago starch
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROSES GELATINISASI DAN RETROGRADASI PATI SAGU UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III SERTA APLIKASINYA PADA PEMBUATAN MI SAGU
I GUSTI PUTU ADI PALGUNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
6
Penguji pada Ujian Tesis: Dr. Ir.S Joni Munarso, MS
7 Judul Tesis : Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan Mi Sagu Nama : I Gusti Putu Adi Palguna NIM : F251100231
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Ketua
Dr Ir Bambang Hariyanto, MS. APU Anggota Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti–Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 September 2013
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pali Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan Mi Sagu : I Gusti Putn Adi Palguna Nama : F25110023 l NIM
Disetujni oleh Komisi Pembimbing
Goc~ f-icy~
I
~
Dr Ir Bambang Hariyanto, MS. APU Anggota
Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Kehm
Diketahui oleh
~9!ah Pascasarjana \
Keh1a Program Sh1di Ilmu Pangan
~<;;, c.l\TAA;1 4"' ~'
~
ifl9£/ o_ t.t "
Q:j:':),_,'°?'!.,,
,~t,.~ IJ.JJ...
1--
:zrwU'l
-
t
~ "W"" w,,.
A
y<j)
I
.,,, __
#
•
J.
e>" ):'» o~
~, ,,,,.--::1,\i
\\~·
Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Tanggal Ujian: 30 September 2013
'-:1Jr.TI~yah, MScAgr
Tanggal Lulus:
1 2 NOV 2013
8
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah pati resisten Tipe III, dengan judul Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan Mi Sagu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Bapak Dr. Ir. Bambang Hariyanto, MS. APU selaku pembimbing atas dorongan dan bimbingan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.Kepada Bapak Dr. Ir. S Joni Munarso, MS penulis mengucapkan terimakasih atas kesediannya menjadi dosen penguji. Masukan yang Bapak berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda I Gusti Made Alit, ibunda I Gusti Ayu Sriyani yang selalu memberikan semangat dan doa restu yang tidak ada hentinya.Kepada rekanrekan mahasiswa angkatan 2010 Mayor Ilmu Pangan penulis ucapkan terimakasih atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, SEAFAST Center, dan Laboratorium Pengolahan Pangan Labtiab BPPT-Tangerang penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2013
I Gusti Putu Adi Palguna
9
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Penelitian Hipotesis
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 METODE Bahan Alat Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Analisis
12 12 12 12 13 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pati Sagu Native Optimasi Nisbah Pati Terhadap Air dan Suhu Gelatinisasi Menggunakan Response Surface Methodology Siklus Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu Pengaruh Substitusi Pati Sagu Tergelatinisasi dan Retrogradasi 3 siklus Terhadap Kualitas Mi Sagu
26 26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
54 54 55
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
64
RIWAYAT HIDUP
88
32 35 49
10
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik pasta pati sagu diamati menggunakan brabender ramilograf 2 Karakteristik pati garut native dan setelah autoclaving-cooling 3 Formulasi pembuatan mi sagu 4 Profil gelatinisasi pati sagu Bogor 5 Komposisi kimia pati sagu Bogor 6 Pengaruh nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi pada kadar pati resisten 7 Response dan factor pada tahap verifikasi 8 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap parameter gelatinisasi pati sagu 9 Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap kualitas pemasakan mi sagu 10 Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap tekstur mi sagu 11 Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap organoleptik mi sagu
5 10 17 28 31 32 35 47 50 52 53
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20
Kerangka pemikiran penelitian Sifat birefringence pati sagu native, Irian Jaya, Yepha hungleu Skema retrogradasi amilosa Scanning electron micrographs, pati amylomaize native, pati amylomaize autoclaving-cooling 1 siklus, pati amylomaize autoclavingcooling 4 siklus Sifat birefringence novelose 330 Diagram alir tahapan penelitian Proses pembentukan pati modifikasi dari pati sagu Substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada pembuatan mi sagu Profil gelatinisasi pati diamati menggunakan RVA Hasil analisis tekstur menggunakan texture analyzer Sifat birefringence dan bentuk granula pati sagu Bogor Profil gelatinisasi pati sagu Bogor Pola difraksi X-ray pati sagu Bogor Pengaruh jumlah air terhadap kadar pati resisten Pengaruh suhu gelatinisasi terhadap kadar pati resisten Sifat birefringence, pati sagu native, pati sagu mengalami 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi diamati menggunakan mikroskop polarisasi perbesaran 400x Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap nilai sineresis Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap daya cerna pati Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap pelepasan amilosa Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap kekuatan gel
4 6 7
9 9 13 15 16 18 23 27 28 29 33 34
36 37 38 39 41
11
21 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap nilai derajat putih 22 Pola difraksi X-ray pati sagu native serta perlakuan 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi 23 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap kristalinitas relatif 24 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu terhadap kadar pati resisten 25 Bentuk granula pati sagu native, pati sagu perlakuan 1 siklus gelatinisasi dan retrogradasi, pati sagu 2 siklus gelatinisasi dan retrogradasi, pati sagu 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi 26 Pengaruh susbtitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap kadar pati resisten mi sagu
42 43 44 45
48 54
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Komposisi kimia pati sagu Optimasi nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi Sineresis pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Daya cerna pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Pelepasan amilosa akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Kekuatan gel pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Derajat putih pati sagu akibat proses gelatinisasi dan retrogradasi Profil gelatinisasi pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Kristalinitas relatif pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Kadar pati resisten pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Waktu pemasakan mi sagu Berat rehidrasi mi sagu Daya serap air mi sagu Kehilangan padatan akibat pemasakan mi sagu Nilai kekerasan mi sagu Nilai kelengketan mi sagu Nilai elastisitas mi sagu Daya kohesif mi sagu Elongasi mi sagu Kadar pati resisten mi sagu Uji organoleptik mi sagu
64 64 66 67 68 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 79 79 80 80 82 83
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang perlu dipecahkan untuk memantapkan peranan sagu dalam ketahanan pangan di daerah penghasil sagu adalah peningkatan bentuk dan rasa makanan sagu (Louhenapessyet al. 2010).Untuk meningkatkan bentuk makanan dari sagu maka sagu dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi produk yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat seperti mi (Purwaniet al. 2006; Sugiyono et al. 2009b; Haryantoet al. 2011).Di samping itu, pengolahan pati sagu menjadi mi sejalan dengan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2009 mengenai kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Komponen zat gizi pati sagu selain karbohidrat seperti lemak dan protein tergolong rendah. Purwani et al. (2006) melaporkan kandungan zat gizi pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia adalah lemak 0.06 sampai 0.12%, protein 0.25 sampai 0.48%, sedangkan karbohidrat 82.27 sampai 85.29%. Selanjutnya, hasil penelitian Yuliasih (2008) menunjukkan bahwa kandungan zat gizi pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia adalah lemak 0.26 sampai 0.96%, protein 1.82 sampai 2.61%. Kecilnya kandungan lemak dan protein pati sagu menyebabkan produk olahan pati sagu seperti mi sagu hanya dapat menjadi sumber karbohidrat. Dengan demikian untuk meningkatkan daya terima mi sagu oleh masyarakat maka mi sagu perlu disubstitusi komponen zat gizi atau non gizi yang memiliki efek fisiologis terhadap kesehatan. Sanz et al. (2008) menyatakan peningkatan pengetahuan konsumen mengenai kaitan antara pangan, gaya hidup, dan kesehatan merupakan salah satu alasan bahan pangan kaya serat menjadi populer, seperti pati resisten yang merupakan sumber serat pangan baru yang memiliki nilai penting.Haralampu (2000) menyatakanpati resisten dibagi menjadi empat golongan yaitu pati resisten tipe I merupakan pati yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terjebak dalam matriks yang tidak dapat tercerna, pati resisten tipe II merupakan pati tidak tergelatinisasi, pati resisten tipe III adalah pati terretrogradasi, dan pati resisten tipe IV adalah pati yang mengalami modifikasi kimia. Pati resisten enzim amilase atau pati resisten tipe III terbentuk selama proses pengolahan dengan kandungan air tinggi melalui proses pemasakan, baking, dan autoclaving (Tharanathan dan Tharanathan 2001). Pati resisten tipe III adalah polimer pati yang mengalami retrogradasi terutama rantai amilosa, yang dihasilkan ketika pati didinginkan setelah proses gelatinisasi (Yamada et al. 2005; Topping et al. 2008).Gelatinisasi terjadi ketika pati alami dipanaskan dengan kandungan air yang mencukupi (Copeland et al. 2009). Proses gelatinisasi menyebabkan granula pati semakin mengembang dan terjadi pelepasan amilosa (Vasanthan dan Hoover 2009). Jumlah amilosa yang terlarut dalam karbohidrat semakin banyak ketika suhu gelatinisasi semakin meningkat (Palav dan Seetharaman 2006). Istilah retrogradasi digunakan untuk menjelaskan perubahan yang terjadi selama proses pendinginan dan penyimpanan pati tergelatinisasi (Fredriksson et al. 1997), seperti terjadinyainteraksi molekuler ikatan hidrogen antara rantai pati (Ratnayake et al. 2002). Selama proses retrogradasi, ikatan amilosa kembali
2 terbentuk sehingga kristalisasi menjadi kuat, dan terbentuklah pati resisten tipe III (Haralampu 2000).Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar pati resisten tipe III berkaitan dengan metode gelatinisasi dan retrogradasi pati adalah jumlah siklus pemanasan suhu tinggi dan pendinginan (Zhao dan Lin 2009a; Zhao dan Lin 2009b; Sugiyono et al. 2009a; Yadav et al. 2009; Milasinovic et al. 2010), nisbah pati terhadap air (Milasinovic et al. 2010), suhu autoklaf (Yadavet al. 2009), jenis alat pengering (Ozturk et al. 2011),dan suhu penyimpanan pati tergelatinisasi (Gonzales-Soto et al. 2007; Yadav et al. 2010; Ozturk et al. 2011). Pati resisten tipe III mempunyai beberapa efek fisiologis yang bemanfaat untuk kesehatan yaitu memberikan efek kenyang lebih lama (Jenkins et al. 1998; Willis et al. 2009), indeks glikemik rendah (Jenkins et al. 1998; Vonk et al. 2000; Pongjantaet al. 2008), meningkatkan konsentrasi asam butirat feses(Jenkins et al. 1998), mengontrol peningkatan glukosa darah (Yamadaet al. 2005; Sajilata et al. 2006), sebagai prebiotik (Asp et al. 1996; Sajilata et al. 2006). Di samping itu, pati resisten tipe III merupakan fraksi yang stabil terhadap panas dan meleleh diatas suhu 120 oC (Sievert dan Pomeranz 1989).Pati resisten tipe III juga merupakan tipe pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional dibandingkan dengan tipe pati resisten lainnya (Zhang dan Jin 2011). Cui dan Oates (1997) melaporkan bahwa pati sagu tergelatinisasi kemudian didinginkan hingga suhu 30 oC setelah itu disimpan pada suhu 5 oC selama 1 jam menunjukkan transisi endotermik pada suhu 145.2oC yang mengindikasikan terjadinya retrogradasi amilosa. Hasil penelitian Widaningrum et al. (2005) menunjukkan bahwa mi sagu yang diperam selama 24 jam pada freezer, cool room, dan refrigerator menunjukkan hasil tidak ada perbedaan secara nyata kadar pati resisten mi sagu pada ketiga kondisi pemeraman tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai proses gelatinisasipati sagu dengan cara pemasakandiatas suhu awal gelatinisasi pada keadaan air berlebih (lebih dari 90% b/b) dan retrogradasi pati sagu dengan cara menyimpanpati tergelatinisasi pada suhu ±5 oC selama 24 jam untuk menghasilkan pati resisten tipe III. Di samping itu, perlu juga dilakukan kajian untuk melakukan substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada mi sagu.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menentukannisbah pati terhadap air, suhu gelatinisasi dan jumlah siklus gelatinisasi retrogradasi optimal yang menghasilkan kadar pati resisten tipe III paling tinggi pada pati sagu. b. Melakukan substitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi padapembuatan mi sagu.
3 Kerangka Pemikiran Paradigma pembangunan ketahanan pangan di Indonesia sebelum Peraturan Presiden No. 68 tahun 2002 ditinjau dari aspek fokus pembangunan komoditas pangan adalah padi (beras). Akan tetapi, paradigma terakhir sesudah Peraturan PresidenNo. 68 Tahun 2002 sebenarnya memberikan peluang yang sangat besar kepada masyarakat untuk mempersiapkan kebutuhan pangannya sesuai potensi wilayahnya, dengan demikan pangan lokal seperti padi, umbi–umbian, jagung, sagu diberikan kesempatan untuk berkembang di wilayahnya masing–masing (Louhanapessy et al. 2010). Pati sagu perlu dikembangkan bentuknya agar dapat diterima secara lebih luas, seperti diolah menjadi mi. Dengan meningkatnya fungsi pangan yang bukan hanya untuk memenuhi kecukupan gizi, tetapi juga dapat memberikan manfaat kesehatan maka mi sagu perlu ditambahkan bahan fungsional seperti pati resisten agar berpotensi sebagai pangan fungsional. Substitusi pati resisten dalam mi sagu diharapkan menjadi alternatif penyediaan pangan berbasis bahan baku lokal. Selain itu,pemanfaatan pati sagu dalam pembuatan mi dan pembentukan pati resisten tipe III sejalan dengan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2009 mengenai kebijakan percepatan penganekaragamankonsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Diagram alir kerangka pemikiran ditunjukkan pada Gambar 1.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu memberikan informasi nisbah pati terhadap air, suhu gelatinisasi dan jumlah siklus gelatinisasi retrogradasi pati sagu optimal yang dapat menghasilkan kadar pati resisten tipe III paling tinggi serta memberikan informasi mengenai tingkat susbsitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi dalam mi sagu yang dapat diterima oleh panelis.
Hipotesis a. Proses gelatinisasi dan retrogradasi berulang dapat meningkatkan kadar pati resisten tipe III pada pati sagu. b. Substitusi pati sagu tergelatinisasi dan retrogradasipada pembuatan mi sagu menghasilkan mi sagu yang masih dapat diterimahingga tingkat substitusi tertentu.
4 Sumber pangan lokal
Sumber daya sagu
Pangan baru
Pangan tradisional
Papeda, sinoli, uha
Gelatinisasi dan retrogradasi
Mi sagu
Pati resisten tipe III Optimasi
Mi sagu tinggi pati resisten
Alternatif penyediaan pangan berbasis bahan baku lokal Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Fisik Pati Sagu Native Tabel1menunjukkan bahwa perbedaan asal tanaman sagu menyebabkan perbedaan karakteristik pasta pati sagu yang diamati menggunakan brabender amilograf. Berdasarkan pola kekentalannya saat dipanaskan, pati sagu native tergolong dalam pati tipe A (Widaningrum et al. 2005; Purwani et al. 2006; Herawati 2009). Widaningrum (2005) menyatakan bahwa pati yang dikategorikan tipe A memiliki karakteristik kental namun cepat menjadi encer selama proses pemanasan.
5 Tabel 1 Karakteristik pasta pati sagu diamati menggunakan brabender amilograf Asal sagu Karakteristik
Bogor* Pancasan 71.25 81 1100 650 1280 450 690
Maluku * Tuni 72 85.5 990 350 710 640 360
Ihur Molat Suhu gelatinisasi (oC) 66 71.25 o Suhu saat viskositas maksimum ( C) 84.75 87 Viskositas maksimum (BU) 1230 890 Viskositas pasta panas(BU) 520 350 Viskositas pasta dingin (BU) 950 680 Breakdown viscosity (BU) 710 540 Setback viscosity (BU) 500 340 *Sumber: Purwani et al. (2006); **Sumber: Herawati (2009); ***Sumber: Widaningrum et al. (2005)
Papua ** Yepha hongleu 73.5 87 590 240 350 350 110
Sulawesi *** 72 76.5 840 360 720 480 360
5
6 Yuliasih (2008) melaporkan bahwa sifat birefringence pati sagu asal Irian Jaya masih terlihat jelas (Gambar 2a). Hasil penelitian serupa juga dilaporkan oleh Herawati (2009) bahwasifat birefringence pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya masih terlihat jelas (Gambar 2b). Masih terlihatnya sifat birefringence pati nativemenandakan bahwa pati masih mempunyai stuktur semikristalin dan belum mengalami gelatinisasi.Selain itu, Yuliasih (2008) juga melaporkan bahwa ukuran rata–rata granula pati sagu asal Irian jaya adalah 86.13 µm, pati sagu asal Sulawesi Utara 68.03 µm, pati sagu asal Riau 61.57 µm, pati sagu asal Jawa Barat 57.15 µm, pati sagu asal Kalimantan Selatan 54.83 µm. Herawati pada tahun 2009 mengamati ukuran pati sagu yepha hongleuasal Irian Jaya adalah adalah rataan panjang 64.7±20.2 µm, rataan lebar 46.8±18.6 µm, kisaran panjang 45.1 sampai 91.6 µm, kisaran lebar 29.8 sampai 74.8 µm. Beberapa karakteristik fisik lainnya pati sagu alami yepha hongleu adalah kekuatan gel pati 8.8±0,6 gf, derajat putih 73.87±0.06% (% terhadap BaSO4), dan swelling volume 6.1±0.6 ml/g. b
a
Gambar 2
Sifat birefringencepati sagu native (a) Irian Jaya (Yuliasih 2008), (b) Yepha hongleu (Herawati 2009).
Mekanisme Pembentukan Pati Resisten Tipe III Melalui Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati resisten tipe III dihasilkan dari proses gelatinisasi yang mengganggu struktur granula dikarenakan pemanasan pati pada keadaan air berlebih, dan retrogradasi yang merupakan proses terjadinya kristalisasi ulang komponen pati (amilosa dan amilopektin) secara lambat selama proses pendinginan (Milasinovic et al. 2010).Istilah air berlebih menggambarkan jumlah air sebanyak lebih dari 90% b/b dibandingkan jumlah pati (Parker dan Ring 2001).Selajutnya, Zhang dan Jin (2011) menyatakan mekanisme yang diterima selama ini untuk menjelaskan pati resisten tipe III resisten terhadap amilase adalah ikatan rantai lurus amilosa terkondensasi menjadi bentuk struktur double helices setelah proses gelatinisasi (retrogradasi amilosa). Oleh sebab itu, susunan ikatan dalam bentuk double helics tersebut menyebabkan ikatan α-1,4 glikosidik tidak dapat diakses oleh amilase. Gambar 3 menunjukkan proses terbentuknya struktur double helices pati selama retrogradasi (Haralampu 2000).
7
Gambar 3Skema retrogradasi amilosa (Haralampu 2000) Bila pati dipanaskan dengan adanya air, suatu proses tidak dapat balik yang disebut gelatinisasi akan terjadi, pada keadaan tersebut ikatan hidrogen pati akan digantikan oleh ikatan pati dengan air. Struktur kristalin di dalam granula akan hilang, semua rantai polimer akan terpisah, dan terikat pada sejumlah besar molekul air, danterjadi peningkatan viskositas (Parker dan Ring 2001). Beberapa perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi diantaranya perubahan sifat birefringence (Liu et al. 2002; Palav dan Seetharaman 2006), pengembangan ukuran granula (Liu et al. 2002; Palav dan Seetharaman 2006; Bilbao–Sainz et al. 2007; Miao et al. 2010), pelepasan amilosa (Palav dan Seetharaman 2006), perubahan dari keadaan kristalin menjadi amorphous (Cui dan Oates 1997; Liu et al. 2002), rusaknya ikatan hidrogen dan hidrofobik inter– dan intra- molekuler pati, dan terbentuknya ikatan molekuler antara air dengan pati (Liu et al. 2002), peningkatan viskositas (Bilbao-Sainz et al. 2007), kehilangan sifat kristalinitas (Bilbao-Sainz et al. 2007; Miao et al. 2010), peningkatan kadar pati tercerna cepat, penurunan kadar pati tercerna lambat (Chung et al.2009; Miao et al. 2010),penurunan kadar pati resisten (Chung et al.2009; Miao et al. 2010; Juansang et al. 2012).
Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kadar Pati Resisten Tipe III Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa metode pengolahan pati saat gelatinisasi, retrogradasi, dan pengeringandapat mempengaruhi kadar pati resisten tipe III(Garcia-Alonso et al. 1999; Gonzales-Soto et al 2007; Sugiyono et al. 2009a; Yadav et al. 2009; Zhao dan Lin 2009a; Zhao dan Lin 2009b; Milasinovic et al. 2010; Yadavet al. 2010; Ozturk et al. 2011).Selain itu, karakteristik fisik pati seperti kandungan amilosa (Themeier et al. 2005; Yadav et al. 2009), dan derajat polimerisasi amilosa (Eerlingen et al. 1993) juga dilaporkan berpengaruh terhadap kadar pati resisten III. Hasil penelitian Garcia-Alonso et al.(1999) menunjukkan bahwa pengeringan pati teretrogradasi yang dilakukan pada suhu 60 oC menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan pengeringan pada suhu 100 oC. Hal tersebut terjadi pada pati gandum, pati jagung, pati beras, pati kentang, dan tepung kentang, kecuali tepung gandum dan tepung jagung. Pengeringan pada suhu tinggi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan kristal amilopektin teretrogradasi yang dapat mempengaruhi kadar pati resisten.
8 Sugiyono et al.(2009a) melaporkan proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan berulang hingga 5 siklus secara signifikan meningkatkan kadar pati resisten pati garut hingga hampir 6 kali lipat.Zhao dan Lin (2009a) melaporkan bahwa pati jagung tinggi amilosa dengan perlakuan autoclaving-cooling sebanyak 1 sampai4 siklus kadar pati resistennya berkisar antara 27.2 sampai 30.7%. Selanjutnyahasil penelitian Zhao danLin (2009b) menunjukkan kadar pati resisten pada pati jagung mengalami peningkatan dari 4.1% (1 siklus) sampai 11.2% (6 siklus). Yadav et al. (2009) melaporkan bahwa kandungan pati resisten pada legumes (4.18%), cereals (1.86%), dan tubers (1.51%) meningkat menjadi 8.16% untuk legumes, 3.25% untuk cereals dan 2.51% untuk tubers setelah 3 kalisiklus autoclaving-cooling.Milasinovic et al.(2010) melaporkan bahwa setelah 3 kali proses autoclaving-cooling kadar pati resisten pada pati jagungmeningkat 2.1% dibandingkan dengan 1 kali siklus. Hasil penelitian Gonzales-Soto et al.(2007) menunjukkan bahwa kadar pati resisten tipe III yang disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam adalah 34.84%, lebih tinggi dibandingkan disimpan pada suhu 60 oC selama 24 jam kadarnya adalah 23.54%.Yadav et al (2010) melaporkan bahwa tepung gandum, barley, chickpea, pea, kidney beantergelatinisasi kemudian disimpan pada suhu 4 oC dan 25 oC selama 12 jam menunjukkan hasil bahwa kadar pati resisten tepung yang disimpan pada suhu 4 oC lebih tinggi dibandingkan tepung yang disimpan pada suhu 25 oC.Ozturk et al. (2011) melaporkan bahwa pati jagung amylotype dengan perlakuanautoclaving-cooling sebanyak 2 siklus yang disimpan pada suhu 4 oC mempunyai kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan penyimpanan dilakukan pada suhu 95 oC. Ozturk et al. (2011) melaporkan bahwa pati teretrogradasi Hylon V dan Hylon VII yang dikeringkan menggunakan oven signifikan menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan pengeringan menggunakan pengering-beku. Hal tersebut terjadi pada pati native dan pati yang sudah dihidrolisis menggunakan asam klorida.Kandungan pati resisten lebih tinggi pada sampel yang dikeringkan menggunakan oven mungkin disebabkanterjadinya retrogradasi pati selama pengeringan pada suhu 50 oC. Selama proses pengeringan menggunakan oven, molekul pati menyatu kembali dan membentuk struktur dengan ikatan yang kuat yang menyebabkan keterbatasan dicerna oleh enzim pencernaan. Sebaliknya selama pengeringan-beku, sampel dikeringkan dalam keadaan beku yang mengakibatkan rantai pati tidak dapat berinteraksi secara bebas untuk terjadinya retrogradasi. Sievert dan Pomeranz (1989) melaporkan kadar pati resisten amylomaize VII pada nisbah pati terrhadap air yaitu 1:3.5 lebih tinggi dibandingkan nisbah pati terhadap air 1:10. Hasil penelitian Milasinovic et al (2010) menunjukkanbahwa nisbah pati terhadap air1:10 lebih efisien meningkatkan kadar pati resisten sebanyak 2% saat 2 siklus dibandingkan dengan nisbah pati terhadap air yaitu 1:5 yang hanya mampu meningkatkan kadar pati resisten sebesar 1%.
9 Karakteristik Fisik Pati Resisten Tipe III Pengamatan menggunakan scanning electron microscope(SEM) terhadap diameter pati amylomaize native dilakukan oleh Sievert danPomeranz pada tahun 1989, terlihat bahwa diameternyaberkisar 5 µm (Gambar 4a). Selanjutnya, Gambar 4b memperlihatkanpati amylomaize yang telah mengalami proses autoclaving-cooling sebanyak satu kali. Struktur granula sudah tidak terlihat, lebih besar, bentuk partikel tidak beraturan dengan bentuk seperti spons, terlihat adanya jaringan berpori. Gambar 4c memperlihatkan pati amylomaize yang telah mengalami proses autoclaiving-cooling sebanyak 4 siklus. Terlihat masih ada struktur yang berpori pada beberapa bagian tetapi didominasi oleh formasi yang lebih kompak.
a b c Gambar 4.Scanning electron micrographs(a) pati amylomaize native, (b) pati amylomaize autoclaving-cooling 1 siklus, (c) pati amylomaize autoclaving-cooling 4 siklus (Sievert dan Pomeranz 1989). Suriani (2008) melaporkan sifat birefringence pati resisten tipe III komersial (novelose 330) terlihat memudar(Gambar 5). Hal tersebut disebabkan novelose 330 diproses melaluimodifikasiheat moisture treatment pati jagung tinggi amilosa (Xie SX et al. 2005).Hasil pengamatan tersebut sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa salah satu karakteristik granula pati modifikasi HMT adalahsifat birefringencenya memudar (Vermeylen et al. 2006; Herawati 2009; Li et al.2011).
Gambar 5 Sifat birefringence (Suriani 2008)
novelose
330
10 Karakteristik pasta pati garut sebelum maupun sesudah perlakuan siklus autocaling–cooling diamati menggunakan brabender amilograf ditunjukkan pada Tabel 2.Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa suhu awal gelatinisasi maupun suhu puncak gelatinisasi sudah tidak terlihat pada pati garut yang mengalami proses autoclaving-cooling.Viskositas maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity lebih rendah dibandingan pati garut native(Suriani 2008). Tabel 2 Karakteristik pati garut native dan setelah autoclaving-cooling Perlakuan Pati Karateristik PM 1 siklus PM 3 siklus PM 5 siklus native 15’ 30’ 15’ 30’ 15’ 30’ o Suhu awal gelatinisasi ( C) 75.75 Suhu puncak gelatinisasi (oC) 85.85 Viskositas maksimum (BU) 1290 520 346 120 84 100 64 Viskositas 95 oC (BU) 920 220 124 102 78 80 24 Viskositas setelah holding (BU) 558 208 106 100 76 80 20 Viskositas pada 50 oC (BU) 760 240 118 100 100 100 28 Setback viscosity (BU) 202 32 12 0 24 20 8 Sumber: Suriani (2008) - pati sudah mengalami gelatinisasi; ′ menit
Ratnayake dan Jackson pada tahun 2008 mengamati ukuran partikel novelose 330 menggunakan SEM perbesaran 2500x, terlihat tidak ada perubahan yang berarti selama pemanasan dari suhu 35 sampai 75 oC, tetapi terlihat mulai ada sedikit pengembangan partikel ketika pemanasan pada suhu 85 oC. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa partikel novelose 330 sangat resisten terhadap perlakuan hydrothermal hingga suhu 80 oC.
Efek Fisiologis Pati Resisten Tipe III Terhadap Kesehatan Yamada et al. (2005) melaporkan bahwa pati resisten tipe III dari ubi kayu yang disubstitusikan pada roti kemudian diujikan kepada 12 orang responden dengan status borderline group (level glukosa darah ≥ 111 mg/dl) memperlihatkan hasil bahwa setelah 1, 1.5, 2 jam mengkonsumsi roti substitusi pati resisten tipe III peningkatan glukosa darahnya lebih rendah dibandingkan dengan mengkonsumsi roti tanpa penambahan pati resisten. Selanjutnya hasil penelitian Sanz et al. (2010) menunjukkan bahwa muffin yang ditambahkan novelose 330 dan C*actistar 11700 (pati ubi kayu teretrogradasi) sama–sama memperlihatkan hasil bahwa pelepasan glukosa secara in vitro lebih rendah dibandingkan kontrol. Dengan demikian pangan yang disubstitusi pati resisten tipe III tepat dikonsumsi oleh penderita diabetes. Willis et al. (2009) melaporkan bahwa novelose 330 memberikan efek kenyang lebih lama (selama 180 menit) dibandingkan sumber serat lainnya seperti corn bran (120 menit), barley oat (120 menit), low fiber (120 menit) dan polidekstrosa (40 menit).Pati resisten mempengaruhi efek kenyang karena berpengaruh terhadap fermentasi pada usus besar dan kecepatan pengosongan
11 lambung.Hasil penelitian Jenkins et al.(1998) menunjukkan bahwa konsentrasi asam butirat feses lebih tinggi ketika responden mengkonsumsi pati resisten tipe III dibandingkan dengan mengkonsumsi low fiber. Perbedaan konsentrasi asam butirat feses ketika mengkonsumi pati resisten tipe III dibandingkan low fiber adalah 66±26%. Penelitian secara in vitro dan in vivo mengindikasikan bahwa butirat yang merupakan hasil fermentasi pati resisten mungkin bersifat sebagai pendorong terjadinya apoptosis pada sel tumor (Topping dan Clifton 2001). Vonk et al.(2000) melaporkannovelose 330 memiliki nilai indek glikemik sebesar 48±28 sehingga dikategorikan sebagai pangan dengan indek glikemik rendah. Hasil serupa juga dilaporkan Pongjantaet al. (2008) bahwa tepung terigu yang disubstitusi pati resisten sebesar 5, 10, 15, dan 20% pada pembuatan butter cake menunjukkan hasil nilai indeks glikemik lebih rendah dibandingkan kontrol. Nilai indek glikemikbutter cake yang disubstitusi pati resisten tipe III sebanyak 0, 5, 10, 15 dan 20% adalah 74.93%, 69.65%, 68.16%, 66.16%, dan 65.58%. Jenkins et al. (2002) mengklasifikasikan nilai indek glikemik 70% atau lebih adalah tinggi, 56 sampai 69% adalah medium, 55% atau kurang adalah rendah. Oleh sebab itu,butter cake yang disubstitusi pati resisten tipe III dikategorikan sebagai pangan dengan nilai indek glikemik medium (65.58 sampai 69.65%), sedangkan butter cake tanpa substitusi pati resisten tipe III dikategorikan sebagai pangan dengan nilai indek glikemik tinggi (74.93%).
Aplikasi Penambahan Pati Resisten Tipe III Pada Produk Pangan Aplikasi penambahan pati resisten kedalam bahan pangan menjadi suatu hal yang menarik bagi pelaku pengembangan produk pangan dan ahli gizi disebabkan dua alasan yaitu fortifikasi serat dan manfaat fisiologis pati resisten, yang mungkin mempunyai karakteristik yang sama dengan serat, mempunyai sifat fungsional yang unik, serta mampu menghasilkan kualitas produk pangan yang lebih baik dibandingkan ketika bahan pangan difortifikasi dengan serat tidak larut (Waring 1998), seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Sharma et al. 2008). Sozer et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan 10% pati resisten tipe III pada spaghetti mengakibatkan peningkatan cooking loss pada pemasakan menit ke-12 dibandingkan kontrol, namun peningkatan tersebut lebih rendah dibandingkan spaghetti yang disubstitusi 10% bran. Waktu optimum pemasakan untuk spaghetti yang disubstitusi pati resisten, substitusi bran, dan kontrol masing–masing adalah 13, 12, dan 12.5 menit. Beberapa karakteristik fisik spaghetti yang disubstitusi pati resisten tipe III selama waktu pemasakan yaitu nilai kekerasan lebih rendah dibandingkan spaghetti yang disubstitusi dengan bran namun nilainya fluktuatif dibandingkan kontrol, nilai kelengketannya lebih tinggi dibandingkan spaghetti substitusi bran namun lebih rendah dibandingkan kontrol, nilai kekompakkannya mendekati kontrol namun lebih rendah dibandingkan spaghetti substitusi bran, nilai chewinessnya lebih rendah dibandingkan rendah dibandingkan spaghetti substitusi bran, tapi fluktuatif dibandingkan kontrol. Pongjantaet al.(2008) melaporkan bahwa tepung terigu yang disubstitusi 5, 10, 15 dan 20% pati resisten tipe III menunjukkan hasil bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara substitusi pati resisten dengan kontrol terhadap atribut
12 tekstur dan flavor sweetness. Dilihat dari atribut flavor aroma nilainya lebih tinggi ketika substitusi mulai dari 10%. Sebaliknya, nilai colour appearance butter cake substitusi pati resisten lebih rendah dibandingkan kontrol. Penerimaan secara keseluruhan menunjukkan hasil bahwa susbtitusi pati resisten tipe III sebesar 15% nilainya paling tinggi dibandingkan kontrol maupun tingkat substitusi lainnya.Sanz et al. (2008) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan (p<0.05) pada battered squid rings goreng yang ditambahkan pati resisten tipe III sebesar 10%, 20% dan kontrol dinilai dari atribut penampakan, warna, kerenyahan, oiliness, serta penerimaan secara keseluruhan. Dengan demikian battered food dengan penambahan pati resisten tipe III menjadi alternatif yang tepat untuk peningkatan serat total tanpa merubah tingkat penerimaan konsumen.
3
METODE Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pati saguhasil ekstraksi batang tanaman sagu (Metroxylon sagu) yang diperoleh dari petani sagu di daerah Ciluwer, Bogor. Bahan yang digunakan untuk analisis pati resisten adalah enzim amiloglukosidase A9913 (Sigma-Aldrich Pte Ltd), enzim α-amilase tahan panas dari Bacillus licheniformis (Termamil 120L)danenzim proteasedari Aspergillus niger dengan aktivitas 89 U/mL.
Alat Karakterisasi pati sagu native dan pati sagu tergelatinisasi-retrogradasi menggunakan alat-alat sebagai berikut: spektrofotometer UV-1800 UV-Vis Shimadzu, X-ray diffractometerXRD-7000 Shimadzu, scanning electron microscopeEVO 50 ZEISS, texture analyzerTA-XT2i, rapid visco analyzer (RVA) TECMASTER 2061904 TMA, centrifuge 5810 R eppendorfdan drum drier.Alat utama yang digunakan untuk pembuatan mi sagu adalah cold ekstrudersingle screw.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai September 2012 sampai Mei2013. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Rekayasa Proses Pangan,Biokimia Pangan, danKimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, SEAFAST center Institut Petanian Bogor (IPB), dan Laboratorium Pengolahan Pangan Laptiab-BPPT Serpong, Tangerang.
13 Metode Penelitian Penelitian dibagi menjadi 4 tahap seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Penelitian diawali dengan mengkarakterisasi bahan baku (Tahap 1). Penelitian tahap 2 adalah optimasi nisbah pati terhadap air serta suhu gelatinisasi untuk mendapatkan kadar pati resisten tertinggi. Selanjutnya, penelitian tahap 3 yaitu siklus gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu untuk meningkatkan kadar pati resisten. Tahap 4 adalah substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada mi sagu. Karakterisasi Bahan Baku Tahap 1
Optimasi nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi menggunakan response surface methodology Tahap 2
Verifikasi hasil optimasi nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi
Siklus Gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu Tahap 3
Substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada pembuatan mi sagu Tahap 4
Mi sagu
Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian
14 Penelitian diawali dengan mengkarakterisasi pati sagu native untuk mengetahui karakteristikfisik, kimia, dan uji secara in vitropati sagu. Karakteristik tersebut digunakan sebagai acuan untuk proses penelitian tahap 2, khususnya suhu awal gelatinisasi pati sagu. Karakteristik fisik dapat dilihat berdasarkan hasil analisis profil gelatinisasi pati, derajat putih, kekuatan gel, mikrostuktur pati, sineresis. Karakteristik kimia adalah analisis proksimat (protein, lemak, abu, air, serat kasar dan karbohidrat), kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin. Uji secara in vitro dilakukan untuk menganalisis daya cerna pati dan kadar pati resisten. Tujuan optimasi nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi adalah untuk mengetahui nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi optimal yang dapatmenghasilkan kadar pati resisten tipe III tertinggi menggunakan response surface methodology(RSM). Variabel nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi masing–masing menggunakan 2 level yaitu: 1:1.5dan 1:3.5 b/b untuk nisbah pati terhadap air. Selanjutnya suhu awal gelatinisasiyaitu 72 oC dan suhu saat tercapai viskositas puncak pati sagu yaitu 82 oC. Kemudian dilakukan tahap verifikasi terhadap suhu gelatinisasi dan nisbah pati terhadap air. Penelitian tahap 3 mempelajari siklus gelatinisasi dan retrogradasi yang bertujuan untuk meningkatkan kadar pati resisten (Gambar 7). Proses gelatinisasi dan retrogradasi dilakukan sebanyak 1 sampai 3 siklus. Data nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi hasil verifikasi pada penelitian tahap 2 digunakan pada penelitian tahap 3. Proses gelatinisasi dan retrogradasi 1 siklus dilakukan dengan cara pati sagu dan air dicampur kemudian dipanaskanhingga mencapai suhu gelatinisasi optimal menggunakan hot plate. Kemudian suspensi pati didinginkan selama 1 jam pada suhu ruang sebelum penyimpanan pada suhu 4 oC. Selanjutnya agar terjadi retrogradasi maka pati tergelatinisasi disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Siklus kedua diulang kembali mulai dari gel pati dipanaskan hingga mencapai suhu gelatinisasi optimal. Selanjutnya gel pati didinginkan kembali pada suhu 4 oC selama 24 jam. Siklus ketiga, hasil penyimpanan gel pati siklus kedua dimasak kembali hingga mencapai suhu gelatinisasi optimal kemudian disimpan kembali pada suhu 4 oC selama 24 jam. Pati teretrogradasi kemudian dikeringkan menggunakan drum dryerpada suhu 130±5oC, dengan kecepatan putaran drum 3 rpm. Proses pengeringan menggunakan drum dryer menghasilkan lembaran tipis selanjutnya digiling menggunakan disc mill. Pati yang sudah halus kemudian diayak menggunakan pengayak dengan ukuran 100 mesh. Parameter analisis yang diamati adalah profil gelatinisasi pati, pelepasan amilosa, derajat putih, sineresis, daya cerna pati, kadar pati resisten, bentuk granula, serta kristalinitas relatif pati. Di samping itu, pengamatan sifat birefringence dilakukan pada perlakuan yang menghasilkan kadar pati resisten paling tinggi.
15
Pati dan Air
Pemasakan hingga mencapai suhu gelatinisasi optimal
Pendinginan pada suhu ruang selama 1 jam
2 - 3 siklus
Penyimpanan pada suhu 4 oC selama 24 jam
Pengeringan menggunakan drum dryer suhu 130±5 oC, kecepatan putaran drum 3 rpm
Penggilingan menggunakan disc mill
Pengayakan 100 mesh
Pati modifikasi 1, 2, 3 siklus Gambar 7 Proses pembentukan pati modifikasi daripati sagu (Sugiyono et al.2009ayang dimodifikasi) Penelitian tahap 4 adalah substitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi pada pembuatan mi sagu berdasarkan penilaian atribut keseluruhan oleh 70 panelis dengan metode uji rating hedonik skala tujuh. Tahapan pembuatan mi sagu (Gambar 8) adalah pati sagu dicampur dengan air sebanyak 30% dan garam 2% menggunakan mesin pencampur selama 3 menit. Kemudian adonan dikukus selama 30 menit pada suhu 100 oC. Selanjutnya, adonan ditambahkan pati sagu dengan kandungan pati resisten tertinggi yang diperoleh dari penelitian tahap 3 sebanyak 15% dan 25%. Dilakukan juga tanpa pencampuran pati sagu hasil gelatinisasi dan retrogradasi sebagai kontrol. Kemudian untaian mi dicetak menggunakan ekstruder single screw. Selanjutnya, untaian mi dikeringkanginkan pada suhu ruang selama 4 hari (Haryanto et al. 2011 yang dimodifikasi). Tabel
16 3menunjukkan 3 formulasi pembuatan mi sagu yaitu mi sagu tanpa penambahan, serta dengan dengan penambahan 15% dan 25% pati sagu tergelatinisasi dan rerogradasi yang memiliki kadar pati resisten tertinggi. Ketiga formulasi tersebut dianalisis sifat fisik, kualitas masak, evaluasi sensori, dan kadar pati resisten. Analisis sifat fisik dilakukan untuk mengetahui kekerasan, kelengketan, elastisitas dan elongasi mi. Evaluasi sensori dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan mi yang diukur dari atribut kekerasan, kelengketan, elastisitas dan atribut keseluruhan.Kualitas masak dianalisis untuk mengetahui waktu optimum pemasakan, berat rehidrasi, daya serap air, dan kehilangan padatan akibat pemasakan. Pati sagu Air 30% Garam 2% Pati gelatinisasi-retrogradasi 15% dan 25% Pencampuran menggu
Pengukusan selama 30 menit, suhu 100 oC
Pencetakan untaian mi menggunakan ekstruder, diameter die= 2mm
Pengeringan pada suhu ruang selama 4 hari Kadar air 13 sampai 15%
Mi sagu Gambar 8 Susbtitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada pembuatan mi sagu (Haryanto et al. 2011 yang dimodifikasi)
17 Tabel 3 Formulasi pembuatan mi sagu Bahan
Formulasi 1
Formulasi 2
Pati sagu alami 100% 85% Pati sagu tergelatinisasi-retrogradasi 0% 15% Garam* 2% 2% Air* 30% 30% *Persentase garam dan air adalah persentase terhadap jumlah pati sagu total
Formulasi 3 75% 25% 2% 30%
Analisis Profil Gelatinisasi Pati (Collado et al.1999 yang dimodifikasi) Analisis profil gelatinisasi patimenggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Sampel dan air ditimbang beratnya sesuai dengan data kadar air sampel, kemudian dilakukan sikluspemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskanhingga suhu 50oC kemudian suhu 50oC dipertahankan selama 1 menit. Sampeldipanaskan dari 50oC hingga 95oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu suhu 95oCdipertahankan selama 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu 50oC dengankecepatan 6oC/menit, lalu suhu 50oC dipertahankan selama 5 menit. Gambar 9 menunjukkan contoh hasil analisis profil pasta pati menggunakan RVA. Beberapa data yang didapat adalah suhu awal gelatinisasi (SAG)menunjukkan suhu saat pati mulai mengalami gelatinisasi, peak time adalah waktu saat viskositas puncak, viskositas puncak (VP)menunjukkan nilai viskositas saat gelatinisasi, viskositas breakdown(VB)menunjukkan selisih antara viskositas puncakdengan viskositas minimum (VM), viskositas setback(VS)menunjukkan selisih antara viskositas akhir (VA)dengan viskositas minimumdan viskositas akhiryang menunjukkan nilai viskositas saat proses pendinginan pati selesai.
18 VP
VB VA VM
SAG G
VS
Gambar 9Profil gelatinisasipati diamati menggunakan RVA
Kekuatan Gel (Gunaratne dan Corke, 2007 yang dimodifikasi) Untuk menguji kekuatan gel dibuat suspensi pati 15% yaitu 15 g patidalam 100 ml air destilata.Suspensi dipanaskan sampai tergelatinisasi (suspensi kelihatan bening). Kemudian pasta pati dituangkan ke dalam wadah. Proses selanjutnya adalah gel didinginkan pada suhu 4oC selama 24 jam. Selanjutnya gel diukur menggunakanTexture Analyzer (TA-XT2)dengan kecepatan 0.5 mm/s untuk jarak 10 mm dengan probe silindris 6 mm. Kekuatan gel dapat dilihat dari peak tertinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran (gf).
Mikrostruktur (Yuliasih 2008 yang dimodifikasi) Mikrostruktur yang diamati adalah sifat birefringence, bentuk dan ukuran granula pati. Sifat birefringence diamati dengan cara pati dibuat suspensi encer. Selanjutnya beberapa tetes suspensi diambil dan diletakkan diatas sebuah gelas objek. Gelas penutup dipasang, lalu preparat diamati menggunakan mikroskop polarisasi cahaya pada skala pembesaran 400 kali dangambar yang teramati dipotret menggunakan kamera digital. Analisis bentuk dan ukuran granula dilakukan menggunaan SEM. Sampel keringdimasukkan kedalam peralatan SEM yang dilengkapi dengan pompa vakum, adanya tumbukan elektron oleh senjata elektron ke arah sampel terekam ke dalam monitor, sehingga dilakukan pengambilan gambar sesuai dengan yang diinginkan. Sampel diamati pada pembesaran 200 dan 400 kali.
Kadar Air (AOAC 1995) Sampel ditimbang 2 sampai 10 g pada sebuah cawan yang sudah diketahui bobotnya. Sampel kemudian dikeringkan pada oven pada suhu 105 oC selama 5 jam.Sampel selanjutnya didinginkandalamdesikator dan ditimbang sampai bobotnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumussebagai berikut:
19 Kadar air (%) =
a-b x 100% a
Dimana: a = bobot awal sampel (g) b = bobot akhir sampel (g) Kadar Abu (AOAC 1995) Sampel ditimbang 2 g kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalamtanur listrik bersuhu 550°C sampai pengabuan sempurna. Setelah pengabuanselesai, cawan beserta isinya didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangandiulangi kembalihingga diperolehbobot tetap. Perhitungan kadar abudilakukanmenggunakanrumus sebagai berikut: Kadar abu (%) =
a-b x 100% a
Dimana: a = bobot awal sampel (g) b = bobot akhir sampel (g) Kadar Lemak (AOAC 1995) Labu lemak dikeringkan di dalam oven 105°C selama 15 menit, didinginkan di dalam desikatordan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 5 g, kemudian dimasukkanke dalam selongsong kertassaring yang dialasi dengan kapas.Selongsongkertas yang berisisampel disumbatdengan kapas, kemudiandikeringkandalam oven pada suhu tidak lebih dari80 oC selama± 1 jam.Selongsongkertastersebut dimasukkanke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkandengan labu lemak.Lemakdalamsampeldiekstraksi menggunakan heksanaselama± 6 jam.Heksana disuling sampai diperoleh ekstrak lemak.Ekstraklemakdi dalamlabu lemakkemudiandikeringkandalamoven suhu 105°C. Ekstrak lemakdan labu kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang beratnya (B). Pengeringandiulangi sampaidiperoleh bobot tetap.Kadar lemakdihitung dalambasisbasah(bb) menggunakanrumussebagai berikut: B-A Kadar lemak (%) = x 100 % bobot contoh Kadar Protein (AOAC 1995) Sampel ditimbang 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, setelah ituditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan batu didih.Sampel dipanaskan di atas pemanas listrik atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau–hijauan. Labu beserta isinya didinginkan lalu isinya dipindahkan ke dalam alat distilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50% kemudian dibilas menggunakan air suling. Labu erlenmeyer berisi 25 ml asam borat 0.02 N diletakkan di bawah kondensor, sebelumnya kedalamnya ditambahkan 2 – 4 tetes indikator. Sampel disuling sampai diperoleh sekitar 25 ml destilat. Ujung pendingin dibilas menggunakan air suling. Sampel dititar dengan larutan HCl 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kemudian dikerjakan penetapan blanko. Kadar proteindihitung berdasarkan kadar nitrogen (%N). Kadar protein dihitungdalam basis basah (bb) menggunakan faktor koreksi6.25 sebagai berikut:
20
(v1 - v 2 ) x N HCl x 0.014 x fk x fp x 100 % w = volume larutan HCl untuk sampel (ml)
Kadar protein (%) = Dimana: v1
v2 NHCl w fk fp
= = = = =
volume larutan HCl untuk blanko (ml) konentrasi larutan HCl (0.01N) berat sampel (g) faktor koreksi makanan secara umum adalah 6.25 faktor pengenceran
Kadar Karbohidrat (AOAC 1995) Kadar karbohidrat dihitung dalam basis basah (bb)dengan metode by difference: Kadar karbohidart (%bb) = 100 – (%air + %lemak+ %protein + %abu) Kadar Serat Kasar (AOAC 1995) Sampel ditimbang sebanyak 1 g kemudiandimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan H2SO4 0.3 N kemudian didihkan selama 30 menitmenggunakan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan NaOH 1.5 N sebanyak 50 ml dan didihkan lagi selama 30 menit.Sampel dalam keadaan panas disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54.41 atau 541 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut–turut dengan 50 ml air panas dan 25 ml aseton.Kertas saring diangkat beserta isinya, kemudian dimasukkan ke dalam kotak timbang yang telah diketahui bobotnya, dikeringkan pada suhu 105 oC, didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Perhitungan: Kadar serat kasar (%) = Dimana:
a-b x 100% W
a = bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) b = bobot kertas saring kosong (g) W = bobot sampel (g)
Kadar Pati Total (AOAC 1970) Bahan padat yang telah dihaluskan ditimbang 2 sampai 5 g atau bahan cair dalam gelas piala 250 ml, ditambahkan 50 ml akuades dan diaduk selama 1 jam. Kemudian suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang terlarut dan dibuang. Bahan yang mengandung lemak, maka pati yang terdapat sebagai residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml ether, ether dibiarkan menguap dari residu, kemudian dicuci kembali menggunakan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan pencucian 200 ml akuades dan ditambahkan 20 ml HCl ± 25% (berat jenis 1.125), ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangas air mendidih selama 2.5 jam. Setelah dingin, sampeldinetralkan menggunakan larutan NaOH 45% dan diencerkan sampai volume 500 ml, kemudian disaring. Kadar gula dinyatakan
21 sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada penentuan gula reduksi. Berat glukosa dikalikan 0.9 merupakan berat pati.
Kadar Amilosa (AOAC 1995) Pembuatan kurva standar amilosa Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu.Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 ºC selama 10menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampaitanda tera sebagai larutan stok standar. Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dan dipindahkan masingmasing ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I dan 2 g KI dilarutkan dalam 100ml air destilata) ke dalam setiap labu, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi. Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N kedalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam air menididihselama 10 menit (sampai terbentuk gel). Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan airdestilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 ml larutan gel pati,dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu takar tersebutkemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod,lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukurabsorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.Kadar amilosa (dalam persen) ditentukan menggunakan persamaan kurva standar larutan amilosa. Kadar pati resisten (AOAC 1995) Sampel kering rendah atau bebas lemak ditimbang sebanyak 0.5 g lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml. Selanjutnya sampel ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.08 M pH 6.0 dan 50 µl termamil cair. Setelah itu sampel diinkubasi dalam penangas air pada suhu 95oC selama 15 menit. Selama proses inkubasi, dilakukan pengadukan dengan cara erlenmeyer digoyanggoyangkan setiap 5 menit sekali secara hati-hati. Sampel didinginkan, kemudian pH diatur menjadi 7.5 menggunakan NaOH 0.275 N selanjutnya ditambahkan larutan enzim protease sebanyak50 µl. Sampel kemudian diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit. Setelah diinkubasi, sampel didinginkan dan segera dilakukan pengaturan pH menjadi 4.5 menggunakan HCl 0.325 N, kemudian ditambahkan 150 µl enzim amiloglukosidase dan sampel diinkubasi kembali dalam penangas air pada suhu 60oC selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman (W1) dan dibantu dengan corong Buchner, kemudian dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml aseton, 2 x 10 ml etanol 95 persen, dan 2 x 10 ml akuades. Kertas saring dikeringkan dalam oven suhu 105oC selama semalam.
22 Kemudian, kertas saring ditimbang dengan residu sebagai W2. Setelah itu, kertas saring dimasukkan ke dalam tanur untuk mengetahui kadar abu residu sebagai tindakan koreksi. Selanjutnya pengukuran kadar pati resisten yang dapat dilakukan dengan rumus:
Daya Cerna Pati (Anderson et al. 2002) Sampel (tepung atau pati murni) ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalamerlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 100 ml air destilata. Wadahditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hinggamencapai suhu 90 ºC sambil diaduk. Setelah suhu 90 ºC tercapai, sampelsegera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 mlke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 mlbuffer fosfat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunyasebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan dengan suhu 37 ºC selama15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1mg/ml dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit. Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (asam dinitrosalisilat). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Kemudian larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen dengan vortex, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosa murni 0.5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1 ml dengan air destilata. A-a Daya cerna pati (%) = x 100% B-b Dimana : A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni b = kadar maltosa blanko pati murni
Sineresis (Wattanachant et al.2003 yang dimodifikasi) Pasta pati dibuat dengan prosedur seperti pada persiapan pasta pati untuk analisis kekuatan gel. Pasta pati ditimbang sebanyak 10 g kedalam tabung sentrifuse yang telah diketahui beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam.Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw disentrifuse selama 15 menit pada kecepatan 3500 rpm. Selama sentrifuse berlangsung, air yang keluar dari matriks gel selama perlakuan freeze-thawberada dibagian atas tabung dan gel pati berada dibawah tabung. Air yang berada diatas tabung dipisahkan kemudian diukur beratnya.
23 Persentase sineresis dinyatakan dengan perbandingan antara air yang keluar terhadap berat awal pasta pati. Profil Tekstur (Lestari 2009 yang dimodifikasi) Pengukuran tekstur dilakukan terhadap mi sagu yang telah dimasak sesuai dengan waktu optimum pemasakannya.Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. TAXT2i diatur dengan pre test speed 2.0 mm/s, test speed 1 mm/s, post test speed 2.0 mm/s, rupture test distance 1%, distance 50%, force 5 gf, waktu 5 detik, dan cont 2. Sampel yang telah dimasak diletakkan pada probe tersebut, kemudian alat dijalankan. Hasil analisis TPA memperoleh nilai kekerasan dengan satuan gram force (gf) elastisitas dengan satuan gram second (gs), dan kelengketan dengan satuan gram force (gf). Berdasarkan kondisi yang diatur tersebut diperoleh kurva texture profile analysis (TPA) seperti ditunjukkan pada Gambar 10. kekerasan
Gambar 10 Hasil analisis tekstur menggunakan texture analyzer (Sahin dan Sumnu 2006 ) Kurva TPA yang diperoleh memberikan informasi mengenai parameter tekstur mi sagu antara lain kekerasan (hardness), daya kohesif (cohesiveness), elastisitas (elasticity), dan kelengketan (gumminess/stickiness). Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan atau kompresi pertama dan dinyatakan dengan satuan gf.Daya kohesif dihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1. Elastisitas ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L1) atau L2/L1. Kelengketan ditentukan dari luasan yang berada dibawah sumbu x (nilai negatif dengan satuan gf).
24 Sifat Organoleptik (Herawati 2009 yang dimodifikasi) Analisis organoleptik dilakukan terhadap 3 formula dengan 4 kriteria mutu yaitukekenyalan kekerasan, kelengketan, dan atribut keseluruhan. Uji yang digunakan adalah uji rating hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih dengan jumlah 70 orang. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji ragam untuk mengetahui pengaruh perbedaan formula terhadap rating kesukaan sampel. Apabila hasil analisis berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan ujiDuncan pada taraf nyata 5%. Waktu Optimum Pemasakan (Collado et al. 2001) Mi diukur panjangnya 5 cm, kemudian ditimbang seberat 5 g. Mi dimasak dalam 200 ml air mendidih menggunakan gelas piala. Waktu optimum pemasakan dihitung dengan cara mengambil satu untaian mi setiap 30 detik kemudian ditekan menggunakan gelas arloji. Waktu optimum pemasakan dicapai saat bagian tengah mi menjadi bening. Kehilangan Padatan Selama Pemasakandan Daya Serap Air (Oh et al. 1985) Sampel yang telah dimasak sesuai dengan waktu optimum pemasakan dituang ke atas saringan plastik untuk ditiriskan selama 10 menit. Segera setelah itu sampel dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya (A). Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven selama 3 sampai 5 jam atau sampai beratnya konstan. Setelah itu cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (B).
(A - B) - (KAm x BSm) x 100% BSm x (1 - KAm) 1 - (B - C) Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan x 100% [BSm x (1 - KAm)] Daya serap air
A = B = C = KAm = BSm =
Berat cawan + sampel setelah rehidrasi (g) Berat cawan + sampel setelah rehidrasi dan dikeringkan (g) Berat cawan (g) Kadar air mula-mula Berat sampel mula-mula
Pelepasan Amilosa (Lestari 2009) Sampel sebanyak 0.25 g ditempatkan dalam tabung sentrifuse bertutup, kemudian disuspensikan dalam 7.5 ml akuades. Vorteks sampel hingga merata dan dipanaskan pada suhu 95 oC selama 30 menit, kemudian didinginkan pada air dinginselama 1 menit dan 25 oC pada penangas selama 5 menit. Sampel disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dipipet sebanyak 1 ml, kemudian dilakukan analisa kandungan amilosa.
25 Berat Rehidrasi (Collado et al. 2001) Mi yang telah dimasak sesuai dengan waktu optimum pemasakan kemudian beratnya ditimbang yang sebelumnya telah dikeringkan menggunakan saringan selama 2 menit. Mi yang telah dimasak disimpan pada cawan petri bertutup dengan tujuan meminimalkan pengeringan.
Elongasi (Ekafitri 2009 yang dimodifikasi) Mi yang telah dimasak sesuai waktu optimum pemasakan selanjutnya dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe0.3 cm/detik. Set up texture analyzer yang digunakan adalah sebagai berikutpre test speed 30 mm/detik, test speed 3.0 mm/detik, post test speed 5.0 mm/detik, rupture test speed 1.0 mm/detik, distance 70 mm, force 100 g, waktu 5 detik, count 5. Persen elongasi mi dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Persen elongasi
waktu sampel putus (detik) x 0.3 cm/detik x 100% 2 cm Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap 2adalah central composite design pada response surface methodologydengan 2 faktor yaitu nisbah pati terhadap air dan suhu gelatinisasi.Program yang digunakan untuk mengolah data adalah design expert version 7. Penelitian tahap 3 yaitu proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi serta penelitian tahap 4 yaitu substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi pada pembuatan mi sagu masing-masing dirancangmenggunakan satu faktor perlakuan dalam acak lengkapdengan dua ulangan.Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) model linier pada rancangan tersebut adalah sebagai berikut: Yijk = µ + βi + έijk Keterangan: Yijk = Nilai pengamatan taraf ke-iulangan ke-j µ = Nilai tengah βi = Pengaruh utama faktor perlakuan ke-i έijk = Galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j Penentuan pengaruh jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap kadar pati resisten pada penelitian tahap 3 menggunakan metoda oneway ANOVA pada program SPSS 17. Apabila siklus gelatinisasi dan retrogradasi 1 sampai 3 siklus berpengaruh terhadap peningkatan kadar pati resisten maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk menentukan jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi yang dapat menghasilkan kadar pati resisten paling tinggi. Selanjutnya, penentuan tingkat substitusi sebanyak 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi terhadap atribut secara keseluruhan pada uji
26 organoleptik juga menggunakan metoda oneway ANOVA pada program SPSS 17. Apabila tingkat substitusi sebanyak 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi berpengaruh terhadap atribut secara keseluruhan mi sagu maka dilakukan uji lanjut Duncan dengan taraf nyata 5%untuk mengetahui tingkat substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi yang masih dapat diterima oleh panelis.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
KarakteristikPati Sagu Native
Birefringence Pengamatan di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 400x memperlihatkan bahwa granula pati sagumasih memiliki sifat birefringence seperti ditunjukkan pada Gambar 11a. Birefringence merupakan sifat khas pati yang belum mengalami gelatinisasi. Seperti halnya Yuliasih (2008) melaporkan granula pati sagu asal Jawa Barat dan hasil penelitian Herawati (2009) menunjukkan bahwa pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya yang belum mengalami gelatinisasi sama-sama masih memperlihatkan sifat birefringence.Liu (2005) menyatakanadanya sifat birefringence mengindikasikan bahwa kristalin granula pati memiliki orientasi radial atau memperlihatkan struktur molekuler (amilosa dan amilopektin) tersusun teratur didalam granula pati. Bentuk dan Ukuran Granula Granula pati sagu asal Bogor berbentuk bulat elips dan bagian ujungnya seperti terpotong, diamati menggunakan scanning electron microscope perbesaran 400x (Gambar 11b).Pati sagu asal Malaysia juga dilaporkan memiliki granula berbentuk elips dan pada bagian ujung nampak seperti terpotong (Ahmad et al. 1999; Noret al. 2010). Kisaran panjang pati sagu asal Bogoradalah 19.84 sampai 51.70 µm, sedangkan kisaran lebarnya adalah 17.05 sampai 38.57 µm. Ahmad et al (1999) melaporkan diameter granula pati sagu asal Sarawak, Malaysia berkisar 20 sampai 40 µm. Yuliasih (2008) melaporkan ukuran rata–rata granula pati sagu Riau 61.57 µm, Jawa Barat 57.15 µm, Kalimantan Selatan 54.83 µm, Sulawesi Utara 68.03 µm dan Irian Jaya 86.13 µm. Hasil penelitian Herawati (2009) menunjukkan granula pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya memiliki kisaran panjang 45.1 sampai 91.6 µm, dan kisaran lebar 29.8 sampai 74.8 µm. Semakin besar ukuran granula pati sagu mengakibatkan nilai viskositas puncaknya semakin tinggi. Viskositas puncak menunjukkan kemampuan granula pati bebas mengembang sebelum granula tersebut pecah, dengan kata lain pati yang mempunyai viskositas puncak tinggi kemungkinan mempunyai kemampuan mengembang yang tinggi juga. Selain itu, pati sagu yang memiliki ukuran granula lebih besar dilaporkan memiliki swelling power yang lebih tinggi (Yuliasih 2008). Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan pati mengikat air selama proses gelatinisasi. Ukuran granula pati sagu Bogor lebih kecil dibandingkan dengan
27 ukuran granula pati sagu yang berasal dari daerah lain mengindikasikan bahwa pati sagu Bogor didugamemiliki swelling power dan kemampuan mengikat air yang lebih rendah selama proses gelatinisasi. a
b
Gambar 11 (a) Sifat birefringence dan (b) bentuk granula pati sagu Bogor perbesaran 400x Profil Gelatinisasi Pati Gambar 12 menunjukkan profil gelatinisasi pati sagu Bogor diamati menggunakan rapid visco analyzer (RVA). Selanjutnya, nilai parameter profil gelatinisasi pati sagu ditampilkan pada Tabel 4.Schoch dan Maywald (1968) menggolongkan pati berdasarkan viskositasnya menjadi 4 tipe yaitu tipe A adalah pati yang mengalami pembengkakan yang tinggi, memperlihatkan viskositas puncak yang tinggi dan cepat encer selama pemasakan. Pati tipe B adalah pati yang membengkak secara moderate. Memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan tidak terlalu encer ketika mengalami pemasakan. Pati tipe C adalah pati yang membengkak secara terbatas, tidak memperlihatkan viskositas puncak, viskositasnya konstan ataupun meningkat selama pemasakan. Pati tipe D adalah pati yang pembengkakannya sangat terbatas. Tidak cukup membengkak sehingga memberikan pasta kental selama pemasakan. Pati sagu asal Bogor berdasarkan karakteristik viskositasnya digolongkan kedalam pati tipe A karena memiliki viskositas puncak yang tinggi yaitu 5974 cP dan memperlihatkan penurunan viskositas yang tajam atau viskositas breakdownyaitu 3906 cP (Tabel 4).Pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya (Herawati 2009)dan pati sagu Sukabumi, Jawa Barat (Purwani 2011) berdasarkan karakteristikviskositasnyajuga digolongkan ke dalam pati tipe A.Pati sagu native yang digolongkan kedalam pati tipe A memiliki beberapa kekurangan bila diolah menjadi mi yaitu kehilangan padatan akibat pemasakan dan berat rehidrasi yang lebih tinggi, serta elastisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pati sagu tipe B (Purwani et al. 2006), mudah patah ketika diekstruksi, waktu rehidrasi lebih lama dan atribut rasa paling rendah dibandingkan dengan mi dari pati sagu tipe C (Herawati 2009).
28
Gambar 12Profil gelatinisasi pati saguBogor Tabel 4Profil gelatinisasi pati sagu Bogor Parameter Nilai Suhu awal gelatinisasi (oC) Viskositas puncak (cP) Viskositas minimum (cP) Viskositas breakdown (cP) Viskositas akhir (cP) Viskositas setback (cP) Waktu gelatinisasi (menit)
72±0 5974±98 2068±68 3906±30 3052±40 984±28 6.50±0
Pola Difraksi X-ray Pola difraksi X-ray pati sagu asal Bogor menunjukkan pola difraksi tipe A yang mempunyai karakteristik peak utama pada 2θ sekitar = 15o, 17o, dan 23o, diamati menggunakan X-ray diffractometer (Gambar 13).Pongjanta et al. (2009) melaporkan bahwa pati beras tinggi amilosa memiliki peak pada 15o, 17.5o, 23.2o serta Simsek dan El (2012) melaporkan bahwa pati taro (Colocasia esculenta L. Schott) Cormmemiliki peak pada 2θ = 15o, 17-18o, 23odikategorikan pada pola difraksi X-ray tipe A. Selain itu, pati sagu asal Jepang berdasarkan pola difraksi X-ray juga dikategorikan tipe A (Srichuwong et al. 2005). Kristalinitas relatif pati sagu asal Bogor adalah 21.97%, lebih rendah dibandingkan dengan kristalinitas relatif beras Puntal 34% dan beras Jacinto 41% (Drycke et al. 2005), beberapa pati dari kacang–kacangan seperti navy bean 33.2%, lentil 31.4%, pea 30.8% (Chung et al. 2010), pati sagu asal Jepang 32.9% (Srichuwong et al. 2005). Drycke et al. (2005) melaporkan bahwa derajat kristalinitas mempunyai korelasi positif dengan kandungan amilopektin pada beras.
29
Intenitas
17.09o o 17.84
23.21o
15.16o
2θ Gambar 13Pola difraksi X-ray pati sagu Bogor Pelepasan Amilosa Lestari (2009) menyatakan pengukuran amylose leaching atau pelepasan amilosa menggambarkan jumlah amilosa yang lepas akibat gelatinisasi. Pelepasan amilosa pati sagu Bogor sebesar 4.30±0.24%. Sebagai perbandingan, Lestari (2009) melaporkan bahwa pelepasan amilosatepung jagung dan terigunative berturut–turut sebesar 2.71% dan 3.79%. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelepasan amilosadiantaranyatotal amilosa danjumlah ikatan antara amilosalemak (Hughes et al. 2009; Chung et al. 2011), serta interaksi antara rantai amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin (Hughes et al. 2009). Sineresis Selama proses penyimpanan pada suhu dingin, molekul pati tergelatinisasi mengalami pengikatan ulang yang mengakibatkan keluarnya air dari gel, proses tersebut dikenal dengan istilah sineresis (Matalanis et al. 2009). Sineresis pati sagu Bogor sebesar 23.44±0.28%. Sebagai perbandingan, sineresis pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya sebesar 32,15±3.71% (Herawati 2009). Selanjutnya Srichuwong et al. (2012) melaporkan sineresis pati sagu asal Malaysia sebesar 21.7±3.4%. Pengukuran sineresis dapat mengetahui stabilitas gel pati selama proses pendinginan (Herawati 2009). Berdasarkan jumlah air yang keluar selama pendinginan maka pati sagu asal Malaysia lebih stabil disimpan pada suhu dingin karena memiliki nilai persen sineresis paling rendah dibandingkan dengan pati sagu asal Bogor dan Irian Jaya. Derajat Putih Nilai derajat putih pati sagu Bogor dianalisis menggunakan whiteness meter adalah 74.65%. Sebagai perbandingan, Saripudin (2006) melaporkan derajat putih tepung sagu adalah 73.22%. Herawati (2009) melaporkan derajat putih pati sagu yepha hongleu asal Irian Jaya adalah 73.87%. Perbedaan nilai derajat putih pati dan tepung sagu disebabkan perbedaan varietas tanaman sagu dan proses ekstraksi pati sagu. Limbongan (2007) menyatakan pati sagu umumnya berwarna putih
30 namun ada pula secara genetik berwarna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Sagu yang berwarna putih dapat diperoleh dengan cara menyemprotkan air saat pemarutan. Cara tersebut dapat mengurangi reaksi enzim oksidasi yang menyebabkan tepung berwarna kecoklatan. SNI 3729 Tahun 2008 menyatakan syarat mutu tepung sagu diantaranya adalah berwarna putih (khas sagu). Syarat warna tepung sagu dalam SNI 3729 Tahun 2008 masih bersifat kualitatif tanpa menyebutkan nilai derajat putih tepung sagu. Haryanto (2008) menyatakan seyogyanya warna tepung atau pati sagu disebut dalam skala sehingga lebih dapat dikuantitatifkan agar masing– masing pihak yang berkepentingan dengan sagu memiliki persepsi sama mengenai nilai derajat putih pati sagu. Kekuatan Gel Kekuatan gel pati sagu Bogor sebesar 456.5±3.75 gf pada suspensi 15%. Sebagai perbandingan, Herawati (2009) melaporkan kekuatan gel pati sagu yepha hongleu pada suspensi 6% adalah 8.8±0.6 gf. Kadar amilosa dilaporkan mempengaruhi nilai kekuatan gel. Hasil penelitian Aini dan Hariyadi (2007) menunjukkan pati jagung lokal mempunyai kekuatan gel lebih tinggi dibandingkan dengan pati jagung pulut. Hal tersebut disebabkan kadar amilosa pada jagung lokal sebesar 17.6%, lebih tinggi dibandingkan kadar amilosa jagung pulut yaitu 12.0%. Selanjutnya Pinasthi (2011) melaporkan pada konsentrasi gel yang sama yaitu 21%, kekuatan gel pati tapioka native sebesar 132.51 gf lebih rendah dibandingkan dengan maizena native sebesar 482.07 gf. Kadar amilosa tapioka dan maizena native secara berturut-turut adalah 28.51% bk dan 33.37 % bk. Aini dan Hariyadi (2007) menyatakan pembentukan ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada molekul amilosa daripada amilopektin. Semakin tinggi kandungan amilosa pati maka daerah kristal yang terbentuk semakin luas sehingga menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi.Rendahnya kekuatan gel suatu gel pati mungkin diakibatkan rendahnya kandungan amilosa yang mengakibatkan kurangnya proses retrogradasi gel pati selama pembentukan gel sebagai konsekuensinya adalah sturktur gel semakin lemah.Teng (2013) menyatakan, terdapat korelasi positif antara kekuatan gel dengan kandungan amilosa. Pati dengan kandungan amilosa tinggi menghasilkan kekuatan gel yang keras. Hal tersebut disebabkan oleh rantai lurus amilosa lebih mudah terikat kembali dibandingkan rantai cabang amilopektin. Adanya kompleks ikatan amilosa-lemak pada pati serealia (pati jagung dan gandum) juga dilaporkan berpengaruh terhadap rigiditas gel.
Daya Cerna Pati Daya cerna pati sagu asal Bogor sebesar 88.89 ± 0.33%.Pengukuran daya cerna pati in vitro dilakukan untuk melihat tingkat kemudahan suatu jenis pati dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (Faridah 2011). Daya cerna pati yang rendah menunjukkan bahwa pati sulit untuk dicerna. Kemungkinan pada pati tersebut terdapat komponen yang sulit atau tidak dapat dicerna. Kadar pati resisten pati sagu asal Bogor sebesar 1.77%.Faridah
31 (2011) melaporkan kadar pati resisten dan daya cerna pati garut (Maranta arundinaceae L.) masing-masing adalah 2.12% dan 84.35%. Perbedaan nilai daya cerna pati suatu bahan pangan dapat diakibatkan adanya perbedaan kadar pati resisten pada bahan pangan.Bahan pangan yang memiliki kadar pati resisten lebih tinggi cenderung memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah disebabkan oleh keterbatasan enzim amilase dalam memecah pati resisten menjadi unit-unit yang lebih kecil seperti maltosa. Komposisi Kimia Pati Sagu Native Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar air, abu, dan pati pada pati sagu Bogor memenuhi syarat mutu tepung sagu yang diatur pada SNI 3729 Tahun 2008. Akan tetapi, kadar serat kasar pati sagu Bogor tidak memenuhi syarat mutu tepung sagu yang diatur pada SNI 3729 Tahun 2008. Tingginya kadar serat disebabkan oleh tingkat teknologi pengolahan sagu di Indonesia masih dilakukan pada tataran tradisional dan kearah semi mekanis (Haryanto 2008). Kadar pati resisten pati sagu Bogor adalah 1.77±0.1%. Pati resisten pada pati sagu Bogornative digolongkan ke dalam pati resisten tipe II. Sebagai perbandingan, Satriawan (2010) melaporkan bahwa kadar pati resisten pada pati sagu Sukabumi dan pati sagu Papua berturut–turut adalah 1.52% dan 2.58%. Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan kadar pati resisten pada pati sagu diantaranya adalah perbedaan varietas tanaman sagu. Kadar karbohidrat pati sagu Bogor adalah 88.13% yang terdiri dari pati 75.83% dan pati resisten 1.77%. Kelompok karbohidrat lainnya dari pati sagu Bogor selain polisakarida (pati) diduga adalah gula sederhana. Pei-Lang et al.(2006) melaporkan pati sagu asal Sarawak, Malaysia memiliki kelompok gula sederhana seperti arabinosa, xylose, dan glukosa.
Komponen
Tabel 5. Komposisi kimia pati sagu Bogor Kadar SNI 3729 Tahun 2008 (% bb)
Proksimat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference) Pati Amilosa Amilopektin Pati resisten Serat kasar
11.63 ± 0.18 0.08 ± 0.01 0.1 ± 0.00 0.06 ± 0.01 88.13 ± 0.16 75.83 ± 0.64 42.77 ± 0.39 33.06 ± 0.25 1.77 ± 0.01 1.11 ± 0.00
maksimal 13% maksimal 0.5%
minimal 65%
maksimal 0.5%
32 Optimasi Nisbah Pati Sagu Terhadap Air dan Suhu Gelatinisasi Menggunakan Response Surface Methodology Pati resisten yang terbentuk pada penelitian tahap 2 digolongkan kedalam pati resisten tipe III. Escarpa et al. (1997) menyatakan bahwa tahapan pembentukan pati resisten tipe III dari granula pati native adalah gelatinisasi yang diikuti dengan retrogradasi. Kadar pati resisten pati sagu Bogor setelah satu kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi adalah 2.18 sampai 4.13% (Tabel 6), atau terjadi peningkatan kadar pati resisten sebesar 1.23 sampai 3.37 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kadar pati resisten pada pati sagu Bogor native sebesar 1.77%. Goni et al (1996) menggolongkan pati resisten berdasarkan kadar pati resisten pada bahan pangan yaitu dapat diabaikan (kurang dari 1%), rendah (1 sampai 2.5%), menengah (2.5 sampai 5.0%), tinggi (5.0 sampai 15%), sangat tinggi (lebih dari 15%). Berdasarkan jumlah kadar pati resisten yang terdapat pada pati sagu Bogor setelah proses gelatinisasi dan retrogradasi tergolong rendah hingga menengah. Peningkatan kadar pati resisten pada pati sagu Bogor akibat proses gelatinisasi dan retrogradasi mengindikasikan terjadinya peningkatan jumlah pati yang resisten terhadap aktivitas enzim amilase dalam mengubah pati menjadi unit–unit yang lebih kecil seperti maltosa. Zhang dan Jin (2011) menyatakan mekanisme yang diterima selama ini untuk menjelaskan pati resisten tipe III resisten terhadap amilase adalah ikatan rantai lurus amilosa terkondensasi menjadi bentuk struktur double helices setelah proses gelatinisasi (retrogradasi amilosa).Susunan ikatan dalam bentuk double helics tersebut menyebabkan ikatan α-1,4 glikosidik tidak dapat diakses oleh amilase.
Tabel 6 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pengaruh nisbah pati terhadap pati resisten Suhu Nisbah pati gelatinisasi (oC) terhadap air Pati sagu native 77.00 1:1.09 77.00 1:2.50 84.07 1:2.50 77.00 1:2.50 69.93 1:2.50 77.00 1:2.50 77.00 1:2.50 82.00 1:3.50 72.00 1:3.50 72.00 1:1.50 82.00 1:1.50 77.00 1:3.91 77.00 1:2.50
air dan suhu gelatinisasi pada kadar Kadar pati resisten (%) 1.77±0.01a 2.18±0.00ab 3.90±0.08e 3.93±0.04e 3.98±0.06e 3.12±0.14c 3.94±0.03e 4.08±0.23e 3.77±0.04de 3.35±0.04cd 2.23±0.10ab 2.64±0.03b 4.13±0.11e 3.72±0.25de
Waktu gelatinisasi (menit) 7.93 9.55 13.93 8.97 7.53 11.67 11.60 14.23 8.48 3.75 5.95 13.67 10.83
Keterangan: superscript yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey).
33
Kadar Pati Resisten (%)
Pengaruh Nisbah Pati Terhadap Air Pada Kadar Pati Resisten Tipe III Gambar 14 menunjukkan pengaruhjumlah air terhadap kadar pati resisten tipe III.Saat suhu gelatinisasi mencapai77.00 oC nisbah pati terhadap air 1:1.09 menghasilkan kadar pati yang paling rendah dibandingkan dengan nisbah pati terhadap air yaitu 1:2.50 dan 1:3.91. Namun, kadar pati resisten yang dihasilkan antara nisbah pati terhadap air 1:2.50 dan 1:3.91pada suhu 77 oC tidak berbeda nyata secara statistik (p>0.05). Suhu gelatinisasi mencapai 72oC dengan nisbah pati terhadap air 1:3.50 menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengannisbah pati terhadap air 1:1.50 dan berbeda nyata secara statistik (p<0.05). Demikian juga pada saat suhu gelatinisasi mencapai 82 oC pada nisbahpati terhadap air 1:3.50 menghasilkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengannisbah pati terhadap air 1:1.50 (Tabel 6). Dengan demikian, semakin banyak jumlah air yang digunakan saat proses gelatinisasi cenderung mengakibatkan peningkatan kadar pati resisten.Wang et al. (2012) melaporkan peningkatan kadar air adonan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kadar pati resisten mi berbahan baku pati pie. Parker dan Ring (2001) menyatakan bila pati dipanaskan dengan adanya air, terjadi proses tidak dapat balik yang disebut gelatinisasi, pada keadaan tersebut ikatan hidrogen pati digantikan oleh ikatan pati dengan air. Hasil penelitian Liu et al. (2002) menunjukkangelatinisasi pati kentang diatas suhu 65 oC mulai terlihat adanya perubahan serapan pada bilangan gelombang 1020 cm-1dan 1064 cm-1. Perubahan pada bilangan gelombang 1020 cm-1dan 1064 cm-1mengindikasikan bahwa gelatinisasi adalah suatu proses hidrasi, selain itu mengindikasikan terjadinya pemutusan ikatan hidrogen dan hidropobik pada pati selanjutnya terjadi pembentukan ikatan hidrogen molekuler antara pati dan air. Sugiyono et al. (2009a) menyatakan jumlah air yang lebih sedikit mengakibatkan tidak optimumnya amilosa yang lepas selama gelatinisasi sehingga amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang mengalami re-asosiasi saat retrogradasi lebih sedikit yang mengakibatkan kadar pati resisten menjadi lebih rendah.
Jumlah air Gambar 14 Pengaruh jumlah air terhadap kadar pati resisten
34
Kadar Pati Resisten (%)
Pengaruh Suhu Gelatinisasi Terhadap Kadar Pati Resisten Gambar 15 menunjukkan pengaruh suhu gelatinisasi terhadap kadar pati resisten. Terlihat bahwa peningkatan suhu gelatinisasi tidak efisien meningkatkan kadar pati resisten dibandingkan dengan peningkatan jumlah air, seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Tabel 6 menunjukkan pada nisbah pati terhadap air 1:1.50 peningkatan suhu gelatinisasi menjadi 82 oC tidak signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kadar pati resisten dibandingkan dengan suhu gelatinisasi mencapai 72 oC. Demikian juga pada nisbah pati terhadap air 1:3.50 kadar pati resisten yang dihasilkan saat suhu gelatinisasi mencapai 82oC tidak berbeda nyata dibandingkan dengan suhu gelatinisasi mencapai 72 oC. Pada nisbah pati terhadap air 1:2.50 saat suhu gelatinisasi mencapai 69.93 oC kadar pati resisten yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan saat suhu gelatinisasi mencapai 77 o C dan 84.07 oC (p<0.05). Namun kadar pati resisten yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara suhu gelatinisasi mencapai suhu 77 oC dan 84.07oC. Peningkatan suhu gelatinisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kadar pati resisten diduga disebabkan oleh perbedaan waktu gelatinisasi yang terlalu singkat (Tabel 6)tidak signifikan mempengaruhi pelepasan amilosa. Hal tersebut diduga mengakibatkan ikatan ulang amilosa-amilosa dan amilosaamilopektin saat retrogradasi tidak optimum sehingga peningkatan kadar pati resisten menjadi tidak signifikan. Hoover dan Manuel (1997) mengamati pelepasan amilosa pati beberapa legumes. Pati hasil ekstraksi beberapa legume, sepertigreen arrow pea, black bean, orthello pinto bean, express field pea, eston lentil masing-masing dipanaskan selama 30 menit pada suhu 70 oC, 80 oC, 85 oC, 90 oC, dan 95 oC. Semakin tinggi suhu pemanasan secara signifikan mengakibatkan peningkatan pelepasan amilosa.
Suhu Gelatinisasi (oC) Gambar 15 Pengaruh suhu gelatinisasi terhadap kadar pati resisten
35 Tahap Verifikasi Tahap verifikasi bertujuan membuktikan prediksi kadar pati resisten yang diberikan oleh program Design Expert 7.0. Faktor nisbah pati terhadap air (1:1.50 sampai 1:3.91) dirancang minimal dengan tujuan efisiensi jumlah air dan suhu gelatinisasi (77 sampai 84.07oC) dirancang minimal dengan tujuan efisiensi energi panas, sedangkan kadar pati resisten dirancang maksimal. Susilo (2011) menyatakan setiap komponen yang dioptimasi diberikan pembobotan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pembobotan kepentingan ini dinamakan importance yang dapat dipilih mulai dari 1 (+) hingga 5 (+++++). Semakin banyak tanda positif yang diberikan menunjukkan tingkat kepentingan variabel yang semakin tinggi. Dengan demikian tahap verifikasi dirancang untuk meminimalkan jumlah air dan energi panas tetapi menghasilkan kadar pati resisten tertinggi (Tabel 7). Nisbah pati terhadap air untuk verifikasi adalah 1:2.23. Suhu gelatinisasi yang ditawarkan adalah 77oC dengan prediksi kadar pati resisten tipe III sebesar 3.71%. Di samping itu, terdapat nilai prediksi minimum kadar pati resisten yaitu 3.50% dan prediksi maksimum yaitu 3.93%. Berdasarkan perlakuan suhu gelatinisasi mencapai 77oC dan nisbah pati terhadap air yaitu 1:2.23 diperoleh kadar pati resisten aktual sebesar 3.88±0.11%. Kadar pati resisten aktual yang diperoleh berada pada kisaran prediksi kadar pati resisten. Dengan demikian, suhu gelatinisasi 77oC dan rasio pati terhadap air yaitu 1:2.23 merupakan kondisi optimal untuk menghasilkan pati resisten sebesar 3.88% pada 1 kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi. Tabel 7Response dan factor pada tahap verifikasi Batas Batas Tingkat Kondisi Sasaran bawah atas kepentingan Nisbah pati terhadap air minimal 1:1.5 1:3.91 5 (+++++) Suhu gelatinisasi minimal 77.00 84.07 5 (+++++) Kadar pati resisten maksimal 2.23 4.13 5 (+++++)
Siklus Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu Birefringence Pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi menunjukkan sifat birefringence pati sagu native masih terlihat dengan jelas (Gambar 16a). Akan tetapi proses gelatinisasi pati sagu dengan cara pemanasan pati sagu hingga mencapai suhu 77 oC kemudian disimpan pada suhu 4 oC hingga 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi menyebabkan hilangnya sifat birefringence pati sagu (Gambar 16b).Hilangnya sifat birefringence pati sagu asal Bogor mengindikasikan pemanasan pati hingga mencapai suhu 77 oC dengan nisbah pati terhadap air yaitu 1:2.23 (200 gr pati dalam 446 gr air) menyebabkan pati sagu tergelatinisasi sempurna. Beberapa peneliti juga melaporkan penggunaan air berlebih saat proses gelatinisasi berakibat pada hilangnya sifat birefringence pada pati kentang (Liu et al. 2002), pati gandum (Palav dan Seetharaman 2006) dan pati garut (Suriani 2008).Berbeda dengan penggunaan air berlebih yang
36 menyebabkan hilangnya birefringencekeseluruhan bagian granula pati, pengaturan kadar air yang terbatas (kurang dari 35%) pada modifikasi heat moisture treatment dilaporkan menyebabkan hilangnya sifat birefringence hanya pada bagian tengah granula pati (Herawati 2009; Li et al. 2011; Syamsir 2012). a
b
Gambar 16 Sifat birefringence (a) pati sagu native dan (b) pati sagu mengalami 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi diamati menggunakan mikroskop polarisasi perbesaran 400x
Sineresis Sineresis pada penelitian ini terukur sebagai jumlah air keluar dari gel pati yang mengalami 1 kali siklus pendinginan dan pencairan. Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa semakin banyak jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan persen sineresis pati sagu (p<0.05).Nilai sineresis pati sagu native, 1, 2 dan 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara berturut-turut adalah 23.44±0.28, 25.92±0.39, 36.17±0.04, 43.98±0.41%. Peningkatan persen sineresis juga dilaporkan dipengaruhibeberapa faktor seperti peningkatan jumlah siklus pendinginan dan pencairan (Charoenrein et al. 2008; Srichuwong et al. 2012), lama penyimpanan pati tergelatinisasi pada suhu 4 oC (Yousif et al. 2012), dan modifikasi heat-moisture treatment (Ahmad 2009; Syamsir 2012). Pati sagu dengan perlakuan 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi memiliki karakteristik freeze-thaw stability terendah dibandingkan dengan pati sagu native dan pati sagu dengan perlakuan 1 sampai 2 siklus gelatinisasi dan retrogradasi berdasarkan paling tingginya nilai persen sineresis (43.98±0.41%). Semakin banyak jumlah air keluar saat retrogradasi mengindikasikan semakin rendahnya freeze-thaw stability suatu gel pati. Freeze-thaw stability merupakan indikator penting untuk mengevaluasi ketahanan sifat fisik gel pati terhadap perubahan tidak diinginkan selama pembekuan dan pencairan(Charoenrein et al 2008). Selanjutnya, Herawati (2009) menyatakan pengukuran sineresis dapat mengetahui stabilitas gel pati selama proses pendinginan. Di samping itu, pengaruh pendinginan dan pencairan pasta pati dapat dijadikan sebagai acuan untuk memilih pati yang digunakan sebagai pengental bahan pangan beku. Dengan demikian, pati sagu tanpa perlakuan gelatinisasi dan retrogradasipaling tepat digunakan sebagai pengental pada produk pangan beku dibandingkan dengan pati
37 sagu yang mengalami siklus gelatinisasi dan retogradasi. Disebabkan pati sagu tanpa perlakuan gelatinisasi dan retrogradasi memiliki freeze-thaw stability terendah yang dapat diukur berdasarkan paling rendahnya persen sineresis. Terjadinya sineresis padagel pati yang telah mengalami pembekuan dan pencairandisebabkan oleh peningkatan ikatan molekuler antara rantai pati, khususnya retrogradasi amilosa (Charoenrein et al 2008). Jumlah air keluar merupakan akibat dari terjadinya peningkatan ikatan hidrogen antar dan inter molekuler akibat terjadinya agregasi (retrogradasi) selama penyimpanan beku (Faridah 2011). Berdasarkan persen sineresis yang paling tinggi pada pati sagu 3 kali siklus gelatinisasi dan reterogradasi mengindikasikan bahwa ikatan hidrogen antar dan inter molekuler rantai pati paling kuat pada pati sagu dengan perlakuan 3 kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi.
50 d
Sineresis (%)
40
c
30 a
b
20 10 0 pati sagu native
siklus 1
siklus 2
siklus 3
Perlakuan Gambar 17 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap nilai sineresis. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
Daya Cerna Pati Gambar 18 menunjukkan semakin banyak jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan daya cerna pati sagu semakin menurun dan berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05). Daya cerna pati sagu setelah proses 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi adalah69.09±0.75, 61.05±0.08, 51.12±0.59% atau terjadi penurunan sekitar 1.29 sampai 1.74 kali dibandingkan dengan daya cerna pati sagu native yaitu 88.89±0.33%. Faridah (2011) menyatakan pengukuran daya cerna pati in vitro dilakukan untuk melihat tingkat kemudahansuatu jenis pati dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadiunit-unit yang lebih kecil. Terjadinya penurunan daya cerna pati saguakibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengindikasikan bahwa semakin sedikit maltosa yang dihasilkan karena hidrolisis pati oleh enzim amilase.Selain gelatinisasi dan retrogradasi
38 berulang beberapa perlakuan seperti siklus pemanasan suhu tinggi dan pendinginan (Sugiyono 2009a), heat moisture treatment (Lestari 2009; Syamsir 2012), dan kombinasi hidrolisis asam dengan pemasanan suhu tinggi dan pendinginan (Faridah 2011) juga dilaporkan berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati. Eerlingen et al (1994) menyatakan pemanasan dan pengadukan selama proses pemasakan pati akan merusak struktur granula, menyebabkan peningkatan hidrolisis enzim terhadap pemecahan pati tetapi pendinginan pati tergelatinisasi memicu terjadinya retrogradasi amilosa yang mengakibatkan penurunan daya cerna pati. Cui dan Oates (1997) melaporkan analisis menggunakan differential scanning calorimetry (DSC)menunjukkan retrogradasi amilosa pati sagu asal Malaysia mulai terjadi pada 1 jam penyimpanan pati tergelatinisasi pada suhu 5 o C. Selanjutnya analisis hidrolisis pati menunjukaan terjadi penurunan derajat hidrolisis pati tergelatinisasi yaitu 54.7% menjadi 28.2% setelah pati sagu disimpan pada suhu 5 oC selama 1 jam. Analisis menggunakan DSC dan derajat hidrolisis pati mengindikasikan retrogradasi amilosa berpengaruh terhadap penurunan kemampuan enzim amilase dalam menghidrolisis pati sagu yang mengindikasikan terjadinya penurunan daya cerna pati. 100 d
Daya cerna pati (%)
80 c b
60
a
40 20 0
pati sagu native
siklus 1 siklus 2 perlakuan
siklus 3
Gambar 18 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap daya cerna pati. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
Pelepasan Amilosa Pelepasan amilosa pati sagu akibat proses 1 sampai 3 kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi lebih rendah dibandingkan dengan pelepasan amilosa pati sagu native, seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Pelepasan amilosa pati sagu native, 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi masing-masing adalah
39 4.34±0.12,3.32±0.16,3.13±0.10,2.68±0.08%.Selain siklus gelatinisasi dan retrogradasi, proses heat-moisture treatment (HMT) juga dilaporkan oleh beberapa peneliti mengakibatkan penurunan pelepasan amilosa pada beberapa pati dan tepung (Gunaratne dan Hoover 2002; Lestari 2009).Ikatan ulang antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin yang semakin kuat akibat proses retrogradasi diduga menjadi faktor yang menyebabkan pelepasan amilosa pati sagu semakin menurun. Hal ini sejalan dengan terjadinya peningkatan nilai persen sineresis pati sagu akibat siklus gelatinisasi dan retrogradasi yang mengindikasikan terjadinya peningkatan interaksi amilosa-amilosa dan amilosaamilopektin selama retrogradasi (Gambar 17). Haralampu (2000) menyatakan selama proses retrogradasi pati yang telah tergelatinisasi, ikatan amilosa kembali terbentuk, yang menyebabkan kristalisasi menjadi kuat, dan terbentuklah pati resisten tipe III. Perera et al (1997) menyatakan penurunan pelepasan amilosa disebabkan adanya interaksi antara amilosa-amilosa, dan amilosa-amilopektin. Interaksi tersebut menghambat sejumlah gugus hidroksil yang berpotensi berikatan dengan molekul air. Tian et al. (2011) melaporkan pati beras yang telah digelatinisasi kemudian disimpan pada suhu 4 oC pada variasi waktu penyimpanan memperlihatkan hasil bahwa semakin lama waktu penyimpanan pada suhu 4 oC resistensi amilosa terhadap iod semakin tinggi. Kristalisasi ulang amilosa akibat proses retrogradasi merupakan faktor utama penyebab terjadinya resistensi amilosa terhadap iodin. Semakin tingginya resistensi amilosa terhadap iod mengindikasikan kandungan amilosa pati semakin menurun akibat proses retrogradasi. Karim et al. (2000) menyatakan berdasarkan reaksi terhadap warna yang dihasilkan, reaksi antara pati dan iod telah lama dikembangkan untuk memperkirakan kandungan amilosa yang terdapat pada pati. 5
pelepasan amilosa (%)
c
4 b
b
3
a
2 1 0 pati sagu native
siklus 1 siklus 2 perlakuan
siklus 3
Gambar 19 Pengaruh siklus gelatinisasi dan siklus retrogradasi terhadap pelepasan amilosa. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
40 Kekuatan Gel Kekuatan gel didefinisikan sebagai gaya maksimum yang diberikan selama kompresi gel pati (Yuan et al. 2008). Gambar 20 menunjukkan semakin banyak jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan kekuatan gel pati sagu semakin menurun dan berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05). Kekuatan gel pati sagu native, 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara berturut-turutadalah 456.85±3.75, 247.2±3.68, 177.4±2.05, 164.18±2.44 gf. Suriani (2008) juga melaporkan bahwa pati garut dengan modifikasi pemanasan dan pendinginan berulang sebanyak 1 sampai 5 siklus memiliki karakteristik kekuatan gel lebih rendah dibandingkan dengan pati garut tanpa proses pemanasan dan pendinginan berulang. Semakin banyak siklus pemanasan dan pendinginan membuat pasta pati garut semakin encer atau tidak dapat membentuk gel. Berbeda dengan proses pemanasan-pendingin berulang yang mengakibatkan penurunan kekuatan gel, modifikasi heat-moisture treatment dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan gel pada beberapa sumber pati seperti pati sagu (Herawati 2009, Wulansari 2010), pati ubi jalar (Collado dan Corke 1999), pati gandum, pati kentang, pati jagung tinggi amilosa (Gunaratne dan Corke 2007), pati jagung (Ahmad 2009), dan tapioka (Syamsir 2012). Siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan penurunan kekuatan gel pati sagu disebabkan oleh pecahnya granula pati sagu (Gambar 25b-d). Kusnandar (2010) menyatakan dengan meningkatnya suhu pemanasan di atas suhu gelatinisasi, granula pati akan mengembang dan tidak akan mampu lagi menampung air. Sebagai akibatnya, granula pati akan pecah dan molekul amilosa dan amilopektin akan menyatu dengan fasa air. Granula yang telah pecah diduga memiliki kapasitas penyerapan air yang lebih rendah dibandingkan dengan granula utuh. Sebagai akibatnya, pengembangan granula pati selama gelatinisasi menjadi terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan viskositas pati selama gelatinisasi. Tabel 8 menunjukkan semakin banyak jumlah siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan viskositas puncak pati sagu semakin menurun. Semakin menurunnya viskositas puncak menjadi indikasi bahwa pati sagu akibat gelatinisasi dan retrogradasi memiliki karakteristik pasta yang lebih encer dibandingkan dengan pati sagu native. Akibatnya, gel yang terbentuk selama retrogradasi tidak kokoh sebagai indikasi rendahnya kekuatan gel pati. Aini dan Hariyadi (2007) menyatakan terbentuknya viskositas yang lebih rendah menghasilkan kekuatan gel yang rendah.
41 500
d
Kekuatan gel (gf)
400 300 c
200
b
a
100 0 pati sagu native
siklus 1 siklus 2 Perlakuan
siklus 3
Gambar 20 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap kekuatan gel. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
Derajat Putih Gambar 21 menunjukkan perlakuan 1 sampai 3 siklusgelatinisasi dan retrogradasi tidak berpengaruh signifikan (p>0.05) terhadap nilai derajat putih pati sagu yang diukur menggunakan whiteness meter. Nilai derajat putih pati sagu native, 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara bertutur-turut adalah 74.65±0.21, 66.47±3.78, 68.92±1.17, 66.9±1.77%. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Suriani yang dilaporkan pada tahun 2008 yang mengamati perubahan derajat putih pati garut akibat proses pemanasan dan pendinginan berulang. Pemanasan dan pendinginan satu sampai 5 siklus secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan nilai derajat putih pati garut.
Derajat Putih (%)
42 76 74 72 70 68 66 64 62 60 58 56
a a
a a
pati sagu native
siklus 1
siklus 2
siklus 3
Perlakuan Gambar 21 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap nilai derajat putih. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
Pola difraksi X-ray Pola difraksi X-ray pati sagu Bogor tanpa dan setelah perlakuan siklus gelatinisasi dan retrogradasi diamati menggunakan X-ray diffractometer ditunjukkan pada Gambar 22. Pati sagu native asal Bogor memperlihatkan puncak utama pada 2θ sekitar 15o, 17o, dan 23o sehingga berdasarkan pola difraksi x-ray digolongkan ke dalam pati tipe A. Proses 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara keseluruhan mengubah pati menjadi daerah amorphous atau hilangnya daerah kristalin, yang diperlihatkan berdasarkan hilangnya puncak pada 2θ sekitar 15o, 17o, dan 23o. Hilangnya daerah kristalin pati sagu atau terbentuknya daerah amorphous disebabkan proses gelatinisasi pati sagu mencapai suhu 77 oC. Ratnayake dan Jackson (2007) melaporkan hasil penelitian pemanasan pati jagung, waxy corn starch, pati beras, dan pati tapioka diatas suhu 70oC secara keseluruhan merubah daerah kristalin menjadi amorphous, sedangkan pati kentang mulai kehilangan daerah kristalin ketika dipanaskan di atas suhu 60 o C. Miao et al. (2010) melaporkan pati jagung tinggi amilopektin secara keseluruhan menjadi daerah amorphous ketika pati dipanaskan pada suhu 80 oC pada keadaan air berlebih.
Intenitas
43
Native
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
2θ Gambar 22 Pola difraksi X-ray pati sagu native serta perlakuan 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi.
Kristalinitas Relatif Gambar 23 menunjukkan perubahan nilai kristalinitas relatif pati sagu Bogor akibat perlakuan 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi. Terlihat bahwa nilai kristalinitas relatif pati sagu akibat perlakuan siklus gelatinisasi dan retrogradasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kritalinitas relatif pati sagu native. Nilai kristalinitas relatif pati sagu native, 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara berturut-turutadalah 21.97±0.47, 50.47±13.38, 48.19±5.76, 53.39±0.53%. Kristalinitas relatif dihitung berdasarkan rasio antara area kristalin dengan total area kristalin ditambah area amorphous. Song dan Jane (2000) menyatakan perbedaan nilai kristalinitas pati diakibatkan oleh beberapa faktor seperti ukuran kristal, jumlah kristalin (dipengaruhi jumlah dan panjang rantai amilopektin), orientasi double helices pada daerah kristalin, dan interaksi diantara double helices. Shi dan Gao (2011) melaporkan hasil penelitian semakin tinggi konsentrasi enzim pullulanase yang digunakan untuk pembentukan pati resisten dari pati beras tinggi amilopektin mengakibatkan semakin tingginya nilai kristalinitas relatif pati resisten dibandingkan pati beras native. Proses modifikasi heat-moisture treatment dengan variasi kadar air juga dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kristalinitas relatif beberapa pati seperti pati African yam bean (Sphenostylis stenocarpa) (Adebowale et al 2009), dan pati kacang hijau (Li et al 2011).
44
Kristalinitas relatif (%)
70
b
60
b
b
siklus 2
siklus 3
50 40 30
a
20 10 0 pati sagu native
siklus 1
Perlakuan Gambar 23 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap kristalinitas relatif. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
Pati Resisten Pati resisten yang terbentuk pada penelitian tahap 3 digolongkan ke dalam pati resisten tipe III. Escarpa et al. (1997) menyatakan pembentukan pati resisten tipe III melalui proses gelatinisasi dengan tujuan merusak struktur granula pati, kemudian retrogradasi untuk proses kristalisasi ulang molekul-molekul pati. Proses 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan kadar pati resisten tipe III lebih tinggi dibandingkan kadar pati resisten pati sagu native(Gambar 24). Kadar pati resisten pati sagu native, 1, 2, 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi bertirut-turut adalah 1.77±0.01, 4.00±0.15, 4.03±0.11, 7.82±0.11%. Siklus gelatinisasi dan retrogradasi 1 sampai 3 kali siklus mengakibatkan peningkatkan kadar pati resisten pati sagu antara 2.26 sampai 4.42 kali lebih tinggi dibandingkan kadar pati resisten pati sagu native 1.77%. Goni et al (1996) menggolongkan pati resisten berdasarkan kadar pati resisten pada bahan pangan yaitu dapat diabaikan (kurang dari 1%), rendah (1 sampai 2.5%), menengah (2.5 sampai 5.0%), tinggi (5.0 sampai 15%), sangat tinggi (lebih dari 15%). Kadar pati resisten pati sagu native sebesar 1.77% tergolong rendah, sedangkan karena proses gelatinisasi dan retrogradasi berulang berdasarkan jumlahnya maka kadar pati resisten tergolong menengah (4.00%) hingga tinggi (7.82%).Pati sagu dengan 3 kali proses gelatinisasi dan retrogradasi memiliki kadar pati resisten tipe III paling tinggi (7.82%), sehingga digunakan untuk mensubstitusi pati sagu native pada pembuatan mi sagu. Beberapa peneliti juga melaporkan siklus pemanasan dan pendinginan mengakibatkan peningkatan kadar pati resisten. Sugiyono et al.(2009a)
45
Pati Resisten (%)
melaporkan proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan berulang hingga 5 siklus secara signifikan meningkatkan kadar pati resisten pati garut. Zhao dan Lin (2009a) melaporkan pemanasan suhu tinggi dan pendinginan berulang sebanyak 4 siklus secara signifikan meningkatkan kadar pati resisten pada pati jagung tinggi amilosa. Yadav et al. (2009) melaporkan siklus pemanasan suhu tinggi dan pendinginan hingga 3 siklus meningkatkan kadar pati resisten secara signifikan pada gandum, barley, bengal gram, pea, lentil, kidney bean. Namun secara statistik peningkatannya tidak signifikan pada pati dan tepung beras, kentang, dan ubi jalar. Peningkatan kadar pati resisten akibat gelatinisasi dan retrogradasi berulang disebabkan oleh kristalisasi ulang molekul amilosa saat proses retrogradasi. Haralampu (2000) menyatakan selama proses retrogradasi molekul amilosa kembali berikatan membentuk kristalisasi yang kuat. Yadav et al. (2009) menyatakan pati resisten terbentuk selama proses retrogradasi atau kristalisasi ulang pati tergelatinisasi, khususnya amilosa. Setiap pemanasan berulang dapat meningkatkan derajat gelatinisasi pati dan pendinginan berulang memicu lebih terjadinya retrogradasi. Cui dan Oates (1997) melaporkan pengamatan menggunakan differential scanning calorimetry pati sagu tergelatinisasi kemudian disimpan pada suhu 5 oC selama 1 jam memperlihatkan transisi endotermik pada suhu 145.2 oC yang mengindikasikan terjadinya retrogradasi amilosa pati sagu asal Malaysia. 8.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
c
b
b
Siklus 1
Siklus 2
a
pati sagu native
Siklus 3
Perlakuan Gambar 24 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu terhadap kadar resisten. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
46 Profil Gelatinisasi Uji ragam menunjukkan proses 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap beberapa parameter profil gelatinisasi pati sagu seperti viskositas puncak, viskositas minimum, viskositas breakdown, viskositas akhir, viskositas setback, dan viskositas breakdown relatif. Sebaliknya, memberikan pengaruh signifikan terhadap suhu awal gelatinisasi dan viskositas setback relatif pati sagu yang diamati menggunakan rapid visco analyzer. Uji lanjut dengan metoda Duncan menunjukkan proses 2 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi pati sagu berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap peningkatan suhu awal gelatinisasi. Selain itu, 1 sampai 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi secara signifikan mengakibatkan peningkatan viskositas setback relatif pati sagu (p<0.05) seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Suhu awal gelatinisasi pati sagu nativeadalah 77 oC. Akibat proses gelatinisasi dan retrogradasi 1 sampai 3 siklus suhu awal gelatinisasi pati sagu meningkat menjadi 74.83 oC sampai 94.50 oC. Peningkatan suhu awal gelatinisasi juga terjadi pada pati sagu yang diberi perlakuan heat moisture treatment (Herawati 2009; Wulansari 2010). Herawati (2009) menyatakan adanya peningkatan suhu awal gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT mengindikasikan bahwa energi yang diperlukan untuk memutus ikatan hidrogen antar dan intermolekuler di dalam granula pati sagu termodifikasi lebih besar dibandingkan dengan pati native. Hal ini dapat terjadi apabila pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin pada granula selama proses modifikasi mengarah pada peningkatan stabilitas interaksi molekul di dalam granula pati. Syamsir (2012) menyatakan viskositas balik relatif merupakan persen rasio viskositas balik dengan viskositas panas. Herawati (2009) menyatakan pati termodifikasi dengan viskositas balik tinggi mempunyai kemampuan membentuk gel yang baik. Akan tetapi, peningkatan viskositas balik relatif pati sagu tidak didukung oleh data kekuatan gel pati sagu.Hasil pengukuran kekuatan gel pati sagu asal Bogor menggunakan texture analyzer menunjukkan proses gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan penurunan kekuatan gel pati sagu (Gambar 20).
47
Tabel 8 Pengaruh siklus gelatinisasi dan retrogradasi terhadap parameter gelatinisasi pati sagu Perlakuan Parameter profil gelatinisasi pati sagu native siklus 1 siklus 2 siklus 3 tn Viskositas puncak (cP) 5974±97.58 3921±1923.33 3908±294.16 2875±179.61 tn Viskositas minimum (cP) 2068±67.88 1042±264.46 1208±31.82 1211±208.60 Viskositas breakdowntn(cP) 3906±29.70 2879±1658.87 2701±325.98 2065±177.48 tn Viskositas akhir (cP) 3052±39.6 2316±644.17 2763±265.87 2585±260.92 tn Viskositas balik (cP) 984±28.28 1274±379.72 1556±234.05 1374±52.33 Suhu awal gelatinisasi (oC) 72.00±0.00a 74.83±4.07a 94.50±0.35b 90.45±6.22b Viskositas breakdown relatiftn 65.39±0.57 71.67±7.15 68.98±3.15 72.14±10.68 a b b Viskositas balikrelatif 16.48±0.74 34.22±7.10 40.14±9.01 47.94±4.82b tn
(tidak nyata); supercript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel pada uji Duncan (p<0.05)
47
48 Bentuk Granula Gambar 25a memperlihatkan bentuk granula pati sagu Bogor tanpa perlakuan siklus gelatinisasi dan retrogradasi yang diamati menggunakan scanning electron microscope perbesaran 400x. Proses gelatinisasi dan retrogradasi 1 sampai 3siklus mengakibatkan granula pati sagu Bogor pecah (Gambar 25b-d). Beberapa peneliti juga melaporkan gelatinisasi dan retrogradasi mengakibatkan granula pati pecah. Hasil penelitian Wu et al. (2012) menunjukkan pati beras yang dikukus selama 20 menit pada suhu 100 menit, kemudian disimpan pada suhu 4 oC selama 1, 5, 10 dan 15 hari mengakibatkan granula pati beras pecah untuk semua waktu penyimpanan. Ratnayake dan Jackson (2007) melaporkan proses gelatnisasi beberapa pati dalam air berlebih (6 gr pati dalam 100 ml air) menyebabkan beberapa granula pati pecah. Granula pati jagung dan pati ubi kayu pecah pada suhu gelatinisasi 70 oC, pati jagung tinggi amilosa masih memperlihatkan bentuk granula pada pemanasan hingga mencapai suhu 85 oC, granula pati jagung tinggi amilopektin, pati gandum, dan pati kentang pecah pada suhu 65 oC, sedangkan granula pati beras pecah pada suhu 60 oC. a
b
c
d
Gambar 25 Bentuk granula (a) pati sagu nativeperbesaran 400x, (b) pati sagu perlakuan 1 siklus gelatinisasi dan retrogradasi, (c) pati sagu 2 siklus gelatinisasi dan retrogradasi, dan (d) pati sagu 3 siklus gelatinisasi dan retrogradasi perbesaran 200x.
49 Pecahnya granula pati sagu Bogor disebabkan proses gelatinisasi dilakukan di atas suhu awal gelatinisasi pati sagu menggunakan jumlah air berlebih. Proses gelatinisasi pati sagu pada penelitian ini dilakukan dengan cara memanaskan pasta pati hingga mencapai suhu 77 oC dengan nisbah pati terhadap air adalah 1:2.23 (200 gr pati dalam 446 gr air). Parker dan Ring (2001) menyatakan istilah air berlebih menggambarkan jumlah air sebanyak lebih dari 90% b/b dibandingkan jumlah pati. Bilbao-Sainz et al. (2007) menyatakan pemanasan pati dalam keadaan jumlah air berlebih menyebabkan terjadinya pengembangan granula, polimer pati keluar dari granula, dan pada akhirnya granula pati pecah.
Pengaruh Substitusi Pati Sagu Tergelatiniasi dan Retrogradasi 3 Siklus Terhadap Kualitas Mi Sagu
Waktu Pemasakan Berdasarkan Tabel 9terlihat bahwa substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus mengakibatkan waktu pemasakan mi sagu menjadi lebih lama dibandingkan dengan waktu pemasakan mi sagu kontrol dan berbeda nyata secara statistik pada uji Duncan(p<0.05). Akan tetapi substitusi antara 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap waktu pemasakan mi sagu (p>0.05). Waktu pemasakan mi sagu kontrol, mi sagu substitusi 15% dan 25% substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi secara berturut-turut adalah18.90±0.21, 22.38±0.53, 22.01±0.37 menit. Waktu pemasakan mi sagu pada penelitian ini lebih lama dibandingkan dengan waktu pemasakan mi dan bihun sagu seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Purwani et al. (2006) melaporkan waktu pemasakan mi sagu berkisar 7.33 sampai 7.50 menit. Ramadhan (2009) melaporkan bihun instan sagu memiliki waktu pemasakan selama 3 menit. Selanjutnya hasil penelitian Sugiyono (2009b) menunjukkan mi sagu termodifikasi HMT pada skala 5 kg memiliki waktu pemasakan selama 4.5 menit. Widaningrum et al. (2005) menyatakan perbedaan waktu masak mi selain ditentukan oleh bahan baku juga ditentukan oleh ukuran diameter mi. Proses pembuatan mi sagu pada penelitian ini menggunakan die dengan ukuran diameter 2 mm, sehingga untuk mempersingkat waktu pemasakan maka ukuran mi sagu perlu diperkecil dengan cara menggunakandie dengan ukuran diameter lebih kecil dari 2 mm. Selain itu, lebih lamanya waktu pemasakan mi sagu yang disubstitusi pati sagu tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus sebanyak 15% dan 25%disebabkan oleh daya serap airnya lebih rendah dibandingkan mi sagu kontrol. Daya serap air yang rendah mengindikasikan pati lebih sulit menyerap air selama proses gelatinsasi sehingga proses gelatinisasi menjadi lebih lama. Akibat lebih lamanya proses gelatnisasi mi sagu yang disubstitusi pati sagu tergelatinisasi dan retrogradasi menyebabkan waktu pemasakan mi sagu menjadi lebih lama dibandingkan mi sagu kontrol.
50 Tabel 9
Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap kualitas pemasakan mi sagu Mi sagu Mi sagu Mi sagu Karakteristik kontrol substitusi 15% substitusi 25% Waktu pemasakan (menit) 18.90±0.21a 22.38±0.53b 22.01±0.37b c b Berat rehidrasi (%) 219.09±5.30 202.19±1.46 175.84±0.45a Daya serap air (%) 165.17±9.69b 149.81±1.98ab 132.78±0.87a Kehilangan padatan akibat 25.67±4,95a 30.18±0.05a 44.90±0.98b pemasakan (%) Keterangan:
Supercript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel pada uji Duncan (p<0.05)
Daya Serap Air Substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus sebanyak 25% memiliki karakteristik daya serap air yang lebih rendah dibandingkan mi sagu kontrol, dan berbeda nyata secara statistik pada uji Duncan (p<0.05). Namun, daya serap air mi sagu yang disubstitusi pati sagu tergelatinisasi dan retrogradasi 3siklus sebanyak 15% tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p>0.05) dibandingkan daya serap air mi sagu kontrol, seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Mi sagu dengan substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus sebanyak 25% memiliki daya serap air paling rendah (132.78±0.87%), sedangkan mi sagu kontrol memiliki daya serap air paling tinggi (165.17±9.69%). Mi sagu kontrol memiliki daya serap air paling tinggi mengindikasikan lebih banyak air yang teserap kedalam granula pati selama pemasakan sehingga, berat rehidrasi mi sagu kontrol paling tinggi dibandingkan dengan berat rehidrasi mi sagu dengan substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi. Penurunan daya serap air mi sagu subsitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi disebabkan pengaruh interaksi polimer pati sagu menjadi lebih kuat akibat proses retrogradasi. Ikatan polimer pati yang lebih kuat menyebabkan lebih susahnya polimer pati (amilosa dan amilopektin) berinteraksi dengan air selama proses gelatinisasi sehingga daya serap air pati sagu yang telah mengalami gelatinisasi dan retrogradasi menjadi lebih rendah dibandingkan dengan daya serap air pati sagu native. Nugent (2005) menyatakan salah satu karakteristik pati resisten tipe II dan pati resisten tipe III adalah memiliki kemampuan daya serap air lebih rendah dibandingkan dengan sumber serat tradisional lainnya. Berat Rehidrasi Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus berpengaruh signifikan terhadap penurunan berat rehidrasi mi sagu. Semakin tinggi tingkat substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus mengakibatkan berat rehidrasi mi sagu menjadi semakin menurun. Semakin menurunnya berat rehidrasi mi sagu yang disubstitusi pati tergelatinisasi-retrogradasi disebabkan semakin menurunnya daya serap air mi sagu. Untaian mi sagu yang memiliki daya serap air tinggi berakibat pada semakin tingginya berat rehidrasi mi sagu. Mi sagu yang disubstitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi sebanyak 25% memiliki berat rehidrasi paling rendah. Hal tersebut mengindikasikan mi sagu substitusi 25% mengalami
51 pembengkakan paling minimal saat pemasakan dan setelah pemasakan. Berat rehidrasi mi sagu kontrol yaitu 219.09%,sedangkan berat rehidrasi mi sagu substitusi 25% dan 15% pati tergelatinisasi dan retrogradasi adalah 175.84% sampai 202.19%. Berat rehidrasi mi sagu pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan berat rehidrasi seperti yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian Purwani et al. (2006) menunjukkan nilai rata-rata berat rehidrasi mi sagu adalah 324% sampai 380%.Sugiyono et al. (2009b) melaporkan mi sagu substitusi pati termodifikasi HMT memiliki berat rehidrasi sebesar 363.02%. Selanjutnya Herawati (2009) melaporkan berat rehidrasi bihun sagu sebesar 248.73%.
Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Kehilangan padatan akibat pemasakan adalah banyaknya padatan yang terkandung dalam mi yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan (Richana dan Widaningrum 2009). Substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus sebesar 25% secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi sagu (p<0.05). Penambahan 15% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan KPAP mi sagu dibandingkan KPAP mi sagu kontrol (Tabel 9). Mi sagu kontrol memiliki nilai KPAP paling rendah yaitu 25.67±4.95%. Nilai KPAP mi sagu substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasiretrogradasi masing-masing adalah 30.18±0.05% dan 44.90±0.98%. Herawati (2009) melaporkan tingginya KPAP bihun sagu yang disubstitusi pati modifikasi HMT disebabkan tingginya fraksi pati terlarut dan pati yang tidak membentuk gel (tersuspensi). Pati yang mudah larut maupun yang hanya membentuk suspensi apabila digelatinisasi kemungkinan tidak dapat terikat dengan kuat di dalam struktur untaian bihun. Pati jenis ini kemungkinan akan mudah keluar dari untaian bihun apabila bihun terekspos oleh air selama pemasakan kembali (rehidrasi). KPAP mi sagu pada penelitian ini sangat tinggi sehingga dapat menurunkan kualitas air rebusan mi sagu. Semakin banyak padatan yang keluar selama pemasakan mengakibatkan air rebusan mi menjadi semakin keruh. Dengan demikian, diperlukan bahan tambahan pangan yang berfungsi sebagai pengikat dengan tujuan meminimalkan nilai KPAP mi sagu. Penggunaan guar gum sebesar 1% dilaporkan memberikan nilai KPAP paling rendah pada mi jagung (Fadlilah 2005; Kurniawati 2006), dibandingkan penggunaan bahan pengikat lainnya,seperticarboxyl methyl cellulose (CMC), alginat, tawas, serta campuran K2CO3 dan Na2CO3.
Tekstur Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa substitusi sebanyak 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus tidak memberikan pengaruh signifikan (p>0.05) terhadap tekstur (kekerasan, kelengketan, daya kohesif, elastisitas, dan elongasi) mi sagu yang dianalisis menggunakan texture analyzer. Tidak berbeda nyatanya hasil pengukurun mi sagu disebabkan simpangan data yang terlalu besar. Hal tersebut diduga karena proses gelatinisasi pati dengan cara pengukusan pati menyebabkan pati tidak tergelatinisasi secara merata. Proses gelatinisasi pati
52 untuk pembuatan mi sagu dilakukan dengan cara mengukus pati selama 30 menit. Terlebih dahulu dilakukan penambahan air sebanyak 30%. Selama pengukusan tidak dilakukan pengadukan sehingga pati yang berada pada bagian bawah akan tergelatinisasi, namun pati yang berada pada bagian tengah dan atas cenderung tidak tergelatinisasi sempurna. Tidak meratanya proses gelatinisasi pati selama pengkusan akan berpengaruh terhadap tekstur untaian mi. Tabel 10 Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap tekstur mi sagu Mi Sagu Mi Sagu Mi Sagu Karakteristiktn Kontrol Substitusi 15% Substitusi 25% Kekerasan(gf) 556.13±130.71 531.63±166.28 391.53±10.50 Kelengeketan(gf) -15.05±2.76 -15.90±6.22 -23.73±1.80 Daya kohesif 0.84±0.06 0.86±0.02 0.83±0.03 Elastisitas 0.95±0.05 1.00±0.00 0.95±0.04 Elongasi (%) 258.39±67.33 198.58±27.55 188.25±16.86 tn
tidak nyata
Uji Organoleptik Mi Sagu Hasil uji organoleptik menunjukkan substitusi sebanyak 15% dan 25% pati tergelatinisasi-retrogradasi 3 siklus secara signifikan (p<0.05) menurunkan tingkat kekerasan dan elastisitas mi sagu. Akan tetapi, substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus sebanyak 15% dan 25% tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kelengketan dan atribut keseluruhan mi saguberdasarkan uji Duncan (p>0.05) seperti ditunjukkan pada Tabel 11.Penilaian rata-rata tingkat kelengketan mi sagu oleh panelis berada pada kisaran 1.36 hingga 1.34 (antara tidak lengket sampai lengket). Selanjutnya penilaian rata-rata misagu dinilai dari atribut keseluruhan berada pada kisaran 3.10 hingga 3.33 (antara agak suka sampai netral). Penilaian rata-rata panelis terhadap kekerasan mi sagu kontrol adalah 2.61 (antara sedikit keras sampai moderat). Akibat substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus tingkat kekerasan mi sagu adalah 1.33 hingga 1.57 (antara tidak keras sampai sedikit keras). Penurunan tingkat kekerasan mi sagu diduga karena penurunan kekuatan gel pati sagu akibat proses gelatinisasi dan retrogradasi. Pati yang diberi perlakuan gelatinisasi dan retrogradasi memiliki kekuatan gel lebih rendah dibandingkan dengan pati sagu alami (Gambar 20). Lebih rendahnya kekuatan gel pati tergelatinisasi dan retrogradasi diduga mengakibatkan tekstur mi sagu menjadi lebih lunak. Hormdok dan Noomhorm (2007) melaporkan terdapat korelasi positif yang kuat (r = 0.941) antara kekuatan gel tepung beras dengan kekerasan mi. Selain mempengaruhi penurunan tingkat kekerasan mi sagu, substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus juga mempengaruhi penurunan tingkat elastisitas mi sagu. Penilaian panelis terhadap tingkat elastisitas mi sagu kontrol adalah 3.13 (antara elastis sampai sangat elastis). Penilaian panelis terhadap tingkat elastisitas substitusi 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus pada pembuatan mi sagu adalah 1.73 sampai 1.90 (antara tidak elastis sampai elastis). Substitusi pati termodifikasi HMT juga dilaporkan berpengaruh terhadap penurunan tingkat elastisitas bihun sagu. Herawati (2009)
53 melaporkan penurunan elastisitas bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT kemungkinan disebabkan oleh karakteristik pati termodifikasi yang cenderung short (spoonable). Tabel 11 Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap organleptik mi sagu Mi Sagu Mi Sagu Mi Sagu Parameter Kontrol Substitusi 15% Substitusi 25% Kekerasan 2.61c 1.57b 1.33a Elastisitas 3.13b 1.90a 1.73a tn Kelengketan 1.36 1.50 1.44 Atribut keseluruhantn 3.33 3.29 3.10 Keterangan: Supercript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel pada uji Duncan (p<0.05); tntidak nyata
Kadar Pati Resisten Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa proses pengolahan pati sagu menjadi mi sagu menggunakan ekstruder secara signifikan mengakibatkan peningkatan kadar pati resisten (p<0.05). Kadar pati resisten pati sagu native adalah 1.77±0.01%, sedangkan kadar pati resisten pada mi sagu kontrol adalah 2.11±0.03% atau terjadi peningkatan kadar pati reisten sebesar 0.34%. Peningkatan kadar pati resisten pada mi sagu kontrol disebabkan oleh proses pembuatan mi sagu diawali dengan proses pragelatinisasi pati. Proses pragelatinisasi pati dilakukan dengan cara pati dicampur dengan air sebanyak 30% dari berat pati, kemudian campuran pati dan air dikukus selama 30 menit. Adonan kemudian dibentuk menjadi untaian mi menggunakan ekstruder. Untaian mi yang telah terbentuk dikeringanginkan pada suhu ruang selama 4 hari. Pengukusan pati selama 30 menit diduga dapat memicu terjadinya pelepasan amilosa, kemudian pengeringan mi sagu pada suhu ruang selama 4 hari memicu terjadinya kristalisasi ulang amilosa yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar pati resisten pada mi sagu kontrol. Substitusi sebanyak 15% dan 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3siklus berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap peningkatan pati resisten mi sagu. Mi sagu dengan substitusi 15% kadar pati resistennya sebesar 3.32±0.11%. Mi sagu susbstitusi 25% kadar pati resistennya sebesar 4.33±0.13%.
Kadar Pati Resisten (%)
54 8.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
e
d c b
a
Pati sagu native
Pati sagu modifikasi 3 siklus
Mi sagu kontrol
Mi sagu substitusi 15%
Mi sagu substitusi 25%
Perlakuan Gambar 26Pengaruh substitusi pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus terhadap kadar pati resisten mi sagu. Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.5.
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Kondisi optimum rasio pati terhadap air 1:2.23 dengan suhu gelatinisasi mencapai 77 oC menghasilkan kadar pati resisten tertinggi sebesar 7.82% pada 3 kali siklus gelatinisasi dan retrogradasi. Proses gelatinisasi dan retrogradasi berulang mengakibatkan penurunan beberapa karakteristik pati sagu yaitu: daya cerna pati, pelepasan amilosa kekuatan gel, dan derajat putih. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan beberapa karakteristik seperti: sineresis, suhu awal gelatinisasi, viskositas balik relatif, kristalinitas relatif, dan kadar pati resisten. Di samping itu, proses gelatinisasi dan retrogradasi berulang mengakibatkan hilangnya sifat birefringence dan granula pati sagu menjadi pecah Atribut secara keseluruhan mi sagu substitusi 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi berulang 3 siklus tidak berbeda nyata dibandingkan dengan mi sagu kontrol. Dengan demikian, mi sagu dapat disubstitusi dengan 25% pati tergelatinisasi-retrogradasi 3 siklus. Beberapa karakteristik mi sagu substitusi 25% pati tergelatinisasi dan retrogradasi 3 siklus adalah: kadar pati resisten 4.33%, waktu pemasakan 22.01 menit, berat rehidrasi 175.84%, daya serap air 132.78%,
55 kehilangan padatan akibat pemasakan 44.90%, kekerasan 391.53 gf, kelengketan 23.73 gf, daya kohesif 0.83, elastisitas 0.95, dan elongasi 188.25%.
Saran Beberapa hal yang dapat disarankan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah: (1) perlu dilakukan penyeragaman suhu gelatinisasi pasta pati dengan cara memanaskan pasti pati pada suhu gelatinisasi dalam waktu tertentu, (2) perlu dilakukan optimasi penambahan air pada proses pembuatan mi sagu, (3) ukuran mi perlu diperkecil untuk mempersingkat waktu pemasakan, (4) perlu penambahan bahan pengikat untuk memperkecil kehilangan padatan akibat pemasakan mi sagu.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1970. Official Methods of Analysis of the Association AnalyticalChemistry Inc, Washington D.C. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association AnalyticalChemistry Inc, Washington D.C. Adebowale KO, Henle T, Schwarzenbolz U, Doert T. 2009. Modification and properties of African yam bean (Sphenostylis stenocarpa Hochst.Ex A. Rich.) harms starch I: heat moisture treatments and annealing. Food Hydrocolloids 23:1947-1957.doi:10.1016/j.foodhyd.2009.01.002. Ahmad FB, Williams PA, Doublier JL, Durand S, Buleon A. 1999. Physicochemical characterisation of sago starch. Carbohydrate polym 38:361370.doi:10.1016/S0144-8617(98)00123-4. Ahmad L. 2009. Modifikasi fisik pati jagung dan aplikasinya untuk perbaikan kualitas mi jagung [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aini N, Hariyadi H. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidas. J Ilmu Pertanian Indones 12(2):108-115. Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting Temperature(tm). Starch/Stärke 54: 401–409. Asp NG, Amelsvoort JMM, Hautvast JGAJ. 1996. Nutritional implications of resistant starch [ulas balik]. Nutr Res Rev 9:131.doi:10.1079/NRR19960004. Bilbao-Sainz C, Butler M, Weaver T, Bent J. 2007. Wheat starch gelatinization under microwave irradiation and conduction heating. Carbohydrate Polym 69:224-232.doi:10.1016/j.carbpol.2006.09.026. Charoerein S, Tatirat O, Muadklay J. 2008. Use of centrifugation-filtration for determanation of syneresis in freeze-thaw starch gels. Carbohydrate Polym 73:143-147.doi:10.1016/j.carbpol.2007.11.012.
56 Chung HJ, Liu Q, Hoover R. 2009. Impact of annealing and heat-moisture treatment on rapidly digestible, slowly digestible and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea, and lentil starches. Carbohydrate Polym 75:436-447.doi:10.1016/j.carbpol.2008.08.006. Chung HJ, Liu Qiang, Hoover R. 2010. Effect of single and dual hydrothermal treatments on the crystalline structure, thermal properties, and nutritional fractions of pea, lentil, and navy bean starches. Food Res Int 43:501508.doi:10.1016/j.foodres.2009.07.030. Chung HJ, Liu Q, Lee L, Wei D. 2011. Relationship between the structure, physicochemical properties and in vitro digestibility of rice starches with different amylose contents. Food Hydrocolloids 25:968975.doi:10.1016/j.foodhyd.2010.09.011. Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Food Chem 65:339346.doi:10.1016/S0308-8146(98)00228-3. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-Type noodles fromheat-moisture-treated sweet potato starch. J Food Sci 66(4):604609.doi:10.1111/j.1365-2621.2001.tb04608.x. Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and functionality of starch.Food Hydrocolloids 23:15271534.doi:10.1016/j.foodhyd.2008.09.016. Cui R, Oates CG. 1997. The effect of retrogradation on enzyme susceptibility of sago starch. Carbohydrate Polym 32:65-72.doi:10.1016/S01448617(96)00105-1. Drycke V, Vandeputte GE, Vermeylen R, De Man W, Goderis B. 2005. Starch gelatinization and amylose-lipid interactions during rice parboiling investigated by temperature resolved wide angle X-ray scattering and differential scanning calorimetry. J Cereal Sci 42:334343.doi:10.1016/j.jcs.2005.05.002. Eerlingen RC, Deceuninck M, Delcour JA. 1993. Enzyme-resistant starch. II. influence of amylose chain length on resistant starch formation. Cereal Chem 70(3):345-350. Eerlingan RC, Jacobs H, Delcour JA. 1994. Enzyme-resistant starch. V. effect of retrogradation of waxy maize on susceptibility. Cereal Chem 71(4):351355. Ekafitri R. 2009. Karakterisasi tepung lima varietas jagung kuning hibrida dan potensinya untuk dibuat mie jagung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Escarpa A, Gonzales MC, Morales MD, Saura-Calixto F. 1997. An approach to the influence of nutrients and other food constituents on resistant starch formation. Food Chem 60(4):527-532.doi:10.1016/s0308.8146(97)00025.3. Fadlillah HN. 2005. Verifikasi formulasi mi jagung instan dalam rangka penggandaan skala [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Faridah DN. 2011. Perubahan karakteristik kristalin pati garut (Maranta arundinaceae L.) dalam pengembangan pati resisten tipe III [Disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
57 Fredriksson H, Silverio J, Andersson R, Eliasson AC, Aman P. 1997. The influence of amylose and amylopectin characteristic on gelatinization and retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polym 35:119134.doi:10.1016/S0144-8617(97)00247-6. Garcia-Alonso A, Jimenez-Escrig A, Martin-Carron N, Bravo L, Saura-Calixto F. 1999. Assesment of some parameters involved in the gelatinization and retrogradation of starch. Food Chem 66(2):181-187.doi:10.1016/S03088146(98)00261-1. Goni I, Garcia-Diz L, Manas E, Saura-Calixto F. 1996. Analysis of resistant starch: a method for foods and food products. Food Chem 56(4):445449.doi:10.1016/0308-8146(95)00222-7. Gonzales-Soto RA, Mora-Escobedo R, Hernandez_Sanchez H, Sanchez-Rivera M, Bello-Perez LA. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. Food Res Int 40:34-310.doi:10.1016/j.foodres.2006.04.001. Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat–moisture treatmenton the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polym 49:425-437.doi:10.1016/S0144-8617(01)00354-x. Gunaratne, A and H. Corke, 2007. Effect of hydroxypropylation and alkaline treatments in hydroxypropylation on some structural and physicochemicalproperties of heat-moisture treted wheat, potato and waxy maize starch. Carbohydrate Polym 68 : 305 – 313.doi:10.1016/j.carbpol.2006.12.004. Haralampu SG. 2000. Resistant starch–a review of the physical properties and biological impact of RS3[ulas balik]. Carbohydrate Polym 41(3):285292.doi:10.1016/S0144-8617(99)00147-2. Haryanto B, Anggraeni D, Cahyana PT. 2011. Kajian pengembangan mie sagu dengan metode ekstruder. Di dalam: Montolalu RI, Andarwulan N, Tooy D, Djarkasi GSS, Mentang F, Makapedua DM, editor. Peran Teknologi dalam Pengembangan Pangan yang Aman, Bermutu dan Terjangkau bagi Masyarakat. Seminar Nasional Perhimpunan Teknologi Pangan Indonesia; 2011 Sept 15-17; Manado, Indonesia. Manado (ID): Patpi, hlm 34-37. Haryanto B. 2008. Kajian Aplikasi Tepung Sagu. J Standarisasi 10:27 – 30. Herawati D. 2009. Modifikasi pati sagu dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dan aplikasinya dalam memperbaiki kualitas bihun [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hoover R, Manuel H. 1997. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Res Int 29(8):731-750. Hormdok R, Noomhorm A. 2007. Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT 40:17231731.doi:10.1016/j.lwt.2006.12.017. Hughes T, Hoover R, Liu Q, Donner E, Chibbar R, Jaiswal S. 2009. Composition, morphology, molecular structure, and physicochemical properties of starches from newly released chickpea (Cicer arietinum L.) cultivars grown in Canada. Food Res Int 42:627-635.doi:10.1016/j.foodres.2009.01.008.
58 Jenkins DJA, Vuksan V, Kendall CWC, Wursch P, Jeffcoat R, Waring S, Mehling CC,Vidgen E, Augustin LSA, Wong E. 1998. Physiological effects of resistant starches on fecal bulk, short chain fatty acids, blood lipids and glycemix index. J the Am Coll of Nutr 17(6):609616.doi:10.1080/07315724.1998.1071810. Jenkins C, Kendall W, Augustin LS, Franceschi S, Hamidi M, Marchie A, Jenkins AL, Axelsen M. 2002. Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am J Clin Nutr 76:266S-273S. Juansang J, Puttanlek C, Rungsardthong V, Puncha-arnon S, Uttapap D. 2012. Effect of gelatinization on slowly digestible starch and resistant starch of heat-moisture treatment treated and chemically modified canna starches. Food Chem 131:500-507.doi:10.1016/j.foodchem.2011.09.013. Karim AA, Norziah MH, Seow CC. 2000. Methods for the study of starch retrogradation. Food Chem 71:9-16.doi:10.1016/S0308-8146(00)00130-8. Kurniawati RD. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan corn gluten meal (CGM) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Lestari OA. 2009. Karakterisasi sifat fisiko-kimia dan evaluasi nilai gizi biologis mi jagung kering yang disubstitusi tepung jagung termodifikasi [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Limbongan J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26(1):16-24. Liu Q, Charlet G, Yelle S, Arul J. 2002. Phase transition in potato starch–water system I. starch gelatinization at high moisture level. Food Res Int 35(4):397-407.doi:10.1016/S0963-9969(01)00134-x. Liu Q. 2005. Understanding Starches and Their Role in Foods. Di Dalam: Food Carbohydrate Chemistry, Physical Properties, and Applications: Cui SW (editor). USA:CRC Pr. Li S, Ward R, Gao Q. 2011. Effect of heat-moisture treatment on the formation and physicochemical properties of resistant starch from mung bean (Phaseolus radiatus) Starch. Food Hydrocolloids 25:17021709.doi:10.1016/j.foodhyd.2011.03.009. Louhenapessy JE, Luhukay M, Talakua S, Salampessy H, Riry J. 2010. Sagu Harapan dan Tantangan. Jakarta (ID):Bumi Aksara. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Pr. Matalanis AM, Campanella OH, Hamaker BR. 2009. Storage retrogradation behavior of sorghum, maize and rice starch psastes related to amylopectin fine structure. J Cereal Sci 50:74-81.doi:10.1016/j.jcs.2009.02.007. Miao M, Zhang T, Mu W, Jiang B. 2010. Effect of controlled gelatinization in excess water on digestibillity of waxy maize starch. Food Chem 119:4148.doi:10.1016/j.foodchem.2009.05.035. Milasinovic MS, Radasavljevic MM, Dokic LP. 2010. Effects of autoclaving and pullulanase debranching on the resistant starch yield of normal maize starch. J Serbian Chemical Soc75(4):449-458.doi:10.2998/JSC090904027M.
59 Nor Nadiha MZ, Fazilah A, Bhat R, Karim AA. 2010. Comparative susceptibilities of sago, potato, and corn starches to alkali treatment. Food Chem 121:1053-1059.doi:10.1016/j.foodchem.2010.01.048. Nugent AP. 2005. Health Properties of Resistant Starch [Review]. British Nutr Foundation 30:27-54.doi:10.1111/j.1467-3010.2005.00481.x. Oh NH, Seib PA, Deyoe CW, Ward AB. 1985. Noodles II. The surface firmness of cooked noodles from soft and hard wheat flours. Cereal Chem 62(6):431436. Ozturk S, Koksel H, Ng PKW. 2011. Production of resistant starch from acidmodified amylotype starches with enhanced functional properties. J Food Eng 103:156-164.doi:10.1016/j.jfoodeng.2010.10.011. Palav T, Seetharaman K. 2006. Mechanism of starch gelatinization and polymer leaching during microwave heating. Carbohydrate Polym 65:364370.doi:10.1016/j.carbpol.2006.01.024. Parker R, Ring GS. 2001. Aspects of the physical chemistry of starch [ulas balik]. J Cereal Sci 34:1-17.doi:10.1006/jcrs.2000.0402. Pei-Lang AT, Mohamed AMD, Karim AA. 2006. Sago starch and composition of associated components in palms of different growth stages. Carbohydrate Polym 63:283-286.doi:10.1016/j.carbpol.2005.08.061. Perera C, Hoover R, Martin AM. 1997. The effect of hydroxypropylation on the structure and physicochemical properties of native, defatted and heatmoisture treated potato starches. Food Res Int 30(3):235247.doi:10.1016/S0963-9969(97)00041-0. Pinasthi W. 2011. Pengaruh modifikasi heat moisture treatment (HMT) dengan radiasi microwave terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional tapioka dan maizena [Skripsi]. Bogor (ID).Institut PertanianBogor. Pongjanta J, Utaipattanaceep A, Naivikul O, Piyachomkwan K. 2008. In vitro starch hydrolysis rate, physo-chemical properties and sensory evaluation of butter cake prepared using resistant starch type III substituted for wheat flour. Malays J Nutr 14(2):199-208. Pongjanta J, Utaipattanaceep A, Naivikul O, Piyachomkwan K. 2009. Effects of preheated treatments on physicochemical properties of resistant starch type III from pullulanase hydrolysis of high amylose rice starch. Am J Food Technol 4(2):79-89.doi:10.3923/ajft.2009.79.89. Purwani EY, Widaningrum, Thahir R, Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indones J Agric Sci 7(1):8-14. Purwani EY. 2011. Penghambatan proliferasi sel kanker kolon HCT-116 oleh produk fermentasi pati resisten tipe 3 sagu dan beras [Disertasi]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Ramadhan K. 2009. Aplikasi pati sagu termodifikasi heat moisture treatment untuk pembuatan bihun instan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ratnayake WS, Hoover R, Warkentin T. 2002. Pea starch: composition, structure, and properties-a review. Starch/Starke 54(6):217-234.doi:10.1002/1521379x. Ratnayake WS, Jackson DS. 2007. A new insight into the gelatinization process of native starches. Carbohydrate Polym 67:511529.doi:10.1016/j.carbpol.2006.06.025.
60 Ratnayake WS, Jackson DS. 2008. Thermal behavior of resistant starches RS 2, RS 3, and RS 4. J Food Sci 73(5):356-366.doi:10.1111/j.17503841.2008.00754.x. Richana N, Widaningrum. 2009. Penggunaan tepung dan pasta dari beberapa varietas ubi jalar sebagai bahan baku mi. J pascapanen 6(1):43-53. Sahin S, Sumnu SG. 2006. Physical properties of food. Springer. USA. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant Starch [ulas balik]. Compr Rev Food Sci V:1-17.doi:10.1111/j.1541-4337.2006.tb00076.x. Sanz T, Salvador A, Fiszman SM. 2008. Evaluation of four types of resistant starch in muffin baking performance and relationship with batter rheology. Eur Food Res Technol 227:813-819.doi:10.1007/s00217-007-0791-9. Sanz T, Martinez-Cervera S, Salvador A. 2010. Resistant starch content and glucose release of different resistant starch commercial ingredients: fffect of cooking conditions. Eur Food Res Technol 231:655662.doi:10.1007/s00217-010-1315-6. Saripudin U. 2006. Rekayasa proses tepung sagu (Metroxylon sp.) dan beberapa karakternya [sikripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Satriawan E. 2010. Pengaruh metode heat moisture treatment (HMT) terhadap kandungan pati resisten tipe III dan daya cerna pati sagu [Skripsi]. Bogor (ID):Institut PertanianBogor. Schoch TJ, Maywald EC. 1968. Preparation and properties of various legumestarches. Cereal Chem. 45:564-573. Sharma A, Yadav BJ, Ritika. 2008. Resistant starch: physiological roles and food applications [ulas balik]. Food Rev Int 24:193234.doi:10.1080/87559120801926237. Sievert D, Pomeranz Y. 1989. Enzyme–resistant starch I. characterization and evaluation by enzymatic, thermoanalytical, and microscopic methods. Cereal Chem 66(4):342-347. Simsek S, El SN. 2012. Production of resistant starch from Taro (Colocasia esculenta L. Schott) Corm and determanation of its effects on health by in vitro methods. Carbohydrate Polym 90:12041209.doi:10.1016/j.carbpol.2012.06.039. SNI. 2008. Tepung Sagu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Song Y, Jane J. 2000. Characterization of barley starches of waxy, normal, and high amylase varieties. Carbohydrate Polym 41(4):365377.doi:10.1016/S0144-8617(99)00098-3. Sozer N, Dalgic AC, Kaya A. 2007. Thermal, textural, and cooking properties of spaghetti enriched with resistant starch. J Food Eng 81:476484.doi:10.1016/j.jfoodeng.2006.11.026. SrichuwongS, SunartiTC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005. Starches from different botanical sources I: contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. Carbohydrate Polym 60: 529–538.doi:10.1016/j.carbpol.2005.03.004. Srichuwong S, Isono N, Jiang H, Mishima T, Hisamatsu M. 2012. Freeze–thaw stability of starches from different botanical sources: correlation with structural features. Carbohydrate Polym 87:12751279.doi:10.1016/j.carbpol.2011.09.004
61 Sugiyono, Pratiwi R, Faridah DN. 2009a. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi–pendinginan (Autoclaving–Cooling Cycling) untuk menghasilkan pati resisten tipe III. J.Teknol.Industri Pangan XX(1):17-24. Sugiyono, Thahir R, Kusnandar F, Purwani EY, Herawati D. 2009b. Peningkatan kualitas mi instan sagu melalui modifikasi heat moisture treatment. Prosiding Seminar Hasil – Hasil Penelitian IPB. Susilo E. 2011. Optimasi formula minuman fungsional berbasis kunyit (Curcuma domestica Val.) asam jawa (Tamarindus indica Linn.) dan jahe (Zingiber officinale var. Amarum) dengan metoda desain campuran (MIXTURE DESIGN) [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Suriani AI. 2008. Mempelajari pengaruh pemanasan dan pendinginan berulang terhadap karakteristik sifat fisik dan fungsional pati garut (Marantha arundinacea) [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Syamsir E. 2012. Mempelajari fenomena perubahan karakteristik fisikokimia tapioka karena heat-moisture treatment dan model kinetikanya [Disertasi]. Bogor (ID); Institut Pertanian Bogor. Teng LY, Chin NL, Yusof YA. 2013. Rheological and textural studies of fresh and freeze-thawed native sago starch-sugar gels. II. comparisons with other starch sources and reheating effects. Food Hydrocolloids 31:156165.doi:10.1016/j.foodhyd.2012.11.002. Tharanathan M, Tharanathan RN. 2001. Resistant starch in wheat-based products: isolation and characterisation. J Cereal Sci 34:7384.doi:10.1006/jcrs.2000.0383. Themeier H, Hollmann J, Neese U, Lindhauer MG. 2005. Structural and morphological factors influencing the quantification of resistant starch II in starches of different botanical origin. Carohydrate Polym 61:7279.doi:10.1016/j.carbpol.2005.02.017. Tian Y, Bai Y, Li Y, Xu X, Xie Z, Jin Z. 2011. Use of the resistance effect between retrograded starch and iodine for evaluating retrogradation properties of rice starch [komunikasi singkat]. Food Chem 125:12911293.doi:10.1016/j.foodchem.2010.10.032. Topping DL, Clifto PM. 2001. Short-chain fatty acids and human colonic function: roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiological Rev 81:1031-1064.doi:10.1080/08910600802106541. Topping DL, Bajka BH, Bird AR, Clarke JM, Cobiac L, Conlon MA, Morell MK, Toden S. 2008. Resistant starches as a vehicle for delivering health benefits to the human large bowel. Microb Ecol Health Disease 20:103108.doi:10.1080/08910600802106541. Ozturk S, Koksel H, Ng PKW. 2011. Production of Resistant Starch From AcidModified Amylotype Starches With Enhanced Functional Properties. J Food Eng 103:156-164.doi:10.1016/j.jfoodeng.2010.10.011. Vasanthan T, Hoover R. 2009. Barley Starch: Production, Properties, Modification and Uses. BeMiller J, Whistler R, editor. USA(US):Elsevier Science. Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydrate Polym 64:364375.doi:10.1016/j.carbpol.2005.12.024.
62 Vonk RJ, Hagedoorn RE, Graaff R, Elzinga H, Tabak S, Yang YX, Stellaard F. 2000. Digestion of so-called resistant starch sources in the human small intestine. Am J Clin Nutr 72(2):432-438. Wang N, Maximiuk L, Towes R. 2012. Pea starch noodles: Effect of processing variables on characteristics and optimisation of twin-screw extrusion process. Food Chem 133:724-753.doi:10.1016/j.foodchem.2012.01.087. Waring S. 1998. Resistant Starch in Food Aplications. Cereal Food World 43:690-695. Wattanachant S, Muhammad K, Hasyim DM, Rahman RA. 2003. Effect of crosslinking reagent and hydroxypropylation levels on dual-modified sago starch properties. Food Chem 80:463-471.doi:10.1016/S03088146(02)00314-x. Widaningrum, Santosa BA, Purwani EY. 2005. Penelitian pengaruh suhu pemeraman terhadap mi sagu dan kadar resistant starch (RS). Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian; 2005 September 7-8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. hlm 432-443. Willis JH, Eldridge AL, Beiseigel J, Beiseigel J, Thomas W, Slavin JL. 2009. Greater satiety response with resistant starch and corn bran in human subjects. Nutr Res 29:100-105.doi:10.1016/j.nutres.2009.01.004. Wu Y, Lin Q, Chen Z, Wu W, Xiao H. 2012. Fractal analysis of the retrogradation of rice starch by digital image processing. J Food Eng 109:182187.doi:10.1016/j.jfoodeng.2011.10.006. Wulansari D. 2010. Karakteristik fisik pati sagu (Metroxylon sp) dimodifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) [Tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Xie SX, Liu Q, Cui SW. 2005. Starch Modification and Applications. Cui SW (Editor). USA (US):CRC Pr. Yamada Y, Hosoya S, Nishimura S, Tanaka T, Kajimoto Y, Nishimura A, Kajimoto O. 2005. Effect of bread containing resistant starch on postprandial blood glucose levels in humans. Biosci Biotechnol Biochem 69(3):559-566. Yadav BS, Sharma A, Yadav RB.2009. Studies on effect of multiple heating/cooling Cycles on the resistant starch formation in cereals, legumes and tubers. Int J Food Sci Nutr 60(4):258272.doi:10.1080/09637480902970975. Yadav BS, Sharma A, Yadav RB. 2010. Effect of storage on resistant starch content in vitro starch digestibility of some pressure-cooked cereals and legumes commonly used in India. Int J Food Sci Technol 45:24492455.doi:10.1111/j.1365-2621.2010.02214.x. Yuan ML, Lu ZH, Cheng YQ, Li LT. 2008. Effect of spontaneous fermentation on the physical properties of corn starch and rheological characteristics of corn starch noodle. J Food Eng 85:1217.doi:10.1016/j.jfoodeng.2007.06.019. Yuliasih I. 2008. Fraksinasi dan asetilasi pati sagu (Metroxylon sagu Rottb) serta aplikasi produknya sebagai bahan campuran plastik sintetis [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
63 Yousif EI, Gadallah MGE, Sorour AM. 2012. Physico-chemical and rheological properties of modified corn starches and its effect on noodle quality. Annals Agric Sci 57(1):19-27.doi:10.1016/j.aoas.2012.03.008. Zhang H, Jin Z. 2011 Preparation of products rich in resistant starch from maize starch by an enzymatic method. Carbohydrate Polym 86:16101614.doi:10.1016/j.carbpol.2011.06.070. Zhao XH dan Lin Y. 2009a. Resistant starch prepared from high–amylose maize starch with citric–acid hydrolisis and its simulated fermentation in vitro [komunikasi singkat]. Eur Food Res Technol 228:10151021.doi:10.1007/s00217-009-1012-5. Zhao XH dan Lin Y. 2009b. The impact of coupled acid or pullulanase debranching on the formation of resistant starch from maize starch with autoclaving–cooling cycles [komunikasi singkat]. Eur Food Res Technol 230:179-184.doi:10.1007/s00217-009-1151-8.
64
Lampiran 1 Komposisi kimia pati sagu Parameter Proksimat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference) Pati Amilosa Amilopektin Pati resisten Serat kasar
nilai Ulangan 1 Ulangan 2 11.50 0.09 0.1 0.07 88.24 76.28 43.04 33.24 1.78 1.11
rata-rata (%)
11.76 0.07 0.1 0.05 88.02 75.37 42.49 32.88 1.76 1.11
Lampiran 2 Optimasi rasio pati terahadap air dan suhu gelatinisasi Suhu Rasio Berat Berat Berat Berat Pati gelatinisasi Pati:Air sampel kertas residu + abu resisten (oC) (g) saring kertas (g) (%) kosong saring (g) (g) 0.5001 0.6358 0.6476 0.0009 2.18 77 1:1.09 0.5001 0.6319 0.6524 0.0009 2.18 0.5002 0.6204 0.6423 0.0021 3.96 77 1:2.50 0.5002 0.5983 0.6178 0.0003 3.92 0.5001 0.6319 0.6524 0.0007 3.96 84.07 1:2.50 0.5001 0.6391 0.6595 0.0009 3.90 0.5 0.6363 0.6569 0.0009 3.94 77 1:2.50 0.5 0.6334 0.6543 0.0008 4.02 0.5001 0.6262 0.6432 0.0019 3.02 69.93 1:2.50 0.5001 0.6250 0.6436 0.0025 3.22 0.5001 0.6346 0.6548 0.0004 3.96 77 1:2.50 0.5001 0.6342 0.6546 0.0008 3.92 0.5 0.6309 0.6513 0.0008 3.92 77 1:2.50 0.5 0.6285 0.6507 0.001 4.24 0.5 0.6196 0.6412 0.0026 3.80 82.00 1:3.50 0.5 0.6221 0.6440 0.0032 3.74 0.5001 0.6314 0.6502 0.0019 3.38 72 1:3.50 0.5001 0.6302 0.6477 0.0009 3.32 0.5001 0.6415 0.6526 0.0003 2.16 72 1:1.50 0.5002 0.6355 0.6482 0.0012 2.30 0.5001 0.631 0.6462 0.0019 2.66 82 1:1.50 0.5001 0.6308 0.6456 0.0017 2.62 0.5001 0.6284 0.65 0.0016 4.00 77 1:3.91 0.5 0.6295 0.6519 0.0011 4.26 0.5 0.6416 0.662 0.0009 3.90 77 1:2.50 0.5 0.6405 0.6588 0.0006 3.54
11.63 0.08 0.1 0.06 88.13 75.83 42.77 33.06 1.77 1.11
Rata-rata (%)
2.18 3.90 3.93 3.98 3.12 3.94 4.08 3.77 3.35 2.23 2.64 4.13 3.72
65
Uji ragam kadar pati resisten Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
17.027
13
1.310
.197
14
.014
17.224
27
F
Sig.
92.984
000
Uji lanjut kadar pati resisten Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N Pati sagu kontrol
2
2 2.1800 2.1800
o
2 2.2300 2.2300
Suhu 72 C; nisbah pati:air = 1:1.50 o
Suhu 82 C; nisbah pati:air = 1:1.50 o
Suhu 69.93 C; nisbah pati:air = 1:2.50
3
4
5
2 1.7700
o
Suhu 77 C; nisbah pati:air = 1:1.09
2
2.6400
2
3.1200
o
2
3.3500 3.3500
o
2
3.7200 3.7200
o
2
3.7700 3.7700
o
2
3.9000
2
3.9300
o
2
3.9400
o
2
3.9800
o
2
4.0800
o
2
4.1300
Suhu 72 C; nisbah pati:air = 1:3.50 Suhu 72 C; nisbah pati:air = 1:2.50 Suhu 82 C; nisbah pati:air = 1:3.50 Suhu 77 C; nisbah pati:air = 1:2.50 o
Suhu 84.07 C; nisbah pati:air = 1:2.50 Suhu 77 C; nisbah pati”air = 1:2.50 Suhu 77 C; nisbah pati”air = 1:2.50 Suhu 77 C; nisbah pati”air = 1:2.50 Suhu 77 C; nisbah pati”air = 1:3.91 Sig.
1
.060
.060
.779
.105
.121
66
Lampiran 3 Perlakuan Kontrol
Siklus 1
Siklus 2
Siklus 3
Sineresis pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Sineresis Rata-rata Berat pasta (g) Jumlah air keluar (g) (%) (%) 10.0583 2.3777 23.64 23.44 10.0663 2.3398 23.24 10.0501 2.7471 26.20 10.0484 2.5186 25.92 10.0181 2.4571 25.64 10.0842 2.6984 10.0480 3.6486 36.20 10.0953 3.6427 36.17 10.0696 3.7893 36.15 10.0631 3.4879 10.0583 4.4118 44.27 10.0609 4.4952 43.98 10.0225 4.3492 43.70 10.0475 4.4207
Uji ragam sineresis Sum of Squares Between Groups
Mean Square
541.467
3
180.489
.401
4
.100
541.867
7
Within Groups Total
df
F 1802.635
Uji lanjut sineresis Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N
1
Pati sagu kontrol
2
Siklus 1
2
Siklus 2
2
Siklus 3
2
Sig.
2
3
4
23.4400 25.9200 36.1750 43.9850 1.000
1.000
1.000
1.000
Sig. .000
67
Lampiran 4
Daya cerna pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi
Absorbansi
Kurva standar Konsentrasi (mg/ml) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
Perlakuan
Kontrol Pati murni
Siklus 1
Siklus 2
Siklus 3
y = 1.4477x - 0.0298 R² = 0.9945
0.1
Absorbansi Sampel Blangko
0.392 0.388 0.432 0.431 0.3 0.326 0.334 0.313 0.302 0.251 0.302 0.275 0.234 0.235 0.243 0.234
Absorbansi 0 0.098 0.241 0.393 0.548 0.713
0.017 0.011 0.009 0.008 0.017 0.02 0.03 0.037 0.02 0.016 0.03 0.031 0.019 0.014 0.021 0.027
0.2 0.3 0.4 Konsentrasi (mg/ml) Maltosa Sampel Blangko
0.2914 0.2886 0.3190 0.3183 0.2278 0.2458 0.2513 0.2368 0.2292 0.1940 0.2292 0.2105 0.1822 0.1829 0.1884 0.1822
0.323 0.0282 0.0268 0.0261 0.0323 0.0344 0.413 0.0461 0.0344 0.0316 0.0413 0.0420 0.0337 0.0303 0.0351 0.0392
0.5 Daya cerna pati (%) 88.65 89.13 100 100
0.6 Rata-rata (%)
88.89 100
69.62 69.09 68.56 61.11 61.05 60.99 51.54 51.12 50.71
68
Uji ragam daya cerna pati Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
1539.595
3
513.198
1.029
4
.257
1540.623
7
Within Groups Total
df
1995.618
Sig. .000
Uji lanjut daya cerna pati Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N
1
Siklus 3
2
Siklus 2
2
Siklus 1
2
Pati sagu kontrol
2
Sig.
3
4
51.1250 61.0500 69.0900 88.8900 1.000
Lampiran 5
2
1.000
1.000
1.000
Pelepasan amilosa akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi
Kurva standar Konsentrasi (mg/ml) 0.004 0.008 0.012 0.016 0.02 0.024
Absorbansi 0.019 0.035 0.052 0.068 0.083 0.102
0.12
Absorbansi
0.1 y = 4.1071x + 0.0023 R² = 0.9992
0.08 0.06 0.04 0.02 0
0
0.005
0.01
0.015
Konsentrasi (mg/ml)
0.02
0.025
0.03
69
Perlakuan
Berat Absorbansi sampel (mg) 113.3 0.034 Kontrol 112.4 0.035 132.3 0.033 135.1 0.032 Siklus 1 139.2 0.03 133.2 0.032 131.8 0.029 141.3 0.033 Siklus 2 130.2 0.028 140.2 0.031 131.1 0.024 131.5 0.026 Siklus 3 128.9 0.026 140.3 0.027 *faktor pengenceran = 10 kali
Kadar amilosa (%) 4.26 4.43
Rata-rata (%) 4.34
3.44 3.32 3.21 3.19 3.13 3.06 2.63 2.68 2.74
Uji ragam pelepasan amilosa Sum of Squares Between Groups
Mean Square
2.964
3
.988
.055
4
.014
3.019
7
Within Groups Total
df
Uji lanjut pelepasan amilosa Subset for alpha = 0.05 Kodesampel
N
1
2
3
Siklus 3
2
Siklus 2
2
3.1250
Siklus 1
2
3.3250
Pati sagu kontrol
2
Sig.
2.6850
4.3450 1.000
.164
1.000
F 71.331
Sig. .001
70
Lampiran 6
Kekuatan gel pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Perlakuan Kekuatan gel (gf) Kekuatan gel (gf) Rata-rata (gf) 459.5 456.85 Kontrol 456.85 454.2 238.6 249.8 261 Siklus 1 247.20 246.3 244.6 242.9 178.9 175.95 173 Siklus 2 177.40 180.8 178.85 176.9 155.2 162.45 169.7 Siklus 3 164.18 159.6 165.9 172.2
Uji ragam kekuatan gel Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
109822.086
3
36607.362
37.721
4
9.430
109859.807
7
Within Groups Total
df
3881.882
Uji lanjut kekuatan gel Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
Siklus 3
2
Siklus 2
2
Siklus 1
2
Pati sagu kontrol
2
Sig.
2
3
4
164.1750 177.4000 247.2000 456.8500 1.000
1.000
1.000
1.000
Sig. .000
71
Lampiran 7
Derajat putih pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Perlakuan Derajat putih Rata-rata rata-rata 74.5 74.65 Kontrol 74.65 74.8 63.85 63.8 63.75 Siklus 1 66.48 69.25 69.15 69.05 69.75 69.75 69.75 Siklus 2 68.93 68.1 68.1 68.1 65.65 65.65 65.65 Siklus 3 66.90 68.15 68.15 68.15
Uji ragam derajat putih pati sagu Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
84.976
3
28.325
Within Groups
18.843
4
4.711
103.819
7
Total
F 6.013
Sig. .058
72
Lampiran 8 Perlakuan
Kontrol Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Profil gelatinisasi pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Parameter gelatinisasi Suhu awal Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas gelatinisasi puncak breakdown minimum setback o ( C) (cP) (cP) 72 6043 3927 2116 964 72 5905 3885 2020 1004 71.95 5281 4052 1229 1542 77.7 2561 1706 855 1005 94.25 4116 2931 1185 1390 94.75 3700 2470 1230 1721 94.85 2748 2190 1358 1411 86.05 3002 1939 1063 1337
Viskositas breakdown relatif 64.98 65.79 76.73 66.61 71.21 66.76 79.69 64.59
Uji ragam profil gelatinisasi pati Sum of Squares suhu awal gelatinisasi
Between Groups Within Groups Total
viskositas setback relatif
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
751.141
3
250.380
55.376
4
13.844
806.517
7
1074.809
3
358.270
155.294
4
38.823
1230.103
7
F
Sig.
18.086
.009
9.228
.029
Viskositas setback relatif 15.95 17.00 29.20 39.24 33.77 46.51 51.35 44.54
Viskositas akhir 3080 3024 2771 1860 2575 2951 2769 2400
73 Uji lanjut suhu awal gelatinisasi Subset for alpha = 0.05 Perlakuan N
1
2
pati sagu kontrol
2
72.0000
Siklus 1
2
74.8250
Siklus 3
2
90.4500
Siklus 2
2
94.5000
Sig.
.490
.338
Uji lanjut viskositas breakdown relatif Subset for alpha = 0.05 Kode sampel
N
1
2
pati sagu kontrol
2
16.4750
Siklus 1
2
34.2200
Siklus 2
2
40.1400
Siklus 3
2
47.9450
Sig.
1.000
.097
Lampiran 9
Kristalinitas relatif pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Perlakuan Kristalinitas relatif Rata-rata 21.64 Kontrol 21.97 22.30 41.01 Siklus 1 50.47 59.93 44.12 Siklus 2 48.19 52.27 53.77 Siklus 3 53.39 53.01
Uji ragam kristalinitas relatif Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1263.954
3
421.318
212.701
4
53.175
1476.655
7
F 7.923
Sig. .037
74 Uji lanjut kristalinitas relatif Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
2
Pati sagu kontrol
2
21.9700
Siklus 2
2
48.1950
Siklus 1
2
50.4700
Siklus 3
2
53.3900
Sig.
1.000
.520
Lampiran 10 Kadar pati resisten pati sagu akibat proses siklus gelatinisasi dan retrogradasi Perlakuan Berat Berat Berat Berat Pati RataRatasampel kertas residu abu resisten rata rata (g) saring + kertas (g) (%) (%) (%) kosong saring (g) (g) 0.5 0.6311 0.6401 0.0001 1.78 1.78 Kontrol 1.77 0.5 0.6306 0.6395 0.0001 1.76 1.76 0.5001 0.5878 0.608 0.0014 3.76 3.92 0.5 0.5845 0.6061 0.0012 4.08 Siklus 1 4.00 0.5002 0.6038 0.6272 0.0038 3.92 4.08 0.5001 0.6014 0.6251 0.0025 4.24 0.5002 0.5991 0.6209 0.0017 4.02 3.95 0.5004 0.593 0.6134 0.001 3.88 Siklus 2 4.03 0.5001 0.6072 0.6286 0.0007 4.14 4.11 0.5002 0.6064 0.6274 0.0006 4.08 0.5001 0.595 0.6226 0.0011 5.30 7.72 0.5001 0.5829 0.6352 0.0016 10.14 Siklus 3 7.82 0.5001 0.6454 0.6837 0.0002 7.62 7.93 0.5001 0.6448 0.6867 0.0007 8.24 Uji ragam kadar pati resisten Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
37.889
3
12.630
.048
4
.012
37.936
7
F 1055.759
Sig. .000
75 Uji lanjut kadar pati resisten Subset for alpha = 0.05 sampel
N
1
2
3
Pati sagu kontrol
2
1.7700
Siklus 1
2
4.0000
Siklus 2
2
4.0300
Siklus 3
2
7.8250
Sig.
1.000
.797
1.000
Lampiran 11 Waktu pemasakan mi sagu Waktu pemasakan Perlakuan Rata-rata (menit) 19.05 19.05 19.05 Kontrol 19.00 18.75 19.05 22.00 22 22.00 Substitusi 15% 23.00 22.75 22.05 22.05 22.27 22.00 Substitusi 25% 21.05 21.75 22.00
Rata-rata 18.90
22.38
22.01
Uji ragam waktu pemasakan Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
14.587
2
7.294
.461
3
.154
15.049
5
F 47.418
Sig. .005
76 Uji lanjut waktu pemasakan Subset for alpha = 0.05 Sampel N
1
2
mi sagu kontrol
2
18.9000
mi sagu substitusi 25%
2
22.0100
mi sagu substitusi 15%
2
22.3750
Sig.
1.000
Lampiran 12 Berat rehidrasi mi sagu Berat mi Berat Berat Perlakuan rehidrasi rehidrasi mi (g) (g) (%) 5.0803 11.7338 230.97 5.0524 10.0907 199.72 Kontrol 5.0433 11.1123 220.34 5.0547 11.3907 225.35 5.0627 9.6613 190.83 5.0483 10.6769 211.49 Substitusi 15% 5.0631 10.317 203.77 5.0684 10.2724 202.68 5.0657 8.7366 172.47 5.0707 9.0547 178.57 Substitusi 25% 5.0749 8.4044 165.61 5.0548 9.4378 186.71
.421
rata-rata
Rata-rata
215.34 219.09
222.84 201.16
202.19
203.22 175.52
175.84 176.16
Uji ragam berat rehidrasi mi sagu Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1900.330
2
950.165
30.452
3
10.151
1930.782
5
F 93.607
Uji lanjut berat rehidrasi mi sagu Subset for alpha = 0.05 Sampel N
1
mi sagu substitusi 25%
2
mi sagu substitusi 15%
2
mi sagu kontrol
2
Sig.
2
3
175.8400 202.1900 219.0900 1.000
1.000
1.000
Sig. .002
77 Lampiran 13 Daya serap air mi sagu Perlakuan Berat Berat mi Kadar air Daya Daya Rata-rata mi (g) setelah serap air serap air rehidrasi (%) (%) (g) 5.0803 8.3968 0.1541 177.17 158.31 5.0524 6.7448 0.151 139.45 Kontrol 165.17 5.0433 8.1412 0.1397 171.40 172.02 5.0547 8.2112 0.1404 172.65 5.0627 6.77 0.1621 140.25 151.21 5.0483 7.6651 0.1663 162.17 Substitusi 149.81 15% 5.0631 7.2395 0.1299 149.40 148.41 5.0684 7.1753 0.1235 147.43 5.0657 6.2965 0.1398 128.25 132.16 5.0707 6.6389 0.1429 136.08 Substitusi 132.78 25% 5.0749 6.0732 0.1322 122.67 133.40 5.0548 6.989 0.133 144.13 Uji ragam daya serap air mi sagu Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
1049.723
2
524.862
98.671
3
32.890
1148.394
5
Uji lanjut daya serap air mi sagu Subset for alpha = 0.05 Sampel N
1
2
mi sagu subtitusi 25%
2
132.7800
mi sagu substitusi 15%
2
149.8100
mi sagu kontrol
2
Sig.
149.8100 165.1650
.059
.075
F 15.958
Sig. .025
78 Lampiran 14 Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi sagu Berat mi Berat setelah Kadar KPAP RataPerlakuan mi (g) pengeringan air (%) rata (g) 5.0803 3.337 0.1541 22.35 22.17 5.0524 3.3459 0.151 22.00 Kontrol 5.0433 2.9711 0.1397 31.52 29.17 5.0547 3.1795 0.1404 26.82 5.0627 2.8913 0.1621 31.84 30.14 5.0483 3.0118 0.1663 28.44 Substitusi 15% 5.0631 3.0775 0.1299 30.14 30.21 5.0684 3.0971 0.1235 30.28 5.0657 2.4401 0.1398 44.00 44.21 5.0707 2.4158 0.1429 44.41 Substitusi 25% 5.0749 2.3312 0.1322 47.07 45.59 5.0548 2.4488 0.133 44.12
Ratarata
25.67
30.18
44.90
Uji ragam kehilangan padatan akibatan pemasakan mi sagu Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
404.609
2
202.305
25.455
3
8.485
430.064
5
Uji lanjut kehilangan padatan akibat pemasakan mi sagu Subset for alpha = 0.05 kodesampel
N
1
2
MI sagu kontrol
2
25.6700
MI sagu substitusi 15%
2
30.1750
Mi sagu substitusi 25%
2
Sig.
44.9000 .220
1.000
F 23.843
Sig. .014
79 Lampiran 15 Nilai kekerasan mi sagu Kekerasan Perlakuan Rata-rata (gf) 609.8 648.55 687.3 Kontrol 442.3 463.7 485.1 647.3 649.2 651.1 Substitusi 15% 436.2 414.05 391.9 353.7 398.95 444.2 Substitusi 25% 341.9 381.4 426.3
Lampiran 16 Nilai kelengketan mi sagu Perlakuan Kelengketan Rata-rata -21.4 -17 -12.6 Kontrol -14.5 -13.1 -11.7 -19.9 -20.3 -20.7 Substitusi 15% -9.5 -11.5 -13.5 -25.5 -22.45 -19.4 Substitusi 25% -25.1 -25 -24.9 Lampiran 17 Nilai elastisitas mi sagu Perlakuan Elastisitas Rata-rata 0.8375 0.92 1.0000 Kontrol 0.9851 0.99 0.9939 1.0000 1 1.0000 Substitusi 15% 0.9886 0.99 1.0000 0.8532 0.93 1.0000 Substitusi 25% 0.9967 0.98 0.9591
Rata-rata
556.13
531.63
391.53
Rata-rata -15.05
-15.90
-23.73
Rata-rata 0.95
1
0.95
80 Lampiran 18 Daya kohesif mi sagu Perlakuan Daya kohesif Rata-rata 0.7998 0.8 0.8008 Kontrol 0.8890 0.89 0.8843 0.8494 0.87 0.8961 Substitusi 15% 0.8042 0.84 0.8782 0.8196 0.85 0.8781 Substitusi 25% 0.7875 0.81 0.8247 Lampiran 19 Elongasi mi sagu Waktu saat mi Perlakuan putus (dtk) 13.65 14.46 Kontrol 21.37 19.44 16.55 12.53 Substitusi 15% 11.33 12.55 12.37 11.15 Substitusi 25% 14.24 12.46
Elongasi (%) 204.75 216.83 320.48 291.53 248.18 187.95 169.95 188.25 185.48 167.18 213.53 186.83
Rata-rata 0.84
0.86
0.83
Rata-rata
Rata-rata
210.79 258.39 306 218.06 198.58 179.10 176.33 188.25 200.18
81 Uji ragam tekstur mi sagu Sum of Squares kekerasan
Between
df
Mean Square
32098.503
2
16049.252
Within Groups
44886.524
3
14962.175
Total
76985.027
5
91.473
2
45.736
49.576
3
16.525
141.049
5
.002
2
.001
Within Groups
.004
3
.001
Total
.006
5
Between
.001
2
.000
Within Groups
.005
3
.002
Total
.006
5
5736.040
2
2868.020
5575.824
3
1858.608
11311.864
5
F
Sig.
1.073
.445
2.768
.208
.853
.509
.179
.844
1.543
.346
Groups
kelengketan
Between Groups Within Groups Total
elastisitas
Between Groups
dayakohesif
Groups
elongasi
Between Groups Within Groups Total
82
Lampiran 20 Kadar pati resisten mi sagu Perlakuan Berat Berat Berat Berat Pati sampel kertas residu abu resisten (g) saring + kertas (g) (%) kosong saring (g) (g) 0.5003 0.5819 0.5938 0.0018 2.02 0.5001 0.592 0.6028 0.0026 2.16 Kontrol 0.5003 0.6088 0.621 0.0023 2.44 0.5002 0.5977 0.6068 0.0018 1.82 0.5 0.5906 0.6078 0.0013 3.18 3.32 Substitusi 0.5004 0.6003 0.6172 0.0003 15% 0.5001 0.5857 0.6041 0.001 3.48 0.5003 0.5785 0.5957 0.0006 3.32 0.5003 0.5958 0.6206 0.0039 4.18 4.68 Substitusi 0.5003 0.5991 0.6253 0.0028 25% 0.5001 0.5944 0.6184 0.0008 4.64 0.5 0.58 0.6022 0.003 3.84
Ratarata (%)
Ratarata (%)
2.09 2.11 2.13 3.25 3.32 3.40 4.43 4.33 4.24
Uji ragam kadar pati resisten mi sagu Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4.965
2
2.482
.030
3
.010
4.995
5
Uji lanjut kadar pati resisten mi sagu Subset for alpha = 0.05 Sampel N
1
Mi sagu kontrol
2
substitusi15%
2
substitusi25%
2
Sig.
2
3
2.1100 3.3250 4.3350 1.000
1.000
1.000
F 247.407
Sig. .000
83
Elastisitas 0% 3 2 4 4 4 3 3 3 3 2 1 2 1 3 4 3 2 2 2 4 2 2 2
15% 1 3 3 2 3 2 3 1 3 1 1 2 2 3 2 1 3 3 1 2 2 2 2
Kelengketan 25% 1 2 2 3 1 3 3 2 1 2 1 1 3 2 2 1 1 3 2 1 3 1 1
0% 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 3 2 1 1 1 2 1 2 2 1 1 2 1
15% 1 1 1 1 1 1 1 3 1 3 3 1 1 1 3 1 1 3 3 1 1 2 1
Kesan keseluruhan 25% 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1
0% 2 2 2 4 5 5 5 6 3 3 2 5 4 6 3 6 2 5 2 5 5 5 3
15% 2 2 2 2 4 3 4 5 4 4 3 2 3 3 2 3 3 2 4 2 4 4 4
25% 2 2 3 5 4 2 3 4 2 5 3 4 3 3 3 5 1 5 2 3 4 3 3
83
Lampiran 21 Uji organoleptik mi sagu Panelis Kekerasan ke0% 15% 25% 1 2 2 1 2 2 2 2 3 2 1 1 4 1 1 1 5 4 3 2 6 4 3 2 7 3 2 1 8 4 3 1 9 2 2 1 10 4 2 1 11 2 1 1 12 2 2 1 13 2 2 2 14 2 1 1 15 2 2 2 16 5 1 2 17 1 2 1 18 3 1 1 19 4 2 1 20 1 1 1 21 2 1 1 22 2 1 1 23 2 1 1
84
Panelis ke24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Kekerasan 0% 3 3 2 2 3 2 4 2 3 4 3 2 2 3 1 2 3 3 3 3 2 2 3
15% 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 2 2
Elastisitas 25% 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 3 1 1 1 2 2 1 1
0% 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 2 4 4 2 2 4 3 4 5 4 4 3 4
15% 2 2 2 3 2 2 3 2 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 3 3 1 2 1
Kelengketan 25% 1 1 1 2 3 2 1 2 1 1 1 2 4 2 1 1 2 2 2 2 1 3 2
0% 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1
15% 1 1 2 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
Kesan keseluruhan 25% 1 1 1 2 1 3 1 1 2 1 1 1 1 2 2 3 1 2 1 1 1 1 3
0% 2 3 3 5 3 2 3 2 4 2 3 1 4 2 2 5 2 3 4 3 3 2 5
15% 4 4 3 3 3 3 4 2 5 2 5 2 3 5 3 3 3 4 5 3 3 5 4
25% 4 4 2 5 4 5 2 4 4 2 2 3 3 4 5 4 2 3 4 3 1 3 4
85
Panelis ke0% 2 3 3 4 4 2 3 2 3 3 3 2 3 2 2 2 4 2 2 2 4 2
15% 2 1 1 2 2 1 1 2 1 1 2 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 1
Elastisitas 25% 3 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 2 1 1
0% 3 3 2 2 4 2 3 4 2 2 5 4 2 2 2 4 4 4 3 3 4 4
15% 1 1 2 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2
Kelengketan 25% 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 1 2 2 2 1 1
0% 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 1 3 2 2
15% 2 2 1 3 2 3 2 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1
Kesan keseluruhan 25% 1 2 1 1 2 2 3 1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 2 1 3 2
0% 2 2 3 3 3 3 5 2 2 4 3 2 2 4 3 3 5 4 5 3 2 4
15% 3 3 4 2 5 4 4 3 5 2 3 3 2 4 2 3 3 3 3 5 2 3
25% 3 2 2 4 1 3 3 2 3 3 2 2 4 2 2 2 4 2 4 3 2 3
85
47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Kekerasan
86
Panelis ke69 70 Rata-rata
Kekerasan 0% 2 4 2.61
15% 1 2 1.57
Elastisitas 25% 2 2 1.33
0% 4 4 3.13
Kelengketan
15% 2 2 1.90
25% 2 2 1.73
0% 1 1 1.36
15% 1 2 1.50
Kesan keseluruhan 25% 3 3 1.44
Uji ragam uji organoleptik mi sagu Sum of Squares Kekerasan
Kelengketan
Mean Square
Between Groups
65.324
2
32.662
Within Groups
99.171
207
.479
164.495
209
81.638
2
40.819
Within Groups
135.986
207
.657
Total
217.624
209
.724
2
.362
Within Groups
84.843
207
.410
Total
85.567
209
2.067
2
1.033 1.218
Total Elastisitas
df
Between Groups
Between Groups
Penilaian Secara
Between Groups
Keseluruhan
Within Groups
252.029
207
Total
254.095
209
F
Sig.
68.175
.000
62.136
.000
.883
.415
.849
.429
0% 3 3 3.33
15% 4 3 3.29
25% 4 4 3.10
87 Uji lanjut kekerasan mi sagu Subset for alpha = 0.05 Kode Sampel
N
1
Mi Sagu Substitusi 25%
70
MI Sagu Substitusi 15%
70
Mi Sagu Kontrol
70
Sig.
2
3
1.33 1.57 2.61 1.000
1.000
Uji lanjut elstisitas mi sagu Subset for alpha = 0.05 Kode Sampel
N
1
2
Mi Sagu Substitusi 25%
70
1.73
MI Sagu Substitusi 15%
70
1.90
Mi Sagu Kontrol
70
Sig.
3.13 .212
1.000
1.000
88 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gianyar, Bali pada Tanggal 24 Pebruari 1986 sebagai anak pertama dari pasangan I Gusti Made Alit dan I Gusti Ayu Sriyani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, lulus pada Tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master sains pada program studi Ilmu Pangan di Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul Proses Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati Sagu untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III serta Aplikasinya pada Pembuatan mi sagu atas bantuan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta berupa dana, bahan, dan fasilitas yang terdapat di laboratorium Pengolahan Pangan Labtiab, BPPT, Tangerang. Bagian dari penelitian ini yangberjudul Optimasi Rasio Pati Terhadap Air dan Suhu Gelatinisasi untuk Pembentukan Pati Resisten Tipe III pada Pati Sagu (Metroxylon sagu) telah dimuat dalam Majalah PANGAN Vol. 22 No. 3 September 2013.