PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER KOLON HCT-116 OLEH PRODUK FERMENTASI PATI RESISTEN TIPE 3 SAGU DAN BERAS
ENDANG YULI PURWANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 oleh Produk Fermentasi Pati Resisten Tipe 3 Sagu dan Beras adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Karya tersebut belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2011
Endang Yuli Purwani F26070091
i
ABSTRACT ENDANG YULI PURWANI. Proliferation Inhibition ofHCT-116 Colon Cancer Cell byFermentation Product of Resistant Starch Type 3 Derived from Sago and Rice. Supervised by MAGGY T.SUHARTONO, TRESNAWATI PURWADARIA and DIAH ISKANDRIATI. Resistant starch type 3 (RS3) is retrograded starch which is not digested by human starch degrading enzymes, and will thusundergo bacterial fermentation in the colon. The main fermentation products are the Short Chain Fatty Acid (SCFA), mostly acetate, propionate and butyrate. SCFA, especially butyrate, has been implicated in providing protection against cancer. The control of the cell proliferation and apoptosis present obvious target for preventive in cancer. The objectives of the research were: (1) to prepare RS3 derived from sago or rice starch through enzyme hydrolysis, (2) to study the SCFA profile produced in the in vitro fermentation of the RS3 by colonic butyrate producing bacteria, (3) to investigate the effect of the RS3 fermentation product on proliferation inhibition and apoptosis in HCT-116 colon cancer cell line, and explored its mechanism. Sago or rice starch was retrograded and hydrolyzed with amylase(106 U/g starch), pullulanase (4500 U/g starch) and the combination of amylase and pullulanase. The residue of the enzyme hydrolysis was separated and spray dried to obtained RS3. RS3 was further supplemented as carbon source for the in vitro fermentation study. It was performed by Clostridium butyricum BCC B2571andEubacterium rectaleDSM 17629, which have been regarded as beneficial colonicbacteria. The SCFA was analyzed by gas chromatography. Cell free supernatant was collected and applied to treat human colorectal cancer cell HCT-116. HCT-116 cells was cultured in complete medium and after 50% confluent, the incuba-tion was continued for another 48 hours in the absence or presence ofRS3 fermentation product. Cell number, apoptosis, expression of Bcl-2 and Bax gene, as well as caspase-3 enzymes were measured. Enzyme hydrolysis of retrograded sago or rice starch was beneficial for concentrating RS. RS3 derived from sago contained higher RS (31-38%) than those derived from rice starch (21-26%). The in vitro fermentation revealed that C. butyricum BCC B2571 produced acetate, propionate and butyrate at concentration of 83.70 mM, 47.57 mM, 46.70 mM when the medium was supplemented with RS3 derived from sago treated with amylase (RSSA) at concentration 1%. High levels of acetate (95mM), propionate (52 mM) and butyrate (59 mM) was also produced by E.rectale DSM17629 in medium supplemented withRS3 derived from sago treated with pullulanse (RSSP) at concentration 1%. The cell free supernatant, either from C.butyricum BCC B2571 grown in medium supplemented with RSSA or E.rectale 17629 grown in medium supplemented with RSSP was applied to treat HCT-116 cells. It was found that the supernatant inhibited proliferation and induced apoptosis ofHCT-116. This treatmentincreased the expression ratio of Bax/Bcl-2, indicating possibility that apoptosis occurred through mitochondrial pathway which simultaneously increased the caspase-3 concentration.
ii
RINGKASAN ENDANG YULI PURWANI. Penghambatan Proliferasi Sel Kanker KolonHCT116 oleh Produk Fermentasi Pati ResistenTipe 3 Sagu dan Beras. Dibim-bing oleh MAGGY T.SUHARTONO, TRESNAWATI PURWADARIA dan DIAH ISKANDRIATI. Kanker kolon dan rektum (colorectal cancer, CRC), adalah pertumbuhan sel yang tak terkendali (neoplasia) pada daerah usus besar sehingga mengganggu sistem pencernaan secara lokal dan mekanisme fisiologis tubuh secara umum.Ada sekitar 1,2 juta kasus CRC pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 9,8% di seluruh dunia.Sekitar 80% dari kasus CRC berkaitan dengan diet, 15% disebabkan oleh faktor keturunan sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk lingkungan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa CRC dapat dihin-dari dengan mengonsumsi bahan pangan yang sesuai. Pati resisten tipe 3 (Resis-tant starch type 3, RS3) merupakan salah satu komponen bahan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pati tak tercerna (Resistant Starch, RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak terserap oleh sistem pencernaan pada individu yang sehat. Ada empat kelompok RS, yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. RS3 adalah pati retrogradasi dan RS4 adalah pati modifikasi secara kimiawi. RS langsung memasuki usus besar (kolon) kemudian difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnyamenghasilkan produk utama asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid, SCFA,), yaitu asam asetat, propionat, dan butirat. SCFA terutama butirat merupakan sumber energi utama bagi sel-sel kolon normal dan mampu mencegah/menghambat kanker. Penghambatan proliferasi dan induksi apoptosis merupakan salah satu sasaran dalam pencegahan penyakit kanker. Pada penelitian ini, RS3 dibuat dari pati beras dan sagu. Kedua komoditas dipilih karena tersedia dalam jumlah besar dan beragam. Dilain pihak,jenis substrat (RS3)dan jenis bakteri penghasil butirat menentukan profil SCFA yang dihasilkannya. Sejalan dengan hal di atas, penelitian dilaksanakan dengan tujuan: (a) mendapatkan RS3 dari pati beras dan pati sagu melalui kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim, (b) mempelajari profil SCFA yang dihasilkan oleh kultur murniClostridium butyricum BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 pada medium fermentasi yang disuplementasi dengan RS3, (c) mempelajari hambatan proliferasi dan apoptosis pada sel lestari HCT-116 yang diberi paparan SCFA hasil fermentasi RS3. Penelitian dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama diarahkan untuk mendapatkan RS3. Pati sagu atau beras digelatinisasi pada suhu 100oC selama 10 menit dan disimpan pada suhu 4oC, untuk menginduksi proses retrogradasi. Pati kemudian dihidrolisis dengan enzim amilase (106 unit/g substrat), pululanase (4500 unit/g substrat) atau kombinasi keduanya. Sisa pati yang tidak terhidrolisis dipisahkan untuk mendapatkan RS3 dan kadar pati resisten produk RS3 dianalisis. RS3 disuplementasikan ke dalam medium fermentasi yang diinokulasi dengan kultur murni C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 dan diinkubasi iii
secara anaerob selama 48 jam pada 37oC. Kemampuan RS3 untuk dimanfaatkan sebagai substrat dievaluasi dengan mengukur zona bening yang dibentuk oleh bakteri pada media agar padat serta menganalisis SCFA yang dihasilkan selama proses fermentasi. Tahap selanjutnya diarahkan untuk mempelajari pengaruh supernatan hasil fermentasi terhadap proliferasi, apoptosis, ekspresi gen Bax, Bcl2 dan konsentrasi enzim caspase-3 pada sel HCT-116. Sel HCT-116 dikulturkan dalam medium DMEM (Dulbescco’s Modified Eagle’s Medium) yang dilengkapi dengan 10% FBS (Fetal Bovine Serum) dan antibiotik (penisilin 100 U/mL dan streptomicin 100 µg/mL). Setelah sel mencapai sekitar 50% konfluen, medium diganti dengan supernatan hasil fermentasi yang diencerkan dengan medium DMEM sehingga konsentrasi SCFA kurang dari 10 mM dan inkubasi dilanjutkan hingga 48 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim efektif untuk mengonsentrasikan kadar RS. RS3 hasil penelitian ini dinamakan RSSA (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Amilase), RSSP (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Pululanase), RSSAP (RS3 Sagu yang dihidrolisis dengan Amilase & Pululanase), RSRA (RS3 beras [Rice] yang dihidrolisis dengan Amilase, RSRP (RS3 beras [Rice] yang dihidrolisis dengan Pululanase) dan RSRAP (RS3 beras yang dihidrolisis dengan Amilase & Pululanase).Kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim mengubah kadar RS pati sagu dan beras. Kadar RS pati sagu berubah dari sekitar 11% menjadi 31-38% dan kadar RS pati beras berubah dari sekitar 13% menjadi 21-26%. Secara umum RS3 difermentasi dengan baik secara in vitro oleh bakteri penghasil butirat. C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 menunjukkan respon yang berbeda fermentasi RS3. C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat masing-masing 83,70 mM; 47,57 mM; 46,70 mM atau pada rasio molar 1.8 : 1 : 1,dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA 1%. Dengan suplementasi RS3 yang sama, E.rectale DSM17629 menghasilkan asetat, propionat dan butirat sebesar 66,74 mM; 38,70 mM,dan 46,05 mM atau pada rasio molar 1.7 : 1 : 1.2. Asetat, propionat, dan butirat dengan konsentrasi relatif tinggi yaitu 95 mM, 52 mM, 59 mM atau rasio molar 1.8 : 1 : 1.1juga dihasilkan oleh E.rectale DSM17629 di dalam medium yang disuplementasi RSSP 1%. Aplikasi supernatan pada sel HCT-116 menunjukkan bahwa supernatan dengan konsentrasi butirat <10 mM mampu menghambat proliferasinya. Supernatan dari C.butyricum BCC B2571 menghasilkan hambatan lebih rendah (<70%) dibanding hambatan yang ditimbulkan oleh supernatan E.rectale DSM 17629 (>80%). Penambahan supernatan juga menginduksi sel HCT-116 untuk berapoptosis. Dengan bantuan pewarna fluoresen HOECHST 33258, sel HCT116 yang diberi tambahan supernatan tampak berpendar kuat dengan bentuk inti tidak teratur, dan sel mengerut. Sebaliknya, tanpa supernatan, sel HCT-116 tidak berpendar kuat dan intinya tampak teratur. Penambahan supernatan juga meningkatkan rasio ekspresi gen Bax/Bcl-2 dari 1 menjadi lebih dari 3,5 dan hal ini mengindikasikan bahwa apoptosis terjadi melalui jalur mitokondria. Secara simultan, produksi enzim caspase-3 meningkat pada sel HCT-116 yang diberi penambahan supernatan hasil fermentasi RS3 oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629.
iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
v
PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER KOLON HCT116 OLEH PRODUK FERMENTASI PATI RESISTEN TIPE 3SAGU DAN BERAS
ENDANG YULI PURWANI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vi
Penguji pada Ujian Tertutup:Prof. Dr. Deddy Muchtadi Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Prof. Dr. Ir. Ridwan Thahir, APU
vii
HALAMAN PENGESAHAN JUDUL
: PENGHAMBATAN PROLIFERASI SEL KANKER KOLON HCT-116 OLEHPRODUK FERMENTASI PATI RESISTEN TIPE 3 SAGU DAN BERAS NAMA MAHASISWA : ENDANG YULI PURWANI NRP : F 261070091 PROGRAM STUDI : Ilmu Pangan (IPN)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Maggy T. Suhartono Ketua
Dr. Tresnawati Purwadaria Anggota
Dr.Drh. Diah Iskandriati Anggota
Diketahui Ketua Mayor Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian: 27 Desember 2011
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan desertasi berjudulPenghambatan Proliferasi Sel Kanker Kolon HCT-116 oleh Produk Fermentasi Pati Resisten Tipe 3 Sagu dan Beras. Di dalamnya dilaporkan mengenai pemanfaatan sumber karbohidrat lokal (sagu dan beras) untuk dijadikan pati resisten tipe 3 dan kemampuannya untuk difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid=SCFA) oleh bakteri C.butyricumBCC B2571 atau E.rectale DSM 17629. Selanjutnya dilaporkan bahwa hasil fermentasi tersebut mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon HCT-116 melalui jalur mitokondria. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian atas usulan beasiswa petugas belajar. 2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas beasiswa petugas belajar dari tahun 2007 hingga 2011 3. Prof Maggy T. Suhartono sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr Tresnawati Purwadaria (Anggota) dan Dr Diah Iskandriati (Anggota) atas motivasi dan bimbingan mulai menyiapkan proposal hingga melaporkannya dalam bentuk disertasi dan deseminasi ilmiah lainnya. 4. Yayasan Institut Danone Indonesia yang telah membiayai penelitian melalui Doctorate Research Grant 2008/2009 dan seluruh reviewer yang telah memberikan saran perbaikan penelitian. 5. Kepala Pusat Penelitian Studi Satwa Primata atas ijin penggunaan fasilitas penelitian di Laboratorium Mikrobiologi dan Imnunologi. 6. Sdr. Ahmad R. Utomo, PhD dari Stem Cell and Cancer Institute Jakarta, atas donasi sel HCT-116. 7. Prof. Dr. Deddy Muchtadi dan Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS yang telah menguji pada Ujian Tertutup. 8. Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD dan Prof. Dr Ridwan Thahir yang menguji pada Ujian Terbuka. 9. Ayah, ibu dan ibu mertua serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. 10. Suami (I Putu Wardana) dan anak-anak (Gde Krishna Wardana & Made Shanty Wardana) atas pengertian, kesabaran dan kasih sayangnya. 11. Teman-teman peneliti, teknisi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian maupun di Laboratorium Mikrobiologi & Imunologi atas bantuan teknis penelitian yang diberikan. 12. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas bantuan langsung maupun tidak langsung yang diberikan selama penulis menjalankan tugas belajar Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2011 Endang Yuli Purwani ix
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Nganjuk tanggal 18 Juli 1964daripasangan Dwidjo Santosa dan Warsini. Gelar sarjana diperoleh dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPBtahun 1987. Tahun 1999, penulis menempuh program master di program studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB dan lulustahun 2002. Tahun 2007, penulis melanjutkan program doktor di Program Studi
Ilmu
Pangan
IPB
dengan
beasiswa
dari
Pemerintah
Republik
Indonesiamelalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Penulis mengawali karir peneliti di balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi pada tahun 1989. Tahun 2002 hingga sekarang, penulis menjadi penelitidi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Penulis mengikuti pelatihan di dalam maupun di luar negeri untuk meningkatkan kemampuannya meneliti. Penulis mendapatkan hibah penelitian dari Indonesia Toray Science Foundation pada tahun 1996 dan penghargaan Ketahanan Pangan 2006 dari Menteri Pertanian RI, atas penelitian yang berkualitas. Penulis mendapatkan bantuan dana penelitian dari Yayasan Institut Danone Indonesia melalui Doctorate Research Grant pada tahun 2008/2009. Karya ilmiah Fermentation withClostridium
butyricum
RS3 derived from sago and rice starch BCCB2571
orEubacterium
rectale
DSM
17629diterbitkanJurnal Internasional ANAEROBE 2011(doi:10.1016/j.anaerobe.2011.09.007). Publikasiini mendapatkan penghargaan dari Yayasan Institute Danone melalui Publication Grant 2011.
Artikel berjudul Fermentation Pro-
duct of RS3 Inhibited Proliferation and Induced Apoptosis in Colon Cancer Cell HCT-116sedang disiapkan untuk dipublikasi. Karyatersebut adalah bagian desertasi. Desiminasi karya ilmiah juga dilakukan pada International Symposium on Nutrition and 6th Asia Pacific Clinical Nutrition Society at Makassar, October 10-13, 2009, ISNFF (International Society for Neutraceutical and Functional Food)
International
Conference,
Bali
11-15
October
2010
dan
INTERNATIONAL SAGO SYMPOSIUM 2011, Bogor 29-30 October 2011.
x
10th
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvi DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xvii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Tujuan .........................................................................................
4
1.3. Keluaran yang diharapkan ............................................................
4
1.4. Manfaat hasil penelitian ................................................................
4
1.5. Hipotesa .......................................................................................
5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Sagu dan Beras .................................................................
6
2.2. Struktur dan Degradasi Pati ........................................................
7
2.3. Pati Resisten (Resistant Starch/RS) ..............................................
10
2.3.1. Klasifikasi..........................................................................
10
2.3.2. Pembuatan RS3 ..................................................................
11
2.4. Mikrofora dan Short Chain Fatty Acid(SCFA)..............................
13
2.5. Kanker Kolon ..............................................................................
17
2.5.1 Statistik dan Epidemiologi ..............................................
17
2.5.2 Karsinogenesis ................................................................
18
2.5.3. Apoptosis ............................................................................
20
2.5.4. Kultur Sel ..........................................................................
23
2.5.5. Metoda Analisis Penanda Kanker Kolon ............................
24
2.5.5.1. Mikroskopi .....................................................................
24
2.5.5.2. Spektrofotometri .............................................................
25
2.5.5.3. ELISA (Enzyme Linked immunosorbant Assay)...............
25
2.5.5.4. Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) .................
26
xi
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu .......................................................................
27
3.2. Bahan ..........................................................................................
27
3.3. Metode Penelitian .........................................................................
27
3.3.1. Tahap I: Pembuatan RS3 dan Pemanfaatannya sebagai Substrat Fermentasi ....................................................................................
29
3.3.1.1.Produksi RS3 ..................................................................
29
3.3.1.2. Analisis Proksimat dan Kadar Amilosa ...........................
30
3.3.1.3. Analisis Kadar RS............................................................
30
3.3.1.4. Fermentasi (in vitro).........................................................
30
3.3.1.5. Pengukuran Amilolitik pada Cawan Agar ........................
31
3.3.1.6. Pengukuran Gas dan pH .......... ........................................
31
3.3.1.7.Analisis Asetat, Proionat dan Butirat ...............................
31
3.3.2.Tahap II: Aplikasi Supernatan pada Sel Kanker ...................
32
3.3.2.1. Kultur Sel ........................................................................
32
3.3.2.2. Penghitungan Jumlah Sel .................................................
32
3.3.2.3. Deteksi Apoptosis ...................................................
33
3.3.2.4. Real Time Polymerase Chain Reaction(RT-PCR) untuk Analisis Ekspresi Gen Bax dan Bcl-2 ..................................
33
3.3.2.4.1. Ekstraksi total mRNA ..................................................
33
3.3.2.4.2. Analisis RT-PCR .........................................................
33
3.3.2.5. Analisis Caspase-3 ...........................................................
35
3.4.Analisis Data...................................................................................... 35HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar RS pada Produk Asal Pati Sagu Lebih Tinggi dibanding Kadar RS pada Produk Asal Pati Beras .........................................
36
4.2. Degradasi RS3 oleh Bakteri ..............................................................
40
4.3. Produksi SCFA selama Fermentasi in vitro .......................................
41
4.4. Aplikasi Supernatan Hasil Fermentasi RS3 untuk Menghambat Proliferasi dan Menginduksi Apoptosis Sel HCT-116. ..................
45
4.4.1. Uji Toksisitas .....................................................................
45
4.4.2. SCFA di dalam Supernatan Menghambat Proliferasi
xii
Sel HCT-116. ...............................................................................
47
4.4.3. Apoptosis, Ekspresi mRNA Bcl-2 dan Bax .......................
50
4.4.4. Konsentrasi Caspase-3 ......................................................
55
4.4.5. Perkiraan Model Apoptosis ...............................................
57
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ....................................................................................
60
5.2. Saran ..........................................................................................
60
6. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
62
LAMPIRAN .......................................................................................
70
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kadar amilosa pati sagu dan biji beras ....................................................
8
2
Karakteristik amilosa dan amilopektin....................................................
8
3
Distribusi rantai cabang amilopektin pada pati sagu dan beras ketan.......
9
4
Bakteri yang sering ditemukan di dalam kolon ....................................... 14
5
Sepuluh besar jenis kanker berdasarkan letaknya di Instalasi RadioterapiRSK” “Dharmais” Jakarta, tahun 1995-2000 ........................ 18
6
Karakteristik molekuler sel lestari asal organ kolon ............................... 24
7
Primer untuk amplifikasi gen pada analisis RT-PCR ............................ 34
8
Komposisi kimia dan kadar amilosa pati sagu dan pati beras .................. 36
9
Zona bening, gas dan pH medium yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 yang diinkubasi padamedium berisi RS3 (1%)..................................................................................... 41
10 SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629 di dalam medium berisi RS3(1%) ........................ 42 11Hasil fermentasi in vitro pada subtrat RS3 ............................................... 44 12 Pengaruh supernatan C.butyricum BCC B2571 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 ..................... 46 13 Pengaruh supernatan E.rectale DSM 17629 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 ........................ 47 14 Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116 ................... 51 15 Ringkasan hasil: hambatan proliferasi dan respon sel HCT-116 yang diberi paparansupernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM17629............................................................................... 58
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ilustrasi tempat pemotongan enzim pendegradasi pati (Mathewson 1998). .............................................................................. 10
2
Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. ................................... 16
3
Karsinogenesis pada kanker kolon (Lodish et al. 2003). ....................... 20
4
Perubahan morfologi sel pada proses apoptosis (O’Day 2006). .............. 21
5
Jalur Apoptosis (Anonim 2010). ........................................................... 22
6
Diagram alir penelitian ........................................................................... 28
7 Kadar RS di dalam produk asal pati sagu dan pati beras.......................... 38 8 Pengaruh supernatan terhadap jumlah sel HCT-116. ............................. 48 9
Pengaruh supernatan terhadap inhibisi proliferasi sel HCT-116. ...........49
10 Pengaruh supernatan terhadap sel HCT-116 dengan pewarna HOECHST 3258. ........................................................................................................51 11 Pengaruh supernatan terhadap ekspresi mRNA Bax dan Bcl-2. ..............54 12 Pengaruh supernatan terhadap rasio ekspresi mRNA Bax/Bcl-2 ............. . 55 13 Pengaruh supernatan terhadap sintesis caspase-3 pada sel HCT-116. .... 56 14 Perkiraan model apoptosis pada sel HCT-116 yang mendapatkan paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629................................................................................................ 59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Spesifikasi enzim ................................................................................... 71
2
Komposisi Medium ................................................................................ 71 Komposisi DMEM ................................................................................. 72
4
Prosedur ekstraksi mRNA (RNeasy Kitt, Qiagen) .................................. 73
5
Prosedur analisa caspase-3 (Instant ELISA, Bender MedSystems) ........... 74
6
Analisis sidik ragam data Fermentasi in vitro ........................................ 75
7
SCFA di dalam medium yang berisi glukosa (1,5%) sebagai sumber karbon tunggal ....................................................................................... 77
8
Komposisi SCFA di dalam supernatan yang dipaparkanke sel HCT- 11677
9
Uji Toksisitas ........................................................................................ 78
10 Perubahan morfologi sel HCT-116 ......................................................... 80 11 Analisis sidik ragam data jumlah sel & inhibisi proliferasi .................... 81 12 Hasil pengukuran mRNA di dalam sampel ............................................. 81 13 Contoh plot amplifikasi .......................................................................... 82 14 Nilai C t dan perhitungan ekspresi gen .................................................... 83 15 Analisis sidik ragam data ekspresi gen ................................................... 84 16 Analisis sidik ragam data Caspase-3 ....................................................... 85 17 Publikasi ..................................................................................................
xvi
86
1
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sistem pencernaan yang sehat sangat diperlukan oleh setiap orang. Pentingnya kesehatan sistem pencernaan makin disadari seiring dengan adanya perubahan pola konsumsi pangan dan gaya hidup yang penuh dengan tekanan (stres). Hal ini wajar karena saluran pencernaan merupakan organ dengan luas permukaan dan kapasitas metabolisme tertinggi bagi tubuh manusia.
Organ ini terlibat langsung dalam
penyerapan zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun menjaga kesehatan, dan pembuangan zat-zat racun maupun bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh. Sistem pencernaan yang kurang bagus dapat mengakibatkan kelainanseperti konstipasi bahkan kanker. Kanker adalah pertumbuhan tidak terkendali (pembelahan sel melebihi batas normal) dari sel/suatu jaringan yang menyerang jaringan di dekatnya serta dapat bermigrasi ke jaringan tubuh yang lain melalui sirkulasi darah atau sistem limfatik. Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan oleh kerusakan DNA sehingga menyebabkan mutasipada gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Kanker kolon dan rektum (colorectal cancer, CRC), adalah pertumbuhan sel yang tak terkendali (neoplasia) pada daerah usus besar sehingga mengganggu sistem pencernaan secara lokal dan mekanisme fisiologis tubuh secara umum. Ada sekitar 1,2 juta kasus kanker kolon dan rektum baru pada tahun 2008 atau mencapai sekitar 9,8% di seluruh dunia(Globocan 2008).
Secara global, kanker
kolon menempati urutan ketiga setelah kanker paru-paru dan, payudara.
CRC
menempati urutan ketiga untuk laki-laki dan urutan kedua bagi perempuan. Data statistik kanker di Indonesia belum tersedia sampai saat ini. Hanya ada sekitar 600 malignan kolon di RS Dharmais Jakarta pada kurun waktu 1994-2006 (Kastomo 2007). Kemungkinan besar banyak kasus serupa terjadi di tempat lain namun belum dilaporkan secara rinci. Sekitar 80% dari kasus CRC berkaitan dengan diet (Le-Leu et al. 2007), 15% disebabkan oleh faktor keturunan sedangkan sisanya berasal dari faktor lain termasuk lingkungan.Tingginya persentase CRC yang diakibatkan oleh faktor makanan menunjukkan bahwa CRC sebenarnya dapat dihindari.Komponen
2
bahan pangan yang mampu mencegah kanker kolon diantaranya adalah resveratrol (terdapat di dalam anggur merah), proantocyadinin (di dalam buah, sayur dan bijibijian), kurkumin (dalam kunyit) dan pati resisten (biji-bijian, ubi-ubian, palma) (Wolter dan Stein 2002, Kim et al. 2005, Le-Leu et al. 2007,Patel et al. 2008). Keadaan di atas mendorong dilakukannya riset tentang kontribusi ingredien pangan dalam bentuk pati resisten tipe 3 (Resistant Starch Type 3; selanjutnya disebut RS3) dalam mencegah CRC. Pati resisten (Resistant Starch = RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak terserap oleh sistem pencernaan pada individu yang sehat (Euresta 1993). Ada empat kelompok RS, yaitu RS1, RS2, RS3 dan RS4 (Englyst et al. 1992). RS1 adalah pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sehingga tidak dapat diakses oleh enzim. RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim. RS3 adalah pati retrogradasi dan RS4 adalah pati modifikasi secara kimiawi. RS lolos dari sistem pencernaan yang sehat dan langsung memasuki usus besar (kolon) selanjutnya difermentasi oleh mikroflora yang ada di dalamnya. Fermentasi dilakukan
oleh
sejumlah
bakteri
antara
genusEubacterium,Peptostreptococci,Clostridia,Roseburia
lain spp
dari dan
Butyrofibriofibrisolvens.Bakteri tersebut mampu mendegradasi pati karena memiliki enzim pengurai pati, yaitu amilase (Wang et al. 1999). Hasil fermentasi RS di kolon berupa asam lemak rantai pendek (SCFA: short chain fatty acid), yaitu asam asetat, propionat dan butirat(Bird et al. 2000, Ramsay et al. 2006).SCFA tersebut langsung diserap dan SCFA yang tidak diserap akan diangkut melalui sistem vena portal menuju organ tertentu untuk dimetabolisme. SCFA terutama butirat dilaporkan memberikan dampak yang menguntungkan bagi kesehatan inang.SCFA selain menjadi sumber energi utama bagi sel-sel kolon normal juga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker(Augenlicht et al. 2002). Penghambatan proliferasi sel kanker dapat terjadi melalui inaktifasi enzim histon deasetilase (HDAC: histone deacetylase) sehingga mengubah ekspresi gen tertentu(Hinnebusch et al. 2002) atau menginduksi apoptosis (Kim et al. 2005, LeLeu et al. 2005). Induksi apoptosis pada sel-sel yang memiliki DNA rusak maupun
3
kanker pada dasarnya merupakan target dari pencegahan maupun terapi pada penyakit kanker. RS3 dapat dikembangkan dari beberapa sumber karbohidrat diantaranya kentang, jagung, beras, pisang dan sebagainya. Pada penelitian ini, RS3 dibuat dari pati beras dan sagu. Kedua komoditas dipilih karena tersedia dalam jumlah besar danberagam. Saat ini banyak varietas unggul beras dihasilkan oleh para pemulia padi, namun hanya sebagian saja yang populer untuk dikonsumsi langsung. Beberapa varietas memiliki keunggulan agronomi namun kurang diterima oleh konsumen karena kualitas tanaknya kurang bagus. Varietas padi yang termasuk di dalamnya antara lain adalah Cisokan dan Batang Piaman. Oleh karenanya, padi-padi tersebut sangat cocok bila dijadikan bahan ingredien pangan fungsionaldiantaranya untuk mencegah CRC.Sagu (Metroxylon sp) adalah sumber pati lain yang cukup penting di Indonesia. Luas area sagu di dunia diperkirakan mencapai 2,25 juta ha dalam bentuk hutan sagu dan 0,2 juta ha dalam bentuk semi budidaya. Indonesia memiliki luas area produksi sagu terbesar di dunia dan diikuti oleh Papua Nugini, Malaysia dan Filipina (Flach 1997). Pohon sagu mampu menghasilkan pati sekitar 2-3 ton/ha/tahun, lebih tinggi dibanding singkong maupun jagung, masing-masing 2 ton/ha/tahun dan 1 ton/ha/tahun (Stantan 1992).
Selain itu, pati sagu juga dapat diperoleh dari batang
pohon aren (Arenga pinata). Pati beras dan sagu memiliki sifat berbeda. Pati beras mengandung amilosa kurang dari 30%, sedangkan pati sagu lebih dari 30%. Pati sagu memiliki pola difraksi sinar X tipe C (Ahmad et al. 1999), sedangkan pati beras memiliki pola difraksi sinar X tipe A (Patindol & Wang 2003). Fraksi amilopektin pada pati beras memiliki rantai cabang dengan derajat polimerisasi (DP) lebih dari 13 dengan porsi lebih sedikit dibanding yang terdapat di dalam pati sagu (Srichuwong et al. 2005a). Sifat-sifat tersebut memberikan kontribusi yang berbeda dalam pembentukan pati resisten. RS3 dibuat melalui kombinasi proses retrogradasi (interaksi antar fraksi amilosa) dan hidrolisis enzimatis. Hidrolisis non enzimatis misalnya dengan asam sebenarnya juga dapat digunakan untuk menghasilkan RS3.
Hidrolisis secara
4
enzimatis dipilih dengan pertimbangan enzim bekerja sangat spesifik.Hidrolisis dilakukan oleh amilase, pululanase dan kombinasinya. Pada penelitian ini, RS3 difermentasi oleh kultur murni Clostridium butyricum BCC B2571 atau Eubacterium rectale DSM 17629 sebagai strain bakteri model. Keduanya merupakan bakteri pendegradasi pati dan penghasil butirat yang secara normal berada di kolon serta termasuk kelompok non patogen. Bakteri yang sering ditemukan di kolon antara lain berasal dari famili bakterioid, bifidobakteria, lactobacilli.
Selanjutnya pengaruh supernatan hasil fermentasi terhadap sel kanker
dipelajari secara in vitro dengan kultur sel HCT-116.
1.2. Tujuan a.
Mendapatkan RS3 daripati beras dan pati sagumelalui proses kombinasi proses retrogradasi dan hidrolisis enzim
b.
Mempelajari profil SCFA yang dihasilkan oleh kultur tunggal C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 pada media fermentasi yang disuplementasi dengan RS3 tersebut di atas.
c.
Mempelajari penghambatan proliferasi dan apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon (manusia), yaitu HCT-116yang diberi paparan SCFA hasil fermentasi RS3.
1.3. Keluaran yang diharapkan a.RS3 dari pati beras dan pati sagu yang bersifat butirogenik, yakni RS3 yangdapatmenghasilkan asam butirat ketika difermentasi. b.Sel kanker yang proliferasinya terhambat dan mengalami apoptosis ketika sel yang bersangkutan diberi paparan supernatan hasil fermentasi RS3.
1.4. Manfaat hasil penelitian Teknik pembuatan RS3 bermanfaat bagi industri dalam menyediakan ingredien pangan fungsional pencegah kanker kolon. Haltersebuttentunya mendorong permintaan terhadap bahan baku (beras dan sagu) sehingga pendapatan produsen (petani) diperbaiki.
5
Hasil penelitian juga memberikan pemahaman terhadap peran bakteri kolon secara individu dalam fermentasi RS3. Pemahaman ini penting untuk menyusun strategi pengembangan dan pemanfaatan RS3 sebagai komponen bahan pangan yang memiliki fungsi unik yang mampu mencegah penyakit kanker kolon/CRC.
1.5.Hipotesis a.
RS3 asal pati sagu maupun pati beras dapat dimanfaatkanoleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629 dengan menghasilkan SCFA.
b.
SCFA mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel lestari asal kanker kolon.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Potensi Sagu dan Beras Sagu dan beras merupakan sumber karbohidrat penting di kawasan Asia dan khususnya di Indonesia. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Tanaman ini masih tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun(Limbongan 2007). Tanaman sagu berkembang di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu sebagian Sumatera, Sulawesi dan Papua (BPS 2009). Di propinsi Papua ditemukan lebih dari 60 jenis aksesi sagu dan Papua dianggap sebagai sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia (Limbongan 2007). Di Indonesia, terutama di Jawa Barat, istilah pati sagu juga dipakai untuk menyatakan pati yang diekstrak dari tanaman aren (Arenga pinnata). Oleh karena itu, di wilayah ini dikenal dua jenis pati (disebut juga aci) sagu, yakni aci kirai dan aci kawung, masing-masing diperoleh dari batang pohon sagu dan batang pohon aren. Sagu dikonsumsi secara langsung sebagi makanan pokok diantaranya di Sulawesi dalam bentuk kapurung, sagu lempeng, di Papua dalam bentuk papeda dan sebagainya. Sagu juga diolah menjadi aneka kue kering. Sagu juga telah menjadi mi atau bihun (Purwani et al. 2006, Herawati et al. 2010). Berbeda dengan sagu, beras merupakan tanaman yang secara intensif dibudidayakan oleh petani.
Produksi beras meningkat dari sekitar 60 juta ton
pada tahun 2008 menjadi lebih dari 64 juta ton pada tahun 2009 (BPS 2010). Di samping itu, lebih dari seratus varietas padi telah berhasil dirakit oleh para pemulianya dalam satu dekade terakhir ini. Varietas-varietas tersebut memiliki sifat agronomis maupun kualitas rasa nasi yang sangat beragam sesuai dengan kondisi alam dan preferensi masyarakat Indonesia (Suprihatnoet al. 2010).
Sifat
nasi sangat ditentukan oleh kadar amilosa beras. Berdasarkan kadar amilosa, beras dikelompokkan menjadi: (a) beras ketan dengan kadar amilosa <10%, (b) beras beramilosa rendah dengan kadar 10-20%, (c) beras beramilosa sedang dengan kadar 20-25% dan (d) beras beramilosa tinggi dengan kadar >25%(Indrasari et al. 2008). nasinya.
Makin tinggi kadar amilosa makin pera tekstur
7
Seperti halnya sagu, beras juga dikonsumsi langsung dalam bentuk nasi. Beras beramilosa sedang umumya disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian etnis Melayu di Sumatera menyukai beras beramilosa tinggi. Beras juga diolah menjadi berbagai produk seperti bihun dan berondong. Beras yang kurang disukai untuk konsumsi langsung memiliki peluang untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti RS3.
2.2. Struktur dan Degradasi Pati Granula pati memiliki bentuk dan ukuran spesifik tergantung pada sumbernya.
Granula pati sagu berbentuk oval dan berukuran besar yakni lebih
dari 30 µm, sedangkan granula pati beras berbentuk poligonal berukuran kecil yakni kurang dari 10 µm (Ahmad et al.1999, Srichuwong et al. 2005, Yang et al. 2006). Ukuran granula pati ikut mempengaruhi tingkat kemudahannya diakses oleh enzim-enzim pendegradasinya. Makin besar ukuran granula pati makin kecil rasio luas permukaannya terhadap volume sehingga mengurangi ikatan dengan enzim atau dengan kata lain menurunkan potensi hidrolisisnya (Tester et al. 2004). Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun atas unit monomer glukosa melalui ikatan glikosidik α-(1,4). Fraksi ini mudah larut dalam air dan mampu membentuk struktur helik ganda. Kadar amilosa pati sagu dan pati beras bervariasi antar varietas seperti tampak dalam Tabel 1. Berat molekul amilosa sagu berkisar antara 1,41x 106- 2,23x 106 Da (Ahmad et al. 1999). Amilopektin adalah polimer mirip amilosa namun bercabang melalui ikatan glikosidik α-(1,6) pada titik percabangannya. Amilopektin membentuk struktur klaster. Rantai amilopektin di dalam klaster dibedakan menjadi rantai A dan B. Rantai A merupakan rantai yang tidak membawa rantai yang lain dan umumnya memiliki derajat polimerisasi (DP) <15 unit glukosa. Rantai B membawa rantai lain melalui ikatan glikosidik α-(1,6) dan memiliki DP 13-24, 25-36 unit glukosa atau bahkan lebih panjang lagi.
8
Tabel 1 Kadar amilosa pati sagu dan biji beras
Komoditas
Kadar amilosa (%, basis basah)
Pustaka
Sagu Hapholo Hongleu
28,63
(Limbongan 2007)
Yepha Hongleu
27,55
(Limbongan 2007)
Panne
31,14
(Limbongan 2007)
Tuni
33,82
(Limbongan 2007)
Molat
34,96
(Limbongan 2007)
Ihur
30,90
(Limbongan 2007)
IR-36
27,30
(Purwani et al. 2007)
Mekongga
23,13
(Purwani et al. 2007)
Batang Piaman
27,34
(Purwani et al. 2007)
Beras
Tabel 2 menampilkan perbedaan karakteristik dasar amilosa dan amilopektin, sedangkan Tabel 3 menampilkan distribusi panjang rantai cabang amilopektin pati beras dan pati sagu.
Tabel 2Karakteristik amilosa dan amilopektin
Karakteristik
Amilosa
Amilopektin
Struktur
Linear (α-1,4)
Bercabang (α-1,4; α-1,6)
Berat molekul
~10 Dalton
~ 108 Dalton
Derajat Polimerisasi
1500 - 6000
3 x 105 – 3 x 106
Kekuatan helix
Kuat
Lemah
Warna reaksi dengan Iod
Biru
Merah keunguan
Stabilitas larutan (encer)
Tidak stabil
Stabil
Retrogradasi
Cepat
Lambat
Sifat gel
Keras dan irreversible
Lunak dan reversible
Sifat film
Kuat
Rapuh
Sumber: (Chen 2003).
6
9
Tabel 3 Distribusi rantai cabang amilopektin pada pati sagu dan beras ketan
Komoditas
Distribusi panjang rantai cabang (%) DP 6-8
DP 9-12
DP 13-24
DP 25-30
Sagu
9,0
28,1
56,2
6,7
Beras
8,0
34,5
52,1
5,4
Sumber: (Srichuwong et al. 2005a). Variasi sifat molekuler fraksi amilosa dan amilopekin memberikan konsekuensi terhadap perbedaan sifat fisiko kimia pati seperti kekuatan gel, sifat pasta, tingkat kemudahannya untuk dihidrolisis oleh enzim dan sebagainya (Ahmad et al. 1999, Patindol & Wang 2003, Srichuwong et al. 2005a, Srichuwong et al. 2005b). Pati dapat dihidrolisis oleh enzim α-amilase, ß-amilase, glukoamilase, dan isoamilase atau pululanase (Mathewson 1998). Enzim α-amilase (E.C. 3.2.1.1) merupakan enzim hidrolisis yang memotong ikatan glikosidik α-(1,4) secara acak dari bagian dalam molekul pati. Enzim ini dikenal dengan endoamilase. Hidrolisis rantai amilosa oleh enzim tersebut berlangsung secara terus-menerus hingga tersisa rantai glukosa 10-20 unit. Pada rantai amilopektin, enzim amilase bekerja dengan cara sama dan menyisakan fragmen percabangan yang mengandung ikatan glikosidik α-(1,4). Enzim β-amilase (E.C.3.2.1.2) menghidrolisis ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi dan menghasilkan maltosa. Sistem pencernaan manusia tidak memiliki β-amilase.Glukoamilase (EC 3.2.1.3) mengkonversi maltosa dan fragmen besar pati (hasil hidrolisis α dan β amilase) menjadi glukosa. Isoamilase memotong ikatan α-(1,6). Isoamilase atau pululanase (EC 3.2.1.41) memotong ikatan α-(1,6) (Gambar 1). Keperluan enzim dalam industri biasanya dihasilkan oleh mikroorganisme. Tingkat
kemudahan
pati
diakses
oleh
enzim
lebih
tergantung
pada
struktur/organisasi molekul pati. Pati yang memiliki difraksi sinar x tipe A lebih mudah dihidrolisis oleh amilase dibanding tipe B(Srichuwong et al. 2005a). Enzim pendegradasi pati juga dihasilkan oleh beberapa bakteri penghuni usus besar seperti Bifidobacteria, Bacteroides, Clostridium dan Eubacterium(Wang et al. 1999).
10
ujung pereduksi α-amilase
α-amilase
pululanase
ß-amilase ß-amilase
amiloglukosidase
ujung non pereduksi Gambar 1Ilustrasi tempat pemotongan enzim pendegradasi pati(Mathewson 1998). 2.3. Pati Resisten (Resistant Starch/RS) 2.3. 1. Klasifikasi Pati resisten (resistant starch, RS) didefinisikan sebagai fraksi pati yang tidak tercerna oleh sistem enzim pada pencernaan individu yang sehat.
RS
terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan segar maupun produk olahannya. Ada 4 tipe RS, yaitu RS1, RS2, RS3 dan RS4 (Sajilata et al. 2006). RS1 adalah pati yang
berada dalam jaringan tanaman sehingga tidak dapat diakses oleh
enzim-enzim pencernaan. Contohnya adalah pati yang terdapat dalam buah apel dan pisang.
RS2 adalah granula pati mentah yang didominasi oleh struktur
kristalin sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim.
Contohnya adalah pati hasil
ekstraksi batang sagu, ubi jalar, jagung dan sebagainya.
RS3 adalah pati
retrogradasi yang terbentuk selama proses pengolahan pangan atau yang direkayasa.
RS4 adalah pati modifikasi yang diperoleh melalui proses eterisasi,
esterifikasi maupun ikatan silang. Oleh karena itu, jenis pati ini memiliki ikatan selain ikatan glikosidik α-(1,4) atau α-(1,6), diantaranya ikatan ester.
11
2.3. 2. Pembuatan RS3 RS3 menjadi perhatian di kalangan industri pangan karena jenis RS ini selain
terbentuk selama proses pengolahan pangan juga dapat direkayasa
sedemikian rupa sehingga diperoleh produk yang sifatnya sesuai dengan kebutuhan. Beberapa proses dikembangkan untuk menciptakan RS3 dari sumber pati yang berbeda-beda. Garis besar pembuatan RS3 meliputi aplikasi proses pemanasan,
pendinginan,
hidrolisis
enzim
maupun
non-enzimatis
dan
kombinasinya. Pemanasan ditujukan agar pati tergelatinisasi sehingga pati dapat diakses
oleh
enzim.
Pendinginan
digunakan
untuk
memicu
proses
retrogradasi,sedangkan hidrolisis berguna untuk menghilangkan bagian amorphus pati.
Hasil hidrolisis (hidrolisat) dihilangkan dan sisanya dikeringkan untuk
mendapatkan material atau produk yang dikenal sebagai RS3. Suspensi pati yang dipanaskan mengalami gelatinisasi sehingga granula membengkak yang mengakibatkan amilosa di dalamnya keluar (leaching) dan ditandai oleh perubahan viskositas. Proses pendinginan menghasilkan gel. Pada kondisi dingin, amilosa berinteraksi sesamanya dan proses ini dikenal dengan retrogradasi. Retrogradasi dipercepat pada suhu rendah. Interaksi antar rantai amilosa membentuk struktur yang relatif lebih tahan terhadap proses hidrolisis enzim. Pembuatan RS3 dengan cara memodifikasi pati garut (Marantha arundinacea) dengan perlakuan kombinasi siklus pemanasan-pendinginan dilaporkan oleh Sugiyono et al. (2009). Dengan cara tersebut, kadar pati resisten meningkat dari sekitar 2% pada pati alami menjadi 10-12% tergantung pada perlakuan yang diterapkan. Putra (2010) melaporkan bahwa pemanasan suhu tinggi (autoclaving)meningkatkan kadar RS menjadi dua kali lipat pada tepung atau pati pisang. RS3 dari pati beras dilaporkan oleh (Guraya et al. 2001).
Prosesnya
melibatkan hidrolisis pati beras oleh enzim pululanase dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 121oC, 30 menit kemudian pendinginan pada 1oC dan diakhiri dengan pengeringan beku. Proses tersebut menghasilkan material (RS3) dengan kadar RS sekitar 13%. oleh (Kim
Pembuatan RS3 dari pati beras juga dilaporkan
et al. 2003) dengan hidrolisis enzim α-amilase yang dilanjutkan
12
dengan kombinasi perlakuan panas pada 121oC, 15 menit kemudian didinginkan pada 4oC selama 24 jam. Kadar RS di dalam material sekitar 16%. Penggunaan pati sagu dan enzim pululanase yang dikombinasikan dengan pemanasan pada 121oC, 30 menit dan penyimpanan pada suhu bervariasi dari 4oC sampai 80 oC selama 0 sampai 7 (tujuh) hari untuk mendapatkan produk RS3 juga dilaporkan oleh peneliti lain (Leong et al. 2007). Kadar RS tertinggi mencapai 11,6% diperoleh pada proses hidrolisis pati sagu dengan 40 PUN (Pullulanase Unit Novozyme)/g substrat selama 8 jam yang diikuti oleh pemanasan pada 121oC, 30 menit dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu 80oC selama 7 (tujuh) hari. Kadar RS di dalam bahan asalnya pati sagu alami justru lebih tinggi (sekitar 41%). Pati singkong juga diproses menjadi RS3 (Vatanasuchart et al. 2010).
Pati
digelatinisasi pada 120oC, 30 menit kemudian dihidrolisis oleh enzim pululanase dan dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu 4oC selama 24 jam atau 48 jam. Cara ini mampu meningkatkan kadar RS dari sekitar 9% (di dalam pati mentah) menjadi lebih dari 40%. Dari uraian di atas, tampak bahwa kadar RS di dalam produk sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan beberapa faktor diantaranya sumber pati (bahan baku), proses pemanasan dan pendinginan, penggunaan enzim penghidrolisis (jumlah dan jenis) dan sebagainya. Saat ini, RS3 sudah dapat diperoleh secara komersial diantaranya adalah CrystaLean® dan Novelose 330, keduanya berasal dari pati jagung. Perbedaan proses pembuatan RS3
mengakibatkan perbedaan sifat
fungsionalnya dan ini sangat menentukan aplikasinya lebih lanjut. RS3 masih memiliki kemampuan membentuk gel dan menahan air (Guraya et al. 2010), namun ada pula yang tidak lagi memiliki kemampuan serupa (Tan 2003).
RS3
mampu memperbaiki sifat produk pangan dengan bertindak sebagai texture modifier, crisping agent(Sajilata et al. 2006). RS secara umum dianggap sebagai bagian dari serat makanan. RS3 ditambahkan dalam suatu formula produk pangan sebagai upaya untuk meningkatkan kadar serat makanan(Nugent 2005). RS juga ditambahkan sebagai ingredien pangan untuk meningkatkan konsentrasi butirat di dalam usus besar. RS ditambahkan ke dalam produk pangan olahan berbasis serealia, susu, rerotian maupun sayuran diantaranyabreakfast cereal, yoghurt, sup
13
krim dan sebagainya. Jumlah RS yang ditambahkan bervariasi dari 2% hingga 20% (Brouns et al. 2002).
2.4. Mikrofora dan Short Chain Fatty Acid (SCFA) Usus besar (kolon) merupakan habitat berbagai macam mikroorganisme. Lebih dari 50 genus dan 400 spesies bakteri telah diidentifikasi pada feses manusia.Bakteri fakultatif aerob seperti Escherichia coli ada di dalamnya. Bakteri anaerob obligat seperti Clostridium dan Bacterioid berada dalam jumlah sangat besar (Bird et al. 2000).
Bakteri yang sering ditemukan didalam kolon
dicantumkan dalam Tabel 4. Populasi setiap bakteri bervariasi dari 105 hingga 1014 sel/g feses. Kemampuan memanfaatkan substrat dan produk yang dihasilkannya juga beragam. Pati resisten tidak dicerna di dalam sistem saluran pencernaan sehingga material ini langsung menuju usus besar.
Kelompok bakteri sakarolitik
memanfaatkan RS sebagai substrat fermentasi untuk menghasilkan produk berupa SCFA (asetat, propionat dan butirat) dan gas (CO 2 , CH 4 dan H 2 ). SCFA yang tidak diabsorpsi oleh kolon akan memasuki darah melalui sistem portal hepatik. Di hati, asam asetat ditransfer menjadi acetil-CoA yang merupakan prekursor untuk lipogenesis. Propionat menghambat glukoneogenesis. Butirat merupakan sumber energi utama bagi sel-sel kolon dan dilaporkan memiliki kemampuan menghambat sel kanker (Singhet al. 1997, Hinnebusch et al. 2002). Kadar SCFA dan distribusinya tergantung pada strain bakteri serta jumlah dan jenis substrat yang tersedia. RS khususnya RS3 merupakan substrat potensial bagi bakteri penghasil butirat di dalam kolon dan disebut sebagai substrat butirogenik.
Kemampuan RS3 sebagai substrat butirogenik dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Zhao dan Lin (2009) melakukan simulasi fermentasi RS3 asal pati jagung yang dihrolisis dengan asam sitrat. RS3 ditambahkan di dalam cairan feses bayi atau orang dewasa sehat kemudian diinkubasi secara anaerobik pada suhu 37oC selama 0, 12 dan 24 jam. Hasil studi menunjukkan bahwa SCFA meningkat sejalan dengan lama fermentasi.
Kadar asam butirat lebih besar
dihasilkan oleh kultur yang berasal dari cairan feses bayi. Sharp dan Macfarlane (2000) melaporkan bahwa RS dapat menstimulasi pertumbuhan (in vitro) bakteri
14
penghasil butirat dari genus Clostridia. Reid et al. (1998) melaporkan kemampuan kultur murni C.butyricum untuk menghasilkan SCFA dari substrat pati jagung. Rasio amilosa/amilopektin, retrogradasi dan penambahan amilase pankreas dilaporkan mempengaruhi SCFA dan rasio asetat terhadap butirat. Tabel 4 Bakteri yang sering ditemukan di dalam kolon
Famili
Gram
Jumlah Log 10/g Berat Kering feses
Bakteroides Eubacteria
G – rods G + rods
Rerata 11,3 10,7
Kisaran 9,2 -13,5 5,0 – 13,3
Bifidobacteria
G + rods
10,2
4,9-13,4
Clostridia
G + rods
9,8
3,3 – 13,1
Lactobacilli Ruminococci Peptostreptococci Peptococci
G + rods G + cocci G + cocci G + cocci
9,6 10,2 10,1 10,0
3,6 – 12,5 4,6 – 12,8 3,8 – 12,6 5,1 - 12,9
Methanobrevibacter
8,8
7,0 – 10,5
Desolphovibries
G+ coccobacilli G – rods
8,4
5,2 – 10,9
Propionibacteria
G + rods
9,4
4,3 – 12,0
Actinomyses Streptococci
G + rods G + cocci
9,2 8,9
5,7 – 11,1 3,9 – 12,9
Fusobacteria
G – rods
8,4
5,1 – 11,0
Escherichia
G – rods
8,6
3,9 – 12,3
Sifat konsumsi substrat
Produk
Sakarolitik Sakarolitik, beberapa spesies menggunakan asam amino sebagai substat Sakarolitik
A, P, S A, B, L
Sakarolitik, beberapa spesies menggunakan asam amino sebagai substat Sakarolitik Sakarolitik Sebagian Klostridia menggunakan asam amino sebagai substat Kemolitotropik Berbagai macam substrat Sakarolitik Laktat Sakarolitik Karbohidrat dan Asam amino Asam amino dan Karbohidrat Sebagai streptococci
A, L, F, E A, P, B L, E
L A A, L A, B, L CH4 A A, P A, L, S L, A B, A, L Campuran asam
Keterangan : A = asetat, B = butirat, P = propionat, E = ethanol, F = format, L = laktat, S = suksinat Sumber: (Macfarlane et al. 1995).
Diperkirakan 80% dari bakteri penghasil butirat di kolon berada dalam klaster XIVa kelompok bakteri gram positip (Barcenilla et al. 2000). Spesies bakteri penghasil butirat yang berada dalam kolon manusia antara lain adalah E.
15
rectale, Roseburia intestinalis, Roseburia hominis dan sebagainya (Louis & Flint 2009) maupun C. butyricum(Mitsuoka 1990). Bakteri dalam kolon bersifat sakarolitik sehingga mampu menguraikan pati dengan bantuan enzim amilase. Sistem enzim pendegradasi pati pada bakteri gram positip penghasil butirat dilaporkanoleh (Ramsay et al. 2006).Enzim tersebut tertancap pada dinding sel bakteri sedemikian rupa sehingga situs hidrolisisnya berdekatan dengan sistem transpor produk hidrolisis menuju ke dalam sel bakteri.
Produk hidrolisis kemudian dimetabolisme untuk
menghasilkan SCFA.
Ada beberapa jalur pada proses pembentukan SCFA dari
glukosa yang sudah dikonfirmasi pada bakteri kolon (Miller & Wolin 1996). Katabolisme glukosa berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas dengan menghasilkan CO 2 dan piruvat. Asetat berasal dari CO 2 dan dibentuk melalui jalur Wood Ljungdahl. Propionat dibentuk dengan cara fiksasi CO 2 . Butirat dihasilkan melalui jalur klasik yaitu kondensasi molekul asetil-CoA. Pada tahap akhir pembentukan butirat tersedia dua jalur yaitu pertama jalur butirat kinase dan kedua jalur butiril-CoA:asetil-CoA transferase. Pada jalur pertama, enzim fosfo transbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoA menjadi butirat dengan produk antara butiril-fosfat. Pada jalur kedua, enzim butiril-CoA:asetat CoAtransferase mentransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga dihasilkan asetilCoA dan butirat. Jalur ini umumnya dimiliki oleh bakteri penghasil butirat pada kolon.
Jalur butirat kinase ditemukan pada bakteri solventogenik C.
tyrobutyricum(Zhu 2003).
Ilustrasi jalur pembentukan asetat, propionat dan
butirat dicantumkan dalam Gambar 2. SCFA mencapai sel melalui sistem transpor pasif dan aktif dengan bantuan senyawa pengangkut/carrier specific, yaitu MCT (Monocarboxylate Transporter) (Hadjiagapiou et al. 2000, Lecona et al. 2008).
Transpor pasif berlangsung
dengan cara difusi non ionik SCFA yang tidak terdisosiasi.
SCFA juga
dimungkinkan berada dalam bentuk non ionik karena daerah apikal suasananya asam akibat pelepasan H+ yakni Na+/H+ exchanger. Pada kondisi pH fisiologis, SCFA berada dalam bentuk terionisasi dan transpor SCFA berlangsung secara aktif. Transpor anion butirat terjadi dalam bentuk (i) antiporter non-electrogenik
16
SCFA-/HCO 3 -,
(ii)
electroneutral
H+-coupled
MCT
(monocarboxylate
transporter) dan (iii) electrogenic Na+-coupled transporter untuk MCT. Heksosa (glukosa, fruktosa), pentosa (xilosa, arabinosa)
L-fukosa
DHAP + L-laktaldehid
Asetat Asetil-CoA
Piruvat
Oksaloasetat
Asetil-CoA Asetoasetil-CoA
L-laktat
ß-hidroksibutiril-CoA
Laktil-CoA
Krotinil-CoA
Akrilil-CoA
Metilmalonil-CoA
Butiril-CoA
Propionil-CoA
Propionil-CoA
Suksinat
Suksinil-CoA
Propan-1,2-diol
Propionaldehid
Propionil-CoA
Asetat Butiril-P
Propanol Asetil-CoA
Butirat 1a
Propionat 1b
2
3
4
Gambar 2Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. 1a: jalur butirat kinase, 1b:butiril-CoA:asetil CoA transferase, 2: jalurakrilat, 3:jalur suksinat, 4: jalur propandiol. (Louis et al. 2007). Tanda panah terputus menunjukkan adanya produk antara. DHAP: dihidroksiaseton pospat, P: Pospat, PEP: Pospoenolpiruvat. SCFA menimbulkan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan pencernaan inang. Asam-asam organik termasuk SCFA memberikan kontribusi terhadap kesehatan kolon secara signikan. SCFA merupakan regulator proses fisiologi untuk menjaga agar kolon berfungsi normal (Bird et al. 2000). Fungsi SCFAsecara umum didasarkan pada kenyataan SCFA termasuk kelompok asam organik dengan nilai pKa sekitar 5 sehingga produksi SCFA akan meng-asamkan lingkungan intrakolon.
Pada kondisi tersebut terjadi: (i) pertumbuhan
mikroorganisme patogen yang sensitif terhadap perubahan pH dihambat, (ii)
17
senyawa alkalin yang berpotensi toksik/karsinogenik akan terdisosiasi sehingga tidak dapat terserap lagi dan (iii) peredaran darah di kolon lebih lancar dan otot kolon berkontraksi sehingga menstimulasi penyerapan cairan dan elektrolit (Na+, K+ dan Ca+2). SCFA khususnya butirat merupakan sumber energi utama bagi sel epithel kolon.Beberapa peneliti melaporkan bahwa
SCFA khususnya butirat
memiliki aktifitas anti-proliferasi dan mampu mengubah ekspresi sejumlah gen (Archer et al. 1998, Hinnebusch et al. 2002, Davie 2003). Hal ini diperkuat oleh studi yang melibatkan hewan model. Produksi SCFA meningkat dan perkembangan sel kanker di dalam kolon tikus/mencit berkurang setelah tikus/mencit mengonsumsi diet kaya RS (Le-Leu et al. 2002, Le-Leu et al. 2007). SCFA terutama butirat merupakan penghambat enzim histone deasetilase (HDAC: Histone Deacetylase).
Penghambatan enzim tersebut mengakibatkan
terjadinya hiperasetilasi pada protein histone sehingga interaksi ionik antar DNA rusak dan hal ini mengubah ekspresi sejumlah gen. Gen-gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh hiperasetilasi histon antara adalah gen yang mengatur siklus sel (Cyclin A, Cyclin E, Cyclin B1 dan sebagainya), faktor transkripsi (c-Myc, RARα dan ß) maupun apoptosis yaitu famili gen Bcl-2(De Ruijteret al. 2003).
2.5. Kanker Kolon 2.5.1 Statistik dan Epidemiologi Data kanker global menunjukkan bahwa ada empat jenis kanker yang sering ditemukan yaitu kanker paru-paru (1.352.132 kasus), payudara (1.151.298 kasus), kolon (1.023.152 kasus) dan prostat (679.023 kasus) (Parkin et al. 2005). Berdasarkan data di Instalasi Radioterapi RSK ”Dharmais” Jakarta tahun 19952002, kanker rektum menempati urutan ke-6 dari sepuluh besar jenis kanker (Tabel 5). Jumlah sebenarnya mestinya lebih banyak lagi. Hasil survei penelitian mengenai kasus kanker kolon menyimpulkan bahwa sekitar 5-10%kanker kolon dan rektum disebabkan oleh faktor genetik yang diwariskan. Selebihnyadisebabkan oleh hal lain yang berkaitan dengan makanan, gizi dan aktifitas fisik (World Cancer Research Fund 2011).
18
Tabel 5Sepuluh besar jenis kanker berdasarkan letaknya di Instalasi radioterapi RSK ”Dharmais” Jakarta, tahun 1995-2000
Rangking
Jenis kanker
Jumlah pasien (orang)
1.
Servix uterus
998
2.
Payudara
897
3.
Nasopharying
578
4.
Paru-paru
403
5.
Tiroid
123
6.
Rektum
86
7.
Lidah
65
8.
Prostat
44
9.
Buli-buli
40
10.
Kelenjar getah bening
37
Sumber: (Defrizal 2007).
2.5.2. Karsinogenesis Kanker berawal dari kerusakan/perubahan DNA atau mutasi ketika sel berreplikasi.Pada saat replikasi, gen yang mengontrol pembelahan sel dalam keadaan aktif. Pada kondisi tertentu sel berdiferensiasi dan tidak lagi membelah sehingga gen yang mengontrolnya dalam keadaan tidak aktif. Secara normal, jika terjadi kesalahan replikasi maka sel mampu memperbaiki karena sel memiliki fasilitas enzim-enzim reparasi DNA (DNA repairing enzyme). Pada kanker kolon mutasi terjadi pada gen penekan tumor (tumor supresor gene : TSG) seperti gen APC (Adenomatous Polypopsi Coli), p53 dan lainnya maupun pada oncogen seperti K-ras.
Mutasi gen APC
bersifat heriditer
(diwariskan) sehingga individu yang membawa gen APC termutasi tersebut beresiko lebih besar untuk terkena kanker usus dibanding individu yang tidak membawanya (Lodish et al. 2003). Namun demikian, kesalahan genetika yang terkait dengan faktor keturunan tidak secara otomatis berubah menjadi sel kanker. Ada faktor eksternal lainnya yang diperlukan untuk mengubahnya menjadi sel kanker.
19
Faktor luar (eksternal)diantaranya virus, infeksi berkelanjutan, radiasi, polusi udara dan bahan-bahan kimia yang tidak diperlukan oleh tubuh (xenobiotik) juga dapat menyebabkan mutasi.Mutasi gen karena faktor eksternal terjadi padasel somatik,khususnya pada organ yang sering mengalami pergantian sel atau atau melakukan fungsisekresi, seperti payudara dan rahim (Zakaria 2001). Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker berlangsung secara bertahap, meliputi tahap inisiasi, promosi dan progresi (Barret 1993). Inisiasi merupakan tahap terjadinya perubahan DNA/mutasi gen yang disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Mutasi ini terjadi pada kelompok protooncogene dan TSG. Protooncogene menyandi growth factor, growth factor receptor, enzim maupun faktor transkripsi yang mempromosi pertumbuhan dan atau pembelahan sel. Protooncogene yang termutasi dinamakan oncogene. Pada tahap inisiasi, oncogen teraktivasi sedangkan TSG mengalami inaktivasi. Tahap selanjutnya adalah promosi yakni perkembangan klon sel menjadi sel tumor/premaglignant. Sel kemudian memasuki tahap progresi yakni sel kanker berkembang tanpa kendali. Sel kanker memiliki ciri yang berbeda dengan sel normal. Mutasi di beberapa gen ditemukan pada kanker kolon (Gambar 3). Mutasi pada gen penekan tumor APC mengakibatkan sel tumbuh membentuk polip. Mutasi selanjutnya terjadi pada oncogen ras dan TSG DCC (deleted colorectal cancer) serta p53.
Kondisi tersebut mengakibatkan pembelahan sel tidak
terkendali. Meskipun demikian, tidak semua mutasi diperlukan agar sel normal berubah menjadi sel kanker.
Sel kolon normal
Gen APC hilang (khromosom 5)
20
Gambar 3 Karsinogenesis pada kanker kolon (Lodish et al. 2003).
2.5.3. Apoptosis Apoptosis ialah suatu bentuk kematian sel terprogram yang mempunyai ciriciri morfologi dan biokimia spesifik. Apoptosis merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel-sel yang DNA-nya rusak dan hal ini menjadi salah satu alat kontrol check point dalam siklus sel.
Kegagalan sel melakukan
apoptosis dapat meningkatkan kemungkinan sel untuk berproliferasi tak
21
terkendali. Pencegahan atau terapi kanker diarahkan untuk mencegah sel kanker berproliferasi atau menginduksi agar sel kanker melakukan apoptosis. Sel mati lewat apoptosis memiliki morfologi khusus (Gambar 4) yang berbeda dengan sel mati secara nekrosis. Mula-mula sel mengerut, mitokondria pecah dan sitokrom c dibebaskan. Kromatin (DNA dan protein) di dalam inti sel terurai. Sel pecah menjadi fragmen-fragmen yang dikelilingi oleh membranfragmen tersebut dibersihkan oleh sel-sel fagisitosis (in vivo)(Gambar 4).
Gambar 4 Perubahan morfologi sel pada proses apoptosis (O’Day 2006).
Apoptosis diinduksi oleh beberapa senyawa. Topping dan Clifton (2001) melaporkan bahwa sel SW620 yang diberi paparan butiratterhenti pertumbuhannya pada fase G0-G1 dan G2-S dalam 12 jam dan 4 jam kemudian mengalami apoptosis. Apoptosis juga diinduksi oleh komponen bioaktif seperti protoantocyanidin maupun 3,3’-Diindolymethane (Kim et al. 2005, Kim et al. 2007). Ada 2 jalur utama apoptosis yang dapat dilalui oleh sel. Pertama adalah jalur kematian reseptor. Pada jalur ini FaSL terikat pada reseptor ekstra sel sehingga terbentuk DISC (Death Inducing Signal Complex) yang mampu mengaktifkan caspase 8. Pada umumnya, jalur ini dilewati oleh sel normal. Kedua adalah jalur mitokondriayang umumnya diaktifkan oleh stres dilevel seluler. Sinyal/perubahan intraseluler mengakibatkan sitokrom C lepas kedalam sitosol. Sitokrom C berikatan dengan Apaf-1 dan procaspase-9 membentuk apoptosin dan mengaktifasi reaksi lain yang dikatalisis oleh sejumlah enzim caspase(Elmore 2007). Gambar 5 menunjukkan jalur apoptosis.
DNA cacat
Mitokondria
22
Fase Eksekusi Kondensasi Kromatin Fragmentasi DNA
Gambar 5Jalur Apoptosis. Garis putus hijau adalah jalur kematian reseptor, garis putus merah adalah jalur mitokondria (Anonim 2010). Regulasi apoptosis melibatkan ekspresi gen yang tergabung dalam famili gen Bcl-2(Elmore, 2007). Famili Bcl-2 diklasifikasikan menjadi dua sub tipe masing-masing bersifat anti-apoptosis dan famili Bcl-2 yang bersifat proapoptosis. Famili Bcl-2 yang menyandi protein anti apoptosis antara lain terdiri dari Bcl-2, Bcl-X L , Bcl-W, sedangkan famili Bcl-2 yang menyandi protein proapoptosis beranggotakan antara lain Bax, Bad, Bak dan Bid.Keseimbangan antara protein pro dan anti apoptosis menentukan sensitivitas sel untuk berapoptosis.Protein anti-apoptosis berada di membran mitokondria dan berfungsi menstabilkan integritasnya. Protein pro-apoptosis berada di sitosol dan bertindak sebagai sensor ketika terjadi kerusakan sel. Bila ada sel rusak, protein berpindah ke permukaan mitokondria tempat protein anti-apoptosis berada dan membentuk pori. Interaksi tersebut mengakibatkan protein anti apoptosis kehi-langan fungsinya sehingga sitokhrom c dapat lepas. Senyawa oligomer proantosianidin dilaporkan menginduksi apoptosis pada sel lestari SNU-C4 melalui jalur mitokondria dengan meningkatkan ekspresi gen
23
proapoptosis (Bax) dan menurunkan ekspresi gen antiapoptosis (Bcl-2) (Kim et al. 2005).Kemampuan serupa pada senyawa lain diantaranya SCFA hasil fermentasi RS3 masih perlu dieksplorasi. Proses apoptosis memerlukan koordinasi beberapa jenis aktivitas protein spesifik. Caspase (Cystein Aspartic Acid Protease) adalah salah satu protein yang berperan penting pada proses tersebut. Caspase termasuk salah satu anggota kelompok protease sistein dan disintesis dalam bentuk inaktif (zimogen). Enzim ini memiliki residu sistein pada sisi aktifnya, memotong substrat pada residu aspartat.
Aktifasi caspase menyebabkan beberapa protein seluler sebagai
substratterpotong sehingga sel tidak berfungsi normal. Protein yang dimaksud antara lain adalahprotein struktural sitoskeleton dan DNA repair enzyme. Caspase juga
mengaktivasi
enzim
degradatif
DNAase
sehingga
DNA
inti
terfragmentasi(Elmore 2007). Substrat sintetik yang digunakan untuk uji aktifitas enzim caspase-3di laboratorium adalah tetra peptida aspartat-glutamat-valinaspartat (DVED).
2.5.4. Kultur Sel Kultur sel ialah sel yang diperoleh dari suatu jaringan hewan dan ditumbuhkan pada medium/lingkungan artifisial yang terkontrol agar sel tetap hidup dan tumbuh.Ada dua jenis kultur sel yaitu sel primer dan sel lestari. Sel yang diambil dari jaringan organisme dan dikultur untuk pertama kali dinamakan kultur sel primer. Sel lestari adalah sel primer yang telah mengalami beberapa kali sub kultur. Sel lestari sudah tersedia secara komersial. Berdasarkan sifat tumbuhnya dikenal sel monolayer dan sel suspensi. Sel monolayer tumbuh melekat pada substrat padat, sedangkan sel supensi tumbuh mengapung di dalam medium (Ryan 2008). Sel kanker kolon termasuk sel yang tumbuh secara monolayer. Sel lestari kanker kolon yang sering dikulturkan antara lain adalah HCT-116, HT-29, Caco-2, RSB, LIM1215, LS174T (Whitehead et al. 1986, Avivi-Green et al. 2002,Hatayama et al. 2007,Kim et al 2007). Karakteristik molekuler sel lestari asal kolon bervariasi (Tabel 6).
Tabel 6. Karakteristik molekuler sel lestari asal organ kolon
24
Sel lestari
Sifat
Pustaka
CCD-12 CoN (asal kolon normal) HCT-116 (sel kanker)
tidak ditransformasi
Ahn dan Schroeder (2002) Campbell et al. (2006)
HT-29 (sel kanker) SW 480 (sel kanker)
wild type, COX2 dapat diinduksi, mutasi pada ß-catenin dan ras tetapi p53 normal dan APC normal APC normal, type II truncation, COX2 konstitutif APC normal, type I truncation, defisiensi COX2
Campbell et al. (2006) Campbell et al. (2006)
Kultur sel (in vitro) sering digunakan dalam riset kanker dengan pertimbanganfaktor fisiko-kimia dapat dikontrol dan kondisi fisiologis sel dapat dipertahankan konstan. Sel dapat terpapar dan langsung mengakses reagen (zat) yang diuji, sehingga kebutuhan sampel yang diuji relatif sedikit. Kultur jaringan sel lestari juga memiliki keterbatasan diantaranya kadang-kadang kurang stabil, dan tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan kondisi in vivo.
2.5.5. Metoda Analisis Penanda Kanker Kolon 2.5.5.1. Mikroskopi Mikroskop telah digunakan untuk mengamati morfologisel kolon, menghitung jumlah sel hidup atau sel mati serta untuk mendeteksi sel apoptosis. Sel hidup dan sel mati dibedakan dengan bantuan pewarna spesifik seperti tryphan blue kemudian mengamatinya dibawah mikroskop. Tryphan blue hanya menembus membran sel yang sudah mati. Jika sel dilarutkan dalam tryphan blue maka sel mati tampak mengembang dan berwarna biru. Sebaliknya sel hidup tampak berpendar (Doyle & Griffiths 2000). Sel apoptosis dideteksi secara mikroskopi dengan bantuan pewarna flouresen HOECHEST 33258(Kim et al. 2007).
Sel dikulturkan pada slide
chamber. Setelah sel melekat pada slide, chamber dibuang dan sel diwarnai. Sel apoptosis memancarkan cahaya fluoresen. Pewarna HOECHEST 33258 (benzamidin) berikatan dengan pasangan basa A-T dan menghasilkan cahaya fluoresen.Pewarna etidium bromida-akradin oranye juga digunakan untuk mendeteksi sel apoptosis. Etidium bromida berikatan dengan DNA terfragmentasi pada sel apoptosis dan memancarkan cahaya flouresen berwarna oranye,
25
sedangkan dengan sel tidak apoptosis memancarkan cahaya fluoresen hijau (Sukardiman et al. 2005).
2.5.5.2. Spektrofotometri Viabilitas sel dianalisis dengan metoda MTT (3-(4,5-dimetyltiazol, 2il)-2-5difeniltetrazolium bromida)yang didasarkan pada kemampuan enzim dehidrogenase mitokondria mengkonversi substrat MTT (berwarna kuning) menjadi formazan (berwarna biru, tidak larut air). Intensitas warna formazan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm (Doyle & Griffths 2000). Keberadaan enzim caspase-3 dapat dideteksi dengan teknik kolorimetri maupun fluorometri.
Pada metoda kolorimetri, Caspase-3memotong substrat
sintetisAc-DVED-pNA(Acetyl-Asp-Glu-Val-Asp-pNA). Kromofor-p-nitro anilida (p-NA) yang lepas diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelom-bang 405nm. Aktifitas caspase proporsional dengan intensitas warna yang diha-silkan oleh p-NA.Teknik kolorimetri ini dilaporkan oleh Kim et al. (2005). Pada metoda fluorometri, enzim caspase-3 memotong substrat sintetis DEVD yang dikonjugasi dengan molekul fluoresen 7-amino-4-trifluoromethyl coumarin (AFC). Fluorokhrom yang lepas dideteksi pada panjang gelombang 400 nm (eksitasi) dan 505 nm (emisi).
2.5.5.3. ELISA (Enzyme Linked immunosorbant Assay). ELISA merupakan salah satu teknik immuno assayyang dipergunakan untuk menganalisis protein/ekpresi gen (Beck et al. 2002) dan(Kim et al. 2007). Metoda ELISA pada prinsipnya merupakan aplikasi reaksi spesifik antigenantibodi. ELISA dibedakan menjadi tiga jenis yaitu langsung, tidak langsung dan kompetisi. Untuk mendeteksi caspase-3, Bender MedSystems mengembangkan kit komersial ELISA yang termasuk dalam jenis ELISA langsung. Antibodi spesifik (antibodi I) yaitu, anti humancaspase-3 diikat pada sorben. Anti bodi tersebut digunakan untuk menangkap antigen caspase-3 yang ada di dalam sampel/standar. Komplek antigen-antibodi I diikat oleh antibodi pendeteksi (Antibodi II) yang dikonjugasi
enzim (umumnya HRP: Horse Redish Peroxidase).Bila enzim
26
tersebut direaksikan dengan substrat maka dihasilkan senyawa berwarna yang intensitasnya diukur dengan bantuan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu. Teknik ELISA memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih tinggi dibanding teknik kolorimetri atau fluorometri. 2.5.5.4. Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) RT-PCR pada dasarnya adalah reaksi amplifikasi DNA dengan enzim polimerase (PCR: Polymerase Chain Reaction) yang dimonitor dari waktu ke waktu (real time) dengan bantuan kamera atau detektor.
Pewarna fluoresen
(contoh SYBR Green) yang mampu berikatan dengan DNA digunakan untuk menandai produk amplifikasi. Produk amplifikasi ini diwujudkan dalam suatu grafik amplifikasi yang menyatakan hubungan antara siklus PCR dengan intensitas fluoresen. Model matematika dikembangkan untuk menghitung ekpresi gen (Pfaffl 2001). House keeping gen seperti GAPDH (Glyceraldehyde 3Phosphate Dehydrogenase) digunakan untuk menormalisasi gen-gen yang menjadi target analisis. Aplikasi teknik RT-PCR untuk analisis ekspresi gen-gen yang berkaitan dengan apoptosis dilaporkan oleh (Nohara et al. 2007; Mbazima et al. 2008).
27
3. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
dilaksanakandiLaboratorium
Balai
BesarPenelitian
dan
Pengembangan Pascapanen di Cimanggu Bogor, Laboratorium Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi Subang Jawa Barat dan Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Satwa Primata IPB Lodaya Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2009hingga Desember 2010.
3.2. Bahan Beras varietas Cisokan diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Pati sagu (dari batang sagu: aci kirai) dibeli dari unit pengolah sagu rakyat di Sukabumi Jawa Barat.
Enzim amilase dan pululanase diperoleh dari
distributor NOVO (PT Halim Sakti Pratama, Jakarta).
Spesifikasi keduanya
dicantumkan dalam Lampiran 1. Strain bakteri C. butyricum BCC B2571 diperoleh dari Balai Besar Veteriner di Bogor sedangkan strain bakteri E. rectaleDSM 17629 dibeli dari Koleksi Kultur DSM (Deutsche Sammlung von Mikroorganismen und Zellkulturen GmbH) di Jerman. Sel epitel non kanker VERO diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP IPB. Sel ini digunakan pada uji toksisitas sebagai kontrol mewakili sel non kanker. Sel VERO ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker. Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel lestari asal kanker kolon manusia HCT-116 ATCC CCL-247TMmerupakan donasi dari Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Jakarta.
3.3. Metode Penelitian Penelitian diawali dengan mendapatkan pati beramilosa tinggi dari sagu dan beras. Pati diproses melalui kombinasi retrogradasi dan hidrolisis enzimatis untuk mendapatkan RS3. RS3selanjutnya disuplementasikan di dalam medium pertumbuhan untuk fermentasi (in vitro). Keluaran (output) dari kegiatan tersebut berupa profil SCFA dan berdasarkan profil tersebut dipilih RS3 yang potensial sebagai
28
subtrat fermentasi lebih lanjut. Indikatornya adalah konsentrasi butirat >40 mM dengan rasio molar asetat : propionat : butirat sekitar 2 : 1 : 1. Fermentasi (in vitro) dengan substrat potensial dilaksanakan
untuk mendapatkan produk fermentasi
(supernatan) yang kemudian dipaparkan pada sel HCT-116. Keluaran dari kegiatan berupa sel HCT-116 yang dihambat proliferasinya. Garis besar tahap penelitian dicantumkan dalam Gambar 6. Beras (Cisokan) & Sagu: amilosa tinggi Ekstraksi Pati beramilosa tinggi Retrogradasi; Hidrolisis : amilase, pululanase, kombinasinya RS3
Tahap I
Fermentasi in vitro: C.butyricum BCC B2571, E.rectale DSM 17629
Output I: Profil SCFA
Aplikasi supernatan mengandung SCFA pada HCT-116
Analisis: Hambatan proliferasi, apoptosis ekspresi gen Bax dan Bcl2 Caspase-3 Tahap II Output II: Proliferasi HCT-116 terhambat dan apoptosis
Gambar 6 Diagram alir penelitian
29
3. 3.1.Tahap I: Pembuatan RS3 dan Pemanfaatannya sebagai Substrat Fermentasi 3. 3. 1. 1. Produksi RS3 Pati beras diekstrak dengan larutan alkali (Wang &Wang 2004). Tata cara ekstraksi adalah sebagai berikut: tepung beras ditambah dengan larutan NaOH 0,1%, 1 L, diaduk terus-menerus selama 1 jam kemudian disaring dengan 2 lapis kain saring. Filtrat dikumpulkan, disentrifugasi 1500 g,4oC selama 7 menit. Supernatan dibuang, endapan bagian atas (protein) dipisahkan dari endapan bagian bawah (pati). Fraksi pati ditambah NaOH 0,1% 1 L kemudian diperlakukan dengan cara yang sama. Fraksi pati disuspensikan dengan akuades (250 mL) kemudian dinetralkan dengan HCl 1 M dan disentrifugasi. Endapan dibilas satu kali lagi dengan cara yang sama kemudian endapan pati dikeringkan di dalam oven 40oC selama kurang lebih 18 jam. Pati digiling halus kemudian disimpan hingga digunakan. Sedangkan pati sagu hanya dicuci ulang (tiga kali) dan dikeringkan kemudian disimpan hingga digunakan. Pati beras atau sagu diproses menjadi RS3 mengikuti cara yang diuraikan oleh Kim et al. (2003)dengan sedikit modifikasi.
Secara ringkas prosedurnya adalah
sebagai berikut: pati (50 g) disuspensikan dalam 200 mL akuades, dipanaskan (100oC, 10 menit), diautoklaf (121oC, 15 Psi, 1jam) dan disimpan pada suhu 4oC selama 12-14 jam untuk menginduksi retrogradasi. Pati retrogradasi disuspensikan dalam 1 L akuades dan dihidrolisis dengan enzim. Perlakuan berikut diterapkan pada pati sagu maupun pati beras: (a) 106unitamilase/g substrat, 1 jam, 85oC, (b) 4500 unit pululanase/g substrat , 3 jam, 55oC, (c) 106amilase/g substrat, 1 jam, 85 oC dilanjutkan dengan 4500 unit pululanase/g substrat, 3 jam, 55 oC. Hidrolisat dipisahkan dengan bantuan sentrifugasi (1500 g), endapan dikumpulkan dan disimpan pada suhu 10oC selama 16-18 jam. Endapan disuspensikan dalam akuades dan dihomogenkan kemudian dikeringkan dengan pengering semprot yang memiliki suhu inlet 160oC.
3. 3. 1. 2. Analisis Proksimat dan Kadar Amilosa
30
Kadar air, abu, protein dan mineral di dalam pati sagu dan beras dianalisis dengan metode standar (AOAC 2006), sedangkan kadar amilosa pati dianalisis menggunakan metoda kolorimeteri (Juliano 1971).
3.3.1.3. Analisis Kadar RS Kadar RS3 dianalisis menurut metoda Goni et al. (1996).
Contoh (50 mg)
didispersikan di dalam 5 ml larutan KCl-HCl pH 1,5 dan diinkubasi dengan 4400 unit larutan pepsin pada suhu 40oC selama 1 jam untuk menghilangkan protein. Bufer tris maleat 0,1 MpH 6.9 (4.5 mL) ditambahkan ke dalam campuran contoh dan diinkubasi dengan amilase (100 unit) selama 16 jam pada suhu 37oC untuk menghidrolisis pati tercerna.
Contoh kemudian disentrifugasi (1000 g, 15 menit)
sebanyak dua kali. Supernatan dibuang sedangkan endapan dibasahi dengan
1,5
mLakuades dan dilarutkan dengan 1,5 mL KOH 4M. Larutan RS dicampur dengan 2 M HCl dan bufer sodium asetat (0,4M) pH 4,75, kemudian diinkubasi dengan 100 unitlarutan amiloglukosidase pada 55oC selama 45 menit.
Contoh disentrifugasi
(1000 g selama 15 menit) dan supernatannya dikumpulkan.
Glukosa dalam
supernatan diukur dengan metoda phenol-asam sulfat (Dubois et al. 1956).
RS
dihitung sebagai glukosa x 0,9 dan dinyatakan dalam persen terhadap berat contoh awal.
3.3.1.4. Fermentasi (in vitro) Bakteri (keadaan liofilisasi) diaktifkan. SelanjutnyaC. butyricumBCC B2571 dipelihara dalam mediaReinforced Clostridia Media (RCM), dan E. rectaleDSM 17629 dalam mediaPeptone Yeast-extract Glucose (PYG) (Lampiran 2).
Kultur
disegarkan secara berkala. Botol serum diisi 20 ml media RCM atau PYG dengan sumber karbon berupa 1% RS3 dan 0,5% glukosa. Botol ditutup dengan septum karet kemudian disterilkan (121oC, 15 menit). Media diinokulasi dengan kultur stok (109 koloni/mL dan berada pada fase log) dibawah aliran gas CO 2 , diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Fermentasi (in vitro) dengan sumber karbon glukosa (1,5%) juga dikerjakan.Pada
31
akhir fermentasi, sel bakteri dipisahkan dengan sentrifugasi dan supernatan dikumpulkan.
3.3.1.5. Pengukuran Aktivitas Amilolitik pada Media Berpati Degradasi pati oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 diketahui dengan mengukur luas zona bening pada cawan agar yang disuplementasi dengan RS3 (0,2%). C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 (30 µL) ditransfer ke dalam “sumur” yang ada pada cawan agar. Cawan kemudian diinkubasi di dalam anaerobic jar pada 37 oC selama 48 jam. Zona bening visualisasi dengan meneteskan larutan I 2 -KI kemudian luasnya diukur.
3.3.1.6. Pengukuran Gas dan pH Gas yang dihasilkan di dalam botol fermentasi diukur volumenya dengan cara mengalirkan gas ke dalam syringe. Alat pH meter digunakan untuk mengukur pH media pada akhir fermentasi.
3.3.1.7. Analisis Asetat, Propionat dan Butirat Media fermentasi disentrifugasi (3000 g selama 10 menit). Supernatan disaring dengan membran 0,22 μm. Contoh (1μl)diinjeksikan ke instrumen khromatografi gas (Agilent Technologist, 7890A GC System) yang dilengkapi dengan flame ionization detector(FID) dan kolom HP Innowax 19091-136 coloum (60 m x 0.250 mm). Gas pembawa berupa helium berkecepatan 1,8 ml/menit, dan rasio split 40:1. Oven diatur pada suhu 90oC selama 0,5 menit, kemudian dinaikkan secara bertahap menjadi 110oC dengan kecepatan 10oC/menit, meningkat ke 170oC dengan kecepatan 5oC/menit dan akhirnya menjadi 210oC dengan kecepatan 20oC/menit. Suhu injektor dan detektor adalah 275oC. Campuran SCFA terdiri dari asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi bervariasi dari 10 mM hingga 50 mM digunakan sebagai standar.
3.3.2. Tahap II: Aplikasi Supernatan pada Sel Kanker
32
3.3.2.1. Kultur sel Sel VERO atau sel HCT-116 dipelihara di dalam mediaDulbescco’s Modified Eagle’s Media (DMEM) yang dilengkapi dengan 10% fetal bovine serum(FBS), 100U/mLpenisilin dan 100ug/mLstreptomisin.
Sel diinkubasi pada 37oC, 5%
CO 2 .Kompoisi DMEM dicantumkan dalam Lampiran 3. Untuk keperluan uji toksisitas, sel VERO atau sel HCT-116 (sekitar 3 x 104 sel) ditumbuhkan di dalam 24 well plate. Setelah sel mencapai sekitar 50% konfluen, medium dibuang dan diganti oleh medium serupa dengan atau tanpa perlakuan supernatan.
Untuk perlakuan, supernatan diencerkan dengan DMEM hingga
dihasilkan beberapa konsentrasi asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi asetat, propionat, butirat pada supernatan C. butyricum BCC B2571 adalah sebagai berikut: Perlakuan 1 (3,4 mM; 3,0 mM; 2,7 mM), Perlakuan 2 (6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM), Perlakuan 3 (13,6 mM; 12,0 mM; 10,6 mM).
Pada supernatan E.recatale DSM
17629 konsentrasinya adalah: Perlakuan 1 (3,7 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (7,3 mM; 8,4 mM; 7,2 mM), Perlakuan 3 (14,7 mM; 16,7 mM; 14,3 mM). Pada penelitian selanjutnya, sel HCT-116 (1-2 x 106)dikulturkan di dalam tabung berukuran 75 mL. Setelah kepadatan sel mencapai sekitar 50%, kultur diinkubasi lebih lanjut selama 48 jam dengan atau tanpa perlakuan supernatan. Perlakuan yang diterapkan berupa Perlakuan 1 dan
Perlakuan 2 supernatan C.buty-
ricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 seperti disebutkan sebelumnya. Pada akhir masa inkubasi, sel dipanen dengan bantuan tripsin.
3.3.2.2. Penghitungan Jumlah sel Sel diwarnai dengan tryphan blue 0,1%. Jumlah sel (hidup dan mati) dihitung dengan hemositometer dibawah mikroskop inversi. Penghambatan proliferasi sel dihitung sebagai berikut: Penghambatan Proliferasi = ((A-B)/B) x 100% Keterangan: A = jumlah sel hidup kontrol (tanpa perlakuan supernatan) B = jumlah sel hidup akibat perlakuan supernatan 3.3.2.3.Deteksi Apoptosis
33
Sel HCT-116 (104) dikulturkan di dalam 8-well slide chamberselama 24 jam. Media dibuang kemudian diganti dengan media serupa yang sudah dicampur dengan supernatan yang mengandung SCFA hasil fermentasi RS3. Kontrol berupa sel HCT116 yang dikulturkan dengan media yang tidak berisi supernatan hasil fermentasi. Inkubasi dilanjutkan lagi selama 48 jam. Sel kemudian difiksasi dengan 2% larutan glutaraldehidaselama 1 jam kemudian diwarnai dengan 10 mg/L Hoechst 33258 selama 30 menit. Sel segera dicuci dengan phosphate buffer saline (PBS).
Sel
diamati dibawah mikroskop fluoresen pada eksitasi 365 nm dan emisi 460 nm.Sel mati apoptosis ditandai oleh degradasi kromatin dan pendaran cahaya sangat jelas. Sel apoptosis diamati secara semi kuantitatif dengan cara menetapkan skor berikut: 0 (0–1 pendaran/lapang pandang), +1 (2–4 pendaran/lapang pandang), +2 (5–6 pendaran/lapang pandang) dan +3 (0 > 6 pendaran /lapang pandang).
3.3.2.4.Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)Untuk Analisis Ekspresi Gen Bax dan Bcl-2 3.3.2.4.1. Ekstraksi total mRNA mRNA diisolasi dari sel HCT-116 dengan bantuan kit komersial (RNeasy Kitt, Qiagen) mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh produsen. Konsentrasi mRNA kemudian diukur dengan spektrofotometer (SmartSpec-Plus, Biorad) pada260 nm. Prosedur lengkap ekstraksi mRNA dicantumkan dalam Lampiran 4.
3.3.2.4.2. Analisis RT-PCR Ekspresi relatif mRNA Bax dan Bcl-2 terhadap house keeping geneGAPDH diukur pada mesin RT-PCR (IQ5 Multicolor Real Time PCR Detection System, Biorad). Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen dicantumkan dalam Tabel 7.
Tabel7 Primer untuk amplifikasi gen pada analisis RT-PCR
34
Gen
Sekuen
Bax
Reverse primer : 5’-GCCTTGAGCACCAGTTTG-3’ Forward primer : 5’-CCCGAGAGGTCTTTTTCC-3’
Bcl-2
Reverse primer : 5’-CCTCTCCATCATCAACTT-3’ Forward primer : 5’-GCTCTAAAATCCATCCAG-3’
GAPDH
Reverse primer : 5’-TCAAAGGTGGAGGAGTGG-3’ Forward primer : 5’-CGGATTTGGTCGTATTGG-3’
Sumber: Nohara et al. 2007 Analisis RT-PCR dilaksanakan pada volume reaksi 25 μLdengan komposisi: 5 μl RNA template (sekitar 400 ng RNA), 1 μLprimer masing-masing gen,
12,5
μLcampuran reaksi 2 x SYBR Green RT-PCR, 0,5 μLreverse transcriptasedan 5 μLair bebas nuclease. Reaksi berlangsung pada kondisi: 50oC, 10 menit untuk aktivasi reverse transcriptase, 95oC, 5 menit untuk inaktivasi reverse transcriptase, kemudian reaksi diulang sebanyak 40 siklus pada 95oC selama 10 detik (denaturasi), 52oC
selama
10
detik
(annealing)
dan
72oC
selama
10
detik
(elongasi).Baselinedanthresholdditetapkan secara otomatis oleh piranti lunak yang terdapat di dalam mesin. Perpotongan kurva amplifikasi dengan nilai merupakan cycle
threshold
(C t ).
Semuacontoh
dinormalisasi
terhadap
ekpresi
gen
GAPDH(Glutaraldehyde-3 Phosphate Dehydrogenase) dan dinyatakan sebagai fold change.
Ekspresi gen relatif dihitung dengan metoda ∆∆C t (Pfaffl et al. 2002),
sebagai berikut: ΔC t kontrol = C t target - C t
referensi
ΔC t perlakuan = C t target - C t
referensi
ΔΔC t =ΔC t kontrol -ΔC t perlakuan Ekspresi gen (fold change) = 2ΔΔCt Keterangan: ΔC t kontrol = nilai C t dari sel kontrol (tanpa perlakuan supernatan) ΔC t perlakuan =nilai C t dari sel dengan perlakuan supernatan C t target =nilai C t gen target yaitu Bax atau Bcl-2; C t referensi = nilai C t GAPDH
35
3.3.2.5.Analisis Caspase-3 Caspase diukur dengan metoda ELISA dengan bantuan kit komersialHuman Caspase-3 Instant ELISA (Bender MedSystem) mengikuti instruksi yang ditetapkan oleh produsen. Sel dipanen kemudian dilisis dengan buferlisis.
Caspase-3 yang
terdapat di dalam lisat diukur jumlahnya.Caspase-3 di dalam lisat diikat oleh anti caspase-3 (antibodi I) yang menempel di dalam microwell.
Antibodi
poliklonal
(rabbit) anti human-caspase-3 berikatan dengan human caspase-3 yang diikat oleh antibodi (I), kemudian diikat oleh anti bodi pendeteksi (Anti-rabbit-IgG-HRP). Anti bodi pendeteksi yang tidak terikat dihilangkan dengan cara dicuci.
Substrat
(tetramethyl benzidine) ditambahkan ke dalam “sumur” bereaksi dengan HRP membentuk warna yang diukur dengan cara spektrofotometri pada panjang gelombang 450 nm. Intensitas warna sebanding dengan jumlah caspase-3 dan diukur jumlahnya dengan standar human caspase-3 yang disediakan.
Prosedur rinci
dicantumkan dalam Lampiran 5.
3. 4. Analisis Data Analisis deskripsi diterapkan pada data komposi kimia, kadar RS, dan ekspresi gen. Analisis kualitatif dan semikuantitatif diterapkan pada data apoptosis. Analisis sidik ragam dengan dua faktor diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian tahap I (fermentasi in vitro). Faktor pertama adalah strain bakteri dan faktor kedua jenis RS3.
Analisis sidik ragam dengan faktor tunggal diterapkan pada data yang
diperoleh pada penelitian tahap II (aplikasi supernatan pada sel HCT-116). Perlakuan berupa konsentrasi SCFA. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Bila perlakuan yang diuji menunjukkan pengaruh nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD) pada selang kepercayaan 5% (p<0,5). Analisis dikerjakan dengan bantuan piranti lunak SPSS 10.0.
36
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar RS pada Produk Asal Pati Sagu Lebih Tinggi Dibanding Kadar RSpada Produk Asal Pati Beras Komposisi bahan baku pati sagu dan pati beras dicantumkan dalam Tabel 8. Kadar amilosa di dalam pati sagu lebih tinggi dibanding pati beras. Tingkat kemurniannya sangat tinggi dan layak untuk diproses lebih lanjut menjadi produk RS3.Sifat fisiko kimia pati sagu berbeda dengan pati beras. Berdasarkan sifat pasta yang ditentukan dengan amilografi, sifat pasta pati sagu tergolong dalam tipe A (Purwani et al 2006) yaitu memiliki viskositas puncak sangat tinggi namun cepat encer saat pemanasan. Beras amilosa tinggi memiliki sifat pasta tipe B (viskositas puncak relatif rendah namun stabil saat pemanasan) atau C (tidak memiliki viskositas maksimum).
Hal ini
tergantung pada varietas beras.
(Purwani et al. 2007). Tabel 8 Komposisi kimia dan kadar amilosa pati sagu dan pati beras
Komponen kimia
Pati beras
Pati sagu
Amilosa (%)
29,68 +0,13
32,87 +0,19
Air (%)
12,72 +0,10
12,52 +0,14
Abu (%)
0,29 +0,01
0,07 +0,00
Protein (%)
2,23 +0,01
0,30 +0,00
Lemak (%)
0,24 +0,00
0,28+0,01
Pati harus digelatinisasi sempurna dan disimpan di suhu dingin terlebih dahulu sebelum dihidrolisis oleh enzim. Gelatinisasi merusak struktur granulanya sehingga pati lebih mudah diakses oleh enzim. Penyimpanan pada suhu dingin dimaksudkan untuk menginduksi re-asosiasi dan re-kristalisasi fraksi-fraksi pati (amilosa dan amilopektin). RS3 diperoleh dari bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh enzim, bagian ini dikeringkan dengan pengering semprot. RS3 berbentuk serbuk warna putih. Berdasarkan bahan baku dan enzim yang menghidrolisisnya, produk RS3 dinamakan sebagai berikut: RSSA (RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase),
37
RSSP (RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh pululanase), RSSAP (RS3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase dan pululanase), RSRA (RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh amilase), RSRP (RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh pululanase), RSRAP (RS3 asal pati beras yang dihidrolisis oleh amilase dan pululanase). Hidrolisis oleh amilase menghasilkan hidrolisat yang berwarna kecoklatan dan aroma manis, sedangkan hidrolisis dengan pululanase menghasilkan hidrolisat yang relatif bening dan tidak beraroma.
Hidrolisat berwarna kecoklatan dan
aroma manis juga dihasilkanoleh pati yang dihidrolisis oleh kombinasi amilase dan pululanase.Warna dan aroma tersebut berasal dari karamel yang terbentuk dari gula (hasil hidrolisis) yang dipanaskan pada suhu tinggi (85 oC) dan jangka waktu lama (3 jam). Hidrolisis pati oleh amilase menghasilkan campuran antara oligosakarida, maltosa dan glukosa. Senyawa-senyawa tersebut dibuang pada proses pembuatan RS3. Sisanya adalah α-limit dekstrin yang kemudian dikeringkan untuk mendapatkan RS3. Pululanase menghidrolisis ikatan glikosidik α–(1-6) pada fraksi amilopektin. Hasil hidrolisis berupa oligosakarida rantai lurus. Sebagian oligosakarida mampu membentuk struktur RS3 dan sebagian lainnya mengalami depolimerisasi. Depolimerasi fraksi hasil pemotongan ikatan glikosidik α-(1,6) oleh enzim pululanase dilaporkan oleh Faridah et al. (2010). Pati sagu menghasilkan produk RS3 dengan kadar pati resisten lebih tinggi dibanding pati beras. Kadar RS di dalam pati sagu atau pati beras alami masingmasing sekitar 11% dan 14%. Setelah diberi perlakuan enzim, kadar RS berubah menjadi 31-38% pada produk RS3 asal sagu dan 21-26% pada produk serupa asal pati beras (Gambar 7). Kadar amilosa dan sifat intrinsik pati tampaknya memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam pembentukan RS. Rantai amilosa cenderung berinteraksi sesamanya membentuk struktur helix ganda. Struktur ini lebih tahan terhadap hidrolisis enzim dibanding struktur lurus(Tester et al. 2004).Oleh karena itu, makin tinggi kadar amilosa makin banyak struktur heliks yang terbentuk.
38
45 40 35 Kadar RS (%)
30 25 20 15 10 5 0 K
A
P
AP
K
A
Sagu
P
AP
Beras Perlakuan enzim
Gambar 7 Kadar RS di dalam produk asal pati sagu dan pati beras. K: Kontrol, A: Amilase, P: Pululanase, AP: Amilase dan Pululanase Pati sagu dan pati beras juga memiliki struktur yang berbeda (Srichuwong et al. 2005a). Unit cabang amilopektin yang berderajat polimerisasai (DP) panjang (>13) pada pati sagu porsinya relatif lebih banyak (sekitar 63%) dibanding hal serupa yang ditemukan pada pati beras (sekitar 57%). Unit-unit rantai panjang tersebut mampu membentuk heliks dengan memperkuat ikatan hidrogen antar rantai dan mengelilingi daerah kristalin (Jane et al. 1999). Konsekuensinya, struktur inipun juga menjadi lebih tahan terhadap hidrolisis enzim.
Tingkat
kemudahan pati dihidrolisis oleh enzim sebenarnya juga ditentukan oleh ukuran granula (Tester et al. 2004). Makin besar ukuran granula makin kecil rasio antara permukaan terhadap volume dan akibatnya pengikatan enzim atau potensi hidrolisisnya berkurang. Namun, pengaruh ukuran granula terhadap hidrolisis enzim pada penelitian ini tampaknya tidak berpengaruh karena granula pati sudah rusak total akibat perlakuan gelatinisasi dan sterilisasi.
39
Bila diperhatikan secara rinci, terdapat perbedaan rendemen produk akibat perlakuan oleh enzim amilase, pululanase maupun kombinasi antara amilase dan pululanase. Pada pati sagu, perlakuan enzim amilase menghasilkan produk dengan kadar RS sekitar 32% dan rendemen rendah (sekitar 5%). Perubahan kadar RS tersebut mungkin karena hilangnya sebagian fraksi pati sehingga terjadi pemekatan RS. Kadar RS yang relatif sama namun rendemen tinggi (sekitar 18%) diperoleh pada pati sagu dengan perlakuan enzim pululanase.
Hal ini
mengindikasikan bahwa ada kontribusi fraksi lurus (hasil pemotongan enzim pululanase) terhadap pembentukan stuktur RS3.
Perlakuan kombinasi enzim
amilase dan pululanase memberikan rendemen rendah (5%), namun kadar RS (lebih dari 38%).
Pada kondisi ini, fraksi lurus (hasil pemotongan enzim
pululanase) tampaknya tidak mampu lagi membentuk struktur RS3. Dengan kata lain, perubahan kadar RS karena terjadi pemekatan. Keadaan serupa juga terjadi pada produk asal pati beras.
Perlakuan enzim amilase menghasilkan produk
dengan kadar RS sekitar 22% dengan rendemen sekitar 4%, perlakuan enzim pululanase menghasilkan produk dengan kadar RS 25% dengan rendemen sekitar 13%, dan perlakuan kombinasi amilase dan pululanase memberikan produk dengan kadar RS sekitar 27% dengan rendemen kurang dari 5%. Tingkat kemudahan pati terhadap hidrolisis enzim juga ditentukan oleh struktur amilopektin di dalamnya. Struktur amilopektin menggambarkan derajat kristalin dan ini dipelajari dengan menentukan tipe difraksi sinar X. Ada tiga tipe difraksi yaitu tipe A, B dan C. Tipe A ditemukan pada serealia, tipe B ditemukan pada kacang-kacangan dan ubi-ubian. Tipe C merupakan kombinasi antara tipe A dan tipe B. Pati beras dan sagu dilaporkan memiliki difraksi sinar X tipe A (Srichuwong et al. 2005a), namun Ahmad et al (1999) melaporkan bahwa sagu memiliki difraksi sinar X tipe C.
Perbedaan tersebut dapat saja terjadi
karena adanya perbedaan jenis sagu. Pati dengan difraksi sinar X tipe A lebih mudah dihidrolisis oleh enzim amilase dibanding tipe lainnya (Srichuwong et al. 2005a). Bila pati sagu yang digunakan pada penelitian ini memiliki difraksi sinar X tipe C, maka berarti pati tersebut relatif tidak mudah dihidrolisis oleh amilase. Keadaan ini diduga juga memberikan kontribusi terhadap pembentukan RS asal pati sagu.
40
Kadar RS yang dihasilkan pada penelitian ini sebanding dengan kadar RS pati jagung yang dibuat dengan cara hidrolisis oleh asam sitrat (Zhao & Lin 2009) dan bahkan lebih besar dibanding kadar RS yang terdapat di dalam pati sagu hasil hidrolisis pululanase (debranching starch). Kadar RS pada pati sagu debranching hanya sekitar 5-7%(Leong et al. 2007). Perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya jenis bahan baku, aktifitas enzimdan kondisi proses.
4.2.Degradasi RS3 oleh Bakteri C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 dipilih sebagai model karena selain diketahui sebagai pendegradasi pati dan penghasil butirat, keduanya mewakili bakteri yang secara normal berada di dalam kolon. Selain itu, keduanya termasuk dalam kelompok bakteri non patogen.
C.butyricum BCC
B2571 atau E.rectale DSM 17629 tumbuh secara anaerob obligat. C.butyricum BCC B2571 membentuk spora sedangkan E.rectale DSM 17629 tidak membentuk spora. Degradasi RS3 oleh C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectaleDSM 17629 diketahui melalui pembentukan zona bening pada medium agar yang mengandung RS3.
Adanya zona bening menunjukkan bahwa enzim pendegradasi pati
diekskresikan oleh bakteri dengan adanya RS3 di dalam medium. Luas zona bening dipengaruhi oleh interaksi antara jenis substrat dan bakteri (Lampiran 6a). Zona bening terluas dibentuk oleh C. butyricum BCC B2571pada medium berisi RSSP atau RSRP(Tabel 9). Di lain pihak, E. rectaleDSM 17629 tampak hanya sedikit mengeksresikan enzim pendegradasi pati. Dari Tabel 9 tampak bahwa tidak ada hubungan khusus antara luas zona bening yang dibentuk oleh C.butyricum BCC B2571 atauE.rectaleDSM 17629 dengan jenis pati maupun enzim yang dipergunakan untuk menghasilkan RS3. Sistem enzim pendegradasi pati pada kelompok bakteri gram positif penghasil butirat dilaporkan oleh (Ramsay et al. 2006). Enzim tersebut berada pada dinding sel bakteri sedemikian rupa sehingga situs hidrolisis enzim berdekatan dengan sistem transpor produk hidrolisis di dalam sel. Produk hidrolisis kemudian dimetabolisme lebih lanjut untuk memproduksi SCFA.
41
Selama fermentasi, C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 menghasilkan gas yang jumlahnya bervariasi ditentukan oleh bakteri dan substrat (Lampiran 6b). Nilai pH medium berubah menjadi asam (Tabel 9) dan nilai tersebut tidak dipengaruhi oleh bakteri maupun substratnya (Lampiran 6c). Komposisi gas tidak dianalisis namun dengan cara uji penyemprotan api diketahui bahwa gas tersebut bukanlah gas hidrogen karena diketahui tidak mudah terbakar.Gas yang dihasilkan kemungkinan adalah gas CO 2 . Tabel 9Zona bening, gas dan pH medium yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 17629yang diinkubasi pada medium berisi RS3 (1%) Perlakuan
Zona bening
Gas
(cm2)
(mL)
pH
C. butyricum BCC B2571 RSSA
2,83b
12,20b
4,35
RSSP
4,87c
9,30b
4,57
RSSAP
0,61a
6,75a
4,28
RSRA
0,64a
8,17ab
4,31
RSRP
5,28c
RSRAP
2,75b
8,70ab
4,43
RSSA
0,90a
5,90a
4,64
RSSP
1,00a
8,20ab
4,74
RSSAP
1,32a
5,60a
4,68
RSRA
0,80a
10,25b
4,67
RSRP
1,35a
9,65b
4,77
RSRAP
0,72a
10,60b
4,65
11,93b
4,36
E.rectaleDSM 17629
a
Angka di dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan beda nyata (p<0.05). 4.3. Produksi SCFA selama Fermentasi in vitro Jumlah dan komposisi SCFA selama fermentasi dipengaruhi oleh jenis bakteri dan RS3 yang disuplementasikan ke dalam medium (Lampiran 6d, 6e, 6f).
42
SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectaleDSM 17629 selama fermentasi RS3 dicantumkan dalam Tabel 10. Secara umum total SCFA yang dihasilkan oleh kedua jenis bakteri tersebut sebanding dan SCFA yang dominan adalah asetat.
Pada penelitian ini, C. butyricum BCC B2571
mampu menghasilkan butirat pada konsentrasi hingga 46 mM di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA. Nilai tersebut lebih tinggi (p<0.05) dari pada butirat yang dihasilkannya di dalam medium yang disuplementasi dengan RS3 lainnya, yaitu RSSP, RSSAP, RSRA, RSRP danRSRAP.
Tabel 10SCFA yang dihasilkan oleh C.butyricum BCC B2571 dan E.rectaleDSM 17629di dalam medium berisi RS3 (1%) Perlakuan
Asetat (mM)
Propionat (mM)
Butirat (mM)
RSSA
83,70b
47,57b
46,70b
RSSP
46,71ab
8,90a
17,65a
RSSAP
18,04a
11,90a
11,14a
RSRA
57,76ab
17,80a
18,14a
RSRP
52,19ab
24,37a
21,76a
RSRAP
48,88a
7,95a
27,05a
RSSA
66,74ab
38,70ab
46,05b
RSSP
93,76b
52,30b
59,39b
RSSAP
74,53ab
31,97ab
44,93b
RSRA
108,08b
27,63a
33,99a
RSRP
21,12a
5,64a
6,03a
RSRAP
40,12a
14,95a
22,46a
C. butyricum BCC B2571
E.rectaleDSM 17629
a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05).
Butirat dengan konsentrasi >40 mM dihasilkan olehE. rectaleDSM 17621 tidak hanya di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSA tetapi juga di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSP maupun RSSAP. Nilai tersebut lebih tinggi (p<0.05) dari pada butirat yang dihasilkan di dalam medium yang
43
disuplementasi dengan RSRP. Proporsi butirat mencapai 19% hingga 33% dari SCFA total. Perbedaan tersebut diduga berkaitan dengan perbedaan sifat fisik/polimorfisme.
Lesmes et al. (2008) melaporkan bahwa perbedaan
polimorfisme RS3 menginduksi strain bakteri kolon yang berbeda pula. Fermentasi RS3 diarahkan untuk menghasilkan butirat berkonsentrasi tinggi. Seperti yang diharapkan, fermentasi RSSA oleh C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi berturut-turut 84mM, 48 mM dan 46 mM atau pada rasio molar sekitar 1,8 : 1 : 1. Fermentasi RSSA oleh E.rectaleDSM 17629 menghasilkan asetat 66 mM, 38 mM propionat dan 46 mM butirat atau rasio molar sekitar 1,7 : 1 : 1.2. Asetat, propionat dan butirat pada konsentrasi tinggi yaitu masing-masing 93 mM, 52 mM dan59mMatau ra-sio molar 1.8 : 1 : 1 juga dihasilkan olehE.rectaleDSM 17629 di dalam medium yang disuplementasi dengan RSSP.Produksi SCFA oleh C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629lebih tinggi pada medium fermentasi dengan glukosa sebagai sumber karbon tunggal. C. butyricum BCC B2571 menghasilkan asetat, propionat dan butirat 115 mM, 47 mM dan 53 mM atau rasio molar 2,4:1:1,1, sedangkan E.rectale DSM 17629 menghasilkan asetat 594 mM, propionat 291 mM dan butirat 287 mM atau rasio molar 2:1:1 (Lampiran 7). RS3 merupakan substrat ideal untuk produksi butirat dan hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh peneliti lain. Konsentrasi butirat yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari fermentasi RS3 oleh kultur campuran bakteri asal feses manusia (Lesmes et al. 2008; Zhao & Lin 2009) dan sebanding dengan konsentrasi butirat pada studi yang dilaporkan oleh Reid et al.(1996dan1998).
Sejalan dengan keaadaan di atas, tingginya SCFA yang
dihasilkan oleh kultur murni (tunggal) diduga berkaitan dengan tidak adanya kompetisi antar strain bakteri.
Tabel 11 menampilkan perbandingan hasil
fermentasi in vitro RS3. Produksi SCFA oleh C.butyricum BCC B2573 maupun E.rectale DSM 16729 di dalam medium yang disuplementasi dengan RS3 lebih kecil dibanding dengan SCFA yang dihasilkannya di dalam medium tanpa suplementasi RS3 (glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon). Glukosa merupakan gula
44
sederhana yang siap dimetabolisme oleh bakteri. Hal ini berbeda dengan RS3 yang sifatnya lebih kompleks dibanding glukosa.
Tabel 11 Hasil fermentasi in vitro pada subtrat RS3 RS3
Inokulan
Kentang
C. butyricum
Asetat (mM) 42
Propionat (mM) -
Butirat (mM) 78
Pustaka
Reid et al. (1996)
Kentang
C. butyricum
21
-
54
Jagung
Ekstrak feses
ttd-14,14
ttd- 5,29
Ttd – 0,75
Lesmes et al. (2008)
Reid et al. (1998)
Jagung
Ekstrak feses
4 - 18
2 - 18
1-16
Zhao & Lin (2009)
Sagu; beras
C. butyricum;
18 - 108
5 - 52
6 - 59
Penelitian ini
E.rectale
ttd: tidak terdeteksi Keadaanin vivo sangat berbeda dengan kondisi in vitro. In vivo, glukosa berasal dari fermentasi selulosa oleh bakteri dan tersedia dalam jumlah sangat terbatas terutama di saluran pencernaan bagian bawah. Olehkarena itu, penambahan RS3 sangat diperlukan. Hal ini sangat penting untuk memicu agar bakteri penghasil butirat mampu berkompetisi dengan spesies lainnya. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa RS3 masih efektif karena bakteri mampu memanfaatkan RS3 untuk menghasilkan butirat. Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat sudah dilaporkan. Menurut Miller dan Wolin (1996), asetat berasal dari CO 2 melalui jalur Wood Ljungdahl; propionat melalui jalur fiksasi CO 2 dan butirat berasal dari kondensasi dua molekul asetil-Coenzim A. Ada dua jalur alternatif pada tahap akhir sintesis butirat. Pertama jalur butirat kinase. Enzim fosfotransbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoAmenjadi butiratdengan membentuk produk perantara butirilfosfat. Kedua, jalur butiril-CoA transferase. Enzim butiril-CoA:asetat CoAtransferasementransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga menghasilkan asetil-CoA dan butirat. Jalur fosfotransbutirilasedan butirat kinase banyak ditemukan pada bakteri solventogenik C. acetobutylicum(Cary et al. 1988). Jalur butiril-CoA transferase merupakan jalur dominan bagi bakteri penghasil butirat yang ditemukan pada usus besar atau kolon (Louis et al. 2004). Butirat yang dihasilkan oleh C. butyricum BCC B2571 pada penelitian ini diduga dibentuk melalui jalur butiril CoA transferase. Hal ini didasarkan pada data yang menunjukkan adanya akumulasi asetat. Penelitian lain secara terpisah
45
juga
menunjukkan
adanya
pergeseran
metabolit
yang
dihasilkan
olehC.butyricumBCC B2571bila bakteri tersebut ditumbuhkan di dalam kondisi yang berbeda (Purwani et al. 2009). Jalur serupa kelihatannya juga digunakan oleh
E. rectale DSM17629.Hasil penelitian ini konsisten dengan studi yang
dilaporkan oleh Duncan dan Flint (2008). yang menyatakan bahwa E.rectale pada kondisi invitro mengkonsumsi asetat untuk membentuk butirat. Metabolisme fermentasi (in vivo) ditentukan oleh perubahan populasi mikroba. Pada kasus fermentasi RS3, peran penting C. butyricum BCC B2571 atau E.rectaleDSM 1769 sebagai pendegradasi pati dan penghasil butirat sudah sangat jelas. RS3 dari sagu yang diperoleh dengan hidrolisis amilase (RSSA) atau pululanase (RSSP) dianggap potensial ditinjau dari kemampuannya sebagai substrat, masing-masing oleh C. butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629. Hal tersebut dapat menjadi bagian dari strategi dalam upaya meningkatkan populasi bakteri penghasil butirat. Butirat merupakan salah satu ciri bagi pangan fungsional yang ditujukan bagi kesehatan organ kolon. Bahan pangan yang tidak tercerna dan mampu memodifikasi komposisi mikroflora usus besar sedemikian rupa sehingga menguntungkan kesehatan inang dikenal sebagai prebiotik (Gibson & Roberfroid 1995). Prebiotik telah menjadi fokus perhatian berbagai pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS3 yang dibuat melalui hidrolisis enzim memiliki peluang untuk berperan sebagai prebiotik. Secara umum pati resisten dianggap sebagai bagian dari komponen serat pangan.
Purwani et al (2009)
melaporkan bahwa RS3 mampu menstimulasi pertumbuhan C.butyricum BCC B2571. Studi lain yang tidak dipublikasi juga menunjukkan bahwa RS3 menstimulasi pertumbuhan E.rectale DSM 17629 dan membentuk SCFA termasuk butirat. Kemampuan butiratmenghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis sel kanker kolon diuraikan pada sub bab berikutnya.
4.4. Aplikasi Supernatan Hasil Fermentasi RS3 untuk Menghambat Proliferasi dan Menginduksi Apoptosis Sel HCT-116. 4.4.1. Uji Toksisitas Berdasarkan hasil penelitian di atas, supernatan hasil fermentasi RSSA oleh C.butyricum BCC B2571 atau RSSP oleh E.rectaleDSM 16729 dipilih untuk
46
dipelajari kemampuannya dalam menghambat proliferasi dan menginduksi sel kanker. Komposisi SCFApada supernatan dicantumkan pada Lampiran 8. Penelitian didahului dengan uji toksisitas terhadap sel VERO. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang berasal dari organ ginjal kera hijau Afrika. Uji toksisitas dimaksudkan untuk konfirmasi bahwa perlakuan supernatan pada batas konsentrasi tertentu tidak mengganggu sel non kanker. Sel VERO dipilih karena hingga saat ini sel lestari asal organ kolon normal tersedia sangat terbatas dan secara komersial tidak bisa diperoleh.Hasil uji toksisitas supernatan C.butyricum BCC B2571 dan E.rectale DSM 17629 terhadap sel VERO dan HCT-116 ditampilkan dalam Tabel 12, 13 dan Lampiran 9a, 9b, 9c dan 9d. Hasil uji toksitas menunjukkan bahwa supernatan yang mengandung SCFA (asetat, propionat, butirat) <10 mMbersifat tidak toksik atau tidak menghambat proliferasi sel VERO namun toksik terhadap sel HCT-116.Hal ini diduga ada hubungannya dengan perbedaan sifat permukaan sel. Permukaan sel normal memiliki bentuk mikroviliseragam, sedangkan mikrovili sel kanker tidak seragam (Kahan et al. 976). Dengan kondisi tersebut, SCFA dari luar sel diangkut ke dalam sel untuk memenuhi kebutuhan reguler sel normal, yaitu sebagai sumber energi dan metabolisme.
Namun pada sel kanker
(memiliki DNA cacat) SCFA ini
menghambat enzim HDAC sehingga mengubah ekspresi sejumlah gen yang berkaitan dengan siklus sel dan apoptosis.
Tabel 12 Pengaruh supernatan C.butyricum BCC B2571 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 Sel
Sel hidup (x 104) pada perlakuan
% hambatan proliferasi pada
Kontrol
P1
P2
P3
Kontrol
P1
P2
P3
VERO
5,0
8,3
5,8
0,0
0,0
-66,7
-16,7
100,0
HCT-116
10,0
8,7
7,8
3,3
0,0
13,3
21,7
66,7
Keterangan: Asetat, propionat, butirat pada: P1 = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,7 mM; P2 = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM; P3 = 13,6 mM; 12,0 mM; 10,6 mM
47
Tabel 13 Pengaruh supernatan E.rectale DSM 17629 terhadap jumlah sel hidup dan hambatan proliferasi sel VERO dan HCT-116 Sel hidup (x 104) pada
Sel
% hambatan proliferasi pada
Kontrol
P1
P2
P3
Kontrol
P1
P2
P3
VERO
3,3
5,0
3,8
2,0
0,0
- 53,8
- 15,4
38,5
HCT-116
12,3
4,8
3,5
1,8
0,0
61,2
71,4
85,7
Keterangan: Asetat, propionat, butirat pada: P1 = 3,7 mM; 4,2 mM; 3,6 mM; P2 = 7,3 mM; 8,4 mM; 7,2 mM; P3 = 14,7 mM; 16,7 mM; 14,3 mM Umumnya studi in vitro pada kultur sel kanker jugamenggunakan konsentrasi butirat <10mM (Whitehead et al. 1986, Singh et al. 1997, Ruemmele et al. 1999, Avivi-Green et al. 2002, Nohara et al. 2007). Disamping itu, studi dengan manusia sebagai model menunjukkan bahwa konsentrasi SCFA di dalam fesesnya sangat rendah
(29 µmol g-1-95 µmol g-1)seperti dilaporkan oleh
Schwiertz et al. (2002). Supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 dengan komposisi asetat, propionat dan butirat yang terdapat pada Perlakuan 1 dan Perlakuan 2 dipaparkan pada sel kanker kanker HCT-116. Karakteristik molekuler sel HCT-116 adalah sel mengalami mutasi pada gen ß-catenin dan ras dan tidak mengekspresikan COX2. Sel ini sudah umum digunakan pada penelitian kanker (Ahn dan Schroder 2002). 4.4.2. SCFA di dalam Supernatan Menghambat Proliferasi Sel HCT-116. Perlakuan/paparan supernatan mengakibatkan perubahan morfologi pada sel HCT-116.
Sel HCT-116 yang diberi perlakuan supernatan sebagian besar
mengelupas dan mengapung di dalam medium setelah 48 jam inkubasi. Sel HCT116 kontrol masih melekat (Lampiran 10).Perlakuan berupa paparan supernatan memberikan pengaruh signifikan (p<0,05) terhadap viabilitas, jumlah sel total dan hambatan proliferasi sel HCT-166 (Lampiran 11). Jumlah sel hidup dan total sel HCT-116 berbanding terbalik dengan konsentrasi asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan (Gambar 8), sedangkan hambatan proliferasi sel HCT-116 sebanding dengan konsentrasi asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan (Gambar 9). Hambatan sudah terjadi pada konsentrasi butirat 2,6 mM (Perlakuan
48
1 supernatan dari C.butyricum BCC B2571). Hambatan tertinggi terjadi pada konsentrasi butirat 7,2 mM (Perlakuan 2 supernatan dari E.rectaleDSM 17629). A
B
Gambar 8 Pengaruh supernatan terhadap jumlah sel HCT-116. (A). Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM). (B) Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM).
49
A
B
Gambar 9.Pengaruh supernatan terhadap hambatan proliferasi sel HCT-116. (A). Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM). (B) Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM).
50
Hasil di atas sejalan dengan studi yang dilaporkan oleh peneliti
lain.
Ruemmele et al. (1999) melaporkan bahwa butirat menghambat proliferasi sel kanker kolon Caco-2. Efek penghambatan mulai terjadi pada konsentrasi 0,1 mM dan hambatan maksimal (sekitar 30%-50%) terjadi pada konsentrasi 10mM. Hatayama et al. (2007) melaporkan bahwa perlakuan butirat juga menghambat proliferasi
sel
LS174T,
dimana
besarnya
hambatan
tergantung
pada
konsentrasinya. Sel yang diberi perlakuan butirat 1 atau 2 mM jumlahnya lebih kecil dibanding sel yang tidak diberi perlakuan butirat.
4.4.3. Apoptosis, Ekspresi mRNA Bcl-2 dan Bax Apoptosis (sel mati bunuh diri) adalah suatu bentuk kematian sel. Apoptosis berperan penting dalam perkembangan organisme multi seluler. Apoptosis juga penting untuk regulasi dan pemeliharaan populasi sel pada suatu jaringan dibawah kondisi fisiologi dan patologi(Mbazima et al. 2008). Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan memiliki ciri-ciri sel apoptosis yang meliputi pengerutan sel, kondensasi bahkan fragmentasi khromatin. Dibawah mikroskop fluoresen, sel tersebut tampak berpendar sedangkan sel HCT116 yang tidak diberi paparan SCFA tidak berpendar (Gambar 10). Apoptosis terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B25671 maupun E.rectaleDSM 17629. Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116 yang diukur secara semikuantitatif dicantumkan dalam Tabel 14. Apoptosis terbesar terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C.butyricum BCC B2571. Tidak tampak hubungan yang jelas antara besarnya skor/nilai apoptosis dengan konsentrasi SCFA (butirat). Hal ini dapat dipahami karena analisis tersebut bersifat semikuantitatif. Oleh karena itu, keberadaan sel apoptosis dikonfirmasi dengan pengamatan lain yang dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
51
Kontrol
C. butyricum Perlakuan 1
E. rectale Perlakuan 1
C. butyricum Perlakuan 2
E. rectale Perlakuan 2
Gambar10Pengaruh supernatan terhadap sel HCT-116 dengan pewarna HOECHST 3258. C. butyricum BCC B2571 Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM). E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM). Perbesaran 40 X Tabel 14 Pengaruh supernatan terhadap apoptosis pada sel HCT-116
Supernatan
Skor
Kontrol (Tanpa supernatan)
0
C.butyricumPerlakuan 1(asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM )
3
C. butyricumPerlakuan 2(asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,3 mM )
3
E.rectalePerlakuan 1(asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 7,2 mM)
2
E.rectalePerlakuan 2(asetat, propionat,butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM)
3
52
Hasil pengamatan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh peneliti lain. Avivi-Green et al. (2002) menyatakan bahwa butirat pada konsentrasi 2-10 mM mampu menginduksi apoptosis pada sel Caco2 atau RSB. Gejala serupa juga ditemukan pada penelitian yang melibatkan hewan model. LeLeu et al. (2002)melaporkan bahwa kadar SCFA dan butirat pada feses tikus berkorelasi positif dengan respon apoptosis akut pada distal colonic crypt. Pemberian pakan yang berisi RS terbukti mampu meningkatkan kadar SCFA di sekum dan kolon tikus dan hal ini mengurangi terjadinya neoplasma intestinal dan adenocarcinoma colorectal(Le-Leu et al. 2007).
Kim et al (2007) melaporkan
bahwa apoptosis pada sel HCT-116 dapat diinduksi oleh komponen bioaktif 3,3’-diindolylmethane (DIM). Apoptosis terjadi melalui dua jalur utama. Jalur pertama, apoptosis diaktivasi oleh pengikatan TNF (Tumor Necrosis Factor) atauFatty acid synthetase ligand (FasL) pada reseptor permukaan. Jalur ini dikenal dengan jalur ekstrinsikatau jalur kematian reseptor (death receptor pathway). Kedua, stres intrinsik (contoh kerusakan DNA atau keterbatasan growth factor) memicu sitokrom C keluar dari mitokondria. Jalur ini dikenal sebagai jalur intrinsik atau jalur mitokondria.Apoptosis melalui jalur mitokondria diatur oleh ekspresi gen dari famili Bcl-2 (B-cell lymphoma-2).
Famili gen Bcl-2 terdiri dari dua
kelompok yakni kelompok gen anti apoptosis dan pro-apoptosis. Famili Bcl-2 yang bersifat anti apotosis antara lain adalah Bcl-2, Bcl- XL maupun Bcl-W. Produk gen ini adalah protein yang berada di membran mitokondria dan berfungsi untuk menstabilkan integritasnya. Stabilnya membran mitokondria menghalangi sitokhrom C lepas sehingga sel menjadi tidak berapoptosis. Famili gen Bcl-2 proapotosis menyandi protein yang berada di sitosol dan berfungsi sebagai sensor ketika sel menerima rangsangan (misal kerusakan DNA). Protein ini mampu membentuk homodimer atau heterodimer dan bermigrasi dari sitosol ke membran mitokondria dan berinteraksi dengan protein anti apoptosis. Interaksi tersebut menghasilkan pori yang mengganggu stabilitas membran. Akibatnya sitokrom C menjadi lebih mudah lepas dan sel berapoptosis (Elmore 2007).Famili gen Bcl-2 pro apoptosis diantaranya adalah Bad, Bax dan Bad.
53
Ekspresi gen Bcl-2 dan Bax (B-lymphoma Cell associated X-protein) pada sel HCT-116 tanpa atau diberi paparan supernatan disajikan pada Gambar 11. mRNA (Lampiran 12) digunakan sebagai templateuntuk sistesis cDNA yang kemudian diamplifikasi dan hasilnya dimonitor secara real-timedikenal dengan RT-PCR. Hasil reaksi RT-PCR berupa plot amplifikasi yang contohnya disajikan pada Lampiran 13. Dari plot tersebut diketahui nilai C t setiap gen target kemudian dihitung ekspresinya (Lampiran 14). Ekspresi gen Bax atau Bcl-2 dipengaruhi oleh perlakuan yang diterapkan (Lampiran 15). Dari Gambar 11tampak bahwa supernatan C. butyricumBCC B2571 (berisi butirat2,6 dan 5,3 mM) meningkatkan (p<0.05) ekspresi Bax mRNA sebesar 7-9 kali dibanding ekspresinya pada sel HCT-116 yang tidak diberi paparan supernatan. Perlakuan tersebut relatif tidak mengubah ekspresi mRNA Bcl-2. Respon berbeda terjadi ketika supernatan dari E.rectale 17629 dipaparkan pada sel HCT-116. Di sini, ekspresi mRNA Bcl-2 menurun secara nyata (p<0.05) akibat paparan supernatan sedangkan ekspresi mRNA Bax relatif tidak berubah. Ekspresi mRNA Bcl berkurang menjadi 0,2-0,3 kali dibandingkan ekspresi yang terjadi pada sel yang tidak menerima paparan supernatan.
Secara keseluruhan,
data menunjukkan bahwa rasio bax terhadap Bcl-2 meningkat (Gambar12). Hal ini mengindikasikan bahwa protein pro-apoptosis berada dalam jumlah lebih besar dibanding protein anti apoptosis sehingga sel lebih mudah berapoptosis. Menurut Ruemmele et al. (1999), rasio antara protein pro-apoptosis terhadap anti apoptosis merupakan regulator yang menentukan tingkat kemudahan sel untuk berapoptosis. Gen Bcl-2 menyandi protein berukuran 26 kDa. Protein Bcl-2 berada di membran mitokondria dan dalam bentuk dimer sesama Bcl-2 bersifat menstabilkan integritas membran mitokondria sehingga memberikan efek antiapoptosis. Protein Bax berada di dalam sitosol dan mampu membentuk pori pada membran mitokondria sehingga mempermudah keluarnya sitokrom C.
Bila
protein Bax membentuk dimer sesamanya atau dengan protein pro-apoptosis lain seperti Bak maka sitokhrom dengan mudah keluar dari mitokondria. Kondisi serupa juga terjadi jika Bax membentuk dimer dengan protein Bcl-2. Dengan demikian, tingkat kemudahan sel untuk berapoptosis ditentukan homodimer Bax/Bax dan heterodimer Bax/Bcl-2.
54
A
B A
Gambar 11Pengaruh supernatan terhadap ekspresi mRNA Bax dan Bcl-2. (A). Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM). (B) Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM).
55
10,00 9,00
Rasio Bax/Bcl-2
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00
C. Butyricum BCC B2571
3,00
E.rectale 17629
2,00 1,00 0,00 Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Supernatan
Gambar 12Pengaruh supernatan terhadap rasio ekspresi mRNA Bax/Bcl-2. Perubahan ekspresi gen pada sel kanker yang menerima perlakuan supernatan berkaitan dengan kemampuan SCFA (terutama butirat) dalam menghambat aktifitas enzim HDAC (Hinnebush et al. 2002, De Ruijter et al. 2003, Pajak et al. 2007). Pada sel kanker, butirat menghambat aktifitas HDAC sehingga protein histon mengalami hiperasetilasi sedemikian rupa sehingga interaksi ionik antara protein histon dengan DNA terganggu. Akibatnya, kromatin atau eukromatin menjadi kurang kompak dan ekspresi sejumlah gen menjadi berubah. Hinnebusch et al. (2002) melaporkan bahwa hiperasetilasi protein histon terjadi pada sel kanker kolon HT-29 atau HCT-116 yang diberi perlakuan butirat 5 mM. Butirat mengakibatkan up regulation (ekspresi meningkat) pada gen DR5, TNF-R1, TNF-R2, Fas-R, Smad3 dan p21/WAF-1 danmengakibatkan down regulation (ekspresi berkurang) pada cdk2, cdk4, cyclin A dan cyclin B1 (Pajak et al. 2007).
Pada penelitian ini, up regulation gen Bax terjadi pada sel kanker
HCT-116 dengan supernatan C. butyricum BCC B2571. Down regulation
gen
Bcl-2 terjadi pada sel kanker HCT-116 dengan perlakuan supernatan E. rectale DSM 17629. 4.4.4. Konsentrasi Caspase-3 Pengaruh supernatan terhadap konsentrasi Caspase-3 pada sel HCT-116 ditampilkan pada Lampiran 17. Konsentrasi Caspase-3 meningkat nyata (p<0.05)
56
setelah sel HCT-116 diberi paparan supernatan berisi butirat >5 mM (supenatan C.butyricum
BCC
B2571
atau
E.rectaleDSM
17629,
Perlakuan
2).
Konsentrasicaspase-3 yang dihasilkan oleh HCT-116 dengan supernatan dari C.butyricum BCC B2571 lebih rendah dibanding sel yang diberi supernatan E.rectaleDSM 17629. A
B
Gambar13Pengaruh supernatan terhadap konsentrasi caspase-3pada sel HCT-116. (A). Supernatan C. butyricum BCC B2571. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,4 mM; 3,0 mM; 2,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 6,8 mM; 6,0 mM; 5,2 mM). (B) Supernatan E. rectale DSM 17629. Perlakuan 1 (asetat, propionat, butirat = 3,6 mM; 4,2 mM; 3,6 mM), Perlakuan 2 (asetat, propionat, butirat = 7,2 mM; 8,4 mM; 7,2 mM).
57
Ada komponen lain yang diduga memberikan kontribusi terhadap perbedaan jumlah Caspase-3 yang dihasilkan oleh HCT-116. Gambar 13 menampilkan konsentrasi Caspase-3 yang dihasilkan oleh sel HCT-116 tanpa atau dengan perlakuan supernatan.Jan et al. (2002), melaporkan bahwa propionat murni maupun yang dihasilkan oleh propionibacterium menginduksi procaspase-3 dan memotongnya dalam bentuk aktif sebagai caspase-3. Propionat hasil fermentasi RS3 tampaknya juga berperan dalam produksi Caspase-3 Ada beberapa jenis caspase diantaranya adalah caspase-3 yang menjadi eksekutor utama dalam proses apoptosis.
Caspase-3 ada di dalam sel dan
dihasilkan dalam bentuk inaktif atau zimogen. Zimogen tersebut menjadi aktif bila sel mengalami apoptosis. Caspasejuga berperan penting dalam mengaktikan DNAsedan memotong protein struktural di inti sel (Elmore 2007).Apoptosis pada sel kanker yang diinduksi oleh SCFA maupun komponen bioaktif ditandai oleh aktifnya caspase-3 (Avivi-Green et al. 2002, Kim et al. 2005, Hsu et al. 2009). Caspase (Cystein-Aspartate Protease) merupakan salah satu enzim protease spesifik dengan sisi aktif sistein dan memotong substrat pada situs aspartat. Ruemmele et al. (1999) melaporkan bahwa caspase-3 memotong protein PARP atau poly-(ADP-ribose) polymerase pada sel Caco-2 yang mengalami apoptosis oleh adanya induksi butirat. PARP merupakan protein/enzim yang terlibat dalam reparasi DNA. Jika PARP dipotong oleh caspase-3 maka enzim menjadi aktif dankerusakan DNA dapat diperbaiki. Dengan kata lain, sel kanker menjadi tidak berkembang. Substratlain bagi caspase-3 adalahCAD (caspase activated DNAse). Dalam keadaan normal, CAD bersifat inaktif dan membentuk komplek dengan ICAD (inhibitor of CAD).
Jika sel berapoptosis, maka ICAD dipotong oleh
caspase-3 dan hal ini mengakibatkan CAD aktif dan konsekuensinya DNA menjadi terfragmentasi (Elmore 2007). Substrat yang menjadi sasaran bagi caspase-3 pada penelitian ini masih perlu dieksplorasi
4.4.5. Perkiraan Model Apoptosis Tabel 15 merupakan rangkuman respon pengaruh supernatan C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629 terhadap sel HCT-116.
Kedua
supernatan menghambat proliferasi sel HCT-116 meskipun dengan intensitas yang
58
berbeda. Apoptosis pada HCT-116 juga diinduksi oleh supernatan C.butyricum BCC B2571 maupun E.rectale DSM 17629. Paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 meningkatkan ekspresi gen Bax maupun Bcl-2 namun ekspresi Bax jauh lebih besar dibanding ekspresi Bcl-2. Di lain pihak, ekspresi Bax relatif konstan namun ekspresi Bcl-2 justru direpresi ketika sel HCT-116 mendapatkan paparan supernatan E.rectale DSM 17629. Kondisi ini mengindikasikan bahwa porsi protein Baxlebih besar dibanding porsi protein Bcl-2. Tabel 15Ringkasan hasil: hambatan proliferasi dan respon sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629 Supernatan Variabel
C.butyricum BCC B2571
E.rectale 17629
Proporsi asetat : propionat : butirat (mM)
218 : 192 : 170
117 : 134 : 115
1,3 : 1,1 : 1
1 : 1,2 : 1
34 ; 68
85; 98
Apoptosis
Terdeteksi
Terdeteksi
Expresi gen Bax (x lipat)
6,69 ; 8,38
0,99 ; 1,19
Expresi gen Bcl-2 ( x lipat)
1,12 ; 1,86
0,24 ; 0,26
Rasio Bax/Bcl-2
3,59 ; 7,50
3,78 ; 5,03
Caspase -3 (ng/106 cell)
0,14 ; 0,27
0,15 ; 0,73
Rasio molar asetat : propionat : butirat Inhibisi (%)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa protein Bax dapat berpindah dari sitosol ke membran mitokondria. Interaksi protein Bax dan protein Bcl-2 mengakibatkan fungsinya sebagai penstabil integritas membran rusak. Pada kasus sel HCT-116 yang mendapatkan supernatan C.butyricum BCC B2571, makin banyak protein Bax berarti makin besar peluangnya dalam berinteraksi dengan protein Bcl-2 sehingga sel makin mudah berapoptosis. Pada kasus sel HCT-116 dengan supernatan E.rectale DSM 17629, sedikitnya protein Bcl-2 berarti makin kurang stabil in-tegritas membran mitokondria. Oleh karena itu, dapat dipahami jika peningkatan rasio Bax/Bcl-2 pada akhirnya menstimulasi sel untuk berapoptosis. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan adanya peningkatan konsentrasi
59
enzim caspase-3 pada sel HCT-116 yang mendapat paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629. Model apoptosis yang terjadi pada sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan dari C. butyricum BCC B2571 atau E. rectale DSM 17629 dicantumkan dalam Gambar 14. Ekspresi Bax dan Bcl-2 seimbang (Gambar 14a) kemudian berubah: ekspresi Bax dan Bcl-2 meningkat oleh supernatan C. butyricum BCC B2571 (Gambar 14b) sedangkan ekspresi Bcl-2 terepresi oleh paparan supernatan E.rectale DSM 17629.
Gambar 14 Perkiraan model apoptosissel HCT-116 dengan paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale DSM 17629.
60
5. SIMPULANDAN SARAN 5.1. Simpulan Proses retrogradasi dan hidrolisis enzimatis dengan amilase, pululanase atau kombinasinya mengubah kadar RS pati sagu dari sekitar 11% menjadi 31-38%, dan pati beras dari sekitar 13% menjadi 21-26%. Perubahan terjadi karena hilangnya sebagian pati oleh hidrolisis enzim. Fermentasi in vitroRS3 pati sagu dan beras direspon berbeda oleh bakteri kolon secara individu. C. butyricum BCC B2571 di dalam medium berisi RSSA (pati resisten tipe 3 asal sagu yang dihidrolisis oleh amilase) menghasilkan supernatan yang mengandung asetat 84 mM, propionat 48 mM dan butirat 47 mM. Asetat, propionat dan butirat di dalam supernatan fermentasi in vitro RSSP (Pati resisten tipe 3 asal sagu yang hidrolisis oleh pululanase) oleh E.rectale DSM 17629 masing-masing adalah 95 mM, 52 mM dan 59 mM. Profil SCFA tersebut merupakan yang terbaik diantara hasil fermentasi pati resisten tipe 3 asal sagu maupun beras. Aplikasi supernatan hasil fermentasi C.butyricum BCC B2571 atau E.rectale 17629 tersebut pada sel HCT-116 mampu menghambat proliferasinya dan menginduksi apoptosis. Supernatan dari C. butyricum BCC B2571 menghasilkan hambatan lebih rendah (kurang dari 70%) dibanding hambatan yang ditimbulkan oleh E.rectale DSM 17629 yang mencapai >80%. Perlakuan supernatan C. butyricum BCC B2571 meningkatkan ekspresi Bax maupun Bcl-2, sedangkan supernatan E.rectale DSM 17629 relatif tidak mengubah ekspresi Bax namun justru merepresi ekspresi Bcl-2.
Secara keseluruhan, rasio ekspresi
Bax/Bcl-2 meningkat. Konsentrasi caspase-3 juga meningkat akibat perlakuan supernatan. Secara keselurahan mengindikasikan bahwa apoptosis terjadi melalui jalur mitokondria. . 5.2. Saran Ekspresi famili gen Bcl-2 lainnya seperti Bid, Bak, Bad, Bcl-XL, Bcl-W perlu dieksplorasi. Kemungkinan sel HCT-116 melakukan apoptosis melalui jalur ekstrinsik masih perlu dieksplorasi untuk mendapatkan informasi yang komprehensif. Substrat bagi caspase-3 yang dihasilkan oleh sel HCT-116 perlu
61
dipelajari.
Selain itu, respon sel kanker kolon yang memiliki karakteristik
molekuler berbeda dengan HCT-116 terhadap supernatan hasil fermentasi juga perlu dievaluasi.
62
6. DAFTAR PUSTAKA AhmadBF, WilliamPA, DoublierJ, DurandS, Buleon A. 1999. Physico-chemical characterisation of sago starch. Carbohydr Polym38: 361-370. Ahn EH, Schroeder JJ. 2002. Sphingoid Bases and Ceramide Induce Apoptosis in HT-29 and HCT-116 Human Colon Cancer Cells. Exp Biol Med 227: 345-353. Anonim. 2010. Apoptosis. http://www.apoptosisworld.com. AOAC. 2006.Official Methods Analysis.Washington D.C, Association of Official Analytical Chemistry. Archer SY, Meng S, Shel A, Hodin RA. 1998. p21WAF1 is requared for butyratemediated growth inhibition of human colon cancer cell. Cell Biology 95: 6791-6796. AugenlichtLHet al. 2002. Short chain fatty acids and colon cancer. Am Soc Nutr Sci132: 3804S-3808S. Avivi-Green C, Polak-Charcon S, Madar Z, Schwartz B. 2002.Different molecular events account for butyrate-induced apoptosis in two human colon cancer cell lines. JNutr 132: 1812-1818. Barcenilla A et al. 2000.Phylogenetic relationships of butyrate-producing bacteria from the human gut. Appl Environ Microbiol 66: 1654–1661. Barrett JC. 1993.Mechanisms of multistep carcinogenesis and carcinogen risk assessment. Environ Health Perspectives 100, 9-20. Beck MT, Peirce SK, Chen WY. 2002. Regulation of bcl-2 gene expression in human breast cancer cells by prolactin and its antagonist, hPRL-G129R. Oncogene 21: 5047-5055. BirdAR, BrownIL, ToppingDL. 2000. Starches, resistant starches, the gut microflora and human health. Curr Issues Intest Microbiol1: 2-37. BPS.
2009. Statistik Perkebunan Indonesia 2007 – 2009 Sagu. Jakarta: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan.
BPS. 2010.Statistik Pertanian Indonesia.Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Brouns F, Kettlitz B, Arrigoni E. 2002. Resistant starch and the butyrate revolution Trends Food Sci Tech 13: 251-261.
63
Campbell SE et al. 2006.Comparative effects of RRR-alpha- and RRR-gammatocopherol on proliferation and apoptosis in human colon cancer cell lines.BMC Cancer 6:13. Cary JW, Petersen DJ, Papoutsakis ET, Bennett GN. 1988. Cloning and expression of clostridium acetobutylicum phosphotransbutyrylase and butyrate kinase genes in escherichia coli. J Bacteriol 170: 4613-4618. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [disertasi]. The Netherlands: Department of Agrotechnology and Food Sciences, Wageningen University. Davie JR. 2003.Inhibition of histone deacetylase activity by butyrate. JNutr 133: 2485S-2493S. Defrizal. 2007. Baktiterapi pada kanker lidah di Rumah Sakit Kanker 'Dharmais'Jakarta. Ind J Cancer1:59-62. De Ruijter AJM, Van Gennip AH, Caron HN, Kemp S, Van Kuilenburg BP. 2003. Review Article Histone deacetylases (HDACs): characterization of classical HDAC family. Biochem J 370:737-749. Doyle A, Griffiths JB. 2000.Cell and Tissue Culture for Medical Research, Wiley. DuboisM, GillesKA, HamiltonJK, RebersPA, Smith F. 1956. Colometric method for determination of sugar and related substances. J Anal Chem 28: 350356. Duncan SH, Flint HJ. 2008. Proposal of a neotype strain (A1-86) for Eubacterium rectale. Request for an Opinion. IntSystc EvolMicrobiol58: 1735-1736. Elmore S. 2007. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol 35: 495-516. EnglystHN, KingmanSM, Cummings JH.1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fractions. EurJClinNutr46 2:S33-50 Euresta. 1993. European concerted action on resistant starch. Newsletter. Netherland, Human Nutr. Depart. Wageningen University. Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik cabang dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol Ind Pangan21: 135-142. FlachM.1997. Sago Palm. Promoting the Conservation and Use Underutilized and Negleted Crops. 13th. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI), Italy and IPK Germany.
64
Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of the human colonie microbiota: introducing the concept of prebiotics. J Nutr 125: 1401-1412. Globocan. 2008. General world cancer statistics. globocan.iarc.fr. GoniI, Garcia-DizL, Manas, Saura-CalixtoF. 1996. Analysis of resistant starch: a method for foods and food products. Food Chem 56: 445-449. Guraya HS, James C, Champagne ET. 2001.Effect of cooling, and freezing on the digestibility of debranched rice starch and physical properties of the resulting material. Starch – Stärke53: 64-74. Hadjiagapiou C, Schmidt L, Dudeja PK, Layden TJ, Ramaswamy K. 2000. Mechanism(s) of butyrate transport in Caco-2 cells: role of monocarboxylate transporter 1. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 279: G775-G780. Hatayama H, Iwashita J, Kuwajima A, Abe T. 2007. The short-chain fatty acid, butyrate, stimulates MUC2 mucin production in the human colon cancer cell line, LS174T. Biochem Biophys Res Comm 356:599-603. Herawati D, Kusnandar F, Sugiyono, Thahir R, Purwani EY. 2010.Pati sagu termodifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) untuk peningkatan kualitas bihun sagu. J Pascapanen 7:7-15. HinnebuschBF, MengS, WuJT, ArcherSY, HodinRA. 2002. The effects of shortchain fatty acids on human colon cancer cell phenotype are associated with histone hyperacetylation. J Nutr 132: 1012-1017. Hsu CP et al. 2009. Mechanisms of grape seed procyanidin-induced apoptosis in colorectal carcinoma cells. Anticancer Research 29: 283-290. Indrasari SD, Purwani EY, Widowati S, Damardjati DS. 2008. Peningkatan nilai tambah beras melalui mutu fisik, cita rasa dan gizi. Di dalam: Daradjat AA, Setyono A, Makarim AK, Hasanuddin A, editor. Padi: Inovasi Teknologi Produksi Buku 2. Jakarta: LIPI Pr. Jan Get al. 2002. Propionibacteria induce apoptosis of colorectal carcinoma cells via short-chain fatty acids acting on mitochondria. Cell Death Differ 9: 179 - 188. Jane Jet al. 1999. Effects of amylopectin branch chain length and amylose content on the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chem 76: 629-637. JulianoBO. 1971. A simplified assay for milled-rice amylose. Cereal Sci Today 16:334-340.
65
Kahan BD et al. 1976. Cell surface alteration on colon adenocarcinoma cells. Cancer Res 36:3526-3534. KastomoD. 2007. Kolon endometriosis. Ind JCancer2:73-76. Kim KW, Chung MK, Ne NEK, Kim MH, Park OJ. 2003. Effect of resistant starch from corn or rice on glucose control, colonic events, and blood lipid concentrations in streptozotocin-induced diabetic rats. J Nutr Biochem 14: 166-172. KimYJet al. 2005. Anticancer effects of oligomeric proanthocyanidins on human colorectal cancer cell line, SNU-C4. World J Gastroenterol 11: 46744678. Kim EJ et al. 2007. Activation of caspase-8 contributes to 3,3'-diindolylmethaneinduced apoptosis in colon cancer cells. J Nutr 137:31-36. Le-Leu RK, Hu Y, Young GP. 2002. Effects of resistant starch and nonstarch polysaccharides on colonic luminal environment and genotoxin-induced apoptosis in the rat. Carcinogenesis 23: 713-719. Le-Leu RKet al. 2005. A symbiotic combination of resistant starch and bifidobacterium actis facilitates apoptotic deletion of carcinogen-damage cell in rat colon.J Nutr 135: 996-1001. Le-Leu RK et al. 2007. Effect f dietary resistant starch and protein on colonic fermentation and intestinal tumourigenesis in rat. Carcinogenesis28:240245. Lecona E et al. 2008. Kinetic analysis of butyrate transport in human colon adenocarcinoma cells reveals two different carrier-mediated mechanisms. Biochem J409: 311-320. Leong YH, Karim AA, Norziah MH.2007. Effect of pullulanase debranching of sago (Metroxilon sagu) starch at subgelatinization temperature on the yield of resistant starch. Starch/Staerke 59: 21-32. Lesmes U, Beards EJ, Gibson GR, Tuohy KK,Shimoni E.2008.Effects of resistant starch tipe III polymorphs on human colon microbiota and short chain fatty acids in human gut models. J Agric Food Chem56:5415-5421.
Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26: 16-24. Lodish H, Berk A, Matsudaira P, A.Kaiser C, Krieger M, P.Scott M, Zipursky SL, Darnell J, editor. 2003.Molecular Cell Biology. 5thEd .New York: WH Freeman; 1990.
66
Louis P et al. 2004.Restricted Distribution of the Butyrate Kinase Pathway among Butyrate-Producing Bacteria from the Human Colon. J Bacteriol186:2099-2106.
Louis P, Scott KP, Duncan SH, Flint HJ. 2007. Understanding the effect of diet on bacterial metabolism in the large intestine. J App Microbiol 102:11971208. Louis P, Flint HJ. 2009. Diversity,metabolismand microbial ecologyof butyrateproducing bacteria fromthe human large intestine. FEMS Microbiol Lett 294:1-8. Macfarlane GT, Gibson GR, Drasar BS, Cummings JH. 1995. Metabolic significance of the gut microflora. Di dalam Whitehead R, (ed.) Gastrointestinal and Oesophageal Pathology. Edinburgh, Churchill Livingstone. Mathewson PR. 1998. Common enzyme reaction. Cereal Foods World 43: 798807. Mbazima VG, Mokgotho MP, February F, Rees DJG, Mampuru LJ. 2008. Alteration of Bax-to-Bcl-2 ratio modulates the anticancer activiuty of methanolic extract of Commelina benghalensis (Commelinaceae) in Jurkat T cells. Afr J Biotechnol 7: 3569-3576. Miller TL, Wolin MJ. 1996.Pathways of acetate, propionate, and butyrate formation by the human fecal microbial flora. App Environ Microbiol 62: 1589-1592. Mitsuoka T. 1990.A profile of intestinal bacteria.Japan: Yakult Honsha Co.Ltd. Nohara K, Yokoyama Y, Kano K. 2007. The important role of caspase-10 in sodium butyrate-induced apoptosis. Kobe J Med Sci 53:265-273. Nugent, AP. 2005. Health properties of resistant starch. British J Nutr 30: 27-54. O'day DH. 2006. Apoptosis. http://www.utm.utoronto.ca/~w3cellan /apoptosis. html. Pajak B, Orzechowski A, Gajkowska B. 2007. Molecular basis of sodium butyrate-dependent proapoptotic in cancer cells. Adv Med Sci 52:84-88. Parkin DM, Bray MF, Ferlay J, Pisani P. 2005. Global Cancer Statistics, 2002. CA Cancer J Clin 55: 74-108. Patel et al. 2008. Curcumin enhances the effect of 5-fluororacil and oxaliplatin in mediating growth inhibition of colon cancer cells by modulating EFGR and IGF-IR. Int J Cancer 122:267-273.
67
Patindol J, Wang YJ. 2003. Fine structures and physicochemical properties of starches from chalky and translucent rice kernels. J Agric Food Chem 51: 2777-2784. Pfaffl MW. 2001. A new mathematical model for relative quantification in realtime RT-PCR. Nucleic Acid Research 29: 2002-2007. Purwani EY, Widaningrum, Thahir R, Muslich . 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indon J AgricSci 7: 8-14. Purwani EY, Yuliani S, Indrasari SD, Nugraha S, Thahir R. 2007.Physicochemical properties of rice and its glycemic index. J Teknol Ind Pangan18: 41-45. Purwani EY, Purwadaria T, Agustinisari I, Suhartono MT. 2009.Preliminary study on utilization of enzyme hidrolyzed starch by Clostridium butyricum BCCB2571. International Symposium on Nutrion and 6th Asia Pacific Clinical Nutrition Society at Makassar, October 10-13.
Putra RP. 2010. Pati resisten dan sifat fungsional tepung pisang tanduk (Musa paradisiaca Formatypica) yang dimodifikasi melalui fermentasi bakteri asam laktat dan pemanasan otoklaf [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. RamsayAG, ScottKP, Martin JC, RinconMT, FlintHJ. 2006. Cell-associated amylases of butyrate-producing firmicute bacteria from the human colon. J Microbiol 152: 3281-3290. Reid CA, Hillman K, Henderson C. 1998. Effect of retrogradation, pancreatin digestion and amylose/amulopectin ratio on the fermentation of starch by Clostridium butyricum (NCIMB 7423). J Sci Food Agric 76: 221-225. Ruemmele FMet al. 1999. Butyrate mediates Caco-2 cell apoptosis via upregulation of pro-apoptotic BAK and inducing caspase-3 mediated cleavage of poly-(ADP-ribose) polymerase (PARP).Cell Death Differ 6: 729-35. Ryan JA. 2008. Introduction to animal cell culture. Technical Bulletin. Corning life sciences. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch - A review. Comp Rev Food Sci Food Safety5:1-17. Schwiertz A, Lehmann U, Jacobasch G, Blaut M. 2002. Influence of resistant starch on the SCFA production and cell counts of butyrate-producing Eubacterium spp in the human intestine. J App Microbiol 93:157-162.
68
Sharp R, Macfarlane GT. 2000. Chemostat enrichments of human feces with resistant starch are selective for adherent butyrate-producing clostridia at high dilution rate. Appl Environ Microbiol 66: 4212-4221. Singh B, Halestrap AP, Paraskeva C. 1997. Butyrate can act as a stimulator of growth or inducer of apoptosis in human colonic epithelial cell lines depending on the presence of alternative energy sources. Carcinogen 18: 1265-1270. SrichuwongS, SunartiTC, MishimaT, IsonoN, HisamatsuM. 2005a. Starches from different botanical sources I: Contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. CarbohydrPolym 60: 529– 538. Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005b. Starches from different botanical sources II: Contribution of starch structure to swelling and pasting properties. Carbohydr Polym 62:25–34. StantanR. 1992. Have your trees and eat them? Food Sci Technol Today 7: 89-94. Sugiyono, Pratiwi R, Faridah DN. 2009. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (Autoclaving-Cooling Cycling). J Teknol Indi Pangan20: 17-24. Sukardiman, Rahman A, Ekasari W, Sismindari. 2005. Induksi Apoptosis Senyawa Andrografolida dari Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap Kultur Sel Kanker. Media Kedokteran Hewan 21: 105-110. Suprihatno Bet al. 2010. Deskripsi Varietas Padi.Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Tan SY. 2003. Resistant Rice Starch Development. Louisiana: The Department of Food Science, Louisiana State University. Tester RF, Karkalas J, Qi X. 2004. Starch structure and digestibility enzymesubstrate relationship. World's Poult Sci J 60:186-195. Topping DL, Clifton PM. 2001. Short-Chain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides. Physiol Rev 81: 1031-1064. Vatanasuchart N, Tungtrakul1 P, Wongkrajang K, Naivikul O.2010. Properties of pullulanase debranched cassava starch and type-iii resistant starch. Kasetsart J (Nat Sci) 44: 131–141. WangX, ConwayPL, BrownIL, Evans AJ. 1999. In vitro utilization of amylopectin and high-amylose maize (amilomaize) starch granules by human colonic bacteria. Appl Environ Microbiol65: 4848-4854.
69
WangL, WangYJ. 2004. Rice starch isolation by neutral protease and highintensity ultrasound. J Cereal Sci 39: 291-196. Whitehead RH, Young GP, Bhathal PS. 1986. Effects of short chain fatty acids on a new human colon carcinoma cell line (LIM1215). Gut 27: 1457-1463. Wolter F, Stein J. 2002. Resveratrol enhances the differentiation induced by butyrate in Caco-2 colon cancer cell. J Nutr 132:2082-2086. World Cancer Research Fund. 2011. Update Project Report Summary. Food, Nutrition, Physical Activity, and the Prevention of Colorectal Cancer. American Institute for Cancer Research. Continuous. Yang CZet al. 2006. Starch properties of mutant rice high in resistant starch. J Agric Food Chem 54:523-528. Zakaria FR. 2001. Pangan dan Pencegahan Kanker. J Teknol Ind Pangan 12: 171-177. Zhao XH, LinY. 2009. Resistant starch prepared from high-amylose maize starch which citric acid hydrolysis and its simulated fermentation in vitro. Eur Food Res Technol 228: 1015-1021. Zhu Y. 2003.Enhanced butyric acid fermentation by clostridium tyrobutyricum immobilized in a fibrous-bed bioreactor. Ohio: Department of Chemical Engineering, The Ohio State University.
70
LAMPIRAN
71
Lampiran 1 Spesifikasi enzim
Amilase • Densitas: 1,26 g/ml • Aktifitas: 120 KNU-T/g. 1 KNU-T (Kilo Novo Unit-Teramyl) setara dengan 5,9 x 105 U, dimana 1 U amilase membebaskan 1,0 mg maltosa dari pati pada suhu 20oC, pH 6,9 selama 3 menit. Pululanase • Densitas: 1,20 g/mL • Aktifitas: 1350NPUN/g. 1 NPUN (Novo Pullulanse UNit) setara dengan 140 U, dimana 1 U pululanase membebaskan 1,0 µmol of maltotriosa (dinyatakan sebagai glukosa) dari pululan pada suhu 25oC, pH 5,0.
Lampiran 2Komposisi Medium Medium
Komposisi (g/L)
RCM
yeast extract3; beef powder 10; pepton 10; glukosa5; pati terlarut 1; NaCl 5; Na-asetat3; sisteinhidrokhlorida 0,5 pH: 6,8
PYG
trypton5; bacteriological peptone5; yeast extract10; beef extract5; glukosa5; Tween 80 1 mL, resazurin 0,001; CaCl2 0,01; MgSO40,02; K2HPO4 0,04; KH2PO4 0,04;NaHCO3 0,4NaCl 0,08;Vitamin K1 0,0002. pH: 7,0
72
Lampiran 3 Komposisi DMEM Bahan Calcium Chloride•2H2O
Ferric Nitrate•9H2O
Jumlah (g/L) 0,265 0,0001
Magnesium Sulfate
0,09767
Potassium Chloride
0,4
Sodium Chloride
6,4
Sodium Phosphate Mono
0,109
L-Arginine•HCl
0,084
L-Cystine•2HCl
0,0626
L-Glutamine
0,584
Glycine
0,03
L-Histidine•HCl•H2O
0,042
L-Isoleucine
0,105
L-Leucine
0,105
L-Lysine•HCl
0,146
L-Methionine
0,03
L-Phenylalanine
0,066
L-Serine
0,042
L-Threonine
0,095
L-Tryptophan
0,016
L-Tyrosine•2Na•2H2O
0,10379
L-Valine
0,094
Choline Chloride
0,004
Folic Acid
0,004
myo-Inositol
0,0072
Niacinamide
0,004
D-Pantothenic Acid, Ca
0,004
Pyridoxal•HCl
0,004
Riboflavin
0,0004
Thiamine•HCl
0,004
D-Glucose
1
73
Lampiran 4Prosedur ekstraksi mRNA (RNeasy Kitt, Qiagen)
1.
Sel dipanen dan dipeletkan. Kepadatan sel sekitar 5 x 106
2.
Sel dilisis dengan 350 µl bufer RLT yang tersedia kemudian divortex
3.
Lisat dikumpulkan dan ditambah 1 x volume etanol 70%
4.
Sampel (700 µL) dipindahkan ke kolom spin dan disentrifugasi (8000 g, 15 detik). Cairan dibuang.
5.
Membran kolom spin dicuci dengan cara menambahkan bufer RW1 (700 µl) kemudian kolom spin dan mensentrifugasi (8000 g, 15detik). Cairan dibuang.
6.
Membran kolom spin dicuci dengan 500 µL RPE kemudian kolom spin disentrifugasi (8000 g, 15 detik). Cairan dibuang.
7.
Membran kolom spin dicuci dengan 500 µL RPE kemudian kolom spin disentrifugasi (8000 g, 2 menit).
8.
Elusi RNA pada membran dengan cara memindahkan kolom spin ke tabung kolektor 1,5 ml kemudian ditambah 30-50 µl air bebas RNAse dan disentrifugasi (8000 g, 1 menit). Tahap ini bisa diulang untuk mendapatkan RNA lebih banyak.
74
Lampiran 5 Prosedur analisa caspase-3 (Instant ELISA, Bender MedSystems)
1.
Plate disiapkan sesuai dengan jumlah sampel, blanko dan standar
2.
Air destilata (140 µL) ditambahkan ke dalam well untuk sampel
3.
Air destilata juga ditambahkan ke dalam well untuk blanko maupun standar
4.
Sampel (10 µL) dimasukkan ke well untuk sampel
5.
Plate ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar (18-25oC) selama 3 jam, digoyang (200 rpm).
6.
Tutup plate dibuka dan well dikosongkan, dicuci 6 kali dengan bufer (400 µL). Pada tahap pencucian terakhir, well ditiriskan di atas kertas tisu untuk menghilangkan sisa bufer.
7.
Larutan substrat TMB (100 µL) ditambahkan ke dalam well
8.
Plate diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit di tempat gelap.
9.
Reaksi dihentikan dengan menambahkan larutan penghenti reaksi (100 µL).
10. Intesitas warna diukur dengan spektrofotometer pada λ 420 nm.
Absorban 455 nm
11. Konsentrasi caspase sampel diukur dari kurva standar berikut:
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000
y = 0,092x R² = 0,996
0,00
5,00
10,00
15,00
Caspase (ng/ml)
12. Konsentrasi caspase-3 dikonversi dari ng/ml menjadi ng/106 sel
75
Lampiran 6 Analisis sidik ragam data Fermentasi in vitro a. Zona bening Source Corrected Model Intercept A B A*B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 88.859 122.786 27.418 29.742 27.066 5.722 226.414 94.581
df 11 1 1 5 5 22 34 33
Mean Square F 8.078 31.058 122.786 472.076 27.418 105.413 5.948 22.870 5.413 20.812 .260
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
a R Squared = .940 (Adjusted R Squared = .909)
b. Gas Source Corrected Model Intercept A B A*B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 121.277 2091.375 8.531 49.490 55.171 24.308 2401.520 145.585
df 11 1 1 5 5 15 27 26
Mean Square F 11.025 6.803 2091.375 1290.530 8.531 5.264 9.898 6.108 11.034 6.809 1.621
Sig. .000 .000 .037 .003 .002
a R Squared = .833 (Adjusted R Squared = .711)
c. pH Source Corrected Model Intercept A B A*B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .981 658.684 .761 .113 6.215E-02 .203 683.457 1.184
df 11 1 1 5 5 21 33 32
a R Squared = .829 (Adjusted R Squared = .739)
Mean Square F Sig. 8.921E-02 9.241 .000 658.684 68229.319 .000 .761 78.782 .000 2.268E-02 2.350 .077 1.243E-02 1.288 .307 9.654E-03
76
d. Asetat Source Type III Sum of Squares Corrected Model 15956.987 Intercept 92070.258 A 1712.668 B 8469.649 A*B 8455.900 Error 5751.370 Total 129610.037 Corrected Total 21708.357
df 11 1 1 5 5 17 29 28
Mean Square F 1450.635 4.288 92070.258 272.143 1712.668 5.062 1693.930 5.007 1691.180 4.999 338.316
Sig. .004 .000 .038 .005 .005
a R Squared = .735 (Adjusted R Squared = .564)
e. Propionat Source Corrected Model Intercept A B A*B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 6227.432 14807.078 489.986 2975.440 2515.002 2714.496 26166.025 8941.928
df 11 1 1 5 5 16 28 27
Mean Square 566.130 14807.078 489.986 595.088 503.000 169.656
F 3.337 87.277 2.888 3.508 2.965
Sig. .014 .000 .109 .025 .044
a R Squared = .696 (Adjusted R Squared = .488)
f. Butirat Source Corrected Model Intercept A B A*B Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 6307.095 22219.037 863.512 3033.881 2641.008 1438.813 33956.644 7745.907
df 11 1 1 5 5 16 28 27
a R Squared = .814 (Adjusted R Squared = .687)
Mean Square F 573.372 6.376 22219.037 247.082 863.512 9.602 606.776 6.748 528.202 5.874 89.926
Sig. .001 .000 .007 .001 .003
77
Lampiran 7 SCFA di dalam medium yang berisi glukosa (1,5%) sebagai sumber karbon tunggal Strain
Asetat
Propionat
Butirat
Asetat : Propionat :
(mM)
(mM)
(mM)
Butirat
C.butyricum BCC B2571
115
47
53
2,4 : 1 : 1,1
E.rectale DSM 17629
594
291
287
2,0 : 1 : 1,1
Lampiran 8Komposisi SCFA di dalam supernatan yang dipaparkan ke sel HCT116 Supernatan
SCFA Asetat (mM)
Propionat (mM)
Butirat (mM)
C.butyricum BCC B2571
218
192
170
E.rectale DSM 17629
117
134
115
78
Lampiran 9 Uji Toksisitas a. Jumlah sel VERO yang hidup ( x 104) tanpa atau dengan paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 Ulangan
I II III IV V VI Rata-rata Std % inhibisi
Tanpa supernatan 3 5 4 5 6 7 5 1,4 0
Supernatan x 16 0 0 0 0 0 0 0 0
Perlakuan Supernatan x 32 6 6 6 8 5 4 5,83 1,33 -16,67 (Tumbuh)
Supernatan x 64 9 10 7 9 10 5 8,33 1,97 -66,67 (Tumbuh)
b. Jumlah sel HCT-116 yang hidup ( x 104) tanpa atau dengan paparan supernatan C. butyricum BCC B2571 Perlakuan Ulangan I II III IV V VI Rata-rata Std % inhibisi
Tanpa supernatan 9 10 10 13 9 9 10 1,5 0
Supernatan x 16 4 4 3 3 3 3 3,33 0,52 66,67
Supernatan x 32 6 8 7 9 8 9 7,83 1,17 21,67
Supernatan x 64 7 9 11 8 8 9 8,67 1,37 13,33
Keterangan: • Sel dikulturkan di dalam 24 well plate dengan kepadatan 3 x 104 • Proporsi asetat, propionat,butirat pada pengenceran 16 – 64 x adalah sebagai berikut: Pengenceran 16 x 32 x 64 x
Asetat (mM) 13,6 6,8 3,4
Propionat (mM) 12,0 6,0 3,0
Butirat (mM) 10,6 5,3 2,7
79
c. Jumlah sel VERO hidup ( x 104) tanpa atau dengan paparan supernatan E.rectale DSM 17629*
Ulangan
*
I II III IV Rata-rata Std
Tanpa supernatan 3 2 4 4 3,25 1,0
% inhibisi
0
Supernatan 2x 0 0 0 0 0 0,0
Perlakuan Supernatan Supernatan 4x 8x 2 2 2 2 2 1 1 3 1,75 2 0,5 0,8 46,2
38,5
Supernatan 16 x 4 3 3 5 3,75 1,0 -15,4 (tumbuh)
Supernatan 32 x 6 4 6 4 5 1,2 -53,8 (tumbuh)
Sel dikulturkan di plate 24 sumur dengan kepadatan 3 x 104
b. Jumlah sel HCT-116 hidup (x 104) tanpa atau dengan paparan supernatan E.rectaleDSM 17629
Ulangan I II III IV Rata-rata Std % inhibisi
Perlakuan Tanpa Supernatan Supernatan4 Supernatan8 Supernatan16 Supernatan32 supernatan 2x x x x x 15 1 1 1 3 7 11 0 1 2 4 3 11 0 3 2 4 5 12 0 3 2 3 4 12,25 0,25 2 1,75 3,5 4,75 1,9 0,5 1,2 0,5 0,6 1,7 0 97,96 83,67 85,71 71,43 61,22
Keterangan: • Sel dikulturkan di dalam24well plate dengan kepadatan 3 x 104 • Proporsi asetat, propionat, butirat pada pengenceran 2-32 x adalah sebagai berikut: Pengenceran 2x 4x 8x 16 x 32 x
Asetat (mM) 58,7 29,3 14,7 7,3 3,7
Propionat (mM) 66,8 33,4 16,7 8,4 4,2
Butirat (mM) 57,3 28,6 14,3 7,2 3,6
80
Lampiran 10Perubahan morfologi sel HCT-116 (Perbesaran 80 X)
Kontrol
C.butyricum: Perlakuan 1
C.butyricum: Perlakuan 2
E. rectale : Perlakuan 1
E. rectale: Perlakuan 2
81
Lampiran 11 Analisis sidik ragam data jumlah sel & inhibisi proliferasi a. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571
Viable cell Total cell Inhibition
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 102046666666666.70 26213333333333.34 128260000000000.00 79279088888888.90 26525866666666.67 105804955555555.60 5635.69
df 2 6 8 2 6 8 2
Mean Square 51023333333333.30 4368888888888.88
F 11.67
Sig. 0.01
39639544444444.44 4420977777777.77
8.96
0.02
2817.84
445.1 4
0.00
25.32 5661.01
4 6
6.33
b. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E.rectale DSM 17629 Viable cell Between Groups Within Groups Total Total cell Between Groups Within Groups Total Inhibition Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 905199355555556.00 36615066666666.67 941814422222222.00 798529622222222.00 44048466666666.67 842578088888889.00 17188.88 21.93 17210.81
df Mean Square F 2 452599677777778.00 74.166 6 6102511111111.11 8 2 399264811111111.10 54.385 6 7341411111111.11 8 2 8594.44 2351.341 6 3.67 8
Lampiran 12Hasil pengukuran mRNA di dalam sampel Sampel C0R1 C0R2 C0R3 C1R1 C1R2 C1R3 C2R1 C2R2 C2R3 A0R1 A0R2 A0R3 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
mRNA (µg/ml) 162,1120 280,0495 162,8575 358,9841 324,8903 74,1992 713,1444 707,6266 560,5451 459,4940 456,1807 452,2130 268,7208 260,4203 268,1266 302,9236 107,8207 128,8954
Sig. .000 .000 .000
82
Lampiran 13 Contoh plot amplifikasi Plot amplifikasi analisis RT-PCR untuk GAPDH, Bax dan Bcl-2 pada sel HCT116 tanpa atau dengan paparan supernatan dari E.rectale DSM 17629.
Bax - SCFA Bax + SCFA GAPDH + SCFA GAPDH - SCFA Bcl-2 + SCFA Bcl-2 - SCFA
83
Lampiran 14Nilai Ct dan perhitungan ekspresi gen Control GAPDH
BCl-2
BAX
GAPDH
33,40
BCl-2
BAX
GAPDH
BCl-2
∆treatment BAX
GAPDH
2,44
0,00
BCl-2
∆∆Ct BAX
GAPDH
BCl-2
A1
A0 23,48
∆Control
Treatment
25,92
22,10
32,93
24,56
0,00
9,93
10,84
2,46
0,00
-0,91
23,28
33,33
25,79
22,28
34,58
24,91
0,00
10,05
2,52
0,00
12,30
2,64
0,00
-2,25
22,94
29,17
25,52
22,23
32,89
24,70
0,00
6,23
2,58
0,00
10,66
2,47
0,00
-4,43
20,875
0,00
-0,73
1,73
0,00
-0,71
-1,22
0,00
-0,03
C0 22,65
21,92
C1 24,38
22,09
21,385
21,01
21,21
23,23
21,91
21,785
20,955
0,00
0,21
2,23
0,00
-0,13
-0,96
0,00
0,3
21,83
21,92
23,01
20,62
20,575
22,635
0,00
0,09
1,18
0,00
-0,05
2,02
0,00
0,14
21,475
0,00
-0,73
1,73
0,00
-0,73
-0,80
0,00
0,00
C0 22,65
21,92
C2 24,38
22,275
21,54
21,01
21,21
23,23
22,21
21,545
21,39
0,00
0,21
2,23
0,00
-0,66
-0,82
0,00
0,8
21,83
21,92
23,01
22,975
21,6
21,56
0,00
0,09
1,18
0,00
-1,38
-1,42
0,00
1,47
24,865
0,00
-1,11
2,18
0,00
-0,05
-0,91
0,00
-1,06
A0 23,195
22,085
A2 25,37
25,78
25,73
23,195
22,085
25,37
23,41
24,515
25,16
0,00
-1,11
2,18
0,00
1,11
1,75
0,00
-2,22
23,195
22,085
25,37
22,12
22,955
24,23
0,00
-1,11
2,18
0,00
0,83
2,11
0,00
-1,95
Keterangan: Ct dinyatakan dalam siklus
84
Lampiran 15Analisis sidik ragam data ekspresi gen a. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571
Bcl
Bax
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.247
df Mean Square 2
.624
1.672
5
.334
2.919 79.789
7 2
39.894
4.840
5
.968
84.629
7
F
Sig.
1.865
.248
41.213
.001
b. Sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E. rectale DSM 17629
Bcl
Bax
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.083
df Mean Square 2
.542
.132
5
2.633E-02
1.215 3.375E-02
7 2
1.687E-02
6.500E-02
5
1.300E-02
9.875E-02
7
F
Sig.
20.570
.004
1.298
.352
85
Lampiran 16Analisis sidik ragam dataCaspase-3 a. Caspase-3 dari sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan C.butyricum BCC B2571 Sum of df Mean Square F Sig. Squares Caspase Between 0.03 2 0.01 13.62 0.01 Groups Within 5.317E-03 5 1.063E-03 Groups Total
0.03
7
b. Caspase-3 dari sel HCT-116 yang diberi paparan supernatan E.rectale DSM 17629 Sum of df Mean Square F Sig. Squares Caspase Between .73 2 .37 167.046 .000 Groups Within 1.313E-02 6 2.189E-03 Groups Total .744 8
86
Lampiran 17 Publikasi
87
88
89
90
91
92