KAJIAN PENGHAMBATAN EFEK TOKSIK KARMOISIN DAN RHODAMIN TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT TIKUS OLEH EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.)
SKRIPSI
RIJALI ARONI F24063451
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
INHIBITION OF CARMOISINE AND RHODAMINE TOXIC EFFECTS ON RAT’S SPLEEN LYMPHOCYTES PROLIFERATION ACTIVITY BY Urtica dioica L. LEAF EXTRACT Rijali Aroni1, Fransisca R. Zakaria1 1
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
ABSTRACT Urtica dioica L. has long been known as a herbal remedy and nutritious addition to the diet. It has been consumed for a long time as medicinal plants in many parts of the world. This study aimed to observe the effect of U. dioica L. leaf extracts in enhancing proliferation of rat’s spleen lymphocytes. Furthermore, this study also aimed to observe the capability of U. dioica L. leaf extracts in defending lymphocyte against toxic effects of carmoisine and rhodamine B . 30 Sprague Dawley rats were split into three groups, which are control, 0.1 g/kg BW/day dose, 1 g/kg BW/day dose group. The control group was given drinking water while the others were given U. dioica L. leaf crude extracts at their dose respectively. After 90 days of treatment, lymphocyte cells from the rat’s spleen then isolated and tested using MTT proliferation assay with addition of mitogen, and various concentration of carmoisine and rhodamine B. Stimulation index of spontaneous proliferation in 0.1 g/kg BW/day dose group was higher than the other groups. Mitogen-induced proliferation shows an increased proliferation activity in control and 1 g/kg BW/day dose group, while in 0.1 g/kg BW/day dose group a decreased proliferation activity was observed. U. dioica L. leaf crude extracts given at 1 g/kg BW/day shows that the rat’s lymphocyte proliferation activity at the presence of carmoisine was higher than control and 0.1 g/kg BW/day dose group. Likewise, at the presence of rhodamine B, the rat’s lymphocyte proliferation activity of 1 g/kg BW/day dose group was higher than control and 0.1 g/kg BW/day dose group. It is concluded that U. dioica L. leaf crude extract given at 1 g/kg BW/day could inhibit carmoisine and rhodamine B toxic effect on rat’s spleen lymphocytes proliferation activity. Key words: Urtica dioica L., carmoisine, rhodamine B, lymphocyte proliferation
RIJALI ARONI. F24063451. Kajian penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin terhadap proliferasi sel limfosit tikus oleh ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc. 2011
RINGKASAN Urtica dioica L. memiliki sejarah panjang sebagai obat herbal dan bahan pangan yang bergizi di berbagai belahan dunia. Penelitian-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa tanaman jelatang mengandung beberapa komponen bioaktif yang berfungsi positif terhadap kesehatan, diantaranya adalah komponen-komponen yang memiliki sifat imunomodulator. Namun demikian, pengaruh konsumsi daun tanaman jelatang terhadap sistem imun tubuh belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang pengaruh konsumsi tanaman jelatang terhadap respon imun tubuh. Dan lebih jauh lagi, perlu dilakukan pula kajian tentang pengaruh konsumsi tanaman jelatang dalam menangkal efek-efek negatif dari paparan senyawa-senyawa kimia berbahaya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.) sebanyak 0.1 g/kg BB/hari dan 1 g/kg BB/hari dalam menstimulasi proliferasi limfosit dan menghambat efek toksik yang ditimbulkan oleh senyawa karmoisin dan rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus. Penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak jelatang dari bubuk daun jelatang kering dengan dosis 0.1 g/kg BB/hari dan 1 g/kg BB/hari. Pengujian dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan jenis Sprague Dawley yang berumur ±2 bulan selama 90 hari dengan 3 hari masa adaptasi. Tikus percobaan dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan kontrol negatif, kelompok kedua diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak 0.1 g/kg BB/hari, dan kelompok ketiga diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak 1 g/kg BB/hari. Ekstrak daun jelatang diberikan melalui proses pencekokan. Tikus kelompok kontrol negatif juga dicekok, namun dengan air minum dalam kemasan (AMDK), sehingga mengalami stress yang sama. Penimbangan berat badan untuk memantau pertumbuhan tikus percobaan dilakukan dua hari sekali. Kenaikan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok kontrol sebesar 136.60±40.20 g. Hal ini sesuai dengan konsumsi pakan/hari kelompok kontrol yang lebih tinggi dibanding kelompok lain. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi pakan/hari kelompok tikus kontrol berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan dua kelompok lain. Namun kenaikan berat badan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% pada masing-masing kelompok tikus. Grafik pertumbuhan masing-masing kelompok tikus juga cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa selama masa perlakuan, semua kelompok tikus berada dalam keadaan pertumbuhan yang baik. Selama periode pemeliharaan tikus percobaan ditemukan dua kasus kematian (mortalitas). Kedua kasus ini terjadi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari dan dosis 1 g/kg BB/hari. Kedua kasus kematian ini diperkirakan terjadi karena penyimpangan irama jantung (arrythmia) Mengingat hasil pemeriksaan fisik menunjukkan lebih banyak tikus yang tidak menunjukkan gejala toksisitas, maka diperkirakan tikus yang mati selama pengujian lebih sensitif dibandingkan tikus-tikus lainnya. Pengambilan organ limfa dilakukan pada hari ke 90 dalam keadaan steril. Pengujian proliferasi sel limfosit dilakukan dengan mengisolasi sel limfosit limfa terlebih dahulu dan kemudian sel limfosit dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop perbesaran 400 kali. Pengujian proliferasi limfosit dan penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin oleh ekstrak jelatang dilakukan dengan teknik kultur sel. Suspensi sel limfosit ditepatkan 2x106 sel/ml melalui pengenceran dengan RPMI-1640. Selanjutnya suspensi sel dikultur dalam microplate 96 sumur dengan volume total masing-masing sumur adalah 100 µl. Bahan-bahan yang ditambahkan pada setiap sumur
disesuaikan dengan perlakuan yang akan diberikan. Kemudian absorbansi masing-masing sumur diukur dengan menggunakan microplate reader (ELISA Reader) pada panjang gelombang 570 nm. Hasil pengujian proliferasi limfosit spontan menunjukkan bahwa indeks stimulasi limfosit kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 1.243. Adapun kelompok tikus dengan pemberian daun jelatang dosis 1 g/kg BB/hari memiliki nilai IS yang lebih rendah dari kontrol yaitu sebesar 0.948. Konsentrasi karmoisin yang diujikan adalah 48 µg/ml, 96 µg/ml dan 144 µg/ml kultur. Secara umum terlihat bahwa adanya paparan karmoisin menyebabkan penurunan aktivitas proliferasi secara signifikan pada kelompok tikus kontrol. Sementara itu, pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari, secara umum terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit yang signifikan akibat adanya paparan karmoisin. Dengan demikian, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 0.1 g/kg BB/hari tidak dapat menghambat efek toksik yang ditimbulkan karmoisin terhadap proliferasi limfosit tikus. Adapun pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari, aktivitas proliferasi meningkat secara signifikan pada ketiga konsentrasi paparan karmoisin yang diujikan. Pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis ini tidak hanya mampu menghambat efek toksik dari paparan karmoisin namun juga masih mampu menstimulasi proliferasi limfosit. Senyawa rhodamin B ditambahkan ke dalam kultur sel pada konsentrasi 12 µg/ml, 24 µg/ml dan 36 µg/ml kultur. Berdasarkan hasil penelitian, paparan rhodamin B menyebabkan penurunan aktivitas proliferasi limfosit secara sigifikan pada kelompok tikus kontrol. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari secara umum juga mengalami penurunan aktivitas proliferasi secara signifikan. Namun lain halnya dengan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari, adanya paparan rhodamin B tidak mempengaruhi aktivitas proliferasi secara signifikan. Dengan kata lain, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 1 g/kg BB/hari mampu menghambat efek toksik rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus.
KAJIAN PENGHAMBATAN EFEK TOKSIK KARMOISIN DAN RHODAMIN TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT TIKUS OLEH EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RIJALI ARONI F24063451
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
Judul Skripsi
:
Kajian penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin terhadap proliferasi sel limfosit tikus oleh ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.)
Nama
:
Rijali Aroni
NIM
:
F24063451
Menyetujui,
Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc) NIP 19490614.198503.2.001
Mengetahui, Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi) NIP 19610802.198703.2.002
Tanggal Ujian Akhir Sarjana : 22 Juli 2011
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin terhadap proliferasi sel limfosit tikus oleh ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011 Yang membuat pernyataan
Rijali Aroni F24063451
iv
© Hak cipta milik Rijali Aroni, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
v
BIODATA PENULIS Rijali Aroni. Lahir di Masbagik pada tanggal 23 Maret 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Suhin dan Sa’adah. Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri 12 Masbagik, Lombok Timur hingga lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikannya di Mts. Negeri Selong, Lombok Timur hingga lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas penulis ditempuh di SMA Negeri 1 Masbagik, Lombok Timur hingga lulus pada tahun 2006. Penulis memasuki perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) periode 2008-2009 sebagai staf Departemen IT. Penulis pernah mendapatkan juara ketiga pada Engineering Science Competition yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian pada tahun 2006. Penulis pernah mengikuti kompetisi Danone Trust tahun 2009. Selain itu, penulis bersama tim mengikuti Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa yang diselenggarakan oleh DPKHA IPB. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian “Kajian penghambatan efek toksik karmoisin dan rhodamin terhadap proliferasi sel limfosit tikus oleh ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.)” di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc.
vi
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kajian Penghambatan Efek Toksik Karmoisin dan Rhodamin terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus Oleh Ekstrak Daun Jelatang (Urtica dioica L.)”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, kesabaran dan nasihat yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
2.
Fytagoras BV Plant Science, Belanda yang membiayai sebagian dana penelitian
3.
Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas segala ilmu yang sangat bermanfaat
4.
Keluarga tercinta, Ibu, Bapak, Kak Insa, Kak Yoesron, Oyik, dan Rizqy atas kesabaran dan kasih sayangnya
5.
Teman-teman satu bimbingan, Anto, Husna, dan Erin atas bantuan dan semangatnya.
6.
Teman-teman dan kakak-kakak yang tergabung dalam tim toksisitas, Mas Anas, Mas Gito, Anissa, Keni, Dinda, dan Zatil, atas arahan dan kerjasamanya
7.
Teman-teman seperjuangan di Friends 24 café, Tito, Kak Fahmi, Kak Riza, Zul, Rina, Widi, Widya, Risma, Kak Dila, dan Kak Tiwi atas pengalaman yang sangat berharga.
8.
Wahyu Anggarini atas waktu, kesabaran, semangat dan keceriaan yang dibagi bersama penulis.
9.
Seluruh teman-teman seperjuangan di ITP 43, terutama Roni, Lingga, Deni, Ade, Dewi, Hasti, Abe, dan Bintang atas keceriaan mengisi hari-hari penulis.
10. Teman-teman satu kontrakan, Rendi, Ahmad, Izhul, Akbar, Andi, Adun, Awet, Budi, dan Arif atas kerjasama dan bantuannya. 11. Para laboran dan staf, terutama Pak Adi, Pak Wahid, Mas Aldi, dan Bu Sri 12. Seluruh staf UPT Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Juli 2011
Rijali Aroni
vii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………..……………....
vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….……………...
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………
xi
I. 1.1. 1.2.
PENDAHULUAN …………………………………………………………… Latar Belakang …………………………………………...…………………. Tujuan ………………………………………………………………………
1 1 2
II. 2.1. 2.1.1. 2.1.2. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.5.1. 2.5.2.
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...……………. Toksisitas Pewarna Sintetis………...…………….………….……..................... Karmoisin ………….………….………….………….………….……………... Rhodamin B …………........…………….………….………….………….…… Jelatang (Urtica dioica L.)……………………………………………………... Limfosit …………………………………………..……………………………. Proliferasi Sel Limfosit ………………………………....................................... Uji Proliferasi Sel Limfosit ……..................……………................................... Kultur Sel …………………...................................................…………………. Uji MTT ……………………..................................................…………………
3 3 3 4 6 7 8 9 9 10
III. 3.1. 3.2.
BAHAN DAN METODE ……………………………………….……………. Bahan dan Alat …………………..……………………….…………………. Metode Penelitian ………………………………………...………………….
12 12 13
IV. 4.1. 4.2. 4.2.1. 4.2.2. 4.2.3.
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………....……………. Pemeliharaan dan Pertumbuhan Tikus ............................................................... Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus ………………………………………… Proliferasi Limfosit Spontan …………………………………………………... Proliferasi Limfosit dengan Penambahan LPS .........………………………… Proliferasi Limfosit dengan Penambahan Senyawa Toksik……………………
17 17 19 21 22 24
V. 5.1. 5.2.
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………..........……………. Simpulan ………………………………………………….......……………. Saran …………………………………………………………..…………….
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……………... LAMPIRAN ……………………………………………………………..……………...
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Bahan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya pada makanan di Indonesia………....................……………....……………....……………....………
5
Tabel 2. Komposisi ransum standar AIN 1976...............…………… ……………………
12
Tabel 3. Komposisi campuran vitamin................. …………………………………………..
12
Tabel 4. Komposisi campuran mineral.......................……………………………………….
13
Tabel 5. Bahan- bahan yang ditanam ke dalam kultur sel...........……………………………
15
Tabel 6. Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan, dan konsumsi pakan padasetiap kelompok tikus……………………………………………...……
18
Tabel 7. Rata-rata indeks stimulasi pada setiap perlakuan…………………………………..
20
Tabel 8. Rata-rata indeks stimulasi dan aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan LPS…………………………………………………………………………………..
23
Tabel 9. Nilai aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan karmoisin (%)………….……
25
Tabel 10. Nilai aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan rhodamin B (%)………..……
28
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Struktur kimia karmoisin.........................…………............................................
3
Gambar 2.
Struktur kimia rhodamin B.................................................................................
4
Gambar 3.
Jelatang (Urtica dioica L.)...................................................................................
6
Gambar 4. Gambar 5.
Pertumbuhan tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB/hari dan dosis 1 g/kg BB/hari ...................................................... Rata-rata indeks stimulasi proliferasi spontan pada setiap kelompok tikus
Gambar 6.
Pengaruh penambahan LPS terhadap rata-rata indeks stimulasi .....................
Pengaruh penambahan karmoisin 48 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit.................................................................................................................. Gambar 8. Pengaruh penambahan karmoisin 96 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit ................................................................................................................. Gambar 9. Pengaruh penambahan karmoisin 144 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit................................................................................................................. Gambar 10. Pengaruh penambahan rhodamin B 12 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit.................................................................................................................. Gambar 11. Pengaruh penambahan rhodamin B 24 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit.................................................................................................................. Gambar 12. Pengaruh penambahan rhodamin 36 μg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit.................................................................................................................. Gambar 7.
18 21 23 25 26 26 28 29 29
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Perhitungan konversi dosis manusia ke tikus...........................................
38
Lampiran 2.
Contoh perhitungan volume cekok per tikus............................................
38
Lampiran 3.
Hasil penimbangan berat badan pada setiap kelompok tikus...................
39
Lampiran 4.
Konsumsi pakan per hari..........................................................................
44
Lampiran 5.
Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap berat badan tikus pada awal perlakuan.............................................................. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap berat badan tikus pada akhir perlakuan.............................................................
Lampiran 6. Lampiran 7.
52 52 53
Lampiran 8.
Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap kenaikan/selisih berat badan tikus………………….............................. Rata-rata absorbansi kultur sel pada tiap perlakuan.................................
Lampiran 9.
Hasil uji sidik ragam terhadap nilai indeks stimulasi spontan……..…..
53
Lampiran 10.
Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan LPS......................................................................................
54
Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 48 μg/ml.............................................................
54
Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 96 μg/ml............................................................
55
Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 144 μg/ml.........................................................
55
Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 12 μg/ml..............................................................................
56
Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15.
Lampiran 16.
53
Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 24 μg/ml..............................................................................
56
Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 36 μg/ml..............................................................................
57
xi
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini, bahan pewarna sintetis telah digunakan secara luas pada pengolahan pangan. Bahan pewarna sintetis ini diketahui memiliki efek negatif bagi tubuh, seperti efek toksik, karsinogenik, ataupun genotoksik. Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan pewarna sintetis ini diatur dengan ketat di seluruh dunia. Namun, penggunaan bahan pewarna yang dilarang juga masih sering ditemukan. Padahal efek negatif dari bahan pewarna yang dilarang sudah jelas dan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pewarna yang telah diregulasi. Hal ini membuat kita sebagai konsumen pangan akan semakin rentan terhadap paparan senyawa-senyawa kimia berbahaya. Seiring dengan kemajuan teknologi, ajakan-ajakan ataupun regulasi untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan tambahan sintetis pada makanan dan obat-obatan semakin meningkat. Penemuan-penemuan terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak bahan-bahan asing (sintetis/xenobiotik) yang masuk ke dalam tubuh, maka semakin tinggi pula resiko kesehatan yang akan muncul. Oleh karena itu, banyak orang beralih menggunakan bahan-bahan alami seperti tanaman-tanaman obat (herbal) sebagai obat ataupun bahan makanan untuk menjaga status kesehatannya. Penggunaan berbagai jenis herbal sebagai makanan ataupun obat-obatan untuk meningkatkan status kesehatan sebagian besar merupakan warisan dari tradisi leluhur. Penggunaan tanaman-tanaman ini umumnya hanya didasarkan pada pengalaman tanpa adanya dukungan data-data ilmiah. Sehingga, informasi yang jelas dan akurat mengenai khasiat dan keamanan suatu herbal pun sulit ditemukan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian mengenai khasiat dan keamanan herbal semakin berkembang, baik melalui tinjauan terhadap kandungan senyawa di dalamnya ataupun tinjauan penggunaan secara keseluruhan. Urtica dioica L. atau di Indonesia dikenal dengan nama Jelatang merupakan tanaman yang banyak terdapat di sebagian besar daerah Asia dan Eropa Utara, terutama di daerah pedalaman. Di Indonesia, tanaman ini belum banyak digunakan sebagai bahan pangan dan umumnya dikenal sebagai tanaman liar yang tumbuh di daerah persawahan. Walaupun demikian, tanaman ini memiliki sejarah panjang sebagai obat herbal dan bahan pangan yang bergizi di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara daun jelatang diolah menjadi semacam sup serta umum diolah menjadi minuman sejenis teh. Daun jelatang juga digunakan secara tradisional sebagai obat herbal untuk perawatan radang sendi (arthritis). Ekstrak tanaman jelatang juga digunakan untuk mengobati penyakit anemia, infeksi saluran urin, hay fever (allergic rhinitis), dan beberapa masalah ginjal. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa penggunaan daun dan biji jelatang (Urtica dioica L.) dengan atau tanpa tanaman lain, dapat menyembuhkan eczema, hemorrhoid, inflamasi hati, rematik, dan kanker prostat (Aksu dan Kaya 2004). Selain itu, komponen flavonoid glikosida utama yang diisolasi dari tanaman jelatang memiliki aktivitas immunomodulator dan anti-inflamasi (Akbay et al. 2003). Senyawa yang memiliki aktivitas immunomodulator diketahui dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Namun demikian, pengaruh konsumsi daun tanaman jelatang terhadap sistem imun tubuh belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang pengaruh konsumsi tanaman jelatang terhadap respon imun tubuh. Dan lebih jauh lagi, perlu dilakukan pula kajian tentang pengaruh konsumsi tanaman jelatang dalam menangkal efek-efek negatif dari paparan senyawasenyawa kimia berbahaya.
Pada penelitian ini, studi difokuskan pada uji proliferasi sel limfosit karena sel limfosit merupakan salah satu komponen yang memiliki peranan penting dalam respon imun tubuh. Sel limfosit bertanggung jawab dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroorganisme patogen dan zatzat berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Adapun proliferasi sel limfosit merupakan proses pembelahan secara mitosis dan diferensiasi sel sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Proliferasi limfosit dapat mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu sistem imun. Parameter yang digunakan dalam pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit adalah pengamatan indeks stimulasi (IS) dari sel limfosit yang diisolasi dari limfa tikus dan di kultur dalam media dan lingkungan steril.
1.2. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.) sebanyak 0,1 g/kg BB/hari dan 1 g/kg BB/hari dalam menstimulasi proliferasi limfosit dan menghambat efek toksik yang ditimbulkan oleh senyawa karmoisin dan rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus Sprague Dawley.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Toksisitas Pewarna Sintetis Pewarna tambahan alami ataupun sintetis telah digunakan secara luas pada makanan, kosmetik dan obat-obatan (Hallagan et al. 1995). Walaupun demikian, menurut Thorngate III (2002) industri makanan lebih memilih pewarna sintetis dibandingkan pewarna asal hewan, tanaman ataupun mineral karena warnanya yang konsisten, kuat, dan stabil. Frazier (2009) menyebutkan bahwa pewarna sintetis umumnya berupa pewarna azo (seperti karmoisin, amaranth), yang warnanya berasal dari grup azo (R1-N=N-R2). Grup R pada pewarna azo secara normal merupakan sistem aromatik, memberikan sistem ikatan ganda terkonjugasi yang dapat menampilkan berbagai jenis warna (kuning, oranye, merah, coklat). Toksikologi pewarna makanan sintetis kurang mendapat perhatian hingga awal dekade 1930, ketika 4-dimethylaminoazobenzene ditemukan bersifat karsinogen. Setelah itu, pewarna-pewarna lain dibuktikan bersifat toksik dan dilarang untuk ditambahkan pada makanan (Janssen 1997). Walaupun demikian, pewarna sintetis yang dilarang masih sering digunakan dan ditemukan keberadaannya dalam makanan. Menurut EFSA (2005), banyak negara Uni Eropa memberikan notifikasi tentang keberadaan pewarna-pewarna illegal yang diketahui memiliki sifat karsinogenik dan genotoksik seperti Sudan I, Sudan II, Sudan III, Sudan IV, Para Red, Rhodamin B, and Orange II pada beberapa bahan makanan.
2.1.1. Karmoisin Karmoisin atau dikenal juga dengan azorubine merupakan pewarna azo dengan rumus kimia C20H12N2Na2O7S2 (Gambar 1). Senyawa ini memiliki berat molekul 502.44 g/mol dengan nama kimia disodium 4-hydroxy-3- (4-sulphonato-1-naphthylazo) naphthalene-1-sulphonate (EFSA 2009). Karmoisin bersifat larut air dan sedikit larut pada etanol. Senyawa ini biasanya berbentuk bubuk garam disodium dengan warna merah hingga maroon. Karmoisin umum digunakan pada makanan yang mengalami proses pemanasan setelah difermentasi (Amin et al. 2010).
Gambar 1. Struktur kimia Karmoisine (EFSA 2009) Hingga saat ini, Karmoisin merupakan pewarna makanan sintetis yang diizinkan di Uni Eropa dengan level maksimal penggunaan yang diizinkan sebesar 50-500 mg/kg pangan untuk berbagai jenis
bahan pangan dengan nilai Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-4 mg/kg BB/hari. Sebagian dari karmoisin yang dicerna mengalami reduksi azo dalam usus. Selain itu, karmoisin yang tidak termodifikasi dan 5 metabolit tidak dikenal juga ditemukan pada feses (EFSA 2009). Menurut Amin et al. (2010), karmoisin dapat tereduksi dalam organisme menjadi sebuah amine aromatik yang sangat sensitif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan efek negatif dari karmoisin. Studi yang dilakukan oleh Amin et al. (2010) menyimpulkan bahwa pewarna makanan seperti tartrazin dan karmoisin dapat memberikan pengaruh negatif dan mengubah beberapa penanda biokimia pada organorgan penting seperti hati dan ginjal, baik pada dosis tinggi ataupun rendah. Lebih jauh lagi, tartrazin dan karmoisin juga memberikan efek yang lebih beresiko pada dosis yang lebih tinggi karena dapat menginduksi stress oksidatif melalui pembentukan radikal bebas. Sharma et al. (2006) menemukan bahwa dua dosis Tomato Red (campuran karmoisin dan ponceau 4R) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada aktivitas alkaline phospatase (ALP). Pada keadaan normal, ALP yang berada di dalam hati akan diekskresikan ke dalam empedu. Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada hati dan saluran empedu, seperti kolestasis, maka kadar ALP darah akan meningkat. Selain itu, Sharma et al. (2005) juga mengamati adanya peningkatan yang signifikan pada serum transaminase, total protein serum dan globulin tikus yang dietnya ditambahkan pewarna cokelat A dan B (Sunset Yellow, tartrazin, karmoisin dan Brilliant Blue pada berbagai konsentrasi). Peningkatan spesifik pada fraksi globulin akan menuju kepada peningkatan sintesis immunoglobulin, mekanisme pertahanan yang bertujuan untuk melindungi tubuh dari efek toksik pewarna sintesis tersebut.
2.1.2. Rhodamin B Rhodamin B (C28H31ClN2O3) adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau dan berwarna merah terang berfluorensi dalam larutan. Rhodamin B memiliki nama kimia [9-(2-carboxyphenyl)-6-diethylamino-3-xanthenylidene]diethylammoniumchloride dengan berat molekul 479.02 g/mol. Rhodamin B semula digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan seperti sebagai pewarna kertas dan tekstil. Rhodamin B juga digunakan secara luas pada aplikasi bioteknologi seperti fluorescence microscopy, flow cytometry, fluorescence correlation spectroscopy dan ELISA. Menurut Inchem (2006) nilai LD50 rhodamin B adalah 89.5 mg/kg berat badan.
Gambar 2. Struktur kimia Rhodamine B (EFSA 2005)
4
Rhodamin B seringkali disalahgunakan untuk pewarna pangan dan kosmetik. Sebagai contoh, rhodamin B ditemukan pada makanan dan minuman seperti kerupuk, sambal botol dan sirup di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman ringan (Anonimus 2006). Menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI No.4 tahun 2006, rhodamin B termasuk dalam bahan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya (Tabel 1). Tabel 1. Bahan pewarna sintetis yang dilarang penggunaannya pada makanan di Indonesia No
Nama
Warna
1
Merah
Citrus Red
2
Merah
Ponceau 3R
3
Merah
Ponceau SX
4
Merah
Sudan I
5
Merah
Rhodamin B
6
Merah
Amaran
7
Merah
Ponceau 6R
8
Oranye
Auramine
9
Oranye
Chrycidine
10
Oranye
Oil Orange SS
11
Oranye
Oil Orange XO
12
Oranye
Orange G
13
Oranye
Orange GGN
14
Kuning
Oil Yellow AB
15
Kuning
Oil Yellow OB
16
Kuning
Methanil Yellow
17
Kuning
Butter Yellow
18
Kuning
Aniline Yellow
19
Hijau
Guinea Green
20
Biru
Indantren Blue R
21
Violet
Magenta I
22
Violet
Magenta II
23
Violet
Magenta III
24
Violet
Violet 6B
25
Coklat
Coklat FB
Berdasarkan data dari berbagai studi yang telah dilakukan, EFSA (2005) menyimpulkan bahwa rhodamin B berpotensi memiliki sifat karsinogenik dan genotoksik. Kaji et al. (1991) melakukan pengujian terhadap efek pewarna kosmetik rhodamin B terhadap proliferasi fibroblast (sel KD) bibir manusia pada sistem kultur dan menemukan bahwa rhodamin B, pada konsentrasi 25 µg/ml dan konsentrasi yang lebih tinggi, secara signifikan menurunkan jumlah sel setelah dikultur selama 72 jam. Menurut Pipih dan Juli (2000) pemberian dosis rhodamin B 150 ppm, 300 ppm, dan 600 ppm
5
pada mencit menunjukkan terjadinya perubahan bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati dari normal ke patologis, yaitu perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami desintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma.
2.2. Jelatang (Urtica dioica L.) Jelatang (Urtica dioica L.) merupakan spesies yang paling banyak dikenal dari 30-45 tanaman dalam genus Urtica. Tanaman yang umum disebut common nettle atau stinging nettle ini merupakan tanaman asli Eropa, Asia, bagian utara Afrika, dan Amerika Utara. Tanaman ini sering dihindari karena adanya bulu atau duri-duri halus pada daun dan batangnya. Jika menyentuh kulit, duri-duri halus ini akan mengeluarkan beberapa komponen kimia seperti acetylcholine, histamin, serotonin dan asam format yang kemungkinan menimbulkan rasa gatal. Berikut adalah klasifikasi Urtica dioica L. Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Hamamelididae Ordo : Urticales Famili : Urticaceae Genus : Urtica L. Spesies : Urtica dioica L. (European Medicines Agency 2007) Jelatang berkembang biak dengan menyebarkan rhizome dan stolon hingga membentuk rumpun. Tanaman perennial (tahunan) ini mampu tumbuh hingga mencapai tinggi 1-2 meter. Daun, batang dan kelopak tanaman jelatang dipenuhi duri atau bulu-bulu halus yang dapat menimbulkan rasa gatal dan menyengat jika menyentuh kulit. Daun tanaman jelatang berbentuk lancip dan bergerigi. Tanaman ini memiliki bunga yang berwarna putih kekuningan. Tanaman jelatang mampu menghasilkan 10.000 hingga 20.000 biji pada cuaca cerah. Penampakan tanaman jelatang dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jelatang (Urtica dioica L.) (American Herbal Pharmacopoeia 2009)
6
Secara tradisional, tanaman jelatang banyak digunakan sebagai obat dan bahan makanan. Daun jelatang memiliki rasa seperti bayam dan umum dimasak menjadi sup walaupun pengolahan menjadi minuman sejenis teh juga kerap ditemui. Perendaman dalam air atau pemasakan, secara tradisional diyakini dapat menghilangkan efek gatal atau menyengat dari tanaman ini sehingga aman dikonsumsi. Menurut Allardice (1993), jelatang merupakan pangan yang sangat bergizi yang mudah dicerna dan kaya akan mineral (terutama zat besi), vitamin C dan provitamin A. Daun jelatang mengandung sekitar 14.4 mg/100 g α-tocopherol, 0.23 mg/100 g riboflavin, 13 mg/100 g Fe, 0.95 mg/100 g Zn, 873 mg/100 g Ca, dan 532 mg/100 g K (Aksu dan Kaya 2004). Guil-Guerrero et al. (2003) juga mengidentifikasi adanya kandungan karotenoid pada daun jelatang, diantaranya lutein dan isomernya serta β-karoten dan isomernya dengan kandungan vitamin A untuk setiap 100 g daun jelatang muda dan tua masing-masing 16.2 dan 36,2 µg RE. Tanaman jelatang juga dikembangbiakkan secara komersial untuk ekstraksi klorofil yang digunakan sebagai pewarna makanan dan obat-obatan. Beberapa komponen aktif telah berhasil diisolasi dari beberapa bagian tanaman jelatang; steroid, phenylpropanoid, coumarin (Chaurasia dan Wichtl 1987), terpenoid (Ganser dan Spiteller 1995), polisakarida (Wagner et al. 1989) dan lektin (Galelli and Truffa-Bachi 1993) dari akar. Karakaya dan EL (1999) mendeteksi kandungan flavonoid pada jelatang dengan apigenin sebagai komponen flavonoid utama. Daun jelatang digunakan secara tradisional sebagai obat herbal untuk perawatan radang sendi (arthritis). Ekstrak dari tanaman ini juga sering digunakan sebagai obat alami untuk hipertensi dan diabetes (Ziyyat et al. 1997). Fragoso et al. (2008) menyebutkan penggunaan jelatang sebagai obat tradisional pada beberapa penyakit seperti penyakit kelamin dan saluran kencing yang ringan (nocturia, dysuria, penghambatan saluran ginjal, iritasi kantung kemih, dan infeksi), gangguan ginjal, alergi, diabetes, pendarahan internal (mencakup pendarahan uterine, epistaxis, dan melena), anemia, penyakit saluran pencernaan yang ringan (diare, disentri, dan keasaman lambung yang meningkat), sakit muskoluskeletal, osteoarthritis, dan alopecia. Beberapa temuan menunjukkan bahwa tanaman jelatang memberikan efek positif terhadap sistem imun tubuh. Komponen flavonoid glikosida utama yang diisolasi dari tanaman jelatang diketahui memiliki aktivitas immunomodulator dan anti-inflamasi (Akbay et al. 2003). Ekstrak biji tanaman jelatang memiliki efek hepatoprotective pada tikus yang menderita aflatoxicosis, yang kemungkinan bekerja dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidatif (Yener et al. 2009). Polisakarida yang diisolasi dari ekstrak air akar tanaman jelatang mampu menstimulasi baik sel T limfosit ataupun sistem pelengkapnya secara in vitro (Wagner et al. 1989). Gulcin et al. (2004) menunjukkan bahwa tanaman jelatang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat.
2.3. Limfosit Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih (leucocytes) yang tidak memiliki granula dalam sitoplasma (Kuby et al. 2007). Limfosit terdapat sebanyak 20-80% dari sel bernukleasi dalam darah dan lebih dari 99% dalam cairan limfatik (limfa). Limfosit juga terdapat dalam organ limfoid misalnya limfa, kelenjar limfa dan timus. Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang bersifat agranulosit, berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-12 µm. Limfosit merupakan sel kunci dalam proses imun spesifik (meliputi respon imun seluler dan humoral) untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen. Menurut Roitt & Delves (2001) limfosit mempunyai reseptor antigen yang beragam tetapi setiap limfosit hanya dapat mengenal satu antigen. Berdasarkan fungsinya, sel limfosit dibagi menjadi
7
tiga kelompok yaitu limfosit sel B, sel T, dan sel NK (Natural Killer). Sel B dan T memiliki reseptor pada permukaan yang mampu mengenali antigen tertentu dan termasuk dalam sistem pertahanan spesifik sedangkan sel NK tidak mempunyai reseptor untuk mengenal antigen termasuk sistem pertahanan non spesifik (Kuby et al. 2007). Pada manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah sekitar 65-80% dari jumlah limfosit dalam tubuh. Sel B berperran dalam respon imun humoral dan sel T berperan dalam sistem imun seluler, sedangkan sel Natural Killer berperan dalam respon imun non spesifik (Harris 1991). Sel limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem dalam sumsum tulang belakang, tumbuh menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memori. Reseptor sel B merupakan molekul antibodi terikat membran. Menurut Sheeler dan Bianchi (1982) limfosit B termasuk sistem pertahanan humoral yaitu tidak menggunakan sel dalam melawan antigen melainkan menghasilkan berbagai jenis antibodi. Sel B memori memiliki waktu hidup lebih lama dan terus mengekspresikan antiibodi terikat membrannya. Meskipun sel plasma hanya hidup beberapa hari, namun sel-sel ini dapat mensekreesikan antibodi dalam jumlah besar selama hidup. Diperkirakan bahwa satu sel plasma dapat mensekresikan lebih dari 2000 molekul antibodi per detik. Antibodi yang disekresi merupakan molekul efektor yang penting dalam imunitas humoral. Sel limfosit T merupakan sistem pertahanan seluler yang berasal dari sel stem (sumsum tulang belakang) dan bermigrasi ke organ timus untuk menjadi dewasa. Sel T dewasa meninggalkan kelenjar timus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan. Dalam proses pendewasaan, sel T membelah diri menjadi tiga bentuk yang memiliki peran masing-masing yaitu sel Thelper (Th), Tsuppresor (Ts) dan Tcytotoxic (Tc). Sel Thelper dapat dibedakan dari sel Tcytotoxic pada adanya glikoprotein yang berbeda pada permukaan membran mereka. Sel Thelper merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sistesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengeluarkan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsuppresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai kemampuan menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoxic memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja 2006). Adapun sel NK menurut Kresno (1996) termasuk sel nul karena tidak memiliki reseptor antigen pada permukaan tetapi memiliki reseptor untuk komplemen (C) dan fragmen molekul antibodi. Sel ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada limfosit T dan B. Sel limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby et al. 2007). Sel NK berfungsi sebagai sel efektor sitolitik yang dapat menyerang dan melisis sel target yaitu sel abnormal seperti sel neoplastik, sel terinfeksi virus /patogen seluler, dan sel normal yang tidak dewasa (Roitt dan Delves 2001).
2.4. Proliferasi Sel Limfosit Proliferasi merupakan fungsi fisiologis yaitu proses pembelahan secara mitosis dan diferensiasi sel sebagai respon terhadap antigen atau mitogen (Zakaria et al. 2003). Proliferasi limfosit dapat mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu sistem imun. Sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah bagian dari sel limfosit yang memiliki peranan dalam sistem imun spesifik yaitu sel B dan sel T. Sel T akan menghasilkan sitokin yang menginduksi sistem imun yang lain, sedangkan sel B akan menghasilkan antibodi dari sel plasmanya untuk melawan benda asing (antigen) yang dapat merugikan kesehatan (Kuby et al. 2007). Adanya proliferasi akan memperbanyak jumlah sel B dan sel T sehingga kemampuan menghasilkan sitokin dan antibodi yang diperlukan untuk melawan antigen meningkat dan pertahanan tubuh (sistem imun) pun meningkat.
8
Respon proliferasi sel limfosit yang di uji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun (Roitt dan Delves 2001). Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Mitogen pada umumnya berasal dari tumbuhan (lektin) atau merupakan gula terikat seperti concanavalin A (con-A), pokeweed (PWM) dan fitohemaglutinin (PHA) serta senyawa non lektin seperti lipopolisakarida (LPS). Menurut Lao et al. (2001) aktivitas mitogen bersifat spesifik seperti con-A umumnya menginduksi proliferasi sel limfosit T, LPS menginduksi sel B, sedangkan PWM menginduksi sel limfosit T dan B. Kresno (1996) menyatakan bahwa respon terhadap mitogen dianggap menyerupai respon limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi limfosit dengan rangsangan mitogen banyak dipakai untuk menguji fungsi limfosit.
2.5. Uji Proliferasi Sel Limfosit Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit dapat dilakukan secara in vivo pada tikus percobaan dengan tujuh minggu masa perlakuan. Pengujian ini meliputi proses isolasi sel limfosit, perhitungan dan pengkulturan suspensi sel limfosit limfa. Sel limfosit yang umum digunakan adalah sel limfosit dari organ limfa. Organ limfa merupakan organ limfoid sekunder yang berfungsi menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif. Selain itu, sel B dan sel T dalam organ limfa sudah dalam keadaan matang dan siap untuk berproliferasi dan berdiferensiasi. Organ limfa juga merupakan tempat untuk saringan darah atau pembersihan mikroba darah dan tempat respon imun utama terhadap antigen asal darah (Baratawidjaja 2006). Perhitungan jumlah sel hidup dilakukan dengan metode pewarnaan biru trifan. Biru trifan merupakan larutan buffer isotonik. Prinsip metode ini adalah penyerapan zat warna melalui membran sel. Biru trifan hanya dapat mewarnai sel jika sel itu rusak sehingga dapat digunakan untuk membedakan sel mati/rusak dengan sel hidup. Sel hidup memiliki bentuk bulat dan tidak berwarna/terang, sedangkan sel mati/rusak memiliki bentuk mengkerut dan berwarna biru (Shaper 1998).
2.5.1. Kultur Sel Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau keberadaan senyawa berbahaya pada sel. Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperature, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Dalam bidang ilmu pangan, kultur sel seringkali digunakan untuk evaluasi fungsi dan keamanan bahan pangan secara in vitro (Freshney 1994). Doyle dan Griffiths (1997) menyatakan kultur sel limfosit secara in vitro merupakan suatu cara untuk mengembangbiakkan atau menumbuhkan sel limfosit di luar tubuh hewan atau manusia. Lingkungan dan nutrisi untuk pertumbuhan sel secara in vitro diusahakan menyerupai keadaan sel secara in vivo. Oleh karena itu diperlukan media pertumbuhan yang mampu mempertahankan PH dan menyediakan lingkungan yang baik serta menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan sel seperti asamasam amino, vitamin, garam-garam anorganik, glukosa dan serum. Media pertumbuhan yang
9
digunakan harus disesuaikan dengan jenis sel yang akan dikultur. Media yang sering digunakan untuk kultur sel limfosit adalah Roswell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 yang merupakan media sintetis yang kaya nutrisi. Serum yang biasa digunakan untuk kultur sel limfosit adalah Fetal Bovine Serum (FBS). Serum ini berfungsi sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel. Komponen serum sebagian besar adalah protein dan komponen lainnya seperti polipeptida, hormonhormon, mineral dan bahan makanan seperti asam amino, glukosa, lemak, asam keto, etoalamin, fosfoetanol amin dan hasil-hasil metabolit lainnya. Media kultur sel juga ditambahkan buffer dan antibiotik. Penambahan buffer bertujuan untuk menjaga keseimbangan nilai pH yaitu pH 7.4. Menurut Freshney (1994) pertumbuhan sel akan terhambat jika pH sedikit lebih rendah dari pH 7. Buffer yang umum digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik bertujuan untuk mencegah kontaminasi media. Antibiotik yang berbeda memiliki spektrum antimikroba yang berbeda. Penisilin merupakan antimikroba untuk bakteri gram positif, streptomisin untuk bakteri gram positif dan negatif, sedangkan gentamisin untuk bakeri gram positif, gram negatif, dan mikroplasma (Freshney 1994). Menurut Cartwright dan Shah (1994) faktor utama dalam memilih jenis antibiotik untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan memiliki kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Antibiotik yang sering digunakan adalah campuran penisilin dan streptomisin. Menurut Freshney (1994) penggunaan kultur sel lebih menguntungkan karena lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol dan diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan. Namun teknik ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti rawan kontaminasi karena sel hewan tumbuh lebih lambat daripada kontaminan, membutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh, serta sel yang tumbuh mengalami perubahan sifat dan kehilangan spesifitas sel karena sel tidak lagi terintegrasi dalam jaringan.
2.5.2. Uji MTT Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan menggunakan metode pewarnaan MTT (3-[4,5Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide). MTT merupakan suatu garam tetrazolium yang direduksi pada sel metabolik hidup. Prinsip metode ini adalah pengukuran absorbansi senyawa formazan yang berwarna ungu yang merupakan hasil konversi MTT oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup. Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan diantara berbagai sel dengan tipe spesifik, sehingga jumlah formazan yang terbentuk proporsional terhadap jumlah sel limfosit yang hidup. Bagaimanapun, telah diketahui juga bahwa reliabilitas dan sensitivitas metode ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya volume sel, antioksidan dan senyawa berwarna lainnya (Wang et al. 2006). Enzim suksinat dehidrogenase adalah salah satu enzim yang berperan aktif selama proses respirasi seluler secara aerobik. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan flavoprotein yang mengandung protein dengan ikatan Fe (besi) dan S (belerang). Enzim ini terikat pada bagian membrane mitokondria yang berfungsi sebagai reduktor selama tahapan siklus Krebs dan transport electron. Pada siklus Krebs, enzim ini menerima hidrogen dari suksinat dan bertugas menghidrogenasi suksinat menjadi fumarat serta menghasilkan FADH2 (Lehninger 1982). Freimoser et al. (1999) menyatakan bahwa MTT assay merupakan metode uji viabilitas sel kuantitatif yang lebih praktis, cepat dan efisien dengan hasil yang cukup akurat dibandingkan dengan menggunakan metode pewarnaan biru tripan yang dilakukan secara manual pada pengujian sel fungi. Reduksi garam tetrazolium merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendeterminasi proliferasi sel
10
limfosit. Garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning berkurang sebagai akibat proses metabolism sel, terutama karena aktivitas kerja enzim suksinat dehidrogenase. Kristal formazan tidak larut air berwarna biru tua yang terbentuk dapat dilarutkan dengan pelarut organik seperti isopropanol, etil asetat, dietil eter atau n-butanol dan kemudian diukur absorbansinya dengan spectrophotometer microplate reader.
11
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat 3.1.1. Bahan Bahan dasar yang digunakan adalah daun jelatang (Urtica dioica L.) kering yang disuplai oleh Fytagoras BV Plant Science, Belanda. Hewan percobaan yaitu tikus jenis Sprague Dawley diperoleh dari SEAFAST Center, IPB. Bahan untuk pemeliharaan tikus, meliputi air minum dalam kemasan dan ransum yang mengikuti standar American Institute of Nutrition (AIN) 1976. Komposisi ransum standar AIN 1976 tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi ransum standar AIN 1976 Jumlah (%) Bahan Penyusun Proteina Lemakb Selulosac Campuran vitamin Campuran mineral Patid
20 5 5 1 3,5 Untuk membuat 100%
a
Sebagai sumber protein digunakan tepung kasein sebagai sumber lemak digunakan minyak jagung c sebagai sumber selulosa digunakan carboxymethylcellulose d sebagai sumber pati digunakan tepung maizena b
Ransum standar AIN 1976 menggunakan campuran vitamin dan mineral. Komposisi campuran vitamin dapat dilihat pada Tabel 3 sedangkan komposisi campuran mineralnya pada Tabel 4. Tabel 3. Komposisi campuran vitamin Vitamin Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Vitamin D3 Vitamin E Nikotinamida Kalsium pantetonat Sumber: Puspawati (2009)
Jumlah 1000 1,4 1,6 2 3 60 100 5 9 5
Unit IU mg mg mg mg mg IU mg mg mg
Tabel 4. Komposisi campuran mineral Nama senyawa NaCl (39,3% Na, 60,7% Cl) KI (40,7% K, 59,3% I) KH2PO4 (22,8% P, 28,7% K ) MgSO4. 7H2O CaCO3 (40% Ca) FeSO4. 7H2O (20,1% Fe) MnSO4. 7H2O ZnSO4. 7H2O CuSO4. 5H2O CoCl2. 6H2O Sumber: Puspawati (2009)
Jumlah (g/kg campuran) 74,0 0,790 389,000 57,300 381,400 27,000 4,010 0,548 0,477 0,023
Bahan untuk euthanasia tikus, yaitu eter. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada pengujian proliferasi sel limfosit meliputi bubuk Rosewell Park Memorial Institute (RPMI)-1640 sebagai medium pertumbuhan sel limfosit, antibiotik penicilin-streptomisin, mitogen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhii, larutan rhodamin B (0.04 mg/ml, 0.08 mg/ml, dan 0.12 mg/ml), larutan karmoisin (0.16 mg/ml, 0.32 mg/ml, 0.48 mg/ml), NH4Cl, tryphan blue, NaHCO3, aquabides, phosfat buffer saline (PBS), fetal bovine serum (FBS), MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide), HCl, isopropanol.
3.1.2. Alat Peralatan yang digunakan selama perlakuan dan penanganan tikus percobaan antara lain kandang plastik, botol minum, wadah ransum, timbangan, dan peralatan cekok. Peralatan untuk pembuatan larutan cekok meliputi blender, kain kasa, botol, gelas piala dan tabung reaksi. Peralatan untuk anastesi tikus serta pengambilan organ, yaitu syringe, tabung sentrifuse, gunting, dan pinset. Adapun peralatan yang digunakan untuk pengujian proliferasi sel limfosit antara lain sentrifuse, lemari steril, inkubator, mikroskop, mikroskop inversi, hemasitometer, membran steril 0.2 µm, tabung sentrifuse steril, botol steril, cawan petri steril, tabung reaksi steril, multiplate microwell 96, pipet pasteur, mikropipet, mikrotip, ELISA Reader.
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Pembuatan ekstrak daun jelatang (mengacu Afrah 2010) Daun jelatang kering dihaluskan dengan blender kering untuk memperoleh bubuk daun jelatang. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 0.1 g/kg BB/hari, tiap 1 g bubuk daun ditambahkan 50 ml aquades kemudian diblender. Sementara untuk dosis 1 g/kg BB/hari, tiap 1 g bubuk daun ditambahkan 5 ml aquades dan diblender. Selanjutnya, campuran tersebut disaring dengan kain kasa untuk mendapatkan ekstrak daun jelatang.
3.2.2. Pemeliharaan tikus (mengacu Afrah 2010) Sebanyak 30 tikus Sprague Dawley dibagi menjadi tiga kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 10 ekor tikus yang berumur ±2 bulan dengan berat badan berkisar antara 180-195 g. Selisih berat ratarata masing-masing kelompok tidak lebih dari 5 g. Kelompok 1 merupakan kontrol negatif; kelompok
13
2 diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak 0,1 g/kg BB/hari; sedangkan kelompok 3 diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak 1 g/kg BB/hari. Ekstrak daun jelatang diberikan melalui proses pencekokan. Tikus kelompok kontrol juga dicekok, namun dengan air minum dalam kemasan (AMDK), sehingga mengalami stress yang serupa dengan tikus yang dicekok ekstrak daun jelatang. Ransum yang digunakan sesuai dengan standar AIN 1976 dan diberikan secara ad libitum. Air juga diberikan dengan cara yang sama. Tikus diadaptasi selama 3 hari. Setelah masa adaptasi selesai, tiap harinya tikus dicekok sesuai perlakuan dan dosis masing-masing. Perlakuan tersebut berlangsung hingga 90 hari. Untuk memantau pertumbuhan tikus, selama masa percobaan dilakukan penimbangan berat badan dua hari sekali.
3.2.3. Pengujian Proliferasi Sel Limfosit 3.2.3.1. Persiapan pereaksi dan media kultur (Puspawati 2009) Untuk pembuatan larutan media RPMI sebagai medium kultur sel limfosit, RPMI bubuk dalam sachet (16.2 g) dilarutkan dengan air bebas pirogen (aquabides) sehingga diperoleh 1 L larutan medium RPMI 1640. Kemudian ditambahkan 2 g NaHCO3 dan 1% penisilin-streptomisin. Untuk pembuatan larutan NH4Cl, sebanyak 0.85 mg bubuk NH4Cl dilarutkan dalam 100 ml aquabides dan diaduk hingga homogen. Pembuatan phosphate buffer saline (PBS) dilakukan dengan melarutkan satu tablet PBS dalam 200 ml aquabidest. Indikator tryphane blue 0.20% dibuat dengan melarutkan bubuk tryphane blue sebanyak 0.02 mg dalam 10 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Persiapan fetal bovine serum (FBS) dilakukan dengan memanaskan 15 ml FBS pada suhu 0 56 C selama 45 menit. Setelah dingin, larutan disterilisasi dingin dengan membran filter steril 0.20 µm. Pembuatan larutan LPS, sebanyak 0.417 mg bubuk LPS dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml dan ditambahkan PBS sampai tanda tera. Pembuatan MTT 0.5% dilakukan dengan melarutkan 0.25 mg bubuk MTT dalam 50 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Untuk pembuatan HCl-isopropanol, HCl 37% (pekat) dipipet sebanyak 33.1 µl dan ditambahkan 9.669 ml isopropanol dan diaduk hingga homogen sehingga didapat larutan HCl-isopropanol 0.04 N. Larutan ini harus dibuat segar tiap akan digunakan. Larutan-larutan (pereaksi dan media) yang telah dibuat kemudian disterilisasi dingin dengan membran filter steril 0.20 µm.
3.2.3.2. Pengambilan organ Pengambilan organ tikus dilakukan dalam keadaan steril. Tikus dimasukkan dalam wadah kaca bertutup yang sebelumnya telah diisi dengan kapas dan eter. Saat tikus terlihat tidak mampu lagi bergerak dan matanya mulai tertutup, tikus diangkat, disemprot dengan alkohol dan diletakkan di alas bedah. Kulit perut digunting (mengikuti pola seperti huruf V) hingga mendekati rongga dada. Limfa tikus diambil menggunakan gunting dan pinset steril dan segera dicuci dengan larutan PBS steril di dalam botol steril.
3.2.3.3. Isolasi sel limfosit limfa (Prangdimurti 1999) Limfa tikus dalam larutan PBS selanjutnya dipindahkan ke cawan petri steril yang berisi 5 ml RPMI-1640. Limfa tersebut digerus hingga homogen dan selanjutnya dimasukkan dengan pipet pasteur ke dalam tabung sentrifuse 15 ml. Suspensi limfa disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet dijentik-jentikkan dan ditambah 2 ml NH4Cl 0.85 % steril. Larutan didiamkan selama tepat 2 menit kemudian ditambahkan 3 ml RPMI-1640 dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Supernatan yang berisi sel darah merah yang
14
telah lisis dibuang. Pelet dijentik-jentikkan dan ditambahkan 5 ml RPMI kemudian disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Endapan disuspensikan dengan 3 ml RPMI.
3.2.3.4.
Penghitungan sel limfosit limfa
Sebanyak 50 µl suspensi sel limfosit ditempatkan dalam sumur microplate dan ditambahkan dengan 50 µl tryphan blue (1:1). Sebanyak 50 µl campuran kemudian ditempatkan pada hemasitometer. Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Sel yang hidup tampak terang, jernih dan berbentuk bulat sedangkan sel yang mati akan berwarna biru dan mengkerut. Berdasarkan hasil perhitungan pada area 2 kotak besar hemasitometer (@ 16 kotak kecil) dapat ditentukan jumlah sel yang hidup per mililiter suspensi dengan rumus : V N = x F x 10 sel/ml 2 Keterangan : N = jumlah sel/ml V/2 = rata-rata jumlah sel terhitung dari dua bidang pandang F = faktor pengenceran (2) 4 10 = jumlah sel per luas bidang pandang (1.0 mm x 1.0 mm x 0.1 mm) Suspensi sel limfosit kemudian ditepatkan 2x106 sel/ml melalui pengenceran dengan RPMI1640.
3.2.3.5.
Pengujian proliferasi sel limfosit limfa (Puspaningrum 2003; Keller et al. 2005)
Suspensi sel dikultur dalam microplate 96 sumur dengan volume total masing-masing sumur adalah 100 µl. Bahan-bahan yang ditambahkan pada setiap sumur disesuaikan dengan perlakuan yang akan diberikan seperti ditunjukkan Tabel 5. Tabel 5. Bahan-bahan yang ditanam ke dalam kultur sel Perlakuan
RPMI (µl)
Suspensi sel (µl)
Mitogen (µl)
Senyawa toksik (µl)
FBS (µl)
Kontrol
30
60
-
-
10
-
60
30
-
10
-
60
-
30
10
Perlakuan mitogen (LPS) Perlakuan senyawa toksik*
*senyawa toksik yang digunakan adalah rhodamin B dan karmoisin Konsentrasi LPS yang ditambahkan ke dalam kultur adalah 41,7 µg/ml sehingga konsentrasi LPS dalam kultur adalah 12.5 µg/ml kultur. Konsentrasi senyawa toksik karmoisin yang ditambahkan ke dalam kultur adalah 160 µg/ml, 320 µg/ml dan 480 µg/ml sehingga konsentrasi senyawa toksik karmoisin dalam kultur masing-masing adalah 48 µg/ml, 96 µg/ml dan 144 µg/ml kultur. Konsentrasi senyawa toksik rhodamin B yang ditambahkan ke dalam kultur adalah 40 µg/ml, 80 µg/ml dan 120 µg/ml sehingga konsentrasi senyawa toksik rhodamin B dalam kultur masing-masing adalah 12 µg/ml, 24 µg/ml dan 36 µg/ml kultur.
15
Kultur sel diinkubasi pada suhu 370C dengan atmosfer 5% CO2, 95% udara dan RH 96% selama 72 jam. Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir, ditambahkan 10 µl larutan MTT 0.5% ke dalam masing-masing sumur. Dan setelah masa inkubasi berakhir, ke dalam tiap sumur ditambahkan 80 µl HCl-isopropanol 0.04 N. Kemudian absorbansi masing-masing sumur diukur dengan menggunakan microplate reader (ELISA reader) pada panjang gelombang 570 nm. Nilai Optical Density (OD) hasil pembacaan ELISA reader bersifat proporsional terhadap jumlah sel hidup. Indeks stimulasi (IS) sebagai dasar penentuan aktivitas proliferasi dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.
IS =
OD sel perlakuan (dengan mitogen atau senyawa toksik) OD sel kontrol (tanpa mitogen atau senyawa toksik)
Nilai rata-rata indeks stimulasi dengan perlakuan mitogen atau senyawa toksik kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata indeks stimulasi spontan dan secara statistic dianalisis menggunakan uji T berpasangan (paired-sample T-test) pada taraf kepercayaan 95%. Besar peningkatan atau penurunan aktivitas proliferasi limfosit akibat penambahan mitogen atau senyawa toksik ditentukan dengan perhitungan % aktivitas sebagai berikut.
% Aktivitas=
(IS perlakuan (dengan mitogen atau senyawa toksik)-IS spontan) x100% IS spontan
16
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemeliharaan dan Pertumbuhan Tikus Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu sebagai hewan uji. Menurut Puspawati (2009) tikus galur ini merupakan tikus yang mudah didapat dan sering digunakan dalam pengujian imunitas. Tikus percobaan dipelihara dan diberikan perlakuan pencekokan selama 90 hari ditambah 3 hari masa adaptasi. Larutan cekok yang diberikan adalah ekstrak daun jelatang dengan menggunakan air sebagai pelarut. Berdasarkan dosis larutan cekok yang diberikan, tikus percobaan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok dosis 0,1 g/kg BB/hari, kelompok dosis 1 g/kg BB/ hari, dan kelompok kontrol yang diberikan air minum. Hal ini dilakukan agar tikus kontrol juga menerima stress perlakuan yang sama dengan tikus kelompok lainnya. Penentuan dosis 0.1 g/kg BB/hari didasarkan pada hasil konversi dosis pemberian pada manusia (Lampiran 1). Volume larutan cekok yang diberikan berbeda-beda karena masing-masing tikus memiliki berat yang tidak sama. Contoh perhitungan volume larutan cekok dapat dilihat pada Lampiran 2. Tikus kontrol dicekok dengan air minum sebanyak 1 ml. Ekstrak daun jelatang yang diberikan merupakan ekstrak kasar yang masih berupa suspensi karena adanya partikel-partikel yang tidak terlarut. Penggunaan ekstrak kasar sebagai larutan cekok diharapkan dapat memberikan hasil yang mendekati hasil pengujian jika daun jelatang diberikan secara langsung bersama pakan. Pemberian daun jelatang langsung bersama pakan sulit dilakukan mengingat konsumsi pakan dari masing-masing tikus berbeda-beda dan kemungkinan adanya karakteristik daun jelatang yang tidak disukai oleh tikus. Pemberian substansi uji tertentu dengan cara tertentu pada hewan percobaan dapat mempengaruhi pola makan, tingkah laku dan pertumbuhan hewan tersebut. Selama periode pemeliharaan tikus percobaan ditemukan dua kasus kematian (mortalitas). Kasus pertama ditemukan pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari setelah 42 hari masa perlakuan dan kasus kedua ditemukan pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari setelah 73 hari masa perlakuan. Adanya gejala morbiditas (sakit/menderita) terlihat pada kedua tikus dalam waktu kurang dari 24 jam sebelum kematian. Selain itu, ditemukan juga banyak darah di sekitar hidung dan mata kedua tikus yang telah mati. Kedua kasus kematian ini diperkirakan terjadi karena penyimpangan irama jantung (arrythmia). Menurut Peterson dan Talcott (2006), tanaman Urtica spp dapat memicu gejala-gejala klinis seperti salivasi, muntah, arrythmia, dyspnea, kelemahan, dan collapse. Mekanisme terjadinya arrhytmia diduga terkait dengan sifat diuretik dari daun Urtica dioica L. Beberapa laporan menunjukkan bahwa diuretik, terutama yang tidak memiliki aktivitas menghemat kehilangan kalium dari tubuh (non potassium sparing diuretic), dapat meningkatkan risiko kematian arrhytmic (kematian akibat penyimpangan denyut jantung) pada pasien-pasien hipertensif, yang diduga terjadi karena diuretik mengubah keseimbangan elektrolit (Cooper et al. 1999). Ditemukannya sedikit darah di sekitar mulut dan hidung tikus pada saat pemeriksaan diasumsikan akibat tikus menggosok-gosokkan hidung ke tutup kandang yang terbuat dari logam. Tingkah laku tersebut diperkirakan karena pemberian jelatang dapat memicu gatal, seperti yang disebutkan oleh Fragoso et al. (2008). Mortalitas hanya terjadi pada satu dari 10 ekor tikus pada kelompok dosis 0.1 g/kg BB/hari dan satu dari sepuluh ekor tikus pada kelompok dosis 1 g/kg BB/hari. Mengingat hasil pemeriksaan fisik menunjukkan lebih banyak tikus yang tidak menunjukkan gejala morbiditas, maka diperkirakan tikus yang mati selama pengujian lebih sensitif dibandingkan tikus-tikus lainnya.
Penimbangan berat badan untuk memantau pertumbuhan tikus percobaan dilakukan dua hari sekali. Data berat badan tikus selama masa perlakuan tertera pada Lampiran 3. Tabel 6 menunjukkan data berat badan awal, berat badan akhir, kenaikan berat badan, serta rata-rata konsumsi pakan per hari setiap kelompok tikus. Setelah 90 hari masa percobaan, semua kelompok tikus mengalami kenaikan berat badan. Kenaikan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok kontrol sebesar 136.60±40.20 g. Hal ini sesuai dengan rata-rata konsumsi pakan/hari kelompok kontrol yang lebih tinggi dibanding kelompok lain. Pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 0.1 g/kg BB/hari dan 1 g/kg BB/hari mempengaruhi konsumsi pakan/hari kelompok tikus tersebut menjadi lebih rendah. Walaupun demikian, hal tersebut tidak memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan tikus secara keseluruhan. Hasil analisis uji sidik ragam terhadap berat badan awal tikus tertera pada Lampiran 5; berat akhir tikus pada Lampiran 6 dan kenaikan berat badan pada Lampiran 7. Berat badan kelompok tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang, baik dosis 0.1 g/kg BB/hari maupun 1 g/kg BB/hari, tidak berbeda nyata dengan kontrol pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan berat badan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% pada masing-masing kelompok tikus. Grafik pertumbuhan masing-masing kelompok tikus juga cenderung meningkat (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan bahwa selama masa perlakuan, semua kelompok tikus berada dalam keadaan pertumbuhan yang baik. Menurut National Research Council (1978), pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari mahkluk hidup ditandai dengan terjadinya kenaikan berat badan yang mengikuti bentuk kurva pertumbuhan yang sigmoid. Dalam kondisi diet seimbang (protein, energi, serta komponen-komponen lainnya), kenaikan berat badan akan terjadi sesuai dengan pola pertumbuhan yang seharusnya, dan akan menjadi lebih buruk bila hewan mendapatkan ransum yang tidak bergizi seimbang. Tabel 6. Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan, dan konsumsi pakan pada setiap kelompok tikus Berat badan (g) Perlakuan
Awal
Kontrol Dosis 0.1 g/kg BB/hari Dosis 1 g/kg BB/hari
Akhir a
194.20±22.78 183.60±14.28a 188.90±14.19a
Kenaikan a
330.80±43.79 287.33±47.02a 293.89±70.20a
136.60±40.20a 104.11±39.40a 104.44±61.16a
Konsumsi pakan/hari (g) 18.54±1.77a 16.80±1.84b 17.24±1.94b
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Begitu pula sebaliknya (uji lanjut Tukey)
Berat badan (g)
400,00 300,00 kontrol
200,00
dosis 0,1 g/kg BB/hari
100,00
dosis 1 g/kg BB/hari
0,00 0
Gambar 4.
50 Hari ke-
100
Pertumbuhan tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak daun jelatang dosis 0.1 g/kg BB/hari dan dosis 1 g/kg BB/hari
18
4.2. Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus Proliferasi limfosit merupakan suatu proses yang dapat mengindikasikan aktivitas respon imun spesifik yang berkaitan dengan suatu system imun. Menurut Kuby et al. (2007), sel limfosit yang dapat berproliferasi adalah sel B dan sel T yang merupakan bagian dari sistem imun spesifik. Sel B bertambah banyak dan berdiferensiasi menjadi sel plasma (efektor) dan sel memori pada awal proses proliferasi, sedangkan sel T berdiferensiasi menjadi sel Thelper (Th), Tsuppresor (Ts) dan Tcytotoxic (Tc). Sel B akan menghasilkan antibodi dari sel plasmanya unruk melawan benda asing (antigen) yang dapat merugikan bagi kesehatan. Sel T akan menghasilkan sitokinin yang menginduksi sistem imun lain. Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus setelah 90 hari masa perlakuan dilakukan melalui proses isolasi sel limfosit limfa, perhitungan dan pengkulturan suspensi sel limfosit limfa, serta penentuan indeks stimulasi sel limfosit limfa berdasarkan hasil pengujian dengan metode MTT. Sel limfosit yang diuji berasal dari organ limfa. Organ ini merupakan organ limfoid sekunder yang dirancang untuk menginisiasi respon imun terhadap antigen asal darah. Janeway et al. (2001) menyebutkan bahwa limfa merupakan organ yang mengumpulkan antigen dari darah serta mengumpulkan dan membuang sel darah merah (eritrosit) yang telah tua. Organ limfa mengandung kompartemen-kompartemen khusus yang merupakan tempat sel-sel imun berkumpul dan bekerja, dan berfungsi sebagai tempat pertemuan (konfrontasi) sistem imun dengan antigen (National Institute of Health 2003). Sebelum dikultur, jumlah sel dalam suspensi sel limfosit dihitung menggunakan metode biru trifan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi sel hidup dalam suspensi sel limfosit. Sel hidup memiliki membran sel yang masih utuh sehingga pewarna biru trifan yang diberikan tidak akan masuk ke dalam sel. Sel hidup tampak berbentuk bulat utuh dan bening pada pengamatan dengan mikroskop perbesaran 400x. Adapun sel yang telah mati tampak mengkerut dan berwarna kebiruan karena membran selnya telah rusak dan pewarna biru trifan dapat masuk ke dalam sel. Jumlah sel hidup dalam suspensi sel yang akan dikultur minimal sebesar 95% (Tejasari 2000). Pengkulturan sel limfosit limfa dilakukan secara in vitro dengan media RPMI 1640 yang mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan sel. Dalam media kultur juga ditambahkan fetal bovine serum (FBS) sebesar 10%. Penambahan serum ini bertujuan untuk memberikan hormonhormon penting pertumbuhan, protein, lipid, dan mineral-mineral yang penting untuk prtumbuhan, serta sebagai faktor penempel sel pada matrik tempat sel tumbuh (Freshney 1994). Antibiotik juga ditambahkan untuk mengatasi kontaminasi mikroorganisme. Selain itu ditambahkan juga NaHCO3 yang berfungsi sebagai buffer untuk mempertahankan pH yang diperlukan dalam pengkulturan sel limfosit (Freshney 1994). Pada pengkulturan sel limfosit limfa ini juga ditambahkan senyawa mitogen dan senyawa yang bersifat toksik bagi tubuh yaitu rhodamin B dan karmoisin. Hal ini dilakukan untuk mengetahui respon proliferasi sel limfosit limfa terhadap senyawa-senyawa tersebut. Mitogen yang digunakan adalah lipopolisakarida (LPS) dari Salmonella thyphii. Penambahan LPS bertujuan memacu proliferasi karena LPS merupakan semacam antigen yang menginduksi terjadinya proliferasi. LPS umum digunakan untuk menstimulasi sel dan hal tersebut terjadi secara alami pada kasus infeksi. Menurut Watter et al. (2002), LPS adalah komponen membran luar bakteri gram negatif yang dapat meningkatkan aktivitas sel imun. Adapun karmoisin dan rhodamin B merupakan pewarna buatan (sintetis) yang dapat bersifat toksik bagi tubuh. Amin et al. (2010) menyimpulkan bahwa karmoisin dapat memberikan pengaruh negatif dan mengubah beberapa penanda biokimia pada organ-organ penting seperti hati dan ginjal, baik pada dosis tinggi ataupun rendah. Dan menurut EFSA (2005), rhodamin B berpotensi memiliki sifat karsinogenik dan genotoksik.
19
Dalam proses pengkulturan sel sangat dibutuhkan kondisi yang steril untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme. Tahapan-tahapan dalam pengkulturan sel limfosit dikerjakan secara aseptis dan sebagian besar dilakukan di dalam lemari steril. Inkubasi kultur sel limfosit dilakukan selama 72 jam dalam inkubator CO2 dengan pengaturan suhu 370C, kadar CO2 5%, udara 95%, dan RH 97%. Kondisi ini diupayakan untuk mendekati kondisi yang sama dengan kondisi tubuh. Menurut Freshney (1994), untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Di akhir masa inkubasi dilakukan pengujian proliferasi sel limfosit dengan metode MTT (3(4.5- dimethilthyazol-2-yl)-2.5 diphenyl-tetrazolium bromide). Empat jam sebelum berakhirnya masa inkubasi, senyawa MTT yang berwarna kuning ditambahkan ke dalam kultur sel. Senyawa MTT akan bereaksi dengan enzim suksinat dehidrogenase yang ada dalam mitokondria sel hidup. Enzim ini dapat mengubah senyawa tetrazolium dari MTT untuk menghasilkan kristal formazan yang berwarna biru. Nilai absorbansi dari warna biru kristal formazan ini kemudian dijadikan indikator jumlah sel limfosit hidup. Penambahan HCl-isopropanol dilakukan pada akhir masa inkubasi atau sebelum dilakukan pengukuran nilai absorbansi. Hal ini dilakukan untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel limfosit sehingga stabil selama pengukuran nilai absorbansi dan untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk (Puspawati 2009). Pengukuran nilai absorbansi kultur sel limfosit dilakukan dengan ELISA reader. Kesalahan dapat terjadi pada proses pengukuran ini karena adanya kontaminasi bakteri maupun khamir. Mitokondria sel bakteri dan khamir juga mengandung enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium. Oleh karena itu, pelaksanaan analisis yang aseptis sangat diperlukan untuk menghindari adanya kontaminasi. Aktivitas proliferasi sel limfosit limfa tikus ditentukan melalui perhitungan nilai indeks stimulasi (IS). Nilai ini merupakan perbandingan antara rata-rata absorbansi kultur yang diberi perlakuan (konsumsi daun jelatang, penambahan mitogen atau senyawa toksik) dengan rata-rata absorbansi kultur yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Semakin tinggi nilai IS menandakan proliferasi limfosit semakin banyak atau aktivitas proliferasi limfosit semakin tinggi (Cambier 2000). Data rata-rata absorbansi kultur sel pada masing-masing perlakuan tertera pada Lampiran 8. Adapun rata-rata indeks stimulasi pada masing-masing perlakuan tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata indeks stimulasi pada setiap perlakuan Kelompok Tikus
Perlakuan Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
Dosis 1 g/kg BB/hari
Spontan LPS
1,000 1,140
1,243 0,988
0,948 1,020
Kar 48 µg/ml Kar 96 µg/ml
0,511 0,555
0,893 1,005
1,183 1,067
Kar 144 µg/ml
0,583
1,020
1,124
Rho 12 µg/ml Rho 24 µg/ml Rho 36 µg/ml
0,481 0,504 0,522
0,936 0,953 0,950
0,915 0,950 1,011
20
4.2.1. Proliferasi Limfosit Spontan Gambar 5 menunjukkan rata-rata indeks stimulasi sel limfosit limfa tikus tanpa penambahan mitogen atau senyawa toksik (proliferasi limfosit spontan). Nilai indeks stimulasi ini merupakan hasil bagi antara nilai absorbansi kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari atau dosis 1 g/kg BB/hari dengan nilai absorbansi kelompok tikus kontrol. Dengan demikian, kelompok tikus kontrol memiliki nilai indeks stimulasi 1. Terlihat bahwa kelompok tikus dengan pemberian daun jelatang dosis 0.1 g/kg BB/hari memiliki nilai IS yang paling tinggi yaitu 1.243. Adapun kelompok tikus dengan pemberian daun jelatang dosis 1 g/kg BB/hari memiliki nilai IS yang lebih rendah dari kontrol yaitu sebesar 0.948. Hasil analisis statistik dengan uji sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa rata-rata nilai indeks stimulasi kelompok tikus kontrol, dosis 0.1 g/kg BB/hari, dan dosis 1 g/kg BB/hari tidak berbeda secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. 1,400
1,243
1,200 Indeks Stimulasi
1,000
0,948
1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari Dosis 1 g/kg BB/hari Kelompok Tikus
Gambar 5. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi spontan pada setiap kelompok tikus Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks stimulasi limfosit kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari memiliki nilai yang paling tinggi. Hal ini dapat terjadi mengingat adanya kandungan komponen-komponen bioaktif pada daun jelatang seperti komponen fenolik yang memiliki sifat antioksidan. Gulcin et al. (2004) menyatakan bahwa komponen fenolik pada ekstrak air dari tanaman jelatang bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan yang kuat dan mendeteksi kandungan fenol sebesar 25,3 µg pyrocatechol equivalent pada 1 mg ekstrak. Lebih jauh lagi, Gulcin et al. (2004) menunjukkan aktivitas antioksidan dari ekstrak air daun jelatang sebesar 39, 66, dan 98% inhibisi peroksidasi dalam emulsi asam linoleat masing-masing pada konsentrasi 50, 100, dan 250 µg. Adanya sifat antioksidan dari komponen fenolik dapat melindungi sel limfosit dari stress oksidatif yang dapat merusak sel limfosit sehingga proliferasi terhambat. Penelitian tentang sifat antioksidan senyawa fenolik yang menunjukkan peranan sebagai antiradikal atau antioksidan secara in vivo pada manusia juga telah dilakukan oleh Erniwati (2007) yang menyebutkan komponen bioaktif seperti polifenol pada bubuk kakao bebas lemak dapat meningkatkan sifat antiradikal bebas pada sel limfosit manusia. Puspawati (2009) yang melakukan kajian aktivitas proliferasi limfosit dan kapasitas antioksidan sorgum dan jewawut pada tikus Sprague Dawley menyebutkan bahwa terjadinya aktivitas antioksidan senyawa fenolik sorgum dan jewawut diduga karena senyawa fenolik tersebut setelah mengalami metabolisme dalam tubuh dapat diserap oleh jaringan seperti organ limfa. Mekanisme
21
aktivitas antioksidan dari senyawa fenolik ini adalah kemampuan senyawa fenolik mendonorkan elektron atau mekanisme menangkap (scavenger) radikal bebas atau ROS menjadi produk yang non reaktif. Adapun menurut Damiani et al. (2008), penghambatan transfer hidrogen merupakan mekanisme yang umum terjadi pada antioksidan fenolik. Sebagian besar antioksidan sintetis ataupun alami merupakan senyawa fenolik (ArOH) yang paling sedikit memiliki satu grup hidroksil yang terikat pada cincin benzene. Efek antioksidan dari senyawa fenolik ini terjadi karena donasi atom hidrogen fenolik pada rantai yang mengandung radikal peroksil (1) merupakan reaksi yang terjadi lebih cepat dibandingkan penyerangan radikal peroksil terhadap substrat organik (2) yang merupakan tahap propagasi dari proses peroksidatif.
Selain itu, dugaan adanya komponen fenolik dari ekstrak daun jelatang yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel limfosit yang tersusun atas protein juga menjadi alasan tingginya proliferasi limfosit pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari. Menurut Tejasari (2007) komponen fenolik dapat berikatan dengan reseptor sel limfosit karena komponen fenolik dapat berikatan dengan protein melalui ikatan hidrogen. Adanya ikatan ini secara tidak langsung mengaktivasi sel B untuk berproliferasi (Tejasari dan Zakaria 2002). Namun demikian, pada dosis yang lebih tinggi (1 g/kg BB/hari), pemberian ekstrak daun jelatang menunjukkan efek menurunkan proliferasi limfosit. Hal ini diduga akibat banyaknya komponen fenolik yang terakumulasi dalam sel. Fardiaz (1996) menyatakan bahwa salah satu karakteristik fenol adalah kemampuannya sebagai antioksidan namun pada konsentrasi tinggi fenol dapat bersifat prooksidan. Sejalan dengan itu, Damiani et al. (2008) menyebutkan bahwa setiap antioksidan selama beraktivitas dapat menghasilkan spesies yang mampu mendorong oksidasi, oleh karena itu setiap antioksidan baik secara langsung ataupun tidak langsung memiliki sifat prooksidan. Efek prooksidan dari antioksidan telah menjadi objek studi yang menunjukkan bahwa antioksidan menjadi berbahaya ketika diaplikasikan pada dosis tinggi pada diet biasa (Damiani et al. 2008).
4.2.2. Proliferasi limfosit dengan penambahan LPS Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh senyawa yang disebut mitogen. Mitogen dapat memicu proliferasi karena dapat mengaktivasi hormon tirosin kinase yang merupakan faktor pertumbuhan. Hormon ini akan mengirimkan sinyal-sinyal yang berpengaruh terhadap faktor transkripsi dan aktivasi gen sehingga terjadi proliferasi sel (Decker 2001). Mitogen yang digunakan pada penelitian ini adalah lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen membran luar dari bakteri gram negatif seperti Salmonella typhii ataupun E. coli. LPS diketahui dapat memicu proliferasi sel limfosit B. Menurut Kuby et al. (2007), LPS merupakan contoh dari type 1 thymusindependent antigens (antigen TI-1). Sebagian besar antigen TI-1 merupakan aktivator sel B poliklonal (mitogen) yang dapat mengaktivasi sel B tanpa mempedulikan spesifitas antigenik mereka. Pada konsentrasi tinggi, beberapa antigen TI-1 akan menstimulasi proliferasi dan sekresi antibodi sebanyak sepertiga dari keseluruhan sel B. LPS menstimulasi produksi antibodi spesifik untuk LPS pada konsentrasi rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi LPS merupakan aktivator sel B poliklonal. Rata-rata indeks stimulasi limfosit dengan perlakuan LPS serta % aktivitasnya tertera pada Tabel 8. Pengaruh penambahan LPS terhadap aktivitas proliferasi dapat dilihat pada Gambar 6.
22
Tabel 8. Rata-rata indeks stimulasi dan aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan LPS Kelompok Tikus
Indeks stimulasi
Aktivitas (%)
Kontrol
1,140
14,02
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
0,988
-20,50
Dosis 1 g/kg BB/hari
1,020
7,56
1,400
Indeks Stimulasi
1,200 1,000
1,140 1,000
1,243 0,988
0,948
1,020
0,800 0,600
Spontan
0,400
LPS
0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
Dosis 1 g/kg BB/hari
Kelompok Tikus
Gambar 6. Pengaruh penambahan LPS terhadap rata-rata indeks stimulasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok tikus kontrol nilai indeks stimulasi dengan penambahan LPS lebih tinggi daripada nilai indeks stimulasi spontan. Berdasarkan perhitungan % aktivitas, kenaikan aktivitas proliferasi limfosit dengan penambahan LPS pada kelompok tikus kontrol adalah 14.02 %. Pada kelompok tikus dengan perlakuan ekstrak daun jelatang dosis 0.1 g/kg BB/hari, nilai indeks stimulasi dengan penambahan LPS lebih kecil dibanding indeks stimulasi spontan dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 20.50%. Adapun kelompok tikus dengan perlakuan ekstrak daun jelatang dosis 1 g/kg BB/hari menunjukkan nilai indeks stimulasi dengan penambahan LPS lebih tinggi daripada nilai indeks stimulasi spontan dengan kenaikan aktivitas proliferasi sebesar 7.56%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan LPS tertera pada Lampiran 10. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan aktivitas proliferasi karena penambahan LPS pada kelompok tikus kontrol dan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan kenaikan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Begitu juga dengan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari, penurunan ini tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan paparan data di atas, penambahan mitogen LPS mampu meningkatkan proliferasi pada kelompok tikus kontrol dan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari. Walaupun demikian peningkatan yang terjadi bersifat tidak signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh metode analisis uji MTT yang menggunakan pengukuran absorbansi. Keller et al. (2005) yang membandingkan dua metode pengujian proliferasi limfosit menemukan bahwa pengujian dengan radioaktif 3H-thymidine secara signifikan menghasilkan nilai indeks stimulasi yang lebih tinggi dibandingkan pengujian dengan MTT. Lebih jauh lagi, Iwata dan Inoue (1993) menyebutkan bahwa
23
rendahnya nilai IS pada uji MTT disebabkan oleh nilai absorbansi sel yang tidak distimulasi (sel kontrol) secara relatif lebih tinggi karena metode pengujian ini tidak hanya mengukur viabilitas sel yang membelah secara aktif, tetapi juga sel yang sedang beristirahat. Pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari penambahan LPS mengakibatkan penurunan aktivitas proliferasi walaupun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa mitogen yang ditambahkan pada kultur sel limfosit tikus bersifat tidak sinergis dengan ekstrak daun jelatang dalam meningkatkan aktivitas proliferasi dan cenderung menghambat proliferasi pada perlakuan ekstrak daun jelatang dosis rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Nora (2007) juga menunjukkan bahwa penambahan mitogen LPS pada kultur sel limfosit tikus yang telah diberi paparan ekstrak daun kumis kucing dan bunga kenop cenderung menghambat proliferasi, ditunjukkan dengan nilai indeks stimulasi lebih kecil dari 1. Walaupun demikian, pada pemberian dosis ekstrak daun jelatang yang lebih tinggi (1 g/kg BB/hari) proliferasi limfosit dengan penambahan LPS mengalmi peningkatan. Hal ini kemungkinan terjadi karena efek stimulasi proliferasi oleh ekstrak daun jelatang lebih dominan daripada efek unsinergis LPS dan ekstrak daun jelatang dalam meningkatkan proliferasi. Namun perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk memastikan dan menjelaskan fenomena ini.
4.2.3. Proliferasi sel limfosit limfa dengan penambahan senyawa toksik Senyawa toksik ditambahkan pada kultur sel limfosit untuk mengetahui sejauh mana ekstrak daun jelatang dapat menghambat efek toksik dari senyawa tersebut terhadap proliferasi limfosit. Senyawa toksik yang digunakan dalam penelitian ini adalah karmoisin dan rhodamin B. Karmoisin merupakan pewarna makanan sintetis yang pada kadar tertentu diketahui memiliki efek toksik bagi tubuh sehingga penggunaannya dalam bahan pangan diatur dengan ketat. Hingga saat ini, karmoisin merupakan pewarna makanan sintetis yang diizinkan di Uni Eropa dengan level maksimal penggunaan yang diizinkan sebesar 50-500 mg/kg pangan untuk berbagai jenis bahan pangan dengan nilai Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 0-4 mg/kg BB/hari (EFSA 2009). Nilai ADI ini digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi karmoisin yang ditambahkan pada kultur. Adapun rhodamin B merupakan pewarna sintetis yang dilarang penggunannya pada pangan namun masih sering disalahgunakan oleh produsen pangan. Menurut Inchem (2006) nilai LD50 rhodamin B adalah 89.5 mg/kg berat badan. Nilai LD50 digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi rhodamin B yang ditambahkan pada kultur. Rata-rata indeks stimulasi dengan perlakuan senyawa karmoisin dan rhodamin B dapat dilihat pada Tabel 7. Paparan senyawa karmoisin yang diujikan pada penelitian ini adalah 48 µg/ml, 96 µg/ml dan 144 µg/ml kultur. Tabel 9 menunjukkan % aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan karmoisin pada setiap konsentrasi, sedangkan Gambar 7 menunjukkan perbandingan antara nilai indeks stimulasi spontan dan indeks stimulasi dengan paparan karmoisin 48 µg/ml. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 48.86%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 28.17%. Adapun pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari terjadi kenaikan nilai indeks stimulasi dengan kenaikan aktivitas proliferasi sebesar 24.80%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan karmoisin 48 µg/ml tertera pada Lampiran 11. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol dan kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, kenaikan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari juga merupakan kenaikan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%.
24
Tabel 9. Nilai aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan karmoisin (%) Kelompok Tikus
Perlakuan Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
Dosis 1 g/kg BB/hari
Kar 48 µg/ml Kar 96 µg/ml
-48,86 -44,47
-28,17 -19,14
24,80 12,53
Kar 144 µg/ml
-41,70
-17,97
18,51
1,400
1,243
1,183
1,200 Indeks Stimulasi
1,000 1,000
0,893
0,948
0,800 0,600
0,511
Spontan Kar 48 µg/ml
0,400 0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
Dosis 1 g/kg BB/hari
Kelompok Tikus Gambar 7.
Pengaruh penambahan karmoisin 48 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit
Gambar 8 menunjukkan perbandingan antara nilai indeks stimulasi spontan dan indeks stimulasi pada paparan karmoisin 96 µg/ml. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 44.47%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 19.14%. Adapun pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari terjadi kenaikan nilai indeks stimulasi dengan kenaikan aktivitas proliferasi sebesar 12.53%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan karmoisin 96 µg/ml tertera pada Lampiran 12. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol dan dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, kenaikan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan kenaikan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%.
25
1,400
1,243
Indeks Stimulasi
1,200 1,000
1,005
1,000
1,067 0,948
0,800 0,555
0,600
Spontan Kar 96 µg/ml
0,400 0,200 0,000 Kontrol
Gambar 8.
Dosis 0,1 g/kg BB/hari Kelompok Tikus
Dosis 1 g/kg BB/hari
Pengaruh penambahan karmoisin 96 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit
Gambar 9 menunjukkan perbandingan antara nilai indeks stimulasi spontan dan indeks stimulasi pada paparan karmoisin 144 µg/ml. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 41.70%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 17.97%. Adapun pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari terjadi kenaikan nilai indeks stimulasi dengan kenaikan aktivitas proliferasi sebesar 18.51%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan karmoisin 144 µg/ml tertera pada Lampiran 13. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Adapun penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, kenaikan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan kenaikan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. 1,400
Indeks Stimulasi
1,200
1,243 1,124 1,020
1,000
1,000
0,948
0,800 0,600
0,583
Spontan Kar 144 µg/ml
0,400 0,200 0,000 Kontrol
Gambar 9.
Dosis 0,1 g/kg Dosis 1 g/kg BB/hari BB/hari Kelompok Tikus
Pengaruh penambahan karmoisin 144 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit
26
Pada ketiga nilai konsentrasi karmoisin yang diujikan, secara umum terlihat bahwa adanya paparan karmoisin menyebabkan penurunan aktivitas proliferasi secara signifikan pada kelompok tikus kontrol. Amin et al (2010) menyebutkan bahwa pada konsentrasi tinggi karmoisine dapat menginduksi stress oksidatif melalui pembentukan radikal bebas. Adanya stress oksidatif ini dapat merusak sel limfosit dan menghambat proliferasi. Tidak adanya mekanisme ataupun senyawa yang melindungi sel dari stress oksidatif ini menyebabkan aktivitas proliferasi limfosit pada kelompok tikus kontrol menurun cukup drastis hingga hampir 50%. Sementara itu, pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari, secara umum terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit yang signifikan akibat adanya paparan karmoisin. Dengan demikian, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 0.1 g/kg BB/hari tidak dapat menghambat efek toksik yang ditimbulkan karmoisin terhadap proliferasi limfosit tikus. Ekstrak daun jelatang yang diberikan pada dosis rendah diduga menyebabkan senyawa fenolik yang terserap oleh limfa tikus tidak cukup banyak sehingga efek antioksidan dari senyawa fenolik tersebut tidak maksimal. Adapun pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari, aktivitas proliferasi meningkat secara signifikan pada ketiga konsentrasi paparan karmoisin yang diujikan. Pemberian ekstrak daun jelatang pada konsentrasi ini tidak hanya mampu menghambat efek toksik dari paparan karmoisin namun juga masih mampu menstimulasi proliferasi limfosit. Daun jelatang sendiri diketahui memiliki kandungan komponen-komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antioksidan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Gulcin et al. (2004) menyimpulkan bahwa ekstrak air tanaman jelatang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat terhadap berbagai system oksidatif secara in vitro. Beberapa mekanisme dari ekstrak air tanaman jelatang ini dapat disebabkan oleh kemampuan yang kuat untuk mendonasikan hidrogen, kemampuan mengkelat logam, dan kemampuannya secara efektif sebagai penangkap (scavenger) hidrogen peroksida, superoksida, dan radikal bebas. Aktivitas antioksidan ini dapat menanggulangi stress oksidatif yang diinduksi oleh adanya paparan senyawa karmoisin sehingga proliferasi limfosit tidak terhambat. Pada penelitian ini juga digunakan senyawa rhodamin B yang ditambahkan ke dalam kultur sel pada konsentrasi 12 µg/ml, 24 µg/ml dan 36 µg/ml kultur. Tabel 10 menunjukkan % aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan karmoisin pada setiap konsentrasi sedangkan Gambar 10 menunjukkan pengaruh paparan senyawa rhodamin B 12 µg/ml terhadap proliferasi limfosit pada masing-masing kelompok tikus. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 51.86%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 24.67%. Pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari juga terjadi penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 3.47%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan rhodamin B 12 µg/ml tertera pada Lampiran 14. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Adapun penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%.
27
Tabel 10. Nilai aktivitas proliferasi limfosit dengan perlakuan rhodamin B (%) Kelompok Tikus
Perlakuan Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari
Dosis 1 g/kg BB/hari
Rho 12 µg/ml Rho 24 µg/ml
-51,86 -49,60
-24,67 -23,34
-3,47 0,23
Rho 36 µg/ml
-47,80
-23,55
6,61
1,400 Indeks Stimulasi
1,200
1,243 1,000
0,936
1,000
0,948 0,915
0,800 0,600
0,481
Spontan
0,400
Rho 12 µg/ml
0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari Kelompok Tikus
Dosis 1 g/kg BB/hari
Gambar 10. Pengaruh penambahan rhodamin B 12 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit Gambar 11 menunjukkan pengaruh paparan senyawa rhodamin B 24 µg/ml terhadap proliferasi limfosit pada masing-masing kelompok tikus. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 49.60%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 23.34%. Pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari terjadi sedikit kenaikan nilai indeks stimulasi dengan peningkatan aktivitas proliferasi sebesar 0.23%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan rhodamin B 24 µg/ml tertera pada Lampiran 15. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, peningkatan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan peningkatan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%.
28
1,400
Indeks Stimulasi
1,200
1,243 1,000
0,953
1,000
0,9480,950
0,800 Spontan
0,504
0,600
Rho 24 µg/ml
0,400 0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari Kelompok Tikus
Dosis 1 g/kg BB/hari
Gambar 11. Pengaruh penambahan rhodamin B 24 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit Gambar 12 menunjukkan pengaruh paparan senyawa rhodamin B 36 µg/ml terhadap proliferasi limfosit pada masing-masing kelompok tikus. Kelompok tikus kontrol menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 47.80%. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari juga menunjukkan penurunan nilai indeks stimulasi dengan penurunan aktivitas proliferasi sebesar 23.55%. Pada kelompok tikus 1 g/kg BB/hari terjadi kenaikan nilai indeks stimulasi dengan peningkatan aktivitas proliferasi sebesar 6.61%. Hasil analisis statistik dengan uji T berpasangan terhadap indeks stimulasi spontan dan perlakuan rhodamin B 36 µg/ml tertera pada Lampiran 16. Hasil analisis statistik yang telah dilakukan menunjukkan penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus kontrol merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari merupakan penurunan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Sementara itu, peningkatan aktivitas proliferasi pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari merupakan peningkatan yang tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. 1,400 Indeks Stimulasi
1,200
1,243 1,000
0,950
1,000
0,948
1,011
0,800 0,600
Spontan 0,522
Rho 36 µg/ml
0,400 0,200 0,000 Kontrol
Dosis 0,1 g/kg BB/hari Kelompok Tikus
Dosis 1 g/kg BB/hari
Gambar 12. Pengaruh penambahan rhodamin 36 µg/ml terhadap aktivitas proliferasi limfosit
29
Berdasarkan hasil penelitian, paparan rhodamin B baik pada konsentrasi 12 µg/ml, 24 µg/ml ataupun 36 µg/ml menyebabkan penurunan aktivitas proliferasi limfosit secara sigifikan pada kelompok tikus kontrol. Kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari secara umum juga mengalami penurunan aktivitas proliferasi secara signifikan. Namun lain halnya dengan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari, adanya paparan rhodamin B tidak mempengaruhi aktivitas proliferasi secara signifikan. Dengan kata lain, pada kelompok ini peningkatan atau penurunan aktivitas proliferasi yang terjadi bersifat tidak signifikan. Penurunan aktivitas proliferasi pada limfosit yang terpapar rhodamin B diduga terjadi karena banyaknya sel yang mati. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kaji et al. (1991), rhodamin B pada konsentrasi 25 µg/ml dan konsentrasi yang lebih tinggi, secara signifikan menurunkan jumlah sel KD (fibroblast) bibir manusia setelah dikultur selama 72 jam. Dan pada konsentrasi 50 µg/ml, rhodamin B mengakibatkan perubahan degeneratif pada nukleus dan bentuk sel menjadi tidak biasa. Selain itu, Pipih dan Juli (2000) menyebutkan bahwa rhodamin B dapat menyebabkan terjadinya peubahan bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati mencit dari normal menjadi patologis, yaitu perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami desintegrasi atau disorganisasi. Lockshin dan Zakeri (2004) menyebutkan bahwa nekrosis merupakan proses kematian sel yang tidak terkontrol dan terjadi ketika sel tidak mampu mengikuti jalur apoptosis (kematian sel yang terprogram). Nekrosis dapat terjadi ketika sel secara tiba-tiba mengalami stress yang ekstrim, seperti perubahan drastis pada konsentrasi ion atau pH dari medium ekstraseluler, hilangnya sumber energi secara tiba-tiba, ataupun penurunan atau peningkatan suhu yang menyebabkan keadaan homeostasis tidak mungkin dijaga. Keberadaan rhodamin B dalam kultur sel diduga mendorong sel limfosit untuk mengalami nekrosis. Bagi organisme, selalu lebih baik untuk mengontrol kematian sel untuk menghindari lolosnya molekul-molekul destrukif seperti protease, sitokinin yang memicu inflamasi serta organisme invasif seperti virus (Lockshin dan Zakeri 2004). Dengan demikian, ketika sel mengikuti jalur kematian sel yang tidak terkontrol (nekrosis), molekul-molekul destruktif ini akan terlepas dan menyerang sel-sel lain di sekitar sel yang mengalami nekrosis. Hal ini menyebabkan efek kerusakan atau kematian sel semakin meluas. Ketika terjadi pada sistem kultur sel limfosit, hal ini akan menyebabkan penghambatan aktivitas proliferasi yang cukup besar. Seperti yang terjadi pada kelompok tikus kontrol yang mengalami penurunan aktivitas proliferasi hingga lebih dari 50%. Pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari, efek penurunan aktivitas proliferasi karena paparan rhodamin B tidak sebesar kelompok tikus kontrol, yaitu hanya sekitar 20-25%. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 0.1 g/kg BB/hari memiliki kemampuan dalam menghambat efek toksik yang ditimbulkan oleh rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi. Namun, pada dosis ini efek penghambatan yang ditimbulkan tidak cukup besar karena diduga komponenkomponen bioaktif yang terserap tidak cukup banyak untuk memberikan efek yang maksimal. Terbukti pada pemberian ekstrak daun jelatang dengan dosis yang lebih tinggi, yaitu 1 g /kg BB/hari, adanya paparan rhodamin B secara umum tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit tikus.
30
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Hasil pengamatan pada pemeliharaan tikus menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jelatang (dosis 0,1 g/kg BB/hari dan dosis 1 g/kg BB/hari) memicu reaksi gatal, serta arrhythmia pada beberapa tikus. Arrhytmia diduga menjadi penyebab terjadinya dua kasus mortalitas yang terjadi pada satu dari sepuluh tikus pada masing-masing kelompok yang diberi perlakuan ekstrak daun jelatang. Namun hingga akhir masa pemeliharaan tidak ditemukan adanya manifestasi toksisitas ekstrak daun jelatang terhadap berat badan tikus. Pengujian proliferasi limfosit spontan menunjukkan bahwa kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari memiliki nilai indeks stimulasi yang lebih tinggi dari kontrol yaitu 1.243, sedangkan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari memiliki nilai indeks stimulasi yang lebih rendah dari kontrol yaitu 0.948. Tingginya nilai indeks stimulasi pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari diduga terjadi karena aktivitas antioksidan komponen fenolik pada daun jelatang yang mampu melindungi sel limfosit dari stress oksidatif yang dapat merusak sel. Namun demikian, secara statistik perbedaan nilai indeks stimulasi ini bersifat tidak signifikan. Sementara itu, penambahan mitogen LPS mampu meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit pada kelompok tikus kontrol sebesar 14.02% dan pada kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari sebesar 7.56%. Sedangkan pada kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit sebesar 20.50%. Secara statistik peningkatan atau penurunan yang terjadi bersifat tidak signifikan. Pengujian aktivitas proliferasi limfosit pada paparan karmoisin pada tiga konsentrasi berbeda menunjukkan bahwa kelompok tikus kontrol mengalami penurunan aktivitas proliferasi limfosit sekitar 41-48%, kelompok tikus dosis 0.1g/kg BB/hari mengalami penurunan aktivitas proliferasi sekitar 17-28%, sedangkan kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari mengalami kenaikan aktivitas proliferasi sekitar 12-24%. Dengan demikian, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis rendah mampu mengurangi efek toksik karmoisin terhadap aktivitas proliferasi limfosit tikus. Adapun, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 1 g/kg BB/hari selain dapat menghambat efek toksik karmoisin juga mampu menstimulasi proliferasi limfosit tikus pada paparan senyawa toksik karmoisin. Aktivitas proliferasi limfosit kelompok tikus kontrol mengalami penurunan sekitar 47-51% pada pengujian dengan paparan rhodamin B pada tiga konsentrasi berbeda, sedangkan kelompok tikus dosis 0.1 g/kg BB/hari mengalami penurunan sekitar 23-24%. Adapun aktivitas proliferasi limfosit kelompok tikus dosis 1 g/kg BB/hari mengalami penurunan sebesar 3% dan peningkatan hingga 6%. Dengan demikian, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 0.1 g/kg BB/hari mampu mengurangi efek toksik rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi limfosit tikus. Adapun, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 1 g/kg BB/hari selain dapat menghambat efek toksik karmoisin juga mampu menstimulasi proliferasi limfosit tikus pada paparan senyawa toksik rhodamin B.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, pemberian ekstrak daun jelatang pada dosis 1 g/kg BB/hari memberikan efek paling baik dalam menghambat efek toksik yang ditimbulkan oleh karmoisin dan rhodamin B terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Namun demikian perlu dilakukan pengujian terhadap dosis optimal untuk penggunaan ekstrak daun jelatang secara praktis. Selain itu, perlu dilakukan kajian yang lebih dalam mengenai komponen aktif yang bertanggung jawab terhadap aktivitas daun jelatang dalam menstimulasi proliferasi limfosit serta menghambat efek toksik karmoisin ataupun rhodamin B. Mengingat potensi yang dimiliki daun jelatang, tidak menutup
kemungkinan untuk dilakukan pengujian terhadap kemampuan daun jelatang dalam menghambat efek toksik dari bahan-bahan tambahan pangan lainnya, baik pewarna, pengawet, pemanis dan yang lainnya .
32
DAFTAR PUSTAKA [AIN] American Institute of Nutrition. 1976. Report AIN ad hoc committee on standard for nutrition study. J Nutr 107: 1340-1348 [EFSA] European Food Safety Authority. 2005. Opinion of the scientific panel on food additives, flavourings, processing aids and materials in contact with food on a request from the commission to review the toxicology of a number of dyes illegally present in food in the EU. EFSA J 263: 1-71 [EFSA] European Food Safety Authority. 2009. Scientific opinion on the re-evaluation of azorubine/carmoisine (E 122) as a food additive. EFSA J 7 (11): 1-36 Afrah Z. 2010. Pengujian Hepatotoksisitas Subkronis Ekstrak Daun Jelatang (Urtica dioica L.) pada Tikus Sprague Dawley. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor Akbay P, Basaran AA, Undeger U, Basaran N. 2003. In vitro immunomodulatory activity of flavonoid glycosides from Urtica dioica L. Phyto Res 17: 34–37 Aksu MI, Kaya M. 2004. Effect of usage Urtica dioica L. on microbial properties of sucuk a Turkish dry-fermented sausage. Food Cont 15: 591–595 Allardice P. 1993. A–Z of Companion Planting. Cassell Publishers Ltd, London American Herbal Pharmacopoeia. 2009. Stinging Nettle Herb. Scotts Valley, USA Amin KA, Hameid II HA, Elsttar AHA. 2010. Effect of food azo dyes tartrazine and carmoisine on biochemical parameters related to renal, hepatic function and oxidative stress biomarkers in young male rats. Food Chem Toxicol 48: 2994-2999 Anonimus. 2006. Rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman di Makassar. Republika Kamis 5 Januari 2006. http://www.republika.co.id/online_detail.asp ?=229881&kat_id=23. [30 Desember 2010] Baratawidjaja KG. 2006. Immunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Boyer R. 2002. Concepts in Biochemistry Ed 2. Brooks/Cole. Canada Cambier JC. 2000. B-Lymphocyte Differentiation. CRC Press, Florida Cartwright T, Shah GP. 1994. Culture media. Di dalam: Davis JM (ed). Basic Cell Culture, A Practical Approach. Oxford Univ Pr, New York Chaurasia N, Wichtl M. 1987. Flavonol glycosides aus Urtica dioica. Plant Med 53: 432–434 Cooper HA, Dries DL, Davis CE, Shen YL, Domanski MJ. 1999. Diuretics and risk of arrhythmic death in patients with left ventricular dysfunction. Circulation 100: 1311-1315
Damiani E, Astolfi P, Carloni P, Stipa P, Greci L. 2008. Antioxidants: how they work. Di Dalam: Valacchi G, Davis P (eds). Oxidants in Biology: A Question of Balance. Springer Science, California National Institute of Health. 2003. Understanding the Immune System : How It Works. NIH Publication, USA Decker JM. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science Inc, Massachusetts Doyle A, Griffiths JB. 1997. Mammalian Cell Culture. Oxford, London Erniati. 2007. Efek Konsumsi Minuman Bubuk Kakao Bebas Lemak terhadap Sifat Antioksidan dan Proliferativ Limfosit Manusia. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor European Medicines Agency. 2007. Evaluation of medicines for human use: community herbal monograph on Urtica dioica L. and Urtica urens L. herba. Draft. London Fragoso LR, Esparza JR, Burchiel SW, Ruiz DH, Torres E. 2008. Risk and benefits of commonly used herbal medicines in Mexico. Toxicol Appl Pharmacol 227: 128-135 Frazier RA. 2009. Food chemistry. Di dalam: Campbell-Platt G. (ed). Food Science and Technology. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom Freimoser FM, Jakob CA, Aebi M, Tuor U. 1999. The MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5diphenyltetrazolium bromide) assay is a fast and reliable method for colorimetric determination of fungal cell densities. Appl Environ Microbiol 65(8): 3727-3729 Freshney RI. 1994. Animal Cell Culture: A Practical Approach. IRL Press, Washington DC Galelli A, Truffa-Bachi P. 1993. Urtica dioica agglutinin. A superantigenic lectin from stinging nettle rhizome. J of Immun 151: 1821–1831 Ganser D, Spiteller G. 1995. Aromatase inhibitors from Urtica dioica roots. Plant Med 61: 138–140 Guil-Guerrero JL, Rebolloso-Fuentes M, Isasa M. 2003. Fatty acids and carotenoids from stinging netle (Urtica dioica L). J Food Comp and Anal 16: 111–119 Hallagan JB, Allen DC, Borzelleca JF. 1995. The safety and regulatory status of food, drug and cosmetics colour additives exempt from certification. Food Chem Toxicol 33 (6): 515–528 Harris JR. 1991. Blood Cell Biochemistry vol.3: Lymphocytes and Granulocytes. Plenum Press, New York Inchem. 2006. JECFA Evaluation of http://www.inchem.org/jecfa/jeceval/jec_2089.htm. [5 Januari 2010]
Rhodamine
B.
Iwata H, Inoue T. 1993. The colorimetric assay for swine lymphocyteblastogenesis. J Vet Med Sci 55: 697–698
34
Janeway CA, Travers P, Walport M, Shlomchik M. 2001. Immunobiology : the immune system in health and disease. Garland Publishing, New York Janssen MMT. 1997. Food additives. Di dalam: Vries JD (ed). Food Safety and Toxicity. CRC Press, Boca Raton Kaji T, Kawashima T, Sakamoto M, Kurashige Y, Koizumi F. 1991. Inhibitory effect of rhodamine B on the proliferation of human lip fibroblasts in culture. Toxicol 68(1):11-20 Keller JM, Mc.Clellan-Green PD, Lee AM, Arendt MD, Maier PP, Segars AL, Whitaker JD, Keil DE, Peden-Adams MM. 2005. Mitogen-induced lymphocyte proliferation in loggerhead sea turtles: comparison of methods and effects of gender, plasma testosterone concentration, and body condition on immunity. J Vet Immuno & Immunopathology 103: 269-281 Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Kuby J, Kindt TJ, Richard AG, Barbara AO. 2007. Immunology. 6th Edition. W.H Freeman and Company, New York Lao CC, Lin TL, Wu CC. 2001. Factors affecting mitogenic response of turkey lymphocytes. Acta Vet BRNO 70: 433-442 Lehninger A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan : Maggy Thenawijaya. Penerbit Erlangga, Jakarta Lockshin RA, Zakeri Z. 2004. Cell death origin and progression: introduction. Di Dalam: Lockshin RA, Zakeri Z. (eds). When Cells Die II: A Comprehensive Evaluation of Apoptosis And Programmed Cell Death. John Wiley & Sons Inc., New Jersey National Research Council. 1978. Nutrient Requirement of Laboratory Animal no. 10 3rd Rev. National Academy of Sciences, Washington D.C. Nora Z. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor Peterson ME, Talcott PA. 2006. Small Animal Toxicology. Ed 2. Elsevier Saunders, Amerika Serikat Pipih S, Juli SS. 2000. Uji toksisitas zat warna makanan rhodamin terhadap jaringan hati mencit (Mus musculus) galur Australia. J Toksikol Ind 1(3): 18-27 Prangdimurti E. 1999. Efek Perlindungan Ekstrak Jahe terhadap Respon Imun Mencit yang Diberi Perlakuan Stress Oksidatif oleh Pestisida Paraquat. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor Puspaningrum. 2003. Pengaruh Ekstrak Kayu Secang terhadap Proliferasi Sel Limfosit Limfa Tikus dan Sel Kanker k-562 (Chronic Myelogenous Leukimia) Secara In Vitro. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor
35
Puspawati KD. 2009. Kajian aktivitas proliferasi limfosit dan kapasitas antioksidan sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan Jewawut (Pennisetum sp) pada Tikus Sprague Dawley. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor Roitt IM, Delves PJ. 2001. Essential Immunology. Backwell Scientific Publications, London Shaper PT. 1988. Methods of Cell Separation. Elsevier, Amsterdam Sharma S, Goyal RP, Chakravarty G, Sharma A. 2005. Haemotoxic effects of chocolate brown, a commonly used blend of permitted food colour on Swiss Albino mice. Asian J Exp Sci 19(2): 93–103 Sharma S, Goyal RP, Chakravarty G, Sharma A. 2006. Tomato red toxicity: haematological and serological changes in the blood of swiss albino mice Mus musculus. Ind J Environ Sci 10(2): 145–148 Sheeler P, Bianchi DE. 1982. Cell Biology Structure: Biochemistry and Function. 2nd ed. John Wiley & Sons Inc, New York Tejasari. 2007. Evaluation of ginger (Zingiber officinale Roscoe) bioactive compounds in increasing the ratio of T-cell surface molecules of CD3+CD4+:CD3+CD8+ in-vitro. Mal J Nutr 13(2): 161-170 Tejasari & Zakaria FR (2002). Aktivitas stimulasi komponen bioaktif rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada sel limfosit B manusia in vitro. J Teknol Ind Pangan 8(1):47-53. Thorngate III JH. 2002. Synthetic Food Coloransts. Di dalam: Brannen AL, Davidson PM, Salminen S, Thorngate III JH (eds). Food Additives. Marcel Dekker Inc, New York Wagner H, Willer F, Kreher B. 1989. Biologically active compounds from the aqueous extract of Urtica dioica. Plant Med 55: 452–454 Wang X, Ge J, Wang K, Qian J, Zou Y. 2006. Evaluation of MTT assay for measurement of Emodininduced cytotoxicity. Assay Drug Dev Technol 4(2): 203-207 Waters JJ, Sommer JA, Pfeiffer ZA, Prabhu U, Guerra AN, Bertics PJ. 2002. A Differential Role for the Mitogen-Activated Protein Kinases in LPS Signaling: The MEK/ERK Pathway Is Not Essential for Nitric Oxide and Interleukin 1β Production. The American Society for Biochemistry and Molecular Biology, Inc. 1-39 Yener Z, Celik I, Ilhan F, Bal R. 2009. Effects of Urtica dioica L. seed on lipid peroxidation, antioxidants and liver pathology in aflatoxin-induced tissue injury in rats. Food Chem Toxicol 47: 418-424 Zakaria FR, Nurahman, Prangdimurti E, Tejasari. 2003. Antioxidant and immunoenhancement activities of ginger (Zingiber officinale Roscoe) extracts and compounds in in vitro and in vivo mouse and human system. Nutrac Foods 8: 96-104
36
Ziyyat A, Legssyer A, Mekhfi H, Dassouli A, Serhrouchni M, Benjelloun W. 1997. Phytotherapy of hypertension and diabetes in oriental Morocco. J Ethnopharmacol 58: 45–54
37
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan konversi dosis manusia ke tikus Acuan : Jumlah konsumsi daun jelatang = 2 g/hari/70 kg BB/hari Faktor konversi dari manusia (70 kg) ke tikus (20 g) = 0,018 Dosis pada tikus
= 2 g x 0,018 = 0,036 g/hari/200 g BB/hari = 0,18 g/hari/kg BB/hari ≈ 0,1 g/hari/kg BB/hari
Lampiran 2. Contoh perhitungan volume cekok per tikus Untuk : berat badan tikus (BB) = 200 g = 0,2 kg dosis yang diinginkan
= 0,1 g/kg BB/hari = 100 mg/kg BB/hari
konsentrasi ekstrak
= 20 mg bahan/ml air
Volume cekok =
BB×dosis yang diinginkan konsentrasi ekstrak
Volume cekok =
0,2kg×100mg/kg 20mg/ml
Volume cekok =1 ml
38
Lampiran 3. Hasil penimbangan berat badan pada setiap kelompok tikus Kode tikus
02Feb
04Feb
06Feb
08Feb
10Feb
12Feb
14Feb
16Feb
20Feb
22Feb
K1
168
166
175
172
178
185
189
190
214
221
K2
200
209
219
222
227
236
235
243
260
263
K3
206
210
218
228
233
237
246
252
265
266
K4
205
220
219
222
230
237
237
241
242
245
K5
222
224
230
233
237
237
243
255
280
282
K6
220
220
225
230
238
238
259
258
262
263
K7
228
232
239
240
248
254
256
262
270
273
K8
205
208
215
220
231
236
238
245
257
258
K9
172
176
192
184
188
195
202
203
212
215
K10 Ratarata
146
157
156
165
166
174
179
170
182
185
206,8
211,1
217,5
220,9
227,8
232,5
237,9
243,3
256,3
258,9
R1
201
202
209
212
220
226
229
236
247
248
R2
185
190
198
200
203
207
208
213
219
220
R3
194
191
195
200
209
214
217
225
233
235
R4
201
202
210
204
214
215
222
230
233
236
R5
190
190
209
211
218
224
229
235
244
247
R6
188
190
195
196
198
203
206
210
220
222
R7
179
180
185
189
190
196
197
202
207
209
R8
172
176
182
180
190
193
195
197
204
208
R9
205
188
197
200
200
208
207
210
205
207
R10 Ratarata
162
167
179
180
182
198
202
205
209
211
193,2
194,2
202,7
203,8
210,3
214,8
218,5
224,8
232,7
234,7
T1
195
200
203
212
219
224
227
234
237
239
T2
205
216
217
227
235
244
245
252
261
262
T3
200
208
212
220
225
235
237
245
255
255
T4
224
228
238
243
255
265
269
283
294
296
T5
180
188
190
190
198
202
207
212
215
217
T6
189
187
192
198
201
200
203
202
205
210
T7
195
200
203
208
214
223
226
235
240
210
T8
204
209
222
217
230
237
240
247
250
255
T9
190
191
196
198
210
225
230
253
245
247
T10 Ratarata
164
165
168
169
172
174
177
177
180
185
198,3
203,9
207,9
214,0
221,0
227,6
230,6
237,6
243,9
241,3
39
Kode tikus
25Feb
27Feb
02Mar
04Mar
06Mar
08Mar
10Mar
12Mar
14Mar
16Mar
K1
222
225
229
233
235
237
240
241
239
241
K2
261
270
281
290
293
295
298
306
306
315
K3
292
291
295
296
302
305
291
298
302
282
K4
252
251
257
258
258
260
262
266
269
255
K5
290
302
305
298
304
310
310
318
323
318
K6
270
277
281
284
281
286
290
293
307
298
K7
275
275
279
226
230
245
248
254
264
246
K8
270
270
275
274
280
280
275
283
288
290
K9
215
219
226
228
227
228
233
231
225
231
K10 Ratarata
191
193
222
247
245
247
240
248
253
252
266,5
270,1
275,3
269,9
272,9
277,3
276,8
282,4
287,3
280,6
R1
258
265
269
273
278
280
275
265
268
275
R2
226
231
235
236
242
245
246
240
240
245
R3
242
246
254
257
259
260
258
260
264
255
R4
255
256
259
265
264
267
268
253
241
248
R5
255
257
263
268
269
270
277
273
276
280
R6
228
228
235
234
231
234
236
223
214
223
R7
213
215
215
218
219
202
205
200
200
185
R8
210
212
212
213
215
217
207
196
195
199
R9
225
228
230
225
226
228
229
233
237
238
R10 Ratarata
205
210
210
210
207
210
205
192
191
196
244,0
247,2
252,5
255,5
257,2
259,3
260,0
252,3
250,5
254,3
T1
252
270
278
281
284
286
293
293
275
292
T2
278
283
287
291
290
293
296
291
282
282
T3
271
277
286
290
298
300
291
293
265
264
T4
312
316
325
328
327
329
336
343
344
355
T5
225
225
232
233
237
239
238
230
239
241
T6
209
245
257
255
259
260
267
266
245
T7
257
259
265
265
267
269
273
252
243 Mati
T8
272
206
212
210
215
217
215
214
215
215
T9
250
257
255
258
260
263
252
242
240
223
T10 Ratarata
181
181
180
183
184
186
181
180
180
180
257,7
267,9
275,7
277,6
280,3
282,3
284,9
281,1
274,7
279,8
40
Kode tikus
18Mar
20Mar
22Mar
24Mar
26Mar
28Mar
30Mar
01Apr
03Apr
05Apr
K1
246
244
246
257
285
285
286
299
300
308
K2
315
315
318
324
330
333
336
342
345
341
K3
304
305
308
305
319
321
323
312
315
316
K4
271
272
275
275
279
281
282
288
289
288
K5
324
315
317
334
343
348
349
348
349
358
K6
300
290
305
303
306
312
315
315
317
316
K7
267
265
271
253
256
266
267
268
269
268
K8
292
295
298
298
299
300
302
301
305
304
K9
234
233
235
240
235
240
243
239
240
242
K10 Ratarata
251
247
249
254
256
260
262
259
260
266
289,9
287,6
292,3
293,6
302,1
305,8
307,5
309,1
311,1
312,4
R1
280
278
280
295
297
305
306
319
326
323
R2
250
247
248
260
267
255
257
280
287
278
R3
273
266
269
276
281
284
284
292
295
293
R4
251
252
257
270
271
275
277
283
280
280
R5
277
278
280
280
280
285
286
289
293
302
R6
228
206
209
212
225
232
235
240
246
237
R7
195
201
205
206
210
210
211
211
210
210
R8
200
205
207
211
215
219
220
220
223
228
R9
241
233
236
241
241
247
248
245
250
250
R10 Ratarata
191
206
209
222
222
226
228
223
236
238
259,8
254,5
257,2
265,5
270,2
272,7
274,2
283,8
287,8
285,5
T1
301
300
302
310
315
318
320
321
329
310
T2
274
280
283
297
302
304
306
316
322
322
T3
262
267
268
277
286
300
304
315
319
319
T4
351
356
357
359
364
370
372
370
376
365
T5
242
245
246
252
258
255
257
268
266
248
T6
242
248
250
267
273
276
277
279
283
281
Mati
T7 T8
218
215
217
220
225
228
229
229
240
238
T9
225
233
235
243
250
250
252
254
257
258
T10 Ratarata
181
181
185
182
189
188
189
190
200
199
278,7
282,7
284,3
293,7
299,7
303,8
306,0
311,5
315,8
307,5
41
Kode tikus
07Apr
09Apr
11Apr
13Apr
15Apr
17Apr
19Apr
21Apr
23Apr
25Apr
K1
310
312
315
315
319
321
322
330
335
335
K2
348
352
356
359
364
367
368
374
380
386
K3
327
325
327
332
334
342
345
345
353
357
K4
290
292
295
296
299
301
303
305
306
311
K5
359
360
361
366
370
372
375
377
388
388
K6
323
315
317
327
330
330
333
335
335
336
K7
280
278
280
280
278
279
280
285
296
295
K8
303
318
320
320
319
324
325
310
320
326
K9
242
247
249
268
266
272
273
304
318
264
K10 Ratarata
268
269
270
268
270
268
269
270
275
275
317,5
319,0
321,4
324,4
326,6
329,5
331,4
332,6
339,1
341,8
R1
323
322
325
333
333
332
335
335
340
340
R2
295
288
289
272
290
293
295
296
302
306
R3
305
305
307
310
304
308
309
310
300
311
R4
295
301
305
305
307
310
311
312
320
323
R5
297
305
307
309
311
310
325
324
R6
240
250
252
233
311 315 Mati
R7
207
211
215
211
217
218
220
220
220
222
R8
233
227
228
230
233
234
236
235
240
240
R9
251
250
252
247
245
243
245
245
250
245
R10 Ratarata
245
244
246
237
230
235
237
242
243
243
292,5
295,2
297,5
293,7
309,0
310,6
312,2
313,6
317,4
320,8
T1
323
326
326
326
330
321
325
332
330
329
T2
324
327
329
330
327
330
333
339
322
342
T3
328
335
336
344
345
349
350
359
337
356
T4
382
379
380
358
363
368
369
380
385
386
T5
270
270
271
276
276
278
280
282
286
283
T6
285
289
290
293
293
293
295
296
299
297
Mati
T7 T8
238
240
245
255
258
273
273
295
181
190
T9
265
266
267
265
268
266
268
270
268
270
T10 Ratarata
191
190
190
200
200
194
195
195
198
194
318,7
321,0
322,0
321,2
322,3
323,2
325,3
331,3
326,5
332,2
42
Kode tikus
27Apr
29Apr
01Mei
K1
340
342
351
K2
385
387
386
K3
355
355
360
K4
315
313
314
K5
387
392
394
K6
337
340
337
K7
296
293
295
K8
330
325
330
K9
266
263
264
K10 Ratarata
274
274
277
343,1
343,4
345,9
R1
340
333
340
R2
305
310
307
R3
316
316
317
R4
324
332
336
R5
325
325 Mati
328
R7
205
223
222
R8
238
240
240
R9
248
255
251
R10 Ratarata
245
235
245
322,0
323,2
325,6
T1
338
322
340
T2
325
334
340
T3
322
355
350
T4
369
368
383
T5
280
282
287
T6
296
300 Mati
302
T8
180
185
185
T9
267
269
272
T10 Ratarata
193
192
186
321,7
326,8
333,7
R6
T7
43
Lampiran 4. Konsumsi pakan per hari Kode tikus
01Feb
02Feb
03Feb
04Feb
05Feb
06Feb
07Feb
08Feb
09Feb
10Feb
11Feb
K1
11,7
11,4
12,0
13,5
11,2
10,9
13,5
15,4
16,9
18,7
19,4
K2
12,5
14,2
13,1
15,8
11,8
12,4
13,0
13,7
20,0
19,7
19,1
K3
16,2
17,2
17,3
17,5
16,9
17,5
16,5
15,0
15,5
16,7
16,2
K4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,1
20,0
20,0
20,0
16,0
18,0
K6
11,0
4,5
9,0
12,7
10,2
10,3
20,0
12,7
20,0
10,5
20,0
K7
20,0
19,2
20,0
20,0
20,0
20,0
16,6
20,0
20,0
20,0
20,0
K8
20,0
20,0
20,0
11,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,1
20,0
20,0
19,2
11,4
K10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,1
20,0
20,0
15,1
15,7
15,6
16,7
15,0
15,2
15,8
16,0
18,1
18,8
18,7
R1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
9,4
17,5
17,2
R2
11,0
18,1
15,9
10,8
12,9
20,0
15,4
13,7
14,2
13,9
13,6
R3
19,1
14,1
16,4
17,2
15,0
15,0
15,7
17,0
15,1
16,7
17,0
R4
13,7
18,5
16,2
16,3
13,3
15,0
13,5
13,8
16,0
17,8
18,3
R5
16,3
14,4
15,4
16,5
15,5
14,6
15,4
12,3
12,0
12,3
13,6
R6
17,4
20,0
17,5
20,0
20,0
16,0
16,8
17,9
16,9
18,6
20,0
R7
17,4
19,7
15,9
16,9
20,0
20,0
20,0
20,0
19,0
20,0
20,0
R8
16,5
18,4
11,2
20,0
20,0
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
20,0
R9
13,2
13,5
13,2
20,0
10,7
15,1
15,3
14,6
17,3
18,2
20,0
R10 Ratarata
18,0
18,0
19,5
20,0
18,0
18,2
20,0
20,0
19,4
19,3
20,0
16,3
17,5
16,1
17,8
16,5
17,4
17,2
16,9
15,9
17,4
18,0
T1
11,7
11,6
12,9
11,2
13,4
13,5
14,4
20,0
18,7
19,7
20,0
T2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
13,7
20,0
20,0
20,0
T3
20,0
15,9
20,0
20,0
13,3
18,4
19,0
17,2
20,0
19,8
20,0
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
19,1
17,9
15,9
16,4
16,6
20,0
20,0
20,0
20,0
17,9
18,5
T6
16,9
20,0
20,0
16,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T7
15,0
15,8
16,4
12,2
15,7
12,9
15,4
17,4
15,1
16,5
17,2
T8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T9
13,3
17,8
14,6
20,0
11,0
14,2
13,3
13,8
13,4
16,6
19,1
T10 Ratarata
17,9
18,8
10,2
12,6
13,5
12,4
12,6
11,8
18,2
16,7
13,8
17,4
17,8
17,0
16,9
16,3
17,1
17,5
17,4
18,5
18,7
18,9
44
Kode tikus
12Feb
13Feb
14Feb
15Feb
19Feb
21Feb
23Feb
24Feb
25Feb
26Feb
12Feb
K1
19,2
19,6
19,5
20,0
9,6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,2
K2
16,2
16,7
20,0
20,0
15,0
20,0
13,2
20,0
17,1
20,0
16,2
K3
14,3
14,4
20,0
20,0
16,6
20,0
15,5
19,7
14,0
20,0
14,3
K4
20,0
20,0
20,0
19,3
20,0
20,0
18,0
16,6
20,0
17,9
20,0
K5
20,0
20,0
20,0
18,7
20,0
20,0
20,0
20,0
18,9
20,0
20,0
K6
20,0
20,0
20,0
14,6
20,0
13,9
20,0
12,6
13,9
12,8
20,0
K7
14,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
14,1
K8
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Ratarata
17,4
17,7
19,9
19,8
15,3
20,0
16,7
19,1
17,8
19,5
17,4
R1
16,2
17,4
17,4
20,0
18,1
19,1
16,0
20,0
16,4
17,2
16,2
R2
17,2
18,9
19,1
20,0
10,4
18,6
12,6
20,0
18,5
19,5
17,2
R3
16,9
16,8
17,4
20,0
17,5
16,7
15,8
20,0
20,0
20,0
16,9
R4
15,9
18,2
17,7
20,0
14,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,9
R5
11,7
14,4
15,8
14,4
12,1
14,8
17,3
20,0
18,0
20,0
11,7
R6
20,0
20,0
20,0
20,0
19,4
20,0
20,0
20,0
20,0
19,8
20,0
R7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,9
20,0
20,0
20,0
18,4
20,0
R8
17,9
18,7
19,3
20,0
18,5
18,8
18,2
20,0
20,0
16,7
17,9
R9
16,9
17,4
17,1
20,0
20,0
20,0
19,5
20,0
20,0
19,2
16,9
R10 Ratarata
18,0
19,5
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,0
17,1
18,1
18,4
19,4
17,1
18,5
17,9
20,0
19,3
19,1
17,1
T1
20,0
20,0
20,0
19,9
20,0
20,0
18,1
16,9
20,0
20,0
20,0
T2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T3
20,0
20,0
20,0
20,0
18,1
20,0
19,3
18,6
20,0
13,8
20,0
T4
20,0
20,0
18,0
17,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
17,5
18,6
18,7
18,6
20,0
20,0
19,0
14,8
17,6
12,7
17,5
T6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,7
13,4
20,0
16,5
20,0
T7
13,7
16,9
17,3
16,9
14,7
20,0
16,7
17,3
18,2
17,8
13,7
T8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T9
16,3
19,4
20,0
20,0
14,9
20,0
19,1
20,0
19,8
20,0
16,3
T10 Ratarata
15,2
16,8
16,7
16,0
14,0
20,0
16,1
9,3
16,1
13,2
15,2
18,3
19,2
19,1
18,9
18,2
20,0
18,6
17,0
19,2
17,4
18,3
45
Kode tikus
27Feb
28Feb
01Mar
02Mar
03Mar
04Mar
05Mar
06Mar
07Mar
08Mar
09Mar
K1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K2
17,6
20,0
18,5
20,0
20,0
20,0
16,3
15,9
16,1
15,4
12,0
K3
20,0
15,6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,4
17,5
17,4
18,2
K4
20,0
20,0
20,0
18,0
15,7
16,2
13,7
14,0
13,8
18,3
19,1
K5
20,0
20,0
20,0
19,4
18,5
18,9
20,0
20,0
20,0
20,0
13,0
K6
12,9
9,9
16,0
20,0
20,0
18,0
20,0
19,2
16,8
13,5
15,2
K7
20,0
20,0
20,0
20,0
5,7
17,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
16,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10 Ratarata
20,0
14,9
16,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,5
18,7
18,3
19,4
18,9
19,6
19,5
18,9
19,1
17,5
17,3
16,9
17,8
17,3
R1
14,2
14,7
18,4
12,7
16,2
17,8
13,9
12,8
10,6
20,0
2,3
R2
15,2
12,6
17,6
12,2
12,4
14,3
11,1
15,0
11,9
6,4
10,4
R3
18,2
19,1
20,0
20,0
19,1
14,2
15,7
13,7
15,0
16,3
15,3
R4
20,0
20,0
20,0
19,2
20,0
20,0
18,4
17,5
16,1
7,2
7,0
R5
16,7
14,5
14,6
14,8
12,3
12,9
14,2
13,3
13,3
13,7
10,2
R6
19,0
20,0
20,0
17,7
19,2
19,0
17,5
14,3
9,5
12,7
16,3
R7
19,0
17,5
19,1
16,7
20,0
20,0
16,8
19,3
16,0
17,2
10,5
R8
16,9
15,2
16,3
20,0
13,2
12,0
20,0
13,6
10,7
14,1
12,5
R9
15,4
16,7
17,7
16,7
16,2
16,8
14,2
14,0
12,5
13,2
9,5
R10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,4
17,0
18,4
17,0
16,9
16,7
16,2
15,4
13,6
14,1
11,4
T1
20,0
20,0
16,4
16,9
19,8
19,1
11,9
11,3
13,9
9,8
13,7
T2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T3
20,0
15,7
17,9
14,0
20,0
11,8
16,0
15,1
15,6
17,0
14,2
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
20,0
20,0
13,4
10,5
11,6
13,7
17,0
16,7
13,2
14,8
12,1
T6
20,0
13,2
19,6
18,9
16,9
17,9
20,0
20,0
20,0
18,6
19,3
T7
20,0
15,0
17,5
17,9
15,9
18,8
16,3
15,1
17,0
19,1
18,1
T8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T9
20,0
19,5
20,0
18,2
19,7
20,0
18,7
19,1
15,7
20,0
18,0
T10 Ratarata
20,0
19,2
17,0
17,1
20,0
15,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,3
18,2
17,3
18,4
17,3
18,0
17,7
17,5
17,9
17,5
46
Kode tikus
10Mar
11Mar
12Mar
13Mar
14Mar
15Mar
16Mar
17Mar
18Mar
19Mar
20Mar
K1
20,0
19,0
18,7
12,4
14,7
20,0
20,0
19,7
20,0
20,0
12,6
K2
20,0
16,3
12,4
12,0
17,2
17,4
20,0
17,1
20,0
20,0
20,0
K3
13,8
20,0
16,4
14,8
19,0
17,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K4
12,8
12,7
16,5
5,0
15,1
17,9
18,8
20,0
20,0
20,0
20,0
K5
9,0
11,0
13,7
14,7
12,7
10,8
10,4
10,0
15,0
14,7
17,0
K6
14,9
18,3
15,9
16,0
14,9
15,4
16,4
15,2
12,7
20,0
15,5
K7
20,0
20,0
16,7
13,0
16,3
19,6
15,7
19,0
18,5
16,0
16,7
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
17,2
19,4
16,2
13,1
17,9
18,0
16,4
20,0
K10 Ratarata
20,0
14,8
14,8
17,8
20,0
20,0
17,0
17,6
14,4
16,2
20,0
16,7
17,0
16,0
11,0
16,5
18,2
19,7
19,2
20,0
20,0
18,2
R1
6,0
10,5
17,9
20,0
11,9
11,4
15,2
9,9
10,6
15,1
16,2
R2
1,9
3,3
6,2
9,9
16,1
14,8
13,4
15,0
15,5
17,5
14,0
R3
16,1
1,4
9,0
12,6
17,1
13,6
16,5
17,8
15,3
20,0
20,0
R4
6,2
9,2
13,3
14,6
15,4
16,8
15,8
20,0
16,2
20,0
19,0
R5
11,0
5,6
14,4
13,8
20,0
14,0
15,8
11,3
16,0
18,0
19,2
R6
13,9
13,4
13,1
14,8
20,0
20,0
18,7
20,0
18,9
20,0
20,0
R7
7,8
4,4
3,6
11,9
12,0
14,6
13,3
18,0
20,0
16,6
20,0
R8
13,8
13,4
14,7
11,7
14,9
17,2
13,8
20,0
19,4
15,8
20,0
R9
7,5
20,0
13,7
13,8
13,3
16,9
13,2
15,9
13,8
13,4
16,7
20,0
16,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
10,4
9,7
12,6
14,3
16,1
15,9
15,6
16,8
16,6
17,6
18,5
T1
5,9
11,8
8,9
9,7
14,1
14,9
8,8
17,7
11,3
15,8
11,1
T2
6,9
12,5
12,2
4,9
1,9
5,1
10,2
10,5
9,4
20,0
12,8
T3
10,6
14,3
9,5
15,1
15,6
20,0
20,0
14,6
20,0
20,0
7,5
T4
20,0
20,0
16,5
10,6
10,0
20,0
20,0
5,9
20,0
20,0
20,0
T5
8,3
4,8
4,9
4,7
8,4
1,5
2,0
20,0
6,7
14,0
10,8
T6
16,0
14,8
10,7
20,0
6,3
10,0
13,5
14,3
11,5
20,0
18,8
T7
20,0
20,0
6,2
T8
20,0
20,0
20,0
8,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
T9
15,5
16,1
20,0
17,0
15,3
18,4
11,6
19,6
17,4
20,0
15,4
T10 Ratarata
20,0
20,0
14,7
3,4
1,9
10,1
11,1
10,9
13,1
20,0
20,0
14,3
15,4
12,4
10,4
10,4
13,3
13,0
14,8
14,4
18,9
14,9
R10 Ratarata
47
Kode tikus
21Mar
22Mar
23Mar
24Mar
25Mar
26Mar
27Mar
28Mar
29Mar
30Mar
31Mar
K1
20,0
20,0
20,0
20,0
15,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K2
20,0
20,0
20,0
16,9
17,5
12,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K4
20,0
20,0
20,0
16,9
17,7
12,4
18,7
14,0
20,0
20,0
20,0
K5
17,1
20,0
17,4
20,0
15,2
15,2
20,0
20,0
20,0
12,2
12,1
K6
16,2
20,0
13,1
15,4
17,0
15,2
16,6
13,4
20,0
17,5
18,2
K7
20,0
20,0
20,0
20,0
19,2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
16,0
20,0
16,8
20,0
20,0
16,8
20,0
20,0
20,0
20,0
18,4
17,6
16,1
19,7
18,5
20,0
20,0
20,0
R1
13,3
18,8
15,5
16,0
17,5
20,0
16,8
10,6
20,0
14,5
20,0
R2
14,8
12,8
14,5
12,4
15,3
14,0
17,4
16,2
20,0
19,9
16,8
R3
17,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
R4
20,0
20,0
18,2
18,0
20,0
20,0
20,0
15,5
20,0
20,0
17,9
R5
16,0
17,9
15,5
15,3
17,8
11,9
16,2
16,0
20,0
18,0
16,1
R6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,3
18,9
20,0
19,1
15,9
R7
19,6
20,0
15,8
17,0
16,7
14,2
13,5
20,0
20,0
20,0
15,9
R8
16,0
16,3
15,9
12,6
18,2
12,5
19,0
19,4
20,0
14,9
20,0
R9
20,0
20,0
20,0
20,0
18,0
13,9
17,6
13,8
20,0
11,3
15,3
R10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,7
18,6
17,5
17,1
18,4
16,4
17,9
17,0
20,0
17,8
17,8
T1
19,2
18,9
12,6
15,1
16,4
20,0
20,0
20,0
18,4
11,1
20,0
T2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,5
12,8
20,0
T3
20,0
20,0
16,9
16,4
18,2
20,0
19,7
20,0
19,3
7,5
20,0
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
11,3
11,3
20,0
12,8
14,9
12,8
12,2
20,0
20,0
10,8
20,0
T6
20,0
20,0
20,0
20,0
19,1
18,6
20,0
20,0
18,9
18,8
20,0
T8
12,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
20,0
T9
14,9
17,3
14,7
15,7
14,3
16,8
18,8
20,0
15,7
15,4
20,0
T10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
18,6
18,2
17,8
18,1
18,7
19,0
20,0
18,9
14,9
20,0
T7
48
Kode tikus
01Apr
02Apr
03Apr
04Apr
05Apr
06Apr
07Apr
08Apr
09Apr
10Apr
11Apr
K1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,6
20,0
14,0
20,0
20,0
20,0
K2
20,0
20,0
20,0
20,0
13,3
19,0
20,0
9,7
20,0
20,0
20,0
K3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K4
15,8
17,3
18,3
20,0
17,4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K5
18,4
19,3
16,5
20,0
19,5
16,4
16,9
17,5
14,6
20,0
20,0
K6
15,5
14,2
20,0
20,0
15,7
16,2
17,3
13,9
16,8
11,7
13,8
K7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
16,8
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10 Ratarata
17,6
14,5
20,0
20,0
19,1
14,9
20,0
20,0
16,2
15,9
20,0
18,9
19,3
19,6
20,0
17,7
19,2
20,0
15,9
20,0
20,0
20,0
R1
19,3
11,4
19,1
20,0
20,0
20,0
14,2
15,9
11,4
13,6
13,9
R2
18,4
13,5
18,7
20,0
16,8
16,0
11,8
15,2
14,4
15,8
14,8
R3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
17,4
20,0
20,0
16,4
20,0
R4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
R5
16,0
12,9
13,5
16,0
17,3
18,6
11,8
14,2
9,0
9,4
20,0
R6
20,0
19,2
19,5
20,0
20,0
19,1
16,8
18,6
18,3
18,5
17,4
R7
20,0
14,8
11,0
12,9
20,0
20,0
20,0
18,5
17,0
10,9
8,3
R8
20,0
13,1
14,3
16,9
16,4
17,4
15,0
13,0
13,6
12,4
11,5
R9
17,7
12,4
17,7
20,0
20,0
20,0
12,9
10,8
12,5
11,6
11,6
R10 Ratarata
20,0
18,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,1
15,5
17,4
18,6
19,0
19,1
16,0
16,6
15,6
14,9
15,7
T1
16,1
20,0
19,5
20,0
14,9
19,0
16,7
16,4
20,0
20,0
20,0
T2
20,0
14,6
12,3
20,0
14,7
20,0
20,0
20,0
16,7
16,6
20,0
T3
20,0
20,0
20,0
20,0
18,1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
18,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
11,7
15,5
13,4
20,0
17,7
15,4
16,0
11,5
10,2
10,2
12,9
T6
20,0
18,0
16,7
20,0
17,1
20,0
20,0
20,0
15,5
13,4
20,0
T8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,5
T9
17,3
14,8
15,5
20,0
11,2
14,4
14,3
15,4
14,6
16,7
13,8
T10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,3
18,1
17,5
20,0
16,9
18,8
18,6
18,1
17,4
17,4
18,4
T7
49
Kode tikus
13Apr
14Apr
15Apr
16Apr
17Apr
18Apr
19Apr
20Apr
21Apr
22Apr
23Apr
K1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K3
18,6
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K5
20,0
17,0
20,0
15,5
20,0
20,0
20,0
20,0
17,9
20,0
20,0
K6
13,5
20,0
12,9
14,6
16,5
20,0
15,0
13,6
15,3
15,0
16,0
K7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10 Ratarata
17,8
14,0
20,0
18,0
16,4
20,0
16,8
15,6
13,3
7,4
20,0
19,7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
R1
14,7
14,6
17,3
12,3
14,5
13,5
11,8
11,1
10,9
12,9
13,9
R2
15,3
16,8
16,7
17,0
17,1
13,5
15,1
15,0
16,1
13,2
18,1
R3
20,0
20,0
19,7
14,4
16,4
17,0
15,7
16,3
20,0
19,2
16,6
R4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
R5
15,7
14,0
18,0
17,5
16,4
11,4
16,0
14,7
15,9
14,8
16,2
R6
10,4
3,6
R7
12,6
14,5
19,0
16,1
13,8
13,4
15,3
14,2
12,4
14,2
15,5
R8
17,9
14,6
12,6
18,0
18,5
13,7
15,3
12,8
18,0
16,9
18,0
R9
10,7
12,2
9,2
12,9
20,0
13,6
20,0
10,7
13,7
17,2
20,0
R10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
18,3
20,0
20,0
20,0
20,0
15,7
15,0
16,9
16,5
17,4
15,1
16,4
15,0
16,3
16,5
17,6
T1
13,5
16,0
20,0
18,5
16,2
14,1
15,8
17,5
20,0
16,8
20,0
T2
20,0
13,5
15,9
14,2
20,0
16,5
20,0
15,3
19,4
16,2
11,1
T3
20,0
20,0
20,0
17,8
20,0
19,7
20,0
15,7
20,0
12,7
12,0
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
T5
11,3
10,9
11,8
11,0
11,8
13,0
10,2
12,3
13,2
11,5
13,9
T6
14,0
10,8
14,2
16,3
18,2
19,4
20,0
20,0
18,0
17,1
8,8
T8
8,8
20,0
16,5
15,9
20,0
18,5
20,0
17,8
20,0
20,0
20,0
T9
14,9
15,4
12,7
16,2
17,4
14,0
16,2
13,2
14,5
16,9
13,5
T10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
15,8
16,3
16,8
16,6
18,2
17,2
18,0
16,9
18,3
16,8
15,5
T7
50
Kode tikus
24Apr
25Apr
26Apr
27Apr
28Apr
29Apr
30Apr
01Mei
K1
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K2
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K3
20,0
20,0
20,0
17,1
20,0
20,0
20,0
20,0
K4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K5
20,0
20,0
20,0
20,0
18,2
19,2
20,0
20,0
K6
11,4
14,9
15,6
13,8
15,8
20,0
10,8
15,7
K7
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K8
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K9
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
K10 Ratarata
18,9
20,0
20,0
20,0
16,0
16,3
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
19,3
20,0
20,0
20,0
20,0
R1
20,0
20,0
13,5
13,2
13,2
9,4
13,1
13,3
R2
20,0
20,0
18,5
12,7
14,9
20,0
20,0
20,0
R3
16,9
20,0
16,8
20,0
20,0
19,1
19,1
17,8
R4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
R5
20,0
20,0
17,2
15,9
16,5
15,4
17,5
16,3
R7
12,3
20,0
14,2
16,3
16,7
20,0
13,2
15,1
R8
14,3
20,0
20,0
15,7
15,5
20,0
19,0
15,9
R9
11,3
14,6
18,5
12,2
15,0
16,2
13,5
17,2
R10 Ratarata
20,0
18,4
20,0
20,0
20,0
20,0
18,3
18,2
17,2
19,2
17,6
16,2
16,9
17,8
17,1
17,1
T1
7,5
16,1
20,0
20,0
15,8
13,4
20,0
20,0
T2
15,4
20,0
20,0
6,9
15,3
16,2
19,4
15,1
T3
10,9
10,6
20,0
8,0
8,4
9,1
9,6
20,0
T4
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
6,9
T5
12,6
16,6
20,0
20,0
11,2
9,5
12,6
14,9
T6
15,6
20,0
20,0
11,0
13,3
17,3
20,0
T8
15,3
20,0
20,0
15,8
20,0
19,2
20,0
20,0
T9
11,8
14,1
14,4
12,8
13,0
13,9
15,4
13,8
T10 Ratarata
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
14,3
17,5
19,4
14,9
15,2
15,4
17,4
16,7
R6
19,3
T7
51
Lampiran 5. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap berat badan tikus pada awal perlakuan Test of Homogeneity of Variances berat badan tikus (g) Levene Statistic 1,649
df1
df2 2
Sig. ,211
27
ANOVA berat badan tikus (g)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 561,800 8318,900 8880,700
df 2 27 29
Mean Square 280,900 308,107
F ,912
Sig. ,414
Lampiran 6. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap berat badan tikus pada akhir perlakuan Test of Homogeneity of Variances berat badan tikus (g) Levene Statistic 1,216
df1
df2 2
Sig. ,313
25
ANOVA berat badan tikus (g) Sum of Squares Between Groups 10576,475 Within Groups 74376,489 Total 84952,964
df 2 25 27
Mean Square 5288,238 2975,060
F 1,778
Sig. ,190
52
Lampiran 7. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap kenaikan/selisih berat badan tikus Test of Homogeneity of Variances selisih berat badan (g) Levene Statistic ,927
df1
df2 2
Sig. ,409
25
ANOVA selisih berat badan (g)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 6716,596 56883,511 63600,107
df 2 25 27
Mean Square 3358,298 2275,340
F 1,476
Sig. ,248
Lampiran 8. Rata-rata absorbansi kultur sel pada tiap perlakuan Perlakuan Kontrol LPS Kar 48 µg/ml Kar 96 µg/ml Kar 144 µg/ml Rho 12 µg/ml Rho 24 µg/ml Rho 36 µg/ml
G6 1,364 1,244 0,593 0,737 0,710 0,526 0,555 0,710
Tikus Kontrol G7 G8 G9 1,216 0,792 1,136 1,197 1,310 1,209 0,587 0,544 0,625 0,589 0,504 0,786 0,630 0,710 0,634 0,521 0,485 0,576 0,497 0,520 0,693 0,524 0,552 0,580
G10 1,226 1,333 0,493 0,519 0,517 0,581 0,538 0,553
L2 1,467 1,323 1,169 1,475 1,549 1,268 1,466 1,226
Dosis 0,1 g/kg BB/hari L4 L5 L6 1,431 1,405 1,415 1,297 1,371 1,612 1,105 1,281 1,478 1,242 1,397 1,551 1,418 1,437 1,423 1,202 1,298 1,428 1,322 1,370 1,244 1,391 1,472 1,318
L7 1,498 1,525 1,406 1,589 1,531 1,564 1,477 1,445
S1 1,150 1,104 1,340 1,020 1,077 0,987 0,869 1,063
Dosis 1 g/kg BB/hari S3 S4 S5 1,076 1,129 0,901 0,996 1,254 1,031 1,049 1,967 0,983 1,191 1,545 1,009 1,068 1,657 0,893 0,944 1,125 0,900 0,969 1,300 0,886 1,089 1,200 0,978
Lampiran 9. Hasil uji sidik ragam terhadap nilai indeks stimulasi spontan
53
S6 0,976 0,934 0,920 0,831 1,200 0,824 0,938 0,944
Lampiran 10. Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan LPS
Lampiran 11. Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 48 µg/ml
54
Lampiran 12. Hasil uji T berpasangan terhadap nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 96 µg/ml
Lampiran 13. Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan karmoisin 144 µg/ml
55
Lampiran 14. Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 12 µg/ml
Lampiran 15. Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 24 µg/ml
56
Lampiran 16. Hasil uji T berpasangan nilai IS spontan dan IS dengan penambahan rhodamin B 36 µg/ml
57