SKRIPSI
EFEK KONSUMSI AIR MINUM PENAMBAH OKSIGEN TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
Oleh :
INDRIA RAMADHANI F24101084
2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
EFEK KONSUMSI AIR MINUM PENAMBAH OKSIGEN TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : INDRIA RAMADHANI F24101084
2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
EFEK KONSUMSI AIR MINUM PENAMBAH OKSIGEN TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : INDRIA RAMADHANI F24101084 Dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1983 di Tangerang, Banten Tanggal Lulus : 11 Februari 2009 Menyetujui, Bogor, 1 Juni 2009
Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, M.Sc. Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Indria Ramadhani. F24101084. Efek Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, M.Sc.
RINGKASAN Air dan oksigen merupakan dua unsur penting yang merupakan syarat mutlak adanya kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari lebih dari 70% tubuh manusia tersusun atas air dan suplai oksigen sangat vital untuk keberlangsungan proses metabolisme di dalam tubuh. Oksigen memiliki peran penting sebagai penangkap elektron pada tahap transport elektron untuk menghasilkan energi bagi tubuh. Air minum penambah oksigen merupakan salah satu alternatif yang ditemukan oleh para ahli teknologi pangan untuk mengatasi masalah kekurangan oksigen pada manusia. Produk ini merupakan air yang diproses melalui penyaringan dan reverse osmosis, sterilisasi menggunakan ultraviolet dan ozonisasi, serta penginjeksian oksigen dengan tekanan tinggi pada suhu rendah. Oksigen yang larut dalam air dapat diserap oleh sel-sel epitel pada saluran pencernaan dan masuk ke dalam tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh konsumsi air minum penambah oksigen konsentrasi 10, 80, 130 ppm terhadap proliferasi sel limfosit B dan T manusia. Pengujian dilakukan kepada 25 orang reponden mahasiswa ITP yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan pemberian air minum penambah oksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 10 ppm (kelompok 1), 80 ppm (kelompok 2), dan 130 ppm (kelompok 3). Intervensi dilakukan 2 kali sehari, yaitu setelah sarapan dan makan siang selama 12 hari. Analisis pengukuran proliferasi sel limfosit manusia dilakukan sebelum dan setelah 12 hari intervensi dengan menggunakan metode pewarnaan MTT [3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5diphenyltetrazolium bromide]. Pengujian pengaruh air minum penambah oksigen dilakukan pada sel limfosit B yang dikultur dengan mitogen LPS Salmonella Typhosa dan sel limfosit T yang dikultur dengan mitogen Con A. Pengukuran proliferasi sel limfosit B dan T manusia dengan cara membandingkan nilai indeks stimulasi sebelum intervensi dengan nilai indeks stimulasi setelah 12 hari intervensi. Hasil penelitian analisis proliferasi sel limfosit B manusia didapatkan peningkatan nilai IS rata-rata setelah 12 hari intervensi pada kelompok 1, 2, dan 3 masing-masing, yaitu 0.193; 0.084; dan 0.064. Berdasarkan uji statistik Paired Samples T-Test pada taraf 0.05 (p<0.05) menunjukkan bahwa pada kelompok 1 terjadi kenaikkan proliferasi limfosit B secara signifikan setelah konsumsi. Sedangkan pada kelompok 2 dan 3 kenaikkan yang terjadi tidak signifikan (p>0.05) terhadap proliferasi sel limfosit B manusia. Pada analisis proliferasi sel limfosit T manusia didapatkan peningkatan nilai IS rata-rata setelah 12 hari intervensi pada kelompok 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah sebesar 0.084; 0.008; dan 0.018. Setelah dilakukan analisis sidik ragam menggunakan Paired Samples T-Test pada taraf uji 0.05 (p>0.05) memperlihatkan hasil bahwa konsumsi air minum penambah oksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 10, 80, maupun 130 ppm tidak berpengaruh secara nyata terhadap proliferasi sel limfosit T
manusia. Dengan demikian kesimpulan akhir penelitian ini adalah konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur terbukti tidak menstimulasi proliferasi sel limfosit dan juga tidak menurunkan jumlah sel hidup sel limfosit B dan T pada manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa air minum penambah oksigen aman untuk dikonsumsi.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, Banten pada tanggal 17 Juni 1983. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan keluarga Abdurrasjid M. Noor dan Een Sukaedah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar selama 6 tahun (1989-1995) di SD Negeri VI Tangerang. Kemudian meneruskan ke sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Tangerang selama 3 tahun (1995-1998), dan setelahnya melanjutkan studi ke SMU Negeri I Tangerang sejak tahun 1998-2001. Pada tahun 2001, penulis meneruskan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi dengan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif terlibat di berbagai acara yang diselenggarakan oleh Departemen ITP. Salah satunya, penulis berperan sebagai panitia acara BAUR 2003 dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan. Di samping itu, selama menjalani kuliah, penulis juga turut aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, baik yang diadakan di dalam ataupun di luar lingkungan kampus. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian pada tahun 2005 yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB dan membuat skripsi yang berjudul “Mempelajari Efek Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia”. Selama periode tahun 2005-2008, penulis pernah bekerja pada salah satu perusahaan swasta PT. Inmarindotama yang bergerak di bidang produksi makanan jeli dan puding sebagai staf R&D (Research and Development) dan auditor halal internal perusahaan tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi yang berjudul “Mempelajari Efek Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan melakukan penelitian terlebih dahulu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, MSc selaku pembimbing utama yang telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis di dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 2. Ibu Dra. Suliantari, MS dan Bapak Ir. Arif Hartoyo, M.Si selaku dosen penguji atas kesediannya meluangkan waktu untuk menguji, memberi arahan, saran dan kritik yang membangun bagi penulis. 3. PT. Royal Kekaltama Beverages, atas dana proyek penelitian yang telah diberikan. 4. Pimpinan PT. Inmarindotama, beserta rekan-rekan kerja yang selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama untuk Mbak Niken, Mbak Yani, Mbak Inay, Mbak Santi, Mbak Miko, Mbak Tuti, Pak Chandra, Pak Imron, Pak Syaiful, dan lain-lain yang tidak disebutkan namanya. 5. Seluruh staf dosen, laboran, teknisi maupun administrasi Departemen ITP dan Fakultas Kedokteran Hewan atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis selama melakukan studi di IPB. 6. Mamah dan Bapak yang tidak pernah bosan memberikan doa serta dukungan moril dan material setiap saat, terutama pada saat penyusunan skripsi ini sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan studinya.
i
7. Aa Arif, Teh Dineu, Dhani, Sami, dan keponakanku Hasna yang selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. My best friend ever, Erwida Maulia, yang selalu ikut mendoakan penulis untuk selalu mendapatkan yang terbaik di dalam hidupnya. Terima kasih atas pesahabatan yang indah sampai saat ini. 9. Teman-teman satu bimbingan : Devi, Gesi, Hana, Ade, Gesit atas bantuan kerja samanya di dalam melakukan penelitian. 10. Teman-teman angkatan 38, beserta kakak dan adik kelas atas jalinan silaturahmi yang tidak pernah putus sampai kapanpun. 11. Evie, Tyas, Muna, Mia, Dita, Lulu, Wiwik eks. teman kos yang selalu memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini 12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya atas semua bantuan, semangat, perhatian dan doa kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan kalian. Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun bagi penulis sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi bagi seluruh pihak yang membutuhkan. Bogor, Februari 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ...............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ A. Latar Belakang ........................................................................................ B. Tujuan Penelitian ....................................................................................
1 1 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... A. Air ........................................................................................................... B. Oksigen ................................................................................................... 1. Jalur Transportasi Oksigen melalui Saluran Pernapasan .................... 2. Jalur Transportasi Oksigen melalui Saluran Pencernaan ................... 3. Jalur Transportasi Oksigen melalui Sistem Peredaran Darah ............ 4. Proses Katabolisme di dalam Sel........................................................ C. Air Minum Penambah Oksigen............................................................... D. Radikal Bebas dan Kerusakan Sel........................................................... 1. Radikal Bebas ..................................................................................... 2. Stres Oksidatif dan Kerusakan Sel ..................................................... E. Sistem Imun ............................................................................................ 1. Limfosit .............................................................................................. a. Sel Limfosit B ................................................................................ b. Sel Limfosit T ................................................................................ 2. Kultur Sel............................................................................................ 3. Proliferasi Sel ..................................................................................... F. Metode Pewarnaan MTT (MTT Assay) ..................................................
5 5 7 10 12 16 21 25 31 31 34 35 37 39 40 42 44 45
III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... A. Bahan dan Alat ........................................................................................ 1. Bahan .................................................................................................. 2. Alat ..................................................................................................... B. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. C. Metode Penelitian ................................................................................... 1. Pengukuran Kadar Oksigen Terlarut di dalam Botol ......................... 2. Pemberian Air Minum Penambah Oksigen kepada Responden ......... 3. Proses Pengambilan Darah ................................................................. 4. Persiapan Ruang Kerja dan Laminar Flow Cabinet Steril .................
48 48 48 48 49 49 49 49 50 51
iii
5. Pembuatan Larutan Pereaksi dan Media Kultur Sel ........................... a. Persiapan Media Kultur Sel Limfosit ............................................. b. Pembuatan Larutan MTT 0.5% ...................................................... c. Pembuatan Larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) ...................... d. Pembuatan Larutan HCl-isopropanol 0.04 N ................................. e. Pembuatan Larutan Tryphan Blue 0.2% ........................................ 6. Pengujian Proliferasi Sel Limfosit ...................................................... a. Isolasi Limfosit .............................................................................. b. Penghitungan Sel Limfosit ............................................................. c. Proliferasi Sel Limfosit dengan Metode MTT ............................... 7. Analisis Statistik .................................................................................
51 52 52 52 52 53 53 53 53 54 55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... A. Kadar Oksigen Terlarut di dalam Botol .................................................. B. Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen ............................................. C. Keadaan Umum Responden .................................................................... D. Analisis Proliferasi Sel Limfosit B dan Limfosit T Manusia.................. 1. Proliferasi Sel Limfosit B ................................................................... 2. Nilai Indeks Stimulasi Proliferasi Sel Limfosit B .............................. 3. Proliferasi Sel Limfosit T ................................................................... 4. Nilai Indeks Stimulasi Proliferasi Sel Limfosit T ..............................
56 56 59 60 60 62 64 70 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 79 A. Kesimpulan ............................................................................................. 79 B. Saran ....................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80 LAMPIRAN ....................................................................................................... 85
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Karekteristik umum oksigen ...............................................................
8
Tabel 2. Komposisi udara dan unsur-unsur penyusunnya ................................
9
Tabel 3. Tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida .................................... 16 Tabel 4. Hubungan kelarutan oksigen dalam air terhadap suhu ....................... 26 Tabel 5. Kelompok reactive oxygen spesies (ROS) ......................................... 33 Tabel 6. Komposisi elemen seluler darah manusia .......................................... 38
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Penampang paru-paru dan alveoli.................................................. 12
Gambar 2.
Penampang usus halus ................................................................... 14
Gambar 3.
Reaksi reduksi pewarna MTT menjadi formazan .......................... 47
Gambar 4.
Grafik konsentrasi oksigen terlarut selama 24 jam ........................ 57
Gambar 5.
Orbisphere analyzer (Oxygen meter) ............................................ 58
Gambar 6.
Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S.Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 10 ppm kelompok 1 ....................... 65
Gambar 7.
Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S.Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 80 ppm kelompok 2 ....................... 66
Gambar 8.
Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S.Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 130 ppm kelompok 3 ..................... 68
Gambar 9.
Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 10 ppm kelompok 1 ....................... 72
Gambar 10. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 80 ppm kelompok 2 ....................... 73 Gambar 11. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 130 ppm kelompok 3 ..................... 74
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Proses difusi pasif oksigen dan karbon dioksida ......................... 86
Lampiran 2.
Proses katabolisme ...................................................................... 87
Lampiran 3.
Proses glikolisis ........................................................................... 88
Lampiran 4.
Siklus Krebs................................................................................. 89
Lampiran 5.
Transpor elektron......................................................................... 90
Lampiran 6.
Diagram alir produksi air minum penambah oksigen ................. 91
Lampiran 7.
Komposisi media RPMI-1640 ..................................................... 92
Lampiran 8.
Pengukuran kadar oksigen terlarut di dalam botol selama 24 jam .............................................................................. 93
Lampiran 9.
Skema aktivitas sistem imun ....................................................... 94
Lampiran 10. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 1 .................................................................................. 95 Lampiran 11. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 1 .......... 96 Lampiran 12. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 2 .................................................................................. 97 Lampiran 13. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 2 .......... 98 Lampiran 14. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 3 .................................................................................. 99 Lampiran 15. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 3 .......... 101 Lampiran 16. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 1............................................................ 102 Lampiran 17. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 2............................................................ 103 Lampiran 18. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 3............................................................ 104 Lampiran 19. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 1 .................................................................................. 105 Lampiran 20. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 1 .......... 106
vii
Lampiran 21. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 2 .................................................................................. 107 Lampiran 22. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 2 .......... 108 Lampiran 23. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 3 .................................................................................. 109 Lampiran 24. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 3 .......... 111 Lampiran 25. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 1 ............................................................ 112 Lampiran 26. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 2 ............................................................ 113 Lampiran 27. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 3 ............................................................ 114
viii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Air dan oksigen merupakan dua unsur penting dalam kehidupan di antara sekian banyak unsur lainnya. Keberadaan keduanya merupakan syarat mutlak adanya suatu kehidupan di samping makanan. Air meliputi dua per tiga bagian permukaan bumi, begitu pula lebih dari 70% tubuh manusia tersusun atas air. Suplai air dan oksigen sangat diperlukan untuk keberlangsungan proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh. Secara alami tubuh mendapatkan suplai oksigen dari udara bebas yang kemudian masuk melalui saluran pernafasan. Secara umum, kandungan oksigen di dalam atmosfer adalah 21%. Namun semakin berkembangnya zaman, peningkatan pencemaran udara dan perubahan cuaca menyebabkan kandungan oksigen menurun sebanyak 0.02% per tahunnya. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup manusia, di mana asupan oksigen yang masuk ke dalam tubuh menjadi semakin sedikit. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan pola hidup tidak sehat yang diterapkan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan mengkonsumsi makanan tidak sehat dan berlemak, kebiasaan merokok dan minum alkohol, maupun gaya hidup manusia yang cenderung lebih banyak tinggal di ruang tertutup (ruangan ber-AC) menyebabkan tubuh menjadi kekurangan oksigen. Salah satu faktor yang sangat penting untuk menunjang tercapainya metabolisme sel normal adalah ketersediaan oksigen dalam jumlah yang cukup. Semua makhluk hidup, khususnya manusia dapat hidup tanpa makan berminggu-minggu dan tanpa air berhari-hari, tetapi tidak dapat hidup lebih dari empat menit tanpa oksigen. Bahkan sel otak pun akan mati hanya dalam waktu 15 detik. Oleh karena itu kita sangat membutuhkan oksigen karena oksigen merupakan sumber kehidupan (Zakaria, et. al, 2005). Kekurangan oksigen dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada metabolisme sel manusia. Keadaan tidak normal ini akan memicu timbulnya berbagai penyakit di dalam tubuh, termasuk penyakit degeneratif ataupun kanker (Roach et al., 2001).
1
Dengan penggunaan teknologi yang berkembang sampai saat ini, kalangan industri berusaha untuk mencari solusi alternatif dalam mengatasi masalah tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah memproduksi air minum penambah oksigen. Produk air minum ini diklaim mengandung oksigen 7-8 kali lebih besar dibandingkan dengan air minum biasa ataupun air minum dalam kemasan. Produksi air minum jenis ini meliputi proses filtrasi, reverse osmosis, dan sterilisasi dengan sinar ultraviolet dan ozonisasi, serta penginjeksian oksigen dengan tekanan tinggi (high pressure) pada suhu rendah (Purnama, 2004). Dengan adanya teknologi ini diharapkan air minum penambah oksigen dapat menyuplai oksigen melalui saluran pencernaan untuk mengatasi masalah kekurangan oksigen sehingga dapat digunakan untuk membantu reaksi metabolisme dalam tubuh. Dari hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa pada objek penelitian kelinci, air minum dengan kandungan oksigen 80 ppm dapat meningkatkan tekanan O2 pada pembuluh vena porta hepatica sebesar 10 mmHg, yaitu dari 58 mmHg menjadi 68 mmHg (Forth dan Adam, 2001). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa oksigen yang berasal dari air minum tersebut berpengaruh terhadap kenaikan kandungan oksigen yang diserap tubuh. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi air minum beroksigen dapat meningkatkan saturasi hemoglobin sebesar 3% pada pembuluh darah periferi (Jenkins et al., 2001). Menurut Nestle et al. (2004), adanya proses penyerapan oksigen yang terjadi di dalam lumen usus halus dapat diamati.dengan menggunakan teknik MRI (magnetic resonance imaging). Kekhawatiran masyarakat terhadap produk air minum penambah oksigen salah satunya adalah kemungkinan terbentuknya radikal bebas berlebih di dalam tubuh yang membahayakan bagi sel-sel tubuh. Penelitian Schoenberg et al. (2002) membuktikan ternyata bahwa jumlah radikal bebas yang terbentuk dari air minum beroksigen (oxygenated water) tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur dalam jangka panjang tidak meningkatkan kadar radikal askorbil secara signifikan. Menurut Speit et al. (2002) dengan
2
menggunakan comet assay, oxygenated water terbukti tidak menyebabkan efek genotoksik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka penulis berusaha melakukan analisis lanjutan untuk membuktikan keamanan produk air minum penambah oksigen terhadap sistem imun, yang meliputi aktivitas proliferasi sel limfosit pada manusia. Hipotesis dari penelitian ini adalah konsumsi air minum penambah oksigen yang masuk melalui saluran pencernaan dan diserap oleh tubuh kemungkinan dapat meningkatkan jumlah radikal bebas di dalam tubuh. Keberadaan radikal bebas ini mampu merusak sel-sel tubuh, terutama sel limfosit sebagai salah satu jenis sel imun yang sangat rentan terhadap senyawa asing yang bersifat toksik. Limfosit berperan sebagai garda utama yang pertama kali akan berhadapan dengan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga gangguan terhadap aktivitas sel limfosit ini dapat menghambat kinerja sistem imun secara keseluruhan. Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh merupakan sistem interaktif kelompok dari berbagai jenis sel imunokompeten yang bekerja sama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroba patogen dan zat-zat asing yang berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Limfosit adalah salah satu jenis sel yang bertanggung jawab terhadap aktivitas respon imun di dalam tubuh. Roitt (1971) mengatakan bahwa semakin baik respon imun tubuh maka semakin baik pula status kesehatan seseorang. Sel limfosit menjalankan tugas menjaga respon imun spesifik. Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler (limfositik yang berkaitan dengan sel T) dan humoral (berkaitan dengan antibodi di dalam darah atau sel B). MTT assay merupakan salah satu metode pewarnaan yang umum dilakukan untuk mengetahui aktivitas proliferasi sel, termasuk sel limfosit. Pada metode ini dilakukan pengukuran nilai absorbansi untuk menentukan indeks stimulasi proliferasi sel limfosit sebelum dan sesudah mengkonsumsi air minum penambah oksigen.
3
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek konsumsi air minum penambah oksigen terhadap proliferasi sel limfosit manusia. Sel limfosit yang meliputi sel B dan T diuji dengan menggunakan metode pewarnaan MTT (MTT Assay).
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Fungsi komponen ini tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lainnya. Satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen dengan bentuk V. Molekul air yang satu dengan molekul air lainnya bergabung dengan satu ikatan hidrogen, yaitu antara atom H molekul air satu dengan atom O dari molekul air yang lain (Parker, 2003). Menurut Lehninger (1982), air dan produk ionisasinya (ion H+ dan OH-) sangat mempengaruhi sifat berbagai komponen penting sel, seperti enzim, asam nukleat, protein, dan lipid. Meskipun air memiliki sifat stabil secara kimiawi, senyawa ini juga mempunyai beberapa sifat istimewa. Keberadaan ikatan hidrogen menyebabkan air mempunyai sifat-sifat istimewa tersebut, antara lain sebagai pelarut yang sangat baik, memiliki konstanta dielektrik dan tegangan permukaan paling tinggi di antara cairan murni lainnya, transparan terhadap cahaya tampak dan sinar yang mempunyai panjang gelombang lebih besar dari ultraviolet, mempunyai densitas tertinggi dan sebagainya. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada suhu 0 °C dan tekanan 1 atm. Air menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan kita yang selalu bersirkulasi secara dinamik di lingkungan sekitar, mencakup tanah, udara, dan tumbuhan. Adapun keberadaan air memiliki berbagai kegunaan di dalam kehidupan sehari-hari semua makhluk hidup, tidak terkecuali bagi manusia. Setidaknya 50-90% dari total bobot tubuh suatu organisme tersusun atas air. Pada manusia, air menyusun 45-70% dari bobot tubuh orang dewasa (Lehninger, 1982). Beberapa peranan air di dalam tubuh, antara lain : 1) pelarut zat-zat gizi, 2) pembawa zat gizi dan oksigen ke dalam sel, 3) katalisator reaksireaksi kimia yang berlangsung di dalam tubuh, 4) penjaga kestabilan suhu
5
tubuh, 5) penyeimbang elektrolit dalam tubuh, 6) mediator untuk membuang racun dari dalam tubuh, 7) pelindung organ dan jaringan tubuh vital, 8) pemelihara volume darah, dan 9) pelumas organ-organ tubuh, seperti sendi, otot, air mata, mukus, dan saliva (Parker, 2003). Sebagai pelarut kuat, air mampu melarutkan berbagai zat gizi yang sifatnya larut dalam air (hidrofilik), seperti monosakarida, asam amino, lemak, vitamin, dan mineral, termasuk juga oksigen. Kelarutan suatu zat dalam air ditentukan oleh kemampuan zat dalam mengimbangi kekuatan gaya tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-dipol) antara molekul-molekul air. Jika zat tersebut tidak mampu mengimbangi gaya tarik-menarik antar molekul air, maka molekul-molekul zat akan menjadi tidak larut dan mengendap dalam air. Parker (2003) mengatakan bahwa selain melarutkan, air juga bertanggung jawab membawa nutrisi, oksigen, dan hormon ke seluruh sel tubuh yang membutuhkan, serta mengangkut komponen sisa metabolisme dari dalam sel ke bagian luar tubuh. Pengeluaran tersebut dapat melalui paruparu jika berbentuk gas karbondioksida, kulit (berupa keringat) dan ginjal (berupa urin), maupun feses. Jika tubuh kekurangan air, maka transportasi nutrisi, oksigen, dan hormon ke dalam sel akan terhambat sehingga dapat mengakibatkan daya tahan tubuh akan melemah. Peranan air yang lain adalah sebagai katalisator di dalam berbagai reaksi kimia dalam sel. Air juga diperlukan untuk memecah dan menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Sebagai penjaga kestabilan suhu tubuh, air mempunyai kemampuan untuk menyalurkan panas, sehingga memegang peranan penting dalam mendistribusikan panas di dalam tubuh. Sebagian panas yang dihasilkan dari metabolisme energi diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh sekitar 37oC. Suhu ini merupakan suhu paling efektif untuk bekerjanya enzim-enzim dalam tubuh. Kelebihan panas yang diperoleh dari metabolisme tubuh perlu segera dikeluarkan dari dalam tubuh. Sebagian besar pengeluaran suhu ini melalui penguapan (keringat) sehingga suhu tubuh tetap stabil. Sebagai
6
penyeimbang elektrolit dalam tubuh, air berguna untuk membantu mengontrol tekanan darah. Untuk membantu reaksi yang berlangsung di dalam tubuh maka manusia membutuhkan air minum untuk dikonsumsi. Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Menurut Belitz dan Grosch (1999), beberapa ketentuan air minum yang harus dipenuhi adalah bersih, jerih (clear), tidak berwarna (colourless), tidak berbau (odorless), tidak
berasa
(tasteless),
tidak
mengandung
bakteri
patogen,
tidak
mengandung substansi yang bersifat korosif dan hanya mengandung komponen terlarut pada jumlah tertentu, serta mineral pada konsentrasi normal di bawah 1 g/l. Air yang dapat diminum diartikan sebagai air yang bebas dari bakteri berbahaya dan bebas dari ketidakmurnian secara kimiawi. Parker (2003) mengelompokkan air minum dalam kemasan dari sumbernya, air minum yang diperoleh dari sumber mata air (spring water), mata air pegunungan (mountain water), air tanah atau air sumur yang disalurkan dengan pipa dan dialiri melalui keran (ground water/artesian water), ataupun air permukaan (surface water). Adapun berbagai jenis sumber air tersebut melalui proses lanjutan, termasuk didalamnya filtrasi sehingga layak untuk memenuhi syarat air minum dalam kemasan. Air minum yang banyak beredar, antara lain air mineral dan air demineral.
B. Oksigen Oksigen merupakan elemen paling vital di dunia karena tidak akan ada kehidupan tanpa keberadaan oksigen. Keberadaan elemen tersebut memproduksi setidaknya 90% dari energi hidup yang ada. Menurut Thomas (2005), oksigen ditemukan pertama kali pada awal abad ke-18, tepatnya pada tahun 1773 oleh ilmuwan kimia berkebangsaan Swedia Karl Scheele dan Joseph Priestley yang berkebangsaan Inggris. Oksigen memiliki simbol unsur O dan terletak pada golongan VI A pada sistem periodik bersama dengan belerang (S), selenium (Se), telurium (Te), dan polonium (Po). Atom ini termasuk ke dalam unsur non logam dan berwujud gas pada temperatur
7
ruangan. Gas oksigen memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa pada kondisi normal. Sumber utama oksigen bebas di udara merupakan hasil dekomposisi uap air oleh pancaran sinar UV pada lapisan atas atmosfer. Karakteristik oksigen secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik umum oksigen No. Karakteristik Umum
Keterangan
1
Nomor atom
8
2
Massa atom relatif
15.9994
3
Bilangan oksidasi
-2
4
Konfigurasi elektron
5
Titik didih
90.168 K
6
Titik lebur
54.8 K
7
Massa jenis
1.429 cm3
8
Elektronegativitas
9
Radius atom
0.65 ǖ
10
Volume atom
14.0 cm3/mol
[He]2s22p4
3.44
Sumber : Harris (2007)
Menurut Oxtoby et. al. (2007) molekul oksigen adalah salah satu dari komponen utama penyusun udara. Kandungan oksigen di udara atau atmosfer sekitar 21% yang berbentuk molekul diatomik (O2). Sedangkan jika di atas lapisan permukaan atmosfer oksigen dapat ditemukan dalam bentuk molekul monoatomik (O) dan triatomik (O3). Oksigen dihasilkan oleh tanaman selama proses fotosintesis dan sangat diperlukan untuk pernapasan aerobik pada hewan dan manusia. Komposisi udara yang menyusun atmosfer bumi dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Komposisi udara dan unsur-unsur penyusunnya No. Unsur Penyusun Jumlah (%) 78.11 1 Nitrogen (N2) 21.00 2 Oksigen (O2) 0.93 3 Argon (Ar) 0.03 4 Karbondioksida (CO2) 1.82 x 10-5 5 Neon (Ne) 5.20 x 10-6 6 Helium (He) 1.50 x 10-6 7 Metana (CH4) 1.10 x 10-6 8 Kripton (Kr) 5.00 x 10-7 9 Hidrogen (H2) 3.00 x 10-7 10 Dinitrogen oksida (N2O) 8.70 10-8 11 Xenon (Xe) Sumber : Oxtoby et. al. (2007)
Oksigen dibutuhkan manusia terutama dalam proses pernapasan sehingga dapat menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk aktivitas kerja sel tubuh. Oksigen memegang peranan penting untuk mengoksidasi zatzat gizi makromolekul, seperti karbohidrat, protein, maupun lemak menjadi molekul-molekul penyusun yang berukuran lebih kecil. Proses tersebut lebih dikenal dengan proses katabolime atau proses pemecahan. Respirasi atau pernapasan merupakan salah satu contoh proses katabolisme. Pada dasarnya oksigen digunakan pada proses katabolisme untuk menghasilkan energi dengan hasil metabolit sampingan berupa karbondioksida dan air. Energi tersebut selanjutnya berguna untuk proses metabolisme sel primer maupun sekunder, seperti sintesis protein dan komponen bioaktif sel (Harris, 2007). Secara umum oksigen diambil dari udara bebas, kemudian akan masuk ke dalam sistem pernapasan yang selanjutnya akan diedarkan melalui pembuluh darah untuk didistribusikan ke seluruh sel yang akan digunakan untuk proses katabolisme. Oksigen berfungsi sebagai penerima elektron terakhir pada tahap transport electron yang bertugas penting terhadap sistem pernapasan aerobic secara keseluruhan untuk menghasilkan energi.
9
1. Jalur Transportasi Oksigen melalui Saluran Pernapasan Jalur oksigen secara normal berasal dari udara bebas yang kemudian masuk melalui saluran pernapasan sehingga dapat digunakan untuk membantu proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh. Proses masuknya udara dari luar tubuh sampai ke dalam paru-paru dikenal dengan proses inspirasi, sedangkan proses keluarnya udara dari saluran pernapasan ke luar tubuh disebut proses ekspirasi. Proses pernapasan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pernapasan eksternal, internal, dan seluler. Pernapasan eksternal adalah pertukaran udara antara darah dan atmosfer. Pernapasan internal adalah pertukaran udara yang terjadi antara darah dan sel-sel tubuh. Dan pernapasan seluler merupakan proses kimia yang terjadi di dalam mitokondria sel-sel tubuh (Rhoades dan Bell, 2009). Menurut Davies dan Moores (2003), sistem pernapasan pada manusia memiliki struktur dan fungsi yang sangat kompleks. Sistem tersebut didukung oleh berbagai organ yang mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda-beda serta saling menunjang satu sama lain. Proses pernapasan pada manusia tidak terjadi secara langsung, artinya udara tidak berdifusi langsung melalui permukaan kulit. Udara masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Secara garis besar, saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, faring, pangkal tenggorokan (laring), batang tenggorokan (trakea), bronkus, paru-paru (pulmo), bronkiolus, dan alveolus. Udara pertama kali mengalir masuk melalui rongga hidung dan kemudian mengalami penyaringan dari debu dan kotoran yang ikut masuk karena ada bulu-bulu halus di dalam hidung. Selain berfungsi untuk menyaring kotoran, hidung juga berfungsi untuk memanaskan dan melembabkan udara dengan mengatur suhu udara pernapasan yang masuk. Setelah melewati hidung, udara akan masuk ke faring yang merupakan saluran penghubung antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu faring berfungsi sebagai katup yang memisahkan antara saluran pernapasan (tenggorokan) dan saluran pencernaan (kerongkongan), jadi pada saat udara masuk katup ini akan menutup jalur saluran pencernaan (Davies dan Moores, 2003).
10
Udara akan bergerak masuk menuju laring setelah melalui faring. Pada laring terdapat pita suara sehingga pada saat kita berbicara, bagian ini akan bergetar. Laring merupakan saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Setelah itu, udara akan menuju trakea, yaitu bagian yang tersusun atas empat lapisan, antara lain lapisan mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan, dan lapisan adventitia. Trakea ini memiliki panjang ± 11.5 cm dengan diameter 2.4 cm. Trakea bercabang menjadi dua bronkus yang masing-masing menuju paru-paru kanan dan kiri. Di dalam paru-paru, bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Pada ujung-ujung bronkiolus terdapat sekumpulan kantong udara yang disebut alveolus. Di sekitar alveoulus terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah. Pada bagian ini memungkinkan terjadinya difusi antara udara alveolus dan udara pada kapiler-kapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkiolus, dan alveolus membentuk satu struktur yang disebut paru-paru (Davies dan Moores, 2003). Proses pernapasan merupakan proses pertukaran gas yang berasal dari makhluk hidup dengan gas yang ada di lingkungannya. Pernapasan dapat terjadi, baik secara sadar ataupun tidak disadari. Pernapasan secara sadar terjadi jika kita melakukan pengaturan saat bernapas. Aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru dikontrol oleh sistem saraf yang menjamin pola dan kecepatan pernapasan manusia secara normal. Proses pernapasan dimulai oleh sekelompok sel saraf pada batang otak yang bertugas sebagai pusat respirasi. Sel-sel ini akan mengirimkan sinyal pada otot diafragma dan otot perut untuk memulai pernapasan. Rata-rata kecepatan pernafasan pada manusia dewasa adalah 12-15 tarikan nafas per menit. Dari sekitar 500 ml setiap kali bernapas atau kira-kira 7 liter/menit udara yang masuk ke dalam paru-paru, sejumlah volume oksigen yang masuk ke dalam tubuh ± 1.47 liter/menit. Oksigen ini yang pada proses selanjutnya akan didistrubusikan dan digunakan untuk metabolisme sel tubuh yang jumlahnya mencapai trilyunan (Rhoades dan Bell, 2009). Penampang melintang paru-paru dan alveoli dapat dilihat pada Gambar 1.
11
Gambar 1. Penampang paru-paru dan alveoli (Rhoades dan Bell, 2009) 2. Jalur Transportasi Oksigen melalui Saluran Pencernaan Seperti halnya zat-zat makanan, oksigen pun dapat masuk dan diserap oleh tubuh melalui saluran pencernaan seperti halnya zat makanan. Selama ini yang umum diketahui, oksigen diserap oleh tubuh melalui saluran pernapasan. Oksigen yang berasal dari udara maupun dari makanan dan minuman yang kita konsumsi ikut masuk ke dalam tubuh dan diserap oleh usus halus, diteruskan melalui sistem peredaran darah yang pada akhirnya menuju jaringan tubuh. Di dalam jaringan tubuh, oksigen tersebut akan digunakan untuk menunjang keberlangsungan proses metabolime di dalam sel, serupa dengan oksigen yang diperoleh dari sistem pernapasan (Rhoades dan Bell, 2009). Sistem pencernaan manusia terdiri dari mulut, kerongkongan (esofagus), lambung, usus halus, usus besar, dan anus (rektum). Serupa dengan makanan yang masuk melalui mulut, oksigen yang berasal dari air minum penambah oksigen pun akan melalui mulut dan seterusnya yang merupakan jalur pencernaan normal. Tempat berikutnya yang dilewati oksigen adalah bagian kerongkongan (esofagus). Pada bagian esofagus, lumennya dikelilingi oleh lapisan epitel pipih berlapis banyak yang merupakan pelindung esofagus dari makanan ataupun cairan yang masuk melaluinya. Lapisan ini akan melindungi esofagus dari kemungkinan terluka akibat masuknya berbagai jenis makanan dan minuman. Lapisan epitel pipih yang berlapis banyak juga membuat peluang terserapnya zat-
12
zat makanan dan oksigen makin kecil. Di samping itu waktu singgah oksigen yang sangat singkat di bagian ini sehingga membuat oksigen semakin sulit untuk menembus lumen esofagus tersebut (Zakaria et al., 2005). Nestle et al. (2004) mengatakan bahwa dengan menggunakan teknik MRI (Magneting Resonance Imaging) dapat dilihat pelepasan oksigen (outgassing) dari rongga mulut sampai ke lambung terjadi secara lambat. Setelah melalui esofagus, oksigen akan melalui penyerapan di dalam lambung. Pada saat melalui lambung, waktu singgah oksigen lebih lama seperti halnya makanan dan minuman yang masuk sehingga beberapa bagian dapat terserap melalui dinding lambung yang dilapisi oleh lapisan sel epitel silindris. Lapisan sel ini diselimuti oleh mukus yang bersifat basa yang menyebabkan sedikitnya oksigen yang dapat menembus sel epitel di bagian lambung ini. Penyerapan oksigen secara cepat terjadi di dalam usus. Penelitian Gurskaya dan Ivanov (1961) membuktikan bahwa terjadi penyerapan oksigen di dalam usus yang dapat meningkatkan saturasi darah di dalam aorta dan vena porta hepatica. Percobaan yang menggunakan kelinci dan kucing sebagai objek penelitian ini menunjukkan hasil ternyata setelah 2 jam penginjeksian udara ke dalam usus terjadi penurunan konsentrasi oksigen di dalam usus menjadi hanya tinggal 0.5-2.3%. Sedangkan konsentrasi karbon dioksida meningkat setelah 1 jam injeksi menjadi 5-7% di dalam lumen usus halus. Hasil tersebut melengkapi penelitian yang dilakukan oleh McIver et al. (1928) yang telah membuktikan terjadi absorpsi oksigen oleh sel-sel mukosa usus dengan kecepatan tertentu melalui usus. Oksigen tersebut kemudian digunakan untuk metabolisme sel di dalam usus halus. Zat-zat gizi dan minuman yang telah dicerna di bagian lambung akan diserap di dalam usus halus dan kemudian siap untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Hal ini juga berlaku terhadap gas oksigen yang ikut diserap bersamaan dengan nutrisi dan air. Sebagian oksigen digunakan untuk metabolisme usus secara langsung dan sebagian lainnya diteruskan menuju
13
pembuluh darah kapiler menuju vena porta hepatica yang menjadi muara pembuluh-pembuluh darah dari saluran pencernaan, meliputi usus, lambung, pankreas, dan lain-lain (Zakaria et al., 2005). Fakta lain yang memperkuat penyerapan oksigen melalui saluran cerna adalah adanya peningkatan kadar oksigen di dalam pembuluh vena porta hepatica. Setelah pemberian air minum penambah oksigen 80 ppm, terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen di pembuluh darah vena porta hepatica sebesar 10 mmHg dari 58 mmHg menjadi 68 mmHg (Forth dan Adam, 2001). Penyerapan oksigen di dalam usus halus dimungkinkan karena bagian ini hanya dilapisi oleh sel-sel epitel silindris lapis tunggal. Oksigen akan masuk dengan cara difusi pasif melalui membran epitel yang membatasi lumen usus halus. Masuknya oksigen memungkinkan epitel untuk menggunakannya bagi keperluan metabolisme sel tersebut. Kelebihan oksigen lainnya akan diteruskan secara difusi menuju jaringan ikat yang berada di
bawahnya kemudian menembus pembuluh darah
kapiler yang terdapat di dalam jaringan ikat pada vili-vili usus (Zakaria et al., 2005). Penampang melintang usus halus dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampang usus halus (Anonim, 2008a) Salah satu faktor utama terjadinya proses difusi dari usus menuju pembuluh darah adalah adanya perbedaan konsentrasi. Proses difusi merupakan proses perpindahan suatu zat dari yang berkonsentrasi tinggi ke
14
arah zat yang konsentrasinya lebih rendah. Dalam hal ini difusi pasif oksigen terjadi karena tekanan parsial oksigen di lingkungan jaringan sekitar usus lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial oksigen di pembuluh darah kapiler. Faktor lain yang mempengaruhi penyerapan oksigen adalah membran sel usus yang terdiri dari lipid bilayer bersifat dapat ditembus oleh gas dan senyawa polar tidak bermuatan dengan berat molekul kecil. Proses difusi pasif gas oksigen dan karbon dioksida dapat dilihat di Lampiran 1. Setelah melewati pembuluh kapiler dan pembuluh vena usus, oksigen akan diteruskan menuju vena porta hepatica menuju organ hati. Selain vena porta hepatica yang menjadi pembuluh utama gabungan dari berbagai pembuluh vena saluran pencernaan, terdapat pembuluh arteri hepatica menuju jantung yang juga didominasi oleh gas oksigen yang berasal dari bilik kiri jantung. Di dalam organ hati, oksigen dari kedua pembuluh tersebut akan digunakan untuk proses metabolisme untuk menghasilkan energi (ATP) untuk efektivitas kerja hati. Hati merupakan organ penting yang berperan aktif terutama di dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan asam amino. Hati juga merupakan
tempat
pembuangan
sisa
hasil
metabolisme,
tempat
penyimpanan vitamin dan mineral, serta tempat detoksifikasi senyawasenyawa beracun yang masuk ke dalam tubuh. Berdasarkan kompleksnya kerja hati tersebut menyebabkan hati akan membutuhkan banyak energi. Dengan adanya asupan oksigen tambahan dari air minum penambah oksigen diharapkan terjadi pula peningkatan efektivitas kerja hati untuk melakukan fungsinya secara baik dan normal. Oksigen juga dibutuhkan untuk proses fagositosis di dalam organ hati oleh sel makrofag (sel Kupffer) untuk menghancurkan sel darah merah yang sudah tua dan membersihkan darah dengan memusnahkan bahan toksik, bakteri, virus parasit sel tumor dan partikel asing yang bisa membahayakan tubuh. Peningkatan ketersediaan oksigen dalam darah yang masuk ke hati ini, memungkinkan pula untuk peningkatan jumlah ATP yang terbentuk untuk aktivitas sel-sel Kupffer tersebut (Billiar dan Curran, 1992).
15
Menurut Zakaria et al. (2005), kelebihan oksigen yang tidak digunakan untuk keperluan kerja organ hati akan diteruskan menuju serambi kanan jantung melalui pembuluh vena cava inferior yang kaya akan karbon dioksida. Dari serambi kanan kemudian diteruskan ke bilik kanan, oksigen akan melalui sistem peredaran pulmonalis kembali seperti peredaran darah secara normal menuju paru-paru. Di dalam paru-paru terjadi pertukaran gas di mana karbondioksida dari pembuluh kapiler akan dilepaskan dan oksigen akan diikat ke dalam pembuluh darah. Pada kondisi normal kecepatan pertukaran gas di dalam paru-paru harus seimbang dengan pertukaran gas yang terjadi pada jaringan periferi. Peningkatan konsentrasi oksigen dalam darah karena konsumsi air minum penambah oksigen ini dapat membantu proses pertukaran gas yang terjadi sehingga terjadi kenaikan jumlah oksigen yang dibawa oleh pembuluh vena pulmonalis menuju jantung untuk dipompakan ke seluruh tubuh. 3. Jalur Transportasi Oksigen melalui Sistem Peredaran Darah Terminal proses pernapasan di dalam tubuh terjadi di bagian alveolus paru-paru. Di bagian ini terjadi pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida yang akan diangkut dari dan ke dalam sel-sel tubuh. Pertukaran gas tersebut terjadi di dalam paru-paru dan jaringan tubuh secara difusi pasif karena adanya perbedaan tekanan. Pada dasarnya gas akan berdifusi dari bagian yag bertekanan parsial tinggi ke bagian yang bertekanan parsial rendah. Perbandingan tekanan parsial O2 dan CO2 di atmosfer, alveoli, darah, dan jaringan tubuh dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tekanan parsial oksigen dan karbondioksida Tempat Atmosfer Alveoli Darah kaya O2 Darah miskin O2 Jaringan tubuh
Tekanan Parsial O2 (mmHg) 160 104 104 40 40
Tekanan Parsial CO2 (mmHg) 0.2 40 40 45 45
Sumber : Levitzky (2003)
16
Darah yang masuk ke dalam paru-paru memiliki tekanan parsial O2 (PaO2) yang lebih rendah dan tekanan parsial CO2 (PaCO2) yang lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial O2 dan CO2 di dalam alveoli. Ketika darah berada di pembuluh kapiler, karbon dioksida akan berdifusi dari darah menuju udara di alveoli. Sebaliknya, oksigen akan berdifusi dari alveoli ke dalam darah. Pada saat meninggalkan paru-paru, darah yang kaya O2 memiliki PaO2 yang tinggi dan PaCO2 yang rendah dibandingkan sebelum masuk paru-paru. Setelah melewati jantung, darah tersebut akan dipompa melalui peredaran darah sistemik. Di dalam kapiler peredaran darah sistemik, perbedaan tekanan parsial menyebabkan terjadinya difusi oksigen dari darah menuju sel tubuh. Pada saat bersamaan, CO2 akan berdifusi dari sel-sel jaringan menuju darah. Setelah melepas O2 dan mengangkut CO2, darah akan kembali ke jantung (Levitzky, 2003). Pada manusia diperlukan suatu mekanisme sistem transportasi untuk mendistribusikan zat-zat gizi, oksigen, karbon dioksida, zat-zat buangan, ataupun hormon. Sistem yang menangani proses pendistribusian tersebut dikenal dengan sistem kardiovaskular atau sirkulasi. Sistem sirkulasi pada manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu sistem peredaran darah dan sistem limfatik (getah bening). Sistem sirkulasi darah manusia termasuk ke dalam sistem peredaran darah tertutup dan ganda. Tertutup artinya peredaran darah di dalam tubuh selalu berada di dalam pembuluh, sedangkan ganda berarti darah setiap bersirkulasi ke seluruh tubuh melewati jantung sebanyak dua kali. Secara garis besar, sistem sirkulasi darah ganda terbagi menjadi dua jalur, yaitu sistem peredaran darah pulmonalis dan peredaran darah sistemik. Organ tubuh yang terlibat di dalam sistem peredaran darah secara umum adalah jantung, pembuluh darah, dan darah (Rhoades dan Bell, 2009). Sistem peredaran darah pulmonalis terdiri dari pembuluh nadi (arteri) dan pembuluh balik (vena) yang mendistribusikan darah dari jantung ke paru-paru dan berlaku pula sebaliknya. Sistem ini diawali dari bilik (ventrikel) kanan jantung dan berakhir pada serambi (atrium) kiri jantung. Darah yang kaya oksigen yang berasal dari proses respirasi di
17
dalam paru-paru akan didistribusikan melalui lintasan pulmonalis oleh pembuluh vena paru-paru menuju serambi kiri jantung, diteruskan ke bilik kiri, dan selanjutnya akan memasuki jalur sistemik. Di samping terjadi distribusi O2, CO2 yang sebelumnya dibawa oleh pembuluh arteri pulmonalis juga ikut diangkut menuju paru-paru yang selanjutnya akan dibuang keluar tubuh melalui proses ekspirasi. Jalur sistemik merupakan kelanjutan dari jalur pulmonalis, di mana darah yang kaya O2 akan dipompa menuju seluruh organ dan jaringan tubuh melalui aorta (pembuluh nadi utama), arteri, arteriol, dan pembuluh darah kapiler. Selanjutnya darah yang telah menyalurkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh, kemudian akan membawa karbon dioksida yang merupakan hasil sampingan proses metabolisme yang berlangsung di dalam sel untuk dibuang keluar tubuh. Darah yang kaya CO2 tersebut akan dibawa melalui pembuluh vena sistemik menuju serambi kanan jantung, diteruskan ke bilik kanan jantung lalu menuju jalur pulmonalis kembali (Johnson dan Byrne, 2003). Dari bilik kanan jantung, darah akan dialirkan menuju paru-paru melalui pembuluh nadi pulmonalis untuk pertukaran gas, yaitu melepaskan gas CO2 dan menyerap gas O2. Di samping untuk mendistribusikan gas O2, sistem peredaran darah juga mengatur pendistribusian zat-zat makanan serta gas buangan seperti CO2. Darah yang merupakan unit fungsional seluler pada manusia yang berperan untuk membantu fungsi fisiologis. Banyaknya volume darah yang beredar di dalam tubuh manusia 8% dari berat badan secara keseluruhan. Pada pria volume darah berkisar antara 5-6 liter, sedangkan pada wanita volume darah umumnya sekitar 4-5 liter. Beberapa fungsi darah, antara lain: 1) mengangkut zat-zat makanan dan oksigen ke seluruh tubuh dan membawa sisa metabolisme menuju organ yang bertugas untuk pembuangan, 2) mengedarkan hormon-hormon untuk membantu proses fisiologis, 3) mempertahankan tubuh dari penyakit, 4) menjaga stabilitas suhu tubuh, serta 5) menjaga kesetimbangan asambasa jaringan tubuh untuk menghindari kerusakan (Levitzky, 2003).
18
Bagian
darah
yang
bertanggung
jawab
terhadap
proses
pengangkutan oksigen adalah sel darah merah (eritrosit). Eritrosit manusia normal berukuran sangat kecil dengan ukuran diameter kira-kira 6-9 μm, tidak memiliki inti sel, serta berbentuk pipih dan cekung pada bagian tengahnya (bikonkaf). Jumlah rata-rata sel darah merah orang dewasa adalah 5.4 juta sel/mm3 pada pria dan 4.8 juta sel/mm3 pada wanita. Eritrosit dibentuk di sumsum merah tulang dan memiliki sifat hanya dapat bertahan hidup selama 120 hari di dalam tubuh. Hal tersebut karena pada saat proses pematangan, sel darah merah kehilangan organel intraselulernya, seperti nukleus, mitokondria, retikulum endoplasma, dan organel lainnya sehingga eritrosit tidak mampu melakukan reproduksi atau aktivitas metabolik lainnya secara intensif. Sel ini tidak menggunakan oksigen untuk metabolismenya sendiri. ATP yang dibutuhkan oleh eritrosit dalam jumlah yang relatif kecil, seluruhnya diperoleh dari proses glikolisis glukosa darah untuk menghasilkan oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membantu mengangkut karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru (Lehninger, 1982). Sebagian besar sel darah merah didominasi oleh protein terkonjugasi hemoglobin. Kandungan hemoglobin di dalam sel darah merah sekitar 35% atau kira-kira 280 juta hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein utama pengangkut oksigen dan karbon dioksida di dalam sel darah merah. Protein hemoglobin merupakan sebuah molekul kompleks yang mengandung protein globin dan porfirin (heme). Kandungan zat besi yang terdapat di dalam hemoglobin membuat darah menjadi berwarna merah. Kadar normal hemoglobin pada wanita dewasa adalah 12-16 g/dl dan 14-18 g/dl pada pria dewasa. Menurut Lehninger (1982), hemoglobin yang telah 100% jenuh dengan oksigen mampu mengikat 1.34 ml oksigen per gram hemoglobin. Apabila di dalam 100 ml darah terdapat 15 gram hemoglobin berarti kandungan oksigen di dalamnya sebesar 20.1 ml/dl darah. Sebagian besar oksigen yang masuk ke dalam tubuh diangkut dalam bentuk terikat dengan hemoglobin, yaitu 97% dan hanya sekitar 3% saja yang larut dalam
19
plasma. Pada paru-paru, di mana tekanan parsial oksigen tinggi (90-100 mmHg) dan pH relatif tinggi sekitar 7.6, hemoglobin cenderung jenuh maksimum dengan oksigen. Sebaliknya, di dalam pembuluh kapiler pada jaringan periferi tekanan parsial oksigen hanya sekitar 25-40 mmHg dengan pH yang relatif rendah juga berkisar 7.2-7.3, terjadi pembebasan oksigen ke dalam massa jaringan yang melakukan respirasi. Di dalam pembuluh vena darah yang meninggalkan jaringan, hemoglobin hanya jenuh sebesar 65%. Oleh karena itu hemoglobin berdaur di antara kejenuhan oleh oksigen antara 65% dan 97% dalam sirkuit berulang antara paru-paru dan jaringan periferi. Pada jaringan otot yang sedang berkontraksi, PaO2 hanya 10-26 mmHg dan saturasi O2 pada hemoglobin hanya 10% karena sel otot menggunakan oksigen pada waktu yang relatif singkat sehingga dapat menurunkan konsentrasi oksigen. Sedangkan hemoglobin jenuh 75% pada sel otot yang sedang relaksasi dengan tekanan parsial oksigen 40 mmHg. Jadi hemoglobin dapat membebaskan kandungan oksigennya sangat efektif pada jaringan otot dan jaringan periferi lainnya (Lehninger,1982). Sel darah juga berfungsi untuk mengangkut gas CO2 yang terbentuk sebagai hasil akhir metabolisme dari dalam jaringan menuju ke luar tubuh. Secara keseluruhan, sekitar dua per tiga total kandungan CO2 berada di dalam plasma dan hanya sepertiganya yang berada di dalam sel darah merah. Akan tetapi hampir semua CO2 darah harus masuk dan keluar sel darah merah selama pengangkutan CO2 dari jaringan ke paruparu. Sejumlah 72% karbon dioksida dalam tubuh manusia larut dalam plasma darah dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan 8% lainnya dalam bentuk molekul karbondioksida. Sisanya sebesar 20% diikat oleh hemoglobin dalam bentuk carbaminohemoglobin (Bain, 2006). Darah di dalam pembuluh vena yang meninggalkan jaringan mengandung gas CO2 60 ml/100 ml darah. Sedangkan pembuluh arteri pulmonalis mengandung hanya sekitar 50 ml CO2 per 100 ml darah. Pada konsentrasi CO2 tinggi, seperti pada jaringan, beberapa bagian CO2 akan diikat oleh hemoglobin dan daya ikat terhadap oksigen akan menurun
20
sehingga O2 akan dibebaskan. Hal yang sama berlaku kebalikannya di mana pada saat O2 diikat oleh pembuluh arteri paru-paru, daya ikat hemoglobin terhadap CO2 pun akan menurun.
4. Proses Katabolisme di dalam Sel Setelah darah mendistribusikan zat-zat makanan dan oksigen ke dalam jaringan tubuh, kemudian zat makanan dan oksigen tersebut diteruskan menuju sel-sel tubuh untuk keperluan proses metabolisme sehingga dapat menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan NADPH. Proses metabolisme yang berlangsung merupakan proses katabolime atau proses pemecahan. Proses katabolisme ini terjadi di dalam sitoplasma yang kemudian diteruskan menuju salah satu organel sel yang berfungsi untuk melakukan proses respirasi, yaitu bagian mitokondria. Di bawah ini merupakan skema proses katabolisme secara umum :
Karbohidrat Lemak + Protein
enzim
O2
ATP (energi) + CO2 + H2O
Proses katabolisme dimulai dengan pemecahan makromolekul, baik berupa karbohidrat, lemak, maupun protein menjadi senyawasenyawa penyusunnya yang lebih sederhana (glukosa, asam lemak dan gliserol, serta asam amino). Semua reaksi metabolisme tersebut berlangsung di dalam sel tubuh dengan bantuan enzim sebagai katalisator. Karbohidrat merupakan bahan bakar utama untuk proses pembentukan di samping lemak dan protein. Apabila asupan karbohidrat ataupun simpanan glikogen sangat sedikit di dalam tubuh sehingga tidak mencukupi untuk produksi energi, maka dilakukan perombakan lemak (trigliserida) dan protein. Skema proses katabolisme di dalam sel dapat dilihat pada Lampiran 2. Secara garis besar reaksi katabolisme pada manusia terbagi menjadi empat tahapan meliputi proses glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, siklus Krebs, dan transpor elektron. Setelah bentukan polisakarida dan
21
oligosakarida dipecah menjadi bentuk monosakarida, maka tahap selanjutnya masuk ke dalam proses glikolisis. Proses ini terjadi di dalam sitosol (cairan sitoplasma) tanpa menggunakan oksigen (anaerob). Glikolisis merupakan proses perombakan satu monomer glukosa (memiliki 6 atom C) menjadi dua molekul senyawa piruvat (memiliki 3 atom C). Dari keseluruhan proses glikolisis, selain menghasilkan asam piruvat juga dihasilkan 2 molekul ATP dan 2 molekul NADH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide). Molekul NADH ini akan melalui proses lanjutan, yaitu transpor elektron di mana nantinya akan dipecah menjadi molekul ATP. Proses glikolisis secara singkat dapat dilihat pada Lampiran 3. Menurut Scheffler (1999), setelah melalui tahap glikolisis, asam piruvat akan masuk menuju siklus Krebs. Namun sebelum itu, asam piruvat perlu dioksidasi terlebih dahulu menjadi asetil Ko-A. Proses ini disebut juga dekarboksilasi oksidatif karena menggunakan oksigen sebagai oksidatornya (aerob) dan berlangsung di dalam matriks mitokondria. Tahapan ini merupakan tahap penggabungan asam piruvat (3C) yang terbentuk dari proses glikolisis dengan koenzim A sehingga terbentuk asetil ko-A (2C). Hasil akhir dekarboksilasi oksidatif berupa 2 molekul asetil ko-A dan 2 molekul NADH, serta hasil sampingan
2 molekul CO2.
Asetil Ko-A kemudian masuk ke dalam rangkaian siklus Krebs atau siklus asam trikarboksilat (TCA cycle). Siklus ini dilalui sebanyak dua kali karena terdapat 2 molekul asetil ko-A yang masuk melaluinya. Siklus Krebs atau siklus TCA secara sistematik dapat dilihat di Lampiran 4. Hasil akhir siklus ini berupa 6 molekul NADH, 2 molekul FADH2, 2 molekul ATP, dan 4 molekul CO2. Sebagian besar tahap glikolisis dan siklus Krebs merupakan reaksi redoks di mana terdapat enzim dehidrogenase mentransfer elektron dari substrat ke NAD+ lalu jadi NADH. Rantai transpor elektron adalah tahapan terakhir dari reaksi respirasi sel aerobik yang meliputi proses perpindahan elektron dari molekul donor (seperti NADH) menuju penerima elektron terakhir, yaitu oksigen. Proses ini berlangsung pada bagian krista (membran dalam) mitokondria. Molekul yang berperan penting dalam reaksi ini adalah
22
NADH dan FADH2, yang telah dihasilkan pada reaksi glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, dan siklus Krebs. Di samping itu terdapat molekul lain yang ikut berperan, yaitu molekul oksigen, koenzim Q (ubiquinone), sitokrom b, sitokrom c, dan sitokrom a (Scheffler, 1999). Pertama-tama NADH dan FADH2 mengalami oksidasi, dan elektron berenergi tinggi yang berasal dari reaksi oksidasi ini ditransfer ke koenzim Q. Energi yang dihasilkan ketika NADH dan FADH2 melepaskan elektronnya cukup besar untuk menyatukan ADP dan fosfat anorganik menjadi ATP. Kemudian koenzim Q dioksidasi oleh sitokrom b. Selain melepaskan elektron, koenzim Q juga melepaskan 2 ion H+. Setelah itu sitokrom b dioksidasi oleh sitokrom c. Energi yang dihasilkan dari proses oksidasi sitokrom b oleh sitokrom c juga menghasilkan cukup energi untuk menyatukan ADP dan fosfat anorganik menjadi ATP. Kemudian sitokrom c mereduksi sitokrom a, dan ini merupakan akhir dari rantai transpor elektron. Sitokrom a ini kemudian akan dioksidasi oleh sebuah atom oksigen, yang merupakan zat yang paling elektronegatif dalam rantai tersebut, dan merupakan akseptor terakhir elektron. Setelah menerima elektron dari sitokrom a, oksigen ini kemudian bergabung dengan ion H+ yang dihasilkan dari oksidasi koenzim Q oleh sitokrom b membentuk air (H2O). Oksidasi yang terakhir ini akan menghasilkan energi yang cukup besar untuk dapat menyatukan ADP dan gugus fosfat organik menjadi ATP. Jadi, secara keseluruhan ada tiga tempat pada transpor elektron yang menghasilkan ATP (Lehninger, 1982). Skema rantai transpor elektron pada membrane dalam mitokondria dapat dilihat pada Lampiran 5. Sejak reaksi glikolisis sampai siklus Krebs, telah dihasilkan NADH dan FADH2 masing-masing sebanyak 10 dan 2 molekul. Dalam transpor elektron ini, kesepuluh molekul NADH dan kedua molekul FADH2 tersebut mengalami oksidasi sesuai reaksi berikut. 10 NADH + 5 O2 ĺ 10 NAD+ + 10 H2O 2 FADH2 +
O2 ĺ
2FAD
+ 2H2O
23
Setiap oksidasi NADH menghasilkan kira-kira 3 ATP, sedangkan oksidasi FADH2 menghasilkan 2 ATP. Jadi di dalam transpor elektron dihasilkan sebanyak 34 ATP dan H2O. Ditambah dari 4 molekul ATP hasil glikolisis dan siklus Krebs, maka secara keseluruhan reaksi respirasi seluler menghasilkan total 38 ATP dari satu molekul glukosa. Akan tetapi, karena dibutuhkan 2 ATP untuk melakukan transpor aktif, maka hasil bersih dari setiap respirasi seluler adalah 36 ATP (Lehninger, 1982). Oksigen yang dibawa ke dalam sel melalui sistem peredaran darah berperan penting agar proses respirasi selular secara aerobik dapat berjalan secara normal. Seperti telah disebutkan di atas, molekul ini memegang peranan penting sebagai penerima elektron terakhir pada tahap transpor elektron, di mana oksigen akan bereaksi dengan 4 H+ dan menghasilkan dua molekul H2O. Apabila tidak terdapat molekul oksigen yang menangkap elektron dari protein kompleks yang terakhir (sitokrom a) pada sistem, elektron akan tetap berikatan pada protein tersebut. Hal tersebut menyebabkan molekul NADH tidak dapat mentransfer elektronnya dan tetap dalam bentuk tereduksi sehingga tidak dapat melepas energinya dan tidak dapat kembali ke siklus Krebs. Oleh karena itu, siklus Krebs akan terhenti dan ATP tidak akan diproduksi lagi pada mitokondria. Ketiadaan oksigen akan menyebabkan respirasi yang seharusnya berjalan normal secara aerobik akan berlangsung secara anaerobik. Respirasi anaerob pada manusia hanya terdiri dari 2 tahapan, yaitu proses glikolisis dan fermentasi asam laktat. Energi hanya diperoleh dari proses glikolisis yang menghasilkan 2 molekul ATP saja. Jumlah oksigen yang tidak mencukupi akan mengakibatkan proses oksidasi asam piruvat tidak berlangsung, begitu pula proses oksidasi pada siklus Krebs dan transpor elektron. Padahal sistem rantai transpor elektron merupakan kunci utama untuk menghasilkan energi dalam jumlah yang besar, yaitu 34 ATP, selain dari proses glikolisis (2 ATP) dan siklus Krebs (2 ATP). Akibat ketidaktersediaan oksigen, setelah proses glikolisis yang berlangsung secara anaerobik (tanpa oksigen), asam piruvat sebagai hasil
24
akhir glikolisis akan melalui tahap fermentasi laktat. Berikut merupakan skema singkat fermentasi asam laktat. 2 C2H3OCOOH + 2 NADH2 ĺ 2 C2H5OCOOH + 2 NAD As. Piruvat
As. Laktat
Hasil akhir fermentasi ini hanya menghasilkan 2 molekul ATP dari satu molekul glukosa yang diuraikan. Jumlah ini kecil jika dibandingkan dengan respirasi aerobik yang menghasilkan 38 ATP. Fermentasi asam laktat ini terutama pada jaringan otot yang tiba-tiba harus berkontraksi kuat melebihi kemampuan jantung dan paru-paru untuk mengeluarkan gas CO2 dari otot. Dengan persediaan oksigen yang terbatas ditambah dengan pengeluaran karbondioksida yang terbatas pula akan mengakibatkan asam laktat yang terbentuk semakin menumpuk. Timbunan ini akan berpengaruh terhadap penurunan pH otot sehingga kapasitas serat otot menurun dan akan membuat tubuh semakin lama akan menjadi pegal, terasa lelah, dan sakit, serta napas pun akan terengah-engah untuk menebus oksigen yang defisit selama proses anaerobik berlangsung. Meskipun respirasi anerobik dapat membantu dalam jangka pendek dan intensitas tinggi untuk bekerja, tetapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama pada organisme aerobik yang kompleks, seperti manusia. Pada manusia, fermentasi asam laktat hanya mampu menyediakan energi selama 30 detik hingga 2 menit.
C. Air Minum Penambah Oksigen Air minum penambah oksigen termasuk ke dalam jenis air minum dalam kemasan (AMDK) yang di dalamnya ditambahkan oksigen terlarut sehingga mengandung jumlah oksigen yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan air minum biasa. Belum ada ketetapan baku mengenai jumlah minimum oksigen terlarut dalam air minum penambah oksigen karena memang belum ada SNI di Indonesia yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dapat ditarik garis besar secara umum, produsen dapat mengklaim air
25
minum penambah oksigen jika produknya mengandung sedikitnya 7-8 kali jumlah oksigen terlarut air minum biasa. Jumlah oksigen terlarut yang dikandung oleh air minum biasa umumnya adalah sebesar 7-12 ppm. Oleh karena itu, konsentrasi minimum oksigen terlarut di dalam produk air minum penambah oksigen ditetapkan paling sedikit sebesar 80 ppm. Kelarutan oksigen dalam air sangat rendah, karena oksigen bersifat nonpolar sedangkan air bersifat polar. Nilai koefisisen solubilitas oksigen di dalam air juga sangat kecil, yaitu sebesar 0.024 (Guyton dan Hall, 2006). Hal tersebut yang menyebabkan air bukan merupakan pelarut yang baik bagi oksigen. Air segar yang berasal dari mata air pegunungan hanya mengandung 10-12 ppm oksigen dan akan semakin menurun menjadi 5-7 ppm pada air yang telah diolah untuk diminum (Speit et al., 2002). Pada temperatur ruang (28-32oC) air biasa hanya dapat melarutkan oksigen dari udara sebanyak 10 mg/l atau 10 ppm. Bahkan pada suhu 100 oC, tidak ada lagi oksigen yang terlarut dalam air. Kelarutan oksigen di dalam air meningkat dapat mencapai 15 ppm pada temperatur rendah. Air minum dalam kulkas yang didinginkan pada suhu mencapai 4oC bisa mengandung oksigen sebanyak 15 ppm yang oksigennya berasal dari udara (Zakaria, 2005). Kalau kita perhatikan pada saat minum air es akan terasa lebih segar dibandingkan minum air hangat karena air es mempunyai kandungan oksigen lebih tinggi. Hubungan kelarutan oksigen di dalam air terhadap temperatur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan kelarutan oksigen dalam air terhadap suhu Kelarutan Oksigen dalam Air (ppm) Suhu (oC) 0 14.2 5 12.4 10 10.9 15 9.8 20 8.8 25 8.1 30 7.5 Sumber : (Eagleson, 2008)
26
Kelarutan oksigen dalam air terjadi akibat molekul-molekul oksigen yang terjebak di dalam struktur-struktur cincin molekul air. Akibat orientasi molekul air berfluktuasi sangat cepat sehingga struktur air cenderung tidak teratur. Oleh karena itu oksigen terlarut mudah lepas, terlebih lagi jika suhu naik. Pada suhu di atas 4oC, polimer air didominasi oleh bentuk monohidrol yang merupakan bentuk molekul air yang hanya terdiri dari satu molekul tunggal. Sedangkan pada suhu di bawah 4oC, polimer air akan berbentuk trihidrol ataupun tetrahidrol yang merupakan gabungan dari 3-4 molekul air dengan ciri spesifik ruang kosong di antara molekul-molekul air. Ruang kosong antara molekul-molekul air tersebut akan memungkinkan sebagai tempat terikatnya oksigen di antara molekul air tersebut. Ikatan antara oksigen dan air ini dapat terjaga dengan pemberian tekanan tertentu (Purnama, 2004). Menurut Mortimer (1975), molekul gas akan mengubah energi panas yang diterimanya menjadi energi kinetik. Semakin tinggi energi panas yang diterima maka akan semakin tinggi pula energi kinetik yang timbul. Molekul oksigen memiliki energi kinetik yang tinggi sehingga cenderung tidak larut dalam air. Perlakuan suhu rendah akan menurunkan energi kinetik molekul oksigen sehingga oksigen menjadi bersifat lebih mudah larut dan terikat dengan air. Teknologi injeksi oksigen yang ada dengan menggunakan tekanan tinggi pada suhu rendah memungkinkan semakin meningkatnya kelarutan oksigen dalam air. Kondisi di atas didukung dengan prinsip Le Chatelier yang menyebutkan pemberian tekanan pada suatu sistem dalam kesetimbangan akan mengakibatkan sistem berubah ke arah kesetimbangan baru untuk mengatasi tekanan tersebut. Dengan demikian tekanan tinggi yang diberikan pada saat injeksi oksigen akan memaksa oksigen larut dalam air sehingga tercapai kesetimbangan baru dalam sistem air minum tersebut. Pada prinsipnya proses produksi air minum penambah oksigen serupa dengan proses pembuatan air minum dalam kemasan (AMDK) secara umum, namun ada perbedaan mendasar, yaitu adanya penambahan oksigen terlarut yang diinjeksi ke dalam botol air minum tersebut. Pada tahap awal pembuatan dilakukan proses pemurnian air terlebih dahulu. Proses ini menggunakan
27
sistem UFO (Ultraviolet, Filterisasi dan Ozonisasi) yang dikombinasikan dengan sistem RO (Reverse Osmosis) atau lebih sering disebut sebagai sistem UFO-RO. Tahap pemurnian air diawali dengan cara mengalirkan air dari sumber mata air pegunungan ke tempat penampungan air berbentuk seperti kolam. Di tempat ini dilakukan proses pra-filterisasi dengan menggunakan silika. Tahap pra-filterisasi tidak dapat mereduksi logam berat, senyawa nitrit, bakteri, klorin, maupun endapan, tetapi hanya dapat menghilangkan pasir. Setelah itu ditambahkan
karbon
aktif
ke
dalam
kolam
penampungan
untuk
menghilangkan bau, rasa, dan senyawa kimia lain yang berbahaya. Air dilewatkan ke dalam filter mangan (manganese filter) untuk menghilangkan senyawa organik. Selanjutnya dilakukan proses filterisasi I dengan menggunakan penyaring (filter) yang diameter pori-porinya berukuran 5 μm. Filterisasi I dilakukan untuk memisahkan molekul-molekul berukuran besar sehingga tidak dapat melewati filter tersebut. Proses
pemurnian
berlanjut
dengan
tahap
reverse
osmosis
yang lebih dikenal ultrafiltrasi (filtrasi tingkat tinggi) merupakan jenis proses filtrasi yang paling baik. Pada proses ini dilakukan penghilangan partikelpartikel kecil seperti bakteri, garam mineral, lemak, laktosa, dan protein. Reverse osmosis menggunakan membran semipermeable dengan diameter pori-pori berukuran 0.001-0.0001 mikron (1-10 ǖ) ditambah dengan penggunaan tekanan tinggi 30-60 bar sehingga dapat melewatkan pelarut dengan konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah (Purnama, 2004). Prinsip kerja reverse osmosis adalah memisahkan zat-zat terlarut yang memiliki berat molekul rendah, seperti garam mineral dari larutan dengan menggunakan tekanan tinggi untuk mengatasi tekanan osmotik larutan. Tahap lanjutan dilakukan dengan menampung air di dalam tangki untuk menyeimbangkan tingkat keasaman atau pH menjadi 7.2-7.5. Air mengalami proses filtrasi II untuk mencegah cemaran yang timbul akibat proses penyeimbangan pH yang dilakukan sebelumnya. Kemudian dilakukan tahap reverse osmosis lanjutan dengan melewatkan air pada membran filter menggunakan tekanan tinggi sehingga tercapai efisiensi pemisahan
28
maksimum air dari zat-zat organik lainnya sebesar 100%. Setelah itu air dimasukkan kembali ke dalam tangki penampungan untuk diproses ozonisasi menggunakan
sinar
ultraviolet
yang
bertujuan
untuk
membunuh
mikroorganisme yang masih lolos setelah proses reverse osmosis. Setelah melalui tahap pemurnian maka air siap untuk diisi dengan oksigen. Air kemudian dimasukkan ke dalam kemasan khusus yang kedap, seperti botol PET (Polyethylene Terephtalate) yang tebal dengan penutup berlapis ganda pada bagian dalam. Sebelum diisi air, botol telah terlebih dahulu disterilisasi menggunakan sinar UV. Kemudian diinjeksikan oksigen sebanyak 80 mg/l bahkan lebih menggunakan tekanan tinggi lebih dari 1 bar (760 mmHg) pada suhu rendah. Proses injeksi dilakukan pada kondisi kedap udara, suhu rendah dan menggunakan tekanan tinggi. Botol air minum penambah oksigen langsung di-sealing di dalam kondisi kedap udara untuk mencegah terlepasnya molekul oksigen ke udara bebas (Zakaria, 2005). Kadar oksigen terlarut air minum penambah oksigen dapat mencapai 80 ppm karena menggunakan teknologi pengemasan penjaga oksigen (oxygen keeper technology) yang memaksa oksigen untuk tetap larut sehingga menjamin pengikatan oksigen oleh molekul air secara sempurna. Skema proses produksi air minum penambah oksigen secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Begitu banyak klaim produk air minum penambah oksigen yang menyatakan bahwa produk yang diproduksi dapat meningkatan kesehatan secara menyeluruh, meningkatkan fungsi otak, meningkatkan energi dan performance,
meningkatkan
metabolisme
dan
pembuangan
kotoran,
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan bakteri dan virus, membuat penyerapan vitamin, mineral dan nutrisi lainnya menjadi lebih baik, serta membuat kulit agar tampak lebih sehat dan muda. Berbagai klaim tersebut sebenarnya mengacu kepada kegunaan oksigen bagi tubuh manusia yang tercantum di berbagai literatur ilmiah yang telah ada. Akan tetapi mengenai kebenarannya masih banyak yang meragukan karena jangankan untuk diambil manfaatnya, pembuktian bahwa oksigen yang berasal dari air minum penambah oksigen dapat diserap tubuh masih banyak disangsikan banyak orang.
29
Kekurangan oksigen dapat menimbulkan gejala hipoksia yang mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh menjadi terganggu. Hipoksia adalah kondisi sindrom kekurangan suplai oksigen pada jaringan tubuh. Hipoksia
umumnya
disebabkan
oleh
perbedaan
ketinggian,
namun
belakangan ini ditemukan gejala hipoksia yang muncul akibat faktor eksternal, seperti penurunan kadar oksigen pada kondisi atmosfer normal (Roach et al., 2001). Kekurangan oksigen atau gejala hipoksia juga dapat terjadi pada manusia yang melakukan aktivitas berat atau maksimum, seperti olahragawan pada waktu tertentu. Pada kondisi ini, tekanan parsial oksigen dalam darah akan menurun dan sebaliknya tekanan parsial CO2 akan meningkat. Keadaan tersebut akan berdampak pada kurangnya suplai gas oksigen ke dalam sel untuk menghasilkan energi sehingga menghambat proses metabolisme sel. Gangguan tersebut akan berkolerasi dengan timbulnya berbagai gejala penyakit di dalam tubuh, seperti pusing, sesak nafas, cepat lelah, sakit otot dan sendi, mual, kekurangan energi, penurunan daya ingat, penurunan sistem imun, bahkan timbul berbagai penyakit degeneratif, termasuk kanker. Menurut Fife (2001), penyakit kanker timbul karena adanya perubahan respirasi normal secara aerobik menjadi respirasi sel anaerobik. Pada kondisi kekurangan oksigen di dalam tubuh dapat menstimulasi mikroba patogen dan sel kanker berproliferasi (memperbanyak diri). Kualitas hidup semakin memburuk ditandai oleh terjadinya polusi dan perubahan cuaca yang menyebabkan kandungan oksigen menurun 0.02% per tahunnya. Keadaan seperti ini memiliki efek yang sangat besar terhadap kehidupan manusia, di mana cara bernapas manusia akan menjadi pendek dan terengah-engah. Di samping itu juga pola kehidupan yang membuat manusia sering mengalami stres akan membuat tubuh membutuhkan ekstra oksigen bagi kegiatan sel secara normal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wong dan Huang (2004), kebiasaan tidur dengan menggunakan pendingin ruangan (AC) di dalam kamar tidur tertutup dan tidak berventilasi dapat meningkatkan kadar CO2 di dalam ruangan dibandingkan dengan kamar tidur yang berventilasi tanpa
30
menggunakan AC. Kadar CO2 pada kamar ber-AC meningkat sampai melebihi 1000 ppm, jauh lebih banyak daripada kamar berventilasi yang berkisar 600 ppm. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan kebiasaan hidup manusia sekarang ini yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam ruangan ber-AC tanpa ventilasi memadai ataupun berada di dalam mobil dengan menggunakan AC dan kaca tertutup secara rutin setiap hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadi efek negatif yang dikenal dengan gejala SBS (Sick Building Syndrome) yang mirip dengan gejala hipoksia secara umum seperti gejala influenza yang meliputi pilek, hidung tersumbat, tenggorokan kering, sesak napas, iritasi mata dan kulit, pusing, serta pegalpegal. Air minum penambah oksigen merupakan salah satu cara alternatif yang ditemukan oleh para ilmuwan bersama kalangan industri untuk mengatasi masalah kecenderungan kekurangan oksigen yang terjadi belakangan ini. Pencemaran udara, pola hidup yang tidak sehat, seperti kurang berolahraga, mengkonsumsi makanan berkolesterol dan tidak sehat, bahkan kebiasaan beraktivitas di ruangan tertutup dapat menyebabkan tubuh kekurangan oksigen. Padahal oksigen merupakan komponen vital bagi keberlangsungan metabolisme tubuh agar dapat berjalan secara normal.
D. Radikal Bebas dan Kerusakan Sel 1. Radikal Bebas Radikal bebas merupakan suatu senyawa atau molekul atau atom yang kehilangan satu atau lebih pasangan elektron pada orbital luarnya (Halliwell et al., 1992). Adanya elektron yang tidak berpasangan tersebut menyebabkan senyawa tersebut menjadi tidak stabil dan bersifat sangat reaktif. Kondisi reaktif dan tidak stabil akan membuat senyawa radikal bebas memiliki kecenderungan untuk mencari pasangannya dan dapat berikatan dengan molekul atau senyawa stabil apapun yang berada di dekatnya. Kereaktifan senyawa radikal menyebabkan spesifisitas kimianya rendah sehingga dapat bereaksi dengan berbagai molekul, baik berupa lemak, protein, karbohidrat, DNA, dan sebagainya.
31
Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen dan secara eksogen. Secara endogen, radikal bebas merupakan respon normal yang dihasilkan dalam peristiwa biokimia yang terjadi di dalam tubuh, baik di dalam maupun di luar sel. Contohnya antara lain proses autooksidasi yang dihasilkan dari proses metabolisme aerobik, oksidasi
enzimatik,
dan
ledakan
pernapasan
(respiratory
burst).
Sedangkan secara eksogen, radikal bebas diperoleh berasal dari luar tubuh, seperti terpapar polusi, makanan, obat-obatan, asap rokok, ataupun radiasi yang masuk melalui melalui jalur pernapasan, pencernaan, injeksi, ataupun melalui penyerapan kulit dan kemudian akan bereaksi di dalam tubuh (Supari, 1996). Beberapa jenis molekul dapat membentuk radikal bebas, seperti atom hidrogen, logam-logam transisi, ataupun oksigen. Oksigen yang masuk ke dalam tubuh pada kondisi tertentu mampu memicu timbulnya reaksi oksidasi yang berlebihan sehingga dapat menghasilkan senyawa radikal bebas dan pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel-sel tubuh. Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan materi yang ada di sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil elektron sehingga zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas juga dan akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya kerusakan sel tersebut. Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup, radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel sel seperti mitokondria, peroksisom, lisosom, retikulum endoplasmik, inti sel dan sitosol melalui reaksi-reaksi enzimatik fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses fagositosis oleh selsel fagositik termasuk netrofil, monosit, makrofag dan eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas (Winarsi, 2007). Secara umum, tahapan reaksi pembentukan senyawa radikal bebas mirip dengan rancidity oxidative, yaitu melalui 3 tahapan. Tahap pertama
32
adalah inisiasi yang merupakan reaksi awal di mana radikal bebas terbentuk. Tahap selanjutnya adalah perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi) merupakan reaksi pemusnahan atau pengubahan senyawa radikal menjadi produk-produk yang stabil dan tidak bersifat reaktif. Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivatif dari oksigen yang disebut senyawa oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species atau ROS). Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen, yang disebut anion superoksida (O2˙). Senyawa oksigen reaktif dapat terbentuk pada kondisi stres maupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa reaktif oksigen. Sementara pada kondisi stres, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan pemusnahannya. Menurut Baskin dan Salem (1997), radikal bebas yang dapat merugikan tubuh manusia sebagian besar adalah derivat oksigen. Beberapa derivat oksigen yang berbahaya bagi tubuh, antara lain anion superoksida (O2˙), hidrogen peroksida, radikal bebas hidroksil, radikal bebas alkoksil, radikal bebas peroksil, dan ferri (Fe3+). Beberapa contoh senyawa oksigen reaktif (ROS) yang bersifat radikal dan non radikal dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelompok reactive oxygen spesies (ROS) Kelompok ROS Radikal Kelompok ROS Non Radikal O2˙
(radikal superoksida)
H2O2
(hidrogen peroksida)
˙OH
(radikal hidroksil)
1
(singlet oksigen)
ROO˙
(radikal peroksil)
HOCl
HOO˙
(radikal hidroperoksil)
ONOO (nitrit peroksida)
RO˙
(radikal alkoksil)
ROOH (lipid peroksida)
˙NO
(nitrit oksida)
O3
(ozon)
H˙
(atom hidrogen)
RSH
(tiol)
O2
(asam hipoklorat)
Sumber : Baskin dan Salem (1997)
33
2. Stres Oksidatif dan Kerusakan Sel Stres atau tekanan oksidatif (oxidative stress) adalah suatu kondisi di mana tingkat oksigen reaktif intermediate (ROI) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen. Hal ini dapat terjadi jika jumlah antioksidan tidak mencukupi atau jumlah radikal bebas meningkat sehingga antioksidan tidak mampu untuk menahan radikal bebas yang terbentuk. Keadaan ini dapat mengakibatkan kelebihan radikal bebas di dalam tubuh yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, termasuk karbohidrat sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu. Lemak, terutama asam lemak tidak jenuh merupakan biomolekul yang sangat rentan terhadap serangan radikal bebas (Winarsi, 2007). Kerusakan sel merupakan perubahan atau gangguan yang dapat mengurangi viabilitas atau fungsi esensial sel. Stres oksidatif dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah proses kematian sel secara terprogram berupa proses autodestruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan membran, dan fragmentasi DNA inti sel. Sedangkan nekrosis merupakan kematian sel secara tiba-tiba akibat kerusakan berat yang ditandai kerusakan struktur seluler secara menyeluruh diikuti dengan lisisnya sel dan inflamasi jaringan. Pada kondisi normal di mana jumlah radikal bebas dalam sel terkontrol.
ROS
mampu
melakukan
peranan
fisiologis
yang
menguntungkan di lam tubuh. Beberapa fungsi fisiologis yang dijalankan, antara lain melakukan aksi fagositosis pada sel monosit, sintesis protein, sintesis DNA, membantu sistem NADP oksidase, dan memiliki efek mitogenik dengan menstimulasi proliferasi beberapa jenis sel. Radikal bebas dalam jumlah berlebih dapat menyerang sel menimbulkan berbagai kerusakan pada sel, meliputi kerusakan membran sel, protein, DNA, terjadinya disfungsi metabolik termasuk peroksidasi membran lipid, autoimun dengan memproduksi antibodi sendiri, penuaan dini sel, serta arterosklerosis.
34
Di dalam tubuh pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan komponen antioksidan. Radikal bebas yang berlebihan
dapat
mengganggu
keseimbangan
tersebut
sehingga
menimbulkan stres oksidatif. Meskipun demikian di dalam tubuh terdapat sistem pertahanan antioksidan alami yang membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas atau stres oksidatif. Sistem antioksidan utama yang diproduksi tubuh atau lebih dikenal dengan antioksidan endogen terdiri dari tiga jenis enzim, antara lain enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH), dan katalase. Aktivitas ROS yang tinggi dapat menghancurkan mekanisme pertahanan tubuh sehingga enzim antioksidan alami pun akan rusak. Dalam situasi ini, kerusakan oksidatif akan terjadi dan mengenai setiap bagian sel yang terpapar, termasuk protein sel, lemak (misalnya kolesterol), dan inti sel. Kerusakan ini akan menjadi lebih parah sehingga menyebabkan kanker, penyumbatan arteri koroner, dan berbagai penyakit lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan asupan zat gizi, yang terdiri dari protein, vitamin, maupun mineral sebagai bahan baku pembentukan enzim-enzim antioksidan tersebut (Baskin dan Salem, 1997). Di samping antioksidan alami, tubuh juga memerlukan antioksidan eksogen sebagai sistem pertahanan tubuh sekunder. Konsumsi berbagai sayuran dan buah-buahan yang kaya akan flavonoid, karotenoid, vitamin E, dan vitamin C berfungsi untuk menghambat rantai propagasi pembentukan radikal bebas. Sistem pertahanan tersier dilakukan oleh enzim protease dan transferase yang bertugas untuk memperbaiki kerusakan membran sel. Konsumsi makanan yang kaya akan zat antioksidan mampu menangkal radikal bebas berlebih sehingga kerusakan sel mampu dicegah.
E. Sistem Imun Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh merupakan sistem interaktif kelompok dari berbagai jenis sel imunokompeten yang bekerja sama dalam proses identifikasi dan eliminasi mikroba patogen dan zat-zat asing yang
35
berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh (Paul, 2008). Menurut Wikipedia, sistem kekebalan adalah sistem perlindungan tubuh terhadap pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Tidak jauh berbeda dengan kesimpulan Weissman et al. (1978) yang menyatakan bahwa definisi sistem imun ialah sistem pertahanan yang dimiliki oleh vertebrata yang bertugas untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme penyebab penyakit, seperti bakteri, virus, bahkan sel kanker. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri, virus, maupun cacing parasit dengan
cara
mendeteksi
kemudian
menghancurkannya,
termasuk
memusnahkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Keberadaan sel imun tersebut akan senantiasa menjaga sel, jaringan, ataupun organ tubuh agar dapat berfungsi secara normal. Sebaliknya apabila sistem kekebalan melemah maka kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga akan menyebabkan mikroba patogen, termasuk virus dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga dilaporkan dapat meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. Suatu cara yang dilakukan oleh tubuh berupa respon atau reaksi yang timbul akibat adanya zat asing atau patogen tertentu yang masuk ke dalam tubuh dikenal dengan sebutan respon imun. Respon tersebut meliputi produksi sel-sel imun atau zat kimia yang berfungsi untuk mempertahankan tubuh melawan patogen. Semakin baik respon imun tubuh maka semakin baik pula status kesehatan seseorang. Ketika antigen memasuki tubuh akan terjadi dua macam reaksi respon imun yang berbeda, yaitu reson imun spesifik dan nonspesifik. Respon imun nonspesifik umumnya dikenal sebagai respon imun alamiah atau bawaan (innate immunity) yang merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan mikroba atau zat-zat asing. Beberapa contoh respon imun nonspesifik, antara lain proses fagositosis oleh sel neutrofil dan monosit, barier kimia melalui sekresi internal dan eksternal (lisozim dalam mukus jaringan, air mata, dan laktoperoksidase dalam kelenjar ludah),
36
produksi protein darah (interferon, sistem kinin, dan komplemen), serta aktivitas sel natural killer (NK). Respon imun tersebut disebut sebagai respon nonspesifik karena respon atau reaksi yang timbul tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu dan bersifat efektif untuk semua jenis mikroba (Sompayrac, 2003). Sedangkan respon imun spesifik merupakan respon imun yang didapat (adaptive immunity) yang timbul terhadap antigen tertentu, di mana tubuh pernah terpapar antigen tersebut sebelumnya. Benda asing yang masuk pertama kali ke dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun ini sehingga terjadi sensitivitas sel-sel imun spesifik dan jika berpapasan kembali dengan benda asing yang sama atau mirip, benda asing ini akan dikenal lebih cepat kemudian akan segera dihancurkan. Menurut Weissman et al. (1978), respon imun spesifik timbul dari dua sistem berbeda yang saling bekerja sama, yaitu respon imun seluler (limfositik) dan humoral (berkaitan dengan antibodi di dalam darah). Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroba intraseluler dan estraseluler melalui sekresi limfokin, seperti interferon dan interleukin, sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen spesifik. Respon imun spesifik dan nonspesifik selain dibedakan berdasarkan spesifitasnya, dipengaruhi juga oleh heterogenitas dan kemampuan sistem memori imun terhadap antigen tertentu. Kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan efektivitas serta interaksi keduanya menghasilkan aktivitas biologik yang serasi dan berbagai mekanisme di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
1. Limfosit Menurut Eurell (2004), di dalam tubuh manusia terdapat tiga jenis sel darah, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Sel darah merah menyusun sedikitnya 45% dari total volume darah, sedangkan sel darah putih yang tersusun atas neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit menyusun kurang dari 1% dari seluruh total volume darah. .
37
Sel darah putih terbagi atas dua kelompok, yaitu granulosit yang memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma dan agranulosit yang tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma. Komposisi sel darah putih terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% agranulosit yang terbentuk dari dalam sumsum tulang belakang (Rhoades dan Bell, 2009). Sel limfosit dan monosit
termasuk dalam kelompok agranulosit, sedangkan basofil,
neutrofil dan eosinofil termasuk dalam kelompok granulosit. Komponen seluler darah yang utama adalah monosit dan limfosit. Komposisi darah di dalam tubuh manusia dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi elemen seluler darah manusia Rata-rata Kisaran Elemen Seluler sel/ml Normal 1. Leukosit 9000 4000-11000 a. Granulosit - Neutrofil 5400 3000-6000 150-300 - Eosinofil 275 0-100 - Basofil 35 b. Agranulosit 1500-4000 - Limfosit 2750 300-600 - Monosit 540 2. Eritrosit a. Pria 5.4 x 106 4.8 x 106 b. Wanita 3. Trombosit/platelet 300000 2-5 x 106
Persentase dari Leukosit Normal 50-70 1-4 0.4 20-40 2-8
Sumber : Ganong (1990)
Limfosit merupakan salah satu bagian dari sel darah putih yang bersifat agranulosit (tidak memiliki granula). Secara umum ukuran dan penampilan limfosit bervariasi, serta memiliki inti sel yang relatif lebih besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Sel ini berbentuk bulat, dan berukuran kecil dengan diameter sel 7-20 μm. Limfosit dibentuk di kelenjar timus dan sumsum merah tulang umumnya banyak terdapat pada pembuluh darah dan organ limfoid, seperti limfa, kelenjar limfe, dan timus (Kimball, 1990). Limfosit adalah sel yang berfungsi dalam respon imun yang dibentuk melalui jalur limfoid. Sel limfosit memiliki peranan penting dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel limfosit dapat mengenal
38
setiap jenis antigen, baik antigen intraseluler maupun ekstraseluler, seperti antigen di dalam darah atau di dalam cairan tubuh lainya. Fungsi utama limfosit adalah memberikan respon terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Paul, 2008). Guyton dan Hall (2006) mengatakan bahwa limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari jumlah normal sel darah putih. Limfosit dapat membentuk ratusan jenis antibodi dan limfosit sensitif yang berbeda-beda. Masing-masing jenis sifatnya spesifik untuk suatu antigen yang khusus dan tiap jenisnya dapat menggandakan diri mencapai jumlah yang sangat besar (kultur sel) apabila distimulasi oleh antigen spesifik yang jumlahnya cukup. Limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit T dan limfosit B. Secara umum limfosit dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu sel B, sel T, dan sel natural killer (NK).
Sel B dan sel T mempunyai reseptor pada
permukaan yang mampu mengenal antigen tertentu, sedangkan sel NK tidak memiliki reseptor untuk mengenal antigen. Pada manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah sekitar 65-80% dari jumlah total limfosit dalam tubuh. Kedua sel tersebut berperan respon spesifik di mana sel B berperan di dalam respon imun humoral dan sel T berfungsi dalam sistem imun seluler. Sedangkan sel natural killer berperan dalam respon imun nonspesifik (Harris, 1991).
a. Sel Limfosit B Sel limfosit B adalah sel limfosit yang berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang dan berdiferensiasi di dalam jaringan ekuivalen bursa, seperti di dalam hati atau limfa pada mamalia dan organ limfoid dekat kloaka pada unggas. Sel B menyusun sekitar 5-15% dari jumlah total limfosit dalam tubuh yang banyak terdat pada pembuluh darah periferi, sumsum tulang, jaringan limfoid periferi, dan tonsil.
39
Di dalam menjalankan fungsi kekebalan humoral, sel B bersifat spesifik terhadap antigen (senyawa asing) dan akan membesar membentuk limfoblast. Beberapa di antaranya membentuk plasmoblast yang kemudian membentuk banyak sel plasma. Sel plasma inilah yang mensintesis antibodi. Antibodi tersebut kemudian disekresikan ke dalam limfa dan menuju ke sistem sirkulasi. Antibodi ini akan bersirkulasi sebagai protein Ȗ-globulin yang bebas di dalam plasma. Demikian halnya yang terjadi pada limfosit B yang baru dibentuk dari limfoblast sehingga jumlah antibodi yang lebih banyak dapat terbentuk yang dihadapkan pada antigen yang sama. Setelah menerima rangsangan dari antigen atau mitogen, sel limfosit B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur, antara lain 1) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, dan 2) membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel limfosit B memori. Rangsangan berikutnya pada sel limfosit B memori ini menyebabkan sel limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma yang mensekresikan imunoglobulin spesifik (Roitt, 1971). Sel limfosit B mampu mengenal antigen yang berkadar sangat rendah. Hal ini dikarenakan sel B dewasa memiliki imunoglobulin permukaan (surface Ig atau sIg) yang berperan sebagai reseptor. Dengan proses endositosis, antigen yang ditangkap sIg akan masuk ke dalam sitoplasma, kemudian akan diproses membentuk fragmenfragmen. Selanjutnya melalui proses eksositosis, fragmen antigen ini akan dipresentasikan lagi pada permukaan membran bersama major histocompatibility complex kelas II (MHC II) pada sel limfosit T sehingga sel B dapat berfungsi juga sebagai antigen presenting cell (APC).
b. Sel Limfosit T Kekebalan seluler (limfositik) terbentuk apabila suatu antigen menyentuh dan merangsang limfosit T. Sel T merupakan sel darah putih yang bersifat nonfagositik yang terbentuk di sumsum tulang belakang
40
dan kemudian berkembang di bagian timus limfosit yang berfungsi untuk mengenal antigen pada reaksi imun seluler. Secara kasat mata, sel limfosit T tidak dapat dibedakan bentuk dan ukurannya dengan sel B. Sel ini menyusun 65-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi dan banyak terdapat di sekitar pembuluh periferi dan limfa (Kimball, 1990). Sel limfosit T tidak mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma, tetapi tumbuh menjadi sel yang mampu menghasilkan faktor yang merangsang reaksi perusakan seluler. Faktor-faktor tersebut adalah faktor penghambat migrasi (MIF atau Migration Inhibiting Factor), faktor sitotaktik (mencederai berbagai jenis sel), faktor interferon, serta faktor lainnya, seperti interleukin. Zat-zat ini sebagian akan dilepas pada interaksi antara limfosit tersensitisasi dengan antigen spesifik yang sesuai untuk menghancurkan sel asing. Di dalam proses pendewasaannya, sel T berdiferensiasi menjadi tiga populasi yang berbeda, yaitu sel Thelper (Th), sel Tsupresor (Ts), dan sel Tcytotoxic (Tc). Sel Th berfungsi untuk membantu sel B membentuk antibodi, sel Ts berfungsi untuk menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B dalam pembentukan antibodi, sedangkan sel Tc berperan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang mengandung virus secara spesifik (Roitt, 1971). Sel Ts dan Tc merupakan sel T yang kehilangan antigen CD4, tetapi tetap menunjukkan antigen CD8 sehingga sel Ts dan Tc dikenal sebagai CD8+. Sebaliknya sel Th merupakan sel T yang kehilangan antigen CD8, tetapi menunjukkan CD4 sehingga dikenal sebagai CD4+. Sel T memiliki molekul T-cell antigen reseptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein permukaan pada APC (Antigen Presenting Cell), yaitu MHC. Sel T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin ini akan berpengaruh terhadap aktivasi sel B, sel Tc, sel NK, dan sel-sel fagositik yang terlibat di dalam respon imun.
41
Molekul CD4 pada sel Th merupakan molekul glikoprotein yang memiliki situs pengikatan khusus mengenali fragmen antigen yang dipresentasikan oleh APC dengan molekul MHC II misalnya oleh sel limfosit B. Interaksi seluler kompleks antigen-MHC II bersama interleukin-1 (IL-1), yang disekresi oleh makrofag, akan mengaktifkan protein G dan serangkaian proses hidrolisis fosfolipase C dan mengaktivasi kerja enzim protein kinase C yang berperan mensitesis IL-2. IL-2 terikat pada molekul reseptor yang baru sehingga terjadi autostimulasi proliferasi sel Th. Sel Th yang teraktivasi akan mensekresi interleukin-2, -4, dan -6 serta interferon gamma (IFN-Ȗ) yang bertugas di dalam proses aktivasi sel B, meliputi proses pembelahan
dan
diferensiasi.
IL-2
dan
IFN-Ȗ
juga
mampu
meningkatkan aktivitas fagositik dan kemampuan membunuh patogen pada sel makrofag (Delves et al., 2006). 2. Kultur Sel Kultur sel merupakan teknik umum yang biasa digunakan untuk mengembangbiakkan sel secara in vitro (di luar tubuh). Teknik ini berguna untuk mempelajari atau mengamati sifat-sifat sel di luar tubuh sehingga mudah untuk dilakukan pengujian terhadapnya. Lingkungan dan bahan makanan untuk pertumbuhan sel limfosit di luar tubuh ini diusahakan agar menyerupai keadaan sel di dalam tubuh (in vivo). Oleh karena itu dibutuhkan komponen-komponen berupa asam amino, glukosa, vitamin, mineral, garam anorganik dan serum untuk menunjang perkembangan dan kehidupan sel yang dikultur di luar tubuh (Malole, 1990). Menurut Freshney (1994), faktor pendukung pertumbuhan sel di dalam kultur, yaitu media pertumbuhan, serum janin sapi, dan kondisi lingkungan. Media pertumbuhan mengandung asam amino, glukosa, lipid, vitamin, mineral, garam, hormon, serta suplemen organik seperti protein, peptida, dan nukleosida. Media pertumbuhan yang digunakan disesuaikan dengan jenis sel yang akan ditumbuhkan seperti media RPMI-1640 yang paling banyak digunakan untuk mengkultur sel limfosit yang merupakan
42
media sintetis yang kaya nutrisi. Kandungan RPMI-1640 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Sel membutuhkan media penumbuh yang dapat
membuat
sel
tersebut
bertahan
hidup,
berkembang,
dan
berdiferensiasi. Fungsi utama media kultur sel adalah mempertahankan pH dan osmolalitas esensial untuk viabilitas sel, dan juga menyediakan nutrisi dan energi yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel. Serum janin sapi merupakan serum yang mampu menstimulasi pertumbuhan sel. Serum janin sapi yang ditambahkan dalam kultur berkisar antara 5-20% dari jumlah total media kultur. Penambahan serum ini berfungsi sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel serta sebagai faktor yang membantu proses pelekatan sel dari jaringan atau cairan tubuh. Selain dari sapi, serum yang digunakan untuk kultur sel limfosit manusia dapat berasal dari kuda ataupun manusia. Serum yang umum digunakan adalah FBS (Fetal Bovine Serum) yang merupakan serum janin sapi yang mengandung protein albumin, transferin, fibronektin, fetuin, polipeptida dan faktor pertumbuhan, lipida, hormon, metabolit asam amino, piruvat, dan poliamin, serta mineral-mineral. Pertumbuhan
sel
memerlukan
kondisi
lingkungan
yang
o
mendukung, seperti pH lingkungan 7.4, temperatur 37 C, konsentrasi oksigen 95%, serta konsentrasi karbon dioksida 5%. Pengaturan pH lingkungan yang stabil dilakukan dengan penambahan sodium bikarbonat. Media yang mengandung buffer bikarbonat akan membutuhkan fase gas yang mengandung CO2 untuk mempertahankan kondisi pH tersebut. Sedangkan oksigen tetap menjadi faktor utama yang dibutuhkan sel agar dapat berkembang biak secara normal pada kondisi aerob. Pengaturan suhu, konsentrasi gas oksigen dan karbon dioksida tersebut untuk menyamakan kondisi media kultur seperti kondisi di dalam tubuh. Di samping ketiga faktor yang telah disebutkan di atas, penambahan antibiotik juga tak kalah penting mempengaruhi kultur sel limfosit. Antibiotik digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroba yang mungkin terjadi yang dapat menghambat pertumbuhan sel. Beberapa jenis antibiotik yang umum digunakan adalah gentamisin dan penisilin-
43
streptomisin. Gentamisin merupakan antimikroba untuk bakteri Gram positif, negatif, dan mikroplasma, penisilin untuk bakteri Gram positif, sedangkan streptomisin untuk bakteri Gram positif dan negatif. Gentamisin termasuk ke dalam jenis antibiotika derivat aminoglikosida dengan spektrum yang luas dan aktif untuk melawan organisme Gram positif dan Gram negatif. Pemberian jangka pendek gentamisin 0.3-1.0% secara tunggal tanpa kombinasi di samping biayanya lebih murah juga sangat efektif untuk melawan organisme berspektrum luas.
3. Proliferasi Sel Proliferasi adalah proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel (mitosis) dan diferensiasi sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Pada proses proliferasi dihasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respon spesifik dan atau respon nonspesifik untuk mengeliminasi mikroba patogen dan zat-zat asing lainnya. Sel limfosit termasuk sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur pada media sederhana dan secara konsisten tetap dalam tahap diam dan tidak membelah sampai ditambahkan mitogen ke dalamnya. Proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respon proliferatif secara in vitro yang dapat menggambarkan fungsi limfosit serta status imun suatu individu. Kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Jika sel limfosit dikultur dengan penambahan mitogen, maka limfosit akan akan memberikan respon dengan cara berproliferasi (memperbanyak diri). Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel, baik sel B maupun sel T dalam persentase yang tinggi. Sel limfosit B dan T mampu berproliferasi seiring stimulasi mitogen ke dalam kultur sel. Sejumlah mitogen umumnya berasal dari lektin (protein) tumbuhan dan gula terikat. Lektin mengenali perbedaan glikoprotein pada permukaan setiap sel, termasuk sel limfosit (Harris, 1991).
44
Beberapa jenis mitogen yang digunakan untuk menstimulir aktivitas
proliferasi
sel
limfosit
adalah
pokeweed
(PWM),
fitohemoglutinin (PHA), concanavalin A (Con A), dan lipopolisakarida (LPS) bakteri Garam negatif. Terdapat sejumlah mitogen yang hanya dapat mengaktivasi sel limfosit B atau sel limfosit T saja, dan ada pula yang dapat mengaktivasi populasi keduanya. Pokeweed merupakan jenis mitogen yang mampu mengaktivasi kedua jenis sel limfosit B dan T. Mitogen PHA dan Con A dapat merangsang transformasi blast subpopulasi sel T. Sementara LPS akan bereaksi dengan membran plasma sel B dan menghasilkan aktivitas seluler. F. Metode Pewarnaan MTT (MTT Assay) MTT assay merupakan salah satu metode kolorimetri (pewarnaan) menggunakan pewarna MTT dengan mengukur konsentrasi warna (nilai absorbansi) produk akhir yang terbentuk menggunakan spektrofotometer. MTT
yang
memiliki
nama
kimia
[3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenyltetrazolium bromide] merupakan garam tetrazolium yang dapat bereaksi secara in vitro dengan enzim suksinat dehidrogenase yang dihasilkan oleh sel hidup (Mosmann, 1983). Enzim suksinat dehidrogenase adalah salah satu enzim yang berperan aktif selama proses respirasi seluler secara aerobik. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan flavoprotein yang mengandung protein dengan ikatan Fe (besi) dan S (belerang). Enzim ini terikat pada bagian membran mitokondria yang berfungsi sebagai reduktor selama tahapan siklus Krebs dan transpor elektron. Pada siklus Krebs, enzim ini menerima hidrogen dari suksinat dan bertugas menghidrogenasi suksinat menjadi fumarat serta menghasilkan FADH2. FADH2 yang dibentuk akan mengalami reoksidasi pada rantai transpor elektron yang berkaitan erat dengan pembentukan energi (ATP) dalam proses fosforilasi oksidatif (Lehninger, 1982). Prinsip
metode
pewarnaan
MTT
adalah
mereduksi
garam
monotetrazolium yang berwarna kuning dan larut dalam air oleh enzim suksinat dehidrogenase yang diproduksi oleh sel hidup menjadi produk akhir
45
kristal biru formazan yang tidak larut air yang kemudian diukur kepekatan warna biru yang terbentuk dengan menggunakan microplate reader. Pemecahan MTT menjadi formazan dilakukan oleh enzim suksinat dehidrogenase di bagian mitokondria sel yang hidup. Absorbansi yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi kristal formazan yang terbentuk. Nilai absorbansi tersebut memiliki korelasi positif terhadap jumlah sel yang hidup (Liu et al., 1997). Menurut Freimoser et al. (1999), MTT assay merupakan metode uji viabilitas sel kuantitatif yang lebih praktis, cepat, dan efisien dengan hasil yang cukup akurat dibandingkan dengan menggunakan metode pewarnaan tryphan blue yang dilakukan secara manual pada pengujian sel fungi. Reduksi garam
tetrazolium
merupakan
cara
yang
dapat
dipercaya
untuk
mendeterminasi proliferasi sel limfosit. Garam tetrazolium MTT yang berwana kuning berkurang sebagai akibat proses metabolisme sel, terutama karena aktivitas kerja enzim suksinat dehidrogenase. Kristal formazan tidak larut air berwarna biru tua yang terbentuk dapat dilarutkan dengan pelarut organik, seperti isopropanol, etil asetat, dietil eter, atau n-butanol, dan kemudian diukur dengan alat spektrofotometer. Perubahan MTT yang awalnya berwarna kuning menjadi warna biru tua menandakan adanya sel hidup yang mengeluarkan enzim suksinat dehidrogenase dan mereduksi pewarna MTT tersebut. Pada sel mati yang seluruh proses metabolismenya terhenti dan tidak dapat memproduksi enzim yang dapat mereduksi pewarna MTT, tidak menghasilkan produk akhir formazan sehingga tidak merubah warna kuning garam tetrazolium. Perubahan warna yang terjadi kemudian diukur absorbansinya menggunakan alat microplate reader pada panjang gelombang 570 nm. Reaksi reduksi pewarna MTT oleh enzim suksinat dehidrogenase yang dihasilkan sel hidup dapat dilihat pada Gambar 3.
46
Gambar 3. Reaksi reduksi pewarna MTT menjadi formazan (Prosecus, 2006) Kandungan enzim suksinat dehidrogenase relatif konstan di antara berbagai sel dengan tipe spesifik sehingga jumlah formazan yang dihasilkan dapat dipercaya berbanding lurus terhadap jumlah sel. Pengujian jumlah proliferasi sel limfosit manusia menggunakan MTT assay dengan mengukur nilai absorbansi yang akan digunakan untuk mendapatkan nilai indeks stimulasi (IS). Metode ini sering digunakan untuk mengukur proliferasi sel dan toksisitas sel. Semakin tinggi absorbansi maka semakin tinggi pula nilai indeks stimulasi yang menandakan semakin banyak jumlah sel limfosit yang hidup. Sebaliknya, semakin rendah absorbansi maka semakin rendah indeks stimulasi yang berarti semakin banyak sel limfosit yang mati.
47
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah air minum penambah oksigen. Sampel air minum penambah oksigen yang digunakan terdiri dari tiga konsentrasi, yaitu 0, 80, dan 130 ppm. Sampel air minum penambah oksigen 10 ppm sama dengan air minum biasa. Air minum penambah oksigen berasal dari PT. Royal Kekaltama Beverages (R&K Beverages), Sukabumi. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk isolasi dan proliferasi sel limfosit manusia adalah EDTA 1%, alkohol 70%, histopaque (SIGMA), media RPMI-1640 (SIGMA) yang telah mengandung L-glutamin, NaHCO3, Phosphat Buffer Saline (SIGMA), antibiotik gentamisin (SIGMA), Concanavalin A (SIGMA), lipopolisakarida Salmonella Typhosa (SIGMA), Fetal Bovine Serum (GIBCO), tryphan blue, HCl-isopropanol, aquabidest, aquadest, dan garam MTT [3-(4,5dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] (SIGMA). Bahan utama yang digunakan adalah sel limfosit manusia yang diisolasi dan berasal dari darah sukarelawan (responden). Responden tersebut terdiri dari 25 mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
2. Alat Alat-alat yang digunakan di dalam penelitian, antara lain oxygen meter (dari laboratorium QC R&K Beverages), syringe 20 ml (Terumo), pipet pasteur steril, pipet serological (Falcon), tabung sentrifuse steril 15 ml dan 50 ml (Falcon), mikropipet, tabung vial kecil, mikrotip, microplate steril dengan 96 sumur (Nunc), membran filter steril 0.2 μm (Sartorius), pipet Mohr steril 5 dan 10 ml, sentrifuse, laminar flow cabinet, hemasitometer (Superior), cell counter, mikroskop, inkubator (kondisi CO2 5%, RH 95%, dan suhu 37oC), dan microplate reader (Bio-Rad).
48
B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan bulan April 2005. Tempat penelitian adalah Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Laboratorium Klinik Caritas, Bogor.
C. Metode Penelitian 1. Pengukuran Kadar Oksigen Terlarut di dalam Botol Pengukuran kadar oksigen terlarut di dalam botol dilakukan oleh bagian Quality Control produsen R&K Beverages. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Orbhiphene Analyzer atau lebih dikenal dengan Oxygen Meter yang menggunakan sistem komputerisasi. Perlakuan botol yang diukur kadar oksigen terlarutnya, antara lain pada posisi dibuka terus-menerus, dimiringkan, dan dibuka lalu ditutup kembali. Pengukuran dilakukan nonstop secara otomatis setiap 2 jam selama 24 jam.
2. Pemberian Air Minum Penambah Oksigen kepada Responden Objek penelitian utama ini adalah air minum biasa dan air minum penambah oksigen. Sedangkan subjek penelitian adalah manusia yang merupakan mahasiswa Departemen ITP, IPB (dalam hal ini sel darah manusia). Responden tersebut berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan berusia antara 21-23 tahun. Responden tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kelompok dengan perlakuan yang berbeda-beda. Kelompok 1 yang terdiri dari 8 orang, mengkonsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm. Kelompok 2 terdiri dari 7 orang yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm. Dan yang terakhir kelompok 3 terdiri dari 10 orang, mengkonsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm. Sebelum
pelaksanaan
intervensi,
masing-masing
mahasiswa
diperiksa kesehatannya terlebih dahulu secara klinis oleh dokter umum. Setelah dipastikan sehat dan bebas infeksi, mahasiswa tersebut diperbolehkan menjadi responden untuk penelitian ini. Responden diminta
49
untuk menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) yang menyatakan bahwa responden bersedia melakukan kewajiban yang diminta selama penelitian berlangsung. Beberapa hal yang tercantum dalam MoU tersebut, antara lain jaminan keamanan air minum sebagai objek penelitian utama. Di samping itu juga berisi pernyataan kesediaan responden untuk melaksanakan segala ketentuan yang diberlakukan kepada responden sampai dengan proses pengambilan darah setelah intervensi selesai, yaitu selama 12 hari. Intervensi sampel dilakukan kepada semua responden pada masingmasing kelompok. Intervensi dilakukan dengan cara mengkonsumsi sampel air minum penambah oksigen sebanyak dua kali sehari, yaitu setelah sarapan dan makan siang selama 12 hari. Setiap konsumsi, responden diharuskan untuk menghabiskan satu botol sampel air minum penambah oksigen yang berisi sebanyak 385 ml. Responden penelitian ini merupakan mahasiswa Departemen ITP yang sedang melakukan penelitian sebagai tugas akhir di kampus IPB, oleh karena itu pelaksanaan intervensi sampel air minum penambah oksigen untuk masing-masing kelompok dilakukan di lingkungan kampus. Sampel air minum diberi kode tertentu sehingga tiap-tiap responden tidak mengetahui jenis sampel yang diminumnya (blind sample). Air minum tersebut harus dihabiskan sekaligus pada waktu itu juga tanpa bersisa sedikitpun untuk memastikan oksigen terlarut yang masuk bersamaan dengan air minum.
3. Proses Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah intervensi (pemberian sampel air minum). Proses tersebut dilaksanakan di laboratorium klinik Caritas, Bogor oleh tenaga medis yang ahli dan berpengalaman. Darah diambil secara steril dari masing-masing responden dengan menggunakan syringe 20 ml yang telah mengandung larutan EDTA 1% yang berfungsi sebagai antikoagulan. Kemudian darah tersebut digunakan
50
untuk penelitian lebih lanjut, yaitu isolasi dan proliferasi limfosit dengan menggunakan metode pewarnaan MTT. 4. Persiapan Ruang Kerja dan Laminar Flow Cabinet Steril Sebelum melakukan kerja steril, ruangan dan laminar flow cabinet disterilkan terlebih dahulu. Ruang kerja disterilkan dengan proses pengasapan KMNO4. Sebelum dilakukan pengasapan, dipastikan ruangan tertutup rapat dan tidak ada celah yang kontak langsung dengan udara luar. Ruangan diasapi dengan menggunakan KMNO4 bubuk sebanyak 167 gram dan larutan formaldehida 40% sebanyak 1000 ml yang ditempatkan ke dalam wadah lalu dipanaskan sampai terbentuk asap dan didiamkan selama 3 hari tanpa dimasuki oleh siapapun. Proses ini dilakukan untuk mengilangkan kontaminan bakteri dan virus yang berada di udara dalam ruangan yang dapat mengkontaminasi aktivitas penanganan sel limfosit di dalam ruang kerja. Pensterilan laminar flow cabinet dilakukan dengan cara penyinaran sinar UV selama 15 menit setiap akan digunakan dan juga penyemprotan alkohol 70% pada permukaan meja laminar flow cabinet. Hal tersebut juga berlaku untuk peralatan yang akan digunakan selama pengerjaan isolasi dan proliferasi limfosit di dalam laminar flow cabinet. Cara menjaga kesterilan laminar flow cabinet adalah dengan mengaliri udara laminar di dalamnya untuk mencegah kontaminasi dengan udara luar.
5. Pembuatan Larutan Pereaksi dan Media Kultur Sel (Mosmann, 1983) Pembuatan media dan tahap-tahap selanjutnya dalam analisis limfosit dilakukan di dalam laminar flow cabinet yang steril dan dialiri oleh udara laminar. Sebelum digunakan, ruangan dan peralatan disinari terlebih dahulu dengan sinar UV selama 15 menit.
a. Persiapan Media Kultur Sel Limfosit Media yang digunakan untuk kultur dan pemeliharaan sel limfosit berupa 10.42 gram RPMI-1640 bubuk yang telah mengandung
51
L-glutamin. Bubuk tersebut dilarutkan dengan aquabidest steril sehingga diperoleh 1 liter larutan RPMI-1640. Kemudian ditambahkan 2 gram NaHCO3 dan 1% antibiotik gentamisin. Larutan yang sudah bercampur disterilisasi dengan membran filter 0.2 μm steril, maka didapatkan larutan RPMI-1640 steril yang digunakan untuk isolasi sel limfosit. Untuk media pertumbuhan dan pemeliharaan sel limfosit digunakan media larutan RPMI-1640 di atas dengan penambahan fetal bovine serum (FBS) 10% steril. b. Pembuatan Larutan MTT 0.5 % Sebesar 0.05 gram garam MTT bubuk dicampurkan dengan PBS sebanyak 10 ml. Kemudian larutan pewarna liquid yang telah homogen tersebut disterilkan dengan melewatkan larutan MTT ke dalam membran fiter steril berukuran 0.2 μm. c. Pembuatan Larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) Satu sachet PBS bubuk dengan pH 7.4 dilarutkan dalam 1 liter aquabidest. Setelah itu, larutan PBS dilewatkan melalui membran steril berukuran 0.2 μm sehingga didapatkan larutan yang steril. Komposisi PBS terdiri dari NaCl, KCl, KH2PO4, Na2HPO4, serta Na2HPO4.2H2O.
d. Pembuatan Larutan HCl-Isopropanol 0.04 N Sebanyak 23.4 μm HCl pekat (37% p.a) dipipet dan ditambahkan dengan isopropanol p.a 8.9766 ml. Setelah itu larutan diaduk sampai homogen dan siap digunakan. Larutan ini baru dibuat jika akan digunakan saja dan tidak dapat disimpan.
e. Pembuatan Larutan Tryphan Blue 0.2%
52
Pewarna tryphan blue bubuk sebanyak 0.05 gram dilarutkan dengan 20 ml PBS. Setelah diaduk sampai homogen, larutan pewarna tersebut dilewatkan melalui membran filter steril 0.2 μm.
6. Pengujian Proliferasi Sel Limfosit a. Isolasi Limfosit (Fisher et al., 1998) Darah dari dalam syringe dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse steril kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Bagian tengah (lapisan buffycoat) yang berisi sel-sel limfosit diambil perlahan-lahan dengan pipet pasteur kemudian ditambahkan 3 ml media RPMI-1640. Histopaque dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse, kemudian diletakkan perlahan-lahan campuran lapisan buffycoat dan media RPMI-1640 di atasnya dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 30 menit. Hasil sentrifuse didapatkan lapisan putih seperti cincin antara histopaque dan RPMI-1640. Lapisan putih diambil dengan pipet pasteur ke dalam tabung ssntrifuse dan ditambahkan 5 ml RPMI-1640, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, lalu pada bagian pelet ditambahkan RPMI-1640 dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Pencucian limfosit ini dilakukan dua kali sehingga diperoleh kemurnian suspensi sel limfosit yang tinggi. b. Penghitungan Sel Limfosit (Fisher et al., 1998) Sebelum dilakukan kultur sel limfosit, terlebih dahulu dilakukan penghitungan sel limfosit secara manual dengan menggunakan pewarna tryphan blue. Sebanyak 50 μl suspensi sel limfosit ditempatkan ke dalam sumur microplate dan ditambahkan 50 μl tryphan blue ke dalamnya. Penghitungan sel limfosit dilakukan dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
53
Jumlah sel limfosit yang dapat dihitung harus lebih besar dari 95% berupa sel limfosit hidup yang berwarna terang. Limfosit yang diperoleh akan digunakan untuk analisis proliferasi sel B dan sel T. Penghitungan sel limfosit dengan hemasitometer dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : N = A x FP x 104 sel/ml
Keterangan : N = jumlah sel limfosit/ml A = jumlah sel hidup rata-rata per kotak 0.1 mm3 FP = faktor pengenceran c. Proliferasi Sel Limfosit dengan Metode MTT (Mosmann, 1983) Jumlah sel limfosit dari masing-masing responden ditepatkan menjadi 2 x 106 sel/ml dengan media sintetik RPMI-1640. Ke dalam tiap sumur microplate dimasukkan 100 μl suspensi sel dari masingmasing responden. Kemudian ditambahkan masing-masing ke dalam sumur, 80 μl larutan mitogen Concanavalin A 25 μg/ml untuk pengujian proliferasi sel T atau 80 μl larutan mitogen LPS Salmonella Typhosa 25 μg/ml untuk pengujian proliferasi sel B, sehingga diperoleh konsentrasi dalam kultur 10 μg/ml konsentrasi Con A dan LPS di tiaptiap sumur. Sebagai kontrol hanya ditambahkan 80 μl media RPMI1640, tanpa penambahan mitogen. Selanjutnya ditambahkan ke masingmasing sumur 20 μl FBS sehingga volume total tiap sumur berisi 200 μl kultur. Kultur diinkubasi selama 48 jam dalam inkubator bersuhu 37oC dengan kandungan atmosfer yang mengandung 5% CO2 dan RH 95%. Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit ini dilakukan dengan menggunakan metode MTT. Sebelum masa inkubasi berakhir, 6 jam sebelumnya, ke dalam masing-masing sumur ditambahkan 10 μl MTT dengan konsentrasi 0.5% dan diinkubasi kembali pada kondisi yang sama selama 6 jam. Pada akhir masa inkubasi, ditambahkan 80 μl HClisopropanol 0.04 N, setelah itu dilakukan pembacaan sel dengan alat
54
microplate reader pada panjang gelombang 570 nm. Nilai indeks stimulasi (IS) dapat dihitung dengan persamaan seperti berikut ini :
IS =
OD sel perlakuan mitogen OD sel kontrol
7. Analisis Statistik Pengujian penelitian konsumsi air minum penambah oksigen ini dilakukan dengan membandingkan nilai indeks stimulasi (IS) proliferasi sel limfosit B dan T setelah intervensi (IS akhir) dan sebelum intervensi (IS awal). Pengujian ini dilakukan pada responden kelompok 1 (10 ppm), 2 (80 ppm), dan kelompok 3 (130 ppm). Pengukuran nilai IS awal adalah sebelum intervensi dan pengukuran nilai IS akhir 12 hari setelah intervensi pada responden manusia. Analisis statistik terhadap nilai IS sebelum dan sesudah menggunakan analisis sidik ragam Paired Sample T-Test untuk menentukan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kadar Oksigen Terlarut di dalam Botol Kandungan standar oksigen terlarut di dalam botol air minum penambah oksigen adalah 80 ppm. Pada penelitian ini dilakukan pengujian air minum penambah oksigen 10 ppm, 80 ppm dan 130 ppm untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan terhadap proliferasi sel limfosit manusia. Di dalam penelitian ini dilakukan pula pengujian terhadap air minum penambah oksigen dengan kadar oksigen terlarut 130
ppm selama 24 jam dengan
beberapa perlakuan. Pengujian tersebut dilakukan untuk mengetahui penurunan kadar oksigen terlarut selama masa penyimpanan. Dengan demikian pihak produsen berupaya untuk menjamin klaim produk air minum penambah oksigen yang mengandung tidak kurang dari 80 ppm oksigen terlarut di dalam kemasannya. Selama masa penyimpanan terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut. Kemungkinan botol kemasan yang terpapar sinar matahari secara langsung akan menyebabkan oksigen akan mudah menguap. Kemungkinan lain terjadi benturan atau goncangan di dalam botol yang dapat menurunkan konsentrasi oksigen di dalam air. Penanganan produk pada saat di tangan konsumen juga ikut berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut dalam botol. Ada berbagai macam cara yang dilakukan konsumen selama mengkonsumsi air minum penambah oksigen ini yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut, seperti membuka tutup botol terlalu lama sebelum meminum produk, mengkonsumsi produk tidak langsung habis tetapi dilakukan berkali-kali, serta meminum produk langsung ke mulut dengan posisi miring. Pengukuran kadar oksigen terlarut dilakukan untuk mengetahui kestabilan jumlah oksigen terlarut yang terkandung di dalam botol air minum penambah oksigen pada selang waktu dan keadaan tertentu. Adapun hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut cenderung menurun dari waktu ke waktu dengan beberapa jenis perlakuan, yaitu dimiringkan, dibuka lalu ditutup, dan yang dibiarkan terbuka. Hasil pengukuran kadar
56
oksigen terlarut di dalam botol air minum penambah oksigen disajikan secara lengkap pada Lampiran 8. Grafik penurunan kadar oksigen terlarut di dalam botol yang berlangsung selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik kadar oksigen terlarut di dalam botol selama 24 jam Berdasarkan data lengkap pada Lampiran 8 dan grafik pada Gambar 4 dapat dilihat penurunan kadar oksigen terlarut dalam botol pada perlakuan posisi botol dimiringkan, yaitu pada selang waktu 2 jam setelah botol dibuka dan dilakukan pengukuran kadar oksigen pertama kali. Kadar oksigen terlarut turun menjadi 84.3 ppm dari kondisi awal dua jam sebelumnya 135.0 ppm, berarti terjadi penurunan sebanyak 50.7 ppm. Sedangkan pada posisi dibuka terus-menerus dan dibuka lalu ditutup, penurunan jumlah oksigen terlarut setelah dua jam hanya sedikit, masing-masing 19 dan 18 ppm. Pada kondisi botol yang dibuka secara terus-menerus, jumlah oksigen mencapai > 80 ppm lebih tepatnya 80.4 ppm setelah 14 jam sejak botol dibuka pertama kali. Pada posisi botol dimiringkan, kadar oksigen terlarut dalam botol air minum mencapai > 80 ppm hanya sampai dua jam setelah botol dibuka. Setelah
empat jam botol dibuka, kandungannya menurun
drastis menjadi 44.4 ppm. Sedangkan pada kondisi botol yang dibuka dan ditutup selama 24 jam penurunan yang terjadi maksimum hanya 55.5 ppm dari jumlah awal oksigen terlarut. Bahkan setelah 24 jam tersebut, kandungan
57
oksigen terlarut masih berada di atas 80 ppm yang merupakan klaim kandungan minimum produk air minum penambah oksigen yang diuji. Pengukuran kadar oksigen terlarut di dalam botol air minum penambah oksigen dilakukan oleh Quality Control produsen R&K Beverages dengan menggunakan alat Orbisphere Analyzer (Oxygen meter) dengan sistem komputerisasi. Alat yang digunakan untuk mengukur kadar oksigen terlarut dalam botol dapat dilihat pada pada Gambar 5.
Gambar 5. Orbisphere Analyzer (Oxygen meter) (R&K Beverages) Penurunan jumlah oksigen terlarut tersebut merupakan hal yang wajar karena seperti diketahui bahwa oksigen berwujud gas yang sifatnya mudah menguap. Di samping itu adanya perbedaan sifat antara air dan oksigen, di mana molekul air yang bersifat polar, sedangkan oksigen yang bersifat non polar sehingga ikatan antara keduanya tidak cukup kuat yang mengakibatkan molekul oksigen mudah terurai dan menguap (Thomas, 2005). Meskipun oksigen bersifat non polar, namun oksigen dapat berikatan dengan air yang bersifat polar karena oksigen membentuk momen dipol listrik. Akan tetapi tetap saja ikatan yang terbentuk merupakan ikatan lemah sehingga oksigen mudah lepas. Dengan demikian untuk mengatasi oksigen yang tidak terserap dengan baik maka didapatkan cara mengkonsumsi air minum penambah oksigen ini dengan menggunakan sedotan dan diminum sekaligus sampai habis saat itu 58
juga. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan jumlah oksigen terlarut yang masuk ke dalam tubuh sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh oksigen tersebut terhadap jumlah limfosit manusia yang berpengaruh kepada keamanan mengkonsumsi air minum penambah oksigen bagi manusia.
B. Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen Selama perlakuan berlangsung terhadap semua responden mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, diberikan asupan makanan dan air minum penambah oksigen masing-masing dua botol (1 botol berisi 385 ml) setiap hari selama 12 hari. Penyeragaman terhadap responden dilakukan semaksimal mungkin untuk menghindari terjadinya bias antara responden yang satu dengan yang lainnya selama perlakuan. Sebelum dilakukan intervensi, semua responden dikumpulkan terlebih dahulu dan diberikan pengarahan mengenai segala hal yang berkaitan dengan penelitian ini, termasuk yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh responden. Konsumsi makanan berusaha untuk diseragamkan pada saat sarapan dan makan siang yang dilakukan di lingkungan kampus diikuti dengan proses intervensi blind sample air minum penambah oksigen. Mengingat subjek penelitian merupakan mahasiswa yang tidak tinggal pada tempat yang sama, sehingga untuk makan malam diberikan kebebasan dengan tidak menetapkan jenis makanan yang sama untuk responden. Pembatasan juga diberlakukan terhadap aktivitas harian masingmasing responden. Mereka diperbolehkan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan
kepentingan
dan
kewajiban
masing-masing,
namun
tidak
diperkenankan untuk merokok, minum alkohol, melakukan aktivitas fisik terlalu berat atau maksimal, ataupun berjaga tidak tidur sampai larut malam (begadang). Oleh karena seluruh responden merupakan mahasiswa, maka aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan didominasi oleh kegiatan di kampus yang secara umum tergolong pada pekerjaan ringan sampai menengah yang tidak terlalu mengeluarkan banyak energi.
59
Berbagai ketentuan tersebut sesuai dengan isi surat perjanjian atau MoU (Memorandum of Understanding) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu penulis selaku peneliti dan pihak responden sebagai subjek penelitian ini. Dengan adanya surat perjanjian, maka responden memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti prosedur yang ditetapkan selama intervensi berlangsung, yaitu selama 12 hari.
C. Keadaan Umum Responden Jumlah responden secara keseluruhan adalah 25 orang. Mereka terdiri 15 orang pria dan 10 orang wanita dengan usia antara 21-24 tahun. Semua responden merupakan mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB yang sedang menyelesaikan tugas akhir pada tahun 2005. Para responden tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok 1 sebagai kontrol yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 10 ppm, kelompok 2 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm, dan kelompok 3 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm. Sebelum dilakukan intervensi sampel uji, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan klinis serta pengukuran antropometri oleh seorang dokter umum terhadap masing-masing responden. Pemeriksaan klinis yang dilakukan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik organ luar, seperti mata, lidah, telinga, dan denyut jantung, pemeriksaan laju pernafasan, pengukuran tekanan darah, pengukuran suhu tubuh, serta wawancara riwayat kesehatan masing-masing responden. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan responden dalam kondisi sehat jasmani dan tidak menderita penyakit apapun.
D. Analisis Proliferasi Sel Limfosit B dan Limfosit T Manusia Limfosit merupakan salah satu sel imun dari kelompok sel darah putih yang bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh manusia untuk melawan penyakit. Aktivitas sel imun secara umum dapat dilihat pada Lampiran 9. Sel limfosit memiliki peranan penting dalam proses respon imun spesifik karena
60
dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraseluler maupun ekstraseluler, seperti antigen di dalam darah atau di dalam cairan tubuh lainya. Fungsi utama limfosit adalah memberikan respon terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Paul, 2008). Proliferasi merupakan salah satu bentuk aktivitas sel hidup. Pada sel limfosit, proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respon proliferatif secara in vitro yang dapat menggambarkan fungsi limfosit serta status imun suatu individu. Kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Jika sel limfosit dikultur dengan penambahan mitogen, maka limfosit akan akan memberikan respon dengan cara berproliferasi (memperbanyak diri). Pengukuran jumlah proliferasi sel limfosit manusia yang dilakukan di dalam penelitian ini untuk mengetahui kemungkinan radikal bebas yang terbentuk oleh oksigen dari air minum penambah oksigen dapat menghambat proses proliferasi sel limfosit B dan T manusia. Jika proliferasi limfosit terhambat maka jumlah sel limfosit di dalam tubuh akan menurun. Hal tersebut akan menyebabkan terganggunya respon imun spesifik, yang dilakukan oleh sel limfosit B dan T sehingga akan mempengaruhi keseimbangan fungsi kerja sistem imun secara keseluruhan. Gangguan sistem imun dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang di mana tubuh akan menjadi sangat rentan terhadap penyakit dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Harris, 1991). Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kemungkinan dampak negatif yang timbul dari konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur terhadap sel limfosit B dan T yang berperan dalam respon imun spesifik. Pengukuran proliferasi dilakukan dengan metode kolorometri MTT yang menggunakan indeks stimulasi sebagai indikator jumlah sel hidup. Metode ini sudah banyak digunakan untuk mengukur proliferasi sel, termasuk sel limfosit. Menurut Freimoser et al., (1999), metode ini cukup akurat dibandingkan metode konvensional yang menggunakan pewarna tryphan blue
61
untuk mengukur proliferasi sel limfosit. Prinsip metode ini adalah dengan mengukur produk akhir biru formazan akibat adanya aktivitas enzim suksinat dehidrogenase yang mereduksi MTT (garam tetrazolium) yang berwarna kuning.
a. Proliferasi Sel Limfosit B Limfosit B yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Antibodi yang dihasilkan digunakan untuk melawan antigen (senyawa asing), berupa bakteri dan senyawa toksin yang masuk ke dalam tubuh. Sel limfosit B dapat berproliferasi secara in vitro dengan baik dengan adanya mitogen lipopolisakarida (LPS) bakteri Gram negatif atau mitogen pokeweed (PWM). Mitogen ini merupakan substansi kimia yang secara umum dapat berupa protein atau lektin yang dapat menstimulasi pembelahan sel secara mitosis. Menurut Harris (1991), LPS merupakan mitogen yang spesifik mampu menstimulasi sel B saja tetapi tidak bersifat mitogenik pada sel T, sedangkan PWM dapat digunakan untuk menstimulasi sel B maupun sel T. Di dalam penelitian ini digunakan mitogen LPS Salmonella Typhosa untuk menstimulasi aktivitas proliferasi sel limfosit B. Pada umumnya beberapa jenis lipopolisakarida bakteri Gram negatif dapat digunakan untuk menstimulir proliferasi sel limfosit B, seperti LPS E. coli, LPS S. Typhi, dan LPS S. Typhosa. Mitogen LPS memiliki efek imunogenik yang mampu menstimulasi aktivitas proliferasi sel limfosit B meskipun dalam dosis yang kecil (Snow, 1991). LPS atau lipopolisakarida merupakan komponen penyusun dinding sel bakteri Gram negatif yang mampu menginduksi aktivitas proliferasi sel makrofag dan sel B. Prinsip kerja mitogen adalah menginduksi sintesis DNA sel limfosit B, merangsang aktivitas perbanyakan diri, serta menstimulir sintesis antibodi yang dihasilkan oleh sel B Setelah sel B limfosit terpapar oleh mitogen LPS, maka terjadi perkembangan menjadi dua jalur. Jalur pertama, limfosit akan langsung
62
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan membentuk antibodi (Ig) yang berfungsi sebagai respon imun, kemudian sel akan membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel B memori. Jalur berikutnya, rangsangan mitogen akan membuat sel B memori yang sedang beristirahat menjadi aktif yang menandakan sel B melakukan respon proliferasi menjadi sel plasma dan mensekresikan Ig spesifik (Harris, 1991) Pada penelitian konsentrasi mitogen LPS Salmonella Typhosa yang digunakan 25 μg/ml yang ditambahkan sebanyak 80 μl ke dalam kultur sel yang berarti setiap kultur sel mengandung 10 μg/ml. Hal tersebut berdasarkan yang dikatakan oleh Snow (1991) bahwa penggunaan mitogen LPS Salmonella Typhosa sebanyak 10 μg/ml dapat menunjukkan aktivitas proliferasi sel limfosit B enam kali lebih banyak daripada sel limfosit normal. Jadi konsentrasi tersebut cukup untuk melihat aktivitas proliferasi sel B. Penggunaan konsentrasi mitogen yang lebih tinggi akan semakin meningkatkan aktivitas proliferasi sel B. Oleh karena itu konsentrasi mitogen sebanyak 10 μg/ml kultur sel banyak digunakan dalam berbagai penelitian untuk menguji pengaruh suatu zat atau bahan (seperti zat yang bersifat antioksidan) terhadap aktivitas proliferasi sel limfosit B, baik pada hewan percobaan atau pada manusia. Pengujian proliferasi sel limfosit B ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang dapat timbul dari konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur terhadap sistem imun spesifik, terutama respon imun humoral yang dijalankan oleh sel B. Di samping itu untuk membuktikan kemungkinan radikal bebas yang dapat terbentuk karena konsumsi air minum penambah oksigen yang dapat merusak atau tidak sel-sel tubuh, termasuk di dalamnya sel limfosit yang berperan sebagai garda utama sistem imun manusia. Kemungkinan kerusakan sel limfosit akan mempengaruhi status imun seseorang sehingga tubuh menjadi sangat rentan terhadap penyakit.
63
b. Nilai Indeks Simulasi Proliferasi Sel Limfosit B Analisis proliferasi limfosit sel B dilakukan dengan menggunakan metode pewarnaan MTT. Semua sel hidup termasuk sel limfosit memiliki enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan senyawa MTT untuk menghasilkan kristal formazan yang berwarna biru. Kristal formazan ini merupakan indikator jumlah sel hidup, dalam hal ini sel limfosit hidup. Pengukuran kristal formazan dilakukan menggunakan microplate reader dengan mengukur nilai absorbansinya. Semakin tinggi nilai absorbansi maka semakin tinggi pula nilai indeks stimulasinya yang menandakan jumlah sel hidup limfosit pun semakin banyak dan semakin tinggi aktivitasnya (Liu et al., 1997). Indeks stimulasi dengan metode MTT merupakan rasio atau perbandingan antara banyaknya jumlah formazan yang diserap oleh sel yang dikultur dengan media pertumbuhan sel yang berisi mitogen atau antigen terhadap jumlah formazan yang diserap oleh sel yang dikultur dengan media pertumbuhan saja. Dari nilai IS proliferasi sel limfosit B sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen terlihat bahwa semua perlakuan, baik kelompok 1 (10 ppm), kelompok 2 (80 ppm), serta kelompok 3 (130 ppm) menunjukkan peningkatan nilai IS. Data lengkap nilai IS proliferasi sel B kelompok 1 dapat dilihat pada Lampiran 10, sedangkan nilai IS rata-ratanya dapat dilihat pada Lampiran 11. Nilai IS proliferasi sel B awal sebelum intervensi pada responden kelompok 1 (konsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm) berkisar antara 0.834-1.145, sedangkan setelah intervensi nilai IS akhir proliferasi sel B berkisar antara 0.943-1.432. Hubungan nilai indeks stimulasi proliferasi sel B sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 1 dapat dilihat pada Gambar 6.
64
Gambar 6. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S. Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 10 ppm kelompok 1 Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired Samples T-Test dengan membandingkan nilai IS awal dan akhir responden kelompok 1 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm menunjukkan nilai IS awal rata-rata proliferasi sel B kelompok 1 sebesar 0.986 dan nilai IS akhir rata-rata setelah intervensi meningkat secara nyata (p<0.05) menjadi 1.179. Selisih nilai indeks rata-rata awal dan akhir intervensi sebesar
0.193.
Hasil
statistiknya
disajikan
lebih
lengkap
pada
Lampiran 16. Peningkatan jumlah proliferasi sel B responden kelompok 1 pada akhir intervensi memiliki arti bahwa konsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm ini signifikan dalam meningkatkan jumlah proliferasi sel limfosit B. Aktivitas proliferasi sel limfosit B yang meningkat tersebut merupakan hal yang wajar di mana responden kelompok 1 mengkonsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm yang tidak lain adalah air minum biasa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya air minum biasa sama halnya seperti air minum dalam kemasan pada suhu ruang memiliki kandungan oksigen sekitar 7-12 mg/l. Peningkatan proliferasi yang terjadi lebih dipengaruhi oleh status kesehatan responden. Pada kondisi normal, di
65
mana asupan makanan dan minuman seimbang, baik dari segi kualitas dan kuantitas, serta kondisi tubuh yang fit dan sehat, proliferasi sel limfosit akan berjalan dengan baik dan normal. Responden yang menjalankan pola makan yang sehat, contohnya mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang mengandung antioksidan dalam jumlah yang cukup, dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit. Di samping itu, kegiatan dan kebiasaan responden sehari-hari pun akan berpengaruh terhadap proliferasi limfosit. Misalkan responden yang melakukan aktivitas fisik yang berat serta pola hidup yang tidak sehat cenderung akan menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak sel-sel tubuh, termasuk sel limfosit. Pada responden kelompok 2 (konsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm), di dapatkan hasil bahwa nilai IS proliferasi sel B awal sebelum intervensi berkisar antara 0.712-1.155. Sedangkan nilai IS akhir proliferasi sel B setelah intervensi berkisar antara 0.936-1.147. Histogram nilai indeks stimulasi proliferasi sel B sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 2 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S. Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 80 ppm kelompok 2
66
Nilai IS awal rata-rata proliferasi sel limfosit B pada responden kelompok 2 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm adalah 0.954 dan meningkat menjadi 1.038 setelah intervensi. Dari hasil tersebut didapatkan nilai IS akhir rata-rata lebih tinggi dari nilai IS ratarata awal dan terdapat selisih sebesar 0.084. Data lengkap nilai IS proliferasi sel B kelompok 2 sebelum dan setelah intervensi dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan nilai IS rata-ratanya dapat dilihat pada Lampiran 13. Uji
sidik
ragam
menggunakan
Paired
Samples
T-Test
menunjukkan hasil bahwa nilai IS rata-rata pada responden kelompok 2 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm tidak signifikan (p>0.05) antara sebelum dan sesudah intervensi. Hal tersebut menandakan bahwa jumlah proliferasi sel limfosit B antara sebelum perlakuan dan sesudah mengalami perlakuan tidak berbeda nyata. Keadaan ini dapat diartikan bahwa mengkonsumsi air minum penambah oksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 80 ppm tidak menurunkan proliferasi sel limfosit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa air minum penambah oksigen 80 ppm aman untuk dikonsumsi secara teratur dan tidak terbukti menurukan jumlah sel limfosit B sebagai salah satu sel imun manusia. Untuk hasil uji sidik ragam lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil analisis ini melengkapi penelitian yang dilakukan oleh Fitriany (2005) yang menyatakan bahwa konsumsi air minum penambah oksigen tidak menyebabkan terjadinya kerusakan DNA pada sel limfosit manusia dan tikus. Begitu juga dengan hasil penelitian Speit et al. (2002) yang mengatakan bahwa oxygenated water tidak menyebabkan efek genotoksik pada sel V79 Chinese hamster yang diuji menggunakan metode alkaline comet assay (single cell gel electrophoresis). Perlakuan pada kelompok 3 menggambarkan bahwa responden mengkonsumsi air minum penambah oksigen pada konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi, yaitu 130 ppm sebanyak dua kali sehari selama 12 hari. Hasil pengukuran menggunakan metode MTT didapatkan bahwa
67
terjadi peningkatan nilai IS sesudah intervensi dibandingkan dengan nilai IS sebelum intervensi. Nilai IS proliferasi sel B awal sebelum intervensi pada responden kelompok 3 (konsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm) berkisar antara 0.899-1.240, sedangkan setelah intervensi nilai IS akhir proliferasi sel B berkisar antara 0.954-1.274. Data lengkap nilai IS serta nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 3 sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada Lampiran 14 dan Lampiran 15. Sedangkan histogram hubungan nilai indeks stimulasi proliferasi sel B sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 3 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel B yang dikultur dengan LPS S. Typhosa sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 130 ppm kelompok 3 Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired Samples T-Test dengan membandingkan nilai IS awal dan akhir responden kelompok 3 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm menunjukkan nilai IS awal rata-rata proliferasi sel B kelompok 1 sebesar 1.030 dan nilai IS akhir rata-rata setelah intervensi meningkat secara tidak nyata (p>0.05) menjadi 1.094. Selisih nilai indeks rata-rata awal dan akhir intervensi kelompok 3 sebesar 0.064. Hasil statistiknya disajikan lebih lengkap pada
68
Lampiran 18. Hasil analisis ini membuktikan bahwa pada air minum penambah oksigen yang mengandung konsentrasi tinggi, yaitu 130 ppm yang dikonsumsi selama 12 hari kepada 10 orang responden tidak menghambat aktivitas proliferasi sel limfosit B manusia secara signifikan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa konsumsi air minum penambah oksigen (oxygenated
water)
terbukti
secara
nyata
mampu
meningkatkan
konsentrasi oksigen terlarut dalam darah. Forth dan Adam (2001) yang melakukan percobaan terhadap kelinci membuktikan bahwa terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen sebesar 10 mmHg pada pembuluh vena porta hepatica setelah mengkonsumsi oxygenated water 80 ppm. Kesimpulan lain yang didapat yaitu konsumsi air beroksigen dapat meningkatkan saturasi oksigen oleh hemoglobin sebesar 3% pada pembuluh periferi manusia (Jenkins et al., 2001). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa oksigen dalam air minum yang masuk melalui saluran pencernaan mampu diserap oleh usus sehingga dapat menambah suplai oksigen bagi aktivitas sel (Nestle et al., 2004). Berbagai penelitian tersebut semakin menguatkan fakta terhadap oxygenated water bahwa oksigen yang berasal dari air minum dan melalui saluran pencernaan dapat diserap oleh tubuh. Oksigen ini kemudian akan digunakan untuk proses metabolisme sel lebih lanjut dalam hal sintesis energi (ATP). Namun masih saja ada keraguan dari masyarakat umum mengenai keamanan konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur. Kekhawatiran yang timbul di mana oksigen dengan kadar berlebih di dalam tubuh malah akan merusak sel dan membahayakan bagi kesehatan manusia. Berdasarkan dari ketiga jenis perlakuan yang menggunakan sampel air minum penambah oksigen 10, 80, dan 130 ppm didapatkan hasil bahwa konsumsi air minum penambah oksigen ini tidak berpengaruh nyata menghambat atau menurunkan aktivitas proliferasi sel limfosit B manusia. Bahkan secara umum ketiga kelompok perlakuan tersebut menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah proliferasi sel limfosit B
69
manusia setelah intervensi yang ditandai dengan nilai IS rata-rata setelah konsumsi lebih tinggi dibandingkan nilai IS rata-rata sebelum konsumsi. Namun setelah diuji secara statistik kenaikan nilai IS tersebut ternyata tidak signifikan yang artinya konsumsi air minum penambah oksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 80 dan 130 ppm tidak berbeda dengan air minum biasa (konsentrasi oksigen terlarut 10 ppm) dalam hal menstimulasi proliferasi sel limfosit B. Hasil ini semakin memperkuat jawaban atas semua keraguan dan ketakutan terhadap kemungkinan oksigen yang dikonsumsi akan merusak sel imun, terutama sel limfosit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi air minum penambah oksigen 80 dan 130 ppm secara teratur terbukti tidak mengganggu aktivitas proliferasi sel limfosit B dan sistem kekebalan humoral manusia di dalam tubuh, mengingat sel limfosit B berperan dalam memproduksi antibodi yang digunakan untuk untuk menjaga sistem imun humoral di dalam tubuh (Cambier, 1987).
c. Proliferasi Sel Limfosit T Limfosit T mengambil peran dalam pengenalan antigen pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi.
Respon
imun
seluler
diperlukan
untuk
melawan
mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler yang tidak dapat dijangkau oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel B. Pada prinsipnya sel limfosit T bertugas untuk membantu aktivitas sel B untuk menjaga sistem imun di dalam tubuh. Sel limfosit T tidak mampu berdiferensiasi menjadi sel plasma seperti sel B, tetapi tumbuh menjadi sel yang mampu menghasilkan faktor yang merangsang reaksi perusakan seluler. Faktor-faktor tersebut adalah faktor penghambat migrasi (MIF atau Migration Inhibiting Factor), faktor sitotaktik (mencederai berbagai jenis sel), faktor interferon, serta faktor lainnya, seperti interleukin. Zat-zat ini sebagian akan dilepas pada saat terjadi interaksi antara limfosit T dengan antigen spesifik untuk menghancurkan sel asing (Harris, 1991).
70
Seperti halnya pada sel B, sel limfosit T pun dapat berproliferasi secara in vitro karena adanya interaksi dengan mitogen. Menurut Snow (1991), terdapat beberapa jenis mitogen yang mampu menstimulai pembelahan sel T, yaitu pokeweed (PWM), fitohemaglutinin (PHA), dan concanavalin A (Con A). Pada penelitian ini digunakan mitogen Con A untuk mengetahui efek konsumsi air minum penambah oksigen terhadap proliferasi sel T manusia. Mitogen ini dapat merangsang terjadinya transformasi blast subpopulasi sel limfosit T. Apabila suatu mitogen menyentuh dan merangsang aktifitas limfosit T maka akan terbentuk kekebalan seluler di dalam tubuh.
d. Nilai Indeks Simulasi Proliferasi Sel Limfosit T Aktivitas sel T dalam berproliferasi (berkembang biak), seperti halnya aktivitas sel B pun dapat diukur dengan menggunakan indeks stimulasi (SI). Indikasi aktivitas proliferasi sel T dapat diukur dengan menggunakan metode pewarnaan MTT dengan membandingkan nilai absorbansi kultur sel yang diberi mitogen dengan kultur sel yang hanya berisi media pertumbuhan saja. Dari nilai tersebut dapat diketahui pengaruh konsumsi air minum penambah oksigen terhadap proliferasi sel limfosit T dengan mengukur nilai indeks stimulasi sebelum dan sesudah intervensi. Berdasarkan
hasil
pengukuran
terhadap
sel
limfosit
T
menggunakan mitogen Con A, nilai IS proliferasi sel T awal sebelum intervensi pada responden kelompok 1 (konsumsi air minum penambah oksigen 10 ppm) berkisar antara 0.886-1.223, sedangkan setelah intervensi nilai IS akhir proliferasi sel T berkisar antara 0.873-1.308. Data lengkap nilai IS dan nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 1 sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada Lampiran 19 dan Lampiran 20. Hubungan nilai indeks stimulasi proliferasi sel limfosit T sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 1 dapat dilihat pada Gambar 9.
71
Gambar 9. Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 10 ppm kelompok 1 Analisis sidik ragam menggunakan Paired Samples T-Test menunjukkan bahwa nilai IS awal rata-rata proliferasi sel limfosit T kelompok 1 sebesar 1.002 dan nilai IS akhir rata-rata setelah intervensi meningkat secara tidak nyata (p>0.05) menjadi 1.086. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan selisih nilai indeks rata-rata awal dan akhir intervensi sebesar 0.084. Kenaikan nilai IS rata-rata yang diukur memiliki arti bahwa aktivitas proliferasi sel limfosit T berjalan secara normal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi kesehatan tubuh yang normal, sistem imun manusia akan bekerja dengan normal pula. Hasil uji sidik ragam secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 25. Pada responden kelompok 2 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm didapatkan nilai IS proliferasi sel T awal sebelum intervensi berkisar antara 0.778-1.339, sedangkan setelah intervensi nilai IS akhir proliferasi sel T berkisar antara 0.937-1.057. Histogram hubungan nilai indeks stimulasi proliferasi sel limfosit T sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 2 dapat dilihat pada Gambar 10.
72
Gambar 10.Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 80 ppm kelompok 2 Nilai IS awal rata-rata proliferasi sel limfosit T pada responden kelompok 2 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 80 ppm adalah 0.996 dan meningkat menjadi 1.004 setelah intervensi. Dari hasil tersebut didapatkan nilai IS akhir rata-rata lebih tinggi dari nilai IS ratarata awal dan terdapat selisih sebesar 0.008. Data lengkap nilai IS proliferasi sel T kelompok 2 sebelum dan setelah intervensi dapat dilihat pada Lampiran 21, sedangkan nilai IS rata-ratanya dapat dilihat pada Lampiran 22. Berdasarkan uji statistik menggunakan T-Test paired sample didapatkan hasil bahwa nilai indeks stimulasi proliferasi sel limfosit T reponden kelompok 2 yang diukur setelah 12 hari intervensi tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap nilai indeks stimulasi sebelum intervensi. Hasil tersebut menegaskan bahwa konsumsi air minum penambah oksigen konsentrasi 80 ppm tidak menghambat aktivitas proliferasi sel limfosit T pada responden manusia. Hasil uji statistik secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 26. Pada responden kelompok 3 yang mengkonsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm didapatkan nilai IS proliferasi sel T awal
73
sebelum intervensi berkisar antara 0.778-1.339, sedangkan setelah intervensi nilai IS akhir proliferasi sel T berkisar antara 0.937-1.057. Histogram hubungan nilai indeks stimulasi proliferasi sel limfosit T sebelum dan sesudah intervensi pada responden kelompok 3 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11.Histogram hubungan nilai IS proliferasi sel T yang dikultur dengan Con A sebelum dan sesudah intervensi air minum penambah oksigen 130 ppm kelompok 3 Hasil penghitungan nilai indeks stimulasi rata-rata proliferasi sel limfosit T pada responden kelompok 3 sebelum dan setelah intervensi adalah 1.008 dan 1.026. Terdapat sedikit peningkatan nilai IS rata-rata setelah intervensi dibandingkan sebelum intervesi sebesar 0.018. Data yang menyajikan nilai IS sebelum dan sesudah intervensi beserta rata-rata IS proliferasi sel T pada konsumsi air minum penambah oksigen konsentrasi 130 ppm, berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 23. dan Lampiran 24. Uji statistik dengan T-Test paired sample menunjukkan hasil bahwa tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara nilai indeks stimulasi sel limfosit T yang diukur setelah 12 hari intervensi dengan nilai indeks stimulasi sebelum intervensi pada responden kelompok 3. Hal ini
74
semakin menegaskan bahwa mengkonsumsi air minum penambah oksigen konsentrasi tinggi 130 ppm tidak menghambat aktivitas proliferasi sel limfosit T pada manusia. Seperti pada pengukuran yang dilakukan sebelumnya terhadap kontrol air minum biasa yang mengandung 10 ppm oksigen terlarut dan air minum penambah oksigen 80 ppm, ternyata konsumsi air minum penambah oksigen 130 ppm dengan konsentrasi oksigen terlarut tinggi pun terbukti tidak mengganggu reaksi proliferasi sel limfosit T manusia. Hasil analisis Paired Samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 3 ini dapat dilihat pada Lampiran 27. Dari pengujian terhadap ketiga perlakuan air minum penambah oksigen konsentrasi 10, 80, dan 130 ppm didapatkan hasil positif yang semakin meyakinkan bahwa ternyata mengkonsumsi air minum penambah oksigen layak dan aman, serta tidak perlu dikhawatirkan dapat merusak sel-sel tubuh, terutama sel limfosit yang berperan menjaga sistem imun pada manusia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak negatif yang dapat timbul seiring dengan konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur. Konsumsi air minum penambah oksigen dikhawatirkan dapat mengganggu kerja sistem kekebalan tubuh seluler, termasuk di dalamnya aktivitas proliferasi sel limfosit T. Oksigen yang masuk melalui saluran pencernaan ditengarai mampu membentuk radikal bebas yang sifatnya radikal sehingga dapat merusak sel-sel limfosit yang berfungsi sebagai sistem pertahanan utama tubuh terhadap penyakit. Oksigen yang dikhawatirkan menjadi radikal bebas yang dapat merusak sel limfosit B dan T tidak terbukti. Hal ini dijelaskan dalam penelitian
yang
dilakukan
Schoenberg
et
al.
(2002)
mengenai
terbentuknya radikal oksigen setelah mengkonsumsi air minum beroksigen secara teratur selama 21 hari atau 3 minggu. Schoenberg et al. (2002) mengatakan setelah konsumsi air minum beroksigen 30 ppm dapat dideteksi adanya pembentukan senyawa askorbil. Pada konsentrasi oksigen yang lebih tinggi ternyata tidak meningkatkan pembentukan radikal askorbil tersebut secara signifikan. Pembentukan radikal askorbil
75
tertinggi terjadi pada 30-60 menit setelah konsumsi. Setelah 1 jam, konsentrasi radikal askorbil akan menurun kembali menjadi normal. Konsumsi 3 kali sehari air minum beroksigen dengan konsentrasi oksigen terlarut 59.5 ± 5.1 ppm sebanyak 300 ml selama 21 hari (3 minggu) dapat menaikkan radikal askorbil basal. Akan tetapi peningkatan radikal askoril yang terjadi tidak signifikan setelah 30 menit konsumsi. Selama 21 hari mengkonsumsi air minum beroksigen, ternyata tidak meningkatkan pembentukan radikal askorbil sebagai senyawa radikal bebas yang dapat merusak sel tubuh. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena selama mengkonsumsi air beroksigen secara teratur, tubuh akan secara otomatis beradaptasi terhadap senyawa radikal yang terbentuk. Salah satu proses adaptasi yang dilakukan tubuh adalah dengan keberadaan sistem pertahanan tubuh alami berupa produksi enzim-enzim antioksidan, seperti enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH), dan katalase yang berperan untuk menangkal atau menetralisir radikal bebas di dalam tubuh. Pada kondisi stress oksidatif, di mana jumlah radikal bebas yang terbentuk lebih banyak dibandingkan dengan antioksidan primer, maka dibutuhkan antioksidan eksogen yang disuplai dari makanan sehari-hari yang membantu aktivitas kerja enzim antioksidan. Peranan makanan yang kaya akan zat-zat antioksidan, meliputi flavonoid, karotenoid, vitamin E, vitamin C, selenium, seng, dan glutation sangat mempengaruhi proliferasi sel limfosit B dan T dalam tubuh. Hal ini disebabkan kemungkinan terbentuknya radikal bebas dari oksigen terlarut yang masuk ke dalam tubuh yang dapat mengganggu bahkan merusak sel limfosit akan dinetralisir oleh antioksidan tersebut (Winarsi, 2007). Kemungkinan lain, seperti penggunaan oksigen secara langsung sehingga dapat digunakan untuk membantu proses metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh aktivitas yang sedang dilakukan oleh masing-masing responden, semakin banyak dan semakin berat aktivitas yang dilakukan maka akan semakin banyak pula energi yang dibutuhkan. Oksigen merupakan salah satu unsur penting
76
dalam proses metabolisme tubuh sehingga oksigen yang masuk akan langsung digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Dengan kondisi tersebut semakin sedikit kemungkinan keberadaan oksigen yang dapat menjadi radikal bebas sehingga mampu merusak sel limfosit. Penelitian yang dilakukan oleh Yoseph (2005) menunjukkan bahwa air minum beroksigen tinggi tidak meningkatkan kadar malonaldehida dalam darah pada tikus karena tidak memicu terjadinya oksidasi lipida tubuh sehingga air minum ini aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian lain yang mendukung keamanan air minum penambah oksigen ini adalah tidak terjadi migrasi atau kerusakan DNA secara signifikan pada sel limfosit manusia dan tikus yang diberi perlakuan konsumsi air minum penambah oksigen (Fitriany, 2005). Gruber et al. (2005) pada penelitiannya mendapatkan hasil positif terhadap manfaat air minum beroksigen di mana ternyata konsumsi oxygenated water dalam jangka panjang tidak menimbulkan efek yang berbahaya terhadap jumlah darah secara keseluruhan (hemoglobin dan hematokrit), enzim-enzim yang bekerja di dalam hati, dan terhadap sistem imun. Pengujian terhadap sistem imun menunjukkan bahwa oxygenated water mampu meningkatkan produksi reseptor IL-2, CD4+ yang berperan dalam aktivasi proses pembelahan dan diferensiasi sel B, aktivitas sitolitik sel NK, aktivitas fagositik pada makrofag, serta aktivasi sel Th untuk membantu kerja sel B memproduksi antibodi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata oxygenated water mampu menstimulir sistem imun di dalam tubuh. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Jenkins et al. (2001) yang menyatakan bahwa air beroksigen dapat meningkatkan saturasi oksigen oleh hemoglobin sebesar 3% pada pembuluh darah periferi responden yang mengkonsumsinya. Hasil penelitian terhadap proliferasi sel limfosit ini semakin menegaskan bahwa mengkonsumsi air minum penambah oksigen secara teratur tidak menyebabkan terbentuknya radikal bebas berbahaya yang dapat merusak sel tubuh, termasuk sel imun yang meliputi sel limfosit B dan sel limfosit T. Produk air minum penambah oksigen dengan
77
konsentrasi oksigen 80 dan 130 ppm ternyata memberikan hasil yang sama dengan air minum biasa, yaitu aman untuk dikonsumsi. Keamanan tersebut dapat dilihat dari aktivitas proliferasi sel limfosit B dan T pada manusia yang berjalan secara normal dan tidak menghambat sistem imun spesifik tubuh secara umum.
78
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil penelitian analisis proliferasi sel limfosit B manusia menunjukkan bahwa pada responden kelompok 1 (10 ppm), kelompok 2 (80 ppm), dan kelompok 3 (130 ppm) terlihat peningkatan nilai IS rata-rata setelah 12 hari intervensi, yaitu masing-masing 0.193; 0.084, dan 0.064. Uji statistik pada taraf 0.05 (p<0.05) menggunakan Paired Samples T-Test menunjukkan bahwa pada kelompok 1 terjadi kenaikkan secara signifikan dari nilai IS sebelum dan sesudah konsumsi. Sedangkan pada kelompok 2 dan 3 kenaikkan yang terjadi antara nilai IS sebelum dan sesudah intervensi tidak signifikan (p>0.05) terhadap proliferasi sel limfosit B manusia berdasarkan uji sidik ragam Paired Samples T-Test. Pada analisis proliferasi sel limfosit T, nilai IS rata-rata setelah 12 hari intervensi kelompok 1, 2, dan 3 menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 0.084; 0.008; dan 0.018. Uji sidik ragam menggunakan Paired Samples T-Test pada taraf uji 0.05 (p>0.05) memperlihatkan hasil, yaitu konsumsi air minum penambah oksigen konsentrasi 10, 80, dan 130 ppm tidak berpengaruh secara nyata terhadap proliferasi sel limfosit T manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi air minum penambah oksigen tidak menstimulasi proliferasi serta tidak menurunkan jumlah sel hidup limfosit B dan limfosit T manusia. Hal ini memperkuat fakta bahwa air minum penambah oksigen aman untuk dikonsumsi secara teratur.
B. Saran Untuk melengkapi hasil penelitian yang telah ada, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan terperinci mengenai analisis pengukuran radikal bebas yang terbentuk akibat konsumsi air minum penambah oksigen secara teratur. Di samping itu, perlu juga dilakukan kajian lebih lanjut terutama terhadap manusia yang mengalami gangguan pernapasan mengenai efektivitas konsumsi oxygenated water sebagai cara alternatif untuk mengatasi gejala kekurangan oksigen atau hipoksia.
79
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Glycolysis and Krebs Cycle. http://www.vincentimbe.files. wordpress.com/2007/11/krebs-cycle.jpg. [12 Juli 2008]. ______2008a. Human Physiology: Digestive System. http://www.colorado.edu/ intphys/Class/IPHY3430200/020digestion.htm. [12 Juli 2008]. ______. 2008b. Cellular Processes: Cellular Respiration Overview. http://www.library.thinkquest.org/C004535/respiration_overview.html. [24 Agustus 2008]. ______. 2008c. Human Immune System. http://www.library.thinkquest.org/03oct/ 01254/images/immune_system.jpg. [4 Desember 2008]. Bain, B.J. 2006. Haemoglobinopathy Diagnosis, 2nd Edition. Blackwell Publishing Inc., Massachusetts. Baskin, S.I. dan Salem, H. 1997. Oxidants, Antioxidants, and Free Radicals. Taylor and Francis, Washington. Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry, 2nd Edition. Springer-Verlag, Berlin. Billiar, T.R. dan Curran R.D. 1992. Hepatocyte and Kupffer Cell Interactions. CRC Press Inc., Florida. Cambier, J.C. 1987. B-Lymphocyte Differentiation. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida. Congdon, L. 2006. Biochemistry : Cytochrome C Oxidase. http://www.biochem. arizona.edu/classes/bioc462/462bh2008/462bhonorsprojects/462bhonors 2006/congdonl/Website/f_j13electtrans.jpg. [12 Juli 2008]. Davies, A. dan Moores, C. 2003. The Respiratory System. Elsevier Science Ltd., London. Delves, P.J., Roitt, I.M., Martin, S.J., dan Burton D. 2006. Roitt’s Essential Immunology. Blackwell Publishing Inc., Massachusetts. Eagleson, M. 2008. Concise Encyclopedia Chemistry. Walter de Gruyter, Berlin and New York. Eurell, J.A.C. 2004. Veterinary Histology. Teton NewMedia, Wyoming. Fisher, D., Francis, G.E., dan Rickwood, D. 1998. Cell Separation : A Practical Approach. Oxford University Press, Inc., New York.
80
Fitriany, G. 2005. Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen Tidak Menyebabkan Kerusakan DNA pada Sel Limfosit Tikus dan Manusia. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Five, B. 2001. The Detox Book, 2nd Edition. Piccadilly Books Ltd., Colorado. Forth, W. dan Adam, O. 2001. Uptake of Oxygen from the Intestine Experiments with Rabbits. European Journal of Medical Research Vol. 6: 488-492. Freimoser, F.M., Jakob, C.A., Aebi, M., dan Tuor, U. 1999. The MTT [3-(4,5Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-Diphenyltetrazolium Bromide] Assay is a Fast and Reliable Method for Colorimetric Determination of Fungal Cell Densities. Applied and Environmental Microbiology vol. 65 (8): 37273729. Freshney, I.R. 1994. Culture of Animal Cell, 3rd Edition. John Willey and Sons Company, New York. Ganong, W. F. 1990. Fisiologi Kedokteran. Terjemahan. Penerbit EGC, Jakarta. Gruber, R., Axmann S., dan Schoenberg M.H. 2005. The Influence of Oxygenated Water on The Immune Status, Liver Enzymes, and The Generation of Oxygen Radicals: A Prospective, Randomised, Blinded Clinical Study. Journal Clinical Nutrition vol. 24 (3): 407-414. Gurskaya, N.V. dan Ivanov, K.P. 1961. Gaseous Equilibrium between Blood and the Lumen of the Intestine. Bulletin of Experimental Biology and Medicine vol. 50 (3):910-912. Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology, 10th Edition. W. B. Saunders Company, London. Halliwell, B., Gutteride, J.M.C., dan Cross, C.E. 1992. Free Radicals, Antioxidants and Human Disease: Where are We Now. Journal Laboratory Clinical Medical vol. 119 (6): 598-620. Harris, D. 2007. Ensiklopedi Unsur-Unsur Kimia. Edisi Kedua. Penerbit Kawan Pustaka, Jakarta. Harris, J. R. 1991. Blood Cell Biochemistry Volume 3 : Lymphocytes and Granulocytes. Plenum Press, New York. Jenkins, A., Moreland, M., Waddell, T.B., dan Fernhall, B. 2001. Effect of Oxygenized Water on Percent Oxygen Saturation and Performance during Exercise. Medicine and Science in Sports and Exercise vol. 33 (5): S167.
81
Johnson, L.R. dan Byrne, J.H. 2003. Essential Medical Physiology. Academic Press, California. Kimball, J.W. 1990. Introduction to Immunology, 3rd Edition. Macmillan Publishing Company, Inc., New York. Kirchner, G. 2001. Self-Instructional on Glycolysis and Respiration: The Production of ATP from Glucose. http://www.vincentimbe.files. wordpress.com/2007/11/krebs-cycle.jpg. [12 Juli 2008]. Lehninger, A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan : Maggy Thenawijaya. Penerbit Erlangga, Jakarta. Levitzky, M.G. 2003. Pulmonary Physiology, 6th Edition. McGraw-Hill Companies Inc., Indiana. Liu, Y., Peterson, D.A., Kimura, H., dan Schubert, D. 1997. Mechanism of Cellular 3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-Diphenyltetrazolium Bromide (MTT) Reduction. Journal of Neurochemistry vol. 69 (2): 581-593. Malole, M.B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. McIver, M.A., Redfields, A.C. dan Benedict, E.B. 1928. Gaseous Exchange between the Blood and the Lumen of the Stomach and Intestines. American Journal Physiology vol. 76: 92-111. Mortimer, C.E.1975. Chemistry: A Conceptual Approach, 3rd Edition. D. Van Nostrand Co., New York. Mosmann, T. 1983. Rapid Colorimetric Assay for Cellular Growth and Survival: Application to Proliferation and Cytotoxicity Assays. Journal Immunology Methods vol. 65 (1-2): 55-63. Muskopf, S. 2006. The Biology Corner: Membrane Structure and Function. http://www.biologycorner.com/resources/simpdiff.jpg. [4 Agustus 2008]. Nestle, E., Wunderlich, A., dan Muessle-Kuegele, K. 2004. In vivo Observation of Oxygen Supersaturated Water in Human Mouth and Stomach. Magnetic Resonance Imaging vol. 22 (4): 551-556. Oxtoby, D.W., Gillis, H.P., Nachtrieb N.H., dan Campio, A. 2007. Principles of Modern Chemistry. Thomson Brooks/Cole Publisher, California. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar, Thomson Learnig, Inc., New York.
82
Paul, W.E. 2008. Fundamental Immunology. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Prosecus. 2006. Biosynth : Chemistry and Biology. http://www.biosynth.com/ index.asp?topic_id=214&g=19&m=285. [17 Desember 2008]. Purnama, L. 2004. Teknologi Produksi Air Beroksigen. Materi Presentasi dalam Diskusi Ilmiah Air Minum Penambah Oksigen. R&K Health Living dan FATETA IPB, Bogor. Rhoades, R.A. dan Bell, D.R. 2009. Medical Physiology. Lippincott Williams & Wilkins, Maryland. Roach, R.C., Wagner, P.D., dan Hackett, P.H. 2001. Hypoxia: From Genes to the Bedside. Plenum Publisher, New York. Roitt, I.M. 1971. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publications. Osney Mead, Oxford, London. Scheffler, I.E. 1999. Mitochondria. John Wiley and Sons Inc., New York. Schoenberg, M.H., Hierl, T.C., Zhao, J., Wohlgemuth, N., dan Nilsson, U.A. 2002. The Generation of Oxygen Radicals after Drinking of Oxygenated Water. European Journal Medical Research vol. 7: 109-116. Snow, E.C. 1991. T-Cell Dependent and Independent B-Cell Activation. CRC Press Inc., Florida. Sompayrac, L. 2003. How the Immune System Works. Blackwell Publishing, Massachusetts. Speit, G., P. Schutz, K. Trenz, dan A. Rothfuss. 2002. Oxygenated Water Does Not Induce Genotoxic Effects in the Comet Assay. Toxicology Letters vol. 133: 203-210. Srigandono, B dan K. Praseno. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Supari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Prosiding Seminar Radikal Bebas dan Sistem Pangan, Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalannya. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Besar Perancis, Jakarta. Thomas, M. 2005. Understanding the Element of the Periodic Table Oxygen. The Rosen Publishing Group Inc., New York. Weissman, I.L., Hood L.E., dan Wood, W.B. 1978. Essential Concepts in Immunology. The Benjamin Cummings Publishing Co. Inc., California.
83
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Wong, N.H. dan Huang, B. 2004. Comparative Study of the Indoor Air Quality of Naturally Ventilated and Air-Conditioned Bedrooms of Residential Buildings in Singapore. Builing and Environment 39: 1115-1123. Yoseph, H.T. 2005. Kajian Keamanan dan Manfaat Air Minum Beroksigen Tinggi Ditinjau dari Profil Sel Darah Merah dan Tekanan Parsial Gas Darah. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Zakaria, F. R., Tan, M. I., dan Kadarsyah. 2005. Penyerapan Oksigen melalui Sistem Pencernaan dan Keamanannya. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zakaria, F. R. 2005. Air Minum Beroksigen Tinggi Aman untuk Dikonsumsi. Tulisan Ilmiah. R&K Beverages, Bogor.
84
85
Lampiran 1. Proses difusi pasif oksigen dan karbondioksida
Sumber : Muskopf (2008)
86
Lampiran 2. Proses katabolisme
Sumber: Anonim (2008b)
87
Lampiran 3. Proses glikolisis
Sumber: Kirchner (2001)
88
Lampiran 4. Siklus Krebs
Sumber: Anonim (2007)
89
Sumber: Congdon (2006)
Lampiran 5. Transpor elektron
90
Lampiran 6. Diagram alir produksi air minum penambah oksigen
Air Ļ Reservoir Ļ Sand Filter Ļ Karbon aktif Ļ Manganese Filter Ļ Filtrasi I Ļ Resesrve Osmosis 1 Ļ Tangki intermediate Ļ Filtrasi II Ļ Reserve Osmosis II Ļ Tangki Penampungan Ļ Oxygen Injection Ļ Pengisian (Filling) Ļ Air Minum Penambah Oksigen 80 ppm
Sumber: Quality Control R&K Beverages
91
Lampiran 7. Komposisi media RPMI-1640 Komponen Asam Amino Arginin Asparagin Asam aspartat Sistin Asam glutamat Glutamin Glisin Histidin Hidroksiprolin Isoleusin Leusin Lisin HCl Metionin Fenilalanin Prolin Serin Threonin Triptofan Tirosin Valin Vitamin D-Biotin D-Ca pantotenat Kolin klorida Asam folat I-inositol Nikotinamid Riboflavin Tiamin HCl Vitamin B12 Piridoksal HCl Asam p-aminobenzoat Garam Anorganik KCl MgSO4.7H2O NaCl NaHCO3 Na2HPO4 anhidrat Ca(NO3) 2.4H2O Lain-lain D-glukosa Fenol merah Glutation tereduksi
Konsentrasi (mg/l) 200 56.82 20 50 20 300 10 15 20 50 50 40 15 15 20 30 20 5 20 20 0.20 0.25 3 1 35 1 0.20 1 0.005 1 1 400 100 6000 2000 800 100 2000 5.30 1
92
Lampiran 8. Pengukuran kadar oksigen terlarut di dalam botol selama 24 jam Waktu
Kadar Oksigen Terlarut pada Perlakuan (ppm)
(jam)
Dibuka
Dimiringkan
Dibuka dan Ditutup
0
136.0
135.0
136.0
2
117.0
84.3
118.0
4
106.0
44.4
107.0
6
95.3
44.1
100.0
8
88.0
38.8
94.7
10
86.9
38.6
94.2
12
83.5
36.4
92.7
14
80.4
33.6
92.4
16
78.8
33.2
90.6
18
72.5
30.8
89.5
20
71.3
29.8
86.3
22
69.8
22.0
84.6
24
67.5
20.3
80.5
Sumber : Data sekunder Quality Control R&K Beverages
93
Lampiran 9. Skema aktivitas sistem imun
Sumber: Anonim (2008c)
94
1
Kel.
006
005
004
003
002
001
Kode Responden
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.623 2.692 2.555 2.489 2.483 3.365 2.964 2.937 2.874 2.974 2.721 1.892 2.270 2.227 2.690 2.401 2.269 2.305 2.600 2.047 2.542 2.295 2.383 2.587 2.268 2.203 2.938 2.523 2.419 2.212 1.145
0.937
0.960
0.834
0.873
0.974
IS Awal
Lampiran 10. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 1 Absorbansi Akhir 2.362 3.435 2.997 2.566 2.316 2.515 2.489 2.456 2.108 2.935 2.938 2.840 2.184 2.407 2.380 2.524 2.542 2.623 2.436 2.612 2.203 2.970 2.619 2.445 2.678
2.557
2.437
2.904
2.487
2.999
Rata-Rata Absorbansi Akhir
1.216
1.006
1.116
1.378
1.074
1.270
95
IS Akhir
008
007
Kode Responden
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 1.980 2.279 2.133 1.968 2.152 2.816 2.636 3.072 3.166 3.414
Kode Responden 001 002 003 004 005 006 007 008 Rata-rata
Nilai IS Awal 0.974 0.873 0.834 0.960 0.937 1.145 1.077 1.091 0.986
Nilai IS Akhir 1.270 1.074 1.378 1.116 1.006 1.216 1.432 0.943 1.179
Lampiran 11. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 1
1
Kel.
1.091
1.077
IS Awal
Lanjutan Lampiran 10. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 1 Absorbansi Akhir 1.980 2.767 2.884 2.854 2.816 3.051 2.372 2.546 2.656
2.835
Rata-Rata Absorbansi Akhir
0.943
1.432
96
IS Akhir
2
Kel.
017
016
015
014
013
012
011
Kode Responden
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.984 2.318 2.330 2.386 2.285 2.109 2.540 2.383 2.263 2.347 3.129 3.221 2.947 2.862 2.759 2.417 2.852 2.792 2.912 2.612 3.362 2.632 2.799 3.061 2.703 3.138 2.280 2.233 2.168 2.251 2.382 2.511 2.640 2.658 2.750 1.108
0.712
0.832
1.155
0.942
1.130
0.781
IS Awal
Lampiran 12. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 2 Absorbansi Akhir 2.987 3.329 3.337 2.816 2.778 2.640 2.826 3.103 2.868 3.500 3.294 3.077 2.586 2.399 2.362 2.502 2.311 2.739 2.537 2.443 3.151 3.249 3.525 3.129 3.201 3.120 2.940 2.937 2.999
3.201
2.573
2.421
3.290
2.856
3.161
Rata-Rata Absorbansi Akhir
0.937
1.048
1.113
0.936
1.147
1.028
1.058
97
IS Akhir
Kode Responden 011 012 013 014 015 016 017 Rata-rata
Nilai IS Awal 0.781 1.130 0.942 1.155 0.832 0.712 1.108 0.954
Nilai IS Akhir 1.058 1.028 1.147 0.936 1.113 1.048 0.937 1.038
Lampiran 13. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 2
98
3
Kel.
116
115
114
113
112
111
Kode Responden
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 3.103 2.502 2.791 2.522 3.349 1.957 2.456 2.426 2.428 2.405 2.555 2.440 2.924 3.182 3.150 2.219 2.410 2.328 2.573 2.000 2.473 2.312 2.335 2.382 2.311 2.063 2.202 2.033 1.974 1.923 0.986
0.944
1.049
1.144
1.240
0.899
IS Awal
Lampiran 14. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 3 Absorbansi Akhir 2.687 2.666 3.105 2.888 2.378 2.510 2.505 2.873 2.113 2.826 2.493 2.757 2.514 2.406 2.638 2.386 2.388 2.814 2.528 2.678 2.938 2.531 2.892 2.989 2.904
2.673
2.477
2.692
2.629
2.886
Rata-Rata Absorbansi Akhir
0.954
1.119
0.985
1.274
1.106
1.074
99
IS Akhir
3
Kel.
120
119
118
117
Kode Responden
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
LPS S.Typhosa
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.178 2.061 1.969 1.861 1.985 2.376 2.998 2.451 2.210 2.144 2.614 2.621 2.755 2.901 2.743 2.606 2.681 2.738 2.605 2.929 1.051
1.054
1.031
0.904
IS Awal
Lanjutan Lampiran 14. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit B kelompok 3 Absorbansi Akhir 2.324 2.490 2.517 2.502 3.138 3.224 3.038 3.167 2.334 2.989 2.668 2.535 2.370 2.855 2.694 2.681 2.743
2.731
3.143
2.503
Rata-Rata Absorbansi Akhir
100
1.158
1.170
1.002
1.077
IS Akhir
Kode Responden 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 Rata-rata
Nilai IS Awal 0.899 1.240 1.144 1.049 0.944 0.986 0.904 1.031 1.054 1.051 1.030
Nilai IS Akhir 1.074 1.106 1.274 0.985 1.119 0.954 1.077 1.022 1.170 1.158 1.094
Lampiran 15. Nilai IS rata-rata proliferasi sel B responden kelompok 3
101
Mean
.20977
.07417
-.36837
95% CI for mean difference: (-0.368373, -0.017627) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -2.60 P-Value = 0.035
N Mean StDev SE Mean Awal_1 8 0.98638 0.10934 0.03866 Akhir_1 8 1.17938 0.17480 0.06180 Difference 8 -0.193000 0.209771 0.074165
Paired T for Nilai Awal_1 - Akhir_1
Paired Samples Test
-.01763
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_1, Akhir_1
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.19300
T-TEST
Lampiran 16. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 1
-2.602
t
7
df
.035
Sig. (2-tailed)
102
Mean
.23770
.08984
-.30398
95% CI for mean difference: (-0.303979, 0.135693) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.94 P-Value = 0.385
N Mean StDev SE Mean Awal_2 7 0.95400 0.17922 0.06774 Akhir_2 7 1.03814 0.08032 0.03036 Difference 7 -0.084143 0.237700 0.089842
Paired T for Awal_2 - Akhir_2
Paired Samples Test
.13569
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_2, Akhir_2
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.08414
T-TEST
Lampiran 17. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 2
-.937
t
6
df
.385
Sig. (2-tailed)
103
Mean
.11332
.03583
-.14476
95% CI for mean difference: (-0.144761, 0.017361) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.78 P-Value = 0.109
N Mean StDev SE Mean Awal_3 10 1.03020 0.10585 0.03347 Akhir_3 10 1.09390 0.09451 0.02989 Difference 10 -0.063700 0.113316 0.035834
Paired T for Awal_3 - Akhir_3
Paired Samples Test
.01736
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_3, Akhir_3
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.06370
T-TEST
Lampiran 18. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit B kelompok 3
-1.778
t
9
df
.109
Sig. (2-tailed)
104
1
Kel.
006
005
004
003
002
001
Kode Responden
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.623 2.378 2.481 2.395 2.670 3.365 3.135 2.981 2.924 2.885 2.721 2.489 2.472 2.536 2.392 2.401 2.188 2.396 2.569 2.432 2.542 2.632 2.515 2.511 2.403 2.203 3.001 2.695 2.831 2.253 1.223
0.990
0.998
0.909
0.886
0.946
IS Awal
Lampiran 19. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 1 Absorbansi Akhir 2.362 2.736 2.604 2.438 2.316 2.567 2.320 2.234 2.108 2.833 2.635 2.482 2.184 2.480 2.329 2.339 2.542 2.457 2.315 2.378 2.203 2.376 2.509 2.350 2.412
2.383
2.383
2.650
2.374
2.593
Rata-Rata Absorbansi Akhir
105
1.095
0.938
1.091
1.257
1.025
1.098
IS Akhir
008
007
Kode Responden
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 1.980 2.504 2.205 1.931 2.181 2.816 2.820 2.687 2.738 2.502
Lampiran 20. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 1 Kode Responden Nilai IS Awal Nilai IS Akhir 001 0.946 1.098 002 0.886 1.025 003 0.909 1.257 004 0.998 1.091 005 0.989 0.938 006 1.223 1.095 007 1.114 1.308 008 0.954 0.873 Rata-rata 1.002 1.086
1
Kel.
0.954
1.114
IS Awal
Lanjutan Lampiran 19. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 1 Absorbansi Akhir 1.980 2.668 2.648 2.453 2.816 2.509 2.513 2.350 2.457
2.590
Rata-Rata Absorbansi Akhir
106
0.873
1.308
IS Akhir
2
Kel.
017
016
015
014
013
012
011
Kode Responden
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.984 2.602 2.607 2.615 2.604 2.109 2.461 2.218 2.030 2.163 3.129 2.787 2.860 2.799 2.995 2.417 2.747 2.716 2.713 2.687 3.362 3.141 3.088 3.012 3.111 3.138 2.380 2.443 2.407 2.541 2.382 3.426 3.188 3.128 3.011 1.339
0.778
0.919
1.124
0.914
1.052
0.874
IS Awal
Lampiran 21. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 2 Absorbansi Akhir 2.987 3.142 2.994 3.336 2.778 2.934 2.741 2.734 2.868 3.297 2.971 2.830 2.586 2.412 2.479 2.428 2.311 2.261 2.628 2.306 3.151 3.075 3.028 3.213 3.201 3.038 3.077 2.884 3.000
3.105
2.398
2.440
3.033
2.803
3.157
Rata-Rata Absorbansi Akhir
107
0.937
0.986
1.038
0.943
1.057
1.009
1.057
IS Akhir
Kode Responden 011 012 013 014 015 016 017 Rata-rata
Nilai IS Awal 0.843 1.052 0.914 1.124 0.919 0.778 1.339 0.996
Nilai IS Akhir 1.057 1.009 1.057 0.943 1.038 0.986 0.937 1.004
Lampiran 22. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 2
108
3
Kel.
116
115
114
113
112
111
Kode Responden
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 3.103 2.650 2.946 3.211 2.976 1.957 2.284 2.128 2.043 2.056 2.555 2.518 2.568 2.355 2.832 2.219 2.624 2.533 2.378 2.596 2.473 2.497 2.504 2.353 2.661 2.063 2.059 2.051 2.012 2.081 0.994
1.012
1.141
1.005
1.087
0.949
IS Awal
Lampiran 23. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 3 Absorbansi Akhir 2.687 2.732 2.632 2.832 2.378 2.451 2.469 2.266 2.113 2.059 2.330 2.213 2.514 2.600 2.687 2.510 2.388 2.489 2.729 2.327 2.938 3.007 2.818 2.747 2.857
2.515
2.599
2.201
2.395
2.732
Rata-Rata Absorbansi Akhir
109
0.973
1.053
1.034
1.041
1.007
1.017
IS Akhir
3
Kel.
120
119
118
117
Kode Responden
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Concanavalin A
Kontrol
Jenis Sampel
Absorbansi Rata-Rata Awal Absorbansi Awal 2.178 1.981 1.991 2.199 1.794 2.376 2.162 2.304 1.992 1.948 2.614 2.930 2.953 3.156 2.772 2.606 2.752 2.579 2.478 2.506 0.990
1.130
0.856
0.914
IS Awal
Lanjutan Lampiran 23. Hasil penghitungan nilai IS proliferasi sel limfosit T kelompok 3 Absorbansi Akhir 2.324 2.530 2.347 2.418 3.138 3.695 3.096 2.929 2.334 2.518 2.191 2.314 2.370 2.596 2.370 2.535 2.500
2.341
3.240
2.432
Rata-Rata Absorbansi Akhir
110
1.055
1.003
1.033
1.046
IS Akhir
Kode Responden 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 Rata-rata
Nilai IS Awal 0.949 1.087 1.005 1.141 1.012 0.994 0.914 0.856 1.130 0.990 1.008
Nilai IS Akhir 1.017 1.007 1.041 1.034 1.053 0.973 1.046 1.033 1.003 1.055 1.026
Lampiran 24. Nilai IS rata-rata proliferasi sel T responden kelompok 3
111
Mean
.16032
.05668
-.21728
95% CI for mean difference: (-0.217280, 0.050780) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.47 P-Value = 0.185
N Mean StDev SE Mean Awal_1 8 1.00238 0.11283 0.03989 Akhir_1 8 1.08563 0.14627 0.05171 Difference 8 -0.083250 0.160319 0.056681
Paired T for Awal_1 - Akhir_1
Paired Samples Test
.05078
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_1, Akhir_1
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.08325
T-TEST
Lampiran 25. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 1
-1.469
t
7
df
.185
Sig. (2-tailed)
112
Mean
.23072
.08721
-.22167
95% CI for mean difference: (-0.221671, 0.205099) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.10 P-Value = 0.927
N Mean StDev SE Mean Awal_2 7 0.99557 0.19181 0.07250 Akhir_2 7 1.00386 0.05055 0.01911 Difference 7 -0.008286 0.230725 0.087206
Paired T for Awal_2 - Akhir_2
Paired Samples Test
.20510
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_2, Akhir_2
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.00829
T-TEST
Lampiran 26. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 2
-.095
t
6
df
.927
Sig. (2-tailed)
113
Mean
.10089
.03190
-.09057
95% CI for mean difference: (-0.090574, 0.053774) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.58 P-Value = 0.578
N Mean StDev SE Mean Awal_3 10 1.00780 0.09115 0.02883 Akhir_3 10 1.02620 0.02601 0.00822 Difference 10 -0.018400 0.100892 0.031905
Paired T for Awal_3 - Akhir_3
Paired Samples Test
.05377
Paired Differences 95% Confidence Interval Std. Std. Error of the Difference Deviation Mean Lower Upper
Paired T-Test and CI: Awal_3, Akhir_3
Pair 1 Nilai IS awal - akhir -.01840
T-TEST
Lampiran 27. Hasil analisis paired samples T-Test proliferasi sel limfosit T kelompok 3
-.577
t
9
df
.578
Sig. (2-tailed)
114