SKRIPSI
PROLIFERASI LIMFOSIT DAN KADAR MALONALDEHIDA PADA PRODUK PEPES IKAN IRADIASI
Oleh: KALLISTA RACHMAVIKA PUTRI F24051026
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PROLIFERASI LIMFOSIT DAN KADAR MALONALDEHIDA PADA PRODUK PEPES IKAN IRADIASI
Oleh: KALLISTA RACHMAVIKA PUTRI F24051026
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PROLIFERASI LIMFOSIT DAN KADAR MALONALDEHIDA PADA PRODUK PEPES IKAN IRADIASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Kallista Rachmavika Putri F24051026 Dilahirkan pada tanggal 24 November 1987 Tanggal lulus: 2 Juni 2009 Menyetujui : Bogor,
Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, M.Sc. Dosen Pembimbing I Mengetahui,
Zubaidah Irawati. PhD Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Kallista Rachmavika Putri. F24051026. Uji Proliferasi Limfosit dan Pengukuran Kadar Malonaldehida Pada Produk Pepes Iradiasi. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, MSc. dan Zubaidah Irawati, Ph.D
ABSTRAK Bahan pangan merupakan materi yang mudah mengalami kerusakan sehingga dikembangkan berbagai macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan untuk memperpanjang marketable life dan daya simpan komoditas pangan. Salah satu metode pengawetan pangan adalah metode pengawetan iradiasi yang menerapkan penggunaan energi ionisasi untuk mengurangi kehilangan akibat kerusakan dan pembusukan serta memberikan kemungkinan bahan pangan dapat diawetkan tanpa mengalami perubahan nyata sifat alami dan kandungan gizinya. Kendala yang ada dalam penerapan teknologi iradiasi pangan adalah adanya kekhawatiran masyarakat mengenai keamanan pangan produk iradiasi akibat pembentukan radikal bebas dan senyawa radiolitik produk dari proses iradiasi pangan. Adanya senyawa radikal bebas dalam produk ditakutkan akan membentuk senyawa yang bersifat toksik, mutagenik, ataupun karsinogenik di dalam tubuh manusia Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iradiasi pada sampel pepes ikan mas terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro serta mengukur kadar malonaldehida yang terkandung dalam produk tersebut. Prinsip pengujian toksisitas pangan iradiasi menggunakan uji proliferasi limfosit didasarkan bahwa limfosit adalah sel yang bertanggung jawab terhadap respon imun spesifik dan sensitif terhadap ketidakseimbangan oksidan-antioksidan dalam tubuh. Pengukuran kadar malonaldehida sampel pepes iradiasi juga dilakukan pada penelitian ini karena kadar malonaldehida pada umumnya menjadi indikator keberadaan radikal bebas. Pengukuran langsung bagi radikal bebas senderung tidak mungkin dilakukan karena radikal bebas bersifat tidak stabil dan cepat berubah. Pengukuran kadar malonaldehida juga berfungsi sebagai indikator kerusakan oksidatif di dalam material biologis karena malonaldehida merupakan produk peroksidasi asam lemak tak jenuh yang banyak ditemukan dalam matriks biologis. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa ekstrak pepes ikan iradiasi tidak menghambat proliferasi dari sel limfosit ketika dibandingkan dengan sampel pepes kontrol (p<0.01). Selain itu diketahui pula bahwa baik sampel pepes kontrol maupun sampel pepes iradiasi tidak menginduksi proliferasi dari sel limfosit saat dibandingkan dengan kontrol standar (p<0.01). Nilai indeks stimulasi yang diperoleh pada pengujian proliferasi sel limfosit pada pengenceran 0x adalah sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.161, sampel pepes 14 Juni 2007 menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.356, sampel pepes 5 April 2008 menunjukkan nilai indeks stimulasi
sebesar 1.289, dan sampel pepes No Label 2008 menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.347. Pada pengenceran 1x nilai indeks stimulasi dari sampel adalah sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi 1.259, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki nilai indeks stimulasi 1.084, sampel pepes 5 April 2008 memiliki nilai indeks stimulasi 1.144, sampel pepes No Label 2008 memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.344. Sedangkan pada pengenceran 2x nilai indeks stimulasi sampel adalah sebagai berikut nilai indeks stimulasi dari sampel pepes kontrol adalah 1.293, nilai indeks stimulasi sampel pepes 14 Juni 2007 adalah 1.105, sampel pepes 5 April 2008 memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.169, sementara nilai indeks stimulasi dari pepes No Label 2008 adalah 0.984. Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan diketahui pula bahwa konsentrasi malonaldehida sampel pepes iradiasi masih dapat diterima dan dianggap tidak berbahaya saat dibandingkan dengan sampel pepes kontrol (p<0.01). Kadar malonaldehida pada pengenceran 0x menunjukkan bahwa sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1180 pmol/ml, sampel 11 November 2006 memiliki konsentrasi sebesar 0.1182 pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1182 pmol/ml, sampel 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1181 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1178 pmol/ml. Pada pengenceran 1x kadar malonaldehida sampel pepes menunjukkan hasil sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml, sampel pepes 11 November 2006 memiliki nilai konsentrasi tertinggi yaitu 0.1177 pmol/ml, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1176 pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1176 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml. Sementara pada pengenceran 2x kadar malonaldehida yang didapatkan adalah sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1173 pmol/ml, sampel pepes 11 November 2006 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1173 pmol/ml. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sampel pepes iradiasi dianggap aman dan tidak berbahaya berdasarkan pengujian proliferasi limfosit dan pengukuran kadar malonaldehida ekstrak sampel.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 November 1987 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Vava Nawawi dan Yurika. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar di SD Dharma Wiyata Lampung pada tahun 1993-1999, Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Tarakanita 2 Pluit Jakarta pada tahun 1999-2001 dan SLTP Ora et Labora BSD Tangerang pada tahun 2001-2002, lalu Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di SMA Santa Ursula BSD Tangerang pada tahun 2002-2005. Penulis diterima di Institut Pertaninan Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) lalu mengikuti Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama 1 tahun dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama di perkuliahan penulis menjadi anggota pada kegiatan intra kampus seperti Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (Kemaki) dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta terlibat dalam berbagai kegiatan kepanitiaan. Penulis juga berkesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan non akademis seperti Pelatihan Auditor Sistem Management HACCP, Pelatihan Sistem Management ISO 9000 dan ISO 22000, Pelatihan Sistem Management HALAL, dan berbagai seminar. Penulis juga pernah bekerja sebagai asisten dalam mata kuliah Praktikum Biokimia Pangan (ITP). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema “Uji Proliferasi Limfosit dan Pengukuran Kadar Malonaldehida Pada Produk Pepes Iradiasi” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, MSc dan Zubaidah Irawati, Ph.D pada tahun 2008-2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerah-Nya
sehingga
penulis
selalu
diberikan
kemudahan
dalam
menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada semua pihak yang turut membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan, penelitian, hingga penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran selama masa kuliah, penelitian, dan penyelesaian skripsi ini. 2. Zubaidah Irawati, Ph.D selaku dosen pembimbing kedua dan koodinator proyek penelitian ‘Aspek Keamanan Pangan: Uji Toksistas Pangan Siap Saji Steril Radiasi’ atas kesempatan yang diberikan pada penulis untuk terlibat dalam proyek ini, untuk arahan, bimbingan, dan kesabarannya selama masa penelitian dan penyelesaian skripsi ini serta. 3. Pihak PATIR BATAN atas kesempatan yang diberikan untuk terlibat dalam proyek penelitian ini. 4. Dra. Waysima, Msc selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan bagi perbaikan skripsi ini. 5. Keluarga penulis : Mama, Papa, Shasa, dan Nana untuk semua doa, dukungan moril maupun fisik, motivasi, kasih sayang, dan semangat yang selalu melimpah pada penulis. 6. Randy Keegan dan keluarga untuk semua doa, semangat, penghiburan, dan kesabaran yang diberikan pada penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi. 7. Teman satu bimbingan dan penelitian : Kenchi, Umam, dan Kamlit untuk semua kebersamaan kita, semua penderitaan kita, semua malam-malam bersama, semua perjuangan kita yang sudah berakhir dan berhasil.
8. Teman-teman terbaikku : Eping, Tuti, Nenek, Ella, Wagner, Bobo, Kak Azis, Tere, Wiwi, Cath, Belinda, Irene, Sisi, Sobur, Harrist, Dion, Tiu, Yuni untuk semua dorongan semangat, penghiburan, motivasi, nasehat, dan saran. You guys are rocks! 9. Seluruh dosen ITP yang telah membagi ilmu pengetahuan dan mendidik penulis. Laboran-laboran ITP : Pak Wahid, Pak Adi, Pak Sidik, Pak Yahya, dan Pak Rojak yang selalu membantu penulis selama melakukan penelitian. 10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata penulis menyadari bahwa kripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak lepas dari berbagai kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap perkembangan Ilmu dan Teknologi, khususnya bidal Ilmu dan Teknologi Pangan.
Bogor, Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN Kata Pengantar
i
Daftar Isi
iii
Daftar Tabel
v
Daftar Gambar
vi
Daftar Lampiran
vii
I. PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Tujuan
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
A. Iradiasi Pangan
4
B. Pepes Ikan Mas Iradiasi
8
C. Komponen Bioaktif dalam Pepes Ikan
11
D. Radikal Bebas
13
E. Oksidasi Lipid
15
F. Malonaldehida
17
G. Sel Limfosit Manusia
18
H. Proliferasi Limfosit
22
I. Uji Toksisitas Pada Sel Limfosit
24
III. METODOLOGI PENELITIAN
27
A. Bahan dan Alat
27
B. Metode Penelitian
28
1. Ekstraksi Sampel
28
2. Proliferasi Limfosit
29
a. Persiapan Media Kultur
29
b. Limfosit Darah Tepi
29
c. Serum Darah AB
30
d. Pengujian Aktivitas Proliferasi dengan Metode MTT
31
3. Kadar Malonaldehida
32
4. Analisis Statistik
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
34
A. Ekstraksi Sampel
34
B. Proliferasi Limfosit
35
1. Model Pengujian Toksisitas Kultur Limfosit In Vitro pada Pepes Iradiasi
35
2. Pemgaruh Ekstrak Pepes Iradiasi Terhadap Proliferasi Limfosit
39
3. Pengaruh Variasi Pengenceran Terhadap Proliferasi Limfosit C. Kadar Malonaldehida
43 44
1. Metode Spektrofotometri pada Pengukuran Kadar Malonaldehida Pepes Iradiasi 2. Kadar Malonaldehida pada Pepes Iradiasi V. KESIMPULAN DAN SARAN
44 47 51
A. Kesimpulan
51
B. Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
62
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penggunaan potensial iradiasi pangan
4
Tabel 2. Dosis Iradiasi dan Aplikasinya
7
Tabel 3. Komposisi sel darah putih manusia
19
Tabel 4. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar TEP
46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pepes ikan mas iradiasi dan pepes ikan mas
9
Gambar 2. Sel sehat dan sel yang rusak akibat radikal bebas
15
Gambar 3. Skema tahapan oksidasi lipid
16
Gambar 4. Struktur malonaldehida
17
Gambar 5. Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA
18
Gambar 6. Sel limfosit manusia dan komposisi darah manusia
19
Gambar 7. Darah setelah disentrifuse, lapisan buffycoat dan larutan Histopaque, pemisahan limfosit
30
Gambar 8. Kultur limfosit setelag inkubasi 66 jam, setelah penambahan MTT, dan penambahan HCl-isopropanol
32
Gambar 9. Hasil pemisahan limfosit menggunakan Histopaque
37
Gambar 10. Grafik indeks stimulasi proliferasi kultur limfosit
40
Gambar 11. Hasil pewarnaan kultur limfosit menggunakan MTT
43
Gambar 12. Kurva standar larutan TEP
47
Gambar 13. Grafik perbandingan konsentrasi malonaldehida
47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi
63
Lampiran 2. Komposisi limfosit manusia
64
Lampiran 3. Tabel hasil pembacaan absorbansi uji proliferasi limfosit
65
Lampiran 4. Contoh perhitungan indeks stimulasi ekstrak
67
Lampiran 5. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 1x Lampiran 6. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 2x Lampiran 7. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 4x Lampiran 8. Tabel hasil pembacaan absorbansi pada metode pengukuran kadar malonaldehida Lampiran 9. Contoh perhitungan kadar malonaldehida sampel Lampiran 10. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 1x Lampiran 11. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 1x Lampiran 12. Tabel hasil perhitungan Anova (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 1x
68 69 70 71 72 73 74 75
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Bahan pangan merupakan materi yang mudah mengalami kerusakan dan memiliki masa simpan yang terbatas. Berbagai macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dikembangkan oleh manusia untuk memperpanjang marketable life dan daya simpan dari komoditas pangan. Pengawetan yang dilakukan tidak semata hanya mencegah pertumbuhan dari bakteri, kapang, atau mikroorganisme lain yang menyebabkan pembusukan pada makanan, namun juga usaha untuk mencegah terjadinya oksidasi lemak yang dapat mengakibatkan ketengikan serta pencegahan perubahan warna pada makanan, misalnya akibat reaksi pencoklatan enzimatik. Metode pengawetan yang pada umumnya diaplikasikan
adalah
pengeringan,
pemanasan,
pembekuan,
pengalengan,
penggunaan bahan pengawet, fermentasi, dan termasuk metode iradiasi pangan. Metode iradiasi pangan merupakan metode pengawetan yang cukup menjanjikan di masa mendatang. Proses pengawetan ini melibatkan penggunaan energi ionisasi. Iradiasi pangan sering pula disebut sebagai cold pasteurization karena dalam prosesnya tidak terjadi pemanasan dalam jumlah yang signifikan (IFIC, 2002). Berbagai kendala yang dialami oleh metode pengawetan lain pada umumnya adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan kualitas asal bahan dan kandungan gizi dari komoditas yang diawetkan, terutama kandungan vitamin. Namun pada metode pengawetan iradiasi pangan, hal ini dapat dihindari akibat pemanasan yang tidak signifikan. Pada iradiasi pangan dosis rendah, tidak terdeteksi adanya kehilangan komponen nutrisi atau jika terjadi kehilangan maka jumlahnya tidak signifikan. Sementara pada iradiasi dosis yang lebih tinggi, kehilangan nutrisi pangan memang terjadi namun lebih kecil dibandingkan proses pemasakan (Brennand, 1995).
Di Indonesia sendiri telah dilakukan penelitian iradiasi terhadap berbagai jenis makanan berbasis ikan, daging dan unggas. Komoditi tersebut masingmasing diolah menjadi makanan siap saji seperti pepes ikan mas, rendang sapi, opor dan kare ayam. Setiap jenis
produk olahan tersebut disterilkan dengan
metode iradiasi pada dosis 45 kGy dalam kondisi beku (-79˚ C) yang selanjutnya disimpan pada suhu 28-30oC (Irawati, 2003). Kendala yang ada dalam penerapan teknologi iradiasi pangan adalah keraguan dalam masyarakat mengenai keamanan pangan produk iradiasi akibat pembentukan radikal bebas dan senyawa radiolitik produk dari proses iradiasi pangan. Adanya senyawa radikal bebas dalam produk ditakutkan akan membentuk senyawa yang bersifat toksik, mutagenik, ataupun karsinogenik di dalam tubuh manusia. Badan FAO-WHO-IAEA sendiri pada bulan November 1980 telah menyatakan bahwa semua bahan yang diiradiasi pada dosis tidak melebihi 10 kGy aman untuk dikonsumsi manusia. Namun data teknis mengenai keamanan pangan iradiasi dosis tinggi 45 kGy, terutama di Indonesia, belum tersedia. Pepes ikan adalah hidangan tradisional khas Indonesia yang terdiri dari sepotong ikan yang sudah diolah dengan berbagai macam bumbu, dibungkus dengan daun pisang kemudian dipresto atau dikukus minimal selama satu jam. Bahan ikan yang digunakan dapat berupa ikan mas, ikan tawes, ikan gabus, ikan lele, ikan bawal, kembung, teri, bandeng, dsb. Bumbu dasar yang biasanya digunakan dalam pengolahan pepes ikan adalah bawang merah, bawang putih, kemiri, cabai, kunyit, jahe, lengkuas, garam, dan gula pasir. Saat mengalami ionisasi maka energi ionisasi dapat menyebabkan eksitasi pada atom jaringan pangan dan menyebabkan beberapa perubahan pada produk, seperti oksidasi lipid, pelunakan jaringan, terbentuknya beberapa senyawa radikal bebas dan radiolitik yang dikhawatirkan menyebabkan efek toksik pada manusia.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iradiasi pada sampel pepes ikan mas terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro serta mengukur kadar malonaldehida yang terkandung dalam produk tersebut. Tujuan lainnya adalah mendapatkan data-data mengenai uji toksisitas limfosit dan kadar malonaldehida produk pepes ikan mas iradiasi sehingga dapat bermanfaat bagi pihak terkait.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. IRADIASI PANGAN Menurut WHO (1991), iradiasi pangan didefinisikan sebagai proses pemaparan pangan terhadap radiasi ionisasi untuk membunuh mikroorganisme, bakteri, virus atau serangga yang mungkin ada di dalam pangan. Aplikasi lain dalam penggunaan iradiasi pangan adalah menghambat perkecambahan, menunda pematangan, meningkatkan juice yield pada proses ekstraksi, dan meningkatkan rehidrasi. Pada awal mulanya bidang ini dirintis oleh Dr. Bernand E. Proctor dan Dr. Samuel A. Goldblith di tahun 1940 (Desrosier, 1988). Aplikasi penggunaan iradiasi pada berbagai produk pangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penggunaan potensial iradiasi pangan (Brennand, 1995) Jenis Produk Daging, unggas
Perishable foods
Biji-bijian, buah
Efek Iradiasi
Membunuh mikroorganisme patogen pada ikan, seperti Salmonella, Campylobacter and Trichinae Mencegah kerusakan; menghambat pertumbuhan kapang; mengurangi mikroorganisme Mengontrol serangga pada sayuran, menghambat kerusakan pada buah kering, bumbu dan rempah kentang, bawang Menghambat perkecambahan
Bawang, wortel, putih, jahe Pisang, mangga, pepaya, jambu biji, Menunda pematangan alpukat, natural buah non-citrus lainnya juices. Biji-bijian, buah Mengurangi waktu rehidrasi
Dalam prinsip pengawetan bahan pangan iradiasi, digunakan radiasi elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan foton berenergi tinggi sehingga dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya. Iradiasi menyebabkan efek langsung (direct effect) dan efek tak langsung (indirect effect). Efek langsung adalah eksitasi atau ionisasi atom akibat energi ionisasi, sedangkan efek tak langsung adalah pembentukan radikal bebas akibat radiolisis dari molekul air, misalnya radikal hidroksi. Jenis iradiasi ini dinamakan radiasi pengion karena dapat menyebabkan ionisasi pada materi yang dilaluinya (Maha, 1981). Contoh radiasi pengion adalah radiasi partikel , , dan yang paling banyak digunakan yaitu gelombang elektromagnetik (Sofyan, 1984). Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Ketika suatu materi dilalui oleh radiasi pengion, energi yang melewatinya akan diserap dan menghasilkan pasangan ion. Energi yang terserap oleh tumbukan radiasi dengan partikel bahan pangan akan menyebabkan eksitasi dan ionisasi beribu-ribu atom dalam lintasannya, yang akan terjadi dalam waktu kurang dari 0,001 detik. Efek pengawetan pangan pada radiasi ionisasi berhubungan dengan kerusakan DNA yang disebabkan oleh ketidakstabilan materi genetik DNA akibat eksitasi dan ionisasi dari radiasi. Menurut Roggenthen (1984), saat ada sekitar 13 elektron, yang berasal dengan sinar gamma, bertumbukan dengan 30.000 elektron lain secara bersamaan maka hal tersebut akan menyebabkan atom yang tertumbuk menjadi terionisasi. Saat sebuah sel biologis kehilangan keseimbangan elektriknya maka sel tersebut akan hancur, termasuk materi genetik pada sel tersebut. Kerusakan pada DNA dapat menyebabkan mikroorganisme tidak mampu berproliferasi dan melanjutkan aktivitas patogeniknya atau pada tumbuhan menyebabkan terhambatnya proses pematangan secara alami (WHO, 1991).
Ada tiga jenis sumber radiasi yang umumnya dapat digunakan dalam proses iradiasi pangan, yaitu: 1. Iradiasi Gamma Sumber radiasi gamma adalah sumber yang paling umum digunakan. Radiasi gamma berasal dari radiasi foton pada bagian gamma spektrum elektromagnetik. Radioisotop yang biasanya digunakan adalah Cobalt-60 dan Cesium-137, secara teori (Doyle, 1999). Penggunaan Cobalt-60 lebih dipilih karena memiliki daya penetrasi yang besar hingga beberapa meter. Material radioaktif harus selalu dimonitor dan disimpan secara cermat untuk melindungi pekerja dan lingkungan dari sinar gamma. 2. Iradiasi Elektronik Iradiasi elektronik menggunakan elektron yang memiliki kecepatan sangat tinggi bahkan mendekati kecepatan cahaya. Elektron merupakan suatu sumber iradiasi yang berbeda dari sumber lainnya. Radiasi elektron kurang memiliki daya penetrasi yang baik, hanya sekitar beberapa inchi. 3. Iradiasi X-ray Sama seperti radiasi gamma, radiasi X-ray menggunakan energi foton dengan spectrum yang luas. Sumber X-ray diproduksi dengan cara menumbukkan elektron pada tantalum atau tungsten sehingga dapat digunakan sebagai sumber radioisotope. Daya penetrasi dari X-ray sebaik Cobalt-60, bahkan keuntungan dari penggunaan radiasi X-ray adalah proses ionisasi dapat dikontrol atau dihentikan dengan mengatur tumbukan elektron. Namun sistem ini memiliki kekurangan yaitu ketidakefisisiensian energi konversi dari energi elektron menjadi energi foton. Dosis dari iradiasi menurut satuan SI adalah Gray (Gy). Satu Gray didefinisikan ekuivalen dengan 1 Joule energi yang diserap per kg bahan pangan. Dalam proses iradiasi biasanya digunakan dosis dalam satuan kGy atau 1000 Gy. Untuk mengukur dosis iradiasi yang dipaparkan ke bahan pada saat proses iradiasi berlangsung digunakan alat yang bernama dosimeter (IAEA, 2002). Dosimeter adalah komponen kecil yang dilekatkan pada produk iradiasi sehingga saat
terpapar energi ionisasi dapat dilihat tingkat nilai dosis yang diterima produk. Penggunaan dosis iradiasi beserta aplikasinya pada bahan panan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Dosis Iradiasi dan Aplikasinya Dosis
Rendah
(0-1 Mencegah perkecambahan umbi-umbian (0.03-0.15
kGy): Radurisation
kGy) Menghambat pematangan buah (0.25-0.75 kGy) Eliminasi parasit dan serangga (0.07-1.00 kGy)
Dosis
Sedang
(1-10 Reduksi mikroba pembusuk pada daging beku, daging
kGy): Radicidation
unggas, dan seafood beku (1.50-3.00 kGy) Reduksi mikroba patogen pada daging beku, daging unggas, dan seafood beku (3.00-7.00 kGy) Reduksi jumlah mikroorganisme pada bumbu dan rempah untuk meningkatkan kualitas kebersihan (10.00 kGy)
Dosis Tinggi (Di atas 10 Sterilisasi daging, unggas, dan produk turunannya (25.00kGy):
70.00 kGy)
Radappertisation Sterilisasi untuk makanan rumah sakit (25.00-70.00 kGy) Sterilisasi untuk persediaan makanan astronot (44.00 kGy)
Menurut Maha (1985), proses pengawetan pangan menggunakan metode iradiasi memiliki berbagai keuntungan, antara lain tidak mempengaruhi kesegaran bahan yang diproses karena iradiasi merupakan proses dingin, memiliki daya penetrasi besar sehingga dapat diaplikasikan pada bahan yang sudah dikemas dan siap dipasarkan. Namun iradiasi pangan juga memiliki keterbatasan dan masalah, misalnya iradiasi cenderung melunakkan pangan sehingga dosis iradiasi yang digunakan terbatas dan modal yang tinggi bagi pengadaan fasilitas iradiasi.
Komite Ahli yang dibentuk oleh FAO, IAEA, dan WHO telah berulang kali meninjau dan mendalami bukti-bukti penelitian yang berhubungan dengan kesehatan pangan iradiasi dan menyatakan bahwa makanan yang mendapat perlakuan iradiasi aman untuk dikonsumsi manusia, baik dari segi gizi, mikrobiologi, maupun toksikologi. Di Indonesia, sudah ada peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pangan iradiasi, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 826/MENKES/PER/XII/1987 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 152/MENKES/SK/11/1995. B. PEPES IKAN MAS IRADIASI Pepes ikan adalah salah satu hidangan tradisional khas Indonesia dan sangat disukai oleh masyarakat. Pepes pada umumnya adalah lauk pauk yang dibungkus dengan daun pisang. Nama pepes sendiri berasal dari daerah Jawa Barat. Pepes ikan mas sendiri adalah hidangan dari sepotong ikan mas yang sudah diolah dengan berbagai macam bumbu, dibungkus dengan daun pisang, kemudian dipresto atau dikukus selama minimal satu jam. Selain digunakan bahan ikan mas, jenis ikan yang dapat digunakan adalah ikan tawes, ikan gabus, ikan lele, ikan bawal, kembung, teri, bandeng, dsb. Bumbu dasar yang biasanya digunakan dalam pengolahan pepes ikan adalah bawang merah, bawang putih, kemiri, cabai, kunyit, jahe, lengkuas, garam, dan gula pasir. Selain itu biasanya juga ditambahkan bahan dan rempah-rempah lain untuk menyempurnakan rasa dan aroma. Pada pembuatan pepes ini digunakan bahan rempah-rempah berupa tomat, bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam (Irawati et. al., 2003). Produk pepes ikan mas iradiasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Pepes ikan mas iradiasi dalam kemasan, (b) Pepes ikan mas Bahan baku ikan mas yang digunakan dalam pembuatan pepes ikan mas merupakan spesies ikan air tawar yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut Shimone dan Shikata (1993), ikan mas memiliki komposisi kimia sebagai berikut: kadar air antara 70.4 70.4-73.9 %, kadar protein 16.7-18.4 18.4 %, kadar lemak 6.2 6.28.3 %, dan kadar abu sebesar 9.0 9.0-11.52 11.52 %. Komoditi ikan mas memiliki daya awet yang rendah dan memiliki cita rasa lumpur pada bagian dagingnya yang disebabkan senyawa geomisin (Lelana, 1983). Dalam pembuatan pepes ikan mas iradiasi digunakan standard operating procedure (SOP) yang telah dikembangkan dan dibakukan mengenai proses pengawetan iradiasi bahan pangan. Proses pengawetan iradiasi pangan harus memperhatikan berbagai faktor yaitu tujuan dari iradiasi yang ak an menentukan penggunaan dosis aplikasi, kondisi iradiasi misalnya keberadaan oksigen dalam produk, serta kondisi bahan pangan yang akan diiradiasi misalnya kadar air bahan dan jenis komoditi pangan. Proses pembekuan merupakan titik kritis dalam proses iradiasi diasi dimana pada penggunaan suhu beku -20˚ C sampai -79 79˚ C, radikal bebas yang terbentuk akibat energi ionisasi akan terperangkap dan tidak mampu bereaksi dengan susbtrat pangan sehingga tidak terjadi rantai radikal bebas.
Ikan mas, yang digunakan dalam penelitian, dibersihkan dan diberi bumbu kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diproses panas menggunakan inoxpran pressure cooker selama 45-60 menit pada suhu 120˚ C. Pepes tersebut kemudian disimpan pada suhu -13˚ C lalu dikemas menggunakan kantung laminasi PET 12μm/LDPE 2μm/Alumunium Foil 7μm/LDPE 2μm/LLDPE 50μm dalam kondisi 80% vakum (Irawati et. al., 2003). Pepes ini kemudian disterilkan dengan menggunakan radiasi pengion pada dosis minimum 45 kGy dalam kondisi beku yaitu suhu -79˚ C. Dosis sterilisasi ini mengacu pada metode Association for the Advancement of Medical Instrumentation (AAMI) ISO/DIS 11137.2 berdasarkan bioburden. Sumber radiasi pengion yang digunakan adalah Cobalt-60 dengan dosis rata-rata 5.2 kGy/jam. Proses iradiasi ini menggunakan iradiator IRKA di Badan Tenaga Nuklir Nasional Jakarta. Pepes yang sudah disterilkan selanjutnya disimpan pada suhu 28-30˚ C dan dapat bertahan selama satu setengah tahun tanpa mengalami penurunan kualitas yang berarti (Irawati et. al, 2003). Selain pepes ikan mas, produk pangan lain yang mendapatkan perlakuan pengawetan iradiasi adalah produk rendang, opor, semur, kari ayam, dan empal. Penelitian yang dilakukan terhadap sampel-sampel tersebut di atas juga menyatakan bahwa setelah masa simpan selama satu setengah tahun, kualitas dan nilai gizi dari produk tidak mengalami perubahan yang berarti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noomhorm et. al. (2000), radiasi pengion dengan kombinasi metode pengemasan dapat memperpanjang umun simpan dari produk olahan daging dan ikan. Radiasi ini diaplikasikan pada produk sosis, ham, semi dried udang dan babi yang dikemas secara vakum dan MAP, pada dosis iradiasi dibawah 10 kGy. Menurut hasil yang didapatkan tampak bahwa proses iradiasi dapat memperpanjang umur simpan dari produk dan dengan meningkatnya dosis iradiasi, masa simpan produk semakin bertambah. Kualitas dan nilai gizi produk juga tidak mengalami perubahan berdasarkan analisis objektif dan subjektif yang dilakukan.
C. KOMPONEN BIOAKTIF DALAM PEPES IKAN Pada pembuatan pepes digunakan berbagai macam bumbu dan rempahrempah, misalnya bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan pepes mengandung komponen bioaktif yang memiliki fungsi signifikan terhadap kesehatan maupun dapat berperan sebagai antioksidan. 1. Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum Linn.) mengandung komponen bioaktif alisin dan senyawa sulfida lain dalam minyak atsirinya (Whitmore dan Naidu, 2000). Alisin atau asam dialil tiosulfinat telah terbukti dapat menghambat mikroba sehingga berpotensi sebagai pengawet bahan pangan. Komponen bioaktif lainnya adalah aliin, gurwithrays, scordinin, dan ajoene (Soetomo, 1987). 2. Kunyit Kunyit mengandung kurkumin yang dapat memberikan aktivitas sebagai antimikroba. Kurkumin memiliki sifat antibakteri, terutama pada Micrococcus pyrogenes var. Aureus karena mengandung senyawa fenolik (Ramprasad dan Siri, 1956). Kurkumin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi, mencegah kanker serta menurunkan risiko serangan jantung (Anonim, 2006). 3. Jahe Jahe merupakan bahan yang mengandung komponen bioaktif pada bagian minyak atsiri dan oleoresinnya. Komponen bioaktif minyak atsiri pada jahe adalah zingiberen dan zingiberol, sementara bagian oleoresin pada jahe mengandung komponen gingerol, zingeron, dan shagaol (Koswara, 1995). Jahe berpotensi memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan antikanker yang tinggi (Darwis et. al., 1991). Menurut Kikuzaki dan Nakatani (2000), dalam jahe terkandung sejumlah senyawa fenolik yang bersifat antioksidan.
4. Lemon Lemon (Citrus medica Var. Lemon) banyak mengandung vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan (Sarwono, 1991). 5. Lengkuas Lengkuas (Alpinia galanga (L.) Swartz) mengadung komponen bioaktif yaitu 8-pinen, 1,8-sineol, farnasen, isokariofen, dan asetokavikol asetat yang bersifat sebagai antimikroba (Rahayu, 1999). Ekstrak lengkuas juga mengandung senyawa fenolik seperti asam fenolat, turunan dehidrosinamat dan flavonoid (Duke, 1994). 6. Cabe Merah Cabe memiliki kandungan capcaisin dan dihidrocapcaisin yang menghasilkan rasa pedas. Cabe merah juga mengandung karotenoid, yaitu capsanthin, capsorubin, carotene, dan lutein (Lukmana, 1994). 7. Daun Sereh Daun sereh mengandung geraniol dan citronellol yang berfungsi dapat berfungsi sebagai antiseptik dan antifungal (Shadab et. al., 1992). 8. Daun Salam Minyak esensial dari daun salam banyak mengandung komponen bioaktif myrcene dan eugenol. Eugenol berfungsi sebagai antiseptik dan anastetik (Jadhav et. al., 2004).
D. RADIKAL BEBAS Ketika suatu materi mengalami proses ionisasi maka akan terjadi eksitasi dan ionisasi atom dari materi tersebut akibat dari energi ionisasi. Peristiwa ini dapat menyebabkan ketidakstabilan elektron di dalam atom. Atom memiliki kondisi paling stabil pada saat elektron yang berada pada lapisan terluar memiliki pasangan elektronnya. Sedangkan yang dimaksud dengan radikal bebas adalah atom yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan kulit terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Karlsson, 1997). Radikal bebas sangat mudah terbentuk akibat putusnya ikatan kovalen dari elektron. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu: 1. Secara endogen : sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia di dalam tubuh, baik di dalam maupun di luar sel. 2. Secara eksogen : radikal bebas timbul akibat polusi yang berasal dari luar tubuh dan bereaksi di dalam tubuh melalui inhalasi, jalur digesti, atau melalui penyerapan kulit. Misalnya akibat asap rokok, polutan, radiasi, obat-obatan, makanan tercemar, dan pestisida. Radikal bebas memiliki kereaktifan yang sangat besar akibat elektron yang tidak stabil dan selalu berusaha mendapatkan pasangan elektron. Apabila suatu molekul terebut elektronya oleh radikal bebas maka akan terbentuk sebuah senyawa radikal baru dari molekul yang kehilangan elektronnya tersebut. Reaksi ini berjalan terus menerus sehingga disebut sebagai reaksi berantai radikal bebas. Radikal bebas yang sangat reaktif memiliki pola gerakan yang tidak beraturan sehingga dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991). Beberapa jenis radikal bebas yang dapat ditemukan dalam tubuh adalah (Gutteridge, 1995): •
1. Hidroperoksil radikal (HO2 ) : mampu menyebabkan sitotoksisitas dalam sistem biologis karena mampu melewati membran biologis, menginisiasi terjadinya peroksida lemak terutama LDL.
2.
•
Anion superoksida radikal (O2 ) : dalam larutan encer mengalami reaksi dismutase membentuk hidrogen peroksida dan oksigen.
3. Hidrogen peroksida (H2O2) : merupakan oksidan lemah yang relatif stabil, namun dengan keberadaan logam transisi dapat membentuk senyawa radikal yang reaktif. Senyawa ini dapat segera bercampur dengan air dan diperlakukan seperti molekul air oleh tubuh dan dapat berdifusi melewati membran sel. •
4. Hidroksil radikal ( OH) : merupakan senyawa oksidan yang sangat berbahaya karena sangat reaktif dibandingkan dengan senyawa radikal lainnya sehingga dapat merusak sejumlah besar molekul biologis. Pada kondisi normal, sistem antioksidan alami tubuh dapat mengontrol radikal bebas yang terbentuk. Namun apabila terjadi stress oksidatif, dimana oksidan yang ada dalam tubuh lebih besar daripada antioksidan yang ada, maka dapat menginduksi terjadinya kerusakan membran sel, kerusakan protein dan DNA, peroksidasi lemak, autoimun, dan penuaan (aging). Radikal bebas dapat mengoksidasi lemak dalam tubuh sehingga terbentuk peroksida lemak yang menjadi awal dari berbagai penyakit degeneratif seperti jantung koroner, kanker, Alzheimer, dan Parkinson (Diplock, 1991). Penyakit degeneratif juga dapat terjadi akibat kerusakan DNA yang disebabkan radikal bebas yang berikatan dengan DNA tubuh dan menyebabkan terjadinya mutasi sel serta menimbulkan penyakit degeneratif, seperti kanker (Halliwell dan Gutteridge, 1985). Oksidasi yang terjadi pada lemak tak jenuh dan protein dapat menyebabkan kerusakan membran sel dan jaringan biologis lain. Kerusakan jaringan biologis yang terjadi secara terus menerus dapat mempercepat proses penuaan. Perbedaan penampakan sel tubuh yang sehat dan sel yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Sel sehat, (b) Sel yang rusak akibat radikal bebas Namun radikal bebas dalam tubuh tidak selamanya membawa dampak yang negatif. Sistem imun dalam tubuh kita membutuhkan radikal bebas dalam mekanisme pertahanannya. Selain itu senyawa asing atau jaringan yang rusak biasanya ditandai oleh radikal bebas oleh sistem imun, sehingga tubuh mengenali jaringan mana yang harus dibuang (Del Mastero, 1980). E. OKSIDASI LIPID Lipid adalah salah satu senyawa yang mudah bereaksi dan mengalami oksidasi,, salah satunya adalah reaksi oksidasi akibat dari keberadaan radikal bebas . Oksidasi pada lipid umumnya melalui proses pembentukan radikal bebas yang terdiri ri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Apriyantono, 2002). Pada tahap inisiasi terjadi pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh dan membentuk radikal alkil. Hal ini terjadi karena adanya inisiator berupa panas, energi ionisasi, oksigen aktif, logam, dan cahaya. Radikal alkil yang terbentuk akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi yang dapat bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh lain dan membentuk hidroperoksida dan radikal alkil lain. Radikal alkil yang terbentuk llalu alu akan kembali bereaksi dengan oksigen dan demikian terus terjadi rantai reaksi radikal bebas asam lemak (Apriyantono, 2002). Laju reaksi antara radikal alkil dengan oksigen lebih cepat sehingga
pembentukan radikal peroksi juga lebih dominan. Reaksi terminasi sendiri biasanya melibatkan dua radikal peroksi. Tahapan peristiwa oksidasi lipid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema tahapan dalam proses oksidasi lipid Hidroperoksida yang berasal dari oksidasi asam lemak tidak jenuh bersifat sangat tidak stabil dan mudah berubah menjadi berbagai senyawa flavor dan produk non-volatil. Dekomposisi dari hidroperoksida akan melibatkan pemutusan gugus –OOH dan membentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi. Radikal alkoksi akan mengalami beta hidrolisis membentuk aldehid dan radikal alkil. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap pada asam lemak, maka laju oksidasi yang berjalan juga semakin cepat. Pembentukan hidroperoksida juga akan semakin besar dengan semakin banyaknya ikatan rangkap asam lemak karena dengan demikian semakin banyak pula kemungkinan posisi hidroperoksida yang dapat terjadi (Apriyantono, 2002). Berbagai macam komponen dapat dihasilkan dari degradasi lipid yaitu hidrokarbon, aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol, senyawa heterosiklik dan senyawa radikal. Senyawa radikal yang terbentuk dalam tubuh dapat berperan dalam proses penuaan (aging), penyakit arterosklerosis dan penyakit jantung koroner.
F. MALONALDEHIDA Malonaldehida (MDA) merupakan produk hasil oksidasi lipid di dalam tubuh dan dapat digunakan sebagai indeks ketengikan oksidatif dalam makanan (Bird dan Draper, 1984). MDA biasanya dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis dari prostaglandin dan produk yang dihasilkan radikal bebas dalam tubuh.. MDA terutama dihasilkan pada r eaksi penguraian sel. Secara biologis, MDA dihasilkan dari berbagai macam reaksi. Reaksi -reaksi reaksi tersebut misalnya adalah kebocoran sistem mitokondria, oksidasi lipida, olah raga berat, dekomposisi asam amino dan komponen karbohidrat serta reaksi yang melib atkan radikal bebas. Struktur dari malonaldehida disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Malonaldehida Asam lemak tak jenuh (PUFA) sangat mudah mengalami oksidasi karena memiliki karbon metilen pada bagian ikatan rangkap yang sangat sensitif terhadap pengurangan oksigen dan pembentukan senyawa radikal. Oksigen dapat melekat pada asam lemak yang kehilangan hidrogen dan membentuk senyawa radikal yang nantinya akan menghasilkan senyawa aldehid dan keton akibat bereaksi dengan lemak lain. MDA adal adalah ah salah satu senyawa aldehid yang bersifat toksik terhadap sel, senyawa aldehid lainnya adalah hidroaxialkenal. Konsentrasi MDA dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator keberadaan radikal bebas. Keberadaan MDA dapat mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara berbagai tipe molekul sehingga menyebabkan sitotoksisitas, mutagenitas, kerusakan membran, dan modifikasi enzim dalam tubuh (Muchtadi et. al., 1993). Menurut Conti et. al. (1991), analisa konsentrasi MDA dapat mengguna kan metode TBA. MDA dapat bereaksi dengan TBA membentuk senyawa komplek
MDA-TBA TBA melalui reaksi nucleophilic addition reaction.. Senyawa MDA MDA-TBA yang terbentuk memiliki warna merah jambu yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 5532 nm. Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA TBA pada metode pengukuran kadar malonaldehida dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi pembentukan kompleks MDA-TBA TBA
G. SEL LIMFOSIT MANUSIA Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih dalam sistem imun vertebrata. Sel el limfosit berperan dalam sistem perlindungan tubuh dengan mensintesis dan mensekresi antibodi atau immunoglobulin ke dalam jaringan darah sebagai respon terhadap keberadaan benda asing (Sheeler dan Bianchi, 1982). Komposisi dari sel limfosit limfosi t manusia dapat dilihat pada Lampiran 2. Limfosit imfosit merupakan sel dengan inti yang besar, bulat, dan memiliki sedikit plasma. Pada manusia sekitar 3.5 x 10 10 limfosit setiap hari masuk dalam sirkulasi darah. Menurut Guyton (1987), persentase limfosit di dalam darah putih adalah sekitar 30%. Komposisi dari sel darah putih manusia dapat dilihat pada Tabel 3 , sementara penampakan dari sel darah putih dan komposis i darah manusia dapat dilihat pada Gambar 66.
Tabel 3. Komposisi sel darah putih manusia (Ganong, 1979) Sel/ml darah
Batas Jumlah
Persentase
(rata-rata)
Normal
(%)
9000
4000 – 11000
5400
3000 – 6000
50–70
Eosinofil
275
150 – 300
1–4
Basofil
35
0 – 100
0.4
Limfosit
2750
1500 – 4000
20–40
Monosit
540
300 – 600
2–8
Sel darah putih total Granulosit Neutrofil
(a)
(b)
Gambar 6. (a) Sel limfosit manusia, (b) Komposisi darah manusia; eritrosit, limfosit, monosit, neutrofil, dan platelet.
Jika dilihat di bawah mikroskop, ada dua jenis limfosit secara umum yaitu limfosit dengan granular besar dan kecil. Fungsi dari sel tersebut berhubungan dengan bentuk masing-masing. Pada umumnya limfosit granular besar disebut sel natural killer, dan limfosit granular kecil adalah sel T dan sel B. 1. Sel Natural Killer Sel NK adalah bagian dari sistem imun alami yang ada sejak seseorang dilahirkan dan memiliki fungsi pertahanan utama dari sel tumor dan virus. Sel NK mampu membedakan sel yang terinfeksi dan sel tumor dari sel normal dengan mengenali perbedaan kadar major histocompatibility complex (MHC) kelas I pada permukaan sel. MHC adalah kumpulan gen pada genom vertebrata yang memiliki fungsi penting pada sistem imun, autoimun, dan reproduksi. MHC memiliki protein tertentu pada bagian permukaannya yang dapat mengekspresikan gen diri sendiri, sehingga dapat dibedakan dengan antigen yang berasal dari luar. NK sel juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992). Istilah ‘natural killer’ diberikan karena sel ini tidak memerlukan tahap inisiasi untuk membunuh sel yang kehilangan MHC kelas I. Sel ini diaktivasi oleh respon terhadap sitokin interferon. Sel NK yang telah diaktivasi akan melepaskan granula yang bersifat sitotoksik yang menghancurkan sel abnormal (Janeway et. al., 2001). 2. Sel B Sel limfosit B adalah komponen selular utama dalam respon imunitas adaptif. Sel B bertanggung jawab dalam imunitas humoral dan menghasilkan antibodi. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi, 1982). Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma. Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu dan hanya sekali setelah mengenali antigen tertentu maka informasi ini akan tersimpan dalam bentuk sel memori.
Jenis-jenis dari sel limfosit B adalah (Parham, 2005): a. Sel B plasma (plasma sel): sel B berukuran besar yang terekspos dengan antigen dan menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. b. Sel B memori: terbentuk dari sel B yang teraktivasi oleh antigen tertentu yang menginvasi pada respon imun primer. Sel ini mampu hidup dalam jangka waktu yang panjang dan mampu merespon secara cepat apabila ada infeksi dari antigen yang sama. c. Sel B-1: mengekpresi IgM lebih banyak dibandingkan IgG, reseptornya bersifat polispesifik yang menunjukkan pengenalan rendah pada berbagai macam antigen namun dapat merespons imunoglobulin lain, antigen diri, dan polisakarida dari bakteri umum. d. Sel B-2, Sel B marginal, dan Sel B folikular. 3. Sel T Sama seperti sel limfosit B, sel limfosit T merupakan komponen selular dalam sistem imunitas adaptif dan berfungsi dalam imunitas selular. Sel ini terbentuk saat sel stem dari sumsum tulang pindah ke kelenjar timus lalu mengalami pembelahan dan pendewasaan di dalam kelenjar thymus. Limfosit T meninggalkan kelenjar thymus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan (Anonim, 2006). Di bawah mikroskop, morfologi limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga jenis sel T, yaitu (Baratawidjaja, 1991): a. Sel Thelper (Th): berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul protein yang disebut sitokinin. b. Sel Tcytotoksik (Tc): memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi oleh pathogen intraseluler. Sel ini juga yang biasanya berperan dalam penolakan transplantasi organ.
c. Sel Tsupresor (Ts): berperan untuk menekan aktivitas sel T yang lain dan dapat menurunkan produksi antibodi sehingga berperan penting pada pengaturan toleransi imunologikal. d. Sel Tmemory (Tm): mampu mengenali antigen spesifik dan bertahan lama setelah infeksi terjadi. Sama seperti sel B memori, sel ini juga mampu merespon secara cepat apabila terjadi pemaparan infeksi oleh antigen spesifik yang dikenali olehnya. H. PROLIFERASI LIMFOSIT Proliferasi adalah proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis yang merupakan fungsi biologis tubuh. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu (Fletcher et. al., 1994). Proliferasi dari sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Mitogen adalah senyawa yang mampu menginduksi pembelahan sel limfosit, baik sel T maupun sel B dalam presentase tinggi. Stimulasi limfosit dengan antigen atau mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia dalam sel, yaitu fosforilasi nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA, dan peningkatan metabolisme lemak. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduanya secara bersamaan. Beberapa contoh dari mitogen adalah PHA (Phytohaemagglutinin), PWM (Pokeweed), Concanavalin A (Con A), dan Lipopolisakarida (LPS). Sejumlah mitogen yang umum digunakan adalah protein lektin yang berasal
dari
tumbuhan
dan
mengandung
gula
terikat,
yaitu
PHA
(Phytohaemagglutinin) dan PWM (Pokeweed). Lektin mampu mengenali perbedaan glikoprotein pada permukaan setiap sel, termasuk limfosit. PWM adalah senyawa mitogen yang diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara bersama-sama (Tizard, 1988). Namun tidak semua senyawa mitogen adalah
lektin. Mitogen LPS berasal dari komponen dinding sel bakteri gram negatif, yaitu Salmonella atau Eschericia sp, dan mampu menginduksi sel B (Kresno, 1996). Aktivitas mitogenik LPS berasal dari bagian lipid yang berinteraksi dengan membran plasma dan menghasilkan aktivasi seluler (Kuby, 1992). Mitogen Con A berasal dari ekstrak tanaman kacang jack (Conavalin ensiformis). Sekitar 50-60% sel T memberikan respon terhadap stimulasi Concanavalin A (Con A) dan PHA. Pengukuran pengujian proliferasi sel limfosit dapat dilakukan dengan melakukan pewarnaan sel menggunakan MTT. Larutan 3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]2,5-diphenyl tetrazolium bromide (MTT) dapat bereaksi dengan enzim suksinat dehidrogenase pada sel sehingga garam tetrazolium yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dapat dibaca menggunakan microplate reader (Wyllie et. al., 1998). Enzim suksinat dehidrogenase adalah enzim yang disintesis oleh mitokondria pada semua sel. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti semakin banyak jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel yang hidup juga banyak (Bounous et. al., 1992). Selain penggunaan metode MTT, pengukuran proliferasi limfosit juga dapat dilakukan menggunakan metode pewarnaan biru tripan. Biru tripan merupakan larutan buffer isotonik (Sharper, 1988). Dengan menggunakan metode pewarnaan biru tripan, sel yang hidup dapat dibedakan dengan sel mati. Sel yang hidup akan terlihat tidak berwarna (terang dan cerah) dan berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati akan berwarna biru dan mengkerut. Warna biru pada sel yang mati disebabkan oleh pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru tripan masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Sedangkan pada sel hidup, dinding sel tidak pecah sehingga pewarna tidak masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Viabilitas sel yang baik terlihat dengan semakin banyaknya jumlah sel yang hidup. Pada penelitian yang dilakukan oleh Krismawati (2007), tampak bahwa metode pewarnaan biru tripan memberikan hasil yang tidak selalu berbanding lurus dengan metode MTT. Hal ini dapat dikarenakan terjadinya kesalahan positif
maupun negatif pada pembacaan absorbansi pada metode MTT ataupun pengambilan sel yang tidak merata pada metode pewarnaan biru tripan. I. UJI TOKSISITAS PADA SEL LIMFOSIT Toksisitas adalah kapasitas suatu bahan untuk memicu terjadinya reaksi berkebalikan dari mahkluk hidup yang menimbulkan efek yang tidak diharapkan oleh tubuh (Vries, 1997). Efek toksisitas sangat erat hubungannya dengan senyawa toksik. Senyawa toksik mampu membunuh sel karena menyebabkan rusaknya materi-materi genetik seperti DNA-RNA, menyebabkan denaturasi protein, dan merusak membran sel (Bitton dan Dutka, 1986). Salah satu metode pengujian toksisitas dapat dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan sel limfosit manusia. Efek dari toksisitas suatu senyawa diamati dengan seberapa banyak sel limfosit yang mati bila dibandingkan dengan jumlah awal sel serta dengan mengamati tingkat proliferasi sel limfosit. Pengujian secara in vitro memiliki keunggulan yaitu uji yang digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat secara langsung. Teknik pengujian in vitro yang dikembangkan adalah teknik kultur sel. Terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel dalam kultur in vitro dengan sel di dalam tubuh (in vivo). Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel semakin meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur memiliki kekurangan yaitu beberapa komponen yang berpengaruh pada pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem saraf dan sistem endokrin. Menurut Novikoff dan Erick (1970), teknik kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal ataupun keberadaan senyawa berbahaya pada sel, selain itu juga dapat digunakan untuk mempelajari sifat sel di luar tempat pertumbuhan alaminya. Teknik kultur sel ini biasanya juga dilakukan untuk sel limfosit. Teknik yang paling banyak digunakan dalam pengkulturan limfosit adalah tanpa agitasi dimana sel diatur berada di dasar well (Malole, 1990). Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan
kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Davis, 1994). Kekurangan dari penggunaan kultur sel adalah hilangnya spesifitas dari sel karena pada awalnya sel bekerja secara terinteregasi dalam jaringan sedangkan di dalam kultur sel terpisah dari jaringan awal sel (Freshney, 1994). Selain kekurangan di atas, aplikasi teknik kultur sel juga harus dilakukan dalam kondisi steril sehingga membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur serta biaya yang relatif mahal. Faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan
sel
(Malole,
1990).
Media
kultur
sel
berfungsi
untuk
mempertahankan pH dan osmolalitas esensial, menyediakan lingkungan yang kondusif bagi sel bertahan hidup, dan menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Secara umum, media kultur sel terdiri dari asam amino, vitamin, garam, glukosa, suplemen organik seperti protein, peptida, nukleotida, lipid, hormon, dan faktor pertumbuhan. Pemilihan media pertumbuhan disesuaikan dengan jenis sel yang dikultur. Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI-1640 yang dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute (Davis, 1994). Pada pembuatan medium kultur ditambahkan buffer dan antibiotik. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Buffer berfungsi untuk menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7,4. Pertumbuhan sel memerlukan pH normal apabila pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat (Freshney, 1994). Regulasi pH dilakukan segera setelah sel disemaikan dalam kultur dan biasanya dilakukan dengan menggunakan satu atau dua sistem buffer yaitu sistem buffer alami yang menggunakan keseimbangan antara gas CO 2 dengan CO3/HCO3 dalam media kultur yang umumnya berupa buffer bikarbonat dan buffer kimia HEPES. Penambahan antibiotik bertujuan untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme pada medium. Pemilihan antibiotik didasarkan pada senyawa yang tidak bersifat toksik, memiliki spektrum
antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Faktor pertumbuhan bagi sel terkadang tidak cukup hanya didapatkan dari media pertumbuhan, dibutuhkan tambahan nutrisi lain bagi pertumbuhan sel. Biasanya ditambahkan serum sebagai sumber utama faktor pertumbuhan dan faktor hormonal stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sel. Serum yang digunakan pada umumnya adalah serum hewan yang kaya akan faktor pertumbuhan dan mengandung sedikit globulin, yaitu serum janin sapi (Fetal Bovine Serum atau Fetal Calf Serum). Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum et. al., 1990). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam teknik kultur sel adalah konsentrasi sel yang dikulturkan. Sel limfosit yang akan dikulturkan tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel kurang dari 105 sel/ml. Jumlah sel limfosit 6
yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 10 sel/ml. Untuk bertahan hidup sel limfosit membutuhkan O2. Pada kondisi O2 rendah terjadi induksi proses proliferasi, namun pertumbuhan tidak berlangsung lama. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepes ikan mas iradiasi yang memiliki tanggal penyinaran berbeda-beda, yaitu pepes iradiasi 11 November 2006 (Pepes A), 14 Juni 2007 (Pepes B), 5 April 2008 (Pepes C), dan pepes No Label 2008 (Pepes D) serta sampel pepes kontrol yaitu pepes ikan mas yang mengalami perlakuan pengawetan dengan sterilisasi konvensional tanpa iradiasi. Sampel pepes kontrol, 14 Juni 2007, 5 April 2008, dan No Label 2008 diproduksi oleh pihak PATIR BATAN. Sementara pepes iradiasi 11 November 2006 diiradiasi oleh pihak Rel-ion. Pada pengukuran kadar malonaldehida dilakukan pengujian pada sampel A, B, C, dan D, sementara pada pengujian proliferasi limfosit hanya digunakan sampel B, C, dan D karena keterbatasan jumlah sampel A. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi sampel adalah aquades, kertas saring,. Bahan untuk analisis proliferasi limfosit, yaitu darah manusia dari donor yang sehat, histopaque (Sigma, USA), RPMI-1640 (Sigma, USA), NaHCO 3
anhidrous,
gentamycin,
3-(4,5-dimethlthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl
tetrazolium bromide (MTT) (Sigma, USA), HCl-isopropanol 0.04N, larutan mitogen (Con A dan Pokeweed). Bahan yang digunakan dalam pengukuran kadar malonaldehida, yaitu larutan standar 1,1,3,3 tetraetoksipropana (TEP) (Sigma, USA), larutan PBS (phosphate buffer saline), larutan TBA 0.38 % - TCA 15 % BHT 0.5 % dalam HCl 0.25 N dingin. Alat yang digunakan dalam persiapan sampel adalah pisau, mortar, corong, kain saring, gelas ukur, gelas piala, syringe, membran steril 0.20 μm, dan sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis proliferasi limfosit adalah vacutainer darah dan serum, tabung sentrifuse (Cognic), mikropipet eppendorf 10-100 μl dan 100-1000 μl, sentrifuse, laminar flow, microplate reader, lempeng 0
mikrokultur (Cognic), waterbath, dan inkubator 37 C dengan atmosfer 5% CO2, O2 95% dan RH 96%. Sedangkan alat yang digunakan dalam pengukuran kadar
malonaldehida adalah tabung reaksi, mikropipet, labu takar, waterbath, sentrifuse, tabung sentrifuse, dan spektrofotometer. B. METODE PENELITIAN 1. Ekstraksi Sampel Bagian daging (edible portion) dari sampel pepes ikan mas iradiasi dan pepes kontrol yang akan diujikan diambil sebanyak 15 gram untuk pengujian proliferasi limfosit dan sebanyak 10 gram untuk pengukuran kadar malonaldehida. Sampel kemudian diekstrak menggunakan aquades (perbandingan 1:1) dan dihancurkan menggunakan mortar. Hancuran sampel kemudian
disaring
menggunakan kain saring dan dimasukkan dalam tabung sentrifuse lalu disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Sampel yang telah disentrifuse kemudian supernatannya dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas. Lalu supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Supernatan yang lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori 0.20 μm. Pada pengujian proliferasi limfosit digunakan ekstrak steril, namun pada pengukuran kadar malonaldehida digunakan cukup ekstrak yang lolos kertas saring. Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian kemudian diencerkan menjadi tiga jenis pengenceran, yaitu pengenceran satu kali, dua kali, dan empat kali. Pengenceran satu kali (1x) adalah ekstrak sampel awal yang langsung digunakan. Bagi pengenceran dua kali (2x), ekstrak sampel awal ditambahkan pelarut aquades dengan perbandingan 1:1 dari volume ekstrak sampel awal, sedangkan untuk pengenceran empat kali (4x), ekstrak sampel awal ditambahkan pelarut aquades dengan perbandingan 1:3 dari volume ekstrak sampel awal.
2. Proliferasi Limfosit (a) Persiapan Media Kultur Sel Media yang dipergunakan untuk kultur sel limfosit adalah RPMI-1640 yang mengandung L-glutamine. Sebanyak 10.42 gram bubuk RPMI dilarutkan dalam aquabidest sebanyak 1 liter sehingga diperoleh 1 liter larutan RPMI1640. Lalu larutan tersebut ditambahkan 2 gram NaHCO3 yang berfungsi sebagai buffer dan 10 ml gentamycin untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada media. Campuran larutan tersebut kemudian dilewatkan pada membran steril 0.22 µm hingga menjadi steril.
(b) Limfosit Darah Tepi (Nurrahman et al., 1999) Darah dari donor yang sehat diambil secara aseptis di klinik Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang dokter menggunakan vacutainer darah steril. Darah tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, pemindahan darah ini dilakukan di dalam laminar hood untuk menjamin kesterilan proses. Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan sentrifuse darah selama 10 menit pada 1500 rpm. Darah akan terpisah menjadi tiga bagian, yaitu sel darah merah pada bagian bawah, lapisan buffycoat pada bagian tengah, dan plasma pada bagian atas. Lapisan buffycoat adalah bagian darah yang sebagian besar berisi sel-sel limfosit. Lapisan buffycoat ini diambil dengan menggunakan mikropipet dan dilakukan pemisahan sel limfosit dengan menggunakan Histopaque (buffycoat:Histopaque = 1:1). Lapisan buffycoat dilewatkan secara hati-hati di atas Histopaque melalui dinding tabung sehingga terbentuk dua lapisan yang tidak bercampur kemudian dilakukan sentrifuse 2500 rpm selama 30 menit. Selsel limfosit, monosit dan platelet tidak mempunyai densitas yang cukup tinggi untuk menembus Histopaque sehingga berada di bagian atas, sedangkan granulosit berada di dasar tabung. Proses isolasi sel limfosit yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7.
(a)
(b)
(c)
Gambar 7. (a) Darah setelah disentrifuse dan terpisah menjadi bagian plasma, buffycoat, dan eritrosit , (b) Lapisan buffycoat dan larutan Histopaque , (c) Setelah disentrifuse, terjadi pemisahan eritrosit, histopaque, dan limfosit.
Setelah dipisahkan, ditambahkan dengan media RPMI standar sebanyak 5 ml lalu disentrifuse selama 10 menit pada 1000 rpm. Pencucian dilakukan dua kali, sehinggga limfosit terpisah dari platelet, monosit, plasma, dan Histopaque.
(c) Serum Darah AB (Nurrahman (Nurrahm et al., 1999) Darah dari donor bergolongan AB yang sehat diambil secara aseptis di klinik Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang dokter menggunakan vacutainer darah steril lalu dipindahkan ke dalam tabung sentrifus . Pemindahan emindahan darah ini dilakukan di dalam laminar hood untuk menjamin kesterilan sterilan proses. proses Darah tersebut kemudian disentrifuse selama 30 menit pada 2500 rpm hingga terpisah menjadi tiga bagian. Bagian yang berada di bagian atas diambil menggunakan mikropipet dan bagian darah tidak boleh sampai terambil. teram bil. Bagian yang sudah dipisahkan lalu dipanaskan dalam waterbath suhu 56˚ ˚ C selama 30 menit lalu disterilkan menggunakan membran steril 0.20 μm.
(d) Pengujian Aktivitas Proliferasi dengan metode MTT (Meiriana, 2006) Suspensi sel limfosit dihitung menggunakan haemacytometer dengan pewarnaan biru tripan dan ditepatkan jumlahnya menjadi 2 x 106 sel / ml lalu ditambahkan serum golongan darah AB sebanyak 10% dari volume akhir suspensi sel. Mula-mula ekstrak sampel dimasukkan pada masing-masing sumur pada lempeng sumur sebanyak 20 µl dan ditambahkan suspensi sel sebanyak 80 µl. Untuk kontrol standar, sumur hanya berisi RPMI dan sel, sedangkan kontrol positif, ditambahkan larutan mitogen yaitu lipopolisakarida bakteri Salmonella sp. dan pokeweed masing-masing sebanyak 20 µl. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 370C dengan atmosfer 5% CO2, O2 95% dan RH 96% selama 72 jam. Enam jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur ditambahkan dengan 10 µl larutan MTT 0.5% yang dilarutkan dalam aquades. Setelah masa inkubasi berakhir, sebanyak 100 µl HCl-isopropanol 0.04N ditambahkan pada setiap sumur. Kemudian absorbansi masing-masing sumur diukur menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 570 nm. Pada penelitian ini, dilakukan pembacaan nilai absorbansi kultur dari tiga batch yang berbeda dengan masing-masing batch memiliki tiga ulangan. Nilai OD hasil pembacaan menggunakan ELISA reader bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Penampakan kultur sel setelah inkubasi dan penambahan larutan pereaksi dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. (a) Kultur sel limfosit setelah etelah inkubasi 66 jam, (b) Kultur sel limfosit setelah etelah penambahan MTT 0.5%, (c) Kultur sel limfosit setelah penambahan HClHCl isopropanol 0.04N
Pengujian Indeks Stimulasi (I.S) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: I.S. = Abs ekstrak sampel Abs kontrol standar
3. Kadar Malonaldehida (Seligman et al., 1977) Sebanyak 2 ml ekstrak sampel dan kontrol yang akan diukur ditambahkan dengan 2 ml larutan HCl 0.25 N yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 80˚ C selama 30 menit kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel kemudian disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatan dari sampel diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Hasil pengukuran sampel kemudian dibandingkan dengan kurva standar TEP (1,1,3,3 1,1,3,3 tetraetoksipropana) yang memiliki variasi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 pmol/ml.
4. Analisis Statistik Data-data yang diperoleh dari pengujian proliferasi limfosit maupun pengukuran kadar malonaldehida pada berbagai sampel pepes ikan iradiasi akan dibandingkan dengan data dari sampel pepes ikan kontrol menggunakan analisa pengujian statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dengan nilai selang kepercayaan 99% yang diikuti dengan uji Duncan sehingga dapat disimpulkan apakah data pepes iradiasi berbeda nyata dengan pepes kontrol.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. EKSTRAKSI SAMPEL Ekstraksi adalah sebuah metode pemisahan komponen-komponen yang terlarut dari suatu campuran dengan komponen-komponen yang tidak larut dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975). Metode ekstraksi padatan yang digunakan adalah mencampur seluruh bagian bahan yang akan diuji dengan pelarut, lalu bagian yang dapat terlarut dipisahkan dengan padatan tidak terlarut. Pada penelitian ini, sebelum dilakukan pengekstrakan sampel dilakukan pengamatan subjektif terhadap bau, tekstur, dan tampilan umum pada pepes iradiasi. Tampilan umum pepes iradiasi dengan pepes kontrol tidak berbeda, bau pepes iradiasi bahkan lebih harum dibandingkan dengan pepes kontrol, namun tekstur dari pepes iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan pepes kontrol. Bagian daging dari pepes iradiasi juga memiliki warna yang lebih kuning dibandingkan pepes kontrol, hal ini mungkin disebabkan bumbu yang lebih meresap pada bahan. Pengekstrakan sampel dilakukan pada bagian daging ikan (edible portion) karena pada umumnya bagian tersebut yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai pendekatan terhadap cara masyarakat dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari, termasuk pepes, secara umum yaitu hanya minum air biasa. Perbandingan ekstraksi bahan dengan pelarut adalah 1:1. Bagian daging dari ikan pepes iradiasi maupun pepes kontrol yang akan diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades (1:1) dan disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500 rpm selama 30 menit. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel dipisahkan lalu dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir,
supernatan yang lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori 0.20 μm. Pada pengujian proliferasi limfosit digunakan sampel steril yang dilewatkan pada membran steril, sedangkan pada pengukuran kadar malonaldehida sampel cukup digunakan ekstrak yang lolos pada kertas saring. Hal ini dilakukan karena pada teknik kultur sel dibutuhkan kondisi steril agar mencegah kontaminasi mikroorganisme yang dapat menyebabkan kesalahan pada pengujian. Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian terdiri dari tiga jenis pengenceran, yaitu pengenceran satu kali, dua kali, dan empat kali. Pengenceran satu kali (1x) adalah ekstrak sampel awal yang langsung digunakan, pengenceran dua kali (2x) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan 1:1 dari ekstrak sampel awal, dan pengenceran empat kali (4x) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 dari ekstrak sampel awal. Pengenceran ini dilakukan untuk mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana dikhawatirkan radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan membentuk radikal hidroksi yang tentunya akan mempengaruhi pengujian.
B. PROLIFERASI LIMFOSIT 1. Model Pengujian Toksisitas Kultur Limfosit in vitro Pada Pepes Iradiasi Pengujian teknik kultur sel imfosit yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam metode in vitro. Metode in vitro memerlukan kondisi lingkungan pertumbuhan yang sama seperti keadaaan di dalam tubuh (in vivo) agar proses biologis yang terjadi di dalam kultur sel berlangsung mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Kondisi lingkungan yang perlu dikontrol, yaitu temperatur, pH, asupan nutrisi yang diberi, tekanan osmotik, ataupun fase gas yang sesuai (Davis, 1994). Keuntungan dari metode in vitro adalah keadaan lingkungan pertumbuhan yang cenderung lebih stabil karena dapat diamati dan diatur secara langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan juga dapat diatur (Harrison, 1997). Ekstrak yang akan diujikan dalam metode ini mengalami perlakuan sterilisasi dingin dengan menggunakan membran steril 0.20 μm di dalam laminar flow.
Penggunaan membran steril dianggap cukup dalam proses sterilisasi karena mikroorganisme yang dapat mengontaminasi ekstrak tidak dapat melalui pori-pori membran. Sampel pepes yang digunakan dalam pengujian ini adalah sampel pepes B, sampel pepes C, dan sampel D. Masing-masing ekstrak kemudian diencerkan dengan perbandingan 1:1 (pengenceran 2x) dan 1:3 (pengenceran 4x) dari ekstrak sampel awal (pengenceran 1x). Pengenceran ini dilakukan untuk mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana dikhawatirkan radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan membentuk radikal hidroksi yang tentunya akan mempengaruhi proliferasi dari limfosit. Menurut Singh, et. al. (2005), radiasi ionisasi akan menginduksi terbentuknya radikal bebas yang akan berinteraksi di antara sesamanya atau dengan molekul biologis yang menyebabkan pembentukan radikal bebas baru. Pembentukan radikal baru dalam matriks biologis dipercaya dapat menyebabkan kerusakan biologis bahkan dalam dosis iradiasi rendah. Beberapa dari radikal bebas ini juga bertanggungjawab atas ketidakstabilan genomik (Barcellos-Hoff, 2001). Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel yang bertanggung jawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Cambier, 1987). Limfosit mempunyai fungsi yang paling beragam dibandingkan semua sel dalam sistem imun dimana lebih dari satu juta struktur antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki limfosit. Selain itu limfosit sebagai sel imun cenderung sensitif terhadap ketidakseimbangan oksidan-antioksidan dalam tubuh akibat dari struktur membran plasma sel limfosit yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat mudah teroksidasi. Ketidakseimbangan oksidan-antioksidan dalam tubuh juga mempengaruhi intregitas dan fungsi plasma membran sel, protein selular, DNA, dan mengganggu tranduksi sinyal dalam replikasi DNA (Aw, 1999). Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan dalam lingkungan pertumbuhan sel limfosit dapat menghambat proliferasi dari sel limfosit.
Penelitian enelitian yang dilakukan oleh Krismawati (2007) juga menggunakan pengujian proliferasi limfosit untuk mengetahui tingkat toksisitas dan efek imunomodulator pada sampel daun delima putih, daun kemuning, daun ceremai, daun jati belanda, dan bunga kecombrang . Diketahui bahwa sampel daun delima putih, ceremai, kemuning, dan bunga kecombrang memicu proliferasi sel limfosit, sedangkan ekstrak daun jati belanda dengan peningkatan konsentrasi menghambat proliferasi. Hal ini menyatakan bahwa keempat ekstrak bersifat tidak toksik dan mampu berperan sebagai imunomodulator, sementar a ekstrak daun jati belanda menghambat proliferasi limfosit dan tidak dapat berperan sebagai imunomodulator bagi sistem imun manusia. Sel limfosit yang digunakan dalam penelitian ini diisolasi dari darah secara aseptis di klinik Farfa Dramaga oleh seora ng tenaga ahli dengan menggunakan tabung vacuntainer steril. Untuk memisahkan sel limfosit dari sel-sel sel darah yang lain digunakan larutan Histopaque yang memiliki densitas 1.077 + 0.0001 g/ml. Larutan ini mampu menahan sel-sel sel agranulosit yang berdensitas rendah seperti limfosit sehingga tetap berada di bagian atas, sementara sel eritrosit yang berdensitas tinggi berada di bagian dasar. Menurut Balaban, et. al. (1987), metode pemisahan dengan menggunakan larutan Histopaque dapat memisahkan lebih dari 90% li mfosit hidup yang terkandung dalam darah. Hasil pemisahan sell limfosit menggunakan larutan Histopaque dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hasil pemisahan limfosit menggunakan Histopaque
Pada penelitian ini digunakan senyawa mitogen sebagai kontrol positif. Senyawa mitogen dapat memicu terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit karena senyawa ini dapat mengaktivasi hormon tirosin kinase yang merupakan faktor pertumbuhan dari sel. Hormon tirosin kinase bertanggung jawab untuk mengirimkan sinyal-sinyal yang mempengaruhi faktor transkripsi dan aktivasi gen sehingga terjadi proliferasi sel (Decker, 2001). Senyawa mitogen yang digunakan pada penelitian ini adalah pokeweed (PWM) dan lipopolisakarida (LPS). PWM adalah senyawa mitogen yang diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana) dan mengandung protein lektin yang berasal dari tumbuhan. Lektin mampu mengenali perbedaan glikoprotein pada permukaan setiap sel, termasuk sel limfosit. Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara bersama-sama (Tizard, 1988). Sedangkan senyawa mitogen LPS berasal dari komponen dinding sel bakteri gram standar seperti Salmonella typhii. LPS dapat memicu proliferasi dari sel B. Konsentrasi mitogen yang digunakan adalah 10 g/ml. Penentuan konsentrasi ini berdasarkan pada Krismawati (2007). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa indeks stimulasi kontrol positif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol standar. Hal ini menunjukkan mitogen yang digunakan berfungsi dengan baik sehingga dapat memicu terjadinya proliferasi sel limfosit. Indeks stimulasi dari kontrol standar dianggap 1, sementara indeks stimulasi dari sel yang dikultur dengan mitogen Con A adalah 1.54 dan indeks stimulasi sel yang dikultur dengan mitogen LPS adalah 1.27. Dalam penelitian ini, volume total kultur sel yang digunakan adalah 100 l untuk setiap sumur, dimana suspensi sel yang ditambahkan adalah 80 μl dan ekstrak yang ditambahkan adalah 20 μl. Jumlah sel limfosit hidup yang dikultur pada 6
penelitian ini adalah 2 x 10 sel/ml mengacu pada Meiriana (2006). Jumlah sel tersebut ditentukan melalui asumsi bahwa sel limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya selama waktu inkubasi 72 jam. Pemilihan waktu inkubasi 72 jam dilakukan karena kultur sel limfosit manusia hanya bisa bertahan selama tiga hari, bila lewat dari waktu tersebut maka sel yang dikultur akan mati perlahan (Paul, 1972). Pemilihan waktu inkubasi 72 jam juga disesuaikan dengan
asumsi berkurangnya zat-zat nutrisi yang ada untuk mendukung proses pertumbuhan sel. Medium pertumbuhan sel limfosit hanya berfungsi secara maksimal selama tiga hari, bila ingin dikultur lebih lama maka harus dilakukan penyegaran media dan penambahan glutamin. Prinsip pengujian aktivitas proliferasi dilakukan dengan membandingkan dengan jumlah sel limfosit yang hidup tanpa penambahan ekstrak dengan sel yang ditambahkan ekstrak melalui peningkatan ataupun penurunan jumlahnya setelah inkubasi selama 72 jam. Pengukuran jumlah sel dilakukan dengan menggunakan metode MTT melalui pembacaan absorbansi kultur menggunakan microplate reader. Kesalahan perhitungan absorbansi dapat terjadi pada metode MTT akibat adanya kontaminasi dari bakteri ataupun khamir. Mitokondria sel bakteri juga menghasilkan enzim suksinat dehidrogenase yang dapat bereaksi dengan garam tetrazolium dari MTT sehingga menghasilkan kristal formazan berwarna biru dan menyebabkan kesalahan positif. Oleh karena itu, penelitian harus dilakukan dalam kondisi yang aseptis dan ekstrak yang digunakan harus steril untuk mengantisipasi kontaminasi yang terjadi. Tabel hasil pembacaan absorbansi uji proliferasi limfosit dapat dilihat pada Lampiran 3. 2. Pengaruh Ekstrak Pepes Iradiasi Terhadap Proliferasi Limfosit Berdasarkan hasil yang didapatkan dari nilai pembacaan kultur tampak bahwa nilai indeks stimulasi yang didapatkan bervariasi dan menunjukkan pola tertentu untuk tiap pengenceran. Nilai indeks kultur limfosit ini merupakan nilai rataan dari hasil pembacaan sampel pada dua batch dengan tiga kali ulangan. Kontrol positif LPS dan Pokeweed menunjukkan nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan kontrol standar maupun sampel-sampel yang diujikan, dimana nilai indeks stimulasi LPS adalah 1.813 dan nilai indeks stimulasi Pokeweed adalah 1.466 dari nilai kontrol standar yaitu 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa mitogen yang digunakan masih berfungsi dengan baik untuk menginduksi proliferasi dari limfosit yang diujikan. Perbandingan indeks stimulasi kultur limfosit masing-masing sampel pada berbagai pengenceran dapat dilihat pada Gambar 10.
2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 0.800
1.813 1.347 1.289 1.293 1.466 1.356 1.344 1.144 1.259 1.084 1.169 1.161 1.105 0.984
1.000
0.600 0.400 0.200 0.000 Ekstrak B
Ekstrak C
Ekstrak D
Pengenceran 1x
Kontrol Pepes
Pengenceran 2x
Pokeweed
LPS
Kontrol Standar
Pengenceran 4x
Gambar 10. Grafik indeks stimulasi proliferasi kultur ultur limfosit
Perbandingan antara sampel pepes iradiasi dan sampel pepes kontrol pada pengenceran 1xx menunjukkan bahwa sampel -sampel sampel pepes iradiasi memiliki nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes kontrol. Sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.161, sampel pepes B menunjukkan nilai indeks stimulasi seb esar 1.356, sampel pepes C menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.289, dan sampel pepes D menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.347. Berdasarkan pengujian statisitik menggunakan ANOVA terlihat bahwa masing-masing masing sampel pepes iradiasi pada pengenceran genceran 1x memiliki nilai indeks stimulasi yang tidak berbeda nyata dengan sampel pepes kontrol pada selang kepercayaan 99%. Selain itu saat dibandingkan nilai indeks stimulasi dari sampel pepes iradiasi dan sampel pepes kontrol dengan kontrol standar te rnyata nilai yang didapatkan juga tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes kontrol tidak menginduksi proliferasi dari limfosit maupun membunuh sel (non--sitolitik).
Pada pengenceran 2x terlihat bahwa ekstrak pepes kontrol dengan nilai indeks stimulasi 1.259 memiliki nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes iradiasi B dan sampel pepes C yaitu dengan nilai indeks stimulasi 1.084 dan 1.144. Sedangkan sampel pepes D memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.344. Pada pengujian statistik ANOVA yang digunakan terlihat bahwa nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi sampel pepes kontrol pada pengenceran 2x tidak memiliki perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 99%. Saat dibandingkan antara nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi dan pepes kontrol dengan kontrol standar ternyata nilai yang didapatkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes kontrol tidak menginduksi proliferasi dari limfosit maupun membunuh sel (nonsitolitik). Sementara itu pada pengenceran 4x terlihat bahwa sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi lebih besar dibandingkan dengan sampel pepes iradiasi, bahkan nilai indeks stimulasi pada sampel pepes D menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol standar. Nilai indeks stimulasi dari sampel pepes kontrol adalah 1.293, nilai indeks stimulasi sampel pepes B adalah 1.105, sampel pepes C memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.169, sementara nilai indeks stimulasi dari pepes D adalah 0.984. Berdasarkan pengujian statistik ANOVA yang digunakan terlihat bahwa pada pengenceran 4x, nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi sampel pepes kontrol tidak memiliki perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 99%. Saat dibandingkan antara nilai indeks stimulasi sampel pepes iradiasi dan pepes kontrol dengan kontrol standar ternyata nilai yang didapatkan juga tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes iradiasi maupun sampel pepes kontrol tidak menginduksi proliferasi dari limfosit dan sampel pepes D tidak mengurangi jumlah sel limfosit yang dikulturkan. Data mengenai pengujian toksisitas in vitro mengenai pangan iradiasi sangat terbatas, terutama pada pangan siap saji. Selama ini pengujian in vitro yang dilakukan juga terbatas pada efek mutagenik dari senyawa radiolitik yang terdapat pada produk
iradiasi, misalnya senyawa 2-ACBs dan 2-DCB. Pengujian ini dilakukan pada sel bakteri dan sel mamalia. Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh Ashley et. al. (2004), dari 19 penelitian yang dilakukan secara in vitro terhadap efek mutagenik sel, ada 7 penelitian yang menyatakan bahwa produk dapat menyebabkan mutagenik maupun sitotoksik sel. Namun hal ini dianggap tidak berbahaya karena agen mutagenik yang ada dianggap tidak menyebabkan tumor atau kanker. Sementara itu dari studi in vitro yang dilakukan, dari 26 penelitian yang dilakukan, hanya empat penelitian yang menyatakan bahwa pemberian ransum iradiasi pada tikus menyebabkan mutasi sel. Menurut penelitian lain, pada studi in vivo yang dilakukan, pemberian ransum pangan iradiasi hingga dosis 50 kGy tidak menyebabkan terbentuknya egfek toksik yang signifikan. Saat ditemukan efek yang tidak diinginkan, biasa nya hal itu terjadi akibat alergi maupun ketidakseimbangan nutrisi ransum, terutama akibat tingginya persentase bahan yang diujikan dalam ransum. Pada penelitian ini tampak bahwa ekstrak pepes ikan iradiasi tidak menyebabkan penghambatan proliferasi sel limfosit selama masa inkubasi 72 jam. Hal ini membuktikan bahwa dalam lingkungan pertumbuhan sel limfosit tidak terdapat senyawa yang bersifat toksik, termasuk ekstrak sampel pepes iradiasi. Menurut Diehl (1990), energi yang dihasilkan dari radiasi gamma sumber radioaktif Cobalt-60 terlalu kecil untuk menginduksi radioaktivitas elemen dalam matriks pangan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Doyle (1999). Salah satu kekhawatiran atas keamanan pangan iradiasi juga akibat adanya dugaan pembentukan produk radiolitik berbahaya dalam produk iradiasi. Besar kecilnya keberadaan produk radiolitik ini di dalam produk tergantung pada dosis iradiasi yang diaplikasikan, kadar air bahan, dan keberadaan oksigen (Diehl, 1990). Bahkan menurut Nawar (1986), pembentukan senyawa radiolitik yang terjadi akibat proses pemasakan panas biasa lebih besar dibandingkan dengan proses iradiasi. Kombinasi pembekuan dan kondisi vakum pada produk juga mencegah terbentuknya rantai radikal bebas pada produk. Pada suhu -20˚ C sampai -79˚ C, radikal bebas yang terbentuk akibat energi ionisasi akan terperangkap. Umur radikal bebas sendiri hanyalah beberapa nanodetik sehingga tidak mampu bereaksi dengan radikal di
sekitarnya maupun dengan substrat bahan pangan sehingga tidak menyebabkan terjadinya rantai radikal bebas dalam produk . Pembekuan juga berfungsi untuk mencegah proses radiolisis akibat peruraian air dan pembentukan radikal stabil lainnya sehingga unsur makro dan minor nutrisi bahan pangan tidak mengalami kerusakan 3. Pengaruh Variasi Pengenceran Terhadap Proliferasi Limfosit Berdasarkan grafik perbandingan nilai indeks stimulasi sampel terlihat bahwa pada sampel pepes kontrol dengan semakin meningkatnya pengenceran menunjukkan kecenderungan peningkatan nilai indeks stimulasi, sementara pada pepes iradiasi dengan peningkatan pengenceran cenderung menunjukkan penghambatan indeks stimulasi limfosit.. Walaupun berdasarkan pengujian ANOVA nilai yang didapatkan tidak berbeda nyata, namun hal ini menunjukkan bahwa adanya interaksi tertentu antara air dengan ekstrak sampel. Perbandingan hasil pewarnaan kultur limfosit dengan menggunakan MTT dapat dilihat pada Gambar 11. Tampak bahwa dengan semakin meningkatnya pengenceran, warna biru yang dihasilkan memudar bahkan hilang,
Gambar 11. Hasil pewarnaan kultur limfosit menggunakan enggunakan MTT
Menurut Ahn (2006), peristiwa ionisasi menghasilkan radikal hidroksi di dalam sistem emulsi air dalam matriks pangan. Iradiasi juga menyebabkan terbentuknya
hidrogen
peroksida
yang
pada
akhirnya
juga
menyebabkan
terbentuknya radikal hidroksi. Produk radiolitik yang berasal dari air adalah radikal hidroksi (•OH), atom hidrogen (•H), hidrogen peroksida, hidrogen (H2), H3O+ , dan e-aq (Diehl, 1990). Pada produk iradiasi biasanya banyak ditemukan hidrogen peroksida dan radikal hidroksi sebagai oksidator kuat. Saat dilakukan pengenceran maka semakin meningkat pula pembentukan radikal hidroksi ataupun hidrogen peroksida akibat keberadaan air. Radikal hidroksi maupun hidrogen peroksida dapat menyebabkan oksidasi pada membran sel limfosit yang kaya akan asam lemak tak jenuh sehingga mengganggu proses proliferasi dari limfosit. Hal inilah yang mungkin menyebabkan nilai indeks stimulasi yang menurun.
C. KADAR MALONALDEHIDA Analisis malonaldehida dilakukan sebagai pengukuran tidak langsung bagi radikal bebas karena untuk menentukan jumlah radikal bebas secara langsung sangat sulit. Hal ini disebabkan radikal bebas bersifat tidak stabil dan cenderung merebut elektron dari molekul lain (Gutteridge, 1995). Malonaldehida merupakan produk peroksidasi asam lemak tak jenuh yang banyak ditemukan dalam matriks biologis. Oleh karena itu, pengukuran kadar malonaldehida juga berfungsi sebagai indikator kerusakan oksidatif di dalam material biologis. 1. Metode Spektrofotometri Pada Pengukuran Kadar Malonaldehida Pepes Iradiasi Metode pengukuran malonaldehida yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode spektrofotometer. Prinsip dari metode pengukuran ini didasarkan pada reaksi malonaldehida dengan pereaksi thiobarbituric acid (TBA) yang akan menghasilkan kompleks senyawa berwarna merah dalam suasana asam yang absorbansinya dapat dibaca pada panjang gelombang 532 nm. Menurut Nawar (1985), metode TBARS banyak digunakan untuk mengukur keberadaan radikal bebas
dan peroksidasi lipid karena memiliki kepekaan yang cukup tinggi. Selain itu, metode ini mudah diaplikasikan untuk berbagai sampel pada berbagai tahap oksidasi. Dalam metode yang digunakan, ekstrak dari pepes ikan iradiasi maupun pepes ikan kontrol direaksikan dengan larutan campuran TBA, TCA, dan BHT. Larutan trichloroacetic acid (TCA) berfungsi untuk mengendapkan protein yang ada pada sampel, sementara butylated hydroxytoluene (BHT) berfungsi sebagai antioksidan. Pemanasan yang dilakukan berfungsi untuk menghidrolisis peroksida lipid sehingga dapat membebaskan malonaldehida yang terikat dalam kompleks. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel pepes iradiasi A, B, C, D, dan sampel pepes kontrol. Untuk mengetahui konsentrasi malonaldehida dalam sampel digunakan larutan standar TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana). Pada suasana asam, TEP dapat terhidrolisis dan menghasilkan hemiasetal dan etanol. Hemiasetal yang terbentuk kemudian terdekomposisi menjadi etanol dan malonaldehida. Larutan TEP yang digunakan memiliki variasi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 pmol/ml seperti yang tampak pada Tabel 4. Masing-masing larutan TEP berbagai konsentrasi
direaksikan
dengan
menggunakan spektrofotometer.
pereaksi
TBA
dan
dibaca
absorbansinya
Tabel 4. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar TEP Konsentrasi (pmol/ml)
Absorbansi
0
0.089
25
0.170
50
0.269
75
0.313
100
0.384
125
0.440
150
0.508
175
0.534
200
0.640
250
0.730
Kurva standar larutan TEP dari malonaldehida diperlukan untuk mengetahui secara pasti konsentrasi malonaldehida dalam sampel. Dari kurva standar larutan TEP didapatkan persamaan y = 0.002x + 0.117 dimana nilai y adalah absorbansi dan x adalah konsentrasi. Dari kurva standar yang didapatkan tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi malonaldehida maka nilai absorbansi yang didapatkan juga semakin tinggi. Hal ini berarti semakin banyak pula malonaldehida dalam sampel yang bereaksi dengan TBA membentuk kompleks senyawa yang berwarna merah sehingga pembacaan absorbansi pun meningkat. Data hasil pembacaan absorbansi sampel dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil dari pengukuran absorbansi sampel kemudian dimasukkan dalam persamaan kurva standar tersebut sehingga didapatkan secara pasti nilai konsentrasi malonaldehida bagi setiap sampelnya. Kurva standar larutan TEP dapat dilihat pada Gambar 12.
Konsentrasi (pmol/ml)
Kurva Standar Larutan TEP 0.8 0.6 0.4
y = 0.002x + 0.117 R² = 0.991
0.2 0 0
50
100
150
200
250
300
Absorbansi
Gambar 12. Kurva standar larutan TEP 2. Kadar Malonaldehida Pada Pepes Iradiasi Berdasarkan
pengukuran
yang dilakukan
terlihat bahwa
konsentrasi
malonaldehida yang terkandung di dalam sampel baik pepes iradiasi maupun pepes kontrol dalam berbagai pengenceran menunjukkan nilai yang tidak berbeda jauh yaitu dengan kisaran 0.1173-0.1182 0.1173 pmol/ml. Perbandingan konsentrasi malonaldehida malonaldehid pada masing-masing masing sampel dan pengenceran dapat dilihat pada Gambar 13. 0.1184 Konsentrasi (pmol/ml)
0.1182
0.1182
0.1182
0.1181
0.1180
0.1180 0.1178
0.1178 0.1177
0.1176 0.1174
0.1175
0.1176 0.1175
0.1176 0.1175
0.1174
0.1173
0.1172
0.1174 0.1173
Pengenceran 1x Pengenceran 2x Pengenceran 4x
0.1170 0.1168 Ekstrak A
Ekstrak B
Ekstrak C
Ekstrak D
Kontrol Pepes
Sampel
Gambar 13. Grafik perbandingan konsentrasi malonaldehida
Pada pengenceran 1x, sampel A dan D memiliki konsentrasi sebesar 0.1182 pmol/ml, sampel B memiliki konsentrasi sebesar 0.1181 pmol/ml, sampel C memiliki konsentrasi sebesar 0.1178 pmol/ml, dan sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1180 pmol/ml. Berdasarkan pengujian ANOVA terlihat bahwa masingmasing sampel pepes iradiasi memiliki konsentrasi malonaldehida yang tidak berbeda nyata dengan sampel pepes kontrol pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa sampel pepes ikan mas iradiasi pada pengenceran 1x memiliki kadar malonaldehida yang masih dapat diterima dan tidak berbahaya. Pada pengenceran 2x terlihat bahwa sampel pepes A memiliki nilai konsentrasi tertinggi yaitu 0.1177 pmol/ml, sampel pepes B dan sampel D memiliki konsentrasi sebesar 0.1176 pmol/ml, sampel C memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sementara sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml. Berdasarkan pengujian ANOVA yang dilakukan terlihat bahwa pada pengenceran 2x masing-masing sampel pepes iradiasi memiliki konsentrasi malonaldehida yang tidak berbeda nyata dengan sampel pepes kontrol pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa pada pengenceran 2x kadar malonaldehida pada sampel pepes ikan mas iradiasi masih dapat diterima dan tidak berbahaya. Sementara pada pengenceran 4x, berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa sampel pepes A dan sampel pepes B memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sampel D memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml, sedangkan sampel C dan sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1173 pmol/ml. Pada pengujian ANOVA yang dilakukan terlihat bahwa pada pengenceran 4x masingmasing sampel pepes iradiasi memiliki konsentrasi malonaldehida yang tidak berbeda nyata dengan sampel pepes kontrol pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa pada pengenceran 4x kadar malonaldehida pada sampel pepes ikan mas iradiasi masih dapat diterima dan tidak berbahaya. Pada penelitian yang dilakukan Crawford et al. (1965) dosis letal 8
malonaldehida pada tikus adalah sebesar 6,32x10 pmol/ml, sementara penelitian mengenai dosis letal malonaldehida pada manusia belum pernah dilakukan. Data
mengenai pengukuran kadar malonaldehida pada produk ikan siap saji yang mengalami proses γ -iradiasi pada dosis tinggi sangat terbatas. Namun sebagai perbandingan ditemukan data mengenai hasil pengukuran kadar malonaldehida (mg/kg) pada sampel ikan Sea Bream yang mengalami perlakuan γ-iradiasi pada dosis rendah yaitu 1 kGy dan 3 kGy. Penelitian ini dilakukan oleh Irene Chouliara et. al. pada tahun 2005. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa selama masa simpan selama 21 hari, kadar malonaldehida sampel meningkat. Pada awal masa penyimpanan, rata-rata sampel memiliki kadar malonaldehida sebesar 0.5-0.6 mg/kg sampel dan di akhir masa penyimpanan sampel kontrol (non-iradiasi) memiliki konsentrasi sebesar 4.9 mg/kg, sampel iradiasi 1 kGy memiliki konsentrasi sebesar 5.2 mg/kg, dan sampel iradiasi 3 kGy memiliki konsentrasi sebesar 6.8 mg/kg (Chouliara et. al., 2005). Produk pangan ikan, terutama ikan mas, memiliki kadar air, protein serta lemak yang cukup tinggi. Perlakuan iradiasi pada produk pangan dapat menyebabkan beberapa perubahan pada matriks pangan. Pada umumnya dengan semakin meningkatnya dosis iradiasi maka perubahan yang terjadi pada komponen pangan pun meningkat (Diehl, 1990). Malonaldehida yang terkandung di dalam matriks pangan merupakan hasil dari oksidasi lipid yang ada pada bahan. Oksidasi lipid pada pangan iradiasi berasal dari efek radiasi tidak langsung akibat adanya air pada bahan. Saat terjadi proses ionisasi maka terbentuklah reaktif spesies dari air, pada umumnya adalah hidrogen peroksida dan radikal hidroksi. Autooksidasi dari lipid pada peristiwa ionisasi juga dapat terjadi akibat keberadaan oksigen (Diehl, 1990). Namun seperti yang telah disebutkan bahwa sampel pepes iradiasi yang digunakan dalam penelitian ini dikemas dalam kemasan vakum 80% dan mendapatkan perlakuan iradiasi dalam kondisi beku sehingga dapat dikatakan bahwa oksidasi lipid pada sampel terjadi setelah peristiwa iradiasi terjadi. Menurut Astrack et. al. (1952), pada pengukuran kadar peroksida minyak ikan makarel yang dilakukan sesaat setelah proses iradiasi, tampak bahwa tidak ada perbedaan antara sampel iradiasi dan sampel non-iradiasi. Namun selama proses penyimpanan tampak perbedaan nyata pada sampel yang mengalami perlakuan
iradiasi. Hal ini mungkin terjadi akibat selama proses ionisasi yang berlangsung terbentuk hidrogen peroksida yang berasal dari sistem aqueous matriks pangan. Selama penyimpanan, hidrogen peroksida akan berkurang secara berkala, namun menyebabkan substrat lain dalam bahan pangan teroksidasi. Senyawa-senyawa yang terbentuk selama proses iradiasi disebut sebagai senyawa radiolitik. Beberapa penelitian yang telah dilakukan telah menyatakan bahwa radiasi tidak menyebabkan pembentukan cincin aromatik dan cincin heterosiklik, serta tidak menyebabkan kondensasi dari cinci aromatik (Diehl, 1990). Senyawa cincin aromatik dan heterosiklik diketahui bersifat karsinogen dan biasanya terbentuk akibat proses pemasakan suhu tinggi. Iradiasi yang dilakukan pada asam amino murni dan peptida pada dosis 60 kGy membentuk senyawa volatil yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan proses pemasakan pada suhu 170˚ C selama satu jam (Nawar, 1986). Selain itu dari beberapa studi yang dilakukan pada daging yang diiradiasi tampak bahwa protein atau kompleks protein-karbohidrat mampu berfungsi sebagai antioksidan yang melindungi oksidasi lipid dengan meningkatnya dosis iradiasi (Diehl, 1990). Menurut Irawati (2009), pada iradiasi pangan diupayakan tidak terjadi radiolisis pada asam amino aromatik seperti fenilalanin dan tirosis, serta pada asam amino yang sensitif terhadap radiasi yaitu metionin, histidin, dan arginin. Iradiasi bahan pangan dengan kandungan protein dan kadar air tinggi akan memicu terjadinya proses radiolisis. Hal ini disebabkan adanya ikatan hidogen, jembatan disulfida, ikatan hidrofobik, dan ikatan ion dalam asam amino. Menurut Karadag dan Gunes (2008), penggunaan antioksidan, bumbu, dan rempah pada produk juga dapat menghambat oksidasi lipid pada produk. Pada produk pepes ikan mas digunakan berbagai macam bumbu dan rempah yang mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan menurunkan oksidasi lipid akibat proses iradiasi sehingga kadar malonaldehida pada produk pepes iradiasi masih dapat diterima dan tidak berbahaya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pengujian proliferasi limfosit dan pengukuran kadar malonaldehida yang dilakukan terhadap berbagai sampel pepes ikan mas iradiasi, yaitu sampel pepes 11 November 2006 (Sampel A), sampel pepes 14 Juni 2007 (Sampel B), sampel pepes 5 April 2008 (Sampel C), dan sampel pepes No Label 2008 (Sampel D) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengujian proliferasi sel limfosit pada pengenceran 1x menunjukkan hasil sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.161, sampel pepes 14 Juni 2007 menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.356, sampel pepes 5 April 2008 menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.289, dan sampel pepes No Label 2008 menunjukkan nilai indeks stimulasi sebesar 1.347. 2. Pada pengenceran 2x nilai indeks stimulasi dari berbagai sampel adalah sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi 1.259, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki nilai indeks stimulasi 1.084, sampel pepes 5 April 2008 memiliki nilai indeks stimulasi 1.144, sampel pepes No Label 2008 memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.344. 3. Sedangkan pada pengenceran 4x nilai indeks stimulasi pada berbagai sampel adalah sebagai berikut nilai indeks stimulasi dari sampel pepes kontrol adalah 1.293, nilai indeks stimulasi sampel pepes 14 Juni 2007 adalah 1.105, sampel pepes 5 April 2008 memiliki nilai indeks stimulasi sebesar 1.169, sementara nilai indeks stimulasi dari pepes No Label 2008 adalah 0.984. 4. Sampel pepes ikan iradiasi maupun sampel pepes kontrol menunjukkan nilai indeks stimulasi yang tidak berbeda secara nyata pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa sampel pepes iradiasi tidak menghambat proliferasi dan menurunkan jumlah kultur sel limfosit.
5. Sampel pepes ikan iradiasi dan sampel pepes kontrol memiliki nilai indeks stimulasi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol standar pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa baik sampel pepes kontrol maupun sampel pepes iradiasi tidak menginduksi proliferasi dari sel limfosit. 6. Pada sampel pepes iradiasi menunjukkan bahwa dengan peningkatan pengenceran maka terjadi penurunan nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit. Hal ini mungkin disebabkan akibat dengan peningkatan ketersediaan air bebas maka pembentukan radikal hidroksi juga semakin meningkat. Radikal hidroksi akan mengoksidasi asam lemak tak jenuh yang terdapat pada membran sel dan menghambat proliferasi limfosit. 7. Pengukuran kadar malonaldehida pada pengenceran 1x menunjukkan hasil sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1180 pmol/ml,
sampel 11 November 2006 memiliki konsentrasi sebesar 0.1182
pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1182 pmol/ml, sampel 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1181 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1178 pmol/ml. 8. Pada pengenceran 2x pengukuran kadar malonaldehida berbagai sampel pepes menunjukkan hasil sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml, sampel pepes 11 November 2006 memiliki nilai konsentrasi tertinggi yaitu 0.1177 pmol/ml, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1176 pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1176 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml. 9. Sementara pada pengenceran 4x kadar malonaldehida yang didapatkan adalah sebagai berikut sampel pepes kontrol memiliki konsentrasi sebesar 0.1173 pmol/ml, sampel pepes 11 November 2006 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sampel pepes 14 Juni 2007 memiliki konsentrasi sebesar 0.1175 pmol/ml, sampel No Label 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1174 pmol/ml, dan sampel 5 April 2008 memiliki konsentrasi sebesar 0.1173 pmol/ml.
10. Sampel pepes ikan iradiasi maupun sampel pepes kontrol menunjukkan konsentrasi malonaldehida yang tidak berbeda secara nyata pada selang kepercayaan 99%. Hal ini menyatakan bahwa konsentrasi malonaldehida sampel pepes iradiasi dapat diterima dan tidak berbahaya. 11. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dan data yang diperoleh maka dapat dinyatakan bahwa iradiasi pada produk pepes ikan mas tidak berpengaruh negatif
pada
pengujian
proliferasi
limfosit
dan
pengukuran
kadar
malonaldehida, sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel pepes ikan mas iradiasi tidak bersifat toksik.
B. SARAN 1. Diperlukan penelitian toksisitas in vivo lebih lanjut pada produk pepes ikan mas iradasi untuk melihat secara langsung pengaruhnya dalam metabolisme tubuh dan sebagai pelengkap dan pembuktian hasil penelitian in vitro ini. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai senyawa radiolitik yang terkandung di dalam produk iradiasi, studi toksisitas, dan penelitian mengenai pengaruhnya terhadap kesehatan. 3. Diperlukan pembuatan regulasi yang jelas dan aktual mengenai produk pangan iradiasi siap saji dosis tinggi melalui proses risk analysis yang cermat dan teliti.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, Dong U. 2006. Control lipid oxidation in irradiated meat by combining antioxidants. Food Technology Intelligence, Inc. Anonim. 2006. Kelainan Imunitas. http://www.medicastore.com. [7 April 2009] Anonim. 2006. Kunyit . http://www. wikipedia.org. [20 April 2009]. Apriyantono, A. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. Di dalam Seminar Online Kharisma Ke-2: Menjadi Ratu Dapur Profesional- Mengawal kesehatan keluarga melalui pemilihan dan pengolahan pangan yang tepat. Ashley, B.C., P.T. Birchfield, B.V. Chamberlain, R.S. Kotwal, S.F. McCellan, S. Moynihan, S.B. Patni, S.A. Salmon, dan W.W. Au. 2004. Health concerns regarding consumption of irradiated food. Int. J. Environ. Health. 207 : 493504. Astrack, A., O. Sorbye, A. Brasch, dan W. Huber. 1952. Effects of high intensity electron burst upon various vegetable and fish oils. Food Res. 17 : 570. Aw, T.Y. 1999. Molecular and cellular responses to oxidative stress and changes in oxidation-reduction imbalance in the intestine. American Journal of Clinical Nutrition, 70 : 557-565. Balaban, E. P., T.R. Simon, dan E. P. Frenkel. 1987. Toxicity of Indium-111 on the Radiolabeled Lymphocyte. J. Nucl. Med. 28 : 229-233. Baratawidjaya, K.G. 1991. Immunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Barcellos-Hoff, M.H. dan A.L. Brooks. 2001. Extracellular signaling through the microenvironment: A hypothesis relating carcinogenesis, bystander effects, and genomic instability. Radiation Research 156 : 618-627. Bird, R.P. dan H.H. Draper. 1984. Comparative studies on different methods of malonaldehyde determination. Methods in Enzymology 105 : 299-304. Bitton, G and B.J. Dutka. 1986. Introduction and Review of Microbial and
Biochemical Toxicity Screening Procedures. Di dalam Bitton, G dan B.J. Dutka . 1986. Toxicity Testing Using Microorganism. Volume II. Hal 1 : 8 Bounous, J.A. 1993. Imunologi III. UGM Press, Yogyakarta. Brennand, C.P. 1995. Food Fact Safety Sheet. Idaho State University. FN-250.8. Chouliara, I., I.N. Savvaidis, K. Riganakos, dan M.G. Kontominas. 2005. Shelf-life extension of vacuum-packaged sea bream (Sparus aurata) fillets by combined γ -irradiation and refrigeration: microbiological, chemical and sensory changes. J. Sci. Food. Agric. 85 : 779-784. Conti, M., P.C. Moramd, P. Levillain, dan A. Lemonnier. 1991. Improve Fluorometric Determination of Malonaldehyde. Am. J. Clin. Nutr. 53 : 314-321. Crawford, D.L., R.O. Sinnhuber, F.M. Stout, J.E. Oldfield, dan J. Kaufmes. 1965. Acute toxicity of malonaldehyde. J. Elsevier Inc. Vol 7, Issue 6 : 826-832. Darwis, A.B.D., Indomadjo dan S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian Pengembangan Pertanian, Bogor. Davis, J.M. 1994. Basic Cell Culture : A Practical Approach. Oxford University Press, New York. Decker, J.M. 2001. Introduction to Immunology. Blackwell Science, Inc. Massachusetts, USA. Del Mastero, R.F. 1980. An approach to free radicals in medicine an biology. Acta. Phyiol. Scand. 492 : 153-168. Desrosier, N. 1988. Technology of Food Preservation. AVI Publication, Co. Inc., Wesport, Connecticut. Diehl, J.F. 1990. Safety of Irradiated Foods. Marcel Dekker. Inc., New York. Diplock, A.T. 1991. Antioxidant nutrients and disease prevention: An overview. Am. J. Clin. Nutr. 53 : 314-321. Doyle, M.E. 1999. Food Irradiation. Food Research Institute, UW-Madison. Duke, J.A. 1994. Biological-Active Compounds in Important Spices. Di dalam Charalambous (Ed). Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsevier, Amsterdam.
Fletcher, M.A., N. Klimas, R. Morgan, dan G. Gjerset. 1994. Lymphocyte Proliferation. Di dalam: Rose, N.R., E.C. deMacario, J.L. Fahey, H. Friedman, th and G.M. Penn (eds). Manual Clinical Laboratory Immunology. 4 edition. Pp : 213 – 219. Ganong, W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran. Terj. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Gutteridge, J.M.C. 1995. Lipid Peroxidation and Antioxidants as Biomarkers of Tissue Damages. Clin. Biochem. 41 : 1819-1828. Guyton, A.C. 1987. Human Physiology and Mechanisms of Disease. 4th ed. W.B. Saunders Co., Philadelphia. Halliwell, B. dan J.M.C. Gutteridge. 1985. Free Radical in Biology and Medicine. Clarandon Press, Oxford. England. Halliwell, B. dan J.M.C. Gutteridge. 1991. Reactive Oxygen Species in Living System Biochemistry and Role in Human Disease. Am. J. Med. 3C-14S. IAEA. 2002. Dosimetry for Food Irradiation. Di dalam Technical Reports Series no. 409. IAEA, Vienna. IFIC. 2002. Food Irradiation: A Global Food Safety Tool. International Food Information Council (IFIC). http://iaea.org/icfgi. [26 Maret 2009] Irawati, Z., M. Maha, N. Ansori, C.M. Nurcahya, dan F. Anas. 2003. “Development of shelf-stable foods fish pepes, chicken and meat dishes through radiation processing”, Radiation processing for safe, shelf-stable and ready to eat food, Proceedings of a final Research Co-ordination Meeting held in Montreal, Canada, 10-14 July 2000, IAEA-TECDOC-1337, International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p. 85-99. Irawati, Z. 2009. Aplikasi Radiasi Pengion Untuk Sanitasi, Sterilisasi Dan Pengawetan Pangan Olahan dan Siap Saji. Di dalam : Presentasi Ilmiah Februari 2009 di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN. BATAN, Jakarta. Jadhav, B.K., K.R. Khandelwal, A.R. Ketkar, dan S.S. Pisal. 2004. Formulation and evaluation of mucoadhesive tablets containing eugenol for the treatment of periodontal diseases. Drug Dev Ind Pharm. 30 (2): 195–203.
Janeway, C., P. Travers, M. Walport, dan M. Shlomchik. 2001. Immunobiology; Fifth Edition. Garland Science, New York and London. Karadag, Ayse dan Gurbuz Gunes. 2008. The effects of gamma irradiation on the quality of ready-to-cook meatballs. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 32(4) : 269-274. Karlsson, J. 1997. Introduction to Nutraology and Radical Formation. In: Antioxidants and Exercise. Human Kinetics Press, Illinois. Kikuzaki, H. dan N. Nakatani. 1993. Antioxidant Effect Same Ginger Constituents. J. Food. Sci. 58 : 1407 Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Putaka Sinar Harapan, Jakarta. Kresno, B.S. 1996. Imunologi: Diagnosa dan Prosedur Laboratorium. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Krismawati, Agnes. 2007. Pengaruh ekstrak tanaman ceremai, delima putih, jati belanda, kecombrang dan kemuning secara in vitro terhadap proliferasi sel limfosit manusia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB-Bogor. Kuby, J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company, New York. Lelana, I.Y.B. 1993. Lingkungan dan Citarasa Ikan. Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta, 25-27 Agustus 1993. 11 hal. Leniger, H.H. dan W.A. Beverloo. 1975. Food Process Engineering. D. Reidel Publ. Co.,Boston. Lukmana, A. 1994. Agroindustri Cabe Selain untuk Keperluan Pangan. Di dalam Agribisnis Cabe. Santika, H. (Ed). Penebar Swadaya, Jakarta. Maha, M. 1981. Prospek Penggunaan Tenaga Nuklir dalam Bidang Teknologi Pangan. PAIR BATAN, Jakarta. Maha, M. 1985. Pengawetan Pangan dengan Iradiasi. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN, Jakarta. Malole, M.B.M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas, IPB. Meiriana, Y. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Muaris, H. 2008. Pepes Goes International. Di dalam Majalah Food Review. Vol 1 No. 8. Muchtadi, D., N.S. Palupi, dan M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Jilid II. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Muhilal. 1991. Teori Radikal Bebas Dalam Gizi dan Kedokteran. Cermin Dunia Kedokteran. 73 : 9-11. Nawar, W.W. 1985. Lipids. Di dalam O.R. Fennema (Ed.). Principles of Food Chemistry. Marcell Dekker. Inc., New York. Nawar, W.W. 1986. Volatiles from food irradiation. Food Revs. Internat. 2 : 45. Noomhorm, A. P. Vongsawasdi, C. Inprasit, J. Yamprayoon, P. Sirisoontaralak, M.E.A. Ingles, dan A. Adulpichit. 2000. Impact of Irradiation on The Quality of Processed Meat and Fishery Product. Radiation processing for safe, shelf-stable and ready to eat food, Proceedings of a final Research Co-ordination Meeting held in Montreal, Canada, 10-14 July 2000, IAEA-TECDOC-1337, International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p. 181-208. Novikoff, A.B. dan H. Erick. 1970. Cells and Organelles. Holt, Rinehart, and Winston. Inc, London. Nurrahman, F. R. Zakaria, D. Sayuthi, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh Konsumsi Sari jahe terhadap Perlindungan Limfosit dari Stress Oksidatif pada Mahasiswa Pondok Pesantren Ulil Al Baab. Makalah Prosiding Seminar Nasional teknologi Pangan, PATPI & MENPANGHOR, Jakarta. Parham, P. 2005. The Immune System. Garland Science Publishing, New York. Paul, J. 1972. Cell and Tissue Culture. Churchill livingstone, London. Rahayu, W.P. 1999. Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L Swartz) Terhadap Mikroba Patogen Dan Perusak Pangan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ramprasad, C. dan M. Sirsi. 1956. Indian Medicinal Plants: Curcuma longa. In Vitro Antibacterial Activity of Curcumin and The Essential Oils. Abstract. J. Sci., India.
Roggenthen, E.S. 1984. Food Irradiation: Its Safety, Value and Dangers. Pamphlet Publications, Dayton, Ohio. Sarwono, B. 1991. Jeruk dan Kerabatnya. Penebar Swadaya, Jakarta. Seligman, M.L., E.S. Flamm., B.D. Goldstein, R.G. Poser, H.B. Demopoulos, dan J. Ransohoff. 1977. Spectrofluorescent detection of malonaldehyde as a measure of lipid free radical damage in response to ethanol potentiation of spinal cord trauma. Jurnal Lipids Volume 12 ; no. 11. Shadab, Q., M. Hanif, dan F.M. Chaudhary. 1992. Antifungal activity by lemongrass essential oils. Pak. J. Sci. Ind. Res. 35 : 246-249. Sharper, P.T. 1988. Methods of Cell Separation. El Sevier, Amsterdam. Sheeler, P. dan Bianchi, D.E. 1982. Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Shimone, S. dan T. Shikata. 1993. Effect of Aclimation Temperature and Feeding Rate of Carbohydrate-Metabolism Enzyme Activity and Lipid Content of Common Carp. Nippon Suisan Gokkaishi. 54 (4) : 661-666p. Singh, V.K. , V. Srinivasan, R. Toles, P. Karikari, T. Seed, K.A. Papas, J.A. Hyatt, dan K.S. Kumar. 2005. Radiation protection by the antioxidant alphatocopherol succinate. Di dalam NATO Human Factors and Medicine Panel Research Task Group 099: Radiation Bioeffects and Counter-measures. Maryland, USA. Soetomo, S. 1987. Bertanam Bawang. B.P. Karya Seni, Jakarta. Sofyan, R. 1984. Efek Kimia Radiasi pada Komponen Utama Bahan Makanan. PAIR BATAN, Jakarta. Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya. Tizard, I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya. Walum E., K. Stenberg, dan D. Jenssen. 1990. Understanding Cell Toxicology Principles and Practise. Ellis Horwood, New York.
Weiss, J.F. dan K.S. Kumar. 1988. Antioxidant mechanisms in radiation injury and radioprotection. “Cellular Antioxidant Defense Mechanisms”, C. Chow, (Ed), CRC Press, Boca Raton, FL. pp. 163-189. Whitmore, B.B. dan A.S. Naidu. 2000. Thiosulfinates. Di dalam: Natural Food Antimicrobial System. A.S. Naidu (Ed). CRC Press, New York. WHO. 1991. Food Irradiation: A technique for preserving and improving the safety of food. WHO, Geneva. Wyllie, A., V. Donahue, B. Fischer, D. Hill, J. Keesey, dan S. Manzow. 1998. Apoptosis and Cell Proliferation Boehringer Mannheim GmbH. Biochemica, Jerman. Zakaria, F.R., M. Djaelani, Setyana, E. Rumondang, dan Nurrochmah. 2000. Carotenoid bioavailability of vegetables and carbohydrate containing foods measured by retinol accumulation in rat livers. J. Food Composition and Analysis. Vol. 13, pp. 297-310.
Lampiran ampiran 1. Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi
Sumber Iradiasi
Bahan Pangan
Eksitasi, Ionisasi, dan Perubahan Komponen Pangan akibat energi ionisasi
Efek fisik, kimia, dan biologis pada komponen pangan
Pertumbuhan sel pangan terhambat, Mikroorganisme patogen dan pembusuk mati, Perubahan pada sifat fisik bahan
Lampiran 2. Komposisi limfosit manusia
Jenis Limfosit Sel
Fungsi
Persentase (%)
Natural Melisis sel tumor dan sel yang terinfeksi
Killer
virus
Sel T helper
Memproduksi
sitokin
dan
faktor
2-13
28-59
pertumbuhan yang mengatur sel imun lain Sel T cytotoksik
Melisis sel tumor, sel alogenik, dan sel yang
13-32
terinfeksi virus Sel T γδ
Sitotoksisitas dan imunoregulasi
Sel B
Sekresi antibodi
18-47
Lampiran 3. Tabel hasil pembacaan absorbansi uji proliferasi limfosit
Sampel
0x
1x
2x
14 Juni 2007
1.090 1.163 1.149 0.693 0.888 0.973 1.079 0.397 1.044 0.981 1.152 1.262 0.926 1.120 0.921 0.948 0.635 1.109 1.394 0.475 0.336 1.064 0.915 0.917
0.334 0.764 1.067 0.763 0.806 1.027 0.307 0.948 1.146 0.840 1.386 1.277 0.268 0.360 1.051 1.020 1.196 1.129 1.212 0.358 1.088 0.869 1.004 1.000
1.017 0.488 0.344 0.948 1.016 1.038 0.834 0.396 0.315 0.879 0.838 1.058 0.233 1.249 0.303 1.070 1.099 1.177 0.976 0.385 1.253 0.956 1.065 1.045
No Label 2008
5-Apr-08
Kontrol Pepes
Kontrol Negatif
Pokeweed
LPS
0.905 0.345 0.319 0.848 0.956 1.023 0.989 0.931 0.381 1.329 1.318 1.489 0.942 0.736 1.211 1.596 1.653 1.825
Lampiran 4. Contoh perhitungan indeks stimulasi ekstrak
Sampel 14 Juni 2007, pengenceran 0x Diketahui :
Rataan absorbansi sampel = 0.993 Rataan absorbansi kontrol negatif = 0.732
maka I.S. = Abs ekstrak sampel Abs kontrol negatif I.S. =
0.993 0.732
I.S. = 1.356
Lampiran 5. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 1x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 43.417(a) 1.251 1.304
df
Mean Square 3.618 .208 .261
12 6 5
2.473 30 45.890 42 a R Squared = .946 (Adjusted R Squared = .925)
.082
Absorbansi Duncan Subset Sampel Kontrol Standar Kontrol 5 April 2008 No Label 2008 14 Juni 2007 Pokeweed LPS Sig.
N 6 6
1 .73267 .85017
6 6 6 6
.94317 .98583 .99267 1.07283
6
.079 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .082. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .01.
2 .85017 .94317 .98583 .99267 1.07283 1.32717 .015
F 43.884 2.528 3.164
Sig. .000 .042 .021
Lampiran 6. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 2x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 41.809(a) 1.462 2.221
df
Mean Square 3.484 .244 .444
12 6 5
2.406 30 44.215 42 a R Squared = .946 (Adjusted R Squared = .924)
.080
Absorbansi Duncan Subset Sampel Kontrol Standar 14 Juni 2007 5 April 2008 Kontrol Pepes No Label 2008 Pokeweed LPS
N 6 6
1 .73267 .79350
6 6 6 6
.83733 .92183 .98400 1.07283
.83733 .92183 .98400 1.07283
1.32717 .075 .010 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .080. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .01. Sig.
6
2
F 43.435 3.038 5.538
Sig. .000 .019 .001
Lampiran 7. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada uji proliferasi limfosit pengenceran 4x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 40.046(a) 1.689 2.553
df
Mean Square 3.337 .282 .511
12 6 5
2.090 30 42.136 42 a R Squared = .950 (Adjusted R Squared = .931)
.070
Absorbansi Duncan Subset Sampel No Label 2008 Kontrol Standar 14 Juni 2007 5 April 2008 Kontrol Pepes Pokeweed LPS Sig.
N 6 6
1 .72000 .73267
6 6 6 6
.80850 .85517 .94667 1.07283
6
.048 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .070. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .01.
2
.94667 1.07283 1.32717 .024
F 47.894 4.040 7.329
Sig. .000 .004 .000
Lampiran 8. Tabel hasil pembacaan absorbansi pada metode pengukuran kadar malonaldehida
Sampel
5-Apr
11-Nov
No Label 2008
14 Juni 2007
Kontrol pepes
Ulangan 1x
2x
0x
0.317
0.490
1x
0.233
0.224
2x
0.181
0.160
0x
0.470
0.730
1x
0.255
0.428
2x
0.210
0.298
0x
0.616
0.562
1x
0.344
0.210
2x
0.241
0.170
0x
0.496
0.582
1x
0.290
0.300
2x
0.286
0.249
0x
0.320
0.710
1x
0.212
0.210
2x
0.169
0.150
Lampiran 9. Contoh perhitungan kadar malonaldehida sampel
Sampel 5 April 2008, Pengenceran 0x Diketahui:
Persamaan kurva standar TEP : y= 0.002x + 0.117 Rataan absorbansi sampel : 0.404
maka y = 0.002x + 0.117 y = 0.002 (0.404) + 0.117 y = 0.1182 pmol/ml
Lampiran 10. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 1x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 2.924(a) .049 .073
df 6 4 1
Mean Square .487 .012 .073
.057 4 2.981 10 a R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .952) Absorbansi Duncan Subset Sampel 5 April Kontrol Dipa No Label 11 Nov Sig.
N 2 2 2 2 2
1 .40350 .51500 .53900 .58900 .60000 .177
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .014. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .01.
.014
F 34.279 .868 5.142
Sig. .002 .553 .086
Lampiran 11. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 2x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Ulangan Sampel Error Total
Type III Sum of Squares .754(a) .000 .022
df 6 1 4
Mean Square .126 .000 .005
.024 4 .778 10 a R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .923) Absorbansi Duncan Subset Sampel Kontrol 5 April No Label Dipa 11 Nov Sig.
N 2 2 2 2 2
1 .21100 .22850 .27700 .29500 .34150 .170
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .006. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .01.
.006
F 21.050 .024 .920
Sig. .005 .884 .531
Lampiran 12. Tabel hasil perhitungan ANOVA (p<0.01) pada pengukuran kadar malonaldehida pengenceran 4x. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Absorbansi Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares .466(a) .019 .000
df 6 4 1
Mean Square .078 .005 .000
.007 4 .473 10 a R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .962) Absorbansi Duncan Subset Sampel Kontrol 5 April No Label 11 Nov Dipa Sig.
N 2 2 2 2 2
1 .15950 .17050 .20550 .25400 .26750 .066
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .01.
.002
F 43.644 2.631 .202
Sig. .001 .186 .676