i
SKRIPSI
PENGARUH EKSTRAK TULANG IKAN PEPES IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP HEMOLISIS ERITROSIT DAN PROLIFERASI LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO
Oleh : KHOIRUL UMAM F24050878
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ii
PENGARUH EKSTRAK TULANG IKAN PEPES IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP HEMOLISIS ERITROSIT DAN PROLIFERASI LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : KHOIRUL UMAM F24050878
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
iii
PENGARUH EKSTRAK TULANG IKAN PEPES IRADIASI DOSIS TINGGI TERHADAP HEMOLISIS ERITROSIT DAN PROLIFERASI LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : KHOIRUL UMAM F24050878 Dilahirkan pada tanggal 16 Januari 1988 Di Pekalongan, Jawa Tengah Tanggal lulus: 2 Juni 2009
Menyetujui: Bogor,
September 2009
Dra. Waysima, M. Sc. Pembimbing I
Prof. Dr. Fransiska R. Zakaria, M. Sc. Pembimbing II
Dr. Zubaidah Irawati Pembimbing III
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
i
Khoirul Umam. F24050878. Pengaruh Ekstrak Tulang Ikan Pepes Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Hemolisis Eritrosit dan Proliferasi Limfosit Manusia secara In Vitro. Di bawah bimbingan Waysima, Fransisca Rungkat Zakaria, dan Zubaidah Irawati RINGKASAN Iradiasi pangan merupakan proses paparan radiasi pengion pada bahan pangan untuk membunuh mikroorganisme dan serangga yang mungkin terdapat pada bahan pangan dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Iradiasi dosis tinggi, yaitu proses iradiasi dengan dosis minimum 45 kGy dilakukan untuk mendapatkan produk pangan siap saji. Salah satu produk pangan yang diiradiasi dengan metode ini adalah pepes ikan. Produk ini dapat langsung dikonsumsi karena steril dari bahaya mikrobiologi. Akan tetapi belum diketahui efek secara biokimia di dalam tubuh, sehingga perlu dilakukan uji toksikologi agar teknologi ini dapat diterapkan secara komersial. Selain uji pada daging ikan, uji pada tulang ikan perlu dilakukan karena tulang ikan yang diiradiasi memiliki tekstur yang rapuh sehingga sering dikonsumsi seperti daging ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit secara in vitro. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida pada ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi. Pada pengenceran 0x, persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang noniradiasi sebesar 68.67 %, tulang iradiasi dengan masa simpan dua tahun sebesar 84.94 %, dan tulang iradiasi dengan masa simpan satu tahun sebesar 73.19 %. Sedangkan pada pengenceran 2x berturut-turut sebesar 67.07 %, 72.89 %, dan 67.67 %. Pada pengenceran 4x, berturut-turut sebesar 60.79 %, 62.25 %, dan 59.34%. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada noniradiasi, tulang iradiasi dengan masa simpan satu tahun dan dua tahun pada semua perlakuan pengenceran. Indeks stimulasi proliferasi limfosit pada pengenceran 0x akibat pengaruh tulang noniradiasi sebesar 1.50, tulang iradiasi dengan masa simpan dua tahun sebesar 1.26, dan tulang iradiasi dengan masa simpan satu tahun sebesar 1.42. Sedangkan pada pengenceran 2x berturut-turut sebesar 1.39, 1.16 dan 1.23. Pada pengenceran 4x berturut-turut sebesar 1.31, 0.98, dan 1.16. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang noniradiasi, tulang iradiasi dengan masa simpan satu dan dua tahun pada semua perlakuan pengenceran. Kapasitas antioksidan tulang noniradiasi lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas tulang iradiasi pada masing-masing pengenceran. Kapasitas antioksidan tulang iradiasi dengan masa simpan dua tahun meningkat dengan meningkatnya tingkat pengenceran. Pada pengukuran kadar malonaldehida, kadar malonaldehida tulang turun dengan meningkatnya tingkat pengenceran pada tulang iradiasi dan noniradiasi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p> 0.05) pada kadar malonaldehida masing-masing sampel. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tulang ikan pepes yang diiradiasi dengan dosis tinggi dan disimpan selama satu tahun maupun dua tahun tidak memicu terjadinya hemolisis eritrosit hemolisis eritrosit manusia, tidak menghambat proliferasi limfosit manusia, cenderung meningkatkan kapasitas antioksidan, dan tidak meningkatkan kadar malonaldehida.
i
BIODATA PENULIS
Lahir di Pekalongan, 16 Januari 1988. Menamatkan SMA di SMA 1 Kajen, Pekalongan pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di tahun yang sama. Selama pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sebagai wakil ketua Ikatan Mahasiswa Pekalongan (2006-2007), pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (20062008), pengurus Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (2007-2009), pengurus Majalah Peduli Pangan dan Gizi “Emulsi” (20072008), anggota Food Processing Club (2006-2007), dan anggota Food Technologist Adventure Club (2006-2008). Penulis aktif juga di kegiatan non-akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM), dan kegiatan-kegiatan non-akademik lainnya. Penulis memiliki minat di bidang IT (Information Technology) sebagai web developer dan aktif mengelola beberapa website seperti http://www.himitepa.org, http://www.hmppi-pangan.org, dan http://www.emulsimagazine.com. Website Departemen ITP (http://itp.fateta.ipb.ac.id) juga dibuat oleh penulis dan berhasil menjadi juara harapan 1 dalam IPBWEBKONTES. Penulis mendapatkan penghargaan dari Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai Mahasiswa Berprestasi Bidang Ekstrakurikuler IPB tahun 2008 atas prestasinya sebagai juara 1 Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa tingkat IPB dengan judul karya tulis “Perspektif Pengembangan Poly Lactic Acid (PLA) Berbasis Ubi Kayu sebagai Kemasan Ramah Lingkungan”. Selain itu, Penulis juga pernah menjadi finalis business game “Trust by Danone” pada tahun 2009 dan menjadi presenter dalam National Student Conference on Food Science and Technology Unika Soegijapranata dengan judul paper “Antioxidant Capacity Measurement of Tea Using DPPH Method and Total Phenol Analysis”. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Tulang Ikan Pepes Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Hemolisis Eritrosit dan Proliferasi Limfosit Manusia secara In Vitro”. Penelitian ini dilaksanakan melalui kerja sama dengan peneliti di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala
limpahan
karunia,
rahmat,
dan
kasih
sayangNya
penulis
dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ”Pengaruh Ekstrak Tulang Ikan Pepes Iradiasi Dosis Tinggi terhadap Hemolisis Eritrosit dan Proliferasi Limfosit Manusia secara In Vitro”. Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari dukungan dari beberapa pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dra. Waysima, selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, masukan serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi. 2. Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria, M.Sc. yang telah membimbing dan memberi banyak masukan kepada penulis. 3. Dr. Zubaidah Irawati, yang telah membimbing dan memberi banyak masukan kepada penulis. 4. Ayah, ibu, dan adik-adikku, atas segala dukungan yang tidak ternilai harganya baik secara fisik dan moril, kasih sayang, cinta yang begitu besar, dan keceriaan, serta untuk keluarga besar yang telah memberi semangat bagi penulis. 5. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi BATAN yang telah mendukung penelitian ini. 6. Seluruh dosen departemen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat berharga kepada penulis selama berkuliah dan staf departemen yang telah banyak membantu penulis. 7. Basya G. Himawan, Budi U. Wibowo, Satriadi Indarmawan, Pak Hengky, Bu Debby, dan seluruh keluarga besar Yayasan Karya Salemba Empat yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis.
vii
8. Teman-teman satu tim, Kallista, Kamalita, dan Kenchi, we are the dream team, terima kasih atas kerja sama dan suka dukanya serta pengalaman yang luar biasa. 9. Eftracker semuanya, Aji, Ardi, Haris, Beki, Wiwi, Venty, Fera, Fransisca, Wahyu, Tiu, Nina, dan Hesti. Petualangan belum berakhir kawan, Puncak Mahameru masih menunggu kita. 10. Pedjuang IT Himitepa 2007/2008, Rika, Juju, Adi, Yupi, Weje, dan Tito, Information Technology memang menantang. DPPI’ers 2006/2007, Kak Aris, Kak Memed, Kak Ratih, Kak Shinta, Ari, Dewi, dan Atus, atas kebersamaanya untuk menjadi anak-anak tekpang yang lebih peduli dengan kondisi pangan di sekitar kita. 11. Penghuni lab. Biokimia, Tuti, Irene, Cath, Yuni, Shobur, Harist, dan teman-teman ITP 42, Galih, Midun, Ikhwan, Nanda, Suhe, serta temanteman ITP 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 12. Keluarga besar ITP 41, 43, dan 44 atas kebersamaanya di ITP. 13. Artayasa, The bambers community, Levi, Taufik, Yogi, Sendi, Lulud, dan Asbak, terima kasih telah menjadi keluargaku di Bogor. 14. Para laboran yang telah dengan sabar dan telaten membantu dan membimbing penulis melakukan penelitian, Pak Wahid, Pak Adi, dan Pak Sidik yang bersedia menemani lembur di laboratorium. 15. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang Ilmu dan Teknologi.
Bogor, September 2009
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Kata Pengantar……………………………………………………………… vi Daftar Isi…………………………………………………………………..... viii Daftar Gambar ……………………………………………………………… x Daftar Tabel ………………………………………………………………… xii Daftar Lampiran………………………………………………………………xiii
I.
PENDAHULUAN…………………………………………………. 1 A Latar Belakang…………………………………………………..
1
B Tujuan…………………………………………………………… 2 C Manfaat Penelitian………….…………………………………… 3 II.
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 4 A Tulang………………………………………..…………….……. 4 1. Komposisi Tulang
4
2. Dampak Iradiasi pada Tulang
6
B Ikan Mas………………………………………..…………….….
7
C Pepes Ikan…………………………...…………………………… 8 D Prinsip Iradiasi Pangan….……………………………………….. 9 E Uji In Vitro dan Kultur Sel…………………….…………………. 13 F Eritrosit dan Hemolisis Eritrosit………………………………….. 14 G Limfosit dan Proliferasi Limfosit………………………………… 17 H Antioksidan………………….…………………………………..… 20 III.
METODOLOGI PENELITIAN………………………………….. 22 A. Tempat dan Waktu Penelitian
22
B. Alat dan Bahan
22
C. Metode Penelitian…………………...…………………………… 23 1 Ekstraksi Tulang Ikan………….............................................. 23 2 Persiapan Ekstrak………………… ………………………… 23
ix
3 Persiapan Uji In Vitro….…………………………………….. 24 a. Persiapan Media Kultur Sel……………………………… 24 b. Persiapan PBS……………………………………………
24
c. Persiapan Serum Darah AB……………………………….. 24 4 Isolasi Sel Eritrosit dan Pengujian Pengaruh Ekstrak terhadap Hemolisis Eritrosit secara In Vitro………………….. 25 a. Isolasi Sel Eritrosit………..……………………………….. 25 b. Pengaruh Ekstrak Tulang Iradiasi terhadap Hemolisis Eritrosit…………………………………………………… 26 c. Perhitungan Persentase Hemolisis…………………………. 27 d. Analisis Statistik…………………………………………… 27 5 Isolasi Limfosit dan Pengujian Ekstrak Tulang Iradiasi terhadap Proliferasi Limfosit secara In Vitro………………… 27 a. Isolasi Limfosit….………..……………………………… 27 b. Pengujian terhadap Limfosit dengan Metode MTT……………………...……………………………… 29 c. Analisis Statistik…………………………………………. 29 6 Analisis Kapasitas Antioksidan..…………………………….. 30 7 Pengukuran Kadar Malonaldehida….……………………….. 30 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………..……... 31 A Ekstraksi Tulang….…………………………….……………….. 31 B Pengaruh Ekstrak Tulang Iradiasi terhadap Hemolisis Eritrosit……...............................................................................
32
C Pengaruh Ekstrak Tulang terhadap Proliferasi Limfosit....……………………………………………………..
44
D Pengukuran Kapasitas Antioksidan dengan Metode DPPH..….. 48 E Pengukuran Kadar Malonaldehida…………………………..….. 49 V.
KESIMPULAN ………………….….…………………………….. 52 A Kesimpulan…………………………………………………….
52
B Saran…………………………………………………………… 53 VI.
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..
54
LAMPIRAN……………………………………………………….. 60
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Pepes ikan mas iradiasi dalam kemasan…...………………………...
9
2.
Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi…………...
9
3.
Pemisahan sel darah manusia…...........................................................
25
4.
Hasil pemisahan sel darah manusia …………………………............
28
5.
Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif………………….
6.
Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif..............
7.
37
Persentase hemolisis akibat pengaruh tulang B pada berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan kontrol negatif…………………………….
9.
36
Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tiga perlakuan pengenceran…………………………………………………………….
8.
34
38
Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C1…………………………….………...................................................
39
10. Persentase hemolisis pada tulang dengan perlakuan pengenceran C1……………………………………………….……………………..
40
11. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C2 ………………………………………………….………………….
41
12. Persentase hemolisis pada pengenceran C2………………….……….
42
13. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C3……………………………………………………….……….
42
14. Persentase hemolisis pada pengenceran C3………………….……….
43
15. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang non iradiasi……………………………………………………………….....
44
16. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang non iradiasi……………………………...
45
xi
17. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan dengan tulang non iradiasi……………………………………………………………..
46
18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B..
47
19. Kapasitas antioksidan ekstrak tulang iradiasi dibandingkan dengan tulang non iradiasi……………………………………………………… 48 20. Kadar malonaldehida pada ekstrak tulang……….…… ……..……….
50
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis komoditas yang telah diijinkan Depkes untuk proses iradiasi..
12
2.
Pengenceran ekstrak sampel ……………………………….............
24
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C1)........ 60
2.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C2)........ 61
3.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C3)........ 62
4.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C1)....... 63
5.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C2)......
64
6.
Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C3)......
65
7.
Hasil pengukuran absorbansi larutan standar TEP………………….
66
9.
Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C1)....................
68
10. Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C2)....................
69
8.
Hasil pengukuran absorbansi sampel………………………………… 67
11. Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C3)..................... 70 12. Perhitungan Kurva Standar Pengukuran Kapasitas Antioksidan……. 71
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Metode pengawetan pangan konvensional yang dikenal selama ini menggunakan proses pengolahan dengan suhu tinggi, misalnya saja dalam proses sterilisasi, pasteurisasi, dan pengalengan. Penggunaan suhu tinggi ini dapat menyebabkan terjadinya denaturasi nutrisi-nutrisi penting yang terkandung dalam bahan pangan. Selain itu juga dapat menyebabkan perubahan kualitas organoleptik pada bahan pangan, seperti timbulnya perubahan warna, rasa, dan aroma. Kelemahan proses yang melibatkan suhu tinggi ini dapat diatasi dengan proses pengawetan nontermal. Salah satu metode pengawetan nontermal yang dapat digunakan adalah metode iradiasi pangan. Iradiasi merupakan suatu proses alternatif untuk mengurangi kerusakan bahan pangan akibat pemaparan terhadap suhu tinggi dalam usaha pengawetan. Iradiasi pangan ini sudah banyak diterapkan untuk mengawetkan produk rempah-rempah, biji-bijian, dan ikan kering dengan dosis maksimal sebesar 10 kGy. Proses iradiasi dilakukan dengan mengekspos bahan pangan baik yang dikemas maupun yang tidak terhadap sejumlah radiasi ionisasi yang terkontrol dalam waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Iradiasi merupakan salah satu jenis pengolahan bahan pangan yang menerapkan gelombang elektromagnetik. Prinsip pengolahan, dosis, teknik dan peralatan, persyaratan keselamatan dan pengaruh iradiasi terhadap pangan harus diperhatikan. Inovasi untuk menggunakan dosis iradiasi yang lebih tinggi dilakukan untuk menghasilkan produk yang bebas dari bakteri patogen dan bakteri berspora, sehingga dapat menghasilkan produk yang steril dan berkualitas serta tanpa mengurangi cita rasanya. Produk pangan yang akan diiradiasi dengan dosis tinggi dikemas di dalam kantung laminasi PET/Al-foil/LLDPE dalam kondisi vakum 80%, kemudian disterilkan dengan radiasi pengion pada dosis 45 kGy dalam kondisi beku (-79ºC), selanjutnya disimpan pada suhu 28-30oC. Produk steril
tersebut dapat bertahan selama 1.5 tahun tanpa mengalami penurunan kualitas dan nilai gizi yang berarti. Salah satu pangan yang diiradiasi dengan metode ini adalah ikan pepes. Ikan pepes ini dapat langsung dikonsumsi karena steril dan tetap bergizi. Akan tetapi belum diketahui efek secara kimia dan biologi terhadap tubuh, sehingga perlu adanya kajian toksikologi sebelum teknologi ini dapat diterapkan secara komersial. Salah satu metode uji yang dapat digunakan adalah dengan melihat pengaruh produk terhadap perubahan pada sel manusia. Pengaruh tersebut dapat diamati dengan uji terhadap sel eritrosit. Apabila produk memicu terjadinya hemolisis eritrosit maka kemungkinannya produk tersebut memiliki efek negatif terhadap tubuh. Selain itu juga dapat dilakukan uji untuk melihat pengaruh produk terhadap sistem imun manusia. Pada uji dilakukan pengamatan efek produk terhadap proliferasi limfosit manusia karena limfosit merupakan bagian dari sistem imun. Pada umumnya, bagian ikan yang dikonsumsi adalah bagian dagingnya saja dan tulang tidak dimakan. Akan tetapi bagian tulang pada produk ikan tulang lunak menjadi bagian yang dapat dimakan, oleh karena itu perlu dilakukan uji pada tulang. Senyawa-senyawa radikal yang labil dan terbentuk karena proses iradiasi dapat menjadi stabil pada tulang dan daging. Senyawa-senyawa radikal inilah yang dapat membuat kerusakan pada sel tubuh atau perubahan pada sistem imun karena sifatnya yang sangat reaktif. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit manusia.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit secara in vitro. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida pada ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi.
2
C. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai keamanan pangan iradiasi dan memberi pengetahuan tentang pengaruh umur simpan terhadap keamanan pangan iradiasi khususnya pangan iradiasi dosis tinggi. Data dari penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian teknis untuk menyusun regulasi oleh pemerintah mengenai pangan iradiasi di Indonesia.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tulang 1. Komposisi tulang Menurut terminologi biologi, tulang didefinisikan sebagai jaringan penghubung yang menyokong struktur tubuh. Secara makroskopis terdapat dua bentuk utama dari jaringan tulang, yaitu tulang kompak atau kortikal dan tulang cancellous atau trabecular. Tulang kompak adalah tulang yang tebal, sedangkan tulang cancellous tersusun atas materi tulang yang bernama trabeculae. Jalinan trabeculae memberikan penampakan tulang cancellous terlihat kenyal. Secara fisik, komponen penyusun tulang terdiri atas kombinasi antara kolagen yang visko-elastis dan kaku dan fase anorganik hidroksiapatit (Kubisz, 2007). Sifat psikokimia dan biologi tulang berbeda dengan masingmasing komponen penyusunnya dalam keadaan tunggal. Kolagen memiliki struktur yang fibrous dan didukung oleh beberapa kristal mineral yang memperkuat struktur. Meskipun keberadaan komponen yang fibrous dan kristal mineral ini saling mempengaruhi, akan tetapi tidak dipahami dengan jelas peranan masing-masing komponen (Landis, 1995). Sekitar 70% tulang dewasa tersusun atas fase anorganik, yang berada dalam keseimbangan dengan fase organik dan air. Fraksi mineral tulang mirip dengan hidroksiapatit [Ca10(PO4) CO3]3. Hidroksiapatit adalah materi yang heterogen dan tidak dapat dideskripsikan sebagai materi tunggal (Landis, 1995). Hidroksiapatit (HAP) merupakan mineral yang paling stabil di dalam tulang (Kubisz, 2007). Mineral-mineral lain seperti fluorin, klorida, dan magnesium dapat juga menyatu dengan kisi-kisi kristal. Subtitusi gugus OHdan gugus PO43- oleh ion karbonat – CO3 menghasilkan karbonat apatit yang juga dikenal dengan dahllite (Ca5(PO4CO3). Komponen lain penyusun tulang sebanyak 10% adalah glikosoaminogikan, glikoprotein, lipid, peptida, dan enzim. Menurut kajian struktural, triple heliks dari kolagen adalah protein yang unik yang digambarkan oleh superheliks dari tiga rantai polipeptida.
Struktur helik kolagen umumnya tersusun atas urutan asam amino (X-YGlisin)n, dengan prolin dan hidroksiprolin sering ada pada posisi X dan Y. Asam amino lain yang sering ada pada tulang adalah alanin, lisin, arginin, leusin, valin, serin, phenylalanin, dan threonin. Urutan asam amino pada rantai polipeptida pada kolagen dinamakan struktur primer. Satu rantai yang memiliki struktur helik dikenal dengan α-heliks yang tidak stabil dalam keadaan tunggal. Adanya asam amino glisin di setiap residu ketiga sangat dibutuhkan untuk membentuk triple heliks karena glisin adalah asam amino yang paling kecil, selain itu, glisin juga merupakan satu-satunya asam amino yang tidak memiliki gugus samping. Triple heliks membentuk struktur tersier kolagen. Superheliks distabilkan oleh ikatan hidrogen di antara rantai (Kubisz, 2007). Kandungan hidroksiprolin yang tinggi juga melibatkan interaksi dengan air yang memberikan karakteristik pada kolagen. Hidroksiprolin berperan pada stabilisasi konformasi triple heliks pada kolagen karena hidroksiprolin terlibat dalam ikatan hidrogen antar rantai polipeptida. Molekul triple heliks berbentuk silinder dengan diameter 1.5 nm dan panjang 300 nm. Posisi dari molekul tripel heliks adalah paralel, tetapi dipisahkan oleh lubang sekitar 35 nm di ujungnya dan molekul berdekatan dengan jarak sekitar 68 nm. Struktur kuartener berupa mikrofibril yang terbentuk oleh sekitar lima unit tropokolagen. Mikrofibril dikemas dalam bentuk tetragonal. Diameter fibril hanya beberapa angstroms, setiap fibril tersusun atas tiga rantai polipeptida dengan jumlah asam amino sebanyak 1000 asam amino (Kubisz, 2007). Komponen tulang selain komponen organik dan anorganik adalah air. Air yang berasosiasi dengan protein dibagi menjadi tiga tipe, yaitu struktural, terikat, dan air bebas. Air struktural terdapat pada struktur kolagen dengan jumlah sekitar 0-0.07 g/g. Air terikat sebanyak 0.07-0.25 g/g, adalah molekul air yang terikat secara spesifik pada rantai kolagen dan terdapat pada ruang antar molekul. Interaksi antara air dan protein pada air terikat tidak sekuat interaksi air dan protein pada air struktural. Air bebas adalah komponen air dengan jumlah lebih tinggi dari 0.45 g/g. Adanya kandungan air ini
5
dikarenakan oleh struktur fibrous dan komposisi kimia yang mengandung gugus hidrofilik seperti gugus C=O, N-H, COOH, dan OH (Kubisz, 2007).
2. Dampak iradiasi pada tulang Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis yang berarti kehilangan kapasitas untuk menyerap energi dan menghasilkan tulang yang rapuh. Kehilangan resistensi ini dipengaruhi oleh kondisi penyinaran dan sebelum penyinaran. Sebagai contoh, tulang yang diiradiasi tanpa perlakuan pembekuan akan menghasilkan tulang yang lebih rapuh dibandingkan dengan tulang yang diiradiasi dalam keadaan beku. Kajian mengenai sifat mekanis tulang telah dipelajari pada dosis 30+5 kGy, yang cukup untuk mengurangi jumlah mikroba sampai 109. Radiasi dapat membuat tulang menjadi rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen. Menurut Currey et al. (1997), iradiasi dengan dosis sekitar 90 kGy menghasilkan integritas mekanis tulang yang tidak dapat diterima. Dari sudut pandang mikroskopis, perubahan makroskopis disebabkan oleh radikal bebas yang terbentuk selama iradiasi. Sebagai contoh, perubahan kimia pada protein yang melibatkan radikal bebas. Radiasi ionisasi dapat menghasilkan radikal bebas yang bersifat stabil dalam sistem biologi makhluk hidup. Kerusakan yang terjadi selama iradiasi tulang disebabkan oleh radikal bebas hasil radiasi seperti radikal hidroksi, ion superoksida, radikal turunan asam amino, dan radikal anorganik CO33- dan CO21-. Radikal bebas turunan dari mineral tulang mempunyai umur simpan yang panjang sekitar 107 tahun pada suhu 250C, sebagai akibatnya tulang biasa digunakan sebagai dosimeter alami (Kubisz, 2007). Radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama dan keberadaanya dapat dideteksi dengan cara spektroskopi ESR. Radikal bebas yang terdeteksi oleh ESR merupakan radikal bebas yang dihasilkan baik dalam matriks organ maupun komponen mineral dalam tulang. Turunan radikal organik dari kolagen cukup stabil dalam sampel di suhu ruang, akan tetapi mengalami kerusakan dengan cepat saat dipanaskan. Kemungkinan karena rekombinasi antar radikal. Pemberian udara ke spesimen
6
yang tidak dipanaskan memicu kerusakan. Radikal anorganik yang paling stabil CO2 1- memiliki waktu paruh 107 tahun pada 250C. Berlawanan dengan radikal anorganik, radikal organik dapat dengan mudah direkombinasi. Alasan dari sifat ini kemungkinan karena terjadi ikatan hidrogen yang lemah dan fleksibel di kolagen dan struktur kristalin yang padat dari hidroksiapatit (Kubisz, 2007). B. Ikan Mas Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) mempunyai ciri-ciri badan memanjang, sedikit pipih ke samping (compressed), mulut dapat disembulkan, dan terletak di ujung tengah (terminal), mempunyai dua pasang sungut, sisik yang relatif besar yang tergolong tipe cycloid, mempunyai garis rusuk yang lengkap dan berada pada pertengahan sirip ekor (Susanto, 1993). Hampir seluruh tubuh ikan mas ditutup sisik, sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari keras, dan sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan letak permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur atau sirip anal yang terakhir bergerigi. Linea literalis terletak di pertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai dengan ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan (pharinreal teeth) terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno, 1994). Menurut Okada (1990), berdasarkan komposisi kimia protein dan lemak, ikan dibagi dalam empat golongan, yaitu 1. Lemak rendah (< 5%) dan protein tinggi (> 15%) 2. Lemak sedang (5%-15%) dan protein tinggi (> 15%) 3. Lemak tinggi (> 15%) dan protein rendah (< 15%) 4. Lemak rendah (< 15%) dan protein rendah (< 15%) Berdasarkan penggolongan di atas, ikan mas termasuk ke dalam ikan berlemak rendah dan berprotein tinggi. Komponen kimia ikan mas menurut Shimone dan Shikata (1993), yaitu kadar air antara 70.4-73.9%, protein antara 16.70-18.43%, lemak antara 6.208.30%, dan kadar abu antara 2.66-3.41% atau berdasarkan perhitungan berat
7
kering untuk kadar protein antara 56.45-62.28%, kadar lemak antara 20.9628.05%, dan kadar abu antara 9.0-11.52%. C. Pepes Ikan Pepes ikan merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Pepes ini biasanya dibuat dengan menggunakan bahan dasar ikan mas di Jawa Barat. Sedangkan di wilayah lain, pepes juga dapat dibuat dengan bahan dasar ikan laut seperti ikan makarel. Pepes adalah produk olahan daging (unggas atau ikan) dengan menambahkan rempah bumbu pada daging dan dikemas dengan menggunakan daun pisang. Rempah atau bumbu yang digunakan dalam pembuatan pepes ikan mas adalah bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Cara membuat pepes ikan secara tradisional di daerah adalah bumbu dan rempah dihaluskan dan ditambah daun kemangi, tomat, dan cabai kemudian dibalutkan ke ikan mas yang sudah dibersihkan. Setelah itu, dibungkus dengan daun pisang dan disemat dengan 2 buah bambu kecil di setiap ujungnya. Bungkusan ini lalu diolah dengan perlakuan termal(Irawati et al., 2000). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pepes dengan menggunakan teknologi yang ada adalah dengan membuat produk pepes iradiasi. Menurut Irawati et al. (2000), pepes ikan mas iradiasi dibuat melalui tahap-tahap sebagai berikut: pertama, ikan mas dibersihkan dengan cara dikeluarkan isi perutnya, kemudian dicuci dengan menggunakan air yang telah dicampur lemon dan garam selama 15 menit. Ikan kemudian dicuci kembali menggunakan air dan segera diasinkan dengan menggunakan bumbu seperti bawang putih, kunyit, jahe, daun sereh, lemon, dan daun salam. Setelah itu, ikan dibungkus menggunakan daun pisang dan diproses panas menggunakan Inoxpran pressure cooker selama 45-60 menit pada suhu 120C. Pepes yang dihasilkan dibekukan pada suhu -13C. Pepes tersebut dikemas secara vakum menggunakan kemasan yang terdiri dari LDPE dan alumunium foil. Pepes yang telah dikemas kemudian disusun dalam styrofoam boxes yang telah dilapisi oleh dry ice dan dan disimpan selama semalam sebelum diiradiasi. Proses iradiasi dilakukan dengan menggunakan sinar gamma melalui iradiator IRKA di National Nuclear Energy Agency, Pasar Jumat, Jakarta.
8
Cobalt 60 digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi dengan dosis rata-rata 5.2 kGy/jam. Radiochromic FW-60 digunakan sebagai kalibrasi dosimeter, sedangkan perspex dosimeter digunakan untuk menentukan dosis minimum yang terserap. Pepes ikan mas diiradiasi dengan dosis minimum 45 kGy di dalam dry ice. Dosis sterilitas ditentukan dengan mengacu pada metode AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrumentation) ISO/DIS 11137.2 berdasarkan bioburden. Setelah dosis sterilitas tercapai, pepes ikan mas iradiasi disimpan pada suhu ruang.
Gambar 1. Pepes ikan mas iradiasi dalam kemasan D. Prinsip Iradiasi Pangan Pada pengawetan bahan pangan dengan iradiasi digunakan radiasi berenergi tinggi yang dikenal dengan nama radiasi pengion, karena dapat menimbulkan ionisasi pada materi yang dilaluinya (Maha, 1981). Prinsip pengawetan bahan pangan dengan iradiasi ditunjukkan pada Gambar 2. Sumber iradiasi Bahan pangan Eksitasi, ionisasi, dan perubahan komponen sumber iradiasi Efek fisik, kimia, dan biologis bahan pangan Pertumbuhan sel bahan terhambat, mikroorganisme patogen dan pembusuk mati Gambar 2. Skema proses pengolahan bahan pangan dengan iradiasi
9
Gambar di atas menunjukkan bahwa eksitasi dan ionisasi elektron menyebabkan perubahan komponen pada bahan pangan tersebut. Apabila perubahan terjadi pada sel hidup, maka akan menghambat sintesis DNA yang menyebabkan proses terganggu dan terjadi efek biologis. Efek inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan (Maha, 1981). Pemanfaatan praktis iradiasi bahan pangan banyak berkaitan dengan pengawetan. Radiasi menonaktifkan organisme perusak pangan, yaitu bakteri, kapang dan khamir. Iradiasi juga efektif untuk memperpanjang masa simpan sayur dan buah segar karena membatasi perubahan hayati yang berkaitan dengan pematangan, pertumbuhan, dan penuaan. Jenis sinar yang memiliki kemampuan untuk mengionisasi diantaranya adalah sinar , , dan . Dari ketiga jenis sinar tersebut sinar memiliki daya penetrasi yang paling tinggi dan dapat digunakan untuk radiasi ionisasi. Sinar memiliki daya tembus yang amat kuat dan tidak terbelokkan oleh medan magnet atau medan listrik. Iradiasi dengan sinar paling banyak digunakan untuk aplikasi iradiasi pangan (Winarno et al., 1980). Partikel lain yang memiliki efek yang mirip dengan sinar adalah neutron, akan tetapi penggunaan neutron tidak boleh digunakan untuk iradiasi pangan karena dapat menghasilkan radioaktivitas pada pangan (Diehl, 1990). Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah. Sedangkan menurut Winarno et al., (1980), iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber radiasi buatan. Apabila suatu zat dilalui oleh radiasi pengion, energi yang melewatinya akan diserap dan menghasilkan pasangan ion. Energi yang diserap oleh tumbukan radiasi pengion dengan partikel bahan pangan akan menyebabkan eksitasi dan ionisasi beribu-ribu atom dalam lintasannya yang terjadi dalam waktu kurang dari 0.001 detik.
10
Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan adalah : a.
Sinar gamma Dipancarkan oleh radio nuklida
60
Co dan
137
Cs. Keduanya merupakan
gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek. b
Berkas elektron Dihasilkan oleh mesin pemercepat elektron yang terdiri dari partikelpartikel bermuatan listrik.
Dosis iradiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Untuk setiap jenis pangan dibutuhkan dosis khusus sehingga diperoleh hasil yang diinginkan. Besarnya dosis iradiasi yang digunakan dalam pengawetan pangan tergantung pada jenis bahan dan tujuan pengawetan yang ingin dicapai. Dosis iradiasi yang digunakan
untuk
bahan
makanan
berdasarkan
tujuan
pengawetan
dikelompokkan sebagai berikut: a.
Dosis rendah, Radurisation (0-1 kGy) Pemakaian dosis ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tunas pada berbagai jenis umbi-umbian serta untuk membunuh serangga perusak makanan
b.
Dosis sedang, Radicidation (1-10kGy) Dosis ini ditujukan untuk menurunkan jumlah mikroba guna memperpanjang umur simpan.
c.
Dosis tinggi, Radappertisation (10-50kGy) Pemakaian dosis tinggi ini bertujuan untuk sterilisasi guna membunuh semua mikroba termasuk virus, sehingga produk dapat disimpan dalam suhu ruang tanpa pendinginan (Urbain, 1986). Umumnya diaplikasikan pada produk daging agar tetap awet selama jangka penyimpanan pada kondisi normal.
11
Selain ditujukan untuk pengawetan makanan, dapat memperpanjang daya awet, dan juga tidak mengubah mutu fisik produk. Pemilihan dosis optimum dilakukan dengan memperhatikan tiga kriteria dasar, yaitu: a.
Dosis iradiasi tidak menyebabkan perubahan karateristik organoleptik.
b.
Daya awet makanan pada suhu penyimpanan tertentu.
c.
Tingkat keamanan. Pengembangan dan penggunaan iradiasi untuk stabilitasasi bahan
pangan memberikan kemungkinan bahan pangan dapat diawetkan tanpa mengalami perubahan nyata sifat alaminya. Bidang ini dirintis oleh Dr. B.E. Proctor dan Dr. S.A. Goldblith pada akhir tahun 1940 dan sejak itu menjadi tantangan bagi banyak ilmuwan dan ahli teknologi bahan pangan (Desrosier, 1988). Tanggal 29 Desember 1987 Departemen Kesehatan RI telah memberikan izin PERMENKES No. : 826/MENKES/PER/XII/1987 untuk beberapa jenis produk bahan pangan iradiasi dan telah diperbaharuhi pada tahun 1995 yaitu PERMENKES No. : 152/MENKES/SK/II/1995 untuk dosis maksimum 10 kGy). Adapun JECFI (Joint Expert Committee on Food Irradiation) pada tahun 1980 telah merekomendasi bahwa dosis sampai 10 kGy aman untuk dikonsumsi.
Tabel 1. Jenis komoditas yang telah diijinkan oleh Depkes untuk proses iradiasi No.
Komoditas
Tujuan Iradiasi
Batas Dosis Maksimal (kGy) 10
1
Rempah-rempah, daun-daunan, dan bumbu kering
Mencegah/menghambat pertumbuhan serangga dan mikroba
2
Umbi-umbian
Menghambat pertunasan
0.15
3
Udang beku dan paha kodok beku
Menghilangkan bakteri salmonella
7
4
Ikan kering
Memperpanjang masa simpan
5
5
Biji-bijian
Menghilangkan serangga dan bakteri patogen
5
Sumber: http://infonuklir.com
12
E. Uji In Vitro dan Kultur Sel Kultur
sel
merupakan
teknik
yang
biasa
digunakan
untuk
mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel. Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Saat ini kultur sel telah banyak digunakan dalam laboratorium sitogenetik, biokimia, dan molekuler untuk melakukan diagnostik dan penelitian. Dalam bidang ilmu pangan, kultur sel seringkali digunakan untuk evaluasi fungsi dan keamanan bahan pangan secara in vitro(Davis, 1994). Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990). Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan (Davis, 1994). Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 ( Davis, 1994 ). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Limfosit tidak dapat bertahan hidup
13
dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 105 sel/ml). Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10%. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 % (Walum et al., 1990). Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Sel limfosit membutuhkan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer (Freshney, 1994).
F. Eritrosit dan Hemolisis Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen yang menyusun darah sekitar 99%. Komponen lain penyusun darah adalah leukosit dan platelet. Fungsi utama eritrosit adalah untuk membawa oksigen dari paru-paru dan karbondioksida hasil metabolism sel. Eritrosit tersusun oleh hemoglobin
14
dalam jumlah besar. Hemoglobin dapat berikatan dengan oksigen sehingga oksigen dapat didistribusikan ke seluruh sel. Konsentrasi rata-rata dari hemoglobin di dalam darah adalah 14g/100ml darah pada wanita dan 16g/100ml darah pada pria dewasa (Vander et al., 2004). Eritrosit atau sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbondioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas berberapa protein. Diameter eritrosit ini kira-kira 7.8 µm, dengan ketebalan 2.5 µm pada bagian paling tebal dan kurang kebih 1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 µm3 (Guyton dan Hall, 1997). Persentase jumlah eritrosit di dalam volume darah dikenal dengan istilah hematocrit. Dalam keadaan normal kadarnya sekitar 45% yang dapat diukur dengan teknik sentrifugasi dengan mengendapkan eritrosit dan diukur volumenya (Vander et al., 2004). Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantungkantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar 33% berat sel eritrosit manusia merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan kemamupan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk mensintesis membran yang baru (Weiss et al., 1977). Eritrosit yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat difusi oksigen lebih mudah pada eritrosit. Dengan menggunakan mikroskop elektron, eritrosit dapat memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu normal (disciocyte), crenated, echinochyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed, berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari. Fungsi utama eritosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jika hemoglobin ini terbebas dalam plasma
15
manusia, kurang lebih 3 % bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau membran glomerolus pada ginjal terus masuk ke dalam saringan glomerolus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, hemoglobin tersebut harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Eritrosit banyak sekali mengandung karbonik anhidrase, yang mengkatalis reasksi antara karbondioksida dan air sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini berberapa ribu kali lipat. Kecepatan reaksi ini yang tinggi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga merupakan dapar asam basa (seperti kebanyakan protein), sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah (Guyton dan Hall, 1997). Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit, merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450 dan terdiri dari empat subunit, di mana masing-masing sub unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derifat porifirin yang mengandung Fe2+ yang dapat mengikat oksigen. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin di mana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian, didapatkan sekitar 3x1013 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam darah seorang laki-laki dewasa (Ganong, 1990). Eritrosit memiliki berberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air (berada di plasma) dan tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit (Zhu et al., 2002). Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan membran eritrosit
16
dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah serta adanya radikal bebas yang berinteraksi dengan membran. Membran eritrosit tersusun atas polisakarida dan protein spesifik yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan
eritrosit
sebagai
model
untuk
membandingkan
dan
menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin.
G. Limfosit dan Proliferasi Limfosit Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm, dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa dan timus. Leukosit dibagi ke dalam dua kelas, yaitu yang mengandung granula dalam sitoplasmanya (granulosit) dan agranulosit yang tidak mengandung granula (Ganong, 1990). Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuh (Kuby, 1992). Terdapat tiga kelompok limfosit yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu : 1. Limfosit B Limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi.
17
Jumlah sel B limfosit adalah 25% dari total keseluruhan limfosit tubuh. Limfosit B mampu menghasilkan berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen. Sel ini memiliki reseptor-reseptor pada permukaannya untuk antigen tertentu. 2. Limfosit T Sel ini terbentuk jika sel stem dari sumsum tulang pindah ke kelenjar timus dan mengalami pembelahan dan dewasa di dalam kelenjar timus. Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar timus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan. Sel T diproduksi oleh kelenjar timus, jumlahnya mencapai 70% dari seluruh sel limfosit di dalam tubuh. Di bawah mikroskop, morfologi Limfosit T dan B tidak dapat dibedakan. Ada tiga bentuk sel T, yaitu sel Thelper ( Th), Tsupresor ( Ts ), dan T
cytotoksik
(Tc) (Baratawidjaja, 1991). Sel Thelper atau sel T penolong merupakan sel T yang berperan dalam stimulasi sintesis antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokinin. Sel ini bekerja bersama dengan aktivitas antibodi sel B. Sel Tsupresor berperan menekan aktivitas sel T yang lain. Sel ini mempunyai aktivitas dapat menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoksik (Tc) memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler (Baratawidjaja, 1991). 3.
Limfosit NK ( Natural Killer ) Limfosit ini memiliki ukuran yang agak lebih besar daripada limfosit T dan B. Limfosit ini juga dikenal sebagai Large Granular Lymphocyte (LGL) karena merupakan sel dengan sejumlah besar sitoplasma dengan granula azurofilik (Kuby, 1992). Sel ini dinamai sel pemusnah karena sel ini membunuh mikroba dan selsel kanker tertentu. Istilah alami digunakan karena mereka siap membunuh sejumlah sel target segera setelah mereka terbentuk, tidak perlu melewati pematangan dan proses belajar seperti pada limfosit T dan limfosit B (Anonim, 2006)
18
Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan menggunakan indikator respon imun. Uji ketoksikan suatu senyawa dapat juga dilakukan dengan menggunakan limfosit. Limfosit digunakan dalam uji ketoksikan karena sel ini sangat rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh senyawa atau benda asing. Proliferasi merupakan proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis. Respon proliferasi sel limfosit yang diuji pada sistem in vitro dapat digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, yaitu meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi limfosit merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proses proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari system imun (Roit dan Delves, 2001). Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen. Tidak seperti immunogen yang hanya mengaktivasi reseptor spesifik pembawa limfosit, aktivitas mitogen adalah tidak spesifik. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel limfosit B, sedangkan beberapa yang lain hanya mampu menginduksi sel limfosit T, tetapi ada juga sebagian kecil yang mampu menginduksi keduannya secara bersamaan. Pengujian terhadap kemampuan fungsional limfosit dapat dilihat dari kemampuan memberikan respon terhadap mitogen, kemampuan membentuk immunoglobulin atau limfokin, dan kemampuan sitotoksisitas sel NK (Tejasari et al., 2000). Sejumlah mitogen yang umumnya digunakan adalah lektin. Lektin memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit. Beberapa contoh mitogen yang berasal dari lektin adalah PHA (Phytohaemagglutinin ) dan PWM (Pokeweed). Akan tetapi tidak semua mitogen merupakan lektin, ada beberapa jenis senyawa yang biasa digunakan sebagai mitogen yaitu Concanavalin A (Con A). Senyawa ini berasal dari ekstrak tanaman kacang jack (Conavalin ensiformis). Mitogen ini menginduksi proliferasi sel limfosit T. Senyawa lain yang berperan sebagai mitogen adalah pokeweed (PWM), senyawa ini diekstrak dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana). Mitogen pokeweed dapat menginduksi proliferasi sel limfosit T dan B secara
19
bersama-sama. PWM mampu berikatan dengan di-N-asetyl kitobiose dan mampu menginduksi sel B dan sel T (Kuby, 1992). Pengamatan jumlah sel yang mati dan tingkat proliferasi sel limfosit yang telah ditambahkan mitogen dapat diamati menggunakan pewarna MTT (3-[4,5-Dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium
bromide)
atau
terazole. Prinsip dari metode ini adalah konversi dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi senyawa formazan yang berwarna biru oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase oleh mitokondria sel hidup (Kubota et al., 2003). Senyawa yang terbentuk kemudian dihitung absorbansinya
menggunakan
microplate
reader.
Enzim
suksinat
dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis hanya pada sel hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup sehingga dengan metode pewarnaan MTT dapat diketahui jumlah sel limfosit hidupnya. Metode MTT ini menggunakan enzim atau substrat yang spesifik (Davis, 1994).
H. Antioksidan Kochhar dan Rossel (1990) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa berberat molekul rendah yang bereaksi dengan oksidan sehingga tidak menimbulkan reaksi yang membahayakan. Antioksidan bersifat dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi sehingga antioksidan memiliki peranan yang sangat penting dalam memerangi radikal bebas. Tubuh memiliki beberapa mekanisme untuk meminimalisasi kerusakan akibat radikal bebas sekaligus memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Enzim antioksidan yang dihasilkan tubuh contohnya glutation peroksidase, glutation reduktase, katalase, dan superoksida dismutase. Antioksidan kimiawi menetralkan radikal bebas dengan menerima atau menyumbangkan elektron untuk mengeliminasi elektron tak berpasangan (Muchtadi, 2000). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat yang dapat menghentikan reaksi radikal bebas melalui mekanisme penangkapan radikal bebas sehingga dapat menghambat tahap
20
inisiasi serta memutus tahap propagasi. Antioksidan sekunder atau antioksidan preventif berfungsi untuk menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara mengkelat metal dalam cairan ekstraselular dan mendegradasi radikal dalam cairan intraselular oleh berbagai jenis enzim (Muchtadi, 2000). Antioksidan yang terdapat pada pepes berasal dari komponen bioaktif bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam pepes. Bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam pepes diantaranya adalah bawang putih, kunyit, lemon, dan jahe. Komponen bioaktif bawang putih diantaranya adalah alisin atau asam diallil tiosulfinat (Whitmore dan Naidu, 2000). Komponen bioaktif yang terdapat pada kunyit diantaranya adalah kurkumin. Kurkumin merupakan senyawa fenolik sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Lemon mengandung vitamin C yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Jahe merupakan rempah-rempah yang mengandung antioksidan tinggi. Kikuzaki dan Nakatani (2000) juga meyakini dalam jahe terkandung sejumlah senyawa fenolik yang bersifat antioksidan.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor selama 3 bulan, terhitung dari bulan Februari hingga April 2009.
B. Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan adalah tulang ikan pepes iradiasi yang memiliki umur simpan yang berbeda-beda, yaitu tulang ikan pepes iradiasi dengan masa simpan 2 tahun yang diiradiasi pada tahun 2007 (tulang A), tulang ikan pepes iradiasi dengan masa simpan 1 tahun yang diiradiasi pada tahun 2008 (tulang B), dan tulang noniradiasi. Sampel-sampel tersebut merupakan sampel yang diperoleh dari Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi BATAN. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades. Serum darah, eritrosit, dan limfosit diisolasi dari darah manusia yang berasal dari donor yang sehat. Bahan yang digunakan pada pengujian terhadap hemolisis eritrosit adalah PBS (phosphate buffer saline), H2O2 0.5%, dan biru trifan. Bahan kimia yang digunakan pada pengujian terhadap proliferasi limfosit adalah histopaque (Sigma, USA), RPMI-1640 (Sigma, USA), MTT [3-(4,5dimethilthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide] (Sigma, USA) dan HCl-isopropanol 0.04 N, aquabides, larutan mitogen pokeweed, dan larutan mitogen LPS. Bahan yang digunakan pada pengukuran kapasitas antioksidan adalah buffer asetat, metanol, DPPH (diphenyl-β-picrylhidrazine), dan asam askorbat. Bahan yang digunakan pada pengukuran kadar malonaldehida adalah larutan HCl 0.25 N, TCA (trichloroacetic acid), TBA (thiobarbituric acid), BHT (butil hidroksi toluena), dan TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana). Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sentrifuse CR412, inkubator VWR Scientific (CO2 5 %, 37oC), Spectrophotometer microplate reader (Bio-rad model 550), mikroskop (Olympus CH 20), laminar flow hood,
lempeng mikrokultur (well plate) 96 well, kertas saring, membran steril 0.20 m (Sartorius), mikropipet, mikrotip 1000 µl, mikrotip 100 µl, vorteks, hemasitometer (Bright-line), syringe, hand counter, termometer, penangas air, tabung eppendorf, tabung vacutainer steril, vacutainer needle, holder, torniquate, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc).
C. Metode Penelitian Metode penelitian terdiri dari tujuh tahap meliputi ekstraksi sampel, persiapan ekstrak, persiapan media kultur sel, isolasi sel eritrosit dan pengujian pengaruh ekstrak terhadap hemolisis eritrosit, isolasi limfosit dan pengujian ekstrak terhadap proliferasi limfosit manusia, dan pengujian ekstrak terhadap aktivitas antioksidan serta pengukuran kadar malonaldehida.
1. Ekstraksi Tulang Ikan Ikan pepes iradiasi yang masih berada dalam kemasan dibuka, dipisahkan antara tulang dan dagingnya. Bagian tulang yang diambil adalah tulang belakang dan tulang kepala. Bagian tulang diambil sebanyak 10 g dan dihancurkan dengan mortar sampai halus, ditambahkan dengan aquades dengan perbandingan berat 1:2. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan padatan dan cairannya. selanjutnya disaring dengan kertas saring dan diteruskan dengan membran steril 0.20 µm.
2. Persiapan ekstrak Ekstrak tulang ikan pepes iradiasi langsung dilakukan pengenceran bertingkat sehingga diperoleh ekstrak dengan tiga pengenceran yang dapat dilihat pada Tabel 3, yaitu konsentrasi C1, C2, dan C3. Konsentrasi C1 diperoleh dari hasil ekstraksi pada tahap 1. Konsentrasi C2 diperoleh dengan menambahkan aquabides pada C1
dengan perbandingan 1:1,
sedangkan konsentrasi C3 diperoleh dengan menambahkan aquades steril pada ekstrak C1 dengan perbandingan 3:1. Ekstrak yang diperoleh kemudian segera dianalisis menggunakan sel eritrosit dan sel limfosit.
23
Tabel 2. Pengenceran ekstrak sampel Jumlah stok sampel
Jumlah aquabides steril
(ml)
(ml)
C1 (pengenceran 0x)
2
0
C2 (pengenceran 2x)
1
1
C3 (pengenceran 4x)
0.5
1.5
Konsentrasi
3. Persiapan Uji In Vitro a. Persiapan Media Kultur Sel (Agustinisari et al., 1997) Media yang dipergunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 (telah mengandung L-glutamine). Bubuk RPMI sebanyak 10.42 g dilarutkan dalam aquabides, sehingga diperoleh 1 liter larutan RPMI1640. Kemudian ditambahkan 2 g NaHCO3 (sebagai buffer). Campuran larutan tersebut disterilisasi dengan membran sterilissasi 0.20 µm.
b. Persiapan PBS (Phosphat Buffer Saline) Dua buah tablet PBS dilarutkan di dalam aquabides sebanyak 500 ml. Kemudian disaring dengan membran steril 0.20 µm.
c. Persiapan Serum Darah AB (Nurrahman et al., 1999) Darah
segar
diambil dari
donor
yang
bergolongan
AB.
Pengambilan darah dilakukan oleh seorang perawat di klinik Farfa, Darmaga. Darah sebanyak 7-21 ml dimasukkan ke dalam vacuteiner steril spesial untuk isolasi serum. Darah kemudian disentrifuse selama 30 menit pada 2500 rpm hingga terpisah menjadi tiga bagian. Bagian serum yang berada di bagian atas diambil menggunakan mikropipet dan bagian darah tidak boleh sampai terambil. Serum yang sudah dipisahkan dipanaskan dalam waterbath suhu 56˚C selama 30 menit lalu disterilkan menggunakan membran steril 0.20 μm.
24
4. Isolasi Sel Eritrosit dan Pengujian Pengaruh Ekstrak terhadap Hemolisis Eritrosit secara In Vitro a. Isolasi Sel Eritrosit (Zhu, 2002) Eritrosit diisolasi dari darah perifer donor dengan jenis kelamin laki-laki. Darah donor diambil sebanyak 7-15 ml secara aseptis oleh seorang perawat di Klinik Farfa, Darmaga. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung vacutainer steril yang berisi heparin agar darah tidak menggumpal. Kemudian, darah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse di dalam laminar hood secara aseptis untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba dan untuk menjaga keaseptisan proses. Pemisahan eritrosit awal dilakukan dengan sentrifuse pada 1.500 rpm selama 10 menit, dan akan terlihat ada 3 lapisan di dalam tabung. Lapisan yang paling atas berwarna kuning adalah plasma darah, lapisan buffycoat yang terdiri dari leukosit dan platelet berada di tengah, dan di bagian bawah terdapat eritrosit yang menyusun hampir 45 % dari total volume darah (Gambar 3). Lapisan plasma yang ada di bagian atas dan buffycoat kemudian dibuang.
Plasma Buffycoat
Suspensi eritrosit
Gambar 3. Pemisahan sel darah manusia Sel eritrosit kemudian dicuci sebanyak 3 kali menggunakan larutan PBS. Sebanyak 1 ml sel eritrosit dicuci dengan 5 ml larutan PBS lalu disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Eritrosit akan mengendap di dasar tabung dan larutan PBS akan
25
berwarna kemerahan. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali hingga larutan PBS menjadi hampir tidak berwarna dan jernih. Jumlah sel eritrosit yang ada dalam suspensi dihitung menggunakan hemasitometer dengan pewarna biru trifan. Sebanyak 0.5 ml suspensi eritrosit diambil, lalu ditambah dengan PBS sebanyak 49.5 ml sehingga diperoleh volume total sebesar 50 ml. Dari suspensi ini sebanyak 20 μl suspensi eritrosit diambil dan ditambah dengan biru trifan sebanyak 20 μl dan diaduk dengan mikropipet. Kemudian dilakukan penghitungan sel eritrosit dengan mikroskop pada perbesaran 400x. Kemudian dilakukan pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi sel 2 x 108 sel/ml. Jumlah sel eritrosit yang hidup harus di atas 95% agar dapat digunakan untuk uji. Rumus
perhitungan
jumlah
sel
eritrosit
menggunakan
hemasitometer yaitu : N = A x FP x 104 sel/ml Keterangan : N FP A
= Jumlah sel eritrosit = Faktor pengenceran = Jumlah sel hidup dalam 1 kotak
b. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit Disiapkan sel eritrosit stok dengan konsentrasi 2 x 108 sel/ml dengan jumlah sel hidup lebih besar dari 95 %. Suspensi sel sebanyak 800
μl
dimasukkan
ke
dalam
tabung
eppendorf,
kemudian
ditambahkan ekstrak sebanyak 200 μl. Untuk masing-masing sampel dilakukan dengan tiga macam konsentrasi dan masing-masing triplo. Disiapkan juga kontrol positif, yaitu 800 μl eritrosit ditambah dengan 200 μl larutan H2O2 0.5 %. Sedangkan kontrol negatif dibuat dengan 800 μl eritrosit yang ditambah dengan 200 μl PBS. Tabung eppendorf yang berisi sel dan ekstrak tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator bersuhu 370C dan kadar CO2 5%. Pengamatan dimulai dari jam ke-0 sampai jam ke-5 yang dilakukan tiap jam.
26
Pengamatan dilakukan dengan mengambil tabung eppendorf dan disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit untuk mengendapkan sel darah merah. Sebanyak 100 μl supernatan diambil dan diplating pada 96-well plate lalu diukur absorbansinya menggunakan Spectrophotometer microplate reader pada panjang gelombang 450 nm. Setiap 1 jam dari jam ke-0 hingga jam ke 5, tabung eppendorf tersebut diambil dan diperlakukan seperti perlakuan tersebut di atas.
c. Perhitungan persentase hemolisis Nilai absorbansi yang diperoleh dari pengukuran kemudian digunakan untuk menghitung nilai persentase hemolisis eritrosit. Rumus perhitungan persentase hemolisis eritrosit sebagai berikut: % hemolisis eritrosit =
Absorbansi sampel x 100% Absorbansi kontrol positif
d. Analisis statistik Data yang diperoleh dari pengujian ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dibandingkan dengan data dari ekstrak tulang ikan noniradiasi menggunakan analisis pengujian statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dengan nilai selang kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Dunnet.
5. Isolasi Limfosit dan Pengujian Ekstrak Tulang Iradiasi terhadap Limfosit secara In Vitro. a. Isolasi Limfosit (Nurrahman et al., 1999) Darah donor sebanyak 21-27 ml diambil secara aseptis di klinik Farfa, Dramaga, Bogor oleh seorang perawat. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vacutainer steril yang didalamnya terdapat antikoagulan. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse secara aseptis di dalam laminar flow hood.
27
Pemisahan limfosit awal dilakukan dengan sentrifuse darah dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Darah akan terpisah menjadi tiga bagian, yaitu lapisan plasma, buffycoat, dan eritrosit. Setelah itu, diambil lapisan buffycoat menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse steril yang berisi histopaque. Buffycoat dilewatkan secara hati-hati di atas histopaque melalui dinding tabung (perbandingan buffycoat dan histopaque = 1:1). Dilakukan kembali sentrifuse 2500 rpm selama 30 menit. Diambil lapisan bagian atas dan dicuci dengan penambahan 5 ml larutan media RPMI. Campuran ini kemudian disentrifus 1500 rpm selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali, sehingga didapatkan sel limfosit. Suspensi sel limfosit kemudian dihitung menggunakan hemasitometer dengan pewarnaan biru tripan dan ditepatkan menjadi 2 x 106 sel / ml. Setelah itu ditambahkan serum darah AB sebanyak 10%.
Lapisan buffycoat Sel darah merah
Gambar 4. Hasil pemisahan sel darah manusia
Rumus
perhitungan
jumlah
sel
eritrosit
menggunakan
hemasitometer yaitu : N = A x FP x 104 sel/ml Keterangan : N = jumlah sel limfosit / ml A = Jumlah sel hidup dalam 1 kotak FP = Faktor Pengenceran
28
b. Pengujian terhadap Limfosit dengan Metode MTT (Meiriana, 2006) Disiapkan suspensi sel limfosit dengan konsentrasi sel sebesar 6
2 x 10 sel/ml dan ditambah dengan serum AB sebanyak 10% dari volume suspensi sel. Ekstrak sampel dimasukkan ke dalam well plate sebanyak 20 l dan ditambahkan dengan suspensi sel limfosit sebanyak 80 l. Dibuat juga kontrol positif, yaitu LPS dan pokeweed sebanyak 20 l ditambah dengan 80 l sel limfosit, sedangkan kontrol negatif dibuat dengan 20 l larutan RPMI ditambah dengan 80 l sel limfosit. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 370C dan kadar CO2 5% selama 72 jam. Enam jam sebelum masa inkubasi berakhir, kultur sel ditambahkan 10 l larutan MTT 0.5 %. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel, ditambahkan dengan 100 l HCL-Isopropanol 0.04 N untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. Setelah itu dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 570
nm
menggunakan
Spectrophotometer
microplate reader. Nilai absorbansi yang terbaca bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup. Indeks Stimulasi (I.S) dihitung menggunakan persamaan berikut : IS =
Absorbansi sampel Absorbansi kontrol negatif
e. Analisis statistik Data yang diperoleh dari pengujian ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dibandingkan dengan data dari ekstrak tulang ikan noniradiasi menggunakan analisis pengujian statistik. Analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dengan nilai selang kepercayaan 95%, apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Dunnet.
29
6. Analisis Kapasitas Antioksidan (Kubo et al., 2002) Analisis kapasitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Larutan DPPH dibuat dengan melarutkan 30 mg serbuk DPPH ke dalam metanol sebanyak 25 ml. Kemudian diambil sebanyak 400 l larutan DPPH tersebut dan ditambahkan dengan 4 ml bufer asetat dan 7.50 ml metanol. Campuran kemudian divorteks. Setelah itu ditambahkan 100 l sampel atau larutan standar. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 20 menit di ruang gelap. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol negatif yang digunakan adalah metanol, sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah asam askorbat dengan konsentrasi 0, 50, 100, 250, 500, dan 1000 ppm Kapasitas antioksidan diperoleh dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut:
Kapasitas antioksidan (%) = Absorbansi kontrol negatif – Absorbansi sampel Absorbansi kontrol negatif
7. Pengukuran Kadar Malonaldehida (Seligman et al., 1977) Sebanyak 2 ml ekstrak sampel dan kontrol yang akan diukur ditambahkan dengan 2 ml larutan HCl 0.25 N yang mengandung 15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 80˚C selama 30 menit kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel kemudian disentrifuse pada 3000 rpm selama 15 menit. Bagian supernatan dari sampel diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Hasil pengukuran sampel kemudian dibandingkan dengan kurva standar TEP (1,1,3,3 tetraetoksipropana) yang memiliki variasi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 pmol/ml.
30
x 100 %
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstraksi tulang Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah aquades sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi pepes sehari-hari secara umum. Bagian tulang dari ikan pepes iradiasi maupun pepes noniradiasi yang akan diekstrak mengalami proses penghalusan dengan menggunakan mortar dengan tujuan memperluas daya pelarutan sampel. Proses penghacuran tulang iradiasi lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan tulang noniradiasi karena tekstur tulang iradiasi lebih lunak dibandingkan dengan tekstur tulang noniradiasi. Tulang yang diiradiasi kehilangan resistensi mekanis dan menghasilkan tulang yang rapuh karena terjadinya denaturasi pada komponen kolagen (Kubisz, 2007). Hancuran sampel lalu ditambahkan dengan pelarut aquades dengan perbandingan berat antara tulang dan aquades sebesar 1:2, kemudian disaring menggunakan kain saring. Filtrat yang diperoleh kemudian disentrifuse pada 3500 rpm selama 30 menit dengan tujuan mengendapkan padatan dan lemak yang masih tersisa pada filtrat. Setelah disentrifuse, bagian supernatan sampel dipisahkan dari lemak dan minyak yang berada pada bagian paling atas lalu supernatannya dilewatkan pada kertas saring. Pada tahap akhir, supernatan yang lolos kertas saring kemudian dilewatkan pada membran steril dengan ukuran pori 0.20 μm. Pada pengujian pengaruh terhadap hemolisis eritrosit dan proliferasi limfosit digunakan sampel steril yang dilewatkan pada membran steril, sedangkan pada pengukuran kapasitas antioksidan dan kadar malonaldehida sampel cukup digunakan ekstrak yang lolos pada kertas saring. Hal ini dilakukan karena pada teknik kultur sel dibutuhkan kondisi steril agar mencegah kontaminasi mikroorganisme yang dapat menyebabkan kesalahan pada pengujian. Sedangkan pada pengukuran kapasitas antioksidan dan pengukuran kadar malonaldehida tidak melibatkan sel hidup, sehingga tidak membutuhkan ekstrak dalam kondisi steril.
31
Ekstrak yang akan digunakan dalam pengujian terdiri dari tiga jenis pengenceran, yaitu pengenceran 0x (C1), 2x (C2), dan 4x (C3). Pengenceran 0x (C1) adalah ekstrak sampel awal, pengenceran 2x (C2) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:1, dan pengenceran 4x (C3) adalah ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan volume ekstrak awal dan air sebesar 1:3. Pengenceran ini dilakukan untuk mengetahui efek peningkatan ketersediaan air bebas terhadap pengujian, dimana radikal bebas yang terdapat pada sampel dapat menyerang molekul air dan menyebabkan reaksi berantai, serta membentuk senyawa radikal baru yang tentunya akan mempengaruhi pengujian, karena radikal bebas memiliki sifat yang sangat reaktif dan dapat menyerang senyawa lain (Winarsi, 2003).
B. Pengaruh ekstrak tulang iradiasi terhadap hemolisis eritrosit Eritrosit dipilih karena sel eritrosit menggambarkan model sel yang sederhana. Walaupun tidak cukup mempunyai perlengkapan untuk sintesis protein dan mempunyai sedikit keistimewaan dibandingkan dengan sel-sel lainnya, membran sel ini mempunyai cukup fungsi, seperti transport aktif dan pasif, dan produksi gradien ionik dan elektrik. Pada penelitian ini diteliti ketahanan membran eritrosit terhadap peroksidasi, dimana radikal bebas dibentuk oleh sumber dari luar. Peroksidasi membran eritrosit dapat dipelajari dengan beberapa oksidator, seperti hidrogen peroksida, asam dialurik, xanthine oxidase, dan hidroperoksida organik (Zhu et al., 2002; Miki et al., 1987). Oksidator yang digunakan pada penelitian ini adalah hidrogen peroksida, H2O2 mampu mendegradasi Hb untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991).
Pengaruh ekstrak tulang A terhadap hemolisis sel eritrosit Ekstrak tulang A adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi dosis tinggi yang diiradiasi pada tahun 2007 dan pengujian dilakukan pada tahun 2009 yang berarti telah memiliki masa simpan selama 2 tahun. Pengaruh ekstrak tulang A terhadap laju hemolisis eritrosit yang diamati pada tiga variasi pengenceran, yaitu pengenceran C1, C2, dan C3. Pengamatan dilakukan tiap jam selama lima jam pengamatan. Pada Gambar 5. Terlihat profil hemolisis yang diperlihatkan dengan
32
nilai absorbansi. Secara umum ekstrak tulang A dengan pengenceran C1 memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C2 dan C3, tetapi pada jam ke-3 dan ke-4 absorbansi ekstrak C1 lebih rendah dibandingkan ekstrak C2. Sedangkan absorbansi yang terjadi pada kontrol negatif nilainya paling kecil sampai jam pengamatan ke-3 dan nilainya lebih besar dari ekstrak C3 pada jam k-4 dan jam ke-5. Hemolisis yang terjadi pada kontrol negatif dapat dikatakan sebagai hemolisis spontan, artinya hemolisis yang terjadi secara alami bukan karena pengaruh sampel. Suspensi pada kontrol negatif adalah suspensi antara sel eritrosit dan media PBS. Penggunaan kontrol negatif ini bertujuan untuk mengetahui laju hemolisis dari sel eritrosit tanpa adanya pengaruh dari lingkungan luar karena PBS didesain untuk menciptakan tekanan osmosis yang mirip dengan kondisi di dalam tubuh manusia. PBS ini termasuk jenis balanced salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. PBS mengandung bufer fosfat, potasium klorida, dan sodium klorida dengan pH 7.4, pH ini sesuai dengan kondisi optimal untuk kultur sel mamalia (Davis, 1994). Pada jam ke-0 sampai jam ke-3 terlihat bahwa hemolisis spontan lebih kecil dibandingkan dengan hemolisis akibat pengaruh sampel, sedangkan pada jam ke-4 dan ke-5 hemolisis spontan lebih besar dibandingkan dengan hemolisis yang disebabkan sampel A pada pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada konsentrasi C3 sudah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hemolisis dan sel eritrosit sendiri secara alami akan mengalami hemolisis. Menurut Diehl (1990), apabila jumlah pelarut lebih banyak maka komponen-komponen di dalam larutan tersebut akan sulit menemukan partner reaksinya sehingga cenderung tidak terjadi reaksi.
33
Gambar 5. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dengan tiga perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan konsentrasi sampel akan memberikan dampak terhadap hemolisis yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena jumlah radikal bebas yang terdapat pada C1 lebih besar dibandingkan pada konsetrasi C2 dan C3. Radikal bebas tersebut kemungkinan terbentuk pada proses iradiasi dan selama penyimpanan. Menurut Urbain (1986), pada saat proses iradiasi terjadi peningkatan energi pada partikel-partikel yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi, proses ini dapat menghasilkan radikal bebas. Selama penyimpanan, radikal bebas ini akan mengalami beberapa kemungkinan, diantaranya adalah reaksi pembentukan radikal baru dan reaksi saling menetralkan antar radikal. Radikal bebas inilah yang menyerang komponen membran sehingga sel pecah dan terjadi hemolisis. Nilai absorbansi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui nilai persentase hemolisis eritrosit. Persen hemolisis ini dihitung dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah hidrogen peroksida (H2O2). Sifat-sifat hidrogen peroksida diantaranya adalah bening, agak lebih kental dari air, dan merupakan oksidator kuat. Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di dalam dan di antara sel. Hidrogen peroksida merupakan senyawa yang relatif stabil sehingga dapat menembus membran nukleus atau membran sel. Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam membran akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih
34
reaktif seperti OH. Hidroksil radikal banyak merusak protein dan lemak di dalam sel, selain itu juga dapat mendegradasi hemoglobin untuk melepaskan ion Fe (Halliwell dan Aruoma, 1991). Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska (2001) yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. (2005) yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky (2007) yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi et al. (2008) yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, kontrol positif yang sering digunakan adalah H2O2 dan AAPH. Gambar 6 menunjukkan persentase hemolisis eritrosit pada tulang A pada jam ke-5. Persentase hemolisis pada C1, C2, dan C3 berturut-turut sebesar 84.94 %, 72.89 %, dan 62.25 %. Sedangkan kontrol negatif memiliki nilai persentase hemolisis sebesar 67.17 %. Penurunan konsentrasi sampel mengakibatkan penurunan persentase hemolisis eritrosit. Persentase hemolisis kontrol negatif lebih besar dibandingkan dengan hemolisis akibat tulang A pada konsentrasi C3. Hal ini dikarenakan nilai persentase hemolisis tersebut adalah nilai persentase hemolisis pada jam pengamatan ke-5 dimana nilai absorbansi kontrol negatif lebih besar dari nilai absorbansi tulang A dengan pengenceran C3.
35
Gambar 6. Persentase hemolisis eritrosit akibat pengaruh tulang A pada berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan kontrol negatif Berdasarkan analisis statistik, menggunakan uji ANOVA, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit antara kontrol negatif dan tiga perlakuan pengenceran (C1, C2, dan C3) akibat pengaruh tulang A. Jadi, antara kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang A tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
Pengaruh ekstrak tulang B terhadap hemolisis sel eritrosit Ekstrak tulang B adalah ekstrak tulang ikan pepes iradiasi yang diiriadiasi pada tahun 2008 dan diuji pada tahun 2009, sehingga memiliki masa simpan selama satu tahun pada saat diuji. Pengukuran hemolisis eritrosit dilakukan tiap jam selama lima jam pengamatan. Absorbansi yang diperoleh pada pengamatan hemolisis akibat pengaruh tulang B pada konsentrasi C1, C2, C3, dan kontrol negatif tersaji pada Gambar 7. Kontrol negatif yang digunakan pada pembandingan sampel B ini sama dengan kontrol negatif yang digunakan pada sampel A. Pada pengamatan jam ke-4 dan ke-5, nilai absorbansi pada pengenceran C3 jauh lebih kecil dibandingkan dengan absorbansi pada kontrol negatif. Kecenderungan ini sama dengan yang terjadi pada sampel A. Sama halnya dengan sampel A, sampel B dengan pengenceran yang lebih tinggi memiliki komponen
36
yang lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadi reaksi juga lebihkecil. Akan tetapi pada sampel B terlihat perbedaan nilai absorbansi yang lebih tinggi antara kontrol negatif dan sampel dengan pengenceran C3. Hal ini diduga karena pada pengenceran yang sama sampel A memiliki komponen terlarut yang lebih besar dibandingkan sampel B.
Gambar 7. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dengan tiga perlakuan pengenceran Hasil pengamatan menunjukkan nilai absorbansi pada pengenceran C1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran C2 dan C3 pada semua jam pengamatan dari jam ke-0 sampai jam ke-5, sedangkan untuk ekstrak pada pengenceran C2 dan C3 terjadi fluktuasi pada jam ke-2, nilai absorbansi ekstrak pada pengenceran C2 lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan pengenceran C3, sedangkan pada jam-jam pengamatan lainnya pengenceran C3 memberikan nilai absorbansi yang lebih kecil dibandingkan dengan pengenceran C2. Hal ini diduga karena konsentrasi radikal bebas pada C1 yang tinggi, sehingga antioksidan endogen yang ada pada eritrosit, seperti katalase dan glutation peroksidase tidak mampu lagi menjaga membran sel eritrosit dari kerusakan. Sedangkan pada konsentrasi C2 dan C3, antioksidan endogen masih berfungsi untuk menjaga sel dari kerusakan karena konsentrasi radikal bebas tidak
37
terlalu tinggi. Eritrosit dilengkapi dengan antioksidan yang berupa enzim CuZnSOD yang dapat mencegah terhimpunnya senyawa oksidan yang berlebihan dan mencegah reaksi berantai lebih lanjut (Christyaningsih, 2003). Oksidasi dari membran eritrosit dapat digunakan sebagai model untuk kerusakan oksidasi biomembran yang dapat dilakukan secara in vitro.
Gambar 8. Persentase hemolisis tulang B pada berbagai perlakuan pengenceran Pada Gambar 8 terlihat, nilai persentase hemolisis tulang B pada pengenceran C1 sebesar 73.19 %, ekstrak pengenceran C2 sebesar 67.67%, dan ekstrak pengenceran C3 sebesar 59.34%, sedangkan nilai persentase hemolisis kontrol negatif sebesar 67.17 %. Dari hasil tersebut diketahui bahwa tren dari persentase hemolisis yang terjadi pada tulang B sama dengan tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis kontrol negatif dan perlakuan pengenceran C1, C2, dan C3 pada tulang B. Jadi, kontrol negatif dan perlakuan pengenceran 1x, 2x, dan 4x terhadap tulang B tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
38
Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C1 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 9. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C1 Pada Gambar 9 disajikan grafik absorbansi pada ekstrak sampel dengan pengenceran C1. Ekstrak tulang A dan tulang B pada pengenceran C1 dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif, dan kontrol negatif. Kontrol positif adalah suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan H2O2 yang dapat memicu terjadinya hemolisis eritrosit, sedangkan kontrol negatif merupakan suspensi sel eritrosit yang ditambahkan dengan PBS yang dapat mempertahankan tekanan osmosis sel. Kecenderungan terjadinya peningkatan nilai absorbansi terjadi pada semua sampel, akan tetapi masing-masing sampel memiliki kecenderungan yang berbeda pada profil hemolisisnya. Ekstrak tulang A memiliki kecenderungan hemolisis yang fluktuatif dan pada jam pengamatan ke-2 dengan nilai absorbansi lebih besar apabila dibandingkan dengan semua sampel dan kontrol positif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi berantai antar radikal sehingga kandungan radikal bebas pada tulang A yang tinggi. Menurut Kubisz (2007), radikal bebas yang disebabkan oleh iradiasi tulang terjebak sangat lama, radikal bebas dihasilkan baik dalam matriks organ maupun kompoenen mineral dalam tulang. Kecenderungan
hemolisis
pada
tulang
B
cenderung
mengalami
peningkatan yang tidak terlalu besar dan tidak lebih besar daripada kontrol positif. 39
Hal ini diduga karena umur simpan tulang B lebih pendek dibandingkan tulang A, sehingga senyawa-senyawa radikal yang terbentuk tidak lebih besar dari tulang A. Pada tulang noniradiasi, profil hemolisisnya hampir sama dengan tulang B, akan tetapi nilai absorbansinya tidak sebesar sampel B. Laju hemolisis tulang noniradiasi cenderung mengalami peningkatan yang stabil dari jam ke-0 sampai jam ke-5.
Gambar 10. Persentase hemolisis pada tulang dengan perlakuan pengenceran C1 Nilai persentase hemolisis ini dihitung dengan membandingkan nilai absorbansi sampel dengan nilai absorbansi kontrol positif. Pada Gambar 10 dapat dilihat nilai persentase hemolisis dari masing-masing sampel pada pengenceran C1. Nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 68.67 %, tulang A sebesar 84.94 %, dan tulang B sebesar 73.19 %. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C1. Jadi, perlakuan pengenceran 1x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
40
Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C2 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 11. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C2 Pada pengenceran C2, profil hemolisis pada tulang A pada jam-jam awal mengalami peningkatan hemolisis kemudian pada jam ke-2 cenderung stabil. Menurut Dewi (2008), pada pengujian hemolisis eritrosit
in vitro
terdapat
kecenderungan profil hemolisis eritrosit yang fluktuatif pada jam-jam awal pengamatan. Setelah 2 atau 3 jam pengamatan profil hemolisis eritrosit menjadi stabil yang diamati berdasarkan intensitas warna merah yang terbentuk
akibat hemolisis. Pada jam-jam awal pengamatan, sel masih
beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Meskipun kondisi media telah dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi di dalam tubuh, akan tetapi kondisi sel berbeda apabila berada di dalam tubuh dengan kultur sel di luar tubuh. Nilai absorbansi pada tulang A paling besar dibandingkan dengan tulang B dan tulang noniradiasi. Tren ini sama dengan yang terjadi pada pengenceran C1. Tulang B dan tulang noniradiasi memiliki profil hemolis yang hampir sama, yaitu mengalami kenaikan di awal pengamatan kemudian stabil setelah jam ke-2. Nilai absorbansi dari tulang noniradiasi dan tulang B pun tidak jauh berbeda, dimana nilai absorbansi jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan tulang A dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol negatif.
41
Gambar 12. Persentase hemolisis pada pengenceran C2 Pada Gambar 12 dapat dilihat nilai persentase hemolisis pada pengenceran C2, nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 67,07 %, tulang A sebesar 72,89 %, dan tulang B sebesar 67,67 %. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C2. Jadi, perlakuan pengenceran 2x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit. Pengaruh ekstrak tulang pengenceran C3 terhadap hemolisis sel eritrosit
Gambar 13. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang iradiasi pada pengenceran C3 42
Pada pengenceran C3, tulang A dan tulang B memiliki profil hemolisis yang cenderung stabil, sedangkan tulang noniradiasi memiliki profil hemolisis yang fluktuatif. Pada pengenceran C3 ini terlihat pada jam pengamatan ke-1 sampai jam ke-4 absorbansi tulang noniradiasi lebih besar dibandingkan dengan tulang A dan tulang B. Pada jam ke-0 sampai jam ke-3, nilai absorbansi tulang iradiasi dan tulang noniradiasi lebih tinggi dari kontrol negatif, akan tetapi pada jam ke-4 dan ke-5, absorbansi sampel lebih rendah dari kontrol negatif. Hal ini diduga karena terjadi reaksi yang saling menetralkan antar radikal, sehingga radikal tidak menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada membran. Menurut Diehl (1990) radikal bebas yang berkurang dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi saling menetralkan antar radikal.
Gambar 14. Persentase hemolisis pada pengenceran C3
Pada Gambar 14 dapat dilihat nilai persentase hemolisis tulang noniradiasi sebesar 60,79 %, tulang A sebesar 62,25%, dan tulang B sebesar 59,34%. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara persentase hemolisis pada tulang A, tulang B, dan tulang noniradiasi pada pengenceran C3. Jadi, perlakuan pengenceran 3x tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase hemolisis eritrosit.
43
C. Pengaruh ekstrak tulang terhadap proliferasi limfosit Sel limfosit merupakan sel yang erat hubungannya dengan status imun individu (Erniati, 2007) dan rentan terhadap senyawa asing, sehingga dapat digunakan sebagai model untuk uji ketoksikan pangan. Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah uji in vitro dengan kultur sel. Kultur sel secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan dan fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel. Media yang tepat untuk pertumbuhan sel limfosit adalah RPMI dengan kombinasi suhu sebesar 37 0C dan kadar karbondioksida sebesar 5%. Pengaruh ekstrak tulang A terhadap proliferasi sel limfosit
Tulang Noniradiasi
Tulang A
Gambar 15. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang noniradiasi Pada Gambar 15 terlihat nilai absorbansi pada tulang A dengan berbagai perlakuan pengenceran dibandingkan dengan absorbansi tulang noniradiasi. Nilai absorbansi hasil pengukuran dengan spectrophotometer microplate reader menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai hasil konversi MTT dengan adanya enzim suksinat dehidrogenase. Enzim ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya dapat terbentuk oleh sel hidup (Kubota et al., 2003). Hasil penelitian 44
menunjukkan nilai absorbansi tulang noniradiasi dan tulang A berada di antara kontrol negatif dan kontrol positif dengan kecenderungan nilai absorbansi semakin menurun pada konsentrasi yang lebih kecil. Pada Gambar 16 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi proliferasi limfosit antara tulang noniradiasi dengan tulang A. Nilai indeks stimulasi tersebut diperoleh dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol negatif. Indeks stimulasi tulang noniradiasi secara umum lebih besar dibandingkan dengan indeks stimulasi tulang A pada semua pengenceran. Hasil penelitian menunjukkan tulang A memiliki indeks stimulasi yang lebih besar dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada setiap pengenceran.
Tulang Noniradiasi
Tulang A
Gambar 16. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang noniradiasi Pada pengenceran C1 nilai indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.50 pada tulang noniradiasi dan sebesar 1.26 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, pada pengenceran C1 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi. Pada pengenceran C2, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.39 pada tulang noniradiasi dan sebesar 1.16 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
45
dengan uji ANOVA, pada pengenceran C2 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi. Pada pengenceran C3, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.31 pada tulang noniradiasi dan sebesar 0.98 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, pada pengenceran C3 tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi. Pengaruh ekstrak tulang B terhadap proliferasi sel limfosit
Tulang Noniradiasi
Tulang B
Gambar 17. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan dengan Tulang noniradiasi
Pada Gambar 17 di atas diperlihatkan data absorbansi sampel 2008 dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Nilai absorbansi tulang B pada semua pengenceran lebih kecil dibandingkan dengan tulang noniradiasi dan pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi nilai absorbansi semakin turun. Nilai absorbansi yang lebih tinggi berarti terdapat sel limfosit yang lebih banyak. Karena prinsip dari metode ini adalah dengan mewarnai sel limfosit, semakin banyak sel limfosit maka akan semakin banyak sel yang menyerap zat warna, sehingga meningkatkan nilai absorbansi apabila diukur dengan spektrofotometer mikroplate reader.
46
Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang dapat dilihat pada Gambar 18. Profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang B sama dengan profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang A, yaitu pada pengenceran yang lebih besar memiliki indeks stimulasi yang lebih rendah. Indeks stimulasi tulang B pada pengenceran C1 sebesar 1.42, pengenceran C2 sebesar 1.23, dan pengenceran C3 sebesar 1.16.
Tulang Noniradiasi
Tulang B
Gambar 18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B
Indeks stimulasi sampel yang diperoleh pada tulang B lebih kecil dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada masing-masing pengenceran dan nilainya lebih besar dari kontrol negatif. Artinya ekstrak tulang B dapat memicu terjadinya proliferasi limfosit akan tetapi kemampuan untuk memicu terjadinya hemolisis tidak lebih besar dari tulang noniradiasi. Hal ini diduga karena radikal bebas yang terdapat pada tulang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada tulang noniradiasi, akan tetapi jumlah radikal tersebut belum mampu untuk membuat kerusakan sel, sehingga proliferasi limfosit masih dapat terjadi.
47
D. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa untuk bereaksi sebagai penghambat radikal atau donor hidrogen. DPPH akan bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (DPPH-H). DPPH tereduksi tidak memiliki absorpsi maksimum pada kisaran gelombang sinar tampak, sedangkan DPPH itu sendiri berwarna ungu. Menurut Benabadji et al. (2004), reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,αdiphenyl-β-picrylhidrazine, melalui kemampuan antioksidan untuk menyumbang hidrogen. Pada Gambar 19 dapat dilihat kapasitas antioksidan dari masing-masing sampel pada berbagai macam pengenceran dibandingkan dengan tulang noniradiasi. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan memberikan data yang unik untuk masing-masing sampel pada berbagai perlakuan pengenceran. Hasil pengukuran kapasitas antiokasidan pada konsentrasi C1 berkisar antara 7.9820.85 %, pada konsentrasi C2 sebesar 10.64-37.23 %, dan pada konsentrasi C3 sebesar 4.79-33.19 %.
Gambar 19. Kapasitas antioksidan ekstrak tulang iradiasi dibandingkan dengan tulang noniradiasi Berdasarkan hasil penelitian, kapasitas sisa antioksidan pada tulang noniradiasi secara umum paling kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal
48
ini diduga karena pada proses iradiasi menyebabkan pelunakan jaringan sehingga antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah dapat menetralkan radikal yang terbentuk secara optimal, sedangkan pada tulang yang tidak diiradiasi tidak terjadi. Matriks sampel yang diiradiasi akan lunak (Kubisz, 2007), sehingga antioksidan dapat terekstraksi dengan lebih baik dibandingkan sampel yang tidak diiradiasi. Antioksidan yang terdeteksi merupakan antioksidan yang berasal dari tulang dan berasal dari rempah-rempah. Perlakuan pengenceran C1 pada semua sampel menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan pada perlakuan pengenceran C2. Hal ini berkebalikan dengan hasil penelitian dari Rao et al. (2005) yang meneliti pengaruh iradiasi pada chitosan. Menurut Rao et al. (2005), perlakuan iradiasi pada chitosan dengan semakin meningkatnya konsentrasi maka persentase penangkapan radikal oleh DPPH semakin meningkat. Hal ini diduga karena karakteristik dari chitosan dan tulang berbeda dalam hal komponen penyusunnya. Iradiasi pada chitosan membentuk kitooligosakarida dengan bobot molekul yang rendah dan terjadi penurunan viskositas dengan meningkatnya dosis iradiasi. Kitooligosakarida ini dapat menangkap radikal DPPH, artinya dengan meningkatnya dosis maka konsentrasi kitoligosakarida yang terbentuk akan semakin rendah dan dari hasil penelitian tersebut diketahui kapasitas antioksidan semakin tinggi.
E. Pengukuran kadar malonaldehida Malonaldehida (C3H4O2) adalah senyawa aldehida berkarbon tiga sebagai produk peroksidasi lipid. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Aruoma, 1997; Gordon, 2001). Metode kimia yang digunakan untuk mengukur kadar MDA pada penelitian ini adalah metode uji TBA (tiobarbituric acid). Metode ini berdasarkan pada reaksi antara MDA dengan asam tiobarbiturat dalam suasana asam membentuk komplek MDA-TBA yang berwarna merah muda, intensitas warnanya dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 535 nm (Winarsi, 2003). Pada pengukuran kadar MDA digunakan kurva standar TEP (tetraetoksi propane).
49
Hasil pengukuran kadar malonaldehida pada konsentrasi C1 berkisar antara 108.5-141.25 pmol/ml, pada konsentrasi C2 berkisar antara 40.5-59.75 pmol/ml, dan pada konsentrasi C3 berkisar antara 10.5-31.5 pmol/ml. Gambar 20 merupakan hasil pengukuran kadar malonaldehida sampel pada tiga tingkat konsentrasi. Tren yang terjadi pada pengukuran kadar malonaldehida adalah dengan meningkatnya tingkat pengenceran maka kadar malonaldehida akan turun.
Gambar 20. Kadar malonaldehida pada ekstrak tulang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa kisaran kadar malonaldehida tertinggi terdapat pada tulang B, yaitu 31.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 141.25 pmol/ml pada konsentrasi C1, sedangkan kisaran kadar malonaldehida terendah terdapat pada tulang A dengan kadar malonaldehida sebesar 10.5 pmol/ml pada konsentrasi C3 dan 108.5 pada konsentrasi C1. Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji ANOVA, tidak terjadi perbedaan yang nyata (p>0.05) antara kadar malonaldehida tulang A dengan tulang noniradiasi maupun tulang B dengan tulang noniradiasi. Data mengenai pengukuran kadar malonaldehida pada produk ikan siap saji yang mengalami proses γ-iradiasi pada dosis tinggi sangat terbatas. Namun sebagai perbandingan ditemukan data mengenai hasil pengukuran kadar
50
malonaldehida (mg/kg) pada sampel ikan Sea Bream yang mengalami perlakuan γ-iradiasi pada dosis rendah yaitu 1 kGy dan 3 kGy. Penelitian ini dilakukan oleh Chouliara et al. (2005), menunjukkan bahwa selama masa simpan selama 21 hari, kadar malonaldehida sampel meningkat. Pada awal masa penyimpanan, rata-rata sampel memiliki kadar malonaldehida sebesar 0.5-0.6 mg/kg sampel dan di akhir masa penyimpanan tulang noniradiasi memiliki konsentrasi sebesar 4.9 mg/kg, sampel iradiasi 1 kGy memiliki konsentrasi sebesar 5.2 mg/kg, dan sampel iradiasi 3 kGy memiliki konsentrasi sebesar 6.8 mg/kg (Chouliara et al., 2005). Rao et al. (2005) menyatakan bahwa sampel kabab dan bacon yang mengalami perlakuan non iradiasi memilliki bilangan TBA yang lebih rendah dari sampel kabab dan bacon yang diiradiasi. Berdasarkan pernyataan tersebut secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa reaksi peroksidasi lemak yang terjadi pada bahan yang diiradiasi lebih besar dibandingkan dengan bahan yang tidak diiradiasi. Hal ini sesuai dengan tulang B apabila dibandingkan dengan tulang noniradiasi, akan tetapi tidak sama trennya dengan tulang A, dimana tulang A memiliki kadar malonaldehida yang lebih tinggi dibandingkan tulang noniradiasi. Fenomena yang terjadi pada sampel A diduga karena pengaruh umur simpan dari tulang A, tulang A memiliki umur simpan di atas dua tahun, sehingga kemungkinan senyawa malonaldehida telah terdegradasi. Menurut Karadag dan Gunes (2008), penggunaan antioksidan, bumbu, dan rempah pada produk juga dapat menghambat oksidasi lipid pada produk. Pada produk pepes ikan mas digunakan berbagai macam bumbu dan rempah yang mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan menurunkan oksidasi lipid akibat proses iradiasi sehingga kadar malonaldehida pada produk pepes iradiasi masih dapat diterima dan dianggap tidak berbahaya.
51
V. KESIMPULAN
a. Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa tulang ikan pepes yang diiradiasi dengan dosis tinggi dan disimpan selama satu tahun maupun dua tahun tidak memicu terjadinya hemolisis eritrosit hemolisis eritrosit manusia, tidak menghambat proliferasi limfosit manusia, cenderung meningkatkan kapasitas antioksidan, dan tidak meningkatkan kadar malonaldehida. Hal ini terlihat dari data-data yang diperoleh dari penelitian ini. Pengujian pengaruh tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap hemolisis eritrosit dilakukan pada sampel dengan masa simpan 1 tahun (tulang B) dan 2 tahun (tulang A) dengan tiga perlakuan pengenceran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengenceran maka persentase hemolisis akibat pengaruh tulang A semakin kecil, demikian juga dengan tulang B. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pengenceran tidak menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata (p>0.05) baik pada tulang A maupun tulang B. Pengujian tulang ikan iradiasi dan noniradiasi menunjukkan bahwa hemolisis eritrosit akibat tulang noniradiasi lebih rendah dibandingkan hemolisis eritrosit akibat tulang iradiasi di masing-masing pengenceran kecuali pada pengenceran C3 dimana hemolisis eritrosit akibat tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan tulang B. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada hemolisis eritrosit akibat tulang noniradiasi dan iradiasi pada masing-masing pengenceran. Pada pengujian pengaruh tulang ikan iradiasi dosis tinggi terhadap proliferasi limfosit menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengenceran maka indeks stimulasi proliferasi limfosit semakin rendah, baik pada sampel A maupun sampel B. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada indeks stimulasi proliferasi limfosit baik akibat sampel A maupun sampel B. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan tulang iradiasi pada masing-masing
52
pengenceran, dimana indeks stimulasi akibat tulang A lebih kecil dibandingkan tulang B. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) pada indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat tulang noniradiasi dan noniradiasi. Pada
pengukuran
kapasitas
antioksidan
dengan
metode
DPPH
menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan tulang noniradiasi lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas tulang iradiasi pada masing-masing pengenceran. Kapasitas antioksidan tulang A meningkat dengan meningkatnya tingkat pengenceran, sedangkan kapasitas antioksidan tulang B pada pengenceran 2x lebih besar dibandingkan dengan pengenceran 4x. Pada pengukuran kadar malonaldehida, kadar malonaldehida tulang turun dengan meningkatnya tingkat pengenceran pada tulang iradiasi dan noniradiasi. Kadar malonaldehida tulang B paling besar dibandingkan dengan tulang A dan tulang noniradiasi pada masingmasing pengenceran. Namun hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) pada kadar malonaldehida masing-masing sampel.
b. Saran 1. Perlu dilakukan uji untuk mengetahui kapasitas antioksidan dari produk ikan pepes tanpa penambahan antioksidan dari rempah-rempah, sehingga diketahui jumlah antioksidan yang disumbangkan oleh produk pepes dan yang disumbangkan oleh rempah-rempah. 2. Perlu dilakukan pengukuran radikal bebas dengan metode ESR untuk mengetahui jumlah radikal bebas akibat iradiasi. 3. Perlu dilakukan uji in vivo sebagai perbandingan dengan metode in vitro.
53
DAFTAR PUSTAKA
Agustinisari I. 1997. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiher officinale Roscoe) Segar dan Bertunas terhadap Proliferasi beberapa Alur Sel Kanker dan Normal [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Baratawidjaya KG. 1991. Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Benabadji SH, Wen R, Zheng JB, Dong X, dan Yuan S. 2004. Anticarcinogenic and Antioxidant Activity of Diindolymethane Derivatives. Acta Pharmacol Sinica. 25 : 666-671. Chouliara I, Savvaidis IN, Riganakos K, dan Kontominas MG. 2005. Shelf-Life Extension of Vacuum-Packaged Sea Bream (Sparus aurata) Fillets by Combined γ-Irradiation and Refrigeration: Microbiological, Chemical and Sensory Changes. Journal of The Science of Food and Agriculture. 85 : 779-784. Christyaningsih J. 2003. Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan C terhadap Aktivitas Enzim Super Oxide Dismutase (SOD) dalam Eritrosit Tikus yang Terpapar Asap Rokok Kretek [Tesis]. Pascasarjana Universitas Air Langga, Surabaya. Currey JD, Foreman J, Laketic I, Mitchell J, Pegg DE, dan Reilly GC. 1997. Effects of Ionizing Radiation on the Mechanical Properties of Human Bone. Journal of Orthopaedic Research. 15 : 111-117. Davis JM. 1994. Basic Cell Culture: A Practical Approach. Oxford University. Oxford. Desrosier N. 1988. Technology of Food Preservation. AVI Publ, Inc. Connecticut. Dewi NI. 2008. Efek Asam Askorbat terhadap Sel Kanker Hepatoma AH109A dan Sel Eritrosit Manusia secara In Vitro [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Diehl JF. 1990. Safety of Irradiation Foods. Marcel Dekker, inc. New York. Erniati. 2007. Efek Konsumsi Minuman Bubuk Kakao Bebas Lemak terhadap Sifat Antioksidatif dan Proliferatif Limfosit Manusia [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Freshney IR. 1994. Culture of Animal Cell (3rded). Willey Liss. New York. Ganong WF. 1990. Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
54
Gordon MH. 1992. Measuring Antioxidant Activity. Di dalam: Antioxidant in Food: Practical Application. Pokorny J, Yamishlieva N, dan Gordon M (Eds). CRC Press. New York. Guyton AC dan Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. WB Saunders. Philadelphia. Haliwell B dan Auroma OI. 1991. DNA Damage by Oxigen-Derived Species Its Mechanism and Measurement in Mammalian Systems. FEBS Letter. 281 : 9-19. Irawati Z, Maha MA, Ansori N, Nurcahya CM, dan Anas F. 2000. Development of Shelf-Stable Foods Fish Pepes, Chicken and Meat Dishes through Radiation Processing. Di dalam : Radiation Processing for Safe, ShelfStable and Ready-to-Eat Food. Proceedings of a final Research Coordination Meeting. Montreal. Karadag A dan Gunes G. 2008. The Effects of Gamma Irradiation on the Quality of Ready to Cook Meatballs. Journal of Veterinary and Animal Sciences. 32 : 269-274. Karimi G, Hassanzadeh M, dan Mehri S. 2008. Protective Effect of Silymarin Against Free Radical-Induced Erythrocyte Lysis. Journal of Complementary and Integrative Medicine. 3 : 1-11. Kikuzaki H dan Nakatani N. 1993. Antioxidant Effect Same Ginger Constituents. Journal of Food Science. 58: 1407-1410. Kochhar SP dan Rossell JB. 1990. Detection, Estimation, and Evaluation of Antioxidants in Food Systems. Di dalam: Food Antioxidants. Hudson BJF (Ed). Elsevier Applied Science. London dan New York. Kubo I, Masuoka N, Xiao P, dan Haraguchi. 2002. Antioxidant Activity of Dodecyl Gallate. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 50 : 35333539. Kubota Y, Kobayashi K, Tanaka N, Nakamura K, Kunitomo M, Umegaki K, dan Shinozuka K. 2003. Interaction of Ginkgo Biloba Extract (GBE) with Hypotensive Agent, Nicardipine, in Rats. Research Institute for Biosciences Mukogawa Women's University. Nishinomiya. Kubisz L. 2007. Exposure of Bone to Ionizing Radiation. Di dalam : Radiation Effects in Solids. Sickafus KE, Kotomin EA, dan Uberuaga BP (Eds). Springer Netherlands. Amsterdam. Kuby J. 1992. Immunology. WH Freeman and Company. New York.
55
Landis W. 1995. The strength of a calcified tissue depends in part on the molecular structure and organization of its constituent mineral crystals in their organic matrix. Journal of The International Bone and Mineral Society. 16 : 533-544. Maha M. 1981. Prospek Penggunaan Teknik Nuklir dalam Bidang Teknologi Pangan. PATIR-BATAN. Jakarta. Maha M. 1985. Pengawetan Pangan dengan Iradiasi. PATIR-BATAN. Jakarta. Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Meiriana Y. 2006. Pengaruh Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Miki M, Tamai H, Mino M, Yamamoto Y, dan Niki E. 1987. Free-Radical Chain Oxidation of Rat Red Blood Cells by Molecular Oxygen and Its Inhibition by a-Tocopherol. Archive of Biochemistry and Biophysics. 258 : 373–380. Mrowczynska L dan Bielawsky J. 2001. The Mechanism of Bile Salt-Induced Hemolysis. Cellular and Molecular Biology Letters. 6 : 881-895. Muchtadi D. 2000. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan : Mencegah Penyakit Degeneratif. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Nurrahman, Zakaria FR, Sayuthi D, dan Sanjaya. 1999. Pengaruh Konsumsi Sari Jahe terhadap Perlindungan Limfosit dari Stress Oksidatif pada Mahasiswa Pondok Pesantren Ulil Al Baab. Makalah Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan, PATPI & MENPANGHOR. Jakarta. Okada M. 1990. Fish as Raw Material. Di dalam: Science of Processing Marine Food Product. Motohiro T, Kadota K, dan Hashimoto (Eds). Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Rao MS, Chander R, dan Sharma A. 2005. Radiation Processed Chitosan a Potent Antioxidant. Food Technology Division Bhabha Atomic Research Centre. New Delhi. Roit IM dan Delves PJ .2001. Essential Immunology. Blackwell Science. Oxford. Seligman ML, Flamn ES, Goldstein BD, Poser RG, Demopoulos HB, dan Ransohoff J. 1977. Spectrofluorescent Detection of Malonaldehyde as A Measure of Lipid Free Radical Damage in Response to Ethanol Potentiation of Spinal Cord Trauma. Journal of Lipids. 12 : 945-950.
56
Shimone S dan Shikata T. 1993. Effect of Aclimation Temperature and Feeding Rate of Carbohydrate-Metabolism Enzyme Activity and Lipid Content of Common Carp. Nippon Suisan Gokkaishi. 54 : 661-666. Susanto H. 1993. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta. Suseno D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Penebar Swadaya. Jakarta. Suwalsky M, Orellana P, Avello M, dan Villena F. 2007. Protective Effect of Ugni molinae Turcz Against Oxidative Damage of Human Erythrocytes. Journal of Food and Chemical Toxicology. 45 : 130-135. Tejasari, Zakaria FR, dan Sajuthi D. 2000. Aktivitas Stimulasi Komponen Bioaktif Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Sel Limfosit B Manusia Secara In Vitro. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13 : 47 – 53. Urbain W. 1986. Food Irradiation. Academic Press, Inc. Orlando. Vander A, Sherman J, dan Luciano D. 2004. Human Physiology: The Mechanisms of Body Function. McGraw-Hill. New York. Walum E, Stenberg K, dan Jenssen D. 1990. Understanding Cell Toxicology Principles and Practise. Ellis Horwood. New York. Weiss L. 1977. The Blood Cell and Hemapoietic Tissue. Mc.Graw-Hill Book Company. New York. Whitmore BB dan Naidu AS. 2000. Thiosulfinates. Di dalam: Natural Food Antimicrobial System. Naidu AS (Ed). CRC Press. New York. Winarno FG, Fardiaz S, dan Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta. Winarsi H. 2003. Respon Imunitas dan Hormonal Wanita Premenopouse terhadap Minuman Susu Fungsional yang Disuplementasi dengan Isoflavon Kedelai dan Difortifikasi dengan Seng [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana IPB, Bogor. Yudhi. 2008. Teknik Iradiasi. http://infonuklir.com/module/news/article.php [6 juli 2009]. Zhu QY, Holt RR, Lazarus SA, Orozco TJ, dan Kenn CL. 2002. Inhibitory Effect of Cocoa Flavanols and Procyanidin Oligomers on Free Radical-Induced Erythrocyte Hemolysis. Journal of Experimental Biology Medicine. 22 : 321-329.
57
Zhu QY, Schramm DD, Gross HB, Holt RR, Kim SH, Yamaguchi T, KwikUribe CL, dan Keen CL. 2005. Influence of Cocoa Flavanols and Procyanidins on Free Radical Induced Human Erythrocyte Hemolysis. Journal of Clinical & Developmental Immunology. 12 : 27-34.
58
LAMPIRAN
59
Lampiran 1. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C1)
60
Lampiran 2. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C2)
61
Lampiran 3. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap hemolisis eritrosit (C3)
62
Lampiran 4. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C1)
63
Lampiran 5. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C2)
64
Lampiran 6. Uji ANOVA Pengaruh sampel terhadap proliferasi limfosit (C3)
65
Lampiran 7. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar TEP Konsentrasi (pmol/ml)
Absorbansi
0
0.089
50
0.269
25 75
100 125 150 175 200 250
0.170 0.313 0.384 0.440 0.508 0.534 0.640 0.730
Gambar. Kurva standar larutan TEP
66
Lampiran 8. Hasil pengukuran absorbansi sampel Sampel KT KT KT Tulang A Tulang A Tulang A Tulang B Tulang B Tulang B
Konsentrasi (C1) (C2) (C3) (C1) (C2) (C3) (C1) (C2) (C3)
Ulangan 1 0.277 0.139 0.134 0.343 0.206 0.126 0.43 0.274 0.21
Absorbansi Ulangan 2 0.522 0.27 0.225 0.325 0.19 0.15 0.369 0.199 0.15
Rata-rata 0.3995 0.2045 0.1795 0.334 0.198 0.138 0.3995 0.2365 0.18
Contoh perhitungan kadar malonaldehida Sampel : Tulang A (C1) Absorbansi : 0.334 Persamaan kurva standar : y = 0.002x + 0.117 Maka : y = 0.002x + 0.117 0.334 = 0.002x + 0.117 x = 108.5 pmol/ml
67
Lampiran 9. Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C1)
68
Lampiran 10. Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C2)
69
Lampiran 11. Analisis statistik pengukuran kadar malonaldehida (C3)
70
Lampiran 12. Perhitungan Kurva Standar Pengukuran Kapasitas Antioksidan
(A.Kontrol Negatif-A Asam Askorbat
Kurva Standar Asam Askorbat 1
y = 0.0009x + 0.0151 R2 = 0.9964
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
200
400
600
800
1000
1200
Konsentrasi Asam Askorbat
Kapasitas antioksidan (%) = Absorbansi_ kontrol_ negatif Absorbansi_ sampelx100% Absorbansi_ kontrol_ negatif
71