PENGARUH EKSTRAK TEPUNG JEWAWUT TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO
SKRIPSI
SELMA TRINITASARI F24062046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
THE INFLUENCE OF PEARL MILLET FLOUR EXTRACTS TO HUMAN LYMPHOCYTE CELL PROLIFERATION IN VITRO Selma Trinitasari1, C. C. Nurwitri, DAA2, and Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria, M.Sc.3 Department of Food Science and Technology. Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia. 1 E-mail:
[email protected], 2
[email protected], 3
[email protected] ABSTRACT Pearl millet is one kind of cereal crops. It has potential to be the source of carbohydrates, antioxidant compound, dietary fiber and dietary nutrient which are important for health. The aim of this study was to investigate the in vitro influence of pearl millet flour 100 s polished extracts to human lymphocyte cells proliferation. Those extracts are hexane extract, ethyl acetate extract, ethanol extract, distilled water extract and β-glucans extract. Two kinds of extracting process were used in this research, multilevel extraction and β-glucans extraction and purification. All extracts were treated to human lymphocyte cells in cell culture. The cells were isolated from healthy human peripheral blood cells. The extracts that have shown good impact to lymphocyte cells proliferation were ethyl acetate extract at 11.43 µg/ml, ethanol extract at 117.59 µg/ml, distilled water extracts at 223.88 µg/ml, 447.76 µg/ml and 895.53 µg/ml, and β-glucan extract at 6666.67 µg/ml. The good impact showed by the value of stimulation index average which was more than 1.00. This result gave an information about the possibility of immunomodulator activity from pearl millet flour extracts, so that could increase the immune system of human body. Key
Words:
Pearl
millet
extract,
human
lymphocyte
cell,
in
vitro
Selma Trinitasari. F24062046. Pengaruh Ekstrak Tepung Jewawut Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro. Di bawah bimbingan C. C. Nurwitri dan Fransiska RungkatZakaria. 2010
RINGKASAN
Tanaman jewawut memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat, antioksidan, senyawa bioaktif, dan serat yang penting bagi kesehatan. Selain itu, tanaman ini dapat pula dijadikan sebagai bahan pangan substitusi beras dan sumber protein. Salah satu jenis tanaman jewawut yang kerap kali diteliti adalah tanaman jewawut jenis pearl millet yang sekaligus paling banyak dibudidayakan di Indonesia dibandingkan jenis tanaman jewawut lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat sosoh biji pearl millet yang telah tersosoh 100 detik dan mengetahui pengaruh ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik terhadap proliferasi sel limfosit manusia. Ekstrak tersebut terdiri atas ekstrak heksana, ekstrak etil asetat, ekstrak etanol, ekstrak akuades, dan ekstrak senyawa β-glukan. Penelitian ini terbagi menjadi lima kegiatan penelitian, yakni penentuan derajat sosoh biji pearl millet tersosoh 100 detik, penyosohan dan pembuatan tepung pearl millet tersosoh 100 detik, ekstraksi tepung pearl millet tersosoh 100 detik, pembuatan larutan kerja ekstrak, dan pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Kegiatan ekstraksi tepung pearl millet tersosoh 100 detik terbagi menjadi 2 kegiatan ekstraksi, yakni kegiatan ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi serta kegiatan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan. Kegiatan penyosohan tepung jewawut selama 100 detik ternyata memiliki derajat sosoh sebesar 27.27% dengan rendemen biji pearl millet tersosoh adalah 90.67%. Tahapan ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi dilakukan untuk ekstrak heksana, etil asetat, dan etanol dengan rendemen esktrak secara berurutan adalah 2.70%; 0.38%; dan 1.94%, sedangkan untuk ekstrak akuades hanya dilakukan dengan metode maserasi dan didapatkan rendemen esktraknya adalah 14.78%. Rendemen ekstrak β-glukan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 4.40%. Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro dilakukan dengan menggunakan MTT [3-(4,5-Dimethylthiazole-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] sebagai indikator sel hidup. Perhitungan proliferasi sel limfosit didapatkan dengan nilai rata-rata indeks stimulasi (I.S) dari pembacaan absorbansi dengan ELISA reader. Sel-sel limfosit manusia berasal dari darah pria dewasa sehat yang telah diisolasi sebelumnya dan dikultur bersama larutan RPMI sebagai kontrol standar, larutan mitogen sebagai kontrol positif, dan kelima ekstrak di atas. Sel limfosit tersebut diinkubasi pada suhu 370C dengan kondisi atmosfer yang mengandung CO2 5%, O2 95%, dan RH 96% selama 3 x 24 jam. Hasil pengujian pengaruh ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit memberikan hasil yang bervariasi. Pengujian pengaruh ekstrak secara keseluruhan memberikan hasil sebagai berikut: ekstrak yang memberikan rata-rata IS proliferasi sel limfosit tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak akuades pada konsentrasi 895.53 µg/ml kultur dengan IS 1.35, dan ekstrak yang memberikan indeks stimulasi terendah adalah ekstrak heksana pada konsentrasi 81.77 µg/ml kultur dengan IS 0.74. Pengaruh ekstrak akuades terhadap proliferasi sel limfosit menunjukkan kenaikan rata-rata indeks stimulasi seiring dengan peningkatan besar konsentrasi pada kultur sel, sedangkan untuk ekstrak heksana, etil asetat, dan etanol, memberikan hasil yang berfluktuatif. Pengujian pengaruh ekstrak β-glukan pada konsentrasi 6666.67 µg/ml kultur memberikan nilai rata-rata IS 1.21. Nilai IS ini merupakan nilai tertinggi dibandingkan kontrol standar, kontrol positif, dan standar senyawa β-glukan murni.
Hasil rata-rata indeks stimulasi yang memiliki nilai lebih dari atau sama dengan 1.00 memiliki indikasi bahwa ekstrak tepung pearl millet dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit secara in vitro. Ekstrak tepung pearl millet yang memiliki kemampuan tersebut adalah ekstrak etil asetat pada konsentrasi 11.43 µg/ml, ekstrak etanol pada konsentrasi 117.59 µg/ml, ekstrak akuades pada konsentrasi 223.88 µg/ml, 447.76 µg/ml, 895.53 µg/ml, dan ekstrak β-glukan pada konsentrasi 6666.67 µg/ml. Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan baru mengenai manfaat kesehatan dari biji pearl millet, yakni terdapat kemungkinan bahwa tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik memiliki kemampuan untuk meningkatkan sistem imun manusia dan dapat dikembangkan menjadi salah satu bahan alternatif dalam menciptakan pangan fungsional di masa depan.
PENGARUH EKSTRAK TEPUNG JEWAWUT TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh SELMA TRINITASARI F24062046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Ekstrak Tepung Jewawut Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro : Selma Trinitasari : F24062046
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(C. C. Nurwitri, DAA) NIP: 19580504.198503.2.001
(Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M. Sc.) NIP: 19490614.198503.2.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814.199002.1.001
Tanggal Ujian Akhir Sarjana: 04 Juli 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Ekstrak Tepung Jewawut Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 15 Juni 2011 Yang membuat pernyataan
Selma Trinitasari F24062046
Hak cipta milik Selma Trinitasari, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 5 Agustus 1988. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Esti Widodo dan Dwiyana Anoraga. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Ananda Bekasi, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Marsudirini Bekasi hingga tahun 2003. Setelah itu menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Marsudirini Bekasi pada tahun 2006. Pendidikan tinggi dilanjutkannya dengan jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada periode 2006-2010. Selama menjalani studinya di perguruan tinggi, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus KEMAKI (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), pengurus HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai anggota divisi Profesi dan wakil ketua FPC (Food Processing Club), Tim Pendamping IPB, reporter buletin PMKKEMAKI (Anggur Baru Caritas), ketua Ikatan Alumni SMA Marsudirini Bekasi, serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti Santa Claus Day 2006, Paskah Mahasiswa Se-Keuskupan Bogor 2007, Seminar Keamanan Pangan & ISO 22000:2005 dan Pelatihan HACCP 2008, BAUR 2008, Pelatihan Pendamping 2008-2010, Education Day SMA Marsudirini Bekasi 2006-2010, dan Reuni Akbar SMA Marsudirini Bekasi Angkatan 1-13 pada tahun 2011. Beberapa prestasi yang diperoleh penulis adalah menjadi Juara 1 Cerdas Cermat SMA SeJabodetabek 2005, Juara 2 Porseni Bekasi Teater 2004, dan Juara 1 Instrumental’s Competition Group Porseni Bekasi 2003. Selain itu, penulis kerap kali mengikuti berbagai seminar dan pelatihan terkait dengan jurusannya dan pengembangan diri. Penulis juga terpilih menjadi asisten dosen dalam pelaksanaan praktikum Teknologi Fermentasi SJMP Diploma dan praktikum Mikrobiologi Pangan S1 Departemen Ilmu & Teknologi Pangan IPB pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis menghasilkan sebuah karya ilmiah dengan topik bahasan mengenai pangan (food) yang membahas mengenai penelitian penulis sebagai tugas akhirnya. Karya ilmiah ini diikutsertakan dalam sebuah acara tahunan, “The 17th Tri-University International Joint Seminar and Symposium 2010”, yang diadakan di Chiang Mai University, Thailand, atas bimbingan Ibu C. C. Nurwitri, DAA selaku dosen pembimbing pertama, Prof. Fransiska R. Zakaria, M. Sc. Selaku dosen pembimbing kedua, dan Ibu S. Endah Agustina selaku dosen pembimbing para mahasiswa yang mengikuti acara Tri-U setiap tahunnya. Penelitian yang merupakan tugas akhir penulis memiliki judul “Pengaruh Ekstrak Tepung Jewawut Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro” dengan bimbingan dari Ibu C. C. Nurwitri dan Ibu Fransiska Rungkat Zakaria.
KATA PENGANTAR Puji-pujian serta syukur yang tidak terhingga penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan pertolongan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dengan judul Pengaruh Ekstrak Tepung Jewawut Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia Secara In Vitro dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Pangan, Laboratorium Pengolahan Pangan, dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sejak bulan September 2009 sampai Juni 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Esti Widodo (alm.) dan Dwiyana Anoraga sebagai orang tua terbaik yang selalu mengizinkan pengeksplorasian diri menjadi manusia yang berguna dan bertanggung jawab dengan memberikan kebebasan berpikir dan bertindak. 2. C. C. Nurwitri, DAA, selaku dosen pembimbing pertama yang selalu menyediakan waktu di tengah-tengah kesibukannya memberikan saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis. 3. Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberi bimbingan dan nasehat kepada penulis serta segala perhatian dan arahan yang membimbing penulis selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 4. Prof. Drh. Bambang Pontjo P., M.S., Ph. D. atas bantuan dan masukannya selama penelitian. 5. Ibu Yuszda dan Mbak Mutiara atas bantuan dan kebersamaannya selama penelitian ini. 6. Bapak Pamuji dan Ibu Nina yang selalu mendukung apapun yang saya lakukan untuk tetap melangkah maju. 7. Sahabat-sahabat terbaik saya: Markus, Widjaya, Dion Sugianto, Kandi Jelita, Marcellius Aditya Sutrisna, Bobby Chrisenta, Yulia Triwijiwati, Elisabeth Angeline, Dionita Kristi Napitupulu, Yessica Dwi Ariesta, Gde Sandhayana, Erick, Sandra Mariska, Wonojatun, Saffiera Karleen, Arius Wiratama, dan Septi Dwi Utami. Terimakasih atas dukungan, doa, kebersamaan, nasehat, dan ledekan yang menyenangkan. Semoga tetap menjadi sahabat kemarin, hari ini, esok, dan selamanya. 8. Teman sebimbingan saya, Bintang Endah Lestari. Terima kasih atas kebersamaan dan dukunganmu selama ini. Dan tidak lupa juga kepada kakak Agnes, Beqi, Cath, Kamlit, Kenchi, Umam, dan Kalista atas bimbingannya dalam pelaksanaan penelitian ini. 9. Bapak Wahid, bapak Sidiq, bapak Rojak, bapak Taufik, ibu Antin, ibu Rubiah, ibu Ari, ibu Sari, bapak Edi, bapak Aldi, dan teknisi lainnya. Terimakasih atas bantuannya, bimbingannya, masukkan, dan nasehat yang diberikan selama di laboratorium. 10. Bapak-bapak dan ibu-ibu di PITP, perpustakaan FPIK, perpustakaan FKH, LSI yang selalu melayani penulis dengan senang hati mencari skripsi, buku, artikel, jurnal, dan fotokopi semua bahan-bahan tersebut untuk kepentingan penulisan skripsi ini. 11. Teman-teman di ITP 42, 43, 44, dan 45 yang telah menjadi teman-teman selama menjalani fase kehidupan selama di mayor Ilmu dan Teknologi Pangan. 12. Teman-teman Tim Pendamping IPB yang telah menjadi salah satu tempat untuk berkembang menjadi seorang pribadi yang lebih baik untuk mendalami watak manusia dan kehidupan ini. 13. Teman-teman KEMAKI dari semua angkatan yang telah menciptakan kebersamaan mahasiswa kristiani Katolik yang sangat berkesan. 14. Bapak Dwiatmoko Setiono selaku direktur utama PT. Sekawan Karsa Mulia dan Ibu Ria Susanty selaku Manager PDQA (Product Development and Quality Assurance) PT. Sekawan Karsa Mulia atas kesempatan bekerja sambil menyelesaikan tugas akhir. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, 15 Juni 2011
Selma Trinitasari
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................. xi I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 1 B. HIPOTESIS ..............................................................................................................................2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3 A. JEWAWUT .............................................................................................................................. 3 1. Keberadaan Jewawut (Millet) Secara Global ..................................................................... 3 2. Keberadaan Jewawut (Millet) Di Indonesia ....................................................................... 3 3. Pemanfaatan Jewawut sebagai Bahan Makanan Secara Global .........................................5 4. Pearl Millet (Pennisetum glaucum) ................................................................................... 6 5. Struktur Pearl Millet pada Umumnya ................................................................................ 8 6. Senyawa Fitokimia Pearl Millet ........................................................................................ 10 B. β-GLUKAN ............................................................................................................................. 11 C. SISTEM IMUN ........................................................................................................................12 D. MEKANISME RESPON IMUN SPESIFIK ........................................................................... 13 E. DARAH ................................................................................................................................... 15 F. SEL LIMFOSIT ....................................................................................................................... 15 1. Sel T ................................................................................................................................... 15 2. Sel B ................................................................................................................................... 16 G. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT …….….…………………………………………...…....... 16 H. KULTUR SEL ……………………………..….…………….................................................. 17 III. METODOLOGI PENELITIAN..……………………………………………………………...... 19 A. ALAT DAN BAHAN.......………………………………………………………………....... 19
B. PROSEDUR PENELITIAN....…………………………………………………..……........... 19 1. Kegiatan Penentuan Derajat Sosoh ..............................................……………………...... 19 2. Kegiatan Penyosohan dan Pembuatan Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 detik …......... 21 3. Kegiatan Ekstraksi Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 detik ............................................ 21 4. Kegiatan Pembuatan Larutan Kerja Ekstrak untuk Kultur Sel ......………..……….......... 22 5. Kegiatan Pengujian Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara In Vitro ...............................23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………….…………......... 27 A. DERAJAT SOSOH DAN RENDEMEN BIJI PEARL MILLET TERSOSOH ..………......... 27 B. EKSTRAKSI TEPUNG PEARL MILLET ……....………....…............................................... 28 C. KONSENTRASI EKSTRAK UNTUK PENGUJIAN PROLIFERASI SEL LIMFOSIT PADA KULTUR SEL ............................................................................................................. 30 D. PENGARUH EKSTRAK TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO ................................................................................................................ 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………………......... 41 A. KESIMPULAN…………………………………………………………………………....... 41 B. SARAN…………………………………………………………………………………....... 41 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………... 42 LAMPIRAN…………………………………………………………………………………...... 46
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Kandungan nutrisi tiga jenis jewawut, jagung, dan beras ............................................... 4
Tabel 2.
Kandungan nutrisi tiga macam jewawut (%) .................................................................. 4
Tabel 3.
Kandungan mineral tiga jenis jewawut dan jagung (mg /100 g) ..................................... 4
Tabel 4.
Kandungan mineral beras, gandum, jagung, dan jewawut .............................................. 5
Tabel 5.
Pemanfaatan jewawut di masa modern ........................................................................... 6
Tabel 6.
Komposisi asam amino esensial (mg/g) dan distribusi fraksi protein (%) protein total pada pearl millet dengan sorgum sebagai pembanding ...........................................8
Tabel 7.
Komposisi kimia jewawut ............................................................................................... 9
Tabel 8.
Asam fenolik yang terdeteksi pada biji jewawut .............................................................10
Tabel 9.
Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik ........................................... 13
Tabel 10.
Perbedaan imunitas humoral dan selular ....................................................................... 14
Tabel 11.
Fungsi darah ................................................................................................................... 15
Tabel 12.
Penentuan derajat sosoh biji pearl millet ........................................................................ 28
Tabel 13.
Ekstrak hasil ekstraksi bertingkat tepung pearl millet .................................................... 30
Tabel 14.
Konsentrasi ekstrak pada kultur sel secara teoritis ......................................................... 31
Tabel 15.
Konsentrasi ekstrak pada kultur sel ................................................................................. 31
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman pearl millet ..................................................................................................... 7 Gambar 2. Biji pearl millet ............................................................................................................... 7 Gambar 3. Struktur biji jewawut ....................................................................................................... 9 Gambar 4. Struktur kimia β-glukan yang pada umumnya berasal dari serealia ............................... 11 Gambar 5. Bentuk sel limfosit manusia (tunggal) dengan SEM ....................................................... 15 Gambar 6. Ilustrasi kegiatan penelitian yang dilakukan ................................................................... 20 Gambar 7. Diagram alir kegiatan pengolahan biji pearl millet menjadi tepung (sosoh 100 detik) ............................................................................................................. 21 Gambar 8. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan kontrol positif yang diberi PKW dan LPS ................................................................ 33 Gambar 9. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak heksana ........................................................................................................ 34 Gambar 10. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak etil asetat ..................................................................................................... 35 Gambar 11. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak etanol ........................................................................................................... 35 Gambar 12. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak akuades ......................................................................................................... 36 Gambar 13. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar, kontrol positif, dan semua ekstrak hasil kegiatan ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi ............................................................................................................. 38 Gambar 14. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan kontrol standar, mitogen, β-glukan standar, dan ekstrak β-glukan pearl millet .......... 39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Pemanfaatan jewawut ................................................................................................ 47
Lampiran 2.
Gambaran umum sistem imun ................................................................................... 51
Lampiran 3.
Plasma dan sel darah .................................................................................................. 52
Lampiran 4.
Contoh ilustrasi kegiatan penentuan derajat sosoh biji pearl millet .......................... 53
Lampiran 5.
Tahapan ekstraksi bertingkat tepung pearl millet tersosoh 100 detik ...............
Lampiran 6.
Tahapan ekstraksi tepung pearl millet dengan akuades .............................. .............. 55
Lampiran 7.
Tahapan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan dari tepung biji pearl millet sosoh 100 detik ....................................................................................... 56
Lampiran 8.
Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak heksana ............................................
59
Lampiran 9.
Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat ..........................................
62
Lampiran 10.
Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etanol ................................................
65
Lampiran 11.
Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak akuades ............................................
68
Lampiran 12.
Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak β-glukan ............................................
71
Lampiran 13.
Komposisi media RPMI-1640 ................................................................................... 73
Lampiran 14.
Gambar peta sumur pada microplate untuk pengujian pengaruh ekstrak heksana, etil asetat, etanol, dan akuades terhadap proliferasi sel limfosit ........
54
74
Lampiran 15.
Gambar peta sumur pada microplate untuk pengujian pengaruh ekstrak β-glukan terhadap proliferasi sel limfosit ................................................... 76
Lampiran 16.
Contoh perhitungan derajat sosoh dan rendemen biji pearl millet tersosoh 100 detik ...................................................................................................... 77
Lampiran 17.
Gambar biji pearl millet .............................................................................................78
Lampiran 18.
Senyawa terlarut dari tepung pearl millet yang telah diketahui dapat larut dalam pelarut nonpolar, polar, dan larut air ............................................................ 79
Lampiran 19.
Rincian perhitungan rendemen ekstrak tepung hasil kegiatan ekstraksi tepung pearl millet ..................................................................................................... 81
Lampiran 20.
Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak akuades dalam darah dan variasi konsentrasinya ................................................................................................ 83
Lampiran 21. Contoh perhitungan jumlah sel limfosit dengan metode pewarnaan biru tripan pada pengujian pengaruh ekstrak hasil ekstraksi bertingkat ......................................84
Lampiran 22. Contoh perhitungan mencari bobot tepung pearl millet yang diasumsikan terkonsumsi dengan konsentrasi ekstrak heksana pada kultur sel ............................. 85
Lampiran 23.
Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik hasil ekstraksi bertingkat terhadap proliferasi sel limfosit manusia ................................................................................................... 86
Lampiran 24.
Contoh perhitungan indeks stimulasi ekstrak akuades dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik .................................................................................. 88
Lampiran 25.
Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak β-glukan terhadap proliferasi sel limfosit manusia ................................................................................................... 89
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Tanaman jewawut merupakan tanaman serealia yang cukup luas dibudidayakan secara luas di berbagai negara (Leder, 2004). Tanaman ini memiliki adaptasi yang baik pada daerah bercurah hujan rendah atau bahkan di daerah kering. Jenis tanaman jewawut beraneka ragam di dunia, namun ada tiga jenis tanaman jewawut yang populer di Indonesia, khususnya para pemelihara burung, yakni brownstop millet, pearl millet, dan jenis proso atau italian millet. Salah satu jenis tanaman jewawut yang kerap kali menjadi bahan penelitian adalah jenis pearl millet (Suherman et al., 2009). Pearl millet menjadi salah satu bahan penelitian yang paling banyak diminati dalam satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan karena tanaman ini berpotensi sebagai sumber karbohidrat, antioksidan, senyawa bioaktif, dan serat yang penting bagi kesehatan (Rooney & Serna, 2000). Yanuwar (2009) meneliti kandungan senyawa antioksidan tanaman pearl millet yang berupa senyawa fenolik. Besar kandungan senyawa ini ditunjukkan dengan kadar fenol total sebesar 3.51 mg TAE/g biji dengan besar nilai aktivitas antioksidannya adalah 5.34 mg vitamin C eq/g biji. Selain memiliki manfaat positif bagi kesehatan, pearl millet dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pangan subtitusi beras dalam memenuhi kebutuhan kalori masyarakat Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan karbohidratnya sebesar 75% yang mendekati kandungan karbohidrat pada beras sebesar 79%. Keunggulan lainnya dari tanaman pearl millet adalah kandungan proteinnya sebanyak 11% yang lebih tinggi dibandingkan kandungan protein pada beras yang hanya mencapai 7% (Puspawati, 2009; Yanuwar, 2009). Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Yanuwar (2009) mengenai aktivitas antioksidan dan imunomodulator serealia non-beras, kandungan karbohidrat dan protein jewawut jenis pearl millet yang ditumbuhkan di Indonesia secara berurutan adalah 79% dan 8%. Berbagai keunggulan yang telah disebutkan sebelumnya dapat menjadi dasar untuk pemanfaatan tanaman jewawut dalam membantu terlaksananya program diversifikasi pangan yang selanjutnya dapat mendorong terwujudnya peningkatan ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Pengembangan produk pangan fungsional baru menjadi salah satu peluang yang baik dalam menghadirkan salah satu produk pangan baru yang memiliki manfaat kesehatan. Namun, untuk membuat produk pangan tersebut menjadi aman dikonsumsi, maka perlunya dilakukan pengujian pengaruh ekstrak bahan pangan tersebut terhadap tubuh secara langsung (in vivo) ataupun tidak langsung (in vitro). Salah satu pengujian tersebut adalah evaluasi pengaruh ekstrak dari bahan baku produk pangan tersebut terhadap sistem imun manusia yang diamati dengan proliferasi sel limfosit secara in vitro (Roitt, 1994). Penelitian kali ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak tepung jewawut jenis pearl millet yang telah disosoh selama 100 detik yang diekstraksi dengan kegiatan ekstraksi bertingkat secara maserasi serta kegiatan ekstraksi dan purifikasi kandungan senyawa βglukan terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan pengembangan produk pangan fungisonal di kemudian hari.
B. HIPOTESIS Terdapat dua hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini, yakni: 1. Ekstrak tepung jewawut pada berbagai tingkat polaritas (non polar, semipolar, dan polar) memiliki kemampuan untuk meningkatkan proliferasi sel limfosit secara in vitro. 2. Ekstrak senyawa β-glukan merupakan komponen serat pangan yang dapat berfungsi sebagai senyawa imunomodulator.
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. JEWAWUT 1. Keberadaan Jewawut (Millet) Secara Global Jewawut merupakan tanaman pangan serealia non-beras yang telah banyak dimanfaatkan di berbagai belahan dunia. Tanaman jewawut memiliki biji yang berukuran kecil dan dapat beradaptasi pada iklim panas. Jenis jewawut yang kerap kali dibahas dalam berbagai literatur menurut Hulse et al. (1980) adalah pearl millet (Pennisetum glaucum), finger millet (Eleusine coracana), foxtail millet (Setaria italica), common millet (Panicum miliaceum), little millet (Panicum miliare), japanese barnyard millet (Echinochloa frumantacea), kodo millet (Paspalum scrobiculatum), fonio (Digitaria exilis), teff (Eragrostis tef), dan job’s tears (Coix lachrymajobi). Millet berasal dari Afrika dan baru disebarluaskan oleh para pedagang waktu zaman itu ke berbagai negara lainnya seperti negara-negara di Eropa dan Asia. Negara-negara yang kerap kali menggunakan jewawut sebagai bahan konsumsi adalah Kenya, Uganda, Nigeria, Tanzania, Sudan, dan India. Selain itu, di Tiongkok, Cina, millet sudah ada sejak 6000 tahun SM (Vogel dan Graham, 1978). 2. Keberadaan Jewawut (Millet) Di Indonesia Di Indonesia jewawut cukup populer dibudidayakan sebagai pakan burung peliharaan. Pemanfaatannya untuk pangan masih terbatas dan bersifat pangan tradisional di beberapa daerah di Indonesia. Daerah di Indonesia yang banyak menanam jewawut adalah di daerah Jawa, NTT, dan NTB (Puspawati, 2009; Palupi, 2006). Sampai tahun 2006, Balai Penelitian Tanaman Serealia Indonesia telah memiliki koleksi plasmanutfah jewawut sebanyak 57 aksesi (Balai Penelitian Tanaman Serealia, 2009) dan tiga jenis jewawut yang populer adalah jenis brownstop millet (Panicum miliacum), pearl millet (Pennisetum thypoides dan Pennisetum glaucum), dan proso atau italian millet (Setaria italia) (Suherman et al., 2009). Salah satu wilayah yang menjadi tempat keberadaan tanaman jewawut adalah di pulau Lombok. Jewawut dikenal dengan nama jawe atau betem di pulau ini. Keragaman jenis jewawut di pulau Lombok ditemukan di Kecamatan Bayan, Pringgabaya, dan Kayangan. Keragaman karakter tanaman jewawut di wilayah ini terlihat dari penampakan warna biji yang bervariasi. Variasi warna biji tersebut terdiri atas warna hitam, coklat muda, coklat tua, merah kecoklatan, krem, dan putih. Sedangkan, keragaman bentuk tanaman ini dapat dilihat dari variasi bobot malai yang bervariasi antara 11.8 g hingga 18.8 g dan keragaman jumlah cabang antara 104 hingga 143 cabang. Selain itu, tanaman ini juga memiliki keragaman bobot untuk 1000 butir biji yang berkisar antara antara 7.3 g hingga 13.5 g (Suherman et al., 2009). Biji jewawut kerap kali dijual di dua pasar di Lombok yang kebanyakan berasal dari jenis foxtail millet dan pearl millet. Nama kedua pasar tersebut adalah Pasar Narmada dan Pasar Milantika. Harga penjualannya biji jewawut di kedua pasar ini adalah Rp 6.000/kg. Sedangkan untuk pemanfaatannya, biji jewawut masih diolah dengan cara tradisional menjadi bahan pangan selingan berupa bubur betem, dodol betem dan bajet betem (Suherman et al., 2009). Jewawut termasuk tanaman serealia ekonomi keempat setelah padi, gandum dan jagung. Biji jewawut mudah dijumpai di kios maupun di pasar-pasar burung dan mengandung karbohidrat dan protein yang besar kandungannya tidak berbeda jauh dari jagung dan beras.
Data ini disajikan pada Tabel 1, sedangkan kandungan nutrisi dari tiga jenis jewawut disajikan pada Tabel 2. Kandungan mineral kalsium (Ca) dan besi (Fe), serta vitamin A, B1, B2, dan C dari ketiga jenis jewawut dan jagung disajikan pada Tabel 3, sedangkan informasi kandungan beberapa mineral pada beras, gandum, jagung, dan jewawut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 1. Kandungan nutrisi tiga jenis jewawut, jagung, dan berasa Jenis Jewawut Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Serat (%) Foxtail millet 84.2 10.7 3.3 1.4 Pearl millet
78.9
12.8
5.6
1.7
Proso millet
84.4
12.3
1.7
0.9
Jagung
80.0
10.5
4.9
2.7
Beras
87.7
8.8
2.1
0.8
Tabel 2. Kandungan nutrisi tiga macam jewawut (%)a Nutrisi per 100 g bahan Air
Brownstop millet
Pearl millet
Foxtail millet
10 – 15
10
10.5 - 11.9
Protein
12 - 15
11
9.7 - 10.8
Lemak
2-3
4
1.7 - 3.5
Karbohidrat
70 - 80
61
72.4 - 76.6
Serat
1.5
8
1
Abu
1.5
4
1.5
Tabel 3. Kandungan mineral tiga jenis jewawut dan jagung (mg/100g) a Vitamin Komoditas Ca Fe Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C B2 0 0.48 0.14 2.5 Foxtail millet 37 6.2 Pearl millet
56
10.1
0
0.35
0.16
2.0
Proso millet
13
2.1
0
0.17
0.06
3.5
Jagung
16
3.2
0.3
0.34
0.13
2.4
Para petani Indonesia mengenal jewawut sebagai tanaman serealia dengan ekonomi minor, namun memiliki nilai kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain. Tanaman ini tersebar dihampir seluruh Indonesia seperti Pulau Buruh, Jember, dan termasuk di Sulawesi Selatan seperti Enrekang, Sidrap, Maros, Majene dan daerah lainnya. Tanaman ini sangat mudah untuk dibudidayakan karena dapat ditanam pada lahan-lahan ladang penduduk dengan cara tanah yang digembur lalu ditaburi dengan biji jewawut. Tanaman ini tidak memiliki musim dan bisa ditanam sepanjang tahun dengan mempertimbangkan kondisi pertumbuhannya. Tanaman ini tidak membutuhkan jenis tanah khusus sehingga dapat ditanam dimana saja dengan cara ditabur. Kemudian dari segi ekonomi tidak membutuhkan biaya
produksi yang tinggi dan dalam pemeliharaan sederhana karena tidak membutuhkan pestisida dan jenis kimia lainnya.
Tabel 4. Kandungan mineral beras, gandum, jagung dan jewawuta Mineral Beras Gandum Jagung Jewawut (mg/100 g) Thiamin 66 45 32 63 Ribloflavin
25
10
10
33
Niacin
1.3
3.7
1.9
2.0
Iron
9.0
4.0
3.0
7.0
Zinc
3.0
3.0
3.0
3.0
Kalsium
7.0
38.0
45.0
440.0
Fosfor
147
385
224
156
Natrium
10
9
11
53
Kalium
87
75
78
398
a
Suherman et al. (2009)
3. Pemanfaatan Jewawut sebagai Bahan Makanan Secara Global Jewawut telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan di berbagai negara di dunia ini. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai bahan baku untuk pembuatan bahan makanan lain. Pemanfaatan ini akan disajikan pada Lampiran 1 yang terbagi berdasarkan wujudnya, yakni biji utuh (whole grain) atau biji yang mengalami proses pengolahan (crackedgrain), bubur kental (stiff porridge), roti tidak beragi (unleavened bread), roti beragi (leavened bread), berbagai macam makanan ringan (miscellanous snacks), dan berbagai jenis minuman (beverages) di berbagai negara. Di Indonesia, pengolahan jewawut masih sangat terbatas. Namun di beberapa daerah jewawut dimanfaatkan seperti beras dengan cara pengolahan yang sama dengan pengolahan beras menjadi nasi. Awalnya jewawut dijemur, disosoh, hingga hanya terdapat bagian daging atau endospermanya saja. Masyarakat Sidrap membuat jenis makanan baje dari jewawut yang dicampur dengan gula merah dan kelapa, dan songkolo. Pemanfaatan ini hampir sama dengan beras ketan. Selain itu, tanaman jewawut dapat diolah menjadi tepung untuk mensubtitusi tepung beras. Hal ini dikarenakan jewawut mengandung sumber vitamin B dan beta karoten. Biji jewawut dapat pula dijadikan bahan minuman penyegar seperti milo dengan cukup ditambah dengan coklat dan susu. Selain itu, pemanfaatan jewawut secara tradisional yang lain terdapat di Lombok dengan kerap kali dijadikan pangan seperti bubur, dodol, dan bajet (Suherman et al., 2009). Selain pengolahan menjadi tepung beras dan seperti beras ketan, tepung jewawut juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk mie di Indonesia. Hal ini dikarenakan kandungan proteinnya yang hampir sama dengan tepung terigu dan bahkan mengandung protein gluten. Gluten adalah protein lengket dan elastis yang dapat membuat adonan menjadi kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. Sifat elastis gluten pada adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan (Sari, 2010).
Tepung jewawut biasanya dibuat dari biji jewawut ataupun dari proses perkecambahan terhadap biji-bijian yang digerminasi dan selanjutnya dijadikan bahan baku utama produk olahan. Tepung jewawut yang dihasilkan dari perkecambahan biji jewawut memiliki perbaikan nilai gizi suatu produk olahan karena proses perkecambahan akan menyebabkan perubahan nilai nutrisi yang terkandung dalam biji. Aplikasi ini merupakan salah satu jawaban yang tepat bagi pemenuhan nutrisi kebutuhan masyarakat. Nilai tambah dari tepung kecambah biji-bijian yang telah ditepungkan ini tidak hanya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, tetapi juga kandungan nutrisi yang penting bagi pemenuhan gizi masyarakat, karena selama proses germinasi (perkecambahan), melibatkan banyak enzim untuk proses katabolisme senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Sari, 2010). Pemanfaatan jewawut pada masa modern ternyata semakin berkembang dengan semakin banyaknya produk pangan berbahan baku jewawut di berbagai wilayah lain. Deskripsi singkat mengenai jenis produk pangan tersebut dan wilayahnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pemanfaatan jewawut di masa modernb Nama Produk Wilayah Asia, Eropa bagian tenggara, Nasi, bubur, roti tidak beragi, roti beragi, dan puding dan Afrika Utara Bahan pokok makanan yang dicampur dengan polongCina bagian utara polongan dan dimasak Adonan roti dan mie Cina bagian utara Keripik mini, jewawut gulung kering, tepung makanan bayi Kecambah jewawut digunakan untuk sayuran, bahan pembuatan bir, alkohol, cuka, & wine
Cina Rusia dan Burma (Myanmar)
b
Yanuwar (2009); Suherman et al. (2009)
4. Pearl millet (Pennisetum glaucum) Pearl millet adalah jenis tanaman jewawut yang paling luas penyebaran dan pembudidayaannya dibandingkan jenis jewawut lainnya. Pearl millet (Pennisetum glaucum) merupakan jenis yang potensial untuk pangan dan penyebarannya luas (Leder, 2004). Pearl millet berasal dari Afrika Barat dan setidaknya sekitar 2000 tahun lalu dibawa ke Afrika Timur, Afrika Tengah, dan India. Hal ini terjadi karena kemampuan tanaman tersebut untuk hidup di lingkungan marginal dan kering (Hulse et al., 1980). Di India, pearl millet memiliki banyak sebutan, tetapi yang paling umum adalah bajra. Wujud tanaman pearl millet disajikan pada Gambar 1, sedangkan penampakan biji pearl millet yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2. Pearl millet dibagi menjadi dua kelas, yakni early millet yang dewasa pada umur 60-95 hari dan late season millet yang dewasa pada umur 130-150 hari. Tanaman jewawut jenis pearl millet memiliki variasi kultivar yang memiliki perbedaan karakter, termasuk tinggi tanaman dalam jangkauan 0.5−4 m, ketebalan dan derajat percabangan stem, serta ukuran, bentuk, dan warna dari bijinya, berwarna agak putih, kuning pucat, coklat, hijau, atau ungu. Selain itu, panjang tangkai biji mencapai 3−4 mm dan setiap tangkai mencapai 1000 biji dengan berat 2.5−14 g. Ukuran biji setengah lebih kecil dari sorgum, serta proporsi germ dan endosperma lebih rendah dari sorgum (Hulse et al., 1980). Klasifikasi tanaman pearl millet yang dikutip dari Nurmala (1997) disajikan sebagai berikut:
Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Monocotyledon : Poales : Poaceae : Pennisetum : Pennisetum sp.
Gambar 1. Tanaman Pearl Millet
Gambar 2. Biji Pearl Millet
Pearl millet sebagai sumber karbohidrat memiliki kandungan kalsium lebih tinggi dari jagung, tapi lebih rendah dari sorgum, lalu sifat viskositas pati lebih tinggi dari gandum dan sifat gelatinisasi lebih baik dari sorgum (Suherman et al., 2009). Pearl millet yang banyak dipakai sebagai sumber pangan yang memiliki protein kasar lebih tinggi 1-2% dari sorgum, tetapi masih rendah kandungan asam amino yang mengandung sulfur (Singh et al., 2003). Komposisi struktur biji sedikit berbeda dengan sorgum, bagian endospermanya 75%, sedangkan sorgum 82%. Leder (2004) menyatakan protein pearl millet memiliki fraksi protein albumin dan globulin sebesar 22-28%, prolamin sebesar 28-35%, glutelin 28-32%. Fraksi prolamin pearl millet lebih kecil dari sorgum. Kandungan asam amino pada pearl millet dan fraksi proteinnya disajikan secara ringkas pada Tabel 6 menurut Bhuja (2009). Serna-Saldivar et al. (1995) juga
menyebutkan bahwa pearl millet memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi dari sorgum, semua jenis millet memiliki kandungan asam amino lisin terbatas tapi pearl millet memiliki kandungan lisin lebih tinggi dari jenis millet lainnya. Kandungan lemak umumnya lebih tinggi dari sorgum (3-6%), sebanyak 75% termasuk asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA), jenis PUFA yang terbanyak adalah asam linoleat. Kandungan vitamin pearl millet umumnya vitamin C, A, dan mineral umumnya adalah Fe, Ca, Mg, dan Zn. Kandungan mineral besi pearl millet lebih tinggi daripada sorgum (Leder, 2004). Komposisi kimia pearl millet dari beberapa sumber dapat dilihat pada Tabel 7. Informasi yang terdapat pada Tabel 7 menunjukkan perbedaan kadar komposisi nutrisi pearl millet yang disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan, dan keakuratan alat uji yang dipakai. Perbedaan hasil analisis kimia biji jewawut juga disebabkan oleh faktor prapanen seperti teknik penanaman, tingkat kesuburan tanah, faktor lingkungan seperti radasi matahari, suhu, dan varietas yang berbeda (Yanuwar, 2009).
Tabel 6. Komposisi asam amino esensial dan distribusi fraksi protein pada pearl millet dengan sorgum sebagai pembanding (Bhuja, 2009) Biji Sorgum Pearl millet Isoleusin 245 256
Komposisi asam amino (mg/g)
Leusin
832
598
Lisin
126
214
Metionin
87
154
Fenilalanin
306
301
Treonin
189
241
Triptofan
63
122
17.4
25.0
Prolamin
6.4
28.4
Glutelin
35.7
18.4
Albumin dan Fraksi protein (% protein total)
globulin
5. Struktur Pearl millet Pada Umumnya Ukuran biji pearl millet adalah sepertiga dari biji sorgum. Perikarp pearl millet memiliki kesamaan dengan sorgum kecuali bagian mesokarpnya yang tidak mengandung granula pati. Lapisan aleuronnya terdiri dari satu sel yang tebal. Gambar struktur biji jewawut pada umumnya dan menggambarkan bentuk umum struktur biji berbagai varietas jewawut terdapat pada Gambar 3. Endosperma pearl millet terdiri atas komponen (a) keras, bening dan (b) lunak, keruh. Komponen endosperma keras pearl millet tersusun oleh struktur yang padat tanpa rongga udara. Granula pati pearl millet berbentuk poligonal dan berukuran 10 µm, lebih kecil dibandingkan pati sorgum. Bagian proteinnya berukuran 1.5 µm yang terdapat dalam matriks protein yang dikelilingi oleh granula pati dan memproduksi lekukan besar pada tepi granula pati. Struktur ikatan protein dan pati pada endosperma pearl millet memiliki kesamaan dengan
yang terdapat pada jagung (Hulse et al., 1974). Endosperma lunak pearl millet sebagian besar terdiri dari rongga udara yang tampak seperti bola, sehingga terlihat longgar.
Komponen Kadar air (%bk)
Tabel 7. Komposisi kimia jewawut Kadar Kadar Kadar (Yanuwar, (Leder, (Nurmala, 2009) 2004) 2003) 7.61 12.51
Kadar (Rooney, 1978) 8.8
Kadar abu (%)
1.77
-
3.86
2.3
Protein kasar (%)
7.29
-
11.38
12.1
Lemak (%)
1.63
-
-
5.0
Palmitat
-
-
-
20
Stearat
-
-
-
5
Oleat
-
-
-
26
Linoleat
-
-
-
45
Linolenat
-
-
-
4
Serat kasar (%)
-
2.20
5.65
2.4
Karbohidrat (%)
81.52
75
-
69.4
Energi kasar (kal/g)
-
363
386
-
P (mg/100g)
-
-
50.00
-
Mg (mg/100g)
-
-
122.10
-
Fe (mg/100g)
-
3.00
7.80
-
Zn (mg/100g)
-
-
3.60
-
Ca (mg/100g)
-
-
19.80
-
Vitamin A (mg/100g)
-
-
0.023
-
Vitamin C (mg/100g)
-
25
26.40
-
Gambar 3. Struktur biji jewawut (McDonough dan Rooney, 1987)
Perikarp pearl millet terdiri atas tiga lapisan, yakni epikarp, mesokarp, dan endokarp. Mesokarp pearl millet terdiri atas satu atau dua lapisan sel yang tebal dan tampak padat. Selain itu, mesokarpnya tidak mengandung granula pati. Endokarp pearl millet tersusun atas sel-sel tabung dan cross cells. Perikarp pearl millet cenderung memecah dan lapisan endokarp ketiga tergores selama penggilingan mekanis. Hasil evaluasi terhadap struktur biji pearl millet tidak menampakkan testa meskipun jaringan membran tipis telah diamati di antara cross cells dan sel-sel aleuron. Lapisan aleuron adalah sel tunggal yang tebal dan mengelilingi keseluruhan biji. Ukuran sel-sel aleuron bervariasi dengan rata-rata lebar 17 µm dan panjang 22 µm (Hulse et al., 1980). 6. Senyawa Fitokimia Pearl Millet Pearl millet mengandung komponen fitokimia seperti sorgum, yaitu komponen fenolik yang terdiri dari asam fenolik dan golongan flavonoid (termasuk tanin), tetapi kandungan taninnya lebih rendah dari sorgum. Komponen asam fenolik yang tinggi adalah jenis asam ferulat, kaumarat, sinamat, dan gentisic. Warna pearl millet disebabkan oleh komponen glikosilvitesin, glikosiloritin, alkali-labil, dan asam ferulat. Komponen fenolik ini memiliki sifat antioksidan yang dapat menekan reaksi oksidasi yang merugikan bagi tubuh (Leder, 2004). Jenis asam fenolik yang terdeteksi pada biji pearl millet disajikan pada Tabel 8. Senyawa fenolik merupakan salah satu jenis antioksidan yang kerap kali terdapat pada tanaman. Senyawa ini merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa fenolik diklasifikasikan dalam tiga grup, yaitu fenol sederhana, asam hidroksinamat, dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri atas monofenol, difenol, dan trifenol. Grup yang paling penting dari senyawa fenolik adalah flavonoid, termasuk di dalamnya katekin, antosianidin, flavon, dan glikosida (Tang, 1991).
Tabel 8. Asam fenolik yang terdeteksi pada biji jewawut (Dykes & Rooney, 2006) Jenis Asam Fenolik Asam Fenolik Hydrobenzoic acids
Gallic Protocatechuic p-Hydroxybenzoic Gentisic Vanillic Syringic
Hydroxycinnamic acids
Ferulic Caffeic p-Coumaric Cinnamic Sinapic
B. β-GLUKAN β-glukan adalah nama kimia dari polimer β-glukosa. β-glukan merupakan polisakarida yang banyak sekali ditemukan pada serealia, jamur, khamir, kapang, dan bakteri (Novak dan Vetvicka, 2008). β-glukan memiliki variasi dalam struktur kimianya bergantung asal dan jenis ikatan polisakaridanya. Salah satu sumber senyawa β-glukan adalah dari tanaman serealia yang struktur kimianya digambarkan pada Gambar 4. Polimer β-glukan memiliki sifat fisikokimia yang menarik terutama kemampuan untuk membentuk gel sehingga sering kali digunakan dalam industri pangan. Selain itu komponen ini memiliki aktivitas biologis yang biasanya dihubungkan dengan pengobatan, makanan fungsional, farmasi, bahkan kosmetik. Belakangan ini diketahui bahwa β-glukan kerap kali digunakan sebagai bahan tambahan pangan untuk diaplikasikan pada produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia (Laroche dan Michaud, 2006). Berikut manfaat penggunaan β-glukan sebagai peranannya sebagai bahan tambahan pangan: memberikan karakteristik seperti ham yang lebih lembut pada produk daging sapi dan unggas, ideal untuk produk pangan beku seperti steak, burger, dan ayam goreng karena dapat meningkatkan massa produk, menjaga kelembaban dan meningkatkan penyerapan minyak pada produk-produk daging dan seafood yang dilapisi oleh tepung roti, dan dapat menggantikan peran lemak dalam penggunaannya di produk pangan atau dengan kata lain β-glukan dapat menurunkan kadar kalori karena penggunaan lemak menjadi lebih sedikit (Laroche dan Michaud, 2006).
Gambar 4. Struktur kimia β-glukan yang pada umumnya berasal dari serealia Selanjutnya, secara parsial β-glukan berperan meningkatkan cita rasa dan tekstur dalam mulut, tekstur fisiknya, dan penampakan pada keadaan beku dan pada produk susu (membuat yogurt rendah lemak bertekstur lebih lembut). Selain itu, penambahan β-glukan pada produk salad dressing mampu memberikan kesan bertekstur creamy dalam mulut dan dapat meningkatkan viskositas pada berbagai produk tanpa lemak. Penggunaan β-glukan dengan putih telur dapat meningkatkan tekstur dan ketahanan bentuk dari mie, khususnya pada produk sup kaleng dan makaroni. Gelnya akan membentuk tekstur seperti mie yang dapat mempertahankan bentuknya ketika direbus atau digoreng dengan sedikit minyak. Selain itu, β-glukan mengandung hampir 90% serat pangan dan bernutrisi, serta memberikan peningkatan massa (Laroche dan Michaud, 2006).
β-glukan digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP) karena dapat menggantikan penggunaan beberapa bahan tertentu dan tentunya dianggap sangat menguntungkan. β-glukan tidak memiliki efek toksik dan aman digunakan. Selain itu. β-glukan diisolasi secara murni dan tidak mengandung protein khamir yang dapat menyebabkan reaksi alergi. β-glukan hasil dari dinding sel khamir roti memiliki fungsi signifikan untuk mengaktifkan makrofag sel darah. βglukan tidak memiliki efek perlawanan terhadap obat farmakologi, melainkan meningkatkan efek banyak obat antibiotik dan obat penurun kolesterol (Novak dan Vetvicka, 2008). β-(1-3)-glukan merupakan struktur untuk senyawa β-glukan murni. β-(1-3)-glukan dan turunannya memiliki potensi dalam bidang medis dan farmakologi. Tetapi, bagaimanapun juga, efek dan penerapannya bergantung pada strukturnya, misalnya β-glukan dari sereal berpengaruh pada glycemia dan level kolesterol tetapi yang berasal dari bakteri, khamir, dan jamur diketahui memiliki efek responsif lebih baik secara biologis. Molekul ini memiliki potensi peningkat daya tahan tubuh, memberikan efek anti-tumor, dan mampu meningkatkan ketahanan tubuh manusia pada bakteri atau virus seperti virus AIDS (Laroche dan Michaud, 2006). β-glukan diketahui memiliki efek sebagai komponen serat pangan yang dapat tergolong di kedua fungsinya sebagai serat pangan terlarut dan serat pangan tidak terlarut. Keuntungan lain penggunaan β-glukan berkaitan dengan fungsinya sebagai komponen serat tidak terlarut bagi kesehatan adalah memperpendek waktu kontak sisa pencernaan dalam usus besar, pencegah konstipasi, pengurang resiko terjadinya kanker usus besar, dan pembentuk SCFA (Short Chain Fatty Acid). Terkait dengan perannya sebagai serat pangan terlarut, khususnya β-(1,3)(1,4)-Dglukan, memberikan efek kesehatannya adalah dengan kemampuannya menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan hyperglycemia dan hyperinsulinaemia, keterkaitan dengan pengontrolan penyakit diabetes, pengurangan faktor terjadinya resiko penyakit degeneratif seperti obesitas, hyperlipidaemia, hypercholesterolemia, penyakit jantung, kanker, darah tinggi, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik karena berperan sebagai prebiotik (Laroche dan Michaud, 2006).
C. SISTEM IMUN Lingkungan di sekitar tubuh manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen, misalnya bakteri, virus, fungi, protozoa, dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan tidak meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun. Sistem imun memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap segala unsur patogen tersebut. Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun, Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2006; Kresno, 2001). Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imunitas antara lain genetik, umur, kondisi metabolik, anatomi, status gizi, fisiologi manusia, dan sifat benda asing. Sistem imun digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat pertahanannya yakni sistem imun alamiah atau nonspesifik (natural) dan sistem imun didapat atau spesifik (adaptive/ acquired). Gambaran umum kedua sistem imun tersebut diilustrasikan pada Lampiran 2.
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, sehingga dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan respon. Kedua sistem tersebut memiliki beberapa perbedaan sifat yang akan dideskripsikan pada Tabel 9. Perbedaan sifat tersebut tidak menjadikan kedua sistem bekerja secara terpisah untuk mempertahankan imun tubuh. Kedua sistem tersebut bekerja sama erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Tabel 9. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifike Sifat Nonspesifik Spesifik Membaik oleh infeksi berulang Resistensi Tidak berubah oleh infeksi (memori) Umumnya efektif terhadap semua Spesifik untuk mikroba yang Spesifitas mikroba sudah mensensitasi sebelumnya Sel yang penting Fagosit, sel NK, sel mast, eosinofil Th, Tdth, Tc, Ts, Sel B Lisozim, komplemen, APP, interferon, CRP, kolektin, molekul adhesi e Baratawidjaja (2006)
Molekul yang penting
Antibodi, sitokin, mediator, molekul adhesi
Bentuk kerja sama sistem imun nonspesifik dan spesifik ditampilkan saat menghadapi infeksi. Sistem imun nonspesifik bekerja dengan cepat dan sering diperlukan untuk merangsang sistem imun spesifik. Mikroba ekstraselular mengaktifkan komplemen melalui jalur lektin. Kompleks antigen-antibodi mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. Virus intraselular merangsang sel yang diinfeksinya untuk melepas IFN yang mengerahkan dan mengaktifkan sel NK. Sel dendritik yang memakan antigen bermigrasi ke kelenjar getah bening dan mempresentasikan antigen yang dimakannya ke sel T. Sel T yang diaktifkan bermigrasi ke tempat infeksi dan memberikan bantuan ke sel NK dan makrofag (Kresno, 2001; Baratawidjaja, 2006). Pengaktifan sistem imun dapat segera dilaksanakan oleh tubuh karena keberadaan sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh, seperti ditemukan di dalam sumsum tulang, timus, darah, kelenjar getah bening, limpa,saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, dan jaringan. Sel-sel tersebut berasal dari sel prekursor yang multipoten dalam sumsum tulang yang kemudian berdiferensiasi menjadi dua golongan sel progenitor imun.
D.
MEKANISME RESPON IMUN SPESIFIK Reaksi yang dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun (Baratawidjaya, 2006). Respon imun didefinisikan sebagai respon atau reaktifitas yang terjadi jika ada kontak antara antigen dengan molekul yang memiliki konfigurasi spesifik (Roitt, 1994). Respon imun menjalankan tiga fungsi, yaitu pertahanan, homeostatis, dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi homeostatis bertujuan mempertahankan dari jenis sel tertentu dan memusnahkan sel-sel yang rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan memonitor jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Yanuwar, 2009). Mekanisme respon imun spesifik adalah dengan mengenali benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali hadir dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik. Sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, jika
terpajan ulang akan dikenali lebih cepat kemudian dihancurkan. Istilah spesifik dimaksudkan karena mekanisme kerja sistem ini hanya dapat menyingkirkan dan menghancurkan benda-benda asing yang sudah dikenal sebelumnya. Benda-benda asing ini kerap kali disebut sebagai imunogen atau antigen. Imunogen atau antigen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun spesifik pada manusia dan hewan. Imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respon imun, sedangkan antigen adalah setiap bahan yang bersifat imunogen dan dapat mengikat komponen yang dihasilkan dari respon imun spesifik, misalnya antibodi dan limfosit T (Baratawidjaya, 2006). Respon imun spesifik memiliki enam ciri utama yang dinyatakan oleh Kresno (2001), yakni spesifisitas, diversitas, memory, spesialisasi, self limitation, membedakan self dari non-self. Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua jenis, yakni sistem imun spesifik humoral dan seluler. Sistem imun spesifik humoral bekerja pada cairan tubuh (humor berarti cairan tubuh), dimana pemeran utamanya adalah limfosit B atau sel B. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Pada manusia, sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh imunogen atau antigen, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus, dan bakteri, serta menetralisasi toksin (Baratawidjaya, 2006). Pemeran utama sistem imun spesifik selular adalah limfosit T atau sel T. Sel tersebut berasal dari sel asal yang sama dengan sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di dalam sel sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal kelenjar timus. Sel T yang dapat matang dan meninggalkan kelenjar timus untuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi hanya sebanyak 5-10%, sedangkan sebanyak 90-95% dapat mati. Fungsi utama sistem imun ini adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit, dan keganasan (Baratawidjaya, 2006). Perbedaan kedua jenis sistem imun spesifik secara ringkas disajikan pada Tabel 10. Walaupun terdapat perbedaan pada beberapa faktor, tetapi kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan karena untuk menjaga imunitas tubuh secara sempurna dibutuhkan kerja sama dari kedua sistem ini.
Pembeda
Mikroba
f
Tabel 10. Perbedaan imunitas humoral dan selularf Imunitas Selular Imunitas Humoral Ekstraselular Intraselular Mikroba intraselular (virus) Mikroba ekstraseular Fagositosis oleh berkembang biak makrofag dalam sel terinfeksi
Respon limfosit
Sel B
Th
CTL
Mekanisme efektor dan fungsi
Antibodi mencegah infeksi dan menyingkirkan mikroba ekstraselular
Makrofag yang diaktifkan memusnahkan mikroba yang dimakan
CTL memusnahkan sel terinfeksi dan menyingkirkan sumber infeksi
Baratawidjaya (2006)
E. DARAH Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Fungsi-fungsi darah tersebut dijelaskan kembali pada Tabel 11. Darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma, yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Darah tersusun atas komponen plasma darah dan sel darah. Bagian penyusun dan fungsi dari kedua komponen darah tersebut disajikan pada Lampiran 3.
Fungsi Darah
Transportasi
Tabel 11. Fungsi darahg Deskripsi a. Berhubungan dengan respirasi b. Berhubungan dengan nutrisi (zat-zat makanan yang telah tercerna) c. Berhubungan dengan sekresi d. Berhubungan dengan regulasi
Regulasi keseimbangan pH darah (7.0-7.2)
Mengentalkan darah karena mempunyai plasma protein (albumin, fibrinogen, dan globulin)
Regulasi keseimbangan
Ada hubungan antara darah dengan jaringan
Pencegahan pendarahan
Peran trombosit
Pertahanan tubuh
Peran leukosit
g
Kresno (2001)
F. SEL LIMFOSIT Limfosit merupakan salah satu penyusun sel leukosit dan bertanggung jawab terhadap respons imun spesifik karena kemampuannya dalam mengenal berbagai macam antigen berbeda. Menurut Kresno (2001), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun ekstraselular. Bentuk sel limfosit ditunjukkan pada Gambar 5. Limfosit terbagi menjadi 2 kelompok yakni limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B).
Gambar 5. Bentuk sel limfosit manusia (tunggal) dengan SEM (Anonim, 2010b)
1. Sel T Sel T merupakan 65-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar
timus. Selain merupakan tempat sel T berdiferensiasi, di dalam bagian korteks timus terjadi proliferasi dan kematian sel yang berhubungan dengan proses seleksi klon. Klon yang autoreaktif akan bunuh diri (mengalami apopotosis), sedangkan sel yang dipertahankan hidup adalah sel yang akan bermanfaat di kemudian hari sesuai fungsinya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama berdiferensiasi dalam timus adalah: (a) pembentukan berbagai reseptor antigen; (b) seleksi sel T aktif fungsional yang dapat mengenal antigen yang disajikan bersama molekul self-MHC; (c) eliminasi selektif sel-sel T autoreaktif; dan (d) diferensiasi populasi sel T yang mengekspresikan CD4 atau CD8 (Kresno, 2001). Perkembangan dan seleksi sel T dalam timus dikontrol secara ketat oleh mekanisme seleksi positif, seleksi negatif, dan neglect. Sel T yang mengekspresikan TCR yang dapat berinteraksi dengan self-MHC yang ditampilkan dalam timus akan mengalami seleksi positif dan dilindungi dari proses apoptosis, sedangkan sel yang tidak diseleksi positif akan mati dengan cara apoptosis karena tidak terpelihara. Tetapi, sel T yang dapat bereaksi kuat dengan antigen yang terikat pada self-MHC juga diinduksi untuk mengalami apoptosis (seleksi negatif). Selama proses ini lebih dari 95% sel T yang terbentuk dalam timus mati dan sisanya yang 5% bermigrasi ke organ limfoid perifer sebagai sel T yang matang. Banyak faktor yang turut mempengaruhi perkembangan dan seleksi sel T dalam timus di antaranya molekul Fas yang menrupakan anggota keluarga reseptor faktor pertumbuhan TNF yang berfungsi sebagai kostimulator (Kresno, 2001). 2. Sel B Sel B berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan organ limfoid perifer. Seperti halnya pada sel T, pembentukan reseptor antigen pada permukaan sel B (surface-immunoglobulin, sIg) merupakan salah satu tahap awal dalam proses diferensiasi. Sel B pada tahap awal mengeskpresikan IgM atau IgD sebagai reseptor permukaannya, tetapi dalam perkembangan lebih lanjut reseptor ini dapat berubah menjadi kelas imunoglobulin yang lain walaupun spesifisitasnya terhadap antigen tidak berubah (Roitt, 1994; Kresno, 2001). Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Jumlah ini tidak mencakup sel-sel yang merupakan cikal-bakal sel B (prekursor) yang tidak menunjukkan sIg. Tingkat pematangan sel B dapat diketahui dengan menentukan sel-sel B sesuai stadium pematangannya, yaitu ada tidaknya imunoglobulin intra-sitoplasmik (cIg), imunoglobulin permukaan (sIg), dan antigen permukaan lainnya (Kresno, 2001).
G. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT Proliferasi sel limfosit merupakan fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui pembelahan sel secara mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Respon proliferasi limfosit pada sistem in vitro digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu. Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa yang disebut mitogen dan lektin. Baratawidjaja (2006) menyatakan bahwa kedua senyawa tersebut merupakan bahan alamiah yang mempunyai kemampuan mengikat dan merangsang banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi. Kedua senyawa tersebut merupakan aktivator poliklonal yang dapat mengaktifkan banyak klon limfosit dan bukan hanya merangsang klon dengan spesifisifitas khusus.
Mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin yang memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit seperti PHA (phytohaemagglutinin), PWK (pokeweed), dan Con A (Concanavalin A) (Ganong, 1979; Baratawidjaja, 2006), dan senyawa yang berasal dari dinding sel bakteri seperti LPS (lipopolisakarida) (Baratawidjaja, 2006). Con A dan PHA adalah mitogen poten untuk sel T. LPS adalah mitogen pengaktif sel B. Dan PKW adalah mitogen yang baik untuk menstimulir sel B maupun sel T. PKW bersumber dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana) dengan struktur molekul polimerik dengan ligan di N-asetilkitobiose, sedangkan Con A bersumber dari jack bean dan PHA bersumber dari kacang merah (kidney bean). Baik Con A maupun PHA memiliki struktur molekul tetramer (Kuby, 1997). Perhitungan jumlah sel limfosit yang masih hidup sebelum dilakukan pengujian dengan ekstrak sampel dan mitogen perlu dilakukan. Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah sel limfosit hidup adalah dengan metode pewarnaan tripan blue yang dilihat dengan mikroskop pada perbesaran maksimal 400 kali. Sel yang hidup tidak berwarna (terang dan cerah) dan berbentuk bulat, sedangkan sel yang mati berwarna biru dan mengkerut. Sel mati tersebut berwarna biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru tripan dapat masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Sedangkan pada sel hidup, dinding sel tidak pecah sehingga pewarna tidak masuk dan mewarnai keseluruhan sel. Viabilitas sel yang baik terlihat dengan semakin banyaknya jumlah sel yang hidup dengan jumlah minimal adalah 106 sel (Shaper, 1988). Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan senyawa MTT (3-[4,5-dimetilthiazol-2-yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue) Prinsip dari metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan yang kemudian dihitung absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 500-600 nm seperti microplate reader atau ELISA Reader dengan panjang gelombang 570 nm. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesa oleh semua sel pada mitokondria. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis garam tetrazolium juga banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak (Bounous et al., 1992).
H. KULTUR SEL Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Teknik ini dapat digunakan untuk mengevaluasi senyawa berbahaya pada sel. Davis (1994) menyatakan bahwa kondisi pelaksanaan teknik kultur sel dibuat semirip mungkin dengan keadaan lingkungan awal di dalam tubuh (secara in vivo), seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan spesifitas. Beberapa kelemahan dari teknik ini, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan. Salah satu teknik yang kerap kali digunakan untuk mengetahui pengaruh komponen bioaktif terhadap sistem imun adalah dengan teknik kultur sel menggunakan sel limfosit manusia. Pengujian ini dapat dijadikan sebagai indikator kualitas respon imun. Berbagai jenis bahan pangan
seperti jahe, kunyit, bawang putih, cincau, dan buah merah telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan antara lain meningkatkan kemampuan proliferasi limfosit (Zakaria, 1996). Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel yang bertanggung jawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Baratawidjaja, 2006). Lebih dari satu juta struktur antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki limfosit. Limfosit mempunyai fungsi yang paling beragam dibanding semua sel dalam sistem imun. Limfosit dapat tumbuh dalam kondisi sebagai berikut : (a) dalam suspensi yang diberi perlakuan agitasi untuk penyebaran sel; (b) tanpa agitasi, sel diatur berada di dasar wadah (well); (c) sebagai fragmen dari jalur limfoid dengan teknik eksplantasi; dan (d) sebagai dispersi sel dengan teknik tertentu. Teknik yang paling banyak digunakan adalah tanpa agitasi, sel diatur berada di dasar wadah (sumur atau well).
III.METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah pin disc mill, satake grain mill, laminar flow hood, autoklaf, lemari es, inkubator 370C dengan atmosfer 5% CO2 dan O2 95% pada RH 96%, alat sentrifugasi Sorvall ST-H50, oven, freeze dryer, ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) reader, mikroskop cahaya, vorteks, tabung sentrifugasi, erlenmeyer 500 ml dan 250 ml, gelas piala 250 ml dan 150 ml, timer, counter, pipet mohr 25 ml, 10 ml, dan 1 ml, aluminium foil, plastik HDPE, lempeng mikrokultur (96 sumur), mikropipet, pipet pasteur, gelas pengaduk, tabung vacutainer, hemasitometer, kertas saring whattman nomor 1, pipet tetes ukuran besar dan kecil, membran saring steril berukuran 0.22 µm, mikrotip, tabung eppendorf, dan cover glass. Bahan utama yang digunakan adalah biji jewawut jenis pearl millet berkulit yang dibeli di Pasar Parung. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi bertingkat tepung pearl millet sosoh 100 detik adalah larutan heksana absolut, etil asetat absolut, etanol absolut, dan akuades. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi β-glukan adalah NaOH 1 N, HCl pekat (12.06 N), CaCl2, termamyl (α-amilase), HCl 1 N, Etanol 96%, dan akuades. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pengujian aktivitas imunomodulator pada sel limfosit manusia secara in vitro adalah darah pria dewasa sehat, serum darah AB, RPMI-1640 (Sigma, USA), aquabidest, NaHCO3 anhidrous, antibiotik penisilinstreptomisin, ficoll-histopaque (Sigma, USA), phosphat buffer saline (PBS), pewarna biru trifan, larutan mitogen concavalin A (Con A), pokeweed (PKW), lipopolisakarida (LPS), 3-(4,5dimetiltiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT) (Sigma, USA), larutan HCl 37%, dan larutan isopropanol PA.
B. PROSEDUR PENELITIAN Penelitian ini terbagi menjadi lima kegiatan berbeda, yaitu kegiatan penentuan derajat sosoh untuk biji pearl millet yang tersosoh selama 100 detik, kegiatan penyosohan dan pembuatan tepung pearl millet, kegiatan ekstraksi yang terbagi menjadi dua sub-kegiatan utama, yakni kegiatan ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi dari tepung pearl millet sosoh 100 detik dan kegiatan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan dari tepung pearl millet sosoh 100 detik, kegiatan pembuatan larutan kerja ekstrak untuk kultur sel dari dua sub-kegiatan ekstraksi tersebut, dan kegiatan pengujian proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro. Gambaran akan kelima kegiatan penelitian ini digambarkan pada Gambar 6. 1. Kegiatan Penentuan Derajat Sosoh Pada kegiatan ini, biji pearl millet berkulit dengan total 900 g disiapkan untuk disosoh dengan 6 waktu sosoh berbeda, yakni 0 detik, 100 detik, 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik. Masing-masing waktu penyosohan menggunakan 150 g biji pearl millet. Biji pearl millet ditimbang sebanyak 150 gr lalu dimasukkan pada hopper (corong tempat biji dimasukkan dalam alat tersebut). Waktu sosoh dihitung dengan menggunakan timer. Timer perlu diatur dulu waktunya berdasarkan lama waktu sosoh yang dikehendaki (dalam kegiatan ini berarti 100 detik, 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik). Kegiatan penyosohan waktu tertentu tersebut dilakukan secara terpisah. Setelah timer diatur dalam keadaan siap, maka mesin dinyalakan bersamaan dengan penekanan tombol timer. Setelah proses
penyosohan selama waktu sosoh tertentu selesai, segera pisahkan produk sampingan hasil sosoh dan biji pearl millet yang telah tersosoh. Penentuan derajat sosoh memerlukan dua data utama dari kegiatan di atas untuk dimasukkan dalam perhitungannya, yaitu data bobot produk sampingan pada masing-masing waktu sosoh dan bobot produk sampingan pada waktu sosoh tertentu dimana didapatkan biji pearl millet tersosoh sempurna. Contoh ilustrasi kegiatan penentuan derajat sosoh ini disajikan pada Lampiran 4. Derajat sosoh dan rendemen sosoh dari biji serealia jenis pearl millet akan didapatkan dengan persamaan (1.1) dan (1.2).
Gambar 6. Ilustrasi kegiatan penelitian yang dilakukan
DS(%) = Σ produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh tertentu Σ produk sampingan hasil sosoh biji serealia tersosoh sempurna RS(%) = Σ biji serealia tersosoh selama waktu sosoh tertentu Σ biji serealia utuh Keterangan: DS = Derajat sosoh (%) RS = Rendemen biji serealia tersosoh (%) (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)
x 100% (1.1)
x 100% (1.2)
2. Kegiatan Penyosohan dan Pembuatan Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 detik a. Kegiatan penyosohan biji pearl millet selama 100 detik (Yanuwar, 2009) Kegiatan penyosohan biji pearl millet selama 100 detik sama dengan kegiatan yang dilakukan dengan kegiatan penentuan derajat sosoh yang terilustrasikan pada Lampiran 4 (diagram alir nomor 2). Alat yang digunakan adalah satake grain mill dengan jumlah biji pearl millet yang disosoh adalah 150 g dan waktu penyosohannya adalah 100 detik. b. Kegiatan pembuatan tepung pearl millet tersosoh 100 detik (Andriani, 2008) Sejumlah biji pearl millet yang telah tersosoh selama 100 detik kemudian segera diolah menjadi tepung menggunakan alat pin disc mill. Kegiatan pembuatan tepung ini dilakukan agar memudahkan proses ekstraksi yang akan dilakukan pada kegiatan penelitian ketiga. Pembuatan tepung pearl millet dilakukan dengan menggunakan metode hasil modifikasi dari metode kontrol Andriani (2008). Proses pembersihan biji pearl millet dari serpihan kulit hasil kegiatan penyosohan dan proses pengayakan pada saringan 80 mesh dilakukan dalam metode kontrol Andriani (2008), sedangkan dalam penelitian ini dilakukan proses pembersihan dan tidak dilakukan proses pengayakan tersebut. Jadi, tepung pearl millet yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan hasil pengolahan biji pearl millet yang telah disosoh selama 100 detik menggunakan alat satake grain mill, dilakukan proses pembersihan dengan memisahkan biji pearl millet yang telah tersosoh dengan serpihan kulit hasil penyosohan, dan penggilingan biji pearl millet yang telah tersosoh selama 100 detik menjadi tepung menggunakan alat pin disc mill. Ilustrasi kegiatan ini digambarkan pada Gambar 7.
Biji pearl millet
Penyosohan dengan Satake Grain Mill (100 detik)
Pembersihan biji pearl millet tersosoh dari serpihan kulit
Penggilingan dengan Pin Disc Mill
Tepung pearl millet sosoh 100 detik Gambar 7. Diagram alir kegiatan pengolahan biji pearl millet menjadi tepung (sosoh 100 detik)
3. Kegiatan Ekstraksi Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 Detik a. Ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi Tahapan ekstraksi bertingkat tepung jewawut ini didasarkan atas penggunaan metode yang terdapat dalam penelitian Fitrial (2008), namun dengan bahan tepung yang berbeda. Ekstraksi bertingkat tepung jewawut dilakukan dengan metode maserasi yang dilakukan berdasarkan tingkat kepolaran pelarut, yaitu heksana (nonpolar), etil asetat (semipolar), dan alkohol (polar).
Tepung jewawut sebanyak 100 g diekstrak dengan pelarut heksana absolut dan diletakkan pada shaker dengan suhu ruang selama 24 jam. Kemudian, campuran tersebut disaring menggunakan saringan vakum dan akan didapatkan filtrat heksana (campuran pelarut heksana dan komponen terlarut yang larut dalam pelarut heksana) dan substrat (berupa endapan padatan yang tidak lolos filterisasi). Filtrat heksana diuapkan dengan rotavapor pada suhu 400C dan sisa pelarut heksana dihembuskan dengan gas nitrogen, kemudian akan didapatkan ekstrak dari kegiatan ini. Ekstrak yang diperoleh digunakan sebagai sampel untuk pengujian proliferasi sel limfosit secara in vitro. Substrat heksana berupa padatan yang tidak lolos dalam filterisasi kemudian digunakan sebagai sampel untuk ekstraksi dengan pelarut etil asetat dalam keadaan yang sama dengan ekstraksi heksana. Begitu pun dengan ekstraksi menggunakan pelarut alkohol yang merupakan kelanjutan setelah perlakuan dengan etil asetat. Ilustrasi ekstraksi bertingkat ini digambarkan pada Lampiran 5. Perbandingan tepung jewawut yang diekstraksi dengan pelarut adalah 1:4 pada setiap perlakuan. Untuk perbandingan, dilakukan pengekstrasian dengan akuades menggunakan proses esktraksi yang sama dengan ketiga pelarut sebelumnya dan ditunjukkan pada Lampiran 6. b. Ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan (Bhatty, 1995) Tepung biji pearl millet yang telah disosoh selama 100 detik sebanyak 10 g diekstrak dengan larutan NaOH 1N dengan perbandingan 1:50 (1 g/ 50 ml). Kemudian diaduk mekanis dengan stirer selama 1 jam pada suhu kamar dan disentrifugasi dengan kecepatan 6000 g selama 15 menit. Bagian pelet dan supernatan dipisahkan (pelet I dan supernatan I). Pelet I kemudian diekstraksi kembali dengan NaOH 1N seperti tahapan sebelumnya dan disentrifugasi kembali, selanjutnya akan didapatkan pelet II dan supernatan II. Supernatan I dan II dicampur dan diatur pH larutan menjadi 6.5 dengan penambahan HCl. Setelah itu, CaCl2 (7 mg/100 ml) dan α-amilase (0.1 ml/ 100 ml) ditambahkan. Kemudian, campuran larutan tersebut diletakkan dalam shaker waterbath pada suhu 960C selama 1 jam dan didinginkan hingga suhu kamar dan pH kembali diatur menjadi 4.5, pelet III dan supernatan III kembali dipisahkan dengan sentrifugasi. Setelah sentrifugasi, etanol 96% ditambahkan ke dalam larutan supernatan III sampai konsentrasi total campuran larutan adalah 50% dan diinkubasi semalam pada suhu 40C. Untuk memisahkan pelet IV dan supernatan IV diperlukan sentrifugasi dalam kondisi yang sama. Kemudian, pelet IV tersebut diresuspensi dengan akuades dan dicuci dengan etanol 50% sebanyak 2 kali pencucian, disentrifugasi kembali, pelet dihomogenasi dengan akuades, dan dikeringbekukan, lalu akan didapatkan ekstrak β-glukan. Ilustrasi proses ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan digambarkan pada Lampiran 7.
4. Kegiatan Pembuatan Larutan Kerja Ekstrak untuk Kultur Sel a. Perhitungan rendemen ekstrak Setiap hasil ekstrak yang didapat segera dihitung bobot ekstrak dan rendemennya. Setelah didapatkan besar rendemennya, barulah konsentrasi ekstrak di kultur sel dapat ditentukan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung rendemen ekstrak heksana, ekstrak akuades, dan ekstrak β-glukan adalah persamaan (4.a.1), sedangkan persamaan yang digunakan untuk menghitung ekstrak etil asetat dan etanol adalah persamaan (4.a.2) dan (4.a.3).
Rendemen ekstrak heksana/ akuades/ β-glukan (%) = Bobot ekstrak x 100% Bobot tepung awal
(4.a.1)
Rendemen ekstrak etil asetat (%) = Bobot ekstrak etil asetat x 100% Bobot substrat heksana
(4.a.2)
Rendemen ekstrak etanol (%) = Bobot ekstrak etanol Bobot substrat etil asetat
(4.a.3)
x 100%
b. Perhitungan konsentrasi ekstrak Konsentrasi masing-masing larutan kerja ekstrak ditentukan berdasarkan asumsi konsumsi 100 g/hari tepung jewawut dan besar rendemen ekstraknya yang langsung diaplikasikan terserap semua dalam 6 liter darah. Setiap konsentrasi ekstrak tersebut divariasikan menjadi setengah kali, satu kali, dan dua kali konsentrasi ekstrak dalam darah. Perhitungan yang berisi korelasi antara rendemen ekstrak heksana, ekstrak etil asetat, ekstrak etanol, ekstrak akuades, dan ekstrak β-glukan dengan asumsi konsumsi tepung pearl millet per hari ditunjukkan pada persamaan (4.a.4). Perhitungan besar konsentrasi kelima ekstrak tersebut yang terserap dalam 6 liter darah dan diaplikasikan dalam kultur sel ditunjukkan pada (4.a.5).
Bobot asumsi konsumsi ekstrak tepung pearl millet per hari = Rendemen ekstrak x 100 g/hari Konsentrasi ekstrak dalam darah = Bobot asumsi konsumsi ekstrak tepung pearl millet per hari 6 liter darah
(4.a.4)
(4.a.5)
c. Pembuatan larutan kerja ekstrak untuk kultur sel Prosedur pembuatan larutan kerja ekstrak heksana, etil asetat, etanol, akuades, dan βglukan telah dibuat secara terperinci dalam Lampiran 8, Lampiran 9, Lampiran 10, Lampiran 11, dan Lampiran 12.
5. Kegiatan Pengujian Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara In Vitro a. Persiapan media kultur sel (modifikasi Ramadhani, 2009) Media yang digunakan untuk kultur sel adalah RPMI-1640 (telah mengandung Lglutamine). Bubuk RPMI sebanyak 10.42 g dilarutkan dalam aquabidest, sehingga diperoleh 1 liter larutan RPMI-1640. Kemudian ditambahkan 2 g NaHCO3 (sebagai buffer) dan 1% larutan antibiotik dalam larutan RPMI-1640 tersebut. Penelitian Ramadhani (2009) menggunakan larutan antibiotik gentamycin, namun dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah larutan antibiotik penisilin-streptomisin. Campuran larutan tersebut
disterilisasi dengan membran steril 0.22 µm. Komposisi media RPMI-1640 disajikan pada Lampiran 13. b. Isolasi sel limfosit manusia (modifikasi Yanuwar, 2009; Pertiwi, 2009) Sel limfosit diisolasi dari darah seorang pria dewasa sehat. Kegiatan pendonoran darah dilakukan di klinik Farfa Darmaga oleh seorang perawat. Darah diambil dari seorang responden secara aseptis dengan syringe dan jarum butterfly nomor 23 steril sekali pakai yang dihubungkan dengan tabung vacutainer mengandung antikoagulan EDTA. Jumlah darah yang diambil adalah 2 x 15 ml. Sampel darah secepatnya dibawa ke laboratorium untuk pengerjaan prosedur isolasi sel limfosit. Sampel darah dalam vacutainer selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi yang dilakukan secara aseptis di dalam laminar hood untuk menjamin keaseptisan proses. Tahap pertama dari prosedur isolasi sel limfosit adalah pemisahan komponen selular dengan sentrifugasi sampel darah pada 1500 rpm selama 10 menit. Bagian darah yang lebih berat (eritrosit) berada di bagian bawah (warna merah), sedangkan serum darah terpisah di bagian atas (warna kuning). Lapisan buffycoat yang sebagian besar berisi sel-sel darah putih, khususnya sel limfosit, berada diantara kedua lapisan tersebut. Lapisan buffycoat tersebut selanjutnya dipindahkan ke tabung sentrifugasi steril baru dengan sebelumnya membuang cairan serum yang bewarna kekuningan sebanyak ± 2-5 ml. Bagian lapisan buffycoat yang diambil berjumlah ± 5 ml termasuk bagian serum dan sedikit bagian bewarna merah muda di atas eritrosit. Kemudian, tambahkan sejumlah RPMI dengan jumlah yang sama (1:1). Kedua larutan tersebut selanjutnya dicampur dengan cara dikocok secara manual hingga homogen. Tahap kedua dari prosedur isolasi sel limfosit adalah memisahkan sel limfosit dari selsel darah putih lainnya ataupun dari sel darah merah yang masih ada dalam suspensi sel tersebut. Tahap kedua ini dilakukan dengan menyiapkan tabung sentrifugasi kosong steril yang kemudian diisikan 3 ml larutan ficoll-hystopaque (densitas 1.77 ± 0.001 g/ml) dan kemudian melewatkan lapisan buffycoat melalui larutan ficoll-hystopaque tersebut secara perlahan dengan cara dialirkan melalui dinding tabung sehingga terbentuk dua lapisan. Tabung tersebut kemudian disentrifugasi pada 2500 rpm selama 30 menit. Sel darah putih yang tidak bergranula atau agranulosit, seperti sel limfosit dan monosit mempunyai densitas lebih rendah dari larutan ficoll-hystopaque sehingga posisinya akan berada di atas permukaan yang terlihat seperti lapisan cincin putih. Sel darah merah dan granulosit akan terpisah di dasar tabung sentrifugasi karena berdensitas lebih tinggi. Tahap ketiga adalah pengambilan lapisan cincin putih yang berisi sel limfosit dengan mikropipet secara perlahan dan dipindahkan ke tabung sentrifugasi baru yang steril. Suspensi sel limfosit tersebut selanjutnya dicuci dengan penambahan 5 ml media RPMI. Campuran ini kemudian disentrifugasi pada kecepatan 1500 rpm selama 10 menit dan dicuci sebanyak dua kali. Setelah itu, supernatan dibuang kemudian suspensi sel limfosit ditambahkan 6 ml media RPMI dan selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah sel limfosit awal. c. Uji keberadaan sel limfosit dengan pewarna biru tripan (modifikasi Yanuwar, 2009) Uji keberadaan sel limfosit dilakukan dengan menggunakan pewarna biru trifan. Perbandingan antara jumlah larutan sel limfosit dan RPMI dengan pewarna biru trifan adalah 1:1 pada sumur lempeng mikrokultur, dengan jumlah 20 µl masing-masing, sehingga didapatkan faktor pengencerannya adalah 2 kali. Setelah didiamkan selama satu
menit, jumlah sel dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Uji keberadaan sel limfosit ini dilakukan dengan menghitung jumlah sel dengan menggunakan pewarna biru trifan yang dimaksudkan untuk menentukan viabilitas sel yang akan diuji, yaitu sebelum dilakukan pengujian sel harus dalam kondisi hidup sebesar 95%. Untuk mengetahui angka ini, maka perlu dihitung pula jumlah sel yang mati atau rusak pada area yang sama (Puspawati, 2009). Selain viabilitas sel berdasarkan persentase, perlu diketahui juga jumlah konsentrasi sel yang akan dikultur. Jumlah konsentrasi sel tersebut sebaiknya sekitar 1-4 x 106 sel/ml (Bellanti, 1993) dan ditentukan melalui asumsi bahwa sel limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya selama waktu inkubasi 72 jam (Paul, 1972). Jika konsentrasi sel yang terhitung rendah atau kurang dari 1.50 x 105 sel/ml, maka sel tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh (Bellanti, 1993). Sel limfosit yang hidup akan tampak transparan dan berbentuk benar-benar bulat, sedangkan sel limfosit yang rusak atau mati akan berbentuk tidak beraturan atau berwarna biru seluruhnya. Perhitungan sel limfosit hidup dan mati dilakukan pada dua area kotak besar yang berada di pojok dan saling bersebrangan. Persamaan (5.1) digunakan untuk menghitung konsentrasi sel yang terdapat pada suspensi sel limfosit hasil kegiatan isolasi sel limfosit. Kegiatan penghitungan ini dilakukan dalam waktu kurang dari 3 menit.
Jumlah sel limfosit/ml = Ā x FP x 104 sel/ml
(5.1)
Keterangan: Ā = Rata-rata jumlah sel terhitung dari dua area kotak besar FP = Faktor pengenceran (2), diperoleh dari penambahan pewarna biru trifan : suspensi sel yaitu 1:1 104 = Faktor koreksi volume hemasitometer yang setiap kotak sekundernya berukuran 1 x 1 mm dan kedalaman 0.1 mm, sehingga volumenya 0.1 mm3 (1 ml = 1 cm3 = 1000 mm3)
Setelah diketahui jumlah viabilitas sel limfosit yang telah diisolasi, maka selanjutnya suspensi sel limfosit tersebut akan dikulturkan bersama larutan RPMI, larutan mitogen, dan larutan kerja ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang telah dibuat sebelumnya. Tahapan ini merupakan tahapan pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit dengan MTT. d. Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit dengan MTT (modifikasi Yanuwar, 2009) Suspensi limfosit dalam media lengkap sebanyak 80 µl dimasukkan ke dalam masingmasing sumur pada lempeng mikrokultur, kemudian masing-masing sumur ditambah dengan 10 µl larutan serum darah AB dan 20 µl larutan kerja ekstrak. Untuk kontrol positif, sel limfosit dikultur dengan 20 µl larutan mitogen dengan konsentrasi 9.09 µg/ml pada kultur sel. Penggunaan larutan mitogen sebagai kontrol positif pada pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat dengan ekstrak β-glukan memiliki perbedaan. Pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat menggunakan larutan mitogen pokeweed (PKW) dan lipopolisakarida (LPS), sedangkan pengujian ekstrak β-glukan menggunakan kedua larutan mitogen sebelumnya dan concavalin A (Con A).
Sebagai kontrol standar, suspensi sel limfosit dikultur dengan media RPMI, lalu semuanya diinkubasi dalam inkubator pada 370C, CO2 5%, O2 95% dan RH 96% selama 3 x 24 jam. Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian kali ini secara menyeluruh terbagi menjadi 3 macam, yakni perlakuan dengan kontrol standar, perlakuan dengan kontrol positif, dan perlakuan dengan larutan kerja ekstrak. Agar mudah diingat, pada waktu peletakan kultur ke sumur dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap jenis ekstrak, mitogen dan kontrol standar untuk menghindari kesalahan pada waktu pembacaan absorbansi. Peta sumur pada microplate dapat dilihat pada Lampiran 14 untuk pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat dan Lampiran 15 untuk pengujian ekstrak β-glukan. Empat jam sebelum masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel ditambahkan 10 µl larutan pereaksi garam tetrazolium (MTT) 0.5% pada setiap sumur. Larutan MTT 0.5% dibuat dengan melarutkan bubuk MTT sebanyak 0.25 g dalam 50 ml PBS dan diaduk hingga homogen. Larutan kemudian disterilisasi dengan membran sterilisasi diameter 0.22 µm. Inkubasi dilanjutkan kembali hingga tercapai masa inkubasi 3 x 24 jam. Setelah masa inkubasi berakhir, pada masing-masing sumur kultur sel ditambahkan larutan HCl dalam isopropanol 0.04 N sebanyak 80 µl untuk melarutkan kristal formazan yang terbentuk. HCl-isopropanol 0.04 N dibuat dengan cara menambahkan HCl 37% sebanyak 23.4 µl pada 8.97 ml isopropanol PA. Tahap akhir adalah pengukuran nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm. Dari hasil pengukuran absorbansi dapat dihitung aktivitas proliferasi yang dinyatakan sebagai nilai IS (indeks stimulasi) menggunakan persamaan (5.2). IS = OD yang distimulasi dengan ekstrak atau mitogen OD pada kontrol standar
(5.2)
Keterangan: IS = Indeks Stimulasi OD = Optical Density (absorbansi) pada panjang gelombang 570 nm
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DERAJAT SOSOH DAN RENDEMEN BIJI PEARL MILLET TERSOSOH Derajat sosoh adalah tingkat pelepasan lapisan aleuron dari biji serealia selama proses penyosohan. Jika derajat sosoh 80%, berarti masih ada 20% lapisan aleuron yang menempel pada biji serealia, sedangkan jika derajat sosoh mencapai 100% berarti tidak ada lapisan aleuron yang menempel. Makin tinggi derajat sosoh makin bersih penampakan biji serealia. Namun, penyosohan yang lebih lama dengan tujuan untuk lebih mengilapkan biji serealia akan menurunkan kandungan proteinnya (Anonim, 2008). Sebelumnya, dalam penelitian Yanuwar (2009) telah ditemukan waktu sosoh optimum biji pearl millet adalah 100 detik berdasarkan aktivitas antioksidan dan evaluasi sensori produk bubur pearl millet yang terbaik. Namun, waktu sosoh ini agak sulit untuk langsung diaplikasikan dalam beberapa industri pangan karena pada umumnya mereka menentukan standardisasi penyosohan berdasarkan derajat sosohnya. Tahapan penentuan derajat sosoh pada penelitian berguna untuk memberikan informasi baru terhadap aspek penyosohan biji pearl millet sehingga dapat diaplikasikan secara baku untuk keperluan industri pangan. Selain derajat sosoh, rendemen biji tersosoh juga perlu diketahui sebagai informasi jumlah biji jewawut hasil sosoh yang selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengolahan biji jewawut menjadi pangan tertentu. Jenis jewawut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pearl millet dengan pertimbangan varietas ini dinilai cukup produktif dan cukup banyak ditanam di Indonesia. Selain itu varietas ini tidak perlu diairi dan dipupuk secara intensif (Yanuwar, 2009). Penentuan derajat sosoh untuk waktu sosoh 100 detik dilakukan dengan melakukan penyosohan 100 detik dan mencari waktu sosoh biji pearl millet tersosoh sempurna. Keadaan biji tersosoh sempurna ini ditunjukkan dengan tidak adanya lagi lapisan kulit yang membungkus biji. Oleh sebab itu, sejumlah biji pearl millet disosoh pada enam waktu sosoh yang berbeda, yakni 0 detik (tidak disosoh), 100 detik (waktu sosoh optimum berdasarkan Yanuwar (2009)), 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik. Hal ini dilakukan guna mencari waktu sosoh yang memberikan penampakan biji tersosoh sempurna, yang adalah pada waktu sosoh 300 detik. Hasil produk sampingan dari proses penyosohan ditimbang secara terpisah dengan biji pearl millet yang telah tersosoh. Selanjutnya masing-masing data produk sampingan di setiap waktu sosoh dan produk sampingan dari penyosohan selama 300 detik dimasukkan di dalam persamaan (1.1) untuk mendapatkan derajat sosoh dalam persentase. Contoh perhitungan derajat sosoh dan rendemen biji pearl millet dengan waktu sosoh 100 detik disajikan pada Lampiran 16. Perolehan persentase derajat sosoh yang diperoleh dalam penelitian ini untuk waktu sosoh 0 detik, 100 detik, 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik secara berurutan adalah 0.00%, 27.27%, 45.45%, 63.63%, dan 100%. Derajat sosoh untuk biji pearl millet pada waktu sosoh 100 detik adalah sebesar 27.27% yang berarti masih ada 72.73% lapisan aleuron yang masih melapisi biji pearl millet. Hal ini membuktikan perolehan data aktivitas antioksidan yang dilakukan dalam penelitian Yanuwar (2009) karena pada lapisan aleuron tersebut masih terdapat banyak komponen bioaktif yang bermanfaat sebagai senyawa antioksidan, seperti senyawa-senyawa asam fenolik dan golongan flavonoid (Dykes dan Rooney, 2006). Rendemen biji tersosoh selama 100 detik adalah sebesar 90.67% yang menunjukkan masih banyaknya jumlah biji jewawut tersosoh yang dapat dimanfaatkan selanjutnya dalam proses pengolahan pangan, yakni 136 g biji jewawut tersosoh dari 150 g biji jewawut awal yang masuk dalam alat penyosoh. Penampakan biji-biji pearl millet yang
mengalami penyosohan tersebut diilustrasikan pada Lampiran 17, perolehan datanya secara lengkap dirangkum pada Tabel 12.
tS (s)
WA (g)
0
150
Tabel 12. Penentuan derajat sosoh biji pearl millet WS WD (g) WH RS(%) RD(%) DS (%) (g) (g) 0 0 0 0.00 0.00 0.00
100
150
136
12
2
90.67
8.00
27.27
72.73
150
150
128
20
2
85.33
13.33
45.45
54.55
200
150
120
28
2
80.00
13.33
63.63
36.36
250
150
120
28
2
80.00
13.33
63.63
36.36
300
150
102
44
4
68.00
29.33
100.00
0.00
JA (%) 100.00
Keterangan: tS (s) : Waktu Sosoh dalam detik WA (g) : Bobot awal biji pearl millet dalam g WS (g) : Bobot biji pearl millet sosoh dalam g WD (g) : Bobot produk sampingan dalam g WH (g) : Bobot yang hilang dalam g RS(%) : Rendemen biji pearl millet tersosoh dalam g RD(%) : Rendemen produk sampingan dalam g DS (%) : Derajat sosoh dalam persen JA (%) : Jumlah persentase lapisan aleuron yang masih melapisi biji pearl millet
B. EKSTRAKSI TEPUNG PEARL MILLET 1. Hasil Ekstraksi Bertingkat Tepung Pearl Millet Ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen-komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai (Leniger & Beverloo, 1975). Menurut Sudjadi (1986), ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam sampel terekstrak. Ekstraksi bertingkat merupakan tahapan ekstraksi yang didasarkan pada penggunaan endapan tepung hasil ekstrak beberapa kali dengan jenis pelarut yang berbeda setelah proses ekstraksi dengan pelarut yang pertama. Proses ini biasanya menggunakan beberapa jenis pelarut dengan polaritas berbeda (nonpolar dan polar) yang bertujuan untuk mengekstrak komponen terlarut dengan polaritas berbeda pula. Proses ekstraksi bertingkat dalam penelitian ini dipasangkan dengan metode maserasi (Fitrial, 2008). Sudjadi (1986) menyatakan bahwa prinsip metode maserasi digunakan untuk mengekstrak zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam cairan pelarut yang sesuai selama waktu tertentu yang diinginkan (minimal satu hari) pada suhu ruang serta terlindung dari cahaya dan udara. Cairan pelarut akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel kemudian isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan. Pengadukan dalam penelitian ini diterapkan dengan penggunaan shaker. Setelah itu, campuran yang diperoleh dipisahkan dengan filterisasi dan filtratnya dipekatkan untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut.
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekstraksi bertingkat dengan teknik maserasi. Pelaksanaan proses ekstraksi ini dilakukan terhadap tepung pearl millet yang diperoleh dari hasil penyosohan biji pearl millet selama 100 detik menggunakan alat satake grain mill dan penggilingan biji tersebut dengan pin disc mill yang kemudian direndam dalam pelarut ekstrak (heksana, etil asetat, etanol, dan akuades) selama semalam dengan shaker pada suhu ruang dan terlindung dari udara dan cahaya. Ekstrak dengan pelarut akuades digunakan sebagai pembanding pengamatan pengaruh pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia dari ketiga ekstrak sebelumnya dan merupakan pendekatan terhadap keadaan nyata sehari-hari secara umum konsumsi biji atau tepung pearl millet, baik tersosoh atau tidak, karena secara tradisional pengkonsumsiannya menggunakan pelarut air. Pelarut etanol digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi dibandingkan akuades sehingga akan lebih banyak melarutkan komponen polar dan merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik (Somaatmaja, 1981). Selain itu, menurut Depkes (2000) dinyatakan bahwa untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan. Tahapan ekstraksi bertingkat yang pertama adalah dengan menimbang 100 g tepung pearl millet tersosoh 100 detik dan dilarutkan dengan 400 ml pelarut heksana dengan kondisi teknik maserasi. Pelarut ini dapat melarutkan semua komponen bioaktif dan komponen lain yang tergolong sebagai senyawa nonpolar. Setelah masa maserasi ekstraksi heksana selesai, campuran tersebut pun dipisahkan dengan menggunakan vacuum filter dan kertas saring whattman nomor 1. Padatan yang tidak lolos disebut sebagai substrat heksana dengan jumlah 96.7687 g. Substrat ini selanjutnya dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan kemudian diekstraksi dengan pelarut kedua, etil asetat. Sedangkan, filtrat heksana hasil proses filterisasi campuran ekstraksi dengan pelarut heksana dievaporasi dengan evaporator suhu 400C dan dihembuskan dengan N2 untuk menghilangkan komponen pelarut. Kegiatan ini akan menghasilkan ekstrak heksana dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik. Bobot jumlah ekstrak heksana yang diperoleh adalah 2.6984 dengan rendemen ekstrak adalah 2.70%. Tahap ekstraksi bertingkat yang kedua adalah dengan melarutkan 96.7687 g substrat heksana dengan 387.07 ml pelarut etil asetat. Proses ekstraksi dengan pelarut etil asetat dapat melarutkan komponen bioaktif dan komponen lain yang tergolong dalam senyawa semipolar. Tahapan yang selanjutnya dilakukan untuk memperoleh ekstrak etil asetat sama dengan ekstraksi heksana dengan menghasilkan 96.4650 g substrat etil asetat dan 0.3651 g ekstrak etil asetat dengan rendemen ekstrak adalah 0.38%. Tahap ekstraksi bertingkat yang ketiga adalah dengan melarutkan 96.4650 g substrat etil asetat dengan 385.86 ml pelarut etanol. Pelarut etanol dapat melarutkan berbagai komponen bioaktif dan komponen lainnya yang tergolong senyawa polar. Tahapan ekstraksi ini menghasilkan sejumlah substrat etanol yang selanjutnya dibuang karena tidak digunakan kembali dan 1.8717 g ekstrak etanol dengan rendemen ekstrak adalah 1.94%. Pelarut akuades tidak termasuk di dalam tahapan ekstraksi bertingkat, tetapi merupakan pembanding menggunakan 100 g tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang baru dan diekstraksi dengan teknik yang sama. Jumlah ekstrak akuades yang didapatkan adalah 14.7762 g dengan rendemen ekstrak adalah 14.78%. Akuades merupakan pelarut komponen polar dan komponen lainnya seperti karbohidrat, protein larut air, serat larut air, vitamin larut air serta berbagai senyawa lainnya. Komponen senyawa yang terlarut dalam air memiliki kemungkinan mengandung komponen senyawa yang dapat terlarut dalam larutan etanol juga. Beberapa
senyawa terlarut dari tepung pearl millet yang telah diketahui dapat larut dalam pelarut heksana, etanol, dan akuades menurut beberapa sumber literatur disajikan pada Lampiran 18. Tepung pearl millet tersosoh 100 detik yang diekstrak tersebut harus terlindungi dari cahaya dan udara langsung guna mencegah reaksi yang tidak diinginkan terjadi akibat katalisis oleh cahaya atau kandungan udara sekitar. Reaksi yang tidak diinginkan ini dapat mengakibatkan perubahan warna dan rusaknya beberapa komponen bioaktif yang tidak tahan terhadap paparan cahaya. Oleh sebab itu, campuran yang terdapat di dalam erlenmeyer ditutup rapat keseluruhan tubuhnya menggunakan plastik hitam dan bagian mulut erlenmeyer ditutup menggunakan aluminium foil (Fitrial, 2008). Perolehan data lengkap bobot ekstrak dan rendemen ekstrak yang diperoleh dari tahapan ekstraksi ini disajikan pada Tabel 13. Rincian cara perhitungan untuk mendapatkan rendemen ekstrak hasil ekstraksi bertingkat disajikan pada Lampiran 19.
Tabel 13. Ekstrak hasil ekstraksi bertingkat tepung pearl millet Pelarut BT (g) Vp (ml) BE (g) RE (%) Heksana
100
400
2.6984
2.70%
Etil asetat
96.7687
387.07
0.3651
0.38%
Etanol
96.4650
385.86
1.8717
1.94%
Akuades
100
400
14.7762
14.78%
Keterangan: BT (g) : Berat tepung dalam g Vp (ml) : Volume pelarut dalam ml BE (g) : Bobot ekstrak dalam g (bb) RE (%) : Rendemen ekstrak dalam persen 2. Hasil Ekstraksi dan Purifikasi Senyawa β-Glukan Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 Detik Ekstrak β-glukan yang diperoleh dari teknik ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan oleh Bhatty (1995) terhadap 10 g tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik menghasilkan 0.44 g ekstrak dengan rendemen ekstrak adalah 4.40%. Hasil ekstraksi tersebut dapat digunakan untuk studi nutrisi dan fungsionalitas pada aplikasi pangan, industri hidrokoloid, dan pharmaceuticals (Novak dan Vetvicka, 2008).
C. KONSENTRASI EKSTRAK UNTUK PENGUJIAN PROLIFERASI SEL LIMFOSIT PADA KULTUR SEL Konsentrasi ekstrak yang dikulturkan harus dihitung terlebih dahulu berdasarkan jumlah rendemen masing-masing ekstrak yang diperoleh, asumsi konsumsi tepung pearl millet, dan asumsi terserapnya ekstrak dalam 6 liter darah. Setelah didapatkan besar konsentrasi dalam 6 liter darah selanjutnya konsentrasi tersebut divariasikan menjadi setengah kali, satu kali, dan dua kali dari konsentrasi ekstrak dalam 6 liter darah untuk larutan kerja ekstrak hasil ekstraksi bertingkat, sedangkan konsentrasi larutan kerja ekstrak β-glukan yang digunakan untuk kultur sel adalah sama dengan konsentrasi ekstrak dalam darah. Salah satu contoh perhitungan konsentrasi ekstrak, yakni ekstrak akuades, dalam 6 liter darah dan variasi konsentrasinya disajikan pada Lampiran 20.
Konsentrasi larutan kerja ekstrak terhitung tersebut seharusnya merupakan nilai konsentrasi yang terdapat dalam kultur sel. Namun, dalam penelitian ini terdapat kesalahan teknis pembuatan larutan kerja sehingga besar konsentrasi ekstrak dalam kultur sel tidak sesuai dengan nilai konsentrasi ekstrak secara teoritis. Konsentrasi ekstrak secara teoritis yang disajikan pada Tabel 14. Nilai konsentrasi ekstrak heksana, etil asetat, etanol, dan akuades menjadi lebih kecil pada kultur sel, sedangkan untuk konsentrasi ekstrak β-glukan menjadi lebih besar pada kultur sel, jika dibandingkan dengan nilai secara teoritis. Data konsentrasi ekstrak yang sebenarnya terdapat dalam kultur sel pada penelitian ini disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Konsentrasi ekstrak pada kultur sel secara teoritis Variasi konsentrasi (µg/ml) Ekstrak
Heksana
Setengah kali konsentrasi dalam darah 224.87
Satu kali konsentrasi dalam darah 449.73
Dua kali konsentrasi dalam darah 899.47
Etil asetat
31.44
62.88
125.76
Etanol
161.69
323.38
646.76
Akuades
1231.35
2462.70
4925.40
β-glukan
-
733.33
-
Tabel 15. Konsentrasi ekstrak pada kultur sel Ekstrak Heksana
Variasi konsentrasi ekstrak pada kultur sel (µg/ml) Setengah kali Satu kali Dua kali konsentrasi konsentrasi konsentrasi dalam darah dalam darah dalam darah 40.88 81.77 163.54
Etil asetat
5.72
11.43
22.87
Etanol
29.40
58.80
117.59
Akuades
223.88
447.76
895.53
β-glukan
-
6666.54
-
D. PENGARUH EKSTRAK TERHADAP PROLIFERASI SEL LIMFOSIT MANUSIA SECARA IN VITRO Teknik pengujian pengaruh ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro membutuhkan kondisi kultur sel yang sama seperti lingkungan dalam tubuh manusia. Hal ini bertujuan agar proses biologis yang terjadi di dalam kultur sel berlangsung mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh (in vivo). Malole (1990) menyatakan bahwa pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh tersebut diperoleh dengan mengaplikasikan faktor-faktor media pertumbuhan, pH, dan fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel. Menurut Harrison (1997), pengamatan proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki keuntungan bila dibandingkan secara in vivo. Keuntungan metode ini adalah keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena dapat diamati secara langsung.
Sel limfosit diperoleh dari darah donor pria dewasa sehat. Darah dimasukkan dalam tabung vacutainer steril kemudian dilakukan pemisahan limfosit yang merupakan komponen agranulosit dari komponen granulosit. Pemisahan tersebut dilakukan dengan menggunakan larutan ficoll hystopaque yang memiliki densitas 1.77 ± 0.001 g/ml, sehingga mampu menahan sel-sel agranulosit yang memiliki densitas rendah seperti limfosit, sedangkan sel-sel granulosit yang memiliki densitas lebih tinggi akan menembus ficoll. Metode pemisahan dengan menggunakan larutan ficoll dapat memisahkan lebih dari 90% limfosit hidup yang terkandung dalam darah (Freshney, 1994). Setelah proses isolasi sel limfosit telah selesai, maka selanjutnya jumlah awal sel limfosit yang akan dikulturkan perlu diketahui viabilitasnya. Jumlah sel limfosit awal sebelum dikulturkan pada kegiatan pengujian ekstrak tepung pearl millet hasil ekstraksi bertingkat terhadap proliferasi sel limfosit adalah 1.03 x 106 sel/ml, sedangkan pada pengujian ekstrak β-glukan adalah 1.10 x 106 sel/ml. Kedua jumlah sel ini masih berada dalam kisaran jumlah sel yang baik untuk dikultur menurut Bellanti (1993), yakni sekitar 1-4 x 106 sel/ml. Perbedaan data tersebut disebabkan pelaksanaan pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit manusia secara in vitro dilakukan pada waktu yang berbeda. Contoh perhitungan konsentrasi sel limfosit awal sebelum dikulturkan ditunjukkan pada Lampiran 21. Kegiatan perhitungan jumlah sel limfosit awal ini diperlukan untuk mengetahui viabilitas sel limfosit yang akan dikulturkan dengan batasan 95% sel adalah hidup. Viabilitas sel limfosit yang didapatkan dalam kegiatan pengujian ekstrak hasil ekstraksi bertingkat adalah 98.10% dan dalam kegiatan pengujian ekstrak β-glukan adalah 98.21%. Hasil perhitungan ini telah memenuhi persyaratan sehingga selanjutnya dapat dikerjakan kegiatan pengkulturan sel limfosit dengan larutan RPMI, mitogen, dan kelima ekstrak. Limfosit merupakan salah satu sel imun dari kelompok sel darah putih yang bertanggung jawab terhadap pertahanan tubuh manusia untuk melawan mikroorganisme patogen, virus, dan benda asing lainnya yang tidak sesuai dengan kondisi fisiologis tubuh. Kemampuan limfosit tersebut juga berfungsi penjaga kesehatan tubuh manusia (Kresno, 2001). Proliferasi merupakan salah satu bentuk aktivitas sel hidup. Pada sel limfosit, proliferasi merupakan fungsi dasar biologis limfosit dan respon proliferatif secara in vitro yang dapat menggambarkan fungsi limfosit serta status imun tubuh suatu individu manusia. Kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan. Jika sel limfosit dikultur dengan penambahan mitogen ataupun sengaja diberi antigen yang mengandung beberapa komponen bioaktif yang dapat menstimulir proliferasinya, maka limfosit akan memberikan respon dengan cara berproliferasi atau memperbanyak diri. Proliferasi sel limfosit itu ditunjukkan melalui indeks stimulasi. Nilai indeks stimulasi yang diperoleh merupakan rataan dari beberapa ulangan (Kresno, 2001; Baratawidjaja, 2006). Mitogen PKW berasal dari tanaman pokeweed (Phytolacca americana) dengan struktur molekul polimerik dengan ligan di N-asetilkitobiose dan baik untuk menstimulir proliferasi sel B maupun sel T (Kuby, 1997), sedangkan mitogen LPS berasal dari komponen dinding sel bakteri gram negatif seperti Salmonella typhii ataupun E. coli yang baik untuk menstimulir proliferasi sel B (Baratawidjaja, 2006). Mitogen Con A merupakan mitogen yang berupa protein dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) yang berikatan dengan gula yang mengandung α-D-mannose atau αD-glucose (Kuby, 1992). Mitogen ini memiliki peran dalam memicu proliferasi sel T (Baratawidjaja, 2006).
1. Pengaruh Ekstrak Tepung Pearl Millet Tersosoh 100 Detik Hasil Ekstraksi Bertingkat Sampel kultur sel limfosit diperlakukan dengan kontrol standar, kontrol positif, dan larutan kerja ekstrak hasil kegiatan ekstraksi bertingkat. Volume total kultur sel adalah 110 µl yang merupakan campuran dari 80 µl suspensi sel limfosit, 10 µl serum darah AB, dan 20 µl larutan RPMI/ larutan mitogen/ larutan kerja ekstrak. Kontrol standar adalah sampel kultur sel yang berisikan suspensi sel limfosit dan larutan RPMI. Kontrol positif yang digunakan adalah larutan mitogen PKW dan LPS dengan konsentrasi masing-masing pada kultur sel adalah 9.09 µg/ml. Perlakuan dengan larutan kerja ekstrak memiliki perbedaan konsentrasi di masingmasing sumur kultur selnya bergantung pada jenis ekstrak dan tingkatan konsentrasinya. Konsentrasi masing-masing ekstrak pada kultur sel disajikan pada Tabel 15. Hasil dari proliferasi sel limfoist yang dikultur dengan mitogen, baik PKW ataupun LPS, menunjukkan rata-rata indeks stimulasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol standar. Hal ini menunjukkan mitogen yang digunakan tidak berfungsi dengan baik karena kemungkinan kualitas mitogen yang sudah tidak bagus. Rata-rata indeks stimulasi mitogen PKW adalah 0.70 dan mitogen LPS adalah 0.89. Ilustrasi yang menunjukkan nilai tersebut disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan kontrol positif yang diberi PKW dan LPS Keterangan: Rata-rata I.S Kontrol STD PKW LPS
: : : :
Rata-rata nilai indeks stimulasi Kontrol standar Pokeweed dengan konsentrasi 9.09 µg/ml Lipopolisakarida dengan konsentrasi 9.09 µg/ml
Peran kontrol positif yang berupa larutan mitogen seharusnya dapat memicu proliferasi sel limfosit pada kultur sel lebih baik dibandingkan kontrol standar. Hal ini dikarenakan mitogen dapat mengaktivasi hormon tirosin kinase yang merupakan faktor pertumbuhan. Hormon ini akan mengirimkan sinyal-sinyal yang berpengaruh terhadap faktor transkripsi dan aktivasi gen sehingga terjadi proliferasi sel (Decker, 2001). a. Pengaruh ekstrak heksana terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro Ekstrak heksana pada ketiga konsentrasi memberikan hasil rata-rata indeks stimulasi yang fluktuatif, yakni nilai tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak heksana pada konsentrasi
40.88 µg/ml dengan 0.97, kemudian menurun pada konsentrasi 163.54 µg/ml dengan 0.84, dan proliferasi terendah ditunjukkan pada konsentrasi 81.77 µg/ml dengan 0.74. Ilustrasi proliferasi sel limfosit ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 9.
Gambar 9.Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak heksana
Ketiga variasi konsentrasi ekstrak heksana dalam penelitian ini tidak mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia secara baik diakibatkan nilai rata-rata indeks stimulasinya yang lebih rendah dibandingkan kontrol standar. Ketidakmampuan ekstrak heksana untuk menstimulasi sel limfosit dikarenakan rendahnya konsentrasi ekstrak pada kultur sel. Konsentrasi ekstrak heksana pada kultur sel yang tidak sesuai dengan konsentrasi ekstrak heksana secara teoritis mengindikasikan fakta baru bahwa banyaknya tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang diasumsikan terkonsumsi hanyalah sebesar 18.18 g/hari dari asumsi konsumsi awal yang adalah 100 g/hari. Contoh perhitungan untuk mendapatkan besar konsumsi tepung ini disajikan pada Lampiran 22. b. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro Ekstrak etil asetat yang memberikan pengaruh tertinggi terhadap proliferasi sel limfosit manusia ditunjukkan pada konsentrasi 11.43 µg/ml dengan 1.00, kemudian menurun pada konsentrasi dua kalinya yakni 22.87 µg/ml dengan 0.95, dan hasil terendah ditunjukkan pada konsentrasi setengahnya yakni 5.72 µg/ml dengan 0.92. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap proliferasi sel limfosit diilustrasikan secara jelas pada Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak etil asetat
Ekstrak etil asetat dalam penelitian ini yang mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia secara baik hanya pada konsentrasi 11.43 µg/ml dengan nilai rata-rata indeks stimulasi sama dengan kontrol standar. Hasil ini menunjukkan kemungkinan ekstrak etil asetat dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik dengan kandungan senyawa semipolar terlarutnya memiliki kemampuan sebagai senyawa imunomodulator. Konsentrasi ekstrak etil asetat pada kultur sel yang tidak sesuai dengan konsentrasi ekstrak etil asetat secara teoritis mengindikasikan fakta baru bahwa banyaknya tepung biji pearl millet yang diasumsikan terkonsumsi hanyalah sebesar 18.18 g/hari dari asumsi konsumsi awal yang adalah 100 g/hari. c. Pengaruh ekstrak etanol terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro Pengaruh ekstrak etanol berfluktuatif terhadap proliferasi sel limfosit pada ketiga tingkatan konsentrasi. Ekstrak etanol pada konsentrasi tertinggi yakni 117.59 µg/ml memberikan nilai rata-rata indeks stimulasi tertinggi pula yakni 1.10, lalu menurun pada konsentrasi 29.40 µg/ml dengan 0.93, dan pengaruh stimulasinya semakin menurun pada konsentrasi 58.80 µg/ml dengan 0.91. Pengaruh ekstrak etanol terhadap proliferasi sel limfosit diilustrasikan secara jelas pada Gambar 11.
Gambar 11. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak etanol
Ekstrak etanol dalam penelitian ini yang mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia secara baik hanya pada konsentrasi 117.59 µg/ml dengan nilai rata-rata indeks stimulasi lebih besar dari kontrol standar, yakni 1.10. Hasil ini menunjukkan kemungkinan ekstrak etanol dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik dengan kandungan senyawa polar terlarutnya memiliki kemampuan sebagai senyawa imunomodulator. Konsentrasi ekstrak etanol pada kultur sel yang tidak sesuai dengan konsentrasi ekstrak etanol secara teoritis mengindikasikan fakta baru bahwa banyaknya tepung biji pearl millet yang diasumsikan terkonsumsi hanyalah sebesar 18.18 g/hari dari asumsi konsumsi awal yang adalah 100 g/hari. d. Pengaruh ekstrak akuades terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro Ekstrak akuades yang dijadikan sebagai pembanding ketiga ekstrak tersebut memiliki kenaikan nilai rata-rata indeks stimulasi seiring dengan kenaikan konsentrasi ekstrak pada kultur sel, yakni pada konsentrasi terendah 223.88 µg/ml memberikan hasil rata-rata indeks stimulasi terendah pula yakni 1.04, lalu pada konsentrasi dua kali dari konsentrasi terendah 447.76 µg/ml memiliki nilai 1.12, dan pada konsentrasi tertinggi 895.53 µg/ml adalah 1.35. Pengaruh ekstrak akuades terhadap proliferasi sel limfosit diilustrasikan secara jelas pada Gambar 12.
Gambar 12. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar dan ekstrak akuades
Larutan ekstrak akuades memberikan rata-rata indeks stimulasi yang bernilai lebih dari 1.00 pada semua tingkatan konsentrasi pada kultur sel. Data ini dapat berarti sebagai berikut: beberapa komponen fitokimia dan komponen lainnya yang dapat terlarut lebih baik dengan penggunaan pelarut akuades dibandingkan pelarut heksana, etil asetat, dan etanol, komponen terlarut dalam ekstrak tersebut lebih baik dalam menstimulasi proliferasi sel limfosit,
ekstrak akuades dapat mengandung komponen lain seperti protein larut air, serat larut air, mineral dan vitamin larut air, serta komponen lainnya yang dapat meningkatkan proliferasi limfosit karena dapat berfungsi sebagai antigen non-toksik yang terdeteksi oleh sel limfosit, dan walaupun terdapat residu pada suspensi sampel ekstrak, tetapi residu ini tidak bersifat toksik bagi sel pada konsentrasi yang masih dapat ditolerir oleh sel itu sendiri. Hal ini dikarenakan komponen utama penysusun pelarut akuades adalah H20. Konsentrasi ekstrak akuades pada kultur sel yang tidak sesuai dengan konsentrasi ekstrak akuades secara teoritis mengindikasikan fakta baru bahwa banyaknya tepung biji pearl millet yang diasumsikan terkonsumsi hanyalah sebesar 18.18 g/hari dari asumsi konsumsi awal yang adalah 100 g/hari. e. Pengaruh ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik secara keseluruhan terhadap proliferasi sel limfosit manusia Secara keseluruhan, tidak semua ekstrak di setiap tingkatan konsentrasinya pada kultur sel memberikan respon positif terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit. Jenis ekstrak yang tidak memberikan respon positif adalah ekstrak heksana pada setiap tingkatan konsentrasi (40.88 µg/ml, 81.77 µg/ml, dan 163.54 µg/ml), ekstrak etil asetat pada konsentrasi 5.72 µg/ml dan 22.87 µg/ml, dan ekstrak etanol pada konsentrasi 29.40 µg/ml dan 58.80 µg/ml. Sedangkan, jenis ekstrak yang memberikan respon positif pada peningkatan proliferasi sel limfosit adalah ekstrak etil asetat pada konsentrasi 11.43 µg/ml, ekstrak etanol pada konsentrasi 117.59 µg/ml, dan ekstrak akuades pada setiap tingkatan konsentrasi (223.88 µg/ml, 447.76 µg/ml, dan 895.53 µg/ml). Ilustrasi peningkatan proliferasi sel limfosit oleh kontrol standar, kontrol positif (mitogen PKW dan LPS), dan semua ekstrak digambarkan secara jelas pada Gambar 13. Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik hasil ekstraksi bertingkat terhadap proliferasi sel limfosit manusia disajikan pada Lampiran 23 dan salah satu contoh perhitungan indeks stimulasi dari pengaruh ekstrak akuades disajikan pada Lampiran 24. Adanya respon positif yang ditunjukkan dari pengaruh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 11.43 µg/ml, ekstrak etanol pada konsentrasi 117.59 µg/ml, dan ekstrak akuades pada setiap konsentrasinya, memberikan hasil bahwa kemungkinan ekstrak-ekstrak tersebut dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit. Hal ini menampilkan indikasi awal bahwa kemungkinan tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik memiliki manfaat bagi kesehatan manusia dalam meningkatkan sistem imun jika terkonsumsi pada kehidupan sehari-hari.
Gambar 13. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit kontrol standar, kontrol positif, dan semua ekstrak hasil kegiatan ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi Keterangan: Kontrol standar Pokeweed 9.09 µg/ml Lipopolisakarida 9.09 µg/ml Ekstrak heksana (µg/ml) Ekstrak etil asetat (µg/ml) Ekstrak etanol (µg/ml) Ekstrak akuades (µg/ml) 2. Pengaruh Ekstrak Senyawa β-Glukan Sampel kultur sel limfosit dalam pengujian pengaruh ekstrak senyawa β-Glukan diperlakukan dengan kontrol standar, kontrol positif (mitogen PKW, LPS, dan Con A), standar senyawa β-glukan murni, dan ekstrak senyawa β-Glukan yang diperoleh dari kegiatan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-Glukan yang berasal dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik. Hasil rata-rata indeks stimulasi yang diberikan oleh pengaruh larutan mitogen PKW, LPS, dan Con A terhadap proliferasi sel limfosit menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol standar. Hal ini menunjukkan mitogen yang digunakan tidak berfungsi dengan baik karena kemungkinan kualitas mitogen yang sudah tidak bagus. Konsentrasi kontrol positif berupa mitogen PKW, LPS, dan Con A yang masing-masing adalah 9.09 µg/ml memberikan nilai rata-rata indeks stimulasi secara berurutan adalah 0.86, 0.70, dan 0.82. Pengaruh β-glukan ekstrak pada konsentrasi 6666.67 µg/ml memberikan nilai rata-rata indeks stimulasi tertinggi dibandingkan kontrol standar, kontrol positif, dan β-glukan STD, yakni dengan nilai 1.21. Sampel β-glukan STD dengan konsentrasi yang sama dengan βglukan ekstrak memberikan daya yang lebih rendah dalam menstimulasi proliferasi sel limfosit, yakni dengan rata-rata indeks stimulasi 0.92, jika dibandingkan dengan sampel β-
glukan ekstrak. Namun, nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata indeks stimulasi ketiga mitogen. Rendahnya senyawa β-glukan STD tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa ekstrak senyawa β-glukan dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik lebih baik dalam menstimulasi proliferasi sel limfosit. Hal ini menunjukkan kemampuan ekstrak β-glukan tersebut sebagai senyawa imunomodulator. Ilustrasi dari proliferasi sel limfosit ini ditunjukkan pada Gambar 14. Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak β-glukan terhadap proliferasi sel limfosit manusia disajikan pada Lampiran 25.
Gambar 14. Rata-rata indeks stimulasi proliferasi sel limfosit yang dikultur dengan kontrol standar, mitogen, β-glukan standar, dan ekstrak β-glukan pearl millet Keterangan: Kontrol standar Pokeweed 9.09 µg/ml Lipopolisakarida 9.09 µg/ml Convavalin A 9.09 µg/ml β-glukan standar (µg/ml) Ekstrak β-glukan (µg/ml) Ekstrak senyawa β-glukan dengan konsentrasi tersebut di dalam kultur sel ternyata memberikan asumsi konsumsi tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik sebanyak 909.09 g/hari. Bobot tepung ini lebih besar jika dibandingkan bobot asumsi konsumsi awal yang hanya 100 g/hari. Mekanisme kerja senyawa β-glukan yang paling sering dipublikasikan terdiri dari kegiatan augmentasi dari fagosit dan aktivitas proliferasi dari sel fagosit mononuklear yang terdiri dari sel monosit, sel makrofag, dan sel dendritik (Novak dan Vetvicka, 2008). Aktivitas proliferasi sel makrofag dan sel dendritik akan mengaktifkan proliferasi sel limfosit karena menjadi semacam pengkode hadirnya antigen dalam tubuh. Hal ini menunjukkan
bahwa senyawa β-glukan mampu berfungsi dalam meningkatkan kerja sistem imun nonspesifik dan spesifik. Namun, mengingat β-glukan termasuk dalam jenis serat tidak larut, maka peran imunomodulator yang dilakukannya adalah secara tidak langsung. Dalam tubuh, senyawa ini akan diubah menjadi SCFA (Short Chain Fatty Acid) terlebih dahulu sebelum dapat mengaktifkan sel reseptor limfosit. SCFA tersebut dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik sebagai makanannya sehingga selanjutnya bakteri probiotik tersebut mampu menstimulir proliferasi sel limfosit (Fitrial, 2008).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan pengujian pengaruh ekstrak dari tepung pearl millet pada berbagai tingkat polaritas (nonpolar, semi polar, dan polar) dan pembandingnya dengan pelarut akuades, serta senyawa β-glukan dari tepung pearl millet yang telah disosoh 100 detik terhadap proliferasi sel limfosit menggunakan metode MTT didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan, tidak semua ekstrak yang pada tingkatan konsentrasi yang digunakan pada kultur sel dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit. 2. Ekstrak heksana pada semua tingkatan konsentrasi ekstrak pada kultur sel (40.88 µg/ml, 81.77 µg/ml, dan 163.54 µg/ml) tidak dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit dengan baik karena nilai rata-rata indeks stimulasinya kurang dari 1.00. Sedangkan ekstrak lain yang memberikan indeks stimulasi sama dengan atau lebih besar dari 1.00 adalah ekstrak etil asetat pada konsentrasi 11.43 µg/ml dengan rata-rata indeks stimulasi 1.00, ekstrak etanol pada konsentrasi 117.59 µg/ml dengan rata-rata indeks stimulasi 1.10, ekstrak akuades pada semua tingkatan konsentrasi, yakni 223.88 µg/ml, 447.76 µg/ml, dan 895.53 µg/ml, menunjukkan nilai rata-rata indeks stimulasi secara berurutan adalah 1.04, 1.12, dan 1.35, dan ekstrak β-glukan pada konsnetrasi 6666.67 µg/ml dengan indeks stimulasi 1.21. 3. Nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak akuades terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit menunjukkan kenaikan nilai seiring dengan peningkatan jumlah konsentrasi ekstrak pada kultur sel. 4. Untuk larutan ekstrak yang memiliki rata-rata indeks stimulasi lebih dari 1.00 memberikan indikasi awal bahwa larutan ekstrak tersebut memiliki aktivitas imunomodulator.
B. SARAN 1. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui sifat toksik dari pengaruh ekstrak secara pasti dengan melakukan perhitungan jumlah sel limfosit yang mati pada kultur sel dengan metode pewarnaan tripan blue. 2. Besar nilai indeks stimulasi yang lebih besar dari 1.00 dari pengaruh ekstrak dalam penelitian ini menunjukkan adanya komponen bioaktif terlarut ataupun komponen lainnya, seperti protein, yang dapat menstimulir proliferasi sel limfosit pada kultur sel. Untuk itu sebaiknya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian komponen bioaktif dari tepung biji pearl millet tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, S. 2008. Pengujian Teknik Penepungan Biji Jewawut (Setaria italica (L.) Beauv.) Menggunakan Pin Mill dan Disc Mill [skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Insititut Pertanian Bogor. Anonim. 2008. Mutu gizi beras kristal. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30 (6). http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr306085.pdf. [18 Agustus 2010]. Fisiologi Peredaran Darah. Anonim. 2010a. http://www.sith.itb.ac.id/profile/pakAR/FisiologiPeredaranDarah.pdf. [15 Agustus 2010]. Anonim. 2010b. Allograft En Bloc Vagino-Utero-Ovarian Avascular Transplant Versus Autograft Implantation in Rats. http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/hessedd/benignhematologicdisorder s/normal-hematopoietic-cells/large-granular-lymphocyte.cfm. [21 Maret 2010]. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2009. Pengelolaan Plasmanutfah Jagung, Sorgum, Gandum, Jewawut. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/eng//index.php?option=com_content&task=view&id=68 &Itemid=141. [12 mei 2010] Baratawidjaja, K. G. 2006. Imunologi Dasar. 7th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bellanti, J. A. 1993. Imunologi II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Bhatty, R. S. 1995. Laboratory and pilot plant extraction and purification of β-glucans from hull-less barley and oat brans. Journal of Cereal Science 22: 163-170. Bounous, D. I., Campagnoli, R. P., dan Brown. J.. 1992. Comparison of MTT colorimetric assay and tritiated thymidine uptake for lymphocyte proleferation assay using Chicken Splenocytes. Arian Diseases 36: 1022-1027. Davis, J. M. 1994. Basic Cell Culture: A Practical Approach. New York: Oxford University. Decker, J. M. 2001. Introduction to Immunology. Massachussetts, USA: Blackwell Science, Inc. Depkes. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Dirjen POM, DepKes RI. Dykes L. dan Rooney L. W. 2006. Sorghum and Millet Phenols and Antioxidants. Journal of Cereal Science. 44 (3): 236-251.
Fitrial, Y. 2008. Analisis Protein Biji dan Umbi Teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk Pangan Fungsional, Antidiare, dan Prebiotik. Bogor: Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Freshney, I. R. 1994. Culture of Animal Cell: A Practical Approach. 3rd edition. Washington DC: IRL Press. Ganong, W. F. 1979. Fisiologi Kedokteran. Terj. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harrison, M. A. dan Ian, F. R. 1997. General Techniques of Cell Culture. London: Cambridge University Press. Hulse, J. H., Laing, E. M., dan Pearson, O. E.. 1980. Sorghum and The Millets: Their Composition and Nutritive Value. San Fransisco: Academic Press. Kresno, S. B. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Praktikum. 4th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kuby, J. 1992. Immunology. New York: W. H. Freeman and Company. Kuby, J. 1997. Immunology. 3rd edition. New York: W. H. Freeman and Company. Laroche, C. dan Michaud, P. 2006. New Developments and Prospective Application for β-(1,3)Glucans. Di Dalam: Recents Patents on Biotechnology 1: 59-73. Leder, I. 2004. Sorghum and Millet in Cultivated Plants, Primarily as Food Sources. Di Dalam: Fuleky, G. (ed). Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), Developed Under The Auspices of The UNESCO. Oxford, UK: Eolss Publishers. http://www.eolss.net. [30 Desember 2009]. Leniger, H. H. dan Beverloo, W. A.. 1975. Food Process Engineering. Boston: D. Reidel Publ. Co. Malole, M. B. M. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. McDonough, C. M. dan Rooney, L. W., 1987. Food quality and consumer acceptance of pearl millet. Di dalam: J. R. Witcombe dan Beckerman, S. R. (eds.), India: Proceedings International Pearl Millet Workshop. ICRISAT: 43-61. Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Northwestern University. 2005. Morimoto Laboratory Protocols, II.A.14-15. http://groups.molbiosci.northwestern.edu/morimoto/research/Protocols/II.%20Eukaryotes/A.%20Cell %20Culture/3b.%20Hemacytometer.pdf. [11 Juni 2011].
Novak, M. dan V., Vetvicka. 2008. β-Glucans, History, and the Present: Immunomodulatory Aspect and Mechanisms of Action. Journal of Immunotoxicology 5: 47-57. Nurmala, T. 1997. Serealia. Jakarta, Rineka Cipta. Paul, J. 1972. Cell and Tissue Culture. London: Churchill Livingstone. Pertiwi, K. 2009. Pengaruh Ekstrak Rendang Iradiasi Dosis Tinggi Terhadap Kapasitas Antioksidan, Proliferasi Limfosit, dan Hemolisis Eritrosit Manusia [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspawati, GA. K. P. 2009. Kajian Aktivitas Proliferasi Limfosit dan Kapasitas Antioksidan Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan Jewawut (Pennisetum sp.) pada Tikus Sprague Dawley [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Ramadhani, I. 2009. Efek Konsumsi Air Minum Penambah Oksigen Terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rooney, L. W., dan S. Serna. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: 149175. Roitt, I. 1994. Imunologi (Essential Immunology). 8th edition. Alih Bahasa: Alida H., et al. (2002). Jakarta: Widya Medika. Sari, I. 2010. Pembuatan Mie Instan dari Tepung Komposit Biji-bijian. Sumatera Utara, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. http://www.repository.usu.ac.id/handle/123456789/18825. [30 Juli 2010]. Serna-Saldivar, S. dan Rooney, L. W. 1995. Structure and Chemistry of Sorghum and Millets. Di Dalam: Dendy, D. A. V. (ed). Sorghum and Millets: Chemistry and Technology. St. Paul, USA: American Association of Cereal Chemists. Shaper, P. T. 1988. Methods of Cell Separation. Amsterdam: Elsevier. Singh, V., Moreau, R. A., Hicks, K. B. 2003. Yield and phytosterol composition of oil extracted from grain sorghum and its wet-milled fractions. Cereal Chemistry 80 (2):126-129. Somaatmaja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Bogor: Komunikasi 201, BPHIP. Stephanie. 2010. Aplikasi Penggunaan Tepung Jewawut (Pennisetum glaucum) dan Serum (Whey) Tahu dalam Memberikan Nilai Tambah terhadap Kandungan Gizi Snack Bar [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sudjadi, 1986. Metode Pemisahan. Yogyakarta. UGM http://medicafarma.blogspot.com/2008/11/ekstraksi.html. [15 Agustus 2010].
Press.
Suherman, O., Zairin, M. dan Awaluddin, 2009. Keberadaan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah Jewawut di Kawasan Lahan Kering Pulau Lombok. http://ntb.litbang.deptan.go.id. [20 Oktober 2009]. Tang C. 1991. Phenolic Compounds in Food. Washington DC: American Chemical Society. Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cetakan Ke-1. Bogor: PT. Penerbit IPB Press. Vogel, S. dan Graham, M. 1978. Sorghum and millet: Food Production and Use. Kenya, Nairobi: Report of a workshop 4-7 July 1978. Yanuwar, W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Zakaria, F. R. 1996. Sintesis Senyawa Radikal dan Elektrofil Dalam dan Oleh Komponen Pangan, Reaksi Biomolekul, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalannya. Di dalam: Zakaria, F. R.., Sedarnawati, dan Ratih Dewanti (eds.). Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi dengan kedutaan Besar Perancis. Zakaria, F. R., Meilasanti, M. A., Sanjaya, Pramudya, S. M., dan Richards, A. L.. 1997. Aktivitas proliferasi limfosit darah tepi konsumen jajanan di Bogor Jawa Barat. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 2: 57-65. Zimmerman, K. 2006. Cell isolation/counting/concentration. Allogen Laboratories, Cleveland Clinic, Cleveland OH. http://www.amedcoesystems.com/presentations/ASHIU/cellIsolation/CellIsolationProtocols.pdf. [11 Juni 2011].
Lampiran 1. Pemanfaatan jewawut (Vogel dan Graham, 1978) Nama Produk Injera
Tipe Produk leavened bread
Nama Produk Ethiopia
Gahlet
leavened bread
Upper volta
Hoppers
leavened bread
Sri Lanka
Kisra
leavened bread
Sudan
Maasa
leavened bread
Ghana
Masa
leavened bread
Nigeria
Msa wana
leavened bread
Nigeria
Mugabi
leavened bread
Uganda
Sinasin
leavened bread
Nigeria
Thosai
leavened bread
Sri Lanka
Dosai
leavened bread
Sri Lanka
Roti
unleavened bread
India
Chapati
unleavened bread
India
Rotti
unleavened bread
Sri Lanka
Waina
unleavened bread
Nigeria
Ugali
stiff porridge
Kenya,Tanzania,Uganda
Tuwo
stiff porridge
Nigeria
Sangati
stiff porridge
India
Aceda
stiff porridge
Sudan
Atap
stiff porridge
Uganda
Bensaab
stiff porridge
Ghana
Bogobe jwa ting
stiff porridge
Botswana
Dalaki
stiff porridge
Nigeria
Eko tutu
stiff porridge
Nigeria
Kafa
stiff porridge
Nigeria
Kalo
stiff porridge
Uganda
Karo
stiff porridge
Uganda
Kunu zaki
stiff porridge
Nigeria
Kwon
stiff porridge
Uganda
Nshima
stiff porridge
Zambia
Nuchu
stiff porridge
India
Saino
stiff porridge
Nigeria
Tuo zaafi
stiff porridge
Ghana
Lampiran 1. Pemanfaatan jewawut (lanjutan) Nama Produk Acha (acha patten)
Tipe Produk whole grain
Nama Produk Nigeria
Burabusko
whole grain
Nigeria
Dafa duka
whole grain
Nigeria
Dahuwa
whole grain
Nigeria
Ewa
whole grain
Nigeria
Garin acha
whole grain
Nigeria
Khichri
whole grain
India
Khir
whole grain
India
Ly
cracked grain
India
Mehri
whole grain
India
Oka baka
whole grain
Nigeria
Paparia
cracked grain
India
Pate
cracked grain
Nigeria
Kande
whole atau cracked grain
Tanzania
Millet Rice
whole grain
India, Sudan
Uji wa mtama
thin porridge
Kenya
Uji
thin porridge
Tanzania
Obungi
thin porridge
Uganda
Ambali
thin porridge
India
Akamu
thin porridge
Nigeria
Eko
thin porridge
Nigeria
Ogi
thin porridge
Nigeria, Ghana
Nasha
thin porridge
Sudan
Edi
thin porridge
Uganda
Kamu
thin porridge
Nigeria
Koko
medium thin porridge
Nigeria, Ghana
Kunu zaki
medium thin porridge
Nigeria
Kunni tzamia
thin porridge
Nigeria
Obungi bwa kala
thin porridge
Uganda
Obushera
thin porridge
Uganda
Puttu
thin porridge
India
Rabri
thin porridge
India
Fura
Snack
Nigeria
Barfi
fried snack
India
Lampiran 1. Pemanfaatan jewawut (lanjutan) Nama Produk
Tipe Produk
Nama Produk
Besi
fried snack
Nigeria
Dakuwa
noncooked snack
Nigeria
Dambu
steamed dumpling
Nigeria
Fate fate
Dumpling
Ghana,
Fulla, Fula, Fura
Furah
Gaibalin
pounded and reshaped steamed dumplings pounded and reshaped steamed dumplings pounded and reshaped steamed dumplings
Upper Volta
Nigeria
Nigeria
Halape
steamed balls roasted
Sri Lanka
Hankara kanzo
dumpling
Nigeria
Kadi
snack
India
Kanji
snack
India
Kharadya
fried dough cakes
India
Kurodya
spagheti
India
Maikya
deep fried batter snack
Nigeria
Stringhoppers
extruded snack
Sri Lanka
Tsatsapa
deep-fried steamed batter
Nigeria
Tubani
deep-fried steamed batter
Nigeria
Tuwon katirara
Dumpling
Nigeria
Yer yau
deep-fried snack
Nigeria
Ajon
beer
Uganda
Amaarwa
beer
Uganda
Bojalwa
beer
Botswana
Burukutu
beer
Nigera
Busaa
beer
Kenya, Uganda
Chipumu
beer
Zambia
Dohlou
beer
Upper volta
Embush
beer
Ethiopia
Itamba (itimba)
beer
Zambia
Katata
beer
Zambia
Kongo
beer
Uganda
Kwete
beer
Uganda
Marisa
beer
Ethiopia, Sudan
Lampiran 1. Pemanfaatan jewawut (lanjutan) Nama Produk
Tipe Produk
Nama Produk
Marwa
beer
Uganda
Munkoye
beer
Zambia
Ajon
beer
Uganda
Pito
beer
Ghana, Nigera
Pombe
beer
Tanzania
Omukimba
beer
Uganda
Omulamba
beer
Uganda
Seven-day beer
beer
Zambia
Abrey
nonalcoholic beverage
Sudan
Hulu-mur
nonalcoholic beverage
Sudan
Huswa
nonalcoholic beverage
Sudan
Araki
whiskey
Ethiopia, Sudan
Kachasu
whiskey
Zambia
Warangi
whiskey
Uganda
→ IgE
• Basofil
• Asam neuraminik
• CRP
• Interferon
• Komplemen
Humoral
→ IgD
• Bersin
• Sel Mast
• Asam lambung
• Batuk
→ IgA
→ Polimorfonuklear
• Laktoferin
• Sekresi sebaseus
• Silia
→ IgG
→ Mononuklear
• Sel Limfosit B
→ IgM
• Lisozim (keringat)
• Selaput lendir
• Fagosit
• Sel NK
Biokima
• Kulit
Lampiran 2. Gambaran umum sistem imun (Baratawidjaja, 2006)
→ CTL/ Tc
→ Tdth
→ Ts/ Tr/ Th3
→ Th2
→ Th1
• Sel Limfosit T
Lampiran 3. Plasma dan sel darah*
*(Anonim,2010a)
Lampiran 4. Contoh ilustrasi kegiatan penentuan derajat sosoh biji pearl millet 1. Diagram alir proses penentuan derajat sosoh biji pearl millet waktu sosoh 0 detik Biji jewawut (150 g)
Tidak dilakukan penyosohan dengan Satake Grain Mill
Tidak ada produk sampingan
Biji jewawut tidak tersosoh
Perhitungan derajat sosoh (%)
2. Diagram alir proses penentuan derajat sosoh biji pearl millet waktu sosoh 100 detik Biji jewawut (150 g)
Penyosohan dengan Satake Grain Mill selama 100 detik
Biji jewawut tersosoh 100 detik (J(100 detik))
Perhitungan rendemen biji tersosoh 100 detik (%)
Produk sampingan hasil sosoh 100 detik (S(100 detik))
Perhitungan derajat sosoh biji terososh 100 detik (%)
Untuk proses kegiatan penentuan derajat sosoh biji pearl millet dengan waktu sosoh 150 detik, 200 detik, 250 detik, dan 300 detik sama dengan proses yang dilakukan pada diagram alir proses penentuan derajat sosoh biji pearl millet dengan waktu sosoh 100 detik, hanya saja berbeda waktu sosohnya.
Lampiran 5. Tahapan ekstraksi bertingkat tepung pearl millet tersosoh 100 detik Tepung pearl millet
Maserasi dengan heksana absolut (shaker, suhu ruang, 24 jam)
Filterisasi dengan vacuum filter (kertas saring whattman nomor 1)
Filtrat heksana
Substrat heksana
Evaporasi (rotavapor 400C)
Ekstrak heksana
Maserasi dengan etil asetat absolut (shaker, suhu ruang, 24 jam)
Filterisasi dengan vacuum filter (kertas saring whattman nomor 1)
Filtrat etil asetat
Evaporasi (rotavapor 400C)
Substrat etil asetat
Ekstrak etil asetat Maserasi dengan etanol absolut (shaker, suhu ruang, 24 jam)
Filterisasi dengan vacuum filter (kertas saring whattman nomor 1)
Substrat etanol
Pembuangan
Filtrat etanol
Evaporasi (rotavapor 400C)
Ekstrak etanol
Lampiran 6. Tahapan ekstraksi tepung pearl millet dengan pelarut akuades Tepung pearl millet
Maserasi dengan akuades (shaker, suhu ruang, 24 jam) Filterisasi dengan vacuum filter (kertas saring whattman nomor 1)
Substrat akuades
Pembuangan
Filtrat akuades
Evaporasi (rotavapor 400C)
Ekstrak akuades
Lampiran 7. Tahapan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan dari tepung biji pearl millet sosoh 100 detik 10 g tepung pearl millet sosoh 100 detik
Penambahan NaOH 1N (1:50) secara perlahan
NaOH 1N
Pengadukan dengan stirer selama ± 1 jam sambil dilakukan pemecahan granula tepung dengan gelas pengaduk setiap 10 menit sekali
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000g selama 15 menit
Supernatan I
Presipitat I NaOH 1N Ekstraksi kembali dengan NaOH 1N (1:50)
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000g selama 15 menit
Presipitat
Supernatan II
Pembuangan Penyatuan Supernatan I dan II Penyesuaian pH menjadi 6.5
Penambahan CaCl2 (7 mg/100 ml)
Penambahan Termamyl (0.1 ml/ 100 ml) Pengkondisian (960C, 1 jam) pada waterbath bergoyang
Kristal CaCl2
Larutan termamyl
Lampiran 7. Tahapan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan dari tepung biji pearl millet sosoh 100 detik (lanjutan)
Pendinginan hingga suhu kamar
Sejumlah HCl pekat
Pengaturan pH menjadi 4.5
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000g selama 15 menit
Presipitat III
Supernatan III
Penambahan Etanol sebanyak 50% dari volume akhir supernatan
Pembuangan
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000g selama 15 menit
Supernatan IV
Pembuangan supernatan IV
Presipitat IV
Resuspensi dengan akuades
Pencucian dengan etanol 50% sebanyak 2 kali
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000g selama 15 menit
Pembuangan
Supernatan V
Presipitat V
Lampiran 7. Tahapan ekstraksi dan purifikasi senyawa β-glukan dari tepung biji pearl millet sosoh 100 detik (lanjutan)
Homogenisasi dengan akuades
Pengeringbekuan
0.44 g Ekstrak β-glukan
Lampiran 8. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak heksana • Bahan yang dilarutkan : ekstrak heksana • Pelarut
: RPMI
• Pembuatan larutan stok ekstrak heksana: 20 ml RPMI
2.6984 g Ekstrak heksana
Larutan ekstrak heksana dengan konsentrasi stok Konsentrasi stok larutan ekstrak heksana = 2.6984 g 20 ml = 2698.40 mg 20 ml = 134.92 mg/ml = 134920 µg/ml a.) Pembuatan larutan ekstrak heksana dengan konsentrasi setengah kali konsentrasi ekstrak heksana dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana = 224.87 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak heksana: MSH x VSH
= MKH x VKH
134920 µg/ml x VSH
= 224.87 µg/ml x 10 ml
VSH
= 0.0167 ml = 16.67 µl
Keterangan: MSH : Konsentrasi stok ekstrak heksana (µg/ml) VSH : Volume stok ekstrak heksana (ml) MKH : Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana (µg/ml) VKH : Volume larutan kerja ekstrak heksana (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 16.67 µl = 9983.33 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak heksana dengan konsentrasi 224.87 µg/ml adalah 16.67 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9983.33 µl.
Lampiran 8. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak heksana (lanjutan) Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 224.87 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak heksana yang dikultur = (20 µl x 224.87 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 4.50 µg → Konsentrasi ekstrak heksana di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 4.50 µg / 110 µl = 0.04088 µg/µl = 40.88 µg/ml b.) Pembuatan larutan ekstrak heksana dengan konsentrasi satu kali konsentrasi ekstrak heksana dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana = 449.73 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak heksana: MSH x VSH
= MKH x VKH
134920 µg/ml x VSH
= 449.73 µg/ml x 10 ml
VSH
= 0.0333 ml = 33.33 µl
Keterangan: MSH : Konsentrasi stok ekstrak heksana (µg/ml) VSH : Volume stok ekstrak heksana (ml) MKH : Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana (µg/ml) VKH : Volume larutan kerja ekstrak heksana (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 33.33 µl = 9966.67 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak heksana dengan konsentrasi 449.73 µg/ml adalah 33.33 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9966.67 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 449.73 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak heksana yang dikultur = (20 µl x 449.73 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 8.99 µg → Konsentrasi ekstrak heksana di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 8.99 µg / 110 µl = 0.08177 µg/µl = 81.77 µg/ml
Lampiran 8. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak heksana (lanjutan) c.) Pembuatan larutan ekstrak heksana dengan konsentrasi dua kali konsentrasi ekstrak heksana dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana = 899.47 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak heksana: MSH x VSH 134920 µg/ml x VSH VSH
= MKH x VKH = 899.47 µg/ml x 10 ml = 0.06667 ml = 66.67 µl
Keterangan: MSH : Konsentrasi stok ekstrak heksana (µg/ml) VSH : Volume stok ekstrak heksana (ml) MKH : Konsentrasi larutan kerja ekstrak heksana (µg/ml) VKH : Volume larutan kerja ekstrak heksana (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 66.67 µl = 9933.33 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak heksana dengan konsentrasi 899.47 µg/ml adalah 66.67 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9933.33 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 899.47 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak heksana yang dikultur = (20 µl x 899.47 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 17.99 µg → Konsentrasi ekstrak heksana di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 17.99 µg / 110 µl = 0.16354 µg/µl = 163.54 µg/ml
Lampiran 9. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat • Bahan yang dilarutkan : ekstrak etil asetat • Pelarut
: RPMI
• Pembuatan larutan stok ekstrak etil asetat: 20 ml RPMI
0.3651 g Ekstrak etil asetat
Larutan ekstrak etil asetat dengan konsentrasi stok Konsentrasi stok larutan ekstrak etil asetat = 0.3651 g 20 ml = 365.10 mg 20 ml = 18.255 mg/ml = 18255 µg/ml a.) Pembuatan larutan ekstrak etil asetat dengan konsentrasi setengah kali konsentrasi ekstrak etil asetat dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat = 31.44 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat: MSEA x VSEA 18255 µg/ml x VSEA VSEA
= MKEA x VKEA = 31.44 µg/ml x 10 ml = 0.01722 ml = 17.22 µl
Keterangan: MSEA : Konsentrasi stok ekstrak etil asetat (µg/ml) VSEA : Volume stok ekstrak etil asetat (ml) MKEA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat (µg/ml) VKEA : Volume larutan kerja ekstrak etil asetat (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 17.22 µl = 9982.78 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 31.44 µg/ml adalah 17.22 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9982.78 µl.
Lampiran 9. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat (lanjutan) Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 31.44 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etil asetat yang dikultur = (20 µl x 31.44 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 0.63 µg → Konsentrasi ekstrak etil asetat di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 0.63 µg / 110 µl = 0.00572 µg/µl = 5.72 µg/ml b.) Pembuatan larutan ekstrak etil asetat dengan konsentrasi satu kali konsentrasi ekstrak etil asetat dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat = 62.88 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat: MSEA x VSEA 18255 µg/ml x VSEA VSEA
= MKEA x VKEA = 62.88 µg/ml x 10 ml = 0.03445 ml = 34.45 µl
Keterangan: MSEA : Konsentrasi stok ekstrak etil asetat (µg/ml) VSEA : Volume stok ekstrak etil asetat (ml) MKEA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat (µg/ml) VKEA : Volume larutan kerja ekstrak etil asetat (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 34.45 µl = 9965.55 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 62.88 µg/ml adalah 34.45 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9965.55 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 62.88 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etil asetat yang dikultur = (20 µl x 62.88 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 1.26 µg → Konsentrasi ekstrak etil asetat di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 1.26 µg / 110 µl = 0.01143 µg/µl = 11.43 µg/ml
Lampiran 9. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat (lanjutan) c.) Pembuatan larutan ekstrak etil asetat dengan konsentrasi dua kali konsentrasi ekstrak etil asetat dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat = 125.76 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etil asetat: MSEA x VSEA = MKEA x VKEA 18255 µg/ml x VSEA VSEA
= 125.76 µg/ml x 10 ml = 0.06889 ml = 68.89 µl
Keterangan: MSEA : Konsentrasi stok ekstrak etil asetat (µg/ml) VSEA : Volume stok ekstrak etil asetat (ml) MKEA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etil asetat (µg/ml) VKEA : Volume larutan kerja ekstrak etil asetat (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 68.89 µl = 9931.11 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 125.76 µg/ml adalah 68.89 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9931.11 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 125.76 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etil asetat yang dikultur = (20 µl x 125.76 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 2.52 µg → Konsentrasi ekstrak etil asetat di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 2.52 µg / 110 µl = 0.02287 µg/µl = 22.87 µg/ml
Lampiran 10. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etanol • Bahan yang dilarutkan : ekstrak etanol • Pelarut
: RPMI
• Pembuatan larutan stok ekstrak etanol 20 ml RPMI
1.8717 g Ekstrak etanol
Larutan ekstrak etanol dengan konsentrasi stok Konsentrasi stok larutan ekstrak etanol = 1.8717 g 20 ml = 1871.70 mg 20 ml = 93.585 mg/ml = 93585 µg/ml a.) Pembuatan larutan ekstrak etanol dengan konsentrasi setengah kali konsentrasi ekstrak etanol dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol = 161.69 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etanol: MSE x VSE 93585 µg/ml x VSE VSA
= MKE x VKE = 161.69 µg/ml x 10 ml = 0.01728 ml = 17.28 µl
Keterangan: MSE : Konsentrasi stok ekstrak etanol (µg/ml) VSE : Volume stok ekstrak etanol (ml) MKE : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol (µg/ml) VKE : Volume larutan kerja ekstrak etanol (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 17.28 µl = 9982.72 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etanol dengan konsentrasi 161.69 µg/ml adalah 17.28 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9982.72 µl.
Lampiran 10. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etanol (lanjutan) Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 161.69 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etanol yang dikultur = (20 µl x 161.69 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 3.23 µg → Konsentrasi ekstrak etanol di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 3.23 µg / 110 µl = 0.02940 µg/µl = 29.40 µg/ml b.) Pembuatan larutan ekstrak etanol dengan konsentrasi satu kali konsentrasi ekstrak etanol dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol = 323.38 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etanol: MSE x VSE 93585 µg/ml x VSE VSA
= MKE x VKE = 323.38 µg/ml x 10 ml = 0.03455 ml = 34.55 µl
Keterangan: MSE : Konsentrasi stok ekstrak etanol (µg/ml) VSE : Volume stok ekstrak etanol (ml) MKE : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol (µg/ml) VKE : Volume larutan kerja ekstrak etanol (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 34.55 µl = 9965.45 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etanol dengan konsentrasi 323.38 µg/ml adalah 34.55 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9965.45 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 323.38 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etanol yang dikultur = (20 µl x 323.38 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 6.47 µg → Konsentrasi ekstrak etanol di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 6.47 µg / 110 µl = 0.05880 µg/µl = 58.80 µg/ml
Lampiran 10. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak etanol (lanjutan) c.) Pembuatan larutan ekstrak etanol dengan konsentrasi dua kali konsentrasi ekstrak etanol dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol = 646.76 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak etanol: MSE x VSE = MKE x VKE 93585 µg/ml x VSE VSA
= 646.76 µg/ml x 10 ml = 0.06911 ml = 69.11 µl
Keterangan: MSE : Konsentrasi stok ekstrak etanol (µg/ml) VSE : Volume stok ekstrak etanol (ml) MKE : Konsentrasi larutan kerja ekstrak etanol (µg/ml) VKE : Volume larutan kerja ekstrak etanol (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 69.11 µl = 9930.89 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak etanol dengan konsentrasi 646.76 µg/ml adalah 69.11 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9930.89 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 646.76 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak etanol yang dikultur = (20 µl x 646.76 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 12.94 µg → Konsentrasi ekstrak etanol di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 12.94 µg / 110 µl = 0.11759 µg/µl = 117.59 µg/ml
Lampiran 11. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak akuades • Bahan yang dilarutkan : ekstrak akuades • Pelarut
: RPMI
• Pembuatan larutan stok ekstrak akuades: 20 ml RPMI
14.7762 g Ekstrak akuades
Larutan ekstrak akuades dengan konsentrasi stok Konsentrasi stok larutan ekstrak akuades = 14.7762 g 20 ml = 14776.20 mg 20 ml = 738.81 mg/ml = 738810 µg/ml a.) Pembuatan larutan ekstrak akuades dengan konsentrasi setengah kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades = 1231.35 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak akuades: MSA x VSA 738810 µg/ml x VSA VSA
= MKA x VKA = 1231.35 µg/ml x 10 ml = 0.01667 ml = 16.67 µl
Keterangan: MSA : Konsentrasi stok ekstrak akuades (µg/ml) VSA : Volume stok ekstrak akuades (ml) MKA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades (µg/ml) VKA : Volume larutan kerja ekstrak akuades (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 16.67 µl = 9983.33 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak akuades dengan konsentrasi 1231.35 µg/ml adalah 16.67 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9983.33 µl.
Lampiran 11. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak akuades (lanjutan) Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 1231.35 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak akuades yang dikultur = (20 µl x 1231.35 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 24.63 µg → Konsentrasi ekstrak akuades di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 24.63 µg / 110 µl = 0.22388 µg/µl = 223.88 µg/ml b.) Pembuatan larutan ekstrak akuades dengan konsentrasi satu kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades = 2462.70 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak akuades: MSA x VSA 738810 µg/ml x VSA VSA
= MKA x VKA = 2462.70 µg/ml x 10 ml = 0.03333 ml = 33.33 µl
Keterangan: MSA : Konsentrasi stok ekstrak akuades (µg/ml) VSA : Volume stok ekstrak akuades (ml) MKA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades (µg/ml) VKA : Volume larutan kerja ekstrak akuades (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 33.33 µl = 9966.67 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak akuades dengan konsentrasi 2462.70 µg/ml adalah 33.33 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9966.67 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 2462.70 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak akuades yang dikultur = (20 µl x 2462.70 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 49.25 µg → Konsentrasi ekstrak akuades di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 49.25 µg / 110 µl = 0.44776 µg/µl = 447.76 µg/ml
Lampiran 11. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak akuades (lanjutan) c.) Pembuatan larutan ekstrak akuades dengan konsentrasi dua kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah: Volume larutan ekstrak = 10 ml Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades = 4925.40 µg/ml Pembuatan larutan kerja ekstrak akuades: MSA x VSA 738810 µg/ml x VSA VSA
= MKA x VKA = 4925.40 µg/ml x 10 ml = 0.06667 ml = 66.67 µl
Keterangan: MSA : Konsentrasi stok ekstrak akuades (µg/ml) VSA : Volume stok ekstrak akuades (ml) MKA : Konsentrasi larutan kerja ekstrak akuades (µg/ml) VKA : Volume larutan kerja ekstrak akuades (ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml dalam satuan µl = 10000 µl – 66.67 µl = 9933.33 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak akuades dengan konsentrasi 2462.70 µg/ml adalah 66.67 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 10 ml larutan ekstrak adalah 9933.33 µl. Sebanyak 20 µl larutan ekstrak dari larutan kerja ekstrak dengan konsentrasi ekstrak 2462.70 µg/ml dimasukkan dalam sumur kultur sel. → Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak akuades yang dikultur = (20 µl x 2462.70 µg/ml) x (1 ml /1000 µl) = 49.25 µg → Konsentrasi ekstrak akuades di kultur sel dengan langkah di atas dalam 110 µl total volume kultur sel adalah = 49.25 µg / 110 µl = 0.44776 µg/µl = 447.76 µg/ml
Lampiran 12. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak β-glukan • Bahan yang dilarutkan : ekstrak β-glukan • Pelarut
: RPMI
• Rendemen ekstrak adalah 4.40%. • Jumlah ekstrak yang setara dengan konsumsi 100 g/hari = 4.40 g • Konsentrasi teoritis ekstrak dalam 6 liter darah manusia jika semua ekstrak dapat terserap adalah: MEGD = 4.40 g 6000 ml = 0.7333 mg/ml = 733.33 µg/ml Keterangan: MEGD : Konsentrasi ekstrak β-glukan secara teoritis yang terserap dalam 6 liter darah (µg/ml) • Informasi guna mengetahui besar konsentrasi larutan kerja ekstrak sebanyak 20 µl yang ditambahkan ke dalam kultur sel dengan menganalogian besar konsentrasi ekstrak 730 µg/ml dalam darah sama dengan 730 µg/ml dalam volume 1 ml tabung eppendorf: MEGD x VEp
= MKG x VEKS
733.33 µg/ml x 1 ml = MKG x 0.02 ml MKG
= 36666.67 µg/ml
Jadi, konsentrasi larutan kerja ekstrak β-glukan adalah 36666.67 µg/ml. Keterangan: VEp : Volume eppendorf (ml) MKG : Konsentrasi larutan kerja ekstrak β-glukan (µg/ml) VEKS : Volume larutan kerja ekstrak β-glukan yang dikulturkan (ml) a.) Pembuatan larutan stok ekstrak β-glukan dengan konsentrasi 200 mg/ml: Pembuatan stok konsentrasi 200 mg/ml adalah dengan melarutkan 0.44 g ekstrak dengan 2.20 ml larutan RPMI MSG = 0.44 g 2.20 ml = 0.2 g/ml = 200 mg/ml = 200000 µg/ml Keterangan: MSG : Konsentrasi larutan stok ekstrak β-glukan (µg/ml)
Lampiran 12. Tahapan pembuatan larutan kerja ekstrak β-glukan (lanjutan) b.) Pembuatan larutan kerja ekstrak ke dalam eppendorf 1 ml dari larutan stok: MSG x VSG 200000 µg/ml x VSG
= MKG x VEp = 36666.67 µg/ml x 1 ml = 0.18333 ml = 183.33 µl
VSG
Keterangan: MSG : Konsentrasi larutan stok ekstrak β-glukan (µg/ml) VSG : Volume larutan stok ekstrak β-glukan yang diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak β-glukan (µl) VEp : Volume eppendorf (ml) MKG : Konsentrasi larutan kerja ekstrak β-glukan (µg/ml) Volume RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 1 ml dalam satuan µl = 1000 µl – 183.33 µl = 816.67 µl Jadi volume larutan stok yang harus diambil untuk membuat larutan kerja ekstrak β-glukan dengan konsentrasi 36666.67 µg/ml adalah 183.33 µl dan larutan RPMI yang ditambahkan untuk mencapai total 1 ml larutan kerja ekstrak adalah 816.67 µl. Dari larutan kerja ekstrak inilah selanjutnya 20 µl larutan ekstrak β-glukan diambil untuk ditambahkan ke dalam kultur sel. c.) Bobot ekstrak dalam 183.33 µl dapat diketahui nilainya dengan perhitungan sebagai berikut (untuk membuat larutan ekstrak 1 ml): BEK = [183.33 µl x (1 ml / 1000 µl)] x 200000 µg/ml = 36666 µg Keterangan: BEK : Bobot ekstrak dalam VSG (µg) d.) Bobot ekstrak dalam 20 µl larutan ekstrak yang diambil adalah: BEKS = {[20 µl x (1 ml / 1000 µl)] x 36666 µg = 733.33 µg Keterangan: BEKS : Bobot ekstrak dalam VEKS (µg) e.) Konsentrasi ekstrak β-glukan dalam kultur sel dengan total volume kultur sel adalah 110 µl MKS = 733.33 µg 110 µl = 6.6667 µg/µl = 6666.67 µg/ml Keterangan: MKS : Konsentrasi ekstrak β-glukan dalam kultur sel (µg/ml)
Lampiran 13. Komposisi media RPMI-1640 Komponen
Konsentrasi (mg/l)
Komponen
Konsentrasi (mg/l)
Vitamin
Asam Amino Arginin
700
Biotin
0.2
Asparagin
50
D-Ca Pantothenat
0.25
Asam Aspartat
20
Kolin Klorida
3
Sistin
50
Asam Folat
1
Asam Glutamat
20
I-Inositol
35
Glutamin
300
Nikotinamide
1
Glisin
10
Riboflavin
Histidin
15
Thiamin HCL
1
Hidroksiprolin
20
Vitamin B12
0.005
Isoleusin
50
Piridoksin HCL
1
Leusin
50
Asam P-aminobenzoat
1
Lisin HCL
40
Garam Anorganik
Metionin
15
KCL
400
Phenilalanin
15
MgSO4.7H2O
100
Prolin
20
NaCl
6000
Serin
30
NaHCO3
2200
Threonin
20
Na2HPO4 dan H2O
1512
Tryptophan
5
Tyrosin
20
Valin
20
0.2
Lampiran 14. Gambar peta sumur pada microplate untuk pengujian pengaruh ekstrak heksana, etil asetat, etanol, dan akuades terhadap proliferasi sel limfosit 1 A B C D E F G H
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Lampiran 14. Gambar peta sumur pada microplate untuk pengujian pengaruh ekstrak heksana, etil asetat, etanol, dan akuades terhadap proliferasi sel limfosit (lanjutan) Keterangan : Lambang
Kode peta
Sampel
A1, B1, C1
Kontrol standar (RPMI)
A3, B3, C3
Mitogen PKW
A5, B5, C5
Mitogen LPS
A7, B7, C7
Ekstrak heksana dengan konsentrasi 40.88 µg/ml
A8, B8, C8
Ekstrak heksana dengan konsentrasi 81.77 µg/ml
A9, B9, C9
Ekstrak heksana dengan konsentrasi 163.54 µg/ml
F1, G1
Ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 5.72 µg/ml
F2, G2
Ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 11.43 µg/ml
F3, G3
Ekstrak etil asetat dengan konsentrasi 22.87 µg/ml
F5, G5
Ekstrak etanol dengan konsentrasi 29.40 µg/ml
F6, G6
Ekstrak etanol dengan konsentrasi 58.80 µg/ml
F7, G7
Ekstrak etanol dengan konsentrasi 117.59 µg/ml
F9, G9
Ekstrak akuades dengan konsentrasi 223.88 µg/ml
F10, G10
Ekstrak akuades dengan konsentrasi 447.76 µg/ml
F10, G11
Ekstrak akuades dengan konsentrasi 895.53 µg/ml
Lampiran 15. Gambar peta sumur pada microplate untuk pengujian pengaruh ekstrak β-glukan terhadap proliferasi sel limfosit 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A B C D E F G H
Keterangan : Lambang
Kode peta
Sampel
A1, B1, C1
Kontrol standar (RPMI)
A3, B3, C3
Mitogen PKW
A5, B5, C5
Mitogen LPS
A7, B7, C7
Mitogen Con A
A9, B9, C9
Ekstrak β-glukan standar konsentrasi 6666.54 µg/ml
A11, B11, C11
Ekstrak β-glukan dari tepung pearl millet tersosoh 100 detik dengan konsentrasi 6666.54 µg/ml
dengan
Lampiran 16. Contoh perhitungan derajat sosoh dan rendemen biji pearl millet tersosoh 100 detik Diketahui data-data sebagai berikut: Waktu Sosoh = 100 detik Bobot awal biji pearl millet utuh = 150 g Bobot biji pearl millet tersosoh selama 100 detik = 136 g Bobot produk sampingan hasil sosoh biji pearl millet selama 100 detik = 12 g ` Bobot produk sampingan hasil sosoh biji pearl millet selama 300 detik = 44 g
Derajat sosoh biji pearl millet tersosoh 100 detik: DS(%) = Σ produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh tertentu
x 100% (1.1)
Σ produk sampingan hasil sosoh biji serealia tersosoh sempurna
DS(%) = bobot produk sampingan hasil sosoh biji pearl millet selama 100 detik x 100% bobot produk sampingan hasil sosoh biji pearl millet selama 300 detik DS(%) = 12 g 44 g
x 100%
DS = 27.27% Jadi, derajat sosoh biji pearl millet selama 100 detik adalah 27.27%.
Rendemen biji pearl millet tersosoh 100 detik: RS(%) = Σ biji serealia tersosoh selama waktu sosoh tertentu
x 100%
Σ biji serealia utuh RS(%) =
bobot biji pearl millet tersosoh selama 100 detik bobot awal biji pearl millet utuh
RS(%) = 136 g 150 g
(1.2) x 100%
x 100%
RS = 90.67% Jadi, rendemen biji pearl millet yang tersosoh selama 100 detik adalah 90.67%.
Lampiran 17. Gambar biji pearl millet
a. Sosoh 0 detik
b. Sosoh 100 detik
c. Sosoh 150 detik
d. Sosoh 200 detik
e. Sosoh 250 detik
f. Sosoh 300 detik
Lampiran 18.
Senyawa terlarut dari tepung pearl millet yang telah diketahui dapat larut dalam pelarut nonpolar, polar, dan larut air
Jenis komponen
Nama
terlarut
komponen
Subkomponen terlarut
Keterangan
terlarut Nonpolar
Vitamin
Vitamin A
Pada
umumnya
tergolong
Vitamin D
dalam vitamin larut lemak
Vitamin E Vitamin K Lemak
trigliseridaa
Dapat
Asam lemak (linoleat dan
menggunakan pelarut heksana
oleat)
a,b
diekstraksi
dengan
atau petroleum eter.
Sterol bebasa Komponen gliseridaa Polar
Protein
Prolamin
(memiliki
asam
Larut senyawa alkohol
amino lisin terbatas tetapi asam tinggi) a
Lemak
amino
triptofan
c
Komponen
lemak
terasosiasi komponen
yang dengan
pati
pada
Merupakan
residu
ekstraksi lemak bebas dengan pelarut nonpolar
endosperma Komponen
Asam fenolik (asam ferulat,
fenolik
kaumarat,
sinamat,dan
gentisic) Golongan flavonoid (tanin, katekin, antosianidin, flavon, dan glikosida)d, e Glikosylvitexin glikosylorientin
dan
setelah
Larut senyaw polar
Lampiran 18.
Senyawa terlarut dari tepung pearl millet yang telah diketahui dapat larut dalam pelarut nonpolar, polar, dan larut air (lanjutan)
Jenis komponen
Nama
Subkomponen terlarut
terlarut
komponen
Keterangan
terlarut Larut air
Proteinf
Soluble g
dietary fiber
Albumin
Larut air
Prolamin
-
Globulin
-
Glutelin
-
Pektin
Serat yang dapat larut
Sebagian kecil hemiselulosa Komponen oligosakarida Sebagian gula alkohol
Karbohidrat
h
Fruktosa
Rendemennya
tinggi
Glukosa
varietas pearl millet
pada
Sukrosa Maltosa Komponen oligosakarida Vitamin
Vitamin folacin)
B
(niacin,
B6,
Pada
umumnya
tergolong
dalam vitamin larut air
Vitamin C Mineral
Mineral larut air
Sumber: a Pruthi dan Bhatia (1970) di dalam Chen (1978) b Kulp dan Ponte (2000) c Swaminathan et al. (1971), Sawhney dan Naik (1969), Concon (1966) di dalam Chen (1978) d Leder (2004) e Tang (1991) f Bhuja (2009) g Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2009) h Uprety dan Austin (1972) di dalam Chen (1978)
Lampiran 19. Rincian perhitungan rendemen ekstrak hasil kegiatan ekstraksi tepung pearl millet Rendemen ekstrak heksana/ akuades/ β-glukan (%) = Bobot ekstrak x 100% Bobot tepung awal
(4.a.1)
Rendemen ekstrak etil asetat (%) = Bobot ekstrak etil asetat x 100% Bobot substrat heksana
(4.a.2)
Rendemen ekstrak etanol (%) = Bobot ekstrak etanol Bobot substrat etil asetat
(4.a.3)
x 100%
Ekstrak heksana Diketahui: Bobot tepung pearl millet awal Bobot ekstrak heksana Rendemen ekstrak heksana (%) = Bobot ekstrak heksana Bobot tepung awal
x 100%
=
x 100%
2.6984 g 100 g = 2.70%
= 100 g = 2.6984 g
Jadi, rendemen ekstrak heksana adalah 2.70%. Ekstrak etil asetat Diketahui: Bobot substrat heksana Bobot ekstrak etil asetat
= 96.7687 g = 0.3651 g
Rendemen ekstrak etil asetat (%) = Bobot ekstrak etil asetat Bobot substrat heksana
x 100%
=
x 100%
0.3651 g 96.7687 g = 0.38%
Jadi, rendemen ekstrak etil asetat adalah 0.38%.
Lampiran 19. Rincian perhitungan rendemen ekstrak hasil kegiatan ekstraksi tepung pearl millet (lanjutan) Ekstrak etanol Diketahui: Bobot substrat etil asetat Bobot ekstrak etanol
= 96.4650 g = 1.8717 g
Rendemen ekstrak etil asetat (%) = Bobot ekstrak etanol Bobot substrat etil asetat
x 100%
=
x 100%
1.8717 g 96.4650 g = 1.94%
Jadi, rendemen ekstrak etanol adalah 1.94%. Ekstrak akuades Diketahui: Bobot tepung awal Bobot ekstrak akuades
= 100 g = 14.7762 g
Rendemen ekstrak heksana (%) = Bobot ekstrak akuades Bobot tepung awal
x 100%
=
x 100%
14.7762 g 100 g = 14.78%
Jadi, rendemen ekstrak akuades adalah 14.78%. Ekstrak β-glukan Diketahui: Bobot tepung awal
= 10 g
Bobot ekstrak β-glukan
= 0.44 g
Rendemen ekstrak heksana (%) =
=
Bobot ekstrak β-glukan Bobot tepung awal
0.44 g 10 g = 4.40%
x 100%
x 100%
Jadi, rendemen ekstrak β-glukan adalah 4.40%.
Lampiran 20. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak akuades dalam darah dan variasi konsentrasinya Bobot asumsi konsumsi ekstrak tepung pearl millet per hari = Rendemen ekstrak x 100 g/hari Konsentrasi ekstrak dalam darah = Bobot asumsi konsumsi ekstrak tepung pearl millet per hari 6 liter darah
(4.a.4)
(4.a.5)
Diketahui: • Bobot asumsi tepung pearl millet yang dikonsumsi per hari = 100 g/hari • Volume darah dalam tubuh = 6000 ml (6 liter) • Rendemen ekstrak akuades = 14.78% Perhitungan dan hasil konsentrasi ekstrak akuades dalam darah: Bobot ekstrak akuades dengan asumsi konsumsi tepung pearl millet per hari = 14.78% x 100 g/hari = 14.78 g/hari = 14780 mg/hari Konsentrasi ekstrak dalam darah = Bobot asumsi konsumsi ekstrak tepung pearl millet per hari 6 liter darah = 14780 mg = 6L
14780 mg 6000 ml
= 2.4627 mg/ml = 2462.70 µg/ml
Variasi konsentrasi ekstrak akuades pada kultur sel: • Setengah kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah =
1 2
x konsentrasi ekstrak dalam darah
=
1 2
x 2462.70 µg/ml
= 1231.35 µg/ml • Satu kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah = konsentrasi ekstrak heksana dalam darah = 2462.70 µg/ml • Dua kali konsentrasi ekstrak akuades dalam darah = konsentrasi ekstrak heksana dalam darah x 2 = 2462.70 µg/ml x 2 = 4925.40 µg/ml
Lampiran 21.
Contoh perhitungan jumlah sel limfosit dengan metode pewarnaan biru tripan pada pengujian pengaruh ekstrak hasil ekstraksi bertingkat
Jumlah sel limfosit/ml = Ā x FP x 104 sel/ml
(5.1)
Keterangan: Ā = Rata-rata jumlah sel terhitung dari dua area kotak besar yang saling berseberangan FP = Faktor pengenceran (2), diperoleh dari penambahan pewarna biru trifan : suspensi sel yaitu 1:1 = Faktor koreksi volume hemasitometer yang setiap kotak sekundernya 104 berukuran 1 x 1 mm dan kedalaman 0.1 mm, sehingga volumenya 0.1 mm3 (1 ml = 1 cm3 = 1000 mm3) (Zimmerman, 2006; Northwestern University, 2005)
Diketahui: → Jumlah sel limfosit hidup pada ke dua area kotak besar (16 kotak kecil) hemasitometer yang saling bersebrangan (dalam penelitian ini adalah kotak B dan D): • Area B = 48 sel • Area D = 55 sel Maka total sel hidup pada ke dua area adalah 103 sel. Sel limfosit yang hidup ditunjukkan dengan keadaan sel dengan bentuk bulat penuh dan terlihat transparan (tidak berwarna biru). Jumlah sel limfosit yang hidup per ml
= [(48 + 55) / 2] x 2 x 104 = 1.03 x 106 sel/ml
→ Jumlah sel limfosit mati pada ke dua area dalam hemasitometer adalah: • Area B = 2 sel • Area D = 0 sel Maka total sel limfosit yang mati pada ke dua area adalah 2 sel. Sel limfosit yang mati ditunjukkan dengan keadaan sel dengan bentuk tidak bulat atau tidak teratur dan terlihat berwarna biru. Jumlah sel limfosit yang mati per ml
= [(2 + 0) / 2] x 2 x 104 = 2.00 x 104 sel/ml
Lampiran 22. Contoh perhitungan mencari bobot tepung pearl millet yang diasumsikan terkonsumsi dengan konsentrasi ekstrak heksana pada kultur sel Diketahui: • Bobot asumsi konsumsi tepung pearl millet tersosoh 100 detik
= 100 g/hari
• Rendemen ekstrak heksana = 2.70% Rendemen esktrak heksana 2.70% merupakan pembulatan dari 2.6984% nilai rendemen ekstrak yang diperoleh. • Konsentrasi ekstrak heksana secara teoritis
= 449.73 µg/ml
• Konsentrasi ekstrak heksana pada kultur sel
= 81.77 µg/ml
Dari data-data di atas dapat diperoleh: a.) Bobot ekstrak heksana yang terkonsumsi dengan asumsi konsumsi: = 100 g/hari x 2.6984% = 2.6984 g/hari Bobot ekstrak inilah yang sebanding dengan besar konsentrasi ekstrak dalam darah sebesar 449.73 µg/ml. b.) Bobot ekstrak heksana yang diasumsikan terkonsumsi dari konsentrasi yang ada pada kultur sel WH 81.77 µg/ml WH
=
=
2.6984 g/hari 449.73 µg/ml 0.49 g/hari
Keterangan: WH : bobot ekstrak heksana yang diasumsikan terkonsumsi dengan konsentrasi ekstrak pada kultur sel (g/hari) c.) Bobot tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang diasumsikan terkonsumsi dengan konsentrasi ekstrak heksana pada kultur sel: WT 100 g/hari
=
0.49 g/hari 2.6984 g/hari
WH
=
18.18 g/hari
Keterangan: WT : bobot tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik yang diasumsikan terkonsumsi dengan konsentrasi ekstrak pada kultur sel (g/hari)
Lampiran 23. Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik hasil ekstraksi bertingkat terhadap proliferasi sel limfosit manusia Rata-rata Indeks Stimulasi
1.263
Indeks Stimulasi 1.00
2
0.774
1.00
1.00
3
1.036
1.00
1
0.676
0.66
2
0.694
0.68
3
0.773
0.75
1
0.908
0.89
2
0.937
0.91
3
0.889
0.87
Ekstrak heksana konsentrasi
1
1.041
1.02
40.88 µg/ml
2
0.943
0.92
Ekstrak heksana konsentrasi 81.77 µg/ml
1
1.006
0.98
Sampel
Kontrol Standar
PKW konsentrasi 9.09 µg/ml
LPS konsentrasi 9.09 µg/ml
Ekstrak heksana konsentrasi 163.54 µg/ml
Ekstrak etil asetat konsentrasi 5.72 µg/ml
Ekstrak etil asetat konsentrasi 11.43 µg/ml
Ekstrak etil asetat konsentrasi 22.87 µg/ml
Ulangan
Absorbansi
1
0.70
0.89
0.97
0.74 2
0.512
0.50
1
0.902
0.88
2
0.827
0.81
1
0.900
0.88
2
0.994
0.97
1
0.822
0.80
0.84
0.92
1.00 2
1.217
1.19
1
0.805
0.79
2
1.147
1.12
0.95
Lampiran 23. Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik hasil ekstraksi bertingkat terhadap proliferasi sel limfosit manusia (lanjutan) Sampel Ekstrak etanol konsentrasi 29.40 µg/ml
Ekstrak etanol konsentrasi 58.80 µg/ml
Ekstrak etanol konsentrasi 117.59 µg/ml
Ekstrak akuades konsentrasi 223.88 µg/ml
Ekstrak akuades konsentrasi 447.76 µg/ml
Ekstrak akuades konsentrasi 895.53 µg/ml
Ulangan
Absorbansi
1
0.903
Indeks Stimulasi 0.88
2
1.005
0.98
1
0.901
0.88
2
0.971
0.95
1
0.993
0.97
2
1.266
1.24
1
1.002
0.98
Rata-rata Indeks Stimulasi 0.93
0.91
1.10
1.04 2
1.135
1.11
1
0.985
0.96 1.12
2
1.311
1.28
1
1.422
1.39
2
1.342
1.31
1.35
Lampiran 24. Contoh perhitungan indeks stimulasi ekstrak akuades dari tepung biji pearl millet tersosoh 100 detik IS = OD yang distimulasi dengan ekstrak atau mitogen OD pada kontrol standar
(5.2)
Keterangan: IS = Indeks Stimulasi OD = Optical Density (absorbansi) pada panjang gelombang 570 nm • Kontrol Standar (RPMI) → Absorbansi terukur ELISA reader Kontrol standar (RPMI): Ulangan 1= 1.263 Ulangan 2= 0.774 Ulangan 3= 1.036 → Rata-rata absorbansi sampel standar (RPMI) = (1.263 + 0.774 + 1.036) / 3 = 1.0243 → IS sampel standar (RPMI)= (1.0243 / 1.0243)= 1.00 • Ekstrak akuades pada konsentrasi 447.76 µg/ml di kultur sel: → Absorbansi terukur ELISA reader Sampel standar (RPMI): Ulangan 1= 0.985 Ulangan 2= 1.311 → IS masing-masing ulangan: IS ulangan 1= (0.985 / 1.0243)= 0.96 IS ulangan 2= (1.311 / 1.0243)= 1.28 Rata-rata IS ekstrak akuades = (0.96 + 1.28) /2 = 1.12
Lampiran 25. Perolehan absorbansi hasil pembacaan dengan ELISA reader dan nilai rata-rata indeks stimulasi ekstrak β-glukan terhadap proliferasi sel limfosit manusia Perlakuan Standar dengan RPMI dengan konsentrasi 189.45 µg/ml
Mitogen PKW konsentrasi 9.09 µg/ml
Mitogen LPS konsentrasi 9.09 µg/ml
Mitogen Con A konsentrasi 9.09 µg/ml
STD β-glukan murni konsentrasi 6666.54 µg/ml Ekstrak β-glukan dari tepung biji pearl millet sosoh 100 detik konsentrasi 6666.54 µg/ml
Rata-rata Indeks Stimulasi
2.029
Indeks Stimulasi 1.00
2
1.968
1.00
1.00
3
1.987
1.00
1
1.824
0.91
2
1.728
0.87
3
1.618
0.81
1
1.445
0.72
2
1.322
0.66
3
1.398
0.70
1
1.792
0.90
2
1.623
0.81
3
1.479
0.74
1
1.839
0.92
2
1.848
0.93
3
1.792
0.90
1
2.259
1.13
2
2.513
1.26
3
2.441
1.22
Ulangan
Absorbansi
1
0.86
0.70
0.82
0.92
1.21