PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU (Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
Oleh FITRI ANNA SARI F34102077
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU (Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
Oleh FITRI ANNA SARI F34102077
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU (Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh FITRI ANNA SARI F34102077
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU (Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh FITRI ANNA SARI F34102077
Dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1984 Di Padang Sidempuan
Tanggal Kelulusan : 2 Februari 2009
Menyetujui, 26 Mei 2009
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Pembimbing I
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing II
Fitri Anna Sari. F34102077. Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol. Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi Candra Sunarti. 2009. RINGKASAN Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat, diantaranya adalah sagu (Metroxylon sp.). Lahan sagu di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 50% dari sekitar 2,6 juta ha luas lahan sagu dunia. Namun hanya 5% yang dibudidayakan, kebanyakan secara semi-liar dengan perawatan minimal. Sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan Riau, Mentawai, Kalimantan dan Sulawesi (Widjono dan Jong, 2007). Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara ekstraksi. Selain sebagai bahan makanan, pati sagu juga digunakan sebagai bahan baku industri seperti farmasi, tekstil, kosmetika ataupun sebagai bahan energi (bioetanol) melalui proses fermentasi. Dalam kurun 1997–2006, produksi bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring dengan merebaknya isu menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol sebagai bahan bakar alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang akan terus meningkat. Fermentasi etanol secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap bahan yang mengandung monosakarida, sedangkan bahan pati harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa. Hidrolisis pati sagu dapat dilakukan secara asam ataupun enzimatis. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara asam, menggunakan H2SO4 dan HCl. Proses hidrolisis dilakukan menggunakan autoklaf, selama 30 menit pada suhu 121 oC. Hasil hidrolisis tersebut kemudian dinetralkan menggunakan larutan NH4OH, dan selanjutnya dipurifikasi dengan arang aktif hingga didapat hidrolisat asam yang jernih. Dari hasil penelitian didapat bahwa untuk menghidrolisis pati sagu dengan konsentrasi 16%, konsentrasi asam optimum yang digunakan adalah 0,5 N. Hidrolisat pati sagu tersebut kemudian difermentasi hingga menghasilkan etanol. Pada hidrolisis dengan asam H2SO4 0,5 N didapat nilai total gula 148,02 g/l, sedangkan hidrolisis dengan asam HCl 0,5 N sebesar 142,95 g/l. Fermentasi etanol dilakukan terhadap substrat hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis asam dengan H2SO4 dan HCl, dengan pembanding sirup glukosa teknis, masing-masing pada konsentrasi gula 10%. Proses fermentasi dilakukan pada kondisi anaerob dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae, selama 3 hari menggunakan inkubator goyang. Setiap 6 jam selama fermentasi dilakukan pengukuran laju pembentukan CO2, kemudian pada awal dan akhir fermentasi dilakukan analisis total gula, gula pereduksi, pengukuran pH, total asam, penentuan biomassa dan kadar etanol (dengan metode Gas Chromatography), serta perhitungan parameter kinetika ∆s/s, Yx/s, Yp/s, dan Yp/x. Dari hasil pengukuran, laju fermentasi ketiga substrat menunjukkan peningkatan yang lambat pada 6 jam pertama, kemudian meningkat dengan cepat hingga jam ke-18. Pada substrat hidrolisat asam H2SO4 dan sirup glukosa teknis, titik maksimum dicapai pada jam ke-24. Laju fermentasi kemudian menurun secara perlahan setelah jam ke-24 hingga akhir fermentasi (jam ke-72). Sedangkan pada substrat hidrolisat asam HCl, laju fermentasi telah mencapai titik maksimum
pada jam ke-18, kemudian menurun dengan cepat hingga kemudian berhenti pada jam ke-54. Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH karena terbentuknya asam-asam organik. Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis, dengan pH akhir tertinggi pada substrat hidrolisat asam H2SO4 yaitu 3,77 dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis yaitu 3,16. Sementara total asam akhir tertinggi diperoleh dari substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar 18,60 g/l dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l. Pada penentuan biomassa, didapat bahwa pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar 1,17 g/l dan terendah pada substrat hidrolisat asam HCl sebesar 1,02 g/l. Dari hasil analisis total gula dan gula pereduksi, diketahui bahwa konsumsi substrat tertinggi terjadi pada substrat sirup glukosa teknis, dan terendah pada substrat hidrolisat asam HCl. Sementara nilai kadar etanol tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup glukosa teknis yaitu 2,56%, diikuti oleh hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai 1,91%, sedangkan kadar etanol terendah dihasilkan dari fermentasi hidrolisat asam HCl dengan nilai 0,63%. Dari hasil pengukuran terhadap parameter-parameter kinetika fermentasi, didapat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat (∆s/s) tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup glukosa teknis sebesar 41,06% dan terendah pada fermentasi hidrolisat asam HCl sebesar 3,52%. Yield biomassa (Yx/s) terbesar diperoleh dari fermentasi hidrolisat asam HCl dengan nilai 0,019 dan terendah pada fermentasi sirup glukosa teknis dengan nilai 0,005. Yield produk (Yp/s) terbesar diperoleh dari fermentasi sirup glukosa teknis dengan nilai 0,577 dan terendah pada fermentasi hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai 0,497. Nilai Yp/x terbesar diperoleh dari fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x terkecil pada fermentasi substrat hidrolisat asam HCl sebesar 4,358.
Fitri Anna Sari. F34102077. Effect of Acids on Hydrolysis of Sago (Metroxylon sp) Starch for Ethanol Production. Under Academic Supervision of Liesbetini Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2009.
SUMMARY As a country which is located in humid tropical region, Indonesia is rich in carbohydrate producing plants, such as sago palm (Metroxylon sp.). Indonesia has the largest area which is grown with sago palm, reaching 50% of the approximately 2.6 million ha of sago area in the world. From this amount, only 5% is cultivated land, and most of the land is in the form of semi natural sago field, with only minimum care. Around 90% of sago potency in Indonesia is in Papua, whereas the rest of it is distributed in Maluku, Riau archipelago, Mentawai, Kalimantan and Sulawesi (Widjono and Jong 2007). Sago starch could be obtained from the pith of sago palm stem through extraction process. Beside serving as foodstuff, sago starch is also used as industrial raw materials, such as for pharmacy, textile, cosmetics, or for energy source materials (bioethanol) through fermentation process. During period 1997 – 2006, world production of bioethanol grew by 11% per year (Bukit, 2008). In line with the emerging issue of depletion of fossil fuel reserves and the potency of bioethanol as alternative fuel, the demand for bioethanol in the future will increase progressively. Direct fermentation of ethanol could only be conducted on materials which contain monosaccharide, whereas starch materials should be previously hydrolyzed to become glucose. Sago starch hydrolysis could be conducted in acidic method or enzymatically. In this research, the method used was acidic hydrolysis using H2SO4 and HCl. Hydrolysis process used autoclave for 30 minutes at temperature of 121 oC. The hydrolysis product was then neutralized by using NH4OH solution and was purified by using activated charcoal until clear acid hydrolysate was obtained. Research results showed that for hydrolyzing sago starch with concentration of 16%, optimum acid concentration was 0.5 N. The sago starch hydrolysate was then fermented to produce ethanol. In hydrolysis with acid H2SO4 0.5 N, sugar total value of 148.02 g/l was obtained, whereas for hydrolysis with acid HCl 0.5 N the value was 142.95 g/l. Ethanol fermentation was conducted on substrate of sago starch hydrolysate resulting from acid hydrolysis with H2SO4 and HCl, with commercial glucose syrup as comparison, at sugar concentration of 10% each. Fermentation process was conducted at anaerobic condition using Saccharomyces cerevisiae for about 3 days using shaker incubator. During fermentation, rate of CO2 formation was measured every 6 hours, and in the beginning and end of fermentation, there were analysis of total amount of sugar, reducing sugar, pH measurement, total acid, determination of biomass and ethanol concentration (with Gas Chromatography), and calculation of kinetics parameter ∆s/s, Yx/s, Yp/s, and Yp/x. Results showed that rate of fermentation of the three substrates exhibited slow increase in the first 6 hours, which afterwards increased rapidly up to hour18. In substrate of H2SO4 acid hydrolysate and commercial glucose syrup, maximum point was reached at hour-24. Subsequently, fermentation rate
decreased slowly after hour-24 up to the end of fermentation (hour-72). On the other hand, in HCI acid hydrolysate substrate, fermentation result had reached maximum point at hour-18, which afterwards decreased rapidly and then stopped at hour-54. During fermentation process, pH was decreased due to the formation of organic acids. The largest average decreasing in pH was obtained from substrate of commercial glucose syrup, with the highest final pH in substrate of H2SO4 acid hydrolysate with value of 3.77, and that of the lowest in substrate of commercial glucose syrup with value of 3.16. The highest final total acid was obtained from substrate of H2SO4 acid hydrolysate with value of 18.6 g/l and that of the lowest in substrate of commercial glucose syrup with value of 3.32 g/l. In biomass determination, it was found that the largest biomass formation occurred in fermentation of H2SO4 acid hydrolysate substrate as 1.17 g/l, whereas that of the lowest in substrate of HCl acid hydrolysate substrate as 1.02 g/l. Analysis results of total sugar and reducing sugar, showed that the highest substrate consumption occurred in substrate of commercial glucose syrup, and that of the lowest, in HCl acid hydrolysate substrate. On the other hand, the highest value of ethanol concentration was obtained from fermentation of commercial glucose syrup with value of 2.56%, followed by H2SO4 acid hydrolysate with value of 1.91%, whereas the lowest ethanol concentration was obtained from fermentation of HCl acid hydrolysate with value of 0.77%. Results of kinetics fermentation parameters showed that the highest efficiency of substrate utilization (∆s/s) was obtained from fermentation of commercial glucose syrup with value of 41.06%, whereas that of the lowest, in fermentation of HCl acid hydrolysate with value of 3.52%. The highest biomass yield (Yx/s) was obtained from fermentation of HCl acid hydrolysate with value of 0.019, and that of the lowest, in fermentation of commercial glucose syrup, with value of 0.005. The highest product yield (Yp/s) was obtained from commercial glucose, with value of 0.577 and that of the lowest, in fermentation of H2SO4 acid hydrolysate with value of 0.497. The highest value of Yp/x was obtained from fermentation of commercial glucose syrup substrate with value of 17.571, whereas that of the lowest, in fermentation of HCl acid hydrolysate substrate with value of 4.358.
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol” adalah karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik (pembimbing I) dan pembimbing penelitian (pembimbing II). Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009 Yang membuat pernyataan,
Fitri Anna Sari F34102077
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Sidempuan, Sumatera Utara pada tanggal 25 Juli 1984. Penulis merupakan puteri ke-enam dari enam bersaudara pasangan Muhammad Saleh Nasution, BA. dan Dewa Harahap. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 112143 (SDN 10) Rantau Prapat, Sumatera Utara pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SMP Negeri 2 Rantau Prapat hingga tamat pada tahun 1999. Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMU Negeri 5 Bogor pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kampus. Pada periode 2003/2004, penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tekologi Pertanian (BEM-FATETA) masa bakti 2004/2005. Kemudian pada tahun ajaran 2005/2006, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Laboratorium Lingkungan.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol” ini dengan baik. Rampungnya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada : 1.
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi., selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dari awal kegiatan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
2.
Pak Edi, Bu Ega dan Bu Rini selaku teknisi Laboratorium yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan kegiatan penelitian.
3.
Ayahanda dan ibunda (almarhumah) serta kakak-kakak penulis atas segala kasih sayang, do’a, dukungan dan bantuan yang sangat berarti bagi penulis.
4.
Sahabat-sahabat penulis, Annisa, Mira, Indri, Dina dan Fifi, serta rekanrekan mahasiswa program studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 39, atas segala kebersamaan, dukungan dan bantuannya.
5.
Segenap pihak terkait yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah membantu
penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa-masa mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Mei 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ iii DAFTAR ISI ......................................................................................... iv DAFTAR TABEL .................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ....................................................... 1 B. TUJUAN ........................................................................... 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TANAMAN SAGU ............................................ 4 B. POPULASI, PRODUKSI DAN POTENSI SAGU ............. 5 C. KARAKTERISTIK PATI SAGU ....................................... 8 D. HIDROLISAT PATI SAGU .............................................. 11 E. FERMENTASI ETANOL .................................................. 13
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ........................................................ 20 B. METODE PENELITIAN ................................................... 20 1. Karakterisasi Pati Sagu ................................................. 20 2. Penelitian Pendahuluan ................................................ 21 3. Penelitian Utama .......................................................... 21 a. Produksi Hidrolisat Pati Sagu ................................. 21 b. Produksi Etanol ...................................................... 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI PATI SAGU.................................................. 27 B. PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP HIDROLISAT PATI SAGU ......................... 30 C. PRODUKSI ETANOL ....................................................... 37 1. pH dan Total Asam ...................................................... 38
2. Biomassa ...................................................................... 41 3. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi ........................... 44 4. Efisiensi Pemanfaatan Substrat ..................................... 47 5. Laju Pembentukan CO2 ................................................ 49 6. Kadar Etanol ................................................................ 52 7. Kinetika Fermentasi ..................................................... 57 V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .................................................................. 60 B. SARAN ............................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 62 LAMPIRAN ......................................................................................... 66
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970-2000 ........... 7
Tabel 2.
Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu ................................. 7
Tabel 3.
Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan Lain ...................................................................................... 8
Tabel 4.
Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya ................... 10
Tabel 5.
Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995) ........................ 11
Tabel 6.
Karakteristik Pati Sagu .......................................................... 27
Tabel 7.
Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP) pada Penelitian Pendahuluan ................................................. 31
Tabel 8.
Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP pada Hidrolisat Pati Sagu ...................................................... 34
Tabel 9.
Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10% .... 36
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat ................. 47 Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC ...... 54 Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil Analisis Metode GC) ............................................................. 58
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Areal Sagu di Dunia ........................................................... 6
Gambar 2.
(a) Struktur Kimia Amilosa ............................................... 9 (b) Struktur Kimia Amilopektin ......................................... 9
Gambar 3.
Embden-Meyerhof-Parnas Pathway ................................... 15
Gambar 4.
Diagram Alir Proses Hidrolisis Pati Sagu ........................... 22
Gambar 5.
Diagram Alir Proses Produksi Etanol ................................. 25
Gambar 6.
Skema Peralatan Pengukuran Laju Pembentukan Gas CO2 .. 26
Gambar 7.
Hidrolisat Pati Sagu Sebelum Purifikasi ............................. 32
Gambar 8.
Hidrolisat Pati Sagu Setelah Purifikasi ............................... 33
Gambar 9.
Peralatan Fermentasi Hidrolisat Pati Sagu Menjadi Etanol .. 38
Gambar 10. Histogram pH Awal dan pH Akhir Fermentasi ................... 40 Gambar 11. Histogram Total Asam pada Awal dan Akhir Fermentasi ... 41 Gambar 12. Histogram Biomassa pada Awal dan Akhir Fermentasi ...... 42 Gambar 13. Histogram Total Gula pada Awal dan Akhir Fermentasi ..... 44 Gambar 14. Histogram Gula Pereduksi Awal dan Akhir Fermentasi ...... 45 Gambar 15. Grafik Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi ............ 49
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu .......................... 66 Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu ............................... 69 Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi .................................. 72 Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam .. 74 Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 .......................... 76 Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi ............................... 78 Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC ...................... 81 Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi ......................................... 82
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat. Pada umumnya karbohidrat tersebut diperoleh dari biji-bijian (seperti beras, gandum, jagung, sorgum dan semacamnya) dan umbi-umbian (seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong dan semacamnya). Selain itu ada juga jenis tanaman lain yang menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian batang seperti aren (Arenga pinata), sagu (Metroxylon sp.) dan semacamnya. Sagu dapat tumbuh di daerah rawa dan gambut atau tanah marginal yang sulit ditumbuhi oleh tanaman penghasil karbohidrat lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Dengan demikian
pengembangan
sagu
pada
lahan
tersebut
tidak
hanya
menguntungkan secara ekonomis, namun juga bermanfaat dari aspek ekologis. Menurut peneliti ahli dari Universitas Kochi Jepang, Yoshinori Yamamoto, sagu Indonesia memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding sagu dari Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi lebih dari 300 kg pati untuk tiap pohonnya (Humas, 2006). Sagu (Metroxylon sp.) di Indonesia merupakan tumbuhan yang tumbuh dalam bentuk hamparan hutan yang kurang terpelihara sebagaimana mestinya. Menurut Jong dan Widjono (2007), luas lahan sagu di dunia lebih dari 2,6 juta ha, namun hanya sekitar 5% yang dibudidayakan, kebanyakan secara semi-liar dengan perawatan minimal. Pemanfataan sagu sebagai bahan baku dalam pembuatan makanan tradisional di Indonesia sudah sejak dahulu dikenal. Bahkan penduduk di beberapa wilayah Indonesia, seperti Maluku, Irian Jaya, Sulawesi dan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokoknya. Namun pemanfaatannnya sebagai bahan baku industri belum cukup luas. Propek pasar sagu juga cukup baik. Permintaan sagu terus meningkat baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Pasar ekspor yang potensial
1
adalah Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand dan Singapura (Jong dan Widjono, 2007). Permintaan dalam negeri terus meningkat, karena perkembangan industri makanan, industri pakan ternak, industri farmasi, industri tekstil, industri kosmetika, industri kimia, dan sebagainya. Pati sagu juga dapat digunakan sebagai bahan energi. Untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, pati sagu harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil (–OH) yang terikat pada atom karbon. Dalam perdagangan dikenal dengan nama alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH. Industri etanol dirintis sejak abad ke–19, sejalan dengan berkembangnya industri gula di Indonesia. Etanol memiliki banyak kegunaan, disamping sebagai bahan pelarut, etanol juga digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan industri, seperti industri bahan kimia, kosmetika, obat-obatan, minuman, bidang mikrobiologi dan lain-lain. Selain itu etanol juga dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar. Etanol yang dihasilkan dari sumber daya alam terbarukan disebut bioetanol. Molekul bioetanol mengandung oksigen yang menghasilkan pembakaran bahan bakar dalam mesin menjadi lebih sempurna, sehingga dapat mengurangi emisi gas buang. Dengan begitu, bioetanol turut berperan menekan polusi udara. Bioetanol juga mudah terurai dalam air sehingga tidak menimbulkan pencemaran air (Bukit, 2008). Permintaan etanol di dunia juga terus meningkat. Dalam kurun 1997 – 2006, produksi bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring dengan akan menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol sebagai bahan bakar alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang bakal terus menanjak. Itulah sebabnya peluang usaha bioetanol di tanah air semakin terbuka. Etanol dapat diperoleh melalui proses fermentasi. Fermentasi etanol dengan menggunakan galur khamir Saccharomyces cerevisiae, atau dari jenis Schizosaccharomyces sp., secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap bahan baku yang mengandung gula seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, maltosa dan rafinosa. Untuk bahan baku pati, sebelum dapat difermentasi menjadi
2
etanol harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa (Sjamsuriputra et al., 1986). Hidrolisis pati sagu untuk pembuatan etanol dapat dilakukan dengan metode hidrolisis secara asam ataupun dengan hidrolisis enzimatis. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara asam, dengan menggunakan jenis asam H2SO4 dan HCl. Metode hidrolisis secara asam lebih sederhana, tanpa harus melalui beberapa tahapan seperti pada hidrolisis secara enzimatis. Selain itu juga hidrolisis secara asam memerlukan waktu proses yang relatif lebih singkat, teknologi yang lebih sederhana, pengaturan kondisi proses yang lebih mudah, serta biaya yang lebih murah karena tidak melibatkan enzim. Namun metode hidrolisis secara asam memiliki beberapa kelemahan, yaitu timbulnya warna dan flavor yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk. Selain itu rendemen yang dihasilkan juga lebih rendah, karena pada hidrolisis asam rantai pati dipotong secara acak, sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa (Chaplin dan Bucke, 1990). Oleh karena itu, pada tahap awal penelitian ini dicari formulasi terbaik
dari proses
hidrolisis secara
asam
untuk
meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh hidrolisis secara asam itu sendiri.
B. TUJUAN Tujuan penelitian secara umum adalah memproduksi bioetanol dengan cara fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan substrat hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis secara asam. Tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mendapatkan jenis dan dosis asam (H2SO4 dan HCl) optimum untuk menghidrolisis pati sagu menjadi hidrolisat pati sagu dan sebagai sumber karbon pada produksi bioetanol dengan menggunakan larutan amonia (NH4OH) sebagai larutan penetralisasi pH pada hidrolisat pati sagu sekaligus sebagai sumber nitrogen pada produksi bioetanol.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI TANAMAN SAGU Sagu merupakan tanaman yang berasal dari ordo Spadiciflorae, kelas Angiospermae,
subkelas
Monocotyledoneae,
famili
Palmae,
genus
Metroxylon. Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi yaitu Metroxylon dan Arenga. Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari metra yang berarti batang atau empulur dan xylon yang berarti kayu atau xilem (Flach, 1983 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Tanaman sagu tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil Jawa. Daerah pertumbuhan pohon sagu yang paling baik adalah di dataran rendah, di hutan rawa dan di tepi muara sungai. Menurut Flach (1983) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), daerah pertumbuhan pohon sagu adalah pada ketinggian sampai 700 meter di atas permukaan laut, antara 10o LU – 10o LS dan 90o BT – 180o BT. Tanaman sagu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali dan sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih. Golongan sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali bernilai ekonomi tinggi karena memiliki kandungan pati yang tinggi, seperti Metroxylon longispinum Martius, Metroxylon rumpii Martius, Metrozylon micracantum Martius, Metroxylon sylvester Martius dan Metroxylon sagus Rottbol. Jenis sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih memiliki kandungan pati lebih sedikit, biasanya tumbuh di daerah dataran rendah (Haryanto dan Pangloli, 1992). Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu, karena batang merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya tergantung dari jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Ukuran diameter batang sagu dapat mencapai 80 cm hingga 90 cm dan rata-rata berukuran sekitar 50 cm. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun keatas
4
empulur sagu mengandung pati sekitar 15–20% (Rumalatu, 1981 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan siap dipanen, yaitu apabila pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun berwarna kelabu biru (Ishak et al., 1984). Setelah masa panen, sagu akan mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal (Haryanto dan Pangloli, 1992). Bagian lain yang berperan penting dalam pembentukan pati sagu adalah daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati sagu dapat berlangsung optimal (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu jenis Metroxylon, Arenga dan Mauritia merupakan produk yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Jenis palem tersebut memiliki toleransi terhadap kualitas tanah rendah, sehingga dapat dibudidayakan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pendapatan bagi daerah dengan lahan tidak subur (Rudlee et al., 1978).
B. POPULASI, PRODUKSI DAN POTENSI SAGU Sagu yang tersebar di Indonesia umumnya merupakan jenis Metroxylon sagus Rooth dan Metroxylon rumpii yang berduri. Tanaman ini berasal dari Maluku kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial di samping beras, khususnya bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Timur Indonesia, seperti Irian Jaya dan Maluku. Tanaman sagu umumnya tumbuh secara liar, namun ada juga yang sengaja dibudidayakan secara intensif, meskipun jumlahnya baru sedikit (Haryanto dan Pangloli, 1992).
5
Populasi tanaman sagu sangat bergantung dari jenis, daerah produksi, dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan sagu yang dibudidayakan populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar. Jumlah pohon yang dapat dipanen dalam satu hektar berbeda-beda tiap tahunnya. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pohon sagu di Indonesia dapat menghasilkan 250 kg tepung kering per batang, sehingga apabila setiap hektar terdapat 16–20 batang sagu yang masak tebang, maka setiap tahun Indonesia dapat memproduksi 4,5 juta ton tepung sagu kering. Potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sebenarnya sangat besar, sekitar 51% potensi sagu dunia ada di Indonesia (Gambar 1), dan sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan Riau, Mentawai, Kalimantan dan Sulawesi. Karena itu Indonesia mempunyai peluang amat besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri pengolahan sagu (Jong dan Widjono, 2007). Namun pemanfataan sagu di Indonesia masih sangat rendah. Sebagian areal sagu Indonesia, khususnya yang berada di Papua saat ini telah menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan. Umumnya daerah sagu yang potensial berlokasi di daerah terisolir dan jauh dari perkotaan. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat sederhana atau tradisional, ditandai dengan kapasitas dan produktivitas pengolahan yang rendah dan tidak kontinyu.
3.7%
1.5%
Malaysia Indonesia Thailand Papua New Guinea Others 43.3%
0.2%
51.3%
Gambar 1. Areal sagu di dunia (Anonim, 2008) Pati merupakan bahan dasar berbagai macam industri sehingga produksinya di dunia terus meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir,
6
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pasar pati dunia diperkirakan tumbuh sekitar 7,7% per tahun (Jong dan Widjono, 2007).
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970 - 2000 Tahun
Produksi Pati (juta ton/th)
Pertengahan 1970-an
7
Pertengahan 1980-an Awal 1990-an 1996 1999
18 20 36 47
2000
48,5
Sumber : Jong dan Widjono (2007) Beberapa produk olahan dari pati sagu sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia Bagian Timur, seperti papeda, soun dan ongol-ongol. Pada industri kue kering atau biskuit, tepung sagu biasanya digunakan sebagai campuran tepung terigu, yang dapat membuat kue kering lebih renyah. Buah atau umbut dari tanaman sagu dapat dimakan, lapisan luar batangnya dapat dibuat topi, tikar, tempat air, anak panah dan kayu bakar. Daunnya dapat digunakan sebagai atap dan tikar, sedangkan tangkai daunnya dimanfaatkan sebagai dinding rumah (Sastrapradja et al., 1980). Ringkasan potensi pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu Industri
Pemanfaatan
Non pangan
Lem, keramik, kosmetik, insulasi, cat, plywood, tekstil
Pangan
Roti, permen, dairy, desserts, mi, salad dressings, pemanis
Hidrolisis & fermentasi
Asam sitrat, ethanol, lisin, asam laktat (plastik organik)
Lain-lain
Farmasi, aseton, larutan injeksi dekstrosa, penisilin, antibiotik
Sumber : Jong dan Widjono (2007)
7
C. KARAKTERISTIK PATI SAGU Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan kromatofora dan disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan akar umbi sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur dan Chel, 1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal) berukuran 5– 80 µm, relatif lebih besar daripada pati serealia (Wirakartakusumah et al., 1984). Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, serta kalori yang tinggi. Komposisi kandungan sagu tersebut dapat menjadi penyelamat pada saat terjadi rawan pangan, serta diversifikasi pangan. Komposisi kimia tiap 100 g pati sagu dan beberapa jenis bahan pangan lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan Lain Sagu a)
Ubi kayu b)
Garut b)
Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)
357 0,7 0,2 85
362 0,5 0,3 86
355 0,7 0,2 85
Air (g)
13,7
12
13,6
Jenis Bahan
Sumber :
a) b)
Bintoro (1999) Haryanto dan Pangloli (1992)
Secara tradisional, pati sagu biasanya dikonsumsi langsung setelah dibakar atau diawetkan dalam bentuk bricks dan pearls. Dalam industri pangan, pati sagu banyak digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kue, jelly, makanan bayi, pembuatan gula cair dan bahan energi (Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Subing dan Karmansyah (1993) dalam Bintoro (1999), untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, pati sagu
8
harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis, 1 ton pati sagu dapat dijadikan 715 l etanol. Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α– glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa, dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α–1,4–D– glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α–1,6–D– glukosa sebanyak 4–5% dari berat total (Winarno, 1986). Struktur kimia amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
Gambar 2a. Struktur kimia amilosa (Beynum dan Roels, 1985)
Gambar 2b. Struktur kimia amilopektin (Beynum dan Roels, 1985)
9
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara ekstraksi. Empulur batang dihancurkan kemudian dicampur air yang bertindak sebagai carrier, lalu diperas dan disaring. Kemudian pati yang terdapat dalam filtrat diendapkan (Ishak et al., 1984). Pati
sagu
mengandung
27%
amilosa
dan
73%
amilopektin
(Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin juga akan mempengaruhi sifat pati. Apabila kadar amilosa pada pati semakin tinggi, maka pati bersifat kering, kurang lekat dan higroskopis atau mudah menyerap air. Perbedaan sifat dari pati sagu dengan beberapa jenis pati lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya Bentuk Granula
Ukuran Granula (µm)
Sagu
Elips agak terpotong
20 – 60
73 / 27
60 – 72
Beras
Poligonal
3–8
83 / 17
61 – 78
Jagung Kentang Ubi kayu
Poligonal Bundar Oval
5 – 25 15 – 100 5 – 35
74 / 26 76 / 24 83 / 17
62 – 74 56 – 69 52 – 64
Gandum
Elips
2 – 35
75 / 25
52 – 64
Ubi jalar
poligonal
16 – 25
82 / 18
58 – 74
Jenis Pati
Kandungan Kisaran Suhu Amilopektin / Gelatinisasi Amilosa (%) (oC)
Sumber : Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu, yang disebut suhu gelatinisasi dari pati tersebut. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk kedalam pati tersebut dan pati akan membengkak (mengembang). Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula.
10
Perubahan sifat ini disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Selain itu, suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 oC sampai 78 oC. Menurut Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 60–72 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 72–90 oC. Mutu pati sagu ditentukan oleh ukuran, bentuk, aroma, rasa dan faktor lainnya. Pati sagu yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Penentuan standar mutu pati sagu perlu dilakukan agar penggunannya dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan Standar Nasional Indonesia untuk mutu pati sagu yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995) Karakteristik Kadar Air (% b/b) Kadar Abu (% b/b) Kadar Serat Kasar (% b/b) Derajat Asam (ml NaOH 1N/100 g) Kadar SO2 (mg/kg) Jenis Pati lain selain Pati Sagu Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % b/b Total Plate Count (koloni/g)
Kriteria Maks. 13 Maks. 0,5 Maks. 0,11 Maks. 4 Maks. 30 Tidak boleh ada Min. 95 Maks. 106
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)
D. HIDROLISAT PATI SAGU Pati tidak mempunyai rasa manis, akan tetapi komponennya terdiri dari unit-unit glukosa yang bila dibebaskan dari polimernya dengan proses hidrolisis akan mempunyai rasa manis (Miller, 1975). Hidrolisat pati didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Sa’id, 1987).
11
Hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unitunit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti HCl, asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak terpengaruh dengan adanya ikatan α–1,6–glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa (Chaplin dan Bucke, 1990). Proses hidrolisis pati dengan bantuan asam pertama kali ditemukan oleh Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial baru terlaksana pada tahun 1850. Pada proses ini, sejumlah pati terlebih dahulu diasamkan sampai sekitar pH 2, kemudian dipanaskan dengan menggunakan uap dalam suatu tangki bertekanan yang disebut konverter hingga suhu 120–140 oC (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna kecoklatan. Warna kecoklatan ini dibutuhkan pada beberapa produk pangan seperti roti atau makanan panggang lainnya. Namun pada hidrolisat pati, warna kecoklatan tersebut tidak diinginkan. Menurut Sa’id (1987), pembentukan warna tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain konsentrasi prekursor warna seperti hidroksimetilfurfural dan senyawasenyawa amino yang ada serta kadar gula pereduksi sirup (hidrolisat) pati. Menurut Winarno (1997), pada umumnya proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik. Salah satu proses pencoklatan non enzimatik adalah reaksi Maillard yang terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan bahan berwarna coklat yang dapat menurunkan mutu produk. Menurut Junk dan Pancoast (1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan –C–O–C–
12
dengan menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Dan bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Kemudian polimer-polimer tersebut dihidrolisis sampai menjadi glukosa. Hidrolisis pati secara sempurna berlangsung dengan reaksi sebagai berikut, (C6H10O5)n + nH2O pati
n (C6H12O6) katalis dan panas
glukosa
Hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil (Tjokroadikoesoemo, 1986). Tingkat konversi pati menjadi komponen glukosa ditentukan oleh derajat konversi yang dikenal sebagai ekivalen dekstrosa atau Dextrose Equivalent (DE). Menurut Palmer (1970), Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai yang menunjukkan derajat konversi pati yang diukur dengan banyaknya molekul pati yang dipotong menjadi komponen glukosa, maltosa dan dekstrin. Derajat konversi ditentukan oleh waktu, tekanan dan katalis. Semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya. Menurut Howling (1979), sirup glukosa hasil hidrolisis asam mempunyai nilai DE antara 30–55. Tjokroadikoesoemo (1986), menambahkan bahwa konversi diatas DE 55 akan menghasilkan banyak zat warna dan menimbulkan rasa pahit. Proses hidrolisis diuji dengan menggunakan larutan KI 1% yang diteteskan kedalam larutan hasil hidrolisis. Apabila larutan hasil hidrolisis yang telah ditetesi larutan KI tidak menghasilkan warna biru (tidak terjadi perubahan warna), berarti proses hidrolisis sudah selesai (Rinaldy, 1987).
E. FERMENTASI ETANOL Fermentasi adalah proses metabolisme yang menyangkut perubahan kimia pada substrat bahan organik, baik karbohidrat, protein, lemak, maupun bahan yang lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim, dan dihasilkan dari aktivitas enzim tersebut oleh jenis mikroba spesifik (Presscot dan Dunn, 1981). Fermentasi dapat terjadi secara aerob
13
(memerlukan oksigen) maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen). Menurut Hidayat et al. (2006), fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan kapang. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik. Mikroba yang digunakan pada fermentasi etanol adalah khamir. Khamir berbentuk menyerupai kapang dari kelompok Ascomycetes yang tidak berfilamen tetapi uniseluler, umumnya berbentuk oval, silinder, bulat dan batang. Saccharomyces cerevisiae melakukan reproduksi vegetatif dengan
membentuk tunas, dan tidak mampu tumbuh pada nitrat sebagai satu-satunya sumber nitrogen (Hidayat et al., 2006). Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida (C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasi, sedangkan disakarida, pati, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana (monosakarida), untuk kemudian dapat difermentasi secara biologis dan kimia (Sa’id, 1987). Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang digunakan sebagai medium. Untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula digunakan Saccharomyces cerevisiae dan kadang-kadang digunakan juga Saccharomyces
ellipsoides
(Sa’id,
1987).
Saccharomyces
cerevisiae
merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan. Khamir ini telah lama digunakan dalam industri wine dan bir (Hidayat et al., 2006). Menurut Rehm dan Reed (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. Pada awal proses fermentasi etanol, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, sehingga perlu diberikan oksigen. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Konsentrasi alkohol yang tinggi bersifat racun terhadap khamir. Alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut
14
setelah tercapai konsentrasi antara 13–15% (v/v), tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Presscot dan Dunn, 1981). Pada proses fermentasi etanol, khamir akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur EmbdenMeyerhorf-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 3).
Gambar 3. Embden-Meyerhof-Parnas Pathway (Fardiaz, 1988)
15
Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat (fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk ATP (adenin-tri-phosphat). Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase. Atom hidrogen yang terlepas akan ditangkap
oleh
nikotinamida-adenin-dinukleotida
(NAD),
membentuk
NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom hidrogen kembali. Jadi, NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam proses fermentasi (Fardiaz, 1988). Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi asetaldehida, lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi etanol (Amerine et al., 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi melalui reaksi berikut, NADH H+ + NAD+
CO2
CH3COCO2H
CH3CHO
C2H5OH
asam piruvat
asetaldehida
etanol
Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroba. Secara teoritis, setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussaac seperti berikut, C6H12O6 glukosa
2 C2H5OH + etanol
2 CO2 karbondioksida
atau dalam dasar berat, 51,1% gula diubah menjadi etanol, dan 48,9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk pertumbuhan dan metabolisme khamir (Amerine et al., 1987). Menurut Paturau (1982), fermentasi etanol memakan waktu antara 30– 72 jam. Sedangkan menurut Presscot dan Dunn (1981), waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 3–7 hari.
16
Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon yang diperoleh dari gula, nitrogen dari amonia, oksigen, fosfor, kalium, zat besi dan magnesium yang berperan dalam pembentukan alkohol. Unsur kelumit (trace element) juga memegang peranan penting untuk pertumbuhan khamir (Presscot dan Dunn, 1981). Untuk mendapatkan etanol dalam jumlah yang maksimum dari proses fermentasi, perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi fermentasi etanol tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut, a. Suhu Fermentasi Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan mikroba. Jika mikroba ditumbuhkan pada suhu diatas suhu maksimumnya, maka protein dan enzim dalam sel mikroba tersebut akan mengalami denaturasi yang mengakibatkan terhentinya proses metabolisme (Hidayat et al., 2006). Menurut Presscot dan Dunn (1981), suhu optimum bagi pertumbuhan khamir pada fermentasi etanol antara 25–35 oC. Sedangkan menurut Hidayat et al. (2006), suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan khamir adalah 28–30 oC. Pada waktu fermentasi terjadi kenaikan panas, karena reaksinya eksoterm. Kenaikan suhu akan menurunkan ketahanan khamir terhadap etanol yang dihasilkan, dan meningkatkan pembentukan asam asetat yang bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi hasil etanol karena terjadinya proses penguapan (Hidayat et al., 2006). Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa fermentasi pada suhu rendah bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroba thermofilik, bakteri, dan khamir liar. b. Derajat Keasaman (pH) pH
medium
merupakan
salah
satu
faktor
penting
yang
mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk. Nilai pH berkorelasi positif dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi, maka fase awal (lag phase) akan lebih pendek, sehingga aktivitas fermentasi akan meningkat (Presscot dan Dunn, 1981). Karena pH sangat
17
penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan larutan penyangga (buffer) atau dengan penggunaan sistem kontrol pH tertentu (Sa’id, 1987). Khamir tumbuh dan efisien untuk fermentasi etanol pada kisaran pH 3,5–6,0. Sementara pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0–5,0. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pada pH dibawah 3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga proses fermentasi akan berkurang kecepatannya. c. Oksigen Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi ada beberapa jenis yang dapat tumbuh pada kondisi anaerob, seperti Saccharomyces cerevisiae. Menurut Anonim (2008), pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga terjadi metabolisme aerob atau respirasi. Pada proses respirasi, asam piruvat dioksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerob, respirasi digantikan dengan fermentasi. Pada proses fermentasi, asam piruvat diubah menjadi etanol dan CO2. Apabila terdapat udara pada proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit, karena terdapat proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO2 dan air. d. Medium Fermentasi Rancang bangun medium untuk pertumbuhan dan pembentukan produk merupakan suatu langkah yang menentukan berhasil-tidaknya suatu produksi. Komponen-komponen kimiawi medium harus dapat menyuplai kebutuhan elemen untuk pembentukan massa sel dan produk, serta harus dapat menyuplai energi yang tepat untuk sintesis dan pemeliharaan (Sa’id, 1987). Medium kultur harus mengandung semua elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba, dalam proporsi yang serupa dengan yang ada pada sel mikroba tersebut. Umumnya yang disebut makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O dan N. Mesonutrien merupakan elemen yang
18
dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti Mg, P dan S, sedangkan mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit, seperti Fe, Cu, Zn dan Mo (Hidayat et al., 2006). Higgins et al. (1984) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang paling baik untuk proses fermentasi etanol adalah 16–25%, yang akan dihasilkan rendemen etanol sebesar 6–25%. Menurut Amerine et al. (1987), konsentrasi gula yang tinggi (>25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat (substrate inhibition) dan waktu fermentasi menjadi lebih lama, serta tidak semua gula dapat dikonversi menjadi etanol. Jika konsentrasi gula yang terlalu tinggi (>70%), maka akan menyebabkan proses fermentasi menjadi terhenti akibat adanya tekanan osmotik yang menyebabkan lisis pada sel mikroba. Penggunaan konsentrasi gula yang terlalu rendah akan menjadikan proses fermentasi menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor yang tidak efisien. e. Kebutuhan Nutrien Tambahan Untuk melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol selain menggunakan gula sebagai bahan dasar, harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel dan pertumbuhan mikroba. Menurut Hidayat (2006), unsur C, unsur N, unsur P, mineral, vitamin, biotin, dan pantotenat merupakan bahan pendorong pertumbuhan, sementara thiamin dan piridoksin dapat meningkatkan produktivitas etanol serta meningkatkan kadar alkohol. f. Kadar Etanol Menurut Reed dan Peppler (1973), etanol dengan kadar sekitar 5% (v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang dengan kadar diatas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut. Fiecther (1982) menyatakan bahwa etanol dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati.
19
II. METODOLOGI
C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan untuk proses fermentasi adalah kultur
Saccharomyces
cerevisiae
yang
diperoleh
dari
Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA–IPB. Adapun bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, HCl, H2SO4, dan NH4OH untuk proses hidrolisis secara asam; PDA (Potato Dextrose Agar) dan PDB (Potato Dextrose Broth) sebagai medium perkembangbiakan; serta pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nutrient dalam fermentasi etanol; NaOH, pereaksi Luff Schoorl, KI, larutan tio, indikator kanji, indikator fenolftalein, pelarut etanol, aseton, glukosa standar, pereaksi fenol, pereaksi DNS, dan katalis yang digunakan untuk analisis bahan. Alat-alat yang digunakan diantaranya alat-alat gelas, kertas saring, timbangan, neraca analitik, termometer, pipet, buret, labu Soxhlet, piknometer, stirrer, jarum ose, bunsen, oven, pH meter, otoklaf, inkubator, inkubator goyang, penangas listrik, waterbath, tanur, destilator, desikator, clean bench, lemari pendingin, spektrofotometer serta alat-alat analisis bahan baku dan produk.
D. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi Pati Sagu Pada penelitian tahap pertama dilakukan karakterisasi pati sagu untuk menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia pati sagu yang digunakan. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak, kadar protein, dan kadar pati. Prosedur analisis karakteristik pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1.
20
2. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi HCl dan H2SO4 terbaik dari empat taraf konsentrasi yang dicobakan, yaitu (0,5 N; 1 N; 2 N; dan 3 N) yang digunakan dalam proses hidrolisis secara asam. Konsentrasi terbaik dari kedua jenis asam tersebut ditentukan dengan melakukan analisis terhadap hidrolisat pati sagu yang dihasilkan. Analisis tersebut meliputi penentuan kadar gula pereduksi (GP) dan total gula (TG). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Konsentrasi asam yang dinilai terbaik adalah yang menghasilkan nilai GP dan TG tertinggi pada hidrolisat pati sagu. Konsentrasi asam terbaik yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan tersebut kemudian digunakan untuk produksi hidrolisat pati sagu pada penelitian utama. 3. Penelitian Utama i.
Produksi Hidrolisat Pati Sagu Pada tahap ini, dilakukan hidrolisis pati sagu dengan metode hidrolisis secara asam . Metode hidrolisis asam yang digunakan adalah modifikasi metode hidrolisis asam oleh Rahayu (2006). Proses dilakukan dalam dua tahap, yaitu gelatinisasi dan hidrolisis. Gelatinisasi bertujuan untuk memecah granula pati sehingga asam lebih mudah mencapai molekul-molekul pati. Gelatinisasi dilakukan pada suhu 100 oC selama 10 menit, serta pada kondisi asam dengan kisaran pH 2. Tahap berikutnya yaitu hidrolisis, yang bertujuan untuk memecah (mengurai) pati ataupun karbohidrat kompleks menjadi komponen sederhana (monosakarida) agar dapat difermentasi. Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC selama
30
menggunakan
menit.
Tahapan
pati sagu
hidrolisis
dengan
ini
konsentrasi
dilakukan 16%.
dengan
Penetapan
konsentrasi ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahayu (2006) yang menyatakan bahwa hidrolisat pati sagu dengan nilai total gula dan nitrogen tertinggi yang dihasilkan melalui hidrolisis
21
asam diperoleh dengan menggunakan konsentrasi pati sagu 16%. Diagram alir proses hidrolisis parsial pati sagu secara asam dapat dilihat pada Gambar 4.
Pati Sagu
Larutan Asam
Pembuatan Suspensi Pati
(HCl atau H2SO4)
16 % (b/b)
Gelatinisasi (T = 100 oC, t = 10 menit)
Hidrolisis (T = 121 oC, t = 30 menit)
NH4OH 3N
Netralisasi pH (pH = 4,5 - 5)
Karbon aktif
Purifikasi
(2% bk. pati)
(T = 80 oC t = 1 jam)
Penyaringan
Hidrolisat Pati Sagu Gambar 4. Diagram Alir Proses Hidrolisis Pati Sagu
22
Katalis asam yang dicobakan dalam penelitian ini adalah asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi terbaik yang ditentukan dari hasil penelitian pendahuluan. Basa penetral yang digunakan adalah NH4OH. Penggunaan NH4OH sebagai basa penetral bertujuan untuk mendapatkan garam amonium klorida (NH4Cl) dan amonium sulfat ((NH4)2SO4) pada hidrolisat pati sagu yang dihasilkan yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen. Untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih dahulu dilakukan proses pemucatan (purifikasi). Menurut Ciptadi dan Machfud (1980), proses pemucatan dilakukan pada suhu 60–70 oC dengan penambahan arang aktif sebanyak 2% dari berat tepung dan proses berlangsung selama satu jam. Hidrolisat pati yang dihasilkan tersebut selanjutnya digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol. Analisis yang dilakukan terhadap hidrolisat pati sagu yang dihasilkan meliputi pengukuran nilai pH, nilai kadar gula total, kadar gula pereduksi, derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa (Dextrose Equivalent/DE), serta nilai kadar nitrogen total. Analisis total gula ditetapkan berdasarkan metode fenol sulfat (AOAC, 1995), sedangkan analisis gula pereduksi ditetapkan menggunakan metode DNS (Apriyantono et al., 1989). Prosedur analisis hidrolisat pati sagu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. ii.
Produksi Etanol 1. Penyegaran Kultur Khamir Sebelum proses fermentasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penyegaran (regenerasi) kultur khamir pada medium padat PDA (Potato Dextrose Agar). Kultur murni Saccharomyces cerevisiae dibiakkan pada agar miring PDA selama 48 jam dalam inkubator dengan suhu 30 oC dan kondisi aerobik.
23
Pembuatan Inokulum Kultur khamir yang telah disegarkan tersebut selanjutnya dibiakkan pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth) sebelum digunakan untuk fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol. Sebanyak 10 ml medium cair PDB disterilisasi terlebih dahulu, kemudian + 3 jarum Ose hasil biakan khamir yang telah disegarkan
sebelumnya
diinokulasikan
secara
aseptis
dan
ditumbuhkan secara aerobik selama 24 jam menggunakan inkubator goyang pada suhu sekitar 30 oC atau suhu kamar. Hasil biakan pada PDB ini kemudian digunakan sebagai inokulum untuk fermentasi utama. Fermentasi Etanol Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan tiga jenis substrat yang masing-masing terdiri dari tiga kali ulangan, yaitu : A (substrat sirup glukosa teknis 10%,), B (substrat hidrolisat H2SO4 10%), dan C (substrat hidrolisat HCl 10%). Substrat sirup glukosa teknis 10% bertindak sebagai kontrol. Sirup tersebut diperoleh dengan cara melarutkan 10% glukosa teknis dalam air akuades. Metode fermentasi etanol yang digunakan merupakan modifikasi dari metode penelitian sebelumnya yang dilakukan Rinaldy (1987). Fermentasi utama dilakukan pada labu Erlenmeyer 300 ml. Substrat fermentasi yaitu hidrolisat pati sagu dan larutan glukosa teknis sebanyak 200 ml dengan total gula 10% dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian pada substrat larutan glukosa ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing sebanyak 0,08 g dan 0,3 g. Ketiga substrat tersebut kemudian diatur pHnya sehingga konstan pada kondisi pH 4,8. Kemudian dipasteurisasi pada suhu 85 oC selama 5 menit dan didinginkan hingga suhu + 30
o
C. Setelah itu ditambahkan inokulum
Saccharomyces cerevisiae hasil biakan dari PDB sebanyak 10% dari volume substrat. Fermentasi berlangsung pada suhu kamar
24
selama 3 hari dengan menggunakan inkubator goyang. Fermentasi berlangsung pada kondisi anaerob. Diagram alir proses produksi etanol dari hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 5.
Hidrolisat Pati Sagu / Sirup Glukosa Teknis (10%)
Penambahan Nutrien / Pupuk (0,04 g NPK dan 0,15 g ZA pada 100 ml substrat)
Kultur Khamir
Pengaturan pH (pH = 4,8)
Inkubasi pada PDA
Pasteurisasi
(Aerobik, t = 48 jam, suhu ruang)
(T = 85 oC, t = 5 menit)
Inokulasi pada PDB (Aerobik, t = 24 jam, suhu ruang)
Inokulum Saccharomyces cerevisiae (10% v/v)
Inokulasi (Inokulum = 10% dari volume substrat)
Fermentasi (Anaerobik, t = 3 hari, suhu ruang)
Pasteurisasi (T = 65 oC, t = 30 menit)
Etanol
Gambar 5. Diagram Alir Proses Produksi Etanol
25
Pipa plastik dipasang pada ujung leher angsa yang terhubung dengan labu erlenmeyer dan ditutup dengan sumbat. Ujung pipa plastik tersebut kemudian dihubungkan sedemikian rupa dengan gelas ukur yang dibenamkan ke dalam air. Gas CO2 yang dihasilkan dari proses fermentasi akan menekan air dalam gelas ukur sehingga dapat dibaca dengan skala yang terdapat pada gelas ukur tersebut. Skema peralatan pengukuran laju pembentukan gas CO2 dapat dilihat pada Gambar 6. H2SO4 pekat
Shaker
Gambar 6. Skema peralatan pengukuran laju pembentukan gas CO2 Laju pembentukan gas CO2 selama fermentasi diukur dengan menggunakan grafik hubungan antara jumlah gas CO2 yang terukur dengan waktu pengukuran. Pengukuran dilakukan setiap 6 jam, mulai dari jam ke-0, ke-6, ke-12, ke-18, ke-24, ke-30, ke-36, ke-42, ke-48, ke-54, ke-60, ke-66, dan ke-72. Selain pengukuran terhadap laju pembentukan gas CO2, juga dilakukan analisis terhadap produk etanol yang dihasilkan. Analisis tersebut meliputi pengukuran pH, total asam, penentuan biomassa, efisiensi pemanfaatan substrat dan kadar etanol. Penentuan kadar etanol dilakukan dengan metode piknometer dan GC (Gas Chromatography). Prosedur analisis cairan fermentasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KOMPOSISI PATI SAGU Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Pati sagu yang diperoleh dianalisis karakteristiknya, meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak, kadar protein, dan kadar pati. Hasil analisis yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan standar mutu pati sagu SNI 01-3729-1995 (1995), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Pati Sagu Hasil Penelitian
Penelitian Lain*)
SNI 013729-1995
Kadar Air (% b/b)
5,94
5,76
Maks. 13
Kadar Abu (% b/b) Kadar Serat Kasar (% b/b) Kadar Protein (%)
0,22 0,05 0,09
0,12 0,01 0,38
Maks. 0,5 Maks. 0,11 -
Kadar Lemak (%)
0,15
0,36
-
Kadar Pati (%)
81,75
82,13
-
Karakteristik
*) Akyuni (2004) 1. Kadar Air Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan. Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu dan keawetan bahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaannya yang berlebihan sering dikurangi dengan pengeringan atau penguapan. Bahan pati sagu yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar masih dalam kondisi yang lembab (sedikit basah), sehingga harus dikeringkan kembali dan diayak agar didapatkan pati sagu dengan kondisi yang kering dan halus merata.
27
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar air pati sagu (setelah dikeringkan) sebesar 5,94%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 13%. Kadar air yang tinggi dapat memudahkan tumbuhnya mikroba, sehingga dapat memperpendek umur simpannya. Sebaliknya, jika kadar air rendah dapat mengubah bentuk, sifat fisik dan kimia suatu bahan. 2. Kadar Abu Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1986). Kandungan
abu
pada
suatu
bahan
menunjukkan
residu
bahan
anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi, 1993). Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi pula kandungan mineralnya, yang berarti semakin rendah pula tingkat kemurnian bahan tersebut. Proses pengolahan yang kurang bersih juga dapat menyebabkan meningkatnya nilai kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar abu pati sagu sebesar 0,22%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 0,5%. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam pati sagu tersebut cukup rendah. Kandungan mineral yang tinggi pada pati sagu tidak diharapkan, karena dapat menghambat proses hidrolisis pati itu sendiri. 3. Kadar Serat Kasar Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih (Gaman dan Sherrington, 1981). Serat terdiri dari dinding sel, selulosa, hemiselulosa, pektin, dengan sedikit lignin dan pentosan. Serat merupakan senyawaan yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan
28
(Sudarmadji, 1996). Jika suatu bahan pangan mengandung serat kasar yang tinggi maka relatif sangat merugikan karena serat kasar berpotensi mengurangi serapan zat gizi, protein, lemak, vitamin dan mineral. Pengujian kadar serat kasar dilakukan untuk menentukan jumlah senyawaan yang terdapat dalam bahan pangan, yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar serat kasar pati sagu sebesar 0,05%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 0,11%. Kecilnya nilai kadar serat kasar pati sagu yang diperoleh terjadi karena sebelumnya pati sagu tersebut telah melalui proses pengayakan. Tingkat kemurnian sagu sangat ditentukan oleh proses ekstraksinya. Kadar serat kasar yang tinggi pada pati sagu tidak diharapkan, karena dapat menurunkan efisiensi proses hidrolisis pati tersebut. 4. Kadar Protein Pengujian kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan protein pada senyawa organik secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah banyaknya nitrogen yang membentuk ammonia. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar protein pati sagu sebesar 0,09%. SNI tidak mengatur kadar protein, kadar lemak dan kadar pati maksimum yang diperbolehkan pada pati sagu.. Secara umum pati sagu memiliki kandungan protein yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia. Kadar protein yang terkandung dalam pati dapat mempengaruhi warna hidrolisat pati sagu yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan senyawa amino (asam amino, peptida dan protein) akan menghasilkan warna coklat, yang disebut dengan browning (Somaatmadja, 1973). 5. Kadar Lemak Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Dalam tanaman, lemak disintesis dari suatu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk
29
dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) pembentukan gliserol; (2) pembentukan molekul asam lemak; dan (3) kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno, 1986). Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar lemak pati sagu sebesar 0,15%. Kandungan lemak dan protein pada pati sagu akan menurun akibat ikut terlarut dalam air selama proses ekstraksi basah. Menurut Howling (1979), kandungan lemak pada pati akan terkoagulasi dan terbuang dalam penyaringan dan dekantasi, dan hanya sekitar 10% yang larut dengan pati. 6. Kadar Pati Pati termasuk polisakarida, yang tersusun oleh banyak unit monosakarida (glukosa). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah rantai molekulnya lurus atau bercabang. Pengujian kadar pati dilakukan untuk mengetahui kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam suatu bahan. Dengan mengetahui kandungan pati sagu, maka dapat diketahui pati yang dapat dikonversi menjadi hidrolisat pati sagu. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar pati pada pati sagu sebesar 81,75%. Semakin tinggi kadar pati sagu, semakin tinggi efisiensi proses hidrolisis pati tersebut, karena semakin banyak pati yang terkonversi menjadi glukosa.
B. PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI HIDROLISAT PATI SAGU
ASAM
TERHADAP
Proses hidrolisis asam dilakukan menggunakan kombinasi dua jenis asam (H2SO4 dan HCl) dengan empat taraf konsentrasi (0,5 N; 1 N; 2N; dan 3N). Dari hasil penelitian pendahuluan terhadap hidrolisis pati sagu secara asam dengan konsentrasi pati 16% menggunakan empat taraf konsentrasi asam tersebut diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 7.
30
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP) pada Penelitian Pendahuluan Jenis Asam
Nilai TG (mg/ml)
Nilai GP (mg/ml)
148,02
128,85
1N
124,07
117,66
2N 3N 0,5 N
103,00 92,24 142,95
94,97 82,02 117,28
1N
117,38
104,78
2N
94,17
76,04
3N
79,22
65,74
Konsentrasi 0,5 N H2SO4
HCl
Pada Tabel 7 diatas, terlihat bahwa dari kedua jenis asam tersebut (H2SO4 dan HCl), taraf konsentrasi yang menghasilkan nilai TG dan GP tertinggi adalah 0,5 N. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan, maka nilai TG dan GP yang dihasilkan justru semakin rendah. Warna sirup yang dihasilkan juga semakin pekat. Menurut Somaatmadja (1973), bila sirup glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam, maka akan terbentuk senyawa furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) akibat terjadinya penguraian glukosa. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada sirup menjadi kekuningkuningan. Senyawa hidroksimetilfurfural tersebut akan terus terbentuk pada suasana asam dan suhu yang tinggi, dan dapat menyebabkan terjadinya peristiwa browning bila sirup masih mengandung protein (asam amino). Tsao et al. (1978) menambahkan bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan tersebut, maka konsentrasi asam yang dipilih untuk digunakan dalam produksi hidrolisat pati sagu pada penelitian utama adalah 0,5 N, karena menghasilkan nilai TG dan GP tertinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan dari taraf konsentrasi lainnya. Hidrolisat pati yang dihasilkan melalui proses hidrolisis secara asam berwarna agak kecoklatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.
31
Gambar 7. Hidrolisat pati sagu sebelum purifikasi Menurut Sa’id (1987), pembentukan warna tersebut tergantung pada beberapa
faktor,
antara
lain
konsentrasi
prekursor
warna
seperti
hidroksimetilfurfural dan senyawa-senyawa amino yang ada serta kadar gula pereduksi hidrolisat pati. Lebih lanjut Winarno (1997) menambahkan bahwa pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna kecoklatan akibat terjadinya reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan bahan berwarna coklat yang dapat menurunkan mutu produk. Mula-mula gugus aldosa bereaksi bolak-balik dengan amina menghasilkan basa Schiff, lalu terjadi reaksi lanjut membentuk glukosamin. Glukosamin kemudian mengalami reaksi amadori membentuk amino ketosa, yang selanjutnya terdehidrasi membentuk turunan-turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural. Proses dehidrasi lebih lanjut menghasilkan zat antara metil-α-dikarbonil yang kemudian terurai menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, asetol dan diasetil. Gugus-gugus aldehid aktif dalam larutan selanjutnya terpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih dahulu dilakukan proses pemucatan (purifikasi) dengan menggunakan karbon
32
aktif. Produk hidrolisat pati sagu yang dihasilkan setelah melalui proses purifikasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hidrolisat pati sagu setelah purifikasi Hidrolisat pati sagu yang telah dipurifikasi tersebut selanjutnya digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol. Derajat keasaman (pH) hidrolisat pati sagu yang dihasilkan adalah 4,73 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis H2SO4 dan 4,74 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis HCl. Neraca massa produksi hidrolisat pati sagu secara asam dapat dilihat pada Lampiran 4. Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar gula total, kadar gula pereduksi dan kadar nitrogen totalnya. Kemudian dilakukan penghitungan derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa (Dextrose Equivalent/DE). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hidrolisat pati yang dihasilkan. Hasil analisis total gula, total gula pereduksi, serta nilai DE dan DP hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Tabel 8.
33
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP pada Hidrolisat Pati Sagu Asam Penghidrolisis
TG (g/l)
GP (g/l)
DE
DP
H2SO4
148,02
128,85
87,05
1,15
HCl
142,95
117,28
82,05
1,22
Berdasarkan Tabel 8 diatas, didapat bahwa nilai total gula dan kadar gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam penghidrolisis H2SO4 tidak berbeda jauh dengan nilai total gula yang diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam penghidrolisis HCl, yaitu masing-masing 148,02 g/l dan 142,95 g/l. Hal ini disebabkan karena sifat penghidrolisis H2SO4 dan HCl yang sama-sama kuat. Namun nilai total gula dan kadar gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisis dengan H2SO4 sedikit lebih besar dibandingkan hidrolisis dengan HCl. Hal ini disebabkan karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4 (Bailar et al., 1965). Reaktivitas yang lebih tinggi dan sifat penghidrolisis yang lebih kuat tidak selalu menguntungkan. Menurut Tsao et al. (1978), asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Somaatmadja (1973) menambahkan apabila sirup glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam (hidrolisis secara asam) kuat atau pada pH yang rendah, maka akan terbentuk senyawa turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural (HMF) akibat terjadinya degradasi (penguraian) glukosa. Lebih lanjut Winarno (1997) menjelaskan bahwa senyawa tururan furfuraldehid tersebut akan terdehidrasi menghasilkan zat antara metil-α-dikarbonil dan terurai menghasilkan gugusgugus aldehid aktif dalam larutan yang kemudian terpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin yang dapat menurunkan mutu produk. Dalam hal ini, selama proses hidrolisis berlangsung, diduga reaktivitas asam HCl yang lebih tinggi (dibandingkan H2SO4) menyebabkan lebih banyak glukosa
yang
terdegradasi
membentuk
senyawa-senyawa
turunan
furfuraldehid (seperti furfural dan hidroksimetilfurfural), sehingga nilai TG
34
yang terukur menjadi lebih rendah. Hal ini ditandai dengan warna hidrolisat HCl yang lebih pekat dibandingkan dengan warna hidrolisat H2SO4 (seperti terlihat pada Gambar 7), yang berarti semakin banyak senyawa melanoidin yang dihasilkan dari proses hidrolisis dengan asam HCl. Nilai DE atau ekivalen dekstrosa yang diperoleh dari kedua jenis hidrolisat pati sagu tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, yaitu sekitar 81–87%. Menurut Palmer (1970), semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya. Namun dalam hal ini, tingginya nilai DE tidak hanya menunjukkan tingginya kandungan glukosa yang dihasilkan, tapi juga komponen lainnya seperti maltosa dan dekstrin. Menurut Junk dan Pancoast (1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan –C–O–C– dengan menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Tsao et al. (1978) menambahkan bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Tingginya nilai DE dari hidrolisat pati sagu yang dihasilkan juga dikarenakan tingginya kadar gula pereduksi yang terkandung dalam hidrolisat pati sagu tersebut. Dari Tabel 8 diatas terlihat bahwa nilai kadar gula pereduksi hidrolisat H2SO4 mencapai 128,85 g/l, dan 117,28 g/l untuk hidrolisat HCl. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam akan memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi. Ciptadi dan Machfud (1980) menambahkan bahwa selama proses hidrolisis, akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya kadar gula pereduksi. Nilai gula pereduksi akan meningkat sejalan dengan lama waktu hidrolisis pati. Semakin lama waktu hidrolisis menyebabkan semakin rendahnya tingkat warna dan kejernihan sirup, karena dengan semakin lama waktu hidrolisis berarti semakin besar proporsi dekstrosa yang terdegradasi menjadi senyawasenyawa furfural. Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar nitrogen totalnya dan dibandingkan dengan kadar nitrogen total yang terkandung dalam sirup glukosa teknis. Sumber nitrogen pada hidrolisat pati sagu yang
35
dihasilkan berasal dari basa penetral NH4OH yang ditambahkan setelah proses hidrolisis pati. Dalam larutan, NH4OH akan terurai menjadi NH3 dan H2O. NH3 selanjutnya bereaksi dengan asam HCl membentuk garam NH4Cl, sedangkan reaksi dengan asam H2SO4 akan menghasilkan garam (NH4)2SO4. Adapun sumber nitrogen pada sirup glukosa teknis berasal dari sumber nutrien lain berupa pupuk NPK dan ZA. Hasil analisis kadar nitrogen total dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10% Jenis Sirup
Total N (%)
Sirup glukosa teknis 10%
0,024
Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis H2SO4 (10%)
0,413
Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis HCl (10%)
0,368
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai total nitrogen yang diperoleh dari hidrolisat H2SO4 lebih besar dibandingkan dengan nilai total nitrogen yang diperoleh dari hidrolisat HCl. Fenomena ini dapat dijabarkan dengan persamaan reaksi seperti berikut. NH4OH (i)
NH3 + H2O
NH3 + HCl
(ii) 2 NH3 + H2SO4
NH4Cl (NH4)2SO4
Pada pH yang sama, setiap molekul HCl akan menyumbangkan satu ion H+ kedalam larutan, sedangkan H2SO4 menyumbangkan dua ion H+. Dalam penetralannya, satu ion H+ dari HCl membutuhkan satu ion NH4+, sementara dua ion H+ dari H2SO4 membutuhkan dua ion NH4+ (Bailar et al., 1965). Dengan demikian, total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat H2SO4 lebih tinggi daripada total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat HCl. Meskipun pada sirup glukosa teknis ditambahkan nutrien berupa pupuk NPK dan ZA (amonium sulfat) sebagai sumber nitrogen, namun bila dibandingkan dengan nilai total nitrogen pada sirup glukosa teknis yang hanya 0,024%, maka pada Tabel 9 terlihat bahwa kandungan nitrogen pada kedua
36
jenis hidrolisat pati sagu yang dihasilkan masih jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,413% dan 0,368%. Hal ini disebabkan karena pada proses hidrolisis pati, digunakan basa penetral NH4OH. Penggunaan NH4OH akan bereaksi dengan H2SO4 membentuk garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), dan dengan HCl membentuk garam NH4Cl (amonium klorida). Garam yang dihasilkan tersebut cukup untuk menggantikan kebutuhan nitrogen yang biasanya ditambahkan dari nutrien lain (dalam hal ini pupuk NPK dan ZA).
C. PRODUKSI ETANOL Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan tiga jenis substrat, yaitu substrat hidrolisat H2SO4, substrat hidrolisat HCl, serta substrat sirup glukosa teknis 10% sebagai kontrol (pembanding). Sebelum difermentasi, substrat hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl yang dihasilkan sebelumnya diencerkan terlebih dahulu hingga konsentrasinya + 10% (mendekati konsentrasi sirup glukosa teknis sebagai kontrol). Dalam penelitian ini, sirup hidrolisat pati sagu dan sirup glukosa teknis dijadikan sumber karbon. Khusus untuk substrat sirup glukosa teknis, ditambahkan pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nitrogen, sedangkan untuk substrat hidrolisat pati sagu tidak perlu penambahan pupuk NPK dan ZA, karena pada hidrolisat pati sagu itu sendiri sudah memiliki kandungan nitrogen yang tinggi. Proses fermentasi berlangsung selama tiga hari dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol dapat dilihat pada Gambar 9.
37
Gambar 9. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dari glukosa jika konsentrasi gulanya cukup tinggi dan pada kondisi anaerob. Selama proses fermentasi, akan dihasilkan etanol sebagai produk utama, serta karbondioksida (CO2) dan air. Selain itu juga dihasilkan ATP yang merupakan energi dalam bentuk panas, sedangkan komponen lainnya dalam jumlah yang kecil. Pengukuran terhadap parameter-parameter fermentasi dilakukan selama proses fermentasi berlangsung hingga proses fermentasi berakhir. Parameterparameter yang diukur meliputi nilai pH dan total asam, biomassa, konsumsi substrat (total gula dan kadar gula pereduksi), efisiensi pemanfaatan substrat, laju pembentukan CO2, kadar etanol, serta penentuan kinetika fermentasi. Hasil analisa parameter-parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. pH dan Total Asam Setiap mikroba mempunyai nilai pH minimum, pH maksimum, dan pH optimum untuk pertumbuhannya. Sel-sel mikroba sangat dipengaruhi oleh pH, sebab mikroba tidak mempunyai mekanisme untuk mengatur pHnya sendiri. pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0– 5,0 (Frazier dan Westhoff, 1978). Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil sampingan fermentasi. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa pada pH dibawah 3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak
38
dapat tumbuh dengan baik sehingga proses fermentasi akan berkurang kecepatannya. Sebelum difermentasi, pH awal substrat fermentasi diatur hingga sekitar 4,8 untuk mencapai pH optimum khamir. Hal ini dilakukan untuk mengoptimumkan pertumbuhan khamir pada proses fermentasi. Karena pH sangat penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan suatu larutan penyangga (buffer) atau dengan penggunaan suatu sistem kontrol pH tertentu (Sa’id, 1987). Pada penelitian ini, pH cairan fermentasi yang dihasilkan dari ketiga jenis substrat yang digunakan cukup bervariasi. Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. Berturut-turut dari substrat sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl dihasilkan etanol dengan pH 3,16, 3,77 dan 3,72. Selama proses fermentasi akan terjadi penurunan pH. Hal ini disebabkan karena adanya senyawa amonia yang terkandung pada substrat. Sa’id (1987) menjelaskan bahwa apabila amonia digunakan sebagai sumber nitrogen pada substrat, maka pH akan cenderung menurun. Amonia pada larutan (di bawah pH 9) ada pada keadaan NH4+, mikroba kemudian menggabungkannya dengan sel sebagai R-NH3+, dimana R merupakan suatu gugus karbon. Pada prosesnya, sebuah ion H+ akan dilepas ke lingkungan (medium), sehingga selama proses fermentasi ion H+ pada cairan fermentasi akan semakin banyak, sehingga mengakibatkan penurunan pH cairan fermentasi tersebut. Penurunan pH juga kemungkinan disebabkan karena adanya kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat mengkonversi gula dan etanol menjadi produk asam selama proses fermentasi. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), keberadaan mikroba jenis Lactobacillus sp. dan Clostridium sp. mampu mengkonversi gula menjadi asam laktat, asam butirat, etanol dan karbondioksida. Secara lebih jelas penurunan pH cairan fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.
39
5.0
Nilai pH
4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Glukosa teknis
H2SO4 H
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 10. Histogram pH awal dan pH akhir fermentasi Nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat H2SO4 tidak berbeda jauh dengan nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat HCl (Gambar 10). Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis. Nilai pH akhir tertinggi diperoleh dari substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 3,77, sedangkan pH akhir terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,16. Total asam menunjukkan jumlah seluruh asam yang terdapat pada cairan fermentasi. Selama proses fermentasi akan terjadi penurunan pH yang diiringi dengan meningkatnya total asam. Nilai pH berkorelasi positif dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi, maka lag phase akan berkurang, sehingga aktivitas fermentasi akan meningkat (Presscot dan Dunn, 1981). Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan produk fermentasi, baik produk utama maupun produk sampingan. Pada fermentasi etanol, khamir akan memetabolisme glukosa membentuk asam piruvat melalui jalur Embden-Meyerhorf-Parnas. Selain itu terbentuk pula asam-asam organik lain seperti asam piruvat sebagai hasil samping dari fermentasi. Peningkatan total asam cairan fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11.
40
Nilai Total Asam (%)
20
15 10
5 0 Glukosa teknis
H2SO4 H2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 11. Histogram total asam pada awal dan akhir fermentasi Nilai total asam cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl berturut-turut adalah 3,32 g/l, 18,60 g/l dan 16,58 g/l; atau jika dinyatakan dalam persen menjadi 0,332%, 1,860% dan 1,658%. Pada Gambar 11 terlihat bahwa nilai total asam cairan fermentasi dari substrat hidrolisat H2SO4 juga tidak berbeda jauh dengan total asam cairan fermentasi dari substrat hidrolisat HCl. Rata-rata kenaikan total asam terbesar diperoleh dari substrat hidrolisat H2SO4. Nilai total asam akhir tertinggi diperoleh dari substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 18,60 g/l, sedangkan total asam akhir terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l. Tingginya nilai total asam cairan fermentasi dari hidrolisat pati diduga karena nilai total asam yang terukur bukan hanya asam-asam organik yang terbentuk melalui proses fermentasi, tetapi juga asam mineral seperti H2SO4 dan HCl yang digunakan sebagai asam penghidrolisis pada proses produksi hidrolisat pati sagu. b. Biomassa Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam cairan
fermentasi.
Selama fermentasi, sel
mikroba
akan
mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk sehingga akan terjadi kenaikan biomassa. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas
41
mikroba
selama
proses
fermentasi.
Peningkatan
biomassa
juga
menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel dan pertumbuhan mikroba. Umumnya yang disebut makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O dan N (Hidayat et al., 2006). Kondisi medium dan lingkungan yang sesuai serta nutrien yang cukup akan meningkatkan aktivitas mikroba. Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan produk fermentasi. Nilai total biomassa cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl berturut-turut adalah 1,15 g/l, 1,17 g/l dan 1,02 g/l. Hasil analisis total biomassa pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.
2.0
Biomassa (g/l)
1.5
1.0
0.5
0.0 Glukosa teknis
H2SO4 H2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl Setelah Fermentasi
Gambar 12. Histogram biomassa pada awal dan akhir fermentasi Rata-rata kenaikan total biomassa terbesar diperoleh dari substrat hidrolisat H2SO4, sedangkan rata-rata kenaikan total biomassa terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis (Gambar 12). Hal ini terjadi karena tingginya nilai pengukuran biomassa substrat sirup glukosa teknis pada awal fermentasi. Tingginya nilai pengukuran terhadap biomassa awal
42
pada cairan fermentasi dari glukosa teknis diduga karena karena partikel nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak larut secara sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai biomassa. Tingginya nilai biomassa awal juga diduga disebabkan karena kondisi awal proses fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik. Pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi dengan substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 1,17 g/l, sedangkan total biomassa akhir terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl sebesar 1,02 g/l. Pada hidrolisis asam kemungkinan dihasilkan bahan inhibitor seperti furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF), asam karboksilat dan komponen fenol yang cukup besar (Ulbricht et al., 1984 dalam Subekti, 2006). Bahan-bahan ini akan menghambat pertumbuhan khamir sehingga biomassa yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari yang dihasilkan oleh substrat sirup glukosa teknis. Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa nilai total biomassa akhir tertinggi justru diperoleh dari substrat hidrolisat H2SO4, walaupun tidak berbeda jauh dengan nilai biomassa yang dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rendahnya kandungan nitrogen pada substrat sirup glukosa teknis (seperti terlihat pada Tabel 9). Unsur nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah besar. Keterbatasan akan nutrien tersebut menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal, sehingga biomassa yang terbentuk lebih sedikit. Selain itu keberadaan nutrien yang kurang larut juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Sa’id (1987), bila mikroba ditumbuhkan pada nutrien esensial yang tidak larut dalam air, maka pertumbuhan mikroba akan dibatasi oleh laju difusi nutrien tersebut.
43
c. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi Menurut Frazier dan Weshoff (1978), konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk proses fermentasi etanol adalah 10–18%. Menurut Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa konsentrasi gula yang tinggi (> 25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat (substrate inhibitor), waktu fermentasi menjadi lebih lama, serta tidak semua gula dapat dikonversi menjadi etanol. Penggunaan konsentrasi gula yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan khamir serta menjadikan proses fermentasi menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor yang tidak efisien. Total gula akhir menunjukkan total gula yang tersisa pada akhir proses fermentasi, sedangkan kadar gula pereduksi akhir menunjukkan kadar gula pereduksi yang tersisa setelah proses fermentasi selesai. Hasil analisis total gula (TG) dan kadar gula pereduksi (GP) pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Total Gula 100
Nilai TG (g/l)
80 60 40 20 0 Glukosa teknis
H H2SO4 2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 13. Histogram total gula pada awal dan akhir fermentasi
44
Gula Pereduksi 100
Nilai GP (g/l)
80 60 40 20 0 Glukosa teknis
H2SO4 H 2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 14. Histogram gula pereduksi awal dan akhir fermentasi Selama proses fermentasi terjadi penurunan total gula dan kadar gula pereduksi. Hal ini ditandai dengan berkurangnya total gula dan kadar gula pereduksi yang terkandung pada substrat akibat konsumsi mikroba Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Nilai total gula yang tersisa pada akhir fermentasi berkisar antara 51,29 g/l hingga 82,63 g/l. Sementara kadar gula pereduksi yang tersisa pada akhir fermentasi berkisar antara 54,37 g/l hingga 86,84 g/l. Pada Gambar 13 dan 14, dapat dilihat bahwa total gula dan kadar gula pereduksi substrat hidrolisat H2SO4 pada akhir fermentasi tidak berbeda jauh dengan nilai total gula dan kadar gula pereduksi cairan fermentasi kontrol (substrat sirup glukosa teknis). Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terbesar diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba tertinggi terjadi pada substrat sirup glukosa teknis. Penurunan substrat sejalan dengan produksi biomassa dan produk etanol yang dihasilkan. Semakin rendah kadar gula pereduksi sisa, maka semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Namun seharusnya aktivitas mikroba yang terjadi pada substrat sirup glukosa teknis jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas mikroba yang terjadi pada substrat hidrolisat H2SO4. Karena berbeda dengan substrat sirup glukosa teknis, pada substrat hidrolisat H2SO4 kemungkinan terdapat
45
bahan-bahan inhibitor yang terbentuk selama proses hidrolisis pati secara asam yang dapat menghambat proses fermentasi. Hal ini diduga disebabkan karena keterbatasan nutrien yang terdapat pada substrat glukosa teknis, seperti rendahnya kandungan nitrogen total (0,024%), sehingga khamir tidak dapat tumbuh secara optimal. Penambahan pupuk NPK (16:16:16) sebesar 40% substrat belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mikroba atas unsur nitrogen pada substrat fermentasi. Unsur nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein, asam nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Sementara penambahan pupuk NPK dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan unsur fosfor (P) dan unsur kalium (K) pada substrat akan bertambah pula. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan mikroba karena unsur fosfor merupakan unsur mesonutrien yang keberadaannya pada medium hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Unsur fosfor berperan sebagai penyusun asam nukleat, fosfolipida dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Adapun unsur kalium bukan merupakan nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam substrat sirup glukosa teknis kurang menguntungkan bagi pertumbuhan khamir, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak. Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl. Banyaknya total gula dan kadar gula pereduksi yang masih tersisa pada cairan fermentasi dari substrat hidrolisat HCl
menunjukkan
rendahnya
konsumsi
mikroba
Saccharomyces
cerevisiae terhadap substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis, meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit, yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Rendahnya konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl menunjukkan rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF)
46
yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi. Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut. Tidak seperti dua substrat lainnya yaitu substrat sirup glukosa teknis dan substrat hidrolisat H2SO4 yang mengandung garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), pada substrat hidrolisat HCl tidak terkandung unsur sulfur, karena reaksi antara HCl dengan basa penetral NH4OH pada proses hidrolisis hanya akan menghasilkan garam NH4Cl (amonium klorida). Unsur sulfur (S) merupakan mesonutrien bagi khamir, sehingga keberadaannya dalam garam (NH4)2SO4 cukup penting bagi pertumbuhan khamir, sedangkan unsur klor (Cl) bukan merupakan nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam garam NH4Cl yang terkandung dalam substrat hidrolisat HCl kurang menguntungkan bagi pertumbuhan khamir, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak. Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal. d. Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat menunjukkan banyaknya substrat yang terkonversi menjadi biomassa dan produk. Hubungan antara kadar gula pereduksi (GP) awal dan kadar gula pereduksi (GP) akhir fermentasi dengan efisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat GP awal (g/l)
GP akhir (g/l)
∆s/s (%)
Sirup glukosa teknis
87,02
51,29
41,06
Hidrolisat H2SO4
84,09
54,83
34,80
Hidrolisat HCl
85,64
82,63
3,52
Jenis Substrat
47
Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat tertinggi yang berarti konsumsi substrat terbanyak diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis, yaitu mencapai 41,06%, sedangkan efisiensi pemanfaatan substrat terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl, yaitu hanya 3,52%. Rendahnya konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl menunjukkan rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena tingginya konsentrasi bahanbahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi. Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir. Unsur sulfur berperan sebagai penyusun protein dan beberapa koenzim (Hidayat et al., 2006). Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal. Aktivitas mikroba yang rendah pada cairan fermentasi substrat hidrolisat HCl akan menghasilkan produk seperti biomassa dan etanol dalam jumlah yang rendah pula. Hal ini sesuai dengan hasil analisis biomassa yang menunjukkan bahwa substrat hidrolisat HCl menghasilkan biomassa terkecil dibandingkan substrat lainnya. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 10, tingkat konsumsi substrat selama proses fermentasi belum optimal (efisiensi pemanfaatan substrat masih dibawah 50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada substrat fermentasi masih terdapat komponen gula yang tidak dikonsumsi oleh khamir, yang berarti masih ada komponen gula yang belum terkonversi menjadi biomassa dan produk (etanol). Hal ini disebabkan karena kandungan hidrolisat pati sagu yang masih mengandung oligosakarida seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula
48
yang terdapat dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk mengkonsumsi substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis, meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit, yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Efisiensi pemanfaatan substrat juga dapat dipengaruhi oleh komposisi substrat yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti pH, suhu, kandungan oksigen dan konsentrasi etanol.
e. Laju Pembentukan CO2 Produktivitas fermentasi dapat dilihat dari volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis, hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl dapat dilihat pada Gambar 15.
CO2 Yang Terbentuk (ml)
100 80 60 40 20 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Jam KeGlukosa
H2SO4
HCl
Gambar 15. Grafik laju pembentukan CO2 selama fermentasi Pada 6 jam pertama proses fermentasi, laju pembentukan CO2 lebih lambat dibandingkan dengan 6 jam berikutnya (Gambar 15). Hal ini dikarenakan sel khamir baru menyesuaikan diri dengan lingkungan medium yang baru, sehingga belum dapat tumbuh secara optimal. Menurut Sa’id (1987), fase ini disebut juga fase awal (lag phase), yaitu fase sejak
49
inokulasi sel pada medium, dan merupakan suatu periode adaptasi. Selama fase ini massa sel dapat berubah tanpa adanya suatu perubahan jumlah sel. Hidayat et al. (2006) menambahkan bahwa pada fase awal ini, bermacammacam enzim dan zat perantara dibentuk, sehingga keadaannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan lebih lanjut. Sel-sel khamir mulai membesar, tetapi belum membelah diri. Selain karena proses adaptasi, lambatnya laju pembentukan CO2 pada 6 jam pertama proses fermentasi juga dapat disebabkan karena kondisi proses yang belum sepenuhnya anaerob. Pada awal proses fermentasi masih terdapat oksigen, sehingga khamir cenderung melakukan asimilasi sel dan proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi. Akibatnya, produk metabolit yang dihasilkan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena khamir bersifat fakultatif anaerobik. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk metabolit dan produk antara ditekan rendah. Barnett et al. (2000) dalam Anonim (2008), menyatakan bahwa khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada fermentasi. Apabila terdapat oksigen pada proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi dimana
biomassa
terbentuk
dan
terjadi
konversi
gula
menjadi
karbondioksida, air dan asam-asam organik. Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 hingga jam ke18 terjadi peningkatan laju fermentasi dengan cepat yang ditandai dengan semakin meningkatnya laju pembentukan CO2. Sepanjang fermentasi, komposisi kimiawi cairan fermentasi berubah karena nutrien terus menerus dikonsumsi dan produk metabolit disintesis. Sebagai akibatnya kondisi lingkungan menjadi semakin tidak seimbang. Pada fermentasi substrat hidrolisat HCl, laju pembentukan CO2 telah mencapai titik
50
maksimum pada jam ke-18, sedangkan pada substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat sirup glukosa teknis, laju pembentukan CO2 masih terus berlangsung dan baru mencapai titik maksimumnya pada jam ke-24. Setelah jam ke-24, laju pembentukan CO2 pada ketiga jenis substrat mulai mengalami penurunan, yang berarti terjadi penurunan laju fermentasi. Pada periode ini, pertumbuhan mikroba mulai terhambat. Penurunan laju fermentasi ini diduga karena semakin berkurangnya nutrien pada medium serta mulai terjadinya penimbunan racun sebagai hasil kegiatan metabolisme. Penurunan laju fermentasi juga kemungkinan disebabkan adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam yang kemudian menghambat laju fermentasi. Etanol dapat menghambat proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk, sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan, sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0–5,0. Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis, terjadi penurunan laju pembentukan CO2 secara perlahan setelah jam ke-24. Laju penurunan bahkan terus berlangsung hingga akhir fermentasi (jam ke-72). Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus berlangsung hingga akhir fermentasi, sehingga masih terjadi konversi etanol, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Apabila proses fermentasi terus dilanjutkan, kemungkinan laju fermentasi akan terhenti pada jam berikutnya, karena jumlah sel hidup yang cenderung terus menurun. Hampir mirip dengan laju fermentasi substrat sirup glukosa teknis, pada fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 penurunan laju pembentukan CO2 juga terjadi setelah jam ke-24. Penurunan laju pembentukan CO2 juga berlangsung perlahan, tetapi kemudian berhenti pada jam ke-72. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus berlangsung dengan laju yang semakin melambat, hingga kemudian terhenti pada jam ke-72. Setelah jam ke-72, tidak terbentuk gas CO2 lagi, karena aktivitas mikroba untuk regenerasi telah terhenti, yang terjadi adalah pembentukan etanol.
51
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa proses fermentasi substrat hidrolisat HCl menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dibandingkan fermentasi substrat lainnya. Penurunan laju pembentukan CO2 terjadi lebih awal, yaitu mulai jam ke-18, sementara pada substrat lainnya penurunan laju pembentukan CO2 baru terjadi pada jam ke-24. Penurunan laju fermentasi yang ditandai dengan penurunan laju pembentukan CO2 juga terjadi lebih cepat hingga kemudian terhenti pada jam ke-54. Rendahnya laju pembentukan CO2 yang terjadi pada substrat hidrolisat HCl diduga disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi (substrate inhibition). Selain itu, laju pertumbuhan yang lebih lambat pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir, serta keberadaan unsur nonnutrien seperti klor (Cl) dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal, sehingga biomassa yang terbentuk lebih sedikit, serta laju fermentasi lebih rendah, yang ditandai dengan rendahnya laju pembentukan CO2. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis total gula dan kadar gula pereduksi yang menunjukkan bahwa konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl selama proses fermentasi berlangsung adalah yang paling rendah dibandingkan substrat lainnya, yang berarti rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi pada cairan fermentasi hidrolisat HCl tersebut. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
f. Kadar Etanol Selama proses fermentasi, mikroba akan mengkonversi sumber karbon dari substrat menjadi biomassa dan produk, baik produk utama
52
yaitu etanol maupun produk sampingan berupa asam-asam organik seperti asam piruvat melalui proses glikolisis. Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas atau glikolisis (Gambar 3). Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Mulamula glukosa difosforilasi oleh ATP menjadi D-glukosa-6 fosfat, kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-frukstoda-6 fosfat, dan difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1,6 difosfat. D-fruktosa-1,6 difosfat kemudian dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3 fosfat dan satu molekul aseton fosfat. Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan lagi menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh NADH2. ATP melepaskan satu molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3 fosfat yang kemudian menjadi D-1,3 difosfogliserat dan ADP. D-1,3 difosfogliserat melepaskan energi fosfat yang tinggi ke ADP untuk membentuk D-3 fosfogliserat dan ATP. Selanjutnya D-3-fosfogliserat membentuk D-2-fosfogliserat dan berada dalam kesetimbangan. D-2 fosfogliserat kemudian membebaskan air untuk menghasilkan fosfoenol piruvat. ATP menggeser rantai fosfat yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat untuk menghasilkan piruvat dan ATP. Selanjutnya asam piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid dan CO2, hingga akhirnya asetaldehid menerima hidrogen dari NADH2 dan menghasilkan etanol. Analisis kadar etanol dilakukan dengan metode perbandingan bobot jenis
(BJ)
dengan
menggunakan
piknometer
dan
metode
Gas
Chromatography (GC). Hasil analisis kadar etanol dengan menggunakan metode piknometer dan GC, yang dihasilkan dari fermentasi substrat sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat hidrolisat HCl dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan data kromatogram etanol hasil fermentasi dengan uji GC dapat dilihat pada Lampiran 6.
53
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC Metode Piknometer Jenis Substrat
Metode GC
Kadar Etanol (% v/v)
Kadar Etanol (g/l)
Kadar Etanol (% v/v)
Kadar Etanol (g/l)
Sirup glukosa teknis
2,60
20,51
2,56
20,22
Hidrolisat H2SO4
2,09
16,51
1,91
15,09
Hidrolisat HCl
0,77
6,11
0,63
4,98
Berdasarkan perbandingan data pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kadar etanol dari masing-masing sampel baik yang menggunakan metode piknometer maupun dengan metode GC memiliki kecenderungan yang sama, dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Kadar etanol tertinggi dengan metode GC diperoleh dari fermentasi dengan substrat sirup glukosa teknis sebesar 2,56%, diikuti dengan substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 1,91% dan terendah pada substrat hidrolisat HCl sebesar 0,63%. Besarnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis terjadi karena pada sirup glukosa teknis komponen gulanya adalah glukosa murni, sehingga lebih memudahkan mikroba untuk mengkonsumsinya, tidak seperti pada substrat hidrolisat pati sagu yang komponen gulanya masih mengandung disakarida seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula yang terdapat dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk mengkonsumsi substrat tersebut. Selain itu pada substrat sirup glukosa teknis tidak terdapat bahan inhibitor yang dapat menghambat pertumbuhan khamir. Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap efisiensi pemanfaatan substrat dan laju pembentukan CO2 yang menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan substrat dan laju pembentukan CO2 pada sirup glukosa teknis adalah yang paling tinggi, itu berarti laju fermentasi dan aktivitas mikroba yang terjadi pada cairan fermentasi sirup glukosa teknis tersebut juga paling tinggi dibandingkan substrat lainnya. Semakin tinggi aktivitas khamir selama proses fermentasi, berarti semakin banyak pula substrat
54
yang terkonversi menjadi produk (etanol), sehingga semakin tinggi pula kadar etanol yang dihasilkan. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan substrat hidrolisat H2SO4, pertumbuhan khamir pada substrat sirup glukosa teknis tersebut belum dapat dikatakan optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya nutrien pendukung terutama unsur nitrogen. Unsur nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah yang besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein, asam nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Keterbatasan akan nutrien tersebut menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal, sehingga laju pembentukan produk oleh mikroba juga tidak optimal yang berakibat pada masih rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan. Selain itu, produk etanol yang dihasilkan juga merupakan racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Clark dan Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka terhadap sifat penghambatan etanol. Konsentrasi etanol 1–2% (v/v) cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba, dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan hampir berhenti total. Menurut Presscot dan Dunn (1981), kadar etanol yang bisa dihasilkan sebelum proses fermentasi benar-benar berhenti adalah 13% (v/v). Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat hidrolisat HCl sebesar 0,63% diduga disebabkan karena adanya bahanbahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Menurut Azhar et al. (1981), adanya kandungan senyawa yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat hasil hidrolisis asam akan menurunkan kadar etanol yang dihasilkan. Ada beberapa senyawa penting dari furan yang merupakan zat inhibitor bagi pertumbuhan khamir dalam produksi etanol, yaitu furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF) dan 2hidroksimetilfuran. Konsentrasi HMF 0,1 mg/ml dalam substrat fermentasi dapat mencegah pertumbuhan khamir dan menurunkan kecepatan
55
fermentasi Saccharomyces cerevisiae. Sementara konsentrasi furfural 0,46 mg/ml dapat menurunkan produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae hingga 78,4%. Adanya proses penghambatan dapat dilihat dari laju pembentukan CO2 pada substrat hidrolisat HCl yang jauh lebih rendah dan bahkan berhenti lebih awal. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme sel khamir pada substrat hidrolisat HCl berhenti lebih awal karena adanya penghambatan oleh bahan inhibitor. Selain itu, rendahnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir. Menurut Hidayat et al. (2006), unsur sulfur berperan cukup penting sebagai penyusun protein dan beberapa koenzim. Keberadaan unsur non-nutrien seperti klor (Cl) pada substrat dalam jumlah yang banyak diduga juga turut menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga laju pembentukan produk oleh mikroba juga tidak optimal yang berakibat pada masih rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan. Kondisi awal fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob juga dapat menyebabkan rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan. Menurut Barnett et al. (2000) dalam Anonim (2008), khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada fermentasi. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka etanol yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi dimana biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik. Disamping itu, kadar etanol yang terukur pada penelitian ini diduga lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam
56
masing-masing cairan fermentasi tersebut. Hal ini disebabkan karena pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan metode destilasi. Menurut Amerine dan Ough (1979), destilasi etanol akan menyebabkan kehilangan kadar etanol sebesar 0,6–1,5% (v/v). Kualitas kultur mikroba yang digunakan juga memegang peranan yang sangat penting terhadap penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan. Penggunaan kultur Saccharomyces cerevisiae yang tidak berasal dari galur unggul pada proses
fermentasi
diduga
turut
berpengaruh
terhadap
rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan. Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Subekti (2006) masing-masing memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1,16% (v/v) dan 0,31% (v/v) dengan perlakuan hidrolisis secara asam menggunakan substrat onggok singkong dan fraksi selulosa tongkol jagung. Nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian ini. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat pati sagu lebih baik daripada penggunaan onggok singkong dan fraksi selulosa tongkol jagung sebagai sumber karbon dalam media fermentasi. Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula pereduksi lebih banyak dibandingkan hidrolisat onggok singkong maupun hidrolisat selulosa tongkol jagung.
g. Kinetika Fermentasi Kinetika fermentasi menggambarkan biomassa, konsumsi substrat, laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba. Rehm dan Reed (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah massa dan sel, sedangkan kecepatan pertumbuhannya tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya. Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses-proses biokonversi, dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada proses fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit. Setiap konversi tersebut dapat dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil
57
yang kemudian dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk produk, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x (Sa’id, 1987). Koefisien hasil tersebut dapat menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi produk selama proses fermentasi berlangsung. Maka dari itu penentuan parameter kinetika fermentasi berguna untuk mengetahui efektivitas proses fermentasi. Hasil perhitungan terhadap ketiga koefisien hasil fermentasi (Yx/s, Yp/s dan Yp/x) tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil Analisis Metode GC) Jenis Substrat
Yx/s
Yp/s
Yp/x
Sirup glukosa teknis
0,005
0,577
17,571
Hidrolisat H2SO4
0,015
0,497
12,553
Hidrolisat HCl
0,019
0,505
4,358
Yield biomassa (Yx/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 12 didapat bahwa nilai Yx/s terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat HCl sebesar 0,019, sedangkan nilai Yx/s terkecil diperoleh dari fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,005. Rendahnya nilai Yx/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis terjadi karena rendahnya nilai ∆ biomassa yang terhitung, akibat tingginya nilai total biomassa awal (pada jam ke-0 fermentasi) pada substrat tersebut. Hal ini diduga terjadi karena partikel nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak larut secara sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai biomassa, sedangkan tingginya nilai Yx/s pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam (baik H2SO4 maupun HCl) diduga disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil
58
degradasi produk hidrolisat asam yang terdapat pada medium, seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terjadi seiring dengan konsumsi gula. Pada akhir fermentasi, bahan-bahan inhibitor tersebut juga ikut terukur sebagai biomassa. Tingginya nilai biomassa awal juga diduga disebabkan karena kondisi anaerob pada awal proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi. Khamir cenderung berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan, sehingga apabila terdapat oksigen pada proses fermentasi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik. Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Nilai Yp/s terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,577, sedangkan nilai Yx/s terkecil diperoleh dari fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 0,497. Tingginya nilai Yp/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis terjadi karena konsentrasi produk etanol yang terbentuk pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis lebih tinggi dibandingkan fermentasi dengan substrat hidrolisat asam. Koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Berdasarkan data pada Tabel 12, didapat bahwa nilai Yp/x terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x terkecil diperoleh dari fermentasi substrat hidrolisat HCl sebesar 4,358.
59
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pati sagu memiliki kandungan pati yang tinggi dan merupakan sumber karbohidrat yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku substrat fermentasi etanol. Analisis terhadap hidrolisat pati yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda antara hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl. Hidrolisat H2SO4 mempunyai nilai total gula (TG), gula pereduksi (GP), DE serta kandungan total nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisat HCl. Dengan demikian, penggunaan hidrolisat H2SO4 sebagai substrat fermentasi etanol akan lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan substrat hidrolisat HCl. Fermentasi alkohol dilakukan pada kondisi anaerob dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae. Produk etanol yang dihasilkan dari substrat hidrolisat H2SO4 0,5 N (konsentrasi gula 10%) memiliki kadar etanol yang lebih tinggi yaitu sebesar 1,91%, dibandingkan dengan produk etanol dari substrat hidrolisat HCl sebesar 0,63%. Analisis terhadap cairan fermentasi juga menunjukkan adanya perbedaan antara substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat hidrolisat HCl. Untuk hidrolisat H2SO4, didapat nilai efisiensi pemanfaatan substrat (∆s/s) sebesar 34,80%, yield biomassa (Yx/s) sebesar 0,015, yield produk (Yp/s) sebesar 0,497 serta nilai Yp/x sebesar 12,553, sedangkan untuk hidrolisat HCl didapat nilai ∆s/s sebesar 3,52%, (Yx/s) sebesar 0,019, (Yp/s) sebesar 0,505 serta nilai Yp/x sebesar 4,358. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik diperoleh dari penggunaan substrat hidrolisat H2SO4, karena menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi.
B. SARAN Berdasarkan penelitian, ditemukan adanya penghambatan pada substrat yang digunakan. Karena itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui komposisi nutrien terbaik dan paling seimbang pada medium fermentasi
60
substrat dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari hidrolisis secara asam, agar penghambatan substrat yang terjadi pada saat proses fermentasi berlangsung dapat ditekan seminim mungkin sehingga hasil fermentasi yang diperoleh juga lebih optimal. Selain itu perlu pengkajian lanjutan mengenai metode ekstraksi dan pemurnian produk etanol yang paling efektif dan efisien. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan galur unggul Saccharomyces cerevisiae, karena kualitas kultur mikroba yang digunakan memegang peranan yang sangat penting terhadap penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan. Disamping itu, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai optimasi proses fermentasi etanol dari hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis asam, perbaikan proses fermentasi dengan penggunaan fermentor, serta kajian tekno-ekonomi produksi etanol dari hidrolisat pati sagu.
61
DAFTAR PUSTAKA
Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Amerine, M.A. dan C.S. Ough. 1979. Method of Analysis of Must and Wines. A Wiley-Interscience Publication. New York. Amerine, M.A., H.W. Berg, R.E. Kunkee, C.S. Ough, V.I. Singleton, dan A.D. Webb. 1987. Technology of Wine Making. The AVI Publishing Co.,Inc. Westport, Connecticut. Anonim. 2008. Profil Investasi Biofuel dari Sagu. http://agribisnis.deptan.go.id/layanan_info/view.php?file=USAHAPENGOLAHAN/PROFIL+INVESTASI+BIOENERGI/PROFIL+SAGU+FI NAL.doc [19 November 2008]. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association Official Agriculture Chemist. AOAC International. Washington. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azhar, A.F., M.K. Bery, A.R. Colcord, R.S. Roberts dan G.V. Corbitt. 1981. Biotechnology and Bioengineering Symposium, No : 11. John Willey and Sons Inc. England. Bailar, J.C., T. Moeller dan J. Kleinberg. 1965. University Chemistry. D.C. Healt and Co. Boston. Betancur, A.D. dan G.L. Chel. 1997. Acid Hydrolysis and Characterization of Canavalia ensiformis. J. Agric. Food Chem. 45 : 4237-4241. Beynum, G.M.A. dan J.A. Roels. 1985. Starch Conversion Technology (ed). Marcel Dekker, Inc. New York. Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bukit, E. 2008. Bioetanol : Bahan Bakar Masa Depan. Trubus : 34-35.
62
Chaplin, M.F. dan C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press, New York. Ciptadi, W. dan Machfud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-Umbian sebagai Sumber Karbohidrat. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Clark, T. dan K.L. Mackie. 1984. Fermentation Inhibitors in Wood Hydrolysates Derived From The Softwood Pinus radiata. J.Chem. Bioetanol 34 B : 101110. Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No. 01-3729-1995 : Standar Mutu Pati Sagu. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Dewipadma, J.K. 1978. Pekerjaan Laboratorium Mikrobiologi Pangan. FATEMETA, IPB. Bogor Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fiecther, A. 1982. Advances In Biochemical Engineering. Springer-Verlag. Berlin. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc.Graw-Hill Publ.Co.Ltd. New York. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi (Edisi kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Harijadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia. Jakarta. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi Pemanfataan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Higgins, I.J., D.J. Best dan J. Jones. 1984. Biotechnology Principles And Applications. Blackwell Scientific Publication. London. Howling, D. 1979. The General Science and Technology of Glucose Syrups. di dalam G.G Borch dan K.J Parker (eds). Science and Technology. Applied Science Publishers, Ltd. London.
63
Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. http://www.bppt.go.id /index.php?option=com_content&task=view&id=6033&Itemid=30 [28 Juli 2006]. Ishak, E., D. Sarinah, Amrullah dan B. Mariyati. 1984. Teknik Pengolahan Sagu. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar. Jong, F.S. dan A. Widjono. 2007. Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia. http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=publikasi/isi_informasi& kod=IT02/01&kd=2&id_menu=5&id_submenu=20&id=206 [19 November 2008]. Miller, D.L. 1975. Cellulose as a Chemical and Energy Resource. John Willey and Sons. New York. Palmer, T.J. 1970. Acid and Enzyme Hydrolisys of Starch. Publishing Company Limited. London. Paturau, J.M. 1982. By-Products of The Cane Sugar Industry : An Introduction to Their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam. Presscot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. Mc.Graw-Hill Book Co.Ltd. New York. Rahayu, E.B. 2006. Pengaruh Jenis Asam dan Konsentrasi Pati pada Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu sebagai Media Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus oryzae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Reed, G., dan H.J. Peppler. 1973. Yeast Technology. The AVI Publ.Co., Inc. Westport, Connecticut. Rehm, H.J. dan G. Reed. 1981. Biotechnology, Vol.1 : Microbial Fundamental. Verlag Chemie Gmbh, Weinheim. Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) Sebagai Bahan Pembuatan Etanol [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rudlee, K., J. Dennis, K.T. Patricia dan J.D. Rees. 1978. Palm Sago : A Tropical Starch from Marginal Lands. East-West Center. Honolulu. Sa’id, E.G. 1987. Bioindustri : Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sastrapradja, S., J. Palar, M. Harini, Murni dan J.A. Johar. 1980. Palem Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
64
Sjamsuriputra, A.A., I. Sastramihardja, dan U. Sukandar. 1986. Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tapioka untuk Produksi Etanol dengan Cara Sakarifikasi–Fermentasi Simultan Tanpa Perlakuan Pemasakan [Laporan Penelitian]. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung. Somaatmadja, D. 1973. Sirup Pati Ubi Kayu. Balai Penelitian Kimia. Bogor. Subekti, H. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung oleh Saccharomyces cerevisiae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudarmadji, S. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Sudjana, M.A. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen : Edisi IV. Tarsito. Bandung. Tjokroadikoesoemo, P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta. Tsao, G.T., M. Ladisch, T.A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978. Fermentation Substrates from Cellulosic Materials : Production of Fermentable Sugars from Cellulosic Materials. di dalam D. Perlman (eds). Annual Reports on Fermentation Processes : Volume 2. Academic Press. New York. Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta. ___________. 1997. Kimia pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., A. Apriyantono, M.S. Ma’arif, Suliantari, D. Muchtadi dan K. Otaka. 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati Sagu dan Pengkajian Enzima. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
65
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu
1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105 oC selama 1 – 2 jam. Cawan alumunium dan contoh yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Pemanasan contoh diulangi hingga didapat bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air. Kadar Air (%) = (W1 – W2) x 100 % W1
2. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan dalam tanur bersuhu 600 oC selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berissi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. Kadar Abu (%) = (C – A) x 100 % B
3. Analisis Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 2–4 g contoh ditimbang, lalu lemaknya dibebaskan dengan cara ekstraksi menggunakan Soxhlet atau diaduk, mengenaptuangkan contoh dalam pelarut organik sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25% lalu dididihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring
66
berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%. Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu 105 oC sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan. a. Serat Kasar < 1% (kertas saring+contoh kering) – kertas saring kosong x 100% bobot contoh b. Serat Kasar > 1% (kertas saring+contoh kering) – kertas saring kosong – bobot abu x 100% bobot contoh
4. Analisis Kadar Protein (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih. Larutan
didestruksi
hingga
menghasilkan
larutan
jernih
kemudian
didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2–4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades. Destilat dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kadar total nitrogen ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan aquades bebas nitrogen sebagai larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut. Total N (%) = ml titrasi (blanko – contoh) x N NaOH x 14 x 100 % bobot contoh Kadar Protein (%) = 6,25 x Total N (%)
67
5. Analisis Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air (hasil analisis kadar air) diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan, lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap. Kadar Lemak (%) = bobot lemak x 100% bobot contoh
6. Analisis Kadar Pati (AOAC, 1995) Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 % dan didihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Kemudian didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30 % lalu ditambahkan CH3COOH 3 % agar larutan menjadi asam. Isi dipindahkan ke dalam labu berukuran 500 ml dan tambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat di pipet ke dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 2 ml larutan Luff Schoorl dan beberapa butir batu didih serta 15 ml akuades. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap dan didihkan selama 3 menit. Campuran lalu dididihkan kembali selama 10 menit, kemudian didinginkan dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 % dan 25 ml H2SO4 25 % dengan perlahan-lahan. Lalu dititrasi dengan menggunakan larutan tio 0,1 N dengan penambahan indikator kanji 0,5 % (a ml). Lakukan juga terhadap blanko dengan perlakuan yang sama (b ml). Kadar Pati (%) = A x faktor pengencer x 0,9 x 100 % mg contoh Keterangan : A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b – a) 0,9 = perbandingan kadar glukosa dan pati
68
Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu
1. pH (AOAC, 1995) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Sebelum digunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu ke dalam pH 4 dan pH 9,2. Setelah dicuci dengan akuades, elektroda dimasukkan ke dalam contoh yang akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah menunjukkan nilai konstan.
2. Kadar Gula Total dengan Metode Fenol Sulfat (AOAC, 1995) Larutan glukosa standar dengan konsentrasi gula 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 µg/ml diambil sebanyak 2 ml. Masing-masing kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol 5%, serta ditambahkan 5 ml larutan H2SO4 pekat dengan cepat. Setelah dibiarkan selama 10 menit, larutan kemudian diukur absorbansinya pada λ = 490 nm. Penetapan konsentrasi total gula pada contoh dilakukan seperti pada penetapan kurva standar, kemudian ditentukan total gula contoh sebagai glukosa.
Kurva Standar Fenol 1.0
y = 0,0146x + 0,0063 R2 = 0,9962
Absorbansi
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
10
20
30
40
50
60
70
Konsentrasi Glukosa (µg/m l) Total Gulal
Linear (Total Gulal)
3. Kadar Gula Pereduksi dengan Metode DNS (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air. Ke dalamnya ditambahkan 306 g Na-k-tartarat, 7,6 ml fenol yang telah dicairkan pada suhu 105 oC dan 8,3 g Na-metabisulfit. Bahanbahan tersebut dicampur hingga rata. Keasaman dari pereaksi DNS yang
69
dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5 – 6 ml. Untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi, ditambahkan 2 g NaOH. Sebanyak 1 ml larutan standar glukosa atau contoh dipipet, dan ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga suhu kamar. Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang 550 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 20 – 80 % T (Transmitan).
Kurva Standar DNS
Absorbansi
0.8
y = 4,2149x - 0,2824 R2 = 0,9978
0.6 0.4 0.2 0.0 0.0
0.1
0.1
0.2
0.2
0.3
Konsentrasi Glukosa (mg/ml) Gula Pereduksi
Linear (Gula Pereduksi)
4. Ekuivalen Dekstrosa (Dextrose Equivalent/DE) Ekuivalen dekstrosa (DE) diperoleh dengan membagi nilai gula pereduksi contoh dengan nilai total gula contoh tersebut. DE (%) = kadar gula pereduksi contoh (g/l) x 100% total gula contoh (g/l)
5. Derajat Polimerisasi (DP) Derajat polimerisasi (DP) adalah jumlah unit monomer dalam suatu polimer. Derajat polimerisasi diperoleh dengan membagi nilai total gula (metode fenol sulfat) dengan nilai gula pereduksi contoh. DP (%) = total gula pereduksi contoh (g/l) x 100% kadar gula pereduksi contoh (g/l)
70
6. Kadar Nitrogen dengan Metode Semi Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih. Larutan
didestruksi
hingga
menghasilkan
larutan
jernih
kemudian
didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2 – 4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades. Destilat dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kadar total nitrogen ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan aquades bebas nitrogen sebagai larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut. Total N (%) = ml titrasi (blanko – contoh) x N NaOH x 14 x 100 % bobot contoh
71
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi
1. pH (AOAC, 1995) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Setelah dicuci dengan akuades, elektroda dapat dimasukkan ke dalam contoh yang akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah menunjukkan nilai konstan.
2. Total Asam (Dewipadma, 1978) Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan sebagai asam laktat. Sebanyak 1 ml contoh dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan dengan 9 ml air destilata, kemudian dipanaskan untuk menghilangkan CO2 yang ada. Campuran kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Total Asam (g/l) = ml NaOH x N NaOH x 9 x faktor pengencer ml contoh
3. Total Biomassa (Dewipadma, 1978) Pengukuran biomassa dilakukan dengan penyaringan cairan fermentasi menggunakan kertas saring berpori kecil (Whatman No. 42). Biomassa yang tertahan pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 105 oC, dan ditimbang hingga bobotnya konstan. Biomassa (g/l) = (bobot kertas saring+contoh) – bobot kertas saring
4. Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh dengan membagi selisih nilai gula pereduksi awal (A) dan gula pereduksi akhir fermentasi (B) dengan nilai gula pereduksi awal contoh tersebut. Nilai gula pereduksi diukur dengan menggunakan metode DNS (seperti terlihat pada Lampiran 3). Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%) = (B – A) x 100% A
72
5. Kadar Etanol (AOAC, 1995) Penentuan kadar etanol dilakukan dengan dua cara. Yang pertama menggunakan metode secara tidak langsung dengan penetapan BJ (bobot jenis) hasil destilasi contoh, sedangkan cara yang kedua kadar etanol diukur dengan metode Gas Chromatography (GC). Metode Penetapan BJ (Spesific Gravity) Sebanyak 25 ml contoh dimasukkan ke dalam botol penyuling sambil diukur suhunya, kemudian ditambahkan aquades dengan volume yang sama. Penyulingan dihentikan setelah diperoleh hasil sulingan + 23 ml dan diatur suhunya agar sama dengan suhu pada saat pemipetan. Destilat tersebut dimasukkan ke dalam piknometer 25 ml yang telah diketahui bobotnya (P), selanjutnya ditepatkan hingga tanda tera dengan menambahkan aquades dan ditutup. Dinding piknometer dikeringkan lalu piknometer yang telah berisi destilat tersebut ditimbang (D). Piknometer dicuci dengan aseton, dikeringkan dan dibiarkan hingga mencapai suhu kamar (+ 25 oC). Dengan piknometer tersebut ditentukan pula bobot 100 ml air suling (W). Kadar etanol dapat ditentukan dengan bantuan tabel hubungan antara bobot jenis dengan kadar etanol pada berbagai suhu. Bobot jenis destilat = D – P W–P
Metode Gas Chromatography (GC) Penentuan kadar etanol dengan metode GC dilakukan dengan membandingkan waktu retensi contoh dengan waktu retensi standar etanol. Konsentrasi standar etanol yang diinjeksikan adalah 1 % (v/v). kadar etanol yang terdapat dalam contoh dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. Kadar Etanol (%)
= luas area contoh x [standar] luas area standar
73
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam
Dengan H2SO4 Sebagai Penghidrolisis
Mpati sagu = 80 g
Pencampuran
Gelatinisasi (T = 100 oC, t = 10 menit)
Hidrolisis (T = 121 oC, t = 30 menit)
MNH4OH (3N) = 41,40 g
Mkarbon aktif = 1,61 g
MH2SO4 (0,5 N) = 420 g
Mair = 2,75 g
Mair = 9,55 g
Netralisasi pH (pH = 4,5 - 5)
Purifikasi (T = 80 oC t = 1 jam)
Mair = 26,76 g
Mhidrolisat pati sagu = 503,95 g
74
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam (Lanjutan)
Dengan HCl Sebagai Penghidrolisis
Mpati sagu = 80 g
Pencampuran
Gelatinisasi (T = 100 oC, t = 10 menit)
Hidrolisis (T = 121 oC, t = 30 menit)
MNH4OH (3N) = 37,07 g
Mkarbon aktif = 1,61 g
MHCl (0,5 N) = 420 g
Mair = 5,57 g
Mair = 7,30 g
Netralisasi pH (pH = 4,5 - 5)
Purifikasi (T = 80 oC t = 1 jam)
Mair = 25,54 g
Mhidrolisat pati sagu = 500,27 g
75
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2
Substrat
Fermentasi Jam Ke0 6 12 18 24
Sirup glukosa teknis
30 36 42 48 54 60 66 72
Substrat
Fermentasi Jam Ke-
U1
U2
U3
Rata-Rata
0 18
0 18
0 26
0,0 20,7
52 66
52 69
57 78
53,7 71,0
83 55
76 53
92 68
83,7 58,7
53 50 45
49 40 31
61 50 38
54,3 46,7 38,0
26
20
22
22,7
22 17
14 12
14 10
16,7 13,0
12
8
7
9,0
Laju Pembentukan CO2 (ml) U1
U2
U3
Rata-Rata
0 17
0 9
0 18
0,0 14,7
51 58
42 74
53 65
48,7 65,7
66 50
83 62
77 68
75,3 60,0
42 48
42 40 29
48 38 21
55 50 40
48,3 42,7 30,0
54
26
11
38
25,0
60 66 72
9 5
4 2
18 6
10,3 4,3
0
0
0
0,0
0 6 12 18 24 Hidrolisat asam H2SO4
Laju Pembentukan CO2 (ml)
30 36
76
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 (Lanjutan)
Substrat
Fermentasi Jam ke0 6 12 18 24
Hidrolisat asam HCl
30 36 42 48 54 60 66 72
Laju Pembentukan CO2 (ml) U1
U2
U3
Rata-Rata
0 14
0 7
0 4
0,0 8,3
33 35
38 42
33 41
34,7 39,3
12 4
23 4
31 9
22,0 5,7
1 0 0
3 3 2
5 2 2
3,0 1,7 1,3
0
0
0
0,0
0 0
0 0
0 0
0,0 0,0
0
0
0
0,0
77
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi
78
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)
79
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)
80
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC
Standar etanol yang digunakan = 1% (v/v) dengan bobot jenis 7,9 g/l Kadar Etanol (%)
= luas area contoh x 1% luas area standar
Jenis Substrat
Luas Area Standar
Luas Area Contoh
Kadar Etanol (% v/v)
Kadar Etanol (g/l)
Sirup glukosa teknis (U1)
1291310
3307528
2,56
20,41
Hidrolisat asam H2SO4 (U3)
1291310
2461920
1,91
16,32
Hidrolisat asam HCl (U2)
1291310
807200
0,63
5,31
81
Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi Jenis Substrat
Ulangan
Biomassa X (g/l)
X-Xo
Substrat S (g/l)
So-S (g/l)
Produk *) P (g/l)
Sirup glukosa teknis
1
1,140
0,182
57,082
33,082
20,235
2 3
1,121 1,192
0,137 0,163
54,137 51,877
37,534 34,521
20,224 20,777
Hidrolisat asam H2SO4
1
1,202
0,441
63,934
29,966
17,459
2 3
1,142 1,174
0,399 0,528
59,760 61,580
30,073 31.036
15,062 16,432
1 2 3
1,001 1,135 0,918
0,213 0,240 0,120
85,338 88,442 86,729
10,702 9,632 9,204
5,767 5,214 4,938
Hidrolisat asam HCl *)
kadar etanol hasil uji piknometer
82