TINJAUAN PUSTAKA
Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp) Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu. Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari ordo Spadiciflorae, keluarga Palmae dan genus Metroxylon. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan Arenga microcarpha (sagu baruk) yang tumbuh di lahan kering. Di Irian Jaya dan sebagian daerah Maluku, sagu merupakan bahan makanan pokok sedangkan di propinsi lain sagu dimanfaatkan sebagai bahan baku industri dan bahan makanan.
Pada produksi tahun 1999
sebesar 16178 ton sagu dikonsumsi oleh industri menengah besar dalam negeri, terutama di pulau Jawa, yang menggunakan sagu sebagai bahan baku makaroni, spagetti, bihun, soun dan bakso. Jepang memanfaatkan sagu sebagai bahan baku industri plastik biodegradabel (Abner dan Miftahorrahman 2002). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan a -(1,6)-Dglukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno 1997). Kebanyakan pati terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (Pomeranz 1991). Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik (SNI 01-2978-1992). Cara hidrolisis pati ada tiga macam, yaitu hidrolisis asam (pada umumnya HCl) yang disebut konversi asam, konversi asam-enzim dan konversi enzim-enzim. Cara terakhir paling banyak digunakan saat ini. Konversi pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas aamilase sedangkan sakarifikasi mengubah maltodekstrin secara lebih lanjut menjadi glukosa.
Konversi enzimatik pati terlikuifikasi menjadi glukosa
memerlukan waktu reaksi yang lama (24-96 jam), waktu yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi akhir glukosa yang diinginkan. Penggunaan
7
konsentrasi enzim yang tinggi, waktu hidrolisis reaksi yang lama dan konsentrasi substrat yang relatif tinggi (30-40% basis kering, b/b) pada proses industri dapat menyebabkan reaksi reversi (balik) yaitu sintesis kembali sa karida dari glukosa (Govindasamy et al. 1995) a -amilase (a-1,4 glukan-4-glukonohidrolase) yang digunakan dalam tahap likuifikasi merupakan endoamilase, yaitu enzim yang memecah secara acak ikatan a -(1,4) yang terletak pada bagian dalam rantai polisakarida. Pemecahan ini menghasilkan glukosa, maltosa dan a -limit dekstrin, yaitu oligosakarida dengan empat atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan a -(1,6). Tahap ini ditandai dengan menurunnya viskositas suspensi pati dan daya pewarnaan larutan yodium terhadap amilosa. Pengaruh pH terhadap kestabilan dan keaktifan enzim sangat penting. a-amilase dari Bacillus subtilis mempunyai pH optimum antara 5,8 – 6,0 (Norman 1981). Terdapat dua jenis endoamilase, yaitu termostabil dan termolabil. Endoamilase termostabil terutama berasal dari genus Bacillus. Amilase dari B. subtilis optimum pada suhu 65-70 oC dengan keberadaan Ca2+ sedangkan amilase dari B. licheniformis optimum pada suhu di atas 90 oC tanpa adanya Ca2+. Amilase termolabil berasal dari kapang, biasanya Aspergillus oryzae (Fullbrook 1984). Glukoamilase atau amiloglukosidase atau AMG yang digunakan pada tahap sakarifikasi merupakan eksoenzim, yaitu enzim yang bekerja melepaskan unit glukosa secara berturut -turut dari ujung non reduksi pati. AMG mempunyai keaktifan optimal pada pH 4-5 dengan suhu 50-60 oC. Pada tahap sakarifikasi ini terjadi hidrolisis oligosakarida atau dekstrin menjadi glukosa.
Tidak seperti
likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook 1984).
Poli(3-Hidroksialkanoat) (PHA) Poli(3-hidroksialkanoat) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesis oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraselular serta dikumpulkan sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee 1996). PHA disintes is jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jum lah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi
8
2001). Steinbüchel dan Valentin (1995) sebagaimana dikutip oleh Kim dan Lenz (2001) menyatakan bahwa lebih dari 90 unit monomer hidroksialkanoat yang telah dideteksi se bagai konstituen penyusun PHA. Hal ini menyebabkan PHA sebagai bahan termoplastik memiliki sifat mekanis yang bervariasi, misalnya sebagai penyusun polimer kristalin yang kuat atau karet elastis tergantung dari unit-unit monomer penyusunnya (Lee 1996). Berdasarkan panjang unit penyusun polimernya, PHA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu PHA rantai pendek (short chain length PHA/poly HASCL) dan PHA rantai menengah (medium chain length PHAs/poly HAMCL). PHA rantai pendek terdiri dari tiga sampai lima atom karbon, yaitu unit 3HB (hidroksibutirat) dan 3HV (hidroksivalerat). PHA rantai menengah terdiri enam atau lebih atom karbon, yaitu unit-unit yang lebih panjang dari 3HV. PHA yang terdiri dari dua tipe di atas disebut sebagai hibrid PHA rantai pe ndek dan menengah (Kim dan Lenz 2001, Lee dan Choi 2001). Struktur umum PHA dapat dilihat pada Gambar 1. R
O
CH
R dapat terdiri dari C 1-C13, ikatan jenuh, tak jenuh, bercabang, aromatik, halogen atau epoksi
C CH2
O
n Gambar 1 Struktur kimia PHA (Madison dan Huisman 1999). Penamaan PHA ditentukan berdasarkan gugus alkil R pada unit monomer penyusunnya.
Misalnya, dinamakan PHB atau poli(3-hidroksibutirat) jika R
adalah CH3 (metil), PHV atau poli( 3-hidroksivalerat) jika R adalah CH 2CH3 (etil), PHC atau poli(3-hidroksikaproat) jika R adalah n-propil, PHH atau poli(3hidroksiheptanoat) jika R adalah n-butil, PHO atau poli(3-hidroksioktanoat) jika R adalah n-pentil, PHN atau poli(3-hidroksinanoat) jika R adalah n-heksil, PHD atau poli(3-hidroksidekanoa t) jika R adalah n-heptil, PHUD atau poli(3-hidroksi undekanoat) jika R adalah n-oktil dan PHDD atau poli(3-hidroksidodekanoat) jika R adalah n-nonil (Atkinson dan Mavituna 1991, Brandl et al. 1990).
9
PHA ada dalam bentuk homo dan heteropolimer.
Homopolimer poli(3-
hidroksibutirat) atau PHB memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus, mirip dengan polipropilen dan merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan paling banyak diteliti.
Namun demikian, sebagai plastik PHB bersifat sangat
rapuh karena tingginya derajat kristalinitas, di samping itu suhu pelelehannya (180 oC) mendekati suhu degradasi termalnya (200 oC). Kelemahan ini dapat diperbaiki dengan kopolimerisasi 3HB dan 3HV menjadi kopolimer poli(3HBco-3HV) yang lebih fleksibel dan rendah suhu prosesnya (Kim dan Lenz 2001). Suatu galur mutan Ralstonia eutropha yang ditumbuhkan pada glukosa dan asam propionat dapat menghasilkan kopolimer dari monomer 3HB dan 3HV. Kerapuhan kopolimer HB-HV lebih rendah daripada PHB, sifat termomekanisnya lebih bervariasi tergantung dari kadar unit 3-HV penyusunnya sehingga aplikasinya lebih luas (Lefebvre et al. 1997, Klem 1999).
Beberapa contoh
aplikasi PHA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi praktis PHA *) Aplikasi medis 1. Keperluan operasi bedah : benang jahit, pin, penyeka 2. Pembalut luka 3. Pemasangan pembuluh darah 4. Penyambungan tulang dan lempeng tulang 5. Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA bersifat piezoelektrik) 6. Pembawa (carrier) bahan aktif pada obat-obatan Aplikasi industri 1. Pembawa (carrier) bahan aktif pada herbisida, fungisida, insekstisida atau pupuk 2. Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong dan film 3. Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita *)
Brandl et al. (1990), Lee et al. (1999)
Meskipun bidang aplikasinya luas, namun pemanfaatan PHA masih terbatas karena harganya mahal. Berbagai penelitian akhir-akhir ini diarahkan untuk menurunkan biaya produksi, meliputi penelitian tentang (1) galur bakteri baru yang dapat mensintesis PHA, (2) substrat yang murah, (3) strategi kultivasi yang baru, (4) penggunaan mikroba rekombinan, (5) pengembangan tanaman transgenik yang dapat mensintesis PHA dan (6) penggunaan kultur sel serangga (insekta) untuk memproduksi PHB (Lefebvre et al. 1997). Perke mbangan terkini
10
tentang metabolisme, biologi dan genetika molekuler serta kloning lebih dari 20 gen biosintesis PHA memungkinkan dilakukannya konstruksi galur-galur rekombinan bakteri yang dapat mensintesis poliester dengan unit monomer yang berbeda -beda dan atau bakteri yang dapat mengakumulasi polimer dalam jumlah lebih banyak (Lee 1996). Terdapat lebih dari 300 jenis mikroba yang dapat mensintesis PHA (3080% dari berat kering selnya) namun hanya sejumlah bakteri termasuk Ralstonia eutropha, Alcaligenes latus, Azotobacter vinelandii, Chromobacterium violaceum, metilotrof, pseudomonad dan rekombinan Escherichia coli yang prospektif digunakan dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2 g/L.jam (Lee 1996, Lee dan Choi 2001). Ralstonia eutropha dan Jalur Biosintesis PHB Klem (1999) menyatakan bahwa berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi RNA 16S, Alcaligenes eutrophus dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia eutropha. R. eutropha termasuk bakteri Gram negatif, aerob obligat, motil, suhu optimum 20-37 oC, koloni tidak berwarna pada Nutrient Agar, oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik dan asam amino sebagai sumber karbon, dapat mereduksi NO3- menjadi NO2- dan dapat tumbuh secara anaerobik dengan adanya NO 3-. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al. 1994). Lee dan Choi (2001) meyatakan bahwa R. eutropha dapat tumbuh baik pada media minimal yang relatif murah dan mengakumulasi PHB pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. pertumbuhannya
adalah
D-glukosa
adipat, itakonat (John et al. 1994).
Sumber karbon yang dapat digunakan untuk (mutan),
D-fruktosa,
D-glukonat,
asetat,
R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi
terbatasnya nitrogen, oksigen dan fosfor (Klem 1999).
Kim dan Lenz (2001)
menyatakan bahwa ammonium merupakan nutrisi pembatas bagi R. eutropha. Polimer diakumulasi dalam bentuk granula dalam sitoplasma sel dan berfungsi sebagai cadangan karbon dan sumber ekivalen pereduksi.
Jumlah granula per sel
R. eutropha yang ditumbuhkan pada kondisi nitrogen terbatas tidak berubah sejak
11
awal fase akumulasi polimer dan produksi polimer mulai menurun ketika kadar PHB hampir 80% meskipun aktifitas sintase PHB masih cukup tinggi. Gambar granula PHB pada R. eutropha dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Hasil scanning electron microscope granula PHB pada R. eutropha (Sumber : http://che.kaist.ac.kr/~biosyst/research/pha/pha.html).
Selama pertumbuhan normal, pembentukan PHA biasanya tidak mencapai konsentrasi tinggi dalam sel yaitu antara 2-10% dari bobot kering sel, tergantung dari galur bakteri. Namun demikian, kadar PHB dapat mencapai lebih dari 80% berat kering sel jika pertumbuhan dibatasi dengan berkurangnya suatu komponen nutrisi penting (Braunegg et al. 1995). Tiga galur R. eutropha yang paling banyak dipelajari adalah (1) produsen PHB asli H16 (ATCC 17699), (2) mutan yang dapat menggunakan glukosa yaitu 11599 dan (3) SH-69 (ATCC 17697) (Madison dan Huisman 1999). Komponen awal yang terpenting pada sintesis PHB intra selular dalam sel prokariotik adalah asetil-koenzim A (asetil-KoA).
Pengaturan sintesis PHB
dipengaruhi oleh konsentrasi koenzim A bebas dan potensial redoks intraselular yang dikaitkan dengan rasio NAD/NADH.
Proses pembentukan PHB pada
Alcaligenes eutrophus (R. eutropha) H16 diawali dengan reaksi kondensasi dua molekul asetil-KoA untuk membentuk asetasetil-KoA yang dikatalisis oleh ßketot iolase (asetasetil-KoA tiolase). Asetasetil-KoA selanjutnya direduksi secara bertahap menjadi ß-hidroksibutiril-KoA yang dikatalisis oleh asetasetil-KoA reduktase. ß-hidroksibutiril-K oA kemudian dipolimerisasi menjadi PHB dengan
12
katalis PHB polimerase (Lafferty et al. 1988). Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R. eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Memperjelas pendapat Lafferty et al. (1988), Klem (1999) menyatakan bahwa pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen yang diperlukan untuk sintesis PHB, yaitu phbA, phbB dan phbC. PhbA (suatu ketot iolase ) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi R-ß-hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-KoA yang membutuhkan NADPH). Molekul R-ß-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (suatu PHB sintase).
Pada
lingkungan yang ka ya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi CO 2. Degradasi dimulai oleh depolimerase yang dikode sebagai gen phbZ. Babel et al. (2001) menyatakan bahwa meskipun faktor -faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau Fe 2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk yang hampir sama. Konsentrasi intraselular asetil-KoA yang tinggi akan menunjang sintesis asetoas etil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi (reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan.
Secara umum,
pasokan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHB.
Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/
(melalui siklus TCA) dan jum lah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian, jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi (Babel et al. 2001).
13
Metabolisme karbohidrat Jalur EMP, HM, ED CO 2
Piruvat Siklus TCA
Asetil-SKoA u PhaA
CoASH
Asetasetil-SKoA Suksinat
NADH2 NAD
NADH2
{
Suksinil-SKoA
Asetoasetat
PhaB
v
NAD
z D(-)-ß-hidroksibutiril-SKoA
D(-)-ß-hidroksibutirat Protein-AI PhaC
y PhaZ
D(-)-ß-hidroksibutiril-AI
Oligomer, trimer, dimer x
PhaZ
PhaC
w
Poli-ß-hidroksibutirat
Keterangan : u ß-ketothiolase (ß-ketoasilthiolase, asetoasetil-KoA, asetasetil-KoA thiolase) v Asetasetil-KoA reduktase w PHB polimerase (PHB sintetase) x PHB hidrolase y Dimer hidrolase z ß-hidroksibutirat dehidrogenase { Thiophorase (asetasetil-SKoA thiokinase; Asetoasetat -suksinil-KoA transferase) EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas HM : jalur Heksosa Monofosfat ED : jalur Entner-Doudoroff
Gambar 3 Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al.1988).
14
Proses Produksi PHA Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu kultivasi
dan
recovery/isolasi PHA.
Tahap
kultivasi merupakan
pertumbuhan biomassa sel dan akumulasi biopolimer PHA.
tahap
Setelah kultivasi
berakhir, dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap isolasi biopolimer.
Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut
(solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based ).
Pemisahan tanpa
pelarut pada dasarnya adalah pr oses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi.
Pemisahan dengan pelarut merupakan
proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti de ngan presipitasi dengan air/metanol (Kessler et al. 2001). Tinjauan umum proses produksi PHA lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4. KULTIVASI TAHAP 1
PRODUKSI BIOMASSA Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang
KULTIVASI TAHAP 2
AKUMULASI POLIMER PHA Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas
PEMANENAN
ISOLASI
Tanpa Pelarut Dengan Pelarut • Pelarutan biomassa non- • Ekstraksi PHA dengan PHA pelarut • Sentrifugasi/ultrafiltrasi • Presipitasi dengan metanol/ air
Gambar 4 Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001). Dua jenis teknik kultivasi biasa nya digunakan. Pada percobaan batch, baik pertumbuhan sel dan pembentukan PHA dilakukan pada media yang sama. Pada percobaan bebas nitrogen, sel terlebih dahulu ditumbuhkan pada media kaya nutrisi kemudian diresuspensi ke dalam media yang kekurangan nitrogen dengan sumber karbon sesuai dengan yang diinginkan (Madison dan Huisman 1999). Namun demikian, secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch
15
(curah), fed-batch (semi sinambung) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fedbatch banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di dalam sel.
Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed -batch, densitas
biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis.
Level substrat pembatas yang rendah tersebut
dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nie lsen dan Villadsen 1993).
Terkait dengan penggunaan
glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama
kultivasi fed-batch
untuk menjaga
konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal untuk akumulasi PHB (Lee dan Choi 2001). Tanaka et al. (1993) menggunakan metode kultur dua tahap untuk menghasilkan PHB dari xilosa. Xilosa dikonversi menjadi L-asam laktat dan asam asetat oleh Lactococcus lactis IO-1, selanjutnya dikonversi menjadi PHB oleh R. eutropha .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 g/L L-laktat
dihasilkan 8,5 g/L biomassa R. eutropha dengan kadar PHB 55% selama 24 jam kultivasi . Kim et al. (1994) memproduksi PHB dari R. eutropha dengan teknik kultur fed -batch secara otomatis dengan perlakuan pembatasan amonium. Konsentrasi glukosa pada kultur dikontrol pada kisaran 10-20 g/L menggunakan analisator glukosa secara on line dan berdasarkan data gas keluar yang diperoleh dari spektrometer massa.
Konsentrasi akhir sel, konsentrasi PHB dan
produktifitas PHB meningkat ketika pengumpanan amoniak dihentikan pada saat sel mencapai konsentrasi tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika
pengumpanan amoniak dihentikan saat konsentrasi sel mencapai 70 g/L maka konsentrasi PHB dan total sel berturut-turut mencapai 121 g/L dan 164 g/L dalam waktu 50 jam kultivasi. Rendemen PHB maksimal yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah 76% dari berat kering sel dengan produktifitas sebesar 2,42 g/L.jam dan rendemen sebesar 0,3 g PHB/g glukosa. Ryu et al. (1997) memproduksi PHB pada bioreaktor 60 L secara fedbatch menggunakan sel R. eutropha berdensitas tinggi, glukosa sebagai sumber karbon dengan pembatasan fosfat dan nitrogen. Strategi pengumpanan dilakukan
16
berdasarkan pengontrolan konsentrasi oksigen terlarut. Dengan konsentrasi awal fosfat sebesar 5,5 g/L, konsentrasi akhir sel yang dihasilkan mencapai 281 g/L, konsentrasi PHB 232 g/L dan produktifitas PHB 3,14 g/L.jam. Sang Yup Lee dalam serangkaian penelitiannya menggunakan R. eutropha dan rekombinan E. coli dengan sistem kultivasi fed-batch . Pengumpanan substrat dilakukan berdasarkan pH disertai dengan pengontrolan kandungan oksigen terlarut untuk menghasilkan homopolimer PHB maupun kopolimer HB-HV dengan produktifitas yang lebih tinggi. Disertai dengan teknik isolasi PHA yang relatif murah, mudah dan ramah lingkungan menggunakan pelarut NaOH, Lee dan Choi (2001) mensimulasikan faktor -faktor tersebut sehingga biaya produksi PHB menjadi lebih rendah, yaitu US$ 3,31/kg. Komersialisasi PHA dimulai oleh ZENECA-Inggris yang menggunakan mutan R. eutropha untuk memproduksi PHB dan PHBV berskala industri sejak tahun 1982 dengan merek BIOPOL.
Sumber karbon yang digunakan adalah
glukosa dengan fosfat sebagai nutrisi pembatas. Proses produksi menggunakan bioreaktor berskala 200 000 L dengan sistem kultivasi fed -batch dua tahap. Pada tahap pertama, sel ditumbuhkan pada media garam mineral dengan glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon dan sumber energi serta dan sejumlah fosfat yang telah dihitung berdasarkan kebutuhan mikroba untuk memproduksi sejumlah biomassa tertentu.
Sejalan dengan pertumbuhan kultur, fosfat dalam media
semakin berkurang. Pada tahap kedua ketika fosfat berada dalam jumlah terbatas, sel mulai memproduksi dan menyimpan polimer. Pada saat tersebut, glukosa diumpankan ke dalam kultur kemudian kultivasi dilanjutkan sampai jumlah polimer yang diinginkan tercapai. Masing-masing tahap berlangsung kira-kira 48 jam dan berat kering biomassa akhir mencapai 100 g/L.
Pada tahun 1996
produksi tersebut diteruskan oleh MONSANTO-Amerika Serikat namun kemudian terhenti pada tahun 1998 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001). Produsen lain di Austria menggunakan Alcaligenes latus DSM1124 untuk memproduksi homopolimer PHB pada media garam mineral dengan sukrosa sebagai sumber karbon. Proses kultivasi dilakukan satu tahap secara fed -batch dan dapat menghasilkan sel berdensitas 60 g/L dengan kadar PHB 80%. Namun,
17
produksinya dihentikan pada tahun 1993 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001).
Prose Hilir PHA Setelah tahap kultivasi, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari broth
(media kultivasi) dengan berbagai prosedur konvensional seperti
sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi.
Sel selanjutnya dipecah agar
polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. 2001). Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan).
Namun demikian, proses tersebut membutuhkan pelarut dalam
jum lah besar. Pada proses ekstraksi PHB dengan pelarut kloroform, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi dan tidak terjadi degradasi selama ekstraksi. Namun kelemahannya, diperlukan kloroform dalam jumlah besar karena larutan polimer yang mengandung PHB = 5% (b/v) bersifat sangat kental (viscous) sehingga proses operasinya menjadi sulit (Lee et al. 1999). Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. 2001).
Hahn et al. (1995) membandingkan
penggunaan sodium hipoklorit dan dispersi sodium hipoklorit -kloroform untuk mengisolasi PHB yang disintesis oleh R. eutropha dan rekombinan E. coli. Tingkat degradasi PHB pada perlakuan dispersi sodium hipoklorit-kloroform lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan sodium hipoklorit saja. Semakin tinggi konsentrasi hipoklorit yang digunakan, semakin kecil berat molekul PHB yang diperoleh. Choi dan Lee (1999) telah me neliti kemampuan berbagai jenis bahan kimia untuk memecah bahan sel selain PHB, meliputi asam (HCl, H2SO4), alkali (NaOH, KOH, NH 4OH) dan surfaktan (ga ram sodium dioktilsulfosuksinat/AOT, heksadeciltrimetilamonium
bromida/CTAB,
sodium
dodesil
sulfat/SDS,
polioksietilen-p-tert-oktil fenol/Triton X-100 dan polioksietilen (20) sorbitan monolaurat/Tween 20).
Meskipun SDS merupakan bahan kimia yang efisien
18
untuk isolasi PHB dari rekombinan E. coli namun harganya mahal dan limbahnya menimbulkan masalah baru. NaOH dan KOH juga efisien dan ekonomis untuk isolasi PHB sehingga digunakan untuk optimasi kondisi isolasi. Pada perlakuan NaOH 0,2 N selama 1 jam, kultur dengan densitas sel 50 g/L dan rendemen PHB 77% dapat diperoleh dengan kemurnian 98,5%. Selanjutnya dibandingkan 2 metode, antara surfaktanhipoklorit dan NaOH. Dengan proses kultivasi yang menghasilkan PHB 157 g/L, rendemen 77% dan produktifitas 3,2 g PHB/L.jam dipadukan dengan metode isolasi NaOH maka biaya produksi PHB dapat ditekan 25% lebih rendah menjadi US$ 3,66/kg dibandingkan dengan metode surfaktan-hipoklorit (Choi dan Lee 1999). Lee et al (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama 1 jam pada suhu 30 oC dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%.
Jika waktu pemecahan
(digestion) diperpanjang hingga 5 jam maka kemurnian PHB meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu (a) murah dan ramah lingkungan, (b) PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan (c) selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.
Kinetika Kultivasi Mikroba bila berada dalam suatu lingkungan akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungan tersebut (Hartoto dan Sailah 1989). Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al. 1979). Pertumbuhan mikroba
dicirikan dengan peningkatan massa sel dan atau jumlah sel.
Pertumbuhan terjadi bila kondisi fisik dan kimiawi tercapai, misalnya suhu, pH dan
keterse diaan
nutrisi
sesuai
dengan
kebutuhan
mikroba.
Fase -fase
pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Gambar 5) secara umum dijelaskan oleh Wang et al. (1979), Hartoto dan Sailah (1989) serta Mangunwidjaja dan Suryani (1994) sebagai berikut.
Log (konsentrasi massa sel)
19
fase lag
fase eksponensial
fase stasioner a b c
Keterangan : a. massa sel, tidak terjadi lisis b. massa sel, terjadi lisis diikuti pertumbuhan cryptic c. jumlah sel hidup, terjadi lisis
Waktu Gambar 5 Kurva pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Wang et al. 1979) Pada fase lag (fase awal dan pe nyesuaian) yang merupakan masa penyesuaian mikroba sejak sel mikroba diinokulasi ke media biakan, massa sel meningkat tetapi tidak terjadi pembelahan sel. Oleh karena itu, X = Xo = tetap dengan Xo = konsentrasi sel pada t = 0. Laju pertumbuhan, r x (g/L.j)
= dx/dt = 0 .....................................................(1) -1
Laju pertumbuhan spesifik, µ (j ) = dx/dt .1/X = 0 .............................................(2) Ketika kultur mikroba dipindahkan ke lingkungan baru maka dibutuhkan penataan ulang terhadap komponen penyusun mikro dan makromolekularnya . Setelah fase adaptasi selesai, maka sel menuju fase pertumbuhan eksponensial (log/ logaritmik). Pada fase eksponensial, jumlah sel meningkat pada laju konstan, laju pertumbuhan meningkat sebanding dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal (µm ). dx/dt . 1/X = µm ? 1/X. dx = ?µm . dt Ln X2 – Ln X 1 = µm (t2 - t1) .....................................................................(3) Waktu generasi atau penggandaan (tg), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel dua kali semula sehingga X2 = 2X1, dapat ditentukan sebagai berikut : Ln (2X1) – Ln (X1 ) = µm . tg tg = ln 2/µm = 0,693 / µm ...........................................................................(4)
20
Pada fase pelambatan, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner, konsentrasi biomassa mencapa i maksimal. Laju kematian sel sebanding dengan laju penggandaan sel. Oleh karena itu pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel. Pada fase menurun laju kematian lebih cepat daripada laju penggandaan sel. Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup akibat terjadinya kematian yang diikuti autolisis oleh enzim selular. Wang et al. (1979) menyatakan bahwa pada fase stasioner masih terjadi metabolisme dan akumulasi produk di dalam sel atau broth. Massa sel total mungkin konstan (Gambar 5a), akan tetapi jumlah sel hidup mungkin menurun (Gambar 5c). Dengan menurunnya jumlah sel hidup, maka terjadilah lisis sel sehingga massa sel menurun (Gambar 5b). Produk-produk lisis sel dalam media memungkinkan terjadinya periode pertumbuhan sekunder yang disebut pertumbuhan kriptik (cryptic ). Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi menjadi massa sel dan metabolit (Wang et al. 1979). Yield atau rendemen biomassa (Yx/s ) dan rendemen produk (Yp/s) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa dan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa atau produk yang terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Scragg 1991). ?X Yx/s =
X - Xo =
?S ?P Yp/s =
..........................................................................(8) So – S P - Po
= ?S
..........................................................................(9) So – S
dengan ? X dan ? P merupakan ju mlah sel dan produk yang terbentuk dengan dikonsumsinya substrat sebanyak ? S. Koefisien konversi nutrisi dalam substrat yang berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat dijelaskan dengan persamaan berikut : % penggunaan substrat = ? S/So = (So-S)/S o ........................................(10)
21
Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menyatakan bahwa hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dalam hal ini dikenal tiga pola hubungan, yaitu : 1.
Pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk yaitu laju pembentukan
produk
berbanding
secara
proporsional
dengan
laju
pertumbuhan. dP/dt = a dx/dt atau rp = Y p/x . r x ............................................(5) 2.
Pola pembentukan produk tak berasosiasi dengan pertumbuhan yaitu laju pembentukan produk cenderung berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular daripada dengan laju pertumbuhan. rp = ß X .................(6)
3.
Pola campuran per tumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi yaitu laju pembentukan produk berbanding lurus dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. rp = a rx + ßX atau rp/X = a µ + ß ..........................................(7)
dengan dP/dt = rp : laju pembentukan produk, rx : laju pertumbuhan sel, Yp/x : rendemen produk yang dihasilkan per biomassa terbentuk (g/g), a : tetapan pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan, ß: tetapan pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan.
Kultivasi Fed-batch Yoshida et al. (1973) seperti dikutip oleh Stanbury dan Whitaker (1984) memperkenalkan istilah fed-batch untuk menggambarkan kultur batch yang diumpan dengan media secara kontinyu atau terputus -putus tanpa pengambilan cairan kultur sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Scragg (1991) mendefinisikan kultur fed-batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara, yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik. Pirt (1975) seperti dikutip oleh Trevan et al. (1987) menjelaskan kinetika kultivasi fed-batch sebagai berikut : pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner, Xmaks , dije laskan dengan persamaan
22
berikut (dengan asumsi bahwa jum lah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan dengan biomassa akhir) : Xmaks ˜ Y. SR
......................................................................................................................... (11)
dengan Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) dan S R = konsentrasi substrat dalam media. Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µmaks maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat diumpankan ke dalam sistem. Meskipun ju mlah biomassa dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi, namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu dx/dt ˜ 0 dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam keadaan quasi-steady state.
Semakin bertambahnya
waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan dengan persamaan berikut : F D=
.......................................................... (12) Vo + F .t
dengan F = laju pengumpanan, Vo = volume awal kultur, t = waktu pengumpanan pada operasi fed -batch.. Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa.
Namun demikian, pada laju pertumbuhan
yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed -batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara eksponensial menggunakan sistem kontrol komputer (Trevan et al. 1987). Perbedaan mendasar antara keadaan steady state pada suatu kultur kemostat dengan keadaan quasi-steady state pada kultur fed -batch adalah bahwa µ konstan pada sistem kemostat, namun menurun pada sistem fed -batch (Stanbury dan Whitaker 1984).