8
TINJAUAN PUSTAKA Sagu Deskripsi Sagu Tanaman sagu atau Metroxylon sagu Rottboell termasuk family Palmae genus Metroxylon. Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti empulur dan xylon berarti xylem (Anonim, 1979), sedangkan sagu adalah pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Spesies yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi duri. Satu siklus hidup tanaman sagu dari biji sampai membentuk biji diperlukan waktu 11 tahun dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase awal pertumbuhan atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infolorensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun (Flach, 2005). Tajuk pohon sagu terdiri dari 6 sampai 15 rangkaian daun dan setiap rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun dan kira-kira 20 pasang helai daun. Batang sagu bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35 sampai 60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10 -15 meter. Pada waktu panen batang sagu biasa mencapai berat sampai 1 ton (Anonim, 1979). Menurut Bintoro (2008) dalam satu batang umumnya terdapat 200-400 kg pati kering. Saitoh et al. (2003) dalam Bintoro (2008), mengemukakan bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kg/pohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Pada rumpun sagu ratarata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang sangat banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa. Habitat Sagu Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim A dan B sangat ideal untuk
9
pertumbuhan sagu dengan rata-rata hujan tahunan 2.500−3.000 mm/tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,5 0C − 29 0C dan suhu minimal 15 0C, dengan kelembapan nisbi 90 persen. Sagu dapat hidup pada keadaan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan berkala, daya tanah menyimpan air banyak maupun oleh air tanah dangkal (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1992). Sebaran sagu utama di Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan (Kalimatan Barat) dan Sumatera (Riau). Luasan sagu berdasarkan angka pendekatan dari berbagai sumber yang dibuat Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) menyebutkan bahwa kawasan sagu di Papua 800.000 ha, di Maluku 50.000 ha, di Sulawesi 30.000 ha, di Kalimantan 45.000 ha, di Sumatera 72.000 ha dan di Jawa 2.000 ha. Hutan sagu alam terluas ditemukan di Papua di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai. Luasan sagu di Papua terdiri atas 3 persen tanaman (budidaya) dan 97 persen hutan alam. Budidaya Sagu Pada umumnya petani sagu di Papua kurang perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen. Namun demikian para petani sagu di daerah sebaran sagu yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut siap panen. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk, dan batang. Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukurannya kecil. Perubahan lain adalah puncak pohon menjadi agak menggelembung. Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda. Pemanenan sagu di Papua masih dilakukan secara sederhana dan dengan tenaga manual. Setelah dipilih pohon sagu yang ditebang, biasanya penebangan dilakukan dengan kampak atau gergaji mesin (chainsaw). Setelah pohon tumbang, pelepahnya dibersihkan dan sebagian ujung batang dibuang karena kandungan patinya rendah. Pohon yang sudah dibersihkan dipotongpotong menjadi bagian yang pendek-pendek dengan ukuran 0,5 m - 1 m.
10
Gelondongan tersebut lalu dibawa ke sumber air terdekat langsung ditokok (diekstraksi). Untuk mendapatkan pati sagu, maka dari empulur batang sagu dilakukan ekstraksi pati dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan cara ditokok atau diparut. Di Papua, sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting terutama yang bermukim di daerah pesisir karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat. Pertanaman sagu di Papua cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach (1983) dalam Kanro et al. (2003), memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani. Hutan sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman sagu dan tanaman bukan sagu. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani di Papua masih sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budidaya lainnya belum dipraktekkan sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu, usahausaha pengembangan sagu secara budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Tanaman sagu yang tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saat ini telah diidentifikasi 60 jenis pada empat tempat di Papua (Widjono et al., 2000). Dari jenis-jenis ini ada yang berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan sedang. Manfaat Sagu Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari pati, daun, pelepah daun hingga kulit batang. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak. Sagu sebagai salah satu bahan makanan pokok dapat dijadikan sebagai alternatif sumber makanan pokok selain beras. Sebagai bahan substitusi, sagu dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Harga sagu yang murah dan bisa disimpan lama jika diolah dengan baik. Perbandingan
11
komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan (Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007) disajikan di Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan No 1 2 3 4 5
Jenis Bahan Beras Jagung kering Ubi Kentang Sagu
Kalori (Kal) 366 349 98 71 357
Protein (g) 6,4 9,1 0,7 1,7 1,4
Lemak (g) 0,8 4,2 0,1 0,1 0,2
Karbohidrat (mg) 80,4 71,7 23,7 16,3 85,9
Ca (mg)
Fe (mg)
24 14 19 8 15
1,9 2,8 0,6 0,7 1,4
Sumber: Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007 Menurut Bintoro (1999), beberapa manfaat sagu selain untuk pangan diantaranya adalah: 1. Bahan baku industri non pangan Pati sagu dapat diolah menjadi sagu mutiara, tepung campuran, pati termodifikasi, gula cair, asam amino, sorbitol, asam organik, dan bahan penyedap yang dapat dijadikan bahan baku industri. 2. Sagu sebagai bahan energi Untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, tepung sagu diolah menjadi etanol terlebih dahulu melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis 1 ton tepung sagu dapat menjadi 715 liter etanol. 3. Sagu sebagai bahan baku industri pangan Pati sagu dapat digunakan sebagaimana tepung beras, jagung, gandum, tapioka dan kentang seperti siklodektrin. Sagu juga dapat dijadikan makanan kecil seperti sagu gula, sinoli, ongol-ongol, kue serut dan krupuk sagu. 4. Sagu sebagai pakan ternak Penggunaan jagung dan serelia lainnya untuk pangan ternak dapat digantikan dengan tepung sagu atau sebagai pencampur makanan ternak unggas dan ruminansia. Rincian lengkap pemanfaatan tanaman sagu dilihat pada Gambar 2.
12
Pohon Sagu
Daun
Atap rumah Kerajinan tangan
Pelepah daun
Dinding rumah
Kulit batang
Lantai dan arang
Batang
Ampas
- Kompos, - Media tanam, - Pakan ternak, - Industri, - Kayu bakar
Pati
-
Sagu mutiara Tepung campuran Industri pangan, Industri pakan, Pati modifikasi (dekstrin) Gula cair, Alkohol Asam Amino Sorbitol Asam Organik Penyedap (MSG) Protein sel tunggal
Gambar 2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri ( Enie, 1992 dalam Bintoro, 1999) Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan tehnik untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Peranan penginderaan jauh sangat besar peranannya didalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peranannya antara lain untuk mendeteksi perubahan, kalibrasi bagian lain pada sistem yang sama, substitusi data lain sesudah dilakukan kalibrasi dan pengembangan model baru dalam suatu disiplin ilmu.
13
Penggunaan penginderaan jauh semakin banyak digunakan karena citra penginderaan jauh (citra) menggambarkan objek, daerah, dan gejala di permukaan bumi yang mirip dengan yang ada di lapangan. Pengambilan gambar citra meliputi daerah yang luas, dapat dibuat secara cepat untuk daerah yang sulit dijelajah dan daerah bencana. Tiap objek yang tidak terlalu kecil ukurannya dan tidak terlindung oleh objek lain, tergambar pada citra. Gambaran yang lengkap ini memungkinkan penggunaannya untuk berbagai bidang. Pengenalan objek yang tergambar citra disebut dengan interpretasi citra yang terdiri atas deteksi (global), identifikasi (setengah rinci) dan analisis (rinci). Deteksi adalah pengamatan atas adanya suatu objek. Identifikasi adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut. Menurut Simonett et al. (1983), resolusi spasial pada tingkat identifikasi harus mencapai tiga kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi, sedangkan resolusi spasial pada tingkat analisis harus meningkat sepuluh kali lipat atau lebih. Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni interpretasi secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital. Interpretasi data digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Interpretasi secara visual menurut Susanto (1986) meliputi interpretasi awal, pekerjaan medan dan interpretasi akhir. Interpretasi dimulai dari memisahkan objek yang mempunyai warna, rona dan karakteristik spasial, diikuti dengan delineasi. Untuk menjaga ketelitian hasil interpretasi diperlukan pekerjaan medan untuk menambah data yang diperlukan atau yang tidak disadap oleh citra. Kemudian dilakukan interpretasi ulang atau interpretasi akhir. Analisis visual menunjukkan kemampuan pandangan binokuler (mata) yang dimiliki oleh manusia. Oleh karenanya ketelitian hasil interpretasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman interpreternya. Identifikasi sagu Identifikasi keberadaan sagu berupa tegakan dapat dilakukan dengan interpretasi citra. Interpretasi citra adalah sebagai cara untuk memperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif dari sebuah citra, melalui pengenalan bentuk, lokasi, tekstur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar objek yang ada dan lainlain yang menggunakan pengetahuan dan pengalaman manusia. Elemen yang
14
digunakan dalam inptrepretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, tekstur, pola, asosiasi dan konvergensi bukti. Konvergensi bukti adalah teknik interpretasi dengan menggabungkan beberapa elemen interpretasi untuk menentukan objeknya. Menurut Sutanto (1986), sagu dapat diinterpretasi pada pohon yang berbentuk bintang dengan pola yang tidak teratur dan ukurannya 10 meter dan tumbuh di daerah payau (situsnya) sehingga dapat dipastikan bahwa pohon tersebut adalah sagu (Tabel 2). Menurut penulis sagu umumnya tumbuh pada daerah air tawar, sangat jarang dan sedikit jumlahnya yang tumbuh di daerah payau sehingga pada Tabel 2 dimodifikasi dengan menambahkan dominan air tawar. Selanjutnya
teknik
interpretasi sangat tergantung pada citra yang digunakan. Pada citra berupa data digital interpretasi dapat dimulai dari situsnya. Tabel 2. Contoh Interpretasi visual sagu BENTUK (tajuk berbentuk bintang)
POLA (tidak teratur)
UKURAN (tinggi > 10 m)
SITUS (dominan air tawar)
Kelapa Kelapa sawit
Nipah Enau
Nipah Enau Sagu
Enau Sagu
Sagu
Sagu
Sumber: modifikasi dari Sutanto (1986) Google Earth Google Earth adalah aplikasi untuk mengakses database pencitraan bumi yang didapat dari satelit. Awalnya dikenal sebagai Earth Viewer, Google Earth dikembangkan oleh Keyhole, Inc., dan pada tahun 2004 diambil alih oleh Google. Kemudian diganti namanya menjadi Google Earth tahun 2005, dan sekarang tersedia untuk komputer pribadi yang menjalankan Microsoft Windows 2000, XP, atau Vista, Mac OS X 10.3.9 dan ke atas, Linux dan FreeBSD (Google Earth, 2011). Google Earth tersedia dengan 3 jenis pilihan, yaitu versi gratis (free), versi Plus dan versi Pro. Versi Plus dan Pro menyediakan fasilitas pencetakan gambar dengan definisi yang lebih tinggi, interaksi dengan alat penerima GPS
15
(Global Positioning System), serta beberapa kelebihan lainnya dibandingkan dengan versi gratisnya. Dengan Google Earth, dapat dilihat citra satelit, peta, medan, bangunan 3D (belum semua tempat), dari galaksi di angkasa luar sampai ke palung lautan dan
dapat menjelajahi konten geografis lengkap, menyimpan tempat yang
dikunjungi dan berbagi-pakai dengan orang lain. Resolusi yang tersedia tergantung pada tempat yang dituju, tetapi kebanyakan daerah dicakup dalam resolusi global (15 meter). Di beberapa tempat (perkotaan) mempunyai resolusi tinggi (1 m, 0,6 m, 0,3 m) bahkan di negara Las Vegas, Nevada dan Cambridge, Massachusetts memiliki resolusi tertinggi hingga 0,15 m (Google Earth, 2011) Google Earth juga memiliki data model elevasi digital (DEM) yang dikumpulkan oleh Misi Topografi Radar Ulang Alik NASA sehingga gambar bisa nampak dalam tiga dimensi. Google Earth memperlihatkan rumah, warna mobil, dan bahkan bayangan orang dan rambu jalan Google Earth dapat digunakan untuk mencari alamat (untuk beberapa negara), memasukkan koordinat, atau menggunakan mouse untuk mencari lokasi. Banyak pengguna menggunakan aplikasi ini menambah datanya sendiri dan menjadikan mereka tersedia melalui sumber yang berbeda, seperti BBS atau blog. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi. dan juga merupakan sebuah klien Web Map Service. Google Earth mendukung pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language (KML).
GeoEye GeoEye-1 merupakan Satelit pengamat bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi gambar yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini. GeoEye adalah perusahaan yang menaungi IKONOS dan OrbView-2. GeoEye-1 mampu menghasilkan image dengan resolusi 0,41 meter panchromatic (black & white) dan 1,65 meter multispectral.
Satelit ini
dalam sehari bisa melakukan scanning sebesar 700.000 kilometer persegi untuk sensor panchromatic dan hingga 350.000 kilometer persegi untuk sensor pan-
16
sharpened multispectral. Kemampuan ini sangat ideal untuk pekerjaaan pemetaan dengan skala besar (GeoEye, 2011) GeoEye-1 akan mengunjungi kembali obyek yang sama di Bumi dalam 3 hari atau lebih cepat dari itu. Konsumen bisa memesan image termasuk dengan DEM (digital elevation model) dan DSM (digital surface model). GeoEye1 mengorbit 12 hingga 13 orbit per hari, terbang dengan ketinggian 684 kilometer dengan kecepatan orbit 7,5 km/detik. Tabel 3. Karakteristik parameter satelit GeoEye Spesifikasi GeoEye-1 Resolusi spasial Sensor pankromatik
0,41 m x 0,41 m
Sensor multispektral
1,65 m x 1,65 m
Kisaran spektral
450-800 nm 450-510 nm (biru) 510-580 nm (hijau) 655-690 nm (merah) 780-920 nm (infra merah)
Jarak sapuan
15,2 km
Medan pandang
Di atas 60 o
Dynamic range
11 bits per pixel
Misi hidup yang diharapkan
> 10 tahun
Waktu kembali
< 3 hari
Ketinggian terbang
681 km
Waktu pengambilan
10.30 a.m
Sumber: GeoEye (2011) Sejak peluncuran satelit GeoEye-1 tahun 2008, Google telah menambahkan GeoEye-1 dan citra IKONOS ke Google Earth selain citra beresolusi menengah (Landsat, Aster, Spot). Untuk mendapatkan informasi lebih rinci tentang gambar GeoEye-1, Google memiliki GeoEye Featured Imagery di layer Google Earth (Gambar 2). Termasuk dalam layer ini adalah letak feature citra, link untuk melihat gambar dalam resolusi penuh, dan informasi resolusi, tanggal koleksi, dan narasi tentang lokasi.
17
Gambar 2. Layer GeoEye pada Google Earth
Pola Pangan Harapan Pola pangan harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dan kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dan suatu pola ketersediaan atau pola konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut : “Pola Pangan Harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.
PPH pertama kali
diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian RI melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO (FAO-MOA, 1989; Suhardjo, 1992). Tujuan
utama
penyusunan
PPH
adalah
untuk
membuat
suatu
rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa (FAORAPA, 1989).
Untuk pertama
kali PPH untuk kawasan
Asia
Pasifik
dikembangkan berdasarkan data pola pangan (pola ketersediaan pangan) dari Neraca Bahan Makanan, karena data ini mudah tersedia secara berkala setiap tahun. Sementara data konsumsi pangan dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik tidak tersedia secara berkala. Sejak diperkenalkannya konsep PPH pada awal dekade 90 di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. PPH juga dpakai sebagai salah satu indikator hasil pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan. Meski demikian, kehadiran PPH tidak lepas dari kelemahan metodologis seperti yang
18
juga disadari oleh tim pakar penyusun PPH. Tim FAO-RAPA (1990) juga menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara/daerah dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dan Pedoman Gizi Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi
PPH
dan
PUGS.
Pertemuan
ini
menjadi
dasar
untuk
penyempurnaan PPH yang disebut PPH 2020. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau Skor PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan. Pada prinsipnya tata cara penghitungan untuk penilaian keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama, yang membedakannya adalah data yang digunakan. Untuk penilaian keragaman dan mutu ketersediaan pangan digunakan data Ketersediaan Pangan yang disajikan dalam neraca bahan makanan (NBM) dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKG) pada tingkat penyediaan, yaitu 2200 kkal/kapita/hari. Sedangkan untuk penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan digunakan data konsumsi pangan yang disajikan dalam SUSENAS dan menggunakan AKG pada tingkat konsumsi, yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Oleh karena itu keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan menghitung skor PPH. Sebaiknya diusahakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi terkini dari keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan.
19
Tabel 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional Kelompok pangan
Komposisi PPH Deptan 2001 Persen
Bobot
Skor
Gram/Kap/Hr
1
Padi-padian
50,0
0,5
25,0
275
2
Umbi-umbian
6,0
0,5
2,5
100
3
Pangan Hewani
12,0
2,0
24,0
150
4
Minyak dan Lemak
10,0
0,5
5,0
20
5
Buah/biji Berminyak
3,0
0,5
1,0
10
6
Kacang-kacangan
5,0
2,0
10,0
35
7
Gula
5,0
0,5
2,5
30
8
Sayur dan Buah
6,0
5,0
30,0
250
9
Bumbu-bumbuan
3,0
0,0
0,0
Jumlah
100,0
100,0
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2009 Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dari tiga macam zat gizi yang pertama tersebut (protein, karbohidrat, dan lemak), tubuh akan memperoleh energi sehingga manusia mampu mempertahankan kerja alat-alat tubuh dan melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacangkacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9) lain-lain (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1994). Oleh karena itu, dalam penentuan PPH, bahan pangan dikelompokan menjadi sembilan: (1) padi-padian (beras, jagung, terigu dan hasil olahannya); (2) umbi-umbian/pangan berpati (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan hasil olahannya); (3) pangan hewani (ikan, daging, telur, susu, dan olahannya); (4) minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng/kelapa sawit, dan margarin); (5) buah dan biji berminyak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat); (6) kacang-kacangan (kedele, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tunggak dan kacang lainnya); (7) gula (gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup); (8) sayuran dan buah (semua jenis sayuran dan buah-buahan) (FAO-RAPA, 1989).
20
Tiap negara mempunyai potensi pangan dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia, menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequance di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut : kelompok padi-padian sekitar 50 persen, makanan berpati sekitar 5 persen, pangan hewani 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari 10 persen, kacang-kacangan sekitar 5 persen, gula 6-7 persen, buah dan sayur 5 persen (FAO-MOA, 1989).
Lahan pangan pertanian berkelanjutan Meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dengan
mengedepankan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan hal di atas maka dikeluarkan undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 14 oktober 2009. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan
dan pemberdayaan
petani,
peran
serta
masyarakat, dan
pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat.
21
Perlindungan
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
dilakukan
berdasarkan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diamanatkan pada UU No 41 tahun 2009 didasarkan pada: a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk; b. pertumbuhan produktivitas; c. kebutuhan pangan nasional; d. kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan; e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan f. musyawarah petani. Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan didasarkan atas kriteria: a. kesesuaian lahan; b. ketersediaan infrastruktur; c. penggunaan lahan; d. potensi teknis lahan; dan/atau e. luasan kesatuan hamparan lahan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menerapkan UU ini terutama pada lahan sawah. Christina (2011) melakukan penelitian pada lahan sawah di tingkat propinsi (Propinsi Jawa Barat) dan kabupaten (Kabupaten Garut)
dengan
metode
pembobotan
melalui
proses
overlay
peta
tutupan/penggunaan lahan, kawasan hutan, kesesuaian lahan, status irigasi dan intensitas penanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan kebutuhan lahan sawah untuk Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun untuk kontribusi pada tingkat lebih tinggi masih mencukupi hingga 20 tahun akan datang. Identifikasi lahan pertanian sawah pada penelitian tersebut menggunakan data spasial lama (sekunder) perlu
22
pembaharuan data dan informasi sehingga hasil analisis lebih sesuai dan akurat. Syamson (2011) melakukan juga pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal berdasarkan pada kesesuaian lahan, status peruntukkan lahan dan jaringan jalan. Pada penelitian Syamson (2011) belum menggunakan data jaringan irigasi.