KAJIAN PENGOLAHAN PATI SAGU (Metroxylon sago R.) TERHADAP DAYA CERNA PATI, KADAR PATI DAN KADAR AIR PADA OLAHANNYA
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1
Program Studi S-1 Teknologi Hasil Pertanian
Disusun Oleh : Budiyono Mulyo Widodo D.111.12.0068
PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS SEMARANG 2016
i
HALAMAN PENGESAHAN I
ii
HALAMAN PENGESAHAN II
iii
SURAT PERNYATAAN
iv
INTISARI BUDIYONO MULYO WIDODO D.111.12.0068 Kajian Pengolahan Pati Sagu (Metroxylon sago R.) Terhadap Daya Cerna Pati, Kadar Pati dan Kadar Air Pada Olahannya (pembimbing : Ir. Sri Budi Wahjuningsih, MP. dan Ir. Sri Untari, M.Si). Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Paradigma masyarakat bahwa nasi adalah menu utama, menyebabkan ketergantungan terhadap beras sangat tinggi. Hal ini menghambat laju perkembangan diversifikasi pangan di Indonesia. Pengenalan bahan pangan sebagai pengganti beras sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras. Sagu (Metroxylon sago R.) diketahui memiliki kandungan kalori yang cukup baik dan memiliki potensi sebagai bahan pengganti nasi. Pati sagu secara alami memiliki banyak kekurangan, yaitu pasta lengket, daya tahan pasta rendah dan tidak jernih, sehingga perlu modifikasi dari pati dengan cara menyangrai pati sagu. melihat permasalahan tersebut kemudian timbul gagasan untuk membuat makanan alternatif pengganti beras yang sering dijumpai masyarakat dalam bentuk mie kering, beras analog dan bubur instan dari pengolahan pati sagu (sagu tidak disangrai dan sagu sangrai). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengolahan pati sagu terhadap daya cerna pati, kadar pati dan kadar air pada produk olahan berbasis sagu. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) 2 faktor, 6 perlakuan.Variasi perlakuan S1A1 (mie kering sagu tidak disangrai), S2A1 (mie kering sagu sangrai), S1A2 (beras analog sagu tidak disangrai), S2A2 (beras analog sagu sangrai), S1A3 (bubur instan sagu tidak disangrai), S2A3 (bubur instan sagu sangrai), setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan.Apabila ada pengaruh nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) pada taraf 5%. Berdasarkan hasil penelitian pengolahan pati sagu (pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai) tidak berpengaruh nyata terhadap daya cerna pati dan kadar air, tetapi berpengaruh terhadap kadar pati. Jenis pengolahan produk (mie kering, beras analog dan bubur instan) berpengaruh nyata terhadap daya cerna pati, kadar pati dan kadar air. Interaksi pengolahan sagu dan jenis produk olahan tidak berpengaruh terhadap daya cerna pati, tetapi berpengaruh terhadap kadar pati dan kadar air. Proses pengolahan pati sagu sangrai lebih cocok pada pengaplikasian bubur instan karena memiliki nilai rerata perlakuan terendah terhadap daya cerna pati (75.69%) dan kadar air (6.16%), sedangkan pati sagu tidak disangrai lebih cocok pada pengaplikasian beras analog karena memiliki nilai rerata kadar pati yang tinggi (67.49%). Kata Kunci : Pati Sagu, Pengolahan Pati Sagu, Jenis Produk Olahan.
v
ABSTRACT BUDIYONO MULYO WIDODO D.111.12.0068 Study Of Sago (Metroxylon sago R.) Starch Processing Against Digestibility Of Starch, Starch Content and Moisture Levels On Product. (Advisor :Ir. Sri Budi Wahjuningsih, MP. and Ir. Sri Untari, M.Si). Rice is the primary food consumed by Indonesian community. The paradigm that rice is principal consumption causing high dependency of rice in society. This habbit hinder food diversification in Indonesia. Food alternative of rice need to be introduced to minimize people’s dependence of rice. Sagu (Metroxylon sago R.), is well known as good source of calori and can be used as rice alternative and helps food diversification. Sago starch naturally has a lot of drawbacks, namely the sticky pasta, durability the pasta is low and not clear, so it needs to be modified from starch by way of roasting sago. seeing these problem then arise idea to make alternative food substitute to rice that is often faced by society in the form of dried noodles, analog rice and instant porridge, from sago material that undergo processing (not roasted sago and roasted sago) This study aims to determine the sago processing against digestibility of starch, starch content and moisture levels in the sago-based processed products. The experimental design used in this study is the CRD (completely randomized design) 2 factors, 6 treatments. Treatment variations S1A1 (dried noodles not roasted sago), S2A1 (dried noodles roasted sago), S1A2 (analog rice not roasted sago), S2A2 (analog rice roasted sago), S1A3 (instant porridge not roasted sago), S2A3 (instant porridge roasted sago), Each treatment was performed in 3 repetitions. If there is any valid influence among treatment its continued with Test of HSD (Honestly Significant Difference) at 5% level. Based on the results of the research show the sago starch processing (starch roasted sago and starch not roasted sago) didn’t significantly affects the digestibility of starch and moisture level, but affected the starch content. Types of processed products (dried noodles, analog rice and instan porridge) significantly affected the digestibility of starch, starch content and moisture levels. Interaction sago processing and types of processed products don’t affect the digestibility of starch, but affected the starch content and moisture levels. The processing of starch roasted sago is better to be applied on instant porridge because it has lowest average value against the digestibility of starch (75.69%) and moisture level (6.16%), while starch not roasted sago is better to be applied on artificial rice because it has a high starch content (67.49%). Key Word : Sago Starch, Sago Starch Processing, Processed Products Types
vi
KATA PENGANTAR
Assallammuallaikum Wr. Wb. Alhamdullillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Berkat, Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Kajian Pengolahan Pati Sagu (Metroxylon sago R.) Terhadap Daya Cerna Pati, Kadar Pati Dan Kadar Air Pada Olahannya” secara lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh derajat sarjana pada Program Studi S-1 Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Semarang. Keberhasilan dalam skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ir. Sri Budi Wahjuningsih, M.P., selaku Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak memberi saran dan motivasi dalam penelitian hingga penyusunan laporan ini dapat terselesaikan. 2. Ir. Sri Untari, M.Si., selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan pengarahan selama penyusunan skripsi ini. 3. Dra. Murtiari Eva, MP. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran serta masukkan dalam penulisan dan penyusunan laporan ini sehingga menjadi lebih baik.
vii
4. Bapak, Ibu, kakak tercinta yang telah memberikan doa dan semangat, baik dengan
dukungan
moral
maupun
material
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penelitian dan menyelesaikan laporan skripsi dengan lancar. 5. Ir. Bambang Kunarto, M.P., selaku Ketua Program Studi S-1 Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang. 6. Ir. Sri Haryati, MP., selaku Sekretaris Jurusan dan sekaligus wali dosen yang selalu memberi dukungan kepada saya. 7. Semua Staff Tata Usaha Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang yang telah membantu dalam mengurus segala administrasi dalam pelaksanaan skripsi. 8. Teman
teman Fakultas Teknologi Pertanian angkatan 2012 yang selalu
menyemangati saya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca. Aamiin Wassallammuallaikum Wr. Wb.
Semarang, 23 Februari 2016
Budiyono Mulyo Widodo
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN I ............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN II ........................................................................... iii SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... iv INTISARI ............................................................................................................. v ABSTRACT .......................................................................................................... vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR ILUSTRASI ......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Perumusan Masalah .......................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4 D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4 E. Hipotesis ........................................................................................... 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Sagu ( Metroxylon sago R.) ............................................. 6 B. Pati Sagu ........................................................................................... 8
ix
C. Pati Termodifikasi ............................................................................. 11 D. Daya Cerna Pati ................................................................................ 11 E. Kadar Pati ......................................................................................... 14 F. Kadar Air .......................................................................................... 15 G. Beras Analog ..................................................................................... 16 H. Mie Kering ........................................................................................ 17 I. Bubur Instan ..................................................................................... 18 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 19 B. Bahan dan Alat ................................................................................... 19 C. Prosedur Penelitan ............................................................................. 20 D. Rancangan Percobaan ....................................................................... 31 E. Variabel Pengamatan ......................................................................... 33 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Daya Cerna Pati ................................................................................. 37 B. Kadar Pati .......................................................................................... 45 C. Kadar Air ........................................................................................... 53 BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 62 B. Saran ................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 64 LAMPIRAN .......................................................................................................... 69
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Kimia dalam 100 gram Pati Sagu (%) Basis Kering .............. 10 Tabel 2. Klasifikasi Pati ....................................................................................... 14 Tabel 3. Rerata Daya Cerna Pati Antar Perlakuan ............................................... 38 Tabel 4. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Daya Cerna Pati ............ 39 Tabel 5. Rerata Perlakuan Produk Olahan Terhadap Daya Cerna Pati ................. 40 Tabel 6. Rerata Perlakuan Kadar Pati Antar Perlakuan ........................................ 46 Tabel 7. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Kadar Pati ...................... 47 Tabel 8. Rerata Perlakuan Jenis Produk Olahan Terhadap Kadar Pati ................. 50 Tabel 9. Rerata Kadar Air Antar Perlakuan .......................................................... 54 Tabel 10. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Kadar Air ..................... 56 Tabel 11. Rerata Perlakuan Produk Olahan Terhadap Kadar Air ......................... 57
xi
DAFTAR ILUSTRASI
Ilustrasi 1. Proses Pembuatan Pati Sagu Tidak Disangrai ................................... 21 Ilustrasi 2. Proses Pembuatan Pati Sagu Sangrai ................................................. 22 Ilustrasi 3. Proses Pembuatan Mie Kering Sagu Tidak Disangrai ....................... 24 Ilustrasi 4. Proses Pembuatan Mie Kering Sagu Sangrai ..................................... 25 Ilustrasi 5. Proses Pembuatan Beras Analog Sagu Tidak Disangrai .................... 27 Ilustrasi 6. Proses Pembuatan Beras Analog Sagu Sangrai .................................. 28 Ilustrasi 7. Proses Pembuatan Bubur Instan Sagu Tidak Disangrai ..................... 30 Ilustrasi 8. Proses Pembuatan Bubur Instan Sagu Sangrai ................................... 31 Ilustrasi 9. Diagram Batang Daya Cerna Pati Antar Perlakuan ............................ 38 Ilustrasi 10. Diagram Batang Daya Cerna Pati pada Pengolahan Sagu ................ 40 Ilustrasi 11. Diagram Batang Daya Cerna Pati Pada Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog, Bubur Instan) ............................................................. 44 Ilustrasi 12. Diagram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Jenis Produk Olahan Pada Daya Cerna Pati ........................................................................ 45 Ilustrasi 13. Diagram Batang Kadar Pati antar Perlakuan .................................... 47 Ilustrasi 14. Diagram Batang Kadar Pati pada Pengolahan Pati Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai) ............................................ 49 Ilustrasi 15. Diagram Batang Kadar Pati Pada Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog Dan Bubur Instan) ................................................................ 51
xii
Ilustrasi 16. Diagram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Jenis Produk Olahan Terhadap Kadar Pati .......................................................................... 53 Ilustrasi 17. Diagram Batang Kadar Air Antar Perlakuan .................................... 55 Ilustrasi 18. Diagram Batang Kadar Air pada Pengolahan Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai) ..................................................... 56 Ilustrasi 19. Diagram Batang Kadar Air Pada Macam Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog, Bubur Instan) .............................................. 58 Ilustrasi 20. Diagram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Macam Produk Olahan Terhadap Kadar Pati ............................................................. 61
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa Daya Cerna Pati ................................................................... 69 Lampiran 2. Analisa Kadar Pati ............................................................................ 74 Lampiran 3. Analisa Kadar Air ............................................................................. 79 Lampiran 4. Dokumentasi ..................................................................................... 84
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Akhir akhir ini banyak pihak yang mulai melakukan rekayasa pangan atau menciptakan suatu produk olahan baru untuk menggantikan beras sebagai bahan pangan utama di Indonesia. Zaman orde baru, pemerintah Indonesia mulai melakukan swasembada beras, sehingga dengan bertambahnya waktu, masyarakat Indonesia sulit jika tidak mengkonsumsi beras. Hal ini mengakibatkan impor beras yang sangat tinggi untuk waktu sekarang. Hal lain yang mengakibatkan impor beras sangat tinggi adalah berkurangnya lahan pertanian, sehingga memberikan pemikiran baru untuk memanfaatkan sumber karbohidrat selain beras dalam menciptakan produk yang dapat dijadikan produk olahan sebagai pengganti bahan pangan utama di Indonesia yaitu beras, salah satu sumber karbohidrat adalah pati. Pati (C6H10O5) adalah jenis polisakarida yang dapat diperoleh dari berbagai macam tanaman seperti singkong, jagung, ubi jalar, kentang, sorgum, padi, gandum, sagu dan yang lainnya. Pati sangat bermanfaat dibidang pangan, selain sebagai bahan pangan, sagu dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri seperti industri pangan, industri perekat, kosmetika dan industri lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati alami memiliki beberapa kekurangan yaitu bersifat lengket, tidak tahan perlakuan asam, pasta yang terbentuk keras dan tidak bening. Melihat kekurangan tersebut perlu adanya modifikasi pada pati. Modifikasi pati dapat dilakukan 1
dengan menggunakan bahan kimia atau dengan metode pengolahan seperti pemanasan. Penelitian ini menggunakan metode pemanasan dengan cara disangrai untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pada pati yang mengalami proses pengolahan (sangrai). Pati yang digunakan adalah pati sagu. Sagu merupakan tanaman yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman sagu termasuk ke dalam Ordo Spadiciflora, Family Palmae, Genus Metroxylon, Species Metroxylon spp. Produksi sagu secara potensi maupun luas sagu di Indonesia mempunyai 21 juta hektar lahan yang berpotensi dan memungkinkan untuk tanaman sagu, Sekitar 95% pertumbuhan pohon sagu terjadi secara alami (Bintoro et al., 2000). Menurut Djoefrie (1999) perkiraan potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun, namun baru sekitar 300 – 500 ribu ton pati sagu yang digunakan setiap tahunnya. Sagu adalah salah satu jenis tanaman pangan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti beras. Menurut Djoefrie (1999), kandungan kalori sagu relatif sama dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang. Chung et al. (2006) melaporkan bahwa pati bahan pangan yang tergelatinisasi sebagian memiliki daya cerna pati yang rendah dengan demikian, pati yang tergelatinisasi sebagian relatif lebih tahan terhadap hidrolisis enzim sehingga nilai indeks glikemiknya cenderung lebih rendah. Potensi sagu sangatlah besar tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan sagu di Indonesia pada umumnya hanya dibuat dalam
2
bentuk makanan tradisional seperti sagu yang dikonsumsi dalam bentuk makanan pokok yaitu pepeda. Sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti sagu lempeng, sinoli, bagea dan lain lain (Harsanto, 1986). Melihat permasalahan tersebut, sagu dapat dijadikan jawaban untuk permasalahan dalam bidang penyediaan pangan dengan memanfaatan sagu yang diupayakan dalam pengembangan produk olahan pangan berbasis sagu untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras karena sumber kalorinya. Maka diperlukan inovasi untuk memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan alternatif agar mencapai ketahanan pangan nasional. Salah satu alternatif dalam mencapai suatu ketahanan pangan nasional adalah dapat dilakukannya suatu cara diversifikasi pangan. Kendala dalam upaya untuk mewujudkan diversifikasi pangan adalah masih sering muncul di masyarakat Indonesia adanya anggapan bahwa budaya masyarakat yang kuat akan prinsip belum mengkonsumsi nasi dalam kesehariannya belum puas. Hal tersebut mengakibatkan proses diversifikasi pangan belum dapat berjalan dengan lancar dan optimal. Maka dari itu, diperlukan jenis pangan alternatif yang sering dijumpai oleh masyarakat dan sengaja dibuat untuk mendukung berjalannya diversifikasi pangan dalam bentuk produk beras, mie dan bubur berbasis pati sagu. Bahan pangan yang menyerupai beras, yang dimaksud di sini disebut dengan istilah beras analog, mie yang dibuat adalah mie kering, dan bubur yang dibuat adalah dalam bentuk bubur instan.
3
Pengembangan produk pangan berbasis sagu ini dibuat dengan perbandingan pati sagu yang telah mengalami proses pengolahan (sangrai) dan pati sagu yang tidak mengalami proses pengolahan (tidak disangrai). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya cerna pati, kadar pati dan kadar air dari masing-masing olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) baik dengan bahan pati sagu sangrai maupun pati sagu tidak disangrai. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dalam studi pengembangan bahan pangan untuk mencapai ketahanan pangan nasioal.
B. Perumusan Masalah Apakah dengan adanya proses pengolahan pati sagu akan berpengaruh terhadap daya cerna pati, kadar pati, kadar air pada olahannya (beras analog, mie kering dan bubur instan)?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengolahan pati sagu terhadap daya cerna pati, kadar pati dan kadar air pada olahannya (beras analog, mie kering dan bubur instan).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui cara pengolahan yang tepat pada pati sagu sehingga dapat memberi informasi sebagai studi pengembangan bahan pangan untuk alternatif olahan pangan. Sebagai sumber
4
informasi untuk memperbaiki sistem ketahanan pangan, kemandirian pangan bagi masyarakat Indonesia dan dapat dijadikan sumber referensi untuk penelitian yang selanjutnya.
E. Hipotesis Proses pengolahan pati sagu diduga berpengaruh terhadap daya cerna pati, kadar pati dan kadar air pada olahannya (mie kering, beras analog dan bubur instan).
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Sagu (Metroxylon sago R.) Tanaman sagu (Metroxylon sago R.) merupakan tanaman yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman sagu termasuk ke dalam ordo Spadiciflora, family Palmae, genus Metroxylon, species Metroxylon spp. Metroxylon berasal dari bahasa Yunani, yaitu Metro berarti isi batang dan xylon yang berarti xylem (Tenda et al., 2009). Sagu dari jenis genus Metroxylon bisa digolongkan menjadi 2 golongan. Golongan pertama adalah tanaman sagu yang dapat berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) yang memiliki kandungan pati rendah, golongan ini terdiri atas 2 spesies yaitu spesies Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum. Golongan kedua adalah tanaman sagu yang hanya berbunga atau berbuah satu kali (Hepaxanthic) yang memiliki kandungan pati tinggi, golongan ini terdiri atas 5 spesies yaitu Metroxylon rumphii (sagu tuni), Metroxylon longispinum (sagu makanaru), Metroxylon sagus (sagu molat), Metroxylon microcantum (sagu rotan) dan Metroxylon siivester (sagu ihur), (Bintoro et al., 2010). Ruddle et al. (1976) mengungkapkan bahwa daerah Indo Pasifik terdapat lima marga palma yang yang paling sering dimanfaatkan zat tepungnya, yaitu Arenga, Corypha, Euqeissona, Caryota dan Metroxylon. Spesies yang paling banyak tumbuh dan
6
sangat penting secara komersial di Indonesia yaitu Metroxylon Sagus dan Metroxylon Rhumpii (BPPT, 1987). Tanaman sagu terdiri dari 1–8 batang sagu yang pada pangkalnya tumbuh 5–7 batang anakan. Pohon sagu dapat tumbuh mencapai 8–17 m tergantung dari jenis dan keadaan tempat tumbuhnya. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) batang sagu merupakan bagian yang paling penting karena penggunaan di industri sangat banyak seperti industri pangan, alkohol dan lainnya. Batang sagu tingginya dapat mencapai 10 m dengan diameter 35–50 cm bahkan dapat lebih besar. Bagian bawah batang pada umumnya berbentuk lebih besar daripada yang atas dan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi. Pohon sagu memiliki daun memanjang dengan tulang daun di tengah, biasanya pada tulang daun memiliki daun yang banyak dengan ruas – ruas daun yang mudah patah (Harsanto, 1986). Tanaman sagu dewasa memiliki 18 tangkai daun yang memanjang sekitar 5–7 m, setiap tangkai terdapat 50 pasang daun yang memiliki panjang 60–180 cm dengan lebar 5 cm (Flach, 1983)a. Pohon sagu biasanya berbunga dan berbuah pada umur 10–15 tahun tergantung dari jenis dan keadaan lingkungan tumbuh. Fase pertama berbunga dimulai dengan keluarnya daun bendera berukuran lebih pendek dari daun sebelumnya. Bunga sagu bercabang banyak terdiri dari cabang primer, sekunder dan tersier. Cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan betina, tetapi bunga jantan tepungsarinya mati sebelum bunga betina mekar, oleh karena itu tanaman sagu dikategorikan dengan tanaman menyerbuk silang sehingga tanaman yang tumbuh sendiri
7
jarang sekali membentuk buah (Flach, 1983)b. Bunga tanaman sagu mulai muncul hingga fase pembentukan buah berlangsung selama 2 tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992). Buah sagu berbentuk bulat kecil, bersisik dan berwarna coklat kekuningan, tersusun di tandan seperti pada tanaman kelapa (Harsanto, 1986). Potensi pengembangan sagu cukup besar karena sagu dapat tumbuh dimana tanaman lain tidak bisa tumbuh, tidak perlu menggunakan pupuk dan dengan perawatan yang sederhana. Penebangan pohon sagu dilakukan pada saat menjelang pohon sagu akan berbunga karena kandungan patinya cukup tinggi, kemudian empulur batang akan diolah untuk menghasilkan tepung sagu. Tepung sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam membuat berbagai makanan seperti mie, roti, kue kering, kerupuk dan lainnya. Kemajuan ilmu teknologi saat ini juga dapat memodifikasi sagu menjadi produk yang dapat menggantikan beras dari padi sebagai bahan baku pangan saat ini olahan yang dimaksud adalah instant artificial rice siap santap. Berbagai macam metode dan formulasi telah banyak tercipta agar pemanfaatan pangan lokal seperti sagu telah banyak dilakukan untuk meningkatkan cita rasa, tekstur, penampilan dan nilai jual produk olahan pangan berbasis bahan pangan lokal.
B. Pati Sagu Pati adalah penyusun dalam makanan yang memiliki peran sangat penting terhadap sifat pada makanan seperti yang diharapkan, misal untuk
8
mengawetkan pudding, saos, pasta. Tepung sagu adalah pati, pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang sagu (empulur batang). Empulur batang sagu mengandung mengandung 20,2–29% pati, 50–66% air dan 13,8– 21,3% bahan lain, dihitung dari berat kering empulur batang sagu mengandung 54–60% pati dan 40–46% ampas (Flach, 1983)a. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) sagu memiliki arti khusus sebagai bahan pangan tradisional bagi penduduk di Irian, Maluku dan beberapa daerah di Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan bahkan beberapa wilayah di pulau Jawa. Diperkirakan 30% penduduk Maluku dan 20% penduduk Irian Jaya mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok. Pati diperoleh dengan cara mengolah isi batang sagu (empulur). Batang sagu yang sudah ditebang lalu dipotong sekitar 2–3 m tergantung dari besar atau kecilnya diameter batang sagu tersebut. Batang lalu dibelah menjadi dua, isi batang (empulur) dihancurkan. Penghancuran empulur dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, penghancuran dengan dengan cara dipukul atau ditokok dan penghancuran dengan cara diparut (Hamzah, 1986). Hasil dari penokokan adalah tepung yang masih bercampur dengan serat lalu dilakukan ekstraksi yang akan menghasilkan pati sagu. Lama waktu yang diperlukan untuk dapat memproses satu batang pohon sagu tergantung pada ukuran pohon, kandungan pati, intensitas pengolahan dan cara kerja yang dipilih (Hamzah, 1986). Pati
sagu
mempunyai
daya
mengembang
sebesar
97%.
Mengembangnya granula pati bersifat reversible jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan bersifat irreversible granula pati jika melewati suhu
9
gelatinisasi. Suhu gelatinisasi adalah sifat yang khas pada masing – masing pati. Suhu gelatinisasi diawali dengan pengembangan irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri pada waktu kehilangan sifat kristalnya (Me Cready, 1970 dalam BPPT, 1987) Pati sagu mengandung amilosa 27,4% dan amilopektin 72,6% (Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Flach (1983)a juga menerangkan bahwa pati sagu mengandung amilosa sebanyak 27% dan amilopektin sebanyak
73%.
Perbandingan
antara
amilosa
dan
amilopektin
ini
mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati, semakin besar kandungan amilosa maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak. Dua fraksi penyusun granula pati dapat dipisahkan menggunakan air panas dibawah suhu gelatinisasi. Pertama fraksi terlarut air panas adalah amilosa dan kedua fraksi tidak terlarut adalah amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 dalam BPPT, 1987). Berikut komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Komposisi Kimia dalam 100 gram Pati Sagu (%) Basis Kering Komposisi Kimia Kalori Air Protein Karbohidrat Serat Kasar Lemak Abu Kalsium Besi
Rudle et al. (1978) 285.0 kkal 36.99 0.27 97.26 0.41 g Sedikit -0.04 0.009
Haryanto dan Pangloli (1992) 353.0 kkal 16.28 0.81 98.49 -0.23 -0.01 0.017
Djoefrie (1996) 357 kkal 15.87 0.81 98.49 0.23 0.23 0.46 ---
Sumber : Rudle et al. (1978), Haryanto dan Pangloli (1992) dan Djoefrie (1996) dalam Saripudin (2006)
10
C. Pati Termodifikasi Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu untuk menghasilkan sifat yang lebih baik, memperbaiki atau mengubah beberapa sifat lainnya atau merupakan pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat reaksi kimia (esterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya (Glickman, 1969). Menurut Reilly (1985) perlakuan untuk memodifikasi pati agar mendapatkan sifat yang lebih baik dari sifat sebelumnya atau mengubah beberapa sifat lainnya, perlakuan ini dapat mencakup penggunaan asam, alkali, zat pengoksidasi, bahan kimia dan penggunaan panas yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan perubahan bentuk, ukuran serta molekul pati. Perlakuan modifikasi pati ini dilakukan karena pati atau tepung yang belum dimodifikasi memiliki bersifat lengket, tidak tahan perlakuan asam, pasta yang terbentuk keras dan tidak bening. Selain itu pati alami memiliki permasalahan yang bersangkutan dengan retrogradasi, kestabilan rendah dan ketahanan pasta rendah. Hal tersebut menjadi alasan dilakukannya modifikasi pati, karena dengan modifikasi pati akan meningkatkan kadar pati resisten, menurunkan daya cerna pati serta mempengaruhi kadar pati dan kadar air.
D. Daya Cerna Pati Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Mercier dan Colonna, 1988). Enzim pemecah pati dapat dibagi menjadi dua
11
golongan, yaitu endo-amilase dan ekso-amilase. Enzim alfa-amilase termasuk ke dalam golongan endo-amilase yang bekerja memutus ikatan di dalam molekul amilosa dan amilopektin (Tjokroadikoesoemo, 1986). Proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik
(Tharanthan
dan
Mahadevamma,
2003).
Faktor
intrinsik
menyebabkan pati dicerna pada usus halus. Faktor intrinsik berkaitan erat dengan sifat alami pati, keberadaannya pada matrik pangan, ukuran granula pati, serta jumlah dan ukuran pori pada permukaan pati. Dengan luas permukaan yang lebih besar, enzim pemecah pati memiliki area yang lebih luas untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa. Semakin mudah enzim bekerja, semakin cepat pencernaan dan penyerapan karbohidrat pati. Dhital et al. (2010) melaporkan terdapat korelasi negatif antara ukuran granula pati dengan koefisien laju pencernaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses hidrolisis pati terjadi melalui mekanisme difusi terkendali (diffusion-controlled) atau permukaan terkendali (surfacecontrolled). Sebagai faktor intrinsik, struktur matrik bahan pangan dapat mengganggu akses enzim amilase. Granula pati yang terperangkap di dalam matriks pangan lebih sulit diakses sehingga lebih lambat dicerna. Jumlah dan ukuran pori merupakan faktor intrinsik lain yang dapat mempengaruhi daya cerna pati Dhital et al., (2010) melaporkan bahwa pati kentang memiliki struktur permukaan yang halus dan tidak terdapat banyak pori. Sementara itu, pati jagung memiliki permukaan yang lebih kasar, jumlah pori yang lebih banyak, dan ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan pati kentang.
12
Koefisien difusi-amilase dalam menghidrolisis pati jagung (7,40 x 1010cm2/detik) lima kali lebih cepat dibandingkan dengan koefisien difusi pada pati kentang (7,40 x 10-10cm2/detik). Karbohidrat yang diserap secara lambat akan menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi mengendalikan daya cerna pati beras yang dipengaruhi oleh komposisi amilosa/amilopektin (Foster et al., 2002). Faktor ekstrinsik yang memengaruhi pencernaan pati antara lain adalah lamanya waktu pencernaan dalam lambung (transit time), aktivitas amilase pada usus, jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya seperti zat anti gizi. Faktor faktor ekstrinsik tersebut saling berinteraksi sangat kompleks/rumit. Daya cerna pati yang rendah berarti hanya sedikit jumlah pati yang dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan dalam waktu tertentu. Dengan demikian, kadar glukosa dalam darah tidak mengalami kenaikan secara drastis sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Menurut Hasan et al., (2011) mengungkapkan bahwa pangan dengan daya cerna pati tinggi menghasilkan nilai indeks glikemik yang tinggi pula. Klasifikasi pati dapat dilihat pada Tabel 2 :
13
Tabel 2. Klasifikasi Pati No 1
2.
3. a.
Jenis Pati
Terdapat
Pati cepat tercerna (RDS) Pati lambat tercerna (SDS) Resistant starch (RS) Resistant starch secara fisik (RS1) Granula pati yang resisten (RS2) Pati teretrogradasi (RS3)
Makanan berpati yang baru dimasak Sebagian besar sereallea mentah
Kemungkinan kecernaan pada usus kecil Cepat
Lambat tetapi komplit
Sereallea/bijibijian yang digiling kasar Kentang mentah dan pisang
Tahan (tidak mudah)
Kentang rebus yang didinginkan, roti dan flakes Sumber : Kingman dan Englyst (1994)
Tahan (tidak mudah)
b
c.
Tahan (tidak mudah)
E. Kadar Pati Pati adalah penyusun utama paling banyak pada pangan dan konsistensi banyak jenis olahan pangan dan pati merupakan cadangan pangan yang umumnya terdapat pada jaringan tanaman dalam bentuk granula kecil yang tidak larut dalam air. Pati berperan membentuk pasta pati yang elastis dan mudah untuk dibentuk, dengan memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati menggantikan fungsi protein gluten. Pasta dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri atas granula pati yang mengembang dan terdispensi dalam matriks polimer (Tan et al, 2010) dalam Anjarwani (2014). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α–glikosidik. Berbagai macam pati yang tidak sama sifatnya tergantung pada panjang rantai
14
yang lurus atau bercabang (rantai molekul). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan karena adanya air panas, fraksi yang dapat terlarut adalah amilosa dan fraksi yang tidak terlarut adalah amilopektin. Amilosa adalah struktur lurus dengan ikatan α–(1,4)–D–glukosa, sedangkan untuk amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α–(1,4)–D–glukosa sebanyak 4 – 5% dari berat keseluruhan (Winarno, 1984) Peran pati dalam olahan pangan yang paling penting adalah sifat fisik pada olahan pangan, khususnya sifat tekstur dan reologi. Pati merupakan hidrokoloid yang digunakan industri pangan untuk pengental maupun dalam bentuk gel. Hidrokoloid lain meliputi gum, pektin, gelatin, selulosa, karagenan, alginate, agar dan lainnya. Pati juga digunakan dalam pengukuran lemak dan pembentukan emulsi (Haryadi, 1995).
F. Kadar Air Air adalah bahan yang sangat penting untuk berlangsungnya kehidupan manusia dan fungsi air ini tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga salah satu komponen yang terpenting dalam suatu bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan kita. Bahan makanan dalam bentuk kering sekalipun seperti tepung, mie kering juga mengandung air dalam jumlah tertentu. Kandungan air yang terdapat pada bahan makanan menentukan daya tahan bahan dan kesegaran dari bahan makanan tersebut. Sebagian besar dari perubahan bahan makanan
15
terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno, 1997). Penentuan kandungan air pada bahan makanan dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, hal tersebut tergantung pada sifat bahan makanan itu sendiri. Umumnya penentuan kadar air dalam bahan makanan ditentukan dengan pengeringan dalam oven dengan suhu antara 105˚ - 110 ˚C selama 3 jam atau didapat berat konstan (Winarno, 1997).
G. Beras Analog Beras analog adalah beras yang terbuat dari bahan pangan non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati beras. Beras analog salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi beras. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung tepungan selain beras dan terigu (Budijanto et al., 2011). Beras analog dapat diolah menggunakan teknologi granulasi (Kurachi, 1995) dan menggunakan teknologi ekstruksi (Mishra et al., 2012). Teknologi ekstruksi lebih banyak dikembangkan. Ekstruksi terdiri atas dua metode, yaitu hot and cold extrusion. Suhu yang digunakan pada metode hot extrusion di atas 70º C dengan melakukan pre-conditioning dam atau dengan tanpa pindah panas dari steam yang dihasilkan dari barrel. Sementara cold extrusion biasa digunakan dalam pembuatan pasta dan suhu yang digunakan di bawah 70º C (Budijanto dan Yuliyanti, 2012). Beras analog yang
16
dimaksud dalam penelitian ini adalah beras analog yang terbuat dari pati sagu yang memiliki nilai fungsional yang cukup tinggi.
H. Mie Kering Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak heran jika memiliki banyak makanan daerah. Bahan makanan yang banyak disukai dan sering dikonsumsi adalah mie. Berbagai makanan daerah yang dapat dijumpai seperti soto mie di Bogor, mie jubi di daerah Betawi, mie telur di Palembang dan masih banyak lagi. Jenis makanan lain yang paling sering kita jumpai berbahan mie seperti mie ayam, mie goreng, bakmi jowo, mie pangsit dan masih banyak lagi. Berdasarkan hal itu dapat dilihat bahwa pemakaian mie sudah sangat melekat pada kebudayaan daerah dalam bentuk makanan khas daerah, di masa mendatang penggunaan mie akan semakin meluas karena sifat dan penggunaannya yang praktis serta rasanya yang enak (Astawan, 1999). Mie kering adalah mie yang telah mengalami proses pengeringan hingga mencapai kadar air sekitar 8 – 10%. Pengeringan pada umumnya dilakukan dengan penjemuran secara langsung dibawah sinar matahari atau menggunakan cabinet dryer, karena bersifat kering maka mie kering mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan sangat mudah dalam penanganannya atau pengolahannya (Astawan, 1999).
17
I. Bubur Instan Bubur merupakan istilah umum untuk mengacu pada campuran bahan padat dan cair, dengan komposisi cairan yang lebih banyak daripada padatan dan keadaan bahan padatan yang tercerai-berai. Dunia kuliner, bubur adalah jenis makanan yang dimasak dengan cara memanaskan bahannya sampai menjadi sangat lunak. Bubur instan merupakan bubur yang awalnya berbentuk tepung atau bubuk yang diseduh dengan air dan akan menjadi bubur. Beragam jenis bubur yang ada saat ini biasanya dapat berasal dari tepung tepungan maupun biji-bijian. Jenis tepung yang biasanya digunakan antara lain adalah tepung beras, tepung tapioka, tepung sagu dan lain sebagainya
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Januari 2016. Tempat berlangsungnya penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Pangan Universitas Semarang, Laboratorium Pangan Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan baku yang digunakan didalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sagoo) yang diperoleh dari Selat Panjang, Riau, bahan tambahan pangan GMS dan CMC, air, minyak goreng, bahan untuk analisis antara lain Aquadest, maltose, Na-fosfat, larutan asam dinitrosalisilat, enzim α-amilase, alkohol, HCl, NaOH.
2. Alat Alat yang digunakan adalah baskom, timbangan digital, kompor, panci pengukus, kain saring, pengaduk adonan, pencetak mie, nampan, ayakan 80 mesh, ayakan 30 mesh, spektrofotometer, alumunium foil, penangas air, cabinet dryer, incubator, eksikator, ekstruder, erlenmeyer, pipet, tabung reaksi, porselen, oven, kertas saring. 19
C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan Pati Sagu Tidak Disangrai dan Sangrai Pertama-tama yang harus dilakukan adalah pati sagu dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang berada pada pati sagu dengan cara menambahkan air di dalam wadah hingga pati sagu terendam dan diaduk – aduk terus sampai kotoran terlihat mengapung. Diamkan selama kurang lebih selama 6 jam sampai pati sagu mengendap dan terpisah dari kotoran yang mengapung, kemudian pisahkan kotoran yang mengapung dengan menggunakan piring plastik kecil. Proses pencucian ini dilakukan sebanyak 5 kali agar benar-benar bersih dari kotoran yang ada pada pati sagu sehingga mendapatkan endapan pati yang bersih. Pati sagu kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering (cabinet dryer) menggunakan suhu 50º C selama 24 jam, kemudian pati sagu yang sudah kering diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh. Menurut SII 0231–79 dalam Wirawan (2015) rendemen tepung lolos ayakan menggunakan pengayak 80 mesh dengan presentase lolos 90%. Pembuatan pati sagu sangrai dengan cara memanaskan pati sagu sambil diaduk terus menerus agar panasnya rata hingga suhu 110 º C (Sanusi, 2006) dan lama waktu penyangraian 5 menit. Pati sagu tidak disangrai tidak perlu mengalami proses pemanasan (sangrai). Proses pembuatan pati sagu baik tidak disangrai maupun sangrai dapat dilihat pada Ilustrasi 1 dan 2.
20
Pati Sagu Air Bersih Perendaman (6 jam)
Pengadukan
Sortasi
Limbah Padat
Pengendapan (2 jam)
Penyaringan (5 kali, 60 mesh)
Limbah Cair
Pengeringan (50º C, 24 Jam)
Pengayakan (80 Mesh)
Pati Sagu
Ilustrasi 1. Proses Pembuatan Pati Sagu Tidak Disangrai
21
Pati Sagu
Penyangraian (110º C, 5 Menit)
Pengayakan (80 Mesh) Pati Sagu Sangrai Ilustrasi 2. Proses pembuatan pati sagu sangrai (Sanusi, 2006 yang telah dimodifikasi)
2. Proses Pembuatan Mie Kering Pembuatan mie kering dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan bahan pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai. Pertama adalah menimbang pati sagu tidak disangrai sebanyak 500 gram, lalu ditambahkan dengan garam 2,5 gram, GMS 2%, lalu dicampur dengan rata, kemudian tambahkan air sebanyak 250 ml dan minyak goreng 10 ml, aduk hingga homogen, setelah itu adonan dikukus selama 8 menit pada suhu 70˚C dengan tujuan pre-gelatinisasi. Adonan yang telah dikukus dimasukkan ke dalam mesin food processor untuk proses mixing (pencampuran) dan pembentukan mie. Pengadukan dilakukan dengan mekanis hingga terbentuk adonan yang kalis kemudian mencetak lembaran mie. Setelah terbentuk mie diulang satu kali untuk pencetakan kembali. Mie kemudian direbus dalam air mendidih 100˚C selama kurang lebih 2 menit atau sampai mie mengapung. Mie lalu ditiriskan dan dilumuri dengan minyak
22
agar tidak lengket pada loyang kemudian dimasukkan kedalam cabinet dryer (50˚C) untuk dilakukan pengeringan selama 24 jam. Hal tersebut juga dilakukan sama pada pembuatan mie kering dengan pati sagu sangrai. Proses pembuatan mie kering dapat dilihat pada Ilustrasi 3 dan 4.
23
Pati sagu tidak disangrai
Garam 2,5 gram, GMS 2%, air 250 ml & minyak goreng 10 ml
Penimbangan Pati Sagu Sangrai (500 gram)
Pencampuran
Pre-gelatinisasi (suhu 70˚C, 8 menit)
Pencampuran (mixing)
Pencetakan mie
Perebusan (100˚C, 2 menit / mie mengapung)
penirisan
Pengeringan (Cabinet dryer 50˚C, 24 jam)
Mie Kering
Analisis (Daya cerna pati, kadar pati, kadar air) Ilustrasi 3. Proses Pembuatan Mie Kering Sagu Tidak Sangrai (Syamsir (2008) dengan modifikasi)
24
Pati sagu sangrai
Garam 2,5 gram, GMS 2%, air 250 ml & minyak goreng 10 ml
Penimbangan Pati Sagu Sangrai (500 gram)
Pencampuran
Pre-gelatinisasi (suhu 70˚C, 8 menit)
Pencampuran (mixing)
Pencetakan mie
Perebusan (100˚C, 2 menit / mie mengapung)
penirisan
Pengeringan (Cabinet dryer 50˚C, 24 jam)
Mie Kering
Analisis (Daya cerna pati, kadar pati, kadar air) Ilustrasi 4. Proses Pembuatan Mie Kering Sagu Sangrai (Syamsir (2008) dengan modifikasi)
25
3. Proses Pembuatan Beras Analog Pembuatan beras analog dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai. Pertama dari tahap penimbangan yaitu menimbang pati sagu tidak disangrai sebanyak 500 gram, kemudian menambahkan garam 2,5 gram, 2% CMC, 2% GMS lalu dicampur. Setelah itu ditambahkan air sebanyak 250 ml dan minyak goreng 7,5 ml, diaduk sampai homogen kemudian adonan dikukus selama 8 menit pada suhu 70˚C dengan tujuan untuk pre-gelatinisasi. Adonan yang sudah dikukus dimasukkan ke dalam mesin ekstruder. Setelah terbentuk, diulang satu kali lagi pencetakan kembali. Kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer (50˚C) selama 24 jam. Hal tersebut juga dilakukan sama pada pembuatan beras analog dengan pati sagu sangrai. Proses pembuatan beras analog dapat dilihat pada Ilustrasi 5 dan 6.
26
Pati sagu tidak disangrai
Garam 2,5 gram, GMS 2%, CMC 2% & Air 250 ml, minyak goreng 7,5 ml
Penimbangan Pati Sagu non Sangrai (500 gram)
Pencampuran
Pre-gelatinisasi (suhu 70˚C, 8 menit)
Pembentukan adonan (Ekstruder)
Pengeringan dengan cabinet dryer (suhu 50˚C, 24 jam)
Beras Analog
Analisis (Daya cerna pati, kadar pati, kadar air)
Ilustrasi 5. Proses Pembuatan Beras Analog Sagu Tidak Disangrai (Chessari dan Sellahdewa (2001) dengan modifikasi)
27
Pati sagu sangrai
Garam 2,5 gram, GMS 2%, CMC 2% & Air 250 ml, minyak goreng 7,5 ml
Penimbangan Pati Sagu Sangrai (500 gram)
Pencampuran
Pra-gelatinisasi (suhu 70˚C, 8 menit)
Pembentukan adonan (Ekstruder)
Pengeringan dengan cabinet dryer (suhu 50˚C, 24 jam)
Beras Analog
Analisis (Daya cerna pati, kadar pati, kadar air)
Ilustrasi 6. Proses Pembuatan Beras Analog Pati Sagu Sangrai (Chessari dan Sellahdewa (2001) dengan modifikasi)
28
4. Proses Pembuatan Bubur Instan Pembuatan bubur instan dilakukan dengan 2 cara yaitu bubur instan dengan pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai. Pertama pati sagu tidak disangrai ditimbang sebanyak 500 gram dan tambahkan GMS sebanyak 2% campurkan dengan 1500 ml air aduk hingga homogen, kemudian dilakukan pemasakan/pemanasan dengan air mendidih (100˚C) selama 3 menit sambil diaduk hingga homogen tetapi jangan sampai membentuk gel sehingga dapat diperoleh bubur sagu dengan pati sagu tidak disangrai lalu tuang pada loyang dan masukkan ke dalam cabinet dryer
(50˚C)
selama
24
jam.
Kemudian
lakukan
penggilingan
(penggerusan) untuk menghasilkan serbuk, lalu ayak menggunakan ayakan 30 mesh. Hal tersebut dilakukan sama pada pembuatan bubur instan dengan pati sagu sangrai. Proses pembuatan bubur instan dapat dilihat pada Ilustrasi 7 dan 8.
29
Pati Sagu tidak disangrai (500 gram) Air 1500 ml & GMS 2%
Pencampuran
Pemasakan dengan air mendidih (suhu 100˚C, 3 menit)
Pengeringan dalam cabinet dryer (suhu 50˚C, 24 jam)
Penggilingan (penggerusan)
Pengayakan (30 mesh)
Bubur Instan
Analisis (Daya cerna pati, kadar pati, kadar air) Ilustrasi 7. Proses Pembuatan Bubur Instan Sagu Tidak Disangrai (Yustiyani dan Budi Setiawan (2013) dengan modifikasi)
30
Pati Sagu Sangrai (500 gram)
Air 1500 ml & GMS 2%
Pencampuran
Pemasakan dengan air mendidih (suhu 100˚C, 3 menit)
Pengeringan dalam cabinet dryer (suhu 50˚C, 24 jam) Penggilingan (Penggerusan)
Pengayakan (30 mesh) Bubur Instan Analisis (Daya cerna pati,kadar pati, kadar air) Ilustrasi 8. Proses Pembuatan Bubur Instan Sagu Sangrai (Yustiyani dan Budi Setiawan (2013) dengan modifikasi)
D. Rancangan Percobaan Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor pola faktorial, 6 perlakuan. Pertama faktor S yaitu pengolahan pati sagu yang tidak disangrai dan mengalami proses pengolahan atau disangrai, kedua faktor A jenis produk
31
olahan dari sagu tidak disangrai maupun pati sagu sangrai. Olahan pati sagu dibuat menjadi 3 macam produk, yaitu mie kering, beras analog dan bubur instan. Beberapa perlakuan sebagai berikut : S1A1 = Mie kering dengan pati sagu tidak disangrai S2A1 = Mie kering dengan pati sagu sangrai S1A2 = Beras analog dengan pati sagu tidak disangrai S2A2= Beras analog dengan pati sagu sangrai S1A3 = Bubur instan dengan pati sagu tidak disangrai S2A3 = Bubur instan dengan pati sagu sangrai Keterangan : S1 = Pati sagu tidak disangrai S2 = Pati sagu sangrai A1 = Mie Kering A2 = Beras Analog A3 = Bubur Instan Masing masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam. Apabila ada perbedaan perlakuan, dilanjut dengan menggunakan Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) pada taraf 5%.
32
E. Variabel Pengamatan 1. Analisis Daya Cerna Pati (Muchtadi et al., 1992) Daya cerna pati in vitro dianalisis secara spektroskopi yang mencakup tahap pembuatan kurva standar maltosa dan analisis sampel sebagai berikut :
a. Pembuatan Kurva Standar Larutan Maltosa Sebanyak 1 ml larutan maltosa standar yang mengandung 0.0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 mg maltose dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan masing-masing 2 ml larutan asam dinitrosalisilat. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, kemudian segera didinginkan dengan air mengalir. Tambahkan aquades 10 ml ke dalam larutan tersebut kemudian diaduk hingga homogen dengan menggunakan vortex. Sampel diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm.
b. Analisis Sampel Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 100 ml air aquades. Labu Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90oC, kemudian didinginkan. Diambil sebanyak 2 ml larutan sampel, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml larutan
33
buffer Na-fosfat 0.1 M dengan pH 7.0. Masing-masing sampel dibuat dua kali, yang salah satunya digunakan sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Larutan sampel dan blanko diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim αamilase (1 mg/ml dalam larutan buffer fosfat pH 7.0) dan diinkubasi lagi pada suhu 37oC selama 30 menit lalu dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan asam dinitrosalisilat. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Sebanyak 10 ml aquades ditambahkan dalam larutan dan diaduk hingga homogen dengan menggunakan vortex. Larutan sampel dan blanko tersebut kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut : Daya Cerna Pati =
x 100 %
Keterangan : a = kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis b = kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis
2. Kadar Pati ( AOAC, 1999) a. Ditimbang 3 gram contoh yang berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair dalam gelas piala 250 ml
34
b. Ditambahkan 50 ml aquades dan diaduk selama 1 jam menggunakan homogenizer. c. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang larut dan dibuang d. Untuk bahan yang mengandung lemak, maka pati yang terdapat sebagian residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter dan biarkan eter menguap dari residu, kemudian dicuci lagi dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut e. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan pencucian 200 ml aquades dan tambahkan 20 ml HCl+25 % f. Ditutup dengan pendingin balik dan panaskan diatas penangas air mendidih selama 2,5 jam g. Setelah dingin, netralkan dengan larutan NaOH 45% dan encerkan sampai volume 500 ml, kemudian disaring. h. Tentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada penentuan gula reduksi. i. Berat pati adalah berat glukosa dikalikan 0,9
35
3. Kadar Air (AOAC, 2005) Thermogravimetri Penentuan kadar air ini dilakukan secara thermogravimetri dengan bahan yang digunakan bersifat “volatil” dan tahan pengeringan sampai suhu 100°C sehingga tercapai hasil kadar air yang signifikan. a. Masukkan sampel 3 gr ke dalam botol timbang yang sebelumnya telah diketahui bobotnya. b. Masukkan ke dalam oven dengan suhu 105°C selama 6-7 jam. c. Masukkan dalam desikator agar proses pendinginan tercapai. d. Timbang bobotnya , dan dicatat. e. Lakukan kegiatan tersebut (penimbangan) sampai tercapai bobot konstan. Dikatakan konstan apabila selisih bobot yang sebelum ditimbang kembali adalah 0,2 mg. f. Lakukan perhitungan kadar air dengan rumus : Kadar Air (%) =
–
(
)
x 100
Keterangan : Bobot akhir = bobot wadah dan sampel saat keadaan konstan Bobot awal = bobot wadah dan sampel saat awal penimbangan
36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Daya Cerna Pati Daya cerna pati merupakan tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit unit yang lebih sederhana (Nugent, 2005). Karbohidrat atau pati akan diserap oleh tubuh setelah mengalami perubahan terlebih dahulu menjadi komponen komponen penyusunnya yaitu glukosa. Pati yang terdiri dari komponen amilosa dan amilopektin akan dicerna oleh enzim α-amilase. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1) yang dilakukan terdapat pengaruh nyata yang terjadi antar perlakuan dan pada jenis produk olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) pada F.hit>F.tabel (0.05). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata antar perlakuan. Interaksi antara proses pengolahan sagu (sagu tidak disangrai dan sagu sangrai) dan produk olahan (mie kering, beras analog, bubur instan) tidak mengalami pengaruh yang nyata. Hasil Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) dapat dilihat pada Tabel 3 :
37
Tabel 3. Rerata Daya Cerna Pati Antar Perlakuan Pengolahan sagu S1 S2 Rata-rata
A1 85.78c 84.86c 85.32c
Macam Produk olahan A2 A3 b 79.82 77.06a b 80.28 75.69a 80.05b 76.38a
Rata-rata 80.89a 80.28a
Keterangan : 1. Rerata yang diikuti superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. 2. Rerata yang diikuti superskrip yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. 3. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu sangrai). 4. A1 (Mie Kering), A2 (Beras Analog) & A3 (Bubur Instan).
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan hasil rerata perlakuan daya cerna pati mendapatkan nilai tertinggi yaitu pada perlakuan S1A1 (mie kering sagu tidak disangrai) sebesar 85.78% dan nilai terendah pada perlakuan S2A3 (Bubur instan sagu sangrai) sebesar 75.69%. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan cara pengolahan pada setiap perlakuan. Menurut Singh et al. (2010) pengolahan bahan pangan dapat menyebabkan perubahan terhadap struktur pati sehingga mempengaruhi karakteristik pati. Daya cerna pati pada perlakuan dapat dilihat pada Ilustrasi 9 : (%)
c
86
c
84 82
b
b
80 a
78
a
Daya Cerna Pati
76 74 72 70 S1A1
S2A1
S1A2
S2A2
S1A3
S2A3
Ilustrasi 9. Diagram Batang Daya Cerna Pati Antar Perlakuan 38
1. Pengaruh Perlakuan Pengolahan Sagu (Tidak Disangrai dan Sangrai) Terhadap Daya Cerna Pati Berdasarkan Tabel 4 ditunjukkan bahwa perlakuan pengolahan pada sagu S1 (sagu tidak disangrai) dan S2 (sagu sangrai) tidak ada pengaruh nyata pada daya cerna pati yang ditunjukkan dengan angka yang diikuti superskrip yang sama. Hal ini diduga karena kurangnya suhu pemanasan dan kurangnya lama waktu pada saat proses penyangraian. Tabel 4. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Daya Cerna Pati Pengolahan Sagu Daya Cerna Pati (%) S1 80.89a S2 80.28a Keterangan : 1. Rerata yang diikuti superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. 2. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu Sangrai).
Pati sagu dimodifikasi melalui perlakuan fisik yaitu dengan menggunakan media pemanasan dengan cara penyangraian. Menurut Irul (2014) pada proses penyangraian sagu mutiara dilakukan pada suhu antara 135˚-140˚C dengan kurun waktu 7 menit, sedangkan penggunaan lama waktu penyangraian menurut Wenny (2009) dalam Martiana, G. et al. (2014) penyangraian tepung sagu dilakukan dalam waktu 10 menit untuk menghasilkan produk yang renyah. Daya cerna pati pada pengolahan sagu dapat dilihat pada Ilustrasi 10 :
39
(%) a
82
a
80 78 Daya Cerna Pati
76 74 72 70 S1
S2
Ilustrasi 10. Diagram Batang Daya Cerna Pati pada Pengolahan Sagu
2. Pengaruh Perlakuan Jenis Pengolahan Produk (Mie Kering, Beras Analog dan Bubur Instan) Terhadap Daya Cerna Pati Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan ada pengaruh nyata pada setiap produk olahan dengan nilai A1 (mie kering) 85.32%, A2 (beras analog) 80.05% dan A3 (bubur instan) 76.38% dengan nilai daya cerna pati tertinggi pada produk olahan A1 dan nilai daya cerna pati terendah pada jenis produk olahan A3. Tabel 5. Rerata Perlakuan Produk Olahan Terhadap DayaCerna Pati Produk Olahan Daya Cerna Pati (%) A1 85.32a A2 80.05b A3 76.38c Keterangan : 1. Rerata yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. 2. A1 (Mie Kering), A2 (Beras Analog) & A3 (BuburInstan).
40
Perbedaan cara pengolahan bahan dapat mempengaruhi daya cerna pati. Menurut Singh et al. (2010) pengolahan bahan pangan dapat menyebabkan perubahan terhadap struktur pati sehingga mempengaruhi karakteristik pati termasuk daya cerna pati. Proses ekstrusi pada pembuatan produk olahan juga dapat mempengaruhi daya cerna pati. Menurut Kadan dan Pepperman (2002), selama proses ekstrusi pati mengalami perubahan fisikokimia yang jauh berbeda dari sifat produk awalnya. Sifat fisikokimia antara lain, morfologi granula pati, viskositas, kadar abu, kadar karbohidrat, pati resistan (pati tahan cerna), kadar pati, kadar air, daya cerna pati. Proses ekstrusi dapat meningkatkan daya cerna pati. Berdasarkan Tabel 5 produk olahan A1 dan A2 memiliki daya cerna yang tinggi dibanding produk olahan A3, karena pada pengolahan produk A3 tidak dilakukan proses ekstrusi. Hal ini didukung oleh pernyataan Altan et al. (2009) yang menyatakan bahwa proses ekstrusi dapat meningkatkan daya cerna pati terhadap ekstrudat yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Rasyid (2015) juga menyebutkan proses ekstrusi meningkatkan daya cerna pati pada beras analog berempah. Proses gelatinisasi juga berpengaruh terhadap daya cerna pati. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Wang et al. (2012).
Proses
ekstrusi terjadi pada suhu tinggi dan waktu yang singkat, dimana akan menyebabkan pati tergelatinisasi dan pembentukan ekstrudat. Suhu gelatinisasi, kelembaban dan retrogradasi berpengaruh terhadap daya cerna
41
pati (Vujic et al., 2014). Menurut Chung et al., (2006), bahwa proses gelatinisasi pati dapat meningkatkan daya cerna pati. Sifat fisikokimia dan metabolisme produk berbahan baku karbohidrat seperti pati sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi daya cerna pati adalah kadar amilosa. Hal tersebut didukung Frei et al. (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan amilosa merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pati. Kadar amilosa dan kadar pati berkaitan yang dapat mempengaruhi daya cerna pati. Menurut Zhu et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan jumlah kandungan amilosa dapat meningkatkan pati resisten yang terbentuk selama retrogradasi yang dapat berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati. Faktor lain yang mempengaruhi daya cerna pati adalah sifat pati lainnya seperti ukuran granula, derajat kristalinitas, pori-pori permukaan dan komponen non-pati (Tester et al., 2006). Ukuran granula pati juga dapat mempengaruhi daya cerna pati. Jika ukuran granula pati kecil maka semakin besar luas permukaan granula pati, sehingga enzim pemecah pati memiliki area yang lebih luas untuk mencerna pati menjadi glukosa dan semakin cepat pula pencernaan dan penyerapan karbohidrat pati. Menurut Dhital et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara granula pati dengan koefisien laju pencernaan. Selain itu, daya cerna pati juga dipengaruhi oleh pigmen (tannin dan polifenol) yang dapat menghambat aktivitas enzimatis, seperti daya cerna pati jagung kuning lebih rendah dibandingkan dengan daya
42
cerna pati jagung putih (Adejumo et al., 2013). Hal lain yang dapat mempengaruhi daya cerna pati adalah pati resisten. Menurut Sajilata et al. (2006) modifikasi dengan perlakuan pemanasan dapat meningkatkan kadar pati resisten. Berdasarkan penelitian Pratiwi (2008) daya cerna pati dapat dijadikan acuan dari keberadaan pati resisten. Semakin rendah daya cerna pati, kemungkinan kadar pati resisten dalam bahan tersebut meningkat. Jadi jika kadar pati resistant menurun maka daya cerna pati dapat meningkat atau tetap (tidak berubah). Tabel 5 menunjukkan nilai terendah adalah produk olahan A3 (bubur instan). Jika daya cerna pati rendah maka pati akan sulit dicerna sehingga memperlambat proses penyerapan ke dalam tubuh, sehingga metabolisme akan berlangsung secara lambat. Segala jenis pati akan dihidrolisis atau dicerna terlebih dahulu menjadi glukosa, sebelum dimanfaatkan oleh tubuh. Menurut Widowati et al. (2014), dari hasil penelitian yang dilakukan tentang penurunan daya cerna pati dapat meningkatkan komponen pati yang tidak dapat dicerna terutama RS3. Daya cerna pati yang rendah sangat baik untuk penderita diabetes. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Widowati et al. (2014), tentang sifat fungsional bihun yang memilki daya cerna pati rendah sangat cocok bagi usia lanjut diatas 40 tahun dan bagi penderita diabetes karena kebutuhan insulin untuk mentransfer glukosa keluar dari pembuluh darah akan berkurang atau dapat dikendalikan. Berikut daya cerna pati pada produk olahan dapat dilihat pada Ilustrasi 11 :
43
(%) 86
c
84 82
b
80
a
78
Daya Cerna Pati
76 74 72 70 A1
A2
A3
Ilustrasi 11. Diagram Batang Daya Cerna Pati Pada Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog, Bubur Instan)
3. Interaksi Perlakuann Pengolahan Sagu (Tidak Disangrai dan Sangrai) dan Jenis Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog dan Bubur Instan) Terhadap Daya Cerna Pati Hasil analisis pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa interaksi pengolahan pati sagu dan macam produk olahan tidak memberikan pengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F.hit. SA
44
menggunakan bahan pati sagu sangrai (S2) tidak memberikan pengaruh nyata pada interaksi antara pengolahan sagu dan jenis produk olahannya. (%) 90
c
c
85
b
b a
80
a S1
75
S2 70 65 60 A1
A2
A3
Ilustrasi 12. Diagram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Jenis Produk Olahan Pada Daya Cerna Pati
B. Kadar Pati Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan glukosa yang berlebihan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Setiap tumbuhan memiliki kadar pati yang berbeda tergantung dari jenis tanaman dan varietas dari tanaman tersebut. Sebagian tumbuhan, pati disimpan dalam akar, umbi, biji, buah dan umbi lapis. Pati dalam bahan pangan sangat penting karena pati dapat menentukan sifat fisik bahan pangan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) yang dilakukan terdapat pengaruh nyata yang terjadi antar perlakuan, proses pengolahan sagu (sagu tidak disangrai dan sagu sangrai), jenis produk olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) serta pada interaksi proses pengolahan sagu (sagu
45
tidak disangrai dan sagu sangrai) dan macam produk olahan (mie kering, beras analog, bubur instan) pada F.hit>F.tabel (0.05). Hasil uji lanjut dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) mendapatkan pengaruh nyata antar perlakuan. Hasil uji lanjut dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur dapat dilihat pada Tabel 5 : Tabel 6. Rerata Perlakuan Kadar Pati Antar Perlakuan Pengolahan Macam Produk olahan Sagu A1 A2 A3 S1 62.26b 67.49e 63.57c S2 60.41a 66.10d 64.10c Rata-rata 61.34a 66.79c 63.83b Keterangan :
Rata-rata 64.44b 63.54a
1. Rerata yang diikuti superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. 2. Rerata yang diikuti superskrip yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. 3. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu sangrai). 4. A1 (Mie Kering), A2 (Beras Analog) & A3 (Bubur Instan)..
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil rerata perlakuan kadar pati mendapatkan nilai tertinggi yaitu pada perlakuan S1A2 (Beras analog sagu tidak disangrai) sebesar 67.49% dan nilai terendah pada perlakuan S2A1 (Mie kering sagu sangrai) sebesar 60.41%. Perlakuan dengan pengolahan sagu baik yang tidak disangrai (S1) maupun disangrai (S2) dan dengan adanya pengolahan bahan, sagu
tidak disangrai (S1) maupun sagu sangrai (S2)
menjadi beberapa macam produk olahan seperti mie kering (A1), beras analog (A2) dan bubur instan (A3) memberikan pengaruh nyata terhadap kadar pati. Berikut kadar pati pada produk olahan dapat dilihat pada Ilustrasi 13 :
46
(%)
e
68
d 66 c
64
c
b 62
Kadar Pati
a
60 58 56 S1A1
S2A1
S1A2
S2A2
S1A3
S2A3
Ilustrasi 13. Diagram Batang Kadar Pati antar Perlakuan 1. Pengaruh Perlakuan Pengolahan Pati Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai) Terhadap Kadar Pati Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan pada pati sagu S1 (pati sagu tidak disangrai) dan S2 (pati sagu sangrai) berpengaruh nyata pada kadar pati, ditunjukkan dengan nilai yang diikuti superskrip yang tidak sama. Pengolahan pati sagu S1 (pati sagu tidak disangrai) mendapatkan nilai rerata kadar pati sebesar 64.44% dan pengolahan pati sagu S2 (pati sagu sangrai) mendapatkan nilai rerata kadar pati lebih rendah yaitu 63.54%. Hal ini karena adanya perbedaan proses pengolahan yaitu dengan sangrai (S2). Tabel 7. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Kadar PAti Pengolahan Sagu Kadar pati (%) S1 64.44b S2 63.54a 1. Rerata yang diikuti superskrip yang tidak sama menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan. 2. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu sangrai).
47
Proses
pengolahan
pada
pati
sagu
tidak
disangrai
(S1)
menghasilkan nilai kadar pati yang lebih tinggi daripada pati sagu yang mengalami proses penyangraian (S2). Hal ini disebabkan karena proses penyangraian dapat mempengaruhi struktur molekul pati sehingga kadar pati pada pengolahan pati sagu sangrai berkurang. Menurut Lidiasari et al. (2006) perlakuan suhu tinggi akan mengakibatkan rusaknya molekul pati pada saat pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar pati semakin menurun (Martunis, 2012). Hal lain yang dapat mempengaruhi kadar pati adalah proses awal yaitu proses pencucian. Proses pencucian pati sagu pada proses awal baik sagu tidak disangrai (S1) maupun sagu sangrai (S2) dapat mempengaruhi kadar pati pada pati sagu, penyaringan dalam keadaan basah juga dapat mempengaruhi kadar pati dalam pati sagu karena terdapat partikel pati tidak lolos saringan dan terbuang bersama endapan (kotoran). Hal tersebut didukung oleh penelitian Rahman (2007) yang mengungkapkan kadar pati dapat berkurang karena partikel partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama serat halus selama proses pencucian, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena adanya partikel partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit. Berikut kadar pati pada pengolahan sagu dapat dilihat pada Ilustrasi 14 :
48
(%) b
65 64.5 64 63.5 63 62.5 62 61.5 61 60.5 60
a
Kadar Pati
S1
S2
.Ilustrasi 14. Diagram Batang Kadar Pati pada Pengolahan Pati Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai)
2. Pengaruh Perlakuan Jenis Produk Olahan Pati Sagu (Mie Kering, Beras Analog Dan Bubur Instan) Terhadap Kadar Pati Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa perbedaan proses pengolahan bahan menjadi 3 macam produk olahan yaitu mie kering, beras analog dan bubur instan menyatakan adanya pengaruh nyata pada setiap jenis produk olahan dengan nilai A1 (mie kering) 61.34%, A2 (beras analog) 66.79% dan A3 (bubur instan) 63.83%. Nilai rerata hasil uji lanjut dengan pengujian BNJ (Beda Nyata Jujur) yang memiliki kadar pati tertinggi adalah pada produk olahan A2 (beras analog) dengan nilai 66.79% dan rerata kadar pati terendah pada jenis produk olahan A1 (mie kering) dengan nilai 61.34%.
49
Tabel 8. Rerata Perlakuan Jenis Produk Olahan Terhadap Kadar Pati Produk Olahan Kadar Pati (%) A1 61.34a A2 66.79c A3 63.83b Keterangan : 1. Rerata yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. 2. A1 (mie kering), A2 (beras analog) & A3 (bubur instan).
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan cara pengolahan bahan menjadi produk olahan dimana produk olahan A1 (mie kering) mengalami proses perebusan setelah pencetakan lembaran mie sedangkan pada produk olahan A2 (beras analog) tidak mengalami proses perebusan setelah dilakukannya pencetakan. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan suhu pada proses pengolahan karena pada produk olahan A1 (mie kering) dilakukan proses perebusan. Perbedaan cara pengolahan bahan pangan dapat
menyebabkan
perubahan
terhadap
struktur
pati
sehingga
mempengaruhi karakteristik pati (Singh et al. 2010). Suhu pada proses pengolahan bahan dapat mempengaruhi kadar pati karena jika semakin tinggi suhu yang diberikan saat pengolahan maka kadar pati semakin rendah. Hal tersebut ditunjukkan pada produk olahan A1 (mie kering) yang memiliki nilai rerata paling rendah karena adanya proses perebusan dengan suhu tinggi 100˚C. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nazrah et al. (2014) yang mengungkapkan semakin tinggi suhu yang diberikan maka kadar pati semakin rendah, karena suhu mempengaruhi tingkat kerusakan granula yang menyebabkan rusaknya molekul molekul penyusun pati sehingga jumlah molekul pati
50
yang akan membentuk ikatan baru yang kuat (tidak mudah larut) semakin sedikit. Berikut diagram batang kadar pati pada produk olahan dapat dilihat pada Ilustrasi 15 : (%)
c
68 66
b
64 62
a
Kadar Pati
60 58 A1
A2
A3
Ilustrasi 15. Diagram Batang Kadar Pati Pada Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog Dan Bubur Instan)
3. Interaksi Perlakuan Pengolahan Pati Sagu (Tidak Disangrai dan Sangrai) dan Jenis Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog dan Bubur Instan) Terhadap Kadar Pati Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa interaksi pengolahan pati sagu dan macam produk olahan memberikan pengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F.hit. SA>F.tabel (0.05). Pada Ilustrasi 16 menunjukkan adanya pengaruh nyata pada interaksi perlakuan pengolahan sagu dan jenis produk olahannya, yang ditunjukkan dengan nilai diagram batang yang diikuti superskrip yang tidak sama. Hal tersebut disebabkan karena adanya pengaruh pada pengolahan pati sagu yang tidak disangrai (S1) maupun pati sagu yang mengalami proses penyangraian (S2) dan perbedaan jenis produk olahan mie kering (A1), beras analog (A2) yang dibuat dengan menggunakan bahan pati sagu tidak
51
disangrai (S1) maupun dengan menggunakan bahan pati sagu sangrai (S2) memberikan pengaruh nyata pada interaksi antara pengolahan sagu dan macam produk olahan mie kering (A1) dan beras analog (A2). Tetapi pada produk olahan bubur instan (A3) pengolahan sagu yang tidak disangrai maupun sangrai tidak memberi perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada pengolahan pati sagu yang tidak mengalami proses sangrai (S1) maupun pati sagu yang mengalami proses penyangraian (S2) dan perbedaan macam produk olahan yang dibuat dengan menggunakan bahan pati sagu tidak disangrai (S1) maupun dengan menggunakan bahan pati sagu sangrai (S2) sehingga cara pengolahannya pun juga berbeda. Perbedaan cara pengolahan dapat memberikan pengaruh terhadap kadar pati pada produk olahan yang akan dihasilkan seperti yang dijelaskan sebelumnya tentang perbedaan suhu yang digunakan dapat merusak sifat karakteristik pati sehingga kadar pati akan menurun. Semakin tinggi suhu yang diberikan maka kadar pati semakin rendah, karena suhu mempengaruhi tingkat kerusakan granula yang menyebabkan rusaknya molekul-molekul penyusun pati (Nazrah et. al., 2014) dan pada proses
awal
sebelum
sagu
mengalami
proses
pengolahan
juga
mempengaruhi kadar pati seperti proses pencucian pati sagu. Pencucian pati sagu membuat partikel pati yang berukuran kecil larut dalam air dan ikut terbuang. Partikel pati yang berukuran besar juga dapat terbuang pada saat penyaringan karena tidak lolos saring dan ikut terbuang bersama
52
endapan. Kadar pati dapat berkurang karena partikel partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama serat halus selama proses pencucian, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena adanya partikel partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit (Rahman, 2007). Jadi ukuran penyaringan perlu diperhatikan dalam proses awal. Semakin besar ukuran mesh maka semakin berkurang kadar pati, karena partikel-partikel pati ikut terbuang dengan endapan. Berikut diagram alir interaksi Pengolahan sagu dan jenis produk olahan terhadap kadar pati dapat dilihat pada Ilustrasi 16 : (%)
e
68
d
66
c
64
c
b
62
S1
a
S2
60 58 56 A1
A2
A3
Ilustrasi 16. Diagram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Jenis Produk Olahan Terhadap Kadar Pati
C. Kadar Air Kadar air merupakan kandungan air yang terdapat pada suatu bahan pangan maupun makanan. Kandungan air dalam bahan pangan
53
menentukan daya tahan bahan, penampakan, kesegaran dari bahan makanan, tekstur, aroma dan rasa pada bahan pangan maupun makanan. Kadar air dapat mempengaruhi penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi (deMan, 1997). Menurut Winarno (1992) suatu bahan pangan yang tinggi kadar airnya akan semakin cepat busuk dari pada bahan pangan dengan kadar air rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) yang dilakukan terdapat pengaruh nyata yang terjadi antar perlakuan, jenis produk olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) serta Interaksi antara pengolahan sagu (tidak disangrai dan sangrai) dan jenis produk olahan (mie kering, beras analog, bubur instan) memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air F.hit>F.tabel (0.05). Hasil uji lanjut dengan BNJ (Beda Nyata Jujur) mendapatkan hasil berpengaruh nyata antar perlakuan. Hasil uji lanjut dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) dapat dilihat pada Tabel 9 : Tabel 9. Rerata Kadar Air Antar Perlakuan Pengolahan Macam Produk olahan sagu A1 A2 c S1 9.38 10.10d c S2 9.62 10.47e b Rata-rata 9.50 10.28c Keterangan :
Rata-rata A3 6.80b 6.16a 6.48b
8.76a 8.75a
1. Rerata yang diikuti superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. 2. Rerata yang diikuti superskrip yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. 3. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu sangrai). 4. A1 (Mie Kering), A2 (Beras Analog) & A3 (Bubur Instan).
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa hasil rerata perlakuan kadar air mendapatkan nilai tertinggi yaitu pada perlakuan S2A2 (beras analog sagu
54
sangrai) sebesar 10.47(%) dan nilai terendah pada perlakuan S2A3 (Bubur instan sagu sangrai) sebesar 6.16 (%). Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan cara pengolahan pada setiap perlakuan. Berikut kadar air pada perlakuan dapat dilihat pada Ilustrasi 17 : (%) 12 10
c
c
e
d
8
b
a
6 Kadar Air 4 2 0 S1A1
S2A1
S1A2
S2A2
S1A3
S2A3
Ilustrasi 17. Diagram Batang Kadar Air Antar Perlakuan
1. Pengaruh Perlakuan Pengolahan Pati Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai) Terhadap Kadar Air Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan pada pati sagu S1 (sagu tidak disangrai) dan S2 (sagu sangrai) tidak ada pengaruh nyata pada kadar air, ditunjukkan dengan nilai yang diikuti superskrip yang sama. Hal ini disebabkan kemungkinan karena suhu dan lama waktu proses pengolahan pada pati sagu sangrai (S2) yang kurang untuk proses modifikasi pati.
55
Tabel 10. Rerata Perlakuan Pengolahan Sagu Terhadap Kadar Air Pengolahan Sagu Kadar pati (%) S1 8.76a S2 8.75a Keterangan : 1. Rerata yang diikuti superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. 2. S1 (Sagu tidak disangrai) & S2 (Sagu Sangrai).
Pati
sagu
dimodifikasi
melalui
perlakuan
fisik,
dengan
menggunakan pemanasan yaitu menggunakan cara penyangraian. Menurut Irul (2014) pada proses penyangraian sagu mutiara dilakukan pada suhu antara 135˚-140˚C dengan kurun waktu 7 menit, sedangkan lama waktu penyangraian menurut Wenny (2009) dalam Martiana G., et al. (2014) penyangraian tepung sagu dilakukan dalam waktu 10 menit untuk menghasilkan produk yang renyagh. Berikut kadar air pada pengolahan sagu dapat dilihat pada Ilustrasi 18 :
(%) 8.85
a
a
8.75 8.65
Kadar air
8.55 8.45 8.35 S1
S2
Ilustrasi 18. Diagram Batang Kadar Air pada Pengolahan Sagu (Pati Sagu Tidak Disangrai dan Pati Sagu Sangrai)
56
2. Pengaruh Perlakuan Jenis Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog Dan Bubur Instan) Terhadap Kadar Air Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa perbedaan proses pengolahan bahan menjadi 3 jenis produk olahan yaitu mie kering, beras analog dan bubur instan menyatakan adanya pengaruh nyata pada setiap produk produk olahan, dengan nilai A1 (mie kering) 9.50%, A2 (beras analog) 10.28% dan A3 (bubur instan) 6.48%. Nilai rerata hasil uji lanjut dengan pengujian BNJ (Beda Nyata Jujur) yang memiliki kadar air tertinggi adalah pada produk olahan A2 (beras analog) dengan nilai 10.28% dan rerata kadar air terendah pada jenis produk olahan A3 (bubur instan) dengan nilai 6.48%. Tabel 11. Rerata Perlakuan Produk Olahan Terhadap Kadar Air Produk Olahan Kadar Air (%) A1 9.50b A2 10.28c A3 6.48a Keterangan : 1. Rerata yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata antar masing-masing produk. 2. A1 (mie kering), A2 (beras analog) & A3 (bubur instan).
Hal tersebut karena adanya perbedaan proses pengolahan pada setiap produk olahan sehingga mempengaruhi kadar air dari masing-masing produk olahan. Produk olahan A2 (beras analog) setelah mengalami proses gelatinisasi langsung dimasukkan kedalam food processor untuk membuat butiran beras. Proses gelatinisasi ini membuat granula pati rusak, energi panas menyebabkan ikatan hydrogen terputus sehingga air masuk ke dalam granula pati. Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula
57
pati ketika dipanaskan dalam air. Naiknya suhu pemanasan akan mempengaruhi granula pati yang semakin mengembang sehingga akan mempengaruhi daya serap air suatu bahan pangan (Pomeranz, 1991) Bentuk dan luas permukaan dari produk olahan juga mempengaruhi kadar air didalam produk olahan tersebut ketika dikeringkan didalam cabinet dryer. Semakin lebar dan luas permukaan produk olahan tersebut maka semakin banyak kandungan air yang hilang, tetapi jika permukaan itu sempit maka kandungan air yang terbuang menjadi sedikit. Beras analog memiliki bentuk dan luas permukaan yang sempit dibandingkan bubur instan yang memiliki permukaan yang luas karena dituang pada nampan atau loyang saat dikeringkan pada Cabinet dryer sehingga kandungan air yang terdapat pada bubur instan cepat menguap atau hilang. Berikut kadar air pada macam produk olahan dapat dilihat pada Ilustrasi 19 : (%) 12
b
c
10
a
8 6
Kadar Air
4 2 0 A1
A2
A3
Ilustrasi 19. Diagram Batang Kadar Air Pada Macam Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog, Bubur Instan)
58
3. Interaksi Perlakuann Pengolahan Pati Sagu ( Pati Sagu Tidak Disangrai Dan Pati Sagu Sangrai) dan Jenis Produk Olahan (Mie Kering, Beras Analog dan Bubur Instan) Terhadap Kadar Air Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa interaksi pengolahan pati sagu dan macam produk olahan memberikan pengaruh nyata, hal ini ditunjukkan dengan nilai F.hit. SA>F.tabel (0.05). Pada Ilustrasi 20 menunjukkan adanya pengaruh nyata pada interaksi perlakuan pengolahan sagu dan jenis produk olahannya, ditunjukkan dengan nilai diagram batang yang diikuti superskrip yang tidak sama. Hal tersebut disebabkan karena adanya pengaruh pada pengolahan pati sagu yang tidak disangrai (S1) maupun pati sagu yang mengalami proses penyangraian (S2) dan perbedaan jenis produk olahan beras analog (A2), bubur instan (A3) yang dibuat dengan menggunakan bahan pati sagu tidak disangrai (S1) maupun dengan menggunakan bahan pati sagu sangrai (S2) memberikan pengaruh nyata pada interaksi antara pengolahan sagu dan jenis produk olahan beras analog (A2) dan bubur instan (A3). Pada produk olahan mie kering (A1) pengolahan sagu yang tidak disangrai maupun sangrai tidak memberi pengaruh nyata. Hal ini disebabkan karena produk olahan yang berbeda dan menggunakan bahan yang proses pengolahan yang berbeda juga (pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai) serta cara pengolahan produk yang berbeda pula (mie kering, beras analog dan bubur instan). Hasil analisis pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai kadar air tertinggi pada perlakuan S2A2 (beras analog sagu sangrai) dengan nilai 10.47% dan perlakuan yang
59
terendah pada perlakuan S2A3 (bubur instan sagu sangrai) dengan nilai 6.16%. Hal ini dikarenakan perbedaan produk olahan dan cara mengolah produk olahan. Gelatinisasi pati juga dapat mempengaruhi kadar air dalam suatu bahan pangan. Menurut Pomeranz (1991), gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan menyebabkan granula pati semakin membengkak, sehingga akan mempengaruhi daya serap air pada produk olahan. Apabila pati dimasukkan ke dalam air, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Menurut deMan (1997) mengungkapkan bahwa pati dapat menyerap air dingin hingga 30% tanpa merusak struktur pati dan apabila dimodifikasi dengan media pemanasan pati dapat menyerap air hingga 60%. Penelitian ini menggunakan media pemanasan (sangrai) untuk memodifikasi pati sagu, produk S2A2 (beras analog sagu sangrai) memiliki kadar air yang tertinggi karena mengalami proses penyangraian dan gelatinisasi sehingga meningkatkan daya serap air. Selain itu bentuk permukaan dari bahan juga mempengaruhi kadar air dalam produk olahan ketika dikeringkan. Semakin lebar dan luas permukaan produk olahan tersebut maka semakin banyak kandungan air yang hilang tetapi jika permukaan itu sempit maka kandungan air yang
60
terbuang menjadi sedikit. Berikut digram batang interaksi pengolahan sagu dan macam produk olahan terhadap kadar air dapat dilihat pada Ilustrasi 20 : (%) 12 10
c
c
d
e
b
8
a
6
S1 S2
4 2 0 A1
A2
A3
Ilustrasi 20. Digram Batang Interaksi Pengolahan Sagu dan Macam Produk Olahan Terhadap Kadar Air
61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Kajian Pengolahan Pati Sagu (Metroxylon sago R.) Terhadap Daya Cerna Pati, Kadar Pati dan Kadar Air pada Olahannya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengolahan pati sagu (pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai) tidak berpengaruh terhadap daya cerna pati dan kadar air, berpengaruh terhadap kadar pati. 2. Jenis produk olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) berpengaruh terhadap daya cerna pati, kadar pati dan kadar air. 3. Interaksi pengolahan pati sagu (pati sagu tidak disangrai dan pati sagu sangrai) dan jenis produk olahan (mie kering, beras analog dan bubur instan) tidak berpengaruh terhadap daya cerna pati, tetapi berpengaruh terhadap kadar pati dan kadar air. 4. Hasil penelitian menunjukkan pada analisis daya cerna pati dan kadar air perlakuan S2A3 (bubur instan pati sagu sangrai) mendapatkan nilai rerata terendah yaitu 75.69% (daya cerna pati) dan 6.16% (kadar air). Analisis kadar pati perlakuan S1A2 (beras analog pati sagu tidak disangrai) mendapatkan nilai rerata tertinggi yaitu 67.49%. Proses pengolahan pati sagu sangrai lebih cocok pada pengaplikasian bubur instan karena memiliki nilai rerata perlakuan terendah terhadap daya
62
cerna pati dan kadar air, sedangkan untuk pengaplikasian pati sagu tidak disangrai lebih cocok pada beras analog karena memiliki nilai rerata perlakuan kadar pati paling tinggi.
B. Saran Perlu dilakukan penelitian ulang tentang pengolahan pati sagu dengan memperhatikan pada proses penyangraian pati sagu mengenai suhu dan lama waktu penyangraian, serta penggunaan ukuran mesh pada penyaringan pati sagu saat proses pencucian.
63
DAFTAR PUSTAKA
Adejumo AL, Aderibigbe FA, Owolabi RU. 2013. Comparative studies of starch susceptibilities to α-amylase degradation of different cereal and root crops of Nigeria. Afr. J. Biotechnol. Altan A, McCharthy K.L, Maskan M. 2009. Effect of extrusion cooking on functional properties and in vitro stach digestibility of barleybased extrudates from fruit and vegetable by-products. J Food Scie. Anjarwani, P. 2014. Kajian Berbagai Metode Pembuatan Tepung Kentang Kleci/Hitam (Solenostemon rotundifolius) Terhadap Derajat Putih dan Sifat Kimia. Universitas Semarang AOAC (Association of Official Analitycal Chemist). 1995-2005. Official Methods of Analysis : AOAC Arlington). AOAC (Association of Official Analytical Chemist) 925.45. 1999. “ Official methods of analysis of association of official analytical chemists”. Edition ke-15. USA : Kenneth Helrich. Chapter 44.1.03. p.2. Astawan, M.S. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta Bintoro, H.M.H.,H.M.Yanuar, J.Purwanto, dan S.Amarilis. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press. 169 hlm. BPPT, 1987. Penelitian Pemanfaatan Sagu Sebagai Bahan Pembuatan Makanan. Laporan Akhir. Kerjasama BPPT dengan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, IPB. Bogor. Budijanto S. 2011. Pengembang Rantai Nilai Serealia Lokal (Indegenous Cereal) untuk Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Riset Strategi Kemenristek, Serpong Budijanto S., Yuliyanti. 2012. Studi Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Dan Aplikasinya Pada Pembuatan Beras Analog. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13 No. 3 Chessari, C. J. dan Sellahewa, J.N. 2001. Effective Process Control. Di dalam Guy, R. Extrusion cooking, pp. 82-107. Woodhead Publishing. CFRC Press New York. USA Chung, H.J., H.S. Lim, and S.T. Lim. 2006. Effect of partial gelatinization and retrogradation on the enzymatic digestion of waxy rice starch. J. Cereal Sci deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung 64
Dhital, S., A.K. Shrestha, and M.J. Gidley. 2010. Relationship between granule size and in vitro digestibility of maize and potato starches. Carbohydrate Polymers Djoefrie, M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri Potensial Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Flach, M. 1983a. The Sago Palm Domestication Exploitation and Products. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.. Flach, M.. 1983b. Yield Potensial Of The Sago Palm (Metroxylon sago) and its. realization. First International Sago Symposium. Foster, P.K.F., S.H.A. Holt, and J.C.B. Miller. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. Am. J. Clin. Nutr. Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the Philippines. Food Chem. Glickman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. New York : Academic Press. Hamzah, N. 1986. Pengaruh Cara Pengolahan Tradisional Terhadap Mutu Tepung Sagu di Sumatra Barat. Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang. Harsanto, P.B. 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. 140 hlm. Haryadi. 1995. Kimia dan Teknologi Pati. Penerbit UGM. Yogyakarta. Hasan, V., S. Astuti, dan Susilawati. 2011. Indeks glikemik dari umbi garut, suweg, dan singkong. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. Irul,
M.
2014. Jenis Produk Olahan Sagu dan Teknologinya. http://bumenfo.blogspot.co.id/2014/tips-pengolahan-sagu-menjadibahan.html (diakses 01 Februari 2016)
Kadan RS dan Pepperman AB. 2002. Physicochemical properties of extruded rice flours. Cereal Chem Kingman, S.M., H.N. Englyst. 1994. The Influence of Food Preparation Methodes on the In Vitro Digestibillity of starch in Potatoes. Food Chem.
65
Kumari, M., Urooj, A. & Prasad, N.N. (2007). Effect of Storage on Resistant Starch and Amylose Content of Cereal-Pulse Based Ready-to-Eat Commercial Products. Food Chem. 102: 1425-1430. Kurachi H. 1995. Process for Producing Artificial Rice. United States Patent 5,403,606. Lidiasari, E., et. al. 2006. Pengaruh Suhu Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap Mutu Fisik Dan Kimia Yang Dihasilkan. Jurnal Terknologi Pertanian. Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan. Martiana, G., Hervelly. Widiantara T. 2014. Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan. Bandung. Martunis. 2012. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Syiah Kuala, Darussalam. Banda Aceh Mishra A, Hari NM, and Pavuluri SR. 2012. Preparation of Rice Anlogues using Ekstrusion Technology: Review. Int. J. Food Science and Technology Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Nazrah, Julianti E., Masniary L. L. 2014. Pengaruh Modifikasi Fisik Terhadap Karakteristik Pati dan Produksi Pati Resisten Dari Empat Varietas Ubi Kayu (Manihot esculent). Universitas Sumatra Utara. Nugent, A. P. 2005. Health properties of resistentant starch. Br. Nutr. Foundation Nutr. Bull Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press Inc., San Diego, California. Pratiwi, R. 2008. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinaceae L.) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (autoclavingcooling cycling) untuk menghasilkan pati resisten tipe III. Institut Perrtanian Bogor. Bogor. Rahman, A. M., 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
66
Rasyid MI. 2015. Studi Karakterisasi Beras Analog Fungsional Yang Diperkaya Dengan Rempah-Rempah. Institute Pertanian Bogor. Bogor. Reilly, P.J. 1985. Enzymeatic Degradation of Starch. Marcell Deccker Inc., New York Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend dan J. D. Rees. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
Sajilata, MG, Kulkarni. 2006. Resistant starch A Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety Sanusi, A. (2006). Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Saripudin, U. 2006. Rekayasa Proses Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Singh J, Dartois A, Kaur L. 2010. Starch digestibility in food matrix: a review. Trends Foods Sci & Tech. Syamsir, E. 2008. Hasil-hasil Olahan Mie Bandung. Penerbit Erlangga. Tenda, E.T., R.T.P. Hutapea dan M. syakir. 2009. Sagu tanaman perkebunan penghasil bahan bakar nabati. pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Tester RF, Qi X, Karkalas J. 2006. Hydrolysis of native starches with amylases. Animal Feed Sci and Technol. Tharanthan, R.N. and S. Mahadevamma. 2003. Grain legumes, a boon t o human nutrition. Trends Food Sci. Technol. Tjokroadikoesoemo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia, Jakarta Vujic L, Dubravka VC, Irena VD. 2014. Impact of dietetic tea biscuit formulation on starch digestibility and selected nutritional and sensory characteristics. LWT-Food Sci Technol. Wang N, Lisa M, Ruth T. 2012. Pea starch noodles: Effect Of Processing Variables On Characteristics And Optimisation Of Twin-Screw Extrusion Process. Food Chem. Widowati S., Herawati H., Mulyani E.S., Yuliwardi F., dan Muhandri T. 2014. Pengaruh Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembuatan Bihun Berindeks Glikemik Rendah. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. IPB. Bogor
67
Wirakartakusumah, M. A., Eriyatno, S. Fardiaz, M. Thenawidjaja, D. Muchtadi, B. S. L. Jenie, dan Machfud. 1984. Studi Tentang Ekstraksi, SifatSifat Fisiko Kimia Pati Sagu dan Pengkajian Enzima. Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Winarno, F.G. 1984. Teknologi Pangan. Biro Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Wirawan. 2015. Pengaruh Beda Ukuran Mesh Terhadap Rendemen, Kadar Serat Pangan dan Pati Tahan Cerna (Pati Resisten) Tepung Kacang Merah (Phaseolus vulgaris I.). Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Semarang Yustiani dan Budi Setiawan. 2013. Formulasi Bubur Instan Menggunakan Komposit Tepung Kacang Merah Dan Pati Ganyong Sebagai Makanan Sapihan. Jurnal Gizi Pangan. Zhu L. J., Qiao-Quan L, Jeff DW, Ming-Hong G, Yong-Cheng S. 2011. Digestibility and physicochemical properties of rice (Oryza sativa L) flour and starches differing in amylose content. J. Carb Pol.
68
Lampiran 1 ANALISA DAYA CERNA PATI
S1 S2 TU
I 86.70 83.95 170.65
A1 II 84.86 85.78 174.64
III 85.78 84.86 170.64
A2 II 79.36 81.19 160.55
I 80.28 79.36 159.64
III 79.82 80.28 160.10
I 77.52 76.61 154.13
A3 II 76.61 74.77 151.38
TP III 77.06 75.69 152.75
727.99 727.49 1450.48
Db total = t.r – 1 = 18-1 = 17 Db Perlakuan = t – 1 = 6 – 1 = 5 Db S = 2 – 1 = 1 Db A = 3 – 1 = 2 Db SA = 2 x 1 = 2 Db Galad = 17 – 5 = 12 FK =
.
.
=
JK total = ∑
.
=
= 116882.90
– FK
= ( 86.702+ 84.862+ 85.782+ 80.282+....+ 75.692) – 116882.90 = (7516.89 + 7201.22 + 7358.21 + 6444.88+……+ 5728.98) – 116882.90 = 117137.48 – 116882.90 = 254.58 Tabel 2 arah S1 S2
A1 257.34 254.59 511.93
JK perlakuan = =
A2 239.46 240.83 480.29
∑(
.
A3 231.19 227.07 458.26
)
.
TOTAL 727.99 722.49 1450.48
– FK .
.
.
.
– 116882.90
69
.
=
– 116882.90
= 117129.91 – 116882.90 = 247.01 JK galad acak = JK total – JK perlakuan = 254.58 – 247.01 = 7.57 JK S =
∑(
) .
– FK
.
=
.
=
.
−116882.90
.
– 116882.90
= 116884.58 - 116882.90 = 1.68 JK A = =
∑(
)
– FK
. .
.
=
.
=
.
.
– 116882.90
.
.
– 116882.90
– 116882.90
= 117125.50 – 116882.90 = 242.60 JK SA = JK perlakuan – JK S – JK A = 247.01 – 1.68 – 242.60 = 2.73
70
KT perlakuan =
KT S = KT A =
KT galad =
.
=
.
KT SA =
F hit A =
= 1.36
F hit perlakuan = F hit S =
F hit SA =
.
=
=
=
.
= 78.41
.
= 2.67
.
=
= 0.63
= 121.30
.
=
= 49.40
= 1.68
=
.
=
.
=
. . . .
= 192.54 = 2.16
Tabel ANOVA Sumber variasi Perlakuan S A SA Galad TOTAL
5 1 2 2 15 25
KV =
=
Db
√ . .
JK 247.01 1.68 242.60 2.73 7.57 501.59
KT 49.40 1.68 121.30 1.36 0.63
F hit *
78.41 2.67 192.54* 2.16
F tabel 5% 3.11 4.75 3.89 3.89
1% 5.06 9.33 6.93 6.93
x 100
x 100 =
. .
x 100 = 0.99 = 1%
71
Untuk menghitung rata-rata A = A1 = 85.32c
S = S1 = 80.89a
A2 = 80.05b
S2 = 80.28a
A3 = 76.38a Selisih : A1 – A2 = 5.27 > 1.73
S1 – S2 = 0.61 < 1.42
A1 – A3 = 8.94 > 1.73 A2 – A3 = 3.67 > 1.73
S1A1 = 85.78c S2A1 = 84.86c S1A2 = 79.82b S2A2 = 80.28b S1A3 = 77.06a S2A3 = 75.69a Selisih : S1A1 – S2A1 = 0.92 < 2.18 S1A1 – S1A2 = 5.96 > 2.18 S1A1 – S2A2 = 5.5 > 2.18 S1A1 – S1A3 = 8.72 > 2.18 S1A1 – S2A3 = 10.09 > 2.18 S2A1 – S1A2 = 5.04 > 2.18 S2A1 – S2A2 = 4.58 > 2.18 S2A1 – S1A3 = 7.8 > 2.18 S2A1 – S2A3 = 9.17 > 2.18
72
S1A2 – S2A2 = 0.46 < 2.18 S1A2 – S1A3 = 2.76 > 2.18 S1A2 – S2A3 = 4.13 > 2.18 S2A2 – S1A3 = 3.22 > 2.18 S2A2 – S2A3 = 4.59 > 2.18 S1A3 – S2A3 = 1.37 < 2.18
Uji lanjut BNJ Sx =
=
√ .
= 0.46
Untuk Perlakuan = Sx. q . 5% (6, 12) = 0,46 x 4.75 = 2.18 Untuk S = W = Sx. q . 5% (2, 12) = 0,46 x 3.08 = 1.42 Untuk A = W = Sx. q . 5% (3, 12) = 0,46 x 3.77 = 1.73
73
Lampiran 2 ANALISA KADAR PATI
S1 S2 TU
I 62.44 61.00 123.44
A1 II 62.09 59.82 121.91
III 62.26 60.41 122.67
A2 II 67.69 65.90 133.59
I 67.29 66.30 133.59
III 67.49 66.10 133.59
I 63.97 63.91 127.88
A3 II 63.16 64.29 127.45
TP III 63.57 64.10 127.67
579.96 571.83 1151.79
Db total = t.r – 1 = 18-1 = 17 Db Perlakuan = t – 1 = 6 – 1 = 5 Db S = 2 – 1 = 1 Db A = 3 – 1 = 2 Db SA = 2 x 1 = 2 Db Galad = 17 – 5 = 12 FK =
.
.
=
JK total = ∑
.
=
= 73701.12
– FK
= ( 62.442+ 62.092+ 62.262+…….+ 64.292+ 64.102) – 73701.12 = (3898.75 + 3855.17 + 3876.31 + 4527.94+…+4133.20+4108.81) – 73701.12 = 73800.51 - 73701.12 = 99.39 Tabel 2 arah S1 S2
A1 186.79 181.23 368.02
JK perlakuan = =
A2 202.47 198.30 400.77
∑(
.
A3 190.70 192.30 383.00
)
.
TOTAL 579.96 571.83 1151.79
– FK .
.
.
.
– 73701.12
74
.
=
– 73701.12
= 73799.19 – 73701.12 = 98.07
JK galad acak = JK total – JK perlakuan = 99.39 – 98.07 = 1.32 JK S =
∑(
) .
– FK
.
=
.
=
.
- 73701.12
– 73701.12
= 73704.79 - 73701.12 = 3.67 JK A = =
∑(
)
– FK
. .
.
=
.
.
– 73701.12
– 73701.12
= 73790.72 – 73701.12 = 89.6 JK SA = JK perlakuan – JK S – JK A = 98.07 – 3.67 – 89.60 = 4.8
75
KT perlakuan =
KT S = KT A =
KT galad =
.
=
.
KT SA =
.
F hit A =
= 2.4
F hit perlakuan = F hit S =
F hit SA =
.
=
=
. .
= 178.27
= 33.36
.
=
= 0.11
= 44.8
=
= 19.61
= 3.67
=
.
=
.
=
.
= 407.27
.
=
. .
= 21.8
Tabel ANOVA Sumber variasi Perlakuan S A SA Galad TOTAL
5 1 2 2 15 25
KV =
=
Db
√ . .
JK 98.07 3.67 89.6 4.8 1.32 197.46
KT 19.61 3.67 44.8 2.4 0.11
F hit
F tabel *
178.27 33.36* 407.27* 21.8*
5% 3.11 4.75 3.89 3.89
1% 5.06 9.33 6.93 6.93
x 100 x 100 = 0.52%
76
Untuk menghitung rata-rata A = A1 = 61.34a
S = S1 = 64.44b
A2 = 66.79c
S2 = 63.54a
A3 = 63.83b Selisih : A1 – A2 = 5.45 > 0.72
S1 – S2 = 1.1 > 0.58
A1 – A3 = 2.49 > 0.72 A2 – A3 = 2.96 > 0.72
S1A1 = 62.26b S2A1 = 60.41a S1A2 = 67.49e S2A2 = 198.30d S1A3 = 63.57c S2A3 = 64.10c Selisih : S1A1 – S2A1 = 1.85 > 0.9 S1A1 – S1A2 = 5.23 > 0.9 S1A1 – S2A2 = 3.84 > 0.9 S1A1 – S1A3 = 1.31 > 0.9 S1A1 – S2A3 = 1.84 > 0.9 S2A1 – S1A2 = 7.08 > 0.9 S2A1 – S2A2 = 5.69 > 0.9 S2A1 – S1A3 = 3.16 > 0.9 S2A1 – S2A3 = 3.69 > 0.9
77
S1A2 – S2A2 = 1.39 > 0.9 S1A2 – S1A3 = 3.92 > 0.9 S1A2 – S2A3 = 3.39 > 0.9 S2A2 – S1A3 = 2.53 > 0.9 S2A2 – S2A3 = 2 > 0.9 S1A3 – S2A3 = 0.53 < 0.9
Uji lanjut BNJ Sx =
=
√ .
= 0.19
Untuk Perlakuan = Sx. q . 5% (6, 12) = 0.19 x 4.75 = 0.90 Untuk S = W = Sx. q . 5% (2, 12) = 0.19 x 3.08 = 0.58 Untuk A = W = Sx. q . 5% (3, 12) = 0.19 x 3.77 = 0.72 Untuk SA = W = Sx. q . 5% (2, 12) = 0.19 x 3.08 = 0.58
78
Lampiran 3 ANALISA KADAR AIR
S1 S2 TU
A1 II 9.42 9.66 19.08
I 9.34 9.57 18.91
III 9.38 9.62 19.00
I 10.11 10.67 20.78
A2 II 10.09 10.27 20.36
III 10.10 10.47 20.57
I 6.92 6.22 13.14
A3 II 6.68 6.09 12.77
TP III 6.80 6.16 12.96
78.84 78.73 157.57
Db total = t.r – 1 = 18-1 = 17 Db Perlakuan = t – 1 = 6 – 1 = 5 Db S = 2 – 1 = 1 Db A = 3 – 1 = 2 Db SA = 2 x 1 = 2 Db Galad = 17 – 5 = 12 FK =
.
.
=
JK total = ∑
.
=
= 1379.35
– FK
= ( 9.342+ 9.422+ 9.382+…….+ 6.222+ 6.162) – 1379.35 = (87.23 + 88.74 + 87.98+…+ 38.69+ 37.94) – 1379.35 = 1428.82 - 1379.35 = 49.47 Tabel 2 arah S1 S2
A1 28.14 28.85 56.99
JK perlakuan = =
A2 30.30 31.41 61.71
∑(
.
A3 20.40 18.47 38.87
)
.
.
TOTAL 78.84 78.73 157.57
– FK
.
.
.
– 1379.35
79
.
=
– 1379.35
= 1428.72 – 1379.35 = 49.37 JK galad acak = JK total – JK perlakuan = 49.47 – 49.37 = 0.10 JK S =
∑(
)
– FK
. .
=
.
.
=
- 1379.35 .
.
=
– 1379.35
− 1379.35
= 1379.35 - 1379.35 =0 JK A = = = =
∑(
)
– FK
.
.
.
.
.
.
.
– 1379.35 .
− 1379.35
– 1379.35
= 1427.81 – 1379.35 = 48.46 JK SA = JK perlakuan – JK S – JK A = 49.37 – 0 – 48.46 = 0.91
80
KT perlakuan =
KT S = KT A =
KT galad =
.
=
.
=
= 9.87
= 0.008
= =0
,
=
KT SA =
= 24.13 .
=
F hit perlakuan =
F hit S =
F hit A =
= 0.45
=
F hit SA =
. .
= 1233.75
=0
.
=
=
.
= 3016.25
.
=
. .
= 56.25
Tabel ANOVA Sumber variasi Perlakuan S A SA Galad TOTAL
√ . .
JK
5 1 2 2 15 25
KV =
=
Db
49.37 0 48.46 0.91 0.10 98.84
KT 9.87 0 24.13 0.45 0.008
F hit
F tabel *
1233.75 0 3016.25* 56.25*
5% 3.11 4.75 3.89 3.89
1% 5.06 9.33 6.93 6.93
x 100
x 100 =
. .
x 100 = 1.02%
81
Untuk menghitung rata-rata A = A1 = 9.50b
S = S1 = 8.76a
A2 = 10.28c
S2 = 8.75a
A3 = 6.48a Selisih : A1 – A2 = 0.78 > 0.19
S1 – S2 = 0 < 0.15
A1 – A3 = 3.02 > 0.19 A2 – A3 = 10.28 > 0.19
S1A1 = 9.38c S2A1 = 9.62c S1A2 = 10.10d S2A2 = 10.47e S1A3 = 6.80b S2A3 = 6.16a Selisih : S1A1 – S2A1 = 0.24 < 0.24 S1A1 – S1A2 = 0.72 > 0.24 S1A1 – S2A2 = 1.09 > 0.24 S1A1 – S1A3 = 2.58 > 0.24 S1A1 – S2A3 = 3.22 > 0.24 S2A1 – S1A2 = 0.48 > 0.24 S2A1 – S2A2 = 0.85 > 0.24 S2A1 – S1A3 = 2.82 > 0.24 S2A1 – S2A3 = 3.46 > 0.24
82
S1A2 – S2A2 = 0.37 > 0.24 S1A2 – S1A3 = 3.30 > 0.24 S1A2 – S2A3 = 3.94 > 0.24 S2A2 – S1A3 = 3.67 > 0.24 S2A2 – S2A3 = 4.31 > 0.24 S1A3 – S2A3 = 0.64 > 0.24
Uji lanjut BNJ Sx =
=
√ .
= 0.05
Untuk Perlakuan = Sx. q . 5% (6, 12) = 0.05 x 4.75 = 0.24 Untuk S = W = Sx. q . 5% (2, 12) = 0.05 x 3.08 = 0.15 Untuk A = W = Sx. q . 5% (3, 12) = 0.05 x 3.77 = 0.19 Untuk SA = W = Sx. q . 5% (2, 12) = 0.05 x 3.08 = 0.15
83
Lampiran 4. DOKUMENTASI Pati Sagu
Pati Sagu
Proses Penyangraian Pati Sagu
84
Mie Kering
Pencetakan Mie
Mie Sagu Sangrai
Mie Sagu Tidak Disangrai
85
Beras Analog
Beras Analog Sagu Tidak Disangrai
Beras Analog Sagu Sangrai
86
Bubur Sagu Instan
Proses Pembuatan Bubur Sagu Instan
Proses Pengayakan Bubur Sagu Instan
Bubur Instan Sagu Tidak Disangrai
Bubur Instan Sagu Sangrai 87