1
REKAYASA BIOPROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI HIDROLISAT PATI SAGU (Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides PADA KULTIVASI NIRSINAMBUNG DAN SEMI SINAMBUNG
SUPATMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul: Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides Pada Kultivasi NirSinambung dan Semi Sinambung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juni 2010
Supatmawati NRP F351070191
3
ABSTRACT SUPATMAWATI. Bioprocess Engineering of Bioethanol Production from Hydrolysate of Sago Starch (Metroxylon sp.) using Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides in Batch and Fed-batch Cultivations. Under direction of KHASWAR SYAMSU and LIESBETINI HARTOTO. Starch of sago is one of the sources of ethanol which is able to be produced by enzymatic hydrolysis and followed by cultivation process. It has high concentration of carbohydrate (80 %), so it can produce glucose highly with enzymatic hydrolysis process. The total amount of glucose has correlation with amount of ethanol, in cultivation process. The first step of research was to prepare substrate from sago starch which was hydrolysed enzymatically using α- amylase and amyloglucosidase (AMG) enzymes. Preliminary research was conducted to determine optimum concentration in which S.cerevisiae var.ellipsoides can live and produce the highest ethanol content. The concentrations being tested were 18, 24, 30 and 36 % (g/L) of total sugar. The main research consists of two systems: batch and fed-batch. Result shows that 24 % concentration (g/L) was find to be the optimum consentration for S.cerevisiae var.ellipsoides with ethanol production reaches up to 10,2 ± 0,000 % (w/v). One of the main research is using batch cultivation. The best result of highest ethanol concent was reached (10,77 ± 0,000 % w/v) when aeration was stopped after biomass condition has reached the maximum condition. The best result on fed-batch cultivation with the highest ethanol concentration (12,05 ± 0,00 % w/v) also was gained at the same treatment with feed concentration of glucose 16 % g/L. Based on calculation of cultivation kinetic parameters, it is shown that in batch cultivation the highest Yp/s, Yp/x (0,15; 0,47; 4,48) was gained on the third treatment that is aeration stopped at 30th hour. On fed-batch cultivation, the highest Yp/s and Yp/x value (0,51 and 5,05) is shown on treatment of which aeration is stopped after 30th hour and feed concentration of 16 % g/L. Keywords: sago starch, enzymatic hydrolysis, bioethanol, batch and fed-batch cultivation, cultivation kinetic parameters.
4
RINGKASAN SUPATMAWATI. Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. Elipsoides Pada Kultivasi Nir-sinambung dan Semi Sinambung. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan LIESBETINI HARTOTO. Perkembangan kebutuhan energi yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan perhatian terhadap energi terbarukan semakin meningkat terutama terhadap sumber-sumber energi terbarukan dari sektor pertanian. Permintaan etanol dewasa ini terus meningkat seiring dengan penggunaan etanol sebagai bahan bakar nabati. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 substitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5 % (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel sebagai bahan bakar alternatif). Selain itu, etanol banyak dimanfaatkan dalam industria kimia, komestik, minuman, dan pelarut. Hampir semua komoditas budidaya di sektor pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Sagu merupakan sumber alam yang sangat melimpah di Indonesia yang merupakan 51% dari total luas area sagu dunia (Deptan, 2006) dan belum banyak dimanfaatkan. Sagu dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah rawa atau tanah marjinal yang sulit ditumbuhi tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Umur panen sagu sekitar 7 sampai 11 tahun, Empelur sagu mengandung 15-20 persen pati. Beberapa teknologi pembuatan bioetanol yang ada di Indonesia menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku dengan kadar etanol yang dihasilkan 8 – 11 persen. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rendemen kadar bioetanol yang lebih tinggi dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari pati sagu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi proses produksi bioetanol yang produktif dan efisien melalui rekayasa bioproses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada kultivasi nir-sinambung dan semi sinambung. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gula pada hidrolisat pati sagu yang terbaik pada produksi bioetanol secara nir-sinambung pada rentang konsentrasi gula yang dicobakan, mendapatkan waktu pegalihan pengkondisian aerasi terbaik untuk mendapatkan kadar etanol tertinggi, menentukan konsentrasi gula umpan terbaik pada kultivasi semi sinambung yang menghasilkan bioetanol tertinggi. Tahap penelitian dimulai dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas analisa proksimat pati sagu, karakterisasi sirup glukosa, persiapan inokulum, serta penentuan konsentrasi sirup glukosa. Kemurnian kandungan pati pada pati sagu adalah 80,11 %. Tahap selanjutnya dilakukan hidrolisis pati secara enzimatis. Enzim yang digunakan adalah α-amilase dan enzim amiloglukosidase (AMG). Pada proses hidrolisis pati ini diperoleh nilai efisiensi 97,99±0,36%. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi optimum total gula sehingga kultur Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides dapat hidup serta menghasilkan kadar etanol yang tertinggi. Konsentrasi yang diujikan adalah 18, 24, 30 dan 36 % (g/L) total gula. Hasil terbaik dari penelitian pendahuluan ini
5
selanjutnya digunakan pada penelitian utama. Penelitian utama terdiri atas dua sistem yaitu batch (nir-sinambung) dan fed-batch (semi sinambung). Pada kedua sistem kultivasi dilakukan rekayasa bioproses pada aerasi bioreaktor dan pada semi sinambung dilakukan penambahan umpan dengan variasi yaitu 20 %, 16 %, 12 %, 8 % dan 4 %. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi total gula 24 % (g/L) merupakan konsentrasi optimal bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides dengan produksi etanol 10,2 % (b/v). Pada penelitian utama dengan sistem batch, diperoleh hasil terbaik dengan kadar etanol tertinggi (10,77 ± 1,60 % b/v) pada perlakuan penghentian aerasi saat kondisi biomassa maksimum. Penghentian ini dilakukan pada jam ke-30. Hal ini menunjukkan bahwa dengan melakukan penghentian aerasi maka sisa substrat yang ada dapat dimanfaatkan untuk pembentukan etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides. Hasil terbaik konsentrasi etanol tertinggi pada sistem fed-batch (12,05 ± 0,00 % b/v) diperoleh pada perlakuan yang sama dengan sistem batch yaitu penghentian aerasi pada jam ke- 30 serta memberikan konsentrasi umpan total gula 16 % (g/L). Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem ini, substrat yang ditambahkan pada saat proses kultivasi berlangsung dapat dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides untuk pembentukan etanol. Hasil perhitungan pada parameter kinetika kultivasi pada sistem batch, adalah sebagai berikut : Nilai dari Yx/s (0,15) yang paling tinggi terdapat pada perlakuan aerasi penuh (1 vvm). Nilai Yp/s (0,47) dan Yp/x (4,48) tertinggi diperoleh pada perlakuan penghentian aerasi pada jam ke- 30. Efisiensi kultivasi tertinggi pada perlakuan ketiga (91,99 %). Pada kultivasi fed-batch , nilai Yp/s dan Yp/x paling tinggi (0,51; 5,05) pada perlakuan stop aerasi dengan umpan konsentrasi total gula 16 % dengan efisiensi kultivasi 99,75 %, namun nilai Yx/s (0,15) tertinggi pada perlakuan stop aerasi dengan umpan 8 %. Kata kunci: pati sagu, hidrolisis enzimatis, bioetanol, kultivasi batch dan fedbatch, parameter kinetika kultivasi
.
6
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REKAYASA BIOPROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI HIDROLISAT PATI SAGU (Metroxylon sp.) MENGGUNAKAN
7
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides PADA KULTIVASI NIRSINAMBUNG DAN SEMI SINAMBUNG
SUPATMAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Dwi Styaningsih, S.TP, M.Si
Judul Tesis
Nama NIM
: Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides Pada Kultivasi Nir-sinambung dan Semi Sinambung : Supatmawati : F351070191
9
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Ketua
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 03 Juni 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul “Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari
10
Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides Pada Kultivasi Nir-sinambung dan Semi Sinambung”. Selama proses penulisan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tak langsung hingga tersusunnya tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukannya. Terima kasih kepada Ibu Dr. Dwi Styaningsih, S.TP, M.Si sebagai dosen penguji atas masukan sarannya, serta semua civitas akademika di Teknologi Industri Pertanian (TIP) yang telah banyak membantu. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Tim Bioetanol saudara Nur Hidayah Didu, serta Tim Biopestisida saudara Prima widyastuti dan Nunung atas penelitian bersama serta diskusinya, di Laboratorium RBP dan tak lupa pula ucapan terima kasih kepada smua staf dan para laboran di PPSBH (Mba Peppy, Mba Emi, Pak Mulya, Bu Eni, Bu Dewi dkk). Terima kasih juga kepada Bu Ega, Bu Sri, Bu Rini serta Laboran yang adan di lingkup TIN. Tak lupa ucapan terima kasih juga kepada rekan-rekan TIP khususnya angkatan 2007 atas masukan sarannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan yang sebesar-besarnya atas kasih saying, kesabaran serta doa dan dukungan yang tak ternilai disampaikan kepada Ayah (almarhum), Ibu, dan seluruh keluargaku (Ayuk Endang, Kak Brata, Om Said dan anak-anaknya tersayang, Om Ram dan keluarga, Om Obi dan Keluarga, Om Abu dan sekeluarga terima kasih sagunya, Om Dulla (selaku Bupati SBT) dan keluarga serta Abang Ay, Ade via). Seseorang yang selalu memberi semangat dan motivasi serta kasih sayangnya, serta Pemerintahan Daerah Seram Bagian Timur (PEMDA SBT) di Maluku. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan penalitian lebih lanjut. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semuanya.
Bogor,
Juni 2010
11
Supatmawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro-Kibang Lampung Timur pada tanggal 28 November 1981 dari ayah Atim (almarhum) dan Ibu Pujiyem. Penulis merupakan
12
putri kesembilan dari sembilan bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMUN 1 Bengkulu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk perguruan tinggi Universitas Bengkulu melalui jalur UMPTN. Penulis diterima pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2007 penulis diterima menjadi mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
13
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian ..................................................................................... Hipotesis .................................................................................................. Ruang Lingkup ........................................................................................
1 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Sagu ......................................................................................................... Ekstraksi Pati Sagu .................................................................................. Sifat Fisika Kimia .................................................................................... Gelatinisasi .............................................................................................. Amilosa dan Amilopektin ....................................................................... Komposisi Kimia Pati Sagu ............................................................. Sirup Glukosa Pati Sagu .......................................................................... Kultivasi Etanol ....................................................................................... Kinetika Fermentasi ................................................................................
6 9 10 10 11 11 12 14 19
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran ............................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. Bahan dan Alat ........................................................................................ Metode Penelitian .................................................................................... Penelitian Pendahuluan .................................................................... Persiapan Pati Sagu sebagai Bahan Baku ............................... Penyiapan Media Kultivasi ..................................................... Penyiapan Inokulum Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides……………………………………………………… Penumbuhan pada Agar Miring ................................................ Penumbuhan pada Media Cair ................................................ Penentuan Konsentrasi Sirup Glukosa .................................... Penelitian Utama .............................................................................. Variasi Kondisi Kultivasi pada Sistem Nirsinambung ........... Optimasi Pengumpanan pada Sistem Fed-batch .................... HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... Persiapan Substrat ................................................................................... Karakterisasi Pati Sagu .................................................................... Pembuatan dan Karakteristik hidrolisat Pati sagu ............................ Penentuan Konsentrasi Sirup Glukosa ............................................. Penelitian Utama ..................................................................................... Kultivasi Batch Aerasi penuh (1 vvm) dan Terekayasa ................... Kultivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Berbagai Konsentrasi ........................................................................ Kultivasi Batch dan Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) ....................
24 25 25 27 28 28 28 28 28 29 29 30 30 32 35 35 35 37 38 42 42 45 50
14
Kultivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Terpili 51 Kultivasi Batch dan Fed-batch Terekayasa Terpilih ....................... 52 Perhitungan Kinetika Kultivasi ........................................................ 53 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60 LAMPIRAN ....................................................................................................... 64
15
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Komposisi Kimia Pati Sagu dalam 100 gram Bahan ............................. 12
2.
Variasi Perlakuan yang Dilakukan pada Penelitian Utama ................... 34
3.
Hasil Analisa Proksimat Pati Sagu (Metroxylon sp.) ............................ 35
4.
Perhitungan Peningkatan Kinetika Kultivasi Batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa ............................................................................. 54
5.
Perbandingan Batch dengan Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) ............. 55
6.
Perhitungan Peningkatan Kinetika Kultivasi fed-batch terekayasa ....... 56
7.
Perbandingan Kultivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Terpilih ............................................................................... 56
8.
Perbandingan Kultivasi Batch dan Fed-batch Terekayasa Terpilih ..... 57
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Tanaman Sagu ........................................................................................
6
2.
Peta Populasi Sagu Dunia (sumber: www. traditionaltree.org) .............
7
3.
Diagram Alir Proses Produksi Etanol (Wyman, 2001) ........................... 15
5.
Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Prescott dan Dunn, 1959) ................................................................................................................. 17
6.
Kurva Pertumbuhan Mikroba ................................................................ 20
7.
Kerangka Pemikiran Proses Rekayasa Bioproses Produksi Bioetanol dari
Hidrolisat
Pati
Sagu
(Metroxylon
sp.)
Menggunakan
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus Pada Bioreaktor Nir Sinambung (batch) dan Semi Sinambung (fed-batch) ........................... 24 8.
Biorekator Biostat M skala 2, L ............................................................. 26
9.
Tahapan Penelitian .................................................................................. 27
10.
Media Propagasi ..................................................................................... 29
11.
Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada Konsentrasi Sirup Glukosa ..................................................................... 40
12.
Grafik Perbandingan Total Gula hasil Kultivasi pada Berbagai Konsentrasi ............................................................................................. 41
13.
Histogram Perbandingan Kadar Etanol .................................................. 42
14.
Perbandingan X, S dan EtOH Hasil Kultivasi pada Sistem Batch ......... 43
15.
Perbandingan X, S dan EtOH Hasil Kutivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Berbagai Konsentrasi ...................................... 47
16.
Perbandingan X, S dan EtOH Hasil Kutivasi Batch dan Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) ............................................................................. 50
17
17.
Perbandingan X, S dan EtOH Hasil Kutivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Terpilih ........................................................... 50
18.
Perbandingan X, S dan EtOH Hasil Kutivasi Batch dan Fed-batch Terekayasa Terpilih ................................................................................ 51
18
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Prosedur Karakterisasi Pati Sagu ........................................................... 64
2.
Diagram Alir Proses Pembuatan Sirup Glukosa (disadur dari Akyuni., 2004; Budiyanto, et al., 2006; Nur Atifah., 2006; dan Wahyuni., 2008) ..................................................................................... 68
4.
Prosedur Analisa Sirup Glukosa Pati Sagu ............................................. 69
5.
Prosedur Analisa Hasil Fermentasi ........................................................ 71
6.
Kurva standar DNS dan total gula ......................................................... 73
7.
Data penelitian pada kultivasi full aersi untuk nilai biomassa ............... 74
8.
Data penelitian pada kultivasi Aerasi Penuh (1 vvm) untuk nilai TG ... 78
9.
Data penelitian pada kultivasi batch ...................................................... 80
10.
Data penelitian pada kultivasi fed-batch ................................................ 83
11.
Hasil produksi etanol pada kultivasi batch ............................................ 89
12.
Hasil produksi etanol pada kultivasi fed-batch ...................................... 90
19
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan kebutuhan energi yang dinamis ditengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan perhatian terhadap energi terbarukan semakin meningkat terutama terhadap sumber-sumber energi terbarukan dari sektor pertanian. Hampir seluruh komoditas budidaya di sektor pertanian dapat menghasilkan biomassa, sebagai sumber bahan yang dapat diubah menjadi energi terbarukan. Biomassa adalah semua bahan-bahan organik berumur relatif muda dan berasal dari tumbuhtumbuhan atau hewan; produk dan limbah industri budidaya (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan) yang dapat diproses menjadi bioenergi (Reksowardoyo dan Soerawidjaja, 2006). Sagu (Metroxylon sp.) merupakan sumber alam yang sangat melimpah di Indonesia dan belum banyak dimanfaatkan. Luas areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 2.201.000 hektar yang merupakan 51 persen dari total luas areal sagu dunia (Deptan, 2006). Luas areal sagu yang sudah dibudidayakan baru sekitar 158.000 hektar, sedangkan lahan sagu seluas 1.342.000 hektar belum dibudidayakan secara intensif. Sagu dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marjinal yang sulit ditumbuhi oleh tanaman penghasil karbohidrat lainnya (Flach,1983). Sagu mempunyai kandungan pati yang tinggi. Menurut Rumalatu (1981) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empelur sagu mengandung 15-20 % pati. Setiap batang pohon sagu di Papua dapat menghasilkan ± 200 kg tepung sagu dan bioetanol sekitar 30 liter. Sementara pohon sagu asal Maluku dapat menghasilkan sekitar 400-500 kg pati sagu. Potensi sagu (Metroxylon sp.) yang besar belum dieksploitasi secara optimal. Sangat rendahnya pemanfaatan sagu dalam bidang pangan yang hanya sekitar 10% dari total sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam pengolahan sagu. Pati sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat pati sagu dan diolah menjadi sirup glukosa. Hidrolisat pati sagu memiliki kandungan gula yang tinggi, sehingga berpotensi dijadikan sebagai sumber karbon pada kultivasi etanol (Akyuni, 2004).
20
Permintaan
etanol
dewasa
ini
terus
meningkat
seiring
dengan
digunakannya etanol sebagai bahan bakar nabati. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 substitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5% (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati atau Biofuel sebagai Bahan Bakar Alternatif). Selain itu, etanol banyak dimanfaatkan dalam industri kimia, kosmetik, minuman, dan pelarut. Prinsip pembuatan etanol dari pati sagu yaitu diawali dengan proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana dan selanjutnya dikultivasi menggunakan mikroba yang sesuai, sehingga diperoleh etanol. Proses hidrolisis pati bisa dilakukan secara enzimatis maupun asam. Proses hidrolisis pati secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis asam, ramah lingkungan dan tidak menimbulkan korosi pada alat. Sedangkan hidrolisis secara asam memiliki kekurangan dibandingkan hidrolisis enzim, yaitu timbulnya warna dan flavor yang tidak dinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk, serta memerlukan kondisi proses yang ekstrim. Kultivasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis mikroba dan konsentrasi substrat. Mikroba yang dipakai harus mampu menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu yang tinggi, tetap stabil pada kondisi kultivasi dapat bertahan hidup pada pH rendah (Rehm dan Reed, 1981). Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa Saccharomyces cerivisiae sering digunakan dalam kultivasi etanol sebab mampu menghasilkan etanol dalam jumlah yang besar pada media yang sesuai. Di samping itu, pada kultivasi harus digunakan substrat dengan konsentrasi optimum untuk pertumbuhan khamir, agar dihasilkan etanol dengan jumlah yang maksimum. Saccharomyces cerivisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi. Ragi biasanya digunakan dalam pembuatan roti (baker’s yeast) dan pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Pada kultivasi menggunakan kultur murni diperlukan penyiapan inokulum secara khusus dan dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada kultivasi etanol.
21
Proses kultivasi dapat dilakukan dengan beberapa sistem, yaitu sistem nirsinambung (batch), semi sinambung (fed-batch), dan sinambung (countinous). Pada kultivasi sistem nir-sinambung (batch), proses pemanenan produk dilakukan setelah kultivasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama kultivasi berlangsung (Rachman, 1989). Pola pertumbuhan mengikuti metabolisme primer, sekunder dan campuran keduanya; produk yang dihasilkan masih rendah dan efek toksik media tidak dapat dicegah yang diakibatkan sisa substrat masih banyak. Kultivasi sistem semi sinambung (fed-batch) merupakan sistem nirsinambung yang diberi umpan secara sinambung atau sekuensial, tanpa pengeluaran isi bioreaktor, sehingga volume bervariasi selama kultivasi pada akhirnya konsentrasi nutrien bervariasi. Keuntungan yang diperoleh adalah efek represif sumber karbon dapat ditekan dan kapasitas aerasi dalam bioreaktor dapat dipertahankan serta mencegah terjadinya efek toksik komponen media dan rendemen yang dihasilkan tinggi/banyak karena sisa substrat kecil yang diakibatkan konsentrasi sel meningkat. Penelitian bioetanol dari ubi jalar yang dilakukan oleh Wahyuni (2008) menggunakan Saccharomyces cerivisiae dengan proses fed-batch dihasilkan bioetanol yang cukup tinggi namun belum optimal. Hal ini disebabkan oleh sisa substrat masih tinggi, karena tidak dilakukan perubahan atau variasi konsentrasi sirup glukosa, konsentrasi sirup glukosa terbaik diperoleh pada konsentrasi 24 % (berdasarkan pembentukan etanol). Kebaruan dari penelitian ini adalah sebagai sumber karbon untuk produksi bioetanol digunakan pati sagu (Metroxylon sp.) dari Seram Bagian Timur (SBT) Maluku dengan menggunakan Saccharomyces cerivisiae var. Ellipsoides. Pada proses fed-batch dilakukan variasi kondisi aerasi dan konsentrasi sirup glukosa. Penentuan konsentrasi sirup glukosa terbaik (optimum) ditentukan berdasarkan konsentrasi gula optimum dalam pembentukan etanol dan konsentrasi gula optimum pada pembentukan sel. Perumusan Masalah Produksi bioetanol yang selama ini telah dilakukan kurang produktif dan efisien. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya sisa gula. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan rekayasa bioproses produksi
22
bioetanol pada bioreaktor nir-sinambung (batch) dan semi sinambung (fed-batch) dengan cara pengkondisian aerasi kultivasi yang bervariasi pada konsentrasi gula optimum dalam pembentukan sel dan etanol serta waktu mulai pengumpanan yaitu setelah biomassa maksimum dan setelah pertumbuhan eksponensial. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan teknologi proses produksi bioetanol yang produktif dan efisien melalui rekayasa bioproses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada kultivasi nir-sinambung dan semi sinambung. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gula pada hidrolisat pati sagu yang terbaik pada produksi bioetanol secara nirsinambung pada rentang konsentrasi gula yang dicobakan, mendapatkan waktu pengalihan pengkondisian aerasi terbaik untuk mendapatkan kadar etanol tertinggi, menentukan konsentrasi gula umpan terbaik pada kultivasi semi sinambung yang menghasilkan bioetanol tertinggi. Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Terdapat konsentrasi glukosa optimum untuk pembentukan etanol dan sel pada kultivasi nir-sinambung untuk produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides. 2. Terdapat waktu pengalihan kondisi aerasi terbaik dari aerobik ke anaerobik untuk menghasilkan kadar etanol tertinggi. 3. Terdapat konsentrasi gula umpan optimum yang memberikan hasil etanol tertinggi. 4. Kondisi aerasi kultivasi yang optimum pada kultivasi sistem nir-sinambung dan semi sinambung dapat memberikan hasil etanol tertinggi (produktif dan efisien). Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
23
1. Karakterisasi pati sagu sebagai bahan baku pembuatan etanol. Karakterisasi pati yang dilakukan meliputi analisa proksimat dan kadar pati. 2. Hidrolisis
pati
sagu
secara
enzimatis
menggunakan
α-amilase
dan
amiloglukosidase sehingga diperoleh hidrolisat pati sagu. 3. Kultivasi batch dengan variasi konsentrasi total gula untuk mendapatkan konsentrasi total gula yang menghasilkan etanol tertinggi, rekayasa kultivasi batch dengan waktu pengalihan kondisi dari aerobik ke anaerobik dan rekayasa kultivasi fed-batch dengan pengalihan kondisi aerasi dari aerobik ke anaerobik sesuai dan variasi konsentrasi gula umpan pada bioreaktor skala 2 liter dengan menggunakan khamir Saccharomyces cerivisiae var. ellipsoides dengan pemilihan konsentrasi gula terbaik, perbandingan fed-batch terekayasa dan aerasi penuh (1 vvm) dengan konsentrasi gula umpan terbaik.
24
TINJAUAN PUSTAKA Sagu Tanaman sagu (Gambar 1) termasuk tumbuhan monokotil, keluarga Palmae, Marga Metroxylon, ordo Spadisiflorae. Nama Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata ”Metra” dan ”Xylon”. Metra berarti isi batang, sedang Xylon berarti kayu (Flach, 1983).
Gambar 1. Tanaman Sagu
Tanaman sagu digolongkan secara garis besar menjadi dua golongan yaitu golongan yang berbunga/berbuah satu kali dan golongan yang berbunga atau berbuah dua kali atau lebih (Soerjono, 1980). Golongan sagu yang berbunga atau berbuah satu kali bernilai ekonomis lebih tinggi karena memiliki kandungan pati yang tinggi. Jenis sagu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah Metroxylon rumphii Martius, Metroxylon sagus Rottboll, Metroxylon sylvester Martius, Metroxylon micracantum Martius, Metroxylon longispinum Martius. Sedangkan golongan yang berbunga atau berbuah dua kali atau lebih rendah mengandung karbohidrat, tumbuh di daerah dataran tinggi yang terdiri dari Metroxylon filare dan Metroxylon elanum.
25
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu, karena merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Tinggi pohon sagu dapat mencapai 15 meter (Ruddle et al., 1978). Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitatnya. Pada bagian dalam batang pohon sagu terdapat gumbar (empulur) yang mengandung karbohidrat. Pada umur panen sekitar 11 tahun ke atas empelur sagu mengandung pati sekitar 15-20 persen (Rumalu, 1981 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Setiap pohon sagu dapat menghasilkan sagu berkisar antara 50-500 kg tepung sagu basah (Sastrapradja et al., 1980). Kandungan pati maksimal ada pada saat sagu sebelum berbunga. Munculnya primordia bunga biasanya menunjukkan kandungan pati menurun. Kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu mati. Keadaan tersebut mempermudah petani untuk mengetahui kandungan pati sagu secara maksimum (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan asli Indonesia. Selain di Indonesia sagu ditemukan hanya dibeberapa negara lain, seperti Papua New Guinea, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Ruddle et al., 1978). Indonesia memiliki areal sagu terbesar dengan luas sekitar 1,5 juta hektar atau 60% dari 2,5 juta hektar sagu dunia. Peta populasi sagu dunia disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta populasi sagu dunia (sumber: www. traditionaltree.org)
26
Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial disamping beras, khususnya bagi sebagian masyarakat di kawasan Timur Indonesia seperti Papua dan Maluku. Beberapa produk olahan pati sagu antara lain papeda, sinoli, soun, ongol-ongol, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar 90% areal sagu Indonesia berada di kawasan Timur Indonesia. Lima daerah potensial sagu terbesar di Indonesia, yaitu untuk Papua 600.000 hektar; Maluku 94.949 hektar; riau 51.250 hektar; Sulawesi Utara 23.400 hektar dan Sulawesi Tenggara 13.706 hektar (Chiljo,2009). Umumnya daerah pertumbuhan sagu pada daerah terisolasi dan jauh dari perkotaan. Sagu banyak tumbuh di daerah-daerah marjinal, dimana tumbuhan penghasil karbohidrat lainnya lebih sulit untuk tumbuh. Pemanfaatan sagu di Indonesia belum maksimal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang hanya memiliki luas areal sagu seluas 1,5% dan 0,2% dari total luas areal sagu dunia. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat rendah yang ditandai dengan kapasitas dan produktivitas pengolahan yang masih rendah. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar pengolahan sagu ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Cara sederhana tersebut menghasilkan rendemen yang rendah dan kurang efisien. Pati sagu di pasar internasional digunakan sebagai bahan subsitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu ditingkat petani masih sangat sederhana. Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat besi yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi sebagai bahan baku untuk membuat bioenergi. Batang merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung sagu diperoleh dari empulur, sehingga pengolahan hasilnya cukup berat dan memerlukan alat yang khusus pula. Batang sagu yang sudah ditebang selanjutnya dikuliti untuk mendapatkan empulur yang mengandung tepung. Selanjutnya, empulur yang dihasilkan diparut agar memudahkan peremasan (pengepresan). Peremasan dilakukan dengan menggunakan alat pres untuk mengeluarkan pati dari parutan empulur. Setelah selesai peremasan, dilakukan penyaringan untuk membuang serat-serat kasar dari empulur. Suspensi pati yang didapatkan
27
kemudian diendapkan untuk memisahkan pati sagu dari air. Langkah selanjutnya adalah pengeringan, pengepakan dan penyimpanan atau distribusi ke konsumen. Peralatan pengolahan sagu sudah tersedia atau mudah disediakan kecuali untuk kegiatan pemarutan. Pemarutan empulur dapat dilakukan dengan menggunakan alat berupa silinder berpaku yang digerakkan oleh generator. Silinder
berpaku
mudah
direkayasa
di
pedesaan,
sementara
generator
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti ini tidak mudah bagi kebanyakan masyarakat Papua yang rata-rata berpendapatan sangat rendah. Oleh karena itu, umumnya masyarakat Papua menggunakan teknik pengolahan dan peralatan tradisional. Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan sagu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua telah merakit alat pangkur sagu dan alat peremas spesifik lokasi, yaitu pangkur rantai, pangkur tali, dan pangkur gendong. Pangkur merupakan alat pemarut empulur untuk mempermudah peremasan, sedangkan alat peremas digunakan untuk memisahkan tepung sagu dari empulur. Pangkur dirakit dengan menggunakan bahanbahan yang tersedia di pedesaan. Konstruksi pangkur terdiri atas silinder kayu berpaku, gir sepeda roda belakang, pegas, dan rantai atau tali yang berfungsi sebagai belt. Penggunaan pangkur lebih efisien dibandingkan dengan pengolahan cara tradisional. Ekstraksi Pati Sagu Cara dan alat pengambilan pati sagu dapat dibedakan antara lain (1) cara tradisional; (2) tradisional yang disempurnakan; dan (3) cara modern. Pengambilan pati sagu pada umumnya terdiri dari dua tahap pekerjaan, yaitu penghancuran ”ela” atau bagian lunak dari batang sagu setelah ditebang serta pemerasan ”ela” yang
telah
dihancurkan.
Proses
penghancuran
”ela”
bertujuan
untuk
menghancurkan serat yang ada pada batang sagu, sehingga tepung yang terkandung dalam serat dapat diambil semaksimal mungkin. Pati sagu perlu dipisahkan dari serbuk batang yang tercampur. Pemisahan dilakukan dengan pemerasan dan pengendapan. Serbuk batang sagu yang telah dikeruk dimasukkan ke dalam keranjang, lalu diangkut ke tempat pemerasan, dan dituang ke dalam bak pemerasan. Pemerasan dilakukan dengan tangan atau
28
menggunakan kaki. Untuk memudahkn pemisahan pati sagu, serat-serat batang tersebut diberi air. Pemerasan dihentikan setelah air yang menetes jernih. Sifat Fisika Kimia Pati Pati merupakan salah satu bentuk karbohidrat tanaman yang terbentuk melalui proses fotosintesis. Pati terdapat dalam butir-butir kecil atau granula yang terkumpul dalam biji, umbi dan bagian dalam batang. Adapun sumber pati yang telah banyak digunakan antara lain ubi kayu, ubi jalar, jagung, beras, sagu, kentang, dan barley (Brautlecht, 1953). Bentuk dan ukuran granula khas untuk setiap jenis pati, sehingga sifat ini dapat digunakan untuk menentukan sumbernya (Hill dan Kelly, 1942). Granula pati terdiri atas lapisan tipis yang merupakan susunan melingkar dari molekulmolekul pati dengan bentuk kristal kecil yang disebut micella. Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa (Brautlecht, 1953). Granula pati sagu berbentuk ellips dengan ukuran 20 -60 µ. Sifat fisika kimia pati sagu sebagai berikut : Gelatinisasi Bila granula pati dimasukkan ke dalam air dingin maka akan terjadi pengembangan granula yang dapat bersifat bolak-balik (reversible). Besarnya pengembangan tergantung pada jenis pati dan perlakuan sebelumnya (Williams, 1968). Pengembangan terjadi karena sejumlah kecil air menyerap ke bagian amorf dari granula pati, yang memiliki ikatan intermolekuler kurang kuat. Bila suspensi pati dipanaskan maka air akan lebih mudah masuk ke dalam granula. Mula-mula terjadi sedikit pengembangan sampai tercapai suhu 60oC akan terjadi pengembangan granula yang sangat cepat dengan meningkatnya suhu (Radley, 1968). Pengembangan granula pati karena pemanasan ini disebut suhu gelatinisasi pati dan proses ini tidak kembali (irreversible). Suhu pada saat terjadinya pengembangan granula pati dengan membentuk gel disebut suhu gelatinisasi. Pengembangan granula pati akan menyebabkan terjadinya beberapa perubahan diantaranya hilangnya sifat birefringent granula, peningkatan viscositas dan kecerahan suspensi (Radley, 1968).
29
Menurut Brautlecht (1953), ukuran granula pati sagu berkisar antara 10-70 µm, sebagian besar terdiri dari granula berukuran besar (50-70 µm), dan hanya sedikit yang berukuran kecil (10-20 µm). Umumnya butiran pati yang berukuran kecil akan menggelatinisasi lebih lambat dan pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan butiran pati yang berukuran besar, karena setiap granula akan mengembang pada saat tercapainya suhu gelatinisasi masing-masing. Oleh karena itu, adanya variasi dari ukuran gelatinisasi dan merupakan ciri khas dari masing-masing jenis pati. Suhu gelatinisasi pati sagu berkisar pada 60oC (Jarowenko, 1976). Amilosa dan Amilopektin Amilosa adalah komponen berantai lurus dengan ikatan α-(1,4) D-glukosa. Tiap polimer pati mengandung 200-2000 unit D-glukosa. Amilosa bersifat hidrofilik, karena banyak mengandung gugus hidroksil pada molekulnya yang bersifat polar. Rantai lurus amilosa cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berkaitan melalui ikatan hidrogen. Jika hal ini terjadi maka afinitas amilosa terhadap air akan menurun karena adanya ikatan antara molekul. Kumpulan molekul amilosa akan meningkat sampai mencapai suatu titik dimana terjadi pengendapan bila konsentrasinya rendah, dan akan terbentuk gel bila konsentrasinya tinggi. Amilopektin adalah polimer berantai cabang, yang setiap cabang terdiri 1525 unit D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) glikosidik dan pada tempat sambungan percabangannya dengan ikatan α-(1,6) glikosidik. Perbandingan antara jumlah amilosa dan amilopektin dari tiap jenis pati berlainan, pada umumnya pati mengandung amilosa sekitar 22-26 % dengan amilopektin 74-78 % (Whistler, 1977). Khususnya pati sagu menurut Johnson dan Peterson (1974) perbandingan kandungannya adalah 17-27 % amilosa dan 73-83 % amilopektin. Komposisi Kimia Pati Sagu Komposisi kimia pati sagu sangat bervariasi. Variasi tersebut tidak banyak dipengaruhi oleh perbedaan spesies, umur, dan habitat di mana pohon sagu tumbuh. Faktor utama yang mempengaruhi variasi tersebut adalah faktor pengolahanannya. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 1.
30
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu dalam 100 gram bahan Komponen
Kadar
Kalori (kal)
285,0
Air (%)
27,0
Protein (%)
0,2
Karbohidrat (%)
71,0
Serat kasar (%)
0,3
Kalsium (mg)
30,0
Besi (mg)
0,7
Lemak, karoten, thiamin dan vitamin C
Sangat sedikit
Sumber: Ruddle et al. (1978). Sirup Glukosa Pati Sagu Sirup glukosa pati sagu berupa cairan jernih dan kental dengan komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati. Hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan enzim atau asam pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Berbagai metode hidrolisis pati telah banyak dikembangkan, diantaranya hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi antara asam dan enzim. Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dengan asam telah lama digunakan pada pembuatan sirup glukosa dan menghasilkan sirup glukosa dengan DE-42 yang banyak digunakan pada industri permen. Hidrolisis secara asam memiliki kekurangan dibandingkan dengan hidrolisis enzim, yaitu timbulnya warna dan flavor yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk, serta memerlukan kondisi proses yang ekstrim. Berbeda dengan hidrolisis enzimatis, selain kondisi proses yang tidak ekstrim, pemakaian enzim dapat menghasilkan rendemen dan mutu larutan glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis secara asam. Pada hidrolisis secara enzimatis ikatan pati terpotong secara teratur atau sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan hidrolisis secara asam pemotongan terjadi secara acak. Terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati pada proses hidrolisis pati sagu, yaitu tahap gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan tahapan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap
31
likuifikasi berupa proses hidrolisis pati parsial yang yang ditandai dengan menurunnya viscositas, dan tahap sakarifikasi adalah proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Chaplin dan Buckle, 1990). Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak, sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Enzim α-amilase merupakan enzim yang
menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan
memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus α-(1,4) glikosidik dan amilosa, amilopektin, dan glikogen. Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Nikolov dan Reilly, 1991). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B. licheniformis, Aspergillus oryzae, dan A. niger. Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC. Apabila suhu dinaikkan, maka pH optimum pun semakin meningkat sampai kisaran tujuh (Tjokroadikoesomo, 1986). Pada likuifikasi pati biasanya α-amilase yang digunakan memiliki aktivitas yang tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0,5-0,6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering (Chaplin dan Bucke, 1990). Enzim α-amilase komersial dibuat oleh Novo Industry AS antara lain dengan nama Termamyl yang mempunyai ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa. Dosis α-amilase yang biasa digunakan antara 0,5-0,6 kg Termamyl 120 L per ton pati kering. Satu kNU (kilo Novo α-amilase Unit) adalah jumlah enzim yang dapat menghidrolisis 5,26 pati (gram standar) per jam dengan suhu 37oC, pH 5,6 pada kondisi standar. Proses selanjutnya adalah sakarifikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan eksoenzim yang terutama memecah ikatan α-(1,4) dengan melepaskan unit-unit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan amilopektin untuk memproduksi β-D-Glukosa. Nama trivial yang sering digunakan pada enzim ini adalah amiloglukosidase (AMG), glukomilase, dan gamma-amilase (Kulp, 1975). Amiloglukosidase ditemukan pada tahun 1950-an dan digunakan secara luas pada teknologi bioproses pati dan industri makanan.
32
Kegunaan yang luas dan spesifik menyebabkan amiloglukosidase digunakan pada produksi gula cair. Amiloglukosidase diproduksi pada skala besar dari kapang dan khamir, tetapi hanya Aspergillus dan Rhizopus yang digunakan secara komersial. Suhu optimum untuk amiloglukosidase berkisar 40-60oC dengan pH optimum 3-8. amiloglukosidase yang umum digunakan pada tahap likuifikasi berasal dari Aspergillus niger. Pada kondisi yang sesuai, amiloglukosidase ditambahkan dengan dosis berkisar 1,65-0,80 liter enzim per ton pati dengan dosis sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle, 1990). Amiloglukosidase yang berasal dari Novo yaitu AMG yang tersedia dalam bentuk cairan dengan aktivitas 200, 300 atau 400 AGU g-1. satu AGU
(Amiloglukosidase Unit)
adalah jumlah enzim yang
menghidrolisis 1 µmol maltosa per menit pada suhu 25oC dan kondisi standar (Kearsley dan Dziedzic, 1995). Kultivasi Etanol Menurut Prescot dan Dunn (1959), etanol dapat diproduksi dari gula melalui kultivasi pada kondisi tertentu. Sedangkan pati dan karbohidrat lainnya dapat dihidrolisis menjadi gula kemudian dikultivasi untuk membentuk etanol. Etanol merupakan nama kimia untuk alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol adalah suatu cairan tak berwarna dengan bau yang khas. Berat jenis secara spesifikasi cairan ini pada 15oC sebesar 0,7937 dan mulai mendidih pada suhu 78,32oC (760 mm air raksa).
Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses
kultivasi
karbohidrat
gula
dari
sumber
dengan
menggunakan
bantuan
mikroorganisme. Proses produksi etanol berbahan baku karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 4. Mikroba yang digunakan dalam kultivasi etanol adalah khamir. Khamir yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides. Khamir ini sering digunakan pada kultivasi etanol karena menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu yang tinggi, tetap stabil selama kondisi kultivasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah (Rehm dan Reed, 1981).
33
Gambar 4. Diagram alir proses produksi etanol (Wyman, 2001)
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides dapat diperoleh dalam bentuk kultur murni biasanya digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembang-biakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan berupa karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi, dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula dan sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrit atau urea tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama dari pembentukan alkohol dari gula. Pada awal
proses
kultivasi, khamir memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya, sehingga kultivasi berlangsung secara aerob. Selanjutnya setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah secara anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi kultivasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi kultivasi, tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Prescot dan Dunn, 1959). Khamir tumbuh terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan dengan proses kultivasi pada kondisi anaerobik
34
karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dari pada energi yang dihasilkan pada kultivasi (Barnett et al., 2000). Apabila terdapat udara pada proses kultivasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit, karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi karbondioksida dan air. Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25-30 oC dan maksimum pada 35-47 oC. Sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasanya adalah 0,88-0,94 sedangkan untuk khamir osmofilik dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0,32-0,65. Namun banyak juga khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada aw 0,78 seperti pada larutan garam atau sirup (Frazier dan Westhoff, 1978). Menurut Casida (1968), pH pertumbuhan khamir yang baik adalah pada rentang antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping kultivasi. Nilai pH pertumbuhan
berhubungan
positif dengan
pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi, maka lag fase akan lebih singkat dan aktifitas kultivasi akan meningkat. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga tergantung pada konsentrasi gula dan etanol. Nilai pH dapat dipertahankan dalam medium konstan dengan menambahkan buffer (larutan penyangga). Paturau (1981) menyatakan bahwa kultivasi etanol memerlukan waktu 3072 jam. Prescott dan Dunn (1959) menyatakan waktu kultivasi etanol adalah 3-7 hari. Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses konversi gula menjadi etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas yang merupakan reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terforforilasi, reaksi oksidasi-reduksi
dan reaksi dekarboksilasi. Jalur Embden Meyerhoff-
Parnas dapat dilihat pada Gambar 5.
35
Keterangan
:
ATP ADP NAD NADP NADPH
= = = = =
Adenosin Trifosfat Adenin Difosfat Nikotinamida Adenin Dinukleotida Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat Nikotinamida Adenin Dinukleotida Tereduksi
Gambar 5. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Prescott dan Dunn, 1959) Enzim yang berperan dalam pembuatan etanol dari glukosa adalah heksosinase,
fosfoheksoisomerase.,
fosfofruktokinase,
aldose,
triosefosfat
isomerase, 3-fosfat gliseraldehid dehidrogenase, fosfogliserokinase, piruvat karboksilase, dan alkohol dehidrogenase. Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac sebagai berikut:
36
Berdasarkan persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa secara teoritis 51,1 % gula diubah menjadi etanol dan 48,9 % diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini tidak sepenuhnya dapat tercapai diakibatkan karena adanya hasil samping. Pada kenyataannya hanya 90-95 % dari nilai tersebut yang dapat tercapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam kultivasi tergantung pada jenis khamir yang digunakan dan kadar gula, sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula, dan keasaman (Underkofler dan Hickey,1954). Produk samping yang dihasilkan berupa asam piruvat dan asam laktat. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian diubah menjadi fruktosa 1,6-di-P menggunakan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P selanjutnya dipecah menjadi dua molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseridehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserolfosfat, kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1,3-di-fosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya, 3-P-asam gliserat membentuk 2-P-asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoetanol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang berikutnya akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol. Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya suspensi khamir yang ditambahkan dalam kultivasi besar adalah sekitar 1-3 % (Prescott dan Dunn,1959). Menurut Undekofler dan Hickey (1954) paling sedikit penambahan inokulum aktif pada pembuatan wine adalah sekitar 1 % apabila substrat yang dipergunakan bersih dan bebas dari khamir yang tidak diinginkan. Sementara itu, Rinaldy (1987) menggunakan konsentrasi inokulum sebesar 10 % (v/v). Komposisi media untuk setiap mikroba berbeda satu dengan yang lainnya. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroba adalah sumber karbon, nitrogen, mineral terutama fosfat (Casida, 1968). Pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh
37
konsentrasi komponen penyusun media pertumbuhannya. Pasokan sumber karbon merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan optimal, akan tetapi pada kenyataannya konsentrasi sumber karbon mempunyai batas maksimum. Apabila konsentrasi sumber karbon melampaui batas maka laju pertumbuhan akan terhambat (Sa’id, 1987). Sumber karbon yang digunakan pada kultivasi etanol skala industri adalah karbohidrat yang dapat diperoleh dari berbagai jenis pati seperti jagung, serelia, kentang, sagu, ubi kayu, dan lain-lain. Sumber nitrogen yang dapat dipergunakan dalam proses kultivasi diantaranya corn steep liquor, ekstrak gandum atau tauge, hidrolisat kasein, dan ekstrak khamir. Vogel (1983) membedakan sumber nitrogen menjadi sumber organik dan anorganik, yang termasuk sumber organik adalah corn steep liquor, urea, protein, ekstrak khamir dan tepung ikan, sedangkan sumber nitrogen anorganik adalah gas amonia, amonium hidroksida dan amonium sulfat. Menurut Hartoto (1992) sumber nitrogen yang biasa digunakan untuk kultivasi skala besar adalah garam amonium, urea atau amonia. Pemilihan garam ammonium sebagai sumber nitrogen disebabkan oleh faktor ekonomis yaitu harga yang relatif murah dan mudah didapat. Selain itu NPK dan ZA juga harga ekonomis dan mudah didapat. Kinetika Fermentasi Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel. Sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya (Reed dan Rehm, 1983). Kinetika kultivasi mempelajari perkembang-biakan mikroba yang dilanjutkan oleh kenaikan konsentrasi biomassaa karena konsumsi substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk baik metabolit primer maupun metabolit skunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994). Menurut Bailey dan Olis (1991) kultivasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu kultivasi sistem nir-sinambung (batch), kultivasi semi sinambung (fed-batch), dan sistem sinambung (continuous). Pada kultivasi nirsinambung, pemanenan produk dilakukan setelah kultivasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama kultivasi berlangsung (Rachman, 1989).
38
Proses kultivasi untuk pertumbuhan mikroba secara umum mengikuti pola pertumbuhannya. Fase-fase pertumbuhan mikroba secara umum yaitu fase permulaan (initial phase), fase pertumbuhan dipercepat (phase of accelerated growth), fase logaritma atau eksponensial (logaritmic phase atau exponential phase), fase pertumbuhan yang mulai terhambat (phase of neganitive accelerated growth), fase kematian yang dipercepat (phase of accelerated death), fase kematian logaritma (logaritmic death phase) (Hidayat et al., 2006). Fase eksponensial terjadi pertumbuhan secara cepat dimana jumlah sel bertambah secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Rehm dan Reed (1981) pada fase eksponensial kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi, sementara dihasilkan metabolit. Pada saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner konsentrasi biomassa mencapai maksimum. Setelah fase tersebut terjadi fase kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah individu sel yang hidup (Bailey dan Olis, 1991). Pertumbuhan mikroba pada proses kultivasi secara umum
Fase Fase adaptasi log/eksponensial
Fase pertumbuhan lambat
Ln konsentrasi biomassa
mengikuti pola seperti disajikan pada Gambar 6.
Fase stasioner
Waktu
Gambar 6. Kurva pertumbuhan mikroba. Pada keadaan lingkungan tertutup/nir-sinambung (batch) pertumbuhan mikrobial dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
39
dx xx........................................................................................... (1) dt keterangann : x
:
Konsentrasi sel
t
:
waktu kultivasi
µ
:
laju pertumbuhan spesifik
α
:
laju lisis sel yang menghambat pertumbuhan
Pada kondisi yang sesuai maka penurunan massa sel sangat kecil, sehingga α dapat diabaikan, maka persamaan 1 menjadi:
dx x .................................................................................................. (2) dt Integrasi dari persamaan 2 untuk menghasilkan nilai peningkatan massa sel pada suatu selang waktu tertentu adalah: x2
t2
dx X1dxt1dt............................................................................................ (3) akan diperoleh persamaan:
x2 ln t atau x 1
ln x ln x t....................................... (4) 2 1
Laju pertumbuhan spesifik (µ) bersifat tidak konstan tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya. Nilai laju pertumbuhan maksimum (µmaks) dicapai pada kondisi pasokan substrat dan nutrien masih berlebih serta konsentrasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan masih rendah. Menurut Wang et al. (1979), koefisien hasil sel hidup terhadap sumber karbon dinyatakan sebagai Yx/s, koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Perhitungan yang biasa dilakukan
untuk
proses
pembentukan
pertumbuhan sel adalah sebagai berikut:
produk
yang berasosiasi
dengan
40
Yx / s
X X o X X o Yx / s S o S ................................ (5) S o S S
Yp / s
P P Po P Po Y p / s S o S ................................... (6) S S o S
Yp / x
P Po P P Po Y p / x X o X .............................. (7) X X o X
Parameter-parameter di atas perlu diketahui agar pada kultivasi skala yang lebih besar dapat ditentukan jumlah substrat yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah produk dan biomassa yang tertentu. Informasi tersebut digunakan untuk meningkatkan efisiensi kultivasi. Kultur fed-batch merupakan kultur
batch dengan pemasukan secara
sinambung atau secara teratur dengan medium tanpa pengeluaran cairan kultur, sehingga volume kultur bertambah dengan bertambahnya waktu. Pembentukan biomassa pada sistem ini dapat ditulis dalam persamaan di bawah ini (Hidayat, 2006). Xt Xo Y (Sr S ) ................................................................................ (8)
Konsentrasi biomassa akhir dihasilkan pada saat S = 0 yang dapat dijelaskan sebagai Xmaks, dan X0 relatif kecil terhadap Xmaks, sehingga :
X maks Y .Sr ............................................................................................ (9) Jika pada waktu X = Xmaks mulai dimasukkan substrat baru dengan laju umpan pengenceran yang kurang/lebih kecil dari µmaks, maka semua substrat akan dikonsumsi sama cepatnya dengan kultur awal, sehingga : FSr . X / Y ......................................................................................... (10)
X = total biomassa dalam kultur, diuraikan oleh X = µV dimana V merupakan volume fermentor pada waktu t. Dari persamaan 10 dapat disimpulkan bahwa substrat yang masuk setara dengan substrat yang dikonsumsi oleh sel. Jadi dS/dt = 0. Meskipun total gula dalam kultur (X) bertambah dengan waktu, konsentrasi sel (x) sebenarnya tetap konstan, dan dx/dt = 0, oleh karena itu µ = D. Laju pengenceran akan berkurang dengan bertambahnya volume dan D (laju dilusi) akan memberikan bentuk:
41
D
F ......................................................................................................(11) (V0 Ft ) Menurut kinetika Monod, sisa substrat akan berkurang dengan semakin
rendah D dan menghasilkan peningkatan konsentrasi sel. Quasi – steady state dapat tercapai pada D < µmaks dan Ks < Sr. Penggunaan kultur fed-batch dalam industri kultivasi mampu membuat sisa konsentrasi substrat menjadi sangat rendah. Rendahnya sisa substrat memberikan keuntungan dalam: 1. Mengurangi pengaruh penekanan (represi) langsung dari sumber karbon yang digunakan dan membuat kondisi kultur dalam kapasitas aerasi fermentor. 2. Menghindari efek toksik dari komponen medium.
42
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kerangka pikir proses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada bioreaktor nirsinambung (batch) dan semi sinambung (fed-batch) disajikan pada Gambar 7 di bawah ini.
Tujuan
Luaran
Kegiatan
Mendapatkan teknologi proses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada kultivasi nir sinambung (batch) dan semi sinambung (fed-batch)
1. Karakteristik pati sagu sebagai bahan baku 2. Sirup glukosa 3. Pertumbuhan isolat 4. Konsentrasi total gula terbaik berdasarkan Xmaks dan Pmaks untuk Rekayasa Proses. 5. Waktu pengalihan aerasi terbaik pada kultivasi batch 6. Ditemukan [gula optimal] terbaik yang memberikan parameter mutu terbaik 7. Adanya teknik bioetanol dengan produktivitas efisien terbaik.
1. Persiapan bahan baku (pati sagu) 2. Pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis 3. Penyegaran isolat dan perbanyakan sel. 4. Penentuan Konsentrasi sirup glukosa 5. Variasi kondisi aerasi kultivasi pada kultivasi batch 6. Optimasi pengumpanan pada Bioreaktor fedbatch 7. Penerapan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bioetanol.
Gambar 7. Kerangka Pemikiran proses produksi bioetanol dari hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada bioreaktor nir-sinambung (batch) dan semi sinambung (fed-batch).
43
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Rekayasa Bioproses Pusat
Penelitian Sumber Daya Hayati (PPSDH, Institut Pertanian Bogor dan laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisa kadar etanol menggunakan GC (Gas Chromatography) dilakukan di Akademi Kimia Analisis, Departemen Perindustrian RI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Bogor. Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai dengan Januari 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan hidrolisat pati sagu adalah pati sagu (Metroxylon sp.) dari Seram Bagian Timur (SBT) Maluku, enzim αamilase (Termamyl) dan enzim amiloglukosidase (AMG) yang didapat dari Novo Industry. Bahan kimia CaCO3, HCl, NaOH, larutan iod, dan arang aktif. PDA (potato dextrose agar),digunakan untuk perkembangbiakan khamir. Sementara bahan-bahan yang diperlukan untuk kultivasi adalah trace element (CuSO4.6H2O, H3BO3, KI, FeCl3.6H2O, ZnSO4.7H2O, KH2PO4, K2HPO4.3H2O, MgSO4.7H2O, NaCl, dan CaCl2.2H2O), larutan standard glukosa, etanol, dan aquades. Kultur murni Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides diperoleh dari Departemen ITP, FATETA IPB, YMGP (yeast malt glukosa pepton) untuk media perkembangbiakan, (NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen dalam media kultivasi etanol. Bahan kimia untuk analisa H2SO4, fenol 5 %, alkohol 70 % dan spiritus. Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan wadah plastik, gelas, shaker, outoklaf, spektofotometer, desikator, oven, cawan perselen, cawan alumunium, kertas saring, timbangan analitik, penangas air, inkubator bergoyang, tabung reaksi, pendingin tegak, pipet eppendorf, botol sampling, aluminium foil, kapas, termometer, pH-meter, buret, pipet, pipet mikro, Soxhlet Apparatus, bioreaktor Biostat M kapasitas 2 liter (Gambar 8), gelas ukur, sentrifus dingin kecepatan tinggi, labu erlenmeyer, dan jarum Ose, GC (Gas Chomatography), dan pompa peristaltik.
44
Pengatur pH Tombol On/Off
Tampilan pH, suhu, agitasi
Pengatur suhu dan agitasi Elektroda pH Penyaring udara Selang pengambil contoh
Selang umpan
Botol asam/basa Pompa peristaltik
Botol umpan
Tangki/bejana
Pengatur aerasi Gambar 8. Bioreaktor Biostat M skala 2 L yang digunakan untuk penelitian.
45
Metode Penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahapan kegiatan dapat dilihat pada Gambar 8. Persiapan Pati Sagu Analisa Proksimat dan pati
Persiapan Substrat Hidrolisis pati sagu secara enzimatis (α-amilase dan β-glukosidase) Analisa sirup glukosa pati sagu
Persiapan Inokulum Penyegaran di agar miring dan penumbuhan pada media cair
Penentuan Konsentrasi Sirup Glukosa (konsentrasi gula 18%, 24 %, 30%, 36%) dengan inokulum Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides analisa sampel diambil selang 6 jam sekali selama 72 jam analisa berupa total gula, OD, biomassa, pH, serta kadar etanol yang dihasilkan Konsentrasi glukosa yang dipilih adalah yang menghasilkan biomassa yang paling tinggi untuk pembentukan etanol maksimum
Variasi Kondisi Aerasi Kultivasi pada Bioreaktor Nir-Sinambung (Batch) 2 liter: variasi dilakukan setelah fase stasioner/biomassa tertinggi, dan waktu pertumbuhan eksponensial (kultivasi dilakukan 72 jam, tiap 6 jam dilakukan analisa terhadap : biomassa (sel kering dan OD), kadar gula total, kadar etanol parameter : X, P, S, µ, Yx/s, Yp/s, Yp/x, (1-S/So) x 100%
Optimasi Pengumpanan pada Bioreaktor Semi Sinambung (Fed-batch) 2 liter: Waktu mulai dilakukan pengumpanan pada variasi kondisi terpilih sistem batch dan variasi konsentrasi gula umpan 20 %, 16 %, 12 %, 8 %, dan 4 % dengan konsentrasi gula awal berdasarkan hasil penelitian sebelumnya analisa: biomassa, kadar gula total, kadar etanol parameter: X, P, S, µ, Yx/s, Yp/s, Yp/x, (1-S/So) x 100%
Gambar 9. Tahapan Penelitian.
46
Penelitian Pendahuluan Persiapan Pati Sagu sebagai Bahan Baku Penyiapan Media Kultivasi Sebelum dilakukan hidrolisis pati sagu terlebih dahulu dilakukan karakterisasi pati sagu, yang meliputi analisa proksimat dan kadar pati. Prosedur karakteristik pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1. Hidrolisis pati sagu dilakukan menggunakan metode enzimatis (Atifah, 2006). Enzim yang digunakan dihitung aktivitasnya agar jumlah enzim yang digunakan sesuai dengan dosis yang diperlukan. Prosedur pengukuran aktivitas enzim dapat dilihat pada Lampiran 2. Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian diuji kadar gula total, kadar gula pereduksi, dekstrosa ekuivalen (DE), derajat polimerisasi (DP), dan pH. Diagram alir proses hidrolisis pati sagu dapat dilihat pada lampiran 3. Prosedur analisa hidroksilat pati sagu diperlihatkan pada Lampiran 4. Penyiapan Inokulum Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides Berikut ini prosedur penyiapan Inokulum Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides. Penumbuhan pada Agar Miring Media agar miring terdiri atas 10 g/l Neopepton, 40 g/l sukrosa, dan 15 g/l agar. Mula–mula aquades (sesuai yang dibutuhkan) di tempatkan pada gelas piala, ditambahkan bahan media lalu diaduk sambil dipanaskan agar larut. Medium tersebut ditempatkan dengan menggunakan pipet ke dalam tabung reaksi (tiap tabung diisi ± 4 ml), lalu ditutup dengan sumbat kapas. Sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah sterilisasi selesai, tabung yang berisi agar diletakkan pada kemiringan 30-450C (diperhatikan bahwa agar tidak mengenai sumbat kapas). Setelah agar mengeras, agar miring diinokulasi dengan beberapa loop Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides dari kultur stok yang disimpan pada suhu 40C. Agar miring yang telah diinokulasi diinkubasi pada inkubator suhu ruang (28-30oC) selama 48 jam.
47
Penumbuhan pada Media Cair Persiapan media cair YMGP dengan komposisi sebagai berikut: ekstrak khamir, ekstrak malt, pepton yang masing-masing komposisinya 1,2 gram dan glukosa 4,8 gram ditambah aquades dengan ditera hingga 240 mL, serta ditambahkan trace element 1 %, menggunakan wadah labu erlenmeyer (kapasitas labu 250 ml diisi 120 ml media cair). Pencampuran dan pengocokan dilakukan pada setiap penambahan bahan, serta pemanasan agar semua bahan larut. Nilai pH larutan diatur 4,5 dengan menambahkan larutan NaOH atau HCl. Sterilisasi labu pada suhu 1210C selama 15 menit, lalu didinginkan. Beberapa loop koloni pada agar miring diambil dan diinokulasi pada media inokulum cair, selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang dengan putaran 120 rpm selama 24 jam, pada suhu ruang (28-300C). Inokulum yang diperoleh siap digunakan untuk proses kultivasi.
(a)
(b)
Gambar 10. Media propagasi (a) Sebelum penambahan kultur; (b) setelah propagasi 24 jam. Penentuan Konsentrasi Sirup Glukosa Sebelum dilakukan penelitian utama, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi sirup glukosa terbaik. Percobaan dilakukan dengan menggunakan variasi konsentrasi gula 18 %, 24 %, 30 %, 36 %. Penelitian penentuan konsentrasi sirup glukosa langsung dilakukan pada bioreaktor 2 L dengan menggunakan inokulum Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides. Substrat kultivasi berupa hidrolisat pati sagu sebanyak 1200 ml dimasukkan ke dalam bioreaktor dengan konsentrasi gula berbeda. Nilai pH cairan substrat diatur 4,8, kemudian media disterilisasi pada suhu 121 0C selama 15 menit, setelah itu media didinginkan hingga 30 0C. Selanjutnya inokulum
48
sebanyak 10% volume substrat ditambahkan pada media. Kultivasi dilakukan dengan kecepatan agitasi 125 rpm dan laju aerasi 1 vvm serta berlangsung pada suhu kamar dengan waktu kultivasi 72 jam. Pada proses ini, dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis dengan selang waktu 6 jam sekali. Selanjutnya dilakukan analisa pada sampel yang diperoleh berupa analisa total gula, OD, biomassa, serta kadar etanol yang dihasilkan. Prosedur pengujian dan analisa dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Perlakuan yang menghasilkan biomassa yang paling tinggi (pada konsentrasi substrat optimum untuk pembentukan etanol dan untuk pembentukan sel), akan digunakan untuk penelitian utama. Penelitian Utama Variasi Kondisi Kultivasi pada Sistem Nirsinambung Sirup glukosa sebanyak 1,2 liter yang telah dibuat dengan konsentrasi terpilih dimasukkan ke dalam bioreaktor 2 liter. Selanjutnya bioreaktor disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah dingin selanjutnya ditambahkan sumber N ((NH4)2SO4) dan trace element yang disterilisasi
terpisah
lalu
dilakukan
inokulasi
dengan
hasil
propagasi
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides yang telah dibuat sebelumnya. Inokulasi dilakukan sebanyak 10 % dari volume substrat yang akan digunakan serta dalam keadaan aseptis setelah bioreaktor dingin. Variasi pengkondisian yang akan dilakukan pada sistem nir-sinambung (batch) ini meliputi: Penentuan konsentrasi gula optimum untuk pembentukan sel: 1.
Bioreaktor dari awal kultivasi dalam keadaan aerobik, yaitu diberi aerasi dan agitasi;
2.
Bioreaktor dari awal dibuat aerobik, dalam hal ini, diberi aerasi dan agitasi; setelah
mencapai
keadaan
biomassa
maksimum
dan
pertumbuhan
maksimum, kondisi kultivasi tetap aerobik hingga proses kultivasi berakhir.
49
Konsentrasi gula optimum untuk pembentukan etanol (terekayasa 1): 1.
Bioreaktor dari awal kultivasi dalam kondisi aerobik, yaitu diberi aerasi dan agitasi;
2.
Bioreaktor dari awal dibuat dalam kondisi aerobik, dalam hal ini, diberi aerasi dan agitasi; setelah mencapai keadaan eksponensial kondisi kultivasi diubah menjadi anaerobik yaitu aerasi dihentikan namun agitasi tetap dijalankan.
Konsentrasi gula optimum untuk pembentukan etanol (terekayasa 2): 1.
Bioreaktor dari awal kultivasi dalam kondisi aerobik, yaitu diberi aerasi dan agitasi;
2.
Bioreaktor dari awal dibuat dalam kondisi aerobik, dalam hal ini, diberi aerasi dan agitasi; setelah mencapai keadaan biomassa maksimum kondisi kultivasi diubah menjadi anaerobik yaitu aerasi dihentikan namun agitasi tetap dijalankan. Perlakuan diatas bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi gula dan
konsentrasi sel yang memberikan kadar etanol tertinggi pada sistem nirsinambung (batch). Pengambilan sampel dilakukan setiap 6 jam dan dilakukan pengamatan terhadap biomassa, OD, kadar gula total, dan kadar etanol yang dihasilkan. Proses kultivasi berlangsung selama 72 jam, untuk masing-masing perlakuan kondisi. Prosedur pengujian dan analisa dapat dilihat pada Lampiran 5. Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses kultivasi adalah: 1. Total biomasa atau sel khamir yang dihasilkan tiap 6 jam (X) 2. Kadar etanol yang diproduksi (P) 3. Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (S) setiap 6 jam 4. Laju pertumbuhan spesifik () 5. Efisiensi pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s) 6. Rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) 7. Efisiensi penggunaan substrat (So-S/So).
50
Optimasi Pengumpanan pada Sistem Fed -batch Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni (2008) hasil terbaik adalah stop aerasi setelah biomassa maksimum. Permasalahan yang masih ada adalah kadar gula sisa masih tinggi. Penelitian ini bertujuan meningkatkan produksi etanol dengan gula sisa yang minimal. Karena itu perlakuan yang diberikan adalah variasi laju alir umpan (F) dan variasi gula dalam umpan, dari variasi tersebut dicari yang menghasilkan etanol yang tertinggi dan gula sisa yang terendah. Sirup glukosa sebanyak 600 ml yang telah dibuat dengan konsentrasi terpilih dimasukkan ke dalam reaktor 2 liter. Selanjutnya bioreaktor disterilisasi di dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah dingin selanjutnya dilakukan inokulasi dengan media propagasi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides yang telah dibuat sebelumnya. Inokulasi dilakukan sebanyak 10 % dari volume substrat yang akan digunakan serta dalam keadaan aseptis setelah bioreaktor dingin. Pada wadah lain juga dipersiapkan substrat sirup glukosa yang telah steril sebanyak 600 ml untuk dimasukkan ke dalam reaktor dengan laju alir sesuai dengan nilai µmaks yang diperoleh, yaitu sesuai dengan F < µ = D (V + F.t). Hal ini dimaksudkan untuk melakukan kultivasi sistem fed-batch. Variasi pengkondisian yang akan dilakukan pada sistem fed-batch ini meliputi: 1.
Pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan agitasi, selanjutnya setelah mencapai keadaan biomassaa maksimum dilakukan penambahan substrat secara fed-batch dengan laju alir disesuaikan dengan laju pertumbuhan maksimum (µmaks) pada sistem batch dan kondisi aerobik tetap dilakukan dengan menggunakan aerasi dan agitasi;
2.
Pada awal kultivasi digunakan sistem batch secara aerobik dengan aerasi dan agitasi, selanjutnya setelah mencapai keadaan biomassaa maksimum dilakukan penambahan substrat secara fed-batch dengan menghentikan aerasi dan namun agitasi tetap dilakukan. Waktu mulai pengumpanan menggunakan waktu/kondisi terpilih berdasarkan kondisi terbaik pada kultivasi batch sebelumnya. Konsentrasi gula dalam umpan yang diberikan saat biomassa maksimum dengan variasi konsentrasi gula 20 %, 16 %, 12 %, 8 %, dan 4 %).
51
Pengamatan yang dilakukan pada setiap kultivasi meliputi : biomassa, OD, kadar gula total, pH dan kadar etanol yang dihasilkan. Proses kultivasi berlangsung selama 72 jam, untuk masing-masing perlakuan kondisi dan pengambilan sampel dilakukan setiap 6 jam sekali. Prosedur pengujian dan analisa dapat dilihat pada Lampiran 5. Analisis dengan kombinasi perlakuan yang menghasilkan etanol paling produktif dan penggunaan gula paling efisien. Parameter yang diukur dan dihitung sebagai indikator kinerja proses kultivasi adalah: 1. Total biomassa atau sel khamir yang dihasilkan tiap 6 jam (X) 2. Kadar etanol yang diproduksi (P) 2 titik, yaitu pada saat biomassa maksimum dan pada jam terakhir (72) 3. Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (S) setiap 6 jam 4. Laju pertumbuhan sel spesifik () 5. Efisiensi pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Yx/s dan Yp/s) 6. Rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) 7. Efisiensi penggunaan substrat (1-S/So). 8. Neraca Massa.
52
Secara umum perlakuan yang akan dilakukan pada penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Variasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama Sistem
Kondisi awal
Kondisi setelah fase Kondisi biomassa maksimum eksponensial
Batch Aerasi penuh Aerobik: (1 vvm) Aerasi Agitasi
Terekayasa I Aerobik:
Aerobik:
Aerobik:
Aerasi
Aerasi
Agitasi
Agitasi
Anaerobik:
Anaerobik:
Aerasi
Aerasi
Aerasi
Agitasi
Agitasi
Agitasi
Terekayasa II Aerobik:
Aerobik:
Anaerobik:
Aerasi
Aerasi
Aerasi
Agitasi
Agitasi
Agitasi
Aerasi penuh Aerobik: (1 vvm) Aerasi
Aerobik:
distop
distop
distop
Fed-batch
Terekayasa
Penambahan substrat, aerobik:
Aerasi
Aerasi
Agitasi
Agitasi
Agitasi
Aerobik:
Aerobik:
Aerasi
Aerasi
Agitasi
Agitasi
- Penambahan substrat, anaerobik:
Aerasi distop
Agitasi - Variasi [total gula] umpan (4, 8, 12, 16 dan 20 %)
53
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pati Sagu Pati
sagu
yang
digunakan
adalah
pati
sagu
golongan
yang
berbunga/berbuah satu kali. Analisa poksimat yang dilakukan pada pati sagu antara lain kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, karbohidrat dan kadar pati. Hasil analisa proksimat pati sagu (Metroxylon sp.) disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Hasil analisa proksimat pati sagu (Metroxylon sp.) Komposisi (%) Komponen Penelitianb Literatur SNI Literatura 13,10 13,00 16,07 ± 0,27 Air (% bb) 0,40 0,5 0,28 ± 0,02 Abu (% bk) 0,20 0,20 ± 0,00 Lemak (% bk) 1,40 0,3 0,35 ± 0,01 Protein (% bk) 0,20 0,1 0,25 ± 0,03 Serat Kasar (% bk) 85,90 98,92 ± 0,04 Karbohidrat (% bk) 81 80,11 ± 0,00 Pati (% bb) Data : rerata ± standar deviasi (n = 2) a Pangloli (1982), b Analisa proksimat (2010). Kadar air dalam suatu bahan dapat mempengaruhi daya simpan bahan tersebut, karena kadar air yang tinggi memudahkan mikroorganisme untuk berkembangbiak sehingga bahan akan rusak. Kandungan air ini dipengaruhi oleh varietas, umur tanam, unsur hara tanah dan iklim. Kadar air dari pati sagu yang diperoleh dari Seram Bagian Timur yang skala pengolahan ekstraksi secara tradisional atau hanya mengandalkan pengeringan dengan sinar matahari sehingga kadar air yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan literatur yang ada yaitu untuk kadar air sebagai bahan penelitian 16,07 ± 0,27 % (bb) dan literatur 13,1 % (bb). Sehingga dibutuhkan kadar air yang lebih rendah untuk penyimpanan. Kadar air pati sagu sebagai penentu jumlah air yang akan ditambahkan pada saat proses selanjutnya yaitu hidrolisis pati sagu. Kadar abu dalam bahan berkaitan dengan kandungan mineral-mineral anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 oC. Berdasarkan
54
hasil pengamatan, kadar abu pada bahan adalah 0,28 ± 0,02 % (bk) sedangkan menurut Pangoli dan SNI kadar abu untuk pati sagu adalah 0,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa zat anorganik pada pati sagu yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah atau kecil dibandingkan dengan kadar abu pada literatur. Kadar lemak pati sagu pada bahan adalah 0,20 ± 0,00 %. yaitu Kadar lemak pada bahan yang dipergunakan konsentrasinya sama dibandingkan dengan kadar lemak yang dilaporkan oleh Pangloli (1982) 0,2 % dan lebih rendah dibandingkan Hartoto et al. (2005) 0,36 %. Kadar protein pada bahan 0,35 ± 0,01 % (bk) lebih rendah dari kadar protein yang dilaporkan Pangloli (1982) yaitu 1,4 % (bk), sedangkan menurut Hartoto et al. (2005), kadar protein pati sagu 0,38 % (bk). Kandungan lemak dan protein dalam bahan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi dan kekentalan bahan pada saat diolah. Lemak pada bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena dapat membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati, sedangkan protein dapat menyebabkan kekentalan pati menurun (Mohamed, 2003) dan berpengaruh pada warna sirup glukosa selain kandungan gula pada pati sagu, hal ini terjadi pada saat proses hidrolisat pati akan terjadi reaksi browning (pencoklatan). Karbohidrat terdiri atas fraksi pati dan serat kasar, kedua fraksi ini merupakan bagian penting yang akan dipergunakan sebagai substrat kultivasi. Fraksi kasar terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pati dan selulosa
merupakan
homopolimer
glukosa
yang jika
dihidrolisis
akan
menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa, galaktosa, arabinopiranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan galaktosa merupaka gula dari golongan pentosa (Demirbas 2005; Irawadi 1990). Dari analisis komposisi kimia menunjukkan bahwa pati sagu yang dipergunakan sebagai bahan dalam penelitian ini mengandung karbohidrat 83,03 ± 0,23 % (bb) dan 98,92 ± 0,04 % (bk) dengan kandungan pati 80,112 % dan serat kasar 0,25 ± 0,03 % (bk). Menurut Pangloli (1982), kadar karbohidrat dalam pati sagu adalah 85,9 % (bb). Perbedaan dalam komposisi karbohidrat pati sagu dapat disebabkan oleh adanya perbedaan varietas, umur panen dan musim panen. Produksi pada kondisi liar dengan produksi 40 – 60 batang/ha/tahun,
55
jumlah empulur 1 ton/batang, kandungan pati sagu 18,5 %, dapat diperkirakan hasil per hektar per tahun adalah 7 – 11 ton pati sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat dihasilkan 100 - 600 kg pati sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan yang ideal adalah 15 % (Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007). Kandungan karbohidrat yang tinggi menunjukkan pati sagu berpotensi sebagai sumber karbon (glukosa) dalam substrat kultivasi. Kandungan serat kasar dapat menurunkan efisiensi hidrolisis sehingga meningkatkan dosis enzim yang digunakan. Pembuatan dan Karakteristik Hidrolisat Pati Sagu Proses pembuatan hidrolisat dilakukan dengan menghidrolisis fraksi pati pada bahan. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai sumber substrat S. cerevisae var. ellipsoides dalam proses kultivasi. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis
secara enzimatis
memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer bahan. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Pada penelitian ini, proses pembuatan hidrolisat pati dilakukan secara enzimatis. Hidrolisis enzimatis mempunyai
beberapa keuntungan, yaitu
menghasilkan produk yang spesifik sesuai dengan yang diinginkan, kondisi proses dapat dikontrol dan lebih sedikit menghasilkan produk samping. Enzim yang dipergunakan meliputi α-amilase dan amiloglukosidase (AMG). Penggunaan kedua enzim ini dimaksudkan untuk merubah komponen pati dari polisakarida menjadi
glukosa
serta
gula-gula
sederhana
lainnya
yang
merupakan
monosakarida. Proses hidrolisis meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap pertama yang berlangsung adalah tahap likuifikasi yang terjadi pada suhu 90 OC selama 1 jam dengan pH 6,2. Pada tahap ini digunakan enzim α-amilase untuk
56
memutus ikatan α – 1,4 glikosida pati menjadi dekstrin. Dosis enzim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1 ml/kg pati (Akyuni, 2004; Budiyanto et al., 2006; Nur Atifah, 2006; dan Wahyuni, 2008). Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat dilakukan dengan melakukan pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai mengembang yang mengakibatkan kekentalannya meningkat (Thomas dan Atwell 1997). Adanya proses gelatinisasi mengakibatkan ikatan-ikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim akan lebih mudah. Cara kerja enzim α - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltrotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α amilase pada molekul amilosa (Winarno, 1983). Tahap kedua adalah sakarifikasi yang terjadi pada suhu 60 0C dengan pH 4,5 selama 60 jam. Enzim yang dipergunakan pada tahap ini adalah AMG yang berfungsi untuk memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi, baik pada ikatan α-1,4 maupun α-1,6 glikosida dan menghasilkan unit-unit glukosa. Dosis yang dipergunakan sebesar 1,2 ml/kg pati (Akyuni, 2004; Budiyanto et al, 2006; Nur Atifah, 2006; dan Wahyuni, 2008). Total gula yang diperoleh dari hidrolisis enzimatis yang dilakukan adalah sebesar 426,10 ± 0,27 g/L dengan gula pereduksi sebesar 390,80 ± 0,23 g/L, sehingga diperoleh Dextrose Equivalent sebesar 91,75 ± 0,44 %. Efisiensi yang diperoleh pada konversi pati menjadi sirup glukosa sebesar 97,99 ± 0,36 %. Nilai efisiensi yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Ahnur (2008) yaitu proses sakarifikasi pati ubi jalar yang dilakukan memiliki nilai efisiensi 97,47 ± 1,27 %. Penentuan Konsentrasi Sirup Glukosa Percobaan dilakukan dengan menggunakan konsentrasi sirup glukosa sebesar 18%, 24%, 30% dan 36%. Atau dengan kata lain sistem kultivasi dilakukan secara batch aerasi penuh (1 vvm)/tanpa perlakuan. Perlakuan dilakukan pada bioreaktor 2 liter dengan volume substrat 1,2 liter. Proses kultivasi
57
dilakukan selama 72 jam dan pengambilan sampel setiap 6 jam. Hasil analisa dari kultivasi aerasi penuh (1 vvm) pada berbagai konsentrasi adalah sebagai berikut : Biomassa Gambar 11 menunjukkan perbandingan pada berbagai konsentrasi biomassa yang terdapat pada cairan kultivasi yang dilakukan pada berbagai konsentrasi. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa selama kultivasi berlangsung khamir mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah biomassa dari waktu ke waktu. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan atau konsentrasi yang diujikan menunjukkan kurva yang menyerupai kurva pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya (Gambar 6). Pada awal kultivasi, untuk semua konsentrasi 18%, 24%, 30% serta 36 % semua tidak menunjukkan adanya fase adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut kultur
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides yang
digunakan dapat langsung dimanfaatkan oleh substrat berupa sirup glukosa. Menurut Hidayat dkk (2006), setelah inokulasi kultur ke media, dimana terjadi suatu fase kultur yang dimasukkan ke media mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru, fase ini disebut fase adaptasi. Setelah fase adaptasi fase pertumbuhan dipercepat, fase logaritma atau fase eksponensial, fase pertumbuhan yang mulai terhambat, fase kematian dipercepat, dan yang terakhir fase kematian dipercepat. Secara garis besar terbagi atas empat yaitu, fase lag, fase eksponensial, stasioner, dan kematian. Pada penelitian yang dilakukan untuk semua konsentasi yang ada diketahui bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum terjadi pada jam ke 6 yaitu berturut-turut (0,34; 0,33; 0,35; 0,36) 1/jam. Biomassa maksimum terjadi pada jam ke 30 untuk konsentrasi total gula 24 % yaitu sebesar 35,54 ± 1,53 g/L;
58
6 5 4 18%
ln X
3
24%
2
30%
1
36%
0 -1 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 waktu (jam)
Keterangan: X : Konsentrasi biomassa (g/L) Gambar 11.
Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada konsentasi sirup glukosa 18 %, 24 %, 30 % dan 36 %.
Total Gula Pada Gambar 12 untuk semua konsentrasi yang diujikan terlihat terjadi penurunan nilai total gula. Kejadian ini menunjukkan bahwa substrat yang diberikan berupa sirup glukosa pati sagu dapat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides untuk melakukan pertumbuhan dan pembentukan etanol. Terlihat bahwa pada semua konsentrasi terjadi penurunan konsentrasi total gula yaitu pada konsentrasi 18 % di jam ke - 0 kultivasi konsentrasi total gula sebesar (151,56 ± 2,21) g/L pada jam ke – 72 menjadi (3,38 ± 0,17) g/L, untuk konsentrasi total gula 24 % dari (210,09 ± 2,78) g/L menjadi (13,48 ± 3,74) g/L, pada konsentrasi total gula 30 % dari (267,00 ± 0,53) g/L menjadi (14,46 ± 0,19) g/L dan pada Pada konsentrasi 36 % dari (323,44 ± 0,80) g/L menjadi (19,47 ± 0,75) g/L. Pada konsentrasi total gula 18 % penurunan total gula terjadi sangat lambat yaitu pada jam ke- 18 yaitu sebesar (118,13 ± 6,19) g/L. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang tinggi bagi Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides untuk kelangsungan hidupnya. Apabila konsentrasi gula terlalu tinggi, maka akan berdampak buruk bagi pertumbuhan khamir yang digunakan, sehingga waktu kultivasi yang digunakan akan lebih lama dan sebagian gula tidak terkonversi sempurna. Semakin rendah konsentrasi total gula maka kemampuan Saccharomyces cerevisiae var.
59
ellipsoides mengkonsumsi substrat juga rendah. Moat (1979) menyatakan bahwa pada konsentrasi substrat yang tinggi sel khamir akan mengalami plasmolisis, dengan terjadinya plasmolisis maka aktivitas kultivasi akan terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian pada sel khamir.
400 350 Gula Sisa (g/L)
300 250 200 150 100 50 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
waktu (jam) 18%
24%
30%
36
Gambar 12. Grafik perbandingan total gula hasil kultivasi pada berbagai konsentrasi Kadar Etanol Kultivasi etanol merupakan sebuah proses biologis dimana gula seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi energi seluler serta produk sisa metabolisme berupa etanol dan karbon dioksida. Hasil pengukuran kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian pertama ditampilkan pada Gambar 13. Kadar etanol yang diperoleh pada setiap konsentrasi berbeda-beda yaitu berkisar antara 2,2 – 10,2 % (b/v). Kadar etanol tertinggi yaitu 10,2 % terukur pada konsentrasi gula total 24 %, dengan demikian penelitian selanjutnya yaitu rekayasa pada kultivasi batch akan dilakukan dengan konsentrasi substrat 24 % dan pada fedbatch sebagai konsentrasi awal digunakan konsentrasi substrat 24 %.
EtOH (% b/v)
60
12 10 8 6 4 2 0
Kadar etanol (%)
10,2 5,2
6,8
2,2 TG 18 %
TG 24 %
TG 30 %
TG 36 %
Konsentrasi Total Gula (% g/L)
Gambar 13. Histogram perbandingan kadar etanol PENELITIAN UTAMA Etanol merupakan produk kultivasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat. Untuk mendapatkan lingkungan atau kondisi kultivasi dilakukan pengontrolan atau pengaturan pH yaitu 4,8; suhu yang digunakan dalah suhu ruang (± 28 oC), laju aerasi 1 vvm dan kecepatan agitasi 125 rpm. Penelitian utama ini, dilakukan dengan sistem batch (nir-sinambung) dan fed-batch (semi sinambung). Pada kedua kultivasi dilakukan rekayasa bioproses pada aerasi bioreaktor dan untuk fed-batch dilakukan penambahan umpan dengan variasi 20%, 16%, 12 %, 8% dan 4 %. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi aerobik dan anaerobik serta konsentrasi gula sisa yang rendah. Kultivasi Batch Aerasi penuh (1 vvm) dan Terekayasa Kultivasi dengan menggunakan sistem batch ini, dilakukan dengan menggunakan 3 perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama dilakukan dengan keadaan/kondisi aerasi penuh (1 vvm), yaitu proses kultivasi dijalankan tidak dengan rekayasa bioproses. Kondisi kultivasi dibuat sama dari awal sampai akhir kultivasi dengan melakukan agitasi dan aerasi. Hal ini dilakukan sebagai pembanding perlakuan dengan rekayasa bioproses. Perlakuan kedua yang dilakukan yaitu, penghentian aerasi, namun tetap melakukan agitasi pada saat kondisi pertumbuhan eksponensial. Perlakuan ketiga yang dilakukan, penghentian aerasi namun tetap melakukan agitasi pada saat kondisi biomassa telah mencapai keadaan maksimum. Hasil dari proses kultivasi pada sistem batch ini dapat dilihat pada Gambar 14. Data dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9.
61
A. Kultivasi batch aerasi penuh (1 vvm) 300
35
250
30 200
25 20
150
15
100
10 50
5 0
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH (% b/v)
40
0 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 waktu (jam) X (g/L) EtOH (% b/v) S (g/L)
B. Kultivasi batch terekayasa I
40 35 30 25 20 15 10 5 0
300 250
30 200
25 20
150
15
100
10 50
5 0
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa kering (g/L); EtOH % ( b/v)
35
Biomassa (g/L); EtOH (% b/v)
40
0 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 waktu (jam) X (g/L)
EtOH (% b/v)
S (g/L)
300 250 200 150 100 50 0 0
6
Konsentrasi gula sisa (g/L)
C. Kultivasi batch terekayasa II
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
waktu (jam) X (g/L)
Gambar 14.
EtOH (%)
S (g/L)
Perbandingan biomassa (X), Konsentrasi gula sisa (S) dan kadar etanol hasil kultivasi pada ketiga perlakuan dengan menggunakan sistem batch.
62
Pada Gambar 14 terlihat bahwa pola pertumbuhan dari Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides yang digunakan cenderung tidak sama pada perlakuan aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa. Pada perlakuan aerasi penuh (1 vvm) konsentrasi sel akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu kultivasi. Sedangkan pada perlakuan terkayasa I mengalami fase stasioner mulai jam ke-18. Pada saat memasuki fase stasioner ini, nilai dari biomassa mengalami kondisi yang maksimal yaitu (35,33 ± 0,49) g/L. Fase eksponensial terjadi pada jam ke-18 pada batch aerasi penuh (1 vvm). Oleh karena itu, untuk perlakuan kedua dan ketiga, rekayasa bioproses dilakukan pada jam ke – 18 untuk perlakuan stop aerasi pada kondisi eksponensial dan perlakuan ke tiga dilakukan stop aerasi pada jam ke-30 pada kondisi stasioner. Pada perlakuan kedua dan ketiga, setelah dilakukan penghentian aerasi terlihat bahwa grafik pertumbuhan biomassa relatif konstan. Nilai biomassa yang konstan menunjukkan bahwa sel yang ada dalam media sudah tidak bertambah. Sesuai dengan daur hidup Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides itu sendiri yaitu khamir tersebut akan tumbuh baik/membentuk sel pada kondisi aerobik (proses respirasi). Sedangkan pada saat kondisi dirubah menjadi anaerobik maka khamir akan membentuk etanol hal ini dikarenakan tidak tersedianya oksigen. Namun substrat yang digunakan semakin menurun diikuti dengan nilai laju pertumbuhan spesifik yang mula-mula naik dan akhirnya menurun. Nilai laju pertumbuhan spesifik maksimal untuk batch aerasi penuh (1 vvm) dan kedua perlakuan lainnya sama yaitu terjadi pada jam ke-6 yang masing-masing nilainya secara berturut-turut 0,31/jam; 0,32/jam dan 0,29/jam. Hal ini dimungkinkan sel memanfaatkan substrat untuk proses pertumbuhan serta peningkatan jumlah sel. Penurunan jumlah substrat yang digunakan pada media menunjukkan bahwa pada kondisi yang tidak terdapat suplai oksigen, khamir akan melakukan proses kultivasi yang akan mengubah gula menjadi alkohol dan CO2. Sedangkan pada kondisi yang terdapat oksigen, khamir akan melakukan proses respirasi membentuk karbondioksida dan air. Perbandingan kondisi akhir kultivasi batch, perlakuan kedua dan ketiga diperlihatkan kondisi pada saat terjadinya stop aerasi. Pada ketiga perlakuan tersebut untuk pertumbuhan biomassa akhir menunjukan bahwa nilainya tidak
63
terlalu berbeda (3,62±0,01; 3,31±0,02; dan 3,26±0,00). Hal ini menunjukkan bahwa pada kultivasi batch substrat yang digunakan selain untuk membentuk produk juga untuk pembentukan serta penambahan jumlah sel. Dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan, maka perlakuan ketiga menghasilkan etanol yang paling tinggi yaitu 10,77 ± 1,60 % b/v dibandingkan dengan perlakuan yang lain (10,12 ± 0,11 dan 10,69 ± 0,00 % b/v) dengan rendemen masing-masing perlakuan berturut-turut 68,15 % (v/b), 71,15 % (v/b) dan 71,49 % (v/b). sedangkan efisiensi kultivasi masing-masing perlakuan berturut-turut 87,68 %, 91,55 % dan 91,99 %, serta pemanfaatan substrat untuk masing-masing perlakuan 94,37 %, 95,46 % dan 95,72 %. Sedangkan substrat yang terkonsumsi untuk masing-masing perlakuan 225,86 g/L, 228,50 g/L dan 229,13 g/L. Hal ini disebabkan karena pada saat penghentian aerasi pemanfaatan substrat yang tersisa semuanya tidak untuk pembentukan etanol melainkan pembentukan sel. Namun dari Gambar 14 pada perlakuan pertama dan kedua juga mengalami peningkatan produksi etanol. Kultivasi Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm) dan Terekayasa Berbagai
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
A. Fed-batch aerasi penuh (1 vvm) umpan TG 300 16% 200
Umpan 100 0 0
6
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
Konsentrasi
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) X (g/L) EtOH % (b/v) S (g/L)
250
40
200
30
150
Umpan
20
100
10
50
0
0 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) X (g/L)
EtOH % (b/v)
S (g/L)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH %(b/v)
B. Fed-batch umpan TG 20% 50
250 200 150
Umpan
50 0
0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) EtOH % (b/v)
X (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH %(b/v)
100
Konsentrasi gula sisa (g/L)
C. Fed-batch umpan TG 16% 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
S (g/L)
D. Fed-batch umpan TG 12% 250
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
200 150
Umpan
100 50 0
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
64
72
Waktu (jam) X (g/L)
EtoH % (b/v)
S (g/L)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
250 200 150
Umpan
100 50 0 0
6
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) X (g/L)
EtOH % (b/v)
S (g/L)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH %(b/v)
E. Fed-batch umpan TG 8%
65
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
250 200 150
Umpan
100 50
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH %(b/v)
F. Fed-batch umpan TG 4%
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Waktu (jam) X (g/L)
EtOH % (b/v)
S (g/L)
Gambar 15. Perbandingan biomassa (X), konsentrasi gula sisa (S) dan etanol (EtOH) hasil kultivasi fed-batch Aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa berbagai konsentrasi. Sistem fed-batch dilakukan dengan penambahan substrat baru ke dalam media kultivasi pada saat biomassa telah mencapai kondisi maksimum. Fed-batch merupakan ilustrasi dari kultur curah atau batch dengan penambahan substrat secara kontinyu atau bertahap pada media tanpa pemindahan dari cairan kultur. Sehingga volume kultur bertambah seiring waktu, istilah ini diperkenalkan oleh Yoshida et al. (1973). Pada sistem fed-batch ini dilakukan dengan dua perlakuan yaitu setelah biomassa maksimum (jam ke-30) dilakukan penambahan substrat. Pada perlakuan pertama penambahan disebut fed-batch aerasi penuh (1 vvm) dengan dilakukan penambahan substat 16 % dan tanpa melakukan penghentian aerasi. Pada perlakuan kedua dilakukan stop aerasi dengan variasi umpan 20 %, 16 %, 12 %, 8 % dan 4 %. Penambahan substrat dilakukan menggunakan pompa peristaltik dengan kecepatan laju alir mengacu pada penelitian Wahyuni (2008), laju alir digunakan (0,01 ml/menit). Hasil kultivasi yang dilakukan pada sistem fed-batch ditunjukkan pada Gambar 15. Dari keenam perlakuan tersebut terlihat bahwa pada awal kultivasi terjadi penurunan konsentrasi total gula dari substrat yang ada. Peristiw ini seiring dengan terjadinya fase eksponensial dari kultur Saccharomyces cerevisiae var.
66
ellipsoides. Penurunan konsentrasi total gula ini disebabkan pada fase tersebut, semua sel memiliki kemampuan untuk berkembang biak, sehingga nutrien yang ada banyak dimanfaatkan untuk pertumbuhan serta pembentukan sel baru. Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial, yaitu laju pertumbuhan spesifik akan menurun akibat persediaan substrat menurun. Untuk menghindari hal tersebut, maka dilakukan penambahan substrat baru sebagai umpan pada bioreaktor dilakukan pada jam ke-30. Perlakuan ini dilakukan dengan tujuan nutrient yang diumpankan tersebut dapat dipergunakan sebagai sumber makanan Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides untuk membentuk sel serta produksi etanol yang lebih banyak. Terjadinya perbandingan terbalik antara konsentrasi gula sisa dengan kadar etanol dan pertumbuhan sel kering (biomassa). Terlihat bahwa dari semua perlakuan menunjukkan penurunan konsentrasi total gula sisa dan keadaannya sampai konstan, sedangkan untuk pertumbuhan sel meningkat serta seiringnya waktu kondisinya konstan namun untuk kadar etanol meningkat. Penurunan total gula selama proses kultivasi A terjadi dari konsentrasi 239,69 ± 2,21 g/L menjadi 6,85 ± 0,53 g/L dan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) dari 3,88 ± 0,14 g/L menjadi 45,68 ± 0,59 g/L. Konsentrasi etanol yang dihasilkan 10,49 ± 0,13 % (b/v) dengan rendemen 58,63 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan pemanfaatan substrat masing-masing 88,12 % dan 97,14 %. Pada perlakuan B, proses kultivasi dilakukan dengan memberikan aerasi sampai jam ke – 30 dan selanjutnya aerasi distop serta pada saat tersebut diberikan umpan substrat dengan konsentrasi togal gula umpan 20 %. Selama proses kultivasi pada perlakuan ini terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 239,06 ± 1,33 g/L menjadi 7,54 ± 0,18 g/L, sedangkan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) terjadi mulai 3,57 ± 0,08 g/L menjadi 34,45 ± 0,95 g/L. Penurunan total gula secara cepat mulai jam ke- 0 sampai jam ke- 18. Sedangkan peningkatan biomassa secara cepat mulai jam ke-0 sampai ke- 6. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 11,69 ± 0,00 % (b/v) dengan rendemen 63,50 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan penggunaan substrat masingmasing 98,81 % dan 97 %.
67
Pada perlakuan C, proses kultivasi dilakukan sama halnya dengan perlakuan B, hanya saja konsentrasi total gula umpan sebesar 16 %. Selama proses kultivasi ini terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 240,94 ± 0,44 g/L menjadi 4,53 ± 0,07 g/L. Sedangkan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) dari 3,87 ± 0,15 g/L menjadi 27,71 ± 0,55 g/L. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 12,05 ± 0,13 % (b/v) dan rendemen 67,38 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan penggunaan substrat masing-masing 99,75 % dan 98 %. Pada perlakuan D, proses kultivasi dilakukan sama halnya dengan perlakuan B dan C, hanya saja konsentrasi total gula umpan sebesar 12 %. Selama proses kultivasi ini terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 239,69 ± 1,33 g/L menjadi 5,40 ± 0,05 g/L. Sedangkan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) dari 3,54 ± 0,35 g/L menjadi 32,92 ± 0,21 g/L. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 11,81 ± 0,00 % (b/v) dan rendemen 68,04 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan penggunaan substrat masing-masing 98,65 % dan 98 %. Pada perlakuan E, proses kultivasi dilakukan sama halnya dengan perlakuan B, C dan D. Hanya saja konsentrasi total gula umpan sebesar 8 %. Selama proses kultivasi ini terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 240,00 ± 0,88 g/L menjadi 5,58 ± 0,41 g/L. Sedangkan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) dari 3,68 ± 0,21 g/L menjadi 38,98 ± 0,38 g/L. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 11,74 ± 0,00 % (b/v) dan rendemen 69,72 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan penggunaan substrat masing-masing 97,96 % dan 98 %. Pada perlakuan F, proses kultivasi dilakukan sama halnya dengan perlakuan B, C, D dan E. Hanya saja konsentrasi total gula umpan sebesar 4 %. Selama proses kultivasi ini terjadi penurunan konsentrasi total gula dari 240,31 ± 0,44 g/L menjadi 5,60 ± 0,18 g/L. Sedangkan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) dari 3,84 ± 0,11 g/L menjadi 33,92 ± 1,62 g/L. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 11,62 ± 0,00 % (b/v) dan rendemen 71,26 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan penggunaan substrat masing-masing 98,88 % dan 98 %.
68
200 150 100 50 0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 waktu (jam) X (g/L)
EtOH (% b/v)
S (g/L)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
250 200 150
Umpan
100 50
Konsentrasi gula sisa (g/L)
250
Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B. Fed-batch aerasi penuh (1 vvm) umpan TG 16%
A. Kultivasi batch aerasi penuh (1 vvm) 300 Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH (% b/v)
Kultivasi Batch dan Fed-batch Aerasi Penuh (1 vvm)
0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) X (g/L)
EtOH % (b/v)
S (g/L)
Gambar 16. Perbandingan biomassa (X), Konsentrasi gula sisa (S) dan etanol (EtOH) hasil kultivasi pada kedua perlakuan dengan menggunakan sistem batch dan fed-batch. Pada Gambar 16 terlihat bahwa pola pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides pada perlakuan aerasi penuh (1 vvm) batch dan fedbatch cenderung sama. Pada kedua perlakuan konsentrasi sel dengan bertambahnya waktu kultivasi semakin meningkat. Namun pada kultivasi fedbatch aerasi penuh (1 vvm) dengan pengumpanan konsentrasi total gula sebesar 16 % setelah jam ke- 30 peningkatan jumlah sel semakin besar, seiring dengan penurunan substrat yang ditandai dengan jumlah konsentrasi gula sisa. Pada kultivasi batch, konsentrasi gula tidak mengalami peningkatan dan bahkan cenderung menurun akibat digunakan oleh khamir untuk berkembang biak dan pembentukan etanol. Pada kultivasi fed-batch pada saat pemberian umpan pada jam ke – 30 jumlah konsentrasi total gula meningkat pada jam ke – 36 namun fenomena ini tidak berlangsung lama. Hal ini seiring dengan meningkatnya jumlah sel dan etanol yang dihasilkan, sedangkan untuk laju pertumbuhan spesifik yaitu pada jam ke 6 mengalami titik maksimum dan selanjutnya menurun atau stabil. Kedua kondisi kultivasi diatas menunjukan bahwa dengan kondisi aerobik khamir Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoids dapat tumbuh dengan baik atau dengan kata lain terjadinya proses respirasi. Sedangkan pada kultivasi fed-batch
69
yang ditandai dengan penambahan umpan pada kultivasi fed-batch berpengaruh terhadap pembentukan etanol dan peningkatan sel atau biomassa. Penurunan konsentrasi total gula selama proses kultivasi batch aerasi penuh (1 vvm) terjadi dari konsentrasi 239,34 ± 1,19 g/L menjadi 13,48 ± 3,74 g/L dan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) terjadi dari 3,71 ± 0,12 g/L menjadi 37,34 ± 0,23 g/L. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses kultivasi ini 10,12 ± 0,11 % (b/v) dengan rendemen 53,44 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan pemanfaatan substrat masing-masing 87,68 % dan 94,37 %. Sedangkan pada kultivasi fed-batch aerasi penuh (1 vvm), penurunan konsentrasi total gula terjadi secara cepat mulai jam ke-0 sampai jam ke-6 dan jam ke-12 sampai jam ke 18. Sedangkan pada jam ke-6 sampai jam ke 12 dan jam ke 24 sampai jam ke-72 mengalami peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi penurunan konsentrasi total gula 239,69,88 ± 2,27 g/L menjadi 6,85 ± 0,53 g/L dan peningkatan jumlah sel kering (biomassa) terjadi dari 3,88 ± 0,14 g/L menjadi 45,68 ± 0,59 g/L. Konsentrasi etanol yang dihasilkan 10,49 ± 0,13 % (b/v) dan rendemen 58,63 % (v/b). Efisiensi kultivasi dan pemanfaatan substrat 88,12 % dan 97,14 %. Kultivasi Fed-batch Aerasi penuh (1 vvm) dan Terekayasa Terpilih
200 150
Um pan
100 50 0
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) X (g/L)
EtOH % (b/v)
S (g/L)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
250 200 150
Umpan
100 50 0
Konsentrasi gula sisa (g/L)
250
Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B. Fed-batch umpan TG 16% Konsentrasi gula sisa (g/L)
Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
A. Fed-batch aerasi penuh (1 vvm) umpan TG 16%
0 6 1218243036424854606672 X (g/L)
Waktu (jam) EtOH % (b/v)
S (g/L)
Gambar 17. Perbandingan biomassa (X), Konsentrasi gula sisa (S) dan kadar etanol) EtOH hasil kultivasi fed-batch Aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa terpilih.
70
Pada Gambar 17 menunjukkan selama proses kultivasi pada kedua perlakuan terjadi penurunan konsentrasi total gula walaupun setelah jam ke – 30 diberi umpan konsentrasi yang tadinya menurun meningkat namun dengan bertambahnya waktu kultivasi konsentrasi total gula menurun dan terjadinya peningkatan jumlah sel untuk perlakuan I (fed-batch) aerasi penuh (1 vvm), sedangkan pada terekayasa terpilih mengalami penurunan. Kadar etanol yang dihasilkan menunjukkan peningkatan selama kultivasi. Penurunan konsentrasi total gula terjadi secara cepat pada kultivasi fedbatch aerasi penuh (1 vvm) mulai jam ke-0 sampai jam ke-6 dan jam ke-12 sampai jam ke 18. Sedangkan pada jam ke-6 sampai jam ke 12 dan jam ke 24 sampai jam ke-72 mengalami peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 10,49 ± 0,13 % (b/v) dan rendemen 58,63 % (v/b). Kultivasi fed-batch terekayasa terpilih konsentrasi total gula mengalami penurunan secara cepat mulai jam ke-0 sampai jam ke-24. Selanjutnya pada jam ke-24 sampai akhir kultivasi peningkatan dan penurunan yang lambat. Selama proses kultivasi diperoleh etanol dengan konsentrasi 12,05 ± 0,00 % (b/v) dan rendemen 67,38 % (v/b). Kultivasi Batch dan Fed-batch Terekayasa Terpilih
B. Fed-batch umpan TG 16%
300 250 200 150 100 50 0 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
waktu (jam) X (g/L)
EtOH (%)
S (g/L)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
250 200 150
Umpan 100 50 0
Konsentrasi gula sisa (g/L)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Konsentrasi gula sisa (g/L) Biomassa (g/L); EtOH%(b/v)
Biomassa (g/L); EtOH (% b/v)
A Kultivasi batch terekayasa II
0 6 1218243036424854606672 Waktu (jam) X (g/L) EtOH % (b/v) S (g/L)
Gambar 18. Perbandingan biomassa (X), konsentrasi gula sisa (S) dan kadar etanol (EtOH) hasil kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih.
71
Pada kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih terlihat bahwa pada kultivasi batch terekayasa II penurunan konsentrasi total gula menurun secara drastis/cepat diawali jam ke-0 sampai jam ke-30 dan selanjutnya mengalami penurunan yang lambat/stasioner sampai proses kultivasi berakhir. Sedangkan pada kultivasi fed-batch terekayasa dengan umpan TG 16% penurunan total gula terjadi secara cepat dari jam ke-0 sampai jam ke-24 dan selanjutnya mengalami perubahan naik turun yang tidak terlalu jauh dengan ditandai pemberian umpan pada jam ke-30. Perbedaan
untuk
sel/biomassa
pada
kultivasi
batch
mengalami
peningkatan yang drastis pada jam ke-0 sampai jam ke-18, selanjutnya mengalami peningkatan yang tidak terlalu hingga biomassa maksimum pada jam ke-30 dan mengalami penurunan sampai proses kultivasi berakhir. Sedangkan pada kultivasi fed-batch terjadinya peningkatan jumlah sel/biomassa secara cepat dari jam ke-0 sampai ke-30 dan mengalami penurunan sampai akhir kultivasi. Selama proses kultivasi batch terpilih diperoleh etanol 10,77 ± 0,00 % (b/v) dengan rendemennya sebesar 56,88 % (v/b). Sedangkan proses kultivasi fedbatch terpilih diperoleh etanol sebesar 12,05 ± 0,00 % (b/v) dan rendemen 67,38 % (v/b). Perhitungan Kinetika Kultivasi Proses pertumbuhan sel sangat kompleks mencakup pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-bahan nutrien menjadi energi dan berbagai konstituen yang penting serta perkembangbiakannya (Stanbury & Whitaker 1993). Koefisien hasil sel hidup terdapat sumber karbon dinyatakan dengan Yx/s, koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periode/waktu tertentu dinyatakan dengan Yp/s. Sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Tabel 4 merupakan data serta hasil perhitungan kinetika kultivasi pada sistem batch aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa masing-masing dengan perlakuan yang berbeda. Pada sistem batch aerasi penuh (1 vvm), nilai rendemen pemakaian substrat untuk pembentukan sel (Yx/s), rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan produk (Yp/s) pada perlakuan aerasi penuh (1 vvm) tanpa penghentian aerasi pada saat biomassa maksimum dan eksponensial menunjukkan
72
nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya. Sedangkan untuk rendemen pembentukan produk terhadap sel (Yp/x) tertinggi adalah pada batch terekayasa. Hal ini diakibatkan karena pada waktu penghentian aerasi, maka kondisi kultivasi berubah dari aerobik ke anaerobik. Saccharomyces cer. var. Ellipsoides merupakan khamir yang bersifat unik atau dia mampu hidup pada kedua kondisi dan biasa juga disebut anaerobik fakultatif. Pada awal kondisi berlangsung secara aerobik, khamir memanfaatkan substrat untuk pembentukan sel (proses respirasi), sedangkan pada saat terjadi perubahan kondisi (switching condition) menjadi anaerobik, maka khamir memanfaatkan substrat yang tersisa untuk pembentukan etanol. Tabel 4. Perhitungan peningkatan kinetika fermentasi Batch Aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa EtOH Jam X S % Perlakuan Yx/s Yp/s Yp/x Effisiensi ke (g/L) (g/L) (b/v) Aerasi penuh 0 3,71 0,00 239,34 (1 vvm) 30 36,72 5,50 30,50 72 37,34 10,12 13,48 0,15 0,448 3,01 94,37 0 3,71 0,00 239,38 Terekayasa I 18 35,33 4,13 45,81 72 27,25 10,69 10,88 0,10 0,468 4,54 95,46 0 3,78 0,00 239,38 Terekayasa II 30 36,20 5,78 27,84 72 26,01 10,77 10,25 0,10 0,47 95,72 4,48 Tabel 5 merupakan perbandingan antara batch dan fed-batch aerasi penuh (1 vvm) menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch pada peningkatan rendemen pemakaian substrat untuk pembentukan sel (Yx/s), dan rendemen pemakaian substrat terhadap pembentukan etanol (Yp/s) lebih tinggi bila dibandingkan dengan kultivasi batch aerasi penuh (1 vvm). Hal ini diakibatkan pada saat penambahan substrat, maka asupan sumber makanan untuk khamir peningkat sehingga khamir akan memproduksi atau melakukan proses respirasi untuk pembentukan sel dan sebagian kecil untuk pembentukan etanol.
73
Efisiensi pemakaian substrat dari kedua system kultivasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch nilai efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan kultivasi batch. Hal ini menunjukkan bahwa pada kultivasi fed-batch, substrat yang ada dimanfaatkan secara maksimal oleh khamir. Baik untuk pembentukan sel maupun pembentukan etanol. Tabel 5. Perbandingan batch dengan fed-batch aerasi penuh (1 vvm) Perlakuan Batch aerasi penuh (1 vvm) Peningkatan Fed-batch aerasi penuh (1 vvm) Peningkatan
Jam ke
X (g/L)
0 30 72 0 30
3,71 36,72 37,34 1,83 3,88 38,97
EtOH % (b/v) 0,00 5,50 10,12 2,84 0,00 5,05
72
45,68
10,49
1,56
2,86
Yx/ s
Yp/s
Yp/x
(So-S)/So
0,16 0,15 0,94
0,26 0,448 1,72
1,67 3,01 1,80
0,87 0,94 1,08
0,17
0,26
1,44
0,85
6,85
0,18
0,451
2,51
0,97
0,14
1,06
1,73
1,74
1,14
S (g/L) 239,34 30,50 13,48 0,16 239,69 34,19
Tabel 6 menunjukan kultivasi fed-batch terekayasa terjadinya perbedaan yang diakibatkan dari konsentrasi total gula yang diumpankan berbeda/bervariasi. Pada perlakuan FB 16 % memiliki peningkatan nilai pada Yp/x tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, serta nilai Yp/x nya sendiri yang tertinggi adalah pada perlakuan FB 16 %. Untuk Yx/s nilai tertinggi pada FB 8 % dan Yp/s pada FB 16 %. Namun untuk peningkatan Yx/s tertinggi dan Yp/s pada perlakuan FB 8 %. Nilai dari peningkatan pemanfaat substrat tertinggi pada perlakuan FB 12 % dan 20 %. Sedangkan efisiensi pemanfaatan substrat sendiri tertinggi pada perlakuan FB 16 %. Hal ini menunjukkan bahwa substrat yang tersedia dimanfaatkan dengan baik oleh khamir untuk pembentukan sel dan etanol. Tabel 7 menunjukkan perbandingan antara kultivasi fed-batch aerasi penuh (1 vvm) dan terekayasa terpilih, terlihat nilai dan peningkatan Yx/s tertinggi diperoleh pada kultivasi fed-batch aerasi penuh (1 vvm) (0,18) dengan peningkatan 1,06. Sedangkan nilai Yp/x dan Yp/s tertinggi pada kultivasi fedbatch terekayasa yang masing-masing 0,51 dan 5,05. Efisiensi pemanfaatan
74
substrat hampir sama yaitu 98,12 % untuk yang terekayasa dan aerasi penuh (1 vvm) 97,14 %. Tabel 6. Perhitungan peningkatan kinetika fermentasi fed-batch terekayasa EtOH Jam X S Perlakuan % Yx/s Yp/s Yp/x (So-S)/So ke (g/L) (g/L) (b/v) 0 3,84 0,00 240,31 FB 4 % 30 40,06 4,61 33,53 0,18 0,22 1,27 0,86 72 33,92 11,62 5,60 0,13 0,50 3,86 0,98 Peningkatan 1,69 3,52 0,14 0,72 2,27 3,04 1,14 0 3,68 0,00 240,00 FB 8 % 30 41,69 4,63 34,25 0,18 0,23 1,22 0,85 72 38,98 11,74 5,58 0,15 0,50 3,33 0,98 Peningkatan 1,78 3,53 0,15 0,83 2,17 2,73 1,15 0 3,54 0,00 239,69 FB 12 % 30 42,45 5,99 35,94 0,19 0,29 1,54 0,84 72 32,92 11,81 5,41 0,13 0,50 4,02 0,98 Peningkatan 1,64 2,97 0,15 0,68 1,72 2,61 1,17 0 3,87 0,00 240,94 FB 16 % 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15 0 3,57 0,00 239,06 FB 20 % 30 40,02 4,73 37,94 0,18 0,24 1,30 0,83 72 34,45 11,69 7,53 0,13 0,50 3,79 0,96 Peningkatan 1,71 3,47 0,16 0,72 2,08 2,92 1,16 Tabel 7. Perbandingan kultivasi fed-batch aerasi penuh (1 vvm) dan dari terekayasa terpilih Jam X EtOH S Perlakuan Yx/s Yp/s Yp/x (So-S)/So ke (g/L) %(b/v) (g/L) 0 3,88 0,00 239,69 Fed-batch aerasi penuh 30 38,97 5,05 34,19 0,17 0,25 1,44 0,85 (1 vvm) 72 45,68 10,49 6,85 0,18 0,45 2,51 0,97 Peningkatan 1,98 3,08 0,15 1,06 1,80 1,74 1,14 0 3,87 0,00 240,94 Fed-batch 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 terekayasa 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15
75
Tabel 8 merupakan perbandingan antara batch dan fed-batch terekayasa terpilih. Pada perlakuan batch terekayasa peningkatan pemanfaatan substrat lebih rendah (95,72 %) dibandingkan pada kultivasi fed-batch (98,12 %). Untuk Yp/x pada perlakuan batch terekayasa terpilih lebih tinggi dibandingkan dengan fedbatch terekayasa terpilih yaitu 5,05. Sedang Yp/s tertinggi pada kultivasi fedbatch terekayasa terpilih sebesar 0,51 dan untuk Yx/s pada kedua perlakuan nilainya sama yaitu 0,10. Tabel 8. Perbandingan kultivasi batch dan fed-batch terekayasa terpilih EtOH Jam X S Perlakuan % Yx/s Yp/s Yp/x (So-S)/So ke (g/L) (g/L) (b/v) 0 3,78 0,00 239,38 Batch 30 36,20 5,78 27,84 0,15 0,27 1,78 0,93 terekayasa 72 26,01 10,77 10,25 0,10 0,47 4,84 0,96 Peningkatan 1,56 2,86 0,14 0,67 1,74 2,72 1,03 0 3,87 0,00 240,94 Fed-batch 30 39,76 5,31 34,25 0,17 0,26 1,48 0,85 terekayasa 72 27,71 12,05 4,53 0,10 0,51 5,05 0,98 Peningkatan 1,55 3,27 0,14 0,59 1,96 3,41 1,15 Efisiensi pemanfaatan substrat dari kedua sistem kultivasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sistem batch nilai efisiensinya lebih rendah dibandingkan pada sistem fed-batch. Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem fed-batch, substrat yang ditambahkan pada saat kondisi biomassa maksimum, pembentukkan produk yang terjadi sudah maksimum, sedangkan pada sistem batch substrat yang ada dimanfaatkan belum maksimal. Untuk skala industri, pembuatan bioetanol berbahan baku pati sagu sangat potensial. Tanaman sagu selain melimpah persebarannya/produktivitasnya juga dapat hidup di daerah margin. Melalui penelitian ini diperoleh kadar etanol tertinggi 12,05 % (b/v) pada kultivasi fed-batch dengan konsentrasi awal substrat terpilih (24 %) dengan konsentrasi umpan total gula 16 % pada kondisi stop aerasi pada saat pengumpanan di jam ke-30.
76
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hidrolisat pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides untuk tumbuh dan memproduksi etanol, baik pada kultivasi batch maupun fed-batch. Pada rentang konsentrasi gula awal 18 – 36 %, Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoides tumbuh paling baik pada konsentrasi total gula awal 24 % dengan laju pertumbuhan spesifik 0,33/jam dan kadar etanol 10,2 % (b/v). Rekayasa bioproses dapat meningkatkan kadar etanol bila dibandingkan tanpa dilakukan rekayasa bioproses. Pada kultivasi batch konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada terekayasa II dengan perlakuan aerasi dihentikan pada jam ke-30 dengan kandungan etanol yang diperoleh sebesar 10,77±0,00 % (b/v) dengan efisiensi substrat 95,72 %. Sedangkan pada sistem fed-batch konsentrasi etanol tertinggi diperoleh pada perlakuan aerasi dihentikan pada jam ke-30 sekaligus dilakukan pengumpanan dengan konsentrasi umpan 16 %. Kandungan etanol yang diperoleh pada perlakuan tersebut sebesar 12,05 ± 0,00 % (b/v) dengan efisiensi substrat 98 %. Saran Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bioreaktor skala laboratorium, sehingga perlu dilakukan penggandaan skala atau dilakukan dengan menggunakan bioreaktor dengan skala lebih besar.
77
DAFTARPUSTAKA
Abdullah K., A. K. Irwanto., Nirwan S., Endah A., Armansyah H. T., M. Yamin., Edy H., Aris P., Dyah W., dan Leopold O. N. 1998. Energi dan Listrik Pertanian. IPB Bogor. Abner, L. dan Miftahrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1 Juni 2002. AOAC. 1984. Official Methode of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of Association of Official Analitycal Chemistry, Washington DC. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Amerine. dan Cruess. 1960. The Technology of Wine Making. The Avi Publ, co. Inc., West Port, Connecticut. Amerine. dan Ough. 1979. Methode of Analysis of Must and Wines. A WileyInterscience Publication, New York. Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat Secara Fed-Batch. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Bailey, J.E. dan D.F. Ollis. 1991. Dasar – Dasar Biokimia. Terjemahan. PAU IPB, Bogor. Barnett, J.A., R. W. Payne dan D. Yarrow. 2000. Yeast Characteristic and Identification. Cambridge University Press, London. Budiyanto, A, P. Martosuyono, N. Richana. 2006. Optimasi Proses Produksi Tepung Gula Kasava dari Pati Ubi Kayu Skala Laboratorium. Bogor : Buletin Balai Besar Pasca Panen. Casida, J.R. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. Chaplin, M.F, dan Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press, New York. Clark, T. dan K. L. Mackie. 1984. Fermentation Inhibition in Wood Hydrolisates Derived from the Softwood Pinus radiate. J. Chem. Biotechnol. Vol.34B:101110.
78
Cot, M., O.L. Marie., F. Jean., dan B.Laurent. 2006. Physiological behaviour of Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides in Aerated Fed-batch Fermentation for High Level Production of Bioethanol. FEMS Yeast Res 7 (2007) 22-32. Daulay, A.M. 1999. Pengaruh Jenis Khamir dan Penambahan Serbuk Kulit Kayu Pada Onggok Tapioka Terhadap Hasil Kultivasi Etanol. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. De Garmo EP, Sullivan WG dan Canada JR. 1979. Engineering Economy, New York: Macmilan Publishing Company. Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication, Exploitation and Product. FAO Plant Production and Protection Paper, Roma. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 4th ed. McGraw-Hill Book. Publishing. Co.Ltd, New York. Gray, C.P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella dan R.O.G. Varley. 1992, Pengantar Evaluasi Proyek, PT, Gramedia, Jakarta. Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan Aplikatif. Fajar Grafindo Persada, Jakarta. Hartoto, L. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Kultivasi, Debdikbud. PAUIPB, Bogor. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi, Yogyakarta. Hill dan Kelley. 1942. Organic Chemistry. The Blakistan Co., Philadelphia, Toronto. Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry. D.R. Fennema, ed. Macel Dekker, Inc. New York dan Basel. H. Finck, G. Oelert: A Guide to the Financial Evaluation of Investment projects in energy supply. GTZ No/63. Ishak, E., D.A. Sarina dan R. Bilang. 1985. Teknik Pengolahan Sagu. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Kearley, M.W. dan S.Z. Dzeidzic. 1995. Handbook of Starch Hydrolisis Product and Their Derivatives. Blackie Academic and Profesional, London. Klup, K. 1975. Carbohydrates. dalam G. Reed. Enzyme in Food Processing . Academic Perss. New York. Mangunwidjaja, D dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya, Jakarta.
79
Meyer, H. L. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation. New York. Moat, A.G. 1979. Microbiology Physiology. John Willey and Sons Inc, New York. Nikolov, Z.L., P.J Reilly. 1991. Enzymatic Depolimerization of Starch. Di dalam Dordick, J.S. (eds) Biocatalysts for Industry. Plenum Press., New York. Paturau, J.M. 1991. By Product of The Cane Sugar Industry: and Introduction to Their Utilization. Elsevier Publ, Co, Amsterdam. Peppler, H.J. dan D. Perlman. 1973. Microbiology Technology 2nd edition/Vol I. Academic Press, New York. Prescot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw-Hill Book Co. Ltd, New York. Rachman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-IPB. Radley, J. A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Pub. Ltd. London. Reed, G. dan H.J. Rehm. 1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Westport, Conecticut. Reksowardoyo, I.K., Soerawidjaja, T.H. 2006. Proses Pembuatan Bioetanol. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Biofuel “Implementasi Biofuel Sebagai Energi Alternatif”. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Retledge, C. dan B. Kristiansen. 2001. Basic Biotechnology. Second Edition. Cambridge University Press, London. Riadi, L. 2007. Teknologi Kultivasi. Graha Ilmu. Yogyakarta Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Ruddle, K. D. Johnson., K. Patricia Townsend., J. D. Rees. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. East-West Center, University Press of Hawaii, Honolulu. Sastrapradja, S., J. Palar M., H. Murni dan J. A. Johar. 1980. Palem Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Soerjono. 1980. Potensi Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Sutojo, Siswanto. 2002. Studi Kelayakan Proyek : Konsep, Teknik & Kasus. PT Damar Mulia Pustaka. Jakarta.
80
Thomas, T.D. dan W.A. Atwell. 1999. Starches. Eagan Press Handbook Series. St. Paul, Minnesota. Tjokroadikoesomo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Underkofler, L.A., R.J. Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co, New York. Vogel, H.C. 1983. Fermentation and Biochemical Engineering Handbook . Noyes Publication. Mill Road Park Ride, New Jersey. Wahyuni, A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea batatas) dengan Menggunakan Saccharomycess cereviseae. Tesis. Fateta IPB, Bogor. Wang, D.I.C., C.L. Conney., A.L. Demain., P. Dunhil., A.E. Humprey., M.D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Whistler, R. L., 1979. Carbohydrate Technology, In. N. M. Desrosier ed. Elements Of Food Technology The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connection. Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzymology for The Food Science. Marcel Dekker, Inc., New York. Wirakartakusumah, M.A., A. Apriyantono., M.S. Maarif., Suliantri., D. Muchtadi., K. Otawa. 1986. Isolation ang Characterization of Sago Starch and Its Utilization for Production of Liquid Sugar. Di dalam FAO (eds) The Development of The Sago Palm and Its Product. Reports of The FAO/BPPT Consultation, Jakarta, Januari 16 – 21. Wyman, E. C. 2001. Handbook on Bioethanol Production and Utilization. Taylor and Francis, New York. www.deptan.go.id www.dprin.go.id www.traditionaltree.org
64
Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Pati Sagu
a. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, diisi sebanyak 2 ml sampel, lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu oven 105oC selama 1-2 jam. Cawan aluminium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian di timbang. Pengulangan pemanasan sampai diperoleh bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air.
W 1W 2 Kadar Air 100 % W 1 b. Analisa Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas Bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan persolin yang berisi sampel (B) yang telah diarangkan dimasukkan ke dalam tanur 600 oC untuk mengubah arang menjadi abu (C). cawan porselin yang berisi abu kemudian dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang sampai bobotnya konstan. Perhitungan untuk kadar abu:
C A Kadar Abu 100 % B c. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2-4 gram contoh dihilangkan lemaknya dengan cara ekstraksi menggunakan soxlet atau diaduk, mengenaptuangkan sampel dengan pelarut organic sebanyak 3 kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25% kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan dididihkan kembali selama 30 menit. Pada keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas, dan etanol 96%. Kertas saring dan isinya
65
diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu 105oC sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih dari 1% kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan. a. Kertas saring ≤ 1%
( Kertas saring contoh kering) ker tas saring kosong Bobot sampel
100%
b. Serat kasar > 1% ( Kertas saring contoh kering) ker tas saring kosong bobot abu Bobot sampel
100%
d. Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl) (AOAC,1995) Contoh sebanyak 0.5 gram dimasukkan dalam labu kjeldahl 100 ml, kemudian ditambahkan 2-3 gram katalis (1,2 gram Na2SO4 dan 1 gram CuSO4) dan 2-3 ml H2SO4 pekat. Campuran tersebut didekstruksi di ruang asam hingga larutan menjadi jernih. Larutan yang sudah jernih didinginkan lalu dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50 %. Destilatnya ditampung dalam erlenmeyer, dimana erlenmeyer berisi 25 ml HCl 0.02 N dan 2 tetes MR dan MB (mengsel) sampai volumenya mencapai 50 ml. Larutan yang diperoleh dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai warnanya berubah menjadi hijau. Blanko dikerjakan dengan cara yang sama tanpa menggunakan contoh. Kadar protein yang terkandung dalam contoh dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
e. Kadar lemak dengan metode Soxlet (AOAC,1995) Siapkan labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi. Soxlet yang akan digunakan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit, dinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (A).
66
Timbang 5 gram sample (S) tepat langsung dalam kertas saring yang sesuai dengan ukurannya., kemudian tutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Masukkan pelarut lemak ke dalam labu lemak secukupnya. Masukkan kertas saring ke dalam alat ekstraksi, kemudian panaskan labu lemak dan lakukan ekstraksi selama 3-4 jam. Setelah selesai, pelarutnya disulingkan kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o
C sampai tidak ada penurunan berat lagi (berat tetap). Dinginkan di dalam
desikator dan timbang (B).
Kadar Lemak
A B S
100%
Keterangan : A = Berat labu lemak sebelum ekstraksi (g) B = Berat labu lemak setelah ekstraksi (g) S = Berat sampel (g) f. Analisa Pati (AOAC, 1995) Sebanyak kurang lebih 2 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 % dan dididihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30 % (indicator lakmus atau fenoftalein), dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3 % agar suasana larutan sedikit asam. Isi dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan diencerkan hingga tanda tera, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 25 ml larutan Luff (dengan pipet) dan beberapa butir batu didih serta 15 ml air suling. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap, diusahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (digunakan stop watch). Campuran terus didihkan selama tepat 10 menit (dihitung dari saat mulai mendidih) kemudian dengan cepat didinginkan dalam bak berisi es. Setelah dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 % dan 25 ml H2SO4 25 % secara perlahan – lahan. Penitaran dilakukan secepatnya dengan larutan sodium tiosulfat 0.1 N dengan indicator larutan kanji 0.5 %. Pekerjaan yang sama dilakukan juga terhadap blanko.
67
Perhitungan : (Blanko – Penitar) x N sodium tiosulfat x 10 Setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian dengan daftar Luff Schoorl dilihat jumlah mg gula yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang digunakan.
Kadar Glukosa
w1 x fp x100% w
Keterangan : w1 : Bobot contoh (mg) w
: Glukosa yang terkandung untuk ml sodium tiosulfat yang dipergunakan (mg)
fp
: faktor pengenceran
Tabel . Penetapan Gula Berdasarkan Luff Schoorl Na2S2O3 0.1 Glukosa, Fruktosa, Laktosa N (ml) Gula Invert (mg) (mg) 1 2,4 3,6 2 4,8 7,3 3 7,2 11,0 4 9,7 14,7 5 12,2 18,4 6 14,7 22,1 7 17,2 25,8 8 19,8 29,5 9 22,4 33,2 10 25,0 37,0 11 27,6 40,8 12 30,3 44,6 13 33,0 48,4 14 35,7 52,2 15 38,5 56,0 16 41,3 59,9 17 44,2 63,8 18 47,1 67,7 19 50,0 71,1 20 53,0 75,1 21 56,0 79,8 22 59,1 83,9 23 62,2 88,0 Sumber : SNI 01 – 2891 – 1992
Maltosa (mg) 3,9 7,8 11,7 15,6 19,6 23,5 27,5 31,5 35,5 39,5 43,5 47,5 51,6 55,7 59,8 63,9 68,0 72,2 76,5 80,9 85,4 90,0 94,6
68
Lampiran 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Sirup Glukosa (disadur dari Akyuni., 2004; Budiyanto, et al., 2006; Nur Atifah., 2006; dan Wahyuni., 2008)
69
Lampiran 3. Prosedur Analisa Sirup Glukosa Pati Sagu
1. Rendemen (Modifikasi Ciptadi, 1981) Rendemen sirup dihitung sebagai perbandingan bahan kering ubi jalar dengan sirup glukosa dalam persen. Sirup glukosa yang diperoleh, ditempatkan dalam botol dan ditimbang. Bobot sirup glukosa diperoleh dengan mengurangi bobot botol kosong.
Bs x Bk
Rendemen
100 Bu x 1 Ka 100
x 100%
Keterangan : Bs = Bobot sirup glukosa (g) Bk = Kadar bahan kering sirup (%) Bu = Bobot contoh sagu (g) Ka = Kadar air contoh pati sagu (%)
2. pH Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah fermentasi menggunakan pH meter.
3. Kadar Gula Pereduksai Metode DNS (Miller, 1959) Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisitat dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1.416 ml air, ke dalamnya ditambahkan 306 gram NaK-Tartat dan 7,6 ml fenol yang telah dicairkan pada suhu 105oC serta 8,3 g Na-metabisulfit. Bahan-bahan tersebut dicampurkan hingga larut merata. Keasaman dari pelarut DNS yang dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCL 0,1 N menggunakan indikator fenoftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap kekurangan HCL 0,1 N pada titrasi ditambahkan 2 gram NaOH.
4. Total Gula Metode Fenol H2SO4 (Dubois et al., 1956) Sebanyak 2 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5%, kocok kedua larutan. Tambahkan 5 ml
70
larutan asam sulfat pekat dengan cepat dengan tegak lurus ke atas permukaan larutan. Biarkan selama 10 menit, kemudian kocok dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Ukur total gula pada panjang gelombang 490 nm. Bila diperlukan, sampel diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 2080% T (Transmitan). Pembuatan kurva standar sama dengan prosedur pengukuran sampel, hanya sampel diganti dengan larutan glukosa standar sebesar 0, 10, 20, 30, 40,50, dan 60 µg glukosa.
71
Lampiran 4. Prosedur Analisa Hasil Fermentasi
1.
Prosedur Pengukuran Biomassaa (Pons et al, 1990) Sebanyak 1,5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang telah diketahui bobot awalnya, setelah itu sampel disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Kemudian dilakukan pemisahan antara supernatan dengan biomasanya. Tabung eppendorf yang telah berisi biomassaa dimasukkan aquades steril sebanyak 5 ml kemudian dilakukan sentrifugasi kembali. Pemisahan antara aquades dan biomassaa dilakukan, selanjutnya tabung eppendorf yang berisi biomassaa dikeringkan pada suhu 50oC selama 24 jam. Bobot kering biomassaa adalah bobot tabung yang berisi biomassaa yang telah dikeringkan dikurangi dengan bobot awal.
Bobot sel kering ( g / l )
2.
Bobot biomassa kering ml sampel
OD (Optical Density) Penentuan
konsentrasi
sel
khamir
dilakukan
dengan
analisis
spektrofotometri, prinsipnya dalah analisis turbidometri. Prinsip turbidometri adalah analisis konsentrasi suatu zat berdasarkan kekeruhannya dibandingkan sampel blanko yang dianggap nilai 0 absorban/full scale transmitan, atau tidak mengandung konsentrasi zat yang dianalisis. Pada penentuan konsentrasi sel khamir, kekeruhan disebabkan oleh suspensi sel ragi blanko yang digunakan adalah larutan medium yang persis sama dengan medium fermentor, tetapi tidak dipakai sebagai medium pertumbuhan ragi. Analisis dilakukan dengan mengambil data absorbansi. Kurva pertumbuhan diperlukan dengan kurva baku untuk mengkorelasikan antara konsentrasi sel terhadap absorban. Panjang gelombang yang digunakan untuk menganalisa konsentrasi glukosa harus disentrifugasi terlebih dahulu. Sentrifugasi untuk mengendapkan semua sel ragi sedemikian sampai larutan medium terlihat jernih sehingga tidak mengganggu pancaran sinar saat diperiksa dengan spektrofotometri.
72
3.
pH pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter setiap 6 jam selama fermentasi berlangsung.
4.
Kadar Etanol (Mc Nail dan Bonelli, 1988) Pengukuran
kadar
etanol
sample
menggunakan
GC
(Gas
Chromatography). Kadar etanol ditentukan dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standard etanol. Kadar etanol yang terdapat pada sampel dihitung mengguinakan persamaan berikut:
Kadar Etanol
luas area sampel luas area standar
x standar
Kadar etanol (% v/v) dari data GC (Gas Chromatography) dihitung dengan rumus:
Hasil Etanol % v
area sampel v
area stand ar
x standar
Kondisi analisis pengukuran etanol dengan menggunakan GC adalah sebagai berikut: Instrument
: GC HP 6890 Series
Kolom
: HP-FFAP (Crosslinked FFAP)
Gas Pembawa
: Helium
Detektor
: FID, 250 0C
Suhu Oven
: 60 0C untuk 1 menit : 60 – 210 0C untuk 5 menit : 210 0Cuntuk 10 menit
Suhu Injector
: 250 0C
Volume injeksi
: 1 µl
73
Lampiran 5. Kurva standar DNS dan total gula
A. Kurva standar gula pereduksi
Kurva gula pereduksi 1,20 y = 0,005x - 0,259 R² = 0,999
1,00 Absorbansi
Gula prdks Absorbansi (ppm) 50 0,009 100 0,236 150 0,506 200 0,765 250 1,024
0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 0
50
100
150
200
250
300
Konsentrasi glukosa (ppm)
B. Kurva total gula
Kurva total glukosa 0,6 y = 0,008x - 0,013 R² = 0,997
0,5 Absorbansi
Total Gula Absorbansi (µg/mL) 10 0,074 20 0,171 30 0,247 40 0,346 50 0,417 60 0,528
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi glukosa (µg/mL)
60
70
74
Lampiran 6. Data Penelitian Pada Kultivasi Normal untuk Nilai Biomassa Konsentrasi total gula 18 % 4,5
Biomassa (g/L) 3,107 4,000 4,071 4,107
y = 2,400x + 2,387 R² = 0,998
4 Biomassa (g/L)
OD λ = 660 nm 0,300 0,680 0,694 0,722
3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
OD (660 nm)
Jam Sampling
U1
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,10 23,47 25,77 33,67 34,59 34,85 32,40 32,96 32,11 36,00 35,93 36,26 35,70
Biomassa (g/L) rataU2 rata 3,11 23,57 25,84 33,82 34,79 34,96 32,44 32,94 32,17 36,11 36,00 36,34 35,74
3,11 23,52 25,81 33,74 34,69 34,91 32,42 32,95 32,14 36,05 35,97 36,30 35,72
Ln (g/L) stdev
U1
U2
ratarata
0,00 0,07 0,05 0,11 0,14 0,08 0,03 0,01 0,04 0,08 0,05 0,06 0,03
1,13 3,16 3,25 3,52 3,54 3,55 3,48 3,50 3,47 3,58 3,58 3,59 3,58
1,13 3,16 3,25 3,52 3,55 3,55 3,48 3,49 3,47 3,59 3,58 3,59 3,58
1,13 3,16 3,25 3,52 3,55 3,55 3,48 3,49 3,47 3,58 3,58 3,59 3,58
Ln X Xo (g/L) 0,00 2,02 2,12 2,39 2,41 2,42 2,35 2,36 2,34 2,45 2,45 2,46 2,44
µ (1/jam)
0,34 0,18 0,13 0,10 0,08 0,07 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,03
75
Konsentrasi total gula 24 % Biomassa (g/L) 3,929 4,821 5,786
6,000 y = 8,004x + 0,885 R² = 0,999
5,500 Biomassa (g/L)
OD λ = 660 nm 0,379 0,495 0,611
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 0,200
0,300
0,400
0,500
0,600
0,700
stdev
Ln X Ln Xo (g/L)
µ (1/jam)
0,00 0,02 0,06 0,01 0,06 0,04 0,03 0,04 0,04 0,01 0,01 0,04 0,02
0,00 1,98 2,20 2,37 2,37 2,40 2,38 2,37 2,35 2,35 2,35 2,35 2,34
OD (660 nm)
Biomassa (g/L)
Jam Sampling
U1
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,24 23,75 30,33 34,80 33,02 34,46 34,22 33,58 33,10 34,04 34,23 35,00 34,29
U2
ratarata
3,23 23,22 27,83 34,46 35,98 36,62 35,66 35,58 35,02 33,46 33,53 32,88 33,14
3,23 23,49 29,08 34,63 34,50 35,54 34,94 34,58 34,06 33,75 33,88 33,94 33,72
stdev
ln X1
Ln (g/L) ln rataX2 rata
0,01 0,37 1,77 0,24 2,09 1,53 1,02 1,41 1,36 0,41 0,50 1,49 0,81
1,18 3,17 3,41 3,55 3,50 3,54 3,53 3,51 3,50 3,53 3,53 3,56 3,53
1,17 3,15 3,33 3,54 3,58 3,60 3,57 3,57 3,56 3,51 3,51 3,49 3,50
1,17 3,16 3,37 3,54 3,54 3,57 3,55 3,54 3,53 3,52 3,52 3,52 3,52
0,33 0,18 0,13 0,10 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03
76
Konsentrasi Total gula 30% Biomassa (g/L) 3,214 4,429 4,679 7,000
8,000 y = 7,459x + 1,455 R² = 0,999
7,000 Biomassa (g/L)
OD λ = 660 nm 0,237 0,395 0,435 0,744
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
OD (660 nm)
Jam Sampling 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Biomassa (g/L)
ln2
ratarata
stdev
Ln X Ln Xo (g/L)
1,14 3,48 3,55 3,71 3,65 3,78 3,88 3,86 4,03 4,01 4,03 4,04 4,03
1,13 3,23 3,44 3,71 3,79 3,86 3,84 3,81 3,98 3,95 3,95 4,03 4,01
0,02 0,35 0,16 0,00 0,20 0,11 0,06 0,07 0,06 0,08 0,12 0,01 0,02
0,00 2,09 2,31 2,58 2,66 2,73 2,70 2,68 2,85 2,82 2,82 2,90 2,88
Ln X (g/L)
U1
U2
Ratarata
3,06 19,64 27,96 40,73 51,06 51,28 44,34 43,01 51,37 49,38 47,57 55,80 54,61
3,14 32,31 34,88 40,82 38,44 43,79 48,47 47,38 56,17 55,11 56,48 56,98 56,17
3,10 25,97 31,42 40,77 44,75 47,54 46,40 45,20 53,77 52,24 52,03 56,39 55,39
stdev
ln1
0,06 8,96 4,89 0,07 8,93 5,29 2,92 3,09 3,39 4,06 6,30 0,84 1,10
1,12 2,98 3,33 3,71 3,93 3,94 3,79 3,76 3,94 3,90 3,86 4,02 4,00
µ (1/jam)
0,35 0,19 0,14 0,11 0,09 0,08 0,06 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04
77
Konsentrasi total gula 36 % 10,000
Biomassa (g/L) 5,750 7,893 9,214
y = 15,82x - 0,229 R² = 1
9,000 Biomassa (g/L)
OD λ = 660 nm 0,378 0,513 0,597
8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 0,000
0,200
0,400
0,600
OD (660 nm)
Biomassa (g/L)
Ln X (g/L)
Jam Sampling
U1
U2
ratarata
stdev
ln1
ln2
ratarata
stdev
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,87 34,89 44,28 44,47 58,24 73,34 72,84 70,94 69,04 63,98 63,22 64,99 64,61
3,99 34,13 43,71 43,52 56,81 74,10 72,84 70,31 68,28 63,22 62,84 63,98 63,60
3,93 34,51 44,00 44,00 57,52 73,72 72,84 70,62 68,66 63,60 63,03 64,49 64,11
0,09 0,54 0,40 0,67 1,01 0,54 0,00 0,45 0,54 0,54 0,27 0,72 0,72
1,35 3,55 3,79 3,79 4,06 4,30 4,29 4,26 4,23 4,16 4,15 4,17 4,17
1,39 3,53 3,78 3,77 4,04 4,31 4,29 4,25 4,22 4,15 4,14 4,16 4,15
1,37 3,54 3,78 3,78 4,05 4,30 4,29 4,26 4,23 4,15 4,14 4,17 4,16
0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01
Ln X - Ln Xo (g/L) 0,00 2,17 2,42 2,42 2,68 2,93 2,92 2,89 2,86 2,78 2,77 2,80 2,79
µ (1/jam)
0,36 0,20 0,13 0,11 0,10 0,08 0,07 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04
0,800
78
Lampiran 7. Data Penelitian Pada Kultivasi Normal untuk Nilai Total Gula Konsentrasi Total Gula 18 % Gula sisa (g/L) Jam Sampling U1 U2 0 153,13 150,00 6 140,00 135,63 12 124,69 116,25 18 113,75 122,50 24 77,75 88,63 30 32,63 32,19 36 27,75 28,38 42 40,06 39,69 48 37,50 38,38 54 6,96 7,51 60 8,48 8,65 66 7,84 8,04 72 3,50 3,26 Konsentrasi Total Gula 24 % Gula sisa (g/L) Jam Sampling U1 U2 0 212,06 208,13 6 206,25 207,50 12 201,25 198,75 18 174,69 188,13 24 130,94 133,75 30 84,38 81,56 36 24,81 29,94 42 21,81 28,94 48 18,94 21,94 54 17,19 28,31 60 16,38 26,56 66 15,63 27,19 72 10,84 16,13
Ratarata
stdev
151,56 137,81 120,47 118,13 83,19 32,41 28,06 39,88 37,94 7,24 8,56 7,94 3,38
2,21 3,09 5,97 6,19 7,69 0,31 0,44 0,27 0,62 0,39 0,12 0,14 0,17
Ratarata
Stdev
210,09 206,88 200,00 181,41 132,34 82,97 27,38 25,38 20,44 22,75 21,47 21,41 13,48
2,78 0,88 1,77 9,50 1,99 1,99 3,62 5,04 2,12 7,87 7,20 8,18 3,74
79
Konsentrasi Total Gula 30 % Gula sisa (g/L) Jam Sampling U1 U2 0 267,38 266,63 6 262,50 260,25 12 251,25 246,00 18 217,13 217,13 24 179,63 176,25 30 108,75 105,00 36 25,44 25,00 42 21,81 18,94 48 18,94 17,19 54 17,19 16,81 60 16,38 16,00 66 15,63 15,00 72 14,33 14,59
Ratarata
Stdev
267,00 261,38 248,63 217,13 177,94 106,88 25,22 20,38 18,06 17,00 16,19 15,31 14,46
0,53 1,59 3,71 0,00 2,39 2,65 0,31 2,03 1,24 0,27 0,27 0,44 0,19
Konsentrasi Total Gula 36 % Gula sisa (g/L) Jam Sampling U1 U2
Ratarata
Stdev
323,44 320,34 318,09 310,50 218,44 160,31 59,13 25,22 21,34 27,53 22,22 21,88 19,47
0,80 0,40 4,38 8,75 8,75 4,51 0,53 3,05 2,52 2,43 1,46 2,12 0,75
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
324,00 320,63 321,19 304,31 224,63 163,50 59,50 27,38 23,13 29,25 23,25 23,38 20,00
322,88 320,06 315,00 316,69 212,25 157,13 58,75 23,06 19,56 25,81 21,19 20,38 18,94
66
Lampiran 8. Data Penelitian pada Kultivasi Batch Kinetika kultivasi S.cerevisiae var.ellipsoides secara batch aerasi penuh (1 vvm) pada bioreactor 2 L Waktu (jam)
X (g/L)
ln X (g/L)
ln X - ln Xo (g/L)
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,71 ± 0,12 23,49 ± 0,37 30,04 ± 0,41 34,46 ± 0,48 36,10 ± 0,31 36,72 ± 0,44 37,34 ± 0,44 39,39 ± 0,85 38,58 ± 0,58 38,51 ± 0,31 38,18 ± 0,46 37,82 ± 0,87 37,34 ± 0,23
1,31 ± 0,03 3,16 ± 0,02 3,40 ± 0,01 3,54 ± 0,01 3,59 ± 0,01 3,60 ± 0,01 3,62 ± 0,01 3,67 ± 0,02 3,65 ± 0,00 3,65 ± 0,01 3,64 ± 0,01 3,63 ± 0,02 3,62 ± 0,01
0 1,84 2,09 2,23 2,27 2,29 2,31 2,36 2,34 2,34 2,33 2,32 2,31
µ (1/jam)
S (g/L)
So-S (g/L)
0,31 0,17 0,12 0,09 0,08 0,06 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03
239,34 ± 1,19 166,88 ± 1,77 107,03 ± 2,87 76,00 ± 8,84 34,00 ± 1,06 30,50 ± 0,17 27,38 ± 3,62 25,38 ± 5,04 20,44 ± 2,12 21,75 ± 7,87 21,47 ± 7,20 21,41 ± 8,18 13,48 ± 3,74
0,00 72,47 132,31 163,34 205,34 208,84 211,97 213,97 218,91 216,59 217,88 217,94 225,86
∆S/So
dS/dt (g/L/jam)
0,30 0,79 1,53 2,70 6,14 6,95 7,82 8,63 10,60 9,58 10,15 10,55
12,08 11,03 9,07 8,56 6,96 5,89 5,09 4,56 4,01 3,63 3,30 3,14
67
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara batch stop aerasi jam ke 18 pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X ln X - ln Xo µ S So-S ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,71 ± 0,01 24,81 ± 0,25 32,78 ± 0,44 35,33 ± 0,49 32,97 ± 0,42 31,90 ± 0,19 30,71 ± 0,54 30,28 ± 0,51 29,56 ± 0,32 29,34 ± 0,32 28,28 ± 0,22 27,97 ± 0,29 27,25 ± 0,54
1,31 ± 0,00 3,21 ± 0,01 3,49 ± 0,01 3,56 ± 0,01 3,50 ± 0,01 3,46 ± 0,01 3,42 ± 0,02 3,41 ± 0,02 3,39 ± 0,01 3,38 ± 0,01 3,34 ± 0,01 3,33 ± 0,01 3,31 ± 0,01
0,00 1,90 2,18 2,25 2,18 2,15 2,11 2,10 2,08 2,07 2,03 2,02 1,99
0,32 0,18 0,13 0,09 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03
239,38 ± 0,88 170,47 ± 1,99 86,88 ± 3,98 45,81 ± 0,09 28,19 ± 0,35 17,38 ± 1,83 16,34 ± 1,81 13,05 ± 0,42 12,92 ± 0,20 12,48 ± 0,42 12,28 ± 0,49 11,95 ± 0,46 10,88 ± 0,35
0,00 68,91 152,50 193,56 211,19 221,99 223,03 226,33 226,45 226,89 227,09 227,42 228,50
0,29 0,64 0,81 0,88 0,93 0,93 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95 0,95
dS/dt (g/L/jam)
11,48 12,71 10,75 8,80 7,40 6,20 5,39 4,72 4,20 3,78 3,45 3,17
68
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara batch stop aerasi jam ke 30 pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X ln X - ln Xo µ S So-S ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) 0 3,78 ± 0,06 1,33 ± 0,02 0,00 239,38 ± 0,88 0,00 6 22,05 ± 0,87 3,09 ± 0,04 1,76 0,29 174,38 ± 1,33 65,00 0,29 12 30,96 ± 0,64 3,43 ± 0,02 2,10 0,18 103,44 ± 4,42 135,94 0,60 18 34,93 ± 1,04 3,55 ± 0,03 2,22 0,12 59,31 ± 6,10 179,44 0,79 24 35,54 ± 0,98 3,57 ± 0,03 2,24 0,09 26,31 ± 0,44 183,06 0,81 30 36,20 ± 0,98 3,59 ± 0,03 2,26 0,08 27,84 ± 0,40 211,53 0,93 36 34,93 ± 0,58 3,55 ± 0,02 2,22 0,06 11,98 ± 1,00 227,39 1,00 42 30,57 ± 0,14 3,42 ± 0,00 2,09 0,05 11,90 ± 0,81 227,48 1,00 48 29,36 ± 0,00 3,38 ± 0,00 2,05 0,04 10,51 ± 0,05 228,86 1,01 54 28,84 ± 0,10 3,36 ± 0,00 2,03 0,04 10,48 ± 0,57 228,90 1,01 60 27,68 ± 0,39 3,32 ± 0,01 1,99 0,03 10,46 ± 0,41 228,91 1,01 66 27,17 ± 0,43 3,30 ± 0,02 1,97 0,03 10,35 ± 0,42 229,03 1,01 72 26,01 ± 0,05 3,26 ± 0,00 1,93 0,03 10,25 ± 0,92 229,13 1,01
dS/dt (g/L/jam) 10,83 11,33 9,97 7,63 7,05 6,32 5,42 4,77 4,24 3,82 3,47 3,18
69
Lampiran 9. Data Penelitian pada Kultivasi Fed-batch Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch aerasi penuh (1 vvm) dengan umpan 16 % pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,88 ± 0,14 25,53 ± 0,38 29,61 ± 1,93 34,23 ± 0,89 37,43 ± 0,37 38,97 ± 2,04 40,22 ± 1,34 39,64 ± 0,37 44,36 ± 1,86 44,31 ± 1,34 46,88 ± 1,11 47,83 ± 0,97 45,68 ± 0,59
1,35 ± 0,04 3,24 ± 0,01 3,39 ± 0,07 3,53 ± 0,03 3,62 ± 0,01 3,66 ± 0,05 3,69 ± 0,03 3,68 ± 0,01 3,79 ± 0,04 3,79 ± 0,03 3,85 ± 0,02 3,87 ± 0,02 3,82 ± 0,01
0,00 1,88 2,03 2,18 2,27 2,31 2,34 2,32 2,44 2,44 2,49 2,51 2,47
0,31 0,17 0,12 0,09 0,08 0,06 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,03
239,69 ± 2,21 115,16 ± 0,66 108,75 ± 3,98 71,63 ± 8,66 35,00 ± 3,98 34,19 ± 1,15 34,69 ± 1,33 26,96 ± 4,99 17,72 ± 2,82 9,21 ± 0,17 7,10 ± 0,16 8,25 ± 1,10 6,85 ± 0,53
0,00 124,53 130,94 168,06 204,69 205,50 205,00 212,73 221,97 230,48 232,59 231,44 232,84
0,60 0,63 0,80 0,98 0,98 0,98 1,02 1,06 1,10 1,11 1,11 1,11
20,76 10,91 9,34 8,53 6,85 5,69 5,06 4,62 4,27 3,88 3,51 3,23
70
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch stop aerasi umpan 20% pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,57 ± 0,08 22,48 ± 0,58 28,82 ± 0,56 37,42 ± 1,09 38,77 ± 0,14 40,02 ± 0,68 37,18 ± 1,29 38,43 ± 0,88 37,28 ± 0,48 36,37 ± 0,95 35,55 ± 0,48 34,59 ± 0,88 34,45 ± 0,95
1,27 ± 0,02 3,11 ± 0,03 3,36 ± 0,02 3,62 ± 0,03 3,66 ± 0,00 3,69 ± 0,02 3,62 ± 0,03 3,65 ± 0,02 3,62 ± 0,01 3,59 ± 0,03 3,57 ± 0,01 3,54 ± 0,03 3,54 ± 0,03
0,00 1,84 2,09 2,35 2,39 2,42 2,34 2,38 2,35 2,32 2,30 2,27 2,27
0,31 0,17 0,13 0,10 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03
239,06 ± 1,33 168,13 ± 2,21 125,16 ± 7,73 94,31 ± 1,33 40,94 ± 1,33 37,94 ± 4,33 37,44 ± 2,92 13,28 ± 1,68 10,02 ± 1,39 10,33 ± 0,15 10,06 ± 0,27 9,08 ± 0,11 7,53 ± 0,18
0,00 70,94 113,91 144,75 198,13 201,13 201,63 225,78 229,05 228,73 229,00 229,98 231,53
0,52 0,84 1,06 1,45 1,48 1,48 1,66 1,68 1,68 1,68 1,69 1,70
11,82 9,49 8,04 8,26 6,70 5,60 5,38 4,77 4,24 3,82 3,48 3,22
71
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch stop aerasi umpan 16 % pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,87 ± 0,15 21,48 ± 0,18 32,48 ± 0,92 35,25 ± 1,54 38,36 ± 0,44 39,76 ± 2,20 37,90 ± 1,54 35,64 ± 1,43 35,49 ± 2,97 34,32 ± 5,50 33,85 ± 2,20 31,21 ± 1,10 27,71 ± 0,55
1,34 ± 0,02 3,07 ± 0,00 3,47 ± 0,01 3,55 ± 0,02 3,64 ± 0,01 3,66 ± 0,03 3,62 ± 0,02 3,56 ± 0,02 3,60 ± 0,04 3,59 ± 0,08 3,50 ± 0,03 3,43 ± 0,02 3,31 ± 0,01
0,00 1,73 2,13 2,21 2,30 2,32 2,28 2,22 2,26 2,25 2,16 2,09 1,98
0,29 0,18 0,12 0,10 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03
240,94 ± 0,44 140,47 ± 3,76 112,66 ± 1,55 88,44 ± 3,80 38,63 ± 0,88 34,25 ± 0,35 18,44 ± 0,44 16,45 ± 0,11 6,78± 0,27 6,69 ± 0,05 6,07 ± 0,34 5,99 ± 0,14 4,53 ± 0,07
0,00 100,47 128,28 152,50 202,31 206,69 222,50 224,48 234,16 234,25 234,87 234,95 236,41
0,56 0,72 0,86 1,14 1,16 1,25 1,26 1,31 1,32 1,32 1,32 1,33
16,74 10,69 8,47 8,43 6,89 6,18 5,34 4,88 4,34 3,91 3,56 3,28
72
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch stop aerasi umpan 12 % pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,54 ± 0,35 20,27 ± 6,05 25,65 ± 1,97 33,57 ± 4,84 34,96 ± 11,20 42,45 ± 2,27 41,38 ± 2,57 40,53 ± 1,97 35,96 ± 0,99 34,87 ± 1,69 34,12 ± 2,97 34,87 ± 0,64 32,92 ± 0,21
1,30 ± 0,05 2,89 ± 0,17 3,22 ± 0,04 3,46 ± 0,08 3,43 ± 0,18 3,73 ± 0,03 3,70 ± 0,03 3,68 ± 0,02 3,59 ± 0,01 3,53 ± 0,02 3,50 ± 0,04 3,56 ± 0,01 3,50 ± 0,00
0,00 1,59 1,92 2,16 2,13 2,43 2,40 2,39 2,29 2,24 2,20 2,26 2,20
0,27 0,16 0,12 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03
239,69 ± 1,33 132,97 ± 1,55 83,28 ± 2,87 56,44 ± 4,24 37,50 ± 1,24 35,94 ± 0,27 15,59 ± 0,88 14,81 ± 0,49 5,94 ± 0,47 5,65 ± 0,02 5,63 ± 0,44 5,61 ± 0,25 5,41 ± 0,05
0,00 106,72 156,41 183,25 202,19 203,75 224,09 224,88 233,74 234,04 234,06 234,08 234,28
0,66 0,96 1,13 1,24 1,25 1,38 1,38 1,44 1,44 1,44 1,44 1,44
17,79 13,03 10,18 8,42 6,79 6,22 5,35 4,87 4,33 3,90 3,55 3,25
73
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch stop aerasi umpan 8 % pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,68 ± 0,21 21,95 ± 1,46 25,67 ± 0,45 32,95 ± 0,45 34,26 ± 1,22 41,69 ± 5,39 38,60 ± 0,80 42,63 ± 3,25 37,45 ± 0,42 37,18 ± 0,47 32,80 ± 0,21 37,81 ± 0,42 38,98 ± 0,38
1,30 ± 0,06 3,09 ± 0,07 3,25 ± 0,02 3,49 ± 0,01 3,53 ± 0,04 3,73 ± 0,13 3,65 ± 0,02 3,75 ± 0,08 3,62 ± 0,01 3,62 ± 0,01 3,49 ± 0,01 3,63 ± 0,01 3,66 ± 0,01
0,00 1,79 1,94 2,19 2,23 2,43 2,35 2,45 2,32 2,31 2,19 2,33 2,36
0,30 0,16 0,12 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03
240,00 ± 0,88 152,50 ± 0,88 101,72 ± 3,31 72,88 ± 8,31 51,94 ± 7,69 34,25 ± 0,18 23,33 ± 2,28 19,19 ± 0,31 7,98 ± 0,19 8,06 ± 0,42 6,92 ± 0,26 5,64 ± 0,10 5,58 ± 0,41
0,00 87,50 138,28 167,13 188,06 205,75 216,68 220,81 232,03 231,94 233,08 234,36 234,43
0,51 0,81 0,98 1,10 1,20 1,27 1,29 1,35 1,35 1,36 1,37 1,37
14,58 11,52 9,28 7,84 6,86 6,02 5,26 4,83 4,30 3,88 3,55 3,26
74
Kinetika kultivasi S.cerevisiae var. ellipsoides secara fed-batch stop aerasi umpan 4 % pada bioreaktor 2 L Waktu X ln X Ln X - Ln Xo µ S So-S dS/dt ∆S/So (jam) (g/L) (g/L) (g/L) (1/jam) (g/L) (g/L) (g/L/jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
3,84 ± 0,11 22,52 ± 0,33 23,55 ± 0,54 42,57 ± 0,99 39,77 ± 1,35 40,06 ± 1,21 40,09 ± 5,94 35,77 ± 1,08 43,69 ± 0,76 38,76 ± 1,08 37,71 ± 1,03 36,72 ± 1,62 33,92 ± 1,62
1,34 ± 0,03 3,11 ± 0,01 3,16 ± 0,02 3,75 ± 0,02 3,68 ± 0,03 3,69 ± 0,03 3,69 ± 0,15 3,58 ± 0,03 3,78 ± 0,02 3,66 ± 0,03 3,63 ± 0,03 3,60 ± 0,04 3,52 ± 0,05
0,00 1,77 1,81 2,41 2,34 2,35 2,34 2,23 2,43 2,31 2,29 2,26 2,18
0,30 0,15 0,13 0,10 0,08 0,07 0,05 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03
240,31 ± 0,44 182,19 ± 0,88 113,91 ± 3,76 86,31 ± 5,92 67,19 ± 1,68 33,53 ± 3,14 13,28 ± 0,27 9,69 ± 0,53 8,84 ± 0,02 8,54 ± 0,09 7,58 ± 0,10 7,94 ± 0,01 5,60 ± 0,18
0,00 58,13 126,41 154,00 173,13 206,78 227,03 230,63 231,48 231,78 232,73 232,37 234,71
0,26 0,56 0,68 0,76 0,91 1,00 1,02 1,02 1,02 1,02 1,02 1,03
9,69 10,53 8,56 7,21 6,89 6,31 5,49 4,82 4,29 3,88 3,52 3,26
88
Lampiran 10. Hasil produksi etanol pada kultivasi batch a. Konsentrasi etanol % (b/v) Etanol Perlakuan % (b/v) 10,12 Aerasi penuh (1 vvm) 10,69 Terekayasa I 10,77 Terekayasa II
Konsumsi glukosa (g/L) 225,86 228,50 229,13
Etanol teoritis (%) 11,542 11,676 11,708
Efisiensi Kultivasi (%) 87,683 91,553 91,986
b. Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v) Vol EtoH Total vol % massa EtoH dlm Perlakuan substrat Etanol dlm substrat (ml) (b/v) substrat (g) (ml)* 1200 10,12 121,440 153,916 Aerasi penuh (1vvm) 1200 10,69 128,280 162,586 Terkayasa I 1200 10,77 129,240 163,802 Terekayasa II
Perlakuan
Rendemen
Rendemen
(% b/b)**
(% v/b)***
288,00 288,00 288,00
Kebutuhan sirup glukosa (kg)****
Pati sagu (kg)
1,871 1,771 1,758
1,903 1,802 1,788
42,167 53,443 Aerasi penuh (1 vvm) 44,542 56,453 Terkayasa I 44,875 56,876 Terekayasa II * gram EtOH dalam substrat/berat jenis EtOH (0,789) ** gram EtOH/g sirup glukosa *** vol EtOH/g sirup glukosa **** untuk 1 L EtOH (kg)
Lampiran 11. Hasil produksi etanol pada kultivasi fed-batch a. Konsentrasi etanol % (b/v)
Berat sirup glukosa di substrat (g)
89
Perlakuan
Etanol % (b/v)
Konsumsi glukosa (g/L)
Etanol teoritis (%)
Efisiensi Kultivasi (%)
FB 4 % FB 8 % FB 12 % FB 16 % FB 20 % Aerasi penuh (1vvm)
11,620 11,735 11,810 12,050 11,690 10,485
234,713 234,425 234,275 236,413 231,531 232,838
11,994 11,979 11,971 12,081 11,831 11,898
96,883 97,962 98,651 99,746 98,806 88,124
b. Perhitungan rendemen berdasarkan basis konsentrasi etanol % (b/v)
Perlakuan FB 4 % FB 8 % FB 12 % FB 16 % FB 20 % Aerasi penuh (1vvm)
Perlakuan FB 4 % FB 8 % FB 12 % FB 16 % FB 20 % Aerasi penuh (1vvm)
Total vol Substrat (ml)
% Etanol (b/v)
Massa EtoH dlm substrat (g)
Vol EtoH dlm substrat (ml)*
Berat sirup glukosa di substrat (g)
1200 1200 1200 1200 1200 1200
11,620 11,735 11,810 12,050 11,690 10,485
139,44 140,82 141,72 144,60 140,28 125,82
176,730 178,479 179,620 183,270 177,795 159,468
248 256 264 272 280 272
Rendemen (% b/b)**
Rendemen (% v/b)***
Kebutuhan sirup glukosa (kg)****
Pati sagu (kg)
56,226 55,008 53,682 53,162 50,100 46,257
71,262 69,718 68,038 67,379 63,498 58,628
1,403 1,434 1,470 1,484 1,575 1,706
1,427 1,459 1,495 1,509 1,602 1,735
* gram EtOH dalam substrat/berat jenis EtOH (0,789) ** gram EtOH/g sirup glukosa *** vol EtOH/g sirup glukosa **** untuk 1 L EtOH (kg)