REKAYASA PROSES PRODUKSI HIDROLISAT DARI AMPAS SAGU SEBAGAI SUBSTRAT UNTUK PEMBUATAN BIOETANOL
ALFI ASBEN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Proses Produksi Hidrolisat Dari Ampas Sagu Sebagai Substrat Untuk Pembuatan Bioetanol adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2012
Alfi Asben NRP. F361070041
4
ABSTRACT ALFI ASBEN. Process Engineering of Hydrolysate Production from Sago Hampas as Substrate for Bioethanol Production. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, KHASWAR SYAMSU, and NADIRMAN HASKA Sago hampas is one abundant biomass available in Indonesia, because Indonesia has more than half (56.5%) of world sago forest. The research objective was to obtain a high sugar hydrolysate from sago hampas, as a substrate for production of bioethanol. The study was done in four phases: 1) Analysis of sago hampas biomass and its pretreatment, 2) Hydrolysis of sago hampas starch using hydrothermal enzymatic method and using 0.25 M H2SO4 solution as a comparison, 3) Conversion of sago hampas cellulose into glucose using Trichoderma reesei, and 4) Application of hydrolysate from sago hampas for bioethanol production and its added value analysis. Results showed that the largest contain of sago hampas was starch followed by cellulose. Pretreatment of sago hampas using distilled water at 115 oC for 15 minutes gave the highest starch content of 17.98 g/L (the yield of 87.24%). In the other hand, treatment with 0.25 M H2SO4 at 115 oC for 15 minutes gave the highest total sugar at 20.23 g/L in the extract (88.16% conversion factor). Sago hampas starch in extract was then converted by enzymatic method to sugar with the highest dextrose equivalent result of 86.56%. Conversion of sago hampas cellulose into glucose was carried out by Trichoderma reesei in Erlenmeyer flask using water bath shaker, resulting in 0.3 g/L glucose. Glucose produced seems to be repressor for further cellulase production, which is known as glucose effect. Bioethanol concentration obtained from sugar hydrolysate using hydrothermal enzymatic method was slightly higher compared to bioetanol concentration obtained using 0.25 M H2SO4 method, i.e 2.82% and 2.65% respectively. Added value obtained from sago hampas hydrolysate production using hydrothermal enzymatic method with cellulose residue as by-product was about Rp. 444.79 for each kg of output with 41.54% of added value ratio. Production factor compensation for businnes owner, worker and other input price were 41.06%, 7.25% and 51.69% respectively.
Keywords: Sago hampas, starch, cellulose, hydrothermal enzymatic, hydrolysate, bioethanol, added value
6
RINGKASAN ALFI ASBEN. Rekayasa Proses Produksi Hidrolisat Dari Ampas Sagu Sebagai Substrat Untuk Pembuatan Bioetanol. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, KHASWAR SYAMSU, dan NADIRMAN HASKA Indonesia memiliki areal sagu terbesar yaitu sekitar 56.5% dari total areal sagu dunia. Pengolahan pati sagu menghasilkan limbah padat sagu, terutama berupa ampas sagu. Limbah hasil pengolahan pati sagu yang banyak mencemari air dan tanah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan limbah sagu dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Biomassa ampas sagu merupakan bahan baku yang menjanjikan karena tersedia melimpah, murah, dan mempunyai potensi secara kuantitas yang luar biasa. Pengujian mikroskopik menggambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam matrik lignoselulosa ampas sagu. Ampas sagu adalah hasil samping berupa lignoselulosa berpati yang diperoleh dalam proses pengolahan pati dari pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb). Agar didapat suatu nilai tambah yang tinggi, diperlukan teknologi pemanfaatan limbah biomassa ampas sagu menjadi produk yang lebih bervariatif dan memberi manfaat yang lebih luas, salah satunya dengan mengkonversinya menjadi hidrolisat yang mengandungan gula. Hidrolisat dari ampas sagu ini dapat dipromosikan sebagai bahan baku produksi bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat dari ampas sagu dengan kandungan gula yang tinggi sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap penelitian utama. Penelitian tahap pertama terdiri dari dua tahapan penelitian yaitu: 1) Analisis komponen ampas sagu. 2) Perlakuan awal (pretreatment) ampas sagu untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan komponen pati yang maksimal setelah pretreatment. Penelitian tahap kedua adalah proses hidrolisis dari ekstrak komponen pati hasil pretreatment ampas sagu untuk mendapatkan gula maksimal dalam penyediaan hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol. Tahap ini meliputi kajian: (1) Proses hidrolisis dari ekstrak komponen pati secara hidrotermal-enzimatik. Proses hidrolisis ini meliputi: i) hidrotermal, yaitu pemisahan dan gelatinisasi pati pada ampas sagu, ii) enzimatik, meliputi proses liquifikasi dan sakarifikasi; dan 2). Proses hidrolisis ampas sagu dengan asam (H2SO4) dalam menghasilkan hidrolisat mengandung gula yang dapat tersedia sebagai substrat produksi bioetanol (sebagai pembanding). Penelitian hidrolisis asam meliputi kajian peningkatan konsentrasi ampas sagu yang dihidrolisis dengan H2SO4 0.25 M. Penelitian tahap ketiga adalah kajian konversi residu selulosa dari ampas sagu hasil pretreatment menjadi hidrolisat (glukosa) secara langsung dengan menggunakan mikroba T. reesei secara batch dalam satu tahap. Penelitian tahap keempat meliputi dua kajian yaitu: 1) Aplikasi produksi bioetanol menggunakan substrat hidrolisat ampas sagu terbaik dari perlakuan penelitian tahap kedua, dan 2) Kajian analisis nilai tambah dari hidrolisat ampas sagu dan residu selulosa ampas sagu dalam mendapatkan suatu pertambahan nilai ampas sagu untuk digunakan sebagai bahan baku industri. Hasil penelitian yang diperoleh dari empat tahapan penelitian utama adalah sebagai berikut: Komponen terbesar yang terdapat dalam ampas sagu adalah pati dan diikuti oleh selulosa. Pretreatment menggunakan akuades pada
8
suhu 115 oC selama 15 menit memberikan kandungan pati tertinggi (17.98 g/L) dengan rendemen 87.24% pada ekstrak. Pretreatment menggunakan H2SO4 0.25 M pada suhu 115 oC selama 15 menit menyebabkan hidrolisis pati ampas sagu menghasilkan ekstrak dengan kandungan total gula tertinggi (20.24 g/L) dengan tingkat konversi 88.19%. Kandungan selulosa residu ampas sagu hasil pretreatment berkisar antara 40.65-49.89%. Produksi hidrolisat dari ampas sagu menggunakan metode hidrotermal pada suhu 115 oC selama 15 menit dalam autoclave, diikuti liquifikasi dan sakarifikasi menghasilkan hidrolisat dengan nilai derajat polimerisasi (DP) terendah yaitu 1.16, dan dextrose equivalent (DE) tertinggi yaitu 86.56%. Metode hidrotermal-enzimatik merupakan metode yang lebih baik dalam hidrolisis pati dari ampas sagu dibandingkan metode hidrolisis menggunakan H2SO4 0.25 M. Konversi selulosa ampas sagu menggunakan T. reseei secara kultivasi satu tahap dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker menghasilkan hidrolisat yang mengandung glukosa 0.3 g/L. Keberadaan glukosa ini menjadi represor bagi selulase dalam medium untuk mengkonversi selulosa lebih lanjut yang dikenal dengan nama glucose effect. Produksi bioetanol pada substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (gula pereduksi 8.94%) lebih baik dibandingkan dengan hidrolisat dari metode hidrolisis H2SO4 0.25 M (gula pereduksi 10.15%). Kadar etanol yang dihasilkan masing-masingnya, yaitu 2.82% dan 2.65%. Koefisien kinetika fermentasi bioetanol dari substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik memberikan nilai yang lebih baik, yaitu; Yx/s 0.0509 g sel kering/g substrat, Yp/s 0.419 g etanol/g substrat, dan Yp/x 8.88 g etanol/g sel kering, dengan efisiensi penggunaan substrat yang lebih tinggi yaitu 73.21%. Perhitungan analisis nilai tambah produksi hidrolisat dari ampas sagu menggunakan metode hidrotermal-enzimatik dengan hasil samping residu selulosa ampas sagu memberikan nilai sebesar Rp 444.79 /kg output yang dihasilkan, dengan rasio nilai tambah sebesar 41.54%. Balas jasa atau imbalan faktor produksi untuk pemilik usaha diperoleh sebesar 41.06%, untuk tenaga kerja 7.25%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 51.69%. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjut mengenai: 1) Proses fermentasi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu hasil liquifikasi menggunakan galur mikroba yang mampu mendegradasi oligosakarida. 2) Proses konversi ampas sagu satu tahap pada bioreaktor dengan penelitian rekayasa kondisi proses konversi selulosa dan penggunaan isolat penghasil selulase dari isolat unggul lokal. 3) Penelitian simultaneus saccharification and fermentation (SSF) pada ampas sagu dengan menggunakan mikroba S. cerevisiae dan mikroba lain yang mampu menyediakan glukosa bagi S. cerevisiae dari bahan-bahan dalam ampas sagu.
Kata kunci: Ampas sagu, pati, selulosa, hidrotemal-enzmatik, hidrolisat, bioetanol, nilai tambah
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
10
REKAYASA PROSES PRODUKSI HIDROLISAT DARI AMPAS SAGU SEBAGAI SUBSTRAT UNTUK PEMBUATAN BIOETANOL
ALFI ASBEN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
12
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi 2. Dr. Drs. Zainal Alim Mas’ud, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Fauzan Azima, MS 2. Dr. Ir. Lisbetini Hartoto, MS
Judul Disertasi
: Rekayasa Proses Produksi Hidrolisat Dari Ampas Sagu Sebagai Substrat Untuk Pembuatan Bioetanol. Nama Mahasiswa : Alfi Asben NRP : F 361070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc Anggota
Prof (R). Dr. Ir. Nadirman Haska, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 15 Oktober 2012
Tanggal Lulus:
14
PRAKATA Alhamdulillahi rabbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan pertolongan dan rahmat-Nya maka disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat dalam menyelesaikan studi Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bantuan berbagai pihak banyak penulis terima selama proses penyelesaian disertasi ini, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS., selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc., dan Bapak Prof (R). Dr. Ir. Nadirman Haska, MS., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan memberikan arahan, masukan serta dorongan dalam penyelesaian disertasi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS., Bapak Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran, Ibu. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., Ibu Dr. Titi Candra Sunatri, S.TP., M.Si., dan Bapak Dr. Eng. Taufik Djatna, S.TP., M.Si., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian. 3. Bapak Dr. Ir. Sam Herodian MS., dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc, selaku Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB atas fasilatas dan kemudahan yang diberikan selama studi. 4. Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si., dan Bapak Dr. Drs. Zainal Alim Mas’ud, DEA atas saran dan masukannya selaku penguji dalam ujian tertutup. Bapak Prof. Dr. Ir. Fauzan Azima, MS., dan Ibu Dr. Ir. Lisbetini Hartoto, MS. atas saran dan masukannya selaku penguji pada ujian terbuka.
16
5. Rektor Universitas Andalas dan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S3. 6. Kepala Laboratorium Teknologi Proses TIN IPB, Kepala Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Hayati dan Bioteknologi IPB; Kepala Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi FATETA, Kepala Laboratorium Bioteknologi Agroekotek FAPERTA dan Kepala Laboratorium Farmasi Fisika Fak. Farmasi Universitas Andalas; serta Kepala Laboratorium Chemical Engineering Faculty of Engineering, Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang dalam penyediaan fasilitas untuk penelitian disertasi ini. 7. Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud RI atas bantuan berupa beasiswa pendidikan BPPS dan beberapa hibah yang mendukung penelitian ini. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat atas bantuan beasiswa yang diberikan untuk penyelesaian studi ini. 8. Prof. Dr. Takao Kokugan, Tokyo University of Agriculture and Technology, yang telah memberikan kesempatan pada penulis mengikuti Program JASSO tahun 2009-2010 dan melakukan penelitian di laboratorium Chemical Engineering Faculty of Engineering TUAT Jepang. 9. Ayahanda Anas Hamidy dan Ibunda Sari Banun (Alm), Ayah Mertua Drs.H. Muchtar Djamil (Alm), dan Ibu Mertua Hj. Ryasidah Bakar, Istri tercinta Fri Maulina, SP, MP., ananda Safira A. Husna dan Fathih M. Alfi dan segenap sanak saudara atas do’a, dukungan, dan motivasinya yang diberikan selama ini 10. Seluruh rekan kuliah di Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan sebaik-baiknya. 11. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian hingga tersusunnya disertasi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan agroindustri di Indonesia dan pengembangan ilmu pengetahuan serta bagi masyarakat luas. Bogor,
November 2012 Alfi Asben
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Bukittingi tanggal 25 April 1968 sebagai anak keempat dari pasangan Anas Hamidy dan Sari Banun (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis diterima menempuh pendidikan Magister di Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan selesai pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB diperoleh pada tahun 2007. Pada tahun 1993-1994 penulis bekerja sebagai Field officer PT. Tidar Kerinci Agung (perkebunan kelapa sawit) di Sumatera Barat. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang sejak tahun 1994 sampai tahun 2008, dan menjadi staf pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang pada tahun 2008 sampai saat ini. Selama mengikuti program doktor, penulis mendapat kesempatan mengikuti
JENESYS Program 2009/10: Invitation Project of Undergraduate and
Postgraduate Student of Enviroment-related Subjects, Implemented by JASSO “Construction of bio-refinery network base by collaboration with agriculture and technology in South East Asia, pada September 2009 sampai Maret 2010, bertempat di Tokyo University of Agriculture and Technology Jepang, dengan kegiatan melakukan penelitian dari sebagian disertasi penulis. Pada tanggal 29-30 Oktober 2011, penulis menyampaikan makalah pada The 10th International Sago Symposium di Bogor, dengan judul Sago Hampas’ Cellulose Conversion to Glucose In batch fermentation. Artikel ilmiah berjudul Kajian Potensi dan Pemanfaatan Limbah Ampas Sagu Setelah Pretreatment, telah diterbitkan pada jurnal Lumbung. Vol. 11, No. 1. Januari 2012. ISSN 1412-1948. Artikel ilmiah berjudul Pretreatment dan Hidrolisis Lanjut Ampas Sagu dengan H2SO4 0.25 M dalam Penyediaan Hidrolisat Mengandung Gula Untuk Produksi Biotanol, diterbitkan pada Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, Vol 16 No.2. September 2012. ISSN 1410-1920. Karya-karya ilmiah ini merupakan bagian dari disertasi penulis.
18
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...……………………………………………………….......
xix
DAFTAR TABEL ……...………………………………………………...
xxi
DAFTAR GAMBAR …..………………………………………………...
xxii
DAFTAR LAMPIRAN ..…………………………………………………
xxiv
PENDAHULUAN ..………………………………………………..
1
1.1
Latar Belakang ..…………………………………………...
1
1.2
Tujuan Penelitian ....………………………………………..
5
1.3
Hipotesis ..………………………………………………..
5
1.4
Manfaat Penelitian ...……………………………………….
6
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ......……………………………..
6
TINJAUAN PUSTAKA …..……………………………………….
7
2.1
Sagu dan Ampas Sagu ....…………………………………..
7
2.2
Perlakuan Awal (Pretreatment) dan Lignoselulosa ....….…
10
2.3
Hidrolisis Pati Ampas Sagu ....…………..………………...
12
2.4
Selulase ..…………………………………………………...
17
2.5
Bioetanol ....………………………………………………..
19
2.6
Analisis Nilai Tambah ..….………………………………...
23
METODOLOGI PENELITIAN …....……………………………...
25
3.1
Kerangka Pemikiran ...……………………………………...
25
3.2
Tahapan Penelitian ..………….…………………………….
29
3.3
Tempat dan Waktu ....……………..………………………..
31
3.4
Bahan dan Alat ...……………...…………………………....
31
3.5
Pelaksanaan Penelitian ....……….…….….….…………….
32
3.5.1 Penelitian Tahap I. Analisis Komponen dan Pretreatment Ampas Sagu .…………………………..............
32
3.5.2 Penelitian Tahap II. Hidrolisis Ampas Sagu Metode Hidrotermal-Enzimatik dan Metode H2SO4 0.25 M ..
35
3.5.3 Penelitian Tahap III. Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Hidrolisat Mengandung Gula (Glukosa) ......
42
1
2
3
20
3.5.4 Penelitian IV. Produksi Bioetanol Menggunakan Hidrolisat dari Ampas Sagu .......................................
45
3.5.5 Kajian Analisis Nilai Tambah Produksi Hidrolisat Ampas Sagu ...............................................................
47
HASIL DAN PEMBAHASAN .......……………………………….
51
4.1
Komponen Ampas Sagu dan Pretreatment ...........................
51
4.1.1 Komponen Ampas sagu ..............................................
51
4.1.2 Pretreatment Ampas Sagu ..........................................
53
Hidrolisis Ampas Sagu Dengan Metode Hidrotermal Enzimatik dan Metode H2SO4 0.25 M ......………………..
59
4.2.1 Hidrolisis dengan Metode Hidrotermal-Enzimatik ....
59
4.2.2 Hidrolisis dengan Metode Asam (H2SO4 0.25 M) ......
66
Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Glukosa .………..
72
4.3.1 Pretreatment dengan Low Steam Treatment ..………
72
4.3.2 Proses Kultivasi Pada Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Hidrolisat Mengandung Glukosa .…...
75
4.4
Produksi Bioetanol dari Hidrolisat Ampas Sagu ...………...
87
4.5
Analisis Nilai Tambah Produksi Hidrolisat dari Ampas Sagu .......................................................................................
101
SIMPULAN DAN SARAN ..………………………………..……..
109
5.1
Simpulan ..…………………...……………………………..
109
5.2
Saran .………………………...…………………………….
110
DAFTAR PUSTAKA .....………………………………………………...
111
LAMPIRAN ......………………………………………………………….
123
4
4.2
4.3
5
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rataan komposisi pohon sagu ..………………..….……….......
8
2
Format analisis nilai tambah pengolahan .….………….............
50
3
Kandungan bahan dalam ampas sagu (basis kering) ..................
52
4
Kandungan pati, gula pereduksi, HMF, dan total gula pada ekstrak hasil pretreatment ampas sagu …….…………………..
53
Hasil analisis selulosa dan rendemen residu ampas sagu setelah pretreatment …..…..…………………………………………...
58
Kandungan gula pereduksi, total gula, dan pati dalam ekstrak hasil proses hidrotermal ampas sagu ...............................…......
60
Kandungan selulosa dan rendemen residu ampas sagu hasil proses hidrotermal ampas sagu …………….………………….
62
8
Kandungan hidrolisat hasil proses liquifikasi pati ampas sagu ..
63
9
Kandungan hidrolisat hasil proses sakarifikasi pati ampas sagu …...……………………………………………………….
64
Kandungan gula pereduksi dan total gula hidrolisat ampas sagu hasil hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M pada beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu (pemekatan) .…….…..……………….
67
Derajat polimerisasi dan dextrose equivalent hidrolisat ampas sagu hasil hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M pada beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu (pemekatan) ……….......…......
67
Kandungan gula pereduksi, glukosa teoritik, konversi patigula pereduksi, dan HMF hidrolisat dari hidrolisis dengan peningkatan konsentrasi ampas sagu menggunakan H2SO4 ..…
69
Kandungan selulosa dan rendemen residu ampas sagu hasil hidrolisis beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu menggunakan H2SO4 0.25 M ..................................................................
70
Konsentrasi selulosa ampas sagu setelah pretreatment secara low steam treatment …..……………………………………….
74
Koefisien kinetika fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu …............................................................
94
Efisiensi penggunaan dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu pada fermentasi bioetanol ...........................................................
98
Hasil perhitungan nilai tambah hidrolisat dan residu selulosa dari ampas sagu ..........................................................................
105
5 6 7
10
11
12
13
14 15 16 17
22
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Struktur kimia selulosa (Anonim 2010a) ...…………………..
11
2
Struktur kimia hemiselulosa (Anonim 2010b) ...……………..
11
3
Skema dari proses pretreatment bahan lignoselulosa (Hsu et al. 1980 diacu dalam Mosier et al. 2005) ……………………..
12
4 5
Strukur kimia amilosa (Hart dan Schmetz 1972) ..…………… Struktur kimia amilopektin (Hart dan Schmetz 1972) ..............
13 13
6
Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh α-amilase (Tegge 1984) …......................................................................................
14
Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh glukoamilase (Tegge 1984) ............................................................................
15
Tahap-tahap proses pembuatan etanol dari bahan baku yang berbeda-beda (Soerawidjaja 2006) ...…………..……………..
20
9
Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Doelle 1981) .......................
22
10 11
Diagram alir kerangka penelitian .............................................. Diagram alir penelitian secara umum ........................................
28 30
12
Prosedur pretreatment ampas sagu ...........................................
34
13
Prosedur hidrolisis secara hidrotermal pada ampas sagu …......
37
14
Prosedur liquifikasi dan sakarifikasi hidrolisat hasil hidrotermal dari ampas sagu ……........……………………………
39
15
Prosedur hidrolisis ampas sagu dengan H2SO4 dalam penyediaan substrat untuk produksi bioetanol ....................................
41
16
Prosedur proses konversi selulosa ampas sagu melalui kultivasi T. reesei dalam labu Erlenmeyer dan bioreaktor …………...
44
Prosedur produksi bioetanol dari dua substrat hidrolisat dari ampas sagu ……….....………..……………………………….
47
Diagram batang kandungan pati dalam ekstrak hasil proses hidrotermal ampas sagu ..……..………………………………
61
Hubungan nilai konversi pati dan gula pereduksi hasil hidrolisis H2SO4 berdasarkan peningkatan konsentrasi ampas sagu
71
Rendemen residu ampas sagu setelah pretreatment secara low steam treatment ……..…………………………………….…..
73
Konsentrasi selulosa setelah pretreatment ampas sagu secara low steam treatment ….……………………………………….
75
7 8
17 18 19 20 21
24
22 23 24
25
26 27 28 29 30 31
32 33 34 35 36
Hifa dan spora pada T. reesei. Hifa (Miselium) (A) dan Spora (B) dari T. reesei (perbesaran 100 x) ..……..……………….…
76
Hasil pengukuran konidia T.reesei. Hifa (A) dan Spora (Konidia) (B) dari T. reesei (pembesaran 100 x) ...…………...
76
Kurva pertumbuhan dan pembentukan glukosa pada preculture T. reesei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu …...………………………………………………………. Kurva pertumbuhan dan pembentukan glukosa pada preculture T. reesei menggunakan substrat selulosa mikrokristalin …………………………………………..……………
77
77
Kurva pertumbuhan mikroba pada sistem curah (Stanbury dan Whitaker 1984) ....................................................................…..
78
Pola pembentukan protein sel mikroba T. reesei pada proses kultivasi menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu …
79
Pola aktivitas selulase dari proses kultivasi T. reesei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu ..………..................
81
Pola pembentukan glukosa selama kultivasi T. reesei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu ……..….....
82
Hubungan aktivitas selulase dengan pembentukan glukosa selama kultivasi ............................................................................
84
Hubungan pertumbuhan massa sel (protein sel) dengan pembentukan glukosa pada konversi selulosa ampas sagu dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker ...................
86
Grafik penurunan gula pereduksi selama proses fermentasi dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu .............…….......
88
Grafik biomassa S. cerevisiae selama proses fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu ….............
90
Grafik pembentukan CO2 selama proses fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu ............................
91
Grafik pembentukan etanol selama fermentasi dengan menggunakan dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu ..........……...
93
Pola proses fermentasi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu dengan metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) ..…………..
100
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Perkiraan areal yang ditumbuhi sagu di Dunia dan Indonesia ..................................................................... ……...........
125
2 3 4
Mekanisme konversi selulosa ampas sagu .............................. Prosedur analisis ………...…………………………………... Analisis proksimat dan lignoselulosa (komponen) ampas sagu
126 127 138
5
Kurva standar ...………………………………………….......
144
6
Data kandungan pati dan selulosa ampas sagu dari beberapa peneliti .. ............………….………………………………….
148
Komposisi media Mendel dan Weber; dan pengukuran sel T. reesei ...................................................................................
149
8
Perhitungan-perhitungan yang digunakan ...............................
150
9
Data penelitian konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa ....................................................................................
153
Data penelitian proses fermentasi dua jenis hidrolisat ampas ampas sagu menjadi bioetanol ………...…….………………
155
Neraca massa hidrolisis ampas sagu secara hidrotermal enzimatik …...………………….…………………………….
158
12
Neraca massa hidrolisis ampas sagu dengan H2SO4 0.25 M ..
159
13
Komponen dalam perhitungan nilai tambah hidrolisat ………
160
14
Perhitungan nilai tambah ampas sagu menjadi hidrolisat dan by-product residu selulosa ampas sagu dengan kenaikan input lain sebesar 10% ….…………………………………………
162
Dokumentasi penelitian .…………………………….……….
163
7
10 11
15
26
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006), sedangkan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat kemampuan produksi minyak nasional yang semakin menurun, maka diperlukan pengembangan energi alternatif dengan penggunaan input yang seminimal mungkin. Salah satu energi alternatif adalah energi non fosil yang dikenal dengan nama biofuel. Biofuel adalah bahan bakar nabati yaitu bahan bakar yang ketersediaannya berasal dari tanaman atau bahagian tanaman dan bersifat terbarukan. Biofuel dapat dibagi lagi menjadi biodiesel dan bioetanol. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat dijadikan bahan bakar nabati yang ditujukan untuk menghapus ketergantungan terhadap premium. Menurut Bruce dan Palfreyman (1998), bioetanol dapat diproduksi dari sumber daya yang dapat diperbaharui seperti produk/hasil pertanian dan biomassanya. Sumber daya yang dapat diperbaharui ini dikategorikan ke dalam bahan-bahan berbasis gula (gula bit, gula tebu, dan sorgum), pati (biji-bijian yaitu: jagung, gandum, beras; dan umbi-umbian yaitu kentang, ketela pohon, ubi jalar; serta batang: sagu) dan lignoselulosa (tandan kosong kelapa sawit, kayu, jerami, bagas, limbah sagu, dan sebagainya). Biomassa ampas sagu yang merupakan salah satu bahan berlignoselulosa, mengandung potensi yang cukup besar sebagai bahan dasar bioetanol berdasarkan ketersediaan komponen-komponen tertentu (pati dan selulosa) yang dikandungnya. Program diversifiksasi pangan nasional menghendaki keragaman dalam sumber pangan karbohidrat. Sumber karbohidrat tidak selalu bersandarkan pada beras tetapi juga sumber karbohidrat lain. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting. Diversifikasi pangan telah mendorong dalam mengoptimalkan pemanfaatan tanaman sagu yang banyak terdapat di Indonesia, yang juga akan mendorong dalam proses pertanamannya untuk dibudidayakan secara
2
lebih baik. Indonesia memiliki potensi areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1.398 juta ha atau 56.5% dari 2.474 juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea sebesar 41.2% (Flach 1997). Dari areal sagu sebesar 1.389 juta ha, terdapat hutan sagu sebesar 1.250 juta ha dan lahan sagu semi cultived sebesar 148 ribu ha di Indonesia (Flach 1997; Balitbanghut 2005). Diperkirakan sekitar 10% dari hutan sagu yang dilaporkan telah mengalami konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, tempat tinggal, dan lainnya. Pada pengolahan sagu, perbandingan tepung dengan ela (ampas) sagu adalah 1 : 6 (Ramalatu 1981). Ampas sagu yang merupakan limbah hasil pengolahan pati sagu dapat mencemari air dan tanah karena belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan limbah sagu dapat menggurangi pencemaran lingkungan. Pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam bahan lignoselulosa ampas sagu (Chew dan Shim 1993). Kandungan pati dalam ampas sagu masih didapati sekitar 30-45% dengan kadar serat sebesar 3035% (Bujang 2011). Agar didapat suatu nilai tambah yang tinggi, diperlukan teknologi pemanfaatan limbah biomassa ampas sagu menjadi produk yang memberi manfaat yang lebih luas. Ampas sagu yang merupakan bahan lignoselulosa mengandung pati, diperoleh melalui proses pengolahan pati dari pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb) dapat dipromosikan sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol. Ampas sagu merupakan salah satu limbah pengolahan pati sagu yang mempunyai kandungan bahan yang spesifik, yaitu disamping disusun oleh lignoselulosa juga terdapat kandungan pati yang cukup tinggi. Pati pada ampas sagu yang tidak dapat dipisahkan secara fisik dan mekanis lewat ekstraksi pati sagu, dapat dipisahkan/diekstraksi lebih lanjut lewat suatu rekayasa perlakuan fisikkimia dan biologi (enzimatik). Pemisahan bagian pati dari bahan lignoselulosa ampas sagu dapat dipermudah dengan menggunakan perlakuan awal. Perlakuan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung lignoselulosa umumnya dilakukan untuk mempermudah terjadinya konversi enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Pada bagian lain pretreatment ini juga dapat memisahkan komponen lain seperti pati yang terikat kuat pada material dengan lebih baik. Banyak metode pretreatment yang
3
secara terpisah dapat memisahkan dan mendegradasi ikatan dan bahan yang mengandung lignoselulosa. Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada secara umum bertumpu pada pada prinsip pemanasan material dalam air pada temperatur 100-200 oC. Perlakuan degradasi/pemecahan dengan uap panas tanpa penambahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Secara umum diketahui bahwa penambahan atau perlakuan material dengan H2SO4 atau bahan mengandung SO2 (0.3 sampai 3% w/w) dapat menurunkan waktu dan temperatur proses, yaitu pada waktu yang sama meningkatkan recovery, menurunkan pembentukan dari inhibitor dan memperbaiki hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Dalam penelitian ini dilakukan rekayasa proses pretreatment untuk mengekstraksi/memisahkan pati dari ampas sagu yang akan diperoleh pada bagian larutan hasil ekstraksi (ekstrak), dengan mempertimbangkan selulosa dapat dibebaskan dari ikatan lignoselulosa setelah pretreatment. Proses rekayasa dilaksanakan dengan mengacu pada pretreatment yang dilakukan untuk bahan berlignoselulosa seperti dilaporkan para peneliti sebelumnya. Proses ekstraksi ampas sagu untuk memisahkan bagian pati secara maksimal dari ampas sagu dapat dilakukan dengan menggunakan panas. Rekayasa proses secara fisik menggunakan panas (termal), yang diikuti hidrolisis enzimatik untuk jenis bahan lignoselulosa berpati seperti ampas sagu dikenal sebagai hidrotermal-enzimatik. Metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik ini dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat mengandung gula yang tinggi dari pati ampas sagu. Proses hidrotermal merupakan pemisahan pati yang sekaligus merupakan proses gelatinisasi pada pati ampas sagu. Perlakuan pemisahan dan gelatinisasi pati ampas sagu dirancang dengan menggunakan panas yang lebih tinggi dari proses gelatinisasi yang umumnya dilakukan. Perlakuan panas secara fisik (termal) ini akan dapat meningkatkan pemisahan kandungan pati yang terikat cukup kuat pada bagian lignoselulosa dalam limbah ampas sagu. Bagian selulosa dari hasil pretreatment ampas sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat yang mengandung gula. Selulosa dari bagian biomassa limbah pertanian dapat dikonversi menjadi glukosa dengan menggunakan enzim komersial, tetapi proses ini mahal. Penggunaan enzim-enzim selulase dari mikro-
4
organisme secara langsung dapat menurunkan biaya konversi. Pada penelitian ini, bagian residu selulosa ampas sagu direkayasa untuk dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa dengan proses satu tahap menggunakan kapang Trichoderma reesei (T. reesei). Gong dan Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh organisme bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Salah satu penginduksi sintesis selulase adalah selulosa. Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Salah satu galur kapang yang potensial adalah T. reesei. Enzim selulase yang dihasilkan dapat mengkonversi selulosa ampas sagu yang berlebih dalam substrat menjadi glukosa. Suatu mikroba tertentu akan membutuhkan kondisi proses dan media yang spesifik untuk tumbuh dan memproduksi selulase. Kondisi fermentasi seperti aerasi dan agitasi dapat mempengaruhi hasil fermentasi. Pada bagian ini, dilihat potensi selulosa ampas sagu untuk dapat dikonversi menjadi glukosa mengunakan mikroba T. reesei. Hidrolisat ampas sagu sebagai hasil proses hidrolisis ampas sagu baik dari konversi pati ampas sagu pada umumnya, maupun dari proses konversi bagian selulosa dapat diproduksi menjadi bioetanol. Fermentasi bioetanol yang sempurna menghendaki mikroorganisme yang mampu menguraikan gula heksosa hasil produk hidrolisis. S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang secara tradisional digunakan untuk memproduksi bioetanol karena mampu mengurai substrat yang berasal dari gula heksosa. Produksi bioetanol dari hidrolisat dengan metode hidrolisis yang berbeda dapat memberikan hasil/produktifitas yang berbeda. Produksi hidrolisat yang mengandung gula akan memberi nilai tambah dari ampas sagu. Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditias mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional). Nilai tambah dari konversi ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung gula serta by-product berupa selulosa ampas sagu, dikaji untuk mengetahui pertambahan nilai ekonomi dari ampas sagu. Penelitian ini merupakan kajian rekayasa proses produksi hidrolisat yang mengandung gula dari ampas sagu sebagai substrat produksi bioetanol. Proses
5
penyediaan hidrolisat dilakukan dari beberapa tahapan proses, diawali dari pendekatan metode pretreatment secara fisik-kimiawi karena ampas sagu merupakan bahan lignoselulosa berpati. Kajian meliputi: pretreatment ampas sagu untuk mempermudah pemisahan dan konversi komponen pati; proses hidrolisis konversi pati ampas sagu menjadi gula sederhana dalam penyediaan hidrolisat untuk produksi bioetanol menggunakan metode hidrotermal-enzimatik dan hidrolisis asam; dan kajian proses konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat (glukosa) menggunakan mikroba T. reesei secara satu tahap. Pada bagian akhir penelitian ini dilakukan aplikasi produksi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu terpilih serta penghitungan nilai tambah hidrolisat ampas sagu dan by-product residu selulosa dari ampas sagu. 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung gula dari ampas sagu dengan tingkat konversi pati yang tinggi dan dapat tersedia sebagai substrat bagi pertumbuhan mikroba S. cerevisiae dalam produksi bioetanol. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan ekstrak dengan kandungan komponen pati yang maksimal setelah pretreatment ampas sagu. 2. Mendapatkan metode hidrolisis yang terbaik pada bahan berpati dari ampas sagu untuk penyediaan hidrolisat mengandung gula maksimal sebagai substrat produksi bioetanol. 3. Mendapatkan kondisi proses dan hidrolisat mengandung glukosa dari konversi selulosa ampas sagu satu tahap menggunakan mikroba T. reesei. 4. Mendapatkan bioetanol dari proses fermentasi hidrolisat ampas sagu terbaik menggunakan S. cereviseae. 5. Mengetahui nilai tambah hidrolisat yang dihasilkan dari ampas sagu.
1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Pretreatment ampas sagu dapat menghasilkan ekstrak dengan kandungan pati maksimal, dimana selulosa tetap tersedia pada residu ampas sagu. 2. Metode hidrotermal-enzimatik dapat memberikan hidrolisat yang mengandung gula dengan nilai konversi pati yang tinggi dari ampas sagu. 3. Selulosa ampas sagu dapat dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung gula (glukosa) dengan menggunakan T. reesei dalam satu tahap. 4. Hidrolisat ampas sagu mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat diproduksi sebagai substrat bioetanol.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Meningkatkan nilai ekonomi biomassa limbah sagu dan mengurangi dampak pencemaran lingkungan secara keseluruhan. 2. Penyediaan energi alternatif (etanol) dengan memanfaatkan ampas sagu. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan adanya rekayasa proses hidrolisis bahan lignoselulosa berpati menjadi hidrolisat yang mengandung gula dalam produksi bioetanol.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian adalah sebagai berikut: 1. Analisis komponen dan pretreatment ampas sagu. 2. Hidrolisis pati ampas sagu dengan metode hidrotermal–enzimatik untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung gula sebagai substrat produksi bioetanol. 3. Hidrolisis ampas sagu dengan metode asam (H2SO4) dalam mendapatkan hidrolisat dengan kandungan gula yang dapat tersedia sebagai substrat produksi bioetanol (sebagai pembanding). 4. Konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa secara kultivasi batch menggunakan T. reesei. 5. Aplikasi produksi bioetanol dari substrat hidrolisat ampas sagu. 6. Kajian analisis nilai tambah hidrolisat yang mengandung gula dan residu selulosa dari ampas sagu.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sagu dan Ampas Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan tanaman asli Indonesia yang diyakini berasal dari daerah sekitar danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Selain di Indonesia, sagu ditemukan dibeberapa negara lain seperti Papua New Guinea, Malaysia, Thailand, dan Philipina (Ruddle et al. 1978). Sagu tumbuh baik pada lahan marginal seperti gambut, rawa, payau, atau lahan tergenang di mana tanaman lain tidak mampu tumbuh (Bintoro 2008). Flach (1997) dan Balitbanghut (2005) melaporkan areal sagu di Indonesia umumnya tersebar di Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua. Lahan sagu berupa hutan sagu terdapat sebesar 1.250 juta ha dengan lahan sagu semi budidaya terdapat sekitar 148 ribu ha. Lahan semi budi daya ini tersebar di wilayah kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Lampiran 1). Bintoro (2011) lebih lanjut melaporkan bahwa distribusi areal sagu di Indonesia adalah 1.250 juta ha areal berupa hutan sagu dengan 158 ribu ha berupa lahan semi budidaya. Potensi luas areal tumbuhan sagu yang dilaporkan di Indonesia sangat bervariasi antara sumber yang satu dengan yang lain pada wilayah yang sama. Hasil studi dari kompilasi luas areal yang ditumbuhi sagu di Indonesia, dari berbagai sumber menunjukkan adanya keragaman yang sangat besar (Mulyanto dan Suwardi 2000). Di daerah Papua luas areal sagu berkisar antara 800 ribu ha sampai dengan 4.1 juta ha. Perbedaan luas areal bisa mencapai 4 kali lipat pada wilayah yang sama, atau terdapat perbedaan lebih dari 3 juta ha. Di Provinsi Kepulauan Maluku selisih antara sumber yang satu dengan lainnya sekitar 15 ribu ha. Batang sagu berbentuk silinder dan merupakan bagian yang terpenting karena sebagai gudang penyimpanan pati/karbohidrat. Pada umur 3-11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan mencapai tinggi 20 m. Diameter batang sagu sekitar 50 cm bahkan dapat mencapai 80-100 cm, umumnya diamater
8
bagian bawah lebih besar dan mengandung pati tinggi dibandingkan dengan bagian atas (Alfon dan Bustaman 2005). Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur (pith) yang mengandung serat dan pati. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% dari berat batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 7583%. Perbandingan antara berat kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu relatif sama (Alfon dan Bustaman 2005). Djoefrie (2003) menyatakan, pengolahan batang sagu menjadi pati sagu hanya 16-28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72%, merupakan limbah yang belum termanfaatkan secara optimal dan dapat menimbulkan pencemaran (Syakir 2005). Menurut Flach (1983), komposisi bagian pohon sagu dari bagian korteks hingga bagian ampas sagu adalah sebagai berikut: Tabel 1 Rataan komposisi pohon sagu Komponen
Total Berat Segar (kg)
Batang 1 250 Korteks 400 Empulur 850 Pati 250 Air 425 Ampas 175 Sumber: Flach (1983)
Perbandingan terhadap Total Berat Segar (%) 100 32 68 20 34 14
Perbandingan terhadap Empulur Segar (%) 100 29 50 21
Ekstraksi sagu secara tradisional menghasilkan tepung sagu basah maksimal 150 kg/hari, rendemen hasil hanya 20-26% (Alfon dan Bustaman 2005). Ramalatu (1981) melaporkan bahwa perbandingan pati dan residu ampas sagu dari proses ekstraksi adalah 1 : 6. Teti et al. (1989) menyatakan bahwa biomassa limbah sagu (ampas) merupakan bahan organik yang cukup banyak terbuang setelah pengolahan sagu, yaitu dari 1 ton bahan empulur sagu dapat diperoleh limbah 800 kg. Limbah hasil ekstraksi tepung sagu belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Kurnia (1991) limbah hasil olahan tepung sagu berupa bagian kulit dan ampas sagu dapat mencapai 85%. Limbah ampas sagu ini apabila tidak dikelola dengan baik akan merusak lingkungan, terutama daerah aliran sungai (tempat
9
pengolahan tepung sagu). Limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, media tumbuh tanaman, maupun mikroorganisme (Bintoro 1999). Sampai saat ini ampas sagu belum banyak dimanfaakan sehingga cukup banyak yang dibuang begitu saja sebagai limbah (Mubyarto dan Winahyu 1992). Ampas sagu adalah bahan seratan bagian dalam pohon sagu yang dibuang setelah diambil patinya. Analisis nutrisi ampas sagu dari genus Metroxylon yang dilakukan Bintoro (1990) dilaporkan sebagai berikut: protein kasar 0.62%, lemak 0.4%, abu 4.65%, pati 72.45%, dan ADF 13.42%. Menurut analisis Hangewa (1992) komposisi komponen ampas sagu adalah sebagai berikut: protein kasar 2.3%, serat kasar 18.86%, BETN 70.04%, dan gross energi 4148 Kkal. Rumawas et al. (1996) menambahkan, limbah sagu mengandung 53.92% C, 0.045 N, 0.02% P, 0.69% K, 1-3% Ca, 0.01% Mg, 22.1% selulosa, dan 14.3% hemiselulosa. Pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam matrik lignoselulosa (Chew dan Shim 1993). Penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan pemanfaatan limbah sagu meliputi: penelitian ampas sagu sebagai substrat untuk menghasilkan laccase lewat fermentasi substrat padat menggunakan Pleurotur sojur-caju (P. Sojur-caju) (Kumaran et al. 1997). Akmar dan Kenedy (2001) melaporkan penelitian tentang potensial limbah batang sagu dan batang sawit sebagai sumber karbohidrat. Karakterisasi fraksi dan bagian polisakarida non pati serta lignin dari empulur sagu dilaporkan oleh Sun et al. (1999). Penelitian konversi limbah serat sagu dalam fermentasi gula lewat hidrolisis asam dan enzimatik dilakukan Kumoro et al. (2008). Singhal et al. (2008) melakukan penelitian tentang kapang termofilik Myceliophthora thermophita (M. thermophita) dan kapang mesofilik Clara sp serta Neurospora sitophila (N. sitophila) yang keseluruhannya menghasilkan enzim yang signifikan secara ekonomi seperti selulase, amilase, dan enzim pengurai pati kasar glukoamilase yang tumbuh pada bermacam substrat termasuk ampas sagu. Mishima et al. (2011) melaporkan telah menghasilkan glukosa dari residu sagu menggunakan enzim Kleitase T10S. Linggang et al. (2011) menyatakan telah memproduksi biobutanol dari residu ampas sagu. Selanjutnya Awg Adenil et al. (2011) melaporkan telah berhasil melakukan fermentasi bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis ampas sagu secara enzimatik.
10
2.2 Perlakuan Awal (Pretreatment) dan Lignoselulosa Biomassa tanaman terutama disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin, dan sejumlah kecil pektin, protein, ekstraktif, dan abu. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin hadir dalam jumlah bervariasi pada bagian yang berbeda dari tanaman, secara kuat berasosiasi membentuk kerangka struktural dari dinding sel tanaman (Jorgensen et al. 2007).
Pretreatment pada sumber bahan berlignoselulosa
umumnya dilakukan untuk mendorong terjadinya konversi enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya dengan mudah. Teknologi perlakuan awal secara steam explosion dapat mengatasi pengerasan kembali biomassa selulotik sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat tersedia bagi konversi secara enzimatik menjadi gula untuk fermentasi (Anonim 2008). Penguraian lignoselulosa dapat melewati tahapan delignifikasi. Dalam pretreatment menggunakan uap panas, material dipanaskan secara cepat dengan steam pada 180-210 oC selama 1-10 menit. Pelakuan pemecahan atau degradasi dengan uap panas tanpa penambahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Secara umum diketahui bahwa penambahan atau meresapkan material dengan H2SO4 atau bahan mengandung SO2 (0.3 sampai 3% w/w) dapat menurunkan waktu dan temperatur, dimana pada waktu yang sama meningkatkan recovery, menurunkan pembentukan inhibitor, dan memperbaiki hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Seluruh teknologi pretreatment yang ada secara umum bertumpu pada prinsip pemanasan material pada temperatur 100-200 oC. Pretreatment pada temperatur yang lebih rendah dapat mendorong pemisahan/pelarutan bahan tertentu yang berikatan dengan bahan lignoselulosa. Material lignoselulosa mengandung gula polimer pada selulosa dan hemiselulosa, yang dapat dibebaskan lewat hidrolisis dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh mikroorganisme seperti S. cerevisiae (Palmgvist dan HahnHagerdal 2000). Selulosa adalah bagian terbesar dari komponen lignoselulosa tanaman dan sebagai komponen utama penyusun dinding sel tanaman selain hemiselulosa dan lignin (Lehninger 1982). Selulosa, konstituen utama dari dinding sel tanaman, merupakan homopolisakarida yang disusun seluruhnya oleh
11
D-glukosa dengan ikatan β-1-4-glukosidik pada suatu derajat polimerisasi di atas 10.000 atau lebih. Secara fisik dan kimia selulosa tersusun rapat di dalam dinding sel tanaman dan sebagai polimer tunggal dengan bobot molekul tinggi, apabila dalam jumlah yang berlebih dalam tanaman akan membentuk struktur dasar dari dinding sel tanaman tersebut (McDonald et al. 2002).
Gambar 1 Struktur kimia selulosa (Anonim 2010a). Hemiselulosa didefenisikan sebagai polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam alkali serta menyatu dengan selulosa. Komponen utama struktur hemiselulosa adalah unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, D-xilosa, dan Larabinosa yang terbentuk secara bersama dalam kombinasi yang berbeda dan ikatan glikosidik bermacam-macam (McDonald et al. 2002). Hemiselulosa berbeda dengan selulosa dalam hubungan keterikatannya dengan lignin. Hemiselulosa terikat lebih erat dengan lignin dibanding dengan selulosa. Kondisi inilah yang menyebabkan selulosa lebih mudah dicerna dibandingkan hemiselulosa.
Gambar 2 Struktur hemiselulosa (Anonim 2010b). Lignin merupakan lapisan protektif pada struktur selulosa-hemiselulosa dan jaringan tanaman selama pertumbuhan. Lignin menjadi penghalang hidrolisis selulosa, karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa (Enari 1983).
12
Mosier et al. (2005) menyatakan proses pretreatment diperlukan untuk merusak struktur biomassa yang mengandung selulosa atau ikatan lignin pada lignoselulosa. Hal ini akan
membuat selulosa terbebaskan dan lebih mudah
dikonversi oleh enzim dari bentuk polimer karbohidrat menjadi gula yang dapat difermentsi, seperti yang jelaskan Gambar 3.
Lignin
Selulosa
Bagian Amorpous
Pretreatment
Bagian Kristalin
Hemiselulosa Gambar 3 Skema dari proses pretreatment bahan lignoselulosa (Hsu et al. 1980 diacu dalam Mosier et al. 2005). 2.3 Hidrolisis Pati Ampas Sagu Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan kromatofora, disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan akar umbi sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur dan Chel 1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Brautlecht 1953).
Pada dasarnya pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α–glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi yang larut dalam air
disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur linear dengan ikatan α-1,4-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-1,6-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Davidson 1967). Ikatan α-1,6 sukar diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam. Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin (Wirakartakusumah et al. 1984).
13
Gambar 4 Struktur kimia amilosa (Hart dan Schmetz 1972).
Gambar 5 Struktur kimia amilopektin (Hart dan Schmetz 1972).
Metode physical dengan air panas (hidrotermal) adalah penerapan kondisi pretreatment secara fisik (panas) yang telah berhasil pada bahan berlignoselulosa. Metode ini dapat digunakan untuk pemisahan pati dan memperbaiki proses gelatinisasi pada ampas sagu sehingga dihasilkan gula pereduksi yang lebih besar diakhir proses.
Suhu gelatinisasi pada pati juga tergantung pada konsentrasi
suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 o
C sampai 78 oC. Knight (1986) menyatakan suhu gelatinisasi pati sagu sekitar
60-72 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 72-90 oC. Hidrolisat pati (sirup glukosa) didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Standar Industri Indonesia 1981). Metode yang umum dilakukan untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan diantaranya yaitu hidrolisis asam, hidrolisis enzim, dan kombinasi asam dan enzim (Tjokroadikoesomo 1986).
14
2.3.1 Hidrolisis Enzimatik Pada umumnya pembuatan hidrolisat dari pati sagu melalui hidrolisis enzimatik. Terdapat tiga tahapan hidrolisis enzimatik yaitu: tahap gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Pada likuifikasi pati α-amilase yang biasa digunakan adalah yang memiliki aktifitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.50.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering. Enzim α-amilase komersial dibuat oleh Novo, antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110 oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion, dan ekuivalen dekstrosa (Chaplin dan Buckle 1990). α-amilase (α-1,4-glucan-4-glucohydrolase, EC 3.2.1.1) adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisa ikatan α-1,4-glikosidik dalam polisakarida dan hasil degradasinya (Robyt dan Whelan 1968). Pada proses liquifikasi, α-amilase hanya akan memecah ikatan α-1,4 yang terdapat pada amilosa menghasilkan polimer yang dikenal sebagai dekstrin. Ikatan 1,6 dalam amilopektin tidak bisa dihidrolisis oleh enzim ini (Meyer 1973). Ditambahkan Kulp (1975), α-amilse pada amilopektin menghasilkan glukosa, maltosa, dan oligosakarida dengan jumlah monomer 4 atau lebih yang semuanya mempunyai ikatan α-1,6-glikosidik.
Keterangan: : Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik oleh α-amilase
Gambar 6 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh α-amilase (Tegge 1984).
15
Setelah terjadi likuifikasi, selanjutnya bahan akan mengalami proses sakarafikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan eksoenzim yang terutama memecah ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) secara lambat dengan melepaskan unit-unit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan amilopektin untuk memproduksi 6-D-Glukosa. Pada kondisi yang sesuai, enzim amiloglukosidase ditambahkan dengan dosis berkisar 1.65-1.80 liter enzim per ton pati dengan dosis sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle 1990). Nama trivial lain yang sering digunakan pada enzim tipe ini adalah amiloglukosidase, glukoamilase dan gamma–amilase. Enzim kapang yang mempunyai spesifikasi ini dan sering disebut juga amiloglukosidase dan glukoamilase. Glukoamilase tersusun dari asam amino yang umum tetapi sedikit mengandung asam amino bersulfur dan relatif tinggi jumlah asam amino yang mempunyai gugus hidroksi dan karboksilat.
Glukoamilase dari Aspergillus niger (A. niger) merupakan
glikoprotein yang mengandung D-manosa serta sejumlah kecil D-glukosida dan D-galaktosa (Pazur 1965).
Keterangan: : Lokasi pemutusan ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik oleh gukoamilase
Gambar 7 Pemutusan ikatan glikosidik pada pati oleh glukoamilse (Tegge 1984). Bagian berpati dari ampas sagu dapat dihidrolisis (konversi) menjadi glukosa oleh adanya aktifitas enzim glukoamilase. Glukoamilase (α-1,4-glukanglukohidrolase) (EC 3.2.1.3) adalah suatu enzim pengurai dari sisi luar, dimana memisahkan glukosa dari bagian akhir non reduksi suatu polimer pati. Enzim ini dapat dihasilkan oleh A. niger dan A. awamori yang secara terpisah dimurnikan dengan teknik kromatografi konvensional. Glukoamilase atau yang biasa disebut amiloglukosidase mampu memecah ikatan α-1-4 dalam amilosa, amilopektin, dan
16
glikogen dari ujung gula non pereduksi (Manunjat et al. 1983). Enzim ini juga dapat menghidrolisis ikatan α-1-6 meskipun pemecahannya lambat. 2.3.2 Hidrolisis Asam Hidrolisis asam dapat digunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomer-monomer. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam
yang
dapat
digunakan
sebagai
katalis
dalam
proses
hidrolisis.
Tjokroadikoesoemo (1986) menyatakan pada bahan mengandung pati, hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-unit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4 dan HCl. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati. Hidrolisis asam merupakan proses yang berlangsung secara acak dan tidak terpengaruh dengan adanya ikatan α-1,6-glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur dibandingkan pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa, dan glukosa (Chaplin dan Buckle 1990). Kelemahan dari hidrolisis asam adalah timbulnya senyawa inhibitor seperti hidroksimetil furfural (HMF) dan furfural yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol.
Suhu,
waktu, dan konsentrasi asam yang digunakan selama proses hidrolisis sangat mempengaruhi proses terbentuknya komponen HMF dan furfural (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Keuntungan hidrolisis asam adalah waktu proses lebih singkat, teknologi sederhana, pengaturan kondisi proses yang lebih mudah, dan biaya yang lebih murah karena tidak melibatkan enzim. Lebih lanjut Taherzadeh dan Karimi (2007) menyatakan bahwa bahan yang mengandung lignoselulosa pada hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis dengan konsentrasi tinggi dan konsentrasi rendah. Kelemahan penggunaan hidrolisis asam dengan konsentrasi tinggi adalah jumlah asam yang
17
digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi, penggunaan energi yang tinggi untuk proses daur ulang asam, dan terbentuk produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan HMF. Kelemahan penggunaan asam dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses operasinya, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi, dan juga pembentukan produk samping yang tidak diharapkan seperti furfural dan HMF. Alves et al. (1998) menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi 1 g/L, sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan S. cerevisiae pada proses fermentasi. Perlakuan detoksifikasi HMF secara fisik menggunakan arang aktif dapat dilakukan (Converti et al. 1999). Detoksifikasi dengan arang aktif sangat baik karena merupakan bahan berbiaya rendah dengan kapasitas menyerap senyawa yang tinggi (Mussato dan Roberto 2003). Pada bahan berlignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen yang paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa dengan sejumlah kecil ramnosa, asam glukorunat, dan asam galakturonat (Sjostrom 1993).
Selulosa akan terdegradasi menjadi
glukosa. Pada suhu dan tekanan yang tinggi glukosa, galaktosa, dan manosa terdegradasi menjadi HMF serta xilosa menjadi furfural. Komponen fenol dapat terbentuk dari lignin yang terpecah sebagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat (Palmqvist dan Hagerdal 2000). Penggunaan H2SO4 1 M pada suhu 80-120 oC selama 30-240 menit telah dapat menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa.
Asam dengan
konsentrasi lebih tinggi yaitu 5-20 M H2SO4 dengan suhu 180 oC telah dapat menghidrolisis gula yang berasal dari golongan heksosa seperti selulosa (Purwadi 2006). 2.4 Selulase Suatu sistem enzim selulosik mengandung tiga komponen enzim utama yaitu: exo-1,4-β-D-glucan cellobiohydrolase, memotong dari akhir rantai-rantai selulosa menjadi unit-unit selobiose; endo-1,4-β-D-glucanase, berfungsi memecah ikatan glukosidik secara internal; dan 1,4-β-D-glucosidase, berperan memotong selooligosakarida menjadi unit-unit glukosa (Jorgensen et al. 2007). Gong dan
18
Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh organisme bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Penginduksi sintesis selulase adalah selulosa, turunan selulosa, selobiosa, soforosa, dan laktosa. Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Penginduksi tidak boleh terhidrolisis maupun melakukan perubahan kimia sekali mereka berada dalam sel. Sintesis selulase setelah induksi dapat dihambat oleh adanya glukosa atau gula-gula lain dalam medium. Oleh karena itu, sintesis selulase oleh mikroba diregulasi oleh mekanisme induksi-represi. Mekanisme dasar dari regulasi sintesis selulase serupa dengan sistem enzim induksi yang telah diketahui. Penginduksi akan bereaksi dengan protein represor di dalam sel menyebabkan derepresi sintesis selulase. Diantara kapang selulolitik, Trichoderma merupakan kapang yang sangat luas dipelajari karena kemampuannya menghasilkan enzim pendegradasi selulosa dalam jumlah yang sangat besar. Salah satu galur kapang yang sangat potensial, dapat menghasilkan selulase dalam jumlah besar dan digunakan secara komersial adalah T. reesei (Sukumaran et al. 2005). Wen et al. (2005) menambahkan kapang selulolitik T.reesei dan T.viride telah dipelajari secara luas dalam menghasilkan enzim selulase. Mandels dan Weber (1969) diacu dalam Kim et al. (1997) menyatakan bahwa selulase yang dihasilkan Aspergilus fumigatus (A. fumigatus) lebih sensitif terhadap gaya penguntingan (shear stress) dibandingkan enzim yang diproduksi oleh T. reesei. Ahamed dan Vermette (2009) menyatakan T. reesei secara luas telah digunakan dalam industri fermentasi dan menjadi sumber yang utama dari enzim selulase dan metabolisme lainnya. T. reesei adalah tipe kapang mesophilic dimana merupakan kapang yang membentuk filamen.
Komponen utama dari sistem enzim selulase T. reesei
adalah tipe kedua dari enzim selobiohidrolase yang dinamakan CBH I dan CBH II, dengan jumlah total mencapai 80% dari total protein selulase yang dihasilkan (Lynd et al. 2002 diacu dalam Anonim 2009). Bakare et al (2005) melaporkan bahwa aktifitas selulase dari P. flourescens diatur oleh represi katabolik. Hampir seluruh produksi selulase dari strain yang diuji menurun dengan kehadiran glukosa. Pada penelitian pengaruh
19
sumber karbon dalam menghasilkan selulase oleh Chinedu et al. (2007), diketahui serbuk geraji merupakan sumber kabon yang baik sebagai induser produksi selulase dari P. chrysogenum PCL501. Material limbah yang mengandung selulosa ini dapat dijadikan sumber karbon yang murah untuk produksi selulase. 2.5 Bioetanol Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Etanol mempunyai sifat mudah terbakar dan mudah menguap. Etanol dapat dihasilkan melalui sintesa dari minyak bumi ataupun dengan fermentasi bahan yang mengandung gula. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari sumber daya hayati dengan cara fermentasi menggunakan bantuan S. cerevisiae. Etanol memiliki berat jenis 0.7937 g/ml (t = 15.56 o
C); titik didih 78.32 oC pada tekanan 766 mmHg. Sifat kimia dari etanol adalah
larut dalam air dan eter, mempunyai panas pembakaran 328 Kkal (Paturau 1981). Bioetanol adalah salah satu dari biofuel. Boetanol (C2H5OH) merupakan cairan biokimia yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme Ristek (2006). Campuran bioetanol dengan bensin (premium) dikenal dengan istilah gasohol. Etanol berdasarkan kadar alkoholnya terbagi menjadi tiga grade yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-95%, netral dengan kadar alkohol 96-99.5% (umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99.5-100%. Secara tradisional telah berhasil dilakukan konversi bahan lignoselulosa dan bahan berpati menjadi glukosa melalui aktifitas enzim. Pati melalui proses hidrolisis dengan bantuan asam maupun kerja enzim dapat menghasilkan glukosa (gula sederhana). Gula sederhana selanjutnya dikonversi menjadi etanol dengan peran Saccharomyces sp dan Zymomonas mobilis (Z. mobilis). Chemiawan (2007) menyatakan bahwa mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi alkohol adalah: (1) Bakteri; Clostridium acetobutylicum (C. acetoutyilicum), Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae), Leuconostoc mesentroides (L. mesentroides), dan Z. mobilis, (2) Kapang; A. oryzae, Endomyces lactis (E. lactis), Kloeckera sp., Kluyreromyces fragilis (K. fragilis),
20
Mucor sp., Neurospora crassa (N. crassa), Rhizopus sp., Saccharomyces beticus (S. beticus), S. cerevisiae, Saccharomyces ellipsoideus (S. elipsoides), Saccharomyces oviformis (S. oviformis), Saccharomyces saki (S. saki), dan Torula sp. Proses perubahan dari berbagai sumber bahan baku menjadi etanol (bioetanol) yang biasa dilakukan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Gula
Pati
Bahan Lignoselulosa
Penanakan
Pengolahan awal
Sakarifikasi (hidrolisis) ringan
Sakarifikasi (hidrolisis) berat
Fermentasi alkoholik dan pemisahan
Etanol
Stillage
Gambar 8 Tahap-tahap proses pembuatan etanol dari bahan baku yang berbeda-beda (Soerawidjaja 2006). S. cerevisiae yang merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan memproduksi alkohol dari bahan pati dan gula (Paturau 1981). Menurut Rehm dan Reed (1981), S. cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, maupun pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi, dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. S. cereviseae mempunyai sistem metabolisme gula secara anaerobik yang efisien, toleransi terhadap inhibitor pada substrat industri lebih baik dari mikroorganisme lainnya (Olsson et al. 1992; Olsson dan Hahn-Hagerdal 1993), dan
21
memfermentasi heksosa yang sangat banyak dari hidrolisat lignoselulosa seperti glukosa, manosa, dan galaktosa dengan produktifitas dan hasil yang tinggi. S. cerevisiae tidak mampu memfermentasi xilosa (Prasad et al. 2007). S. cerevisiae dapat menfermentasi glukosa, manosa, fruktosa, dan galaktosa dalam kondisi anaerob dan pH rendah (Van Maris et al. 2006). Pada proses fermentasi etanol, khamir akan melakukan metabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 9). Jalur EMP ini terdiri dari beberapa tahap, dimana masing-masing tahap dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat (fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan energi dalam bentuk adenin-tri-phosphat (ATP). Reaksi ini dikatalis oleh enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase.
Atom
hidrogen yang terlepas akan ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida (NAD) membentuk NADH2.
Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika
NADH2 dapat dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom hidrogen kembali. NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam proses fermentasi (Doelle 1981). Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi asetaldehida,
lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi etanol
(Amerine et al. 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi melalui reaksi berikut:
CO2
CH3COCO2H asam piruvat
NADH
CH3CHO asetaldehida
H+ + NAD+
C2H5OH etanol
22
Gambar 9 Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Doelle 1981).
Amerine et al. (1987) menyatakan monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroba.
Secara teoritis,
setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac seperti berikut: C6H12O6
2 C2H5OH
glukosa
etanol
+
2 CO2 karbondioksida
atau dalam dasar berat, 51.1% gula diubah menjadi etanol, dan 48.9% diubah menjadi karbondioksida.
Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak
23
dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk pertumbuhan dan metabolisme khamir. Waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 3-7 hari (Presscot dan Dunn 1981). Etanol dengan kadar sekitar 5% (v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang dengan kadar di atas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut (Reed dan Peppler
1973).
Etanol dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati (Fiecther 1982).
2.6 Analisis Nilai Tambah Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional).
Gittinger (1986)
menyatakan bahwa nilai tambah (added value) adalah jumlah nilai ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan yang diselenggarakan di dalam masing-masing satuan produksi di dalam perekonomian. Ditambahkan Sa’id dan Intan (2000) nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Aktifitas produksi bukan hanya mengubah satuan input menjadi output, tetapi ada aktifitas peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh para pelaku industri dan komponennya (Gaspersz 1999). Hayami et al. (1987) menyatakan nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis.
Informasi atau
keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilikpemilik faktor produksi. Analisis nilai tambah produk dapat dihitung menggunakan metode Hayami (Hayami et al. 1987), dalam metode tersebut dijelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk terdapat tiga komponen pendukung yaitu: faktor konversi yang menunjukan output persatuan input, faktor tenaga kerja, dan faktor nilai produk.
24
Nilai Tambah Pada metode Hayami secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) dapat dirumuskan sebagai berikut: NT = f (K, B, T, H, U, h, L) Keterangan: K = kapasitas produksi (kg) B = jumlah bahan baku yang digunakan (kg) T = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang) H = harga output (Rp/kg) U = upah kerja (Rp) h = harga bahan baku (Rp/kg) L = nilai input lain (Rp)
Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut: NT = NO – NI Keterangan: NT = nilai tambah (Rp/kg) NO = nilai ouput (NO = Y × H) J Keterangan: Y = jumlah produksi (kg) H = harga ouput (Rp/kg) J = jumlah bahan baku (kg)
NI = nilai input (NI = ha + hb) J Keterangan: ha = harga bahan baku (Rp) hb = harga bahan pendukung lainnya (Rp) J = jumlah bahan baku (kg)
25
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Biomassa ampas sagu merupakan bahan baku yang menjanjikan karena tersedia dalam jumlah melimpah, murah, dan mempunyai potensi yang luar biasa. Pada umumnya penggunaan biomassa limbah hasil pertanian dapat menurunkan biaya produksi, pengoptimalan pemanfaatan limbah pertanian, dan solusi dalam mengatasi pencemaran lingkungan. Limbah dari sagu dalam bentuk ampas sisa ekstraksi pati yang dikenal dengan nama ampas sagu tersedia dalam jumlah yang melimpah. Pada pengolahan pati sagu, perbandingan pati dengan residu ampas sagu saat ini adalah 1 : 3.5-4. Limbah ampas sagu ini belum dimanfaatkan secara optimal dan berpotensi menimbulkan pencemaran. Ampas sagu sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam produksi hidrolisat sebagai substrat untuk menghasilkan energi alternatif berupa bioetanol. Ampas sagu terutama disusun oleh lignoselulosa dan sejumlah pati yang masih tersisa setelah ekstraksi pati sagu. Pati yang tersisa cukup tinggi pada ampas sagu belum dapat dipisahkan seluruhnya dengan metode fisik (mekanis) sewaktu ekstraksi pati sagu. Pati ini dapat dipisahkan/diekstraksi lebih lanjut lewat suatu rekayasa perlakuan fisikkimia dan biologi (enzimatik). Proses hidrolisis pati pada bahan lignoselulosa belum banyak dikaji oleh peneliti. Umumnya penelitian terdahulu lebih mengkaji hidrolisis bahan yang kandungan utamanya adalah pati ataupun lignoselulosa saja. Adanya pati yang masih tersisa dalam ampas sagu dan terikat secara kuat pada matrik ligselulosa merupakan bahan kajian yang perlu diteliti untuk mendapatkan hidrolisat dengan kandungan gula yang optimal dari pati ampas sagu. Kajian pendekatan pretreatment pada bahan baku ampas sagu dilakukan untuk mendapatkan larutan hasil ekstraksi (ekstrak) dengan kandungan pati yang tinggi setelah pretreatment, dengan kondisi komponen selulosa ampas sagu yang masih dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Istilah pretreatment untuk bahan yang mengandung lignoselulosa berpati ini adalah suatu proses pemisahan/ekstraksi bahan pati dari ampas sagu yang akan diperoleh pada bagian ekstrak dan pembebasan selulosa dari ikatan lignoselulosa ampas sagu.
26
Pretreatment ampas sagu direkayasa berpedoman pada pretreatment bahan lignoselulosa dengan menggunakan prinsip steam explosion pada suhu di atas 100 oC. Peresapan bahan kimia tertentu seperti H2SO4 dan bahan mengandung SO3 (0.3-3%) dapat menurunkan temperatur dan waktu pretreatment (Ballesteros et al. 2003; Varga et al. 2004; Sassner et al. 2006). Pretreatment ampas sagu direkayasa menggunakan berbagai bahan kimia seperti asam, basa, garam basa, dan akuades pada suhu dan tekanan yang rendah, sehingga pati yang terikat kuat pada lignoselulosa ampas sagu dapat dipisahkan dan dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung gula. Pretreatment ampas sagu direkayasa dalam bentuk proses low steam treatment. Proses hidrolisis pati ampas sagu menjadi gula (glukosa) dapat dilakukan dengan cara enzimatik. Sebelum proses enzimatik berlangsung, perlu dilakukan proses penyediaan pati melalui tahap pemisahan pati secara optimal yang sekaligus merupakan proses gelatinisasi pati dengan metode hidrotermal. Proses pemisahan (ekstraksi) secara hidrotermal pada ampas sagu direkayasa dengan melakukan proses gelatinisasi yang tidak biasa pada bahan berpati.
Proses
gelatinisasi pada ampas sagu direkayasa dengan perlakuan fisik menggunakan panas (termal) pada suhu gelatinisasi pati sampai di atas suhu gelatinisasi. Penggunaan panas yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama dengan menggunakan akuades dapat memaksimalkan proses pemisahan dan gelatinisasi pati pada ampas sagu, sebelum dilakukan proses liquifikasi dan sakarifikasi (enzimatik). Rekayasa proses ekstraksi dengan perlakuan hidrotermal dilakukan untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan pati (tergelatinisasi) yang tinggi dari ampas sagu, kemudian dilanjutkan hidrolisis dengan proses liquifikasi dan sakarifikasi secara enzimatik. Pada pendekatan secara hidrolisis asam, proses hidrolisis dilakukan untuk penyediaan hidrolisat yang menggandung gula yang cukup dan dapat tersedia sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Ketersediaan gula yang cukup dan kandungan bahan pengganggu yang rendah (HMF) sangat penting bagi pertumbuhan S. cerevisiae. Penyediaan hidrolisat dari metode yang berbeda akan mempengaruhi produk bioetanol yang akan dihasilkan. Kajian pemanfaatan selulosa dari residu ampas sagu hasil pretreatment dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung glukosa secara lang-
27
sung dalam pertimbangan pemanfaatan residu selulosa ampas sagu secara optimal. Selulosa hasil pretreatment ampas sagu dikonversi menjadi glukosa menggunakan T. reesei secara kultivasi batch. Penggunaan enzim selulase secara langsung dari mikroorganisme dapat menurunkan biaya konversi, dan proses konversi menjadi pendek karena dilakukan dalam satu tahap. Selulase yang dihasilkan T. reesei dalam substrat residu selulosa ampas sagu direkayasa untuk dapat secara langsung mengkonversi selulosa berlebih dalam substrat menjadi glukosa. Pilihan teknologi terbaik untuk konversi bahan lignoselulosa berpati menjadi bioetanol ditentukan oleh nilai ekonomi secara keseluruhan (biaya murah), ramah lingkungan (polusi rendah), energi rendah (lebih efisien). Pengembangan/rekayasa proses dibutuhkan agar proses diterima secara ekonomis dengan hasil tinggi (Chandel et al. 2006). Proses hidrolisis ampas sagu dengan hasil hidrolisat yang mengandung gula dengan konversi pati yang tinggi diaplikasikan dalam pembuatan bioetanol. Kajian analisis nilai tambah dari ampas sagu untuk produksi hidrolisat dan pemanfaatan selulosa dari residu ampas sagu dilakukan untuk mengetahui pertambahan nilai ampas sagu tersebut menjadi hidrolisat dan residu selulosa setiap kg berat keringnya. Ketersediaan tanaman sagu, baik berupa hutan sagu yang luas maupun tanaman sagu semi culivated yang terus dikembangkan akan terus menyumbang ampas sagu sebagai by-product yang dapat mencemari lingkungan (limbah padat) jika tidak dimanfaatkan secara optimal. Produksi hidrolisat dari ampas sagu merupakan salah satu cara mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan meningkatkan nilai tambah ampas sagu. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 10. Diagram alir kerangka penelitian secara umum dibagi menjadi 3 yaitu: 1) Latar belakang penelitian, 2) Proses pemecahan masalah, dan 3) Luaran penelitian.
28
Proses Pemecahan Masalah
Luaran Penelitian
1. Kajian
tentang komponen dan potensi ampas sagu: - Komponen dan kandungan ampas sagu
Kondisi Lapangan: - Ketersediaan energi fosil yang semakin terbatas - Kebutuhan energi yang terus meningkat - Potensi tanaman sagu dan ampas sagu yang besar - Kadungan pati ampas sagu yang tinggi - Masalah pencemaran lingkungan
-- Pretreatment ampas sagu
untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan pati (gula) tinggi, dan selulosa yang dapat dimanfaatkan. 2.
Pengembangan proses hidrolisis ampas sagu (pati) menjadi hidrolisat mengandung gula:
- Hidrolisis dengan metode hidro-
Perlunya Penelitian dan Pengembangan: - Peningkatan nilai guna ampas sagu - Pengurangan potensi pencemaran lingkungan - Pemanfaatan komponen utama ampas sagu (pati dan selulosa) untuk produk industri - Mendapatkan teknik pemanfaatan pati dan selulosa ampas sagu secara optimal - Pemanfaatan hidrolisat dari ampas sagu sebagai bahan baku biofuel (bioetanol) - Kajian analisis nilai tambah dari ampas sagu
termal – enzimatik - Hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M.
Penelitian terdahulu: - Kajian pemanfaatan ampas sagu - Kajian pretreatment yang telah dilakukan - Teknik hidrolisis yang ada terbatas pada bahan berpati atau selulosa saja - Konversi selulosa jadi glukosa dalam satu tahap - Produksi bioetanol
3. Penyediaan hidrolisat (glukosa) dari selulosa ampas sagu: - Kajian konversi selulosa dari residu ampas sagu menjadi hidro lisat mengandung glukosa dalam satu tahap 4. Alternatif
penyediaan biofuel (bioetanol) dalam pemenuhan energi (migas) nasional:
- Aplikasi produksi bioetanol dari
hidrolisat ampas sagu 5. Analisis nilai tambah hidrolisat dan selulosa dari ampas sagu
Gambar 10 Diagram Alir Kerangka Penelitian.
- Komponen utama ampas
sagu - Ketersediaan kandungan gula/pati pada ekstrak hasil ekstraksi pati ampas sagu (pretreatment) - Ketersediaan komponen selulosa dalam residu ampas sagu - Teknik hidrolisis ampas sagu (pati) dalam penyediaan hidrolisat mengandung gula untuk produksi bioetanol - Kandungan glukosa hasil konversi selulosa ampas sagu dalam satu tahap - Produk bioetanol dari hidrolisat dari ampas sagu - Nlai tambah hidrolisat dan by-product selulosa dari ampas sagu
28
Latar Belakang Penelitian
29
3.2 Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap penelitian utama yang dilakukan secara berurutan. Metodologi penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian tahap pertama terdiri dari dua tahapan penelitian yaitu:
1)
Analisis komponen bahan baku ampas sagu. 2) Pretreatment ampas sagu untuk mendapatkan ekstrak yang mengandung komponen pati yang maksimal, dengan selulosa yang tetap tersedia pada residu ampas sagu. Penelitian tahap kedua adalah proses hidrolisis bahan berpati dari ampas sagu untuk mendapatkan hidrolisat mengandung gula dengan konversi (pati) yang tinggi. Penelitian ini meliputi kajian: (1) Proses hidrolisis pati ampas sagu secara hidrotermal-enzimatik. Proses hidrotermal, perlakuan panas direkayasa sampai tingkat lebih tinggi dari suhu
gelatinisasi pati sagu pada umumnya untuk
memisahkan pati secara maksimal. Kemudian dilanjutkan dengan proses liquifikasi dan sakarifikasi secara enzimatis. Hidrolisat yang dihasilkan digunakan sebagai substrat untuk produksi bioetanol; dan 2). Proses hidrolisis ampas sagu dengan asam (H2SO4) untuk menghasilkan hidrolisat dengan gula pereduksi yang tinggi dan dapat tersedia sebagai substrat produksi bioetanol (sebagai pembanding).
Penelitian meliputi juga kajian peningkatan konsentrasi ampas
sagu yang dihidrolisis dengan H2SO4 0.25 M. Penelitian tahap ketiga adalah kajian konversi selulosa dari residu ampas sagu hasil pretreatment menjadi hidrolisat (glukosa) secara satu tahap. Penelitian dilakukan menggunakan mikroba T. reesei dengan kultivasi tipe batch. Penelitian tahap keempat adalah: 1) Aplikasi produksi bioetanol menggunakan substrat hidrolisat ampas sagu dari perlakuan penelitian tahap kedua. 2) Kajian analisis nilai tambah dari hidrolisat dan residu selulosa ampas sagu untuk mendapatkan nilai tambah ampas sagu sebagai bahan baku substrat bioetanol. Adapun tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
30
Diagram Alir Penelitian
Ampas Sagu Analisa proksimat dan lignoselulosa
Perlakuan Awal (Pretreatment)
Ekstrak
Residu Ampas sagu
Hidrolisis:
Konversi selulosa Ampas sagu
1.Hidrotermalenzimatik
2.H2SO4 0.25 M (pembanding) Hidrolisat (gula)
Hidrolisat (gula)
Fermentasi
Analisis Nilai Tambah
Bioetanol
Gambar 11 Diagram alir penelitian secara umum.
31
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium (Lab.) Teknologi Proses TIN, Lab. Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumber Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor; Lab. Mikrobiologi dan Bioteknologi FATETA, Lab. Bioeknologi dan Pemuliaan Tanaman Agroekotek FAPERTA, Lab. Farmasi Fisika Fakultas FARMASI Universitas Andalas; serta Lab. Chemical Engineering Faculty of Engineering, Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2009 sampai April 2012.
3.4 Bahan dan Alat Biakan mikroba yang digunakan adalah isolat kapang T. reesei EC Simon dari Japan Culture Microbe (JCM 22767) Jepang, dan isolat S. cerevisiae dari Lab. Mikrobiologi Ilmu dan Tekologi Pangan Fateta IPB. Bahan baku limbah sagu berupa ampas sagu (Metroxylon sagu Rottb) dari industri pati sagu rakyat di Tanah Baru, Bogor. Enzim yang digunakan yaitu α-amilase (Termamyl) dan glukoamilase dari Novo. Bahan kimia yang digunakan adalah Na2CO3, NaOH, H2SO4, media (Mandels dan Weber, 1969), pati (soluble starch), KIO3, lugol iodin, buffer sitrat, buffer asetat pH 4.6, isopropanol, (NH4)2SO4, MgSO4 7H2O, KH2PO4, ZnSO4, PDA, PDB, glukosa, selulosa, karboksimetil selulosa (carboxymetil cellulosa/ CMC), Bovine Serim Albumin (BSA) dan akuades. Bahan kimia untuk analisis meliputi:
H2SO4, fenol, glukosa standar, reagen
DNS, HNO3. NaOCl2,
CH3COOH, C2H5OH, K4Fe (CN)6 3H2O, Zn (CH3COOH)2 2H2O, NaHSO3, buffer fosfat pH 7, bahan kimia analisis lignoselulosa (selulosa, lignin, dan hemiselulosa), bahan kimia analisis pati (Luff Schoorl), protein (semimikro Kjeldalh), lemak (desitilasi), dan total asam.
Sedangkan bahan habis yang
digunakan adalah filter cloth 150 mesh, Whatman No. 1, aluminium foil, dan lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian (analisis, pretreatment, hidrolisis lanjut, konversi selulosa dan fermentasi bioetanol), yaitu: peralatan gelas, neraca analitik (Kerenz), pH meter (Hanna instrument pH tipe 213 dan Hanna hand pH meter), oven (Memmert), inkubator (Memmert), autoclave (Horisawa PC
32
series; Eyela Hiclave HVE 50), laminar air flow hood, bunsen, sentrifuse (3-18 Sigma, Sartorius), mikropipet (Dragon med), cutter mill (Thomas Scientific 800345-2100), hammer mill, saringan berpori 65 mesh dan 100 mesh, dry oven (Yamato DV41), water bath shaker (Personal 11 dan Julabo SW 1), fermentor (Able BMJ 01), vortek (Thermolyne, Maxi mix II), mikroskop binokular (Olympus CX 21; Olympus VANOX), spektrofometer UV-VIS (Genesys 10 VV Thermo electron coorporation),
BF-5 (Oji Scientific Instrument, Japan), dan
perangkat destilasi.
3.5 Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dari keempat tahapan penelitian utama dilakukan sebagai berikut: 3.5.1 Penelitian Tahap I. Analisis Komponen dan Pretreatment Ampas Sagu Penelitian tahap I dilakukan untuk penyediaan bahan baku ampas sagu yang baik dan mudah untuk proses selanjutnya. Penelitian tahap pertama diawali dengan pengambilan bahan ampas sagu di lapangan, persiapan bahan ampas sagu, analisis komponen (proksimat dan lignoselulosa) bahan baku, dan diikuti penyediaan bahan baku untuk dilakukan pretreatment. Urutan penelitian tahap I adalah sebagai berikut:
3.5.1.1 Analisis Komponen Ampas Sagu Ampas sagu diambil dari tempat pengolahan (ekstraksi) pati sagu. Dikeringkan di bawah sinar matahari (± 3 hari) sambil dibolak-balik, diperkirakan kadar air ± 12%. Bahan kering dikecilkan ukuran dengan cutter mill dan hammer mill dan disaring secara bertingkat dengan penyaring ukuran 60 dan 100 mesh. Bahan selanjutnya dianalisis komponennya. Analisis komponen pada ampas sagu meliputi: (a) Kadar air (AOAC 1995), (b) Protein (metoda Kjeldahl; AOAC 1995), (c) Lemak (metode Soxhlet), (d) Pati (metode Luff Schoorl), (e) Lignin (metode Klarson, TAPPI T 222 om-88), (f) Selulosa (TAPPI T17 m-55) dan Hemiselulosa (dari Holoselulosa; ASTM 1104-56), (g) Mineral-mineral, meliputi K, Na, Ca, Mg, Mn, Fe, Co, dan P
33
(sebagai P2O5), serta Zn dengan metoda Atomic Absortion Spectrophotometri (Franson et al. 1998). Hasil analisis dihitung dalam berat kering (basis kering = bk). 3.5.1.2 Pretreatment Ampas Sagu Pretreatment dilakukan berdasarkan modifikasi pada metoda Lawther et al. (1996) dan Varga et al. (2006 ). Sebanyak 4% (b/v) (10 gr bahan dalam volume akhir 250 ml) ampas sagu dicampurkan dengan larutan pretreatment sesuai perlakuan dalam labu Erlenmeyer 500 mL, yang kemudian ditutup dengan rapat. Selanjutnya dilakukan pretreatment menggunakan autoclave (Hiclave HVE 50) pada suhu 115 oC selama 15 menit. Hasil pretreatment disaring menggunakan kain saring dengan pori 150 mesh. Cairan hasil ekstraksi setelah penyaringan (ekstrak) selanjutnya dianalisis total gulanya (metode Fenol-H2SO4), gula pereduksi (metode DNS) dan pati (metode Iod, AOAC 1995), serta HMF (SNI 013545-2004). Residu ampas sagu hasil penyaringan, dicuci 2 kali dengan total volume akuades 200 mL. Residu hasil pencucian dikeringkan dalam cabinet dryer dengan suhu 60 oC selama 24 jam. Selanjutnya residu ampas sagu kering dianalisis komponen selulosa (TAPPI T17 m-55), kadar air, dan rendemennya. Lebih jelasnya prosedur pretreatment dapat dilihat pada Gambar 12. Perlakuan pada pretreatment ampas sagu 4% (b/v) meliputi penggunaan: (A) Aquades, (B) Larutan Na2CO3 0.25 M, (C) NaOH 0.25 M, dan (D) H2SO4 0.25 M. Pretreatment dilakukan pada suhu 115 oC selama 15 menit dalam autoclave. Perhitungan untuk analisis rendemen (%) dan peningkatan selulosa (%) sebagai berikut: Rendemen dihitung menggunakan persamaaan: B x 100%
Rendemen (%) =
……………
(1)
A Keterangan:
B = Berat bahan setelah pretreatment A = Berat bahan sebelum pretreatment
Peningkatan konsentrasi selulosa dalam residu ampas sagu dihitung dengan persamaan:
34
B - A Peningkatan konsentrasi selulosa =
x 100% A
Keterangan : B = konsentrasi selulosa setelah pretreatment A = konsentrasi selulosa bahan awal
Ampas sagu 4% (b/v) ( < 100 mesh, KA 12%) Pretreatment * Perlakuan : A) Akuades B) Larutan Na2CO3 0.25 M C) Larutan NaOH 0.25 M D) Larutan H2SO4 0.25 M (Suhu 115 oC selama 15 menit, dalam autoclave)
Saring (Kain saring 150 mesh)
Ekstrak Analisis: Total Gula (metode fenol-H2SO4) Gula Pereduksi (metode DNS), Pati (metoda Iod) HMF ((SNI 01-35452004)
* Modifikasi : Lawther et al. (1996); Varga et al. (2008).
Residu ampas sagu Cuci 2x 100 ml
Cairan hasil pencucian
Residu selulosa ampas sagu Pengeringan (Cabinet dyer, 60 oC 24 jam) Residu selulosa ampas sagu kering Analisis : Selulosa, KA, Rendemen
Gambar 12 Prosedur pretreatment ampas sagu.
35
Hasil analisa dihitung secara statistik (Single faktor; menggunakan program Excel), metode rancangan acak lengkap (RAL) pada tingkat kepercayaan 5% dan dilanjutkan dengan uji Lanjutan Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. 3.5.2
Penelitian Tahap II. Hidrolisis Ampas Sagu Metode Hidrotermal - Enzimatik dan Metode H2SO4 0.25 M Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari pretreatment bahan baku
sesuai dengan perlakuan pada penelitian tahap 3.5.1.2.
Penelitian Tahap II
meliputi dua kajian hidrolisis ampas sagu (pati) yaitu: 1) Hidrolisis pati ampas sagu secara hidrotermal-enzimatik, meliputi: optimalisasi proses
pemisahan
(gelatinisasi) pati dari ampas sagu secara hidrotermal dan hidrolisis pati tergelatinisasi secara enzimatik menggunakan α-amilase dan glukoamilase komersial dari Novo; dan 2) Hidrolisis ampas sagu dengan asam (H2SO4 0.25 M) untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung gula dan dapat tersedia sebagai substrat produksi bioetanol (sebagai pembanding).
3.5.2.1 Hidrolisis Ampas Sagu secara Hidrotermal-Enzimatik 3.5.2.1.1 Hidrotermal Proses hidrotermal adalah suatu metode untuk memaksimalkan pemisahan (ekstraksi) sekaligus proses gelatinisasi pada pati ampas sagu. Suhu proses hidrotermal dinaikkan hingga diperkirakan tingkat pemisahan pati secara maksimal tercapai pada bahan lignoselulosa ampas sagu. Perlakuan penelitian ini adalah penggunaan air panas dengan beberapa tingkat suhu yang berbeda, sebagai berikut: A1 : Pemisahan dengan pencucian pati ampas sagu pada suhu 70 oC A2 : Pemisahan dengan pencucian pati ampas sagu pada suhu 100 oC A3 : Pemisahan pati ampas sagu dengan autoclave pada suhu 115 oC, 15 menit A4 : Pemisahan pati ampas sagu dengan autoclave pada suhu 130 oC, 30 menit Prosedur penelitian sebagai berikut: Sebanyak 10 g ampas
sagu
diekstraksi secara hidrotermal menggunakan akuades pada tingkat suhu yang
36
berbeda, dengan konsentrasi akhir ampas sagu dalam larutan adalah 4% (b/v). Pada perlakuan A1 dan A2, ampas sagu sebanyak 4% (b/v) diproses dengan metode pencucian sesuai dengan perlakuan menggunakan beaker glass.
Pati
ampas sagu diproses secara hidrotermal selama 10 menit. Selanjutnya campuran hasil ekstraksi secara hidrotermal dinetralkan pH 6.5 (atur pH) dengan Ca(OH)2 0.5 N. Campuran hasil ekstraksi netral disaring dengan kain saring berukuran 150 mesh, didapatkan larutan hasil ekstraksi (ekstrak) dan residu ampas sagu. Residu ampas sagu
kemudian dilanjutkan dengan pencucian menggunakan akuades
(sesuai suhu perlakuan). Pencucian dilakukan sebanyak 2 kali menggunakan 100 mL akuades untuk setiap kali pencucian. Ekstrak hasil pencucian dicampurkan dengan ekstrak hasil penyaringan awal, dan selanjutnya dipekatkan 1.8 kali sehingga konsentrasi tetap 4%. Pada perlakuan A3 dan A4, ampas sagu sebanyak 4% (b/v) dicampur dengan akuades dalam labu Erlenmeyer 500 mL dengan volume kerja 250 mL. Selanjutnya dilakukan proses hidrotermal menggunakan autoclave. Campuran hasil ekstraksi selanjutnya dinetralkan dengan Ca(OH)2 0.5 N pH 6.5. Kemudian disaring dengan kain saring yang berukuran sama dengan sebelumnya, didapatkan ekstrak dan residu ampas sagu. Sebagian ekstrak dari seluruh perlakuan (A1, A2, A3, dan A4) dianalisis dan sisanya disimpan untuk bahan hidrolisis enzimatis. Residu ampas sagu dikeringkan dalam cabinet dryer (Memmert) pada suhu 60 oC selama 24 jam. Analisis pada ekstrak meliputi: gula pereduksi (metode DNS) dan total gula (metode Fenol-H2SO4) dan pati (metode Iod, AOAC 1995). Residu ampas sagu dianalisis kandungan selulosa (TAPPI T17 m-55), rendemen (metode penimbangan), dan kadar airnya (AOAC, 1995). Ekstrak yang dihasilkan merupakan substrat untuk hidrolisis enzimatik. Prosedur hidrotermal-enzimatik dapat dilihat pada Gambar 13.
37
Ampas sagu 4 % (b/v)
Hidrotermal
Metode Pencucian: A1. Suhu 70 oC A2. Suhu 100 oC
Metode Autoclave (tekanan): A3. Suhu 115 oC , 15 menit A4. Suhu 130 oC, 30 menit
Penetralan pH 6.5 (Ca(OH)2 0.5 N) Penyaringan (Kain saring 150 mesh)
Pencucian
Residu ampas sagu
Autoclave
Ekstrak
Ekstrak * (pati tergelatinisasi)
Residu ampas sagu
(pati tergelatinisasi)
Pencucian 2 x 100 ml (Suhu perlakuan; A1 dan A2 Pengeringan (Cabinet dyer 60 oC 24 jam)
Pemekatan 1.8 x (evaporasi; water bath)
Pencucian 2 x 100 ml (Suhu kamar; A3 dan A4 Pengeringan
Ekstrak* (pati tergelatinisasi)
Residu selulosa ampas sagu **
(Cabinet dyer 60 oC 24 jam)
Residu selulosa ampas sagu **
Cairan hasil pencucian
Cat : * analisis : Total gula dan gula pereduksi ** analisis : Selulosa, KA dan rendemen
Gambar 13 Prosedur hidrolisis secara hidrotermal pada ampas sagu.
3.5.2.1.2 Hidrolisis Enzimatik Liquifikasi Masing-masing ekstrak pati tergelatinisasi hasil perlakuan hidrotermal (A1, A2, A3, dan A4) selanjutnya diliquifikasi dengan enzim α-amilase (Termamyl)
38
dengan dosis 1.5 mL/kg sampel ampas sagu (32.5 U/g sampel) (modifikasi Chaplin dan Buckle 1990). Liquifikasi dilakukan pada pH 6.2 dengan suhu 90 oC selama 3 jam dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker (Julabo SW1) dengan kecepatan 120 rpm (modifikasi Akyuni 2004). Setelah proses liquifikasi dilakukan pengaturan pH menjadi 4.5. Sebagian hidrolisat dianalisis gula pereduksi (metode DNS) dan total gulanya (metode Fenol-H2SO4). Hasil analisis dihitung secara statistik (Single faktor; menggunakan program Excel) metode RAL, dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf 5%. Dihitung derajat polimerisasi (DP) dan dextrose equivalent (DE) dengan cara berikut:
Sakarifikasi Hidrolisat hasil liquifikasi disakarifikasi menggunakan glukoamilase dengan dosis 1.8 ml/kg sampel ampas sagu (Chaplin dan Buckle 1990). Sakarifikasi dilakukan pada suhu 60 oC selama 48 jam pH 4.5 dalam labu Erlenmeyer mengunakan water bath shaker (Julabo SW1) (modifikasi Akyuni 2004). Setelah proses sakarifikasi selesai, disaring larutan sakarifikasi dan dididihkan untuk menginaktifkan glukoamilase serta dilajutkan dengan analisis. Analisis yang dilakukan yaitu
gula pereduksi (metode DNS) dan total gula
(metode Fenol-H2SO4). Prosedur liquifikasi dan sakarifikasi hasil hidrolisis hidrotermal ampas sagu dapat dilihat pada Gambar 14. Liquifikasi dan sakarifikasi hasil hidrotermal ampas sagu dilaksanakan berdasarkan modifikasi metode yang dilakukan Akyuni (2004). Hasil analisis dihitung secara statitisk (Single faktor; program Excel) dengan metode RAL dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf 5%. Dihitung DP dan DE.
39
* Modifikasi Akyuni (2004)
Ekstrak pati (Hidrotermal) pH 6.2 Alfa amilase 1.5 mL /kg sampel Liquifikasi * Suhu 90 oC, 3 jam 120 rpm Water bath shaker
Hidrolisat liquifikasi
Analisis : Total gula dan gula pereduksi
Glukoamilase 1.8 mL/kg sampel Sakarifikasi * (60 oC, 48 jam, pH 4.5) Water bath shaker 120 rpm
Hidrolisat sakarifikasi Saring dan didihkan Hidrolisat (substrat bioetanol)
Analisis : Total Gula dan Gula pereduksi
Gambar 14 Prosedur liquifikasi dan sakarifikasi hidrolisat hasil hidrotermal dari ampas sagu. 3.5.2.2 Hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan proses hidrolisis ampas sagu sesuai dengan perlakuan pada penelitian tahap 3.5.1.2 (pretreatment ampas sagu). Penelitian bertujuan menghasilkan hidrolisat mengandung gula sebagai substrat untuk pembuatan bioetanol (sebagai pembanding). Pada penelitian hidrolisis ini dilakukan: 1) Penyediaan hidrolisat mengandung gula dengan metode H2SO4 0.25 M untuk substrat produksi bioetanol (pembanding), dan 2) Kajian peningkatan ampas sagu yang dihidrolisis dengan H2SO4 0.25M.
3.5.2.2.1
Penyediaan Hidrolisat dengan Metode H2SO4 0.25 M
Prosedur penelitian: Sebanyak 4% (b/v) ampas sagu dalam labu Erlenmeyer dihidrolisis dengan larutan H2SO4 0.25 M pada suhu 115 oC selama 15 menit menggunakan autoclave. Hasil hidrolisis disaring dengan menggunakan kain saring dengan ukuran pori 150 mesh. Hidrolisat dianalisis total gulanya (metode Fenol-H2SO4), gula pereduksi (metode DNS) dan pati (metode Iod,) serta HMF (SNI 01-3545-2004). Residu ampas sagu hasil penyaringan awal, dicuci 2
40
kali dengan total volume akuades 200 mL. Residu hasil pencucian dikeringkan dalam cabinet dryer dengan suhu 60 oC selama 24 jam. Selanjutnya residu ampas sagu kering dianalisis selulosa (TAPPI T17 m-55), rendemen, dan kadar airnya. Hidrolisat yang diperoleh dijadikan sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Pada hidrolisis ampas sagu 4% (b/v) dengan H2SO4 0.25 M, hidrolisat yang dihasilkan mengandung total gula dan gula pereduksi yang masih kecil. Pemekatan lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat dengan konsentrasi gula yang sesuai sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Penyiapan hidrolisat untuk produksi etanol dilakukan dengan menambahkan larutan NH4OH 3 N pada hidrolisat hasil hidrolisis sampai pH netral (pH 6.5-7.0). Selanjutnya hidrolisat disaring dengan kertas saring biasa mengunakan vakum. Hasil saringan dijernihkan dengan karbon aktif sebanyak 5%. Hidrolisat jernih dipekatkan sampai 20%, dihitung nilai DE dan DP-nya. Selanjutnya hidrolisat ampas sagu digunakan untuk produksi bioetanol.
3.5.2.2.2 Kajian peningkatan Konsentrasi Ampas Sagu Dihidrolisis Menggunakan H2SO4 0.25 M Pada hidrolisis ampas sagu dengan H2O4 0.25 M dilakukan kajian peningkatan konsentrasi ampas sagu. Perlakuan konsentrasi ampas sagu (b/v) adalah: A) Ampas sagu 2%, B) Ampas sagu 4%, C) Ampas sagu 6%, D) Ampas sagu 8% dan E) Ampas sagu 10%. Prosedur penelitian sama dengan proses hidrolisis ampas sagu H2SO4 0.25 M sebelumnya. Proses dilakukan sampai mendapatkan hidrolisat hasil penyaringan dengan kain saring 150 mesh. Hidrolisat yang diperoleh dianalisis total gulanya (metode Fenol-H2SO4), gula pereduksi (metode DNS), dan HMF. Residu ampas sagu yang diperoleh dianalisis komponen selulosa (TAPPI T17 m-55), rendemen (metode penimbangan), dan kadar air (AOAC 1995). Lebih jelasnya prosedur hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M seperti yang disajikan pada Gambar 15. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ampas sagu terhadap gula pereduksi hasil hidrolisis,
dilakukan perhitungan
masing sampel dengan formula:
glukosa teoritik pada masing-
41
Hasil analisis dihitung secara statistik (uji F) metode RAL (Single faktor; program Excel) pada tingkat kepercayaan 5%. Selanjutnya diuji
dengan uji
lanjutan DNMRT pada taraf 5%.
A. Penyediaan Hidrolisat (Pembanding) Ampas sagu 4% (b/v)
B. Peningkatan konsentrasi ampas sagu pada hidrolisis H2SO4 0.25 M H2SO4 0.25 M
Pencampuran dan Hidrolisis (115 oC selama 15, autocalve)
Perlakuan (b/v) :
A. Ampas Sagu 2% B. Ampas Sagu 4% C. Ampas Sagu 6% D. Ampas Sagu 8% E. Ampas Sagu 10%
Penyaringan (kain saring, 150 mesh)
Residu ampas sagu
Hidrolisat Penetralan (NH4OH 3 N) pH 6.5
Analisis: Total gula; Gula pereduksi; dan HMF
Pencucian 2 x 100ml Residu selulosa ampas sagu
Penyaringan (Whatman No 1; vakum)
Cairan hasil pencucian
Pengeringan (Cabinet dryer, 60 oC 24 jam)
Penjernihan (bleaching) Karbon aktif 5%
Residu selulosa ampas sagu kering
Hidrolisat jernih
Analisis: Selulosa, KA. rendemen
Pemekatan Hidrolisat (Gula ± 10%)
Hidrolisat (substrat bioetanol) Analisis: Total gula, dan Gula pereduksi
Gambar 15 Prosedur hidrolisis ampas sagu dengan H2SO4 0.25 M dalam penyediaan substrat untuk produksi bioetanol.
42
3.5.3 Penelitian Tahap III. Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Hidrolisat Mengandung Gula (Glukosa) Penelitian tahap ketiga adalah kajian konversi selulosa dari residu ampas sagu hasil pretreatment menjadi hidrolisat mengandung glukosa secara langsung menggunakan mikroba T. reesei secara metode batch. Penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan selulosa dari residu ampas sagu hasil pretreatment.
3.5.3.1 Pretreatment Ampas sagu dilakukan pretreatment menggunakan metoda low steam treatment, yaitu sejumlah 4% (b/v) ampas sagu dilarutkan dalam akuades menggunakan Erlenmeyer 500 mL. Selanjutnya dimasukkan dalam autoclave dan kemudian diperlakukan dengan menggunakan tekanan rendah pada suhu tertentu. Perlakuan yang dicobakan adalah: 1) Penggunaan suhu 110 oC (1.42 atm) selama 20 (A), 30 (B), dan 40 menit (C); 2) Penggunaan suhu 120 oC (tekanan 1.96 atm) selama 20 (D), 30 (E), dan 40 menit (F). Setelah treatment dalam autoclave, bahan disaring menggunakan kain saring dengan pori 150 mesh dan selanjutnya dikeringkan dalam dry oven selama 24 jam pada suhu 60 oC. Bahan kering yang diperoleh dianalisis konsentrasi selulosa (TAPPI T17 m-55), hitung peningkatan konsentrasi selulosa setelah pretreatment dan rendemen (%). Perhitungan menggunakan persamaan yang sama dengan penelitian Tahap I (3.5.1.2). 3.5.3.2 Proses Konversi Proses konversi selulosa ampas sagu hasil pretreatment dilakukan dengan beberapa proses seperti berikut: 3.5.3.2.1 Preculture Preculture bertujuan untuk menyiapkan inokulum dan mengetahui pola pertumbuhan T. reesei dalam dua jenis substrat, yaitu resdiu selulosa ampas sagu dan selulosa mikrokristalin. T. reesei (EC Simon) diperoleh dari Japan Culture Microbe (JCM). Seed culture dari kapang dipelihara dalam agar miring Potato Dextrose Agar (PDA) dan selanjutnya disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan. Untuk memper-
43
siapkan inokulum, spora pada agar miring (setelah 5-6 hari pertumbuhan) disuspensikan dengan 5 mL air destilasi dan dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 200 mL yang berisi 50 mL media. Media preculture adalah larutan dengan komposisi (g/L): 0.3 urea, 1.4 (NH4) 2SO4, 2.0 KH2PO4, 0.2 CaCl2 2H2O, 0.3 MgSO4 7 H2O, 0.75 pepton, ekstrak ragi 0.25, dan trace element (mg/L): 5 FeSO4 7 H2O, 1.6 MnSO4 4H2O, 1.4 ZnSO4 7H2O, dan 20.0 CoCl2 6H2O (Mandels dan Weber, 1969). Substrat yang digunakan residu selulosa ampas sagu (selulosa mikrokristalin sebagai pembanding) sebanyak 1.5%. pH awal medium tidak diatur sebelum disterilkan dalam autoclave pada suhu 121 oC selama 20 menit. Sel kapang di preculture menggunakan labu Erlenmeyer 200 mL dengan volume kerja 50 mL dalam suatu water bath shaker (Personal 11, pengadukan 100 rpm) pada 30 oC selama 7 hari. Sampling dilakukan setiap 24 jam. 3.5.3.2.2 Kultivasi (Labu Erlenmeyer dan Bioreaktor) Kultivasi untuk proses konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa dilakukan dengan dua wadah yaitu: 1) Labu Erlenmeyer dalam water bath shaker dengan kecepatan pengadukan 100 rpm (A), dan 2) Bioreaktor dengan perlakuan aerasi 0.2 L/min dan agitasi 150 rpm (B). Adapun pelaksanaan proses konversi tersebut adalah sebagai berikut: Labu Erlenmeyer dalam Water Bath Shaker Tiga puluh (30) mL larutan dalam kondisi sel eksponensial (0.09 unit/mL (FPU)) diinokulasi dalam 300 ml larutan medium yang sama dengan medium preculture sebelumnya. Medium dimasukkan dalam labu Erlenmeyer 1 L. Residu selulosa ampas sagu (pretreatment 120 oC selama 30 menit; kandungan selulosa 55.30%) digunakan sebagai substrat sebanyak 1.5%. Proses inkubasi dilakukan selama 7 hari, pada suhu 30 oC kecepatan pengadukan 100 rpm menggunakan water bath shaker. Sampling dilakukan setiap 24 jam, pada jam ke 0, 24, 48, 72, 96, 120, 144 dan 168. Analisis yang dilakukan pada masing-masing waktu sampling adalah kandungan protein dalam sel (Jun et al. 2009), aktivitas selulase (Adney dan Baker 2008), dan konsentrasi glukosa (Biosensor BF-5, Oji Scientific Instrument Jepang) dalam hidrolisat.
44
Bioreaktor Sepuluh persen (10%) cairan kultur dalam kondisi eksponensial (0.09 units/mL (FPU)) dari hasil preculture diinokulasikan dalam 750 mL larutan medium dalam bioreaktor. Proses kultivasi (Able BMJ 01, volume vesel 1 L), dilakukan dalam medium yang sama dengan preculture dan water bath shaker. Perlakuan kultivasi selulosa ampas sagu pada bioreaktor adalah menggunakan kecepatan pengadukan pada 150 rpm dengan aerasi 0.2 L/min (B) (mengacu pada Reczey et al. 1996), pada suhu 30 oC dan kondisi aerob. pH diatur pada 5-6 menggunakan larutan 5% NaOH dan 5% HCl. Sampling dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari.
Pada masing-masing waktu sampling dilakukan analisis: (i)
pengujian aktivitas selulase menggunakan metode NREL (Adney dan Baker 2008); (ii) konsentrasi glukosa yang dilakukan menggunakan Biosensor (BF-5, Oji Scientific Instrument Jepang). Analisis biomassa T. reesei dari cairan kultur fermentasi dilakukan menggunakan metode tidak langsung dengan pengukuran protein sel (myceliar protein) (metode Jun et al. 2009). Prosedur konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa dapat dilihat pada Gambar 16. Residu selulosa ampas sagu 1.5% (Pretreatment: 120 oC, 30’ min)
Medium Mendel dan Weber and Weber
Mycelium T. reesei terlarut dari preculture (selulase: 0.09 Unit/mL)
10% %
(sterilisasi)
Able BMJ 01 (Volume 1 L)
Personal 11
Kultivasi *: o 7 hari, 30 C, pH 5-6 (NaOH 5%) Bioreaktor Aerasi 0.2 L/min, 150 rpm (B)
Water bath shaker o (30 C; pengadukan 100rpm)(A) Sampling (jam): 0, 24, 48, 72, 96, 120, 144, 168 dan 192
Analisis: -Aktivitas selulase -Glukosa -Biomasa (protein sel) -pH
* Modifikasi metode Reczey et al. 1996; metode Mandel dan Weber 1996
Gambar 16 Prosedur proses konversi selulosa ampas sagu melalui kultivasi T. reesei dalam labu Erlenmeyer dan bioreaktor.
45
3.5.4 Penelitian Tahap IV. Produksi Bioetanol Menggunakan Hidrolisat dari Ampas Sagu 3.5.4.1 Penyiapan Sirup Gula (Hidrolisat Ampas Sagu) Hidrolisat mengandung gula dari ampas sagu dipersiapkan dari hasil penelitian 3.5.2.1 yaitu hidrolisis dengan hidrotermal-enzimatik dan penelitian 3.5.2.2 yaitu hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M pada ampas
sagu
(sebagai
pembanding). Proses hidrolisis dilakukan pada suhu 115 oC selama 15 menit dalam autoclave). Hidrolisat Ampas Sagu Metode Hidrotermal-Enzimatis (A3 20%) Sebanyak 6% (b/v) campuran ampas sagu dengan akuades dalam labu Erlenmeyer, diproses secara hidrotermal pada suhu 115 oC selama 15 menit menggunakan autoclave. Hidrolisat hasil penyaringan dengan kain saring 150 mesh selanjutnya dinetralkan dengan Ca(OH)2 0.5 N pada pH 6.5, dan dipekatkan hingga konsentrasi gula hidrolisat 5%. Selajutnya hidrolisat diliquifikasi dengan α- amilase dengan dosis 1.5 mL/kg sampel pada suhu 90 oC selama 3 jam dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker dengan kecepatan 120 rpm. pH hidrolisat hasil liquifikasi diturunkan menjadi 4.5.
Hidrolisat disakarifikasi
dengan enzim glukoamilase dengan dosis 1.8 mL/ kg sampel pada suhu 60 oC selama 48 jam pH 4.5 dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker pada kecepatan 120 rpm. Hidrolisat gula hasil sakarifikasi disaring dengan kertas saring menggunakan pompa vakum, kemudian dijernihkan dengan karbon aktif 5%. Hidrolisat gula yang telah jernih selanjutnya dipekatkan lagi sampai kadar gula ± 10% (hidolisat ini setara dengan hidrolisat penggunaan ampas sagu 20%). Hidrolisat (sirup) gula 10% ini selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk produksi bioetanol. Hidrolisat Ampas Sagu Metode H2 SO4 0.25 M (D 20%) Sebanyak 6% (b/v) ampas sagu dicampurkan dengan larutan H2SO4 0.25 M dalam labu Erlemeyer yang ditutup rapat dihidrolisis pada suhu 115 oC selama 15 menit menggunakan autoclave.
Hidrolisat hasil penyaringan dengan kain
saring 150 mesh dinetralkan dengan larutan NH4OH 3 N sampai pH netral (pH
46
6.5-7.0). Selanjutnya hidrolisat disaring dengan kertas saring biasa menggunakan pompa vakum. Hasil saringan dijernihkan dengan karbon aktif sebanyak 5%. Hidrolisat jernih dipekatkan hingga konsentrasi gula mencapai ± 10% (hidrolisat setara penggunaan ampas sagu 20%). Hidrolisat (sirup) gula ini digunakan untuk substrat produksi bioetanol. 3.5.4.2 Peremajaan Kultur - Pembuatan Inokulum Kultur S. cerevisiae dibiakkan dalam agar miring Potato Dextro Agar (PDA) dengan inkubasi selama 48 Jam pada kondisi aerobik pada suhu kamar (27-28 oC). Selanjutnya sebanyak 1-2 ose hasil biakan pada PDA inokulasikan pada biakan medium Potato Dextrose Broth (PDB) dalam labu Erlenmeyer. Inokulum pada PDB diinkubasikan pada suhu kamar menggunakan water bath shaker selama 24 jam dengan kecepatan pengadukan 120 rpm. 3.5.4.3 Medium Fermentasi Sebanyak 250 mL sirup glukosa (hasil penyiapan sirup) dimasukkan dalam labu Erlenmeyer 500 mL kemudian ditambahkan 0.1 g pupuk NPK dan 0.375 g pupuk ZA. pH medium diatur hingga mencapai pH 4.8. Medium dipasteurisasi pada suhu 85 oC selama 5 menit kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang.
3.5.4.4 Fermentasi Inokulasikan sebanyak 10% (v/v) inokulum S. cerevisiae ke dalam medium fermentasi.
Fermentasi dilakukan secara anaerobik menggunakan pipa
kapiler pada labu Erlenmeryer (pakai H2SO4 pekat 20%) yang ujungnya dimasukkan dalam gelas ukur yang terendam dalam air (untuk mengukur CO2 terbentuk). Fermentasi dilakukan selama 4 hari (96 jam). Setelah fermentasi, lakukan pasteurisasi kultur fermentasi pada suhu 65 (modifikasi metode Rizaldi 1987).
o
C selama 30 menit
Sampling dilakukan setiap 12 jam.
Pengamatan meliputi volume CO2 yang terbentuk, pH, sisa gula pereduksi (metode DNS), total gula (metode Fenol-H2SO4), biomasa (pengeringan-oven), kadar etanol (specific gravity, AOAC 1995).
47
Lebih jelasnya prosedur produksi bioetanol dari dua substrat hidrolisat ampas sagu dapat dilihat seperti Gambar 17.
NPK 0.1 g; ZA 0.75 g
Hidrolisat Ampas sagu: 1. Metode Hidrotermalenzimatik (A3 20%) 2. Metode H2SO4 0.25 M (D 20%) (250 mL, pH 4.8) Inokulum S.cerevisiae (10%)
Pasteurisasi (85 oC 15 menit) Medium Fermentasi
Sampling per 12 jam (0 – 96 jam)
Analisis: Gula pereduksi, Total gula; Biomassa; Etanol
Proses fermentasi: (An aerobik, pH 4.8. 29-30 oC, 110 rpm, 4 hari)
Pengukuran CO2 (pipa kapiler; H2SO4 20%)
Pasteurisasi 65 oC selama 30 menit
Produk bioetanol
Gambar 17 Prosedur produksi bioetanol dari dua substrat hidrolisat dari ampas sagu. 3.5.5 Kajian Analisis Nilai Tambah Hidrolisat Ampas Sagu Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui nilai tambah hidrolisat ampas sagu sebagai substrat bioetanol dan residu selulosa ampas sagu yang dihasilkan selama proses dari ampas sagu. Analisis nilai tambah akan menginformasikan berapa pertambahan nilai yang didapat dari produk (output) yang dihasilkan sebagai substrat untuk produksi bioetanol.
3.5.5.1 Sumber data Data yang terkait dengan kondisi proses produksi diolah berdasarkan hasil percobaan.
Data bahan baku dan bahan tambahan diperoleh berdasarkan
48
perhitungan neraca masa proses produksi hidrolisat ampas sagu. Data harga bahan baku dan biaya input lain diperoleh dari sumber terkait. Data-data yang diperoleh diolah secara matematis, disajikan dalam tabulasi dan selanjutnya dianalisis dan dijelaskan secara deskriptif.
3.5.5.2 Perhitungan Nilai Tambah Analisis nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami. Secara matematis, fungsi nilai tambah (NT) menurut metode Hayami (Hayami et al. 1987) dapat dirumuskan sebagai berikut:
NT = f (K, B, T, H, U, h, L) Keterangan: K = kapasitas produksi (kg) B = jumlah bahan baku yang digunakan (kg) T = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan (orang) H = harga output (Rp/kg) U = upah kerja (Rp) h = harga bahan baku (Rp/kg) L = nilai input lain (Rp)
Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut: NT = NO – NI Keterangan: NT = nilai tambah (Rp/kg) NO = nilai ouput (NO = Y × H ) J Keterangan: Y = jumlah produksi (kg) H = harga ouput (Rp/kg) J = jumlah bahan baku (kg)
49
NI = nilai input (NI = ha + hb) J Keterangan: ha = harga bahan baku (Rp) hb = harga bahan pendukung lainnya (Rp) J = jumlah bahan baku (kg)
Batasan-batasan yang digunakan dalam analisis nilai tambah ini adalah: 1.
Hidrolisat yang dihasilkan merupakan hidrolisat yang mengandung gula (10%), dijual dalam bentuk curah untuk substrat produksi bioetanol. Byproduct merupakan residu selulosa ampas sagu hasil proses pretreatment yang telah dikeringkan dengan KA ± 12%.
2.
Nilai tambah (NT) adalah peningkatan nilai dari pengolahan bahan baku ampas sagu menjadi hidrolisat ampas sagu dan residu selulosa, diperoleh melalui selisih nilai output dan nilai input yang dihitung dalam Rp/kg bahan baku yang digunakan.
3. Nilai output (NO) adalah hasil kali jumlah hidrolisat ampas sagu dan residu selulosa ampas sagu dengan harga hidrolisat dan residu selulosa ampas sagu dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan (Rp/kg). 4. Nilai input (NI) adalah input utama (jumlah biaya bahan baku) dan input tambahan (jumlah biaya bahan pembantu lainnya, biaya energi, dan air) dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan (Rp/kg).
50
Perhitungan analisis nilai tambah secara rinci disajikan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Format analisis nilai tambah pengolahan No
Peubah
Formula
I. Output, input, dan harga 1
Output (kg)
A
2
Input bahan baku (kg)
B
3
Input tenaga kerja (jam/hari)
C
4
Faktor konversi
D = A/B
5
Koefisien tenaga kerja
E = C/B
6
Harga produk (Rp/kg)
F
7
Upah rerata tenaga kerja (Rp/jam)
G
II. Pendapatan dan Keuntungan 8
Harga input bahan baku (Rp/kg)
H
9
Sumbangan input lain (Rp/kg bahan baku)
I
10
Produk
J=DxF
11
a. Nilai tambah (Rp/kg)
K = J-H-I
b. Rasio nilai tambah (%)
L% = (K/J) x 100%
a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg )
M=ExG
b. Bagian tenaga kerja (%)
N% = (M/K) x 100%
a. Keuntungan (Rp/kg)
O = K-M
b. Tingkat keuntungan (%)
P% = (O/J) x 100%
12
13
51
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komponen Ampas Sagu dan Pretreatment Penelitian ini terdiri atas dua penelitian utama yaitu: 1) Analisis komponen ampas sagu yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandungan komponen-komponen penyusun dalam ampas sagu sebelum dilakukan pretreatment. 2). Pretreatment ampas sagu. Penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu cara pretreatment yang baik dalam memisahkan/mengekstraksi pati pada ampas sagu sehingga diperoleh larutan hasil ekstraksi (ekstrak) dengan kandungan pati yang maksimal. Pada pretreatment diusahakan selulosa dari serat tetap tersedia pada bagian residu ampas sagu. Pretreatment dilakukan dalam autoclave pada suhu 115 oC selama 15 menit menggunakan pelarut akuades, Na2CO3, NaOH, dan H2SO4. Pelarut kimia digunakan pada konsentrasi 0.25 M. Adapun hasil penelitian analisis komponen ampas sagu dan pretreatment dari bahan ampas sagu yang digunakan adalah sebagai berikut: 4.1.1 Komponen Ampas Sagu Hasil analisis komponen dari ampas sagu yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat dari Tabel 3. Komponen terbesar pada ampas sagu yang digunakan adalah pati yaitu sebesar 51.53% (bk), diikuti oleh selulosa sebesar 21.53% (bk). Kandungan pati yang diperoleh pada ampas sagu ini berada diantara hasil analisis pati ampas sagu para peneliti terdahulu, yaitu sebesar 58% (bk) (Ozawa et al. 1996 diacu dalam Linggang 2011), 50% (bk) (Mishima et al. 2011), dan 30-45% (bk) (Bujang 2011). Kandungan komponen selulosa yang diperoleh hampir sama besar dengan hasil peneliti terdahulu yaitu 22.1% (bk) (Rumawas 1996). Dari perbandingan analisis komponen ampas sagu dengan hasil peneliti lain, menunjukkan pola kandungan komponen (utama) yang hampir sama. Pati merupakan komponen terbesar dalam ampas sagu diikuti oleh komponen selulosa. Perbandingan hasil analisis ampas sagu yang digunakan pada penelitian ini dengan hasil penelitian lain dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan komponen utama ampas sagu yang didapatkan, dapat dinyatakan bahwa ampas sagu merupakan limbah hasil pertanian berlignoselulosa
52
dengan kandungan pati yang cukup tinggi. Ampas sagu merupakan limbah hasil pertanian yang spesifik karena kandungan pati yang terdapat disekitar bahan lignoselulosanya. Chew dan Shim (1993), menyatakan bahwa hasil pengujian mikroskopik mengambarkan sejumlah besar pati terperangkap dalam matrik lignoselulosa. Tabel 3 Kandungan bahan dalam ampas sagu (basis kering) No Komponen 1 2 3 4 5 6 7
8
Protein Lemak Pati Selulosa Hemiselulosa Lignin Lainnya (mineral) Kalium (K) Natrium (Na) Calsium (Ca Magnesium (Mg) Mangan (Mn) Besi (Fe) Cobalt (Co) Seng (Zn) Fospor Bahan ekstraktif
Satuan % % % % % % % mg/kg % mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg %
Kandungan 1.34 1.67 51.53 21.53 14.26 6.73
± 0.02 ± 0.04 ± 1.43 ± 2.25 ± 0.86 ± 0.39
0.012 66.258 1.888 333.550 314.710 152.498 < 0.025 0.010 168.681 4.75 ± 0.77
KA: 11.99%
Kandungan pati yang ada pada ampas sagu dengan konsentrasi
yang
berbeda-beda dengan para peneliti terdahulu, mengindikasi bahwa proses ekstraksi pati sagu yang dilakukan perusahan pati sagu tidak sama efisiensinya. Penghitungan efisiensi ekstraksi pati dengan mempertimbangkan kandungan pati dan serat dalam empulur (bk) yaitu sebesar 66.71% dan 33.29% masing-masingnya (Peristiwati et al. 2011), maka ampas sagu yang mengandung pati 51.53% memberikan hasil efisiensi ekstraksi sebesar 79.55%. Pada ampas sagu dengan kandungan pati sebesar 58% (Ozawa et al. 1996 diacu dalam Linggang 2011) memberikan efisiensi ekstraksi hanya 77.55 %, sedangkan pada kandungan pati 30-45% dalam ampas sagu (Bujang 2011) rerata efisiensi ekstraksi 84.24%. Efisiensi ekstraksi pati dari batang sagu pada pabrik pengolahan pati sagu sangat
53
menentukan jumlah pati yang terdapat pada ampas sagu. Semakin efisien ekstraksi pati dari empulur sagu maka semakin kecil kandungan pati dalam ampas sagu. Dari perbandingan kandungan pati ampas sagu hasil beberapa peneliti sebelumnya (Lampiran 6) dapat diketahui bahwa ekstraksi pati sagu cenderung semakin efisien dari tahun ke tahun. Efisiensi ekstraksi pati sagu dipengaruhi juga oleh proses pengolahannya. Semakin maju dan bagus mesin ekstraksi yang digunakan, maka proses ekstraksi makin efisien dan efektif serta makin kecil kandungan pati yang terdapat pada ampas sagu.
4.1.2
Pretreatment Ampas Sagu. Pretreatment ampas sagu dilakukan untuk mengekstraksi pemisahan pati
dari ampas sagu untuk menghasilkan ekstrak dengan kandungan pati yang tinggi. Pretreatment yang dilakukan juga bertujuan untuk mendapatkan
kandungan
selulosa pada residu bahan hasil pretreatment. Proses pretreatment dilakukan pada suhu 115 oC selama 15 menit. Kandungan beberapa komponen dalam ekstrak hasil proses pretreatment dapat dilihat pada Tabel 4. Kandungan selulosa dan rendemen residu ampas sagu disajikan pada Tabel 5. Tabel 4 Kandungan pati, gula pereduksi, HMF, dan total gula pada ekstrak hasil pretreatment ampas sagu No
Perlakuan
Pati (g/L)
Gula pereduksi (g/L)
HMF (mg/100 g)
Total gula (g/L)
Konversi (%)*
17.98 a
0.54 b
0.08 c
0.60 b
2.61
B (Na2CO3 0.25 M)
0.57 b
0.29 b
1.62 a
0.41 b
1.78
3.
C (NaOH 0.25 M )
0.39 b
0.32 b
0.36 b
0.52
b
2.26
4.
D (H2SO4 0.25 M )
0.02 b
18.21 a
0.56 b
20.24
a
88.19
1.
A (Akuades)
2.
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Keterangan : * Konversi pati ampas sagu. Pati bahan baku: 20.61 g/L
Tabel 4 memperlihatkan bahwa hasil pretreatment pada ekstrak memberikan kandungan pati yang tinggi dari perlakuan A (penggunaan akuades), yaitu 17.9 g/L (rendemen 87.24%; Lampiran 8.4), dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses pretreatment pada perlakuan A
54
(penggunaan akuades) ini dapat memisahkan pati ampas sagu jadi pati terdispersi dalam larutan ekstraksi tanpa mengalami proses hidrolisis yang berarti. Pati yang terdispersi ini berupa pati yang telah tergelatinisasi. Pada perlakuan D (pengunaan H2SO4 0.25 M), pati yang terdapat pada ekstrak sangat kecil (dapat diabaikan) dan umumnya telah terhidrolisis menjadi gula. Ekstrak hasil pretreatment pada perlakuan D (pengunaan H2SO4 0.25 M) dapat disebut hidrolisat. Perlakuan B (penggunaan Na2CO3 0.25 M) dan C (penggunaan NaOH 0.25 M) tidak dapat memisahkan pati dan mengkonversi pati jadi gula dengan baik. Kandungan pati yang terukur kecil dan pati diduga menjadi rusak. Pretreatment
menggunakan
akuades
(perlakuan
A)
menyebabkan
terjadinya proses gelatinisasi pati ampas sagu. Pati ampas sagu yang tergelatinisasi akan terpisah dari bagian lignoselulosanya dan tersedia dalam ekstrak. Pada pretreatment ini diduga
terjadi sedikit proses pemecahan
(hidrolisis) dari pati ampas sagu menjadi gula pereduksi. Hal ini diketahui dengan adanya gula pereduksi dan total gula dengan konsentrasi yang kecil pada ekstrak. Pati pada perlakuan A (penggunaan akuades) dengan perlakuan tertentu (enzimatik) dapat dihidrolisis lebih lanjut menjadi gula pereduksi. Kondisi proses pretreatment perlakuan A (penggunaan akuades) lebih cocok dalam pemisahan pati ampas sagu dibandingkan perlakuan lainnya. Pada Tabel 4 diketahui bahwa analisis gula pereduksi pada ekstrak hasil pretreament ampas sagu memperlihatkan perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M) memberikan hasil ketersediaan gula pereduksi terbesar yaitu 18.21 g/L, sedangkan perlakuan B (penggunaan Na2CO3 0.25 M) memberikan ketersediaan gula pereduksi terendah yaitu 0.29 g/L, berbeda tidak nyata dengan perlakuan A (pengunaan akuades) dan C (penggunaan NaOH 0.25 M). Pada perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M) telah terjadi hidrolisis pati dari ampas sagu. Kondisi asam yang ekstrim (pH terlalu rendah) mampu menghasilkan hidrolisat mengandung gula yang yang berasal dari pemecahan pati ampas sagu. Asam (H2SO4) pada konsentrasi yang sesuai mempunyai kecenderungan menghidrolisis pati menjadi bentuk sederhananya (gula-gula pereduksi) dengan lebih baik, namun pada pada konsentrasi yang tinggi juga mampu mengurai bahan selulosa /hemiselulosa menjadi bentuk lebih sederhana (hidrolisat gula). Menurut
55
Tjokroadikoesoemo (1986), penggunaan (hidrolisis) asam dapat memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi. Pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas.
Ciptadi dan Machfud (1980) menambahkan bahwa selama proses
hidrolisis pada pati, akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya kadar gula pereduksi. Analisis HMF memperlihatkan bahwa kandungan HMF yang tertinggi didapatkan pada perlakuan B (penggunaan Na2CO3 0.25 M ) yaitu 1.61 mg/100 g sampel (0.0164 mg/mL sampel ekstrak; Bj 1.0170), dan yang terendah adalah perlakuan A (penggunaan akuades). HMF yang terbentuk dapat terjadi akibat penguraian pati atau gula lebih lanjut yang telah terdegradasi sebelumnya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 0.25 M Na2CO3 yang digunakan, terjadi pembentukan HMF secara langsung dari degradasi lebih lanjut gula-gula sederhana (glukosa) yang telah terhidrolis dari pati. Sedangkan penggunaan akuades pada pretreatment dengan suhu yang sama, belum menghasilkan kadar HMF yang berarti. Pembentukan HMF yang lebih tinggi juga terjadi perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M) yaitu 0.56 mg/100 g sampel (0.0056 mg/mL sampel ekstrak; Bj 1.0072). Senyawa HMF yang terdapat dalam ekstrak (hidrolisat) hasil pretreatment ampas sagu, diharapkan berada dalam jumlah seminimal mungkin, karena akan mempengaruhi proses berikutnya (jika digunakan sebagai substrat fermentasi bioetanol). Hidrolisat dengan kandungan dibawah 0.1 mg/mL sampel masih dapat digunakan sebagai substrat untuk fermentasi etanol. Konsentrasi HMF 0.1 mg/mL dalam substrat fermentasi dapat mencegah pertumbuhan khamir dan menurunkan kecepatan fermentasi S. cerevisiae. Sementara konsentrasi furfural 0.46 mg/mL dapat menurunkan produksi etanol oleh S. cerevisiae hingga 78.4% (Azhar et al. 1981). Pada Tabel 4 menujukkan bahwa pretreatment dengan perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M) memberikan hasil ekstrak dengan total gula tertinggi yaitu 20.24 g/L (konversi 88.19%), sedangkan perlakuan B (penggunaan Na2CO3 0.25 M) memberikan kandungan total gula terendah 0.41 g/L (konversi 1.78%).
56
Kandungan total gula hasil pretreatment memperlihatkan pola yang sama dengan kandungan gula pereduksi untuk masing-masing perlakuan. Pada proses pretreatment yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M) telah terjadi pemecahan/hidrolisis pati ampas sagu dan menghasilkan total gula yang tertinggi. Berdasarkan kandungan gula total ini dapat dinyatakan bahwa sebanyak 88.19% pati yang tersedia dalam ampas sagu telah dihidrolisis menjadi gula sederhana (glukosa). Proses pretreatment menggunakan H2SO4 lebih banyak menghasilkan ekstrak yang mengandung gula dibandingkan perlakuan lain. Hal ini disebabkan pati yang terdapat pada ampas sagu telah terhidrolisis dan dipecah menjadi gula sederhana (glukosa) dengan adanya H2SO4 0.25 M pada suhu yang sama (115 oC). Penggunaan asam akan menurunkan pH menjadi sangat rendah dan mendorong hidrolisis pati dari ampas sagu sewaktu dipanaskan. Penggunaan H2SO4 0.25 M menyebabkan pH pada sampel turun menjadi sebesar 1.5. Menurut Junk dan Pancoast (1977), apabila pati diperlakukan (hidrolisis) dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan –C–O–C– sehingga menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Jika diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Kemudian polimer-polimer tersebut dihidrolisis sampai menjadi glukosa. Hidrolisis pati secara sempurna berlangsung dengan reaksi sebagai berikut: (C6H10O5)n pati
+ nH2O
n (C6H12O6) katalis dan panas
glukosa
Konsentrasi H2SO4 yang lebih tinggi lagi dalam suhu tinggi akan dapat menyebabkan bagian selulosa/hemiselulosa dari ampas sagu terdegradasi menjadi gula sederhana. Pada konsentrasi H2SO4 yang digunakan pada penelitian ini diduga bagian selulosa/hemiselulosa ampas sagu belum terpengaruh. Penggunaan NaOH ataupun Na2CO3 cenderung lebih mengarah pada proses delignifikasi dimana akan membebaskan selulosa dan hemiselulosa dari bahan baku sehingga memberikan konsentrasi yang lebih tinggi dan lebih mudah digunakan untuk tahap selanjutnya. Konsentrasi NaOH dan Na2CO3 yang digunakan pada perlakuan ini diperkirakan telah merusak pati yang ada sehingga total
57
gula menjadi rendah. Penggunaan pelarut basa pada perlakuan C dan B (perlakuan menggunakan NaOH dan Na2CO3, pH hidrolisat 11-12), memperlihatkan kandungan gula pada ekstrak menjadi tidak tersedia karena proses pretreatment pada pati tidak efektif. Kandungan gula yang kecil pada ekstrak diperkirakan karena telah terjadi proses pemecahan yang merusak pati dan gula, sehingga gula dalam ekstrak jadi tidak tersedia. Penggunaan basa yang kurang sesuai (terlalu tinggi) dapat menyebabkan kerusakan pati dan gula pada bahan yang mengalami pretreatment. Setiautama (2012) menyatakan dalam suasana basa, polisakarida dan gula sederhana lain dapat terdekomposisi, yaitu bila dipanaskan dengan ion OH -. Proses dekomposisi dapat menyebabkan terbentuknya asam-asam organik diikuti senyawa kompleks yang akhirnya dapat menghasilkan warna coklat. Kerugian dari dekomposisi ini adalah kehilangan gula dan juga timbulnya zat warna yang dapat merusak warna kristal gula. Perlakuan A (penggunaan akuades) memberikan hasil total gula yang masih kecil. Kondisi ini disebabkan pH larutan (sekitar 4) belum mendorong terjadinya hidrolisis pati menjadi gula seperti penggunaan H2SO4. Pati dari bahan baku belum terhidrolisis menjadi gula tapi baru tergelatinisasi dan dapat dipisahkan dari bagian ampas sagu. Pretreatment dengan menggunakan akuades, dipilih untuk proses hidrolisis dengan enzimatik dalam penyediaan hidrolisat gula sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Pretreatment dengan perlakuan penggunaan H2SO4 0.25 M yang memberikan kandungan total gula tertinggi dipilih sebagai pembanding dalam penyediaan hidrolisat untuk substrat produksi bioetanol. Pada Tabel 5 terlihat bahwa residu ampas sagu hasil pretreatment memberikan kandungan selulosa yang berbeda tidak nyata antar sesama perlakuan, dengan kandungan selulosa tertinggi terdapat pada perlakuan B (penggunaan Na2CO3 0.25 M) dan yang terendah pada perlakuan C (penggunaan NaOH 0.25 M). Peningkatan hasil analisis kandungan selulosa pada residu ampas sagu yang berbeda tidak nyata, mengindikasikan bahwa perbedaan pelarut pada pretreatment yang dilakukan belum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komponen selulosa. Rerata kenaikan kadar selulosa yang terukur dalam bahan adalah 116.51%, hal ini menggambarkan bahwa residu ampas sagu ini dominan
58
mengandung selulosa.
Proses pretreatment dalam ekstraksi ampas sagu
memberikan kandungan selulosa yang lebih tinggi pada residu ampas sagu. Tabel 5
No
Hasil analisis selulosa dan rendemen residu ampas sagu setelah pretreatment Perlakuan
Selulosa (%)
Peningkatan Selulosa (%)
Rendemen (%)
1.
A (Akuades)
47.94
a
121.32
40.14 a
2.
B (Na2CO3 0.25 M)
49.89
a
131.74
36.51 a
3.
C (NaOH 0.25 M)
40.65
a
88.81
28.29 b
4.
D (H2SO4 0.25 M)
48.26
a
124.17
30.03 b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Keterangan : Selulosa bahan baku (sampel) 21.53%
Berdasarkan perhitungan rendemen residu ampas sagu, hasil tertinggi dihasilkan pada perlakuan A (penggunaan akuades) yaitu sebesar 40.14%, sedangkan yang terendah pada perlakuan C (penggunaan NaOH 0.25 M) yaitu sebesar 28.29%. Hasil rendemen ini berbeda nyata diantara perlakuan yang ada. Rendemen perlakuan A (penggunaan akuades)
yang tinggi
mengambarkan
bahwa komponen-komponen lain yang terlarut akibat pengaruh perlakuan pada hidrolisat adalah paling kecil, sehingga rendemen pada residu menjadi besar. Semakin besar komponen terlarut pada ampas sagu maka semakin kecil rendemen residu ampas sagu yang diperoleh. Dari perhitungan rendemen residu ampas sagu sebesar 40.14% akan didapat kandungan selulosa sebesar 2.07 g dari 10 g bahan baku awal (pada pengunaan akuades). Selulosa yang terdapat pada residu ampas sagu ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Steam explosion adalah metoda yang umum digunakan pada material lignoselulolitik. Suhu yang biasa digunakan adalah 160-260 oC selama beberapa menit sebelum material diekspos ketekanan atmosfir (Mc Millan 1994; Sun dan Chen 2002). Pada kondisi ini, biasanya selulosa sudah dapat dibebaskan, dan lignin menjadi pecah. Untuk kayu lunak dan jenis material yang lebih spesifik (ampas sagu, bagas, dan lainnya) biasanya digunakan suhu steam yang lebih rendah, untuk menjaga komponen lain seperti pati tidak rusak (hancur).
59
Secara umum proses pretreatment pada ampas sagu ini telah dapat memisahkan pati dan membentuk gula, yang diharapkan dapat dihidrolisis oleh mikroba seperti S. cerevisiae pada proses selanjutnya. Proses pretreatment juga dapat mengurangi kerusakan/kehilangan selulosa, tetapi tidak dapat menghindari pembentukan inhbitor (HMF). Hal ini tidak jauh dari yang dimaksudkan oleh Sun dan Cheng (2002) tetang arti penting pretreatment pada bahan berlignoselulosa.
4.2 Hidrolisis Ampas Sagu dengan Metode Hidrotermal-Enzimatik dan H2SO4 0.25 M Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian tahap sebelumnya yaitu pretreatment ampas sagu, dimana ekstrak hasil pretreatment dengan kandungan pati yang paling tinggi (perlakuan A) dilanjutkan dalam penyediaan hidrolisat mengandung gula sebagai substrat produksi bioetanol. Penelitian penyediaan hidrolisat mengandung gula untuk produksi bioetanol dilakukan dengan metode hidrotermal-enzimatik. Pretreatment dengan hasil total gula yang paling tinggi yaitu perlakuan D (penggunaan H2SO4 0.25 M), dilanjutkan untuk penyediaan hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol. Hidrolisat hasil metode H2SO4 0.25 M ini merupakan pembanding bagi hidrolisat terbaik dari metode hidrotermalenzimatik sebagai substrat bagi produksi bioetanol. 4.2.1
Hidrolisis dengan Metode Hidrotermal –Enzimatik Penelitian hidrolisis dengan metode hidrotermal-enzimatik ini bertujuan
untuk mendapatkan total gula dan gula pereduksi yang tinggi dari ampas sagu. Metode hidrotermal ini menggunakan pemanasan untuk pemisahan/ekstraksi dan gelatinisasi pati ampas sagu sampai di atas kondisi suhu gelatinisasi yang umum dipakai. Suhu proses pemanasan yang dipakai mengacu kisaran suhu pada proses pretreatment bahan berlignoselulosa. Hidrolisis hidrotermal-enzimatik ini terdiri tiga tahapan, yaitu: 1) Proses hidrotermal pati ampas sagu (melewati titik gelatinisasinya) dengan penggunaan air panas pada suhu yang berbeda-beda, 2) Proses liquifikasi dengan enzim αamilase, dan 3) Proses sakarifikasi menggunakan enzim glukoamilase.
60
4.2.1.1 Proses Hidrotermal Perlakuan hidrotermal pati menggunakan suhu di atas 100 oC dalam autoclave memperlihatkan hasil proses pemisahan pati yang optimal pada ekstrak. Kandungan pati pada ekstrak dengan perlakuan A3 (penggunaan suhu 115 oC selama 15 menit) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A4 (penggunaan suhu 130 oC selama 30 menit), tetapi berbeda nyata terhadap kandungan gula pereduksi dan gula totalnya. Penggunaan suhu yang lebih tinggi pada perlakuan A4 (penggunaan suhu 130 oC selama 30 menit) telah mendorong terjadinya proses pemisahan pati yang lebih tinggi dari perlakuan A3 (penggunaan suhu 115 oC selama 15 menit) sehingga kandungan gula pereduksi dan total gula perlakuan A4 (penggunaan suhu 130 oC selama 30 menit) lebih tinggi dibandingkan perlakuan A3 (penggunaan suhu 115 oC selama 15 menit). Kandungan pati yang terpisahkan akibat gelatinisasi juga lebih tinggi pada perlakuan A4 (penggunaan suhu 130 oC selama 30 menit) tetapi tidak memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan A3 (penggunaan suhu 115 oC selama 15 menit). Perlakuan A1 (penggunaan suhu 70 oC) melalui proses pencucian pati ampas sagu belum mampu menyebabkan pati terpisah dan tergelatinisasi dengan baik. Perlakuan A2 (penggunaan suhu pencucian 100 oC) telah mulai dapat memisahkan pati dan terbawa (terdispersi) pada bagian ekstrak. Hasil proses hidrotermal pati ampas sagu ini dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 18. Tabel 6 Kandungan gula pereduksi, total gula, dan pati dalam ekstrak hasil proses hidrotermal ampas sagu
No
Perlakuan
Gula Pereduksi g/L)
Total Gula (g/L)
Pati (g/L)
1.
A1 (Suhu 70 oC , pencucian)
0.380 c
0.50
b
3.73 c
2.
A2(Suhu 100 oC, pencucian)
0.475 bc
0.53
b
14.26 b
3.
A3 (Suhu115 oC, 15 menit, autoclave)
0.610 b
0.64
b
18.18 a
4.
A4 (Suhu 130 oC, 30 menit, autoclave)
1.102 a
1.26 a
18.49 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
61
Pada Tabel 6 terlihat bahwa, untuk mendapatkan ekstrak dengan kandungan pati yang maksimal maka proses pemisahan dan gelatinisasi pati ampas sagu memerlukan suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasi pati sagu biasa. Pemisahan pati ampas sagu yang lebih efisien dari penggunaan temperatur dan waktu proses adalah pada perlakuan A3 yaitu penggunaan suhu 130 oC selama 30 menit.
25
Pati (g/L)
20
15
10
5
0 A1
A2
A3
A4
Perlakuan
Pati
Gambar 18 Diagram batang kandungan pati dalam ekstrak hasil proses hidrotermal ampas sagu. Ekstrak dengan kandungan pati yang tinggi pada proses hidrotermal pati ampas sagu memerlukan suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasi pati sagu biasa. Suhu di atas 100 oC menyebabkan pati ampas sagu dapat terpisah dan mengalami gelatinisasi secara lebih optimal. Knight (1989) menyatakan bahwa suhu
gelatinisasi
pati
sagu
sekitar
60–72
o
C,
sedangkan
menurut
Wirakartakusumah et al. (1984), suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 72–90 oC. Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu, yang disebut suhu gelatinisasi dari pati tersebut.
Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi suspensi pati,
semakin tinggi konsentrasi larutan (suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari pada daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam pati tersebut dan pati akan
62
membengkak (mengembang). Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan sifat ini disebut gelatinisasi (Whistler dan Daniel 1985). Proses gelatinisasi pati ampas sagu ini mendorong terpisahnya pati ampas sagu dari bahan lignoselulosa ampas sagu. Hasil analisis kadar selulosa dan rendemen residu ampas sagu hasil proses hidrotermal ampas sagu dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan selulosa dan rendemen residu ampas sagu hasil proses hidrotermal ampas sagu
No
Perlakuan
Selulosa (%)
Rendemen (%)
1.
A1 (Suhu 70 oC , pencucian)
34.78 d
74.74 a
2.
A2 (Suhu 100 oC, pencucian)
39.33 c
47.54 b
3.
A3 (Suhu115 oC, 15 menit, autoclave)
46.99 b
39.75 c
4.
A4 (Suhu 130 oC, 30 menit, autoclave)
55.26 a
35.42 d
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa residu ampas sagu hasil proses ekstraksi hidrotermal memberikan hasil rendemen terbesar pada perlakuaan A1 (penggunaan suhu 70 oC dengan pencucian) dan terkecil pada perlakuan A4 (penggunaan suhu 130 oC dengan autoclave), yang memberikan hasil berbeda nyata sesamanya. Kandungan selulosa residu ampas sagu hasil proses hidrotermal memperlihatkan bahwa perlakuan A4 (penggunaan suhu 130
o
C dengan
autoclave) memberikan hasil terbesar yaitu 55.26%, dengan perlakuan A1 (penggunaan suhu 70 oC dengan pencucian) memberikan hasil terendah yaitu 34.78%. Proses hidrotermal dengan suhu 70 oC memberikan rendemen terbesar dengan kandungan selulosa terkecil. Pada perlakuan ini bagian pati yang terlarut dan tergelatinisasi pada ekstrak adalah paling kecil sehingga rendemen pada residu menjadi besar, dimana selulosa terdapat dalampersentase yang paling kecil. Pada Tabel 7 terlihat juga bahwa, perlakuan hidrotermal dengan suhu 130 o
C selama 30 menit dengan autoclave, telah memberikan hasil pati yang
63
tergelatinisasi dan senyawa lain terlarut dalam ekstrak paling besar, sehingga rendemen residu ampas sagu menjadi kecil. Persentase selulosa merupakan yang tertinggi dalam residu perlakuan ini. Semakin besar pati terpisah dan tergelatinisasi serta semakin besar komponen lain terlarut pada ekstrak, maka semakin kecil rendemen residu ampas sagu yang diperoleh.
4.2.1.2 Proses Liquifikasi dan Sakarifikasi Hasil proses liquifikasi dan sakarifikasi pati pada ekstrak pati dari proses gelatinisasi hidrotermal dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Dextrose equivalent (DE) dari hidrolisat gula hasil liquifikasi belum mencapai 50%, dengan proses sakarifikasi menyebabkan nilai DE meningkat mencapai >80%. Tabel 8 Kandungan hidrolisat hasil proses liquifikasi pati ampas sagu
No
Perlakuan
Gula Pereduksi g/L)
Total Gula (g/L)
DP
DE (%)
1.
A1 (Suhu 70 oC, pencucian)
0.56 b
1.51 c
2.70
37.09
2.
A2 (Suhu 100 oC, pencucian)
7.22 a
16.37 b
2.27
44.11
3.
A3 (Suhu115 oC, 15 menit, autoclave)
7.10 a
21.78 a
3.07
32.60
4.
A4 (Suhu 130 oC, 30 menit, autoclave)
6.93 a
21.98 a
3.17
31.53
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Hasil hidrolisis menggunakan enzim α-amilase pada proses liquifikasi memberikan hasil DE yang masih rendah (< 50%). Keadaan ini menggambarkan bahwa gula pereduksi yang dihasilkan masih sedikit. Hal ini disebabkan gula yang diperoleh diduga umumnya masih dalam bentuk gula-gula oligosakarida, yaitu gula dalam bentuk malto dekstrin dan dekstrin. Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin (Chaplin dan Buckle 1990). Sedangkan total gula yang diperoleh
64
pada proses ini berasal dari gula hasil hidrolisis pati ampas sagu yang telah terpisahkan dan gula hasil hidrolisis langsung dari proses hidrotermal. Hidrolisat hasil sakarifikasi pada perlakuan hidrotermal A2 (suhu 100 oC, pencucian), A3 (suhu 115 oC, 15 menit dalam autoclave) dan A4 (suhu 130 oC, 30 menit dalam autoclave) menghasilkan DE yang cukup tinggi yaitu > 85% (Tabel 10). Nilai DE yang tinggi mengindikasikan hasil proses hidrolisis mengandung glukosa yang tinggi. Analisis kandungan total gula dan gula pereduksi perlakuan A3 (Suhu 115 oC, 15 menit dalam autoclave) dan A4 (suhu 130 o
C, 30 menit dalam autoclave) memperlihatkan hasil yang tinggi, berbeda tidak
nyata sesamanya.
Keadaan ini menunjukkan bahwa pada
penggunaan suhu
o
sampai 115 C selama 15 menit dalam autoclave, proses hidrolisis enzimatis dalam menghasilkan hidrolisat yang mengandung gula (glukosa) dapat berlangsung optimal. Tingkat konversi pati menjadi komponen glukosa ditentukan oleh derajat konversi yang dikenal sebagai equivalen dekstrosa atau Dextrose Equivalent (DE). DE adalah nilai yang menunjukkan derajat konversi pati yang diukur dengan banyaknya molekul pati yang dipotong menjadi komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin. Derajat konversi ini ditentukan juga oleh waktu, tekanan, dan katalis. Semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya (Palmer 1970).
Tabel 9 Kandungan hidrolisat hasil proses sakarifikasi pati ampas sagu
No
Perlakuan
Gula Pereduksi g/L)
Total Gula (g/L)
DP
DE (%)
1.
A1 (Suhu 70 oC, pencucian)
1.19 c
2.140 c
1.80
55.61
2.
A2 (Suhu 100 oC, pencucian)
17.15 b
19.88 b
1.16
86.27
3.
A3 (Suhu 115 oC, 15 menit, autoclave)
20.39 a
23.55 a
1.16
86.58
4.
A4 (Suhu 130 oC, 30 menit, autoclave)
20.21 a
23.70 a
1.17
85.27
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
65
Proses liquifikasi dan sakarifikasi hidrolisat pati ampas sagu memerlukan dosis enzim yang cukup tinggi. Untuk liquifikasi diperlukan enzim α-amilase dengan dosis 32.5 U/g sampel, sedangkan untuk sakarifikasi diperlukan dosis glukoamilase sebesar 51.9 U/g sampel. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Mishima et al. (2011) dalam konversi glukosa dari ampas sagu (mengandung 50% pati), yaitu diperlukan 88.4 U/g sampel kleistase T10S untuk liquifikasi ampas sagu pada suhu 70 oC secara sempurna. Mishima et al. (2011) menyatakan bahwa residu sagu (ampas sagu) mengandung senyawa inhibitor amilase yang mempengaruhi proses liquifikasi, yaitu diperkirakan berupa senyawa polifenol yang dapat berupa cathecin dan lainnya. Inhibitor ini dapat dihilangkan dengan karbon aktif sehingga selanjutnya ampas sagu dapat dilikuifikasi dengan enzim amilase secara lebih baik. Pada penelitian ini, dengan penggunaan α-amilase 32.5 U/g sampel telah terjadinya pemutusan fraksi amilosa pada pati. Proses hidrotermal pada suhu 115 o
C selama 15 menit yang dilakukan sebelumnya telah mendorong tersedianya pati
tergelatinisasi untuk diliquifikasi. Diperkirakan kondisi hidrolisis dengan suhu 115 oC selama 15 menit dalam autoclave telah mempengaruhi inhibitor amilase tersebut (cathecin), sehingga tidak berperan dengan baik dalam menghambat proses liquifikasi dengan enzim
α-amilase, atau fungsi inhibisinya sudah
berkurang dalam menghambat kerja enzim α-amilase. Inhibitor dalam bentuk polifenol dipengaruhi oleh suhu. Chen et al. (2001) menyatakan bahwa stabilitas cathecin dipengaruhi oleh suhu dan pH. Semakin tinggi suhu (> 90 oC) maka jumlah cathecin akan menurun (Wang dan Zhou 2004), begitu pula yang terjadi pada pH tinggi. Ekstrak pati dari ampas sagu hasil pemisahan/ekstraksi secara hidrotermal merupakan suatu bentuk larutan hasil ekstaksi yang tidak homogen. Terdapatnya komponen lain dalam ekstrak akan mengganggu kerja enzim. Enzim bekerja dengan spesifitas yang khas (termasuk α-amilase dan glukoamilase), sehingga jika ada komponen lain menghalangi kerja kedua enzim ini, akan menyebabkan enzim bekerja tidak optimal. Diperlukan jumlah enzim yang agak tinggi dalam mengatasi kemungkinan adanya inhibitor ini, sehingga enzim dapat bekerja dalam kondisi yang tetap baik. Inhibitor yang terdapat pada ampas sagu diduga
66
merupakan inhibitor yang bersifat reversibel, yaitu inhibitor non kompetitif dimana dengan semakin kecilnya konsentrasi inhibitor maka proses enzimatik dapat berlangsung. Terdapat dua kelompok inhibitor enzim, yaitu inhibitor reversibel dan irreversibel. Pada penghambatan secara irreversibel, enzim menjadi tidak aktif secara irreversibel, karena adanya senyawa yang dapat memodifikasi gugus fungsional secara kovalen dan permanen. Pada inhibisi reversibel, aktivitas enzim pulih bila inhibitornya dihilangkan. Terdapat tiga kelompok inhibitor reversibel, yaitu: 1) Inhibitor kompetitif; mempunyai kesamaan struktur yang dekat dengan substrat, dapat bersaing dengan substrat dalam mengisi sisi aktif enzim, 2) Inhibitor non kompetitif; tingkat inhibisi dipengaruhi hanya oleh konsentrasi inhibitor dan bukan konsentrasi substrat, dan 3) Inhibitor nir kompetitif; proses inhibisi tidak berkurang dengan penambahan konsentrasi substrat (Aiba et al. 1973). 4.2.2 Hidrolisis dengan Metode Asam (H2SO4 0.25 M) Penelitian hidrolisis ampas sagu dengan metode H2SO4 0.25 M bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat dengan kandungan total gula dan gula pereduksi yang dapat tersedia sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Hasil hidrolisis dengan metode H2SO4 0.25 M adalah sebagai berikut: 4.2.2.1 Penyediaan Hidrolisat dengan Metode H2SO4 0.25 M Penyediaan hidrolisat gula bagi produksi bioetanol dengan konsentrasi ampas sagu sebesar 4% menghasilkan total gula 23.85 g/L (2.39%; b/v) dan gula pereduksi sebesar 18.20 g/L (1.82%; b/v). Pemekatan hidrolisat dapat meningkatkan ketersediaan gula pereduksi dan total gula yang lebih tinggi seperti diperlihatkan Tabel 10. Untuk mendapatkan kandungan gula (gula pereduksi) yang cukup memadai bagi pertumbuhan mikroba penghasil etanol, hidrolisis pati ampas sagu harus mampu menyediakan kandungan gula pereduksi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat diperoleh dengan cara melakukan pemekatan hidrolisat yang telah dijernihkan. Proses pemekatan hidrolisat jernih dari
67
ampas dapat meningkatkan ketersediaan gula pereduksi bagi S. cerevisiae dalam produksi bioetanol. Tabel 10 Kandungan gula pereduksi dan total gula hidrolisat ampas sagu hasil hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M pada beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu (pemekatan) No
Hidrolisat
Gula pereduksi (g/L)
Total Gula (g/L)
1.
Ampas sagu 4%
18.20 ± 2.42
23.85 ± 2.33
2.
Ampas sagu 10%
41.50 ± 3.78
50.33 ± 1.73
3.
Ampas sagu 20%
88.05 ± 1.37
115.42 ± 4.64
Pada Tabel 10 terlihat bahwa pemekatan hidrolisat ampas sagu 4% sebesar 5.0 x (setara dengan konsentrasi ampas sagu 20%) telah dapat menyediakan 88.05 ± 1.37 g/L (8.81 ± 0.14%; b/v) gula pereduksi dengan total gula sebesar 115.42 ± 4.64 g/L (11.54 ± 0.46%; b/v). Kandungan gula ini sudah cukup tersedia bagi berlangsungnya pertumbuhan mikroba S. cerevisiae dalam memproduksi bioetanol.
Menurut Frazier dan Weshoff (1978),
konsentrasi gula yang
dibutuhkan untuk proses fermentasi etanol adalah 10–18%. Menurut Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa konsentrasi gula yang tinggi (> 25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat (substrat inhibitor). DP hasil pemekatan hidrolisat ampas sagu 4% sebesar 5.0 x (setara ampas sagu 20%) menggunakan H2SO4 0.25 M adalah kisaran 1.31 dengan DE 76.29% (Tabel 11). Hal ini menunjukan bahwa gula pereduksi (monosakarida) yang dihasilkan dari proses hidrolisis sudah cukup tinggi. Tabel 11 Derajat polimerisasi dan dextrose equivalent hidrolisat ampas sagu hasil hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M pada beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu (pemekatan) No
Hidrolisat
DP
DE (%)
1.
Ampas sagu 4%
1.31
76.34
2
Ampas sagu 10%
1.21
82.45
3.
Ampas sagu 20%
1.31
76.29
68
Hidrolisis ampas sagu pada konsentrasi setara 20 % menggunakan asam (H2SO4) telah mampu menyediakan hidrolisat yang mengandung gula dengan tahapan yang singkat, dimana gula yang didapat merupakan gula pereduksi yang bisa digunakan untuk pembuatan produk lanjutan (bioetanol), dan juga merupakan alat pengontrol kualitas gula yang ada. Dalam Tjokroadikoesoemo (1986), dijelaskan bahwa hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas. 4.2.2.2 Kajian Peningkatan Konsentrasi Ampas Sagu pada Hidrolisis Menggunakan H2SO4 0.25 M Penelitian tentang kajian peningkatan konsentrasi ampas sagu pada hidrolisis menggunakan H2SO4 0.25 M bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi ampas sagu yang digunakan pada proses hidrolisis terhadap beberapa komponen dalam hidrolisat dan residu ampas sagu yang dihasikan. Pada penelitian ini diketahui juga tingkat konversi dari pati ampas sagunya. Pada kajian peningkatan konsentrasi ampas sagu secara hidrolisis asam (H2SO4) ini diketahui bahwa konsentrasi gula pereduksi hidrolisat dengan penggunaan konsentrasi ampas sagu di atas 2% menjadi semakin berkurang dibandingkan dari hasil yang seharusnya didapatkan (glukosa teoritik; Tabel 12). Konversi pati menjadi gula pereduksi turun menjadi di bawah 80% (konversi pati adalah: konsentrasi gula pereduksi hidrolisat dibagi konsentrasi gluklosa (teoritik) yang ada pada bahan baku untuk masing-masing perlakuan di kalikan 100%). Adapun hasil analisis gula pereduksi, glukosa (teoritik), konversi gula pereduksi, dan HMF hidrolisat, terdapat pada Tabel 12, sedangkan kandungan selulosa dan rendemen residu lignoselulosa ampas sagu disajikan pada Tabel 13. Tabel 12 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ampas sagu 2% memberikan hasil gula pereduksi pada hasil hidrolisis yang sama (mendekati) dengan kandungan gula pereduksi (glukosa) teoritis bahan bakunya. Pada kondisi ini hidrolisis berjalan mendekati sempurna. Pada penggunaan ampas sagu 4% dan 6%, konsentrasi gula pereduksi mulai menurun dengan konversi yang masih tinggi (di atas 75%). Pada konsentrasi ampas sagu 8% dan 10%, konsentrasi gula
69
pereduksi semakin turun dengan % konversi
di bawah 75% (71.54% pada
konsentrasi ampas sagu 8% dan 71.04% pada ampas sagu 10%) (lebih jelasnya lihat Gambar 18). Penurunan konsentrasi gula pereduksi yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi ampas sagu yang digunakan pada hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M, disebabkan molaritas H2SO4 0.25 M sebagai penghidrolisis semakin berkurang dengan meningkatnya konsentrasi ampas sagu yang digunakan. Faktor lain terjadinya penurunan kandungan gula pereduksi adalah sifat dari bahan baku ampas sagu yang bersifat kamba, dimana bahan tersedia dalam bentuk butiran halus dengan ukuran < 100 mesh dan bersifat sangat menyerap air (higroskopis). Pada konsentrasi di atas 6% penampakan dari bahan hidrolisis sudah mulai pekat (kental), larutan untuk menghidrolisis ampas sagu menjadi berkurang. Larutan penghidrolisis yang semakin berkurang (dalam molaritas dan volume larutan) menyebabkan kemampuan hidrolisis pada kondisi yang sama juga semakin kurang. Tabel 12 Kandungan gula pereduksi, glukosa teoritik, konversi pati-gula pereduksi dan HMF hidrolisat dari hidrolisis dengan peningkatan konsentrasi ampas sagu menggunakan H2SO4 0.25 M Glukosa (teoritik) (g/L)
Konversi pati-gula pereduksi (%)
No
Perlakuan
Gula pereduksi (g/L)
1.
Ampas sagu 2%
10.86 e
11.45
94.85 a
0.14 d
2.
Ampas sagu 4%
18.01 d
22.90
78.65 b
0.46 c
3.
Ampas sagu 6%
25.78 c
34.35
75.05 b
0.56 bc
4.
Ampas sagu 8%
32.77 b
45.81
71.54 b
0.68 ab
5.
Ampas sagu 10%
40.67 a
57.26
71.04 b
0.80 a
HMF (mg/100g)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%
Hasil analisis HMF dari hidrolisat menunjukkan pada konsentrasi sampai 10% kandungan HMF masih relatif kecil yaitu 0.80 mg/100 g sampel (0.0081 mg/ ml sampel; Bj. 1.0164). Hal ini berarti hidrolisis dengan penggunaan konsentrasi ampas sagu sampai 10% kadar HMF masih rendah dan hidrolisat dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi etanol. Kandungan HMF ini perlu diketahui,
70
karena kandungan HMF yang tinggi dapat bersifat racun bagi pertumbuhan S.cerevesiae jika hidrolisat digunakan sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Peningkatan konsentrasi ampas sagu pada hidrolisis dengan larutan H2SO4 0.25 M memperlihatkan kandungan selulosa pada residu ampas sagu yang tidak berbeda nyata masing-masingnya (Tabel 13), dimana terlihat ada kecenderungan kandungan selulosa meningkat sampai konsentrasi ampas sagu 6%, dan mulai menurun dengan peningkatan ampas sagu yang diberikan.
Rendemen residu
ampas sagu juga semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi ampas sagu yang dihidrolisis. Rendemen tertinggi adalah pada konsentrasi ampas sagu 10% (31.93%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan ampas sagu 8%, sedangkan rendemen terendah adalah perlakuan ampas sagu 2% (27.85%) berbeda nyata dengan perlakuan 4% dan 6%. Tabel 13 Kandungan selulosa dan rendemen residu ampas sagu hasil hidrolisis beberapa tingkat konsentrasi ampas sagu menggunakan H2SO4 0.25 M No
Perlakuan
Selulosa (%)
1.
Ampas sagu 2%
48.98
a
27.85
d
2.
Ampas sagu 4%
52.26
a
29.88
c
3.
Ampas sagu 6%
55.06
a
30.46
bc
4.
Ampas sagu 8%
52.70
a
31.34
ab
5.
Ampas sagu 10%
42.50
a
31.93
a
Rendemen (%)
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda, berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Peningkatan rendemen dengan semakin tingginya konsentrasi ampas sagu yang dihidrolisis mengindikasikan bahwa semakin berkurang komponen yang larut pada hidrolisat akibat proses hidrolisis. Berkurangnya komponen yang terlarut dengan peningkatan konsentrasi ampas sagu juga merupakan petunjuk bahwa proses hidrolisis pati ampas sagu menjadi gula pereduksi berlangsung kurang sempurna dengan adanya peningkatan konsentrasi ampas sagu yang digunakan. Konversi pati ampas sagu menjadi gula pereduksi memperlihatkan persentase yang semakin kecil dengan peningkatan konsentrasi ampas sagu yang
71
digunakan. Berdasarkan tingkat konversi pati dan konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan dengan peningkatan penggunaan ampas sagu, maka proses hidrolisis yang optimal dengan H2SO4 0.25 M berada sedikit di atas konsentrasi 6%, yaitu 6.4%. Setiadi dan Darifis (2006) menyatakan nilai konversi katalitik N butanol menggunakan katalis B2O3/Zeolit sebesar 75% sampai 82.9% sudah efektif dan efisien. Jika diasumsikan batasan efektifitas dan efisiensi konversi pati ampas sagu adalah 75%, maka berdasarkan nilai tersebut konsentrasi ampas sagu pada 6% merupakan kondisi yang efektif dihidrolisis dengan H2SO4 0.25 M dan berada mendekati titik optimalnya. Penggunaan konsentrasi ampas sagu sebesar 8% dan di atasnya menyebabkan konversi ampas sagu menggunakan H2SO4 0.25 M menjadi kurang efektif dan sudah semakin jauh dari titik optimal konsentrasi yang digunakan. 120
45
Konversi (%)
35
80
30 25
60
20
40
15 10
20
Gula pereduksi (g/L)
40
100
5
0
0 0%
2%
4%
6%
8%
Konsentrasi ampas sagu
10%
12%
Konversi (%) Gula pereduksi
Gambar 19 Hubungan nilai konversi pati dan gula pereduksi hasil hidrolisis H2SO4 0.25 M berdasarkan peningkatan konsentrasi ampas sagu. Penurunan nilai konversi pati ampas sagu diduga disebabkan molaritas H2SO4 0.25 M sebagai penghidrolisis semakin berkurang dari kebutuhan molaritas H2SO4 yang seharusnya digunakan. Pada penggunaan ampas sagu 2%, untuk mendapatkan konversi pati ampas sagu 100% (teoritik) diperlukan 0.26 M H2SO4 , sedangkan pada konsentrasi ampas sagu 10% diperlukan 0.352 M H2SO4. Semakin tinggi konsentrasi ampas sagu yang digunakan semakin jauh berkurang molaritas H2SO40.25 M yang diperlukan untuk mendapatkan nilai konversi 100%. Kebutuhan molaritas H2SO4 pada konsentrasi ampas sagu yang lebih tinggi dapat ditentukan dengan perhitungan memakai persamaan regresi Y =
72
3.719 X + 3.304. Persamaan regresi ini merupakan hasil perhitungan dari gula pereduksi yang dihasilkan pada penelitian (perlakuan ampas sagu 2–10% dihidrolisis menggunakan H2SO4 0.25 M).
Berdasarkan perhitungan dengan
persamaan regresi di atas, untuk hidrolisis ampas sagu 20% memerlukan H2SO4 0.368 M, sedangkan penggunaan ampas sagu 30% diperlukan H2SO4 0.374 M pada tingkat konversi 100% (Lampiran 8.7).
4.3
Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Glukosa Penelitian ini merupakan rangkaian dari proses penyediaan hidrolisat yang
mengandung gula dari ampas sagu. Bagian selulosa dari residu ampas sagu hasil pretreatment dikonversi menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa secara langsung dalam satu tahap menggunakan kapang T. reesei. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi proses konversi yang baik, dan mendapatkan gula (glukosa) dalam hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol. Penelitian konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa terdiri dari dua tahap penelitian yaitu: a) Pretreatment ampas sagu dengan low steam treatment; b) Konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa (proses kultivasi) menggunakan mikroba T. reesei.
4.3.1 Pretreatment dengan Low Steam Treatment Penelitian ini bertujuan mendapatkan kandungan selulosa yang tinggi pada residu ampas sagu setelah pretreatment, dimana tidak ada pengaruh dengan adanya bahan tambahan lain sebelum pretreatment. Rendemen dan kenaikan kandungan selulosa dalam residu ampas sagu dianalisis dalam penelitian ini. Adapun hasil analisis rendemen pretreatment ampas sagu dengan metode low steam treatment ini dapat dilihat pada Gambar 20. Rendemen dari pretreatment yang diperoleh adalah dalam kisaran 35 – 39%. Hal ini disebabkan sebagian dari material terlarut ketika ampas sagu dilakukan pretreatment. Rendemen terendah adalah pada perlakuan F (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 40 menit) yaitu sebesar 35.39%, dan tertinggi adalah perlakuan A (penggunaan suhu 110 oC tekanan 1.41 atm selama 20 menit) sebesar 39.24%. Hasil rendemen terendah ini menunjukkan kehilangan
73
berat tertinggi (%) dimana akan diperoleh konsentrasi selulosa tertinggi pada material hasil pretreatment tersebut. Pada temperatur yang sama, semakin lama waktu pretreatment menyebabkan semakin kecil rendemen yang diperoleh. Hal ini disebabkan komponenkomponen spesifik (seperti pati, protein, lemak dan sebagainya) akan terlarut atau terdegradasi.
Rendemen (%)
40.00 38.00 36.00 34.00 32.00 30.00 0
10
20
30
Waktu (menit)
40
50 120 oC 110 oC
Gambar 20 Rendemen residu ampas sagu setelah pretreatment secara low steam treatment. Hasil analisis selulosa setelah dilakukan pretreatment secara low steam treatment dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 21. Konsentrasi selulosa tertinggi diperoleh dari perlakuan F (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 40 menit) kurang lebih 58.20%, dan yang terendah diperoleh pada perlakuan A (penggunaan suhu 110 oC tekanan 1.41 atm selama 20 menit) yaitu kurang lebih 34.32%. Perlakuan pretreatment E (menggunakan suhu 120 oC tekanan 1.96 atm dengan waktu 30 menit) memberikan kandungan selulosa sedikit lebih rendah dari perlakuan F (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 40 menit) yaitu 55.30%. Pada Tabel 14 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi selulosa tertinggi adalah perlakuan F (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 40 menit), dan yang terendah adalah perlakuan A (penggunaan suhu 110 oC tekanan 1.41 atm selama 20 menit). Peningkatan konsentrasi selulosa berdasarkan perbandingan perlakuan yang diberikan memperlihatkan bahwa peningkatan konsentrasi selulosa dari perlakuan B (penggunaan suhu 110 oC tekanan 1.41 atm selama 30
74
menit) ke C (penggunaan suhu 110 oC tekanan 1.41 atm selama 40 menit) dan dari E (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 30 menit) ke F (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 40 menit) tidak terlalu tinggi. Berdasarkan kandungan selulosa dan persentase peningkatan kandungan selulosa, perlakuan E (penggunaan suhu 120 oC tekanan 1.69 atm selama 30 menit) lebih efisien dalam meningkatkan kandungan selulosa. Tabel 14 Konsentrasi selulosa ampas sagu setelah pretreatment secara low steam treatment No 1
Perlakuan
Selulosa (%)
Peningkatan selulosa (%)
A (110 oC 1.41 atm 20 menit)
34.32 ± 1.61
59.41
o
2
B (110 C 1.41 atm 30 menit)
41.11 ± 1.32
90.94
3
C (110 oC 1.41 atm 40 menit)
43.19 ± 2.79
100.60
4
D (120 oC 1.69 atm 20 menit)
39.79 ± 3.15
84.81
5
E (120 oC 1.69 atm 30 menit)
55.30 ± 2.97
156.85
6
F (120 oC 1.69 atm 40 menit)
58.20 ± 1.60
170.32
Keterangan: Selulosa bahan baku 21.53%
Pada Gambar 21 terlihat bahwa pada temperatur yang sama, semakin lama waktu pretreatment maka semakin tinggi konsentrasi selulosa yang diperoleh. Namun hasil pengukuran konsentrasi selulosa tidak memperlihatkan kenaikan hasil yang linier. Pola konsentrasi selulosa meningkat dengan tidak membentuk suatu garis yang cenderung lurus seperti pola rendemen produk yang diperlihatkan sebelumnya (Gambar 20). Proses pretreatment ampas sagu perlu ditingkatkan suhu dan waktunya, hal ini disebabkan diperkirakan ada bagian dari lignin dan hemiselulosa yang masih menutupi selulosa. Namun hasil pretreatment penggunaan suhu 120 oC selam 30 dan 40 menit (E dan F) cukup baik untuk penyediaan selulosa sebagai substrat untuk proses konversi selanjutnya. Peningkatan suhu akan dapat meningkatkan selulosa dengan terlarutnya pati, protein, lemak dan rusaknya hemiselulosa dan lignin. Sun dan Chen (2002) melaporkan bahwa pretreatment pada suhu 160-260 oC dalam beberapa detik atau beberapa menit menyebabkan
75
degradasi lignin dan hemiselulosa. Pada penelitian ini temperatur yang digunakan lebih rendah yaitu 110-120 oC, dengan waktu yang lebih lama yaitu 20-40 menit. Kondisi ini telah dapat menyebabkan ikatan lignoselulosa rusak dan selulosa dapat dibebaskan. 70
Selulosa (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
Waktu (menit)
30
35
40
45
120 oC 1.96 atm 110 oC 1.42 atm
Gambar 21 Konsentrasi selulosa setelah pretreatment ampas sagu secara low steam treatment. 4.3.2
Proses Kultivasi pada Konversi Selulosa Ampas Sagu Menjadi Hidrolisat yang Mengandung Glukosa Penelitian konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa dalam satu tahap
dilakukan untuk mengetahui kondisi proses konversi yang cocok dan mendapatkan glukosa dalam hidrolisat sebagai hasil konversi substrat fermentasi. Penelitian konversi selulosa ini meliputi kajian; 1) Pengujian mikroba T. reesei EC Simon (JCM 22767) untuk mengetahui kecocokan galur mikroba T. reesei yang digunakan.
2) Preculture T. reesei dalam substrat residu selulosa ampas
sagu dan selulosa mikrokristalin sebagai pembanding. Preculture T. reesei dalam substrat residu selulosa ampas sagu dilakukan untuk mengetahui pola partumbuhan mikroba T. reesei. 3) Konversi selulosa ampas sagu menggunakan T. reesei hasil preculture pada substrat residu selulosa ampas sagu. Konversi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan gula (glukosa) pada hidrolisat setelah proses konversi berakhir.
4.3.2.1. Mikroba T. Reesei Mikroba T. reesei yang digunakan adalah Trichoderma reesei EC simon diperoleh dari Japan Culture Microbe (JCM), Jepang. Hasil pertumbuhan T.
76
reesei dalam medium PDA memperlihatkan hasil pertumbuhan yang baik, dengan terbentuknya warna putih kehijauan setelah 5 hari pertumbuhan. Pengamatan menggunakan mikroskop (Olympus, vanox) memperlihatkan bahwa T. reesei mempunyai hifa dan spora (Gambar 22). Pada kapang/jamur tingkat tinggi, spora disebut juga dengan konidia. Mikroba T. reesei ini termasuk dalam kapang tingkat tinggi (Eumycetes).
(A) (B) Gambar 22 Hifa dan spora pada T. reesei. Hifa (miselium) (A) dan Spora (B) dari T. reesei (pembesaran 100 x).
(A) 5.5 µm (B) Gambar 23 Hasil pengukuran konidia T. reesei. Hifa (A) dan Spora (konidia) (B) dari T. reesei (pembesaran 100 x). Hasil pengamatan miskroskopik memperlihatkan bahwa ukuran konidia (spora) dari mikroba T. reesei yang digunakan adalah dalam kisaran 3.7–5.8 µm (Gambar 23). Hasil ini tidak jauh berbeda dari T. reesei yang digunakan peneliti sebelumnya (Harman 2009), yaitu 3–5 µm. Dapat dinyatakan bahwa T. reesei yang digunakan sama dengan T. reesei peneliti terdahulu.
77
4.3.2.2 Kurva Pertumbuhan T. reesei (Preculture) Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola pertumbuhan T. reesei dalam selulosa ampas sagu yang dibandingkan dengan pola pertumbuhan T. reesei pada medium selulosa murni. Output dari penelitian ini adalah mendapatkan akhir fase eksponensial dari pertumbuhan T. reesei pada substrat residu selulosa ampas sagu yang akan digunakan untuk proses konversi selulosa ampas sagu dalam satu tahap (fermentasi). Pada pola pertumbuhan T. reesei dalam preculture dilihat juga hubungan dengan pembentukan glukosa.
Hasil pertumbuhan T. reesei pada
substrat residu selulosa ampas sagu dan substrat mikrokristalin dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. 0.45
0.35 0.3 0.25
0.3 0.25
0.2
0.2
0.15
0.15
0.1
Glukosa (g/L)
Protein sel (g/L)
0.4 0.35
0.1 0.05
0.05 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
0 180
Waktu fermentasi (jam) Protein sel
Glukosa
Gambar 24 Kurva pertumbuhan dan pembentukan glukosa pada preculture T. reesei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu. 0.45
0.6 0.5
0.35 0.3
0.4
0.25
0.3
0.2 0.15
0.2
0.1
Glukosa (g/L)
Protein sel (g/L)
0.4
0.1
0.05 0 0
20
40
60
80
100
120
0 140
Waktu fermentasi (jam) Protein sel
Glukosa
Gambar 25 Kurva pertumbuhan dan pembentukan glukosa pada preculture T. reesei menggunakan substrat selulosa mikrokristalin.
78
Pola pertumbuhan T reesei diketahui dari kandungan protein sel, yang merupakan pengukuran biomassa secara tidak langsung. Pola pertumbuhan T. reesei pada substrat residu selulosa ampas sagu membutuhkan waktu satu hari (24 jam) untuk fase lag (penyesuaian) dan produksi glukosa terdeteksi setelah 96 jam proses preculture. Pola pertumbuhan T reesei pada selulosa mikrokritalin fase lag juga terjadi sampai jam ke-24, dimana glukosa mulai terlihat pada jam 96 dengan konsentrasi yang hampir sama besar dengan konsentrasi glukosa pada jam ke-120 pada preculture T. reesei menggunakan selulosa ampas sagu. Pada preculture T. reesei menggunakan substrat ampas sagu akhir fase ekponensial dicapai pada jam ke 144, setelah itu pertumbuhan sel memasuki fase decleration (pertumbuhan mulai melambat). Kondisi ini lebih lama satu hari jika dibandingan dengan menggunakan selulosa mikrokristalin sebagai substratnya, dimana akhir fase eksponensial dicapai pada jam ke-120 (Lampiran 9.2 dan 9.3). Pembentukan glukosa menurun saat pertumbuhan T. reesei berada pada fase stasioner. Pola pertumbuhan T. reesei pada substrat residu selulosa ampas sagu dan pada selulosa mikrokristalin mengikuti pola pertumbuhan mikroba secara umum pada sistem curah (Stanbury dan Whitaker 1984). Kurva pertumbuhan mikroba secara umum pada sistem curah diperlihatkan pada Gambar 26 berikut ini.
Gambar 26 Kurva pertumbuhan mikroba pada sistem curah (Stanbury dan Whitaker 1984).
79
4.3.2.3 Proses Kultivasi Proses kultivasi pada substrat residu selulosa ampas sagu ini adalah suatu metode untuk mengkonversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa dalam hidrolisat secara satu tahap menggunakan kapang T. reesei. Proses kultivasi ini dilakukan pada wadah kultivasi yang berbeda dengan perbedaan aerasi dan agitasi. Proses kultivasi yang dilakukan yaitu: A) Kultivasi pada labu Erlenmeyer dalam water bath shaker tanpa aerasi dengan kecepatan pengadukan 100 rpm, dan B) Kultivasi pada bioreaktor dengan aerasi 0.2 L/menit dan agitasi 150 rpm. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses kultivasi yang sesuai dalam mendapatkan glukosa pada hidrolisat sebagai hasil proses konversi. Pengamatan yang dilakukan pada proses konversi selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa ini meliputi: protein sel mikroba (penghitungan biomassa secara tidak langsung), aktivitas enzim selulase selama konversi, dan kadar glukosa yang dihasilkan. Adapun hasil penelitian dilaporkan sebagai berikut: 4.3.2.3.1 Protein Sel Mikroba Analisis protein sel merupakan metode perhitungan tidak langsung terhadap biomassa sel T. reesei. Kandungan protein sel T. reesei selama proses kultivasi dapat dilihat pada Gambar 27.
0.7
Protein sel (g/L)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2
A (Labu Erlenmeyer) B (Fermentor)
0.1 0 0
50
100
150
200
250
Waktu kultivasi (jam)
Gambar 27 Pola pembentukan protein sel mikroba T. reesei pada proses kultivasi menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu.
80
Pertumbuhan sel T. reesei berlangsung lebih baik pada bioreaktor menggunakan aerasi 0.2 L/menit dengan kecepatan pengadukan 150 rpm (perlakuan B) dibandingkan dengan penggunaan labu Erlenmeyer dalam water bath shaker. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya konsentrasi protein pada sel mikroba, dimana kondisi ini cenderung disebabkan oleh adanya suplai dan penyebaran O2 yang lebih baik terjadi pada bioreaktor bagi pertumbuhan T. reesei. Proses kultivasi pada labu Erlenmeyer dalam water bath shaker dilakukan tanpa adanya suplai oksigen terus menerus, tetapi dari oksigen awal yang terdapat dalam Erlenmeyer. Oksigen tidak menyebar secara merata seperti dalam bioreaktor karena agitasi yang diberikan berupa pengadukan yang berlangsung dari luar, sedangkan pada bioreaktor pengadukan berlangsung secara merata dengan adanya batang pengaduk atau impeler. Hal ini diduga menyebabkan pertumbuhan sel mikroba tumbuh lebih banyak. Pada labu Erlenmeyer dalam water bath shaker mikroba tumbuh mengelompok dimana miselium (hifa) tumbuh secara sempurna, sedangkan pada bioreaktor disebabkan adanya gaya pengguntingan (shear stress) maka terlihat mikroba tidak tumbuh sempurna dengan miselium yang panjang.
Mikroba tumbuh dalam koloni yang kecil dengan
miselium yang pendek-pendek dan banyak. Pada bioreaktor, koloni cenderung dihasilkan lebih banyak dan protein sel terhitung tinggi karena
sel-sel yang
terpotong akan membentuk hifa-hifa yang selajutnya juga terpotong oleh adanya gaya gunting. T. reesei termasuk dalam kelompok kapang Ascomycota (Eumycetes) yang memiliki hifa bersekat-sekat (bersepta) (Schlegel 1986) (Gambar 22A), dimana hifa yang terputus-putus ini dapat tumbuh dan mendorong miselium kapang bisa tumbuh dalam jumlah yang lebih banyak. Panjang hifa dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan. Jika tumbuh pada permukaan medium, hifa dapat berukuran sangat panjang, sedangkan jika tumbuh dibawah permukaan (terendam) dan ada pengadukan hifa akan terputus-putus sehingga ukurannya menjadi lebih pendek dan bercabang-cabang. Semakin cepat pengadukan pada kultur terendam, semakin pendek hifa yang terbentuk. Hifa yang tumbuh dalam kultur terdispersi tumbuh dalam dua bentuk yaitu: 1) miselia terdispersi dan, 2) pelet.
Bentuk miselia sangat mempengaruhi terhadap
pertumbuhan dan pembentukan produk (Cooney 1981). Secara konvensional
81
produksi enzim selulase dilakukan dengan kultivasi substrat padat, dimana pertumbuhan koloni terjadi sempurna. 4.3.2.3.2
Aktivitas Enzim Selulase
Pertumbuhan sel yang lebih baik pada kondisi kultivasi dalam bioreaktor tidak memperlihatkan aktivitas enzim selulase yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi kultivasi pada labu Erlenmeyer dalam water bath shaker (Gambar 28). Hasil ini diperkirakan disebabkan oleh: 1) proses pengguntingan yang terjadi pada miselium T. reesei di dalam bioreaktor. Koloni T. reesei yang terputus oleh gaya pengguntingan menyebabkan produksi
selulase tidak
berlangsung dengan baik, sehingga enzim selulase yang dihasilkan belum tinggi, dan 2) gaya pengguntingan (shear stress) yang diterima oleh enzim selulase. Selulase yang dihasilkan dengan kultivasi substrat cair (submerged) dapat mengalami gaya pengguntingan (shear stress). Pengadukan dapat menimbulkan gaya gesek pada selulase dimana diperkirakan akibat gaya gesekan yang terjadi dapat menyebabkan aktivitas selulase menjadi berkurang. Mandels dan Weber (1969) diacu dalam Kim et al. (1997) menyatakan bahwa selulase yang dihasilkan T. reesei sensitif terhadap gaya pengguntingan (shear stress), tetapi tidak sesensitif selulase yang dihasilkan oleh Aspergillus fumigatus (A. fumigatus).
Aktivitas selulase (Unit/mL)
0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 A (Labu Erlenmeyer)
0.01
B (Fermentor)
0 0
50
100
150
200
250
Waku kultivasi (jam)
Gambar 28 Pola aktivitas selulase dari proses kultivasi T. resei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu.
82
Selulase merupakan enzim ekstraseluler yang diproduksi oleh bagian miselium dari kapang. Jika miselium (hifa) tidak berada dalam kondisi yang baik maka proses produksi selulase juga kurang baik. Miselium yang terputus-putus akibat shear strees menyebabkan produksi selulase menjadi tidak optimal. Selulase baru dapat diproduksi setelah 24 jam masa inkubasi (Gambar 28), dimana miselium sudah memiliki ukuran yang cukup dan baik pertumbuhannya. 4.3.2.3.3 Glukosa Glukosa dalam hidrolisat hasil kultivasi menggunakan labu Erlenmeyer dalam water bath shaker memberikan hasil yang lebih tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas selulase pada labu Erlenmeyer dalam water bath shaker dihasilkan yang lebih tinggi, sehingga konversi selulosa sisa menjadi glukosa lebih baik dengan konsentrasi glukosa yang dihasikan lebih tinggi (diperoleh 0.3 g/L glukosa). Pada proses kultivasi menggunakan bioreaktor (perlakuan B), aktivitas selulase lebih rendah sehingga konversi selulosa sisa dalam ampas sagu menjadi glukosa menjadi lebih kecil (Gambar 29). 0.35
Glukosa (g/L)
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1
A (Labu Erlenmeyer) 0.05
B (Fermentor)
0 0
50
100
150
200
250
Waktu kultivasi (jam)
Gambar 29 Pola pembentukan glukosa selama kultivasi T. reesei menggunakan substrat residu selulosa ampas sagu. Pada penelitian ini kadar glukosa hasil konversi selulosa ampas sagu diperoleh 0.3 g/L pada substrat hasil konversi dengan penggunaan residu selulosa ampas sagu sebesar 15.02 g/L (0.5530 x 15.02 = 8.31 g selulosa/L). Konversi selulosa (8.31 g/L) menjadi glukosa secara umum dari proses adalah 3.61% (0.3/8.31 x 100%) pada aktivitas selulase 0.06 FPU/mL pada substrat. Hasil
83
konversi selulosa ampas sagu ini tidak menyatakan hasil konversi yang sebenarnya karena perhitungan tidak memasukkan penggunaan sebagian substrat selulosa oleh mikroba. Pada proses kultivasi, sebagian selulosa ampas sagu ini digunakan T. reesei untuk produksi biomassa sel dan biosintesis enzim selulase. Sehingga pendekatan konversi produk
dengan cara ini kurang tepat. Pada
penelitian terpisah, Eveleig et al. (1986) melaporkan bahwa efisiensi konversi selulosa dari Cetus baltimer (selulosa 45%) dan Avicel 101 (selulosa 96%) menggunakan konsentrasi enzim selulase sebesar 0.12 FPU/mL adalah 18.8 dan 25.4% masing-masingnya. Metode dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan Eveleig et al. (1986). Pada penelitian ini terjadi proses pertumbuhan mikroba dalam menghasilkan selulase yang sekaligus terjadi konversi selulosa sisa menjadi glukosa oleh selulase yang dihasilkan, sedangkan pada penelitian Eveleig et al. (1986) hanya proses konversi substrat selulosa menjadi glukosa dengan penambahan enzim selulase. Peningkatan massa sel T. reesei menyebabkan tingkat konversi substrat menjadi produk lebih rendah atau berkurang akibat sebagian substrat digunakan oleh mikroba untuk reproduksi.
4.3.2.3.4 Glucose Effect Konversi satu tahap selulosa ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung glukosa menggunakan mikroba
T. reesei mempunyai fenomena
kinetika yang menarik (Gambar 30). Pada konversi selulosa dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker (A) terlihat bahwa konversi satu tahap selulosa ampas sagu menjadi glukosa dengan T. reesei ini dibatasi oleh terbentuknya produk glukosa pada substrat, dimana pada jam ke-216 (hari ke-9) aktivitas selulase menurun dengan adanya konsentrasi glukosa sebesar 0.3 g/L. Keadaan ini diduga terjadi karena adanya proses represi selulase oleh produk (glukosa) yang terdapat pada substrat. Pada konversi selulosa ampas sagu perlakuan A (labu Erlemeyer dalam water bath shaker) konsentrasi glukosa pada substrat sebesar 0.3 g/L telah menyebabkan aktivitas selulase menurun.
Pada konsentrasi ini menyebabkan
konversi glukosa selanjutnya dari selulosa menjadi berkurang/menurun. Gong dan Tsao (1979) menyatakan selulase ekstraseluler dapat diproduksi oleh
84
mikroorganisme bila ada substrat tertentu dalam medium pertumbuhannya. Penginduksi
dalam pembentukan selulase adalah selulosa, turunan selulosa,
selobiosa, soforosa, dan laktosa. Sintesis selulase setelah induksi dapat dihambat oleh adanya glukosa atau gula lain dalam medium. Proses represi disebabkan
0.35
0.07
0.3
0.06
0.25
0.05
0.2
0.04
0.15
0.03
0.1
0.02
0.05
0.01
0 0
50
100
150
200
Aktivitas selulase (unit/mL)
Glukosa (g/L)
adanya glukosa dikenal dengan nama glucose effect.
0 250
Waktu kultivasi (jam) Glukosa
Aktivitas selulase
Gambar 30 Hubungan aktivitas selulase dengan pembentukan glukosa selama kultivasi. Proses represi dalam konversi selulosa ampas sagu oleh glukosa yang dihasilkan dapat diterangkan sebagai berikut: selulosa ampas sagu
sebagai
substrat awalnya akan dikonsumsi dalam pembentukan massa sel sampai dihasilkan produk metabolit enzim selulase. Enzim selulase yang dihasilkan akan mengkonversi selulosa sisa menjadi glukosa. Aktivitas selulase yang dihasilkan pada proses konversi ini masih kecil yaitu maksimal 0.065 U/ml, sehingga dengan kandungan glukosa yang kecil yaitu 0.3 g/L proses represi katabolit mulai terjadi. Enzim ektrasluler (selulase) disintesis dalam ribosom. Sintesis enzim ini mengalami represi katabolit, yaitu produksi dihambat jika substrat mengandung komponen-komponen sumber energi dan karbon yang lebih larut dan mudah dimetabolisme (Wang et al. 1979). Kehadiran glukosa (produk yang mudah masuk sel) dalam substrat selulosa dapat merepresi selulase. Pada batasan tertentu, konsentrasi glukosa yang ada akan merepresi pembentuk enzim selulase sehingga proses konversi menjadi terhenti. Konsentrasi glukosa yang menyebabkan represi selulase cenderung berbeda dengan berbedanya mikroba penghasil selulase tersebut.
Produksi selulase dari galur liar B. pumillus direpresi dengan adanya
85
kandungan 25 mM glukosa (Kotchoni et al. 2003). Bakare et al. (2005) menyatakan bahwa produksi selulase dari P. fluorescens cenderung menurun dengan adanya kehadiran glukosa. Proses regulasi dalam metabolisme pada suatu mikroorganisme yang menghasilkan enzim katabolik dikenal dengan istilah induksi-represi.
Proses
regulasi untuk enzim sintetik dikenal dengan nama regulasi umpan balik yang terbagi atas: 1) Penghambatan umpan balik, dan 2) Represi umpan balik. Mekanisme induksi-represi enzim yang pertama kali dikemukakan oleh Jacob dan Monod (1961), dapat dijelaskan seperti berikut: Jika gen operator bebas dari represor, maka RNA polimerase dalam sel dapat melakukan transkripsi terhadap DNA membentuk mRNA (messenger RNA). Kemudian mRNA mengalami translasi oleh ribosom menjadi enzim. Dalam keadaan kehadiran represor (tidak ada atau berkurangnya induser) proses transkripsi dapat dihambat, yang mengakibatkan mRNA tidak terbentuk dan enzim akhir tidak dapat diproduksi. Pada konversi selulosa ampas sagu oleh enzim selulase menggunakan T. reesei, terlihat pertumbuhan sel mikroba T. reesei yang mulai menurun setelah jam ke-168 (Gambar 27). Penurunan pertumbuhan sel diduga karena mulai berkurangnya ketersedian substrat selulosa yang sekaligus juga induser dalam produksi selulase. Keadaan ini
menyebabkan pembentukan selulase mulai
menurun setelah jam ke-198 akibat pengaruh glucosa effect. 4.3.2.3.5
Pola Pembentukan Produk
Glukosa hasil konversi dari aktivitas selulase terhadap selulosa memperlihatkan pola yang masih berasosiasi dengan pertumbuhan biomassa sel mikroba (berdasarkan waktu pembentukannya). Glukosa telah terbentuk pada pertengahan fase eksponensial. Pada fase ini konsentrasi selulase pada medium substrat cukup untuk mengkonversi selulosa sisa yang ada pada substrat kultivasi. Pola pembentukan produk ini mengarah pada metabolisme primer, dimana pola pembuatan produk mengikuti pola pembentukan enzim selulase. Pola produksi selulase tidak terpisah dengan proses pembentukan sel mikroba, atau masih berasosiasi dengan produksi sel mikroba (growth associated). Senyawa-senyawa yang dihasilkan dalam kondisi growth associated merupakan senyawa metabolit
86
primer. Wang et al. (1979); Crueger dan Crueger (1984) menyatakan senyawaansenyawaan antara (intermediet) dalam jalur biosintetik produk akhir (termasuk enzim) dianggap sebagai metabolit primer. Pola pembentukan produk (konversi
0.4
0.07
0.35
0.06
Protein sel (g/L) Glukosa (g/L)
0.3
0.05
0.25 0.04 0.2 0.03 0.15 0.02
0.1
0.01
0.05 0 0
50
100
150
200
Aktivitas selulase (Unit/mL)
selulosa) dapat dilihat pada Gambar 31.
0 250
Waktu kultivasi (jam )
Protein sel
Glukosa
Aktivitas selulase
Gambar 31 Hubungan pertumbuhan massa sel (protein sel) dengan pembentukan glukosa pada konversi selulosa ampas sagu dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker. Produk glukosa bukan merupakan hasil metabolisme pada mikroorganisme, tetapi hasil konversi yang terjadi pada substrat selulosa ampas sagu. Selulase hasil proses kultivasi mengkonversi selulosa sisa yang terdapat dalam substrat menjadi glukosa. Pola pembentukan glukosa ini mengikuti pola pembentukan selulase dari proses kultivasi, yaitu berasosiasi dengan pertumbuhan sel mikroorganisme. Gambar 31 menunjukkan bahwa setelah fermentasi selama 162 jam pertumbuhan sel mikroba mulai turun sampai akhir fermentasi. Aktivitas selulase dan konversi selulosa sisa menjadi glukosa terus naik sampai jam ke-198. Akibat pertumbuhan sel yang telah mulai turun pada jam ke-168, maka setelah jam ke 198 aktivitas selulase menjadi turun yang menyebabkan glukosa hasil konversi juga turun. Produksi selulase yang telah berkurang akibat pertumbuhan sel yang menurun, diduga merupakan salah satu pendorong terjadi glucose effect pada kandungan glukosa yang masih rendah. Proses konversi selulosa menjadi glukosa menggunakan enzim selulase secara langsung dari hasil metabolisme mikroba T. reesei cukup rumit dan
87
memberikan hasil yang rendah. Kecilnya konsentrasi glukosa yang diperoleh diduga karena ada sebagian glukosa yang dikonsumsi oleh T. reesei untuk menunjang proses metabolismenya. Penggunaan enzim selulase hasil isolasi dari mikroba T. reesei secara terpisah pada substrat selulosa ampas sagu yang akan dikonversi lebih mudah pelaksanaannya. Glukosa yang dihasilkan dapat lebih tinggi jika proses konversi selulosa ampas sagu dilakukan menggunakan enzim selulase yang telah diisolasi seperti yang laporkan Eveleig et al. (1986). Penggunaan enzim selulase secara terpisah membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mengisolasi enzim tersebut.
4.4
Produksi Bioetanol dari Hidrolisat Ampas Sagu Penelitian aplikasi dari hidrolisat ampas sagu untuk produksi bioetanol
bertujuan mendapatkan produk bioetanol dari hidrolisat ampas sagu yang paling baik digunakan. Produksi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu ini dilakukan menggunakan substrat hidrolisat mengandung gula dari ampas sagu dengan metode hidrolisis yang berbeda (penyiapan hidrolisat ampas sagu pada sub-sub bab 3.5.4.1). Hidrolisat ampas sagu yang digunakan adalah: 1) Hidrolisat dari metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik ampas sagu (A3 20%), dan 2) Hidrolisat dari metode hidrolisis H2SO4 0.25 M ampas sagu (D 20%). Hasil fermentasi pada produksi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu yang digunakan adalah sebagai berikut:
4.4.1
Gula Pereduksi Selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar gula pereduksi. Hal ini
ditandai dengan berkurangnya kadar gula pereduksi yang terkandung pada substrat akibat konsumsi mikroba S. cerevisiae selama fermentasi. Nilai kadar gula pereduksi yang tersisa pada akhir fermentasi berkisar antara 23.96 g/L untuk hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%), dan 42.12 g/L untuk hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) (Lampiran 10.1). Hasil analisis kadar gula pereduksi pada awal sampai akhir fermentasi selama proses fermentasi etanol dari dua jenis hidrolisat dapat dilihat pada Gambar 32.
88
Gula pereduksi (g/L)
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu fermentasi (jam)
A3 20%
D 20%
Gambar 32 Grafik penurunan gula pereduksi selama proses fermentasi dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu. Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa kadar gula pereduksi awal pada substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) lebih tinggi dari hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%), yaitu 101.52 g/L (10.15%) dan 89.43 g/L (8.94%) masing-masingnya. Pola penurunan kadar gula pereduksi antara hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) dan hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) hampir sama. Konsumsi gula pereduksi total selama fermentasi bioetanol lebih tinggi terjadi pada hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) sebesar 65.47 g/L, dibandingkan hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) yaitu sebesar 59.40 g/L, sehingga penurunan gula pereduksi lebih besar terjadi pada hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). Penurunan kadar gula pereduksi yang lebih besar diperoleh dari substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas mikroba lebih tinggi terjadi pada substrat ini. Penurunan substrat sejalan dengan produksi biomassa dan produk etanol yang dihasilkan. Semakin rendah kadar gula pereduksi sisa, maka semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Gula pereduksi pada kedua jenis hidrolisat sebagai substrat untuk produksi bioetanol tidak habis dikonsumsi pada akhir proses fermentasi. Adanya sisa gula pereduksi ini diduga - salah satunya - karena terdapatnya inhibitor berupa HMF pada masing-masing hidrolisat. Kadar HMF pada hidrolisat hidrotermal-enzimatik (A3 20%) sebesar 0.24 mg/100 g sampel (0.0025 mg/mL, Bj 1.0148), jauh
89
lebih kecil dibanding yang dikandung dalam hidrolisat dengan metode hidrolisis H2SO4 0.25 M (D 20%) yaitu 2.49 mg/100 g (0.0264 mg/mL; Bj 1.0616). HMF dapat mempengaruhi S.cerevisiea dalam mengkonsumsi gula pereduksi sebagai substrat untuk pertumbuhannya, seperti yang ditelah diterangkan pada sub bab sebelumnya (Lihat sub bab 4.1.2). Konsentrasi gula pereduksi yang semakin kecil pada substrat, dapat menyebabkan kadar HMF yang ada pada substrat menjadi semakin meningkat. Pada akhir fermentasi, gula pereduksi pada hidrolisat tidak dikonsumsi lagi oleh S. cerevisiae karena konsentrasi HMF yang telah cukup tinggi yang menyebabkan pertumbuhan S cerevisiae terganggu. Dugaan lain penyebab berhentinya proses fermentasi karena terdapatnya hasil metabolisme bersifat racun bagi S. cerevisiae seperti asam organik lain yang dihasilkannya.
4.4.2
Biomassa Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam
cairan fermentasi. Selama fermentasi, sel mikroba akan mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk sehingga akan terjadi kenaikan biomassa. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas mikroba selama proses fermentasi. Peningkatan biomassa juga menunjukkan adanya pertumbuhan sel.
Hasil
pertumbuhan sel S. cerervisiae yang dihitung dari jumlah biomassa sel selama proses fermentasi dengan mengunakan dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu dapat dilihat pada Gambar 33.
3
Biomassa (g/L)
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu fermentasi (jam) A3 20%
D 20%
Gambar 33 Grafik biomassa S. cerevisiae selama proses fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu.
90
S. cerevisiae memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Proses fermentasi etanol harus dilengkapi dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel dan pertumbuhan mikroba, disamping gula sebagai sumber karbon utama. Umumnya disebut makronutrien untuk elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O dan N. Kondisi medium dan lingkungan yang sesuai serta nutrien yang cukup akan meningkatkan aktivitas mikroba. Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan produk fermentasi. Gambar 33 memperlihatkan bahwa dua hidrolisat ampas sagu sebagai substrat fermentasi menghasilkan pola pembentukan biomassa yang hampir sama. Konsentrasi gula pereduksi awal pada hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) yang lebih kecil dari hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) memperlihatkan tingkat pertumbuhan sedikit lebih baik. Biomassa yang tumbuh lebih banyak disebabkan konsumsi gula pereduksi pada substrat hidrotermalenzimatik sedikit lebih tinggi. Konsumsi gula pereduksi yang lebih kecil untuk substrat H2SO4 0.25 M (59.40 g/L) menyebabkan biomassa S. cerevisiae terbentuk juga rendah, walaupun kadar gula pereduksi awalnya lebih tinggi. Komponen bersifat toksik seperti HMF pada substrat metode H2SO4 0.25 M yang relatif lebih tinggi, diduga telah mempengaruhi pertumbuhan sel S. cerevisiae. Pertumbuhan dan perkembangan sel S. cerevisiae dapat dipengaruhi oleh komponen lain yang bersifat toksik yang dikandung oleh substrat seperti HMF. Semakin tinggi kandungan HMF pada substrat makin sulit S. cerevisiae tumbuh, berakibat makin kecilnya biomassa S. cerevisiae yang diperoleh. Substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M mengandung HMF yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisat dari metoda hidrotemal-enzimatik. Hal ini dapat diketahui dari proses penyiapan hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol. Kandungan HMF dari kedua hidrolisat telah disebutkan pada sub-sub bab 4.4.1. Palmqvist dan Hagerdal (2000) menyatakan kelemahan dari hidrolisis asam adalah timbulnya senyawa inhibitor seperti hidroksimetil furfural (HMF) dan furfural yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Alves et al. (1998) menyatakan bahwa HMF pada konsentrasi
91
1 g/L, sudah cukup untuk menghambat pertumbuhan S. cerevisiae pada proses fermentasi. Kehadiran HMF mempengaruhi pertumbuhan dari S. cerevisiae.
4.4.3
CO2 Produktivitas fermentasi dapat juga dilihat dari volume CO2 yang
terbentuk selama fermentasi. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi menggunakan hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%), dan hidrolisat metode H2SO4 0.25M (D 20%) dapat dilihat pada Gambar 34.
700
CO2 (mL)
600 500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu fermentasi (jam) A3 20%
D 20%
Gambar 34 Grafik pembentukan CO2 selama proses fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu. Gambar 34 menunjukkan bahwa pola pembentukan CO2 kedua hidrolisat yang digunakan hampir sama. Hingga
jam ke-24 terjadi peningkatan laju
fermentasi dengan cepat yang ditandai dengan laju pembentukan CO2 yang tinggi sampai titik optimum. Setelah jam ke-24, laju pembentukan CO2 pada kedua jenis substrat mulai
mengalami penurunan dimana pertambahan CO2 per waktu
fermentasi semakin lama semakin sedikit jumlahnya. Pembentukan CO2 pada fermentasi menggunakan hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik lebih tinggi dari hidrolisat metode H2SO4 0.25 M yaitu 636.5 mL dan 573 mL masingmasingnya (Lampiran 10.3). Pola pembentukan CO2 ini mendekati dengan pola pembentuk biomassa S. cerevisiae. CO2 yang ditampilkan merupakan akumulasi dari pertambahan volume CO2 setiap waktu fermentasi.
92
Pembentukan CO2 ini berkorelasi langsung dengan pembentukan bioetanol dan pertumbuhan sel S. cerevisiae yang dihitung dalam bentuk biomassanya. Hal ini sesuai dengan persamaan gaya Lussac, dimana:
C6H12O6
2 C2H5OH
Glukosa
+
etanol
2 CO2 karbondioksida (gas)
CO2 yang terbentuk merupakan hasil proses metabolisme dari sel S. cerevisiae, yang mengkonsumsi gula pereduksi (glukosa) untuk menghasilkan biomassa dengan hasil utama etanol. Sampai jam ke-24, CO2 dihasilkan tinggi sejalan dengan pola pertumbuhan S. cerevisiae yang mencapai akhir fase eksponensial. Setelah jam ke-24 CO2 yang dihasilkan menurun karena sel S. cerevisiae berada dalam fase stasioner (Gambar 33). Pada fase ini pertambahan biomasa sangat kecil -walaupun biomassa yang terukur tinggi- karena terjadi keseimbangan biomassa sel S. cerevisiae yang hidup dan yang telah mati. Pertambahan
biomassa
S
cerevisiae
yang
kecil
sangat
mempengaruhi
pembentukan CO2, sehingga terlihat bahwa setelah jam ke-24
volume
terbentuknya CO2 mulai berkurang dan terus mengecil sampai akhir fermentasi. Selama CO2 terbentuk oleh adanya pertumbuhan S. cerevisiae, maka etanol juga akan dihasilkan walaupun dalam jumlah yang kecil. Selama proses fermentasi, komposisi kimiawi cairan fermentasi berubah karena nutrien terus menerus dikonsumsi dan produk metabolit disintesis. Sebagai akibatnya kondisi lingkungan menjadi semakin tidak seimbang. Pada periode ini, pertumbuhan mikroba mulai terhambat.
Penurunan laju fermentasi ini diduga
karena semakin berkurangnya nutrien pada medium serta mulai terjadinya penimbunan racun sebagai hasil kegiatan metabolisme. Penurunan laju fermentasi juga kemungkinan disebabkan mulai adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam yang kemudian menghambat laju fermentasi.
Etanol dapat
menghambat proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk, sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan, sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal.
93
4.4.4
Kadar Etanol (Specific Gravity) Analisis kadar etanol dilakukan dengan metode perbandingan berat jenis
(BJ) menggunakan metode specific gravity. Hasil analisis kadar etanol dengan menggunakan metode specific gravity dapat dilihat pada Gambar 35.
3
Kadar etanol (%)
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu fermentasi (jam) A3 20%
D 20%
Gambar 35 Grafik pembentukan etanol selama fermentasi dengan menggunakan dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu. Berdasarkan pada Gambar 35, dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kadar etanol dari masing-masing sampel menggunakan metode specific gravity memiliki kecenderungan yang sama, dengan nilai analisis yang tidak berbeda jauh. Substrat yang berasal dari hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) memperlihatkan kadar etanol sedikit lebih tinggi dari menggunakan hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) dimana kadar gula pereduksi awal hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) lebih kecil dari hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%). Kadar etanol dari hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) adalah 2.82% (v/v) pada 89.43g/L gula perduksi yang digunakan, sedangkan kadar etanol dari hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) adalah 2.65% (v/v) pada penggunaan gula pereduksi 101.52 g/L. Berdasarkan hasil ini ada kecenderungan bahwa penggunaan hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) akan memberikan rendemen produk per substrat yang dikonsumsi (Yp/s) sedikit lebih tinggi dari penggunaan hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%).
94
Selama proses fermentasi, mikroba akan mengkonversi sumber karbon dari substrat menjadi biomassa dan produk, baik produk utama yaitu etanol maupun produk sampingan berupa asam-asam organik seperti asam piruvat melalui proses glikolisis. Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas atau glikolisis.
Rogers et al.
(2005) menyatakan bahwa proses pembentukan etanol dengan S. cerevisiae adalah melalui jalur glikolisis (Embden-Mayerhof-Parnas) dan hanya bisa menfermentasi gula-gula heksosa seperti glukosa, manosa, fruktosa, dan galaktosa.
4.4.5 Koefisien Kinetika Fermentasi Koefisien kinetika fermentasi dengan dua sumber hidrolisat mengandung gula sebagai substrat fermentasi dapat dilihat pada Tabel 15. Parameter koefisien kinetika fermentasi pada penelitian ini dihitung dari hasil fermentasi untuk melihat kesesuaian hidrolisat ampas sagu sebagai substrat produksi bioetanol. Tabel 15 Koefisien kinetika fermentasi bioetanol dari dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu Jenis substrat
Yx/s
Yp/s
Yp/x
Metode Hidrotermalenzimatik (A3 20%) Metode H2SO4 0.25 M (D 20%)
0.0509
0.419
8.88
0.0452
0.409
8.19
Kinetika fermentasi menggambarkan biomassa, konsumsi substrat, laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba. Rehm dan Reed (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah massa dan sel, sedangkan kecepatan pertumbuhannya tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya. Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan prosesproses biokonversi, dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada proses fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit. Setiap konversi tersebut dapat dikuantifikasi oleh suatu koefisien hasil yang kemudian dinyatakan
95
sebagai massa sel atau produk yang terbentuk per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk produk, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x (Wang et al. 1979). Koefisien hasil tersebut dapat menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi produk selama proses fermentasi berlangsung.
Penentuan parameter kinetika
fermentasi berguna untuk mengetahui efektifitas proses fermentasi. Hasil perhitungan terhadap ketiga koefisien hasil fermentasi (Yx/s, Yp/s dan Yp/x) tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 (data pada Lampiran 10.5). Yield biomassa (Yx/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 15 diketahui bahwa nilai Yx/s lebih besar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) sebesar 0.0509 g sel kering/g substrat, sedangkan nilai Yx/s substrat hidrolisat H2SO4 0.25 M (D 20%) lebih kecil yaitu sebesar 0.0452 g sel kering/g substrat. Lebih tingginya nilai Yx/s pada substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) memperlihatkan bahwa substrat yang dikonsumsi lebih sesuai dan cocok dalam mendorong pertumbuhan biomassa, dibanding dengan substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%). Keadaan ini menunjukan bahwa pertumbuhan sel S. cerevisiae lebih baik terjadi pada hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). Pertumbuhan biomassa S. cerevisiae yang lebih tinggi mendorong proses pembentukan produk bioetanol yang lebih lebih tinggi juga. Hal ini dapat dilihat pada konsentrasi etanol yang dihasilkan. Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. Nilai Yp/s yang diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) adalah sebesar 0.419 g etanol/ g substrat, sedangkan nilai Yp/s pada substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) yaitu 0.409 g etanol/g substrat. Nilai Yp/s dari penggunaan hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol bisa dinyatakan hampir sama besar. Konsentrasi produk etanol dari hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) hanya sedikit lebih tinggi dari substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%). Nilai Yp/s dari kedua hidrolisat untuk produksi bioetanol mendekati nilai teoritik yang dikeluarkan Gay Lussac.
96
Produksi etanol terjadi melalui proses glikolisis dimana secara umum mengikui persamaan Gay Lussac:
C6H12O6 Glukosa
2 C2H5OH etanol
+
2 CO2 karbondioksida (gas)
Secara teoritik Yp/s yang diperoleh adalah 0.511 dengan arti kata 1.0 gr glukosa akan dihasilkan 0.511 g etanol dan 0.489 g menjadi CO2, tetapi kenyataannya hanya 90% yang diubah jadi etanol. Maiorella et al. (1981) menyatakan bahwa dari 1 g glukosa hanya dihasilkan 0.46 g etanol dengan 0.44 g CO2 dan 0.10 massa sel, dengan arti kata nilai Yp/s yang diperoleh hanya 0.46 sesuai persamaan berikut ini:
1 g (C6H12O6) .
0.46 g (C2H5OH) + 0.44 g (CO2) + 0.10 g (sel-sel baru)
Berdasarkan perhitungan Yp/s untuk hidrolisat metode hidrotermalenzimatik (A3 20%) maka pada penggunaan gula pereduksi 100 g/L akan didapatkan kadar etanol sebesar 41.9 g/L atau 4.19% (b/v), dan pada hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) sebesar 40.9 g/L atau 4.09% (b/v). Kadar etanol yang dihasilkan dari penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Awg Adenil et al. (2011). Awg Adenil et al. (2011) melaporkan bahwa kadar etanol yang diperoleh sebesar 51.43 g/L dengan Yp/s 0.50 g etanol/g substrat. Perlakuan penyiapan hidrolisat yang dilakukan oleh Awg Adenil et al. (2011) adalah hidrolisis ampas sagu 7% (b/v) menggunakan 0.3% dextrozim 5.56 unit/mL dimana sebelumnya digelatinisasi dengan 0.1 M KH2PO4 pH 4 selama 15 menit (80-90 oC). Sakarifikasi dilakukan selama 1 jam pada suhu 60 oC. Kandungan gula pereduksi hidrolisat tidak dilaporkan. Hidrolisat dalam bentuk larutan glukosa digunakan sebagai substrat produksi bioetanol. Perbedaan hasil kadar etanol dan nilai Yp/s penelitian ini dengan Awg Adenil et al. (2011) adalah disebabkan perbedaan penggunaan hidrolisat sebagai substrat produksi bioetanol. Hasil Yp/s yang tinggi dari penelitian Awg Adel et al (2011) ini disebabkan
97
penggunaan glukosa sebagai substrat bioetanol. Perhitungan Yp/s memberikan hasil lebih besar dari teoritik yang seharusnya (hasil maksimum Yp/s adalah 90% dari 0.511 yaitu 0.46). Perhitungan Yp/s pada penelitian Awg Adenil et al. (2011) substrat pembaginya (s) adalah glukosa saja. Pada penelitian ini, Yp/s 0.419 g etanol/g substrat didapatkan dari perhitungan dimana substrat sebagai pembaginya (s) adalah gula pereduksi. Pada gula pereduksi ini diperkirakan terdapat gula lain selain glukosa seperti maltosa, galatosa atau lainnya. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi (Anonim 2012). Pada penelitian ini sebagian substrat gula pereduksi akan menghasilkan biomassa. Pada Tabel 15 diketahui bahwa nilai Yp/x terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) yaitu sebesar 8.88 g etanol/g sel kering, sedangkan nilai Yp/x substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%) lebih kecil yaitu sebesar 8.19 g etanol/g sel kering. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsentrasi produk yang terbentuk dari biomassa sel hidup yang terukur lebih tinggi dihasilkan pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). Hal ini mengakibatkan produk etanol akhir pada substrat hidrolisat metode hidrotermalenzimatik (A3 20%) juga lebih tinggi dari substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%).
4.4.6
Efisiensi Penggunaan Substrat dan Rendemen Etanol
Efisiensi Penggunaan Subtstrat Hidrolisat
gula
dengan
metoda
hidrolisis
hidrotermal-enzimatik
mempunyai efisiensi penggunaan substrat yang lebih tinggi dibanding hidrolisat gula dengan metode H2SO4 yaitu 73.21% dan 58.52% masing-masingnya. Hidrolisat gula dari dengan metoda hidrotermal-enzimatik lebih banyak dikonsumsi oleh S. cerevisiae sehingga dapat memberikan kadar etanol yang lebih tinggi. Hal ini tidak terlepas dari kandungan komponen tertentu yang mengganggu perkembangan S. cerevisiae pada hidrolisat.
Efisiensi penggunaan
substrat oleh mikroba S. cerevisiae dari dua penyediaan hidrolisat gula dapat dilihat pada Tabel 16.
98
Tabel 16 Efisiensi penggunaan dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu pada fermentasi bioetanol Hidrolisat ampas sagu
∆S /So x 100%
Gula pereduksi awal (So) (g/L)
Gula pereduksi akhir (S) (g/L)
Hidrotermalenzimatik (A3 20%)
89.43
23.96
73.21
H2SO4 0.25 M (D 20%)
101.52
42.11
58.52
Tingginya effisiensi pengunaan substrat pada hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) disebabkan kadar HMF yang ada. Kadar HMF pada hidrolisat hidrotermal-enzimatik (A3 20%)
jauh lebih kecil dibanding yang
dikandung dalam hidrolisat dengan metode hidrolisis H2SO4 0.25 M (D 20%), yang mengandung 0.24 mg/100 g sampel dan 2.49 mg/100 g sampel masingmasingnya. Konsentrasi HMF yang terdapat pada substrat dengan metode H2SO4 0.25 M diduga mulai mempengaruhi perkembangan dari mikroba S. cerevisiae selama fermentasi. Proses hidrolisis menggunakan H2SO4 0.25 M lebih mendorong terbentuknya HMF akibat reaksi lanjut dari gula yang terdegradasi oleh asam. Kandungan HMF yang lebih tinggi dalam substrat lebih mempengaruhi dalam menekan aktivitas mikroba S. cerevisiae untuk memproduksi etanol. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan sel S. cerevisiae pada hidrolisat sebagai substrat untuk produksi bioetanol. Pada Gambar 33 sebelumnya diketahui bahwa substrat dari hidrolisat metode H2SO4 0.25 M menghasilkan biomassa yang lebih kecil walaupun kadar gula pereduksi awal cukup tinggi yaitu 101.52 g/L. Kandungan HMF yang relatif lebih tinggi pada substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M mempengaruhi
penggunaan substrat oleh S. cerevisiae, mengakibatkan
penggunaan substrat tidak efisien. Hal ini dapat diketahui dari biomassa terbentuk yang masih rendah. HMF dapat menurunkan aktivitas enzim alkohol-dehidrogenase (ADH), aldehidehidrogenase (AIDH) dan piruvat dehidrogenase (PDH) sehingga menyebabkan metabolisme dalam sel khamir terganggu (Mody 2001; Liu et al. 2004). Semakin tinggi kandungan HMF pada substrat semakin tidak menguntungkan.
99
HMF bisa terbentuk dari penguraian lanjut gula pereduksi dari proses hidrolisis asam. Kandungan HMF yang relatif lebih tinggi pada hidrolisat asam (H2SO4) cenderung telah mempengaruhi S. cerevisiae dalam mengkonsumsi hidrolisat sehingga secara keseluruhan pertumbuhan mikroba lebih rendah dan kadar etanol yang dihasilkan juga rendah.
Rendemen Dari hasil proses fermentasi bioetanol menggunakan hidrolisat dengan dua metoda hidrolisis, didapatkan bahwa rendemen etanol ampas sagu dengan menggunakan substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) lebih tinggi dibandingkan substrat hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%). Rendemen etanol dari substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) adalah sebesar 16.7% (b/b), sedangkan substrat dari hidrolisat metode H2SO4 0.25M (D 20%) adalah 11.6% (b/b). Nilai rendemen etanol dari ampas sagu ini lebih tinggi dari nilai rendemen etanol rumput laut yaitu 10.38% (b/b) (Devis 2008.) dan sekam padi sebesar 9.3% (b/b) (Sukumaran et at. 2009) tetapi lebih rendah dari nilai rendemen etanol yang dilaporkan Wagiman (2011) sebesar 27.64%. Tingginya nilai rendemen etanol dari bahan limbah jagung seperti dilaporkan Wagiman (2011) karena proses hidrolisis bahan limbah jagung telah optimal dilakukan, dimana hidrolisat yang mengandung gula untuk fermentasi (fermentable sugar) diperoleh dari bagian hidrolisis selulosa dan hemiselulosa limbah jagung. Pada penelitian ini fermentable sugar diperoleh dari bagian pati ampas sagu, fermentable sugar dari bagian
lignoselulosa
(selulola
dan
hemiselulosa)
ampas
sagu
belum
diperhitungkan.
4.4.7
Pola Fermentasi Bioetanol dari Hidrolisat Hidrotermal- Enzimatik Proses fermentasi bioetanol menggunakan substrat dari hidrolisat ampas
sagu dengan metode hidrotermal-enzimatik memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran khusus
hasil fermentasi bioetanol menggunakan hidrolisat dengan
metode hidrotermal-enzimatik dapat dilihat pada Gambar 36.
100
Gambar 36 Pola proses fermentasi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu dengan metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). Gambar 36 menunjukkan bahwa laju konsumsi substrat (gula pereduksi) berbanding terbalik dengan pembentukan produk (etanol). Penurunan konsentrasi substrat menyebabkan kenaikan konsentrasi produk etanol sampai batas dimana konsentrasi substrat tidak mendukung lagi bagi aktivitas mikroba dalam melakukan proses metabolisme.
Pembentukan konsentrasi etanol mengikuti pola
pertumbuhan dari mikroba. Produk etanol telah dibentuk pada masa fase eksponensial yang terus berlangsung sampai fase stasioner. Proses pembentuk produk dari metabolisme primer sejalan dengan katabolisme gula pereduksinya. Pola produksi etanol dari hidrolisat ampas sagu ini sama dengan pola produksi produk metabolisme primer lainnya dimana termasuk dalam Tipe I dari tipe reaksi fermentasi (Crueger dan Crueger 1984). Pada proses fermentasi Tipe I, produk dibentuk dari metabolisme primer yang sekaligus digunakan untuk memproduksi energi. Produk tersebut dapat berupa biomassa itu sendiri, atau yang sejalan dengan kegiatan pertumbuhan dimana katabolisme karbohidrat serta pembentukan produk berlangsung secara paralel pada fase eksponensial yang diikuti fase stasioner. Pola pembentukan CO2 hampir serupa dengan pola pertumbuhan sel (biomassa) S. Cerevisiae. CO2 diproduksi sangat tinggi hingga jam ke-24 karena S. cerevisiae tumbuh dalam fase eksponensial.
Fermentasi setelah jam ke-24
101
terjadi penurunan laju pembentukan CO2. Penurunan pembentukan CO2 disebabkan oleh pertumbuhan sel stasioner.
S. cerevisiae yang telah memasuki fase
Pada fase stasioner biomassa yang terbentuk relatif kecil karena
dipengaruhi oleh terbatasnya ketersediaan nutrisi ataupun oleh adanya pengaruh terbentuk metabolit yang dapat bersifat racun/menghambat pertumbuhan S. cerevisiae. Setelah fermentasi selama 24 jam, akumulasi CO2 memperlihatkan peningkatan volume yang semakin kecil dari setiap waktu sampling-nya. Terjadi penurunan produksi CO2 hingga akhir fermentasi (jam ke-96). Selama CO2 masih diproduksi menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus berlangsung yang berkorelasi dengan masih terjadi produksi etanol, walaupun dalam jumlah yang semakin kecil. Konsentrasi etanol terus meningkat sampai akhir fermentasi, karena terjadinya akumulasi produk etanol. Selama mikroba dapat melakukan metabolisme dengan menghasilkan gas CO2 maka selama itu pula etanol dapat dihasilkan. Kondisi ini sesuai dengan persamaan reaksi dari perubahan glukosa menjadi etanol yang dikemukakan Gay Lussac sebelumnya.
4.5 Analisis Nilai Tambah Produksi Hidrolisat dari Ampas Sagu Analisis nilai tambah produksi hidrolisat dari ampas sagu bertujuan untuk mengetahui pertambahan nilai pada hidrolisat yang mengandung gula sebagai bahan baku untuk substrat produksi bioetanol. Analisis nilai tambah ampas sagu ini dihitung juga dari by-product berupa selulosa dari residu ampas sagu hasil hidrolisis.
4.5.1
Deskripsi Proses Produksi Proses produksi hidrolisat dari ampas sagu terdiri dari sub-sub proses
berupa penanganan bahan baku (persiapan sampel ampas sagu), pretreatment ampas sagu, hidrolisis lanjut secara asam dan atau
hidrotermal-enzimatik,
penjernihan/bleaching, dan pemekatan. Bahan baku dan bahan tambahan dihitung dari perhitungan neraca massa. Neraca masa proses disajikan pada Lampiran 11 dan 12. Bahan baku ampas sagu berupa bahan lignoselulosa berpati merupakan limbah dari hasil ekstraksi ampas sagu. Komposisi komponen ampas sagu yang
102
digunakan dalam berat kering (bk) adalah: pati 51.53%, selulosa 21.53%, hemiselulosa 14.3%, lignin 7%, protein 1.34%, lemak 1.7%, bahan ekstraktif 4.75%, dan air 11.99%. Ampas sagu dihasilkan dalam jumlah yang cukup banyak dari proses ekstrak pati sagu. Dari rerata 6.5 ton empulur sagu dapat dihasilkan 1.45 ton sagu basah, dengan 4.55 ton merupakan ampas sagu basah (KA 60-65%), dimana perbandingan pati dengan ampas sagu menjadi 1 : 3.5 – 4 (survey industri pati sagu rakyat, Tanah Baru. 2012). Produktifitas pati ampas sagu basah per ha 21.0–24.0 ton atau 5.25-6.00 ton ampas sagu kering (KA 12%) (asumsi pohon sagu masak tebang 20 batang/ha). Setelah ampas sagu dikeringkan lalu dihancurkan sampai ukuran < 100 mesh. Limbah ampas sagu dapat diproduksi menjadi hidrolisat gula yang terutama ditujukan untuk substrat produksi bioetanol setelah penyiapan bahan baku menjadi butiran dengan ukuran 100 mesh dengan kadar air 12%. Bahan ampas sagu yang telah halus dan kering selanjutnya dilakukan pretreatment untuk mendapatkan hidrolisat dengan tingkat konversi pati yang tinggi, dimana selulosa dari residu ampas sagu dikeringkan untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Selanjunya dilakukan proses hidrolisis lanjut untuk penyiapan hidrolisat yang dapat digunakan sebagai substrat produksi bioetanol. Hidrolisis lanjut dilakukan dengan metoda hidrotermal-enzimatik dan atau dengan asam (H2SO4). Hidrolisat selanjutnya dilakukan bleaching/penjernihan dengan karbon aktif, serta diikuti proses pemekatan sesuai kebutuhan kadar gula untuk pertumbuhan mikroba fermentasi bioetanol. 4.5.2 Pemilihan Metoda Hidrolisis Ampas Sagu dalam Menghasilkan Hidrolisat Sebagai Substrat Produksi Bioetanol Hidrolisis lanjut dalam penyiapan hidrolisat dari ampas sagu dilakukan dengan dua metode hidrolisis, yaitu: (1) metode hidrolisis enzimatik (hidrotermalenzimatik), dan 2) metode asam (H2SO4). Pemilihan metode hidrolisis dalam memproduksi hidrolisat gula dari ampas sagu dilakukan berdasarkan tiga parameter yaitu: 1) Nilai konversi (dextrose equivalent) hidrolisat gula yang diperoleh, 2) Pertumbuhan sel dan rendemen etanol, 3) Efisiensi penggunaan substrat dan kualitas hidrolisat.
103
4.5.2.1. Nilai Konversi (Dextrose Equivalent) Hidrolisis ampas sagu dengan metode hidrotermal enzimatik memberikan nilai konversi atau dextrose equivalent yang lebih tinggi yaitu 86.58%, sedangkan dengan metode asam H2SO4 dextrose equivalent-nya adalah 76.29%. Keadaan ini mengambarkan bahwa proses konversi pati menjadi komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin pada metode hidrolisis-enzimatik lebih tinggi. Secara umum diketahui semakin tinggi nilai dextrose equivalent maka semakin tinggi kandungan gula pereduksi (glukosa) pada konsentrasi bahan baku yang sama.
4.5.2.2. Pertumbuhan Sel dan Rendemen Berdasarkan aplikasi hidrolisat gula ampas sagu sebagai substrat produksi etanol didapatkan hasil bahwa hidrolisat gula ampas sagu dengan metode hidrothermal-enzimatik (A3 20%) memberikan Yield g sel/g substrat lebih besar dari metode H2SO4 0.25 M (D 20%), dimana Y x/s masing-masingnya 0.0509 g sel kering/g substrat dan 0.0452 g sel kering/g substrat. Yield x/s menunjukkan pertumbuhan sel pada hidrolisa metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%) ini lebih baik. Keadaan ini sesuai juga dengan rendemen etanol akhir. Rendemen etanol dari hidrolisat metode hidrotermal enzimatik (A3 20%) lebih tinggi dibandingkan penggunaan hidrolisat metode H2SO4 0.25 M (D 20%), yaitu 16.7 % (b/b) dan 11.6% (b/b) masing-masingnya.
4.5.2.3. Efisiensi Penggunaan Substrat dan Kualitas Hidrolisat Efisiensi penggunaan substrat oleh S. cerevisiae pada hidrolisat gula dengan metode hidrotermal-enzimatik juga lebih besar dibanding dengan metode H2SO4 0.25 M, yaitu 73.21% dan 58.52% masing-masingnya produk (etanol) yang dihasilkan akan tinggi dengan tingginya efisiensi pengunaan substrat. Komponen tertentu diduga yang menghalangi proses konsumsi substrat oleh S. cerevisiae seperti HMF, dimana lebih tinggi terkandung pada hidrolisat gula dengan metode H2SO4 dibandingkan metode hidrotermal-enzimatik, yaitu terkandung 2.49 mg/100 g sampel (D 20%) dan 0.24 mg/100 g sampel (A3 20%) masing-masingnya. Adanya HMF akan menurunkan kualitas dari hidrolisat.
104
Dari tiga parameter pemilihan metode produksi hidrolisat dari ampas sagu sebagai substrat untuk produksi bioetanol, maka dipilih proses produksi dengan metode hidrotermal-enzimatik. Hidrolisat ampas sagu dari metode ini digunakan untuk perhitungan analisa nilai tambah.
4.5.2 Asumsi-Asumsi Analisis nilai tambah dilakukan untuk ampas sagu dengan produk utama yaitu hidrolisat gula ampas sagu. Analisis nilai tambah mengikut-sertakan nilai by-product (residu selulosa ampas sagu) yang dihasilkan dari hasil proses produksi yang dilakukan. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis nilai tambah sebagai berikut: a. Harga hidrolisat gula dari ampas sagu Rp 850,- per liter. b. Harga residu selulosa ampas sagu Rp 500,- per kg. c. Skala produksi hidrolisat ampas sagu: 50 M3 per hari (gula 10%) berbasis 41.64 ton sagu basah per hari. Kebutuhan bahan baku ampas sagu kering adalah 10.41 ton/hari atau 3123 ton/tahun. d. Proses produksi adalah 8 jam/hari/shift, operator bekerja dengan 1 shift/hari. e. Jumlah hari kerja: 25 hari/bulan atau 300 hari/tahun. f. Harga bahan baku ampas sagu Rp 150/kg (berat basah). g. Semua produk maupun by-product terjual 100%. Nilai tambah ampas sagu dihitung dengan output berupa produk berupa hidrolisat ampas sagu dan by-product berupa selulosa ampas sagu kering. Dasar perhitungan dalam kg/tahun. Nilai tambah dihitung untuk produksi tahunan.
4.5.4 Hasil Analisis Nilai Tambah Ampas sagu Hasil perhitungan nilai tambah ampas sagu jadi hidrolisat dan residu selulosa ampas sagu menggunakan metode Hayami (Hayami et al. 1987) disajikan pada Tabel 17.
105
Tabel 17 Hasil perhitungan nilai tambah hidrolisat dan residu selulosa dari ampas sagu No
Peubah
Formula
Hitungan
I. Output, input, dan harga 1.
Total produk (kg/thn)
A
15 274 200.00
2.
Total by-product (kg/thn)
B
1 249 200.00
3.
Bahan baku (kg)
C
12 492 000.00
4.
Tenaga kerja (HOK/thn)
D
12.600
5.
Faktor konversi produk
E= A/C
1.22
6.
Faktor konversi by-product
F= B/C
0.1
7.
Koefisien tenaga kerja
G=D/C
0.001
8.
Harga produk (Rp/kg)
H
835
9.
Harga by-product (Rp/kg)
I
500
10.
Upah rerata tenaga kerja (Rp/HOK)
J
66 190
II. Pendapatan dan Keuntungan 11.
Harga bahan baku (Rp/kg)
K
150
12.
Sumbangan (Rp/kg)
L
475.86
13.
Nilai Produk (Rp/kg)
14.
Nilai by-product (Rp/kg)
N=FxI
50.00
15.
a. Nilai tambah (Rp/kg)
O = (M+N)-K-L
444.79
P = O/(M+N) x 100%
41.54
b. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg)
Q=GxJ
66.76
b. Bagian tenaga kerja (%)
R = (Q / O) x 100%
15.01
S=O-Q
378.03
T = S /(M+N) x 100%
35.31
input
lain
b. Rasio nilai tambah (%) 16.
17.
M=ExH
a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat keuntungan (%)
1 020.65
III. Balas Jasa Faktor Produksi 18.
Marjin (10-8) a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%) c. Keuntungan perusahaan (%)
V = (M+N) - K W = Q/V x 100%
920.65 7.25
X = L/V x 100%
51.69
Y = S/V x 100%
41.06
106
Hasil perhitungan nilai tambah ampas sagu menjadi hidrolisat yang mengandung gula (10%) dan by-product berupa residu selulosa kering didapatkan sebagai berikut:
Nilai tambah yang diperoleh dari setiap kg output yang
dihasilkan ( hidrolisat ampas sagu dan residu selulosa ampas sagu) adalah sebesar Rp 444.79 atau sebesar 41.54%. Nilai tambah yang diperoleh tidak sampai 50% dari total output disebabkan biaya input berupa bahan tambahan untuk proses hidrolisis yang cukup tinggi, dimana hidrolisat diproduksi dengan menggunakan enzim (α-amilase dan glukoamilase) sebagai penghidrolisisnya. Harga input tambahan ini cukup besar. Ampas sagu sebagai bahan baku utama merupakan bahan yang belum dimanfaatkan secara menyeluruh di masyarakat tempat proses ekstraksi pati sagu berada, sehingga jika tidak dimanfaatkan cenderung menjadi limbah yang dapat menyebabkan pencemaran air dan tanah (lingkungan). Limbah ampas sagu umumnya digunakan secara parsial untuk makanan ternak ataupun untuk bahan pupuk alami bagi pertanaman pertanian. Dalam perhitungan nilai tambah ini, semua produk yang dihasilkan dalam perhitungan nilai tambah diasumsikan terjual 100%, dan terhitung sebagai nilai output. Nilai output diperoleh dari 2 jenis produk yaitu produk utama hidrolisat ampas sagu dan
by-product yaitu residu selulosa ampas sagu.
Biaya input
dihitungan dari: biaya input utama (bahan baku: diperoleh dari ampas sagu 1 tahun dikali harga beli) ditambah biaya input lainnya (berupa bahan tambahan, listrik, dan lainnya). Balas jasa atau imbalan untuk pemilik faktor produksi dapat dilihat dari besarnya marjin, yaitu sebesar Rp 920.65/kg. Distribusi marjin untuk pemilik usaha sebesar 41.06%, untuk tenaga kerja 7.25%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 51.69%. Pada saat upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan sumbangan input lain naik 10% dengan harga jual produk tetap, maka pengusahaan produksi hidrolisat dari ampas sagu ini masih akan memperoleh nilai tambah sebesar Rp 382.21/kg produk atau sebesar 35.70% untuk setiap output yang diperoleh (hidrolisat ampas sagu dan residu selulosa ampas sagu). Kenaikan sumbangan input lain, tenaga kerja dan harga bahan baku menurunkan nilai tambah dan rasio nilai tambah produk yang dihasilkan.
107
Perhitungan balas jasa atau imbalan untuk pemilik faktor produksi, memberikan nilai yaitu sebesar Rp 905.66/kg dengan distribusi marjin untuk pemilik usaha sebesar 34.09%, untuk tenaga kerja 8.11%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 57.80%. Peningkatan faktor input lainnya, termasuk tenaga kerja dan bahan baku akan menurunkan marjin untuk pemilik usaha, dimana marjin yang diperoleh masih memberikan nilai tambah dalam setiap output yang dihasilkan. Perhitungan untuk analisis nilai tambah, dan perhitungan berdasarkan perubahan input lain sebesar 10%, dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14.
108
109
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1. a.
Pretreatment menggunakan akuades pada suhu 115 oC selama 15 menit dapat memisahkan pati dari ampas sagu, dengan kandungan pati tertinggi pada ekstrak yaitu 17.98 g/L (rendemen 87.24%). Pretreatment menggunakan H2SO4 0.25 M menyebabkan hidrolisis pati ampas sagu, menghasilkan total gula tertinggi pada ekstrak yaitu 20.24 g/L dengan tingkat konversi 88.19%.
b. Kandungan selulosa residu ampas sagu hasil pretreatment berkisar antara 40.65-49.89%. Selulosa merupakan komponen terbesar pada residu ampas sagu hasil pretreatment. 2. Produksi hidrolisat ampas sagu menggunakan metode hidrotermal pada suhu 115 oC selama 15 menit dalam autoclave, diikuti liquifikasi dan sakarifikasi menghasilkan hidrolisat dengan nilai DP terendah yaitu 1.16 dan nilai DE tertinggi yaitu 86.56%. Metode hidrotermal-enzimatik merupakan metode yang lebih baik dalam hidrolisis pati dari ampas sagu dibandingkan metode hidrolisis dengan H2SO4 0.25 M. 3. Konversi selulosa ampas sagu dalam labu Erlenmeyer menggunakan water bath shaker memanfaatkan mikroba T. reesei secara satu tahap memberikan hasil hidrolisat dengan kandungan glukosa 0.3 g/L. Glukosa yang dihasilkan cenderung menjadi represor bagi produksi selulase selanjutnya. 4. Produksi bioetanol menggunakan substrat hidrolisat dari metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik (gula pereduksi 8.92%) lebih baik dibandingkan dengan menggunakan hidrolisat dari metode hidrolisis H2SO4 0.25 M (gula pereduksi 10.15%). Kadar etanol yang dihasilkan masing-masingnya adalah sebesar 2.82%(v/v) dan 2.65% (v/v). Koefisien kinetika fermentasi bioetanol dari substrat hidrolisat metode hidrotermal-enzimatik memberikan nilai yang lebih baik, yaitu; Yx/s 0.0509 g sel kering/g substrat, Yp/s 0.419 g etanol/g substrat, dan Yp/x 8.88 g etanol/g sel kering, dengan efisiensi penggunaan substrat yang lebih tinggi yaitu 73.21%.
110
5. a.
Nilai tambah produk hidrolisat dari ampas sagu menggunakan metode hidrotermal- enzimatik dengan hasil samping residu selulosa ampas sagu kering, yaitu sebesar Rp 444.79/kg atau 41.54%. Imbalan faktor produksi untuk pemilik usaha adalah sebesar 41.06%, untuk tenaga kerja 7.25%, dan untuk sumbangan input lain sebesar 51.69%.
b. Kenaikan upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan sumbangan input lain sebesar 10% dengan harga jual produk tetap, menyebabkan nilai tambah turun menjadi Rp 382.21/kg produk atau sebesar 35.70% untuk setiap kilogram output produk yang dihasil.
Hidrolisat ampas sagu mengandung kadar gula dengan konversi pati yang tinggi yaitu 86.56%. Hidrolisat ampas sagu dapat digunakan sebagai substrat dalam pembuatan bioetanol.
5. 2 Saran 1. Melakukan kajian proses fermentasi bioetanol dari hidrolisat ampas sagu hasil liquifikasi dengan menggunakan galur mikroba yang mampu mendegradasi bahan yang masih mengandung oligosakarida 2. Melakukan kajian proses konversi ampas sagu satu tahap pada bioreaktor dengan rekayasa kondisi proses konversi selulosa dan penggunaan isolat penghasil selulase dari isolat unggul lokal untuk menekan pengaruh glucose effect, sehingga konsentrasi glukosa yang dihasilkan lebih besar. 3. Penelitian simultaneus saccharification and fermentation (SSF) pada ampas sagu dengan menggunakan mikoroba S. cerevisiae dan mikroba lain yang mampu menyediakan glukosa bagi S. cerevisiae dari bahan-bahan dalam ampas sagu.
111
DAFTAR PUSTAKA Adney B, Baker J. 2008. Measurement of cellulase activity; Laboratory analytical Procedure (LAP). [NREL] National Renewable Energy Laboratory. Colorado: Midwest Research Institute. Ahamed A, Vermette F. 2009. Effect of culture medium composition on Trichoderma reesei’s morphology and cellulase production. Bioresource Technol 100 (23): 5979-5987. Aiba S, Humprey AE, Millis NF. 1973. Bioetanol Engineering. 2nd . New York: Academik Press. Akmar PF, Kenedy JF. 2001. The Potential of oil and sago palm trunk waste as carbohydrat resources. Wood Sci Tecnol 35: 467-473. Akyuni D. 2004. Pemanfaatn Pati Sagu (Mextroxylon sp) Untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α amilase dan amiloglukosidase [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alfons JB, Bustaman S. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di Maluku. Maluku: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Alves LA, Felipe MGA, Silva JB, Silva SS, Prata AMR. 1998. Pretreatment of sugar cane bagasse hemicellulose hydrolysate for xylitol production by Candida guilliermondii. J Appl Biochem Biotechnol. 70: 89–98. Amerine MA, Berg HW, Kunkee RE, Ough CS, Singleton VI, Webb AD. 1987. Technology of Wine Making. Connecticut: The AVI Publishing Co. Inc. Anonim. 2008. Cellulosic Ethanol. [terhubung berkala] www.id.wikipedia.org. [14 November 2008]. Anonim. 2009. Trichoderma http://malicemrc.wordpress.com/2009/02/24/trichoderma-reesei/. [15 Oktober 2009].
reesei.
Anonim. 2010a. Selulosa. [Terhubung Berkala] http://www.wikipedia.com. [31 Mei 2010]. Anonim. 2010b. Hemiselulosa. http://www.johnthevet.com. [30 Mei 2010]. Anonim. 2012. Gula pereduksi [terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/wiki/Gula_pereduksi [28-07-12].
112
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Methode of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC: AOAC International. Awg Adenil SD, Abdul Aziz S, Bujang K, Hasan MA. 2011. Ethanol fermentation from waste starch of sago processing industry. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 78-81. Azhar
AF, Bery MK, Colcord AR, Roberts RS, Corbitt GV. 1981. Biotechnology and Bioengineering Symposium No 1. London: John Willey and Sons Inc.
[Balitbanghut] Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan. 2005. Potensi Hutan Sagu, Kendala Pemanfaatan dan Prospek Pengembangannya [Makalah]. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. [RISTEK] Badan Riset dan Teknologi Indonesia. 2006. Paper Tentang Bioetanol. [terhubung berkala] http://www.ristek.go.id. [27 Oktober 2007]. Ballesteros M, Oliva JM, Negro MJ, Manzavais P, Ballesteros I. 2003. Ethanol from lignocellulosic materials by a simmultaneous saccharification and fermentation Process (SPS) With Kluyveromyces marxianus CECT 10875. Process Biochem. 39 (12): 1843-1848. Bakare MK, Adewale IO, Ajay A, Ooh AI, Shonukan OO. 2005. Regulatory mutations affecting the synthesis of cellulase in Pseudomonas fluorescens. Afri J Biotechnol 4 (8): 838-843. Badger PC. 2002. Etanol from cellulose : A general review. In: Janick and Whikpey, editors. Trends in new crops and new uses (Reprinted). Alexandria: ASHS Press. Betancur A.D, Chel GL. 1997. Acid Hydrolysis and Characterization of Canavalia ensiformis. J Agric Food Chem 45: 4237-4241. Bintoro HMH, Hariyanto B, Horigone T, Marangkey MP, Sakaguchi E, Takamura Y. 1990. Feeding value of pith and pith residue from sago Palm. Okayama: Proceding Takahashi-Shi Nutrition Conference. hlm 1-12. Bintoro HMH. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional [Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan Fakultas Pertanian IPB]. Bogor: 11 September 1999. Faperta IPB.
113
Bintoro HMH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB Bekerjasama dengan Universitas Tokyo. IPB Press. Bintoro HMH. 2011. Progress of Sago Research in Indonesia. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 36-41. Bothast RJ. 2005. Cellulosic Ethanol Technology Asessment. Energy From Agriculture: New Technologies, Innovative Program and Success Stories. Bernfeld. 195. Amylases α dan β. Method. Enzymology I. New York: Academic Press Inc. Brautlecht, CA. 1953. Starch its Source, Production and Uses. New york: Reinhold Publ. Co. Bruce A, Palfreyman JW. 1998. Forest Product Biotechnology. London: Taylor and Francis LTD. Bujang K. 2011. Potential of sago for commercial production of sugar. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 36-41. Chaplin MF, Buckle C. 1990. Enzyme Technology. New York: Cambridge University Press. Chemiawan. T. 2007. Krisis Energi dan Globalisasi http://mahasiswanegarawan.wordpress. com 18 -08 – 2007 [16 Januari 2008]. Chandel AK, Kapoor RK, Udravarn R. 2006. Production of bioethanol from Typha latifolia enzyme hydrolisate under batch and fed batch fermentation condition [Article In Press]. Doi:101016/ J. Fuel. [terhubung berkala] www. ScienceDirect.com. [02 November 2007]. Chen ZY, Zhu QY, Tsang D, Huang Y. 2001. Degradation of Green Tea Catechins in Tea Drinks. J. Agric Food Chem 49 : 477-482. Chew TY, Shim YL. 1993. Management of Sago Processing Wastes. In: Yeoh BG, Chee KS, Phang SM, Isa Z, Idris A, Mohamed M, eds. Waste management in Malaysia – current status and prospects for bioremediation. Kuala Lumpur: Ministry of Science, Technology and the Environment.
114
Chinedu N, Okochi VI, Smith HA, Okafor UA, Onyegeme-Okerenta BM, Omidiji O. 2007. Effect of carbon sources on cellulase (EC 3. 2. 1. 4) production by Penicillium chrysogenum PCL501. Afri J Biochem Research 1 (1): 006010. Ciptadi W, Machfud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-Umbian sebagai Sumber Karbohidrat. Bogor: Proyek Peningkatan / Pengembangan Perguruan Tinggi, Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Cooney, CL. 1981. Growth of Microorganism. In: Reehm HJ, Reed G, Eds. Biotechnology vol 1, Microbiology Fundamental. Weinheim: Verlag Chemie. Converti A, Domınguez JM, Perego P, Silva SS, Zilli M. 1999. Wood hydrolysis and hydrolysate detoxification for subsequent xylitol production. J Chem Eng Technol 23: 1013–1020. Crueger W, Crueger A. 982. Biotechnology: A Texbook of Industrial Microbiology. Madison: Science Tech Ind. Davidson EA. 1967. Carbohydrate Chemistry. New York: Holt Rinehart and Winston Inc. Devis FH. 2008. Bioetanol Berbahan Dasar Ampas Rumput Laut Kapaphucus alvaezii [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Djoefrie MHB. 2003. Potensi Pemanfaatan Sagu Untuk Industri dan Pangan. Di dalam: Akuba RH, Mahmud Z, Karmawati, Lolong AA, Lay A, editor. Sagu Untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6 Oktober 2003, Manado: Prosiding Seminar Sagu Nasional. hlm 16-19. Doelle HW. 1981. Basic Metabolic Process. In: Rehm HJ, Reed G, eds. Biotechnology, vol 1, Microbial Fudamentals. Weinheim: Verlag Chemie. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. J Anal Chem 28(3): 350-356. Enari TM. 1983. Microbial Cellulases. In: Forgart WF, editor. Microbial Enzymes and Biotechnology. London: Applied Science. pp 183-223. [ESDM] Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Kebijakan Energi Nasional dalam Konteks Pengembangan Biofuel di Indonesia. [Makalah disampaikan pada Simposium Biodiesel Indonesia]. Jakarta. 5-6 September 2006. Jakarta: Institut Pertanian Bogor dan Forum Biodiesel Indonesia.
115
Eveleigh DE, Hill R, Waldron CR, Napoleon, Bartley T, Piscataway NJ , penemu. Rutgers P&W. Patent. Dec, 9. 1986. Method for the conversion of cellulosic substrat to glucose using microbispora strain. US Patent No4628.029. Fiecther A. 1982. Advances In Biochemical Engineering. Berlin: SpringerVerlag. Flach M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Paper Presented at The Expert Consultation on The Sago Palm and Its Product. Jakarta: FAO dan BPPT. Flach M. 1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Rome: IPGRI. Franson MAH, Cleseri LS, Greenberg AE, Eaton AD, editor. 1998. Standard Methods for the Examination of Water and Waste water. 20th edition. Washington Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New York: Tata Mc.GrawHill Publ Co Ltd. Gaspersz V. 1999. Ekonomi Manajerial: Pembuatan Keputusan Bisnis. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek – Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press - Johns Hopkins. Gong C, Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Annual Repotation Fementation Processes. Vol 3. London: Academic Press Inc. Goose. 1987. Measurement of cellulose activities. Pure & Appl Chem 59 (2): 257-268 Gutierrez-Correa M, Portal L, Moreno P, Tegerdy RP. 1999. Mixed culture solid substrat fermentation of Trichoderma reesei with Aspergillus niger on sugar cane bagasse. Bioresource Technol 68: 173-178. Harman GE. 2009. Trichoderma spp including T. harzianum. T. viridei, T. koninggii, T. hamatu, and Otelium spp. Deuteromycetes, Moniliales (Asexual Clasification System). Geneva: Cornel University. Hartz H, Schmertz RD. 1972. Organic Chemistry : A Short Course. Michigan: Michigan University. Hangewa F. 1992. Nilai Nutrisi Komplek KPN Karbohidrat Terbuat dari UreaAmpas Sagu dengan Waktu Pemasakan dan Dosis Urea yang Berbeda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
116
Hayami Y, Kawagoe T, Marooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java. A Prespective From A Sunda Village. Bogor: CGPRT Center. Hutapea Y. 1990. Sagu dan manfaatnya. Buletin Balitka No.12/ September 1990. Bogor: Departemen Pertanian. Hsu TA, Ladisch MR, Tsao GT. 1980. Alcohol from cellulose. Chemical Technol 10 (5): 315–319. Jorgensen H, Kristensen JB, Felby C. 2007. Enzymatic conversion of lignocellulose into fermentable sugars: Challenges and opportunities. Biofpr 1(2): 120-133. Jun H, Bing Y, Keying Z, Xuemei D, Daiwen D. 2009. Strain improvement of Trichoderma reesei Rut C-30 for increased cellulase production. Indian J Microbiol 49: 188–195 Jun, Pancoast. 1977. Handbook of Sugar. Connecticut: The Avi Publ Co LTd. Kearsley MW, Dzeidzic SZ. 1995. Handbook of Starch Hydrolisis Product and Their Derivates. London: Blackie Academic and Profesional. Kim SW, Kang SW, Lee JS. 1997. Cellulase and Xylanase Production by Aspegillus Niger KKS in Varius Bioreactor. Bioresource Technol 59: 6367. Knight JW. 1989. The Starch Industry. Oxford: Pregmon Press. Kotchoni OS, Shonukan OO, Gachomo WE. 2003. Bacillus pumilus BpCRI 6, a promising candidate for cellulase production under conditions of catabolite repression. Afr J Biotechnol Vol. 2 (6): 140–146 Kulp K. 1975. Carbohidrat. In. Reed G, ed. Enzymes in Food Processing. 2nd ed. New York: Academic Press. Kumaran S, Sastry CA, Vickineswary S. 1997. Laccase, cellulose and xylanase activites during growth of pleurotus sajor-caju on sago hampas. World J Microbiol Biotechnol 13(1): 43–49. Kumoro AC, Ngaph GC, Hasan M, Ong CH, Teoh EC. 2008. Conversion of fibrous sago (Mextroxylon sagu) waste into fermentable sugar via acid and enzymatic hydrolysis. Asian J Sci Res 1(4): 412-420. Kurnia F. 1991. Pengusahaan Sagu di Indonesia. Makalah di sampaikan pada Seminar Penelitian dan Pengembangan Sagu, Sukun, Aren, dan Peta Perwilayahan Sengon. Bogor, 31 Agustus 1991 Jakarta: PT INHUTANI.
117
Lawther JM, Sun R, Banks WB. 1996. Effect of steam treatment on the chemical composition on wheat straw. Htzforschung 50: 365-371. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. Lingang S, Abdul-Aziz S, Yee PL, Waso H. 2011. Production of biobutanol from sago pit residues. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 75-77. Liu Z, Slininger DJ, Dien BS, Berhow MA, Kurtzman CP, Gorsich SW. 2004. Adaptve response of yeast to furfral and 5-hydroxymethylfurfural and a new chemical evidence for hydroxymethylfurfural conversion to 2-5 Bis hydroxymethylfuran. Indust Microbiol Biotechnol 31: 345-352. Mandels M, Weber Jr. 1969. Production of cellulases. Adv. Chem. Ser. 95: 391414. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Organ CA. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Longman. Scientific and Technical. New York: John Willey and Sons Inc. Mc Millan, J.D. 1994. Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. In: Himmel ME, Baker JO, Overend RP, eds. Enzymatic Conversion of Biomass for Fuels Production. Washington DC: American Chemical Society. Maiorella B, Wilke CR, Blanch HW. 1981. Alcohol production and recovery. Adv Biotechnol Eng 20: 43-49. Meyer LH. 1973. Food Chemistry. New York: Reinhld Publ. Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of reducing sugar. Anal Chem 31: 426-428.
Mishima T, Sakahira K, Naito H, Ohni M, Nishimaru Y, Uchiyama T, Itaya A, Hisamatsu M, Ehara H. 2011. Glucose made from sago residue. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bio-energy, and Industry from Research to Market. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 72-74.
118
Modig T. 2001. Kinetics and Inhibition Effect of furfural and Hydrxmethylfurfural on Enzymes in Yeast. Dep of Chemical Engineering. Lund University. Sweeden. http//www.chem.eng.lth.sc/exjobb.012 pdf. Mosier N, Wyman C, Dale B, Elander R, Holtzapple M, Lasdish M. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Technol 96: 673–686 Mubyarto, Winahyu. 1992. Prospek Sosial Ekonomi Sagu Bagi Masyarakat Maluku (P3PK UGM). Simposium Sagu Nasional. Ambon, 12-13 Oktober 1992. Ambon: BPPT-PEMDA TKT.I. Maluku-Unpati. hlm 1-15. Mulyanto B, Suwardi. 2000. Distribution and characteristic of land the sago palm (Metroxylon spp) habitat in Indonesia. Di dalam: Bintoro HMH et al. editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of food and materials for agroindustry in the third millennium. Proceeding of the International Sago Seminar. March 22-23, 2000. Bogor: Bogor Agricultrural University. hlm 38-44. Mussatto SI, Roberto IC. 2003. Hydrolysate detoxification with activated charcoal for xylitol production by Candida guilliermondii. J Biotechnol Lett 23: 1681–1684. Muthuvelayudham R, Viruthagiri, T. 2006. Fermentative production and kinetics of cellulose protein on Trichoderma reesei using sugarcane bagasse and rice straw. Afri J Biotechnol 5 (20): 1873-1881. Nigam P, Shingh D. 1995. Enzyme and microbial system involved in starch processing. Enzyme Microbiol Technol 17: 770-778. Olsson L, Linden T, Hahn-Hagerdal B. 1992. Performance of microorganisms in spent sulfite liquor and enzymatic hydrolysate of steam-pretreated Salix. Appl Biotechnol Biochem 34/35: 359–67. Olsson L, Hahn-Hagerdal B. 1993. Fermentative performance of bacteria and yeast in lignocellulose hydrolysates. Process Biochem 28: 249–57. Palmer TJ. 1970. Acid and Enzyme Hydrolisis of Starch. London: Publishing Company Limited. Palmqvist E, Hahn-Hagerdal B, Galbe M, Zacchi G. 1997. The Effect of watersoluble inhibitors from steam-pretreated willow on enzymatic hydrolysis and ethanol fermentation. Enz Microb Technol 19: 470-476. Palmqvist E, Hahn-Hangerdal B. 2000. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates. I: Inhibition and Detoxification. Review paper. Bioresource Technol 74: 17-24.
119
Pandey A, Ashakumary L, Selvakuma P, Vijayalakshmi. 1994. Influence of water activity on growth and activity of Aspergillus niger from glucoamilase production in solid state fermentation. World J Microbiol Technol 10: 485-486. Pazur JH. 1965. Enzim in Synthetis and Hydrolysis of Starch. In. Whistler RL, Paschall EF, eds. Starch: Chemstry and Technology. New York: Academic Press. Paszczynski A, Miedziak I, Lobarzewski J, Koochmanska J, Trojanowski J. 1982. A Simple method of affinity chromatography for the purification of glucoamylase obtained from Aspergillus niger C. FEBS LETTERS. 149(1): 63-66. Paturau JM. 1981. By-Product of The Cane Sugar Industrial : An Introduction to Their Industrial Utilization. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Co. Peristiwati, Haska N, Sajuti JN, Dafitri R, Warwoto B. 2011. Bio-ethanol production from sago pith flour hydrolyzate (Metroxylon sagu, Rottb) by yeast and Zymomonas mobilis. Di dalam: Siregar IZ, Sudaryanto T, Ehara H, Suwardi, Lubis I, Ardie SW, editor. Sago for food Security, Bioenergy, and Industry from Research to Marked. Proceeding of The 10th International Sago Symposium. Bogor. October 29-30 2011. Bogor: Bogor Agricultrural University-The Indonesian Sago Palm Society. hlm 82 Pons A, Dussap CG, Gross JB. 1990. Xanthan bath fermentation: Compared performance of a bubble column and a stirred tak fermentor. Bioprocess Eng 5: 107-114 Prasad S, Singh A, Joshi HC. 2007. Ethanol as an Alternative fuel from agricultural, Industrial and Urban Residues. Review. Resources Conserv Recycling 50: 1–39. Presscot SC, Dunn CG. 1981. Industrial Microbiology. New York: Mc.GrawHill. Purwadi R. 2006. Continue Ethanol Production from Diluted-Acid Hydrolizate ; Detoxification and Fermentation Strategy [Thesis of Doctoral]. Goteborg: Chemical and Biological Engineering, Chalmers University of Technology. Ramalatu F J. 1981. Distribusi dan Potensi Pati Beberapa Sagu (Metroxylon sp) di Daerah Seram Barat [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Pertanian /Kehutanan yang Berafiliasi dengan Fakultas Pertanian IPB. Rehm HJ, Reed G. 1981. Biotechnology, Vol.1: Microbial Fundamental. Weinheim: Verlag Chemie Gmbh.
120
Reczey K, Szenjel Zs, Eklud R, Zacchi G. 1996. Cellulase production by T. reesei. Bioresource Technol 57: 25-30. Reed G, Peppler HJ. 1973. Yeast Technology. Connecticut: The AVI Publ. Rinaldy W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) Sebagai Bahan Pembuatan Etanol [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robyt JF, Whelan WJ. 1968. The alpha-amilase. In. Radley JA, ed. Starch and Its Derivatives. 4th ed Chapman and Hall Ltd. 11. London: New Letter Lane. Rogers PL, Jeon YJ, Svenson CJ. 2005. Application of biotechnology to industrial sustainability. Proc Saf Environ Protect 83: 499–503. Ruddle KD, Johnson, Townsend KP, Rees JD. 1978. Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. Honolulu: East-West Center, University Press of Hawai. Rumawas F, Astono A, Aziz SA, Rinhewa RE. 1996. Utilizing Sago Press Cake as Compost. In: Jose C, Rayad A, editors. Sixth International Sago Symposium. Pekanbaru, 9-12 Desember 1996. Pekanbaru. Sassner P, Galbe M. Zacchi G. 2006. Bioethanol production based on simultaneous saccharification and fermentation of steam-pretreated salix at high dry-mater content. Enzyme Microb Technol 39: 756-762. Sa’id EG, Intan AH. 2000. Menghitung nilai tambah produk agribisnis. Komoditas 11(19): 48. Schlegel HG. 1986. General microbiology. Cambridge. Cambridge University Press. Setiadi, Darifis. 2006. Konversi Katalitik N- butanol Menjadi Hidrocarbon C2C4 menggunakan Katalis B2O3/Zeolit. Seminar Nasioal Teknik Kimia Indonesia. Palembang 19-20 Juli 2006. Setiautama. 2012. Selulosa-Glukosa- Sukrosa. http://www.scribd.com/Asih_Setiautam_9203/d/51783972-SELULOSAGLUKOSA-SUKROSA [27-05-2012]. Sharma KS, Karla KL, Greewal HL. 2002. Fermentation of enzymatically saccharified sunflower stalks for ethanol production and its scale up. Bioresource Technol 85: 31–33.
121
Simpe S. 2009. Training of Laboratory Equipment and Instrument [Paper]. In: JENESYS Program 2009/10: Invitation Project of Undergraduate and Postgraduate Student of Enviroment-related Subjects, Implemented by JASSO. Oktober 2009. Tokyo: Departement of Chemical Engineering, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) Japan. Singhal RS, Kennedy JF, Gopalakrishnan SM, Kaczmarek A, Knill CJ, Akmar PF. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palmderived products. Review. Carbohydrate Polymers 72: 1–20 Sjostrom E. 1993. Wood Chemistry: Fundamentals and Applications. San Diego: Academic Press. Soerawidjaja TH. 2006. Proses Pembuatan Bioetanol. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Biofuel “Implementasi Biofuel Sebagai Energi Alternatif”, Jakarta, 5 Mei 2006. Jakarta: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. [SII] Standar Industri Indonesia. 1981. SII-0418-81 Syarat Mutu Sirup Glukosa. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon Press. Sunaryanto R. 2003. Produksi, Isolasi, dan Karakterisasi Glukoamilase dari Isolat Lokal Aspergillus niger BSC Menggunakan Substrat Dedak dan Tapioka [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic material for ethanol production: a review. Bioresource Technol 83: 1–11. Sun RC, Jones GL, Tomkinson J, Bolton J. 1999. Fractional isolation and partial characterization of non starch polysaccharides and lignin from sago pith. J. Indust Crops Product 19 : 211-220. Sukumaran RK, Singhania RR, Pandey A. 2005. Microbial cellulases production, application and challenges. J Sci Indust Res 65: 832-844. Sukumaran RK, Singhania RR, Mathew GM, Pandey A. 2009. Cellulase production using biomass feed stock and it’s application in lignocelullose saccharification for bio-ethanol production. Renewable Energy 34: 421424. Syakir M. 2005. Potensi Limbah Sagu Sebagai Amelioran dan Herbisida Nabati pada Tanaman Lada Perdu [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
122
Taherzadeh MJ, Karimi K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Etanol from Lignocellulosic Material: A Review. J Bio Resource 2: 472499. Tegge G. 1984. Glucose Syrups: The Raw Material. In Dziedzid SZ, Kearsley, eds. Glucose Syrups: Science and Technology. London: Elsevier Applied Science Publishers. Teti R, Mindawati N, Suharti M, Pratiwi. 1989. Teknik Penanaman Sagu. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Tjokroadikoesoemo P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: Gramedia. Van Maris AJ, Abbott DA, Bellissimi E, Van den Brink J, Kuyper M, Luttik MA, Wisselink HW, Scheers WA, Van Dijken JP, Pronk JT. 2006. Alcoholic fermentation of carbon sources in biomass hydrolysates by Saccharomyces cerevisiae: current status. Anton Van Leeuw 90: 391–418. Varga E, Reczey K, Zacchi G. 2004. Optimization of steam pretreatment of corn stover to Enhance Enzymatic Digestibility. Appl Biochem Biotechnol 113116: 509-523. Wagiman. 2012. Rancang Bangun Proses Produksi Bioetanol dari Lignoselulosa Sebagai Energi Terbarukan Dengan Pendekatan Ekoefisiensi [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnill P, Humprey AE, Lilly MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. New York: John Wiley and Sons. Wang R, Zhou W. 2004. Stability of Tea Catechin in Bread Making Process. J Agric Food Chem 52: 8224 8229 Wen Z, Liao W, Chen S. 2005. Production of cellulase by Trichoderma reesei from dairy manure. Bioresource Technology 9: 491-499. Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrates. In: Fennema OR, ed. Food Chemistry: Second edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker Inc. Wirakartakusumah MA, Apriyantono A, Ma’arif MS, Suliantari, Muchtadi D, Otaka K. 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati Sagu dan Pengkajian Enzim. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
123
LAMPIRAN
124
125
Lampiran 1 Perkiraan areal yang ditumbuhi sagu di Dunia dan Indonesia Perkiraan kasar areal yang ditumbuhi tanaman sagu dengan kualitas bagus di Dunia dan Indonesia No Lokasi 1. 2. .
3. 4. 5. 6.
Papua New Guinea (total) Indonesia (total) Irian Jaya (total) Bituni Lake plain Irian bagian selatan Wilayah Irian Lainnya Maluku Sulawesi Kalimantan Sumatera Kepulauan Riau Kepulauan Mentawai Malaysia (total) Thailand Philipina Negara lain TOTAL
Wild stand (ha) 1 000 000
Semi-cultivated stand (ha) 20 000
1 250 000 1 200 000 300 000 400 000 350 000 150 000
148 000 14 000 2 000 2 000 10 000
50 000 2 250 000
10 000 30 000 20 000 30 000 20 000 10 000 45 000 3 000 3 000 5 000 224 000
Sumber: Flach (1997).
Perkiraan areal yang ditumbuhi pohon sagu di Indonesia No Lokasi
Wild stand (ha)
Semi-cultivated stand (ha)
1. 2. 3. 4. 5.
1 200 000 300 000 400 000 350 000 150 000
14 000 2 000 2 000 10 000
50 000 1 250 000
10 000 30 000 20 000 30 000 20 000 10 000 148 000
Irian Jaya (total) Bituni Lake plain Irian bagian selatan Wilayah Irian Lainnya 6. Maluku 7. Sulawesi 8. Kalimantan 9. Sumatera 10. Kepulauan Riau 11. Kepulauan Mentawai TOTAL
Sumber: Flach (1997); Balitbanghut (2005)
126
Lampiran 2 Mekanisme konversi selulosa ampas sagu
Selulosa
Konversi selulosa menjadi gluosa
Pati
Lignin
Ampas sagu
Hemiselulosa
Lignin 7%
Hemicellulose 14%
Others 5%
Starch Crude Protein Fat
Starch 50%
Pretreatment (T = 110 – 120 oC P = 1.42 – 1.96 atm t = 20 – 40 min) Terlarut
Cellulose Hemicellulose
Cellulose 21%
Fat 2%
Lignin Others
Crude Protein 1%
Kain saring (150 mesh)
Kandungan ampas sagu
Selulosa (Komponene utama) 6
Fermentasi batch
Selulosa ( Komponen utama) (substrat)
Medium Mendel dan Weber (1969) Trichoderma reesei
Fermentor Batch
Cellulase βGlucose (Kulur hasil koversi)
127
Lampiran 3 Prosedur analisis Beberapa prosedur analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1 Penentuan gula pereduksi (Miller 1959) Pereaksi 1. Pereaksi DNS (Dinitrosalicylic acid) 10.6 g DNS dan 19.8 g NaOH dilarutkan ke dalam 1416 mL akuades. Setelah larut sempurna ditambahkan 306 g Natrium kalium tartarat (garam Rochelle) dan 7.6 g fenol (sebelumnya dicairkan dahulu pada suhu 50 oC), serta 8.3 g Natrium metabisulfit. 3 mL larutan ini kemudian dititrasi dengan HCL 0,1 N dengan menggunakan indikator fenolphthalein sekitar 5-6 mL. Apabila kurang, maka tambahkan NaOH (bila dibutuhkan) sejumlah 2 g untuk setiap ml penggunaan HCl 0.1 N pada titrasi. Untuk lebih cepat dapat dilakukan penggukuran pH larutan DNS. Apabila pH sudah mencapai 13.00, larutan DNS dapat dipakai. 2. Standar glukosa Larutan standar glukosa pada selang 0.02 - 0.5 mg glukosa per-mL dalam buffer sitrat-fospat 0.05 M pH 6.0, digunakan untuk membuat kurva standar glukosa. Prosedur: 1. 0.5 mL larutan glukosa standard dan 0.5 mL buffer (pH 6.0) dimasukkan ke dalam sederetan tabung reaksi yang telah diberi label, dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian bubuhi 3 mL pereaksi DNS dan didinginkan hingga suhu kamar. Gunakan blangko akuades. Setelah dingin dibaca pada spektrofotometer (panjang gelombang 550 nm) dengan skala absorbansi 0 – 1. 2. Cara yang sama dilakukan juga terhadap sampel sebanyak 0.5 mL. Pengeceran dengan menggunakan buffer (pengeceran beberapa kali dengan menggunakan labu ukur) diperlukan apabila absorbansi melebihi 1.0.
128
3. Persamaan regresi dari larutan standar glukosa dibuat berdasarkan nilai absorbansinya terhadap konsentrasi glukosa.
Kadar glukosa sampel
didapat dengan cara memasukkan nilai absorbansinya ke persamaan regresi yang didapatkan.
3.2 Penentuan total gula (Fenol-H2SO4) (Dubois et al. 1956) - Pembuatan kurva standar 1. Pipet 2 mL larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 60 μg glukosa, masing-masing dimasukan ke dalam tabung reaksi. 2. Tambahkan 1 mL larutan fenol 5%, kocok. 3. Tambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dengan cara menuangkan secara tegak lurus ke permukaan larutan. 4. Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. 5. Ukur absorbansinya pada 490 nm untuk heksosa dan 480 nm untuk pentosa dan asam uronat. 6. Buat kurva standar. - Penetapatan sampel (hidrolisat ampas sagu) 1. Untuk menetapkan total gula sampel harus berupa cairan yang jernih (saring jika ada endapan). Sampel (hidrolisat ampas sagu) dipersiapkan dengan metoda penjernihan sampel menggunakan Pb asetat. Cairan sampel yang akan dianalisa dijernihkan dengan Pb asetat ½ basa, kelebihan Pb asetat dinetralkan NaCO3 8%, sampel didiamkan/diendapkan semalam sehingga pengotor mengendap. Cairan jernih dari sampel diambil dan dianalisa total gulanya. 2. Lakukan penetapan sampel seperti pada pembuatan kurva standar kemudian tentukan total gula sampel (dinyatakan sebagai % glukosa).
3.3 Kadar etanol (Metode Specific Gravity) (AOAC 1995) Penentuan kadar etanol dilakukan secara tidak langsung dengan penetapan BJ hasil destilasi contoh, dengan prosedur sebagai berikut ini:
129
Setelah fermentasi berakhir, medium diaduk sampai homogen dan sebanyak 25 mL diukur dengan teliti kemudian dinetralkan dengan NaOH 1.0 N dan ditambah dengan akuades hingga volume 5 mL. Campuran didestilasi hingga diperoleh destilat sebanyak 23 mL. Piknometer volume 25 mL dibersihkan dan dikeringkan dengan tisu. Kemudian diisikan dengan akuades sampai penuh dan ditimbang dengan teliti. Cairan yang menempel pada dinding pikometer dikeringkan dengan kertas tisu dan ditimbang dengan teliti. Berat air = (berat piknometer berisi akuades – berat piknometer kosong) Piknometer yang sama dikeringkan dan diisi dengan destilat yang mengandung etanol dan ditutup dengan baik.
Cairan yang menempel pada
dinding piknometer dikeringkan dengan tisu dan ditimbang dengan teliti Berat sampel = (berat piknometer berisi sampel – berat piknometer kosong) Apparent Specific Gravity = (Berat sampel/berat air) Kadar etanol hasil fermentasi dapat dihitung menggunakan “Apparent specific gravity” menggunakan Tabel Hubungan Volume Etanol (% v/v) dengan Apparent Specific Gravity pada berbagai suhu (AOAC 1995).
3.4 Rendemen (Badger 2002) Rendemen etanol dari bahan baku ampas sagu dihitung dengan formula berikut: Rendemen etanol (kg etanol/ton bahan) = A x B x C x D x E Keterangan A = berat kering bahan (1 ton ampas sagu) B = kandungan pati ampas sagu 51.53% - data penelitian C = konversi pati dan efisiensi – data penelitian D = hasil etanol teoritis (0.511) – Persamaan Gay Lussac E = efisiensi fermentasi glukosa – data penelitian Etanol dari glukosa (gula pereduksi)
130
3.5
Uji Hidroksimetilfurfural (HMF) (SNI 01-35452004 mengacu AOAC Official Method 980.23-1999)
- Pereaksi a) Larutan Carrez I Timbang 15 g kalium feroksianida K4Fe (CN)6 3H2O, larutkan dengan air dan encerkan sampai 100 mL. b) Larutan Carrez II Timbang 30 g seng asetat Zn (CH3COOH)22H2O, larutkan dengan air dan encerkan sampai 100 mL. c) Natrium bisulfit (NaHSO3) 0.20% Timbang 0.20 NaHSO3, larutkan dengan air, encerkan sampai 100 mL. - Prosedur Timbang dengan teliti 5 g sampel (sampai ketelitian 1 mg) dalam gelas piala kecil, masukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan bilas dengan air sampai volume larutan 25 mL. Tambahkan 0.50 mL larutan Carrez I, kocok dan tambahkan 0.50 mL larutan Carrez II, kocok kembali dan encerkan dengan air sampai dengan tanda garis. Tambahkan setetes alkohol untuk menghilangkan busa pada permukaan. Saring melalui kertas saring, dan buang 10 mL hasil saringan pertama. Pipet 5 mL hasil saringan dan masing-masing masukkan ke dalam tabung reaksi 15 mL. Pipet 5 mL air dan masukkan ke dalam salah satu tabung (contoh) dan 5 mL 0.20% Natrium bisulfit ke dalam tabung lain (pembanding). Kocok sampai tercampur sempurna (vorteg mixer) dan tetapkan absorban contoh terhadap referensi (pembanding) dalam sel 1 cm pada panjang gelombang 284 nm dan 336 nm. Bila absorban lebih tinggi dari 0.6 untuk memperoleh hasil yang lebih teliti, larutan contoh diencerkan dengan air sesuai kebutuhan. Demikian juga dengan larutan pembanding (larutan referensi), encerkan dengan cara sama dengan menggunakan larutan NaHSO3 0.1%. Nilai absorban yang diperoleh dikalikan dengan faktor pengenceran sebelum perhitungan. Perhitungan: (A284-A336) x 14.97 x 5 HMF (mg/100 g sampel) = -------------------------------------Berat contoh (g)
131
126 Faktor = ------ x 16830
1000 100 -------- x -----10 5
= 14.97
Keterangan: 126 : Berat molekul HMF 16830 : Absorbansifitas molar HMF pada panjang gelombang 284 1000 : mg/g 10 : sentiliter/L 100 : gram sampel yang dilaporkan 5 : Berat sampel yang diambil dalam g
3.6 Pengukuran biomasa (Pons et al. 1990) Sebanyak 1.5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diketahui berat awalnya, setelah itu sampel disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 5 menit. Kemudian dilakukan pemisahan antara supernatan dengan biomassanya. Tabung eppendorf yang telah berisi biomassa dimasukkan akuades steril sebanyak 1.5 mL kemudian dilakukan sentrifugasi kembali. Pemisahan antara akuades dan biomassa dilakukan, selanjutnya tabung ependorf yang berisi biomassa dikeringkan pada suhu 50 oC selama 24 jam. Berat kering biomassa adalah berat tabung yang berisi biomassa yang telah dikeringkan dikurangi dengan berat awal, menurut perhitungan berikut:
Berat sel kering (g/L)
Berat biomassa kering (g) = ------------------------------Vol sampel (L)
3.7 Myceliar protein (metode Jun et al. 2006) Biomassa diukur sebagai protein sel (indirect method). Substrat hasil fermentasi disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet biomassa dicuci, diresuspensi ulang menggunakan akuades dan dilanjutkan dengan pengadukan menggunakan vortek. Sejumlah aliquot dari suspensi yang sudah homogen diekstrak dengan 1 volume dari 1 N NaOH pada suhu 50 oC selama 45 menit (perbandingan 1 : 1), dan disetrifugasi lagi pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Kadar protein pada supernatan dianalisa dengan metode Bradford menggunakan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar.
132
3.8 Penetapan pati ( metode Iod; AOAC 1995) Hidrolisat terdiri dari komponen gula sederhana dan molekul pati. Berdasarkan komponen hidrolisat dengan panjang rantai di bawah 12 unit glukosa tidak memberikan warna bila bereaksi dengan senyawa iod.
Komponen pati
dalam hidrolisat akan berwarna unggu merah-biru bila bereaksi dengan senyawa iod. Intesitas warna biru akan berbeda tergantung dari kadar pati dalam hidrolisat. Cara Kerja: Pembuatan kurva standar dengan menggunakan soluble starch pada kisaran 0.01 – 0.1%. Di pipet maing-masing 1 mL ke dalam tabung reaksi dan dipanaskan hingga suhu 80 oC (pati menjadi larut) setelah didinginkan ditambahkan 0.1 mL larutan iod (0.2 g iod dan 2 g KI dalam 100 mL air), kemudian ditambahkan akuades masing-masing 2 mL. Selanjutnya pengukuran intesitas warnanya dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 610 nm. Pada penetapan contoh, diambil 1 mL contoh hasil proses hidrolisis (sampel disaring dengan kertas saring terlebih dahulu) lalu ditambahkan dengan larutan iod 0.1 mL kemudian ditambahkan akuades 3 mL. Pengukuran intensitas warnanya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 610 nm. Data yang diperoleh diplotkan pada kurva standar.
3.9 Pengujian kadar protein terlarut (Bradford 1976) Pereaksi: 1. Larutan Coomasie Blue (pereaksi Bradford) 100 mg Coomasie Blue G 250 dilarutkan dalam 50 ml etanol 95% dan diaduk selama 1 jam. Larutan ditambahkan 100 ml H3PO4 85 % (v/v) dan diencerkan dengan air sampai 1 L. 2. Larutan Bovin Serum Albumin (BSA) Larutan standar BSA pada selang 25–200 mg. BSA per mL digunakan untuk membuat kurva kalibrasi. Prosedur: 1. Sebanyak 100 uL (0.1 mL) larutan yang mengandung 10-100 mg protein
133
dipipet ke dalam tabung reaksi dan larutan diaduk, lalu dibiarkan selama 10 menit, ditambahkan 5 mL pereaksi Bradford. 2. Pengukuran penyerapan selama 10 menit pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm. 3 Pengerjaan yang sama dilakukan terhadap 100 uL air destilasi sebagai blangko dan standar (BSA). 3.10 Analisis Enzim 3.10.1 Penentuan aktivitas enzim selulase (FP-ase) (Goose 1978; Adney dan Baker 2008) Timbang kertas saring (filter paper) Whatman No. 1 seberat 50 mg untuk masing-masing test tube (1.0 x 6.0 cm). Tambahkan 1.0 mL buffer sitrat 0.05 M (pH 4.8)
pada masing-masing test tube.
Tambahkan enzim ekstrak kasar
(sampel) yang telah disentrifugasi 10 000 rpm 10 menit pada suhu 4 oC, sebanyak 0.5 mL untuk masing-masing sampel. Inkubasi pada suhu 50 oC selama 1 jam. Tambahkan 3 mL reagent DNS untuk menghentikan reaksi enzim. Kerjakan hal yang sama untuk: 1) Blangko; 1,5 mL buffer sitrat; 2) Kontrol enzim; 1.0 mL buffer sitrat + 0.5 enzim ekstrak kasar; 3) Kontrol substrat; 1.5 mL buffer sitrat + 50 mg kertas saring. Buat standar glukosa dengan stok glukosa (10 mg/mL). Buat pengeceran dari larutan stok sebagai berikut: 1.0 mL + 0.5 mL buffer = 1 : 1.5 = 6.7 mg/mL (3.35 mg/0.5 mL) 1.0 mL + 1.0 mL buffer = 1 : 2 = 5 mg/mL (2.5 mg/0.5 mL) 1.0 mL + 2.0 mL buffer = 1 : 3 = 3.3 mg/mL (1.65 mg/0.5 mL) 1.0 ml + 4.0 mL buffer = 1 : 5 = 2 mg/mL (1.0 mg/0.5 mL) Standar glukosa ini dipreparasi dengan penambahan 1.0 ml buffer sitrat pada 0.5 ml larutan standar. Blangko, kontrol, dan standar glukosa diinkubasi pada suhu 50 oC selama 1 jam dan kemudian dihentikan setelah 1 jam dengan penambahan 3 mL larutan DNS. Pengukuran gula pereduksi hasil inkubasi mengikuti metode Miller (1959). Didihkan seluruh tabung (sampel, blangko, kontrol, dan standar) secara bersama
selama 5 menit. Dinginkan seluruh tabung dengan air mengalir.
134
Encerkan seluruh tabung dengan akuades dimana 0.2 mL larutan tambah 2.5 mL akuades, kemudian di-vortek. Absorbansi dibaca pada λ 540 nm, dimana larutan glukosa standar harus memberi nilai absorbansi pada rentang 0.1 sampai 1.0. Perhitungan: 0.37 Filter paper activity = ------------------------------------------------(enzim) yang membebaskan 2.0 mg glukosa
unit/mL
Untuk hasil pengukuran konsentrasi enzim yang membebaskan glukosa dengan konsentrasi yang kecil maka perhitungan FPU sebagai berikut (Ghose, 1987): FPU
= mg glukosa yang dibebaskan x 0.185
Dimana: 1 mg glukosa = 0.185 unit/mL. 3.10.2 Enzim α-amilase (metode Bernfeld 1955)
Sebanyak 0.1 mL contoh dicampur 0.9 mL buffer fosfat sitrat (BFS) pH 6.2, kemudian 2 mL substrat 2% atau 2% soluble starch dalam BFS pH 6.2 ditambahkan dalam campuran dan diinkubasi pada suhu 50 oC selama 30 menit. Hasil inkubasi yang diperoleh diukur gula pereduksinya dengan DNS. Lakukan pekerjaan kontrol yaitu 0.1 mL contoh tambah 0.9 mL BFS pH 6.2 kemudian didihkan selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pekerjan sama dengan pekerjaan sampel. Pengukuran gula pereduksi metoda DNS; yaitu 1 mL campuran hasil inkubasi di tambah 3 mL DNS dan dididihkan selama 5 menit. Dinginkan campuran dengan air mengalir. Ukur dengan panjang gelombang 550 nm. Lakukan pekerjaan yang sama untuk blanko dan standar (maltosa).
Ppm x 1000 Aktivitas enzim = -----------360.32
1 x --30
Unit/mL
135
3.10.3 Enzim glukoamilase (metode Pandey et al. 1994, diacu dalam Sunaryanto 2003) Aktivitas enzim glukoamilase ditentukan dengan menggunakan substrat soluble starch. Filtrat enzim hasil ekstraksi diencerkan dengan buffer Na-asetat (pH 4.5-4.6) dengan faktor pengeceran (FP) beberapa kali. Sebanyak 2 mL soluble starch 2 % sebagai substrat (Vsb) dicampur 0.25 mL larutan contoh (Vc). Kemudian di inkubasi selama 20 menit pada suhu 60 oC.
Setelah inkubasi
dilakukan pemanasan dengan air mendidih selama 5 menit. Hal yang sama dilakukan untuk kontrol, dimana larutan sampel dipanaskan/didihkan terlebih dahulu sebelum dicampur substrat. Selanjutnya diukur gula pereduksinya (Cgr) (glukosa yang dibebaskan dari pati) dengan metode DNS. Satu unit didefenisikan sebagai banyaknya μmol glukosa yang terbentuk oleh aktivitas enzim per menit pada kondisi percobaan. Perhitungan aktivitas glukoamilase: Cgr x (Vc + Vsb) x FP A
= ----------------------------BM x t x Vc
Dimana:
A = aktivitas glukoamilase ( U/mL) Cgr = Konsentrasi gula pereduksi dalam sampel (mg/L) BM = Berat molekul glukosa (180 g/mol) t = Waktu inkubasi substrat dengan sampel (menit) Vc = Volume larutan contoh (mL) Vsb = Volume larutan substrat (soluble starch) (mL) Fp = Faktor pengenceran
3.11 Analisis Glukosa (Biosensor BF-5 Oji Scientific Instrument Japan) Prosedur: 1. Persiapan alat Biosensor (BF-5 Oji Scientific Instrument Japan) Hidupkan alat. Panaskan instrumen selama 1 jam. Sambung alat analisis ke komputer (CPU swicth on), Tunggu proses pada komputer. Siapkan proses untuk recording result. 2. Persiapan larutan standar: Blangko (akuades), standar glukosa: 10 mM, 20 mM, dan 30 mM. 3. Persiapan larutan sampel. Sampel adalah larutan jernih hasil kultivasi
136
(proses konversi) yang telah disentrifugasi 10.000 rpm selama 15 menit. Encerkan sampel jika konsentrasi glukosa tinggi (berdasarkan berat). 4. Blanko, standar dan larutan sampel dimasukkan dalam tabung analisis (0.4-0.8 mL /tabung). Tabung analisis yang berisi blangko, standar dan sampel disusun dalam tabung kolektor. No. 1 untuk blangko, No. 2, 3, 4 untuk standar, dan 5, 6, 7 seterusnya untuk sampel. 5. Tekan start analisis (pada komputer). 6. Proses analisis (flow injection method) berlangsung satu menit per sampel. 7. Hasil analisis akan dihitung secara automatis dan dilakukan print out (dalam bentuk Grafik dan Tabel). 8. Simpan data (save file). 9. Matikan komputer. 10. Matikan alat (BF-5).
Berikut adalah gambar cara menggunakan Biosensor (BF-5). Analisis dilakukan untuk menggukur glukosa dan asam laktat sekaligus (Simpe 2009).
137
138
Lampiran 4 Analisis proksimat dan lignoselulosa (komponen) ampas sagu 4.1 Analisis proksimat 4.1.1 Analisis kadar abu (AOAC 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan dalam tanur bersuhu 600 oC selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai berat tetap. Kadar Abu (%) =
(C – A) ------------------ x 100 % A
4.1.2 Analisis kadar protein (AOAC 1995) Sebanyak 0.1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2.5 mL H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih. Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 mL NaOH 50%. Labu Erlenmeyer yang berisi 25 mL HCl 0.02 N dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0.02% dan metil biru 0.02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam labu Erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades. Destilat dalam labu Erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0.02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu.
Kadar total nitrogen ditentukan berdasarkan
volume larutan NaOH 0.02 N yang digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan akuades bebas nitrogen sebagai larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut. Total N (%) = ml titrasi (blanko – contoh) x N NaOH x 14 x 100 % berat contoh Kadar Protein (%) = 6.25 x Total N (%)
139
4.1.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air (hasil analisis kadar air) diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan, lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang hingga diperoleh berat yang tetap. berat lemak Kadar Lemak (%) = -----------------berat contoh
x 100%
4.1.4 Analisis kadar pati (AOAC 1995) Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan didihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Kemudian didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30% lalu ditambahkan CH3COOH 3% agar larutan menjadi asam. Isi dipindahkan ke dalam labu berukuran 500 mL dan tambahkan akuades sampai tanda tera,
kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat dipipet ke dalam
Erlenmeyer 500 mL, ditambahkan 2 mL larutan Luff Schoorl dan beberapa butir batu didih serta 5 mL akuades. Campuran dipanaskan dengan nyala tetap dan didihkan selama 3 menit. Campuran lalu dididihkan kembali selama 10 menit, kemudian didinginkan dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin ditambahkan 15 mL larutan KI 20% dan 25 mL H2SO4 25% dengan perlahan-lahan. Lalu dititrasi dengan menggunakan larutan tio 0,1 N dengan penambahan indikator kanji 0.5 % (a mL). Lakukan juga terhadap blanko dengan perlakuan yang sama (b mL). A x faktor pengencer x 0.9 Kadar Pati (%) =
x 100 % mg contoh
Keterangan: A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b – a) 0.9 = perbandingan kadar glukosa dan pati
140
4.2
Analisis lignoselulosa
4.2.1 Kadar air (TAPPI T264 om-88) -
Cawan timbang yang akan digunakan dipanaskan dulu di dalam oven pada suhu 105 oC ± 3 oC selama 1 jam.
-
Setelah satu jam dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan dan di timbang.
-
Selanjutnya sampel sebanyak 1-2 g ditimbang (Bo) dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya dan kemudian dimasukkan kedalam oven selama 3 jam pada suhu 105 oC ± 3 oC.
-
Setelah 3 jam, cawan porselen dikeluarkan dari oven dan dimasukkan kedalam desikator dan ditimbang hinga beratnya konstan (berat kering tanur = BKT).
-
Nilai kadar air dihitung berdasarkan rumus: Bo - BKT KA = --------------- x 100% BKT
4.2.2 Kadar ekstraksi larut dalam alkohol-benzene (1 : 2) (TAPPIT204 om88) Pengujian ini berkaitan dengan kadar zat-zat seperti: lemak, resin dan komponen komponen lain yang tidak terlarut dalam eter termasuk juga wood gums. Pengujian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: -
Timbang sampel dalam cawan sebanyak 10 g yang telah diketahui kadar airnya dan hitung BKT serbuk sebelum ekstraksi (BKT0).
Kemudian
dimasukkan ke dalam timbel kertas saring yang sudah diketahui beratnya. -
Timbel diikat dan diberi pemberat lalu dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi dan diatur hingga cawan terendam dalam pelarut.
Ekstaksi
dilakukan selama 6 -8 jam dan setelah selesai timbel dikeluarkan. -
Selanjutnya dicuci dengan 50 mL etanol untuk mengeluarkan benzen dan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ±3 oC selama 2 jam.
-
Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh BKT serbuk kayu setelah ekstraksi (BKT1)
-
Nilai kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan rumus:
141
BKT0 - BKT1 Ekstraktif (%) = --------------x BKT0
100%
4.2.3 Kadar selulosa (TAPPI T17 m-55) Penentuan kadar selulosa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: -
Serbuk kayu (sampel) ± 2.5 g yang sudah bebas zat ekstraktif (BKT serbuk bebas ekstraktif) dan diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam Erlenmyer 300 mL.
-
Tambahkan 400 mL air panas di atas water bath 80 oC selama 2 jam.
-
Serbuk disaring dengan menggunakan kertas saring dan dikering udarakan.
-
Siapkan Erlemeyer 300 mL, lalu masukkan serbuk yang sudah kering udara sambil menambahkan 125 mL HNO3 3.5%. Setelah itu dipanaskan di atas penangas air bersuhu 80 oC selama 12 jam.
-
Serbuk disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas asam dan kering udarakan.
-
Siapkan Erlenmeyer 300 mL, lalu masukkan serbuk yang sudah kering udara sambil menambahkan 125 ml NAOH + Na2SO3 (20 g : 20 g dalam 1 L larutan). Setelah itu dipanaskan di atas penangas air suhu 50 oC selama 2 jam.
-
Serbuk disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas basa dan filtrat tidak berwarna.
Kemudian ditambahkan NaClO2 10% sampai
serbuk berwarna putih. -
Setelah serbuk berwarna putih, tambahkan 100 mL CH3COOH 10%, kemudian cuci sampai bebas asam.
-
Pengeringan dilakukan pada oven 105 oC ± 2 oC dan ditimbang sampai konstan (BKT selulosa).
Untuk mengetahui kadar selulosa digunakan
rumus sebagai berikut: A Selulosa =
x
100 %
B Keterangan:
A
= BKT selulosa
B = BKT sampel bebas ekstraktif
142
4.2.4 Kadar lignin (Klason; TAPPI T 222 om-88) Pengujian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: -
Sebanyak 1 g BKT sampel yang sudah bebas zat ekstraktif dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml.
-
Tambahkan 15 mL H2SO4 72% sambil diaduk pada suhu ruangan sekurang-kurangnya 1 menit dan tutup dengan aluminium foil.
-
Lalu didiamkan selama 2 jam, suhu dijaga agar tetap dengan cara mendinginkan bagian luar gelas piala dengan es dan diaduk berkali-kali.
-
Kemudian ditambahkan 300 mL air ke dalam Erlenmeyer 1000 mL yang sebelumnya telah ditandai pada volume 575 mL.
-
Setelah itu sampel dipindahkan ke dalam erlemeyer 1000 mL yang berisi 300 mL air, cuci dan larutkan dalam air hingga konsentrasi 3% (volume total 575 mL).
-
Panaskan selama 4 jam pada suhu 100 oC dan diusahakan agar volume tetap dengan menambahkan air panas sewaktu-waktu.
-
Biarkan semalam agar bahan yang tidak larut mengendap.
-
Setelah bahan yang tidak larut mengendap, kemudian disaring dan dicuci dengan air panas sampai bebas asam.
-
Pengeringan dilakukan pada oven 105 oC ± 3 oC dan ditimbang sampai beratnya konstan (BKT lignin). Lignin
=
A ------- 100% B
Keterangan : A = BKT lignin B = BKT serbuk kayu bebas ekstraktif
4.2.5 Kadar holoselulosa (ASTM 1104-56) Pengujian dimaksudkan
untuk mengetahui zat yang tertinggal setelah
kayu bebas dari zat ekstraktif dan telah didelignifikasi.
Pengujian dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut: -
Sebanyak 2 g serbuk yang bebas ekstraktif (BKT serbuk bebas ekstraktif) dan diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 300 mL.
143
-
Kemudian ditambahkan 150 mL air suling, 1 g NaClO2 dan 0.3 mL asetat glasial. Sampel dipanaskan pada suhu 70-80 oC selama 5 jam dimana setiap 1 jam ditambah 1 g NaClO2 dan 0.3 mL asetat glasial (CH3COOH).
-
Setelah pemanasan selesai sampel disaring kemudian dicuci dengan air panas dan dioven pada suhu 105 oC ±3 oC, lalu ditimbang sampai beratnya konstan (BKT holoselulosa).
-
Kadar holoselulosa dihitung berdasarkan humus berikut: A Holoselulosa = ---- x 100% B Keterangan : A = BKT holoselulosa B = BKT serbuk bebas ekstraktif.
144
Lampiran 5 Kurva standar
5.1 Standar glukosa untuk analisis gula pereduksi (550 nm)
Absorbance
0.6 0.5
y = 0.0028x - 0.1466
0.4
R = 0.9933
2
0.3 0.2 0.1 0 -0.1
0
50
100
150
200
250
300
Konsentrasi (ppm)
5.2 Standar glukosa untuk analisis total gula (490 nm)
0.6 y = 0.0101x + 0.0122 R2 = 0.994
Absorbance
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
10
20
30 40 Konsentrasi (ppm)
50
60
145
Standar soluble starch untuk pati (Metode Iod)
Absorbance
0.9 0.8 0.7
y = 0.002x + 0.0075 R2 = 0.9985
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
100
200
300
400
500
Konsentrasi (ppm)
5.4 Standar maltosa untuk penghitungan amilase
1.6 y = 0.003x - 0.0758 R2 = 0.9901
1.4
Absorbance
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.2
0
100
200
300 Konsentrasi (ppm )
400
500
600
146
5.5 Standar glukosa untuk penghitungan glukoamilase
0.8 0.7
y = 0.0035x - 0.1917
0.6
R = 0.9916
Absorbance
2
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
50
100
150
200
250
300
Konsentrasi (ppm)
5.6 Standar glukosa untuk penghitungan enzim selulase
1 y = 0.2208x - 0.2061
0.9
2
R = 0.9975
Absorbance
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
2
3.3 Konsentrasi (mg/mL)
5
6.7
147
5.7 Standar BSA untuk kadar protein
0.6 y = 0.9825x - 0.0039 R2 = 0.9961
0.5
Absorbance
0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
Konsentrasi (g/L)
0.5
0.6
148
Lampiran 6
No
Data kandungan pati dan selulosa ampas sagu dari beberapa peneliti
Peneliti
Pati (%)
Selulosa (%)
Efisiensi ekstraksi (%) rerata *
72.45
13.32
73.45
-
22.10
1.
Bintoro (1990)
2.
Rumanas (1996)
3.
Ozawa et al. (1996)**
58.00
23.00
77.55
4.
Bujang (2011)
30-45
-
84.24
5.
Mishima et al. (2011)
50.00
6
Penelitian saat ini (2012)
51.53
80.03 21.53
79.55
* dihitung dari empulur sagu dengan kandungan pati 66.71% (bk) dan serat 33.29% (bk)
** dalam Linggang et al. (2011)
149
Lampiran 7
Komposisi media Mandel dan Weber; dan pengukuran sel T. reesei
7.1 Komposisi media Mandels dan Weber No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Bahan
Jumlah (g/L)
Urea (NH4)2SO4 KH2PO4 CaCl2 2H2O MgSO4 7H2O Pepton Yeast extract Trace element FeSO4 7H2O MnSO4 4H2O ZnSO4 7H2O CoCl2 6H2O
0.3 1.4 2.0 0.4 0.3 0.75 0.25 (mg/L) 5 1.6 1.4 20.0
Sumber: Mandels dan Weber (1969)
7.2. Pengukuran sel T. reesei
X
A
B
Hiphae and Spore of T. reesei (2.5 x 40)
Conidia diameter of (spora) B is : x/y x 25 µm, where X = 0.47” Y = 2.36”,
y
Calibration scale (2.5 x 40) (25µm)
0.47”/2.36” x 25 µm = 4.98 µm
36
150
Lampiran 8 Perhitungan-perhitungan yang digunakan 8.1 Perhitungan efisiensi ekstraksi Kandungan empulur batang sagu: Pati 66.71 %, dan serat 33.29% (basis kering) (Peristiwati et al. 2011) Kandungan pati pada ampas sagu 51. 53% (serat/lignoselulosa = 42.48%), maka efektifitas ekstraksi : % Pati pada serat : 51.53% x 0.3329 = 17.15%, maka % Pati total
: 66.71% +17.15% = 83.86 %
Efisiensi ekstraksi pati = (66.71/83.86) x 100% = 79.55 %
8.2 Perhitungan Rendemen (%) pretreatment Rendemen dihitung menggunakan persamaaan: B Rendemen (%) = x 100%
……………
(1)
A Keterangan : B = Berat bahan setelah pretreatment A = Berat bahan sebelum pretreatment
8.3 Peningkatan selulosa setelah pretreatment Peningkatan konsentrasi selulosa dalam residu ampas sagu dihitung dengan persamaan: B - A Peningkatan konsentrasi selulosa =
x 100% .................(2)
A Keterangan : B = konsentrasi selulosa setelah perlakuan awal A = konsentrasi selulosa bahan awal
8.4 Perhitungan rendemen pati (pretreatment) Ampas sagu 4% (b/v): -
Pati teoritik: 0.5153 x 40g/L = 20.61g/L
-
Pati hasil pretreatment (A)
Rendemen
= 17.98 g/L
= 17.98/20.61 x 100% = 87.24%
151
Tabel hasil perhitungan rendemen pati setelah proses pretreatment Pati (g/L)
Rendemen (%)
17.98
87.24
B (Na2CO3 0.25 M)
0.57
2.77
C (NaOH 0.25 M)
0.39
1.89
D (H2SO4 0.25 M)
0.02
0.09
Perlakuan A (Akuades)
8.5 Konversi pati jadi total gula Konversi = % fraksi reaktan yang dikonversi jadi produk
....................(3)
[total gula]/BM Glukosa (unit) Konversi =
x 100% [pati]/ BM unit Pati 20.237/180
=
x 100% = 88.19% 20.61/162
8.6 Koversi glukosa sampel jadi gula pereduksi pada hidrolisis ampas sagu dengan H2SO4 0.24 M Konversi = % fraksi reaktan yang dikonversi jadi produk Konversi pati menjadi glukosa secara teoritik untuk masing-masing sampel [Pati] = 0.9 x [glukosa] [glukosa] = [pati] /0.9 Pati ampas sagu 2% = 20 g/L x 51.53 = 10.306 gr/L Glukosa ampas sagu 2% = 10.306 /0.9 = 11.45 g/L Konversi gula pereduksi ampas sagu 2% (Tabel 12) = (10.86/11.45 ) x 100% = 94.85%
152
8.7 Perhitungan molaritas H2SO4 yang dibutuhkan pada konversi pada konsentrasi ampas sagu yang berbeda-beda dari hasil pengukuran gula pereduksi hidrolisat. Perlakuan (Ampas Sagu)
Pati AS (%)
2% 4% 6% 8% 10% 20% 30%
Gula pereduksi (hidrolisat)
Glukosa (teoritik)
1.03 2.06 3.09 4.12 5.53 10.31 15.46
11.45 22.89 34.35 45.78 57.25 114.5 171.77
Molaritas H2SO4
10.86 18.01 25.78 32.77 40.67 76.684 114.87
0.264 0.318 0.333 0.349 0.352 0.368 0.374
Konversi (%) 100 100 100 100 100 100 100
Pati ampas sagu teoritik = Perlakuan (%) x 51.53 Glukosa teoritik dari perlakuan = Pati ampas sagu teoritik/ 0.9 Gula pereduksi hidrolisat = - 2% - 10%, dari penelitian - 20% dan 30%, dari forecasting menggunakan persamaan garis regresi, data gula pereduksi perlakuan 2% - 10% (Y = 3.719 X + 3.304) Kurva standar:
45
y = 3.719x + 3.304 R2 = 0.9997
Gula pereduksi (g/L)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
12
Am pas Sagu (%)
Perhitungan mendapatkan molaritas H2SO4 dengan konversi 100%: (Glukosa teoritik (g/L)/ gula pereduksi hidrolisat (g/L)) x 0.25 M (H2SO4)
153
Lampiran 9 Data penelitian konversi selulosa ampas sagu menjadi glukosa 9.1 Pretreatment ampas sagu secara low steam treatment No 1 2 3 4 5 6
Pretreatment
I
A (110 oC 1.41 atm 20 menit) B (110 oC 1.41 atm 30 menit) C (110 oC 1.41 atm 40 menit) D (120 oC 1.69 atm, 20 menit) E (120 oC 1.69 atm, 30 menit) F (120 oC 1.69 atm, 40 menit)
Rendemen (%) II
rerata
39.65247
38.82455
39.22
0.585431
38.95109
36.74251
37.85
1.561697
37.25813
35.56522
36.41
1.197069
36.89103
38.56222
37.73
1.181709
37.36471
36.04419
36.7
0.933747
37.34426
33.42438
35.38
2.771771
9.2 Pola pertumbuhan T. reesei pada residu selulosa ampas sagu Sampling (jam) 0 24 48 72 96 120 144 168
Protein sel (g/L)
Glukosa (g/L)
0.1698 0.1717 0.2260 0.2670 0.3097 0.3452 0.3921 0.3953
0.113 0.113 0.113 0.113 0.113 0.215 0.296 0.255
9.3 Pola pertumbuhan T. reesei pada selulosa mikrokristalin Sampling (jam) 0 24 48 72 96 108 120
Stadev
Protein sel (g/L)
Glukosa (g/L)
0.0134 0.0268 0.0250 0.0412 0.1180 0.3880 0.3872
0.230 0.230 0.230 0.230 0.335 0.516 0.435
154
9.4 Protein sel mikroba pada kultivasi substrat residu selulosa ampas sagu Sampling (jam) 0 24 48 72 96 120 144 168 192
A (g/L) 0.1820 0.2210 0.2684 0.2812 0.2949 0.3398 0.3700 0.3805 0.3594
B (g/L) 0.1271 0.3338 0.4061 0.4925 0.5269 0.5150 0.5340 0.5810 0.5800
9.5 Aktivitas selulase pada kultivasi substrat residu selulosa ampas sagu Sampling 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216
A (unit/mL) 0.0266 0.0295 0.0454 0.0494 0.0528 0.0574 0.0619 0.0629 0.0638 0.0562
B (unit/mL) 0.026 0.0248 0.0276 0.0388 0.042 0.0477 0.0497 0.0505 0.0454
9.6 Pembentukan glukosa pada kultivasi substrat residu selulosa ampas sagu Sampling (jam) 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216
A (g/L) 0.246 0.153 0.153 0.153 0.153 0.153 0.268 0.274 0.301 0.274
B (g/L) 0.216 0.153 0.153 0.153 0.153 0.153 0.153 0.153 0.263 0.263
155
Lampiran 10. Data penelitian proses fermentasi dua jenis substrat hidrolisat ampas sagu menjadi bioetanol 1) Substrat hasil hidrolisis ampas sagu metode hidrotermal-enzimatik (A3 20%). 2) Substrat hasil hidrolisis ampas sagu metode H2SO4 0.25 M (D 20%).
10.1 Gula pereduksi Kandungan gula pereduksi selama proses fermentasi bioetanol dari dua substrat hidrolisat ampas sagu
No
Sampling (Jam)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 12 24 36 48 60 72 84 96
Gula pereduksi (g/L) A3 20% D 20% (hidrotermal(H2S04 0.25 M) enzimatik) 89.43 101.52 78.20 87.32 68.36 71.76 63.33 63.26 53.52 58.72 45.32 50.05 38.86 46.80 30.98 43.39 23.96 42.12
10.2 Biomassa Biomassa S. cerevisiae selama proses fermentasi bioetanol dari dua substrat hidrolisat ampas sagu
No
Sampling (jam)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 12 24 36 48 60 72 84 96
Biomassa (g/L) A3 20% D 20% (hidrotermal(H2S04 0.25 M) enzimatik) 1.00 1.08 1.92 1.42 2.67 2.75 2.70 2.76 2.75 2.78 2.75 2.77 2.66 2.68 2.55 2.57 2.43 2.50
156
10.3 CO2 (mL/12 jam) Produksi CO2 selama proses fermentasi bioetanol dari dua substrat hidrolisat ampas sagu Akumulasi CO2 (ml) No
Sampling (jam)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 12 24 36 48 60 72 84 96
A3 20% (hidrotermalenzimatik) 0.0 160.0 362.0 447.0 512.5 556.5 594.5 618.5 636.5
D 20% (H2S04 0.25 M) 0 128 336 408 453 493 527 555 573
10.4 Kadar Etanol (specific gravity) Produksi etanol selama proses fermentasi bioetanol dari dua substrat hidrolisat ampas sagu Etanol (%) No
Sampling (jam)
1 2 3 4 5
0 24 48 72 96
10.5
A3 20% (hidrotermalenzimatik) 0 1.16 1.83 2.17 2.82
D 20% (H2S04 0.25 M) 0 1.07 1.67 1.93 2.65
Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi Yp/s, Yx/s, dan Yp/x (Wang et al. 1979): ∆P
Yp/s =
(P- Po) =
∆S
(So-S)
∆X
(X – Xo)
Yx/s =
= ∆S
(So – S)
………….
(1)
…………..
(2)
157
∆P Yp/x =
(P – Po) …………. (3)
= ∆X
(X –Xo)
(i) Substrat: Hidrolisat hidrotermal enzimatik (A3 20%) Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72 84 96
Biomassa X (g/L) 1 1.9167 2.6667 2.7 2.75 2.7533 2.66 2.5467 2.4333
X-Xo 0 0.9167 1.6667 1.7 1.75 1.7533 1.66 1.5467 1.4333
Substrat S (g/L) 89.4331 78.1995 68.3581 63.3339 53.5171 45.324 38.8633 30.9823 23.9633
So-S
Produk P (g/L)
0 11.2336 21.075 26.0992 35.916 44.1091 50.5698 58.4508 65.4699
P-Po
0
0
11.6
11.6
18.3
18.3
21.7
21.7
28.2
28.2
(ii) Substrat: Hidrolisat menggunakan H2SO4 0.25 M (D 20%) Waktu sampling (jam) 0 12 24 36 48 60 72 84 96
Biomasa X (g/L) 1.0833 1.4167 2.7499 2.7607 2.7833 2.7667 2.6833 2.6667 2.5
X-Xo 0 0.3334 1.6667 1.6773 1.7 1.6833 1.6 1.5833 1.4167
Substrat S (g/L)
So-S
101.5198 87.3199 71.7599 63.2599 58.7176 50.0498 46.7999 43.3832 42.1071
0 14.1999 29.7599 38.2599 42.8022 51.47 54.7199 58.1366 59.4127
Produk P (g/L)
P-Po
0
0
10.7
10.7
16.7
16.7
19.3
19.3
26.5
26.5
10.6 Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh dengan membagi selisih nilai gula pereduksi awal (A) dan gula pereduksi akhir fermentasi (B) dibagi dengan nilai gula pereduksi awal contoh tersebut. Nilai gula pereduksi diukur dengan menggunakan metode DNS . (B – A) Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%) =
x 100% A
158
Lampiran 11 Neraca massa hidrolisis ampas sagu secara hidrotermal-enzimatik Proses hidrotermal 115 oC selama 15 menit dalam autoclave
M ampas sagu 60 g
Pencampuran (Ampas Sagu 6%)(b/v)
M akuades 953.19 g
Hidrolisis ( 115oC selama 15 menit) M 1013.19 g Penyaringan
Hidrolisat M 960.19g
M Ca(OH)2 0.5 N 12.96 g
alfa amilase 0.1125 g
Residu ampas sagu Basah M 53.0 g
M air 800 g
Pencucian
Penetralan (pH 6.0-6.5)
Pengeringan (60oC 24 jam)
Liquifikasi (90oC, pH 6.2, 3jam)
Resdiu lignoselulosa Ampas Kering M 23.92 g
Hidrolisat liquifikasi M 973.26 g M HCl 0.25 N 8.1 g Glukoamilase 0.1264 g
Sakarifikasi (60oC pH 4.5, 48 jam) M 981.49 g
Penyaringan dan Pendidihan M karbon aktif 2.84 g
M residu + air 14.72 g
Penjernihan (bleaching M 969.67 g Penyaringan
M karbon aktif + air 9.7 g
M 959.97 g Pemekatan ( 3.33 x)
Hidrolisat ( gula 10%) M 288.28 g Keterangan : M = massa
M air 671.69 g
M air cucian 761.2 g
M air 67.88 g
159
Lampiran 12 Neraca massa hidrolisis ampas sagu dengan H2SO4 0.25 M
M ampas sagu 60 g
Pencampuran Ampas sagu (6%)(b/v)
M H2SO4 0.25 M 915.33 g
Hidrolisis (115oC 15 menit) M 975.33 g Residu ampas sagu basah M. 52.5g
Penyaringan
M air 800 g Hidrolisat (M 922.83.14 g)
M NH4OH 3 N 88.68 g
Penetralan (pH 6.5)
Pencucian
Pengeringan (60oC 24 jam)
M 1011.5 g M residu + air 20.23 g
Penyaringan M 991.27 g
M karbon aktif 2.97 g
Residu Lignoselulosa Kering ( M 17.65 g)
Penjernihan (bleaching) M 994.24 g Penyaringan
M karbon aktif + air 9.94 g
M 984.30 g
Pemekatan (3.33 x)
Hidrolisat Gula ( ±10%) M 295.59 g
Keterangan : M = massa
M air 686.03 g
M air cucian 788.9 g
M air 45.88 g
160
Lampiran 13 Komponen dalam perhitungan nilai tambah hidrolisat ampas sagu
13.1 Harga pasaran bahan tambahan Harga Pasaran Bahan Tambahan Bahan Kimia * Nama Bahan Satuan Kuantitas HCl L 1 Batubara (C-aktif) kg 1 Ca(OH)2 kg 1 Bahan Enzim ** Nama Enzim Satuan Kuantitas Enzim α amilase gram 500 Enzim glukoamilase gram 500
Harga (Rp) 15 000.00 500.00 4 000.00 Harga (Rp) 50 000.00 50 000.00
Sumber : * Bratachem (2012) (survey kelapangan; kota Bogor) ** Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (2012)
13.2
Kebutuhan bahan tambahan
Kebutuhan Bahan Tambahan Kebutuhan Bahan pada Hidrolisis Enzim Biaya/hari Nama Enzim Satuan Kuantitas Biaya/tahun (Rp) (Rp) Enzim α amilase gram 67 643 6 764 300 2 029 290 000 Enzim glukoamilase gram 92 194 9 219 400 2 765 820 000 C-aktif kg 503 251 488 75 446 400 Ca(OH)2 kg 42 166 372 49 911 600 HCl L 14 210 735 63 220 500 TOTAL 16 235 188 4 983 688 500
161
13.3 Biaya energi dan air Biaya Energi No.
Deskripsi
Biaya/bulan (Rp)
Biaya/tahun (Rp)
1
Biaya Listrik dan Air
30 559 900
366 718 800
2
Bahan bakar Total
49 500 000
594 000 000
80 059 900
960 718 800
13.4
Biaya tenaga kerja langsung
Tenaga Kerja Langsung Jumlah Gaji/hari No. Deskripsi (orang) (Rp) 1 Operator alat produksi 35 65 000 2 Petugas Pemeliharaan 5 75 000 4 Supir 2 65 000 Sub Total 42
Gaji/tahun (Rp) 682 500 000 112 500 000 39 000 000 834 000 000
13.5 Perhitungan HOK/ Thn HOK/ Thn = Jumlah pegawai terlibat langsung x hari kerja = 42 x 300 = 12 600
13.6 Nilai (sumbangan) input lain (Rp/kg) Nilai input lain = (Nilai bahan tambahan + nilai energi) / kg bhn baku (Rp/kg) = (Rp 4 983 688 500 + Rp 960 718 800) / 12 492 000 = 475.86
162
Lampiran 14 Perhitungan nilai tambah ampas sagu menjadi hidrolisat dan byproduct residu selulosa ampas sagu dengan kenaikan input lain sebesar 10% No
Peubah
Formula
Hitungan
I. Output, input, dan harga 1
Total produk (kg/thn)
A
15 274 200.00
2
Total by-product (kg/thn)
B
1 249 200.00
3
Bahan baku (kg)
C
12 492 000.00
4
Tenaga kerja (HOK/thn)
D
12 600
5
Faktor konversi produk
E= A/C
1.22
6
Faktor konversi by-product
F= B/C
0.1
7
Koefisien tenaga kerja
G=D/C
0.001
8
Harga produk (Rp/kg)
H
835
9
Harga by-product (Rp/kg)
I
500
10
Upah rerata tenaga kerja (Rp/HOK)
J
72 810
II. Pendapatan dan Keuntungan 11
Harga bahan baku (Rp/Kg)
K
165
12
Sumbangan input lain (Rp/kg )
L
523.44
13
Nilai Produk (Rp/kg)
14
Nilai by-product (Rp/kg)
N=FxI
50.00
15
a. Nilai tambah (Rp/Kg)
O = (M+N)-K-L
382.21
b. Rasio nilai tambah (%)
P = O/(M+N) x 100%
35.70
c. Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg )
Q=GxJ
73.44
b. Bagian tenaga kerja (%)
R = (Q / O) x100%
19.21
S=O-Q
308.77
T = S /(M+N) x 100%
28.84
16
17
M=ExH
a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat Keuntungan (%)
1 020.65
III. Balas Jasa Faktor Produksi 14
Marjin (10-8)
V = (M+N) - K
a. Pendapatan tenaga kerja (%) b. Sumbangan input lain (%)
W = Q/V x 100% X = L/V x 100%
57.80
c. Keuntungan perusahaan (%)
Y = S/V x 100%
34.09
Keterangan: Bj hidrolisat 1.01828
905.65 8.11
163
Lampiran 15. Dokumentasi penelitian 15.1 Persiapan Bahan Ampas Sagu
Sampel ampas sagu di lapangan
Penyemuran sampel ampas sagu
Pengecilan ukuran (hammer mill)
Sampel ampas sagu (KA ± 12%)
164
15.2 Proses Fermentasi Bioetanol dari Hidrolisat Ampas Sagu
Proses produksi bioetanol