KEEFEKTIFAN AMPAS SAGU SEBAGAI BIOSORBEN UNTUK MENGADSORPSI ION TIMBAL (PB) Khafidatul Hikmah Lestaluhu Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Jln. Perintis Kemerdekaan km 10 ABSTRAK Pesatnya pembangunan dan penggunaan dari berbagai bahan baku logam berdampak negatif, yaitu munculnya kasus pencemaran yang melebihi ambang batas sehingga dapat meresahkan warga yang tinggal di sekitar daerah perindustrian. Logam berat bersifat racun dan sering mencemari lingkungan. Salah satunya adalah timbal (Pb). Salah satu metode yang murah dan aman bagi lingkungan adalah dengan metode biosorpsi yakni dengan memafaatkan material biologis seperti ampas sagu. Proses pembuatan adsorben ini dilakukan dengan menimbang ampas sagu sebanyak 20 gram, kemudian dimasukan kedalam oven dengan suhu 80˚C, setelah itu ampas sagu dihaluskan dan diayak untuk mendapatkan ukuran partikel antara 100-200 mesh. Oleh karena itu di tugas akhir ini membahas tentang pengaruh waktu kontak optimum (menit) dan kapasitas optimum (ppm) pada ampas sagu sebagai biosorben. Diperoleh waktu kontak optimum terjadi pada waktu 20 menit dengan kadar ion Pb (II) yang teradsorpsi sebesar 0,41 mg/g. Kemudian kapasitas biosorpsi optimum ion Pb (II) terjadi pada konsentrasi 400 ppm dengan kadar Pb (II) yang teradsorpsi sebesar 5,28 mg/g. Kata kunci : Keefektifan Ampas Sagu, adsorpsi ion Pb ABSTRACT The rapid development and use of various raw materials metal negative impact, namely the emergence of cases of contamination that exceed the threshold so as to disturbing residents who live around the industry. Heavy metals are toxic and often pollute the environment. One is lead (Pb). Control of heavy metal pollution today still requires a very large regular. One method that is cheap and safe for the environment is by biosorption method is by memafaatkan biological material such as sago waste. According to (Maman, 2009) with the proper treatment, sago dregs can be biosorbent heavy metals. Therefore in this thesis discusses the influence of contact time (minutes) and heavy metal concentrations (ppm) in the dregs sago as biosorbent. Obtained optimum contact time occurs at 20 minutes with the ion concentration of Pb (II) are adsorbed by 0.41 mg / g. Then the optimum ion biosorption capacity of Pb (II) occurs at a concentration of 400 ppm with Pb (II) are adsorbed by 5.28 mg / g. Key words : effectiveness sago pulp, ion adsorption Pb.
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan terpisah dari bendabenda yang bersifat logam. Logam tersebut digunakan untuk membuat alat-alat perlengkapan rumah tangga, seperti sendok, garpu, pisau, dan berbagai jenis alat perlengkapan lainnya sampai pada tingkat perhiasan mewah, seperti emas, perak, dan logam mulia (Agustina, 2011). Pesatnya pembangunan dan penggunaan berbagai bahan baku logam bisa berdampak negatif yaitu munculnya kasus pencemaran yang melebihi ambang batas, sehingga mengakibatkan kerugian dan meresahkan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perindustrian. Hal ini
terjadi karena sangat besarnya risiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang bersifat toksik dalam dosis atau konsentrasi tertentu (Widowati, 2008). Pencemaran logam berat merupakan isu yang sudah lama tersebar di masyarakat luas. Pada kenyataannya pencemaran logam berat merupakan hal yang sangat berbahaya, baik bagi tubuh maupun bagi lingkungan. Zat logam berat bersifat racun dan sering mencemari lingkungan salah satunya ialah timbal (Pb) (Sanjaya, 2012). Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi mahkluk hidup karena bersifat karsinogenik yaitu dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu 1
lama dan toksisistasnya tidak berubah. Pb dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi manusia seperi padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya sumber Pb ke perairan (Palar, 1994). Pengendalian pencemaran yang berkaitan dengan limbah industri, khususnya logam berat, mempunyai beberapa motivasi dilihat dari kondisi lingkungan tempat sumber pencemar berada. Lingkungan yang sudah terlanjur rusak akan sangat sulit dipulihkan seperti semula, sedangkan untuk memulihkannya diperlukan biaya yang sangat besar (Kristanto, 2004). Salah satu metode untuk mengurangi limbah pencemaran adalah dengan metode absorpsi, misalnya dalam pengolahan air limbah karbon aktif yang digunakan sebagai absorben berfungsi untuk menyisihkan rasa, bau, atau warna. Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair. Bahan yang dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan bahan tersebut. Keberhasilan proses adsorpsi ditentukan oleh pemilihan sifat absorben. Absorben yang digunakan harus memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Di antaranya mempunyai daya serap yang besar terhadap solut, zat padat yang mempunyai luas permukaan yang besar, tidak larut dalam zat cair yang akan diabsorpsi, tidak beracun dan mudah didapat, serta memiliki harga yang relatif murah (Cahyaratri, 2009). Limbah pemprosesan pohon sagu, khususnya ampas sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya sebagian kecil digunakan sebagai pakan ternak.
Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan yang tepat. Kandungan pati yang terdapat dalam empelur sagu hanya 18,5% dan sisanya 81,5% merupakan ampas sagu. Kandungan empelur tanaman sagu perpohon mencapai 1 ton (1000 kg), sehingga bisa didapatkan 815 kg ampas sagu. Kandungan serat kasar (SK) ampas sagu mencapai 28,30%, sedangkan kandungan proteinnya hanya 1,36% (hasil analisis Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNDIP dalam Tampoebolon, (2009)). Penelitian sebelumnya (Maman, 2009), menunjukan bahwa ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai karbon aktif. Hal ini menunjukkan bahwa ampas sagu berpotensi sebagai biosorben logam berat. TINJAUAN PUSTAKA Logam Berat Logam berat adalah sejumlah elemen logam yang memiliki karakteristik spesifikasi graviti yang sangat besar (lebih dari 4), nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan aktinida, dan mempunyai respon biokimia khas pada organisme hidup (Palar, 2008). Menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni dan Co, sedangkan bersifat toksik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Dalam perairan biasanya logam berikatan dengan senyawa kimia dalam bentuk logam ion yang bergantung pada kompartemen tempat logam tersebut berada. Tingkat kandungan logam pada setiap kompartemen sangat bervariasi bergantung pada lokasi jenis kompartemen dan tingkat pencemarannya. Tingkat konsentrasi logam berat dalam air dibedakan menurut tingkat pencemarannya, yaitu polusi berat, polusi sedang, dan non polusi (Darmono, 2008).
2
Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh makhluk hidup logam diabsorpsi oleh darah berikatan dengan protein darah kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ detoksifikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akibat yang ditimbulkan oleh toksisitas logam dapat mengakibatkan kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolism) (Darmono, 2008). Menurut Darmono (2008), ada lima logam yang berbahaya pada manusia yaitu Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), dan Besi (Fe). Selain itu, ada 3 logam yang kurang beracun, yaitu Tembaga (Cu), Selenium (Se), dan Seng (Zn). Timbal Timbal adalah logam lunak kebiruan atau kelabu keperakan yang lazim terdapat dalam kandungan endapan sulfit yang tercampur mineral-mineral lain terutama seng dan tembaga. Timbal mempunyai nomor atom terbesar dari semua unsur yang stabil, yaitu 82 dengan berat atom 207,2. Titik leleh timbal adalah 1740 ˚C dan memiliki massa jenis 11,34 g/cm3. Penggunaan Pb terbesar adalah dalam industri baterai kendaraan bermotor seperti timbal metalik dan komponen-komponennya. Timbal digunakan pada bensin untuk kendaraan, cat dan pestisida. Pencemaran Pb dapat terjadi di udara, air, maupun tanah. Pencemaran Pb merupakan masalah utama, tanah dan debu sekitar jalan raya pada umumnya telah tercemar bensin bertimbal selama bertahun-tahun (Sunu, 2001). Toksisitas Timbal Keracunan dapat berasal dari timbal dalam mainan, debu ditempat latihan menembak, pipa ledeng, pigmen pada cat, abu dan asap dari pembakaran kayu yang dicat, limbah tukang emas, industri rumah, baterai
dan percetakan. Makanan dan minuman yang bersifat asam seperti air tomat, air buah apel dan asinan dapat melarutkan timbal yang terdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Sehingga makanan dan minuman yang terkontaminasi ini dapat menimbulkan keracunan. Bagi kebanyakan orang, sumber utama asupan Pb adalah makanan yang biasanya menyumbang 100-300 ug per hari (Palar, 2008). Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut mulai timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya senyawa timbal yang larut dalam asam. Gejala lain yang sering muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yan berwarna putih seperti susu karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Tinja penderita berwarna hitam karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat mencakup peralisis beberapa kelompok otot sehingga menyebabkan pergelangan tangan terkulai dan pergelangan kaki terkulai. Sagu Limbah pemrosesan pohon sagu, khususnya ampas sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya sebagian kecil digunakan sebagai pakan ternak. Padahal, potensinya cukup besar, utamanya di Irian Jaya, Sulawesi dan Sumatera. Indonesia adalah Negara yang memiliki areal tanaman sagu (Metroxylon sp.) terbesar di dunia hingga 1.2 juta ha. Di Indonesia luas areal tanaman sagu mencapai 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia (Deptan, 2009). Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati sagu industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat
3
(ampas), kulit batang sagu dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasarkan bobot total balak sagu (Cahyani, 2009). Komponen Kimia Sagu Dan Ampas Sagu Komponen yang paling dominan dalam aci sagu adalah pati (karbohidrat). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhtumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap 100 gram aci terdiri dari 355 kal kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto, 2000). Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin. Rasio amilosa akan mempengaruhi sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap lebih banyak air (higroskopis). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1-4)α – glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai ikatan (1-6)α glukosa seperti yang disajikan bercabang (Wiranatakusumah, 2000). Komposisi kimia pati sagu terdiri atas karbohidrat 82,8-84,9 %, kelembaban 12,8-17,28 %, lemak 0,11-0,28 %, protein 0,03 %, abu 0,150,28 %, dan senyawa lain 1,18-1,64 %. Kandungan pati yang terdapat dalam empelur sagu hanya 18,5% dan sisanya 81,5% adalah ampas sagu. Kandungan empelur tanaman sagu perpohon mencapai 1 ton (1000 kg), sehingga bisa didapatkan 815 kg ampas sagu. Kandungan serat kasar (SK) ampas sagu mencapai 28,30%, sedangakan kandungan proteinnya hanya 1,36%. Adsorpsi Salah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar dari air limbah adalah adsopsi (Sukarta, 2008). Adsorpsi adalah kemampuan menempel suatu zat pada permukaan, sedangkan kemampuan suatu zat untuk melepaskan diri dari permukaan
disebut dengan desorpsi. Bagian yang menempel disebut sorbet, sedangkan bagian tempat menempel atau terikat disebut dengan adsorben. Dengan selektivitasnya yang tinggi, maka proses adsorpsi sangat berpotensi digunakan untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Sedangkan, absorbsi adalah proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas dengan cara pengikatan bahan tersebut pada permukaan absorben cair yang diikuti dengan pelarutan. Biosorpsi Saat ini para ilmuwan maupun pemerhati lingkungan dihadapkan pada tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan tehnologi yang murah dan ramah lingkungan dalam mengolah limbah. Hal ini bertujuan melindungi masalah lingkungan yang lebih serius di masa yang akan datang. Masyarakat umum juga harus ikut peduli memelihara lingkungan dari risiko pencemaran yang diakibatkan oleh logam berat. Tindakan awal yang dapat dilakukan adalah memusatkan pembuangan limbah berupa logam berat pada tempat yang sesuai dan menjauhkannya dari komunitas manusia, melakukan pemeriksaan sedini mungkin sebelum terjadinya penyakit epidemik yang disebabkan oleh logam berat (Musrawati, 2009). Oleh karena alasan ini maka diperlukan metode baru yang potensial untuk menghilangakan logam berat, yaitu biosorpsi. Metode ini disebut demikian karena memanfaatkan material biologi untuk mengadsorpsi ion logam berat. Metode ini dapat digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung logam baik pada konsentrasi rendah mapun medium. Keuntungan metode biosorpsi adalah dapat digunkan pada kondsi dengan ranah yang cukup luas (pH, temperatur, konsentrasi logam dan adanya ion logam lain dalam larutan) dan keuntungan lain memicu banyaknya metode biosorpsi yang digunakan. Metode yang dipakai untuk biosorpsi disesuaikan dengan kapasitas biosorben dan dapat ditentukan
4
melalui
isothermal
adsorpsi
METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian
(Musrawati, 2009). 2. Bahan -Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : a) Ampas sagu, Larutan Pb(NO3)2 ,HNO3, Akuades 3.3 Preparasi Biosorben Ampas sagu diperoleh dari kegiatan pengolahan industri rumah tangga sagu di kota Tidore. Ampas sagu yang diambil segera dicuci dengan air mengalir selama 2-3 jam untuk menghilangkan kotoran dan partikel-partikel lain. Pencucian dilanjutkan dengan menggunakan akuades. Ampas sagu selanjutnya ditiriskan, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 80˚C.
Gambar : 3.1 Kerangka Penelitian 3.2 Alat dan Bahan yang digunakan 1. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : a) Shaker, magnetic stirrer, Oven, alat-alat gelas kimia, timbangan digital (ohaus), Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
dan diencerkan dengan akuades sampai 1000 ml. 3.5 Penentuan waktu kontak optimum ion Pb Sebanyak satu gram ampas sagu yang telah dihaluskan (ukuran saring tertentu) dimasukkan ke dalam tiap 50 ml larutan Pb mgl-1 dan pH 5. Kemudian campuran diaduk dengan magnetic stirer selama 20 menit. Selanjutnya disaring dan sisa ion Pb dalam larutan ditentukan dengan mengguanakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Percobaan kemudian diulangi dengan variasi waktu pengadukan 20, 40, 60, 80, dan 100 menit. Waktu kontak optimum
Setelah itu, ampas sagu dihaluskan dan diayak untuk mendapatkan ukuran partikel antara 100-200 mesh kemudian disimpan dalam desikator, dan digunakan dalam percobaan biosorpsi. 3.4 Pembuatan larutan baku Pb Latutan baku Timbal (Pb) 1000 ppm dibuat dengan cara menimbang 1,00 gram Pb(NO3)2, kemudian ditambahkan HNO3 1% dan dilarutkan dalam akuades hingga 1000 ml. Larutan Pb 10 ppm diperoleh dengan memipet 10 ml larutan Pb 1000 ppm
yang diperoleh selanjutnya dipakai pada penentuan kapasitas biosorpsi. 3.6 Penentuan kapasitas biosorpsi ion Pb Kapasitas biosorpsi ditentukan dengan cara memasukan satu gram ampas sagu ke dalam tiap 100 ml larutan Pb dengan konsentrasi 100 mgl-1. Campuran diaduk dengan menggunakan magnetic stiker pada waktu kontak optimum, kemudian disaring. Sisa Pb dalam larutan ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA), 5
kemudian diulangi dengan variasi konsentrasi 100, 200, 300, 400, dan 500 mgl-1.
kontak dalam bentuk persamaan regresi linier : Y = a + bX. Dimana : Y
3.7 Analisa Data Teknik analisis yang digunakan dari hasil pengukuran oleh Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), dibuat grafik hubungan antara serapan dan konsentrasi serta waktu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengggunakan biomassa ampas sagu sebagai biosorben yang digunakan untuk menyerap logam berat ion Pb(II). Parameter yang digunakan untuk menentukan kandungan jumlah ion Pb (II) yang teradsorpsi dengan menggunakan biomassa ampas sagu adalah waktu kontak dan konsentrasi ion Pb(II). Pembacaan kapasitas absorben dan konsentrasi ion Pb(II) dengan menggunakan Spektrofotometer serapan atom (SSA) dengan panjang gelombang 324, 8 nm.
: serapan (mg/ml)
X
: konsentrasi (mg/l)
a
: intersep (perpotongan sumbu X dan Y)
b
: slop (kemiringan garis
4.1 Hasil pengujian waktu kontak optimum ion Pb ole ampas sagu Waktu kontak optimum adsorpsi ion Pb(II) dengan ampas sagu ditentukan dengan banyaknya jumlah serapan ion Pb(II). Penggunaan larutan baku Pb(II) dengan Ph 5. Data hasil pengujian adsorpsi ion Pb(II) oleh ampas sagu dengan variasi waktu kontak dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 : Rata-rata adsorpsi ion Pb(II) terhadap variasi waktu kontak. No
Waktu Kontak (menit)
Berat sampel (gram)
Serapan (nm)
Konsentrasi (ppm)
1 2 3 4 5
20 40 60 80 100
1,0051 1,0073 1,0052 1,0066 1,0043
0,0129 0,0118 0,0108 0,0107 0,0106
8,5008 7,6400 6,8575 6,7792 6,7010
Persamaan regresi linier adsorbs ion Pb(II) untuk variasi waktu kontak yaitu : Y = 0.002 + 0.0013X 1. Hasil perhitungan kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi terhadap variasi waktu kontak a. Untuk waktu kontak 20 menit
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh : Y = 0.002 + 0.0013 X Y=a+bX
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X =
Diketahui : Serapan sampel = 0,0129 nm Berat sampel
Faktor pengenceran = tidak ada
= 1,0051 gr
X =
𝑌−𝑎 𝑏 0.0129−0.002 0.0013
X = 8.384 mg/l
Volume sampel = 50 ml 6
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu :
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu :
K=
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel
X =
𝑌−𝑎 𝑏
K=
0,00834 mg ⁄ml . 50 ml 1,0051 gr
X =
0.0108−0.002 0.0013
X = 6.769mg/l
K = 0.41mg/gr
b. Untuk waktu kontak 40 menit
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu :
Diketahui : K=
Serapan sampel = 0,0118 nm Berat sampel
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel
= 1,0073 gr 0,006769 mg ⁄ml . 50 ml 1,0051 gr
Volume sampel = 50 ml
K=
Faktor pengenceran=tidak ada
K = 0.33 mg/g
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
d. Untuk waktu kontak 80 menit Diketahui :
Y = 0.002 + 0.0013 X
Serapan sampel = 0,0107 nm
Y=a+bX
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X = X
=
Berat sampel
= 1,0066 gr
Volume sampel
= 50 ml
Faktor pengenceran= tidak ada
𝑌−𝑎 𝑏 0.0118−0.002 0.0013
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
X = 7.538 mg/l
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : X . volume larutan . faktor pengenceran
K=
Y = 0.002 + 0.0013 X Y=a+bX
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu :
berat sampel
K =
X =
0,007538 mg ⁄ml . 50 ml 1,0051 gr
X=
K = 0.37 mg/g
0.0107−0.002 0.0013
X = 6.692 mg/l
c. Untuk waktu kontak 60 menit
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu :
Diketahui : Serapan sampel = 0,0108 nm Berat sampel
𝑌−𝑎 𝑏
K=
= 1.0052 gr
Volume sampel = 50 ml Faktor pengenceran = tidak ada Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh : Y = 0.002 + 0.0013 X
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel
0,006692 mg ⁄ml . 50 ml 1,0066 gr
K=
K = 0.33 mg/g
e.
Untuk waktu kontak 100 menit Diketahui : Serapan sampel = 0,0106 nm
Y=a+bX 7
Berat sampel
= 1,0043 gr
X =
Volume sampel = 50 ml
X=
𝑌−𝑎 𝑏
0.0106−0.002 0.0013
X = 6.615 mg/l
Faktor pengenceran ada
=
tidak
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : K=
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel 0,006615 mg ⁄ml . 50 ml
Y = 0.002 + 0.0013 X
K=
Y=a+bX
K = 0.32 mg/g
1,0066 gr
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu :
jumlah ion Pb yang teradsorpsi (nm)
Berdasarkan data hasil analisis biosorpsi ion Pb(II) oleh ampas sagu terhadap variasi waktu kontak, dapat
0.014 0.012 0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 0
0,0129
20
0,0118
40
digambarkan dalam sebuah kurva seperti pada Gambar 4.2.
0,0108
0,0107
0,0106
60
80
100
Waktu kontak (menit)
Gambar 4.2 Grafik Garis jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi terhadap variasi waktu kontak dengan konsentrasi larutan Pb(II) 10 mg-1 dan pH 5.
Pada waktu kontak 20 menit, jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu adalah 0,0129. Namun pada waktu kontak 40 menit, jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi mengalami penurunan, yaitu 0,0118. Penurunan ini berlanjut pada waktu kontak 60 menit, jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu adalah 0,0108. Pada waktu kontak 80 menit, jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu adalah 0,0107. Pada waktu pengadukan 100 menit, ion Pb(II) yang teradsorpsi tetap, yaitu 0,0106. Sehingga waktu kontak optimum untuk mengadsorpsi
ion Pb(II) oleh ampas sagu adalah 20 menit. Pada gambar 4.2 diatas, jumlah serapan paling besar adalah pada awal penyerapan yaitu pada menit ke 20. Sedangkan pada menit-menit berikutnya penyerapan cenderung menurun dan konstan. Hal ini diakibatkan karena kapasitas adsorpsi permukaan biomassa telah jenuh dan telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi Pb(II) dalam biomassa ampas sagu dengan lingkungannya, sehingga penyerapan pada waktu
8
kontak dibawah 60 menit menjadi konstan atau hampir sama.
berdasarkan variasi waktu kontak dapat dilihat pada tabel 4.3, yaitu sebagai berikut :
Untuk kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu Tabel 4.3. Kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi berdasarkan variasi waktu kontak : No
Waktu kontak (Menit)
Konsentrasi Pb(II) dalam larutan (mg/ml)
Kadar Pb(II) yang teradsorpsi (mg/g)
Peresentase kadar (%)
1
20
0,008384
0,41
23,29
2
40
0,007538
0,37
21,02
3
60
0,006769
0,33
18,75
4
80
0,006692
0,33
18,75
5
100
0,006615
0,32
18,18
∑= 0,035919
∑= 1,76
∑= 100
Untuk kadar ion Pb(II) Yang teradsorpsi oleh ampas sagu dengan waktu kontak 20 menit adalah 0,41mg/g. Pada waktu kontak 40 menit, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi adalah 0,37 mg/g. Sedangkan untuk waktu kontak 60, 80, dan 100 kadar ion Pb(II) relativ konstan, yaitu sebesar 0,33 mg/g, 0,33 mg/g, dan 0,32 mg/g. 4.1.1 Hasil pengujian kapasitas optimum absorpsi ion Pb oleh ampas sagu
Kapasitas absorpsi ampas sagu terhadap ion Pb(II) ditentukan dengan variasi konsentrasi larutan pH 5 dan waktu kontak optimum 20 menit. Penggunaan waktu kontak 20 menit didasarkan pada pengujian sebelumnya yang menunjukan bahwa ampas sagu dapat menyerap ion Pb(II) sebanyak 0,0129 pada waktu 20 menit yang merupakan waktu kontak optimum. Jumlah ion Pb(II) yang diadsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi, dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Rata-rata absorpsi ion Pb(II) dengan variasi konsentrasi larutan : No
Variasi konsentrasi (ppm)
Rata –rata serapan
Rata-rata konsentrasi (ppm)
1
100
1,277
30,709
2
200
1,845
44,346
3
300
2,116
50,332
4
400
2,232
53,614
5
500
2,254
54,999
9
Persamaan regresi linier absorpsi ion Pb(II) untuk variasi konsentrasi yaitu :
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X =
𝑌−𝑎 𝑏
X =
1.845−0.0029 0.042
Y = 0.0029 + 0.042X 1. Hasil perhitungan kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi. a. Untuk konsentrasi 100 ppm
X = 0.043mg/l
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu :
Diketahui : Serapan sampel= 1,277 nm Berat sampel
K =
= 1,0023 gr
Volume sampel = 100 ml Faktor pengenceran = tidak ada Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
0.043mg ⁄ml . 100 ml 1,0027 gr
K =
K = 4.28 mg/g
c. Untuk konsentrasi 300 ppm
Y = 0.0029 + 0.042 X
Diketahui :
Y=a+bX
Serapan sampel
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X = X=
𝑌−𝑎 𝑏
1.277−0.0029 0.042
X = 0.030 mg/l
Berat sampel
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel
0.030mg ⁄ml . 100 ml 1,0023 gr
= 2,116 nm
=1,0030gr
Volume sampel = 100 ml Faktor pengenceran
Y = 0.0029 + 0.042 X Y=a+bX
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu :
K=
X =
K = 2,99 mg/g X=
b. Untuk konsentrasi 200 ppm Diketahui : Serapan sampel = 1,845 nm
Volume sampel = 100 ml
K=
Y = 0.0029 + 0.042 X
2.116−0.0029 0.042
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : K=
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
𝑌−𝑎 𝑏
X = 0.050mg/l
Berat sampel = 1,0027 gr
Faktor pengenceran=tidak ada
= tidak ada
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : K=
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel
X . volume larutan . faktor pengenceran berat sampel 0.050mg ⁄ml . 100 ml 1,0030 gr
K = 4.98 mg/g d. Untuk konsentrasi 400 ppm Diketahui : Serapan sampel= 2,232 nm Berat sampel = 1,0029 gr
Y=a+bX
10
Volume sampel
Volume sampel = 100 ml
= 100 ml
Faktor pengenceran = tidak ada
Faktor pengenceran ada
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
=tidak
Dari hasil persamaan regresi linier, diperoleh :
Y = 0.0029 + 0.042 X
Y = 0.0029 + 0.042 X
Y=a+bX
Y=a+bX
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X =
𝑌−𝑎 𝑏
X=
2.232−0.0029 0.042
Sehingga, konsentrasi (X) ion Pb(II) dalam larutan, yaitu : X = X=
X = 0.053mg/l
𝑌−𝑎 𝑏
2.254−0.0029 0.042
X = 0.053mg/l
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : K
Maka, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi, yaitu : =
K=
X . volume larutan . faktor pengenceran
X . volume larutan . faktor pengenceran
berat sampel
berat sampel
K=
0.053mg ⁄ml . 100 ml 1,0030 gr
K=
K = 5.28 mg/g
jumlah ion Pb yang teradsorpsi (nm)
Berat sampel = 1,0040 gr
2.5
1.5
1,0040 gr
K = 5.33 mg/g
e. Untuk konsentrasi 500 ppm Diketahui : Serapan sampel= 2,254 nm
1,845
2
0.053mg ⁄ml . 100 ml
Berdasarkan data hasil analisis absorpsi ion Pb(II) oleh ampas sagu terhadap variasi konsentrasi larutan, dapat dapat digambarkan seperti pada Gambar 4.5.
2,116
2,232
2,254
300
400
500
1,277
1 0.5 0 100
200
konsentrasi (mg/l)
Gambar 4.5. Grafik Garis jumlah ion Pb(II) yang teradsorpsi terhadap variasi konsentrasi larutan Pb dengan waktu 20 menit dan pH 5.
11
Hasil analisis menunjukan bahwa pada konsentrasi 100 ppm, ampas sagu dapat menyerap ion Pb(II) sebanyak 1,277. Pada konsentrasi 200 ppm, kemampuan ampas sagu dalam menyerap ion Pb (II) mengalami peningkatan yaitu 1,845. kemampuan penyerapan ion Pb(II) oleh ampas sagu terus mengalami peningkatan sampai konsentrasi 300 ppm, yaitu 2,116. Namun pada konsentrasi 400 dan 500 ppm kemampuan ampas sagu dalam menyerap ion Pb(II) relativ konstan, yaitu 2,232 dan 2,254. Sehingga kapasitas optimum ion Pb(II) oleh ampas sagu adalah pada konsentrasi 400 ppm. Gambar 4.5 diatas menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi larutan timbal, maka konsentrasi
timbal yang diserap semakin besar. Begitu juga dengan daya serap biomassa ampas sagu akan semakin besar, sampai pada kondisi tertentu. Konsentrasi ion logam berhubungan dengan jumlah sisi aktif yang terdapat pada permukaan biosorben, bila jumlah sisi aktif cukup besar dibanding jumlah ion logam, maka efisiensi penyerapan akan tinggi sampai pada jumlah sisi aktif sama dengan ion logam. Namun pada kondisi tertentu efisiensi akan konstan karena telah terjadi kejenuhan pada material penyerap. Untuk kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu berdasarkan variasi konsentrasi dapat dilihat pada tabel 4.6 yaitu sebagai berikut :
Tabel 4.6 Kadar Ion Pb(II) yang teradsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi : Variasi konsentrasi (ppm)
Konsentrasi Pb(II) dalam larutan (mg/ml)
Kadar Pb(II) yang teradsorpsi (mg/g)
Persentase kadar (%)
1
100
0,030
2,99
13,11
2
200
0,043
4,28
18,78
3
300
0,050
4,98
21,85
4
400
0,053
5,28
23,09
5
500
0,053
5,33
23,31
∑= 0,229
∑= 22,86
∑= 100
No
Untuk kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu dengan konsentrasi 100 ppm adalah 2,99 mg/g. Pada konsentrasi 200 ppm, kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi mengalami peningkatan yaitu sebesar 4,28 mg/g. Peningkatan kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi terus mengalami peningkatan /berturutturut, yaitu pada konsentrasi 300, 400 dan 500 ppm, masing-masing sebesar 4,98 mg/g, 5,28 mg/g, dan 5,33 mg/g.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Waktu kontak optimum ion Pb(II) yang teradsorpsi oleh ampas sagu sebesar 0,0129 dan kadar ion Pb(II) yang teradsorpsi sebesar 0,41 mg/g adalah 20 menit. 2) Kapasitas biosorpsi optimum ion Pb(II) oleh ampas sagu terjadi pada konsentrasi 400 ppm dengan nilai 2,232 dan kadar Pb(II) yang teradsorpsi sebesar 5,28 mg/g.
12
Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis tujukan kepada pihak-pihak yang berhubungan atau terlibat dalam masalah pencemaran lingkungan dalam rangka terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan : 1) Kepada pelaku industri yang menghasilkan limbah, khususnya logam berat, agar lebih meningkatkan kualitas pengelolaan limbahnya, sehingga ketika dibuang ke lingkungan tidak mengakibatkan kerusakan atau pencemaran. 2) Perlu adanya penerapan proses biosorpsi dalam penanganan pencemaran yang disebabkan oleh logam berat, baik terhadap lingkungan yang sudah terlanjur tercemar, maupun pada system pengolahan limbah industri. 3) Diperlukan penelitian yang lebih lanjut mengenai pemanfaatan ampas sagu ini, terutama dalam konteks penyerapan logam berat, tetapi dengan variabel atau jenis logam yang berbeda. 4) Limbah logam yang telah mendapatkan perlakuan biosorpsi, untuk penanganan lanjutan dapat dilakukan proses desorpsi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, (2010). "Kontaminasi Logam Berat Pada Makanan dan Dampaknya Pada Kesehatan". Teknubuga. 2, (2), 53-65. Cahyaratri, (2009). “Adsorpsi Multi Logam Ag(I), Pb(Ii), Cr(Iii), Cu(Ii) Dan Ni(Ii) Pada Hibrida Etilendiamino-Silika Dari Ibu Sekam Padi”. Jurnal Penelitian Saintek. Volume 14, No. 1,
http://eprints.uny.ac.id/12390/, diakses bulan April 2015 Darmono, (2008). Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. . UI Press. Jakarta. pp. 179. Deptan, (2009). “Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial Di Papua”. Jurnal Litbang Pertanian. Volume 26, No. 1, http://pustaka.litbang.pertanian.go. id/publikasi/p3261073. pdf/, diakses bulang April 2015 Haryanto, 2000. “Adsorpsi Logam Berat Pb Dalam Larutan Menggunakan Senyawa Xanthate Jerami Padi”. Prosiding SNST. Semarang : Fakultas Teknik, Universitas Wahid Hasyim Semarang
Jilius, 2010. “Pemanfatan A – Keratin Bulu Ayam Sebagai Adsorpsi Ion Pb Dalam Limbah Tekstil”. PKMP. http://artikel.dikti.go.id/index.php/ PKM-P/article/view/79, diakses bulan April 2015 Junaidi, 2009. “Modifikasi Serat Rayon dengan Teknik Radiasi Sebagai Adsorben Uranium”. Tesis. Depok : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam , Universitas Indonesia Louhenapessy JE. 1998. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam pembangunan) Disampaikan dalam Seminar Berkala pada Pusat Studi Maluku, Unpatti, Ambon. Muller, Z. O. 1997. An Animal Nutritionists View of The Equatorial Swamp. In : Sago – 76 : pp 255-264. Proc . Of First International Sago Symposium. Kuching, Malaysia 5-7 July. Musrawati, 2009. “Akumulasi Pb dan Pengaruh pada Kondisi Daun Swietenia macrophylla King*.
13
Bandung : Bandung.
Institut
Teknologi
Ridhowati, Sherly, S.T.P., M.Sc. 2013. Mengenal Pencemaran Ragam Logam. Yogyakarta : Graha Ilmu Sanjaya, 2012. Pencemaran Lingkungan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Slavin, 1987. Pengaruh Swietenia Bandung Bandung.
“Akumulasi Pb dan pada Kondisi Daun macrophylla King*. : Institut Teknologi
Sukarta, 2013. “Pemanfatan A – Keratin Bulu Ayam Sebagai Adsorpsi Ion Pb Dalam Limbah Tekstil”. PKM-P.
http://artikel.dikti.go.id/index.php/ PKM-P/article/view/79, diakses bulan April 2015 Sunu, 2010. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Widowati, (2008). “Adsorpsi Logam Timbal (Pb) Dengan Menggunakan Biomassa Enceng Gondok (Eichhorniacrassiper)”. JURNAL ENTROPI. VOLUME 8, No. 1, http://repository.ung.ac.id/riset/sh ow/1/184/adsorpsi-logam-timbalpb-dengan-menggunakanbiomassa-eceng-gondokeichhornia-crassipes.html, diakses bulan April 2015
14