PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha
Oleh :
NUR ATIFAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3 :190-191)
Kupersembahkan karya kecil ini untuk para pencinta ilmu yang menginginkan ketinggian derajat hakiki di sisi Allah, Rabb semesta alam
ABSTRAK NUR ATIFAH. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu sebagai Sumber Karbon pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat secara Fed -Batch oleh Ralstonia eutropha. Dibimbing oleh ANI SURYANI, KHASWAR SYAMSU dan LIESBETINI HARTOTO. Mengaitkan isu dampak negatif sampah plastik terhadap lingkungan, potensi pasar bioplastik yang prospektif dan keterbatasan aplikasi bioplastik polihidroksialkanoat (PHA) akibat harganya yang belum kompetitif maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan Ralstonia eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA menggunakan substrat yang relatif murah yang berasal dari tanaman tropis khas Indonesia, yaitu hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp). PHA merupakan suatu polimer dari hidroksialkanoat yang dihasilkan sejumlah mikroba sebagai cadangan karbon dan energi. Akumulasi PHA di dalam sel R. eutropha ditingkatkan dengan menerapkan kultivasi fed-batch (semi sinambung). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi hidrolisat pati sagu yang terbaik bagi pertumbuhan R. eutropha secara batch (curah), mengetahui jenis substrat pengumpan/pembatasan nutrisi yang tepat pada kultivasi fed -batch yang menghasilkan perolehan PHA tertinggi serta mengetahui karakter istik PHA yang dihasilkan. Perlakuan jenis substrat yang dicobakan adalah umpan media lengkap (F1), hidrolisat pati sagu (F2), hidrolisat pati sagu + MgSO 4 (F3) dan hidrolisat pati sagu + MgSO4 + (NH 4)2HPO 4 (F4) dengan kontrol tanpa umpan (batch). Kultivasi fed-batch dengan perlakuan pengumpanan terbaik selanjutnya dilakukan dengan pembatasan aerasi dan tanpa pembatasan aerasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada rentang konsentrasi total gula awal hidrolisat pati sagu 10-50 g/L (labu kocok 250 mL, volume kerja 100 mL), R. eutropha tumbuh paling baik pada konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) tertinggi 0,108/jam. Pada kultivasi batch selama 96 jam (bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L) didapatkan konsentrasi akhir sel, µmaks , Yx/s , Yp/x, Y p/s dan ?S/So berturut -turut sebesar 4,41 g/L, 0,109/jam, 0,15 g sel/g gula, 0,38 g PHA/g sel, 0,06 g PHA/g gula dan 0,99. Jenis substrat pada kultivasi fed-batch berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir PHA dan kadar PHA dalam sel, namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir sel. Pembatasan aerasi pada kultivasi fed -batch tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Kultivasi fed-batch dengan substrat pengumpan hidrolisat pati sagu merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan konsentrasi akhir sel dan PHA tertinggi yaitu sebesar 4,86 g/L dan 3,72 g/L (76,54% dari bobot kering sel). Terdapat indikasi bahwa N, P, Mg, S merupakan nutrisi pembatas sedangkan oksigen bukan merupakan nutrisi pembatas yang signifikan untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha. PHA yang dihasilkan pada penelitian ini diduga termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) dengan titik leleh 163,96 oC dan tingkat kemurnian relatif terhadap PHB standar sekitar 76,6%. Gugus-gugus fungsional penciri khas struktur PHB yang muncul dari hasil analisis FTIR (Fourier Transform Infrared) adalah C=O,-C-O-,-CH 2-,-CH3,-C-C- dan (C-O-C) polimer.
ABSTRACT NUR ATIFAH. The Utilization of Hydrolyzed Sago Starch as Carbon Source in The Production of Polyhydroxyalkanoates by Fed-Batch Culture of Ralstonia eutropha. Under the direction of ANI SURYANI, KHASWAR SYAMSU and LIESBETINI HARTOTO. The problems concerning the global environment and solid waste management caused by petrochemical based plastic disposal wastes have created much interest in the development of biodegradable plastics (bioplastics). Polyhydroxyalkanoates (PHAs) have been considered as one of the most promising bioplastics because of its similar physical properties to petrochemical plastics, biocompatibility and complete biodegradability. PHAs are the polymer of hydroxyalkanoates accumulated as a carbon and energy storage material in various microorganisms, usually under unfavorable growth conditions, such as limitation of N, P, S, Mg, or O2 in the presence of excess carbon source. However, one of the problems hindering commercialization of PHA is its high price. The utilization of hydrolyzed sago starch, an indigenous Indonesian crop, as main cultivation substrate is one effort to reduce the production cost of PHA. This research was conducted to investigate the ability of Ralstonia eutropha to grow and produce PHA on cultivation media containing hydrolyzed sago starch. The accumulation of intracellular PHA was increased by implementing fed-batch cultivations. The fed-batch treatment was the kind of substrate feedings, including complete media (F1), hydrolyzed sago starch (F2), hydrolyzed sago starch + MgSO 4 (F3), and hydrolyzed sago starch + MgSO4 + (NH4)2HPO4 (F4). Limitation of aeration at stationary growth phase was then treated to the best fedbatch cultivation. The characteristics of PHA obtained were analy zed. As the results, R. eutropha grown on hydrolyzed sago starch with initial sugar concentration of 30 g/L showed the best value of maximum spe cific growth rate (µmax) of 0,108 h-1. Kinetic parameters in 96 hour-batch cultivation including the final cell concentration, Yx/s, Yp/x , Yp/s and ?S/So were 4,41 g/L, 0,15 g cell/g sugar, 0,38 g PHA/g cell, 0,06 g PHA/g sugar and 99%, respectively. The kind of feeding substrate on fe d-batch cultivations affected the final PHA concentration and PHA content (P/X) but did not affect the final cell concentration (a = 0,05). Limitation of aeration and its interaction w ith the best fed-batch treatment did not affect the final cell concentration, PHA concentration and PHA content. Feeding with stock solution containing only hydrolyzed sago starch in fed-batch cultivation was the best treatment which resulted in 4,86 g/L of final cell concentration and 3,72 g/L of final PHA concentration (76,54% of cell dry mass). The fed-batch cultivation increased the final PHA concentration more than two folds compared to the batch one. It indicated that N, P, Mg, and S were limiting factors which could increase intracellularly PHA accumulation of R. eutropha but O2 was not. PHA obtained from the experiment was poly-(3-hydroxybutyrate) (PHB) which had melting temperature of 163,96 oC and relative purity compared to the PHB standard of 76,6%. The PHB functional groups identified from FTIR (Fourier Transform Infrared) analysis were C=O, -C-O-, -CH2-, -CH3, -C-C- and (C-O-C).
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha adalah benar merupakan hasil karya sendiri atas arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Oktober 2006
Nur Atifah F351020031
PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON PADA PRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSIALKANOAT SECARA FED-BATCH OLEH Ralstonia eutropha
NUR ATIFAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu sebagai Sumber Karbon pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat secara Fed -Batch oleh Ralstonia eutropha
Nama
: Nur Atifah
NIM
: F351020031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua
Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian : 11 September 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun , baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 16 Juli 1977 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Syamsuddin (alm.) dan Hj. Maswiyah. Penulis melangsungkan pernikahan dengan Hidayat Nasrun, Lc. S.Ag. dan telah dikaruniai dua orang putri, yaitu Syarifa Nurul Izzah dan Syifa Shabreena . Pendidikan sarjana penulis tempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi (sekarang Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan), Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2000 dengan predikat Cum Laude. Penulis pernah bekerja sebagai Penanggung Jawab Praktikum Analisis Mut u Mikrobiologi Pangan dan Sanitasi Pangan pada Program Studi Diploma Supervisor Jaminan Mutu Pangan (SJMP), Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB pada tahun 2000/2001. Sejak bulan April 2001 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan BPPS Dikti tahun anggaran 2002-2005.
PRAKATA
Segala puji hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dengan tema bioplastik dari bakteri dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis yang berjudul “Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu sebagai Sumber Karbon pada Produksi Bioplastik Polihidroksialkanoat secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, Bapak Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, motivasi, arahan dan bantuan finansial yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan tesis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.S. selaku dosen penguji luar komisi yang bersedia menguji dan memberikan masukan dalam penulisan tesis. Terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada suami dan anakanak tercinta, ibunda Maswiyah dan Zainab, Mas Lutfi dan Mbak Nining, beserta keluarga besar ayahanda Syamsuddin (alm.) dan Ahmad (alm.) yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, dorongan dan doa selama pelaksanaan tugas belajar. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan tugas akhir: rekan-rekan di TIP Brawijaya, para laboran di PPSHB (Mbak Peppy, Mbak Emi, Pak Mulya dkk) dan TIP IPB, Teteh Yuli serta teman-teman seperjuangan di berbagai kegiatan studi dan taklim. Atas segala hal yang telah diberikan, Allah-lah sebaik-baik pembalas amal perbuatan. Penulis berharap karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga dengan mengetahui sekelumit hal tentang bioplastik bakteri ini, akan menambah keimanan kita kepada Dzat Yang Maha Pandai, Pencipta dan Pengatur alam semesta, Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Bogor, Oktober 2006 Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv PENDAHULUAN....................................................................................................1 Latar Belakang ................................................................................................. .1 Tujuan.................................................................................................................3 Hipotesis .............................................................................................................4 Ruang Lingkup ..................................................................................................4 Manfaat...............................................................................................................5 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................6 Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp) .................................................................6 Poli(3-Hidroksialkanoat) (PHA) ........................................................................7 Ralstonia eutropha dan Jalur Biosintes is PHB ................................................10 Proses Produksi PHA.......................................................................................14 Proses Hilir PHA..............................................................................................17 Kinetika Kultivasi ............................................................................................18 Kultivasi Fed-batch ..........................................................................................21 METODOLOGI.....................................................................................................23 Metode Penelitian.............................................................................................23 Persiapan Substrat..................................................................................... 23 Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha........................................................26 Kultivasi Fed-batch dengan Pengumpanan Berbagai Jenis Substrat..............27 Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Fed -batch Terpilih ..............................28 Karakterisasi PHA......................................................................................29 Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................................29 Bahan dan Alat.................................................................................................29 Rancangan Percobaan ......................................................................................31
Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................32 Karakterisasi Hidrolisat Pati Sagu....................................................................32 Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha ..............................................................35 Kultivasi R. eutropha pada Labu Kocok 250 mL ......................................35 Kultivasi R. eutropha pada Bioreaktor 2 L ................................................41 Kultivasi Fed-batch ..........................................................................................45 Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultiv asi .................................................................................48 Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi..............................................51 Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Batch dan Fed-batch................................54 Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultivasi..........................................................................................55 Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi .......................................................56 Evaluasi Perlakuan Terbaik .............................................................................58 Karakterisasi PHA............................................................................................60 Sifat Termal PHA.......................................................................................60 Analisis Gugus Fungsional.........................................................................63 Kemurnian Relatif terhadap PHB Standar.................................................68 KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................70 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................72 LAMPIRAN...........................................................................................................78
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Aplikasi praktis PHA.........................................................................................9 2 Karakteristik hidrolisat pati sagu......................................................................32 3 Nilai µmaks R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi gula hidrolisat pati sagu ...........................................................................................37 4 Nilai Y x/s R. eutropha yang ditumbuhkan pada hidrolisat pati sagu................40 5 Parameter kinetika kultivasi batch R. eutropha yang ditumbuhkan pada substrat hidrolisat pati sagu (bioreaktor 2 L) ...................................................45 6 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed-batch ..................................................................48 7 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA di dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed -batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi............55 8
Penentuan jenis ikatan pada pita spektrum FTIR ................................................64
9
Hasil identifikasi spektrum FTIR sampel PHA dari hidrolisat pati sagu ................66
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur kimia PHA............................................................................................8 2 Hasil scanning electron microscope granula PHB pada R. eutropha ..............11 3 Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha , Azotobacter beijerinckii)..................................................................13 4 Skema tahapan umum produksi PHA ..............................................................14 5 Kurva pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch .........................................19 6 Diagram alir penelitian.....................................................................................24 7 Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis ........................25 8 Bioreaktor Biostat M skala 2 L yang digunakan untuk penelitian...................30 9 Pola pertumbuhan R. eutropha secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu (labu kocok 250 mL)........................................36 10 Plot nilai µmaks R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu ...............................................37 11 Pola konsumsi gula R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu ................................39 12 Plot nilai Yx/s R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi total gula (T G) hidrolisat pati sagu ..................................................................40 13 Pola pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada hidrolisat pati sagu (batch, bioreaktor 2 L) ......................................................42 14 Kecepatan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada kultivasi batch ............42 15 Pola dan kecepatan konsumsi gula dalam hidrolisat pati sagu oleh R. eutropha selama kultivasi batch ..................................................................43 16 Laju dilusi pada kultivasi fed-batch.................................................................47 17 Pertumbuhan sel R. eutropha pada kultivasi batch dan fed-batch (bioreaktor 2 L) ................................................................................................49 18 Sel R. eutropha (mikroskop cahaya, perbesaran 1000 kali).............................51 19 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi batch dan fed-batch ...................................................................................................52
Halaman 20 Pertumbuhan sel pada kultivasi batch dan fed-batch dengan tanpa pembatasan aerasi.............................................................................................56 21 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed-batch dengan tanpa pembatasan aerasi......................................57 22 Pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha selama kultivasi batch dan fed-batch ..........................................................................................59 23 Serbuk PHA hasil kultivasi fed-batch R. eutropha dengan s umber karbon hidrolisat pati sagu ...........................................................................................60 24 Spektra DSC PHB standar ................................................................................61 25 Spektra DSC PHA dari pati sagu .....................................................................61 26 Spektra FTIR PHA dari pati sagu ....................................................................65 27 Spektra FTIR PHB standar ...............................................................................65 28 Struktur kimia PHB..........................................................................................67 29 Kromatogram hasil metanolisis PHB standar (menggunakan kromatografi gas) .............................................................................................68 30 Kromatogram hasil metanolisis PHA yang dihasilkan pada penelitian (menggunakan kromatografi gas).....................................................................69
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur analisis...............................................................................................78 2 Contoh penghitungan konsentrasi karbon dan nitrogen...................................81 3
Kurva standar untuk penentuan kadar total gula dengan metode Fenol-Sulfat.........................................................................................82
4 Kromatogram hasil analisis HPLC larutan standar..........................................83 5 Kromatogram hasil analisis HPLC hidrolisat pati sagu ...................................84 6 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultiva si batch (skala labu kocok 250 mL) dengan konsentrasi total gula (TG) awal 10, 20, 30, 40 dan 50 g/L ................................................................85 7 Kinetika kultivasi R. eutropha secara batch pada bioreaktor 2 L ....................86 8 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan komposisi dan volume umpan seperti media awal pada tahap batch (F1)...................................................................87 9 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed-batch dengan umpan hidrolisat pati sagu (F2) ..........................88 10 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu + MgSO 4 (F3) ...........89 11 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu + MgSO 4 + (NH4)2HPO4 (F4) ..............................................................................................90 12 Penghitungan laju dilusi ...................................................................................91 13 Rekapitulasi data data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi batch (tanpa pengumpanan) dan aerasi dihentikan pada fase stasioner (Ao) ...................................................................................................92 14 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu dan aerasi dihentikan pada fase stasioner (F5) ..................................................................93 15 Analis is ragam pengaruh pengumpanan terhadap konsentrasi sel kering........94 16 Analis is ragam pengaruh pengumpanan terhadap konsentrasi PHA...............95 17 Analis is ragam pengaruh pengumpanan terhadap kadar PHA dalam sel.........96
Halaman 18 Analis is ragam pengaruh pengumpanan dan aerasi terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel...................................97 19 Kromatogram hasil metanolisis PHB standar (menggunakan kromatografi gas) .............................................................................................99 20 Kromatogram hasil metanolisis PHA yang dihasilkan pada penelitian (menggunakan kromatografi gas)...................................................................100
PENDAHULUAN Latar Belakang Plastik sangat dekat dengan kehidupan manusia karena fungsinya yang luas untuk berbagai tujuan penggunaan.
Sebagai polimer sintetis, plastik
diproduksi dari bahan-bahan petrokimia yang merupakan sumberdaya terbatas dan tidak terbaharukan.
Semakin meningkatnya kebutuhan barang plastik akan
menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena limbah plastik tidak mudah diurai oleh alam, baik oleh curah hujan dan panas matahari maupun oleh mikroba. Paustin (1998) menyatakan bahwa se kitar 75 milyar pon (34 juta ton) plastik per tahun diproduksi oleh industri plastik dunia dan sekitar 40%-nya dibuang ke tempat penimbunan sampah (landfill area ) yang kapasitasnya juga terbatas. Sementara itu, menurut Indonesia Plastic Industries kebutuhan plastik 220 juta penduduk Indonesia pada tahun 2003 mencapai sekitar 1,35 juta ton sedangkan kemampuan pemerintah mengolah sampah hanya 20-30% (Anonim 2002). Penggunaan bahan plastik ramah lingkungan yang dapat didegradasi secara biologis oleh mikroba (bioplastik) sebagai substitusi plastik berbasis petrokimia merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah plastik.
Kebutuhan dunia akan bioplastik semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Potensi pasar bioplastik saat ini cukup besar, yaitu
mencapai
20
ribu
ton.
Japan
Biodegradable
Plastic
Society
memproyeksikan produksi bioplastik akan mencapai 1,2 juta ton pada tahun 2010. Industri bioplastik akan berkembang menjadi industri besar di masa yang akan datang (Pranamuda 2001). Salah satu bahan bioplastik yang menjanjikan dan masih terus dikembangkan sampai saat ini adalah poli(3-hidroksialkanoat) (PHA).
PHA
merupakan polimer dari asam hidroksialkanoat yang diproduksi secara intraselular oleh sejum lah bakteri sebagai respon terhadap ketidakseimbangan nutrisi dalam media pertumbuhannya. Poli(3-hidroksibutirat) atau PHB merupakan salah satu jenis PHA yang paling menarik karena kopolimernya dengan polihidroksivalerat memiliki sifat yang mirip dengan poliolefin seperti polipropilen dan polietilen (Kansiz et al. 2000).
2
Dibandingka n bahan bioplastik lain seperti pati dan protein, PHB memiliki keunggulan karena sifatnya yang hidrofobik, resistensinya yang besar terhadap uap air dan permeabilitas oksigennya yang rendah. Hal tersebut membuat kalangan industri tertarik untuk memanfaatkannya sebagai bahan plastik ramah lingkungan dalam bidang pertanian, kelautan dan obat-obatan. PHB dapat diaplikasikan sebagai coating (pelapis), kemasan, kontainer, bahan-bahan sekali pakai, pembawa (carrier) bahan aktif pada bahan-bahan kimia dan obat-obatan, keperluan operasi bedah seperti benang jahit operasi, pembalut luka dan penyambungan tulang yang retak/patah (Lee et al. 1999, Paustin 1998). Terkait dengan perkembangan riset PHA di Indonesia, Suryani et al. (2001, 2003), Syamsu et al. (2003) dan Wicaksono (2005) telah melakukan kajian produksi PHA oleh Ralstonia eutropha dengan sistem kultivasi batch menggunakan minyak kelapa sawit sebagai sumber karbon. Penelitian Wicaksono (2005) tentang optimasi proses produksi PHA menggunakan sumber karbon hidrolisat minyak kelapa sawit menunjukkan bahwa pada skala labu kocok 250 mL produksi PHA tertinggi mencapai 10,9586 g/L (68,23% dari bobot kering sel) selama 7 hari kultivasi. Namun demikian, pada percobaan skala bioreaktor 2 L, produksi PHA tertinggi hanya mencapai 2,4644 g/L (72,62% dari bobot kering sel).
Pada tahap optimasi selanjutnya didapatkan PHA dengan konsentrasi
10,6685 g/L (51,45% dari bobot kering sel). Meskipun PHA yang dihasilkan relatif tinggi dibandingkan penelitian Suryani et al. (2001, 2003) namun kadar PHA dalam sel masih tergolong rendah karena secara alami R. eutropha dapat mengakumulasi PHA hingga 80-90% berat selnya pada kondisi yang sesuai (Kim dan Lenz 2001, Madison dan Huisman 1999). Penelitian tersebut masih perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Disamping
kelebihan-kelebihannya,
terdapat
kendala
utama
yang
membatasi penggunaan PHA yaitu harganya yang jauh lebih mahal dibandingkan bahan plastik petrokimia. Paustin (1998) menyatakan harga jual PHA 5-7 kali plastik konvensional. Menurut Ayorinde et al. (1998) harga jual PHA di Eropa pada tahun 1995 mencapai sekitar US$ 17,00/kg sedangkan plastik berbasis petrokimia hanya sekitar US$ 1,00/kg. Lee dan Choi (2001) telah membuat
3
simulasi proses produksi PHB yang dapat menekan harga PHB menjadi US$ 3,31/kg. Strategi yang dapat dilakukan untuk menurunkan biaya produksi PHB adalah dengan pengembangan galur bakteri yang lebih unggul, proses kultivasi dan pemisahan yang lebih efektif dan efisien serta penggunaan substrat/bahan baku yang murah dan terbaharukan (Godbole et al. 2003). Salah satu alternatif bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah di Indonesia adalah sagu. Indonesia merupaka n pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Namun dari segi pemanfaatannya Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memil iki areal sagu seluas 1,5% dan 0,2% dari areal sagu dunia (Abner dan Miftahorrahman 2002). Pati sagu sebagai hasil ekstraksi batang empulur sagu dapat dihidrolisis menjadi komponen lebih sederhana
seperti
glukosa,
maltosa
dan
oligosakarida
sehingga
dapat
dimanfaatkan sebagai sumber karbon yang relatif murah dalam proses produksi PHA. Ralstonia eutropha merupakan salah satu jenis bakteri yang telah digunakan untuk produksi PHA secara komersial.
Kultivasi fed-batch (semi
sinambung) dapat diterapkan untuk meningkatkan akumulasi PHA di dalam sel R. eutropha, terutama untuk menciptakan ketidakseimbangan nutrisi pada media pertumbuhan. Teknik kultivasi fed-batch yang berfokus pada pengumpanan sumber karbon yang murah dan pembatasan nutrisi esensial lainnya (nitrogen, fosfat, magnesium, sulfat, oksigen) diharapkan dapat meningkatkan akumulasi PHA dalam sel sehingga ketika dipadukan dengan teknik pemisahan/isolasi yang mudah dan murah maka pada akhirnya dapat menurunkan biaya produksi PHA.
Tujuan Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kemampuan R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA pada media dengan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon tunggal. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi hidrolisat pati sagu yang terbaik bagi pertumbuhan R. eutropha secara batch pada rentang konsentrasi gula yang
4
dicobakan
(10,
20,
30,
40,
50
g/L),
mendapatkan
jenis
substrat
pengumpan/ pembatasan nutrisi yang tepat pada kultivasi fed-batch yang menghasilkan perolehan PHA tertinggi serta mengetahui karakteristik PHA yang dihasilkan.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Hidrolisat pati sagu diduga dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan dan pembentukan PHA oleh R. eutropha . 2. Sistem kultivasi fed-batch diduga dapat meningkatkan konsentrasi sel dan perolehan PHA dibandingkan dengan sistem kultivasi batch . 3. Pembatasan aerasi pada sistem kultivasi fed -batch diduga dapat meningkatkan perolehan PHA dibandingkan tanpa pembatasan aerasi. 4. Denga n menggunakan sumber karbon gula (hidrolisat pati sagu), R. eutropha akan menghasilkan PHA jenis PHB.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1.
Melakukan proses produksi hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) secara enzimatis menggunakan a -amilase dan amiloglukosidase (AMG) serta melakukan karakterisasi hidrolisat pati sagu yang dihasilkan (total gula , profil gula , kandungan nitrogen dan mineral).
2.
Mengkaji kinetika pertumbuhan R. eutropha secara batch pada skala labu kocok 250 mL (volume kerja 100 mL) pada berbagai konsentrasi gula hidrolisat pati sagu (10, 20, 30, 40, 50 g/L).
3.
Mengkaji kinetika kultivasi R. eutropha secara batch pada skala bioreaktor 2 L pada konsentrasi gula terpilih pada Tahap 2.
4.
Mengkaji pengaruh pengumpanan beberapa jenis substrat/formula media umpan terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA di dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi fed-batch .
5
5.
Mengkaji pengaruh pembatasan aerasi terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA di dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi fed -batch yang terpilih pada Tahap 4.
6.
Melakukan karakterisasi PHA yang dihasilkan meliputi sifat termal, gugusgugus fungsional, tingkat kemur nian relatif terhadap PHB standar serta menentukan jenis PHA.
Manfaat Secara umum manfaat penelitian ini adalah : 1. Meningkatkan nilai tambah pati sagu sebagai produk tanaman tropis alami Indonesia. 2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan proses produksi PHA sebagai bahan plastik ramah lingkungan. 3. Menjaga keanekaragaman haya ti (biodiversity) dengan mengembangkan bioplastik sebagai substitusi plastik konvensional berbasis petroleum. 4. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kompatibilitas dan penyelarasan bidang
penelitian
dalam
kerangka
pembangunan
nasional
dengan
perkembangan isu lingkungan global. 5. Dengan mengintroduksi teknologi produksi bioplastik diharapkan dapat memberdayakan potensi ekonomi nasional yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
TINJAUAN PUSTAKA
Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp) Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu. Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari ordo Spadiciflorae, keluarga Palmae dan genus Metroxylon. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan Arenga microcarpha (sagu baruk) yang tumbuh di lahan kering. Di Irian Jaya dan sebagian daerah Maluku, sagu merupakan bahan makanan pokok sedangkan di propinsi lain sagu dimanfaatkan sebagai bahan baku industri dan bahan makanan.
Pada produksi tahun 1999
sebesar 16178 ton sagu dikonsumsi oleh industri menengah besar dalam negeri, terutama di pulau Jawa, yang menggunakan sagu sebagai bahan baku makaroni, spagetti, bihun, soun dan bakso. Jepang memanfaatkan sagu sebagai bahan baku industri plastik biodegradabel (Abner dan Miftahorrahman 2002). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan a -(1,6)-Dglukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno 1997). Kebanyakan pati terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (Pomeranz 1991). Sirup glukosa adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik (SNI 01-2978-1992). Cara hidrolisis pati ada tiga macam, yaitu hidrolisis asam (pada umumnya HCl) yang disebut konversi asam, konversi asam-enzim dan konversi enzim-enzim. Cara terakhir paling banyak digunakan saat ini. Konversi pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas aamilase sedangkan sakarifikasi mengubah maltodekstrin secara lebih lanjut menjadi glukosa.
Konversi enzimatik pati terlikuifikasi menjadi glukosa
memerlukan waktu reaksi yang lama (24-96 jam), waktu yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi akhir glukosa yang diinginkan. Penggunaan
7
konsentrasi enzim yang tinggi, waktu hidrolisis reaksi yang lama dan konsentrasi substrat yang relatif tinggi (30-40% basis kering, b/b) pada proses industri dapat menyebabkan reaksi reversi (balik) yaitu sintesis kembali sa karida dari glukosa (Govindasamy et al. 1995) a -amilase (a-1,4 glukan-4-glukonohidrolase) yang digunakan dalam tahap likuifikasi merupakan endoamilase, yaitu enzim yang memecah secara acak ikatan a -(1,4) yang terletak pada bagian dalam rantai polisakarida. Pemecahan ini menghasilkan glukosa, maltosa dan a -limit dekstrin, yaitu oligosakarida dengan empat atau lebih residu glukosa yang semuanya mengandung ikatan a -(1,6). Tahap ini ditandai dengan menurunnya viskositas suspensi pati dan daya pewarnaan larutan yodium terhadap amilosa. Pengaruh pH terhadap kestabilan dan keaktifan enzim sangat penting. a-amilase dari Bacillus subtilis mempunyai pH optimum antara 5,8 – 6,0 (Norman 1981). Terdapat dua jenis endoamilase, yaitu termostabil dan termolabil. Endoamilase termostabil terutama berasal dari genus Bacillus. Amilase dari B. subtilis optimum pada suhu 65-70 oC dengan keberadaan Ca2+ sedangkan amilase dari B. licheniformis optimum pada suhu di atas 90 oC tanpa adanya Ca2+. Amilase termolabil berasal dari kapang, biasanya Aspergillus oryzae (Fullbrook 1984). Glukoamilase atau amiloglukosidase atau AMG yang digunakan pada tahap sakarifikasi merupakan eksoenzim, yaitu enzim yang bekerja melepaskan unit glukosa secara berturut -turut dari ujung non reduksi pati. AMG mempunyai keaktifan optimal pada pH 4-5 dengan suhu 50-60 oC. Pada tahap sakarifikasi ini terjadi hidrolisis oligosakarida atau dekstrin menjadi glukosa.
Tidak seperti
likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook 1984).
Poli(3-Hidroksialkanoat) (PHA) Poli(3-hidroksialkanoat) merupakan poliester hidroksialkanoat yang disintesis oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan karbon intraselular serta dikumpulkan sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee 1996). PHA disintes is jika salah satu elemen nutrisi seperti N, P, S, O atau Mg ada dalam jum lah terbatas namun sumber karbon ada dalam jumlah berlebih (Lee dan Choi
8
2001). Steinbüchel dan Valentin (1995) sebagaimana dikutip oleh Kim dan Lenz (2001) menyatakan bahwa lebih dari 90 unit monomer hidroksialkanoat yang telah dideteksi se bagai konstituen penyusun PHA. Hal ini menyebabkan PHA sebagai bahan termoplastik memiliki sifat mekanis yang bervariasi, misalnya sebagai penyusun polimer kristalin yang kuat atau karet elastis tergantung dari unit-unit monomer penyusunnya (Lee 1996). Berdasarkan panjang unit penyusun polimernya, PHA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu PHA rantai pendek (short chain length PHA/poly HASCL) dan PHA rantai menengah (medium chain length PHAs/poly HAMCL). PHA rantai pendek terdiri dari tiga sampai lima atom karbon, yaitu unit 3HB (hidroksibutirat) dan 3HV (hidroksivalerat). PHA rantai menengah terdiri enam atau lebih atom karbon, yaitu unit-unit yang lebih panjang dari 3HV. PHA yang terdiri dari dua tipe di atas disebut sebagai hibrid PHA rantai pe ndek dan menengah (Kim dan Lenz 2001, Lee dan Choi 2001). Struktur umum PHA dapat dilihat pada Gambar 1. R
O
CH
R dapat terdiri dari C 1-C13, ikatan jenuh, tak jenuh, bercabang, aromatik, halogen atau epoksi
C CH2
O
n Gambar 1 Struktur kimia PHA (Madison dan Huisman 1999). Penamaan PHA ditentukan berdasarkan gugus alkil R pada unit monomer penyusunnya.
Misalnya, dinamakan PHB atau poli(3-hidroksibutirat) jika R
adalah CH3 (metil), PHV atau poli( 3-hidroksivalerat) jika R adalah CH 2CH3 (etil), PHC atau poli(3-hidroksikaproat) jika R adalah n-propil, PHH atau poli(3hidroksiheptanoat) jika R adalah n-butil, PHO atau poli(3-hidroksioktanoat) jika R adalah n-pentil, PHN atau poli(3-hidroksinanoat) jika R adalah n-heksil, PHD atau poli(3-hidroksidekanoa t) jika R adalah n-heptil, PHUD atau poli(3-hidroksi undekanoat) jika R adalah n-oktil dan PHDD atau poli(3-hidroksidodekanoat) jika R adalah n-nonil (Atkinson dan Mavituna 1991, Brandl et al. 1990).
9
PHA ada dalam bentuk homo dan heteropolimer.
Homopolimer poli(3-
hidroksibutirat) atau PHB memiliki sifat termoplastik dengan sifat mekanis bagus, mirip dengan polipropilen dan merupakan jenis PHA yang pertama ditemukan dan paling banyak diteliti.
Namun demikian, sebagai plastik PHB bersifat sangat
rapuh karena tingginya derajat kristalinitas, di samping itu suhu pelelehannya (180 oC) mendekati suhu degradasi termalnya (200 oC). Kelemahan ini dapat diperbaiki dengan kopolimerisasi 3HB dan 3HV menjadi kopolimer poli(3HBco-3HV) yang lebih fleksibel dan rendah suhu prosesnya (Kim dan Lenz 2001). Suatu galur mutan Ralstonia eutropha yang ditumbuhkan pada glukosa dan asam propionat dapat menghasilkan kopolimer dari monomer 3HB dan 3HV. Kerapuhan kopolimer HB-HV lebih rendah daripada PHB, sifat termomekanisnya lebih bervariasi tergantung dari kadar unit 3-HV penyusunnya sehingga aplikasinya lebih luas (Lefebvre et al. 1997, Klem 1999).
Beberapa contoh
aplikasi PHA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi praktis PHA *) Aplikasi medis 1. Keperluan operasi bedah : benang jahit, pin, penyeka 2. Pembalut luka 3. Pemasangan pembuluh darah 4. Penyambungan tulang dan lempeng tulang 5. Stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA bersifat piezoelektrik) 6. Pembawa (carrier) bahan aktif pada obat-obatan Aplikasi industri 1. Pembawa (carrier) bahan aktif pada herbisida, fungisida, insekstisida atau pupuk 2. Kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong dan film 3. Bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita *)
Brandl et al. (1990), Lee et al. (1999)
Meskipun bidang aplikasinya luas, namun pemanfaatan PHA masih terbatas karena harganya mahal. Berbagai penelitian akhir-akhir ini diarahkan untuk menurunkan biaya produksi, meliputi penelitian tentang (1) galur bakteri baru yang dapat mensintesis PHA, (2) substrat yang murah, (3) strategi kultivasi yang baru, (4) penggunaan mikroba rekombinan, (5) pengembangan tanaman transgenik yang dapat mensintesis PHA dan (6) penggunaan kultur sel serangga (insekta) untuk memproduksi PHB (Lefebvre et al. 1997). Perke mbangan terkini
10
tentang metabolisme, biologi dan genetika molekuler serta kloning lebih dari 20 gen biosintesis PHA memungkinkan dilakukannya konstruksi galur-galur rekombinan bakteri yang dapat mensintesis poliester dengan unit monomer yang berbeda -beda dan atau bakteri yang dapat mengakumulasi polimer dalam jumlah lebih banyak (Lee 1996). Terdapat lebih dari 300 jenis mikroba yang dapat mensintesis PHA (3080% dari berat kering selnya) namun hanya sejumlah bakteri termasuk Ralstonia eutropha, Alcaligenes latus, Azotobacter vinelandii, Chromobacterium violaceum, metilotrof, pseudomonad dan rekombinan Escherichia coli yang prospektif digunakan dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2 g/L.jam (Lee 1996, Lee dan Choi 2001). Ralstonia eutropha dan Jalur Biosintesis PHB Klem (1999) menyatakan bahwa berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi RNA 16S, Alcaligenes eutrophus dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia eutropha. R. eutropha termasuk bakteri Gram negatif, aerob obligat, motil, suhu optimum 20-37 oC, koloni tidak berwarna pada Nutrient Agar, oksidase positif dan katalase positif, tidak memproduksi indol, kemoorganotrofik atau dapat menggunakan berbagai macam asam organik dan asam amino sebagai sumber karbon, dapat mereduksi NO3- menjadi NO2- dan dapat tumbuh secara anaerobik dengan adanya NO 3-. Habitat alaminya adalah tanah dan air tapi juga dapat ditemukan pada usus vertebrata (John et al. 1994). Lee dan Choi (2001) meyatakan bahwa R. eutropha dapat tumbuh baik pada media minimal yang relatif murah dan mengakumulasi PHB pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. pertumbuhannya
adalah
D-glukosa
adipat, itakonat (John et al. 1994).
Sumber karbon yang dapat digunakan untuk (mutan),
D-fruktosa,
D-glukonat,
asetat,
R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi
terbatasnya nitrogen, oksigen dan fosfor (Klem 1999).
Kim dan Lenz (2001)
menyatakan bahwa ammonium merupakan nutrisi pembatas bagi R. eutropha. Polimer diakumulasi dalam bentuk granula dalam sitoplasma sel dan berfungsi sebagai cadangan karbon dan sumber ekivalen pereduksi.
Jumlah granula per sel
R. eutropha yang ditumbuhkan pada kondisi nitrogen terbatas tidak berubah sejak
11
awal fase akumulasi polimer dan produksi polimer mulai menurun ketika kadar PHB hampir 80% meskipun aktifitas sintase PHB masih cukup tinggi. Gambar granula PHB pada R. eutropha dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Hasil scanning electron microscope granula PHB pada R. eutropha (Sumber : http://che.kaist.ac.kr/~biosyst/research/pha/pha.html).
Selama pertumbuhan normal, pembentukan PHA biasanya tidak mencapai konsentrasi tinggi dalam sel yaitu antara 2-10% dari bobot kering sel, tergantung dari galur bakteri. Namun demikian, kadar PHB dapat mencapai lebih dari 80% berat kering sel jika pertumbuhan dibatasi dengan berkurangnya suatu komponen nutrisi penting (Braunegg et al. 1995). Tiga galur R. eutropha yang paling banyak dipelajari adalah (1) produsen PHB asli H16 (ATCC 17699), (2) mutan yang dapat menggunakan glukosa yaitu 11599 dan (3) SH-69 (ATCC 17697) (Madison dan Huisman 1999). Komponen awal yang terpenting pada sintesis PHB intra selular dalam sel prokariotik adalah asetil-koenzim A (asetil-KoA).
Pengaturan sintesis PHB
dipengaruhi oleh konsentrasi koenzim A bebas dan potensial redoks intraselular yang dikaitkan dengan rasio NAD/NADH.
Proses pembentukan PHB pada
Alcaligenes eutrophus (R. eutropha) H16 diawali dengan reaksi kondensasi dua molekul asetil-KoA untuk membentuk asetasetil-KoA yang dikatalisis oleh ßketot iolase (asetasetil-KoA tiolase). Asetasetil-KoA selanjutnya direduksi secara bertahap menjadi ß-hidroksibutiril-KoA yang dikatalisis oleh asetasetil-KoA reduktase. ß-hidroksibutiril-K oA kemudian dipolimerisasi menjadi PHB dengan
12
katalis PHB polimerase (Lafferty et al. 1988). Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R. eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Memperjelas pendapat Lafferty et al. (1988), Klem (1999) menyatakan bahwa pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen yang diperlukan untuk sintesis PHB, yaitu phbA, phbB dan phbC. PhbA (suatu ketot iolase ) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi R-ß-hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-KoA yang membutuhkan NADPH). Molekul R-ß-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (suatu PHB sintase).
Pada
lingkungan yang ka ya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi CO 2. Degradasi dimulai oleh depolimerase yang dikode sebagai gen phbZ. Babel et al. (2001) menyatakan bahwa meskipun faktor -faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau Fe 2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk yang hampir sama. Konsentrasi intraselular asetil-KoA yang tinggi akan menunjang sintesis asetoas etil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi (reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan.
Secara umum,
pasokan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHB.
Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/
(melalui siklus TCA) dan jum lah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian, jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi (Babel et al. 2001).
13
Metabolisme karbohidrat Jalur EMP, HM, ED CO 2
Piruvat Siklus TCA
Asetil-SKoA u PhaA
CoASH
Asetasetil-SKoA Suksinat
NADH2 NAD
NADH2
{
Suksinil-SKoA
Asetoasetat
PhaB
v
NAD
z D(-)-ß-hidroksibutiril-SKoA
D(-)-ß-hidroksibutirat Protein-AI PhaC
y PhaZ
D(-)-ß-hidroksibutiril-AI
Oligomer, trimer, dimer x
PhaZ
PhaC
w
Poli-ß-hidroksibutirat
Keterangan : u ß-ketothiolase (ß-ketoasilthiolase, asetoasetil-KoA, asetasetil-KoA thiolase) v Asetasetil-KoA reduktase w PHB polimerase (PHB sintetase) x PHB hidrolase y Dimer hidrolase z ß-hidroksibutirat dehidrogenase { Thiophorase (asetasetil-SKoA thiokinase; Asetoasetat -suksinil-KoA transferase) EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas HM : jalur Heksosa Monofosfat ED : jalur Entner-Doudoroff
Gambar 3 Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al.1988).
14
Proses Produksi PHA Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu kultivasi
dan
recovery/isolasi PHA.
Tahap
kultivasi merupakan
pertumbuhan biomassa sel dan akumulasi biopolimer PHA.
tahap
Setelah kultivasi
berakhir, dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap isolasi biopolimer.
Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut
(solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based ).
Pemisahan tanpa
pelarut pada dasarnya adalah pr oses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi.
Pemisahan dengan pelarut merupakan
proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti de ngan presipitasi dengan air/metanol (Kessler et al. 2001). Tinjauan umum proses produksi PHA lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4. KULTIVASI TAHAP 1
PRODUKSI BIOMASSA Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang
KULTIVASI TAHAP 2
AKUMULASI POLIMER PHA Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas
PEMANENAN
ISOLASI
Tanpa Pelarut Dengan Pelarut • Pelarutan biomassa non- • Ekstraksi PHA dengan PHA pelarut • Sentrifugasi/ultrafiltrasi • Presipitasi dengan metanol/ air
Gambar 4 Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001). Dua jenis teknik kultivasi biasa nya digunakan. Pada percobaan batch, baik pertumbuhan sel dan pembentukan PHA dilakukan pada media yang sama. Pada percobaan bebas nitrogen, sel terlebih dahulu ditumbuhkan pada media kaya nutrisi kemudian diresuspensi ke dalam media yang kekurangan nitrogen dengan sumber karbon sesuai dengan yang diinginkan (Madison dan Huisman 1999). Namun demikian, secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch
15
(curah), fed-batch (semi sinambung) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fedbatch banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di dalam sel.
Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed -batch, densitas
biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis.
Level substrat pembatas yang rendah tersebut
dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nie lsen dan Villadsen 1993).
Terkait dengan penggunaan
glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama
kultivasi fed-batch
untuk menjaga
konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal untuk akumulasi PHB (Lee dan Choi 2001). Tanaka et al. (1993) menggunakan metode kultur dua tahap untuk menghasilkan PHB dari xilosa. Xilosa dikonversi menjadi L-asam laktat dan asam asetat oleh Lactococcus lactis IO-1, selanjutnya dikonversi menjadi PHB oleh R. eutropha .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 g/L L-laktat
dihasilkan 8,5 g/L biomassa R. eutropha dengan kadar PHB 55% selama 24 jam kultivasi . Kim et al. (1994) memproduksi PHB dari R. eutropha dengan teknik kultur fed -batch secara otomatis dengan perlakuan pembatasan amonium. Konsentrasi glukosa pada kultur dikontrol pada kisaran 10-20 g/L menggunakan analisator glukosa secara on line dan berdasarkan data gas keluar yang diperoleh dari spektrometer massa.
Konsentrasi akhir sel, konsentrasi PHB dan
produktifitas PHB meningkat ketika pengumpanan amoniak dihentikan pada saat sel mencapai konsentrasi tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika
pengumpanan amoniak dihentikan saat konsentrasi sel mencapai 70 g/L maka konsentrasi PHB dan total sel berturut-turut mencapai 121 g/L dan 164 g/L dalam waktu 50 jam kultivasi. Rendemen PHB maksimal yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah 76% dari berat kering sel dengan produktifitas sebesar 2,42 g/L.jam dan rendemen sebesar 0,3 g PHB/g glukosa. Ryu et al. (1997) memproduksi PHB pada bioreaktor 60 L secara fedbatch menggunakan sel R. eutropha berdensitas tinggi, glukosa sebagai sumber karbon dengan pembatasan fosfat dan nitrogen. Strategi pengumpanan dilakukan
16
berdasarkan pengontrolan konsentrasi oksigen terlarut. Dengan konsentrasi awal fosfat sebesar 5,5 g/L, konsentrasi akhir sel yang dihasilkan mencapai 281 g/L, konsentrasi PHB 232 g/L dan produktifitas PHB 3,14 g/L.jam. Sang Yup Lee dalam serangkaian penelitiannya menggunakan R. eutropha dan rekombinan E. coli dengan sistem kultivasi fed-batch . Pengumpanan substrat dilakukan berdasarkan pH disertai dengan pengontrolan kandungan oksigen terlarut untuk menghasilkan homopolimer PHB maupun kopolimer HB-HV dengan produktifitas yang lebih tinggi. Disertai dengan teknik isolasi PHA yang relatif murah, mudah dan ramah lingkungan menggunakan pelarut NaOH, Lee dan Choi (2001) mensimulasikan faktor -faktor tersebut sehingga biaya produksi PHB menjadi lebih rendah, yaitu US$ 3,31/kg. Komersialisasi PHA dimulai oleh ZENECA-Inggris yang menggunakan mutan R. eutropha untuk memproduksi PHB dan PHBV berskala industri sejak tahun 1982 dengan merek BIOPOL.
Sumber karbon yang digunakan adalah
glukosa dengan fosfat sebagai nutrisi pembatas. Proses produksi menggunakan bioreaktor berskala 200 000 L dengan sistem kultivasi fed -batch dua tahap. Pada tahap pertama, sel ditumbuhkan pada media garam mineral dengan glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon dan sumber energi serta dan sejumlah fosfat yang telah dihitung berdasarkan kebutuhan mikroba untuk memproduksi sejumlah biomassa tertentu.
Sejalan dengan pertumbuhan kultur, fosfat dalam media
semakin berkurang. Pada tahap kedua ketika fosfat berada dalam jumlah terbatas, sel mulai memproduksi dan menyimpan polimer. Pada saat tersebut, glukosa diumpankan ke dalam kultur kemudian kultivasi dilanjutkan sampai jumlah polimer yang diinginkan tercapai. Masing-masing tahap berlangsung kira-kira 48 jam dan berat kering biomassa akhir mencapai 100 g/L.
Pada tahun 1996
produksi tersebut diteruskan oleh MONSANTO-Amerika Serikat namun kemudian terhenti pada tahun 1998 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001). Produsen lain di Austria menggunakan Alcaligenes latus DSM1124 untuk memproduksi homopolimer PHB pada media garam mineral dengan sukrosa sebagai sumber karbon. Proses kultivasi dilakukan satu tahap secara fed -batch dan dapat menghasilkan sel berdensitas 60 g/L dengan kadar PHB 80%. Namun,
17
produksinya dihentikan pada tahun 1993 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001).
Prose Hilir PHA Setelah tahap kultivasi, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari broth
(media kultivasi) dengan berbagai prosedur konvensional seperti
sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi.
Sel selanjutnya dipecah agar
polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. 2001). Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan).
Namun demikian, proses tersebut membutuhkan pelarut dalam
jum lah besar. Pada proses ekstraksi PHB dengan pelarut kloroform, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi dan tidak terjadi degradasi selama ekstraksi. Namun kelemahannya, diperlukan kloroform dalam jumlah besar karena larutan polimer yang mengandung PHB = 5% (b/v) bersifat sangat kental (viscous) sehingga proses operasinya menjadi sulit (Lee et al. 1999). Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. 2001).
Hahn et al. (1995) membandingkan
penggunaan sodium hipoklorit dan dispersi sodium hipoklorit -kloroform untuk mengisolasi PHB yang disintesis oleh R. eutropha dan rekombinan E. coli. Tingkat degradasi PHB pada perlakuan dispersi sodium hipoklorit-kloroform lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan sodium hipoklorit saja. Semakin tinggi konsentrasi hipoklorit yang digunakan, semakin kecil berat molekul PHB yang diperoleh. Choi dan Lee (1999) telah me neliti kemampuan berbagai jenis bahan kimia untuk memecah bahan sel selain PHB, meliputi asam (HCl, H2SO4), alkali (NaOH, KOH, NH 4OH) dan surfaktan (ga ram sodium dioktilsulfosuksinat/AOT, heksadeciltrimetilamonium
bromida/CTAB,
sodium
dodesil
sulfat/SDS,
polioksietilen-p-tert-oktil fenol/Triton X-100 dan polioksietilen (20) sorbitan monolaurat/Tween 20).
Meskipun SDS merupakan bahan kimia yang efisien
18
untuk isolasi PHB dari rekombinan E. coli namun harganya mahal dan limbahnya menimbulkan masalah baru. NaOH dan KOH juga efisien dan ekonomis untuk isolasi PHB sehingga digunakan untuk optimasi kondisi isolasi. Pada perlakuan NaOH 0,2 N selama 1 jam, kultur dengan densitas sel 50 g/L dan rendemen PHB 77% dapat diperoleh dengan kemurnian 98,5%. Selanjutnya dibandingkan 2 metode, antara surfaktanhipoklorit dan NaOH. Dengan proses kultivasi yang menghasilkan PHB 157 g/L, rendemen 77% dan produktifitas 3,2 g PHB/L.jam dipadukan dengan metode isolasi NaOH maka biaya produksi PHB dapat ditekan 25% lebih rendah menjadi US$ 3,66/kg dibandingkan dengan metode surfaktan-hipoklorit (Choi dan Lee 1999). Lee et al (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama 1 jam pada suhu 30 oC dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%.
Jika waktu pemecahan
(digestion) diperpanjang hingga 5 jam maka kemurnian PHB meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu (a) murah dan ramah lingkungan, (b) PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan (c) selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.
Kinetika Kultivasi Mikroba bila berada dalam suatu lingkungan akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungan tersebut (Hartoto dan Sailah 1989). Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al. 1979). Pertumbuhan mikroba
dicirikan dengan peningkatan massa sel dan atau jumlah sel.
Pertumbuhan terjadi bila kondisi fisik dan kimiawi tercapai, misalnya suhu, pH dan
keterse diaan
nutrisi
sesuai
dengan
kebutuhan
mikroba.
Fase -fase
pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Gambar 5) secara umum dijelaskan oleh Wang et al. (1979), Hartoto dan Sailah (1989) serta Mangunwidjaja dan Suryani (1994) sebagai berikut.
Log (konsentrasi massa sel)
19
fase lag
fase eksponensial
fase stasioner a b c
Keterangan : a. massa sel, tidak terjadi lisis b. massa sel, terjadi lisis diikuti pertumbuhan cryptic c. jumlah sel hidup, terjadi lisis
Waktu Gambar 5 Kurva pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Wang et al. 1979) Pada fase lag (fase awal dan pe nyesuaian) yang merupakan masa penyesuaian mikroba sejak sel mikroba diinokulasi ke media biakan, massa sel meningkat tetapi tidak terjadi pembelahan sel. Oleh karena itu, X = Xo = tetap dengan Xo = konsentrasi sel pada t = 0. Laju pertumbuhan, r x (g/L.j)
= dx/dt = 0 .....................................................(1) -1
Laju pertumbuhan spesifik, µ (j ) = dx/dt .1/X = 0 .............................................(2) Ketika kultur mikroba dipindahkan ke lingkungan baru maka dibutuhkan penataan ulang terhadap komponen penyusun mikro dan makromolekularnya . Setelah fase adaptasi selesai, maka sel menuju fase pertumbuhan eksponensial (log/ logaritmik). Pada fase eksponensial, jumlah sel meningkat pada laju konstan, laju pertumbuhan meningkat sebanding dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal (µm ). dx/dt . 1/X = µm ? 1/X. dx = ?µm . dt Ln X2 – Ln X 1 = µm (t2 - t1) .....................................................................(3) Waktu generasi atau penggandaan (tg), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan massa sel dua kali semula sehingga X2 = 2X1, dapat ditentukan sebagai berikut : Ln (2X1) – Ln (X1 ) = µm . tg tg = ln 2/µm = 0,693 / µm ...........................................................................(4)
20
Pada fase pelambatan, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner, konsentrasi biomassa mencapa i maksimal. Laju kematian sel sebanding dengan laju penggandaan sel. Oleh karena itu pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel. Pada fase menurun laju kematian lebih cepat daripada laju penggandaan sel. Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup akibat terjadinya kematian yang diikuti autolisis oleh enzim selular. Wang et al. (1979) menyatakan bahwa pada fase stasioner masih terjadi metabolisme dan akumulasi produk di dalam sel atau broth. Massa sel total mungkin konstan (Gambar 5a), akan tetapi jumlah sel hidup mungkin menurun (Gambar 5c). Dengan menurunnya jumlah sel hidup, maka terjadilah lisis sel sehingga massa sel menurun (Gambar 5b). Produk-produk lisis sel dalam media memungkinkan terjadinya periode pertumbuhan sekunder yang disebut pertumbuhan kriptik (cryptic ). Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi menjadi massa sel dan metabolit (Wang et al. 1979). Yield atau rendemen biomassa (Yx/s ) dan rendemen produk (Yp/s) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa dan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa atau produk yang terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Scragg 1991). ?X Yx/s =
X - Xo =
?S ?P Yp/s =
..........................................................................(8) So – S P - Po
= ?S
..........................................................................(9) So – S
dengan ? X dan ? P merupakan ju mlah sel dan produk yang terbentuk dengan dikonsumsinya substrat sebanyak ? S. Koefisien konversi nutrisi dalam substrat yang berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat dijelaskan dengan persamaan berikut : % penggunaan substrat = ? S/So = (So-S)/S o ........................................(10)
21
Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menyatakan bahwa hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dalam hal ini dikenal tiga pola hubungan, yaitu : 1.
Pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk yaitu laju pembentukan
produk
berbanding
secara
proporsional
dengan
laju
pertumbuhan. dP/dt = a dx/dt atau rp = Y p/x . r x ............................................(5) 2.
Pola pembentukan produk tak berasosiasi dengan pertumbuhan yaitu laju pembentukan produk cenderung berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular daripada dengan laju pertumbuhan. rp = ß X .................(6)
3.
Pola campuran per tumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi yaitu laju pembentukan produk berbanding lurus dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. rp = a rx + ßX atau rp/X = a µ + ß ..........................................(7)
dengan dP/dt = rp : laju pembentukan produk, rx : laju pertumbuhan sel, Yp/x : rendemen produk yang dihasilkan per biomassa terbentuk (g/g), a : tetapan pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan, ß: tetapan pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan.
Kultivasi Fed-batch Yoshida et al. (1973) seperti dikutip oleh Stanbury dan Whitaker (1984) memperkenalkan istilah fed-batch untuk menggambarkan kultur batch yang diumpan dengan media secara kontinyu atau terputus -putus tanpa pengambilan cairan kultur sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Scragg (1991) mendefinisikan kultur fed-batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara, yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik. Pirt (1975) seperti dikutip oleh Trevan et al. (1987) menjelaskan kinetika kultivasi fed-batch sebagai berikut : pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner, Xmaks , dije laskan dengan persamaan
22
berikut (dengan asumsi bahwa jum lah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan dengan biomassa akhir) : Xmaks ˜ Y. SR
......................................................................................................................... (11)
dengan Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) dan S R = konsentrasi substrat dalam media. Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µmaks maka sebenarnya semua substrat akan dikonsumsi saat diumpankan ke dalam sistem. Meskipun ju mlah biomassa dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi, namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu dx/dt ˜ 0 dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam keadaan quasi-steady state.
Semakin bertambahnya
waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan dengan persamaan berikut : F D=
.......................................................... (12) Vo + F .t
dengan F = laju pengumpanan, Vo = volume awal kultur, t = waktu pengumpanan pada operasi fed -batch.. Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa.
Namun demikian, pada laju pertumbuhan
yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed -batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara eksponensial menggunakan sistem kontrol komputer (Trevan et al. 1987). Perbedaan mendasar antara keadaan steady state pada suatu kultur kemostat dengan keadaan quasi-steady state pada kultur fed -batch adalah bahwa µ konstan pada sistem kemostat, namun menurun pada sistem fed -batch (Stanbury dan Whitaker 1984).
METODOLOGI Metode Penelitian Penelitian dibagi menjadi lima tahap, yaitu : (1) persiapan substrat, (2) kajian kinetika kultivasi batch, (3) kultivasi fed-batch dengan perlakuan variasi jenis substrat pengumpan, (4) pembatasan aerasi pada kultivasi fed -batch terpilih dan (5) karakterisasi PHA yang dihasilkan dari perlakuan terbaik. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Persiapan Substrat Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu (Akyuni 2004) Suspensi pati sagu dalam air 30% (b/v) diatur pH-nya 6-6,5 dengan menambahkan
CaCO3
kemudian
digelatinisasi
sempurna
dengan
cara
memanaskan (70-80 oC) dan mengaduknya hingga kental dan bening. Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan a-amilase sebanyak 1,75 U/g pati dan memanaskan (disertai pengadukan) suspensi pati yang telah tergelatinisasi pada suhu 90-95 oC selama 210 menit. Hasil likuifikasi selanjutnya disakarifikasi pada suhu 60 oC, pH 4-4,5 selama 48-60 jam pada inkubator goyang 150 rpm dengan menambahkan amiloglukosidase (AMG) sebanyak 0,3 U/g pati. Hidrolisat hasil sakarifikasi dipanaskan pada suhu 105 oC selama 5 menit untuk menginaktifkan enzim.
Untuk menjernihkan warna, hidrolisat ditambah
arang aktif (1-2% bobot pati), dipanaskan 80 oC selama satu jam lalu disaring vakum.
Hidrolisat pati sagu tersebut telah siap digunakan sebagai sumber karbon
kultivasi dan nitrogen
dianalisis
(Kjeldahl),
(Apriyantono et al.
konsentrasi mineral
gula
(metode Fenol-Sulfat), total
(AAS/Spektofotometri
Absorpsi
Atom)
1989) dan profil gula (High Performance Liquid
Chromatography/HPLC). dilihat pada Gambar 7.
total
Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu dapat
Prosedur analisis total gula dan nitrogen secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 1a dan 1b.
24
Persiapan substrat Hidrolisis enzimatis pati sagu (a-amilase, AMG) Persiapan media dan kultur
Analisis hidrolisatsagu sagu: Analisa hidrolisat
Konsentrasi total gula (metode Fenol ulfat),profil profilgula gula(HPLC), (HPLC), fenol -S sulfat), 5 mineral mineral (AAS), (AAS), total total N N (Kjehldahl) (Kjehldahl)
Kinetika kultivasi batch R. eutropha (labu kocok 250 ml, volume kerja 100 mL) Perlakuan : [total gula] hidrolisat pati sagu 10, 20, 30, 40, 50 g/L
Analisis sampel kultur: [sel kering] dan [gula sisa] tiap 6 jam selama 48 jam kultivasi
Luaran : [gula] terbaik, Parameter : µmaks tertinggi
Kinetika kultivasi batch R. eutropha pada konsentrasi gula terpilih (bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L)
Analisis sampel kultur: [sel kering], [PHA] dan [gula sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi
Luaran : - fase stasioner, µmaks - Yx/s,Y p/x, Yp / s, dS/dt, dP/dt, ? S/So
Kultivasi fed -batch (bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L) Pengumpanan susbtrat pada awal fase stasioner : F1 = media lengkap seperti tahap batch F2 = hidrolisat pati sagu F3 = hidrolisat pati sagu + MgSO4 F4 = hidrolisat pati sagu + MgSO4 + (NH 4)2HPO 4
Analisis sampel kultur: - [sel kering] dan [gula sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi - [PHA] jam ke-96
Luaran : jenis substrat terbaik, Parameter: [PHA] dan kadar PHA dalam sel
Pembatasan aerasi pada fase stasioner Kultivasi fed-batch terbaik dengan dan tanpa pembatasan aerasi, dibandingkan kultivasi batch dengan tanpa pembatasan aerasi
Evaluasi perlakuan terbaik Parameter: [PHA] dan kadar PHA dalam sel Karakterisasi PHA Sifat termal (DSC), gugus fungsional (FTIR), kemurnian PHB (GC)
Gambar 6 D iagram alir penelitian.
Analisis sampel kultur: - [sel kering] dan [gula sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi - [PHA] jam ke-96
25
Pati sagu Air Suspensi pati 30% CaCO 3 pH diatur 6-6,5
Gelatinisasi a- amilase 1,75 U/g Likuifikasi 90-95 oC ~ 210 menit positif
Uji iod HCl 0,2N
negatif
pH diatur 4-4,5 AMG 0,3 U/g Sakarifikasi 60 oC, 48-60 jam, 150 rpm
Inaktivasi enzim 105 oC ~ 5 menit Arang aktif 1-2% Pemanasan 80 oC~ 1 jam
Penyaringan vakum
Hidrolisat pati sagu
Gambar 7 Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis.
26
Persiapan Media dan K ultur Kultur
R.
eutropha
dipelihara
dalam
bentuk
kering-beku.
Kultur
disegarkan setiap 2 minggu dengan menumbuhkannya pada media Nutrient Broth (inkubasi 34 oC selama 24 jam). Formulasi media kultivasi per liter adalah X mL hidrolisat pati sagu dan Y g (NH 4)2HPO 4 sedemikian rupa sehingga rasio C/N awal 10:1 dengan asumsi bahwa konsentrasi karbon pada hidrolisat sagu = 40% dari total gula dan konsentrasi N pada (NH4)2HPO 4 adalah 21,21% (contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2); 5,8 g K2HPO4; 3,7 g KH 2PO4; 10 mL MgSO 4 0,1 M; dan 1 mL larutan mikroelemen. Larutan mikroelemen terdiri dari 2,78 g FeSO4.7H 2O; 1,98 g MnCl2.4H2O; 2,81 g CoSO4.7H 2O; 1,67 g CaCl2.2H 2O; 0,17 g CuCl2.2H 2O dan 0,29 g ZnSO4.7H2O yang dilarutkan dalam 1 L HCl 1 N (Ayorinde et al. 1998). Sebelum digunakan, media disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit (sumber karbon dan sumber nitrogen disterilisasi dalam wadah yang terpisah untuk menghindari reaksi pencoklatan). Media didiamkan beberapa saat setelah disterilisasi sehingga suhunya 25-30 oC dan siap diinokulasi. Untuk keperluan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan propagasi kultur dengan menumbuhkan kultur segar R. eutropha ke dalam media steril (10% v/v) pada inkubator goyang 150 rpm, suhu 34 oC selama 24 jam. Komposisi media propagasi sama dengan media kultivasi sedangkan volume kultur propagasi 10% dari volume media kultivasi. Kultur hasil propagasi selanjutnya diinokulasikan ke dalam media kultivasi. Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha Untuk mempelajari karakteristik dasar pertumbuhan sel pada hidrolisat pati sagu, kultur R. eutropha hasil propagasi ditumbuhkan secara batch selama 48 jam pada skala labu kocok 250 mL, volume kerja 100 mL media kultivasi (formulasi media seperti disebutkan di atas).
Konsentrasi awal total gula
hidrolisat pati sagu dalam media diatur sebesar 10, 20, 30, 40 dan 50 g/L, rasio C/N awal 10:1 , pH awal 6,9, suhu inkubasi 34 oC dan agitasi 150 rpm. Parameter yang diamati setiap selang waktu 6 jam adalah konsentrasi sel kering (metode gravimetri) dan konsentrasi gula sisa (metode Fenol-Sulfat). Konsentrasi total
27
gula yang memberikan nilai µmaks (laju pertumbuhan spesifik maksimal) tertinggi dipilih untuk tahap berikutnya. Selanjutnya R. eutropha ditumbuhkan secara batch selama 96 jam pada bioreaktor berkapasitas 2 L, volume kerja 1 L dengan konsentrasi gula terpilih, pH 6,9, suhu 34 oC, agitasi 150 rpm dan aerasi 0,2 vvm. Parameter yang diamati setiap 12 jam adalah konsentrasi sel kering, konsentrasi gula sisa dan konsentrasi PHA (metode NaOH digestion). Prosedur analisis pengukuran parameter dapat dilihat pada Lampiran 1a, 1c dan 1d. Kadar PHA dalam sel merupakan persentase hasil pembagian konsentrasi PHA dengan konsentrasi sel kering.
Pola pertumbuhan sel dan konsumsi gula
diamati untuk menentukan mulai terjadinya fase stasioner ketika konsentrasi gula sisa hampir habis. Kinetika pertumbuhan sel, pembentukan produk PHA dan penggunaan substrat gula dievaluasi. Kultivasi Fed-ba tch dengan Pengumpanan Berbagai Jenis Substrat Pada tahap ini dilakukan pengumpanan pada awal fase stasioner dengan perlakuan 4 jenis substrat pengumpan, yaitu : (1) media lengkap dengan komposisi dan volume sama dengan media pada tahap batch (F1), (2) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L (F2), (3) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L + MgSO4.7H 2O 8,57 g/L (F3) , (4) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L + MgSO4.7H 2O 8,57 g/L + (NH4)2HPO4 56,15 g/L (F4). Kultivasi fed -batch dilakukan pada bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L, pH 6,9, agitasi 150 rpm, suhu 34 oC dan aerasi 0,2 vvm.
Metode pengumpanan F1,
F2, F3 dilakukan berdasarkan Byrom (1990), yaitu substrat dumpankan pada saat mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner (ketika ketersediaan nutrisi menipis).
Pada perlakuan F1, ke dalam kultur diumpankan media segar
dengan komposisi dan volume sama dengan media yang digunakan pada awal kultivasi; volume awal media batch dan volume umpan masing-masing adalah 500 mL, kecepatan pengumpanan konstan 1 mL/menit.
Pada perlakuan F2, F3
28
dan F4 ke dalam 1 L kultur batch diumpankan sejumlah substrat yang setara dengan 20 g gula per L kultur atau sekitar 66,7 mL larutan stok dengan kecepatan pengumpanan konstan 1,7 mL/menit. Pada perlakuan F4 dilakukan dua kali pengumpanan, yaitu pada jam ke-48 dan 96. Hal ini dilakukan berdasarkan metode
yang dikembangkan oleh Hahn et al. (1995) yaitu pengumpanan
berdasarkan pH kultur; jika pH kultur >6,9 (menandakan gula dalam media hampir habis dikonsumsi) maka ke dalam kultur diumpankan sejumlah larutan stok yang menghasilkan konsentrasi glukosa dalam kultur sekitar 20 g/L. Konsentrasi gula yang diumpan setara dengan 20 g gula/L kultur berdasarkan penelitian Kim et al. (1994) dan Braunegg et al. (1995) yang mengatur konsentrasi glukosa pada fase akumulasi polimer oleh R. eutopha pada rentang 10-20 g/L dan 5-20 g/L. Pengamatan dilakukan tiap 12 jam selama 96 jam (untuk F1, F2, F3) dan 168 jam (untuk F4) meliputi konsentrasi sel kering dan konsentrasi gula sisa. Analisis konsentrasi PHA dan penghitungan kadar PHA dalam sel dilakukan pada akhir kultivasi.
Perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan konsentrasi PHA
dan kadar PHA dalam sel yang tertinggi.
Sebagai pembanding, digunakan data
hasil kultivasi batch pada tahap sebelumnya.
Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Fed-batch Terpilih Pada tahap ini dilakukan kultivasi fed -batch dengan jenis substrat pengumpan terbaik hasil evaluasi tahap sebelumnya dengan pembatasan aerasi dan tanpa pembatasan aerasi (aerasi tetap 0,2 vvm). Pembatasan aerasi dilakukan dengan mematikan sistem aerasi mulai fase stasioner sampai akhir kultivasi jam ke-96.
Sebagai pembanding, dilakukan kultivasi batch dengan pembatasan aerasi
dan tanpa pembatasan aerasi. Pengamatan dilakukan tiap 12 jam selama 96 jam meliputi konsentrasi sel kering dan konsentrasi gula sisa. Analisis konsentrasi PHA dan penghitungan kadar PHA dalam sel dilakukan pada akhir kultivasi. Perlakuan terbaik dipilih berdasarkan parameter konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel yang tertinggi.
29
Karakterisasi PHA PHA yang dihasilkan dari perlakuan terbaik dianalisis sifat termal, gugus fungsional dan kemurnian PHB.
Sifat termal dianalisis menggunakan DSC
(Differential Scanning Calorimetry) PerkinElmerTM dengan program pemanasan 50–200 oC dengan laju pemanasan l0 oC per menit, sebagai purge gas digunakan gas nitrogen dengan kecepatan aliran 50 mL/menit. Analisis gugus fungsional dilakukan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) dengan standar uji ASTM E 1252-98 dimana serbuk sampel PHA dibentuk pelet bersama kristal KBr. Analisis kemurnian PHB dilakukan menggunakan GC (Gas Chromatography). Serbuk sampel PHA dan standar PHB murni dimetanolisis asam dengan metode Braunegg et al. (1978). Prosedur persiapan sampel dapat dilihat pada Lampiran 1e.
Kemurnian PHB pada sampel PHA merupakan
perbandingan relatif antara persentase PHB dalam sampel PHA terhadap persentase PHB dalam standar PHB murni, dikalikan 100%.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor dan laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karakterisasi PHA dilakukan di Puspiptek Serpong dan Balai Penelitian Pascapanen Bogor. Penelitian berlangsung selama 1 tahun (Desember 2004 - Desember 2005).
Bahan dan Alat Galur bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Cellular Biosciences, The University of Tokyo. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat pati sagu adalah pati sagu, a -amilase, amiloglukosidase (AMG), CaCO3, iod, HCl 0,2 N dan arang aktif. Pati sagu (Metroxylon sp) diperoleh dari pabrik pati sagu rakyat di Cimahpar, Bogor . aamilase dan amiloglukosidase diperoleh dari PT Puncak Gunung Mas Jakarta.
30
Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah Nutrient Broth, (NH4)2HPO4,
K 2HPO4,
KH2PO4,
MgSO4,
FeSO4.7H 2O,
MnCl2.4H 2O,
CoSO 4.7H 2O, CaCl2.7H 2O, CuCl2.2H 2O , ZnSO 4.7H 2O, NaOH dan H3PO 4. Untuk analisis karakteristik PHA digunakan pembanding PHB murni komersial (natural origin ) merk Sigma-Aldrich. Alat-alat utama yang digunakan adalah penyaring vakum, oven, shaking waterbath , termometer, pipet mikro, neraca analitik, inkubator, spektofotometer, bioreaktor Biostat M kapasitas 2 L (Gambar 8), pompa perista ltik, sent rifus dingin kecepatan tinggi, DSC (Differential Scanning Calorymetry), FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy) dan kromatografi gas. Pengatur pH
Display pH, suhu, agitasi
Tombol On/Off Pengatur suhu dan agitasi
Elektroda pH
Penyaring udara
Pemanas air Selang umpan Botol asam/basa Botol umpan
Selang pengambilan contoh
Tangki/ bejana
Pengatur aerasi
Pompa peristaltik
Botol umpan
Gambar 8 Bioreaktor Biostat M skala 2 L yang digunakan untuk penelitian.
31
Rancangan Percobaan Untuk
mengetahui
pengaruh
jenis
substrat
pengumpan
terhadap
konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi fed-batch, digunakan rancangan acak lengkap faktor tunggal yang terdiri dari lima taraf dengan dua kali ulangan.
Model matematika yang digunakan
adalah Yik = µ + Fi + eik (Montgomery 1991), dengan : i
= 1, 2, 3, 4, 5 (jenis substrat yang diumpan)
k = 1, 2 (ulangan) Yik = variabel respon karena pengaruh jenis umpan ke-i, ulangan ke-k µ = rata-rata sebenarnya Fi = pengaruh jenis umpan taraf ke-i eik = galat percobaan karena jenis umpan ke-i pada ulangan ke-k Untuk
mengetahui
pengaruh
aerasi
dan
interaksi
aerasi
dengan
pengumpanan substrat terpilih terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi, digunakan rancangan acak lengkap faktorial 2 x 2 dengan 2 kali ulangan. Model matematika yang digunakan adalah Yijk = µ + Ai + Fj + (AF) ij + eijk (Montgomery 1991), dengan : i j k
= 1,2 (aerasi tetap dan tanpa aerasi selama fase stasioner) = 1,2 (jenis umpan terpilih tahap sebelumnya dan tanpa umpan) = 1,2 (ulangan)
Yijk
= variabel respon karena pengaruh faktor aerasi ke-i dan pengumpanan ke-j pada ulangan ke-k = rata-rata sebenarnya
µ
Ai = pengaruh faktor aerasi taraf ke-i Bj = pengaruh faktor pengumpanan taraf ke-j (AB) ij = pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor aerasi dan taraf ke-j faktor pengumpanan eijk = galat percobaan karena perlakuan aerasi ke-i dan pengumpanan ke -j pada ulangan ke-k Berikut ini ditampilkan diagram perlakuan dan pensimbolan yang dilakukan: Pengumpanan (F) Umpan terpilih (fed-batch ) Tanpa umpan (batch)
Aerasi tetap A1F1 (F2 ) A1F2(B)
Aerasi (A) Aerasi dihentikan A2F1 (F5) A2F1 (Ao)
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Hidrolisat Pati Sagu Sebelum digunakan sebagai media kultivasi, hidrolisat pati sagu terlebih dahulu dikarakterisasi (Tabel 2). Parameter konsentrasi total gula dan total nitrogen digunakan sebagai dasar perhitungan konsentrasi karbon dan nitrogen dalam formulasi media kultivasi.
Profil gula (sakarida) menggambarkan berbagai
jenis gula yang terkandung dalam hidrolisat pati sagu.
Hal ini terkait dengan
efektifitas proses hidrolisis yang dilakukan dan juga terkait dengan evaluasi kemungkinan konsumsi gula oleh bakteri.
Sementara itu, informasi mengenai
kandungan logam pada hidrolisat pati sagu digunakan untuk mendeteksi jika ada logam-logam
yang
mungkin
dapat
menghambat
atau
justru
pertumbuhan bakteri. Tabel 2 Karakteristik hidrolisat pati sagu Komponen Konsentrasi total gula Komposisi gula : Glukosa Maltosa Maltotriosa Matotetrosa Maltopentosa Maltoheksosa Maltoheptosa Lainnya Nitrogen Kandungan logam : Pb Zn Cu Fe Ca Mn Mg Na K
J umlah
Satuan g/L
43,29 9,04 14,71 9,71 7,46 4,82 9,46 1,51 141,75
% % % % % % % % mg/L
0,057 0,276 0,024 0,411 78,725 4,416 7,325 2,111 99,75
ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm
menunjang
33
Konsentrasi total gula hidrolisat sagu sebagaimana tertera pada Tabel 2 adalah 465 g/L, menunjukkan bahwa terdapat 465 g glukosa/L hidrolisat pati sagu, baik dalam bentuk glukosa bebas (monosakarida) maupun unit-unit glukosa yang terikat sebagai molekul disakarida maupun oligosakarida. Kurva standar untuk penentuan konsentrasi glukosa disajikan pada Lampiran 3.
Pada pembahasan
selanjutnya, istilah ‘konsentrasi total gula’ (hasil analisis menggunakan metode Fenol-Sulfat) menggambarkan konsentrasi total glukosa yang terdapat pada analat. Berdasarkan hasil analisis HPLC (Lampiran 4 dan 5) didapatkan bahwa selain mengandung glukosa sebagai komponen gula utama (43,29%), hidrolisat pati sagu juga mengandung maltosa (disakarida ), maltotriosa, maltotetrosa, maltopentosa, maltoheksosa dan maltoheptosa (oligosakarida ) lebih dari 50% . Hal ini menunjukkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis yang terjadi belum sempurna. Meskipun demikian, dengan terurainya komponen polis akarida pati sagu yang kompleks menjadi turunan gula yang lebih sederhana akan memudahkan bakteri memanfaatkannya sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan dan pembentukan produk yang diharapkan.
Babel et al. (2001) me nyatakan
bahwa PHB dapat disintesis dari komponen-komponen C1 tereduksi seperti metana dan metanol, dari Knallgas (gas peledak) dan dari substrat multikarbon seperti karbohidrat dan hidrokarbon baik dari substrat murni maupun limbah bahkan dari komponen beracun seperti fenol. R. eutropha tipe liar dilaporkan dapat tumbuh pada fruktosa sedangkan tipe mutan dapat tumbuh pada glukosa (John et al. 1994). Karbohidrat lain yang telah diteliti dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan dan produksi PHA oleh R. eutropha adalah xilosa (Linko et al. 1993), L-laktat hasil konversi xilosa (Tanaka et al. 1993), hidrolisat laktosa , gula invert (Marangoni et al. 2001), selulosa limbah jagung (Chakraborty et al. 2004) dan hidrolisat tapioka yang mengandung 90% glukosa (Kim dan Chang 1995 dikutip oleh Madison dan Huisman 1999) . Pada penelitian ini akan dikaji kemampuan R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu yang mengandung glukosa sekitar 43% . Kandungan nitrogen dan mineral logam pada hidrolisat sagu seperti Mg, Fe, Na, K, Zn, Cu, Ca, Mn merupakan elemen-elemen yang dibutuhkan untuk
34
pertumbuhan mikroba. Nitrogen pada hidrolisat pati sagu berasal dari kandungan protein alami pada pati sagu dan komponen protein pada enzim yang digunakan pada proses hidrolisis pati sagu, yaitu a-amilase dan amiloglukosidase. Hughes et al. (1984) menyatakan bahwa berbagai nutrisi dalam bentuk garam la rut air yang secara umum dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba adalah nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), potasium (K), sodium (Na), magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan besi (Fe). Selain itu juga dibutuhkan mineral kelumit seperti mangan (Mn), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Konsent rasi mineral yang paling dominan pada hidrolisat pati sagu adalah K (kalium) sebanyak 99,75 ppm dan Ca (kalsium) sebanyak 78,725 ppm. Kalsium terutama berasal dari penambahan CaCO3 yang berfungsi sebagai penstabil a-amilase pada proses likuifikasi pati sagu. Pada media kultivasi, berfungsi sebagai sumber karbon adalah hidrolisat pati sagu sedangkan sebagai sumber nitrogen adalah (NH4)2HPO 4 yang merupakan nitrogen inorganik dan kandungan nitrogen organik yang terdapat dalam hidrolisat sagu.
Rasio C/N media pada awal kultivasi diatur dengan
perbandingan 10:1 dengan asumsi penghitungan bahwa konsentrasi karbon dalam gula (glukosa) adalah 40% (sebanding dengan perbandingan bobot atom C dalam molekul gula) sedangkan konsentrasi N dalam (NH4)2HPO4 adalah 21,21% (sebanding dengan perbandingan bobot atom N dalam molekul diamonium
hidrogen
fosfat).
Jumlah
(NH4)2HPO 4
yang
ditambahkan
disesuaikan dengan jumlah N yang terdapat pada hidrolisat sagu sedemikian, sehingga konsentrasi total N dalam media mencapai sepersepuluh konsentrasi karbon. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2. Penetapan rasio C/N awal media 10:1 dipilih berdasarkan hasil penelitian Syamsu et al. (2003), Chakraborty et al. (2004) dan Wicaksono (2005). Syamsu et al. (2003) mendapakan bahwa R. eutropha IAM 12368 yang ditumbuhkan pada susbtrat hidrolisat minyak sawit dengan rasio C/N 10:1 menunjukkan kadar PHA dalam sel tertinggi.
Chakraborty et al. (2004)
melaporkan bahwa R. eutropha ATCC 17699 yang ditumbuhkan pada substrat CCS (condensed corn soluble ) dengan rasio C/N 10:1 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan sel yang optimum dibandingkan dengan rasio C/N 5:1 maupun 15:1. Wicaksono (2005) mendapatkan bahwa
35
pertumbuhan R. eutropha IAM 12368 pada hidrolisat minyak sawit (skala labu kocok 250 mL) pada rasio C/N sekitar 10:1 (konsentrasi karbon 41,9 g/L dan konsentrasi nitrogen 4,3 g/L) menunjukkan konsentrasi biomassa tertinggi yaitu 19,43 g/L.
Sementara itu, konsentrasi PHA maksimum sebesar 10,96 g/L
diperoleh pada konsentrasi karbon 40 g/L dan konsentrasi nitrogen 4,5 g/L (rasio C/N sekitar 9:1). Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa media kultivasi dengan rasio C/N awal sekitar 10:1 kondusif bagi pertumbuhan sel R. eutropha sekaligus juga bagi pembentukan PHA di dalam sel R. eutropha.
Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha
Kultivasi R. eutropha pada Labu Kocok 250 mL Produksi PHA oleh R. eutropha dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan
sel yang
bertujuan
untuk
pembentukan
biomassa
dan tahap
akumulasi polimer, tergantung dari sumber karbon yang diumpankan dengan pembatasan-pembatasan nutrisi (nitrogen, fosfat, oksigen, dll). merupakan granula intraselular
Dikarenakan PHA
maka laju pertumbuhan spesifik pada tahap
pertama haruslah setinggi mungkin agar tercapai produktifitas sel yang optimal (Marangoni et al. 2001). Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap ini dilakukan evaluasi konsentrasi gula yang memberikan laju pertumbuhan spesifik maksimal R. eutropha yang tertinggi pada kultivasi batch. Pola pertumbuhan sel R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada skala labu kocok 250 mL dengan konsentrasi awal total gula hidrolisat pati sagu 10, 20, 30, 40, 50 g/L dan rasio C/N awal 10:1 disajikan pada Gambar 9 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 6a). R. eutropha secara umum mengalami fase eksponensial pada jam ke-6 hingga jam ke-24, tumbuh melambat pada jam ke-24 hingga jam ke-36 dan cenderung stasioner mulai jam ke-36.
Terkecuali
pada konsentrasi gula 10 g/L, sel tumbuh secara eksponensial setelah jam ke-0 hingga jam ke-12, melambat hingga jam ke-30 dan cenderung stasioner mulai jam ke-30.
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
36
2
1 TG 10 g/L TG 20 g/L
0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
TG 30 g/L TG 40 g/L
-1
TG 50 g/L
-2 Waktu (jam)
Gambar 9 Pola pertumbuhan R. eutropha secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu (labu kocok 250 mL). Pada rentang konsentrasi gula awal 10 sampai 50 g/L, secara umum semakin tinggi konsentrasi gula maka semakin tinggi pula konsentrasi sel R. eutropha yang tumbuh selama kultivasi meskipun tida k demikian dengan tingkat laju pertumbuhannya.
Pada rasio C/N awal yang sama, semakin tinggi
konsentrasi karbon dan nitrogen dalam media berarti semakin banyak bahan yang dapat dikonversi menjadi materi penyusun dan penggandaan sel. Evaluasi konsentrasi gula yang akan digunakan pada tahap selanjutnya dilakukan berdasarkan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks ) yang tertinggi. Nilai µmaks merupakan gradien kemiringan garis (slope) yang didapatkan dari hasil regresi lin ier nilai Ln (logaritmik natural) konsentrasi sel kering selama fase pertumbuhan eksponensial yaitu jam ke-6 sampai dengan jam ke-24 (Gambar 10). Rekapitulasi nilai µmaks R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi gula awal hidrolisat pati sagu (skala labu kocok 250 mL) disajikan pada Tabel 3.
Ln Konsentrasi sel kering (g/L)
37
2 y10 = 0,076x - 1,2578 y20 = 0,0892x - 1,1562 y30 = 0,1083x - 1,2804 y40 = 0,1082x - 1,0679
1
TG 10 g/L
y50 = 0,0966x - 0,8517
TG 20 g/L
0
TG 30 g/L
0
6
12
18
24
TG 40 g/L TG 50 g/L
-1
-2
Waktu (jam)
Gambar 10 Plot nilai µmaks R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Tabel 3 Nilai µmaks R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi gula hidrolisat pati sagu Konsentrasi gula awal (g/L) 10 20 30 40 50
µ maks (jam -1) 0,0760 0,0892 0,1083 0,1082 0,0966
Pada rentang konsentrasi gula 10-30 g/L, terdapat kecenderungan semakin tinggi konsentrasi gula
maka semakin tinggi pula nilai µmaks yang diperoleh;
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimal semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi karbon dan nitrogen dalam media. Akan tetapi, µmaks pada konsentrasi gula 30 g/L relatif sama dengan µmaks pada konsentrasi gula 40 g/L sedangkan pada konsentrasi gula 50 g/L, µmaks justru sedikit menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi gula yang lebih besar dari 40 g/L,
sel mulai mengalami penurunan laju pertumbuhan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya penghambatan substrat atau akumulasi produk samping selama kultivasi, seperti asam-asam organik, yang pada taraf tertentu dapat menghambat laju pertumbuhan bakteri. Scragg (1991) menyatakan bahwa substrat
38
tertentu seperti glukosa dan NaCl pada konsentrasi tinggi dapat menjadi toksik yang menyebabkan penghambatan pertumbuhan dan menurunkan nilai µ.
Pada
konsentrasi glukosa yang tinggi (40-300 g/L), tekanan osmotik dalam media menyebabkan sel mengalami dehidrasi.
Hanya organisme osmotoleran yang
dapat bertahan pada kondisi tersebut. Greasam (1993) juga menyatakan bahwa jika konsentrasi glukosa pada media ditingkatkan hingga 50 g/L atau lebih
maka
pertumbuhan bakteri mulai menurun karena terjadi dehidrasi sel (plasmolisis). Nilai
µmaks
yang
didapatkan
pada
penelitian
ini
berkisar
0,0760-
0,1083/jam; nilai µmaks tertinggi diperoleh pada konsentrasi gula 30 g/L, yaitu 0,1083/jam. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan temuan dan Braunegg et al. (1995) dan Marangoni et al. (2001). Nilai µmaks R. eutropha mutan DSM 454 yang ditumbuhkan secara batch dengan sumber karbon gula invert, glukosa, fruktosa dan galaktosa berturut-berturut adalah 0,26, 0,23, 0,21 dan 0,13 jam-1 (Marangoni et al. 2001). Sementara itu, nilai µmaks R. eutropha G3+ yang ditumbuhkan dengan sumber karbon glukosa mencapai 0,32 jam-1 (Braunegg et al. 1995). Lambatnya pertumbuhan sel pada hidrolisat pati sagu diduga disebabkan oleh terbatasnya kemampuan R. eutropha untuk memecah gula -gula kompleks yang
terdapat
pada
hidrolisat
pati
sagu.
Pada
dasarnya,
bakteri
akan
mengkonsumsi gula yang paling sederhana (glukosa) terlebih dahulu kemudian beradaptasi untuk memecah gula-gula yang lebih panjang (maltosa-maltoheptosa) jika memiliki enzim yang dapat memecah ikatan a -glikosidik antar monomer glukosa. Berdasarkan hasil evaluasi konsumsi gula oleh R. eutropha selama kultivasi batch (Gambar 11), terlihat bahwa konsentrasi gula sisa pada akhir kultivasi jam ke-48 mencapai > 20% dari konsentrasi gula awal. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 20% gula kompleks yang terdapat pada hidrolisat pati sagu tidak dikonsumsi atau tidak dapat dipecah oleh R. eutropha .
Konsentrasi gula sisa (g/L)
39
60
y10 = -0,1589x + 9,7916 y20 = -0,25x + 16,606
50
y30 = -0,4379x + 25,169
40
TG 10 g/L
y40 = -0,5428x + 31,853
TG 20 g/L
y50 = -0,7156x + 42,484
30
TG 30 g/L TG 40 g/L
20
TG 50 g/L
10 0 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu (jam)
Gambar 11 P ola konsumsi gula R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Pada Gambar 11 terlihat bahwa konsentrasi gula menurun selama kultivasi berlangsung; menunjukkan bahwa R. eutropha mengkonsumsi sebagian besar gula yang terdapat pada hidrolisat pati sagu untuk proses metabolisme sel dan atau produk.
Kemiringan garis dari persamaan regresi linier menggambarkan besarnya
kecepatan konsumsi gula (g/L.jam) pada tingkat konsentrasi gula awal yang dicobakan (10, 20, 30, 40 dan 50 g/L). Tampak bahwa pada konsentrasi gula awal yang semakin tinggi, kecepatan konsumsi gula juga semakin tinggi.
Hal ini
terkait dengan semakin tingginya konsentrasi sel yang terbentuk dengan semakin tingginya konsentrasi awal gula hidrolisat pati sagu. Data konsentrasi gula sisa selama kultivasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 6b. Oleh karena nilai µmaks yang diperoleh pada total gula 30 g/L relatif sama dengan µmaks pada total gula 40 g/L maka untuk menentukan konsentrasi gula awal terbaik
digunakan
parameter
lain,
yaitu
nilai Yx/s. Nilai Yx/s
merupakan
kemiringan garis (slope) hasil plot linier konsentrasi sel yang terbentuk akibat konsumsi sejumlah gula pada selang waktu tertentu (Gambar 12). nilai Y x/s selengkapnya disajikan pada Tabel 4.
Rekapitulasi
40
7 6
y10 = 0,2921x - 0,0814
5
y20 = 0,2829x - 0,9109
TG 10 g/L
(X-Xo)
4
TG 20 g/L
3 2 1
y30 = 0,2267x - 0,8792
TG 30 g/L
y40 = 0,1648x - 0,8442
TG 40 g/L
y50 = 0,1633x - 0,9111
TG 50 g/L
0 -1 0
10
20
30
40
50
Linear (TG
-2
(So-S)
Gambar 12 Plot nilai Yx/s R. eutropha yang ditumbuhkan pada berbagai konsentrasi total gula (TG) hidrolisat pati sagu. Tabel 4 Nilai Y x/s R. eutropha yang ditumbuhkan secara batch pada hidrolisat pati sagu Konsentrasi gula awal (g/L) 10 20 30 40 50
Yx/s (g sel/g gula) 0,292 0,283 0,227 0,165 0,163
Nilai Y x/s pada penelitian ini berkisar 0,163-0,292 g sel/g gula; hasil tersebut lebih rendah daripada temuan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan koefisien yield biomassa dari sumber karbon tunggal glukosa (Yx/s) 0,47 g sel/g glukosa selama fase pertumbuhan R. eutropha G3+ pada skala labu kocok dengan nutrisi
pembatas
NH4+.
Rendahnya
koefisien
rendemen
molekular
ini
mengindikasikan bahwa keberadaan gula-gula yang lebih kompleks dari glukosa pada hidrolisat pati sagu menyebabkan efisiensi konversinya menjadi sel relatif rendah.
Berdasarkan studi literatur, sejauh ini belum pernah dilaporkan bahwa R.
eutropha dapat tumbuh pada maltosa dan oligosakarida daripada glukosa seperti maltotriosa, Berbagai
maltotetrosa, referensi
maltopentosa,
menunjukkan
bahwa
maltoheksosa R.
maupun
eutropha
maltoheptosa.
dapat tumbuh dan
memproduksi PHA dengan sumber karbon gula-gula sederhana (monosakarida)
41
seperti fruktosa, glukosa, galaktosa dan xilosa; kalaupun substrat yang digunakan merupakan dimer, oligomer atau polimer
maka terlebih dahulu harus dilakukan
tahap hidrolisis untuk memecah ikatan polimerik. Berdasarkan Tabel 4, secara umum nilai Yx/s cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi gula. Semakin banyak nutrisi yang tersedia
maka
efisiensi konversinya menjadi sel cenderung berkurang. Nilai Yx/s pada perlakuan 30 g/L (0,227 g sel/g gula) lebih tinggi dibandingkan nilai Y x/s pada perlakuan 40 g/L (0,165 g sel/g gula); menunjukkan bahwa konversi substrat sel pada perlakuan 30 g/L lebih efisien daripada perlakuan 40 g/L. Oleh karena itu untuk tahap selanjutnya dipilih konsentrasi total gula awal 30 g/L.
Kultivasi R. eutropha pada Bioreaktor 2 L Untuk mempelajari kinetika kultivasi secara lebih rinci, R. eutropha ditumbuhkan secara batch pada bioreaktor berkapasitas 2 L, volume kerja 1 L selama 96 jam. Pada penelitian ini, proses recovey (pemisahan) PHA dari sel dilakukan dengan metode NaOH digestion (Lee et al. 1999). Endapan sel hasil sentrifugasi kultur direaksikan dengan larutan NaOH 0,2 N yang berfungsi untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA. Pada kondisi alkali, dinding sel akan rusak dan PHA terlepas dari sel (Schlingmann dan Präve 1978 dikutip oleh Lafferty et al. 1988).
Sebagaimana penggunaan sodium hipoklorit, larutan alkali akan
melarutkan materi-materi sel selain PHA. Pola pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha dievaluasi. Hasil percobaan (Gambar 13) menunjukkan bahwa sel R. eutropha mengalami fase pertumbuhan eksponensial setelah jam ke -0 hingga jam ke-36, tumbuh melambat pada jam ke-36 sampai jam ke-48 dan memasuki fase pertumbuhan stasioner mulai jam ke-48. Oleh karena PHA merupakan produk intraselular maka konsentrasi sel perlu dikoreksi sebagai konsentrasi residu sel yang menunjukkan konsentrasi sel kering dikurangi dengan konsentrasi PHA yang terbentuk. PHA mulai terbentuk sejak jam ke -12, konsentrasinya meningkat sampai jam ke-60 dan cenderung menurun hingga akhir kultivasi jam ke-96. Pada jam ke-48 hingga jam ke -60 ketika konsentrasi residu sel menurun, konsentrasi PHA justru sedikit meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi total
42
sel (sel dan PHA) yang cenderung konstan masih terjadi sintesis/akumulasi PHA di dalam sel pada awal fase stasioner. Kecepatan pembentukan PHA selama kultivasi batch selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 14.
Konsentrasi (g/L)
5 4 3 2 1 0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
Waktu (jam) [sel kering]
[PHA]
[residu sel kering]
Gambar 13 Pola pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada hidrolisat pati sagu (batch, bioreaktor 2 L).
0,04 0,036
dP/dt (g/L/jam)
0,03
0,027 0,024
0,02
0,01
0,008
0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
-0,01
Waktu (jam)
Gambar 14 Kecepatan pembentukan PHA oleh R. eutropha pada kultivasi batch . Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kecepatan pembentukan PHA meningkat signifikan hingga jam ke -36 dan perlahan menurun hingga tidak terjadi lagi pembentukan PHA pada jam ke -72. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan PHA te rjadi sejak fase eksponensial hingga awal fase stasioner.
43
Menjelang akhir kultivasi (setelah jam ke-72), ketika ketersediaan karbon dalam media sudah menipis, terjadi penurunan konsentrasi PHA. Diduga mulai terjadi depolimerisasi PHA menjadi karbondioksida dan air yang akan digunakan sebagai sumber karbon dan energi bagi sel akibat keterbatasan nutrisi karbon yang tersedia dalam media. Fenomena di atas sejalan dengan temuan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan bahwa sintesis PHA oleh R. eutropha G+3 dengan substrat glukosa menunjukkan pola berasosiasi sebagian dengan pertumbuhan (partial association with growth), yaitu pembentukan PHA sebagian terjadi pada fase pertumbuhan eksponensial dan sebagian terjadi pada fase pertumbuhan stasioner.
Namun
demikian, hal ini bertentangan dengan pendapat Madison dan Huisman (1999) yang menyatakan bahwa R. eutropha tidak memulai pembentukan PHA sampai fase stasioner.
Literatur tentang pola pembentukan PHA oleh R. eutropha
terkadang menyatakan hal yang berbeda-beda karena galur R. eutropha yang digunakan juga berbeda. Pola penggunaan gula oleh R. eutropha selama 96 jam kultivasi batch dan kecepatan
konsumsinya
disajikan
pada
Gambar
15.
R.
eutropha
akan
mengkonsumsi gula yang lebih sederhana (glukosa, maltosa) terlebih dahulu dibandingkan
gula
yang
lebih
kompleks
(oligosakarida).
Semakin sederhana
komponen gula maka semakin cepat laju konsumsinya.
1 0,83
25
0,8
20
0,65
0,6
15 0,4 10
0,21
0,2
5 0
dS/dt (g/L.jam)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
30
0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
Waktu (jam) Konsumsi gula
Kecepatan konsumsi gula
Gambar 15 Pola dan kecepatan konsumsi gula dalam hidrolisat pati sagu oleh R. eutropha selama kultivasi batch .
44
Kecepatan konsumsi gula (dihitung sebagai glukosa) oleh R. eutropha berfluktuasi selama kultivasi.
Hal ini terkait dengan laju pertumbuhan sel pada
masing-masing fase pertumbuhannya dan komposisi gula yang beragam pada hidrolisat sagu.
Pada fase pertumbuhan eksponensial, laju konsumsi gula
meningkat tajam dari 0,21 hingga 0,83 g/L.jam. Ketika laju pertumbuhan sel melambat, laju konsumsi gula juga melambat menjadi 0,65 g/L.jam.
Memasuki
fase stasioner (mulai jam ke-48), laju konsumsi gula menurun tajam hingga 0,08 g/L.jam pada jam ke-60 dan mendekati angka nol pada jam ke-72 seiring dengan semakin rendahnya residu gula dalam media. Pada fase stasioner (terutama jam ke-60 hingga jam ke-96), konsentrasi residu gula mendekati titik nol (< 1 g/L) seiring dengan laju pertumbuhan spesifik (µ) yang menunjukkan angka nol sedangkan ? S/So mencapai 99% (data disajikan pada Lampiran 7).
Fenomena ini menunjukkan bahwa hidrolisat pati sagu yang
mengandung gula-gula kompleks dapat digunakan oleh R. eutropha sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan sel dan pembentukan produk hingga 99% selama 96 jam kultivasi batch pada skala bioreaktor 2 L, hanya sekitar 1% yang tidak dapat dikonsumsi.
Kemungkinan besar komponen yang tidak dikonsumsi
adalah komponen gula yang lebih kompleks daripada maltoheptosa dimana jumlah komponen tersebut pada hidrolisat sagu mencapai 1,51% (Tabel 2). Namun demikian, kemampuan R. eutropha dalam memecah oligosakarida dari glukosa ini belum dapat dijustifikasi karena memerlukan klarifikasi lebih lanjut, misalnya analisis HPLC untuk mengevaluasi komposisi gula kultur pada awal dan akhir kultivasi batch. Pada penelitian ini, analisis tersebut tidak lakukan. Parameter kinetika kultivasi R. eutropha secara batch pada bioreaktor 2 L terkait dengan laju pertumbuhan spesifik (µmaks), rendemen sel yang terbentuk per g substrat (Y x/s), rendemen produk PHA per g substrat (Y p/s), rendemen produk PHA per g sel (Yp/x) dan tingkat konsumsi gula selama 96 jam kultivasi (? S/So) disajikan pada Tabel 5. Nilai µmaks yang didapat 0,109 jam-1, lebih rendah daripada hasil percobaan Braunegg et al. (1995) yang mendapatkan nilai µmaks sebesar 0,19 jam-1 selama fase pertumbuhan R. eutropha G3+ dengan sumber karbon glukosa pada bioreaktor 10 L. Nilai Y x/s yang didapat pada penelitian ini lebih besar daripada nilai Yp/s.
Hal ini menunjukkan bahwa gula yang dikonsumsi lebih
45
banyak digunakan untuk pembentukan dan penggandaan sel dibandingkan untuk pembentukan produk PHA. Tabel 5 Parameter kinetika kultivasi batch R. eutropha yang ditumbuhkan pada hidrolisat pati sagu (bioreaktor 2 L ) Parameter µmaks Yx/s Yp/s Yp/x ? S/So
Nilai 0,109 jam -1 0,15 g sel/g gula 0,06 g PHA/g gula 0,38 g PHA/ g sel 0,99
Pada kondisi pertumbuhan yang relatif seimbang (rasio awal C/N 10:1), secara alami R. eutropha mengakumulasi PHA dalam selnya meskipun relatif rendah, ditunjukkan dengan nilai Yp/x = 0,38 g PHA/g sel. PHA disintesis sebagai bahan cadangan karbon dan energi intraselular.
Dengan demikian, bakteri yang
secara alami menghasilkan PHA memiliki ketahanan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak (Tal dan Okon 1985 dikutip oleh Kim dan Lenz 2001).
Pada akhir kultivasi (jam ke-96) dihasilkan biomassa kering dengan
konsentrasi 4,41 g/L dan PHA dengan konsentrasi 1,44 g/L atau 32,65 % dari bobot biomassa.
Data dan penghitungan kinetika kultivasi selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Kultivasi Fed-batch Percobaan utama yang dilakukan pada tahap ini adalah ketika konsentrasi sel mencapai maksimum dan konsentrasi gula dalam media hampir habis dikonsumsi mikroba pada awal fase pertumbuhan stasioner maka diumpankan berbagai formula substrat/media segar ke dalam kultur untuk dilihat responnya terhadap
pembentukan
sel dan
PHA.
Berdasarkan informasi pada tahap
sebelumnya bahwa fase pertumbuhan stasioner (ketika konsentrasi gula sisa dalam media mendekati 1 g/L) mulai terjadi pada jam ke-48 dan nilai µmaks = 0,109/jam maka pengumpanan substrat dilakukan mulai jam ke-48 dengan fluktuasi laju dilusi diatur sedemikian, sehingga lebih kecil dari 0,109/jam.
46
Teknik
pengumpanan
substrat
ini
dikembangkan
untuk
menjaga
konsentrasi sumber karbon agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHA (Lee dan Choi 2001).
Hal ini didasarkan pada fenomena
akumulasi PHA dalam sel R. eutropha dapat dipicu bila nutrisi dalam media tidak seimbang, misalnya pada saat konsentrasi karbon berlebih dan nutrisi esensial lainnya terbatas.
Beberapa literatur menyebutkan jenis nutrisi pembatas yang
dapat memicu akumulasi PHA oleh R. eutropha adalah amonium (Kim dan Lenz 2001), fosfat (Ryu et al. 1997), magnesium atau sulfat (Repaske dan Repaske 1976 dikutip oleh Lefebvre et al. 1997). Hipotesis yang akan dibuktikan pada tahapan penelitian ini adalah dengan mengumpankan sumber karbon saja (dalam hal ini hidrolisat sagu) diduga dapat meningkatkan konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel. Sementara itu, pengumpanan sumber karbon yang dilengkapi dengan sumber N dan mineral maupun pengumpanan media lengkap diduga dapat meningkatkan konsentrasi sel sekaligus perolehan PHA. Berdasarkan hal tersebut, akan dilihat jenis pembatasan nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha. Pada perlakuan F1, ke dalam kultur diumpankan media segar dengan komposisi dan volume sama dengan media yang digunakan pada awal kultivasi batch . Volume awal media batch dan volume umpan masing-masing adalah 500 mL.
Dengan
kecepatan
pengumpanan
konstan
1 mL/menit maka waktu
pengumpanan berlangsung selama 8,33 jam dengan laju dilusi berfluktuasi dari 0,107/jam pada jam pertama pengumpanan kemudian menurun hingga 0,06/jam saat pengumpanan berakhir (Gambar 16a).
Laju dilusi menurun karena volume
kultur meningkat selama pengumpanan susbtrat baru. Pada perlakuan F2, larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/L). P ada perlakuan F3, larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/L) ditambah dengan MgSO 4 8,57 g/L sedangkan pada perlakuan F4 larutan umpan berupa konsentrat hidrolisat sagu (konsentrasi total gula 300 g/L) ditambah dengan MgSO4 8,57 g/L dan (NH 4)2HPO4 56,15 g/L. Ke dalam kultur awal sebanyak 1 L (F2, F3 dan F4) diumpankan sejumlah larutan stok yang setara dengan 20 g gula/L kultur atau sekitar 66,7 mL dengan kecepatan pengumpanan konstan 1,7 mL/menit sehingga
47
waktu pengumpanan hanya berlangsung sekitar 39,2 menit dengan laju dilusi cenderung konstan yaitu sekitar 0,1/jam (Gambar 16b). Pada perlakuan F4, dilakukan dua kali pengumpanan yaitu pada jam ke-48 dan ke-96 yaitu pada kondisi pH kultur > 6,9 (menandakan konsentrasi gula dalam kultur hampir habis). Laju dilusi cenderung konstan karena substrat yang diumpankan berupa konsentrat yang tidak signifikan menambah volume akhir kultur.
Laju dilusi (/jam)
0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02
Laju dilusi F1
0,00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu pengumpanan (jam)
(a)
Laju dilusi (1/jam)
0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 0
10
20
30
40
50
Waktu pengumpanan (menit) Pengumpanan ke-1 (F2,F3,F4)
Pengumpanan ke-2 (F4)
(b) Gambar 16 Laju dilusi pada kultivasi fed-batch (a) F1 (b) F2, F3, F4 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi batch dan fed -batch disajikan pada Tabel 6. Data pertumbuhan sel dan konsumsi gula selama kultivasi F1, F2, F3 dan F4 selengkapnya
dapat
dilihat
pada
Lampiran
8,
penghitungan laju dilusi dapat dilihat pada Lampiran 12.
9,
10 dan 11 sedangkan
48
Tabel 6 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam selR. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed -batch Perlakuan
Konsentrasi sel kering (g/L)
Konsentrasi PHA (g/L)
Kadar PHA dalam sel (%b/b)
F1 F2 F3 F4 Batch
3,34 ± 0,11 4,86 ± 0,14 3,67 ± 0,28 4,58 ± 0,24 4,41 ± 0,32
2,15 ± 0,03 3,72 ± 0,24 2,12 ± 0,05 1,85 ± 0,06 1,44 ± 0,27
64,37 ± 2,30 76,54 ± 5,41 57,77 ± 4,61 40,39 ± 2,49 32,65 ± 6,56
Keterangan : F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Umpan hidrolisat sagu F3 : Umpan hidrolisat sagu + MgSO4 F4 : Umpan hidrolisat sagu + (NH4)2HPO 4 + MgSO 4
Batch : tanpa umpan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa variasi jenis substrat pengumpan tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir sel kering (Lampiran 15), akan tetapi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi akhir PHA (Lampiran 16a) dan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar PHA dalam sel (Lampiran 17a).
Uji
lanjut Tukey dan Fisher (Lampiran 16b dan 16c) menunjukkan bahwa konsentrasi akhir PHA akibat perlakuan F2 (pengumpanan dengan hidrolisat sagu) berbeda nyata dibandingkan empat perlakuan lainnya (F1, F3, F4 dan batch). Konsentrasi PHA akibat perlakuan F1, F3, F4 dan batch tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya. Sementara itu, uji lanjut Tukey dan Fisher (Lampiran 17b dan 17c) menunjukkan bahwa kadar PHA dalam sel akibat perlakuan F1, F2 dan F3 berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (batch).
Kadar PHA dalam
sel akibat perlakuan F4 (pengumpanan dengan hidrolisat sagu+N+Mg) tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol (batch).
Kadar PHA dalam sel
akibat perlakuan F2 berbeda dengan F4 dan kontrol tetapi tidak berbeda dengan perlakuan F1 dan F3.
Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultivasi Pola pertumbuhan sel (dihitung sebagai total sel hidup dan mati) pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum substrat yang diumpankan pada awal fase stasioner tidak signifikan meningkatkan konsentrasi sel pada akhir kultivasi.
49
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
2
1
0 0
12
24
36
48
60
72
84
96 108 120 132 144 156 168
-1
-2
Waktu (jam) F1 Poly. (F1)
F2 Poly. (F2)
F3 Poly. (F3)
F4 Poly. (F4)
Batch Poly. (Batch)
Keterangan : F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Media pengumpan hidrolisat sagu F3 : Media pengumpan hidrolisat sagu + MgSO 4 F4 : Media pengu mpan hidrolisat sagu + (NH 4) 2HPO4 + MgSO 4 jam ke-48 dan ke-96 Batch : Tanpa umpan
Gambar 17 Pertumbuhan sel R. eutropha pada kultivasi batch dan fed -batch (bioreaktor 2 L). Meskipun mungkin jumlah sel meningkat dengan bertambahnya waktu kultivasi namun konsentrasi sel cenderung konstan sampai akhir kultivasi dengan bertambahnya volume kultur akibat pengumpanan. Hal ini terkait dengan besaran laju dilusi dan laju pertumbuhan spesifik sel pada saat pengumpanan dimulai. Pada penelitian ini laju dilusi diatur sedemikian, sehingga berada pada kisaran di bawah nilai µmaks. Sementara itu, pengumpanan untuk meningkatkan perolehan PHA dilakukan pada awal fase stasioner dimana laju pertumbuhan spesifik mendekati angka nol. Oleh karena itu, laju konsumsi substrat menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan
laju
pengumpanan
konsentrasi sel menjadi tidak nyata besarnya.
substrat,
sehingga
peningkatan
Selain itu, konsentrasi sel yang
terukur merupakan total sel hidup dan sel mati sekaligus PHA yang terdapat di dalam sel.
Dalam hal ini substrat dikonsumsi tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan karbon, energi dan komponen struktural untuk pertumbuhan sel, namun juga digunakan untuk pemeliharaan viabilitas sel seperti mekanisme
50
perbaikan sel, proses transpor substrat, pemeliharaan membran dan pembentukan produk (Scragg 1991). Terkait dengan temuan di atas, terdapat beberapa alasan lain kemungkinan yang menyebabkan pertumbuhan sel konstan pada tahap fed-batch sebagaimana dikemukakan oleh Kim et al. (1992), yaitu: Pertama, pertumbuhan sel menurun karena terjadinya diversi (perubahan) lintasan asetil-KoA dari jalur pertumbuhan sel ke jalur produksi PHA. Kedua, penggandaan sel menjadi abnormal sejak terbentuknya granula PHA. Dengan adanya akumulasi PHA dalam sel, sel menjadi lebih ‘gemuk’ (Gambar 18b) dibandingkan sel yang ditumbuhkan pada media seimbang (Gambar 18a), sehingga menghambat laju penggandaan sel. Ketiga, kultur menjadi kekurangan oksigen ketika jumlah sel maksimal pada akhir tahap batch. Pada penelitian ini, aerasi selama kultivasi ditetapkan sebesar 0,2 vvm, sehingga kemungkinan besar kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan tidak terpenuhi akibat ketersediaannya dalam bioreaktor tidak ditambah. Keempat, adanya pembentukan asam asetat (hasil glikolisis) sebagai produk samping
kultivasi
pertumbuhan sel.
yang
dalam
konsentrasi
tertentu
dapat
menghambat
Pada penelitian ini, pH kultur cenderung menurun selama
kultivasi, ditunjukkan dengan banyaknya volume larutan NaOH 2 N (> 100 mL) yang dibutuhkan untuk menaikkan pH kultur agar sesuai dengan set pH awal sebesar 6,9. Hal ini menunjukkan bahwa selama kultivasi banyak terbentuk asamasam sebagai hasil samping kultivasi.
51
(a) kultivasi batch pada media Nutrient Broth , jam ke-24
Sel yang membengkak
(b) kultivasi fed -batch F2 pada hidrolisat pati sagu, jam ke -96 Gambar 18 Sel R. eutropha (mikroskop cahaya, perbesaran 1000 kali)
Pengaruh Jenis Substrat Pengumpan terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi Hasil akhir perolehan PHA pada perlakuan F1, F2, F3 dan F4 dibandingkan dengan kontrol batch (tanpa pengumpanan) disajikan pada Gambar 19.
Perlakuan pengumpanan dengan hidrolisat sagu (F2) merupakan perlakuan
52
pengumpanan yang menghasilkan konsentrasi PHA tertinggi sebesar 3,72 g/L (76,54% dari bobot kering sel).
Pengumpanan dengan media lengkap (F1)
menghasilkan konsentrasi PHA sebesar 2,15 g/L (63,97% dari bobot kering sel), sedikit
lebih
tinggi
daripada
konsentrasi
PHA
hasil
pengumpanan
dengan
hidrolisat sagu + MgSO4 (F3) yang mencapai 2,12 g/L (57,77% dari bobot kering sel).
Pengumpanan dengan hidrolisat sagu + (NH4)2HPO 4 + MgSO 4 (F4)
menghasilkan konsentrasi PHA yang paling kecil yaitu 1,85 g/L (40,39% dari bobot kering sel). Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada semua perlakuan pengumpanan
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
kontrol
batch.
Persentase
peningkatan konsentrasi PHA akibat perlakuan F1, F2, F3 dan F4 berturut-turut adalah 49, 158, 47 dan 28% sedangkan persentase peningkatan kadar PHA dalam sel berturut-turut adalah 96, 134, 77 dan 24% bila dibandingkan dengan kontrol batch .
Perlakuan pengumpanan
Batch
F4
F3
F2
F1
32,65 1,44 40,39 1,85 57,77 2,12 76,54 3,72 63,97 2,15
Konsentrasi PHA (g/L)
Kadar PHA dalam sel (%)
Keterangan : F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Umpan hidrolisat sagu F3 : Umpan hidrolisat sagu + MgSO 4 F4 : Umpan hidrolisat sagu + (NH 4)2HPO4 + MgSO 4 Batch : Tanpa umpan
Gambar 19 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi batch dan fed-batch.
53
Terdapat kecenderungan bahwa pengumpanan dengan hidrolisat pati sagu (F2) menghasilkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel tertin ggi. Pengumpanan hidrolisat pati sagu dengan MgSO4 (F3) sedikit menurunkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel sedangkan penambahan hidrolisat pati sagu dengan MgSO 4 dan (NH4)2HPO4 justru menurunkan perolehan PHA.
Sementara itu,
pengumpanan dengan media lengkap (F1) menghasilkan konsentrasi akhir PHA yang relatif rendah (berbeda nyata dengan F2 tetapi tidak berbeda nyata dengan batch ), namun kadar PHA dalam selnya cukup tinggi (tidak berbeda nyata dengan F2 tetapi berbeda nyata dengan batch).
Hal ini menunjukkan bahwa
pengumpanan perlahan dengan media yang kamba atau bulky (bukan konsentrat sebagaimana F2, F3 dan F4) pada kultivasi fed -batch dapat meningkatkan kadar PHA dalam sel, tetapi tidak nyata meningkatkan konsentrasi PHA dalam media karena adanya faktor pengenceran sebagai akibat dari pengumpanan media segar. Dengan membandingkan hasil perolehan PHA pada perlakuan F2, F3 dan F4 terdapat indikasi bahwa N, P, Mg dan sulfat merupakan nutrisi pembatas yang dapat meningkatkan akumulasi PHA di dalam sel R. eutropha . Setelah diumpan dengan hidrolisat pati sagu, komposisi media menjadi tidak seimbang karena terdapat kelebihan sumber karbon sedangkan komponen lainnya seperti nitrogen, fosfat, magnesium dan sulfat terbatas pada awal fase stasioner. Babel et al. (2001) menjelaskan bahwa ketika nitrogen (dalam bentuk amonia k) merupakan pembatas pertumbuhan maka potensi penggunaan asetil-KoA dan NAD(P)H menjadi terbatas.
NAD(P)H yang dilepaskan tidak dapat dikonsumsi untuk sintesis
reduktif, misalnya pada asam amino, sehingga dapat menghambat enzim sitrat sintase (yaitu enzim yang mengkatalisis konversi sumber karbon menjadi asetilKoA).
Hal ini menyebabkan terhambatnya siklus TCA sehingga asetil-KoA
menjadi tersedia untuk 3-ketot iolase dan dapat memasuki jalur sintesis PHA. Pada saat fosfat terbatas, bakteri tidak dapat menghasilkan ATP (dengan cara memfosforilasi ADP) karena tidak ada fosfat. Pada kondisi tersebut 2/H/ tidak dapat mengalir sehingga 2/H/ terakumulasi sedangkan asetil-KoA menjadi tersedia. Kedua substrat tersebut kemudian diasimilasi dan dikumpulkan secara intraselular seba gai PHA.
54
Secara umum, pasokan nutrisi yang tidak seimbang akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHA. Sebaliknya, pada saat sumber karbon, nitrogen dan Mg berlebih maka jalur metabolisme substrat sangat kondusif bagi berjalannya siklus TCA sehingga menyalurkan rangkaian karbon ke siklus TCA. Dengan demikian, laju sintes is PHA menjadi terhambat sebagaimana hasil perolehan PHA perlakuan F4 dibandingkan dengan perlakuan F2.
Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Batch dan Fed-batch Berdasarkan hasil evaluasi tahap sebelumnya bahwa jenis substrat pengumpan yang menghasilkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel tertinggi adalah hidrolisat pati sagu (F2) maka pada tahap ini dilakukan perlakuan kombinasi pembatasan aerasi dengan pengumpanan hidrolisat sagu (disimbolkan dengan F5).
Pada awal fase stasioner (jam ke-48), ke dalam kultur batch
diumpankan larutan stok/konsentrat hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 g gula/L kultur batch (sekitar 66,7 mL larutan stok) dengan kecepatan pengumpanan 1,7 mL/menit.
Setelah pengumpanan selesai, sistem aerasi
dimatikan hingga akhir kultivasi. Dalam hal ini kondisi kultivasi direkayasa agar selama fase stasioner konsentrasi karbon berlebih sedangkan ketesediaan oksigen dalam media menurun. Selain itu, dilakukan pula kultivasi batch dengan sistem aerasi dimatikan mulai jam ke-48 hingga akhir kultivasi (disimbolkan dengan Ao).
Sebagai
pembanding digunakan data hasil kultivasi batch dan fed -batch F2. Rekapitulasi data konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel disajikan pada Tabel 7 sedangkan data pertumbuhan sel dan konsumsi gula selama kultivasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Hasil analisis ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa faktor aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Interaksi faktor aerasi dengan pengumpanan ju ga tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA maupun kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Hanya faktor pengumpanan yang berpengaruh nyata terhadap konsentrasi PHA (Lampiran 18b) dan
55
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar PHA dalam sel (Lampiran 18c) namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi sel kering (Lampiran 18a) pada akhir kultivasi. Tabel 7 Konsentrasi sel kering, PHA dan kadar PHA dalam selR. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed -batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi Perlakuan Batch F2 Ao F5
Konsentrasi sel kering (g/L) 4,41 ± 0,32 4,86 ± 0,14 3,39 ± 0,21 4,13 ± 0,52
Konsentrasi PHA (g/L) 1,44 ± 0,27 3,72 ± 0,24 1,65 ± 0,14 2,68 ± 0,08
Kadar PHA dalam sel (%b/b) 32,65 ± 6,56 76,54 ± 5,41 48,67 ± 5,11 64,89 ± 8,40
Keterangan : Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, a erasi dihentikan mulai jam ke-48
Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 7 didapatkan bahwa perlakuan pengumpanan dengan hidrolisat sagu saja (F2) merupakan perlakuan terbaik yang memberikan konsentrasi sel 4,86 g/L dan konsentrasi PHA dalam media 3,72 g/L (76,54 % dari bobot sel). Dapat dikatakan bahwa pembatasan aerasi maupun interaksi atau kombinasinya dengan pengumpanan hidrolisat pati sagu kurang efektif meningkatkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel. Faktor pengumpanan hidrolisat sagu saja lebih efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi dan kadar PHA dalam sel dibandingkan dengan pembatasan aerasi saja maupun jika pengumpanan hidrolisat sagu dipadukan secara simultan dengan pembatasan aerasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa oksigen bukan merupakan nutrisi pembatas yang signifikan untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha IAM 12368.
Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi Sel Kering pada Akhir Kultivasi Pola pertumbuhan sel selama kultivasi disajikan pada Gambar 20. Konsentrasi sel kering (dihitung sebagai total sel hidup dan mati) pada akhir kultivasi tidak dipengaruhi oleh faktor aerasi, pengumpanan maupun kombinasi
56
aerasi dengan pengumpanan hidrolisat pati sagu.
Pada saat sistem aerasi
dimatikan, pasokan oksigen (dalam udara) dari luar terhenti. Kebutuhan bakteri akan oksigen setidaknya dipenuhi dari ketersediaan udara pada head space (ruang
Ln Konsentrasi sel kering (g/L)
kosong) di atas permukaan kultur di dalam bejana kultivasi.
2
1
0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
-1
-2
Waktu (jam) F2 Poly. (F2)
F5 Poly. (F5)
Ao Poly. (Ao)
Batch Poly. (Batch)
F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, a erasi dihentikan mulai jam ke-48 Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap
Gambar 20 Pertumbuhan sel pada kultivasi batch dan fed-batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi.
Pengaruh Pembatasan Aerasi terhadap Konsentrasi PHA dan Kadar PHA dalam Sel pada Akhir Kultivasi Histogram perolehan PHA pada akhir kultivasi secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 21. Perolehan PHA pada perlakuan Ao, F5 dan F2 lebih tinggi dibandingkan kontrol batch. Persentase peningkatan konsentrasi PHA akibat perlakuan Ao, F5 dan F2 berturut-turut adalah 15, 86 dan 158% sedangkan persentase peningkatan kadar PHA dalam sel berturut-turut adalah 49, 99 dan 134% bila dibandingkan dengan kontrol batch . Meskipun besarannya tidak signifikan, namun secara umum dapat dilihat bahwa perolehan PHA pada kondisi terbatasnya aerasi (perlakuan Ao dan F5) relatif lebih tinggi daripada kontrol batch . Pembatasan aerasi selama fase stasioner menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam me dia berkurang. Ketika oksigen membatasi pertumbuhan dan
57
penggandaan bakteri aerobik maka nilai adaptif dan mekanisme induksi sintesis PHA sangat mirip dengan mekanisme pada saat terbatasnya nitrogen. 2/H/ yang dihasilkan tidak dioksidasi melalui fosforilasi transpor elektron sehingga menyebabkan siklus TCA terhenti. Pada kasus tersebut, siklus TCA dikatakan ‘endergonic’ karena ketiadaan oksigen (Babel et al. 2001).
Atkinson dan
Mavituna (1991) menyatakan bahwa pembatasan oksigen menyebabkan peningkatan rasio NADH 2/NAD intraselular , sehingga menghambat siklus TCA dan meningkatkan ketersediaan asetil-koA intraselular.
Hal ini menyebabkan
peningkatan laju sintesis PHA dibandingkan laju sintesis PHA pada kondisi tanpa pembatasan oksigen (kontrol batch).
Batch
Ao
F5
F2
32,65% 1,44
48,67% 1,65
64,89% 2,68
76,54% 3,72
Konsentrasi PHA (g/L)
Kadar PHA dalam sel (%)
F2 : U mpan hidrolisat sagu, aerasi tetap F5 : Umpan hidrolisat sagu, aerasi dihentikan mulai jam ke-48 Ao : Tanpa umpan, a erasi dihentikan mulai jam ke-48 Batch : Tanpa umpan, aerasi tetap
Gambar 21 Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel R. eutropha pada akhir kultivasi batch dan fed-batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi. Sementara itu, perolehan PHA pada kondisi karbon berlebih dan oksigen terbatas (F5) secara umum menunjukkan hasil yang relatif lebih tinggi daripada kontrol batch maupun pada kondisi terbatasnya aerasi saja (Ao). Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pengumpanan sumber karbon saja (F2), efek simultan pengumpanan sumber karbon dan pembatasan aerasi ini justru menurunkan produksi PHA oleh R. eutropha. Sintesis PHA lebih lambat pada kandungan
58
oksigen terlarut rendah diduga karena laju konsumsi oksigen lebih lambat sehingga terjadi pengurangan kebutuhan oksigen untuk dekarboksilasi propionil koenzim A menjadi asetil-KoA (Lafebvre et al. 1997). Lafebvre et al. (1997) juga mendapatkan sintesis 3HB pada produksi PHBV yang lebih rendah pada pasokan oksigen yang rendah. Ketika R. eutropha ditumbuhkan secara fed -batch dengan pembatasan nitrogen dan pengurangan konsentrasi oksigen terlarut secara simultan selama tahap akumulasi polimer maka rendemen 3HB tidak terpengaruh dengan kadar oksigen terlarut yang rendah. Bahkan secara keseluruhan produktifitas polimer menurun pada kadar oksigen terlarut yang rendah.
Evaluasi Perlakuan Terbaik Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kultivasi fedbatch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu merupakan perlakuan terbaik yang dapat meningkatkan hasil perolehan PHA lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 1,44 g/L (32,65% dari bobot kering sel) pada kultivasi batch menjadi 3,72 g/L (76,54% bobot kering sel). Berikut ini dipaparkan secara ringkas perbandingan hasil kultivasi fed-batch dengan kultivasi batch. Pola pembentukan sel dan PHA oleh R. eutropha pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu dibandingkan dengan pola pembentukan PHA pada kultivasi batch disajikan pada Gambar 22. Setelah diumpan dengan hidrolisat sagu pada jam ke -48, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel (P/X) cenderung meningkat hingga akhir kultivasi.
Sementara itu, tanpa diumpan
dengan sumber karbon (batch), konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel cenderung menurun terutama pada jam ke -60 hingga akhir kultivasi jam ke -96. Demikian pula dengan konsentrasi residu sel (sel tanpa PHA). Pada kultivasi batch , konsentrasi residu sel cenderung konstan mulai jam ke -60 hingga akhir kultivasi. Namun pada kultivasi fed-batch , konsentrasi residu sel menurun tajam terutama pada akhir kultivasi (jam ke -84 hingga 96). Pada konsentrasi akhir sel kering yang tidak berbeda signifikan antara kultivasi batch dan fed-batch , hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan akumulasi PHA dalam sel sebagai akibat adanya pengumpanan sumber karbon.
59
5
Konsentrasi (g/L)
4
3
2
1
0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
Waktu (jam) [sel] batch [sel] fed-batch
[PHA] batch
[residu sel] batch
[PHA] fed-batch
[residu sel] fed-batch
(a)
Kadar PHA dalam sel (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
12
24
36
48
60
72
84
96
Waktu (jam) P/X batch
P/X fed-batch
(b) Gambar 22 Pertumbuhan sel dan pembentukan PHA oleh R. eutropha selama kultivasi batch dan fed-batch (a) konsentrasi sel, residu sel dan PHA (b) kadar PHA dalam sel.
60
Karakterisasi PHA Serbuk kering PHA (Gambar 23) yang dihasilkan pada kultivasi fed -batch terbaik (F2) selanjutnya dikarakterisasi sifat termal, gugus fungsi dan tingkat kemurnian relatifnya terhadap PHB standar.
Gambar 23 Serbuk PHA hasil kultivasi fed-batch R. eutropha dengan sumber karbon hidrolisat pati sagu.
Sifat Te rmal PHA PHA sebagian besar merupakan polimer yang bersifat kristalin. Penjelasan terhadap sifat termal dan mekanisnya diekspesikan dengan suhu peralihan kaca-karet pada fase amorf dan suhu pelelehan pada fase kristalin (Anderson dan Dawes 1990). Kumar da n Gupta (1998) me nyata kan bahwa suhu pada saat suatu polimer dapat mulai melebur disebut titik leleh atau melting point (Tm) sedangkan suhu pada saat polimer berada pada suatu transisi antara fase gelas menuju fase elastis disebut suhu transisi gelas atau glass transition temperature (Tg). Differential Scanning Calorimeter (DSC) mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan. DSC juga mengukur suhu sampel pada kondisi tersebut. Prinsip kerja menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan kompensasi tenaga (Rabek 1983). Pada penelitian ini, titik leleh dan entalpi fusi (panas pembentukan) produk PHA diukur dengan DSC (Gambar 25) dan hasiln ya dibandingkan dengan PHB standar (Gambar 24). Pada Gambar 24 yang menunjukkan spektra DSC
61
PHB standar , hanya muncul satu peak (puncak) pada suhu 170,15 oC yang merupakan titik leleh PHB dengan entalpi pembentukan sebesar 32,35 J/g. Tidak nampaknya peak-peak lain, menunjukkan kevalidan tingkat kemurnian PHB standar yang diuji.
Gambar 24 Spektra DSC PHB standar.
Gambar 25 Spektra DSC PHA dari pati sagu.
62
Pada Gambar 25 yang menunjukkan spektra DSC PHA sagu muncul dua peak, yaitu pada suhu 79,50 oC dan 163,96 oC. Peak pertama yang lebar dan tidak runcing muncul pada suhu 79,50 oC; menunjukkan adanya komponen-komponen pengotor yang terikat pada PHA dan diduga merupakan bahan-bahan organik seperti senyawa-senyawa berkarbon maupun protein. Reusch (1992) melaporkan bahwa PHB dapat membentuk interaksi hidrofobik melalui gugus metil dan metilennya. Selain itu, gugus ester karbonil oksigennya dapat berfungsi sebagai akseptor ikatan hidrogen dengan kation-kation. Dengan karakteristik demikian, PHB dapat melarutkan molekul-molekul lain seperti garam atau makromolekul seperti protein. Peak kedua (163,96 oC) merupakan titik leleh sampel PHA pati sagu dimana nilainya sedikit lebih rendah daripada titik leleh PHB standar (170,15 oC). Oleh karena itu, sampel PHA sagu yang didapat pada penelitian ini diduga merupakan jenis PHB. Lafferty et al. (1988) menyatakan bahwa titik leleh (Tm) PHB bervariasi antara 157-188 oC, suhu peralihan kaca (T g) 5-20 oC dan suhu kristalisasi (T c) 25-125 oC tergantung dari komposisi dan thermal history (riwayat pengolahan dan penanganan) bahan tersebut. Pada penelitian ini, T g dan T c PHA pati sagu maupun PHB standar tidak terdeteksi karena keterbatasan kemampuan alat untuk dioperasikan pada suhu di bawah 40 oC. Berdasarkan nilai entalpi fusi (pembentukan) hasil pengukuran DSC dapat diperkirakan derajat kristalinitas PHA. Secara teoritis, sampel dengan derajat kekristalan 100% diasumsikan memiliki entalpi fusi sebesar 146 J/g (Barham et al. 1984 dikutip oleh Hahn et al. 1995). Derajat kristalinitas sampel PHA merupakan persentase hasil pembagian nilai entalpi fusi PHA yang diuji terhadap nilai entalpi fusi sampel dengan derajat kekristalan 100%. Berdasarkan hasil pada Gambar 23 dan 24, didapatkan bahwa PHB standar dan PHA sagu masing-masing memiliki entalpi fusi 32,35 J/g dan 12,23 J/g. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa derajat kristalinitas PHB standar dan PHA pati sagu masing-masing sekitar 22% dan 8%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa baik PHB standar maupun PHA yang diperoleh pada penelitian ini dominan berada dalam bentuk amorf de ngan derajat kekristalan yang relatif rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Hahn et al. (1995) dan Lauzier et al. (1992) yang mendapatkan bahwa sebagian
63
besar granula PHB yang dihasilkan oleh R. eutropha berada dalam bentuk mobile amorphous (amorf/nirbentuk). Analisis Gugus Fungsional Prinsip dasar analisis gugus fungsional menggunakan metode FTIR (Fourier Transform Infrared ) adalah ketika cahaya infrare d melewati suatu contoh polimer maka sebagian frekuensinya akan diserap dan sebagian lagi akan diteruskan. Transisi yang terjadi pada absorpsi infrared terkait dengan perubahan vibrasi (getaran) di dalam molekul. Ikatan-ikatan yang ada dalam polimer akan menunjukkan frekuensi vibrasi yang berbeda -beda sehingga dapat dideteksi sebagai pita absorbansi dalam spektrum infrared (Rabek 1983). Oleh karena itu, spektrum infrared suatu bahan menunjukkan komposisi kimia bahan tersebut karena masing-masing komponen kimia menghasilkan spektrum absorbansi yang khas (Kansiz et al. 2000). Perbedaan masing-masing spektrum ditentukan oleh struktur kimia dan tingkat kontribusi masing-masing komponen terhadap spe ktrum (Kansiz et al. 2000).
Pada Tabel 8 ditampilkan kriteria penentuan jenis-jenis ikatan kimia
terkait dengan pita spektrum FTIR yang terbaca pada bilangan gelombang tertentu. Ciri khas molekul PHA adalah adanya ikatan karbonil ester (C=O), ikatan –C-Odan ikatan –C-O-C- polimerik. Bloembergen et al. (1986) me nyata kan bahwa ikatan C-H dan C-C dapat terdeteksi pada bilangan gelombang sekitar 2900 da n 977 cm-1. Hasil analisis gugus fungsional menggunakan FTIR terhadap serbuk bioplastik PHA yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 26. Sebagai pembanding digunakan spektra FTIR PHB standar yang disajikan pada Gambar 27.
Pada sampel yang diuji, muncul 18 spektrum yang dapat
diidentifikasi berdasarkan ketentuan pada Tabel 8. Hasil identifikasi/interpretasi spektra FTIR sampel PHA pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Dari 18 spektrum yang muncul terdapat 15 spektrum yang sama dengan spektrum PHB standar. Oleh karena itu, diduga kuat bahwa sampel yang diuji dominan mengandung PHB karena selain sesuai dengan ciri khas grup PHA, juga muncul gugus metil bebas (-CH3) dan metilen tunggal (-CH2-), sehingga sesuai dengan
64
struktur PHB sebagaimana disajikan pada Gambar 28. Dugaan bahwa PHA yang diperoleh pada penelitian ini merupakan jenis PHB relevan dengan pendapat Kansiz et al. (2000) yang menyatakan bahwa ikatan utama dalam molekul PHB adalah karbonil ester (C=O) yang terbaca pada bilangan gelombang 1738-1728 cm-1, deformasi metil (CH 3), metilen (CH2) serta ikatan C-O pada bilangan gelombang 1450-1000 cm -1. Tabel 8 Penentuan jenis ikatan pada pita spe ktrum FTIR Bilangan gelombang (cm-1) ~1735
~1650
Ketentuan
Keterangan
C=O pada grup fungsional ester, terutama dari lipida, asam lemak dan PHB C=O pada amida yang berasosiasi dengan protein
Posisi pasti absorbansi PHB tergantung pada derajat kristalinitas PHB Biasanya disebut band (pita) amida I; mungkin juga terdapat kontribusi dari ikatan C=C pada olefinik dan komponen aromatik Biasa disebut band amida II; mungkin juga terdapat kontribusi dari ikatan C=N Posisi bervariasi, kontribusi juga dari PHB Posisi bervariasi, kontribusi juga dari PHB Kemungkinan karena adanya produk simpanan protein dan polifosfat terfosforilasi
~1540
N-H pada amida yang berasosiasi dengan protein
~1455
(CH 3) dan (CH2) pada protein CH3 dan CH2 pada protein, C-O pada grup COO (P=O) dari tulang punggung fosfodiester pada asam nukleat (DNA dan RNA) (P=O) dari tulang punggung fosfodiester dari asam nukleat (DNA dan RNA (C-O-C) pada polisakarida
~1398 ~1242
~1080
~1200-900 Sumber:
Kemungkinan karena adanya produk simpanan protein dan polifosfat terfosforilasi Kontribusi juga dari PHB
Hendrick et al. (1991), Nelson (1991), Wiliam dan Fleming (1996), Zeroual et al. (1995,1996) dikutip oleh Kansiz et al. (2000)
65
-CH3 -CH2 -
-C-C -
C-H
-C-O-C-C-OAmida protein -OH
C=O ester
Gambar 26 Spektra FTIR PHA dari pati sagu.
C=O amida protein
-CH3 -CH2 C-O-C
C-H
C-O C-C C=O ester
Gambar 27 Spektra FTIR PHB standar.
66
Tabel 9 Hasil id entifikasi spektrum FTIR sampel PHA dari hidrolisat pati sagu
No 1 2 3 4 5 6 7 8
PHA dari pati sagu1 Bilangan Identifikasi gelombang (cm-1) ~3435 * -OH ~2931,6* C-H ~1726,2* C=O ester ~1654,8* C=O amida protein ~1548,7 N-H amida protein ~1456,2* -CH3 ~1382,9* ~1284,5* -C-O-
9 10 11 12 13 14 15 16
~1456,2* ~1228,6 ~1184,2* ~1132,1* ~1099,3* ~1056,9* ~979,8* ~896,8* ~825,5*
17
~669,3
18
~515,0*
-(CH2)-
No 1 2 3 4
PHB standar 2 Bilangan Identifikasi gelombang (cm -1) ~<3500* -OH ~2979,8 tdd ~2933,8* C-H ~2875,7 tdd
5
~1726,2*
C=O ester
6
~1689,5
ttd
7
~1658,7*
8 9 10
~1454,2* ~1380,9* ~1357,8
C=O amida protein -CH3
11
~1278,7* ~1454,2* ~1278,5 ~1186,1* ~1132,1* ~1101,3* ~1058,8* ~979,8* ~956,6 ~935,4 ~896,8* ~827,4* ~597,9 ~515,0*
ttd
(C-O-C) polimer C-C Ttd Ttd ttd
ttd
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
-C-O-(CH2)-
(C-O-C) polimer
Catatan: 1 hasil analis is produk PHA penelitian ini 2 hasil analis is Wicaksono (2005) menggunakan metode dan alat yang sama * menunjukkan bahwa spektrum tersebut juga muncul pada PHB standar ttd : tidak diketahui
C-C
ttd ttd ttd ttd
67
CH3
O
CH
C CH2
O
n Gambar 28 Struktur kimia PHB. Namun demikian, munculnya gugus-gugus lain seperti C=O dan N-H pada bilangan gelombang 1654,8 da n 1548,7 cm-1 yang merupakan gugus amida protein menunjukkan masih adanya residu protein. Residu protein tersebut diduga berasal dari membran yang melapisi PHA. Jensen dan Sicko (1971) sebagaimana dikutip oleh Lafferty et al. (1988) me nyata kan bahwa PHB dilapisi oleh satu lapisan membran yang mengandung protein, sehingga dikatakan granula PHB terdiri dari 98% PHB dan 2% protein. Selain itu, residu protein diduga juga berasal dari sisa materi pecahan sel (cell debris) yang belum terpisahkan dari produk PHA. Kuatnya intensitas spektrum -OH yang muncul pada bilangan gelombang 3435 cm-1 menunjukkan bahwa pada sampel PHA masih banyak mengandung residu –OH. Gugus –OH diduga berasal dari residu NaOH yang digunakan pada proses hilir pemisahan PHA.
Kemungkinan lain, –OH diduga berasal dari
senyawa polifenol. Senyawa tersebut merupakan hasil oksidasi dari D-catechin dan D,L -epicatechin pada pati sagu oleh polifenol oksidase yang menjadi menjadi penyebab warna coklat (Hammer 1993) baik pada pati sagu, hidrolisat pati sagu maupun pada produk akhir PHA. Selain itu, terdapat kemungkinan sampel PHA mengandung senyawa-senyawa antara (intermediet) glukosa menjadi asam-asam organik
turunannya
ataupun senyawa
antara
pembentukan PHA
yang
mengandung gugus –OH. Wicaksono (2005) juga mendapati spektra gugus –OH dalam intensitas yang cukup tinggi ketika menguji spektra FTIR PHA dari R. eutropha yang ditumbuhkan pada glukosa.
68
Kemurnian Relatif terhadap PHB Standar Untuk menguji tingkat kemurnian PHB yang diperoleh pada penelitian ini maka sampel PHA dianalisis menggunakan Gas Chromatography (GC). Analisis dengan kromatografi gas dilakukan dengan membandingkan data retensi dari komponen sampel dengan komponen yang sudah diketahui (standar).
Waktu
retensi merupakan perbedaan waktu antara penyuntikan komponen sampel dengan puncak maksimum yang tercatat pada kromatogram (Fardiaz 1989). Metode analisis dilakukan berdasarkan Braunegg et al. (1978) yang meliputi hidrolisis dan metanolisis sampel PHA secara bertahap oleh asam sulfat dan kloroform.
Hasil metanolisis berupa metil asam hidroksialkanoat yang
mudah menguap kemudian diinjeksikan ke alat GC. Kromatogram PHB standar dan PHA yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 29 dan Gambar 30.
Gambar 29 Kromatogram hasil metanolisis PHB standar (menggunakan kromatografi gas)
69
Gambar 30 Kromatogram hasil metanolisis PHA yang dihasilkan pada penelitian (menggunakan kromatografi gas). Berdasarkan kromatogram di atas didapatkan bahwa peak (puncak) dominan pada PHB standar (diduga sebagai asam metil-3-hidroksibutirat) muncul pada waktu retensi 1,18 menit dengan konsentrasi 91,01%. Pada kromatogram PHA yang dihasilkan pada penelitian ini muncul peak dominan pada waktu retensi yang mendekati standar (1,18 menit) yaitu pada waktu retensi 1,25 menit dengan konsentrasi 69,69%. Dengan demikian, kemurnian relatif PHB pati sagu terhadap PHB standar sebesar 76,57%. Cara penghitungan lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20. Uraian hasil analisis di atas menguatkan dugaan sebelumnya bahwa sampel PHA yang dihasilkan dari perlakuan terbaik penelitian ini merupakan jenis PHB. Hal ini sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh banyak peneliti bahwa R. eutropha akan menghasilkan PHB bila ditumbuhkan dengan sumber karbon glukosa.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA, baik pada kultivasi batch maupun pada kultivasi fed-batch . Pada rentang konsentrasi total gula awal 10-50 g/L, R. eutropha tumbuh paling baik pada konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal 0,108/jam dan rendemen molekular (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula . Kultivasi fed -batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu paling efektif diterapkan untuk meningkatkan perolehan akhir PHA meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi akhir sel. Konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel pada kultivasi fed-batch tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan dengan perolehan PHA pada kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel). Sementara itu, pembatasan aerasi maupun kombinasinya secara simultan dengan pengumpanan hidrolisat pati sagu kurang efektif meningkatkan konsentrasi sel, konsentrasi PHA maupun kadar PHA dalam sel pada akhir kultivasi. Terdapat indikasi bahwa N, P, Mg, S merupakan nutrisi pembatas sedangkan oksigen bukan merupakan nutrisi pembatas yang signifikan untuk meningkatkan akumulasi PHA dalam sel R. eutropha. PHA yang dihasilkan pada penelitian ini diduga termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB standar. PHA yang dihasilkan memiliki titik leleh 163,96 oC, derajat kristalinitas sekitar 8% dan kemurnian relatif terhadap PHB standar sekitar 76,6%. Gugus-gugus fungsional penciri khas struktur PHB yang muncul pada hasil analis is FTIR sebagai adalah C=O ester, -CH 3, -C-O-, -CH2-, C-O-C polimer dan -C-C- yang berturut-turut terdeteksi pada bilangan gelombang 1726, 1456-1382, 1284, 1456-1228, 1056-1184 dan 979 cm-1.
71
Saran Mengingat konsentrasi akhir sel yang dihasilkan pada penelitian ini masih relatif rendah maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengembangan kultivasi fed -batch yang ditujukan untuk optimasi pembentukan sel.
Setelah
konsentrasi sel mencapai level maksimum, dilakukan pengumpanan substrat dengan metode yang direkomendasikan oleh penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Abner L dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan industri sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 8(1). Akyuni D. 2004. Pemanfaatan pati sagu (Metroxylon sp) untuk pembuatan sirup glukosa menggunakan -amilase dan amiloglukosidase [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anderson AJ dan Dawes EA. 1990. Occurrence, metabolism, metabolic role, and industrial uses of bacterial polyhydroxyalkanoates. Microbiol Rev 54(4) :450-472. Anonim.
2002.
Menghancurkan plastik dengan air. [terhubung berkala].
http://www.kompas.com . [26 Oktober 2002].
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press. Atkinson B dan Mavituna F. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook . 2nd ed. New York : M Stockton Press. 1271 halaman. Ayorinde FO, Saeed KA, Price E, Morrow A, Collins WE, Mclnnis F, Pollack SK dan Eribo BE. 1998. Production of poly-(ß-hydroxybutyrate) from saponified Vernonia galamensis oil by Alcaligenes eutrophus. J Industrial Microbiol Biotechnol 21:46-50. Babel W, Ackermann U dan Breuer. 2001. Physiology, regulation and limits of synthesis of poly(3HB). Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin: Springer-Verlag. Bloembergen S, Holden DA, Hamer GK, Bluhm TL, Marchessault RH. 1986. Studies of composition and crystallinity of bacterial poly(ßhydr oxybutyrate-co- ß-hydroxyvalerate). Macromol 19:2865-2871. Brandl H., Gross RA, Lenz RW dan Fuller RC. 1990. Plastics from bacteria and for bacteria : poly(ß -hydroxyalkanoates) as natural, biocompatible, and biodegradable polyesters. Adv Biochem Eng/Biotechnol 41:77. Braunegg G, Sonnleitner B, Lafferty RM. 1978. A rapid gas chromatographic method for the determination of poly- -hydroxybutyric acid in microbial biomass. Eur J Appl Microbiol Biotechnol 6:29-37. Braunegg G, Lefebvre G, Renner G, Zeiser A, Haage G dan Loidl-Lanthaler K. 1995. Kinetics as a tool for polyhydroxyalkanoate production optimization. Can J Microbiol Vol 41 (Suppl 1).
73
Chakraborty P, Gibbons W, Muthukumarappan K, Javers J. 2004. Production of polyhydroxyalkanoates from cellulosic feedstocks using Ralstonia eutropha. Paper for presentation at The 2004 North Central ASAE/CSAE Conference. Winnipeg, Manitoba, Canada. September 24-25, 2004. Paper number MB04-302. Choi J dan Lee SY. 1999. Efficient and economical recovery of poly(3hydroxybutyrate) from recombinant Escherichia coli by simple digestion with chemicals. Biotechnol Bioeng 62:546-553. Fardiaz D. 1989. Kromatografi Gas dalam Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Insitut Pertanian Bogor. Fukui T dan Doi Y. 1998. Efficient production of polyhydroxyalkanoates from plant oils by Alcaligenes eutrophus and its recombinant strain. Appl Microbiol Biotechnol 49(3):333-6. Fullbrook PD. 1984. The enzyme production of glucose syrups. Di dalam: Dziedzic SZ dan Kearsley MW, editors. Glucose Syrups: Science and Technology. New York: Elsevier Applied Science Publisher. Govindasamy S, Campanella OH dan Oates CG. 1995. Influence of extrusion variables on subsequent saccharification behaviour of sago starch. J Food Chem 54:289-296. Greasham RL. 1993. Media for microbial fermentation. Di dalam : Rehm HJ, Reed G, Pühler A dan Stadler P, editors. Biotechnology. Bioprocessing . Ed ke-2 Vol 3. Weinheim: VCH. Godbole S, Gote S, Latkar M dan Chakrabarti T. 2003. Preparation and characterization of biodegradable poly-3-hydroxybutyrate-starch blend films. Bioresource Technol 86:33-37. Hahn SK, Chang YK dan Lee SY. 1995. Recovery and characterization of poly (3-hydroxybutyric acid) synthesized in Alcaligenes eutrophus and recombinant Escherichia coli. Appl Environ Microbiol 61(1):34-39. Hammer FE. 1993. Oxidoreductase. Di dalam : Nagodawithana T dan Reed G. Enzymes in Food Processing. 3rd. London: Academic Press Inc. Hartoto L dan Sailah I. 1989. Buku Sistem Bioreaktor. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor dan IPB Press. Hughes L dan Richardson XR. 1984. Fermenta tion process for the production of poly(ß-hydroxybutyrate). U.S. Patent 4 433 053.
74
John GH, Kriegh NR, Sneath P HA, Staley JT , Wiliams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Baltimore, Maryland: William & Wilkins. Kansiz M, Billman-Jacobe H, McNaughton D. 2000. Quantitative determination of the biodegradable polymer poly(ß-hydroxybutyrate) in a recombinant Escherichia coli strain by use of mid-infrared spectroscopy and multivariative statistics. Appl Environ Microbiol 66(8):3415–3420. Kessler B, Weisthuis R, Witholt B dan Eggink G. 2001. Production of microbial polyester: fermentation and downstream processes. Di dalam: Scheper T, managing editor . Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Berlin : Springer-Verlag. Kim BS, Lee SY, Chang HN. 1992. Production of poly-ß-hydroxybutyrate by fed-batch culture of recombinant Escherichia coli. Biotechnol Letters 14(9):811-816. Kim BS, Lee SC, Lee SY, Chang HN, Chang YK dan Woo SI. 1994. Production of poly(3-Hydroxybutyric acid) by fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with glucose concentration control. Biotechnol Bioeng 43:892898. Kim YB dan Lenz RW. 2001. Polyesters from microorganisms. Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin : Springer-Verlag. Klem JK. 1999. Alcaligenes. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PP. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. London: Academic Press. Kumar A dan Gupta RK. 1998. Fundamentals of Polymers. New Delhi: The McGraw-Hill. Lafferty RM, Korsatko B dan Korsatko W. 1988. Microbial production of polyß-hydroxybutyric acid. Di dalam : Rehm HJ dan Reed G, editors. Biotechnology: A Comprehensive Treatise. Vol 6B. Special Microbial processes. Weinheim: VCH. Lauzier C, Revol JF, Marchessault RH. 1992. Topotactic crystallization of isolated poly(ß-hydroxybutyrate) granules from Alcaligenes eutrophus. FEMS Microbiol Rev 103:299-310. Lee SY. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol Bioeng 49:1-14. Lee SY, Choi J, Han K dan Song JY. 1999. Removal of endotoxin during purification of poly(3-hydroxybutyrate) from gram-negative bacteria. Appl Environ Microbiol 65(6):2762-2764.
75
Lee SY dan Choi J. 2001. Production of microbial polyester by fermentation of recombinant microorganism. Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin: Springer-Verlag. Lefebvre G, Rocher M dan Braunegg G. 1997. Effect of low dissolved-oxygen concentrations on poly-(3-hydroxybutyrate-co-hydroxyvalerate) production by Alcaligenes eutrophus. Appl Environmen Microbiol 63(3):827-833. Linko S, Vaheri H, Seppälä J. 1993. Production of poly-ß-hydroxybutyrate by Alcaligenes eutrophus on different carbon sources. Appl Microbiol Biotechnol 39:11-15. Madison LL dan Huisman GW. 1999. Metabolic engineering of poly(3hydroxyalkanoates): from DNA to plastic. Microbiol Molecular Biol Rev 63(1):21-53. Maiden AM. 1970. Food and fermentation application of starch hydrolysates. Di dalam : Birch GG, Green LF dan Coulson CB. Glucose Syrup and Related Carbohydrates. London: Elsevier Publ. Co. Ltd. Mangunwidjaja D dan Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta : Penebar Swadaya. Marangoni C, Furigo Jr A, Aragäo GMF. 2001. The influence of substrate source on growth of Ralstonia eutropha , aiming at the production of polyhydroxyalkanoate. Braz J Chem Eng 18(2). Nielsen J dan Villadsen J. 1993. Bioreactors: description and modeling. Di dalam : Rehm HJ, Reed G, Pühler A dan Stadler P, editor. Biotechnology. Bioprocessing. Ed ke-2 Vol 3. Weiheim: VCH. Norman BE. 1981. New development in starch syrup technology. Di dalam : Birch GG dan Parte KJ, editor. Enzyme in Food Processing . London: Applied Science Publisher Ltd. Paustin T. 1998. Bacterial plastics. http://www.bact.wisc.edu/Microtextbook. [2 Agustus 2006]. Pranamuda H. 2001. Pengembangan bahan plastik biodegradabel berbahanbaku pati tropis. Disampaikan pada Seminar on -Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. 1-14 Februari 2001. Sinergy Forum - PPI Tokyo Institute of Technology. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Component. 2nd. London: Academic Press Inc.
76
Rabek JF. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical Principles and Applications. New York: A Wiley-Interscience Publication. Reusch RN, Sparrow AW, Gardiner J. 1992. Transport of poly- -hydroxybutyrate in human plasma. Biochem Biophys Acta 1123:33-40 Ryu HW, Hahn SK, Chang YK dan Chang HN. 1997. Production of poly(3hydroxybutyrate) by high cell density fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with phosphate limitation. Biotechnol Bioeng 55:28-32. Scragg AH. 1991. Bioreactors in Biotechnology, A Practical Approach. London: Ellis Horwood Limited. Shimizu H, Kozaki Y, Kodama H dan Shioya S. 1999. Maximum production strategy for biodegradable copolymer P(HB-co-HV) in fed batch culture of Alcaligenes eutrophus. Biotechnol Bioeng 62:518-525. Stanbury PF dan Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology. Oxford: Pergamon Press. Subarna. 1984. Mempelajari pengaruh dosis dan enzim alpha amilase dan glukoamilase serta waktu sakarifikasi terhadap mutu dan rendemen sirup glukosa dari pati sagu [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suryani A, Fauzi AM, Syamsu K dan Wicaksono BWD. 2001. Kajian penggunaan minyak sawit sebagai sebagai substrat fermentasi untuk menghasilkan polyhydroxyalkanoates (biodegradable plastic) oleh Ralstonia eutropha. Laporan Penelitian Project Grant QUE-TIP -IPB. Suryani A, Fauzi AM, Syamsu K dan Wicaksono BWD, Herwina M dan Yulianti A. 2003. Yield and thermal characteristics of Ralstonia eutropha ’s polyhydroxyalkanoates cultivated using palm-oil based carbon. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bandung, 29-30 Agustus 2003. Syamsu K, Suryani A, Fauzi AM dan Wicaksono BWD. 2003. Optimasi produksi, karakterisasi, aplikasi dan pengujian biodegradasi bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat minyak sawit. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing IX . Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. 189 hal. Tanaka K, Katamune K dan Ishizaki A. 1993. Fermentative production of polyß-hydroxybutyric acid from xylose by a two-stage culture method employing Lactococcus lactis IO-1 and Alcaligenes eutrophus. Biotechnol Letters 15(12):1217-1222.
77
Trevan MD, Boffey S, Goulding KH dan Stanbury PF. 1987. Biotechnology : The Biological Principles. Chapter 7, p. 80-81. New York: Open University Press, Taylor & Francis. Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunhill P, Humpre y AE, Lilly MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. New Y ork: John Wiley and Sons. Wicaksono BWD. 2005. Optimasi produksi dan karakterisasi poly-ßhydroxyalkanoates (PHA) hasil kultivasi Ralstonia eutropha menggunakan hidrolisat minyak sawit [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana , Institut Pertanian Bogor. Wilson JA, Mitchell GA, Spruyt DSJ dan Vanderbist MJP. 1995. Analysis of glucose syrup. Di dalam : Dziedzic SZ dan Kearsley MW, editors. Handbook of Starch Hydrolysis Products and Their Derivatives. Glasgow : Blackie Academic & Professional. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Prosedur analis is a. Total gula dengan me tode Fenol-Sulfat (Apriyantono et al. 1989) Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil. Pembuatan kurva standar Sebanyak 2 mL larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, dan 60 µ glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi la lu ditambahkan 1 mL larutan fenol 5% dan dikocok.
Selanjutnya ditambahkan
dengan cepat 5 mL larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit. Setelah dingin, absorbansi larutan standar diukur pada panjang gelombang 490 nm dan dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan konsentrasi glukosa dengan absorbansi. Penetapan sampel Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan yang jernih. Sebanyak 2 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 mL larutan fenol 5% dan dikocok. Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 mL larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit.
Setelah dingin, absorbansinya diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel sebelumnya diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai sehingga dapat terbaca pada kisaran 20-80% absorban. Nilai rata-rata absorbansi sampel hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi glukosa.
b. Total nitrogen dengan metode Kjeldahl (Apriyantono et al. 1989) Sejum lah kecil sampel (kira -kira akan membutuhkan 3-10 mL HCl 0,01 N atau 0,02 N) dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 mL.
Ke dalam labu
ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO 4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0,1 mL H2SO4. Jika
79
sampel lebih dari 15 mg maka ditambahkan 0,1 mL H2SO 4 untuk setiap kelebihan 10 mg bahan organik. Sampel didihkan dengan bantuan batu didih selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Selanjutnya sampel didinginkan dan
ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian didinginkan. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 mL air, air cucian dipindahka n ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 mL yang berisi 5 mL larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol : metilen blue 0,2% = 2:1) diletakkan di bawah kondensor dimana ujung tabung kodensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Ke dalam erlenmeyer ditambahkan NaOH-Na2S2O3. Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 mL destilat. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Isi Erlenmeyer diencerkan kira-kira sampai 50 mL lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. %N
=
(mL HCl sampel - mL HCl blanko) x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel
c. Konsentrasi sel dengan metode gravimetri Sebanyak 1 mL kultur dipipet ke dalam tabung Eppendorf yang telah diketahui bobotnya, disentrifus dengan kecepatan 13000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan sel dari media sisa. Supernatan digunakan untuk analisis total gula sisa. Pelet yang dihasilkan dicuci dengan akuades steril kemudian disentrifus kembali dengan kecepatan 13000 rpm selama 10 menit.
Pelet dalam tabung
Eppendorf dikeringkan di dalam oven 60 oC sampai bobotnya tetap. Selisih bobot tabung Eppendorf yang berisi sel kering dengan bobot tabung Eppendorf kosong merupakan berat kering sel dan dinyatakan sebagai konsentrasi sel kering (g/mL) atau dikonversi menjadi g/L. Pengukuran dilakukan sedikitnya triplo.
d. Isolasi PHA dengan metode NaOH digestion Kultur hasil kultivasi disentrifus dengan kecepatan 13 000 rpm pada suhu o
4 C selama 10 menit. P elet yang dihasilkan kemudian dicuci dengan akuades,
80
disentrifus dengan kecepatan 13 000 rpm, suhu 4 oC selama 10 menit. Endapan sel direaksikan dengan larutan NaOH 0,2 N sedikitnya selama satu jam pada suhu 30 oC. Suspensi sel dalam NaOH disentrifus 13 000 rpm, suhu 4 oC selama 10 menit.
Endapan PHA yang diperoleh kemudian dibilas dengan air destilata,
disentrifus (13 000 rpm, suhu 4 oC selama 10 menit) lalu dikeringkan di dalam oven 50 oC hingga bobotnya konstan. Rasio bobot PHA terhadap volume kultur yang disentrifus merupakan konsentrasi PHA (g/L).
Kadar PHA dalam sel
dihitung dengan cara membagi konsentrasi PHA (g/L) dengan konsentrasi sel (g/L), dikalikan 100%.
e. Analisis GC (Gas Chromatography) PHB (Braunegg et al. 1978) Pengukuran PHB menggunakan metode metanolisis asam termodifikasi Braunegg et al. (1978) yang dikutip oleh Kansiz et al. (2000). Sebanyak 20-30 mg sampel yang telah dihancurkan halus diletakkan di dalam ta bung reaksi berulir. Ke dalam tabung dimasukkan kloroform sehingga konsentrasi sampel dalam kloroform mencapai 3-4 mg/cm3. Larutan kemudian disonikasi selama 30 menit atau sampai larutan terhomogenisasi sempurna. Sebanyak 1 cm3 larutan tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi lain kemudian ke dalamnya ditambahkan 0,85 cm3 metanol yang mengandung kurang lebih 0,5 mg asam butirat per cm3 sebagai internal standard dan 0,15 mL asam sulfat pekat. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 100 oC selama 2 jam dan didinginkan secara cepat, selanjutnya ditambahkan 1 cm3 air destilata. Campuran divorteks selama 1 menit. Lapisan organik dan air dibiarkan terpisah. Sebanyak 0,5 µl lapisan organik yang berada pada bagian bawah diinjeksikan ke dalam GC. Suhu injektor 200 oC dan suhu detektor ionisasi 250 oC. Suhu awal diatur 80 oC kemudian ditingkatkan dengan kecepatan 10 oC/menit sehingga mencapai suhu maksimum 200 oC.
81
Lampiran 2 Contoh penghitungan konsentrasi karbon dan nitrogen
Diketahui
: Konsentrasi total gula stok hidrolisat sagu
= 465 g/L
Konsentrasi total N stok hidrolisat sagu
= 141,75 mg/L
Persentase C pada sirup sagu
= 40%
Persentase N pada (NH 4)2HPO 4
= 21,21%
Rasio C/N media yang diinginkan
= 10:1
Pada basis media 1 L, untuk mencapai konsentrasi gula 30 g/L maka hidrolisat sagu yang dibutuhkan = 30 g / 465 g x 1000 mL = 64,5 mL dimana [C] pada sirup sagu [N] pada sirup sagu Agar C/N 10:1 maka [N]
= 40% x 30 g/L
= 12 g/L
= 141,75 mg/L x (64,5/1000) L = 9,1429 mg = 1,2 g/L
Jadi, (NH4)2HPO 4 yang dibutuhkan = (1,2 g – 9,1429 mg) x (100/21,21)% = 5,6146 g
82
Lampiran 3 Kurva standar untuk penentuan kadar total gula dengan metode Fenol-S ulfat
Konsentrasi glukosa (µg/mL) 10 20 30 40 50 60
Absorbansi ? 490nm 0,235 ± 0,309 ± 0,475 ± 0,627 ± 0,762 ± 0,917 ±
0,043 0,052 0,069 0,071 0,040 0,048
Kurva Standar Glukosa Absorbansi 490 nm
1 y = 0,0141x + 0,0616 R2 = 0,9931
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
10
20
30
40
Konsentrasi glukosa (µg/mL)
50
60
83
Lampiran 4 Kromatogram hasil analisis HPLC larutan standar
Maltosa Glukosa Maltotriosa Maltoheptosa Maltoheksosa Maltopentosa Maltotetrosa
Larutan standar
84
Lampiran 5 Kromatogram hasil analisis HPLC hidrolisat pati sagu
Maltosa Glukosa Maltotriosa Maltoheptosa Maltoheksosa Maltopentosa Maltotetrosa
Luas area peak sampel pada RTn Konsentrasi gula
=
x [larutan standar] Luas area peak standar pada RTn
dengan RT n = waktu retensi peak ke-n konsentrasi larutan standar = 80%
Contoh : Konsentrasi glukosa (peak no 13) = 54 689/101 066 x 80% = 43,29%
85
Lampiran 6 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi batch (skala labu kocok 250 mL) dengan konsentrasi total gula (TG) awal 10, 20, 30, 40 dan 50 g/L
a. Data pertumbuhan sel Waktu (jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48
Konsentrasi sel kering (g/L) pada berbagai konsentrasi gula TG 10 g/L TG 20 g/L TG 30 g/L TG 40 g/L TG 50 g/L 0,14 ±0,06 0,35 ±0,15 0,34 ±0,18 0,58 ±0,15 0,40 ±0,18 0,35 ±0,16 0,53 ±0,15 0,46 ±0,23 0,60 ±0,17 0,80 ±0,28 0,95 ±0,32 1,04 ±0,34 1,42 ±0,21 1,27 ±0,29 1,30 ±0,26 1,30 ±0,19 1,27 ±0,19 1,56 ±0,29 3,13 ±0,21 2,30 ±0,25 1,44 ±0,18 2,95 ±0,28 3,89 ±0,30 3,87 ±0,23 4,57 ±0,31 1,90 ±0,10 2,88 ±0,19 3,84 ±0,24 4,30 ±0,26 4,20 ±0,36 2,38 ±0,10 3,90 ±0,18 4,59 ±0,12 4,73 ±0,06 6,27 ±0,06 2,19 ±0,11 4,00 ±0,08 4,83 ±0,51 4,37 ±0,06 6,77 ±0,06 2,05 ±0,17 4,24 ±0,21 4,68 ±0,18 4,63 ±0,68 6,43 ±0,25
b. Data konsumsi gula Waktu (jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48
Konsentrasi gula sisa (g/L) pada berbagai konsentrasi gula TG 10 g/L TG 20 g/L TG 30 g/L TG 40 g/L TG 50 g/L 10,61 ±0,12 20,90 ±0,17 29,59 ±0,28 38,96 ±0,25 50,92 ±0,32 8,72 ±0,07 13,86 ±0,21 20,26 ±0,33 24,35 ±0,18 43,86 ±0,29 7,93 ±0,23 11,19 ±0,32 18,38 ±0,10 24,16 ±0,39 24,05 ±0,21 6,46 ±0,11 10,03 ±0,29 15,85 ±0,21 20,44 ±0,24 22,82 ±0,37 5,7 ±0,09 9,61 ±0,12 14,16 ±0,20 17,79 ±0,13 22,06 ±0,23 4,20 ±0,32 9,24 ±0,15 13,1 ±0,14 13,77 ±0,16 20,93 ±0,24 4,04 ±0,28 8,49 ±0,18 7,34 ±0,14 10,48 ±0,26 15,07 ±0,41 3,15 ±0,13 7,18 ±0,09 6,7 ±0,41 9,72 ±0,09 14,82 ±0,27 3,00 ±0,11 4,96 ±0,05 6,56 ±0,18 9,41 ±0,48 13,26 ±0,15
86
Lampiran 7 Kinetika kultivasi R. eutropha secara batch pada bioreaktor 2 L Waktu (jam) 0 12 24 36 48 60 72 84 96
t (jam) 0 12 36 48 60 72 96
X (g/L) 0,29 ± 0,14 1,09 ± 0,24 2,19 ± 0,26 3,54 ± 0,22 4,32 ± 0,23 4,21 ± 0,20 4,46 ± 0,33 4,21 ± 0,46 4,41 ± 0,32
X-Xo (g/L) 0,00 0,79 1,89 3,24 4,03 3,92 4,17 3,92 4,12
P (g/L) P/X (%) 0,00 0,00 0,10 9,20 0,95 26,96 1,28 29,56 1,56 37,05 1,56 34,90 1,44 32,65
Ln X (g/L) -1,228 0,083 0,782 1,263 1,462 1,437 1,495 1,437 1,484
µ (1/jam) 0,109 0,058 0,040 0,017 -0,002 0,005 -0,005 0,004
S (g/L) 24,34 ± 1,80 21,86 ± 2,28 19,18 ± 0,38 9,17 ± 0,70 1,41 ± 0,40 0,48 ± 0,01 0,39 ± 0,07 0,31 ± 0,02 0,31 ± 0,01
So-S (g/L) 0,00 2,48 5,16 15,17 22,93 23,86 23,95 24,03 24,03
dS/dt ?S/So (g/L/jam) 0,10 0,21 0,62 0,94 0,98 0,98 0,99 0,99
P-Po dP/dt (g/L/jam) 0,00 0,000 0,10 0,008 0,95 0,036 1,28 0,027 1,56 0,024 1,56 0,000 1,44 -0,005
5 4 3
Yx/s = 0,1507x + 0,5266 Yp/x = 0,376x - 0,1047
2 1 Yp/s = 0,0628x - 0,0243
0 0
5
10
15
20
25
30
-1
Ypx Linear (Yps)
Yps Linear (Yxs)
Yxs
Linear (Ypx)
Keterangan : Yp/x : slope dari (P -Po) = f(X -Xo) => 0,38 g PHA/g sel Yx/s : slope dari (X-Xo)= f(So-S) => 0,15 g sel/g gula Yp/s : slope dari (P -Po) = f(So-S) => 0,06 g PHA/g gula
0,21 0,22 0,83 0,65 0,08 0,01 0,01 0,00
87
Lampiran 8 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed-batch dengan komposisi dan volume umpan seperti media awal pada tahap batch (F1) Konsentrasi sel kering (g/L) 0,77 ± 0,12 2,63 ± 0,06 3,50 ± 0,10 4,83 ± 0,38 5,05 ± 0,92 3,00 ± 0,20 3,40 ± 0,26 3,57 ± 0,15 3,34 ± 0,11
[gula sisa] (g/L) 24,24 ± 2,89 15,36 ± 0,29 13,82 ± 0,02 4,51 ± 1,08 2,76 ± 0,07 11,99 ± 1,83 6,21 ± 0,59 1,81 ± 0,97 1,29 ± 0,10
Ln X (g/L) -0,261 0,967 1,253 1,575 1,619 1,099 1,224 1,273 1,212
µ (1/jam) 0,102 0,024 0,027 0,004 -0,065 0,008 0,004 -0,005
2,0
30
1,5
25 Setelah pengumpanan selesai
1,0
20
0,5
15
0,0
10 0
12
24
36
48
56
72
84
-0,5
96 5
-1,0
0
Waktu (jam) Pertumbuhan sel
Konsumsi gula
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
Waktu (jam) 0 12 24 36 48 56 72 84 96
88
Lampiran 9 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu (F2) Konsentrasi sel kering (g/L) 0,24 ± 0,09 0,89 ± 0,21 1,30 ± 0,08 2,62 ± 0,29 3,34 ± 0,12 3,42 ± 0,29 3,97 ± 0,27 4,77 ± 0,75 4,89 ± 0,26 4,86 ± 0,14
[gula sisa] Ln X (g/L) (g/L) 25,86 ± 1,36 -1,427 24,30 ±1,61 -0,117 21,04 ± 2,13 0,262 17,09 ± 2,57 0,963 13,03 ± 0,57 1,206 29,26 ± 0,33 1,230 18,33 ± 8,67 1,379 13,61 ± 0,35 1,562 4,84 ± 0,28 1,587 3,05 ± 0,77 1,581
µ (1/jam) 0,109 0,032 0,058 0,020 0,024 0,014 0,015 0,002 -0,001
PHA (g/L) 0 0,30 ± 0,10 0,41 ± 0,19 1,13 ± 0,31 1,60 ± 0,25 1,89 ± 0,22 2,43 ± 0,12 2,48 ± 0,06 3,72 ± 0,24
2,0
30 25
1,0 20
0,5 15
0,0 0
12
24
36
48
49
60
72
84
96
10
-0,5 5
-1,0 Pertumbuhan sel
-1,5
Konsumsi gula
0
Waktu (jam)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
umpan 1,5
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
Waktu (jam) 0 12 24 36 48 49 60 72 84 96
P/X (%) 0 33,37 31,35 43,02 47,75 47,61 50,89 50,61 76,54
89
Lampiran 10 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed-batch dengan umpan hidrolisat pati sagu + MgSO 4 (F3) Konsentrasi sel kering (g/L) 0,63 ± 0,10 1,53 ± 0,24 2,49 ± 0,11 3,11 ± 0,32 3,36 ± 0,30 3,32 ± 0,34 3,85 ± 0,26 3,31 ± 0,42 3,28 ± 0,30 3,67 ± 0,28
[gula sisa] (g/L) 19,96 ± 1,22 18,43 ± 0,91 15,78 ± 1,06 12,34 ± 0,57 8,29 ± 0,13 20,75 ± 1,33 16,72 ± 0,50 13,48 ± 0,66 10,44 ± 0,21 3,51 ± 0,15
Ln X (g/L) -0,462 0,425 0,912 1,135 1,212 1,200 1,348 1,197 1,188 1,300
µ (1/jam) 0,074 0,041 0,019 0,006 -0,012 0,013 -0,013 -0,001 0,009
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
1,5
30 25
1,0
20
umpan 0,5
15 0,0 0
12
24
36
48
49
60
72
84
-0,5
96 10 5
Pertumbuhan sel
-1,0
Konsumsi gula
0
Waktu (jam)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Waktu (jam) 0 12 24 36 48 49 60 72 84 96
90
Lampiran 11 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed-batch dengan umpan hidrolisat pati sagu + MgSO 4 + (NH4)2HPO 4 (F4)
Waktu (jam) 0 12 24 36 48 49 60 72 84 96 97 120 144 168
Konsentrasi sel kering (g/L) 0,60 ± 0,18 2,07 ± 0,30 2,49 ± 0,12 2,67 ± 0,28 2,87 ± 0,13 3,04 ± 0,13 3,29 ± 0,24 3,74 ± 0,35 3,81 ± 0,69 4,18 ± 0,14 3,90 ± 0,26 4,45 ± 0,18 4,21 ± 0,52 4,58 ± 0,24
[gula sisa] (g/L) 27,78 ± 1,61 15,15 ± 0,09 3,06 ± 0,01 3,06 ± 0,08 2,89 ± 0,03 22,76 ± 0,30 10,39 ± 0,11 4,91 ± 0,46 4,56 ± 0,23 3,57 ± 0,07 26,02 ± 1,29 15,39 ± 0,40 6,73 ± 0,09 4,88 ± 0,01
Ln X (g/L) -0,511 0,728 0,912 0,982 1,054 1,112 1,191 1,319 1,338 1,430 1,361 1,493 1,437 1,522
µ (1/jam) 0,103 0,015 0,006 0,006 0,058 0,007 0,011 0,002 0,008 -0,069 0,006 -0,002 0,004
2,0
30
1,5
25
1,0
20
0,5
15
0,0
10 0
12
24
36
48
49
60
72
84
96
97 120 144 168
-0,5
5
-1,0
0
Waktu (jam) Pertumbuhan sel
Konsumsi gula
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
umpan
91
Lampiran 12 Penghitungan laju dilusi
Untuk perlakuan F1 Diketahui F = 1 mL/menit = 60 mL/jam Vo = 500 mL, V umpan = 500 mL Rumus : D = F / (Vo + F.t) t (jam) D (1/jam) 1 0,107 2 0,097 3 0,088 4 0,081 5 0,075 6 0,070 7 0,065 8 0,061 8,33 0,060
Untuk perlakuan F2, F3, F4 tahap 1 dan F5
Diketahui : Vo = 1000 mL Volume umpan (F.t) = 66,67 mL F = 1,7 mL/menit Rumus : D = F / (Vo + F.t) t (menit) D (1/jam) 10 0,100 20 0,099 30 0,097 39,24 0,096
Pengumpanan tahap 2 pada perlakuan F4 t (menit) 10 20 30 40 41,9
D (1/jam) 0,094 0,093 0,091 0,090 0,090
92
Lampiran 13 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi batch (tanpa pengumpanan) dan aerasi dihentikan pada fase stasioner (Ao)
Konsentrasi sel kering (g/L) 0,51 ± 0,16 2,14 ± 0,11 2,83 ± 0,33 3,72 ± 0,44 3,87 ± 0,13 3,64 ± 0,35 3,24 ± 0,21 3,40 ± 0,21
[gula sisa] (g/L) 29,82 ± 2,50 28,78 ± 0,61 27,23 ± 1,96 22,72 ± 0,56 18,55 ± 3,04 13,67 ± 1,78 6,09 ± 1,61 3,35 ± 0,32
Ln X (g/L) -0,673 0,761 1,040 1,314 1,353 1,292 1,176 1,224
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
1,5
µ (1/jam) 0,060 0,023 0,023 0,003 -0,005 -0,010 0,004
30 25
1,0
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Waktu (jam) 0 24 36 48 60 72 84 96
20 0,5
15 0,0 0
24
36
48
60
72
84
-0,5
96 10 5
Pertumbuhan sel
-1,0
Konsumsi gula
0
Waktu (jam)
93
Lampiran 14 Rekapitulasi data konsentrasi sel kering R. eutropha dan gula sisa pada kultivasi fed -batch dengan umpan hidrolisat pati sagu dan aerasi dihentikan pada fase stasioner (F5)
Waktu (jam) 0 12 24 36 48 49 60 72 84 96
Konsentrasi sel kering (g/L) 0,33 ± 0,07 1,32 ± 0,14 2,00 ± 0,17 2,72 ± 0,23 3,51 ± 0,21 3,39 ± 0,21 3,95 ± 0,62 3,87 ± 0,08 4,12 ± 0,21 4,13 ± 0,51
[gula sisa] (g/L) 27,53 ± 1,12 18,06 ± 0,81 19,50 ± 1,18 16,68 ± 1,97 13,14 ± 0,65 30,35 ± 0,79 21,72 ± 3,10 17,50 ± 1,97 9,98 ± 0,32 6,74 ± 0,60
Ln X (g/L) -1,109 0,278 0,693 1,001 1,256 1,221 1,374 1,353 1,416 1,418
µ (1/jam) 0,116 0,035 0,026 0,021 -0,035 0,014 -0,002 0,005 0,000
35 umpan
1,0
30 25
0,5 20 0,0 0
12
24
36
48
49
60
72
-0,5
84
96 15 10
-1,0
5 Pertumbuhan sel
-1,5
Konsumsi gula
0 Waktu (jam)
Konsentrasi gula sisa (g/L)
Ln konsentrasi sel kering (g/L)
1,5
94
Lampiran 15 Analisis ragam pengaruh pengumpanan terhadap konsentrasi sel kering
Output Minitab versi 11 : One -Way Analysis of Variance Analysis of Variance for [sel kering] Sumber Umpan Galat Total
db 4 5 9
JK 3.238 1.324 4.562
KT
F
P
0.809 0.265
3.06
0.126
Perlakuan
N
Rata-rata [sel kering]
F1 F2 F3 F4 Batch
2 2 2 2 2
3.3534 4.8583 3.6667 4.5800 4.4084
95
Lampiran 16 Analisis ragam pengaruh pengumpanan terhadap konsentrasi PHA Output Minitab versi 11 : One -Way Analysis of Variance a.
Analysis of Variance for [PHA] Sumber Umpan Galat Total
db 4 5 9
JK
KT
6.045 1.141 7.186
F
1.511 0.228
6.62
P 0.031*
b. Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.200 Individual error rate = 0.0468 Critical value = 3.71 Intervals for (column level mean) - (row level mean)
F1
c.
F2
F3
F2
-2.8269* -0.3201
F3
-1.2223 1.2844
0.3512* 2.8579
F4
-0.9473 1.5595
0.6262* 3.1330
-0.9783 1.5284
Batch
-0.5414 1.9654
1.0321* 3.5389
-0.5724 1.9343
F4
-0.8475 1.6593
Fisher's pairwise comparisons Family error rate = 0.212 Individual error rate = 0.0500 Critical value = 2.571 Intervals for (column level mean) - (row level mean) F1
F2
F3
F2
-2.8018* -0.3452
F3
-1.1973 1.2594
0.3762* 2.8329
F4
-0.9222 1.5344
0.6513* 3.1079
-0.9533 1.5034
Batch
-0.5163 1.9403
1.0572* 3.5138
-0.5474 1.9093
F4
-0.8224 1.6342
96
Lampiran 17 Analisis ragam pengaruh pengumpanan terhadap kadar PHA dalam sel Output Minitab versi 11 : One -Way Analysis of Variance a. Analysis of Variance for Kadar PHA dalam sel Sumber Umpan Galat Total
db
JK
4 5 9
KT
2604.2 278.2 2882.3
651.0 55.6
F 11.70
P 0.009**
b. Tukey's pairwise comparisons Family error rate = 0.200 Individual error rate = 0.0468 Critical value = 3.71 Intervals for (column level mean) - (row level mean)
F1
c.
F2
-32.25 6.89
F3
-13.40 25.74
F2
F3
F4
-0.72 38.42
F4
5.17* 44.31
17.85* 56.99
-1.00 38.14
Batch
11.78* 50.92
24.46* 63.60
5.61* 44.75
-12.96 26.18
Fisher's pairwise comparisons Family error rate = 0.212 Individual error rate = 0.0500 Critical value = 2.571 Intervals for (column level mean) - (row level mean) F1 F2
-31.86 6.49
F3
-13.01 25.34
F2
F3
F4
-0.33 38.03
F4
5.56* 43.91
18.24* 56.60
-0.61 37.75
Batch
12.17* 50.53
24.85* 63.21
6.00* 44.36
-12.57* 25.79
97
Lampiran 18 Analisis raga m pengaruh pengumpanan dan aerasi terhadap konsentrasi sel kering, konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel Output Minitab versi 11 : Analysis of Variance (Balanced Designs) a.
Analysis of Variance for [sel kering] Sumber
db
Umpan Aerasi Umpan*aerasi Galat Total
KT
0.7100 1.5168 0.0425 2.3949 4.6641
0.7100 1.5168 0.0425 0.5987
Rata-rata Umpan Tanpa umpan Umpan C
N 4 4
[sel kering] 3.9000 4.4958
Aerasi Aerasi nol Aerasi tetap
N 4 4
[sel] 3.7625 4.6333
Umpan Tanpa Tanpa Umpan Umpan b.
1 1 1 4 7
JK
Interaksi Aerasi umpan Aerasi umpan Aerasi C Aerasi C Aerasi
nol tetap nol tetap
N 2 2 2 2
F 1.19 2.53 0.07
P 0.337 0.187 0.803
[sel kering] 3.3917 4.4084 4.1333 4.8583
Analysis of Variance for [PHA] Sumber
db
Umpan Aerasi Umpan*aerasi Galat Total
1 1 1 4 7
JK 5.5006 0.3516 0.7865 1.3949 8.0336
Rata-rata Umpan Tanpa umpan Umpan C
N 4 4
[PHA] 1.5431 3.2015
Aerasi Aerasi nol Aerasi tetap
N 4 4
[PHA] 2.1627 2.5820
Umpan Tanpa Tanpa Umpan Umpan
KT
Interaksi Aerasi umpan Aerasi umpan Aerasi C Aerasi C Aerasi
nol tetap nol tetap
5.5006 0.3516 0.7865 0.3487
N 2 2 2 2
F
P
15.77 1.01 2.26
0.017* 0.372 0.208
[PHA] 1.6471 1.4393 2.6784 3.7247
98
Lanjutan Lampiran 18 c. Analysis of Variance for Kadar PHA dalam sel Sumber Umpan Aerasi Umpan*aerasi Galat Total
db
JK
1 1 1 4 7
1870.15 5.36 361.90 295.00 2532.41
KT
F
1870.15 5.36 361.90 73.75
Rata-rata Umpan
N
Kadar PHA dalam sel
Tanpa umpan Umpan C
4 4
40.170 70.749
Aerasi
N
Kadar PHA dalam sel
Aerasi nol Aerasi tetap
4 4
56.278 54.641
Umpan Tanpa Tanpa Umpan Umpan
Interaksi Aerasi umpan umpan C C
Aerasi Aerasi Aerasi Aerasi
nol tetap nol tetap
25.36 0.07 4.91
P 0.007** 0.801 0.091
N
Kadar PHA dalam sel
2 2 2 2
47.715 32.626 64.842 76.656
99
Lampiran 19
Kromatogram hasil metanolisis PHB standar (menggunakan kromatografi gas)
Pelarut Metil hidroksibutirat
Konsentrasi pelarut (peak no 2 dan 3)
= 60,441 + 0,035 = 60,476%
Konsentrasi total non pelarut
= 100 – 60,476 = 39,524%
Konsentrasi peak dominan (no 4, waktu retensi 1,18) = 35,969/39,524 x 100% = 91,01%
100
Lampiran 20 Kromatogram hasil metanolisis PHA yang dihasilkan pada penelitian (menggunakan kromatografi gas)
Pelarut Metil hidroksibutirat
Konsentrasi pelarut (peak no 1 dan 2)
= 4,476 + 74,827 = 79,303%
Konsentrasi total non pelarut
= 100-79,303 = 20,697%
Konsentrasi peak no 3 (waktu retensi 1,25) = 14,424/20,697 x 100% = 69,69% Kemurnian relatif terhadap PHB standar
= 69,69/91,01 x 100% = 76,57%