Reaksi hipersensitivitas tipe III
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Zuhrial Zubir, Fiblia Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan
Pendahuluan Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi
protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh yaitu berupa penyakit yang dikenal dengan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan salah satu pembagian dari reaksi hipersensitivitas berdasarkan Gell dan Coombs (1963). Selain berdasarkan Gell dan Coombs, pembagian reaksi hipersensitivitas juga dapat berdasarkan waktu timbulnya reaksi yaitu reaksi cepat, intermediet dan lambat. 1 Definisi Reaksi hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas juga dikenal sebagai reaksi berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada sel B dan sel T. Aktivitas atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan keadaan imunopatologis yaitu reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu :2
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaktif
Reaksi hipersensitivitas tipe II yaitu reaksi sitotoksik
Reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu reaksi kompleks imun
Reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi yang diperantarai oleh sel
Berdasarkan kecepatan reaksinya, reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi tipe cepat, reaksi hipersensitiitas tipe II dan III merupakan tipe intermediet, sedangkan tipe IV merupakan reaksi tipe lambat. 1,3
1 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Etiologi Penyebab reaksi hipersensitivitas diantaranya :3 a. Infeksi persisten Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan muncul kompleks imun pada organ yang terinfeksi b. Autoimun Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks imun mengendap pada ginjal, sendi dan pembuluh darah c. Ekstrinsik Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan. Tempat kompleks imun mengendap yaitu paru
Patofisiologi Reaksi hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam jumlah kecil dan antigen dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks imun yang kecil dan sulit diekskresikan dari sistem sirkulasi. Kompleks imun ini memiliki sifat sebagai antigen terlarut yang tidak berikatan dengan permukaan sel. Ketika antigen ini berikatan dengan antibodi, maka terbentuk kompleks imun dengan berbagai ukuran. Kompleks imun yang berukuran besar dapat dimusnahkan oleh makrofag, namun kompleks imun yang berukuran kecil, sulit untuk dimusnahkan oleh makrofag sehingga dapat lebih lama bertahan dalam sirkulasi. Kompleks imun ini menjadi berbahaya ketika mengendap di jaringan. Beberapa jaringan tersebut diantaranya: pembuluh darah, persendian dan glomerulus. Endapan ini akan menimbulkan gejala. Kompleks imun berukuran medium lebih bersifat patogen. a.
1,3
Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergi ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen yang berebihan tanpa disertai respon antibodi yang efektif. Oleh karena makrofag belum dapat memusnahkan kompleks imun, sehingga perangsangan terhadap makrofag ini terjadi secara terus menerus dan berakibat terhadap rusaknya jaringan. 1 Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 atau IgA diendapkan di membran basal vaskuler dan membran basal ginjal sehingga menimbulkan 2 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks ini juga dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permiabilitas vaskuler, aktivitas sel mast, produksi dan pelepasan mediator iflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik ini dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Kompleks imun yang mengendap pada dinding pembuluh darah dapat dilihat pada gambar 1 berikut.1
Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe III
b.
Kompleks imun mengendap di jaringan
Beberapa hal yang dapat menyebabkan kompleks imun dapat mengendap di jaringan yaitu : ukuran kompleks imun yang kecil serta permiabilitas vaskuler yang meningkat antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.1 Kompleks antigen antibodi
dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai
berikut: 1. Aktivasi komplemen 2. Melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang merangsang mastosit melepas histamin 3. Melepas faktor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik 4. Menimbulkan agregasi trombosit 5. Menimbulkan mikrotrombi 6. Melepas amin vasoaktif 7. Mengaktifkan makrofag 8. Melepas IL-1 dan produk lainnya.2
3 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Bentuk Reaksi Terdapat 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu : reaksi lokal atau sistemik. a. Reaksi Lokal atau fenomena Arthus Maurice Arthus yang menemukan bahwa penyuntikkan serum kuda ke intradermal kelinci secara berulang-ulang di tempat yang sama akan terjadi reaksi yang hebat. Reaksi awal berupa eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan kemudian edema yang lebih besar. Reaksi tersebut hilang setelah keesokan harinya. Pada suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan neksrosis yang sulit sembuh. Hal ini disebut fenomena arthus
yang merupakan bentuk reaksi dari
kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.1,4
Gambar 2. Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III pada Reaksi Arthus
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskuler dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan eritem sampai nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan alveolitis atau farmers lung. 1,5 C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan permiabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai diarahkan ke tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit
4 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permiabilitas vaskular dan respon tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepaskan berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat. Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut : 1
Gambar 3. Reaksi Arthus Suntikan obat dapat memacu pembentukan kompleks imun (1), lalu mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik (2), dan kompleks imun diikat oleh sel mast (3), menimbulkan degranulasi oleh neutrofil yang memacu kemotaksis (4) dan melepas enzim litik (5). 1
5 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan berbagai komponen-komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau granulosit menurun maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Reaksi arthus pada klinis dapat berupa vaskulitis. 4 b. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III, yang berasal dari injeksi heterologus protein asing atau serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder dari obat-obatan non protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet dan Shick pada tahun 1905. Serum sickness merupakan sindrom yang terdiri dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri sendi dan limpadenopati pada regio yang diinjeksi. Pemberian obat-obatan seperti penisilin, NSAID (Nonsteroidal anti inflammatory drugs) juga berhubungan dengan penyakit yang mirip dengan serum sickness.6 Patofisiologi Pada saat tubuh terpapar antigen asing, dimana tidak terdapat antibodi, serum sickness dapat muncul setelah 1-2 minggu. Serum sickness ini muncul saat antibodi terbentuk dan patogenesa serum sickness
berhubungan dengan interaksi sirkulsi
antigen dan antibodi yang membentuk kompleks imun pada lingkungan dengan kelebihan antigen.6 Interaksi imunologi pada serum sickness timbul ketika antigen mampu mengenali sirkulasi pada saat pembentukan antibodi. Kompleks imun dengan ukuran 6 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
kecil tidak menyebabkan inflamasi, kompleks imun yang berukuran besar biasanya dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial sistem. Sedangkan yang berkuran intermediet, dapat mengendap pada dinding pembuluh darah dan jaringan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan oleh karena aktivasi komplemen dan granulosit. Sel endotelial meningkat pada saat adhesi molekul, monosit dan makrofag melepaskan sitokin proinflamasi. Kemudian sel inflamasi lainnya direkrut serta terjadi nekrosis pada pembuluh darah. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis dan ikatan neutropil dengan kompleks imun yang mengendap. Hal ini difasilitasi oleh peningkatan permiabilitas vaskular melalui pelepasan amin vasoaktif dari sel mast. Pada saat ini, level komplemen turun samapai setengah dari level respon antibodi. Sindroma kinik ini timbul selama 1-2 minggu injeksi antigen. Antigen bebas biasanya dimusnahkan dari darah, sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan pembentukan kompleks imun yang berukuran besar dan mudah dimusnahkan oleh makrofag. Gejala klinis biasanya sembuh atau menghilang 7-28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet juga dimusnahka oleh sistem retikuloendotel. 6 Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul dari sistem imun. Serum sickness sekunder memiliki gejala onset yang pendek dan gejala yang berlebihan. Penyakit kompleks imun muncul dengan penyebab yang masih belum jelas. Faktor yang mungkin berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun, defisiensi relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap rendahnya kemampuan eliminasi kompleks imun. 6 Etiologi Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan yang mengandung protein tertentu : Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi monoklonal dan poliklonal dari kuda, kelinci, tikus contohnya antithymocyte globulin. Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin, furazolidone, griseofulvin, lincomycin, metronidazole, paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide, tetrasiklin. Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion, captopril, karbamazepin, fluoxetine, halotan, hidantoin, hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran, metimazole, metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan thiouacil.
7 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum sickness like syndrome yaitu : infliximab pada pengobatan chron disease dan reumatoid artritis. Omalizumab digunakan untuk terapi alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab biasanya digunakan pada berbagai penyakit diantaranya cryoglobulinemia dan lymphoma. 6 Epidemiologi Prevalensi serum sickness menurun setiap tahun. Kemungkinan munculnya serum sickness didasarkan atas jumlah dosis. Pada satu penelitian dilaporkan bahwa terdapat 10% pasien yang mengalami serum sickness setelah diberikan 10 ml antitoksin tetanus. Sedangkan pada pasien yang mendapat dosis 80 ml, prevalensi serum sickness lebih besar lagi. Selain itu serum sickness juga didasarkan atas tipe antigen yaitu antirabies serum memiliki angka kemungkinan serum sickness lebih tinggi yaitu 16,3% sedangkan antitetanus toksin 2,5%-5%. 6 Prognosis Serum sickness merupakan penyakit self limited dan sembuh dalam beberapa hari. Prognosa serum sickness baik, jika tidak terdapat keterlibatan organ. Namun jika terdapat glomerulonepritis yang progresif dan kompliksi neurologi yang berat maka, mortalitas akan tinggi. Beberapa komplikasi serum sikness sebagai berikut : vaskulitis, neuropati, acute renal failure, glomerulonepritis, anapilaksis dan shok. 6 Gejala klinis Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan agen penyebab. Waktu yang paling singkat untuk muncul yaitu 12-36 jam. Gejala klinis dapat berupa :
Demam, malaise (100%), demam dengan suhu tinggi dalam beberapa hari
Erupsi kulit (93%) berupa urtikaria, muncul pada anteror badan bagian bawah, periumbilikalis, aksila dan menyebar ke bagian atas badan dan ekstremitas. Dapat pula muncul rash seperti morbili, palpabel purpura, eritema simplex, eritema multiform,pruritus dan edema.
Atralgia (77%) biasanya pada metacarpophalangeal atau knee joint.
Gastrointestinal (67%)
Sakit kepala (57%)
Pandangan kabur (37%) 8 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Mialgia (37%)
Dipsneu (20%)
Limpadenopati (17%)
Renal impairment : proteinuri, hematuri mikroskopi, oliguri.
Neurologi imparement : neuropati perifer, neuritis pleksus brachial, neuritis optik, Guillain Barre Syndrome, encephalomyelitis.6
Diagnosa Banding Beberapa diagnosa banding serum sickness terdiri dari :
Cyroglobulinemia
Glomerulonepritis
Hepatitis viral
Infeksius mononukleosis
Endikarditis infeksi
Kawasaki disease
Leukocytoclastic vasculitis
Sickle Cell Anemia
Systemic Lupus Erythematosus. 6
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yaitu berupa : leukopenia atau mild leukositosis dengan atau tanpa eosinopilia, sel plasma pada darah tepi, sedimen eritrosit meningkat, peningkatan IgG, proteinuria ringan atau hematuria, kreatinin serum meningkat, penurunan komplemen C3,C4, Cyroglobulinemia atau gabungan IgG dan IgM. 6 Terapi Pada kasus berat dapat digunakan kortikosteroid. Plasmaparesis juga dapat digunakan. Obat-obatan yang dapat digunakan yaitu : NSAIDs, antihistamin, kortikosteroid. Penyakit pada reaksi hipersensitivitas tipe III a.
Aspergilosis bronkopneumonia alergik Merupakan peradangan saluran nafas yang sering pada usia muda dengan
atopi. Penyebabnya yaitu alergi terhadap jamur aspergilus fumigatus. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada bronkus (bronkiektasis) dan parenkim paru. Terdapat 2 9 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
mekanisme imunologis yaitu kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG) menyebabkan inflamasi saluran nafas melalui mekanisme aktivasi komplemen dan sel-sel fagosit serta kerusakan parenkim paru dan bronkus terjadi akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang menempel pada mastosit, yang selanjutnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan histamin dan mediator lainnya. Gambaran klinis seperi asma berupa demam, batuk, nyeri dada dan kelelahan.3 b.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) SLE merupakan penyakit autoimun sistemik dengan karakteristik respon sel
B dan sel T secara berlebihan dan kehilangan toleransi sistem imun dalam melawan antigen dari tubuh sendiri. Produksi dan gangguan eliminasi dari antibodi, sirkulasi dan deposit jaringan dari kompleks imun, komplemen dan aktivasi sitokin berkontribusi terhadap terjadinya gejala klinis yang muncul seperti lemah, nyeri sendi dan kegagalan organ. Berdasarkan E.Cozzani dkk, antibodi yang berperan pada SLE yaitu antinuclear antibodi, antidouble stranded DNA antibodi. 7 Patofisiologi Patofisiologi terjadinya SLE yaitu respon imun melawan antigen dalam tubuh. Autoantigen dilepaskan dari sel apoptosis yang dipresentasikan oleh sel dendritik terhadap sel T. Aktivasi sel T berfungsi dalam mengaktifkan sel B dalam memproduksi antibodi yang merupakan komponen dari dirinya sendiri melalui sekresi sitokin seperti : IL-10 dan IL-23 serta CD-40L dan CTLA-4. Kemudian antigen ini akan mengaktifkan sel T dependent dalam memproduksi autoantibodi. Peningkatan jumlah apoptosis berhubungan dengan asam nukleid endogen yang menstimulasi produksi IFNα dan mempromosikan autoimun melalui sistem toleransi
yang
diaktivasi antigen precenting cell (APC). Pada awalnya, imun reaktan seperti kompleks imun menyebabkan respon inflamasi. 8 Kompleks imun dan komplemen akan mengaktivasi jalur fungsi efektor dan kerusakan jaringan. Pada individu sehat, kompleks imun dibersihkan oleh Fc dan reseptor komplemen. Kegagalan dalam membersihkan kompleks imun
akan
menyebabkan kompleks imun mengendap dan menyebabkan kerusakan jaringan. Kerusakan jarigan dimediasi oleh rekrutmen sel-sel inflamasi, reactive oxidative spesies, sitokin proinflamasi dan modulasi kaskade koagulasi. Pada kasus 10 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
neuropsikiatrik SLE (NPSLE), terjadi reaksi antibodi dengan DNA dan reseptor glutamat pada sel neuronal sehingga dapat menyebabkan kematian sel atau disfungsi sel. Sitokin lokal seperti IFN-α dan TNF-α menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi. IFN-α menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Pada SLE terjadi aterosklerosis oleh karena homosistein dan faktor proinflamasi. 9 Diagnosis SLE memiliki perjalanan klinis yang dinamis, sehingga sulit dalam menegakkan diagnosa SLE. Berdasarkan American College of Rheumatology 1997 terdapat beberapa gejala klinis dalam mendiagnosa SLE sesuai tabel berikut :10
Tabel 1. Gejala klinis SLE
11 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosa SLE memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan jika hanya 3 kriteria atau salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE. Bila hasil test ANA negatif, kemungkinan bukan SLE. Sedangkan jika hanya ANA positif dn gejala lain tidak ada, maka perlu dilakukan observasi lebih lanjut. 10 Terapi pada SLE refractory yang mendapatkan terapi konvensional, berdasarkan Bonilla-Abadia dkk, penggunaan Rituximab dapat menurunkan angka kekambuhan dan bersifat aman dalam penggunaannya.8 c.
Artritis Reumatoid Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi jaringan ikat sendi yang
bersifat progresif, biasanya diawali dengan artritis pada PIPs, MCPs dan MTPs secara simetris disertai ejala sistemik dan cendrum menjai kronik. Artritis reumatoid berkaitan dengan HLA DR1 dan HLA DR4. 11 Pada artritis reumatoid dibentuk Ig yang berupa IgM (disebut rheumatoid faktor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovial sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi disertai dengan peningkatan permiabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi dan nyeri bila eksudat bertambah banyak. Enzim hidrolitik yang dilepas pada reaksi dapat pula menimbulkan destruksi sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi. Berikut gambar proses inflamasi pada artritis reumatoid. 3
Gambar.5 Proses inflamasi pada artritis reumatoid 12 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
d.
Vaskulitis Vaskulitis merupakan penyakit komplekks imun yang ditandai dengan adanya
inflamasi dan nekrosis lokal pada dinding pembuluh darah akibat respon tubuh terhadap antigen infeksi, keganasan, obat/bahan kimia, radiasi dan antigen lain tidak diketahui. Pada vaskulitis ini terdapat beberapa hal penting : 1) adanya komplek imun yang larut ditemukan dalam darah;2) Peningkatan permiabilitas vaskuler akibat adanya endapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah ; 3) Aktivasi komplemen dengan akibat pengerahan sel-sel PMN dan monosit ke tempat endapan kompleks imun; 4) Penglepasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan kerusakan dan neksrosis pembuluh darah Beberapa penyakit kompleks imun diatas dapat dilihat pada tabel berikut : 1,4
Tabel 2. Beberapa penyakit kompleks imun 6. Diagnosis Walaupn deteksi kompleks imun tidak mutlak untuk setiap penyakit, tetapi pada beberapa keadaan, penentuan kompleks imun bermanfaat selain untuk menunjang diagnosis juga untuk memantau keberhasilan. Pemantauan ini dilakukan pada beberapa penyakit misalnya pada LES, artritis reumatoid dan polartritis nodosa. Kadar kompleks imun berkolerasi dengan status penyakit dan mempunyai nilai prediktif yang cukup baik.2,3 13 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
a. Pemeriksaan Komplek Imun Adanya kompleks imun dapat diperiksa dengan 2 cara sebagai berikut: 1. Analisis
spesimen
jaringan
untuk
melihat
komponen
endapan
kompleks
(imunologlobulin, komplemen, kadang-kadang antigen) dengn teknik imunofluoresen. 2. Analisis konpleks imun dalam serum atau cairan tubuh lain. Kompleks imun dalam sirkulasi dapat ditemukan dengan 2 cara, yaitu dengn pemeriksaan antigen spesifik dalam kompleks dengan antibodi dan dengan pemeriksaan antigen nonspesifik. Olek karena itu banyak peneliti memilih dan mengembangkan teknik antigen nonspesifik.2,3 Saat ini banyak cara yang dapat dikerjakan untuk menemukan kompleks imun dalam sirkulasi, tetapi tidak ada satupun cara yang ideal. Salah satu teknik yang sering digunakan adalah dengan cara yang mengunakan cell line limpoma (sel Raji).1 Kerusakan jaringan oleh karena kompleks imun tidak selalu disertai dengan adanya kompleks imun dalam sirkulasi. Penemuan kompleks imun dalam serum berfungsi untuk menilai dan memantau penyakit serta efek pertukran plasma. Bila kompleks imun diduga berperan pada suatu penyakit, maka dilakukan biopsi jaringan dan kompleks imun diperiksa dengn teknik imunofluoresen. Oleh karena itu pemeriksaan kompleks imun di dalam jaringan lebih bermakna dibandingkan dengan pemerikaan kompleks imun dalam sirkulasi.3 b. Pemeriksaan Komplemen Pemeriksaan komplemen dalam serum dimaksudkan untuk mengukur fungsi komponen dan menentukan sifat antigenik komplemen (cara Mancini). Komplemen dapat dibagi dalam 3 golonan sebagai berikut; 1) Komponen dini pada jalur klasik (C1, C4, dan C2); 2) Komponen dini pada jalur alternatif (faktor B, D dan P); 3) Komponen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9). Bila kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti aktivasi komplemen hanya terjadi melalui jalur klasik. Bila kadar C3, C4 dan semua faktor B semuanya rendah, kemungkinan besar juga terjadi aktivasi melalui jalur alternatif. Tetapi bila kadar C4 normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah berarti ada aktivasi melalui jalur alternatif aja. Pengukuran C3 dan C4 akan membantu pemantauan
14 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
pengobatan pasien glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar yang rendah biasanya menjadi norma pada remisi. 3 c. Pemeriksaan Jaringan Biopsi Pada jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan imunoglobulin, komplemen dan antigen. Pada jaringan yang rusak atau yang sehat dapat terjadi endapan kompleks imun yang mengandung ketiga unsur tersebut. Jaringan biopsi untuk pemeriksaan imunoflouresens tidak boleh difiksasi. Jaringan harus dikirim secepatnya ke laboratorium.3 d. Pemeriksaan Autoantibodi Autoantibodi seperti ANA (Anti Nuclear Antibody), ds DNA, SMA (Smooth Muscules Antibody) dapat diperiksa melalui tehnik imunofouresen, RIA dan countercurent electrophoresis. Rheumatoid Factor (RF) adalah IgM yang berinteraksi dengan IgG sebagai antigen. 3 Terapi Terapi yang dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu menghilangkan antigen penyebab dan menghentikan respon inflamasi. Pada serum sickness oleh karena obat, maka penghentiaan obat harus segera dihentikan. Plasmaparese dapat digunakan untuk membersihkan kompleks imun dalam sirkulasi. Pada kasus berat dapat diberikan glukokortikoid sistemik. Pada aspergilosis bronkopulmonari alergik dapat diberikan steroid dosis tinggi untuk mengurangi inflamasi akut dan mencegah kerusakan parenkim paru dan bronkus yang bersifat irreversibel. Bronkodilator dapat mengatasi sesak nafas sedangkan anti jamur tidak bermanfaat. 3 Pada penyakit kompleks imun non alergik seperti SLE, Rematoid artritis, glomerulonepritis dapat diberikan steroid dosis rendah (1 mg/kgBB), serta pada keadaan berat dapat diberikan dosis tinggi (2 mg/kgBB) atau mega dose (500-1000mg/hari selama 3 hari berturut-turut). Pilihan terapi pada pemberian steroid jangka panjang yaitu metilprednisolon oleh karena efek samping lebih kecil. Pada kasus berat yang tidak respon dengan steroid, dapat diberikan imunosupresif seperti klorokuin, siklofospamid, metotreksat atau siklosporin.3
15 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
DAFTAR PUSTAKA
1. Bratawidjaya KG, Rengganis I. Reaksi hipersensitivitas, Imunologi dasar. Edisi ke11,Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:333-339 2. Hasim, Septi, Gani, Intan, Iriani, Hiperensitivitas tipe III, STIKES Al Irsyad al Islamiyah, Cilacap, 2011
3. Salim EM, Sukmana N, Penyakit kompleks imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.edisi ke-VI, Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:525-531
4. Hahn BH.Immune-complex diseases.Harrisons principles of internal medicine.16th Edition.New York:Mc Graw Hill,Inc;2005:1960-1968 5. Janawey CA, Travers P, Walport M, Shlomchik MJ. Immunobiology : The Immune System in Helath and disease.5 Edition;2001 6. Alissa HM, Serum sickness. Medscape 2014.http://emedicine.medscape.com 7. Bartels CM. Systemic lupus erythematosus(SLE). Medscape 2014.http://emedicine.medscape.com 8. Juan, Anaya M, Shoenfeld Y, Cervera R. Systemic Lupus Erythematosus 2014. Hidawi Publishing coorperation Autoimmune diseases. Volume 2014 dari http://dx.doi.org/10.1155/2014/274323 9. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systeic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and clinical features.2012.Eular-Fpp.indd 10. Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011. Diagnosis dan terapi Lupus Eritematosus Sistemik. 11. Wachyudi RG, Dewi S, Kamijaya S, Pramudiyo R.Diagnosis dan terapi penyakit reumatologi. Sagung Seto, Jakarta,2006 : 12-13
16 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
17 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas tipe III
18 Universitas Sumatera Utara