ISOLASI DAN KARAKTERISASI FISIKOKIMIA PROTEIN DARI BEKATUL PADI YANG DISTABILISASI DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE
INNEKE KUSUMAWATY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein dari Bekatul Padi yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Inneke Kusumawaty NRP F261100061
RINGKASAN INNEKE KUSUMAWATY. Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein dari Bekatul Padi yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die. Dibimbing oleh DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN, SRI WIDOWATI, dan SLAMET BUDIJANTO. Tahun 2013, produksi padi nasional mencapai 71.900.000 ton. Jika jumlah ini dikonversi menjadi beras maka akan diproduksi sekitar 7.190.000 ton bekatul padi. Bekatul yang kaya protein dan minyak merupakan sumber pangan yang potensial bagi manusia. Namun, bekatul mudah tengik. Dengan proporsi asam lemak tak jenuh pada minyak lebih dari 70%, bekatul padi menjadi sangat rentan terhadap oksidasi oleh lipoksigenase dan lipase. Oleh karena itu, stabilisasi dengan pemanasan perlu segera dilakukan untuk menonaktifkan enzim dalam bekatul padi dan mencegah proses ketengikan. Ekstruder ulir ganda tanpa die digunakan dalam penelitian untuk stabilisasi bekatul padi dengan pemanasan sebelum dilakukan isolasi protein. Pemanasan dapat menurunkan kualitas gizi dan sifat fungsional protein sehingga perlu dilakukan optimasi proses ekstrusi berdasarkan kombinasi suhu dan kecepatan ulir. Untuk melaksanakan penelitian ini, padi diperoleh dari unit penggilingan padi di Sumedang. Proses penggilingan dan penyosohan padi dilakukan di F-Technopark, Institut Pertanian Bogor. Bekatul mengandung 12.0-15.6% protein dengan komposisi asam amino yang mirip dengan konsentrat protein kedelai. Isolasi protein memungkinkan penggunaannya dalam formulasi makanan dan pengembangan produk makanan baru. Sehubungan dengan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk menentukan kondisi optimum proses stabilisasi bekatul padi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die; 2) untuk mempelajari stabilitas oksidatif bekatul; 3) untuk mempelajari sifat fisikokimia konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die; dan 4) untuk mempelajari pengaruh stabilisasi bekatul padi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap fraksi proteinnya. Penelitian tahap satu dan dua menggunakan bekatul padi dari varietas Ciherang. Penelitian tahap tiga dan empat menggunakan bekatul padi dari varietas Pandanwangi dan Ciherang. Optimasi proses stabilisasi bekatul padi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dilakukan dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM), untuk mendapatkan kondisi optimum yaitu suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm). Stabilisasi bekatul padi mengakibatkan penurunan kelarutan protein yang diikuti dengan penurunan rendemen isolasi protein. Kondisi proses stabilisasi bekatul padi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die yang diterapkan pada bekatul padi dapat menurunkan aktivitas lipoksigenase dan lipase, serta meningkatkan stabilitas oksidatif minyak bekatul padi tanpa menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada komponen protein. Differential Scanning Calorimetry (DSC) menunjukkan bahwa entalpi konsentrat protein yang diisolasi dari bekatul padi varietas Ciherang dan Pandanwangi yang distabilkan adalah 200.98 J /g dan 173.14 J /g, lebih besar daripada konsentrat protein
dari bekatul padi varietas Ciherang dan Pandanwangi yang tidak distabilisasi yaitu 109.72 J/g dan 136.03 J/g. Pemanasan dalam proses ekstrusi mengakibatkan protein mengalami denaturasi sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan panasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat molekul protein bekatul berkisar 11.19-60.29 kDa. Tiga fraksi protein telah diidentifikasi, yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Kadar protein terlarut pada fraksi glutelin dari konsentrat protein bekatul Pandanwangi lebih besar daripada Ciherang. Dua fraksi glutelin dipisahkan, yaitu αglutelin (30-39 kDa) dan β-glutelin (19-25 kDa). Sifat fungsional dan berat molekul fraksi protein dari konsentrat protein dari bekatul padi yang distabilisasi tetap sama dengan yang tidak distabilisasi. Pola kelarutan, aktivitas dan stabillitas emulsi, kapasitas dan stabilitas buih, kemampuan menahan air dan minyak konsentrat protein dari bekatul Ciherang dan Pandanwangi yang distabilisasi sama dengan yang tidak distabilisasi. Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrat protein yang diisolasi dari bekatul padi yang distabilisasi berpotensi sebagai ingredien makanan. Kata Kunci: Bekatul padi, ekstruder ulir ganda tanpa die, respons surface methodology, protein bekatul, karakter fisikokimia
SUMMARY INNEKE KUSUMAWATY. Isolation and Characterization Physicochemical Protein from Stabilized Rice Bran using No Die Double Screw Extruder. Under direction of DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN, SRI WIDOWATI, and SLAMET BUDIJANTO. It is estimated the national production of paddy is 71.9 million tons. If this amount of paddy is converted to rice, approximately 7.19 million tons of rice bran will be produced. Rice bran which is rich in protein and oil is a potential source of human food; however, its use is still limited because it becomes rancid easily. With unsaturated fatty acids proportion of more than 70% rice bran oil is susceptible to oxidation by endogenous lipoxygenase and lipase.Therefore, immediate heat stabilization is needed to inactivate the enzyme in rice bran and thereby prevent oil rancidity. No die double screw extrusion was used in this research to heat stabilize the rice bran before its protein isolated. Because the heat may decrease nutritional and functional properties of protein, the extrusion process is optimized based on temperature and screw speed combination. For the purpose of this study, paddy was obtained from rice milling unit located in Sumedang and further dehulled and debranned at FTechnopark, Bogor Agricultural University. Rice bran contains 12.0 to 15.6% protein with amino acids composition similar to soy protein concentrate. Isolation of proteins allows their use in food formulation and development of new food products. In relation to that, the purpose of this study were: 1) to determine the optimum conditions of rice bran stabilization with no die double screw extruder; 2) to study the oxidative stability of rice bran; 3) to study the physicochemical properties of protein concentrates isolated from stabilized rice bran; and 4) to study the effect of stabilization with no die double screw extruder on rice bran protein fraction. Rice bran of Ciherang variety was used in the first and second study. Rice bran of Ciherang and Pandanwangi varieties were used in the third and fourth study. Rice bran stabilization with no die double screw extruder was optimized using response surface method to provide optimum conditions, which were temperature of 130.96oC and a screw speed of 26.65 Hz (91 rpm). Stabilization of rice bran resulted in a decrease in protein solubility, followed by a decrease in the yield of protein isolation. Heat stabilization with no die double screw extruder applied in rice bran is found to be able to decrease lipoxygenase and lipase activities and thereby improve the oxidative stability of rice bran oil without causing further damage to the protein component. Differential Scanning Calorimetry (DSC) test showed that the enthalpy of protein concentrates isolated from stabilized rice bran of Ciherang and Pandanwangi variety were 200.98 J/g and 173.14 J/g, greater than protein concentrates isolated from unstabilized rice bran of Ciherang and Pandanwangi variety were 136.03 J/g and 109.72 J/g. Heating in the extrusion process had resulted in protein denaturation thus increasing the heat absorption capacity. The results of the study show that the molecular weight of rice bran protein ranges from 11.19 to 60.29 kDa. Three protein fractions were identified which include albumin, globulin, and glutelin. The soluble protein content of the glutelin fraction of
rice bran protein concentrates Pandanwangi was greater than Ciherang. Two glutelin fractions were separated, namely α-glutelin (30-39 kDa) and β-glutelin (19-25 kDa). The functional properties and molecular weight protein fractions of stabilized rice bran protein concentrates remain the same as those of unstabilized rice bran protein concentrates. The pattern in solubility, emulsion activity and stabillity, foam capacity and stability, water and oil absorption capacity of stabilized rice bran protein concentrates from Ciherang and Pandanwangi are similar with those of unstabilized protein concentrates. These results show that the protein concentrate isolated from stabilized rice bran is a potential source for food ingredient. Keywords: Rice bran, no die double screw extruder, respons surface methodology, rice bran protein, physicochemical properties
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI DAN KARAKTERISASI FISIKOKIMIA PROTEIN DARI BEKATUL PADI YANG DISTABILISASI DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE
INNEKE KUSUMAWATY
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup
:
1.
2.
Penguji pada Ujian Terbuka
:
1.
2.
Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Bram Kusbiantoro, MS Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Kementerian Pertanian Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Kementerian Pertanian Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
:
Nama NRP
: :
Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein dari Bekatul Padi yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die Inneke Kusumawaty F 261100061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Anggota
Prof. Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 26 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein dari Bekatul Padi yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die” dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sebagian hasil penelitian dalam disertasi ini telah diajukan sebagai artikel ilmiah pada beberapa jurnal, yaitu 1) Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda menggunakan Response Surface Methodology telah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Pascapanen Vol 10 (1) tahun 2013; dan 2) Characterization of Physicochemical Properties of Rice Bran Protein Concentrates From HeatStabilized Rice Bran sedang dalam proses telaah pada Pakistan Journal Agricultural and Sciences. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., Prof. Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan, dan bimbingan hingga terselesaikannya disertasi ini. Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya Suhartono; Dr. Ir. Bram Kusbiantoro, MS; Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS; dan Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr, sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, serta Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MS (PS IPN), Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc (Ketua PS IPN), dan Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.Sc (Wakil Dekan Fateta) yang telah memberikan masukan mendasar pada keseluruhan isi disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Momon Rusmono, MS selaku Sekretaris Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementerian Pertanian atas kesempatan dan ijin belajar yang diberikan. Terima kasih kepada Kementerian Pertanian atas bantuan beasiswa pendidikan tahun 2010-2013 melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Terima kasih kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB atas kesempatan mengikuti pendidikan Program Doktor di SPs IPB. Terima kasih kepada Ketua Program Studi IPN beserta staf; pimpinan, staf, dan laboran F-Technopark, Seafast Center, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, serta teman-teman dari Program Studi Ilmu Pangan 2008-2010, juga semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi. Akhirnya, ungkapan terima kasih yang mendalam dan tak terhingga kepada orang tua, suami, dan anak-anakku atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Teknologi Pangan dan bidang terkait lainnya. Bogor, Agustus 2014 Inneke Kusumawaty
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.................................................................................... Latar Belakang.......................................................................................... Tujuan Penelitian...................................................................................... Hipotesa.................................................................................................... Manfaat Penelitian.................................................................................... Daftar Pustaka...........................................................................................
1 3 3 3 4 4
2. METODOLOGI PENELITIAN............................................................... Tempat dan Waktu Penelitian................................................................... Bahan dan Alat Penelitian........................................................................ Pelaksanaan penelitian.............................................................................. Penelitian 1. Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Menggunakan Response Surface Methodology............ Penelitian 2. Stabilitas Oksidatif Bekatul yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die.................................. Penelitian 3. Characterization Physicochemical Properties of Rice Bran Protein Concentrates from Heat Stabilized Rice Bran................................................................................ Penelitian 4. Pengaruh Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die terhadap Fraksi Protein Bekatul...... Metode Analisis........................................................................................ Daftar Pustaka...........................................................................................
7 7 7 7 8
8 8
9
11 21
3. STABILISASI BEKATUL DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY.......... Pendahuluan.............................................................................................. Bahan dan Metode.................................................................................... Hasil dan Pembahasan.............................................................................. Simpulan................................................................................................... Daftar Pustaka...........................................................................................
23
4. STABILITAS OKSIDATIF BEKATUL YANG DISTABILISASI DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE......................... Pendahuluan.............................................................................................. Bahan dan Metode.................................................................................... Hasil dan Pembahasan.............................................................................. Simpulan................................................................................................... Daftar Pustaka...........................................................................................
41
24 25 28 37 38
41 42 43 46 46
5. CHARACTERIZATION OF PHYSISOCHEMICAL PROPERTIES OF RICE BRAN PROTEIN CONCENTRATES FROM HEAT STABILIZED RICE BRAN..................................................................... Introduction.............................................................................................. Material and Method................................................................................ Result and Discussion............................................................................... References................................................................................................
48 48 49 51 57
6. PENGARUH STABILISASI BEKATUL DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE TERHADAP FRAKSI PROTEIN BEKATUL............................................................................................... Pendahuluan.............................................................................................. Bahan dan Metode.................................................................................... Hasil dan Pembahasan.............................................................................. Simpulan................................................................................................... Daftar Pustaka...........................................................................................
60 60 61 63 67 67
7. PEMBAHASAN UMUM......................................................................... Karakteristik dan Komposisi Kimia Bekatul............................................ Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die................................................................................................. Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein Bekatul............................. Fraksinasi Konsentrat Protein Bekatul..................................................... Daftar Pustaka...........................................................................................
70
8. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................... Simpulan................................................................................................... Saran.........................................................................................................
85 85 85
RIWAYAT HIDUP..................................................................................
86
70
71 76 80 82
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang kaya nutrisi karena mengandung protein, lemak, serat, mineral, vitamin B (Juliano 1985), vitamin E, dan γ-oryzanol (Imsanguan et al. 2008). Beberapa komponen gizi dalam bekatul bahkan lebih tinggi daripada beras sebagai hasil utama penggilingan gabah. Penggilingan gabah menghasilkan beras giling (60-65%), sekam (15-20%), bekatul (8-12%), dan menir (+5%) (Widowati 2001). Tahun 2013, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 71.28 juta ton. Produksi padi tahun 2014 diperkirakan sebesar 69.87 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebesar 1.41 juta ton (1.98 persen) dibandingkan tahun 2013. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.31 ribu hektar (1.92 persen) dan produktivitas sebesar 0.03 kuintal/hektar (0.06 persen) (BPS 2014). Dengan target produksi padi 69.87 juta ton pada tahun 2014 maka dapat dihasilkan bekatul sebanyak 6.99 juta ton. Ketersediaan bekatul yang melimpah sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan pangan seperti makanan fungsional, sereal sarapan, minyak makan, roti, biskuit, dan ingredien pangan. Umumnya, masyarakat Indonesia menyukai konsumsi beras dari padi varietas aromatik, seperti Pandanwangi dan Sintanur, dan padi varietas non aromatik yang pulen seperti Ciherang, IR 64, Memberamo, Way Apoburu, dan Ciliwung. Tanaman padi Pandanwangi dan Ciherang disukai oleh petani karena produktivitasnya tinggi (Suprihatno et al. 2011). Menurut Ruskandar (2009), luas pertanaman padi di pulau Jawa didominasi oleh padi sawah seperti Ciherang (44.8-55.1%). Keterbatasan pemanfaatan bekatul hingga saat ini disebabkan bekatul mudah tengik. Kandungan lemak pada bekatul dengan proporsi asam lemak tak jenuh lebih dari 70% (Ubaidillah 2010) mengakibatkan bekatul mudah mengalami ketengikan yang disebabkan oleh enzim lipase dan lipoksigenase (Malekian et al. 2000). Proses abrasif selama penggilingan mengakibatkan lipase dan lemak kontak sehingga proses hidrolisis berlangsung. Asam lemak yang dihasilkan akan dioksidasi oleh lipoksigenase menjadi hidroperoksida yang kemudian mengalami degradasi membentuk senyawa volatil seperti aldehid, keton, dan alkohol yang tercium sebagai bau tengik (Malekian et al. 2000). Oleh karena itu, lipase dan lipoksigenase dalam bekatul harus segera diinaktivasi pasca penggilingan gabah untuk mencegah ketengikan. Proses ini disebut stabilisasi bekatul (Randall et al. 1985). Stabilisasi bekatul menggunakan pemanasan telah dilaporkan, seperti microwave (Malekian et al. 2000), pratanak (da Silva et al. 2006), uap panas (Pourali et al. 2009), ekstruder ulir tunggal (Malekian et al. 2000; Randall et al. 1985), dan ekstruder ulir ganda (Ubaidillah 2010; Fuh et al. 2001). Stabilisasi menggunakan panas lebih efektif untuk bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan. Proses pemasakan ekstrusi pada suhu tinggi (cooking extrusion) dalam waktu singkat (high temperature short time, HTST) dapat membunuh mikroorganisme dan menginaktivasi enzim. Mekanisme ini dipergunakan sebagai dasar stabilisasi bekatul. Penggunaan ekstruder dalam industri pangan disukai karena tidak menghasilkan limbah, kapasitas besar,
2
proses otomatis, dan cakupan bahan baku luas (Fellows 2009). Ekstruder ulir ganda berpotensi sebagai alat stabilisasi bekatul karena dapat digunakan secara kontinyu dan diskontinyu berintegrasi dengan mesin penggilingan gabah. Bahan akan memperoleh panas dari dinding barel dan kedua ulir yang bergesekan sehingga proses pencampuran bahan dan distribusi panas lebih merata (Harper JM 1982). Umumnya stabilisasi bekatul dilakukan sebagai persiapan bahan baku ekstraksi minyak (Pourali et al. 2009; Thanonkaew et al. 2012) dan produk yang dihasilkan berupa pelet karena adanya die (cetakan) pada bagian keluaran (Fuh & Chiang 2001). Sedangkan, stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die sebagai persiapan bahan baku isolat protein belum pernah dilaporkan. Optimasi proses stabilisasi untuk mendapatkan kombinasi suhu dan kecepatan ulir yang tepat sangat penting karena penggunaan suhu ekstrusi yang tinggi dan waktu yang lama memungkinkan terjadi penurunan nutrisi dan protein kehilangan sifat fungsionalnya (Fellows 2009). Penggunaan suhu ekstrusi yang tinggi ( >135oC) dilaporkan mengakibatkan peningkatan nilai peroksida karena terjadi perpindahan logam dari ulir dan barel ke permukaan bahan (Artz et al. 1992). Optimasi proses stabilisasi bekatul dapat dilakukan dengan menggunakan rancangan komposit terpusat (central composite design, CCD) dilanjutkan analisis dengan metode tanggap permukaan (response surface methodology, RSM) pada program Design Expert 7.0®. Beberapa penelitian menggunakan RSM untuk menentukan kondisi optimum proses (Anuonye et al. 2007; Silpradit et al. 2010). Metode RSM dapat membantu merancang model penelitian, mengurangi jumlah perlakuan dalam penelitian dan membantu mengevaluasi interaksi perlakuan yang diberikan untuk mendapatkan proses yang optimal (Lenth 2009). Pengukuran stabilitas bekatul terhadap oksidasi dapat dilakukan menggunakan uji Rancimat dengan menentukan periode induksi. Periode induksi dapat ditentukan karena produk-produk polar yang dihasilkan selama proses oksidasi dapat dimonitor menggunakan alat pengukur konduktivitas. Semakin lama periode induksi diperoleh suatu minyak semakin tahan minyak tersebut terhadap oksidasi (Velasco et al. 2004; Abramovic & Abram 2005; Madawala et al. 2012). Metode ini dapat menghemat waktu, penggunakan alat, dan bahan kimia di laboratorium (Farhoosh 2007). Beberapa penelitian telah melaporkan potensi bekatul sebagai pangan fungsional (Kahlon et al. 1992; Ryan 2011) dan sumber protein (Wang et al. 1999; Jiamyangyuen et al. 2005). Protein bekatul dilaporkan mengandung asam amino dengan komposisi mirip dengan konsentrat protein kedelai, bebas gluten, dan hipoalergenik. Protein bekatul mengandung asam amino esensial yaitu treonin, valin, leusin, isoleusin, lisin, triptofan, fenilalanin, metionin, dan histidin. Beberapa kandungan asam amino dalam protein bekatul bahkan lebih tinggi daripada yang terkandung dalam kasein, seperti alanin, aspartat, sistein, fenilalanin, treonin, histidin, arginin, dan glisin (Wang et al. 1999). Dengan demikian, protein bekatul dapat digunakan sebagai alternatif sumber protein dan bahan formulasi makanan bayi dan anak-anak. Beberapa peneliti melaporkan protein bekatul juga berpotensi sebagai ingredien pangan karena memiliki sifat fungsional yang berperan dalam membentuk karakter pangan (Yeom et al. 2010; Zhang et al. 2012; Xia et al. 2012).
3
Penelitian tentang isolasi dan karakterisasi fisikokimia protein dari bekatul yang distabilisasi masih sedikit dilaporkan (Zhang et al. 2012; Xia et al. 2012), dan pengaruh stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap kelarutan protein dan fraksi protein dalam isolat protein bekatul juga masih sangat terbatas. Metode isolasi protein bekatul pada kondisi alkali banyak digunakan karena kemampuan ekstraksi cukup tinggi mencapai 97% (Cagampang et al. 1966), 72,63% (Jiamyangyuen et al. 2005), 44,4% (Theerakulkait et al. 2006), 58,92% (Chandi & Sogi 2007), dan 32,9% (Zhang et al. 2011). Perbedaan rendemen protein yang diperoleh tersebut disebabkan oleh perbedaan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku seperti stabilisasi bekatul dan kondisi proses isolasi. Umumnya fraksinasi protein dilakukan terhadap bahan baku protein seperti tepung gandum (Zilic et al. 2011), beras (Agboola et al. 2005; Khan et al. 2010), sorgum (Ali et al. 2009), bekatul (Hamada 1997). Fraksinasi bekatul dengan metode Osborne menggunakan pelarut air (fraksi albumin), 2% NaCl (fraksi globulin), 70% etanol (fraksi prolamin), 0.1 M asam asetat (fraksi glutelin), dan 0.1 M NaOH (fraksi glutelin) menghasilkan fraksi albumin dengan total protein (analisis Kjeldahl) tertinggi, diikuti fraksi globulin, glutelin, dan prolamin (Hamada 1997; Cao et al. 2009). Namun, persentase protein terlarut dari masingmasing fraksi tidak dilaporkan. Proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dan pengaruhnya terhadap sifat fungsional protein dan fraksi protein bekatul berperan penting dalam pengolahan bahan pangan sehingga perlu dilakukan suatu penelitian. Penelitian difokuskan pada penentuan kondisi optimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dan mempelajari karakter fisikokimia konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi, serta profil fraksi protein bekatul. Karakter fisikokimia protein seperti berat molekul, komposisi asam amino, struktur, dan stabilitas terhadap panas akan berpengaruh terhadap sifat fungsional protein bekatul dan menentukan aplikasinya dalam pangan (Zhang et al. 2012; Xia et al. 2012; Jiamyangyuen et al. 2005; Chandi & Sogi 2007; Yeom et al. 2010).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menentukan kondisi optimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die sebagai bahan baku isolat protein; (2) mempelajari stabilitas oksidatif bekatul yang telah distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die; (3) mempelajari karakter fisikokimia protein bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die; dan (4) mempelajari pengaruh stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap fraksi protein bekatul.
Hipotesis Penelitian 1.
Bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dapat digunakan sebagai bahan baku isolat protein.
4
2. 3.
Bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada yang tidak distabilisasi. Karakter fisikokimia protein bekatul dan fraksi protein dalam isolat protein yang dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan stabilisasi bekatul. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakter fisikokimia protein dari bekatul padi yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dan kondisi proses ekstrusi yang optimum untuk stabilisasi bekatul padi sebagai bahan baku isolat protein. Bekatul yang telah distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die berpotensi dimanfaatkan sebagai pangan fungsional, snack, sereal sarapan, minyak makan, dan sumber protein ingredien pangan karena lebih stabil selama penyimpanan, nilai gizi yang terkandung didalamnya, serta ketersediaan yang melimpah sepanjang tahun. Daftar Pustaka Abramovic H, Abram V. 2005. Physico-chemical properties, composition and oxidative stability of Camelina sativa oil. Food Tech. Biotech. 43(1): 63-70 Agboola S, Darren Ng, Mills D. 2005. Characterization and functional properties of Australian rice protein isolates. J. Cereal Sci. 41: 283-290 Ali NMM, El Tinay AH, Elkhalifa AEO, Salih OA, Yousif NE. 2009. Effect of alkaline pretreatment and cooking on protein fractions of a high-tannin sorghum cultivar. Food Chem. 114: 649-651 Anuonye JC, Badifu GIO, Inyang CU, Akpapunam MA. 2007. Effect of extrusion process variables on the amylose and pasting characteristic of acha/soybean extrudates using response surface analysis. Am. J. Food Tech. 2 (5): 354365 Artz WE, Rao SK, Sauer RM. 1992. Lipid oxidation in extruded product during storage as affected by extrusion temperature and selected antioxidant. Di dalam: Kokini JL, Ho C, Karwe MC, editor: Food Extrusion Science and Technology. Marcel Dekker. hlm 449-459 [BPS] Biro Pusat Statisitik. 2014. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka Ramalan I Tahun 2014). Berita Resmi Statistik No. 50/07/Th. XVII [1 Juli 2014]. Cagampang GB et al. 1966. Studies on the extraction and composition of rice protein. Cereal Chem. 43 (2) : 2145-155 Cao X, Wen H, Li C, Gu Z. 2009. Differences in functional and biochemical characteristic of congenetic rice protein. J. Cereal Sci. 50: 184-189 Chandi GK, Sogi DS. 2007. Functional properties of rice bran protein concentrates. J. Food Eng. 79: 592–597 da Silva MA, Sanches C, Amante ER. 2006. Prevention of hydrolytic rancidity in rice bran. J. Food Eng. 75: 487–491
5
Farhoosh R. 2007. The effect of operational parameter of the rancimat method on the determination of the oxidative stability measures and shelf-life prediction of soybean oil. JAOCS 84: 205-209 Fellows PJ. 2009. Food Processing Technology. Third Edition, CRC Press. Woodhead Publ. Ltd. Fuh W, Chiang B. 2001. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. J. Sci. Food and Agric. 81:1419-1425 Hamada JS. 1997. Characterization of protein fractions of rice bran to devise effective methods of protein solubilization. Cereal Chem. 74 (5):662–668 Harper JM. 1982. A comparative analsis of single and twin-screw extruder. Di dalam Kokini JL, Ho C, Karwe MC, editor. Food Extrusion Science and Technology. Marcel Dekker. hlm 139-148 Imsanguan P et al. 2008. Extraction of α-tocopherol and γ-oryzanol from rice bran. LWT:1417-1424 Jiamyangyuen S, Srijesdaruk V, Harper WJ. 2005. Extraction of rice bran protein concentrate and its application in bread. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27: 55-64 Juliano BO. 1985. Rice Bran. Di dalam: Juliano BO, editor. Rice: Chemistry and Technology. 2nd Edition, The American Association of Cereal Chemists, Inc. hlm :647-681 Kahlon TS, Chow FI, Sayre RN, Betschart AA. 1992. Cholesterol-lowering in hamsters fed rice bran at various levels, defatted rice bran and rice bran oil. J. Nutr. 122: 513-519 Khan N, Ali N, Rabbani MA, Masood MS. 2010. Diversity of glutelin alpha subunits in rice varieties from Pakistan. Pak. J. Bot. 42 (3): 2051-2057 Lenth RV. 2009. Rensponse surface methods in R, using RSM. J. Stat. Soft. 32 (7) : 1-17 Madawala SRP, Kochhar SP, Dutta PC. 2012. Lipid components and oxidative status of selected speciality oils. Grasas Y Aceites 63 (2): 143-151 Malekian F et al. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, Louisiana State University Agricultural Center. Pourali O, Asghari FS, Yoshida H. 2009. Simultaneous rice bran oil stabilization and extraction using sub critical water medium. J. Food Eng. 95: 510-516 Randall JM et al. 1985. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. J. Food Sci. 50 (2): 361-364, 368. Ruskandar A. 2009. Varietas Ciherang Makin Mendominasi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31 (6): 11-13 Ryan EP. 2011. Bioactive food component and health properties of rice bran. JAVMA 234 (5): 593-600 Silpradit K, Tadakittasarn S, Rimkeeree H, Supanida S, Haruthaithanasan V. 2010. Optimization of rice bran protein hydrolysate production using alcalase. Research Article As. J. Food Agro-Ind. 3(02): 221-231 Suprihatno B et al. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Thanonkaew A, Wongyai S, Mc Clements DJ, Decker E. 2012. Effect of stabilization of rice bran by domestic heating on mechanical extraction yield,
6
quality, and antioxidant properties of cold-pressed rice bran oil (Oryza saltiva L.). LWT Food Sci. Tech. 48: 231-236 Theerakulkait C, Chaiseri S, Mongkolkanchanasiri S. 2006. Extraction and some functional properties of protein extract from rice bran. Kasesart J. (Nat. Sci) 40: 209-214 Ubaidillah 2010. Stabilisasi bekatul dengan ekstrusi tanpa die [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Velasco J, Andersen ML, Skibsted LH. 2004. Analytical, Nutritional and Clinical Methods: Evaluation of oxidative stability of vegetable oils by monitoring the tendency to radical formation. A comparison of electron spin resonance spectroscopy with the Rancimat method and differential scanning calorymetry. Food Chem. 85: 623-632 Wang M, Hettiarachchy NS, Qi M, Burks W, Siebenmorgen T. 1999. Preparation and functional properties of rice bran protein. J. Agric. Food Chem. 47: 411-416. Widowati S. 2001. Pemanfaatan hasil penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di pedesaan. Buletin AgroBio 4(1) : 33 – 38 Xia N et al. 2012. Preparation and characterization of protein from heat stabilized rice bran using hydrothermal cooking combined with amylase pretreatment. J. Food Eng. 110: 95-110. Yeom H, Lee EH, Ha MS, Ha SD, Bae DH. 2010. Production and physicochemical properties of rice bran protein isolates prepared with autoclaving and enzymatic hydrolysis. J. Korean Soc. Appl. Biol. Chem. 53 (1): 62-70 Zhang HJ, Zhang H, Wang L, Guo XN. 2012. Preparation and functional properties of rice bran proteins from heat-stabilized defatted rice bran. Food Research Int. 47: 359-363. Zilic SM, Sobajic SS, Drinic SDM, Kresovic BJ, Vasic MG. 2010. Effects of heat processing on soya bean fatty acids content and the lipoxygenase activity. J. Agric. Sci. 55 (1): 55-64
7
2 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di F-Technopark, Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Center), Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Pusat Studi Satwa Primata di Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian, serta Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Juli 2014. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi yang diperoleh dari Unit Penggilingan Gabah di Sumedang, Jawa Barat, standar asam linoleat (Wako), bovine serum albumin (Sigma), asam fitat (Sigma), minyak zaitun komersial, minyak kedelai komersial, konsentrat protein kedelai komersial, protein ladder 10-260 kDa (Fermentas), protein marker 7.5-230 kDa (Biorad Board Range 161-0318), bahan kimia standar analisis, dan bahan penunjang lainnya untuk analisis. Alat-alat yang digunakan meliputi penggiling beras (Yanmar), penyosoh beras (Satake), ekstruder ulir ganda tanpa die (Berto), ayakan 100 mesh (Kotobuki), Metrohm 743 Rancimat (Metrohm AG, Herisau, Switzerland), rotary evaporator (Buchi), pompa vakum, pengaduk magnetik (Stereomag), pemanas (Stereomag), homogenizer (Armfield L4R), sentrifus (Hermle Z 383 K), freeze drier (Labconco), spektrofotometer (UV 2450 Shimadzu), Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FTIR-Shimadzu Model IRPrestige-21), Differential Scanning Calorimetry (Perkin–Elmer DSC 7 Ver.9.01 2007), particel size analyzer Malvern (PSA), Mini-V 8.10 Vertical Gel Electrophoresis (Gibco BRL), Biorad Model 385 Gradient Former, Biorad Mini Protean II-Cell, High Pressure Liquid Chromatography (HPLC), penangas goyang (Polyscience), timbangan, dan alat gelas lainnya. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap penelitian. Tahap pertama dan kedua menggunakan bekatul varietas Ciherang, sedangkan tahap ketiga dan keempat menggunakan bekatul dari varietas Ciherang dan Pandanwangi. Tahap pertama adalah optimasi proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die menggunakan response surface methodology dengan parameter kadar air, kadar asam lemak bebas, kadar protein terlarut, aktivitas lipase, dan aktivitas lipoksigenase. Tahap kedua adalah mempelajari stabilitas oksidatif bekatul menggunakan uji Rancimat dengan parameter periode induksi. Tahap ketiga adalah isolasi dan karakterisasi fisikokimia protein bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Tahap keempat adalah fraksinasi protein dari konsentrat protein bekatul berdasarkan kelarutannya menggunakan metode Osborne. Secara lengkap pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 1.
8
Penelitian 1. Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die Menggunakan Response Surface Methodology Gabah varietas Ciherang digiling dan disosoh untuk mendapatkan bekatul. Bekatul hasil penyosohan langsung distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dengan kombinasi perlakuan suhu dan kecepatan ulir, lalu diayak dengan pengayak 100 mesh. Optimasi proses stabilisasi bekatul menggunakan CCD dilanjutkan analisis dengan RSM menggunakan perangkat lunak Design Expert 7.0® (trial versión) dari Stat Ease (Lenth 2009). Proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder merupakan kombinasi perlakuan suhu ekstruder (100-150oC) dan kecepatan ulir (15-35 Hz atau 50-117 rpm). Dengan CCD diperoleh 13 kombinasi perlakuan. Seluruh nilai respon diolah dengan RSM pada program Design Expert 7.0® yang akan memberikan model persamaan matematika pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap setiap paramater yang diujikan. Model persamaan dapat dipergunakan untuk optimasi bila model dinyatakan signifikan (p<0.05) dan ketidaktepatan model dinyatakan tidak signifikan (p>0.05) pada taraf signifikansi 5% (Lenth 2009). Respon dinyatakan optimal bila diperoleh nilai keinginan mendekati satu. Kondisi optimum yang diperoleh digunakan untuk produksi bekatul sebagai bahan baku tahapan penelitian selanjutnya. Bekatul yang telah distabilisasi dan bekatul kontrol disimpan pada suhu minus 20oC sampai dianalisis lebih lanjut. Penelitian 2. Stabilitas Oksidatif Bekatul yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die Pengujian stabilitas oksidatif bekatul menggunakan uji Rancimat pada minyak bekatul. Ekstraksi minyak bekatul dilakukan dengan menggunakan heksan yang diaduk dengan pengaduk magnetik selama 60 menit. Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Heksan dalam minyak dihilangkan dengan diuapkan menggunakan rotary evaporator lalu dihembus dengan gas nitrogen. Minyak bekatul dioksidasi pada suhu 100, 110, dan 120oC. Sebagai pembanding digunakan minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi. Periode induksi dari tiga suhu tersebut diplot pada grafik dan diperoleh persamaan regresi linier. Melalui persamaan tersebut dapat diperkirakan periode induksi bahan pada suhu penyimpanan. Penelitian 3. Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein Bekatul yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die Isolasi protein bekatul dilakukan dengan pengaturan pH. Bekatul yang telah dihilangkan lemaknya dengan heksan disuspensikan dalam air (1:10 b/v) lalu diekstrak dengan pengaduk magnetik selama 2 jam pada pH 8 dan suhu 50oC. Pengaturan pH menggunakan NaOH 5 N. Supernatan yang diperoleh dipresipitasi pada pH 4 menggunakan HCl 5 N. Presipitat dicuci dua kali dengan alkohol 30% lalu disuspensikan dalam air distilat dan dinetralkan menjadi pH 6 menggunakan NaOH 2.5 N. Prespitat dibekukan lalu dikeringbekukan dengan freeze drier.
9
Karakterisasi fisikokimia isolat protein bekatul meliputi analisis komposisi asam amino dengan HPLC, berat molekul (SDS PAGE), gugus fungsional pada struktur protein (FTIR), stabilitas protein terhadap pemanasan (DSC), dan distribusi ukuran partikel (PSA). Sifat fungsional isolat protein diuji pada variasi pH menggunakan bufer sitrat pH 2 dan bufer universal meliputi sifat kelarutan (pH 2-9), aktivitas dan stabilitas emulsi (pH 2, 4, 6, dan 8), kapasitas dan stabilitas buih (pH 2, 4, 6, dan 8), dan kapasitas penyerapan air dan minyak. Komponen antinutrisi asam fitat dianalisis untuk mengetahui kadar dalam bekatul dan isolat protein. Penelitian 4. Pengaruh Stabilisasi Bekatul terhadap Fraksi Protein dalam Konsentrat Protein Bekatul Fraksinasi terhadap konsentrat protein bekatul dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fungsional protein yang diisolasi dari bekatul yang telah distabilisasi. Fraksinasi protein dilakukan menurut metode Osborne menggunakan lima pelarut, yaitu air, NaCl, etanol 70%, asam asetat, dan NaOH (Hamada et al. 1997). Supernatan dari masing-masing fraksi diukur kadar protein terlarut dengan metode Lowry (Lowry 1951) dan dianalisis berat molekul proteinnya dengan sodium dodecyl sulphat polyacrylamide gel electrophoresis (SDS PAGE) (Ahmed 2005).
10
Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die menggunakan RSM
Tujuan: menentukan kondisi optimum proses stabilisasi bekatul sebagai bahan baku isolat protein.
Stabilitas Oksidatif Bekatul
Tujuan : mempelajari stabilitas oksidatif bekatul dengan uji Rancimat
Bekatul varietas Ciherang
Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein dari Bekatul yang Distabilisasi dengan Ekstruder ulir Ganda tanpa Die
Tujuan: mempelajari karakter fisikokimia protein dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi
Kadar air, protein terlarut, asam lemak bebas, aktivitas lipase dan aktivitas lipoksigenase
Kontrol Kontrol
Stabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Tujuan: Mempelajari pengaruh stabilisasi bekatul terhadap fraksi protein bekatul.
Bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi
Bekatul varietas Ciherang
Kombinasi proses stabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Pengaruh Stabilisasi Bekatul terhadap Fraksi Protein Bekatul
Stabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Isolasi protein bekatul
Konsentrat protein bekatul
Kontrol
Stabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Isolasi protein bekatul
Ekstraksi minyak bekatul
Analisis dengan RSM
Karakterisasi fisikokimia protein bekatul
Konsentrat protein bekatul
Minyak bekatul Suhu dan kecepatan ulir optimum
Uji rancimat suhu 100,110, 120oC
Fisikokimia dan sifat fungsional protein bekatul
Fraksi protein
Stabilisasi bekatul dengan pada kondisi optimum
Bekatul terstabilisasi
Tahap 1
Periode induksi
Tahap 2
Fraksinasi protein
Kadar protein terlarut dan berat molekul
Tahap 3
Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian
Tahap 4
11
Metode Analisis Kadar air (AOAC 2005) Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 60 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Cawan kering ditimbang sebelum digunakan. Sekitar 2 gram contoh bekatul ditimbang ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 6 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh berat tetap. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar air (%bb) = a - (b - c) x 100 a dengan: a = berat contoh awal (g); b = berat contoh dan cawan setelah dikeringkan (g); c = berat cawan kering kosong (g) Kadar lemak (AOCS 2003) Labu lemak dikeringkan dalam oven 105oC selama 60 menit, lalu ditimbang sampai diperoleh berat tetap. Sebanyak 10 g contoh bekatul dimasukkan dalam selongsong kertas saring lalu dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Lemak dalam contoh diekstrak dengan heksan selama + 6 jam. Heksan diuapkan sehingga diperoleh ekstrak lemak lalu dikeringkan dalam oven 105oC selama 12 jam. Selanjutnya, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang beratnya. Pengeringan diulangi sampai diperoleh berat tetap. Kadar lemak dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%bb) = a - (b - c) x 100 a Kadar lemak (%bk) = Kadar lemak (%bb) x 100 (100 - Kadar air) dengan: a = berat contoh awal (g); b = berat contoh dan cawan setelah dikeringkan (g); c = berat cawan kering kosong (g) Kadar protein (AOAC 2005) Sebanyak 100 - 200 mg contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, 2.0 + 0,1 mL H2SO4 pekat dan 2-3 butir batu didih. Bahan contoh dipanaskan sampai mendidih selama 1–1.5 jam sampai diperoleh cairan jernih. Setelah didinginkan, isi labu dipindahkan ke dalam labu destilasi dan dibilas menggunakan 1.0 – 2.0 mL air destilata sebanyak 5-6 kali. Air cucian dipindahkan ke labu destilata lalu ditambahkan 8.0-10 mL larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Sebanyak 5.0 mL larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator merah metil-biru metil dimasukkan ke dalam erlemeyer dan diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondesor terendam di bawah larutan H3BO3. Proses destilasi dilakukan sampai diperoleh sekitar 15 mL destilat. Destilat diencerkan sampai 50 mL dengan air distilat dan dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Volume larutan HCl 0.02 N yang diperlukan dicatat. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Kadar protein diukur berdasarkan kadar nitrogen (%N). Kadar protein
12
dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan faktor koreksi 5.95 sebagai berikut : Kadar N (%) = (v1 - v2) x N HCl x 14.007 x 100 w dengan : v1 = volume larutan HCl untuk contoh (mL); v2 = volume larutan HCl untuk blanko (mL); NHCl = konsentrasi larutan HCL (0.02 N); w = berat contoh (mg) Kadar protein (%bb) = %N x faktor koreksi (5.95) Kadar protein (%bk) = Kadar protein (%bb) x 100 (100 - Kadar air) Kadar asam lemak bebas (AOCS 2003) Ekstraksi minyak bekatul dilakukan menurut Silpradit et al. (2010) yang dimodifikasi. Bekatul didispersikan dalam heksan (1:5 b/v) lalu diaduk dengan pengaduk magnet selama 60 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan vakum dengan kertas saring. Heksan dihilangkan dari presipitat menggunakan rotary evaporator suhu 40oC selama 10-15 menit. Sisa heksan dalam minyak dihilangkan dengan dihembus gas N2. Analisis kadar asam lemak bebas dilakukan menurut metode AOCS (2003). Sebanyak 2.0-2.5 gr minyak dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 25 mL alkohol 95% dan 3 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N terstandarisasi hingga diperoleh warna pink tetap selama 10 detik. Volume titran (V) yang digunakan dicatat. Kadar asam lemak bebas dihitung sebagai asam oleat dengan persamaan: Kadar asam lemak bebas sebagai oleat (%) = mL NaOH x N NAOH x 282 10x berat bahan Kadar abu (AOAC 2005) Kadar abu dianalisis menggunakan metode gravimetri. Cawan porselin kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC hingga diperoleh berat tetap. Sebanyak 2 gram bahan ditimbang dalam cawan dan dimasukkan dalam tanur listrik bersuhu 550oC sampai pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, cawan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang hingga diperoleh berat tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar abu (%bb) = Berat bahan akhir x100 Berat bahan awal Kadar abu (%bk) = Kadar abu (%bb) x 100 (100 - Kadar air) Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung dalam basis basah (bb) dan kering (bk) dengan metode by difference. Kadar karbohidrat (% bb) = 100 - (%air+%abu+%lemak+%protein) Kadar karbohidrat (% bk) = kadar karbohidrat (%bb) x 100 (100 - kadar air)
13
Kadar protein terlarut (Lowry 1951) Kurva standar protein merupakan seri konsentrasi bovine serum albumin (BSA) 0.12; 0.24; 0.36; 0.48 dan 0.60 mg/mL, masing-masing sebanyak 4 mL ditambahkan 5.5 mL campuran 2% Na2CO3 dalam NaOH 0.1 N dan 1% CuSO4 dalam 2% NaK.Tartrat (1:50 v/v) dibiarkan selama 15 menit pada suhu kamar. Selanjutnya, ditambahkan 0.5 mL pereaksi folin ciocalteu. Campuran dibiarkan selama 30 menit. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada 600 nm. Bekatul bebas lemak didispersikan dalam air distilat (1:100 b/v) dan diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit lalu disentrifugasi 3000 g (3010 rpm) pada suhu 4oC selama 30 menit. Supernatan direaksikan dengan pereaksi Lowry dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada 600 nm. Pembuatan bufer fosfat 0.05 M pH 7 (Sudarmadji et al. 1997) Larutan 0.05 M NaH2PO4.H2O (berat molekul 137.97) (6.9 g dalam 1000 mL) sebanyak 39 mL ditambahkan ke dalam 61 mL larutan 0.05 M Na2HPO4.2H2O (berat molekul 177.97) (8.9 g dalam 1000 mL) lalu diaduk dengan pengaduk magnetik sampai homogen. Larutan ditepatkan sampai 200 mL dengan air deionisasi. Pembuatan bufer borat 0.01 M pH 8.5 (Sudarmadji et al. 1997) Larutan 0.01 M asam borat (berat molekul 61.82) (0.62 g dalam 1000 mL) sebanyak 50 mL ditambahkan ke dalam 17.5 mL larutan borax (berat molekul 381) (3.81 g dalam 1000 mL) lalu diaduk dengan dengan pengaduk magnetik sampai homogen. Larutan ditepatkan sampai 200 mL dengan air deionisasi. Aktivitas lipase (Prabu et al. 1999 yang dimodifikasi) Bekatul bebas lemak dalam bufer sodium fosfat 0.05 M pH 7 (1:10 b/v) diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit pada 10oC. Campuran disentrifugasi 2998 g (3010 rpm) pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan merupakan ekstrak kasar lipase bekatul (Prabhu et al. 1999). Sebanyak 25 ml 7.5% (b/v) minyak zaitun dalam 7.5% (b/v) gum akasia dalam bufer sodium fosfat 0.05 M pH 7 dihomogenisasi membentuk emulsi. Ditambahkan 2 ml ekstrak kasar lipase ke dalam emulsi (Bhavani et al. 2012). Inkubasi dilakukan dalam penangas goyang 170 rpm selama 30 menit pada 30oC. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 15 ml etanol. Selanjutnya, dititrasi dengan NaOH 0.05 N menggunakan indikator fenolftalein (Prabhu et al. 1999). Satu unit lipase setara dengan jumlah μmol asam lemak yang dihasilkan dalam 30 menit, yang dihitung berdasarkan banyaknya volume NaOH yang dibutuhkan dalam titrasi. Aktivitas lipase (μmol asam lemak/menit) = (Vsampel - Vblanko) NNaOH x 1000 Vsubstrat Aktivitas lipoksigenase (Malekian et al. 2000 yang dimodifikasi) Bekatul bebas lemak (1:10 b/v) dalam bufer sodium fosfat 0.05 M pH 7, diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit pada 10oC lalu disentrifugasi 20.021 g (11.000 rpm) selama 10 menit pada suhu 4oC. Ke dalam 4 mL supernatan ditambahkan 0.4 mL TCA 10% lalu disentrifugasi 2998 g (3010 rpm) selama 20 menit. Ke dalam endapan ditambahkan 0.1 mL dietil eter lalu
14
disentrifugasi pada 20.000 g selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan endapan dikeringanginkan. Ke dalam endapan ditambahkan buffer fosfat 0.05 M pH 7 hingga 4 mL dan digunakan sebagai sumber enzim (Malekian et al. 2000). Substrat dibuat dengan melarutkan 25 μL asam linoleat dalam15 mL etanol dalam labu 25 mL. Air deionisasi ditambahkan sampai batas tera. Untuk pengujian, sebanyak 1 ml substrat ditambah 6 ml buffer borat pH 8.5 (konsentrasi 0.5 mM). Aktivitas enzim diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada 234 nm, 25oC selama 3 menit. Kuvet contoh mengandung 2.9 mL larutan substrat dan 0.1 mL enzim. Pembentukan hidroperoksida dihitung dengan persamaan (Gardner 2001): A234(AU/menit) = ɛ (liter/cm/mol) x c (mol/liter) x l (cm) Keterangan: A234 = absorbansi pada λ 234 ɛ= koefisien molar 26.800 liter/cm/mL c= konsentrasi hidroperoksida (mol/liter) l = ketebalan cairan dalam kuvet (1 cm) Uji Rancimat (AOCS 2003) Stabilitas oksidatif bekatul ditentukan dengan mengukur periode induksi minyak bekatul pada alat Metrohm 743 Rancimat (Metrohm AG, Herisau, Switzerland). Skema alat disajikan pada Gambar 2. Minyak bekatul 5 g ditempatkan dalam tabung, pemanas diatur pada suhu perlakuan (100, 110, dan 120oC), dan kecepatan alir udara 20L/h air flow. Komponen oksidasi yang dihasilkan dialirkan dan ditampung dalam tabung yang berisi air deionisasi untuk diukur konduktivitasnya dengan detektor.
Gambar 2. Skema proses uji Rancimat (Bulletin Food and Beverage Asia 2010) Analisis asam amino AOAC (2005) Analisis asam amino menggunakan pereaksi ortoftalaldehid (OPA) yang dapat bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa berfluoresensi, sehingga deteksi dapat dilakukan dengan detektor fluoresensi. a. Persiapan bahan contoh Preparasi bahan contoh untuk analisis jenis dan kadar asam amino total adalah: (1) pengukuran kadar protein bahan dengan metode Kjeldahl; (2) bahan yang mengandung 3 mg protein dimasukkan ke dalam ampul lalu ditambahkan 1 mL HCl 6 N; (3) bahan dibekukan dalam es kering-aseton lalu dikeringbekukan dengan freeze dryer yang dihubungkan dengan pompa
15
vakum; (4) udara dalam bahan dikeluarkan dengan mengeluarkan ampul dari dalam es kering-aseton agar mencair dan udara yang terlarut dapat keluar; (5) ampul divakum kembali selama 20 menit dan tutup; (6) ampul dimasukkan dalam oven suhu 110oC selama 24 jam; (7) ampul didinginkan dalam suhu kamar lalu dipindahkan bahan dalam labu evaporator 50 mL dan dibilas dengan 2 mL HCl 0.01 N. Sampel dikeringkan dengan freeze dryer dalam keadaan vakum. Sampel yang telah kering ditambah 5 mL HCl 0.01 N dan siap dianalisis. b. Persiapan pereaksi Pereaksi OPA dibuat dengan mencampurkan OPA (50 mg) dalam metanol ( 4 ml) dan merkaptoetanol (0.025 mL) lalu ditambahkan larutan brij30 30% (0.05 mL) dalam 1M bufer borat pH 10.4. Larutan disimpan dalam botol gelap pada suhu 4oC yang stabil selama 2 minggu. Pereaksi derivatisasi dibuat dengan mencampurkan larutan stok dan bufer kalium borat pH 10.4 (1:1) yang dibuat saat akan digunakan. Fase mobil bufer A terdiri dari Na-Asetat pH 6.5 (0.025 M). Na-EDTA (0.05%), metanol (9.00%), dan tetrahidrofuran (1.00%) yang dilarutkan dalam 1 liter air kemurnian tinggi (high purity, HP) dan disaring dengan kertas milipore 0.45 µm. Larutan ini stabil pada suhu kamar selama 5 hari dalam botol gelap yang diisi dengan gas He atau N. Bufer B terdiri atas metanol 95% dan air HP yang disaring dengan kertas milipore 0.45 µm. Analisis menggunakan HPLC tipe ICI dan kolom ODS dengan kondisi laju aliran fase mobil (1 mL/menit), detektor fluoresensi, dan fase mobil yaitu bufer A dan bufer B dengan gradien disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Laju alir fase mobil dan persentase bufer B Waktu (menit) Laju aliran fase mobil % Bufer B (mL/menit) 0 1 0 1 1 0 2 1 15 5 1 15 13 1 42 15 1 42 20 1 70 22 1 100 26 1 100 28 1 0 38 1 0 c. Analisis bahan contoh Sampel yang sudah dihidrolisis dilarutkan dalam 5 mL HCl 0.01 N lalu disaring dengan kertas milipore. Bufer kalium borat pH 10.4 ditambahkan dengan perbandingan 1:1. Sampel 10 µL dimasukkan dalam vial lalu ditambahkan 25 µL pereaksi OPA. Sampel dibiarkan 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna. Sebanyak 5 µL sampel diinjeksikan ke dalam kolom HPLC. Proses pemisahan asam amino berlangsung sekitar 25 menit.
16
Perhitungan konsentrasi asam amino dalam bahan (dinyatakan dalam µmol AA) adalah: = Luas puncak bahan x 0.5 µmol/mL x 5 mL Luas puncak standar Persen asam amino total dalam bahan adalah: = µmol AA x Berat Molekul AA x 100 µg bahan Tabel 2. Berat molekul asam amino Asam Amino Berat Molekul Aspartat Glutamat Serin Histidin Glisin Threonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin
131.10 147.10 105.09 155.16 75.07 119.12 174.20 89.90 181.19 149.21 117.15 165.19 131.17 131.17 146.19
Analisis spektra FTIR (Adochitei & Drochioiu 2011) Protein dianalisis menggunakan spektrofotometer IRPrestige-21. Protein (0.1 g) dihomogenisasi dengan KBr anhidrat, lalu diukur pada bilangan gelombang 400 - 4000 cm-1. Analisis berat molekul konsentrat protein dengan SDS PAGE (Ahmed 2005) Analisis dengan SDS PAGE menggunakan 5% stacking gel dan 12% separating gel. Sebanyak 100 μL larutan protein 0.1% dimasukkan ke dalam ependof, ditambahkan 20 μL bufer sampel lalu panaskan selama 2 menit dalam air mendidih 100°C. Sampel (10 μL) dan protein ladder dengan berat molekul 10-260 KDa (Fermentas®)) (7 μL) dipipetkan ke dalam gel. Running dilakukan pada 70 V selama 180 menit sampai migrasi pewarna tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Gel diangkat dan dipindahkan ke dalam wadah untuk pewarnaan (staining) (Gambar 3B). Pewarnaan dilakukan selama 60 menit. Gel diangkat dan dicuci menggunakan air distilat beberapa kali. Penghilangan warna (destaining) dilakukan selama 12 jam hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis. Secara kualitatif, pita protein dapat dianalisis menggunakan ImageJ software 1.47. Secara kuantitatif, berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dari kurva hubungan antara mobilitas relatif
17
protein penanda (Rf) dan logaritma berat molekul protein penanda. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein, diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein, dan jarak migrasi pewarna. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai berikut: Rf =
Jarak migrasi protein Jarak migrasi pewarna
(A) (B) Gambar 3. Proses elektroforesis: (A) running, (B) destaining gel Larutan kerja yang diperlukan adalah: a. Larutan A (Akrilamid 30%; 0.8 bisakrilamid) sebanyak 100 mL yang terdiri atas 30 g akrilamid dan 0.8 g N,N-metilen-bisakrilamid dilarutkan dalam 100 mL air distilat. Larutan disaring dengan filter 0.45 μm. b. Larutan B (Tris-HCl/SDS, pH 8.8) sebanyak 100 mL terdiri atas 18.17 g Tris base dan 4 mL SDS 10% dilarutkan dalam 40 mL air distilat. Larutan ditepatkan pada pH 8.8 dengan 1 N HCl, ditambahkan air distilat hingga volume 100 mL. Larutan disaring dengan filter 0.45 μm. c. Larutan C (Tris-HCl/SDS pH 6.8) sebanyak 100 mL terdiri atas 6.05 g Tris base dan 4 mL SDS 10% dilarutkan dalam 40 mL air distilat. Larutan ditepatkan pada pH 6.8 dengan 1 N HCl, ditambahkan air distilat hingga volume total 100 mL. Larutan disaring dengan filter 0.45 μm. d. Larutan 10% APS 0.5 mL dibuat dengan melarutkan 0.025 g amonium persulfat dalam 0.25 mL air distilat. e. Buffer elektroforesis sebanyak 1 L terdiri atas 3 g Tris base, 14.4 g glisin dan 1 g SDS dilarutkan dalam air distilat dan tepatkan menjadi 1 L. f. Bufer sampel sebanyak 100 mL terdiri atas 30 mL 10% SDS, 10 mL gliserol, 5 mL 2-merkaptoetanol, 12.5 mL Tris-HCl/SDS pH 6.8 dan 5-10 mg bromphenol blue diaduk dengan pengaduk magnetik, lalu ditepatkan 100 mL dengan air distilat, dan disimpan pada suhu rendah. g. Larutan pewarna (staining solution) yaitu 1 g coomasie brilliant blue R-250, dalam 450 mL methanol, 100 mL asam asetat glasial, dan 450 mL air distilat. h. Larutan penghilang warna (destaining solution), yaitu 100 mL metanol dan 100 mL asam asetat glasial dalam 800 mL air distilat. Bufer KCl-HCl pH 2 (Sudarmadji et al. 1997) Pembuatan larutan bufer pH 2 dilakukan dengan mencampurkan 50 mL larutan 0.2 M KCl (14.9 g dalam 1000 mL) ke dalam 10.6 mL larutan 0.2 M HCl. Selanjutnya, ditepatkan sampai 200 mL dengan air deionisasi.
18
Bufer universal pH 3-9 (Sudarmadji et al. 1997) Sebanyak 100 mL larutan A yang mengandung asam sitrat (6.008 g), KH2PO4 (3.893 g), H3BO3 (1.769 g), dan dietilbarbiturat (5.266 g) diencerkan sampai 1000 mL dengan air deionisasi. Untuk memperoleh pH 3-9, 100 ml larutan A ditambah dengan 0.2 N NaOH sebagaimana disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Formulasi bufer universal Larutan A (mL) NaOH 0.2 N (mL) 100 6.4 100 15.5 100 27.1 100 38.9 100 50.6 100 63.7 100 72.7
pH 3 4 5 6 7 8 9
Indeks kelarutan nitrogen (Zhang et al. 2012 yang dimodifikasi) Larutan protein (1% b/v) dalam bufer universal pH 2-9 diaduk dengan pengaduk magnetik pada suhu kamar selama 30 menit, lalu disentrifugasi pada 9096 g selama 20 menit (Zhang et al. 2012 yang dimodifikasi). Protein terlarut dalam supernatan ditentukan dengan menggunakan Metode Lowry (Lowry et al. 1951), dan persen kelarutan nitrogen dihitung sebagai berikut: NSI (%) = Total kandungan protein dalam supernatan × 100% Total kandungan protein dalam sampel Kapasitas dan stabilitas buih (Yeom et al. 2010 yang dimodifikasi) Kapasitas buih (foaming capacity, FC) dan stabilitas buih (foaming stability, FS) ditentukan menurut Yeom et al. (2010) yang dimodifikasi. Sebanyak 25 mL larutan protein dengan konsentrasi 1% (b/v) dalam bufer universal pH 2, 4, 6, dan 8, diaduk dengan pengaduk magnetik skala maksimum selama 5 menit. Larutan contoh segera dituang ke dalam gelas ukur lalu volume buih yang terbentuk dicatat. Persentase FC dihitung dari persamaan berikut: FC (%) = Volume setelah berbuih - Volume sebelum berbuih x 100 Volume sebelum berbuih FS ditentukan oleh rasio volume buih pada menit ke-30 dan volume buih setelah berbuih pada suhu kamar (menit ke-0).
(A) (B) Gambar 4. Pengukuran buih pada (A) menit ke-0 dan (B) menit ke-30
19
Aktivitas dan stabilitas emulsi (Yeom et al. 2010 yang dimodifikasi) Aktivitas pengemulsi (emulsifying activity, EA) dan stabilitas emulsi (emulsion stability, ES) ditentukan dengan metode turbidimetri. Minyak kedelai sebanyak 16 ml dan 48 ml larutan protein 1% (b/v) dalam bufer universal (pH 2, 4, 6, 8) dihomogenisasi dengan homogenizer skala maksimum selama 1 menit untuk menghasilkan emulsi. Sebanyak 50 µL bagian emulsi dipipet dari bawah wadah pada menit ke-0 dan 20 setelah dihomogenisasi dan dicampur dengan 5 mL 0.1% SDS. Absorbansi emulsi diukur pada 500 nm dengan UV-VIS Spektrofotometer.
Gambar 5. Suspensi emulsi minyak kedelai dalam larutan protein bekatul pH 2, 4, 6, dan 8 Teori hamburan cahaya oleh dispersi partikel menunjukkan kekeruhan yang memiliki hubungan dengan luas antar permukaan emulsi. Absorbansi yang diukur segera setelah pembentukan emulsi dinyatakan sebagai aktivitas pengemulsi dari protein, sedangkan stabilitas emulsi ditentukan sebagai berikut: ES = T0 × Δt ΔT dimana △T adalah perubahan kekeruhan (absorbansi) dari T0 dalam interval waktu △ t, dan T0 adalah absorbansi emulsi setelah homogenisasi. Kapasitas penyerapan air dan minyak (Marriod et al. 2010) Konsentrat protein contoh (0.1 g) dicampur dengan 1 g air distilat atau minyak kedelai dalam ependof lalu digojog dengan alat vortex selama 5 menit. Selanjutnya, didiamkan selama 30 menit lalu disentrifugasi pada 5956 g (6000 rpm) selama 30 menit. Supernatan dibuang dan tabung dimiringkan 45o selama 30 menit. Gram air atau minyak yang tertahan dalam bahan contoh dihitung dalam per gram bahan contoh. Stabilitas terhadap panas (Mariod et al. 2010) Konsentrat protein conroh (0.065 g) disegel kedap udara dalam wadah aluminium, dipanaskan dari suhu 40°C sampai 150°C pada kecepatan 10°C/menit. Sifat termal direferensikan terhadap wadah tanpa contoh. Suhu puncak denaturasi (Tp) dan entalpi (ΔH) dihitung dengan perangkat lunak program analisis termal (Pyris-I-DSC, Perkin-Elmer DSC 7 Ver.9.01 2007). Analisis kadar fitat (Bhandari & Kawabata 2006) Bekatul dan konsentrat protein, masing-masing diekstrak dengan 2.4% HCl (1:20 b/v) selama 60 menit pada suhu kamar, lalu disentrifugasi pada 6317 g (5000 rpm) selama 30 min. Supernatan yang diperoleh dianalisis kadar asam
20
fitatnya. Sebanyak 1 mL pereaksi Wade (0.03% FeCl3·6H2O mengandung 0.3% asam sulfosalisilat dalam air distilat) ditambahkan dalam 3 mL larutan contoh diamkan selama 5 menit dan diukur absorbansi pada 500 nm. Kurva standar asam fitat dibuat seri konsentrasi yang mengandung 5–40 μg/mL asam fitat dalam pelarut air distilat. Analisis berat molekul fraksi protein dengan SDS PAGE (Ahmed 2005) Analisis dengan SDS PAGE menggunakan 7.5-17.5% stacking gel dan gradient separating gel. Sebanyak 10-20 μL supernatan dari masing-masing fraksi dimasukkan ke dalam ependof, ditambahkan bufer Laemmli (Sigma) (1:1 v/v), lalu dipanaskan 2 menit dalam air mendidih 100°C. Sebanyak 20 μL contoh fraksi albumin dan globulin, 10 μL contoh fraksi glutelin, dan 10 μL protein penanda dipipetkan ke dalam kolom-kolom gel. Protein penanda yang digunakan merupakan Board Range Catalog 161-0318 Biorad Prestained Molecular Standar yang mengandung 8 jenis protein standar yaitu myosin (230 kDa), β-galaktosidase (118 kDa), bovine serum albumin (86 kDa), ovalbumin (51.6 kDa), karbonik anhidrase (34.1 kDa), soybean trypsin inhibitor (29 kDa), lisozim (19.2 kDa), dan aproitin (7.5 kDa). Running dilakukan pada 100 V selama 180 menit sampai migrasi pewarna tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Setelah migrasi pewarna tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar, alat dimatikan lalu gel diangkat dan dipindahkan ke dalam wadah untuk pewarnaan (staining). Pewarnaan dilakukan selama 60 menit. Gel diangkat dan dicuci menggunakan air distilat beberapa kali. Penghilangan warna (destaining) dilakukan selama 12 jam hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis. Secara kualitatif, pita protein dapat dianalisis menggunakan ImageJ software 1.47. Secara kuantitatif, berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dari kurva hubungan antara mobilitas relatif protein penanda (Rf) dan logaritma berat molekul protein penanda. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein, diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein, dan jarak migrasi pewarna. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai berikut: Rf =
Jarak migrasi protein Jarak migrasi pewarna Pembuatan gradient gel menggunakan alat Biorad Model 385 Gradient Former (Gambar 6B) dengan formulasi bahan disajikan pada Tabel 4.
(A) (B) Gambar 6. Gel elektroforesis: (A) stacking gel dan separating gel (Ahmed 2005) dan (B) gradient former Biorad
21
Tabel 4. Formulasi bahan separating dan stacking gel elektroforesis Bahan Konsentrasi gel 7.5% 17.5% Stacking gel Akrilamid 40% 970 µl 485 µl Bis akrilamid 2% 520 µl 260 µl dd H2O 5.9 ml 2.95 µl Tris HCl pH 8.8 2.5 ml 1.25 ml 10% SDS 100 µl 50 µl TEMED 10 µl 5 µl 10% APS 50 µl 25 µl Separating gel Akrilamid 40% 4.55 ml 10.63 ml Bis akrilamid 2% 2.5 ml 5.86 ml dd H2O 1.33 ml 1.88 ml Tris HCl pH 8.8 6.25 ml 6.25 ml 10% SDS 250 µl 250 µl TEMED 12.5µl 12.5 µl 10% APS 125 µl 125 µl Diameter partikel (Xia et al. 2012) Pengukuran diameter partikel konsentrat protein menggunakan particle size analyzer (Malvern Mastersizer MS2000) pada suhu 25oC menggunakan pendispersi air. Analisa Statistik Pengujian dilakukan 2 kali ulangan dan nilainya di rata-rata. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan uji t-test pada perangkat SPSS 16.0 dengan signifikasi p<0.05 antar nilai rata-rata. Daftar Pustaka Adochitei A, Drochioiu G. 2011. Rapid characterization of peptide secondary structure by FT-IR spectroscopy. Revue Roumaine de Chimie 56 (8): 783791 Ahmed H. 2005. Principles and Reaction of Protein Extraction, Purification and Characterization. CRC Press LLC. [AOCS] American Oil Chemists Society. 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. Champaign, Illinois: AOCS [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Washington DC: AOAC Bhandari MR, Kawabata J. 2006. Cooking effect on oxalate, phytate, trypsin and amylase inhibitors of wild yam tubers of Nepal. J. Food Composition Anal. 19 (6-7):524-530. Bhavani M, Chowdary GV, David M, Archana G. 2012. Screening, isolation and biochemical characterization of novel lipase producing bacteria from soil samples. Int. J. Biol. Eng. 2(2): 18-22
22
Gardner HW. 2001. Current protocols in food analytical chemistry: Analysis of lipoxygenase activity and products. Chapter 4.2.1-Chapter 4.2.16, John Wiley & Sons, Inc. Hamada JS. 1997. Characterization of protein fractions of rice bran to devise effective methods of protein solubilization. Cereal Chem. 74 (5):662–668 Internet: Bulletin Food and Beverages Asia. 2010. Ingredient. January/February, p: 56-59 Lenth RV. 2009. Rensponse surface methods in R, using RSM. J. Stat. Soft. 32 (7) : 1-17 Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randal RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193: 265-273 Malekian F et al. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, Louisiana State University Agricultural Center. Mariod AA, Fathy SF, Ismail M. 2010. Preparation and characterization of protein concentrates from defatted kenaf seed. Food Chem. 123: 747-752. Prabhu AV, Tambe SP, Gandhi NN, Sawant SB, Joshi JB. 1999. Rice bran lipase: extraction, activity, and stability. Biotechnol. Prog. 15:1083-1089 Silpradit K, Tadakittasarn S, Rimkeeree H, Supanida S, Haruthaithanasan V. 2010. Optimization of rice bran protein hydrolysate production using alcalase. Research Article As. J. Food Agro-Ind. 3(02): 221-231 Sudarmadji S, Haryono B, Sihardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi keempat, Liberty, Yogyakarta. Xia N et al. 2012. Preparation and characterization of protein from heat-stabilized rice bran using hydrothermal cooking combined with amylase-pretreatment. J. Food Eng. 110: 95-101 Yeom H, Lee EH, Ha MS, Ha SD, Bae DH. 2010. Production and physicochemical properties of rice bran protein isolates prepared with autoclaving and enzymatic hydrolysis. J. Korean Soc. App. Biol. Chem. 53 (1): 62-70 Zhang HJ, Zhang H, Wang L, Guo XN. 2012. Preparation and functional properties of rice bran proteins from heat-stabilized defatted rice bran. Food Research Int. 47: 359-363.
23
3 STABILISASI BEKATUL DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA MENGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY Inneke Kusumawaty1, Dedi Fardiaz1, Nuri Andarwulan1, Sri Widowati2, dan Slamet Budijanto1 1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor Keterbatasan pemanfaatan bekatul dalam pangan disebabkan oleh sifatnya yang mudah tengik sehingga perlu dilakukan stabilisasi. Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi optimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die sebagai bahan baku ekstraksi protein. Optimasi kondisi stabilisasi bekatul dilakukan dengan menggunakan response surface methodology (RSM) dengan central composite design (CCD) dua faktor yaitu X1 (suhu/oC) dan X2 (kecepatan ulir/Hz). Pengolahan data menggunakan program Design Expert 7.0® yang memberikan model persamaan pengaruh suhu dan kecepatan ulir ekstruder terhadap respon kadar air, kadar protein terlarut, dan aktivitas lipoksigenase. Hasil optimasi memberikan kondisi suhu ekstrusi 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm). Bekatul yang dihasilkan memiliki kadar air 7.02%, kadar protein terlarut 2.04% (bk), aktivitas lipoksigenase 0.007 μmol/menit/ml, dan stabilitas oksidatif yang lebih tinggi yaitu 20.00 jam daripada bekatul yang tidak distabilisasi 13.50 jam. Kata kunci: Stabilisasi bekatul, ekstruder ulir ganda, response surface methodology, stabilitas oksidatif ABSTRACT. Inneke Kusumawaty, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Sri Widowati, dan Slamet Budijanto. 2013. Rice bran stabilization with double screw extruder using response surface methodology. The use of rice bran in food is limited because the bran becomes easily rancid, therefore stabilization was needed. This study aimed to determine the optimum conditions for the stabilization of rice bran with double screw extruder without die for raw material protein extraction. Conditions optimization for rice bran stabilization were calculated using response surface method (RSM) with Central Composite Design (CCD) with two factors were X1 (temperature/oC) and X2 (screw speed/Hz). The data processed using Design Expert 7.0 ® program provided equation models for extruder temperature and the speed effect of the screw on moisture, soluble protein contents, and lipoxygenase activity. The results showed optimum extrusion temperature was 130.96oC and the screw speed was 26.65 Hz (91 rpm).This optimum condition resulted rice bran moisture content 7.02%, soluble protein was 2.04% (db), lipoxygenase activity was 0.007 μmol/min/ml and oxidative stability was 20.00 hours higher than that of unstabilized rice bran 13.50 hours. Key words: Rice bran stabilization, double screw extruder, response surface methodology, oxidative stability *Telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Pascapanen Vol. 10 (1) 2013
24
PENDAHULUAN Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang pemanfaatannya didominasi untuk pakan ternak karena kandungan nutrisinya. Penggilingan gabah menghasilkan sekitar 8-12% bekatul dan 60-65% beras giling[1]. Produksi gabah nasional pada tahun 2012 yang mencapai 69.05 juta ton [2] dapat menghasilkan bekatul sebanyak 5.52 juta ton. Bekatul mengandung 12-15% protein dengan nilai PER (protein efficiency ratio) 2.0– 2.5 dan nilai cerna 90%[3]. Karena nilai gizinya ini, konsentrat protein bekatul dapat menyamai kasein[4] dan konsentrat protein kedelai sehingga berpotensi sebagai ingredient. Kandungan lemak tidak jenuh pada bekatul lebih dari 70%, akibatnya bekatul mudah tengik[5]. Proses abrasif selama penggilingan mengakibatkan lipase dan lemak kontak sehingga proses hidrolisis dapat berlangsung. Asam lemak yang dihasilkan selanjutnya dioksidasi oleh lipoksigenase menjadi hidroperoksida yang kemudian mengalami degradasi membentuk senyawa volatil seperti aldehid, keton, dan alkohol yang tercium sebagai bau tengik[6]. Oleh karena itu, lipase dan lipoksigenase dalam bekatul harus segera diinaktivasi pasca penggilingan gabah untuk mencegah ketengikan dan memperpanjang masa simpan bekatul. Proses ini disebut stabilisasi bekatul [7]. Stabilisasi bekatul menggunakan pemanasan telah dilaporkan,seperti microwave[6,8], pratanak [9], uap panas[10], ohmic[11,13], ekstruder ulir tunggal[6,7] dan ekstruder ulir ganda [5,12]. Umumnya, stabilisasi bekatul dilakukan pada suhu tinggi [5] dan waktu yang cukup lama [7]. Stabilisasi bekatul dengan pratanak lebih sesuai untuk pemanfaatan seratnya sebagai pangan fungsional[9]. Stabilisasi bekatul dengan ekstrusi memiliki kelebihan dibandingkan yang lain karena kadar airnya, lipase inaktif, dan produknya kering sehingga sesuai untuk ingredien pangan. Namun, kondisi proses stabilisasi bekatul sebagai persiapan bahan baku ekstraksi protein belum pernah dilaporkan. Umumnya stabilisasi bekatul dilakukan sebagai persiapan bahan baku ekstraksi minyak[10,13,14]. Stabilitas oksidatif bekatul dapat diamati menggunakan metode AOM (Active Oxygen Method) dengan mengukur periode induksi bahan terhadap oksidasi. Semakin lama periode induksi, bahan memiliki stabilitas oksidatif yang lebih baik[15,16]. Optimasi proses stabilisasi bekatul dapat dilakukan dengan menggunakan CCD dilanjutkan analisis dengan RSM. Beberapa penelitian menggunakan RSM untuk optimasi proses, antara lain optimasi suhu, pH, waktu dan rasio pelarut dengan bahan untuk ekstraksi protein jagung[17], optimasi kecepatan ulir dan suhu ekstrusi terhadap karakter pasta tepung kedelai[18], dan optimasi produksi hidrolisat protein bekatul dengan alkalase[19]. Metode RSM dapat membantu merancang model penelitian, mengurangi jumlah perlakuan dalam penelitian dan membantu mengevaluasi interaksi perlakuan yangdiberikan untuk mendapatkan proses yang optimal. Tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi optimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die sebagai persiapan bahan baku ekstraksi protein dan mempelajari pengaruh antar respon pengamatan. Parameter pengamatan meliputi kadar air, kadar protein terlarut, kadar asam lemak bebas, aktivitas lipoksigenase, dan aktivitas lipase.
25
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian dilaksanakan di Technopark, Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Centre), Laboratorium Analisis Pangan, dan Laboratorium Kimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2012 sampai dengan Mei 2013. Bekatul yang digunakan berasal dari gabah varietas Ciherang yang diperoleh dari Unit Penggilingan Gabah di Sumedang, Jawa Barat. Peralatan yang digunakan antara lain penggiling beras (Yanmar), penyosoh beras (Satake), ekstruder ulir ganda tanpa die (Berto), ayakan 100 mesh (Kotobuki), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu), sentrifus (Hermle Z 383 K), 743 Rancimat (Methrom, UK), dan alat bantu lainnya. Metode Penelitian Stabilisasi bekatul Stabilisasi bekatul dilakukan dengan teknik ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda tipe intermeshing counter rotating screw tanpa die (cetakan) skala pilot plant. Ekstruder dilengkapi mantel pendingin dan mantel pemanas untuk mempertahankan suhu, termokopel, ulir, dan selubung mesin ekstruder atau barel. Kedua ulir memiliki jari-jari 3 cm, terdapat dalam barel sepanjang 100 cm. Suhu ekstrusi dikondisikan isotermal pada kisaran suhu 110oC sampai 150oC dengan kecepatan ulir pada kisaran 15-35 Hz. Bekatul hasil ekstrusi diayak dengan ayakan 100 mesh, dikemas dalam plastik klip polietilen, dan disimpan pada suhu 20oC sampai dianalisis. Sebagai kontrol perlakuan adalah bekatul yang tidak distabilisasi. Persiapan bekatul bebas lemak (defatted rice bran) Bekatul lolos ayakan 100 mesh didispersikan dalam heksan (1:5 (b/v)) diaduk selama 60 menit dengan pengaduk magnetik, lalu disaring vakum dengan kertas saring[19]. Presipitat diaplikasikan kembali dalam heksan dengan metode yang sama untuk menghilangkan kandungan lemak dalam bekatul (<1%)[26]. Bekatul bebas lemak dikeringanginkan semalaman, disimpan suhu -20oC sampai digunakan lebih lanjut Rancangan penelitian Rancangan penelitian menggunakan CCD dari RSM untuk mengoptimasi proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda dengan bantuan perangkat lunak Design Expert 7.0® (trial versión) dari Stat Ease[20]. Proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder merupakan kombinasi perlakuan suhu ekstruder (X1) dan kecepatan ulir (X2). Seluruh perlakuan terdiri dari 13 unit percobaan (Tabel 1).
26
Tabel 1. Rancangan penelitian dengan rancangan komposit terpusat Table 1. Research design with central composite design No
Perlakuan/Treatment X1 (oC) X2 (Hz) 1. 144 18 2. 130 25 3. 130 25 4. 116 18 5. 150 25 6. 110 25 7. 130 25 8. 115 32 9. 130 15 10. 130 35 11. 130 25 12. 130 25 13. 144 32 Keterangan/remark:X1: suhu/temperature, X2: kecepatan ulir/screw speed
Seluruh nilai respon diolah dengan Design Expert 7.0® yang memberikan model persamaan pengaruh suhu dan kecepatan ulir ekstruder terhadap setiap parameter yang diujikan. Model persamaan : k
k
2
k -1,k
Y = βo + Σ βiXi + Σ βii Xi + Σ βi,j XiXj + ε i=1
Y βo βi βii βij Xi Xj k
i=1
i=1,=2
: Respon = Pengamatan : Intercept = : Pengaruh = linier : Pengaruh = kuadratik : Pengaruh = interaksi percobaan : Kode = untuk faktor ke-i : Kode = untuk faktor ke-j : Jumlah = faktor yang dicobakan
Model persamaan dapat digunakan untuk optimasi bila model dinyatakan signifikan (p<0.05) dan ketidaktepatan model (lack of fit) dinyatakan tidak signifikan (p > 0.05) pada taraf signifikansi 5%[20]. Hal ini menunjukkan bahwa variabel penelitian memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon perlakuan sehingga model yang dihasilkan oleh program Design Expert 7.0® dapat dipergunakan untuk memperkirakan hubungan antara variabel bebas dengan respon penelitian. Model harus memiliki nilai ketepatan yang memadai (adequate precision) lebih besar dari 4 dan selisih nilai R2 yang disesuaikan (adjusted R2) dengan nilai perkiraan dari model (predicted R2) kurang atau sama dengan 2. Pengaruh perlakuan dengan respon pengamatan dapat dipelajari melalui nilai korelasi (R2) yang diperoleh menggunakan program Excel.
27
Optimasi dan verifikasi Optimasi dilakukan untuk mendapatkan kombinasi suhu dan kecepatan ulir yang tepat pada proses stabilisasi bekatul dimana respon kadar air dan aktivitas enzim cukup rendah hingga reaksi kimiawi dan enzimatis terhambat, serta kadar protein terlarut tinggi. Hal ini mempertimbangkan bekatul yang distabilisasi akan dipergunakan sebagai bahan baku ekstraksi protein. Respon dikatakan optimal apabila diperoleh nilai keinginan (desirability) mendekati 1,0. Setiap variabel dan respon diberi pembobotan kepentingan (importance) dari nilai 1 (+) sampai 5 (+++++). Semakin tinggi nilai importance yang diberikan maka semakin besar target respon tersebut untuk dicapai. Verifikasi kondisi optimum proses stabilisasi dilakukan sebanyak 5 kali. Verifikasi dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi kondisi optimum berdasarkan nilai CV (coeficient varians) dan kesesuaian antara nilai respon aktual dengan nilai respon perkiraan (prediction interval, PI) yang diberikan oleh program Design Expert 7.0®. Nilai PI merupakan rentang yang menunjukkan perkiraan hasil pengukuran respon berikutnya dengan kondisi sama dengan taraf signifikansi 5%. Metode Analisis Analisis sifat kimia bekatul meliputi kadar air (metode AOAC[21]), kadar asam lemak bebas (metode AOCS [21]), kadar protein terlarut (metode Lowry[22]), aktivitas lipase (metode Prabhu et al.[23] dan Bhavani et al. [24] yang dimodifikasi), dan aktivitas lipoksigenase (Malekian et al.[6] yang dimodifikasi). Pengujian stabilitas oksidatif menggunakan 743 Rancimat[25]. Aktivitas lipase Bekatul bebas lemak (1:10 b/v) dalam bufer sodium fosfat 0.05 M pH 7 diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit pada 10oC. Campuran disentrifugasi 3000 g (3010 rpm) pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan merupakan ekstrak kasar lipase bekatul[23]. Sebanyak 25 mL 7.5% (b/v) minyak zaitun (Olivoila) dalam 7.5% (b/v) gum akasia dalam bufer sodium fosfat 0,05 M pH 7 dihomogenisasi membentuk emulsi. Ditambahkan 2 mL ekstrak kasar lipase ke dalam substrat[24]. Inkubasi dalam penangas goyang 170 rpm selama 30 menit pada 30oC. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 15 mL etanol. Selanjutnya, dititrasi dengan NaOH 0.05 N menggunakan indikator fenolftalein[23].Satu unit lipase setara dengan jumlahμmol asam lemak yang dihasilkan dalam 30 menit, yang dihitung berdasarkan banyaknya volume NaOH yang dibutuhkan dalam titrasi. Aktivitas lipase (μmol asam lemak/menit) = (Vsampel - Vblanko) NNaOH . 1000 Vsubstrat Aktivitas lipoksigenase Bekatul bebas lemak (1:10 b/v) dalam bufer sodium fosfat 0.05 M pH 7, diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit pada 10oC lalu disentrifugasi 20.021g (11.000 rpm) selama 10 menit pada suhu 4oC. Ke dalam 4 ml supernatan ditambahkan 0.4 ml TCA 10% lalu disentrifugasi 3000 g (3010 rpm) selama 20 menit. Ke dalam endapan ditambahkan 0.1 ml dietil eter, divortek selama 30 detik lalu disentrifugasi pada 20.021 g selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan
28
dibuang dan endapan dikeringanginkan. Ke dalam endapan ditambahkan buffer fosfat 0.05 M pH 7 hingga 4 mL dan digunakan sebagai sumber enzim[6]. Stok substrat dibuat dengan melarutkan 25 µL asam linoleat dalam 15 mL etanol dalam labu 25 mL. Tambahkan air deionisasi sampai batas tera. Untuk pengujian, sebanyak 1 mL stok substrat ditambah 6 mL buffer borat pH 8.5 (konsentrasi 0.5 mM). Aktivitas enzim diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada 234 nm, 25oC selama 3 menit. Kuvet contoh mengandung 2.9 mL larutan substrat dan 0.1 mL enzim. Pembentukan hidroperoksida dihitung dengan persamaan [27]. A234(AU/menit) = ɛ (liter/cm/mol) x c (mol/liter) x l (cm) Keterangan: A234 = absorbansi pada λ 234 ɛ= koefisien molar 26.800 liter/cm/ml c= konsentrasi hidroperoksida (mol/liter) l = ketebalan cairan dalam kuvet (1 cm) Stabilitas oksidatif Pengujian stabilitas oksidatif bekatul dilakukan dengan menguji minyak bekatul menggunakan instrumen 743 Rancimat (Metrohm, UK)[25]. Kondisi pengujian sebagai berikut: suhu 110oC, kecepatan alir gas oksigen 20 L/jam, ΔT 1.6oC, dan ukuran sampel 5.0 gr minyak bekatul dengan parameter pengukuran periode induksi. Ekstraksi minyak bekatul dilakukan dengan mendispersikan bekatul dalam heksan (1:5 b/v) dan diaduk selama 60 menit dengan pengaduk magnetik[19]. Minyak kasar bekatul diperoleh dengan penyaringan vakum dengan kertas saring dan menguapkan heksan dengan rotary evaporator pada suhu 40oC selama 8-10 menit. Gas N2 dihembuskan ke dalam minyak untuk menghilangkan sisa heksan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, stabilisasi bekatul dilakukan menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die. Ekstruder berpotensi sebagai alat stabilisasi bekatul karena dapat digunakan secara kontinyu dan diskontinyu berintegrasi dengan mesin penggilingan gabah. Bahan memperoleh panas dari kedua ulir yang bergesekan sehingga proses pencampuran bahan dan distribusi panas lebih merata. Kondisi ini diharapkan dapat menurunkan waktu tinggal bahan dalam barel[29]. Pengaruh suhu dan kecepatan ulir sangat menentukan untuk mendapatkan kondisi proses stabilisasi bekatul yang optimal, dimana kadar air cukup rendah sehingga dapat menghambat proses kimiawi dan biologis, enzim endogen menjadi inaktif, serta sifat fungsional komponen gizi masih dapat diperoleh. Kombinasi dan respon perlakuan disajikan pada Tabel 2. Seluruh data respon perlakuan diolah dengan program Design Expert 7.0® sehingga diperoleh analisis ragam (ANOVA) dan model persamaan matematika untuk setiap respon perlakuan. Hasil ANOVA dan model persamaan matematika setiap respon perlakuan disajikan pada Tabel 3. Bekatul yang telah diekstrusi diharapkan memiliki stabilitas yang lebih baik terhadap ketengikan hidrolitik dan ketengikan oksidatif .
29
Tabel 2.Kombinasi dan respon perlakuan/ Table 2. Combination and treatment response Perlakuan/ Treatment Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 X1 X2 (Hz) (%) (%bk) (μmol/mL/menit) (%) (U/mL) (oC) 144 18 5,29 2,24 0,004 2,22 0,03 130 25 5,31 2,51 0,004 2,08 0,03 130 25 5,36 2,64 0,005 2,06 0,03 116 18 6,45 2,47 0,004 2,32 0,03 150 25 5,73 1,85 0,004 2,37 0,02 110 25 7,57 2,29 0,004 2,34 0,03 130 25 5,99 2,52 0,005 2,44 0,02 115 32 6,84 2.65 0,006 2,19 0,03 130 15 5,01 2,58 0,005 2,25 0,02 130 35 5,96 2,51 0,008 2,16 0,04 130 25 5,46 2,62 0,005 2,16 0,03 130 25 5,31 2,60 0,006 2,08 0,03 144 32 5,94 2,10 0,005 2,24 0,03 Keterangan/remark: X1 :suhu/temperature , X2 : kecepatan ulir/screw speed, Y1,:kadar air/moisture, Y2: kadar protein terlarut/soluble protein content, Y3: aktivitas lipoksigenase/lipoxygenase activity, Y4:kadar asam lemak bebas jam ke-0/free fatty acid at 0 hour, Y5: aktivitas lipase/lipase activity
5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 4.00
0.14
YALB= 0.1118x2 - 1.3099x + 6.0087 R² = 0.8972
0.12 0.10 0.08 0.06 0.04
YAkt lipase = 0.0028x2 - 0.0305x + 0.111 R² = 0.8049
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
Kadar Air / moisture (%)
10.00
11.00
Aktivitas Lipase/ Lipase activity U/ml)
Kadar Asam Lemak Bebas Jam Ke-0/Free fatty acid (ALB) (%)
Stabilitas terhadap ketengikan hidrolitik Ketengikan hidrolitik disebabkan oleh reaksi hidrolisis lemak yang dikatalis oleh enzim lipase menghasilkan asam lemak rantai pendek. Stabilitas hidrolitik bekatul yang diekstrusi dijelaskan dengan mempelajari pengaruh kadar air dengan aktivitas lipase dan kadar asam lemak bebas bekatul pada jam ke-0 (Gambar 1).
0.02
0.00 12.00
ALB Akt lipase
Gambar 1. Pengaruh kadar air bekatul terhadap kadar asam lemak bebas dan aktivitas lipase Figure 1. Effect of rice bran moisture on free fatty acids and lipase activity
30 Tabel 3. ANOVA respon pada proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die/ ANOVA on the response of rice bran stabilization process with double screw extruder without die ANOVA Respon/responses Persamaan Matematika/ mathematica equation
Kadar air/moisture
Y = 5.41-0.59x1+0.3x2+ 0.056x1x2+0.64x12+0.058x22
Kadar protein terlarut/ soluble protein content
Y= 2.58-0.18x1-0.005x20.08x1x2-0.24x12-0.002x22
Aktivitas lipoksigenase/ lipoxygenase activity
Y=0.005-0.0001x1+0.001x20.0002x1x20.0007x12+0.0005x22
Asam lemak bebas jam ke-0/ free fatty acid at 0 hour
Y= 2.22
Aktivitas lipase/ Y= 0.03 lipase activity Keterangan/remark: Y : respon/response x1 : suhu/temperature x2 : kecepatan ulir/screw speed * ketidaktepatan model/lack of fit **nilai R2 model yang disesuaikan/ adjusted R2 model *** nilai R2 model prediksi / predicted R2 model ****nilai rata-rata/mean
Signifikansi Model (p<0,05) significance <0.0001
*Lack of fit (p>0,05)
**Adj R2 Model
***Pred R2 Model
0.44
0.97
<0.0001
0.44
0.0114
****Nilai rata-rata mean
0.93
Standar Deviasi Standar deviation 0.13
0.94
0.85
0.06
2.43
0.32
0.72
0.24
0.0006
0.005
-
0.91
0
-0.17
0.12
2.22
-
0.28
0
-0.17
0.0053
0.03
5.84
31
Kadar air bekatul yang diekstrusi memiliki hubungan polinomial kuadratik dengan aktivitas lipase dan kadar asam lemak bebas pada pengamatan jam ke-0 dengan nilai korelasi (R2) masing-masing 0.89 dan 0.80. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara kadar air bekatul terhadap aktivitas lipase dan kadar asam lemak bebas. Aktivitas lipase dan kadar asam lemak bebas bekatul mulai mengalami peningkatan pada kadar air lebih dari 6.50%. Proses ekstrusi bekatul pada suhu 110oC – 150oC dengan kecepatan ulir 15-35 Hz menghasilkan kadar air 5.01- 7.57%. Kadar air bekatul terendah diperoleh pada suhu ekstrusi 130oC dan kecepatan ulir 15 Hz, sedangkan yang tertinggi pada 110oC dan 25 Hz. Kadar air bekatul yang tidak diekstrusi adalah 10,33%. Hasil ini mendekati hasil penelitian Fuh et al.[12] yang melakukan stabilisasi bekatul menggunakan ekstruder ulir ganda model co-rotating pada suhu 130oC dan kecepatan ulir 140 rpm dengan waktu tinggal 20 detik. Hasilnya, kadar air bekatul menurun dari 11% menjadi 7%. Dalam penelitian ini, kadar asam lemak bebas bekatul yang tidak diekstrusi 4,57%. Kadar asam lemak bebas pada jam ke-0 yang terukur dalam proses ekstrusi ini bervariasi antara 2.06 % sampai 2.44%. Malekian et al. [6] melaporkan bahwa pada pengamatan minggu ke-0 bekatul yang diekstrusi menggunakan suhu 125-130oC selama 30 detik memiliki kadar asam lemak bebas 2.8%, sedangkan bekatul yang tidak diekstrusi memiliki kadar asam lemak bebas 3.7%. Perbedaan pengukuran kadar asam lemak bebas ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas bekatul. Analisis model dengan Design Expert 7.0® memberikan model persamaan kuadratik (Gambar 2) untuk kadar air. Model ini menunjukkan nilai kadar air yang menurun kemudian meningkat pada titik tertentu. Peningkatan suhu ekstrusi yang diikuti dengan penurunan kecepatan ulir akan menurunkan kadar air. Hal ini disebabkan kecepatan ulir menentukan waktu tinggal bahan dalam barel sehingga mempengaruhi lama kontak panas dengan bahan[18].
Gambar 2. Plot respon permukaan suhu dan kecepatan ulir terhadap kadar air bekatul Figure 2. Response surface plot temperatures and screw speed on rice bran moisture Analisis model dengan Design Expert 7.0®menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas bekatul pengamatan pada jam ke-0 proses ekstrusi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan sehingga model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean. Hal ini sesuai dengan analisis ANOVA dimana nilai predicted R2 yang dihasilkan bernilai negatif. Nilai
32
predicted R-squared yang negatif menunjukkan bahwa nilai mean memberikan perkiraan yang lebih baik bagi respon kadar asam lemak bebas Bekatul yang diekstrusi memiliki aktivitas lipase 0.02 U/ml sampai 0.03 U/ml, dibandingkan bekatul kontrol sebesar 0.10 U/ml. Prabhu et al.[23] melaporkan bahwa aktivitas lipase dari ekstrak kasar bekatul adalah 0.11 U/ml. Lee[29] melaporkan bahwa ekstrusi bekatul yang memiliki kadar air 11% pada suhu 128oC mampu menginaktivasi lipase, dimana kadar air akhir yang diperoleh 6.94%. Pemanasan mengakibatkan perubahan struktur asli protein lipase sehingga kehilangan fungsi katalitiknya tanpa melibatkan perubahan urutan asam amino. Aktivitas lipase bekatul tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan sehingga model yang dihasilkan hanya dibuat berdasarkan nilai mean. Hal ini sesuai dengan analisis ANOVA dimana nilai predicted R2 yang dihasilkan bernilai negatif. Nilai predicted R-squared yang negatif menunjukkan bahwa nilai mean memberikan perkiraan yang lebih baik bagi respon aktivitas lipase. Stabilitas terhadap ketengikan oksidatif Ketengikan oksidatif pada bekatul disebabkan oleh reaksi oksidasi lemak yang dikatalis oleh enzim lipoksigenase. Oksidasi menghasilkan peroksida yang akan mengalami pemecahan lebih lanjut menghasilkan senyawa aldehid, keton, alkohol, hidrokarbon, dan ester. Senyawa hasil pemecahan peroksida ini menyebabkan timbulnya bau tengik[6]. Stabilitas bekatul yang diekstrusi terhadap ketengikan oksidatif dijelaskan melalui pengujian minyak bekatul dengan metode rancimat dan mempelajari model kadar protein terlarut dan aktivitas lipoksigenase yang diberikan Design Expert 7.0®(Gambar 3).
(A) (B) Gambar 3. Plot respon permukaan suhu dan kecepatan ulir terhadap protein terlarut (A) dan aktivitas lipoksigenase (B) Figure 3. Response surface plot temperature and screw speed on soluble protein content (A) and lipoxygenase activity (B) Gambar 3 menunjukkan bahwa analisis kadar protein terlarut dan aktivitas lipoksigenase dengan Design Expert 7.0® memberikan model persamaan kuadratik. Kadar protein terlarut dari bekatul yang diekstrusi bervariasi antara 1.85-2.65%(bk). Kadar protein terlarut bekatul terendah diperoleh pada kondisi stabilisasi suhu 150oC dan kecepatan ulir 25 Hz, sedangkan yang tertinggi pada kondisi stabilisasi suhu 116oC dan kecepatan ulir 32 Hz. Chiang[30] melaporkan bahwa isolat protein kedelai yang diekstrusi pada suhu 125-134oC memiliki kadar protein terlarut 4.2+0.8%. Pemanasan pada proses ekstrusi menyebabkan protein
33
mengalami agregasi sehingga terbentuk protein dengan berat molekul yang lebih besar yang mengakibatkan kelarutan protein menurun. Pada suhu di atas 122oC, kadar protein terlarut bekatul terus menurun. Kecepatan ulir mempengaruhi waktu tinggal bekatul dalam selubung pemanas. Semakin rendah kecepatan ulir maka semakin lama bahan dalam selubung pemanas sehingga semakin besar kemungkinan terjadinya denaturasi protein sehingga kadar protein terlarut semakin rendah. Sebagai perbandingan, pemanasan bungkil kedelai dengan autoklaf (121oC) selama 0 sampai 36 menit dilaporkan dapat menurunkan kelarutan protein. Persentase kelarutan protein kedelai terendah pada pemanasan 121oC selama 36 menit, yaitu 78%[31]. Dalam penelitian ini, kelarutan protein terendah pada perlakuan ekstrusi 150oC dengan kecepatan ulir 25 Hz (39-40 detik), yaitu 63.97%, sedangkan yang tertinggi pada perlakuan suhu 116oC dengan kecepatan ulir 32 Hz (29.5-31.5 detik), yaitu 91.77%. Dalam penelitian ini, pengujian aktivitas lipoksigenase menggunakan asam linoleat sebagai substrat[6]. Enzim ini akan mengkatalis reaksi hidroperoksidase asam linoleat dan asam lemak tidak jenuh serta esternya yang memiliki ikatan rangkap cic,cis 1.4-pentadiena[32]. Pembentukan dien terkonjugasi hidroperoksida oleh lipoksigenase diukur pada absorbansi 234 nm[27]. Aktivitas lipoksigenase bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die bervariasi antara 0.003 μmol/menit/mL sampai 0,008 μmol/menit/mL. Ekstrusi bekatul pada kisaran suhu 110o-150oC selama 30-65.5 detik (15-35 Hz) mampu menurunkan aktivitas lipoksigenase 36.36-72.73% dibandingkan dengan kontrol yang tidak mengalami ekstrusi (0.011 μmol/menit/mL). Malekian et al.[6] melaporkan bahwa bekatul memiliki aktivitas lipoksigenase sebesar 0.02 μmol/menit/mL. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh varietas dan metode pengujian yang berbeda. Gambar 3 menunjukkan aktivitas lipoksigenase memberikan respon minimal pada peningkatan suhu, namun maksimal pada kondisi peningkatan kecepatan ulir. Kecepatan ulir yang rendah akan meningkatkan waktu kontak bekatul dengan panas dalam ekstruder sehingga meningkatkan inaktivasi enzim. Penggunaan suhu 115oC dengan kecepatan ulir 25 Hz (40 detik) telah mampu menurunkan aktivitas lipoksigenase 72.73%. Menurut Buranasompob et al.[34] pemanasan kernel almond pada 55-60oC selama 2 sampai 10 menit dapat menginaktivasi enzim lipoksigenase. Crowe et al.[35] melaporkan tidak adanya aktivitas lipoksigenase pada tepung kedelai yang diekstrusi pada suhu 117oC atau di atasnya. Proses ekstrusi kedelai pada suhu 100oC-150oC selama 25-30 detik dilaporkan efektif menurunkan aktivitas lipoksigenase menjadi 0.019 – 0.043 μmol/menit/mL[36]. Aktivitas lipoksigenase pada kedelai yang tidak distabilisasi lebih tinggi daripada bekatul mencapai 5.63 μmol/menit/mL. Pengukuran periode induksi dalam pengujian stabilitas oksidatif yang dipercepat dilakukan dengan instrumen 743 Rancimat. Periode induksi dapat ditentukan karena produk-produk polar yang dihasilkan selama proses oksidasi dapat dimonitor menggunakan alat pengukur konduktivitas. Semakin lama periode induksi diperoleh suatu minyak semakin tahan minyak tersebut terhadap oksidasi. Periode induksi yang terukur dalam penelitian ini dan beberapa penelitian lain, disajikan pada Tabel 4.
34
Tabel 4. Periode induksi minyak bekatul Table 4. Rice bran oil induction periode Bahan/Sample
Minyak bekatul (kontrol)/ricebran oil (control) Minyak bekatul (ekstrusi 130oC-27 Hz)/ ricebran oil (extrusion 130oC-27 Hz) Minyak bekatul[15]/ ricebran oil Minyak bekatul[16]/ ricebran oil
Periode Induksi (jam) Induction periode (hours) 13.5
Suhu (oC) Temperature (oC) 110
20.0 18.7 7.4
110 100 120
Pengukuran dengan metode rancimat menunjukkan bahwa minyak yang diekstrak dari bekatul yang telah diekstrusi memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada yang tidak diekstrusi. Hal ini dapat disebabkan karena lipoksigenase telah inaktif oleh proses ekstrusi sehingga oksidasi lebih lanjut peroksida menjadi aldehid, keton, alkohol, dan hidrokarbon berlangsung lebih lambat. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian lain dapat disebabkan oleh perbedaan varietas, perlakuan terhadap bekatul, metode ekstraksi minyak bekatul yang digunakan, dan perbedaan suhu pengujian, dimana semakin rendah suhu pengujian maka periode induksi semakin lama pada bahan yang sama.
Kadar protein terlarut/ soluble protein conten (%bk)
Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Optimasi proses stabilisasi dilakukan terhadap variabel suhu ekstrusi dan kecepatan ulir, serta respon kadar air, protein terlarut dan aktivitas lipoksigenase. Respon kadar asam lemak bebas jam ke-0 dan aktivitas lipase tidak dioptimasi karena nilai predicted R-squared yang negatif dan model persamaan yang dihasilkan adalah mean. Dalam penelitian ini, kisaran suhu optimum untuk stabilisasi bekatul dapat diperkirakan dengan menganalisis pengaruh suhu ekstrusi terhadap kadar protein terlarut dan kadar air bekatul (Gambar 4). Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar air minimal pada kisaran suhu 130-140oC, sedangkan kadar protein terlarut maksimal pada kisaran suhu 120-130oC. Penentuan kondisi optimum stabilisasi dengan ekstruder selain ditentukan oleh suhu juga dipengaruhi oleh kecepatan ulir, sehingga diperlukan bantuan program Design Expert 7.0®. 9.00 8.00
y = -0.0011x2 + 0.2609x - 13.618 R² = 0.6389
7.00 6.00 5.00 4.00 y = 0.0032x2 - 0.8681x + 64.591 R² = 0.7763 3.00 2.00
Protein
Kadar air
1.00 100
110
120
130
140
150
160
Suhu ekstrusi/ extrusion temperature (oC)
Gambar 5. Pengaruh suhu ekstrusi terhadap kadar air dan protein terlarut bekatul Figure 5. Effect of extrusion temperature on moisture and rice bran soluble protein
35
Dengan program Design Expert 7.0®, kondisi optimum proses stabilisasi bekatul sebagai persiapan bahan baku ekstraksi protein diperoleh dengan meminimalkan respon kadar air dan aktivitas lipoksigenase, dan memaksimalkan kadar protein terlarut dengan pembobotan maksimal di skala 5 (+++++) (Tabel 5). Tabel 5. Respon proses stabilisasi yang dioptimasi, target, batas bawah dan atas, serta pembobotan kepentingan Table 5. Stabilization process response are optimized, the target, the lower limit, and upper limit and importance Respon/ response Suhu/ temperature Kecepatan ulir/ screw speed Kadar air/ Moisture content Kadar protein terlarut/ soluble protein content Aktivitas lipoksigenase/ lipoxygenase activity
Target/ goal Kisaran/ in range Maksimal /maximize Minimal/ minimize Maksimal /maximize Minimal/ minimize
Batas bawah/ lower limit 110oC
Batas atas/ upper limit 150oC
Pembobotan/ Importance 5 (+++++)
15 Hz
35 Hz
5 (+++++)
5,01%
7,57%
5 (+++++)
1,85%
2,65%
5 (+++++)
0.004 μmol/menit/ mL
0.008 μmol/menit/ mL
5 (+++++)
Program Design Expert 7.0® memberikan 1 (satu) kondisi optimum proses stabilisasi bekatul dengan nilai keinginan (desirability) 0.73 yaitu suhu ekstrusi 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz. Nilai keinginan yang baik adalah 1 (satu), namun sulit diperoleh bila semua respon diberi nilai pembobotan tertinggi, yaitu 5 (+++++). Plot respon permukaan kondisi optimum proses stabilisasi bekatul disajikan pada Gambar 5.
(A) (B) Gambar 5. Plot respon permukaan (A) dan plot kontur (B) pada optimasi proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap kadar air, kadar protein terlarut, dan aktivitas lipoksigenase Figure 5. Response surface plot (A) and contour plot (B) of rice bran stabilization process optimization with a double screw extruder without die on moisture, soluble protein content, and lipoxygenase activity
36
Kontur yang memusat pada Gambar 5B menunjukkan bahwa titik stasioner merupakan respon minimum dan maksimum. Respon minimum untuk kadar air dan aktivitas lipoksigenase pada kondisi maksimum kadar protein terlarut. Untuk mengetahui validitas metode ini maka dilakukan verifikasi terhadap kondisi optimum proses stabilisasi bekatul yang diberikan oleh program. Verifikasi Kondisi Optimum Stabilisasi Bekatul Verifikasi dilakukan sebanyak 5 kali terhadap kondisi optimum. Keseluruhan hasil pengujian diukur konsistensinya berdasarkan nilai coefficient of variant (CV). Nilai CV yang kurang dari 15% menunjukkan ketelitian yang semakin tinggi. Hasil verifikasi kondisi optimum disajikan pada Tabel 6 yang menunjukkan bahwa nilai CV masing-masing parameter pada uji verifikasi adalah lebih kecil daripada 15%. Dengan demikian, kondisi yang diperoleh dari model perhitungan analisis RSM sudah konsisten. Tabel 6. Hasil verifikasi kondisi optimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die Table 6. Verification optimum condition bran stabilization with double screw extruder without die No
-
Kadar Air/ moisture content (%bb)
Kadar Protein Terlarut/protein soluble content (%bk)
Aktivitas Lipoksigenase/ lipoxygenase activity (μmol/menit/mL)
1
6.93
1.99
0.007
2
7.08
1.93
0.007
3
7.06
2.08
0.007
4
7.31
2.19
0.008
5
6.70 7.02 0.22 3.18 5.73 18.35
2.18 2.04 0.10 5.04 2.42 15.70
0.008 0.007 0.000 3.90 0.007 5.68
Rata-rata/mean SD/standard deviation %CV/coefficient of variant Nilai perkiraan/prediction value %penyimpangan/deviation
Terdapat penyimpangan nilai terukur kadar air, protein terlarut, dan aktivitas lipoksigenase berturut-turut 18.35%, 15.70% dan 5.68% dengan nilai perkiraan yang diberikan program Design Expert 7.0®. Nilai terukur ini dihitung berdasarkan perbedaan nilai perkiraan dengan nilai respon yang diperoleh saat verifikasi yang dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku bekatul. Dalam penelitian ini, persentase penyimpangan yang diperoleh masih dapat diterima karena stabilisasi menggunakan ekstruder ulir ganda skala pilot plant sehingga kisaran suhu dapat naik dan turun hingga 5-7oC dari suhu yang diatur. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan nilai pengukuran sehingga terjadi penyimpangan dari nilai perkiraan. Inasaki[36] melaporkan perbedaan nilai verifikasi dengan perkiraan sebesar 18% dalam pemantauan proses penggilingan menggunakan sensor emisi. Antoniadis et al.[37] memperkirakan hasil penggilingan dengan ball-end milling menggunakan model simulasi MSN-milling dengan tingkat penyimpangan 17%.
37
Komposisi kimia bekatul ekstrusi Komposisi kimia bekatul yang tidak diekstrusi dan bekatul yang diekstrusi pada kondisi optimum (130.96oC dan 26.65 Hz) disajikan pada Tabel 7. Proses ekstrusi bekatul pada kondisi optimum yang disarankan dapat menurunkan kadar air bekatul dari 10.33% menjadi 7.02%. Hasil ini mendekati penelitian Fuh et al.[12] dimana bekatul yang diekstrusi dengan ekstruder ulir ganda model corotating pada suhu 130oC dan kecepatan ulir 140 rpm dengan waktu tinggal 20 detik memiliki kadar air 7%. Kondisi tersebut dilaporkan menghasilkan bekatul yang stabil selama penyimpanan 20 hari pada suhu 25oC dimana angka asam tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Tabel 7. Komposisi kimia bekatul Ciherang Table 7. Chemical composition of Ciherang rice bran Komposisi (%)/ Composition
Kadar air/water content Abu/ash Protein/protein Lemak/fat Karbohidrat (carbohydrate, by difference)
Bekatul segar/ fresh ricebran
Bekatul segar bebas lemak/ defatted fresh ricebran
Bekatul ekstrusi/ extruded ricebran
Bekatul ekstrusi bebas lemak/ defatted extruded ricebran
10.33 7.02 9.20 12.78
11.54 8.01 10.54 0.63
6,12 7.41 10.13 12.63
9.05 8.38 11.29 0.64
60.66
69.28
63.71
70.64
Penghilangan lemak yang dilakukan dalam penelitian ini mampu menurunkan kadar lemak bekatul segar dari 12.78% menjadi 0.63%, dan kadar lemak bekatul ekstrusi dari 12.63% menjadi 0.64%. Bekatul yang akan digunakan sebagai bahan baku ekstraksi protein harus memiliki kadar lemak kurang dari 1% karena adanya lemak dapat menurunkan efisiensi ekstraksi protein[26]. KESIMPULAN Penentuan proses optimum stabilisasi bekatul untuk bahan baku ekstraksi protein, dengan ekstruder ulir ganda tanpa die menggunakan RSM memberikan kondisi optimum pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz. Bekatul yang dihasilkan memiliki kadar air 7.02%, kadar protein terlarut 2.04% (bk), aktivitas lipoksigenase 0.007μmol/menit/ml, dan stabilitas oksidatif yang lebih tinggi (20.00 jam) daripada bekatul yang tidak distabilisasi (13.50 jam). SARAN Data periode induksi yang diberikan dalam pengukuran stabilitas oksidatif dengan metode di atas sesungguhnya dapat menggambarkan masa simpan bekatul yang sudah distabilisasi. Meskipun demikian untuk menstandarisasi hubungan antara periode induksi yang diperoleh dengan masa simpan bekatul, diperlukan penelitian yang khusus. Mengukur masa simpan bekatul dengan periode induksi
38
yang berbeda-beda akan memberikan data hubungan di antara keduanya dengan akurat. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Prof. Slamet Budijanto atas pemberian gabah varietas Ciherang dan penggunaan fasilitas di Technopark dan Prof. Nuri Andarwulan untuk standar asam linoleat (Wako). DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
4. 5. 6.
7.
8.
9. 10.
11.
12.
13.
Widowati S. Pemanfaatan hasil penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di pedesaan. Buletin AgroBio. 2001;4(1) : 33 – 38 BPS 2013. Produksi padi, jagung, dan kedelai. Berita Resmi Statistik No 20/03/Th. XVI 1 Maret 2013. Wang M., N.S Hettiarachchy, M. Qi, W. Burk dan T. Siebenmorgen. Preparation and functional properties of rice bran protein isolate. Journal Agriculture Food Chemistry. 1999; 47: 411-416 Chandi G.K. dan Sogi D.S. Functional properties of rice bran protein concentrates. Journal of Food Engineering. 2007; 79: 592–597 Ubaidillah. Stabilisasi Bekatul dengan Ekstrusi Tanpa Die. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 2010. Malekian F., R. M. Rao, W. Prinyawiwatkul, W.E. Marshal, M. Windhauser, dan M. Ahmedna. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, 2000. Louisiana State University Agricultural Center. Randall J.M., R.N. Sayre, W.G. Schultz, R.Y. Fong, A.P. Mossman, R.E. Tribelhorn, dan R.M. Sanders. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. Journalof Food Science. 1985; 50 (2): 361-364, 368. Tao J, Rao R, dan Liuzzo J. Microwave heating for rice bran stabilization. Journal of Microwave Power and Electromagnetic Energy. 1993; 28 (3): 156-164 da Silva MA, Sanches C, dan Amante ER. Prevention of hydrolytic rancidity in rice bran. Journal of Food Engineering.2006; 75: 487–491 Pourali O., F.S Asghari, dan H Yoshida. Simultaneous rice bran oil stabilization and extraction using sub critical water medium. Journal of Food Engineering. 2009 (95) : 510-516 Loypimai P, Moonggarm A, dan Chottanom P. Effects of ohmic heating on lipase activity, bioactive compounds and antioxidant activity of rice bran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 2009; 3(4): 3642-3652 Fuh W, dan Chiang B. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. Journal of The Science of Food and Agriculture. 2001; 81:1419-1425 Lakkakula N.R., M. Lima dan T. Walker. Rice bran stabilization and rice bran oil extraction using ohmic heating. Bioresource Technology 92. 2004; hal 157–161
39
14. Thanonkaew A. Wongyai S, McClements D.J, dan Decker E.A Effect of stabilization of rice bran by domestic heating on mechanical extraction yield, quality, and antioxidant properties of cold-pressed rice bran oil (Oryza saltiva L.). LWT Food Science and Technology. 2012; hal 1-6 15. Madawala SRP, Kochhar SP dan Dutta P.C. Lipid components and oxidative status of selected specialty oils. Grasas Y Aceites. 2012; 63 (2): 143-151 16. Anwar F., Anwer T, dan Mahmood Z. Methodical characterization of rice (Oryza sativa) bran oil from Pakistan. Grasas y Aceites. 2005; 56 (2) : 125134 17. Kongo-Dia-Moukala J.U dan Hui Zhang. Defatted corn protein extraction: Optimization by response surface methodology and functional properties. American Journal of Food Technology. 2011; 6 (10): 870-881 18. Anuonye J.C., G.I.O Badifu, C.U. Inyang dan M.A. Akpapunam. Effect of extrusion process variables on the amylose and pasting characteristic of acha/soybean extrudates using response surface analysis. American Journal of Food Technology. 2007; 2 (5) : 354-365 19. Silpradit K., S. Tadakittasarn, H. Rimkeeree, S. Supanida, dan V. Haruthaithanasan. Optimization of rice bran protein hydrolysate production using alcalase. Research Article Asian Journal of Food and Agro-Industry. 2010;3(02): 221-231 20. Lenth R.V. Response-surface methods in R, using RSM. Journal of Statistical Software. 2009; 32 (7): 1-17 21. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Washington DC: AOAC 22. Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randal RJ. Protein measurement with the Folin phenol reagent. Journal of Biological Chemistry. 1951; 193: 265-273. 23. Prabhu AV, Tambe SP, Gandhi NN, Sawant SB, Joshi JB. Rice bran lipase: extraction, activity, and stability. Biotechnology Progress. 1999;15:10831089 24. Bhavani M, Chowdary GV, David M, Archana G.Screening, isolation and biochemical characterization of novel lipase producing bacteria from soil samples. International Journal of Biological Engineering. 2012;2(2): 18-22 25. Abramovic H dan V. Abram. Physico-chemical properties, composition and oxidative stability of Camelina sativa oil. Food Tecnology and Biotechnical. 2005; 43(1) : 63-70 26. Yeom H, E. Lee, M. Ha, S. Ha, dan D. Bae. Production and physicochemical properties of rice bran protein isolates prepared with autoclaving and enzymatic hydrolysis. Journal Korean Social Application Biology and Chemistry. 2010;53 (1) : 62-70 27. Gardner HW. Current protocols in food analytical chemistry: Analysis of lipoxygenase activity and products. 2001; Chapter 4.2.1-Chapter 4.2.16, John Wiley & Sons, Inc. 28. Senanayake S.A.M.A.N.S dan B. Clarke. A simplified twin screw corotating food extruder: design, fabrication and testing. Journal of Food Engineering. 1999; 40: 129-137
40
29. Lee Cherl-Ho. Application of extrusion cooking to traditional Korean food.Di dalam Kokini JL, Ho C, Karwe MC, editor. Food Extrusion Science and Technology. Marcel Dekker. 1992; 711-723 30. Chiang A. Protein – protein Interaction of Soy Protein Isolate from Extrusion Processing.Thesis.University Missouri Columbia.2007 31. Batal AB, M.W Douglas, A.E. Engram, dan C.M Parsons. Protein dispersibility index as an indicator of adequately processed soybean meal.Poultry Science. 2000; 79: 1592-1596. 32. Szymanowska U., A. Jakubczyk, B. Baraniak, dan A. Kur. Characterisation of lipoxygenase from pea seeds (Pisum sativum var. Telephone L.). Food Chemistry. 2009; 116: 906–910 33. Buranasompob A., J. Tang, J.R Powers, J. Reyes, S. Clarck, dan B.G. Swanson. Lipoxygenase activity in walnuts and almonds. LWT Food Science and Technology. 2007; 40: 893-899 34. Crowe TW, Johnson LA, dan Wang T. Characterization of extrudedexpelled soybean flours. Journal American Oil Chemistry Society. 2001; 78 (8): 775 - 779 35. Zilic SM, Sobajic SS, Drinic SDM, Kresovic BJ, dan Vasic MG. Effect of heat processing on soya bean fatty acids content and lipoxygenase activity. Journal of Agricultural Sciences. 2010; 55 (1): 55-64 36. Inasaki I. Sensor fusion for monitoring and controlling grinding processes. International Jounal Advanced Manufacturing Technology. 1999; 15 :730736. 37. Antoniadis A., C. Savakis, N. Bilalis, dan A. Balouktsis. Prediction of surface topomorphy and roughness in ball-end milling.International Jounal Advanced Manufacturing Technology.2003; 21: 965-971.
41
4 STABILITAS OKSIDATIF BEKATUL PADI YANG DISTABILISASI DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE Abstract Rice bran is a potential source of human food but it becomes rancid easily. With unsaturated fatty acids proportion of more than 70% rice bran oil is susceptible to oxidation by endogenous lipoxygenase and lipase. Therefore, immediate heat stabilization is needed to inactivate the enzyme in rice bran and thereby prevent oil rancidity. The oxidative stability of heat-stabilized rice bran with no die double screw extruder at a temperature of 130.97oC and screw speed 26.65 Hz (91 rpm) was studied. Stabilization of rice bran in these conditions resulted lower water content, inactivation lipase and lipoxygenase activity thus lowering the rate of oxidation. Rancimat test results that the oil from stabilized rice bran has a higher oxidative stability than oil from unstabilized rice bran. Increased temperature oxidation followed by a decrease in the induction period followed zero order kinetics. There were a good correlation between temperature oxidation and the induction period of the heat-stabilized rice bran oil (r2 = 0.975) and unstabilized rice bran oil (r2 = 0.969). Induction period at room temperature (27oC) can be obtained by extrapolation of the equation of each graph, 5 days for unstabilized rice bran oil and 7 days for heat-stabilized rice bran oil in accelerated oxidation conditions. Keywords: Rice bran, no die double screw extruder, Rancimat test, oxidative stability Pendahuluan Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang kaya nutrisi karena mengandung protein, lemak, serat, mineral, vitamin B, vitamin E, dan γoryzanol (Ryan 2011). Kandungan lemak tidak jenuh pada bekatul lebih dari 70% yang terdiri dari asam oleat dan asam linoleat sehingga mudah mengalami oksidasi. Oksidasi lemak menghasilkan asam lemak bebas dan komponen volatil yang menimbulkan aroma tengik, disamping menurunkan nilai gizi. Menurut Whitaker (1994), aktivitas lipoksigenase menghasilkan produk radikal yang dapat merusak vitamin dan memodifikasi protein terutama yang memiliki residu triptofan, histidin, sistein, tirosin, metionin, dan lisin. Oleh karena itu, stabilisasi bekatul harus segera dilakukan pasca penggilingan gabah (Randall et al. 1985). Mengingat potensi pemanfaatan bekatul baik sebagai pangan fungsional, minyak makan, dan sumber protein maka upaya stabilisasi bekatul menjadi sangat penting. Umumnya stabilisasi bekatul dilakukan pada suhu tinggi dan waktu yang lama sehingga mengakibatkan kehilangan zat gizi. Kusumawaty et al. (2013) melakukan stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm) selama 36-37 detik untuk menghindari kerusakan protein karena pemanasan yang berlebihan. Bekatul yang distabilisasi pada kondisi tersebut memiliki kadar air 7.02% dan aktivitas
42
lipoksigenase 0.007 μmol/menit/mL. Kadar air bekatul memiliki korelasi yang tinggi dengan kadar asam lemak bebas. Stabilitas oksidatif bekatul dapat ditentukan melalui analisis kimia, tetapi membutuhkan waktu lama dan penggunaaan bahan kimia yang banyak. Pengujian stabilitas oksidatif yang telah digunakan secara luas pada industri lemak dan minyak adalah uji Rancimat (Velasco et al. 2004). Pada uji Rancimat, bahan uji dipanaskan pada suhu tinggi dan dihembuskan gas dengan kecepatan tertentu untuk mempercepat proses oksidasi (AOCS 2003). Stabilitas oksidasi merupakan resistensi bahan terhadap proses oksidasi dalam kondisi tertentu yang dinyatakan sebagai periode induksi (Velasco et al. 2004). Pengujian stabilitas oksidatif juga dapat dilakukan untuk mengetahui kualitas dan masa simpan minyak goreng (Farhoosh 2007). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari stabilitas oksidatif minyak bekatul yang diekstrak dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dengan metode Rancimat pada suhu 100, 110, dan 120oC. Bahan dan Metode Bahan penelitian Bahan penelitian meliputi bekatul varietas Ciherang dari Unit Penggilingan Gabah di Sumedang, Jawa Barat, standar asam linoleat (Wako), minyak zaitun komersial, dan bahan penunjang lainnya untuk analisis. Alat penelitian Peralatan yang digunakan antara lain penggiling beras (Yanmar), penyosoh beras (Satake), ekstruder ulir ganda tanpa die (Berto), ayakan 100 mesh (Kotobuki), Metrohm 743 Rancimat (Metrohm AG, Herisau, Switzerland), rotary evaporator (Buchi), pengaduk magnetik (Stereomag), homogenizer (Armfield L4R), sentrifus (Hermle Z 383 K), penangas goyang (Polyscience) spektrofotometer (UV 2450 Shimadzu), dan alat gelas lainnya. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan di F-Technopark, Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Centre), Laboratorium Analisis Pangan, dan Laboratorium Kimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2013 sampai dengan September 2013. Metode penelitian Stabilisasi bekatul Stabilisasi bekatul dilakukan dengan teknik ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die (cetakan) skala pilot plant. Ekstruder dilengkapi mantel pendingin dan mantel pemanas untuk mempertahankan suhu, termokopel, ulir, dan selubung mesin ekstruder atau barel. Kedua ulir memiliki jari-jari 3 cm, terdapat dalam barel sepanjang 100 cm. Suhu ekstrusi dikondisikan isotermal pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm). Bekatul hasil ekstrusi diayak dengan ayakan 100 mesh, dikemas dalam plastik klip polietilen, dan disimpan pada suhu minus 20oC sampai dianalisis. Sebagai kontrol perlakuan adalah bekatul yang tidak distabilisasi.
43
Ekstraksi minyak bekatul Ekstraksi minyak bekatul dilakukan dengan mendispersikan bekatul dalam heksan (1:5 b/v) dan diaduk selama 60 menit dengan pengaduk magnetik (Silpradit et al. 2010). Minyak kasar bekatul diperoleh dengan penyaringan vakum dengan kertas saring dan menguapkan heksan dengan rotary evaporator pada suhu 40oC selama 8-10 menit. Gas N2 dihembuskan ke dalam minyak untuk menghilangkan sisa heksan. Metode analisis Analisis bekatul yang dilakukan meliputi kadar air (AOAC 2005) dan kadar asam lemak bebas menurut metode AOCS (2003), aktivitas lipase (Prabhu et al. 1999 yang dimodifikasi; Bhavani et al. 2012), aktivitas lipoksigenase (Malekian et al. 2000 yang dimodifikasi). Pengujian stabilitas oksidatif dengan uji Rancimat (AOCS 2003). Uji Rancimat (AOCS 2003) Stabilitas oksidatif bekatul ditentukan dengan mengukur periode induksi (IP) minyak bekatul pada alat Metrohm 743 Rancimat (Metrohm AG, Herisau, Switzerland). Alat Rancimat disajikan pada Gambar 1. Minyak bekatul 5 g ditempatkan dalam tabung, pemanas diatur pada suhu perlakuan (100, 110, dan 120oC), dan kecepatan alir udara 20 L/jam. Komponen oksidasi yang dihasilkan dialirkan dan ditampung dalam tabung yang berisi air deionisasi untuk diukur konduktivitasnya dengan detektor.
Gambar 1. Alat Metrohm 743 Rancimat Analisa Statistik Pengujian dilakukan 2 kali ulangan dan nilainya di rata-rata. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan uji t-test pada perangkat SPSS 16.0 dengan signifikasi p<0.05 antar nilai rata-rata. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Bekatul yang Distabilisasi dengan Ekstruder Ulir Ganda tanpa Die Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz selama 36-37 detik mampu menurunkan
44
kadar air, aktivitas lipase dan aktivitas lipoksigenase (Tabel 1). Kadar air pada bekatul yang diekstrusi mendekati hasil penelitian yang dilaporkan oleh Fuh & Chiang (2001) dimana bekatul yang diekstrusi dengan ekstruder ulir ganda model co-rotating pada suhu 130oC dan kecepatan ulir 140 rpm dengan waktu tinggal 20 detik memiliki kadar air 7%. Kondisi tersebut dilaporkan menghasilkan bekatul yang stabil selama penyimpanan 20 hari pada suhu 25oC dimana angka asam tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Tabel 1. Komposisi kimia bekatul varietas Ciherang Komposisi kimia Bekatul segar Bekatul distabilisasi Kadar air (%) 10.33 + 0.03a 7.01 + 0.11b Aktivitas lipase (U/mL) 0.11 + 0.007a 0.02 + 0.001b a Aktivitas lipoksigenase ( µmol/menit/mL) 0.012 + 0.001 0.007 + 0.0002b Asam lemak bebas pada jam ke-0 (%) 4.57 + 0.09a 2.20 + 0.07b a Asam lemak bebas pada jam ke-24 (%) 7.95 + 0.014 2.89 + 0.04b a,b
Angka pada baris yang sama diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)
Prabhu et al. (1999) melaporkan bahwa aktivitas lipase dari ekstrak kasar bekatul pada substrat minyak zaitun adalah 0.11 U/mL. Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die mampu menurunkan aktivitas lipase secara signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lee (1992) bahwa ekstrusi bekatul yang memiliki kadar air 11% pada suhu 128oC mampu menginaktivasi lipase, dimana kadar air akhir yang diperoleh 6.94%. Pemanasan mengakibatkan perubahan struktur asli protein lipase sehingga kehilangan fungsi katalitiknya tanpa melibatkan perubahan urutan asam amino (de Mann 1999). Lipoksigenase mengkatalis reaksi hidroperoksidase asam linoleat dan asam lemak tidak jenuh serta esternya yang memiliki ikatan rangkap cis,cis 1,4pentadiena (Szymanowska et al. 2009). Pembentukan dien terkonjugasi hidroperoksida oleh lipoksigenase diukur pada absorbansi 234 nm. Hidroperoksida yang dihasilkan akan mengalami degradasi lebih lanjut membentuk senyawa volatil seperti aldehid, keton, dan alkohol yang tercium sebagai bau tengik (Malekian et al. 2000). Penurunan aktivitas lipoksigenase pada bekatul yang telah distabilisasi dapat meningkatkan stabilitas oksidatifnya. Rendahnya kadar asam lemak bebas pada bekatul yang distabilisasi menunjukkan bahwa stabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die yang dilakukan segera pasca penggilingan gabah efektif menghambat proses oksidasi lemak. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilaporkan oleh Malekian et al. (2000) bahwa pada pengamatan minggu ke-0 bekatul yang diekstrusi menggunakan suhu 125-130oC selama 30 detik memiliki kadar asam lemak bebas 2,8%, sedangkan bekatul yang tidak diekstrusi memiliki kadar asam lemak bebas 3.7%. Peningkatan kadar asam lemak bebas bekatul terlihat setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (28oC). Kadar asam lemak bebas pada bekatul Ciherang yang tidak distabilisasi meningkat hingga 7.95% atau 0.14% per jam. Dibandingkan dengan bekatul yang telah distabilisasi peningkatan kadar asam lemak bebasnya 0.03% per jam. Ubaidillah (2010) melaporkan kenaikan asam
45
lemak yang cukup tinggi ditunjukkan oleh bekatul dari varietas Way Apo Buru yang mencapai 1.6% per jam pada penyimpanan suhu 40oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan sangat berpengaruh atas berlangsungnya produksi asam lemak bebas, disamping perbedaan varietas yang akan mempengaruhi aktivitas lipase. Untuk mempelajari lebih lanjut stabilitas oksidasi bekatul dapat digunakan metode Rancimat dengan menggunakan beberapa suhu perlakuan. Stabilitas oksidatif Pengukuran stabilitas oksidatif bekatul dapat dilakukan dengan metode Rancimat menggunakan instrumen 743 Methrom dengan parameter periode induksi. Periode induksi dapat ditentukan karena produk-produk polar yang dihasilkan selama proses oksidasi dapat dimonitor menggunakan alat pengukur konduktivitas. Periode induksi yang terukur dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2. 130
Suhu (oC)
120 y = -0.5885x + 124.86 R² = 0.9756
110 100 90 80 0.00
y = -0.7872x + 123.75 R² = 0.9695 Unstabilized rice bran oil Stabilized rice bran oil
10.00
20.00 30.00 Periode induksi (jam)
40.00
50.00
Gambar 2. Pengaruh suhu oksidasi terhadap periode induksi pada uji Rancimat Pengukuran dengan metode rancimat menunjukkan bahwa minyak yang diekstrak dari bekatul yang telah diekstrusi memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada yang tidak diekstrusi. Hal ini dapat disebabkan karena lipoksigenase telah inaktif oleh proses ekstrusi sehingga oksidasi lebih lanjut peroksida menjadi aldehid, keton, alkohol, dan hidrokarbon berlangsung lebih lambat (Madawala et al. 2012; Anwar et al. 2005). Dalam Buletin Food and Beverage Asia (2010) dilaporkan bahwa minyak bekatul memiliki stabilitas oksidatif paling tinggi di antara minyak nabati lainnya. Pengujian rancimat pada suhu 110oC diperoleh periode induksi minyak biji jagung, minyak kedelai, minyak zaitun, dan minyak bekatul adalah 6.61 jam, 8.7 jam, 12.86 jam, dan 15.18 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan antioksidan alami γ-oryzanol, tokoferol, dan tokotrienol dalam minyak bekatul. Peningkatan suhu oksidasi diikuti dengan penurunan periode induksi mengikuti kinetika reaksi ordo nol karena terdapat hubungan linier antara periode induksi dan suhu proses. Hal ini disebabkan kualitas pangan umumnya sudah pada tingkat yang tidak dapat diterima apabila tingkat terminasi tercapai. Periode induksi pada suhu kamar dapat diperoleh dengan ekstrapolasi dari persamaan pada
46
masing-masing grafik. Dengan ektrapolasi diperoleh periode induksi pada suhu kamar selama 5 hari untuk minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi dan 7 hari untuk minyak dari bekatul yang distabilisasi. Metode ini dapat menghemat waktu, penggunaan alat, dan bahan kimia di laboratorium (Farhoosh 2007). Simpulan Pengujian dengan metode rancimat menunjukkan bahwa minyak dari bekatul yang distabilisasi memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa stabilisasi bekatul padi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz mampu menurunkan aktivitas lipase dan aktivitas lipoksigenase sehingga memperlambat laju oksidasi. Daftar Pustaka Anwar F, Anwer T, Mahmood Z. 2005. Methodical characterization of rice (Oryza sativa) bran oil from Pakistan. Grasas y Aceites 56 (2) : 125-134 [AOCS] American Oil Chemists’ Society. 2003. Official Methods and Recommended Practices of the AOCS. 5th ed. Champaign, Illinois: AOCS [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Washington DC: AOAC Bhavani M, Chowdary GV, David M, Archana G. 2012. Screening, isolation and biochemical characterization of novel lipase producing bacteria from soil samples. Int. J. Biol. Eng. 2(2): 18-22 De Mann JM. 1999. Principles of Food Chemistry. 3rd Edition, Aspen Publishers, Inc. Farhoosh R. 2007. The effect of operational parameter of the rancimat method on the determination of the oxidative stability measures and shelf-life prediction of soybean oil. JAOCS 84: 205-209 Fuh W, Chiang B. 2001. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. J. Sci. Food Agr. 81:1419-1425 Internet: Bulletin Food and Beverages Asia. 2010. Ingredient. January/February, p: 56-59 Kusumawaty I, Fardiaz D, Andarwulan N, Widowati S. Budijanto S. 2013. Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda menggunakan Response Surface Methodology. J. Penelitian Pascapanen 10 (1) : 27-37 Lee Cherl-Ho. 1992. Application of extrusion cooking to traditional Korean food. Di dalam: Kokini, JL, Ho C, Karwe, MC, editor: Food Extrusion Science and Technology. Marcel Dekker. hlm 711-723 Madawala SRP, Kochhar SP, Dutta PC. 2012. Lipid components and oxidative status of selected specialty oils. Grasas Y Aceites 63 (2): 143-151 Malekian F et al. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, Louisiana State University Agricultural Center. Prabhu AV, Tambe SP, Gandhi NN, Sawant SB, Joshi JB. 1990. Rice bran lipase: extraction, activity, and stability. Biotech. Prog. 15:1083-1089
47
Randall JM et al. 1985. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. JFS 50 (2): 361-364, 368. Ryan EP. 2011. Bioactive food component and health properties of rice bran. JAVMA 234 (5): 593-600 Silpradit K, Tadakittasarn S, Rimkeeree H, Supanida, S, Haruthaithanasan V. 2010. Optimization of rice bran protein hydrolysate production using alcalase. Research Article As. J. Food Agro-Ind. 3(02): 221-231 Szymanowska U, Jakubczyk A, Baraniak, B, Kur A. 2009. Characterisation of lipoxygenase from pea seeds (Pisum sativum var. Telephone L.). Food Chem. 116: 906–910 Ubaidillah 2010. Stabilisasi Bekatul dengan Ekstrusi Tanpa Die [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Velasco J, Andersen ML, Skibsted LH. 2004. Analytical, Nutritional and Clinical Methods: Evaluation of oxidative stability of vegetable oils by monitoring the tendency to radical formation. A comparison of electron spin resonance spectroscopy with the Rancimat method and differential scanning calorymetry. Food Chem. 85: 623-632 Whitaker JR. 1994. Principles of Enzymology for The Food Science. Marcel Dekker.
48
5 CHARACTERIZATION OF PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF RICE BRAN PROTEIN CONCENTRATES FROM HEAT-STABILIZED RICE BRAN Inneke Kusumawaty1, Dedi Fardiaz1*, Nuri Andarwulan1, Sri Widowati2, and Slamet Budijanto1 1
Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, IPB, Indonesia 2 Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and Development *Corresponding author’s email:
[email protected]
The physicochemical properties of rice bran protein concentrate (RBPC) produced from unstabilized and stabilized Pandanwangi and Ciherang rice bran were studied. The results showed that polar amino acid composition of RBPC Ciherang was higher than that in Pandanwangi leading to its solubility. There were 8 separated protein bands with molecular weight of 11.19 kDa, 14.23 kDa, 19.23 kDa, 23.03 kDa, 25.97 kDa, 31.11 kDa, 50.34 kDa, and 60.29 kDa. The FTIR spectra showed a shift in finger print zone due to bran stabilization process. The RBPCs from two varieties had similar denaturation temperatures (77.22 77.99oC) with enthalpy ranged between 109.72 J/g and 200.98 J/g. Oil absorption capacity was higher than the water absorption capacity. Foaming stability and emulsion activities had similiar pattern with solubilities profile and showed no significant difference between varieties (p> 0.05). Phytate level in RBPCs ranged from 0.35 to 0.52%. Functional properties of RBPCs are comparable with soy protein concentrate. This finding shows potential protein concentrate of both stabilized and unstabilized rice bran as food ingredient particulary as foaming agent. Keyword: Heat-stabilized physicochemical properties
rice
bran,
rice
bran
protein
concentrate,
INTRODUCTION Rice bran is an inexpensive and under-utilized by product of rice milling. Rice bran has a high nutritional value with 12-15% protein with essential amino acids (Wang et al., 1999). This abundance protein resources has received minimal attention in the food industry. They use minor quantities of rice bran as a source of dietary fiber and oil. Rice bran from which the crude oil is removed, is called defatted rice bran prepared for rice bran protein extraction. The alkali method seemed to be a common procedure for protein extraction from rice bran (Prakash and Ramanatham, 1994; Jiamyangyuen et al., 2005; Chandi and Sogi, 2007; Zhang et al., 2012). Rice bran protein is considered as an alternative protein resource for food ingredient. The use of rice bran in food is limited because the bran becomes easily rancid. It is essential to stabilize the bran to inactivate lipase and lipoxygenase. Heat stabilization of rice bran has been reported, such as parboiled (da Silva et al., 2006), steam (Pourali et al., 2009), ohmic (Loypimay et al., 2009), a single screw extruder (Malekian et al., 2000) and double screw extruder (Fuh and Chiang, 2001; Kusumawaty et al., 2013). *Sedang dalam proses telaah pada Pakistan Journal Agricultural and Sciences.
49
Generally, bran stabilization is done at high temperatures and is intended as a feedstock oil extraction (Pourali et al., 2009; Thanonkeaw et al., 2012). Kusumawaty et al. (2013) optimized the stabilization of rice bran with double screw extruder at a temperature of 130oC for 37 seconds. The resulting stabilized rice bran showed higher oxidative stability than that in unstabilized rice bran. There have been limited studies to determine the effect of high temperature extrusion on protein solubility, protein structure, thermal stability, and functional properties. Therefore the objective of this study was designed to characterize the physicochemical properties of rice bran protein concentrates from heat-stabilized rice bran with double screw extruder. This information is necessary in the development of rice bran protein as a food ingredient. MATERIALS AND METHODS Materials Paddy cultivars Ciherang and Pandanwangi were obtained from Paddy Milling Unit in Sumedang. All other chemicals were analytical grade products obtained commercially. Preparation of Stabilized Rice Bran Paddy was dehulled by a Yanmar Rice Huller (Model HW-60A, Yanmar Diesel Engine co. Ltd. Osaka, Japan) and debranned by a Satake Polisher for 60s. Rice bran was stabilized with no die double screw extruder (Berto Industries) without die according to the method of Kusumawaty et al. (2013). This rice bran was called stabilized rice bran (SRB). Preparation of Rice Bran Protein Concentrate (RBPC) Rice bran was defatted twice using hexane (1:5 w/v) and the resulting defatted rice bran (DRB) was suspended in distilled water (1:10 w/v). The pH of slurry was set at 8 using 5 N NaOH, stirred for 2.0 h at 50-55°C and centrifuged at 9.096 g (6000 rpm) for 15 min. The supernatant was adjusted to pH 4 using 5 N HCl, stirred for 30 min and allowed overnight for cold precipitation (4oC). The supernatant was then decanted off and the precipitated was washed twice with 30% alcohol by centrifuging at 9.096 g for 15 min. The protein slurry was then resuspended in distilled water and netralized to pH 6.0. The slurry was kept at minus 20oC before freeze drying (Zhang et al., 2012 with some modification). Protein contents were determined by the Kjeldahl method (conversion factor of 5.95) (AOAC 2005). Amino Acid Analysis Amino acid analysis was measured according to AOAC (2005). Samples were subjected to acid hydrolysis with 1 mL of 6 M HCl under nitrogen atmosphere for 24 h at 110 °C. Each hydrolysate was washed three times into a 50 mL volumetric flask with 2 ml of 0.02 M HCl and made up to the mark with distilled water. The amino acids were subjected to HPLC analysis after precolumn derivatisation with O-phthaldialdehyde (OPA). Amino acid composition was reported as mg of amino acid/g of sampel.
50
FT-IR Spectroscopy FT-IR spectra were recorded on a Shimadzu Model IRPrestige-21 spectrophotometer. Protein sample (10 mg) were homogenized with anhydrous KBr. Sample was measured at wavenumber of 400 - 4000 cm-1 (Adochitei and Drochioiu 2011). SDS-PAGE Analysis SDS–polyacrylamide gel electrophoresis (SDS–PAGE) was run using a 5% stacking gel and a 12% separating gel. Ten microliters of protein concentrate were loaded per well. Gels were run at 70 mA for approximately 180 min and stained with 0.125% Coomassie brilliant blue R-250 and destained with 25% ethanol and 10% acetic acid. The molecular weight of protein estimated using protein ladder Fermentas(R) ranging from 10 to 260 kDa. The protein band of the destained gel were qualitated using ImageJ software 1.47. The molecular weight of protein were calculated by plotting the log of the molecular weight of protein standards against the relative migration. Electrophoresis was performed in duplicate (Ahmed, 2005). Nitrogen Solubility Index (NSI) NSI was determined by the method of Zhang et al. (2012). Samples (0.025 g) were dispersed in 25 mL of universal buffers pH 2-9. The suspensions were magnetically stirred at room temperature for 30 min and centrifuged at 9096 g for 20 min (Hermle Z 383 K). Nitrogen contents of the supernatants were determined using Lowry method (Lowry et al., 1951), and percent nitrogen solubility was calculated as follow: NSI(%) = total protein content in supernatant x 100% total protein content in sample Foaming Capacity and Stability The method of Yeom et al. (2010) was followed with some modifications. The 25 mL of 1% (w/v) of protein solution in universal buffers (pH 2, 4, 6, and 8) were stirred 5 min at room temperature. Foaming capacity (FC) was calculated as follows: FC (%) = (volume after foaming - volume before foaming) x 100% volume before foaming (25 ml) Foaming stability (FS) was calculated from the following equation: FS (%) = Vo x t ΔV Here Vo is the initial foam volume at 0 min and ΔV is the change in the volume of foam during the interval △t (30 min). Emulsifying Activity and Emulsion Stability Soybean oil (16 mL) and 48 mL of 1% (w/v) of proteins solution in universal buffers (pH 2, 4, 6, and 8) were homogenized (Armfield L4R) 1 min at room temperature to produce the emulsion. The 50 μL portions of emulsion were pipetted from the bottom of the container at 0 and 20 min and mixed with 5 mL of 0.1% SDS. Absorbance of emulsions was measured at 500 nm. The absorbance at
51
0 min was expressed as emulsion activity index (EAI). The emulsion stability index (ESI) was determined as follow: ESI = Ao×Δt ΔA where Ao is the absorbance of the emulsion at 0 min and △A is the change in absorbance occurring over interval △t (20 min) (Yeom et al. (2010). Water and Oil Absorption Capacity Sample (0.1 g each) was mixed with 1 g of distilled water or soybean oil in centrifuge tubes. The slurry was centrifuged at 5956 g (6000 rpm) for 30 min. The supernatant was removed. The pellet was drained at 45o angle for 30 min and the gain in weight per unit weight was reported as water or oil absorption capacity (g/g) (Marriod et al. 2010). Differential Scanning Calorimetry (DSC) The thermal characteristics of the rice bran protein concentrate were examined by a Perkin–Elmer DSC 7 Ver.9.01 2007. Sample (6.5 mg) was sealed in aluminium pans. An empty pan was used as a reference. The scanning temperature was 40–150oC at a rate of 10oC/min. Indium standards were used for temperature and energy calibrations. The denaturation temperature (Tp) and the enthalpy (ΔH) were calculated by a thermal analysis software program (Pyris-IDSC, Ver 9, Perkin Elmer Instrument LLC, Connecticut) (Mariod et al. 2010). Analysis of Phytate Sample was extracted with 2.4% HCl (1:20 b/v) for 1 h at room temperature, centrifuged at 6317 g (5000 rpm) for 30 min, and supernatant used for sampel solution. One milliliter of Wade reagent (0.03% solution of FeCl3·6H2O containing 0.3% sulfosalicylic acid in water) was added to 3 mL of the sample solution, vortexed for 5 seconds, then measured the absorbance at 500 nm. To prepare the phytic acid standard curve, a series of standard solution were prepared containing 5–40 μg/mL phytic acid in water (Bhandari and Kawabata 2006). Statistical Analysis All the tests were done in duplicate and data were averaged. Student’s t-test was perform to evaluate significant differences (p<0.05) between the mean and each sample using SPSS 16.0 software. RESULT AND DISCUSSION Protein Content and Yield of RBPC The protein content and yield of RBPC from unstabilized rice bran (URB) and stabilized rice bran (SRB) Pandanwangi and Ciherang were presented in Table 1. The yield of SRB protein concentrate was lower than that from URB. This finding was in line with those reported by Gnanasambandam and Heitiarachchy (1995) that protein denaturation due to commercial heat stabilization causing the decreased in its solubility and thus impaired extractability of proteins. Chandi and Sogi (2007) reported the protein content of URB protein
52
concentrates of Basmati 370, Basmati 386, and HBC 19 were 54,08%, 58,92% and 52,46% respectively. Xia et al. (2012) reported the protein content and yield of SRB protein concentrate was 68,1% and 14,8% respectively. Table 1. Protein content and yield of RBPC Rice Bran Protein Concentrate Protein (%) URB Pandanwangi 60.76 SRB Pandanwangi 60.19 URB Ciherang 61.38 SRB Ciherang 60.23
Yield (%) 23.45 16.80 21.63 16.61
Amino Acid Analysis Amino acid composition of rice RBPCs and commercial SPC were presented in Table 2. The amino acid composition of commercial SPC was also included for comparison. RBPCs have similar or higher level of aspartic acid, glutamic acid, glycine, alanine, valine, metionine, isoleucin, phenylalanin, histidine, and arginine than in soy protein concentrate. Threonine, histidine, lysine, isoleucine, leucine, methionine, phenylalanin, and valine are essential amino acid for human (FAO/WHO/UNU, 2002). Table 2 shows that RBPCs have non polar amino acids in range 33.6%– 36.3%. Protein with non polar amino acid composition more than 30% are better emulsifying and foaming agents (Damodaran, 1996). The polarity of the amino acids will determine the level of protein solubility in water. SRB protein Ciherang contains more charged amino acids, such as aspartic acid, threonin, serine, glutamic acid, arginine, histidine, and lysine thus higher solubility than URB protein Ciherang. Tabel 2. Composition of amino acids Amino Acid Protein Concentrate (mg/g)* URB URB SRB SRB Ciherang Pandanwangi Ciherang Pandanwangi Aspartic acid 55.3 52.1 52.1 50.4 Glumatic acid 114.2 106.0 116.5 111.4 Glycine 37.3 34.8 37.9 35.8 Serine 25.2 24.2 24.0 23.4 Threonin 24.7 23.2 22.1 21.0 Tyrosine 21.8 20.7 20.1 18.3 Arginine 69.0 65.8 71.1 71.1 Histidine 17.7 16.8 17.8 17.1 Lysine 34.6 30.7 30.9 30.1 Alanine 44.6 42.3 40.3 40.3 Isoleucine 30.6 29.4 26.1 24.9 Leucine 55.7 51.2 45.7 45.6 Methionine 13.7 12.4 11.1 11.0 Phenylalanine 35.5 32.4 31.8 29.9 Valine 47.7 44.9 43.5 41.7 * Data determine in the study
Soy 52.1 98.9 29.9 36.3 27.0 34.0 49.3 14.5 43.5 25.7 31.8 54.0 1.8 36.0 33.2
53
SDS-PAGE Analysis Figure 1 shows a similar pattern between varieties and treatments. There were 8 separated protein bands with molecular weights of 11.19 kDa, 14.23 kDa, 19.23 kDa, 23.03 kDa, 25.97 kDa, 31.11 kDa, 50.34 kDa and 60.29 kDa. Sharp protein bands were shown at molecular weight of 11.19 – 23.3 kDa and 50.34 kDa. Zhang et al. (2012) reported in RBPC constituent proteins have a molecular weight of 14 kDa - 97.4 kDa.
Figure 1.Electrophoretogram M: Protein ladder 10-260 kDa, A: URB protein Ciherang, B: SRB protein Ciherang, C: URB protein Pandanwangi, dan D: SRB protein Pandanwangi FTIR Spectra FTIR uses vibration characteristics of the molecule to generate a fingerprint spectra of clusters defined functions contained in the materials. The use of FTIR for rice bran protein fingerprint analysis is still very limited. Therefore, in this study FTIR was used to study the effect of extrusion in the process of stabilization of rice bran Pandanwangi and Ciherang varieties on protein functional groups. The IR spectra of RBPC Pandanwangi and Ciherang in wave number range of 400-4000 cm-1 is shown in Figure 2. The pattern spectrum obtained from all RBPCs have similarities and differ slightly on the value of quantitative absorption spectrum. High IR absorption in the region 1200 - 1700 cm-1 which are characteristic of amide I, amide II, and amide III (Chen et al., 2013; Adochitei and Drochioui, 2011; Harris and Severcan, 1999; Kong and Shaoning, 2007). Amide I absorption wave numbers shown in the 1600-1690 cm-1, amide II at wave numbers 1480 – 1575 cm-1, and amide III at wave number 1229-1301 cm-1.
54
Figure 2. IR Spectra : (A) URB protein Pandanwangi, (B) URB protein Ciherang, (C) SRB protein Pandanwangi, and (D) SRB protein Ciherang IR absorption at wave number 1219-1238 cm -1 and 1531-1543 cm-1 is a β sheet conformation, whereas from 1654 to 1658 cm-1 is the presence α heliks. No absorption at wave number 1615-1620 cm-1 indicates the absence of protein aggregates (Adochitei and Drochioiu, 2011). The shift fingerprints showed that bran stabilization process that is applied has resulted in changes in the secondary structure of the native protein. Nitrogen Solubility The solubility of URB protein concentrate and SRB protein concentrate of Ciherang and Pandanwangi varieties were presented in Figure 3. The solubility of RBPCs and SPC shows the same pattern at pH range of 2-9. At pH 4 which is the isoelectric point of protein, RBPCs shows minimum protein solubility and increases in extreme acidic conditions (pH<4) and alkaline (pH>6). The same patterns were reported by Wang et al. (1999), Yeom et al. (2010) and Zhang et al. (2012) in which the isoelectric point of protein total charge equal to zero so that the interaction between molecules gave a maximum and decreased solubility. At an extreme acidic and alkaline pH, proteins can positively and negatively charged repulsive refused so increases solubility (Zayas, 1997). According to Moure et al. (2006), ionic interactions between proteins that occur in water at above and below the isoelectric pH will increase the solubility.
Figure 3. Protein solubility of RBPC Pandanwangi and Ciherang, and SPC
55
Figure 3 shows that the solubility of SRB protein Ciherang higher than URB protein Ciherang. Charged amino acid residue in SRB protein Ciherang was greater than URB protein Ciherang. Statistical analysis by t-test showed significant differences between treatments in protein solubility of RBPC Ciherang (P<0.05). The solubility of proteins is very important because it affects the functional properties such as foaming and emulsion. Soluble protein will easily dispersed in the food system and improving the surface properties (Zayas 1997). Foaming Capacity and Stability Gas phase is dispersed in the liquid will result foam. Proteins have a character capable of lowering the surface tension and forms a film that traps gas forming foam (Damodaran, 2005; Foegeding et al., 2006). Foaming capacity and stability of RBPCs and SPC were presented in Figure 4. At pH 4, foaming capacities were increased and decreased at pH 6, and increased again at pH 8. According to Foegeding et al., (2006), protein had foaming capacity optimally at a pH close to the point isoelectric (pI) due to the adsorption of proteins to the surface very quickly due to the minimal force repel. However, foaming stability at pH 4 was very low. Foam formed was tenuous, unstable, and easily broken. Foaming stability profile of RBPCs and SPC were similar to the pattern of solubility and strongly influenced by the protein solubility. Foaming capacity and stability of RBPCs between varieties and treatments showed no significant difference (P> 0.05).
Figure 4. Foaming capacity (A), foaming stability (B), emulsion activity (C), and (D) emusion stability of RBPC and SPC
56
Emulsifying Activity and Emulsion Stability Activity and emulsion stability of RBPCs and SPC were presented in Figure 4. Emulsion activity had similar pattern to the protein solubility profile. RBPCs had high emulsion activity at pH 2 and pH 8. Similar pattern was reported by Yeom et al. (2010) and Zhang et al. (2012). RBPCs produced in this study have emulsion activity in the range of 0.5 to 0.7 at pH 7, were higher than that reported by Wang et al.(1999) at 0.35. Analysis by t-test showed that the activity and emulsion stability of RBPCs showed no significant difference (p>0.05). Water and Oil Absorption Capacity The ability of the protein to absorb water and oil in food formulations is very important because it determines the texture and mouthfeel. Water absorption capacity of URB protein concentrate from Pandanwangi and Ciherang varieties were 2.82 g/g and 2.9 g/g respectively, whereas that of SRB protein concentrate were 2.51 g/g and 2.76 g/g. There were significant differences (p>0.05) on water absorption capacity of RBPCs between varieties and treatments. According Aletor et al. (2002), protein with water absorption capacity of 1.49 – 4.72 g/g suitable to be applied in viscous foodstuffs like soups and sauces. Oil absorption capacity of URB protein concentrates from Ciherang and Pandanwangi were 3.39 g/g and 3.00 g/g respectively, whereas that of SRB protein concentrate were 3.17 g/g and 3.05 g/g respectively. There were no significant differences (p>0.05) on oil absorption capacity of RBPCs between varieties and treatments. Chandi and Sogi (2007) reported the oil absorption capacity of URB protein concentrates Basmati 370 was 3.74 g/g. Oil absorption capacity of SRB protein concentrate that Zhang et al (2012) reported was 4.24 g/g. The ability of the protein to absorb oils was essential in food formulations such as sausages, mayonnaise, and cake batter (Chandi and Sogi, 2007). Differential Scanning Calorimetry Differential Scanning Calorimetry can be used to study the stability of the protein upon heating process (Bruylant et al., 2005). Figure 5 shows that the denaturation temperature of SRB protein concentrates which were almost the same as the URB protein concentrate (77.22 to 77.99° C). SRB protein concentrates had greater ΔH (enthalpy) than from URB protein concentrate. According Bruylan et al. (2005), proteins that undergoes denaturation has an unfolded protein structure and has a heat absorption capacity that is greater than the structure of the folded protein. Marriod et al. (2010) reported that enthalpy changes can be used to estimate the likelihood of protein denaturation. Wang et al. (1999) reported the denaturation temperature and changes enthalpy protein isolate that isolated using phytase and xylanase enzyme at 83.4°C and 0.96 J/g. Meanwhile, the denaturation temperature of kenaf seed protein concentrate were 81.8°C and 82.6oC ( Marriod et al., 2010).
57
Figure 5. DSC thermogram of rice bran protein concentrate Analysis of Phytate Phytic acid (myo-inositol hexa phosphate) is chelating ions that can bind iron, zinc and calcium (Hurrel, 2004). According to Fuh and Chiang (2001), phytic acid can also associated with carbohydrates and proteins thereby reducing the bioavailability of nutrients. In this study, rice bran stabilization by extrusion reduce phytate levels of rice bran Ciherang from 4.05% to 3.26%, while for rice bran varieties Pandanwangi from 3.31% to 2.72%. Levels of phytate in URB protein concentrate Pandanwangi and Ciherang were 0.43% and 0.47%, while from SRB protein concentrate Pandanwangi and Ciherang were 0.52%, and 0.35%. Honig et al. (1984) reported levels of phytic acid in soy protein isolate were 0.951.75%. Conclusion The protein content and yield of RBPC from unstabilized and stabilized rice bran Pandanwangi are 60.76%, 23.45%, 60.19% and 16.80% respectively. Meanwhile, the protein content and yield of RBPC from unstabilized and stabilized Ciherang are 61.38%, 21.63%, 60.33% and 16.61% respectively. The shift in the FTIR spectra fingerprints showed the influence of the process of stabilization of rice bran protein structure. DSC shows that all RBPCs had similar denaturation temperatures with enthalpy in range for 109.72-200.98 J/g. Foaming and emulsion stability character has similarities to the pattern of solubility and did not show significant differences between varieties and treatments. RBPCs had better water and oil absorption capacity as compared to SPC. This finding shows potential protein concentrate of both stabilized and unstabilized rice bran as food ingredient particulary as foaming agent. REFERENCES Adochitei, A. and G. Drochioiu. 2011. Rapid characterization of peptide secondary structure by FT-IR spectroscopy. Revue Roumaine de Chimie 56 (8): 783-791 Ahmed, H. 2005. Principles and Reaction of Protein Extraction, Purification and Characterization. CRC Press LLC.
58
Aletor, O., A.A Oshodi, and K. Ipinmoroti. 2002. Chemical composition of common leafy vegetables and functional properties of their leaf protein concentrates. Food Chem. 78: 63-68 [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Washington DC: AOAC Bhandari, M.R., and J. Kawabata. 2006. Cooking effect on oxalate, phytate, trypsin and amylase inhibitors of wild yam tubers of Nepal. J. Food Comp. Anal. 19 (6-7):524-530. Bruylants, G., J. Wouters, and C. Michaux. 2005. Differential scanning calorimetry in life sciences: Thermodynamics, stability, molecular recognation and application in drug design. Current Medicinal Chemistry 12: 2011-2020. Chandi, G.K. and D.S. Sogi. 2007. Functional properties of rice bran protein concentrates. Journal of Food Eng. 79: 592-597 Chen, X., Yi Ru, F. Chen, X. Wang, X. Zhao, and Q. Ao. 2013. FTIR spectroscopic characterization of soy protein obtained through AOT reverse micelles. Food Hydrocolloids 31: 435-437. Damodaran, S. 1996. Amino acids, peptides, and proteins. In: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. p 321–429. Damodaran, S. 2005. Protein stabilization of emulsion and foams. JFS 70 (3): 113 da Silva, M.A., C. Sanches and E.R. Amante. 2006. Prevention of hydrolytic rancidity in rice bran. J.Food Eng.. 75: 487–491 Foegeding, A., P.J. Luck and J.P. Davis. 2006. Factor determining the physical properties of protein foam. Food Hydrocolloids 20: 284-292 Fuh, W. and B. Chiang. 2001. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. J. Sci. Food Agr. 81:1419-1425 Gnanasambandam, R. and N.S. Hettiarachchy. 1995. Protein concentrates from unstabilized and stabilized rice bran: preparation and properties. JFS 60 (5): 1066-1069, 1074 Haris, P.I and F. Severcan. 1999. FTIR spectroscopic characterization of protein structure in aqueous and non-aqueous media. J. Mol. Catalysis B: Enzymatic 7: 207-221 Honig, D.H., W. J. Wolf, and J. J. Rackis. 1984. Phytic Acid and Phosphorus Content of Various Soybean Protein Fractions. Cereal Chem. 61 (6):523526 Hurrel, R.F. 2004. Phytic acid degradation as a means of improving iron absorption. Int. J. Vit.Nutr. Research 74: 445–452. Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. 2002. Protein and Amino Acid Requirements in Human Nutrition. WHO technical report series no. 935, Geneva, Switzerland. Jiamyangyuen, S., V. Srijesdaruk, and W.J. Harper. 2005. Extraction of rice bran protein concentrate and its application in bread. Songklanakarin J. Sci. Tech. 27: 55-64. Kong, J. and Yu Shaoning. 2007. Fourier transform infrared spectroscopic analysis of protein secondary structures. Acta biochimica et biophysica sinica 39(8): 549-559
59
Kusumawaty, I., Fardiaz, N. Andarwulan, S. Widowati, and S. Budijanto. 2013. Rice bran stabilization with double screw extruder using response surface methodology. Jurnal Penelitian Pascapanen 10 (1) : 27-37 Loypimai, P., A. Moonggarm, and P. Chottanom. 2009. Effects of ohmic heating on lipase activity, bioactive compounds and antioxidant activity of rice bran. Aus. J.Basic and App. Sci. 3(4): 3642-3652 Lowry, O.H., N.J. Rosenbrough, A.L. Farr and R.J. Randal. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J.Biol. Chem. 193: 265-273 Malekian, F., R.M. Rao, W. Prinyawiwatkul, W.E. Marshal, M. Windhauser, and M. Ahmedna. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870,Louisiana State University Agricultural Center. Mariod, A.A., S.F. Fathy, and M. Ismail. 2010. Preparation and characterization of protein concentrates from defatted kenaf seed. Food Chem. 123: 747-752. Moure A, Sinero J, Domininguez H, Parajo JC. 2006. Functionality of oilseed protein products: A Review. Food Research Int. 39: 945-963 Pourali, O., F.S Asghari, and H. Yoshida. 2009. Simultaneous rice bran oil stabilization and extraction using sub critical water medium. J. Food Eng. 95: 510-516 Prakash, J., and G. Ramanatham. 1994. Effect of stabilization on the extractability and recovery of proteins. Nahrung 38: 87-95 Thanonkaew, A., S. Wongyai, D.J. McClements, and E. Decker. 2012. Effect of stabilization of rice bran by domestic heating on mechanical extraction yield, quality, and antioxidant properties of cold-pressed rice bran oil (Oryza saltiva L.). LWT Food Sci. Tech. 48: 231-236 Wang, M., N.S. Hettiarachchy, M. Qi, W. Burkm, and T. Siebenmorgen. 1999. Preparation and functional properties of rice bran protein. J. Agr. Food Chem. 47: 411-416. Xia, N., J. Wang, X. Yang, S. Yin, J. Qi, L. Hu, and X. Zhou. 2012. Preparation and characterization of protein from heat stabilized rice bran using hydrothermal cooking combined with amylase pretreatment. J. Food Eng. 110: 95-110. Yeom, H.J., E.H. Lee, M.S. Ha, S.D. Ha, and D.H. Bae. 2010. Production and physicochemical properties of rice bran protein isolates prepared with autoclaving and enzymatic hydrolysis. J. Korean Social App. Biol. Chem. 53 (1): 62-70. Zayas, F.Z., 1997. Functionality of Protein in Food. Springer-Verlag. Zhang, H.J., H. Zhang, L. Wang, and X.N. Guo. 2012. Preparation and functional properties of rice bran proteins from heat-stabilized defatted rice bran. Food Research Int. 47: 359-363.
60
6
PENGARUH STABILISASI BEKATUL PADI DENGAN EKSTRUDER ULIR GANDA TANPA DIE TERHADAP FRAKSI PROTEIN BEKATUL Abstract
The aims of this research was to extract protein from unstabilized and heatstabilized rice bran protein concentrates, based on their solubility and analysis of the protein profile by Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE). This research was conducted in five stages, stabilized rice bran, defatted rice bran, rice bran protein isolation, protein fractionation, and molecular weight estimation using SDS PAGE. Kjeldahl analysis showed that protein content of unstabilized rice bran protein concentrates (URBPC) and stabilized rice bran protein concentrates (SRBPC) of Pandanwangi and Ciherang were 60.76%, 61.38%, 60.19%, and 60.23% respectively. Protein from RBPC were fractionated into albumin, globulin, and glutelin. SDS PAGE of SRBPC fractions showed altered quantitatively and qualitatively due to stabilization rice bran. Key words: No die double screw extruder, rice bran protein concentrate, protein fractionation, SDS PAGE Pendahuluan Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang kaya nutrisi. Beberapa penelitian telah melaporkan potensi bekatul sebagai pangan fungsional (Kahlon et al. 1992; Ryan 2011) dan sumber protein (Zhang et al. 2012; Wang et al. 1999; Jiamyangyuen et al. 2005). Keterbatasan pemanfaatan bekatul disebabkan oleh sifatnya yang mudah tengik disebabkan oleh aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase. Stabilisasi bekatul menggunakan pemanasan dilaporkan efektif menginaktivasi enzim endogenous penyebab ketengikan (Malekian et al. 2000; Ubaidillah 2010; Fuh & Chiang 2001; Kurniawati et al. 2014). Penggunaan ekstruder dalam pengolahan pangan telah dilakukan dalam pembuatan sereal sarapan (Budijanto et al. 2012), snack, dan pasta (Fellows 2009). Ekstruder ulir ganda juga dapat dipergunakan untuk stabilisasi bekatul (Randall et al. 1985; Ubaidillah 2010). Kusumawaty et al. (2013) telah mendapatkan kondisi optimum proses stabilisasi bekatul menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die yang menghasilkan bekatul dengan stabilitas oksidatif lebih tinggi daripada bekatul yang tidak distabilisasi. Bekatul yang distabilisasi memiliki sifat fungsional pembentukan emulsi dan buih yang sama dengan yang tidak distabilisasi, namun karakter fisikokimia seperti komposisi asam amino, stabilitas terhadap panas, dan spektra IR terdapat sedikit perbedaan. Demikian pula dengan sifat kelarutannya, terdapat perbedaan antara konsentrat protein dari bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi yang distabilisasi dengan yang tidak distabilisasi meskipun memiliki kesamaan pola kelarutan dalam kisaran pH 2-9. Untuk mempelajari lebih mendalam perlu dikaji fraksi protein dari konsentrat protein bekatul.
61
Kajian fraksinasi protein dari konsentrat protein yang diisolasi dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die masih sangat terbatas. Pemanasan selama proses ekstrusi pada kacang dilaporkan dapat mengakibatkan terbentuk dan terputusnya ikatan kovalen dan ikatan non kovalen (Shah 2003) yang akan berpengaruh pada kelarutan protein. Fraksinasi protein bekatul dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air untuk mendapatkan fraksi albumin, 2% NaCl untuk mendapatkan fraksi globulin, 70% etanol untuk memperoleh fraksi prolamin, 0.1 M asam asetat dan 0.1 M NaOH untuk memperoleh fraksi glutelin. Persentase total protein (Kjeldahl) yang tertinggi pada fraksi protein bekatul adalah pada fraksi albumin, diikuti fraksi globulin, glutelin, dan prolamin (Hamada 1997). Hasil berbeda dilaporkan oleh Chanput et al. (2009) bahwa persentase total protein yang tertinggi pada fraksi protein bekatul adalah pada fraksi glutelin, diikuti fraksi albumin, globulin, dan proamin. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas bekatul. Menurut Santos et al. (2013), perbedaan varietas padi mempengaruhi fraksi albumin dan glutelin. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap protein terlarut dan distribusi berat molekul pada fraksi protein yang difraksinasi dari konsentrat protein bekatul. Bahan dan Metode Bahan penelitian Bekatul yang digunakan berasal dari gabah varietas Ciherang dan Pandawangi yang diperoleh dari Unit Penggilingan Gabah di Sumedang, Jawa Barat. Pereaksi kimia yang digunakan adalah analytical grade, protein marker 14.4-97 kDa (Biorad), dan bahan penunjang lainnya untuk analisa. Alat penelitian Peralatan yang digunakan antara lain penggiling beras (Yanmar), penyosoh beras (Satake), ekstruder ulir ganda tanpa die (Berto), ayakan 100 mesh (Kotobuki), pengaduk magnetik (Stereomag), vortex, sentrifus (Hermle Z 383 K), spektrofotometer (UV 2450 Shimadzu), Biorad Model 385 Gradient Former, Rotor (Hoefer Scientific Instrument, San Francisco), dan alat gelas lainnya. Pelaksanaan penelitian Penelitian dilaksanakan di F-Technopark, Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Center), dan Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata di Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2014 sampai dengan Juli 2014. Metode Penelitian Metode penelitian meliputi stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda, penghilangan lemak bekatul, isolasi protein bekatul, dan fraksinasi protein bekatul dengan metode Osborne. Proses Stabilisasi Bekatul Stabilisasi bekatul menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die. Suhu ekstrusi dikondisikan isotermal 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm). Bekatul hasil ekstrusi diayak 100 mesh, dikemas dalam plastik klip polietilen, dan
62
disimpan pada suhu -20oC sampai dianalisis. Sebagai kontrol perlakuan adalah bekatul yang tidak distabilisasi. Penghilangan Lemak Bekatul Bekatul didispersikan dalam heksan (1:5 (b/v) diaduk dengan pengaduk magnetik selama 60 menit. Bekatul disaring menggunakan pompa vakum dengan kertas saring. Lakukan sebanyak dua kali (Silpradit et al. 2010). Bekatul dikeringanginkan semalaman untuk menguapkan sisa heksan lalu dikemas dalam plastik klip polietilen, dan disimpan pada suhu -20oC sampai digunakan. Bekatul bebas lemak digunakan sebagai bahan baku isolat protein. Isolasi Protein Bekatul Isolasi protein bekatul menggunakan metode Zhang et al. (2012) yang dimodifikasi. Bekatul bebas lemak didispersikan dalam air distilat (1:10 w/v), dikondisikan pada pH 8 dan suhu 50-55oC, diaduk selama 2 jam dengan pengaduk magnetik. Selanjutnya disentrifugasi 9.096 g (6000 rpm) selama 15 menit. Supernatan dipresipitasi pada pH 4. Presipitat dibilas 2 kali dengan alkohol 30%, disuspensikan dalam aquadest dan diatur pada pH 6, lalu dibekukan. Presipitat beku dikeringbekukan dan disimpan pada suhu 4-5oC hingga dianalisis. Kadar total protein dianalisis dengan metode Kjeldahl (faktor konversi 5.95) (AOAC 2005). Kadar protein terlarut dianalisis dengan metode Lowry (1951). Fraksinasi Protein Bekatul Fraksinasi protein bekatul dilakukan menurut metode Hamada et al. (1997) dengan sedikit modifikasi. Pelarut yang digunakan adalah air deionisasi, 5% NaCl 70% etanol, 0.2 M asam asetat, and 0.1 M NaOH. Sebanyak 10 mg konsentrat protein bekatul dalam 1 ml air deionisasi, diekstrak dengan alat vortex selama 5 menit pada suhu kamar, disentrifugasi 20.021 g (11.000 rpm) pada suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh merupakan fraksi albumin. Presipitat didispersikan dalam pelarut berikutnya untuk mendapatkan fraksi protein lainnya. Perlakuan dengan masing-masing pelarut diulangi 2 kali, dan dilakukan pencucian dengan air deionisasi untuk menghilangkan sisa pelarut sebelumya. Fraksi protein disimpan pada suhu minus 20oC hingga dianalisis. Kadar protein terlarut dalam masing-masing fraksi diukur menggunakan metode Lowry (1951), sedangkan profil molekul fraksi protein dianalisis dengan SDS PAGE. Metode Analisis Metode analisis meliputi kadar protein total (AOAC 2005), kadar protein terlarut (Lowry 1951), dan berat molekul dengan SDS PAGE tipe gradien gel (Ahmed 2005). Analisis Berat Molekul dengan SDS PAGE Analisis dengan SDS PAGE menggunakan 7.5-17.5% stacking gel dan gradient separating gel. Sebanyak 10-20 μL supernatan dari masing-masing fraksi dimasukkan ke dalam ependof, ditambahkan bufer Laemmli (1:1 v/v) lalu dipanaskan 2 menit dalam air mendidih 100°C. Sampel didinginkan pada suhu ruang lalu dipipetkan 10-20 μL ke dalam kolom gel. Protein penanda sebanyak 10 μL dipipetkan ke dalam kolom gel. Protein penanda yang digunakan merupakan
63
Board Range Catalog 161-0318 Biorad Prestained Molecular Standar yang mengandung 8 jenis protein standar yaitu myosin (230 kDa), β-galaktosidase (118 kDa), bovine serum albumin (86 kDa), ovalbumin (51.6 kDa), karbonik anhidrase (34.1 kDa), soybean trypsin inhibitor (29 kDa), lisozim (19.2 kDa), dan aproitin (7.5 kDa). Running dilakukan pada 100 V selama 180 menit sampai migrasi pewarna tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah berisi pewarna coomasie brilliant blue G-250, goyangkan selama 60 menit. Gel dibilas menggunakan air distilat beberapa kali. Larutan penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan selama 12 jam hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis (Ahmed 2005). Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi yang diperoleh dari kurva hubungan antara mobilitas relatif protein penanda (Rf) dan logaritma berat molekul protein penanda. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein, diukur dari garis awal separating gel sampai ujung pita protein, dan jarak migrasi pewarna. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai berikut: Rf =
Jarak migrasi protein Jarak migrasi pewarna
Analisa Statistik Pengujian dilakukan 2 kali ulangan dan nilainya di rata-rata. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan uji t-test pada perangkat SPSS 16.0 dengan signifikasi p<0.05 antar nilai rata-rata.
Hasil dan Pembahasan Konsentrat protein bekatul yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kadar protein yaitu 60.76% dan 61.38% untuk bekatul varietas Pandanwangi, dan Ciherang yang tidak distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Kadar protein pada konsentrat protein dari bekatul Pandanwangi dan Ciherang yang distabilisasi adalah 60.19% dan 60.23%. Isolasi protein dari bekatul yang distabilisasi menghasilkan rendemen protein yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zhang et al. (2012) dan Gnanasambandam & Hettiarachchy (1995) bahwa pemanasan menurunkan kelarutan protein karena mengalami denaturasi. Fraksi Protein dalam Konsentrat Protein Bekatul Fraksinasi protein dari konsentrat protein bekatul diperoleh 4 fraksi, yaitu fraksi albumin yang larut air, fraksi globulin yang larut garam NaCl, fraksi prolamin, fraksi glutelin yang larut dalam asam asetat dan NaOH. Kadar protein terlarut pada supernatan masing-masing fraksi dianalisis dengan metode Lowry. Persentase protein yang larut dan residu protein yang tidak larut diperhitungkan dari masing-masing kadar protein pada konsentrat protein (Tabel 1).
64
Tabel 1. Persentase protein pada fraksi protein bekatul Bahan
Albumin (%)
Globulin (%)
Prolamin (%)
URB Protein Pandanwangi 14.3+0.01a 4.7+0.01a 2.5+0.0002a SRB Protein Pandanwangi 15.6+0.001a 6.6+0.01b 2.3+0.002a URB Protein Ciherang 12.4+0.08b 5.6+0.09a 2.8+0.08a SRB Protein Ciherang 14.8+0.03b 9.80+0.08d 2.7+0.02a a,b,c,d Angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf signifikan (p<0.05)
GlutelinAsam (%)
Glutelin – basa (%)
Residu protein tidak larut (%)
51.6+0.01a
7.1+0.005a
19.8+0.02a
53.1+0.032a
8.8+0.01a
13.7+0.01a
40.0+0.05b
3.4+0.02b
35.7+0.02b
40.0+0.01b 8.6+0.02c 24.1+0.01c yang berbeda menunjukkan perbedaan
Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase protein terlarut pada fraksi albumin, globulin, dan glutelin konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm) selama 36-37 detik lebih tinggi daripada yang tidak distabilisasi. Menurut Shah (2003), ekstrusi dapat mengakibatkan pemutusan dan pengikatan kembali ikatan kovalen dan non kovalen, serta pembentukan agregat protein yang muatan negatif atau positif. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan optimasi terhadap suhu dan kecepatan ulir dalam proses stabilisasi bekatul Tingginya kadar protein terlarut pada fraksi glutelin dapat disebabkan oleh penggunaan pelarut asam asetat 0.2 M (pH 3) dan NaOH 0.1 M (pH 12.5) pada proses fraksinasi. Menurut Wang et al. (1999), kelarutan protein meningkat pada kondisi asam dan basa ekstrim, menjauh dari pH isoelektriknya Persentase protein terlarut pada fraksi glutelin dari konsentrat protein Pandanwangi lebih tinggi daripada Ciherang dan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persentase protein terlarut pada albumin dan glutelin menunjukkan perbedaan yang signifikan antar varietas. Chanput et al.(2009) melaporkan bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah fraksi glutelin (22.7%), albumin (21.6%), globulin (17.4), dan prolamin (8.1%). Hasil berbeda dilaporkan oleh Hamada (1997) bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah fraksi albumin (32-39.5%), globulin (12.817.45), glutelin larut asam asetat (6-14.7%), dan prolamin (5.3-7.8%). Sekitar 24.2-42.2% merupakan residu protein yang larut dalam NaOH. Cao et al. (2009) melaporkan bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada fraksi albumin (42.71%+2.47) dan fraksi glutelin (larut dalam NaOH) (40.25%+2.55) dari protein bekatul perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kadar total protein pada fraksi albumin dan glutelin dari protein bekatul sangat variatif. Hasil ini didukung oleh Santos et al. (2013) yang menyatakan bahwa perbedaan varietas padi mempengaruhi persentase kadar protein pada fraksi albumin dan glutelin. Secara kualitatif profil fraksi protein dari masing-masing konsentrat protein bekatul dapat dilihat pada analisa berat molekul dengan SDS PAGE. Pada penelitian ini, isolasi protein bekatul menggunakan pelarut air sehingga pada supernatan fraksi prolamin yang larut dalam alkohol tidak dilakukan analisis lebih lanjut.
65
Profil Berat Molekul Fraksi Protein Hasil analisis dengan SDS PAGE menunjukkan adanya pengaruh stabilisasi bekatul terhadap distribusi berat molekul fraksi albumin (Gambar 1), globulin (Gambar 2), dan glutelin (larut dalam asam asetat) (Gambar 3) pada konsentrat protein bekatul. Santos et al. (2013) melaporkan bahwa protein beras mengandung albumin dengan berat molekul pada kisaran 15-96 kDa dengan polipeptida utama pada 18-20 kDa (Cao et al. 2009) dan globulin dengan berat molekul pada kisaran 23-118 kDa. Glutelin dibedakan menjadi α-glutelin (30-39 kDa) dan β-glutelin (19-25 kDa). Menurut Santos et al. (2013), β-glutelin memiliki resolusi pemisahan pita yang kurang baik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan SDS PAGE. Dalam penelitian ini, analisis berat molekul pada masing-masing fraksi dilakukan menggunakan tipe gradien gel dengan konsentrasi 7.5-12.5% pada stacking gel dan separating gel. Metode ini digunakan untuk mendapatkan resolusi pemisahan glutelin yang jelas dan menghindari terjadinya migrasi protein pada homogen gel. Analisis SDS PAGE pada fraksi protein dari konsentrat protein bekatul Pandanwangi yang tidak distabilisasi menunjukkan bahwa fraksi albumin mengandung protein dengan berat molekul 17 kDa dan 30.90 kDa. Fraksi globulin tidak menunjukkan pita. Fraksi glutelin menunjukkan protein dengan berat molekul 11.44 kDa, 13.92 kDa, 15.86 kDa, 21.99 kDa, 30.48 kDa, 37.08 kDa, 48,14 kDa, dan 66.74 kDa (8 pita). Analisis pada fraksi protein dari konsentrat protein bekatul Pandanwangi yang distabilisasi menunjukkan bahwa fraksi albumin mengandung protein dengan berat molekul 17 kDa, 30.90 kDa dan 32.96 kDa. Fraksi globulin mengandung protein dengan berat molekul 48.53 kDa dan 76.21 kDa. Fraksi glutelin (asam) mengandung protein dengan berat molekul 13.04 kDa, 13.92 kDa, 14.86 kDa, 15.86 kDa, 21.99 kDa, 25.05 kDa, 30.48 kDa, 32.53 kDa, 37.08 kDa, 48.14 kDa, dan 66.74 kDa (11 pita). Analisis SDS PAGE fraksi protein dari konsentrat protein bekatul Ciherang yang tidak distabilisasi menunjukkan bahwa fraksi albumin mengandung protein dengan berat molekul 17 kDa dan 30.90 kDa. Fraksi globulin tidak menunjukkan adanya pita. Fraksi glutelin mengandung protein dengan berat molekul 11.44 kDa, 13.92 kDa, 15.86 kDa, 21.99 kDa, 30.48 kDa, 32.53 kDa, 45.10 kDa, 48.14 kDa, dan 66.74 kDa (9 pita). Analisis pada fraksi protein dari konsentrat protein bekatul Ciherang yang distabilisasi menunjukkan bahwa fraksi albumin mengandung protein dengan berat molekul 17 kDa dan 32.96 kDa. Fraksi globulin mengandung protein dengan berat molekul 48.53 kDa dan 76.21 kDa. Fraksi glutelin mengandung protein dengan berat molekul 11.44 kDa, 13.92 kDa, 15.86 kDa, 21.99 kDa, 30.48 kDa, 32.53 kDa, 45.10 kDa, 48.14 kDa, dan 66.74 kDa (9 pita).
66
32.96 kDa 30.90 kDa
(M)
(A)
(B)
(C)
(D)
17 kDa
Gambar 1. Elektroforetogram (A) URB fraksi albumin Pandanwangi, (B) URB fraksi albumin Ciherang, (C) SRB fraksi albumin Pandanwangi, (D) SRB fraksi albumin Ciherang
76.21 kDa 48.53 kDa
Gambar 2. Elektroforetogram (A) URB fraksi globulin Pandanwangi, (B) URB fraksi globulin Ciherang, (C) SRB fraksi globulin Pandanwangi (D) SRB fraksi globulin Ciherang
α-glutelin
β-glutelin
Gambar 3. Elektroforetogram fraksi protein Ciherang dan Pandanwangi. M: Protein marker, (A) URB fraksi glutelin Pandanwangi, (B) URB fraksi glutelin Ciherang, (C) SRB fraksi glutelin Pandanwangi, (D) SRB fraksi glutelin Ciherang
67
Hasil analisis SDS PAGE menunjukkan perbedaan pola pita pada masingmasing fraksi protein. Pengaruh stabilisasi tampak pada fraksi albumin dan globulin karena terdapat penambahan pita yang memiliki berat molekul lebih besar. Penambahan pita juga pada terlihat fraksi glutelin Pandanwangi yang distabilisasi pada kisaran berat molekul 21-30 kDa. Menurut Ummadi et al. (1997) dan Shah (2003) ekstrusi dapat mengakibatkan ikatan disulfida putus sehingga terjadi depolimerisasi menghasilkan protein dengan berat molekul lebih rendah. Penambahan pita pada fraksi glutelin menunjukkan terbentuknya protein dengan berat molekul rendah (< 65 kDa) yang dapat disebabkan oleh depolimerisasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan suhu ekstrusi dan lama waktu kontak bahan yang diberikan pada proses stabilisasi berpengaruh terhadap pembentukan dan pemutusan ikatan disulfida. Penggunaan suhu tinggi dapat meningkatkan pembentukan ikatan disulfida sehingga menurunkan kelarutan protein dan menghasilkan lebih banyak protein yang tidak larut (Ummadi et al. 1997). Namun, terkait dengan kemungkinan terjadinya polimerisasi dan depolimerisasi protein masih memerlukan kajian lebih lanjut. Fraksinasi dengan asam asetat menghasilkan glutelin tipe α dan β. Fraksinasi protein lanjutan dalam pelarut NaOH tidak menghasilkan pita karena rendahnya kadar protein terlarut yang diperoleh (hasil tidak ditampilkan). Hal ini dapat disebabkan protein telah banyak larut dalam pelarut asam asetat. Rendahnya intensitas pita protein pada fraksi albumin dan globulin dapat disebabkan oleh rendahnya kadar protein terlarut dibandingkan dalam fraksi glutelin, serta perbedaan konsentrasi protein yang dipipetkan dalam kolom gel SDS PAGE. Pembahasan tentang α-glutelin dan β-glutelin pada protein bekatul sangat terbatas dibandingkan protein beras. Perbedaan kadar protein terlarut dan distribusi berat molekul protein pada fraksi glutelin antar varietas sejalan dengan yang dilaporkan oleh Khan et al. (2010) bahwa varietas padi berpengaruh terhadap intensitas dan distribusi berat molekul glutelin. Simpulan Fraksinasi protein dari konsentrat protein bekatul yang bekatulnya telah distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz menghasilkan tiga fraksi protein, yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Analisa kadar protein terlarut dan profil berat molekul dari masingmasing fraksi protein menunjukkan bahwa suhu dan kecepatan ulir pada proses stabilisasi bekatul berpengaruh pada fraksi albumin, globulin, dan glutelin dalam konsentrat protein bekatul yang ditunjukkan oleh peningkatan protein terlarut pada masing-masing fraksi.
Daftar Pustaka Ahmed H. 2005. Principles and Reaction of Protein Extraction, Purification and Characterization. CRC Press LLC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the AOAC. Washington DC: AOAC
68
Budijanto S, Sitanggang AB, Wiaranti H, Kusbiantoro B. 2012. Pengembangan teknologi sereal sarapan bekatul dengan menggunakan twin screw extruder. J. Pascapanen 9 (2): 63-69 Chanput W, Theeraulkait C, Nakai S. 2009. Antioxidative properties of partially purified barley hordein, rice bran protein fractions and their hydrolysates. J. Cereal Sci. 49: 422-429 Cao X, Wen H, Li C, Gu Z. 2009. Differences in functional and biochemical characteristic of congenetic rice protein. J. Cereal Sci. 50: 184-189 Fellows PJ. 2009. Food Processing Technology, Principles and Practice. Third Edition. CRC Press, Woodhead Publ. Ltd. Fuh W, Chiang B. 2001. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. J. Sci. Food Agric. 81:1419-1425 Gnanasambandam R, Hettiarachchy NS. 1995. Protein concentrates from unstabilized and stabilized rice bran: preparation and properties. JFS 60 (5): 1066-1069, 1074 Hamada JS. 1997. Characterization of protein fractions of rice bran to devise effective methods of protein solubilization. Cereal Chem. 74 (5):662–668 Jiamyangyuen S, Srijesdaruk V, Harper WJ. 2005. Extraction of rice bran protein concentrate and its application in bread. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27: 55-64 Kahlon TS, Chow FI, Sayre RN, Betschart AA. 1992. Cholesterol-lowering in hamsters fed rice bran at various levels, defatted rice bran and rice bran oil. J. Nutr. 122: 513-519 Khan N, Ali N, Rabbani MA, Masood MS. 2010. Diversity of glutelin alpha subunits in rice varieties from Pakistan. Pak. J. Bot. 42 (3): 2051-2057 Kurniawati M, Yuliana ND, Budijanto S. 2014. The effect of single screw conveyor stabilization on free fatty acids, α-tokoferol, and γ-oryzanol content of rice bran. IFRJ 21 (3): 1237-1241 Kusumawaty I, Fardiaz D, Andarwulan N, Widowati S. Budijanto S. 2013. Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda menggunakan Response Surface Methodology. J. Penelitian Pascapanen 10 (1) : 27-37 Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randal RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193: 265-273 Malekian F et al. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, Louisiana State University Agricultural Center. Randall JM et al. 1985. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. J. Food Sci. 50 (2): 361-364, 368. Ryan EP. 2011. Bioactive food component and health properties of rice bran. JAVMA 234 (5): 593-600 Santos KFDN, Silveira RDD, Martin-Didonet CCG, Brondani C. 2013. Storage protein profile and amino acid content in wild rice Oryza glumaepatula. Pedq. Agropec. Bras (48) 1: 66-72 Shah AA. 2003. The effect of extrusion condition on aggregation of peanut protein. Thesis. University of Georgia, Athens, Georgia. Silpradit K, Tadakittasarn S, Rimkeeree H, Supanida S, Haruthaithanasan V. 2010. Optimization of rice bran protein hydrolysate production using alcalase. Research Article As. J. Food Agro-Ind. 3(02): 221-231
69
Ubaidillah 2010. Stabilisasi Bekatul dengan Ekstrusi Tanpa Die [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Ummadi P, Chenoweth WL, Ng PKW. 1997. Changes in solubility and distribution of semolina protein due to extrusion processing. Cereal Chem. 72 (6) : 564-567 Wang M, Hettiarachchy N, Qi M, Burk W, Siebenmorgen T. 1999. Preparation and functional properties of rice bran protein. J. Agric.Food Chem. 47: 411416. Zhang HJ, Zhang H, Wang L, Guo XN. 2012. Preparation and functional properties of rice bran proteins from heat-stabilized defatted rice bran. Food Research Int. 47: 359-363.
70
7 PEMBAHASAN UMUM Karakteristik dan Komposisi Kimia Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang kaya nutrisi. Penggilingan gabah menghasilkan beras giling (60-65%), sekam (15-20%), bekatul (8-12%), dan menir (+5%) (Widowati 2001). Menurut Hargrove (1994), bekatul adalah lapisan terluar berwarna kecoklatan dari beras pecah kulit yang dipisahkan saat proses penyosohan untuk menghasilkan beras putih. Fraksi penyusun biji padi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman padi, biji padi, dan fraksi penyusun biji padi Menurut Juliano (1985), kandungan protein, lemak, serat, mineral dan vitamin terdapat pada lapisan bekatul. Kandungan nutrisi didalamnya menjadikan bekatul sebagai sumber pangan dan gizi alternatif yang potensial. Kandungan protein pada bekatul (11.3-14.9%) lebih tinggi daripada beras (6.3-7.1%) sehingga berpotensi dimanfaatkan sebagai ingredien pangan. Penelitian ini menggunakan bekatul dari padi varietas Ciherang dan Pandanwangi dengan komposisi kimia disajikan pada Tabel 1. Kedua varietas padi tersebut digunakan karena luas pertanaman padi di pulau Jawa didominasi oleh padi sawah seperti Ciherang serta kesukaan petani untuk menanam padi varietas Pandanwangi.
Komposisi
Kadar Air (%bb) Kadar Abu (%bk) Protein (%bk) Lemak (%bk) Karbohidrat (%bk)
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul Bekatul Bekatul *Bekatul Ciherang Pandanwangi 10,33 7,02 9,20 12,78 60,66
11,50 7,47 10,97 18,04 52,02
nd 8.4 16.05 14.72 39.72
*Sharma et al. (2004), ** Luh et al. (1991), nd: tidak ada data
**Bekatul
14 6.6-9.9 12-15.6 15-19.7 34.1-52.3
71
Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi kimia bekatul sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh varietas, penanaman, dan proses penyosohan. Untuk meminimalisir perbedaan tersebut, bekatul yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari satu wilayah penanaman di Sumedang, sedangkan proses penggilingan serta penyosohan dilakukan di F-Technopark IPB. Bekatul Pandanwangi memiliki kadar air dan lemak yang lebih tinggi daripada Ciherang sehingga dapat berpengaruh terhadap laju kerusakan oksidatif. Menurut Ubaidillah (2010), perbedaan varietas bekatul berpengaruh terhadap laju pembentukan asam lemak bebas. Bekatul padi memiliki proporsi asam lemak tak jenuh lebih dari 70%, terdiri atas palmitat (21-25%), oleat (32-41%), dan linoleat (29-37%) (Ubaidillah 2010). Menurut Malekian et al. (2000), kandungan asam lemak tidak jenuh mengakibatkan bekatul padi mudah mengalami ketengikan hidrolitik dan oksidatif sehingga tidak layak digunakan sebagai bahan pangan. Ketengikan hidrolitik diakibatkan oleh aktivitas lipase mengkatalisis hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas. Ketengikan oksidatif dipicu oleh adanya radikal bebas dan aktivitas lipoksigenase sehingga menghasilkan senyawa aldehid, alkohol, keton, dan hidrokarbon yang menimbulkan aroma tengik. Untuk itu, stabilisasi bekatul padi harus segera dilakukan pasca penggilingan gabah.
Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die Stabilisasi bekatul dimaksudkan untuk menginaktivasi lipase dan lipoksigenase yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya ketengikan. Perlakuan pemanasan terhadap bekatul padi dengan microwave (Tao et al. 1997; Malekian et al. 2000), ekstruder ulir tunggal (Randall et al. 1985; Malekian et al. 2000; Sharma et al. 2004; Kurniawati et al. 2014), maupun ekstruder ulir ganda (Fuh et al. 2001; Ubaidillah 2010) dilaporkan efektif untuk stabilisasi bekatul. Namun, bekatul yang distabilisasi tersebut ditujukan untuk pemanfaatan minyaknya, sedangkan pengaruhnya terhadap protein masih sangat terbatas. Penggunaan ekstruder dalam industri pangan disukai karena tidak menghasilkan limbah, kapasitas besar 14-22 ton/jam, proses otomatis, dan cakupan bahan baku luas. Ekstrusi merupakan proses kontinyu yang melibatkan proses pencampuran, pemasakan, pemotongan, gesekan, dan pembentukan bahan (Fellows 2009). Bagian-bagian utama ekstruder terdiri atas mesin, saluran masuknya bahan (feeder), mantel pendingin (cooling jacket) dan mantel pemanas (heating jacket) untuk mempertahankan suhu, termokopel untuk mengukur suhu barel, ulir, selubung mesin ekstruder (barrel), dan pemotong (Gambar 2) (Moscicki 2011). Penggunaan ulir ganda memiliki kelebihan daripada ulir tunggal karena gerakan ulirnya dapat mencegah bahan tersumbat, self cleaning, dan lebih fleksibel karena dapat memproses berbagai jenis bahan baku (Fellows 2009). Bahan akan memperoleh panas dari kedua ulir yang bergesekan sehingga proses pencampuran bahan dan distribusi panas lebih merata (Harper JM 1982).
72
Gambar 2. Bagian-bagian ekstruder 1) mesin, 2) saluran masuk bahan, 3) mantel pendingin, 4) termokopel, 5) ulir, 6) selubung mesin ekstruder, 7) mantel pemanas, 8) head, 9) die, 10) pemotong (Moscicki 2011) Karakteristik produk ekstrusi ditentukan oleh kondisi proses dan die (cetakan) (Gambar 3A) yang digunakan. Ubaidillah (2010) melakukan stabilisasi bekatul menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die (Gambar 3B) tetapi suhu yang dipergunakan masih sangat tinggi yaitu 130oC (zona 1), 180oC (zona 2) dan 230oC (zona 3). Penggunaan suhu bertingkat dan die dimaksudkan untuk meningkatkan suhu dan tekanan pada produk sehingga ekstrudat mengembang dan renyah (Fellows 2009).
Gambar 3. Ekstruder ulir ganda dengan die (A) dan tanpa die (B) (F-Technopark IPB) Dalam penelitian ini, die tidak dipergunakan karena diinginkan ekstrudat bekatul yang dihasilkan sama teksturnya dengan bekatul segar. Penggunaan die dapat meningkatkan tekanan dalam barel yang dapat berpengaruh terhadap tekstur bahan (Fellows 2009). Proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die memanfaatkan panas dalam barel dan putaran ulir terhadap bekatul untuk menurunkan kadar air yang dapat menghambat proses kimiawi dan biologis,
73
enzim endogenous menjadi inaktif, serta sifat fungsional komponen gizi masih dapat diperoleh. Stabilisasi bekatul menjadi sangat penting karena peningkatan kadar asam lemak bebas pasca penggilingan gabah yang sangat cepat. Dalam penelitian ini, setelah penyimpanan 24 jam pada suhu ruang, kadar asam lemak bebas bekatul Ciherang yang tidak distabilisasi meningkat dari 4.57% menjadi 7.95%, sedangkan bekatul Ciherang yang distabilisasi tidak mengalami kenaikan yang berarti dari 2.20% menjadi 2.89%. Pada penyimpanan suhu 40oC selama 10 jam, kadar asam lemak bebas pada bekatul Way Apo Buru mencapai 16.67% (Ubaidillah 2010). Menurut Tao et al. (1993), bekatul dengan kadar asam lemak lebih dari 10% sudah tidak layak sebagai bahan pangan. Optimasi proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die ditujukan untuk mendapatkan bekatul stabil dan dapat digunakan sebagai bahan baku isolat protein. Suhu ekstrusi yang digunakan harus cukup tinggi untuk menginaktivasi enzim dan menurunkan kadar air tetapi cukup rendah agar zat gizi dan protein tidak kehilangan sifat fungsionalnya. Suhu yang digunakan dalam proses optimasi pada kisaran 100-150oC dengan kecepatan ulir 15-35 Hz (50-117 rpm) dengan waktu tinggal 30 – 66 detik. Pemilihan kisaran suhu dan kecepatan ulir ini berdasarkan laporan dari beberapa penelitian bahwa lipase telah inaktif pada bekatul yang diekstrusi pada suhu 128oC dan memiliki kadar air 6.94% (Lee 1992) dan lipoksigenase pada tepung kedelai telah inaktif setelah diekstrusi pada suhu 117oC (Crowe et al. 2001). Fuh dan Chiang (2001) melakukan ekstrusi bekatul pada suhu 130oC dan kecepatan ulir 140 rpm dengan waktu tinggal 20 detik. Kondisi tersebut dilaporkan menghasilkan bekatul dengan kadar air 7% yang stabil selama penyimpanan 20 hari pada suhu 25oC dimana angka asam tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kurniawati et al. (2014) melaporkan ekstrusi bekatul IR-64 pada suhu 120oC dengan kecepatan ulir 15 Hz dengan ekstruder ulir tunggal menghasilkan penurunan tokoferol dan γ-oryzanol yang terendah, yaitu 4.74% dan 22.28%. Kondisi ini menghasilkan bekatul yang stabil selama penyimpanan 2 minggu pada suhu 37oC dimana kadar asam lemak bebasnya kurang dari 10%. Bekatul yang distabillisasi menggunakan ekstruder ulir ganda pada suhu 130oC dengan kecepatan ulir 15 Hz (50 rpm), dan waktu tinggal bahan dalam ekstruder 60 detik menghasilkan peningkatan asam lemak bebas 1.42% pada penyimpanan 2 minggu pada suhu 37oC. Namun, pengaruhnya terhadap protein belum dilaporkan. Semakin tinggi suhu ekstrusi dan semakin lama waktu tinggal bahan dalam ekstruder dapat meningkatkan kerusakan protein. Kondisi optimum stabilisasi bekatul yang diberikan program RSM adalah suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz dengan paramater kadar air, kadar protein terlarut, kadar asam lemak bebas, aktivitas lipase, dan aktivitas lipoksigenase. Parameter protein terlarut sangat penting karena pemanasan dapat menurunkan kelarutan protein akibat terjadi denaturasi (Gnanasambandam & Heitiarachchy 1995: Ummadi et al. 1995) sehingga menurunkan rendemen isolat protein. Kadar air bekatul, aktivitas lipase, dan kadar asam lemak bebas memiliki korelasi yang kuat (Gambar 4). Dalam penelitian ini, penurunan kadar air bekatul dari 11-12% menjadi 6-7% telah mampu menghambat aktivitas hidrolisis lipase.
74
Gambar 4. Pembentukan asam lemak bebas oleh lipase Aktivitas lipoksigenase dalam bahan pangan dapat menurunkan gizi dan penerimaan konsumen. Penelitian tentang aktivitas lipoksigenase yang bersumber dari bekatul masih sangat sedikit dibandingkan yang bersumber dari kedelai. Lipoksigenase merupakan dioksigenase yang mengandung besi (Fe). Lipoksigenase memerlukan oksigen untuk mengaktivasi fero (Fe2+) membentuk feri (Fe3+) (Brash et al.1999). Enzim ini mengkatalis reaksi hidroperoksidase asam linoleat dan asam lemak tidak jenuh serta esternya yang memiliki ikatan rangkap cic,cis 1,4-pentadiena (Gambar 5) (Szymanowska et al. 2009). Dalam penelitian ini, pengujian aktivitas lipoksigenase menggunakan asam linoleat sebagai substrat. Produk yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometer ultraviolet dengan absorpsi pada 234 nm (Malekian et al. 2000; Gardner 2001). Menurut Malekian et al. (2000), aktivitas lipoksigenase masih berlangsung pada bahan yang tidak diblansir dan dapat terus berlanjut meski disimpan pada kondisi suhu rendah. Untuk itu, pengujian stabilitas bekatul terhadap oksidasi harus dilakukan.
Gambar 5. Pembentukan konjugate diena hidroperoksida oleh lipoksigenase-1 diukur pada absorbansi 234 nm (Gardner 2001) Pengujian stabilitas oksidatif dapat dilakukan secara kimia, namun membutuhkan waktu lama dan penggunaan banyak bahan kimia. Pengukuran stabilitas oksidatif bekatul dapat menggunakan metode Rancimat terhadap minyak bekatul dengan parameter periode induksi. Periode induksi dapat ditentukan karena produk-produk polar yang dihasilkan selama proses oksidasi dapat dimonitor menggunakan alat pengukur konduktivitas. Grafik periode induksi minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi dan yang distabilisasi disajikan pada Gambar 6.
75
Gambar 6. Grafik periode induksi minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi (xc1 dan xc2) dan bekatul yang distabilisasi (yc1 dan yc2) pada suhu pengujian 110oC Periode induksi minyak bekatul pada suhu 100, 110, dan 120oC disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Periode Induksi Minyak Bekatul Suhu (oC) Periode Induksi (jam) Minyak Bekatul Segar Minyak Bekatul Distabilisasi 100 110 120
31.05 + 0.04 14.95 + 0.05 6.42 + 0.02
43.34 + 0.07 22.22 + 0.08 10.19 + 0.13
Anwar et al. (2005) melaporkan periode induksi minyak bekatul yang diuji pada suhu 120oC adalah 6-7 jam. Pengujian dengan metode rancimat menunjukkan bahwa minyak dari bekatul yang distabilisasi memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi. Hasil ini didukung oleh Sharma et al. (2004) yang melaporkan bahwa metode stabilisasi bekatul dengan teknik ekstrusi memberikan stabilitas oksidatif yang lebih baik daripada metode udara panas. Selama penyimpanan 60 hari pada suhu ruang, kadar asam lemak bebas pada bekatul yang diekstrusi pada suhu 135-140oC tidak lebih dari 4.1% dibandingkan dengan yang distabilisasi dengan udara panas (9.15%), dan yang tidak distabilisasi (61.6%). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrusi bekatul pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die dapat digunakan untuk stabilisasi bekatul. Pengaruh stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap karakteristik isolat protein yang dihasilkan perlu dikaji lebih lanjut.
76
Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein Bekatul Proses stabilisasi bekatul dapat memperluas penggunaan bekatul dalam bidang pangan khususnya pemanfaatan protein bekatul sebagai ingredien pangan. Namun, karakter fisikokimia dan sifat fungsional protein dari bekatul yang distabilisasi perlu dipelajari lebih lanjut. Komposisi kimia bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia bekatul Ciherang dan Pandawangi yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die Bekatul Ciherang Bekatul Pandanwangi Komposisi distabilisasi distabilisasi Kadar Air (%bb) Kadar Abu (%bk) Protein (%bk) Kadar Lemak(%bk)
6.12+0.001 7.41+0.03 10.13+0.30 12.63+0.20
7.70+ 0.007 10.31+ 0.45 11.65 + 0.20 19.23 + 0.50
Dalam penelitian ini, isolasi protein bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi mengikuti prosedur Zhang et al. (2012) yang dimodifikasi. Isolasi protein dilakukan pada pH 8 pada suhu 50oC selama 2 jam, dan presipitasi protein pada pH 4. Presipitat yang diperoleh dicuci dengan alkohol 30% sebanyak dua kali untuk melarutkan gula pereduksi yang dapat memicu reaksi pencoklatan, lalu disuspensikan kembali dalam air distilat dan diatur pada pH 6 (Gambar 7). Pengaturan suspensi presipitat protein pada pH 7 mengakibatkan hasil freeze dried isolat protein berwarna hijau kecoklatan, dibandingkan dengan isolat protein yang diresuspensikan pada pH 6 (Gambar 8). Isolasi protein yang dilakukan pada pH 9 dan 10 juga mengakibatkan reaksi pencoklatan sehingga tidak dipergunakan dalam penelitian ini.
Gambar 7. Proses isolasi protein bekatul
77
Gambar 8. Konsentrat protein bekatul hasil freeze dried: (A) pencucian presipitat dengan air distilat dan disuspensikan pada pH 7; (B) pencucian presipitat dengan alkohol 30% dan disuspensikan pada pH 6 Menurut Juliano (1985) kelarutan protein tinggi pada kondisi alkali (pH > 9), tetapi dapat menyebabkan terjadinya degradasi protein dan senyawa lainnya seperti karbohidrat, sehingga menurunkan kemurnian protein. Protein bekatul diketahui memiliki pH isoelektris pada kisaran pH 3.8 - 4 (Chandi et al. 2007; Yeom et al. 2010; Zhang et al. 2012). Konsentrat protein bekatul yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kadar protein yaitu 60.76% dan 61.38% untuk bekatul varietas Pandanwangi, dan Ciherang yang tidak distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Kadar protein pada konsentrat protein dari bekatul Pandanwangi dan Ciherang yang distabilisasi adalah 60.19% dan 60.23%. Isolasi protein dari bekatul yang distabilisasi menghasilkan rendemen protein yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zhang et al. (2012) dan Gnanasambandam & Hettiarachchy (1995) bahwa pemanasan menurunkan kelarutan protein karena mengalami denaturasi. Hal ini didukung dengan pengujian stabilitas panas konsentrat protein bekatul dengan DSC, dimana SRB protein memiliki entalpi lebih besar daripada URB protein. Nilai entalpi menunjukkan kapasitas penyerapan panas. Protein yang mengalami denaturasi memiliki struktur terbuka (unfolded) dan lebih banyak menyerap panas (Bruylant et al. 2005). Pengaruh pemanasan dalam stabilisasi bekatul terhadap struktur sekunder protein dapat dianalisis dengan FTIR dengan mengukur vibrasi dari ikatan antara gugus fungsi dan menghasilkan spektrum IR yang dianggap sebagai sidik jari (fingerprint). Informasi spektra protein bekatul belum penah dilaporkan sehingga hasil ini menjadi sangat penting. Hasil spektrum URB protein dan SRB protein Pandanwangi maupun Ciherang memiliki kemiripan dan berbeda pada nilai kuantitatif serapan spektrumnya. Spektra IR dari protein bekatul menunjukkan adanya konformasi α-heliks dan β-sheet, serta pergeseran bilangan gelombang yang menunjukkan adanya perubahan struktur sekunder protein (Tabel 4).
78
Tabel 4. Pergeseran bilangan gelombang IR konsentrat protein bekatul URB Protein Ciherang 1068.56
Bilangan gelombang (cm-1) SRB Protein URB Protein Ciherang Pandanwangi 1076.28 1064.71
SRB Protein Pandanwangi 1068.56
Tipe ikatan dan vibrasi* C-N
1238.3
1238.3
1219.61
1234.44
Amida III , C-N
1388.47
1398.46
1392.61
1396.46
C-H3
1450.47
1450.47
1450.47
1450.47
Amida II, C-H2
1531.48
1535.34
1535.34
1543.05
N-H dan C-N
1654.92
1658.78
1658.78
1654.92
Amida I, C=O
2920.23
2920.23
2920.23
2920.23
C-H
3062.96 3070.68 3066.82 *(Adochitei A & Drochioiu 2011)
3066.82
C-H
Karakterisasi dengan SDS PAGE diperoleh hasil distribusi kisaran berat molekul protein bekatul antara 11.19-60.29 kDa. Kisaran berat molekul protein bekatul bervariasi antara 14-97.4 kDa (Zhang et al. 2012). Menurut Cao et al. (2009), protein bekatul memiliki kisaran berat molekul rendah (< 50 kDa) dibandingkan dengan protein beras sehingga memiliki kelarutan yang lebih baik dibandingkan protein beras (> 80 kDa). Analisis asam amino menggunakan HPLC kolom ODS C18 dengan pereaksi OPA. Pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa membentuk senyawa berfluoresensi. Diperoleh 15 jenis asam amino (Tabel 5) dengan komposisi asam amino polar (>63%) lebih tinggi daripada non polar. Konsentrat protein kedelai komersial digunakan sebagai pembanding. Analisis asam amino menggunakan HPLC C18 dengan standar α-amino butiric acid (AABA) diperoleh 17 asam amino, yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, serin, treonin, tirosin, arginin, histidin, lisin, alanin, isoleusin, leusin, prolin, sistin, metionin, fenilalanin, dan valin. Prolin dan sistin tidak diperoleh pada metode analisis sebelumnya. Komposisi asam amino polar lebih besar (>59%) daripada non polar. Kadar lisin pada konsentrat protein kedelai lebih tinggi (43.5 mg/g) daripada konsentrat protein bekatul (30.1-34.6 mg/g), namun kadar metionin (1.8 mg/g) dan sistin (1.0 mg/g) pada konsentrat protein kedelai lebih rendah. Menurut Muchtadi (2010), protein serealia seperti beras dan terigu kekurangan asam amino lisin, sedangkan protein kacang-kacangan seperti kedelai kekurangan asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistin. Kedua metode menghasilkan kadar asam amino yang berbeda karena penggunaan standar dan pelarut yang berbeda. Namun, kedua analisa tersebut menghasilkan komposisi yang mirip dimana asam glutamat, arginin, leusin, asam aspartat, valin, alanin, glisin, fenilalanin, dan lisin memiliki kadar yang tinggi dalam konsentrat protein bekatul. Arginin, lisin, leusin, valin, fenilalanin, merupakan asam amino esensial yang penting bagi kesehatan. Asam glutamat berpotensi digunakan sebagai penguat rasa.
79
Tabel 5. Komposisi asam amino konsentrat protein bekatul dan kedelai Asam Amino
Polar Asam aspartat Asam glutamat Glisin Serin Treonin Tirosin Arginin Hstidin Lisin Sub total Non Polar Alanin Isoleusin Leusin Metionin Fenilalanin Valin Sub total Jumlah
Konsentrat Protein Bekatul* (mg/g) URB URB SRB SRB Ciherang Pandanwangi Ciherang Pandanwangi
Konsentrat protein kedelai*
55,3 114,2 37,3 25,2 24,7 21,8 69 17,7 34,6 399,8 (63,7%)
52,1 106 34,8 24,2 23,2 20,7 65,8 16,8 30,7 374,3 (63,8%)
52,1 116,5 37,9 24 22,1 20,1 71,1 17,8 30,9 392,5 (66,4%)
50,4 111,4 35,8 23,4 21 18,3 71,1 17,1 30,1 378,6 (66,2%)
52,1 98,9 29,9 36,3 27 34 49,3 14,5 43,5 385,5 (67,9%)
44,6 30,6 55,7 13,7 35,5 47,7 227,8 (36,3%) 627,6
42,3 29,4 51,2 12,4 32,4 44,9 212,6 (36,2%) 586,9
40,3 26,1 45,7 11,1 31,8 43,5 198,5 (33,6%) 591
40,3 24,9 45,6 11 29,9 41,7 193,4 (33,8%) 572
25,7 31,8 54 1,8 36 33,2 182,5 (32,1%) 568
Karakter protein dipengaruhi oleh sifat asam amino penyusunnya, sedangkan asam amino dipengaruhi oleh gugus samping. Asam amino alifatik (alanin, ileusin, leusin, metionin, prolin, valin) dan asam amino dengan gugus samping aromatik (fenilalanin, triptofan, tirosin) bersifat hidrofobik dan lebih larut dalam pelarut non polar. Asam amino yang bermuatan (arginin, aspartat, glutamat, histidin, dan lisin) dan tidak bermuatan (serin, treonin, asparagin, glutamin, dan sistein) bersifat hidrofilik dan sangat larut dalam pelarut polar. Arginin dan lisin memiliki gugus samping guanido dan amino sehingga bermuatan positif pada pH netral. Histidin memiliki gugus samping imidazole sehingga bermuatan positif pada pH netral. Aspartat dan glutamat memiliki gugus samping karboksil sehingga bermuatan negatif pada pH netral. Asam amino asam dan basa bersifat sangat hidrofilik dan menentukan muatan protein (Fennema 1996). Persentase asam amino bermuatan pada SRB protein Ciherang dan SRB Pandanwangi lebih tinggi daripada URB protein Ciherang dan URB protein Pandanwangi, sehingga memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada beberapa titik pH. Namun, pola kelarutannya pada pH 2 sampai dengan pH 9 memiliki kesamaan. Kelarutan protein meningkat pada pH asam dan basa ekstrim (Cao et al. 2009), dan terendah pada pH 4 yang merupakan titik isoelektriknya. Menurut Wang et al. (1999), protein pada pH di bawah 4 dan di atas pH 7 dapat mengalami hidrolisis sehingga kelarutannya meningkat. Pada pH isoelektris, interaksi elektrostatik minimal sehingga kelarutan menurun. Komposisi asam amino
80
konsentrat protein bekatul berbeda secara signifikan (p<0.05) antar varietas. Sedangkan, antar perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) pada konsentrat protein bekatul varietas Ciherang. Konsentrat protein bekatul yang diperoleh memiliki asam amino non polar 33-36%. Protein dengan komposisi asam amino non polar lebih dari 30% memiliki sifat emulsi dan sifat pembentukan buih yang bagus. Kemampuan protein dalam membentuk emulsi dan buih sangat dipengaruhi oleh pH dan memiliki pola yang mirip dengan sifat kelarutannya. Dalam penelitian ini, aktivitas dan stabilitas emulsi antara perlakuan dan antar varietas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Demikian pula dengan kapasitas dan stabilitas buih. Kapasitas buih pada pH isoelektrik terlihat sangat tinggi. Hal ini disebabkan pada pH isoelektrik protein secara cepat teradsorpsi ke permukaan dan membentuk buih. Namun, buih yang terbentuk besar dan mudah pecah sehingga stabilitasnya rendah. Proses adsorpsi protein ke permukaan dapat dipercepat dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik (Zayas 1997). Kemampuan protein dalam menyerap air dan minyak sangat penting dalam menentukan karakter pangan, seperti pada sosis, donat, dan mayonais. Sifat fungsional ini dipengaruhi oleh kelarutan protein, ukuran partikel, serta adanya komponen lain seperti karbohidrat dan lemak (Zayas 1997). Kapasitas menahan air dan minyak konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan diameter partikel konsentrat protein. Hasil pengukuran diameter partikel menunjukkan bahwa konsentrat potein dari bekatul yang tidak distabilisasi memiliki diameter lebih kecil sehingga memiliki luar permukaan yang lebih besar dan berkemampuan lebih banyak menyerap air maupun minyak. Diameter partikel konsentrat protein dari bekatul Pandanwangi dan Ciherang yang tidak stabilisasi yaitu 234.2 nm dan 260.6 nm, sedangkan yang distabilisasi adalah 398.2 nm dan 340.8 nm. Perbedaan antar varietas dan perlakuan memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap kapasitas protein bekatul dalam menyerap air. Kapasitas penyerapan minyak menjadi tidak berbeda nyata pada konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh terbukanya lipatan protein (unfolded) sehingga sebagian sisi hidrofobik protein terekspos ke sisi luar dan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap minyak. Dalam penelitian, analisa kadar fitat pada bekatul 2.72-4.05%, sedangkan pada konsentrat protein bekatul adalah 0.34-0.52%. Menurut Sharma et al. (2004), ekstrusi dapat menurunkan kandungan fitat dalam bekatul. Honig (1984) melaporkan kadar fitat pada isolat protein kedelai sebesar 0.95-1.75%. Proses isolasi protein bekatul dapat mengeliminasi fitat yang bersifat sebagai kelator mineral sehingga konsentrat proten bekatul berpotensi sebagai ingredien pangan. Fraksinasi Konsentrat Protein Bekatul Umumnya, fraksinasi protein dilakukan terhadap bekatul yang telah dihilangkan lemaknya (Hamada 1997). Dalam penelitian ini, fraksinasi protein dilakukan terhadap konsentrat protein dari bekatul yang telah distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Fraksinasi menggunakan 5 pelarut yang berbeda, yaitu air untuk mendapatkan fraksi protein albumin yang larut dalam air; NaCl
81
untuk mendapatkan fraksi protein globulin yang larut dalam garam; etanol 70% untuk mendapatkan fraksi prolamin; asam asetat dan NaOH untuk mendapatkan fraksi protein glutelin yang larut dalam asam dan basa encer. Masing-masing fraksi protein dalam pelarutnya dilakukan analisis protein terlarut (Lowry 1951) dan distribusi berat molekul dengan SDS PAGE tipe gradien gel. Fraksinasi protein dari konsentrat protein bekatul diperoleh tiga fraksi yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Chanput et al.(2009) melaporkan bahwa kadar total protein pada fraksi protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah pada fraksi glutelin (22.7%), albumin (21.6%), globulin (17.4), dan prolamin (8.1%). Hasil berbeda dilaporkan oleh Hamada (1997) bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah fraksi albumin (32-39.5%), globulin (12.8-17.45), glutelin larut asam asetat (6-14.7%), dan prolamin (5.3-7.8%). Sekitar 24.2-42.2% merupakan residu protein yang larut dalam NaOH. Cao et al. (2009) melaporkan bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada fraksi albumin (42.71%+2.47) dan fraksi glutelin (larut dalam NaOH) (40.25%+2.55) dari protein bekatul perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kadar total protein pada fraksi albumin dan glutelin dari protein bekatul sangat variatif. Hasil ini didukung oleh Santos et al. (2013) yang menyatakan bahwa perbedaan varietas padi mempengaruhi persentase kadar protein pada fraksi albumin dan glutelin. Konsentrat protein dari bekatul yang tidak distabilisasi mengandung fraksi albumin dengan berat molekul 17 dan 30.9 kDa, dan glutelin 11.44-66.74 kDa, sedangkan pada fraksi globulin tidak terlihat adanya pita. Konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi mengandung fraksi albumin dengan berat molekul 17 dan 32.96 kDa, globulin 35.61-76.21 kDa, dan glutelin 11.44-66.74 kDa. Perbedaan intensitas pita protein pada fraksi albumin, globulin, dan glutelin disebabkan oleh perbedaan konsentrasi protein terlarut yang dimasukkan dalam kolom gel. Menurut Shah (2003), ekstrusi dapat mengakibatkan pemutusan dan pengikatan kembali ikatan non kovalen (Gambar 9), ikatan kovalen (Gambar 10), dan ikatan peptida (Gambar 11), serta pembentukan agregat protein yang muatan negatif atau positif yang mempengaruhi kelarutan protein.
Gambar 9. Pemutusan dan pembentukan ikatan non kovalen karena proses ekstrusi (Shah 2003)
82
Gambar 10. Pemutusan dan pembentukan ikatan disulfida karena proses ekstrusi (Shah 2003)
Gambar 11. Pemutusan dan pembentukan ikatan peptida karena proses ekstrusi (Shah 2003) Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menemukan bahwa konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 HZ (91 rpm) memiliki sifat fungsional yang sama dengan protein dari bekatul yang tidak distabilisasi, meskipun ditemukan sedikit perubahan pada komposisi asam amino, distribusi berat molekul fraksi protein, stabilitas terhadap panas, distribusi partikel protein yang disebabkan oleh pengaruh panas selama proses ektrusi. Bekatul stabil yang diperoleh berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan baku isolat protein untuk ingredien pangan.
Daftar Pustaka Adochitei A, Drochioiu G. 2011. Rapid characterization of peptide secondary structure by FT-IR spectroscopy. Revue Roumaine de Chimie 56 (8): 783791 Anwar F, Anwer T, Mahmood Z. 2005. Methodical characterization of rice (Oryza sativa) bran oil from Pakistan.Grasas y Aceites. 56 (2) : 125-134 Brash ARJ. 1999. Lipoxygenases: occurrence, functions, catalysis, and acquisition of substrate. J. Biol. Chem. 274: 23679-23682
83
Bruylants, G., J. Wouters, and C. Michaux. 2005. Differential scanning calorimetry in life sciences: Thermodynamics, stability, molecular recognation and application in drug design. Current Medicinal Chemistry 12: 2011-2020. Cao X, Wen H, Li C, Gu Z. 2009. Differences in functional and biochemical characteristic of congenetic rice protein. J. Cereal Sci. 50: 184-189 Chandi GK, Sogi DS. 2007. Functional properties of rice bran protein concentrates. J. Food Eng. 79: 592–597 Chanput W, Theeraulkait C, Nakai S. 2009. Antioxidative properties of partially purified barley hordein, rice bran protein fractions and their hydrolysates. J. Cereal Sci. 49: 422-429 Crowe TW, Johnson LA, dan Wang T. 2001. Characterization of extrudedexpelled soybean flours. JAOCS 78 (8): 775 - 779 Fellows PJ. 2009. Food Processing Technology, Principles and Practice. Third Edition. CRC Press, Woodhead Publ. Ltd. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. 3rd Edition, Marcel Dekker Fuh W, Chiang B. 2001. Dephytinisation of rice bran and manufacturing a new food ingredient. J. Sci. Food Agric. 81:1419-1425 Gardner HW. 2001. Current protocols in food analytical chemistry: Analysis of lipoxygenase activity and products. Chapter 4.2.1-Chapter 4.2.16, John Wiley & Sons, Inc. Gnanasambandam R, Hettiarachchy NS. 1995. Protein concentrates from unstabilized and stabilized rice bran: preparation and properties. JFS 60 (5): 1066-1069, 1074 Hamada JS. 1997. Characterization of protein fractions of rice bran to devise effective methods of protein solubilization. Cereal Chem. 74 (5):662–668 Hargrove KL. 1994. Processing and utilization of rice bran in the united states. Di dalam: Marshal WE, Wadsworth JI, editor. Rice Science and Technology. Marcel Dekker. hlm 381-399 Harper JM. 1982. A comparative analsis of single and twin-screw extruder. Di dalam Kokini JL, Ho C, Karwe MC, editor. Food Extrusion Science and Technology. Marcel Dekker. hlm 139-148 Honig DH, Wolf WJ, Rackis JJ. 1984. Phytic acid and phosphorus content of various soybean protein fraction. Cereal Chem. 61 (6): 523-526 Juliano BO. 1985. Rice Bran. Di dalam: Juliano BO, editor. Rice: Chemistry and Technology. 2nd Edition, The American Association of Cereal Chemists, Inc. St Paul Minnesota. hlm :647-681 Kurniawati M, Yuliana ND, Budijanto S. 2014. The effect of single screw conveyor stabilization on free fatty acids, α-tokoferol, and γ-oryzanol content of rice bran. IFRJ 21 (3): 1237-1241 Lowry, O.H., N.J. Rosenbrough, A.L. Farr and R.J. Randal. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J.Biol. Chem. 193: 265-273 Luh BS, Barber S, Barber B. 1991. Rice bran: chemistry and technology. Di dalam Luh BS, editor. Rice Utilization. Vol 2, Van Nostrand Reinhold, New York Malekian F et al. 2000. Lipase and lipoxygenase activity, functionality, and nutrient losses in rice bran during storage. Buletin 870, Louisiana State University Agricultural Center.
84
Moscicki L. 2011. Extrusion Cooking Technique: Applications, Theory and Sustainability. Wiley VSH. Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Alfabeta, Bandung. Randall JM et al. 1985. Rice bran stabilization by extrusion cooking for extraction of edible oil. JFS 50 (2): 361-364, 368. Shah AA. 2003. The effect of extrusion condition on aggregation of peanut protein. Thesis. University of Georgia, Athens, Georgia. Sharma HR, Chauhan GS, Agrawal K. 2004. Physico-chemical characteristic of rice bran processed by dry heating and extrusion cooking. Int. J. Food Prop. Vol 7 (3): 603 -614 Szymanowska U, Jakubczyk A, Baraniak, B, Kur A. 2009. Characterisation of lipoxygenase from pea seeds (Pisum sativum var. Telephone L.). Food Chem. 116: 906–910 Tao J, Rao R, Liuzzo J. 1993. Microwave heating for rice bran stabilization. J. Mic. Power Elec. Energy 28 (3): 156-164 Ubaidillah 2010. Stabilisasi bekatul dengan ekstrusi tanpa die [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Ummadi P, Chenoweth WL, Ng PKW. 1997. Changes in solubility and distribution of semolina protein due to extrusion processing. Cereal Chem. 72 (6) : 564-567 Widowati S. 2001. Pemanfaatan hasil penggilingan padi dalam menunjang sistem agroindustri di pedesaan. Buletin AgroBio 4(1) : 33 – 38 Yeom H, Lee EH, Ha MS, Ha SD, Bae DH. 2010. Production and physicochemical properties of rice bran protein isolates prepared with autoclaving and enzymatic hydrolysis. J. Korean Soc. Appl. Biol. Chem. 53 (1): 62-70 Zayas 1997. Functionality of Protein in Food. Springer-Verlag. Zhang HJ, Zhang H, Wang L, Guo XN. 2012. Preparation and functional properties of rice bran proteins from heat-stabilized defatted rice bran. Food Research Int. 47: 359-363.
85
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Ekstruder ulir ganda tanpa die dapat digunakan untuk stabilisasi bekatul dengan kondisi optimum pada suhu 130.97oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz (91 rpm).
2.
Bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.97oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz memiliki stabilitas oksidatif lebih tinggi daripada yang tidak distabilisasi.
3.
Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.97oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz mengakibatkan kelarutan protein menurun yang diikuti dengan penurunan rendemen protein pada proses isolasi protein. Konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi memiliki sifat fungsional yang sama dengan yang tidak distabilisasi sehingga berpotensi sebagai ingredien pangan.
4.
Konsentrat protein bekatul memiliki berat molekul 11.19-60.29 kDa yang mengandung fraksi albumin, globulin, dan glutelin. Fraksi glutelin dibedakan menjadi α-glutelin (30-39 kDa) dan β-glutelin (19-25 kDa). Persentase kadar protein pada masing-masing fraksi dipengaruhi oleh stabilisasi bekatul.
5.
Stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die pada suhu 130.97oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz dapat menghambat proses ketengikan dan memperpanjang masa simpan bekatul, serta dapat dipergunakan sebagai bahan baku isolat protein.
Saran Perlu dilakukan modifikasi proses isolasi protein bekatul agar kadar dan rendemen protein yang diperoleh dapat ditingkatkan. Kajian selanjutnya dapat difokuskan karakterisasi fisikokimia fraksi albumin, globulin, dan glutelin dari konsentrat protein bekatul dari padi varietas aromatik dan non aromatik yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die.
86
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 17 April 1974 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Iskandar Iksan dan Yusnelly. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1998, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 2000. Penulis bekerja sebagai fungsional umum di Pusat Pendidikan, Standarisasi, dan Sertifikasi Profesi Pertanian pada Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian sejak tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke progam doktor (S3) pada program studi Ilmu Pangan IPB diperoleh pada tahun 2010 atas beasiswa pendidikan dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Selama mengikuti program S3, satu artikel dengan judul Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda menggunakan Response Surface Methodology telah dipublikasikan pada Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian pada tahun 2013. Artikel lain berjudul Characterization of Physicochemical Properties of Rice Bran Protein Concentrates from Heat Stabilized Rice Bran dalam proses penelaahan oleh mitra bestari pada Pakistan Journal Agricultural and Sciences. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.