JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Isolasi Protein dan Asam Amino dari Dedak Padi Menggunakan Air dan Metanol Subkritis Candra Agung Widodo, Fitria Endarwati, Siti Zullaikah, M. Rachimoellah Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak— Metode terintegrasi isolasi protein dan asam amino dengan menggunakan bantuan air sub kritis dalam konsep Biorefinery dikembangkan dalam penelitian ini. Pengaruh berbagai kondisi operasi seperti suhu reaksi ,waktu reaksi, ratio dedak padi : air, ratio dedak padi : methanol terhadap penggunaan air sub kritis dalam tahapan isolasi protein dan asam amino dari dedak padi. Proses konversi dedak padi menjadi protein dan asam amino menghasilkan produk samping berupa Deffated Rice Bran yang jarang dimanfaatkan. Kandungan protein yang tinggi dalam Deffated Rice Bran dapat dikonversi menjadi protein dan asam amino. Adanya perbedaan kondisi operasi untuk isolasi protein dan asam amino dalam air sub kritis maka kombinasi proses dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. Dengan menggunakan dua route proses, isolasi protein dilakukan dengan metode In Situ dalam air dan airmethanol sub kritis. Dedak padi , air dan air-methanol secara bersamaan dimasukkan ke dalam reaktor dengan kondisi operasi yang telah ditetapkan. Fase terlarut dalam air dan fase padat selanjutnya dipisahkan untuk dilakukan analisa. Kandungan protein dalam produk terbaik secara berurutan sebesar 10,41 % diperoleh dengan kondisi operasi : ratio methanol : H 2O = 20 : 20 suhu 200 C selama 25 menit. Serta asam amino yang terkandung dalam extrak dedak padi yang paling besar prosentasenya adalah Metionin sebesar 27%. Kemudian kandungan Lysin sebesar 17 %, dan kandungan yang paling kecil yang bisa terdeteksi adalah Triptophan 8%. Kata Kunci — Air sub kritis, Deffated Rice Bran protein, asam amino.
D
PENDAHULUAN
ewasa ini kebutuhan pangan di indonesia semakin meningkat. Hal itu mempengaruhi akan peningkatan kebutuhan makanan pokok yaitu beras juga melonjak tajam. Proses penggilingan padi sampai menjadi beras yang siap untuk didistribusikan tersebut menghasilkan limbah yaitu dedak padi. Dedak padi biasanya dibuang atau digunakan untuk makanan unggas. Sementara dedak padi hasil penggilingan padi masih menyimpan nutrient yang sangat penting, seperti protein, minyak, nutrisi, dan kalori. Protein yang terkandung dalam dedak padi memiliki kualitas yang sangat baik, dengan nilai nutrisi dan sifat nutraceutical yang unik.Karena tinggi akan kandungan lisin, maka digunakan untuk bahan baku makanan hypoallergenic yang sangat
berguna bagi makanan bayi/balita. Menurut penelitian, protein dedak padi juga mempunyai senyawa yang berfungsi untuk melawan kanker.Protein hasil dari ekstraksi dedak padi ini diharapkan dapat menambah nilai fungsi produk. Metode yang paling umum digunakan untuk mengolah protein dari dedak padi ini biasanya dengan hidrolisis alkali diikuti oleh pengendapan asam. Metode sederhana ini digunakan karena agen yang diperlukan dalam proses ini mudah tersedia. Akan tetapi yield yang didapatkan hanya 40% dengan menggunakan pengendapan asam. Namun, sebagai akibat dari degradasi pada kondisi pH tinggi , hasil protein umumnya rendah . Kondisi pH yang tinggi juga bisa menyebabkan tidak diinginkan. Hasil termasuk molekul silang dan penyusunan ulang mengakibatkan penurunan nilai gizi dan pembentukan senyawa beracun seperti lysinoalanine ( DeGroot dan kemerosotan,1969; Cheftel et al,1985;. Otterburn ,1989). Selain itu, alkali yang tersisa harus dicuci secara menyeluruh dari produk, yang mengarah ke generasi dari sejumlah besar air limbah atau enzimatik. Proses telah dipelajari .meskipun proses ini tidak ada bahan kimia beracun, dibutuhkan waktu yang lama dan biaya tinggi enzim membuat proses ekonomis . Ekstraksi dengan menggunakan beberapa jenis solvent juga telah dilakukan oleh Hamada (1997) dan ekstraksi menggunakan air subkritis telah dilakukan oleh Watcharuji (2008).Hasilnya adalah recovery protein diatas 80% tetapi konsentrat protein yang didapatkan masih dalam bentuk larutan. Metode pengendapan yang lebih efektif telah dilakukan, yaitu menggunakan Ammonium Sulfate [(NH4)2.SO4] dan trichloroacetic acid tetapi metode ini mempunyai resiko korosi dan toxicity. Salah satu alternative yang sedang dikembangkan yaitu menggunakan polisakarida seperti yang telah dilakukan oleh Hansen (1971) dan Smith (1962) dimana carboxymethylcellulose dan senyawa polisakarida anionic lainnya digunakan untuk pengendapan protein dari santan kedelai. Ketika 2 polimer yang membawa muatan berbeda jenis bercampur dalam suatu larutan, asosiasi polimer akan terjadi disertai dengan pengendapan. Protein yang berada dibawah titik isoelektriknya akan mempunyai muatan positif, sehingga memungkinkan untuk berikatan dengan polisakarida yang bermuatan negative. Dengan adanya interaksi polielektrolit makromolekul tersebut di dalam larutan, parameter seperti pH, daya ionisasi, konformasi, density muatan dan konsentrasi dari biopolymer mempunyai peran penting dalam proses pengendapan. Pada penelitian isolelektrik ini pengendapan protein dedak padi dilakukan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) dengan memberi variasi pada temperature, pH, dan jumlah polisakarida yang dipakai. Untuk protein dedak padi, titik isoelektrik rata – rata terdapat pada pH 4-5.5.pada penelitian ini, eksperimen dilakukan pada pH dibawah 4.0 agar protein memiliki muatan positif. Alginate dan karaginan, 2 polisakarida anionic yang biasa digunakan padaproduk makanan sebagai gelling agents, thickener dan stabilizer digunakan sebagai agent utuk mengendapkan protein. Air sub kritis didefinisikan sebagai air panas pada temperature antara 100 – 374° C dibawah tekanan tinggi untuk menjaga air dalam keadaan liquid ( Ju , 2012 ; Hata, 2008). Air sub kritis dapat diaplikasikan secara luas untuk proses ekstraksi, hidrolisis, dan wet oxidation komponen organik. Konstanta dielektrik yang dapat diubah oleh temperature adalah faktor terpenting saat menggunakan air sebagai solvent ekstraksi. Konstanta dielektrik turun dari 80 pada temperature ruangan menjadi 27 pada temperature 250°C, dimana nilai ini sama dengan dielektrik konstanta ethanol pada temperature ambient (Galkin & Lunin, 2005). Produk air ionic ( H+ dan OH-) dalam kondisi sub kritis meningkat dengan meningkatnya temperature dimana dalam kondisi ini air sub kritis dapat menjadi katalis untuk banyak reaksi kimia seperti reaksi hidrolisis dan degradasi tanpa penambahan katalis (Hata, 2008). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya air sub kritis cocok untuk proses hidrolisis karbohidrat. Banyak penelitian mengenai penggunaan teknologi air sub kritis dalam hidrolisis karbohidrat telah dilakukan. Ekstraksi karbohidrat dari dedak padi (Pourali,2009) ataupun dari defatted rice bran (Hata, 2008) dengan air sub kritis telah dilakukan secara sistematis. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Pourali dkk (2009) dengan waktu reaksi selama 5 menit pada suhu antara 100 – 350 °C (tekanan tidak spesifik) didapatkan yield asam amino terbaik 2.8 mg/g dry matter (Glutamic acid) pada suhu 127 °C, yield glukosa, fruktosa dan sukrosa terbaik 15, 35, 85 mg/g dry matter pada suhu 200, 200, 140 °C secara berturut turut. Sementara itu, dengan menggunakan defatted rice bran sebagai bahan baku, Hata dkk (2008) berhasil mengekstrak total gula sebesar 0.3 g/L ekstrak pada suhu 200 °C dengan waktu 5 menit. Dari studi literature yang telah dilakukan, gas nitrogen dipilih sebagai pemberi tekanan dalam reactor sub kritis. Ini disebabkan sifat nitrogen yang inert sehingga tidak ikut bereaksi (Tsigie,2012 ; Ju,2012 ;Huynh,2012). Penggunaan gas CO2belum banyak dipelajari dalam proses ekstraksi dan hidrolisis dalam air sub kritis. Produk ionic air diharapkan dapat bertambah dengan penggunaan gas CO2dan dapat memberikan keadaan asam pada medium sehingga dapat mempercepat laju hidrolisis (Toor,2011) dan memungkinkan dapat memfasilitasi reaksi esterifikasi berlangsung lebih cepat. Dalam penelitian ini kami mengusung konsep biorefenery.Biorefinery merupakan suatu konsep proses terintegrasi dimana proses konversi biomassa dan semua peralatannya terintegrasi untuk menghasilkan bahan bakar, tenaga, dan bahan kimia dari biomassa (Demirbas,2009). Menurut Oxford English Dictionary‘refinery’ adalah ‘a factory where a substance such as oil is refined (made pure)’ (Hornby, 2000). Tetapi, istilah ‘oil refinery’ and ‘biorefinery’
2
tidak terbatas hanya pada pemurnian dari minyak bumi atau biomass. Tiap generasi biorefinery, selama ini juga dikelompokkan lagi menjadi tiga fasa’ yaitu biorefinery fasa satu (seri), fasa dua (bercabang) dan fasa tiga (parallel). Biorefinery fasa satu menggunakan satu jenis bahan baku untuk satu konfigurasi proses yang menghasilkan satu jenis produk. Fasa dua memanfaatkan satu jenis bahan bakuuntuk suatu proses yang terintegrasi yang menghasilkan berbagai produk. Fasa tiga fleksibel untuk berbagai jenis bahan baku dan meliputi proses yang terintegrasi untuk berbagai produk (Clark and Deswarte, 2008; Kamm et al., 2006; SCI, 2005). Berdasarkan pengertian biorefinery yang diberikan oleh IEA Bioenergy, biorefineryharus mempunyai lebih dari satu jenis produk. Karenanya, semua proses dengan fasa satu tidak memenuhi syarat untuk disebut biorefinery. Semua proses berfasa satu tersebut perlu dimodifikasi untuk menjadi prosesproses bercabang atau paralel. Contohnya adalah proses produksi biodiesel, di mana gliserin yang dihasilkan dikonversi menjadi berbagai produk lain, seperti asam suksinik atau plastik terbaharukan dan sebagainya. Biorefinery masih terus dikembangkan untuk memanfaatkan sebanyak mungkin material di dalam biomass, untuk meningkatkan kelayakan ekonomidan untuk memenuhi aspek-aspek lingkungan. Selain itu, biorefinerydiharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar di masa yang akan datang, dapat mengantisipasi perbedaan musim panen dari berbagai bahan bakunya dan dapat beroperasi secara kontinu untuk menciptakan lapangan kerja yang bukan musiman (Clark and Deswarte, 2008; SCI, 2005). Dengan konsep biorefinery seperti dalam Gambar 1.1, teknologi air sub kritis akan digunakan dalam sintesis biodiesel dan gula reduksi dengan memanfaatkan dedak padi sebagai bahan baku . Meskipun telah banyak penelitian tentang aplikasi dari air sub kritis, namun penggunaan teknologi ini masih fokus pada satu rangkaian proses saja. Produksi asam amino dan protein serta gula reduksi akan dilakukan secara simultan dan terintregrasi dalam satu reactor sub kritis. Pemanfaatan teknologi air sub kritis dalam proses ekstraksi dan reaksi minyak dedak padi sebagai bahan baku asam biodesel serta hidrolisis karbohidrat dedak padi untuk menghasilkan gula reduksi, asam amino serta protein dalamsatu rangkaian proses dipelajari secara sistematis. Adanya perbedaan kondisi operasi untuk produksi biodesel, asam amino, protein, dan gula reduksi dalam air sub kritis maka kombinasi proses dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik. Dua rute proses yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembuatan biodesel diikuti dengan produksiasam amino dan protein.
Gambar 1.1 konsep biorefinery
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Rute I (Pelarut Air) – Pengambilan protein dan asam amino. Menimbang Dedak padi (5 gr) dan menyiapkan air (sesuai dengan variable yang diinginkan) kemudian dimasukkan ke dalam reactor. Proses pemanasan reactor dilakukan mencapai variable suhu hidrolisis yang diinginkan. Gas CO2 digunakan untuk meningkatkan tekanan dalam reactor berkisar pada tekanan 40 bar. Setelah waktu reaksi tercapai, reaksi dihentikan dan dilakukan proses pendinginan. Setelah dingin produk ditambahkan air untuk mengambil produk dalam Fase terlarut didalam air menggukan air sebanyak 25 ml, proses ini dilakukan sebanyak 5 kali. Dan fase solid dipisahkan dengan menggunakan proses filtrasi. Selanjutnya fase terlarut dalam air dianalisa kadar protein dan asam amino. Rute II (Pelarut Metanol-air) – Pengambilan protein dan asam amino. Menimbang Dedak padi (5 gr) dan menyiapkan air dan methanol (sesuai dengan variable dan ratio yang diinginkan) kemudian dimasukkan ke dalam reactor. Proses pemanasan reactor dilakukan mencapai variable suhu hidrolisis yang diinginkan. Gas CO2 digunakan untuk meningkatkan tekanan dalam reactor berkisar pada tekanan 40 bar. Setelah waktu reaksi tercapai, reaksi dihentikan dan dilakukan proses pendinginan. Setelah dingin produk ditambahkan air untuk mengambil produk dalam Fase terlarut didalam air menggukan air sebanyak 25 ml, proses ini dilakukan sebanyak 5 kali. Dan fase solid dipisahkan dengan menggunakan proses filtrasi.. II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bahan baku dedak padi yang digunakan pada penelitian ini telah dianalisa kandungan komposisi yang terdapat di dalamnya. Komposisi raw Moisture content (%) 9.70 Fat oil (%) 16.75 Protein (%) 12.25 Fiber (%) 6.64 Non-protein (%) 54.66
Dari grafik 1 dapat diketahui bahwa ektraksi protein dari dedak padi dengan mengunakan pelarut air semakin meningkat dari 6,57 % pada waktu 5 menit menjadi 10,38% pada waktu 25 menit seiiring bertambahnya waktu reaksi. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kelarutan protein pada pelarut air seiring bertambahnya waktu reaksi. Begitu juga untuk ekstraksi dengan menggunakan methanol-air, protein yang dapat diisolasi juga semakin meningkat dari 7,54 % pada waktu 5 menit menjadi 10,65 % pada waktu 25 menit dengan menggunakan suhu operasi 200 oC dan tekanan operasi 40 bar.
DRB berat DRB (gram)
I. URAIAN PENELITIAN
% protein
4
air
3.95
air-metanol
0 5 10 15 20 25 30 waktu (menit)
Pada grafik 2 Deffated Rice Bran dengan menggunakan pelarut air mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu reaksi. Air sub kritis dapat meningkatkan reaksi hidrolisis yang mampu mengkonversi biomassa padat menjadi komponen terlarut (Khuwijitjaru, 2012). Sisa deffated rice bran pada akhir reaksi sebesar 4.01 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 5 menit dan terus menurun mencapai 3,957 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 25 menit. Lebih dari 20 % dedak padi terkonversi menjadi komponen terlarut. Deffated Rice Bran juga mengalami perubahan warna dengan kenaikan suhu reaksi. Pada waktu singkat (5 menit) warna Deffated Rice Bran cenderung masih kuning dan terus berubah menjadi berwarna coklat pada waktu reaksi 25 menit. protein pada DRB
3 % protein
2 1
air
0
pengaruh waktu reaksi 15 10 5 0
4.05
Grafik 2. Pengaruh waktu reaksi terhadap DRB
Tabel 4-1 data komposisi dedak padi segar
A. Pengaruh waktu dan suhu terhadap prosentase kandungan protein
3
air-metanol 0
20
40
waktu (menit) air 0
5
10
15
20
25
air metanol
waktu (menit)
Grafik 1. Pengaruh waktu reaksi terhadap % protein dari ekstraksi dedak padi
Grafik 3. Kandungan Protein pada Defatted Rice Bran
Dari grafik 3. dapat diketahui bahwa dengan seiring bertambahnya waktu reaksi maka jumlah protein yang bisa terextrct akan semakin bertambah, begitu juga sebaliknya protein yang tersisa pada DRB akan semakin kecil. Untuk extraksi dengan menggunakan air dapat di lihat bahwa semakin bertambah waktu reaksi kadar protein yang
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) terkandung pada DRB juga semakin rendah dari 2,79 % pada suhu 200 C dan waktu reaksi 5 menit terus menurun hingga 1,28 % pada suhu reaksi 200 C dan waktu reaksi 25 menit. Hal ini terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka kandungan protein yang berada pada DRB akan terextrak oleh pelarut. Pengaruh suhu reaksi
% protein
15 10 5
% protein pada fase solid
125 150 175 suhu reaksi (C)
200
Grafik 4. Pengaruh suhu reaksi terhadap % kandungan protein
Dari grafik 4. tersebut dapat dilihat bahwa menggunakan pelarut air isolasi protein akan semakin bertambah dari 5.51% hingga 9,91 %protein seiring dengan bertambahnya suhu reaksi.Begitu juga dengan menggunakan pelarut air-metanol juga mengalami peningkatan dari 8,31% menjadi 8,98% protein. DRB pengaruh suhu 3.4 3.3 3.2 3.1 3 2.9
air air-metanol
0
100
200
4 % protein
100
berat DRB (gram)
meningkatkan reaksi hidrolisis yang mampu mengkonversi biomassa padat menjadi komponen terlarut (Khuwijitjaru,2012). Sisa deffated rice bran pada akhir reaksi sebesar 3,3511 g pada suhu reaksi 140 C waktu reaksi 3 jam dan terus menurun mencapai 2,5552 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 3 jam. Lebih dari 40 % dedak padi terkonversi menjadi komponen terlarut.Deffated rice bran juga mengalami perubahan warna dengan kenaikan suhu reaksi. Pada waktu 3 jam dan suhu reaksi 140 C warna deffated rice bran cenderung masih coklat kehitaman dan terus berubah menjadi berwarna hitam pada waktu reaksi 3 jam dan suhu reaksi 200 °C.
air air metanol
0
300
suhu (°C)
Grafik 5. Pengaruh suhu terhadap berat DRB
Air sub kritis dapat meningkatkan reaksi hidrolisis yang mampu mengkonversi biomassa padat menjadi komponen terlarut (Khuwijitjaru,2012). Sisa deffated rice bran pada akhir reaksi sebesar 3.209 gram pada suhu reaksi 140 °C waktu reaksi 3 jam dan terus menurun mencapai 3,085 gram pada suhu reaksi 200 °C waktu reaksi 3 jam. Lebih dari 40 % dedak padi terkonversi menjadi komponen terlarut.Deffated Rice Bran juga mengalami perubahan warna seiring dengan kenaikan suhu reaksi. Pada waktu 3 jam dan suhu reaksi 140 C warna deffated rice bran cenderung masih coklat kehitaman dan terus berubah menjadi berwarna hitam pada waktu reaksi 3 jam dan suhu reaksi 200 °C. Begitu juga halnya yg terjadi pada pelarut airmetanol, fase solid atau deffated rice bran dengan menggunakan pelarut air-metanolmengalami penurunan seiring dengan bertambahnya suhu reaksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pourali dkk (2009) dan Khuwijitjaru dkk (2012). Air dan metanol sub kritis dapat
4
3 2
air
1
airmetanol
0 0
50
100 150 suhu (C)
200
250
Grafik 6. Kandungan Protein Pada DRB dengan pengaruh suhu
Dari grafik 6 dapat diketahui bahwa dengan seiring bertambahnya suhu reaksi maka jumlah protein yang bisa terextract akan semakin bertambah, begitu juga sebaliknya protein yang tersisa pada DRB akan semakin kecil. Untuk extraksi dengan menggunakan air dapat di lihat bahwa semakin bertambah waktu reaksi kadar protein yang terkandung pada DRB juga semakin rendah dari 3,45 % pada suhu 200 °C dan waktu reaksi 3 jam terus menurun hingga 1,65 % pada suhu reaksi 200 °C dan waktu 3 jam. Hal ini terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka kandungan protein yang berada pada DRB akan terextrak oleh pelarut. Begitu juga yang terjadi pada pelarut air-metanol seiring bertambahnya waktu reaksi maka jumlah protein yang terextrak akan semakin besar dan kandungan protein pada DRB juga akan semakin rendah. Dari grafik 4.6 dapat diketahui penurunan kadar protein yang ada pada DRB dari 1,01 % protein pada suhu 140 C dan waktu 3 jam semakin menurun hingga 0.88 % protein pada suhu 200 °C dan waktu reaksi 3 jam. Pada penggunaan pelarut air-metanol jumlah jumlah protein yang tersisa pada DRB lebih rendah dibandingkan dengan protein pada DRB yang menggunakan pelarut air saja.Hal ini terjadi karena pengaruh ionisasi yg terjadi secara bersamaan pada air maupun methanol sehingga mempermudah dalam mengekstrak kandungan protein yang ada pada dedak padi.Sehingga sisa protein yang ada pada DRB menjadi tinggal sedikit, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Issara Sereewatthanawut dkk (2008).
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
% protein
11 9 air
7
air-metanol
5 0
2
4
6
8
waktu (jam) Grafik 7. pengaruh waktu (panjang) terhadap % protein
Dari grafik 7 dapat diketahui bahwa ektraksi protein dari dedak padi dengan mengunakan pelarut air semakin meningkat dari 6,68 % pada waktu reaksi 1 jam menjadi 8.98% pada waktu reaksi 5 jam. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kelarutan protein pada pelarut air seiring bertambahnya waktu reaksi. Begitu juga untuk ekstraksi dengan menggunakan methanol-air, protein yang dapat diisolasi juga semakin meningkat dari 6,78% pada waktu reaksi 1 jam menjadi 8,11% pada waktu reaksi 5 jam. Namun setelah waktu reaksi diperpanjang menjadi 7 jam kadar protein yang bisa terextract baik menggunakan air maupun airmetanol menurun. Untuk yang menggunakan air kadar protein yang bisa diambil menurun menjadi 8,61% sedangkan dengan menggunakan air-metanol juga mengalami penurunan menjadi 7,94%.
berat DRB (gram)
DRB pengaruh waktu 3.7 3.6 3.5 3.4 3.3 3.2 3.1
air air-metanol 0
2
4
6
8
waktu (jam)
Grafik 8. Pengaruh waktu (panjang) terhadap berat DRB
Air sub kritis dapat meningkatkan reaksi hidrolisis yang mampu mengkonversi biomassa padat menjadi komponen terlarut (Khuwijitjaru,2012). Sisa deffated rice bran pada akhir reaksi sebesar 3,321 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 1 jam dan terus menurun mencapai 3,187 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 7 jam. Lebih dari 30 % dedak padi terkonversi menjadi komponen terlarut.Deffated rice bran juga mengalami perubahan warna seiring dengan kenaikan suhu reaksi. Pada waktu 1 jam dan suhu reaksi 200 C warna deffated rice bran cenderung masih coklat kehitaman dan terus berubah menjadi berwarna hitam pada waktu reaksi 7 jam dan suhu reaksi 200 C. Begitu juga halnya yg terjadi pada pelarut airmetanol, fase solid atau deffated rice bran dengan menggunakan pelarut air-metanolmengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya waktu reaksi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pourali dkk (2009) dan Khuwijitjaru dkk (2012). Air dan metanol sub kritis dapat meningkatkan reaksi hidrolisis yang mampu mengkonversi biomassa padat menjadi komponen terlarut (Khuwijitjaru,2012). Sisa deffated rice bran pada akhir reaksi sebesar 3,6723 g pada suhu reaksi 200 °C waktu reaksi 1 jam dan terus menurun mencapai 3,2756 g pada suhu reaksi 200 C waktu reaksi 7 jam. Lebih dari 30 % dedak padi terkonversi menjadi komponen terlarut.Deffated rice bran juga mengalami perubahan warna dengan kenaikan suhu reaksi. Pada waktu 1 jam dan suhu reaksi 200 C warna deffated rice bran cenderung masih coklat kehitaman dan terus berubah menjadi berwarna hitam pada waktu reaksi 7 jam dan suhu reaksi 200 °C.
%protein pada DRB 2 %protein
% protein pengaruh waktu
5
1.5 1
air
0.5
air-methanol
0 0
2
4
6
8
waktu (jam)
Grafik 9 Kandungan Protein Pada DRB dengan pengaruh suhu
Untuk extraksi dengan menggunakan air dapat di lihat bahwa semakin bertambah waktu reaksi kadar protein yang terkandung pada DRB juga semakin rendah dari 1,82 % pada suhu 200 C dan waktu reaksi 1 jam terus menurun hingga 1,09 % pada suhu reaksi 200 C dan waktu 7 jam. Hal ini terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka kandungan protein yang berada pada DRB akan terextrak oleh pelarut juga semakin banyak sehingga protein yang tertinggal pada DRB akan semakin sedikit. Begitu juga yang terjadi pada pelarut air-metanol seiring bertambahnya waktu reaksi maka jumlah protein yang terextrak akan semakin besar dan kandungan protein pada DRB juga akan semakin rendah. Dari grafik 4.9 dapat diketahui penurunan kadar protein yang ada pada DRB dari 1,79 % protein pada suhu 200 C dan waktu 1 jam semakin menurun hingga 0.80 % protein pada suhu 200 C dan waktu reaksi 7 jam.Hal ini terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka kandungan protein yang berada pada DRB akan terextrak oleh pelarut juga semakin banyak sehingga protein yang tertinggal pada DRB akan semakin sedikit.
B. Kandungan Jenis Asam Amino dalam Extract Dedak Padi Untuk analisa asam amino dianalisa dengan HPLC di Laboratorium PT Saraswanti, Bogor, Jawa Barat Indonesia. Analisa asam amino tersebut diambil dari salah satu sampel yang terbaik kandungan proteinnya. Terlihat grafik 10.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Grafik 10 kandungan asam amino dalam extrak dedak padi
Pada hasil analisa HPLC, terlihat kandungan asam amino yang terkandung dalam extrak dedak padi, yaitu Lysin, Metionin, dan Triptophan. Karena tidak semua asam amino bisa terdeteksi dengan analisa HPLC tersebut. Hal tersebut dikarenakan campuran analit akan terpisah berdasarkan kepolarannya dan kecepatannya untuk sampai kedektetor (waktu retensinya) akan berbeda, hal ini akan teramati pada spectrum yang puncak-puncaknya terpisah. Dari grafik 10 dapat dilihat kandungan asam amino Metionin yang paling besar prosentasenya adalah Metionin sebesar 0,27%. Kemudian kandungan Lysin sebesar 0,17 %, dan kandungan yang paling kecil yang bisa terdeteksi adalah Triptophan 0,08%. Ketiga macam kandungan asam amino tersebut terdeteksi dalam waktu retensi yang berbeda menurut gerak kepolarannya. Dan saat ini asam amino metionin banyak sekali digunakan industri produksi pakan ternak (ransum) sebagai nutrisi tambahan. Produk Metionin dikemas dalam bentuk kering maupun cairan (Baker and Parson, 1990 dalam Widyani 1999) KESIMPULAN Dari hasil penelitian isolasi protein dan asam amino dapat diketahui: 1. Pengaruh waktu, untuk etraksi menggunakan air hasil extraksi meningkat dari 6,57 % protein waktu reaksi 5 menit menjadi 10,38% protein pada waktu 25 menit, tekanan operasi 40 bar dan suhu operasi 200 oC. Menggunakan pelarut air-methanol hasil reaksi meningkat dari 7,54 % protein waktu reaksi 5 menit menjadi 10,65 % protein pada waktu 25 menit, tekanan operasi 40 bar dan suhu operasi 200 oC. 2. Pengaruh suhu operasi pada reaksi hidrolisis protein dan asam mino dengan air dan metanol subkritis dari dedak padi, baik menggunanakan pelarut air maupun air-metanol akan mendapatkan hasil extraksi semakin besar seiring dengan bertambahnya suhu extraksi. Untuk etraksi menggunakan air hasil extraksi meningkat dari dari 5.51% pada suhu 140 OC tekanan operasi 40 bar dan lama waktu reaksi 3 jam hingga 9,91 % protein pada suhu 200 OC tekanan operasi 40 bar dan lama waktu reaksi 3 jam. Menggunakan pelarut air-metanol juga mengalami peningkatan dari 8,31% pada suhu 140 OC tekanan operasi 40 bar dan lama waktu reaksi 3 jam menjadi 8,98% protein pada suhu 200 OC tekanan operasi 40 bar dan lama waktu reaksi 3 jam
6
3. Pengaruh konsentrasi metanol dan air terhadap hasil ekstraksi protein dari dedak padi dengan mengunakan pelarut air-methanol dengan ratio konsentrasi air methanol 7:1 atau 35ml: 5ml dari menghasilkan 7,98 % protein dan semakin meningkat menjadi 9,53 % protein dengan menggunakan ratio konsentrasi air methanol 1:7 atau 5ml:35ml pada waktu reaksi 3 jam 4. Kandungan protein dalam produk terbaik secara berurutan sebesar 10,65 % diperoleh dengan kondisi operasi : ratio methanol : H2O = 20 : 20 suhu 200 C selama 25 menit. Serta asam amino yang terkandung dalam extrak dedak padi adalah Metionin yang paling besar prosentasenya adalah Metionin sebesar 0,27%. Kemudian kandungan Lysin sebesar 0,17 %, dan kandungan yang paling kecil yang bisa terdeteksi adalah Triptophan 0,08%.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada : Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia FTI – ITS. Prof.Dr.Ir.H.M.Rachimoellah,Dipl.EST selaku Kepala Laboratorium Biomassa dan Konversi Energi Kimia serta dosen pembimbing. Ibu Siti Zullaikah ST,MT,Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan dan bantuan dalam penyusunan laporan skripsi ini. Setiyo Gunawan, ST. Phd selaku Kasie Tugas Akhir Teknik Kimia FTI-ITS. Bapak/Ibu dosen penguji. Seluruh dosen dan karyawan Jurusan Teknik Kimia FTI – ITS. Kedua orang tua kami dan keluarga yang telah banyak memberikan dukungan moral, spiritual, dan material tentunya. Rekan - rekan seperjuangan dari laboratorium Biomassa dan Konversi Energi, dan teman - teman telah yang banyak membantu.. Semua pihak lain yang terlibat dalam penyusunan laporan skripsi ini hingga selesai.
DAFTAR PUSTAKA [1] Ardiansyah. (2004),” Sehat dengan Mengkonsumsi Bekatul”
[2] [3] [4]
[5]
dalam Kinetika Reaksi Enzimatis Ekstrak Kasar Enzim Selulase Bakteri Selulolitik Hasil Isolasi Dari Bekatul, Dyah Ayu Saropah, Akyunul Jannah, Anik Maunatin , ALCHEMY, Vol. 2 No. 1, hal 34-45 Bockisch,M.,(1998),” Fats and oli handbook”,AOCS Press ,US. 98-103 Bodanszky, M.(1993),”Peptide Chemistry”, Springer-Verlag Berlin Heidelberg Bozbas, K. (2008),” Biodiesel as an alternative motor fuel: production and policies in the European Union. Renew” dalam Biodiesel production from rice bran by a two-step in-situ process , Pei-Jing Shiu , Setiyo Gunawan , Wen-Hao Hsieh , Novy S. Kasim , Yi-Hsu Ju , 984–989 Bunyakiat K., Makmee.S , Sawangkeaw,R dan Ngampresertsith ,S . (2006),” Continuous Production of Biodiesel via Transesterification from Vegetable Oils in Supercritical Methanol”, Energy Fuels ,20, 812-817.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) [6] Choe,E .Min,D.B,(2007),” Chemistry of deep-fat frying oils”,
J.Food Scie.72,77-86
[7] Demirbas, A. (2009),” Biorefineries: Current activities and
future developments”, Energy Conversion and Management, 50, 2782–2801 [8] Dorado, M.P., Cruz, F., Palomar, J.M., Lopez, F.J. (2006),” An approach to economics of two vegetable oil-based biofuels in Spain. Renew” dalam Biodiesel production from rice bran by a two-step in-situ process , Pei-Jing Shiu , Setiyo Gunawan , Wen-Hao Hsieh , Novy S. Kasim , Yi-Hsu Ju , 984–989 [9] Carr, A.G. Mammucari, R. dan Foster, N.R.(2011),” A review of subcritical water as a solvent and its utilization for the processing of hydrophobic organic compounds”, Chem Eng Journal, 172, 1-17 [10]Issara Sereewatthanawut, (2008) Extraction of protein and amino acids from deoiled rice bran by subcritical water hydrolysis
7