JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Pembuatan Biodiesel dari Minyak Dedak Padi Tanpa Katalis dengan Air dan Methanol Subkritis Suhadak Nasrullah, Alfin Barik, Siti Zullaikah, M. Rachimoellah Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
E-mail:
[email protected] terjadi reaksi saponifikasi yang menyebabkan berkurangnya yield biodiesel yang diperoleh. Selain itu, campuran sabun, biodiesel dan senyawa yang tidak bereaksi menyebabkan terjadinya proses emulsifikasi selama proses pencucian yang menyebabkan sulitnya untuk mendapatkan biodiesel dengan kualitas tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan katalis padat yang mampu mentolerir kadar FFA tinggi dalam bahan baku. Namun, katalis padat memiliki aktivitas katalitik rendah karena keterbatasan pada proses transfer massa antara reaktan cair dan katalis padat.
Abstrak—Pada penelitian ini biodiesel berhasil didapatkan dari minyak dedak padi tanpa menggunakan katalis dalam air dan metanol subkritis baik dengan penambahan gas CO2 sebagai co-solvent maupun tanpa penambahan CO2. Campuran 5 gr dedak padi, 20 ml air, dan 5 ml metanol sebagai variabel tetap dimasukkan kedalam reaktor hydrothermal yang dilengkapi dengan pemanas, kontrol suhu, dan pressure gauge. Kemudian reaktor diberi tekanan dengan gas CO2 sesuai dengan variabel (0, 3 dan 5 bar). Setelah suhu pemanas mencapai suhu yang diinginkan (175oC, 200oC dan 225oC) maka reaktor dimasukkan kedalam pemanas. Waktu reaksi mulai dihitung pada saat kondisi suhu dan tekanan berada pada kondisi subkritis dan dihentikan setelah waktu reaksi yang diinginkan (1, 3, dan 5 jam). Produk dikeluarkan dari reaktor dan dipisahkan dari campuran dengan cara dibilas dengan menggunakan nhexane. Kemudian n-hexane bilasan dipisahkan dengan cara distilasi untuk memisahkan crude biodiesel dengan n-hexane. Crude biodiesel yang didapatkan kemudian ditimbang dan dianalisa kandungan FFA dan FAMEnya. Kadar FAME terbesar didapatkan sebesar 58,46% dengan Yield mencapai 40,55% pada 200oC dan penambahan CO2 hingga 3 bar dengan waktu reaksi selama 5 jam. Suhu pemanas 200oC lebih baik dari pada 175 oC dan 225oC.
Baru-baru ini, produksi biodiesel dengan menggunakan kondisi superkritis telah disarankan untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada proses katalitik basa. Pada kondisi superkritis minyak nabati dan metanol menjadi satu fase, jadi pencampuran sempurna dapat dicapai untuk membuat biodiesel dengan konversi tinggi (>95%) dalam waktu beberapa menit tanpa membutuhkan katalis (Saka, dkk. 2001; Demirbas, 2008). Namun, pada proses ini membutuhkan rasio alkohol dan minyak yang tinggi (biasanya>40:1), serta beroperasi pada suhu tinggi (300-350 °C) dan tekanan tinggi (20-50 MPa) sehingga membuat proses ini membutuhkan energi yang sangat besar. Besarnya kebutuhan energi, akan menyebabkan tingginya biaya produksi. Oleh karena itu, proses ini tidak cocok untuk digunakan pada proses produksi industri skala besar.
Kata Kunci : Biodiesel, Minyak dedak padi, Air Subkritis, Methanol Subkritis.
Energi yang sangat besar untuk menyediakan panas ke reaktor dan efek pendinginan setelah selesai reaksi mengarah pada klaim bahwa fluida superkritis merupakan proses yang intensif energi (Tan, dkk., 2011). Sehingga, pencarian metode paling tepat yang lebih efisien dan ramah lingkungan masih menjadi isu hangat untuk diteliti.
I. PENDAHULUAN Masalah utama dalam pembuatan biodiesel adalah biaya produksi untuk biodiesel lebih mahal dibandingkan dengan pembuatan solar. Hal ini dikarenakan biaya bahan baku (minyak dan lemak) mencapai 60-75% dari total biaya produksi (Zullaikah dkk., 2005). Selain itu, penggunaan minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan makanan dalam produksi biodiesel, memiliki dampak negatif terhadap harga minyak sayur di pasar makanan. Bahan baku yang murah dan banyak tersedia memiliki kadar FFA tinggi. Akan tetapi, harga minyak yang murah dengan kadar FFA tinggi juga tidak cocok sebagai bahan baku produksi biodiesel dengan katalis basa (Yeshitila, dkk., 2012). Minyak dengan kadar FFA tinggi jika diproses dengan menggunakan katalis basa, akan
Pendekatan baru untuk produksi efisien biodiesel telah berhasil dikembangkan dengan mereaksikan methanol dan minyak bahan baku dalam kondisi subkritis. Konversi biodiesel tinggi lebih dari 95% dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat dan tanpa perlu katalis. Proses yang diajukan lebih sederhana dan dapat dibandingkan dengan metode konvensional atau superkritis yang akan membuat produksi biodiesel lebih ekonomis dan berkelanjutan. Metode ini berlaku untuk minyak dengan kadar FFA yang tinggi (Yi, dkk., 2011).
1
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) Proses pengolahan dengan metode teknik air sub-kritis (SCW) adalah teknik ramah lingkungan dimana SCW dapat diaplikasikan untuk berbagai macam proses karena sifatnya yang unik yaitu dapat digunakan untuk ekstraksi, hidrolisis dan wet oxidation senyawa organik. SCW didefinisikan sebagai air panas pada suhu berkisar antara 100 dan 374 oC pada tekanan tinggi untuk mempertahankan air dalam keadaan cair. Konstanta dielektrik, yang dapat diubah oleh suhu adalah faktor yang paling penting ketika menggunakan air sebagai pelarut ekstraksi. Konstanta ini menurun dari 80 pada suhu kamar sampai 27 pada suhu 250oC (Ju, dkk. 2012). Selain itu, SCW juga dapat bertindak sebagai katalis yang efektif untuk hidrolisis atau reaksi biodegradasi dan meningkatkan lipid netral diekstrak dari lumpur aktif (Huynh, dkk. 2010).
didistilasi untuk memisahkan larutan n-hexane dan minyak dedak padi. Minyak dedak padinya kemudian ditimbang dan dianalisa kandungan FFAnya.
Sebagai negara agraris dengan beras sebagai bahan makanan pokok, Indonesia menjadi produsen beras yang besar, BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa pada tahun 2013 Indonesia memproduksi 70,8 juta ton. Sebagai produk samping, dedak padi selama ini hanya digunakan sebagai pakan ternak. Selain karena faktor ketersediaannya yang melimpah, dedak padi juga memiliki kandungan minyak yang tinggi hingga 18,34 %, dengan kadar FFA minyak sebesar 44,56% (Nasir, dkk 2009).
Pada penelitian pembuatan biodiesel tanpa katalis dengan air dan metanol subkritis ini dimulai dengan menimbang dedak padi seberat 5 gr. Kemudian menyiapkan Air sebanyak 20 ml dan methanol sesuai v5 ml. Dedak padi, air, dan metanol dimasukkan kedalam tube reactor berbahan SS-316 yang berasal dari swagelok dengan OD = 0,75 inch; ID = 0,58 inch yang mampu menahan tekanan hingga 289,59 bar, kemudian memberi tekanan reactor dengan CO2 sesuai variabel (0, 3, dan 5 bar). Setelah dipastikan sudah tidak ada kebocoran, reaktor dimasukkan kedalam pemanas yang telah dipanaskan sesuai dengan variable (175, 200, dan 225oC). Ketika suhu dalam reaktor naik, tekanan yang semula juga akan ikut naik secara signifikan. Pada waktu suhu reaktor sudah mencapai suhu dan tekanan subkristis air dan metanol, penghitungan waktu reaksi dimulai hingga waktu yang ditentukan sesuai dengan variable (1, 3, dan 5 jam). Setelah reaksi selesai, reaktor didinginkan dengan air es hingga suhu 5-15⁰C. Kemudian secara perlahan bonnet neddle valve dibuka hingga tekanan ambien. Setelah mencapai tekanan ambient, reaktor dibuka dan produk dalam reaktor dikeluarkan.
Dalam penelitian ini akan dipelajari produksi biodiesel secara in situ dari dedak padi dalam air dan methanol subkritis tanpa menggunakan katalis dan pengaruh penambahan co-solvent, CO2. Penggunaan air subkritis dalam penelitian ini adalah sebagai pelarut atau solvent kemudian metanol subkritis akan bereaksi dengan minyak dedak padi yang terbentuk menjadi biodiesel secara langsung. Dari dasar ini penelitian produksi biodiesel dari dedak padi secara in situ dalam air dan metanol subkritis perlu dilakukan. Selain untuk meningkatkan nilai ekonomis dari dedak padi, dalam penelitian ini juga untuk mempelajari pengaruh suhu, waktu dan penambahan tekanan cosolvent (CO2) yang terbaik.
Gambar 1. Skema alat alat Produksi Biodiesel dari Dedak Padi secara In-Situ dalam Air dan Metanol Subkritis.
Produk yang telah dikeluarkan dari reaktor tersebut dibilas dengan menggunakan n-hexan dengan cara diaduk dengan kecepatan antara 100 – 300 rpm selama 10 menit dan akan terjadi dua lapisan, lapisan larutan dalam fase air bercampur dengan sisa dedak padi (heavy phase) dan lapisan nhexane (light phase). Larutan yang berada pada fase hexane diambil dengan cara dituang dan di saring secara perlahan. Pembilasan ini di ulang sebanyak 4 kali, hingga larutan fase n-hexane benar-benar bening. Setelah itu, fase n-hexan didistilasi untuk memisahkan antara minyak dengan n-hexane lalu minyak yang tersisa di oven pada suhu 80⁰C selama 4-5 jam untuk menghilangkan sisa n-hexannya. Produk yang berupa minyak selanjutnya ditimbang dan dianalisa.
II. METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini, dedak padi diekstraksi secara soxhlet terlebih dahulu untuk mendapatkan minyak dedak padi yang kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan minyak dan FFA pada dedak padi yang digunakan sebagai bahan dalam penelitian ini. Dedak padi seberat 20 gram dibungkus dalam kertas saring dan memasukkan kedalam kondensor reflux. Kemudian menyiapkan ± 200 ml larutan nhexane dan memasukkan kedalam labu leher dua yang dilengkapi dengan kondensor reflux berisi bungkusan dedak padi dan termometer. Kemudian memanaskan larutan n-hexane tadi sampai suhu sekitar 70oC dan larutan n-hexane akan mengekstrak minyak dedak padi. Waktu ekstraksi selama 4-5 jam. Kemudian larutan didalam labu leher dua
2
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) Analisa Asam Lemak Bebas/ FFA dengan metode titrasi dilakukan dengan menimbang sampel biodiesel sebanyak 0,1 gram. Menambahkan 1,1 ml ethanol 96% kemudian dipanaskan hingga suhu ±50°C agar minyak larut dalam ethanol dengan sempurna. Menambahkan 4 tetes indikator PP. Menitrasi dengan larutan NaOH 0,0044 N tetap dalam keadaan panas hingga berubah warna menjadi merah jambu. Mencatat volume NaOH 0,0044 N yang digunakan untuk titrasi dan memasukkan kedalam rumus berikut: ( ) ( ) ( ) Kemurnian FAME dalam crude biodiesel dianalisa dengan HP 5890 Gas Chromatography dengan menggunakan detektor FID, gas Nitrogen sebagai gas pembawa dengan kecepatan 28 ml/menit dan menggunakan kolom OV-17. Suhu pada kolom diawali pada suhu 125oC dan dipanaskan sampai suhu akhir 275 oC dengan kecepatan 15oC/menit.
semakin besar kadar FAME yang di dapatkan. Ini dikarenakan waktu yang semakin lama dalam proses ekstraksi dan juga reaksi esterifikasi. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa untuk semua kondisi operasi menunjukkan dengan semakin lamanya waktu reaksi maka semakin tinggi pula kemurnian FAME yang diperoleh. Hasil penelitian Tsai, dkk. (2012) yang menggunakan proses superkritis mendapatkan bahwa FAME semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu reaksi. Pada gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanas maka diperoleh kadar FAME yang semakin tinggi.
% FAME
40 30 20 10 0 0
Pada penelitian ini digunakan dedak padi yang berasal dari daerah Jember. Dedak padi ini dianalisa terlebih dahulu kandungan minyak serta kandungan airnya. Dengan cara ekstraksi soxhlet didapatkan kadar minyak dedak padi sebesar 8,21 % dengan kadar FFA sebesar 90,91%.
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6
Gambar 2. Hubungan antara % FAME dengan waktu reaksi dan suhu pemanas tanpa CO2
Gambar 3, pada semua kondisi operasi yaitu pada suhu 175oC, 200C dan 225C kemurnian FAME-nya menunjukkan peningkatan seiring bertambahnya waktu reaksi. Pengaruh suhu terhadap kemurnian FAME pada penambahan CO2 hingga 3 bar menunjukkan bahwa dengan tingginya kemurnian FAME yang didapatkan juga semakin besar akan tetapi pada waktu reaksi 3 jam sedikit mengalami penurunan dan pada waktu reaksi 5 jam mengalami penurunan yang cukup besar dari suhu 200oC ke 225oC.
A. Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu Pemanas Terhadap Kadar FAME Pengaruh waktu reaksi dan suhu pemanas terhadap kemurnian FAME dapat dilihat pada gambar 4.1, 4.2 dan 4,3. Berdasarkan persamaan kecepatan reaksi, (pers. 4.1)
konsentrasi dipengaruhi oleh waktu reaksi yaitu dengan bertambahnya waktu, maka konsentrasi reaktan akan semakin berkurang dan produk yang dihasilkan akan semakin banyak. Selain itu, semakin lama waktu reaksi maka, minyak yang terkstrak juga akan semakin banyak, sehingga minyak yang bereaksi akan semakin banyak. Gambar 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya waktu maka, konsentrasi FAME yang didapatkan cenderung semakin tinggi. Dari hukum Arrhenius, persamaan yang digunakan untuk mencari harga k, menyatakan bahwa : ⁄
175oC (5 bar) 200oC (20 bar) 225oC (43 bar)
50
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
-rA = dCA/dt = k.CA.CB,
Tanpa CO2
60
Penambahan CO2 hingga 3 bar
60
% FAME
50 40 30 20
175oC (25 bar) 200oC (38 bar) 225oC (51 bar)
10 0 0
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6
Gambar 3. Hubungan antara % FAME dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga 3 bar
Penambahan CO2 hingga 5 bar, memiliki kecenderungan bahwa semakin lama waktu reaksi, kadar FAME semakin besar. Penurunan yang di tunjukkan pada suhu 200oC dan 225oC mulai dari waktu reaksi 3 jam hingga 5 jam terjadi tidak terlalu signifiikan sehingga dapat dianggap konstan. Pengaruh suhu pemanas terhadap kemurnian FAME tampak bahwa semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula kadar FAME yang didapatkan dari produk. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Omid
(pers. 4.2)
Atau (pers. 4.3) menunjukkan bahwa suhu reaksi berpengaruh terhadap konstanta kecepatan reaksi, k. Semakin tinggi suhu reaksi, semakin tinggi pula konstanta k sehingga konversi reaksi semakin tinggi. Yeshitila, dkk (2012) melaporkan bahwa dengan semakin lamanya waktu reaksi maka akan
3
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) yang terlarut dalam metanol menjadi biodiesel (Özgül, 2002). Pengaruh suhu pemanas terhadap kadar FFA selalu terjadi penurunan kadar FFA yang lebih besar antara 175oC hingga 200oC, akan tetapi pada suhu pemanas menjadi 225oC terjadi penurunan yang tidak terlalu besar, bahkan pada 5 jam waktu reaksi tanpa penambahan CO2 dan semua kurva dengan penambahan CO2 hingga 5 bar terjadi kenaikan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu dari 200oC menjadi 225oC tidak memberikan efek yang baik terhadap proses reaksi esterifikasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Yeshitila dkk., (2012) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu maka kadar FFA yang diperoleh semakin menurun.
Pourali dkk., 2008 yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu maka akan semakin banyak hexane soluble yang diperoleh, dimana minyak dan FAME terkandung dalam hexane soluble. Penurunan kemurnian FAME dari suhu 200oC ke 225oC yang terjadi pada waktu reaksi 1 jam dapat diasumsikan konstan. Penambahan CO2 hingga 5 bar
60
% FAME
50 40 30 20
175oC (30 bar) 200oC (42 bar) 225oC (52 bar)
10
Tanpa CO2
20
0 0
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6 15 % FFA
Gambar 4. Hubungan antara % FAME dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga 5 bar
Dari ketiga gambar diatas, didapatkan bahwa penambahan CO2 memberikan efek yang positif terhadap kemurnian FAME produk. FAME yang lebih besar didapatkan pada penambahan CO2 bila dibandingkan dengan tanpa penambahan CO2. Hal ini disebabkan oleh gas CO2 sebagai co-solvent, memiliki sifat oksida asam sehingga membuat kondisi asam pada reaksi esterifikasi. Kondisi asam ini menjadikan minyak lebih mudah larut dalam methanol sehingga reaksi berlangsung lebih cepat. Selain itu penambahan CO2 juga berpengaruh pada kondisi operasi, dengan adanya penambahan CO 2 dapat menaikkan tekanan dalam reaktor sehingga air dan methanol tetap dalam fase liquid pada suhu tinggi. Pada 175oC tanpa penambahan CO2 FAME yang dihasilkan sangat sedikit, karena pada kondisi ini air dan methanol berada pada fase gas.
10 175oC 200oC 225oC
5 0 0
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6
Gambar 5. Hubungan antara % FFA dengan waktu reaksi dan suhu pemanas tanpa menggunakan CO2
Penambahan CO2 hingga 3 bar
20
% FFA
15 10 175oC 200oC 225oC
5 0 0
B. Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu Pemanas Terhadap Kadar FFA
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6
Gambar 6. Hubungan antara % FFA dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga tekanan 3 bar
Menurut hasil penelitian Yeshitilia, dkk. (2012), yang menggunakan microalga menjadi biodiesel dalam kondisi subkritis menyatakan bahwa semakin lama waktu reaksi maka %FFA semakin menurun walaupun dalam kondisi tanpa diaduk, hal ini disebabkan karena gliserida terhidrolisa. Dari gambar 5, 6, dan 7, menunjukkan bahwa kandungan FFA akan menurun seiring lamanya waktu reaksi baik pada kondisi operasi 175oC, 200C dan 225C dengan tanpa CO2 maupun dengan penambahan CO2 hingga 3 bar dan 5 bar. Pada suhu 225oC tanpa CO2 dan penambahan CO2 hingga 5 bar terjadi sedikit peningkatan kandungan FFA dari 3 jam ke 5 jam, akan tetapi peningkatan ini tidak terlalu signifikan sehingga dianggap konstan. Hampir seluruh kondisi operasi menunjukkan menurunnya kandungan FFA seiring lamanya waktu reaksi. Hal ini disebabkan karena pada proses in-situ dengan air dan metanol subkritis mengubah FFA
Penambahan CO2 hingga 5 bar
20
% FFA
15 10 175oC 200oC 225oC
5 0 0
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
6
Gambar 7. Hubungan antara % FFA dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga tekanan 5 bar
Dapat juga dilihat pada gambar diatas, bahwa dengan penambahan CO2 dapat mengurangi kandungan FFA-nya lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi operasi tanpa penambahan CO2. Hal ini disebabkan oleh CO2 yang bersifat oksida asam sehingga dapat berfungsi sebagai co-solvent saat
4
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) minyak dedak padi semakin tinggi. Penurunan yang terjadi pada waktu 1 jam dari suhu 200 - 225oC tidak terlalu besar sehingga masih dapat dianggap konstan. Pada waktu reaksi 5 jam untuk semua suhu, menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mendekat pada satu titik sehingga, penurunan yang terjadi pada waktu reaksi 5 jam dari suhu 200 225oC bisa dianggap sebagai akibat dari lamanya waktu reaksi sehingga menyebabkan reaksi eterifikasi yang reversibel bergeser ke kiri.
reaksi Esterifikasi yang mengubah asam lemak bebas (FFA) menjadi biodiesel. (Yu, dkk., 2012) C. Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu Pemanas Terhadap Yield Yield biodiesel pada penelitian ini adalah perbandingan massa FAME yang diperoleh dengan massa minyak dedak padi. Dari persamaan 4.1 menunjukkan bahwa semakin lama waktu reaksi, konsentrasi produk yang dihasilkan akan semakin tinggi, sehingga yield FAME juga akan semakin besar. Selain itu, semakin lama waktu reaksi maka, minyak yang terkstrak juga akan semakin banyak, sehingga minyak yang bereaksi akan semakin banyak dan yield akan semakin besar. Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya waktu maka, konsentrasi FAME yang didapatkan cenderung semakin tinggi. Pada persamaan 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa waktu reaksi berpengaruh terhadap harga konstanta kecepatan reaksi, k, yang berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, yaitu semakin tinggi suhu maka harga k akan semakin besar sehingga konsentrasi produk akan semakin besar dan yield juga akan semakin besar. Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan bahwa memiliki kecenderungan bertambahnya yield dengan semakin tingginya suhu reaksi. Gambar 8. didapatkan bahwa semakin lama waktu reaksi, yield FAME terhadap minyak dedak padi semakin besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Yeshitila, dkk (2012) bahwa dengan semakin lamanya waktu reaksi maka akan semakin besar kadar FAME yang di dapatkan. Selain itu, didapatkan juga bahwa semakin tingginya suhu pemanas maka yield FAME terhadap minyak dedak padi juga akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tsai, dkk. (2012) yang menggunakan proses superkritis mendapatkan bahwa yield FAME semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu reaksi.
Tanpa CO2
30
% Yield
25 20 15 10
175oC (5 bar) 200oC (20 bar) 225oC (43 bar)
5 0 0
2 4 6 Waktu Reaksi, jam Gambar 9. Hubungan antara % Yield dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga 3 bar
Dari gambar 10. dapat dinyatakan bahwa dengan semakin lamanya waktu reaksi, yield FAME terhadap minyak dedak padi semakin besar. Hal ini sudah sesuai dengan hasil penelitian Yeshitila, dkk (2012). Tsai, dkk. (2012) yang menggunakan proses superkritis mendapatkan bahwa yield FAME semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu reaksi. Dari gambar 10. masih dapat dikatakan bahwa semakin tingginya suhu maka yield FAME terhadap minyak dedak padi semakin tinggi, meskipun terjadi penurunan pada waktu 1 jam dan 3 jam dari suhu 200 - 225oC dan juga pada waktu 5 jam dari suhu 175 - 200oC, karena penurunannya tidak terlalu besar. Penambahan CO2 hingga 5 bar
Tanpa CO2
% Yield
% Yield
40
175oC 200oC 225oC
40 30 20
30 20 175oC 200oC 225oC
10 10
0 0
0
0
1
2 3 4 Waktu Reaksi, jam
5
2 4 6 Waktu Reaksi, jam Gambar 10. Hubungan antara % Yield dengan waktu reaksi dan suhu pemanas dengan penambahan CO2 hingga 5 bar
6
Gambar 8. Hubungan antara % Yield dengan waktu reaksi dan suhu pemanas tanpa CO2
Suhu reaksi sangat mempengaruhi reaksi dan yield biodiesel yang diperoleh (Encinar,2010). Semakin tinggi suhu reaksi maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan untuk mencapai energi aktivasi sehingga semakin banyak produk yang diperoleh. Yield biodiesel merupakan jumlah FAME (gram FAME) yang didapatkan pada crude biodiesel dibandingkan dengan jumlah minyak dedak padi
Dari gambar 9. dapat dinyatakan bahwa dengan semakin lamanya waktu reaksi, yield FAME terhadap minyak dedak padi semakin besar. Hal ini sudah sesuai dengan hasil penelitian Yeshitila, dkk (2012). Tsai, dkk. (2012) yang menggunakan proses superkritis mendapatkan bahwa yield FAME semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu reaksi. Dari gambar 9. masih dapat dikatakan bahwa semakin tingginya suhu maka yield FAME terhadap
5
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. , No. , (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) valuable materials. Food Chemistry. 115 (2009), 1-7. Rukunudin, I.H., White, P.J., Bern, C.J., Bailey, T.B., 1997. A Modified Method for Determining Free Fatty Acids from Small Soybean Oil Sample Sizes, JAOCS, Vol. 75, no. 5 (1998) Saka, S., Kusdiana, D., 2001. Biodiesel fuel from rapeseed oil as prepared in supercritical methanol. Fuel 80, 225–231. Tan, K.T., Lee, K.T., 2011. A review on supercritical fluids (SCF) technology in sustainable biodiesel production: potential and challenges. Renew. Sustainable Energy Rev. 15, 2452–2456. Tsai, Y.T., Lin, H., Lee, M.J. 2012. Biodiesel production with continuous supercritical process: Non-catalytic transesterification and esterification with or without carbon dioxide. Bioresour. Technol (2013). Tsigie, Y. A., Huynh, L. H., Phuong Lan T. N., Ju, Y.H., 2012. Catalyst-free biodiesel preparation from wet Yarrowia lipolytica Po1g biomass under subcritical condition. Tsigie. Y. A., Huynh, L. H., Ismadji, S., Engida, A. M., Ju, Y. H., 2012, In situ biodiesel production from wet Chlorella vulgaris under subcritical condition. Chemical Engineering Journal 213 (2012) 104–108 Özgül-Yücel, S., Türkay, S., 2002. Variables affecting the yields of methyl esters derived from in-situ esterification of rice bran oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 79, 611– 614. Zullaikah, S., Lai, C.C., Vali, S.R., Ju, Y.H., 2005.A two-step acid-catalyzed process forthe production of biodiesel from rice bran oil.Bioresour. Technol. 96, 1889–1896.
yang dihasilkan dari ekstraksi konvensional. Dari gambar 8, 9, dan 10, diperoleh yield biodiesel dengan penambahan CO2 lebih tinggi dari pada tanpa penambahan CO2. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tekanan CO2 memberikan efek yang positif terhadap yield FAME. Penambahan CO2 hingga 5 bar didapatkan titik – titik yang saling berdekatan, meskipun yield FAME tertinggi terdapat pada penambahan CO2 hingga 3 bar yaitu pada suhu 200oC dengan waktu reaksi 3 jam. IV. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Siti Zullaikah dan bapak M. Rachimoellah yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam pengerjaan penelitian ini serta kepada bapak Zulriadi dan Kaliawan dari POLINEMA yang membantu dalam analisa FAME. V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Biodiesel telah didapatkan dari dedak padi yang di proses tanpa menggunakan katalis dalam air dan metanol subkritis. 2. Penambahan CO2 berrpengaruh terhadap penurunan kadar FFA l dan juga berpengaruh terhadap kenaikan kadar FAME dan persen Yield. 3. Semakin lama waktu reaksi persen Yield semakin besar. 4. Kadar FAME terbesar didapatkan sebesar 58,46% dengan Yield mencapai 40,55% pada 200oC dan penambahan CO2 hingga 3 bar dengan waktu reaksi selama 5 jam. 5. Suhu pemanas 200oC lebih baik dari pada 175 oC dan 225oC. VI. DAFTAR PUSTAKA D, Ayhan. 2008. Biodiesel a Realistic Fuel Alternative for Diesel Engine. London: Springer Huynh LH, Kasim NS, Ju YH. Extraction and analysis of neutral lipids from activated sludge with and without sub-critical water pretreatment. Bioresour Technol 2010;101:8891–6. Ju, Y.H., Huynh, L.H., Tsigie, Y.A., Ho, Q.P., 2012. Synthesis of biodiesel in subcritical water and methanol. Fuel Juliano, B.O., 1985. “Rice Bran” In: Rice: Chemistry and Technology. 2nd Ed., American Association of Cereal Chemist, St. Paul, MN, p 647-687 Kasim, N.S., Tsai, T.H., Gunawan, S., Ju, Y.H., 2009.Biodiesel production from ricebran oil and supercritical methanol.Bioresour. Technol. 100, 2007–2011. Lai, C.C., Zullaikah, S., Vali, S.R., Ju, Y.H., 2005. Lipase-catalyzed production ofbiodiesel from rice bran oil.J. Chem. Technol. Biotechnol. 80, 331–337. Pourali, O., Asghari, F.S., Yoshida, H., 2008. Subcritical water treatment of rice bran to produce
6