4
2 PEMBUATAN BERAS TIRUAN DARI BERAS, JAGUNG DAN SINGKONG SERTA EVALUASI KARAKTERISTIK SENSORI DAN FISIKOKIMIANYA Pendahuluan Latar belakang Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah beras dan terigu. Indonesia kaya sumber karbohidrat lain seperti jagung dan singkong. Budijanto dan Yuliyanti (2012) melaporkan bahwa bahan-bahan tersebut masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah mengolah bahan-bahan tersebut menjadi produk yang dapat dikonsumsi seperti beras. Bertolak dari hal tersebut, beras tiruan dipilih sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang tidak bisa terlepas dari konsumsi nasi dalam kehidupan sehari-hari. Adanya beras tiruan diharapkan dapat mendukung diversifikasi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan teknologi pengolahan beras tiruan diantaranya Su (2007) meneliti pengaruh penambahan bubuk cangkang telur untuk memperbaiki warna beras tiruan dengan teknologi twin screw extruder. Su dan Kong (2007) meneliti pengaruh penambahan minyak kedelai, selulosa dan SiO2 terhadap kualitas dari beras tiruan yang dihasilkan. Liu et al. (2011) memanfaatkan beras pecah dalam pembuatan beras tiruan. Proses pengolahan beras tiruan tidak terlepas dari teknologi ekstrusi. Teknologi ekstrusi memungkinkan kita untuk melakukan serangkaian pengolahan seperti : mencampur, menggiling, memasak, mendinginkan, mengeringkan dan mencetak dalam satu rangkaian proses saja. Teknologi ekstrusi berperan penting pada industri pangan karena merupakan proses yang efisien. Kontrol suhu memberikan efek nyata terhadap kondisi adonan yang berada tepat sebelum cetakan serta terhadap pengembangan produk akhir. Suhu mempengaruhi karakteristik tekstur yang diekstrusi. Amilosa lebih tahan terhadap kerusakan mekanik selama berada di dalam aliran alat ekstrusi dibandingkan dengan amilopektin. Biasanya produk beramilosa tinggi akan lebih rapat, lebih keras dan kurang mengembang ketika diekstrusi (Muchtadi dan Budiatman 1990). Ekstrusi terdiri atas dua metode, yaitu hot and cold extrusion. Suhu yang digunakan pada metode hot extrusion di atas 70 °C dengan melakukan pre-conditioning dan atau tanpa pindah panas dari steam yang dihasilkan dari barrel. Cold extrusion biasa digunakan dalam pembuatan pasta dan suhu yang digunakan di bawah 70 °C. Penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode hot extrusion (Estiasih dan Ahmadi 2009). Pembuatan beras tiruan ini diarahkan pada fungsinya sebagai beras yang dapat menurunkan kadar glukosa darah khususnya bagi penderita diabetes melitus, sehingga perlu dilakukan analisis terhadap karakteristik sensori dan fisikokimianya.
5
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi beras, jagung dan singkong serta suhu ekstruder yang tepat sehingga didapatkan produk beras tiruan yang diharapkan dengan mengevaluasi karakteristik sensori dan fisikokimianya.
Metode Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan November 2013, bertempat di Laboratorium Pengolahan, Organoleptik, dan Kimia Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil Perikanan, dan Seafast Center IPB. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan beras tiruan adalah beras pera Indica IR42 yang diperoleh dari pasar lokal, jagung yang diperoleh dari PAU-IPB jenis Pionir, dan singkong (Manihot utilissima) segar yang diperoleh dari daerah Cibinong. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain HCl 0,2N, bromocresol green, H3BO3, metilen merah, K2SO4, CuSO4.5H2O, H2SO4, H2O2 30%, NaOH, kloroform, amilosa murni, etanol, asam asetat, iod, buffer Na-fosfat, maltosa murni, dan petroleum eter benzena. Alat yang digunakan yaitu disc mill buatan lokal, ekstruder ulir tunggal hasil perekayasaan Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil Perikanan dengan spesifikasi yang tertera pada Lampiran 27, ayakan 60 mesh merk De dalal, oven merk Shellab, blender merk Miyako, timbangan analitik merk AND tipe GR-202, tungku pengabuan (furnace) merk Vulcan A-550, alat destruksi kjeldahl merk Gerhardt, alat destilasi uap merk Velp Scientica UDK 142, ekstraktor sochlet merk Electrothermal, rotavapor merk Heidolph Instrument Laborata 4000, spektrofotometer merk Perkin elmer lambda seri 25,serta peralatan gelas merk Iwaki Pyrex. Preparasi Bahan Bahan-bahan seperti beras pera, jagung dan singkong disiapkan dalam bentuk tepung. Diagram alir pembuatan tepung beras, jagung dan singkong berturut-turut disajikan pada Gambar 1, 2 dan 3. Pengkomposisian dan Proses Ekstrusi Penelitian pendahuluan adalah pengkomposisian terhadap tiga jenis sumber karbohidrat yaitu tepung beras, tepung jagung dan tepung singkong menjadi 21 variasi (Tabel 1). Proses pembuatan beras tiruan mengacu pada penelitian yang dilakukan Estiasih dan Ahmadi (2009) meliputi beberapa tahap yaitu persiapan bahan, pencampuran, pengkondisian dan pengeringan.
6
Beras Pemisahan dari kotoran Pencucian Perendaman (beras:air=1:2), 2 jam Penirisan Penepungan 60 mesh
Tepung beras Gambar 1 Alur proses pembuatan tepung beras (Haryadi 2008).
Jagung Pembersihan Pemipilan Pengeringan T= 60 °C, 2 jam Jagung pipil Penirisan Pengeringan 60 °C, 2 jam Penepungan 60 mesh Tepung jagung
Gambar 2 Alur proses pembuatan tepung jagung (Koswara 2009).
7
Singkong segar Pengupasan, Pencucian, Perendaman Pemarutan kasar Pengepresan Pengeringan 60 °C, 2 jam Penepungan 60 mesh Tepung singkong Gambar 3 Alur proses pembuatan tepung singkong (Ditjen PPHP 2011). Bahan-bahan disiapkan dalam bentuk tepung berdasarkan komposisi yang sudah ditetapkan kemudian dilakukan pencampuran hingga homogen dengan penambahan air sebesar 10-20%. Adonan dimasukkan ke dalam ulir berjalan (screw conveyor) pada variasi suhu yang sudah ditetapkan dalam pengkomposisian. Tabel 1 Komposisi tepung beras, tepung jagung dan tepung singkong serta variasi suhu mesin ekstruder panas ulir tunggal. Komposisi Suhu (°C) F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 Tepung Beras (rasio) 1 1 1 1 0 2 1 Tepung Jagung (rasio) 0 1 2 3 1 0 0 70 Tepung Singkong 0 1 1 1 0 1 1 (rasio) Komposisi Suhu (°C) F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 Tepung Beras (rasio) 1 1 1 1 0 2 1 Tepung Jagung (rasio) 0 1 2 3 1 0 0 80 Tepung Singkong 0 1 1 1 0 1 1 (rasio) Komposisi Suhu(°C) F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21 Tepung Beras (rasio) 1 1 1 1 0 2 1 Tepung Jagung (rasio) 0 1 2 3 1 0 0 90 Tepung Singkong 0 1 1 1 0 1 1 (rasio) Keterangan : F1 sampai dengan F21 adalah formulasi tepung beras, tepung jagung dan tepung singkong serta variasi suhu mesin ekstruder
8
Faktor yang mempengaruhi karakteristik beras adalah suhu dan kadar air. Menngacu pada penelitian Budijanto dan Yuliyanti (2012) , air yang ditambahkan pada penelitian ini adalah 50% (v/b) dari berat tepung. Kadar air ini mempengaruhi pembentukan ekstrudat yang dihasilkan. Mesin ekstruder yang digunakan adalah jenis mesin ekstrusi panas ulir tunggal dengan perlakuan tiga variasi suhu yaitu 70 °C, 80 °C dan 90 °C. Komposisi terpilih didapatkan berdasarkan uji sensori (kenampakan, bau, tekstur, dan rasa) terhadap beras tiruan mentah atau pun matang, kemudian dilanjutkan dengan analisis fisikokimia yaitu rendemen, densitas kamba, amilosa, dan proksimat (air, abu, protein, lemak dan karbohidrat) sehingga didapatkan satu komposisi terpilih. Metode Analisis Analisis yang dilakukan meliputi sensori, rendemen, densitas kamba, amilosa, dan proksimat. Sensori (Setyaningsih et al. 2010) Analisis sensori (pengujian dengan panca indera) dilakukan dengan metode kuantitatif yaitu uji kesukaan (hedonik) (Setyaningsih et al. 2010). Panelis terdiri dari dari pegawai BBP2HP Jakarta sebanyak 25 orang. Waktu pengujian sekitar pukul 09.00-11.00 dan 14.00-16.00. Panelis mengisi kuesioner (Lampiran 1) terhadap sampel produk beras tiruan baik yang mentah maupun matang dalam bilik-bilik pencicip. Penilaian sensori meliputi warna, rasa, tekstur dan bau. Disiapkan air mineral untuk menetralkan indera perasa panelis setelah mencicip sampel beras tiruan. Skor kesukaan menggunakan skala 1 sampai dengan 9, yaitu skor 1 (amat sangat tidak suka) sampai dengan skor 9 (amat sangat suka). Rendemen (Wardani et al. 2012) Rendemen dihitung berdasarkan presentase produk akhir dengan bahan awal. Densitas kamba (Hussain et al. 2008) Densitas kamba dihitung berdasarkan perbandingan antara berat bahan dalam suatu wadah gelas berukuran tertentu dibagi volume wadah gelas (g/mL). Amilosa (Apriyantono et al. 1989) Pengukuran kadar amilosa meliputi pembuatan larutan, standardisasi amilosa dan pengukuran kadar amilosa. Di dalam pembuatan larutan, NaOH kristal dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL kemudian ditambahkan 500 mL akuabides dan dikocok dengan alat pengocok sampai larut. Akuabides ditambahkan sampai tanda 1000 mL sehingga diperoleh larutan NaOH 1N. Larutan asam asetat dibuat dengan cara asam asetat murni diambil 5 mL dan ditambahkan 80 mL akuabides dan dilarutkan sampai homogen. Larutan KI2 2% dibuat dengan cara 20 g KI dilarutkan ke dalam 500 mL akuabides dalam labu ukur 1000 mL, kemudian dimasukkan 2 g iodin lalu dikocok sampai larut dan ditambahkan akuabides sampai tanda 1000 mL hingga diperoleh larutan KI2 2%.
9
Standardisasi amilosa dilakukan untuk mendapatkan kurva standar yang menunjukkan hubungan antara nilai penyerapan cahaya dengan konsentrasi amilosa. Tepung kentang 40 mg sebagai amilosa standar dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1N, lalu dipanaskan pada suhu 80-100 °C selama ± 10 menit sampai tergelatinisasi. Larutan didinginkan dan ditera dengan akuades. Sampel diambil sebanyak 1 mL, 2 mL, 3 mL, 4 mL dan 5 mL lalu ditambahkan 0,1 mL iod 0,2 %, 0,2 mL asam asetat 1N dan 3 mL akuades kemudian didiamkan selama 20 menit dan diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm. Hasil pengukuran dibuat persamaan regresi linier yang digunakan untuk menentukan kadar amilosa dari tiap sampel. Dalam analisa sampel, sebanyak 100 mg sampel dilarutkan dalam 1 mL etanol 95 % dan 9 mL NaOH 1N pada suhu 80-100 °C selama ± 10 menit sampai tergelatinisasi. Larutan didinginkan lalu ditera pada labu takar 100 mL dengan akuades sebagai larutan induk dan diambil 1 mL sampel yang telah diencerkan dari larutan induk. Sampel tersebut ditambahkan dengan 0,1 mL iod 0,2 %, 0,2 mL asam asetat 1N dan 3 mL akuades. Setelah didiamkan selama 20 menit lalu diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm.
X 100%
Keterangan : a = nilai dalam persamaan regresi linier Y = a + bx b = nilai dalam persamaan regresi linier Y = a + bx FP = faktor pengenceran Analisis proksimat (AOAC 2005) (a)
Analisis kadar air Analisis ini menggunakan metode gravimetri dengan alat oven pada suhu 105 °C selama 20 jam. Kadar air ditentukan dengan menghitung perbandingan bobot sampel yang hilang setelah dioven dan bobot sampel awal kemudian dikali seratus persen. (b) Analisis kadar abu Analisis ini menggunakan metode gravimetri dengan tanur pada suhu 550 °C selama 24 jam. Kadar abu ditentukan dengan menghitung perbandingan antara berat sampel akhir dan berat sampel awal kemudian dikali seratus persen. (c) Analisis kadar protein Kadar protein diuji dengan metode Kjeldahl, prinsipnya menangkap nitrogen yang terdapat dalam sampel. Tahap uji protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Sampel ditimbang sebanyak 0,75 g pada kertas timbang, dibungkus dan dimasukkan ke dalam labu destruksi. Sebanyak 5,25 g kalium sulfat dan 0,62 g CuSO4.5H2O dimasukkan ke dalam labu destruksi. Di dalam ruang asam, ditambahkan 15 mL H2SO4 pekat (95-97 %) dan 3 mL H2O2 secara perlahanlahan dan didiamkan selama 10 menit. Destruksi dilakukan pada suhu 410 °C selama 2 jam atau sampai larutan jernih dan didiamkan hingga mencapai suhu
10
kamar lalu ditambahkan akuades sebanyak 50-75 mL. Hasil destruksi selanjutnya didestilasi. Alat destilasi dicuci dengan cara melakukan destilasi akuades sebelum dilakukan destilasi dan apabila destilat yang tertampung mengubah warna garam borat (merah violet menjadi hijau) maka dilakukan pencucian/destilasi ulang sampai hasil destilat yang tertampung tidak berubah warna (merah violet). Erlenmeyer yang berisi 25 mL larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator sebagai penampung destilat. Labu yang berisi hasil destruksi dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Natrium hidroksida-thiosulfat ditambahkan sebanyak 50-75 mL. Destilasi dilakukan dan destilat ditampung dalam erlenmeyer hingga volume mencapai 150 mL. Hasil destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N yang sudah dibakukan sampai warna berubah dari biru menjadi merah muda. (d) Analisis kadar lemak Analisis yang dilakukan yaitu mengekstrak lemak dengan metode soxhlet dengan pelarut khloroform pada suhu 80 °C selama 8 jam. Kemudian dilakukan evaporasi sampai kering dan labu alas bulat yang sudah kering dimasukkan ke dalam oven bersuhu 150 °C selama 2 jam untuk menghilangkan sisa khloroform dan uap air. Kadar lemak ditentukan dengan menghitung perbandingan antara berat lemak dan berat sampel awal kemudian dikali seratus persen. (e) Analisis kadar karbohidrat Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan metode by-difference yaitu pengurangan dari total keseluruhan dengan presentasi kadar lemak, protein, air dan abu. Analisis data Rancangan percobaan (Steel dan Torrie 1993) Rancangan percobaan yang digunakan dalam pembuatan beras tiruan adalah rancangan acak lengkap. Perlakuan pada penelitian ini adalah perlakuan komposisi beras, jagung, singkong, dan suhu mesin ekstruder. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + Ʈi + €ij
Keterangan : Yij = respon yang diamati dari satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i μ = nilai tengah umum = pengaruh perlakuan ke-i (i untuk formulasi beras tiruan) Ʈi €ij = galat percobaan Uji kenormalan yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov. Apabila data yang diperoleh dengan analisis ragam (ANOVA) menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Pengujian nilai kesukaan panelis menggunakan analisis non-parametrik yaitu Kruskall Walis dan uji t. Prosedur pengujian Kruskall Walis menggunakan rumus :
11
Keterangan : n ni Ri2 T H H1 t FK
= = = = = = = =
jumlah data total banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i jumlah peringkat dari perlakuan ke-i banyaknya pengamatan seri dalam tiap ulangan simpangan baku H terkoreksi banyaknya pengamatan seri faktor koreksi Hasil dan Pembahasan
Penentuan komposisi terbaik terhadap formulasi beras tiruan Karakteristik sensori Beras tiruan biasanya dibuat dari bahan yang juga dikenal sebagai sumber karbohidrat yang tersimpan pada tanaman dalam bentuk pati. Menurut Budi et al. (2013) pada prinsipnya semua bahan baku yang mengandung pati baik yang berbentuk serealia maupun umbi dapat digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan beras tiruan. Bahan baku tersebut bisa digunakan dalam bentuk murni maupun campuran dengan bahan baku lain pada rasio tertentu. Pada penelitian digunakan beras, jagung dan singkong dalam bentuk tepung. Hal ini ditujukan untuk mengoptimalkan bahan pangan lokal yang ada. Uji sensori yaitu uji kesukaan terhadap 25 orang panelis dilakukan untuk mendapatkan lima komposisi yang paling disukai. Hasil analisis uji kesukaan dan Spyder Web hasil rata-rata uji sensori beras tiruan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tabel 2 Hasil uji t data uji sensori beras tiruan terhadap beras tiruan komersil. Tingkat Tingkat Kategori Perlakuan Kategori Kesukaan Kesukaan F1 5,35±0,82a Netral F12 5,58±0,30a Agak suka a F2 5,16±0,45 Netral F13 5,40±0,30a Netral a a F3 5,06±0,28 Netral F14 5,59±0,23 Agak suka F4 4,96±0,34a Netral F15 6,44±0,30a Agak suka F5 4,80±0,36a Netral F16 5,10±0,25a Netral F6 5,07±0,23a Netral F17 5,41±0,31a Netral F7 5,01±0,46a Netral F18 5,63±0,18b Agak suka F8 5,91±0,33b Agak suka F19 5,59±0,25a Agak suka a b F9 5,09±0,40 Netral F20 5,62±0,16 Agak suka F10 5,56±0,38a Agak suka F21 5,67±0,24b Agak suka F11 5,22±0,31a Netral Keterangan : huruf superscript yang berbeda (a,b) pada perlakuan menunjukkan beda nyata p<0,05) Perlakuan
12
Tabel 2 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa komposisi F8, F15, F18, F20 dan F21 memberikan nilai rata-rata kesukaan yang tertinggi dan berada pada kategori agak suka. Nilai kesukaan yang diperoleh merupakan hasil rata-rata parameter kenampakan, rasa, bau dan tekstur baik beras tiruan mentah maupun matang. Suhu ekstruder sangat mempengaruhi produk beras yang dihasilkan. Suhu yang paling baik pada penelitian ini adalah 90 °C. Pada proses ekstrusi, tahap prekondisi merupakan tahap awal dalam suatu proses ekstrusi dan memiliki peranan penting. Pada tahap prekondisi, campuran bahan baku hasil formulasi dipertahankan pada kondisi hangat (suhu 80 – 90 °C) dan basah selama waktu tertentu dan kemudian dialirkan ke ekstruder. Mesin ekstruder yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe ulir tunggal dan memiliki panjang barrel yang relatif pendek (50 cm) jika dibandingkan dengan mesin ekstruder pada umumnya, sehingga waktu tinggal bahan di dalam mesin antara prekondisi dan ekstrusi cukup singkat. Kondisi ini yang menyebabkan suhu prekondisi sebaiknya dijaga pada kisaran tersebut untuk mencapai produk ekstrusi yang diharapkan. Menurut Budi et al. (2013) pada waktu proses ekstrusi, adonan akan mengalami pemanasan lagi pada suhu yang sedikit lebih tinggi dibanding proses sebelumnya. Kecepatan ulir, tekanan, bentuk bahan baku dan kekentalan bahan baku adalah faktor-faktor yang mempengaruhi retention time (Muchtadi dan Budiatman 1990). Retention time dihitung pada saat bahan baku mulai masuk ke dalam mesin ekstruder sampai proses cutting. Retention time pada penelitian ini yaitu 5-7 menit.
Gambar 4. Spyder Web hasil rata-rata uji sensori beras tiruan Keterangan Tabel 2 dan Gambar 4 : kode F1 = beras:jagung:singkong=1:0:0 T = 70 °C kode F2 = beras:jagung:singkong=1:1:1 T = 70 °C kode F3 = beras:jagung:singkong=1:2:1 T = 70 °C kode F4 = beras:jagung:singkong=1:3:1 T = 70 °C kode F5 = beras:jagung:singkong=0:1:0 T = 70 °C kode F6 = beras:jagung:singkong=2:0:1 T = 70 °C kode F7 = beras:jagung:singkong=1:0:1 T = 70 °C kode F8 = beras:jagung:singkong=1:0:0 T = 80 °C kode F9 = beras:jagung:singkong=1:1:1 T = 80 °C kode F10 = beras:jagung:singkong=1:2:1 T = 80 °C kode F11 = beras:jagung:singkong=1:3:1 T = 80 °C
kode F12 = beras:jagung:singkong=0:1:0 T = 80 °C kode F13 = beras:jagung:singkong=2:0:1 T = 80 °C kode F14 = beras:jagung:singkong=1:0:1 T = 80 °C kode F15 = beras:jagung:singkong=1:0:0 T = 90 °C kode F16 = beras:jagung:singkong=1:1:1 T = 90 °C kode F17 = beras:jagung:singkong=1:2:1 T = 90 °C kode F18 = beras:jagung:singkong=1:3:1 T = 90 °C kode F19 = beras:jagung:singkong=0:1:0 T = 90 °C kode F20 = beras:jagung:singkong=2:0:1 T = 90 °C kode F21 = beras:jagung:singkong=1:0:1 T = 90 °C
13
Karakteristik fisikokimia terhadap lima komposisi terpilih Hasil analisis fisikokimia komposisi terpilih disajikan pada Tabel 3. Produk beras tiruan lima komposisi terpilih disajikan pada Gambar 5. Dalam pembuatan beras tiruan, data rendemen diperlukan untuk mengetahui produktivitas beras tiruan yang dihasilkan. Selain itu, nilai rendemen juga menunjukkan adanya kehilangan produk selama proses berlangsung. Hasil analisis ragam terhadap rendemen beras tiruan menunjukkan adanya perbedaan (Lampiran 5). Nilai rendemen yang berbeda diduga karena penambahan air yang kurang homogen pada saat pencampuran, perbedaan kecepatan pemasukan adonan ke dalam mesin ekstruder dan komposisi bahan baku penyusun beras tiruan. Hasil uji lanjut tukey menunjukkan nilai yang berbeda dibandingkan dengan beras tiruan komersil (Lampiran 5). Komposisi beras:jagung:singkong (1:3:1) dengan suhu mesin ekstruder 90 °C memberikan nilai rendemen tertinggi. Hal ini berhubungan dengan komponen bahan penyusun beras tiruan lebih dominan jagung, dimana jagung memiliki kadar lemak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras dan singkong. Kadar lemak pada jagung 4,5% (Depkes 2005) dan nilai kadar lemak jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,94%. Tabel 3 Karakteristik fisikokimia lima komposisi terpilih. Parameter Rendemen (%) Densitas kamba (g/mL) Amilosa (%) Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Keterangan :
A 71,11±1,10ab
B 70,90±1,45ab
C 80,20±0,53c
D 69,62±0,91a
E 73,86±0,78b
0,65±0,02ab
0,65±0,02b
0,61±0,02a
0,60±0,02a
0,62±0,00ab
22,53±0,04c
20,72±0,00a
24,62±0,04d
21,90±0,12b
20,73±0,06a
13,35±0,37a 0,40±0,01a 9,96±0,76b 0,37±0,24ab 75,93±0,61b
13,49±0,02a 0,42±0,00a 9,40±0,04b 0,62±0,07ab 72,59±0,01a
13,41±0,02a 1,04±0,02c 8,87±0,19ab 0,82±0,12b 75,88±0,35b
12,78±0,01a 0,90±0,01b 9,20±0,22b 0,31±0,00a 76,82±0,21b
14,38±0,20b 1,22±0,02d 7,66±0,01a 0,46±0,01ab 76,28±0,18b
A = Beras : Jagung : Singkong adalah 1:0:0, suhu 80 °C, B= Beras:Jagung:Singkong adalah 1:0:0, suhu 90 °C, C= Beras:Jagung:Singkong adalah 1:3:1, suhu 90 °C, D= Beras:Jagung:Singkong adalah 2:0:1, suhu 90 °C, E= Beras:Jagung:Singkong adalah 1:0:1, suhu 90 °C. Angka-angka dalam baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Feliana et al. (2014) melaporkan bahwa kadar lemak singkong adalah 1%. Nilai kadar lemak singkong pada penelitian ini adalah 1,20%. Widowati et al. (2009) melaporkan bahwa kadar lemak beras IR42 1,23%. Nilai kadar lemak beras yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,01%. Kadar lemak yang tinggi diikuti dengan peningkatan persentase rendemen (Tabel 3). Lemak yang ada dapat berfungsi sebagai pelumas pada mesin ekstruder sehingga mempermudah
14
pengeluaran dan pencetakan adonan. Menurut Bhattchrya dan Prakash (1994), kadar lemak yang tinggi menyebabkan densitas kamba meningkat. Hal ini disebabkan lemak memiliki berat molekul yang tinggi sehingga akan menghasilkan densitas kamba yang tinggi. a
b
c
d
e
Gambar 5 Komposisi terpilih beras tiruan (beras:jagung:singkong). komposisi beras:jagung:singkong = 1:0:0 suhu ekstruder 80 °C, komposisi beras:jagung:singkong = 1:0:0 suhu ekstruder 90 °C, komposisi beras:jagung:singkong = 1:3:1 suhu ekstruder 80 °C, komposisi beras:jagung:singkong = 2:0:1 suhu ekstruder 90 °C, komposisi beras:jagung:singkong = 1:0:1 suhu ekstruder 90 °C.
(a) (b) (c) (d) (e)
Menurut Ade et al. (2009), densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan terhadap volumenya. Densitas kamba suatu bahan pangan
15
penting untuk diketahui terutama dalam hal pengemasan produk tersebut juga dalam penyimpanan dan transportasi. Nilai densitas kamba yang besar akan membutuhkan tempat yang lebih kecil begitupun sebaliknya. Densitas kamba mempengaruhi jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan biaya produksi bahan tersebut. Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis sidik ragam, nilai densitas kamba beras tiruan menunjukkan perbedaan pada tiap perlakuan (Lampiran 5). Pada uji lanjut tukey menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada tiap perlakuan kecuali komposisi beras:jagung:singkong =1:3:1 dan suhu ekstruder 90 °C serta beras:jagung:singkong = 2:0:1 dan suhu ekstruder 90 °C menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Lampiran 5), dan mempunyai nilai yang rendah dibandingkan dengan komposisi lainnya. Produk makanan yang memiliki densitas kamba yang rendah akan menimbulkan efek cepat kenyang sehingga sangat baik bagi orang yang menjalankan diet. Densitas kamba juga berkaitan dengan kadar amilosa. Produk pati yang mengandung kadar amilosa yang tinggi akan mengalami tingkat retrogradasi yang tinggi diantara granula-granula. Pengembangan granula akibat gelatinisasi akan menyebabkan rusaknya molekul pati yang menyebabkan amilosa keluar dari granula. Amilosa yang keluar akan berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan amilopektin di pinggir-pinggir granula menjadi semacam jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Thomas et al. 1997). Berdasarkan kadar amilosanya, beras (tidak termasuk beras ketan) dapat dikelompokkan menjadi beras beramilosa rendah, yaitu kadar amilosanya 10-20%; beras beramilosa sedang, yaitu mengandung 20-25%; dan beras beramilosa tinggi mengandung 25-33%. Semakin tinggi kadar amilosa, volume nasi yang diperoleh semakin besar tanpa kecenderungan mengempes, karena amilosa mempunyai kemampuan retrogradasi yang lebih besar (Haryadi 2008). Komposisi beras:jagung:singkong=1:3:1dan suhu ekstruder 90 °C dikelompokkan dalam beras beramilosa sedang dengan nilai 24,62%. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan terhadap kadar amilosa . Hasil uji lanjut tukey, komposisi beras:jagung:singkong=1:3:1 dan suhu ekstruder 90 °C menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 5). Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang (Thomas et al. 1997). Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna. Penelitian terhadap pangan menunjukkan bahwa kadar gula darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi. Pangan yang mampu menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik (IG) rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Komposisi beras:jagung:singkong =1:3:1 dan suhu ekstruder 90 °C adalah komposisi yang baik dan berpeluang untuk menurunkan kadar glukosa darah sehingga sangat bermanfaat bagi pasien diabetes melitus. Beberapa penelitian berkaitan dengan beras tiruan menunjukkan nilai kadar amilosa yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Budijanto dan Yulianti (2012), beras analog dari sorgum jenis Genjah memiliki nilai kadar amilosa 21,18%. Fitriani et al. (2011) melakukan pembuatan beras tiruan dari pati sagu dan tepung kacang hijau memiliki kisaran nilai kadar amilosa 5,09 – 8,15%. Kadar amilosa sorgum dan pati sagu lebih rendah dibandingan dengan beras tiruan campuran beras, jagung, dan singkong. Beras dan jagung merupakan bakal tanaman untuk tumbuh dan
16
mengandung komponen minor seperti protein dan lemak (Shih 2004; Godber dan Juliano 2004) yang berpengaruh terhadap tingginya kadar amilosa dan rendahnya daya cerna pati dibandingkan pati sagu. Komposisi bahan pada pembuatan beras tiruan juga mempengaruhi kadar amilosanya. Pada penelitian ini, jumlah tepung jagung adalah sebesar 3/5 dari seluruh bahan sehingga memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap nilai kadar amilosa beras tiruan jika dibandingkan dengan sorgum yang juga digolongkan ke dalam serealia. Amilosa memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen dengan air dan terdiri dari unit glukosa yang terikat dengan ikatan α-1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Akibatnya, amilosa bersifat mudah menyerap air dan melepaskannya atau lebih cepat mengalami sineresis dan mengkristal, sehingga semakin tinggi kandungan amilosa dalam beras tiruan maka kadar airnya semakin rendah (Thomas et al. 1997). Kadar air merupakan faktor penting dalam menentukan umur simpan produk pangan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan, dan hasil uji lanjut tukey menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan beras:jagung:singkong=1:0:1 dan suhu ekstruder 90 °C dengan nilai sebesar 14,38% berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya (Lampiran 4). Hasil analisis ragam terhadap nilai kadar abu dan kadar lemak menunjukkan adanya perbedaan. Hasil uji lanjut tukey menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan nilai tertinggi pada komposisi beras:jagung:singkong=1:3:1 dan suhu ekstruder 90 °C (Lampiran 4). Hal ini disebabkan oleh komposisi tersebut adalah campuran dari ketiga sumber karbohidrat sehingga lebih kaya akan mineral dan lemak yang tinggi akibat penambahan tepung jagung yang lebih dominan. Hasil analisis ragam dan uji lanjut tukey terhadap kadar protein dan karbohidrat menunjukkan hasil berbeda nyata (Lampiran 4). Kadar protein dan karbohidrat menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai tertinggi berturut-turut sebesar 9,96% dan 76,82% yang masing-masing dihasilkan pada perlakuan kombinasi beras:jagung:singkong=1:0:1, suhu ekstruder 90 °C dan beras:jagung:singkong=2:0:1, suhu ekstruder 90 °C.
Kesimpulan Komposisi beras:jagung:singkong 1:0:0 suhu ekstruder 80 °C, 1:0:0 suhu ekstruder 90 °C, 1:3:1 suhu ekstruder 90 °C, 2:0:1 suhu ekstruder 90 °C, dan 1:0:1 suhu ekstruder 90 °C adalah komposisi terpilih berdasarkan nilai sensori. Komposisi beras:jagung:singkong 1:3:1 suhu 90 °C adalah komposisi terbaik berdasarkan nilai kadar amilosa yang menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi lain sebesar 24,62%.