PENGARUH PROPORSI TEPUNG PORAN DENGAN TEPUNG TAPIOKA DAN KONSENTRASI SORBITOL PADA PEMBUATAN BERAS TIRUAN BERBASISUBI-UMBIAN THE EFFECT OF PORANG FLOUR WITH TAPIOCA FLOUR AND SORBITOL ON ARTIFICIAL RICE PROCESS VickyRahmawati(1), Aji Sutrisno(2) 1) 2)
Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Dosen Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Abstrak Program diversifikasi produksi dan konsumsi merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mendorong meningkatnya ketahanan pangan dengan fokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti umbi-umbian. Beberapa komoditi pangan lokal yang dapat dikembangkan adalah ubi kayu dan umbi porang menjadi tepung tapioka dan tepung porang, sehingga diperlukan penelitian tentang proporsi tepung porang dengan tepung tapioka dan konsentrasi srbitol yang tepat agar menghasilkan beras tiruan yang dapat diterima oleh konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang dengan tepung tapioka berpengaruh nyata pada kadar air, kadar pati, kadar serat kasar, total kalori, kadar protein, kadar abu, cooking time, rehidrasi dan warna L*. Sementara perlakuan penambahan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar pati, total kalori, kadar abu, cooking time, rehidrasi dan warna L*. Perlakuan terbaik mie porang diperoleh pada kombinasi perlakuan penambahan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4% : 96%) dan konsentrasi sorbitol 3°brix. Dengan parameter protein 0,20333%; serat kasar 5,81333%; kadar pati 75,466%; total kalori 3751,63; kadar abu 0,22167%; kadar air 5,70667%; cooking time 34,6466menit; warna (L*) 50,8; rehidrasi 273,63%; warna beras 5,05; warna nasi 4,7; tekstur beras 4,2; tekstur nasi 3,8; aroma beras 4,15; aroma nasi 4,25 dan rasa nasi 4,55. Kata kunci: beras tiruan, porang, tapioka, sorbitol Abstract Production and consumption of diversivication program is one of government program to increase food endurance , focused in using local food potention, such as tubers. Local food commodity that can be developed are cassava and porang to be tapioca flour and porang flour. So, the research about the right amount of porang flour with tapioca flour and sorbitol concentration is needed to produce the artificial rice that can be accepted by consumers. The results showed that treatment with the addition of porang flour with tapioca flour and sorbitol concentration are significantly affecting the characteristic parameters of protein, fiber, ash, water, content , starch, total calorie, color brightness, rehydration, cooking time, and for organoleptic characteristic as follows color, taste, aroma, and texture. The best treatment has been obtained from proportion of porang and tapioca flour 4:96 and sorbitol concentration 3obrix with protein 0,20333%, fiber 5,81333%, starch 75,466%, calorie 3751,63 cal/g, ash 0,22167%, water content 5,70667%, cooking time 34,6466 minutes, color brighness (L*) 50,8, rehydration 273,63%, rice color 5,05 (somewhat like), cooked rice color 4,7 (neutral), rice texture 4,2 (neutral), cooked rice texture 3,8 (somewhat don’t like), rice aroma 4,15 (neutral), cooked rice aroma 4,25 (neutral), and cooked rice taste 4,55 (neutral). Keywords: atficial rice, porang flour, tapioca flour, sorbitol
Pendahuluan Pangan merupakan kebutuhan dasar setiap orang untuk dapat mempertahankan hidup. Kebijakan dalam ketahanan pangan merupakan fokus utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pertanian. Salah satu kebijakan pemerintah untuk mendorong meningkatnya ketahanan pangan adalah dengan program diversifikasi produksi dan konsumsi, dengan fokus pada pemanfaatan potensi pangan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian. Bagi Indonesia, masalah pangan, khususnya beras, menjadi persoalan besar. Ketergantungan konsumsi pangan berbasis beras menyebabkan Indonesia menjadi negara importir beras mencapai 2,16 juta ton pada tahun 2011 (Badan Ketahanan Pangan , 2012). Sebagaimana orang kenal bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Banyak sekali jenis pertanian yang bisa dikembangkan di Indonesia, salah satunya adalah umbi porang dan ubi kayu menjadi tepung porang dan tepung tapioka. Meski sama-sama mengandung karbohidrat, umbiumbian dianggap kurang elit sehingga makin ditinggalkan dan digantikan nasi yang berasal dari padi-padian. Sedangkan apabila dilihat dari kandungan seratnya, singkong dan ubi lebih sehat daripada nasi. Pemanfaatan dari kedua bahan baku tersebut dapat menggantikan fungsi terigu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan beras tiruan , sehingga diharapkan mampu meningkatkan konsumsi umbi-umbian di Indonesia. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2011), konsumsi umbiumbian di Indonesia rata-rata hanya mencapai 51,7 persen. Sebaliknya padi-padian semakin populer sehingga tingkat konsumsinya mencapai 118,5 persen lebih tinggi dari yang dianjurkan. Tepung porang merupakan hidrokoloid larut air yang berasal dari pemurnian tepung porang kasar menggunakan larutan alkohol (ekstraksi basah). Pemurnian tersebut akan mengendapkan glukomanan dan membersihkannya dari pati yang larut (Chan and Albert , 2009). Kemampuan glukomanan mengikat air akan menjadi lebih stabil dengan penambahan Ca(OH)2 karena akan membentuk gel yang bersifat thermo-irreversible. Gel tersebut akan tetap stabil dengan adanya pemanasan yang berulang-ulang pada suhu 100 0C bahkan pada suhu 200 0C. Sifat inilah yang diharapkan untuk diaplikasikan dalam pembuatan
beras tiruan sebagai pengganti fungsi gluten yang ada pada tepung terigu. Pembuatan beras tiruan dari tepung porang dilakukan dengan penambahan tepung tapioka. Selain mempunyai sifat yang mudah mengembang dan cepat tergelatinisasi oleh pemanasan dengan air, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Kandungan kalori yang tinggi dalam tepung tapioka dapat dijadikan sebagai sumber karbohidrat (Subagio, 2008). Untuk mempertahankan warna, dilakukan perlakuan perendaman dengan sorbitol sebagai humektan yang berfungsi melindungi dan melawan hilangnya kandungan moisture serta tidak mengalami reaksi maillard pada suhu tinggi. Beras tiruan berbasis pangan lokal ini dibuat dalam bentuk kering, Selain akan mempermudah proses pengemasan dan distribusi, beras akan mempunyai umur simpan yang lebih lama. Penelitian tentang pembuatan beras tiruan yang berbahan baku tepung porang dengan tepung tapioka dan perendaman sorbitol belum pernah dilakukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh proporsi atau formulasi yang sesuai antara penggunaan tepung porang dengan tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol dalam menghasilkan beras tiruan dengan karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik yang baik. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka yang diperoleh dari toko Avia Malang. Chip porang yang diperoleh dari Desa Sukiwaras, Kecamatan Nguyu Nganjuk. Bahan tambahan yang digunakan adalah Kalsium hidroksida (Ca(OH)2, asam sitrat, dan sorbitol yang diperoleh dari toko kimia Makmur Sejati Malang. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa diperoleh dari toko kimia Makmur Sejati Malang. Bahan kimia yaitu etanol 85%;65%;45%,asam format NaOH PA. Bahan analisa dengan kemurnian teknis yaitu aquades, silika gel, dan kertas saring halus dan kasar. Alat Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung porang dan pemurnian
glukomannan adalah cabinet dryer, timbangan analitik merk XP-1500 (Jerman), ayakan 30 mesh dan 80 mesh, cyclone terbuat dari filamen fiber dan pipa PVC dengan diameter ±7 cm, penumbuk menggunakan stamp mill, mikroskop, blender merk Miyako, dan glassware. Alat yang digunakan untuk analisa adalah glassware, timbangan analitik (Metler AE 160), desikator (merk Simax), oven kadar air (merk Memmert tipe U.30 kapasitas 220 0C), perangkat titrasi (merk Metrohm Herisau Multi Burrete E 485), spectrophotometer (Unico UV-2100), kurs porselin, cawan, kompor listrik (merk Maspion), colorider, dan universal testing instrument model lyod.
Pembuatan Beras Tiruan Tepung porang direndam dalam 100ml air sampai menjadi gel sempurna. Tepung tapioka dimasukkan kedalam porang yang telah direndam air, kemudian diuleni sampai kalis. Adonan yg kalis selanjutnya dicampur dengan Ca(OH) 2 1% 1ml. Adonan dimasukan kedalam cetakan pasta kemudian dipotong pendek-pendek menyerupai beras. Direbus menggunakan air panas (suhu 80 0 C) selama 7 menit. Lalu diangkat, ditirskan, dan direndam dalam larutan asam sitrat 0,02% selama 30 menit. Kemudian ditiriskan dan direndam dalam larutan sorbitol 0, 3, dan 6°brix selama 30 menit. Ditiriskan lalu Dikeringkan menggunakan pengering kabinet otomatis pada suhu 60 0C selama 4 jam.
Metode Analisis Data Penepungan Chip Porang Chip porang sebanyak 1,5 Kg dimasukkan kedalam lumpang batu dan ditumbuk dengan kecepatan alat 11,0 (58 tumbukan per menit) selama 15 jam kemudian penumbukan dihentikan dan dilakukan fraksinasi menggunakan exhauster blower yang dialirkan ke dalam cyclone, untuk memisahkan fraksi berat dan fraksi ringannya. Setelah proses fraksinasi selesai, akan didapatkan fraksi berat dan fraksi ringan Fraksi berat kemudian diayak menggunakan ayakan 30 mesh dan dilanjutkan dengan ayakan 80 mesh. Selanjutnya diperoleh tepung porang yang siap untuk dimurnikan.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial (2 faktor) yaitu faktor I proporsi tepung porang dengan tepung tapioka, faktor II konsentrasi sorbitol. Dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga menghasilkan 27 satuan percobaan. Faktor I proporsi tepung porang : tepung tapioka T1 : tepung porang 4% : tepung tapioka 96% T2 : tepung porang 6% : tepung tapioka 94% Faktor II Konsentrasi sorbitol H1 : Konsentrasi 0°brix H2 : Konsentrasi 3°brix H3 : Konsentrasi 6°brix
Pencucian Tepung Porang 100 gram tepung porang dilarutkan dalam 200ml etanol 45% dan diaduk menggunakan homogenizer selama 30 menit, setelah itu didekantasi sehingga terjadi pemisahan pelarut (etanol) dari endapan (tepung porang). Dilarutkan kembali menggunakan larutan etanol 65% dan 85% seperti prosedur etanol 45% agar didapatkan tepung porang murni yang sudah tidak mengandung kalsium oksalat. Kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 600 C selama 1 jam,sehingga diperoleh Diperoleh ekstrak glukomannan kasar yang siap digunakan dalam pembuatan beras tiruan.
Metode analisis sidik ragam (ANOVA = Analysis of Variance) dilanjutkan dengan uji BNT atau DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) digunakan untuk menguji hasil analisis fisik. Sedangkan metode Non Parametrik Dua Arah (Friedman) digunakan untuk menguji hasil analisis organoleptik. Analisis data menggunakan selang kepercayaan sebesar 5%. Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode indeks efektifitas (De Garmo).
Hasil dan Pembahasan Kadar Air Rerata kadar air dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 4,87% 6,83%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar air beras tiruan.
pengukuran kadar air sedikit karena antara sorbitol dan air terjadi ikatan kovalen gugus O dan H sorbitol dan gugus O dan H air. Zubaidah (2002) juga menyebutkan bahwa sorbitol sebagai humektan yang merupakan agensia pengikat air dalam makanan atau air bebas yang terdapat dalam bahan diikat oleh sorbitol. Semakin tinggi penambahan sorbitol maka air bebas yang dapat diikat dan ditahan dalam bahan juga semakin banyak . Kadar Pati Rerata kadar pati dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 103,86% 121,32%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar pati beras tiruan.
Gambar 1. Rerata Kadar Air Beras Tiruan Semakin tinggi proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi kadar air beras tiruan. Peningkatan kadar air diduga disebabkan oleh adanya glukomannan yang terdapat dalam tepung porang. Glukomannan mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi hingga 200 kali beratnya dan mampu menghambat sineresis. Hal ini menyebabkan air yang telah terikat pada produk sulit dilepaskan saat proses pengeringan. glukomannan merupakan polisakarida hidrokoloid yang terdiri dari residu D-Glukosa dan D-Mannosa yang diikat bersamasama dalam ikatan ß-1,4 glikosida dan β 1,6 glikosida senyawa inilah yang mempunyai kemampuan mengikat air (Chan, 2008). Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin tinggi kadar air beras tiruan. Karena sorbitol merupakan bahan yang dapat mengikat air dengan baik, sehingga susah melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan. Hal ini sesuai dengan Mustika (2006) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi penambahan sorbitol kadar air bahan akan semakin tinggi, yang disebabkan karena air bebas yang terdapat dalam bahan diikat oleh sorbitol, semakin tinggi konsentrasi sorbitol maka air bebas yang terikat dalam bahan juga semakin banyak sehingga air yang diuapkan pada saat pengeringan pada
Gambar 2. Rerata Kadar Pati Beras Tiruan Semakin rendah proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi kadar pati beras tiruan. Peningkatan kadar pati diduga disebabkan karena adanya penggunaan proporsi tepung tapioka yang lebih besar, dimana tepung tapioka mempunyai kandungan pati yang tinggi dibandingkan tepung porang. Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin rendah kadar pati beras tiruan. Hal ini diduga karena kemampuan sorbitol 6°brix yang lebih higroskopis daripada sorbitol 0°brix, sehingga kadar air pada konsentras i sorbitol 0°brix lebih kecil daripada sorbitol 6°brix. Pada umumnya bahan makanan tersusun oleh tiga pokok komponen yaitu karbohidrat, protein dan lemak serta turunannya, sedangkan sisanya yang hanya sebagian kecil terdiri dari bermacammacam zat organik serta air. Semakin kecil kadar air pada bahan makanan menunjukkan semakin
besar kadar komponen padatan pada bahan makanan tersebut (Anonymous, 2012). Semakin kecil kadar air pada beras tiruan menandakan semakin banyak total padatan pada beras tiruan. Sehingga kadar pati yang merupakan salah satu komponen padatan beras tiruan pada konsentrasi sorbitol 0°brix menjadi lebih tinggi daripada konsentrasi sorbitol 6°brix. Total Kalori Rerata total kalori dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 103,8 kal/gram - 121,32 kal/gram. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap total kalori beras tiruan.
Gambar 3. Rerata Total Kalori Beras Tiruan Semakin rendah proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi total kalori beras tiruan. Kenaikan total kalori diduga disebabkan oleh sedikitnya kalori yang terkandung dalam tepung porang. Menurut anonymous (2005), tepung porang adalah serat murni larut air, tanpa kanji dan gula, tidak mengandung kalori, dan bebas gelatin Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin tinggi total kalori beras tiruan. Hal ini diduga karena komposisi dari sorbitol menurut Calori Control Councill (2001) adalah kalori sebanyak 2,6 kal, dan karbohidrat kurang dari 1,0 gram. Kadar Serat Kasar Rerata kadar serat kasar dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 5,80% 8,22%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang :
tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar serat kasar beras tiruan.
Gambar 4. Rerata Kadar Serat Kasar Beras Tiruan
Semakin tinggi proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi kadar serat kasar beras tiruan. Peningkatan kadar serat kasar diduga disebabkan karena tepung porang mengandung glukomannan yang merupakan komponen terbesar dan dapat memberikan sumber kontribusi serat kasar pada beras tiruan. Menurut Thomas (1999), tepung porang mempunyai kadar serat kasar 10,74% dalam bentuk sellulosa. Glukomannan ternyata mempunyai sifat-sifat antara selulosa dan galaktomannan, yaitu dapat mengkristal dan dapat membentuk struktur serat-serat ringan. Keadaan ini mengakibatkan glukomannan mempunyai manfaat yang lebih luas dari pada sellulosa dan galaktomannan (Ohtsuki, 1968 dalam Syaefullah, 1990). Semakin banyak proporsi tepung porang yang ditambahkan, maka kadar selulosa pada tepung tersebut akan semakin besar sehingga jumlah serat kasar semakin meningkat. Kadar Protein Rerata kadar protein dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 0,14% 0,26%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar protein beras tiruan.
Gambar 5. Rerata Kadar Protein Beras Tiruan Semakin tinggi proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi kadar protein beras tiruan. Kenaikan kadar protein diduga disebabkan oleh kandungan protein pada porang yang lebih tinggi yaitu 3,42% (Arifin. 2001) sedangkan tapioka hanya 0,19% (Departemen Kesehatan RI, 1996). Sehingga semakin banyak penggunaan proporsi tepung porang pada beras tiruan, maka kadar protein beras tiruan akan semakin tinggi. Kadar Abu Rerata kadar abu dari beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berkisar antara 0,17% 0,25%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar abu beras tiruan.
pula zat anorganik yang terdapat pada sampel. Zat anorganik dapat diperoleh dari proses pembuatan tepung tapioka. Sedangkan dalam pembuatan tepung porang sudah dapat dipastikan melalui proses yang benar dan terjamin mutunya, sehingga kemungkinan kontaminasi zat-zat anorganik sangat minim sekali. Selain itu kandungan mineral tepung porang 0,1% dan tepung tapioka 0,6% (anonymous,2010). Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan rerata kadar abu cenderung menurun, namun tingkat penurunannya tidak terlalu signifikan hanya berkisar 0,03%. Hal ini diduga molekul yang menyusun sorbitol dan gliserin hanya C, H dan O, sehingga pada saat dilakukan uji kadar abu semua komponen selain mineral hilang karena suhu pemanasan yang sangat tinggi. Cooking Time Cooking time merupakan waktu yang dibutuhkan oleh beras tiruan agar tergelatinisasi dengan sempurna saat dimasak. Hasil analisa terhadap cooking time pada beras tiruan berkisar antara 32 menit – 47,7 menit. Analisa ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap cooking time beras tiruan.
Gambar 7. Rerata Cooking Time Beras Tiruan
Gambar 6. Rerata Kadar Abu Beras Tiruan Semakin tinggi proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin rendah kadar abu beras tiruan. Penurunan kadar abu diduga disebabkan oleh semakin rendahnya tepung tapioka yang digunakan, sehingga semakin kecil
Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin banyak konsentrasi porang yang ditambahkan mengakibatkan semakin lama waktu pemasakannya (cooking time). Semakin tinggi absorbsi air maka waktu pemasakan akan semakin lama. Absorbsi air pada beras tiruan diduga dipengaruhi oleh adanya glukomannan. Proporsi tepung porang yang ditambahkan semakin banyak menyebabkan jumlah glukomannan juga menjadi
lebih tinggi, sehingga membutuhkan waktu yang lama bagi glukomannan untuk mengikat air dari sekitarnya. Menurut Boelhasrien (1979) dalam Ashadi (2005) glukomannan memiliki beberapa sifat istimewa, antara lain pengembangan dalam air dapat mencapai 138-200%, dimana pati hanya mampu mengembang 25%. Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin tinggi cooking time beras tiruan. Hal ini diduga karena sebelum air berikatan dengan produk beras tiruan, air akan berikatan terlebih dahulu dengan sorbitol yang melapisi produk. Menurut Perry (1999), sorbitol berupa bubuk kristal putih yang higroskopis, mempunyai sifat yang larut dalam air, gliserol, dan propylene glycol, namun tidak dalam hampir semua pelarut organik. Daya Rehidrasi Daya rehidrasi merupakan kemampuan penetrasi dari air mendidih yang diberikan pada beras tiruan. Semakin rendah daya rehidrasi maka penyajian beras akan berlangsung dalam waktu yang lebih singkat. Hasil analisa terhadap daya rehidrasi pada beras tiruan berkisar antara 263,5% – 280,2%. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap daya rehidrasi beras tiruan
antara lain mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih besar. Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin tinggi daya rehidrasi beras tiruan. Hal ini diduga karena sorbitol mampu mengikat air karena sifatnya yang higroskopis. Menurut Perry (1999), sorbitol berupa bubuk kristal putih yang higroskopis, mempunyai sifat yang larut dalam air, gliserol, dan propylene glycol, namun tidak dalam hampir semua pelarut organik. Kecerahan Warna Rerata tingkat kecerahan (L*) dari beras tiruan berkisar antara 46,3 – 52,8. Analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap kecerahan warna (*L) beras tiruan.
Gambar 9. Rerata Kecerahan Warna Beras Tiruan
Gambar 8. Rerata Daya Rehidrasi Beras Tiruan Semakin tinggi proporsi tepung porang yang digunakan maka semakin tinggi daya rehidrasi beras tiruan. Peningkatan daya rehidrasi diduga disebabkan oleh banyaknya tepung porang yang ditambahkan. Tepung porang mengandung glukomannan yang cukup tinggi yaitu sebesar 64,77% (Kurniawati, 2010). Glukomannan mempunyai beberapa sifat fisik yang istimewa
Semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang digunakan maka semakin tinggi tingkat kecerahan warna (L*) beras tiruan. Hal ini diduga karena sorbitol dapat melindungi sampel dari reaksi maillard karena sorbitol adalah hukmektan yang bersifat tidak reaktif terhadap pemanasan . Menurut Fachruddin (1998) secara kimiawi sorbitol sangat tidak reaktif dan stabil, dapat berada pada suhu tinggi dan tidak mengalami reaksi maillard (pencoklatan). Sehingga semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang ditambahkan, warna produk semakin terjaga dari reaksi pencoklatan karena panas.
Warna Beras (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap warna beras tiruan berkisar antara 3,1-5,05 (agak tidak suka-agak suka). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan warna beras tiruan. Histogram rerata kesukaan panelis terhadap warna beras tiruan perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol dapat dilihat pada Gambar 10.
berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan warna nasi. Kecenderungan jumlah rangking terhadap warna nasi dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Rangking Kesukaan Warna Nasi
Gambar 10. Rangking Kesukaan Warna Beras Tiruan Gambar 10 menunjukkan bahwa perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan warna beras tiruan tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 3°brix, yaitu 5,05, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan warna beras tiruan terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 3,1. Menurunnya tingkat kesukaan warna beras tiruan diduga karena semakin besar proporsi tepung porang akan menyebabkan warna beras tiruan semakin coklat.
Warna Nasi (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap warna nasi berkisar antara 3,4-4,7 (agak tidak sukanetral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol
Gambar 11 menunjukkan bahwa perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan warna nasi tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 3°brix, yaitu 5,05, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan warna nasi terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 3,1. Menurunnya tingkat kesukaan warna beras tiruan diduga karena semakin besar proporsi tepung porang akan menyebabkan warna beras tiruan semakin coklat.
Tekstur Beras (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap tekstur beras tiruan berkisar antara 3,7-4,25 (agak tidak suka-netral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur beras tiruan. Kecenderungan jumlah rangking terhadap tekstur beras tiruan dapat dilihat pada gambar 12.
Gambar 12. Rangking Kesukaan Tekstur Beras Tiruan Tingkat kesukaan tekstur beras tiruan tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 4,25, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan tekstur beras tiruan terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 6°brix, yaitu 3,7. Menurunnya tingkat kesukaan tekstur beras tiruan diduga karena semakin besar proporsi tepung porang akan menyebabkan tekstur beras tiruan semakin terlihat berongga. Hal ini disebabkan oleh kandungan utama tepung porang yaitu glukomannan yang mempunyai sifat menjadi gel saat terkena air, sehingga saat dikeringkan air yang terperangkap dalam gel akan menguap dan membentuk rongga.
Tekstur Nasi (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap tekstur nasi berkisar antara 3,15-4 (agak tidak sukanetral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur nasi. Kecenderungan jumlah rangking terhadap tekstur nasi dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13. Rangking Kesukaan Tekstur Nasi Tingkat kesukaan tekstur nasi tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 4, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan tekstur nasi terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 6°brix, yaitu 3,15. Menurunnya tingkat kesukaan tekstur nasi diduga karena semakin besar proporsi tepung porang akan menyebabkan tekstur nasi semakin kenyal. Tekstur ini tidak disukai panelis karena tidak sesuai dengan karakteristik nasi pada umumya. Menurut Wang and Johnson (2006) Tepung porang sebagian besar terdiri dari senyawa polisakarida hidrokoloid, yaitu glukomannan dengan kelarutan tinggi baik dalam air panas maupun dingin, membentuk sol yang viscous dan membentuk gel. Sedangkan kesukaan tekstur paling tinggi terdapat pada konsentrasi sorbitol 0°brix. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi sorbitol, maka tekstur nasi yang dihasilkan semakin keras. Anonymous (2012) menyebutkan bahwa sorbitol digunakan sebagai suatu humektan (pelembab) pada berbagai jenis produk sebagai pelapis dan pelindung melawan hilangnya kandungan moisture. Terikatnya sorbitol dengan air menyebabkan tekstur bahan yang dilapisi menjadi lebih keras
Aroma Beras (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap aroma beras tiruan berkisar antara 4,1-4,2 (netral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan
pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma beras tiruan. Kecenderungan jumlah rangking terhadap aroma beras tiruan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Rangking Kesukaan Aroma
Beras Tingkat kesukaan aroma beras tiruan tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 4,2, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan aroma beras tiruan terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 6°brix, yaitu 4,1. Samanya tingkat kesukaan aroma beras tiruan diduga karena tepung porang maupun tepung tapioka dan sorbitol tidak mempunyai aroma spesifik atau netral.
Tingkat kesukaan aroma nasi tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 3°brix, yaitu 4,4, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan aroma nasi terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 3°brix, yaitu 4,15. Samanya tingkat kesukaan aroma nasi diduga karena tepung porang maupun tepung tapioka dan sorbitol tidak mempunyai aroma spesifik atau netral, sehingga walaupun diolah menjadi nasi aroma akan tetap netral. Rasa Nasi (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap rasa nasi berkisar antara 4,05-4,85 (netral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan rasa nasi. Kecenderungan jumlah rangking terhadap rasa nasidapat dilihat pada Gambar 16.
Aroma Nasi (Organoleptik) Rerata rangking kesukaan terhadap aroma nasi berkisar antara 4,15-4,4 (netral). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma nasi. Kecenderungan jumlah rangking terhadap aroma beras tiruan dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Rangking Kesukaan Aroma Nasi
Gambar 16. Rangking Kesukaan Rasa Nasi Tingkat kesukaan rasa nasi tertinggi adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (6 : 94) dan konsentrasi sorbitol 3°brix, yaitu 4,85, sedangkan perlakuan yang memiliki tingkat kesukaan rasa nasi terendah adalah pada proporsi tepung porang : tepung tapioka (4 : 96) dan konsentrasi sorbitol 0°brix, yaitu 4,05. Naiknya tingkat kesukaan rasa nasi diduga karena semakin besar proporsi tepung
porang akan menyebabkan rasa nasi akan lebih gurih karena rasa kanji (tapioka) dalam beras akan berkurang. Sedangkan kesukaan rasa paling tinggi terdapat pada konsentrasi sorbitol 3°brix. Hal ini diduga karena proporsi sorbitol yang sudah pas, apabila 0°brix akan menghasilkan rasa nasi yang hambar sedangkan pada konsentrasi sorbitol 6°brix akan menghasilkan rasa yang terlalu manis.
karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan beras tiruan.
Daftar Pustaka Anonymous, 1997. Makanan Tradisional Jawa Timur. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya. Malang
Kesimpulan Anonymous. 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung porang dengan tepung tapioka berpengaruh nyata pada kadar air, kadar pati, kadar serat kasar, total kalori, kadar protein, kadar abu, cooking time, rehidrasi dan warna L*. 2. perlakuan penambahan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar pati, kadar serat kasar, total kalori, kadar protein, kadar abu, cooking time, rehidrasi dan warna L*. 3. Hasil uji organoleptik terhadap interaksi beras tiruan, perlakuan proporsi tepung porang dengan tepung tapioka dan konsentrasi sorbitol berpengaruh nyata terhadap warna. 4. Hasil penentuan perlakuan terbaik menggunakan parameter organoleptik dan kimia adalah pada perlakuan proporsi tepung porang : tepung tapioka (4% : 96%) dan konsentrasi sorbitol 3°brix. Dengan parameter protein 0,20333%; serat kasar 5,81333%; kadar pati 75,466%; total kalori 3751,63; kadar abu 0,22167%; kadar air 5,70667%; cooking time 34,6466menit; warna (L*) 50,8; rehidrasi 273,63%; warna beras 5,05; warna nasi 4,7; tekstur beras 4,2; tekstur nasi 3,8; aroma beras 4,15; aroma nasi 4,25 dan rasa nasi 4,55.
Anonymous. 2005b. Sorbitol, Pemanis untuk Penderita Diabetes. http://www.suaramerdeka.com/haria n/0502/28/ragam4.htm. Tanggal akses 24 Februari 2012 Anonymous.
2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui memperbaiki karakteristik sifat fisik produk. Adanya glukomannan pada tepung porang dan tepung tapioka (kanji) menjadikan nasi yang terlalu kenyal Beras tiruan yang dihasilkan belum diketahui lama waktu simpannya. Oleh
2006a. What Is Konjac. http://www.konjacfood.com/propert ies.htm Tanggal akses 23 Februari 2012
Anonymous. 2006b. What Is Konjac Flour. http://www.konnyaku.com_data/ko njac2.html. Tanggal akses 23 Februari 2012 Anonymous. 2008. What Are The Advantage of Using Konjac Flour Rather than AH Purpose Flour. http://www.konjacfood.com/thicken er.htm. Tanggal akses 23 Februari 2012 Anonymous.
2010. Umbi Porang. http://indonetwork.co.id/ dpkusumofarmnusery /1662470/porang-chip-porangamorphophallus-oncophyllusprain.htm. Tanggal akses 24 Februari 2012
Anonymous.
2012. http://www.sorbitol.org. akses 24 Februari 2012
Saran 1.
2005a. Calsium Hidroxide. http://www.encyclopedia.com/html/ cl/ calcium.asp. Tanggal akses 23 Februari 2012
Sorbitol. Tanggal
Arifin, M.A. 2001. Pengeringan Keripik Umbi Iles-iles Secara Mekanik Untuk Meningkatkan Mutu Keripik Ilesiles. Thesis Teknologi Pasca Panen. PPS IPB Ashadi, R. W. dan H. Thaheer. 2005. Sistesis dan Krakterisasi Biodegradable Hydrogel Dari Amorphophallus Ocophyllus. Fakultas agribisnis dan teknologi pangan Universitas djuanda. Bogor. Astawan, M. 2004. Sehat Bersama Aneka Pangan Serat Alami. Tiga Serangkai. Solo. Badan
Badan
Ketahanan Pangan. 2011. Direktori Pengembangan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta Ketahanan Pangan. 2012. Direktori Pengembangan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta
Bayu. 2008. Porang Harta Terpendam di Belantara. http: //www.byufitrah.militanunair.com. Tanggal akses 23 Februari 2012 Boelhasrin, M.P. 1979. Prospek Pendayagunaan Iles-iles dalam Bidang Farmasi. Makalah seminar. Departemen Farmasi, MIPA-ITB. Bandung Bryant CM, Hamaker BR. 1997. Effect Of lime gelatinization of corn flour and starch. Cereal Chem 74(2): 171175. Cahyadi,
W. 2009. Analisa dan Aspek Kesehatan: Bebas Tambahan Pangan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Chan and Albert. 2008. Analisa dan Aspek Kesehatan: Bahan Tambahan Pangan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Chung, D.S. and D.I. Chang. 1982. Principles of Food dehydration. J. Food Protect. 45(5) : 457-478 De Garmo, E.D., W.G. Sullivan and J.R. Canada.1984. Engineering Economy. 7th edition. Mac Millan Publishing Company. New York. De Groot, J.E, Van Hulssen, C.J, en Koolhaas. 1939. Hemannameel, Chemisch Weekblad. Deel 36, No 5: 69-73 Fachruddin,
L. 1998. Memilih dan Memanfaatkan Bahan Tambahan Makanan. Trubus Agriwidya, Ungaran
1-3.Fardiaz, D. 1996. Pembentukan Sifat Fisiko Kimia Bahan Selama Proses Ekstursi, penggorengan dan Pemanggangan (dalam Pelatihan produk Olahan Ekstursi, Bakery dan Frying). Kantor Mentri Urusan Pangan. Bekasi Far-east
Industies. 2009. Konjac Gum Specification. http://www.fareastindustries.com. Tanggal akses 23 Februari 2012
Fellows, P.J. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practice. Ellis Howard Chan, A. 2005. Konjac Glukomannan Extraction Application In Food and Their Therapeutic Effects. Seminar “9th ASEAN Food Conference”. Jakarta. Gaman, P.M, and Sherrington. 1989. The Science of Food : an Introduction of Food Science, Nutrition and Microbiology. Pergamonn Press. Toronto Gogus, F and M. Maskan. 1998. Water Transfer in Potato During Air Drying. Driying Technol. 16(8) : 1715-1728 Hanif, Z. 1996. Pengaruh Cara Pengeringan dan Cara Ektraksi Terhadap
Rendeman dan Mutu Tepung Mannan Umbi Iles-iles Kuning (Amorphophallus Onchopillus PRAIN). Skripsi FATETA. IPB.
Tablet, Vol. 1, 2nd Edit. H.A Lieberman, L. Lacman dan J.B. Schwartz (Ed). Marcel Dekker, Inc, NY
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. UGM Press. Yogyakarta.
Hayakawa, T. 1985. Manufacturing of Instan Noodle. PT Sanmaru Food Corp
Muchtadi, D, C.H. Wijaya, S Koswara dan R. Afrina. 1995. Pengaruh Pengeringan Dengan Alat Pengering semprot dan Drum Terhadap Aktifitas Antitrombotik Bawang Putih da Bawang Merah. Bul. Teknol. Dan Industri Pangan 6(3) : 28-32
Joelijani, W. 2005. Produksi Pangan Olahan Alternatif dari Jagung dan Ubi Kayu. http://www.bppt.go.id/index.php?op tion. Tanggal akses 23 Februari 2012.
Mustika, M. 2006. Pengaruh Penambahan Sorbitol dan Waktu Pengovenan Terhadap Daya Simpan Gethuk Pisang Oven. Laporan In House Research. Balai Riset dan Standarisasi industri. Surabaya.
Johnson,
Oh, N.H., D.A. Seib, C.W. Deyoe and A.B. Ward. 1985. The Surface Firmness of Cooked Noodle from Soft and Hard Wheat Flour. American Association of Cereal Chemistry
Hawab,
Kharisma,
H.M. 2003. Pengantar Biokimia. Bayumedia Publishing. Malang.
A.
2002. Konjac Glucomannan. http://www.glucomannan.com tanggal akses 23 Februari 2012
D.CC. 2002. Potensi Aktivitas Antiagregasi Platelet Lalaplalapan dan Pemanfaatannya pada Jelly Agar: Poh-pohan (Pilea Trinervia), Kemangi (Ocnum Amelicanum) dan Daun Kemang (Mangivera Kemanga). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kurniawati, I. 2008. Studi Pembuatan Mie Instan Berbasis tepung Komposit dengan Penambahan Tepung Porang. Skripsi FTP-THP Universitas Brawijaya. Malang. Lingga, Pinus dkk. 1992. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya. Jakarta Meyer, L.H. 1960. Food Chemistry. Teinhald publishing. Co, wistport Conecticut Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablet dalam: Pharmacheutical Dossage Vorms:
Ohtsuki,
T.
1968. Studies on Reverse Carbohydrates of Flour Amorphophallus Species, with Special Reference to Mannan. Botanical Magazine Tokyo 81: 119126
Peiying, L., Z. Shenglin, Z., Gohua, C., Yan, O., Huaxue, H., Mei, W., zhongfeng, X., wei dan P. Hongyi. 2002. Profesional Standart of The People republic of Chinafor Konjac Flour. NY/T : 494-2002 Perry.
1999. Perry’s Chemical Engineers’ Handbook. McGraw-Hill. America
Pomeranz, Y. 1985. Functional Properties of Food Components. AcademicsPress Inc. New York Pulungan, M.H, Suprayogi, Beni Yudha. 2004. Membuat Effervescent Tanaman Obat. Trubus Agrisarana. Surabaya
Purnomo, E. 1992. Penyamakan Kulit Ayam. Kanisius. Yogyakarta Purwadaria, H.K. 2001. Pengembangan Proses Fraksinasi untuk Meningkatkan Mutu Tepung Iles-iles (Konjac Flour) untuk Ekspor. Laporan akhir tahun RUT VIII. 1. Tahun Anggaran 2001. FATETA, IPB. Bogor Rismunandar,
1996. Rempah - Rempah Komoditas Eksport Indonesia. Sinar Baru. Bandung
Rodrigues, M. dkk. 1996. Influence of The Structural Changes During Alkaline Cooking On the Thermal, Rheological and Dielectric Properties of Corn Tortillas. Cereal Chemistry. 73 (5): 593-601 Romlah. 1997. Sifat Fisik Adonan Mie dan Beberapa Jenis Tepung Gandum dengan Penambahan Kansui, Telur, dan Tepung Ubi Kayu. Thesis Master UGM. Yogyakarta Said, S. 1995. Mutu Umbi (Amorphophallus Jawa Sebagai Industri. Warta Besar Litbang Pertanian. No 6. Samad, M. Y.
Iles-iles Liar Onchopillus) Bahan Baku AKAB. Balai Industri Hasil
2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubikayu dan Sagu. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003. Vol. II. Hal 3640/Humas-BPPT/ANY, BPPT. Jakarta
Shadmani A, Azhar I, Mazhar F, Hassan MM, Ahmed SW, Ahmad I, Usmanghani K, and Shamim S. 2004. Kinetic studies on Zingiber officinale. Pakistan Journal of Pharmaceutical Sciences 17:47-54
Soekarto. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara, Jakarta. 121 hal. Subagio, A. 2008. Prosedur Operasi Standart Produksi Tapioka Berbasis Klaster. Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. IPB. Bogor Subarna, 1992. Baking Technology. Pelatihan Singkat Prinsip-Prinsip Teknologi Bagi Food Inspectur. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor Sudarmadji, S.B., Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. PT. Liberty. Yogyakarta Suhirman, S, Sri Yuliani, Eddi Imanuel, dan M Pandji Laksmanahardja. 1998. Penelitian Pengolahan Lanjut dan Penganekaragaman Hasil Tanaman Iles-iles. Puslitbangtri. Susanto, T dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT Bina Ilmu. Surabaya. Syaefullah,
M. 1990. Studi Karakteristik Glukomannan dari Sumber Indegeneous Amorphophallus Onchopillus dengan Variasi Proses Pengerinagn dan Dosis Perendaman. Thesis Fakultas Pasca Sarjana
Thomas W.R. 1997. Thickening and Gelling Agent for Food. Blackie Academic Press. London. Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia Dan Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan Dan Gizi UGM. Yogyakarta. Tri Radiyati dan Agusto, W.M. 1990. Tepung Tapioka (Perbaikan). Subang : BPTTG Puslitbang Fisika Terapan – LIPI, 1990 Hal. 10-13.
Trisusanto. 1974. Pengeringan Salah Satu Cara pengawetan Hasil Pertanian. Agrivita 4-5 : 9-12 Wang, W and A. Johnson. 2006. Konjac Introduction. http:///www.cybercolloid.net/library /konjac/introduction.php. Tanggal akses 23 Februari 2012 Whitt, B. 2002. Genetic Diversity and Selection in The Maize Starch Pathway. PNAS Vol. 99 No.20: 12959-12962. www.pnas.org/cgi/dos/10.1073/pnas . Tanggal akses 24 Februari 2012. Winarno, F.G. dan W.P. Rahayu. 1992. Ilmu Gizi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yudiani, E. 1994. Pengaruh Perendaman Irisan Umbi Dalam Larutan NaHSO3 Terhadap Derajat Keputihan dan Kadar Glukomannan Tepung Iles-Iles. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta. Yuwono, S dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik. FTP. Unibraw. Malang. Zubaidah, E. 2002. Pengaruh Penambahan Sorbitol dan Pengovenan Setelah Proses Terhadap Daya Simpan Produk Seminar Nasional. PATPI. Malang.