III.
METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras (Oryza sativa Linn) dan beras ketan (Oryza sativa glutinosa) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH 0.25%, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, 60% NaOH-5% Na2S2O3, H3BO3, indikator metilen red-metilen blue, HCl 0.02 N, heksana, Na2S2O3.5H2O, Na2CO3, KIO3, KI, HCl 2 N, indikator pati, HCl 25%, indikator phenolptalein, NaOH 45%, pereaksi Luff Schoorl, KI 20%, H2SO4 26.5%, Na2S2O3 0.1 N, amilosa murni, etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1 N, dan larutan iod. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Texture Analyzer XT-2i (Stable Micro System Ltd, UK), Rapid Visco Analyzer (RVA) TechMaster (Newport Scientific Pty Limited, Australia), Deep Fat Fryer (Cecilware Corp., USA), wadah stainless steel, kain kasa, kertas saring, oven, neraca digital, spektrofotometer, pengaduk gelas, termometer, hot plate, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, nampan, botol semprot, kemasan alumunium, timbangan, wadah untuk merendam, blender kering, ayakan 100 mesh, cawan alumunium, desikator, gegep, neraca analitik, sudip, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes, pengaduk kaca, alat destilasi, erlenmeyer, buret, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, kapas, gelas piala, labu takar, pendingin balik, alumunium foil, corong, dan kuvet.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) karakterisasi tepung beras dan tepung beras ketan, (2) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap profil gelatinisasi, (3) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, (4) kajian pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan, dan (5) kajian pengaruh kadar air berdasarkan lama goreng terhadap kerenyahan dan kekerasan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
1. Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan a.
Penepungan Beras dan Beras Ketan Pada tahap persiapan bahan dilakukan penepungan beras dan beras ketan. Penepungan dilakukan dengan menggunakan alat Pin Disc Mill (Gambar 2). Diagram alir pembuatan tepung beras dan tepung beras ketan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 2. Pin Disc Mill
8
Beras atau Ketan
Tahap I :
Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan 1. Penepungan beras dan beras ketan 2. Analisis kimia dan fisik tepung beras dan tepung beras ketan
Tahap II :
Kajian Pengaruh Rasio AmilosaAmilopektin terhadap Profil Gelatinisasi
Tahap III :
Tahap IV :
Tahap V :
Kajian Pengaruh Rasio AmilosaAmilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan 1. Perhitungan rasio amilosaamilopektin 2. Formulasi adonan 3. Penentuan suhu dan lama goreng 4. Pembuatan model produk gorengan 5. Pengaruh rasio amilosaamilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan
Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan dan Kekerasan
Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan Kekerasan
Gambar 3. Diagram alir penelitian
9
Beras atau Beras ketan
Direndam 1 malam
Ditiriskan 30 menit
Dikeringkan dalam oven 60°C, 120 menit
Ditepungkan dengan Pin disc mill
Dikeringkan dalam oven 60°C, 120 menit
Diayak 100 mesh
Tepung beras atau tepung beras ketan 100 mesh
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung beras atau tepung beras ketan (Suksomboon & Onanong (2006) dengan modifikasi)
b. Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Karakterisasi terhadap tepung beras dan tepung beras ketan meliputi perhitungan proksimat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, densitas kamba, dan profil gelatinisasi pati. 1) Kadar Air, Metode Oven (AOAC 2006) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
10
dimana: bb = basis basah bk = basis kering 2) Kadar Abu, Metode Tanur (AOAC 2006) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang (B) kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 6000C selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Kemudian abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C).
3) Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC 2006) Sampel sebanyak ±100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan2±0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
4) Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 2006) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sebanyak 5 gram contoh (B) dalam bentuk potongan kecil dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi dan sokhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya
11
dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refuks selam 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C hinggga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang (C). Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
5) Kadar Karbohidrat (by difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan: dimana: A = kadar air (% bb) B = kadar abu (% bb) C = kadar lemak (% bb) D = kadar protein (% bb)
6) Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al 1997) Pembuatan larutan Luff Schoorl Air sebanyak 1 ml dicampurkan dengan 2.5 gram CuSO4.5H2O lalu diaduk. Larutan ini disebut larutan A. Air sebanyak 5 ml dicampurkan dengan 5 gram asam sitrat. Larutan ini disebut larutan B. Air mendidih sebanyak 40 ml dicampurkan dengan 38,8 gram soda murni (Na2CO3.10H2O). Larutan ini disebut larutan C. Larutan A dan B kemudian dicampurkan ke dalam larutan C (sambil digoyang-goyangkan), lalu didinginkan. Larutan tersebut kemudian ditera di dalam labu takar 100 ml. Standardisasi larutan Na2S2O3 0,1 N Sebanyak 12,5 gram Na2S2O3.%H2O dicampurkan dengan 0,15 gram Na2CO3 dalam labu takar 500 ml lalu ditera. Titrat dibuat dengan cara melarutkan 20 mg KIO 3 dalam 10 ml akuades lalu ditambahkan larutan KI 20% sebanyak 10 ml dan HCl 2 N sebanyak 10 ml, kemudian dititrasi dengan larutan larutan Na 2S2O3 yang telah dibuat sebelumnya. Titrasi dilakukan sampai titrat berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan indikator pati sebanyak 5 tetes, kamudian titrasi dilanjutkan sampai warna biru menghilang. Penghitungan normalitas larutan Na2CO3 adalah sebagai berikut :
12
Pengukuran sampel Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25% dimasukkan ke dalam gelas piala pendingin balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan larutan NaOH 45%. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Setelah 10 menit, dinginkan larutan secara cepat dengan merendam larutan dalam air es. Selanjutnya, 15 ml KI 20% dan 25 ml H2SO4 26.5% ditambahkan ke dalam larutan. Lakukan titrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan lanjutkan titrasi hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata. Penetapan bobot glukosa dilakukan dengan membandingkan volume Na2S2O3 yang digunakan dalam tabel Luff Schoorl (Lampiran 1). Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
dimana: Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel FP = faktor pengenceran 7) Kadar Amilosa (Apriyanto et al. 1989) Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 g amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95%, dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95°C selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetat 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.
13
Pengukuran sampel Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95°C selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100, ditambahkan air destilata hingga tanda tera, dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:
dimana: C = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir contoh (ml) W = bobot sampel (mg) FP = faktor pengenceran 8) Kadar Amilopektin Penentuan kadar amilopektin dihitung dari selisih antara kandungan pati dengan amilosa. Kadar amilopektin (%) = kadar pati (%) – kadar amilosa (%) 9) Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a gram) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 ml. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b gram)
10) Profil Gelatinisasi Pati (Singh et al. 2010) Analisis profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Sebelum dilakukan pengukuran dengan RVA, kadar air sampel harus diukur terlebih dahulu. Sejumlah sampel dan air destilata ditimbang dan dimasukkan ke dalam canister. Jumlah sampel dan air destilata ditentukan oleh program pada alat RVA sesuai dengan kadar air sampel. Selanjutnya, campuran tersebut diaduk menggunakan paddle plastik hingga bercampur sempurna untuk menghindari pembentukan gumpalan sebelum dimasukan ke dalam RVA. Sampel kemudian dimasukkan pada alat RVA dan dilakukan analisis. Selanjutnya,dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan yang diatur selama 23 menit. Sampel dipanaskan hingga suhu 30°C dan dipertahankan selama 1 menit. Kemudian sampel dipanaskan lagi hingga suhu 95°C selama 7.5 menit.
14
Suhu 95°C dipertahankan selama 5 menit sebelum didinginkan hingga suhu 50°C selama 7.5 menit.Suhu 50°C dipertahankan selama 2 menit. Parameter yang diamati adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95°C, viskositas pada suhu 50°C, viskositas breakdown, dan viskositas setback.
Gambar 5. Rapid Visco Analyzer
2. Kajian Pengaruh Gelatinisasi
Rasio
Amilosa-Amilopektin
terhadap
Profil
Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Kemudian setiap sampel dengan rasio amilosa-amilopektin tersebut diujikan sifat amilografinya dengan menggunakan RVA. Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan rasio amilosa-amilopektin terhadap sifat amilografi setiap sampel.
3. Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan a. Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran Tepung Beras dan Ketan Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan sehingga diperoleh beberapa sampel yang mewakili berbagai rasio amilosa-amilopektin. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan. Tabel 3. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dalam penentuan rasio amilosaamilopektin Jumlah Tepung Beras (gram)
Jumlah Tepung Beras Ketan (gram)
100 67 30 0
0 33 70 100
15
b. Formulasi Adonan Tahap ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada tepung gorengan sehingga diperoleh adonan dengan konsistensi terbaik. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan campuran tepung beras-ketan dengan air. Pembuatan adonan ini dilakukan dengan metode trial and error hingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan terbaik. Konsistensi dan campuran adonan terbaik ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Campuran tepung beras-ketan dibuat dalam berbagai perbandingan dengan air. Perbandingan tepung dan air yang diujikan sebanyak 4 formula (Tabel 4).
Tabel 4. Formulasi pembuatan adonan sampel Formula yang Diujikan
Perbandingan Tepung dan Air
A B C D
1:0.5 1:0.6 1:0.7 1:0.8
c. Penentuan Suhu dan Lama Penggorengan Adonan Pada tahap ini dilakukan penentuan suhu dan lama penggorengan adonan agar diperoleh model produk gorengan terbaik. Suhu yang digunakan pada proses penggorengan umumnya berkisar antara 162-196°C (Orthoefer & Cooper 2004). Adonan kemudian digoreng dengan menggunakan Deep Fat Fryer (Gambar 6). Suhu penggorengan dijaga tetap saat memasukkan sampel ke dalam penggorengan. Suhu tersebut merupakan suhu penggorengan terendam (Orthoefer & Cooper 2004). Penentuan suhu dan lama penggorengan dilakukan dengan metode trial and error.
Gambar 6. Deep Fat Fryer d. Pembuatan Model Produk Gorengan Pembuatan model produk gorengan dilakukan pada setiap rasio amilosaamilopektin. Tahapan pembuatan model produk gorengan terdiri dari pembuatan adonan,
16
pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air. Banyaknya penambahan air berdasarkan hasil uji formulasi adonan. Adonan diaduk dengan menggunakan tangan sehingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan yang rata. Konsistensi dan campuran adonan yang rata ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan adonan. Adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g. Kemudian adonan dicetak dengan menggunakan cetakan berbentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14 menit. e. Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Tahapan analisis pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih. Tahapan analisis tersebut terdiri dari seleksi panelis, pelatihan panelis, dan pengujian. 1) Seleksi Panelis Pemilihan panelis dilakukan dengan menyeleksi 24 orang sehingga didapatkan 8-12 orang yang selanjutnya akan dilatih hingga menjadi panelis terlatih (Adawiyah & Waysima 2009). Tahapan seleksi panelis terlatih meliputi uji identifikasi rasa dan aroma dasar, uji ketepatan dengan menggunakan uji segitiga, dan uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Formulir pendaftaran panelis terlatih dapat dilihat pada Lampiran 2. Uji pertama pada tahapan seleksi panelis terlatih adalah uji identifikasi rasa dan aroma dasar. Scoresheet identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Lampiran 3. Uji ketepatan yang dilakukan menggunakan uji segitiga dimana sampel merupakan keripik produk komersial yang dibagi dalam tiga kelompok. Penyajian setiap kelompok terdiri dari tiga sampel dimana terdapat dua produk yang sama dan satu produk yang berbeda. Calon panelis diinstruksikan untuk menulis kode sampel yang berbeda. Scoresheet uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji rangking dilakukan dengan mengurutkan intensitas kerenyahan dan kekerasan dari tiga produk komersial yang berbeda. Scoresheet uji ranking dapat dilihat pada Lampiran 5. Panelis yang terpilih sebagai kandidat panelis terlatih adalah panelis yang menjawab benar 75% dari uji identifikasi rasa dan aroma dasar, 60% dari sepuluh seri uji segitiga yang dilakukan, dan dapat mengurutkan dengan benar kerenyahan dan kekerasan sampel pada uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Daftar kandidat panelis terlatih yang terpilih dapat dilihat pada Lampiran 6. 2) Pelatihan Panelis dan Penentuan Standar Panelis yang telah lolos seleksi diberi pelatihan untuk melatih kepekaan sensori terhadap atribut tekstur yang terdiri dari kerenyahan dan kekerasan. Setelah diperoleh kandidat panelis terlatih, diadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan seorang panel leader yang memimpin diskusi tersebut. Selanjutnya, dilakukan penyamaan persepsi antarpanelis dengan pengenalan terminologi istilah kerenyahan dan kekerasan. Kerenyahan menggambarkan seberapa kuat suatu bahan menahan gaya tekan yang menyebabkannya hancur. Kekerasan menggambarkan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Larsen et al 2005). Semakin
17
mudah bahan tersebut hancur maka semakin renyah, sedangkan semakin kuat bahan menahan untuk tidak hancur maka semakin tidak renyah. Semakin kuat daya tahan bahan untuk tidak pecah maka semakin keras sedangkan semakin mudah bahan untuk pecah maka semakin tidak keras. Panelis dilatih untuk dapat menilai intensitas suatu sampel pada skala garis sepanjang 15 cm. Pada tanda awal dan akhir diberi label berupa ekspresi kata-kata yang menunjukkan intensitas dari atribut yang diuji. Panelis memberi tanda berupa garis vertikal atau menyilang pada kisaran respon yang dideteksi. Dalam analisis deskriptif, penggunaan skala garis telah terbukti sangat efektif (Stone & Sidel 2004). Scoresheet untuk latihan menskala terdapat pada Lampiran 7. Setelah panelis mengetahui terminologi dan cara mendeteksi atribut kerenyahan dan kekeresan, panelis diminta untuk mendeskripsikan atribut kerenyahan dan kekerasan menggunakan skala garis. Penetapan terminologi atribut sensori dilakukan untuk menyamakan konsep atribut sensori sehingga dapat dikomunikasikan antar panelis satu dengan yang lainnya (Stone & Sidel 2004). Sampel yang digunakan antara lain keripik kentang A, keripik kentang B, dan keripik jagung. Panelis dilatih untuk menilai intensitas kerenyahan dan kekerasan dengan melakukan uji rating pada skala garis untuk setiap sampel. Scoresheet untuk melatih kemampuan menilai panelis pada skala garis dapat dilihat pada Lampiran 8. Pelatihan bertujuan untuk melatih kepekaan sensori para panelis terhadap atribut sensori yang akan sangat membantu pada pengujian selanjutnya. Uji rating tersebut dilakukan berulang kali hingga panelis dapat membuat urutan yang tepat untuk setiap sampel. Uji rating pada skala garis tersebut akan menghasilkan nilai-nilai intensitas aroma menurut subjektivitas panelis yang terukur melalui garis yang ditandai. Penentuan standar menggunakan sampel dengan menggunakan perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Nilai intensitas standar yang digunakan berdasarkan hasil penilaian panelis terlatih. Scoresheet penilaian intensitas standar dapat dilihat pada Lampiran 9. 3) Pengujian Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan. Pengujian sampel produk gorengan menggunakan metode sensori profil tekstur. Pada saat pengujian, sampel produk gorengan ditempatkan dalam wadah plastik tertutup agar atribut kerenyahan dan kekerasan tidak berubah. Penilaian dilakukan pada skala garis sepanjang 15 cm (diasumsikan skala 0-100) sesuai dengan intensitas atribut kerenyahan dan kekerasan yang terdapat di dalamnya dengan bantuan standar. Adanya standar pada setiap atribut membantu panelis untuk mengingat dan menyamakan persepsi dengan panelis lainnya. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk melihat konsistensi panelis dan menghindari bias. Scoresheet uji profil tekstur dapat dilihat pada Lampiran 10. Berikut kajian analisis yang dilakukan pada penelitian ini.
18
4. Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui seberapa besar laju penurunan kerenyahan serta efek yang terjadi terhadap kekerasan produk gorengan. Pada dasarnya kajian ini berhubungan erat dengan peningkatan kadar air produk dan efek kandungan amilosa dan amilopektin. Produk tersebut disimpan di ruang terbuka. Skala waktu penyimpanan ditentukan selama 6 jam berdasarkan trial and error. Pengukuran kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya.
5. Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan dilakukan dengan mengukur kadar air berdasarkan lamanya penggorengan. Sampel yang digunakan adalah perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Kemudian setiap sampel diukur tingkat kerenyahan dan kekerasannya menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Kajian ini membuktikan pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan gorengan.
6. Analisis Data Analisis data sensori pengaruh rasio amilosa-amilopektin, kadar air, dan lama penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan masing-masing diolah dengan SPSS 16.0 for Windows pada program ANOVA (Analysis of variants). Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95% (α = 0.05). Jika nilai Sig. pada tabel output SPSS lebih kecil dari 0.05, terdapat perbedaan nyata antar perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Sebaliknya, nilai Sig. yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang tidak berbeda nyata. Jika perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan antara atribut kerenyahan dan kekerasan untuk masing-masing perlakuan.
19