PENGARUH PENGIKATAN GLUTEN PADA TEPUNG BERAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS ADONAN TEPUNG BERAS
SULASTRI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pengikatan Gluten pada Tepung Beras dalam Upaya Peningkatan Kualitas Adonan Tepung Beras adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Sulastri NIM F34120013
ABSTRAK SULASTRI. Pengaruh Pengikatan Gluten pada Tepung Beras dalam Upaya Peningkatan Kualitas Adonan Tepung Beras. Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA. Pengikatan tepung beras dengan gluten dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas adonan tepung beras yang keberadaanya sangat melimpah di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan kombinasi perlakuan yang optimal pada pengikatan tepung beras dengan gluten dari dua jenis variabel faktor yaitu suhu pemanasan dan konsentrasi gluten dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Variabel respon meliputi kadar protein, daya serap air, suhu gelatinisasi, swelling power, baking expansion dan kadar protein air dekantasi. Uji pendukung berupa uji FTIR dan uji terhadap sifat birefringence. Solusi optimum yang diperoleh dengan perlakuan suhu pemanasan 54.35 oC dan konsentrasi gluten 29.72 %. Karakteristik tepung beras-gluten yang memiliki kadar protein 30.67 %, kadar protein air dekantasi 0.71 %, daya serap air 0.38 ml/g, suhu gelatinisasi 72 oC, swelling power 5.65 b/b dan baking expansion 1.41 ml/g. Sifat birefringence tepung beras-gluten semakin menghilang seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Pada analisis FTIR penguatan ikatan C-N terjadi pada tepung beras-gluten pengikatan suhu 55 oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54 oC konsentrasi 29% yang mengindikasikan adanya ikatan C-N semakin meruncing dengan peningkatan protein pada tepung beras karena penambahan gluten. Kata kunci: baking expansion, pengikatan, gluten, beras, RSM
ABSTRACT SULASTRI. The Effect of Binding Gluten with Rice Flour in Improving The Dough Quality of Rice Flour. Supervised by SAPTA RAHARJA. Crosslinked rice flour with gluten was conducted to improve the quality of rice flour. Thus, the objective of this research was to obtain the optimal treatment combinations in cross-linked rice flour with gluten from two different variable factors which would be heating temperature (X1) and gluten concentration (X2) by utilizing Response Surface Methodology (RSM). The response variables that were analyzed to determine the optimal condition were protein content, decanted water protein content, water absorption, gelatinization point, swelling power, and baking expansion. In addition, FTIR and birefringence properties will be done as supporting tests. The optimum conditions were determined which heating temperature 54.35 oC and gluten concentration at 29.72 %. The characteristics of rice-gluten flour were protein content 30.67 %, decanted water protein content 0.71 %, water absorption 0.38 ml/g, gelatinization point 72 oC, swelling power 5.65 b/b and baking expansion 1.41 ml/g. Birefringence properties was decreased along with increasingly heating temperature. FTIR analysis showed that strengthening happened in C-N bond from both temperatured 55 oC concentrated 30% of gluten and temperatured 54 oC concentrated 29% of gluten which indicated the present of C-N more sharpened in the addition of gluten protein. Keywords: baking expansion, binding, gluten, rice, RS
PENGARUH PENGIKATAN GLUTEN PADA TEPUNG BERAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS ADONAN TEPUNG BERAS
SULASTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi : Pengaruh Pengikatan Gluten pada Tepung Beras dalam Upaya Peningkatan Kualitas Adonan Tepung Beras Nama : Sulastri NIM : F34120013
Disetujui oleh
Dr Ir Sapta Raharja DEA Pembimbing Akademik
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Pengikatan Gluten pada Tepung Beras dalam Upaya Peningkatan Kualitas Adonan Tepung Beras”. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2016 di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku pembimbing dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si serta Dr. Ir. Muslich, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Gunawan dan Ibu Egnawati, selaku laboran di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan yang dengan sabar membantu kegiatan penelitian penulis dan terima kasih kepada Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu sebagian dana penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Ahmad Dani dan Ibunda Nining, Amalia Afifah, Endah Purwa Ari P, Salsabila Zakiyyah, Nurlia Damayanti, Helma Yoga U, Hanik Atus S, Vairul Dwi, Kak Dila, dan Bianca Katrisse yang selalu mendukung penulis, Oh Sehun yang menjadi ‘everlasting inspiration’ dan penyemangat bagi penulis serta teman-teman TINNOVATOR 49 atas segala doa, dukungan, dan bantuan selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2016 Sulastri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Alat dan Bahan
2
Tahapan Penelitian
2
Validasi Kondisi Optimum
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Karakteristik Bahan Baku
6
Pengikatan Tepung Beras – Gluten
8
Karakteristik Tepung Beras - Gluten
9
Validasi Kondisi Optimum SIMPULAN DAN SARAN
22 26
Simpulan
26
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Rancangan desain rentang dan level variabel bebas Desain matriks percobaan dan hasil respon Karakteristik fisikokimia tepung beras Karakteristik tepung gluten gandum Karakteristik kimiawi tepung beras gluten Karakteristik fungsional tepung beras-gluten Perbandingan karakteristik tepung beras terhadap nilai respon prediksi solusi optimasi dengan hasil aktual 8 Interpetrasi puncak spektrum infra merah
5 5 6 7 10 10 23 25
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Tahapan penelitian Proses pengikatan tepung beras - gluten Grafik pengaruh konsentrasi gluten terhadap kadar protein Grafik kontur respon permukaan kadar protein air dekantasi tepung berasgluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten 5 Grafik pengaruh kadar protein terhadap daya serap air 6 Grafik kontur respon permukaan suhu gelatinisasi tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten 7 Grafik kontur respon permukaan swelling power tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten 8 Grafik pengaruh kadar protein terhadap swelling power 9 Grafik pengaruh daya serap air terhadap swelling power 10 Grafik kontur respon permukaan baking expansion tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten 11 Grafik pengaruh kadar protein terhadap baking expansion 12 Grafik pengaruh daya serap air baking expansion 13 Bentuk granula pati terpolarisasi (a) tepung beras, (b) tepung TBG5530, dan tepung TBG5429 yang dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi.
3 4 12 13 15 16 18 19 19 20 22 22
24
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Prosedur karakterisasi tepung beras Prosedur pengujian produk tepung beras – gluten Data kadar air sampel Data kadar abu sampel Hasil analisis respon kadar protein menggunakan Design Expert 7.0.0 Hasil analisis respon kadar protein air dekantasi menggunakan Design Expert 7.0.0 7 Hasil analisis respon daya serap air menggunakan Design Expert 7.0.0 8 Hasil analisis respon suhu gelatinisasi menggunakan Design Expert 7.0.0 9 Hasil analisis respon swelling power menggunakan Design Expert 7.0.0
31 34 35 36 37 38 39 40 41
10 Hasil analisis respon baking expansion menggunakan Design Expert 7.0.0 11 Spektrum infra merah sampel tepung beras 12 Spektrum infra merah sampel TBG5530 13 Spektrum infra merah sampel TBG5429
42 43 44 45
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras (Oryza sativa L.) merupakan bahan pangan pokok bangsa Indonesia. Beras merupakan hasil olahan dari tanaman padi, dimana sebelumnya telah melalui proses pelepasan tangkai dan kulit bijinya dengan cara digiling dan ditumbuk (Tuankotta et al. 2015). Secara teoritis, beras merupakan daging biji dari bulir padi yang tersusun dalam mayang atau setangkai padi (Damayanthi et al. 2007). Beras menjadi bahan pangan pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia, beras menyumbang antara 40 – 80% kalori dan 45 – 55 % protein. Produksi padi tahun 2015 diperkirakan sebanyak 75.55 juta ton GKG atau mengalami kenaikan sebanyak 4.70 juta ton (6.64 %) dibandingkan tahun 2014 (BPS 2015). Bentuk lain pemanfaatan beras lebih lanjut selain diolah menjadi nasi yaitu dibuat menjadi tepung beras dengan karakteristik yang unik dan tidak dapat dijumpai pada tepung terigu yang konsumsi setiap tahunnya meningkat. Tepung terigu merupakan jenis tepung konsumsi utama yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dilihat dari semakin meningkatnya permintaan terhadap pasokan tepung terigu setiap tahunnya. Berdasarkan data Aptindo (2013), konsumsi tepung terigu pada tahun 2012 mencapai 5.05 juta MT, meningkat 7.06% dari tahun 2011. Tepung terigu terbuat dari gandum yang hanya dapat tumbuh di negara beriklim subtropis. Hal ini menjadi salah satu kendala yang dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya pemenuhan pasokan tepung terigu sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan impor tepung terigu dari luar negeri. Salah satu kandungan yang tidak dimiliki tepung beras adalah gluten. Gluten yang terkandung dalam tepung terigu memungkinkan adonan menjadi lebih elastis dan memiliki daya mengembang yang baik. Absennya gluten pada tepung beras mengakibatkan adonan yang dihasilkan tidak dapat mengembang dengan baik. Granula tepung beras berukuran lebih kecil dari tepung terigu sehingga mengabsorpsi air lebih sedikit (Widjajaseputra et al. 2011). Dalam upaya peningkatan kualitas adonan tepung beras, maka dilakukan pengikatan gluten pada tepung beras. Penelitian yang dilakukan Patriadi (2015) tentang ikat silang antara pati sagu dengan gluten menunjukkan adanya ikatan antara pati sagu dengan gluten yang mampu meningkatkan kualitas adonan pati sagu. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Febrianti (2015), pengikatan tepung mocaf dengan gluten pada pemanasan di bawah suhu gelatinisasi dalam larutan basa dengan penambahan gluten menyebabkan adanya perubahan karakteristik serta sifat fisikokimia pada tepung mocaf. Adanya penambahan gluten pada tepung mocaf meningkatkan nilai baking expansion adonan. Pengikatan antara gluten dan tepung beras ini diharapkan dapat menghasilkan tepung beras-gluten yang mampu memperbaiki sifat adonan dan karakteristik adonan yang lain.
Perumusan Masalah Pencampuran tepung beras dengan variasi konsentrasi penambahan gluten untuk menghasilkan suatu adonan memiliki kekurangan yaitu ketidakhomogenan antara kedua bahan akibat adanya perbedaan karakteristik keduanya. Penambahan
2 pelarut dan pemanasan dilakukan untuk menghomogenkan kedua bahan. Pelarut CaCl2 yang bersifat basa dinilai aman untuk digunakan pada produk pangan sehingga cocok untuk melarutkan gluten yang merupakan protein larut dalam basa. Sementara itu, perlakuan pemanasan diperlukan untuk mempercepat reaksi pengikatan antara tepung beras dengan gluten. Suhu yang digunakan berada di bawah suhu gelatinisasi untuk menghindari kerusakan granula pati pada tepung beras dan kerusakan protein pada gluten. Produk dikeringkan pada suhu 60 oC setelah didekantasi kemudian didinginkan pada suhu ruang.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki kualitas adonan tepung beras melalui pengikatan dengan gluten serta mengevaluasi pengaruh penambahan gluten dan suhu pemanasan yang digunakan dalam proses pengikatan tepung beras dengan gluten terhadap kualitas adonan.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi optimum proses pengikatan tepung beras terhadap gluten dengan menggunakan metode respon permukaan serta menganalisis pengaruh variabel faktor (suhu pemanasan dan konsentrasi guten) terhadap variabel respon (swelling power, daya serap air, suhu gelatinisasi, kadar protein, baking expansion, dan kadar protein air dekantasi). Analisis data dilakukan dengan menggunakan software Design Expert 7.0.0.
METODE Alat dan Bahan Alat utama yang digunakan dalam proses pengikatan tepung beras dengan gluten antara lain water bath, seperangkat agitator, pengering blower, termometer, dan gelas piala. Alat lain yang digunakan antara lain oven, soxhlet, centrifuge, neraca analitik, crusher, loyang alumunium, plastik HDPE dan instrumen FTIR. Bahan utama dalam penelitian ini adalah tepung beras yang diproduksi oleh PT Sungai Budi (Rose Brand Group) dan tepung gluten gandum pro analis dari Sigma Aldrich. Bahan lain yang digunakan adalah pelarut CaCl2 dan akuades.
Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, penelitian utama dan validasi kondisi optimum. Penelitian pendahuluan terdiri atas persiapan bahan baku dan analisis komposisi kimia bahan baku. Penelitian utama meliputi pengikatan tepung beras dengan gluten yang kemudian dikarakterisasi kembali komposisi kimia bahan baku yang sudah terikat gluten, optimasi
3 permukaan, dan validasi kondisi optimum. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari - Juli 2016. Tahapan penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Mulai
Karakterisasi tepung beras
Pengikatan tepung beras dengan gluten
Karakterisasi tepung beras - gluten
Validasi kondisi optimum
Selesai
Gambar 1 Tahapan penelitian Karakterisasi Tepung Beras Pengujian karakterisasi tepung beras meliputi kadar air dengan metode oven (AOAC 2005), kadar abu dengan metode tanur (AOAC 2005), kadar protein dengan metode Kjedahl (AOAC 1995), kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC 1995), kadar serat kasar (AOAC 1995), suhu gelatinisasi (Radley 1976 dalam Jading et.al 2011), kadar pati, dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Prosedur karakterisasi tepung beras dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses Pengikatan Tepung Beras – Gluten Pengikatan antara tepung beras dengan gluten yang dilakukan mengacu pada metode pengikatan silang antara pati sagu dengan gluten yang dilakukan dalam penelitian Patriadi (2015) dan pengikatan silang tepung mocaf dengan gluten yang dilakukan oleh Febrianti (2015) dengan sedikit modifikasi. Proses pengikatan dilakukan dengan suhu pemanasan di bawah suhu gelatinisasi tepung beras dalam larutan CaCl2. Sebanyak 30 g campuran tepung beras dengan gluten per sampel dicampur hingga merata. Campuran tersebut selanjutnya ditambahkan akuades dengan
4 volume 1.2 kali dari bobot campuran tepung beras dan gluten. Suspensi selanjutnya diaduk dengan kecepatan 50 rpm sambil dipanaskan di dalam water bath dengan suhu pemanasan yang telah ditentukan. Larutan CaCl2 konsentrasi 2% kemudian ditambahkan ke dalam suspensi dengan volume yang sebanding dengan bobot campuran tepung beras dengan gluten. Pengadukan dan pemanasan dilanjutkan hingga 10 menit setelah suhu dalam suspensi mencapai kestabilan. Kemudian suspensi diendapkan dan didinginkan pada suhu ruang. Air dan endapan yang dihasilkan kemudian dipisahkan. Endapan selanjutnya dikeringkan dalam pengering blower dengan suhu 60 oC selama 16 – 18 jam. Selanjutnya endapan yang telah kering ditepungkan hingga halus. Proses pembuatan tepung beras – gluten selengkapnya dapat dilihat dalam diagram alir pada Gambar 2.
Mulai
Tepung beras dan gluten
Pengadukan (50 rpm)
Pemanasan selama 10 menit
Air
Dekantasi slurry tepung beras - gluten
Pengeringan (60 oC)
Penepungan
Tepung beras - gluten
Selesai
Gambar 2 Proses pengikatan tepung beras - gluten
Akuades
Larutan CaCl2 2%
5 Rancangan Kombinasi Variabel Faktor dan Respon Metode perancangan eksperimen yang digunakan untuk mengetahui kondisi optimal adalah Response Surface Method (RSM). Desain percobaan yang digunakan adalah Central Composite Design (CCD) dengan dua faktor yaitu suhu pemanasan (X1) dan konsentrasi gluten yang digunakan (X2). Variabel respon yang diukur adalah kadar protein (Y1), kadar protein air dekantasi (Y2), daya serap air (Y3), suhu gelatinisasi (Y4), swelling power (Y5) dan baking expansion (Y6). Titik tengah variabel ditetapkan berdasarkan penelitian Febrianti (2015) yaitu pada suhu pemanasan 55 o C dan konsentrasi 30%. Masing- masing faktor terdiri dari lima level dengan rentang tertentu pada nilai setiap levelnya, rancangan desain rentang dan level disajikan pada Tabel 1 sedangkan desain matriks percobaan dan hasil respon dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Rancangan desain rentang dan level variabel bebas Kode
Faktor o
Suhu pemanasan ( C) Konsentrasi gluten (% g)
X1 X2
-√2 48 16
-1 50 20
Taraf 0 55 30
+1 60 40
+√2 62 44
Tabel 2 Desain matriks percobaan dan hasil respon Sampel ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
X1 (oC) -1 1 -1 1 -√2 +√2 0 0 0 0 0 0 0
X2 (% g) -1 -1 1 1 0 0 -√2 +√2 0 0 0 0 0
Y Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13
Karakterisasi Tepung Beras – Gluten Karakterisasi tepung beras – gluten dilakukan dengan sembilan jenis pengujian. Pengujian yang dilakukan di antaranya adalah pengujian kadar air, kadar abu, kadar protein, suhu gelatinisasi, daya serap air, swelling power, sifat birefringence, baking expansion, dan FTIR. Prosedur pengujian tepung mocaf – gluten terdapat pada Lampiran 2.
Validasi Kondisi Optimum Tahapan terakhir dalam penelitian ini yaitu validasi kondisi optimum pada respon kadar protein, kadar protein air dekantasi, daya serap air, suhu gelatinisasi,
6 swelling power dan baking expansion. Setelah dilakukannya tahap pengujian kemudian hasil nilai respon aktual yang didapatkan dibandingkan dengan nilai respon prediksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Penelitian ini menggunakan tepung beras komersial. Tepung beras merupakan tepung rendah protein yang tidak mengandung gluten sehingga lebih sering digunakan dalam pembuatan makanan tanpa gluten (gluten free). Tepung beras banyak digunakan dalam pembuatan makanan dan kue tertentu terutama di etnis Timur Tengah, Asia dan Indonesia. Pati beras memberikan tampilan opaque atau tidak bening setelah proses pemasakan. Contoh produk semi-padat yang menggunakan tepung beras sebagai bahan utama adalah bubur sum-sum, es cendol, palu butung dan kue pisang (Imanningsih 2012). Beras dapat dengan mudah ditemukan di negara-negara beriklim tropis yaitu sebagian besar negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti Thailand, Indonesia, Filipina, India, Burma dan Nepal, negara di Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan serta sebagian kawasan benua Amerika seperti Brazil, Kolumbia, dan Amerika Serikat (Luh dan Chang 1991). Karakterisasi bahan baku bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia tepung beras yang digunakan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar pati, kadar lemak kasar, kadar serat kasar, dan kadar karbohidrat (by difference) dan suhu gelatinisasi. Hasil karakterisasi tepung beras disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik fisikokimia tepung beras No
Parameter
Hasil uji
1 2 3 4 5 6 7
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak kasar (%) Kadar serat kasar (%) Kadar karbohidrat (%) Kadar pati (%)
12.57 0.48 6.39 0.33 0.32 80.24 71.85
Simanjuntak Imanningih (2006) (2012) 13.00 0.60 6.80 0.70 0.51 78.90
11.38 0.34 6.98 1.00
SNI 35492009 13.00 1.00
80.30 67.68
Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan, kadar air tepung beras yang digunakan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air tepung beras yang diuji oleh Imanningsih (2012). Kadar air hasil pengujian juga menunjukkan bahwa tepung beras yang digunakan memenuhi standar kadar air yang ditetapkan oleh SNI 3549-2009. Kadar abu tepung beras hasil uji
7 menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan tepung beras yang diuji oleh Imanningsih (2012), tetapi nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tepung beras yang diuji oleh Simanjuntak (2006). Walaupun demikian, kadar abu tepung beras hasil uji tetap memenuhi standar SNI 3549-2009 yaitu dibawah 1.00%. Kadar protein hasil pengujian tidak berbeda jauh dengan tepung beras yang diuji oleh Simanjuntak (2006) dan Imanningsih (2012) yaitu sebesar 6.39%. Kadar lemak kasar tepung beras hasil pengujian memiliki nilai paling kecil jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Simanjuntak (2006) dan Imanningaih (2012) yaitu sebesar 0.33%. Kadar pati pada tepung beras hasil pengujian sebesar 71.85%, telah memenuhi rentang hasil uji yang dilakukan oleh Imanningsih (2012). Kadar serat kasar hasil uji tidak berbeda jauh dari hasil yang didapatkan oleh Simanjuntak (2006). Kadar karbohidrat diperoleh melalui by difference yaitu sebesar 80.24%. Karakteristik tepung beras yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas beras, proses pembudidayaan, proses pengolahan bahan serta lamanya penyimpanan pasca pengolahan sehingga hasil yang diperoleh sedikit berbeda. Suhu gelatinisasi hasil uji sebesar 68.5 oC. Banyaknya Jumlah fraksi amilosaamilopektin pada suatu bahan sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati. Setiap jenis pati memiliki karakteristik gelatinisasi (puncak, waktu dan suhu) yang berbeda-beda (Imanningsih 2012). Menurut Munarso et al. (2004), kisaran suhu gelatinisasi tepung beras adalah antara 75-81 oC. Tepung gluten dari gandum yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung gluten pro analis dari Sigma Aldrich. Karakter dari tepung gluten yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik tepung gluten gandum
No. 1. 2.
Komponen Kadar air (%) Kadar protein (%)
Vital wheat gluten pro analis (Sigma aldrich) 5.5 – 8.0 80
Flash dried Vital wheat gluten gluten teknis (Clodualdo et al. (Patriadi 2015) 1994) 9.18 8.20 70.25 69
Kadar air tepung gluten gandum pro analis dari Sigma Aldrich memiliki nilai paling rendah dibandingkan dengan tepung gluten gandum teknis yang digunakan oleh Patriadi (2015) dan tepung gluten yang dihasilkan melalui metode flash dried oleh Clodualdo et al. (1994). Pada tepung gluten gandum, kadar air dan kadar protein merupakan kandungan utama yang menunjukkan kualitas dan kemurnian tepung gluten yang digunakan. Semakin tinggi kadar air pada suatu tepung dapat mempengaruhi kualitas dari tepung tersebut yang mengakibatkan tepung lembab dan mudah rusak (Putri 2010). Kadar protein tepung gluten gandum pro analis yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai yang terbesar dibandingkan dengan kadar protein yang digunakan Patriadi (2015) dan Clodualdo et al. (1994). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung gluten pro analis dari Sigma Aldrich yang digunakan pada penelitian ini memiliki tingkat kemurnian paling tinggi sehingga dapat digunakan dalam proses pengikatan gluten pada tepung beras.
8 Pengikatan Tepung Beras – Gluten Metode yang digunakan dalam pengikatan tepung beras-gluten mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Patriadi (2015) dan Febrianti (2015) dengan sedikit perubahan. Pengikatan antara tepung beras dengan gluten dilakukan dalam suatu reaktor yang terdiri atas gelas piala, yang dirangkaikan dengan pengaduk kaca dan agitator serta water bath sebagai sumber panas. Gluten dengan konsentrasi yang telah ditentukan (16%, 20%, 30% 40% dan 44%) dicampurkan ke dalam tepung beras hingga mencapai 30 g dan ditambahkan akuades sebanyak 1.2 kali dari bobot campuran tepung beras dan gluten. Campuran diaduk dengan menggunakan agitator berkecepatan 50 rpm dan pemanasan dengan suhu yang telah ditentukan (48 oC, 50 oC, 55 oC, 60 oC dan 62 oC). Larutan CaCl2 konsentrasi 2% kemudian ditambahkan ke dalam suspensi dengan volume yang sebanding dengan bobot campuran tepung beras dengan gluten. Pengadukan dan pemanasan dilanjutkan hingga 10 menit pada suhu yang ditentukan. Akuades yang ditambahkan berfungsi sebagai pelarut dan memudahkan pengadukan serta media distribusi panas di dalam rangkaian reaktor. Sedangkan larutan CaCl2 berperan agar gluten dapat larut dengan baik dalam air yang bersifat basa dan membentuk suspensi yang homogen. Pemanasan yang dilakukan bertujuan untuk melemahkan interaksi hidrogen dalam pati sehingga struktur pati menjadi lebih amorf dan mudah dimasuki air namun tidak lisis (Febrianti 2015). Pemanasan dilakukan selama 10 menit terhitung sejak suhu dalam suspensi stabil atau setelah larutan CaCl2 dimasukkan ke dalam suspensi beras – gluten. Penentuan lama pemanasan dilakukan dengan pertimbangan bahwa semakin lama waktu pemanasan dan perendaman dalam air akan meningkatkan penyerapan air ke dalam tepung. Penentuan lama pemanasan berperan penting dalam proses pengikatan, karena akan mempengaruhi swelling pati dan kelarutan gluten dalam air. Suspensi selanjutnya didekantasi untuk memisahkan endapan tepung beras – gluten dengan larutan sisa proses (residu). Dekantasi dilakukan setelah pemanasan dihentikan dan diletakkan pada suhu ruang hingga terbentuk endapan tepung beras – gluten. Endapan tepung beras – gluten dipisahkan dengan larutan sisa proses dan diturunkan suhunya hingga mencapai suhu ruang. Larutan sisa proses memiliki warna kekuningan yang diduga berasal dari protein gluten yang terlarut dalam air. Larutan sisa proses tersebut selanjutnya dipisahkan dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum diuji kadar proteinnya. Endapan tepung beras – gluten yang telah dipisahkan kemudian dikeringkan dengan oven blower bersuhu 60 oC selama 16 – 18 jam. Campuran tepung beras – gluten yang telah terikat dan dikeringkan memiliki warna kekuningan. Warna kekuningan semakin jelas terlihat pada tepung mocaf – gluten dengan penambahan gluten yang semakin banyak. Warna kekuningan tersebut dapat berasal dari warna tepung gluten gandum yang digunakan dan akibat dari reaksi Maillard yang terjadi selama proses pengeringan. Endapan yang telah mongering selanjutnya ditepungkan menggunakan crusher lalu dikemas dan disimpan di suhu ruang sebelum dilakukan pengujian karakteristik sifat fisikokimianya.
9 Karakteristik Tepung Beras - Gluten Karakterisasi selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perubahan yang mungkin terjadi pada tepung beras yang telah dilakukan proses pengikatan dengan tepung gluten. Karakterisasi yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, daya serap air, suhu gelatinisasi, swelling power, baking expansion, kadar protein air dekantasi, sifat birefringence dan analisis spektrum infra merah (FTIR). Kadar air tepung beras-gluten menunjukkan terjadinya penurunan dibandingkan dengan kadar air tepung beras sebelum diberi perlakuan. Data kadar air sampel disajikan pada Lampiran 3. Kadar air rata-rata tepung beras-gluten adalah sebesar 5.07%. Menurut SNI 3549-2009 kadar air maksimum tepung beras adalah 13%, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air tepung beras-gluten masih memenuhi standar tepung beras yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Febrianti (2015) dan Ulumi (2016), tepung mocaf dan tepung ubi jalar yang telah diikat dengan tepung gluten mengalami kenaikan kadar air. Hal ini disebabkan karena terikatnya gluten pada tepung mocaf dan tepung ubi jalar yang menyebabkan semakin banyaknya unsur air terikat sehingga rantai C-N semakin panjang. Hal serupa tidak berlaku pada tepung beras yang diikat dengan tepung gluten karena tepung beras mengandung amilosa yang lebih sedikit dibandingkan dengan tepung mocaf dan tepung ubi jalar. Menurut Swinkels (1985), kandungan amilosa dan amilopektin pati ubi jalar berturut-turut adalah 20% dan 80%. Berdasarkan Imanningsih (2012), kandungan amilosa tepung mocaf dan tepung beras secara berturut-turut adalah 23.43% dan 11.78% serta kandungan amilopektin sebesar 76.57% dan 88.42%. Ada suatu korelasi kuat antara kadar amilosa dengan kemampuan bahan dalam menyerap air dimana semakin tinggi kandungan amilosa akan semakin tinggi pula penyerapan air dalam tepung (Anindyasari 2012). Komponen selain kadar air yang diuji adalah kadar abu. Kadar abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan (Ginting et al. 2015). Kadar abu dari bahan menunjukkan kadar mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu tepung beras-gluten menunjukkan terjadinya peningkatan dibandingkan tepung beras sebelum diikat dengan gluten. Nilai kadar abu tepung beras-gluten berada pada rentang 0.88-1.26 %. Data kadar abu sampel disajikan pada Lampiran 4. Peningkatan kadar abu pada tepung beras-gluten disebabkan karena adanya penambahan CaCl2 sebagai agen pengikat tepung beras dengan gluten. CaCl2 merupakan garam anorganik yang umum digunakan dalam jumlah terbatas sebagai agen pengikat (weighting agent) (Hoskin 1998). Selain kadar air dan kadar abu, karakterisasi kimiawi juga dilakukan yaitu berupa kadar protein, kadar protein air dekantasi dan perhitungan kadar protein terikat yang disajikan pada Tabel 5. Sedangkan karakterisasi fungsional tepung beras-gluten yang dilakukan yaitu berupa daya serap air, suhu gelatinisasi, swelling power dan baking expansion yang disajikan pada Tabel 6.
10 Tabel 5 Karakteristik kimiawi tepung beras gluten Sampel ke-
Suhu (oC)
Konsentrasi (%)
Kadar protein (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
50 60 50 60 48 62 55 55 55 55 55 55 55
20 20 40 40 30 30 16 44 30 30 30 30 30
23.17 23.89 37.66 35.05 32.01 29.60 21.83 42.75 29.09 31.87 31.52 29.38 29.02
Kadar protein Kadar protein air dekantasi terikat (%) (%) 0.59 22.26 0.70 2224 0.68 38.28 0.82 38.25 0.83 30.24 0.87 30.19 0.63 18.93 0.76 41.57 0.69 30.27 0.68 30.25 0.68 30.26 0.66 30.26 0.68 30.25
Tabel 6 Karakteristik fungsional tepung beras-gluten Sampel Suhu ke(oC) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
50 60 50 60 48 62 55 55 55 55 55 55 55
Konsentrasi (%) 20 20 40 40 30 30 16 44 30 30 30 30 30
Daya serap air (ml/g) 0.46 0.46 0.33 0.33 0.40 0.33 0.52 0.33 0.38 0.32 0.32 0.38 0.32
Suhu gelatinisasi (oC)
Swelling power (ml/g)
Baking expansion (b/b)
69.50 67.50 71.00 73.50 71.00 71.00 68.00 73.50 71.50 71.20 71.80 70.70 71.30
5.71 5.38 5.02 5.08 5.38 5.50 5.19 4.91 5.37 5.43 5.27 5.30 5.43
0.87 1.13 1.08 1.25 0.83 0.90 1.28 1.35 1.14 1.18 1.05 1.32 1.30
Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Kadar Protein Model polinomial yang direkomendasikan yaitu linier. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (<0.0001) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.4708) berarti tidak ada lack of fit (not significant). Nilai lack of fit yang not significant menunjukkan bahwa adanya kesesuaian data respon kadar protein dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon kadar protein. Dari kedua faktor yang dipilih, faktor yang
11 berpengaruh terhadap respon kadar protein adalah konsentrasi gluten yang ditambahkan dengan nilai Fhitung sebesar 180.29. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar protein ditandai dengan nilai p-value “Prob>F” yang lebih kecil dari 0.05 (< 0.0001). Pada model polinomial linier, tidak terdapat kombinasi antar faktor sehingga tidak dapat diketahui pengaruh kombinasi faktor terhadap respon. Hasil analisis ANOVA respon kadar protein disajikan pada Lampiran 5. Nilai R2 untuk model respon kadar protein sebesar 0.9479 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 94.79% sedangkan sisanya 5.21% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Persamaan model polinomial respon kadar protein dalam bentuk yang sebenarnya: Kadar protein (Y) = +17.11519 - 0.13284X1 + 0.69056X2 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Berdasarkan persamaan polinomial tersebut dapat dilihat bahwa kadar protein akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi gluten yang ditambahkan dan penurunan suhu pemanasan ketika proses pengikatan. Grafik respon permukaan kadar protein tepung beras-gluten disajikan pada Tabel 5. Data hasil pengujian kadar protein tepung beras-gluten yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan terjadinya peningkatan kadar protein seiring dengan peningkatan konsentrasi gluten yang ditambahkan. Hal serupa dinyatakan oleh Ulumi (2016) pada penelitian tentang pengikatan tepung gluten terhadap tepung ubi jalar. Kadar protein dihitung berdasarkan basis kering dengan rentang 21.83% 42.75% dan rata-rata kadar protein tepung beras-gluten sebesar 30.53%. Kadar protein tepung beras jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein tepung beras-gluten, sedangkan menurut Liang dan King (2003), kadar protein tepung beras adalah sebesar 8.7%. Kadar protein tepung beras-gluten telah memenuhi standar tepung terigu kategori berprotein tinggi (hard flour) yaitu minimal sebesar 14% (Bandilangoe 2012). Peningkatan kadar protein tepung beras-gluten terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi gluten yang ditambahkan. Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal kadar protein yaitu X1 = 50oC dan X2 = 40%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa kadar protein diperngaruhi oleh jumlah konsentrasi gluten yang ditambahkan. Semakin tinggi konsentrasi gluten yang digunakan, semakin tinggi pula kadar protein dalam sampel tepung. Gluten merupakan kandungan utama protein tepung terigu. Gambar 3 menunjukkan grafik pengaruh konsentrasi gluten terhadap kadar protein yang membentuk garis linier dengan R2 sebesar 0.9392. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh konsentrasi gluten terhadap kadar protein adalah sebesar 93.92%.
Kadar protein (%)
12 46 41 36 31 26 21
y = 0.6906x + 9.809 R² = 0.9392
16
21
26
31 36 Konsentrasi gluten (%)
41
46
Gambar 3 Grafik pengaruh konsentrasi gluten terhadap kadar protein Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Kadar Protein Air Dekantasi Model polinomial yang direkomendasikan yaitu kuadratik. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (0.0266) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih kecil dari 0.05 (0.0016) berarti ada lack of fit (significant). Nilai lack of fit yang significant menunjukkan bahwa tidak adanya kesesuaian data respon kadar protein air dekantasi dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon kadar protein air dekantasi. Dari kedua faktor yang dipilih, faktor yang berpengaruh terhadap respon kadar protein air dekantasi adalah konsentrasi gluten yang ditambahkan dengan nilai Fhitung sebesar 7.76. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar protein air dekantasi ditandai dengan nilai p-value “Prob>F” yang lebih kecil dari 0.05 (0.0271). Selain itu, interaksi kuadrat suhu pemanasan juga berpengaruh signifikan karena p-value lebih kecil dari 0.05 (0.0101) dengan nilai Fhitung sebesar 12.20. Hasil analisis ANOVA respon kadar protein disajikan pada Lampiran 6. Nilai R2 untuk model respon kadar protein air dekantasi adalah sebesar 0.7864 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 78.64% sedangkan sisanya 21.36% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Persamaan model polinomial respon kadar protein air dekantasi dalam bentuk yang sebenarnya: Protein air dekantasi (Y) = +8.35332 - 0.29167X1 + 3.98827E-003X2 + 1.40000E004X1X2 + 2.68350E-003X12 - 1.11625E-004X22 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Berdasarkan persamaan model tersebut, diketahui bahwa respon kadar protein air dekantasi akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi gluten, interaksi suhu pemanasan dengan konsentrasi gluten serta interaksi kuadrat suhu pemanasan. Hal tersebut ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif. Kadar protein air dekantasi akan menurun seiring dengan peningkatan suhu pemanasan serta interaksi kuadrat konsentrasi gluten yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Grafik kontur respon permukaan kadar protein air dekantasi tepung beras-gluten disajikan pada Gambar 4.
13
Konsentrasi gluten (%)
Kadar protein air dekantasi (%)
Suhu pemanasan (oC)
Gambar 4 Grafik kontur respon permukaan kadar protein air dekantasi tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan Hasil pengujian terhadap kadar protein air dekantasi tepung beras-gluten diperoleh kisaran nilai 0.59-0.87 % dengan nilai rata-rata sebesar 0.71% disajikan pada Tabel 5. Hilangnya protein diduga terjadi saat pemanasan pada proses pengikatan tepung beras dengan tepung gluten serta pada proses pengeringan dengan oven blower. Pemanasan yang dilakukan dapat merusak kandungan protein yang terdapat dalam tepung gluten gandum sehingga jumlah kehilangan protein semakin besar. Menurut Patriadi (2015), semakin besar jumlah konsentrasi gluten yang digunakan akan meningkatkan banyaknya pelarut CaCl2 yang ditambahkan sehingga mengakibatkan kadar protein yang terlarut meningkat. Berdasarkan Gambar 4 terlihat garis-garis kontur dengan titik merah di setiap lapisannya. Daerah berwarna biru menunjukkan kadar protein air dekantasi terendah. Lingkaran terdalam berwarna biru merupakan nilai respon terbaik karena kadar protein air dekantasi yang diharapkan adalah seminimal mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein yang terlarut rendah karena sebagian besar terikat dengan tepung beras. Kondisi optimal respon kadar protein air dekantasi akan diperoleh dengan mengondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kiri bawah. Respon kadar protein air dekantasi akan optimum pada suhu pemanasan dan konsentrasi gluten yang rendah. Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal kadar protein air dekantasi yaitu X1 = 53.82 oC dan X2 = 20%. Air dekantasi merupakan air sisa hasil rendaman tepung beras-gluten setelah dilakukannya proses pengikatan. Air dekantasi diuji kadar proteinnya untuk mengetahui jumlah protein terlarut setelah pengikatan. Jumlah protein terlarut diperoleh dari perkalian antara kadar protein air dekantasi dengan banyaknya volume air dekantasi sehingga dapat diketahui jumlah protein terikat masingmasing sampel. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka diperoleh persentase kadar protein terikat yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan nilai beragam namun tidak berbeda jauh dari persentase kadar protein yang diperoleh dengan metode titrasi. Perbedaan nilai yang didapatkan dapat disebabkan karena kandungan protein yang terlarut dalam air dekantasi lebih besar namun tidak terdeteksi secara sempurna.
14 Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Daya Serap Air Model polinomial yang direkomendasikan yaitu linier. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (0.0005) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.3434) berarti tidak ada lack of fit (not significant). Nilai lack of fit yang not significant menunjukkan bahwa adanya kesesuaian data respon kadar protein dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon daya serap air. Dari kedua faktor yang dipilih, faktor yang berpengaruh terhadap respon daya serap air adalah konsentrasi gluten yang ditambahkan dengan nilai Fhitung sebesar 34.62. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar protein ditandai dengan nilai p-value “Prob>F” yang lebih kecil dari 0.05 (0.0002). Pada model polinomial linier, tidak terdapat kombinasi antar faktor sehingga tidak dapat diketahui pengaruh kombinasi faktor terhadap respon. Hasil analisis ANOVA respon daya serap air disajikan pada Lampiran 7. Nilai R2 untuk model respon daya serap air sebesar 0.7801 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 78.01% sedangkan sisanya 21.99% dipengaruhi oleh variabelvariabel lain yang tidak diketahui. Persamaan model polinomial respon daya serap air dalam bentuk yang sebenarnya: Daya serap air (Y) = +0.73672 - 2.43952E-003X1 - 7.71816E-003X2 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Berdasarkan persamaan model tersebut, diketahui bahwa respon daya serap air akan menurun seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dan konsentrasi gluten yang keduanya ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Respon permukaan daya serap air tepung beras-gluten disajikan pada Tabel 6. Hasil pengujian daya serap air tepung beras-gluten diperoleh nilai dengan kisaran 0.320.52 ml/g dan rata-rata sebesar 0.38 ml/g lebih rendah dibandingkan dengan daya serap air tepung beras yaitu sebesar 0.48 ml/g. Daya serap air tertinggi yang dimiliki oleh tepung beras-gluten masih lebih besar jika dibandingkan dengan daya serap air tepung terigu high protein (>14%) yaitu sebesar 0.46 ml/g. Ukuran partikel memegang peran penting dalam pembasahan tepung dan penyerapan air pada tepung. Makin besar ukuran partikel, maka luas permukaannya akan semakin kecil, sehingga air memerlukan waktu yang lebih lama untuk diabsorpsi ke dalam partikel pati dan jumlah air yang diserap semakin banyak. Menurut Richana dan Sunarti (2004), tingginya kadar amilosa yang terkandung dalam pati juga dapat meningkatkan kemampuan pati dalam mengabsorpsi air yang karena jumlah air yang dibatasi dalam sistem pati mengakibatkan amilosa tidak dapat meninggalkan granula pati. Selain itu, Richana dan Sunarti (2004) juga menyatakan bahwa daya serap air dipengaruhi juga oleh kadar serat yang terkandung dalam pati, karena sifat serat yang mudah menyerap air. Hal ini menyebabkan daya serap air tepung beras-gluten lebih rendah dibandingkan dengan daya serap air tepung mocaf-gluten yang dilakukan oleh Febrianti (2015) dan tepung ubi jalar-gluten yang dilakukan oleh Ulumi (2016).
15
Daya serap air (ml/g)
Kandungan serat yang terkandung dalam tepung mocaf (4.38%) dan tepung ubi jalar (2.53%) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar serat tepung beras (0.32%). Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal daya serap air yaitu X1 = 50 oC dan X2 = 20%. Jika dilihat dari keterkaitan antar respon yang dianggap paling berpengaruh, dapat diketahui bahwa kadar protein berpengaruh negatif terhadap daya serap air. Nilai daya serap air semakin menurun seiring dengan semakin tingginya kadar protein yang terkandung dalam sampel. Protein bersifat menghalangi penyerapan air didalam granula pati. Protein yang semakin tinggi menyebabkan air yang masuk dalam granula pati menjadi sulit. Ikatan hidrofobik pada gluten secara signifikan berpengaruh terhadap stabilitas struktur gluten. Ikatan hidrofobik akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Hal ini dapat menjadi stabilitas tambahan selama proses pemanggangan (Wieser 2007). Gambar 5 menunjukkan grafik pengaruh kadar protein terhadap daya serap air yang membentuk garis linier semakin menurun dengan R2 sebesar 0.8838. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh kadar protein terhadap daya serap air adalah sebesar 88.38%. 0.55 0.50 0.45 0.40 y = -0.011x + 0.7265 R² = 0.8838
0.35 0.30 21.00
23.00
25.00
27.00 29.00 31.00 Kadar protein (%)
33.00
35.00
37.00
Gambar 5 Grafik pengaruh kadar protein terhadap daya serap air Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Suhu Gelatinisasi Model polinomial yang direkomendasikan yaitu 2FI. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (<0.0001) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.0853) berarti tidak ada lack of fit (not significant). Nilai lack of fit yang not significant menunjukkan bahwa adanya kesesuaian data respon kadar protein dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon suhu gelatinisasi. Dari kedua faktor yang dipilih, faktor yang berpengaruh terhadap respon suhu gelatinisasi adalah konsentrasi gluten yang ditambahkan dengan nilai Fhitung sebesar 68.26. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar protein ditandai dengan nilai p-value “Prob>F” yang lebih kecil dari 0.05 (< 0.0001). Selain itu, interaksi suhu pemanasan dengan konsentrasi gluten yang ditambahkan juga berpengaruh signifikan karena p-value lebih kecil dari 0.05 (0.0332) dengan nilai Fhitung sebesar 6.31. Hasil analisis ANOVA respon suhu gelatinisasi disajikan pada Lampiran 8. Nilai R2 untuk model respon suhu gelatinisasi sebesar 0.8959 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 89.59% sedangkan sisanya 10.41% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.
16 Persamaan model polinomial respon suhu gelatinisasi dalam bentuk yang sebenarnya: Suhu gelatinisasi (Y) = +98.46266 - 0.60821X1 - 0.75902X2 + 0.017500X1X2 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Konsentrasi gluten (%)
Berdasarkan persamaan model tersebut, diketahui bahwa respon suhu gelatinisasi akan meningkat seiring dengan peningkatan interaksi suhu pemanasan dengan konsentrasi gluten yang ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif. Suhu gelatinisasi akan menurun seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dan konsentrasi gluten yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Grafik kontur respon permukaan suhu gelatinisasi tepung beras-gluten disajikan pada Gambar 6. Suhu gelatinisasi (oC)
Suhu pemanasan (oC) Gambar 6 Grafik kontur respon permukaan suhu gelatinisasi tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten Hasil pengujian terhadap suhu gelatinisasi tepung beras-gluten diperoleh kisaran nilai 67.50-73.50 oC dengan nilai rata-rata sebesar 70.88 oC sehingga lebih tinggi dari suhu gelatinisiasi tepung beras yaitu sebesar 68.5 oC. Data respon suhu gelatinisasi disajikan pada Tabel 6. Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati (Imanningsih 2012). Gelatinisasi dan sifat pembengkakan setiap jenis pati sebagian dipengaruhi oleh struktur amilopektin, komposisi pati, dan arsitektur granula pati (Tester 1997). Ketika pati dipanaskan bersama air berlebih di atas suhu gelatinisasinya, granula pati yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi akan membengkak lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki kandungan yang lebih rendah. Selain itu, perbedaan sifat gelatinisasi juga dikarenakan distribusi berat granula pati (Howling 1980). Semakin besar berat molekul pati, maka gelatinisasi akan terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan molekul pati dengan berat yang lebih rendah. Pati serealia memiliki berat molekul yang lebih rendah dibandingkan dengan pati umbi-umbian, sehingga suhu terjadinya gelatinisasi tepung beras lebih rendah dibandingkan dengan tepung mocaf dan ubi jalar.
17 Berdasarkan Gambar 6 terlihat garis-garis kontur dengan titik merah yang tersebar di setiap lapisannya. Daerah berwarna biru menunjukkan nilai suhu gelatinisasi terendah dan daerah berwarna merah menunjukkan nilai tertinggi. Lingkaran terluar berwarna merah merupakan nilai respon terbaik karena suhu gelatinisasi yang diharapkan adalah maksimal. Kondisi optimal respon suhu gelatinisasi akan diperoleh dengan mengondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kanan atas. Respon suhu gelatinisasi akan optimum pada suhu pemanasan dan konsentrasi gluten yang tinggi. Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal suhu gelatinisasi yaitu X1 = 59.88 oC dan X2 = 39.70%. Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Swelling Power Model polinomial yang direkomendasikan yaitu kuadratik. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (0.0135) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.0885) berarti tidak ada lack of fit (not significant). Nilai lack of fit yang not significant menunjukkan bahwa adanya kesesuaian data respon swelling power dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon swelling power. Dari kedua faktor yang dipilih, faktor yang berpengaruh terhadap respon swelling power adalah konsentrasi gluten yang ditambahkan dengan nilai Fhitung sebesar 17.62. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon swelling power yang ditandai dengan nilai p-value “Prob>F” yang lebih kecil dari 0.05 (0.0040). Selain itu, interaksi kuadrat konsentrasi gluten yang ditambahkan juga berpengaruh signifikan karena p-value lebih kecil dari 0.05 (0.0149) dengan nilai Fhitung sebesar 10.28. Hasil analisis ANOVA respon swelling power disajikan pada Lampiran 9. Nilai R2 untuk model respon swelling power sebesar 0.8269 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 82.69% sedangkan sisanya 17.31% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Persamaan model polinomial respon swelling power dalam bentuk yang sebenarnya: Swelling Power (Y) = +14.38640 - 0.29476X1 - 0.039450X2 + 1.95000E-003X1X2 + 2.12500E-003X12 - 1.41875E-003X22 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Berdasarkan persamaan model tersebut, diketahui bahwa respon swelling power akan meningkat seiring dengan peningkatan interaksi suhu pemanasan dengan konsentrasi gluten dan interaksi kuadrat suhu pemanasan. Hal tersebut ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif. Swelling power akan menurun seiring dengan peningkatan suhu pemanasan, konsentrasi gluten dan interaksi kuadrat konsentrasi gluten yang ditandai dengan konstanta yang bernilai negatif. Grafik kontur respon permukaan swelling power tepung beras-gluten disajikan pada Gambar 7.
18
Konsentrasi gluten (%)
Swelling power (b/b)
Suhu pemanasan (oC) Gambar 7 Grafik kontur respon permukaan swelling power tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten Swelling power merupakan proses pembengkakan yang terjadi ketika tepung atau pati dipanaskan dalam air sehingga terjadi pelemahan granula pati yang menyebabkan penyerapan air, pembengkakan granula pati dan peningkatan volume (Zhou et al. 1999). Swelling power merupakan sifat pati yang utamanya dipengaruhi oleh kandungan amilopektin bahan dan nilainya akan semakin menurun seiring dengan tingginya kandungan amilosa dalam suatu bahan (Tester dan Morisson 1990). Hasil pengujian terhadap swelling power tepung beras-gluten diperoleh kisaran nilai 4.91-5.71 (b/b) dengan nilai rata-rata sebesar 5.31 (b/b), sedikit lebih rendah dari swelling power tepung beras yaitu sebesar 5.63 (b/b). Data respon swelling power disajikan pada Tabel 6. Nilai rata-rata swelling power tepung berasgluten lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu high protein (>14%) yaitu 6.21 (b/b). Saat proses swelling terjadi, granula pati dalam adonan dengan aktif menyerap air bebas yang ada serta sebagian air yang dilepas oleh gluten saat pemanasan berlangsung (Kusunose et al. 1999). Respon swelling power dipengaruhi secara signifikan oleh kandungan protein yang terdapat pada bahan (Adepeju et al. 2011). Menurut Tomoko dan Junko (1998), banyaknya rantai panjang amilopektin yang terkandung di dalam pati berpengaruh terhadap tingginya nilai swelling power pati tersebut. Singh et al. (2006) menyebutkan bahwa swelling power pati serealia dipengaruhi oleh kandungan amilopektinnya dikarenakan amilosa berlaku sebagai inhibitor. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh terhadap swelling power diantaranya struktur granula pati dan distribusi molekul pati di dalam granula pati tepung beras (Yu et al. 2012). Lebih jauh Yu et al. (2012) menyebutkan bahwa perbedaan nilai swelling power juga dipengaruhi oleh komposisi lemak dan protein dalam pati. Gugus protein berhimpitan erat dengan amiloplas pati sehingga memperlambat proses penyerapan air ke dalam granula pati yang mengakibatkan rendahnya nilai swelling power. Berdasarkan Gambar 7 terlihat garis-garis kontur dengan titik merah yang tersebar di setiap lapisannya. Daerah berwarna biru menunjukkan nilai swelling power terendah dan daerah berwarna merah menunjukkan nilai tertinggi. Lingkaran terdalam pada daerah berwarna merah merupakan nilai respon terbaik karena swelling power yang diharapkan adalah maksimal. Kondisi optimal respon swelling
19
Swelling power (b/b)
power akan diperoleh dengan mengondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kiri bawah. Respon swelling power akan optimum pada suhu pemanasan dan konsentrasi gluten yang rendah. Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal swelling power yaitu X1 = 50 oC dan X2 = 20.46%. Jika dilihat dari keterkaitan antar respon, data yang diperoleh menunjukkan bahwa respon kadar protein memberikan pengaruh negatif terhadap swelling power. Nilai swelling power semakin menurun seiring dengan semakin tingginya kadar protein yang terkandung dalam sampel. Hal ini didukung oleh pernyaaan Yu et al. (2012) yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gugus protein berhimpitan erat dengan amiloplas pati yang menyebabkan lambatnya proses penyerapan air ke dalam granula pati sehingga nilai swelling power menjadi rendah. Hal tersebut ditunjukkan oleh garis linier yang semakin menurun dengan R2 sebesar 0.7809 yang disajikan pada Gambar 8. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh kadar protein terhadap swelling power adalah sebesar 78.09%. Keterkaitan antara respon daya serap air dengan swelling power menunjukkan hal berbeda dimana swelling power semakin meningkat seiring dengan meningkatnya daya serap air. Lee dan Osman (1991) menyatakan bahwa swelling power bergantung pada kapasitas pati dalam menahan air melalui ikatan hidrogen. Saat ikatan hidrogen antar molekul pati terputus setelah pati tergelatinisasi sempurna, ikatan hidrogen antar molekul pati akan tergantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Hal tersebut ditunjukkan oleh garis linier yang semakin meningkat dengan R2 sebesar 0.7952 yang disajikan pada Gambar 9. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh daya serap air terhadap swelling power adalah sebesar 79.52%. 5.60 5.40 y = -0.036x + 6.4386 R² = 0.7809
5.20 5.00 4.80 23
28
33 Kadar protein (%)
38
43
Swelling power (b/b)
Gambar 8 Grafik pengaruh kadar protein terhadap swelling power 5.80 y = 4.6644x + 3.5461 R² = 0.7952
5.60 5.40 5.20 5.00 4.80 0.30
0.32
0.34
0.36 0.38 0.40 Daya serap air (ml/g)
0.42
0.44
0.46
Gambar 9 Grafik pengaruh daya serap air terhadap swelling power
20 Analisis Kombinasi Faktor terhadap Respon Baking Expansion Model polinomial yang direkomendasikan yaitu kuadratik. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa model yang dihasilkan signifikan dengan p-value “Prob>F“ lebih kecil dari 0.05 (0.0188) dan pada uji lack of fit diperoleh p-value “Prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.6818) berarti tidak ada lack of fit (not significant). Nilai lack of fit yang not significant menunjukkan bahwa adanya kesesuaian data respon baking expansion dengan model. Pada analisis ragam (ANOVA), dapat dilihat masing-masing pengaruh faktor terhadap respon baking expansion. Dari kedua faktor yang dipilih, tidak terdapat faktor yang berpengaruh terhadap respon baking expansion adalah karena nilai pvalue “Prob>F” kedua faktor lebih besar dari 0.05. Namun dapat diketahui bahwa interaksi kuadrat suhu pemansan mempengaruhi respon baking expansion karena p-value “Prob>F” lebih kecil dari 0.05 (0.0032) dengan nilai Fhitung sebesar 19.35. Hasil analisis ANOVA respon baking expansion disajikan pada Lampiran 10. Nilai R2 untuk model respon baking expansion sebesar 0.8083 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 80.83% sedangkan sisanya 19.17% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Persamaan model polinomial respon baking expansion dalam bentuk yang sebenarnya: Baking expansion (Y) = -20.29649 + 0.76757X1 - 3.86256E-003X2 - 4.50000E004X1X2 - 6.73500E-003X12 + 5.66250E-004X22 Keterangan:
X1 = Suhu pemanasan X2 = Konsentrasi gluten
Konsentrasi gluten (%)
Berdasarkan persamaan model tersebut, diketahui bahwa respon baking expansion akan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi gluten, interaksi suhu pemanasan dan konsentrasi gluten serta interaksi kuadrat suhu pemanasan. Baking expansion akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dan interaksi kuadrat konsentrasi gluten. Grafik kontur respon permukaan baking expansion tepung beras-gluten disajikan pada Gambar 10. Baking expansion (ml/g)
Suhu pemanasan (oC) Gambar 10 Grafik kontur respon permukaan baking expansion tepung beras-gluten terhadap suhu pemanasan dan konsentrasi gluten
21 Proses mengembangnya adonan disebabkan oleh adanya tekanan berlebih dalam rongga gas pada adonan yang dihasilkan dari kesetimbangan antara meningkatnya tekanan dalam rongga gas, permeabilitas dinding rongga dan matriks ketika terjadi perubahan pada sifat reologi adonan (Chevallier et al. 2000). Nilai baking expansion yang tinggi mengindikasikan bahwa daya mengembang yang semakin baik suatu adonan. Hasil pengujian terhadap baking expansion tepung beras-gluten diperoleh kisaran nilai 0.83-1.35 (ml/g) dengan nilai rata-rata sebesar 1.13 (ml/g), lebih tinggi dibandingkan dengan nilai baking expansion tepung beras yaitu 0.95 (ml/g) tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan baking expansion tepung terigu high protein (>14%) yaitu 1.89 (ml/g). Data respon baking expansion disajikan pada Tabel 6. Menurut Ulumi (2016) peningkatan volume spesifik (baking expansion) suatu adonan disebabkan oleh meningkatnya kapasitas hidrasi pati atau daya serap air pati tersebut. Pada fase awal baking expansion, ronggarongga gas dalam adonan bergabung yang menyebabkan adonan semakin mengembang saat dipanggang (Hayman et al. 1998). Febrianti (2015) menyatakan bahwa baking expansion suatu adonan juga dipengaruhi oleh kandungan protein di dalamnya. Gluten yang merupakan kandungan utama protein berperan dalam menentukan dough properties dan baking performance (Wieser 2007). Makin besar kapasitas hidrasi pati menyebabkan semakin banyaknya jumlah air yang terikat pada matriks pati. Berdasarkan Bertolini et al. (2001) dalam Tethool et al. (2012) pati yang mengandung kapasitas hidrasi yang tinggi dapat mengembang lebih besar karena jumlah air yang terikat lebih banyak yang berdampak pada besarnya penguapan air dan tekanan dari dalam adonan selama proses pemanggangan berlangsung. Berdasarkan Gambar 10 terlihat garis-garis kontur dengan titik merah yang tersebar di setiap lapisannya. Daerah berwarna biru menunjukkan nilai baking expansion terendah dan daerah berwarna merah menunjukkan nilai tertinggi. Lingkaran terdalam pada daerah berwarna merah merupakan nilai respon terbaik karena baking expansion yang diharapkan adalah maksimal. Kondisi optimal respon baking expansion akan diperoleh dengan mengondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kanan bawah atau kanan atas. Respon baking expansion akan optimum pada kombinasi suhu pemanasan tinggi dan konsentrasi gluten yang tinggi atau pada suhu pemanasan tinggi dan konsentrasi gluten rendah. Solusi optimasi yang direkomendasikan Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal baking expansion yaitu X1 = 55.65 oC dan X2 = 40%. Jika dilihat dari keterkaitan antar respon, data yang diperoleh menunjukkan bahwa respon kadar protein memberikan pengaruh positif terhadap baking expansion. Nilai baking expansion semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya kadar protein yang terkandung dalam sampel, ditunjukkan oleh garis linier yang semakin meningkat dengan R2 sebesar 0.8579 yang disajikan pada Gambar 11. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh kadar protein terhadap baking expansion adalah sebesar 85.79%. Kadar protein mengindikasikan keberadaan gluten sebagai komponen protein utama yang ditambahkan. Hal tersebut menyebabkan semakin mengembang adonan dan semakin tinggi nilai baking expansion. Keterkaitan antara respon daya serap air dengan baking expansion menunjukkan hal serupa dimana baking expansion semakin meningkat seiring dengan meningkatnya daya serap air. Daya serap air atau kapasitas hidrasi pati
22
Baking expansion (ml/g)
menyebabkan peningkatan volume spesifik (baking expansion) suatu adonan sehingga semakin mengembang suatu adonan (Febrianti 2015). Hal tersebut ditunjukkan oleh garis linier yang semakin meningkat dengan nilai R2 sebesar 0.7142 yang disajikan pada Gambar 12. Hal tersebut mempunyai arti bahwa pengaruh daya serap air terhadap baking expansion adalah sebesar 71.42%. 1.50 1.40 1.30 1.20 1.10 1.00 0.90 0.80 20.00
y = 0.0237x + 0.3745 R² = 0.8579
25.00
30.00 35.00 Kadar protein (%)
40.00
45.00
Baking expansion (ml/g)
Gambar 11 Grafik pengaruh kadar protein terhadap baking expansion 1.40 1.30
y = 1.369x + 0.55 R² = 0.7142
1.20 1.10 1.00 0.90 0.80 0.31
0.36
0.41 0.46 Daya serap air (ml/g)
0.51
Gambar 12 Grafik pengaruh daya serap air terhadap baking expansion Validasi Kondisi Optimum Berdasarkan analisis dua variabel faktor (suhu pemanasan dan konsentrasi gluten) dan enam variabel respon (kadar protein, kadar protein air dekantasi, daya serap air, suhu gelatinisasi, swelling power dan baking expansion) yang dipilih serta penentuan range dan level yang telah disesuaikan, solusi optimum yang direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0.0 untuk penelitian ini, yaitu suhu pemanasan 54.35 oC dan konsentrasi gluten 29.72% dengan nilai desirability sebesar 0.567. Menurut Madamba (2005), model dinilai baik dan memadai apabila nilai prediksi respon yang dihasilkan mendekati nilai verifikasi dalam kondisi aktual. Selanjutnya, nilai respon aktual dibandingkan dengan nilai respon prediksi yang diberikan program Design Expert 7.0.0. Nilai respon prediksi yang diberikan program diikuti dengan selang prediksi sebesar 95%. Selang prediksi atau PI (Prediction Interval) dibagi menjadi dua level yaitu 95% PI low dan 95% PI high. PI low menunjukkan nilai terendah dari interval nilai yang diprediksikan program sedangkan PI high menunjukkan nilai tertinggi dari interval nilai yang
23 diprediksikan program. Definisi 95% pada PI memiliki arti bahwa nilai kepercayaan dari pengamatan individual sebesar 95%. Perbandingan nilai respon prediksi solusi optimasi program dengan nilai hasil aktual dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan karakteristik tepung beras terhadap nilai respon prediksi solusi optimasi dengan hasil aktual
Respon Kadar protein (%) Kadar protein air dekantasi (%) Daya serap air (ml/g) Suhu gelatinisasi (oC) Swelling power (b/b) Baking expansion (ml/g)
6.52 -
Aktual tepung berasgluten 30.67 0.71
0.66 68.50 5.63 0.95
0.38 72.00 5.65 1.41
Tepung beras
95 % PI Prediksi
Low
High
30.417 ± 0.41 0.674 ± 0.023
27.05 0.54
33.78 0.81
0.375 ± 0.010 71.11 ± 0.20 5.37 ± 0.052 1.19 ± 0.045
0.29 69.48 5.07 0.92
0.46 72.75 5.67 1.45
Berdasarkan hasil validasi, diperoleh kadar protein 30.67%, kadar protein air dekantasi 0.71%, daya serap air 0.38 ml/g, suhu gelatinisasi 72 oC, swelling power 5.65 b/b, dan baking expansion 1.41 ml/g. Apabila dibandingkan dengan nilai respon prediksi yang diberikan oleh program, nilai respon hasil validasi tidak berbeda jauh dengan nilai respon prediksi dan masuk dalam range nilai yang diprediksi program. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi optimasi yang direkomendasikan oleh program dapat dikategorikan baik sehingga dapat dihasilkan kualitas adonan yang lebih baik. Sifat Birefringence Pada umumnya, pati memiliki sifat birefringence yang diartikan sebagai sifat granula pati utuh yang dapat membentuk dua warna (biru dan kuning) bersilang pada permukaan saat dilewatkan pada sinar yang berpolrisasi, disebabkan karena adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati (Cui et al. 2005). Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati (Zhou et al. 1999). Pengujian dilakukan pada tiga sampel yaitu tepung beras alami, tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%. Menurut Cready (1970), saat air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula pada suhu 60-85 oC granula akan mengembang dengan cepat dan kehilangan sifat birefringence. Pada saat pati tergelatinisasi secara parsial, birefringence pati masih terlihat dalam jumlah kecil karena masih mengandung granula pati utuh. Namun ketika pati tergelatinisasi sempurna, sifat birefringence akan hilang (Anwar et al. 2006).
24
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Bentuk granula pati terpolarisasi (a) tepung beras alami, (b) tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29% yang dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Berdasarkan Gambar 13 (a), dapat dilihat bahwa sifat birefringence pada tepung beras masih jelas terlihat dengan jelas karena granula pati masih utuh tanpa mengalami perlakuan apapun. Gambar 13 (b) terlihat sudah tidak ada granula pati yang utuh dan kehilangan sifat birefringence yang cukup banyak. Hal ini dikarenakan rusaknya granula pati karena pemanasan pada saat proses pengikatan. Hilangnya sifat birefringence pada granula pati menunjukkan adanya kerusakan granula pati yang disebabkan oleh pemanasan ataupun hidrolisis (Kusumawati et al. 2012). Pada Gambar 13 (c) sifat birefringence masih terlihat lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 13 (b) karena suhu pemanasan yang diterapkan lebih rendah. Sifat birefringence akan semakin menghilang seiring dengan semakin tingginya suhu pemanasan yang digunakan. Menurut An-I dan Su-Lan (1993), penyebab lain hilangnya sifat birefringence adalah kondisi basa yang digunakan pada saat proses pengikatan berlangsung yang dapat memecah sebagian granula pati. Kondisi basa disebabkan oleh penambahan larutan CaCl2 2% yang dibutuhkan dalam proses pengikatan tepung beras dengan tepung gluten gandum. Pembentukan Ikatan dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red) Analisis terhadap spektrum infra merah (FTIR) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan maupun pembentukan gugus fungsi baru pada struktur tepung setelah pengikatan dengan gluten (Febrianti 2015). Pengujian dilakukan terhadap tiga sampel yaitu tepung beras alami, tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%. Pemilihan sampel didasarkan pada sampel yang mewakili titik pusat, sampel hasil dari validasi titik optimasi serta tepung beras yang digunakan sebagai sampel acuan untuk melihat perubahan gugus yang terjadi. Tabel frekuensi serapan spektrum infra merah pada beberapa gugus fungsi yang terdapat pada sampel disajikan pada Tabel 8.
25 Tabel 8 Interpetrasi puncak spektrum infra merah (UCDAVIS 2016)
Sampel Tepung beras Tepung 5530 Tepung 5429
O-H 3200-3600 (cm-1) 3140-3590 3250-3500 3234-3523
Bilangan Gelombang (cm-1) C-H N-H C=O 2840-3000 2360-2380 1630-1695 (cm-1) (cm-1) (cm-1) 2923-2947 1625-1663 2923-2938 2348-2377 1638-1673 2923-2940 2367-2377 1642-1678
C-N 1020-1250 (cm-1) 1147-1122 1140-1158 1149-1160
Hasil analisis spektrum infra merah ketiga sampel menunjukkan adanya lima puncak spektrum yang dapat mewakili gugus fungsi yang terdapat pada sampel. Hasil analisis spektrum infra merah ketiga sampel dapat dilihat pada Lampiran 11, Lampiran 12 dan Lampiran 13. Gugus fungsi yang ditunjukkan oleh puncak spektrum meliputi O-H pada kisaran gelombang 3140-3590 cm-1, C-H pada kisaran gelombang 2923-2947 cm-1, C=O pada kisaran gelombang 1625-1678 cm-1, C-N pada kisaran gelombang 1140-1160 cm-1 dan N-H pada kisaran gelombang 23482380 cm-1 yang hanya terlihat pada sampel tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%. Berdasarkan ketiga sampel dapat dilihat bahwa gugus O-H tepung berasgluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29% mengalami peningkatan transmitan dibandingkan dengan tepung beras. Peningkatan persentase transmitan menunjukkan bahwa adanya penurunan ikatan O-H dibandingkan dengan tepung beras. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan kadar air pada sampel tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%. Kadar air rata-rata sampel adalah sebesar 9.81%. Ikatan C-H pada sampel terlihat pada kisaran gelombang 2923-2947 cm-1. Ikatan C-H pada sampel terlihat mengalami peningkatan persentase transmitan (berkurangnya persentase absorbansi), dengan transmitan tertinggi terlihat pada sampel tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%. Peningkatan nilai transmitan diartikan sebagai penurunan kuantitas ikatan C-H yang terdapat pada sampel. Menurut Patriadi (2015), berkurangnya kuantitas ikatan C-H menunjukkan terjadinya pelepasan atom hidrogen yang terdapat dalam granula pati saat dipanaskan. Lebih lanjut Patriadi (2015) menyatakan bahwa melemahnya ikatan C-H yang terjadi akibat penurunan interaksi hidrogen dalam pati memudahkan air untuk memasuki granula pati saat reaksi berlangsung. Ikatan N-H terlihat pada kisaran gelombang 2348-2380 cm-1 dan hanya terlihat pada sampel tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%. Menurut tabel serapan spektrum infra merah yang dianyatakan oleh UCDAVIS (2016), ikatan NH menunjukkan adanya gugus fungsi amina sebagai indikasi dari kadar protein. Ikatan N-H pada tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30% mengalami peningkatan persentase transmitan dibandingkan dengan sampel tepung beras yang membuktikan bahwa tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30% mengandung kadar protein lebih tinggi dibandingkan tepung beras
26 alami dan tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29% seiring dengan lebih banyaknya jumlah konsentrasi gluten yang ditambahkan. Keberadaan ikatan C=O yang terlihat pada ketiga sampel di kisaran gelombang 1625-1678 cm-1. Peningkatan persentase transmitan terlihat tidak terlalu signifikan dan persentase tertinggi ditunjukkan oleh tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30% sebagai titik pusat. Peningkatan ikatan C=O (karbonil) pada sampel berperan dalam kapasitas hidrasi pati dan proses pengikatan yang terbentuk akibat adanya reaksi Maillard (Patriadi 2015). Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Wang dan Wang (2003) yang menerangkan bahwa keberadaan gugus karbonil berkontribusi dalam kapasitas hidrasi pati, begitu juga gugus karboksil (-COOH) yang tersusun dari adanya gugus O-H, C-O dan C=O. Reaksi Maillard yang terjadi disebabkan oleh ikat silang yang terbentuk antara gugus karbonil atau dikarbonil dengan protein (Palupi et al. 2007). Ikatan C=O yang terlihat berasal dari protein yang terkandung dalam tepung gluten gandum yang ditambahkan. Pada ketiga sampel terlihat adanya penguatan ikatan C-N pada kisaran gelombang 1140-1160 cm-1 yang mengindikasikan adanya protein pada sampel. Tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30% mengalami penguatan ikatan C-N dibandingkan dengan kedua sampel lainnya disebabkan oleh penambahan konsentrasi gluten tertinggi. Patriadi (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pati yang terikat dengan gluten memiliki kuantitas ikatan C-N lebih banyak dibandingkan dengan pati yang hanya dicampurkan dengan gluten. Ikatan C-N yang terdapat dalam sampel diduga bukan hanya berasal dari penambahan gluten, melainkan juga berasal dari implikasi proses pengikatan antara tepung beras dengan gluten. Yokotsuka (1986) dalam Rosida et al. (2011) menerangkan bahwa penambahan jumlah ikatan C-N dapat terjadi akibat adanya reaksi Maillard dimana pada pengikatan tepung beras-gluten dilakukan pengeringan yang memungkinkan terjadinya ikat silang antara gugus karbonil (C=O) yang terbentuk dalam pati dengan protein yang ditambahkan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi optimum yang direkomendasikan yaitu pada suhu pemanasan 54.35 C dan konsentrasi gluten 29.72% tidak berbeda jauh dari titik pusat. Hasil validasi dari kondisi optimum yang terpilih menghasilkan karakteristik tepung dengan kadar protein 30.67%, kadar protein air dekantasi 0.71%, daya serap air 0.38 ml/g, suhu gelatinisasi 72 oC, swelling power 5.65 b/b, dan baking expansion 1.41 ml/g. Hasil validasi kondisi optimum masuk ke dalam rentang prediksi respon dan dapat dikategorikan baik sehingga dapat dihasilkan kualitas adonan yang lebih baik. Sifat birefringence semakin menghilang seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan saat pengikatan dan kondisi basa yang digunakan pada saat proses pengikatan berlangsung yang dapat memecah sebagian granula pati. Penguatan ikatan C-N terjadi pada tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%, dan o
27 tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29% yang mengindikasikan adanya protein yang berasal dari penambahan gluten. Saran Perlu dilakukan studi lebih lanjut pada metode pengikatan, suhu yang digunakan harus suhu in situ. Selain itu, perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk dapat membuktikan adanya ikatan tepung beras dengan gluten serta aplikasi produk yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 1995. Official Method of Association of Official Analytical Chemist. 11th Edition. Benjamin Franklin Station. Washington, USA. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Arlington, Virginia. USA. [APTINDO]. 2013. Overview industry tepung terigu nasional Indonesia. Artikel [internet]. [diunduh 27 Januari 2016]. Tersedia pada: http://www.aptindo.or.id/pdfs/Overview%20Industri%20Terigu%20nas ional-updat%2014%20maret%202013.pdf [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi padi tahun 2015 diperkirakan naik 6,64% [internet]. [diakses pada 2015 Januari 27]. Diacu dari http://www.bps.go.id/brs/view/id/1157 Adepeju AB, Gbadamosi SO, Adeniran AH, Omobuwajo TO. 2011. Functional and pasting characteristics of breadfruit (Artocarpus altilis) flours. Afr J Food Sci. 5(9): 529-535. Anindyasari Y. 2012. Pengaruh lama fermentasi dengan ragi roti terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik tepung kimpul [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya. An-I Y, Su-Lan Y. 1993. Some characteristics of hydroxypropylated and crosslicked rice starch. Am Assoc Cereal Chem. 70(5): 596-601. Antarlina SS. 1998. Utilization of sweet potato flour for making cookies and cakes. In: Hendroatmodjo KH, Widodo Y, Sumarno, Guritno B (Eds.). Research Accomplishment of Root Crops for Agricultural Development in Indonesia. Res Inst Legume and Tuber Crops: 127-132. Anwar E, Khotimah H, Yanuar A. 2006. An approach on pregelatinized cassava starch phosphate esters as hydrophilic polymer exipient for controlled release tablet. J Med Sci. 6(6): 923-929. Bandilangoe PM. 2012. Kualitas mie basah dengan penambahan ekstrak wortel (Daucus carota L.) dan substitusi tepung bekatul [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Atma Jaya. Chevallier S, Colonna P, Della Valle G, Lourdin D. 2000. Contribution of major ingredients during baking of biscuit dough systems. J Cereal Sci. 31: 241–252. Cready RM. 1970. Starch and dextrin. Di dalam: M.A. Joslyn (ed). Methods in Food and Food Analysis. Academic Press, New York.
28 Cui, Steve W, Qiang L, Shery XX. 2005. Starch Modification and Applications. Di dalam: Yuliana. 2011. Karakterisasi pragelatinisasi pati singkong fosfat yang dibuat dengan menggunakan natrium tripolifosfat sebagai eksipien dalam sediaan farmasi [skripsi]. Depok (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Damayanthi EL, Tjing T, Arbianto L. 2007. Rice Bran. Depok (ID): Penebar Swadaya. Febrianti FH. 2015. Pengikatan gluten pada tepung mocaf dalam upaya perbaikan kualitas adonan tepung mocaf [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor (IPB). Fennema OR. 1996. Food Chemistry 3rd Ed. New York (US): Marcel Dekker. Foodchem. 2014. Gluten dan peranannya dalam produk bakery [internet]. [diacu pada 2015 Januari 28]. Diakses dari http://www.foodchemstudio.com/2014/04/gluten-dan-peranannya-dalam-produk-bakery.html Hayman D, Hoseney RC, Faubion JM. 1998. Bread crumb grain development during baking. Cereal Chem. 75:577-580. Hoskin S. 1998. Material Safety Data Sheet Calcium Chloride. Texas (US): Business Unit of M-I L.L.C. Howling D. 1980. The Influence of the structure of starch on its rheological properties. Food Chem. 6: 51-61. Imanningsih N. 2012. Profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung-tepungan untuk pendugaan sifat pemasakan. Penel Gizi Makan. 35(1): 13-22. Kusumawati DD, Amanto BS, Dimas RAM. 2012. Pengaruh perlakuan pendahuluan dan suhu pengeringan terhadap sifat fisik, kimia, dan sensori tepung biji nangka. J Teknosains Pangan. 1(1): 41-48. Kusunose C, Fujii T, Matsumoto H. 1999. Role of starch granules in controlling expansion of dough during baking. Cereal Chem. 76(6):920–924 Langstraat T, Jansens K, Delcour J, Goderis B. 2014. Controlling wheat gluten cross-linking for high temperature processing. ICBMC '14. International Conference on Biobased Materials and Composites, May 13-16 2014. Montreal, Canada. Lee YE, Osman EM. 1991. Correlation of morphological changes of rice starch granules with rheological properties during heating in excess water. J Korean Agr Chem Soc. 34: 379–385. Liang X, King JM. 2003. Pasting and crystalline property differences and isolated rice starch with added amino acids. J Food Sci. 68(3): 832-838. Luh, Bor S. 1991. Rice Production: Second Edition. New York (US): Van Nostrand Reinhold. Madamba PS. 2005. Determination of optimum intermittent drying condition for rough rice (Oryza sativa L). U-Technol. 38: 157-165. Munarso SJ, Muchtadi D, Fardiaz D, dan Syarief R. 2004. Perubahan sifat fisikokimia dan fungsional tepung beras akibat proses modifikasi ikat silang. J Pascapanen. 1(1): 22-28. Palupi N S, Zakaria FR, Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENPB, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
29 Patriadi A. 2015. Ikat silang pati sagu dengan gluten untuk meningkatkan daya mengembang sagu sebagai bahan utama adonan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Radley JA. 1976. Starch Production Technology. Applied Science publisher (UK): London. Raina C, Singh S, Bawa A, Saxena D. 2006. Some characteristic of acetylated, crosslinked and dual modified Indian starches. Eu Food Res Technol. 223 (4): 561-570. Richana N, Sunarti TC. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. J Pascapanen. 1(1): 29-37. Richana N. 2010. Tepung jagung termodifikasi sebagai pengganti tepung terigu. Warta Penel dan Pengembangan. 32(1): 6. Rosida DF, Wijaya CH, Apriyanto A, Zakaria FR. 2011. Efektifitas metode aktivitas antioksidan pada fraksi kecap manis dan model glukosaglisinsistein. REKAPANGAN J Teknol Pangan. 5(1):15-22. Simanjuntak D. 2006. Pemanfaatan komoditas non beras dalam diversifikasi pangan sumber kalori. J Penel Bidang Ilmu Pertanian. 4(1): 45-54. Singh N, Kaur L, Sodhi NS, Sekhon KS. 2005. Physicochemical, cooking and textural properties of milled rice from different Indian rice cultivars. Food Chem. 89: 253-259. Swinkles JJM. 1985. Sources of starch, its chemistry and physic. Di dalam: Van Beynum, G.M.A. dan J.A. Roels. Starch Conversion Technology. New York (US): Marcel Dekker, Inc. Tester RF. 1997. Starch: the polysaccharide fractions. Di dalam Frazier, PJ, Donald. AM Richmond, P, editors. Starch Structure and Functionality. London (UK): The Royal Society of Chemistry. Tester RF, Morrison WR. 1990. Swelling and gelatinization of cereal starches II: Waxy rice starches. Cereal Chem. 67: 558–563. Tomoko S, Junko M. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power. Cereal Chem. 75(4): 525-529. Tuankotta A, Kurniaty N, Arumsari A. 2015. Perbandingan kadar protein pada tepung beras putih (Oryza sativa L.), tepung beras ketan hitam (Oryza sativa L. Glutinosa), dan tepung sagu (Metroxylon sagu Rottb) dengan menggunakan metode kjeldahl. Prosiding Penelitian SPeSIA 109-114. UCDAVIS. 2016. Infrared spectroscopy absorption table [internet]. [diakses pada 2016 Oktober 16]. Diacu dari http://chem.libretexts.org/Reference/Reference_Tables/Spectroscopic_P arameters/Infrared_Spectroscopy_Absorption_Table Ulumi AR. 2016. Optimasi pengikatan gluten pada tepung ubi jalar dalam upaya perbaikan kualitas adonan tepung ubi jalar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wang YJ, Wang L. 2003. Physicochemical properties of common and waxy corn starch oxidized by different level of sodium hypochloride. Carbohyd Polym. 52(3):207-217. Widjajaseputra AI, Harijono, Yunianta, Estiasih T. Pengaruh rasio tepung beras dan air terhadap karakteristik kulit lumpia basah. J Teknol Ind Pangan. 22(2): 184-189.
30 Wieser H. 2007. Chemistry of gluten proteins. Food Microbiol. 24: 115–119. Yu S, Ma Y, Menager L, Sun DW. 2012. Physicochemical properties of starch and flour from different rice cultivars. Food Bioprocess Technol. 5: 626-637. Zhou M, Robards K, Glenie-Holmes M, Helliwell S. 1999. Structure and pasting properties of oat starch. Cereal Chem. 75(3): 273 –281.
31 Lampiran 1 Prosedur karakterisasi tepung beras 1. Kadar air (AOAC 2005) Metode dimulai dengan mengeringkan cawan alumunium kosong dalam oven dengan suhu 105 oC selama 15 menit. Cawan lalu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 5 menit. Setelah itu ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3 jam atau hingga beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 g). Cawan lalu diangkat, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: b (x − y) x 100% Kadar air (% ) = b (x − a) Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g) 2. Kadar abu (AOAC 2005) Metode dimulai dengan memanaskan cawan porselen kosong dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Kemudian 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap I bersuhu 400 oC lalu dilanjutkan pada suhu 550 oC. Cawan lalu diangkat, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: b W2 x 100% Kadar abu (% ) = b W1 Keterangan: W1 = berat sampel (g) W2 = berat abu (g) 3. Kadar lemak (AOAC 1995) Metode dimulai dengan sebanyak 5 g sampel yang ditepungkan dibungkus dengan kertas saring, dimasukkan ke dalam soxhlet, lalu ditambahkan heksan secukupnya dan direfluks selama 5-6 jam. Kemudian, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105 oC, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Kadar lemak (%) =
berat lemak (g) x 100% berat sampel (g)
4. Kadar protein (AOAC 1995) Metode dimulai dengan sampel sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml, kemudian ditambahkan 1 g campur katalis (CuSO4 : Na2SO4 = 5 : 6)
32 dan 2.5 ml H2SO4 97 %. Campuran tersebut didekstruksi hingga cairan berwarna hijau jernih. Setelah didinginkan, kemudian larutan dimasukkan ke dalam labu distilasi. Larutan yang tersisa dalam labu Kjedahl dibilas dengan akuades minimal 3 kali. Setelah itu ditambahkan 15 ml NaOH 6 N ke dalam labu distilasi. Sebanyak 10 ml larutan asam borat 2 % dalam erlenmeyer 200 ml yang telah diberi 3-4 tetes indikator mensel digunakan sebagai penampung. Larutan kemudian didistilasi hingga diperoleh volume larutan dua kali semula. Selanjutnya dilakukan titrasi menggunakan H 2SO4 0.02 N hingga larutan berwarna hijau. Prosedur yang sama dilakukan untuk blangko (tanpa sampel). Kadar protein kasar dihitung dengan rumus berikut:
Kadar protein (%) =
a x N H2 SO4 x 14 x 5.95 x 100% bobot sampel (g) 𝑥 1000
Keterangan: a = selisih ml NaOH yang digunakan untuk titrasi blangko dan sampel
5. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu dengan perhitungan selisih yang melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Berikut adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference. Kadar karbohidrat (%) = 100% − (% kadar air + % kadar abu + % kadar protein + % kadar lemak 6. Kadar serat kasar (AOAC 1995) Metode dimulai dengan sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N dan dihidrolisis di dalam otoklaf bersuhu 105 oC selama 15 menit lalu didinginkan. Kemudian ditambahkan 50 ml NaOH 1.25 N dan dihidrolisis kembali di dalam otoklaf bersuhu 105 oC selama 15 menit. Pada keadaan panas disaring menggunakan kertas Whatman No. 40 setelah diketahui bobot keringnya. Kertas saring yang di gunakan dicuci berturut – turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol 95%. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-110 oC sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat kasar (%) =
bobot endapan kering (g) x 100% bobot sampel (g)
7. Kadar pati (Uji Luff Schroll) Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan tambahkan 200 ml HCl 3%. Kemudian sampel dihidrolisis selama 1-3 jam di dalam otoklaf dengan suhu 105 oC. Setelah dihidrolisis, sampel didinginkan lalu sampel selanjutnya dinetralkan dengan NaOH 40% (digunakan kertas pH sebagai indikator pengukurannya). Masukkan sampel ke dalam labu takar 250 ml dan tambahkan air destilata sampai mencapai tanda tera. Pipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan tambahkan 25 ml larutan Luff Schroll. Sampel lalu didihkan selama 10 menit pada pendingin tegak. Setelah itu, dinginkan sampel
33 di bawah air yang mengalir (jangan dikocok) lalu tambahkan 20 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25%. Larutan dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N dengan indikator kanji sampai hilang warnanya. Buatlah blangko dengan sampel serupa berupa 25 ml air destilata dan 25 ml larutan Luff Schroll. Kadar pati (%) yang didapat merupakan jumlah mg C6H12O6 ditentukan berdasarkan selisih titrasi larutan Na2S2O3 antara blangko dan contoh. Kadar pati (%) =
a x 0.9 x p x 100% mg contoh
Keterangan: a = jumlah mg glukosa, fruktosa, gula invert (C6H12O6) p = faktor pengenceran
34 Lampiran 2 Prosedur pengujian produk tepung beras – gluten 1. Swelling power (Raina et al. 2006) Metode dimulai dengan tepung ditimbang (0.5 g berat kering) dimasukkan ke dalam gelas piala. Tepung dilarutkan dalam akuades 25 ml sambil diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit pada suhu 70 oC. Larutan tepung kemudian didinginkan pada suhu ruang sebelum disentrifugasi dengan kecepatan 3,000 rpm selama 15 menit. Pengukuran swelling power dilakukan dengan menimbang endapan hasil sentrifugal dan nilainya dibandingkan dengan berat sampel kering. 2. Daya serap air (Muchtadi dan Sugiyono 1992; dengan sedikit modifikasi) Metode dimulai dengan sampel sebanyak 25 g diletakkan dalam wadah dan ditambahkan air sebanyak 10-20 ml dengan menggunakan buret. Campuran tersebut diuleni menggunakan tangan hingga kalis dan tidak lengket di tangan. Daya serap terhadap air dihitung menggunakan rumus: Daya serap terhadap air =
jumlah air yang digunakan (ml) bobot sampel (g)
3. Suhu gelatinisasi (Radley 1976 dalam Jading et al. (2011)) Metode dimulai dengan suspensi tepung 10% (b/v) dipanaskan di atas penangas air sambil dilakukan pengadukan. Pengukuran suhu gelatinisasi dilakukan menggunakan termometer dari awal pati tergelatinisasi hingga gelatinisasi sempurna. 4. Sifat birefringence (Ghiasi et al. 1982) Metode dimulai dengan sampel yang telah dikeringkan diletakkan di atas preparat kemudian dibasahi dan diletakkan pada mikroskop cahaya terpolarisasi yang tersambung dengan komputer. Pengambilan gambar hasil pengamatan dilakukan dua kali, secara terang dan terpolarisasi. 5. Baking expansion (metode basic bread dan Richana et al. 2010; dengan sedikit modifikasi) Metode basic bread dan Richana et al. (2010) dengan sedikit modifikasi dimulai dengan sampel sebanyak 50 g ditambahkan ragi sebanyak 1% dan air dingin sebanyak 35 ml lalu diuleni hingga kalis. Sampel kemudian dibagi menjadi lima bagian dan difermentasi selama 1 jam. Setelah 1 jam, sampel kembali diuleni dan difermentasi kembali selama 1 jam. Sampel selanjutnya dioven selama 20 menit pada suhu 200 oC. Pengujian dilakukan dengan replacement test. Roti yang telah dibuat dan diketahui bobotnya, ditempatkan ke dalam wadah yang sudah ditimbang sebelumnya. Sampel lalu ditutupi oleh wijen yang telah diketahui berat jenisnya hingga tepat memenuhi wadah. Wijen yang tumpah ditimbang bobotnya dan dihitung volumenya sebagai volume roti. Baking expansion dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 𝐵𝑎𝑘𝑖𝑛𝑔 𝑒𝑥𝑝𝑎𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛 =
volume roti (ml) bobot roti (g)
35 Lampiran 3 Data kadar air sampel Sampel ke-
Suhu (oC)
Konsentrasi (%)
1
50
20
2
60
20
3
50
40
4
60
40
5
48
30
6
62
30
7
55
16
8
55
44
9
55
30
10
55
30
11
55
30
12
55
30
13
55
30
Kadar air (%) 4.00 3.95 3.65 3.71 5.86 5.83 6.33 6.37 5.48 5.44 5.02 4.98 4.55 4.54 5.92 5.97 3.32 3.34 2.22 2.27 6.45 6.44 5.76 5.79 6.25 6.21
Rata-rata ± SD (%) 3.98 ± 0.04 3.68 ± 0.04 5.85 ± 0.02 6.35 ± 0.02 5.46 ± 0.02 5.00 ± 0.02 4.54 ± 0.00 5.95 ± 0.04 3.33 ± 0.01 2.24 ± 0.03 6.45 ± 0.01 5.77 ± 0.02 6.23 ± 0.02
36 Lampiran 4 Data kadar abu sampel Sampel ke-
Suhu (oC)
Konsentrasi (%)
1
50
20
2
60
20
3
50
40
4
60
40
5
48
30
6
62
30
7
55
16
8
55
44
9
55
30
10
55
30
11
55
30
12
55
30
13
55
30
Kadar abu (%) 0.88 0.87 0.91 0.95 1.23 1.17 1.13 1.17 1.03 1.06 1.10 1.08 0.94 0.90 1.25 1.28 0.94 0.95 1.00 0.96 0.99 0.96 0.96 0.97 0.98 1.01
Rata-rata ± SD (%) 0.88 ± 0.00 0.93 ± 0.03 1.20 ± 0.04 1.15 ± 0.03 1.04 ± 0.02 1.09 ± 0.01 0.92 ± 0.03 1.26 ± 0.02 0.94 ± 0.01 0.98 ± 0.03 0.97 ± 0.02 0.97 ± 0.01 1.00 ± 0.02
37 Lampiran 5 Hasil analisis respon kadar protein menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon kadar protein Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F < 0.0001 0.2750 0.5102 0.6720
Lack of fit Prob>F 0.4708 0.4821 0.4007 0.1801
R2 0.9479 0.9547 0.9626 0.9681
Adjusted R2 0.9375 0.9396 0.9359 0.9235
Keterangan Suggested
b. Analisis ANOVA respon kadar protein Keterangan
SMSS
df
Model A-Suhu B-Konsentrasi Residual
385.02 3.53 381.49 21.16
2 1 1 10
Kuadrat Tengah 192.51 3.53 381.49 2.12
Lack of fit
13.35
6
2.22
Pure Error Cor Total
7.81 406.81
4 12
1.95
Nilai P Prob > F 90.98 <0.0001 1.67 0.23 180.29 <0.0001
Nilai F
1.14
0.47
Keterangan Signifikan
Tidak signifikan
38 Lampiran 6 Hasil analisis respon kadar protein air dekantasi menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon kadar protein air dekantasi Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F 0.0928 0.8581 0.0241 0.4530
Lack of fit Prob>F 0.0006 0.0004 0.0016 0.0006
R2 0.3784 0.3808 0.7864 0.8444
Adjusted R2 0.2541 0.1743 0.6338 0.6265
Keterangan
Suggested
b. Analisis ANOVA respon kadar protein air dekantasi Keterangan
SMSS
Model A-Suhu B-Konsentrasi AB A2 B2 Residual
0.07 0.01 0.02 1.96E-04 0.03 8.67E-04 0.02
5 1 1 1 1 1 7
Kuadrat Tengah 0.01 0.01 0.02 1.96E-04 0.03 8.67E-04 2.57E-03
0.02
3
5.81E-03
5.29E-04 0.08
4 12
1.32E-04
Lack of fit Pure Error Cor Total
df
5.15 4.64 7.76 0.08 12.20 0.34
Nilai P Keterangan Prob > F 0.03 Signifikan 0.07 0.03 0.79 0.01 0.58
43.97
1.60E-03
Nilai F
Tidak signifikan
39 Lampiran 7 Hasil analisis respon daya serap air menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon daya serap air Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F 0.0005 1.0000 0.1154 0.3253
Lack of fit Prob>F 0.3434 0.2783 0.4503 0.4706
R2 0.7801 0.7801 0.8814 0.9243
Adjusted R2 0.7362 0.7069 0.7967 0.8183
Keterangan Suggested
b. Analisis ANOVA respon daya serap air df
Kuadrat Tengah 0.02 1.19E-03 0.05 1.37E-03
Keterangan
SMSS
Model A-Suhu B-Konsentrasi Residual
0.05 1.19E-03 0.05 0.01
Lack of fit
9.68E-03
6 1.61E-03
Pure Error Cor Total
4.09E-03 0.06
4 0.001023 12
2 1 1 10
Nilai F 17.74 0.86 34.62 1.58
Nilai P Keterangan Prob > F 5.00E-04 Signifikan 0.37 2.00E-04 0.34
Tidak signifikan
40 Lampiran 8 Hasil analisis respon suhu gelatinisasi menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon suhu gelatinisasi Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F 0.0002 < 0.0001 0.1028 0.8215
Lack of fit Prob>F -
R2 0.8273 0.9707 0.9847 0.9858
Adjusted R2 0.7927 0.9609 0.9737 0.9660
Keterangan Suggested
b. Analisis ANOVA respon suhu gelatinisasi
37.57 1.38 33.12 3.06 4.37
3 1 1 1 9
Kuadrat Tengah 12.52 1.38 33.12 3.06 0.49
Lack of fit
3.71
5
0.74
Pure Error Cor Total
0.66 41.94
4 12
0.17
Keterangan Model A-Suhu B-Konsentrasi AB Residual
SMSS
df
25.81 2.85 68.26 6.31
Nilai P Prob > F < 0.0001 0.13 < 0.0001 0.03
4.49
0.09
Nilai F
Keterangan Signifikan
Tidak signifikan
41
Lampiran 9 Hasil analisis respon swelling power menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon swelling power Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F 0.0561 0.2908 0.0256 0.0431
Lack of fit Prob>F 0.0265 0.0255 0.0885 0.3695
R2 0.4380 0.5070 0.8269 0.9508
Adjusted R2 0.3256 0.3426 0.7033 0.8819
Keterangan
Suggested
b. Analisis ANOVA respon swelling power Keterangan
SMSS
Model A-Suhu B-Konsentrasi AB A2 B2 Residual
0.46 1.25E-03 0.24 0.04 0.02 0.14 0.10
5 1 1 1 1 1 7
Kuadrat Tengah 0.09 1.25E-03 0.24 0.04 0.02 0.14 0.01
Lack of fit
0.07
3
0.02
Pure Error Cor Total
0.02 0.55
4 12
5.40E-03
df
6.69 0.09 17.62 2.79 1.44 10.28
Nilai P Prob > F 0.01 0.78 4.00E-03 0.14 0.27 0.01
4.55
0.09
Nilai F
Keteranga n Signifikan
Tidak signifikan
2 42 Lampiran 10 Hasil analisis respon baking expansion menggunakan Design Expert 7.0.0 a. Nilai parameter-parameter optimasi untuk respon baking expansion Parameter Linier 2FI Kuadratik Kubik
SMSS Prob>F 0.4289 0.8145 0.0057 0.4317
Lack of fit Prob>F 0.1254 0.0978 0.6818 0.9296
R2 0.1557 0.1612 0.8083 0.8630
Adjusted R2 -0.0131 -0.1184 0.6714 0.6713
Keterangan
Suggested
b. Analisis ANOVA respon baking expansion Keterangan
SMSS
Model A-Suhu B-Konsentrasi AB A2 B2 Residual
0.30 0.03 0.02 2.02E-03 0.20 0.02 0.07
5 1 1 1 1 1 7
Kuadrat Tengah 0.06 0.03 0.02 2.02E-03 0.20 0.02 0.01
Lack of fit
0.02
3
6.83E-03
Pure Error Cor Total
0.05 0.37
4 12
0.01
df
Nilai F 5.90 3.43 2.26 0.20 19.35 2.19 0.54
Nilai P Keterangan Prob > F 0.02 Signifikan 0.11 0.18 0.67 3.20E-03 0.12 0.68
Tidak signifikan
433 Lampiran 11 Spektrum infra merah sampel tepung beras alami
4 44 Lampiran 12 Spektrum infra merah tepung beras-gluten pengikatan suhu 55oC konsentrasi 30%
5 45 Lampiran 13 Spektrum infra merah tepung beras-gluten pengikatan suhu 54oC konsentrasi 29%
6 46
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Sulastri dilahirkan dari pasangan Ahmad Dani dan Nining di Kuningan, 18 November 1993. Penulis merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SDN 1 Cihideunggirang (2000-2006), kemudian meneruskan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Cidahu (2006-2009) dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Ciawigebang (2009-2012), kemudian melanjutkan kuliah di IPB melalui jalur SNMPTN Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Saat kuliah penulis aktif sebagai Bendahara Umum Organisasi Mahasiswa Daerah Himarika IPB pada tahun 2013 – 2014. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan seperti ESQ Character Building 2013, IPB Goes to School Himarika 2013, Techno-F FATETA 2014, Hari Warga Industri (HAGATRI) 2014. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mahasiswa pada mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah dan Fitofarmaka; Teknologi Serat, Karet, Gum dan Resin; serta Analisis Bahan dan Produk Agroindustri. Selama menempuh perkuliahan penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Mitra Kerinci - Solok Selatan dengan judul “Mempelajari Aspek Pengendalian Mutu pada Proses Pengolahan Teh Hijau di PT Mitra Kerinci - Padang” di bawah bimbingan Dr Ir Sapta Raharja DEA. Penulis menyelesaikan tugas akhir kuliah yang berjudul “Pengikatan Gluten pada Tepung Beras dalam Upaya Peningkatan Kualitas Adonan Tepung Beras” dengan bimbingan dari Dr Ir Sapta Raharja, DEA.