PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI SECARA TANGGUNG RENTENG OLEH KEJAKSAAN TERHADAP SAKSI (DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS TERSENDIRI) DALAM KASUS KORUPSI BUKU AJAR TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI WONOGIRI
(Skripsi) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Whisnu Adhi Nugroho E 0005309
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat
mengundang gejolak revolusi,
alat
yang ampuh untuk
mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul
1
2
apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, 1981:310) Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang ter espos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi. Walaupun
demikian,
peraturan
perundang-undangan
yang
khusus
mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undangundang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni : 1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi. Label Korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi pegawai negeri, TNI, Polri, Pegawai BUMN/BUMD atau anggota parlemen pusat dan daerah, atau pejabat dan pelaku fungsi yudikatif atau konglomerat dan badan usaha swasta, namun juga dapat ditempelkan pada semua lembaga dan anggota masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kepentingan publik, misalnya pengacara, akuntan publik, notaris dan lainlain.
3
Untuk memahami korupsi harus mulai dengan membuang jauh-jauh mitos bahwa korupsi adalah soal budaya. Dalam berbagai budaya, memberi hadiah pada pejabat publik dilakukan secara terbuka dan transparan. Korupsi merupakan kata-kata yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga dewasa ini. Bahkan budaya korupsi sudah mengakar ke seluruh elemen masyarakat Indonesia. Istilah Korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum
Indonesia
sejak
adanya
Peraturan
Penguasa
Militer
Nomor
PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta benda di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Menurut asal katanya korupsi berasal dan bahasa latin yaitu "corruptio", dan dalam bahasa Inggris menjadi "corruption" yang selanjutnya dalam bahasa Indonesia disebut dengan korupsi. Korupsi secara harfiah mengandung arti jahat atau busuk. Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas. Dalam arti sempit, kompsi berarti pengabaian standar perilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 dan pasal 3 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
4
1. Dalam Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.... 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.. .. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil "maupun" dalam arti material, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-vndangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan adanya kata-kata "maupun' dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu: 1. Ajaran sifat melawan hukum formil 2. Ajaran sifat melawan hukum material Sehingga suatu tindak pidana korupsi tidak harus menunggu agar terlihat secara nyata apakah benar tindakan tersebut mempakan tindak pidana korupsi atau bukan. Namun apabila tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan korupsi dan meresahkan masyarakat maka tindakan tersebut sudah dapat digolongkan kedalam tindak pidana korupsi secara formil. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir. Sehingga korupsi seindiri identik dengan persekongkolan suatu korporasi.
5
Pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi sendiri adalah antara lain korporasi dan orang. Tentu saja korporasi dikaitkan dengan badan hukum atau bukan badan hukum yang menjadi satu kesatuan. Sedangkan orang sendiri berkaitan dengan orang yang menerima upah atau gaji dari Negara. Penjatuhan pidana dalam tindak pidana korupsi dibagi menjadi beberapa bagian yaitu pidana mati, pidana penjara, serta pidana tambahan. Pidana mati dapat dijatuhkan kepada orang atau korporasi yang menjalankan praktik korupsi dalam keadaan tertentu sesuai yang tertuang dalam pasal 2 Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No, 20 Tahyun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana penjara dapat dijatuhkan kepada mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan praktik tindak pidana korupsi berdasarkan pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentunya setelah mendapatkan keputusan hakim yang tetap dan mengikat. Pidana tambahan adalah antara lain pidana dalam hal pembayaran uang denda dan uang pengganti yang harus ditanggung oleh terpidana setelah mendapat kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan yang mengadili perkara tersebut. Selain itu pidana tambahan dapat berupa Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Pasal 18 Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi arah solusi terbatas pengembalian asset pelaku dengan bentuk penyitaan asset pelaku yang tidak berkehendak membayar hutang pengganti. Pembayaran uang pengganti ini sendiri dapat dibayarkan secara individual dan secara bersama-sama (tanggung
6
renteng). Adapun yang dimaksud dengan tanggung renteng adalah bentuk pembayaran uang pengganti secara bersama-sama beberapa terpidana yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus memenuhi kewajibannya untutk membayar kerugian Negara yang ditimbulkan dari perbuatannya. Tanggung renteng ini dapat dibebankan terhadap orang atau korporasi yang oleh pengadilan telah dinyatakan bersalah telah meninbulkan kerugian Negara dari perbuatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi tersebut. Dalam kasus dugaan korupsi Buku Ajar Tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri yang sudah dijadikan terdakwa yakni Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd ( Mantan Kepala Dinas Pendidkan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab Program Proyek Buku Ajar Tahun 2003), Drs. Purwanto, GP, M.Si (Mantan Kasubdin TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab Kegiatan Proyek Buku Ajar Tahun 2003), serta Drs. Susilo, M.Pd (Mantan Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Pemimpin Kegiatan Proyek Buku Ajar Tahun 2003). Dalam surat tuntutan Jaksa NO.REG. PERKARA : PDS-04/W.GIRI/05-2008 halaman 506 huruf ke 6 disebutkan pula tuntutan bagi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (Diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) mengenai uang pengganti yang harus dekembalikan secara tanggung renteng oleh ketiga terdakwa, H. Murod Irawan (Mantan Dirut Balai Pustaka/Buron/Tidak pemah dihadirkan dalam sidang), serta PT. Balai Pustaka sebesar Rp. 3.615.377.120 (tiga milyar enam ratus lima belas juta tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah) . Padahal di dalam persidangan Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM dihadirkan sebagai saksi dari ketiga terdakwa. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengulas kasus yang terjadi di Kabupaten Wonogiri, untuk itu penulis menetapkan judul "PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI SECARA TANGGUNG RENTENG OLEH KEJAKSAAN TERHADAP SAKSI
(DIAJUKAN
SEBAGAI
TERDAKWA
DALAM
BERKAS
TERSENDIRI) DALAM KASUS KORUPSI BUKU AJAR TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI WONOGIRI"
7
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara
tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri)? 2. Hambatan apakah yang timbul dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri)? C. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan penelitian yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai untuk pemecahan masalah yang di hadapi. Maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan hukum ini adalah 1. Tujuan Obyektif a. Untuk lebih memahami bagaimana pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang ditujukan kepada seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri) b. Untuk lebih mengetahui apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang ditujukan kepada seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri). 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi guna memenuhi syarat-syarat yang diperiukan untuk memperoleh
8
gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum Acara Pidana yang berhubungan dengan Penuntutan Uang Pengganti secara tanggung renteng yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Wonogiri terhadap seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri) dalam kasus Korupsi Buku Ajar tahun 2003 di Pengadilan Negeri Wonogiri. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis a.
Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum.
b.
Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Pidana.
c. 2.
Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya
Manfaat Praktis a.
Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti
b.
Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh
c.
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini,
diharapkan
akan
menambah
pengetahuan kita sejauh mana penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng dapat diterapkan kepada seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri) dalam kasus Korupsi Buku Ajar tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri.
9
E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenis penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian Hukum empiris yang bersifat Deskriptif. Adapun yang dimaksud dengan Penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran sejelas mungkin mengenai masalah yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penelitian deskriptif pada umumnya bertujuan untuk mendiskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktorfaktor tertentu (Bambang Sunggono, 2003: 36). Berdasarkan pengertian diatas metode penelitian jenis ini dimaksudkan agar dapat lebih menekankan pada “Law in Action” (hukum dalam pelaksanaannya) dan menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan judul skripsi secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang akan dilakukan penulis adalah bersifat deskriptif kualitatif, yakni penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986 :10)
10
Berdasarkan
pengertian
di
atas,
metode
penelitian
ini
dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin mengenai penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang dilakukan Kejaksaan Negeri Wonogiri terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) serta akibat yang ditimbulkan apabila dikomparasikan dengan undang-undang perlindungan korban dan saksi 3. Jenis dan Sumber Data Penelitian a. Data yang digunakan Data adalah semua informasi mengenai variable atau obyek yang diteliti. Didalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data primer I primary data) dan dari buku pustaka (data sekunder / secondary data) (Soerjono Soekanto, 1986 :12) Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yang berhubungan dengan obyek penelitian melalui wawancara. 2) Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari perpustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum penulis. b. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari : a)
Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Wonogiri NO. REG. PERKARA: PDS-04/W.GIRI/05.2008
11
b) Surat Putusan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor : l00/Pid.B/2008/PN.Wng
atas
nama
terdakwa
Drs.
Roeswardiyatmo, M. Pd c)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perubahan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Korban Dan Saksi
f)
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yng terdiri atas : a)
Berbagai Kepustakaan mengenai Hukum Acara Pidana khususnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi dan upaya hukum dalam lingkup pidana
b) Berbagai hasil seminar, makalah dan artikel yang berkaitan dengan materi penelitian 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa Kamus Ilmiah Populer, Kamus Hukum, Kamus Bisnis, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Inggris-Indonesia
12
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data ini diperlukan keakuratannya tentang pennasalahan yang diteliti oleh penulis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah: a. Studi Lapangan Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara terjun secara langsung ke obyek penelitian. Yang dapat dilakukan dengan cara: 1) Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab dengan narasumber guna memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian
baik dilakukan secara lisan
maupun tertulis. 2) Observasi yaitu peninjauan secara cermat terhadap semua data yang diperoleh yang berhubungan dengan objek penelitian. b. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencari data-data dari buku-buku, dokumen-dokumen, arsip dan juga peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. 5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses mengumpulkan data mengolah data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dengan analisis akan menguraikan data memecahkan masalah yang diselidiki berdasarkan data-data yang diperoleh.
13
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data model kualitatif model interaktif, yaitu data yang terkumpul akan dianalisis melalui 3 tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan kemudian menarik kesimpulan. Selama itu pula suatu proses siklus antara tahapan tersebut, sehingga data yang terkumpul berhubungan satu dengan yang lain secaraotomatis (H.B. Sutopo, 1991:19). Untuk lebih jelasnya, dibuat skema sebagai berikut: Pengumpulan data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
(H. B. Sutopo, 1991:19) Adapun penjelasan dari tahap - tahap tersebut adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan Data Merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber yang relevan dengan pokok masalah yang diteliti dalam penelitian ini guna memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Reduksi Data Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal - hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini beriangsung terus menerus sampai lapoan akhir penelitian selesai.
14
c. Penyajian Data Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, tabel dan sebagainya. d. Penarikan Kesimpulan Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan - pencatatan eraturan, pernyatan - pemyataan, konfigurasi - konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhimya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo, 2002 :37). Bahan hukum yang telah diperoleh penulis, selanjutnya diuraikan serta dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam bentuk tulisan yang lebih sistematis. Cara pengolahan dan analisis data yang akan dilakukan penulis disini ialah secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu pennasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi, selanjutnya akan dianalisis untuk melihat penerapan peraturan perundang-undangan tentang penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai tersangka dalam berkas tersendiri)
15
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, komprehensif dan menyeluruh mengenai materi penulisan hukum yang akan disusun, rnaka Penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di angkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan umu tentang korupsi dan penyebabnya, modus operandi tindak pidana korupsi, dan kasus korupsi di wonogiri.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis menguraikan tentang,pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) dan hambatan yang timbul ndalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri). BAB IV PENUTUP Bab ini berisikan tentang simpulan dan saran Daftar Pustaka Lampiran
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Korupsi a) Pengertian Secara Umum Menyadari bahwa tidak satupun bangsa yang terbebas dari korupsi maka pencegahan korupsi hendaknya memang dilakukan oleh Negara-negara di dunia secara bersama dan terus menerus, dan khusus bagi bangsa Indonesia permasalahannya bukan hanya mencegah tapi juga memberantas mengingat jumlah kasus, kerugian Negara maupun modus operandi korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun (Rohim, 2008 : 3) Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dsan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Kornpsi moral mernjuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam system demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum tetapi lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri. (Mansyur Semma, 2008 : 32) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan kornpsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan ) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sudarto mengemukakan bahwa perkataan kornpsi semula hanyalah bersifat umum dan barn menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
16
17
Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan sehingga karakteristik korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk membangun diri sebagai kekuatan besar dari kejahatan yang terorganisir, sebagaimana dinyatakan oleh Syed Hussain Alatas bahwa korupsi adalah senjata utama kejahatan yang terorganisir untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat. Dengan kata lain korupsi merupakan bagian atau sub system dari kejahatan yang terorganisir. Selanjutnya Syed Hussain Alatas menegaskan bahwa kejahatan yang terorganisisr mempunyai kaitan dengan korupsi yang terorganisir dimana penerimaan uang suap kecilkecilan yang merupakan pelanggaran yang kurang serius dapat berkembang ke bidang-bidang yang lebih serius, yakni kejahatan. Hal ini selanjutnya akan menjurus kearah konsolidasi organisasi penjahat Ada beberapa perbedaan antara korupsi yang terorganisasi di dalam birokrasi
dengan
kejahatan
yang
terorganisasi. Perbedaannya
terlihat dari struktur organisasi dan cara operasionalisasinya. Salah satu indikator bahwa korupsi telah merajalela dalam suatu Negara adalah system pengadilan yang tidak berjalan dan banyaknya konspirasi illegal. Bagi penguasa eksekutif banyak yang dilakukan untuk mempengaruhi pengadilan agar sesuai dengan keinginannya. Mereka terkadang mampu untuk mempengaruhi kehendak
hukum
yang
sebenanmya
mencari
keadilan
dan
mempengaruhi hakim untuk mematuhi segala keinginannya. Dalam perkembangan selanjutnya korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja sematamata merugikan keuangan Negara tetapi juga melanggar hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat, sehingga wajar apabila korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime.
18
b) Pengertian secara Yuridis Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 perubahan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa definisi dari korupsi sendiri adalah terdapat dalam pasal 2 dan 3. Selanjutnya dari penjelasan umum Undang-Undang Tipikor ini dpat diketahui agar bahwa dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang semakin canggih dan rumit maka tindak pidana korupsi ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan mnemperkaya diri sendiri aatau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukun dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perumusan tindak korupsi itu sendiri dalam undang-undang tipikor ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian sebab dengan rumusan secara formil meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara maka pelaku tindak pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana (Edy Yunara, 2005 :38) c) Unsur-Unsur Korupsi Dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa unsur-unsur korupsi antara lain kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan perbuatan melawan hukum. Disamping kedua unsur diatas menurut Sudarto ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu ada suatu tindak pidana yang dilakukan, adanya
19
pembuat yang mampu bertanggung jawab dan tidak adanya alasan pemaaf. 1) Kesengajaan atau Kealpaan Yang dimaksud dengan dengan kesengajaan tentu dilakukan dengan sadar dan dengan maksud. Hal ini berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan atau wewenang. Hal ini meriupakan perbuatan menggunakan kewenangan yang dimiliki, untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perorangan, sementara bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan yang lainnya (Rohim, 2008 : 28). Adapun maksudnya tentunya berkaitan dengan pengadaan barang dan jaksa, penguasa eksekutif di daerah mengunakan imunitasnya untuk memilih rekanan dalam pengadaan proyek di lingkungan kedinasan yang ada di daerahnya. Tentunya yang menguntungkan baginyalah yang akan memenangkan proyek tersebut. 2) Perbuatan Melawan Hukum Adanya sifat perbuatan melawan hukum secara fonnil lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara material, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara material.
20
3) Adanya Tindak Pidana Yang Dilakukan Yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh oknum pejabat tertentu atau rekanan telah memenuhi syarat adanya suatu tindak pidana korupsi yang diatur secara tegas didalam undang-undang. Dalam artian bahawa mereka telah dianggap oleh hukum melakukan penyalahgunaan wewenang ataupun jabatan dalam penerapannya. 4) Kemampuan Bertanggung Jawab Adalah orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang. Sehingga orang yang telah melakukan tindakan ini dapat dijatuhi hukuman yang telah ditentukan dalam undang-undang. Bilamanakah seseorang itu dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang dilakukannya. Berbagai pendapat mengenai hal ini J.E Jonkers berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana adalah merupakan sendi daripada pengertian kesalahan yang luas, yang tidak boleh dicampuradukkan dengan yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP. J.E Jonkers menyebut ada tiga syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu: a) kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan b) mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu c) keinsyafan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah
21
ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, yang mempunyai pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapinya yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula Moeljatno menarik kesimpulan mengenai kemampuan bertanggungjawab antara lain: a) harus ada kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan melawan hukum. b) harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Untuk menjelaskan hal bilamana terdapatnya kemampuan bertanggungjawab pidana dapat dengan dua cara, yaitu: a)
Cara pertama, yakni dengan berdasarkan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 (1). Dari pasal tersebut yang sifatnya beriaku umum, artinya berlaku bagi semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 (1) menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab. Dengan berpikir sebaliknya, maka orang yang mampu bertanggungjawab atas semua perbuatannya (berwujud tindak pidana) adalah apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 44 (1), artinya apabila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanyaa tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggungjawab.
b) Kedua dengan tidak menghubungkannya dengan pasal 44 (1), dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang
22
mampu bertanggungjwab itu ada tiga syarat yang hams dipenuhi, yakni: 1) Keadaan seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga
ia
bebas
dalam menentukan
atau mempunyai kehendaknya
kemampuan
terhadap perbuatan
yang ia (akan) lakukan. 2) Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti
terhadap
nilai perbuatannya beserta akibatnya. 3) Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi, bahwa perbuatan yang (akan) dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila. Semua
yang
berkenaan
dengan
kemampuan
bertanggungjawab dan pertanggungjawaban pidana diatas dikutip dari buku Adami Chazawi, 2002 : 114-115 5) Tidak adanya alasan pemaaf Yang dimaksud adalah seperti yang ditulis dalam pasal 3 undang-undang 31 thun 1999 yaitu setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.... jelas kata-kata menguntungkan orang lain adalah tidak dengan maksud, dengan kata lain perbuatan yang dilakukan oleh si terdakwa belum tentu dimengerti sendiri oleh terdakwa karena kekurang cakapan dari terdakwa dalam mengurus tugas yang dibebankan yang ada di daerah.
23
Dari kata “……menguntungkan diri sendiri atau orang lain…..” tentu saja mempunyai penafsiran yang luas dari definisi tersebut. Sehingga seseorang dianggap pula bersalah apabila oleh jaksa dianggap membantu memberikan keuntungan kepada orang lain yang merugikan Negara. Walaupun dirinya sendiri tidak ikut menikmati hasil dari korupsi itu sendiri. d) Subjek Tindak Pidana Korupsi Dalam system hukum perdata Belanda yang masih kita anut sampai saat ini, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama adalah manusia (persoon) dan kedua adalah badan hukum (rechtpersoon). Dari pembagian subjek hukum diatas, apabila korporasi ini merupakan subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum. Yang dimaksud dengan orang tentu saja masih berkaitan dengan Negara. Yang dimaksud disini adalah orang yang menerima gaji atau upah dari Negara. Sehingga identik dengan kata pegawai negeri. Sedangkan korporasi sendiri nmenurut undang-undang adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum. Yang dimaksud dengan saksi adiah orang yang dapat memeberikan keterangan
guna
kepentingan
penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri. Seorang saksi tidak dapat dibenarkan kesaksiaannya apabila ia satu keturunan keluarga dari terdakwa. Seorang saksi dapat dijadikan tersangka apabila dia terbukti melanggar undang-undang.
24
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi a.
Pengertian Saksi Suatu kasus pidana persoalan pembuktian sangat menentukan. Keberhasilan kerja Kepolisian sebagai penyidik tergantung pada keterbukaan para saksi yang dihadapkan dalam proses penyidikan untuk didengar keterangannya. Namun tidak jarang didapatkan dalam masyarakat,
bahwa
para
saksi
tersebut
enggan
memberikan
keterangan, karena merasa terancam jiwanya dan merasa tertekan dari pihak lain termasuk dari pihak tersangka. Oleh karena itu perlunya suatu ketentuan hukum untuk mengatur bagaimana saksi bisa dilindungi secara hukum, agar peristiwa pidana tersebut bisa terungkap secara sempurna. Sejak diberlakukannya Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tahun 1981, perlindungan hukum hanya terbatas pada tersangka dan terdakwa, perlindungan hukum terhadap saksi belum disentuh, namun pada tahun 2006 yang lalu telah diberlakukan UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban yang mulai berlaku 11 Agustus 2006, sehingga secara normatif telah mengatur bagaimana seorang saksi dapat dilindungi secara hukum. Oleh karena itu para aparat penegak hukum harus mampu memahami dan menerjemahkan aturan hukum ini guna diberlakukan agar para saksi dalam kasus pidana mendapatkan perlindungan hukum. Pengertian saksi dalam kasus pidana, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri. Jika mengacu pada pengertian dan definisi saksi tersebut, maka dapat diartikan secara luas termasuk di dalamnya adalah saksi ahli. Karena sebenarnya saksi ahli tersebut termasuk saksi yang sangat dibutuhkan oleh penyidik dalam proses penyidikannya
25
sebagai ahli dari bidang tertentu untuk mengungkap suatu kasus pidana. Sebenarnya perlindungan hukum terhadap saksi ini sangat penting, karena jika seorang saksi kunci dalam suatu kasus pidana, tidak mendapatkan perlindungan hukum, dalam arti harus dilindungi dari aspek rasa aman, maka akan tidak bebas memberikan keterangan yang
dia
ketahuinya
kepada
penyidik
kepolisian,
sehingga
berdasarkan Pasal 8 UU No 13 tahun 2006 menegaskan bahwa perlindungan
terhadap
saksi
harus
diberikan
sejak
tahapan
penyelidikan. Namun terkadang para penegak hukum kurang memerhatikan hal-hal tersebut, yang pada akhirnya suatu kasus pidana tidak terungkap secara sempurna kasusnya, karena adanya tekanantekanan pihak tersangka kepada saksi, yang tidak jarang justru menjurus kepada terancamnya jiwa saksi tersebut, dan terkadang pula terhadap keluarga saksi. Memang disadari bahwa saat ini masih kurang disadari oleh penegak hukum tentang keberadaan Undang-undang perlindungan saksi ini, sehingga secara normatif belum tampak sebagai aturan yang harus dilaksanakan, termasuk bagi pemerintah masih dalam proses pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, padahal sudah banyak terjadi peristiwa hukum yang nampaknya belum secara maksimal para saksi dapat dilindungi secara hukum, padahal dapat diketahui bahwa tujuan akhir dari perlindungan saksi ini, agar saksi dapat bebas memberikan keterangan kepada penyidik sebagai bukti yang kuat atas suatu tindak pidana, sehingga seorang saksi harus dijamin keamanan fisik dan jiwanya, bebas memberikan keterangan, tanpa ada tekanan, malahan keluarganyapun harus dilindungi, demikian pula terhadap harta bendanya dan semuanya bebas dari tekanan-tekanan dan ancaman. Jika dicermati ketentuan pidana dalam UU No 13 tahun 2006 tersebut, jelas ditegaskan dalam pasal 37 bahwa jika
seseorang
memaksakan
kehendaknya
baik
menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan saksi tidak
26
memperoleh perindungan hukum, sehingga saksi tersebut tidak memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan pada pemeriksaan tingkat manapun
3. Tinjauan Umum Tentang Uang Pengganti Secara Tanggung Renteng a.
Penuntutan Uang Pengganti secara Tanggung Renteng 1) Uang Pengganti Polemik mengenai realisasi uang apengganti menjadi selalu berkepanjangan, baik sejak undang-undang Yindak Pidana Korupsi yang lama ( UU No. 3 Tahun 1971) maupun yang baru ( UU No. 31 Tahun 1999 perubahan UU No. 20 Tahun 2001) khususnya dalam uang pengganti. kaitan pelaksanaan pembyaran uang pengganti. Polemik mengenai eksekusi uamg pengganti inipun berkelanjutan mengenai kritikan publik terhadap Kejaksaan mengenai pelaksanaan setor uang pengganti. Betapa tidak, beberapa waktu lalu Departemen Keuangan memberikan versi berbeda mengenai besaran uang pengganti dengan versi yang diajukan Kejaksaan Agung. Bahkan untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah terhadap polemik ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan agar tidak terjadi korupsi ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan Agung harus menyusun dan membuat
laporan
yang
transparan
dan
memenuhi
prinsip
akuntabilitas. Sebenarnya ada pemahaman yang keliru dari para pengamat mengenai
penempatan
uamg
kedalam
kas
Kejaksaan
yang
menimbulkan polemik mengenai pemaknaan status Uang Sitaan dan Uang Pengganti, bahkan makna Uang Kerugian yang yang tidak dikenal dalam tindak pidana korupsi. Inipun masih memisahkan
27
mengenai pengertian “keuangan Negara” yang sampai sekarang juga masih menjadi perdebatan, khususnya terhadap badan hukum plat merah (BUMN/BUMD). Dalam kaitan dengan makna “Keuangan Negara” inipun menjadi polemik dalam tataran implementasi regulasi mengenai hal tersebut. Pertama-pertama yang perlu dipahami
bahwa adanya
ketentuan pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pengertian “Pegawai Negeri”. Pegawai Negeri dalam ketentuan ini diartikan secara luas, sehingga perspektif Pegawai Negeri dianalogikan juga termasuk pimpinan BUMN sebagai persoon yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Dari pendekatan regulasi mengenai korupsi, terlepas ada atau tidaknya pemisahan kekayaan Negara (dengan cara penempatan keuangan Negara sebagai penyetotan modal) yang tetap dianggap sebagai bagian dari keuangan Negara, maka pimpinan BUMN masuk dalam kategoris sebagai “Pegawai Negeri”, meskipun, pendekatan sejarah memberikan makna limitative terhadap pengertian “pegawai negeri”, yaitu memangku suatu jabatan umum, diangkat oleh kekuasaan umum dan menjalankan sebagian organ,alat dan atau tugas-tugas Negara. Polemik terjadi pada tataran Implementatif mengenai makna “Keuangan Negara” dengan status BUMN dalam kaitannya dengan penempatan Keuangan Negara. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya mengenai nruang lingkup keuangan Negara pasal 2 yang ternyata sejalan dengan penjelasan umum Undang-undang No, 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sehingga Keuangan Negara memiliki makna yang ekstensif meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan meupun yang tidak dipisahkan. Dalam pengertian ini kekurangan satu rupiahpun akan
28
berarti uang Negara akan berkurang dan dianggap merugikan Negara, sehingga sifatnya masih berada pada ranah Hukum Pidana. Namun pemaknaan secara contrario muncul manakala UndangUndang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menegaskan bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Pesero dan atau Perum serta perseroan Negara lainnya. Bahkan pasal 11 Undang-undang No. 19 Tahun 2003 memiliki makna tegas bahwa pengelolaan BUMN didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sehingga harus diartikan bahwa persero, perum dan lainnya itu tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang masuk dalam ranah hukum perdata. Jadi, memang untuk menentukan ada atau tidak adanya kerugian Negara ini sangat tergantung dengan pemaknaan kekayaan Negara yang terpisah atau tidak terpisah, yang akhirnya akan menentukan area Hukum Perdata atau Hukum Pidana sebagai Kerugian Negara tersebut. Dengan adanya Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia dari Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia
Bidang
Yudisial
dengan
Nomor
:
WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 seharusnya polemik yang menjadi sikap rutinitas tentunya harus berakhir manakala subyek pelaku tindak pidana korupsi adalah para pelaku BUMN yang merupakan aparatur Negara untuk menentukan kriteria ada tidaknya kerugian Negara, karena kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah tidak dapat diartikan sebagai keuangan Negara dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Permasalahan yang dianggap pokok pada tulisan pendek ini adalah :
bentuk pelaksanaan uang pengganti apakah dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum, dan pada tahap proses yang
29
manakah bias dilakukan tindakan upaya paksa pensitaan yang diikuti terhadap uang pengganti tersebut.
a) Uang Pengganti Era Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa persoalan Uang Pengganti ini tidaklah lepas kaitannya atas unsur “Kerugian Negara” disatu sisi, dengan isu “dwang middelen” (upaya paksa). Pasal 34 Undang-undang No. 3 tahun 1971 mengenai uang pengganti,
pembayarannya
harus
dilakukan
yang
jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi, dan menurut penjelasan pasalnya menyatakan bahwa apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka berlakulah ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran uang denda, artinya tidak ada pembayaran denda akan berakibat pelaku dikenakan pidana kurungan tidak lebih dari 8 bulan (pasal 30 KUHP). Untuk menutupi unsur kerugian Negara itulah diperlukan upaya paksa (dwang middelen). Tindakan atau upaya paksa penegak hukum dalam rangka menyelamatkan Uamg Negara itu dapat dilakukan secara tahapan :
Pra Ajudikasi, berupa tindakan atau upaya paksa penegak hukum dengan cara melakukan pensitaan terhadap harta atau benda yang ada pada penguasaan tersangka/terdakwa maupun harta atau benda yang ada pada pihak ketiga tetapi harta atau benda itu diduga memiliki keterkaitannya dengan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta benda tersebut. Isu penyitaan dalam Hukum Acara Pidana sungguh dapat dihubungkan dengan perampasan yang dalam hukum pidana material merupakan jenis hukuman tambahan. Jikalau soal penyitaan sebenarnya diatur pasal 38 KUHAP sampai dengan pasal 46 KUHAP tersebut menyinggung penyitaan
30
sebagai salah satu upaya paksa (dwangmiddel atau coercial force) dari kewenangan yang ada pada pihak penyidik, maka pasal 128 KUHAP sampai dengan pasal 130 KUHAP mengatur apa yang harus ditempuh dalam suatu proses, apa yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyitaan. Pasal 128 KUHAP sampai dengan pasal 130 KUHAP tersebut merupakan
aspek
lain
dari
kewenangan
penyidik,
yang
menggambarkan jalannya prosesual dalam melakukan penyitaan, disamping (pasal 38-46 KUHAP) kewenangan dan kewajiban dari suatu penyidik.
Saat dan Pasca Ajudikasi, berupa tindakan atau upaya paksa penegak hukum untuk melaksanakan realisasi Uang Pengganti. Namun demikian Undang-undang lama tidak mengatur mengenai alternative penyitaan terhadap harta benda terdakwa/terpidana apabila pelaku tidak melakukan pembayaran uang pengganti karena didalam penjelasan pasal 34 hanya dikatakan bahwa akan berlaku tentang pidana denda dalam hal tidak ada realisasi uang pengganti. Hal ini berlainan dengan perubahan melalui Undang-undang No. 31 Tahun 1999 terhadap permasalahan tidak adanya pembayaran uang pengganti dimana terhadap harta benda pelaku dapat dilakukan pensitaan atas harta benda atau yang ada pada penguasaan tersangka/terdakwa maupun harta atau benda yang ada pada pihak ketiga tetapi harta atau benda itu diduga memiliki keterkaitan dengan suatu tindak pidana. Jadi tidaklah memiliki sifat limitatif terhadap eksistensi status harta benda tersebut. Sebenarnya tujuan dilakukan pensitaan maupun menetapkan uang pengganti tersebut adalah dalam rangka pengemnbalian kerugian negarayang ditimbulkan oleh pelaku secara tidak langsung ataupun langsung (misalnya perbuatan tersangka dalam memperkaya orang lain atau suatu badan) dan merupakan bentuk tindak pidana tambahan
31
yang hampir memiliki karakter hukum perdata (ganti rugi dalam bentuk), sebab denda ebagai pidana pokok tentunya tidak memiliki uang pengganti. Pidana tambahan secara murni dalam pasal 10 KUHP pun tidak memiliki bentuk uang pengganti, tetapi terbatas hanya pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Jadi suatu pensitaan maupun pembayaran uang pengganti adalah dalam rangka pengembalian kerugian keuangan Negara. Pada tahap Prae Judiciel, dalam hal pensitaan, adalah dalam rangka pensitaan terhadap benda bergerak (misal uang) milik tersangka atau pihak ketiga yang diduga berasal dari tindak pidana atau ada kaitannya dengan tindak pidana adalah sebagai pelaksanaan upaya paksa dan tentunya untuk menjamin pengembalian kerugian Uang Negara dalam hal terdakwa dihukum melakukan tindak pidana korupsi. Namun demikian, tahap judicial, pidana tambahan berupa hukuman uang pengganti yang dicantumkan pada pasal 34 UndangUndang No. 3 Tahun 1971 ternyata tidak memberikan solusi yang cukup apabila terdakwa tidak melakukan pembayaran uang pengganti tersebut.
Kendala
pelaksanaan
uang
pengganti
inilah
yang
menyebabkan Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1988 yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan atas pembayaran uang pengganti tidak dapat ditetapkan hukuman kurungan sebagai ganti apabial uang pengganti itu dibayar oleh terpidana. Juga eksekusi atas pidana pembayaran yang akan dilaksanakan oleh jaksa tidak perlu campur tangan dari pihak pengadilan (misalnya dalam bentuk ijin penyitaan yang dituangkan dalam penetapan dan lain-lain). Filosofi hukumnya adalah bahwa penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana adalah masih merupakan pelaksanaan dari putusan hakim. Dan apabila pelaksanaan dari harta benda terpidana tidak mencukupi lagi, sisanya
32
dari harta terpidana hanya dapat dilakukan melalui gugatan ganti rugi melalui ranah hukum perdata. Polemik uang pengganti inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan mengingat
eksekusi terhadap pembayaran uang
pengganti berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memakan waktu yang lama, dan kalaupun uang pengganti sudah tersedia tetapi belum dapat dilakukan penyetoran ke kas Negara apabila memang ternyata ada pihak ketiga yang berkeberatan karena memang pasal 35 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 memberikan sarana legalitas bagi pihak ketiga mengajukan keberatan atas perampasan (sebagai pelaksanaan pensitaan) harta benda (misal uang) tersebut. Pemahaman uang yang akan disetor ke kas Negara dalam perkara tindak pidana korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa) meliputi, yaitu pertama berupa uang yang dilakukan pensitaan karena penguasaan uang oleh seseorang diduga memiliki keterkaitan atau berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal ini pensitaan dilakukan oleh penegak hukum untuk mencegah terjadinya pencucian uang melalui proses pensamaran melalui asal-usul uang tersebut, sehingga diperlukan tindakan paksa berupa pensitaan. Uang pensitaan ini umumnya
ditempatkan
pada
rekening
penegak
hukum
atau
distatuskan sebagai penitipan bahkan dilakukan pemblokiran oleh Bank atas perm intaan penegak hukum. Sehingga status Uang Sitaan ini memang seharusnya diparkir dalam rekening penegak hukum sampai ada status jelas dari putusan pengadilan yang berkekuatan tetap mengenai terbukti tidaknya pelaku melakukan tindak pidana korupsi, karena apabila terbukti, maka uang pensitaan ini dieksekusi untuk dirampas menjadi milik Negara dan segera disetorkan ke kas Negara. Kedua, status uang pengganti yang secara tegas jelas regulasi mengatur bahwa uang pengganti hanya dapat dieksekusi setelah putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, dan umumnya
33
eksekusi uang pengganti, khususnya setoran kepada kas Negara dilakukan sendiri oleh Terpidana, bukan oleh penegak hukum.
b) Uang Pengganti Era Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Uang pengganti berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 sebagai bentuk pelaksanaan upaya paksa memang memiliki perbedaan dengan aturan Uang Pengganti dalam undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 18. Pasal 18 (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. Pembayaran
uang
pengganti
yang
jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana; 2. Jika
terpidana
tidak
membayar
uang
pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
34
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut; 3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini meninggalkan beberapa permasalahan dalam praktek se bagaimana juga tercantum dalam TOR (Term of Reference) Berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 huruf b, jika terpidana membayar Uang Pengganti, seharusnya fungsi Uang Pengganti adalah untuk menutupi kekurangan terhadap kerugian Negara dengan harta benda pelaku yang dirampas (pelaksanaan pensitaan pada tahap pra ajudikasi). Banyak terjadi polemik yang terjadi dalam pelaksanaan pasal 18 ini. Berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 huruf b, jika terpidana membayar uang pengganti adalah untuk menutupi kekurangan terhadap kerugian Negara berdasarkan selisih kerugian Negara dengan harta benda pelaku yang sudah dirampas. Misalnya kerugian Negara diperkirakan 100 Milyar dan penilaian terhadap pensitaan harta benda pelaku ( yang kemudian dilakukan perampasan) hanya 60 milyar, maka hukuman uang pengganti itu hanyalah 40 Milyar. Kenyataan yang sering terjadi adalah nilai pensitaan kadang kala jauh lebih besar daripada nilai kerugisan Negara. Dapat saja terjadi, nilai pensitaan harta benda pelaku sudah sebanding dengan nilai kerugian tetapi
masih
saja
Negara,
dilakukan penuntutan/penghukuman pidana
tambahan berupa uang pengganti (Indriyanto Seno Aji, 2009 :261)
35
Berkaitan dengan pasal 18 ayat 2, jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dsalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam Undang-Undang ini tidak ditentukan secara tegas mengenai prosedur pensitaan harta benda terpidana tersebut, namun demikian apabila mengacu “vage-feiten” mengenai prosedur itu dan bentuk didasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 1988 yang pada pokoknya menyatakan eksekusi atas pidana pembayaran uang pengganti yang akan dilaksanakan oleh Jaksa tidak perlu campur tangan pihak pengadilan ( misalnya dalam bentuk ijin penyitaan yang dituangkan dalam penetapan atau lain-lain). Filosofi hukumnya adalah bahwa penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana adalah masih merupakan pelaksanaan dari putusan hakim. Dalam hal terpidana tidak membayar uang pengganti ataupun membayar uang pengganti namun tidak mencukupi kerugian Negara, maka harta benda terpidana dilakukan pensitaan yang sifatnya non penetapan dari pengadilan mengingat pensitaan ini merupakan pelaksanaan dari putusan pengadilan. Hanya saja sering kali pensitaan ini dilakukan oleh penegak hukum (Jaksa Penuntut Umum sebagai eksekutor) terhadap seluruh harta benda terpidana dengan tidak mempertimbangkan tempus delicti. Karena hubungan antara pensitaan dengan tempus delicti tidak diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai lex specialis, karenanya prinsip lex generali mengikat terhadap pensitaan tersebut sebagaimana tersebut pada pasal 39 KUHAP. Polemik lainnya adalah potensi terjadinya korupsi ganda yang dalam makna hukum sebagai penggelapan Uang Negara oleh aparatur Negara. Akan terjadi korupsi ganda apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan administrasi Negara tanpa ada prinsip akuntabilitas dan
36
transparan kelembagaan, meski polemik pro-kontra tentunya akan terjadi. Penegak hukum seringkali memiliki kendala dalam pelaksanaan eksekusi uang pengganti karena adanya diskriminasi regulasi atursan tindak pidana korupsi atas eksekusi Uang Pengganti. Disatu sisi, dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971, eksekusi atas kekurangan uang pengganti dilaksanakan melalui gugatan perdata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tahun 1985. Inilah kegagalan yang seringkali ditemui para penegak hukum, karena gugatan perdata memiliki sistem pembuktian kompleksitas yang berbeda dengan hukum pidana, selain itu gugatan perdata mensita waktu puluhan tahun, sehingga terkumulasinya kuantitas secara maksimal yang ditemukan Kejaksaan menjadi hal yang wajar. Disis lain, UndangUndang No. 31 Tahun 1999 memberikan legalitas pensitaan kekayaan terpidana sebagai eksekusi uang pengganti. Mekanisme ini telah mempercepat eksekusi uang pengganti dari terpidana secara langsung karena
memang
regulasi
tidak
mengatur
teknis
mekanisme
pelaksanaan eksekusi uang pengganti itu. 2) Penuntutan Penuntutan
adalah
tindakan
penuntut
umum
untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan berkewajiban untuk mengusut tuntas permasalahan yang diberikan kepadanya secara adil dan bijaksana tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Kejaksaan sebagai
37
penuntut umum berhak untuk mengajukan penunturan sesuai dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Penuntutan secara tanggung renteng adalah penuntutan yang ditujukan terhadap beberapa terdakwa yang diduga melakukan korupsi secara bersama-sama dan dapat dibuktikan kebenarannya bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan korupsi. Penuntutan secara tenggung renteng dapat dilaksanakan terhadap seorang tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan korupsi bersama sama dengan orang lain. Praktek setelah KUHAP berlaku membagi tahap penuntutan menjadi tahap pra-penuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam bab penuntutan. Tahap pra penuntutan, yaitu tahap ini mulai saat penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik. Dalam waktu tujuh hari ia hams menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum. Apabila berkas perkara tersebut belum lengkap maka penyidik hams mengembalukan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-petunju. Dalam waktu 14 hari penyidik harus menyelesaikan kekurangan tersebut yang diminta oleh penuntut umum. Dikatakan lengkap apabila bukti-bukti dan berkas yang diajukan cukup dan disusun berdasarkan KUHAP. Setelah dianggap lengksap maka penuntut umum membuat dakwaan. Dalam pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan perkaranya ke pengadilan.
38
B. Kerangka Pemikiran TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI
PENUNTUTAN (Pasal 18)
TUNTUTAN TANGGUNG RENTENG
TERDAKWA
SAKSI
PUTUSAN
KETERANGAN BAGAN : Dalam kasus korupsi buku ajar tahun 2003 yang digelar di Pengadilan Negeri Wonogiri menyisakan suatu hal yang menurut hemat penulis kurang lazim dalam suatu penuntutan di pengadilan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan. Terkesan tuntutan mengenai uang pengganti yang tercantum dalam surat tuntutan jaksa No. Reg. Perkara : PDS-04/W.GIRI/05.2008 atas nama terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd pada halaman 506 huruf ke 6 terkesan memaksakan kehendak penuntut umum tanpa memperhatikan hak yang melekat pada seorang saksi.
39
Dalam surat tuntutan disebutkan pula seorang saksi yang diikutsertakan dalam penuntutan mengenai uang pengganti secara tanggung renteng yang wajib dibayarkan. Kaitannya dengan pasal 10 Undang-undang Nomer 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban hal penuntutan terhadap seorang saksi tidak dibenarkan.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PELAKSANAAN PENUNTUTAN UANG PENGGANTI SECARA TANGGUNG RENTENG TERHADAP SEORANG SAKSI (DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS TERSENDIRI) 1. Identitas Terdakwa Terdakwa dalam kasus buku ajar tahun 2003 di Pengadilan Negeri Wonogiri adalah Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd (mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri/Penanggung Jawab Program), Drs. Purwanto, GP, M.Si (Kasubdin TK/SD/Penanggung Jawab Kegiatan), dan Drs. Susilo, M.Pd (Kasi Sarana dan Prasarana/Pemimpin Kegiatan). 2. Identitas Saksi (diajukan sebagai terdakwa) Kasus Korupsi Buku Ajar Saksi yang akan dijadikan terdakwa dalam berkas tersendiri adalah bemama Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang menjabat sebagai Yang Menjalankan Tugas (YMT) Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wonogiri sejak tanggal 1 September 2003 sampai dengan 1 Januari 2004. 3. Kasus Posisi Pada tanggal 8 Januari 2003 Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd selaku kepala dinas pendidikan Kabupaten wonogiri mengajukan proposal Pengadaan Buku Wajib Siswa SD/MI, SLTP/MTs, SMA/Ma, dan SMK Negeri /Swasta Tahun Anggaran 2003 di Kabupaten Wonogiri yang isinya berupa Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor : 421-03/0063a tanggal 8 Januari 2003 Perihal: Usul Pengadaan Buku Wajib bagi siswa kepada Bupati Wonogiri dengan nilai seluruhnya Rp.23.008.189.900,- yang mana buku yang akan digunakan adalah brosur dan daftar harga yang diberikan oleh Sri Mulyatiningsih (Staf Pemasaran
40
41
PT. Putra Ihsan Pramudhita, dimana H. Murad Irawan sebagai direktur PT. Putra Ihsan Pramudhita/perwakilan pemasaran PT. Balai Pustaka (Persero) di wilayah Kabupaten Wonogiri. Selanjutnya proposal yang diajukan kepada bupati tadi diteruskan oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd secara tertulis untuk disampaikan kepada panitia angaran DPRD Wonogiri pada tanggal 28 Januari 2003 untuk kemudian dibahas oleh rapat Panitia Anggaran. Setelah dibahas di rapat Panitia Anggaran DPRD maka akhimya pada rapat paripuma DPRD ditetapkan Raperda APBD TA 2003 untuk dijadikan Peraturan Daerah tentang APBD TA 2003 tanggal 25 Februari 2003, disetujui untuk dianggarkan untuk dianggarkan dalam APBD Kabupaten Wonogiri Tahun Angaran 2003 sebagaimana telah ditetapkan oleh Bupati Wonogiri dalam Peraturan Daerah Kabupaten wonogiri Nomor : 1 Tahun 2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2003 tanggal 25 Februari 2003 dan dijabrkan dalam Keputusan Bupati Wonogiri Nomor : 29 Tahun 2003 tentang Pemjabaran Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Wonogiri Tahun Angaran 2003 tanggal 26 Februari 2003 dimana dalam lampirannya untutk Pos Belanja Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri disebutkan anggaran untuk Belanja Modal Buku Wajib SD/MI sebesar Rp. 7.247.456.000,(tujuh milyar dua ratus empat puluh tujuh juta empat ratus lima puluh enam rbu rupiah) dengan kode rekening : 2.11.01.3.16.01.04.2 Pada tanggal 1 Mei 2003 Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd selaku kepala dinas pendidikan Wonogiri menerbitkan Keputusan Kepala Dinas Pendidiklan Wonogiri Nomor : 900/043 tentang Penetapan Penanggung jawab Program, Pemimpin Program, Pemimpin Kegiatan, dan staf administrasi kegiatan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri TA 2003 dimana karena jabatan dari Drs.Roeswardiyatmo, M.Pd adalah sebagai Kepala Dinas Kabupaten
Wonogiri maka dengan
menjadi Penanhggung Jawab Program.
sendirinya
42
Drs. Susilo, Mpd selaku Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Subdin TK/SD dan MI Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri yang ditunjuk oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd sebagai Pemimpin Kergiatan Prengadaan Buku Wajib SD/MI tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor : 900/043 tentang Penetapan penanggung Jawab Program, Pemimpin Program Pemimpin Kegiatan dan staf administrasi kegiatan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri oleh jaksa dianggap telah melakukan kekeliruan dalam perencanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan kabupatem Wonogiri, sehingga proyek ini dilakukan dengan tanpa perencanaan dan jadwal yang jelas. Pada tanggal 21 Mei 2003 Drs. Susilo beserta dengan Drs. Purwanto, GP, M.si diketahui oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd mengajukan permohonan penunjukan langsung kepada bupati Wonogiri dengan surat Nomor : 425/1566-c tertanggal 21 Mei 2003. Permohonan tersebut disetujui oleh Bupati wonogiri dengan surat Nomor : 600/3616 tanggal 23 Mei 2003 dengan rekanan yaitu PT. Balai Pustaka (Persero).Kemudian disetujui oleh Bupati Wonogiri. Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd menerbitkan surat Keputiusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor : 642.2/056 tanggal 26 Mei 2003 tentang Pembentukan Panitia Penunjukan Langsung. Namun surat keputusan tersebut oleh Drs. Susilo, M.Pd tidak pemah diserahkan kepada panitia yang telah dibentuk sehingga panitia yang dittunjuk tidak tahu dan tidak melaksanakan tugasnya. Kemudian Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Nomor: 642.2/074 tertanggal 26 Mei 2003 tentang Pembentukan Panitia Pemeriksa Barang. Namun Drs. Susilo, M.Pd tidak pula menyerahkan surat
43
keputusan ini kepada panitia pemeriksa barang sehingga panitia pemeriksa barang tidak melaksanakan tugasnya. Setelah addendum dilakukan oleh Drs. Susilo, M.Pd kemudian diserahkan kepada H. Murod Irawan. Namun oleh H. Murod Irawan surat addendum tidak pemah diserahkan kembali kepada PT. Balai Pustaka (persero). Kemudian H. Murod Irawan men sub kontrakkan proyek ini kepada 8 penerbit yang ditunjuk oleh H. Murod Irawan. Dari hasil audit investigative yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan perwakilan provinsi Jawa Tengah berdasar surat Nomor : LHAI-1310/PW 11/5/2008 ditemukan adanya mark up sebesar Rp. 2.983.677.461,14 (dua milyar sembilan ratus delapan puluh tiga juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu empat ratus enam puluh satu rupiah koma empat belas sen). Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Surat Perjanjian Pemborongan Nomor : 425/2074.b tanggal 23 Juni 2003 untuk pengadaan buku wajib SD/MI Kab. Wonogiri TA.2003 sebagaimana telah diadendum dengan addendum surat perjanjian pemborongan Nomor : 425.2/3950.C tanggal 10 September 2003, Drs. Susilo, M.Pd selaku Pemimpin Kegiatan Pengadaan Buku Ajar Tahun
2003 di Kabupaten Wonogiri telah
melakukan pembayaran kepada HR. Siswadi selaku direktur utama Balai Pustaka (persero) yang dimulai pada akhir bulan agustus 2003, kemudian H.R. Siswadi mengajukan permohonan pembayaran uang muka kepada pemimpin kegiatan pengadaan buku wajib SD/MI di kabupaten Wonogiri tahun 2003 sesuai Surat Nomor : 044/Mk.2/B.8.2003 Perihal
tanggal kosong
Permohonan Pembayaran Uang Muka sebesar Rp. 1.
446.517.100,- yang pengajuannya dilakukan oleh Tatang S. Permana berdasarkan surat kuasa dari H.R. Siswadi. Dengan pengajuan tersebut maka Drs. Susilo, M.Pd pada tanggal 27 Agustus 2003 bersama dengan Agung Widodo, SE selaku pemegang
44
Kas Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri dan diketahui oleh Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap (SPP BT) Nomor : 900/3818 tanggal 27 Agustus 2003 untuk pembayaran uang muka tersebut. Kemudian menanggapi surat tersebut maka Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wonogiri yang dijabat oleh Lakgiyatmo, S.E, M.M menerbitkan Surat Perintah Membayar Uang Nomor : 1200/P tanggal 27 agustus 2003 untuk pembayaran uang muka tersebut, kemudian oleh Tatang S. Permana pada tanggal 29 Agustus 2003 telah dicairkan di Bank Pembangunan Daerah cabang Wonogiri dan kemudian nmentransfer ke rekening : 1230090015522 PT. Balai Pustaka (Persero) pada PT. Bank Mandiri (Persero) cabang Cikini Jakarta sebesar 1.424.802.300,- setelah dipotong PPh sebesar Rp. 21.697.800,- dan biaya administrasi bank seb esar Rp. 17.000,Pada tanggal 1 November 2004 Drs. Susilo, M.Pd selaku pemimpin kegiatan nenbuat konsep Berita Acara Hasil Pemeriksa Barang bahwa barang sudah diterima 100%. Padaahal Drs. Susilo tahu bahwa buku yang diterima baru berjumlah 275.420 eksemplar dari pesanan sebesar 496.911 eksemplar. Bahwa pada tanggal 18 November 2003 Alm. HR. Siswadi selaku direktur utama Balai Pustaka meminta pembayaran termin pertama kepada pemimpin kegiatan sesuai dengan Surat Nomor : 087/Mk.2/B.l 1.2003 perihal permohonan pembayaran termin pertama sebesar Rp. 2.893.034.200,- yang dilakukan oleh Tatang S. Permana sesuai
dengan
surat kuasa Nomor
: 017/MK.2/KS.11.2003 pada
tanggal 19 November 2003. Berdasarkan surat permohonan pembayaran termin pertama tersebut maka, Drs. Susilo M.Pd bersama dengan Agung Widodo, SE dan diketahui oleh Dr. Roeswardiyatmo, M.Pd mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap (SPP BT) Nomor : 900/4651 tanggal 19 November 2003 sebesar Rp. 2.893.034.200,- kepada Kepala Badan
45
Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Wonogiri yang kala itu dipimpin oleh Yang Menjalankan Tugas (YMT) Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang kemudian oleh beliau diterbitkanlah Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) Nomor : 1967/P tanggal 19 November 2003. Pada tanggal 20 November 2003 dicairkanlah uang itu oleh Tatang. S Permana di Bank Pembangunan Daerah (BPD) cabang Wonogiri dan kemudian mentransfer ke rekening 123-0090015522 milik PT. Balai Pustaka dengan Bank Mandiri (persero) sebesar Rp. 1.500.000.000,setelah dipotong PPh sebesar Rp. 43.395.513,- dan biaya administrasi sebesar Rp. 7.500,- sedangkan uang sebesar Rp. 1.349.614.187,- pada hari itu juga oleh Tatang. S Permana diserahkan kepada Naning untuk ditransfer ke Rekening Bank Mandiri Cabang Sriwedari Solo Nomor : 138.0004016785 atas nama M. Indriastuti selaku kepala Bagian Keuangan PT. Putra Ihsan Pramudhita dan ditambah ongkos kirim Rp. 7.500,- atas permintaan H. Murod Irawan dengan persetujuan HR. Siswadi. Pada tangal 18 Desember 2003 HR. Siswadi meminta kepada pemimpin kegiatan untuk mencairkan termin yang kedua. Maka pada tanggal 18 Desember 2003 pemimpin kegiatan beserta dengan Widodo, SE mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Beban Tetap (SPP BT) Nomor : 900/7253 kepada Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wonogiri yang masih dijabat oleh Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku Yang Menjalankan Tugas (YMT). Kemudian oleh Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM diterbitkan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) Nomor: 2365/P tanggal 19 Desember 2003. Bahwa berdasarkan perjanjian yang telah disetujui, dalam isinya bahwa PT. Balai Pustaka yang diwakili oleh H. Murod Irawan selaku Direktur PT. Putra Ihsan Pramudhita dilakukan pencetakan buku sebanyak 496.911 eksemplar namun yang baru tercetak adalah 453.659 sehingga masih ada kekurangan buku sebesar 43.252 eksemplar atau bila dirupiahkan yaitu Rp. 631.699.658,86 (enam ratus tiga pulih satu juta
46
enam ratus sembilan puluh sembilan ribu enam ratus lima puluh delapan rupian koma delapan puluh enam sen). Pelaksanaan Penuntutan Uang Penganti secara tanggung renteng terhadap saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas terscndiri). Sebagai akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd, Drs. Purwanto, GP, M.Si, Drs. Susilo, M.Pd, , MM, H. Murod Irawan, Alm. HR. Siswadi dan Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku Yang Menjalankan Tugas (YMT) sejak tanggal 1 September 2003 sampai dengan tanggal 1 Januari 2004 yang telah mencairkan termin kedua kepada PT. Balai Pustaka (persero) sebesar Rp. 2.893.034.200,- padahal syarat yang diajukan belum lengkap tetapi masih juga menerbitkan SPMU. Disamping itu berkaitan dengan perbuatan ini berdasarkan hasil audit investigative
yang
dilakukan
Badan
Pengawasan
Keuangan
dan
Pembangunan perwakilan Jawa Tengah ditemukan adanya mark up sebesar Rp. 2.983.677.461,14 (dua milyar sembilan ratus delapan puluh tiga juta enam ratus tujuh puluh tujuh ribu empat ratus enam puluh satu rupiah koma empat belas sen) dan menguntungkan H. Murod Irawan. Sehingga total kerugiann Negara yang diakibatkan dari perbuatan ini menjadi Rp. 3.615.377.120,- (tiga milyar enam ratus lima belas juta tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah). Kerugian ini dihitung dari nilai kerugian Mark Up sebesar Rp. 2.983.677.461,14 dan kekurangan buku yang belum dikirim oleh H.Murod Irawan sebanyak 43.252 eksemplar atau Rp. 631.699.658,86. Pengaturan penunututan uang pengganti diatur dalam pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun
dasar pelaksanaan penuntutan uang pengganti oleh Kejaksaan adalah bahwa terdakwa atau saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas
47
tersendiri)
secara bersama-sama telah melakukan penyalahgunaan
kewenangan mereka sehingga Negara dirugikan karenanya. 4. Tuntutan Kejaksaan Negeri Wonogiri Berdasarkan hasil pemeriksaan terdakwa dan saksi dipersidangan yang dikaitkan dengan barang bukti yang ada di persidangan, maka penuntut umum sesuai dengan undang-undang melakukan penuntutan yang tertuang dalam Surat Tuntutan Jaksa No. Reg. Perkara : PDS-04/W.GIRI/05.2008 atas nama terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M. Pd sebagai berikut : 1.
Menyatakan
DRS.
ROESWARDIYATMO,
M.
Pd
BIN
SAROESMAN HARDJOSUKARTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan ”TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA”sebagaimana diatur dan diancam pidana dalamn Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor
:
31
Tahun
1999
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dalam DAKWAAN PRIMAIR 2.
Menyatakan membebaskan terdakwa tersebut dari DAKWAAN PRIMAIR
3.
Menyatakan terdakwa DRS. ROESWARDIYATMO, M.Pd BIN SAROESMAN meyakinkan
HARDJOSUKARTO bersalah
melakukan
secara ”TINDAK
sah
dan
PIDANA
KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA” sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor : 20
48
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dalam DAKWAAN SUBSIDAIR 4.
Menjatuhkan
Pidana
ROESWARDIYATMO,
kepada M.
Pd
terdakwa BIN
DRS.
SAROESMAN
HARDJOSUKARTO dengan pidana penjara selama 3 (TIGA) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. 5.
Menjatuhkan pidana Denda sebesar Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan
6.
Menghukum terdakwa DRS. ROESWARDIYATMO, M.Pd BIN SAROESMAN HARDJOSUKARTO tersebut
untuk
membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp. 3. 615.377.120,- (tiga milyar enam ratus lima belas juta tiga ratus tujuh puluh tujuh ribu seratus dua puluh rupiah) secara tanggung renteng bersama-sama dengan Drs. Susilo, M. Pd Bin Sudarso, B.A, Drs. Purwanto GP, M. Si Bin Sutarno B.A, H. Murod Irawan, Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri), serta PT. Balai Pustaka (Persero), paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini mempunyai kekutaan hukum tetap, dan apabila setelah lewat waktu 1 (satu) bulan tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti dimaksud, harta kekayaan terdakwa disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Apabila terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk pembayaran uang pengganti tersebut maka terdakwa di pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
49
5. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian diatas maka diketahui bahwa pengaturan dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti diatur dalam pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana terdakwa diduga telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan harta kekayaan yang ada padanya oleh jaksa diduga merupakan uang hasil korupsi yang telah dilakukan. Pelaksanaan penuntutan uang pengganti yang dilakukan oleh Kejaksaan Wonogiri terhadap saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) tentunya mengacu pada keterkaitan yang dilakukan oleh saksi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang mencairkan pembayaran termin pertama dan kedua dalam proyek pengadaan buku wajib tahun 2003 di Kabupaten Wonogiri. Telah disebutkan diatas bahwa YMT Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM telah mengeluarkan Surat Perintah Membayar Uang yang diminta oleh PT. Balai Pustaka Persero melalui pemimpin kegiatan, padahal didalam pengajuannya belum dilampiri sejumlah dokumen yang seharusnya ada didalamnya. Sehingga secara tidak langsung Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM ikut ambil bagian didalam pelaksanaan tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena keterkaitan tersebut maka oleh Jaksa Penuntut Umum, Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM selaku YMT kepala BPKD telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPKD dan dianggap ikut menikmati hasil korupsi tersebut, sehingga oleh Kejaksaan dituntut secara tanggung renteng dalam pengembalian uang pengganti bersamasama dengan terdakwa, H. Murod Irawan dan PT. Balai Pustaka (Persero).
50
B. HAMBATAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN PENUNTUAN UANG PENGGANTI SECARA TANGGUNG RENTENG TERHADAP SEORANG SAKSI (DIAJUKAN SEBAGAI TERDAKWA DALAM BERKAS TERSENDIRI) Berdasarkan uraian diatas tentunya tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan Jaksa NO. REG. PERKARA : PDS-04/W.GIRI/05.2008 Atas Nama Terdakwa : Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd tentunya mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan Tuntutan Jaksa dalam poin mengenai penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang harus ditanggung oleh Terdakwa Dr. Roeswardiyatmo, M.Pd (mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri), Drs. Purwanto, GP M.Si (Mantan Kasubdin TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri), Drs. Susilo, M.Pd (Mantan Kasi Sarpras Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri), Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (Yang Menjalankan Tugas Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Wonogiri, H. Murod Irawan (Direktur PT. Putra Ihsan Pramudita dan perwkilan Balai Pustaka), dan PT. Balai Pustaka (persero) oleh Majelis Hakim dalam putusannya tidak sependapat dengan Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa. Tentunya dasar yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam menolak tuntutan jaksa mengenai uang pengganti secara tanggung renteng adalah sangat jelas yaitu bahwa Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM dalam persidangan yang telah digelar di Pengadilan Negeri Wonogiri kapasitasnya hanyalah sebagai saksi sehingga apabila dimasukkan kedalam tuntutan jaksa maka tentunya tidak akan memenuhi rasa keadilan terhadapnya. Bahwa tentunya kapasitas Drs. Dwi Putro Setyantomo, M. Pd didalam persidangan hanyalah sebagai saksi dan bukan sebagai terdakwa. Oleh karena itu terjadi ambivalensi yang terjadi pada tuntutan Jaksa mengenai Penuntutan Uang Pengganti secara tanggung renteng yang juga
51
tersebut didalamnya Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM. Disatu sisi sebagai saksi namun disisi lain sudah diikutkan pula sebagai terdakwa/terpidana. Tentunya Surat Tuntutan Jaksa yang telah diajukan didalam persidangan bila dicermati secara seksama, dapat disinyalir bahwa saksi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM telah dipesan secara tidak langsung untuk kemudian dijadikan terdakwa dalam kasus yang sama. Terlepas dan itu, mengenai besaran uang pengganti yang diajukan oleh jaksa yang menurutnya telah menguntungkan H. Murod Irawan dan
PT. Balai
Pustaka menurut pledoi yang diajukan kuasa hukum terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd yakni Mustofa Kamal, S.H adalah kurang jelas. didalam pledoinya yang dikemukakan diperesidangan mengenai adanya mark up dan kekurangan buku yang kemudian oleh jaksa dilakukan penuntutan uang pengganti yang harus ditanggung pula oleh saksi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM adalah kurang jelas. Menurut pledoi dari Mustofa Kamal, SH bahwa mark up yang ditimbulkan adalah kurang tepat karena tidak sesuai dengan hukum pasar maupun norma dalam hukum perdata yaitu harga yang sudah disepakati kedua belahpihak adalah sah berlaku mengikat bagi parapihak untuk memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Disamping itu dalam Pledoi yang diajukan kuasa hukum terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd dikatakan bahwa PT. Balai Pustaka yang ditunjuk sebagai rekanan adalah BUMN sehingga apabila ada tuntutan yang mengatakan bahwa perbiuatan terdakwa telah menguntungkan H. Murod Irawan dan PT. Balai Pustaka ( Persero) maka sama saja perbuatan terdakwa telah pula menguntungkan Negara, karena PT. Balai Pustaka merupakan BUMN.
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas didalam hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri). a.
Bahwa dalam Surat Tuntutan Jaksa No. Reg. Perkara :
PDS-
04/W.GIRI./05.2008 disebutkan adanya perbuatan dari Drs. Dwi Putro Setyantomo,
MM
bersama
sama
dengan
terdakwa
Drs.
Roeswardiyatmo, M. Pd, Drs. Purwanto, GP, M. Si serta Drs. Susilo, M. Pd yang oleh Jaksa Penunut Umum dinilai melanggar ketentuan dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 perubahan Undang-Undang N0. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan dasar bahwa Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM yang saat itu menjabat sebagai Yang Menjalankan Tugas (YMT) Kepala Badan Pengelolaan
Keuangan
Daerah (BPKD)
Kabupaten
Wonogiri
menyetujui untuk mencairkan uang termin pertama sebesar Rp. 2.893.034.200,- dengan lampiran berita acara 100% dari Drs. Susilo, M. Pd padahal diketahui oleh Drs. Susilo bahwa buku yang diterima baru 275.420 eksemplar dari pesanan sebesar 496.911 eksemplar. Sehingga oleh Jaksa Penuntut Umum Drs, Dwi Putro Setyantomo, MM dianggap telah membantu dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi tersebut. b.
Adapun oleh Jaksa Penunut Umum yang menjadi dasar pelaksanaan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM adalah jaksa menilai Drs, Dwi Putro Setyantomo, MM dianggap telah melakukan kesalahan karena telah melakukan pelunasan pembayaran kepada pihak Balai Pustaka dengan
52
53
menerbitkan SPMU termin kedua padahal buku yang diterima masih ada kekurangan sebesar 43.252 eksemplar atau apabila dirupiahkan sebesar Rp. 631.699.658,86. Sehingga Negara menurut
Jaksa
Penuntut Umum dirugikan sebesar nominal diatas. 2. Hambatan yang timbul dalam pelaksanaan penuntutan uang pengganti terhadap seorang saksi (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri). a.
Hal yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan uang pengganti secara tanggung renteng yang ditujukan kepada ketiga terdakwa dan Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM (diajukan sebagai terdakwa dalam berkas tersendiri) antara lain adalah bahwa kapasitas Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM didalam persidangan adalah sebagai saksi, sehingga terjadi ambivalensi terhadapnya. Disatu sisi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM hanya sebagai saksi namun didalam tuntutan kapasitasnya berubah menjadi terdakwa. Sehingga status yang melekat didalamnya dianggap kurang jelas di persidangan.
b.
Adapun dalam pasal 18 angka 2 Undang-undang No. 18 tahun 1999 perubahan
Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai uang pengganti disebutkan "jika TERPIDANA tidak membayar uang pengganti.....". Dari apa yang disebutkan diatas, kata terpidana sangat jelas bagi siapa tumtutan tanggung renteng seharusnya ditujukan. Dalam posisi Drs. Dwi Putro Setyantomo, MM di dalam persidangan hanyalah sebagai saksi dan bukan sebagai terdakwa. Sehingga kurang tepat apabila Drs. Dwi Putro setyantomo, MM selaku saksi juga ikut dituntut dalam tuntutan jaksa.
54
B.
Saran-saran
Jaksa sebagai lembaga penegak hukum diharapkan mampu memberikan rasa keadilan kepada seseorang atau lembaga yang tengah mencarinya. Kejaksaan seharusnya dalam melakukan penuntutan lebih cermat, seksama dan juga bijaksana dalam menuntut dalam suatu perkara tindak pidana. Selain itu Kejaksaan sebagai lembaga hukum hendaknya lebih Kejaksaan Agung sebagai lembaga Negara dibidang hukum selayaknya memberikan pelatihan etika profesi yang lebih kepada Jaksa anggotanya agar kelak tidak dipandang sebagai lembaga yang menakutkan dimata masyarakat luas yang beredar dewasa ini.
55
DAFTAR PUSTAKA DARI BUKU : Edy Yunara, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta Lamintang, 1991, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Dan KejahatanKejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Pope, Jeremy, 2007, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Rohim, 2008, Modus Jakarta
Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media,
Soerjono, Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta Suradi, 2006, Korupsi Dalam Sektor Pemerintah Dan Swasta, Gava Media, Yogyakarta Surachman dan Andi Hamzah,1995, Jaksa Di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta Wirjono Prodjodikoro, 1980, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. ERESCO, Jakarta-Bandung Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
56
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Keputusan Presiden, No. 18 Tahun 2000, Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Visi Media, Jakarta Surat Tuntutan Pidana NO. REG. PERKARA : PDS-04/W.GIRI/05. 2008 Atas Nama Terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd Surat
Putusan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor : 100/Pid.B/2008/PN.Wng. atas nama terdakwa Drs. Roeswardiyatmo, M.Pd.