TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGGUNAAN PERJANJIAN STANDAR DALAM KONTRAK BISNIS WARALABA LOKAL (ANALISA TERHADAP KONTRAK PT. ULTRA DISC PRIMA INTERNASIONAL)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
NAMA : IMAN PASU PURBA NIM : 03020088 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................... i Abstraksi .................................................................................................. ii Daftar Isi .................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN A. . Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Perumusan Masalah........................................................................... 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan .......................................................... 5 D. Keaslian Penulisan ............................................................................ 7 E. Tinjauan Kepustakaan ...................................................................... 7 F. Metode Penelitian.............................................................................. 10 G. Sistimatika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI WARALABA
A. Konsep Dasar Waralaba .................................................................... 15 B. Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian ................................................. 20 C. Pengaturan Waralaba Di Indonesia .................................................... 24 D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Waralaba .............................. 36
BAB III. PERJANJIAN STANDAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA
A. Perjanjian Pada Umumnya ................................................................ 41 B. Perjanjian Standar Dan Pengaturan Validitasnya ............................... 52 C. Klausula Baku Dan Klausula Eksonerasi Dalam Suatu Perjanjian Standar .................................................................... 60 D. Unsur Tanggung Jawab Dalam Klausula Eksonerasi.......................... 66 Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB IV. TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGGUNAAN PERJANJIAN STANDAR PADA KONTRAK BISNIS WARALABA LOKAL
A. Keseimbangan Kedudukan Para Pihak Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Dengan Model Perjanjian Standar .............. 70 B. Upaya Untuk Menekan Kedudukan Berat Sebelah Dalam Perjanjian Waralaba Dengan Model Perjanjian Standar ..................... 79 C. Analisa Kontrak Franchise PT. Ultra Disc Prima Internasional .......... 91
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 112 B. Saran ................................................................................................. 115
DAFTAR PUSTAKA
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kehidupan manusia dijaman modern ini cepat berputar, setiap hari dipaksa oleh sistim untuk bekerja dan bekerja demi mempertahankan hidup. Hari demi hari kebutuhan manusia juga semakin meningkat dan bertambah banyak sehingga akan berjuang sebisanya guna memenuhi kebutuhannya itu. Sudah bukan jamannya lagi hidup bersantai-santai karena persaingan begitu ketat, sehingga mereka yang tidak dapat bertahan dalam persaingan pada akhirnya akan tersisih. Kehidupan yang serba cepat ini memacu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. Pemenuhan kebutuhan hidup secara cepat telah membuka peluang bagi pelaku bisnis untuk memikirkan pola pendistribusian barang/jasa dengan baik dan tepat. Dengan melihat perkembangan jaman saat ini diketahui begitu banyak perubahan yang terjadi pada dasawarsa ini, begitu pula dengan pelaku bisnis yang dituntut untuk terus berusaha semampunya agar dapat survive dalam masa sekarang dimana persaingan sangat ketat, sedangkan perekonomian di Indonesia masih dalam keadaaan yang memprihatinkan. Pelaku bisnis di Indonesia didominasi oleh pengusaha kecil dan menengah yang harus sudah mulai memikirkan nasibnya agar dapat berjalan terus. Salah satu cara untuk bertahan adalah adanya pola distribusi barang dan jasa yang baik, sehingga hasil produksi dari pelaku bisnis dapat disalurkan serta diserap oleh konsumen secara optimal. Sehingga pengusaha kecil mendapatkan keuntungan yang memuaskan. Salah satu jenis usaha yang dilakukan oleh pebisnis untuk menjawab tantangan ini adalah dengan pola bisnis waralaba/franchise. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Pola franchise/waralaba ini berkembang baik di tengah jaman yang semakin maju ini karena: 1 1. Menawarkan kenyamanan/keleluasaan, hal ini sangat didambakan oleh manusia saat ini karena kehidupan sehari-hari sudah sedemikian menekan sehingga ada waktu-waktu santai. Biasanya waktu tersebut mereka habiskan untuk membeli kenyamanan. Contoh: jasa SPA, body care, dan sebagainya. 2. Peningkatan permintaan akan jasa, hal ini merupakan sektor yang berkembang pesat karena dalam pemenuhan kebutuhan kehidupnya manusia tidak terlepas dari ketergantungan kepada sesamanya. Contoh: antar jemput anak sekolah, catering, dan sebagainya. 3. Konsumen tidak mempunyai waktu, waktu merupakan hal yang sangat berharga oleh karena itu kita dituntut unutk berprilaku untuk berprilaku cepat. Contoh: Kentucky Fried Chiken, Texas, C-Burger dan sebagainya. 4. Pelayanan dan kualitas yang baik, hal ini karena sangat didambakan oleh konsumen dimanapun mereka berada Berdasarkan hal diatas, saat ini ada sekitar 650-an jumlah franchise di Indonesia. Banyak yang tergiur untuk mencoba bisnis ini karena tawaran keuntungan yang tidak sedikit jika berjalan dengan baik. Sehingga para pebisnis berlomba untuk memfranchisekan bisnisnya. Pihak lain juga mulai melirik franchise mana yang lebih menggiurkan. Sehingga dalam praktek, untuk mengikat para pihak yang akan melakukan kerjasama bisnis ini diikat dalam suatu perjanjian atau kontrak guna mengatur masalah hak dan kewajiban para pihak dalam bisnis tersebut. Hal tersebut tentunya bertujuan untuk tercapainya prestasi yang diharapkan para pihak. 1
Sewu, Lindawaty, Francise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum & Ekonomi, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 2. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Umumnya perjanjian waralaba menggunakan perjanjian baku. Maksudnya bahwa klausula atau isi dari perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh pihak pewaralaba (franchisor). Penerima waralaba hanya menyatakan sepakat atau tidak atas isi perjanjian tersebut. Walaupun akhirnya penerima waralaba (franchisee) diberikan kebebasan untuk menolak atau menerima perjanjian tersebut. Dalam hal ini perjanjian standar ini tidak banyak dipermasalahkan penggunaannya oleh pihak franchisee karena tekadnya untuk membeli waralaba tersebut yang menurutnya merupakan peluang bisnis yang menggiurkan baginya. Kebiasaan
dalam
penggunaan
perjanjian
standar
ditengah-tengah
kehidupan masyarakat mengakibatkan perjanjian standar ini merupakan bentuk perjanjian yang di sahkan dan menjadi hukum bagi masyarakat. Namun tidak sedikit permasalahan yang terjadi akibat penggunaan perjanjian ini yang memang nyata menunjukkan kedudukan yang berat sebelah diantara para pihak. Dengan demikian perlu ditinjau bagaimana penggunaan dari perjanjian baku tersebut. Hal yang diharapkan adalah adanya keseimbangan kedudukan antara para pihak melalui hak dan kewajiban dalam melakukan perjanjian tersebut. Bagaimanapun ketika suatu perjanjian hanya dirancang oleh satu pihak, maka mau tidak mau perjanjian tersebut akan lebih menguntungkan pihak yang membuatnya bahkan menunjukkan bahwa ada posisi yang terkuat dan lemah dalam perjanjian tersebut. Namun bagaimanapun hukum tidak dapat melarangnya selama perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, susila, agama yang ada ditengah-tengah masyarakat apalagi ada kata sepakat didalam perjanjian tersebut. Hal ini berhubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontak didalam melakukan perjanjian waralaba. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Perihal penggunaan perjanjian standar ini maka dipandang perlu untuk meninjau bagaimana penggunaanya mengingat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) . Peninjauan terhadap perjanjian standar ini akan mengantarkan kita melihat jauh lebih dalam tentang perjanjian standar dan bagaimana pelaksanaannya didalam praktek khususnya perjanjian waralaba lokal. Dengan demikian pihak-pihak yang melakukan perjanjian waralaba akan mempersiapkan hal-hal apa yang harus dicantumkan dalam perjanjian standar supaya prestasi yang diharapkan dapat dicapai, memperkecil resiko atau masalah, dan para pihak akan mendapat keuntungan yang seimbang dalam menjalankan bisnis tersebut. Penulis tertarik mendalami perjanjian waralaba, karena waralaba memiliki berbagai nilai-nilai positif didalam kerangka sistim bisnis khususnya di negara kita didalam membangkitkan gairah masyarakat untuk berperan didalam pertumbuhan ekonomi bangsa. Sehingga yang diharapkan adalah bagaimana supaya bisnis dengan sistim waralaba dapat membuahkan hasil yang memuaskan bagi pebisnis yang pada umumnya adalah pengusaha kecil menengah. Penulis yakin jika perjanjian stadar yang digunakan tidak berat sebelah maka kecil kemungkinan akan terjadi permasalahan atau resiko dalam perjanjian waralaba tersebut sehingga usaha bisnis waralaba tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat memperoleh keutungan seimbang secara kesinambungan.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas, penulis merumuskan tiga permasalahan melihat teori dan bagaimana prakteknya dilapangan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah: 1. Apakah keberadaan perjanjian standar diakui keberadaannya, khususnya didalam melakukan kontrak bisnis waralaba lokal? 2. Bagaimana keseimbangan kedudukan antara pihak dalam perjanjian waralaba dengan menggunakan perjanjian standar, dan upaya apa yang dapat di lakukan jika kedudukan para pihak berat sebelah? 3. Bagaimanakah penggunaan perjanjian standar oleh waralaba lokal, dalam hal ini tinjauan terhadap kontrak waralaba PT. Ultra Disc Prima Internasional?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN Salah satu tujuan disusunnya skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara dan juga sebagai sumbangsih penulis terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum dan Ilmu Hukum Perdata khususnya. Dari segi ilmiahnya tujuan dan maksud penulisan ini ditujukan untuk: 1. Untuk mengetahui apakah perjanjian standar di legalkan atau diakui di Indonesia apakah ada aturan yang menyatakan kevaliditasannya sehingga dapat digunakan didalam praktek dan dianggap tidak betentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan. 2. Untuk mengetahui bagaimana keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba dengan menggunakan perjanjian standar dan upaya apa Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
yang dapat dilakukan untuk menekan kedudukan yang berat sebelah. Sehingga dengan upaya tersebut dapat disusun perjanjian franchise dengan lebih cermat dan kerja bisnis yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang. 3. Untuk mengetahui tinjauan terhadap kontrak bisnis waralaba lokal dengan menggunakan model perjanjian standar melalui analisis terhadap kontrak baku franchise PT. Ultara Disc Prima Internasional. Mengetahui hal-hal yang dituangkan didalam perjanjian tersebut yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh pihak franchisor, dan apakah klausula tersebut lebih menguntungkan pihaknya apakah benar kontrak tersebut berat sebelah atau tidak seimbangnya kedudukan antara franchisor dengan franchisee. Selain itu akan diketahui halhal yang belum diatur oleh para pihak yang juga merupakan hal yang esensial didalam perjanjian tersebut. Selain hal-hal tersebut diatas, mamfaat penulisan ini adalah : 1.
Secara teoritis Skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang penggunaan perjanjian standar dalam praktek lapangan hukum perjanjian khususnya pada waralaba lokal yang saat ini sedang berkembang di Indonesia.
2.
Secara praktis Skripsi ini dapat menjadi sebuah kajian yang akan memberikan dan menambah pemahaman akan penggunaan perjanjian standar sehingga tercipta keseimbangan kedudukan diantara franchisor dan franchisee dengan meninjau dan memuat hal-hal yang perlu dipenuhi didalam perjanjian standar. Sehingga walaupun dibuat oleh satu pihak, pihak lain dapat lebih berhati-hati untuk
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
sebelum menyepakati perjanjian tersebut. Selain itu dapat memberikan manfaat kepada para pihak yang membuat perjanjian kontrak bisnis waralaba lokal dengan model perjanjian standar.
D. KEASLIAN PENULISAN Penulisan yang berjudul Tinjauan Yuridis Tentang Penggunaan Perjanjian Standar Pada Kontrak Bisnis Waralaba Lokal, setelah melalui penelusuran perpustakaan Fakultas Hukum USU, pembahasan mengenai permasalahan diatas belum pernah ada. Namun ada tulisan lain yang mengangkat tentang perjanjian baku, namun dalam hal kajian yang berbeda. Tulisan tersebut berjudul : ”Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen Terhadap Perjanjian Baku” oleh Binsar Sumbayak, dan ”Tinjauan KUHPerdata Terhadap Perjanjian Baku Dari Segi Positif Negatifnya Bagi Konsumen” oleh Jaubat Harianja. Dengan demikian penulisan skripsi ini dapat dikatakan orisinil, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik..
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Adapun yang menjadi pembahasan didalam skripsi ini adalah ”Tinjauan Yurisdis Tentang Penggunaan Perjanjian Standar Pada Kontrak Bisnis Waralaba Lokal”. Perjanjian standar menurut Abdulkadir Muhammad adalah: “ Perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha yang distandarisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran”. 2 2
Muhammad, Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Didalam praktek perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak. Disini terlihat bahwa perjanjian baku bersifat kolektif dan massal. Perjanjian massal ini diperuntukkan bagi setiap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis itu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur yang satu dengan yang lain. 3 Munir Fuady mendefenisikan klausula eksonerasi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi. 4 Didalam perjanjian standar syarat eksonerasi dibakukan dan dituangkan didalam bentuk formulir.5 Waralaba menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/MDAG/PER/3/2006 Pasal 1 ayat (1) adalah:
“Perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi
Perdagangan. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1992), hal. 2. 3
Badrulzaman, Mariam D, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya Di Indonesia. Disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Mata Kuliah Hukum Perdata Pada Fakultas Hukum Sumatera Utara Di Medan Diucapkan Pada tanggal 30 Agustus 1980. 4 Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), hal. 98. 5 Badrulzaman, Mariam D, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 47. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba” 6
Waralaba menurut Amir Karamoy adalah :
”Suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan/individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fees) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi/waralaba”. 7
Pemberi waralaba (franchisor) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (2) adalah : “Orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba”.
Penerima
waralaba
(franchisee)
menurut
Peraturan
Menteri
Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 Pasal 1 ayat (3) adalah : ”Badan usaha atau perorangan yang diberikan untuk memamfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba”.
Penggunaan perjanjian standar atau perjanjian baku pada kontrak bisnis waralaba lokal perlu untuk dicermati, karena dalam prakteknya banyak bisnis waralaba yang gagal karena lebih banyak menguntungkan pihak pewaralaba 6
Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2006 Karamoy, Amir, Sukses Usaha Lewat Waralaba, (Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika, 1996) 7
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
(franchisor). Sesungguhnya di lapangan banyak waralaba bermasalah numun tidak mencuat kepermukaan karena lebih banyak didiamkan atau diselesaikan secara damai. Hal tersebut tidak mengherankan karena didalam perjanjian standar tersebut pastinya franchisor akan mengatur klausula yang sedemikian rupa supaya pihaknya lebih diuntungkan. Penerima waralaba (franchisee) pada pembuatan perjanjian hanya memberikan persetujuan atas isi perjanjian walaupun acap kali setiap klusula yang ada tidak dipahami sepenuhnya. Dalam hal ini franchisee juga tidak tertutup kemungkinan tidak tahu menahu hal-hal apa yang minimal diatur dalam klusula tersebut. Secara tidak sadar ada banyak klausula-klausula yang tidak diatur dalam perjanjian standar merugikan pihaknya jika klausula-klausula itu
tidak dicantumkan. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan
franchisor juga tidak tahu secara lengkap apa yang harus dituangkan didalam perjanjian waralaba.
F. METODE PENELITIAN Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat lebih dipertanggungjawabkan metode penulisan yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan pengumpulan data melalui study kepusatakaan (library research). Metode penelitian Library Research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber-sumber itu antara lain adalah buku-buku, majalah, penelusuran melalui internet, dokumen-dokemen resmi, bahan-bahan karya ilmiah yang merupakan pendapat sarjana baik berupa skripsi dan tesis maupun hasil penelitian berupa Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
majalah dan laporan. Dimana terhadap data tersebut dilakukan pengolahan melalui membaca, menafsirkan, membandingkan serta menerjemahkannya guna merampungkan penulisan skripsi ini.
F. SISTIMATIKA PENULISAN Secara sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang pada setiap bab dibagi lagi atas beberapa sub bab. Gambaran ini ada untuk lebih memudahkan pembaca untuk memahami skripsi ini. Sistematika adalah gambaran dari keseluruhan isi secara global ynag dirangkaikan berdasarkan garis-garis besarnya dan diperjelas dengan melakukan pengertian selanjutnya. Adapun sitematika isi atau gambaran isi skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis mencoba untuk menguraikan masalah Pendahuluan yang mengantarkan kita kepada materi yang akan dibahas antara lain berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan mamfaat penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: TINJAUAN UMUM MENGEANAI WARALABA Dalam bab ini penulis menguraikan secara umum akan menguraikan secara umum tentang Waralaba. Baik masalah konsep dasar waralaba, waralaba sebagai bentuk perjanjian, bagaimana pengaturan waralaba di Indonesia, tentang tata cara
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
pelaksanaannya serta tentang hak dan kewajiban para pihak dalam melakukan perjanjian waralaba. BAB III
: PERJANJIAN STANDAR DALAM PERSFEKTIF HUKUM INDONESIA Dalam bab ini akan diuraikan tentang perjanjian secara umum, perjanjian standar dan pengaturan validitasnya di Indonesia, juga dibahas masalah klusula baku dan klausula eksonerasi pada perjanjian standar, serta unsur tanggung jawab pada klausula eksonerasi.
BAB IV
: TINJAUAN
YURIDIS
TENTANG
PERJANJIAN
STANDAR
PADA
PENGGUNAAN
KONTRAK
BISNIS
WARALABA LOKAL Dalam bab ini dibahas mengenai pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam mengadakan perjanjian waralaba dengan menggunakan
perjanjian
standar
keseimbangan
kedudukan
para
hubungannya pihak
yang
dengan
melakukan
perjanjian dan upaya apa untuk menekan kedudukan yang berat sebelah akibat penggunaan perjanjian standar. Didalam bab ini penulis akan meninjau dan menganalisa contoh perjanjian standar
waralaba
Internasional.
lokal
yaitu
PT.
Ultra
Didalam tinjauan tesebut
Disc
Prima
akan diketahui
bagaimana penggunaan perjanjian standar, hal-hal apa yang diatur dan hal-hal apa pula yang belum diatur didalam perjanjian tersebut yang merupakan hal yang esensi guna Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
mengantisipasi adanya masalah dan resiko didalam mencapai prestasi yang diharapkan. Perusahaan Waralaba ini mewakili beberapa waralaba lokal lainnya di Indonesia. BAB V
: PENUTUP Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi serta saran-saran dari penulis guna mengantisipasi resiko
maupun sengketa didalam melakukan perjanjian
waralaba. Dengan tinjauan terhadap kontrak bisnis waralaba lokal dengan model perjanjian standar ini diharapkan kita semakin mencermati penggunaan perjannjian standar ini. Sehingga dalam prakteknya keseimbangan kedudukan diantara para pihak dapat terwujud, dan didalam penyusunan format yang penuh cermat akan menghasilkan kerjasama bisnis yang akan menghasilkan keuntungan bagi para pihak secara seimbang.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI WARALABA
Waralaba (franchise) sebenarnya merupakan suatu sistem bisnis yang telah lama dikenal oleh dunia dimana waralaba pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industry yang melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan negara-negara lain, sedangkan di Inggris waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg pada dekade '60-an. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Sampai saat ini waralaba yang sudah menjamur di negara-negara ini berkembang dengan pesat bahkan mereka berhasil memperluas jaringannya sampai ke negara-negara lain. Di Indonesia waralaba dikenal sejak era 1970-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen, dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekira 1995. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga tahun 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elite Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat dan hingga saat ini. Didalam prakteknya dikenal ada dua jenis waralaba (franchise) yaitu franchise internasional yang maksudnya franchise yang berasal dari luar Indonesia yang beroperasi di Indonesia dan franchise domestik/lokal yang merupakan konsep franchise yang lahir di Indonesia yang beroperasi di Indonesia maupun manca negara.
A. Kosep Dasar Waralaba. 1. Pengertian Umum Pewaralabaan (franchising), Pemberi Waralaba (franchisor), dan Penerima waralaba (franchisee). a. Pengertian Waralaba (franchise) Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, salah satu dari pengertian franchise adalah : (A. Abdul Rahman, 1991 : 454) Suatu persetujuan atau perjanjian antara levaransir dan pedagang eceran atau pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya, dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak. 8 Selanjutnya dalam kamus Dictionary Of Business Terms, suatu franchise mempunyai banyak arti dua diantaranya adalah : (Jack P. Friedmann, 1987 : 235) 1. Suatu izin yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau kepada suatu peruasahaan (franchisee) unutk mengoperasikan suatu outlet retail, makanan atau supermarket dimana pihak franchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa 8
Fuady, Munir, Pembiyaan Perusahaan Masa Kini, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), hal. 135
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain company support. 2. Hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan (company’s goods and service) dalam suatu wilayah tertentu, hak tersebut telah diberikan oleh perusahaan kepada seseorang individu, kelompok individu, kelompok marketing, pengecer atau grosir.
Menurut Lindawaty Sewu Franchising adalah : “sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup (antara franchisor dan franchisee) dan terus menerus pelaku-pelaku independen (franchisor dan franchisee) dan terpisah baik secara hukum dan keuangan, dimana franchisor memberikan hak kepada franchisee, dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor”. 9 Menurut International Franchise Association (IFA) : ” franchising is a method of distributing products or services. At least two levels people are involved in the franchise system: (1) the franchisor, who lends his trademark or trade name and a business system; and(2) the francisee, who pays a royalty and often an initial fee for the right to business under the franchisor’s name and system. Technically, the contract binding the two parties is the “franchise”, but that term is often used to mean the actual business that the franchisee operates”. 10
Definisi-definisi diatas menerangkan bahwa franchising merupakan suatu metode atau sistem dalam suatu usaha, bukan suatu industri atau bisnis. Defenisi juga menekankan pada pentingnya peran lisensi dalam pembrian waralaba yang berarti franchisor memberikan ijin kepada franchisee untuk menjual, memasarkan dan mendistibusikan produk/jasa atas kekayaan intektual yang dimilikinya dengan membayar initial fee dan royalty fee kepadanya. 9
Sewu, Lindawaty, Op. Cit, hal. 35. Yuni, Karyanti, Tinjauan Hukum Perjanjian atas Perjanjian Waralaba. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000). Hal. 45. 10
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Sama
halnya
dengan
lisensi,
franchisee
berkewajiban
atas
pemenuhan standar yang disyaratkan oleh franchisor, namun konsep waralaba lebih luas lagi yaitu dengan memberi bantuan pemasaran, promosi, dan bantuan teknis lainnya kepada franchisee agar ia dapat menjalankan usahanya dengan baik. Kewajiban untuk menggunakan metode, tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh franchisor membawa akibat lebih lanjut yaitu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri yang tidak dapat digabungkan dengan usaha lain.
b. Pengertian Pemberi Waralaba (franchisor) Pengertian pemberi waralaba (franchisor) menurut John F.Kinch adalah The company that lends its trademarks, trade name, and business, system (including training merchadizing, marketing, selling techniqes, ect.) to a franchisee. Sementara itu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, Pasal 1 ayat(2) menyatakan bahwa Pemberi waralaba adalah badan usaha atau
perorangan
yang
memberikan
hak
kepada
pihak
lain
untuk
memamfaatkan dan atau mengggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba. 11
c. Pengertian Penerima Waralaba (franchisee) Pengertian Penerima Waralaba menurut John F. Kinch adalah The individual who pays a fee or fees to inquire the right to do business with a franchisor company. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
11
Ibid, hal 47
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. 12 Berdasarkan deenisi-defenisi diatas, dapat diartikan bahwa franchisee adalah penerima lisensi dari franchisor dengan hak eksklusif untuk melakukan penjualan produk atau jasa dalam wilayah geografis tertentu dengan membayar imbalan (fee) kepada franchisor. Sebelum membahas masalah tipe-tipe waralaba adalah penting untuk menguraikan biaya-biaya yang timbul dalam perjanjian franchise. Biaya-biaya tersebut adalah: 13 (1) Royalty; Merupakan pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee. (2) Franchise Fee; Merupakan pembayaran atas biaya franchise, yang biasanya dilakukan dengan jumlah tertentu yang pasti dan dilakukan sekaligus dan hanya sekali saja. Dibayar hanya pada tahap saat faranchise akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian faranchise. (3) Direct Expenses; Merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu usaha franchise, misalnya terhadap biaya pelatihan managemen dan keterampilan tertentu. (4) Marketing and Advertising Fees; 12 13
Ibid, hal 49 Fuady, Munir, Op. Cit, hal. 145
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan bisnis franchise. (5) Assignment Fees; Merupakan biaya yang harus dibayar oleh pihak franchisee kepada franchisor jika pihak franchisee menglihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang merupakan objek franchise. Oleh pihak franchisor biaya tersebut biasanya dimamfaatkan untuk persiapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan pemegang franchise yang baru, dan sebagainya.
2. Tipe Waralaba Ada 3 (tiga) tipe waralaba, yaitu: 14 a. Trade Mark/Name Franchise Tipe dari waralaba ini mirip dengan lisensi, yaitu hak untuk memproduksi
produk
dengan
menggunakan
merek,
karikatur,
dan
sebagainya yang dimiliki oleh ranchifsor untuk setiap wilayah. Tipe ini tidak memerlukan penekatan sistim lengkap, tapi franchisor harus memberikan supervisi unutk menjamin nama baik merek dagangnya. Contoh dari tipe waralaba ini adalah coca cola, pepsi, dan produksi kartun Walt Disney.
b. Product Distribution Franchise Tipe waralaba ini adalah pemberian hak kepada franchisee unutk memproduksi
14
produk
yang
dihasilakan
oleh
franchisor.
Umumnya
Yuni Karyanti.Op.Cit, hal.50.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
franchisor memberikan pedoman dan pelatihan kepada franchisee mengenai bagaimana mengelola distibusi produk. Tipe ini juga tidak memerlukan pendekatan sistim lengkap. Contoh waralaba ini adalah rantai tempat pengisian bensin seperti Petronas, shell, mobil, dan sebagainya.
c. Business Distribution Franchise Tipe ini adalah tipe waralaba dengan sistem yang paling lengkap. Sistim ini tidak hanya meberi franchisee hak untuk menggunakan brand name atau mendistribusikan produk franchisor tetapi juga hak unutk menduplikasikan seluruh sistem usahanya. Dalam tipe ini franchisor bertanggung jawab untuk menyiapkan konsep pengembangan dan pemilihan lokasi, manual operasi, pelatihan, sistem akuntansi, paket iklan dan promosi, serta bantuan pengembangan usaha yang berkesinambungan. Tipe ini merupakan tipe yang paling digunakan oleh usahawan. Contoh dari tipe waralaba ini adalah restoran Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Es Teller 77, dan sebagainya.
B. Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian Waralaba,
sebagaimana
halnya
lisensi,
adalah
suatu
bentuk
perjanjian yang mana franchisor memberikan hak khusus (exclusive right) kepada franchisee, yaitu: 15
15
Widjaja, Waralaba, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 76.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
(a)
Hak
untuk
melakukan
penjualan
produk/jasa
dengan
menggunakan nama dagang atau merek dagang atas kekayaan itelektual franchisor; (b)
Hak untuk melakukan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan prosedur bisnis yang di tentukan oleh franchisor.
Oleh karena waralaba adalah suatu perjanjian maka ia tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata selain ketentuan khusus yang diatur dalam PP No.42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dan KepMen No. 259/MPP/Kep/7/1997 Tentang ketentuan dan Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Dalam mengadakan perjanjian akan memberikan akibat hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak. Satu pihak wajib berprestasi pihak lain berhak atas prestasi tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 1314 rumusan perjanjian dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa dengan prestasi yang wajib dilakukan debitur, debitur tersebut dapat diminta dilakukannya kontra-prestasi dari pihak lawannya. Artinya, perjanjian pada dasarnya dapat bersifat sepihak( hanya satu pihak saja yang wajib berprestasi) dan perikatan yang timbal-balik (masing-masing pihak saling berprestasi). Sama halnya dengan franchisor dan franchisee yang mengadakan kerja bisnis untuk meraih keuntungan yang seimbang dan berkesinambungan. Ada sejumlah asas-asas hukum penting yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya, selain itu hukum perjanjian memuat beberapa asas Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
yang penting pula, oleh sebab itu kerjasama bisnis franchise hendaknya didasarkan pada : 16 (a) Asas Kebebasan Berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Mariam Darus, semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. (b) Asas Konsensualitas Perjanjian berlaku bagi para pihak sebagai undang-undang selama adanya kesepakatan; (c) Asas Itikad Baik Persetujuan
tersebut
harus
dilaksanakan
dengan
itikad
baik.
Pelaksanaan perjanjian franchise merupakan suatu rangkaina proses timbal-balik
antara
franchisor
dengan
Franchisee.
Perjanjian
franchisee dilaksanakan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, maka kedua pihak harus menjungjung tinggi asas ini sehingga baik hak maupun kewajiban dari kesua belah pihak dapat terpenuhi dengan baik. (d) Asas Kerahasiaan Asas ini pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak (franchisor dan franchisee) untuk menjaga kerahasiaan data maupun ketentuanketentuan yang dianggap rahasia. Misalnya masalah trade secret,
16
Lindawati Sewu, Op. Cit, hal 32.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
know-how, atau resep makanan/minuman, dan tidak dibenarkan untuk memberitahukan kepada pihak ketiga, kecuali undang-undang menghendakinya. Pada dasarnya asas ini sangat esensial dalam suatu bisnis franchise dengan pola franchise yang mengandalkan ciri khas dari suatu produk atau jasa. (e) Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Asas ini sangat penting terutama dalam perjanjian yang bersifat internasioanal. (f) Asas Keseimbangan Asas ini mengkehendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Franchisor dinilai mempunyai kekuatan unutk menuntut prestasi namun franchisor memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian
itu
dengan
itikad
baik.
Kedudukan
franchisor yang kuat apabila diimbangi pula dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, maka kedudukan franchiusor dan franchisee dapat seimbang. Jadi asas keseimbangan ini menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari para pihak secara wajar dengan tidak membebani salah satu pihak saja.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
C. Pengaturan Waralaba di Indonesia 1. Waralaba Menurut PP No.16 Tahun 1997 a. Defenisi waralaba dalam pasal 1 ayat (1) PP No.16 Tahun 1997 adalah: Perikatan
dimana
salah
satu
pihak
diberikan
hak
untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Dari rumusan diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: 17 (1) Waralaba adalah suatu perikatan Sebagai suatu perikatan maka perjanjian waralaba tunduk pada ketetenutan
umum
mengenai
perikatan
yang
diatur
dalam
KUHPerdata sebagaimana yang telah diuraikan diatas. (2) Waralaba meliputi hak dan memamfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha. Yang dimaksud dengan HKI termasuk diantaranya, merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten. Yang dimaksud dengan penemuan atau ciri khas usahanya misalnya, sistim managemen, cara penjualan, atau distribusi dan merupakan ciri khusus dari pemiliknya. Pengikutsetaaan HKI dalam perjanjian waralaba melibatkan lisensi sebagai syarat pemberian ijin oleh pemilih HKI khususnya yang berhubungan dengan nama dagang atau merek dagang baik berupa
17
Widjaja, Op. Cit, hal 106
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
barang maupun jasa tertentu. Secara tidak langsung PP No.16 Tahun 1997 juga mengakui adanya dua bentuk waralaba, yaitu: (a) Waralaba dalam bentuk lisensi merek dagang atau produk dan; (b) Waralaba dalam bentuk format bisnis. (3)Waralaba meliputi pemberian imbalan berdasarkan persyaratan dan atau
penjualan barang/jasa. Ketentuan ini menyatakan bahwa
waralaba dikaitkan dengan suatu bentuk imbalan tertentu.
Yang penting juga diperhatikan oleh franchisor asing adalah Pasal 2 ayat (2) PP No.16 Tahun !997 yang menyatakan “perjanjian waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Sebelum membuat perjanjian, franchisor wajib menyampaikan keterangan kepada franchisee secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai: 18 (1) Nama pihak franchisor, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya. Keterangan antara lain meliputoi nama dan alamat tempat usaha,
nama
dan
alamat
franchisor,
pengalaman
mengenai
keberhasilan ataupun kegagalan selam menjalankan waralaba, keterangan mengenai franchisee yang pernah dan masih melakukan perikatan dan kondisi keuangan; (2) HKI penemuan atau ciri khas yang menjadi objek waralaba;
18
Indonesia, PP No.16 Tahun 1997, ps.3 ayat 1.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
(3) Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi franchisee, antara lain mengenai cara pembayaran, ganit rugi, wilayah pemasaran dan pengawasan mutu; (4) Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan franchisor kepada franchisee. Antara lain berupa pelatihan, bantuan keuangan, pemasaran dan pembukuan serta pedoman kerja. Keterangan mengenai prospek kegiatan waralaba juga meliputi pemberian keterangan tentang prospek yang dimaksud; (5) Hak dan kewajiaban franchisor dan franchisee; (6) Pengakhiran, pembatalan dan perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal lain perlu diketahui oleh franchisee dalam rangka pekasanaan perjanjian tersebut. Selanjutnya dinyatakan bahwa franchisor wajib memberikan waktu yang mencakup bagi franchisee untuk meneliti dan mempelajari informasi yang diberikan lebih lanjut. Setelah perjanjian waralaba disepakati oleh para pihak maka franchisee diberi waktu 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya perjanjian agar mendaftarkan perjanjian agar mendaftarkan perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis lainnya yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tersebut ke Departemen Perindustrian dan perdagangan dalam rangka kepentingan pembinaan usaha dengan cara waralaba. Pelaksanaan usaha waralaba juga diwajibkan oleh pemerintah untuk memperhatikan
perkembangan
sosial
ekonomi
dan
dalam
rangka
pengmbangan usaha kecil menengah. Dalam penjelasannya, diterangkan Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
bahwa penyelenggaraaan waralaba pada dasarnya dilakukan secara bertahap terutama di ibu kota provinsi, misalnya ibu kota kabupaten/kota madya Dati II dan tempat-tempat tertentu lainnya yang memerlukan kehadiran jasa waralaba. Selanjutnya usaha waralaba juga dihimbau untuk mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam negeri sebanyakbanyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba (Pasal 4 ayat (1)). Namun, dalam prakteknya faranchisor yang menentukan barang atau bahan-bahan yang harus digunakan franchisee, bahkan sering kali diperjanjikan bahwa franchisee harus membeli barang atau bahan-bahannya dari franchisor dengan alasan menjaga mutu barang dan reputasi franchisor. Ketentuan selanjutnya adalah penegasan kan kewajiban franchisor untuk memberi pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada franchisee Pasal 4 ayat (2).
2. Waralaba Menurut PP No.42 Tahun 2007 Pengaturan waralaba pada PP No.42 Tahun 2007 ini sebenarnya memiliki kesamaan-kesamaan yang prinsipil didalam melakukan usaha waralaba seperti yang diatur dalam PP No. 16 Tahun 1997, namun ada beberapa hal yang baru diatur pada PP ini. Walupun demikian ada sedikit perbedaan didalam PP ini. Defenisi waralaba dalam Pasal 1 ayat (1) PP No, 42 Tahun 2007 adalah : Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Waralaba menurut PP ini secara garis besar sama dengan rumusan pengertian waralaba menurut PP No. 16 Tahun 1997, namun adalah yang sangat esensi tidak dicantumkan dalam pengertian waralaba tersebut, yaitu tentang pemanfaatan dan atau penggunaan hak kekayaan intelektual. Maksudnya, PP No.42 Tahun 2007 ini hanya mencantumkan pemamfaatan sistim bisnis dengan cir khas usaha. Bahkan masalah imbalan didalam pemamfaatan sistim bisnis dengan ciri khas tersebut tidak dicantumkan. Pada Pasal 3 PP No.42 Tahun 2007 ini mengatur kriteria waralaba yang dapat di waralabakan. Kriteria yang dimaksudkan adalah: a.
memiliki ciri khas usaha;
b.
terbukti sudah memberikan keuntungan;
c.
memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;
d.
mudah diajarkan dan diaplikasikan;
e.
adanya dukungan yang berkesinambungan; dan
f.
Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
Sama halnya dengan PP No.16 tahun1997, Pasal 4 PP No 42 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa perjanjin waralaba dibuat dalam bahasa ini Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Didalam melakukan perjanjian waralaba lain halnya dengan PP No.16 Tahun 1997, PP No. 42 Tahun 2007 mengatur klusula-klusula yang paling sedikit dimuat dalam perjanjian waralaba. Klusula-klausula tersebut adalah: a.
nama dan alamat para pihak;
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
b.
jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c.
kegiatan usaha;
d.
hak dan kewajiban para pihak;
e.
bantuan,
fasilitas,
bimbingan
operasional,
pelatihan,
dan
pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba; f.
wilayah usaha;
g.
jangka waktu perjanjian;
h.
tata cara pembayaran imbalan;
i.
kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j.
penyelesaian sengketa; dan
k.
tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) PP No.42 Tahun klausula pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunjuk Penerima Waralaba lain dan harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit 1 (satu) tempat usaha Waralaba. Hal yang baru diatur diadalam PP No.42 Tahun 2007 ini adalah kewajiban yang diberikan kepada pemberi waralaba. Pemberi waralaba diwajibkan harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada colon penerima warlaba pada saat melakukan penawaran. Prospektus penawaran waralaba memuat paling sedikit mengenai : a.
data identitas Pemberi Waralaba;
b.
legalitas usaha Pemberi Waralaba;
c.
sejarah kegiatan usahanya;
d.
struktur organisasi Pemberi Waralaba;
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
e.
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir;
f.
jumlah tempat usaha;
g.
daftar Penerima Waralaba; dan
h.
hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba.
Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan. Dalam hal ini sepertinya PP No 42 Tahun 2007 kurang menegaskan secara rinci yang menjadi kewaiban dari penerima waralaba. Sehingga Peraturan Pemerintah ini menjadi kontraversial didalam prakteknya. Peraturan Pemerintah ini sangat mendorong para pihak yang melakukan perjanjian waralaba untuk lebih mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba. Selain itu, pemberi waralaba wajib mendaftarkan prosfektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba. Dalam hal tidak melakukan pendaftaran prospektus penawaran oleh pemberi waralaba, maka akan dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan untuk pelanggaran terhadap kewajiban pemberi waralaba dalam hal melakukan pembinaan kepada Penerima Waralaba dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda pendaftaran Waralaba setelah Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga. Hal ini juga berlaku bagi penerima waralaba yang tidak melakukan kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian waralaba. Dalam aturan terbaru ini memuat tentang peran pemerintah didalam pewaralabaan. Pemerintah puasat maupun daerah melakukan pembinaan waralaba. Pembianaan waralaba yang dimaksudkan adalah berupa: a.
pendidikan dan pelatihan Waralaba;
b.
rekomendasi untuk memanfaatkan sarana perpasaran;
c.
rekomendasi untuk mengikuti pameran Waralaba baik di dalam negeri dan luar negeri;
d.
bantuan konsultasi melalui klinik bisnis;
e.
penghargaan kepada Pemberi Waralaba lokal terbaik; dan/atau
f.
bantuan perkuatan permodalan.
Selain itu wujud dari peranan pemerintah ini dengan dilakukannya pengawasan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan berkordinasi dengan instansi yang terkait.
3. Waralaba Menurut KepMen No.259/MPP/Kep/7/1997 dan KepMen yang baru No. 12/M-DAG/PER/3/2006 Berhubung
Peraturan
Menteri
Perdagangan
No.
12/
M-
DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang terbit pada tanggal 26 Maret 2006 masih baru, maka belum didapat bahasan yang jelas mengenai isi peraturan ini.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Pasal 1 ayat (4) menyatakan : “Penerima Waralaba Utama (master franchise) adalah penerima waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pembari Waralaba dan berbentuk Perusahaan Nasional”. Kemudian ayat (5) dalam pasal yang sama menyatakan : “Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan Usaha atau perorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Utama” Pengertian diatas menegaskan bahwa dalam waralaba dapat dilakukan dengan pemberian hak lebih lanjut oleh faranchise utama. Cara ini dalam praktik
disebut
dengan Master Franchiuse yang
mana
perjanjiannya disebut dengan Master Franchise Agreement. Pengertian Master Faranchise Agreement ini tidak dirumuskan dalam peraturan ini tapi hanya diberikan pengertian dari Perjanjian Waralaba dan Perjanjian Waralaba Lanjutan. Artinya ada atau tidaknya hak untuk memberikan Waralaba Lanjutan dalam suatu perjanjian waralaba dapat ditemukan dalam perjanjian waralaba. Hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 3, yaitu 1. Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dapat disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak untuk membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan. 2. Semua ketentuan mengenai Pemberi Waralaba sebagaimana yang diatur dalam Keputusan ini berlaku juga bagi Penerima Waralaba Utama yang
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan dengan Penerima Waralaba Lanjutan Sebagai pelaksana PP No.16 Tahun 1997. KepMen ini juga mesyaratkan franchisor untuk meyampaikan keterangan tertulis dan benar kepada franchisee, hanya ada penambahan yang lebih mendetail tentang syarat identitas franchisor yaitu, keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba selama (dua) tahun terakhir (Pasal 5 butir (a)). 19 Dalam hal pembuatan Perjanjian Waralaba Lanjutan, Franchisee Utama wajib memberi tahu secara tertulis dengan dokumen otentik kepada Franchisee Lanjutan bahwa Franchisee Utama memiliki hak atau ijin membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan dari Franchisor (Pasal 6). Pasal 5 dan 6 diatas mengatur mengenai persyaratan sebelum perjanjian dilaksanakan. Pasal 7 mengatur mengenai isi perjanjian waralaba. Persyaratan sekurang-kurangnya berisikan: 20 (a). Nama, alamat, dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak. Khususnya yang berhubungan dengan identitas franchisor maka, jiak franchisor berasal dari luar negeri harus memiliki bukti legalitas dari instansi berwenang di negeri asalnya dan diketahui oleh Pejabat perwakilan RI setempat. Jika franchisor berasal dari dalam negeri wajib memiliki SIUP dan atau ijin usaha dari departemen teknis lainnya (Pasal 9) (b) Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian.
19
Peraturan menteri Perdagangan Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, Permen Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/2006. 20 Widjaja, Op.Cit, hal.118. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Ketentuan ini untuk memenuhi salah satu unsur sahnya suatu perjanjian sebagaimana diautur dalam KUHPerdata. (c) Nama dan jenis HKI, penemuan atau cirri khas usaha, misalnya sistim managemen, cara penjualan atau penataan cara distribusi yang merupakan kharateristik khusus yang menjadi objek waralaba; (d) Hak dan kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada franchisee; (e) Wilayah Pemasaran Penunjukan wilayah pemasaran usaha waralaba mencakup seluruh atau sebagian wilayah Indonesia. Artinya, wilayah dapat bersifat territorial eksklusif unutk seluruh wilayah atau non-eksklusif yang terbatas pada wilayah tertentu saja. Mengenai teritori ini diatur dalam Pasal 19, yang intinya adalah mencegah persaingan usaha yang dapat mengakibatkan ketidaklayakan usaha waralaba di lokasi tersebut; (f) Jangka waktu perjanjian dan tatacara perpanjangan perjanjian serta syaratsyarat perpanjangan perjanjian. Jangka waktu perjanjian waralaba ditentukan berlaku sekurang-kurangnya unutk 5 (lima) tahun (Pasal 8). Apabila perjanjian dibatalkan oleh franchisor maka sebelum menunjuk franchisee baru ia harus menyelesaikan terlebih dahulu segala permasalahan yang timbul dengan franchisee lama termasuk persoalan ganti rugi dalam bentuk Surat Pernyataan bersama (clean break). Selama permasalahan tidak terselesaikan, maka Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) untuk Franchisee baru tidak akan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Pasal 14); Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
(g) Cara Penyelesaian Perselisihan Pada umumnya, penyelesaian sengketa dicoba untuk dilaksanakan diluar pengadilan melalui alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, atau negosiasi karena bila melalui pengadilan akan memakan waktu lama dan berdampak buruk bagi usaha waralaba tersebut; (h) Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang
dapat mengakibatkan
pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian. Pada dasarnya setiap perjanjian memiliki jangka waktu berlakunya, dan berakhir dengan sendirinya dengan habisnya jangka waktu tersebut. Disini peranan Pasal 1266 KUHPerdata sangat besar dan perlu diperhatikan sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya; (i) Ganti rugi dalam hal terjadi pemutusan perjanjian Ketentuan ini umumnya dapat ditemukan dalam Pasal 1627 KUHPerdata yang menyatakan bahwa bila pihak terhadap siapa suatu perikatan tidak terpenuhi dapat menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga; (j) Tata cara pembayaran imbalan Mengenai pembayaran imbalan maka itu dapat dilakukan dalam bentuk Direct Monetary Compensation, yaitu lump sum payment dan royalty. (k) Penggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam negeri yang dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil. Inti dari ketentuan ini adalah meningkatkan produksi usaha kecil menengah dalam usaha waralaba hingga dapat menciptakan sinergi yang mengunutngkan bagi para pihak.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
(l) Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada franchisee. 21 Hal ini tentunya merupakan pokok dari usaha waralaba, khususnya Business Format Franchise, karena esensi dari usaha waralaba adalah penyeragaman konsep dan oleh karenanya harus mendapat bimbingan dari franchisor.
D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Waralaba Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba merupakan prestasi maupun kontra prestasi bagi mereka, di mana kesuksesan dan keberhasilan pelaksanaan perjanjian tersebut dinilai dari sejauh mana para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya. Secara umum, dapat dirumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemberi waralaba maupun penerima waralaba.
22
Pemberi waralaba berkewajiban untuk : 1. Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau cirri khas usaha, misalnya sistem manajemen, cara penjualan, atau penataan, atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba, dalam rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan tersebut; 2. Memberikan bantuan pada penerima waralaba, pembinaan, bimbingan, dan pelatihan kepada penerima waralaba.
Pemberi waralaba memiliki hak untuk : 1. Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba; 2. Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha 21 22
Menjadi poin (j) dalam Perturan Menteri Perdagangan yang baru Widjaja, Lisensi Atau Waralaba, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal 82.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
penerima waralaba; 3. Melaksanakan inspeksi pada daerah kerja penerima waralaba guna memastikan
bahwa
waralaba
yang
diberikan
telah
dilaksanakan
sebagaimana mestinya; 4. Sampai batas tertentu mewajibkan penerima waralaba dalam hal-hal tertentu, untuk membeli barang modal atau barang-barang tertentu lainnya dari pemberi waralaba; 5. Mewajibkan penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen, cara penjualan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba; 6. Mewajibkan agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha; 7. Menerima pembayaran royalti dalam bentuk, jenis, dalam jumlah yang dianggap layak olehnya; 8. Meminta dilakukannya pendaftaran atas waralaba yang diberikan kepada penerima waralaba; 9. Atas pengakhiran waralaba, meminta kepada penerima waralaba untuk mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh penerima waralaba selama masa pelaksanaan waralaba; 10. Atas
pengakhiran
waralaba,
melarang
penerima
waralaba
untuk
memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi, maupun keterangan yang Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
diperoleh penerima waralaba selama masa pelaksanaan waralaba; 11. Atas pengakhiran waralaba, melarang penerima waralaba untuk melakukan kegiatan sejenis, serupa, ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha; 12. Pemberian waralaba kecuali yang bersifat eksklusif tidak menghapuskan hak pemberi
waralaba
untuk
tetap
memanfaatkan,
menggunakan
atau
melaksanakan sendiri Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha.
Penerima waralaba memiliki kewajiban untuk : 1. Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi waralaba kepadanya guna melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistim manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang merupakan objek waralaba ; 2. Memberikan keleluasaan bagi pemberi waralaba untuk melakukan pengawasan maupun inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba guna memastikan bahwa penerima waralaba telah melaksanakan waralaba yang diberikan dengan baik; 3. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan khusus dari pemberi waralaba; 4. Sampai batas tertentu membeli barang modal tertentu, ataupun barangbarang tertentu lainnnya dalam rangka pelaksanaan waralaba dari pemberi Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
waralaba; 5. Menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha; 6. Melaporkan segala pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha; 7. Tidak memanfaatkan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, selain dengan tujuan untuk melaksankan waralaba yang diberikan; 8. Melakukan pendaftaran waralaba; 9. Tidak melakukan kegiatan sejenis, serupa, ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual; 10. Melakukan pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati bersama; 11. Atas pengakhiran waralaba, mengembalikan seluruh data, informasi, maupun keterangan yang diperolehnya; 12. Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi, maupun keterangan yang diperoleh oleh penerima waralaba selama masa pelaksanaan waralaba; 13. Atas pengakhiran waralaba, tidak lagi melakukan kegiatan sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun secara tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Penerima waralaba berhak untuk : 1. Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual atau ciri khas usaha, misalnya sistim manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang merupakan objek waralaba yang diperlukan olehnya untuk melaksanakan waralaba yang diberikan tersebut; 2. Memperoleh bantuan dari pemberi waralaba atas segala macam cara pemanfaatan atau penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha;
Hak dan kewajiban ini, baik oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba harus dituangkan di dalam perjanjian waralaba guna mewujudkan adanya keseimbangan kedudukan di antara para pihak.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB III PERJANJIAN STANDAR DALAM PERSFEKTIF HUKUM INDONESIA
A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA Hukum perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum yang dimaksud adalah perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan-persetujuan dan perikatan yang dilahirkan dari undang-undang. Sedangkan ketentuan-ketentuan khusus adalah hapusnya suatu perikatan, jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persetujuan-persetujuan untuk melakukan suatu pekerjaan dan lain sebagainya. Ketentuan-ketentuan umum dari buku III ini memuat tentang aturan-aturan pokok dari hukum perjanjian sedangkan ketentuan-ketentuan khusus mengandung pengaturan lebih lanjut. Selain itu ketentuan-ketentuan umum pada dasarnya berlaku bagi semua perjanjian. Dalam memperlakuan ketentuan yang umum kedalam ketentuan yang khusus dapat diberlakukan sepanjang tidak diatur oleh ketentuan khusus. Hubungan ketentuan-ketentuan umum yang diatur dalam buku III ini dengan setiap perjanjian dapat kita lihat pada pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut : “ Semua persetujuan baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturanperaturan umum yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”
Dengan demikian apabila terdapat perjanjian yang menyimpang, maka kita kembali kepada ketentuan “adagium” yang khusus menyimpangkan ketentuan umum (lex specialis de rogat lex generalis). Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
1. Pengertian Perjanjian Telah disebut diatas bahwa perikatan bersumber pada perjanjian. Perjanjian merupakan sumber terpenting didalam melahirkan perikatan karena memang perikatan paling banyak diterbitkan oleh perjanjian. Selain perjanjian, masih ada lagi sumber lain yang menerbitkan perikatan yaitu undang-undang. Untuk lebih menambah wawasan kita mengenai pengertian perjanjian ini ada baiknya kita mengetahui rumusan perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana. Subekti memberikan rumusan sebagai berikut : ”Perjanjian adalah”suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 23 Wirjono Prodjodikoro memberikan rumusan sebagai berikut : ”Perjanjian adalah perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakuakn sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 24 R. Setiawan memberikan rumusan sebagai berikut : ”Perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. 25 Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan sebagai berikut : ”Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaaan”. 26
23
Subekti, Hukum Perjanjian, cet .19, (Jakarta: PT. Intermasa, 1999), hal 1. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian,cet.11, (Jakarta: Sumur Bandung, 1989), hal 8 25 Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, cet.2, (Jakarta: Jamabatan, 2005), hal.332 26 Muhammad, Abdul K, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6 24
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
M. Yahya Harahap memberikan rumusan sebagai berikut : ”Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak yang lain untuk menunaikan prestasi”. 27 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian sebagai berikut: “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut R. Setiawan rumusan tersebut selain kurang lengkap juga sangat luas. Kurang lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan/perjanjian sepihak saja, sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan ”perbuatan” tercakup juga perbuatan suka rela dan perbuatan melawan hukum. 28 Oleh karena itu perlu adanya perbaikan mengenai defenisi tersebut yaitu ”perbuatan” diartikan dengan perbuatan hukum yaitu cause akibat hukum dan isi pasal 1313 KUHPerdata ditambah dengan perkataan ”saling mengikatkan diri”. Jadi dapat disimpulkan bahwa persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu pihak atau lebih mengikatkan diri atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu.
2. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian Secara yuridis suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi empat unsur pokok sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 27 28
M. Yahya Harahap, SH. Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986),hal.6. R. Setiawan, SH, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Bina Cipta, 1987, hal 20
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dari keempat syarat perjanjian tersebut diatas, dapat kita bedakan dalam dua golongan yaitu syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif kerena menyangkut objek perjanjian. Apabila salah satu unsur subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut akan dibatalkan oleh hakim atas permohonan pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa perjanjian tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak ada pembatalan oleh hakim. Lain halnya apabila salah satu unsur subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Batal demi hukum berarti dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Yang dimaksud dengan sepakat adalah bahwa kedua pihak atau subjek perjanjian setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Kedua belah pihak mempunyai beberapa kehendak dan tujuan yang sama pula. Mereka menghendaki sesuatu secara timbal-balik. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat yang diberikan menjadi tidak sah, apabila kata sepakat tersebut diberikan karena : 1. Salah pengertian atau kekhilafan ; Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
2. Paksaan ; 3. Penipuan. Kata sepakat yang diberikan karena salah pengertian, paksaan, atau penipuan adalah tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Perjanjian yang demikian dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan. Hal tersebut harus mengenai intisari pokok persetujuan. Ada dua jenis salah pengertian atau kekeliruan ini yaitu ”kekeliruan mengenai hakekat benda atau barang yang menjadi objek dari suatu perjanjian (error in subtantia)” dan ”kekeliruan mengenai orangnya (error in persona)”. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujuan dibatalkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1322 KUHPerdata yang berisi : ”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”. Paksaan (dwang) terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempuyai pilihan lain kecuali harus menyetujui perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman menyatakan : ”Yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuat rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian”. 29 Yang dimaksud dengan penipuan adalah segala tipu muslihat ataupun memperdayakan dengan terang dang nyata, sehingga pihak lain tidak akan 29
Badrulzaman, Mariam D, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, (Bandung : Alumni, 1983), Hal. 101.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
membuat perikatan seandainya akan dilakukan tipu muslihat tersebut (Pasal 1328 KUHPerdata). Dimana pasal tersebut menyatakan bahwa penipuan tidak dapt dipersangkakan akan tetapi harus dibuktikan. Tentang penipuan ini Wirjono Projodikoro menganggap bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan didalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan satu tipu muslihat.30
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan oleh KUHPerdata dikaitkan dengan usia dewasa seseorang yaitu 21 tahun atau sudah kawin seperti yang ditetapkan dalam Pasal 330 KUHPerdata. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun tetapi sudah kawin, maka ia dianggap sudah dewasa namun jika perkawinannya bubar sebelum umurnya mencapai 21 tahun, ia tidak dapat diaanggap sebagai orang yang belum dewasa.
Sedangkan orang yang belum dewasa berada dibawah
kekuasaan orang tuanya ataupun perwalian. Dalam hukum adat sekitar umur 15 tahun (akil balig) sudah dianggap dewasa dan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan bahwa usia dewasa adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Jadi pada dasarnya orang setiap orang yang sudah akil balig/dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata mengatakan : ”Tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan-persetujuan adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa;
30
Projodikoro, Wirjono. Op Cit, Hal 14.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetuuan. Mengenai orang-orang yang belum dewasa, undang-undang mengadakan pelunakan terhadap hal tersebut, yaitu bahwa seorang anak yang belum dewasa dapat dinyatakan dewasa bila kepentingan si anak menghendaki demikian (Pasal 419 KUHPerdata), misalnya dalam harta warisan. Orang-orang yang dibawah pengampuan, seperti orang tidak sehat, tidak dapat memikul tanggung jawab bagi resiko-resiko yang timbul dalam perjanjian. Apalagi terhadap harta kekayaannya, ia tidak dapat dengan bebas melakukan apa yang ia kehendaki, karena itu ia harus diwakili oleh walinya atau curatornya dalam melakukan hubungan hukum atau perbuatan hukum. Kedudukanya sama dengan kedudukan seorang anak yang belum dewasa. Dari sudut ketentuan hukum, karena orang-orang yang membuat perjanjian yang mempertaruhkan harta kekayaan, maka orang tersebut haruslah seseorang yang sunguh-sungguh berhak secara bebas mengenai harta kekayaaan itu.
Ad. 3. Suatu hal tertentu Perjanjian harus mengenai sesuatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan diantara kedua belah pihak adalah mengenai apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Barang atau sesuatu yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, baik mengenai benda berwujud atau benda tidak Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
berwujud. Objek perjanjian dapat pula berupa barang-barang baru diharapkan akan ada dikemudian hari. Dengan kata lain barang belum ada pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi objeknya adalah batal demi hukum. Menurut undang-undang, barang itu tidak perlu disebutkan jumlahnya atau apakah sesudah ada ditangan debitur, tetapi yang perlu adalah barang itu dapat dihitung atau ditetapkan, misalnya harga sebuah mobil adalah Rp 80.000.000,-. Ad. 4. Suatu sebab yang halal Hal ini dikaitkan dengan isi dari perjanjian artinya bahwa ada itikad baik diwaktu membuat perjanjian, artinya orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan, ”suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sebab yang dimaksud oleh undang-undang tersebut dalam hal ini bukanlah merupakan hubungan sebab akibat atau causalitas. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan,”sebab/causa dalam perjanjian adalah isi atau maksud dari perjanjian”. 31 Dari hal diatas dapat dilihat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah apakah isi dan maksud dari perjanjian yang dibuat itu bertentangan atau tidak dengan
31
Badrulzaman, Mariam D, Opcit, hal 8
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
undang-undang. Akibat hukum perjanjian yang dilakukan dengan sebab yang tidak halal adalah perbuatan itu batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada diselenggarakan. Abdul Kadir Muhammad mengatakan : ”Perjanjian yang berkausa tidak halal (dilarang undang-undang), misalnya jual-beli ganja, perjanjian membunuh orang. Perjanjian tidak halal (yang bertentangan dengan ketertiban umum), misalnya jual beli budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang berkausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan), misalnya membocorkan rahasia perusahaan.” 32
Dari uraian diatas jelas bahwa untuk melakukan perjanjian, meskipun para pihak diberi kebebasan, namun kebebasan tersebut tidak terlepas dari norma atau peraturan yang berlaku. Dengan kata lain perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi unsur atau syarat-syarat sahnya suatu perjanian secara umum sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan bagaimana bentuknya itu tergantung kepada para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3. Asas-asas perjanjian Hukum perjanjian
menganut
sistim
terbuka
(contracts
vrijheid)
maksudnya kepada para pihak yang bersangkutan diserahkan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian sebagaimana yang dikehendaki para pihak yang hendak membuat suatu perjanjian. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kalimat diatas mengandung perngertian yang luas sebabnya tidak membatasi pada
32
Ibid, Hal 8
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
perjanjian-perjanjian tertentu. Dengan demikian kita dapat menafsirkan semua itu meliputi segala perjanjian yang berisi apa saja, baik namanya dikenal atau tidak dikenal oleh undang-undang. Sedangkan kebebesan ini berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan untuk menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu dibuat asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Hukum perjanjian juga menganut asas konsensualisme yang artinya kesepakatan antara para pihak yang melakukan perjanjian. Asas konsensualisme sering diartikan bahwa yang dibutuhkan adalah kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Perngertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. Asas ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku pada terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku. 33 Juga dikenal asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda) yang maksudnya bahwa setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji terebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Didalam hukum perjanjian hal yang sangat perlu diperhatikan adalah adanya itikad baik didalam melahirkan dan melaksanakan perjanjian.Ketentuan 33
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan kontrak, (Jakarta : Raja Grafindi Persada, 2007), hal 3. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
itikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjain harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini memberikan peranan yang sangat penting karena dibutuhkan bukan pada saat perlaksaan perjanjian saja, melainkan pada tahap prakontrakpun harus dilakukan dengan itikad baik. Putusan pengadilan Inggris menyatakan bahwa apabila orang memiliki pengetahuan khusus(ahli) memberikan keterangan kepada pihak lain dengan maksud mempengaruhi pihak lain supaya menutup perjanjian dengannya, dia wajib berhati-hati bahwa keterangan-keterangannya adalah benar dan dapat dipercaya. Walupun itikad baik para pihak ditekankan pada tahap praperjanjian secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selau dapat diperhatikan oleh pihak lannya.
4. Penafsiran Perjanjian Penafsiran atas suatu perjanjian dimaksud untuk memberi panduan bila terjadi sengketa atas suatu perjanjian dan tidak ada pengaturan yang jelas untuk itu. Tujuannya adalah untuk membantu pengadilan mengisi kekosongan hukum dengan menemukan hukum melalui penafsiran. Idealnya suatu perjanjian tidak memerlukan penafsiran apapun. Tetapi klausula, kalimat, atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendiri dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan malahan memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat pada perjanjian tersebut. Inilah dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan ”Doktrin Kejelasan Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Makna” (plain meaning rules). Doktrin ini dengan jelas diakui sepenuhnya oleh KUHPerdata, lewat Pasal 1342 yang menyatakan bahwa : ”Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas, maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”.
Namun demikian, perjanjian itu bermacam-macam ragamnya. Ada perjanjian yang panjang terurai, tetapi ada juga kontrak yang singkat padat, bahkan ada perjanjian yang terdiri dari beberapa kalimat saja. Kesemua model perjanjian tersebut sah-sah saja menurut hukum. Karena itu, mengingat keanekaragaman perjanjian tersebut sangat mungkin akhirnya dibutuhkan kejelasan-kejelasan yang lebih lanjut yakni dengan melakukan penafsiranpenafsiran terhadap kontrak tersebut.
B. PERJANJIAN STANDAR DAN PENGATURAN VALIDITASNYA Perjanjian standar tumbuh berkembang dilatar belakangi dengan keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaanperusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu oraganisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak atau diajukan kepada pihak lawannya (counter party / wederpartij). Pitlo menyatakan bahwa perjanjian standar adalah suatu “dwang kontrak” kerena kebebasan yang diatur oleh Pasal 1338 KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini karena mereka tidak mampu berbuat lain 34 Dalam perjanjian standar biasanya pihak lawan mempunyai kedudukan (bargaining position) yang
34
Rahman,Hasanuddin, Legal Drafting. (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2000), hal 134.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
lemah, baik karena posisi sosial ekonominya, maupun karena ketidaktahuannya mengenai perbuatan hukum yang akan diperbuatnya serta akibat hukumnya. 35 Banyak ahli hukum menilai perjanjian standar sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Namun demikian perjanjian standar sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis karena para pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya dan waktu, selain itu perjanjian standar berlaku dimasyarakat sebagai suatu kebiasaan. 36 Stein mengemukakan bahwa dasar berlakunya perjanjian standar ini adalah “de fictie van will of vertrouwen”. Jadi kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh tidak ada pada pihak-pihak, khususnya debitur. Demikian juga Subekti mengemukakan bahwa asas konsensulisme terdapat didalam Pasal 1320 Jo 1338 KUHPerdata. Perlanggaran terhadap ketentuan ini mengkibatkan perjanjian tersebut tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.
37
Hal-hal diatas menunjukkan bahwa perjanjian standar bertentangan dengan asas-asas hukum perjanjian (Pasal 1320 Jo Pasal 1338 KUHPerdata) maupun kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan. Di Indonesia tidak jelas diketahui sejak kapan mulai timbul perjanjian standar dalam praktek sehari-hari tetapi yang jelas sudah dahulu timbul dalam praktek. Misalnya cetak film, perjanjian rekening koran di Bank, dan lain sebagainya. Perundang-undangan di Indonesia belum ada yang mengatur secara tegas mengenai perjanjian standar, tetapi harus diakui bahwa secara eksplisit telah 35
Badrulzman, Mariam D. Aneka Hukum Bisnis. (Bandung : Citra Aditya Bhakti. 1994), hal, 46. Muhammad, Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992), hal 2. 37 Rahman Hasanuddin, OpCit. Hal 135 36
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
diatur dalam ketentuan yang berserak-serak sesuai dengan bidang perjanjian tersebut.
1. Pengertian Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah terkenal dalam bahasa Belanda, yaitu “ standaart contract” atau “standaart voorwarden” dalam bahasa Jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah “Allgemene geschafts bedingun”, standaart vertrag”, “standaart konditionen”. Hukum Inggris mengenal perjanjian standaart sebagai “standaart contract” atau “take it or leave it contract”. Abdulkadir Muhammad
mendefenisikan perjanjian standar adalah
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha yang distandarisasikan atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran. 38 Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. 39 Dari defenisi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian standar adalah perjanjian yang dimuat didalamnya klusula-klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya. Suatu perjanjian standar biasanya digunakan oleh anggota suatu asosiasi dagang untuk 38 39
Muhammad Abdulkadir, Op. Cit. Hal 6. Badrulzaman, Mariam D. Op.Cit. hal 48
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
membuat perjanjian diantara sesamanya ataupun dengan pihak lain, dalam hal ini masyarakat. Perjanjian standar bahkan diatur oleh undang-undang. Selain itu, perjanjian standar juga digunakan sebagai alat untuk mengalokasikan resiko dalam perjanjian, dalam hal ini dipergunakan unutk menentukan terlebih dahulu pihak mana yang harus bertanggung jawab terhadap resiko yang timbul.
2. Ciri-ciri perjanjian standar Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri perjanjian standar mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, yang antara lain adalah sebagai berikut: a. Bentuk perjanjian tertulis; Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akata otentik atau akta dibawah tangan. b. Format perjanjian distandarisasikan; Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan, ukurannya sehingga tidak dapat diganti atau diubah dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. c. Syarat-syarat perjanjian (terms) ditentukan oleh pengusaha; Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataaan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan pengusaha ketimabang konsumen. Hal ini tergambar dalam klausula eksenorasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha, tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen. d. Konsumen hanya menerima atau menolak; Jika konsumen
bersedia
menerima syarat-syarat
perjanjian
yang
ditawarkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatangan perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen tersebut bersedia memikul baban tanggung jawab. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan negoisasi syarat-syarat yang sudah distandarisasikan tersebut. e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau badan peradilan; Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klusula standar mengenai penyelesaian sengketa. Jika timbul sengketa dikemudian hari dalam pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaian dilakukan melalui badan arbitrase terlebih dahulu atau alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resulations) sebelum diselesaikan di pengadilan. 40 f. Perjanjian standar selalu menguntungkan pengusaha;
40
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 2 menegaskan bahwa Pengadilan Negari Tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, mengatur bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak ynag menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan ayat Pasal 5 ayat (2) mengatur bahwa sengketa ynag tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Perjanjian standar dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian akan selalu menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal –hal sebagai berikut: a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; b. praktis karena sudah tersedia naska yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang ditawarkan padanya; d. homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak; e. pembebanan tanggung jawab. Sedangkan Mariam D.Badrulzman menjelaskan bahwa ciri-ciri perjanjian standar adalah sebagai berikut :41 1. Isinya ditetapkan secara sepihak kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur; 2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut; 3. Terdorong
oleh
kebutuhannya,
debitur
terpaksa
menerima
perjanjian tersebut; 4. Bentuknya tertulis; 5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. Ciri ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian standar dilihat dari kepentingan pengusaha bukan dari kepentingan konsumen. Dengan pemberlakuan syarat-syarat perjanjian, maka
41
Badrulzaman, Mariam D. Op.Cit., hal 50.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha.
3. Jenis-jenis perjanjian standar Perjanjian standar dapat dibedakan dalam tiga jenis, sebgau berikut : 42 a. Perjanjian standar sepihak; Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur
yang
lazimnya
mempunyai
kedudukan
ekonomi
kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif. b. Perjanjian standar yang ditetapkan oleh pemerintah; Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membabankan Hak Tangungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. c. Perjanjian standar yang ditentukan dilingkungan notaris atau advokad; Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokad yang bersangkutan.
42
Ibid. Hal 49.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
4. Pengaturan validitas perjanjian standar Syarat sahnya suatu perjanjian standar adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya, yakni sebagaimana bunyi Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 43 a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya (wilsovereenssteming/ agreement); Secara formil suatu pernyataan kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian tertulis cukup dengan pembubuhan tanda tangan pada perjanjian tersebut. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity); Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perikatan pada dasarnya adalah sebagaimana bunyi Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu sudah dewasa (jo. Pasal 330 KUHPerdata, umur 21 tahun keatas), dan tidak sedang berada dibawah pengampuan (jo. Pasal 433 KUHPerdata). Namun selain itu juga memerlukan ketentuan-ketentuan tertentu yaitu mengenai orang yang berhak untuk memiliki kepastian untuk membuat perjanjian. Misalnya suatu Perseroan Terbatas, maka pihak yang memiliki kepastian untuk membuat perjanjian adalah Direksi dari Perseroan Terbatas tersebut sebagai mana diatur dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 82, Pasal 89 UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. c. Suatu hal tertentu (bepaald onderwrep / Certainly of terms); Suatu perjanjian harus memiliki suatu objek tertentu.
43
Ibid. Hal 79-82.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
d. Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak/ legality); Yang dimaksud dengan kausa adalah isi atau maksud dari suatu perjanjian.
Berkaitan dengan hal diatas, maka apabila suatu perjanjian standar telah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, maka berlaku Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya dengan disertai konsekuensi pada ayat (2) yang menyatakan bahwa suatu persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain melalui kesepakatan atau oleh undang-undang. Lebih lanjut pada ayat (3) menekankan bahwa pelaksanaan perjanjian harus dengan itikad baik. Dari penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perjanjian standar adalah sah sepanjang secara formil dan materiil terpenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.
C. KLAUSULA BAKU DAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM SUATU PERJANJIAN STANDAR 1. Klusula baku dalam perspektif hukum positif Indonesia Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dimana pada Pasal 1 ayat (10), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undangIman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. 44 Sehingga dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman klusula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK yang berbunyi sebagai berikut : (1) Pelaku dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan /atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemamfaatan jasa yang dibeli konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi mamfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
44
Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang berupa aturan sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memamfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa keapda pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib penyesuaian klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Berdasarkan penjelasan diatas, maka setiap perjanjian dalam hal hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku didalamnya, wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UUPK tersebut. Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal ini adalah batal demi hukum terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klusula sevarability of provisions, maka batal demi hukum hanyalah klusula yang bertentangan dengan Pasal 18 ini saja. Sedangkan terhadap perjanjian lain di luar hubungan pelaku usaha dan konsumen, pencantuman klausula baku adalah sah-sah saja Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
2. Dalam perspektif UNIDROIT’94 Sebagai perbandingan dengan aturan di Indonesia, International Institude for the Unification of Private Law (UNIDROIT) dalam Principles of International Commercial Contracts 1994 atau biasa disebut UNIDROIT’94 dalam pasal 2.19 menjelaskan bahwa klausula baku (standard terms) adalah “...provisions which are prepared in advance for general and repeated use by one party and which are actually used without negotiation with the other party”....Aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu sepihak dan yang secara nyata digunakan tanpa negosisasi dengan pihak lain”. 45 Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa penentuan suatu klausula baku bukan berdasarkan bentuk penampilan atau formatnya, juga bukan berdasarkan pihak mana yang membuatnya, bahkan bukan juga dari isinya, malainkan pada fakta atau kenyataan bahwa klausula tersebut dibuat secara nyata tanpa dinegoisasikan dengan pihak lain. Lebih lanjut, dalam pasal 2.20 bahwa suatu klusula baku haruslah wajar dalam artian harus memperhatikan isi, bahasa, dan cara penyajiannya. Suatu klusula baku dianggap tidak wajar atau janggal apabila isi dari klausula tersebut sedemikian rupa sehingga orang yang sewajarnya tidak akan mungkin mengharapkan adanya syarat tersebut. Misalnya, adalah adanya suatu syarat yang membatasi atau meniadakan tangung jawab yang sudah sewajarnya merupakan
45
UNIDROIT’94, principles of International Commercial Contracts 1994. Rome : International Institude for the Unfication of Private Law. Article 2.19. lihat juga dalam buku , Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bhakti. Hal 189.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
tanggung jawab dari pihak tertentu akibat kesalahan yang diperbuatnya (liabilities based on faults) Yang merupakan sumber malapetaka dalam perjanjian baku adalah terdapatnya klausula eksonerasi ini pada perjanjian baku karena sangat memberatkan salah satu pihak. Secara yuridis-teknis syarat klausula eksonerasi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut : 1. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajibankewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya melalui upaya perluasan mengenai pengertian force majeure (keadaan darurat). 2. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak dalam kontrak. 3. Metode penciptaan kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Misalnya tanggung jawab salah satu pihak tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak. Sedangkan ketidakwajaran dari segi bahasa, terutama sekali bahasa asing adalah apabila bahasa yang dituliskan tidak sesuai defenisi umum, atau diterjemahkan secara salah atau tidak tepat. Misalnya, dalam perjanjian terdapat klausula ganti rugi tetapi diterjemahkan sebagai klausula wanprestasi. Contoh yang salah : Pasal 15. Ganti rugi (events of default) Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Contoh yang benar : Pasal 15. Ganti rugi (liquidated damages)
Ketidakwajaran dari segi penyajian adalah apabila penyajian suatu klusula baku dalam bentuk cetakan huruf yang kecil-kecil dan nyaris tak terbaca, tersembunyi pada suatu bagian dari halaman perjanjian sehingga tida dapat disadari bahwa persyaratan tersebut sebenarnya ada, dan atau penyajiannya tidak dapat dimengerti. Dari penjelasan diatas, dapat digaris bawahi bahwa suatu klausula baku dalam perspektif UNIDROIT Principles of Internasional Commercial Contracts pada pokoknya adalah mengenai pembuatan suatu syarat perjanjian tanpa dinegoisasikan terlebih dahulu dengan pihak lawannya (counter party), keabsahan suatu klusula baku adalah sepanjang klausula baku tersebut wajar dari segi isi, bahasa dan penyajiannya serta kedua belah pihak menyatakan menerima klusula tersebut.
3. Keberadaan Klausula eksonerasi Rijken mendefenisikan bahwa syarat eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian yang mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang disebabkan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 46
46
Badrulzaman, Mariam D. Loc.Cit. hal 47
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Senada dengan Rijken, Treitel mendefenisikan klausul eksonerasi sebagai “a clause excluding or limiting liability”, yang terjemahannya adalah “sebuah klusula yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab”. Lebih lanjut UNIDROIT’94 pada Pasal 7.16, menjelaskan bahwa klusula eksonerasi (exemption clause) sebagai “a clause which limits or excludes one party’s liability for non-performance or which permits one party to tender performance substantially diffrent from what the other party reasonably expected....” 47 Yang terjemahannya adalah: “ Suatu klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab pihak yang satu terhadap tidak terlaksananya suatu kewajiban atau mengizinkan pihak yang satu untuk menawarkan pelaksanaan suatu kewajiban yang secara substansi berbeda secara akal sehat dari apa yang diharapkan pihak yang satunya...” Klausul eksonerasi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Terhadap perjanjian ynag bersifat massal, lazimnya telah dipersiapkan terlebih dahulu formatnya dan diperbanyak serta dituangkan dalam bentuk formulir yang dinamakan perjanjian baku.
D. UNSUR TANGUNG JAWAB DALAM KLAUSULA EKSONERASI Masalah tanggung jawab dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung jawab yang menjadi beban konsumen dan menjadi beban pengusaha. Apabila ditelaah secara cermat, beban tanggung 47
UNIDROIT’94, principles of International Commercial Contracts 1994. Rome : International Institude for the Unfication of Private Law. Article 7.16 Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
jawab lebih ditonjolkan daripada beban tanggung jawab pengusaha. Bahkan terlintas kesan bahwa pengusaha berusaha supaya bebas dari tanggung jawab. Keadaan tersebut dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga dalam waktu yang relatif singkat kurang dapat dipahami oleh konsumen ketika membuat perjanjian dengan pengusaha. Syarat yang berisi pembebanan tanggung jawab ini disebut klusula eksonerasi. 48 Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pengusaha secara sepihak dapat juga berasal dari rumusan undang-undang. Klusula eksonerasi hanya dapat dilaksanakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi tersebut. Bagaimanapun juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula yang eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian.
48
Muhammad, Abdulkadir. Op.Cit. Hal 18.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian: a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tangung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, barang objek perjanjiannya musnah terbakar bukan karena kesalahan para pihak tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi. b. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian; Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syaratsyarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha bebas dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang buka merupakan tanggung jawab pengangkut. c. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga; Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab termasuk juga dari tuntutan pihak ketiga. Selain ketiga hal diatas, dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, UUPK pada Bab VI tentang “Tanggung Jawab Pelaku Usaha”, mengatur secara rinci mengenai hal-hal tertentu yang wajib menjadi tanggung jawab dari pengusaha atau pelaku usaha.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGGUNAAN PERJANJIAN STANDAR PADA KONTRAK BISNIS WARALABA LOKAL
A. KESEIMBANGAN KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM KONTRAK BISNIS WARALABA DENGAN MODEL PERJANJIAN STANDAR Kemampuan untuk menghasilkan suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam jangka waktu panjang merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan konsep bisnis franchise. Suatu bentuk konsep bisnis pemasaran, franchise meiliki ciri konsep bisnis total (total business consept) yang merupakan kombinasi 4 P : Product, price, place/ distribution dan promotion. Konsep itu dikemas dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang memilki standar dan mudah ditranferkan, serta dijalankan secara universal (dapat diterapkan oleh para calon wira usaha dari beragam kultur diberbagai tempat/ manca negara) khusus dalam sistem franchise yang disebut dengan business format franchise, franchisor tidak hanya menggunakan franchise sebagai sarana pemasaran
hasil
produksinya,
melainkan
lebih
terfokus
pada
upaya
mentransferkan paket-paket usaha barang / jasa tertentu miliknya secara natural. Transfer paket usaha tersebut selanjutnya disertai dengan adanya keharusan bagi franchisor untuk selalu menjaga kelangsungan kerjasama dengan para pemakai paket usaha faranchise karena jika terjadi kegagalan pada usaha franchisee maka pada gilirannya akan dapat menggangu kelangsungan usaha franchisor, atau setidaknya akan dapat menjatuhkan citra/ nama baik franchisor.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Pada umumnya outlet yang dikelola oleh franchisee tidak ada investasi ataupun penyertaan modal (equity participation) dari franchisor. Dalam hal pengadaan peralatan yang dibutuhkan oleh franchisee untuk keperluan operasional produksi, biasanya franchisor menawarkan jasa untuk menyediakan peralatan tersebut. Franchisee dapat membelinya melalui fasiltas leasing (sewabeli). Walaupun demikian, ternyata peran franchisor cukup dominan terhadap usaha franchisee. Hal ini dapat dibuktikan bahwa untuk mendesain outlet atau menatanya tetap ditentukan atau harus mendapatkan persetujuan dari franchisor. Dari kondisi ini tampak bahwa posisi franchisee dapat dikatakan sebagai pemilik modal saja. Bentuk bantuan lain yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee adalah
bantuan
managemen
dan
technical
assistance
yang
sifatnya
berkesinambungan, terutama dalam hal penyusunan rencana (business plan) dan strategi pemasaran, pengendalian kualitas produk, latihan lanjutan, pemberian hasil riset dan pengembangan produk / jasa serta promosi dagang. Untuk
mendukung
keberhasilan
sinergi
kerja
dalam
perjanjian
franchising ini ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu ; akses modal, akses pasar, skill dan teknologi (know-how dan trade secret), akses merek dagang / jasa yang sudah teruji, manajemen, dan hubungan kemitraan. Agar perjanjian waralaba dapat berjalan lancar, franchisor perlu menyampaikan semua informasi yang berhubungan dengan kegiatan usahanya kepada franchisee saat mempromosikan jenis usaha yang akan di franchisekan. Dengan demikian, franchisee dapat mempertimbangkan atau memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian waralaba yang dimaksud atau tidak. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Dalam hal membuat perjanjian waralaba franchisor dan franchisee diberi peluang secara bebas untuk menentukan syarat perjanjian / kontrak yang mereka inginkan dan dianggap sah jika mereka ada kata sepakat yang ditandai dengan adanya penandatanganan kontrak atau perjanjian tersebut. Namun undang-undang masih membatasi tindakan para pihak tersebut, karena masih dipertanyakan apakah perjanjian tersebut sesuai dengan kepatutan, keadilan, kebiasaan dan undang-undang itu sendiri. Jadi kebebasan berkontrak yang dimaksud tidaklah dalam pengertian bebas mutlak. Jika bertentangan dengan kepatutan, keadilan, kebiasaan, dan undang-undang oleh pemerintah dapat dilarang diberlakukan. Apalagi kebebasan yang dimaksud berkaitan dengan kegiatan bisnis, yaitu kebebasan atau kesewenang-wenangan yang hanya bertujuan mengejar kuntungan ekonomi. Dalam bisnis waralaba terdapat dua aspek penting yaitu aspek perjanjian dan aspek lisensi. Didalam prakteknya, waralaba dijalankan dengan adanya kontrak baku atau perjanjian standar. Artinya segala persyaratan dan isi perjanjian telah ditentukan sepenuhnya oleh franchisor. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa klausula dalam perjanjian waralaba adalah sebagai berikut : 1. Sifat perjanjian dari waralaba sangat pribadi yang maksudnya adalah bahwa hak dan kewajiban franchise tidak mudah dialihkan kepada pihak lain, baik dengan cara jual-beli maupun karena pemindahan hak dan kewajiban franchisee. Kalaupun terjadi pemindahan hak dan kewajiban franchisee kepada pihak lain (franchisee baru), maka pemindahan itu harus mendapatkan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
persetujuan, dan franchisee ynag ditunjuk itu harus memenuhi persyaratan lain yang ditentukan oleh franchisor. Persyaratan tersebut adalah : a. franchise baru yang diusulkan harus mempunyai pengalaman usaha baik reputasi secara personal dan finansial, stabilitas personal maupun finansial, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meluangkan waktu yang cukup untuk menjalankan toko/outlet/gerai. b. franchise yang baru harus menyetujui secara tertulis mengambil alih seluruh tanggung jawab atau kewajiban franchisee lama yang tertuang dalam perjanjian waralaba dan harus dapat melaksakan dengan baik, meskipun bertujuan demikian adalam prakteknya, banyak perjanjian waralaba yang dapat dialihkan kepada pihak lain, walaupun pemindahan hak dan kewajiban franchisee itu sifatnya terbatas. Misalnya, hak usaha hanya dapat diberikan kepada salah anggota keluarga, terutama bila pemegang franchise adalah sebuah perusahaan berbadan hukum yang pemilik modalnya adalah para anggota keluarga.
2. Posisi franchisor lebih kuat karena ia dapat memutuskan perjanjian secara sepihak atas dasar adanya pelanggaran atau kesalahan dari franchisee dalam menjalankan usahanya. Bila persyaratan semacam ini dilihat dari segi bisnis, tindakan franchisor tersebut dapat merugikan pihak franchisee dan bersifat berat sebelah. Jika terjadi pemutusan perjanjian secara sepihak, walaupun hal itu telah mendapatkab persetujuan dan disebutkan dalam klausul perjanjian, maka secara hukum tidakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melawan hukum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 1266 KUHPerdata. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Pendapat Subekti yang mengatakan bahwa suatu asas yang berlaku umum, yaitu “setiap orang tidak boleh menjadi hakim sendiri”, sehubungan dengan asas ini beliau menjelaskan bahwa dalam suatu kasus hutang-piutang jika pelaksanaan pemenuhan kewajiban si berhutang dilakukan sendiri oleh orang yang berpiutang (melakukan penyitaan) dengan tidak melewati hakim, maka tindakan tersebut dinamakan “Parate Eksekusi” atau tindakan pemutusan hubungan hukum sepihak. 49 Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, apabila akibat dari tindakan itu ( orang yang berpiutang) merugikan pihak lain, maka karena salahnya ia wajib membayar ganti rugi. Pendapat Subekti sejalan dengan ketentuan pasal 1266 KUHPerdata yang merumuskan: a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak
memnuhi
kewajibannya; b. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan haus dimintakan kepada hakim; c. Permintaan ini harus juga dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan; d. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, menurut keadaan hakim leluasa atas permintaan tergugat memberikan jangka waktu untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari satu bulan.
49
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1994. hal 124
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Sehubungan dengan penjelasan diatas, apabila franchisor ditempatkan sebagai pihak yang berpiutang, bila dikaitkan dengan klausul Termination dalam suatu perjanjian waralaba yang memberikan peluang kepada franchisor untuk dapat bertindak secara sepihak memutuskan hubungan perjanjian tersebut, secara hukum termination dalam perjanjian waralaba itu dapat dibatalkan.
3. Pada saat berakhirnya perjanjian, atau bila perjanjian waralaba itu diperpanjang lagi, franchisee diwajibkan mengembalikan dan menghentikan seluruh penggunaan nama dagang/jasa, trade secret, know-how, termasuk juga pengembalian seluruh material yang berkaitan dengan indentitas franchisor seperti : daftar menu, point of sale, dan design outlet milik franchisor. Dalam kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan franchisee sebagai pemilik modal sangat lemah, sebab dana yang telah diinvestasikan kedalam usaha waralaba tersebut tidak dapat dijalankan secara independen dan secara hukumpun franchisee tidak dapat perlindungan hukum yang memadai.
4. Bila ada perubahan atau penambahan pada outlet milik franchisee yanbg dimintakan oleh franchisor, yang mana menurut franchisor penambahan atau perubahan sangat dibutuhkan dalam rangka perbaikan mutu toko/outlet/gerai, maka seluruh biaya yang diakibatkannya merupakan tanggung jawab pihak franchisee. Keadaan ini tentunya merupakan tambahan bagi franchisee.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
5. Jika toko/outlet/gerai, tempat usaha perlu direnovasi, ataupun dipindahkan, berdasarkan atas keinginan franchisor setelah diadakan perpanjangan perjanjian, maka kewajiban franchisee adalah harus mengikuti kehendak franchisor. Berkaitan dari kesimpulan diatas bila diamati secara cermat, isi perjanjian waralaba tersebut tampak lebih banyak menguntungkan pihak franchisor dan jelas terlihat adanya sifat tying business yang dilakukan oleh franchisor. Dilain pihak franchisee hanya berhadapan dengan pihak take it or leave it terhadap syarat perjanjian yang dihadapkan kepadanya, ditambah lagi peran franchisor sangat dominan terhadap franchisee. Bila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak yang merupakan dasar pembuatan perjanjian, maka tampak bahwa perjanjian baku yang diwujudkan dalam perjanjian waralaba telah mengurangi peran asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Secara rinci kebebasan yang berkurang atau tidak dapat dilaksanakan khususnya bagi franchisee antara lain adalah : a. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, karena memang perjanjian waralaba selalu dibuat dalam bentuk baku; b. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, karena memang isi perjanjian waralaba telah disiapkan oleh franchisor; c. Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian waralaba karena memang isi dan syarat dalam perjanjian waralaba itu merupakan kehendak dari franchisor. Sedangkan kebebasan yang masih dapat dilaksanakan atau diwujudkan sekalipun dalam perjanjian waralaba itu menggunakan syarat baku, yaitu : Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
a. Kebebasan bagi franchisee untuk memilih siapa calon franchisor yang menjadi partner bisnisnya; b. Kebebasan franchisee untuk menentukan apakah ia akan memutuskan untuk menandatangani perjanjian waralaba itu atau tidak.
Berdasarkan dengan ini, menurut Zeylemeyer mengikatnya suatu perjanjian
baku
disebabkan
oleh
adanya
ajaran
penundukan
kemauan
(wilsinderwerping). Ia menyatakan bahwa orang mau tunduk dan menerima atau menandatangani suatu dokumen perjanjian tidak lain disebabkan karena ada pengaturan, dan rasa aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang ahli dalam bidangnya dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat lain kecuali tunduk 50. Demikian Stein mengatakan bahwa keputusan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terkait pada semua syarat baku suatu perjanjian tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami syarat-syarat perjanjian itu atau tidak. Menurutnya, berdasarkan fiksi adanya kamauan dan kepercayaan itulah yang membangkitkan kepercayaan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang kemudian dikuatkan dengan adanya penandatanganan atau penerimaan. Dengan demikian apabila debitur menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secar suka rela setuju atas isi perjanjian tersebut. Begitu pula Zonderland berpendapat bahwa dari aspek ekonomi keterikatan pada syarat baku dalam suatu perjanjian lebih disebabkan karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus adanya kemauan menerima
50
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hal 27
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
apapun yang tercantum dalam syarat perjanjian baku tersebut. Pendekatan riilnya adalah kebutuhan ekonomi yang mana kebutuhan tersebut hanya akan terpenuhi jika konsumen mengadakan perjanjian dengan pengusaha walaupun dengan syarat-syarat baku lebih memberatkan. 51 Sehubungan dengan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, hubungan franchisee dengan franchisor adalah semata-mata karena kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu sudah sewajarnya adalah bahwa dengan hukum alam pihak franchisor memiliki posisi atau kedudukan yang lebih kuat dan dapat berperan besar terhadap franchisee. Hal ini sejalan pula dengan pandangan Hondius yang mengatakan bahwa mengikatnya perjanjian baku disebabkan oleh karena adanya “kebiasaan” (gebruik) yang berlaku dilingkungan masyarakat bisnis atau dalam lalu lintas perdagangan. Pandangan Hondius ini tampaknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1339 Jo Pasal 1347 KUHPerdata. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun waralaba diterapkan dalam perjanjian baku yang syarat dan isi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh franchisor dan klausula-klausula yang disepakati itu dapat memberatkan pihak franchisee, namun kata sepakat di dalamnya tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari kemauan dan sikap menerima franchisee terhadap segala konsekuensi dari isi perjanjian tersebut. Selain itu adalah sangat sulit untuk mengurangi beban franchisee agar sama dengan hak dan kewajiban franchisor sekalipun didasari oleh undang-undang. Terlebih lagi dalam perjanjian waralaba berkaitan erat dengan penggunaan hak milik intelektual yang penggunaannya dipengaruhi oleh konsep bisnis yang individualistik,. Namun
51
Ibid
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
demikian masalah keseimbangan hak dan kewajiban antara franchisor dan franchisee perlu diperhitungkan demi meminimalisasikan resiko baik dari segi hukum maupun dari segi bisnis. Kalau kita kembali kepada falsafah Pancasila, maka keserasian, keseimbangan dan keselarasan hubungan bisnis antara franchisor dan franchisee yang seharusnya menjadi tujuan dalam hubungan perjanjian tersebut.
B. UPAYA UNTUK MENEKAN KEDUDUKAN BERAT SEBELAH DALAM PERJANJIAN WARALABA DENGAN MODEL PERJANJIAN STANDAR Seperti telah diuraikan diatas bahwa diantara kelebihan dari kontrak baku adalah bahwa kontrak baku adalah bahwa kontrak baku tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, serta dapat ditandatangani seketika oleh para pihak. Sedangkan kelemahan dari kontrak baku adalah
bahwa
menegoisasikan
kurangnya atau
kesempatan
mengubah
bagi
para
klausula-klausula
pihak dalam
lawan
untuk
kontrak
yang
bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk terjadi klausula yang berat sebelah. Faktor-faktor penyebab sehingga sering kali kontrak baku menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut : 1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil. 2. Karena penyusunan kontarak sepihak, maka pihak penyedia dokumen biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mengkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan tidak banyak kesempatan untuk mendalaminya dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut. 3. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan yag sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”. Dalam praktek klusula-klausula yang berat sebelah dalam kontrak baku tersebut biasanya mempunyai wajud sebagai berikut : 1. Dicetak dengan huruf kecil. 2. Bahasanya tidak jelas artinya. 3. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca. 4. Kalimat yang kompleks. 5. Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak.
Namun didalam prakteknya, masalah tersebut kurang dihiraukan walaupun tidak jarang perjanjian dengan model ini sudah merupakan kebiasaan sehari-hari. Bukankah kebiasaan sehari-hari merupakan suatu sumber hukum. Yang menjadi permasalahan adalah manakala kontrak tersebut mengandung Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi salah satu pihak, sehingga hal tersebut dibenarkan oleh hukum, akan sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat. Demikian pula Amrul Partomuan mengatakan bahwa upaya untuk menekan suatu perjanjian baku yang dirasakan sangat berat sebelah dapat ditempuh dengan cara membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pembatasan-pembatasan yang harus dipatuhi oleh para pihak dalam membuat perjanjian baku tersebut. Akan tetapi karena proses pembuatan perundangundangan itu memakan waktu yang cukup lama, maka langkah yang dapat diambil dalam rangka menekan akses perjanjian baku yang berat sebelah adalah : a. Perlu dibuat penyeragaman bentuk perjanjian baku waralaba yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga memiliki jangkauan yang dapat melindungi kepentingan franchisor maupun franchisee. Model perjanjian baku waralaba ini dapat dibuat oleh asosiasi pengusaha waralaba sejenis dengan bantuan dari asosiasi profesi hukum, sehingga dapat menampung aspirasi dari franchisee maupun franchisor. b. Mengembangkan yuriprudensi tetap atau menetapkan klausula yang harus digunakan dalam perjanjian waralaba, sehingga dapat menjadi pedoman bagi para pihak yang berkepentingan (franchisee dan franchisor). Pengadilan dapat melakukan hal tersebut dengan mengacu pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, atau Pasal 1339 KUHPerdata. Atas dasar ketentuan pasal-pasal tersebut, hakim dapat memaksakan agar perjajiannya dilaksanakan dengan itikad baik (menimbulkan rasa keadilan).
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Dalam hal ini untuk menekan perjanjian yang berat sebelah seperti diuraikan ditas bahwa salah satu langkah adalah dengan memuat pedoman sebagai pegangan didalam melakukan perjanjian waralaba. Hal yang perlu diperhatikan adalah klausula-klausula yang lazim diperjanjikan baik internasional maupun nasional/lokal, yaitu : 52
1. Ketentuan Umum (general provisions); Ketentuan umum membuat pembatasan istilah dan pengertian yang digunakan didalam sebuah kontrak. Artinya, didalam ketentua ini dirumuskan defenisi-defenisi atau pembatasan pengertian dari istilahistilah yang dianggap penting dan sering digunakan dalam suatu kontrak yang disepakati oleh para pihak. 2. Prasyarat Perjanjian (condition precedent); Klausula ini menentukan bahwa ada beberapa peristiwa yang harus terjadi atau tindakan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak sebelum pihak yang lainnya berkewajiban menjalankan suatu kontrak. 3. Pemberian Hak Franchise (franchise grant); Dalam bagian ini ditentukan mengenai pemberian hak franchise oleh pihak franchisor kepada pihak franchisee. Penentuan pemberian hak tersebut diperincikan mengenai hak-hak yang boleh digunakan oleh pihak franchisee, seperti penggunaan nerek dagang, paten, hak cipta, rahasia dagang, dan sebagainya.
52
Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini, Loc.Cit, hal 182 ; Lihat juga : Hasanuddin Rahman, Op. Cit, hal 46-47.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
4. Pembatasan penggunaan hak franchise (limitation of franchise / intelectual property protection); Dalam bagian ini ditentukan berbagai batasan dalam hal digunakannya oleh pihak franchisee setiap merek dagang, logo, desain, paten, ataupun hak cipta milik franchisor. Selanjutnya ditegaskan juga bahwa pihak franchisor yang berhak atas hak milik intelektual tersebut, sementara pihak franchisee hanya diberi hak untuk menggunakan saja. 5. Pembayaran biaya franchise (franchise price and payment terms); Dalam bagian ini diperinci seluruh pembayaran dan mekanisme pembayaran oleh pihal franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh franchisor, misalnya royalty, franchisee fee, initial assistance fee, biaya promosi. 6. Jasa yang diberikan oleh franchisor (services by franchisor); Klausula ini mengatur tentang kewajiban apa saja yang diberikan oleh pihak francisor selain pemberian izin penggunaan hak, misalnya pelatihan tenaga kerja,
bantuan dalam hal
manajemen usaha,
pelaksanaan operasional perusahaan, pengawasan atau evaluasi kinerja, pemberian manual pengoperasian dan standar policy yang bersifat rahasia, pengontrolan biaya dan akuntansi. 7. Keseragaman dan standarisasi operasi (standard and uniformity of opration); Klausula ini mengatur mengenai kewajiban franchisee untuk mematuhi dan melaksanakan peraturan, baik dari segi manajemen usaha, pelayanan, mutu, laporan keuangan, dekorasi, sampai hal-hal yang Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
mendetail sebab pelaksanaan suatu usaha franchise oleh franchisee harus sesuai dengan standar yang ditentukan oleh franchisor. 8. Promosi (marketing and advertising campaign); Ketentuan ini mengatur tentang besarnya biaya atau kontribusi sekian persen dari omset usaha franchise yang harus disisihkan. Besarnya kontribusi, jenis kontribusi, jenis promosi dan media yang digunakan harus ditentukan dengan jelas. 9. Pelatihan (training); Agar usaha franchise dapat berjalan sesuai dengan standar operasi franchisor, maka biasanya franchisor menentukan barbagai macam kegiatan yang harus diberikan pelatihan terlebih dahulu, berapa lama waktu pelatihan akan didakan, tempat pelatihan dan biaya pelatihan. 10. Eksklusivitas (exclusivity) Dalam bagian ini ditentukan bahwa pihak franchisee diberikan hak yang eksklusif untuk beroperasi didalam suatu wilayah tertentu. Jika memang demikian yang diperjanjikan, maka dalam hal ini franchisor tidak boleh memberikan hak franchise kepada pihak lain selain dari pihak franchise yang terikat dengan kontrak franchise yang bersangkutan. 11. Jangka waktu perjanjian (terms); Klausula ini secar umum menentukan berapa lama perjanjian berlaku, atau secara khusus menentukan jangka waktu berakhirnya pemberian hak franchise kepada franchisee.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
12. Pemilihan lokasi (premises); Ketentuan ini mengatur mengenai tempat dimana usaha franchise ini akan dioperasikan oleh pihak franchisee. 13. Hak untuk memeriksa dan mengaudit (rights of inspection and audit); Klausula ini mengatur tentang hak franchisor untuk sewaktu-waktu dapat memeriksa tempat usaha, standar operasioanal, maupun laporan keuangan franchisee, dengan atau ijin terlebih dahulu dari franchisee. 14. Prosedur Pelaporan (report procedures); Bersamaan dengan pembayaran biaya secara periodik, franchisee diwajibkan untuk memberikan laporan memberikan tentang kegiatan usahanya pada setiap periode tertentu dengan format laporan keuangan tertentu. 15. Prinsip tanpa persaingan (Non-competition); Dalam bagian ini ditentukan bahwa untuk melindungi rahasia dagang milik franchisor, pihak franchisee dilarang secara langsung ataupun tidak langsung untuk membuka usaha lain yang sama atau mirip dengan bisnis franchise tersebut selama berjalannya kontrak dan bahkan hingga beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian. Juga tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1999.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
16. Kerahasiaan produk atau sistem (confidentiality / non-disclosure); Klausula ini menentukan bahwa pihak franchisee berkewajiban untuk menjaga rahasia atau informasi yang termasuk rahasia dagang milik franchisor kepada pihak manapun. 17. Perizinan dan administrasi (government approval); Franchisee berkewajiban untuk mengurus dan menanggung biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang bersifat perizinan dan administrasi pemerintah, seperti pendaftaran usaha, IB, izin gangguan (HO), NPWP Perusahaan, dan sebagainya. 18. Karyawan dan tenaga kerja (employees); Klausula ini menentukan bahwa setiap karyawan dari pihak franchisee adalah semata-mata merupakan karyawan dari pihak franchisee sendiri. Tidak ada hubungan hukum apapun dengan pihak franchisor, sehingga tidak ada tuntutan apapun baik oleh pihak ketiga dalam hubungan dengan tindakan karyawan maupun oleh karyawan itu sendiri yang dapat dialamatkan kepada franchisor. 19. Asuransi (insurance); Klausula mengenai asuransi biasanya ditentukan secara terperinci mengenai hal apa saja yang harus dimasuki oleh pihak franchisee dan dijamin untuk jumlah berapa. Misalnya asuransi untuk product liability, bodily injury liability, property damages liability, dan sebagainya.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
20. Pajak (taxes); Ketentuan ini mengatur dengan tegas bahwa seluruh pajak yag berkenaan dengan usaha franchise akan ditanggung oleh pihak franchisee. 21. Pengalihan hak (assignment); Dalam perjanjian franchise, biasanya penggunaan hak franchisor dapat dialihkan kepada pihak lain sepanjang dengan izin tertukis dari franchisor, dan biasanya franchisor memiliki hak tolak pertama (right of first refusal). Selain itu biasanya ditentukan juga dalam hal kematian atau ketidakcakapan bertindak dari para pihak franchisee, pihak franchisor harus memberikan izin kepada pihak ahli waris tau berhak lainnya untuk menruskan usaha franchise, kecuali ahli waris atau yang berwenang lainnya tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan standar untuk menjalankan usaha tersebut. 22. Kedudukan berdiri sendiri (independent contractors atau no agency); Klausula ini menegaskan bahwa kedudukan dan hubungan hukum antara franchisor dan franchisee bukanlah merupakan hubungan keagenan, join venture, atasan-bawahan, perusahaan dan anak perusahaan, sehingga tidak ada fiduciary duty antara pihak yang satu dan lainnya selain daripada perjanjian franchise itu sendiri. Lebih lanjut juga klusula ini menentukan bahwa segala hutang yang timbul akibat perbuatan hukum franchisee dengan pihak ketiga menjadi tanggung jawab franchisee sendiri.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
23. Jaminan terhadap tuntutan hukun dan kerugian (indemnification); Ketentuan ini mengatur bahwa setiap kewajiban dan tanggung jawab secara kontraktual apapun yang tidak terbit sebagai akibat dari eksekusi usaha franchise oleh franchisee tersebut harus sepenuhnya dipikul oleh pihak franchisee itu sendiri. Oleh karena itu pihak franchisee berkewajiban untuk menjamin bahwa kedudukan franchisee tetap aman dan bebas dari segala macam tuntutan hukum. 24. Wanprestasi (events of default / non-performance); Dalam ketentuan ini ditentukan dengan tegas tentang saat kapan atau kejadian-kejadian apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya wanprestasi oleh satu pihak, sehingga pihak lain dengan prosedur tertentu dapat memutuskan kontrak secara sepihak sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan. 25. Perpanjangan kontrak (extension of agreement); Ketentuan ini mengatur mengenai tata cara perpanjagan suatu perjajian pada saat akan berakhir atau pada saat berakhirnya perjanjian franchise. 26. Penghentian
atau
berakhirnya
perjanjian
(termination
of
agreement); Ketentuan ini mengatur mengenai kapan putusnya suatu perjanjian atau bagaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan kontrak, dan akibat putusnya perjanjian.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
27. Pilihan forum dan jurisdiksi hukum (forum and governing law); Klausula ini menentukan bahwa perjanjian ini dibuat dan ditafsirkan berdasarkan hukum yang berlaku dari suatu negara atau negara bagian tertentu, peraturan daerah tertentu, dan sebagainya. 28. Amandemen perjanjian dan pelepasan hak (modification and waiver); Ketentuan ini mengatur ini merupakan kesepakatan dari awal yang mensyaratkan pihak-pihak yang menginginkan perubahan kontrak agar membuat modifikasi dalam bentuk tertulis dan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. 29. Ganti rugi (damages); Ketentuan ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan 1239 KUHPerdata, dimana dalam hal ini apabila franchisee tidak memenuhi prestasinya, maka wajib membayar ganti biaya, rugi, dan bunga yang diderita oleh franchisor. 30. Force Majeure; Ketentuan force majeure merupakan ketentuan yang umum pada setiap kontrak. Klausula ini mengekspresikan keinginan dari para pihak yang terikat dalam perjanjian bahwa jika pelaksanaan dari kontrak terhalang oleh keadaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan diluar kemampuan para pihak untuk mencegah atau mengantisipasi, misalnya, bencana alam, hura-hura, perubahan undang-undang, maka tidak terlaksananya prestasi bukanlah merupakan wanprestasi.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
31. Keterpisahan (severability of provisions); Klausula ini menentukan bahwa apabila satu atau beberapa pasal didalam perjanjian ini ternyata tidak sah atau tidak valid menurut peraturan perundang-undangan, maka klausul yang lain yang sah dapat dijalankan atau tetap berlaku seolah-olah klausula yang tidak valid tersebut tidak pernah ada. 32. Wewenang untuk terikat dalam kontrak (binding authority); Klausula ini menyatakan bahwa para pihak yag terikat dalam perjanjian merupakan pihak yang berwenang dan cakap untuk membuat perjanjian. 33. Penyelesaian sengketa (settlement of disputes); Pilihan forum menentukan badan mana yang berwenang untuk mengadili jika
terjadi sengketa, biasanya urut-urutannya adalah
musyawarah atau kekeluargaan, arbitrase, dan akhirnya baru pengadilan. Dapat juga ditentukan misalnya untuk penyelesaian sengketa hanya akan digunakan badan arbitrase tertentu saja, dan keputusan badan tersebut bersifat final dan tidak dapat dibanding. 34. Biaya jasa pengacara (cost and fees); Ketentuan ini mengatur mengenai biaya atau ongkos jasa pengacar yang harus ditanggung oleh franchisee atas setiap penegihan terhadap keterlambatan pembayaran. 35. Surat menyurat (notices); Ketentuan ini menegaskan segala bentuk pemberitahuan harus dalam bentuk tertulis serta konfirmasi dengan surat menyurat yang dialamatkan kepada alamat yang tertera dalam perjanjian. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
36. Integrasi kontrak (merger / entire agreement); Klausula ini mengatur bahwa para pihak tidak terikat dengan janji, perkataan, ataupun pernyataan terdahuku
selain daripada
yang
dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Walaupun demikian dalam hal penyeragaman bentuk baku, belum ada aturan yang mengaturnya. Seperti yang diuraikan pada Pasal 5 PP No.42 Tahun 2007 tersebut hanya merupakan pedoman hal apa yang minimal harus ada didalam suatu perjanjian waralaba. Jadi, belum menjawab bagaimana perjanjian baku agar tidak berat sebelah. Hal tersebut juga ditegaskan kembali pada PerMen No. 12/MDAG/PER/3/2006.
C. ANALISA KONTRAK FRANCHISE PT. ULTRA DISC PRIMA INTERNASIONAL Usaha bisnis waralaba Ultra Disc ini merupakan salah satu waralaba lokal yang bergerak dibidang penyewaan produk home video (VCD & DVD), penjualan VCD & DVD ataupun produk-produk seperti marchandise, buku atau barang lain yang berhubungan dengan hiburan atau etertein. Perjanjian Franchise ini terdiri dari dua dokumen yaitu Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise dan Surat Perjanjian Royalty. Dalam hal ini penulis akan meninjau sekaligus kedua jenis perjanjian ini karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perjanjian dengan dua dokumen ini tidak menyalahi aturan karena mengingat bahwa akta dibawah tangan tidak terikat kepada bentuk formal.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
1. Bentuk Perjanjian Bentuk perjanjian adalah Akta dibawah Tangan a. Bahwa berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan akta otentik dan akta dibawah tangan; b. Bahwa lazimnya perjanjian standar dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan berbentuk formulir yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian; c. Bahwa ciri dari akta dibawah tangan adalah tidak terikat bentuk formal melainkan bebas, dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan, apabila diakui oleh penandatanganan akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sama halnya dengan akta otentik dan apabila kebenarannya disangkal, pihak yang mengajukan sebagai bukti harus membuktikan kebenarannya melalui bukti/saksi-saksi.
2) Kontruksi Perjanjian Bagian pembukaan : 2.1.1 Nama perjanjian : Perjanjian Ultra Disc Franchise a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1342 KUHPerdata, jika kata-kata suatu perjanjian adalah jelas maka tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran. Namun sekilas nama dari kontrak bisnis ini adalah rancu. Hal ini disebabkan karena ada dua dokumen yang dinamai dengan Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise dan Surat Perjanjian Royalty. Akan tetapi setelah bagian recital dan sebelum bagian isi perjanjian kerjasama franchise terdapat keterangan yang berisi ”Perjanjian Kerjasama ini Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
beserta perubahan dan/atau penambahan dan/atau penggantinya untuk selanjutnya disebut juga :”Perjanjian”.” b. Bahwa sesuai dengan kata-kata yang tertera dengan jelas pada nama atau judul perjanjian serta dikaitkan pada bagian isi perjanjian selanjutnya, maka penggunaan nama atau judul perjanjian tersebut adalah tepat dan benar. 2.1.2. Tempat dan waktu perjanjian : Jakarta, 23 Februari 2007. Komparasi : a. Bahwa pada bagian ini memuat tentang indentitas para pihak termasuk kecakapan didalam melakukan perjanjian serta kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum didalam perjanjian tersebut. b. Bahwa para pihak dalam perjanjian sudah mencantumkan alamat lengkap dengan jelas sebagai indentitas namun tidak mencantumkan pekerjaan serta kewenangan/kapasitas bertindak untuk diri sendiri ataupun suatu badan usaha. Premise (Recitals) a.
Bahwa
recitals
pendahuluan
dalam
suatu
(introduction)
perjanjian
suatu
akta
dipergunakan atau
penghantar
sebagai yang
menunjukkan maksud utama para pihak, dan menyatakan alasan mengapa akta dibuat serta alasan adanya transaksi. Disebut juga sebagai suatu pernyataan yang merupakan konsiderans /pertimbangan, latar belakang mengapa sampai lahir perikatan. b.
Bahwa didalam perjanjian franchise ini bagian recitalnya kurang jelas, karena pada bagian recital berisi “atas dasar persetujuan awal antara
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
kedua belah pihak, dengan ini sepakat untuk...” tidak dijelaskan hal apa yang disetujui sebelum lahirnya perjanjian tersebut. c.
Bahwa seharusnya didalam perjanjian tersebut harus mencantumkan latar belakang dan pertimbangan para pihak didalam melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Latar belakang yang dimaksud menjelaskan keberadaan franchisor, kegiatan usahanya, dan pencantuman nomor dan tahun pendaftaran bisnis waralaba tersebut di dirjen HAKI sebagai bukti bahwa bisnis waralaba tersebut sudah legal serta pemberian prosfektus penawaran saat menawarkan waralaba tersebut kepada franchisee. Demikian juga dengan franchisee baik keberadaanya,
maupun
ketertarikannya kepada waralaba tersebut setelah mempelajari dan menjajaki waralaba melalui prosfektus penawaran yang diberi oleh franchisor. d.
Bahwa keterangan yang tidak jelas demikian, apabila merupakan suatu keterangan palsu, maka dapat dipergunakan untuk membatalkan perjanjian atas dasar adanya cacat kehendak.
3.
Isi / pasal-pasal dalam perjanjian.
3.1. Ketentuan pokok (principal provisions) : 3.1.1. Klausula-klausula transaksional a. Pada Pasal 1 Surat Perjanjian Royalty. i.
Pihak kesatu setuju untuk memberikan ijin pemakaian merk. Logo, konsep toko, sistim penyewaan, dan sistim keseluruhan pada Penyewaan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Home Video dengan nama Ultra Disc kepada Pihak Kedua. (franchise grant); ii.
Pihak kesatu setuju untuk membantu dan membimbing Pihak Kedua didalam pengelolaan toko mulai dari pelatihan, operasional sehari-hari sampai strategi pengembangan usaha (services by franchisor).
b. Pasal 2 ayat (1) Surat Perjanjian Royalty. Pihak Kedua setuju untuk membayar royalty atas pendapatan penyewaan yang diterima oleh Pihak Kedua sebesar 5 % kepada Pihak Kesatu. c. Pasal 3 Surat Perjanjian Royalty ; Jangka waktu perjanjian (terms); Pasal 3 Surat Perjanjian Royalty : Surat perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun, sampai dengan tanggal 20 Maret 2009 atau sesuai dengan persetujuan bersama apabila dalam masa berlaku tersebut diatas setuju untuk tidak melanjutkan kerjasama ini. d. Pasal 1 Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise. i.
Yang dimaksud dengan produk dalam perjanjian ini adalah semua barang yang menjadi objek Perjanjian dalam bentuk Home Video (VCD & DVD), yang merupakan rekaman film-film resmi dan orisinil sesuai Nomor Surat Tanda Lulus Sensor yang berlaku berdasarkan perturanperatuan yang berwenang di Indonesia.
ii.
Produk-produk dilua Homr Video yang bersifat komersil baik merupakan merchandise, buku atau barang lain, yang merupakan kebijaksanaan Pihak Pertama dan tidak merugikan kepentingan Pihak Kedua dalam pelaksanaan Perjanjian ini.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
e. Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise Pasal 3 ayat (1), (8) dan Pasal 4 ayat (2); Pembayaran biaya franchise (franchise price and payment terms); i.
Pasal 3 ayat (1) : Pihak Kedua berkewajiban untuk membayar Franchise Fee kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) yang dibayarkan sekalligus lunas pada saat perjanjian ini ditandatangani. Franchisee Fee tersebut hanya berlaku selam jangka waktu 5 Tahun”.
ii.
Pasal 3 ayat (8) : Pihak Kedua bersedia menyediakan budget promosi sebesar 2,5 % dari jumlah penerimaan outlet per bulan kepada Pihak Pertama, dimana budget dimaksud akan dikeluarkan oleh Pihak Kedua apabila ada promosi untuk kepentingan toko”.
iii.
Pasal 4 ayat (2) : Pembagian hasil sewa dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut : a. Penyewaan VCD (Video Compact Disc), 50% untuk Pihak Pertama dan 50% untuk Pihak Kedua. b. Penyewaan DVD (Digital Versatile Disc), 75% untuk Pihak Pertama dan 25% untuk Pihak Kedua. c. Pembagian hasil diatas sudah termasuk pembayaran royalty yang diatur dalam Surat Perjanjian Royalty. d. Penyewaan lainnya ataupun penjualan produk tertentu, akan diatur bagi hasilnya dengan perjanjian tambahan.
3.1.2. Klausula spesifik Ditemukan Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
a. Pasal 3 ayat (4) : Pihak Kedua berkewajiban menjaga iventaris Produk yang ada. Kerusakan atau kehilangan produk yang disebabkan oleh kelalaian dari Pihak Kedua harus diganti sebesar 75% dari harga produk pasaran. b. Pasal 3 ayat (5) : Semua biaya renovasi atau pengadaan yang berkenaan dengan standarisasi atau ketentuan dari Pihak Pertama sebagai berikut ditanggung oleh Pihak Kedua : i.
Logo/warna dan penempatan.
ii.
Komputer serta sistem operasinya, modern, telepon, TV, ups.
iii.
Rak display, Meja Kasir, Laci Penyimpanan, Rak TV, Kotak Saran.
iv.
Biaya Perijinan, operasional toko berupa gaji, lembur, listrik.
c. Pasal 4 tentang harga sewa, pembagian hasil dan pembayaran. i.
Pasal 4 ayat (1) : Pihak Pertama menetukan harga jual, harga sewa, dan sistim diskon disesuaikan dengan kondisi pasar. Pihak Kedua dapat mengajukan usulan yang menguntungkan kedua belah pihak.
ii.
Pasal 4 ayat (2) : Pembagian hasil sewa dalam perjanjian.
iii.
Pasal 4 ayat (3) : Pembayaran bagi masing-masing pihak dihitung dari jumlah penerimaan outlet per hari, dan disetorkan kerekening masingmasing pihak secara rutin tiap hari. Prosedur penyetoran pembagian hasil ini dilakukan oleh pegawai outlet sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pihak Pertama.
iv.
Pasal 4 ayat (4) : Pembagian hasil untuk penjualan atau penyewaan produk lainnya, akan ditentukan dan diatur dengan perjanjian tambahan.
v.
Pasal 4 ayat (5) : Kedua belah pihak setuju apabila evaluasi hasil sewa kurang dari 10 juta/bulan berturut-turut selam enem bulan, dimana
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
penambahan film normal dan tidak bermasalan, maka outlet tersebut direkomendasikan untuk dipindahkan kelokasi lain atau ditutup selamlamanya 2 bulan setelah hasil evaluasi atau sesuai dengan kesepaktan bersama. d.
Pasal 5 tentang konsistensi standarisasi outlet. i.
Pasal 5 ayat (1) : Besarnya outlet berkisar 40 m2 sampai dengan 150 m2.
ii.
Pasal 5 ayat (2) : Pihak Kedua harus mengikuti standarisasi outlet baik penempilan, maupun display ketentuan Pihak Pertama.
iii.
Pasal 5 ayat (3) : Pihak Pertama wajib memberitahu perubahan standarisasi maupun perubahan penampilan dispay jika diperlukan dari segi komersil paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum efektif pelaksanaan standarisasi dan Pihak Kedua berkewajiban mengikuti.
iv.
Pasal 5 ayat (4) : Jam operasional outlet harus berdasarkan standarisasi secara umum ataupun sesuai dengan kebutuhan Pihak Kedua dengan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
e.
Pasal 6 tentang kepegawaian. i.
Pasal 6
ayat
(1)
:
Struktur
dan sistim
kepegawaian outlet
direkomendasikan oleh Pihak Kedua sesuai dengan persetujuan kebijaksanaan dari Pihak Pertama. ii.
Pasal 6 ayat (2) : Sistim penggajian karyawan haus mengikuti ketentuan UMR (Upah Minimum Regional) yang ditetapkan pemerintah.
iii.
Pasal 6 ayat (3) : Sistem bonus/insentif karyawan yang bersal dari nilai penyewaan harus dibayarkan oleh Pihak Kedua atas dasar rekomendasi Pihak Pertama dan persetujuan Pihak Kedua”.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
iv.
Pasal 6 ayat (4) : Seragam pegawai diusulkan oleh Pihak Pertama dan wajib untuk dilaksanakan oleh Pihak Kedua.
v.
Pasal 6 ayat (5) : Pihak Kedua atau wakil yang sah dari Pihak Kedua berkewajiban mengikuti rapat jika diperlukan baik mingguan, bulanan maupun tahunan dan ikut berpartisipasi dalam latihan serta training yang diselenggarakan Pihak Pertama.
3.1.3. Klausula antisipatif 1. Pasal 7 Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise. i.
Pasal 7 ayat (1) : Surat perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun, terhitung mulai tanggal 20 Maret 2007 sampai dengan tangal 20 Maret 2009 dan dengan memilih perpanjangan 1 (satu) tahun atas dasar kesepakatan bersama mengenai Hak dan Kewajiban kedua belah pihak sesuai kondisi terbaru”.
ii.
Pasal 7 ayat (2) : Kerjasama Franchise antara Pihak Pertama Franchisor dan
Pihak
Kedua
sebagai
franchisee
tidak
secara
langsung
berakhir/putus dengan berakhirnya masa berlaku masa perjanjian ini”. 2. Pasal 4 Surat Perjanjian Royalty. i.
Apabila terjadi perselisihan paham akan diupayakan penyelesaian secara kekeluragaan musyawarah untuk mufakat.
ii.
Apabila perselisihan tersebut tidak terselesaikan maka kedua belah pihak setuju untuk meneruskan melalui jalur hukum sesuai dengan UndangUndang yang berlaku di negara Republik Indonesia.
3. Pasal 8 Perjanjian Kerjasama Ultra Disc.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
i.
Salah satu pihak berhak memutuskan surat perjanjian ini secara sepihak apabila pihak yang lain tidak menaati pasal-pasal kesepaktan tersebut diatas sekalipun telah melalui teguran secara tertulis sampai maksimal 3 (tiga) kali berturut-turut, namun tidak dihiraukan oleh pihak yang bersangkutan.
ii.
Untuk pemutusan Perjanjian sebagaimana ternyata pada ayat 1 pasal ini, para pihak setuju dan dengan ini melepaskan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1266 KUHPerdata.
iii.
Apabila terjadi perselisihan akan diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan musyawarah untuk mufakat.
iv.
Apabila perselisihan tersebut tidak terselesaikan, maka kedua belah pihak setuju untuk meneruskannya melalui jalur hukum sesuai Undangundang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini kedua belah pihak meilih domisili hukum yang tetap di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
3.2. Ketentuan Penunjang (supplementary provisions) 3.2.1 Klausula tentang affirmative covenant Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise. a.
Pasal 2 ayat (1) : Pihak Pertama berkewajiban menyediakan semua produksi VCD dan DVD film orisinal serta produk-produk diluar Home Video sebagaimana ternyata pada Pasal 1 ayat (2) Perjanjian ini, yang mana dalam judul film maupun dalam bentuk banyaknya jumlah kuantitas judul film produk-produk diluar Home Video disediakan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
berdasarkan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan Pihak Pertama, dimana kebijaksanaan Pihak Pertama tidak merugikan kepentingan Pihak Kedua dalam pelaksanaan perjanjian ini. b.
Pasal 2 ayat (2) : Produk film adalah milik dari Pihak Pertama dimana Pihak Pertama berhak menambah atau mengurangi jumlah dan kuantitas film outlet sesuai dengan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan dari Pihak Pertama yang didasari dari analisa data toko atas sepengetahuan dan persetujuan Pihak Kedua.
c.
Pasal 2 ayat (3) : Apabila produk yang disediakan oleh Pihak Pertama rusak karena umurnya atau penyewaan, Pihak Pertama wajib berusaha menyediakan ulang secepatnya sesuai kondisi stok yang ada.
d.
Pasal 2 ayat (4) : Pihak Pertama berhak memeriksa stok dan mengevaluasi kelengkapan peralatan sesuai standarisasi berdasarkan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan dari Pihak Pertama sewaktu-waktu dengan atau tanpa pemberitahuan sebelumnya.
e.
Pasal 2 ayat (5) : Pihak Pertama wajib memberikan bantuan sistem, memberi rekomendasi penempatan display, logo, memberikan pelatihan kepada karyawan outlet Pihak Kedua, memberikan saran-saran untuk pelaksanaan manajemen kegiatan usaha dan bantuan-bantuan lain-lain sesuai standarisasi franchise dalam menjalankan teknis operasional dan kegiatan sewa-menyewa dan penjualan Produk dalam perjanjian ini.
f.
Pasal 2 ayat (6) : Pihak Pertama bersedia menanggung seluruh biaya yang timbul sehubungan degan retur atau pengiriman balik atas produk dari lokasi Pihak Kedua kelokasi Pihak Pertama.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
g.
Pasal 2 ayat (7) : Pihak Pertama berkewajiban menyediakan produk dengan mutu dan kualitas yang baik serta telah resmi mendapatkan segala ijin-ijin yang diperlukan untuk Produk yang dimaksud dalam Perjanjian ini kepada Pihak Kedua.
h.
Pasal 2 ayat (8) : Pihak Pertama wajib melakukan kegiatan promosi atau pemasaran untuk kemajuan seluruh outlet sesuai kebijaksanaan dari Pihak Pertama.
i.
Pasal 3 ayat (3) : Pihak Kedua berkewajiban untuk menjaga keutuhan kualitas dan kuantitas produk dalam outlet, membantu pengembalian produk-produk yang ada di outlet kepada Pihak Pertama dalam penambahan atau pengurangan jumlah film.
j.
Pasal 3 ayat (4) : Pihak Kedua berkewajiban menjaga inventaris Produk yang ada. Kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh kelalaian dari Pihak Kedua harus diganti 75% dari harga produk di pasaran.
k.
Pasal 3 ayat (6) : Pihak Kedua berkewajiban mengikuti sistem yang ditentukan Pihak Pertama, menjaga keamanan sistim, mengikuti prosedur back up data sesuai ketentuan dan standarisasi dari Pihak Pertama.
l.
Pasal 3 ayat (7) : Pihak Kedua berkewajiban untuk menanggung seluruh biaya yang timbul sehubungan dengan pengiriman produk dari lokasi Pihak Pertama ke lokasi Pihak Kedua.
3.2.2Klausula tentang negative covenant Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Kerjasama Ultra Disc mengatakan “Pihak Kedua dilarang menyediakan film baik orisinal maupun bajakan untuk Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
dijual atau disewakan dalam outlet. Konsekuensi bagi pelanggaran ini menjadi tanggung jawab Pihak Kedua sepenuhnya dan Perjanjian ini otomatis akan dibatalkan apabila butir ini dilanggar”. c. Bagian Penutup Pada bagian penutup perjanjian ini, baik pada Surat Perjanjian Royalty maupun Perjanjian Kerjasama terdapat penekanan bahwa kontrak tersebut sebagai alat bukti dan tandatangan para pihak sebagai bukti sepakatnya para pihak. Namun tempat penandatangan kontrak tersebut tidak disebutkan dan saksi yang menyaksikan pembuatan kontrak tersebutpun hanya ada satu orang yang lazimnya disaksikan minimal oleh dua orang.
3). Hak dan kewajiban para pihak a) Hak Franchisor : Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise. i.
Pasal 2 ayat (1) : Franchisor berhak menerima royalty atas pendapatan penyewaan yang diterima oleh Pihak Kedua sebesar 5%.
ii.
Pasal 2 ayat (2) : Produk film adalah milik dari Pihak Pertama dimana Pihak Pertama berhak menambah atau mengurangi jumlah dan kuantitas film outlet sesuai dengan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan dari Pihak Pertama yang didasari dari analisa data toko atas sepengetahuan dan persetujuan Pihak Kedua.
iii.
Pasal 4 ayat (1) Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise : Pihak Pertama berhak menentukan harga jual, harga sewa, dan sistim diskon
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
disesuaikan dengan kondisi pasar. Pihak Kedua dapat mengajukan usulan yang menguntungkan kedua belah pihak. iv.
Pasal 4 ayat (2) Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise: Pembagian hasil sewa dalam perjanjian ini adalah sebagai berikut : a.
Penyewaan VCD (Video Compact Disc), 50% untuk Pihak Pertama dan 50% untuk Pihak Kedua.
b.
Penyewaan DVD (Digital Versatile Disc), 75% untuk Pihak Pertama dan 25% untuk Pihak Kedua.
c.
Pembagian hasil diatas sudah termasuk pembayaran royalty yang diatur dalam Surat Perjanjian Royalty.
d.
Penyewaan lainnya ataupun penjualan produk tertentu, akan diatur bagi hasilnya dengan perjanjian tambahan.
Pada Surat Perjanjian Royalty. Pasal 2 ayat (4) : Pihak Pertama berhak memeriksa stok dan mengevaluasi kelengkapan peralatan sesuai standarisasi berdasarkan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan dari Pihak Pertama sewaktu-waktu dengan atau tanpa pemberitauan sebelumnya. b) Kewajiban Franchisor : Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise i.
Pasal 2 ayat (1) : Pihak Pertama berkewajiban menyediakan semua produksi VCD dan DVD film orisinal serta produk-produk diluar Home Video sebagaimana ternyata pada Pasal 1 ayat (2) Perjanjian ini, yang mana dalam judul film maupun dalam bentuk banyaknya jumlah kuantitas judul film produk-produk diluar Home Video disediakan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
berdasarkan perhitungan, pertimbangan dan kebijaksanaan Pihak Pertama, dimana kebijaksanaan Pihak Pertama tidak merugikan kepentingan Pihak Kedua dalam pelaksanaan perjanjian ini. ii.
Pasal 2 ayat (3) : Apabila produk yang disediakan oleh Pihak Pertama rusak karena umurnya atau penyewaan, Pihak Pertama wajib berusaha menyediakan ulang secepatnya sesuai kondisi stok yang ada.
iii.
Pasal 2 ayat (5) : Pihak Pertama wajib memberikan bantuan sistem, memberi rekomendasi penempatan display, logo, memberikan pelatihan kepada karyawan outlet Pihak Kedua, memberikan saran-saran untuk pelaksanaan manajemen kegiatan usaha dan bantuan-bantuan lain-lain sesuai standarisasi franchise dalam menjalankan teknis operasional dan kegiatan sewa-menyewa dan penjualan Produk dalam perjanjian ini.
iv.
Pasal 2 ayat (6) : Pihak Pertama bersedia menanggung seluruh biaya yang timbul sehubungan degan retur atau pengiriman balik atas produk dari lokasi Pihak Kedua kelokasi Pihak Pertama.
v.
Pasal 2 ayat (7) : Pihak Pertama berkewajiban menyediakan produk dengan mutu dan kualitas yang baik serta telah resmi mendapatkan segala ijin-ijin yang diperlukan untuk Produk yang dimaksud dalam Perjanjian ini kepada Pihak Kedua.
vi.
Pasal 2 ayat (8) : Pihak Pertama wajib melakukan kegiatan promosi atau pemasaran untuk kemajuan seluruh outlet sesuai kebijaksanaan dari Pihak Pertama.
c) Hak Franchisee : Pada Surat Perjanjian Royalty Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
i.
Pasal 1 ayat (1) : Pihak Kedua mendapat ijin pemakaian merk. Logo, konsep toko, sistim penyewaan, dan sistim keseluruhan pada Penyewaan Home Video dengan nama Ultra Disc dari Pihak Pertama.
Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise ii.
Pasal 2 ayat (1) : Pihak Kedua berhak mendapatkan semua produk VCD dan DVD film orisinal, serta produk-produk di luar Home Video. Yang mana jumlah kuantitas judul film maupun produk-produk Home Video yang
disediakan
berdasarkan
perhitungan,
pertimbangan,
dan
kebijaksanaan Pihak Pertama, di mana kebijaksanaan Pihak Pertama tersebut tidak merugikan kepentingan Pihak Kedua dalam pelaksanaan perjanjian. iii.
Pasal 4 ayat (2) : Pembagian hasil sewa dalam perjanjian ini adalah: a. Penyewaan VCD (Video Compact Disc), 50% untuk Pihak Pertama dan 50% untuk Pihak Kedua. b. Penyewaan DVD (Digital Versatile Disc), 75% untuk Pihak Pertama dan 25% untuk Pihak Kedua. c. Pembagian hasil diatas sudah termasuk pembayaran royalty yang diatur dalam Surat Perjanjian Royalty. d. Penyewaan lainnya ataupun penjualan produk tertentu, akan diatur bagi hasilnya dengan perjanjian tambahan.
iii.
Pasal 2 ayat (5) : Pihak Kedua berhak mendapat bantuan sistem, mendapat rekomendasi penempatan display, logo, mendapat pelatihan kepada karyawan outlet Pihak Kedua, mendapat saran-saran untuk pelaksanaan manajemen kegiatan usaha dan bantuan-bantuan lain-lain
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
sesuai standarisasi franchise dalam menjalankan teknis operasional dan kegiatan sewa-menyewa dan penjualan Produk dalam perjanjian ini. d) Kewajiban Franchisee : Pada surat Perjanjian Royalty. i. Pasal 2 ayat (1) : Pihak Kedua setuju untuk membayar royalty atas pendapatan penyewaan yang diterima oleh Pihak Kedua sebesar 5 % kepada Pihak Kesatu. ii. Pasal 2 ayat (2) : Pihak Kedua setuju untuk mengikuti semua stadarisasi yang ditetapkan oleh Pihak Kesatu. Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchie iii. Pasal 3 ayat (1) : Pihak Kedua berkewajiban untuk membayar Franchise Fee kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) yang dibayarkan sekalligus lunas pada saat perjanjian ini ditandatangani. Franchisee Fee tersebut hanya berlaku selam jangka waktu 5 Tahun”. iv.
Pasal 3 ayat (2) : Pihak Kedua dilarang menyediakan film baik orisinal maupun bajakan untuk dijual atau disewakan dalam outlet. Konsekuensi bagi pelanggaran ini menjadi tanggung jawab Pihak Kedua sepenuhnya dan Perjanjian ini otomatis akan dibatalkan apabila butir ini dilanggar. v. Pasal 3 ayat (3) : Pihak Kedua berkewajiban untuk menjaga keutuhan kualitas dan kuantitas produk dalam outlet, membantu pengembalian produk-produk yang ada di outlet kepada Pihak Pertama dalam penambahan atau pengurangan jumlah film.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
vi. Pasal 3 ayat (4) : Pihak Kedua berkewajiban menjaga inventaris Produk yang ada. Kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh kelalaian dari Pihak Kedua harus diganti 75% dari harga produk di pasaran. vii. Pasal 3 ayat (6) : Pihak Kedua berkewajiban mengikuti sistem yang ditentukan Pihak Pertama, menjaga keamanan sistim, mengikuti prosedur back up data sesuai ketentuan dan standarisasi dari Pihak Pertama. viii. Pasal 3 ayat (7) : Pihak Kedua berkewajiban untuk menanggung seluruh biaya yang timbul sehubungan dengan pengiriman produk dari lokasi Pihak Pertama ke lokasi Pihak Kedua. ix. Pasal 5 ayat (2) : Pihak Kedua harus mengikuti standarisasi outlet baik penempilan, maupun display ketentuan Pihak Pertama. x. Pasal 5 ayat (3) : Pihak Pertama wajib memberitahu perubahan standarisasi maupun perubahan penampilan dispay jika diperlukan dari segi komersil paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum efektif pelaksanaan standarisasi dan Pihak Kedua berkewajiban mengikuti. xi. Pasal 6 ayat (3) : Sistem bonus/insentif karyawan yang bersal dari nilai penyewaan harus dibayarkan oleh Pihak Kedua atas dasar rekomendasi Pihak Pertama dan persetujuan Pihak Kedua. xii. Pasal 6 ayat (4) : Seragam pegawai diusulkan oleh Pihak Pertama dan wajib untuk dilaksanakan oleh Pihak Kedua. xiii. Pasal 6 ayat (5) : Pihak Kedua atau wakil yang sah dari Pihak Kedua berkewajiban mengikuti rapat jika diperlukan baik mingguan, bulanan maupun tahunan dan ikut berpartisipasi dalam latihan serta training yang diselenggarakan Pihak Pertama. Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
4) Validitas Perjanjian A. Menurut KUHPerdata Bahwa perjanjian adalah sah apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320, yaitu : a. Kesepakatan Pada Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franchise dan Surat Perjanjian Royalty sudah membubuhkan tanda tangan kedua belah pihak, yang menandakan bahwa ada persetujuan dan kesepakatan di antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. b. Para pihak Para pihak yang membuat Perjanjian Kerjasama Ultra Disc dan Surat Perjanjian Royalty adalah orang yang cakap hukum. c. Hal atau objek tertentu Perjanjian franchise ini memiliki objek yaitu pemberian ijin pemakaian merk, logo, konsep toko, sistem penyewaan dan sistim keseluruhan pada penyewaan home video di mana franchisee melakukan pembayaran, baik berupa franchise fee, royalty, dan pembagian hasil sewa sebagai kontraprestasi. d. Kausa yang halal Dari recitals seta isi dalam pasal-pasal perjanjian, maka jelas maksud dibuatnya perjanjian ini, tidak terdapat ketentuan yang berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. B.
Menurut UU Perlindungan Konsumen a.
Bahwa hal-hal yang diatur oleh UUPK adalah dalam hal hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
b.
Bahwa dalam perjanjian franchise ini, hubungan franchisor dengan franchisee tidak dapat disamakan dengan hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen.
c.
Bahwa yang dimaksud dengan konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2). Lebih lanjut penjelasan tersebut memberikan pengertian konsumen dalam UUPK adalah konsumen akhir.
d.
Bahwa terhadap hal diatas, maka UUPK tidak relevansi untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu hubungan hukum melalui perjanjian antara franchisor dan franchisee. Oleh karena itu perjanjian franchise ini adalah sah.
C. Menurut PP No.42 Tahun 2007 Bahwa dari setiap klausula yang terdapat pada perjanjian franchise baik Perjanjian Kerjasama Ultra Disc Franhise maupun Surat Perjanjian Royalty sudah memenuhi syarat minimal yang diatur pada PP tersebut. Setiap syarat minimal tersebut sudah dipenuhi, namun didalam perjanjian tersebut tidak terdapat tentang kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris. Namun menurut hemat penulis perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sesuai dengan aturan yang ada.
5) Klausula Baku Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
Bahwa dari hasil analisis penulis terhadap perjanjian standar/baku Franchise Ultra Disc ini tidak ada ditemukan klausula yang bermasalah atau secara yuridis bertentangan dengan undang-undang.
6) Klausula Eksonerasi Bahwa dari hasil analisis penulis terhadap perjanjian franchise tersebut, tidak terdapat sama sekali ketentuan mengenai peniadaan ataupun pembatasan tanggung jawab dari franchisor kepada franchisee.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Suatu perjanjian standar adalah sah sepanjang secara formil dan materiil terpenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Jadi perjanjian standar yang dibuat oleh franchisor sebelumnya adalah sah adanya jika perjanjian tersebut merupakan kesepakatan dengan franchisee, pihak yang melakukan perjanjian tersebut cakap, objek yang diperjanjikan jelas dan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal tersebutpun berlaku bagi perjanjian standar yang digunakan dalam kontrak bisnis waralaba lokal. Namun belum ada aturan khusus yang mengatur penggunaan perjanjian standar tersebut dan keseragaman perjanjian standar dalam waralaba lokal. 2. Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang sangat istimewa bagi para pihak yang terikat didalamnya karena berkaitan dengan kekayaan intelektual yang oleh karenanya
franchisor harus memproteksi hak-hak
istimewanya melalui penggunaan perjanjian standar atau klausula baku. Didalam pelaksanaannya mau tidak mau perjanjian dengan model ini pastilah menunjukan kedudukan yang tidak seimbang karena kurangnya kesempatan bagi para pihak franchisee untuk menegoisasikan atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan. Pada umumnya isi perjanjian waralaba lebih banyak menguntungkan pihak franchisor yang jelas terlihat adanya sifat tying business yang Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
dilakukannya dan dilain pihak franchisee hanya berhadapan dengan sikap take or leave it terhadap syarat perjanjian yang dihadapkan kepadanya, ditambah lagi peran franchisor sangat dominan terhadap franchisee. Hubungan franchisee dengan franchisor adalah semata-mata karena kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu sudah sewajarnya adalah bahwa dengan hukum alam pihak franchisor memiliki posisi atau kedudukan yang lebih kuat dan dapat berperan besar terhadap franchisee. Namun walaupun waralaba diterapkan dalam perjanjian baku yang syarat dan isi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh franchisor dan klausulaklausula yang disepakati itu dapat memberatkan pihak franchisee, namun kata sepakat di dalamnya tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari kemauan dan sikap menerima franchisee terhadap segala konsekuensi dari isi perjanjian tersebut. Selain itu adalah sangat sulit untuk mengurangi beban franchisee agar sama dengan hak dan kewajiban franchisor sekalipun didasari oleh undang-undang. Terlebih lagi dalam perjanjian waralaba berkaitan erat dengan
penggunaan
hak
milik
intelektual
yang
penggunaannya
dipengaruhi oleh konsep bisnis yang individualistik. Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan kedudukan yang berat sebelah atas penggunaan perjanjian standar ini dapat dilakukan dengan memiliki pedoman sebagai pegangan didalam melakukan perjanjian standar dan membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pembatasan-pembatasan yang harus dipatuhi oleh para pihak dalam membuat perjanjian baku didalam kontak bisnis. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat penyeragaman bentuk baku waralaba yang dibuat oleh pihak yang Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
berwenang bekerjasama dengan asosiasi pengusaha waralaba dan asosiasi profesi hukum serta mengembangkan yuriprudensi tetap atau menetapkan klausula yang harus digunakan dalam perjanjian waralaba, sehingga dapat menjadi pedoman bagi para pihak yang berkepentingan (franchisee dan franchisor). 3. Perjanjian franchise Ultra Disc merupakan perjanjian yang yang sah secara yuridis dan terhadap kesesuaian ciri-ciri perjanjian dan stuktur perjanjian secara teori dengan praktek maka perjanjian franchise ini dapat dikatakan memenuhi bentuk lazimnya suatu perjanjian franchise. Didalam perjanjian franchise ultra disc di dalam penggunaan perjanjian standar tidak ditemukan klausula baku bermasalah yang maksudnya bertentangan dengan undang-undang dan memberatkan franchisee. Demikian juga dengan klausula eksonerasi, sama sekali tidak ditemukan. Namun masalah kedudukan para pihak, dari hak dan kewajibannya masing-masing ditemukan bahwa kedudukannya tidak seimbang. Dimana franchisor yang dominan mengendalikan kegiatan usaha tersebut sementara franchisee sepertinya hanya sebagai penyedia modal saja. Jadi masalah kedudukan tetap tidak seimbang. Didalam pembuatan kontrak tersebut kontrak baku yang diusulkan tidak ada perbedaan atau perubahan sedikitpun dengan kontrak yang dilahirkan untuk bisnis waralaba tersebut. Terbukti bahwa franchisee hanya ada kata sepakat atau sikap “take it or leave it”. Terhadap kelengkapan isi perjanjian, maka dari segi antisipatif atau proteksi terhadap pelaksanaan perjanjian, perjanjian franchise Ultra Disc ini amatlah minim dari perlindungan karena beberapa ketentuan penting Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
seperti klusula mengenai wanprestasi, force majeure, kedudukan berdiri sendiri, pengalihan hak, dan lain-lain tidak diatur didalam perjanjian. Demikian juga mengenai ketegasan isi perjanjian, didalam perjanjian franchise ini terdapat kata-kata yang multi interpretasi dan penerapan kata yang kurang tepat, misalnya “setuju memberikan royalty”, “setuju membantu dan membimbing” yang secara tegas merupakan kewajiban para pihak. Selain itu hal perlu juga diperhatikan adalah pemilihan dan penetapan lokasi yang merupakan hal krusial dalam bisnis franchise apapun karena letak yang strategis didalam suatu wilayah akan mempengaruhi secara ekonomis bagi berjalannya suatu bisnis, namun didalam perjanjian tidak diatur secara spesifik berupa alamat lengkap lokasi yang telah disepakati dalam perjanjian untuk menjalankan kegiatan usaha yang diperjanjikan. B. SARAN
1. Usaha bisnis waralaba sudah merupakan sesuatu hal yang baru lagi, sudah semestinya model usaha seperti demikian memiliki pengaturan yang lebih memadai yang memperhatikan keseimbangan kedudukan franchisor dan franchisee untuk menunjang perkembangan dunia usaha pewaralabaan dan juga memberikan proteksi bagi pihak-pihak dalam perjanjian franchise tersebut. 2. Seharusnya hukum positif Indonesia memiliki pengaturan undang-undang untuk penerapan klausula baku dalam hal kontrak bisnis, untuk mencegah maupun melindungi pebisnis skala kecil dan menengah dari kerugian seperti halnya Unfair Terms Act di Inggris. Penyeragaman klausula baku Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009
yang dapat dipergunakan didalam perjanjian franchise dianggap penting dengan melibatkan setiap asosiasi pengusaha yang terlibat dalam usaha waralaba dibantu oleh ahli hukum yang berkompoten didalam waralaba. 3. Hal-hal yang lazim diatur didalam perjanjian franchise dapat dijadikan pedoman untuk melakukan perjanjian waralaba. Seperti halnya perjanjian franchise Ultra Disc, ada beberapa klausula yang juga penting untuk dimasukkan
dalam
perjanjian
seperti
seperti
klusula
mengenai
wanprestasi, force majeure, kedudukan berdiri sendiri, pengalihan hak, pemilihan lokasi, prosedur pelaporan, prisip tanpa persaingan, kerahasiaan produk dan sistim, perizinan dan administarasi, asuransi, pajak, eksklusivitas, jaminan terhadap tuntutan hukum, amandemen perjanjian dan pelepasan hak, ganti rugi, keterpisahan, dan surat menyurat serta integrasi kontrak. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa adalah lebih baik jika masalah royaltypun diatur dalam dokumen yang sama tidak perlu dipisah guna meniadakan kerancuan terhadap isi kontrak.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional), 2007. USU Repository © 2009